Pendekar Gagak Rimang 5 - Lambang Penyebar Kematian

Desa  Kali  Sunyi  terletak  di  Utara  Gunung 
Pengging. Desa itu adalah sebuah desa yang aman 
dan  tentram.  Para  penduduknya  sebagian  besar 
bertani.  Mereka  selalu  rukun  dan  damai.  Dan 
ketentraman  itu  semakin  dirasakan  oleh  para 
penduduknya  sejak  berdirinya  Perguruan  Silat 
Cempaka Biru. 
Perguruan  Cempaka  Biru  dipimpin  oleh 
Andikabirata.  Dia  seorang  laki-laki  setengah  baya 
yang  gagah  perkasa.  Tubuhnya  masih  nampak 
kekar.  Dalam  memimpin  perguruannya  dia  begitu 
arif  dan  bijaksana,  sehingga  semakin  lama  nama 
perguruannya semakin tinggi menjulang. 
Tidak  hanya  di  sana  saja,  Andikabirata  pun 
selalu aktif hadir setiap kali ada undangan di Balai 
Desa.  Sehingga  penduduk  desa  menyukainya  dan 
menyukai  pula  para  anggota  dari  Perguruan 
Cempaka Biru. 
Nama  Andikabirata  pun  semakin  dihormati.  Ki 
Lurah  Pati  Negoro  setiap  kali  ada  sesuatu  yang 
mengganggu  ketentraman  desa  selalu  meminta 
bantuannya. 
Dan  Andikabirata  dengan  senang  hati 
membantu. 
"Karena aku telah lama berada di sini, dan aku 
berhak dan berkewajiban untuk membantu apapun 
yang terjadi!" katanya suatu hari di Balai Desa. 
 
 
Memang,  sebenarnya  Andikabirata  putra  asli 
yang dilahirkan di Desa Kali Sunyi ini. Namun sejak 
berusia  17  tahun,  dia  pergi merantau.  Dan  dalam 
perantauannya  dia  banyak  belajar  akan  ilmu 
kanuragan.  Dalam  setiap  perantauannya  pula  dia 
selalu  membela  kebenaran  dan  memerangi 
kebatilan. 
Itu  dilakukan  karena  merasa  itulah 
kewajibannya. Namanya dan gelarnya si Toya Maut 
pun  mulai  dikenal  oleh  banyak  jago-jago  rimba 
persilatan.  Bahkan  dia  disegani  dalam  setiap 
pertemuan yang dihadiri oleh para jago. 
Bukan  hanya  ilmunya  saja  yang  tinggi,  namun 
juga kewibawaannya yang menjadikan dia disegani 
oleh siapa pun. Dan itu merupakan ciri khasnya. 
Dia selalu berpikir panjang bila menghadapi satu 
persoalan. Tidak pernah main hantam begitu saja. 
Dan  setelah  merasakan  cukup  dia  pun  kembali 
ke Desa-Kali Sunyi dan mendirikan perguruan silat 
yang  diberi  nama  Perguruan  Cempaka  Biru. 
Perguruan yang menggunakan senjata toya. 
Bagi  Andikabirata  sendiri,  memang  dia  ingin 
menyumbangkan  kebisaannya  bagi  banyak  orang. 
Karena dia merasa, bila ilmu yang dimilikinya tidak 
disumbangkan  pada  orang  lain,  .maka  ilmu  akan 
tumpul dan sia-sia. 
Namun di balik semua itu sebenarnya ada yang 
menyusahkan  pikiran  Andikabirata.  Pikiran  yang 
telah lama mengganggu dan menyiksanya. 
 
Di  mana  Perguruan  Silat  Cakram  Maut  telah 
menuduh  mereka  mencuri  pusaka  kebanggaan 
Cakram  Maut.  Sudah  tentu  Andikabirata  menolak 
tuduhan itu kala beberapa orang utusan Perguruan 
Cakram  Maut  datang  menanyakan  hal  itu.  Bila 
semata-mata  hanya  bertanya,  mungkin 
Andikabirata masih bisa menerima. Namun mereka 
langsung memvonis dengan menuduh yang terasa 
keji dan menyakitkan. 
Akhirnya pertarungan pun tak bisa dihindari lagi 
karena  beberapa  murid  Perguruan  Cempaka  Biru 
sudah tidak kuasa lagi menahan amarah. 
Dalam pertarungan itu utusan dari Cakram Maut 
berhasil dipukul mundur dan luka-luka. Begitu pula 
halnya  dengan  beberapa  murid  Cempaka  Biru. 
Andikabirata sendiri tidak turun tangan, karena dia 
tidak mau semua ini mengakibatkan sesuatu yang 
mengerikan. 
Namun  akibat  dari  semua  itu,  beberapa  hari 
kemudian  datang  surat  tantangan  dari  Perguruan 
Cakram  Maut,  yang  mana  isinya  menyatakan 
bertarung  dan  bermusuhan  dengan  Perguruan 
Cempaka Biru. 
"Rupanya  pertarungan  ini  tak  akan  bisa  kita 
dihindari  lagi,"  kata  Andikabirata  pada  para 
muridnya  setelah  membicarakan  perihal  surat 
tantangan dari Perguruan Cakram Maut. 
"Apakah memang benar tidak bisa dihindari lagi, 
Bapak,"  kata  Juwitasari  putri  tunggalnya.  Dia  
adalah seorang gadis jelita yang cantik luar biasa. 
Pesonanya  sukar  sekali  untuk  ditepiskan  bagi 
pemuda yang melihatnya. 
"Mungkin sulit, Wita... kita jelas-jelas tidak bisa 
menghindari semua ini. Dan sebaiknya kita bersiap-
siap  bila  suatu  saat,  para  orang  Cakram  Maut 
datang  menyerang  ke  sini,"  kata  Andikabirata 
sambil mengusap dagunya. 
Yang  mendengarkan  hanya  mendesah. 
Kemungkinan  itu  memang  bisa  terjadi.  Dan  pasti 
akan  terjadi.  Namun  yang  sungguh  mengerikan 
adalah akibat dari semua itu. 
Yang  ingin  dihindari  oleh  Andikabirata,  adalah 
pertarungan  yang  akan  membawa  bencana  bagi 
para  penduduk  yang  tak  berdosa.  Ini  merupakan 
sebuah  beban  yang  berat  baginya.  Beban  yang 
mungkin  akan  terbawa  terus  bila  suatu  ketika 
pertarungan yang tak terelakkan itu tiba waktunya. 
Ini  merupakan  satu  pemikiran  yang 
menyulitkan.  Jalan  pemecahan  pun  sudah 
berulangkah dia lakukan. Dengan cara menjelaskan 
pada ketua Perguruan Cakram Maut, Ki Renggono 
Paksi.  Namun  tetap  tuduhan  yang  dilontarkan  Ki 
Renggono  Paksi  jatuh  pada  Perguruan  Cempaka 
Biru. 
Alasan  Ki  Renggono  Paksi  karena  dia 
menemukan  beberapa  toya  yang  berlambangkan 
bunga cempaka di kedua ujungnya. Dan itu adalah 
ciri khas dari senjata toya milik Perguruan Cempaka  
Biru. 
Andikabirata  berpikir,  mungkin  ada  orang  yang 
telah  mencuri  dan  mengkambinghitam-kan 
Perguruan  Cempaka  Biru.  Namun  satu  pemikiran 
lain pun tersirat di benak Andikabirata. Mungkinkah 
bila ada murid Perguruan Silat Cempaka Biru yang 
berkhianat? 
Karena  berpikir  seperti  inilah  dia  tidak  berani 
untuk  meneruskan  pikirannya  lagi  tentang  orang 
yang  hendak  mengkambinghi-tamkan 
perguruannya.  Namun  bukannya  dia  tidak  perduli 
lagi  dalam  hal  itu,  dia  sebenarnya  masih 
memikirkannya  pula.  Namun  tidak  berani  secara 
total. 
Begitu  pula  halnya  dengan  Juwitasari.  Sebagai 
putri satu-satunya dari Andikabirata, dia pun dapat 
merasakan kesulitan yang sedang dialami ayahnya. 
Namun  dia  pun  tidak  bisa  pula  memikirkan  lebih 
lama. 
"Tetapi  yang  kukuatirkan...  bila  benar 
pertarungan  itu  terjadi.  Ah,  mengapa  sejahat  itu 
orang-orang  Cakram  Maut  menuduh  kami?" 
desisnya  pilu  di  suatu  malam.  "Namun  bila 
memang demikian adanya, aku tidak akan tinggal 
diam. Aku pun benci pada mereka karena tuduhan 
keji  yang  mereka  lontarkan.  Tuduhan  yang  amat 
menyakitkan  sekali.  Dan  ini  jelas  tidak  bisa 
dibiarkan  begitu  saja.  Mereka  harus  diberi 
pelajaran!" 
 
Wajah  gadis  yang  cantik  itu  menjadi  geram. 
Tadi  sore dia  melihat  ayahnya  duduk  melamun  di 
pendopo.  Namun  dia  tidak  berani  untuk 
mendekatinya.  Karena  kuatir  ayahnya  akan 
terganggu.  Karena  jelas  sekali  ayahnya  tengah 
berpikir, terlihat dari keningnya yang berkerut. 
"Kasihan, Bapak... kasihan dia.... Seharusnya di 
usianya yang semakin senja ini.... Bapak tidak perlu 
mengalami  hal  yang  demikian  rumit.  Dia 
seharusnya  bersantai  dan  tenang-tenang 
menikmati masanya." 
Dan  kegeraman  Juwitasari  terhadap  orang-
orang Cakram Maut menjadi berlipat ganda. Karena 
merekalah  yang  menyebarkan  fitnah  yang  amat 
keji.  Fitnah  benar-benar  bisa  membawa  petaka 
berkepanjangan. 
Di  samping  itu  pun  Juwitasari  tidak  mau 
merasakan akibat dari semua ini. Darah dan darah 
yang  akan  mengalir.  Semua  ini  terjadi  karena 
mempertahankan harga diri. 
Namun  bisakah  harga  diri  itu  dipertahankan 
tanpa  mengorbankan  apa-apa?  Apalagi 
mengorbankan orang-orang yang tidak bersalah. 
Sebagai  gadis  belia  dengan  darah  muda  yang 
menggejolak,  Juwitasari  marah  dengan  semua 
tuduhan  yang  dilontarkan  oleh  Perguruan  Cakram 
Maut. 
Tetapi  jelas  dia  tidak  mau  pertarungan  ini 
terjadi.  Pertarungan  yang  bisa  pula  dikatakan  
peperangan,  yang  hanya  menelan  korban-korban 
tak  bersalah  dan  menimbulkan  kepedihan  serta 
kesengsaraan yang berkepanjangan. 
"Oh...  mungkin  hanya  Gusti  Betara  Agunglah 
yang  tahu  siapa  yang  benar  dan  bersalah.  Hanya 
Dia  pula  yang  bisa  menghentikan  semua  ini. 
Gusti...  bila  semua  ini  menjadi  ke-hendak-Mu... 
berikanlah  jalan  ke  luarnya.  Cobaan  yang  Kau 
berikan ini terlalu besar dan berat bagi kami untuk 
memikulnya. Namun kami tidak bisa mengelak bila 
semua  ini  sudah  Kau  kehendaki.  Karena  hanya 
Engkaulah  yang  menjadi  tumpuan  kami.  Yang 
mengatur  semua  permainan  hidup  di  dunia  ini...." 
desisnya sambil merebahkan tubuhnya di ranjang. 
Namun dia tetap berharap, semua ini tidak akan 
terjadi. 
Juwitasari  tidak  bisa  lagi  memperpanjang 
lamunannya  tentang  perang  dan  akibatnya.  Dia 
pun terlelap. 
Dan  pagi  harinya  gadis  itu  muncul  dari  dapur 
dengan membawa dua buah cangkir berisikan kopi 
pahit  dan  sepiring  ubi  rebus  untuk  ayahnya  yang 
sedang  duduk  sambil  menghisap  rokok 
tembakaunya di Pendopo. 
Sikap  ayahnya  nampak  sedang  memikirkan 
sesuatu. Kasihan Bapak... desis Juwita dalam hati. 
Tetapi  aku  akan  membantunya  sekuat  tenaga 
dengan  resiko  apapun.  Dengan  penuh  tanggung 
jawab.  Lalu  dengan  anggunnya  gadis  itu  
menghidangkan  apa  yang  dia  bawa  di  hadapan 
ayahnya.  Dia  pun  tersenyum  manis  sekali.  Siapa 
pun akan terkesan melihat senyum itu. 
Andikabirata  sendiri  jadi  terpecah  pikirannya. 
Dia membetulkan letak duduknya. 
Andikabirata  memperhatikan  putrinya  itu 
menyediakan  hidangan  pagi  untuknya.  Betapa 
senangnya dia. Putrinya kini telah tumbuh sebagai 
gadis jelita dan berkepandaian tinggi. 
Ah... dia mirip ibunya ketika muda dulu. 
Andikabirata  tersenyum  sendiri  mengenang 
masa  lalunya  ketika  dia  mengejar-ngejar  Ratih 
Sudati, ibu putrinya ini. Ah, dia bagaikan orang gila 
jika tidak bertemu dengan pujaannya itu. Melatinya 
yang  dia  takut  keburu  dipetik  orang  lain.  Siang 
malam dia selalu menjaganya dengan hati-hati dan 
merindukannya.  Sampai  dia  berhasil  memetik  dan 
menyuntingnya. 
Ah... senyum itu mengembang lagi di bibirnya. 
Juwitasari  yang  sudah  selesai  meletakkan 
hidangan  itu,  heran  melihat  ayahnya  tersenyum 
sendiri.  Tatapan  ayah  seperti  kosong  namun 
bercahaya  gembira.  Ayah  seperti  orang  yang 
sedang  mendapatkan  suatu  khayalan  atau 
renungan yang menyenangkan hati. 
Pelan-pelan Juwitasari memanggil, "Bapak...." 
Tetapi  ayahnya  masih  tersenyum  sendiri. 
Kenangan  itu  begitu  indah  bagi  Andikabirata.  Di  
malam pengantin itu pula dia berhasil memetik dan 
mengambil  apa  yang  dipersembahkan  dengan 
penuh  kasih  sayang  dan  ikhlas  dari  Ratih  Sudati. 
Namun  benih  yang  ditanamnya  sekian  lama  tidak 
bertunas.  Membuatnya  gelisah  dan  malu,  karena 
ternyata  tidak  mampu  memberikan  Ratih  Sudati 
bibit yang unggul. Begitu pula dengan Ratih Sudati 
sendiri.  Dia  malu  karena  ladangnya  ternyata  tidak 
subur. 
Namun  berkat  cinta  kasih  mereka  yang  tulus 
dan mendalam, juga dengan panjatan doa kepada 
Tuhan  Yang  Maha  Esa,  benih  itu  tertanam  pula 
dengan sempurna. Betapa gembira mereka berdua. 
Dalam perkawinan mereka yang ke-20 itulah baru 
ada  sebuah  bibit  yang  tumbuh  di  ladang  istrinya. 
Dan  ini  membuat  mereka  seperti  pengantin  baru 
lagi. Bercanda dengan keriangan sepanjang hari. 
Juwitasari semakin heran karena sudah dua kali 
dia  memanggil  ayahnya  namun  ayahnya  masih 
tetap tersenyum sendiri. "Bapak... Bapak...:" 
Andikabirata masih mengenang masa lalu yang 
indah itu. 
Juwitasari  semakin  penasaran.  Hati-hati  dia 
menyentuh lengan ayahnya." 
"Bapak...." 
Baru  sekaranglah  Andikabirata  tersentak.  Dia 
mengerjap-ngerjapkan  matanya  dan  buru-buru 
mengisap rokok tembakaunya.  
 
--ooo0dw0ooo--- 

Juwitasari menghela napas lega. 
"Oh...  ada  apa,  Wita?"  tanya  Andikabirata 
setelah berhasil menenangkan diri. 
"Bapak melamun?" 
"Bapak tidak melamun." 
"Bagaimana  bapak  tidak  melamun?  Ju-wita 
sudah berulangkali memanggil bapak namun bapak 
diam saja. Apakah yang bapak lamunkan? Itu pun 
kalau  bapak  mau  menerangkan  dan  Wita  boleh 
mendengarkannya." 
Andikabirata  tersenyum.  Menatap  wajah 
putrinya yang seperti purnama di malam 15. Begitu 
bercahaya dan membuat orang mudah terpesona. 
Apalagi  saat ini  putrinya  tengah  memakai  pakaian 
kain kebaya yang ketat, sehingga nyata mencetak 
tubuhnya yang padat dan menggairahkan. Putrinya 
seakan  menjadi  dua  manusia  dalam  satu  waktu. 
Kadang  dia  menjadi  seorang  gadis  anggun  dan 
cantik.  Kadang  dia  menjadi  seorang  gadis  yang 
keras  dan  pemarah.  Itu  kalau  dia  sedang 
menghadapi lawan-lawannya. Juga nampak seperti 
seorang pendekar wanita yang gagah andaikata dia 
memakai baju hitam dan celana panjang hitamnya 
dengan toya pendek di bahunya. 
Betapa cantiknya kau anakku. 
Betapa beruntungnya aku memilikimu, Nak.  
Betapa indahnya mata itu. 
Alangkah beruntungnya kumbang yang berhasil 
menyuntingmu, Nak. 
"Bapak melamun lagi," kata Juwitasari yang sej 
ak tadi menunggu jawaban bapaknya. 
"Ah... Bapak sedang merenungi dirimu, Nak." 
"Kenapa pula dengan diriku, Bapak? Apakah ada 
sesuatu yang aneh? Atau yang salah pada diriku?" 
tanya  Juwitasari  was-was.  Dia  kuatir  tingkah 
lakunya  ada  yang  tidak  berkenan  pada  hati 
ayahnya.  Padahal  dia  sudah  berbuat  sebaik 
mungkin. Dia juga yakin tingkah lakunya tidak ada 
yang jelek di mata ayahnya. 
Tetapi dia kembali menghela napas lega setelah 
melihat ayahnya menggelengkan kepala. 
"Bukan  ada  yang  aneh  atau  ada  yang  salah 
padamu Juwita anakku." 
"Lalu  kenapa  bapak  menatapi  diriku?"  tanya 
Juwitasari penasaran 
"Kau...." Andikabirata terdiam sesaat 
"Ya, Bapak." 
Tiba-tiba  Andikabirata  menarik  napas.  Matanya 
tak  lepas  dari  wajah  putrinya  yang  jelita.  Ia 
menghisap rokok tembakaunya, lalu mematikannya 
dengan diinjak. 
Dan menyeruput sedikit kopi pahitnya.  
"Bapak...  Bapak  semakin  membuatku 
penasaran.  Apa  sih  yang  bapak  lihat  dalam  diriku 
ini?  Katakanlah,  Bapak,  biar  aku  bisa  melihat  apa 
kekuranganku." 
Andibirata tertawa pelan. 
"Sedikit pun tak kulihat kekurangan pada dirimu, 
Wita. Kau begitu pandai, anggun, cantik, tegar, ah, 
sulit untuk mengatakan semua kelebihanmu." 
Juwitasari tersipu, "Ah, Bapak. Kau membuatku 
malu saja, Bapak." 
"Kau cantik sekali, Wita. Mirip dengan ibumu." 
Mendengar  kata  ibunya  disebutkan,  Juwita  tak 
berkedip  memandang  ayahnya.  "Apakah  Bapak 
memikirkan soal ibu?” 
Kali  ini  Andikabirata  tidak  bisa  mengelak  lagi. 
Dia menganggukkan kepalanya. 
"Yah...  aku  memikirkan  ibumu.  Alangkah 
bahagianya  kita  jika  ibumu  berada  di  sisi  kita 
semua.  Ah,  sesuatu  yang  tak  mungkin  bisa  kita 
lakukan sekarang. Karena ibumu hampir 18 tahun 
pulang  ke  tempat  asalnya,  kembali  ke  pangkuan 
pemiliknya. Yah... dan tak mungkin kembali...." 
Wajah  Andikabirata  nampak  sendu.  Ia 
menyalakan  lagi  rokok  tembakaunya.  Lalu 
menyeruput  kembali  kopi  pahitnya.  Angin  sore 
berhembus semilir, masuk melalui jendela pendopo 
itu.  
 
