Walet Emas 2 - Danyang Delapan Neraka

Pengarang : Teguh Santosa

 
Hujan deras mengguyur bumi. 
Matahari baru saja terbenam,  tetapi 
suasana desa itu sunyi senyap. Memang 
tidak seperti biasanya. Beberapa waktu 
yang lalu, suasana begini tidak 
menjadi penghalang bagi penduduk untuk 
berlalu-lalang di jalanan. Tetapi 
sudah tiga minggu ini segalanya 
berubah. Ada semacam keengganan bagi 
penduduk untuk keluar rumah setelah 
matahari terbenam. Apalagi suasana 
yang kian temaram diguyur hujan 
seperti ini. Tak seorang pun yang 
berani kelayapan. Kalaupun ada, pasti 
ada keperluan  yang teramat penting. 
Itupun lewat pertimbangan berkali-kali 
sebelum memutuskan untuk keluar rumah. 

Lalu, ketika suasana kian pekat 
ditelan kegelapan, lewat cahaya kilat 
yang memancar bertalu talu, terlihat 
sesosok tubuh tegak dengan angkuh 
dihadapan puing-puing sebuah rumah. 
Bangunan tersebut telah terbakar 
beberapa waktu yang lalu. 
Tak berapa lama kemudian muncul 
pula sesosok tubuh yang lain dari 
seberang sana. Dengan tenang dia 
berjalan menuju seseorang yang telah 
lama berdiri di depan puing bangunan 
tadi. Tampaknya dia tidak memperdu-
likan keadaan di sekelilingnya.  Juga 
terhadap hujan yang kian deras  
menyiram tubuhnya. Beberapa pasang 
mata mengintip dari dalam rumah lewat 
celah-celah dinding bambu menyaksikan 
peristiwa itu. Mereka adalah para 
penduduk yang tahu apa yang bakal 
terjadi di sana. Malam itu akan ada 
perang tanding dua orang pendekar 
sesuai dengan tantangan yang telah 
disepakati. 

Akhirnya pendekar yang baru 
datang itu berhenti kira-kira tiga 
tombak jauhnya dari sesosok tubuh yang 
telah menanti kedatangannya. 
"Kau terlambat datang! Apakah 
sibuk melepas perpisahan dengan istri-
mu?" kata pendekar yang telah lama 
menunggu. "Sayang memang, meninggalkan 
seorang istri yang bakal jadi janda. 
Janda muda yang sintal! Istrimu adalah 
sosok wanita idamanku, kau tahu itu ? 
Jangan marah. Aku sekedar mengumbar 
isi hati saja. Jangan khawatir, aku 
akan merawat istrimu!" 
Geraham pendekar yang baru datang 
itu terkatup rapat. Ada perasaan geram 
yang ditahan. Tetapi dia mencoba 
mengendalikan diri. Dia tahu, lawannya 
mencoba mengaduk-aduk kemarahannya. 
Ini sangat berbahaya apabila dia 
terseret arus pancingan kemarahan 
seperti itu. Dalam suasana yang tidak 
tenang, lawan akan dengan mudah menun-
dukkan dirinya. Tidak saja tunduk, 
tetapi sampai pada kematiannya. Sebab  
pertemuan kali ini adalah masalah 
hidup dan mati! 
Guntur menggelegar. Masing-masing 
telah siap untuk mencabut senjata. 
Ketegangan berkembang. Detik demi 
detik berlalu. Tetapi begitu mereka 
akan mencabut golok, tiba-tiba 
terdengar suara tawa yang menggema 
lantang. Suara itu mampu mengalahkan 
suara derai air hujan, dan semakin 
jelas terdengar mendekati mereka. 
Sesosok tubuh berkelebat. Kedua Orang 
yang hendak menyabung nyawa itu 
mencelat dari tempatnya masing-masing 
begitu bayangan hitam menerjang di 
tengah-tengah mereka. 
"Gila! Bayangan apa itu?" umpat 
orang pertama yang tadi muncul sambil 
mencoba membenahi dirinya. "Kau jangan 
curang, Klungsu ! Kau membawa 
pecundang untuk membantumu ?" 
"Keparat, kau, Ragil!" kata orang 
yang dipanggil dengan nama Klungsu. 
"Kau yang membawa pembokong untuk 
bikin curang dalam tanding tohpati 
ini!" 
"Tidak ! Aku datang dengan 
jujur," jawab laki-laki bernama Ragil. 
"Lalu siapa yang bikin ulah 
tadi?" tanya Klungsu. 
Sebelum memperoleh jawaban, tiba-
tiba bayangan yang berkelebat tadi 
muncul kembali.....! Kali ini tidak 
sekedar membuat  kejutan, tetapi  
bertindak fatal. Bayangan hitam yang 
muncul sambil mengumbar tawa itu me-
ngibaskan jubahnya, sehingga pendekar 
bernama Ragil dan Klungsu menggeliat 
sambil menjeritkan suara aduhan. Kedua 
tubuh itu terkapar tak bergerak 
lagi......!. 
Bayangan itu tidak terlihat lagi. 
Hujan tetap mengguyur dengan deras. 
Malam semakin larut, sementara 
penduduk desa itu terbenam di dalam 
rumah masing-masing.......! 
 
*** 
 
Esok harinya, Penduduk gempar. 
Mereka mendapati dua sosok tubuh yang 
dikenal sebagai jago kepruk bayaran 
terkapar di depan puing bangunan bekas 
kebakaran. 
"Ini kan Ragil dan Klangsu ! 
Bagaimana jago kepruk yang ditakuti 
segenap desa ini bisa terkapar seperti 
itu ? Jadi mereka tidak mati ? Cuma 
pingsan ? Padahal kalau berada di 
manapun, tak akan dibiarkan seekor 
lalat mengusiknya," seorang penduduk 
mengumbar omongan di antara kerumunan 
orang-orang yang menengok keadaan di 
sana. 
"Ada apa kiranya, pak ?" 
terdengar suara pertanyaan. 
Laki-laki tua itu menoleh. Dili-
hatnya seorang wanila berkemben kuning  
mengendalikan kuda. Pak tua itu 
tertegun menyaksikan penampilan wanita 
yang telah menegurnya. Paling tidak, 
sebagai laki-laki yang telah berusia 
tujuh puluhan, dia dapat menilai 
kecantikan wanita muda berkendara kuda 
itu. 
"Dua jago kepruk yang kesohor di 
desa ini, kedapatan pingsan terkapar. 
Ada yang bilang mereka semalam akan 
perang tanding. Tapi pagi ini keduanya 
semaput dengan bekas membiru serupa di 
kening mereka !" kata orang tua itu 
lagi. 
Yang menjadi masalah memang itu. 
Di kedua kening Ragil dan Klungsu 
terdapat tanda yang membiru sebesar 
ibu jari. 
"Coba saya periksa, pak !!!", 
kata wanita muda itu sambil turun dari 
kudanya. Orang-orang menyibak minggir 
ketika dilihatnya wanita berkemben 
kuning berniat memeriksa Ragil dan 
Klungsu yang masih belum sadar dari 
pingsannya. 
"Hm. Ini totok jalan darah yang 
membuat orang bisa tidur berminggu-
minggu lamanya," kata wanita berkemben 
kuning setelah meraba kening dua orang 
yang terkapar di hadapannya. "Sebenar-
nya tidak seberapa parah. Akan 
kusadarkan mereka," katanya lagi 
sambil memijat bagian tengkuk dan 
pelipis salah seorang di antaranya. 
 
Kemudian orang yang satunya. 
"Lihat! Klungsu telah bangun," 
kata salah seorang penduduk 
"Ragil juga mulai sadar. Wah, 
ampuh benar pengobatannya gendhuk ayu 
itu. Apakah dia seorang tabib ?" kata 
yang lain. 
"Hush ! Mana ada tabib berpakaian 
seperti itu ? Penampilan seperti itu 
hanya dilakukan oleh seorang pende-
kar," terdengar suara yang lain. 
Wanita berkemben kuning itu 
berdiri sementara Ragil dan Klungsu 
telah sadar dan tampak blingsatan 
karena dikerumuni penduduk. 
Tiba-tiba Ragil tampak beringas. 
Dia mencabut goloknya.  , 
"Minggir semua!! Apa yang kalian 
tonton, hah ?!, Hei, kau, Klungsu ! 
Apa yang telah kau lakukan terhadapku 
sampai jadi tontonan orang-orang ini ? 
Bukankah kita sepakat  untuk 
menyelesaikan masalah kita dengan 
perang tanding secara ksatria?!" 
"Jangan mengumbar seenak udelmu, 
Ragil! Kaulah yang memanggil orang-
orang ini menjadl penonton! Tapi....., 
tapi semalam......aah.......!" Klungsu 
ternyata orang paling menyadari 
peristiwa yang terjadi semalam. 
"Semalam ?! Oh......, ya...., 
semalam itu....kita sudah berhadapan ! 
Tapi.....," kata Ragil seperti orang 
linglung. Orang-orang mulai menying- 
kir. Mereka tak mau terlibat lagi de-
ngan urusan Ragil dan Klungsu. Mereka 
terkenal sebagai jago kepruk. Mereka 
menjual tenaga kepada siapa saja yang 
memerlukan tenaganya. Hanya sayang, 
tenaga mereka hanya diandalkan untuk 
menyakiti orang lain. Bahkan kalau 
perlu membunuh! Teringat akan hal ini, 
maka orang-orang tak mau mengurusi 
lagi peristiwa yang menimpa kedua jago 
kepruk itu. 
Begitu orang-orang menyingkir, 
pandangan mereka tertuju kepada 
seorang wanita muda berkemben kuning. 
"Kalian telah kena totok jalan 
darah sehingga tertidur. Di kening 
kalian masing-masing ada tanda 
membiru. Itu totok jalan darah tingkat 
tinggi yang membuat kalian bisa 
tertidur berminggu-minggu. Tahu aki-
batnya kalau manusia tertidur terus? 
Bisa mampus dalam buaian mimpi !" kata 
wanita itu sambil beranjak pergi. 
"Eh.....enghm.... gendhuk ayu. 
Siapa namamu ?" kata Ragil yang sirna 
keberingasannya. 
"Pusparini ! jawab wanita itu 
sambil menaiki kudanya. 
"Hei, tunggu ! Kita perlu omong-
omong sedikit tentang hal ini!" kata 
Ragil lagi. 
"Aku perlu sarapan. Kalau ingin 
berbicara, sebaiknya di warung itu," 
jawab Pusparini tanpa menoleh. 
 
"Hei, Ragil! Bagaimana dengan 
urusan kita. ?" tanya Klungsu dengan 
lagak tetap sebagai seorang jagoan. 
"Bisa kita selesaikan sewaktu-
waktu. Aku ada keperluan yang lebih 
penting dari pada harus mencabut 
nyawamu !" kata Ragil sambil terus 
mengejar langkah Pusparini. Klungsu 
meludah, mengimbangi penghinaan Ragil 
dan membiarkan lawannya berlalu. 
Benar-benar aneh  pertikaian mereka. 
Pusparini langsung memesan 
makanan begitu dia mengambil tempat 
duduknya di bangku panjang. Sesaat 
kemudian jago kepruk bernama Ragil 
telah menyusul dan langsung duduk di 
sampingnya. 
"Maaf. Aku ingin bertanya, siapa 
kau sebenarnya," tanya Ragil tanpa 
segan sedikitpun. Dia terus mengawasi 
Pusparini yang kini telah melahap nasi 
yang dipesan. 
"Aku sekedar numpang lewat di 
sini, dan kutemui kau dan orang yang 
satunya itu terkapar jadi tontonan," 
jawab Pusparini tanpa menoleh sedikit 
pun. 
"Numpang lewat? Memangnya akan 
kemana kau?" 
"Ya... sepembawa kaki saja." 
"Kau pasti mencari seseorang !" 
desak Ragil. 
"Sok tahu kau. Jangan sembrono. 
Aku paling tidak suka dituduh macam- 
macam oleh seseorang yang tidak 
kukenal," jawab Pusparini yang kini 
meneguk minumannya. "Jadi kau ke 
warung ini tidak untuk makan? Hanya 
untuk bertanya terhadap hal-hal yang 
tak kusukai?" 
"Hm. Ternyata kau bisa  cepat 
marah," Ragil memancing dengan ejekan. 
"Namaku Ragil! Kalau kau tak 
keberatan, tinggallah beberapa hari di 
desa ini." 
Pusparini mengusap mulutnya, 
menghapus sisa makanan yang mungkin 
menempel di bibirnya yang ranum sigar 
jambe itu. Ragil menelan ludah melihat 
bentuk bibir macam itu. Lalu matanya 
menyapu dada Pusparini yang terbungkus 
kemben kuning. Perasaannya berdetak. 
"Terima kasih dengan tawaranmu. 
Tetapi kalau aku ingin menginap, akan 
kucari penginapan sendiri," kata 
Pusparini sambil merogoh pundi-pundi 
dan mengambil isinya. Pemilik warung 
menerima pembayaran yang diberikan. 
"Eenghmm.......gus Ragil tidak 
makan?" tanya pemilik warung. 
"Eh.... tidak. Tidak, pak," jawab 
Ragil sambil meninggalkan tempatnya 
karena melihat Pusparini telah memacu 
kudanya meninggalkan waning Itu. 
"Hei! Tungguu!!" Ragil lari 
memburu. Pusparini lenyap di tikungan. 
Ragil mengumpat. Dia tidak melanjutkan 
pengejaran. Lalu berjalan menuju ke  
suatu tempat mengarah ke luar desa. 
Beberapa saat kemudian langkahnya 
sampai di sebuah jembatan. Sungai yang 
bening mengalir di bawahnya. Tak ada 
pikiran apa-apa sampai dia menyebe-
rangi jembatan itu. Tetapi sesampai di 
tengah jembatan, perhatiannya terusik. 
Ragil mengawasi hulu sungai. 
Dan...astaga! Sayem, istri Klungsu, 
sedang mandi di sana sendirian. 
Ragil, jago kepruk yang mata 
kranjang, mengawasi wanita bernama 
Sayem yang asyik merendam tubuhnya di 
sungai. Kejalangan Ragil menyala. 
Dengan langkah hati-hati dia mendekati 
Sayem yang sedang mandi. Wanita ini 
tak curiga sedikit pun kalau ada 
sepasang mata yang terus mengawasi 
gerak-geriknya. Kemudian Ragil bikin 
ulah. Dia mengambil pakaian Sayem. 
Dan beberapa saat kemudian.... 
"Oh ! Di mana pakaianku ?" kata 
Sayem dalam hati sambil mengawasi 
keadaan di sekitarnya. Tiba-tiba 
perasaan semakin bergolak kaget ketika 
dilihatnya Ragil dengan senyum simpul 
berada di sana. Sayem membenamkan diri 
lagi ke air. 
"Yem! Aku bermurah hati kepada 
Klungsu, suamimu. Dia kubiarkan hidup. 
Bukankah pagi ini dia telah pulang ke 
rumah ?" Ragil mengumbar kata. 
"Kang Ragil! Berikan pakaianku!" 
Sayem meratap. 
 
"Keluarlah dari tempatmu, dan 
datanglah kemari!" kata Ragil dengan 
nada olok-olok. Dia tetap senyum-
senyum dengan mata jalang mengawasi 
Sayem yang semakin membenamkan 
tubuhnya ke dalam air sampai sebatas 
leher. 
"Kau tentunya tidak akan seharian 
kumkum di situ, Yem!" ledek Ragil. 
"Pasti ikan-ikan di sungai ini sedang 
menonton tubuhmu. Aku jadi iri, Yem. 
Bagaimana kalau ada ikan jantan lalu 
nylonong ke sela pahamu?" 
"Gendheng! Edan!" umpat Sayem. 
"Kalau kang Klungsu tahu, pasti kau 
dibantai!" 
"Ah, kalau dia mampu pasti sudah 
dilakukan dari dulu-dulu. Sampai tadi 
malam pun, dia tak mampu melakukannya. 
Bahkan kuberi dia kesempatan untuk 
hidup!" ledek Ragil. 
"Berikan pakaianku ! Kalau ada 
orang yang melihat, kau akan dikeroyok 
orang satu kampung," ancam Sayem 
dengan sikap menakut-nakuti. 
"Dikroyok orang satu kampung? 
Satu desa pun akan kuladeni!" 
Sayem tiba-tiba terperangah 
melihat apa yang akan dilakukan Ragil. 
"Kalau kau tak sudi datang 
kemari, aku yang akan ke tempatmu," 
kata Ragil sambil melepas pakaiannya. 
"Kang Ragil........ jangan!!" 
keluh Sayem ketakutan. 
 
Ragil tertawa terkekeh-kekeh 
seperti kucing melihat dendeng. Tetapi 
tiba-tiba suaranya tersendat. Itu 
karena merasa tubuhnya melayang dan 
mencelat. Sebuah tendangan telah 
melanda punggungnya. Tubuh Ragil me-
layang ke arah sungai dan tercebur 
tiga tombak jauhnya dari tempat Sayem. 
Ragil tak tahu siapa yang melakukan 
pembokongan itu. Ketika muncul dari 
permukaan air maka umpatannya meledak. 
Dia misuh-misuh selangit. Dilihatnya 
Sayem telah naik ke tepian dan 
seseorang memberikan kain kepadanya. 
"Keparat kau,  Ppp.....  Puspa-
rini!!" teriak Ragil sambil 
menggenjotkan tubuh keluar dari sungai 
dan nangkring di atas padas. "Kau o-
ang baru masuk ke kawasan ini sudah 
berani banyak tingkah terhadapku!" 
Ya ! Pusparini yang telah meng-
hajar Ragil sampai mencelat ke sungai. 
"Yang banyak tingkah itu kan 
kamu. Mbakyu ini sudah punya suami. 
Mengapa mesti hendak kau kurang ajari? 
Sebagai sesama wanita, aku terpaksa 
bertindak. Kau  pikir wanita itu bisa 
kau buat main-main seenak udelmu? 
Kalau ingin main-main, ayo denganku ! 
Aku ladeni!" tantang Pusparini. 
"Demit kapiran!!! Kau akan tahu 
siapa aku..!!" teriak Ragil sambil 
melesat ke arah Pusparini. Dan itu 
adalah gerak yang ceroboh dilakukan  
oleh Ragil. Dia terlalu jauh membuat 
gerakan meloncat ke arah lawan. 
Pusparini dapat mengetahui arah mana 
yang hendak dituju Ragil. Oleh sebab 
itu lowongan tersebut diisi  jurus 
untuk  menghadapi   tendangan lawan. 
Akibatnya, Ragil terpaksa mengubah 
serangan. Tetapi hal itu sulit 
dilakukan karena semua peluang telah 
dikuasai Pusparini. Kemana pun Ragil 
berkelit, pasti kena gampar. 
Dan itu benar-benar terjadi. 
Serangan Ragil mendapat pukulan tangan 
kanan Pusparini, sehingga tapak 
kakinya kesemutan, yang disusul lagi 
dengan sabetan tangan kiri. Semua itu 
cukup membuat Ragil jempalitan di 
udara, lalu menapak tanah kembali. 
Tetapi sekejap kemudian dia melesat ke 
udara sambil memusatkan tenaga pukulan 
di tangannya yang langsung ditujukan 
ke arah Pusparini. Tetapi wanita muda 
ini memandang gaya serangan itu cuma 
kelas tempe. Hal itu terbukti Puspari-
ni dengan mudah dapat mengimbangi 
dengan tangkisan yang cukup fatal. 
Tangan kanannya membendung pukulan 
Ragil, tetapi kaki kiri Pusparini 
segera melesat dengan cepat ke atas, 
langsung mengunjam ke lambung lawan. 
Ragil menggeliat di udara. Sebelum dia 
menginjak tanah, Pusparini telah 
menyerangnya lagi dengan tendangan 
kaki. Tubuh Ragil benar-benar jadi  
bulan-bulanan, yang akhirnya mencelat 
menimpa semak belukar. 
"Mbakyu ! Cepat pulang sebelum 
dia siuman. Kukira untuk beberapa saat 
dia akan tertidur di situ," kata 
Pusparini kepada Sayem yang sejak 
terjadi pertarungan tadi menyaksikan 
dari balik batang pohon. 
"Ttt.... terima kasih... dd... 
dik pendekar....!" kata Sayem sambil 
secepatnya meninggalkan tempat itu. 
Pusparini pun berlalu dari sana, 
menghampiri kudanya yang ditambatkan 
di bawah pohon. 
 
