Walet Emas 3 - Dewi Kelelawar

Pengarang Teguh Santosa
SATU  
 
GEROBAK yang ditarik seekor sapi itu dengan 
santai menapak di atas jalan menuju pusat 
perdagangan di Kadipaten Wonoboyo. Penumpangnya 
ada tiga orang. Satu kusir pedati, yang lain sang 
juragan dengan seorang anaknya laki-laki berumur 
lima belas tahunan. 
“Saya kira pasaran kali ini adalah pasaran yang 
ramai, Ki,” kata si kusir pedati sambil menghentakkan 
tali kekang kendali sapi yang menarik gerobak itu. 
“Mudah-mudahan,” jawab sang juragan yang duduk 
di sampingnya. “Hanya yang kukeluhkan itu tentang 
pajak penjualan yang harus kita bayar kepada pamong 
kadipaten. Kalau untuk kepentingan pembangunan, 
aku tak keberatan. Tapi lha wong pajak itu dibajak 
petugasnya untuk kantong sendiri. Hm, ini memang 
menyangkut moral manusianya. Bagaimana pun 
baiknya suatu peraturan kalau pelaksanannya terdiri 
dari orang-orang yang berwatak tikus, ya rugi 
kadipaten ini. Aku tahu betul adipati yang saat ini 
memegang tampuk pemerintahan di kadipaten adalah 
pimpinan yang wajib didukung kepemimpinannya. 
Tapi tikus-tikus yang mengelilinginya itu yang sangat 
membahayakan pemerintahannya.” 
“Yang dimaksud dengan ‘tikus-tikus’ itu siapa, Ki?” 
tanya kusir pedati. 
“Lhadalah! Tikus yang kumaksud bukan tikus yang 
berkaki empat dan berekor panjang, tapi....” 
“Oh... ya, ya, saya mengerti Ki,” sela si kusir sambil 
melepas ketawanya. Tapi tiba-tiba ketawanya terhenti 
seketika. Pandangannya dengan tajam tertuju ke arah 
depan sana, dimana terlihat sekelompok manusia 
 
berdiri menghadang jalan. 
“Begal!” kata si kusir sambil memberi isyarat 
kepada juragannya yang sedang berbincang dengar 
anaknya di belakang. 
“Ada apa, Won?!” tanya sang juragan kepada kusir 
pedati bernama Kliwon. 
Tapi Ki Braja Amparan, sang juragan itu, tak perlu 
menunggu jawaban Kliwon. Dia melihat dengan mata 
sendiri apa yang dilihat kusirnya. 
“Begal?! Masih saja mereka berani menghadang di 
jalanan walaupun sudah berkali-kali ditindak oleh 
pasukan bhayangkara kadipaten,” gerutu Ki Braja 
Amparan sambil memberi isyarat kepada anaknya. 
Bocah itu mengerti apa yang dimaksud ayahnya. 
Dia menyambar sebuah pedang yang sewaktu-waktu 
siap dipergunakan dalam menghadapi keadaan seperti 
ini. 
“Mereka cuma tahu bahwa di gerobak ini banyak 
barang berharga. Tapi tidak tahu siapa aku,” kata Ki 
Braja Amparan dengan mempersiapkan pedangnya. 
“Kendalikan pedati ini agar lari kencang, Won. 
Terjang saja mereka.” 
Mendengar perintah itu, Kliwon segera memacu 
pedatinya. Sapi penarik gerobak itu memang jenis sapi 
pilihan. Dia bisa lari secepat kuda walaupun menarik 
beban gerobak yang sarat muatan. 
“Yheeeaah..!” teriak Kliwon memberi semangat 
kepada binatang itu. Pecut di tangannya disabetkan di 
udara. 
Ctar! Ctaaarr! Ctaaarr! 
“Edan! Nekad mereka. Awass!” teriak kepala begal 
sambil berkelit ke samping pada saat gerobak itu 
menerjang lari kencang. 
Tujuh orang anak buahnya minggir menghindar. 
 
“Ayoh, kejar!” teriak kepala begal begitu melihat 
buronannya berlalu dengan cepat. 
Serentak semua anak buahnya mengejar gerobak 
itu. Pengejarannya berlangsung dengan seru. Betapa 
tidak, sementara gerobak itu terus melesat di atas 
jalanan, maka para begal dengan gesit pula memburu 
di belakangnya. 
Beberapa saat hal itu berlangsung. Tapi karena 
jalan yang menembus hutan tidak begitu rata dan 
berbatu-batu, maka laju pedati agak terganggu. 
Akhirnya pada sebuah tikungan, roda pedati ketanggor 
seonggok batu. Ini yang membuat gerobak itu terguling 
setelah rodanya pecah berantakan. 
“Ha ha ha ha ha...!” ledakan tawa menggema dari 
mulut kepala begal begitu melihat buronannya 
ketanggor musibah yang tak bisa terelakkan. 
Untung ketiga penumpangnya selamat, karena 
mereka jatuh menimpa semak belukar yang berdaun 
lebat. Para begal segera menjarah barang-barang 
dagangan yang berceceran di sana-sini. 
Ki Braja Amparan dan anaknya, bernama Sikatan, 
serta Kliwon, dengan terengah-engah bangkit dari 
tempatnya. 
“Bajingan tengik! Kalian para begal tidak jera 
dengan hukum yang berlaku di wilayah ini! Kalian bisa 
jadi buronan pengawal bhayangkara kalau merampok 
barangku!” seru Ki Braja Amparan dengan berusaha 
meraih senjatanya. Tapi hal itu hanya menambah 
penderitaannya saja, sebab sebuah tendangan kaki 
melanda pergelangan tangannya... 
“Aahh!” hanya itu yang keluar dari mulut Ki Braja 
Amparan. Selebihnya, tubuhnya terguling karena 
lambung perutnya diterjang tendangan serupa. 
“Masih ngotot mau bela ini? Ha ha ha ha ha...!” seru  
kepala begal. 
Ki Braja Amparan mencoba mengamati sosok tubuh 
kepala begal yang mekangkang di depannya. 
“Demit alasan! Kiranya kau, Jlitheng Kasongan. 
Kukira kau telah mampus dibantai pengawal 
bhayangkara kadipaten!” kata Ki Braja Amparan 
dengan suara terengah-engah. Sementara anaknya, 
Sikatan, dan kusir pedatinya, Kliwon, hanya jadi 
penonton yang masih merasakan kesakitan karena 
terlempar dari gerobak itu. 
“Dibantai pengawal bhayangkara? Ha ha ha ha...! 
Bagaimana mereka bisa membantai aku kalau mereka 
butuh duit? Aku memang pernah tertangkap mereka, 
tapi duit lebih berkuasa daripada peraturan yang 
berlaku. Ha ha ha ha...! Duit adalah kekuatan!” 
sumbar kepala begal bernama Jlitheng Kasongan. 
“Ayo, ambil semua barang-barang itu dan cepat pergi 
dari sini,” katanya lagi sambil beranjak dari sana 
setelah meludahi wajah korbannya. 
Tapi mendadak beberapa anak buahnya yang 
mengangkut barang-barang jarahan itu berteriak 
kesakitan dengan tubuh terlempar terjerembab ke 
tanah. Ini karena tindakan berkelebatnya sesosok 
tubuh sambil menendang ke arah mereka. Tendangan 
itu rupanya menghunjam ke bagian tubuh yang rawan 
sehingga rasa sakit yang menghinggapi cukup lama 
bisa sirna. Mereka mrecang-mrecing sambil menggigit 
bibir dengan mata mencari biang keladi siapa yang 
telah campur tangan dalam peristiwa itu. Akhirnya 
mata mereka melihat sesosok tubuh semampai 
berkemben kuning nangkring di atas dahan pohon. 
“Jahanam keparat! Siapa kau, brani-braninya unjuk 
kebolehan terhadap kami, hah?!” seru Jlitheng 
Kasongan setelah melihat beberapa orang anak  
buahnya klekaran di tanah sambil mrecang-mrecing 
kesakitan. “Ayo kalian cepat bangkit! Apamu yang 
kena pukul anak ingusan itu, hah?! Kemaluanmu?! 
Dasar!” 
Jlitheng Kasongan benar-benar penasaran melihat 
anak buahnya bisa dibuat mainan seperti itu. Sesosok 
tubuh semampai berkemben kuning itu dengan 
gerakan mulus lalu meloncat turun. Gerakannya 
benar-benar membuat mata anggota begal tak 
berkedip. Gerakan wanita muda itu meliuk seperti 
burung walet meninggalkan sarang untuk mencari 
mangsa. Siapa lagi punya gaya begini kalau bukan 
seorang gadis pendekar bernama Pusparini yang punya 
gelar kependekaran sebagai Walet Emas? 
“Jlitheng Kasongan, kepala begal yang jadi buronan! 
Kukira aku tak salah kalau ikut turut campur dalam 
mengendus jejakmu. Kau telah menyuap beberapa 
orang pengawal bhayangkara kadipaten sehingga bisa 
meloloskan diri dari penjara. Petugas itu telah 
ditindak, tapi kini kau yang jadi buronan,” kata 
Pusparini dengan tenang. 
“Ha ha ha ha ha...!” ketawa Jlitheng Kasongan 
terdengar seakan-akan meremahkan omongan 
Pusparini alias  Walet Emas. “Banyak orang yang bisa 
ngomong seperti kamu, Nduk! Mereka umumnya 
berotot kekar dan bernyali besar. Tapi gagal meringkus 
aku kembali. Dan kini kau nongol di sini sambil 
mengumbar omongan busuk!” 
“Boleh dibuktikan! Perintahkan anak buahmu 
mengeroyok aku!” sumbar Pusparini dengan agak jijik 
melihat perangai para begal yang rupanya berhari-hari 
tidak mandi. 
Lebih-lebih ketika disadari bahwa pandangan 
mereka yang tertuju ke arahnya disertai pandangan  
penuh nafsu berahi. Dalam hati Pusparini mengumpat, 
mengapa setiap penjahat yang ditemui selalu punya 
pandangan hina terhadap wanita. Mereka selalu 
menganggap bahwa wanita hanya sarana pelampias 
nafsu ranjang belaka. Sesaat kemudian renungan ini 
mendadak dibuyarkan oleh teriakan para begal yang 
bergerak menerjang ke arahnya. 
Pusparini dengan sigap mengatasi serangan 
mereka. Ujung tangan, siku, dan tendangan kaki 
Pusparini bagaikan senjata ganda yang sulit 
ditandingi. Hanya beberapa kali gebrakan, anak buah 
Jlitheng Kasongan kehilangan nyali untuk menyerang 
lagi. 
“Goblok!” teriak Jlitheng Kasongan beringas. “Buat 
apa golok-golok itu kalian simpan di pinggang? Bantai 
dia! Jangan kedanan dengan keayuannya!” 
Mendengar seruan dedengkot mereka, tak ayal lagi 
para begal bergerak mencabut golok masing-masing. 
Bunyi “shhriing!” beruntun terdengar dari golok para 
begal yang telah tercabut dari sarungnya. Kemudian 
mereka mendekat ke arah Pusparini yang telah siap 
menghadapi serangan semacam itu. 
Pusparini masih mempergunakan tangan kosong, 
tapi tenaga pukulannya sudah dibebani tenaga dalam. 
Pergelangan tangan lawan berhasil disentil dengan 
pukulan sehingga golok terlepas dari tangan itu. Golok 
terpelanting ke udara, dan disambar dengan 
tendangan kaki Pusparini. Gerakan serangan semacam 
ini sangat membingungkan lawan, sebab mereka tidak 
tahu tendangan itu akan tertuju ke arah mana. 
Tampaknya terlihat ke arah selatan. Tidak tahunya 
dengan menggeser tendangan sedikit saja, maka golok 
itu melesat ke arah yang berlawanan, yaitu utara, di 
mana Jlitheng Kasongan masih  berkacak pinggang 
melihat sepak terjang anak buahnya. 
Golok berhasil ditangkis oleh si Jlitheng dengan 
sabetan golok yang memang telah lama berada di 
tangannya. Golok itu mencelat, dan sialnya 
menghunjam ke salah seorang anak buahnya sendiri. 
Pusparini sempat melempar senyum melibat hal itu 
sambil melesat ke atas menghindarkan serangan 
empat orang lawan yang bergerak sekaligus. 
Begitu tubuhnya melambung kembali ke bawah, 
maka di tangan Pusparini telah terpegang Pedang 
Merapi Dahana yang sejak tadi tersimpan rapi di 
tempatnya, bertengger di punggungnya. Pedang yang 
kena cahaya matahari bisa memancarkan sinar merah 
itu, kini dibabatkan ke arah empat orang lawannya. 
Bukan nyawa yang dia incar. Tapi golok lawan. 
Keempat golok itu hancur berantakan kena babat 
Pedang Merapi Dahana. Kontan semua terkesima 
heran. Mereka plonga-plongo. 
Sebelum sadar dengan apa yang terjadi, tendangan 
Pusparini telah memualkan isi perut mereka. 
Kawannya yang lain segera hengkang dari sana ketika 
melihat kehebatan Pusparini menandangi mereka. 
“Aku tak mau membunuh anak buahmu! Aku 
masih punya rasa perikemanusiaan,” kata Pusparini 
sambil mengawasi Jlitheng Kasongan. “Kini kau yang 
seharusnya maju menghadapi aku!” 
“Oh, pedang semacam itu yang pernah kudengar 
kabar slentingan, hanya dimiliki oleh pendekar 
bernama Walet Emas! Jadi... kaukah orangnya?” kata 
Jlitheng Kasongan dengan nada suara gemetar. Tidak 
imbang sama sekali dengan penampilannya yang galak 
dengan kumis melintang. “Baik. Aku tak akan 
melawan kau, Cah Ayu. Aku akan pergi. Dengan 
kepergianku ini berarti aku telah takluk kepadamu.  
Aku akan tobat tidak akan membegal lagi...!” 
Jlitheng Kasongan segera memberi isyarat anak 
buahnya yang masih berada di sana. Kemudian 
mereka meninggalkan tempat itu dengan membawa 
seorang temannya yang  luka parah akibat sambaran 
golok yang terpental. 
“Mereka telah pergi, Pak!” seru Sikatan sambil 
memapah ayahnya yang sejak tadi tersungkur di 
tanah. 
Kliwon membantu Ki Braja Amparan berdiri. 
Kemudian mereka bertiga menghampiri Pusparini yang 
telah menyarungkan pedangnya. 
“Trima kasih. Trima kasih, Nduk!” ucap Ki Braja 
dengan wajah kelelahan. 
“Sudah menjadi tugas saya,” jawab Pusparini sambil 
membenahi barang dagangan Ki Braja Amparan yang 
berserakan. 
Kliwon segera bertindak serupa. Kemudian mereka 
sibuk membenahi dan mengumpulkan barang-barang 
itu. 
“Tadi... kudengar si Jlitheng itu menyebut namamu. 
Enghmmm... Walet Emas? Nama gelar kependekaran?” 
tanya Ki Braja. 
“Nama saya Pusparini. Walet Emas adalah nama 
kependekaran saya,” jawab Pusparini dengan mantap 
tanpa mengalihkan perhatiannya yang sibuk 
membantu Kliwon dan Sikatan. 
“Saya tak akan lupa dengan pertolonganmu ini. 
Kalau kau tak keberatan, kami akan mengundangmu 
ke rumah. Hari ini aku tak akan pergi ke pusat 
perdagangan. Bagaimana, Nduk?” kata Ki Braja penuh 
harap. 
Pusparini hanya tersenyum tanda setuju. 
*** 
 
DUA  
 
PUSPARINI dijamu keluarga Ki Braja Amparan. 
Rasa terima kasih yang tak terhingga membuat 
perjamuan itu dilaksanakan dengan semarak. Dalam 
kesempatan ini tak henti-hentinya Ki Braja Amparan 
menanyakan hal-hal tentang dunia pengembaraan 
Pusparini yang banyak mengundang marabahaya. 
Lain halnya dengan Sikatan, putra Ki Braja 
Amparan yang berumur lima belas tahunan itu. 
Sebagai remaja yang memasuki usia pancaroba, maka 
yang menarik perhatiannya adalah  penampilan 
Pusparini sebagai pendekar muda yang cantik. Siapa 
tidak  kepencut  dengan nilai-nilai keindahan wanita 
yang dimiliki oleh Pusparini. Tanpa dipoles sarana 
kecantikan saja Pusparini sudah menawan hati, 
apalagi kalau dipoles dengan alat kecantikan seperti 
putri-putri bangsawan. Ah, inilah yang membuat 
Sikatan pemuda puber itu tidak bosan-bosannya 
memandangi Pusparini kapan saja ada kesempatan. 
“Dia lebih tua dari usiaku. Mungkin sekitar tiga 
atau empat tahun di atasku,” renung Sikatan seorang 
diri. 
Seperti halnya malam ini, Sikatan melamun di 
kamarnya. Di sebelahnya adalah kamar yang 
diperuntukkan bagi Pusparini yang telah tiga hari ini 
berada di rumah Ki Braja Amparan. Darah mudanya 
mendorong dirinya untuk melakukan hal-hal yang tak 
terpuji. 
Dia mencoba mengintip kamar Pusparini dari sela-
sela dinding kamar yang terbuat dari anyaman bambu. 
Tapi tak ada lubang secelah pun yang bisa dipakai 
untuk mengintip ke dalam kamar Pusparini. Lalu  
dilakukan cara nekat. Sikatan mencari alat untuk 
melubangi dinding bambu itu. Dengan pelan dan hati-
hati dia mulai bertindak. 
Di sisi lain, Pusparini yang inderanya peka, tiba-tiba 
tersengat oleh bunyi yang mencurigakan di arah 
dinding bambu yang dianyam dengan indah. Dia 
menunggu apa yang bakal terjadi. Dan di arah suara 
yang dicurigai itu, tiba-tiba terlihat sesuatu yang 
muncul, yaitu ujung senjata tajam. Nyaris saja 
Pusparini mengirim pukulan ke arah dinding itu. 
Pikirannya curiga, bahwa ada lawan yang hendak 
mengganggu dirinya. Tapi kemudian dia sadar. Di 
sebelah itu adalah kamar Sikatan, putra Ki Braja 
Amparan. 
“Hm, apa yang dilakukan anak itu?” pikir Pusparini. 
“Mengintip aku?” Pusparini seolah-olah tak tahu akan 
hal itu. Dibiarkan lubang itu dikorek semakin lebar, 
sehingga memungkinkan mata untuk mengintip. 
“Dasar anak lelaki. Apa dikira aku tidur dengan 
telanjang? Ah, mengapa aku berprasangka buruk? 
Mungkin dia mengintip untuk melihat apakah aku 
mengadakan latihan di kamar ini. Kemarin tak henti-
hentinya dia bertanya tentang jurus-jurus silat. Ya, 
mungkin itu yang dia ingin ketahui. Pasti ingin tahu 
apakah aku latihan dalam kamar ini,” Pusparini 
mencoba menghilangkan prasangka buruknya 
terhadap Sikatan. 
Tapi tiba-tiba terjadi sesuatu yang sangat 
mengejutkan. Di kamar Sikatan terdengar jeritan. 
Jelas itu suara Sikatan  yang kedengaran dengan 
nyata. Jeritan ketakutan, bukan jerit aduhan rasa 
sakit. 
Pusparini ragu-ragu untuk menengok. Jangan-
jangan itu hanya ulah permainan Sikatan untuk  
mengecoh dia. Ketika didengar banyak langkah kaki 
yang menuju kamar Sikatan, barulah Pusparini 
beranjak ke sana. Terdengar suara menyeramkan, 
serak bernada tinggi. Lalu disusul bunyi dinding jebol. 
“Sikatan, buka pintunya! Apa yang terjadi?” teriak 
Ki Braja Amparan yang diikuti orang-orang seisi 
rumah. 
Pusparini telah sampai di sana pula. Tidak srantan, 
kemudian pintu kamar didobrak. Jebol berantakan. 
Semua orang masuk ke dalam. Apa yang mereka temui 
benar-benar membuat mata terbelalak. Betapa tidak? 
Sebab jendela kamar Sikatan terlihat menganga lebar. 
Angin malam menerpa ke dalam dengan suhu sangat 
dingin. Dari kejauhan suara anjing melolong. Suasana 
jadi menyeramkan. Bulu kuduk tiba-tiba meremang 
tegak. 
“Ada sesuatu yang masuk ke kamar ini,” kata 
Pusparini sambil meneliti keadaan jendela yang sisi-
sisinya rusak. 
“Dan sesuatu itu menculik Sikatan?” tanya Ki Braja 
cemas. “Apakah mungkin para begal yang kita hadapi 
kemarin lusa itu?” 
“Banyak kemungkinannya Ki,” jawab Pusparini. “Ki 
Braja dipandang sebagai saudagar kaya. Mungkin 
penculik itu menghendaki tebusan. Sikatan adalah 
putra tunggal. Jadi kemungkinan bisa saja terjadi.” 
“Lalu... kemungkinan yang lain?” tanya Ki Braja 
dengan nada putus asa. 
“Entahlah. Saya tak bisa mengatakan dengan pasti,” 
jawab Pusparini sambil mengawasi kegelapan malam 
lewat jendela yang menganga rusak. 
Terdengar isak tangis istri Ki Braja. Orang-orang 
satu persatu meninggalkan ruangan itu. Tinggal 
Pusparini sendirian. Matanya tak lepas menembus  
kegelapan malam yang semakin dingin. Hati nuraninya 
terusik oleh bau sesuatu yang aneh. Dia mencium bau 
‘lengur’ yang masih menggenang di ruangan itu. 