Sayup-sayup  terdengar  suara  bentakan  di 
halaman depan. 
Andikabirata menatap muka anaknya. "Kau tidak 
berlatih, Juwita?" 
"Tadi  pagi  sudah,  Bapak.  Sore  ini  aku  ingin 
menemanimu duduk di pendopo ini." 
"Aku  yakin,  kemajuan  ilmu  toyamu  akan  sukar 
dicari  tandingannya,  Wita."  kata  Andikabirata 
sambil tersenyum. Dan dia memang sungguh yakin 
dengan  kata-katanya,  melihat  putrinya  setiap  hari 
semakin giat berlatih. 
"Ah,  Bapak...."  desis  Juwitasari  malu  tersipu 
karena dipuji seperti itu. "Aku hanya seorang anak 
gadis,  manalah  bisa  memainkan  ilmu  toya  tanpa 
tandingan,  Bapak...  Bapak  terlalu  mengada-ada 
dan memuji demi menyenangkan aku...." 
Andikabirata tertawa. 
"Aku  tidak  sedang  memujimu,  Wita...  aku 
mengatakan apa adanya...." 
"Bapak...." 
Kembali  Andikabirata  tersenyum  melihat 
putrinya tersipu. Senang dia melihat putrinya selalu 
merendah.  Namun  di  balik  sikapnya  itu, 
tersembunyi  sifat  keras  kepala  dan  keperkasaan 
seorang  wanita.  Ah,  siapakah  kelak  yang  akan 
berhasil menyunting dan mencuri hati si Jelita ini. 
Andikabirata  masih  tersenyum  kala  putrinya   
bertanya,  "Bapak...  bagaimana  dengan  tantangan 
dari  Perguruan  Cakram  Maut.  Apakah  kita  hanya 
diam berpangku tangan saja? Ataukah membiarkan 
mereka menuduh kita dengan keji tanpa bukti yang 
kuat? Bagaimana, Bapak?" 
Mendengar  pertanyaan  putrinya,  senyum 
Andikabirata menghilang seketika. Namun dia tidak 
menyalahkan  putrinya  yang  bertanya  seperti  itu. 
Memang  sudah  sepatutnyalah  bila  putrinya 
bertanya. 
Lagi  pula,  bukankah  dengan  sikap  seperti  itu 
menunjukkah  bahwa  putrinya  punya  perhatian 
yang besar terhadapnya? 
"Aku  pun  tidak  tahu  apa  yang  harus  kita 
lakukan, Wita? Namun semua ini telah terjadi. Dan 
kita  harus  bersiap-siap  menghadapi  «egala 
kemungkinan yang ada. Bila memang benar terjadi, 
kita pun tidak akan bisa menghindarinya...." 
"Apakah  tidak  ada  jalan  lain,  Bapak?" 
"Kemungkinan  tidak  ada,  Wita...  Bukankah  kau 
tahu,  usaha  yang  aku  lakukan  semuanya  sia-sia 
belaka.  Dan  sedikit  pun  tidak  menunjukkan  hasil 
yang memadai...." 
Juwitasari mendesah pelan, masygul. Terbayang 
kembali akibat perang yang mengerikan. 
"Kalau memang demikian kenyataannya Bapak... 
apa yang bisa kita perbuat dalam hal ini?" 
"Tak  ada  jalan  lain,  Wita...  kita  tetap  akan   
menyambut kedatangan mereka." 
"Bapak...  apakah  bapak  tidak  tahu  akibat 
perang? Perang yang akan terjadi di antara kita ini 
dengan  Perguruan  Cakram  Maut,  hanya  akan 
menimbulkan  korban  dan  membuat  orang  ketiga 
tertawa melihat perpecahan ini." 
"Apa maksudmu dengan orang ketiga itu, Wita?" 
tanya  Andikabirata  sambil  tersenyum.  Diam-diam 
dia kagum terhadap putrinya yang berpikiran sudah 
sejauh  itu.  Bukankah  dia  sendiri  pun  telah 
memikirkan  hal  yang  sama?  Hanya  mungkin,  dia 
masih  dipenuhi  pikiran  bahwa  bisa  saja  salah 
seorang  murid  atau  beberapa  murid  Perguruan 
Cempaka Biru yang berkhianat? 
"Bapak...  apakah  bapak  benar  tidak  tahu, 
ataukah  hanya  ingin  menguji  saya?"  Andikabirata 
terbahak. "Kau memang pintar, Wita... Tidak, tidak 
ada maksud Bapak untuk mengujimu. Nah, bila kau 
punya  pendapat  lain,  katakanlah  biar  bapak 
tahu...." 
"Bapak...  Perguruan  Cakram  Maut  telah 
menuduh  kita  mencuri  pusaka  milik  mereka.  Dan 
kita  tetap  bersikeras  membantah,  karena  pada 
kenyataannya kita memang tidak mencuri apa-apa 
seperti tuduhan mereka...." 
"Lalu apa maksudmu, Wita...." 
"Belum mengertikah Bapak?" 
Andikabirata kembali terbahak.  
"Jadi maksudmu... ada orang lain atau kelompok 
lain yang telah mencuri pusaka Perguruan Cakram 
Maut dan membuat kambing hitam kepada kita?" 
"Begitulah  dugaanku,  Bapak...  Betapa  enaknya 
orang  ketiga  itu  yang  tertawa  berhasil  melihat 
kerjanya  mengadu  domba  antara  kita  dengan 
Cakram Maut." 
"Mungkin dugaanmu itu benar, Wita...." 
"Mengapa mungkin, Bapak?" 
Andikabirata mendesah panjang. 
"Wita...  tidak  sampaikah  pikiran  bila  memang 
benar ada di antara kita yang mencuri pusaka milik 
Perguruan Cakram Maut?" 
"Apa maksudmu, Bapak...." 
"Mungkin  ini  hanya  dugaan.  Bukankah  kita 
berbicara  tentang  dugaan,  Wita?  Nah,  Bapak  pun 
mempunyai dugaan seperti itu. Ada di antara murid 
Perguruan  Cempaka  Biru  yang  memang  berbuat 
seperti  itu.  Hal  inilah  yang  sebenarnya 
memusingkan bapak, Wita...." 
"Memang  benar  demikian  adanya,  bukankah 
sebaiknya kita selidiki saja, Bapak...." 
"Itu  pun  secara  diam-diam  telah  aku  lakukan, 
Wita... Hanya saja aku tidak tega dan sampai hati 
bila benar memang ada murid Perguruan Cempaka 
Biru yang berkhianat." 
Juwitasari  terdiam.  Baru  dia  berpikir  sampai ke  
sana  Selama  ini  dia  tidak  berpikir  tentang  itu 
karena  tidak  menduga  hal  itu.  Dalam  pikiran 
Juwitasari,  mana  mungkin  ada  murid  Perguruan 
Cempaka Biru yang berkhianat. 
Namun memang bila pada kenyataannya seperti 
itu, .ini adalah suatu hal yang amat menjengkelkan 
sekali. 
"Bapak...." 
"Ya, Wita...." 
"Tahukah  Bapak  siapa  kira-kira  yang  telah 
berbuat seperti itu?" 
"Aku sedang menyelidikinya, Wita. Kau memang 
putriku yang memiliki otak yang cerdas...." 
"Aku hanya mencari kemungkinan yang mungkin 
terlewatkan,  Bapak...  Dan  aku  tidak  ingin 
ketegangan ini makin merayap dan bisa menyebar 
kepada para penduduk...." 
Andikabirata tersenyum. 
"Kau  memang  gadis  yang  cerdas,  Juwita.  Ya, 
ya...  kemungkinan  itu  bisa  saja  terjadi.  Tetapi 
siapakah  kira-kira  orang  yang  telah  membuat 
perpecahan  ini?  Wita...  aku  pun  tidak  menyukai 
adanya  peperangan.  Sudah  kenyang  rasanya  aku 
makan  derita  dari  hasil  perang.  Tetapi  semua 
sudah  terbayang.  Bukankah  kita  tidak  mau  tanah 
ini  diserang  begitu  saja?  Kita  punya  dua  tangan 
dan  dua  kaki,  kita  bisa  membela  diri.  Dan  kita 
harus  mempertahankannya,  bukankah  begitu,  
Wita?" 
"Ya, Bapak." 
"Nah, sekarang aku hendak bertanya."  
"Silahkan, Bapak." 
"Maukah kau membela Cempaka Biru jika orang-
orang Cakram Maut menyerang ke sini?" 
Juwitasari  tidak  langsung  menjawab.  Kelihatan 
ia agak bingung untuk menjawab. 
"Kau ragu, Wita?" tanya ayahnya. 
"Aku  tidak  ragu,  Bapak.  Kalau  memang  untuk 
membela negara, aku bersedia melakukannya. Yah, 
aku  bersedia...  Di  tanah  ini  aku  hidup.  Aku  akan 
membelanya, Bapak." 
"Bagus.  Jika  pertempuran  memang  tidak  bisa 
dihindarkan  lagi,  kau  toh  tidak  akan  ragu  lagi. 
Karena  aku  sudah  mendengar  jawaban  seperti  ini 
dua kali dari mulutmu. Bukan begitu, Wita?" 
"Ya, Bapak." 
Angin  berhembus  pelan.  Suara  murid-murid 
Cempaka  Biru  yang  sedang  latihan  di  halaman 
depan  terdengar.  Juwitasari  mengangkat 
kepalanya. 
"Ubi  rebusnya  masih  hangat,  Bapak.  Si-lahkan 
dicicipi. Saya sendiri yang merebusnya, Bapak." 
"Lho, ke mana Nyai Asih?" 
"Biarkan dia beristirahat Bapak. Kasihan wanita  
tua itu, nampaknya terlalu letih bekerja." 
"Ya,  ya...."  Andikabirata  mengambil  sepotong 
ubi  rebus.  Belum  lagi  dia  mencicipinya,  tiba-tiba 
muncul  salah  seorang  murid  Perguruan  Cempaka 
Biru. 
Andikabirata  meletakkan  kembali  ubi  yang 
dipegangnya. Menatap pemuda  yang  baru  datang 
itu.  Nampaknya  begitu  lelah  seperti  habis  berlari 
karena  napasnya  terengah-engah  juga  peluhnya 
yang  mengalir  di  sekitar  wajahnya.  Pemuda  itu 
menunduk hormat. 
"Ada  apa,  Priatna?"  tanya  Andikabirata  dengan 
suaranya yang terdengar berwibawa. Matanya lekat 
menatap pemuda yang baru datang itu. 
Sikap Juwitasari sendiri pun sudah serius sekali 
ingin  mendengarkan  apa  yang  sebenarnya  telah 
terjadi. 
Pemuda  yang  bernama  Priatana  itu  mengatur 
napasnya. Dia adalah salah seorang murid terbaik 
Perguruan  Cempaka  Biru.  Yang  ditugaskan  oleh 
Andikabirata  untuk  menjaga  di  perbatasan  Desa 
Kali Sunyi. 
Bersama  salah  seorang  murid  Perguruan 
Cempaka  Biru  lainnya  yang  bernama  Yan-tara, 
Priatna pun menjaga di ujung perbatasan Desa Kali 
Sunyi,  untuk  memata-matai  orang-orang  yang 
bermaksud  jahat,  sehingga  setiap  kejahatan  yang 
akan terjadi bisa segera diketahui dan segera dapat 
ditanggulangi.  Karena  penjagaan  yang  ketat  dan   
sistem  pengawasan  yang  hebat  itu  sampai 
sekarang  ini  Desa  Kali  Sunyi  selalu  aman  dari 
gangguan orang-orang jahat. 
Namun tugas yang diberikannya kepada Priatna 
dan  Yantara  adalah  untuk  memata-matai  orang-
orang  Cakram  Maut  yang  kemungkinan  besar 
sudah datang menyerang Desa Kali Sunyi. 
Kembali dia menatap Priatna dan melihat mulut 
pemuda itu terbuka, "Maafkan kami Ketua... yang 
mengganggu  ketenangan  Ketua  bersama  Rayi 
Juwita...."  
Juwitasari  tersenyum.  "Kau  tidak  perlu  berbasa 
basi  seperti  itu,  Kakang  Priatna.  Katakanlah,  apa 
yang  me-nyebabkanmu  sampai  terengah-engah 
begitu.  Katakanlah,  Kakang  Priatna...  biar  kami 
tidak bertanya-tanya lagi...." 
Mendengar  suara  Juwitasari  hati  Priatna  diam-
diam  bergetar.  Sebenarnya  sejak  lama  dia  sudah 
menaruh  hati  pada  putri  gurunya  yang  jelita  itu. 
Namun hingga saat ini, Priatna tidak berani untuk 
mengutarakan cintanya. 
Karena  dia  tahu  siapa  dirinya  dan  siapa 
Juwitasari.  Meskipun  begitu,  siang  dan  malam 
Priatna  selalu  menyimpan  rasa  cintanya  pada 
Juwitasari.  Dan  yang  membuatnya  makin  tidak 
mengerti, semakin lama dia simpan cinta itu, malah 
semakin besar terasa. 
Dan  semakin  dia  berusaha  untuk 
menghilangkannya,  malah  semakin  sukar  sekali.   
Namun dia tetap untuk memendamnya. Karena dia 
belum  punya  keberanian  untuk  mengutarakan  isi 
hatinya pada Juwitasari. 
Tadi  pun  dia  melihat  Juwitasari  tersenyum 
padanya. Duh, ini seakan menambah rasa cintanya 
saja pada gadis itu. 
Priatna pun membalas tersenyum. 
"Baik,  Rayi...."  Lalu  katanya  pada  Andikabirata. 
"Ketua...  di  perbatasan  desa  sana,  kami  melihat 
anggota Cakram Maut yang akan segera memasuki 
desa  kita  ini,  Ketua...."  kata  Priatna  setelah 
mengatur napasnya. "Dan jumlah mereka sungguh 
demikian banyak jumlahnya, Ketua...." 
"Apa?!"  Suara  Andikabirata  terdengar  demikian 
keras pertanda dia sungguh-sungguh terkejut. 
Juwitasari pun terkejut. Priatna cuma mendesah. 
---ooo0dw0ooo--- 
 