*** 
 
 
Ternyata peristiwa baku hantam 
Pusparini dengan Ragil ada yang 
mengintip. Orang ini segera menyebar 
luaskan kejadian itu. 
"Jadi Ragil klenger?" tanya 
temannya setelah mendengar kisah 
tersebut. 
"Bener? Sepak terjang wanita muda 
itu.....whiih.....huebat banget. Cuma 
beberapa kali gebrak, Ragil tak 
berkutik." 
"Kalau begitu.... dia orang yang 
kita cari," kata seorang lelaki tua. 
"Dicari untuk apa ?" tanya 
orangyang memberi laporan. 
 
"Kau akan tahu nanti. Ayo, 
tunjukkan dimana pendekar wanita yang 
kau ceritakan itu" 
"Wah, ya nggak tahu. Setelah 
menggasak Ragil, dia terus menaiki 
kudanya entah pergi ke mana," jawab si 
pelapor. Tetapi baru saja menutup 
pembicaraan. 
"Oh! Itu dia! Itu dia!" 
Kemudian semua mata tertuju ke 
arah jalan utama desa itu. 
Pusparini tampak berkuda, yang 
melihat gelagatnya akan meninggalkan 
desa itu. Seorang penduduk yang punya 
niat tadi segera memburu Pusparini. 
"Berhenti dulu. Maaf, nduk, kalau 
boleh aku ingin berbicara kepadamu," 
kata laki-laki itu. 
Pusparini menghentikan kudanya. 
"Oh ya? Ada apa, pak?!" tanya 
Pusparini. 
"Lebih baik di tempatku saja, 
nduk. Ada sesuatu yang penting ingin 
kubicarakan denganmu," kata laki-laki 
itu. 
"Tapi......siapakah bapak ini?" 
tanya Pusparini. 
"Aku Jaga Baya desa ini. Namaku 
Ki Pandulu. Kau tak keberatan bukan ?" 
"Baiklah !" kata Pusparini sambil 
turun dari kudanya. 
"Lho, kok turun. Rumahku di 
seberang sungai Itu. Berjalan cukup 
jauh." 
 
"Bapak kan jalan kaki. Jadi lebih 
enak kita omong-omong sambil jalan 
kaki menuju rumah bapak," jawab 
Pusparini dengan sopan. 
Ki Pandulu tersenyum dan geleng-
geleng. Kesan terhadap Pusparini 
menimbulkan rasa nyemanak. Artinya, 
penuh rasa hormat serta kekeluargaan. 
Beberapa saat ketika mereka 
menempuh perjalanan itu, mereka 
melewati puing bekas rumah terbakar. 
"Kelihatannya puing ini belum 
lama terjadi kebakaran. Warga desa 
bernama Klungsu dan Ragil kemarin 
didapati tertidur di sini.  Bapak 
mengerti mengapa terjadi kebakaran di 
bekas rumah ini?" tanya Pusparini. 
"Itulah yang nanti bapak 
ceritakan. Tetapi tentang tertidurnya 
Ragil dan Klungsu, kata orang bukan 
tertidur biasa. Kena totokan jalan 
darah, dan... enghmm... siapa namamu, 
nduk?" kata Ki Pandulu. 
"Pusparini, pak" 
"Oh, nama yang indah." 
"Mereka memang kena totokan jalan 
darah. Orang yang melakukan pasti 
berilmu tinggi. Tapi... tunggu,pak. 
Saya ingin melihat bekas-bekas 
kebakaran yang telah menghabiskan 
rumah ini," pinta Pusparini. 
Ki Pandulu tertegun sejenak. Ada 
sesuatu yang dipikirkan. 
"Silakan. Tapi sebaiknya kukata- 
kan sekarang tentang puing-puing rumah 
ini," kata Ki Pandulu sambil 
mendampingi Pusparini memeriksa bekas-
bekas kebakaran. "Ini bekas rumah Ki 
Bangah. Dia beserta istrinya tewas 
terbakar." 
"Oh, kasihan. Tidak ada keluarga 
yang lain?" tanya Pusparini sambil 
memungut sesuatu di antara puing-puing 
itu. Sebuah logam. "Senjata rahasia," 
bisik Pusparini pelan.  
"Ada seorang anak gadisnya yang 
sampai saat ini tidak kami ketahui 
nasibnya. Entah di mana dia sekarang. 
Namanya Sriwening," Ki Pandulu terus 
memberi penjelasan yang tiba-tiba 
terkejut melihat Pusparini menemukan 
sebuah logam yang diketahui sebagai 
senjata rahasia, entah milik siapa. 
"Berarti ada bentrokan sehubungan 
dengan kebakaran itu, pak," kata 
Pusparini sambil menunjukkan benda 
itu. "Bapak pernah melihat senjata 
rahasia ini?" 
"Tidak. Oh, alangkah bodoh diriku 
sampai tidak bisa menemukan benda itu 
sewaktu tempo hari mengadakan 
pemeriksaan setelah kebakaran itu 
terjadi. Mungkin karena hujan maka 
benda itu yang semula tertimbun abu, 
jadi muncul di permukaan tanah." 
"Kalau yang bapak maksud semua 
itu ada kaitannya dengan peristiwa 
terbunuhnya keluarga Ki Bangah, saya  
akan membantu bapak untuk menyelidiki 
hal ini. Mari kita terus ke rumah 
bapak," ajak Pusparini. 
Mereka segera meninggalkan tempat 
itu. Sayangnya mereka tidak sadar 
bahwa sepasang mata telah mengamati 
gerak-gerik mereka dari kejauhan di 
balik lorong gang. 
Malam ini Pusparini bermalam di 
rumah Ki Pandulu, jaga baya Desa 
Sonogading. Sejak sore telah terjadi 
pembicaraan antara Pusparini dengan Ki 
Pandulu. Dan seperti biasanya, Desa 
Sonogading setiap malam tetap diguyur 
hujan Penduduk bilang, ini "mongso 
rendeng", musim penghujan. 
"Memang tak ada yang beres di 
desa ini," pikir Pusparini di balik 
selimut. Kalau tak salah desa ini 
termasuk kadipaten Prambanan." 
Pusparini meneliti lagi logam 
senjata rahasia yang ditemukan di 
puing rumah Ki Bangah. 
"Menurut cerita Ki Pandulu tadi, 
setiap malam desa ini disatroni oleh 
sesosok tubuh tak dikenal yang 
mengganggu rumah-rumah. Tapi tidak 
merampok. Dia datang mengganggu anak 
gadis. Anehnya, dia tidak memperkosa, 
suatu hal yang sangat ditakutkan. Hm, 
hanya mengganggu anak gadis. Dan 
gadis-gadis itu menurut pengakuan 
mereka, hanya ditelanjangi, kemudian 
di tinggal pergi. Aneh!" 
 
Pusparini mempertajam indera 
pendengarannya. Hujan di luar mulai 
reda. Malam semakin larut. Timbul 
niatnya untuk memergoki tokoh aneh 
yang sering kelayapan pada tengah 
malam untuk mengganggu anak gadis 
penduduk itu. Tetapi menurut kete-
rangan Ki Pandulu, tokoh aneh tersebut 
tidak bisa dipastikan kemunculannya. 
Tidak pada setiap malam. Tetapi cukup 
membuat resah penduduk. 
Pusparini memutuskan untuk keluar 
rumah. Harapannya, dia ingin memergoki 
tokoh aneh Itu. Untung-untungan. Kalau 
tidak ketemu, ya sudah, begitu piker-
nya. Lalu Pusparini keluar ruangan 
kamarnya. Dengan sekali genjot, dia 
sudah nangkring di wuwungan rumah. 
Ilmu mengentengkan tubuh diterapkan 
agar tidak membuat berisik. Dia yakin, 
tokoh aneh itu pasti memiliki ilmu 
tinggi. Ki Pandulu juga belum bisa 
memastikan apakah peristiwa kebakaran 
yang terjadi di rumah Ki Bangah ada 
hubungannya dengan tokoh aneh itu. 
Gerimis kepyur tidak diindahkan 
oleh Pusparini. Dia melesat dari 
wuwungan yang satu ke wuwungan yang 
lain. Semuanya dilakukan tanpa be-
risik. Hanya pakaiannya yang menim-
bulkan bunyi berkelebat karena terpaan 
angin tatkala melompat. 
Akhirnya dia nangkring di sebuah 
wuwungan rumah yang bentuknya agak  
mewah dari rumah lain. Di tempat ini 
dia berdiri agak lama. Matanya menyapu 
kegelapan malam. Tak ada secercah 
cahaya pun dari dalam rumah penduduk 
yang menembus keluar. Hanya cahaya 
kilat yang sesekali menolongnya 
sehingga tahu keadaan sekitarnya. 
Tiba-tiba perasaan Pusparini 
terusik Seperti ada sesuatu yang 
bergerak di teritisan rumah-rumah tak 
jauh dari tempat itu. Dia mencoba 
menajamkan pandangan ke arah tempat 
yang dicurigai. Harapannya mudah-
mudahan ada cahaya kilat di langit 
sehingga dia bisa melihat dengan nyata 
siapa yang bergerak di sana. Ternyata 
tak ada kilat secercahpun. Karena 
dipikir sosok tubuh yang dicurigai itu 
semakin mendekat, maka Pusparini 
melompat ke sana. 
Tetapi sial. Sebelum Pusparini 
tiba di tempat yang diincar, sosok 
tubuh itu dengan cekatan menggerakkan 
tangannya. Pusparini merasakan pukulan 
melanda. bahunya. Tetapi dia cepat 
menggulirkan tubuhnya agar tidak 
mengalami serangan beruntun yang 
dilakukan oleh sosok tubuh itu. Memang 
agak sulit baginya untuk membaca 
situasi dalam suasana gelap seperti 
itu. Pusparini berusaha mengatasi 
diri. Setelah bergulir menghindarkan 
diri, dia pasang kuda-kuda. Matanya 
dipertajam menembus kegelapan malam. 
 
Dan secepat itu pula dilihatnya sosok 
tubuh yang diserang tadi melesat  ke 
arahnya. Rupanya lawan ini menganggap 
Pusparini perlu diladeni. Bentrokan 
tak bisa dihindari. Pada kesempatan 
inilah Pusparini dapat mengambil 
kesimpulan bahwa lawannya seorang 
wanita. Tetapi siapa gerangan? 
"Kita harus bicara. Aku ingin 
tahu siapa kau sebenarnya!" terdengar 
suara sosok tubuh itu. 
Pusparini menghentikan sepak 
terjangnya. Tetapi dia tetap waspada, 
takut kalau-kalau hal itu hanya 
muslihat lawannya. 
Kilat memancar di langit. Puspa-
rini bisa melihat dengan nyata sosok 
tubuh lawannya. Dia memang seorang 
wanita. 
"Aku Sriwening. Putri Ki Bangah," 
kata wanita itu. 
"Sriwening?" ucap Pusparini 
seolah ingin kepastian. "Sriwening 
putri Ki Bangah?!" 
"Ada apa? Siapa kau sebenarnya 
yang tiba-tiba saja menyerangku?" 
tanya Sriwening dengan membenahi 
pakaiannya. 
"Sebaiknya kita ke tempat Ki 
Pandulu, jagabaya desa ini. Aku 
menginap di sana," kata Pusparini 
mencoba mengawasi keadaan wanita 
bernama Sriwening. 
"Ki Pandulu? Oh, itu kebetulan  
sekali. Sebenarnya aku hendak ke sana. 
Aku baru saja datang ke desa ini. Aku 
mendengar bahwa kedua orang tuaku 
terbunuh," sambung Sriwening dengan 
mengiringi langkah Pusparini. "Pantas 
kalau Ki Pandulu mempunyai tenaga 
pembantu seperti kau. Jaga baya 
bertugas menjaga keamanan." 
"Kata Ki Pandulu ada sesuatu yang 
tidak beres di desa ini," kata 
Pusparini. 
"Itu sudah kuduga," sela 
Sriwening. 
"Hst!" tiba-tiba Pusparini 
mencekal lengan Sriwening. "Aku 
melihat seseorang mengendap-endap di 
seberang jalan itu." 
"Aku juga telah melihatnya tadi. 
Tetapi mengapa kelihatannya kau 
mencurigai semua yang kau lihat di 
malam seperti ini?" tanya Sriwening. 
"Pasti kau telah lama mening-
galkan tempat ini sehingga tidak tahu 
perkembangan peristiwa yang menimpa 
desa Sonogading," kata Pusparini 
dengan terus mempertajam pengamatannya 
kepada sesosok tubuh yang tetap 
mengendap-endap di sana. "Ayo kita 
sergap dia." 
Pusparini dan Sriwening menyebar. 
Sementara itu sosok tubuh yang 
dicurigai melambungkan tubuhnya ke 
atap rumah. Hal itu tak lepas dari 
pengawasan Pusparini yang telah  
melangkah terlebih dahulu. "Hm. 
Berilmu  juga dia. Jelas bukan maling 
ayam," pikirnya. 
Pusparini mengejar ke atap rumah. 
Pada saat itulah sosok tubuh yang 
dikejar mengetahui kehadirannya. 
"Hei! Katakan siapa dirimu! Siapa 
pun yang kelayapan dengan caramu itu, 
pasti bukan manusia baik-baik!" tegur 
Pusparini dengan nada tegas. 
Kilat memancar. Dari cahaya ini 
Pusparini sekilas dapat melihat dengan 
jelas wajah sosok tubuh itu. Tetapi 
wajah yang bertopeng. 
"Hm! Bertopeng lagi. Bagaimana 
aku bisa menyebutmu bahwa kemunculanmu 
malam ini dengan maksud baik," 
sambungnya lagi. Kali ini Pusparini 
mulai pasang kuda-kuda, sebab diper-
kirakan orang di hadapannya itu akan 
menyerang. Dan benar! Manusia 
bertopeng itu menerjang ke arah 
Pusparini. Geraknya melesat bagai 
punya sayap pada tubuhnya. Penampilan 
yang terlihat bagaikan sayap itu 
adalah jubah yang dipakainya. Gerakan-
nya membuat jubahnya mengembang se-
perti sayap kelelawar. 
Pusparini berkelit sambil mengi-
rimkan pukulan ke arah lawan ketika 
orang bertopeng itu mengayunkan 
tangannya. Ayunan pukulan, serang dan 
menangkis saling beruntun silih 
berganti. Selang beberapa jurus, orang  
bertopeng itu merasakan lambungnya 
kena tendang. Tetapi tubuhnya tidak 
oleng. Bahkan dia langsung mengirimkan 
pukulan ke arah asal tendangan itu. 
Ternyata yang bikin ulah adalah 
Sriwening. 
Kini dua lawan satu. 
Bagi Pusparini sebenarnya hal ini 
tidak enak. Dia belum bisa mengukur 
kekuatan lawan. Mengapa harus menge-
royok? Oleh sebab itu untuk beberapa 
saat dia berkelit menghindar, memberi 
kesempatan kepada Sriwening agar mena-
ngani manusia bertopeng yang dicurigai 
punya niat tidak baik. 
Dari pengamatan Pusparini bahwa 
manusia bertopeng itu cukup tangguh 
dan berilmu tinggi. Cerakannya banyak 
memancing Sriwening, sehingga perkela-
hian mereka berkembang dari atap rumah 
yang satu ke atap rumah yang lain. 
Melihat hal ini timbul hasrat 
Pusparini untuk menjebak manusia 
bertopeng itu. Rencananya, selagi 
lawan itu sibuk menghadapi Sriwening, 
dia akan menyambar topeng yang 
melindungi wajahnya. Pusparini melesat 
dengan diam-diam. Akan dilakukan dari 
samping, sebab cara ini lebih mudah 
dari pada harus membokong karena 
terhalang jubah yang sering berkem-
bang. Tetapi baru saja Pusparini 
nyaris mendekat, tiba-tiba manusia 
bertopeng ini mengibaskan jubahnya  
untuk menghalau tindakan itu. 
Hebat. Pusparini merasakan kiba-
san itu merobek lengannya. 
Ya, merobek! Sebab Pusparini 
merasakan sesuatu yang pedih di 
lengannya. Pusparini menduga bahwa 
ujung jubah itu pasti ada logam tajam 
sebagai senjata yang dirahasiakan 
letaknya. Lalu kekhawatirannya timbul. 
Bagaimana kalau senjata itu beracun? 
Dia ingat peristiwa yang lalu ketika 
harus berhadapan dengan tokoh bernama 
Sawung Cemani yang memiliki senjata 
tersembunyi pada tumitnya. Sawung 
Cemani berarti 'ayam laga hitam'. Dan 
jalu besi sebagai senjata yang tersem-
bunyi tersebut banyak menimbulkan 
korban dengan akibat yang mengerikan. 
Tetapi beberapa saat berikutnya 
di saat Pusparini terpaksa harus 
menghindar ke belakang, rangsangan 
racun yang dikhawatirkan tidak ada. 
Berarti goresan itu cuma luka biasa. 
Pusparini bertindak lagi. Kali ini dia 
lebih waspada. Dia menggenjotkan tubuh 
melesat keatas. Pusparini yang punya 
gelar pendekar sebagai Walet Emas ini, 
mengerahkan jurus waletnya. Suatu 
jurus serangan yang tampaknya lemah 
gemulai, tetapi pada detik yang 
menentukan akan bergerak dengan cepat 
ke arah sasarannya. 
Gerak melambung ke atas ini 
memang tidak diwaspadai oleh manusia  
bertopeng itu. Kemudian tubuh 
Pusparini meliuk dengan manis ke arah 
sasaran. Dan... 
Sret!!  
Topeng berhasil direnggut. 
Terdengar suara umpatan dari 
tokoh yang menjadi sasaran ini. Tahu 
bahwa topengnya direnggut lawan, 
dengan cepat dia menutup wajah dengan 
jubahnya dan melesat menghindar. 
Tetapi gerakannya agak ceroboh, 
sehingga Sriwening yang sejak tadi 
melawannya, berhasil menggasak 
lambungnya. 
"Dia meloloskan diri!" teriak 
Sriwening. 
"Biarkan!" cegah Pusparini. 
"Tampaknya kau berhasil merenggut 
topeng yang dipakainya." 
"Ya. Untuk sementara kita akan 
menyelidiki dari topeng ini. Kita tak 
bisa gegabah bertindak secara tuntas. 
Ayo, kita kembali ke tempat Ki 
Pandulu," ajak Pusparini. 
Tetapi begitu mereka akan 
beranjak pergi, tiba-tiba terdengar 
suara tawa berkepanjangan dari 
kejauhan sana. 
"Suara siapa itu," kata Sriwening 
lirih.  
"Kedengarannya tambah menjauh!" 
  
