Walet Emas 6 - Nyi wungkuk dari Bendo Growong

SSAATTUU  
 
Jalanan becek membuat Pusparini alias Walet Emas 
mengendalikan lari kudanya dengan hati-hati. Hujan 
baru saja reda. Dalam gerimis lembut dia nekad untuk 
melanjutkan perjalanan. Tapi ketika gerimis itu men-
jelma menjadi butiran air hujan sebesar jagung, dia 
memutuskan untuk mencari tempat berteduh. 
“Tak kulihat sebuah pondok pun. Apalagi gubug,” 
pikirnya sambil terus memacu lari kudanya. 
Dan di saat itulah tiba-tiba sekilat lidah petir me-
nyambar pohon di depan sana. Pohon itu langsung 
tumbang. Pusparini yang ketika terdengar ledakan pe-
tir tak jauh darinya, langsung terpental dari kuda. Un-
tung dia seorang pendekar. Kalau tidak, nasibnya jadi 
lain. Dalam suasana limbung di udara, dia berhasil 
menapakkan kakinya di tanah. 
Tapi baru saja hal itu terjadi, inderanya segera me-
nangkap bahaya lain. Ternyata pohon yang disambar 
petir itu tumbang. Batangnya terlihat nyata roboh ke 
arah tempat Pusparini berada. Satu-satunya cara un-
tuk menghindar cuma segera melesat dari sana. Tapi 
karena semuanya serba dadakan dalam suasana ribut, 
maka gerakannya sulit memperhitungkan keadaan se-
kelilingnya. Ikat pinggangnya yang berbentuk selen-
dang kuning tersangkut pada dahan pohon di mana 
dia menjatuhkan diri, dan ini mengakibatkan tubuh-
nya tersendat. Karena hal inilah dirinya merasa bagai-
kan ditarik oleh kekuatan besar sehingga terpelanting 
ke arah yang tidak diperhitungkan. 
“Ah!” hanya ini yang keluar dari mulutnya mengiri-
ngi hempasan tubuhnya yang melanda batu besar. Se-
benarnya Pusparini masih bisa untuk bangkit, tapi dia  
terlalu payah. Dia sengaja untuk berbaring di sana, 
sementara air hujan terus mengguyur tubuhnya...! 

*** 

Suara ringkik kudanya membangunkan Pusparini 
dari tidurnya. Hujan telah lama reda. Bahkan telah 
kemarin redanya. Saat ini suasananya pagi hari. Dia 
mencoba mengingat peristiwa yang telah terjadi. Lalu 
dia bangkit dan menghampiri kudanya. Beruntung se-
kali kuda itu telah jinak terhadapnya. Boleh dikata su-
dah seperti majikan dan hambanya. 
“Aku harus mandi dulu. Apakah kau melihat sungai 
atau mata air dekat-dekat sini?” kata Pusparini kepa-
danya kudanya yang biasa diajak berdialog di saat-saat 
sepi. 
Tentu saja kuda itu tak mengerti dengan maksud 
ucapan tuannya. Pengertiannya hanya terbatas pada 
hal-hal tertentu yang menyangkut gerak, datang, pergi, 
istirahat, merumput. Tapi entah bagaimana, saat itu 
sepertinya si kuda mengerti apa yang diharapkan Pus-
parini, lalu berjalan pelan seolah memberi isyarat ke-
pada tuannya. 
“Hei, ke mana? Kau tahu di sana ada sungai?” kata 
Pusparini dengan mengikuti langkah kaki kudanya. 
Pandangan Pusparini segera mengarah kepada tempat 
yang semakin landai, dan diperkirakan ada sungai di 
sana. 
“Hm, kau benar-benar jeli. Walaupun baru hujan, 
sungai itu tetap jernih. Jelas kawasan ini jauh dari 
pemukiman penduduk. Biasanya kalau sebuah sungai 
terlihat kotor, pasti dekat dengan pemukiman pede-
saan,” kata Pusparini sambil terus menuruni tempat 
menuju sungai di depannya. 
Tapi baru saja dia meneliti mencari tempat di mana  
sebaiknya menanggalkan pakaiannya, mendadak ter-
dengar langkah-langkah mendekat ke tempat itu. 
Langkah kaki yang terseret, terdengar tergesa-gesa. 
Pusparini mendapat firasat ada sesuatu yang tidak 
beres dengan kehadiran langkah kaki itu. 
Benar saja. Sesaat kemudian terlihat seseorang 
yang luka parah berpapasan dengannya. Orang itu 
terperangah kaget. 
“Oh, bukan aku! Bukan aku yang melakukan. 
Sungguh. Ampuni aku...!” terdengar ucapan laki-laki 
itu dengan nada ketakutan. 
“Hei! Apa yang kaukatakan itu? Aku tak tahu apa-
apa!” jawab Pusparini. 
“Aahh!” terdengar jeritan orang itu karena tiba-tiba 
punggungnya dihunjam oleh sebilah cundrik, keris ke-
cil, dan langsung roboh. 
Untung Pusparini cepat menyangga tubuh orang 
itu. Kalau tidak, tubuh itu akan meluncur ke sungai. 
Belum sempat Pusparini memeriksa dari mana da-
tangnya lemparan cundrik tersebut, muncullah bebe-
rapa orang dengan tampang angker. Melihat pakaian-
nya, mereka jelas dari kelompok orang berpengaruh di 
wilayah itu. 
“Seperti katamu yang kudengar, sebaiknya kau tak 
tahu apa-apa,” kata seseorang yang terlihat sebagai si 
pelempar cundrik, sebagai pula pemimpin dari orang-
orang itu. 
Pusparini cepat mengambil kesimpulan bahwa diri-
nya merupakan saksi hidup dalam peristiwa itu. Kalau 
orang-orang itu tidak menghendaki adanya saksi, pasti 
mereka akan menindaknya. Kasarnya, membunuhnya! 
Dan itu segera terjadi kalau Pusparini tidak waspa-
da. Gebrakan Pusparini segera melanda orang-orang 
itu ketika dilihatnya beberapa di antara mereka akan  
menindaknya. Beberapa orang di antaranya mencelat 
sambil menebah dada ketika dilanda tangan dan siku 
pendekar bergelar Walet Emas ini. 
“Edan! Sudah kukatakan. Jangan meremehkan pa-
ras wanita ayu!” seru pentolan mereka yang berkumis 
seperti rambut jagung. 
Anak buahnya yang lain segera bertindak memban-
tu mereka yang blingsatan kesakitan. Tapi ini pun se-
tali tiga uang, alias sama! Masing-masing muntah da-
rah ketika Pusparini menghajar dada mereka. 
“Tunggu! Aku harus tahu urusannya sebelum aku 
bertindak lebih ganas lagi!” ancam Pusparini dengan 
ketus. 
Pemimpin mereka tampil ke depan. “Kau saksi! Se-
tiap saksi hidup harus mati!” 
Seakhir dengan ucapan itu dia melompat dengan 
garang. Sebagai pimpinan dia menganggap harus di 
atas anak buahnya dalam segala tindakan. Termasuk 
dalam menangani masalah ini. Maunya pamer, tapi 
apa mau dikata. Tubuhnya yang banyak muat lemak 
itu tak dapat mulus menghajar Pusparini. Perutnya 
kena hajar, ditambah hantaman pada dagu, komplit 
sudah untuk mengirim orang itu ke arah sungai. 
Senyuman Pusparini yang masam membuat keder 
orang-orang lain. Sangkanya Pusparini akan mengam-
bil tindakan terhadap mereka. Ternyata tidak. 
“Cepat kalian pergi dari sini. Dan angkat orang yang 
kalian bunuh itu dari sini. Kalau membangkang, isi 
perut kalian akan kujadikan makanan ikan di sungai 
itu!” ancam Pusparini sambil melirik pentolan orang-
orang itu yang dengan susah payah naik ke daratan. 
Kemudian dengan pandangan memendam kebencian, 
dia memerintahkan orang-orangnya meninggalkan 
tempat itu dengan membawa korbannya. 
 
“Kau akan merasakan balasan dari tindakan ini!” 
ancam orang itu. 
“Mengancam? Itu bukan pertama kali aku harus 
berhadapan dengan orang seperti dirimu. Biasanya ka-
lian akan muncul lagi dengan membawa jago yang le-
bih bandot,” sumbar Pusparini dengan mengawasi ke-
pergian orang-orang itu. 
“Hm. Pagi-pagi sudah sarapan melihat mayat dan 
menghajar orang,” pikirnya sambil terus memper-
siapkan mandi. 
Pusparini melepas pakaiannya. Rupanya kekejaman 
seperti itu bukan barang baru baginya. Hidupnya me-
mang diwarnai kekejaman. Semburan darah, otak ber-
ceceran, tulang-belulang manusia, semua tak asing la-
gi kalau harus berhadapan dengan hal-hal seperti itu. 
Air sungai yang dingin segera menciumi tubuhnya 
yang bugil. Ah, enaknya jadi air sungai. Zat ini dengan 
bebas menggumuli lekuk-lekuk tubuhnya. 
Pusparini membiarkan tubuhnya hanyut untuk be-
berapa saat. Kemudian dia berenang. Semua dilaku-
kan dengan perasaan ayem. Dia tidak khawatir kalau 
ada orang yang lewat di sana. Bahkan tidak cemas 
apabila kelompok orang-orang tadi datang lagi. Toh ka-
lau mereka datang lagi, tidak akan secepat itu. Daerah 
itu diperkirakan jauh dari pemukiman penduduk. 
Tapi dugaan Pusparini salah! Tiba-tiba ada sesosok 
tubuh berkelebat. Gerakannya yang cepat membuat 
Pusparini tak sempat melihat tampang orang itu de-
ngan jelas. Tapi kalau disuruh mengenali, pasti bisa, 
sebab tubuhnya dibalut dengan pakaian compang-
camping serta berpunggung bungkuk! Dia pastilah se-
orang wanita. Dan ini ditandai dengan gerai rambutnya 
yang panjang, berwarna putih! 
Itu ciri-ciri orang tersebut yang melekat dalam inga- 
tan Pusparini. Maunya Pusparini hanya mengawasi 
tanpa curiga. Tapi ketika orang itu melesat lagi, dis-
adari bahwa dia telah membawa semua perangkat pa-
kaian Pusparini beserta Pedang Merapi Dahana! 
“Hei!” hanya seruan ini yang keluar dari mulut Pus-
parini dengan pandangan tercekam. Mau berbuat apa? 
Melesat mengejar orang itu? Gila! Hal inilah yang dis-
adari olehnya, sebab saat ini dirinya sedang dalam 
keadaan bugil berendam dalam air sungai. 
Pusparini panik. Dia bisa berhadapan dengan selu-
sin lawan untuk baku hantam. Tapi mengalami nasib 
seperti ini sama halnya lehernya digorok tanpa ampun! 
“Oh!” hanya keluhan ini yang bisa dilakukan. 
Dengan nekad dia naik ke darat. Dilihatnya, ku-
danya bersembunyi di balik semak-semak. Hal ini yang 
membuat lega. Sebab masih ada bungkusan yang di-
tambatkan pada pelana kudanya. Bungkusan itu ter-
simpan beberapa lembar pakaian cadangannya. Pus-
parini bernafas lega. 
 