*** 

Esok harinya berita tentang hilangnya Sikatan jadi 
buah perbincangan orang-orang di desa itu. 
Kebanyakan orang menduga bahwa itu perbuatan para 
begal yang tempo hari mencegat Ki Braja Amparan. 
“Saya harap kau bisa bertindak menemukan 
Jlitheng Kasongan itu,” saran Ki Braja. “Dia pasti biang 
keladinya.” 
“Maaf, Ki. Itu mungkin juga bisa terjadi. Tapi hati 
nurani saya semalam terasa terusik oleh sesuatu yang 
tidak semestinya. Sesuatu yang aneh yang 
kelihatannya mustahil.” 
“Maksudmu?” 
“Bau yang tidak enak di kamar Sikatan.” 
“Bau?” 
“Bau lengur! Bau seperti bulu binatang!” jawab 
Pusparini tegas. 
“Aneh-aneh saja dugaanmu, Rini. Apakah naluri 
kependekaranmu membuat inderamu lebih peka dari 
kami semua? Kami tak mencium bau apa-apa di 
kamar  Sikatan. Mungkin itu bau orang yang telah 
menculik Sikatan karena berhari-hari tidak mandi,” 
sanggah Ki Bajra. 
Baru saja Pusparini akan berkata lagi, tiba-tiba 
muncul seorang abdi yang memberitahu Ki Bajra 
bahwa ada tamu di luar. 
“Kalau dia orang yang datang untuk cari 
sumbangan, bilang lain kali saja. Seharusnya kau 
katakan kepadanya bahwa kami baru kehilangan anak 
karena diculik orang,” kata Ki Bajra dengan gemas. 
 
“Justru hal itu telah saya katakan. Dan orang itu 
datang kemari untuk membantu masalah tentang 
hilangnya Den Sikatan,” jawab si abdi dengan terbata-
bata memberanikan diri. 
Ki Braja termenung sejenak. Dia mengawasi 
Pusparini seakan minta persetujuan untuk menerima 
tamu itu atau tidak. Tapi rupanya Pusparini tidak 
menanggapi apa-apa. 
“Suruh tamu itu masuk,” kata Ki Braja. 
Sesaat kemudian mereka melihat kehadiran 
seseorang berperawakan ceking seolah tak punya 
kekuatan apa-apa. Bahkan kesannya, kalau ditiup 
orang itu bisa roboh! Pakaiannya agak kumal dengan 
membawa bungkusan, pertanda telah menempuh 
perjalanan jauh. Ki Bajra menyilakan tamunya untuk 
duduk. 
“Nama kisanak siapa?” tanya Ki Bajra dengan nada 
datar. 
“Panggil saja... Ki Catradana,” jawab orang itu 
dengan penuh hormat. 
“Ki Catradana? Nama itu kan... artinya ‘memberikan 
payung’. Apakah namamu ada sangkut-pautnya 
dengan tugasmu?” tanya Ki Bajra sambil matanya 
menyelidik penampilan tamunya. 
“Memang benar. Memberikan payung berarti 
memberi perlindungan. Saya akan memberikan 
perlindungan kepada keluarga ini. Saya mendengar 
berita bahwa anak juragan  telah diculik oleh 
seseorang,” kata laki-laki bernama Catradana. 
“Memberikan perlindungan? Dengan cara 
bagaimana?” sela Pusparini. 
Ki Catradana mengawasi Pusparini dengan awasan 
menyelidik. Penampilan Pusparini mengundang 
perhatiannya. 
 
“Gendhuk ini siapa?” tanyanya. 
“Saya juga tamu, Ki,” jawab Pusparini. “Saya juga 
akan mencari Sikatan, putra Ki Braja ini.” 
“Ketahuilah, hilangnya putra Ki Braja tidak 
sendirian. Banyak pemuda seusia dia yang diculiknya,” 
kata Ki Catradana. 
“Yang Aki maksud siapa yang menculiknya?” tanya 
Ki Braja yang mulai menaruh perhatian. 
“Dewi Kelelawar!” jawab Ki Catradana mantap. 
“Dewi Kelelawar?” tanya Ki Braja ragu-ragu. “Jjj... 
jadi... dia benar-benar ada?” 
“Orang mempergunjingkan sebagai dongengan 
untuk menakut-nakuti anak yang tak  mau tidur. 
Mereka selalu menina-bobokan dengan dongeng 
tentang Dewi Kelelawar yang ganas..!” kata Ki 
Catradana. “Saya telah memburunya dari satu tempat 
ke tempat lain. Tapi sampai sekarang tak pernah 
berhasil mengetahui di mana sarangnya. Segenap 
hutan saya jelajahi. Saya punya dendam kepadanya. 
Satu-satunya anak lelaki saya telah menjadi 
korbannya!” 
“Korbannya? Oh, tidak! Hal itu tak boleh terjadi 
terhadap anakku!” jerit Ki Braja. 
“Tenang, Ki. Tenang!” bujuk Pusparini. “Kita akan 
mencari Dewi Kelelawar itu dan mudah-mudahan tidak 
terlambat menyelamatkan putra Ki Braja.” 
“Lakukanlah! Lakukanlah! Berapa pun sarana yang 
kalian butuhkan untuk menemukan siluman itu, akan 
aku berikan. Oh..., anakku Sikatan. Malang benar 
nasibmu...!” keluh Ki Braja Amparan yang akhirnya 
tersungkur di tempat duduknya. Dia pingsan. Orang 
seisi rumah bertambah bingung. 

*** 
 
“Jadi kita berburu Dewi Kelelawar...?” tanya 
Pusparini kepada Ki Catradana yang berjalan 
beriringan dengan berkuda. Di belakang mereka ada 
enam orang lagi yang disediakan oleh Ki Braja 
Amparan untuk memperkuat tugas mencari sarang 
Dewi Kelelawar yang tiba-tiba menjadi tumpuan 
masalah. 
“Hampir lima tahun aku mengejarnya. Dari desa 
yang satu ke desa lain, selalu kupantau siapa-siapa 
yang mengalami peristiwa tentang hilangnya setiap 
pemuda desa yang dalam usia pancaroba,” kata Ki 
Catradana. 
“Lima tahun? Lama sekali?” Pusparini menggarami. 
Mendengar kisah Ki Catradana tentang pemuda yang 
memasuki usia pancaroba yang menjadi sasaran 
penculikan Dewi Kelelawar, bisa dipastikan kalau hal 
itu ada hubungannya dengan tumbal. “Apakah Dewi 
Kelelawar menjadikan mereka sebagai tumbal?” 
“Aku tak tahu. Yang penting kita harus 
menemukannya agar tidak merajalela mencari 
korbannya,” jawab Ki Catradana. Mereka bertujuan 
memasuki hutan di sekitar tempat itu. Sudah 
dipastikan bahwa Dewi Kelelawar selalu berpindah dari 
satu tempat ke tempat lain. Dan menurut pengamatan 
Ki Catradana, perpindahan itu terjadi enam bulan 
sekali. “Daerahnya ya seputar Gunung Lawu,” kata Ki 
Catradana lagi. “Dan dia tidak sendirian.” 
“Tidak sendirian? Apa maksud Ki Catra? Atau... 
pengikut Dewi Kelelawar itu banyak?” tanya Pusparini. 
“Ada pengawalnya. Mereka manusia biasa seperti 
kita-kita ini.” 
“Hih, semakin tak mengerti aku. Dewi Kelelawar 
tampaknya masalah asik untuk ditangani. Dan ini 
benar-benar merupakan tantangan,” gumam Pusparini  
membanggakan dirinya. 
“Ya. Asal kita tidak menjadi korban keganasannya. 
Dewi Kelelawar mempunyai ilmu iblis. Kau tahu, iblis 
tak bisa dimatikan. Kita hanya bisa mengalahkannya,” 
ucap Ki Catradana memberi tanggapan. Dalam hati 
kecilnya dia bangga mendapat pendamping seperti 
Pusparini. Biasanya orang enggan untuk diajak 
berburu Dewi Kelelawar yang banyak menyebar maut 
di sekitar Gunung Lawu. 
 
*** 
 
TTIIGGAA  
 
PERJALANAN mereka tiba di Desa Jumpolo. 
Delapan orang berkuda memasuki desa seperti itu 
jelas mengundang perhatian. Desa itu memang sangat 
terbelakang kalau dibanding dengan desa lain. Ki 
Catradana menyarankan untuk beristirahat di sana. 
“Apa alasan Ki Catra untuk bermalam di desa ini? 
Bukankah hari masih panjang untuk bisa melanjutkan 
perjalanan?” tanya Pusparini sambil turun dari 
kudanya. 
“Aku punya kenalan di sini. Dia tahu banyak 
tentang ilmu-ilmu hitam yang menyesatkan manusia,” 
jawab Ki Catradana dengan menambatkan kudanya di 
pagar tepi jalan. 
Semua kuda mereka ditambatkan di sana. 
Kemudian berjalan meniti jembatan dua batang glugu 
untuk menyeberang ke halaman sebuah rumah yang 
tampak tak terurus dengan baik. 
“Spada?!” Ki Catradana uluk  salam untuk orang 
 
yang berada di dalam rumah. 
Baru saja akan mengulang panggilannya, tiba-tiba 
dari dalam rumah muncul seseorang dengan gerak 
mencurigakan. Tentu saja bisa disebut demikian, 
sebab larinya orang itu dengan mendobrak dinding 
rumah. Orang itu melesat keluar dan menghindari 
orang-orang yang baru datang ke sana. 
Melihat hal ini Pusparini tak bisa menahan diri. 
Langsung dia mengejar. Orang itu lari ke arah ladang 
di belakang rumah. Gesit juga gerak larinya. Tapi 
Pusparini tak mau kalah. Dia mengerahkan lari 
Terbang Burung Walet, seolah kakinya hanya 
menyentuh ujung rerumputan yang dilalui. Dan 
gerakan ini tak memerlukan waktu lama untuk bisa 
mencapai lawan. 
Dengan sigap Pusparini berhasil mencengkal lengan 
orang yang dikejarnya. Tapi perhitungan Pusparini 
keliru kalau orang itu menyerah begitu saja. Ternyata 
buronannya menggerakkan kaki kirinya untuk 
melepaskan diri. Kaki itu melayang dengan ganas ke 
leher Pusparini. Dan pasti akan menghunjam ke arah 
sasaran kalau Pusparini tidak berkelit menghindar 
dengan merebahkan tubuhnya. Dengan gerakan ini dia 
mengimbangi mengirimkan sabetan pukulan ke arah 
betis lawan yang nyaris melahap lehernya. Sang lawan 
merasakan kesakitan karena tulang keringnya terasa 
retak dilanda pukulan itu. 
Rasa sakit ini segera diredam. Dengan 
mengandalkan kegesitan gerak sikunya, orang itu ingin 
memberi balasan serangan. Kali ini berhasil mengenai 
dada Pusparini. Ada semacam rasa sesak kena 
gamparan ujung siku lawan. Mengetahui Pusparini 
agak kendor memberi perlawanan, sang lawan 
mengulang serangan dengan tonjokan kepalan tangan. 
 
Untung Pusparini berhasil menangkis dengan tapak 
tangan yang sekaligus menyambar tangan itu, lalu 
dipelintir sehingga tubuh lawan terseret meliuk ke 
bawah. Dalam keadaan begini Pusparini menambahi 
dengan tendangan lututnya. Persis mendarat ke dagu. 
Kepala lawan mendongak. Lalu digampar dengan 
pukulan tapak tangan. 
Pusparini memang berniat meringkus orang itu. 
Karenanya tak dibiarkan sejengkal pun sang lawan 
menjauh dari dirinya. Tahu keadaan lawan sulit 
mengatur diri, Pusparini mengunci serangan dengan 
pukulan ke arah pusarnya. Orang itu langsung 
menggeliat dan roboh! 
“Bagaimana dia?” terdengar teguran di sampingnya. 
Ki Catradana telah berada di dekatnya sambil 
mengawasi biang kerok kegaduhan yang ndlosor  di 
tanah dalam keadaan pingsan. 
“Ya... agak ngotot untuk melarikan diri. Ki Catra 
kenal orang ini?” tanya Pusparini dengan membenahi 
pakaiannya. 
“Tidak. Tapi bisa kita korek keterangannya kalau 
dia telah sadar. Rupanya dia mencari sesuatu dalam 
rumah itu ketika tuan rumah tak ada di tempat,” 
jawab Ki Catra dengan memeriksa keadaan orang yang 
tetap tak berkutik. 
“Jadi... kenalan Ki Catra tak ada di rumah?” 
“Rupanya begitu. Kudapati keadaan rumah dalam 
keadaan porak-poranda. Pasti perbuatan orang ini.” 
Kemudian Ki Catra memanggil beberapa orang 
pengikut agar orang itu dibawa ke dalam rumah. 
“Siapakah nama orang yang kita datangi itu, Ki?” 
tanya Pusparini dengan berjalan beriringan menuju 
rumah itu. 
“Sudamala! Tapi entah kemana. Kita tunggu saja di  
sana,” jawab Ki Catra. 
Mereka memasuki rumah itu. Pusparini mengawasi 
keadaan di dalamnya. Penuh barang-barang yang 
berkaitan dengan upacara ritual. Ada beberapa 
tengkorak binatang digantungkan di blandar ruangan. 
Bau dupa dan kembang tercium menusuk hidung. 
Orang yang bikin kisruh tadi telah siuman. Itupun 
karena disiram air oleh Pusparini. Dia tahu orang itu 
telah sadar tapi pura-pura tetap pingsan. 
“Jangan mencoba mengecoh kami lagi dengan 
muslihatmu,” kata Pusparini. Kalau diamati agak 
tampan juga wajahnya. 
“Siapa kau sebenarnya maka masuk ke rumah Ki 
Sudamala dengan niat buruk?” tanya Ki Catra. 
“Akulah yang sebenarnya harus bertanya kepada 
kalian mengapa datang ke tempat pamanku!” jawab 
pemuda itu. 
“Pamanmu? Ki Sudamala itu pamanmu? Ah, yang 
bener. Jangan ngaku-ngaku. Kalau kau benar-benar 
keponakan Ki Sudamala, mengapa kedatangan kami 
membuatmu hengkang lari dengan cara itu? Kau 
maling, ya?” tuduh Ki Catra. 
“Aku menduga kalau kalian adalah orang-orang 
yang tempo hari menculik pamanku,” jawab pemuda 
itu dengan rasa putus asa. 
Keadaan ini tiba-tiba merubah suasana. Dakwaan 
serta kecurigaan terhadap pemuda itu berangsur sirna. 
“Ehmm... ini... mungkin kesalah-pahaman,” sela 
Pusparini. “Jawaban pemuda ini perlu dipertim-
bangkan. Atau... kita anggap dia sebagai tuan rumah 
karena pamannya tak ada di sini.” 
“Aku mengenal baik pamanmu. Tapi aku benar-
benar tak tahu kalau dia mempunyai keponakan. 
Siapa namamu?” tanya Ki Catradana dengan suara  
sareh. Agaknya dia menyesal dengan peristiwa yang 
barusan terjadi. Tapi bagaimana pula kalau hal itu 
memang di luar dugaan. Masing-masing memang 
belum pernah bertemu, dan keadaan di sana 
memungkinkan untuk saling mencurigai. 
“Saya... Sancaka!” jawab pemuda itu dengan 
membenahi diri karena pakaiannya basah disiram air 
oleh Pusparini. 
“Maafkan aku,” ucap Pusparini karena tindakannya 
tadi. “Tapi... kau tadi kulihat sudah siuman, kenapa 
pakai siasat tetap pura-pura pingsan?” 
“Tempo hari dengan siasat itu aku bisa 
mendengarkan omongan orang-orang yang menculik 
pamanku,” jawab Sancaka. 
“Ah, aku bisa menebak peristiwanya. Ketika itu kau 
bersama pamanmu, kemudian muncul orang-orang 
yang akan menculik pamanmu. Kau membela diri, tapi 
berhasil dilumpuhkan. Atau... pura-pura pingsan, dan 
sempat mendengarkan omongan mereka! Apakah 
pamanmu tidak mengadakan perlawanan?” tanya 
Pusparini. 
“Ya! Aku mendengar omongan sebelum mereka 
membawa pergi pamanku. Mereka mencari tongkat 
dan lembaran kulit sapi yang bertulis mantra. Benda 
itu diperoleh paman lewat seorang musafir dari 
Hindustan Selatan yang kebetulan berkelana ke 
tempat-tempat pemujaan di Jawadwipa. Dia mem-
berikan kedua benda itu sebelum dia meninggal 
karena sakit mendadak. Kedua benda itu katanya 
berasal dari pegunungan Erramala di Hindustan 
Selatan sana untuk penangkal roh jahat,” ucapan ini 
meluncur dari mulut Sancaka dengan lancar. 
“Menyeramkan juga kedengarannya,” sela 
Pusparini. 
 