*** 
 
 
Ki Pandulu merasa senang dengan 
kemunculan Sriwening yang telah 
kembali ke desa Sonogading. 
"Jadi selama ini kau dikirim 
ayahmu berguru ilmu kependekaran ?" 
tanya Ki Pandulu esok harinya. 
"Benar, Ki. Baru seminggu yang 
lalu saya mendengar berita tentang 
ayah dan ibu saya. Apakah Ki Pandulu 
belum berhasil mengung-kap latar 
belakang peristiwa terbunuhnya kedua 
orang tua saya?" tanya Sriwening 
sementara Pusparini mengikuti pembi-
caraan itu dengan tekun. Berbicara 
tentang kematian kedua orang tua, 
Pusparini merasa prihatin, sebab 
nasibnya tak beda jauh dengan yang 
dialami Sriwening. 
"Belum. Belum berhasil kami 
ketahui. Bahkan kini kucoba menghu-
bungkan dengan peristiwa munculnya 
tokoh yang telah kalian tangani 
semalam. Kedua orang tuamu terbunuh 
sebelum tokoh yang nyalawadi itu 
muncul. Baru beberapa hari kemudian, 
tokoh yang bikin resah itu muncul. 
Inipun dengan alasan yang sulit diurai 
nalar. Dia muncul di tengah malam 
hanya untuk mengusik anak gadis orang. 
Tetapi tidak ada tanda-tanda untuk 
merusak kehormatan terhadap setiap 
gadis  yang dia telanjangi. Ya, hanya  
begitu perlakuannya. Dan di desa 
Sonogading ini telah sepertiga pen-
duduk mengalami hal itu," kata Ki 
Pandulu sambil menyisipkan rangkuman 
kinang di mulutnya. 
"Hm. Aneh. Hanya ditelanjangi. 
Kemudian ditinggal pergi. Sepertinya 
ada sesuatu yang dicari dengan melihat 
tubuh-tubuh yang tiada berbusana itu," 
sela Pusparini.  
"Dan topeng ini akan mengawali 
penyelidikan kita" 
"Topeng bercat merah. Wajah tokoh 
jahat yang sering dipentaskan dalam 
pagelaran sendratari," sambung Sri-
wening. 
"Sendratari?" tanya Pusparini 
seakan-akan ada pelita menerangi 
pikirannya. 
"Ya, sendratari. Bukankah ini 
topeng tokoh Rahwana? Kau tidak tahu?" 
kata Sriwening. 
"Sendratari! Ah, rupanya dari 
sana kita harus beranjak," saran 
Pusparini. 
"Apakah mungkin topeng ini bera-
sal dari kelompok pemain sendratari 
yang sering mempergelarkan diri di 
Kadipaten?" tanya Ki Pandulu sambil 
mengawasi topeng Rahwana itu dengan 
teliti. 
"Beberapa waktu yang lalu saya 
pernah menyaksikannya," tukas Sri-
wening. 
 
"Tetapi kapan sendratari itu 
dipentaskan lagi ?" tanya Pusparini 
yang agaknya mulai tertarik dengan 
masalah itu. Soalnya sudah lama dia 
ingin menyaksikan pagelaran itu. 
Selama ini dia hanya mendengar cerita 
orang-orang dari mulut ke mulut 
tentang keindahan sendratari. Dan hal 
itu hanya bisa diselenggarakan oleh 
kalangan bangsawan. Kebanyakan kisah 
yang dipentaskan adalah kisah dari 
khasanah cerita Ramayana dan Maha-
bharata. 
"Kukira kita tak perlu menye-
lidiki mengandalkan kapan sendra-
tarinya dipentaskan. Telapi kita cari 
rombongan pemain sendratari itu. Di 
sekitar kadipaten Prambanan ini hanya 
satu kumpulan sendratari yang ter-
kenal. Namanya Krida Swara," kata 
Sriwening menandaskan. Dia mengharap 
usulnya tentang melacak tokoh berto-
peng itu bisa disetujui. 
"Rupanya kau lebih menguasai 
lapangan dari padaku, Sriwening. Buah 
pikiranmu kusetujui. Bukankah begitu, 
Ki?" kata Pusparini sambil melempar 
pandang ke arah Ki Pandulu. Dan pada 
saat yang bersamaan ini, pandangan 
Pusparini berhasil melihat seseorang 
berada di balik pilar pendopo. 
"Oh, siapa itu, Ki. Tampaknya dia 
sudah lama berada di situ. Mungkin ada 
keperluan menemui Ki Pandulu," kata  
Pusparini. 
Merasa dipergoki, orang itu 
muncul. Pusparini terjengah. Dia tahu 
laki-laki itu. Si Klungsu, lawan 
bentrokan Ragil. 
"Klungsu !"  tegur Ki Pandulu. 
"Sudah lama kau di situ ? Kalau ada 
perlu dengan aku, masuk saja." 
Klungsu terlihat blingsatan, dan 
melangkah ke depan, kemudian mengambil 
tempat duduknya sambil bersila. 
"Memang ada keperluan, Ki. Eh... 
anu... Sayem, istri saya...," kata 
Klungsu dengan tampak kebingungan. 
"Ya ?! Kenapa dengan istrimu ?" 
tanya Ki Pandulu. 
"Eh...ss...semalam diculik oleh 
seseorang...!" jawab Klungsu. 
Penampilannya yang selama ini sebagai 
jago kepruk, tiba-tiba l-nyap. 
"Apa ? Yu Sayem diculik sese-
orang?  Maksudmu...orang bertopeng?" 
tanya Pusparini. 
"Saya tak tahu. Semalam memang 
saya tidak tidur di rumah. Saya men-
curigai Ragil. Tetapi sampai sekarang 
saya tidak menjumpai Ragil," kata 
Klungsu dengan penampilan yang tidak 
seperti jago kepruk lagi. Dia tampak 
loyo kehilangan semangat. Rupanya 
Sayem sangat berarti dalam hidupnya. 
"Klungsu, Klungsu. Kau ini ter-
kenal sebagai jago kepruk. Setiap 
orang tidak berani menatap pandangan  
matamu. Sekarang kehilangan istri 
lapor ke mari. Mengapa tidak kau cari 
saja sendiri?" kata Ki Pandulu. 
"Maksud saya.... ingin minta 
bantuan kepada... gendhuk ini...! Kata 
Sayem sebelum dia hilang diculik, 
gendhuk, ini menyelamatkan dirinya 
dari kekurang ajaran Ragil," kata 
Klungsu seperti orang tak berdaya. 
"Baiklah!" penggal Pusparini. 
"Mudah-mudahan istri kang Klungsu ada 
hubungannya dengan tugas yang kami 
emban. Aku dan Sriwening akan menuju 
kadipaten Prambanan. Kalau kau ber-
tekad untuk mencari yu Sayem, bisa 
bergabung dengan kami. Bagaimana?" 
usul Pusparini. 
"Bbb....baik! Baik, nduk!" jawab 
Klungsu.  
 
*** 
 
Kemudian mereka bertiga, Puspa-
rini, Sriwening dan Klungsu berangkat 
menuju Kadipaten Prambanan dengan 
seijin Ki Pandulu. Karena keterbatasan 
kendaraan kuda, mereka berangkat jalan 
kaki. Sedang kuda milik Pusparini 
ditinggal di rumah Ki Pandulu. 
Dalam perjalanan ini yang menjadi 
petunjuk jalan adalah Sriwening, 
karena semasa orang tuanya masih 
hidup, dia sering pergi ke Kadipaten 
Prambanan untuk melihat pagelaran 
 
sendratari. Di samping itu Sriwening 
masih punya sanak famili di kadipaten 
ini. 
Beberapa waktu kemudian....... 
"Kita sudah masuk di wilayah 
Kadipaten Prambanan," kata Sriwening 
dengan mengajak berteduh di bawah 
pohon. Di sana mereka membuka bekal 
yang dibawa. Mereka bertiga segera 
melahap bekal masing-masing. 
"Sri! Apakah rumah familimu masih 
jauh dari sini ?" tanya Pusparini 
sambil mengakhiri makanannya. Bekal 
lontong telah ludes dari bungkusannya. 
"Di pinggir kadipaten sebelah 
timur. Tetapi sebaiknya kita ke tempat 
kelompok kumpulan sendratari itu dulu. 
Mudah-mudahan tidak pindah," Sriwening 
memberi jawaban. Diapun memakan bekal-
nya yang terakhir. Sedangkan Klungsu 
tak banyak bicara. Bekalnya masih ada, 
dan enggan memakannya. 
"Nafsu makanku hilang. Rasanya 
Sayem selalu tampak di pelupuk mataku. 
Kalau ini benar-benar perbuatan Ragil, 
akan kucincang sampai lumat si Ragil 
itu," gerutu Klungsu sendirian. Tetapi 
Pusparini mendengar gerutu itu. 
"Apakah wanita bisa menghilangkan 
semangat seorang lelaki, kang?" 
tanyanya. 
"Oh... eh... apa nduk?" kata 
Klungsu blingsatan. 
"Semangat ? Enghm... kukira...  
iya... dan tidak...!" 
"Tentu kang Klungsu sangat 
mencintai yu Sayem", Sriwening 
nimbrung ngomong. 
"Dia itu sudah tidak 'pak' juga 
tidak 'mbok'. Sebatang kara. Dan aku 
suaminya, satu-satunya orang yang 
harus melindungi," kata Klungsu 
seperti mengenang masa lampaunya. 
"Kami kawin baru enam bulan yang lalu. 
Dan belum ada tanda-tanda Sayem 
mengandung." 
"Saya ikut prihatin, kang. Tetapi 
percayalah. Kami berdua akan membantu 
kang Klungsu agar yu Sayem dapat kita 
temukan dalam keadaan selamat," kata 
Pusparini. 
"Kalau sudah hilang rasa letih, 
sebaiknya kita terus jalan lagi," ajak 
Sriwening. 
Mereka berangkat. Perjalanan 
mengarah ke utara. Dari jauh puncak 
candi Prambanan tampak menjulang 
dengan megah. Sayup-sayup terdengar 
suara gamelan. 
"Itu! Kalian dengar? Berarti 
kumpulan kelompok sendratari Kridha 
Swara belum pindah," ucap Sriwening. 
Mereka mempercepat langkah. 
"Hei! Kalian bertiga! Berhenti!" 
terdengar suara lantang tiba-tiba dari 
arah samping mereka. 
Sekelompok orang muncul.    
"Siapa mereka? Kau kenal, Sri?"  
tanya Pusparini dengan wajah nyengir 
menahan panas matahari yang tepat di 
atas kepala. 
"Entahlah! Tetapi melihat tampang 
mereka yang seperti anjing-anjing 
buduk, berarti kita akan mendapat 
kesulitan," jawab Sriwening sambil 
membenahi pakaiannya untuk siap 
tempur. 
Kelompok orang-orang itu telah 
mendekat. Mereka berjumlah dua belas 
orang, dan langsung mengambil tempat 
mengepung. 
"Kalau kalian yang disebut begal, 
boleh rampas apapun yang ada pada 
kami. Tetapi kalau orang baik-baik, 
kuharap kalian menyingkir!" kata 
Sriwening dengan suara lantang. 
"Ck,ck,ck,ck........! Bukan main! 
Ini ada anak baru gede sudah berani 
sumbar menggebrak tankingan terhadap 
Senggoro Macan!" sumbar seseorang yang 
tampaknya sebagai pimpihan mereka. 
"Kami  bukan begal, nduk. Hanya yang 
punya tlatah jalan yang akan kau lalui 
ini. Kalian harus membayar sedikit 
upeti!" 
"Upeti! Peraturan mana itu? 
Setahuku jalan ini adalah jalan umum 
yang siapa pun boleh lewat sesuka 
hatinya," sahut Sriwening tegas. 
"Whuuehh! Belum ada seorang pun 
berani menyangkal kehendak Senggoro 
Macan. Lha kok kamu yang masih umbelen  
sudah berani mengumbar omongan seperti 
punya nyawa cadangan!" seru orang yang 
bernama Senggoro Macan ini. 
"Benar, kisanak," kata Klungsu 
nimbrung, "tampaknya jalan ini adalah 
jalan umum yang sembarang orang boleh 
lewat. Saya pun punya otot kalau ingin 
njajal!!!" 
"Sikaatt!!" seru Senggoro Macan 
dengan lantang. Serentak anak buahnya 
yang sejak tadi siap tempur, langsung 
menggebrak dengan terjangan. Baik kaki 
maupun tangan. 
Tetapi tindakan mereka segera 
disambut hangat oleh Pusparini, 
Sriwening, dan Klungsu. Baku hantam 
teradi. Beberapa orang yang meremehkan 
penampilan Pusparini dan Sriwening 
yang diduga masih di bawah umur dalam 
ilmu bela diri, sempat mencelat sambil 
menebah perut dan dada. Bahkan ada 
yang menebah kemaluannya karena kena 
tendang kaki Pusparini. Kemudian yang 
lain maju. Kali ini golok mereka 
berperan. Tetapi dengan mudah 
ditangkis dengan sentilan totok urat 
pada pergelangan tangan, sehingga 
beberapa golok mencelat dari tangan 
pemegangnya. 
Dalam kesempatan ini Klungsu 
benar-benar menunjukkan peranan 
dirinya yang digelari jago kepruk di 
desanya. Kini dia terlihat ganas 
dengan sabetan pukulan yang tak pernah  
luput. Kadang dia kena sergap 
pembokongan,  tetapi dengan mudah 
berhasil menghalau lawan. 
Kini para pengroyok itu telah 
semuanya mempergunakan senjata tajam. 
Klungsu pun demikian. Goloknya telah 
dikeluarkan dari sarungnya. Sedangkan 
Sriwening dan Pusparini masih 
mempergunakan tangan kosong untuk 
menghadapi lawan. Dan apabila keduanya 
terpaksa mempergunakan senjata tajam, 
itu pun dengan merampas senjata lawan-
lawannya. 
Melihat anak buahnya tak mampu 
bertahan, maka Senggoro Macan turun 
gelanggang. Langsung dia menggebrak ke 
arah Sriwening. Ternyata Senggoro 
Macan punya cakar yang mampu 
menciutkan nyali lawan. Tetapi Sri-
wening tak gentar dengan penampilan 
kuku-kuku Senggoro Macan yang mencuat 
menakutkan itu. Sesuai dengan namanya, 
maka Senggoro Macan banyak 
mengeluarkan jurus harimau. Setiap 
serangan selalu diiringi raungan, dan 
ini memang suatu cara untuk 
melumpuhkan nyali lawan. 
Untuk mengimbangi pukulan lawan 
yang bercakar itu, Sriwening terpaksa 
mempergunakan golok yang diambil dari 
golok anak buah Senggoro Macan yang 
melarikan diri. Kini para pengroyok 
telah berhasil dihalau. Tinggal 
Senggoro Macan sendirian berhadapan  
dengan Sriwening. Perkelahian ini 
menjadi tontonan Pusparini dan 
Klungsu. 
"Kalau perlu dibantu, katakan 
Sri!" seru Pusparini sambil 
memperhatikan sepak terjang Sriwening. 
"Menghadapi macan ompong semacam 
ini bisa kuatasi sendiri," jawab 
Sriwening sambil melesat ke atas 
mengelak terkaman lawan. Begitu 
tubuhnya limbung ke bawah, maka 
kakinya menendang tengkuk Senggoro 
Macan. Tentu saja sang lawan 
terjengkang ke depan. Dan sebelum 
tubuh Sriwening menginjak tanah, maka 
kaki yang satu melesat mengunjam ke 
leher lawan. Dua kali tendangan 
membuat tubuh Senggoro Macan 
terjerembab sambil berputar karena 
tidak dapat menguasai diri lagi. 
Tetapi dasar punya ilmu macan, maka 
dalam keadaan kehilangan daya, dia 
masih bisa secepatnya menghimpun 
tenaganya untuk memberi balasan kepada 
lawannya. Senggoro Macan memasang 
kuda-kuda dengan trengginas. Matanya 
melirik tajam. Mulutnya menyeringai 
sehingga gigi-giginya yang kuning 
tidak pernah dipelihara itu  semakin 
menambah bengis penampilannya. Lalu 
Senggoro Macan menggenjotkan tubuh, 
melesat ke arah lawan. Sriwening 
bertindak serupa dengan mengandalkan 
terjangan kaki. Tetapi begitu nyaris  
beradu, dia berkelit ke samping dan 
menonjok perut lawan. Kena! Senggoro 
Macan bergulir pamer di udara menahan 
rasa sakit sebab pukulan itu benar-
benar menghantam limpanya. Dan ini 
secara kebetulan saja, bahwa dia 
memang punya kelemahan di tubuh bagian 
itu. Limpanya pernah cedera. Kali ini 
Sriwening menggugatnya dengan hantaman 
yang cukup keras, sehingga penyakit 
itu kumat lagi. Sambil menyeringai 
Senggoro Macan menjauh dari arena 
laga. 
"Aku akan datang lagi! Kalian tak 
dapat lepas dari incaranku!!" sumbar 
Senggoro Macan sambil ngeblas pergi. 
"Lumayan dapat lawan seperti dia. 
Sekedar 'makan siang," seloroh 
Sriwening sambil membenahi pakaiannya. 
"Kita terus jalan?”  tanya Puspa-
rini. 
"Ya ! Kau dengar itu ? Suara 
gamelan masih berkumandang," jawab 
Sriwening mengawali langkah. Mereka 
bertiga meninggalkan tempat itu. 
 
*** 
 
 
Suara gamelan mengalun mengiringi 
gerak tari seorang wanita yang menjadi 
tumpuhan perhatian di tengah panggung. 
Gerak tangan wanita itu gemulai halus,  
sementara lawan pasangannya mengim-
bangi dengan gerak serupa. 
Itu hanya adegan latihan dari 
kelompok sendratari Kridha Swara yang 
bertepatan dengan munculnya Pusparini, 
Sriwening dan Klungsu di tempat itu. 
Karena penampilan yang lain dengan 
orang-orang di sekitarnya, maka banyak 
orang yang mengawasi Pusparini dan 
Sriwening. Kesan mereka menyiratkan 
bahwa tempat itu telah didatangi oleh 
dua orang pendekar wanita. 
"Rupanya kehadiran kita menarik 
perhatian banyak orang," kata 
Pusparini sambil menyapu pandang ke 
sekelilingnya. "Lihat, kedua penari 
itu mengenakan topeng menggambarkan 
pria dan wanita." 
"Itu menggambarkan tokoh Rama dan 
Sinta," jawab Sriwening. Pusparini 
manggut-manggut sementara Klungsu 
seolah tidak mengedipkan mata sekejap 
pun karena terpesona oleh gerak 
gemulai penari wanita itu. 
"Astaga... iit... itu... pasti 
Sayem! Penari itu pasti Sayem, 
istriku," kata Klungsu lirih. Tetapi 
ucapan ini terdengar juga oleh 
Pusparini dan Sriwening yang berada di 
dekatnya. 
"Edan, jangan ngawur, kang ! Kau 
pasti terbayang-bayang oleh yu Sayem 
yang kau nikah enam bulan yang lalu. 
Maklum, masih bau pengantin baru. 
 