*** 

DUA 
 
“Aku harus mencarinya!” pikir Pusparini setelah 
mengenakan pakaian cadangannya. Dia memang me-
nyukai warna serba kuning sebagai jati diri Walet 
Emas. Dia tak bisa membayangkan  bagaimana kalau 
kudanya dicuri pula. Bisa tamat harga dirinya. Betapa 
tidak. Kalau semua tercuri, satu-satunya harta milik-
nya hanya tubuh bugilnya saja. Tak ada lain! Dari ma-
salah ini dia hanya kehilangan pedangnya saja. Pedang 
Merapi Dahana! 
 
“Mudah-mudahan firasatku benar,” katanya sambil 
memacu kudanya sesuai dengan bisikan hatinya. Pe-
doman Pusparini hanya mengikuti jejak-jejak kaki 
yang terlihat masih baru di sana. Mengarah ke utara 
jalan yang ditempuh, entah kemana sampainya. Seo-
rang wanita tua yang bungkuk, itulah sasarannya se-
karang. Mudah-mudahan ada orang yang mengenal ci-
ri-ciri seperti itu. Semua tindakan yang akan dilaku-
kan direncanakan matang-matang. Mungkinkah orang 
itu tokoh silat di daerah ini? Mengapa begitu penge-
cutnya dengan mencuri pakaian beserta pedangnya? 
Belum sirna pikiran itu dari benaknya, tiba-tiba 
perhatiannya tertuju pada sekelompok orang yang 
muncul dari tikungan jalan, dan langsung mengha-
dangnya. 
“Itu dia!” seru salah seorang di antara mereka. 
Pusparini menghentikan kudanya. 
“Hm! Kita ketemu lagi!” kata Pusparini setelah me-
ngenali orang-orang itu. “Benar yang kuduga. Kalian 
memanggil gaco untuk melawanku. Diakah orangnya?” 
Pusparini menunjuk ke arah seseorang yang tampil 
dengan langkah pethitha-pethithi. Orang yang kurus, 
ceking. Ciri penampilannya serba panjang. Jidat, hi-
dung, roman muka, semua membentuk penampilan 
sebagai orang yang memiliki perawakan tinggi. 
Tengah mengawasi penampilan orang itu, Pusparini 
lengah pada arah lainnya. Ternyata ada pembokong 
yang hadir tanpa disadari. Kena tendangannya, tubuh 
Pusparini mencelat dari punggung kuda. Tapi kalau 
bukan pendekar bergelar Walet Emas, hal yang begitu 
akan diatasi dengan mencari ancang-ancang untuk ja-
tuh. Justru yang begini menimpa dia, maka lentikan 
tubuh karena hempasan tendangan pembokong mem-
buat dirinya meliuk bagaikan burung, dirinya meliuk  
bagaikan burung walet terbang menuju sarang. Dan 
sarang yang dimaksud di sini adalah tindakan balik 
untuk menyerang lawan. 
Sungguh tak terduga kalau Pusparini sampai bisa 
meliukkan tubuh dengan meminjam tangan dari salah 
seorang penyerang yang lain. Orang yang menambahi 
serangan ini tidak menduga kalau Pusparini yang di-
pandang kehilangan penangkal, masih mampu bertin-
dak menguasai dirinya. Akibatnya, si pembokong yang 
mencoba memberi serangan ganda, terpaksa merubah 
posisinya ketika diketahui Pusparini telah menyerang 
ke arahnya. 
Perubahan keadaan ini benar-benar mengawali ben-
trokan yang kian seru. Kini Pusparini harus mengha-
dapi dua orang gaco lawan. Satu si ceking tinggi, dan 
yang lain berperawakan sedang. 
Tempat di mana baku hantam ini terjadi, berlang-
sung di jalan mulut desa. Jadi banyak menarik perha-
tian dari orang-orang yang berlalu-lalang di sana. Ini 
benar-benar suatu kesempatan bagi Pusparini untuk 
menarik perhatian orang. Dia ingin agar orang yang te-
lah mencuri pakaian dan pedangnya bisa melihat dia. 
Oleh sebab itu Pusparini sengaja mengulurkan baku 
hantam ini walaupun dengan mudah bisa menga-
lahkan serangan dua orang yang berperawakan sedang 
itu yang sebenarnya “tak ada apa-apa”-nya. Kalau 
ukuran gaco seperti itu, bisa dibayangkan bagaimana 
rimpihnya nilai bela diri di tempat itu. Ataukah yang 
benar jago yang merupakan gaco andalan belum ke-
luar? Boleh jadi! 
Tapi bagaimanapun Pusparini memang sengaja pa-
mer kebolehan, agar orang yang telah mencuri pakaian 
dan pedangnya jadi tahu siapa dia. Dan merupakan 
ancaman terselubung agar si pencuri mengembalikan  
dengan cara baik-baik. 
Itu menurut pikiran Pusparini! Kalau saja dia tahu, 
bahwa sebenarnya si pencuri itu tanpa sengaja telah 
berada di sana pula dengan sikap hati-hati agar tidak 
kepergok orang yang jadi korbannya, pasti Pusparini 
telah mengalihkan perhatiannya dan mengejar si pen-
curi. Benar! Si pencuri berpunggung bungkuk itu sege-
ra menyelinap di antara orang-orang untuk meng-
hindarkan diri. Lalu dengan lincah dia melesat ke luar 
desa...! 
“Ah, percuma! Aku harus mengakhiri baku hantam 
ini,” pikir Pusparini dengan mengirimkan pukulan te-
lak. Si ceking menerima bogem mentah di arah tenggo-
rokan sehingga muntah darah. Sedangkan si perawa-
kan sedang kena tonjok lambungnya sehingga sejeng-
kal kotorannya merasa mendapat curahan limpahan 
dendam kesumat yang selama ini mereka pendam. 
“Tahu rasa mereka sekarang. Nggak tahunya bisa 
digojlok oleh pendekar wanita berkulit mulus,” seru sa-
lah seorang di antara kerumunan orang-orang di sana.  
“Mau rasanya mengambil mantu,” komentar yang 
lain. 
“Mantu? Dapat anakmu yang suka main judi itu?” 
jawab yang lain. “Ngomong mbok dipikir. Kalau dia itu 
cocoknya ya dapat anakku, si Thole! Calon juragan be-
ras seperti bapaknya ini!” 
Pusparini mendengar juga omongan-omongan se-
perti itu. Tapi dia tidak menggubris sedikitpun. Dua 
orang yang berhasil dikalahkan dengan tergopoh-
gopoh meninggalkan tempat itu diikuti yang lainnya. 
“Maaf, Pak, siapakah sebenarnya mereka itu?” ta-
nya Pusparini kepada salah seorang penduduk yang 
sejak tadi asyik menonton. 
“Lho? Bagaimana, to? Den Ayu telah bentrok de- 
ngan mereka, tapi tidak tahu siapa mereka?” jawab 
orang itu. 
“Oh, jangan panggil saya ‘Den Ayu’, Pak. Saya orang 
biasa. Tidak punya trah priyayi. Benar, saya tidak tahu 
siapa mereka. Tahu-tahu mereka mengroyok saya. 
Bahkan sejak pertama kali saya ketemu mereka di tepi 
sungai, sudah menganggap saya musuhnya karena 
menyaksikan orang yang terbunuh,” jawab Pusparini 
dengan memancing keterangan. 
“Enghh... jadi begitu?! Mereka itu orang-orangnya si 
Jayenglaga. Seorang tuan tanah paling kaya di Pedu-
kuhan Glagah Jenar,” kata orang itu. 
Pusparini manggut-manggut sambil membenahi pe-
lana kudanya. Masih ada sedikit uang. Sasarannya ha-
ri itu dia akan mencari sebuah warung murah untuk 
sarapan. 

*** 

Ternyata Pusparini mendapat makanan cuma-cuma 
di warung yang dimasuki. 
“Lho, Pak. Bagaimana saya bisa nggak bayar? Saya 
sudah kenyang makan di sini, sudah sepantasnya ha-
rus membayar,” kata Pusparini. 
“Karena kau tadi telah menghajar anak buah tuan 
tanah itu, maka anggap saja sebagai imbalan uang le-
lah dari kami,” jawab orang tua itu. 
Pusparini termenung. Kesimpulannya, bahwa o-
rang-orang di Glagah Jenar ini punya ganjalan terha-
dap tuan tanah bernama Jayenglaga. 
“Pak, bolehkan saya menitipkan kuda saya di sini?” 
kata Pusparini kepada pemilik warung. 
“O, silakan! Silahkan, Nduk!” jawab orang tua itu 
dengan ramah. Kemudian dia memanggil anaknya agar 
membawa kuda Pusparini ke belakang. Kebetulan di  
sana ada gubug kosong, dan di sanalah kuda Puspa-
rini dikandangkan. 
“Saya akan lama di sini,” kata Pusparini kepada pe-
milik warung. 
“Ah, kami akan senang sekali. Paling tidak jago-jago 
kepruk Jayenglaga tak akan sembarangan mengumbar 
tingkah di warung saya,” kata orang tua itu. 
“Oh, Bapak jangan salah sangka dulu. Saya punya 
urusan juga. Apakah Bapak pernah melihat orang 
bungkuk di sini?” tanya Pusparini. 
“Aneh! Tanya kok tentang orang bungkuk. Memang-
nya kenapa, Nduk pendekar?” 
“Oh, tidak. Cuma nanya saja, Pak. Mungkin Bapak 
pernah melihat, ada berapa orang bungkuk di sini?!” 
tanya Pusparini dengan santai tapi sungguh-sungguh. 
“Ada tiga!” 
“Tiga?” 
“Ya, tiga. Itu pun saya tidak mengenal mereka,” ja-
wab pemilik warung dengan heran. “Kenapa, Nduk?” 
“Yang berambut putih, panjang?” 
“Ooo... yang itu?!” jawab pemilik warung. “Namanya 
Nyi Wungkuk!” 
“Nyi Wungkuk?” kata Pusparini ingin meyakinkan. 
“Ya. Nyi Wungkuk. Apa pentingnya berurusan de-
ngan dia? Rumahnya di pohon Bendo Growong.” 
“Di pohon Bendo Growong?” kata Pusparini semakin 
tertarik. “Di mana, Pak?!” 
“Di tepi sungai, dekat Kedung Bader,” jawab pemilik 
warung. 
Pusparini termenung. Hasrat untuk cepat-cepat ke 
sana diendapkan. Dia tak ingin gegabah dalam bertin-
dak. Melihat keterangan yang diberikan oleh pemilik 
warung, jelas Nyi Wungkuk ini yang punya ciri-ciri se-
bagai pencuri pakaian dan pedangnya.  
“Siapa sebenarnya Nyi Wungkuk itu?” tanya Puspa-
rini. 
“Dia seorang tua yang merana. Tiada sanak. Tiada 
kadang. Makannya pun berkat bantuan orang-orang di 
desa ini. Kenapa kau mencarinya?” tanya pemilik wa-
rung. 
Pusparini termenung. Pikirannya terpengaruh pen-
jelasan tentang keadaan Nyi Wungkuk. 
“Saya ingin tahu letak Kedung Bader itu, Pak. Bisa 
menunjukkan?” tanya Pusparini. 
“Si Thole, anak saya, bisa menunjukkan,” jawab pe-
milik warung. 

