Pendekar Gagak Rimang 9 - Dendam yang Tersisa

 
Malam gulita. Keadaan desa di bagian Utara 
yang sunyi senyap bagaikan mati, seperti tak ada 
penghuninya. Padahal desa itu adalah sebuah desa 
yang makmur dan ramai bila siang hari. Namun setiap 
malam keadaan desa itu menyeramkan. Sunyi. Hening 
bagaikan mati. 
Hanya suara binatang malam yang terdengar 
ramai bagaikan sedang unjuk diri. Mereka bergembira 
menikmati keheningan malam ini yang dapat mereka 
manfaatkan untuk mencari makan, bermain, bersenda 
gurau maupun saling melepaskan hasrat birahinya. 
Karena bila siang hari, mereka merasa terganggu sekali 
dengan kegiatan para manusia. 
Langit di atas muram. Bulan pun hanya sepo-
tong, seakan malam ini sudah diisyaratkan akan terja-
di sesuatu. Dan keheningan itu semakin mencekam 
belaka, semakin membuat para penduduk lebih suka 
menarik selimut dan mendekap guling mereka erat-
erat daripada keluar rumah atau memikirkan hal-hal 
yang tidak-tidak. Ini hanya mengganggu tidur mereka 
saja. 
Namun mendadak saja desa yang sunyi dengan 
sinar bulan yang bersinar temaram itu tiba-tiba men-
jadi kacau balau. Bermula dan terdengarnya tawa pan-
jang yang amat mengerikan sekali, disusul dengan api 
yang berkobar di atap beberapa rumah hingga mem-
buat penghuninya harus berlarian menyelamatkan diri. 
Seketika desa yang sepi menghening itu bagai-
kan kegiatan siang hari. 
"Api...! Api...!" 
"Cepat padamkan...!" 
"Gila! Dan mana datangnya api itu...?!" 
"Tolong...! Tolong...!!" 
Seruan ramai terdengar ditingkahi dengan ge-
rak cepat para penduduk yang membantu memadam-
kan api. Namun belum lagi api yang satu berhasil di-
padamkan, mendadak saja api-api itu menyambar lagi 
rumah-rumah yang lain. 
Keadaan semakin kacau balau saja. Kembali 
seruan-seruan ramai terdengar. Dan yang paling me-
nyayat hati, salah seorang penduduk berlarian dan 
rumahnya dengan tubuh terbakar. 
"Tolong...! Tolong...!!" serunya kepanasan dan 
berlarian ke sana ke mari. Para penduduk berusaha 
untuk memadamkan api di tubuh orang itu, namun 
api lebih cepat menyambar dan membakarnya. Hingga 
kemudian orang itu terguling kepanasan di tanah den-
gan lolongan yang amat panjang sekali. 
"Aaaaakkkh...!!" 
Jerit tangis anak istri orang itu terdengar me-
milukan. Menyedihkan. Mereka saling mendekap se-
mentara beberapa orang penduduk yang menyaksikan 
hanya bisa mendesah dengan hati pilu. Dan beberapa 
orang lagi berusaha menahan anak beranak itu yang 
hendak berlari mendapatkan jasad yang hangus. 
Api terus berkobar. Hal ini membuat para pen-
duduk menjadi curiga. Dari mana datangnya api itu? 
Mengapa mendadak saja datang membakar rumah-
rumah mereka? 
Belum lagi keheranan mereka terjawab, men-
dadak saja melayang satu sosok tubuh dengan gera-
kan yang amat ringan sekali. Sosok itu tinggi besar. 
Wajah tertutup oleh rambutnya yang panjang, hingga 
orang-orang yang berada di sana agak kebingungan 
untuk menegaskan siapa yang berdiri di hadapannya? 
Laki-laki ataukah perempuan? 
 
Namun yang pasti mereka menyadari, kalau 
orang asing yang baru datang itu bukanlah orang yang 
datang dengan rasa persahabatan. Melihat sikapnya 
yang berkacak pinggang. 
Lalu terdengar suaranya terkekeh. 
"He-he-he...! Jangan kaget, manusia-manusia 
goblok! Bila kalian heran dan penasaran untuk menca-
ri siapa yang telah berbuat seperti itu, akulah orang-
nya!!" Suaranya nyaring dan terdengar cukup mengeri-
kan. Dari nada suaranya pun mereka sulit untuk 
membedakan laki-lakikah atau perempuankah sosok 
yang wajahnya terhalang oleh rambut itu. 
Namun mendengar pengakuannya yang terus 
terang dengan nada yang amat sombong sekali, mem-
buat para penduduk menjadi marah. Mereka dengan 
serempak segera mengepung sosok itu yang hanya ter-
kekeh saja. 
"He-he-he.... kalian mau apa, hah?!" 
"Manusia busuk! Tidak ada angin dan tidak ada 
hujan, kau tiba-tiba saja mengganggu ketenangan kami!" 
"Perbuatanmu sungguh-sungguh keji!!" 
"Kematianlah yang tepat untukmu!!" 
Seruan-seruan marah itu terdengar gegap gem-
pita. Para penduduk mengambil sikap siap menyerang. 
Bahkan ada pula yang kembali dulu ke rumah untuk 
membawa senjata. 
Namun semua itu hanya disambut dengan ke-
kehan belaka oleh sosok itu. 
"He-he-he... tidak salah, kalian memang tidak 
salah! Kemunculanku di dunia persilatan ini memang 
untuk membalas dendam! Dendam yang sekian lama 
terkubur di hatiku?!" 
"Apakah kau dendam pada kami?" 
"Tidak!"  
"Lalu mengapa kau lakukan kekejian ini terha-
dap kami, hah?! Bukankah seperti katamu tadi, kau 
tidak mendendam pada kami? Dan berarti di antara ki-
ta tidak ada silang sengketa, bukan!" 
"Memang tidak ada! Namun aku harus berbuat 
seperti itu." 
"Bangsat! Untuk apa kau melakukannya, hah?! 
Tidak tahukah kau, bahwa perbuatan mu ini amat me-
rugikan sekali!!" 
"Sudah tentu aku tahu! Dan aku senang mela-
kukannya!" 
"Mengapa kau melakukannya, hah?!" "He-he-
he.... kau rupanya punya nyali, Bocah! Bagus! Bagus! 
He-he-he.... memang kalian perlu tahu, kemunculanku 
adalah untuk mencari si Pengemis Suci, yang telah 
mengalahkan aku beberapa puluh tahun yang lalu. 
Dan kemunculanku kembali ke dunia persilatan ini, 
untuk mencarinya!" 
"Tapi mengapa kau melakukannya kepada ka-
mi?!" 
"Goblok! Dengan cara membuat onar seperti 
itu, kuharapkan si Pengemis Suci akan muncul!" 
"Bangsat! Perbuatanmu ini sungguh keji!" 
"He-he-he.... aku, Ki Ronggo Jibus atau yang 
lebih dikenal dengan julukan Manusia Berubah Muka 
tak akan pernah mundur sebelum keinginannya terca-
pai! Dengan cara seperti apa pun akan kulakukan un-
tuk memancing kemunculan si Pengemis Suci! Hhh! 
Rasanya aku tidak sabar untuk segera menjumpai dan 
membunuhnya!" 
"Manusia keparat! Lebih baik kau mampus! Se-
rang...! Hiaaaattt...!!" 
Lalu pemuda pemberani itu pun bergerak den-
gan cepat ke arah sosok itu. Tangan kanannya yang 
penuh dengan tenaga diarahkan ke dada manusia itu.  
Namun mendadak saja gerakan tubuhnya terhambat 
dan belum lagi dia menyadari apa yang terjadi, dirasa-
kannya sesuatu mengenai pahanya. Ngilu. Amat ngilu 
terasa. 
Dan belum lagi menyadari benda apa yang 
mengenai kakinya, mendadak saja dia menjerit lalu 
ambruk dengan leher putus. Kepalanya menggelinding 
ke para penduduk yang membentuk lingkaran hingga 
mereka hams berlarian menghindari kepala itu. "Oh, 
Tuhan!!" Marahlah mereka. "Anjing kurap! Bunuh 
dia...!!" Bagi penduduk desa bagian Utara, persahaba-
tan dan persaudaraan amat mereka junjung tinggi se-
kali. Maka serentak mereka menyerang dengan gigih 
dan berani ke arah sosok tak dikenal itu. 
Namun lagi-lagi hal seperti itu terjadi. Bahkan 
terdengar lima orang sekaligus men jerit dan ambruk 
dengan kepala buntung. Dan sepasang mata mereka 
mendelik bertanda mereka tidak rela untuk mati. "Ib-
lis!" "Keparat!" "Bunuh dia!" 
"Jangan takut, Saudara-saudara! Bunuh dia...!!" 
Seruan-seruan itu terdengar amat bersemangat 
sekali. Dan kembali dengan gigih dan gagah berani me-
reka menyerbu ke arah sosok itu. 
Kali ini berkelebatan senjata-senjata tajam di 
tangan. Namun sosok tubuh itu hanya terkekeh saja 
tanpa berpindah tempat dari posisinya, seakan men-
ganggap enteng belaka senjata-senjata yang bergerak 
ke arahnya. 
Dan  dengan gerakan yang amat cepat sekali, 
tangannya bergerak. 
"Wuuuut...!! Plak.... Plakk...!!" Beberapa buah 
senjata terlepas disusul dengan gamparan beberapa 
kali. Rasa sakit yang amat luar biasa mereka rasakan 
kala tamparan tangan itu mampir di pipi mereka. 
 
Pikir mereka, rasa sakit itu akan segera meng-
hilang. Namun justru malah semakin menjadi-jadi. 
Bahkan yang membuat mereka kaget, karena mereka 
rasakan pusing yang amat luar biasa dan kepala yang 
amat berat. 
Belum lagi secara pasti mereka menyadari apa 
yang terjadi, tiba-tiba- saja tubuh mereka limbung dan 
ambruk dengan meregang nyawa tanpa mengerti dan 
tak sempat menjerit. 
Justru orang-orang yang menyaksikan yang 
menjerit ketakutan. Hingga mereka akhirnya menyada-
ri dengan siapa mereka sedang berhadapan. 
"Bangsat!!" 
Iblis ..!! Kau manusia Iblis...!!" Sosok itu terke-
keh-kekeh. "He-he-he .. Bukankah sejak tadi sudah 
kukatakan, aku akan membunuh siapa saja yang 
menghalangi niatku untuk membalas dendam! Dan 
semua ini akan kulakukan sampai kapanpun juga! 
Hingga si Pengemis Suci itu muncul dan membuat 
perhitungan denganku... he-he-he...!!" 
Meskipun mereka menyadari betapa tingginya 
ilmu manusia iblis ini, namun mereka tidak takut. 
Bahkan mereka menjadi geram yang amat luar biasa 
sekali. 
Mereka semakin nekat menyerang. Namun lagi-
lagi semuanya itu hanyalah sia-sia belaka saja, karena 
manusia itu amat tangguh dan sakti. Hingga tak lama 
kemudian terlihatlah pemandangan yang amat menge-
rikan. Puluhan sosok tubuh yang tak berdosa harus 
bergelimang tanah dengan nyawa yang melayang. 
Tanah telah bersimbah darah. Kekejian telah 
melanda. 
Sungguh mengerikan. Sosok tak dikenal itu 
terkekeh-kekeh. Terlihat sekali kalau dia begitu amat 
senang dengan apa yang telah dilakukannya. Nyawa  
telah dianggap murah. 
"He-he-he.... rasakan itu!  Rasakan! Sudah ku-
peringatkan jangan sekali-sekali berani menantangku! 
He-he-he.... tak akan pernah kuberikan kesempatan 
kalian untuk hidup!!" 
Tiba-tiba dia menengadah menatap langit yang pekat. 
Lalu berseru keras, "Pengemis Suci! Muncullah 
kau dari sarangmu, bila tidak ingin banjir darah sema-
kin melanda di muka bumi ini!! Muncullah kau, Penge-
cut!! Kita buat lagi perhitungan yang lama!! Bangsat! 
Keluar kau! Keluar...!!" 
Suara itu menggema mengerikan. Diiringi den-
gan kekehan yang amat kuat. Nyaring. Tiba-tiba saja 
sosok itu berhenti tertawa. Dan sepasang matanya 
yang berada di balik rambut yang panjang mendengus. 
Lalu, "Wuuuuuttt...!!" Tubuhnya bergerak, me-
layang dengan cepat menyambar dua orang anak pe-
rawan yang langsung dilarikannya. Sementara kedua 
anak perawan itu meronta-ronta hendak membe-
baskan din Dan gerakan mereka pun terhenti ketika 
dengan gerakan yang tak terlihat pula, sosok tubuh itu 
telah menotoknya hingga mereka terdiam kaku. 
Kekehannya terus berkumandang keras. Amat keras. 
Menjelang pagi hari, masuklah ke desa itu tiga 
sosok tubuh yang nampak amat lelah. Mereka terbela-
lak kaget melihat puluhan mayat bergelimpangan di 
tanah. 
"Oh, Tuhan! Apa yang terjadi?!" 
"Gila! Binatang apa yang telah masuk ke desa 
dan memporak porandakan semuanya!" 
"Mereka semuanya mati!!" 
Tiga sosok tubuh yang ternyata warga desa 
Utara itu pun segera memeriksa keadaan. Dan mereka  
amat geram sekali akan kejadian ini. 
Mereka pun bersumpah untuk mencari tahu 
apa yang terjadi dan siapa yang melakukannya. Dan 
mereka diam-diam menyesal da-lam hati, mengapa ha-
rus terlambat pulang dalam perjalanan. bila saja me-
reka lebih cepat, mungkin mereka bisa mengetahui 
siapa yang berbuat. Atau pula, malah dapat membasmi 
orang yang telah membuat onar. 
Belum lagi mereka bisa bernafas dengan baik, 
tiba-tiba terdengar suara yang keras, nyaring dan 
menggema. 
"He-he-he.... Ki Ronggo Jibus atau Manusia Be-
rubah Muka akan terus membuat onar!!" 
"Bangsat!" geram ketiganya berbarengan. Na-
mun suara itu telah lenyap. 
 