Tetapi jangan lantas ngawur ngaku 
bahwa wanita penari bertopeng itu 
adalah yu Sayem," omongan Sriwening 
menderas memperingatkan Klungsu yang 
terus tak berkedip menyaksikan penari 
wanita itu. 
"Aku mengenal Sayem lebih baik 
dari orang lain sebab aku adalah 
suaminya yang sah! Coba lihat, pantat 
itu, pantatnya Sayem, Pinggang itu 
pinggangnya Sayem. Dada Itu dadanya 
Sayem. Tangan itu tangannya Sayem. 
Semua punya Sayem, karena dia adalah 
Sayem istriku.....!" kata Klungsu 
sambil beranjak dari tempatnya dan 
melangkah ke depan. 
"Hei, kang Klungsu. Jangan ke 
sana," cegah Sriwening. 
Klungsu nekad. Dia terus 
melangkah. Agar tak menimbulkan perha-
tian, maka Pusparini dan Sriwening 
tidak mengikuti langkah Klungsu yang 
semakin nekad mendekat kearah 
panggung. 
"Sayem !!" teriak Klungsu sambil 
menaiki tangga panggung. Jelas, 
perbuatan Klungsu menimbulkan perha-
tian banyak orang. Dia terus naik ke 
atas pentas dan menghampiri penari 
bertopeng yang memerankan Dewi Sinta. 
"Hei! Cegah orang itu!! Apa yang 
akan dilakukan di situ?" teriak 
seseorang yang dikenal sebagai Dalang 
panggung. "Suruh turun dia!!" 
 
Beberapa orang naik ke atas 
panggung untuk mencegah tindakan 
Klungsu. 
"Turun kau!! Jangan ganggu 
latihan ini. Ini gladi resik untuk 
pementasan nanti malam yang akan 
disaksikan Sang Adipati! Kepalamu bisa 
dipenggal pengawal kadipaten kalau kau 
merusak acara latihan ini!!" seru 
salah seorang yang berhasil mencekal 
lengan Klungsu. Tetapi dengan cepat 
Klungsu mengibaskan cekalan itu 
sehingga orang tersebut tersungkur ke 
belakang. Temannya yang mencoba 
membantu meringkus Klungsu menjadikan 
panggung berubah dipenuhi keributan. 
Dua orang penari segera turun. Suara 
gamelan berhenti. Panggung menjadi 
ajang perkelahian. Klungsu dikroyok 
lima orang. 
Melihat penari wanita turun dari 
panggung, membuat Klungsu semakin 
beringas. Dia tak mau kehilangan 
Sayem. Lalu sepak terjangnya membabi 
buta. Orang-orang yang mengroyoknya 
dibuyarkan dengan ketangkasan sebagai 
jago kepruk yang disegani. Tentu saja 
para pengroyok yang umumnya anak 
wayang perkumpulan sendratari, tak 
mampu berbuat banyak untuk mengatasi 
amukan Klungsu. Semangat Klungsu bagai 
api yang disiram minyak. Tambah 
berkobar. Tambah kalap. 
"Wah, tambah gawat," celetuk  
Pusparini "Apakah kita akan bantu 
dia?" 
"Jangan. Kukira hanya perkelahian 
biasa. Tak akan memakan korban jiwa. 
Bukankah kau tak ingin rencana kita 
berantakan karena perbuatan Klungsu?" 
jawab Sriwening sambil beranjak dari 
sana. 
"Kemana kita ?" tanya Pusparini 
yang tanpa diperintah mengekor langkah 
Sriwening. 
"Kita temui Ki Dalang itu. Nah, 
dia di sana. Tuh. Agaknya ada yang 
dicemaskan dengan amukan kang 
Klungsu." 
"Sri! Lihat!" tiba-tiba tangan 
Pusparini menarik tangan Sriwening. 
"Ada apa ?" 
"Lihat tuh!!" jawab Pusparini 
dengan heran. "Wanita penari bertopeng 
itu telah melepaskan topengnya. Dan 
lihat..., dia benar-benar yu Sayem !" 
Sriwening terjengah sambil 
mengawasi wanita yang berdiri di dekat 
perangkat gamelan. "Itukah yu Sayem ? 
Aku memang belum pernah mengenal dan 
melihatnya meskipun aku penduduk asli 
desa Sonogading." 
"Dia benar-benar yu Sayem !" 
jawab Pusparini meyakinkan. 
Sementara itu di atas panggung 
Klungsu terlihat semakin kalap. Dengan 
trengginas dia berhasil mcrobohkan 
para pengroyoknya. 
 
Mata Klungsu jelalatan mencari 
wanita yang dicurigai sebagai Sayem.  
"Sayem !!" teriaknya ketika 
dilihat wanita berdiri di balik 
peralatan gong gamelan. Yang ditegur 
terkejut. Lalu seorang laki-laki, 
pasangan mainnya, menyeret wanita itu 
menjauh dari sana. 
"Dia pasti orang tidak waras," 
kata laki-laki itu. 
"Sayem!!" teriak Klungsu beranjak 
mengejar. Perangkat gamelan jadi ajang 
injakan kakinya. Dan pada saat 
itulah...... 
Shwwwtt....... 
jeb!!! 
Sebuah senjata rahasia mengunjam 
ke tubuh Klungsu bagian paha. Langsung 
Klungsu terjungkal. Perangkat gamelan 
berantakan terlanda tubuhnya. 
Pusparini  dan Sriwening 
menyaksikan peristiwa itu. 
"O-o, ini tidak boleh dibiarkan 
lagi. Ayoh, Sri!" kata Pusparini 
sambil melesat ke depart Sriwening 
mengikuti. Sekejap kemudian dua orang 
gadis ini telah berada di dekat 
Klungsu. 
"Kang Klungsu ! Kau terluka?" 
tanya Pusparini sambil mengawasi paha 
Klungsu yang mengucurkan darah. Ada 
sesuatu yang sangat mengejutkan Puspa-
rini, yaitu sebuah senjata rahasia 
yang menancap di paha yang berdarah  
itu. Serupa dengan senjata rahasia 
yang ditemukan di puing rumah 
Sriwening. Pusparini segera memasang 
mata, mengawasi keadaan di sekeliling-
nya. Semua anak buah perkumpulan 
sendratari berlarian menyelamatkan 
diri. Kini yang ada hanya beberapa 
orang saja. Tetapi mereka bukan lagi 
orang yang pandai berkesenian. Dan 
tepatnya para pembunuh, sebab di 
tangan mereka tergenggam senjata tajam 
dengan berbagai bentuk. 
"Ini semakin menyingkap selubung 
teka-teki yang hendak kita cari 
jawabannya," kata Pusparini pelan 
sambil mempersiapkan diri menjaga 
setiap kemungkinan yang bisa m-
renggutkan  nyawa. Sriwening bertindak 
serupa. Dua gadis ini segera mengambil 
sikap untuk menghadapi orang-orang 
yang terlihat tidak ramah. Seorang 
yang dipandang sebagai pimpinan 
kelompok, terlihat menyebar tawa, 
melecehkan dua wanita muda yang 
dipandang sebagai mangsa untuk digelut 
di atas ranjang. 
"Eman-eman ayumu, nduk! Wanita 
secantik kalian seharusnya tak usah 
terjun ke urusan yang ditangani 
lelaki," kata orang itu sambil menge-
lus brewoknya. "Kau cuma mengantar 
nyawa kalau kelayapan ke tempat ini 
dengan urusan seenak udelmu." 
"Aku memang punya urusan. Tetapi  
tidak seenak udelku. Aku punya 
pertimbangan dengan pemikiran otak 
yang jernih. Kalau omonganmu itu kau 
keluarkan setelah minum arak, maka 
kami perlu menggampar kepalamu agar 
kau bisa tidur nyenyak!" sumbar 
Pusparini dengan congkak. Dia tahu, 
bahwa lawan seperti itu mudah sekali 
dipancing dengan ejekan. Kalau sudah 
begitu, maka akal sehatnya pasti sirna 
dengan tindakan sembrono. Pancingan 
ini benar. 
"Sikat lonte kecil itu!!!" teriak 
sang pimpinan. 
"Heeeaaaa...!" serentak anak 
buahnya melesat sambil meledakkan 
semangat tempur. 
Tetapi yang diterima pada jurus 
pertama malahan rasa sakit. Sebab 
dengan gerakan Berirama, maka 
Pusparini dan Sriwening mengibaskan 
tangan dan menyapukan kaki ke arah 
mereka. Hal ini berhasil dilakukan 
karena dua pendekar wanita muda ini 
bergerak sambil menjebak dan 
menghindarkan sasaran sehingga lawan 
terkecoh dengan sasaran yang diincar. 
Mereka menyerang pada sasaran yang 
kosong. Tetapi begitu lawan-lawan 
terjungkal, mereka cepat bangkit lagi. 
Langsung mengisi serangan yang 
dipersiapkan dua pendekar ini. Tampak-
nya serangan balasan ini agak 
berhasil. Terbukti Pusparini dan  
Sriwening harus berusaha mengimbangi 
dengan jurus lain. Dan ini masih 
merupakan kebanggaan, sebab keduanya 
masih mempergunakan tangan kosong 
dalam menghadapi lawan yang bersenjata 
tajam. Ini memang ajaran guru mereka. 
Bahwa ilmu bela diri yang mereka 
kuasai bukan untuk membunuh lawan, 
kecuali terpaksa. 
Beberapa jurus telah berlangsung. 
Gebrakan demi gebrakan untuk 
mengalahkan saling tumpang tindih 
menyulam pertarungan itu. Tetapi 
sampai begitu jauh sang tokoh yang 
memimpin orang-orang itu belum 
bertindak apa-apa. Klungsu yang 
terluka berusaha bertindak membantu 
walaupun banyak mendapat perlindungan 
dari Pusparini dan Sriwening. Tiba-
tiba dalam pertarungan ini Pusparini 
melihat kehadiran Senggoro Macan yang 
datang sambil membawa peralatan 
senjata rantai berbandul besi 
berbentuk cakar. Dia kini berdiri di 
samping tokoh kelompok orang-orang 
itu. 
"Hm, rupanya mereka ada hubungan 
dengan Senggoro Macan," pikir 
Pusparini sambil menggebrak lawan, dan 
orang itu mencelat ke arah sang 
pemimpin. "Akan kupancing mereka agar 
cepat turun ke gelanggang pertarungan. 
Sungguh pengecut. Mereka menguras 
tenagaku dengan mengerahkan anak  
buahnya sebelum dia sendiri turun 
langsung. Terpaksa aku mengeluarkan 
Pedang Merapi Dahana...." 
Shringg !!!  
Pusparini mengeluarkan pedang di 
punggungnya yang selama peristiwa ini 
belum pernah dipergunakan. Cahaya 
matahari yang menimpa bilah pedang 
tersebut membuat pancaran warna merah 
berkilau. 
"Hahhh ?!" seru semua orang yang 
menyaksikan pedang di tangan Puspa-
rini. Tak kalah herannya Sriwening 
sendiri. Dia tak menyangka kalau 
rekannya itu memiliki pedang semacam 
itu. Dikiranya hanya pedang biasa. 
"Astaga! Cahaya pedang itu 
mengingatkan pada cerita guru. Apakah 
itu yang disebut Pedang Merapi 
Dahana?" pikir Sriwening sambil meng-
gampar lawan. "Jadi Pusparini yang 
memiliki Pedang Merapi Dahana?" 
"Senggoro Macan. Mengapa kau 
tidak menceritakan bahwa dia punya 
pedang aneh seperti itu?" tanya sang 
pemimpin. 
"Dia tidak mengeluarkan pedangnya 
ketika bentrok dengan orang-orangku, 
Bango Thonthong!" jawab Senggoro 
Macan. 
"Melihat caranya itu, mereka 
memang tak boleh diremehkan. Jadi 
benar laporan yang kuterima, bahwa ada 
pihak pendatang di desa Sonogading  
yang akan menyelidiki manusia 
bertopeng. Termasuk kematian Ki 
Bangah," kata sang pemimpin yang 
dipanggil dengan Bango Thonthong. 
"Biar kujajal dengan senjataku 
ini, Bango!" kata Senggoro Macan 
sambil melesat ke depan, langsung ke 
arah Pusparini. Sementara itu Sri-
wening yang tertegun beberapa saat, 
kini telah terlibat kembali dengan 
lawan-lawannya yang sebagian besar 
lelah tersungkur bermandi darah. 
Senggoro Macan mengayunkan senja-
tanya yang berupa rantai berbandul 
cakar. 
Sshhwwissh!  
Senjata itu menerjang ke arah 
Pusparini. Untuk sekedar memberi angin 
kepada lawan, Pusparini menghindar ke 
atas. Dan ketika turun, langsung 
kakinya menginjak rantai itu sehingga 
tertekan ke tanah. Senggoro Macan 
berusaha menarik Tetapi pijakan lawan 
cukup kuat. Barulah dengan mengerahkan 
tenaga ganda, Senggoro Macan berhasil 
menarik senjatanya. Kemudian diayunkan 
ke arah lawan lagi. Kali ini dengan 
kecepatan tinggi. Pusparini waspada. 
Dari cara ini Pusparini tahu bahwa 
taktik yang dilakukan lawan mengandal-
kan pancingan reaksi serangan. 
Senggoro Macan punya tahapan dalam 
melakukan serangan. Dimulai dengan 
tingkat rendah yang memacu semakin  
tinggi. Entah sampai dimana puncak 
kekuatan lawan ini. Yang jelas sewaktu 
berhadapan dengan Sriwening tadi, 
Senggoro Macan sedang tidak membawa 
senjata andalannya. Kalau sekarang dia 
muncul lagi dengan membawa senjatanya, 
boleh jadi tempat ini merupakan sarang 
komplotan mereka. 
Pusparini tak ambil resiko lagi. 
Kalau mampu, dia akan mengakhiri 
pertarungan ini secepatnya. Kemudian 
disabetkan pedangnya di saat Senggoro 
Macan mengayunkan rantainya secara 
kilat, sehingga benturan kedua senjata 
itu menimbulkan pancaran api. Tetapi 
yang membuat memukau banyak orang 
adalah berantakannya rantai Senggoro 
Macan tersebut akibat sabetan pedang 
Pusparini. Sedangkan bandul cakarnya 
melayang terus mengarah pada sasaran, 
yakni ke leher Pusparini. Sadar akan 
hal ini Pusparini mengelakkan diri 
sambil mengayunkan pedangnya lagi. 
Bandul cakar itu disabet dengan angin 
pukulan pedangnya sehingga berbalik 
arah. Dan.... 
Crash !!!  
Leher Senggoro Macan diterkam 
bandul cakar senjatanya sendiri. 
Beberapa saat dia hanya bisa 
melototkan mata. Darah mengucur deras 
dari lehernya. Rupanya ada urat nadi 
leher yang putus total. Baru kemudian 
terdengar suara "Ghrookh...!" dari  
mulutnya. 
Kemudian roboh dengan gerak 
sekarat. Lalu mati! 
"Dia punya pedang ampuh....!" 
pikir Bango Thonthong sambil melangkah 
menyelinap di antara dinding bangunan, 
"Aku harus mengatakan hal ini kepada 
Danyang Delapan Neraka, bahwa ada 
wanita muda memiliki pedang yang 
memancarkan cahaya merah. Apakah itu 
yang disebut Pedang Merapi Dahana?!" 
Langkah Bango Thontong terus 
memasuki lorong-lorong bekas bangunan 
kuno. Semak belukar yang menyelimuti 
daerah itu membuat enggan siapa saja 
yang berniat ke sana. Hanya orang-
orang tertentu yang sering lewat di 
situ. Termasuk Bango Thontong yang 
akan menemui orang bergelar Danyang 
Delapan Neraka. Itupun harus dilakukan 
dengan langkah hati-hati. Sebab kalau 
tidak, maka jebakan yang penuh senjata 
rahasia akan menewaskannya. 
Dengan mengungkit sebuah batu 
yang mencuat, maka sebuah pintu 
terbuat dari batu yang diselimuti 
semak belukar, terbuka dengan pelan. 
Bango Thonthong terus masuk setelah 
mengawasi kanan kiri untuk meyakinkan 
bahwa  jejaknya tidak diikuti oleh 
orang lain. 
Tetapi anggapan itu keliru. 
Sebenarnya ada orang yang telah 
mengikutinya sejak dia meninggalkan  
tempat baku hantam tadi Orang itu 
ternyata Sriwening! 
"Hm! Jadi begini perkembangannya. 
Tak salah lagi, pasti manusia 
bertopeng mempunyai sarang di sini," 
pikir Sriwening sambil terus melangkah 
ke depan. Tetapi...seperti yang telah 
diceritakan tadi, tempat itu banyak 
jebakannya. Dan Sriwening tanpa 
sengaja telah menyentuh kunci 
penggerak sebuah jebakan yang ada di 
sana...! Maka sejumlah lembing tiba-
tiba melesat dari tempat tersembunyi, 
menuju ke arah sasaran. Sriwening 
pasti sudah menjadi korban lembing-
lembing itu kalau tidak dengan tiba-
tiba pula muncul sesosok tubuh yang 
menyambarnya menghindar. Sriwening 
sempat tersentak kaget. Tubuhnya 
terasa melayang. Dan tanpa disadari 
dia telah berada di atas dahan sebuah 
pohon besar. Sedangkan seseorang yang 
dirasa memeluknya, mulai melepaskan 
pegangannya. Sriwening belum bisa 
mengucap kata sepatahpun ketika 
melihat siapa yang menolong dirinya. 
"Kau ceroboh. Sembrono. Tempat 
seperti itu jangan dibuat lenggang 
kangkung," kata orang itu. Dia seorang 
pemuda dengan paras bersih. Penam-
pilannya menunjukkan bahwa dia dari 
keluarga berada. Dan kalau Sriwening 
bisa diperlakukan seperti itu, 
pastilah pemuda itu punya ilmu cukup  
tinggi. 
"Terima kasih, atas pertolongan-
mu. Siapa namamu maka tahu tempat 
seperti ini?" tanya Sriwening dengan 
tanpa lepas memandangi pemuda itu. 
"Namaku Wanda Bayu," jawab pemuda 
itu dengan mengumbar senyum, "Kau ?" 
"Sriwening!" 
"Sriwening? Ah, sebuah nama yang 
bagus. Lalu apa hubunganmu dengan 
wanita yang memiliki pedang bercahaya 
merah di sana tadi?" 
"Jadi... kau tahu semua?" tanya 
Sriwening. 
"Sejak peristiwa keributan di 
panggung itu aku tahu keadaan kalian," 
jawab pemuda bernama Wanda Bayu. 
"Jadi kau menyatroni tempat ini 
juga? Kalau benar, atas dasar 
kepentingan apa?" 
"Enghm.......iseng saja!" 
"Iseng ? Ah, mustahil. Kau pasti 
punya urusan. Atau.... kau di pihak 
mereka !" kata Sriwening dengan 
melesat turun. Tanpa menoleh lagi dia 
terus meninggalkan tempat itu, kembali 
menengok Pusparini. 
Dan sesampai di tempat baku 
hantam tadi......dilihatnya keadaan 
telah usai. Pusparini terlihat sedang 
membalut luka Klungsu, sedang para 
pengroyok tak terlihat batang 
hidungnya lagi. 
"Sri! Dari mana kau? Apakah kau  
melihat kemana larinya yu Sayem dan 
orang yang di samping Senggoro Macan 
tadi?" tanya Pusparini. 
"Namanya Bango Thontong!" 
terdengar jawaban dan yang punya suara 
tahu-tahu sudah berada di samping 
Sriwening. 
Sriwening sendiri kaget. Dia tak 
menduga kalau dibuntuti pemuda yang 
baru dikenalnya. 
"Eh, siapa dia, Sri?" tanya 
Pusparini sambil mengawasi pemuda itu 
tanpa kedip. Yang dipandang mengumbar 
senyum. Tak ayal lagi, Pusparini pun 
terseret membalas dengan senyum. 
"Dia Wanda Bayu. Baru saja 
kukenal. Dia telah menyelamatkan 
diriku dari jebakan rahasia ketika 
kubuntuti orang yang bernama... 
engh.... Bango Thonthong itu," jawab 
Sriwening yang kemudian membantu 
Klungsu berdiri. "Dia telah tahu kita 
sejak kita bentrok di sini," sambung 
Sriwening lagi. 
"Oh ya " kata Pusparini dengan 
terus menyelidiki penampilan Wanda 
Bayu. 
"Kalau boleh tahu namamu.....?" 
tanya Wanda Bayu. 
"Pusparini! Ini kang Klungsu," 
jawab Pusparini. "Aku harus tahu lebih 
banyak apabila ada orang yang 
berkenalan dengan kami. Jelasnya, kau 
ini siapa, dari mana, hendak kemana,  
mau apa!" 
"Wah. Ini perlu waktu khusus 
kalau kalian ingin tahu apa dan 
siapanya aku," jawab Wanda Bayu. 
"Paling tidak, katakan kau dari 
mana!" kata Pusparini mulai tegas 
dengan nada bicaranya. 
"Kau pasti yang memimpin kelompok 
tiga ini. Benar ?" kata Wanda Bayu. 
"Kalau kau ingin tahu... ya... aku ini 
dari Kawasan Pesisir Utara." 
"Kawasan Pesisir Utara?" tanya 
Sriwening menimpali. 
"Ya! Tepatnya Pantai Teluk Penyu. 
Itu sebuah kota pelabuhan. Banyak 
saudagar asing yang berlabuh di sana 
yang kemudian pergi ke pedal aman." 
"Lalu... bagaimana kau bisa di 
tempat ini ?" tanya Pusparini. 
"Ah.... secara kebetulan saja." 
"Secara kebetulan? Bagaimana kau 
bisa tahu tempat itu merupakan tempat 
berbahaya ketika menyelamatkan 
diriku?" Sriwening menggugat. 
Wanda Bayu tidak cepat menjawab. 
Ini menimbulkan kecurigaan mereka 
bertiga. 
"Maaf, Wanda Bayu. Tanpa mengu-
rangi rasa terima kasih kami kareka 
kau telah menyelamatkan Sriwening, 
kuharap kau jangan mengganggu kami. 
Kami punya tugas cukup berbahaya," 
kata Pusparini. 
"Justru akupun senang dengan hal- 
hal yang mengundang bahaya !" jawab 
Wanda Bayu tangkas. 
"Bagaimana? Dia boleh ngikut 
kita?" tanya Sriwening ketika 
Pusparini tak memberimjawaban kepas-
tiannya. Semua jadi menunggu keputusan 
Pusparini. 
"Baik! Apapun urusanmu, selama 
tidak merugikan kami, kau boleh dekat-
dekat dengan kami. Tetapi begitu kau 
menyalahi peraturan dan mengganggu 
kami, maka kami bisa bertindak tegas!" 
kata Pusparini. 
"Baik. Baik. Aku senang dengan 
peraturan yang tegas. Selama ini 
memang aku selalu sendirian. Jadi 
keberadaan kalian bertiga, sangat 
bermanfaat bagi lidahku. Maksudku.... 
ada yang bisa diajak ngomong!" Wanda 
Bayu menimpali. 
 