*** 

Jalan menuju Kedung Bader ternyata sulit ditem-
puh oleh orang yang tak biasa klayapan ke sana. Si 
Thole yang berumur 10 tahun itu dengan mudah me-
napak pada jalan yang licin. Kalau sering dilewati oleh 
Nyi Wungkuk, pastilah tokoh yang dicari ini bukan 
orang sembarangan. Banyak batu-batu runcing bagai 
karang pantai berserakan di sana. 
“Masih jauh?” tanya Pusparini. 
Si Thole menunjukkan telunjuk jarinya. Di seberang 
sana terlihat sebatang pohon bendo yang besar. Pada 
bagian batang sebelah bawah terdapat lubang besar. 
Orang menyebutnya ‘growong’. 
“Thole! Tunggu di sini, ya? Nanti kita pulang sama-
sama. Aku harus ketemu dengan Nyi Wungkuk itu,” 
kata Pusparini kepada si Thole ketika melihat sesosok 
tubuh samar-samar di dalam batang pohon bendo 
growong tersebut. 
Si Thole mengangguk sambil mengawasi Pusparini 
yang menghampiri pohon bendo growong itu. Tapi se-
belum Pusparini memberi uluk sapa, tiba-tiba dirasa- 
kan angin pukulan melanda dirinya. Pusparini menco-
ba menangkis kalau serangan itu akan dilakukan ke-
dua kalinya. Dan benar, memang ada serangan kedua 
kalinya. Kali ini lebih keras daripada yang pertama, 
dan membuat Pusparini harus mengerahkan tenaga 
agar tubuhnya tidak mencelat ke arah sungai. Usaha 
Pusparini untuk menghindarkan dari serangan jarak 
jauh itu akhirnya berhasil ketika dirinya berada di luar 
jarak enam tombak dari batang pohon itu. 
“Aneh! Kulihat sosok tubuh di dalam itu tidak ber-
gerak melancarkan serangan. Tapi aku mengalami se-
rangan pukulan jarak jauh. Ilmu apa yang dia kerah-
kan?” pikir Pusparini dengan berusaha tegak dari tem-
patnya. 
“Itu karena pagar manteranya,” tiba-tiba terdengar 
suara dari balik semak-semak. 
Pusparini mencari dari mana datangnya suara itu. 
Bertepatan dengan berpalingnya pandangan matanya, 
maka di sana tegak seseorang dengan penampilan 
yang sulit dikenali dengan cepat. Sebab topi lebarnya 
menutupi seluruh wajahnya. 
“Apa katamu? Pagar Mantera? Siapa kau?” tanya 
Pusparini. 
Orang itu menengadahkan wajahnya. Pusparini da-
pat melihat wajah orang itu yang ternyata seorang laki-
laki tua sekitar umur tujuh puluhan. 
“Sabarlah, Nak. Aku pun ingin menemui Nyi Wung-
kuk itu. Tapi tempat di sekelilingnya telah ditaburi 
ranjau mantera,” kata lelaki tua itu menjelaskan tanpa 
diminta. 
Pusparini termenung. Pikirannya mencoba meng-
hubungkan peristiwa yang dialami dengan keberadaan 
Nyi Wungkuk yang tampak dengan tenang berada di 
sarangnya. Dari basa-basi ini Pusparini mencoba me- 
ngenalkan namanya kepada lelaki tua itu. Lalu men-
dapat imbalan balik. 
“Ki Megatruh!” kata lelaki tua itu mengenalkan na-
manya. 
“Saya berhubungan dengan Nyi Wungkuk karena 
ada sesuatu hal yang ingin saya tanyakan tentang tin-
dakannya,” kata Pusparini ketika Ki Megatruh mena-
nyakan keperluannya datang ke sana. 
Lelaki tua itu memandangnya dengan tatapan mata 
tajam. 
“Saya kehilangan barang. Dan Nyi Wungkuk saya 
curigai sebagai pengambilnya,” kata Pusparini dengan 
nada ragu. Sebab tidak enak rasanya menjelekkan 
orang lain kepada orang yang baru dikenalnya. Lagi 
pula saat ini masih dalam taraf penyelidikan. 
“Baru kali ini kudengar berita mengatakan Nyi 
Wungkuk sebagai pencuri,” kata Ki Megatruh. 
“Jadi?!” tanya Pusparini. “Ki Megatruh meragukan 
kata-kata saya?” 
“Atas dasar apa maka kau bisa menuduh bahwa Nyi 
Wungkuk yang mengambil barang-barangmu? Dia te-
lah seminggu ini tidak keluar dari Bendo Growong itu. 
Dia sedang menyelesaikan syarat semadinya untuk ti-
dak bercakap-cakap dengan siapapun selama sepuluh 
hari,” kata Ki Megatruh menjelaskan. 
“Jadi... dia telah seminggu tidak keluar dari pohon 
bendo itu?” tanya Pusparini. 
“Demi saksiku terhadap langit dan bumi yang kuin-
jak, semoga bumi menelanku, dan langit menghujani 
aku dengan api, kalau aku bohong dengan kata-
kataku!” kata Ki Megatruh dengan mantap. Suatu 
sumpah yang puitis. Kata-kata itu benar-benar menu-
suk perasaan Pusparini, yang menumbuhkan keper-
cayaan tulus untuk mempercayai. 
 
“Kalau begitu... saya minta maaf,” kata Pusparini 
dengan wajah menunduk. 
Pusparini beranjak pergi. 
“Akan ke mana kau?” tanya Ki Megatruh. 
“Mungkin yang saya lihat salah,” jawab Pusparini. 
“Jangan terpengaruh kata-kataku tadi,” kata Ki Me-
gatruh. “Apakah kau lihat dengan jelas bahwa Nyi 
Wungkuk mengambil barang-barangmu? Bolehkan 
aku tahu macam barang yang diambilnya?” 
“Pakaianku, dan sebilah pedang!” jawab Pusparini 
tegas tapi penuh hormat. Dia tahu, sikap ini dilakukan 
karena telah bisa mengambil kesan bahwa Ki Megatruh 
adalah orang yang menampilkan sikap membuat orang 
lain segan. 
“Pasti ada orang yang mengkhianati,” kata Ki Mega-
truh. “Taruhlah umpama ada orang yang menyamar 
sebagai Nyi Wungkuk untuk menjelekkan namanya....” 
Pusparini yang sedianya ingin cepat meninggalkan 
tempat itu, jadi terkesan oleh ucapan ini. 
“Jadi begitu tanggapan Ki Megatruh?” 
“Boleh jadi. Itu kalau peristiwa yang kau alami ter-
jadi dalam seminggu ini. Kalau lebih dari seminggu, 
saya tak bisa mengambil kesimpulan begitu. Yang je-
las, aku sudah selama seminggu ini menunggu keluar-
nya Nyi Wungkuk dari pohon bendo itu. Dia telah me-
nyebarkan mantera di sekeliling pohon bendo growong 
sehingga tak seorangpun bisa mendekat ke sana.” 
“Kalau begitu urusan ini tidak seremeh yang saya 
duga,” kata Pusparini. “Saya akan pamit dulu. Mung-
kin hari berikutnya saya akan kemari lagi.” 
“Tunggu!” cegah Ki Megatruh ketika melihat Puspa-
rini beranjak pergi. “Ada baiknya kau tahu siapa mu-
suh-musuh Nyi Wungkuk.” 
“Perlukah itu?” tanya Pusparini.  
“Jelas tindakan itu adalah fitnah baginya,” jawab Ki 
Megatruh. 
Pusparini termenung. Dia mencoba memahami uca-
pan Ki Megatruh. 
“Mohon dijelaskan, Ki!” 
“Ada tiga orang. Klabang Ireng, Jrangkong Langit, 
dan Sawer Jenar!” kata Ki Megatruh menyebut tiga 
nama sebagai musuh Nyi Wungkuk. “Itu yang kuketa-
hui. Mungkin berguna bagimu untuk melacak hilang-
nya barang-barangmu.” 
“Terima kasih atas bantuan Ki Megatruh,” kata Pus-
parini sambil pamit pergi. 
Di seberang sana telah menunggu si Thole, anak 
pemilik warung. Kemudian mereka berdua berlalu me-
ninggalkan kawasan Bendo Growong tempat Nyi 
Wungkuk. 
 