* * * 
 
 
Desa Jajar Sawah adalah sebuah desa yang 
paling ramai penduduknya di sekitar lereng Gunung 
Merapi. Para penduduknya ram ah dan sopan. Baik 
pada sesama maupun terhadap pendatang. Penghidu-
pan dan penduduk di sana kebanyakan bertani, na-
mun tak sedikit pula yang berdagang. Karena keakra-
bannya sering pula pendatang betah untuk menginap 
di sana berhari-hari. Selain di jadikan sarana perda-
gangan yang lancar, karena Desa Jajar Sawah adalah 
jalur lalu lintas ke desa-desa lainnya. 
Namun meskipun demikian, tidak semuanya 
warga Desa Jajar Sawah ram ah. Seperti halnya dalam 
kehidupan yang kompleks ini ada pula yang congkak 
dan sombong. Serta berkelakuan yang kadang kurang  
ajar sekali. 
Dan pemuda yang paling tidak disukai oleh pa-
ra penduduk adalah Radung, putra dari juragan tanah 
di sana yang kerjanya hanyalah membuat onar belaka. 
Sudah banyak keonaran yang ditimbulkan oleh 
Radung. Bahkan keonarannya pun terkadang menju-
rus pada kejahatan. Dari sikap Radung yang ugal-
ugalan dan semena-mena ini kadang-kadang mem-
bangkitkan kemarahan para penduduk. Namun mere-
ka tidak berani untuk mencegah maupun memperin-
gatkan perbuatan Radung meskipun rasa sakit hati di 
dada menggumpal dan menggunung. 
Bagaimana mungkin mereka berani melaku-
kannya, karena ke mana pun pemuda itu pergi para 
tukang pukulnya yang berjumlah tiga orang itu selalu 
mengawalnya. Dan bila sekali Radung memerintah, 
maka bagaikan robot belaka ketiganya bergerak den-
gan buas dan kejam. 
Tak mengenai ampun meskipun yang di-hajar 
mereka sudah babak belur. Agaknya kematian meru-
pakan hal yang lumrah bagi mereka. Merupakan satu 
kesenangan tersendiri yang tak ternilai harganya. In-
ilah yang membuat penduduk menjadi jeri. 
Yang paling tidak disukai oleh para penduduk 
atas perbuatan Radung, karena pemuda itu suka 
mengganggu para anak gadis mereka. Biasanya mere-
ka hanya menahan sabar dan menyuruh anak gadis-
nya jangan menangis. Bagi yang tidak bisa menahan 
emosi malah kena akibatnya sendiri. 
Kalau tidak babak belur, ada pula bagian tu-
buhnya yang patah! Ini malah menyulitkan bagi mere-
ka untuk mencegah segala perbuatan Radung. 
Apalagi sebagian besar dari mereka bekerja di 
sawah milik ayahnya yang berhektar-hektar luasnya. 
Bila mereka masih nekat, selain babak belur bisa juga  
kehilangan mata pencaharian. Mereka masih memikir-
kan perut anak istri mereka. Hingga tidak berani men-
gambil sikap yang berarti. Hanya mandah saja sambil 
mengelus dada. 
Boleh dikatakanlah, pasrah mereka menghada-
pi sikap dan perlakuan Radung yang semena-mena. 
Sementara itu setiap kali kebetulan berpapasan 
atau dari kejauhan sudah melihat pemuda itu, para 
anak gadis merasa lebih baik menghindar atau pun 
mengambil jalan memutar meskipun jauh sedikit dari-
pada ada beberapa bagian tubuhnya yang harus terke-
na sasaran tangan jahil Radung. Yah, mereka rela 
membuang tenaga dan menjadikan kaki mereka sedikit 
pegal. 
Sedangkan tuan tanah Juragan Radu Rukmo 
sendiri malah mendiamkan saja sikap putranya itu. 
Dia malah bangga bila putranya bersikap seperti itu. 
Karena sebenarnya di masa mudanya Radu Rukmo 
pun berbuat yang sama. Bahkan lebih gila yang diper-
buat oleh-Juragan Radu Rukmo. Jadi baginya hal itu 
adalah suatu hal yang wajar. Toh dia sudah merasa 
memberikan penghidupan dan pekerjaan yang menu-
rutnya amat layak bagi para penduduk. Buat apa me-
reka harus marah lagi? 
Sehingga Radu Rukmo merasa, putranya bebas 
saja melakukan  apa saja hendak putranya itu terha-
dap para penduduk. Perduli setan dengan semuanya! 
Karena dengan congkaknya Radu Rukmo pernah ber-
kata di hadapan para penduduk yang mengadukan 
tentang keonaran yang dilakukan oleh Radung, "Kalian 
ini adalah manusia-manusia yang tidak pernah berte-
rima kasih! Kalian seharusnya ingat, selama ini akulah 
yang memberi kalian hidup! Memberi kalian makan! 
Jadi kalian jangan bertindak nekad atau ngawur, ka-
rena perut anak istri kalian akan melilit dan merintih  
kelaparan! Camkan semua kata-kataku itu!" 
Yah, tak seorang penduduk pun yang berani 
mencoba lagi untuk menentang perlakuan Radung 
atau pun melaporkannya pada Juragan Radu Rukmo. 
Sementara kemarahan dan dendam di hati mereka se-
makin besar. 
Pagi itu udara cerah. Udara berhembus sejuk, 
menebarkan rasa alami dan keindahan yang mempe-
sona. Burung-burung bernyanyi dan hinggap dari satu 
dahan ke dahan lain. 
Mereka begitu bergembira karena udara yang 
indah ini seakan menambah kebebasan mereka. Me-
nambah daya pesona alam yang penuh gemilang. 
Alam begitu nyaman, menambah pesona yang 
amat dalam. Membekas hingga ke lubuk hati. Dan 
mengukir satu keindahan yang abadi, yang kadang 
membuat orang enggan untuk meninggalkan keinda-
han yang bak abadi ini. 
Angin bersemilir lembut, namun cukup kuat 
untuk  menggugurkan daun-daun pohon trembesi. 
Daun-daun itu berguguran seperti segumpal anak-
anak yang berlarian sambil bersenda gurau. Suara 
gemercik air sungai di sebelah Timur sana menambah 
keasrian alam yang nyaman. 
Di kejauhan sana, terlihat hamparan sawah 
terbentang luas dengan warna kehijauan hasil cucuran 
keringat para petani. Dan hasilnya siap untuk dipa-
nen. Panen yang menghidupi anak istri mereka. 
Tiba-tiba burung yang beterbangan dari dahan 
ke dahan lain, atau berkicau riang dan terbang me-
nyusul kawan-kawan mereka yang sejak pagi telah 
meninggalkan sarang mencari makan penyambung hi-
dup, mendadak serabutan lari dari tempat mereka 
hinggap bagaikan ada elang yang datang menyambar 
dengan cepat, membuat mereka lebih baik pindah  
tempat. 
Dari batas desa nampak seorang pengemis yang 
melangkah dengan pincang dan tubuh yang sedikit 
bongkok. Sebuah tongkat yang berwarna hitam sekali-
sekali dijadikan sebagai alat bantu untuk kaki kanan-
nya. Tubuhnya amat kurus. Wajahnya begitu tua. Di-
perkirakan usianya sudah mencapai 70 tahun dengan 
rambut memutih panjang yang tidak beraturan. 
Dari raut wajahnya yang tua dan tak sedap di-
pandang nampak sekali kalau dia amat lapar. Maka 
dipaksakannya pula kakinya untuk lebih cepat me-
langkah. Namun sekali-sekali dia masih tersenyum 
melihat burung-burung yang beterbangan kian ke mari 
menyambut pagi. Seakan kegembiraan para burung itu 
dapat menutupi rasa laparnya. 
Dan sekali-sekali pula dia mencoba tersenyum 
pada beberapa orang yang kebetulan berpapasan den-
gannya. Sikapnya begitu penuh rasa persahabatan 
yang tulus. 
Namun meskipun demikian, senyumnya itu ka-
dang dibalas, namun kadang pula di acuhkan. Bahkan 
ada yang meludah karena merasa jijik diberi senyum 
oleh seorang pengemis. "Cih! Mau apa pengemis tua 
itu?!" 
Namun pengemis tua itu tak acuh saja. Santai 
dia terus melangkah, tanpa menghiraukan ejekan dan 
cemooh orang-orang yang kebetulan berpapasan den-
gannya. 
Dia tak acuh saja, seperti tidak ada kejadian apa-apa. 
Sikapnya santai dan enak. 
Kakinya yang sebelah kanan pincang, nampak 
cukup mengganggu langkahnya. Namun dia terus saja 
melangkah. Dengan sikap yang sungguh-sungguh 
amat santai. 
"Cih! Pengemis busuk! Mau apa dia tersenyum- 
senyum pada kita!" seru seorang gadis yang berdandan 
cukup menor itu pada temannya kala pengemis itu ter-
senyum padanya. "Memuakkan sekali senyumnya itu!" 
Temannya yang bertubuh gempal, yang tak ka-
lah menornya, pun mengangguk dengan sikap yang 
tak kalah mengejeknya. Gayanya pun genit, sama hal-
nya dengan temannya. Mereka terlihat bagaikan gadis-
gadis penghibur belaka. 
"Dasar tidak tahu malu!" 
"Kebagusan amat bila kita membalas senyum itu!" 
"Cih, Jembel busuk!" 
"Dipikirnya senyumnya itu amat bagus? Hhh! 
Tak sudi aku melihatnya dua kali!" 
Mendengar kata-kata itu si Pengemis tua tak 
acuh saja. Dia malah tetap tersenyum, semakin mem-
buat kedua gadis itu bertambah sewot. 
Bergegas mereka melangkah menjauhi penge-
mis itu. Kuatir kuman penyakit yang menempel di tu-
buh pengemis tua itu pindah ke mereka. 
"Hhhh! Tak layak nampaknya desa kita dima-
suki oleh gembel bongkok dan pincang itu!" menden-
gus salah seorang sambil bergegas. "Ayo cepat, aku 
kuatir kita ketularan penyakit dari tubuhnya!" 
 
Namun si pengemis tua itu tetap tersenyum, la-
lu dengan santainya kembali melangkah. Kaki kanan-
nya yang pincang memang terlihat jelas sebagai peng-
hambat dari langkahnya. Namun tetap saja dia menye-
retnya ringan dengan dibantu oleh tongkatnya yang 
berwarna hitam. 
Yang menarik dari tongkat itu sebenarnya ada-
lah ujungnya yang berukir kepala ular. Yang nampak 
amat membantu baginya untuk melangkah. 
Senyumnya  tetap bertengger di bibirnya tak  
ubahnya bagaikan menggantung dan bibir itu memang 
hanya bisa menguak senyum belaka. 
Kata-kata ejekan dari dua gadis sombong itu 
dianggapnya hanyalah angin lalu belaka. Toh memang 
benar bila kedua gadis itu mengatakannya buruk. Dia 
memang buruk! Dia hanya tertawa dalam hati. 
Tiba-tiba si pengemis tua itu mendongakkan 
kepalanya. Dari kejauhan tercium aroma masakan le-
zat yang terbawa oleh angin. Si pengemis mengambil 
nafas dalam-dalam menikmati aroma yang menye-
dapkan itu. 
Lalu  kembali diseretnya langkahnya menuju 
kedai yang sepertinya menjanjikan makanan yang 
enak dan lezat. Perutnya dirasakan semakin lapar saja. 
Aroma masakan itu benar-benar amat mengganggu 
dan menarik rasa laparnya untuk ditutupi dengan ke-
kenyangan yang cukup. 
Dia terus membawa langkahnya. Orang-orang 
yang sedang makan di Sana hampir seluruhnya meno-
leh pada pengemis itu ketika kakinya tiba di ambang 
pintu dan mulai melangkah masuk. Bermacam reaksi 
terjadi. 
Ada yang segera mengangkat piringnya untuk 
menjauh dari pengemis itu. Ada yang langsung mem-
bayar dan pergi. Ada yang tetap meneruskan makan-
nya. Ada yang mendengus sebal, namun ada yang tak 
acuh saja. Namun lagi-lagi pengemis itu tidak perduli. 
Tak acuh. 
Dia memilih tempat duduk di ujung. Sikapnya 
benar-benar tidak mengacuhkan sekelilingnya. Tetap 
santai dan begitu tenangnya. 
Dia memesan hidangannya. 
"Tolong berikan aku seguci arak dan makanan 
yang cukup lezat!" 
Pelayan itu hanya mendengus dalam hati. Se- 
benarnya dia menahan nafas karena kuatir bau busuk 
dari si pengemis tercium oleh hidungnya. Bahkan dia 
sendiri enggan untuk melayani pengemis tua ini. 
Bila saja tuannya menyuruhnya mengusir gem-
bel ini dengan senang hati dia melakukannya. Tak 
akan dipikirkannya sebanyak dua kali. 
Sejak tadi dia sebenarnya berharap sekali kalau 
tuannya menyuruhnya mengusir gembel busuk ini! 
Dan pasti akan dilakukannya dengan senang hati. 
Namun karena perintah itu tidak juga di dengar 
nya, maka dia pun mau tak mau melayaninya. Tak la-
ma kemudian hidangan itu pun datang. 
Cuping hidung si  pengemis mengendus-
ngendus untuk menikmati aroma yang amat menga-
syikkan. Seleranya semakin timbul dengan kuat. 
Namun belum lagi pengemis tua itu menikmati 
pesanannya, tiba-tiba terdengar suara terbahak-bahak 
dari luar. Ramai diiringi oleh langkah yang menuju ke 
kedai itu. Namun pengemis itu tak acuh saja. Sele-
ranya telah keluar. Maka dia pun segera menikmati hi-
dangannya. 
Bagi penduduk yang sudah sering mendengar 
tawa itu tidak merasa heran lagi. Karena tawa yang 
paling keras itu milik Radung, pemuda yang terkenal 
tukang membuat onar. Hati mereka sedikit was-was. 
Keonaran apa lagi yang akan dilakukan oleh pemuda 
sialan itu? 
"Hahaha... benar kataku, bukan? Tempat pele-
siran Nyi Alas Tuban begitu mengasyikkan. Gadis-
gadisnya amat montok! Hahaha.... Dan mereka bisa 
menggigit...!" tertawa Radung sambil melangkah ke ke-
dai itu. Di susul dengan seorang tukang pukulnya. En-
tah yang dua orang lagi ke mana. 
Sebenarnya Radung seorang pemuda yang cu-
kup tampan. Wajahnya tirus menandakan kelicikan- 
nya. Tubuhnya kurus tinggi. Cara berdandannya begi-
tu amat perlente sekali. 
Di pergelangan tangannya melingkar gelang 
emas yang cukup banyak. Pakaiannya mengkilat in-
dah. Di lehernya pun melingkar sebuah kalung emas 
yang indah. 
Namun semua itu terlihat menjadi jelek dan 
buruk karena tertutup oleh kelakuannya yang amat 
menjengkelkan. Hingga rata-rata semua penduduk 
membencinya. Dan tak seorang pun yang menyu-
kainya. 
"Hehehehe.... Tuan muda tidak salah pilih me-
mang." kata tukang pukulnya yang lebih banyak men-
coba mengambil hati Tuan mudanya. Dia merasa be-
runtung sekali diajak ke tempat pelesiran. Hehehe... 
kau rugi Sobran.... Kau rugi, Marduko.... tawanya di 
hati. Lumayan aku bisa menikmati keasyikan itu. 
"Hahaha... kapan, kapan aku pernah salah pi-
lih, hah?!" terbahak Radung. Kakinya sudah melang-
kah ke dalam kedai itu, tawanya masih terdengar. 
"Tuan memang tidak pernah salah pilih...." 
"Hahaha.... Bagus, bagus!" terbahak Radung 
sambil menggebrak meja. "Pak tua! Hidangkan arak 
yang paling lezat dan makanan yang paling mahal!!" je-
ritnya keras sambil menghentakkan pantatnya ke tem-
pat duduk. Namun mendadak saja bagaikan di tempat 
duduknya ada paku yang tajam, Radung bangkit kem-
bali. 
Dia mendengus. Matanya melirik ke arah pen-
gemis yang sudah mulai makan dengan nikmatnya. 
"Hhh! Mau apa gembel busuk itu masuk ke 
man, hah?! Guro, usir dia keluar dari sini!!!" 
Tukang pukul yang bernama Guro segera men-
dekati si pengemis dengan langkah yang gagah. Orang-
orang yang memperhatikan menjadi cemas akan nasib  
si pengemis tua itu. 
"Hei, gembel busuk! Keluar kau dari sini! Bawa 
semua makananmu itu, dan makan di luar!" 
Pengemis tua itu mengangkat wajahnya. 
Dia hanya memamerkan senyumnya dan san-
tainya kembali menikmati hidangannya. 
Wajah Guro memerah. 
"Keparat! Kau belum tahu rupanya berhadapan 
dengan siapa, hah?!" geramnya 
Namun lagi-lagi si pengemis tua itu hanya 
mengangkat wajahnya, sedikit tersenyum dan kembali 
meneruskan menikmati hidangannya. 
"Hei, Budek! Jangan jual lagak di depanku, 
hah?!" geram Guro dengan kemarahan yang mulai 
naik. 
Lagi si pengemis itu hanya tersenyum. 
"Anjing! Kau rupanya memang ingin bermain-
main dengan aku, hah?!" geramnya makin jengkel. 
Yang sedang dipikirkannya adalah bila pengemis tua 
itu sebenarnya tidak tuli. namun tengah mengejeknya 
dengan menjadi pura-pura tuli! Bangsat! Ini tidak 
main-main lagi! 
Namun lagi-lagi pengemis tua itu hanya terse-
nyum. Lalu menenggak arak yang dipesannya lang-
sung dari gucinya. Hingga tandas tak tersisa setetes 
pun. 
Lalu dengan santainya pula dia menyeka mu-
lutnya dengan punggung tangannya. Lalu mendesah 
panjang penuh nikmat. Arak tadi sungguh bukan arak 
sembarangan. 
Guro menjadi mangkel. Apalagi dengan san-
tainya pengemis itu bangkit berdiri. 
"Anjing tua keparat! Rasakan ini!!" geram Guro 
sambil melayangkan pukulannya. Dalam pikirannya 
hanya sekali pukul saja pengemis ini pasti sudah am- 
bruk berantakan. 
Namun di luar dugaannya, dia malah memukul 
angin sementara si pengemis dengan asyiknya melang-
kah untuk membayar. Seakan tidak ada gangguan 
atau pun halangan yang menghalangi langkahnya. Te-
tapi santai. 
Sejenak Guro  terheran-heran. Padahal dia ya-
kin kalau pukulannya akan tepat mengenai sasaran. 
Namun mengapa dengan mudahnya pengemis tua itu 
bisa menghindar dari pukulannya. 
Melihat hal itu Radung menjadi geram pula. Da 
langsung menendang sebuah kursi untuk menghalangi 
langkah si pengemis hingga terbalik. 
Pengemis tua itu memang terhalang, namun 
dengan ringannya seakan tanpa kejadian apa-apa, 
pengemis itu melangkah melalui sisi yang lain. 
"Bangsat!" geram Radung marah dan berseru 
pada Guro yang masih bingung dengan cara apa pen-
gemis itu sudah berhasil lolos dari pukulannya. "Sia-
lan! Hajar dia! Biar dia tahu rasa dan kapok berbuat 
seperti itu!" 
Dengan geram Radung bergerak cepat dan 
kembali menyerang. Namun lagi-lagi serangannya ti-
dak mengenai sasaran. Hanya mengenai angin belaka. 
Dia jadi bingung sendiri sementara si pengemis 
telah keluar dari kedai itu tetap dengan langkah yang 
pincang terseok-seok. 
Sekali-sekali dibantu oleh tongkatnya yang 
tangkainya berkepala ular. 
Namun tetap saja pincang kakinya bukanlah 
merupakan sebuah penghalang yang amat berarti ba-
ginya. Karena meskipun langkahnya diseret terlihat 
demikian mudah. 
"Anjing tua! Kubunuh kau!" geram Guro sambil 
berlari menerjang kali ini dia mencabut golok yang ter- 
selip di pinggangnya dan dengan ganasnya siap dihu-
jamkan ke bagian belakang dari pengemis itu. 
Namun entah apa yang terjadi, tiba-tiba saja 
Guro memekik dan jatuh pingsan. Yang menyaksikan 
menjadi heran, di samping senang melihat tukang pu-
kul Radung terkena batunya. Apa? Apa yang terjadi? 
Mengapa Guro bisa pingsan mendadak seperti 
itu? Namun bila Guro belum pingsan dan masih bisa 
bicara, tentulah dia akan mengatakan kalau sesuatu 
yang amat keras dan penuh tenaga bak sebuah godam 
layaknya, telah menghantam tengkuknya dengan tepat 
sekali. 
Rasanya tak terkira sakit dan beratnya. 
Melihat hal itu Radung menjadi marah bukan 
buatan. Sambil menggeram dia berlari ke luar menyu-
sul langkah pengemis tua yang terpincang-pincang. 
Dia tidak terima dengan perlakuan pengemis bungkuk 
itu. 
Pemuda itu memang seorang yang panasan, 
yang merasa tak seorangpun boleh merendahkan nya 
atau pun menyamainya. Apalagi merendahkannya di 
hadapan orang banyak, maka diapun menjadi panas. 
Dia tidak pernah menerima perlakuan seperti ini. Pen-
gemis itu harus diberi pelajaran! 
Dengan langkah gusar dia memburu si penge-
mis yang terpincang-pincang melangkah itu dan berdiri 
di depannya dengan sikap sok jago dengan kedua kaki 
terbuka lebar. 
Sementara orang-orang yang sedang makan 
berhamburan untuk melihat kejadian di depan kedai 
itu. Di samping merupakan satu tontonan yang amat 
menarik, mereka menjadi penasaran siapakah sesung-
guhnya pengemis itu? Mengapa begitu berani mengha-
dapi Radung? Apakah dia belum tahu siapa sesung-
guhnya pemuda berangasan dan berandal itu?  
Hati mereka semakin bertambah penasaran. 
Dan mereka yakin baru kali ini mereka melihat 
pengemis tua itu di sini. 
 