Lalu dengan hati-hati dia menceritakan apa yang 
telah  dilihatnya  di  perbatasan  ujung  Desa  Kali 
Sunyi. 
Andikabirata  mendesah  panjang.  Dia  sampai 
bangkit dari duduknya karena kaget tadi. 
"Orang-orang Cakram Maut sudah tiba di sini?!" 
ulangnya lagi. Lalu mengusap-usap dagunya. Benar   
dugaannya  kalau  begitu,  dan  ini  tidak  bisa 
dibiarkan begitu saja. 
"Begitulah kenyataannya, Ketua...." kata Priatna 
tetap dengan suara hormat. 
"Kau yakin?" 
"Yakin  sekali,  Ketua.  Kami  melihat  lambang 
Perguruan Cakram Maut dari bendera yang dibawa 
beberapa  orang  anggotanya.  Agaknya,  mereka 
hendak  menyerang  desa  kita  ini,  Ketua.  Dan 
kemungkinan  besar  desa  kita  ini  dijadikan  markas 
oleh mereka." 
Andikabirata manggut-manggut. Dia mengusap-
usap dagunya sambil memandang ke luar jendela. 
Nampak  di  halaman  para  muridnya  sudah  selesai 
berlatih, karena hari sudah menjelang malam. 
Kegeraman nampak jelas di wajah Andikabirata. 
Juwitasari memperhatikan ayahnya dengan hati 
yang geram pula. 
"Tepat  dugaanku  semula,"  desis  Andikabirata. 
"Pasti  orang-orang  itu  akan  terus  menyerang 
perguruan kita. Hhh! Anjing-anjing Cakram Maut!" 
"Apa  yang  bisa  kita  lakukan,  Bapak?"  tanya 
Juwitasari. 
Andikabirata terdiam. Lalu berkata pada Priatna. 
"Priatna,  kita  akan  menyambut  kedatangan 
mereka!  Beri  mereka  pelajaran!!"  "Baik,  Guru!" 
sahut Priatna hormat. "Pimpin teman-temanmu ke   
perbatasan 
Desa  Kali  Sunyi!"  perintahnya  lagi.  "Jangan 
sampai  terlambat!  Sebelum  orang-orang  Cakram 
Maut itu tiba di perbatasan desa ini'" 
"Baik,  Guru!  Saya  akan  melakukannya  dengan 
baik!" 
"Nah, lakukanlah!" 
"Baik,  Guru!"  kata  Priatna  seraya  hendak 
meninggalkan tempat itu. 
"Kakang!"  Terdengar  suara  Juwitasari 
memanggil  dan  membuat  Priatna  membalik  dan 
memandangnya.  Duh,  wajah  itu  demikian  cantik. 
Sementara Andikabirata memperhatikan putrinya. 
"Oh,  ada  apa,  Rayi?"  tanya  Priatna.  Kembali 
hatinya berdebar. 
"Apakah  Kakang  yakin  mereka  adalah  orang-
orang Cakram Maut?" 
"Begitulah  kenyataannya,  Rayi....  Lambang 
perguruan  mereka  yang  tertera  di  bendera  yang 
mereka bawa, sudah cukup sebagai bukti!" 
"Hm... berapa jumlah mereka?" 
"Kira-kira...  seratus  orang  lebih,  Rayi.  Mereka 
nampaknya sudah dalam keadaan siap tempur!" 
Juwitasari mengangguk-angguk. Semakin cantik 
saja di mata Priatna. Tetapi pemuda itu tidak mau 
untuk memikirkan kecantikan Juwitasari lebih lama.   
Dia  pun  buru-buru  menyingkir.  Lalu  segera 
mengumpulkan te-m an-temanny a. 
Tak lama kemudian tiga puluh pemuda dengan 
bersenjatakan  toya  telah  berkumpul  di  halaman 
pendopo.  Priatna  segera  memimpin  teman-
temannya  itu  untuk  langsung  bergerak  ke 
perbatasan Desa Kali Sunyi. 
Sementara  itu  di  pendopo,  Juwitasari  sedang 
berkata  pada  ayahnya,  "Saya  akan  segera 
membantu  Kakang  Priatna,  Bapak....  Jumlah 
mereka  terlalu  banyak.  Saya  kuatir,  banyak  di 
antara kita yang akan menjadi korban...." 
"Mereka  murid-murid  pilihan,  Juwita...."  kata 
Andikabirata.  "Percayalah...  kalau  mereka  mampu 
menjaga dan mempertahankan nyawa mereka...." 
"Tetapi jumlah mereka sedikit, Bapak...." 
"Karena  hanya  sekian  orang  yang  dibawa  oleh 
Priatna,  Juwita?"  sahut  Andikabirata  sambil 
tersenyum.  Padahal  dalam  hatinya  dia  tengah 
gembira  dan  berkata,  "Hmm...  agaknya  jiwa 
kepahlawanan dalam hati anakku begitu besar. Dia 
tidak mau jika terjadi perang, namun ketika orang-
orang  itu  datang  menyerang,  dia  tidak  bisa 
mengekang  rasa  perikemanusiaan  dalam  dirinya. 
Biar  kuuji  lagi  keinginannya  itu,  jangan-jangan 
hanya  dorongan  karena  ingin  menunjukkan 
kehebatannya saja di depan murid-murid yang lain. 
Hal ini tidak boleh terjadi. Tetapi bila itu timbul dari 
rasa  jiwa  kesatriamu,  Wita...  Bapak  salut  dan   
bangga padamu...." 
Juwita  yang  tidak  tahu  akan  hal  itu,  terus 
mendesak  ayahnya  ingin  membantu.  Memang  dia 
sendiri  bukannya  ingin  menunjukkan 
kepandaiannya,  tetapi  dia  jelas  tidak  suka  jika 
desanya atau dirinya diserang orang-orang itu. Dia 
harus  mempertahankan,  karena  dengan  begini 
bukan  dia  yang  memulai  bertempur.  Dia 
mempertahankan  haknya  dan  hal  itu 
diperbolehkan. 
"Bagaimana,  Bapak?"  tanyanya  lagi  karena 
ayahnya  masih  diam  saja.  "Aku  ingin  sekali 
membantu mereka, Bapak. Mereka teman-temanku 
sejak kecil? Aku tidak bisa berdiam diri saja melihat 
mereka  semua  bertempur  dan  rela  berkorban 
nyawa dan tenaga mereka, Bapak." 
"Bukankah kau tidak menginginkan pertempuran 
atau  pertumpahan  darah,  Anakku?"  tanya 
Andikabirata pula. 
"Itu  tidak  bisa  kupungkiri,  Bapak.  Tetapi  aku 
tidak  bisa  berpangku  tangan  saja  jika  orang 
menyerang desa kita ini, Bapak." 
"Lalu kau hendak menyusul mereka?" 
"Ya, Bapak." 
Semakin  berbunga-bunga  hati  Andikabirata. 
Perlahan  dia  menarik  senyumnya  dan 
menganggukkan kepala. 
"Kalau  kau  yakin  dan  mantap  akan  kepu- 
tusanmu  itu,  pergilah.  Bantulah  mereka.  Bapak 
yakin  akan  kemampuanmu.  Cuma  ingat,  jangan 
terkejut jika kau melihat darah." 
"Baik, Bapak." 
Lalu gadis jelita itu undur diri. Juwitasari masuk 
ke  kamarnya  dan  mengganti  pakaiannya.  Kali  ini 
dia memakai pakaian seperti seorang pria. Dia pun 
memakai  ikat  kepala.  Lalu  menyangkutkan  toya 
kecil yang jika ditarik kedua ujungnya bisa menjadi 
panjang. 
Saat  memakai  baju  itu,  secara  tak  sengaja  dia 
berhadapan  dengan  sebuah  cermin  besar.  Dan, 
ah...  buah  dadanya  telah  semakin  subur  tumbuh, 
mengkal dan membulat. Sejenak dikaguminya buah 
dadanya itu. Dan tak sadar dia membuka kembali 
seluruh  pakaiannya  hingga  bertelanjang  bulat  di 
hadapan cermin itu. 
Ah  betapa  indah  dan  bagusnya  bentuk 
tubuhnya. Begitu ramping pinggangnya dan begitu 
indah pinggulnya. Padat dan menggairahkan. Juga 
sepasang  buah  dadanya  yang  bergelayut  indah, 
mengkal  dan  mengundang  I  birahi  bagi  yang 
melihatnya. 
Sejak kapan dia mulai mengagumi tubuhnya ini? 
Yah,  sejak  dia  sering  melihat  teman-teman 
gadisnya  yang  selalu  pergi  ke  sawah,  mencuci  di 
sungai  dan  mandi  telanjang  bulat  bersama-sama 
dengan riangnya. Mereka pun sering minum jamu 
untuk menjaga keindahan tubuh mereka.  
Sedangkan dia? Ah, dia sepertinya tidak pernah 
merawat  tubuhnya,  meskipun  dia  berlaku  seperti 
seorang gadis lazimnya di rumah. Dia lebih sering 
berlatih ilmu olah kanuragan daripada memikirkan 
bentuk  tubuhnya.  Tapi  nyatanya  sekarang,  dia 
memiliki bentuk tubuh yang indah dan bagus. Ah... 
betapa senangnya dia memandangi tubuhnya yang 
indah  di  cermin.  Lalu  sayangkah  dia  hendak 
melukai  tubuhnya  sendiri  jika  bertempur  dengan 
orang-orang  Kediri?  Ah,  jangan,  jangan  kau  lukai 
tubuhku ini. 
Namun  bayangan  teman-temannya  yang 
mungkin  saat  ini  sedang  bertempur  antara  hidup 
dan mati membuatnya segera memakai pakaiannya 
kembali. 
Tidak, biar bagaimana pun dia harus berhati-hati 
dan membantu mereka. 
Bukankah  ayahnya  sendiri  akan  terjun 
langsung? 
Mengingat  itu  buru-buru  dia  mempersiapkan 
segala  sesuatunya  dan  masih  sempat  sekilas 
mengagumi  kembali  bentuk  payudaranya  yang 
indah dan bulat dengan putingnya yang merah dan 
keras. 
Lalu dia keluar kamar. 
Ayahnya  sudah  menunggu  di  halaman  dengan 
siap di kudanya. 
Juwitasari pun segera menaiki kudanya.  
Saat  dia  menaiki  kudanya  ayahnya  sedang 
berkata-kata pada salah seorang muridnya. 
"Kalian  harus  mempertahankan  Perguruan 
Cempaka  Biru  ini!  Jangan  biarkan  orang-orang  itu 
sampai ke sini! Ingat, kami bisa gagal. Dan kalian 
jangan mengulangi kegagalan itu." 
"Baik,  Guru.  Kami  akan  menjaga  kemegahan 
Perguruan Cempaka Biru sebagai abdi Singasari." 
"Bagus! Mari, Wita! Kita segera berangkat!" 
Juwita menggebrak kudanya mengikuti lari kuda 
ayahnya.  Dia  adalah  seorang  gadis  yang  tangkas 
dan berpendirian tegar. 
Dia  mampu  menggunakan  kuda  dengan  lihai. 
Dalam lari kencang pun dia bisa melompat menaiki 
punggung  kudanya.  Juwitasari  adalah  gadis  yang 
bisa segalanya. Di satu segi dia bisa tampil sebagai 
seorang  pria.  Di  segi  lain  dia  bisa  pula  tampil 
sebagai seorang gadis. 
Seperti  gadis-gadis  lain,  dia  pun  suka 
mengagumi  tubuhnya  sendiri  dan  berupaya  untuk 
merawatnya. Namun untuk membela desa, negara 
dan harga dirinya, dia bisa melupakan hal itu. Lupa 
bahwa  dia  seorang  gadis.  Lupa  bahwa  dia  harus 
selalu  merawat  bentuk  tubuhnya,  agar  kelihatan 
menarik.  Biarpun  wajah  seorang  gadis  itu  jelita 
namun  jika  tidak  memiliki  bentuk  tubuh  yang 
bagus, masih kurang sedap dipandang mata. 
Angin berhembus dingin.  
 
Kuda  Juwitasari  sudah  bisa  menjajari  kuda 
ayahnya. Dan keduanya memacu terus kuda-kuda 
mereka menuju perbatasan Desa Kali Sunyi. 
Juwitasari bertekad akan menghancurkan orang-
orang  Kediri  itu.  Orang-orang  yang  suka  mencari 
gara-gara. Orang yang suka menuduh tanpa bukti. 
Betapa  harga  diri  itu  harus  dijaga  dan 
dipertahankan. 

Sejak lama Juwitasari setuju akan hal itu. 
Dan  dia  tetap  tidak  mau  perang  itu  terjadi. 
Namun  mau  diapakan  lagi,  karena  kini  semuanya 
sudah jelas di ambang mata. Bukankah inilah yang 
dinamakan  dilema?  Bila  mereka  diam,  maka 
hancurlah  mereka  dibantai  lawan.  Bahkan  bila 
mereka pun menye- 
rang  dan  membalas,  bisa  pula  hancur  karena 
lawan begitu kuat. 
Perang  tidak  enak.  Amat  menyedihkan 
akibatnya. Namun semua kini sudah ada di depan 
mata. Tak akan bisa untuk dihindari lagi. 
---ooo0dw0ooo--- 

Murid-murid Perguruan silat Cempaka Biru yang 
dipimpin  oleh  Priatna  sudah  tiba  di  perbatasan 
Desa Kali Sunyi. Yantara yang sejak tadi mengintai 
terus, memberitahu kalau pasukan itu sekitar lima 
menit lagi akan *iba di perbatasan ini. Dan jumlah  
mereka pun cukup banyak. 
"Kita harus bersiaga, Priatna," kata Yantara. 
"Baik!  Kita  harus  mempertahankan  tanah  Desa 
Kali Sunyi ini!"  
"Apa kata Guru?"  
"Seperti  yang  kuucapkan  tadi!"  Lalu  Priatna 
segera  bergerak  cepat.  Dengan  sigapnya  dia 
memerintahkan teman-temannya untuk berpencar. 
Sekaligus  mencari  posisi  untuk  menyerang  dan 
bertempur. 
Dan  masing-masing  pun  segera  mengambil 
posisi  yang  baik  dan  mempersiapkan  senjata 
mereka.  Mereka  bersenjata  toya,  senjata  andalan 
Perguruan Cempaka Biru. 
Priatna  sendiri  ditemani  lima  orang  temannya. 
Mereka  pun  nampak  bersiaga.  Yan-tara  yang 
bersembunyi  di  sampingnya,  hampir-hampir  tidak 
mendengar  desah  napas  Priatna.  Rupanya 
ketegangan  itu  sudah  mulai  merambat.  Dan 
masing-masing  pun  memang  merasakan 
ketegangan yang sama. Benar-benar satu kejadian 
yang amat mencekam. 
Untunglah hari sudah semakin sore. Dan mulai 
merangkak  malam  sehingga  orang-orang  sudah 
kembali  ke  rumah  masing-masing  dari  pekerjaan 
mereka.  Ini  menguntungkan,  karena  tentunya 
orang-orang itu tidak akan merepotkan mereka. 
Suasana  benar-benar  semakin  hening.  Benar- 
benar mencekam. Orang-orang yang bersembunyi 
dan  menunggu  di  sana  seolah  tidak  merasakan 
hembusan  angin  yang  dingin.  Dan  masing-masing 
merasakan detak jantung mereka semaki keras. 
Tak  ada  yang  bersuara,  bahkan  desah  napas 
mereka  saja  seolah  tertelan  kembali.  Mereka 
seakan tidak menghiraukan teman lagi yang ada di 
samping  mereka.  Semua  tatapan  mata  tertuju  ke 
depan menanti pasukan Kediri yang datang. 
Hanya  itu  satu-satunya  yang  kini  ada  di  hati 
mereka  menanti  munculnya  pasukan  Kediri  dan 
bertempur mati-matian! 
Tiba-tiba  terdengar  suara  derap  langkah  dari 
kejauhan  dan  semakin  lama  suaranya  terdengar 
semakin  mendekat.  Dengan  hati-hati  Priatna 
mengintip  dari  tempat  persem-bunyiaannya. 
Orang-orang  Cakram  Maut  sudah  tiba  dengan 
pasukannya yang berjumlah banyak. 
Priatna mendesah panjang. 
Dalam  hatinya  ada  rasa  ciut  juga  mengingat 
jumlah  teman-temannya.  Tiga  berbanding  satu. 
Duh,  mampukah  mereka  menghadapi  sekian 
banyak  orang-orang  Cakram  Maut  yang  nampak 
beringas dan kejam? 
Orang-orang  Cakram  Maut  memang  bagaikan 
binatang  buas belaka.  Siap  untuk  mencakar  habis 
siapa saja yang berada di dekatnya. 
Tetapi  Priatna  yakin,  mereka  adalah  murid- 
murid  Perguruan  Cempaka  Biru  yang  tidak 
mengenal  takut  dan  putus  asa.  Meskipun  jumlah 
mereka  sedikit,  namun  mereka  adalah  manusia-
manusia  yang  berjiwa  kesatria.  Dan  punya 
keinginan  sekuat  baja  untuk  menunjukkan  rasa 
kemanusiaan dan kesatriaan mereka yang tinggi. 
Mereka  tak  mengenal  takut  dan  berani 
menghadapi  orang-orang  yang  telah  memfitnah 
Perguruan  Cempaka  Biru.  Yang  sekaligus 
mengotori  pula  Desa  Kali  Sunyi.  Di  mana  mereka 
dilahirkan  untuk  menjadi  manusia  yang  berguna. 
Manusia gagah berani dan perkasa. Manusia yang 
dilahirkan  dari  rahim  seorang  bunda  yang  welas 
asih ke tanah Kali Sunyi ini. 
Tiba-tiba  saja  Priatna  bersalto  keluar  dari 
tempat  persembunyiannya.  Sekali  bersalto  dia 
sudah  berdiri  di  jalan  berumput  itu  dengan  sikap 
gagah.  Toyanya  tersampir  di  punggung  dan 
dengan  sigap  akan  dipergunakannya  bila  keadaan 
amat memaksa. Pandangannya amat geram sekali 
terhadap  orang-orang  yang  dengan  kejinya 
memfitnah Perguruan Cempaka Biru. 
Orang-orang  yang  tak  akan  pernah  bisa 
dimaafkannya.  Namun  di  balik  kegeraman  dan 
ketegangannya  itu  tersimpan  satu  ketenangan 
yang  luar  biasa  dalam  menghadapi  lawan-
lawannya.  Matanya  waspada  dan  bagaikan  elang 
menyambar. 
Bukankah sikap yang ditujukan oleh Priatna itu 
sudah  merupakan  bukti  kalau  dia  seorang  yang   
gagah berani. 
Sementara  teman-temannya  hanya 
memperhatikan  saja.  Dan  bersiap  membantu  bila 
terjadi  sesuatu  pada  kawan  yang  mereka  hormati 
itu. 
Orang-orang  Cakram  Maut  yang  telah  tiba  dan 
siap  menggempur  Perguruan  Kali  Sunyi  dipimpin 
oleh  seorang  laki-laki  gagah  perkasa.  Dia  sebaya 
dengan  Priatna.  Namanya  Marayuda.  Seorang 
pemuda yang tampan. 
Dari  kejauhan  pemuda  itu  pun  segera  melihat 
seseorang yang berdiri gagah. Dengan kedua kaki 
terbuka melintang. Sikapnya menantang dan semu 
itu  menunjukkan  kalau  dia  memang  sedang 
menghadang. 
"Manusia  keparat!"  geram  Marayuda 
mendengus. Geram hatinya bila mengingat pusaka 
Perguruan Cakram Maut yang berupa Cakram Emas 
hilang  dari  perguruan  mereka.  Sebagai  orang 
kepercayaan  ketua  Perguruan  Cakram  Maut, 
Marayuda sudah tentu geram bukan main. Dan dia 
siap menghadapi semuanya dengan resiko apapun 
juga. 
"Cempaka  Biru  keparat!  Akan  kubumiratakan 
kalian dengan tanah!" 
Marayuda segera mengangkat tangan kanannya 
ke  atas,  tanda  menghentikan  para  anak  buahnya 
yang  di  wajah  masing-masing  memperlihatkan 
kegeraman.  Mereka  pun  telah  melihat  seorang   
pemuda yang berdiri di tengah jalan berumput itu. 
Hal  ini  semakin  membuat  mereka  bertambah 
geram  adanya.  Di  samping  muak  dengan  sikap 
Priatna  juga  geram  karena  mereka  yakin  orang-
orang  perguruan  Cempaka  Birulah  yang  telah 
mencuri pusaka milik mereka. 
Pusaka  Cakram  Emas  yang  amat  mereka 
agungkan dan mereka banggakan. 
Marayuda sendiri pun segera maju menghampiri 
Priatna.  Langkahnya  tegang  dan  kaku.  Sikapnya 
gagah.  Senjata  cakramnya  tersampir  di 
pinggangnya.  Dari  sorot  matanya  kegeraman  itu 
terpancar kuat dan penuh kemarahan. 
Dia  sekarang  sudah berdiri  di  hadapan Priatna. 
Kedua  pemuda  itu  kini  saling  bertatapan,  mata 
mereka  menyambar  bagaikan  mata  elang.  Kedua 
pemuda  itu  seperti  sedang  mengukur  tingkat 
kepandaian masing-masing. 
Dan  bila  diperhatikan  lebih  seksama,  keduanya 
sebaya. Sama-sama tampan dan gagah perkasa. 
Marayuda memasang wajah angker. Kegeraman 
di  wajahnya  kian  nyata.  Begitu  pula  dengan 
Priatna.  Suasana  cukup  tegang  dan  mengalirkan 
hawa kengerian ke seluruh tubuh. 
Sikap  keduanyajelas  dan  tidak  bersahabat. 
Masing-masing jengkel terhadap mereka. Terutama 
Marayuda. Karena sikap pemuda di hadapannya ini 
seperti  melecehkannya.  Mengejeknya.  Dan   
menganggapnya ringan. 
Begitu  pula  dengan  Priatna.  Dia  pun  tak  kalah 
jengkelnya  melihat  sikap  pemuda  yang  berdiri  di 
hadapannya  ini  seperti  menantang.  Settannn! 
Makinya dalam hati! 
Priatna pun tidak mau kalah. Dia pun memasang 
wajah yang tak kalah angkernya. Kedua tangannya 
terpancang  di  pinggang.  Si-  j  kapnya  itu  benar-
benar  menjengkelkan  Ma-rayuda.  Namun  Priatna 
seolah  tak  acuh  saja.  Malah  dia  memang  sengaja 
ingin memancing kemarahan Marayuda. 
Benar  saja,  beberapa  saat  kemudian,  anak 
muda  yang  pemarah  itu  berkata,  "Hm...  siapa 
gerangan adanya Ki Sanak? Kenapa sikap Ki Sanak 
seperti  sedang  menghadang  perjalanan  kami? 
Apakah Ki Sanak memang bermaksud demikian?" 
Priatna  hanya  memperhatikan  pemuda  yang 
berdiri,  di  hadapannya.  Mulutnya  tidak  terbuka. 
Terkatup  rapat  dengan  kegeraman  yang  amat 
sangat.  Tatapannya  dingin,  sedingin  wajahnya 
yang tak bersahabat. Marayuda mendengus dalam 
hati. 
"Ki Sanak... Tidak dengarkah Ki Sanak kalau aku 
bertanya?!" desisnya menahan geram. 
Tetapi Priatna tetap terdiam. Hanya tatapannya 
yang dingin yang bicara. 
"Ki  Sanak...  apakah  Ki  Sanak  tidak  bisa 
menjawab  pertanyaanku?"  Marayuda  sudah  mulai   
jengkel. 
Namun  Priatna  yang  memang'  sengaja  ingin 
membuatnya jengkel tetap terdiam. 
Dan ini membangkitkan kemarahan Marayuda. 
"Bangsat!  Kiranya  Ki  Sanak  memang  sedang 
menghadang perjalanan kami!" 
Priatna tetap terdiam. 
"Anjing  kurap!  Apa  maumu  sebenarnya,  lah?!" 
membentak  Marayuda  dengan  kejengkelan  yang 
luar biasa. 
Kali ini Priatna membuka suaranya, angker. 
"Mauku,  kalian  tinggalkan  tempat  ini  dengan 
segera!" 
"Apa maksudmu?!" 
"Tadi  kau  bertanya  bukan,  apa  mauku?  Nah, 
mauku menyuruh kalian untuk pergi meninggalkan 
Desa Kali Sunyi ini sekarang j juga. Tanpa kecuali!" 
"Hmm." 
"Orang-orang Cakram Maut yang tidak tahu diri. 
Berani-beraninya kalian  lancang J menginjak Desa 
Kali Sunyi ini!" 
"Hmm...." 
"Orang-orang lancang tukang membuat fitnah!" 
"Hem...." 
"Seenaknya  saja  menuduh  Cempaka  Biru   
sebagai pencuri!"  
"Hmmm...." 
"Jangan  hanya  bergumam  saja,  Ki  Sanak!" 
bentak  Priatna  yang  mulai  jengkel  dan  sebal 
mendengar  kata-katanya  hanya  disambut  dengan 
gumaman saja oleh Marayuda. 
"Hmmm...." 
Hawa panas pun makin mengalir. 
Hawa kemarahan pun menebar. 
Wajah Priatna memerah. 
"Kami  orang-orang  Desa  Kali  Sunyi  sekaligus 
abdi  setia  Perguruan  Cempaka  Biru...  tidak  akan 
membiarkan  kalian,  orang-orangl  busuk  Cakram 
Maut  memasuki  wilayah  Kali  Sunyi  ini!"  serunya 
berapi-api.  
"Hmm....." 
"Dan  akan  membela  Cempaka  Biru  dengan 
segenap kemampuan kami!" "Hmmm...." 
"Kau memuakkan aku, Ki Sanak!" geram Priatna 
penuh  dengan  kemarahan  yang  membludak.  Dan 
segera  saja  dia  menyerang  Marayuda  dengan 
gebrakan  cepat  dan  hebat.  "Mampuslah  kau, 
manusia sombong!" 
Tetapi Marayuda pun di samping sikapnya yang 
acuh tak acuh itu sebenarnya telah bersiaga penuh. 
Maka  dengan  gerakan  yang  cepat  pula  Marayuda   
menarik  kepalanya  ke  belakang,  menghindari 
jotosan tangan kanan Priatna yang mengarah pada 
wajahnya. 
"Heit!" 
Lalu  dia  pun  dengan  cepat  segera  kirimkan 
serangan balasan. 
Priatna  sendiri  segera  melayaninya  dengan 
ketangkasannya. Tidak percuma dia menjadi murid 
unggulan  pertama  di  Perguruan  Silat  Cempaka 
Biru.  Dengan  tangkasnya  dia  menghadapi 
serangan-serangan  Marayuda  dengan  gebrakan 
yang cepat dan tangguh pula. 
Keduanya  pun  memperlihatkan  ketangguhan 
dan kehebatan mereka. 
"Hahaha... kau rupanya memiliki kebisaan pula, 
Ki Sanak!" tertawa Marayuda sambil melayani pula 
gebrakan-gebrakan  dahsyat  yang  dilakukan 
Priatna. 
"Nah, mengapa kau tidak segera mengajak anak 
buahmu untuk angkat kaki dari Desa Kali Sunyi ini, 
hah?! Apakah kau ingin mati konyol?!" 
"Hahaha...  jangan  terlalu  sesumbar  dulu,  Ki 
Sanak! Kau belum merasakan kelanjutan- 
"Sombong! Mengapa tidak segera kau keluarkan 
semua  kemampuanmu,  hah?!  Kalian  memang 
manusia-manusia  busuk  yang  bisanya  hanya 
memfitnah saja!"  
 