*** 
 
 
TIGA 
 
Atas kebaikan pemilik warung, yang biasa dipanggil 
Man Ndoplang oleh orang-orang di desa itu, Pusparini 
mendapat tempat bermalam. Bahkan dengan bebas di-
beri tempat di sebuah rumah kosong tak jauh dari wa-
rung itu. Dulu rumah itu dihuni oleh saudara Man 
Ndoplang. Tapi sejak pindah ke desa lain, maka tempat 
itu tidak berpenghuni lagi, bahkan oleh Man Ndoplang 
telah dibelinya. 
“Biarlah Si Thole menemanimu,” kata Man Ndop- 
lang. 
“Terima kasih, Pak. Bapak telah berbuat banyak 
untuk saya,” kata Pusparini sambil memasuki rumah 
yang disediakan untuknya. 
“Aku senang bisa menolongmu, Nduk pendekar,” 
kata Man Ndoplang yang didampingi istrinya. 
“Kami ini sudah lama ingin momong anak perem-
puan. Anak kami cuma si Thole itu. Kami memang ka-
win kasep. Maksudku, aku yang kasep kawin. Sudah 
setua ini anakku baru berumur sepuluh tahun,” kata 
Man Ndoplang sambil memandang istrinya yang ter-
paut umur sekitar lima belas tahun dengan dirinya. 
Umur Man Ndoplang sendiri hampir lima puluh tahun. 
“Kalau perlu apa-apa, jangan sungkan memberitahu 
kepada si Thole,” kata Man Ndoplang sambil berlalu 
dari sana disertai istrinya. 
“Thole! Kau senang aku berada di sini?” tanya Pus-
parini memancing. 
“Oh, senang, Mbakyu! Mbakyu pendekar kan jempo-
lan. Bisa mengalahkan orang-orang jahat,” jawab si 
Thole bangga. 
“Ah, jangan panggil aku mbakyu pendekar. Panggil 
saja Kak Rini!” 
“Kalau saya panggil ‘mbak’ bagaimana? Mbak Rini 
begitu?!” 
“Mbak Rini juga boleh,” jawab Pusparini sambil 
menthowel dagu si Thole yang sigar jambe itu. 
Pusparini yang kini hidup sebatang kara, kadang-
kadang sangat merindukan kehadiran seorang adik 
seperti si Thole itu. Walaupun umur si Thole baru se-
puluh tahun, tapi bentuk badannya bongsor seperti 
anak berumur limabelas tahun. Kekar lagi. 
“Kau ini cocok jadi seorang pendekar. Tulang-tulang 
tubuhmu cocok untuk itu,” kata Pusparini pada sore  
harinya. 
“Jadi seorang pendekar, Mbak? Mbak Rini bisa nga-
jari saya?” kata si Thole dengan perasaan bangga. 
“Ayo kuajari dasar-dasarnya saja. Paling tidak bisa 
digunakan untuk menggagalkan pencopet,” kata Pus-
parini. 
“Menggagalkan pencopet, Mbak?” kata si Thole. 
“Masak saya jadi pendekar pembrantas pencopet?!” 
“Lho? Memangnya kenapa? Malu menghadapi pen-
copet? Pencopet itu juga penjahat. Maksudku, menga-
jari dengan tangkisan dan pukulan yang ringan-ringan 
saja. Kalau sudah mahir, bisa ke jenjang jurus yang 
lebih tinggi. Paling tidak dengan ilmu dasar itu kau 
sudah bisa menghadapi pencopet atau maling ayam,” 
kata Pusparini dengan mengumbar senyum. Dia tahu 
bahwa ini akan menimbulkan olok-olok si Thole ketika 
diberi tahu ilmu dasar itu bisa juga digunakan untuk 
menghadapi maling ayam. 
“Nah, begini, tirukan sikap ini,” kata Pusparini de-
ngan memberi contoh mengambil sikap awal. Si Thole 
mencontoh gerak itu.... 
*** 
Sekitar dua jam, Pusparini mengajari si Thole de-
ngan gerakan-gerakan silat dasar. Si Thole cepat me-
nangkap pelajaran ala kadarnya itu. Lalu, tanpa con-
toh lagi, dibiarkan si Thole mengulangi gerak jurus-
jurus yang diajarkan. 
“Besok kita lanjutkan lagi,” saran Pusparini sambil 
masuk rumah. 
Si Thole tetap ngotot berlatih. Dia tidak sadar bah-
wa ada berpasang-pasang mata mengawasi sejak Pus-
parini masuk pintu rumah. 
Si Thole istirahat. Dia melemaskan ototnya. Ketika  
terdengar bunyi “KRESEK” di halaman di balik semak-
semak tanaman hias, kontan dia pasang kuda-kuda 
seperti yang diajarkan Pusparini. 
“Siapa itu? Ayo, keluar! Kugampar kau nanti!” sum-
bar si Thole. 
Sesaat kemudian lima orang nongol dari balik se-
mak-semak. Si Thole terperangah kaget. Tidak mendu-
ga kalau ada orang muncul dari sana. Sangkanya sua-
ra tadi suara anjing yang menerobos semak-semak 
atau hewan lain. 
“Siapa kalian?” tanya si Thole dengan sikap membe-
ranikan diri.  Pertanyaan ini sebenarnya tak perlu dia 
tanyakan, sebab sudah tahu siapa mereka, yang tak 
lain anak buah Tuan Tanah Jayenglaga. 
“Panggil gendhuk pendekar ayu itu!” kata salah seo-
rang di antara mereka. 
Si Thole sebenarnya akan menjawab bahwa orang 
yang mereka cari tidak ada di sana. Maunya berbo-
hong. Tapi niat itu dia urungkan ketika tiba-tiba dili-
hatnya Pusparini telah berada di belakang orang-orang 
itu tanpa diketahui oleh mereka. Entah bagaimana ge-
rak yang dilakukan oleh Pusparini alias Walet Emas 
ini, yang jelas si Thole telah melihatnya berada di bela-
kang orang-orang itu. 
“Aku di sini!” kata Pusparini. 
Kelima orang itu kaget njenggirat  sambil siap-siap 
mencabut golok. 
“Jangan teruskan mencabut golok itu,” ancam Pus-
parini. 
Yang dua orang nekad. Sebelum dia berbalik de-
ngan pas untuk melancarkan serangan, Pusparini te-
lah menggebrak dengan tendangan. Dua orang itu 
nggeblag jumpalitan sekitar dua tombak. Yang lain se-
gera mengisi lowongan serangan. Tampak di sini bah- 
wa kedatangan mereka benar-benar tidak bersahabat 
alias cari perkara. Kalau hal ini didasari perintah si 
Tuan Tanah Jayenglaga, maka buntutnya pasti gede. 
“Tunggu!” gertak Pusparini. “Aku harus tahu masa-
lahnya mengapa kalian datang untuk bertindak ke-
kerasan.” 
“Ini perintah Ki Jayenglaga,” kata salah seorang di 
antara mereka. 
“Aku belum pernah kenal dengan yang namanya Ki 
Jayenglaga. Apakah dia tuan kalian? Apa urusannya 
maka dia memerintahkan kalian untuk menindakku?” 
“Itu di luar wewenangku untuk menjelaskan,” kata 
salah seorang di antara mereka dengan memberi isya-
rat temannya untuk menyerang Pusparini. 
Bentrokan berkembang lagi. Sampai begitu jauh 
Pusparini masih mengandalkan gempuran tangan ko-
song. Paling-paling kalau terpaksa menggunakan sen-
jata tajam, itu dilakukan dengan meminjam gerakan 
lawan yang memegang senjata untuk ditandingkan 
dengan senjata lainnya. Tindakan ini semakin memberi 
kesan bagaimana tangguh Pusparini menghadapi para 
penyerangnya. Ada kesan dia masih ngeman nyawa la-
wannya. Dan itu memang benar. 
“Aku ingin tahu alasannya! Katakan kepada tuan 
kalian mengapa dia memusuhi aku!” kata Pusparini 
sambil mengirimkan suatu pelajaran pada salah seo-
rang di antara mereka. Ternyata ‘pelajaran’ yang di-
kirim Pusparini berupa sayatan telinga salah seorang 
di antara mereka. “Aku bisa memberi tanda mata itu 
pada telinga kalian semua. Untuk kali ini cukup satu 
saja. Katakan kepada tuan kalian!” 
Kontan kelima orang itu ngeri melihat salah seorang 
temannya yang kehilangan telinga, walaupun soal da-
rah sudah sering mereka tangani. 
 
“Thole! Malam ini jangan ke mana-mana. Diam saja 
dalam kamar. Mbak Rini akan berjaga-jaga. Pantas sa-
ja kalau tuan tanah bernama Ki Jayenglaga punya ba-
nyak musuh di desa ini dan dibenci banyak orang,” ka-
ta Pusparini dengan mengawasi kelima orang itu yang 
menghilang dalam kegelapan malam. 

*** 

Malam semakin larut.... 
Pusparini tetap berjaga di tempat tersembunyi di 
halaman rumah. Dia nangkring di dahan pohon sawo. 
“Gara-gara kehilangan pakaian dan pedang, aku ja-
di terlibat urusan begini,” pikir Pusparini dalam de-
kapan udara malam yang dingin. 
Ada nama-nama yang kini bersemayam dalam be-
nak Pusparini. Mereka adalah Klabang Ireng, Jrang-
kong Langit, dan Sawer Jenar. Lalu ditambah nama 
tuan tanah si Jayenglaga. Dia tak tahu apakah nama-
nama itu punya hubungan dengan hilangnya barang-
barangnya. Dia berharap agar orang yang mencuri Pe-
dang Merapi Dahana tak tahu dengan keampuhan pe-
dang tersebut. 
Sampai larut malam tak terjadi apa-apa. Sampai 
bosan rasanya dia menunggu. Hal yang begini memang 
sudah sering dialami. Sebab dengan menunggu, pihak 
lawan akan memanfaatkan keadaan itu untuk mengge-
rogoti mentalnya. 
Tengah dalam keheningan malam yang semakin la-
rut, tiba-tiba Pusparini terusik oleh bayangan berkele-
bat tak jauh darinya. Sesosok tubuh berambut pan-
jang berwarna putih dengan nyata terlihat nangkring 
di atas atap rumah. Cahaya bulan sepotong banyak 
membantu Pusparini bisa dengan jelas melihat orang 
itu. 
 