* * * 
 
"Berhenti!" terdengar seruan Radung keras. Wa-
jahnya begitu geram dan beringas. 
Si pengemis bongkok itu pun berhenti melang-
kah. Wajahnya yang nampak penuh luka mengering 
itu diangkatnya untuk menatap wajah Radung yang 
kelihatan mar ah bukan buatan. Namun wajahnya 
nampak tersenyum. Bahkan tidak terlihat sedikit pun 
dia merasa ngeri dengan kemarahan pemuda itu. 
"Sobat... ada apakah gerangan hingga kau 
nampak begitu marah padaku?" 
"Hhh!  Gembel busuk! Lebih baik kau angkat 
kaki saja dari desa ini sebelum aku marah!!" serunya 
kasar. "Dan jangan coba-coba untuk kembali lagi!" 
Pengemis itu hanya memamerkan senyumnya. 
Sikapnya penuh bersahabat. 
Membuat dada Radung bagaikan mau meledak. 
Dan suaranya dengan hentakan yang menggelegar pe-
nuh kejengkelan pun berseru dengan geram, 
"Hei, tersenyum lagi kau?!" 
"Sobat... mengapa kau melarang aku untuk 
singgah sejenak di desa ini?" tanya pengemis itu den-
gan suara yang terdengar sopan. 
Namun malah membuat Radung menjadi be-
rang, karena merasa pengemis tua itu tidak pantas un-
tuk bicara dengannya. Hatinya semakin gusar dan pa-
nas, karena merasa derajat sosialnya makin terinjak-
injak. 
"Hei, berani bicara pula kau ini!" bentaknya 
dengan suara yang menggelegar.  
"Mengapa, Sobat? Apakah di desa ini ada laran-
gan bagi seorang pengemis untuk singgah?" 
"Karena kau hanya mengotori desa ini saja!" se-
runya. "Hhh! Kau mau jual lagak rupanya!" 
"Apakah orang sepertiku ini tak layak untuk 
mencari makan di sini?" 
"Ya! Karena kau hanya pengemis, pekerjaan ba-
gi orang yang malas!" 
Pengemis itu menggelengkan kepalanya, masih 
tetap tersenyum. Penuh persahabatan. 
"Tidak, Sobat... aku datang untuk membeli se-
dikit makanan untuk mengganjal perutku yang kelapa-
ran ini.... Dan bermaksud ingin singgah di sini...." 
Pemuda itu tiba-tiba terbahak. Penuh nada 
mengejek dan meremehkan, "Apa kau bilang? Membeli 
makan di sini? Hahahah. .. hei, pengemis busuk! Mana 
mampu kau membeli makanan bila tidak dengan cara 
mengemis, hah?! 
Itu adalah satu-satunya  cara untuk menda-
patkan makanan! Kau ini sedang mengigau atau se-
dang bermimpi menjadi orang kaya.... Tadi pun mung-
kin makanan yang kau makan itu kau bayar dengan 
cara mengemis agar mendapatkan belas kasihan! Hh! 
Kau berlagak kaya rupanya!" 
"Aku mempunyai sedikit uang, Sobat... yang 
kupikir dapat ku tukarkan dengan sedikit makanan...." 
kata pengemis tua itu tetap sopan. "Aku tadi sudah 
melakukannya... dan memang benar, aku bisa menu-
karkannya dengan makanan... Apakah aku salah me-
lakukan hal itu, sobat?" 
"Hahahah... kau memang tengah mengigau ru-
panya!" masih tertawa Radung mengejek. "Perlihatkan 
padaku, bila kau memang punya uang? 
Dan buktikan padaku bahwa yang kau makan 
tadi bukan kau dapatkan dengan cara meminta belas 
 
kasihan orang lain! Perlihatkan padaku! 
Tetapi awas, bila kau tidak dapat memperli-
hatkannya aku akan menghajarmu hingga tunggang 
langgang! Camkan itu! Aku tidak pernah sungkan un-
tuk menghajar siapa pun! apalagi seorang pengemis 
macam kau!!" 
"Apakah bila benar aku punya uang kau mem-
perkenankan aku untuk singgah di desa ini?" 
"Sudah tentu, asal tidak dengan cara menge-
mis! Tetapi nampaknya mustahil kau memiliki uang 
meskipun hanya sedikit," suaranya penuh ejekan. 
"Kau berjanji?" 
"Ya!" 
"Aku paling suka dengan orang yang berjanji!" 
"Cepatlah pengemis busuk!" 
"Kupegang kata-katamu itu, Sobat...." 
"Hhh! Perlihatkanlah padaku!" seru pemuda itu 
setengah geram dan setengah geli. "Dan ingat dengan 
ucapanku, tadi! Bila kau tidak dapat memperlihatkan-
nya, maka ganjaran hajaran tanpa ampun yang akan 
kau rasakan!" 
Sekali lagi pengemis itu menatap Radung seo-
lah meyakinkan kebenaran omongan pemuda itu. 
Dia mendesah berkali-kali, nampak sebenarnya 
kalau pengemis tua itu cukup kesal dengan perlakuan 
Radung. Namun dia masih berusaha untuk menahan-
nya. 
Lalu dengan hati-hati dia memasukkan tan-
gannya ke tas kumal yang tersampir di bahu kirinya. 
Keningnya berkerut, seolah heran... mengapa aku 
mempunyai uang tapi dipercayai? Apakah aku hanya 
seorang pengemis? Ataukah karena dianggap remeh 
dan yang menduga seperti itu adalah anak seorang 
kaya? Perasaan kesal mulai merambat di hatinya. 
Radung yang memperhatikan terbahak-bahak.  
Perutnya hingga terguncang-guncang karena merasa 
geli. 
"Permainan apa yang sedang kau perlihatkan, 
hah? Jangan terlalu banyak bermimpi!" 
Pengemis itu tetap  tersenyum. "Lihatlah, So-
bat...." desisnya. Lalu tangan itu perlahan-lahan keluar 
dari tas kumalnya, dalam keadaan tergenggam. 
Radung masih terbahak. Pikirnya pengemis ini 
hanya membual belaka. Tak pernah dijumpainya seo-
rang pengemis memiliki uang yang banyak. 
Namun tawanya terhenti ketika pengemis tua 
itu membuka genggamannya dan menyodorkan tan-
gannya di wajah Radung. Beberapa keping uang emas 
berada di telapak tangan yang sedikit kotor dan keri-
put itu. 
Kontan sepasang mata itu terbelalak. Mulutnya 
berseru dengan nada terkejut namun menghina, 
"Hei, kau mencuri di mana uang emas itu, 
hah?!" bentaknya amat kasar. 
Pengemis itu menyeringai. Memperhatikan wa-
jah yang tegang tak percaya. 
"Hmm... kau salah sangka, Sobat.... Aku tidak 
mencurinya, uang ini memang milikku, pemberian seo-
rang sahabat yang baik hati padaku...." 
"Tidak mungkin! Kau bukan hanya seorang 
pengemis, tetapi juga seorang pencuri! Dosamu tak 
akan pernah dimaafkan!" seru Radung. 
"Hmmm... kau mengada-ada, Sobat.... Dan bila 
kau tidak percaya, kau boleh bertanya pada pemilik 
kedai itu, apakah semua hidangan yang aku makan 
tadi hasil belas kasihan, mengemis ataukah kubayar? 
Hmmm... bukankah tadi kau mengatakan, bila 
aku bisa membuktikan bahwa aku memiliki uang, ma-
ka kau akan memperbolehkan aku untuk singgah di 
sini? Apakah kau lupa dengan kata-kata yang baru sa- 
ja kau ucapkan itu, Sobat?" 
Wajah Radung merah padam. Bertanya pada 
pemilik kedai? Hhh! Di mana harga dirinya, hah?! 
Tak akan pernah dia melakukan hal itu! 
Sebenarnya dia menuduh pengemis itu mencuri 
untuk menutupi keterkejutan dan kekalahannya. Na-
mun dia memang seorang pemuda yang sombong, yang 
tak pernah mau mengalah atau dikalahkan Jangan 
oleh seorang yang setaraf dengannya. 
Ini hanya seorang pengemis! Oleh seorang pen-
gemis dia dibuat malu seperti ini! Dia tidak akan me-
nerima, dan tak akan pernah menerima. 
"Pencuri busuk! Berikan uang itu padaku!" se-
runya geram dengan tangan terkepal. 
"Mengapa pula harus kuberikan padamu?" sa-
hut pengemis tua itu dengan ketenangan yang luar bi-
asa. "Ini adalah uangku, bukan milikmu!" 
"Jangan banyak cincong, Bangsat!! Berikan 
uang itu padaku cepat!" 
"Sobat... apakah kau selalu mengingkari janji? 
Atau kau sudah lupa dengan apa yang kau ucapkan 
tadi? Aku kecewa sekali bila kau memang bersikap se-
perti itu. Kuharap... kau tak akan seperti itu...." 
"Persetan dengan segala janji! Kuharap jangan 
banyak tingkah bila ingin selamat!" 
"Benarkah kau suka mengingkari janji?" 
"Keparat! Masih banyak pula kau bicara!" seru 
Radung bertambah geram. 
"Aku adalah orang yang paling suka menepati 
janji! Ketahuilah, aku sungguh kecewa dengan sikap-
mu seperti itu. Dan aku tidak pernah menyukainya!" 
"Anjing buduk! Rasakan ini!" serunya si pemu-
da sambil melayangkan pukulannya lurus ke wajah si 
pengemis. Cepat dan penuh tenaga. 
Beberapa orang yang  melihat mendesis ngeri.  
Karena mereka tahu kekejaman dari Radung. 
Sudah tentu pemuda itu tak akan memberi 
ampun karena siapa pun tahu kalau pemuda itu me-
mang tak pernah punya belas kasihan. Tak terkecuali 
pada pengemis ini. 
Namun pengemis itu masih nampak tenang sa-
ja. Bahkan dia hanya tersenyum saja ketika tangan 
Radung melayang. Masih tetap tersenyum. 
Radung sendiri merasa dengan sekali pukul 
pengemis tua ini akan terjengkang berantakan ke be-
lakang. "Mampuslah kau, Pengemis busuk...!!'' 
 
* * * 
 
 
Namun sungguh di luar dugaannya, karena 
mendadak saja pukulannya tidak mengenai sasaran. 
Melompong mengenai angin. "Hei!" serunya terkejut. 
Untungnya dia bisa menguasai tubuhnya, bila tidak 
dia akan terjengkang karena dorongan oleh tenaganya 
sendiri. 
Dan dia lebih terkejut lagi karena menyadari si 
pengemis sudah tidak berada di dekat-nya. 
Pemuda itu celingukan dan melihat si pengemis 
tengah berjalan dengan santainya meninggalkannya. 
Hal itu membuat si pemuda semakin menjadi geram. 
"Anjing kurapan! Kau ingin bermain-main den-
ganku rupanya, hah!" serunya sambil 
mencegat langkah si pengemis. Namun penge-
mis itu tetap saja tenang. Dia hanya tersenyum. Si-
kapnya sepertinya merasa tidak terganggu oleh sikap 
Radung seperti itu. 
"Mengapa pula kau masih marah pada ku?"  
ujarnya lembut. "Bukankah tadi kau sudah mengizin-
kan aku untuk mencari makan di sini?" 
"Pengemis keparat! Rupanya kau punya kebi-
saan juga, hah?!" Bentak Radung jengkel. "Bagus, aku 
ingin melihat sampai di mana kebisaan mu itu, hah?!" 
"Sobat... mengapa jadi begini? Mengapa kau ja-
di berang seperti ini? Apakah aku mempunyai salah 
padamu?! Kurasa tidak, karena baru kali ini kita ber-
temu. Kita pun bukan dua orang yang saling menden-
dam. Kita tidak punya silang sengketa apa-apa. Na-
mun sikapmu begitu marah sekali padaku...." 
"Setttaaann!" 
"Sobat.... apa sebenarnya maumu ini?" 
"Bagus, bila kau memang ingin tahu apa mau-
ku! Berikan uang itu padaku, hah?! Dan kau boleh 
meninggalkan tempat ini dalam keadaan selamat!" 
"Hmmm... mengapa aku harus menyerahkan 
uang milikku ini padamu, Sobat?" 
"Masih banyak omong kau, hah?!" 
"Aku tahu sekarang, rupanya uang ini yang 
membuatmu menjadi berang padaku? Mengapa kau 
masih berbasa-basi menuduhku sebagai pencuri? Dan 
salah besar menuduhku seperti itu. 
Dan kau pun salah besar bila menganggap aku 
akan memberikan uang ini padamu! Tidak, aku tidak 
akan pernah memberikannya padamu. 
Bila kau memang membutuhkan uang ini, kau 
bisa memintanya padaku. Pasti akan ku berikan. Na-
mun tidak dengan cara memaksa seperti itu." 
"Kau memang pencuri! Berikan uang itu padaku!!" 
Pengemis tua itu tersenyum. "Maafkan aku, So-
bat.... Tak akan pernah kuberikan padamu uang mi-
likku ini.... Tetapi melihat penampilan dirimu, aku ya-
kin... kau sebenarnya tidak pernah kesulitan uang!"  
"Hhh!" pemuda itu mendengus. "Rupanya kau 
memang ingin mengenalku lebih dalam! Baik! Kau bisa 
mempercundangi tukang pukul  ku! Namun tidak se-
mudah itu terhadapku! Bagus, lihat serangan!!" 
Sesudah berkata begitu, sambil menggeram ke-
ras Radung bergerak sungguh cepat. Dia menggerak-
kan tangan kanannya lurus ke wajah si pengemis. 
Keras dan penuh tenaga. Dia bermaksud untuk 
mengakhiri si pengemis dengan sekali hajar. Namun 
sama seperti halnya tadi, pukulannya pun tidak men-
genai sasarannya. Hanya mengenai angin belaka dan 
tubuhnya limbung ke depan karena terbawa oleh tena-
ganya sendiri yang terlalu besar. 
Dan lagi-lagi tanpa terlihat si pengemis sudah 
berpindah tempat. Gerakannya lagi-lagi tidak terlihat. 
Mirip setan belaka. Meskipun bingung namun hal ini 
semakin membuat Radung menjadi marah besar. 
"Anjing! Rupanya kau memang hendak menjual 
lagak di depanku, hah?!" serunya berang dan dengan 
kalapnya dia kembali menyerang. Kali ini dengan kece-
patan yang tinggi dan serangan yang membabi buta. 
Sebenarnya dia jeri melihat kelihaian pengemis 
tua itu yang bergerak bagaikan setan belaka. Dia sen-
diri sebenarnya yakin bahwa dia tak akan menang me-
lawan pengemis tua sialan ini. Namun dia malu terha-
dap orang-orang yang menyaksikan dari depan kedai 
itu. 
Kalah adalah satu kata yang paling pantang 
baginya. Dia tidak akan pernah bisa menerimanya. 
Dan kejadian itu perlahan-lahan banyak men-
gundang minat orang untuk menonton. Begitu pula 
dengan yang sejak tadi melihat. Perlahan-lahan mere-
ka bergerak maju. 
Maka sebentar saja sudah ramai mereka berso-
rak sorai membentuk lingkaran. Rata-rata mengejek  
Radung yang selalu gagal dalam menyerangnya. Dan 
semua itu mereka lakukan karena mereka memang ti-
dak suka dengan sikap Radung yang selalu membuat 
onar dan menyombongkan dirt Pemuda itu mampus 
malah semakin membuat orang-orang itu gembira. 
Bahkan berterima kasih pada pengemis tua yang sakti 
itu. 
Kesempatan ini mereka gunakan sebagai pe-
lampiasan rasa jengkel, marah dan dendam pada pe-
muda itu. Kesempatan yang jarang sekali. 
Di samping itu mereka sebenarnya juga cemas 
dengan si pengemis tua. Karena bila memang Radung 
kalah, sudah pasti pemuda itu tak akan pernah mem-
biarkannya untuk hidup lebih tenang lagi. Pasti pem-
balasan dendam akan terjadi. Ini bukanlah pertama 
kali Radung melakukan hal itu. Sudah sering kali ter-
jadi. Ah, mungkinkah pengemis tua yang nampak san-
tai saja itu akan terkena pembalasan dendam Radung 
yang amat jahat dan terkenal sungguh amat sadis? 
"Hahahah... Radung, kau hanya besar mulut 
saja!" akhirnya terlontar pula kata-kata itu dari mulut 
salah seorang. Yang membuat keberanian yang lainnya 
pun muncul. 
"Rasakan itu! Kena batunya kau!" 
"Lebih baik kau mampus saja!" 
Sorakan ramai semakin terdengar. 
Mendengar ejekan-ejekan itu, Radung menjadi 
semakin kalap. Dia terus menyerang secara membabi 
buta. Gerakannya amat kacau sekali. 
Namun  sejauh itu tak satu pun serangannya 
yang mengenai sasaran. Dan setiap kali dia gagal me-
nyerang, selalu saja tawa mengejek terdengar, diting-
kahi dengan suara tepukan yang semakin membahana 
ramai. 
Hanya nafasnya yang kini terdengar terengah- 
engah. Gerakannya  pun mulai terlihat kacau. Hanya 
semacam dorongan kesombongannya saja yang ada. 
Dan rasa malu karena dimainkan oleh seorang penge-
mis. 
Dalam hatinya yang terbakar telah tergores 
dendam. Dia tidak terima semua ini. Dia akan memba-
lasnya nanti. Dia akan siksa pengemis itu sebelum 
mampus dibunuh! 
Sorak-sorakan mengejek semakin ramai diiringi 
dengan tepuk tangan yang gegap gempita. 
"Radung... kau hanya berani bila bersama tu-
kang pukul  mu! Mampus saja kau sekarang karena 
tukang pukul mu itu telah loyo hahaha...." 
"Mengapa kau tidak segera berlalu untuk pu-
lang menetek pada ibumu!" 
"Hahaha.... kau tak ubahnya bagaikan anak 
ayam kehilangan induk sekarang!" 
"Menghadapi seorang pengemis saja kau gagal! 
Tahu rasa kau! Makanya jadi orang jahat usil!" 
"Lebih baik pulang saja dan rubah kelakuanmu 
yang sombong itu! Atau kau boleh menangis kembali 
pada ibumu yang buncit perutnya dan bertubuh gen-
dut lebam, karena kebanyakan makan harta dan tena-
ga orang lain!" 
"Lebih bisik bunuh din saja kau, Radung!" 
Sorakan mengejek yang diiringi dengan tepukan 
gemuruh itu semakin membahana. Kesempatan yang 
amat langka ini benar-benar mereka gunakan sebaik-
baiknya. Mereka puas bisa melakukan hal yang telah 
lama mereka inginkan itu. Tawa mereka benar-benar 
keluar lepas. 
Meskipun geram bukan alang kepalang, namun 
Radung masih berusaha untuk menjatuhkan puku-
lannya pada si pengemis. Dia harus bisa melakukan-
nya agar orang-orang yang mengejeknya itu menghen- 
tikan ejekannya. 
Mau rasanya dia menghajar mulut-mulut me-
reka yang amat kurang ajar sekali Namun belum sekali 
pun dia bisa menjatuhkan pukulannya pada pengemis 
tua itu. Hanya tenaganya yang terus menerus dikuras. 
Di samping rasa geramnya sudah naik hingga ke 
ubun-ubun. 
Agaknya pengemis pincang yang bungkuk itu 
bukanlah pengemis sembarangan, karena gerakan-
gerakan yang dilakukannya untuk menghindari seran-
gan itu tidak terlihat oleh mata. Sehingga para penon-
ton pun bisa menduga kalau dia seorang pengemis 
yang sakti. 
Sungguh hebat. Dan yang lebih hebat lagi, 
kondisinya yang seperti itu bisa dibawanya dengan 
langkah yang cepat dan cermat. Lagi-lagi gerakannya 
sudah bagaikan kilat belaka. Tidak terlihat oleh mata 
dan betapa cepatnya. 
Dan dari teriakan-teriakan yang diserukan oleh 
orang yang melihat, pengemis tua itu dapat menduga 
kalau pemuda yang bernama Radung tidak disukai 
oleh para penduduk. 
Bahkan terlihat kesan kalau para penduduk 
sudah lama menantikan kesempatan ini dan berusaha 
untuk dengan sepuas-puasnya mengejek pemuda yang 
keras kepala ini. 
Maka dia pun berniat hendak memberi pelaja-
ran pada pemuda yang sombong ini agar merubah si-
kapnya. Maka dia pun terus menerus menghindar 
dengan maksud membuat si pemuda jera akan tingkah 
lakunya selama ini. 
Dia memang tidak bermaksud hendak mencari 
permusuhan, namun dia tidak bisa lagi menghindar 
darinya. Maka mau tak mau dia seakan-akan meladeni 
tingkah si pemuda yang sebenarnya amat menjengkel- 
kan hatinya. 
Terlihat pemuda itu lama kelamaan menjadi ke-
lelahan karena tenaganya terus menerus terkuras. 
Hingga lambat laun dia menjadi sempoyongan dan ge-
rakannya semakin kacau. 
Keringat sudah mengalir di sekujur tubuhnya. 
Seruan-seruan mengejek semakin ramai terdengar. 
Membahana dan penuh gegap gempita. 
Bergemuruh bertalu-talu. Namun kali ini sudah 
samar menerpa telinga Radung bahkan tidak terdengar 
sama sekali. Karena bagaikan tersumbat telinganya 
oleh keletihan tubuhnya yang dirasakan amat menyik-
sa sekali. Mendadak kepalanya menjadi berat. Matanya 
berkunang-kunang. Dan tubuhnya limbung. 
Lalu ambruk setelah sempoyongan berkali-kali 
dengan tubuh yang limbung dan tidak bisa terkontrol 
lagi. Dan akhirnya pingsan. 
Bersamaan dengan itu terdengar sorakan ramai 
dari para penonton. Nyaris ucapan-ucapan mereka ti-
dak terdengar karena terlalu ributnya. 
Mereka amat puas melihat pengemis tua itu 
berhasil mempermainkan Radung. 
"Hahahah.... lebih baik kau mampus saja!" 
"Radung... kau hanya besar mulut!" 
"Rasakanlah akibat dari perbuatanmu selama ini!" 
"Hhhh! Ternyata kau hanyalah macan ompong 
belaka!" 
Setelah pemuda itu ambruk dan pingsan kare-
na kecapaian, si pengemis pun mendesah panjang. La-
lu dengan santainya meninggalkan tempat itu. Sikap-
nya benar-benar tenang luar biasa. Seperti tidak men-
galami hal apa-apa. 
Para penduduk pun seakan tidak memperduli-
kannya. Mereka lebih suka menyoraki pemuda yang te- 
lah lama mereka benci itu. Di mana kepuasan yang 
mereka dapatkan tak terhingga besarnya. 
 