*** 
 
 
 
Akhirnya Pusparini memutuskan 
ingin mendatangi tempat yang diceri-
takan Sriwening untuk melacak jejak 
orang bernama Bango Thonthong. Tentang 
nama ini memang diperoleh dari Wanda 
Bayu. Ketika ditanya dari mana Wanda 
Bayu tahu nama itu, dia mengatakan 
tahu lewat pembicaraan yang didengar  
antara Senggoro Macan dengan yang 
bersangkutan ketika akan menumpas 
Pusparini dan kawan-kawannya. 
Sementara itu, mereka berempat 
telah tiba di tempat yang dituju. 
Tetapi aneh, tempat yang didatangi 
untuk kedua kalinya oleh Sriwening, 
kelihatannya sudah berubah. 
"Ada tambahan semak belukar yang 
kelihatannya baru saja dilakukan oleh 
seseorang atau suatu kerja kelompok," 
kata Sriwening. Tetapi ketika 
diselidiki semak belukar itu yang 
kemungkinan hanya potongan dedaunan 
dan semak yang diletakkan begitu saja 
untuk menutupi jebakan-jebakan yang 
dipasang, ternyata tumbuhan-tumbuhan 
itu tertanam dengan erat ke tanah. 
Berarti bukan tanaman baru, atau 
potongan semak yang sengaja diletakkan 
di sana. 
"Aneh. Tempat ini jadi tidak 
seperti yang kudatangi," keluh 
Sriwening. "Wanda! Apa pikirmu tentang 
hal ini ? Kau satu-satunya saksi yang 
kuandalkan untuk menjelaskan teka-teki 
ini." 
"Aku sendiri tak tahu. Arahnya 
memang betul seperti keberadaan kita 
tadi. Tetapi suasananya jadi lain. 
Pintu masuk yang diselimuti semak 
belukar, kini tak terlihat lagi," 
jawab Wanda Bayu dengan sungguh-
sungguh. Dari penampilannya, Pusparini  
bisa mengambil kesimpulan bahwa Wanda 
Bayu tidak sering kelayapan ke tempat 
itu. Jadi dia baru pertama kali ke 
sana. Pertolongannya terhadap Sriwe-
ning berkat kewaspadaannya saja. 
Bukannya tahu bahwa di sana dipasang 
jebakan. 
"Tempat ini pasti dikelola ber-
dasar sarang laba-laba," kata Klungsu 
memecah kesunyian yang selama ini 
banyak berdiam diri. 
"Sarang laba-laba? Apa maksudmu, 
kang?" tanya Pusparini. 
"Kau tahu bagaimana bentuk sarang 
laba-laba, bukan? Nah, dengan memasuki 
salah satu jalurnya, kau akan 
dihadapkan kepada teka-teki tentang 
jalur-jalur lain yang kelihatannya 
sama, tetapi sebenarnya berbeda. Dalam 
hal ini mungkin perjalanan yang 
ditempuh Pusparini dan Wanda Bayu 
sepertinya benar, tetapi sebenarnya 
salah masuk pada jalur pertama. Dan 
hal itu belum menjadi jaminan kalau 
toh kita masuk ke jalan yang benar. 
Sebab simpangan yang lain akan 
menjebak kita ke arah yang salah kalau 
kita tidak teliti," kata Klungsu yang 
kedengarannya arif dengan pandangan 
yang diberikan. 
"Astaga! Kau benar, kang. Aku 
memang tidak memperhatikan adanya 
simpangan simpangan yang tampaknya 
membingungkan ketika masuk kedua  
kalinya ke tempat ini," sahut 
Sriwening. "Kau sendiri  bagaimana, 
Wanda? Apakah kau tidak ingat 
sesuatu?" 
"Seingatku kita tadi keluar 
dengan mudah. Dan aku telah mencoba 
mengingat tentang simpangan yang kita 
lewati di sana tadi," jawab Wanda Bayu 
yang benaknya kelihatan mulai dibebani 
masalah ini. "Ah, pasti kita keliru 
menempuh jalan ini. Dekat pohon di 
sana seharusnya kita berbelok. Ya, aku 
ingat itu. Ayoh!" 
Mereka berempat menuju jalan yang 
dikatakan Wanda Bayu. Dan beberapa 
saat kemudian... 
"Oh, bukan juga. Aneh. Mengapa 
kita jadi linglung?!" ujar Wanda Bayu 
dengan tatapan mata serius ditujukan 
ke arah sekeliling tempat itu. "Tempat 
ini tak jauh dari pemukiman penduduk, 
tetapi memiliki keunikan begini. 
Apakah tidak ada orang lain kesasar 
kemari?" 
"Kukira kuncinya hanya satu. Kita 
cari tempat yang sekiranya terdapat 
jebakan yang bisa membunuh pendatang," 
sahut Sriwening. "Bagaimana?" 
"Kalau begitu, kita harus 
menyebar," saran Pusparini. "Sebaiknya 
berpasang-pasangan Sri, kau 
berpasangan dengan....." 
"Dengan siapa?. Kang Klungsu?" 
Sriwening menyela ketika Pusparini  
ragu memberi keputusan. 
"Tidak. Kau berpasangan dengan 
Wanda Bayu saja," jawab Pusparini 
dengan menelan ludah. Dia tak tahu 
mengapa lidahnya terasa kelu untuk 
mengatakan hal itu. Sepertinya ada 
sesuatu yang mengganjal di tenggo-
rokannya. 
Akhirnya  mereka menyebar dengan 
pasangan masing-masing. 
"Pahamu tidak sakit, kang?" tanya 
Pusparini yang berpasangan dengan 
Klungsu. 
"Bisa kuatasi, nduk. Kau tahu, 
kalau aku tadi tidak melihat Sayem, 
semangatku pasti loyo. Karena kulihat 
Sayem, maka apapun yang terjadi, akan 
kuhadapi. Apakah kau menduga Sayem 
dibawa masuk ke tempat rahasia yang 
dikajtakan tadi?" celoteh Klungsu 
dengan langkah pincang. 
"Tak tahu, kang. Tokoh bernama 
Bango Thonthong itu apakah membawa 
lari Sayem, aku tak tahu. Tetapi 
agaknya tadi kulihat dia selalu 
bersama dengan pasangan mainnya. Entah 
siapa dia. Diapun juga telah melepas-
kan topengnya ketika keributan 
terjadi. Anehnya yu Sayem kok lantas 
lari juga ya? Seperti tidak kenal 
dengan kang Klungsu," kata Pusparini 
dengan terus melangkah hati-hati.         
"Mungkin Sayem sudah kena bius 
japa mantra. Tetapi setahuku Sayem  
tidak bisa menari. Ah, aneh juga," 
gerutu Klungsu di belakang Pusparini. 
Mereka terus melangkah dengan 
hati-hati. Dan pada saat itulah, tanpa 
diduga, Pusparini melihat sesosok 
tubuh berkelebat di antara dahan-dahan 
pohon. Tanpa berpikir lebih lanjut 
Pusparini cepat memburu. Dia melesat 
ke atas dahan pohon, dan melakukan 
pengejaran. Sedangkan Klungsu tak bisa 
berbuat banyak. Dia tetap pada 
tempatnya. 
"Hei! Berhenti kau!" teriak 
Pusparini sambil terus mengejar. 
Tetapi gerakan Pusparini tidak bisa 
mulus lagi sebab sosok tubuh yang 
dikejar itu mendadak meliukkan 
tubuhnya sambil melempar senjata 
rahasia. Pusparini berkelit menghin-
dar. Kemudian mengejar lagi setelah 
desingan senjata rahasia itu luput 
dari sasarannya. Sesuatu tak terduga 
terjadi. Sesaat kemudian sosok tubuh 
yang dikejar Pusparini ini berbalik 
arah. Pubparini tak menduga de ngan 
gerakan ini. Jadinya dia terpaksa 
mengerahkan tendangan untuk menyambut 
datangnya serangan lawan. Benturan 
terjadi di udara. Hempasan berlangsung 
dengan masing-masing meluncur ke 
tanah. Tetapi begitu tubuh Pusparini 
menginjak tanah, maka semak belukar di 
sisi kanannya bergerak dan menyembul-
lah anyaman batang dengan ujung-ujung  
pisau menyeringai berjajar rapat, siap 
merejam ke arahnya. Pusparini bergulir 
ke samping menghindarkan hempasan 
jebakan yang mendatangkan maut itu. 
Berhasil! Kemudian dia menghimpun 
tenaganya dengan memasang kuda-kuda 
menjaga kemungkinan serangan lawan 
berikutnya. Tetapi tanpa sadar, 
sewaktu membenahi diri, kakinya 
menyentuh jebakan yang lain. 
Akibatnya, dari samping kiri muncul 
selosin tombak yang melesat ke 
arahnya. Pusparini menggenjotkan tubuh 
melanting ke atas, dan kemudian turun 
lagi, tepat menginjak salah satu 
tombak yang masih bergerak ke arahnya. 
Dengan meminjam tenaga luncuran 
tombak, Pusparini berhasil menjauhi 
sarang jebakan tersebut. Tombak 
menancap di pohon sebelah sana. Tanpa 
membuang waktu lagi, dia melesat ke 
atas dahan. Dari sini dia mencoba 
mencari sosok tubuh yang dlkejarnya. 
Baru saja dia menoleh ke samping kiri, 
dilihatnya sosok tubuh yang diburu 
tadi telah bergerak melaju ke arahnya. 
Pusparini trengginas menyambut sera-
ngan tersebut dengan melesatkan tubuh 
bergaya Walet Menyambar Serangga. 
Akibatnya si penyerang hanya berhasil 
menyerang tempat kosong, sedang 
Pusparini mampu mengirimkan pukulan 
telak ke tengkuk lawan. Suara  
"Aakkhh...." meledak dari bibir  
lawan dengan diiringi meluncurnya 
tubuh ke tanah. Pusparini terus 
menyambar ke bawah, menukik dengan 
manis, namun berbekal himpunan tenaga 
dalam untuk menggojlok lawan yang 
dilihat masih belum siap mengadakan 
serangan lagi. 
"Dhiegh!!!" tendangan Pusparini 
mendarat di dada lawan yang saat itu 
baru saja akan menyelidik 
keberadaannya. Tak ayal lagi, sang la-
wan jungkir balik menahan rasa sakit 
yang membakar seluruh tubuhnya. Tetapi 
dalam keadaan ini dia sempat melihat 
Pusparini akan menyerang dirinya bgi. 
Dengan cepat dia menarik seutas tali 
yang tertanam dalam semak belukar. 
Akibat yang ditimbulkan adalah muncul-
nya juluran tali-temali datang dari 
berbagai arah dengan ujung seperti 
jangkar. Tali-temali ini bergerak 
lurus tetapi saling menyilang sehingga 
membentuk jaring dan melilit ke tubuh 
Pusparini. Pendekar yang bergelar 
Walet Emas ini pasti teringkus oleh 
belitan jaring itu kalau saja dia 
tidak trengginas meraih pedangnya. 
Maka dengan Pedang Merapi Dahana yang 
kesohor itu, Pusparini membabat tali-
temali yang melilit tubuhnya. Hanya 
dua kali tebas, di arah kanan dan 
kiri, maka tali-temali itu putus 
berantakan. 
Pusparini sadar bahwa tempat di  
sekelilingnya adalah tempat yang penuh 
dengan jebakan maut. Berarti tempat 
ini dekat dengan pintu masuk yang 
sedang mereka cari. Yaitu pintu masuk 
menuju sarang rahasia lawan. 
"Oh, pedang itu lagi! Aku tak 
mungkin dapat menandingi. Aku tahu 
kehebatannya," pikir lawan Pusparini 
yang tiada lain adalah Bango 
Thonthong. 
"Hei, kau kiranya. Kau tentunya 
yang bernama Bango Thonthong!" seru 
Pusparini dengan kcthus. "Kalau kau 
ingin menjaga nyawamu, lebih baik kau 
katakan di mana tempat sarangmu itu. 
Jangan ingkar, aku tahu kau punya 
sarang di sekitar tempat ini!" 
"Jangan mengumbar nyali meskipun 
kau punya pedang semacam itu! Kau 
tahu, di atas langit masih ada langit. 
Kau akan berhadapan dengan Danyang 
Delapan Neraka kalau ikut campur dalam 
urusan ini," ancam Bango Thonthong 
seraya berdiri. Dalam sikapnya ini de-
ngan cepat dia melempar sebutir ramuan 
kearah Pusparini, dan..... 
"Jhhuusshhh !!!"  
Ledakan asap terjadi. Pusparini 
mencoba menghindari kepulan asap yang 
menghalangi pandangan di sekeliling-
nya. Dia melesat ke atas dahan pohon. 
"Assemm !!" umpatnya, "Tak kuduga 
kalau dia punya perisai macam itu. 
Paling tidak dia gertakan untuk  
meloloskan diri. Cara yang lihai. 
Tempat ini pasti dekat dengan pintu 
rahasia yang kami cari." 
Pusparini menyelidiki keadaan di 
sekelilingnya. 
"Oh, ada sesuatu yang bergerak di 
sana," tanpa pikir panjang, dia terus 
melesat mengejar dari dahan ke dahan 
sementara pandang annya ditujukan ke 
arah bawah yang dipenuhi semak-semak 
Lalu semuanya terhenti. Tak ada yang 
bergerak lagi di semak-semak itu. Pus-
parini turun dari atas dahan dengan 
pedang tetap di tangan. 
"Di tempat ini gerakan itu 
lenyap. Coba kuselidiki," pikir 
Pusparini sambil menyibakkan semak-
semak. Dan...  
"Astaga! Ini seperti pintu batu 
penutup lubang gua! Tetapi bagaimana 
cara membukanya? Menurut cerita 
Sriwening, Bango Thonthong masuk 
dengan menggerakkan pengungkit batu 
yang menonjol. Di mana batu yang harus 
ditekan, ya?" pikir Pusparini dengan 
mata menyelidik "Oh, barangkali ini!" 
Gghhrrgg!!  
Begitu batu yang mencuat bagai 
cula badak itu ditekan, maka 
mengangalah sebuah lubang setelah 
penutupnya membuka. 
Perasaan Pusparini berdebar 
ketika mengawali melangkah masuk. 
Cahaya remang-remang dalam gua itu  
adalah pancaran cahaya obor yang 
terdapat di sana-sini. 
"Hm! Ini memang sarang persembu-
nyian dari orang-orang yang bermaksud 
jahat. Anehnya tempat ini tak jauh 
dari kawasan Prambanan. Tetapi kalau 
dipertimbangkan lagi, kawasan ini 
memang tepi hutan rimba," pikir 
Pusparini dalam hati dengan terus me-
langkah. 
"Seperti yang dikatakan oleh 
Bango Thonthong, pasti di sini bisa 
kujumpai tokoh yang bergelar Danyang 
Delapan Neraka itu. Berarti, aku akan 
bertempur di sarang lawan. Kalau saja 
aku sempat memanggil Sriwening dan 
Wanda Bayu serta kang Klungsu, pasti 
lebih enakan, bisa bertempur rame-
rame!" 
Tengah berbicara dalam hati 
dengan dirinya sendiri, tiba-tiba 
terdengar suara berdetak dari atas. 
Pusparini sempat mendongak. Dan dia 
atas, sebuah perangkap siap menerkam 
tubuhnya. Bilah pisau-pisau sekitar 
selusin buah, melesat ke bawah. Dengan 
trengginas Pusparini membabatkan 
pedangnya ke arah pencabut nyawa yang 
nyaris melahap jiwanya. 
Thraang!  
Shhriing! 
Shwwtth! 
Bilah-bilah pisau itu hancur 
berantakan dibabat Pedang Merapi  
Dahana. Kemudian diam. Sepi. Pusparini 
menunggu. Telinganya dipasang untul 
meneliti gerakan yang mungkin ada dari 
mana saja yang bisa membahayakan 
jiwanya. Karena tidak ada sesuatupun, 
maka diputuskan untuk melangkah lagi. 
Tetapi belum ada lima belas 
langkah.... 
Pusparini benar-benar dibuat 
kaget. Sebab di hadapannya tiba-tiba 
muncul sebuah lubang menganga begitu 
kakinya menginjak hamparan yang lunak. 
Sebuah perangkap dengan bentuk lubang! 
Pikirannya cepat bereaksi tentang 
ujung-ujung benda tajam yang akan 
menyambut  tubuhnya di bawah sana. 
Dengan cepat dia menancapkan pedangnya 
ke arah belakang dirinya. 
Jhbbh!  
Tepat mengenai dinding padas. Hal 
ini menghambat tubuhnya yang sesaat 
tadi meluncur ke bawah. Kini tubuh 
Pusparini bergelantungan. Di bawah, 
ternyata tidak terdapat sesuatu yang 
mencuat tajam. Tetapi terlihat 
permukaan air. 
"Tampaknya di bawah itu ada 
bagian sungai atau kolam dalam gua. 
Mungkin ada rongga yang menembus 
tempat lain. Untung-untungan. Berbagai 
cara akan kucoba agar bisa sampai ke 
tempat lawan. Mungkinbisa kuterobos 
dari bawah. Sebab kuperkirakan lorong 
atas Itu akan penuh jebakan lagi,"  
pikir Pusparini sambil menarik pedang 
yang jadi pegangannya. Pedang dicabut, 
dan meluncurlah tubuhnya ke bawah. 
Dengan gerakan beranting menjejakkan 
kakinya dari tepi-tepi lubang, -
khirnya Pusparini tiba di bawah. 
Dugaannya benar. Ternyata di sana 
terdapat lorong bawah tanah di mana 
terdapat sungai yang arusnya tenang. 
Bahkan tak terlihat kalau mengalir. 
"Ah! Di sinipun terpasang obor 
penerangan. Ini benar-benar sarang 
merangkap tempat tinggal yang nyaman, 
tetapi menjadi perangkap maut terhadap 
orang yang tak dikehendaki 
kehadirannya," pikir Pusparini. "Dan 
aku pasti termasuk orang yang tak 
dikehendaki hadir di sini...!" 
Benar! Kalau lubang menganga itu 
hanya akan membuat Pusparini kecebur 
di sungai bawah tanah, pasti suatu 
kehadiran yang dikehendaki oleh 
penguasa setempat. Tetapi kalau tiba-
tiba dilihatnya ada beberapa kelompok 
buaya yang mengendap berjalan 
mendekatinya, ini yang tidak mengenak-
kan. Berarti kehadirannya memang tidak 
dikehendaki. 
"Aku memang tak pernah suka 
dengan binatang yang disebut buaya, 
Juga panggilannya yang diperuntukkan 
bagi laki-laki," gerulu Pusparini 
sambil menggenjotkan tubuh mencari 
tempat yang aman dari sambaran buaya. 
 
