Pendekar Gagak Rimang 8 - Banjir Darah di Keraton Widung

 
Pekat malam dengan rembulan enggan terse-
nyum, nampak satu bayangan berkuda terus memacu 
kudanya dengan cepat. Sosok penunggang kuda itu 
adalah seorang laki-laki kurus tinggi dengan wajah ti-
rus yang menyeramkan. Rambutnya yang tergerai pan-
jang bak milik anak perawan itu diikat dengan secarik 
kain merah yang nampak lusuh. Dia memacu kudanya 
bagaikan sedang dikejar wabah penyakit atau bagai-
kan sedang memburu harta karun karena kuatir dida-
hului orang lain. 
Sepintas pakaian laki-laki itu mirip orang kera-
ton. Di pinggangnya terselip sebuah keris bersarung. 
Angkin batiknya yang lusuh pun melilit di pinggang-
nya. Tubuhnya sedikit membungkuk dengan berupaya 
untuk memacu kudanya semakin cepat. Terlihat sedi-
kit wajahnya yang keletihan. Namun dia berusaha agar 
tetap kelihatan segar. 
Kudanya memang telah dipacu dengan cepat. 
Sudah tiga hari laki-laki itu memacu kudanya 
tanpa berhenti. Laki-laki bernama Prakesti itu seakan 
tidak memperdulikan kelelahannya. Tidak perduli be-
tapa lapar dan dahaga dirinya. Yang dia inginkan ha-
nyalah mencapai tujuan yang dicarinya. Meskipun dia 
merasa tidak yakin dengan apa yang dilakukannya kali 
ini. 
Berulang kali dia terbayang kegagalan, namun 
dia tidak mau bila hingga gagal. 
Memang dia mempunyai kepentingan yang ti-
dak bisa ditinggalkan. Baginya ini sebuah beban yang 
harus dilaksanakan. 
Sebenarnya Prakesti adalah salah seorang Pan-
glima perang di Keraton Widung yang telah memimpin  
pasukannya dalam menumpas para perampok yang 
bermukim di salah sebuah bukit. Sepak terjangnya 
amat membanggakan sang Prabu. Belum lagi dengan 
banyaknya jasa-jasa yang dilakukan. 
Karena jasanya itu sang Prabu Keraton Widung 
menganugerahkannya bintang jasa sebagai Panglima. 
Sudah tentu itu membuat kebanggaan tersendiri pada 
Prakesti. Di samping sang Prabu sendiri pun menyukai 
kecakapan Prakesti. 
Hanya sayang, setelah menjadi orang keper-
cayaan dan kebanggaan sang Prabu, kesombongannya 
mulai muncul. Sifatnya sudah berubah. 
Dia kini seakan mengangkat kepala setiap kali 
melangkah. Tidak lagi menampakkan sikap sebagai 
seorang Panglima yang menjadi panutan para anak 
buahnya. Tidak lagi memperlihatkan sikapnya yang 
dulu akrab dengan rakyat. 
Bahkan kini sikapnya justru berbalik. Dia ber-
buat semena-mena terhadap rakyat. Dengan menga-
tasnamakan prabu Keraton Widung, Prakesti selalu 
berupaya mendapatkan keuntungan dari rakyat. 
Ini disebabkan oleh keserakahannya. Bahkan 
dia pun dengan semena-mena menikahi para perawan 
orang, bahkan ada dengan secara paksa. Jumlah selir-
nya pun tidak terhitung lagi. Yang lebih sadis lagi, dia 
terkadang pun suka memperkosa istri orang. Dan me-
ninggalkanya begitu saja. 
Bila ada yang berani menghalangi atau menolak per-
buatannya tidak segan-segan dia menyiksa. Bahkan 
membunuh, lalu mayatnya dibenamkan di laut Kapur. 
Dia juga menjadi pengunjung tetap tempat ple-
siran Nyi Ratih Dewi. Padahal sebelumnya dia adalah 
orang yang paling anti dengan hal-hal seperti itu. Bah-
kan dia banyak menasehati teman-temannya agar ti-
dak terjerumus ke sana. 
 
Namun semua itu kini telah berubah sejak dia 
menjadi Panglima perang Keraton Widung. Hal ini 
membuat para anak buahnya banyak yang kecewa, 
namun bila mereka membantah perintahnya, maka 
kemarahan yang luar biasa yang didapat. 
Prakesti memang dasarnya orang licik, di depan 
prabu dia bisa mengambil sikap manis, sehingga cu-
kup lama rasanya sang Prabu tidak mengambil sikap 
apa-apa atas ulahnya. Karena memang sesungguhnya 
sang Prabu tidak mengetahui hal. Ini cukup menggeli-
sahkan sekali. 
Bahkan sang Prabu semakin bangga terhadap 
Prakesti karena menurutnya Panglima Prakesti adalah 
satu sosok yang amat membanggakan. 
Namun bukan main terkejutnya Prabu kala su-
atu hari datang sepasang suami istri setengah baya 
yang melaporkan anak gadis mereka dibawa kabur 
oleh Panglima Prakesti. Sang istri saat melaporkan hal 
itu terus menangis terisak-isak. 
Semula hal ini membuat sang Prabu Kamansu-
ra tidak percaya dengan hal itu. Karena menurutnya 
tidak mungkin Prakesti melakukan hal itu. Bukan apa-
apa, karena dia yakin Prakesti seorang bawahan yang 
amat setia. 
Akan tetapi dia cukup terkejut ketika beberapa 
orang punggawanya maju menghadap dan mencerita-
kan semuanya. Keberanian beberapa orang punggawa 
itu disebabkan karena datangnya sepasang suami istri 
itu. 
"Punggawa! Kalian berbicara apa, hah?!" bentak 
Prabu Kamansura tidak suka. 
Punggawa  itu menunduk. "Maafkan hamba, 
Paduka... sesungguhnya hal ini telah lama sekali ada 
di hati hamba. Namun hamba tidak berani mengutara-
kannya, karena masih memandang nama Panglima  
Prakesti. 
Namun yang menjadi masalah sekarang, ham-
ba pun ternyata tidak bisa menutup mata atas perbua-
tan Panglima Prakesti yang se makin lama semakin 
semena-mena. 
Maafkan hamba, Paduka... hamba tidak tahan 
melihat penderitaan rakyat atas ulah yang telah dila-
kukan oleh Panglima Prakesti!." 
Prabu Kamansura tercenung. Benarkah apa 
yang telah dikatakan oleh orang-orang yang duduk 
bersila di hadapannya? Benarkah perlakuan Panglima 
Prakesti yang amat dibanggakan seperti itu? 
Hatinya pun perlahan-lahan mulai goyah dan 
ingin mencari tahu kebenaran itu. Apalagi isak tangis 
wanita di pangkuan laki-laki yang berwajah sendu itu 
pun cukup menggoyahkan perasaannya. Menggelisah-
kan. 
Meskipun di dasar hatinya masih ada rasa se-
dikit tidak percaya dengan omongan yang didengarnya. 
"Baiklah... aku akan menyelidiki kebenaran-
nya...." katanya kemudian dengan desahan nafas yang 
terdengar amat berat itu, karena dia masih tetap tidak 
percaya atas ulah Panglima Prakesti. Benarkah demi-
kian? 
Wanita yang terisak itu tiba-tiba mengangkat 
kepalanya. "Paduka... tolong hamba, Paduka... tolong 
hamba... kembalikan putri hamba... kembalikan...." 
"Tenanglah, Nyai...." 
"Huhuhu.... Paduka... tolong hamba Paduka... 
tolonglah hamba...." 
Hati Prabu Kamansura pun mulai goyah. Saat 
itu juga dia memerintahkan orang-orangnya untuk 
menyelidiki sepak terjang Panglima Prakesti di luar. 
Prabu Kamansura tidak perlu lagi menunggu terlalu 
lama karena orang-orangnya pun segera melaporkan  
hal yang sama. 
Satu hari satu malam Sang Prabu Kamansura 
berusaha menganalisa semuanya. Dan akhirnya dia 
memutuskan, agar jawaban bisa lebih jelas, dari mulut 
Panglima Prakesti sendiri. 
Dipanggilnya Panglima Prakesti untuk segera 
dihadapkan padanya. Dan Panglima itu tidak bisa 
mengelak lagi dari apa yang diutarakan prabu dengan 
suara penuh kekecewaan dan berat yang amat sangat. 
Prakesti hanya menundukkan kepala, bagaikan 
orang yang menyesali sikap perbuatannya. Namun di 
hatinya geram bukan main. Sepasang matanya menyi-
pit dengan sinar yang mengerikan. Nafasnya tertahan. 
Hatinya memanas. 
Dan perlahan-lahan dendam mulai bersemi di 
hatinya. Dendam yang harus di balaskannya. Dia me-
mang tidak bisa membantah apa yang dituduhkan oleh 
sang Prabu. Namun yang membuatnya geram, karena 
ada yang mengadukan sepak terjangnya. Keparat! 
Hhh! Dia tidak akan menerima. Dan dia tidak 
hanya akan  membalas kepada orang yang telah lan-
cang mengadu, tetapi juga kepada Keraton Widung!! 
Sementara Prabu Kamansura meskipun dalam 
keadaan geram yang luar biasa sekali hanya duduk 
terkulai lemas di singgasananya. Dia betul-betul amat 
kecewa dengan Prakesti, Panglima yang selama ini di-
banggakannya ternyata tak lebih dari seekor ular ber-
bisa yang ganas menggigit. 
Suaranya pelan saat berkata, "Prakesti... aku 
amat kecewa terhadapmu... sekarang kau tinggal pilih 
kebijaksanaan yang kuberikan ini...." 
"Apa, Paduka?" kata Panglima Prakesti sambil 
mengangkat kepalanya. Suaranya terdengar angkuh 
sekali. Hatinya membara panas dan kegeraman yang 
berlipat ganda. Kesombongannya justru makin me- 
ningkat, mengalahkan alam sadarnya untuk menyesali 
apa yang telah dilakukannya. 
"Kau tinggalkan keraton ini dengan segala 
pangkat dan derajat  mu, ataukah kau meninggalkan 
perbuatan yang selama ini telah kau lakukan?" 
Dasar licik, dendam dan penuh emosi, tanpa 
berkata dan hanya menganggukkan kepala, Panglima 
Prakesti bangkit. Lalu beranjak  meninggalkan tempat 
itu dengan penuh kesombongan dan rasa percaya diri. 
Kepalanya terangkat, langkahnya kaku dan te-
gap namun mencerminkan kesombongan yang luar bi-
asa. 
Prabu Kamansura hanya mendesah panjang. 
Padahal sungguh betapa kecewanya dia dengan sikap 
yang diperlihatkan oleh Panglima Prakesti. 
Kali ini hatinya semakin kecewa melihat sikap 
tak acuhnya Prakesti. 
Namun dia tidak bisa berbuat apa-apa. Bahkan 
dia berharap Panglima Prakesti segera pergi dari kera-
ton karena sesungguhnya dia menginginkan wilayah 
keratonnya aman, sentosa bahkan terkejut luar biasa 
justru Panglima Prakesti sendiri yang membuat ulah 
dan teror! Luar biasa! Dia tidak pernah menyangka hal 
itu. 
Sementara Panglima Prakesti segera menge-
maskan barang-barangnya, dengan dada membara pe-
nuh dendam, lalu pergi dengan kudanya meninggalkan 
keraton. 
Dia tidak terima semua ini. Dia harus menun-
tut balas. Maka dipacunya kudanya tanpa tujuan yang 
pasti dengan kemarahan yang semakin menggelora, 
dengan niat untuk membalas semua perlakukan Kera-
ton Widung terhadapnya. 
Karena tidak tahu tujuan, maka dia memacu 
kudanya asal saja. Yang diinginkan hanya meninggal- 
kan wilayah Keraton Widung. Melupakan semuanya 
dan kala datang kembali siap dengan segala dendam 
yang ada. 
Pada suatu malam, dia singgah di sebuah desa. 
Di sebuah kedai yang cukup ramai barulah dia mengisi 
perutnya. Di sana pula dia bertemu dengan seorang 
kakek tua. 
Basa basi perkenalan pun terjadi. Memang da-
sarnya Prakesti bisa mengambil hati orang dan pandai 
berbicara, maka percakapan itu pun segera  terjadi 
dengan segera. 
Dari percakapan yang terjadi, dia menangkap 
ada satu hal yang amat menarik perhatiannya. Perha-
tiannya pun kini semakin besar. 
"Hutan larangan, Orang tua?" 
"Benar, Prakesti.... Hutan Larangan telah lama 
dibicarakan orang." 
"Ada apakah dengan Hutan Larangan itu, 
Orang tua?" 
"Konon kabarnya di Hutan Larangan ada pe-
nunggunya yang bisa mengabulkan segala permintaan 
siapa saja." 
"Benarkah, Orang tua?" 
"Kebenaran itu aku belum mengetahuinya. Na-
mun bila kau berminat, kau bisa datang ke sana.... 
Aku pun tidak tahu kepastiannya apakah memang be-
nar bisa mengabulkan permintaan kita ataukah tidak." 
Karena dendam yang terus makin berkobar, 
tentu saja Prakesti tidak perlu berpikir dua kali. Dia 
langsung mengiyakan dengan nada suara yang pasti. 
"Aku sungguh berminat dengan hal itu, Orang 
tua...." 
"Sungguh?" 
"Ya. Apakah ada sesuatu yang berbahaya, 
Orang tua?"  
"Aku tidak mengetahui secara pasti. Namun 
konon kabarnya pula, kau harus berhati-hati di sana. 
Karena banyak jebakan yang dipasang secara tersem-
bunyi...." 
"Bagaimana cara mengatasinya?" 
"Aku tidak tahu tentang itu. Aku juga tidak ta-
hu jebakan apa yang ada di sana. Bila kau memang 
berminat, kau bisa mencari tahu sendiri hal itu...." 
"Baiklah... biar aku cari sendiri hal itu. Berita-
hukan arah mana yang harus kutempuh?" 
Lalu orang tua itu pun menceritakan arah yang 
harus dituju Prakesti. Maka dengan penuh semangat 
dan dendam yang semakin membara, langsung di-
arahkannya kudanya saat itu juga ke Hutan Larangan. 
"Orang-orang keraton bangsat... kalian  akan 
merasakan segala akibatnya nanti!!" 
Semakin kencang kudanya dipacu. 
 
* * 
 
 
Hutan Larangan adalah sebuah hutan yang 
amat menyeramkan sekali. Suasananya cukup mence-
kam. Geresek dedaunan yang dihembus angin bagai-
kan bisikan para iblis yang sedang bercengkrama. Hati 
Prakesti menjadi sedikit ragu setelah menyaksikan hal 
itu. Benarkah ini tempatnya? Namun dengan ciri dan 
tanda yang dijelaskan orang tua yang ditemuinya, ti-
dak salah lagi. Memang inilah tempat yang dicarinya. 
Sungguh menyeramkan sekali. 
Lalu dia pun turun dari kudanya dan menam-
batkannya di sebuah dahan pohon. Dia pun bergerak  
maju dengan hati yang sedikit berdebar. 
Langkahnya gagah namun kaku. Dia merasa-
kan hawa yang mencekam menerpanya. Pepohonan 
yang tinggi bagaikan makhluk-makhluk raksasa yang 
siap menerkamnya. 
Namun hatinya telah bulat untuk mencari pe-
nunggu Hutan Larangan ini. 
Benar-benar sebuah Hutan Larangan yang 
mengerikan, atau lebih tepat Hutan Kematian. Karena 
barang siapa yang berani da-tang ke sana, maka hanya 
kematian belaka yang akan diterimanya. Dan larangan 
itu tertuju pada siapa saja. Tidak terkecuali dirinya. 
Dibawanya langkahnya menyelusuri hutan 
yang nampak susah sekali untuk dijangkau, karena 
cahaya matahari tidak bisa masuk menembus karena 
terhalang oleh pepohonan yang amat tinggi dan jalan 
setapak yang tidak tentu arah. Karena pepohonan yang 
tumbuh bagaikan tidak teratur. 
Agaknya hutan itu memang tidak pernah di-
jangkau orang. Namun tekadnya sudah bulat untuk ke 
sana. Hawa dingin dan suasana yang mencekam me-
nyambut kedatangannya begitu dia tiba di tengah-
tengah hutan. 
Celingukan dia sebentar sementara suara bina-
tang hutan bagaikan mengusik dan tidak menyukai 
kedatangannya. 
Kembali dibawanya langkahnya perlahan-
lahan. 
Walaupun samar dan sedikit tidak percaya dili-
hatnya di ujung sana ada sebuah gubuk yang jelek se-
kali. Gubuk itu kelihatan menyeramkan. Namun laki-
laki yang telah mantap dengan tekadnya itu terus me-
langkahkan kakinya. 
Dilihatnya pula di sekitar gubuk itu banyak 
terdapat tulang belulang. Bahkan ada satu sosok  
mayat yang hancur dan belatung-belatung yang ribuan 
jumlahnya tengah asyik menggerogotinya. 
Pemandangan yang mendebarkan. 
Sejenak Prakesti bergidik ngeri menyaksikan 
hal itu. Bagaimana tidak, karena pemandangan itu 
amat menakutkan sekali. Dia jadi penasaran untuk 
mengetahui apa yang sesungguhnya akan terjadi nan-
ti? 
Kembali diayunkan langkahnya. 
Beberapa meter dari gubuk itu, mendadak te-
linganya mendengar desiran angin yang menyambar 
dengan cepat ke arahnya. Seketika laki-laki itu bersal-
to ke samping dengan cepat. 
"Hiaaaatt...!!" 
"Wuuuttt...! Wuuuuuuttt...!!" 
Dua buah tombak yang letaknya tersembunyi 
tadi melesat tidak mengenai sasaran. Dan menancap 
pada sebatang pohon besar yang berdiri di dekat gu-
buk itu. 
Belum lagi Prakesti bisa bernafas dengan lega, 
mendadak didengarnya kembali desiran angin yang 
bertambah kuat. Kali ini bagaikan seribu lebah yang 
datang siap menyengat. 
Memang tidak sia-sia Prakesti mendapatkan 
bintang Panglima atas keperkasaannya. 
Dengan gerakan yang amat sigap sekali dia ber-
salto ke sana ke mari, karena penglihatannya menang-
kap kilatan sebuah benda kecil berbentuk jarum. 
Jarum berbisa yang ganas dan amat beracun 
itu pun gagal mengenai sasarannya. 
Prakesti semakin waspada, karena dia semakin 
yakin bahaya inilah yang akan menggagalkannya un-
tuk bertemu dengan Penunggu Hutan Larangan. 
Maka dipasang mata, telinga dan segenap inde-
ranya untuk mengetahui sesuatu yang peka. 
 