Orang itulah yang pernah dilihat sewaktu dia mandi 
di sungai ketika mencuri pakaian dan Pedang Merapi 
Dahananya. 
“Kalau penampilan itu  disebut sebagai Nyi Wung-
kuk, maka pastilah dia Nyi Wungkuk tiruan. Sebab Nyi 
Wungkuk yang asli saat ini sedang semadi di ‘sa-
rang’nya dalam pohon bendo growong,” pikir Pusparini 
sambil berancang-ancang untuk menyergap orang itu. 
Dan.... 
Pusparini melesat untuk menubruk orang tersebut. 
Gerakan Pusparini dengan paduan ilmu meringankan 
tubuh, membuat orang itu tak menduga kalau ada pi-
hak penyerang yang mengincar dirinya. 
Tapi segalanya tidak semulus yang diduga Pusparini. 
Kurang sejengkal dia berhasil menjambak rambut 
itu, tiba-tiba keadaannya berubah. Orang itu menoleh 
ke arah Pusparini dan geraknya yang cepat berhasil 
menggagalkan renggutan tangan yang menjurus ke 
arahnya. 
Pusparini berhasil menguasai keadaan yang tidak 
menguntungkan ini. Karena tekadnya sudah mengge-
bu untuk meringkus orang itu, maka akibat apapun 
dia tak peduli. Pusparini menganggap kesempatan ini-
lah satu-satunya jalan untuk membuka kedok peris-
tiwa yang merugikan dirinya. 
Pusparini terus menyerang dengan sabetan kaki. 
Harapannya, dengan sabetan pada arah kaki ini bisa 
menggoyahkan pertahanan lawan. Perhitungannya, to-
koh-tokoh tua selalu rapuh pada jasmani tulangnya. 
Dan gerak kaki adalah sasaran yang fatal apabila bisa 
dilumpuhkan pada bagian itu. 
Tapi kenyataannya lain. Kena sabetan kaki yang be-
gitu fatal, orang itu tetap tegar. Bahkan Pusparini 
mendapat serangan kilas balik yang tak terduga. 
 
“Dia tidak setua yang kuduga! Aku harus yakin apa-
kah dia ini Nyi Wungkuk asli atau palsu. Tapi yang je-
las kehadirannya sangat mencurigakan,” pikir Puspa-
rini sambil terus menghindar mencari peluang. 
Baru pada saat terjadi jarak yang cukup renggang 
dan bisa mengawasi satu sama lain dengan jelas, maka 
orang itu menghentikan serangannya. 
“Tunggu!” seru orang itu. “Apakah kau yang kehi-
langan pakaian dan pedang?” 
“Apakah aku berhadapan dengan Nyi Wungkuk?” 
Pusparini balik bertanya. 
“Dia adalah Nyi Wungkuk!” Tiba-tiba terdengar sua-
ra di belakang Pusparini. 
Si Walet Emas menoleh dari mana datangnya suara. 
Tak jauh darinya, terlihat sosok tubuh bercapil lebar. 
“Ki Megatruh?!” tanya Pusparini. 
“Dia Nyi Wungkuk yang siang tadi masih melan-
jutkan semadinya. Dia telah kuberitahu masalahmu, 
lalu kami memutuskan untuk mencari tempatmu,” ka-
ta Ki Megatruh menjelaskan dengan suaranya yang 
mantap. 
“Dia... Nyi Wungkuk?” 
Terdengar suara Pusparini sambil mengawasi orang 
berambut putih dengan punggung bongkok. 
“Ya. Dia perlu turun tangan karena ada orang  yang 
mencemarkan namanya,” kata Ki Megatruh. 
Pusparini tak habis pikir. Menurut Man Ndoplang, 
Nyi Wungkuk adalah orang yang hidupnya sehari-hari 
tergantung dari belas kasih orang-orang di desa itu. 
Artinya, Nyi Wungkuk pastilah seseorang yang tua ren-
ta tak bisa mengurusi dirinya sendiri. Tapi mengapa 
tiba-tiba Nyi Wungkuk malam ini terlihat hadir dengan 
ketegarannya? Jelas terlihat oleh Pusparini, bahwa Nyi 
Wungkuk ini adalah seorang wanita tua berumur  
hampir tujuh puluh tahun. Belum terlalu tua untuk 
bisa disebut wanita jompo. 
“Bagaimana jika kita berbicara di dalam?” 
Pusparini mempersilahkan kedua ‘tamu’nya. Atas 
pertimbangan agar tidak memancing perhatian orang 
lain, maka Ki Megatruh menyetujui tawaran Pusparini. 
Kemudian mereka bertiga masuk ke dalam ruangan 
tamu. 
“Maafkan, kalau saya menuduh Nyai mengambil ba-
rang-barang saya. Kalau tidak ada Ki Megatruh, mung-
kin saya masih penasaran dengan tuduhan saya,” kata 
Pusparini mengawali percakapan. 
“Tidak apa. Kau orang baru di desa ini,” jawab Nyi 
Wungkuk. 
Dalam cahaya lampu minyak yang menerangi rua-
ngan itu, Pusparini mencoba mengawasi dengan teliti 
wajah orang tua bernama Nyi Wungkuk itu. Terlihat 
bekas garis-garis kecantikan pada masa lampau. Ken-
tara sekali bahwa Nyi Wungkuk adalah seorang wanita 
yang cantik pada usia mudanya. 
Pusparini tak tahu, apakah cacad bongkok pada 
punggung Nyi Wungkuk itu cacad sejak lahir atau ka-
rena akibat suatu peristiwa. Tentu saja hal ini tak pan-
tas ditanyakan. Tapi Pusparini yakin, suatu saat raha-
sia tersebut akan bisa diketahui. Paling tidak, peristi-
wanya pasti menarik, kalau akibat cacad tersebut bisa 
dikisahkan. 
“Nyai merasa punya banyak musuh sehingga ada 
pihak yang tega memfitnah Nyai?” tanya Pusparini 
sambil memberi isyarat kepada si Thole yang terba-
ngun dari tidurnya agar tetap tenang di tempatnya. 
“Kukira Ki Megatruh telah memberitahu kepadamu 
tentang nama-nama mereka,” jawab Nyi Wungkuk. 
Pusparini mengangguk. 
 
“Nah, sekarang bagaimana kalau kau membantu 
aku untuk menangani masalah ini? Kita bahu-mem-
bahu, saling menolong,” saran Nyi Wungkuk. “Pertama 
akan kita cari orang yang telah menyamar sebagai di-
riku.” 
“Itu gagasan yang baik,” jawab Pusparini dengan 
gembira. Paling tidak keberadaannya di desa ini telah 
mendapat pendukung. 
 
*** 

EMPAT 
 
Untuk mengawali kerja tersebut, Pusparini akan 
melacak sendirian dulu. Sedangkan Nyi Wungkuk dan 
Ki Megatruh akan bertindak sebagai bayang-bayang 
untuk memberi bantuan kalau dipandang peristiwanya 
semakin membahayakan Pusparini. 
Malam itu juga Nyi Wungkuk dan Ki Megatruh me-
ninggalkan tempat di mana Pusparini bertempat ting-
gal atas kemurahan hati Man Ndoplang. 
Tapi tanpa diduga, seperti yang semalam diha-
rapkan Pusparini, ternyata orang-orang Ki Jayenglaga 
muncul pada esok harinya. 
“Hm! Jadi kalian utusan tuan tanah itu?” tanya 
Pusparini. 
“Ki Jayenglaga mengundangmu. Ini suratnya!” kata 
seorang utusan berperawakan gendut. 
Pusparini menerima surat undangan  itu. “Unda-
ngan apa ini?! Oh, kukira undangan makan. Tidak ta-
hunya undangan pertandingan ketangkasan.” 
“Kami harap kau bisa datang!” kata orang itu. 
“Tentu! Katakan kepada tuanmu!” jawab Pusparini  
dengan melepas pandangan mengiringi kepergian utu-
san itu. 
“Jadi Mbak Rini akan ikut pertandingan itu?” tanya 
si Thole. 
“Iya! Mengapa kau tampak cemas?” 
“Itu pertandingan maut, Mbak.” 
“Pertandingan maut?” 
“Ya! Tempo hari banyak yang tewas. Tuan tanah itu 
hanya mencari jago-jago agar bisa diperalat menjadi 
anteknya. Begitu omongan yang banyak kudengar dari 
orang-orang yang sering membicarakan,” kata si Thole 
menjelaskan dengan wajah serius. 
“Benar, Nduk. Hati-hati menerima ajakan tuan ta-
nah itu,” terdengar suara menimpali, yang ternyata 
Man Ndoplang yang muncul. 
“Oh, Bapak juga mendengar agaknya,” kata Puspa-
rini dengan memberi salam kepada Man Ndoplang yang 
baru datang untuk menengok Pusparini. 
“Baru kemarin aku mendengar adanya pertandi-
ngan itu. Biasanya dilakukan pada bulan Srada. Tidak 
tahunya sebulan lebih cepat. Ini pasti ada sangkut 
pautnya dengan kehadiranmu di desa ini,” kata Man 
Ndoplang yang sepagi itu datang ke sana memang un-
tuk memberitahukan hal itu kepada Pusparini. 
“Saya akan berhati-hati. Doakan saja,” jawab Pus-
parini. 
“Aku ikut lihat ya, Mbak?!” pinta si Thole. 
“Jangan dekat-dekat panggung. Siapa tahu ada sen-
jata yang nyasar kepada penonton,”  jawab Pusparini 
sambil mempersiapkan diri. 
Sejenak dia termenung. Bayangan sekilas tertuju 
kepada Pedang Merapi Dahananya yang hilang. Kini 
tanpa senjata itu, dia akan ikut pertandingan yang di-
laksanakan oleh Tuan Tanah Jayenglaga. 
 