“Justru kedatangan kita kemari untuk 
membicarakan hal itu dengan Ki Sudamala,” kata Ki 
Catradana. “Tempo hari dia pernah menjelaskan hal 
itu kepadaku. Tapi aku tidak menanggapi karena 
merasa tidak berkepentingan. Dunia gaib bukan 
bidangku. Sampai akhirnya aku sendiri ketanggor 
masalah yang kupikir ada hubungannya dengan roh-
roh jahat, maka aku teringat dengan Ki Sudamala yang 
berkecimpung dengan masalah dunia kegelapan, dunia 
roh yang tak bisa mati.” 
*** 
Hari berikutnya, Ki Catradana masih memutuskan 
untuk tinggal di tempat Ki Sudamala. 
Dengan adanya Sancaka, mereka tidak rikuh 
berada di sana. Dan ini tidak untuk beristirahat 
dengan santai, tapi membicarakan langkah-langkah 
yang akan ditempuh. Mengingat keberadaan tentang 
Dewi Kelelawar yang jadi masalah, maka kalau 
dihubungkan, rasanya ada kaitannya satu sama lain. 
Tapi apakah demikian, belum bisa dipastikan. 
Langkah pertama, mereka akan mencari para penculik 
Ki Sudamala. Walaupun kedengarannya agak 
menyimpang dari tujuan semula, dengan keberadaan 
Ki Sudamala yang diharapkan bisa diketemukan, 
maka tujuan mereka untuk mencari Dewi Kelelawar 
dan menghadapinya, ada yang bisa diandalkan. 
Pagi itu Pusparini merendamkan tubuhnya di 
sungai tak jauh dari rumah Ki Sudamala. Air sungai 
yang bening membuat Pusparini kerasan merendam 
diri berlama-lama menikmati sejuknya suasana. Tanpa 
rasa was-was dia berenang ke sana ke mari. Tapi kalau 
dia berpikir tak akan ada orang yang melihat 
keberadaannya di sana, maka anggapan itu keliru. Ada 
 
sepasang mata yang mengawasi. Dan itu adalah mata 
si Sancaka. 
Dari tempat ketinggian di atas padas, Sancaka 
memperhatikan dengan seksama lemah gemulai tubuh 
Pusparini yang terendam air. Dengan pemandangan 
dari atas itu, Sancaka secara samar-samar bisa 
menyaksikan lekuk-lekuk tubuh Pusparini. Darah 
mudanya bergetar. Sampai dia tidak sadar kalau 
kakinya beringsut dengan pelan makin ke depan dan 
melongsorkan kerikil-kerikil kecil. Hal itu membuat 
ketenangan Pusparini terusik. Dia mendongak ke atas. 
Perasaannya tersirap ketika mengetahui Sancaka 
mengintip dirinya. 
“Jaga moralmu, Sancaka! Apakah pantas mengintip 
orang lagi mandi?” seru Pusparini dengan berusaha 
menyilangkan kedua tangan menutup dadanya. 
Tak ada jawaban dari Sancaka. Bahkan pemuda ini 
tiba-tiba membelalakkan mata dan menerjunkan diri 
ke sungai. 
“Jangan gila kau!” seru Pusparini. 
Sancaka telah menyembulkan tubuhnya di 
permukaan air dap terus berenang ke arah Pusparini. 
Si Walet Emas ini kontan merinding walaupun dia 
seorang pendekar yang bisa mengatasi serangan 
lawan. Tapi apakah menghadapi Sancaka harus tanpa 
busana? Belum sadar apa yang hendak dilakukan 
Sancaka terhadap dirinya, maka Pusparini berusaha 
menghindar. 
Aneh! Sancaka tidak menyergap dirinya seperti yang 
dikhawatirkan. Tapi pemuda itu yang terus berenang 
ke arah lurus, tiba-tiba bergulat dengan sesuatu. 
Pusparini terbelalak kaget. Ternyata yang dihadapi 
Sancaka adalah ular! Ya, ular! Binatang itu cukup 
besar dan disebut ular Sanca. 
 
Pusparini benar-benar tak tahu apa yang harus 
diperbuat. Membantu Sancaka yang bergelut dengan 
ular yang dipastikan tadi mengincar dirinya, jelas tak 
mungkin. Dia dalam keadaan tanpa busana. Pakaian 
dan pedangnya terletak jauh di seberang sana. Melihat 
keadaan Sancaka rupanya sulit menghadapi ular 
sebesar itu, maka Pusparini nekat membantu 
walaupun keadaan dirinya serba polos tak tertutup 
selembar kain pun. Sasaran yang diincar Pusparini 
adalah kepala ular itu, yang tampaknya dipegang 
dengan dua belah tangan Sancaka. Sebab apabila 
Sancaka tidak memegang kepala ular itu, sudah bisa 
dipastikan tubuhnya akan dicaplok. 
“Dongakkan ke atas kepala ular itu!” seru 
Pusparini. 
“Sulit! Binatang ini terus meronta dan lilitannya 
semakin menghimpit tubuhku...!” ucapan Sancaka 
terdengar dengan susah payah karena napasnya 
semakin sesak. 
Akhirnya Pusparini yang harus mencari peluang itu. 
Satu-satunya untuk mendekati kepala ular di tangan 
Sancaka hanya dengan merapatkan tubuhnya ke 
pemuda itu. Padahal dirinya dalam keadaan telanjang. 
Dia harus membuang jauh-jauh tentang moral dan 
kesopan-santunan. Dia langsung mendekat ke 
Sancaka dan mengincar kepala ular tersebut. 
“Yhiieaaa...!” jeritan Pusparini terdengar mengiringi 
tenaga dalam yang disalurkan lewat tangannya. Dan 
pukulannya mendarat tepat di kepala ular sasarannya. 
“Phrraakk!” 
Darah muncrat dari kepala ular itu dengan disertai 
gumpalan putih. Yang putih adalah otak ular yang 
berantakan. Akibat dari peristiwa itu bukan menjadi 
selesai, tapi sang ular tampaknya masih sekarat dan  
sempat menggerakkan tubuhnya. Celakanya, hal itu 
menambah eratnya belitannya ke tubuh Sancaka. 
“Aaahh...,” jerit Sancaka. 
Pusparini bertindak menarik tubuh ular yang melilit 
Sancaka. Dengan usaha keras, akhirnya belitan itu 
mengendor. Kemudian dengan terengah-engah 
keduanya berenang ke tepian. Pusparini lebih awal 
sampai.  Dengan cepat dia meraih pakaiannya. 
Kemudian Sancaka mencapai tepian. Pemuda ini 
langsung tertelungkup di atas padas dengan napas 
terengah-engah. 
Pusparini yang kini berpakaian ala kadarnya segera 
mendekati Sancaka. Dia khawatir Sancaka mengalami 
patah tulang rusuk akibat belitan ular. 
“Sancaka? Kau tidak apa-apa?” suara Pusparini 
lirih terdengar. 
Sancaka tak menjawab. 
“Sancaka..., jawablah!” keluh Pusparini lirih sambil 
meraba-raba dada dan perut Sancaka yang 
dikhawatirkan ada kelainan patah tulang. 
Sancaka masih tak menjawab. Lalu tubuhnya 
ditelentangkan oleh Pusparini. 
“Sancaka...!” bisik Pusparini. “Sadarlah! Aku sangat 
berterima kasih karena kau telah menyelamatkan 
diriku dari sergapan ular itu. Jangan berpura-pura 
pingsan lagi. Sadarlah agar aku lega bahwa kau tidak 
apa-apa!” 
Sancaka masih pada sikapnya yang tak bergerak 
sedikit pun kecuali napasnya yang turun naik terlihat 
pada dadanya. Pusparini mengguncang-guncang tubuh 
Sancaka dengan cemas. 
“Sancaka! Sadarlah!” 
Tiba-tiba Sancaka membuka matanya dengan 
pelan. Dia melihat Pusparini di hadapannya dengan  
tubuh yang basah. 
Pusparini tersenyum. “Sukurlah kau telah sadar. 
Apamu yang sakit?” 
“Kukira ada tulang rusukku yang patah...,” keluh 
Sancaka. 
“Sebelah mana? Yang di sini?” sela Pusparini sambil 
meraba bagian perut di mana tangan Sancaka 
menempel di sana. 
“Aku tak tahu sebelah mana. Tapi rasanya sakit 
semua.” 
Pusparini bertindak untuk mengurangi rasa sakit. 
Sedikit banyak, Pusparini pernah diajari gurunya 
untuk mengobati tulang keseleo atau salah urat. Dia 
memijit-mijit bagian tubuh Sancaka yang dikeluhkan. 
Tampaknya Pusparini sungguh-sungguh dalam 
bertindak sehingga tidak mempedulikan dirinya. Kain 
yang dikenakan menutup tubuh sekedarnya, tanpa 
disadari telah melorot ke bawah sehingga dadanya 
yang membukit indah itu tersibak. Sadar akan hal ini 
cepat-cepat dia membenahi diri. Wajahnya merah 
padam, sebab pemandangan itu sempat tertangkap 
pandangan mata Sancaka. Pemuda itu tersenyum. 
Pusparini cepat berdiri. “Jangan mengaku-ngaku 
sakit, Sancaka. Aku tahu sebenarnya kau tak apa-
apa.” 
Pusparini cepat meninggalkan tempat itu dan 
menyambar pakaiannya yang lain. 
“Sialan! Dia berprasangka buruk. Dia tak percaya 
kalau aku benar-benar kesakitan,” keluh Sancaka 
sambil berdiri tertatih-tatih. Dilihatnya Pusparini 
sudah  pergi dari tempatnya. Kemudian, dengan 
langkah gontai dia berjalan menuju rumah. 
*** 
 
EEMMPPAATT  
 
PUSPARINI yang telah selesai berpakaian segera 
melangkahkan kaki menuju rumah Ki Sudamala. Ini 
bukan karena dia ingin cepat-cepat meninggalkan 
Sancaka, tapi karena melihat asap mengepul di rumah 
itu. 
“Kebakaran? Apa yang telah terjadi di sana?” pikir 
Pusparini sambil terus melesat mempercepat langkah. 
Hiruk-pikuk memang terjadi disana. Keadaan gawat 
menimpa Ki Catradana dan para pengikutnya. Mereka 
terlibat bentrokan dengan sekelompok orang yang 
berpakaian seragam entah dari mana asalnya. 
Sedangkan rumah Ki Sudamala bagian belakang, 
tepatnya arah dapur, dilahap api. Untung bangunan 
itu letaknya tidak berhimpitan. Kalau tidak, pasti 
bangunan rumah utama dilahap api juga. 
Melihat situasinya, kalau tidak ditindak secara 
fatal, pasti pihaknya akan kalah dengan serangan 
orang-orang berseragam itu. Maka Pusparini bertindak 
langsung. Pedang Merapi Dahana dikeluarkan dari 
sarungnya. Cahaya matahari yang menimpanya 
membuat bilah pedang itu memancarkan cahaya 
merah. Inilah yang tiba-tiba menarik perhatian semua 
orang. 
“Katakan apa kepentingan kalian maka menyerbu 
rumah ini!” seru Pusparini dengan lantang. 
Semua yang baku hantam terhenti. Belum ada 
korban jiwa yang jatuh selain babak belur saja. 
“Kuharap pemimpin kalian maju untuk berbicara 
padaku!” seru Pusparini lagi dengan mata menyapu 
sekelilingnya mencari orang yang dia maksud. 
“Aku yang memimpin orang-orangku!” tiba-tiba  
terdengar suara dari arah lain dengan disusul 
kemunculan yang punya suara itu. Gerakannya 
melayang dengan lompatan bergulir yang tujuannya 
pameran bahwa dia menguasai ilmu bela diri dengan 
baik. 
Pusparini mengawasi tokoh yang baru muncul ini. 
Dia seorang laki-laki sebaya dengan Ki Catradana. Tapi 
perawakannya  agak kekar. Pedangnya berukuran 
besar melintang di punggungnya. Hulunya berkepala 
kelelawar! 
“Kau muncul dengan pamer pedangmu yang 
membiaskan cahaya merah. Aku kenal pedang 
semacam itu. Pedang Merapi Dahana!” 
“Tentunya kau tahu kehebatan pedang milikku ini,” 
kata Pusparini dengan pandangan ketus. 
Kecurigaannya bahwa kelompok yang dihadapi 
adalah orang-orang berniat jahat, atas dasar bukti 
hulu pedang pimpinan mereka. Hulu pedang berkepala 
kelelawar itu sangat meyakinkan sekali. 
Sebelum terdengar pembicaraan lagi, tiba-tiba 
Sancaka muncul di sana. 
“Merekalah yang menculik Ki Sudamala!” kata 
Sancaka dengan berdiri di samping Pusparini. Sejenak 
dia terkesima heran menyaksikan pedang yang 
memancarkan cahaya merah di  tangan gadis pendekar 
itu. 
“Hai, bocah tengik! Sejak kapan nyalimu jadi 
membengkak, hah? Tempo hari dengan sekali gebrak 
oleh anak buahku kau sudah klenger. Kini tampaknya 
kau  bregas-akas  karena ada pendekar yang punya 
pedang ampuh. Kiramu dengan pedang itu dia mampu 
mengalahkan kami? Menggagalkan rencana kami, 
hah?! Tidak bakalan terjadi. Lihat pedangku ini!” 
sumbar laki-laki itu sembari mencabut pedangnya. 
 
“Shhriinngg!” 
Pedang di tangan laki-laki itu tiba-tiba 
mengeluarkan asap hitam. 
“Ha ha ha ha...” terdengar suara tawanya. “Kalau 
ingin tahu, inilah Pedang Kelelawar! Dan namaku 
adalah Lowo Brangah!” sehabis berkata begitu, 
langsung dia melompat ke arah Pusparini. 
Thhrraanngg! Dua pedang beradu. Pedang 
Kelelawar dan Pedang Merapi Dahana saling 
menunjukkan kekuatannya. 
Pusparini terperangah. Dalam naungan sinar 
matahari ternyata ada pedang yang mampu bertahan 
terhadap gempuran pedangnya. Selama ini memang 
Pedang Merapi Dahana tidak bisa menghancurkan 
pedang lain selama hal itu terjadi di luar jangkauan 
cahaya matahari. Tapi kini masih ada masalah lain 
yang mampu bertahan. Pedang Kelelawar milik Lowo 
Brangah ternyata mampu bertahan. Pasti ada sarana 
lain yang membuat Pedang Kelelawar mampu bertahan 
seperti itu. 
Kemudian Pusparini dan Lowo Brangah terlibat 
pertarungan seru. Pedang mereka saling beradu. 
Setiap kesempatan dipergunakan untuk bisa 
menerobos pertahanan lawan. Bukan itu saja, gerak 
kelincahan kaki pun menentukan. Keduanya saling 
menggunakan kaki sebagai senjata tambahan. Jelas 
terlihat jurus-jurus yang mereka kembangkan adalah 
jurus gerakan Kelelawar dan Walet. Caranya meliuk, 
caranya menerjang dan mengelak benar-benar 
seimbang. Baru kali ini Pusparini ketanggor lawan 
yang bisa membaca jurus-jurus yang hendak 
diserangkan. Dan asap hitam yang keluar dari Pedang 
Kelelawar itu hanya menghambat pandangan saja. 
Semula asap itu dicurigai sebagai asap beracun. 
 
Ternyata tidak. 
Selama dua tokoh ini terlibat perang tanding, maka 
yang lain telah melarutkan diri dalam baku hantam 
yang tidak kalah serunya. Ki Catradana yang berbadan 
ceking itu ternyata memiliki ketangkasan dalam ilmu 
bela diri. Beberapa lawan berhasil dilumpuhkan 
dengan sodokan ujung jarinya. Banyak orang yang 
tidak tahu bahwa Ki Catradana inilah yang digelari 
orang Pendekar Bangau Jenar. Sodokan jari-jari 
tangannya yang bagaikan paruh burung bangau itu 
bisa mencoblos mata lawan dengan gerakan yang sulit 
diikuti mata. 
Di sisi lain, Sancaka menunjukkan kebolehannya 
pula. Pemuda ini sebenarnya agak rendah hati ketika 
menyaksikan sepak terjang Pusparini yang tangguh 
dalam menghadapi Lowo Brangah. 
Tengah adegan baku hantam itu berlangsung, tiba-
tiba Lowo Brangah merasakan dirinya kehilangan 
tenaga untuk melanjutkan perang tandingnya. 
“Sialan! Ternyata belum sempurna juga ilmu ini!” 
keluhnya dalam hati. “Kalau dia tahu kelemahanku, 
bisa celaka aku.  Akan kucari peluang untuk 
meninggalkan kancah perang tanding ini.” 
Maka yang dilakukan Lowo Brangah mengadakan 
gerak pancingan agar Pusparini terlibat dengan anak 
buahnya sehingga mereka menyerang Pusparini. 
Kesempatan inilah yang dipergunakan oleh Lowo 
Brangah untuk meninggalkan arena baku hantam. 
Pusparini kini harus menangani anak buah Lowo 
Brangah ketika dilihatnya lawan tangguhnya itu 
meloloskan diri. Tentu saja dengan perlawanan 
Pusparini, maka senjata anak buah Lowo Brangah tak 
ada yang mampu menandingi. Semua senjata hancur 
berantakan dibabat Pedang Merapi Dahana. 
 
“Kita harus bisa mengorek keterangan dari mulut 
mereka!” seru Ki Catradana. 
Tapi harapannya sia-sia. Kiranya anak buah Lowo 
Brangah lebih baik mati daripada harus memberi 
keterangan kepada  pihak lawan. Ketika melihat anak 
buah Lowo Brangah semua bunuh diri, tahulah 
Pusparini bahwa mereka rupanya telah terikat sumpah 
untuk mati berkalang tanah daripada harus tunduk 
kepada lawan. 
*** 
Ki Catradana termenung mengawasi para korban 
yang berserakan di sana. Sebagian besar adalah anak 
buah Lowo Brangah. Sedangkan di pihak mereka 
hanya seorang yang tewas, dua lainnya luka-luka 
ringan. 
“Lalu sekarang bagaimana? Apakah kemunculan 
Lowo Brangah tadi telah memberi gambaran kepada Ki 
Catra tentang tugas kita?” tanya Pusparini. 
“Tampaknya begitu. Tapi aku tak tahu sampai 
sejauh mana peranan Lowo Brangah kalau hal ini ada 
sangkut paut dengan Dewi Kelelawar,” jawab Ki 
Catradana dengan menghela napas berat. Berbagai 
pertimbangan kini ada dalam benaknya “Semua ada 
kaitannya. Tak bisa disangsikan lagi, kini kita harus 
mencari jejak Lowo Brangah itu. Kulihat dia 
meloloskan diri ke arah timur laut. Ke Gunung Lawu!” 
“Ki Catra pikir apa tujuan Lowo Brangah tadi 
kemari?” tanya Pusparini. 
“Pasti tetap mencari barang milik Ki Sudamala 
pemberian musafir dari Hindustan itu.” 
“Jadi kau sendiri benar-benar tidak tahu di mana 
barang tersebut disimpan?” tanya Pusparini kepada 
Sancaka. 
 