* * * 
 
 
Tiga orang laki-laki itu terus melangkah berge-
gas. Terlihat kalau mereka nampak begitu tergesa-gesa 
karena langkah mereka begitu cepat. Di wajah mereka 
nampak kegelisahan dan tak luput pula kelelahan 
yang terpancar, menandakan mereka sudah berhari-
hari berjalan kaki. Nampak pula kalau mereka mem-
punyai persoalan yang amat mengganggu. 
Ketiganya terus bergegas. 
Mungkin karena mereka sudah tidak sabar un-
tuk mencari tempat beristirahat guna menghilangkan 
rasa penat yang amat menyiksa sekali. Beristirahat 
adalah hal yang amat mereka inginkan sekali seka-
rang. 
Juga karena mereka melihat cuaca yang buruk 
sementara langit kelam dan awan-awan menggumpal 
hitam dan bergerak cepat dihembus angin yang ken-
cang. Malam pun nampak mulai semakin larut. Kelam 
membuainya dalam satu belenggu yang menghitam 
cukup mengerikan. 
Nampak sebentar lagi akan turun hujan. Yang 
mereka kuatirkan, bila mereka kehujanan di tengah ja-
lan sementara tugas yang mereka emban belum terli-
hat titik hasilnya. Tugas yang menurut mereka adalah 
tugas yang mulia. Tugas demi kepentingan orang ba-
nyak yang selalu menjadi incaran dari para manusia-
manusia durjana. 
Ketiganya adalah jago-jago dari Utara yang ber- 
gelar Tiga Setan Api. Tubuh mereka tinggi besar den-
gan badan yang kekar. Wajah ketiganya amat mengeri-
kan sekali. Terlihat mereka tidak mempunyai jiwa per-
sahabatan yang tulus. Di pinggang masing-masing 
yang melilit sebuah angkin cukup tebal, terselip sebi-
lah golok yang amat tajam. 
Yang teramat hebat dari ketiganya adalah, me-
reka memiliki ilmu api yang cukup tinggi dan hebat. 
Sepak terjang mereka di dunia persilatan cukup meng-
getarkan bagi lawan maupun kawan. Mereka kadang 
tidak pernah mengenai belas kasihan meskipun lawan 
sudah memohon ampun dengan wajah yang babak be-
lur atau pun terluka parah. 
Banyak jago-jago di rimba persilatan ini yang 
tidak mengerti akan sepak terjang Tiga Setan Api atau 
tiga pendekar yang menguasai daerah Utara karena 
mereka adalah orang-orang dari golongan putih. 
"Kakang Penggoro ..." memanggil salah seorang 
dari ketiganya pada laki-laki yang mengenakan baju 
berwarna merah dengan angkin hitam melilit di ping-
gangnya. Sedangkan dia sendiri mengenakan angkin 
berwarna putih sama dengan yang seorang lagi. Itu 
menandakan yang bernama Penggoro adalah yang me-
reka hormati. "Ke mana lagi kita hams mencari Ki 
Ronggo Jibus yang telah membuat onar di daerah ba-
gian Utara, Kakang? Sudah hampir tiga minggu kita 
meninggalkan tempat kediaman untuk mencari manu-
sia durjana itu, Kakang!" 
Yang dipanggil mendesah terlebih dahulu sebe-
lum menyahut sambil mempercepat langkah. "Aku pun 
tidak tahu harus ke mana. Namun manusia bejat itu 
telah banyak membuat onar di Utara. Sebagai orang 
dari golongan putih, kita tidak akan bisa menerima 
perlakuannya Entah mengapa manusia iblis itu mem-
buat onar di Utara. Padahal setahu kita, kita tidak 
 
pernah mempunyai silang sengketa dengannya." 
"Namun Kakang Penggoro.... kita tidak bisa 
berpangku tangan bukan? Kita mengemban tugas yang 
cukup berat, karena ini menyangkut nasib orang ba-
nyak! Aku yakin, Manusia Iblis itu tidak hanya mem-
buat onar di Utara saja, Kakang... Ini sungguh amat 
mengkuatirkan  sekali karena sepak terjangnya begitu 
kejam dan telengas. Dia tidak segan-segan untuk me-
nurunkan kematian bagi siapa pun!" 
"Kau benar, Adi Gurno Kita memang tidak bisa 
berpangku tangan. Selama manusia iblis itu yang sela-
lu membuat onar tanpa sebab masih hidup, aku yakin 
niscaya tidak ada kedamaian dan ketentraman di mu-
ka bumi ini." 
"Tetapi, Kakang... kita tidak bisa menganggap 
remeh manusia itu. Ki Ronggo Jibus adalah manusia 
iblis yang bergelar manusia Berubah Muka. Dia dapat 
menyamar menjadi apa saja. Hanya hantu yang tidak 
bisa disamarkannya," kata yang seorang lagi dengan 
nada yang amat geram sekali. Berkali-kali tangannya 
mengepal karena tidak sabar untuk segera menghan-
tamkan tangannya ke wajah Ki Ronggo Jibus. 
Dia tidak akan pernah merasa tenang dalam 
hidup, bila manusia itu belum mampus oleh tangan-
nya. 
"Memang benar. Laki-laki itu amat pandai me-
nyamar dan ilmu kesaktiannya pun amat tinggi," sahut 
Penggoro dengan nada yang tak kalah geramnya. 
"Tetapi, Kakang... kita tidak akan jeri dengan 
ilmunya yang amat hebat itu, bukan?" 
"Sudah tentu, iya! Tugas kita ini adalah untuk 
orang-orang yang tak berdosa yang telah di bumirata-
kan oleh Ki Ronggo Jibus! Sungguh laknat manusia 
busuk itu!" 
"Hhh! Tak sabar aku untuk bertemu dengan  
manusia itu!" 
"Benar, dan kita tidak akan menghentikan pen-
carian ini bila belum mendapatkan manusia keparat 
itu. Dosanya sudah tidak terhitung lagi. Hanya kema-
tianlah hukuman yang patut baginya!" 
"Benar, Kakang.... betapa banyak nyawa manu-
sia yang tak berdosa mati di tangannya, belum lagi na-
sib kaum wanita yang telah di perkosanya! Hhhh! Ma-
nusia laknat! Sudah sepatutnya dia mampus, Kakang!" 
"Iya! Memang matilah baginya yang cocok! Ayo, 
kita harus terus melangkah!" 
Mereka terus bergegas melangkah. Wajah keti-
ganya jelas-jelas menampakkan kegeraman yang amat 
luar biasa terhadap seorang manusia durjana yang 
bernama Ki Ronggo Jibus atau Manusia Berubah Mu-
ka yang tengah mereka bicarakan. 
Mereka sudah tidak sabar untuk menghajar 
hingga mampus manusia durjana itu. Manusia yang 
telah mengirimkan malapetaka di desa bagian Utara. 
Kegeraman itu semakin menjadi-jadi saja nampaknya. 
Agaknya dendam telah terpatri di hati Tiga Se-
tan Api terhadap Ki Ronggo Jibus. Dendam yang bisa 
menjadi abadi bila mereka belum dapatkan manusia 
itu. Hidup atau mati! 
Lalu kembali terdengar Gurno berkata setelah 
melihat suasana yang semakin gelap. 
"Apakah tidak sebaiknya kita berhenti dulu, 
Kakang? Karena sebentar lagi hujan pasti akan turun. 
Ku lihat di sana ada hutan yang cukup lebat, mungkin 
dedaunan pepohonannya bisa menangkal air hujan." 
"Kau memang benar, Adi Gurno.... kita tidak bi-
sa terus menerus mencari seperti ini bila tidak mau 
kondisi kita terganggu. Kesehatan kita harus tetap ter-
jaga demi tugas mulia yang kita emban, untuk meng-
hentikan sepak terjang Ki Ronggo Jibus. Hhh! Manusia  
keparat! Hidupku tidak akan tenang bila belum men-
cabut nyawamu! 
Baiklah... Adi Gurno... Memang, maksud ku se-
perti itu. Lebih baik kita beristirahat saja dulu. Ayo ki-
ta ke sana. Tapi perlu di ingat, kita harus tetap waspa-
da. Aku tidak mau bila kita bertemu dengan manusia 
iblis itu yang dalam keadaan menyamar. Dan dengan 
seenaknya dia membokong dan menghantam kita!" 
Kemudian ketiga jago dari Utara itu pun berge-
rak dengan cepat. Tubuh mereka melesat dengan ke-
cepatan yang luar biasa. Ilmu lari mereka kerahkan 
dengan dipadukan oleh ilmu meringankan tubuh. Se-
hingga semakin leluasa mereka berlari. Cepat dan 
amat cepat. 
Bila dilihat sekilas mereka seakan adu lomba 
berlari untuk mencapai hutan itu. 
Kegeraman mereka terhadap Ki Ronggo Jibus 
yang telah membuat teror di Utara, semakin menam-
bah mereka memacu lari guna mencapai hutan itu. 
Sungguh tidak sabar mereka untuk menjumpai manu-
sia kejam seperti Ki Ronggo Jibus! Manusia keparat 
yang hendak mereka mampuskan! 
Mereka telah bersumpah untuk mencincang 
manusia kejam itu dan memotong-motong bagian-
bagian tubuhnya. Tak ada rasa nya hukuman yang se-
timpal bagi manusia busuk seperti Ki Ronggo Jibus 
sebelum manusia itu mampus. Dan mampus pun bisa 
terlalu enak baginya!" 
"Lihat! Ada sebuah gubuk di sana!" seru Peng-
goro sambil terus berlari sementara kedua adik seper-
guruannya terus mengikuti di belakang dan berusaha 
untuk mengejar Penggoro. "Nampaknya gubuk itu cu-
kup amat dan amat lumayan bagi kita untuk berteduh 
menghindar dari hujan! Ayo kita ke sana!" 
Kembali ketiganya berlarian ke arah gubuk ke- 
cil yang ditunjuk oleh Penggoro. Gubuk yang mereka 
lihat cukup jauh dari posisi mereka sekarang. Semakin 
cepat. Dan berusaha untuk mencapai tempat itu den-
gan waktu yang sesingkat mungkin. Waktu amat ber-
harga bagi ketiganya. 
Langit di atas  semakin kelam. Suasana sema-
kin gelap Petir pun mulai terdengar sambar menyam-
bar dengan sekali-sekali di tingkahi oleh kilat yang be-
rulangkali berkelebat, hingga sekali-sekali pula mene-
rangi tempat itu. Tanda-tanda akan turunnya hujan 
semakin jelas terlihat. Angin berhembus cukup dingin 
sementara geresek dedaunan semakin lama semakin 
keras terdengar. Bagaikan bisikan belaka yang mampu 
membuat bulu roma berdiri. Bahkan terdengar bagai-
kan auman. Alam siap mengamuk. Siap menumpah-
kan kemarahannya dengan keganasan yang luar biasa. 
Namun sebelum mereka mencapai gubuk itu 
dan berada di dekat jalan setapak yang nampak sema-
kin sepi, mendadak saja Penggoro menghentikan la-
rinya. Laki-laki itu terdiam dengan sikap berwaspada. 
Nampak kalau ada sesuatu yang telah menarik 
perhatiannya, dan serentak pula dua adik sepergu-
ruannya itu pun menghentikan lari mereka. Mereka 
pun segera memperhatikan sekelilingnya. Namun tak 
ada sesuatu yang menurut mereka mencurigakan. 
Karena menurut mereka tidak ada yang mencu-
rigakan, mereka berpandangan. Lalu saling mengge-
leng untuk kemudian memperhatikan Penggoro yang 
masih bersikap tenang seperti tengah berkonsentrasi. 
"Ada apa, Kakang?" tanya Gurno dengan sikap 
yang waspada. Matanya sekali lagi memperhatikan se-
keliling mereka dengan sikap yang amat waspada. 
Penggoro tidak menyahut. Dia seperti tengah 
terdiam. Namun sikapnya penuh misterius. Bahkan 
terlihat keningnya berkali-kali berkerut. 
 
Dia memasang telinganya dengan tajam. Dan 
telinga yang terlatih untuk mendengar suara yang cu-
kup jauh sekali pun, lapat-lapat diiringi dengan desir 
angin yang menggesek daun-daun jati dia mendengar 
suara orang menangis. Namun dia menjadi bingung 
dan heran sendiri dengan pendengarannya. 
Benarkah apa yang didengarnya? 
Suara orang menangis? 
Tidak salahkah dia? 
Ya, dia jelas mendengar suara orang menangis. 
Suara seorang perempuan. Terdengar begitu amat 
memilukan sekali. 
Penggoro mendesah. Dia sekali lagi menajam-
kan pendengarannya karena barangkali saja dia salah 
mendengar. Nampaknya amat mustahil. Mustahil ada 
wanita yang mau bermain-main ke hutan seperti ini. 
Namun telinganya tidak salah mendengar. Dia 
amat jelas menangkap suara orang menangis. Dan hal 
ini semakin membuatnya bertambah amat yakin seka-
li. 
Karena sikap kakangnya begitu misterius, dua 
adik seperguruannya pun segera berkonsentrasi. Me-
reka pun menajamkan telinga mereka. 
Dan telinga mereka pun mendengar suara tan-
gis itu. Kemudian keduanya berpandangan dengan ha-
ti bertanya-tanya. Kala kesimpulan mereka singgah 
pada sesuatu hal, mereka menjadi tegang. Dan seketi-
ka terlihat mereka bersiaga. 
"Kakang...." desis Gurno dan Perwiro bersa-
maan, tak sadar tangan keduanya mengepal. Kesimpu-
lan itu amat mengerikan, karena mereka tak meng-
hendaki pertemuan dengan orang yang mereka cari da-
lam keadaan seperti ini. 
Menyamar dan dibokong! 
Penggoro pun mengalami hal yang sama. Na- 
mun dia bisa bersikap lebih tenang. Ki Ronggo Jibus? 
Mungkinkah yang sedang menangis itu adalah Ki 
Ronggo Jibus yang sedang menyamar? Ini merupakan 
kebingungan yang amat terasa sekali. 
"Tenang... kita harus berhati-hati......" desisnya 
waspada dan telinganya jelas-jelas menangkap suara 
orang mengisak. Suara yang semakin lama semakin li-
rih. 
"Kakang... apakah kau tidak menduga kalau 
sosok itu adalah Manusia Berubah Muka yang sedang 
menyamar?" terdengar suara Perwiro bagaikan desisan 
belaka. 
"Aku tidak mau kita salah menduga, dan ma-
nusia yang menangis itu adalah si Iblis Berubah Muka. 
Namun aku pun tidak ingin kita salah menduga. Bisa 
jadi memang ternyata bukan manusia iblis itu yang 
sedang menyamar." 
"Hmm. .. Kakang, menurutmu suara apakah 
itu?" tanya Gurno dengan sikap tetap waspada. 
"Suara seorang wanita sedang menangis." 
"Mungkinkah ada seorang wanita yang iseng bermain-
main ke sini?" "Mungkin." 
"Bagaimana dengan mungkin itu?" 
"Bisa jadi memang seorang wanita yang sedang 
menangis." 
"Mengapa harus di hutan yang menyeramkan 
ini?" 
"Mungkin dia tersasar!" 
"Kalau pun tersasar mengapa harus tiba di hu-
tan seperti ini?" 
"Entahlah." 
"Kakang...." 
"Ya?" 
"Jangan-jangan... itu adalah Ki Ronggo Jibus 
yang sedang menyamar."  
Penggoro mengangguk-anggukkan kepalanya. 
Kesimpulan yang ada dibenaknya pun mengisyaratkan 
jawaban seperti itu. 
"Itu bisa jadi benar. Namun bisa pula salah." 
"Kakang... apakah Kakang lupa kalau manusia 
itu amat pandai menyamar?" 
"Tidak, aku tidak pernah lupa akan hal itu. 
Namun aku pun tidak mau kita terlalu salah bila ter-
nyata memang bukan manusia iblis itu." 
"Lalu bagaimana sikap kita, Kakang?" tanya 
Perwiro. 
Penggoro terdiam. Dia mendesah sejenak sebe-
lum kemudian berkata, 
"Sebaiknya kita cari saja dari mana datangnya 
sumber suara itu. Namun kita tetap jangan lupa, kita 
harus tetap bersiaga dan waspada. Aku tidak mau mati 
konyol dalam hal ini. Bagaimana?" 
Gurno dan Perwiro berpandangan, lalu saling 
mengangguk. Kewaspadaan mereka semakin bertam-
bah. 
"Baiklah, Kakang... mungkin dengan cara se-
perti itu kita akan bisa lebih jelas mengetahui siapa 
orang itu adanya," kata Perwiro. 
"Benar. Ayo!" 
 