"Hhhh!  Ini  bukan  fitnah,  Ki  Sanak!  Namun 
kalianlah  yang  telah  mencuri  Cakram  Emas  milik 
perguruan  kami!  Dan  kami  tak  akan  pernah 
mengampuni  siapa  pun  orang  yang  berada  di 
bawah naungan Perguruan Cempaka Biru!"  
"Bangsat!" 
Dan gebrakan-gebrakan yang keduanya lakukan 
semakin  cepat  dan  hebat.  Masing-masing 
memperlihatkan segenap kemampuan yang meraka 
miliki. Saling serang. Saling tangkis. 
Seakan mereka tidak ingin memberi kesempatan 
pada lawan-lawannya untuk bisa bernapas sejenak. 
Karena  serangan-serangan  yang  mereka  lakukan 
beruntun dan cepat. 
Sementara  teman-teman  Priatna  sudah  tidak 
sabar untuk membantu. Namun Yantara menyuruh 
mereka untuk bisa menahan diri, karena dia sendiri 
yakin  Priatna  akan  mampu  menghadapi  pemuda 
pemarah dan memuakkan itu. 
Juga  karena  pasukan  Kediri  tak  satu  pun  yang 
bergerak membantu. Rupanya mereka terlalu taat, 
jika belum diperintahkan, maka mereka tidak akan 
bergerak. 
Perkelahian  antara  Priatna  dengan  Marayuda 
semakin  seru.  Ketangkasan,  kepandaian  dan 
kelihaian  keduanya  sudah  mereka  tampilkan. 
Benar-benar  indah  dan  mengagumkan.  Sampai 
saat  ini  keduanya  nampak  seimbang  dan  masih 
menggunakan tangan kosong.  
 
Malam pun sudah merambat turun. 
Dan tiba-tiba saja Marayuda menyerang dengan 
gencar, membuat Priatna agak kewalahan. Namun 
dia  masih  bisa  menghindar  dengan  lincah.  Suatu 
saat, ketika dia sedang bersalto di udara, Marayuda 
mendadak  berguling  mengejar.  Dan  tempat  di 
tempat  yang  akan  dipakai  Priatna  untuk 
menjejakkan  kaki,  mendadak  saja  Marayuda 
mencabut pedangnya dan mengelebatkan ke atas. 
Sudah tentu Priatna terkejut bukan main, tidak 
menyangka  serangan  yang  demikian  itu.  Namun 
sedetik dia terlambat, hilanglah nyawanya. 
Teman-temannya  pun  sudah  membayangkan 
hal-hal  yang  mengerikan  bagi  Priatna.  Terlalu 
menakutkan. 

Namun  kemudian  semuanya  menghela  nafas 
lega.  Karena  dengan  tangkasnya  Priatna 
melolorkan toyanya dan dengan ujung toya itu dia 
menangkis sabetan pedang Marayuda. Dan, 
"Trak!" 
Dengan lincahnya kemudian Priatna menggenjot 
tubuhnya  dengan  tumpuan  toya  itu  pada  tanah. 
Dan bersalto ke depan dan berdiri dengan sigap. 
Menghadap Marayuda dengan penuh tantangan. 
Bibirnya menyungging senyum ejekan. 
Marayuda  sendiri  sangat  terkejut  karena  tidak 
menyangka pemuda itu bisa meloloskan diri. 
  
"Bangsat! Rupanya kau punya kepandaian pula 
hingga berani menghadang perjalanan kami! Baik! 
Kami  adalah  orang-orang  Kediri  yang  akan 
membantai Singasari dan merebut kembali pusaka 
milik kami! Dan kami akan bergerak perlahn-lahan 
dengan menduduki setiap desa yang berada di sini. 
Satu  per  satu  kami  akan  menguasainya.  Dan 
kesempatan pertama, Desa Kali Sunyi ini yang akan 
kami gulung!" 
"Mimpi  di  siang  bolonglah  kau  dengan  anak 
buahmu  itu!"  balas  Priatna  tak  kalah  kerasnya. 
"Hanya  Tuhanlah  yang  bisa  meratakan  Desa  Kali 
Sunyi ini!" 
Merah  padam  wajah  Marayuda.  Dia  meludah 
dengan tatapan geram. 
"Bangsat!"  bentaknya  kalap.  "Kami  akan 
buktikan kekuatan ini!" 
"Kami?"  ejek  Priatna  tenang.  "Bukannya  kau? 
Hmm....  rupanya  tak  ada  keberanianmu  lagi 
menghadapiku  sekarang!  Bagus!  Perempuanlah 
kau  semestinya!  Dan  berlarilah  pulang  dengan 
tunggang  langgang  bagai  perempuan  yang  buah 
dadanya dipegang tangan laki-laki jahil!" 
Semakin  panas  wajah  Marayuda  dirasakannya. 
Untungnya malam mulai menyelimuti. Dan cahaya 
rembulan  pun  hanya  redup  saja,  seperti  enggan 
menyaksikan  pertempuran  itu.  Ah,  rembulan  pun 
enggan  melihat  darah  yang  sebentar  lagi  akan 
tumpah.  
 
Namun  mengapa  manusia  itu  lebih  suka 
berperang daripada berdamai. Apakah mereka lupa 
kalau  Tuhan  menciptkan  mereka  untuk  saling 
mengasihi satu sama lain? Mereka telah dibuai oleh 
ambisi diri sendiri. Perang. Perang. Perang. Terlalu 
menakutkan  untuk  dibayangkan.  Terlalu 
mengerikan  untuk  dihadapi.  Terlalu  mematikan 
untuk  terjun  ke  dalamnya,  namun  mereka  masih 
menyukai perang. Seakan tanpa perang arti hidup 
tidak  ada  lagi,  tidak  ada  lagi  yang  akan  bisa 
mereka  perlihatkan.  Karena  dalam  perang 
kepandaian,  kegagahan  dan  kejantanan 
diperlihatkan. Begitukah caranya untuk meyakinkan 
diri,  meyakin  pada  orang  lain,  meyakinkan  pada 
dunia,  bahwa  dia  adalah  lelaki  jantan?  Tidak 
adakah cara lain? Perang.... kau hanya membawa 
berita  kematian  pada  orang-orang  yang  tak 
bersalah. 
"Baik!  Akan  kubuktikan  sekarang!"  terdengar 
suara  Marayuda  geram.  Dan  dengan  pedang  di 
tangannya dia pun kembali menyerang. 
Kali  ini  dengan  toya  di  tangannya  pula  Priatna 
memapaki serangan itu. Dan dengan kedua senjata 
di  tangan  masing-masing,  keduanya  nampak 
semakin  tangguh  dan  hebat.  Toya  yang  dipegang 
Priatna  sukar  sekali  ditebak  ke  mana  arahnya. 
Begitu  cepat  dan  berulang-ulang.  Kadang-kadang 
toya  itu  menusuk,  memukul,  menyabet,  berdiri 
tegak  dan  kadang-kadang  bergerak  baling-baling 
yang  menimbulkan  suara  keras  dan  berde-sing-
desing. Bagaikan ribuan tawon yang menyerbu.  
 
Sungguh  luar  biasa  apa  yang  diperlihatkan 
Priatna. Dia benar-benar membuktikan diri, bahwa 
dia  memang  patut  menjadi  murid  nomor  satu  di 
Perguruan Silat Cempaka Biru. 
Gebrakan  toya  yang  begitu  hebat  diperlihatkan 
Priatna, membuat Marayuda sejenak tertegun. Dan 
dia  menjadi  agak  kewalahan.  Sekaligus  juga 
keheranan  melihat  jurus-jurus  toya  yang 
ditampilkan  oleh  Priatna.  Toya  itu  seakan 
mempunyai mata. Karena ke mana tubuhnya pergi, 
ke sana pula toya itu mengejar. 
Amat hebat! 
Dengan  pedang  di  tangannya,  Sebisanya 
Marayuda  mencoba  mengimbangi  serangan-
serangan  yang  berbahaya,  aneh  dan  cepat  itu. 
Namun ujung toya di tangan Priatna memiliki dua 
kutub.  Satu  berkelebat,  yang  lainnya  cepat 
menyusul,  secepat  apa  yang  digerakkan  oleh 
pemiliknya. Lain  halnya dengan  pedang di tangan 
Marayuda  yang  hanya  memiliki  satu  kutub  yang 
bisa digunakan. 
Dan  hal  ini  benar-benar  membuatnya 
kewalahan.  Karena  selain  toya  itu  memiliki  dua 
kutub  yang  keras,  juga  lebih  panjang  dari 
pedangnya. Sehingga menyulitkan Marayuda untuk 
menyerang  dari  jarak  dekat,  karena  kedua  ujung 
toya  itu  seakan  menghentikan  gerakannya  bila 
ingin mendekat. 
Sedangkan Priatna semakin berada di atas angin  
dengan memperlihatkan kehebatan permainan ilmu 
toyanya. 
"Hahahah...  sudah  kukatakan  sejak  tadi,  lebih 
baik  kau  angkat  kaki  dari  sini!!"  ejeknya  sambil 
terus mencecar. 
"Wut!" 
"Wut!" 
Dua  sambaran  itu  berhasil  dielakkan  oleh 
Marayuda,  dengan  jalan  melompat.  Dan  masih 
melompat  dia  mencoba  menyerang  dengan  satu 
tusukan ke arah wajah Priatna. 
Namun  dengan  manisnya  Priatna  memutar 
toyanya. 
"Traaaaakkk!" 
Dan dengan gerakan yang cepat dan sulit, tiba-
tiba  ujung  toyanya  sudah  menggedor  perut 
Marayuda hingga terhuyung. 
"Heikkk!!" 
"Hahahah....  lumayan  bukan  apa  yang  kau 
rasakan  itu?!"  mengejek  Priatna  yang  semkin 
membuat Marayuda bukan main marahnya. 
Tanpa  menghiraukan  rasa  mual  di  perutnya, 
Marayuda kembali menyerbu dengan pekikan yang 
cukup  keras.  Priatna  pun  segera  melayaninya 
dengan permainan toyanya yang hebat. 
Kembali keduanya bertarung bagaikan dua ekor  
ayam di dalam kalangan. 
Namun  Marayuda  benar-benar  kewalahan 
menghadapi  permainan  ilmu  toya  yang 
diperlihatkan  oleh  Priatna.  Kini  dia  hanya  bisa 
mencoba  menggerakkan  pedangnya  saja  untuk 
menangkis, tanpa bisa menyerang lagi. 
Sampai  suatu  ketika,  toya  di  tangan  Priatna 
dengan  cepat  bergerak  memutar,  mencoba 
mengancam  bagian  leher  Marayuda.  Marayuda 
cepat  merunduk.  Namun  tiba-tiba  saja  Priatna 
sudah  melompat  ke  atas  dengan  kedua  tangan 
yang  menggenggam  ujung  toyanya  dan  siap 
menghantam kepada Marayuda. 
Gerakan  yang  cepat  itu  membuat  Marayuda 
terkejut dan dengan memegang kedua pedangnya 
dia  mengangkat  ke  atas  dan  menangkis  pukulan 
toya Priatna. 
Namun selagi kedua tangannya yang memegang 
pedang  itu  berada  di  atas,  dengan  tidak  terduga 
tiba-tiba  tubuh  Priatna  dan  kakinya  dengan  cepat 
menyambar  ke  dada  Marayuda.  Pemuda  itu 
terkejut,  namun  sulit  baginya  untuk  menghindari 
serangan itu! 
Dan tanpa ampun lagi kaki Priatna menghantam 
sasarannya dengan keras. 
"Des! Heiikkk!!" 
Seketika tubuh Marayuda terdorong oleh sebuah 
tenaga yang cukup kuat ke belakang dengan deras.  
Lalu  terbanting  ke  tanah.  Debu  mengepul  dan 
langsung  hinggap  di  bagian  baju  dan  sedikit 
wajahnya. 
Melihat  lawannya  sudah  terjatuh,  Priatna 
menarik  kakinya  dan  berdiri  dengan  senyum 
mengejek. Tidak menyerang lagi. Toyanya diputar 
sebelum  dipancangkan  di  sebelah  kaki  kanannya 
dengan  tangan  kanannya  memegang  bagian  toya 
itu. 
"Maafkan  aku,  Ki  Sanak.  Sebenarnya  bukan 
salah aku. Tetapi kau yang lengah. Dan dalam hal 
ini, kau harus lebih banyak lagi belajar." 
Marayuda  geram  bukan  main.  Dia  mengusap 
bibirnya yang mengeluarkan darah. Dadanya terasa 
sesak. Namun yang lebih menyakitkan ejekan yang 
dilakukan Priatna tadi. 
Perlahan-lahan dia bangkit. 
Tatapannya demikian geram. 
Dan  dengan  tiba-tiba  dia  mengangkat  tangan 
kanannya  ke  atas.  Dengan  serentak  |  anak 
buahnya  yang  sejak  tadi  menunggu  dengan  tidak 
sabar  berlarian  menyerbu  Priatna  |  dengan  suara 
yang gegap gempita. 
Melihat  pasukan  Kediri  sudah  menyerang, 
Yantara  pun  tidak  mau  kalah.  Dengan  memekik 
keras  dia  beserta  teman-temannya  segera  keluar 
dari  persembunyiannya  dan  segera  menyambut 
orang-orang Kediri itu.  
 