Kembali mendadak muncul sebuah kabut hi-
tam yang mengandung hawa beracun bertebaran ke 
arahnya. 
Sejenak laki-laki itu terkejut lalu dengan cepat 
menarik nafas, dan menahannya sekuat tenaga semen-
tara kedua tangannya bergerak ke muka, seketika te-
rasa ada angin yang keluar dan mengibas ke arah ka-
but hitam itu. 
Namun angin yang keluar itu ternyata tidak 
mampu mengusir gumpalan kabut yang terus mendera 
ke arahnya. 
Prakesti menjadi kalang kabut. 
Nafasnya sudah sesak sekali. 
Kekuatirannya mulai muncul, belum lagi tena-
ganya yang terasa amat lelah terkuras dan keringat 
pun mulai bercucuran di sekujur tubuhnya. 
Namun dia terus berusaha untuk mengusir ka-
but itu. Ditahannya nafasnya di perut, diolah dan dike-
luarkannya kembali bersama hawa murni yang mengalir. 
Kembali  pula dia menggerakkan tangannya 
dengan sikap mendorong. Dan perlahan-lahan kabut 
hitam itu menguak, menyebar dan menghilang. 
Meskipun demikian, kewaspadaan Prakesti ti-
dak menghilang. Dia justru semakin waspada. Nafas-
nya dihembuskan karena terasa sudah amat sesak se-
kali. Cukup menyiksanya sedemikian rupa. Mau pecah 
rasanya. 
Semua indera yang dimilikinya dipasang untuk 
mengetahui keadaan sekelilingnya. 
Tiba-tiba terdengar suara terkekeh yang menye-
ramkan, menggema ke seluruh hutan itu. Kepala Pra-
kesti berputar dengan waspada mencari asal suara itu. 
Namun dia tidak bisa mengetahui yang pasti, 
karena suara itu bisa berpindah-pindah tempat.  
"He-he-he... laki-laki berikat kepala merah... 
mau apa kau ke sini, hah?!" 
Suara itu keras, dingin dan menyeramkan. 
Mendengar suara itu Prakesti mendesah sedi-
kit. Bahaya apa lagi yang kini tengah mengancamnya. 
"He-he-he... kau tidak perlu takut, laki-laki be-
rikat kepala merah! Aku muncul dengan senang hati 
menyambut kedatanganmu itu... he-he-he...." 
Kali ini mendadak saja Prakesti menjatuhkan 
tubuhnya bagaikan menjura. Meskipun dia masih be-
lum mengerti apa yang akan terjadi kemudian. 
Namun mendengar kata-kata tadi, dia bagaikan 
dihadapkan oleh satu kenyataan, bahwa kedatangan-
nya disambut oleh Penunggu Hutan Larangan. 
"Eyang... aku datang menghadap pada mu...." 
"He-he-he... bagus, bagus...." "Terima kasih, 
Eyang...." "Ada keperluan apa kau datang mengha-
dap?" 
"Betul, Eyang... aku memang sengaja datang 
menghadap padamu, Eyang...." 
"Katakanlah... dengan suka rela aku menyam-
butnya...." 
"Aku butuh pertolonganmu, Eyang...." 
"Pertolongan apa?" 
"Ada masalah rumit yang mengganggu pikiran-
ku... dan aku tidak kuasa menghadapinya sendiri...." 
"Katakanlah... kau telah lulus menghadapi 
ujian yang telah kulakukan! Banyak yang telah datang 
ke mari untuk meminta bantuanku, namun banyak 
pula yang mati karena tidak lulus menghadapi rintan-
gan dari Kabut Beracun... sementara kau telah lulus 
dengan selamat. 
Kau bisa melihat betapa banyaknya tulang be-
lulang manusia-manusia bodoh yang datang dengan 
kesombongannya. Hhh! Aku tidak pernah menyukai  
manusia-manusia bodoh seperti itu! Biarlah mereka 
mampus! 
Kaulah satu-satu yang berhasil lulus dari ujian 
yang telah kuberikan. Hhh! Lima belas tahun aku 
menjadi penunggu Hutan Larangan, baru kali ini aku 
mendapatkan seorang manusia yang hebat dan cerdik. 
Nah, katakanlah apa yang kau inginkan...." 
Wajah Prakesti berbinar gembira. Kini dia su-
dah tidak tegang dan takut lagi. 
"Baiklah, Eyang... sebelumnya aku mengu-
capkan terima kasih, Eyang.... Sebelumnya, aku ada-
lah seorang Panglima di Keraton Widung, namun telah 
disingkirkan. 
Hal ini menjadikan aku mendendam Eyang dan 
aku tidak akan bisa hidup tenang bila dendam ini be-
lum kubalas. Sampai kapan pun Eyang, karena ini 
adalah menyangkut harga diriku yang paling dalam...." 
"Lalu maksudmu?" 
"Aku ingin membalas dendam pada mereka, 
Eyang... agar mereka tahu kalau aku tidak bisa di-
mainkan begitu saja. Aku tidak puas, Eyang...." 
"He-he-he... jadi itu masalah yang sedang 
mengganggu pikiranmu?" 
"Benar, Eyang.... Bantulah aku membalaskan 
semua dendam ini...." 
"He-he-he... soal itu gampang sekali, gampang 
sekali... tidak jadi soal buatku...." 
"Terima kasih, Eyang...." 
"Karena kau telah lulus dari ujian yang kula-
kukan, maka secara otomatis aku akan membantu-
mu... aku menyukaimu.... Nah, siapakah namamu...." 
"Namaku Prakesti, Eyang...." 
"Nah, dengarlah Prakesti... dengan mudahnya 
pula kau akan mendapatkan apa yang kau inginkan 
dan membalas semua dendam yang mengganggu hi- 
dupmu...." 
"Terima kasih, Eyang...." 
"Majulah lagi, lebih dekat dengan istanaku yang 
jelek ini...." Kali ini suara itu terdengar dari gubuk 
yang makin menyeramkan. 
Perlahan Prakesti berdiri dari berlututnya, lalu 
dengan sikap yakin, dia melangkah ke gubuk itu. 
"He-he-he... bagus, bagus... kau akan menjadi 
pengabdi ku yang setia.... Berlututlah, Prakesti!!" 
Kembali Prakesti berlutut. Dendam di hatinya 
semakin membara pada Keraton Widung. 
"Bagus! Pejamkan matamu sekarang!"  
Dia pun memejamkan matanya namun hatinya 
bergemuruh hebat dan kuatir kejadian apa yang akan 
terjadi. 
"He-he-he... tak lama lagi kau akan menjadi 
penguasa tunggal di muka bumi ini.... Kau suka, bu-
kan?" 
"Benar, Eyang... dan aku akan lebih suka lagi 
bila Keraton Widung telah rata dengan tanah...." 
"He-he-he... tak lama lagi kau bahkan akan 
menguasai semuanya...." 
"Terima kasih, Eyang...." 
"Sekarang, konsentrasikan pikiranmu pada su-
atu hal yang amat kosong sekali, kosongkan pikiran-
mu! Jangan ada satu pikiran pun yang akan meng-
ganggu konsentrasi mu ini. Lakukanlah...." 
"Baik, Eyang...." Mata itu semakin rapat terpe-
jam. 
"Memang, telah lama aku menunggu saat yang 
tepat untuk menitis kepada manusia. Sekarang aku ti-
dak akan bertindak tanggung lagi. 
Dan agaknya engkaulah yang menjadi titisan 
ku.... Bersiaplah, aku akan menitis padamu. 
Kita bersatu untuk membuat onar di muka  
bumi ini dan memporak-porandakan siapa pun juga 
yang berani mengganggu kerja kita... Ha-ha-ha...!!" 
Prakesti pun melakukan apa yang diisyaratkan 
oleh Penunggu Hutan Larangan, meskipun dia amat 
penasaran sekali hendak melihat seperti apa wujud 
Penunggu Hutan Larangan ini. 
Akan tetapi pikiran itu pun sekarang menguap. 
Yang penting baginya, dia bisa membalaskan dendam 
pada Keraton Widung. Pada orang-orang yang telah 
menghinanya. 
Dia pun berkonsentrasi penuh. Perlahan-lahan 
dirasakannya sesuatu memasuki tubuhnya melalui 
ubun-ubunnya, dirasakan pula ada sesuatu yang 
mengalir dalam darahnya. 
Tubuhnya sedikit bergetar kala dia merasakan 
hal itu menggelora. 
Dan dirasakannya getaran panas namun aneh 
di sekujur tubuhnya. Semakin lama semakin panas. 
Tubuhnya bergetar hebat, berguncang sementara ali-
ran darahnya dirasakan semakin kuat dan cepat. 
Jantungnya berpacu lima kali cepat dari semu-
la. Menggetar ke sekujur tubuhnya. 
Hal itu berlangsung cukup lama. Keringat di 
tubuhnya terus mengalir dan mengalir kian deras. Per-
lahan-lahan gelombang tubuhnya yang bergerak ber-
henti. 
Tak lama kemudian dia membuka matanya, 
dan dirasakannya tubuhnya lebih bergairah dan rin-
gan. Sorot matanya dirasakan lebih tajam dari semula. 
Hatinya terasa lega karena apa yang diingin-
kannya telah berhasil. 
Penunggu Hutan Larangan telah menitis di tu-
buhnya, menjadikannya semakin perkasa. 
Dia merasa gembira karena apa yang menjadi 
tujuannya akan benar-benar terjadi. 
 
Mendadak dia menengadahkan kepalanya ke 
langit yang kelam. Karena hari telah datang menjadi 
malam. Suara binatang malam kian ramai terdengar, 
menjadikan hutan larangan itu bertambah mengerikan. 
Namun dia tidak kuatir lagi dengan hal itu, tak 
ada lagi yang akan di takutkannya karena dia merasa 
dirinya telah menjadi amat perkasa. 
Perlahan dia jatuh terduduk dengan kedua lu-
tut yang tertekuk. Kedua tangannya di angkat ke atas, 
lalu terdengar tawanya terbahak-bahak dengan keras-
nya. Suaranya menggema ke pelosok hutan, menga-
lahkan suara binatang malam yang berlomba seakan 
unjuk gigi. 
"Ha-ha-ha.... ya, ya... akulah yang akan men-
guasai rimba persilatan ini! 
Manusia-manusia busuk, kalian telah membu-
atku malu terhadap diriku sendiri! Aku tak akan per-
nah memaafkan apa yang telah kalian perbuat terha-
dapku! 
Tak akan pernah! 
Sampai kapan pun satu persatu kalian akan 
kucari dan kubunuh!!" 
Masih tertawa keras penuh kemenangan yang 
luar biasa, Prakesti menjatuhkan kepalanya ke tanah. 
Menyembah tiga kali ke arah gubuk itu. Lalu 
dia pun kembali keluar dari Hutan Larangan. 
Gema tawanya masih terdengar keras. 
"Lihat nanti kalian, manusia-manusia busuk! 
Kalian akan merasakan akibatnya dari yang akan ku-
lakukan!!" 
 
* * 
 
 
 
Dua bulan setelah pengusiran Panglima Prakes-
ti dari Keraton Widung. 
Desa  Kaung adalah desa yang letaknya paling 
dekat dari Keraton Widung. Keraton Widung memba-
wahi tiga puluh buah desa yang menjadikan batas wi-
layahnya. 
Desa Kaung dikenal sebagai desa yang paling 
dekat hubungannya dengan Keraton Widung, karena 
secara tidak langsung dengan kedudukannya yang ti-
dak jauh dari keraton menjadikan orang-orangnya 
amat dekat. 
Malam ini langit di awan nampak kelam. Bulan 
tertutup oleh awan. Suasana betapa gulita. Belum lagi 
udara yang berhembus dingin seakan mengisyaratkan 
akan terjadi sesuatu. Hal ini pun menyelimuti suasana 
Desa Kaling yang sunyi senyap bagaikan mati, seperti 
tak ada penghuninya. Bagaikan desa mati. 
Padahal desa itu adalah sebuah desa yang 
makmur dan ramai bila siang hari. Juga biasanya desa 
itu pada malam hari selalu ramai. Namun entah men-
gapa malam ini keadaan desa itu menyeramkan. 
Sunyi. 
Hening bagaikan mati. 
Hanya suara binatang malam yang terdengar 
ramai bagaikan sedang unjuk diri. 
Mereka bergembira menikmati keheningan ma-
lam ini yang dapat mereka manfaatkan untuk mencari 
makan, bermain, bersenda gurau maupun saling me-
lepaskan hasrat birahinya. Karena bila siang hari, me-
reka merasa terganggu sekali dengan kegiatan para 
manusia. 
Langit di atas muram. Bulan pun hanya sepo- 
tong, seakan malam ini sudah diisyaratkan akan terja-
di sesuatu. 
Dan keheningan itu semakin mencekam belaka, 
semakin membuat para penduduk lebih suka menarik 
selimut dan mendekap guling mereka erat-erat daripa-
da keluar rumah 
atau memikirkan hal-hal yang tidak-tidak. Atau 
lebih suka saling melepaskan syahwat mereka pada 
pasangan masing-masing di alam yang dingin seperti 
ini. 
Bukankah ini lebih mengasyikkan? Daripada 
memikirkan yang tidak-tidak. Dan ini hanya meng-
ganggu tidur mereka saja. Maka kadang dari bilik 
bambu itu terdengar desahan nafas terengah-engah 
disusul dengan erangan penuh kenikmatan. 
Namun mendadak saja desa yang sunyi dengan 
sinar bulan yang bersinar temaram itu tiba-tiba men-
jadi kacau balau. 
Bermula dari terdengarnya tawa panjang yang 
amat mengerikan sekali, menggema menebarkan hawa 
kematian disusul dengan api yang berkobar di atap 
beberapa rumah hingga membuat penghuninya harus 
berlarian menyelamatkan diri. 
Seketika desa yang sepi menghening itu beru-
bah total, bagaikan kegiatan siang hari. 
Jeritan-jeritan keras terdengar. 
"Api...! Api!!" 
"Tolong....! Tolong...!" 
"Cepat padamkan...!!" 
"Gila! Dari mana datangnya api itu...?!" 
"Tolong...! Tolong...!!" 
Seruan ramai terdengar ditingkahi dengan ge-
rak cepat para penduduk yang membantu memadam-
kan api semakin membahana. Sementara angin ter-
hembus kencang. 
 
Kerja cepat dan bantu membantu pun terjadi. 
Mereka bergerak dengan cepat. Berantai memadamkan 
api. 
Namun belum lagi api yang satu berhasil dipa-
damkan, belum lagi para penduduk dapat menarik na-
fas lega, mendadak saja api-api itu menyambar lagi 
rumah-rumah yang lain. Cepat, karena angin yang 
berhembus demikian kuat. Menebarkan api-api itu 
membakar atap-atap rumah. 
Keadaan semakin kacau balau saja. 
Kepanikan semakin menjadi-jadi. 
"Tolong...! Api...!!" 
"Air! Air...!" 
"Cepat padamkan...!!" 
Kembali seruan-seruan ramai terdengar. Dan 
yang paling menyayat hati, salah seorang penduduk 
berlarian dari rumahnya dengan tubuh terbakar. Api 
dengan cepat menyambar tubuh laki-laki itu. 
"Tolong...! Tolong...!!" serunya kepanasan dan 
berlarian ke sana ke mari. Para penduduk berusaha 
untuk memadamkan api di tubuh  orang itu, namun 
api lebih cepat menyambar dan membakarnya. Mem-
buat tubuh itu berlarian sementara api terus memba-
kar dengan ganasnya. 
Karena api yang semakin besar dan jasad yang 
kepanasan, orang itu pun terhempas ke tanah dan ter-
guling kepanasan di tanah dengan lolongan yang amat 
panjang sekali.  
"Aa-aaaakkkh...!! Tolong...! Tolong...!!" 
Jeritan itu amat menyayat hati sekali. 
Orang-orang hanya terpana sehingga mereka 
lupa untuk menolong laki-laki. 
Dan belum lagi mereka tersadar dari keterpa-
naan mereka, kembali dari rumah yang terbakar dan 
puing yang ambruk itu terdengar jeritan yang amat  
menyayat. 
Lalu disusul dengan sosok anak beranak yang 
berlarian keluar dalam keadaan terbakar. Api bagaikan 
menjilat-jilat tubuh keduanya. 
Rupanya mereka tadi tertidur sementara laki-
laki yang terbakar lebih dulu berupaya hendak mem-
bangunkan anak istrinya, namun api telah menyambar 
seluruh tubuhnya. 
Anak beranak itu pun berlarian dengan api 
yang berkobar menyala. 
Jeritan mereka amat menyayat. 
Kali ini para penduduk berusaha untuk meno-
longnya, namun gagal karena api telah membesar dan 
membakar tubuh anak beranak itu. 
Bau hangus yang sangit pun menguar menu-
suk hidung. 
Para penduduk yang menyaksikan hanya bisa 
mendesah dengan hati pilu. Beberapa kaum wanita 
histeris melihatnya. Mereka tundukkan kepala dengan 
terisak. 
Api terus berkobar. 
Hal ini membuat para penduduk menjadi cemas 
dan lambat laun kecurigaan mereka pun muncul. Dari 
mana datangnya api itu? Tidak seperti biasanya hal 
seperti ini terjadi. 
Belum lagi keheranan mereka terjawab, men-
dadak saja melayang satu sosok tubuh dengan gera-
kan yang amat ringan sekali ke arah mereka. 
Melenting dari satu tempat dengan gerakan 
yang amat fantastik sekali. Diiringi dengan gema tawa 
yang amat keras, panjang dan bertalu-talu. 
 