Tetapi sial. Justru begitu dia 
menghindari buaya yang telah 
mengepungnya, tidak tahunya mendarat 
di punggung seekor buaya yang lain. 
"Aawwh.....!" jeritnya. Pusparini 
tercekam histeris geli karena 
menginjak binatang yang paling 
dibencinya. Sang buaya menggeliat 
dengan  mulut siap mencaplok. Sambil 
melesat menghindar, Pusparini 
menyabetkan pedangnya ke moncong buaya 
itu. Sekali tebas, maka rontoklah 
moncong sang binatang. 
"Huuhh!"gerutunya, "Ini benar-
benar tempat neraka. Sebaiknya aku 
cepat meninggalkan tempat ini." 
Tetapi begitu dia melesat ke 
sebuah lorong yang diperkirakan 
menjadi jalan keluar, maka muncul 
beberapa sosok tubuh dengan bertopeng 
merah. Semua mengenakan topeng 
Rahwana! 
"Hm! Jadi kedatanganku memang 
ditunggu. Kalau kalian melihatku masih 
segar bugar, tentunya kehadiran kalian 
hanya untuk mencabut nyawaku!" sumbar 
Pusparini. "Apa gunanya topeng-topeng 
itu, hah? Aku bukan bocah yang bisa 
kalian takut-takuti dengan topeng 
macam itu. Kuharap kalau di antara ka-
lian ada yang bernama Bango Thonthong, 
coba buka  topengnya. Tak perlu dia 
bertopeng di hadapanku, sebab aku 
sudah tahu tampang busuknya itu!" 
 
Ternyata tantangan itu tak 
menimbulkan tindakan apa-apa di antara 
mereka yang bertopeng. Tak seorang pun 
yang membuka topengnya. Bahkan yang 
dilihat Pusparini adalah gerakan 
sekelompok orang-orang bertopeng itu 
yang mencabut senjatanya masing-
masing, lalu bergerak dengan cepat ke 
arahnya. 
"Seharusnya kalian tahu bahwa 
pedangku mampu menghancurkan senjata 
dari logam apapun!" kata Pusparini 
dengan suara lantang. Dengan 
trengginas dia mengayunkan pedangnya 
membabat senjata-senjata yang 
bentuknya aneh itu. 
Thhraang! 
Shhwwtth!  
Sshhrraakk!  
Cringg!  
Suara logam yang merupakan 
senjata pencabut nyawa saling beradu 
menghadapi Pedang Merapi Dahana di 
tangan Pusparini. Pada saat itulah 
Pusparini tersentak kaget. Dia melihat 
senjata lawan-lawahnya yang berbentuk 
aneh itu tetap utuh walaupun telah be-
benturan dengan senjatanya. 
"Ini pasti ada sesuatu yang tidak 
beres. Senjata mereka mampu menghadapi 
Pedang Merapi Dahana," pikir Pusparini 
sambil terus menghadapi lawan-lawanya. 
Jurus demi jurus terlewati dengan 
seru. Dan selama itu lawan-lawan  
Pusparini tetap tegar. Belum ada seo-
rang pun yang berhasil dikalahkan. 
Tenaga Pusparini benar-benar terkuras! 
Pada saat itulah, dikala  dia 
memikirkan taktik untuk mencari 
kelemahan kepungan lawan, mendadak 
posisi lawan di sebelah kanan porak 
poranda. 
"Kami datang, Rini!!" terdengar 
suara tak jauh darinya. 
Ternyata Sriwening dan Wanda Bayu 
muncul dari sebuah terowongan yang 
lain. 
Mereka belum sempat basa-basi 
bagaimana Sriwening dan Wanda Bayu 
bisa sampai ke tempat itu. 
"Kami menemukannya karena pintu 
itu dalam keadaan terbuka," seru 
Sriwening sambil membabatkan pedangnya 
ke arah lawan ketika berdekatan dengan 
Pusparini. "Aku yakin kau telah masuk 
ke dalam." 
"Kalau begitu kang Klungsu masih 
berada di tempat semula. Kau ketemu 
dia?" 
"Tidak!" jawab Sriwening dengan 
menghindar jauh. Dia mengharapkan 
lawan akan memecah kekuatan. Tujuh 
lawan tiga. Tak begitu berat. Tetapi 
tampaknya ketujuh lawan itu adalah 
orang-orang yang tangguh. Bahkan pada 
suatu kesempatan Pusparini terdesak 
sampai ke tempat di mana buaya-buaya 
yang tadi disingkiri berada. 
 
"Tampaknya mereka tahu apa yang 
kutakutkan. Dan mereka mencoba 
mendesakku kemari," pikir Pusparini 
dengan mencari posisi agar dirinya 
tidak terdesak ke arah buaya-buaya 
yang beberapa di antaranya mulai 
mengangakan moncongnya. 
Seorang lawan dari ketiga orang 
yang mengroyoknya mencoba memberikan 
serangan fatal. Sang lawan rupanya 
berharap bahwa serangannya akan 
membuat Pusparini terpelosok ke dalam 
kubangan buaya. Tetapi perhitungannya 
meleset. Pusparini dapat membaca 
taktik itu. Maka dengan gebrakan 
mengayunkan pedang yang diharap akan 
memperoleh serangan balasan, Pusparini 
menggenjotkan tubuh melesat ke atas. 
Akibatnya, lawan yang menyerang dengan 
kekuatan penuh ini terpa-sa menyerang 
tempat kosong, dan tubuhnya meluncur 
ke bawah. Sadar akan hal ini, orang 
yang terkecoh itu berusaha menguasai 
keadaan dengan meringankan tubuh agar 
dirinya tidak terlampau cepat jatuh 
terbawa daya dorongnya sendiri. Memang 
bisa, tetapi dia tak mampu menghadapi 
moncong mulut buaya yang siap menerima 
tubuhnya. Dan kepala orang itu persis 
jatuh di mulut buaya!! Tak ada yang 
bisa diperbuat lagi. Sang buaya terus 
mengatupkan mulutnya, sementara buaya 
yang lain menyambar kakinya. Dan 
kelompok buaya di bawah sana berpesta  
melahap mangsa. 
Setelah hal itu berlalu bukan 
berarti per-awanan musuh jadi kendor. 
Bahkan rupanya semakin gencar. Hal ini 
menimbulkan niatan Pusparini untuk 
mempergunakan buaya-buaya itu mengha-
bisi lawannya. Maka dicarinya muslihat 
untuk menjebak lawan agar bisa dikecoh 
serangan serupa. Pancingan Pusparini 
berhasil. Seorang lawan lagi bisa 
dijebak taktik perlawanan sehingga 
mengalami nasib serupa dengan kawannya 
yang telah dilahap buaya. Kini tinggal 
seorang. Tahu akan taktik Pusparini, 
orang yang satu ini menjauh dari 
kubangan buaya. 
"Hei, jangan lari kau! Takut 
disantap buaya, hah?" seru Pusparini 
dengan mengejar lawan yang menjauhi 
dirinya. 
Pusparini menghentikan langkahnya 
karena melihat Sriwening dan Wanda 
Bayu baru saja menghabisi nyawa 
lawannya. 
"Selesai?" tanya Pusparini. 
"Ya! Tapi kami kebobolan masing-
masing seorang. Mereka melarikan 
diri," jawab Wanda Bayu. Pusparini 
melihat luka merobek lengan Sriwening. 
Tetapi tampaknya tidak apa-apa. Dari 
hal ini bisa disimpulkan bahwa manusia 
bertopeng yang mereka hadapi mempunyai 
kelihaian cukup tangguh dalam ilmu 
bela diri. 
 
"Meraka lari ke sana. Ayoh kita 
kejar. Hati-hati, mungkin masih banyak 
jebakan yang belum kita ketahui," kata 
Pusparini dengan mengawali melangkah 
maju. 
Mereka bertiga terus menerobos 
lorong-lorong gua bawah tanah. Siapa 
sangka di daerah Prambanan ada tempat 
seperti ini? terowongan gua itu 
terbentuk secara alamiah, tetapi pada 
bagian tertentu ada yang digarap oleh 
tangan manusia. Semakin ke dalam, 
tampaknya tanah yang mereka lalui 
semakin menanjak ke atas. Dan tak 
berapa lama kemudian tiba di tempat 
terbuka. 
"Astaga ! Kita berada di tengah 
bangunan yang letaknya di atas tanah. 
Lubang ini tepat di tengah bangunan 
tembok yang mengelilingnya. Tempat apa 
ini ?" kata Pusparini memberi wawasan 
apa yang dilihatnya. "Hati-hati. Di 
tempat terbuka macam ini serangan 
panah dari pihak lawan bisa terjadi." 
Baru saja mulut itu terbungkam, 
tiba-tiba mendesing dari berbagai 
penjuru anak-anak panah yang 
dilepaskan dari atas tembok. Lusinan 
orang tiba-tiba muncul di sana sambil 
melepas panah bertubi-tubi. Karena 
sudah menyadari bahaya macam ini, 
Pusparini segera mengibaskan Pedang 
Merapi Dahana ke segenap penjuru. Juga 
Sriwening dan Wanda Bayu bertindak  
serupa. Agar tidak bertumpu pada 
sasaran lawan, maka mereka bertiga 
segera menyebar. Kini lawan terpaksa 
membelah pe-hatiannya menjadi tiga. 
Detik selanjutnya Pusparini bahkan 
bertekad melesat ke atas tembok. 
Dengan kalap dia membabat lawan-
lawannya tanpa ampun. Di sisi lain, 
Sriwening dan Wanda Bayu bertindak 
serupa. Keduanya melesat ke atas 
tembok. Serangan lawan lewat anak 
panah dapat di atasi, kini beralih 
dengan pertarungan pedang. Jumlah 
lawan yang jumlahnya lusinan itu hanya 
mengantar nyawa saja ketika berhadapan 
dengan amukan tiga pendekar yang belum 
diketahui apa urusannya. Yang jelas, 
siapapun yang kelayapan ke sana, harus 
dibunuh. 
"Cukup! Hentikan!!" tiba-tiba 
terdengar seruan lantang. Kalau orang 
biasa pasti tidak bisa berteriak 
sekeras itu. Seruan itu tidak sekedar 
seruan, tetapi luapan ucapan yang 
disertai tenaga dalam. Yang tidak 
terbiasa menghadapi suara macam itu, 
pasti pecah gendang telinganya. Karena 
suara itu, semua gerak terhenti tiba-
tiba. Bagai diperintah oleh tenaga 
gaib, para penyerang itu mundur dengan 
cepat, dan menghilang di balik pilar-
pilar bangunan yang banyak terdapat di 
sana. 
"Anak-anak muda yang bernyali  
besar. Aku benar-benar kagum dengan 
sepak terjang kalian. Apapun urusan 
kalian sehingga berani menjamah 
kawasan ini, akibat yang harus 
disandang adalah maut!" kata sesosok 
tubuh tinggi besar dengan memakai 
topeng Rahwana. Hanya bedanya, topeng 
yang dipakainya lebih mewah karena ada 
hiasan-hiasan keemasan pada ukiran 
jamangnya. Jelas, ini adalah dedengkot 
dari kelompok orang-orang yang pernah 
dihadapi Pusparini dan kawan-kawannya. 
Mata Pusparini jelalatan mencari orang 
yang bernama Bango Thonthong. Dan 
orang itu ternyata berdiri tak jauh 
dari sesosok manusia bertubuh besar 
itu. 
"Anak-anak muda! Katakan apa 
urusanmu yang sebenarnya!!" kata orang 
itu dengan lantang. 
"Kami akan menyingkap kematian 
keluarga Ki Bangah dan hilangnya 
wanita bernama Sayem!" jawab Pusparini 
sebagai juru bicara. 
"Hua ha ha ha ha ha...," ledakan 
tawa dari orang tinggi besar itu 
membahana. "Menyingkap kematian dan 
mencari wanita yang hilang? Mengapa 
kau berpikir bahwa semua itu harus kau 
urus di sini?" 
"Topeng Rahwana, dan senjata 
rahasia ini," jawab Pusparini sambil 
mengacungkan sebuah senjata rahasia. 
"Senjata rahasia ini kutemukan di  
puing reruntuhan rumah Ki Bangah!" 
Sriwening terkejut. Dia mengawasi 
Pusparini. "Mengapa hal ini tidak kau 
katakan padaku?" tanyanya. 
"Tak ada apa-apa. Aku cuma ingin 
kau tak banyak pikiran untuk 
mengungkap kematian keluargamu," jawab 
Pusparini lirih sambil tetap mengawasi 
tokoh berbadan besar itu. 
"Hm! Jadi atas dasar itu? Pinter 
kamu. Otakmu encer. Aku suka dengan 
anak muda yang berotak encer. Sayang 
kalau kalian harus menentang tujuan 
kelompokku," kata orang bertubuh besar 
itu. 
"Aku telah mencurigai orang yang 
bernama Bango Thonthong. Dia yang 
memiliki senjata rahasia ini. Dia 
melukai temanku bernama Klungsu dengan 
senjata serupa. Dia memakai topeng 
Rahwana untuk menimbulkan keresahan 
penduduk Sonogading! Penduduk resah 
karena dia muncul pada malam hari ha-
nya untuk melihat kebugilan tubuh 
gadis-gadis desa itu. Walaupun dia 
tidak menodai, tindakan itu perlu 
ditindak. Untuk apa sebenarnya?" tanya 
Pusparini. 
"Jadi kau butuh penjelasan 
walaupun seandainya itu bukan urusan 
yang  menyangkut kelompok ini? Hm ! 
Berarti kau cuma menebak-nebak saja. 
Menghubung hubungkan satu peristiwa 
satu dengan yang lain.....! Tapi, se- 
perti sudah kukatakan awal itu, kau 
memang berotak encer, anak muda. Dan 
aku tak akan segan untuk menjelas-
kannya. Tapi harap tahu, ini sekedar 
penglipur hati saja. Anggap saja 
sebagai 'permintaan terakhir' sebelum 
nyawamu terbang oleh tangan Danyang 
Delapan Neraka ! Hua ha ha ha ha 
ha...!!!" seru orang bertopeng. 
"Rekaan pikiranmu itu benar adanya. 
Dengar baik-baik, aku akan 
menjelaskan!!" 
"Jadi kau yang bergelar Danyang 
Delapan Neraka! Sudah kuduga beberapa 
saat yang lalu. Jelaskan, akan 
kudengar dengan baik-baik pengakuan-
mu!!" kata Pusparini sambil memasukkan 
Pedang Merapi Dahana ke dalam 
sarungnya. 
Kalau saja Pusparini jeli, pasti 
dia tahu bahwa selama Danyang Delapan 
Neraka itu berbicara, matanya tak 
lepas dari pedang di tangannya. 
"Ah! Rupanya kau punya tata krama 
juga. Kau masukkan pedangmu selama aku 
akan mengatakan rahasia ini...! Itu 
sangat kuhargai. Benar-benar kuhargai, 
cah ayu!! Dan kupikir, kalau kita 
berbicara dengan sikap begini, agaknya 
menjadi tidak sopan. Bagaimana kalau 
kita berbicara di balairung perjamuan 
di tempatku yang resmi?" 
"Hati-hati, Rini. Tawaran ini 
bisa mencelakakan kita," bisik Wanda  
Bayu. 
"Aku tahu. Tapi apa salahnya kita 
coba menerima tawaran itu? Pertim-
bangkan, kita ini telah berada di 
sarang lawan. Siapa tahu kita bisa 
mengungkap lebih banyak dari pada yang 
kita duga," jawab Pusparini lirih. 
"Bagaimana? Aku telah memutuskan 
agar kalian lebih banyak tahu dengan 
tujuan kelompok kami. Siapa tahu, 
kalian bisa berbalik arah untuk 
berpihak kepadaku," kata Danyang De-
lapan Neraka itu. 
"Baik! Kami terima tawaranmu," 
jawab Pusparini. "Dan aku tak ingin 
ada siasat licik!" 
"Hua ha ha ha ha ha ha....! Kita 
cuma berbicara baik-baik. Kalau 
buntutnya membuat pembicaraan jadi 
runyam, apa boleh buat...!" jawab 
Danyang Delapan Neraka. 
"Katakan, di mana kita harus 
berbicara," seru Pusparini lagi. 
Pikirnya, kalau pembicaraan itu dengan 
diikuti perjamuan, akan lebih 
mendingan. Paling tidak saat ini 
tenggorokannya terasa kering setelah 
menguras tenaga menghadapi anak buah 
Danyang Delapan Neraka. Dan kini dia 
menerima tawaran perjamuan lawannya. 
 