Dalam bungkusan yang tersisa di pelana kudanya, 
masih ada sebuah senjata lagi sebilah golok miliknya. 
Senjata itu dimiliki sebelum dia memperoleh Pedang 
Merapi Dahana. 
“Kini kau kugunakan lagi seperti pertama kali aku 
turun dari Padepokan Canggal,” kata Pusparini sambil 
mengelus senjata itu. “Maafkan aku yang selama ini te-
lah menganak-tirikan padamu. Kau tidak marah, bu-
kan?!” 
Senjata itu dibelai seperti boneka. Si Thole melihat 
perbuatan Pusparini dengan pandang penuh tanda 
tanya. 
“Apakah senjata bisa diajak berbicara, Mbak?” 
tanya si Thole. 
“Ya tidak. Ini hanya pendekatan naluri saja. Kalau 
ada ‘jodo’, biasanya senjata itu bisa membantu kita 
untuk mengatasi segala kesulitan,” jawab Pusparini 
dengan pandangan yang terbatas. Sebab hal-hal yang 
begini tak bisa diuraikan dengan sekilas ucapan. “Ke-
kuatan alam yang sering kita lihat adalah sebagian ke-
cil dari pancaran kekuasaan Sang Hyang Widhi. Apabi-
la hal itu terpancar lewat sebuah pusaka,  maka itu 
adalah sebagian kecil dari kekuatanNya juga. Tapi ka-
dang-kadang kekuatan iblis ikut berperan untuk me-
nyesatkan. Maka jadilah senjata itu sebagai alat pem-
binasa tanpa landasan moral,” kata Pusparini lebih 
lanjut tanpa peduli apakah si Thole mengerti ulasan-
nya apa tidak. 
*** 
Seperti yang tercantum dalam undangan, maka 
Pusparini harus siap di sana sebelum acara utama di-
mulai. Acara utama adalah acara pertandingan antar 
jago-jago persilatan. Dan sebelum itu, suasana diisi  
dengan acara tari untuk menyemarakkan suasana. 
Kesempatan inilah yang dipergunakan Pusparini 
untuk melihat tampang Ki Jayenglaga lebih dekat. 
Gambarannya bahwa tampang Ki Jayenglaga adalah 
seorang tokoh tua dengan tampang kejam, ternyata ke-
liru. Setelah dilihat dengan mata kepala sendiri, ter-
nyata yang dipanggil sebagai tuan tanah ini adalah 
seorang laki-laki muda dan tampan. Kulitnya bersih 
tanpa cambang dan kumis seperti layaknya tokoh-
tokoh urakan yang bikin sengsara penduduk. 
Ki Jayenglaga telah diberitahu tentang kedatangan 
Pusparini. Kemudian laki-laki itu mempersilahkan 
Pusparini menuju ke tempatnya. 
“Maaf, kalau selama ini kau dibuat sibuk oleh anak 
buahku,” kata Jayenglaga. “Mungkin itu hanya kesa-
lah-pahaman belaka. Apakah kiranya kau berkenan 
mengisi acara yang kuselenggarakan?” 
“Tentu, kalau aturan mainnya jujur. Artinya, tak 
ada niat-niat yang terselubung dari acara ini. Biasanya 
acara begini diselenggarakan oleh kelompok perguruan 
persilatan. Tapi di sini tak kulihat tanda-tanda bahwa 
penyelenggaranya adalah suatu kelompok  perguruan 
silat,” kata Pusparini dengan mengumbar pandangan 
ke tempat sekelilingnya. Di sana terlihat jago-jago silat 
yang bisa diketahui lewat penampilan masing-masing. 
“Ini sekedar pertemuan kangen-kangenan saja,” ka-
ta Jayenglaga. “Kukira kau tak keberatan kalau ku-
minta untuk meramaikan. Bagaimana?” 
“Aku minta pada nomor terakhir saja,” kata Puspa-
rini mengajukan syarat. 
Jayenglaga tersenyum puas sambil mengangguk. 
“Kalau begitu, kupersilahkan duduk di sini dulu 
sambil menanti giliranmu.” 
Pusparini mengambil tempat duduk yang dise- 
diakan. Ketika ada hidangan minuman yang disajikan, 
dia menolak untuk minum. Dia cukup waspada de-
ngan basa-basi seperti ini. Pengalaman telah cukup 
menggembleng dirinya agar waspada dengan tawaran 
yang serba manis. Boleh jadi di balik omongan manis 
itu terpendam racun yang menggunung. 
Pertunjukan pertandingan dimulai dengan pemuku-
lan gong besar. Suaranya berkumandang menarik per-
hatian semua orang. Lalu satu persatu adu ketangka-
san bela diri dipertunjukkan. Dari sini Pusparini baru 
tahu, bahwa semakin menginjak urutan nomor ter-
akhir, sarananya semakin berat. Artinya, jago-jago silat 
itu semakin dituntut mempergunakan senjata paling 
andal. Bahkan tokoh-tokohnya pun semakin memiliki 
kemampuan tingkat tinggi. 
Karena setiap pemenang namanya diumumkan, 
Pusparini jadi tahu siapa-siapa mereka yang menjadi 
pemenang. Sampai pada tingkat akhir maka muncul-
lah nama-nama Klabang Ireng, Jrangkong Langit, dan 
Sawer Jenar! 
Satu persatu tokoh-tokoh ini berhasil memenang-
kan pertandingan. Akhirnya bisa diketahui oleh Puspa-
rini bahwa pertandingan itu hanya untuk merebut 
nomor pemenang tiga nama besar! Berarti kalau dia 
menghendaki termasuk tiga besar, Pusparini harus 
mengalahkan salah seorang di antara mereka 
Sebelum giliran Pusparini tampil ke depan, tiba-tiba 
melesat sebuah benda kecil dan menancap di sisinya. 
Semula Pusparini mengira bahwa benda itu adalah 
senjata rahasia yang luput mengenai sasaran. Setelah 
diteliti ternyata ada buntalan lontar pada benda yang 
menancap di sampingnya. 
Agar tidak menimbulkan kecurigaan, Pusparini 
mengambilnya dengan hati-hati dan mencoba membu- 
ka buntalan lontar tersebut. Di sana tertulis: ‘Klabang 
Ireng, Jrangkong Langit, Sawer Jenar adalah Tiga Se-
rangkai. Hati-hati menghadapinya!’ 
“Hm! Suatu peringatan yang tampaknya bersaha-
bat. Apakah Ki Megatruh yang mengirimkan?” pikir 
Pusparini. Paling tidak pesan itu bisa membuat Puspa-
rini bertindak hati-hati. Tapi dengan lawan perta-
manya, dia belum tahu. 
Ketika nama-nama itu diumumkan sebagai nama 
tiga besar yang tetap menduduki kejuaraan, kini Pus-
parini dinyatakan sebagai penantang utama. 
Tentu saja hal ini menimbulkan protes dari bebe-
rapa pihak karena tampilnya Pusparini dianggap me-
nyalahi ketentuan yang biasa berlaku. Hanya berkat 
wewenang Ki Jayenglaga maka semua protes bisa di-
gugurkan. Pusparini dianggap penantang kehormatan. 
“Semua seperti telah direncanakan bahwa aku akan 
berhadapan dengan ketiga tokoh itu. Tapi mengapa 
aku tadi memilih nomor terakhir? Tapi kalau si Ja-
yenglaga punya wewenang seperti itu, tampaknya se-
mua akan berlangsung seperti apa yang dikehendaki,” 
pikir Pusparini sambil mempersiapkan dirinya. 
Undian pertama ternyata jatuh pada Sawer Jenar 
yang harus berhadapan dengan Pusparini. 
Sawer Jenar berperawakan seperti orang yang ‘tidak 
ada apa-apanya’. Tubuhnya biasa saja. Rambutnya se-
bahu berwarna agak kecoklatan. Pandangan matanya 
seperti orang yang selalu ngantuk. Tapi dua alisnya 
yang bertaut itu membuat penampilannya bisa ditakuti 
lawan. Ibarat ular, dia bisa menyerang tanpa memberi 
tanda bahaya terlebih dahulu. 
Ketika berhadapan dengan Pusparini, dia hanya pa-
sang kuda-kuda merenggangkan kaki saja. Kedua tan-
gannya lunglai sejajar dengan pinggangnya. Tapi ketika  
Pusparini mencoba menggertak dengan gerak kemban-
gan, kontan si Sawer Jenar mengambil gerakan dengan 
melebarkan rentangan tangannya. Kedua tangannya 
bergerak gemulai, menggambarkan patukan dua ekor 
ular yang siap menghadapi lawan. 
Mulanya Pusparini sangat sulit membaca taktik la-
wan. Paling tidak dia akan mengeluarkan jurus walet-
nya dengan liukan gerak yang gesit untuk membuka 
jurus serangan pertama ini. 
Dan itu benar-benar dilakukan Pusparini. 
Melihat serangan lawan, maka si Sawer Jenar me-
ngembangkan jebakan agar si penyerang terperangkap 
pada jurus ‘Belitan Naga Mabuk’. 
Tapi si Walet Emas waspada. Sebelum dia masuk 
perangkap, maka tendangan kakinya telah menghun-
jam ke dada lawan. Akibatnya, jurus jebakan si Sawer 
Jenar buyar berantakan dengan limbungnya tubuh ke 
belakang. 
Untung dia cepat menguasai keadaan dengan me-
maku pijakan di tanah. Rupanya disini dia telah me-
ngerahkan semacam ilmu kanuragan ‘paku bumi’ agar 
tubuhnya tidak berlarut-larut terpental. 
Pusparini yang memperkirakan pihak lawan akan 
mencelat sekitar tiga tombak kena tendangan kakinya, 
kini jadi tahu kebolehan lawan. Untuk tidak memberi 
kesempatan pada lawan mengatur serangan, maka 
Pusparini menggenjot lagi dengan terjangan jurus ‘Wa-
let Menukik Mangsa’. Artinya, dengan gerak me-
lambung ke atas maka rentangan tangan Pusparini 
akan menyerang bagaikan sergapan supit urang. Se-
dangkan kedua kakinya siap pula menerjang kalau 
sergapan ini dibuyarkan oleh tangkisan lawan. 
Melihat jurus serangan macam ini maka Sawer Je-
nar mencoba mengecoh lawan dengan pancingan gerak  
tipu. Karena dia menguasai jurus ular dan sebang-
sanya, maka tubuhnya ditekuk ke belakang. Dengan 
gerakan ini, maka lawan akan ragu-ragu arah mana 
yang akan dilontarkan oleh Sawer Jenar. 
Ketika Pusparini sudah terlanjur menukik, maka 
Sawer menggerakkan tubuhnya meliuk ke kiri yang se-
lanjutnya mengadakan ‘pagutan’ lewat sergapan ta-
ngan yang mengarah pada lambung lawan. 
Tapi Pusparini yang sudah memperhitungkan se-
mua serangan lawan, maka kakinyalah yang kini ber-
peran. Sergapan Sawer Jenar dibuyarkan dengan terja-
ngan putaran kaki yang menyabit, sehingga kedua ta-
ngan lawan bergetar karena dilanda hantaman cada-
ngan ini. 
Setiap orang yang menyaksikan taktik ini sempat 
dibuat terperangah. Tidak biasanya Sawer Jenar meng-
alami keteledoran seperti itu. Ini yang membuat dia 
semakin kehilangan kendali. Apalagi dianggapnya la-
wannya kali ini cuma seorang wanita yang masih ‘hi-
jau’, maka dirinya yang merasa dipecundangi kini 
menjadi kalap. 
Melihat sikap Sawer Jenar ini Pusparini segera 
mempersiapkan diri dengan berancang-ancang meng-
ubah jurus serangan dengan mengincar lambung la-
wan. Sebab sejak tadi si Sawer Jenar agaknya selalu 
melindungi lambung kanannya yang kelihatan dibalut 
ketat. 
Pusparini memang mempertaruhkan serangannya, 
bahwa di bagian tubuh itu terletak kelemahan lawan. 
Kalau perhitungannya benar, dia akan bisa memperce-
pat menyelesaikan pertarungan ini. 
Serentak dengan berakhirnya perhitungan ini, maka 
terlihat Sawer Jenar menegang ke arah Pusparini. Si 
Walet Emas yang telah mempersiapkan taktik sera- 
ngan segera merobohkan tubuhnya ke depan. Dia akan 
melancarkan serangan ‘Tukikan Burung Walet ke Atas 
Air’. Gerakannya yang akan berkembang dengan li-
ukan ke atas, diharapkan akan mampu ‘menyendok’ 
tubuh Sawer Jenar. 
Rencana Pusparini berhasil. Karena semua dilaku-
kan dengan cepat di luar perhitungan lawan, akhirnya 
Sawer Jenar kena gampar arah lambungnya sehingga 
meliuk ke atas. Belum sempat dia mengatur pertaha-
nan lagi, si Walet Emas telah mengulangi dengan gam-
paran yang beruntun sehingga Sawer Jenar menjerit 
kesakitan. 
Memang benar. Pada arah lambung itu terletak ke-
lemahan Sawer Jenar, karena pernah terluka sewaktu 
berhadapan dengan lawan yang cukup tangguh. 
Dari kejauhan ada seorang penonton yang terse-
nyum menyaksikan keadaan itu, orang yang bercapil 
lebar yang tiada lain adalah Ki Megatruh. 
“Bagus! Lambung itu memang pernah terluka oleh 
golokku,” kata Ki Megatruh lirih yang seakan-akan per-
cakapan itu hanya untuk didengar sendiri. 
Tapi orang yang berada di sebelahnya cukup men-
dengar. 
“Dia memang bisa diandalkan. Mudah-mudahan ini 
akan mendobrak jalan yang selama ini sulit kita tem-
bus,” kata orang itu yang tiada lain adalah Nyi Wung-
kuk. Tampilnya Nyi Wungkuk di sana tidak banyak 
menarik perhatian orang, sebab dia tampil dengan pe-
nyamaran kerudungnya. “Dia harus selalu waspada 
dengan tindakan-tindakan licik dari Tiga Serangkai 
itu.” 
“Aku sudah memperingatkannya. Mudah-mudahan 
dia cukup waspada,” kata Ki Megatruh. 
Kekalahan Sawer Jenar mengharuskan Jrangkong  
Langit tampil menggantikannya. Langsung tokoh ini 
menggelar sikap dengan serbuan badai gurun. Jrang-
kong Langit memang menguasai angin pukulan yang 
bisa menimbulkan semburan pasir. 
Melihat keadaan ini, kontan Walet Emas mengeluar-
kan jurus terbangnya. Dia meliuk ke atas lalu bergulir 
untuk membuyarkan pertahanan lawan, yang kemu-
dian menerobos ke belakang. Lawan yang kesulitan 
mengimbangi gerakan ini, akan dengan mudah bisa di-
lumpuhkan dari belakang. 
Tapi ternyata perhitungan Pusparini keliru. 
Jrangkong Langit masih mampu menguasai diri 
sambil terus mengibaskan pukulan angin pasirnya. 
Pusparini mencoba mengatasi dengan berkelit lagi 
ke atas. Tapi gerak inipun diburu terus oleh sambaran 
pukulan Jrangkong Langit. 
Pusparini agak kewalahan. Untung ada pikiran un-
tuk menerobos ke samping kanan, suatu peluang yang 
dibiarkan kosong oleh Jrangkong Langit ketika menco-
ba memberi jebakan ke arah Pusparini dengan ‘Kiba-
san Kupu Tarung’. Pada posisi ini Pusparini mendapat 
peluang untuk menohok ke arah dada lawan. 
Mendapat serangan macam ini, si Jrangkong Langit 
kehilangan kuasa diri. Tapi secepat itu pula dia men-
coba menguasai keadaan dengan mencabut senjatanya 
yang bertengger di punggungnya. 
Shring! Trang! Dua bilah senjata beradu. 
Itu terjadi tatkala Pusparini pun bertindak serupa 
ketika dilihatnya lawan telah mencabut senjatanya. 
Kemudian terjadilah baku hantam dengan saling tebas 
dengan pedang. 
Keadaan  inilah yang paling disenangi para penon-
ton, sebab arena tandingnya akan menjalar ke atas 
tonggak-tonggak runcing. 
 