* * 
 
 
 
Sosok itu tinggi kurus. Rambutnya yang pan-
jang terikat di keningnya secarik kain merah. Tubuh 
itu berdiri gagah berkacak ping-gang. Dia adalah Pra-
kesti, atau Panglima pengkhianat yang telah di  titisi 
oleh Penunggu Hutan Larangan. 
Karena dendamnya yang telah membludak me-
luap, dia pun sudah melaksanakan aksinya. 
Desa Kaung yang terdekat dengan Keraton Wi-
dung, makanya dia langsung membuat onar di sana. 
Lalu terdengar suaranya terkekeh. 
"He-he-he...! Jangan kaget, manusia-manusia 
goblok! Manusia-manusia desa Kaung yang bodoh me-
lompong! Bila hendak cari- 
mencari siapa yang telah berbuat seperti itu, 
akulah orangnya!!" Suaranya nyaring dan terdengar 
cukup mengerikan. 
Para penduduk desa pun tidak perlu memper-
hatikan lebih jelas siapa yang tengah berdiri di hada-
pan mereka, karena api yang berkobar dapat meneran-
gi suasana. 
"Panglima Prakesti!!" 
"Panglima pengkhianat!!" 
"Dia rupanya yang membuat onar!!" 
Seruan-seruan itu pun terdengar. Namun men-
dengar pengakuannya yang terus terang dengan nada 
yang amat sombong sekali, membuat para penduduk 
menjadi marah. 
"He-he-he... ya, aku adalah Panglima Prakesti 
yang datang untuk membalaskan sakit hatiku!!" 
"Keparat! Kurung dia!!" 
"Tangkap!!" 
Mereka dengan serempak segera mengepung  
sosok Prakesti yang hanya terkekeh saja. Merasa lucu 
melihat keberanian orang-orang itu yang menurutnya 
hanya suatu kesia-siaan belaka. 
"He-he-he... kalian mau apa, hah?! Mau cari 
mampus rupanya!!" 
"Manusia busuk! Pengkhianat! Seharusnya kau 
berpikir apa yang selama ini telah kau lakukan, hah?!" 
"Perbuatanmu sungguh-sungguh keji!!" 
"Keparat hina!  Kematianlah yang tepat untuk-
mu!!" 
Seruan-seruan marah itu terdengar gegap gem-
pita. Para penduduk mengambil sikap siap menyerang. 
Bahkan ada pula yang kembali dulu ke rumah untuk 
membawa senjata. Mereka semakin geram mengetahui 
siapa yang membuat ulah. 
Namun semua itu hanya disambut dengan ke-
kehan belaka oleh Prakesti. Dia merasa misinya berha-
sil. Dengan cara seperti ini, maka beritanya pun akan 
tersebar hingga ke Keraton Widung bahwa dia datang 
untuk menuntut balas. 
"He-he-he... tidak salah, kalian memang tidak 
salah! Kemunculanku ini memang untuk membalas 
dendam! Dendam yang semakin hidup di hatiku terha-
dap Keraton Widung! Namun aku tidak akan membu-
nuh kalian bila kalian mau menuruti semua keinginan 
dan kata-kataku!" 
"Keparat! Tak akan pernah kami mau mengiku-
ti apa keinginanmu, Pengkhianat busuk!" 
"Aku pun tidak akan memaksa!" 
"Sekali pun kau memaksa, kami tidak akan 
pernah menurutinya!" 
"Bagus, itu berarti kalian akan mendapatkan 
akibatnya!!" "Anjing buduk! Bunuh dia!!" 
Serentak orang-orang yang mengepung itu me-
nyerbu dengan gebrakan yang cepat dan suara yang  
gegap gempita. Agaknya mereka tidak mengetahui ka-
lau Panglima pengkhianat itu kini sudah menjadi titi-
san dari Penunggu Hutan Larangan. 
Kesaktiannya amat berlipat ganda. 
Dia hanya mengibaskan tangan kanannya saja 
sambil  terkekeh-kekeh. Dan beberapa sosok tubuh 
terpental ke belakang dengan kepala putus. 
"Keparat!" 
"Keji!" 
"Cincang!!" 
"Bunuh!!" 
Namun lagi-lagi hal seperti itu terjadi. Bahkan 
terdengar lima orang sekaligus menjerit dan ambruk 
dengan kepala buntung. Dan sepasang mata mereka 
mendelik pertanda mereka tidak rela untuk mati. 
"Iblis!" 
"Keparat!" 
"Jangan takut, Saudara-saudara! Bunuh 
dia...!!" 
Seruan-seruan itu terdengar amat bersemangat 
sekali. Dan kembali dengan gigih dan gagah berani me-
reka menyerbu ke arah Prakesti yang hanya tertawa 
karena merasa lucu melihat kenekatan mereka. 
Dia amat senang sekali dengan perbuatannya. 
Sepasang matanya bersinar bagaikan mata iblis. 
Dia memang telah di rasuki iblis. Hatinya kini 
dikendalikan oleh dendam yang amat sangat. 
Kali ini berkelebatan senjata-senjata tajam di 
tangan. Namun tanpa berpindah tempat dari posisinya, 
seakan menganggap enteng belaka senjata-senjata 
yang bergerak ke arahnya Prakesti terkekeh-kekeh. 
Dan dengan gerakan yang amat cepat sekali, 
tangannya bergerak. 
"Wuuut...!! Plak.... Plakk...!!". 
Beberapa buah senjata terlepas disusul dengan  
gamparan beberapa kali. Rasa sakit yang amat luar bi-
asa mereka rasakan kala tamparan tangan itu mampir 
di pipi mereka. 
Pikir mereka, rasa sakit itu akan segera meng-
hilang. Namun justru malah semakin menjadi-jadi. 
Bahkan yang membuat mereka kaget, karena mereka 
rasakan pusing yang amat luar biasa dan kepala yang 
amat berat. 
Belum lagi secara pasti mereka menyadari apa 
yang terjadi, tiba-tiba saja tubuh mereka limbung dan 
ambruk dengan meregang nyawa tanpa mengerti dan 
tak sempat menjerit. 
Lalu muncrat darah dari tubuh mereka dengan 
jantung yang menguak lebar keluar seperti mau lepas. 
Pemandangan yang amat mengerikan sekali. 
Justru  orang-orang yang menyaksikan yang 
menjerit ketakutan. Hingga mereka akhirnya menyada-
ri dengan siapa mereka sedang berhadapan. 
Bukan Prakesti yang dulu, yang hanya men-
gandalkan kekuatannya sebagai Panglima Keraton Wi-
dung, namun sosok iblis yang telah bersemayam di ha-
tinya. 
"Bangsat!" 
"Iblis...!! Kau manusia iblis...!!" 
"He-he-he... bukankah sejak tadi sudah kuka-
takan, aku akan membunuh siapa saja yang mengha-
langi niatku untuk membalas. Dan semua ini akan ku-
lakukan sampai kapan pun juga! Hingga Keraton Wi-
dung runtuh! Kalian lihatlah sendiri nanti, betapa se-
mua desa yang berada di wilayah Keraton Widung 
akan ku bumi ratakan dengan tanah!! 
Meskipun mereka menyadari betapa tingginya 
ilmu manusia iblis ini, namun mereka tidak takut. 
Bahkan mereka menjadi geram yang  amat luar biasa 
sekali. Bagi mereka, mati adalah sebuah kata yang  
amat menyenangkan. 
Mereka rela mati membela kebenaran, karena 
mereka tidak ingin kezaliman yang disebarkan oleh 
Panglima pengkhianat ini akan terus berlanjut. 
Mereka semakin nekat menyerang. 
Namun lagi-lagi semuanya itu hanyalah sia-sia 
belaka saja, karena manusia itu amat tangguh dan 
sakti. Hingga tak lama kemudian terlihatlah peman-
dangan yang amat mengerikan. Puluhan sosok tubuh 
yang tak berdosa harus bergelimang tanah dengan 
nyawa yang melayang. 
Tanah telah bersimbah darah. 
Kekejian telah melanda. 
Sungguh mengerikan. Prakesti adalah manusia 
yang diamuk dendam dan diliputi titisan iblis!! 
Sosok tak dikenal itu terkekeh-kekeh. Terlihat 
sekali kalau dia begitu amat senang dengan apa yang 
telah dilakukannya. Nyawa telah dianggap murah. 
Dendamnya makin berlipat ganda. 
"He-he-he.., rasakan itu! Rasakan! Sudah kupe-
ringatkan jangan sekali-sekali berani menantangku! 
He-he-he... tak akan pernah. kuberikan kesempatan 
kalian untuk hidup!!" 
Tiba-tiba dia menengadah menatap langit yang 
pekat. Tawanya berkumandang. 
Lalu terdengar seruannya yang keras. "Orang-
orang Keraton Widung, nasib kalian tidak akan lama 
lagi akan rata dengan bumi!!" Suara itu menggema 
mengerikan. 
Diiringi dengan kekehan yang amat kuat. Nyar-
ing. Tiba-tiba saja sosok itu berhenti tertawa. Dan se-
pasang matanya yang berada di balik rambut panjang 
yang terikat secarik kain merah di keningnya menden-
gus. 
Lalu, "Wuuuuuuuttt...!!" tubuhnya bergerak,  
melayang dengan  cepat menyambar dua orang anak 
perawan yang langsung dilarikannya. 
Sementara kedua anak perawan itu meronta-
ronta hendak membebaskan diri. Dan gerakan mereka 
pun terhenti ketika dengan gerakan yang tak terlihat 
pula, sosok tubuh itu telah menotoknya hingga mereka 
terdiam kaku. 
Kekehannya terus berkumandang keras. Amat 
keras. 
Sejak peristiwa itu menyusul kembali peristiwa-
peristiwa yang mengerikan di setiap desa yang masuk 
wilayah Keraton Widung. Desa-desa itu telah menjadi 
simbahan darah yang amat deras. Dalam jangka waktu 
yang tidak lama, banyak desa-desa yang habis dima-
kan api dan mayat-mayat yang bergelimpangan. 
Sosok-sosok yang tak berdosa pun bergeletakan 
tanpa nyawa. Burung-burung pemakan bangkai ber-
terbangan ke sana ke mari siap menikmati hidangan 
makan mereka. Semakin lama semakin berkumpul bu-
rung pemakan bangkai. 
Dan mereka pun dengan bergembira ria me-
nikmati apa yang telah terhidang. 
 
*** 
 
Hingga suatu hari tibalah di desa itu seorang 
penunggang kuda yang langsung menghentikan laju 
kudanya. 
Sosok yang menunggang kuda itu mengenakan 
caping bambu yang menutupi hampir sebagian wajah-
nya. Di punggungnya terdapat sebilah golok yang ber-
sarungkan batang kayu berwarna kekuningan. Dia 
memperhatikan sekelilingnya. 
Di balik caping itu nampak kerutan pada ke-
ningnya.  Heran melihat mayat-mayat yang bergelim- 
pangan dengan api yang masih tersisa membakar ru-
mah-rumah di sana. Bau anyir darah dan sangitnya 
mayat membusuk menguar. 
"Oh, Tuhan... ada apa gerangan yang telah ter-
jadi di desa ini?" desisnya pilu. 
Lalu dia pun melompat dari punggung ku-
danya. Sosok bercaping yang tidak lain adalah Pandu 
atau Pendekar Gagak Rimang melangkah melihati 
mayat-mayat itu untuk menyaksikan lebih dekat lagi. 
Dia menahan nafasnya agar bau busuk yang 
menguar dari mayat-mayat itu tidak masuk ke hi-
dungnya. Dan mengibas-ngibaskan tangannya mengu-
sir burung-burung pemakan bangkai yang sedang 
asyik menikmati hidangan mereka. Lalu berkepakan 
terbang karena merasa keasyikan mereka terganggu. 
Berterbangan di atas areal itu. 
"Tuhan siapakah yang telah berbuat kekejian 
seperti ini?" desisnya pilu. 
Matanya seakan tidak percaya dengan kekejian 
itu kala melihat beberapa tubuh tanpa kepala. Mayat-
mayat itu sudah amat membusuk, bahkan banyak be-
latung-belatung yang hinggap di beberapa sosok 
mayat. Asyik menggerogotinya hingga nampak tulang 
belulangnya. 
Dia juga melihat mayat-mayat anak perawan 
yang mati dalam keadaan mengerikan. 
Telanjang bulat, bertanda sebelum dibunuh 
mereka diperkosa terlebih dahulu. Karena terlihat ada 
di antara para wanita itu kemaluannya berdarah. Dan 
terlihat pula ada beberapa wanita yang puting payuda-
ranya hilang! 
Keji! 
Murid Eyang Ringkih Ireng dan Gunung Kidul 
menggeleng-gelengkan kepalanya. Rasanya dia tak 
percaya melihat kenyataan yang terjadi. 
 
"Bangsat!!" tiba-tiba dia menggeram. Hatinya 
panas dan marahnya pun muncul. "Hhh! Mungkin ada 
seorang atau beberapa orang kejam yang telah berbuat 
keji di sini!! Tetapi siapakah dia? Mengapa kejam seka-
li?" 
Kembali dia melangkahkan kaki, mengamati si-
sa-sisa api yang masih membakar beberapa puing. 
Hatinya panas, sedih, dan geram melihat ke-
nyataan ini. Tak pernah diterimanya!! 
Tiba-tiba Pandu mendesah, "Eyang... masih ba-
nyak rupanya keangkaramurkaan yang terjadi di dunia 
ini.... Maafkan aku, Eyang... aku tidak bisa berpangku 
tangan saja melihat kenyataan yang menyedihkan 
ini.... 
Aku akan mencari orang yang telah membuat 
onar ini, Eyang.... Berilah restumu pada kami...." 
Lalu kembali dia menaiki kudanya dan dipa-
cunya kudanya, sementara untuk saat ini dia tidak ta-
hu harus ke mana mencari keterangan. 
 
* * 
 
 
Pandu terus memacu kudanya. Wajahnya ma-
sih geram. Dan di benaknya terbayang sosok-sosok 
mayat yang tak berdosa bergeletakan secara mengeri-
kan. Betapa kejinya manusia yang telah berbuat seper-
ti itu! 
Sungguh biadab! Tak ubahnya bagaikan bina-
tang yang rakus dan tak mengenai perikemanusiaan! 
Hatinya tidak pernah menerima kenyataan itu. 
Dia tetap bertekad untuk mengetahui siapa yang telah  
berbuat seperti itu. Sampai kapan pun dia akan men-
carinya! 
Di sebuah tempat yang cukup sepi, dia meng-
hentikan kudanya di samping dia pun tidak tahu arah 
mana yang harus dituju. Dia pun bermaksud beristi-
rahat. 
Di  tambatkannya kudanya di sebuah pohon 
yang rindang. Kerindangan yang temaram dengan uda-
ra yang sejuk membuatnya menjadi lapar. 
Dibuka bekalnya yang tadi dibelinya di sebuah 
desa. Tadi pun dia bertanya mengenai hal yang telah 
dilihatnya pada warga desa di sana, namun mereka 
semuanya mengaku tidak tahu. 
Bahkan mereka terlihat keheranan, dengan apa 
yang dikatakan oleh Pandu. Merasa tak ada gunanya 
untuk bertanya lebih lanjut, maka dia pun langsung 
menggebrak kudanya setelah membayar apa yang di-
belinya. 
"Hmm... agaknya kejahatan itu belum sampai 
ke desa ini," gumam Pandu. 
Di bawah pohon yang rindang ini dia bermak-
sud hendak mengisi perutnya. Selera makannya sema-
kin timbul setelah melihat betapa nasi dan lauk yang 
dibelinya mengundang nafsu makannya. Perutnya ber-
keruyukan. 
Akan tetapi belum sempat dia menikmati ma-
kannya, tiba-tiba pendengarannya yang tajam dan ter-
latih mendengar suara jeritan minta tolong. 
Suara wanita yang ketakutan ditingkahi dengan 
beberapa suara laki-laki yang terkekeh-kekeh. 
Semula Pandu tidak menanggapi hal tersebut. 
Namun setelah mendengar jeritan minta tolong yang 
keras dan berkali-kali, Pandu mengurungkan makan-
nya, lalu dia menggebrak kudanya mencari sumber 
suara itu. 
 
Di tepi sebuah sungai, dilihatnya sosok tubuh 
mungil milik seorang gadis desa yang  manis sedang 
mundur ketakutan. Di hadapannya melangkah secara 
perlahan-lahan mendekatinya tiga sosok laki-laki den-
gan wajah yang menyeramkan dengan seringaian buas 
dan kekehan yang panjang. 
Salah seorang laki-laki itu berkata, "He-he-he... 
kau tak akan bisa melarikan diri, Manis... ayo, turuti-
lah kata-kataku... bersikaplah yang manis... atau kau 
ingin merasakan akibatnya nanti...." 
"Ya, ya... bila tidak, desa tempat kau tinggal 
akan kami ratakan dengan bumi, seperti apa yang te-
lah kami lakukan selama ini...." 
Pandu yang mendengar dari tempatnya terce-
kat. Merekalah yang telah membuat onar? 
Dia jadi bermaksud hendak mendengarnya le-
bih lanjut ketimbang untuk langsung menolong gadis 
itu. Didengarnya lagi suara salah seorang berkata, 
"Bukankah kau lebih baik menuruti permin-
taan kami.... Daripada keluargamu dan orang-orang di 
desamu akan mampus bergelimang darah...." 
Wajah gadis yang ketakutan itu semakin pucat. 
Tak ubahnya mayat belaka. Gadis yang bernama Suri 
itu mundur terus, kakinya semakin masuk ke sungai. 
"Tidak, tidak... jangan, jangan ganggu aku...! 
Pergi, pergi kalian!!" 
Ketiga laki-laki dengan wajah menyeramkan itu 
terkekeh-kekeh. Wajah Suri makin pucat. Matanya 
makin terbelalak dan pias. Dia sungguh tidak me-
nyangka kalau akan menghadapi hal seperti ini. 
Sungai ini memang biasa dijadikannya sebagai 
tempat mencuci, maupun mandi. Selama ini tidak ada 
gangguan apa pun. Dia bahkan tidak menyangka ka-
lau orang-orang ini muncul karena tidak pernah terjadi 
apa-apa. 
 