“Aku tidak tahu. Aku sendiri dalam beberapa hari 
ini mencari benda itu, tapi tak kuketemukan,”  jawab 
Sancaka. 
“Tapi kau pernah melihat benda itu, bukan?” 
“Ki Sudamala memang pernah memperlihatkan 
kepadaku. Tongkat itu terbuat dari jenis logam ringan. 
Ketika dicoba dicobloskan ke batang beringin, bisa 
amblas tembus. Sungguh tak masuk akal kalau dilihat 
ringannya logam yang dipakai sebagai bahannya. 
Sedangkan lembaran kulit sapi itu disimpan di dalam 
kantung. Ada sederetan tulisan, yang katanya rapalan 
mantra,” jawab Sancaka dengan gerak tangan untuk 
meyakinkan pendengarnya. 
“Sancaka, tidaklah kau pernah melihat suatu 
tempat rahasia di rumah ini?” tanya Ki Catradana. 
“Tempat rahasia?” jawab Sancaka dengan 
mengerutkan dahinya. Terlihat bahwa dia sungguh-
sungguh untuk mengingat-ingat apakah pertanyaan 
tersebut dapat diperoleh jawaban yang bisa memberi 
jalan keluar. “Seingat saya..., enghm... tidak...! Tidak 
sama sekali! Tapi... tunggu...! Saya pernah lihat 
beberapa kali Ki Sudamala pergi ke tempat di pinggir 
sungai itu. Di sana ada batu yang menjulang tinggi. 
Pada saat-saat bulan purnama beliau sering semadi di 
sana.” 
“Tempat di pinggir sungai?” tanya Pusparini. 
Dan omongan itu akhirnya menyeret mereka untuk 
menyelidiki tempat yang diceritakan oleh Sancaka. 
“Inilah tempatnya,” kata Sancaka setelah mereka 
tiba di tempat yang dituju. 
Mereka menyelidiki tempat itu. Di sana, di tepi 
sungai, memang terdapat tanah ketinggian sehingga 
kalau berada di tempat itu bisa dengan jelas 
mengawasi keadaan di sekelilingnya. Apalagi kalau  
berdiri di atas batu yang menjulang tinggi di sana. Dan 
batu itu satu-satunya tempat yang sering 
dipergunakan oleh Ki Sudamala untuk mengheningkan 
diri di kala bulan purnama. 
Pusparini satu-satunya orang yang terlihat 
memeriksa dengan teliti di sekitar tempat itu. Setiap 
relung batu dan bagian-bagian yang sekiranya bisa 
dipakai untuk menyembunyikan sesuatu, dia amati 
dengan teliti. 
“Kau temukan sesuatu?” tanya Ki Catradana 
kepada Pusparini yang tampak asyik mengamati 
bagian sisi batu yang sering diduduki Ki Sudamala 
untuk semadi. 
“Tampaknya sisi batu ini dapat diambil bagian 
atasnya. Akan saya buka,” kata Pusparini sambil 
menyungkit dengan pisau kecil celah yang melingkar 
sebesar kelapa itu. 
Tidak terlalu sulit. Dengan mudah penutup batu itu 
bisa dilepas, dan kini terlihat sebuah lubang yang 
cukup dalam. Dengan hati-hati Pusparini merogohkan 
tangannya ke dalam. 
Ada sesuatu yang tersentuh oleh ujung jarinya. 
“Agaknya kita menemukannya!” katanya dengan 
mata berbinar gembira. Kemudian ditarik tangannya 
yang telah memegang sesuatu yang dapat diraih dari 
lubang itu. 
“Ini dia!” katanya lagi sambil menarik sebuah benda 
yang berupa tongkat logam berwarna putih. Dan pada 
tongkat itu terdapat ikatan bungkusan. 
“Ini dia benda yang diincar Lowo Brangah,” kata 
Pusparini sambil mengamati benda itu dengan teliti. 
Sancaka tak kalah pula telitinya mengamati benda 
itu meskipun dia sudah pernah melihatnya. Kemudian 
Ki Catradana meraih bungkusannya, dan dari dalam  
dikeluarkan lembaran kulit sapi bertulis mantera-
mantera. Dan beberapa saat kemudian... 
“Hm. Ini tulisan huruf Pallawa yang masih 
dipengaruhi bentuk-bentuk huruf Hindustan Utara,” 
kata Ki Catradana. 
Dari peristiwa ini Pusparini baru tahu bahwa Ki 
Catradana adalah seorang ‘Mpu’ yang menguasai 
sastra kuno mancanegara. Terutama dari Hindustan. 
“Ki Catra bisa membacanya, bukan?” tanya 
Sancaka. 
“Kebetulan bisa. Ini memang mantera untuk 
memerangi roh jahat, yang tingkatnya tinggi,” jawab Ki 
Catradana sambil meneliti tulisan-tulisan yang ditulis 
dengan warna merah. “Tapi harus berani menanggung 
akibatnya.” 
“Menanggung akibat bagaimana?” tanya Pusparini. 
Sejenak Ki Catradana meneruskan membaca tulisan 
tersebut. Terlihat dia mengerutkan dahi. Ada 
pemilahan perangai tercermin di wajahnya. 
“Ada apa, Ki? Apakah ada sesuatu yang tidak 
beres?” tanya Pusparini. 
“Mantera ini bisa menyerang balik kepada 
pembacanya apabila lawan yang kita hadapi mengerti 
kunci penangkalnya...!” jawab Ki Catradana dengan 
suara pelan. 
*** 
 
LLIIMMAA  
 
AKHIRNYA mereka memutuskan untuk memburu 
Lowo Brangah. Arah yang mereka tempuh menuju 
Gunung Lawu, atau oleh penduduk di sana menurut 
kisah para leluhur disebut Gunung Katong. 
Mula-mula jalan setapak yang biasa dilalui oleh 
para pemburu dibuat pegangan untuk menuju Gunung 
Katong. Lama-lama jalan setapak itu tak ada lagi, dan 
terhamparlah kawasan ‘gung lewang lewung’ yang 
harus ditempuh. 
Mereka menempuh perjalanan itu secara naluri 
saja. Tanpa pengetahuan sedikit pun dimana letak 
sarang Lowo Brangah. Mereka menembus hutan 
rimba. 
“Bagaimana kalau Lowo Brangah ini tak ada 
hubungan dengan Dewi Kelelawar yang kita kejar sejak 
semula?” tanya Pusparini. 
“Kita memang dihadapkan pada masalah yang 
rumit. Tapi mudah-mudahan Sang Hyang Widhi 
memberi bimbingan kepada kita,” jawab Ki Catradana. 
Perjalanan mereka memang penuh hambatan. Satu-
satunya pegangan yang dipakai adalah mencari jejak 
orang yang pernah melewati daerah itu. Jejak tersebut 
bisa berupa bekas tapak kaki di tanah atau 
rerumputan. Boleh juga pada semak belukar yang 
daun serta dahan-dahannya bekas dilanda tubuh 
seseorang. 
Akhirnya pada suatu malam setelah dua hari 
berjalan... 
Sancaka mendapat giliran jaga. Api unggun 
diperbesar nyalanya agar menambah kehangatan di 
sekelilingnya. Semua tidur di bawah, kecuali  
Pusparini. Si Walet Emas ini memilih tempat tidurnya 
di atas pohon. Tapi kalau diamati, tindakan Pusparini 
bukan kerja yang ugal-ugalan. Dia memilih tempat 
tidur di atas pohon karena ingin mengawasi keamanan 
keadaan di sekelilingnya. Seperti halnya saat ini, 
ketika semua tidur lelap dan Sancaka masih terjaga di 
tempatnya, maka mata Pusparini tak sekejap pun 
terpejam. Dia memasang indera pendengarannya, 
menjaga kalau-kalau ada pendatang yang menyatroni 
tempat itu dengan tujuan tidak bersahabat. 
Sampai akhirnya... 
Tiba-tiba indera pendengaran Pusparini terusik oleh 
sesuatu yang melintas di atas pohon tempatnya 
berbaring. Sesosok bayangan hitam tampak terbang 
mengitari tempat itu. Karena bentuknya yang besar 
maka gerak terbangnya menimbulkan desau angin 
agak keras. Hal ini membuat api unggun meliuk-liuk 
tak tentu arah. Perhatian Sancaka tertuju ke atas 
untuk melihat sesuatu yang bergerak di angkasa. Dia 
membangunkan Ki Catradana dan orang-orang 
lainnya. 
“Apa yang terjadi?” tanya Ki Catradana sambil 
mengusap matanya. 
“Sesuatu melintas di atas sana. Bentuknya besar 
sekali,” jawab Sancaka. “Seharusnya Pusparini 
melihatnya, kalau dia tidak tertidur.” 
Sesungguhnya Pusparini sejak tadi sudah siap siaga 
begitu sosok tubuh yang melintas terbang di atas 
tempat itu sudah membuat gaduh dengan kepakan 
sayapnya. 
Sesosok tubuh dengan rentangan sayap yang lebar, 
dan bulan yang sepotong di langit, cukup memberi 
penerangan tentang  bentuk yang menjadi perhatian 
mereka. 
 
“Kelelawar!” seru di antara mereka yang melihat 
sesuatu dengan kepakan sayap yang lebar. 
“Apakah itu Dewi Kelelawar yang kita buru?” kata 
yang lain. 
“Dia terbang berputar-putar saja di atas kita,” kata 
Sancaka. “Apakah Pusparini tidak melihatnya?” 
“Kukira Pusparini siap di tempatnya,” sela Ki 
Catradana. 
“Mengapa Ki Catra tidak membaca mantera 
tersebut?” tanya seorang pengikut mereka. 
“Kita tunggu sampai makhluk itu bertindak 
terhadap kita,” jawab Ki Catra. “Lihat, itu Pusparini 
melesat dari satu pohon ke pohon yang lain. Rupanya 
dia mencari peluang untuk bisa mendekat gerak 
terbang makhluk kelelawar itu.” 
Yang sempat dilihat oleh Ki Catradana memang 
benar. Pusparini mencari pijakan tempat agar leluasa 
melihat makhluk kelelawar itu. Paling tidak dia 
berharap agar makhluk itu melihat dirinya. Apapun 
akibat yang ditimbulkan, Pusparini telah siap 
menghadapi. 
Harapan yang diinginkan Pusparini berhasil. 
Makhluk kelelawar itu rupanya melihat Pusparini dan 
terbang mendekat. 
Pusparini menunggu dengan perasaan berdebar. 
Makhluk kelelawar itu akhirnya hinggap di atas dahan. 
Baru sekarang Pusparini dapat melihat dengan jelas 
sosok makhluk yang dihadapi. Ternyata makhluk 
kelelawar itu berbadan seorang wanita. Lengan 
tangannya terpaut dengan sayap. Dan sayap itu 
melebar sampai ke pahanya, serta seluruh tubuhnya 
tak tertutup selembar busana pun. 
Naluri Pusparini menyiratkan pasti makhluk di 
hadapannya ini akan menyerangnya. Itu sebabnya dia  
dengan cepat mengeluarkan pedang dari sarungnya. 
Pedang Merapi Dahana berkilat putih dalam terpaan 
cahaya bulan yang sepotong. Pusparini siap siaga. 
Tapi... 
“Tolonglah aku...! Aku tak bermaksud jahat pada 
kalian...!” terdengar suara makhluk itu yang 
menyiratkan ucapan yang tak diduga oleh Pusparini. 
“Apa katamu?” tanya Pusparini ragu-ragu. 
“Tolonglah aku. Aku sangat menderita...!” terdengar 
suara manusia kelelawar itu lagi. 
“Siapa kau sebenarnya? Apakah kau disebut Dewi 
Kelelawar?” tanya Pusparini yang ketegangannya 
mengendor karena mendengar ucapan makhluk itu. 
“Ohh... dia datang mengejar! Aku harus cepat-cepat 
meninggalkan tempat ini. Tolong aku! Carilah aku di 
Goa Mulut Naga di lereng utara Gunung Katong...!” 
kata manusia kelelawar dengan mengawasi arah timur 
yang kemudian dengan cepat melesat ke angkasa. 
Pusparini masih tercekam keheranan dengan 
peristiwa yang dihadapi. Pandangannya mengikuti 
manusia kelelawar yang terbang semakin jauh dan 
akhirnya ditelan kegelapan. Belum usai 
penglihatannya lepas dari sana, maka muncul 
bayangan hitam dari arah timur. Kiranya ini yang 
dikhawatirkan oleh manusia kelelawar tadi. Pusparini 
mencoba mengawasi dengan teliti perwujudan 
makhluk itu, walaupun dia sudah yakin bahwa ini 
adalah makhluk yang sejenis dengan yang baru 
dihadapi tadi. Hanya saja yang ini lebih kecil, sebesar 
jenis kelelawar yang disebut ‘kalong’. Dan yang dilihat 
Pusparini ternyata benar-benar binatang kelelawar. 
Bukan manusia kelelawar! 
“Dia menyerangku!” gumam Pusparini sambil 
mengelakkan diri ketika binatang itu melesat ke arah  
dirinya. 
Hal ini terpaksa harus dihadapi dengan kekerasan. 
Ketika binatang itu terbang melingkar untuk 
menyerang kedua kalinya, Pusparini telah siap dengan 
ayunan pedangnya... dan.... 
Whhett.... Shwwhetth.... 
Pedang Pusparini berkelebat membabat ke arah 
binatang itu. 
“Oh, luput!” gumam Pusparini lirih. 
Ternyata binatang itu punya indera tajam dalam 
menghadapi serangan pedang Pusparini. Hal ini 
membuat dirinya penasaran. Dengan manusia dia 
mampu menebas dengan sekali pukulan, tapi binatang 
ini mampu mengelakkan. Tentu saja, sebab keadaan 
Pusparini berada di atas dahan pohon sehingga 
pikirannya tidak penuh ditujukan ke arah lawan yang 
bergerak dengan gesit seperti itu. Atau boleh dikata, 
Pusparini bertarung di dunia lawan. Tapi sikap 
kependekarannya mengharuskan dia pantang mundur. 
Untuk itu dia memasang ancang-ancang guna 
menghadapi binatang yang masih mengincar dirinya. 
Jelas, ini pasti bukan sembarang kalong. Ada 
‘sesuatu’ yang menggerakkan binatang tersebut hingga 
mampu menyerang manusia dengan memakai 
perhitungan. Tentang ‘sesuatu’ itu apa dan bagaimana, 
Pusparini belum tahu. 
Sementara Pusparini menghadapi kalong yang sulit 
dikalahkan, maka Ki Catradana merapal mantera yang 
tertulis di kulit sapi. Sejak awal dia memperhatikan 
tindakan Pusparini yang kalang kabut menghadapi 
kalong yang tidak semestinya itu. Rapalan mantera 
terus membuih di bibir Ki Catradana tanpa henti. 
Sampai akhirnya…. 
“Eeeaaarrkkhkh...!” terdengar kalong meledakkan  
jeritan. 
Pusparini terkejut. Dia tak tahu apa yang 
menyebabkan binatang itu tiba-tiba mengeluarkan 
jeritan seperti itu. Dalam keadaan masih di udara, 
kalong tersebut menggelepar-gelepar. Kesempatan ini 
tidak disia-siakan. Dengan sekali tebas maka tubuh 
binatang itu terbelah jadi dua, dan jatuh meluncur ke 
bawah. 
“Bhwueg...!” 
“Hah?!” Semua heran. Seperti tidak masuk akal 
kalau binatang tersebut jatuh dengan mengeluarkan 
bunyi seperti itu. Kedengarannya berbobot lebih dari 
setengah kwintal. 
Lewat cahaya api unggun, mereka baru tahu apa 
yang terjadi kemudian. Mereka melihat tubuh kalong 
itu terbelah menjadi dua menggeletak di tanah. 
Kemudian terlihat berangsur-angsur ada perubahan 
pada wujudnya. Berubah menjadi bentuk seorang 
bocah laki-laki, berumur lima tahunan! 
Pada saat itu bersamaan dengan turunnya 
Pusparini dari atas pohon, dia sempat terpekik pelan 
menyaksikan perubahan wujud kalong yang mati 
terbelah menjadi dua akibat tebasan pedangnya. 
“Ini pasti ilmu iblis!” ucap Ki Catradana pelan. 
Kalau semua dihinggapi perasaan merinding, itu 
lantaran adanya perubahan yang berwujud bocah laki-
laki. 
Dengan tabah Sancaka menyelidiki lebih dekat. 
Diamati wajah anak yang tewas dengan tubuh terbelah 
jadi dua itu. 
“Kukira dia bukan anak kecil. Tapi manusia cebol. 
Manusia kate. Coba teliti wajahnya itu. Bukan wajah 
seorang anak-anak. Tapi wajah manusia dewasa!” kata 
Sancaka dengan pelan. Kemudian tubuh telanjang  
yang terbelah itu disatukan kembali. 
Bukan main tangkasnya Pusparini memainkan 
pedangnya ketika menebas lawannya. Tepat di tengah. 
Mulai dari ubun-ubun sampai ke dubur! Pusparini 
yang selama ini berkecimpung dalam arena kubangan 
darah di dunia persilatan, perasaannya bergidik 
menyaksikan tubuh korbannya...! 