*** 
 
 
Danyang Delapan Neraka tetap 
mengenakan topeng Rahwana. Agaknya 
penampilan itu sudah menjadi ciri jati 
dirinya. Tak seorangpun tahu bagaimana 
wajah Danyang Delapan Neraka yang 
sebenarnya. 
Suara gamelan mengiringi suasana 
perjamuan itu. 
Banyak mata yang mengawasi 
kehadiran Pusparini, Sriwening dan 
Wanda Bayu. Mereka bertiga duduk 
secara lesehan menghadapi seperangkat 
hidangan yang memancing selera. Mulai 
dari buah-buahan segar sampai pang-
gang ayam dan minuman tersedia di 
sana. 
"Jauhkanlah prasangka kalian 
kalau berpikir bahwa makanan itu 
beracun. Tidak sama sekali. Kalau 
curiga, anak buahku bisa mencicipi 
terlebih dulu," kata Danyang Delapan 
Neraka di seberang mereka. Perjamuan 
itu diatur secara berhadapan, tetapi 
dengan jarak sekitar dua tombak 
jauhnya. Danyang Delapan Neraka selalu 
didampingi Bango Thonthong. Karena 
tokoh yang satu ini telah dicurigai 
sebagai pembunuh Ki Bangah, maka tak 
henti-hentinya Sriwening mengawasinya. 
Dalam hati Sriwening menggelegak 
dendam yang siap meledak kalau saja 
ada kesempatan berhadapan dengan si  
Bango Thonthong itu. 
Dengan ragu-ragu Pusparini menga-
wali menyentuh hidangan yang 
disajikan. Minuman dicicipi dengan 
ujung lidahnya. Rasanya seperti tuak, 
tetapi agak ringan sedikit. Dirasakan 
sejenak, lalu disruput, ditelan dengan 
perasaan berdebar. Tindakan ini 
dilirik saja oleh Sriwening dan Wanda 
Bayu. Karena sepertinya tak ada apa-
apa, mereka berdua mengikuti minum-
minuman yang dihidangkan. 
"Ha ha ha ha ha ha ha....," 
terdengar suara tawa Danyang Delapan 
Neraka. 
Pusparini kaget. Jangan-jangan 
dia telah masuk perangkap dengan minum 
minuman itu. 
"Bagus! Kau telah bertindak yang 
mungkin tak berani dilakukan oleh 
orang lain. Kulihat kedua temanmu itu 
baru mau menjamah setelah kau 
melakukannya. Nah, tidak beracun, 
bukan? Aku memang bisa membunuh orang 
dengan kepala dingin, tapi aku tak 
suka meracun orang!" kata Danyang 
Delapan Neraka sambil meneguk 
minumannya. Karena topeng yang dipakai 
itu tidak menutupi mulutnya,maka 
kegiatan makan minum tidak 
mengganggunya. Jenggotnya yang 
setengah beruban bisa menunjukkan 
bahwa usia Danyang Delapan Neraka 
sekitar enam puluh tahunan. 
 
"Ayo, silakan menyantap hidangan 
yang lain," katanya lagi. Dia sendiri 
segera menjamah panggang ayam dan 
dilahap dengan rakus. 
Bersamaan dengan itu terlihat 
para penari keluar. Mereka menarikan 
tarian semacam gambyong yang terdiri 
dari enam orang wanita. Tanpa 
bertopeng. Pusparini bisa melihat de-
ngan nyata bahwa salah seorang di 
antaranya terdapat wanita seperti 
Sayem. 
"Apakah benar dia yu Sayem ?" 
pikir Pusparini. "Kalau benar, mengapa 
dia seakan-akan tak pernah mengenal 
aku. Dan lagi, menurut keterangan kang 
Klungsu, yu Sayem tidak bisa menari. 
Ataukah dia orang lain yang mirip yu 
Sayem? Atau... kembaran yu Sayem? Ah, 
mustahil. Inipun tak dijelaskan kang 
Klungsu kalau yu Sayem punya saudara 
kembar." 
Seusai tarian tersebut maka 
kelima penari masuk ke dalam ruangan. 
Kini yang tinggal hanya wanita yang 
mirip Sayem. Suara gamelan beralih 
irama. Kedengarannya lebih keras, 
bagaikan mengiringi tari perang. Dan 
wanita itu kemudian melepas kemben 
yang menutupi dadanya. 
Adegan ini membuat mata Pusparini 
dan kedua temannya terbelalak Betapa 
tidak. Buah dada wanita itu benar-
benar terbuka sekarang. Hanya pada  
kedua putingnya ada semacam cungkup 
kecil terbuat dari logam keemasan. 
Mereka tahu, bahwa pada zaman itu 
banyak wanita yang tidak berkemben. 
Tetapi keadaan wanita yang berkemben 
yang kemudian tiba-tiba dibuka, memang 
membuat berdebar perasaan semua mata 
yang melihatnya. Apalagi mata itu mata 
lelaki. Dan buah dada itu benar-benar 
indah, nyaris sempurna dalam penilaian 
pemuja keindahan. 
Wanita itu menari sesuai dengan 
irama gamelan. Akhirnya pada suatu 
irama, maka muncullah dua orang lelaki 
sambil membawa sebungkus karung. Benda 
itu diletakkan di tengah panggung. Di 
dalam karung ada sesuatu yang ber-
gerak. Tampaknya seperti ada dua 
manusia di dalamnya. 
Kini gerak tari wanita itu 
tertuju kepada karung di hadapannya. 
Dengan trengginas tangannya meraih 
bilah pisau yang terselip dipingg-
angnya. Dan....... 
Shrettht!  
Sekali tebas, maka ikatan simpul 
yang mengikat karung terlepas. Karung 
kendor dan nongollah dua sosok tubuh 
manusia. Dua orang laki-laki! 
"Kang Klungsu! Ragil?" terlempar 
ucapan dari bibir Pusparini. Sriwening 
pun tak ketinggalan keslomot rasa 
heran melihat Klungsu dalam keadaan 
terikat berada di sana. 
 
Begitu karung terbuka, serentak 
Klungsu dan Ragil memanggil nama 
wanita itu... 
"Sayemmm!!" Tetapi yang dipanggil 
tak mengadakan reaksi kecuali terus 
menari menghanyutkan diri dalam alunan 
suara gamelan yang kian bertempo 
cepat. Klungsu dan Ragil tak bisa 
berbuat apa-apa karena tubuh mereka 
terikat satu sama lainnya. 
"Bagaimana mereka bisa diringkus 
macam itu ?" bisik Sriwening agar 
tidak menimbulkan kecurigaan. 
"Tentunya kang Klungsu tertangkap 
sewaktu mencoba mencari jalan masuk 
pintu rahasia. Tetapi tentang si 
Ragil, entahlah. Aku tak bisa mengerti 
mengapa dia tertangkap juga. Beberapa 
waktu yang lalu dia lenyap tak 
seorangpun tahu. Paling akhir aku 
bentrok dengan dia di pinggir kali 
sewaktu akan bertindak kurang ajar 
terhadap yu Sayem yang sedang mandi. 
Kutinggalkan dia dalam keadaan 
pingsan," Pusparini menjelaskan dengan 
mata mengawasi keadaan sekelilingnya. 
Tak ada yang memancing kecurigaan 
selain semua perhatian tertuju kepada 
adegan diatas panggung. 
"Sayem!! Apa yang kau lakukan di 
sini?" seru Klungsu  dengan berusaha 
melepaskan diri. Demikian juga Ragil. 
Karena diikat satu ikatan dengan 
Klungsu, mulutnya misuh-misuh tiada  
berkesudahan. Tetapi kemudian mereka 
tersentak kaget ketika dilihatnya 
gerak tari wanita yang dipanggil Sayem 
kian ganas dan menunjukkan akan 
mengunjamkan pisau di tangannya ke 
arah mereka. 
"Ini pasti sudah direncanakan," 
bisik Pusparini kepada Sriwening. 
"Entah bagaimana keduanya tertangkap, 
hal ini menimbulkan ilham bagi Danyang 
Delapan Neraka untuk menjadikan 
tontonan kepada kita." 
Wanita itu terus menari dengan 
gerakan erotis dan sadis. Sadisnya 
bisa dilihat bagaimana dia dengan 
menyayat sedikit demi sedikit bagian 
tubuh Klungsu dan Ragil. Erotisnya, 
tercermin dari gerakan pinggul yang 
memancing bayangan pikiran tentang 
adegan  ranjang. Ragil yang keedanan 
terhadap Sayem, adegan tersebut 
membuat napasnya naik-turun walaupun 
darah mengucur dari lukanya yang 
disayat belati oleh penari itu. 
"Sayem sayangku....," ucap Ragil, 
"kau ambil jantungku pun aku rela asal 
kau pertunjukkan kepolosan lekuk-lekuk 
tubuhmu.....!" 
"Gila kau, Gil! Dalam keadaan 
begini kau tetap mabuk gandrung dengan 
Sayem istriku!" gerutu Klungsu. 
"Istrimu? Kalau istrimu mengapa 
dia ber buat seperti itu?" kata Ragil 
dengan mata tiada berkedip memandangi  
gerakan Sayem  yang menari dengan 
gemulai. Dan suasananya semakin 
membakar mata ketika wanita itu 
membelah kain yang dipakainya dengan 
pisau di tangannya. Akibat belahan 
kain ini, maka betis sampai pahanya 
tersingkap dengan nyata. Dan gerakan 
tari yang semakin merangsang membuat 
pandangan mata Ragil bertambah teler. 
Paha mulus itu hilang-hilang tampak 
akibat gerakan tari yang menggila. 
Sampai akhirnya........ 
Sshhwwtt!  
Sayatan pisau merobek pipi Ragil! 
Darah mengucur. 
"Hentikan itu!! Tarian apa itu!!" 
teriak Pusparini  tiba-tiba sambil 
berdiri dari tempat duduknya. Seketika 
itu juga suara gamelan terhenti. Juga 
gerak tari wanita itu. 
"Hua ha ha ha ha ha...!" meledak 
tawa Danyang Delapan Neraka. "Itu 
belum seberapa. Aku bisa menyajikan 
pertunjukan yang lebih indah dari 
tarian itu. Oh, seharusnya kau tidak 
berteriak seperti itu, Walet Emas!" 
Perasaan Pusparini tersirap. Baru 
kali ini nama gelarnya disebut oleh 
orang yang dianggap lawan, padahal dia 
tak pernah mengenalkan nama itu. 
"Kau heran aku bisa tahu dengan 
gelarmu,  Cah ayu ?” kata Danyang 
Delapan Neraka dengan memberi isyarat 
kepada Bango Thonthong. Dan isyarat  
ini diteruskan kepada yang lain. 
"Kau punya Pedang Merapi Dahana. 
Siapa lagi kalau pemegangnya bukan 
pendekar bergelar Walet Emas? Ah, tak 
usah merisaukan benar apa yang 
kuketahui. Bahkan seharusnya kau bang-
ga bahwa namamu dikenal dalam dunia 
persilatan sebagai pendekar punya 
kharisma," kata Danyang Delapan 
Neraka. 
Tiba-tiba semua pandangan tertuju 
ke arah munculnya anak buah Danyang 
Delapan Neraka yang mengawal sese-
orang. 
"Ss......Sayem?" Klungsu orang 
yang pertama kali yang mengucapkan 
nama itu. Orang yang pernah 
mengenalnya memang akan memanggilnya 
dengan nama Sayem. Tetapi bagaimana 
dengan wanita satunya yang bisa juga 
dikenal sebagai Sayem? 
Kini ada dua orang Sayem. Dua 
manusia kembar! Nyata bahwa yang 
muncul terakhir ini benar-benar Sayem 
ketika dia langsung hendak mendekat ke 
arah Klungsu.. 
"Kang Klungsu!" jeritnya. 
"Sayem!! Bagaimana kau bisa 
berada di sini? Apakah orang-orang ini 
telah menculikmu ?" 
Sayem tak sempat berbicara lagi 
karena ditarik oleh Danyang Delapan 
Neraka. 
"Inilah kunci permasalahannya,  
Walet Emas! Semua karena wanita 
bernama Sayem! Sayem yang punya 
saudara kembar bernama Thiwul!" kata 
Danyang Delapan Neraka. Lalu dengan 
ganas dia menarik kemben yang menutupi 
tubuh Sayem sehingga keadaannya 
setengah bugil. Tubuh Sayem dibalikkan 
sehingga bisa dilihat dengan nyata 
oleh setiap orang. Punggung Sayem 
seperti ada rajah yang sengaja 
dituliskan secara samar-samar. Kemu-
dian Bango Thonthong memberikan 
bubukan kuning seperti sari bunga 
kepada Danyang Delapan Neraka. Kemu-
dian punggung Sayem diborehi dengan 
bubuk kuning tersebut. Ajaibnya, di 
punggung itu tiba-tiba muncul rajah 
tulisan dengan nyata! 
Klungsu satu-satunya orang yang 
mengumbar kata, "Oh, aku tak pernah 
melihatnya. Rajah apa itu? Siapa yang 
menuliskan di situ?" 
Terdengar suara tawa Danyang 
Delapan Neraka. Kemudian dia memberi 
isyarat kepada wanita yang dikatakan 
sebagai kembaran Sayem. 
"Thiwul! Kemari kau!!" terdengar 
suara si  Danyang. Wanita bernama 
Thiwul mendekat. Si Danyang menyingkap 
kain yang robek, dan terlihatlah paha 
mulus si Thiwul. Di sini, kalau 
diamati dengan teliti, memang ada 
semacam rajah yang dituliskan. Kemu-
dian Danyang Delapan Neraka memborehi  
paha Thiwul dengan bubuk kuning. 
Sesaat kemudian terlihatlah tulisan 
rajah dengan nyata, tetapi lain 
bentuknya dengan yang tertera di 
punggung Sayem. 
"Apa maksud semua ini?" tanya 
Pusparini mulai buka suara lagi. 
"Sayem dan Thiwul adalah saudara 
kembar yang mempunyai rajah rahasia 
yang pernah dituliskan oleh Ki Bangah. 
Aku kenal baik dengan Ki Bangah. Dia 
punya istri piaraan yang kemudian 
melahirkan Sayem dan Thiwul ini. 
"Apa? Ayahku pnnya istri piaraan 
dan mempunyai anak kembar? Sss... 
Sayem dan Thiwul?" Sriwening menengahi 
dengan tercengang. 
"Aha! Jadi kau juga anak Ki 
Bangah? Ah, jadi kau yang tentunya 
bernama Sriwening. Aku pernah dengar 
bahwa kau dikirim oleh ayahmu berguru 
untuk membekali diri dengan ilmu bela 
diri. Hendaknya kau jangan menggugat 
ayahmu yang ternyata punya istri 
piaraan sehingga melahirkan Sayem dan 
Thiwul ini," kata Danyang Delapan 
Neraka. "Ayahmu telah tewas!" 
"Aku akan balas kematian ayahku!! 
Aku tahu kini, ayahku mati di tangan 
Bango Thonthong itu. Senjata 
rahasianya yang ditemukan Pusparini 
bisa dijadikan bukti!!" Sriwening 
menggebrak ucapan dengan kethus. 
"Hm! Persoalan ini jadi  
mengasyikkan. Sebelum sampai pada 
akhir pertemuan ini, akan kuberitahu 
tentang rajah yang tertera di punggung 
dan paha wanita kembar ini. Gabungan 
tulisan dan gambar yang ada di sana 
menunjukkan tempat peninggalan harta 
karun Ratu Sima!" kata si Danyang. 
"Harta karun Ratu Sima?!" sela 
Pusparini ingin meyakinkan peristiwa 
yang melatar belakangi kejadian-
kejadian yang telah berlalu. 
"Ki Bangah adalah orang terakhir 
yang menyimpan petunjuk itu. Untuk 
menyimpan rahasia tersebut, maka 
dituliskan ke bagian tubuh kedua anak 
kembarnya. Dia menuliskannya ketika 
Sayem dan Thiwul berumur sepuluh 
tahun. Thiwul berhasil kuculik dan 
kuasuh. Hanya Sayem yang berhasil 
disembunyikan  oleh Ki Bangah. Sejak 
itu aku kehilangan jejak. Tetapi aku 
yakin keberadaan Ki Bangah tidak jauh 
dari Prambanan ini," si Danyang 
memberi penjelasan tanpa ragu-ragu. 
Seakan-akan dia telah berhasil 
menguasai segalanya, dan kisah itu 
diungkap demi kebanggaan  dirinya 
sendiri. 
"Berlangsungnya memang lucu 
sekali. Aku perintahkan Bango 
Thonthong untuk mencari anak perempuan 
Ki Bangah yang bukan kembaran dari 
satu desa ke desa lain. Setiap malam 
dia menyamar karena tak mungkin secara  
terang-terangan membuka punggung 
setiap anak perawan. Semula aku 
menduga bahwa bagian lain peta rajah 
itu dituliskan oleh Ki Bangah kepada 
anak perempuannya yang lain yang bukan 
kembaran Thiwul. Yang kumaksud adalah 
Sriwening, yang tidak tahunya di kirim 
untuk berguru. Hal ini kulakukan 
karena aku mendengar kabar slentingan 
bahwa Ki Bangah telah menyembunyikan 
anak-anaknya yang lain agar rahasia 
rajah peta tidak bisa dilacak oleh 
orang lain," kata Danyang Delapan 
Neraka dengan mengenyahkan tubuh 
Thiwul. Sepertinya dia tidak 
memerlukan lagi tentang rajah yang 
tertera di paha Thiwul. 
"Bagaimana kau tahu bahwa bagian 
yang lain ternyata ada pada anak 
kembar satunya bernama Sayem?" tanya 
Pusparini sambil mengawasi keadaan 
sekitarnya. Adalah tidak mungkin kalau 
Danyang Delapan Neraka akan membiarkan 
peristiwa ini berlalu begitu saja 
setelah segalanya diceritakan secara 
gamblang. Cepat atau lambat si Danyang 
pasti akan memerintahkan anak buahnya 
untuk mengganyang dirinya, atau dengan 
kata lain menumpas habis terhadap 
pihak luar yang telah tahu hal ini. 
"Aku tahu bahwa hal itu ditulis 
pada kembaran Thiwul karena keterangan 
Ki Bisma. Sayang, aku harus membunuh 
laki-laki ini karena dia pun ternyata  
mengincar harta tersebut," jawab si 
Danyang dengan suara datar. 
"Aku adalah anak Ki Bisma, 
Danyang keparat!" tiba-tiba Wanda Bayu 
yang selama ini banyak bungkam, mulai 
buka suara. Dan ini tidak sekedar 
mengeluarkan ucapan bagaikan hawa 
kentut keluar dari dubur, tetapi 
benar-benar seperti geledek di telinga 
Danyang Delapan Neraka. Sriwening dan 
Pusparini jadi dibuat terperangah oleh 
ucapan Wanda Bayu. 
Sejenak wajah Danyang Delapan 
Neraka tegang. Kemudian mengumbar tawa 
berkepanjangan... 
"Jadi kau akan menuntut balas, 
thole? Pasti kau bernama Wanda Bayu. 
Aku memang tak pernah memperhatikan 
keluarga si Bisma. Aku benar-benar 
bahagia bahwa dalam kesempatan ini 
telah berkumpul manusia-manusia yang 
akan menuntut balas. 
Hahahahahahaha........!" 
Seakhir dengan ucapan itu Danyang 
Delapan Neraka mencabut pedangnya dan 
disabetkan ke arah Thiwul dan Sayem. 
Tentu saja tindakan yang tak 
terbayangkan sebelumnya membuat semua 
orang kaget dan terperangah. 
Tubuh Sayem dan Thiwul langsung 
roboh. Sabetan dengan gerakan ilmu 
tinggi itu tampak nya hanya sekali 
tebas. Mata jeli seorang pendekar akan 
tahu bahwa sabetan pedang itu di- 
lakukan dengan cepat mengandung empat 
gerakan. Punggung Sayem dan paha 
Thiwul yang jadi sasaran sehingga 
bagian tubuhnya menganga secara 
mengerikan. Pedang itu paling tidak 
mengandung racun, sebab kedua wanita 
yang jadi korban tidak bergerak lagi 
begitu jatuh terkapar. 
Klungsu satu-satunya orang yang 
berteriak histeris. Melihat keadaan 
itu dia meronta hebat. Perasaannya 
meledak mengakibatkan munculnya 
kekuatan yang tidak semestinya 
sehingga dia berhasil melepaskan diri 
dari ikatannya. Ragil pun terlepas 
dari ikatan. Bagaimanapun dia tak bisa 
membiarkan diri melihat wanita yang 
digandrungi walaupun sudah bersuami, 
terbunuh dengan cara itu. 
Dan keributan berkobar ! Baku 
hantam meledak Masing-masing mencari 
lawan. 
Pusparini, Sriwening serta Wanda 
Bayu segera bertindak. Dalam kesem-
patan ini Pusparini baru sadar mengapa 
senjatanya, Pedang Merapi Dahana, 
tidak mampu menghancurkan senjata 
lawan-lawannya. Dia ingat pesan 
gurunya, bahwa Pedang Merapi Dahana 
sangat ampuh kalau dipergunakan di 
bawah naungan cahaya matahari. Sebab 
matahari merupakan sumber panas yang 
mampu membakar pamor pedang sehingga 
mengeluarkan cahaya merah membara. Itu  
sebabnya di dalam sarang Danyang 
Delapan Neraka yang terselubung dari 
cahaya matahari, pedang Pusparini 
tidak menunjukkan keampuhannya. Tetapi 
tetap mengundang maut kalau diper-
gunakan menghadapi lawan. Seperti 
halnya kali ini, dia telah  menghabisi 
lima orang anak buah si Danyang. 
Dalam pada itu, Sriwening yang 
dendamnya sudah keslomot, terus men-
cari kesempatan untuk dapat berhadapan 
dengan Bango Thonthong, si pembantai 
keluarganya. Dua orang ini berhadapan 
dengan seru di tempat yang agak 
tersisih. Sedangkan Wanda Bayu, 
Klungsu dan Ragil, terlibat perke-
lahian dengan Danyang Delapan Neraka. 
Pusparini meladeni anak buah si 
Danyang yang jumlahnya lusinan. 
Sebenarnya Wanda Bayu tidak men-
jadi lebih enak dengan turut campurnya 
Klungsu dan Ragil dalam menangani 
Danyang Delapan Neraka. Tetapi apa mau 
dikata, Klungsu dan Ragil juga punya 
dendam dengan si Danyang. 
"Ayo,  mengapa cuma bertiga? 
Tunjukkan kelihaianmu. Rahwana adalah 
tokoh pujaanku. Dia punya kepala sepu-
luh dan tangan dua puluh. Kesaktian 
Rahwana ada padaku.... hahahahaha...!" 
sumbar si Danyang untuk mengecoh nyali 
lawan. Seperti tokoh Rahwana, meskipun 
kejam, dia punya rasa humor. Oleh 
sebab itu dalam pertarungan ini si  
Danyang banyak memancing lawakan. 
Setiap mengucapkan lawakan, pasti 
berhasil melukai lawan. Buktinya, 
Ragil dan Klungsu yang dalam ukuran 
kependekaran hanya kelas jago kepruk 
di desa Sonogading, telah luka parah 
kena babat pedang si Danyang. 
Sedangkan Wanda Bayu karena merasa 
terhalang oleh gerakan kedua jago 
kepruk itu, dia banyak berada di luar 
serangan pedang lawan. Lama-lama si 
Danyang merasa disepelekan kalau harus 
berhadapan dengan dua jago kepruk 
semacam Klungsu dan Ragil. Maka 
diambil tindakan tegas. Dengan 
mengeluarkan jurus pamungkas, Danyang 
Delapan Neraka membabat leher Ragil 
dan Klungsu. Bagaikan buah kelapa 
jatuh dari pohon, kepala mereka 
mencelat lepas dari badannya. Sungguh 
mengerikan! 
Hal ini semakin membakar semangat 
Wanda Bayu. Dengan berteriak 
mengobarkan semangat, dia menerjang ke 
arah lawan. Si Danyang agak kuwalahan 
menghadapi jurus awut-awutan dari 
lawannya. Disebut awut-awutan karena 
sulit dibaca rumus serangannya. Diduga 
serangan dari atas, tidak tahunya mun-
cul pukulan dari bawah. Dan apabila 
dari bawah, Wanda Bayu banyak 
menggunakan tendangan kaki memberi 
rangkaian pembobolan pertahanan si 
Danyang yang rupanya sangat lihai  
dengan ilmu pedangnya. Tetapi lama-
kelamaan si Danyang dapat membaca 
taktik Wanda Bayu. Maka dengan 
serangan jurus pamungkas, dia menya-
betkan pedangnya ke leher lawan. 
Tetapi di luar dugaan Wanda Bayu mampu 
melemparkan tubuhnya ke belakang. 
Dengan bergulir tiga kali di udara, 
makajarak serangan si Danyang dapat 
dihindari. 
"Hm! Dia selalu menggunakan jurus 
pamungkas di arah leher lawannya," 
pikir Wanda Bayu dengan mengatur 
siasat lain. 
Sementara itu Bango Thonthong 
terlihat sangat keteter serangan 
Sriwening. Dendam memang mengalahkan 
segalanya. Mengalahkan rasa takut. 
Mengalahkan akal sehat. Inilah modal 
tindakan Sriwening. Akibatnya, Bango 
Thonthong dibuat tak berkutik dalam 
menghadapi lawannya yang semula 
dipandang masih ingusan dalam ilmu 
bela diri. Sampai pada akhirnya, baku 
hantam mereka tiba di kubangan dekat 
sungai bawah tanah di mana buaya-buaya 
yang kelaparan mengangakan moncongnya. 
Geram suaranya sangat menyeramkan. 
Mungkin karena begitu dendamnya Sri-
wening terhadap Bango Thonthong, 
sehingga pada kesempatan di sini dia 
kurang waspada. Tanah yang licin di 
luar perhitungannya. Sampai ketika 
lawannya melancarkan tendangan, Sri- 
wening tergelincir sewaktu akan 
mengelak. Dia terpeleset jatuh ke 
bawah. Dan jatuh sekitar dua depa dari 
seekor buaya yang moncongnya menganga. 
Sang buaya melihat ada mangsa di 
dekatnya, langsung bersiap menyantap. 
Tetapi Sriwening dengan gesit 
melantingkan tubuhnya ke samping. 
Dengan dua kali gerakan, dia telah 
menghadang langkah Bango Thonthong 
yang akan meninggalkan tempat itu 
karena menduga lawannya disantap 
buaya. 
"Aku masih belum mampus, Bango," 
seru Sriwening, "Buaya lebih suka 
dengan daging burung. Di sini tak ada 
burung. Yang ada manusia bernama 
burung!" 
Bango Thonthong benar-benar kaget 
dengan kemunculan Sriwening. Sebelum 
dia sadar, maka gadis ini telah 
mengirimkan pukulan fatal lewat 
tendangan kaki. Bango Thonthong yang 
semula sudah tidak mengira akan 
berhadapan dengan Sriwening lagi, tak 
sempat mengelak Tendangan itu 
mengunjam dengan keras ke dadanya 
sampai dia muntah darah. Dan detik 
selanjutnya  tubuhnya mencelat ke 
bawah, ke kubangan buaya. Bango 
Thonthong sebenarnya bisa menghen-
takkan kakinya begitu dia sampai di 
bawah untuk dapat naik kembali, tetapi 
ketika tindakan tersebut dilakukan,  
dengan cepat kakinya disambar buaya. 
Jeritan terdengar dengan robohnya si 
Bango, yang kemudian tubuhnya dicaplok 
moncong-moncong yang kelaparan. Bango 
Thonthong jadi ajang pesta di sana. 
Tubuhnya dicabik-cabik buaya...! 
Yakin bahwa lawannya telah tewas, 
Sriwening segera melesat untuk 
membantu kawan-kawannya. Ketika sampai 
di arena pertarungan, dilihatnya Wanda 
Bayu keteter oleh serangan Danyang 
Delapan Neraka. Dia langsung membantu. 
Dengan dua kali lompatan, dia telah 
terlibat dengan ujung pedang si Da-
nyang. Bahkan nyaris lehernya kena 
babat. Untung dia waspada. Dengan 
membuang tubuh ke samping, sabetan 
pedang lawan membabat ke tempat 
kosong. 
Sementara itu Pusparini telah 
berhasil menyikat habis anak buah 
Danyang Delapan Neraka. Tidak semua. 
Mereka ada yang melarikan diri cari 
selamat. 
"Hm, tinggal dedengkotnya. Tang-
guh juga dia. Dikroyok dua orang 
tenaganya kelihatan tetap tegar," 
pikir Pusparini dengan melangkah ke 
sana. 
Melihat kehadiran Pusparini si 
Danyang tertawa sambil menjauh. 
"Tunggu! Kini kalian akan 
mengroyok aku? Boleh! Ayo. Tetapi 
sebelumnya akan kuberitahu tentang  
racun yang telah bersarang dalam perut 
kalian!" seru Danyang Delapan Neraka 
dengan berkacak pinggang. 
"Racun? Lewat makanan tadi?" kata 
Pusparini, "Kau bilang meracun orang 
tak pernah kau lakukan. Kau berkata 
itu tindakan pengecut. Mengapa kini 
kau mengaku ada racun dalam tubuh kami 
yang kesannya terdapat di dalam 
makanan?" sahut Pusparini dengan meng-
awasi kedua temannya. Dia khawatir 
Sriwening dan Wanda Bayu telah 
merasakan reaksi racun yang dikatakan 
si Danyang. Dia khawatir racun yang 
diberikan lewat makanan reaksinya 
lambat, tetapi mematikan. Di pihak 
lain Wanda Bayu dan Sriwening saling 
memandang. Tiba-tiba keduanya menebah 
perut, tubuh mereka sempoyongan. 
Pusparini yang melihat kedua temannya 
mengalami hal itu, timbul rasa 
cemasnya. 
"Huahahahahaha...! Kau lihat 
itu!" seru Danyang Delapan Neraka 
dengan girang, "kedua temanmu telah 
sempoyongan. Reaksi racun itu memang 
dibuat lambat agar tidak mencurigakan. 
Sebentar lagi pasti kau menyusul, 
Walet Emas!!" 
"Celaka! Mereka benar-benar 
keracunan," pikir Pusparini dengan 
terus bersikap waspa-da. Tiba-tiba 
diapun bertindak serupa. Menebah perut 
dan sempoyongan... 
 