Semula dia hendak mandi, namun urung kala 
didengarnya suara bergeresek di belakangnya dan ke-
tika dia menolehkan kepalanya dilihatnya tiga sosok 
menyeramkan secara perlahan-lahan mendekat ke 
arahnya sambil terkekeh-kekeh. 
Kontan dia mengetatkan kainnya dengan wajah 
ketakutan dan pias. Hatinya berdebar karena dia yakin 
kalau ketiga laki-laki itu bermaksud jahat. 
Benar saja dugaannya, karena ketiga laki-laki 
itu mendekatinya dan berkata meminta dilayaninya. 
Ngeri Suri mendengar permintaan yang bernada halus 
namun di balik semua itu terdengar bagaikan anca-
man belaka. 
Salah seorang dari ketiga itu perutnya besar, 
terguncang-guncang hebat dengan kekehan yang amat 
kuat sementara sepasang matanya yang melotot lebar 
itu seakan siap untuk menerkam. Terbuka bagaikan 
ingin melompat keluar. 
Sementara kedua temannya  menyeringai den-
gan tatapan buas bak seekor srigala melihat mangsa di 
hadapannya yang ciut ketakutan. Wajah buas dengan 
mata yang siap menerkam itu membuat Suri rasanya 
mati berdiri. 
"He-he-he... sudah kukatakan, Manis... kau tak 
akan bisa melarikan diri dari tangan ku...." terkekeh 
laki-laki yang bernama Parango. "Jangan kau anggap 
aku bodoh, Manis... he-he-he... ketahuilah... aku bu-
kanlah laki-laki goblok yang akan melepaskan mangsa 
yang sudah ada di tangan! Bukan begitu, teman-
teman? Apakah kita akan melepaskan kelinci bulat 
dan mengasyikkan yang sudah ada di mata kita ini?" 
Kedua temannya menyeringai lalu terkekeh-
kekeh. 
"Tentu, Kakang... ayam bulat ini membuat sele-
raku semakin memuncak saja." 
"Aku pun tidak tahan untuk segera mengga-
rapnya, Kakang...." 
"He-he-he... kau dengar itu, Manis? Mereka saja 
sudah tidak sabar menunggu, apalagi aku?! Nah, ber-
siaplah...." 
Pucat pasi wajah Suri. Dia terus mundur ke be-
lakang dan berkali-kali terjatuh karena semakin lama 
sungai itu semakin dalam. 
"Tolong... tolong aku, tolong...!!" seru gadis itu 
celingukan ketakutan. 
Bagaikan anak ayam kehilangan induk dia ce-
lingukan, mencari jalan untuk melarikan diri. 
Namun semuanya sudah terbatas. Di sekeli-
lingnya hanya ada air dan air. Sungai telah jadi batas 
yang menggelisahkan. Lainnya pohon-pohon besar 
yang bagaikan orang tengah berusaha mendekatinya. 
Menyadari kenyataan itu, dia hanya bisa men-
desah panjang. Sedih. Kuatir dan bingung. Sebagai 
akhirnya gadis itu segugukan mengisak. 
"Tolong.... tolong jangan ganggu aku.... Jangan 
ganggu aku orang jahat...." 
"He-he-he... aku tak pernah mengganggu mu, 
Manis...." seru Parango sambil terus mendekati Suri 
masuk ke sungai, sementara kedua temannya hanya 
menyeringai. 
Dan dengan gerakan yang amat cepat sekali Pa-
rango bersalto dengan ringannya dan "hup!" dia bersal-
to ke belakang dua kali. Kala dia hinggap di tanah, di 
punggungnya telah tersandar tubuh Suri. 
Karena gadis itu terendam ke air sehingga pa-
kaiannya basah dan mencetak lekuk tubuhnya yang 
menawan. Semakin membuat mereka bertambah ber-
nafsu. 
Gadis itu meronta-ronta minta dilepaskan se-
mentara Parango hanya terkekeh-kekeh belaka. 
 
"He-he-he... maafkan aku, teman-teman... ter-
paksa aku yang pertama kali membelah durian ini... 
he-he-he...." 
"Sisanya pun kami suka, Kakang... kami tak 
akan pernah menyia-nyiakan kesempatan yang ada...." 
Sebelum mereka tiba di sini dan berniat hendak 
memperkosa Suri, Krona telah menemukan sebuah 
gubuk yang tak jauh dari sana. 
Dia pun segera mengemukakannya. 
"Tempat itu lumayan, Kakang.... Dapat dijadi-
kannya sebagai tempat kita berpesta," katanya sambil 
terkekeh-kekeh. 
Parango pun terkekeh, "Ingat, kalian tak ada 
yang boleh mengikutiku ke sana. Lebih baik kalian 
tunggu di sini, dan bila sudah selesai aku akan me-
manggil kalian...." 
"Soal itu beres, Kakang...." 
Parango pun segera membawa Suri ke gubuk 
yang disebutkan Krona. 
Sementara Suri hanya pasrah dengan kea-
daannya. Suasana di sekitar sana sunyi. Tak terlihat 
pun seorang manusia kecuali mereka. Sekuat tenaga 
meronta-ronta sambil menggebuk-gebuk tubuh Paran-
go. 
Namun semuanya sia-sia belaka, bahkan sam-
bil terkekeh-kekeh panjang Parango merasakan suatu 
kenikmatan kala kedua tangan mungil itu menyentuh-
nyentuh tubuhnya. 
Nikmat. 
Bagaikan dipijit. 
Tak lama kemudian Parango sudah menemu-
kan gubuk yang  dikatakan Krona tadi. Lalu sambil 
menyeringai dia menurunkan tubuh gadis itu di gubuk 
yang sepi dan langsung menciuminya penuh nafsu. 
Dalam ketakutan yang amat mencekam, Suri  
mencoba terus berusaha memberontak, namun justru 
berontakannya malah menambah nafsu Parango se-
makin kuat dan menjadi-jadi. Semakin membuatnya 
tidak sabar untuk segera memangsa korbannya. 
"He-he-he... mengapa harus berontak, Manis.... 
Kaulah istriku yang tersayang...." Lalu dengan gerakan 
yang cepat tangannya sudah menotok urat kaku di 
leher Suri sehingga gadis itu terdiam. Hanya matanya 
saja yang melotot, menampakkan kekecewaan, kesedi-
han, kemarahan dan ketakutan yang menggumpal 
menjadi satu. Parango terkekeh lagi dengan seringaian 
yang tak lepas dari bibirnya, "He-he-he... sebenarnya 
aku tidak suka menikmati tubuhmu dalam keadaan 
tertotok ini, namun apa daya... terpaksa semua kula-
kukan...." 
Lalu dengan leluasa dia menciumi tubuh gadis 
itu dengan penuh gairah. Suri hanya memejamkan 
matanya dan pasrah saat laki-laki menyeramkan itu 
mulai melucuti pakaiannya satu persatu sambil terke-
keh-kekeh. 
Dengusan nafasnya mirip srigala kelaparan 
buas, dan siap menyiangi mangsanya. 
Kengerian seakan memuncak dialami gadis itu. 
Batinnya menjerit. Hatinya berontak. Jiwanya mencari 
pegangan. Tragedi ini amat mencekam. 
Namun pada saat yang kritis bagi kehormatan 
gadis itu, mendadak saja dia mendengar suara jeritan 
keras. Lalu disusul dengan ambruknya tubuh Parango 
di atas tubuhnya. 
Gadis itu yang sudah pasrah dengan apa yang 
akan terjadi, menjerit keras. Kaget. 
Lebih kaget lagi ketika di bagian dadanya ter-
tetes cairan berwarna merah. Darah. Menjerit gugup 
gadis itu. 
"Aaaaaakkkhhhhhkh! Tolong...!!" Lalu dia men- 
dorong tubuh Parango yang gemuk itu pindah dari tu-
buhnya. "Tolong...! Tolong...!" 
Sambil menjerit-jerit dia menggerak-gerakkan 
kakinya menendang dan menggeser tubuh Parango 
dan merapikan pakaiannya. Gadis itu meskipun gem-
bira namun juga heran, siapa yang telah membunuh 
laki-laki gemuk itu. Serta ketakutan. 
Namun dia tidak perduli siapa pun orangnya 
yang telah menolongnya, yang penting dia sudah ter-
bebas dari orang ini. Jahanam yang hampir saja 
menghancurkan masa depannya. Hanya satu yang di-
inginkannya sekarang, lari sejauh-jauhnya! 
Akan tetapi begitu dia tiba di luar gubuk, la-
rinya tertahan, karena di hadapannya telah berdiri dua 
orang laki-laki teman Parango tadi! 
 
* * 
 
 
Krona dan kawannya Mawang semula hanya 
terkekeh saja setelah Parango membawa pergi Suri. 
Namun keduanya sungguh amat terkejut ketika men-
dengar jeritan keras bagaikan kematian.  Jeritan? Ya, 
jeritan! 
Serentak keduanya segera bergerak karena jeri-
tan itu jelas milik Parango. 
Benar saja, karena keduanya melihat gadis itu 
telah berdiri di ambang pintu dan siap melarikan diri. 
Krona segera menangkap gadis itu yang meski-
pun meronta-ronta namun sia-sia belaka, sementara 
Mawang segera masuk ke dalam gubuk itu. 
Terdengarlah jeritannya, "Kakang Paran- 
goooo...!!" 
Sambil menyeret tubuh Suri yang terpaksa 
mengikutinya, Krona pun melihat mayat Parango yang 
tertelungkup dalam keadaan setengah telanjang. 
Hatinya geram bukan main. Tangannya lang-
sung melayang ke pipi Suri hingga dia terpelanting. 
"Gadis keparat! Mampuslah kau!!" 
Terjengkang gadis itu ke tanah dan kala dia 
mengangkat kepalanya darah sudah bersimbah di bi-
birnya. Ketika Krona hendak mengangkat kakinya 
dengan maksud hendak menghabisi Suri, Mawang ti-
ba-tiba membentak. 
"Tahan!!" 
Krona mendengus. "Hhh! Kenapa kau larang 
aku untuk membunuh gadis keparat ini, hah?!" 
"Benar, aku memang melarangmu...." 
"Keparat kau, Mawang! Kenapa, hah?!" 
Mawang menyeringai. 
"Kurasa terlalu ringan bagi gadis itu untuk mati 
begitu saja. Dia telah menghabisi Kakang Parango en-
tah dengan apa. Sudah layaknya dia pun kita nikmati 
dulu sebelum kita bunuh. 
"Bagaimana, Krona? Kau setuju, bukan?" 
Krona terkekeh. 
"He-he-he... ya, ya... sungguh bodoh sekali... 
mengapa aku sampai lupa dengan hal itu. Kau benar, 
Mawang! Bagus, mari kita nikmati gadis itu!!" 
Lalu dengan buasnya Krona menerkam Suri 
yang masih tergeletak di tanah. Di samping geram me-
lihat kakangnya mati, juga timbul kembali gairah naf-
sunya. 
Pakaiannya yang sudah kacau balau semrawut 
dengan memperlihatkan beberapa bagian tubuhnya 
ngablak terbuka, semakin membuat orang-orang itu 
bernafsu sekali. 
 
"Rasakan pembalasan kami, Manis.... Hhh! Tu-
buhmu begitu ranum dan sungguh menggairahkan se-
kali...." ujar Krona sambil menciumi tubuh Suri yang 
berusaha meronta. 
"Jangan... hu-hu-hu... jangan, tolong... le-
paskan... lepaskan aku...!!" 
Dia berharap keajaiban seperti tadi terulang 
kembali, namun sia-sia karena tidak ada kejadian apa-
apa. Tenaganya sudah makin habis, kelelahannya ma-
kin terasa. 
Namun mendadak saja sebelum kehormatan 
gadis itu berhasil dirampas, terdengar bentakan yang 
amat kuat, "Keparat...! Lepaskan gadis itu...!!" 
Tersentak Krona mendengarnya. Mendengus 
dia menghentikan aksinya dan melihat siapa yang te-
lah membentak itu. Wajahnya menampakkan kegera-
man. 
Keningnya berkerut, karena dia merasa tidak 
pernah mengenai pemuda mengenakan caping yang 
menutupi sebagian wajahnya dan duduk di atas kuda 
hitam yang gagah itu. Dipicingkannya matanya agar 
bisa melihat lebih jelas siapa yang datang. 
Namun dia yakin tidak pernah mengenai atau 
melihat laki-laki ini sebelumnya. 
Begitu pula dengan Mawang yang langsung 
mendengus. Sementara Suri hanya terisak belaka. Ke-
takutan akan tragedi yang menyeramkan ini amat me-
nakutkannya sekali. 
"Hhh! Siapa kau, Ki Sanak?!" bentaknya ber-
campur geram sementara tangan kanannya memegang 
tangkai golok di pinggangnya. 
Pemuda bercaping itu tersenyum. Namun di ba-
lik senyumnya terdapat kebencian yang amat sangat 
akan perbuatan yang sedang mereka lakukan. 
"Nam aku Pandu, dan aku adalah orang yang  
tidak pernah menyukai perbuatanmu itu...." 
Mawang mendengus. 
"Pandu... lebih baik kau segera menyingkir saja 
dari tempat ini. Jangan coba-coba mencari keributan 
dengan kami!" 
"Baiklah, dengan senang hati aku akan me-
ninggalkan tempat ini, tetapi bila aku yakin kalau kau 
pun menghentikan perbuatan busukmu itu!" 
"Keparat! Agaknya kau adalah manusia usil 
yang kerjanya hanya mengganggu orang saja!" 
"Tidak. Kerja  ku pengelana, asalku dari Gu-
nung Kidul. Dan aku bukanlah orang usil yang ker-
janya mengganggu kesenangan orang lain. Juga meng-
ganggu orang lain!" 
"Bila sudah begini, apakah kau tidak meng-
ganggu kami? Atau kau memang ingin 
mampus?!" 
"Maafkan aku, Ki Sanak... sungguh aku tidak 
pernah menyukai perbuatanmu? Hmm... bila kau mau 
menjawab pertanyaanku ini, dengan senang hati aku 
akan pergi meninggalkan kalian...." 
"Bagus! Kemukakan cobalah apa yang hendak 
kau tanyakan?" 
"Hmm... apakah kalian yang telah membuat 
onar di desa-desa dengan membunuhi mereka secara 
kejam?" 
Mendengar kata-kata itu wajah Mawang dan 
Krona bersinar. Senyum bangga mengembang di bibir 
mereka. 
"Memang, kamilah yang telah melakukannya. 
Nah, bila kau sudah mengetahui hal itu, mengapa kau 
tidak segera pergi dari sini, hah?" 
"Mengapa kalian melakukan hal itu?" "Hhh! Ka-
rena kamilah yang perkasa!" "Apakah kalian suka me-
nantang orang lain?" 
 
"Ha-ha-ha... kau makin pintar saja. Orang Ber-
caping! Yah, karena kamilah yang perkasa...." 
Hati Pandu berdebar. Berarti merekalah yang 
hampir seminggu lamanya dia cari. 
Pandu melangkah setindak ke depan. 
"Ki Sanak... sekali lagi kukatakan, aku bukan-
lah orang yang usil dan mau mencampuri urusan 
orang lain. Namun bila kulihat kejahatan sedang ber-
langsung di mataku, apakah aku harus berdiam diri? 
Membiarkan saja?" Pandu tersenyum lalu menggeleng-
kan kepalanya. "Nampaknya tidak mungkin, Sobat.... 
Aku tidak akan pernah tinggal diam melihat kejahatan 
yang sedang berlangsung di mataku! Apalagi kalian 
sekarang nampaknya begitu memaksa sekali kepada 
gadis itu!! kata Pandu. 
"Hei, apa maksudmu, hah?!" "Mengapa kalian 
masih bertanya lagi, hah?" 
Murid tunggal Eyang Ringkih Ireng dari Gu-
nung Kidul itu tetap tersenyum. Namun dia geram bu-
kan main. Dia tidak pernah suka akan hal ini. Maka 
dia pun bertekad untuk ikut campur urusan orang 
lain. 
"Keparat! Kau menantang kami, hah?!" 
"Bukankah kalian yang berkata tadi, kalian su-
ka menantang orang lain untuk menunjukkan keper-
kasaan kalian? Dan aku bersedia melayani kalian!" 
"Anjing buduk!" 
Pandu tersenyum. "Bila kalian takut, lebih baik 
kalian segera menyingkir... atau kalian akan menjadi 
mayat seperti laki-laki gembrot yang mampus di da-
lam!" 
Mendengar kata-kata itu wajah Krona dan Ma-
wang menggeram. Mereka sadar, kalau yang telah 
membunuh kakang mereka adalah pemuda ini. Bukan 
gadis yang nampak hampir mati itu. 
 