* * * 
 
 
Lalu ketiganya pun melangkah kembali. Dalam 
pikiran masing-masing kini semakin terpusat pada 
sumber tangis itu, dari mana dan siapa orang yang se-
dang menangis itu. Pikiran tentang Ki Ronggo Jibus 
yang menyamar semakin lekat di benak mereka. Dan  
ketiganya tidak mau bila mereka mengalami suatu hal 
yang mengerikan. Karena bila memang begitu, habis-
lah harapan mereka untuk menangkap dan membasmi 
manusia busuk itu! 
Bila benar memang Ki Ronggo Jibus yang me-
nyamar adanya, bisa jadi manusia busuk itu telah 
mempersiapkan jebakan yang dapat membuat mereka 
mampus seketika. 
Sungguh mengerikan, karena manusia iblis itu 
bisa dengan enaknya membokong. Dan akan tertawa 
terbahak-bahak melihat hasil kerjanya yang berhasil, 
tanpa mereka bisa melawan sedikit pun untuk meng-
hadapi serangan bokongan atau jebakan yang men-
ganga dan siap untuk menelan mereka. 
Isak tangis itu semakin jelas terdengar. Kini di-
bawa oleh angin yang semakin berhembus dengan 
kuat, sementara geresek dedaunan terdengar sungguh 
amat mengerikan. 
"Suara itu berasal dari arah kiri," kata Penggoro 
pelan dengan sikap yang tetap waspada. 
Dengan hati-hati, kembali semuanya melang-
kah. 
Mereka semakin tegang bila ternyata yang me-
nangis itu adalah Ki Ronggo Jibus yang telah lama me-
reka can, manusia yang telah berbuat keonaran dan 
bertindak tidak mengenai ampun. Padahal tidak ada 
sebab yang bisa dijadikan alasan yang kuat akan se-
pak terjangnya yang mengerikan. 
Sebenarnya Tiga Setan Api cukup gembira ka-
rena secara tidak langsung manusia yang telah sekian 
lama mereka can telah mereka temukan. Akan tetapi 
mereka tidak menghendaki bila adanya pembokongan. 
Meskipun demikian kesempatan ini tidak akan 
pernah mereka sia-siakan. Sebisanya mereka akan 
menangkap manusia jahanam itu atau membunuhnya!  
Itulah sebabnya masing-masing telah siap 
menggenggam hulu golok yang terselip di balik angkin 
yang mereka ken akan. Dan masing-masing telah 
mempersiapkan diri dengan ilmu Tangan Api masing-
masing. 
Semakin dekat mereka melangkah, semakin 
lama suara isak itu semakin jelas terdengar. 
Langkah mereka pun kini makin diperlambat, 
dengan jalan melangkah perlahan. Dengan kesiagaan 
yang teramat waspada. Dengan ketegangan yang mulai 
memuncak. 
Tak jauh dari mereka ada sebuah sendang yang 
cukup deras airnya. Letak sendang itu tertutup oleh 
rimbunnya semak belukar dan di sekitarnya sungguh 
amat gelap. Mampu membuat bulu roma berdiri. Ge-
muruh suaranya yang mengalir deras telah menerpa 
telinga mereka. Semakin menambah ketegangan yang 
berdetak di dada masing-masing. 
Dan nampaknya suara isak itu berasal dari sa-
na. Terbawa oleh angin yang bertiup ke arah mereka 
hingga mereka semua mendengarnya. 
Kini mereka pun melihat sosok tubuh yang ten-
gah terduduk di tanah. Sikap sosok itu menunduk. 
Kepalanya tertutup oleh rambutnya yang cukup pan-
jang. 
Sosok itulah yang menangis. Ini membuat hati 
mereka menjadi bertambah tegang. 
Seorang perempuan? Gusti Allah... benarkah 
dia seorang perempuan, ataukah Ki Ronggo Jibus yang 
sedang menyamar? Pikiran itu melintas di benak mas-
ing-masing. 
Rasa kesiagaan mereka kini berpadu dengan 
rasa ketegangan. 
"Hmmm... hati-hati... nampaknya kita semakin 
mendekati sasaran," desis Penggoro.  
"Aku kuatir ternyata gadis itu adalah Ki Ronggo 
Jibus, Kakang," kata Gurno. 
"Demikian pula aku. Aku bukannya takut, na-
mun aku tidak menghendaki adanya jebakan atau bo-
kongan yang telah direncanakan oleh manusia busuk 
itu!" 
"Lalu bagaimana tindakan kita, Kakang?" 
"Hhh! Manusia busuk itu telah kita temukan! 
Dan kita tak akan pernah menyia-nyiakan kesempatan 
ini, bukan?" 
Ketiganya terus mendekati sambil memperhati-
kan sosok tubuh itu yang semakin lama semakin jelas 
terlihat. 
Mendadak saja dari kejauhan Penggoro mengi-
baskan tangannya. Dan "Wuuuutttt!" Serangkum an-
gin deras menderu ke arah sosok yang sedang menan-
gis itu. 
Dugaan Penggoro, bila benar sosok tubuh itu 
adalah Ki Ronggo Jibus yang sedang menyamar, maka 
pasti manusia iblis itu akan menghindari serangan itu. 
Namun bila dia memang ternyata sosok tubuh belaka, 
memang seorang gadis yang sedang menangis, maka 
dia akan terhantam dengan derasnya. 
Dan tubuh itu memang terguling dengan deras 
ke belakang setelah serangkum angin besar itu mende-
ru ke arahnya. Sosok itu berguling berulangkali karena 
tenaga dorongan angin yang kuat sekali telah meng-
hantamnya. 
Penggoro terkejut. Dia tidak menyangka sosok 
tubuh itu akan terguling dengan hebat. 
Dan keterkejutannya semakin bertambah sete-
lah mendengar suara mengaduh kesakitan yang amat 
sakit sekali. "Aaaakkkkhhhh!!" Suara seorang perem-
puan, yang tengah kesakitan. Lalu tubuh itu meng-
hantam sebuah pohon yang berada di belakangnya  
dengan deras dan kuat. 
"Kakang!!" seru Gurno yang kalah terkejutnya. 
"Sosok itu terhantam pukulan Seribu Angin mi-
lik Kakang!" seru Perwiro. "Aku tidak ingin kita salah 
sangka Kakang!" 
Penggoro mendesah dengan keterkejutan yang 
mata sangat. 
"Benar! Aku kuatir, aku telah melakukan kesa-
lahan yang amat fatal sekali!" serunya. "Lebih baik kita 
ke sana untuk melihat, namun jangan lupa kita harus 
tetap berhati- hati... Karena manusia durjana itu bisa 
menyamar seperti apa pun! Ayo!" 
Lalu ketiganya pun berlarian untuk mendapati 
sosok tubuh yang terguling tadi. Ketiganya tetap bersi-
kap waspada. Dan mereka masih tetap mempunyai se-
dikit keyakinan kalau sosok itu adalah Ki Ronggo Ji-
bus yang sedang menyamar. 
Sikap mereka tetap berhati-hati. Sementara so-
sok tubuh yang terhantam dorongan angin deras itu 
diam tidak tergerak. Semakin dekat ketiganya dengan 
sosok yang terdiam itu, semakin berhati-hati mereka 
melangkah. 
Sosok tubuh itu berpakaian sedikit ku mal, 
rambutnya panjang tergerai. Wajahnya yang terlihat 
sedikit, benar-benar bercirikan seorang gadis. Hati ke-
tiganya semakin galau dan kebingungan. Karena hati 
mereka pun kini mulai berubah. Berubah secara per-
lahan-lahan dan dibalur dengan penyesalan. Ragu. 
Benarkah dia Ki Ronggo Jibus yang sedang me-
nyamar? Ataukah memang seorang gadis belaka yang 
kebetulan tersasar? 
Hal ini membuat ketiganya menjadi teramat galau. 
Namun karena Penggoro sudah melangkah, ke-
dua adik seperguruannya pun mau tak mau mengiku- 
tinya. Suara langkah mereka itu perlahan, penuh ke-
raguan. 
 
* * * 
 
Sosok itu tetap tidak bergerak. Namun eran-
gannya perlahan-lahan terdengar. 
"Ayah.... aduh, sakit... sakit sekali, aduh ayah... 
sakit, sakit sekali...." 
Rintihan itu semakin membuat mereka sema-
kin bertambah ragu dengan keyakinan itu. 
Sebuah rintihan yang tidak dibuat-buat. Nam-
pak benar-benar amat kesakitan dan penuh kepedi-
han. Hati Penggoro menjadi tidak enak-mengingat dia 
yang membuat semua itu terjadi. Keraguannya mulai 
mengikis. 
Dipenuhi dengan rasa bersalah. Bila saja wani-
ta ini mati, bagaimana jadinya? Bukankah dia sedang 
mencari Ki Ronggo Jibus? Bukannya malah menurun-
kan tangan telengas terhadap orang yang tidak bersa-
lah. 
"Kakang...." terdengar desisan Gurno, seolah 
mengisyaratkan kesalahan yang telah diperbuat oleh-
nya. "Lihat gadis itu... dia bisa kaku karena kedingi-
nan...." 
Penggoro hanya mendesah panjang. Lalu berge-
gas dia menghampiri sosok tubuh itu. Dibalikkannya 
tubuh yang membelakanginya itu. Kini terlihatlah se-
raut wajah yang amat jelita. Namun kening wajah itu 
berkerut dan berkali-kali sepasang matanya yang ter-
pejam bergerak-gerak seperti sedang menahan rasa 
sakit. Sakit yang sukar ditahan rasanya. 
Hati Penggoro makin teriris melihatnya. Dia 
sungguh tidak mengharapkan hal ini terjadi. 
"Tenang, Nyai... tenang...." desisnya mencoba  
menenangkan sosok jelita yang sedang kesakitan, na-
mun dia sendiri sebenarnya tegang luar biasa. Karena 
dia yakin, tak seorang pun akan mampu menahan se-
rangan pukulan Angin Seribunya. Kecuali bila orang 
itu memiliki tenaga dalam yang amat tinggi. Tetapi 
apakah  gadis ini memiliki tenaga dalam seperti itu? 
Dan bila gadis ini masih bisa bertahan sungguh luar 
biasa sekali. "Tenang, Nyai... Tenang... kau akan sege-
ra kutolong...." 
"Ayah... sakit, Ayah... sakit...." erangan itu se-
makin kuat terdengar, semakin membuat Penggoro 
bertambah gelisah. Sementara Gurno dan Perwiro yang 
sudah memasukkan kembali golok mereka ke sarung-
nya, hanya mendesah panjang. Karena mereka sendiri 
tidak yakin bila gadis jelita ini akan mampu bertahan 
lebih lama Dan karena mereka pun tahu betapa dah-
syatnya ilmu Pukulan Angin Salju milik kakak seper-
guruannya. 
"Tenang, Nyai... tenang...." desis Penggoro lalu 
dia sendiri bergerak dengan cepat. Ditempelkannya ke-
dua telapak tangannya ke punggung gadis itu. Lalu dia 
mendesah sebelum berkonsentrasi. Lalu dikirimkan-
nya tenaga dalamnya untuk mengurangi rasa sakit pa-
da tubuh gadis itu. Dan memberi kan hawa panas un-
tuk mengembalikan suhu badannya. 
Bila lewat lima menit, maka tubuh gadis itu 
akan menggigil karena Pukulan Angin Seribu mengan-
dung hawa dingin yang mampu membuat tubuh men-
jadi kejang dan kaku. Dan bila terlambat di berikan 
hawa yang cukup panas atau guna memulihkan tena-
ganya, niscaya gadis itu akan berjumpa dengan maut. 
Bila orang yang terkena Pukulan Angin Seribu, 
dan tidak kuasa menahan akibatnya, maka niscaya 
orang itu akan mampus dengan tubuh membiru kare-
na kejang kedinginan yang amat menyengat sekali. 
 
Sebisanya Penggoro mencoba menyelamatkan 
gadis itu. Separuh tenaga dalamnya telah terkuras, 
namun belum ada tanda-tanda kalau gadis itu sudah 
terbebas dari Pukulan Angin Seribunya. Justru yang 
membuat Penggoro semakin gelisah, karena gadis itu 
malah semakin kesakitan yang terlihat kalau tubuhnya 
mulai mengigil akibat hawa dingin yang mulai me-
nyengat. Pukulan Angin Seribu seakan sama dengan 
ilmu Tangan Salju milik Manusia Dewa yang bermu-
kim di tepi Laut Kidul. 
"Kakang... gadis itu bisa mati bila tidak cepat 
ditolong," kata Gurno tak kalah gelisahnya. Hatinya 
sungguh cemas dan menyesal melihat kejadian itu. 
"Aku tahu! Tapi sudah separuh tenaga dalamku 
yang kukerahkan untuk mengurangi rasa sakitnya, 
namun belum terlihat tanda-tanda sedikit pun kalau 
gadis ini akan selamat. Lihatlah, dia justru semakin 
kesakitan!" 
"Kakang... tenagamu bisa terkuras habis nanti. 
Minggirlah, biar aku yang menggantikan  mu," kata 
Gurno yang melihat tubuh Penggoro menggigil hebat. 
Penggoro pun menyingkir, Gurno menggantikan 
kedudukannya. Penggoro sendiri langsung bersemedi 
guna mengembalikan tenaga dalamnya lagi. Sementara 
Gurno pun mulai mengalirkan tenaga dalamnya. 
Namun sama halnya seperti yang dilakukan 
oleh Penggoro tadi, gadis itu malah nampak kesakitan. 
Terlihat Gurno sudah berkeringat. Sekujur tubuhnya 
nampak mengigil. Tenaga dalamnya pun separuh su-
dah terkuras. Namun tak terlihat tanda-tanda kalau 
gadis itu terobati dari sakitnya. Malah gadis itu sema-
kin ter-erang-erang kesakitan. 
Melihat kenyataan itu, Perwiro pun segera 
menggantikan kedudukan Gurno, dan Gurno sendiri 
pun segera bersemedi untuk  memulihkan tenaganya  
kembali. 
Namun lagi-lagi hal yang sama pun di alami 
oleh Perwiro. dia tidak ubahnya merasa kedua telapak 
tangannya telah menempel lekat pada tubuh gadis itu, 
hingga tenaga dalamnya terkuras separuh pun gadis 
itu masih tetap saja dalam posisi kesakitan. Lekat dan 
dirasakannya tenaga dalamnya bagaikan tersedot. 
Sekujur tubuh Perwiro pun menggigil dengan 
hebat. Keringat pun mengalir di seluruh tubuhnya. 
Malah terlihat kini tubuhnya mulai limbung. 
Rupanya dari ketiganya, hanya Perwirolah yang 
memiliki tenaga dalam di bawah Penggoro dan Gurno. 
Mengingat Perwirolah orang ketiga yang menggabung-
kan diri dengan Tiga Setan Api sebelum mereka bergu-
ru di Hutan Halimun Jawa. 
Untunglah pada saat yang kritis, Penggoro 
membuka matanya. Dan begitu melihat keadaan Per-
wiro yang sudah amat parah, dengan cepat Penggoro 
menggerakkan kedua tangannya ke arah Perwiro. Bila 
saja dia terlambat beberapa menit, tidak mustahil na-
sib Perwiro akan segera menemui Sang Penciptanya. 
"Pllaaaakkk!" 
Kontan tubuh Perwiro terpental  ke belakang. 
Bergegas Penggoro memburunya dengan hati yang ce-
mas. Dan  bergegas pula dia mengalirkan tenaga da-
lamnya untuk memulihkan tenaga dalam Perwiro. 
Namun baru saja dia selesai melakukan itu, 
mendadak terdengar suara tertawa yang amat hebat 
sekali. Keras. Bersamaan dengan turunnya hujan yang 
amat lebat. Membasahi sekujur tubuh mereka, yang 
cukup terkejut mendengar suara tawa yang terdengar 
amat mengerikan. 
"Ha-ha-ha.... Tiga Setan Api dari Utara... ru-
panya kalian manusia-manusia yang memiliki nyali! 
Namun malam ini... kalian akan mampus di tangan Ki  
Ronggo Jibus, karena telah lancang berani-beraninya 
melangkahkan kaki untuk mencarinya.... ha-ha-ha-ha...." 
Ketiganya yang masih belum pulih benar tena-
ga dalam, mereka celingukan bingung. Tak ada tanda-
tanda bayangan Ki Ronggo Jibus atau Manusia Beru-
bah Muka. 
"Ha-ha-ha... kalian benar-benar bodoh! Tak 
seorang pun yang bisa mengenali siapa aku sesung-
guhnya... ha-ha-ha... kematian telah berada di ambang 
pintu, dan telah siap untuk menjemput kalian berti-
ga... ha-ha-ha...." 
"Manusia busuk! Bila kau berani, keluar dari 
tempat persembunyianmu!" seru Penggoro sambil ce-
lingukan ke sekelilingnya. Kewaspadaannya bertambah 
tinggi. 
"Ha-ha-ha... baik, baik... kalian manusia-
manusia bodoh! Ha-ha-ha...." 
"Bangsat! Keluar kau!!!" 
 
* * * 
 
 
"He-he-he... mengapa kau nampak begitu pe-
marah sekali, Penggoro?" Suara itu terdengar amat 
mengejek, membuat telinga Penggoro memerah dan 
semakin bertambah penasaran. "Tidak sadarkah kau 
bahwa tenaga dalammu sudah sebagian menghilang? 
He-he-he... juga dengan dua adik seperguruanmu! Ka-
lian memang sudah sepatutnya untuk mampus! Nah, 
bukankah lebih baik kalian membunuh diri saja dari-
pada harus bersusah payah mati secara mengerikan? 
Apalagi di tanganku... he-he-he...."  
Penggoro yang bertambah geram semakin celin-
gukan mencari sumber suara itu. Demikian pula hal-
nya dengan Gurno dan Perwiro yang juga mencari-cari 
sumber suara itu. 
Bangsat! Siapa adanya pengintai itu?! 
Namun mendadak saja Penggoro mendengus 
dan berseru kaget sambil melihat pada si gadis yang 
masih meringkuk di tanah, "Oh! Bangsat! Keparat! Ru-
panya kau, Manusia busuk!! Mampuslah kau!!!" se-
runya berang dengan kegeraman yang sudah hinggap 
di kepala sambil melepaskan kembali Pukulan Angin 
Seribunya ke arah sosok gadis yang masih meringkuk 
itu. "Wuuuuuttt...!!" 
Serangkum angin dingin keras menderu me-
nerpa ke arah sosok yang masih meringkuk di tanah. 
Rupanya Penggoro mengeluarkan ilmu Pukulan Angin 
Seribunya dalam tingkat tinggi karena berbeda dengan 
dorongan angin yang dilakukan sebelumnya. Hal ini 
membuat Perwiro dan Gurno heran mengapa kakang-
nya seperti bernafsu sekali membunuh gadis itu? He, 
lihat! Apa yang terjadi? 
Kedua terbelalak dengan mata yang seakan in-
gin melompat keluar. Karena mendadak saja dengan 
satu gerakan yang amat lincahnya sosok gadis itu me-
lesat melayang sementara Pukulan Angin Seribu yang 
telah dilepaskan oleh Penggoro menghantam sebuah 
pohon besar di belakang tubuh gadis yang tadi me-
ringkuk. Keras dan pohon itu seketika tumbang. Ru-
panya Penggoro melepaskan pukulannya dengan tena-
ga penuh. 
Bersamaan dengan itu terdengar suara terke-
keh yang amat keras, "Heheheh... itulah kebodohan Ti-
ga Setan Api dari Utara yang telah menyia-nyiakan te-
naga dalamnya untukku! Heheheh... kini ajal kalian te-
lah tiba!" 
 