"Serrrbuuuu!!" 
Di  malam  yang  sunyi  ini,  pertempuran  besar 
terjadilah.  Perbatasan  Desa  Kali  Sunyi  yang 
biasanya  sepi  kali  ini  ramai  dengan  teriakan  yang 
hiruk pikuk, juga suara senjata yang ramai beradu. 
Suasana amat gegap gempita. 
Kadang terdengar suara memekik. 
Kangan terdengar suara menjerit. 
Kadang terdengar suara mengaduh. 
Kadang terdengar suara senjata bertemu. 
Keras dan menyayat. 
Semua menjadi satu dengan kegelapan malam. 
Namun  orang-orang  itu  terus  saja  saling 
menyerang  dengan  buas.  Masing-masing  ingin 
segera melumpuhkan lawannya. Semakin buas dan 
kejamlah mereka. 
Mereka  yang  tengah  bertempur  itu  tidak 
memperdulikan  malam  yang  semakin  merambat. 
Hanya satu keinginan mereka, mengalahkan lawan 
mereka masing-masing. 
Jumlah  pasukan  Kediri  yang  lebih  banyak  tidak 
membuat  gentar  murud-murid  Cempaka  Biru, 
dengan  beraninya  mereka  menghalau  setiap 
serangan  lawan.  Tak  sedikit  yang  mendapat 
sekaligus dua orang. 
Dalam  hal  ini,  Priatna  dan  Yantara  bergerak  
dengan  cepat.  Merekalah  yang  menjadi  motor 
penggerak teman-teman mereka yang lain.. 
Toya-toya yang berada di tangan mereka, bagai 
hidup  saja.  Ke  mana  lawan  bergerak,  ke  sana 
pulalah  toya  itu  bergerak.  Membuat  keduanya 
ditakuti. Karena setiap toyanya bergerak, pasti ada 
yang mengaduh. 
Melihat  hal  itu  Marayuda  menjadi  geram. 
Dengan mengibaskan pedangnya ke sana ke mari 
dia  berusaha  mencapai  Priatna.  Dia  masih  geram 
karena  pemuda  itu  mampu  menendangnya  tadi. 
Apalagi  sekarang  mempo-rak  porandakan 
pasukannya. 
"Hadapi  aku,  setan!"  geram  Marayuda  ketika 
sudah  berhadapan  dengan  Priatna  dan  langsung 
menyerang dengan pedangnya. Buas dan bernafsu. 
Priatna sendiri pun segera meninggalkan lawan-
lawannya.  Dia  pun  menyambut  kembali  serangan 
Marayuda.  Kembali  kedua  pemuda  gagah  itu 
bertempur dengan tangkas. 
Sementara  kedua  kelompok  itu  sudah  semakin 
menenggelamkan  diri  dalam  pertempuran.  Sudah 
banyak pula yang berguguran baik dari pihak Kediri 
maupun murid-murid Cempaka Biru. 
Dan pertempuran itu sudah berjalan hampir dua 
jam. 
Tiba-tiba  terdengar  suara  derap  langkah  kuda 
yang cepat. Andikabirata dan Juwitasari yang baru  
saja  tiba.  Keduanya  terkejut  melihat  pertempuran 
itu. Dan tanpa banyak cakap lagi keduanya segera 
melompat  turun  dan  menerjunkan  diri  ke  dalam 
pertempuran itu. 
Melihat  guru  dan  Rayu  Juwitasari  datang, 
memberi  semangat  bagi  murid-murid  Cempaka 
Biru.  Mereka  kembali  menyerang  dengan  cepat 
seolah mendapatkan tenaga baru. 
Andikabirata atau si Toya Kilat dengan gerakan 
yang  sangat  cepat  sudah  merubuhkan  lima  orang 
prajurit  Kediri.  Begitu  pula  dengan  putrinya,  yang 
sudah menarik toya kecilnya menjadi panjang. 
Dengan  gerakan  yang  manis  dan  tangkas  pula 
dia  menghajar  setiap  lawan  yang  mendekat 
padanya. 
Dengan  bantuan  kedua  orang  gagah  itu, 
kemenangan sudah nampak di ambang pintu bagi 
Perguruan  Cempaka  Biru,  walaupun  banyak  pula 
murid-murid  perguruan  itu  yang  gugur  dan  luka-
luka. 
Sementara  itu  Priatna  masih  bertarung  dengan 
Marayuda. Wajah pemuda pemarah itu pias melihat 
kedatangan  dua  orang  sakti  itu,  yang  membuat 
pasukannya  porak  poran-da  dan  sebentar  saja 
sudah  dipukul  ambruk.  Mereka  tidak  berani  lagi 
mengangkat senjata. 
Namun biar bagaimana pun dia tidak gentar. Dia 
tidak  memperdulikan  dirinya  yang  kini  sudah 
benar-benar  terkepung  dalam  lingkaran  murid-  
murid  Cempaka  Biru.  Sedangkan  pasukannya 
sudah  menyerah  kalah,  bahkan  yang  takut  mati 
lebih rela ditawan. Atau pura-pura pingsan. 
Marayuda  tetap  menahan  dan  membalas 
serangan  Priatna.  Pertempuran  keduanya  sudah 
memakan  waktu  yang  lama.  Ini  membuat 
Juwitasari menjadi jengkel. 
Kalau  dia  yang  melawan,  tak  lebih  dari  lima 
jurus orang Kediri itu akan ambruk, begitu katanya 
dalam  hati.  Dan  pertarungan  kedua  pemuda  itu 
terasa membosankannya. Dengan tiba-tiba saja dia 
menggerakkan tangan kirinya. 
Siung!' 
Sebuah  jarum  berbisa  melayang  ke  arah 
Marayuda yang sedang terdesak dan menancap di 
bahunya. 
"Aduh!" 
Marayuda terhuyung sambil menekap bahunya. 
Dan pedangnya terlepas karena terkejut, sehingga 
serangan Priatna selanjutnya tidak bisa dibendung 
lagi. 
"Des! Des!" 
Dua  kali  dadanya  dihantam  dengan  keras  oleh 
kaki Priatna, membuatnya terhuyung dan ambruk. 
Namun  sambil  menahan  rasa  sakit  yang  bukan 
main, dia berusaha untuk bangkit dan menyeringai 
kesal  pada  Juwitasari.  Namun  tubuhnya  benar-
benar  lelah,  tenaganya  telah  habis  diperas   
sehingga dia pun ambruk kembali. 
Priatna  tidak  tahu  kalau  lawannya  itu  telah 
terkena  jarum  berbisa  milik  Juwitasari.  Dia 
tersenyum  puas  karena  bisa  membuktikan  diri  di 
hadapan guru dan putri gurunya bahwa dia mampu 
mengalahkan orang Kediri. 
Tetapi  Juwitasari  tidak  sekali  pun  meliriknya. 
Gadis itu seolah tidak mau tahu akan kebanggaan 
Priatna yang berhasil mengalahkan lawannya. 
Begitu  pula  dengan  Andikabirata.  Walaupun 
sukar  untuk  diikuti  oleh  mata  gerakan  yang 
dilakukan  Juwitasari  tadi,  namun  dia  sempat 
melihat  sekilas  gerakan  tangan  putrinya.  Dan  dia 
pun  menduga  bahwa  putrinya  sedang  menyerang 
dengan  senjata  rahasianya.  Benar  saja,  orang 
Cakram  Maut  itu  tiba-tiba  menekap  tangan 
kanannya. 
Sambil  berbisik  tenang,  Andikabirata  berkata 
pada  putrinya,  "Kau  tidak  boleh  berbuat  curang, 
Wita...." 
Juwitasari  sedikit  kaget.  Oh,  ayahnya 
mengetahui  perbuatannya  tadi.  Buru-buru  dia 
menunduk,  lalu  perlahan-lahan  kembali 
mengangkat  kepalanya.  Dan  terlihat  wajahnya 
yang cantik tersaput ketersipuan. 
"Aku  tidak  sabar  melihat  Kakang  Priatna  yang 
lambat  begitu,  Bapak....  hanya  lawan  seperti  itu 
saja dia sulit untuk menjatuhkannya."   
Andikabirat  tersenyum.  Hatinya  sedikit  bangga 
karena  putrinya  menuruni  sifatnya  yang  sedikit 
keras.  Namun  dia  tidak  mau  putrinya  melakukan 
hal  seperti  itu.  Menyerang  musuh  secara  diam-
diam adalah pengecut. 
"Tapi  kau  telah  berbuat  curang,  Wita...  Dan 
seingatku,  aku  tak  pernah  mengajarkan  kau 
berbuat seperti itu. Kau pun tentunya tahu hal itu, 
Wita....." 
"Biarkan  saja,  Bapak....  aku  muak  dengan 
orang-orang Cakram Maut. Mereka seenaknya saja 
berbuat  dan  bersikap  seperti  itu.  Apakah  aku 
terima  dengan  senang  hati?"  Suara  Juwitasari 
sedikit mengandung keras kepala. 
Andikabirata  menghela  napas.  Putrinya  sudah 
benar-benar  terbawa  arus  jiwa  mudanya,  yang 
tidak  bisa  membendung  rasa  marahnya  jika  hal 
yang  tidak  bisa  diterimanya.  Apalgi  dalam  hal  ini, 
kejadian  yang  amat  menyinggung  jiwa  dan 
raganya. 
Akhirnya Andikabirata mendiamkan saja putrinya 
yang  masih  nampak  sebal.  Lalu  dia  berjalan 
menghampiri  Marayuda  yang  sedang  meringis 
kesakitan. 
Andikabirata mencoba tersenyum. 
"Maafkan  putriku,  Anak  muda...  dia  terlalu 
lancang mencampuri perkelahianmu...." 
Tetapi  Marayuda  mendengus  marah.  Matanya 
bersinar  mengejek.  Biar  bagaimana  pun  laki-laki 
yang berdiri di hadapannya ini adalah orang yang 
telah  mencuri  pusaka  Cakram  Emas  milik 
Perguruan Cakram Maut. 
"Hhh! Tak perlu berbasa basi dan menjual lagak, 
Orang  tua!  Katakan  pada  anakmu  itu,  kalau  ingin 
membunuh  aku,  lakukan  saja!  Tidak  perlau 
melakukan  serangan  keji  dan  pengecut  ini!  Hhh! 
Memang sudah kuduga, orang-orang Cempaka Biru 
adalah manusia curang dan pengecut!!" 
"Dia  masih  muda,  Anak  muda...  jiwanya  masih 
mudah  dikuasai  emosi,"  suara  Andikabirata  masih 
pelan dan bibirnya tetap tersenyum. 
Namun  Marayuda  yang  geram  itu  tidak 
memperdulikannya.  Dia  tengah  dendam.  Tengah 
menyimpan  kemarahan  yang  berat.  Malah  dia 
meludah dengan sikap menyakitkan. 
"Cih! Biar mampus anakmu, Orang tua!!" 
Andikabirata  untunglah  seorang  laki-laki  yang 
sabar.  Sikap  Marayuda  sebenarnya  sudah  amat 
kurang  ajar  sekali.  Namun  dia  masih  bersikap 
santai. Dengan bibir yang selalu tersenyum. 
"Anak keras kepala," desisnya dalam hati sambil 
menggeleng-gelengkan kepala. 
Tetapi  dia  tetap  sabar  dan  tersenyum.  "Bisa 
jarum itu bisa menjalar ke seluruh tubuhnya, Anak 
muda.  Dalam  waktu  setengah  jam  lagi,  kau  akan 
menemui ajalmu dengan tubuh menegang biru."   
"Lalu  apa  urusanmu,  Orang  tua!"  geram 
Marayuda. "Biar dosanya ditanggung oleh anakmu 
itu!" 
"Aku bermaksud hendak mengobatinya. Marilah, 
ikut  aku  ke  rumahku.  Di  sana  lebih  leluasa  untuk 
mengobati  luka-lukamu  dan  menghilangkan  bisa 
jarum itu." 
"Cih! Tak sudi aku menerima bantuan dari orang 
yang  hendak  mencelakakanku  dan  abdi  Singasari 
yang  telah  mencuri  Pusaka  Patung  Pualam  milik 
kerajaan Kediri! Tak sudi aku!!" 
Melihat  ayahnya  dibentak  dengan  suara  yang 
keras itu, Juwitasari menghampiri dengan jengkel. 
"Kenapa  tidak  dibunuh  saja  orang  ini,  Bapak?" 
serunya  marah.  "Biar  mampus  sekalian  di  sini 
daripada merepotkan kita!" 
"Ya,  bunuh  saja  aku!  Bunuh  saja!  Kenapa  kau 
menunggu  waktu  lagi,  hah?  Kenapa?!"  bentak 
Marayuda keras. "Ayo lakukan, lakukan!!" 
"Bangsat!" seru Juwitasari. "Kau pikir aku main-
main, hah?!" 
"Lakukan,  lakukan!  Aku  muak  berada  dalam 
tawananmu!  Lebih  baik  aku  mati  daripada  hidup 
bersama  orang-orang  yang  tak  beradab!  Secara 
curang  menyerang  orang  selagi  lengah!  Mana 
keberanian  kalian,  selain  hanya  membokong  saja, 
hah?! Mana?!" 
Dengan  geram  Juwitasari  mencabut  toya-nya   
dan  menggerakkan  dengan  cepat.  Pemuda  ini 
membuatnya sangat jengkel. Biar mampus saja. 
Sedangkan  Marayuda  dengan  tenang  saja 
menerima  apa  yang  akan  terjadi  pada  dirinya. 
Bahkan dia memejamkan matanya saja pun tidak. 
Biar  dia  mati  daripada  ditawan  oleh  musuh  Kediri 
ini. 
Namun  mendadak  saja  sebuah  benda 
menghalangi laju toya Juwitasari. 
"Traaak!" 
Tangan  Juwitasari  agak  bergetar  menerima 
tangkisan  yang  bertenaga  itu  pada  toya-nya.  Dan 
dia  sangat  terkejut  begitu  tahu  siapa  yang 
menahan tongkat toyanya. 
"Bapak?!" suaranya bergetar, tak percaya. "Aku 
tidak  pernah  mengajarkan  kau  untuk  menyerang 
orang  yang  telah  kalah,  Juwita.  Apakah  kau  lupa 
kalau itu tak pernah kuajarkan padamu?" 
"Tetapi  dia  menghinaku,  Bapak!"  suara 
Juwitasari  tersendat,  bagai  menangis  belaka. 
Malunya  bukan  main  karena  yang  menahan 
serangannya  itu  ayahnya  sendiri.  Dan  ini  sulit 
baginya  untuk  marah.  Malu  di  hatinya  semakin 
bertambah besar saja. Mengapa bapak membuatku 
malu? mengapa? Isaknya di hati tidak mengerti. 
"Tetapi  dia  telah  kalah,  Wita.  Kau  tidak  boleh 
menyerangnya lagi. Bila kau masih melakukannya, 
kau  tidak  ksatria.  Seorang  ksatria  sejati,  pantang  
menjatuhkan tangan telengasnya pada lawan yang 
sudah  kalah.  Dan  kau  harus  bersikap  seperti  itu, 
Wita. Jangan main sembarang menurunkan tangan 
telengas pada lawan yang telah kalah...."  
"Tapi, Bapak...." 
"Bapak  yakin,  kau  akan  menuruti  kata-kata 
bapak,"  kata  Andikabirata  sambil  tersenyum.  Dia 
tahu  sifat  putrinya  ini  yang  keras  kepala  dan 
manja.  Namun  dia  tidak  suka  bila  putrinya 
menurunkan tangan telengasnya pada lawan yang 
sudah  kalah.  Andikabirata  menginginkan  putrinya 
agar menjadi seorang kesatria sejati.  
"Bapak...." 
Juwitasari  tidak  meneruskan  kata-katanya 
karena  mendengar  suara  tawa  Marayuda  yang 
mengejeknya.  Dan  kala tatapan  Juwitasari  beradu 
dengan  tatapan  mata  yang  mengejeknya  itu, 
membuatnya ingin menangis karena malu. 
Betapa  menjengkelkannya.  Dan  begitu 
mengejeknya! 
"Heheheh....  lakukanlah,  Nona....  lakukanlah.... 
bukankah  kau  ingin  membunuhku?  Heheheh.... 
ayo,  bunuhlah  aku....  lakukanlah...  ayo,  Nona.... 
ayo...." 
Juwitasari  hanya  bisa  menghentakkan  kakinya 
dengan  jengkel  ke  bumi.  Lalu  dia  berpaling  pada 
ayahnya. 
"Bapak.... kau dengar itu, dia mengejekku?!"   
Andikabirata hanya tersenyum. 
Sementara  Marayuda  masih  terkekeh-kekeh 
dengan kata-kata ejekannya. 
"Heheheh....  mengapa  kau  diam  saja,  Nona? 
Ayo, mana kepandaianmu? Apakah kau takut untuk 
membunuhku,  hah?  Heheheh....  maka-nya  jangan 
terlalu  sesumbar,  Nona...  Hehehe...  atau  kau 
memang pengecut hingga tak mau melakukannya? 
Merah  padam  seluruh  wajah  Juwitasari. 
Kegeramannya  amat  luar  biasa.  Sayang  dia  pun 
amat menghormati ayahnya, bila tidak, sudah tentu 
akan  dibunuhnya  pemuda  yang  mengejeknya  dan 
membuat sakit hatinya ini. 
"Kau?!"  Hanya  itu  yang  bisa  terlontar  dari 
sepasang  bibir  memerah  yang  mungil  itu. 
Tersendat. Matanya memerah. Begitu pula dengan 
wajahnya. Untunglah rembulan tidak begitu terang 
bersinar,  kalau  cukup  terang,  mungkin  pemuda 
ceriwis  itu  akan  terus  mengejeknya.  Namun 
suaranya  yang  tersendat  itu  bisa  dengan  mudah 
diketahui kalau dia ingin menangis. 
Hati Juwitasari benar-benar kesal dan mangkel. 
Namun dia tidak bisa berbuat apa-apa. 
Marayuda masih terkekeh. 
"Hehehe.....menangis,  ya?  Hehehe...  bunuhlah 
aku, Nona... Hehehe... cengeng sekali kau!!" 
Kali  ini  Juwitasari  tidak  bisa  lagi  menahan   
kemarahannya.  "Kubunuh  kau?!"  serunya  keras 
sambil  menggerakkan  toyanya  ke  arah  Marayuda. 
Malunya tidak ketulungan lagi. Dia harus melenyap 
pemuda ini dari muka bumi!! 
Dan toya itu pun melesat ke arah Marayuda! 
Namun  belum  toya  itu  mengenai  sasarannya, 
Juwitasari merasakan satu benda menghalangi laju 
toyanya.  Dan  bukan  main  terkejut  dan  malunya, 
karena  lagi-lagi  ayahnya  yang  menahan  serangan 
itu. Membuat rasa malunya semakin besar. 
"Bapak!" serunya tersendat. 
Dan  tiba-tiba  dia  berlari  melompat  ke  kudanya 
sambil terisak. Lalu menggebraknya sehingga kuda 
itu  melesat  bagaikan  anak  panah  yang  lepas  dari 
gendewanya. 
Dia malu. 
Malu karena diejek seperti itu. 
Malu  karena  justru  ayahnya  yang  menahan 
setiap  serangan  yang  dilakukannya.  Oh,  mengapa 
ayahnya  membuatnya  malu?  Mengapa?  Ayahnya 
jahat kalau begitu! Tega membuat putrinya sendiri 
menanggung malu di depan pemuda ceriwis itu. 
Kalau setiap serangannya tidak ditahan ayahnya 