Begitu pula dengan Suri, meskipun ketakutan 
namun hatinya cukup bisa mendesah lega mendengar 
kata-kata tadi. 
"Keparat! Rupanya kaulah yang membunuh 
Kakang Parango!" 
"Dan aku pun akan membunuh kalian bila ka-
lian tidak segera menyingkir dari sini!!" 
"Anjing buduk! Demi Kakang Parango, kau ha-
rus mampus, Keparat!!" 
Setelah berkata begitu, maka dia pun maju me-
nyerbu dengan kepalan tangan yang penuh tenaga di-
iringi dengan jeritan yang cukup keras. 
Namun murid Eyang Ringkih Ireng dengan ge-
rakan yang manis menggerakkan tubuhnya ke kiri. 
Pukulan yang dilepaskan oleh Krona meleset. Namun 
dia tidak mau hanya sampai di sana saja. Kembali tan-
gannya mencecar menyerang dengan ganasnya. 
Pandu sendiri tidak mau tubuhnya dijadikan 
sasaran pukulan-pukulan yang ganas itu. Dia pun 
menggunakan jurus menghindarnya. Jurus Gagak 
Terbang Lalu. 
Tubuhnya bagaikan seekor burung bangau 
dengan lincah dan cepatnya menghindari serangan-
serangan ganas yang dilancarkan oleh Krona. 
Hasilnya memang sungguh luar biasa. Krona 
cukup pontang panting menyerang namun tak satu 
pun serangannya yang berhasil mengenai sasaran. 
Melihat hal itu Mawang pun segera membantu. 
Namun hasilnya tetap sama, dia pun sia-sia dalam me-
lakukan aksi penyerangannya. 
Hatinya menjadi geram sekali. 
"Keparat bercaping! Mengapa bisa kau sejak ta-
di hanya menghindar saja? Mengapa kau tidak balas 
menyerang?" serunya untuk menutupi kejengkelannya. 
Wajah yang sebagian tertutupi caping itu me- 
nyeringai. 
"Hmm... tak kusangka, kau berani juga berkata 
demikian." 
"Settannn...! Kau pikir kami takut, hah?!" ge-
ram Mawang dengan wajah yang semakin memerah. 
"Kau dan kawanmu itu sebenarnya jeri meng-
hadapiku, bukan? Kata-katamu tadi itu sebagai penu-
tup rasa ketakutan kalian!" Pandu tertawa. 
"Keparat! Coba serang kami!!" 
"Hhh! Bila itu yang kau inginkan, maka dengan 
senang hati aku akan melakukannya!!" seru Pandu. 
Dan dengan tiba-tiba dia bersalto ke belakang 
dan langsung melenting kembali saat kedua kakinya 
menyentuh permukaan tanah. Kedua tangannya mem-
bentuk kuncup paruh bangau yang siap mematuk 
dengan cepatnya. Gerakannya sungguh mengejutkan. 
Penuh tenaga dan gebrakan bersemangat. 
Mawang yang tidak menyangka kalau lawannya 
demikian cepat mengubah jurusnya menjadi terkejut. 
Dia sejenak kebingungan, lalu dicobanya untuk me-
mapaki. 
"Plak...!!" 
Benturan itu terjadi. Dirasakannya tangannya 
ngilu. Belum lagi dia bisa menguasai dirinya yang ter-
dorong ke belakang, Pandu sudah mencecar dengan 
serangan beruntun. Seakan tidak mau memberi ke-
sempatan bagi lawannya untuk bernafas. 
Dia pun bagaikan terdesak mencoba mundur 
beberapa langkah untuk menghindari serangan itu se-
cara perlahan. 
Namun serangan yang dilakukan Pandu demi-
kian cepat. Dan hebat. Hingga mau tidak mau bagi 
Mawang kembali dia memapaki karena memang tidak 
ada jalan lain. 
Dia pun segera membendung serangan itu dengan 
kedua tangan memapaki ke atas. 
"Wuut...!! Plak...! Plak...!!" 
Benturan itu kembali terjadi. Karena Pandu be-
rada di posisi atas sedangkan Mawang di bawah, maka 
benturan itu menjadikan tubuh Mawang tertekan. 
Dan Pandu pun segera memutar tubuhnya ba-
gaikan terbang, serangannya  mengarah pada kepala 
Mawang. 
Mawang yang sudah tidak bisa menguasai ke-
seimbangan tubuhnya pun pasrah melihat serangan 
itu. 
"Mampukah kau, keparat!!" geram Pandu. 
Namun, "Wuuut...! Plak...!" 
Benturan itu terjadi, cukup mengejutkan Pan-
du. Di saat yang kritis, Krona mencoba menyela-
matkan kawannya. Dan ini cukup berhasil. 
Pandu sendiri tidak menyangka hal itu. Begitu 
tangannya membentur tangan Krona, dia merasakan 
tangannya bagaikan menabrak sebuah dinding yang 
tebal. 
Dan mau tidak mau dia pun langsung bersalto 
ke belakang karena getaran benturan yang dirasakan 
pada tangannya itu bagaikan menghunjam dada. Pan-
du pun tidak mau dalam keadaan tidak siap bila ma-
nusia itu mendadak menyerangnya. 
Krona sendiri merasakan tangannya menjadi 
kaku dari benturan itu. 
Namun belum lagi dia hinggap di bumi, Ma-
wang yang marah bukan alang kepalang dan bisa 
mengambil kesempatan itu untuk menguasai keseim-
bangannya sudah menyerbu dengan goloknya. Golok 
tajam berkilat itu bagaikan memiliki mata yang tajam 
untuk segera melaksanakan tugasnya. 
Berkelebat ke sana ke mari dengan hebatnya. 
Kali ini Pandu cukup kerepotan dibuatnya. Be-
lum lagi dengan serangan-serangan Krona yang ganas 
dan memiliki tenaga dalam yang cukup besar. 
Dia yang pontang panting dibuatnya. 
"He-he-he... itulah akibatnya bila terlalu ba-
nyak mau tahu urusan orang lain, dan sok menjadi 
pahlawan! Kami paling tidak suka dengan orang yang 
sok menjadi pahlawan! Dan kau perlu tahu, pemuda 
keparat.... kami tidak pernah memaafkan perbuatan-
mu itu... apalagi kau telah membunuh  kakang kami, 
hah?! Lebih baik kau membunuh diri saja daripada 
harus mati kami siksa!" 
Wajah di balik caping bambu itu meskipun ha-
rus berusaha menyelamatkan diri dengan gerakan-
gerakan menghindar yang cepat, tersenyum. 
"Hmm... nampaknya kalian sudah begitu gem-
bira sekali dengan apa yang telah kalian lakukan ini!! 
Namun kalian lupa, kalian belum melihat kelanjutan 
dari pertarungan kita...!! Dan sebentar lagi kalian akan 
segera melihatnya...." 
"Hhh! Aku pun sudah tidak sabar ingin segera 
melihat kau mampus!!" seru Krona dan terus semakin 
gencar mencecar. Begitu pula dengan Mawang. 
Keyakinan mereka untuk mengalahkan pemuda 
ini semakin kuat. Dan mereka berjanji akan mencin-
cang tubuh pemuda sialan ini sebelum mereka bunuh! 
Kembali pertarungan itu terjadi. 
Sengit dan hebat. 
Kali ini Pandu memang tidak mau bertindak 
tanggung-tanggung lagi. Hatinya geram bukan main 
dengan apa yang telah keduanya lakukan. Keduanya 
jelas tidak memberinya kesempatan untuk menghindar 
dan membalas. 
Maka dia pun bermaksud memberikan pelaja-
ran pada kedua laki-laki beringas. Di samping dia pun 
geram karena merasa yakin kedua laki-laki inilah yang  
telah membuat teror  di desa-desa hingga memakan 
korban jiwa yang banyak. 
"Maafkan aku, Eyang..." desisnya. "Aku tidak 
bisa menahan diri lagi untuk memberi pelajaran kepa-
da manusia-manusia kejam ini.... 
Tiba-tiba saja Pandu melenting ke angkasa, lalu 
dia berputar dua kali. Lalu sambil berseru hebat dia 
pun mulai mengadakan serangan balasan. 
Gencar menyerang, membuat kedua lawannya 
menjadi terkejut, karena mereka tidak menyangka pe-
muda itu masih bisa pula untuk membalas. Hal ini 
menjadikan keduanya kalang kabut dan diam-diam 
mereka pun menyadari kalau ternyata pemuda itu 
amat tangguh sekali. 
Namun meskipun demikian, kedua terus beru-
saha untuk bertahan sekaligus menyerang. Hingga ak-
hirnya nampak keduanya bersiaga dengan sepasang 
tangan mengepal penuh tenaga. 
Nampak jelas keduanya tengah menghimpun 
tenaga sakti. 
Krona menggeram, "Pemuda sialan! Rasakanlah 
ilmu Sepasang Setan Kembar kami ini!!" 
Pandu hanya  menyeringai meskipun dia tahu 
apa yang akan terjadi. Meskipun dia tidak bisa menge-
tahui secara pasti ilmu apa Sepasang Setan Kembar 
itu, namun dia bisa menduga kalau ilmu itu tentulah 
ilmu yang amat dahsyat sekali. 
Dilihatnya kedua lawannya secara bersamaan 
menengadah, lalu mengangkat kedua tangan mereka 
ke atas dan melipatnya dengan gerakan tangan masuk 
ke perut, lalu bergerak ke depan. Membentuk sebuah 
jurus dengan kaki kiri di depan sementara kaki kanan 
menekuk, menopang berat tubuh dan kedua tangan 
yang membentuk sepasang cakar. 
"Manusia keparat! Bersiaplah kau untuk mam- 
pus!!" geram Mawang. 
"Kakang Parango... lihatlah, kami akan memba-
las semua dendam dan kesal di hatimu!!" seru Krona 
keras. Dan mendadak angin berkesiur cepat, dingin 
dan menebarkan hawa kematian. Mampu membuat 
bulu roma berdiri. 
Lalu keduanya menderu maju ke depan dengan 
pekikan yang amat kuat. Sepasang Setan Kembar pun 
diperlihatkan. 
Ternyata gerakan silat Sepasang Setan Kembar 
adalah sebuah gerakan dua menjadi satu yang dilaku-
kan dengan cepat dan penuh tenaga dahsyat. Mereka 
menyerang silih berganti dengan maksud untuk men-
gaburkan perhatian lawan dan membuat lawan menja-
di kebingungan. Selain itu dengan gerakan yang cepat 
dan gesit pula, seakan keduanya hendak menghalau 
sebuah serangan yang dilakukan dengan cepat pula. 
Pandu sendiri yang sejak tadi hanya menghin-
dar dengan jurus Bangau Terbang Lalu pun sekarang 
bisa menebak, kalau ilmu Sepasang Setan Kembar itu 
hanya bisa dikalahkan dengan cara memporak poran-
dakan barisan lawan. Dengan memisahkan keduanya 
agar tidak menjadi satu kembali. 
Maka dia pun segera melakukan hal itu dengan 
menyerang Krona namun tiba-tiba mendadak berbalik 
menyerang Mawang. Membuat keduanya menjadi ter-
kejut, karena pemuda bercaping itu bisa menebak ke-
lemahan dari ilmu mereka. 
Akan tetapi itu bukanlah suatu hambatan bagi 
keduanya, karena dengan tiba-tiba saja mereka meru-
bah jurus, kali ini menjaga jarak dan menyerang sam-
bil bersalto. Membuat Pandu yang justru kebingungan. 
Namun murid Eyang Ringkih Ireng bukanlah 
seorang pendekar sembarangan, mendadak saja dia 
mengibaskan tangan kanannya. 
 
"Wuuut!! selarik sinar putih berkelebat ke arah 
Mawang, membuat Mawang sejenak kebingungan. Dan 
mendengus terkejut. 
"Keparaattt.!!" 
Itu adalah Pukulan Sinar Putih warisan dari 
gurunya dari Bukit Paringin di Gunung Kidul. 
Kali ini dia berhasil membuat keduanya menja-
di panik dan kebingungan. 
Namun mendadak keduanya mengubah seran-
gannya dan kembali bersatu sambil bersalto ke sana 
ke mari. Suatu ketika mendadak saja keduanya sudah 
menderu maju ke depan dengan tangan yang terang-
kum  tenaga yang berlipat ganda, siap memusnahkan 
Pandu dari muka bumi ini. 
Pandu tidak mau tubuhnya dijadikan sasaran 
serangan itu. Dia pun bersiap. Namun begitu kedua-
nya hampir berbenturan, mendadak saja Pandu me-
lenting ke atas, bersalto dan menghindari adu tenaga 
yang dahsyat itu! 
Sementara keduanya tidak bisa mengerem lagi 
tenaganya. Tak ayal tangan keduanya yang telah te-
rangkum tenaga sakti itu menderu terus dan mener-
jang sebuah pohon besar di hadapannya. 
"Duaaaarr...! Brakkk...! Buuuummm...!!" 
Pohon besar itu patah dan ambruk berdebum 
ke tanah. Keduanya merasakan tangannya cukup ngi-
lu, namun belum lagi mereka menyadari apa yang 
akan terjadi, mendadak saja dirasakannya sesuatu 
menghantam leher mereka. Keras. 
"Prakkk...! Prakk...!!" 
Tubuh keduanya menjerit sejenak, lalu mengge-
losoh ambruk dengan leher patah. Pandu tidak dapat 
menguasai kemarahannya, di samping rasa kekesa-
lannya karena kedua manusia itu amat mengesalkan 
juga telah membuat teror yang amat kejam. 
 
Pandu mendesah panjang. "Maafkan aku, 
Eyang...." desisnya pada angin. 
Pemuda itu mendesah panjang dan kala dia 
membalikkan tubuhnya hendak menjumpai Suri, ter-
nyata gadis itu telah berdiri di hadapannya. 
Kepalanya tertunduk dan kedua tangannya 
mendekap bagian dadanya, karena pakaiannya yang 
compang camping menampakkan beberapa bagian tu-
buhnya dengan jelas. Dia cukup malu dengan kea-
daannya seperti ini, Namun apa boleh buat, dia me-
mang harus menerima semua ini. 
Lagi pula dia ingin sekali mengetahui siapa 
yang telah menolongnya. 
Sekali lagi dia meyakinkan, kalau dia tidak 
pernah mengenai pemuda itu sebelumnya. Apalagi wa-
jahnya sebagian tertutup oleh caping bambu, justru 
membuatnya semakin penasaran sekali ingin menge-
tahui rupa pemuda penolongnya. Meskipun demikian 
begitu besarnya rasa terima kasihnya pada pemuda 
itu. 
Pandu mendesah panjang, Hatinya merasa te-
renyuh melihat keadaan gadis itu. Dia pun tersenyum, 
mencoba agar gadis yang kelihatan masih ketakutan 
itu merasa nyaman. 
"Tenanglah, Dik... semuanya sudah berlalu...." 
katanya lembut sambil menampakkan senyumnya. 
"Kau aman sekarang, Dik... orang-orang yang meng-
ganggumu telah mampus!" 
Dan kelembutan itu mampu membuat Suri 
mengangkat kepalanya. Hatinya sedikit merasa tenang 
dan lebih berani menghadapi pemuda itu. Sementara 
hatinya yakin, kalau  pemuda itu benar-benar ikhlas 
menolongnya. 
"Kakang...." desisnya pelan. "Maafkan aku... ka-
lau kejadian tadi justru malah menyusahkanmu...." 
 
"Mengapa kau berkata demikian, Dik? Itu me-
mang sudah  kewajibanku.... Kewajiban siapa saja un-
tuk saling tolong menolong. Tak terkecuali siapa pun 
orangnya...." 
"Terima kasih atas pertolonganmu, Kakang...." 
"Sudahlah... tidak perlu dipikirkan...." "Terima 
kasih, Kakang...." "Namaku Pandu...." 
"Namaku Suri, Kakang.... Sekali lagi kuucapkan 
terima kasih atas pertolonganmu, Kakang...." 
Pandu tersenyum. "Sudah lebih dari tiga kali 
kata terima kasih itu kau ucapkan, Dik Suri..." 
"Aku tulus mengucapkannya, Kakang...." 
"Baiklah, sekarang ceritakanlah bagaimana ke-
jadian itu sampai menimpamu, dan katakan pula apa 
yang telah menimpa dirimu?" 
Mendengar pertanyaan itu, kepala Suri kembali 
tertunduk. Nampak jelas kalau dia tidak mau lagi 
mengingat kejadian tadi. Kejadian yang menakutkan. 
Seperti menyadari keberatan gadis itu untuk 
berkata, Pandu yang merasa gadis itu masih sock aki-
bat kejadian yang barusan menimpanya, segera beru-
cap. 
"Bila pertanyaan itu menyinggung dan membe-
ratkan hatimu... maafkanlah aku, Dik.... Kau tidak 
perlu menjawabnya bila kau tidak mau...." 
Dan perlahan-lahan pula kepala gadis itu te-
rangkat kembali. Sepasang matanya berbinar, menam-
pakkan sedikit kesedihan. Masih terlihat bias ketaku-
tan di wajahnya. 
Perlahan-lahan pula kepalanya menggeleng. 
"Tidak, Kakang... sungguh, aku tidak keberatan 
untuk menceritakannya.... Namun sekali lagi maafkan 
aku, setelah ini jangan kau buat aku teringat lagi keja-
dian tadi...." 
"Baiklah, Dik... aku hanya ingin mengetahui  
secara pasti, bahwa kau tidak mengalami sesuatu yang 
bisa merusak masa depanmu nanti...." 
Lalu dengan suara yang tersendat gadis itu pun 
menceritakan apa yang telah dialaminya dan di akhir 
ceritanya gadis itu menangis segugukan. 
Hati Pandu menjadi tak enak, karena seper-
tinya dia membangkitkan lagi kenangan buruk yang 
telah menimpa gadis itu. Walau dia sedikit lega karena 
gadis itu belum sampai terusak kehormatannya. 
Lalu dengan hati-hati dia merangkulnya semata 
untuk menenangkan gadis itu. 
"Tenanglah, Dik... semuanya sudah berlalu.... 
Kau aman bersamaku...." 
Gadis itu mendesah. "Iya, Kakang...." 
"Nah, marilah kuantar kau pulang...." 
Mendengar kata-kata itu, Suri menundukkan 
kepalanya. Apalagi saat itu hatinya tengah bergetar 
merasakan rangkulan pemuda itu. Meskipun dia se-
sungguhnya penasaran ingin melihat wajah yang ada 
di balik caping bambu itu. 
Namun dia merasa sudah cukup damai berada 
dalam rangkulannya, dia bagaikan mendapat sebuah 
tempat untuk berlindung dan bernaung. Nyaman seka-
li rasanya. Dirasakannya sensasi ganjil penuh kenik-
matan mengalir di sekujur tubuhnya, yang tak pernah 
dirasakan sebelumnya selama ini. 
Penuh pesona. 
"Mari, Nimas.... Kurasa... orang tuamu sudah 
cukup cemas menunggumu...." 
"Kau tidak keberatan mengantarkan aku, 
Kakang?" desis gadis itu bagaikan desahan. 
Pandu tersenyum. "Mengapa mesti keberatan? 
Mengantar gadis cantik sepertimu, siapa pun akan su-
ka rela melakukannya bukan? Atau kau sesungguhnya 
yang tidak mau?" 
 