Lalu sosok gadis yang melayang itu hinggap di 
tanah dengan tangannya dan dengan satu gerakan 
yang amat cepat tangan kanan itu terangkat ke atas, 
dan "brettt!" rambut panjang yang seakan menempel di 
kepala itu copot terbuka. 
Terlihatlah seraut wajah yang cukup mengeri-
kan. Dan ala disingkapkan pakaiannya terlihatlah so-
sok tubuh yang kurus. Sosok itu kira-kira berusia tu-
juh puluh tiga tahun. Pakaiannya serba hitam dengan 
kain pengikat kepala berwarna hitam pula. Wajahnya 
menakutkan dengan raut yang tirus meruncing. Sebe-
lah matanya yang semakin membuatnya nampak men-
gerikan, karena mata itu picek. Itulah sosok asli dari 
Ki Ronggo Jibus yang amat menakutkan! 
Semakin terbelalak mereka melihat kenyataan 
itu. Penggoro yang bisa menguasai dirinya hanya men-
dengus, sedikit merasa terkejut juga melihat wajah 
yang amat mengerikan itu. Gurno dan Perwiro sendiri 
pun  tidak menyangka hal itu dan keduanya menjadi 
amat geram karena merasa tertipu mentah-mentah. 
Merasa tertipu karena telah membuang dan memberi-
kan separuh tenaga dalam mereka pada manusia bu-
suk itu. Penyamaran yang amat hebat telah dilakukan 
oleh manusia durjana itu. Sungguh patut bila dia ber-
gelar Manusia Berubah Muka. 
"Bangsat busuk!!" geram Penggoro kalap. "Su-
dah kuduga engkaulah orang yang berada di balik wa-
jah gadis yang kesakitan itu! Bangsat!" 
Ki Ronggo Jibus terkekeh yang terdengar begitu 
nyaring dan menyeramkan. Dingin, menebarkan hawa 
kematian. Cukup mengundang rasa ngeri yang luar bi-
asa. Kala dia terkekeh mulutnya terbuka, terlihat be-
berapa buah gigi yang menghitam, yang semakin me-
nambah keseraman wajahnya. 
"He-he-he... salahmu sendiri, Manusia go-blok!  
Mengapa kalian bisa tertipu seperti itu?" tawanya 
mengejek. "Kalau begini, apakah aku bersalah? He-he-
he... dasar goblok! Dan biasanya orang goblok seperti 
kalian ini tidak akan pernah mau mengaku salah! 
Yah... memang goblok!" 
"Keparat! Sejak semula aku memang sudah cu-
riga, kalau semua ini adalah tipu muslihatmu! Hhh, te-
rus terang penyamaranmu begitu hebat sekali!" seru 
Penggoro pula dengan jiwa yang semakin geram walau 
sebenarnya dia pun kagum dengan ilmu menyamar 
yang begitu sempurna yang dimiliki oleh Ki Ronggo Ji-
bus. 
"He-he-he... sekali lagi itu salahmu! Salah ka-
lian! Kalian ini memang manusia-manusia goblok, tapi 
tidak mau mengakui kegoblokan kalian! Dasar seperti 
keledai dungu!" 
Penggoro mendengus, kata-kata itu amat me-
nyakitkan sekali Di samping dia juga malu. Lebih malu 
lagi bila mengingat manusia itu sejak tadi tentu men-
tertawai mereka bertiga. "Keparat! Untuk menebus ke-
salahanku itu, kusarankan agar kau lebih baik mem-
bunuh diri saja!" serunya geram. "Hhh! Atau aku yang 
akan membunuhmu? Dan agaknya Dewata memang 
telah menakdirkan kau untuk mati di tanganku!" 
"He-he-he... mati di tanganmu? Jangan asal 
mengumbar bacot! Dengan apa kau hendak membu-
nuhku, Penggoro?" serunya dengan suara mengejek. 
"Dengan ini, Manusia laknat!" geram Penggoro 
sambil mengangkat kedua tangannya yang terkepal 
dengan keras menandakan kemarahan Penggoro yang 
sudah pada puncaknya. 
Lagi-lagi Ki Ronggo Jibus terkekeh-kekeh. Ma-
lah sekali-sekali mengusap janggutnya yang jarang 
namun panjang dan jelek itu. 
"He-he-he.... hendak membunuhku dengan itu?  
Jangan bermimpi di siang bolong kau! Dan jangan 
menganggap ringan Ki Ronggo Jibus. Ketahuilah bah-
wa kau dengan dua cecoro  mu itu yang akan mam-
pus!!" 
"Bangsat keparat!!" geram Penggoro dengan wa-
jah yang memerah buas. Dia merasa ditertawakan dan 
dianggap remeh. Dia adalah seorang pendekar yang 
gagah. Tak pernah dia mundur menghadapi tan tangan 
siapapun juga. Lagipula, kali ini dia memang tengah 
mencari Ki Ronggo Jibus. Maka mendengar ejekan itu 
dia pun segera mengerahkan tenaga pada kedua tan-
gannya, lalu membentak nyaring. "Tahan serangan, 
Manusia busuk!! Ciaaaaatttt!!!" serunya pula dan ber-
samaan dengan itu tubuhnya pun melesat menerjang 
dengan cepat. 
Tangan kanannya yang telah dialirkan tenaga 
dalam yang kuat terhimpun, siap menjembol dada ke-
rempeng Ki Ronggo Jibus. Pukulan itu amat kuat seka-
li dan dengan pukulan semacam itu Penggoro akan 
mampu membuat pecah sebongkah batu sebesar 
kambing atau menumbangkan sebatang pohon kelapa. 
Namun sosok kerempeng itu hanya tetap terke-
keh-kekeh. Dia tidak mengelak atau menangkis seran-
gan itu, melainkan diterimanya pukulan Penggoro yang 
mengandung tenaga dalam yang kuat di dadanya. 
"Wuuuuuuuttt... buuukkk!!" 
Penggoro terkejut sekali ketika merasa betapa 
tangannya seolah bertemu dengan benda kenyal dan 
kuat seperti karet. Seharusnya tangan itu mental kem-
bali karena membal, akan tetapi yang membuatnya 
makin terkejut dan dengan cepat menarik pulang tan-
gannya, karena begitu tangan kanannya menyentuh di 
dada Ki Ronggo Jibus, seperti ada sebuah tenaga yang 
amat kuat menyedot tenaganya. 
Membuatnya sejenak kaget.  
"Ilmu iblis!!" geramnya sambil berjumpalitan 
menjauh dari sosok kerempeng itu. 
Ki Ronggo Jibus terbahak ngakak. 
"Tiga Setan Api yang telah malang melintang di 
rimba persilatan dan menjadi tuan rumah di wilayah 
Utara, rupanya tidak tahu betapa tingginya langit dan 
betapa dalamnya lautan! He-he-he... kali ini baru ter-
buka bukan mata kalian? Bahwa Ki Ronggo Jibus ti-
dak bisa dianggap sepele dan main-main!" 
"Monyet kerempeng! Ilmu apa yang telah kau 
gunakan tadi?!" seru Penggoro yang masih kaget. 
"He-he-he... itulah yang dinamakan ilmu Pena-
rik Jiwa Pemusnah Raga! Di muka bumi ini, hanya 
akulah seorang yang memiliki ilmu itu! Jangan terke-
jut, karena ilmu inilah yang akan memusnahkan ka-
lian! Menyedot darah kalian hingga kering membiru 
dan memusnahkan tenaga dalam kalian! 
Dan untuk mengembalikan tenaga dalam ka-
lian, kalian harus bersemedi selama sebulan... he-he-
he...." 
"Anjing keparat! Kita akan melihat siapa yang 
mati duluan menghadap Dewata! Bunuh manusia 
bangsat itu!!" seru Penggoro seraya melesat menyerbu 
kembali, kali ini dengan meloloskan goloknya. Begitu 
pula dengan Gurno dan Perwiro yang secara serempak 
melompat  Saling susul menyusul meloloskan golok 
mereka ke arah Ki Ronggo Jibus. 
Tetapi manusia kerempeng itu hanya tertawa 
belaka. Lagi-lagi dia tidak berbuat apa-apa. Tetap di 
posisinya semula sambil berucap ringan, "He-he-he... 
kalian akan sia-sia belaka menyerang aku! Lebih baik 
kalian membunuh diri saja!!" 
Tiga buah golok yang tajam itu pun segera ber-
gerak mencari sasaran. Berkelebat amat cepat. 
"Ceeeppp!"  
"Ceeeppp!!" 
"Ceeeppp!!" 
Tiga buah golok itu telah mencari sasarannya 
Namun begitu tiga buah golok itu mengenai sasaran-
nya, bukannya membacok atau pun memotong malah 
seperti melesak ke dalam dan menempel tersedot bela-
ka. 
"He-he-he... rupanya aku belum memberitahu 
kalian secara detail tentang ilmu Penarik Jiwa Pemus-
nah Raga! Ketahuilah, bahwa ilmu ini dapat pula me-
nyedot benda macam apa pun yang menempel pada 
sekujur tubuhku! 
Tak terkecuali golok-golok yang  ada pada ka-
lian... he-he-he-he...." 
Tiga Setan Api adalah jago golongan putih yang 
selalu membela kebenaran dan pantang mundur. Me-
reka tidak takut menghadapi ilmu semacam yang dimi-
liki Ki Ronggo Jibus meskipun mereka tadi sedikit ter-
kejut. 
Namun tak urung  mereka seakan disadarkan 
oleh betapa tingginya ilmu yang dimiliki oleh manusia 
bejat durjana itu. Namun meskipun demikian mereka 
tidak gentar dengan apa yang dimiliki oleh Ki Ronggo 
Jibus. 
Sedangkan sekarang ini mereka tengah berusa-
ha sekuat tenaga untuk menarik golok-golok yang me-
nempel dengan ketat, seolah bagaikan terhisap. Se-
mentara Ki Ronggo Jibus terkekeh-kekeh belaka. 
"Keluarkan semua tenaga dalam kalian, namun 
kalian akan tetap sia-sia belaka," terkekeh dia dengan 
tubuh terguncang. "Karena tak satu benda atau tenaga 
pun yang bisa terlepas dari ilmu yang kumiliki ini." 
Semakin sadarlah Tiga Setan Api dengan kehe-
batan ilmu yang dimiliki Ki Ronggo Jibus. Dan mem-
buat mereka semakin berhati-hati.  
Karena merasa sia-sia untuk menarik dan me-
lepaskan golok mereka yang bagaikan menempel di tu-
buh Ki Ronggo Jibus, dengan terpaksa mereka mele-
paskan genggaman tangan mereka dari batang golok 
itu. 
Dan bersamaan dengan itu serentak ketiganya 
bersalto ke belakang dengan gerakan yang amat ringan 
sekali. Ki Ronggo Jibus terkekeh-kekeh, merasa lawan-
lawannya jeri dan ketakutan dengan apa yang dimili-
kinya. 
Akan tetapi kekehannya itu terhenti karena ma-
tanya langsung terbelalak melihat tiga sosok tubuh 
yang bersalto ke belakang tadi kini melompat kembali 
ke arahnya dengan pukulan lurus ke depan. 
Namun sama seperti halnya tadi, Ki Ronggo Ji-
bus tidak berusaha untuk mengelak atau pun me-
nangkis serangan itu. Dia tetap terkekeh-kekeh menge-
jek. Namun mendadak terdengar seruannya, "Hei.... 
hiaaaattt!!" 
Sebelum ketiga pukulan itu siap menghantam 
tubuhnya bagaikan melihat setan Ki Ronggo Jibus ber-
salto menghindar. Gerakannya cepat dan ringan. Ka-
rena dirasakannya dorongan tenaga angin yang amat 
panas yang siap hinggap di tubuhnya. 
"Pukulan Tangan Api!" serunya keras sambil 
hinggap di tanah bagaikan sesobek kapas dengan rin-
gannya. 
Tiga Setan Api itu rupanya sudah mengelua-
rkan ilmu andalan mereka Pukulan Tangan Api. Keti-
ganya pun sudah menghentikan serangan mereka dan 
kini terkekeh-kekeh melihat Ki Ronggo Jibus harus ke-
takutan dengan ilmu andalan mereka. Mereka sendiri 
merasa sudah tidak ada jalan lain lagi untuk mengha-
dapi manusia busuk itu. 
Hanya ilmu andalan mereka saja yang kini bisa  
digunakan. Walaupun sesungguhnya tadi pun mereka 
sebenarnya ragu, apakah ilmu andalan mereka itu 
memang bisa diandalkan untuk menghadapi Ki Ronggo 
Jibus. 
Namun kenyataannya membawa hasil! 
"Ha-ha-ha... untung kau cepat menghindar, 
Manusia busuk! Bila tidak, kau akan mampus terba-
kar dengan tubuh hangus!" bentak Penggoro keras 
dengan nada mengejek sementara Gurno dan Perwiro 
terbahak-bahak. 
Wajah yang mengerikan itu semakin menye-
ramkan kala menyeringai. "He-he-he... memang, ilmu 
kalian itu mampu membuatku sedikit jeri. Karena il-
muku Penarik Jiwa Pemusnah Raga hanya bisa dika-
lahkan oleh hawa pan as. Dan aku sungguh tidak 
menghendaki bila kenyataannya demikian...." Dia ter-
kekeh lagi. "Akan tetapi kalian tidak boleh lupa, kalau 
yang kalian hadapi kali ini adalah Ki Ronggo Jibus, 
manusia yang memiliki berjuta ilmu yang hanya bebe-
rapa gelintir saja dipergunakan untuk menghadapi se-
kaligus membunuh kalian!" 
"Jangan  banyak omong kau, Keparat!" geram 
Perwiro. "Sambut serangan.... hiiaaaattt!!" tubuh itu 
melesat kembali dengan gerakan yang amat cepat. Pu-
kulan Tangan Api telah terhimpun di kedua tangan-
nya, meluncur dari kanan kin menampar ke arah ke-
dua pelipis kepala lawan. 
"Wuuuuuttt.... Plllaaaakkk!!!" 
Kedua tangannya itu tertahan dengan dua 
buah tangan yang cepat digerakkan oleh Ki Ronggo Ji-
bus. Dan secepat itu pula dia memutar kedua tangan-
nya untuk menangkap pergelangan tangan Perwiro. 
Perwiro terkejut, karena kali ini Ki Ronggo Ji-
bus tidak mengelak, malah dengan santainya dia me-
mapaki pukulan Tangan Apinya. Perwiro berusaha un- 
tuk melepaskan diri, kedua pergelangan tangannya te-
rasa dijepit oleh sebuah alat penjepit dari baja. Meski-
pun jari-jemari itu kurus, namun betapa kuatnya 
mencengkeram pergelangan kedua tangannya. Seakan-
akan dirasakan remuk tulang pada kedua pergelangan 
tangannya. 
Penggoro dan Gurno sendiri menjadi amat ter-
kejut sekali. Dan sebelum mereka sempat berbuat apa-
apa, karena mendadak saja Ki Ronggo Jibus mengge-
rakkan kedua tangannya ke belakang hingga tubuh 
Perwiro mau tidak mau mengikutinya. Bersamaan tu-
buh Perwiro menghadap ke belakang, dengan cepat Ki 
Ronggo Jibus menggerakkan tangannya. 
"Plaaaakkk...!!!" 
Tangan kerempeng namun penuh tenaga sakti 
itu menghantam hingga pecah kepala Perwiro. Perwiro 
ambruk tanpa sempat berteriak, dia hanya merasakan 
sakit yang luar biasa. Lalu sakit itu lenyap selama-
lamanya karena nyawanya sudah melayang menemui 
Sang Penciptanya. 
Hanya terdengar seruan Penggoro kalap lalu 
tubuhnya menerjang, "Manusia keparat! Kau harus 
mengganti nyawa adik seperguruanku!" 
Ki Ronggo Jibus hanya terkekeh. Namun dia 
menghindari serangan dari Penggoro dan langsung 
menangkis dengan kibasan tangan kanannya kala di-
rasakannya ada hawa panas menyambar dari belakang 
tengkuknya, Gurno tengah bersiap hendak menghan-
tamkan pukulannya. 
"He-he-he... rupanya kalian amat penasaran 
sekali denganku! Baiklah, aku pun sudah jenuh den-
gan permainan ini! He-he-he... keinginanku untuk 
mencari si Pengemis Suci belum terpenuhi. Dendam 
yang terpendam puluhan tahun ini bangkit kemba-
li......Pengemis Suci... aku akan datang padamu dan ku  
bawa kepalamu untuk ku ceburkan pada kawah Gu-
nung Merapi!" serunya sambil terus menghindari se-
rangan-serangan dari Penggoro dan Gurno yang terus 
mencecar dengan membabi buta. 
"Hhh! Rupanya urusan itulah yang telah mem-
buat kau selalu gila dan menteror manusia-manusia 
yang tak berdosa!" seru Penggoro sambil terus menye-
rang. 
"He-he-he... benar, benar! Kau pintar, Penggoro! 
Tapi kau akan mampus!!" 
"Bangsat! Kaulah yang akan mati di tanganku, 
Ki Ronggo Jibus!" 
"Hhh! Kalian adalah manusia-manusia lancang 
yang tak akan pernah kuampuni! Tak akan pernah 
kuampuni karena kalian telah mengganggu  kerja  ku! 
Namun sebelum kalian mampus, yang perlu kalian ke-
tahui adalah... selama si Pengemis Suci belum muncul 
juga menemuiku, aku akan tetap membuat onar dan 
selalu meneror setiap desa! 
Dan yang perlu kalian ketahui pula, bahwa te-
lah banyak jago-jago dari golongan putih yang telah 
kubunuh karena mengganggu kerja  ku! Mampuslah 
kalian sekarang! Hiaaattt...!!" 
Melihat kenyataan dari Ki Ronggo Jibus yang 
sudah tidak menghindari serangan Pukulan Tangan 
Api milik keduanya, sadarlah keduanya kalau Ki Rong-
go Jibus memiliki ilmu yang amat hebat guna menang-
kis Pukulan Tangan Api milik mereka. 
Manusia durjana ini sungguh memiliki ilmu ib-
lis. Bahkan manusia itu pun dengan hebatnya ganti 
mencecar, menyerang dengan hebat dan ganas. Amat 
berbahaya dan mengandung tenaga sakti yang kuat. 
Membuat Penggoro dan Gurno menjadi kewala-
han. Pontang-panting mereka berusaha untuk meng-
hindari serangan-serangan yang amat berbahaya dari  
Ki Ronggo Jibus. 
Dan sebelum keduanya dapat mengerti lebih 
lanjut, mendadak saja Ki Ronggo Jibus memekik keras 
disusul dengan gerakan tubuhnya bak seekor rajawali 
jantan yang sedang menyambar anak ayam. Keduanya 
kaget. Sungguh teramat kaget, karena saat itu kedua-
nya pun tengah melancarkan pukulan yang hebat ke 
arah kakek kerempeng itu. 
Sulit untuk dihindarkan lagi, karena jarak me-
reka sedemikian dekatnya dan belum dengan gerakan 
Ki Ronggo Jibus yang teramat cepat sekali. Gerakan 
mereka sulit untuk dihentikan dan mau tidak mau 
terpaksa mereka pun menambah tenaga pada doron-
gan tumpuan kedua kaki. 
Dengan diiringi pekikan yang amat keras. 
"Manusia busuk! Mampuslah kau!!!!" seruan itu 
keluar bersamaan dari mulut Penggoro dan Gurno. 
Dan... Wuuuuutttt... Plaaakkk! Dessss!!!" 
Benturan itu pun tidak bisa dihindarkan lagi. 
Penggoro dan Gurno merasa bagaikan menghantam 
benda kosong melompong seperti balon gas saja. Na-
mun belum lagi keduanya sadar dari kekagetannya, 
mendadak saja sebuah tenaga besar bergerak cepat 
menderu dan menghantam mereka. 
Tak bisa disangsikan lagi kalau tubuh kedua-
nya terpental dengan derasnya ke belakang. Melayang 
bagaikan sebuah kapas yang dihembus oleh angin. 
Tepat di belakang keduanya berdiri tegak seba-
tang pohon besar dan tubuh keduanya pun dengan de-
ras melayang menghantam pohon itu. 
"Braaaakkk!!!" 
Terpental kembali sejenak ke depan, lalu am-
bruk tak bernyawa dengan dada yang robek bagaikan 
terkena cakaran tangan harimau lapar. Sementara di 
tempatnya Ki Ronggo Jibus terkekeh. 
 