*** 

EENNAAMM  
 
PUSPARINI merasa lesu pada esok harinya setelah 
semalaman tak tidur sekejap pun. Apalagi karena 
ketanggor peristiwa yang tidak semestinya dan 
pertama kali dialami. 
“Jadi kau mendengar kelelawar bertubuh wanita itu 
minta tolong?” tanya Ki Catradana ketika mendengar 
kisah Pusparini yang diceritakan semalam. 
“Benar, Ki. Tampaknya dia menderita sekali. 
Suaranya terdengar sendu penuh harap. Ketika 
hendak berkata lebih lanjut, maka muncullah manusia 
kalong itu,” kata Pusparini mengulang kisahnya. 
“Sekarang sasaran kita adalah mencari Goa Mulut 
Naga di lereng utara Gunung Katong atau Lawu!” sela 
Sancaka. “Berarti kita harus sampai di lereng gunung 
dulu yang di sebelah utara, lalu mencari goa itu. Paling 
tidak, sesuai dengan namanya, goa itu pasti bentuknya 
seperti mulut naga!” 
“Wanita kelelawar itu harus kita selidiki apakah dia 
yang bernama Dewi Kelelawar. Kalau selama ini Dewi 
Kelelawar didesas-desuskan sebagai makhluk 
penyebar bencana, sangat mengherankan kalau wanita  
kelelawar itu adalah Dewi Kelelawar,” kata Ki 
Catradana. “Dan semalam, mantera yang kubaca pasti 
berpengaruh pada kelelawar jadi-jadian yang telah 
terbunuh oleh pedang Pusparini.” 
“Kalau begitu, apakah kita berangkat sekarang?” 
usul Sancaka. 
“Bagaimana, Rini?” tanya Ki Catradana dengan 
mengawasi Pusparini yang masih termenung. 
“Boleh! Tapi jarak kita harus berjauhan. Rasanya 
kalau berjalan beriringan akan menjadi sasaran 
empuk lawan, seandainya kita diserang. Ingat, kita 
akan menerobos ke sarang lawan. Banyak hal yang 
tidak kita ketahui dan mengandung teka-teki.” 
Usul Pusparini disetujui. Sebagai pengaman, maka 
Pusparini berjalan di baris belakang. Sedangkan 
Sancaka menjadi pembuka jalan mencari tempat yang 
disebut Goa Mulut Naga. 
Hutan yang ‘gung lewang-lewung’ segera menjadi 
sasaran untuk ditembus. Gunung Katong atau 
Gunung Lawu sejak dulu memang sering dipilih oleh 
kaum pertapa untuk bersemadi. Justru tempat-tempat 
yang penuh tantangan itu menjadi idaman para 
pertapa. Dan dalam perjalanan itu mereka sering 
menemukan tempat-tempat bekas pertapa. Adakalanya 
mereka mendapati seorang pertapa sedang bersemadi. 
Dalam kesempatan ini sang pertapa ada yang dengan 
lapang hati memberi petunjuk tentang keadaan daerah 
sekitarnya. 
“Bagaimana tentang berita Dewi Kelelawar?!” tanya 
Ki Catradana kepada sang pertapa. 
“Saya tak pernah tahu cerita yang sebenarnya. Yang 
pasti, kalian harus berhati-hati sejak memasuki 
kawasan di sini. Sering saya lihat sekelompok orang 
datang melewati tempat ini, tapi kemudian tak saya  
ketahui kembalinya. Entah kalau mereka pulang 
melewati jalur lain. Yang jelas saya banyak mencium 
bau maut yang bertebaran di kawasan sekitar Gunung 
Katong sebelah utara sana,” kata sang pertapa 
menjelaskan. 
Keterangan itu menambah kewaspadaan mereka. 
Dan masih berhari-hari lagi mereka menembus hutan 
belantara. Akhirnya pada hari ke tujuh, tibalah mereka 
di suatu tempat yang agak lapang. Suatu hamparan 
padang rumput dengan semak belukar menggunung di 
sana-sini, telah memberi pemandangan lain yang 
selama berhari-hari disuguhi suasana hutan yang 
penuh pohon-pohon besar. 
“Lihat di atas itu,” seru Sancaka sambil menunjuk 
ke angkasa dengan langit biru tak berawan. 
Sekelompok burung gagak terbang mengitar di 
angkasa. Orang yang paham hal ini segera tahu bahwa 
di bawah sana ada mayat atau bangkai yang 
tergeletak, atau mereka yang sedang sekarat! 
“Mari kita lihat,” kata Sancaka. 
Mereka segera bergegas ke sana. Dan tak berapa 
lama kemudian... 
“Astaga!” Pusparini melepaskan ucapan tanpa 
sadar. Perasaannya tersirap. 
Bahkan semua orang yang melihat hal itu 
berperasaan serupa. Betapa tidak, sebab di hadapan 
mereka terpampang beberapa sosok tubuh yang telah 
menjadi mayat. Dan ketika angin bertiup ke arah 
mereka, maka bau busuk mengusik penciuman 
mereka. Mayat-mayat itu mengalami cedera serupa. 
Dada mereka bolong. Rupanya jantung mereka telah 
sengaja diambil! 
Setelah memeriksa sejenak keadaan mayat-mayat 
itu, Ki Catradana menyarankan untuk melanjutkan  
perjalanan. Tapi baru saja bertindak beberapa 
langkah, mendadak muncul sekelompok orang-orang 
cebol dari balik semak-semak. Kemunculan mereka 
segera diwaspadai oleh Pusparini sebagai munculnya 
mara bahaya, sebab dengan sikap garang orang-orang 
cebol itu langsung menyerang mereka. Tak ayal lagi, 
baku hantam terjadi di sana. 
Orang-orang cebol itu punya gerak lincah bagaikan 
kera. Pakaian mereka hanya selembar kain yang 
menutup aurat mereka. Rambut mereka berwarna 
coklat dan panjang sebatas bahu. Kuku-kuku mereka 
tajam dan dijadikan senjata andalan untuk 
menghadapi lawan. Menghadapi manusia cebol 
semacam itu Pusparini tak ambil resiko lagi. Cuaca 
cerah dengan sinar matahari bersinar terang di langit 
membuat dia terangsang untuk menggunakan Pedang 
Merapi Dahana. Sekejap kemudian pedang itu telah 
dikeluarkan dari sarungnya. 
Shhrriinngg! 
Dan berpijarlah bilah pedang itu tertimpa cahaya 
matahari. Cahaya merah membias menyilaukan mata 
siapa saja yang melihatnya. 
Orang-orang cebol itu dibuat kaget sejenak karena 
keadaan ini. Beberapa orang di antaranya mundur 
dengan menutup mata mereka. Tapi ada yang nekad 
untuk melompat ke arah Pusparini dengan ganas. 
Maunya untuk merebut pedang itu. Tapi Pusparini 
dengan trengginas mengayunkan pedangnya. Yang 
terjadi kemudian adalah darah muncrat, dan tubuh 
yang jadi korban mencelat jadi dua. 
Sungguh mengerikan! Tapi bagaimana lagi. Kali ini 
persoalannya adalah dibunuh atau membunuh. 
Dihadapi dengan tangan kosong hanya menambah 
bengisnya sikap orang-orang cebol itu. Sebab mereka  
mengira Pusparini dan kawan-kawannya tak lebih dari 
manusia seperti mereka yang telah jadi korbannya. 
Orang-orang cebol itu pemakan jantung manusia. 
Entah bagaimana ada kelompok manusia semacam itu 
di sekitar Gunung Katong atau Lawu itu. 
Korban yang diakibatkan sabetan pedang Pusparini 
semula membuat jera yang lain. Tapi kemudian 
mereka beringas lagi tanpa mempedulikan maut yang 
menyeringai di ujung Pedang Merapi Dahana. Orang-
orang cebol itu sepertinya mendapat perintah oleh 
suatu kekuatan dari jauh. Ini terbukti dari mereka 
yang  semula mengundurkan diri karena melihat 
Pedang Merapi Dahana, yang kemudian maju lagi 
dengan sikap lebih beringas. Dan jumlah mereka sulit 
diduga, sebab begitu yang satu jadi korban, maka yang 
lain muncul lagi entah dari mana datangnya. 
Sancaka memperhatikan sekali hal itu. Bahkan dia 
mencurigai bahwa di sana ada tempat yang menjadi 
sarang berkumpulnya orang-orang cebol itu. Senjata 
Sancaka pun sudah beberapa kali menewaskan 
musuh. Bahkan suatu saat dia sempat melihat seorang 
pengikutnya jadi korban orang-orang cebol itu. Orang 
ini diterkam dari belakang. Yang lain dari depan, dan 
langsung menerkam dada. Sungguh terkaman yang 
mengerikan. Sekali terjang, maka dada orang itu jebol. 
Ketika tangannya ditarik, sudah tergenggam jantung 
korbannya. Jantung itu dibawa lari entah kemana. 
Hal itulah yang membuat Sancaka harus berjuang 
mati-matian. Termasuk Pusparini yang terlihat 
dihinggapi rasa ngeri melihat kebuasan orang-orang 
cebol itu. Di sisi lain, Ki Catradana mengandalkan 
tongkat di tangannya. Kiranya tubuhnya yang ceking 
itu memiliki kelincahan gerak menggunakan tongkat 
tersebut. Terlintas dalam benaknya untuk merapal  
mantera di kulit sapi yang disimpannya. Tapi 
kesempatan tidak ada. 
Manusia cebol di sekelilingnya seolah tak memberi 
kesempatan pada lawannya untuk santai sejenak. 
Bahkan bernapas untuk menghimpun tenaga. Tapi 
kalau diamati, orang cebol itu tak akan bisa dihadapi 
dengan mantera. Mereka bukan makhluk siluman atau 
jadi-jadian. Lain halnya dengan kalong yang beberapa 
waktu lalu menyerang Pusparini. Tapi kalau dikaitkan, 
antara orang-orang cebol ini dengan kalong yang 
pernah dihadapi Pusparini, pasti ada sangkut pautnya. 
Hanya jalurnya bagaimana, itu yang harus mereka 
selidiki. 
Tengah berlangsung baku hantam yang belum ada 
titik terang cepat terselesaikan, tiba-tiba muncul 
seseorang dengan dibarengi teriakan nyaring... 
“Hiieeeaaaahhhh...!” 
Tentu saja ini menyengat perhatian Pusparini. Dan 
perasaannya terusik. Sebab yang dilihat adalah 
munculnya Jlitheng Kasongan, kepala begal yang 
pernah dihadapi tempo hari. Kecurigaan Pusparini 
mencuat. Jlitheng Kasongan yang berakhlak bejat itu 
pasti yang mendalangi orang-orang cebol. Sejenak 
perhatian Pusparini tertuju kepada kehadiran Jlitheng 
Kasongan. Tapi apa yang dilihat sangat 
mengherankan. Ternyata Jlitheng Kasongan memer-
angi orang-orang cebol itu. Senjata di tangannya 
ditebaskan ke arah mereka yang tiba-tiba 
menyerangnya. 
“Ternyata Jlitheng bukan sekutu orang-orang cebol 
ini,” pikir Pusparini sambil mengayunkan pedangnya 
ke arah lawan yang nyaris membokong. Lengah sedikit 
saja, pasti punggungnya tercengkeram lawan. 
Untunglah semua terlihat mengendor. Seperti ada  
suara seruling dari kejauhan yang memberi isyarat, 
maka orang-orang cebol itu mengundurkan diri. 
Mereka lari dengan gesit menerobos semak belukar. 
Gerak  mereka berpencar. Jadi sulit bagi Pusparini 
untuk memburu jejak lari agar dapat mengendus ke 
sarang mereka. Dan tak berapa lama kemudian, 
tempat itu sunyi senyap. Pusparini dan kawan-
kawannya menunggu perkembangan lebih lanjut. 
Ternyata sepi. Tak ada apa-apa. Satu-satunya 
perhatian akhirnya tertuju kepada Jlitheng Kasongan 
yang tiba-tiba muncul di sana membantu mereka. 
“Jlitheng, bagaimana kau bisa sampai di tempat 
ini?” tegur Pusparini setelah menyarungkan 
pedangnya. 
“Justru aku yang harus bertanya mengapa kau dan 
kawan-kawanmu sampai di sini,” jawab Jlitheng 
Kasongan yang terlihat sangat payah. 
“Aku akan menuju Goa Mulut Naga,” jawab 
Pusparini dengan pandangan menyelidik ke arah 
penampilan kepala begal yang pernah ditundukkan 
tempo hari. “Tampaknya ada sesuatu yang 
menimpamu. Boleh aku tahu, Theng?” 
“Kau lihat mayat-mayat dengan dada bolong karena 
jantungnya diambil oleh orang-orang cebol itu? Mereka 
adalah anak buahku,” kata Jlitheng. 
“Oh,” hanya ini yang keluar dari bibir Pusparini. 
“Banyak orang berbicara tentang Dewi Kelelawar. 
Banyak pemuda dalam usia pancaroba jadi korban 
penculikannya. Itulah kabar yang kudengar. Banyak 
putra kaum bangsawan yang hilang dan akhirnya 
keluar berbagai sayembara temuan. Hadiahnya 
menggiurkan. Itu sebabnya aku dan kawan-kawanku 
terjun ke masalah ini. Boleh dikata, ganti haluan kerja. 
Kalau dulu begal, sekarang pemburu hadiah temuan,”  
kata Jlitheng Kasongan dengan menyeka keringatnya 
yang bercucuran di dahi. 
“Lalu sampai berapa jauh hasil usahamu?” tanya 
Pusparini. 
“Seperti yang kau lihat, anak buahku semua jadi 
korban.” 
“Bagaimana kau bisa selamat dari keganasan 
mereka?” 
“Saat itu aku berada di Dukuh Gondolayu.” 
“Dukuh Gondolayu? Di mana itu?” 
“Di seberang curah sebelah barat itu,” jawab 
Jlitheng Kasongan dengan melempar pandang ke arah 
yang dimaksud. 
Pusparini termenung sejenak. “Bagaimana kalau 
kau tunjukkan tempat itu kepada kami? Rasanya aku 
ingin tahu tempat itu.” 
“Itu tempat sangar! Angker! Pedukuhan itu ibarat 
kuburan saja walaupun dihuni oleh penduduk,” jawab 
Jlitheng  Kasongan membayangkan tempat yang 
pernah didatangi. “Tapi kalau kalian ingin ke sana, 
aku bisa mengantarkan.” 

*** 
 
TTUUJJUUHH  
 
JLITHENG KASONGAN menjadi penunjuk jalan 
untuk menuju Dukuh Gondolayu. Tempat yang 
mereka tuju merambah dataran rendah berbatu-batu. 
Ada anak sungai yang jernih airnya mengalir deras 
yang harus mereka lewati. Karena di tengah banyak 
batu-batu, maka penyeberangannya bisa dilakukan 
tanpa hambatan. 
 
“Itu dukuhnya,” kata Jlitheng Kasongan setelah 
sampai di tempat ketinggian sambil menunjuk ke arah 
lembah. “Aku ke sana sewaktu mengejar seseorang 
yang kulihat, sementara anak buahku kutinggalkan di 
tempat kejadian tadi.” 
“Dan kau datang lagi tapi anak buahmu telah jadi 
mayat?” tanya Sancaka menggarami pembicaraan. 
“Ya. Sempat kulihat seorang manusia cebol merogoh 
jantung anak buahku. Tak tahan melihat peristiwa itu, 
kemudian aku lari kemari lagi.” 
“Tentunya penduduk di sana bisa memberi 
keterangan tentang orang-orang cebol itu,” Pusparini 
menimpali. 
“Mereka tak mau berbicara apa-apa kalau diminta 
menjelaskan tentang orang-orang cebol itu. Sepertinya 
mereka ketakutan kalau berbicara tentang hal itu,” 
kata Jlitheng Kasongan sambil mengawali langkahnya. 
Mereka mengekor langkah bekas kepala begal itu. 
Dukuh yang punya nama Gondolayu itu terlihat sepi. 
Satu-satunya pertanda adanya kehidupan di sana 
hanya kepulan asap dapur yang tampak dari beberapa 
rumah yang atapnya terbuat dari alang-alang. Sesekali 
ada anjing melintas. Menyalak sebentar karena melihat 
kehadiran orang asing, lalu lari menghindar. Tak 
terlihat seorang pun. 
“Kemana penduduknya?” tanya Ki Catradana. 
“Penduduk di sini hanya wanita! Tak kulihat kaum 
lakinya,” jawab Jlitheng Kasongan sambil melangkah 
menuju ke sebuah rumah. Langkahnya segera diikuti 
yang lain. 
“Hanya wanita?” sela Pusparini sambil melayangkan 
pandang ke tempat sekitarnya. Dia melihat beberapa 
sosok wajah yang mengintip dari ambang pintu rumah 
masing-masing, lalu menenggelamkan diri dengan  
menutup pintu. 
“Kau tentu telah mengenal penghuni rumah ini 
ketika pertama kali mendatanginya,” kata Ki 
Catradana ditujukan kepada Jlitheng yang mencoba 
membuka daun pintu rumah itu. 
“Dia yang mencoba menyembunyikan aku. Berhari-
hari aku bersembunyi di tempat ini atas 
kehendaknya,” jawab Jlitheng. 
Pintu terbuka. 
“Sruti!” Jlitheng Kasongan memanggil seseorang. 
Seseorang wanita muncul. Berkain hanya sebatas 
lutut. Dibiarkan perutnya di atas pusarnya terbuka. 
Lalu buah dadanya hanya ditutup dengan semacam 
tempurung kecil entah terbuat dari buah apa. 
Wajahnya biasa saja. Tapi dada yang putingnya diberi 
tutup tempurung kecil semacam itu mengundang 
perhatian mata lelaki. Buah dada yang membukit 
kenyal. Pantas kalau Jlitheng Kasongan yang bekas 
begal itu krasan  bersembunyi di sini walaupun 
marabahaya mengancam di sekitarnya. Bahaya dari 
keganasan orang-orang cebol. 
“Sruti, kenalkan ini kawan-kawanku,” kata Jlitheng 
memperkenalkan wanita itu. 
Wanita bernama Sruti hanya mengangguk. 
Tercermin rasa tidak gembira dengan kedatangan 
Jlitheng Kasongan yang disertai Pusparini dan orang-
orang lain. 
“Ni Sruti, saya  ingin bertanya. Bisa memberi 
penjelasan?” tanya Pusparini. 
“Dia tak akan banyak memberi jawaban kalau yang 
kau tanyakan tentang orang cebol dan Dewi Kelelawar. 
Bertanyalah yang lain,” saran Jlitheng. 
“Hm. Baik. Rupanya kita harus sabar menghadapi 
penduduk  di sini,” kata Pusparini. “Ni Sruti, apakah  
kau bisa menjelaskan siapa penduduk di sini yang 
pandai bermain seruling?” 
Pertanyaan yang aneh! Tapi tidak aneh sebenarnya. 
Semua orang yang berada di sana tidak mengerti 
mengapa Pusparini bertanya seperti itu.  Alasannya 
hanya Pusparini yang tahu. 
Sruti masih membisu. Hanya matanya yang tajam 
mengawasi Pusparini. 
“Yang kau maksud... kau ingin bertemu dengan 
Kakek Werti Kandayun?” tanya Sruti berbalik 
menebak. 
“Iii... iya!” jawab Pusparini tiba-tiba. Pikirannya 
cepat mengambil kesimpulan. “Kakek Werti Kandayun! 
Di mana aku bisa menjumpainya?” 
“Dia tak mau ditemui banyak orang. Kalau ingin 
ketemu, kukira hanya kau yang diperbolehkan,” jawab 
Sruti. 
“Baiklah. Aku saja yang akan menghadap beliau,” 
jawab Pusparini menunjukkan rasa sopannya. Paling 
tidak ini hanya untuk memberi kesan agar tak banyak 
menghadapi kesulitan dalam memecahkan teka-teki 
yang dihadapi. Terutama dengan suara seruling yang 
pernah didengar sewaktu menghadapi orang-orang 
cebol itu. 
Kemudian atas kesepakatan, Pusparini yang 
diijinkan mengikuti Sruti untuk menemui seseorang 
yang dipanggil Kakek Wreti Kandayun. Lain-lainnya 
tinggal di pondok itu. Sruti dan Pusparini menuju ke 
suatu tempat. Arahnya menyusuri jalan di tengah 
pedukuhan. Kemudian dari sini menyimpang ke jalan 
setapak yang rupanya jarang dilalui orang. Makin lama 
makin mendaki ke atas, menembus alang-alang 
setinggi dada. 
“Masih jauh?” tanya Pusparini.  
“Tidak. Lihat di balik alang-alang berbunga itu,” 
tunjuk Sruti. 
Hampir saja Pusparini terpekik gembira. Sebab 
ketika mereka menengok di balik alang-alang 
berbunga, di sana terlihat sebuah mulut goa. Dan goa 
itu dipahat membentuk mulut seekor naga. 
“Goa Mulut Naga!” kata Pusparini lirih. 
“Apa kau bilang?” tanya Sruti. 
“Goa Mulut Naga! Betulkah ini  yang disebut Goa 
Mulut Naga?” tanya Pusparini ingin meyakinkan. Tapi 
jawaban yang diperoleh di luar dugaan... 
Dhieg!!! 
Pusparini menerima hantaman dari Sruti. Tentu 
saja tindakan yang tak terduga ini membuat Pusparini 
mencelat. Tidak saja karena di luar dugaan, tapi 
pukulan Sruti benar-benar berisi. Pusparini segera 
membenahi diri begitu tegak kembali. 
“Sruti, apa maksudmu?” tanya Pusparini dengan 
harapan kejadian itu bukan awal dari petaka yang 
harus dihadapi. “Apakah ini tindakan jebakan?” 
“Kau tahu nama tempat ini. Berarti kedatanganmu 
tidak saja ingin ketemu dengan Kakek Wreti 
Kandayun. Kau musuh yang harus kucegah memasuki 
tempat ini. Karena sudah terlanjur, terpaksa aku 
bertindak keras kepadamu.” 
“Tunggu! Kukira kau tahu lebih banyak dengan 
keadaan di sini. Tidak sekedar penduduk pedukuhan 
terpencil. Kalau ini gara-gara karena aku tahu nama 
tempat ini, pasti kau tahu tentang Dewi Kelelawar. 
Pasti tahu dengan Lowo Brangah! Bukan begitu?” kata 
Pusparini memancing sikap Sruti. 
“Kau benar-benar tahu lebih banyak!” kata Sruti 
dengan menerjang ke arah Pusparini. 
Tentu saja Pendekar Walet Emas tak tinggal diam. 
 