"Aku mau, Kakang!" kata gadis itu cepat namun 
buru-buru menundukkan kepalanya dengan wajah 
memerah. Malu karena ketahuan sebenarnya dia me-
mang mengharapkan dan gembira menyambut semua 
itu. 
Dengan dibimbing oleh Pandu, gadis itu pun 
naik ke kuda. Lalu Pandu sendiri duduk di belakang-
nya. Di gebraknya kuda itu dengan cepat. 
Hati Suri merasa nyaman sekali. Malah dia in-
gin tidak segera sampai ke rumahnya. Dia masih ingin 
menikmati kebersamaan ini lebih lama lagi. 
Hari pun semakin naik, sementara ketegangan 
yang baru saja terjadi, sudah berganti dengan kegem-
biraan yang mempesona, singgah di hati perawan yang 
baru saja nyaris menjadi korban nafsu binatang ma-
nusia durjana. 
Betapa nyamannya andaikata dia memiliki pe-
muda seperti Kakang Pandu ini. Hatinya makin berge-
tar galau menyadari dia tengah duduk berdua bersama 
pemuda ini dalam satu kuda. 
 
* * 
 
 
Sudah tiga hari Pandu tinggal di rumah Suri. 
Kehidupan gadis itu sungguh amat sederhana sekali. 
Tidak ada barang yang bisa dikatakan mewah berada 
di sana. 
Desanya pun terkesan desa yang miskin. Ayah-
nya hanyalah seorang penebang kayu di hutan. Yang 
begitu gigih dalam mempertahankan hidup. 
Kartogulo, ayah Suri, seorang laki-laki perkasa. 
 
Usianya kira-kira 52 tahun. Sejak Suri berusia dua bu-
lan, dialah yang mengasuh bayi kecil itu, karena is-
trinya meninggal dua bulan setelah melahirkan Suri, 
putrinya semata wayang. Karena kasih yang besar dan 
cinta yang dalam terhadap istri dan anaknya, Kartogu-
lo tidak menikah lagi. 
Bahkan dia dengan penuh sayang mengasuh 
Suri hingga seperti sekarang ini. 
Dan tiga hari belakangan ini, dia seringkali me-
lihat putrinya amat gembira. Tidak seperti biasanya. 
Yang jelas sejak pemuda yang bernama Pandu itu 
menginap di sana. Bahkan terkadang Kartogulo  juga 
sering melihat keduanya bercanda di halaman bela-
kang. Hal ini diam-diam membuat hatinya cukup ba-
hagia, bahkan dia ingin sekali mengangkat pemuda itu 
sebagai menantunya. Sebagai pendamping Suri. 
Diam-diam dia pun amat menyukai pemuda 
itu. Menurut Kartogulo, sudah saatnya Suri menikah. 
Sebenarnya sudah banyak yang melamar anak gadis-
nya, namun setiap kali ditolak. Terlihat pula kalau pu-
trinya enggan untuk menikah dengan pemuda  yang 
banyak telah melamarnya. 
Namun kedatangan Pandu, pemuda yang telah 
menyelamatkan putrinya dari orang-orang jahat itu, 
agaknya membawa angin segar pada hari-hari pu-
trinya. 
Putrinya terlihat ceria sekali. 
Sementara sebenarnya Pandu sudah ingin me-
ninggalkan tempat ini. Dia bukannya tidak tahu kalau 
gadis itu diam-diam menaruh hati padanya. Jelas dari 
sikap dan gayanya yang manja padanya. 
Inilah yang membuatnya hendak pergi dari sini, 
karena dia tidak mau gadis itu akan kecewa. Sudah 
banyak gadis-gadis yang menaruh hati padanya, na-
mun harus kecewa. 
 
Pandu sendiri sebenarnya punya angan-angan 
untuk hidup tenang bersama anak dan istri serta ru-
mah mungil yang sederhana. Namun dia tidak mung-
kin melakukan hal itu, karena kelananya belum selesai 
dia lakukan. 
Pada suatu malam, Kartogulo  mengajaknya 
bercakap-cakap. Dalam kesempatan itu Pandu pun 
mencoba mengorek keterangan mengenai teror yang 
terjadi. 
Dia masih beranggapan, kalau tiga orang yang 
telah mati dibunuhnya itulah yang membuat teror. 
Namun yang mengejutkan adalah jawaban yang dibe-
rikan oleh Kartogulo. 
"Maafkan aku, Pandu... kupikir... bukan mere-
kalah yang membuat teror...." 
"Mengapa demikian, Paman?" 
"Karena dua malam yang lalu, desa di sebelah 
Utara Keraton Widung pun dilanda kerusuhan. Banyak 
korban yang mati. Namun tak seorang pun yang bisa 
menjelaskan  siapa yang telah membuat onar seperti 
itu...." 
"Bagaimana, Paman?" 
"Jadi dugaanku... ketiga orang yang hendak 
berbuat jahat kepada putriku itu... bukanlah orang 
yang selama ini kau cari. Bila memang mereka, mana 
mungkin mereka bisa berbuat onar lagi. Bukankah 
mereka telah mati?" 
Pandu terdiam. 
Mendesah. "Benar, Paman... berarti masih ada 
orang lain yang melakukannya...." 
"Ya... ketiga orang itu hanya berlagak sebagai 
pembuat teror yang mengerikan, agar orang-orang 
yang hendak dijadikan sasaran kejahatan mereka 
menjadi ketakutan...." 
"Benar, Paman... tetapi saya belum mengerti...  
mengapa hal seperti ini terjadi? Dan kapan pertama 
kali kejadian ini dimulai, Paman?" 
Kartogulo mendesah. Suri datang dengan bebe-
rapa gelas teh pahit dan ubi rebus. Dia pun sudah 
berdandan demikian manisnya. Dan dengan gaya yang 
anggun dia menghidangkan semua itu. Menatanya. 
"Silahkan, Bapak... Kakang...." 
"Terima kasih, Dik Suri...." 
Kartogulo tersenyum. Tidak biasanya anak ga-
disnya berdandan demikian cantik. Dia tersenyum ke-
tika anak gadisnya itu duduk di sampingnya. 
"Boleh saya mendengarkan percakapan itu, Ba-
pak?" tanya gadis itu dengan suara yang lembut na-
mun sambil menundukkan kepala. Karena rasanya ti-
dak pantas dan terlalu lancang bagi seorang gadis 
ikut-ikut berbicara, apalagi mendengarkan percakapan 
seorang pemuda dengan ayahnya. 
"Kau harus meminta izin pada Nak Pandu, 
Nduk.... Bila Pandu mengizinkan, silahkan...." kata 
Kartogulo sambil tersenyum. 
Gadis itu mengangkat kepalanya pada Pandu. 
"Bagaimana, Kakang? Boleh aku mendengar?" katanya 
dengan suara yang terdengar malu-malu. Dan wajah-
nya yang cantik, alami milik seorang gadis desa mero-
na merah. 
Pandu hanya mengangguk. Pemuda itu tidak 
mengenakan capingnya. Wajahnya yang demikian 
tampan membuat batin Suri makin terguncang. 
Pandu sendiri dapat melihat kilatan mata pe-
nuh cinta yang terpancar dari sepasang mata indah 
itu. Ini membuatnya menjadi resah. 
"Silahkan, Dik Suri..." katanya pelan, lalu ber-
kata pada Kartogulo. "Bagaimana dengan pertanyaan-
ku tadi, Paman? Apakah Paman bisa menceritakan-
nya?" 
 
Kartogulo  menghisap dan menghembuskan 
asap tembakaunya. "Baiklah.... tentu aku bisa mence-
ritakannya, tetapi ini hanya dugaanku saja, Pandu...." 
"Maksud, Paman?" 
"Dugaan sementara karena sesungguhnya aku 
sendiri tidak yakin dengan apa yang ada dalam benak-
ku ini. Terus terang, ini memang hanya dugaanku...." 
"Tidak apa-apa, Paman... ceritakanlah padaku...." 
"Sebenarnya, desa ini adalah wilayah dari ke-
kuasaan Keraton Widung... yang banyak membawahi 
desa-desa lainnya.... Keraton Widung adalah sebuah 
keraton yang penuh kegembiraan, di mana sang Prabu 
Kamansura memerintahkan negaranya penuh dengan 
rasa perikemanusiaan dan kasih sayang. 
Di samping itu, Keraton Widung memiliki seo-
rang Panglima yang gagah berani. Dia bernama Prakes-
ti. Hanya sayang, sikap dan tingkah laku Prakesti sete-
lah diangkat menjadi Panglima jauh berubah...." 
"Maksud, Paman?" 
"Dia bertindak sewenang-wenang pada pendu-
duk dengan mengatasnamakan Keraton Widung. Se-
pak terjangnya sungguh sudah di luar batas. Karena 
ulahnya itulah dia dipanggil menghadap Prabu Ka-
mansura dan diusir dari keraton. 
Beberapa bulan sejak pengusiran itu, mulailah 
terjadi teror pembunuhan yang melanda desa-desa. 
Aku sendiri tidak mengerti siapa yang berbuat seperti 
itu. Namun sejak Panglima Prakesti pergilah terjadinya 
tragedi seperti itu.... Mungkin karena selama ini tidak 
ada yang langsung turun tangan menghadapi kejadian 
seperti itu. 
Biasanya Panglima Prakesti sendiri yang turun 
tangan menghadapi masalah seperti itu selama ini, 
hingga cukup aman rasanya tanpa gangguan apapun...." 
"Apakah bukan dia yang datang membalas 
dendam, Paman?" tanya Pandu hati-hati. 
"Bisa jadi. Namun siapa yang bisa melakukan 
hal seperti itu, bahwa desa-desa itu bagaikan diinjak-
injak oleh segerombolan gajah liar...." 
"Mengapa Paman beranggapan seperti itu?" 
"Bila hal itu memang dilakukan oleh Prakesti... 
tentunya dengan bantuan orang lain...." 
"Mungkinkah bila dia melakukannya sendiri?" 
"Tidak mungkin."  
"Mengapa?" 
"Karena ilmu yang dimilikinya tidak mungkin 
dia bisa berbuat seperti itu...."  
"Kenapa?" 
"Karena ilmunya tidak sampai seperti itu...." 
Pandu hanya mengangguk-anggukkan kepa-
lanya. Dia pun menjadi bingung dengan apa yang dice-
ritakan oleh Kartogulo, sehingga dia menjadi penasa-
ran untuk mengetahui kejadian yang sesungguhnya. 
"Paman... di manakah letak Keraton Widung?" 
"Di sebelah tenggara desa ini. Mengapa kau 
bertanya seperti itu, Pandu?" 
"Aku sendiri tidak tahu untuk apa, Paman... te-
tapi firasat ku mengatakan akan terjadi sesuatu di Ke-
raton Widung." 
"Lalu?" 
"Aku akan menyelidikinya ke sana."  
"Kakang!" Terdengar suara Suri bagaikan terta-
han. Dia tidak mau kalau Pandu akan meninggalkan-
nya. Dengan berkata-kata seperti itu, dia yakin Pandu 
akan melaksanakan niatnya. Dan dia tidak mau pe-
muda yang diam-diam dicintainya itu pergi meninggal-
kannya. 
"Mengapa, Dik Suri?" 
 
Mendengar pertanyaan itu Suri langsung me-
nundukkan kepalanya. Malu. 
"Dia menggeleng-gelengkan  kepalanya resah. 
"Ah, tidak, tidak.... Kakang... aku tidak apa-
apa...." desisnya dengan nada gugup. 
Pandu hanya tersenyum walau dia sesungguh-
nya tahu apa yang dimaui oleh gadis itu. Namun dia 
tidak hendak memberikan harapan padanya. Dia tidak 
mau mengecewakan gadis itu. Makanya dia harus per-
gi meninggalkan rumah ini. Ini adalah alasan yang 
amat tepat sekali. 
"Paman... kalau begitu, besok pagi aku hendak 
pergi ke Keraton Widung...." 
"Untuk apa, Pandu?" tanya Kartogulo yang juga 
dapat meraba apa yang menyebabkan putrinya bersi-
kap seperti itu. Sebenarnya dalam hati dia pun tidak 
ingin pemuda ini pergi dari rumahnya. 
"Entahlah... namun perasaanku tetap menga-
takan, kalau akan terjadi sesuatu di Keraton Wi-
dung...." kata Pandu bersikeras dengan berbagai ala-
san. 
"Hmm... aku tidak bisa memaksakan kehen-
dakmu untuk membatalkan niatmu itu... tapi bila bo-
leh, aku hendak memintamu untuk tetap saja tinggal 
di sini...." 
Pandu mendesah panjang. Masalah ini sudah 
menjurus ke hal yang rumit. Dan dia tidak mau bila 
terlibat terlalu jauh di dalamnya. 
"Paman... bukan maksudku sekali-sekali untuk 
menolak permintaanmu, namun aku hanyalah seorang 
kelana yang kerjanya berkelana entah sampai kapan. 
Jadi maafkan aku, bila aku tidak bisa memenuhi per-
mintaanmu, Paman. 
Dan kuucapkan banyak terima kasih atas ban-
tuanmu itu.... Aku tak akan pernah melupakannya.  
Kartogulo hanya tersenyum sambil melirik pu-
trinya yang kian tertunduk. 
"Kalau itu maumu, aku pun tidak bisa memak-
sa.... Hmm, sudah larut rupanya. Lebih baik kita sege-
ra saja tidur...." 
Belum habis kalimat Kartogulo, Suri tiba-tiba 
saja sudah berlari masuk ke dalam sambil  terisak. 
Pandu hanya mendesah panjang sementara Kartogulo 
tidak bisa berbuat apa-apa. Apa yang bisa dia perbuat 
untuk menenangkan anak gadisnya, karena Pandu 
sendiri tidak memperlihatkan sikap bahwa dia hendak 
mengambil putrinya sebagai istri. Maka dia hanya di-
am saja. Sementara itu sepanjang malam Suri menan-
gis di kamarnya. Dia telah jatuh cinta pada Pandu dan 
bila pemuda itu pergi akan merana hatinya. Nelangsa. 
Namun sejauh ini dia pun sadar kalau pemuda itu 
bersikap selalu baik padanya. Bahkan amat baik. 
Meskipun demikian tak sekali pun dia pernah men-
dengar kata-kata cinta yang diucapkan oleh Pandu pa-
dahal dia begitu amat mengharapkannya sekali. 
Gadis itu terus terisak. Dia tidak sanggup 
membayangkan perpisahan dengan pemuda yang di-
cintainya, pemuda yang mampu mengusik cintanya 
yang selama ini terpendam. Dalam hati dia berdoa se-
moga hari tidak cepat berganti. Biar lebih lama Pandu 
berada di rumahnya. 
Namun mau dibuat seperti apa pun hari tetap 
berganti. Kokok ayam jantan sudah terdengar di ke-
jauhan. Menandakan ufuk sudah mulai menyingsing. 
Dan sepanjang malam itu sekejap pun mata 
Suri tidak mau terpejam. Pikirannya selalu terbayang 
bahwa pemuda yang dicintainya akan pergi mening-
galkannya. 
Lemas tubuhnya bangkit dari kamarnya, lalu 
mandi di sumur belakang. Tak ada kegairahannya se- 
perti hari-hari lalu selama Pandu berada di sana. Be-
nar-benar telah hilang gairahnya yang berbinar-binar 
itu. 
Hatinya lelah. 
Jiwanya nelangsa. 
Bahkan dia merasa tak bertenaga, semua se-
mangatnya pudar. Namun dia tidak mau menunjuk-
kan semua itu di hadapan Pandu maupun ayahnya. 
Dia harus kelihatan tegar. 
Dia harus memperlihatkan sikap biasa saja. 
Karena bukankah pagi ini dia masih sempat melihat 
dan berbincang-bincang meskipun sejenak pada pu-
jaannya? 
Setelah mandi dan berdandan, dia pun me-
nyiapkan teh pahit dan ubi rebus seperti biasanya. La-
lu dibawanya ke beranda depan di mana biasanya 
ayahnya bercakap-cakap bersama pemuda yang dicin-
tainya. 
Namun tak dilihatnya Pandu berada di  sana. 
Hanya ayahnya yang sedang asyik menghisap dan 
menghembuskan asap rokoknya sambil menatap ke 
depan, sepertinya tengah memikirkan sesuatu yang 
amat mengganggunya. 
"Bapak..." desisnya. 
Kartogulo  mengangkat wajahnya dan terse-
nyum melihat putrinya telah berada di sampingnya. 
"Sudah bangun, Nduk?" 
"Sudah, Bapak.... Bapak di mana Kakang Pan-
du?" 
Kartogulo mendesah panjang. Dia merasa tidak 
tega untuk memberitahukan hal ini pada putrinya, 
namun dia memang harus memberitahunya. 
"Dia sudah pergi sejak pagi tadi, Nduk...." 
"Oh!" Wajah itu pucat. "Mengapa dia tidak 
memberitahukan hal itu padaku, Bapak?"  
"Karena pikirnya kau masih tidur." 
"Sepanjang malam aku tidak bisa tidur, Bapak! 
Aku tidak mau dia pergi... aku... aku mencintainya, 
Bapak...." Dan bobollah air mata Suri. 
Kartogulo mendesah panjang. Diapun sebenar-
nya tahu maksud dari Pandu mengapa pergi pagi-pagi 
sekali, karena dia tidak mau mengecewakan Suri. 
Namun gadis itu telah kecewa. 
Mendadak dia berbalik lari ke kamarnya sambil 
terisak berkepanjangan. Hatinya luluh lantak. Jiwanya 
melayang. Cintanya tak terbalas. 
Mengapa Kakang Pandu tidak bilang padanya? 
Mengapa tidak berpamitan? Mengapa harus juga me-
ninggalkannya? Mengapa meninggalkan cinta yang 
mestinya dipenuhi? Masih banyak sejuta mengapa 
yang lainnya. 
Namun gadis itu telah menangis tersedu-sedu. 
Kartogulo hanya mendesah panjang dengan ha-
ti yang masygul. Menyesali rasa cinta putrinya. 
Namun dia pun tak bisa memaksakan apa pun 
terhadap Pandu. Hanya masih terngiang kata-kata 
pemuda itu, "Sampaikan salamku pada Suri, Paman... 
bila dia memang jodohku, pasti aku akan kembali... 
dan tak akan ke mana meskipun lautan telah ku sebe-
rangi dan gunung ku daki...." 
Kartogulo  hanya menganggukkan kepala saja. 
Dia sudah cukup senang mendengar kata-kata pemu-
da itu. Namun bisakah diharapkan lagi pemuda itu 
kembali? 
Karena semuanya terasa tidak mungkin. Pemu-
da itu adalah pengelana sejati. Kartogulo merasa ber-
syukur bisa bertemu dengan pemuda seperti Pandu. 
"Selamat jalan, Nak...." 
* * 
 