Hebat, amat hebat. Karena dia tidak kurang 
suatu apa. Bahkan sikapnya seolah tidak pernah ter-
jadi apa-apa. Santai saja dengan tubuhnya yang ke-
rempeng. 
"he-he-he... tak seorang pun akan ku  biarkan 
hidup... bagi yang berani menentang segala keinginan 
ku! He-he-he... tak ada seorang pun...." 
Lalu kakinya yang kurus bagaikan orang pesa-
kitan melangkah mendekati dua sosok mayat itu. Dia 
terkekeh kembali sebelum kemudian meludahi wajah 
Penggoro dan Gurno yang telah menjadi mayat. 
"Ciiih! Manusia lancang seperti kalian ini me-
mang lebih baik mampus! Tapi... he-he-he... aku tak 
akan pernah berhenti membuat onar sebelum kute-
mukan si Pengemis Suci. Dendam yang terpatri di da-
da selama sekian tahun lamanya, harus segera diluna-
si... he-he-he... 
Pengemis Suci.... kau tak akan bisa lari dariku! 
He-he-he... selama ini kau belum muncul juga, padah-
al aku sudah seringkali membuat onar! Banyak pen-
duduk yang tak berdosa kubunuh! Padahal sebenar-
nya itu kulakukan semata-mata untuk memancing 
kemunculanmu! Namun kau bagaikan anjing penge-
cut! Yang hingga sekarang belum muncul-muncul ju-
ga! 
Kalau begitu baiklah, Pengemis Suci... perbua-
tan onar ku ini tak akan pernah kuhentikan sebelum 
kau muncul! He-he-he... kau akan mampus di tangan-
ku, Pengemis Suci! Dendam sekian tahun akan tuntas! 
He-he-he...." 
Ki Ronggo Jibus terkekeh berbalik ke belakang. 
Lalu tangannya bergerak ke arah wajah dan rambut-
nya. Lama tangan itu menekap wajah dan rambutnya. 
Kemudian kala tangan itu sudah lepas dari sana, terli-
hat seraut wajah muda yang gagah dan tampan.  
Manusia itu telah menyamar kembali. Sungguh 
hebat ilmu yang dimilikinya. 
Masih dengan terkekeh yang menggema di hu-
tan itu, dia pun berkelebat dengan cepat dari sana. 
Hanya kekehannya yang cempreng dan nyaring yang 
masih terdengar. 
 
* * * 
 
 
Malam gulita. Desa Jajar Sawah diselimuti oleh 
rembulan yang pekat. Langit gelap. Awan hitam yang 
terus bergerak berupaya untuk menghalangi sinar 
rembulan yang berpayung di atasnya. Namun rembu-
lan pun tak mampu lagi untuk menahan dan menem-
buskan sinarnya guna memayungi desa Jajar Sawah. 
Tiba-tiba saja alam yang sepi dan penduduk 
yang sedang terlelap dikejutkan oleh jeritan yang amat 
keras dari sebuah rumah, lalu disusul dengan berla-
riannya orang-orang yang tinggal di rumah itu. Karena 
di atap rumah mereka, api berkobar dengan ganasnya. 
"Tolong....!! Api...! Tolong...!!" 
Malam yang sunyi senyap itu pun harus ber-
ganti bagaikan pagi atau siang ban. Semua penduduk 
berlarian keluar rumah. Sebagian segera membantu 
warga yang rumahnya terbakar itu. Namun baru saja 
api berhasil dipadamkan, tiba-tiba kembali api me-
nyambar beberapa rumah. Kali ini lebih dahsyat dan 
cepat, karena langsung sekaligus membakar beberapa 
rumah penduduk. Kepanikan itu semakin menjadi-
jadi. Suara ramai pun terdengar. 
"Cepat...! Padamkan api!! Cepat...!!" 
"Air!! Ambil air...!!"  
Ramai dan gegap gempita. 
Dalam lintasan pikiran mereka Radunglah yang 
melakukan semua ini, namun sejak dibuat malu oleh 
pengemis tua yang sakti itu, pemuda bengal itu tidak 
pernah lagi membuat onar. Bahkan dia pun kini ikut 
terlibat dengan penduduk. 
Tak ketinggalan Radu Rukmo yang dulu hanya 
memeras tenaga rakyat untuk mendapatkan keuntun-
gan yang berlipat ganda, kini malah dengan suka rela 
menambah upah mereka. 
Mungkinkah keduanya yang melakukan hal 
ini? Begitu pertanyaan yang timbul di hati para pen-
duduk. Namun mereka tidak bisa menuduh begitu sa-
ja, bahkan mereka malu dengan tuduhan mereka itu 
sendiri. 
Lagi pula, Radung sendiri bersama tukang pu-
kulnya yang telah insyaf pula, berada di tengah-tengah 
mereka dan sibuk pula membantu. Bahkan Radung 
sendiri turun tangan untuk mengambil air penyiram 
api. 
Selagi mereka sibuk dengan api yang terus ber-
kobar, tiba-tiba terdengar ringkikkan kuda yang amat 
keras sekali disusul dengan derap kuda yang menuju 
ke arah mereka. Jelas dan terdengar keras. 
Belum lagi mereka memperhatikan dengan je-
las, sosok yang mengenakan caping dengan golok di 
punggung itu bersalto dari kuda hitamnya. Lalu meng-
gerakkan kedua tangannya ke arah api yang berkobar 
dengan kuat. 
"Wuuuut...! Wuuuut...!" 
Hampir lima kali dia melakukan hal itu. Dan 
mendadak saja api yang berkobar itu pun padam. Ru-
panya dari kedua tangannya yang dikibaskan ke arah 
api yang berkobar itu meluncurlah serangkum angin 
dingin yang cukup kuat hingga mampu membuat api  
menjadi padam. 
Dan kali ini barulah para penduduk memperha-
tikannya. 
Radung mengambil inisiatif lebih dulu. "Ki Sa-
nak...  siapakah Ki Sanak ini adanya?" 
Pemuda yang wajahnya sebagian tertutup oleh 
caping itu tersenyum. "Hmmm... maafkanlah aku, Ki 
Sanak... tentunya kalian terkejut dan bertanya-tanya 
siapakah diriku ini? Baiklah... aku hanyalah pemuda 
pengembara yang berasal dari Gunung Kidul atau te-
patnya dari Bukit Paringin, yang secara tidak sengaja 
dan kebetulan sekali singgah di desa ini. Sekali lagi 
maafkan kelancanganku karena tanpa seizin kalian te-
lah berani-beraninya membantu kalian memadamkan 
api. Maafkan kelancanganku.... Namaku Pandu... Sa-
lam kenal dariku untuk kalian semua...." 
Melihat sikap pemuda bercaping yang sopan itu 
rasa simpati di hati mereka pun timbul. Pemuda yang 
tak lain Pandu atau Pendekar Gagak Rimang itu pun 
tersenyum. Murid tunggal Eyang Ringkih Ireng yang 
secara tidak sengaja tiba dan membantu memadamkan 
api itu merasa bersyukur karena sambutan para pen-
duduk begitu hangat. 
Namun keakraban yang mulai timbul itu men-
jadi kacau balau, karena tiba-tiba terdengar jeritan ke-
ras yang menyayat hati, disusul dengan ambruknya 
dua sosok tubuh ke bumi dan meregang nyawa. 
"Aaaaakkkh...!!" 
"Aaaaaakkkh...!!" 
Mereka terkejut, beberapa orang berlarian 
mendapatkan dua sosok mayat itu. 
"Subali!" 
"Wiro!!" 
Namun dua sosok itu tak akan pernah menya-
hut lagi karena nyawa mereka telah lepas dari jasad.  
Pendekar Gagak Rimang mendengus, hidung-
nya yang tajam akan kejahatan telah mencium satu 
tindak kejahatan yang berlebihan. "Keparat! Siapa ma-
nusia yang berani membokong secara kejam ini?!" den-
gusnya dalam hati. 
Keadaan pun menjadi gempar. Orang-orang 
menjadi panik. Belum lagi mereka bisa tenang dari ke-
bakaran yang mendadak saja terjadi, kini mereka di-
hadapkan dengan satu kenyataan, bahwa kedua teman 
kalian telah mati secara mendadak. 
Pandu sendiri segera memeriksa kedua mayat 
itu. Di tempelkannya kedua telapak tangannya untuk 
memeriksa Hmm, dia merasakan ada sesuatu yang 
mengalir di kedua telapak tangannya, hangat dan me-
rayap perlahan-lahan. 
"Gila! Ilmu iblis!!" desisnya. Selama dalam pen-
gembaraannya Pandu banyak mendapatkan pengala-
man hidup yang cukup. Dia pun dapat mengetahui je-
nis-jenis ilmu kesaktian baik dari golongan hitam 
maupun golongan putih. Dan salah satu jenis pukulan 
dari golongan hitam adalah Tapak Geni Sakti. Pukulan 
inilah yang mengenai dua warga desa Jajar Sawah. 
Belum lagi Pandu berhasil mengira-ngira siapa 
yang telah  membuat onar, mendadak saja dirasakan 
desiran angin di belakangnya. Reflek dan dengan gera-
kan yang amat cepat, pemuda bercaping itu berguling 
ke belakang dan kala dia berdiri serta melihat apa yang 
menyerangnya, dia cukup terkejut. 
Di depannya berpuluh-puluh penduduk tengah 
melangkah perlahan-lahan ke arahnya dengan sikap 
tidak bersahabat. 
Pandu jadi gugup. 
"Hei, Sobat! Ada apa ini?! Mengapa sampai be-
gini?!" serunya dan tak sadar dia mundur. 
Wajah-wajah di hadapannya begitu beringas.  
"Bunuh pemuda itu!!" "Jangan beri ampun!!" 
"Dia hanya berkedok membantu kita memadamkan 
api! Padahal dia sendiri yang membuat teror!!" 
Seruan-seruan kasar disertai dengan wajah 
yang beringas marah semakin ramai terdengar. Wajah-
wajah gusar dan penuh amarah semakin banyak dan 
bengis. 
Sadarlah kini Pandu kalau orang-orang itu sa-
lah paham. Namun menghadapi massa yang sedang 
mengamuk seperti itu sulit baginya untuk mendiam-
kan. Memang tidak ada jalan lain selain menghindar, 
daripada harus mati konyol. 
Pandu juga paham kalau semua itu hanya di-
landasi oleh rasa yang tidak bersahabat. Bagaimana 
mungkin mereka bisa percaya terhadapnya, bila untuk 
kali ini mereka Baling jumpa. 
"Saudara-saudaraku.!" serunya mencoba me-
nenangkan massa yang siap melancarkan aksi amarah 
mereka. "Tenanglah kalian semua! Pikirkan semua 
dengan hati jernih dan jiwa yang suci! Demi Gusti Al-
lah, aku tidak melakukan seperti yang kalian tuduh 
itu! Tidak pernah melakukannya!" 
Salah seorang mendengus. "Bangsat! Kau ma-
sih banyak mulut juga, Orang asing! Kau sudah sepa-
tutnya mati!" 
"Tenang...." 
"Apanya yang tenang, hah?! Apakah kami harus 
tenang menghadapi hal seperti ini?!" 
"Pikirkan baik-baik, sebelum kesalahpahaman 
di antara kita ini semakin menjadi!" 
"Orang asing keparat!! Bunuh dia!!" 
Ternyata yang berseru itu adalah Juragan Radu 
Rukmo sendiri. Pembesar desa itu yang kini sudah 
menyatu dengan rakyat. Sudah tentu kata-katanya di-
dengar oleh warga yang lain. 
 
Maka dengan serentak diiringi dengan suara 
yang amat keras, mereka berlarian berusaha menda-
patkan Pandu. 
Bengis. 
Beringas dan kejam. 
Pandu sendiri tidak mau menghadapi situasi 
massa yang sedang marah seperti ini. Maka dia pun 
segera menghindar. Namun mendadak saja terdengar 
jeritan yang kuat dan keras. 
Beberapa warga yang maju menyerangnya itu 
mati secara mendadak. Tubuh mereka terbanting den-
gan deras ke belakang sebelum mampus. 
Hal ini semakin membuat para penduduk men-
jadi bertambah geram. Keyakinan mereka kalau pemu-
da itu yang membuat onar semakin menjadi-jadi. 
"Tangkap dia...!" 
"Bunuh...!" 
"Cincang...!" 
Di samping tidak mau menyakiti para pendu-
duk, Pandu juga geram sekali dengan kejadian ini. 
Bangsat! Siapa sesungguhnya manusia yang telah 
membuat onar itu? Dia pun berjumpalitan untuk 
menghindari serangan-serangan yang terus berdatan-
gan dengan gencarnya. 
Namun di saat Pandu berjumpalitan ke bela-
kang, kembali terdengar pekikan yang amat keras dis-
usul beberapa tubuh yang ambruk. 
Semakin geramlah para penduduk menyaksi-
kan hal itu. Mereka bertambah buas dan gencar me-
nyerang. 
Namun kali ini mendadak para penduduk itu 
berpentalan ke belakang. Mereka merasakan satu do-
rongan tenaga yang amat kuat sekali menerjang 
Lagi Pandu menjadi heran dan geram. Bangsat! 
Siapakah orang yang telah berani menjual lagak di ha- 
dapannya 
Dan kala dia sadar, satu sosok tubuh bungkuk 
telah berdiri di sampingnya. Para penduduk yang telah 
bangkit pun melihat hal itu. 
"Pengemis tua sakti!" berseru Radung. 
Sosok yang baru datang itu memang pengemis 
sakti yang telah membuat Radung menjadi sadar akan 
kebandelannya. Namun orang-orang di sana tidak per-
caya kalau benar pengemis sakti yang baik hati itu 
yang telah menyerang mereka. 
Mereka tetap beranggapan kalau pemuda ber-
caping itulah yang telah membuat onar. 
Sementara Pandu menjadi salah sangka. Di pi-
kirnya pengemis inilah yang telah membuat onar. Ma-
ka Dia pun langsung menyerangnya dengan Pukulan 
Cakar Gagak Putihnya. 
"Wuuuuuttt...! Plak...!!" 
Serangan itu ditangkis dengan satu gerakan 
yang amat cepat oleh si pengemis tua. Pandu merasa-
kan tangan kanannya bergetar, karena dia seakan 
menghantam sebuah batu besar yang keras. 
"Anjing keparat...!" geramnya terus mencecar. 
Kali ini si pengemis tua pun menghindar. Kala 
kakinya menjejak bumi dia berseru. "Tahan, Anak mu-
da...!" 
Dengan geram Pandu menghentikan serangan-
nya. 
"Manusia busuk! Kau dengan kejinya telah 
memfitnah aku, hah?!" 
"Tenang, Anak muda... Kita semua berada da-
lam salah paham." 
"Hhh! Kau memang pandai berucap rupanya, 
Orang tua!!" 
"Bersabarlah sedikit. Bila kulihat dari sikapmu, 
kau bukanlah orang seperti itu...." 
 