sendiri, tentunya pemuda itu akan dibunuhnya! 
Priatna  yang  baru  mendekat  setelah 
pertempuran  itu,  mencoba  menahannya  karena 
dilihatnya Juwitasari begitu kesal. Namun gadis itu   
mendorongnya  hingga  jatuh.  Dan  pemuda  itu 
hanya  bisa  berdiri  kembali  sambil  memanggil-
manggil. "Wita! Juwita! Juwita!" 
Namun  bayangan  gadis  itu  beserta  kudanya 
sudah  menghilang  dari  pandangannya.  Ada  apa 
dengan gadis itu? Desis Priatna dalam hati. 
Akh,  dia  tidak  pernah  suka  melihat  gadis  itu 
bermuram durja atau pun kesal. 
Dengan  tidak  mengerti  Priatna  menghampiri 
gurunya. 
"Ada apa dengan Juwita, Guru?" 
Andikabirata hanya tersenyum. 
"Tidak ada apa-apa. Rayimu memang begitu?" 
"Tetapi dia seperti menangis, Guru...." 
"Biarkan saja." 
"Saya tidak mengerti, Guru." 
"Aku sendiri tidak mengerti apa maunya putriku 
itu, Priatna," kata Andikabirata sambil tersenyum. 
"Tapi, Guru...." 
Namun sebelum Andikabirata sempat membuka 
mulut,  Marayuda  sudah  terkekeh.  "Heheheh... 
kasihan  gadis  cantik  itu.  Dia  malu,  pasti  malu 
sekali.  Heheheh...  ingin  sekali  aku  melihatnya 
dalam  keadaan  malu  begitu.  Pasti  wajahnya  yang 
cantik  itu  akan  memerah  dan  begitu  mempesona. 
Gadis  itu  memang  cantik.  Sungguh  cantik.   
Wajahnya  begitu  mempesona.  Ah,  sayang 
rembulan  sedang  segan  bersinar.  Jika  dia  lebih 
berbaik  hati  padaku,  pasti  dia  akan  menerangi 
wajah rupawan itu. Ah, sayang, sayang...." 
Kata-kata  Marayuda  membuat  keberangan 
Pritna  menjadi  naik  kembali.  Bangsat!  Pemuda 
pemarah itu mendadak menjadi perayu sekali. Dan 
dia berani memuji Juwitasari di hadapannya. 
Sungguh keterlaluan! 
Priatna  yang  diam-diam  mencintai  gadis  itu 
menjadi  amat  tersinggung.  Sejak  lama  dia 
mencintai  Juwitasari.  Mungkin  sudah  hampir  tiga 
tahun.  Waktu  yang  cukup  lama  baginya  untuk 
memendang cinta itu di lubuk hatinya yang teramat 
dalam. 
Tersimpan rapat. 
Setiap  malam  dia  selalu  membayangkan  wajah 
cantik  milik  Juwitasari.  Betapa  senangnya 
andaikata  dia  bisa  menatap  wajah  itu  lebih  lama. 
Betapa  senangnya  andaikata  dia  bisa  mengecup 
bibir mungil yang indah itu. 
Ah, ah.... 
Dan  sekarang  gadis  pujaannya  itu  dipuji  lelaki 
lain di hadapannya. Ini membuatnya tersinggung. 
Namun  lain  bagi  Andikabirata.  Diam-diam  dia 
tersenyum dalam hatinya. Betapa lucunya pemuda 
ini menurutnya. Seperti dirinya di masa muda dulu 
ketika merayu Ratih Sudati gadis yang dicintainya.  
Begitu nekad. Begitu lucu. 
Lucu, lucu. 
Dan  tanpa  sadar  bibirnya  membentuk  sebuah 
senyuman.  Namun  begitu  mendengar  dengusan 
Priatna buru-buru dia menghilangkan senyum itu. 
Dan  didengarnya  suara  Priatna  yang  menekan. 
"Kau  laki-laki  ceriwis!  Kau  beraninya  hanya  pada 
seorang gadis!" 
Marayuda yang masih terbaring di tanah dengan 
menahan rasa nyeri di  sekujur tubuhnya terkekeh 
pelan. 
"Hehehe...  tak  ada  salahnya  bukan,  kalau  aku 
memuji gadis secantik dia?" 
"Tetapi kau telah membuatnya tersinggung!" 
"Apa  yang  telah  kulakukan  kepadanya,  hah? 
Gadis itu yang menangis dan berlari meninggalkan 
tempat ini. Kau pikir aku menggodanya heh? Tidak, 
sama  sekali  tidak.  Aku  tidak  akan  bisa  mencintai 
gadis jahat itu. Maaf, lain kali saja!" Terkekeh lagi 
membuat Priatna semakin bertambah geram. 
"Kau  pikir  gadis  itu  mencintaimu,  hah?!"  seru 
Priatna makin jengkel. 
"Siapa tahu?!" jawaban yang dilontarkan 
Marayuda  itu  begitu  santai  dan  ringannya. 
Bahkan  di  dalam  suaranya  tersimpan  nada  yang 
amat yakin sekali. Hal ini membuat Priatna semkin 
geram  dan  jengkel.  Ingin  rasanya  dia  segera  
menghantamkan  kepalannya  kepada  manusia 
ceriwis  ini.  Sayang  ada  gurunya  di  dekatnya,  bila 
tidak dia tak akan kompromi lagi. 
"Jangan terlalu banyak berharap, Kawan!" sahut 
Priatna padahal hatinya cemas dan cemburu. 
"Heheheh....  aku  tak  prnah  berharap.  Tetapi... 
hehehe...  tentunya  gadis  itu  yang  mengharapkan 
aku, bukan?" 
"Brengsek...!" 
"Hei, hei... mengapa kau harus marah? Apakah 
kau tidak yakin kalau sesungguhnya gadis itu jatuh 
cinta padaku?" 
Sebelum  Priatna  membuka  mulut,  Andikabirata 
segera  menenangkan  persoalan  itu.  Dia  berkata 
pada  Marayuda,  "Anak  muda...  siapa  namamu 
sebenarnya?" 
Suara  yang  bertanya  itu  amat  lembut,  namun 
dibalas dengan suara yang kasar oleh Marayuda. 
"Buat apa kau mengetahui namaku, Orang tua? 
Dan  kau  pikir  aku  mau  mengatakannya,  heh?! 
Tidak  akan  pernah  aku  mengatakannya  padamu, 
Orang tua! Kau boleh berharap banyak, tapi jangan 
kau pikir akan tercapai harapanmu itu!" 
Priatna menyangka gurunya akan marah karena 
kata-kata  itu  diucapkan  dengan  kasar.  Tetapi 
malah kelihatannya gurunya tenang-tenang saja. 
"Kau tidak mau mengatakannya?"   
"Buat apa, hah?!" 
Andikabirata tersenyum. 
"Baiklah... mari ikut aku ke Perguruan Cempaka 
Biru. Bila terlambat, jarum berbisa itu akan segera 
menyerangmu dan bisa mematikanmu." 
"Biarkan saja! Apa urusannya denganmu, Orang 
tua? Biarkan aku di sini! Biarkan aku mampus! Apa 
perdulimu  sebenarnya?  Kau  toh  malah  senang 
bukan, karena anak gadis itu berhasi membunuhku 
dengan  jarum  bangsatnya?  Bukan,  begitu?  Hei, 
jangan hanya diam saja, Orang tua! Apa kau takut 
mengakuinya,  heh?!  Dan  kau  tak  mau  disalahkan 
kalau  sebenarnya  kau  suka  dan  bangga  melihat 
hasil kerja jarum anak gadis itu, bukan?!" 
Mendengar  kata-kata  itu  jantung  Priatna 
berdetak lebih cepat. Seakan dia habis berlari jauh 
sekali. Jarum berbisa? Juwitasari? Oh, kalau begitu 
pemuda ini telah diserang oleh jarum berbisa yang 
dilepaskan Juwitasari. Oh, betapa malunya karena 
dia  menyangka  pemuda  itu  telah  berhasil 
dijatuhkannya. 
Betapa malunya! 
Padahal  dia  sudah  amat  bangga  tadi.  Pantas, 
kala  itu  Juwitasari  tidak  membalas  senyumnya. 
Rupanya tangan gadis itulah yang telah mengakhiri 
perlawanan Marayuda terhadapnya. 
Ini sungguh-sungguh amat memalukan sekali! 
Dan dengan perasaan yang amat geram sekali,   
dia  ingin  segera  menyumpal  mulut  pemuda  yang 
mendadak berubah menjadi ceriwis itu! 
Namun  sudah  tentu  tidak  akan  mungkin 
dilakukannya sekarang. 
"Tetapi bisa yang terdapat pada jarum itu akan 
mematikanmu,  Anak  muda,"  Didengarnya  lagi 
suara  gurunya  berkata.  Betapa  lembutnya.  Oh, 
gurunya  kenapa  menjadi  begitu  bersimpati  pada 
pemuda  ini?  Mengapa?  Desis  Priatna  geram  dan 
heran dalam hati. 
Bukankah  pemuda  itu  musuh  mereka?  Orang 
Cakram  Maut  yang  hina?  Orang  yang  telah 
menyerang  Perguruan  Cempaka  Biru?  Mengapa 
harus  bertindak  sungkan-sungkan?  Mengapa  tidak 
dibunuh  saja?  Priatna  menjadi  bingung  dengan 
semunya. 
---ooo0dw0ooo--- 
Lagi-lagi  kekehan  yang  terdengar  dari  mulut 
Marayuda.  Ini  kebali  membuat  Priatna  menjadi 
jengkel. Sebenarnya maksud dari Marayuda adalah 
hendak  mengulur  waktu.  Dia  mencoba  tengah 
mencari sela untuk melarikan diri. 
Namun  sejak  tadi,  rasanya  tidak  mungkin  dia 
bisa melarikan diri. 
Maka  dia  pun  bersikap  semakin  kurang  ajar 
pada Andikabirata, yang membuat Priatna menjadi  
geram adanya. 
"Hehehe...  mengapa  kau  menghiraukan  aku, 
Orang  tua?  Apakah  dengan  cara  seperti  ini  kau 
pikir aku akan tunduk padamu? Hehehe... tak akan 
pernah,  Orang  tua!  Tak  akan  pernah!  Aku  muak 
melihat wajahmu, tahu!!" 
Andikabirata mendesah panjang. 
"Kau tak pernah berterima kasih, Anak muda...." 
"Terima kasih? Untuk apa aku berterima kasih? 
Apa  lagi  terhadap  orang  sepertimu?  Hehehe... 
jangan  terlalu  mengkhayal,  Orang  tua!  Bila  kau 
berani,  bunuhlah  aku!  Biarkan  aku  mampus! 
Bukankah  itu  lebih  baik  untukmu  daripada  aku 
hidup? Hehehe... jangan jual lagak, Orang tua!" 
"Kau  keras  kepala,  Anak  muda...."  kata 
Andikabirata  tetap  dengan  suara  yang  terdengar 
sabar. 
"Hehehe...  mengapa  kau  masih  berpura-pura, 
Orang  tua?  Mengapa?  Jangan  kau  pikir  aku  tidak 
tahu  permaianan  sandiwaramu  ini,  hah?!  Biarkan 
saja!  Biarkan  aku  mampus  di  sini!  Bukankah 
putrimu  akan  gembira  bila  mendengar  aku 
mampus?  Nah,  mengapa  kau  masih  berpura-
pura?!"  Marayuda  terkekeh  dengan  suara  yang 
mampu  membuat  singa  jinak  sekalipun  menjadi 
murka. 
Tetapi suara Andikabirata tetap lembut. 
"Kau sungguh keras kepala...."    
"Heh?  Keras  kepala?  Hehehe...  bukankah  ini 
yang kau tunggu? Bunuh saja aku! Bunuh saja! Aku 
sudah  bosan  dengan  permainan  sandiwaramu  itu! 
Biarkan  putrimu  senang  mendengarnya  bila  aku 
sudah  mati!  Mengapa  kau  masih  belum 
melakukannya,  hah?  Mengapa?  Atau  kau 
menghendaki  aku  bunuh  diri?  Ciih!  Pantang  aku 
melakukannya  di  depan  orang-orang  hina  seperti 
kalian! Ayo bunuh saja aku! Bunuh saja! Hehehe.... 
kau  memang  pengecut,  Orang  tua!  Ayo,  bunuh 
aku!  Putrimu  akan  senang,  bukan?  Dan  kau  juga 
senang bukan melihatnya?!" 
"Dia tidak seperti yang kau duga, Anak muda...." 
"Apa  yang  tidak  seperti  aku  duga,  heh?" 
Marayuda  mengejek  menyakitkan.  "Dia 
menyerangku  seperti  itu  sudah  jelas,  bahwa 
putrimu  itu  seorang  gadis  yang  jahat!  Dia.... 
aughkk!!!" 
Tiba-tiba saja Marayuda muntah darah. Rupanya 
bisa jarum itu sudah menjalar ke seluruh tubuhnya. 
Mendadak  dia  merasakan  tubuhnya  menggigil. 
Bergetar. Namun dia berusaha untuk tertawa. 
Dan lagi-lagi dia munta darah. "Augghkhghh!!" 
"Kau tidak menuruti kata-kataku, Anak muda." 
"Biarkan aku di sini!" 
"Guru....  kita  biarkan  saja  pemuda  ini  di  sini. 
Toh dia musuh kita. Dia bukan apa-apa kita, Guru." 
kata Priatna yang sudah geram bukan main. Kalau   
tidak  ada  gurunya  akan  disepak  sampai  mampus 
pemuda ini. Biarkan saja dia tergeletak di sini! 
Tetapi gurunya menggeleng. 
"Tidak,  aku  tidak  akan  membiarkannya  di  sini. 
Dia menjadi tanggung jawabku, Priatna." 
"Tetapi  dia  manusia  yang  tak  berguna,  Guru. 
Dia hanya membuat onar saja." 
Lagi-lagi  Andikabirata  menggelengkan 
kepalanya. 
"Tidak,  aku  akan  membawanya  ke  Perguruan 
Cempaka Biru." 
"Tidak,  aku  tidak  mau!  Aku  tidak  mau  kau 
rawat!  Biarkan  aku  mampus  di  sini!  Biarkan!" 
bentak  Marayuda  yang  menahan  rasa  nyerinya 
yang sakit luar biasa. Dia menggeliat ngilu. Tulang-
tulangnya  dirasakan  bagai  direjam  jarum  tajam 
yang  jumlahnya  ribuan.  Dan  napasnya  pun  mulai 
dirasakan sesak. 
Rupanya bisa yang terdapat di jarum itu sudah 
menyerang tubuhnya. 
Dan mendadak dia kembali muntah darah. Kali 
ini darahnya lebih banyak yang keluar. Kental. Ini 
membuat  Andikabirata  semakin  kuatir  dan 
dilihatnya  pemuda  itu  pingsan,  tergolek  dengan 
lemah. 
"Yantara! Bawa pemuda ini dengan kuda. Cepat! 
Bisa  jarum  beracun  itu  bisa  mengakibatkan  
kematian pada dirinya! Cepat!" 
Yantara  segera  bergerak  sigap.  Dia  mengambil 
kuda  yang  ditunggangi  gurunya  dan  membopong 
tubuh Marayuda ke atas kudanya. 
Setelah  selesai  dengan  sigap  Andikabirata 
meloncat  ke  kudanya  dan  menggeprak  kudanya 
hingga  lari  begitu  kencang  setelah  menyuruh 
Priatna  dan  Yantara  memimpin  dan  membawa 
murid-murid  Perguruan  Cempaka  Biru  yang  luka-
luka. 
Sementara para tawanannya pun digiring. 
Kuda yang membawa Andikabirata telah tiba di 
rumahnya. Dengan bergegas dia membawa masuk 
pemuda itu dan membaringkannya di pendopo. 
Lalu  dengan  cepat  pula  dia  meramu  obat-
obatan.  Dan  begitu  selesai  meminumkannya  pada 
pemuda itu. Terlihat kerja obat itu begitu cepat dan 
berkhasiat.  Karena  dalam  waktu  lima  menit,  biru-
biru  di  sekujur  tubuh  pemuda  itu  mulai 
menghilang. 
Dan dia pun bernapas dengan normal kembali. 
Andikabirata menghela napas panjang. 
"Akh...  hampir  saja  aku  terlambat.  Pemuda  ini 
paling sedikit harus beristirahat selama dua hari." 
Di  dalam  kamarnya,  Juwitasari  yang  sedang 
menangis di bantal akibat perbuatan Marayuda tadi 
mengintip  perbuatan  ayahnya.  Dia  mendengar  
ketika ayahnya pulang tadi. 
Betapa  jengkelnya  dia  ketika  melihat  ayahnya 
tengah mengobati pemuda itu! 
Huh!  Ayahnya  rupanya  hendak  membuat  dia 
malu  lagi.  Bukankah  dengan  begitu  pemuda  itu 
harus tinggal di sini untuk memulihkan tenaganya 
dan memulihkan racun yang menyerangnya itu. 
Ini  membuat  Juwitasari  tidak  menyenangi  hal 
itu. Dia- bertekad akan membalas sakit hatinya. 
Dia  belum  puas  bila  belum  membalas  semua 
perlakukan  pemuda  itu  padanya.  Sungguh  panas 
dan malu hatinya dibuat bahan ejekan seperti itu. 
Dan  Juwitasari  sungguh-sungguh  tidak 
mengerti,  mengapa  ayahnya  mau  merawat  dan 
mengobati  pemuda  yang  sudah  jelas-jelas 
penyebar fitnah pada Cempaka Biru. 
Pemuda  yang  datang  untuk  menyerang  Desa 
Kali Sunyi! Lalu mengapa harus ditolong? Ini benar-
benar membingungkan Juwitasari. 
"Aneh  Bapak  ini...  bukannya  dibunuh  saja 
pemuda  itu,  malah  ditolongnya,"  desisnya  dalam 
hati. Dan keesokan harinya pun Juwitasari melihat 
sikap  yang  sama  diperlihatkan  ayahnya  pada 
pemuda  itu.  Bahkan  terlihat  jelas  kalau  ayahnya 
begitu  telaten  memeriksa  keadaan  tubuh  pemuda 
itu. 
Ini membuatnya semakin jengkel saja.   
Dan  perasaannya  untuk  membalas  dendam 
semakin  lama  semakin  besar  saja.  Hanya  sayang, 
ayahnya  selalu  berada  di  dekat  pemuda  itu.  Ini 
membuat  Juwitasari  hanya  bisa  menunggu  saat 
yang tepat. 
Dia berjanji, akan tetap membalas sakit hatinya 
atas perlakuan pemuda itu. 
Bila saatnya yang tepat tiba? 
---ooo0dw0ooo--- 
Derap  langakah  kuda  itu  memecah  kesunyian 
malam. Kecepatan larinya amat sukar untuk diikuti 
oleh  mata.  Terlihat  walaupun  samar  satu  sosok 
tubuh yang menunggang kuda itu. Melihat bentuk 
tubuhnya jelas dia seorang pemuda. Di punggung 
penunggang  kuda  itu  terdapat  sebilah  golok  yang 
nampak  agak  aneh.  Sarungnya  terbuat  dari  kulit 
kayu yang berlapiskan timah berwarna kuning. 
Pemuda ini pun terlihat mengenakan caping. Dia 
adalah  Pandu,  murid  dari  Eyang  Ringkih  Ireng 
majikan Gunung Kidul. 
Secara  tidak  sengaja  pemuda  itu  telah 
memasuki  batas  Desa  Kali  Sunyi.  Dan  karena 
terlalu  penat,  dia  pun  bermaksud  hendak 
beristirahat. 
"Kita  beristirahat  dulu  di  sini,  Hitam."  katanya 
pada  kudanya  serya  melompat  turun.  Namun   
belum lagi dia melangkah, mendadak telah muncul 