 
Berita tentang teror yang terjadi di desa-desa 
pun terdengar hingga ke telinga Prabu Kamansura. Dia 
amat sedih sekali memikirkan semua itu. Kesedihan-
nya karena ulah Panglima Prakesti dan pengusiran 
Panglima yang amat dibanggakannya itu belum meng-
hilang, kini ditambah lagi dengan laporan-laporan yang 
masuk. 
Bahwa wilayah Keraton Widung sedang dilanda 
bencana. 
Ini semakin memusingkan kepalanya. Ada apa 
sebenarnya? Apa yang telah terjadi di wilayah keraton-
nya? Siapa yang telah membuat teror seperti itu? 
Pertanyaan-pertanyaan itu hinggap di kepalanya. 
Prabu Kamansura pun segera mengumpulkan 
beberapa orang kepercayaannya. Dari hasil musyawa-
rah yang dilakukan, lalu di utuslah beberapa orang 
untuk menyelidiki hal itu. Karena inilah cara yang ter-
baik. 
Namun hingga seminggu lamanya mereka tidak 
kembali ke keraton, juga tak ada berita yang masuk. 
Menyusul Prabu Kamansura menyuruh yang lainnya. 
Dan berita pun di dapat kala mereka kembali, bahwa 
kelompok yang pertama telah mampus dengan menge-
rikan di tepi jurang! 
Bukan main cemasnya Prabu Kamansura me-
mikirkan hal ini. Dia pun segera memerintahkan un-
tuk menjaga segenap penjuru Keraton Widung, karena 
Prabu Kamansura mencium sesuatu yang tidak enak 
yang nampaknya akan segera terjadi di Keraton Wi-
dung ini. Sebuah hal yang mengerikan. 
Penjagaan ketat pun dilakukan. 
 
Keamanan semakin dijaga. 
Selama seminggu terakhir ini tidak ada keja-
dian apa pun juga. Semuanya nampak biasa-biasa saja 
tanpa ada kejadian yang menggelisahkan. 
Namun pada suatu malam, berkelebatlah satu 
sosok tubuh dengan gerakan yang amat ringan sekali 
dari balik semak ke semak lain. 
Sepasang mata yang memerah dan liar itu 
memperhatikan sekelilingnya. Sepi. Namun dia melihat 
betapa banyaknya penjaga yang lalu lalang di segenap 
penjuru Keraton Widung. 
Sosok itu mendesah. Pancaran matanya me-
nampakkan sinar dendam yang amat sangat. "Hmm... 
rupanya kedatanganku sudah siap disambut? Baik-
lah... aku pun tidak ingin bertindak tanggung-
tanggung lagi terhadap manusia-manusia ini. Aku 
akan tetap menuntut balas!!" 
Tiba-tiba dia muncul dari persembunyiannya 
dan berjalan ke arah Keraton Widung dengan langkah 
ringan namun pasti, seolah tak ada yang perlu ditaku-
tinya. Tiga orang penjaga segera melihatnya dan salah 
seorang membentak. 
"Berhenti! Siapa kau?!" 
Namun sosok itu terus saja melangkah. Mem-
buat ketiganya menjadi siaga dan siap menggunakan 
tombak di tangan, karena mereka pun sulit melihat 
wajah sosok itu disebabkan rembulan yang bersinar 
redup dan langit yang kelam. 
"Berhenti! Atau terpaksa kami tangkap!!" 
Akan tetapi mendadak saja, sosok itu mengi-
baskan tangannya. "Wuuutt...!!" Serangkum angin ke-
ras mengibas ke depan dan bagaikan sebilah pisau 
bergerak ke leher ketiganya. "Cras...!!" Angin yang se-
perti pisau itu menyambar dan membuat putus leher 
ke tiga penjaga itu. 
 
Darah segar mengalir, lalu disusul dengan tu-
buh yang ambruk tanpa sempat menjerit lagi. Sungguh 
gerakan dan ilmu yang amat hebat sekali. 
"Sosok tubuh yang baru saja menurunkan tan-
gan telengas itu, berkelebat kembali setelah memper-
hatikan sekelilingnya. Melompati tembok tinggi dan 
tebal yang mengurung empat persegi panjang Keraton 
Widung. 
Dengan sekali melompat dia sudah tiba di ha-
laman Keraton Widung. Namun belum lagi dia sempat 
berbuat apa-apa, mendadak berpuluh punggawa men-
gurungnya dengan tombak di tangan. Wajah mereka 
demikian buas. 
Sosok itu mendengus. Dan baru sadar kalau 
kedatangannya memang sudah diketahui. Dia juga me-
rasa kalau tiga nyawa penjaga tadi sengaja dikorban-
kan untuk memancingnya masuk ke halaman keraton. 
Dia melihat dari pintu depan keraton, muncul 
Prabu Kamansura disertai oleh tiga pengawal setianya. 
Mahesa Bungaran atau yang bergelar si Tangan Kilat. 
Ki Abdi Suro yang bergelar Dewa Tongkat Api dan Nyai 
Lastri Harum yang bergelar Bidadari Bulan Purnama. 
Ketiganya adalah orang-orang yang  mengabdikan diri 
pada Prabu Kamansura segenap jiwa dan raga. 
Sosok itu makin terkejut, dan baru menyadari 
kalau dia tengah terjebak. 
"Prakesti... sudah kuduga, kau akan datang 
menuntut balas...." kata Prabu Kamansura. "Aku pun 
telah menduga, kalau kaulah yang telah membuat 
onar di berbagai desa di wilayah Keraton Widung ini!! 
Sosok yang datang itu memang tak lain adalah 
Panglima Prakesti yang datang untuk membalaskan 
dendamnya. Meskipun dia terkejut, namun dia terke-
keh dengan penuh kesombongan. 
"He-he-he... bagus, kau memang benar, Pra- 
bu... aku, Prakesti tidak pernah menerima apa yang te-
lah kau perbuat terhadapku!" katanya congkak. 
"Prakesti... mengapa kau masih berbuat seperti 
itu? Masih menaruh dendam? Apakah kau lupa, bah-
wa semua ini adalah kesalahan yang telah kau perbuat 
sendiri?" 
"Persetan dengan semua itu! Yang pasti, aku ti-
dak akan pernah menerima apa yang telah kau dan 
rakyat  mu perbuat! Sampai ka-pan pun aku akan 
membalas dendam dan sakit hatiku ini!" 
Mahesa Bungaran atau si Tangan Kilat rupanya 
orang yang tidak sabar sekali. 
Dia maju selangkah dan membentak, "Prakes-
ti... kau sudah selayaknya untuk mampus! Pergilah 
dari sini sebelum kemarahan kami naik!" 
"He-he-he... mengapa kau nampak begitu pe-
marah sekali, Mahesa Bungaran?" suara itu terdengar 
amat mengejek, membuat telinga Mahesa Bungaran 
memerah dan semakin bertambah kesal. Dia sudah 
kesal dengan kesombongan yang diperlihatkan oleh 
Prakesti, dan kini semakin kesal karena dia di ejek se-
perti itu? Tidak sadarkah kau? He-he-he... juga dengan 
dua aki dan nini yang nampaknya sudah layak untuk 
menghuni liang kubur! Kalian memang sudah sepatut-
nya untuk mampus! Nah, bukankah lebih baik kalian 
membunuh diri saja daripada harus bersusahpayah 
mati secara mengerikan? Apalagi di tanganku... he-he-
he...." 
Memerah wajah tiga pengawal setia Prabu Ka-
mansura itu. Sementara  Ki Abdi Suredan Nyai Lastri 
Harum secara bersamaan melangkah setindak ke de-
pan. 
"Prakesti... kau tidak bisa belajar menghormati 
orang tua nampaknya? Baiklah... sebagai orang tua... 
aku hendak memberimu pelajaran!" kata Ki Abdi Suro  
sambil mendengus. 
"He-he-he... tidak salahkah pendengaran ku? 
Bagus, bagus... aku akan lebih cepat mengantarkanmu 
untuk pergi ke liang kubur! Begitu pula dengan kau, 
Nyai pesot!!" 
Memerah wajah Nyai Lastri Harum. Mendadak 
saja dia mengibaskan tangan kanannya ke arah Pra-
kesti. 
Serangkum angin dingin keras menderu me-
nerpa ke arah sosok yang tegak jangkung berikat kepa-
la merah itu. Rupanya Nyai Lastri Harum mengelua-
rkan ilmu Bidadari Memainkan Angin dalam tingkat 
tinggi karena dia bermaksud memang hendak mengha-
jar Prakesti. 
Dalam pikirannya, Prakesti tidak akan berhasil 
menghindari serangannya itu. Namun dia terbelalak 
dengan mata yang seakan ingin melompat keluar, ka-
rena mendadak saja  dengan satu gerakan yang amat 
lincahnya Prakesti melesat melayang sementara Bida-
dari Memainkan Angin yang dilepaskan oleh Nyai La-
stri Harum menghantam tembok yang mengelilingi Ke-
raton Widung. Keras. 
Dan menimbulkan suara berdebat dengan ke-
rasnya.. 
"Duuuaarr...!" Tembok itu jebol dan runtuh. 
Bersamaan dengan itu terdengar suara terke-
keh yang amat keras, "He-he-heh... jangan terkejut, 
Nini peot! Tak akan mudah kau untuk membunuh 
aku! Justru ajalmu yang telah tiba juga dengan kedua 
temanmu yang bagaikan kambing ompong!" 
Lalu sosok yang melayang itu hinggap di tanah 
dengan ringannya. Dan terkekeh seolah bangga dengan 
demonstrasi yang baru saja ditunjukkannya. 
Semakin terbelalak mereka melihat kenyataan 
itu. Mereka tidak pernah menyangka Prakesti memiliki  
ilmu yang begitu tinggi. Nyai Lastri Harum yang bisa 
menguasai dirinya hanya mendengus, sedikit merasa 
terkejut karena Prakesti ini bukan lagi Prakesti  yang 
dulu. 
Justru Mahesa Bungaran yang menjadi penasa-
ran. 
"Bangsat  busuk!!" geramnya. "Jangan merasa 
berbangga dulu karena kau bisa menghindari serangan 
Bidadari Bulan Purnama, hah?!!" 
Prakesti terkekeh yang terdengar begitu nyaring 
dan menyeramkan. Dingin, menebarkan hawa kema-
tian. Cukup mengundang rasa ngeri yang luar biasa. 
"Bidadari Bulan Purnama? He-he-he... nenek 
peot itu kau katakan bagai bulan purnama? Ha-ha-
ha... rupanya kau sudah kena pelet dan terbalik ma-
tamu melihat betapa buruknya wajah itu dan kau ka-
takan sebagai bulan purnama? Benar-benar tolol." 
"Seetttaaannn!!" 
"He-he-he... salahmu sendiri, Mahesa goblok! 
Mengapa kau mau kena pelet nenek peot itu, hah? Ta-
wanya mengejek. "Kalau begini, apakah aku bersalah? 
He-he-he... dasar goblok! Dan biasanya orang goblok 
seperti kalian ini tidak akan pernah mau mengaku sa-
lah! Yah... memang goblok! Dan tak ku sangka kau se-
goblok itu, Mahesa Bungaran!! Kau terkena guna-guna 
nenek peot itu rupanya... ha-ha-ha...!!" 
"Keparat!" Wajah Mahesa Bungaran memerah. 
"He-he-he... mengapa mesti marah? Itu salah-
mu! Salahmu sendiri! Kau ini memang manusia gob-
lok, tapi tidak mau mengakui kegoblokkan kalian! Da-
sar seperti keledai dungu!" 
Mahesa Bungaran mendengus, kata-kata itu 
amat menyakitkan sekali. "Keparat! Untuk menebus 
kesalahanku itu, kusarankan agar kau lebih baik 
membunuh diri saja!" serunya geram. "Hhh! Atau aku  
yang akan membunuhmu? Dan agaknya Dewata me-
mang telah menakdirkan kau untuk mati di tanganku!" 
"He-he-he... mati di tanganmu? Jangan asal 
mengumbar bacot! Dengan apa kau hendak membu-
nuhku, Mahesa Bungaran?" serunya dengan suara 
mengejek. "Aku bukanlah orang yang kau lihat bebe-
rapa bulan yang lalu!" 
"Sombong! Dengan ini kau akan kubunuh, Ma-
nusia laknat!!" geram Mahesa Bungaran sambil men-
gangkat kedua tangannya yang terkepal dengan keras 
menandakan kemarahan Mahesa Bungaran yang su-
dah pada puncaknya. 
Lagi-lagi Ki Ronggo Jibus terkekeh-kekeh. Ma-
lah sekali-sekali menggeleng-gelengkan kepalanya den-
gan sikap yang meremehkan sekali. 
"Bukan main.... Tangan Kilat, hah? He-he-he... 
hendak membunuhku dengan ilmu taik kucing itu? 
Jangan bermimpi di siang bolong kau!" 
Kukatakan sekali lagi, aku bukanlah Prakesti 
yang dulu! Dan jangan menganggap ringan yang seka-
rang! Ketahuilah bahwa kaulah dengan dua cecoro mu 
itu yang akan mampus!!" 
"Bangsat keparat!" geram Mahesa Bungaran 
dengan wajah yang memerah buas. Kemarahannya su-
dah amat memuncak sekali. Dia merasa ditertawakan 
dan dianggap remeh. Dia adalah seorang pendekar 
yang gagah. Tak pernah dia mundur menghadapi tan-
tangan siapa pun juga. Lagipula, dia memang begitu 
benci dengan Prakesti sejak belangnya yang dulu keta-
huan. 
Maka mendengar ejekan itu dia pun segera 
mengerahkan tenaga pada kedua tangannya, lalu 
membentak nyaring. "Tahan serangan,  Manusia bu-
suk...!!  Ciiiaaaaaaatttt...!!!!" serunya pula dan bersa-
maan dengan itu tubuhnya pun melesat menerjang  
dengan cepat ke arah Prakesti yang masih terbahak. 
 