Dalam kesempatan ini Jrangkong Langit benar-be-
nar pamer kebolehan. Setiap orang tahu bahwa yang 
begini sangat diharapkannya, karena dengan mudah 
akan bisa menundukkan lawannya. 
Tapi benarkah akan semudah itu bisa menunduk-
kan si Walet Emas? Ternyata Jrangkong Langit meng-
alami hambatan ketika melakukan serangan gencar 
seperti yang lazim dia lakukan. Sepertinya Pusparini 
dapat membaca setiap rencana geraknya sehingga se-
mua serangannya bisa digagalkan. 
Melihat hal ini Klabang Ireng segera melesat ke te-
ngah gelanggang. 
Tentu saja sambutan cemoohan segera meledak. 
Tindakan mengroyok dipandang sebagai perbuatan ku-
rang ksatria. Tapi kalau hal itu diperkenankan oleh pi-
hak penyelenggara, maka semua cemoohan akan di-
anggap angin lalu saja. 
Setiap orang tahu bahwa pertandingan ini adalah 
tontonan yang tidak bermutu. Mereka tahu bahwa 
Tuan Tanah Ki Jayenglaga hanya mencari jago andalan 
saja yang mungkin bisa dimasukkan ke dalam kelom-
pok kaki tangannya. Dan sampai begitu jauh, hanya 
Klabang Ireng, Jrangkong Langit dan Sawer Jenar yang 
setia mendampingi. 
Selama Pusparini dikeroyok Jrangkong Langit dan 
Klabang Ireng, maka Jayenglaga memperhatikan de-
ngan seksama tanpa melewatkan satu juruspun. Hati 
kecilnya sangat memuji ketangkasan Pusparini yang 
semula dipandang sebagai orang yang harus disingkir-
kan, karena melihat anak buahnya membunuh buro-
nannya. 
Jayenglaga memang memutuskan untuk bertindak 
hati-hati dalam menangani kehadiran Pusparini. Pada 
awalnya telah dikirim anak buahnya yang cuma kelas 
teri untuk menjajagi siapa sebenarnya Pusparini. 
Dan pembunuhan itu sendiri seharusnya tak boleh 
ada saksi di luar orang-orangnya. Dia telah menindak 
seorang punggawa pamong praja sampai terbunuh da-
lam peristiwa di pinggir sungai tempo hari. Kalau sam-
pai hal ini tercium oleh pihak pamong praja yang ber-
kuasa di kadipaten, pasti dirinya akan ditindak. Itulah 
alasannya mengapa dia harus berhati-hati untuk me-
nindak Pusparini. 
Di sisi lain Pusparini yang belum tahu tujuan akhir 
dari permainan ini, hanya meladeni saja. Kalau hal ini 
sampai terjadi pertumpahan darah dengan renggutan 
nyawa, maka akan banyak saksi yang melihat. Tapi 
rupanya pertandingan ini tidak akan sampai mengarah 
ke sana, walaupun senjata tajam telah mereka pergu-
nakan. Sebab kalau sampai melukai dengan keadaan 
parah, maka pertandingan akan dihentikan. 
Itu adalah peraturan semula. Soal menghentikan 
atau tidak, akan tergantung keputusan Jayenglaga 
sendiri. Dia akan  melambaikan kain merah sebagai 
tanda bahwa yang tak berdaya boleh dibunuh di arena 
itu. Peraturan seperti itu telah dipahami oleh Pusparini 
sebelum dia terjun ke gelanggang. Peraturan yang ter-
tulis telah dibacanya sambil menyaksikan pertandi-
ngan pemula yang sudah lewat tadi. Itu sebabnya dia 
merasa lega ketika telah memutuskan memilih nomor 
terakhir pertandingan itu. 
“Dia memang tangguh,” bisik Ki Jayenglaga kepada 
pembantu dekatnya yang duduk di sampingnya. “De-
ngan cara ini kita sulit untuk menyingkirkannya.” 
“Saya kira ada gagasan lain untuk membuat dia tak 
bisa berkutik,” saran pembantunya. 
“Apa itu?” tanya Jayenglaga tanpa mengalihkan per-
hatiannya terhadap Pusparini yang dengan gencar  
menghadapi serangan Jrangkong Langit dan Klabang 
Ireng. 
“Jelas sangat sulit kita menggacokan Tiga Serangkai 
untuk menindaknya. Kita harus mencari cara lain. Be-
berapa waktu yang lalu, saya telah memasang ‘telik 
sandi’ untuk selalu mengikuti gerak-geriknya. Ternyata 
dia telah berhubungan dengan Nyi Wungkuk!” kata 
pembantu Jayenglaga. 
“Apa? Dia telah berhubungan dengan Nyi Wung-
kuk?!” sahut Jayenglaga dengan nada meninggi se-
hingga anak buahnya yang lain menoleh ke arahnya. 
“Bagaimana dia bisa melangkah sejauh itu? Selama ini 
Nyi Wungkuk kita ketahui sebagai wanita tua yang ti-
dak mau kita rangkul. Kita tahu Nyi Wungkuk punya 
kebolehan yang tetap dipendam. Kalau sampai gadis 
itu telah berhubungan dengan Nyi Wungkuk, kita akan 
bertambah kesulitan besar. Kalian harus cari jalan un-
tuk menyingkirkannya tanpa dicurigai oleh siapa pun!” 
Pesan sekilas itu rupanya jadi perintah resmi. 
Sementara pertandingan masih berlangsung, tiba-
tiba di suatu bagian dari arena pertunjukan itu timbul 
kebakaran. Tentu saja hal ini menimbulkan kepanikan 
para penonton. Mereka berhamburan untuk menyela-
matkan diri. Para anak buah Jayenglaga yang punya 
tugas menjaga keamanan dibuat sibuk karena peris-
tiwa ini. 
“Kita hentikan pertandingan ini!” seru Klabang Ireng 
kepada Pusparini. 
“Baik! Harap diketahui, aku belum kalian kalahkan. 
Bahkan nomor ini masih aku menangkan karena ka-
lian mengroyok aku!” sumbar Pusparini. 
“Akan kita lanjutkan dengan cara kita sendiri, tanpa 
wasit dan penyelenggara!” tangkis Klabang Ireng. De-
ngan sekali genjot, maka kepergiannya diikuti oleh dua  
rekannya, yakni Jrangkong Langit dan Sawer Jenar. 
“Hei, ke mana kalian?!” seru Ki Jayenglaga yang me-
lihat gaconya meninggalkan gelanggang. 
Klabang Ireng masih sempat meninggalkan pesan, 
“Kami akan menyelesaikan dengan cara kami sendiri. 
Maafkan kami!” Lalu Tiga Serangkai itu tidak terlihat 
sosok tubuhnya lagi. 
Kini tinggal Pusparini yang masih tegak di sana 
sambil mengawasi Jayenglaga. 
“Sayang aku tidak bisa meladeni acaramu. Maaf, 
aku harus pergi pula,” kata Pusparini sambil melesat 
meninggalkan tempat itu. 
Sementara anak buahnya sibuk memadamkan ke-
bakaran, maka si tuan tanah ini tegak di tempatnya 
sambil memendam kemarahan. Dia segera menaruh 
curiga, jangan-jangan kebakaran itu adalah ulah ta-
ngan-tangan jahil yang sengaja mengacaukan pertan-
dingan itu. 
 