di  hadapannya  beberapa  orang  laki-laki  yang 
memegang toya. 
Kening  Pandu  berkerut.  Apa-apaan  ini?  Apalagi 
setelah  dilihatnya  wajah  mereka  yang  tidak 
menandakan tanda persahabatan. 
Wajah mereka tegang dan kaku. 
"Hmm.... kesulitan apa yang akan kuhadapi lagi 
ini?" desisnya dalam hati. 
"Manusia  lancang,  berani-beraninya  kau 
menyatroni  Desa  Kali  Sunyi  malam  hari,  hah?!" 
bentak  salah  seorang.  Dia  adalah  Priatna  yang 
tengah  bertugas  berjaga-jaga  di  perbatasan  Kali 
Sunyi. 
Dan  bisa  ditebak,  yang  lainnya  adalah  teman-
teman  seperguruannya.  Priatna  sebenarnya  masih 
jengkel  dan  dendam  pada  Marayuda.  Namun 
hingga  tiga  hari  pemuda  musuh  itu  berada  di 
tengah-tengah  mereka,  gurunya  belum  juga 
menjatuhkan hukuman. 
Ini membuat Priatna heran. 
Dan  kali  ini  Pandu  yang  heran.  Murid  Eyang 
Ringkih  Ireng  itu  menebarkan  senyum.  Wajahnya 
sebagian tertutup oleh capingnya. 
"Hmm....  maafkan  aku,  Ki  Sanak....  aku 
hanyalah pengelana yang sedang kemalaman. Dan  
bermaksud hendak beristirahat di sini...." sahutnya 
sopan. 
"Manusia  busuk,  jangan  jual  lagak  di  depan 
kami!  Jangan  kira  kami  tidak  tahu  siapa  kau 
sebenarnya, hah?! Jangan berlagak!" 
Eyang.... kesulitan apa yang akan kualami ini.... 
"Maafkan aku, Ki Sanak... Mungkin aku lancang 
karena memasuki desa ini tanpa izin. Namun bila Ki 
Sanak  tidak  berkenan  mengizinkan  aku  untuk 
melepas lelah di sini, tak apa... lebih baik aku pergi 
saja...." 
Belum  lagi  Pandu  melangkah,  terdengar 
bentakan yang amat keras. "Tunggu!" 
"Ada apa lagi, Ki Sanak?" 
"Jangan  kau  pikir  semudah  itu  kau  bisa 
meninggalkan  tempat  ini.  Kau  sudah  memasuki 
kalangan, dan berarti kau siap menerimanya!" 
Pandu mendesah. Dia merasa memang sedang 
terlibat dalam satu kesulitan. 
Namun  dia  tak  ingin  kesulitan  itu  lagi-lagi 
membelenggunya. Maka dia pun berpikir, lebih baik 
segera  pergi  saja.  Maka  tanpa  mengacuhkan 
bentakan  dari  Priatna,  dia  bermaksud  hendak 
melompat ke kudanya. 
Tetapi  datang  sambaran  angin  keras  ke  arah 
kakinya. Sigap Pandu melompat dan bersalto sekali 
kemudian hingga di bumi dengan ringannya.   
Priatna mendengus. 
"Hhh!  Pantas  kau  berani  jual  lagak!  Rupanya 
kau punya kebisaan juga, hah!" 
"Ki  Sanak...  kita  tidak  saling  kenal  adanya,  lalu 
mengapa kau hendak membunuhku? Dari sikapmu 
itu, kau nampak begitu murka!" 
"Ya,  selama  orang-orang  Cakram  Maut  masih 
menebarkan  fitnahnya,  selamanya  aku  akan 
murka!" 
"Orang  Cakram  Maut?  Ooo....  Ki  Sanak.... 
rupanya kau salah duga, aku bukanlah orang dari 
perguruan  yang  kau  sebutkan  itu.  Aku  adalah 
seorang  pengelana.  O  ya,  namaku  Pandu,  dari 
Gunung Kidul...." 
"Siapa pun kau adanya, kau tetap menjual lagak 
di  depanku!  Nah,  orang  Cakram  Maut,  bersiaplah 
untuk mampus di sini!" 
"Tahan!" seru Pandu. 
Tetapi Priatna telah menderu maju dengan toya 
di  tangannya.  Sudah  tentu  Pandu  tidak  ingin 
tubuhnya dijadikan sasaran toya yang nampaknya 
amat keras dan telah dialiri tenaga dalam itu. 
Maka  dia  pun  segera  menghindarinya  dengan 
satu  gerakan  yang  hebat  dan  cepat,  membuat 
Priatna menjadi semakin marah dan murka. 
"Anjing keparat!" 
Dia  pun  segera  meningkatkan  kemampuannya.   
Serangan-serangan  toyanya  amat  dahsyat.  Angin 
yang keluar setiap kali toya itu berkelebat sungguh 
amat keras dan menebarkan hawa kematian. 
Pandu sendiri dengan susah payah menghindari 
serangan  toya  itu.  Namun  sejauh  ini  dia  belum 
membalas,  karena  merasa  orang  yang 
menyerangnya  tengah  kalap  dan  berada  dalam 
satu kesalahpahaman. 
Hal  ini  justru  yang  membuat  Priatna  semakin 
marah. 
"Jangan hanya menghindar saja, Setaa-annnn!" 
makinya dan semakin membabi buta. Melihat sejak 
tadi  Priatna  masih  belum  juga  berhasil  mendesak 
lawannya,  teman-temannya  yang  berjumlah  lima 
orang itu segera datang membantu. 
"Ini  tidak  dianggap  main-main  lagi  rupanya," 
desis Pandu dalam hati. 
Dia  pun  dengan  jurus  Gagak  Terbang,  lalu 
menghindari  serangan-serangan  yang  datang 
dengan  cepat  dan  beruntun  itu.  Namun  mereka 
adalah murid-murid Perguruan Cempaka Biru yang 
telah  mendapat  kepercayaan  dari  Andikabirata 
untuk mengawasi Desa Kali Sunyi. 
Sudah  tentu  ilmu  yang  mereka  miliki  tidak 
tanggung-tanggung lagi. Tentu tangguh. 
Pandu  sendiri  akhirnya  berinisiatif  untuk 
menyerang.  Karena  bila  begini  terus-menerus, 
maka  dia  akan  kewalahan.  Tenaganya  perlahan-  
lahan akan terkuras habis. 
Maka tiba-tiba dia bersalto dua kali ke belakang, 
menjaga jarak serang dari orang-orang yang kalap 
itu. 
"Maafkan  aku,  Ki  Sanak  sekalian...  kalian  yang 
telah memaksaku untuk membalas...." 
"Setttaaaaan!"  maki  Priatna.  "Tangkap  dan 
bunuh orang itu!" serunya pula. 
Lalu mereka pun kembali menerjang, dan kali ini 
Pandu  sendiri  dengan  tiba-tiba  menyongsong 
terjangan orang-orang itu. 
Kebali mereka bertempur dengan hebat. Namun 
kali ini Pandu pun mulai membalas. 
Jurus  Patuk  Rimang  warisan  gurunya  Eyang 
Ringkih  Ireng  dipergunakannya  dengan  hebat. 
Membuat para penyerangnya menjadi kaget. 
Namun  mereka  pun  diam-diam  amat  kagum, 
dan  dalam  hati  mereka  pula  terbersit  satu 
kenyataan,  bahwa  orang  ini  bukanlah  orang 
Cakram Maut yang amat mereka benci. 
Puluhan  jurus  telah  berlalu.  Pandu  sendiri 
akhirnya  bermaksud  menyudahi  perlawanan 
mereka.  Maka  dengan  satu  gerakan  yang  amat 
cepat  dan  hebat,  dia  pun  bersalto  dan  melompat 
menotok. 
Lima orang tertotok. 
Priatna  berhasil  meloloskan  diri  namun  dengan   
cepat  Pandu  terus  mendesaknya  dan  berhasil 
mendaratkan  satu  tendangan  ke  dadanya,  yang 
membuat  Priatna  terguling  ke;  belakang  dan 
muntah darah. 
Pandu sendiri telah berdiri sigap. 
"Maafkan aku, Ki Sanak.... Engkaulah yang telah 
memaksaku  untuk  berbuat  seperti  itu...."  katanya 
lembut  dan  sedikit  menyesal,  karena  dia  yakin 
orang itu dalam satu kesalah pahaman. 
Priatna yang telah bangkit menatap murka dan 
tangan kirinya mengusap darah yang mengalir dari 
mulutnya. 
"Katakan siapa kau sebenarnya?!" 
"Tadi  sudah  kukatakan,  Ki  Sanak.  Namaku 
Pandu, pengelana dari Gunung Kidul...." 
"Hhh!  Bila  kau  memang  benar  bukan  orang 
Cakram  Maut,  beranikah  kau  kuhadapkan  kepada 
guruku?!" 
Pandu  terdiam  sejenak.  Dia  kini  malah  jadi 
penasaran untuk mengetahui apa yang sebenarnya 
tengah terjadi. 
---oo0dw0ooo--- 
"Bila itu maumu, tentu dengan senang hati aku 
akan menurut padamu."  
"Bagus!" 
"Tetapi...  bisakah  kau  menjelaskan  mengapa   
terjadi hal seperti ini?!" 
"Persetan dengan permintaanmu itu! Sebaiknya 
kau ikut kami menghadap guru!" 
"Baiklah...!" 
"Lepaskan totokanmu pada teman-temanku!" 
Pandu  hanya  menurut  dan  rasa  penasarannya 
semakin  besar.  Dia  pun  ikut  saja  kala  kudanya 
dipegang  tali  kekangnya  oleh  Priatna.  Sementara 
dia  berjalan  kaki  bersama  lima  orang  murid 
Perguruan  Cempaka  Biru  yang  berjalan  di 
belakangnya. 
Hati  Pandu  semakin  bertanya-tanya,  ada  apa 
sebenarnya  ini?  Mengapa  orang-orang  yang 
nampak  dari  satu  perguruan  itu  begitu  membenci 
Perguruan Cakram Maut? 
Dugaan  Pandu,  mereka  berada  dalam  satu 
sengketa. Yang nampaknya sudah amat mendarah 
daging;vdan  menimbulkan  kemarahan  yang  luar 
biasa. 
Dilihat  dari  sikap  orang-orang  itu  kala 
menyambutnya  tadi.  Sepertinya  mereka  amat 
berhati-hati sekali. Ataukah orang Cakram Maut itu 
dalam menebarkan terornya selalu menyamar? 
Pandu  jadi  semakin  ingin  mengetahui  duduk 
persoalannya lebih lanjut. 
Maka  dia  pun  segera  mengikutinya  saja  tanpa 
banyak bertanya lagi.   
Ada apa sebenarnya ini? 
Andikabirata  sudan  tentu  heran  begitu  melihat 
rombongan  yang  mendekati  pendopo-nya.  Sejak 
kejadian yang ditebarkan oleh orang-orang Cakram 
Maut  terhadap  Cempaka  Biru,  dia  jadi  tidak  bisa 
tidur dengan tenang. 
Dan setiap malam datang, dia selalu gelisah tak 
menentu. Akhirnya setelah kejadian itu yang terus-
menerus datang, dia jadi tidak bisa tidur. 
Dia  pun  sigap  segera  bangkit  dari  duduk 
bersilanya  dan  menghampiri  rombongan  yang 
datang. 
Priatna menjura hormat, "Maafkan kami, Guru... 
yang mengganggu kesendirianmu...."  
"Ada  apa,  Priatna?"  tanya  Andikabirata  sambil 
memperhatikan satu sosok yang asing di matanya. 
Hatinya bertanya-tanya, siapakah pemuda itu? 
Priatna segera menceritakan kejadian yang baru 
saja terjadi. Andikabirata manggut-manggut. 
Dia menatap Pandu. 
"Siapakah gerangan kau adanya, Anak muda...." 
tanyanya dengan tutur suara yang lembut. 
Pandu pun menjura dan bersikap dengan sopan. 
"Maafkan  saya,  Paman...  Saya  pun  tidak 
menyangka akan terjadi hal seperti ini...."  
"Ceritakanlah...."   
Pandu pun bercerita yang sesungguhnya. 
"Nama  saya  Pandu,  Paman...  pengelana  dari 
Gunung Kidul...." 
Tiba-tiba  terlihat  kening  Andikabirata  berkerut. 
Nampaknya dia seperti tengah memikirkan sesuatu 
yang mengganggu pikirannya. 
Mendadak  dia  bertanya,  "Apakah....  bila  aku 
tidak salah... Kau Pandu yang bergelar.... Pendekar 
Gagak Rimang?" 
"Ah,  Paman...  itu  hanyalah  sebuah  gelar  yang 
tak banyak arti...." 
"Jadi  benar  kau  Pandu...  Pendekar  Gagak 
Rimang  itu?"  Kali  ini  suara  Andikabirata 
mengandung kekaguman. 
"Orang-orang  yang  menggelari  aku  seperti  itu, 
Paman...." 
"Oh,  Gusti  Betara  Agung...  sudah  lama  aku 
mendengar  namamu  Pandu...  namun  tak  pernah 
kusangka  kalau  aku  pun  mempunyai  kesempatan 
untuk bertemu denganmu...." 
Pandu tersenyum. 
"Paman...  janganlah  terlalu  membesarkan 
namaku...  Aku  bukanlah  orang  seperti  yang  kau 
duga...  Aku  tak  pernah  menganggap  sesuatu  itu 
terjadi dengan pasti... Dalam hal ini adalah julukan 
yang  diberikan  oleh  orang-orang...  Itu  hanyalah 
julukan belaka...."   
Diam-diam  dalam  hatinya  Andikabirata 
tersenyum. 
"Anak muda... nama besarmu sudah melekat di 
hatiku...  Dan  sikapmu  itu  semakin  membuatku 
bertambah  pasti  dan  yakin,  bahwa  kau  memang 
orang  pilihan  yang  begitu  hebat  dan  pantas 
menyandang gelar seperti itu.... 
Pandu kembali menjura. 
"Bila memang demikian anggapanmu, Paman... 
aku mengucapkan banyak terima kasih...." 
Mereka  pun  masuk  ke  pendopo.  Priatna  dan 
kawan-kawannya segera mengucapkan maaf pada 
Pandu. 
Pandu bertanya tentang kesalah paham-an yang 
terjadi.  Dari  penjelasan  yang  disampaikan 
Andikabirata, dia pun akhirnya tahu apa yang telah 
terjadi. 
"Lalu bagaimana, Paman?" 
"Orang-orang Cakram Maut tetap pada terornya. 
Dan mereka pun tetap berkeyakinan, bahwa orang-
orang Cempaka Birulah yang telah mencuri pusaka 
Cakram Emas...." 
"Dan  hingga  saat  ini  belum  terlihat  atau 
terdengar  kabar,  bahwa  ada  orang  ketiga  yang 
berbuat seperti ini?" 
Belum  lagi  Andikabirata  menjawab,  tiba-tiba 
didengarnya suara derap langkah tergesa-gesa. Ki   
Lurah Pati Negoro datang bersama beberapa orang 
anak buahnya. 
"Maafkan  kelancanganku,  Andikabirata...." kata 
Ki Lurah begitu berdiri di depan Andikabirata. 
"Oh, silahkan masuk, Ki Lurah... Nampaknya ada 
kejadian yang telah menyusahkan Ki Lurah?" 
"Benar,  Andikabirata.  Tiba-tiba  saja  datang 
segerombolan  orang-orang  bersenjatakan  cakram 
menyerbu ke balai desa...." 
Andikabirata terkejut. 
"Benarkah itu, Ki Lurah?" 
"Memang  benar  adanya.  Dan  saya  tidak 
mengerti mengapa tiba-tiba saja desa kita diserang 
oleh orang-orang bersenjata cakram itu...." 
Memang  jelas  Ki  Lurah  Pati  Negoro  tidak 
mengerti  akan  hal  itu,  karena  selama  ini 
Andikabirata belum memberitahukan masalah yang 
tengah dihadapinya. 
"Maafkan aku sebelumnya, Ki Lurah.... memang 
aku  selama  ini  mendiamkan  saja  masalah  yang 
tengah kuhadapi. Karena aku tak ingin masyarakat 
desa  gempar  karena  masalah  yang  tengah  terjadi 
ini...." 
"Masalah apa gerangan?" 
Andikabirata pun segera menceritakan kejadian 
yang sesungguhnya. Setelah itu dia memerintahkan 
Priatna untuk mengumpulkan hampir semua murid   
Perguruan Cempaka Biru. 
Setelah  itu  mereka  pun  segera  bergerak  ke 
sumber  yang  mengerikan.  Pandu  sendiri  segera 
menaiki kudanya. 
Hiruk  pikuk  terjadi  dengan  cepat  dan  gencar. 
Suasana menjadi kacau balau. Api pun membakar 
atap-atap  rumah  sehingga  penghuninya  berlarian 
ke luar. 
Suasana tegang dan kacau balau. 
Jerit  tangis  yang  mengerikan  menyayat 
terdengar  dari  segala  penjuru.  Orang-orang 
Cakram Maut memang hebat. Dia memasuki Desa 
Kali Sunyi lewat desa seberang, dan menyeberangi 
kali  besar  yang  dijadikan  harapan  oleh  Perguruan 
Cempaka Biru untuk menghambat mereka. 
Namun  mereka  salah  perhitungan,  karena 
orang-orang  Cakram  Biru  sudah  memasuki  Desa 
Kali Sunyi. Mereka sengaja meng-obrak abirk desa 
agar orang-orang Cempaka Biru keluar dari sarang. 
Di tengah-tengah kacau balau yang amat sangat 
itu,  terlihat  seorang  laki-laki  berwajah  seram. 
Dengan  kumis  dan  cambang  yang  lebat  tengah 
terbahak-bahak. 
Dia  adalah  Ki  Renggono  Paksi  ketua  dari 
Perguruan Cakram Maut. 
"Hancurkan  semuanya!"  serunya.  "Hancurkan 
hingga rata dengan bumi!"   
Semakin kacaulah keadaannya. 
Senjata  cakram  berkelebat  berulangkah 
menyambar nyawa rakyat yang tak berdosa. Yang 
mempunya  keberanian  sedikit  pun  nekad  untuk 
melawan.  Namun  semuanya  itu  sia-sia  belaka 
karena mereka pun harus meragang nyawa dengan 
bersimbah darah yang mengalir deras. 
Orang-orang  Cempaka  Biru  tiba  di  sana. 
Andikabirata segera memerintahkan para muridnya 
untuk  maju  menyerang.  Kini  pertarungan.antara 
dua  perguruan  itu  pun  tak  dapat  dihindari  lagi. 
Keadaan  semakin  membahana  dalam  satu 
kengerian yang menyengat. 
Ki  Renggono  Paksi  langsung  merah  padam 
wajahnya  dengan  kegeraman  yang  membludak 
begitu melihat Andikabirata. Dia pun dengan sigap 
melompat maju ke arah Andikabirata. 
Andikabirata  hanya  tersenyum  saja,  semakin 
membuat Ki Renggono Paksi marah. 
"Manusia  busuk!"  makinya.  "Akhirnya  kau 
menampakkan diri juga!" 
"Hm....  apa  kabar,  Renggono?  Lama  kita  tidak 
berjumpa. Nampaknya di saat perjumpaan ini kita 
dalam suasana yang tidak enak dan memanas...." 
"Bangsat! Kau masih bisa menjual mulut manis 