Terjangan Sruti disambut dengan tangkisan tangan 
kanan, lalu mengadakan imbangan serangan dengan 
ayunan tangan kiri yang melanda betis. Sruti 
menyeringai kesakitan sambil meliukkan tubuh untuk 
menerjang dengan kaki satunya. Tapi peluang ini 
segera dikunci oleh Pusparini dengan tangkisan kaki. 
Sruti menggeliat di udara yang akhirnya terjerembab 
ke tanah. Pusparini tidak cepat bertindak lagi. Dia 
memberi kesempatan pada Sruti agar menyerang 
terlebih dulu. Rencananya, dengan serangan dari 
pihak lawan, dia akan meringkusnya, kalau serangan 
yang dilakukan semacam tadi. Ternyata Sruti tidak 
menyerang. Dia tetap pada sikapnya yang berjongkok 
di tanah sambil mengawasi Pusparini. 
“Kukira kau memiliki ilmu bela diri melebihi diriku. 
Maaf, aku tadi hanya menjajal apakah kau seorang 
wanita yang bisa diajak kerja sama,” kata Sruti sambil 
beranjak berdiri. “Maafkan sikapku tadi. Penduduk 
Pedukuhan Gondolayu sudah lama ingin lepas dari 
kebengisan Lowo Brangah.” 
“Sruti, kau sungguh-sungguh? Jadi semua ini biang 
keladinya Lowo Brangah? Bagaimana dengan Dewi 
Kelelawar?” tanya Pusparini dengan harapan bahwa 
semua ini menjadi jalan peluang untuk menuntaskan 
masalah. 
Sruti memberi isyarat kepada Pusparini agar 
mengikutinya. Lalu keduanya mengambil tempat 
sembunyi di sisi batu dekat mulut goa. Tak berapa 
lama kemudian terlihat tiga orang cebol melintas 
masuk ke dalam goa. 
“Jadi sarang mereka di sini?” tanya Pusparini. 
“Tidak. Pasti ada suruhan dari Lowo Brangah untuk 
mengirim pesan bagi Kakek Wreti Kandayun. Kita 
tunggu sampai mereka keluar lagi,” saran Sruti. 
 
Mereka menunggu. Tampaknya Sruti juga tak bebas 
memasuki tempat itu kalau ada orang-orang cebol di 
sana. Dalam kesempatan ini, Pusparini mengajukan 
saran untuk masuk ke dalam goa dengan menyelinap. 
Dia ingin tahu pesan apa yang disampaikan Lowo 
Brangah kepada Kakek Wreti Kandayun. 
“Jangan sembrono! Keteledoran akan mencelakakan 
kau dan kawan-kawanmu!” kata Sruti. 
“Aku biasa menghadapi bahaya,” bisik Pusparini 
sambil mengawasi pintu goa. 
“Aku sudah memberi saran. Sekali teledor, semua 
akan binasa,” kata Sruti dengan tajam. 
“Baik! Baik, Sruti. Tapi harap kau tahu, kita tak 
bisa sampai malam berada di tempat ini. Lihat, hari 
semakin sore saja. Keadaannya akan sulit kalau 
sampai malam kita menyelidiki hal ini. Yang kita 
hadapi adalah kekuatan yang berpeluang jaya kalau 
mereka bergerak di waktu malam.” 
Sruti termenung. Ada sesuatu yang dipikirkan 
dengan ucapan Pusparini. 
“Baik! Yang  kau katakan itu memang benar. Ayo 
kita terus masuk. Ada tempat sembunyi di dalam goa 
di mana kita bisa menyelinap tanpa diketahui siapa 
pun,” ucap Sruti sambil terus beranjak dari sana. 
Tapi begitu mereka keluar dari persembunyian, 
mendadak tiga orang cebol tadi telah keluar dari dalam 
goa. Mereka memergoki Pusparini dan Sruti. 
“Celaka!” seru Sruti. 
Tapi Pusparini cepat tanggap dengan keadaan yang 
di luar dugaan ini. Dengan ayunan Pedang Merapi 
Dahana, dia berhasil membereskan ketiga lawannya. 
Cuma dengan sekali tebas! 
“Oh!” hanya ini yang keluar dari bibir Sruti. Betapa 
tercengangnya dia menyaksikan gerak kilat dalam  
menangani tiga orang cebol itu. 
“Cepat, kita singkirkan mereka,” kata Pusparini 
sambil menyeret korbannya ke dalam semak-semak. 
Sruti membantu menangani. Kemudian mereka 
masuk ke dalam goa. 
Sruti menarik tangan Pusparini. “Ke sini!” 
Pusparini mengekor langkah Sruti. 
“Di situ ada jebakan.” 
Pusparini melihat ke arah yang ditunjuk Sruti. Tak 
ada terlihat sesuatu pun yang mencurigakan di sana. 
Tentu saja. Kalau di sana ada jebakan, pasti segalanya 
diatur sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan 
kecurigaan. Di sana hanya terlihat tanah datar seperti 
tak ada apa-apanya. Keduanya melewati jalan samping 
yang makin menjorok ke atas. Lalu menikung, dan 
mengarah ke bawah lagi. Di sini ternyata terdapat 
tempat luas dengan penerangan obor di dinding-
dindingnya. 
“Itu Kakek Werti Kandayun,” Sruti memberi 
petunjuk ketika dilihatnya seorang laki-laki muncul 
dari sebuah ruangan. 
“Kita bisa menemuinya tanpa mengundang 
bahaya?” tanya Pusparini. 
Sruti mengangguk. Kemudian mereka berdua 
muncul terang-terangan. 
“Kakek!” sapa Sruti dengan suara hati-hati. 
Laki-laki bernama Kakek Wreti Kandayun menoleh. 
Pandangannya dipertajam dengan mengerutkan dahi. 
“Sruti?!” 
“Ya, Kek! Saya Sruti... dengan seorang teman,” 
jawab Sruti dengan perasaan berdebar. “Namanya 
Pusparini!” 
“Mengapa kau datang bersama dia?” tanya Kakek 
Wreti Kandayun. 
 
“Saya telah mendapat seorang teman yang bisa 
dipercaya. Dia tahu nama tempat ini. Dia punya 
urusan dengan Lowo Brangah, dan ingin bertemu 
dengan Dewi Kelelawar...,” Sruti menjelaskan dengan 
perkataan hati-hati agar laki-laki tua itu 
mendengarkan dengan seksama. 
“Seperti ramalan yang membisik hatiku, bahwa 
akan ada seseorang yang datang ke tempat ini dengan 
menyandang pedang api bumi...,” ucap Kakek Wreti 
Kandayun sambil mendekat ke arah Pusparini. 
Pusparini segera dapat mengambil kesimpulan, 
bahwa yang dimaksud oleh orang tua itu pastilah 
senjata Pedang Merapi Dahana. Bukankah pedang 
tersebut salah satu unsur logamnya terdiri dari lahar 
gunung berapi? Dan lahar asalnya dari dalam bumi? 
“Namamu.. Pusparini?” tanya Kakek Wreti 
Kandayun lagi. 
“Benar, Kek. Saya pernah bertemu dengan seorang 
wanita bertubuh kelelawar. Dia tampak tersiksa, dan 
minta pertolongan kepadaku. Siapakah wanita 
kelelawar itu? Apakah dia yang dipanggil sebagai Dewi 
Kelelawar?” Pusparini menjelaskan. 
“Ya! Kau telah bertemu dengan wanita yang disebut 
Dewi Kelelawar. Inderanya tahu bahwa orang yang 
diajaknya berbicara waktu itu adalah orang yang 
sudah diramalkan bisa melepaskan dia dari 
penderitaannya. Kaulah wanita itu!” kata Kakek Wreti 
Kandayun dengan mempersilakan Pusparini duduk di 
hadapannya. “Dewi Kelelawar adalah saudara si Sruti. 
Semua ini karena ilmu hitam yang sedang ditempuh 
oleh Lowo Brangah.” 
“Dia... saudara Sruti?” tanya Pusparini yang 
semakin ingin tahu lebih banyak tentang rahasia yang 
semua terselubung bagi orang luar.  
“Semua bertumpu pada nafsu iblis Lowo Brangah. 
Dia ingin menciptakan pedang ampuh tak tertandingi. 
Banyak syarat untuk mewujudkan impiannya itu. 
Pertama, dia harus bisa memberi wujud badan kasar 
dari siluman kelelawar. Kedua, mencari jantung para 
jejaka. Kedua syarat itu telah diwujudkan oleh Lowo 
Brangah. Setiap bulan purnama pedang itu harus 
digosok dengan  jantung para jejaka untuk 
mempertebal pamor ampuhnya. Itu sebabnya banyak 
para jejaka di sekitar kawasan ini yang telah menjadi 
korban. Dan saudara si Sruti bernama Kendit, oleh 
Lowo Brangah dikorbankan kepada iblis Siluman 
Kelelawar. Siluman itu menyatu dengan tubuh si 
Kendit sehingga terwujud jasad seperti yang kau lihat, 
dan gelarnya menjadi Dewi Kelelawar...!” ucapan Kakek 
Wreti Kandayun terhenti sejenak. Rupanya dia 
mengharapkan agar Pusparini dapat memahami 
dengan seksama peristiwa itu. 
“Tapi ketika bertemu dengan saya, Dewi Kelelawar 
minta pertolongan kepada saya. Ucapannya terdengar 
memelas sekali,” kata Pusparini. 
“Itu adalah dorongan pribadi si Kendit! Dalam 
penampilan Dewi Kelelawar ada dua pribadi di 
dalamnya. Satu adalah Siluman Kelelawar, dan 
satunya adalah si Kendit. Tapi akhir-akhir ini kulihat 
pribadi si Kendit banyak tampil menguasai jasmani itu 
sehingga kesempatan ini dipergunakan untuk lolos 
dari pengawasan Lowo Brangah,” kata Kakek Wreti 
Kandayun dengan memperlihatkan seruling kepada 
Pusparini. “Inderamu benar-benar tajam. Kau mencari 
peniup seruling sehingga terkuak pertemuan ini.” 
“Benar. Saya mendengar suara seruling ketika 
berhadapan dengan orang-orang cebol itu. Mereka 
kemudian mengundurkan diri. Lalu apa hubungannya  
Kakek Wreti Kandayun dengan mereka?” kata 
Pusparini dengan mengawasi seruling di tangan orang 
tua itu. Batang seruling itu diukir indah dan diberi 
warna merah dan kuning. Ada kuncir dan manik-
maniknya. 
“Seruling ini memang alat mengendalikan mereka 
dari jarak jauh. Jiwa mereka tak ubahnya seperti 
boneka. Tapi harap kau ketahui, Lowo Brangah yang 
menguasai semuanya. Termasuk aku di bawah 
kekuasaannya.” 
“Mengapa tidak berusaha melawan, tapi malah 
bersekutu dengan iblis itu?” tanya Pusparini. 
“Si Kendit dan si Sruti itu adalah cucu-cucuku! 
Orang tua mereka telah binasa di tangan Lowo 
Brangah. Mereka telah jadi sandera,” ujar si Kakek. 
“Enghmmm... ada sesuatu yang ingin saya 
tanyakan. Apakah Kakek Wreti tahu tentang seseorang 
bernama Ki Sudamala? Dia adalah korban penculikan 
Lowo Brangah.” 
Pusparini menanti jawaban atas pertanyaan ini. 
Tapi agaknya Kakek Wreti Kandayun enggan 
menjawab. 
“Saya tahu Lowo Brangah telah menculiknya. 
Tahukah Kakek di mana dia disekap?” tanya Pusparini 
lebih lanjut. 
Masih belum ada jawaban. Suasana hening. Sampai 
akhirnya... 
“Dia telah senasib dengan si Kendit... menjadi 
manusia kelelawar,” jawab Kakek Wreti Kandayun 
dengan suara serak. 
“Siapa saja yang dijelmakan menjadi manusia 
kelelawar?” tanya Pusparini penasaran setelah 
perasaannya terguncang karena mengetahui nasib Ki 
Sudamala. 
 
“Ada beberapa orang lain. Aku tak tahu siapa saja 
mereka,” jawab Kakek Wreti dengan tarikan napas 
berat. “Baru kemarin kuketahui bahwa Lowo Brangah 
akan menciptakan pasukan kelelawar. Dia akan 
membentuk suatu kerajaan di kaki Gunung Katong 
ini.” 
Perasaan Pusparini bergidik. Sekilas dia 
membayangkan rencana Lowo Brangah. Besar 
kemungkinan bisa terwujud kalau tidak cepat-cepat 
ditangani dengan tuntas. Dan kuncinya kini berada di 
tangan Ki Catradana, yaitu tongkat dan rapalan 
mantera dari Hindustan itu. 
“Kita tak boleh membuang waktu lagi. Tiga orang 
cebol tadi kubinasakan karena memergoki kami,” kata 
Pusparini dengan beranjak berdiri. 
“Apa? Kau telah membunuh mereka?” ucap Kakek 
Wreti seakan tak percaya tentang ucapan Pusparini. 
“Lowo Brangah pasti cepat kemari kalau ketiga 
utusannya tidak kembali lagi kepadanya.” 
“Apa yang Kakek terima dari ketiga utusan tadi?” 
tanya Pusparini dengan sikap waspada. 
“Besok bulan purnama tiba. Itu saatnya untuk 
mempertebal pamor Pedang Kelelawarnya dengan 
gosokan jantung jejaka. Korban yang akan diambil 
jantungnya tinggal seorang, yaitu jejaka bernama 
Sikatan.” 
“Sikatan? Putra Ki Braja Amparan?” ucap Pusparini 
dengan nada cemas. 
“Aku tak tahu siapa dia. Yang jelas anak muda itu 
bernama Sikatan. Menurut Lowo Brangah, kalau 
gosokan pamor ini belum juga mewujudkan Pedang 
Kelelawarnya seperti yang diharapkan, maka akan 
dilakukan penyempurnaan dengan cara lain,” Kakek 
Wreti berkata dengan pandangan sayu. Jelas ada  
tekanan batin dalam diri orang tua itu. Penderitaannya 
tak lain adalah kebengisan si Lowo Brangah. 
“Cara lain yang bagaimana?” tanya Pusparini tidak 
srantan. 
“Akan diganti dengan korban dari golongan anak 
perawan!” jawab Kakek Wreti menandaskan. 
“Benar-benar iblis laknat!” keluh Pusparini dengan 
lirih yang semakin menyadari tentang kekuatan iblis 
kian mencaplok keberadaan manusia. 
Belum tuntas sikap ini, tiba-tiba mereka dikejutkan 
oleh gema teriakan. 
“Apa itu?” Pusparini terjengah. 
“Ada yang terperosok perangkap,” jawab Sruti. 
“Orang yang tak tahu tentang liku-liku goa ini pasti 
terperosok perangkap yang nyaris kau lewati tadi.” 
“Hah? Itu pasti kawan-kawanku,” kata Pusparini 
dengan terus beranjak dari sana. 
Sruti membuntuti. Sesaat kemudian mereka tiba di 
sana. Pusparini melihat hamparan lantai goa berpasir 
yang semula rata kini terlihat mencekung seakan ada 
sesuatu yang terperosok ke dalamnya. Dan tanah 
berpasir itu dengan pelan merata kembali. 
“Hah? Jebakan macam apa ini, Sruti?” tanya 
Pusparini dengan nada cemas. 
“Jebakan undur-undur!” jawab Sruti dengan 
menyeret Pusparini untuk berlalu dari sana. “Kita 
masih bisa menolong mereka lewat terowongan lain. 
Kalau tidak terlambat!” 
Diberi gambaran semacam itu Pusparini semakin 
cepat melarikan langkahnya mengikuti Sruti. Mereka 
memasuki lorong bawah tanah. 
Udara pengap dan gelap. Tapi Sruti yang agaknya 
sering melewati tempat itu membuat langkah terasa 
lancar menerobos jalan yang ditempuh. Beberapa saat  
kemudian, mereka sampai di tempat yang dituju. 
Rongga goa di sana rupanya mengandung zat fosfor 
sehingga ada cahaya remang yang menerangi. Suatu 
keajaiban alam yang pertama dilihat oleh Pusparini. 
“Dimana mereka?” tanya Pusparini. 
Sruti tidak menjawab pertanyaan itu. Dia terus 
melangkah menuju ke arah lubang yang bergaris 
tengah sekitar satu setengah meter yang menjorok ke 
atas. Di sekitar tempat itu terdiri dari pasir. 
Terowongan tersebut menganga ke permukaan 
genangan air yang merupakan sungai bawah tanah 
berarus deras. Bisa dibayangkan, siapa yang 
kecemplung ke sana, kalau tidak sigap pasti terseret 
arus yang menghilang di tepian dinding goa. 
“Mereka pasti telah kecebur air selepas dari lorong 
itu,” kata Sruti menjelaskan. 
Apa pun yang terjadi di sana, bagi Pusparini goa itu 
penuh hal-hal yang menganehkan. 
“Ini sungai bawah tanah yang sangat deras 
arusnya,” lanjutnya. “Tak ada yang pernah selamat 
siapa pun yang tercebur ke sini.” 
“Jadi mereka telah tercebur di sini dan terseret arus 
tanpa sempat meraih tepian?” tanya Pusparini dengan 
nada ingin kepastian. “Kau pasti tahu arus ini menuju 
ke mana.” 
“Tentu saja menuju ke sungai di luar sana. Tapi 
sebelum itu, arus sungai bawah tanah ini melewati 
tempat kediaman Lowo Brangah,” jawab Sruti. 
Ini yang membuat perasaan Pusparini semakin 
terguncang. Kalau benar, berarti tamat sudah 
harapan-harapan yang diandalkan. Sruti 
memperhatikan wajah Pusparini yang tampak 
kehilangan semangat. 
“Aku tak tahu apakah mampu berjuang sendirian  
menghadapi kekuatan iblis yang menggerakkan tindak 
angkara Lowo Brangah,” keluh Pusparini. 
Dengan rasa putus asa dia mengawasi arus deras 
yang diperkirakan telah menyeret Ki Catradana, 
Jlitheng Kasongan, dan Sancaka, serta beberapa orang 
pengikut yang masih hidup sejak mereka memasuki 
Dukuh Gondolayu. 
Tengah termenung begitu, tiba-tiba perhatian 
Pusparini terseret pada butir-butir pasir yang jatuh 
dari lubang terowongan tempat lepasan genangan pasir 
yang menjadi jebakan bagi pendatang ke Goa Mulut 
Naga. Diperhatikan, butir-butir pasir yang berjatuhan 
itu semakin deras. Lalu tak terjadi lagi. 
Pusparini segera menyelidiki untuk mengetahui 
keadaan lubang terowongan. Tiba-tiba terdengar suara 
dari sana, yang nadanya sedang berupaya untuk turun 
melewati terowongan tersebut. 
“Itu suara Ki Catradana!” seru Pusparini yang 
mencoba menengok ke lubang terowongan dengan 
kemiringan hampir tegak lurus menjorok  ke atas di 
atas permukaan sungai. 
“Ki Catradana!” teriak Pusparini. “Hati-hati jangan 
tercebur ke dalam air! Sungai ini deras arusnya!” 
“Hooii...! Pusparinikah itu?” terdengar suara 
bergema dari dalam terowongan. Suara Ki Catradana. 
“Kami berhimpitan di dalam terowongan ini sejak 
terjerumus ke dalam pasir terapung ketika memasuki 
mulut goa!” 
“Hati-hati kalau merayap turun!” seru Pusparini 
dengan perasaan berdebar. Dia tak tahu bagaimana 
keadaan terowongan itu sebab letaknya persis di atas 
permukaan air yang deras arusnya. 
“Mudah-mudahan mereka bisa turun dengan 
berpegangan pada bibir batu yang agak menonjol itu,”  
katanya lirih yang ditujukan kepada Sruti. “Kita harus 
berupaya membantu mereka.” 
Pusparini melihat keadaan sekelilingnya. Tak ada 
sesuatu yang dapat dipakai untuk membantu Ki 
Catradana yang berusaha menuruni terowongan. 
Akhirnya terlihat ujung kaki yang menjulur ke luar 
terowongan. Kaki Ki Catradana, yang dengan pelan 
mencoba mencari tempat berpijak. Karena sudah 
diperingatkan oleh Pusparini, maka dengan hati-hati 
dia mencoba keluar dari sana. Terlihat kini Ki 
Catradana keluar dengan menggelantung berpegangan 
di bibir terowongan yang sebelumnya melempar 
tongkat di tangannya ke arah Pusparini. Tongkat 
berhasil ditangkap. Setelah itu dengan gaya manis, Ki 
Catradana berayun melompat ke tanah. 
Kemudian muncul lagi seseorang. Ternyata Jlitheng 
Kasongan. Dengan gerak serupa dia berhasil keluar 
dari sana. Pusparini menunggu. Tak ada lagi yang 
keluar dari sana. 
“Di mana yang lain?” tanya Pusparini. 
“Sancaka dan tiga orang lainnya tak bisa bertahan 
di terowongan itu. Mereka terus meluncur jatuh!” 
keluh Ki Catradana. 
“Oh!” hanya ini yang keluar dari bibir Pusparini. 
Bayangannya tentang Sancaka dan tiga orang anak 
buahnya yang tercebur di sungai yang berarus deras 
itu tergambar sekilas sesuai dengan keterangan yang 
diberikan Sruti. Lalu bagaimana nasib mereka kalau 
kepergok Lowo Brangah? 
Dalam kesempatan itu, kemudian Pusparini 
menceritakan kepada Ki Catradana tentang 
pertemuannya dengan Kakek Wreti Kandayun. 
Kesimpulannya kini hanya satu tindakan cepat. 
Menyerbu ke tempat Lowo Brangah sebelum yang  
bersangkutan bertindak lebih lanjut! Sruti adalah 
tenaga andalan untuk menuju tempat Lowo Brangah. 
Semua harus dilakukan dengan cermat dan hati-hati. 
Sementara mereka mulai beranjak dari sana, maka 
kegelapan malam telah semakin merayap. Di ufuk 
timur telah bertengger bulan purnama yang semakin 
merayap ke atas langit. 