* * 
 
 
Ilmu Tangan Kilatnya sudah siap terangkum di 
dada. Sebuah permainan ilmu silat yang amat hebat 
sekali. Gerakannya sungguh cepat dan tangguh, layak 
disebut bagaikan gerakan kilat. Di samping itu kedua 
tangannya yang telah dialirkan tenaga dalam yang 
kuat terhimpun, siap menjebol dada kerempeng Pra-
kesti hingga berantakan. 
Pukulan itu amat kuat sekali dan dengan pu-
kulan semacam itu Mahesa Bungaran akan mampu 
membuat pecah sebongkah batu sebesar kambing atau 
menumbangkan sebatang pohon kelapa. 
Namun kali ini yang dihadapinya bukanlah 
Prakesti yang dikenalnya, namun Prakesti yang telah 
di  titisi oleh Penunggu Hutan  Larangan yang siap 
membantunya. 
Sosok itu hanya tetap terkekeh-kekeh. Dia ti-
dak mengelak atau menangkis serangan itu, melainkan 
diterimanya pukulan Mahesa Bungaran yang mengan-
dung tenaga dalam yang kuat di dadanya. 
"Wuuuuuuutttt... bukkkkk!!" 
Seharusnya alam perkiraan Mahesa Bungaran, 
dada itu akan jebol berantakan, namun betapa terke-
jutnya dia ketika merasa betapa tangannya seolah ber-
temu dengan benda yang bukan main kerasnya. 
Membuatnya sejenak kaget. Dan tak sadar dia 
menjerit kecil sambil menarik kembali tangannya. 
"Ilmu iblis!!" geramnya sambil berjumpalitan 
menjauh dari sosok itu. 
Prakesti terbahak. 
"Mahesa Bungaran atau si Tangan Kilat yang 
telah malang melintang di rimba persilatan dan menja-
di pengawal setia Prabu Kamansura, rupanya tidak ta-
hu betapa tingginya langit dan betapa dalamnya lau-
tan! 
Sudah kukatakan sejak tadi, aku bukanlah 
Prakesti yang dulu.... He-he-he... kali ini baru terbuka 
bukan mata kalian, bukan? Bahwa aku tidak bisa di-
anggap sepele dan main-main!! Nah, mengapa kalian 
tidak segera saja membunuh diri, hah?!" 
"Keparat! Ilmu apa yang telah kau gunakan ta-
di?!" seru Mahesa Bungaran yang masih kaget. 
"He-he-he... kau jeri, bukan?" "Rupanya kau 
penganut ilmu iblis! Tidak mungkin dalam waktu pen-
dek kau bisa menguasai ilmu seperti itu, hah?!" 
"Itulah yang dinamakan ilmu Bobot Penghancur 
Dunia! Di muka bumi ini, hanya akulah seorang yang 
memiliki ilmu itu! Jangan terkejut, karena ilmu inilah 
yang akan memusnahkan kalian! Memusnahkan ma-
nusia-manusia busuk yang hanya besar bacot belaka!!" 
"Anjing keparat! Kita akan melihat siapa yang 
mati duluan menghadapi Dewata! Ku bunuh kau, 
bangsat!!" seru  Panggoro seraya melesat menyerbu 
kembali, kali ini dengan kecepatan dan tenaga penuh. 
"He-he-he... mengapa hanya kau saja yang me-
nyerang? Mengapa kedua temanmu itu tidak, hah?! 
Apakah kedua teman hanya ingin jadi penonton saja? 
Ataukah takut menghadapiku?!" 
Mendengar kata-kata yang mengejek itu, mem-
buat Ki Abdi Suro segera melesat menyerang dengan 
tongkatnya. Begitu pula dengan Nyai Lastri Harum. 
Sebenarnya mereka malu dengan cara menge-
royok seperti ini. Namun apa boleh buat, karena mere- 
ka pun mulai yakin dengan kehebatan Prakesti seka-
rang. 
"Bagus! Itulah yang aku inginkan? Mengapa ti-
dak sejak tadi kalian melakukannya, hah?!" 
Prakesti hanya tertawa belaka. Lagi-lagi dia ti-
dak berbuat apa-apa. Tetap di posisinya semula sambil 
berucap ringan, "He-he-he... kalian akan sia-sia belaka 
menyerang aku! Lebih baik kalian membunuh diri sa-
ja!!" 
Tiga serangan yang dilancarkan sekaligus itu 
pun segera bergerak mencari sasaran. Berkelebat amat 
cepat. Dari berbagai penjuru siap memusnahkan ma-
nusia itu. 
"Buk...!!" 
"Trak...!!" 
"Des...!!" 
Tiga serangan itu telah mencari sasarannya. 
Namun seperti yang dialami oleh Mahesa Bungaran ta-
di kalau pukulannya mengenai sasaran yang amat 
kuat, begitu pula yang sekarang. Mereka amat terkejut 
karena serangan yang mereka lancarkan bagaikan 
menghantam gunung batu! 
"He-he-he... kalian akan sia-sia saja menyerang 
dan melawan aku, hah?!" 
Meskipun cukup terkejut, namun tidak mem-
buat ketiganya jeri. Ketiganya adalah jago golongan pu-
tih yang selalu membela kebenaran dan pantang mun-
dur. Mereka tidak takut menghadapi ilmu semacam 
yang dimiliki oleh Prakesti. Namun tak urung mereka 
seakan disadarkan oleh betapa tingginya ilmu yang 
dimiliki oleh manusia bejat durjana itu. Namun meski-
pun demikian mereka tidak gentar meskipun mereka 
tahu Prakesti yang sekarang bukanlah Prakesti yang 
dulu. 
Dan bersamaan dengan itu serentak ketiganya  
bersalto ke belakang dengan gerakan yang amat ringan 
sekali. Prakesti terkekeh-kekeh, merasa lawan-
lawannya jeri dan ketakutan dengan apa yang dimili-
kinya. 
Akan tetapi kekehannya itu terhenti karena ma-
tanya langsung terbelalak melihat tiga sosok tubuh 
yang bersalto ke belakang tadi kini melompat kembali 
ke arahnya dengan pukulan lurus ke depan. 
Namun sama seperti halnya tadi, Ki Ronggo Ji-
bus tidak berusaha untuk mengelak ataupun menang-
kis serangan itu. Dia tetap terkekeh-kekeh mengejek. 
Namun mendadak terdengar seruannya, "Hei... 
hiaaaaatttt!!" 
Sebelum ketiga pukulan itu siap menghantam 
tubuhnya bagaikan melihat setan Prakesti bersalto 
menghindar. Gerakannya cepat dan ringan. Karena di-
rasakannya dorongan tenaga angin yang amat panas 
yang siap hinggap di tubuhnya dari salah satu seran-
gan itu. 
"Api Tongkat Neraka!" serunya keras sambil 
hinggap di tanah bagaikan sesobek kapas dengan rin-
gannya. 
Rupanya Ki Abdi Surolah yang telah mengelua-
rkan jenis pukulan panas yang rupanya ditakuti oleh 
Prakesti. 
Ilmu andalannya pun telah digunakan. Walau-
pun sesungguhnya tadi pun dia sebenarnya ragu, apa-
kah ilmu andalannya itu memang bisa diandalkan un-
tuk menghadapi Prakesti. 
Namun kenyataannya membawa hasil! 
"Ha-ha-ha... untuk kau cepat menghindar, Ma-
nusia busuk! Bila tidak, kau akan mampus terbakar 
dengan tubuh hangus!" bentak Ki Abdi Suro. "Rupanya 
itulah kelemahan ilmu kebal yang kau miliki, hah?!" 
Wajah yang mengerikan itu semakin menye- 
ramkan kala menyeringai. "He-he-he... memang, ilmu 
api panas mu itulah yang membuka jalan keluar bagi 
kalian! Karena ilmu kebal  ku ini hanya bisa dikalah-
kan oleh hawa panas. Dan aku sungguh tidak meng-
hendaki bila kenyataannya demikian...." Dia terkekeh 
lagi. "Akan tetapi kalian tidak boleh lupa, kalau yang 
kalian hadapi kali ini adalah Prakesti, manusia yang 
telah memiliki berjuta ilmu yang hanya beberapa ge-
lentir saja dipergunakan untuk menghadapi sekaligus 
membunuh kalian!" 
"Jangan banyak omong kau, Keparat!" geram Ki 
Abdi Suro sambil mengibaskan tangannya. "Mahesa 
Bungaran, keluarkan ilmu Tangan Sambar Kilat yang 
bisa menimbulkan panas! Nyai Lastri Harum, gunakan 
ilmu Bidadari Memainkan Apimu itu! Ayo kita gempur 
kembali manusia jahanam ini! Prakesti.... Sambut se-
rangan... hiiiaaaaattt!!" Tubuh itu melesat kembali 
dengan gerakan yang amat cepat. Permainan Api 
Tongkat Neraka yang hebat itu telah meluncur dari 
kanan kiri mengarah ke arah kedau pelipis kepala la-
wan. 
"Wuuuutttt.... Plaaakk...!!!" 
Kedua serangan itu tertahan dengan dua buah 
tangan yang cepat digerakkan oleh Ki Ronggo Jibus. 
Dan secepat itu pula dia memutar kedua tangannya 
untuk menangkap pergelangan tongkat Ki Abdi Suro. 
Namun Ki Abdi Suro dengan lihainya menge-
lakkan  sambaran tangan Prakesti pada tongkatnya. 
Lalu mengayunkannya lagi dengan posisi menggebuk. 
Namun serangan itu berhasil dielakkan oleh 
Prakesti. Akan tetapi belum lagi dia menginjakkan ka-
kinya ke bumi, Mahesa Bungaran dan Nyai Lastri Ha-
rum telah menyerbu ke muka dengan seruan yang ke-
ras. 
Pertempuran yang amat sengit pun terjadi.  
Orang-orang yang menonton-nya kadang berdecak ka-
gum. 
Sementara Prabu Kamansura mendesah pan-
jang seraya mengelus dada. Dia tidak pernah me-
nyangka kalau ilmu yang dimiliki Prakesti itu maju be-
gitu pesatnya. 
Kembali diperhatikannya pertempuran yang 
sengit itu. 
Mendadak Prakesti memapaki serangan yang 
dilakukan oleh Mahesa Bungaran. 
Dan dengan gerakan yang amat cepat dia ber-
hasil menangkap kedua tangan Mahesa  Bungaran, 
memuntirnya hingga tubuh Mahesa Bungaran mengi-
kuti gerak tubuhnya. 
Ki Abdi Suro dan Nyai Lastri Harum sendiri 
menjadi sangat terkejut sekali. 
Dan sebelum mereka sempat berbuat apa-apa, 
tiba-tiba saja Prakesti kembali menggerakkan kedua 
tangannya ke belakang hingga tubuh Mahesa Bunga-
ran kembali mau tidak mau mengikutinya. Bersamaan 
tubuh Mahesa Bungaran membelakanginya, dengan 
cepat tangan kanan Prakesti bergerak. 
"Praaakkk...!!!" 
Tangan yang penuh tenaga sakti itu menghan-
tam hingga pecah kepala Mahesa Bungaran yang lang-
sung ambruk tanpa sempat berteriak, dia hanya mera-
sakan sakit yang luar biasa. Lalu sakit itu lenyap se-
lama-lamanya karena nyawanya sudah melayang me-
nemui Sang Penciptanya. 
Orang-orang terkejut. Terpana, karena tidak 
mengira Prakesti dapat melakukan hal itu. 
Begitu pula dengan Prabu Kamansura yang 
mendesis di hati, "Kejam!" 
Hanya terdengar seruan Ki Abdi Suro kalap dan 
tubuhnya melayang menerjang, "Manusia keparat! Kau  
benar-benar manusia iblis!!" 
Prakesti hanya terkekeh melihat keterpanaan 
yang lainnya. Namun menghadapi serangan tongkat 
api Ki Abdi Suro dia hanya menghindar ke kiri dan 
langsung menangkis dengan kibasan tangan kanannya 
kala dirasakannya ada hawa panas menyambar dari 
belakang tengkuknya, karena Ki Abdi Suro langsung 
bersalto ke muka dengan maksud menghabisi Prakesti. 
Namun laki-laki itu dengan ringannya berhasil 
menghindari serangan Ki Abdi Suro. Dan langsung 
bergulingan kala dirasakannya dorongan angin panas 
sudah menyerbu. 
Nyai Lastri Harum telah datang membantu ka-
wannya untuk menghabisi Prakesti. 
"He-he-he... rupanya kalian amat penasaran 
sekali denganku! Baiklah, aku pun sudah jenuh den-
gan permainan ini! He-he-he... lebih baik kalian mam-
pus saja sekarang!" 
 
* * 
 
10 
 
Bersamaan Prakesti berkata demikian, dia pun 
berkelebat cepat. Kali ini tidak bertindak tanggung lagi. 
Dia memang bermaksud hendak menghabisi Ki Abdi 
Suro dan Nyai Lastri Harum. 
Kedua tokoh itu terkejut karena serangan yang 
dilakukan oleh Prakesti demikian gencarnya, disusul 
pula dengan serangan-serangan yang berbahaya. Ke-
duanya menjadi panik dan kalang kabut. 
Mereka sia-sia mempertahankan diri. Karena 
suatu ketika tubuh Prakesti berputar ke angkasa, ber- 
salto dua kali dan langsung menyerang ke arah kedu-
anya. 
Sejenak keduanya menjadi gugup. Sebisanya 
mereka bertahan, namun apa  daya karena kelihaian 
dan kesaktian yang dimiliki oleh Prakesti demikian 
tingginya. 
Maka tanpa ampun lagi keduanya terhantam 
pukulan sakti Prakesti dan terpelanting beberapa me-
ter. Seruan jerit kesakitan terdengar. Lalu ambruk un-
tuk selamanya. 
Prakesti terbahak. "He-he-he... itulah sebabnya 
bila berani menantang aku!" Tiba-tiba dia mendengus, 
matanya yang terpancar sinar dendam mengarah pada 
Prabu Kamansura, "Hhh! Prabu brengsek! Kini gili-
ranmu-lah memetik ajal!!" geramnya. 
Lalu dia pun langsung menyerbu ke muka, na-
mun beberapa orang prajurit segera menghadangnya. 
Terjadi kembali pertempuran yang amat sengit. Semen-
tara sebagai seorang pemimpin, Prabu Kamansura 
hanya terpaku di tempatnya berdiri. Dia tidak mencoba 
untuk melarikan diri atau berusaha menyelamatkan 
diri. Baginya tidak mungkin dia melakukan hal itu se-
mentara para punggawa-nya harus menyabung nyawa. 
Banjir darah pun memenuhi halaman Keraton 
Widung diiringi dengan jeritan kematian. Prakesti 
mengamuk membabi buta. Setiap kali tangannya ber-
kelebat langsung mampus dengan kepala buntung be-
berapa sosok tubuh. 
Dia membabi buta dengan kemarahan yang 
memuncak, namun para punggawa  yang jumlahnya 
begitu banyak pantang menyerah meskipun mereka 
harus mengorbankan nyawa. Bahkan mereka semakin 
gigih mempertahankan diri. 
Namun apalah artinya bagi mereka, karena ke-
saktian Prakesti sungguh tiada batasnya. 
 
Tiba-tiba terdengar seruan keras, "Hentikan!!" 
Sejenak pertempuran itu berhenti. Para pung-
gawa Keraton Widung mundur beberapa langkah. Pra-
bu Kamansura yang berseru tadi melangkah dengan 
gagahnya. 
"Prakesti, lebih baik kini kau hadapi aku!" ka-
tanya gagah. 
Prakesti terbahak. "Bagus, bagus... mengapa 
bukannya dari tadi, justru setelah banyak punggawa 
mu yang mampus kau baru berani mengorbankan di-
rimu! Hhh! Mampuslah kau!!" 
Lalu tubuh Prakesti melayang ke muka, me-
nyerbu dengan ganasnya ke arah Prabu Kamansura. 
Sang prabu pun sebenarnya memiliki ilmu kanuragan. 
Namun ilmu yang dimilikinya ternyata tidak ada ar-
tinya bagi Prakesti. 
Dia pun mendesak hebat. Sebentar saja desa-
kan itu sudah membawa hasil. Prabu Kamansura ha-
rus pontang-panting mempertahankan diri. 
Hingga suatu ketika tak ada lagi kesempatan 
baginya untuk menghindar. Prakesti sudah menyerbu 
dengan suara yang lantang dan ganas. 
"Mampuslah kau!!" 
Namun belum lagi tubuhnya menghajar Prabu 
Kamansura, mendadak melesat selarik sinar putih ke 
arahnya. 
"Wuuuuutt...!!" 
Membuat Prakesti harus bersalto bila tidak in-
gin tubuhnya tersambar sinar putih itu. 
"Bangsat!" geramnya sambil memandang berke-
liling dan dilihatnya satu sosok di atas kuda hitam 
yang mengenakan caping bambu. Dia adalah Pandu 
yang telah tiba di Keraton Widung dan langsung me-
motong serangan dari Prakesti terhadap Prabu Kaman-
sura. 
 
Pemuda itu tersenyum. Melompat ringan dari 
kudanya. Menyembah hormat pada Prabu Kamansura 
yang bersyukur. Lalu mendengus pada Prakesti. 
"Hhh! Rupanya inilah tampang manusia yang 
berkhianat! Bagus! Dosamu sudah tidak terhimpun 
banyaknya, kau lebih baik mampus!!" 
"Keparat! Siapa kau, hah?" 
"Aku adalah Pandu... orang kebanyakan me-
nyebutku dengan sebutan Pendekar Gagak Rimang!" 
"Hhh! Pendekar taik kucing! Lebih baik kau 
pergi dari sini, sebelum kemarahanku justru memun-
cak padamu!" 
"Tidak, aku justru ingin merasakan kemarahan 
mu, Panglima khianat!" 
"Anjing buduk! Mampuslah kau!!" 
Prakesti pun mengalihkan serangannya pada 
Pandu. Pendekar Gagak Rimang mencoba menghinda-
rinya, namun terkejut bukan kepalang karena menda-
dak saja Prakesti mengibaskan tangannya dan serang-
kum angin dingin berkesiur dengan hebat. 
"Keparat!" seru Pandu kaget dan menghindar 
dengan jalan bersalto. 
Namun manusia itu dengan gencarnya terus 
mencecar hebat. Pandu menjadi pontang panting di-
buatnya. 
"Hahaha...  mampuslah  kau,  Manusia usil!!" 
Serangan-serangan yang berbahaya itu sema-
kin gencar mengarah pada Pandu. Murid Eyang Ring-
kih Ireng terkejut semakin kaget. Tiba-tiba terdengar 
suara di telinganya. "Cucuku... bila kau ingin mela-
wannya, hantamlah matanya... karena dia adalah titi-
san dari Penunggu Hutan Larangan...." 
"Eyang...." 
"Lakukanlah...." 
Pandu pun bersalto menghindari gempuran itu,  
hingga suatu ketika dia pun terbebas dan seperti yang 
dibisiki oleh gurunya itu dia pun mencecar kedua mata 
Prakesti. Benar saja, karena manusia itu berulangkali 
menghindarkan kedua matanya dari serangan Pandu. 
Namun hal itu tidak berlangsung lama, karena 
Pandu sudah mengeluarkan ilmu Cakar Gagak Ri-
mang. Dan pada suatu kesempatan dia pun berhasil 
menghantamkan ajiannya itu ke wajah Prakesti dan 
kedua jarinya terbuka, mencolok mata Prakesti. 
Terdengar seruan keras bagaikan lolongan sri-
gala.  Lalu tubuh itu ambruk. Pandu mendesah pan-
jang dan melihat ada bayangan yang lepas dari tubuh 
Prakesti. 
"Hahaha... aku, Penunggu Hutan Larangan 
akan terus memperdaya manusia untuk bersekutu 
denganku! Sampai kapan pun!" 
Semuanya terkejut. Tak terkecuali Prabu Ka-
mansura. Namun yang membuatnya lebih terkejut, ka-
rena sosok pemuda yang telah menolongnya telah le-
nyap. 
Hanya terdengar ringkik kudanya belaka. 
 
 
TAMAT