juga rupanya, Andikabirata! Apakah kau tidak tahu 
kalau ajalmu sudah tiba hingga di sini?!" 
"Hmm...  agaknya  bila  kita  memakai  darah 
panas,  sudah  tentu  semua  ini  tidak  akan  berjalan 
dengan lancar. Bagaimana bila kita membicarakan 
masalah ini dengan kepala dingin, Renggono?!" 
Wajah  Ki  Renggono  Paksi  semakin  memerah 
dengan  kegeraman  yang  luar  biasa.  Dia  melirik 
pemuda  yang  sejak  tadi  diam  berdiri  di  sisi 
Andikabirata.  Namun  kemudian  dia  meludah  tak 
acuh: 
"Andikabirata  sebaiknya  kau  kembalikanlah 
pusaka Cakram Emas milikku. Bila semuanya beres, 
aku akan tenang dan tak akan mengganggu hidup 
kalian lagi!" 
"Renggono...  bagaimana  caraku  untuk 
mengembalikan  pusaka  itu  bila  aku  sendiri  tidak 
mengetahuinya...." 
"Kau memang bisa menjual lagak, Andikabirata!" 
"Renggono...  dasar  tuduhanmu  karena  kau 
menemukan  toya  lambang  Perguruan  Cempaka 
Biru....  tidak  terpikirkah  olehmu,  bila  ada  orang 
ketiga  yang  tengah  mengadu  domba  kita?  Aku 
yakin, sebenarnya kau sudah singgah pada pikiran 
itu.  Namun  kau  tidak  mau  menggunakan  akal 
sehatmu untuk mengetahui lebih lanjut!" 
"Jangan  berlagak,  Andikabirata!  Kembalikan 
pusaka  milikku,  atau  bila  tidak...  kumusnahkan 
kalian hingga ke akar-akarnya...." 
Andikabirata mendengus. Namun belum lagi dia 
bicara,  tiba-tiba  dilihatnya  Ki  Renggono  Paksi   
bersalto dua kali ke belakang. Sekilas Andikabirata 
melihat beberapa batang jarum berbisa mengarah 
pada  Ki  Renggono  Paksi.  Dan  tiba-tiba  saja  di 
sisinya telah berdiri Juwitasari yang melihat dengan 
geram  ke  arah  Ki  Renggono  Paksi  yang  telah 
berhasil  menyelamatkan  diri  dari  serangan 
gelapnya. 
Dia  marah  dan  jengkel  karena  serangannya 
gagal. 
"Wita...." desis Andikabirata karena merasa tidak 
senang dengan perbuatan putrinya. Dengan begitu, 
putrinya  memancing  kemarahan  yang  membludak 
dari Ki Renggono Paksi. 
"Maafkan  aku,  Bapak...."  desis  Juwitasari  yang 
yakin ayahnya marah atas perbuatannya. 
Namun dimaafkan atau tidak, Ki Renggono Paksi 
sudah sampai pada puncak kemarahannya. 
"Manusia  keparat!  Kubunuh  kalian  semua!" 
serunya sambil menderu maju ke arah Juwitasari.  
Andikabirata  tanggap,  kalau  putrinya  ini  tak 
akan pernah menang melawan Ki Renggono Paksi. 
Maka  dia  pun  segera  bergerak  memapaki 
serangan Ki Renggono Paksi.  
"Des!" 
"Des!" 
Tenaga  keduanya  berbenturan  dengan  keras. 
Namun  masing-masing  langsung  saling  
menyerang.  Pertarungan  antara  dua  jago  itu 
sungguh hebat dan cepat. 
Saling menghindar. 
Saling menyerang. 
Yang  dilakukan  dengan  gerakan  yang  amat 
fantastis. 
Pandu hanya memperhatikan saja. Hingga saat 
ini  dia  belum  tahu  harus  berpihak  pada  siapa. 
Begitu  pula  dengan  Juwitasari.  Meskipun  dia 
geram, namun dia diam saja. Karena memang jelas 
dia  tak  akan  menang  bila  melawan  Ki  Renggono 
Paksi. 
Hingga  kemudian  baru  disadarinya,  kalau  di 
sisinya  sejak  tadi  berdiri  seorang  pemuda 
bercaping. Siapa dia? Mau apa dia? Karena merasa 
pemuda  ini  asing  baginya,  sikap  Juwitasari  pun 
menjadi kasar. 
Dia menatap Pandu dengan geram. Yang ditatap 
hanya  memperhatikan  pertarungan  antara 
Andikabirata  dengan  Ki  Renggono  Paksi  tanpa 
melirik Juwitasari sedikit pun. 
Hal ini membuat Juwitasari menjadi jengkel. 
"Hei, siapa kau gerangan adanya?!" bentaknya. 
Pandu  hanya  diam  saja.  Dia  tetap  mengikuti 
gerak dan laga kedua jago itu. 
"Hei! Kau tuli, ya?!" bentak Juwitasari pula.  
Namun Pandu tetap berdiam. 
Masih  berkonsentrasi  memperhatikan 
pertarungan  Andikabirata  dengan  Ki  Renggono 
Paksi. 
Hal ini semakin membuat Juwitasari bertambah 
geram. 
Tiba-tiba  saja  dia  menggerakkan  tangannya  ke 
dada  Pandu.  Namun  yang  membuatnya  terkejut, 
karena serangannya mengenai tempat kosong. 
---oo0dw0ooo--- 
Padahal sungguh mati, dia tidak melihat pemuda 
itu  bergerak  atau  pun  bergeser  sedikit  pun.  Kini 
malah pemuda itu tetap dengan perhatiannya pada 
pertarungan  Andikabirata  dengan  Ki  Renggono 
Paksi. 
"Settaaannnn!"  geram  Juwitasari  setelah 
menyadari  kalau  pemuda  ini  tengah 
mempermainkannya.  Lalu  diambilnya  senjatanya 
yang  tersampir  di  punggung  dan  ditariknya 
memanjang. 
Kembali  diserangnya  Pandu  dengan  cepat. 
Namun  belum  lagi  satu  gebrakan,  toya  itu  sudah 
berhasil  ditangkap.  Dan  sulit  dilepaskan  oleh 
Juwitasari. 
"Aku  tidak  memihak  siapa  pun,  Nona.... 
Janganlah  memusuhiku....  aku  adalah  tamu 
ayahmu...."   
Lalu  dilepaskannya  genggamannya  dari  toya 
milik Juwitasari, yang langsung menariknya dengan 
bibir cemberut. 
Pertarungan  antara  Andikabirata  dengan  Ki 
Renggono Paksi sudah pada puncaknya. 
Keduanya  kini  sudah  menggunakan  senjata 
masing-masing.  Berulangkah  Ki  Renggono 
melemparkan  cakramnya  ke  arah  Andikabirata 
yang  juga  telah  berulangkah  pula  menghalau 
cakram itu dengan toyanya. 
"Trang!" 
"Trang!" 
"Trang!" 
Kini  masing-masing  memperlihatkan  kehebatan 
mereka  dengan  serangan-serangan  yang 
berbahaya. 
"Renggono....  tidak  bisakah  kita  menghadapi 
semua  ini  dengan  kepala  dingin?  Dengan  satu 
penjelasan  yang  mungkin  bisa  kitajadikan  jalan 
keluar?!" seru Andikabirata sambil menghindari laju 
cakram  dan  mengayunkan  toyanya  ke  leher  Ki 
Renggono Paksi. 
Ki Renggono Paksi merunduk dengan sigap. 
"Bila kau sudah mengembalikan pusaka Cakram 
Emas,  bolehlah  kita  berbincang  dengan  kepala 
dingin!" 
"Sejak  semula  sudah  kukatakan,  kalau  aku  
maupun  murid-murid  Perguruan  Cempaka  Biru 
tidak pernah berbuat licik dan keji seperti itu!" 
"Kau memang bisa menjual lagak, Andikabirata. 
Bila  belum  kau  kembalikan  pusaka  itu,  maka  aku 
pun  tak  akan  menghentikan  pertikaian  di  antara 
kita!" 
Kembali  pertarungan  keduanya  semakin  sengit 
dan  menjadi-jadi.  Masing-masing  sudah 
memperlihatkan  dan  mengeluarkan  segenap 
kemampuan mereka. 
Pandu masih tenang memperhatikan. 
Dia  tidak  bisa  menentukan  siapa  yang  keluar 
sebagai pemenang dalam pertarungan itu. 
Namun  tiba-tiba  matanya  menangkap  satu 
gerakan  aneh  yang  dilakukan  oleh  Ki  Lurah  Pati 
Negoro. Gerakan yang menurutnya janggal. 
Sejak tadi dia memang memperhatikan Ki Lurah 
Pati  Negoro  membantu  melawan  orang-orang 
Cakram  Maut.  Namun  gerakan  itu  sungguh  diluar 
dugaannya.  Karena  tiba-tiba  saja  Ki  Lurah  Pati 
Negoro  berputar  dan  perlahan-lahan  tubuhnya 
melenyap. 
"Oh, Tuhan!" desisnya. "Ada apa ini?" 
Pandu  pun  segera  membuka  mata  batinnya 
setelah  mengeluarkan  dan  mengalirkan  hawa 
murninya. Terlihat bayangan Ki Lurah 
Pati  Negoro  menyelinap  ke  luar  dari  
pertempuran itu. 
"Hmm.... sebaiknya kuikuti saja apa maunya, Ki 
Lurah itu?" desisnya. 
---ooo0dw0ooo--- 
Melalui  mata  batinnya  pula  Pandu  mengikuti 
langkah Ki Lurah yang  demikian cepat menuju  ke 
rumahnya. Pandu pun melompat berjingkat dengan 
ilmu  peringan  tubuhnya  untuk  hinggap  di  atap 
rumah Ki Lurah. 
Dibukanya sedikit atap di sana, dan dia melihat 
Ki Lurah tengah tergesa-gesa memasuki kamarnya. 
"Mau apa Ki Lurah ini? Sikapnya begitu misterius 
sekali?" tanyanya dalam hati. 
Dan  dia  melihat  Ki  Lurah  Pati  Negoro  tengah 
membuka  sebuah  laci.  Dia  pun  melihat  Ki  Lurah 
mengambil sesuatu yang terbungkus kain hitam. 
Pandu  melihat  sebuah  benda  bergerigi  yang 
terbuat  dari  emas.  Keningnya  berkerut.  Itukah 
Cakram Emas milik Perguruan Cakram Maut. 
Lalu mengapa ada pada Ki Lurah? Namun Pandu 
tak  perlu  lagi  mencari  jawabnya  karena  dia 
mendengar  Ki  Lurah  Renggono  Paksi  mengoceh, 
"Hahahah....  biarlah  kalian  berdua  saling  gontok-
gontokkan.  Ini  akibatnya  bila  kau  menolak 
lamaranku  terhadap  putrimu,  Andikabirata....  Kau 
merasakan  akibat  yang  amat  mengerikan.  
Hahaha....  dengan  senjata  toya  yang  kucuri  dari 
perguruanmu, kubuat satu fitnah yang bagus pula. 
Kucuri  Cakram  Emas  ini  dari  Perguruan  Cakram 
Maut  dan  kutebarkan  fitnah  padamu.... 
Andikabirata...  agaknya  kau  kurang  paham  siapa 
aku  sebenarnya.  Sialan  kau  ini,  berani-beraninya 
menolak lamaranku terhadap putrimu!" 
Pandu  yang  mendengar  kata-kata  itu  menjadi 
geram. Anjing buduk! Rupanya biang keladi semua 
ini  adalah  orang  yang  amat  dipercaya  dan 
dihormati seisi desa. 
Pandu pun tak mau bertindak membuang waktu 
lagi. Maka dia pun segera menjebol atap rumah itu, 
yang membuat Ki Lurah terkejut. 
Namun kemudian dia terbahak. 
"Hahahah....  mengapa  kau  baru  masuk 
sekarang,  Anak  muda?  Sejak  tadi  kau  sudah 
mengetahui kalau congormu itu mengikuti jejakku. 
Kau  sungguh  berani,  Anak  muda.  Aku  kagum 
padamu.  Namun  karena  kau  sudah  mengetahui 
semua ini, maka nyawamu sebagai taruhannya!" 
Maka  Ki  Lurah  pun  segera  menyerang  Pandu 
yang dengan sigap menghindar. 
"Kau  lurah  keparat  rupanya!  Lurah  yang 
menghisap  darah  daging  wargamu  sendiri!  Kau 
menyebar fitnah yang terlalu kejam dan keji!" 
"Hahaha... itu akibatnya bila berani menentang 
dan menolak permintaanku!"  
"Mampus  rupanya  jalan  yang  terbaik  untukmu, 
Ki Lurah!" dengus Pandu seraya menerjang. 
"Hahaha....  kau  terlalu  meremehkan  aku 
rupanya. Kau belum tahu siapa aku, Anak muda...." 
"Biar  aku  cari  tahu  siapa  ku  sesungguhnya! 
Namun  sebagian  aku  sudah  tahu,  bahwa  engkau 
adalah  orang  yang  pengecut  dan  memiliki  akal 
busuk yang keji!" 
"Bangsat!" 
Dengan  geram  Ki  Lurah  Pati  Negoro  bergerak 
menyerang kembali. Serangannya amat berbahaya. 
Rupanya  dia  memiliki  ilmu  kanuragan  yang  amat 
hebat. 
Pandu  pun  bergerak  mengimbanginya  dengan 
satu  gerakan  yang  cepat  dan  tangkas  pula.  Dia 
sudah  memainkan  jurus  Patuk  Gagak  Rimang 
dalam tingkat tinggi. 
"Anjing!  Kau  bisa  pula  mengimbangi  ilmuku, 
hah?!" 
"Kau terlalu sesumbar rupanya!" 
"Hhh!  Terimalah  ilmu  yang  satu  ini,  Anak 
muda!" dengus Ki Lurah. 
Tiba-tiba  dia  bersalto  ke  belakang.  Dan  saat 
hinggap di bumi, dia memutar kedua tangannya ke 
atas.  Menyatukannya  dan  memutar  tiga  kali  ke 
arah kanan. 
Lalu tangan itu dibukanya dan dikibas-kannya ke  
arah Pandu. Asap hitam mengepul dan bergerak ke 
Pandu. 
Pandu  tanggap  dan  yakin,  kalau  asap  itu 
mengandung  racun.  Maka  dia  pun  bersalto 
menghindar,  namun  asap  itu  dengan  pekat  terus 
mengejar ke arahnya. 
"Settaaan!  Ilmu  beracun  yang  kau  punya,  Ki 
Lurah! Keji! Kau teramat keji!" 
"Hahahaha... kau jerih rupanya denganku, Anak 
muda....  Hhh!  Lebih  baik  kau  bunuh  diri  saja  di 
depanku  daripada  harus  mampus  dengan 
mengerikan!" 
"Tak akan pernah aku mundur setapak pun, Ki 
Lurah!  Orang  seperti  kau  harus  ditangkap  dan 
diadili!"  seru  Pandu  sambil  terus  menghindari 
kejaran asap hitam itu. 
Namun  asap  itu  seakan  memiliki  mata  yang 
amat tajam. Ke mana pun Pandu lari, ke sana pula 
dia mengejar. 
Tiba-tiba  Pandu  bersalto  ke  belakang.  Dan 
sambil  bersalto  itu  dia  mengibaskan  tangan 
kanannya.  Selarik  sinar  putih  melesat  dengan 
cepat, menerpa ke arah asap hitam itu. 
---ooo0dw0ooo--- 
Asap  itu  memang  tidak  bisa  pecah,  malah 
semakin menggumpal. Namun Ki Lurah Pati Negoro 
yang  harus  menghindari  sinar  putih  itu  bila  tidak 
ingin  dirinya  dihantam  hancur  oleh  pukulan  sinar  
putih itu. 
Dan  secara  mendadak  asap  hitam  itu 
menghilang.  Kini  Pandu  paham,  rupanya  asap 
hitam  itu  digerakkan  oleh  tenaga  dalam  Ki  Lurah 
Pati Negoro. 
Maka dia pun semakin mencecar dengan hebat. 
Namun  Ki  Lurah  pun  dengan  sigap  dan  tangkas 
menghindari  serangan-serangan  sinar  putih  milik 
Pandu yang berbahaya. 
Dia berpikir, ilmu menghilangkannya akan sia-sia 
bila diperlihatkan pada pemuda itu. Maka tiba-tiba 
dia duduk bersila bersemedi. 
Mendadak  saja  terlihat  asap  putih  keluar  dari 
jasadnya.  Rupanya  dia  memiliki  Ilmu  Pendua  Roh 
yang kejam. Pandu sendiri sedikit terkejut. Karena 
ini terlihat asap putih itu berubah menjadi makhluk 
raksasa yang mengerikan. 
"Ilmu  sihir!"  dengus  Pandu  seraya  menghindari 
serangan-serangan  yang  dilakukan  makhluk 
jejadian itu. Rumah milik Ki Lurah menjadi hancur 
berantakan. Porak poranda. 
Pandu  terus  menghindar  dengan  cekatan. 
Namun  saat  menghindar  itu,  Ki  Lurah  yang 
nampaknya  tengah  bersemedi,  melemparkan 
Cakram  Emas  yang  dicurinya  dari  Perguruan 
Cakram Maut. 
Sigap Pandu menghindar dan kini dia pun harus 
menghadapi  dua  serangan  yang  sama-sama  
berbahaya.  Tiba-tiba  saja  Pandu  mencabut  golok 
yang tersampir di punggungnya. Itu adalah Golok 
Cindarbuana  yang  diwarisi  oleh  gurunya  dan 
menyebar petaka. 
Sambil  menghindari  serangan  makhluk  jejadian 
itu,  dia  pun  menangkis  serangan  Cakram  Emas 
yang menderu deras.  
"Trang" 
Sungguh  sakti  Golok  Cindarbuana  yang 
dimilikinya, karena cakram itu langsung lumpuh tak 
bergerak.  Lalu  Pandu  pun  meneruskan 
serangannya  pada  Ki  Lurah  Pati  Negoro.  Lagi-lagi 
asap yang menjelama menjadi makhluk jejadian itu 
dikendalikan oleh tenaga dalam Ki Lurah. 
Dan  langsung  hancur  seketika.  Pandu  segera 
cepat bergerak. Dia menotok Ki Lurah Pati Negoro 
hingga kaku. 
"Hmmm....  agaknya  aku  tak  patut  untuk 
mengadilimu,  Lurah  jahanam!  Sebaiknya  biarlah 
warga  desa  dan  dua  perguruan  itu  yang 
mengadili!" 
Pandu  cepat-cepat  membopong  Ki  Lurah  Pati 
Negoro  yang  dalam  keadaan  tertotok.  Dia  pun 
mengambil  pula  Cakram  Emas  milik  Perguruan 
Cakram Maut. 
Sesampainya  di  tempat  yang  telah  menjadi 
arena  pertempuran,  Pandu  bergerak  sigap 
memisahkan  pertarungan  yang  terjadi  antara  
Andikabirata dan Ki Renggono Paksi. 
Keduanya  terlontar  ke  belakang  dan  terkejut 
karena  merasa  ada  tenaga  yang  amat  dahsyat 
melontarkan mereka. 
Namun  sebelum  keduanya  berkata,  Pandu 
segera  melemparkan  Cakram  Emas  pada  Ki 
Renggono Paksi yang terkejut dan gembira. 
"Hentikan  pertempuran  yang  tak  ada  gunanya 
ini!  Bila  kalian  ingin  mengetahuinya  lebih  jelas, 
kalian  bisa  tanyakan  pada  Ki  Lurah  Pati  Negoro! 
Karena  dialah  biang  keladinya!"  Sesudah  berkata 
begitu,  Pandu  segera  melompat  ke  kudanya  dan 
melarikannya kencang-kencang. 
Tanpa sempat orang-orang itu bertanya. 
Malam pun hampir menjelang pagi. 

TAMAT