*** 
 
DDEELLAAPPAANN  
 
LOWO BRANGAH tertawa terbahak-bahak. Gema 
suaranya memantul di dinding-dinding goa 
pemukimannya. Goa ini ternyata punya hubungan 
jalur dengan Goa Mulut Naga, lewat lorong rahasia. 
Tidak sembarang orang boleh ke sana kecuali orang-
orang atas seijinnya. Kalau tidak, orang harus lewat 
jalan di luar goa kalau hendak ke tempat tinggal Lowo 
Brangah yang merangkap istananya itu. Dia pun 
sudah mempersiapkan sebuah bangunan di puncak 
Goa Mulut Naga dengan latar belakang Gunung Katong 
atau Lawu. 
Ketika Lowo Brangah tertawa terbahak-bahak itu 
karena dia melihat beberapa sosok tubuh terhanyut 
oleh arus deras sungai bawah tanah yang melintas di 
Taman Sarinya. Empat orang kini dalam keadaan 
pingsan menggeletak di hadapannya setelah berhasil 
diangkat dari dalam sungai. Beberapa orang anak 
buahnya terdiri dari campuran orang cebol dan orang 
normal bertubuh jangkung, berjajar mengelilinginya. 
“Rupanya sudah ada orang luar yang berani 
klayapan kemari,” ujar Lowo Brangah. “Ikat mereka di  
ruang penyiksaan. Kebetulan malam ini saat kita 
melaksanakan upacara. Kita akan meramaikannya 
dengan ‘sate jantung’. Ha ha ha ha ha...! Sate jantung 
mereka... ha ha hah...!” 
Kemudian Lowo Brangah memberi perintah kepada 
para pengawal andalan untuk memperketat penjagaan 
di sana. 
Tempat-tempat yang selama ini luput dari 
perhatian, disebar dengan para penjaga. Dan orang-
orang cebol yang punya gerak gesit itu ditugaskan 
untuk selalu mengadakan patroli tanpa henti. 
Kelihatannya Lowo Brangah seperti menguasai 
keadaan. Tapi di hati kecilnya dia merasa khawatir 
kalau yang menyusup ke dalam sarangnya ini ada 
orang-orang yang membawa sarana penangkal iblis. 
Untuk itu dia perlu mengorek keterangan dari orang-
orang yang berhasil ditangkap. 
“Hm. Yang satu ini tampaknya aku pernah lihat. 
Tapi di mana, ya?” kata Lowo Brangah dengan 
mengawasi dengan cermat wajah Sancaka. “Ah, ya! 
Aku ingat sekarang. Desa Jumpolo! Ya, Desa Jumpolo 
tempat Ki Sudamala. Den bagus ini pernah kita kejar 
dan menghilang!” 
Sancaka dan ketiga orang lainnya telah siuman dan 
mendapati dirinya dipasung pada jepitan balok kayu 
pada kaki dan tangannya. 
“Kau pasti kerabat Ki Sudamala!” kata Lowo 
Brangah dengan menatap tajam. “Kau pasti datang 
dengan teman-temanmu yang lain. Dimana pendekar 
wanita yang memiliki Pedang Merapi Dahana itu, hah?! 
Apakah dia kemari dan klayapan untuk menyatroni 
aku?! Harap jangan mimpi. Pedang Merapi Dahana tak 
akan ada apa-apanya kalau diandalkan di sini! Saat ini 
tak ada cahaya matahari. Sedangkan ada cahaya  
matahari saja pedang itu tidak mampu 
menghancurkan Pedang Kelelawar milikku!” 
“Nasibmu sebentar lagi usai, Lowo Brangah. Kami 
berhasil menembus kemari dengan sarana kekuatan 
yang tak akan kau duga!” gertak Sancaka 
memberanikan diri walaupun dipasung dengan ketat. 
“Mereka akan membebaskan pamanku, Ki Sudamala!” 
“Bagus! Itu bagus! Kau telah mengatakan rencana 
mereka. Dan aku akan merencanakan penyambutan 
untuk mereka. Penyambutan yang hangat. Ha hah ha 
ha ha..!” ketawa nyekakak  Lowo Brangah 
berkumandang, bergema memantul ke dinding-dinding 
goa. 
Kemudian Lowo Brangah memberi isyarat. Sancaka 
menunggu apa yang bakal terjadi. Ternyata dua orang 
cebol muncul dengan menyeret tali yang mengikat 
seseorang di belakangnya. Dan orang itu tiada lain 
adalah Ki Sudamala. 
“Kumpulkan dengan mereka,” perintah Lowo 
Brangah. 
Ki Sudamala diseret dengan kasar dan dijadikan 
satu dengan kelompok Sancaka. 
“San... caka..?!” ucap Ki Sudamala lirih dengan 
semangat loyo. Tampaknya dia mendapat siksaan 
bertubi-tubi. Darah telah menghitam mewarnai 
tubuhnya di sana-sini. Kemudian muncul lagi tawanan 
lain. Dia adalah Sikatan, putra Ki Braja Amparan. 
Hanya saja tawanan yang ini tidak dikumpulkan 
dengan lain-lainnya. Dia dipisah dan diikat pada tiang 
utama yang tampaknya dipersiapkan untuk acara 
khusus. 
“Ha ha ha hah...! Tampaknya semua umpan telah 
kita pasang. Sekarang tinggal menjebak mangsa saja!” 
sumbar Lowo Brangah dengan memandangi satu- 
persatu para tawanannya. 
Akhirnya puncak penampilan adalah muncul sosok 
tubuh yang melayang dari atas rongga goa. Wanita 
kelelawar yang digelari Dewi Kelelawar! Dia 
mengepakkan sayap dengan tenang, dan meluncur 
turun bagai pesawat gantole. Tepat di hadapan Lowo 
Brangah. 
“Ooww, Dewiku..!” sapa Lowo Brangah dengan 
melangkah maju. 
Tanpa segan terhadap orang-orang di sekitarnya, 
kedua tangannya memegang pipi Dewi Kelelawar dan 
mencium keningnya, kemudian merambat ke pucuk 
hidung, dan pada klimaksnya merenggut bibir yang 
merona merah alami. Perlakuan ini disambut dengan 
dingin oleh Dewi Kelelawar, tapi justru ini yang 
membuat sikap Lowo Brangah kian beringas. Sesaat 
tindakan itu berlangsung, lalu ciuman yang bernafsu 
itu dilepaskan. Lowo Brangah menatap tajam ke arah 
mata Dewi Kelelawar. 
“Mengapa kau belum muncul pada saat upacara 
yang sebentar lagi dilaksanakan?” tanyanya kepada 
Dewi Kelelawar yang berpenampilan dingin itu. 
Tak banyak orang yang paham dengan keadaan ini 
kecuali Lowo Brangah sendiri. Seperti yang telah kita 
ketahui bahwa dalam tubuh wanita kelelawar ini ada 
dua pribadi yang bersemayam. Satu pribadi si Kendit, 
dan yang lain adalah iblis Siluman Kelelawar sendiri. 
Dengan penampilan Dewi Kelelawar yang tampak 
dingin, Lowo Brangah tahu bahwa pribadi Kendit yang 
tampil disini. 
“Baik! Aku mengerti. Kau tak menghendaki laki-laki 
bernama Ki Sudamala itu dikembalikan ke dalam 
bentuk asalnya. Beberapa hari lalu dia telah kau seret 
menjadi makhluk jenismu, yakni manusia kelelawar. 
 
Harap kau tahu, malam ini aku menghendaki dia 
dalam wujud aslinya. Menjadi manusia Ki Sudamala 
yang utuh! Dia akan kupergunakan untuk memancing 
mangsa. Ada pihak yang telah menyusup kemari 
untuk menghancurkan kita...!” kata-kata Lowo 
Brangah ini diucapkan dengan nada sabar dan kasih 
sayang, seakan memberi pengertian kepada orang yang 
paling dia cintai. “Aku tahu kau menyukai laki-laki 
bernama Ki Sudamala itu. Laki-laki macam dia 
ternyata idamanmu. Perawakannya yang lebih tinggi 
dariku itu yang mungkin kau sukai. Hidungnya 
mancung lagi. Semua penampilannya mencerminkan 
pemuas birahi untuk kaum betina!” kata Lowo 
Brangah melanjutkan wawasannya. “Aku tidak 
cemburu. Akan kupersilakan kau bercinta dengan dia 
seperti sewaktu Ki Sudamala kita ubah wujudnya 
menjadi manusia kelelawar, dan kalian menggalang 
cinta yang penuh gejolak nafsu birahi. Tapi setelah 
malam ini! Rupanya nafsu-nafsumu terpuaskan 
olehnya bukan?” 
Kata-kata Lowo Brangah terhenti lagi. Dia menanti 
reaksi ucapannya yang ditujukan kepada Iblis Siluman 
Kelelawar yang saat ini masih belum muncul dalam 
penampilan lewat Dewi Kelelawar. 
Di lain pihak, Sancaka yang mendengar omongan 
Lowo Brangah, sempat bergidik perasaannya karena 
tahu apa yang telah menimpa diri pamannya. Tak 
kurang sedihnya adalah Ki Sudamala sendiri. 
Omongan Lowo Brangah membuatnya merasa menjadi 
manusia yang tak berharga lagi. Dia dibuat semacam 
boneka untuk melampiaskan nafsu iblis Siluman 
Kelelawar. Dan itu mungkin akan berlanjut lagi...! 
Tengah hening beberapa saat ini, tiba-tiba perangai 
Dewi Kelelawar berubah. Dia tampak beringas. Terlihat  
lewat tanda pada penampilan matanya yang semula 
seperti manusia biasa, kini berubah seperti orang sakit 
mata. Merah! Sedangkan bulatan hitamnya kian 
mengecil sehingga tampak bengis. Itupun disusul lagi 
dengan taring yang mencuat,  dan tampak sewaktu 
menyeringai. 
“Aku telah datang Lowo Brangah!” 
Suara tawa Lowo Brangah berkumandang 
keriangan. “Aku tahu kau telah datang, Dewiku! Kau 
harus belajar mengendapkan perangai ngambekmu 
dalam menghadapi masalah semacam ini. Itu namanya 
muslihat, sebab lawan lawan-kita cukup cerdik untuk 
mengalahkan kita.” 
“Bulan purnama hampir tinggi. Kini lakukan 
tugasmu,” kata Dewi Kelelawar. 
Lowo Brangah terlihat bersemangat menanggapi 
ucapan Dewi Kelelawar. Dia melangkah menuju ke 
arah tawanannya yang terikat di tiang utama. Di sana 
terikat seorang pemuda bernama Sikatan. 
“Malam ini adalah giliranmu, Den Bagus! Relakan 
jantungmu untuk kuambil demi keampuhan 
pedangku. Pedang Kelelawar!” kata Lowo Brangah 
dengan napas kembang kempis menahan kegembiraan 
yang meluap. 
Lowo Brangah menandai dada Sikatan dengan 
goresan kukunya dengan tanda silang, tepat di arah 
jantungnya. Goresan kuku tersebut mengeluarkan 
darah merah segar. 
Darah ini menimbulkan selera Dewi Kelelawar. Dia 
terlihat menyeringai beringas. Seperti upacara-upacara 
terdahulu, rentetan adegan ini akan diikuti dengan 
terbangnya Dewi Kelelawar berputar-putar di rongga 
ruangan goa itu dengan tujuh kali putaran. Kemudian 
dia akan turun di hadapan korbannya yang terikat di  
tiang utama. Lalu dengan gerak pancingan yang lemah 
gemulai, dia akan membangkitkan birahi jejaka 
tersebut. Kemudian dengan tegak mereka berdua akan 
bermain cinta. Pada puncaknya, maka tangan Dewi 
Kelelawar akan menghunjam ke dada korbannya 
untuk diambil jantungnya...! Itulah yang akan terjadi 
pada Sikatan malam ini! 
Sikatan sendiri berdebar menanti peristiwa yang 
bakal dialami. Dia sudah pasrah, bahwa ajalnya akan 
tiba dengan cara yang mengerikan, menjadi tumbal 
upacara. 
Peristiwa yang akan dialami sudah pernah 
disaksikan sewaktu Lowo Brangah mengadakan 
upacara serupa sebelum dirinya sekarang ini. Hanya 
saja waktu itu tidak bertepatan dengan saat bulan 
purnama. Lowo Brangah melaksanakan setelah tidak 
mampu menandingi pedang milik Pusparini alias Walet 
Emas. Sekedar untuk menangkal kesialan yang baru 
dialami. 
Sikatan kini melihat Dewi Kelelawar telah turun di 
hadapannya setelah berputar-putar di udara. Pada 
tahap kedua, perwujudan siluman kelelawar itu akan 
merangsang birahinya. Tangan Dewi Kelelawar mulai 
beraksi. Rabaan yang sensual menggrayangi seluruh 
tubuhnya yang hanya selembar kain menutupi 
auratnya. Darah yang meleleh di dadanya akibat 
goresan kuku Lowo Brangah dijilati oleh Dewi 
Kelelawar dengan permainan lidahnya yang 
menggelitik. 
Sikatan hanya memejamkan mata. Napasnya mulai 
berpacu. Bagaimanapun usahanya untuk mengalihkan 
perhatian dari tindakan Dewi Kelelawar yang liar ini, 
ternyata tak berhasil. Sikatan kini benar-benar terseret 
arus. Dia membiarkan dirinya jadi bulan-bulanan  
birahi makhluk iblis itu. 
Para tawanan tak ada yang tahan melihat peristiwa 
ini. Mereka berpaling sambil memejamkan mata. Ki 
Sudamala menitikkan air matanya. Sancaka bergidik 
ngeri. Dia membayangkan akan mengalami nasib 
serupa. Tempat itu dirasa sebagai neraka kengerian...! 
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar jeritan Dewi 
Kelelawar. Jeritan yang nyaring. Lowo Brangah 
tersenyum. Perangai seperti itu biasanya Dewi 
Kelelawar mengalami kepuasan puncak. 
Tapi rupanya Lowo Brangah terpedaya! 
Itu bukan jeritan kepuasan puncak. Tapi jeritan 
kesakitan. Jeritan ini disusul  raungan bagai suara 
seribu serigala bergema dalam goa itu. Dewi Kelelawar 
menggeliat dan terpental dari hadapan Sikatan. 
Lowo Brangah mengumbar mata ke sekelilingnya. 
Dia mencari penyebab peristiwa itu. Ada sesuatu yang 
telah menggagalkan upacara yang sedang 
dilaksanakan. 
“Jahanam! Kita kebobolan!” seru Lowo Brangah. Dia 
merasakan pula adanya hawa yang menyelinap dalam 
raungan itu. Hawa perbawa yang tersalur dari luar 
untuk mengalahkan kekuatan magisnya. 
“Cari siapa pun yang menyelinap kemari!” 
Serentak segenap anak buahnya menyebar sesuai 
dengan perintah. Belum jauh mereka bergerak, maka 
Pusparini dengan Pedang Merapi Dahananya telah 
melesat menerjang mereka. 
Pusparini, Ki Catradana, Jlitheng Kasongan dan 
Sruti tampil dengan semangat meluap. 
“Jadi kalian, hah?!” seru Lowo Brangah. 
Pusparini didampingi Jlitheng Kasongan segera 
melabrak ke arah lawan yang berbondong-bondong ke 
arahnya. Lawan mereka terdiri dari orang cebol dan  
jangkung. Sedangkan Ki Catradana didampingi Sruti 
mencari peluang untuk mendekati para tawanan. Tapi 
niat mereka tidak bisa berjalan dengan mulus. Banyak 
lawan menghadang jalanan. 
“Aku akan melakukan dari sini saja,” kata Ki 
Catradana, sementara Sruti membentengi agar tidak 
ada lawan yang mendekati. 
Ki Catradana membuka lembaran mantera yang 
tertulis di kulit sapi, sedangkan tongkat logam itu 
dibawa oleh Sruti. Dengan senjata ini Sruti menghalau 
lawan-lawannya. Memang ada semacam daya aneh 
dari tongkat logam tersebut. Dengan tebasan tongkat 
itu banyak lawan mampu disingkirkan. 
Sementara itu Dewi Kelelawar yang semula 
terjerembab karena kekuatan aneh, mulai berusaha 
bangkit dari tempatnya. Sedangkan Lowo Brangah 
dengan langkah gontai mencari sumber petaka yang 
membuat dirinya kehilangan tenaga. Dan akhirnya 
mata Lowo Brangah melihat tongkat  di tangan Sruti. 
Inderanya segera memantau kekuatan yang terpancar 
dari tongkat tersebut. 
“Tongkat itu... seperti yang kulihat dalam mimpi, 
harus kuhancurkan,” gumam Lowo Brangah dengan 
suara tertahan. “Dewi Kelelawar, himpun kekuatanmu 
untuk merampas tongkat itu...!” 
Suara itu memang tak begitu keras terdengar, 
apalagi suara hiruk-pikuk keributan baku hantam dari 
anak buah Lowo Brangah yang mengeroyok Pusparini 
dan Jlitheng Kasongan. Tapi seruan Lowo Brangah 
mempunyai jalur khusus yang hanya bisa didengar 
oleh Dewi Kelelawar. 
Mendengar seruan ini, maka Dewi Kelelawar 
mempertajam matanya. Mata itu tiba-tiba bagaikan 
menyimpan bara api di dalamnya. Terlihat menyala. 
 