Perlahan-lahan kemarahan di hati Pandu men-
jadi menipis. Dia lalu mendesah panjang. Hatinya 
mendesis, "Maafkan aku, Eyang... ternyata aku belum 
mampu bersabar..." 
Pengemis tua itu tersenyum sementara para 
penduduk yang percaya dengan pengemis itu menung-
gu dengan hati berdebar. 
"Anak muda... maafkan aku sebelumnya... Yah, 
aku telah mengerti apa yang terjadi. Kau dituduh telah 
membunuh manusia-manusia ini, bukan?!" 
"Orang tua... mengapa kau tidak segera saja mengaku 
akan dosamu itu?" 
"Karena aku pun tidak melakukannya 
Hmmm.... sebelumnya aku hendak bertanya padamu, 
Anak muda... Kulihat tadi kau menyerang dengan Pu-
kulan Cakar Gagak Putih. Setahuku... di rimba persila-
tan ini hanya seorang yang memiliki ilmu itu. Nah ada 
hubungan apakah kau dengan Ringkih Ireng majikan 
Gunung Kidul?" 
Dari balik capingnya Pandu memperhatikan 
pengemis itu. Siapakah dia? Mengapa dia mengenai 
guruku? Namun karena sedang di tanya maka Pandu 
pun menjawab, 
"Orang tua... ketahuilah... yang baru saja kau 
tanyakan tadi adalah guruku...." Tiba-tiba pengemis 
itu terkekeh. "He-he-he... tak kusangka, tak pernah ku 
sangka... kalau Ringkih Ireng itu mempunyai seorang 
murid... He-he-he... bagus, bagus sekali...." 
"Dan kau siapa sesungguhnya, Orang tua? me-
lihat dari keadaanmu apa kau seorang pengemis?" 
"Ya, ya... aku memang seorang pengemis. Ke-
banyakan orang memanggilku Pengemis Suci...." 
"Nah, mengapa sekarang tidak kau jelaskan 
siapakah sesungguhnya orang yang telah membuat 
onar seperti ini? Biar tidak lagi terjadi kesalahpaha- 
man di antara kita...." 
"He-he-he... baiklah, melihat dari hasil pukulan 
dan akibat yang ada pada mayat-mayat itu... aku jelas 
mengenali jenis pukulan yang telah menimpa mere-
ka...." 
"Katakanlah cepat....!" 
"Hmm... agaknya manusia durjana itu telah 
muncul di rimba persilatan ini..." 
"Siapakah yang kau maksud itu, Orang tua?" 
"Hmmm... dia bernama Ki Ronggo Jibus atau 
lebih dikenal dengan julukan Manusia Berubah Mu-
ka.... Puluhan tahun yang lalu aku pernah bentrok 
dengannya karena manusia itu telah banyak membuat 
onar dan kejahatan yang tak tertahankan lagi. Sebagai 
orang golongan putih aku merasa berkewajiban untuk 
menghentikan sepak terjangnya. 
Dalam pertarungan selama tiga puluh hari tiga 
puluh malam, manusia durjana itu berhasil aku ka-
lahkan.... Dan dalam keadaan luka parah manusia itu 
berhasil melarikan din. sementara  aku sendiri tidak 
bermaksud untuk membunuhnya. Aku hanya sekadar 
memberi peringatan agar dia jera dan menghentikan 
sepak terjangnya. 
Namun manusia itu rupanya tidak terima den-
gan apa yang kulakukan. Sebelum melarikan diri dia 
berseru dengan kegeraman yang luar biasa, kalau be-
berapa tahun kemudian dia akan mencariku. Manusia 
itu amat mendendam padaku. 
Semula kuanggap hal itu biasa. Karena tubuh-
nya yang telah terluka parah tak akan mungkin dis-
embuhkan dalam waktu beberapa tahun. Bahkan aku 
menduga, manusia itu akan mampus dalam waktu 
yang tidak lama. 
Dan yang tidak kusangka itu kini muncul! 
Membuat onar dengan sepak terjangnya yang amat ke- 
jam! Dan aku yakin, keonaran yang dibuat hanyalah 
semata untuk memancing kemunculanku!" 
Tiba-tiba angin berdesir keras sekali.  Berger-
muruh seakan hendak turun hujan. Malam pun men-
dekati pagi. Bunyi kokok ayam jantan di kejauhan 
sayup-sayup telah terdengar. 
Dan tiba-tiba berjumpalitan dari satu tempat 
dengan gerakan yang amat cepat satu sosok tubuh. 
Kala tubuh itu bergerak berdesir angin yang keras. 
Dedaunan kering yang tengah menunggu jatuh pun 
rontok ke bumi. 
Disusul dengan suara terkekeh yang amat pan-
jang. Menyeramkan dan menebarkan hawa maut. 
"He-he-he...! Pengemis Suci.... sekian lama ku-
cari kau baru berani muncul sekarang!  He-he-he.... 
dendam abadi yang tersisa ini tak akan pernah lagi 
gagal! Dendam ini akan terbalaskan dan kepuasan 
yang selama ini kucari akan kudapatkan...!" 
Kala berhentinya desir angin yang kuat itu, 
nampak satu sosok tubuh gagah dengan wajah yang 
amat rupawan. Wajah itu mampu membuat para gadis 
akan terpana dan rela menyerahkan jiwa raganya. 
Sementara Pengemis Suci cukup terkejut, na-
mun dia terbahak untuk menutupi keterkejutannya. 
"Hmmm... Ki Ronggo Jibus... akhirnya kita pun 
bertemu! He-he-he... apa kabar, Manusia Berubah 
Muka? Hhh! Memang sudah kuduga, kalau engkaulah 
yang telah membuat teror di sini? Juga di beberapa de-
sa lainnya! Namun yang lebih parah, kau melakukan 
aksi mu di Utara! 
Kau nampaknya semakin perkasa saja, Ki 
Ronggo Jibus?!" 
"Hhh! Kau agaknya masih pandai berbasa-basi! 
Namun kau lupa kalau kemunculanku kembali ke 
rimba persilatan ini adalah untuk mencabut nyawa- 
mu!" 
"He-he-he... mungkin memang demikian 
adanya.... namun sadarkah kau kalau tak akan mudah 
untuk membunuhku?" Ki Ronggo Jibus terbahak. 
"Mungkin dulu aku bisa kau kalah kan, namun seka-
rang... hahahaha.... jangan berharap kau akan bisa lan 
dariku, Pengemis Suci?!" 
"Aku tak akan pernah melarikan diri! Jiwa ke-
sucian  ku pun terpanggil untuk menghentikan sepak 
terjang mu! Bila kau sudah muncul kembali ke rimba 
persilatan ini, sudah dapat aku pastikan... bahwa du-
nia tak akan pernah tenang!" 
"Bagus bila kau mengerti! Dan yang perlu kau 
ketahui, aku pun tak akan bisa tahan hidup lebih la-
ma bila mengingat kau masih hidup! Justru itulah aku 
akan memusnahkan kau, Pengemis busuk yang men-
gaku suci...!!" 
"He-he-he... dendam kau nampaknya sudah 
abadi! Bagaikan salju di puncak Jaya Wijaya! Tetapi 
yang harus kau ketahui, kau tak akan begitu mudah 
mengalahkan aku! 
Hhh! Ki Ronggo Jibus... lebih baik kau buka sa-
ja penyamaranmu, di hadapanku jelas tak ada gu-
nanya! Atau kau tidak mau dengan keadaanmu seperti 
itu? He-he-he... dengan penyamaranmu seperti itu, 
kau bisa menaklukkan nenek-nenek lima orang sekali-
gus!" 
"Bangsat!!" manusia itu menggeram, lalu tan-
gannya terangkat dan menghapus mukanya. Kini terli-
hatlah satu raut wajah yang amat jelek sekali. Menge-
rikan, tak ubahnya bagaikan mayat hidup belaka. 
Para penduduk amat ngeri melihatnya. Apalagi 
kala wajah itu menyeringai, semakin menampakkan 
keseraman. Saat itu suasana masih cukup gelap 
meskipun di Timur sana ufuk sudah mulai menying-
sing. 
"Oh, Tuhan.... sungguh mengerikan sekali wa-
jah itu!" 
"Iblis! Hanya iblislah yang memiliki wajah se-
perti itu...!" 
"Pantas kelakuannya seperti iblis!" 
Seruan-seruan kaget itu terdengar ramai. Na-
mun tiba-tiba berganti dengan jeritan kematian yang 
menyayat. 
Karena dengan gerakan yang amat cepat Ki 
Ronggo Jibus menggerakkan tangannya. Serangkum 
angin besar menderu dan membuat tubuh mereka 
tunggang langgang. Setelah berpentalan beberapa kali 
lalu mampus muntah darah. 
Geramlah Pengemis Suci sementara Pendekar 
Gagak Rimang hanya mendesah panjang. "Eyang... 
nampaknya aku pun tidak bisa berpangku tangan saja! 
Aku tidak pernah menerima perbuatan semena-mena 
ini!" 
"Ronggo! Kau benar-benar durjana! Ingat, den-
dam ini hanya terjadi di antara kita! Aku tidak mau 
kau menurunkan tangan telengas terhadap mereka! 
Hhh! Nampaknya kau memang harus mati, dan aku 
tak akan pernah memberi ampun padamu, Ronggo!" 
"Pengecut! Kaulah yang akan mampus di tan-
ganku, Pengemis Suci! Bah! Aku bosan berlama-lama 
jual bacot seperti ini! Lihat serangan...!!" bersamaan 
dengan itu, lalu melesat menderu maju tubuh Ki 
Ronggo Jibus. Di tangannya telah terhimpun pukulan 
saktinya Tapak Geni Sakti. 
 
* * * 
 
 
 
Desiran angin keras yang menderu kala tubuh 
itu melesat cukup dingin terasa. Namun si Pengemis 
Suci hanya tersenyum saja. dua langkah di muka tu-
buh Ki Ronggo Jibus terus mendekat dengan pukulan 
saktinya. 
Barulah saat itu, Pengemis Suci menghentak-
kan tubuhnya ke belakang. 
"Huuupppp...! Hiaaaatt...!" 
Lalu bersamaan dengan tubuhnya hinggap di 
bumi kala pukulan Ki Ronggo Jibus luput dari sasa-
ran, dia langsung menyerang dengan pukulan tangan 
kanannya. 
"Bagus! Bagus! Sudah lama aku menginginkan 
hal seperti ini, Pengemis busuk!!" 
Lalu dengan sigap Ki Ronggo Jibus menghindar 
ke kiri namun belum lagi kakinya menjejak ke bumi, 
tangan kiri si Pengemis Suci yang memegang tongkat 
bergerak dengan cepat menyambar ke kaki Ki Ronggo 
Jibus. 
"Wuuuuutt...!" 
"Gilaaa...!" seru Ki Ronggo Jibus terkejut lalu 
membanting tubuhnya ke kanan karena tak ada jalan 
lain lagi baginya untuk menghindar. 
Dipikirnya serangan beruntun akan dilakukan 
oleh si Pengemis Suci, namun si Pengemis Suci justru 
menghentikan serangannya. Dia tersenyum penuh 
bersahabat. 
"Ronggo... lebih baik kita berdamai dan kau ce-
patlah tinggalkan dunia persilatan ini!" 
"Bangsat! Aku tak akan pernah memenuhi 
permintaanmu itu, Pengemis busuk! Aku tak akan 
pernah puas bila belum membunuh mu! Tak akan 
pernah puas, pengemis busuk! Lihat serangan... 
hiaaaatttt." 
 
Kembali tubuh Ki Ronggo Jibus melesat mende-
ru. Dan kembali pertarungan yang amat sengit terjadi. 
Dua sosok tubuh pendekar sakti yang sama-sama tua 
terlihat dalam satu pertempuran yang hebat. 
Masing-masing memperlihatkan kelasnya. Mas-
ing-masing berusaha untuk secepatnya menyelesaikan 
lawan. 
Pengemis Suci yang tadi berniat hanya membe-
rikan pelajaran pada Ki Ronggo Jibus kini tidak bisa 
bermain-main lagi dan menerus kan niatnya itu. Kare-
na Ki Ronggo Jibus menyerangnya dengan segenap ke-
saktian dan kegeramannya. 
Dia memang berniat untuk menghabisi Penge-
mis Suci. Dendam yang tersisa itu penuh ambisi men-
gerikan. 
Sementara itu para penduduk mulai bergeser 
menjauh dari kalangan dan secara tidak disadari ka-
langan itu memang telah terbentuk bagaikan lingka-
ran. 
Mereka ngeri karena kuatir terhantam oleh pu-
kulan atau tendangan sakti yang tengah dilancarkan 
oleh dua pendekar tua itu. 
Juga karena debu-debu yang beterbangan dan 
dedaunan yang gugur. Bahkan dua buah pohon waru
telah tumbang terhantam oleh dorongan tenaga sakti. 
Sedangkan Pendekar Gagak Rimang hanya 
memperhatikan dengan seksama. Dia tidak pernah 
menyangka kalau di muka bumi ini banyak tersimpan 
ilmu-ilmu yang amat hebat dan tangguh. Pandu men-
desah. 
"Eyang keangkaramurkaan kini berada lagi di 
depan mataku, dan aku tak pernah bisa tinggal diam 
untuk menghadapi hal yang seperti ini! Tak akan per-
nah, Eyang.... sudah tentu pilihan ku untuk membela 
Pengemis Suci karena dialah yang mengemban tugas  
mulia untuk mengalahkan keangkaramurkaan...." 
Kembali dia memperhatikan pertarungan yang 
amat hebat itu. Semakin lama semakin kacau balau 
nampaknya. Di mata orang awam pertarungan itu 
nampak bagaikan asal-asalan belaka. Namun di mata 
Pandu jelas dia melihat kalau Pengemis Suci itu terde-
sak hebat oleh ilmu Ki Ronggo Jibus. 
"He-he-he... Pengemis Busuk! Nyawamu tak 
akan pernah lagi melekat di jasad mu!" 
Dan tiba-tiba Ki Ronggo Jibus menderu sambil 
bersalto ke belakang dan dengan mendadak tubuhnya 
bergerak bagaikan ikan cucut. 
"Hiaaaattt...!! Plaaakkk !! Des!!!" Satu pukulan 
yang keras telah mengenai tubuh Pengemis Suci. Tu-
buh bongkok itu langsung menderu ke belakang. 
Dan menghantam sebuah pohon besar hingga 
roboh. Suaranya menggelegar. 
Berdebam dengan keras. 
Pandu menahan nafas. 
Dan nafasnya bagaikan terhenti ketika tiba-tiba 
terdengar seruan keras, lalu meluncur satu sosok tu-
buh dengan kecepatan yang luar biasa. 
Ki Ronggo Jibus siap untuk menghabisi si Pen-
gemis Suci yang sudah tak berdaya. 
"Hiaaaatttt...!!" seruan itu terdengar. Namun, 
"Hei...!! Plaaakkk...!!" 
Mendadak  Ki Ronggo Jibus bersalto ke bela-
kang karena merasa serangannya terhalang oleh se-
buah gerakan yang cepat dan sebuah tenaga yang 
amat besar. 
"Hei...!!" 
Kala dia berdiri dengan pandangan geram, ter-
lihat di matanya sosok bercaping dengan golok di 
punggung berdiri di hadapannya dengan gagah. Pandu 
yang telah menghentikan serangan itu karena dia tidak  
ingin si Pengemis Suci mati konyol. 
"Bangsat! Siapa kau, hah?!" 
"Hmm... nama ku Pandu, Ki Ronggo Jibus...." 
"Pemuda keparat! Lebih baik kau menyingkir 
dari sini!" 
"Maafkan aku, Ki.... aku tak pernah menyukai 
sikapmu yang ugal-ugalan itu!" 
"Bangsat! Minggir kau dari situ! Atau kubuat 
mampus kau rata dengan bumi!" 
"Tidak, Ki... aku tidak akan pernah pindah dari 
tempatku berdiri sekarang ini! Namun bila kau pergi, 
maka dengan senang hati aku akan pergi pula dari si-
ni!" 
"Keparat...!! Mampuslah kau!!" 
Tubuh itu menderu dengan penuh kegeraman. 
Pandu yang sudah tahu kehebatan dari Ki Ronggo Ji-
bus segera mengibaskan tangannya. 
"Wuuuuuttt...!!" 
Selarik sinar putih menderu melesat ke arah 
tubuh Ki Ronggo Jibus. Cepat dan membuat manusia 
itu terkejut. Dengan cepat pula dia menghindar. 
"Keparat! Rupanya kau punya kelebihan juga!!" 
"Untuk menghadapi manusia busuk seperti 
kau, anak kecil pun mampu! Hhh! Lebih baik kau pergi 
saja dari sini!!" 
"Anjing! Mampuslah kau...!" 
Pertarungan kali ini berlangsung dengan sen-
gitnya. Masing-masing melakukan serangan yang amat 
cepat. Memperlihatkan kelasnya. Pandu sendiri sebe-
narnya mau tidak mau mengakui keunggulan dari Ki 
Ronggo Jibus yang begitu hebat. 
"Kau tak akan pernah lolos dari tanganku, Pe-
muda bandel!" 
"Kita lihat siapa yang unggul di antara kita, Ki!" 
Pertarungan itu semakin bertambah sengit. Ki  
Ronggo Jibus sudah mengeluarkan ilmu Penarik Jiwa 
Pemusnah Raganya. Sementara Pandu sendiri sudah 
menggunakan ilmu Cakar Gagak Rimang. Ilmu pa-
mungkas yang diajarkan oleh gurunya, Eyang Ringkih 
Ireng. 
Hingga suatu saat keduanya melesat menderu 
dan masing-masing menjerit keras. Orang-orang yang 
menyaksikan di sana menjadi ngeri. Sementara si Pen-
gemis Suci sendiri tidak menyangka akan hal itu. Se-
mula saja dia terkejut melihat pemuda bercaping itu 
menolongnya dan kini lebih terkejut lagi melihat pe-
muda itu dengan nekad menyongsong serangan Ki 
Ronggo Jibus. 
"Anak muda....!! Hati-hatilah dengan ilmu yang 
dimilikinya!!" serunya memperingatkan. 
Namun kedua tenaga sakti itu telah menderu 
dan kini bertemu dengan hebatnya. Terdengar ledakan 
dahsyat yang amat hebat sekali. 
Menggelegar. 
Bagaikan ada gempa bumi mendadak yang ti-
ba-tiba dan menimbulkan getaran yang amat kuat. 
"Duuuuuuaaarrrr...!!" 
Ledakan itu sungguh dahsyat. Keadaan di seke-
liling mereka menjadi bergemuruh. Debu-debu berter-
bangan dan dedaunan berguguran. 
Dari benturan tenaga dalam sakti itu debu 
mengepul menyelimuti keduanya. Dan mendadak terli-
hat dua sosok tubuh terpental beberapa tombak. 
Pandu terpelanting dengan hebat dan merasa-
kan dadanya teramat sakit. Sementara Ki Ronggo Ji-
bus langsung bersalto dan berdiri sigap. 
Tidak kurang suatu apa! 
"He-he-he... mampuslah kau sekarang!" se-
runya dan langsung menyerang tidak mau membuang 
tempo lagi. 
Orang-orang menjerit dan Pandu sendiri mera-
sa tidak mampu untuk menahan serangan itu. 
Tubuhnya telah lemah. Dadanya terasa sakit. 
Sosok tubuh yang menderu itu semakin dekat. Namun 
meskipun demikian Pandu tidak mau mati konyol. 
Dengan kecepatan persekian detik, dia mencabut golok 
saktinya, Golok Cindarbuana yang diberikan oleh gu-
runya. 
"Hiaaatt...!" 
"Wuuuutttt...! Aaaaakhhhhhh!!!" 
Golok itu berkelebat dengan cepat. Ki Ronggo 
Jibus yang tidak menyangka akan hal itu tak kuasa 
menghindar. Dan lehernya tersambar hingga buntung! 
Putusan kepala itu menggelinding ke bumi dan 
dari tubuh yang tanpa kepala itu bersimbah darah 
yang amat banyak. 
Pandu mendesah panjang, "Tak kusangka golok 
ini sedemikian ampuh, Eyang...." 
Sementara orang-orang yang menyaksikan hal 
itu mendesah lega. Kengerian yang mereka alarm su-
dah menghilang perlahan-lahan. Begitu pula dengan si 
Pengemis Suci yang nampak sedikit lega. 
Dia pun bangkit perlahan-lahan setelah bebe-
rapa warga desa memapahnya. Namun yang membuat 
mereka terkejut, karena sosok Pandu sudah tidak ada 
di tempatnya. 
Yang terdengar hanya ringkikkan kuda dari ke-
jauhan. Hal ini semakin membuat mereka bertambah 
kagum dan penasaran. Siapakah sesungguhnya pe-
muda bercaping itu? 
Namun Pandu terus melarikan kudanya sambil 
menahan rasa sakit di dadanya. Dia mendesah pada 
angin, "Eyang... engkau benar, Eyang.... keangkara-
murkaan ini akan terus ada dan tetap berlanjut hingga 
kapan pun di muka bumi ini...."   
Kudanya terus dipacu. 
 
 
SELESAI