Melihat hal ini tawa Danyang 
Delapan Neraka meledak lagi. Dengan 
langkah pethitha-pethithi dia mengham-
piri ketiga lawannya yang tampaknya 
kini tak berdaya. 
"Sebentar lagi kalian akan 
berangkat ke akherat. Tubuh kalian 
akan melepuh seperti kesiram air 
panas. Kemudian daging kalian akan 
mlonyoh mengandung nanah. Lalu satu 
persatu anggota badan kalian akan 
lepas dari persendiannya. Benar-benar 
cara mati yang sangat mengerikan! 
Sangat mengerikan! Tetapi aku senang 
menyaksikannya.  Hahaha...!" seru 
Danyang Delapan Neraka dengan terus 
menghampiri mereka. 
Kini Pusparini, Sriwening dan 
Wanda Bayu benar-benar ndlosor di 
lantai. Kelihatannya mereka bertiga 
sudah tidak berdaya lagi. 
"Tetapi aku masih berbaik hati. 
Aku kasihan melihat kalian harus mati 
dengan cara menjijikkan dan 
menyakitkan. Aku akan menolong kalian 
dengan cara mati yang cepat. Mengerti 
maksudku? Kepala kalian akan kupenggal 
satu persatu! Ah, tidak. Akan 
kupenggal secara bersamaan dengan 
sekali tebas! Lihat pedangku ini. 
Pedang berbentuk kepala makara pada 
ujungnya. Makara penyebar maut!" kata 
si Danyang dengan mempersiapkan sen-
jatanya yang mingis-mingis tajam. 
 
Pedang yang katanya bisa membelah 
rambut. 
"Sekaranglah waktunya!!" suara 
Danyang Delapan Neraka sangat lantang 
terdengar sambil mengayunkan pedang-
nya. 
Dan sebelum si Danyang mengayun-
kan pedangnya, tiba-tiba Pusparini, 
Sriwening dan Wanda Bayu bergerak 
serentak mengayunkan pedang masing-
masing. Pedang Pusparini mengunjam ke 
jantung. Pedang Sriwening menancap 
pada leher. Dan pedang Wanda Bayu 
merobek perut! Mereka bukanlah bunuh 
diri, tetapi pedang mereka telah 
bersarang ke tubuh lawan. Ketubuh 
Danyang Delapan  Neraka yang nyaris 
mengayunkan pedangnya ke kepala mereka 
bertiga. 
Kontan si Danyang roboh, yang 
sebelumnya sempat melotot seakan-akan 
tak percaya apa yang menimpa dirinya. 
Dia terkapar dengan gerak sekarat, 
lalu tak bergerak lagi. Mati!! 
Mereka bertiga  tiba-tiba saling 
mengawasi diri. 
"Sri! Bukankah kau tadi 
keracunan? Dan juga kau.... Wanda?" 
seru Pusparini yang me-lihat Sriwening 
dan Wanda Bayu dalam keadaan segar 
bugar. 
"Bahkan kami berdua mengira 
kaulah yang keracunan, Rini," seru 
Sriwening pula. "Kami berdua tetap  
waspada tidak memakan serta minum 
minuman yang dihidangkan tadi walaupun 
kau telah mencicipi yang kemudian kau 
lahap." 
"Sangkamu begitu? Aku cuma 
mencicipi. Tetapi tidak kutelan. Semua 
makanan yang kelihatan kumakan, 
sebenarnya kubuang di  bawah meja," 
Pusparini mengaku. 
"Aku juga!" jawab Sriwening. 
"Aku juga begitu," Wanda Bayu 
menimpali. 
Mereka bertiga tertawa terharu! 
Kemudian memandang tubuh Danyang 
Delapan Neraka yang terkapar. 
"Aku benar-benar tak mengerti 
tindakan si Danyang yang membunuh 
Sayem dan Thiwul. Dengan tindakannya 
berarti rajah tulisan dan peta tentang 
harta karun Ratu Sima tak bisa terbaca 
lagi. Entah kalau dia telah menyalin 
dan menyimpan," kata Pusparini dengan 
membersihkan pedangnya sebelum 
dimasukkan ke dalam sarungnya. 
"Lihat! Itu ada semacam ruas 
bambu di sarung pedang si Danyang," 
seru Wanda Bayu. Dia segera mengambil 
sarung pedang si Danyang yang dilekati 
seruas bambu sebesar pergelangan 
tangan bayi. Setelah diteliti ternyata 
tabung bambu yang tertutup. Bambu itu 
diukir indah. Tutup dibuka, dan 
terlihat gulungan dari kulit kambing. 
"Nah, apa kataku ?" ucap Wanda  
sambil memperlihatkan barang temuan-
nya. "Ini peta dan tulisan tentang 
harta karun Ratu Sima yang telah 
dipadukan dari rajah di paha Thiwul 
dan punggung Sayem!" 
Mereka bertiga dengan tekun 
meneliti lembaran yang bertulis dan 
bergambar yang tertera di kulit 
kambing. 
"Benarkah ini bisa menunjukkan ke 
tempat harta karun Ratu Sima?" kata 
Pusparini dengan tekun membaca tulisan 
yang memberi keterangan gambar denah 
tempatnya. 
"Sekarang tidak lagi!" tiba-tiba 
terdengar suara di belakang mereka. 
Suara itu sangat mereka kenal. 
"Ki Pandulu?!" seru Sriwening dan 
Pusparini serentak. 
"Bagaimana Ki Pandulu bisa sampai 
kemari ?" lanjut Pusparini. 
"Sebagai jagabaya aku wajib 
mengikuti jejak kalian," kata Ki 
Pandulu. "Kuharap kalian tidak lagi 
mempersoalkan harta karun itu. Coba 
kulihat," katanya sambil mengacungkan 
tangan agar mereka memberikan peta 
itu. 
Tanpa curiga Pusparini memberikan 
peta tersebut kepada Ki Pandulu. 
Sejenak Ki Pandulu memperhatikan 
lembaran di tangannya. Lalu dia 
melangkah menuju perdiangan api. Tanpa 
diduga oleh mereka, maka Ki Pandulu  
membakar lembaran kulit kambing itu. 
"Ki!!! Apa yang telah Ki 
lakukan?" seru Pusparini. 
"Seperti yang kalian lihat, aku 
membakar peta itu," jawab Ki Pandulu 
dengan tenang. 
"Ttt... tapi...," ucapan 
Sriwening tak berlanjut. 
"Sekarang tidak akan ada lagi 
orang yang memburu harta karun Ratu 
Sima. Aku sebagai keturunannya, 
melarang siapa pun yang akan 
mencarinya. Aku tak ingin harta lelu-
hurku yang dikubur untuk menghindarkan 
keserakahan manusia, jadi rebutan 
sehingga menimbulkan pertumpahan 
darah." 
"Jadi.....Ki Pandulu ini 
keturunan Ratu Sima ?" tanya Sriwening 
seperti tidak percaya. Sementara itu 
kulit kambing yang dibakar telah jadi 
abu. Lalu Ki Pandulu menatap ketiga 
pendekar muda di hadapannya. 
"Ratu Sima yang ratusan tahun 
memerintah di Kerajaan Kalingga dekat 
kawasan pesisir utara sana, adalah 
leluhurku! Kalian boleh mempercayai, 
boleh juga tidak," kata Ki Pandulu 
dengan suara arif. "Ratu Sima berhasil 
memerintah negerinya sehingga menjadi 
negeri yang adil dan makmur, terkenal 
sampai ke negeri Cina. Sepeninggalnya, 
banyak pihak yang akan menjarah harta 
kekayaannya. Tetapi Ratu Sima bijak- 
sana. Sebagian besar harta lalu 
dikuburkan di tempat yang diraha-
siakan...! Begitulah latar belakang-
nya." 
Hening sejenak. Ketiga pendekar 
muda itu terasa hanyut oleh pengakuan 
Ki Pandulu. Memang benar, harta 
membuat manusia jadi serakah. 
Kemudian setelah mereka membakar 
jenazah Sayem, Klungsu, Thiwul dan 
Ragil, mereka kembali ke Sonogading 
mengiringkan Ki Pandulu....! 
 
SELESAI 

Serial Walet Emas