Itu adalah pancaran tenaga dalam yang ditujukan ke 
arah sasaran. Dan sasarannya adalah Sruti! 
Sruti sendiri baru sadar bahwa ada kekuatan aneh 
yang seolah membisikkan agar dia menyerahkan 
tongkat itu. Sruti telah tersihir! Maka dengan langkah 
pelan dia menuju ke arah Dewi Kelelawar berada...! 
Hal itu tentu saja sangat mengejutkan Ki Catradana 
yang sedang merapal mantera berdasar tulisan-tulisan 
yang tertera di atas kulit sapi. Rapalannya terhenti dan 
kini harus bertindak menghadapi lawan-lawan yang 
mulai mengeroyoknya. Agak kuwalahan dia. 
Dan para pengroyok itu rupanya tahu apa yang 
harus didapatkan dari Ki Catradana. Mereka 
mengincar tulisan mantera tersebut. Jelas semua telah 
terperintah dari satu sumber. Yang tiada lain dari Lowo 
Brangah yang berada di puncak patung batu 
berbentuk kepala kelelawar yang diukir dengan wujud 
menyeringai ganas. Di sini Lowo Brangah duduk 
bersila dengan sikap semedi. 
Kalau diamati dengan teliti selama dia berada di 
tempat itu untuk mengendalikan semua anak buahnya 
lewat jalan pikiran, maka terjadi perubahan pada 
jasmaninya. Sekujur tubuhnya dengan pelan telah 
ditumbuhi  bulu-bulu halus. Lalu wajahnya mulai 
berubah pula. Telinganya tumbuh lebih lebar, seperti 
telinga kelelawar...! 
Sementara Pusparini alias Walet Emas dengan 
semangat meluap tak memberi kesempatan pada 
lawan-lawannya untuk mempertahankan diri. Keadaan 
di sana tidak memungkinkan berpikir memberi 
pertimbangan tentang belas kasihan. Sebab disadari, 
dia berhadapan dengan kekuatan iblis. Dan iblis tak 
pernah kompromi! 
Akhirnya dari sepak terjang Pusparini dan Jlitheng  
Kasongan telah dua pertiga kekuatan anak buah Lowo 
Brangah berhasil dilumpuhkan. Dan kekuatan di 
pihak Pusparini bertambah ketika Jlitheng Kasongan 
berhasil membebaskan para tawanan, kecuali Sikatan 
yang masih terikat di tiang utama. Pemuda ini sulit 
didekati karena Dewi Kelelawar berada tak jauh 
darinya. 
Terlihat dalam kesempatan ini Dewi Kelelawar 
masih disibukkan mencoba mempengaruhi dengan 
kekuatan sihirnya terhadap Sruti yang membawa 
tongkat logam tersebut. Sruti semakin dekat dengan 
Dewi Kelelawar. Makhluk jelmaan iblis ini merasa 
yakin akan dapat merebut tongkat yang diincar dari 
tangan Sruti. 
Ketika tangannya akan menjangkau tongkat 
tersebut, tiba-tiba dadanya terasa sesak dibarengi 
dengan tubuhnya yang menggeliat dan roboh ke 
samping. Itu karena sebuah tendangan. Dan pembuat 
kegagalannya untuk  meraih tongkat tersebut adalah 
Pusparini. 
Dewi Kelelawar menyeringai bengis. Matanya tertuju 
ke arah lawan yang baru saja mengecohnya dengan 
tendangan. Pusparini berhasil membebaskan pengaruh 
sihir yang membelenggu Sruti. 
“Jauhi dia!” seru Pusparini kepada Sruti. 
Sruti menghindari Dewi Kelelawar yang berusaha 
bertindak merebut tongkat tersebut. Tapi agaknya 
Sruti kurang cepat bertindak. Tongkat berhasil 
terpegang ujungnya oleh Dewi Kelelawar. Terjadi tarik-
menarik sebentar. 
Mendadak tubuh Sruti terangkat ke atas. Hal itu 
karena Dewi Kelelawar menarik tongkat dengan gerak 
melambung ke atas. Dia terbang. Dalam keadaan 
tergantung Sruti berusaha mempertahankan diri. 
 
Sedangkan Pusparini tak sempat bertindak menolong 
karena harus menghadapi lawan yang tiba-tiba 
menyerang dirinya. 
Setelah lawan ini berhasil dibereskan, Pusparini 
segera bertindak untuk membantu Sruti. Dia mencari 
peluang untuk bisa menjebak Dewi Kelelawar. 
Akhirnya peluang untuk itu didapatinya. Dia harus 
melesat ke atas sana dengan berpijak pada tonjolan 
dinding-dinding goa. Dengan gerak beranting Pusparini 
dapat memperoleh peluang yang dikehendaki. Dia 
berhasil melesat ke arah Dewi Kelelawar. Dengan 
pedang terhunus maka ditebasnya sayap Siluman 
Kelelawar itu. 
Shrrakkh!!! 
Maka sayap itu terbelah. 
Karena peluang di udara masih memungkinkan 
bertindak lagi, maka tebasan kedua membabat tangan 
yang memegangi ujung tongkat tersebut. 
Chraassh!!! 
Tangan Dewi Kelelawar terpenggal. Semua 
berlangsung cepat sekali dan sulit diikuti mata. Yang 
terlihat hanya gerakan Dewi Kelelawar menjadi oleng 
disertai jeritannya yang menggema. Sruti terpelanting, 
tapi berhasil mempertahankan tongkat itu. Tubuh 
Dewi Kelelawar terhempas ke bawah! 
Lowo Brangah njenggirat  kaget. Pandangannya 
diarahkan kepada tubuh Dewi Kelelawar yang luka 
parah di bawah sana. Tanpa membuang waktu dia 
segera bertindak. Raut wajahnya yang telah ditumbuhi 
bulu-bulu itu menyeringai bengis. Dengan mencabut 
pedangnya dia melesat memburu Sruti. 
Untunglah hal ini sempat dilihat Pusparini. 
Pendekar Walet Emas ini melesat untuk membendung 
gerak Lowo Brangah. Terjadi benturan dan itu  
merupakan beradunya Pedang Merapi Dahana dengan 
Pedang Kelelawar. Bunga-bunga api berpijar dari dua 
senjata yang saling beradu. Kini perhatian Lowo 
Brangah tersita untuk meladeni Pusparini. 
Perang tanding kedua tokoh ini memporak-
porandakan apapun yang berada di sana. Semua 
menyingkir menghindar. Ada kalanya anak buah Lowo 
Brangah mencoba membokong Pusparini. Tapi dengan 
tangkas Pendekar Walet Emas ini berhasil menindak si 
pembokong.  Untuk memberi pelajaran pada 
pembokong yang lain, sengaja Pusparini memberi 
perlawanan dengan menebas leher lawan sehingga 
kepala mereka terpental dari tubuhnya. Sungguh 
mengerikan. Nilai perikemanusiaan telah sirna. 
Keadaan telah membuat Pusparini terseret kekejaman 
tanpa ampun. Sebab kalau tidak begitu, maka dirinya 
yang akan menjadi korban. 
Dalam kekacauan itu Dewi Kelelawar mencoba 
menghimpun tenaganya. Tapi tindakan itu kiranya 
akan sulit dilakukan. Sebab dia melihat seseorang 
telah datang ke arahnya. Orang itu tiada lain adalah Ki 
Sudamala yang di tangannya terpegang tongkat logam. 
Semua telah terjadi peralihan dengan cepat. 
Ki Sudamala kini yang tampil setelah tongkat itu 
oleh Sruti diberikan kepadanya. Bukan itu saja. 
Lembaran mantera yang sejak semula berada di 
tangan Ki Catradana, kini telah diberikan kepada Ki 
Sudamala...! 
“Hanya aku yang tahu bagaimana mempergunakan 
perpaduan senjata ini!” kata Ki Sudamala ditujukan 
kepada Dewi Kelelawar yang berusaha menghindar. 
Tapi rasanya otot-ototnya lunglai  tak berdaya untuk 
bergerak. 
“Tidak! Ampuni akuuu...!” terdengar suara Dewi  
Kelelawar meratap. 
“Musafir dari tanah Hindustan itu berasal dari 
Kerajaan Karnataka. Dia datang sampai ke Jawadwipa 
ini hanya untuk mengejarmu. Kau iblis Siluman 
Kelelawar telah menimbulkan malapetaka di sana. 
Sayang musafir itu meninggal karena sakit ketika aku 
menjumpainya. Dan tongkat logam beserta rapalan 
mantera yang ditulis di kulit sapi itu diberikan 
kepadaku. Kini aku mengambil alih tugasnya...!” kata 
Ki Sudamala dengan penuh wibawa. Luka-luka di 
tubuhnya tak dihiraukan lagi. Rasanya dia mendapat 
kekuatan dengan memegang senjata ampuh yang 
selama ini diincar oleh Lowo Brangah. Tentu saja 
untuk dihancurkan atas perintah Siluman Kelelawar 
yang perwujudannya menjadi Dewi Kelelawar. 
Bagaimana rahasia perpaduan tongkat logam dan 
tulisan mantera pada kulit sapi itu? Sebelum Ki 
Sudamala tampil untuk memerangi Dewi Kelelawar, 
dia telah memadukan dua benda itu agar 
menimbulkan kekuatan ampuh. Semua itu berkat 
rahasia yang telah dibeberkan oleh musafir Hindustan. 
Ternyata tongkat logam itu berongga dan di dalamnya 
terdapat air. Konon air itu diambil dari kuil suci di 
Kerajaan Karnataka. Kemudian kulit sapi bertuliskan 
mantera tersebut dimasukkan ke dalam rongga 
tongkat yang berisi air suci. Lalu terjadi proses kimiawi 
kekuatan alam yang tak akan bisa dipecahkan oleh 
nalar manusia. Di dalam rongga tongkat itu, kulit sapi 
tersebut lebur larut jadi satu. Dan anehnya, ketika 
tutup tongkat itu dipasang kembali, maka di ujung 
tongkat satunya mencuat sebilah benda runcing. 
Benda itu mencuat sekitar empat jengkal dan 
bertuliskan mantera-mantera yang terukir. Itulah 
senjata yang ditakuti Siluman Kelelawar yang  
bertahun-tahun meloloskan diri dari kawasan 
Kerajaan Karnataka di Hindustan Selatan. 
“Sekarang terimalah ajalmu!” seru Ki Sudamala 
dengan mengarahkan ujung tongkat yang runcing itu. 
Dan... 
“Aahhh...!” 
Suara ini bukan dari jeritan Dewi Kelelawar, tapi 
dari mulut Ki Sudamala sendiri. Kiranya dia lengah. 
Sewaktu mengancam Dewi Kelelawar, maka tangan 
wanita siluman ini berhasil menjangkau sebilah golok 
di sampingnya dengan tangannya yang masih utuh. 
Pedang tersebut dilempar ke arah Ki Sudamala dan 
menancap di dada. Tapi dengan menahan rasa sakit, 
Ki Sudamala masih berusaha untuk melanjutkan 
tugasnya. 
Semua memang tidak semudah yang dibayangkan 
walaupun tinggal melancarkan serangan satu jurus 
saja untuk membinasakan Dewi Kelelawar. Ternyata 
Lowo Brangah yang sedang terlibat perang tanding 
dengan Pusparini berhasil meninggalkan gelanggang 
untuk menolong Dewi Kelelawar. Dia melesat untuk 
merebut tongkat itu di tangan Ki Sudamala yang 
terlihat gontai karena serangan lawan yang tak 
terduga. Tinggal satu depa lagi Lowo Brangah di 
pastikan bisa merebut tongkat itu. 
Tapi mendadak tubuh Lowo Brangah njenggirat 
meliuk ke belakang dengan meledakkan jeritan. Hal itu 
karena sebuah pedang telah meluncur dan menancap 
di punggungnya, dan tembus dada tepat pada 
jantungnya. Ternyata Pedang Merapi Dahana milik 
Walet Emas berhasil mengirim nyawa Lowo Brangah ke 
akherat! Tubuh Lowo Brangah terjerembab ke bawah. 
Kesempatan yang serba cepat ini maunya 
dipergunakan oleh Dewi Kelelawar untuk menjauhi Ki  
Sudamala yang tampaknya bertahan untuk 
membunuhnya. Dewi Kelelawar mencoba berkelit 
melesat sekuat tenaga. Tapi hal itu tak berhasil karena 
kaki Ki Sudamala dengan cepat menginjak sayapnya. 
Gerak Dewi Kelelawar tersendat, dan kesempatan ini 
tidak disia-siakan oleh Ki Sudamala. Dengan cepat dia 
menghunjamkan ujung tongkatnya ke dada lawan! 
Jhheebbh!!! 
Darah muncrat. Jeritan Dewi  Kelelawar 
berkumandang memekakkan telinga. Ujung tongkat 
yang runcing itu amblas menembus jantung, dan kian 
tertanam di sana karena dibebani berat badan Ki 
Sudamala yang juga ambruk. Dia tewas pada puncak 
tugasnya. Dewi Kelelawar tak bergerak lagi setelah 
meregang nyawa dengan gerak sekarat. 
Semua itu disaksikan oleh mereka yang masih 
hidup. Mereka tercekam rasa ngeri. Apalagi ketika 
dilihatnya tubuh Dewi Kelelawar itu berangsur-angsur 
membusuk di bawah tindihan badan Ki Sudamala. 
Dan yang lebih mengherankan adalah munculnya 
cahaya hijau dari kepala Dewi Kelelawar yang berubah 
menjadi tengkorak itu. Cahaya tersebut melesat keluar 
dan berputar-putar dalam rongga goa diikuti dengan 
terdengarnya suara tawa nyekakak. Suara Siluman 
Iblis Kelelawar yang tanpa wujud badan kasar...! 
Sekejap setelah peristiwa itu terjadi getaran dalam 
goa tersebut. 
“Gempa!!!” seru Pusparini dengan cemas. Dia tahu 
Siluman Iblis Kelelawar itu akan mengadakan 
pembalasan dengan cara lain. “Cepat tinggalkan 
tempat ini...!” 
Semua orang berlarian keluar. Pusparini masih 
sempat melepaskan Sikatan yang ketika itu tetap 
terikat di tiang utama tempat upacara. Lalu keduanya  
mengikuti jejak orang-orang yang telah terlebih dulu 
keluar dari sana. 
Suara gemuruh kian dahsyat. Seakan-akan Gunung 
Katong sendiri yang akan meletus, padahal gunung itu 
sudah bertahun-tahun sudah lelap ‘tidur’. 
Mereka semua dengan selamat telah sampai di luar 
goa. Goa tempat pemukiman Lowo Brangah telah 
runtuh. Semua hancur lebur. 

***
 
Dengan peristiwa itu maka tuntas sudah peristiwa 
yang bersumber dari keganasan Siluman Iblis 
Kelelawar yang konon datang melarikan diri dari 
Hindustan dan berhasil bersekutu dengan Lowo 
Brangah, seorang tokoh hitam yang mengidamkan 
pedang ampuh. 
“Saya ikut berduka atas meninggalnya Kendit,” kata 
Pusparini kepada Kakek Wreti Kandayun. Kendit, 
mbakyunya Sruti, telah jadi korban dalam penjelmaan 
menjadi perwujudan Dewi Kelelawar. 
“Setiap perjuangan pasti ada korban. Aku rela atas 
kepergiannya,” ujar orang tua itu. 
“Kami akan membangun Pedukuhan Gondolayu 
lagi. Para penduduk laki-lakinya selama ini 
bersembunyi ke tempat lain karena ancaman 
keselamatan dari Lowo Brangah. Aku yakin mereka 
akan kembali lagi kemari.” 
“Kalau begitu... Sruti sudah bersuami?” tanya 
Pusparini karena dia teringat hubungan Sruti dengan 
Jlitheng Kasongan. 
“Suami si Sruti telah tewas karena kekejaman Lowo 
Brangah. Mengapa kau tanyakan hal itu?” jawab 
Kakek Wreti sambil berjalan di samping Pusparini. 
Mereka menyaksikan penduduk Gondolayu  
membenahi rumah masing-masing yang tak pernah 
terurus karena dicekam ketakutan selama kekuasaan 
Lowo Brangah. 
Kakek Wreti Kandayun segera mengerti maksud 
pertanyaan Pusparini tadi. Pandangannya terpaku 
pada Sruti dan Jlitheng Kasongan yang tampak rukun 
membenahi pekarangan rumah. 
“Jlitheng Kasongan telah memutuskan untuk 
tinggal disini,” kata Pusparini. “Dia memang bekas 
seorang begal. Tapi saya yakin dengan keberadaan 
Sruti di sampingnya akan merubah pandangan 
hidupnya.” 
“Aku mengerti. Mudah-Mudahan Sruti dapat 
memperoleh harapannya kembali,” ujar orang tua itu. 

*** 

Hari berikutnya, terjadilah perpisahan itu. 
Pusparini, Ki Catradana, Sikatan dan Sancaka serta 
dua orang pengikut yang selamat, kembali ke 
Wonoboyo. Tak ada peristiwa penting lagi yang bisa 
diceritakan di sini. Yang jelas Pusparini tak bisa 
ditahan lagi dengan niatnya yang melanjutkan 
perjalanan menurut sepembawa kakinya. 
“Apakah kita bisa berjumpa lagi?” tanya Sancaka 
yang harus tinggal di Jumpolo mewarisi peninggalan 
pamannya. 
“Rasanya sulit. Untuk sementara ini aku tak ingin 
terpaku pada  suatu tempat. Petualanganku hanya 
untuk melupakan semua keluargaku yang telah 
binasa. Justru setiap kejahatan itu yang harus 
kuperangi...!” kata Pusparini dengan menghentakkan 
tali kekang kudanya menuju arah timur. 
Sancaka mengawasinya sampai gadis berkemben 
kuning itu lenyap dari pandangan. 
 
“Aku tak akan melupakanmu, Walet Emas,” bisik 
Sancaka. 
 
SELESAI