*** 
LIMA 
 
Pusparini baru tahu bahwa yang menyulut kebaka-
ran itu adalah si Thole. Hal itu diketahui sesampai di 
rumah Man Ndoplang dan diceritakan oleh si Thole 
sendiri. 
“Bagaimana kau begitu berani melakukannya?” ta-
nya Pusparini. 
“Nyi Wungkuk yang menyuruh,” jawab si Thole. 
Pusparini termenung. Dia sudah menduga. Tapi tak 
pernah berpikir kalau hal itu dilakukan lewat tangan si 
Thole. 
 
“Bagus. Kau telah berjasa,” kata Pusparini sambil 
menthowel dagu si Thole. “Apakah tidak ada pesan dari 
Nyi Wungkuk?” 
“Mbak Rini disuruh ke Bendo Growong,” kata si 
Thole. 
“Baik. Aku segera ke sana,” kata Pusparini yang be-
ranjak pergi. 
“Tidak sekarang, Mbak. Tapi nanti malam.” 
“Nanti malam? Ah, yang bener. Kau tidak salah 
dengar?” 
“Tidak. Ini benar-benar pesan Nyi Wungkuk,” kata 
si Thole meyakinkan. 
Pusparini termenung lagi. Banyak masalah yang dia 
tidak mengerti. Keterlibatannya dengan tokoh bernama 
Jayenglaga dan Nyi Wungkuk sendiri belum menimbul-
kan titik terang di mana dia akan menemukan Pedang 
Merapi Dahana yang dicuri orang. 
*** 
Ketika saat yang dinanti telah tiba, maka malam 
harinya Pusparini berangkat ke tempat Nyi Wungkuk. 
Pergi ke sana pada malam hari memang membuat eng-
gan. Tapi siapa tahu ada sesuatu yang menguntung-
kan dirinya dengan kedatangannya ke Bendo Growong 
itu? Dengan tindak hati-hati Pusparini menapak jala-
nan yang gelap. Suasana tidak segelap bayangannya. 
Bulan memberi penerangan yang agak lumayan mes-
kipun dirinya berjalan tanpa mempergunakan obor. 
Tapi sebelum sampai di tempat yang dituju, tiba-
tiba Pusparini melihat sesosok tubuh menghadang ja-
lannya. Sesaat kecurigaan timbul. Tapi setelah diamati 
dengan teliti, ternyata sosok tubuh itu adalah orang 
yang dikenalnya. 
“Ki Megatruh?!” kata Pusparini.  
“Hendak ke mana kau malam-malam begini?” tanya 
laki-laki itu. 
“Nyi Wungkuk berpesan agar saya datang ke Bendo 
Growong malam ini,” jawab Pusparini. 
Ki Megatruh agak heran mendengar pesan itu. 
“Siang tadi kami memang bersama-sama menyatroni 
pertandinganmu,” kata Ki Megatruh. “Karena dia tak 
ingin dirimu terjebak berlarut-larut dalam kancah per-
tandingan, maka dilakukan tindakan seperti itu.” 
“Dia menyuruh si Thole membakar pondok di bela-
kang panggung itu, bukan?” kata Pusparini untuk me-
yakinkan cerita si Thole. 
“Yha!” 
“Dan Nyi Wungkuk berpesan agar aku menemuinya 
malam ini di Bendo Growong,” kata Pusparini lagi. 
“Oh, begitu? Pesan yang seperti itu aku tidak men-
dengar. Mungkin saat itu aku agak menjauh darinya, 
sehingga tidak kudengar pesan seperti itu,” kata Ki 
Megatruh. “Tapi... ketahuilah. Aku baru saja ke sana 
sore tadi. Sampai malam ini pun tak kulihat Nyi Wung-
kuk di tempat kediamannya.” 
“Tidak ada di tempatnya?” kata Pusparini. “Ke ma-
na?” 
“Aku tak tahu. Selama ini aku memang menjaga ke-
selamatannya. Ini memang mengandung latar belakang 
masa lampau yang panjang,” kata Ki Megatruh dengan 
suara berat, seakan-akan memendam perasaan yang 
tertekan. 
“Saya jadi ingin mengetahui latar belakang riwayat-
nya,” kata Pusparini sambil menuruti ajakan Ki Mega-
truh untuk duduk di bawah lindungan pohon blinjo. 
Tempat itu jauh dari pemukiman. Lalu dibuatnya api 
unggun di tempat itu. 
“Jadi.... Ki Megatruh ini... pengawal Nyi Wungkuk?”  
tanya Pusparini. “Kalau disebut pengawal, pasti ada 
hubungannya antara abdi dan tuannya.” 
“Nyi Wungkuk itu masih berdarah biru, masih turu-
nan bangsawan. Hanya nasib buruk saja yang mem-
buat dia tersingkir dari lingkungan priyayi!” kata Ki 
Megatruh membuka percakapan. 
“Dan cacat itu pasti bukan sejak lahir,” tanya Pus-
parini memancing, karena dilihatnya Ki Megatruh ma-
sih belum melanjutkan ceritanya. 
“Memang bukan! Itu karena penyiksaan yang dila-
kukan oleh Nyi Blengoh.” 
“Nyi Blengoh? Siapakah Nyi Blengoh itu?” 
“Isteri muda Adipati Agung Sedayu,” jawab Ki Me-
gatruh dengan suara bergetar. 
“Jadi Nyi Wungkuk dulunya istri Adipati Agung Se-
dayu yang pertama?” 
“Benar!” 
“Astaga! Istri seorang Adipati?” terdengar suara 
Pusparini dengan nada kagum. “Kapan terjadinya?” 
“Saat ini usia Nyi Wungkuk hampir tujuh puluh ta-
hun. Peristiwa itu sendiri telah berlalu dari empat pu-
luh tahun yang lalu,” kata Ki Megatruh lebih lanjut. 
“Dia tersisih dari kalangan ningrat, dan kini memen-
dam dendam. Tapi Nyi Blengoh sampai saat inipun ti-
dak tinggal diam. Masing-masing sedang menanti saat 
untuk meledakkan dendamnya.” 
“Tak kuduga kalau sampai begitu memilukan nasib 
yang menimpa Nyi Wungkuk,” gumam Pusparini de-
ngan perasaan yang larut dalam kesedihan. “Lalu, di 
manakah Nyi Blengoh sekarang?” 
“Tentu saja masih berada di Kadipaten Sedayu. Se-
dangkan Adipati Agung Sedayu sendiri telah mangkat 
beberapa tahun yang lalu,” kata Ki Megatruh. “Nama 
Nyi Wungkuk yang kini dikenal banyak orang  hanya  
sebutan perlindungan saja. Nama sebenarnya adalah 
Nyi Saraswati.” 
“Nyi Saraswati? Nama yang indah. Tentunya Nyi 
Wungkuk pada masa mudanya merupakan wanita 
yang cantik,” sela Pusparini memberi penilaian. 
“Ya! Dia memang wanita cantik...!” kata Ki Megatruh 
pelan. 
Hening sesaat. Pusparini mencoba meresapkan ke-
terangan-keterangan itu yang berkaitan dengan kebe-
radaan Nyi Wungkuk, lalu mencoba mengambil kesim-
pulan tentang peranan Ki Megatruh yang tetap setia 
mendampingi Nyi Wungkuk. 
“Pasti... Ki Megatruh bukan abdi Nyi Wungkuk,” ti-
ba-tiba Pusparini memecah kesunyian. 
Laki-laki itu menoleh. Bayangan api unggun yang 
memberi penerangan antara tampak dan tiada, mem-
beri kesan misterius pada wajah laki-laki ini. 
“Apa maksud pertanyaanmu, Nduk?” tanyanya. 
Dipanggil ‘nduk’ yang merupakan singkatan dari 
‘gendhuk’, Pusparini tiba-tiba merasa akrab dengan 
laki-laki bernama Ki Megatruh. Sekilas dia teringat 
akan sosok penampilan almarhum ayahnya sendiri. 
Tegap dan kekar walaupun sudah berusia tujuh pulu-
han. Tak jauh beda dengan Ki Megatruh. 
“Maaf, atas kelancangan pertanyaan saya, Ki. Tapi 
saya ingin tahu lebih banyak tentang hubungan Ki Me-
gatruh dengan Nyi Wung... eh... Saraswati itu!” kata 
Pusparini dengan pandangan tajam seperti ingin me-
nembus benak Ki Megatruh untuk mengetahui segala 
rahasia yang terselubung. 
“Pertanyaan nakal,” jawab Ki Megatruh sambil ter-
senyum. “Pertanyaanmu terdorong oleh gejolak usia-
mu. Apakah kau sendiri pernah jatuh cinta?” 
Pusparini menunduk sambil mengawasi api un- 
ggun. Tangannya mempermainkan ujung kembennya 
yang terjuntai. Pertanyaan kilas balik dari Ki Megatruh 
sangat menggigit perasaannya. Ya! Pernahkah ia jatuh 
cinta? Pernahkah? Pertanyaan inilah yang membuat 
dirinya menunduk menekuri nasibnya sendiri. Dia ta-
hu, wanita seusianya sudah seharusnya membina ru-
mah tangga. Tapi bagaimana pula, kalau hal itu belum 
memungkinkan untuk berpikir ke sana? Keadaan yang 
digeluti membuat dirinya tak ada kesempatan untuk 
merenungkan masalah itu. Walau pada saat-saat sepi 
sekalipun. 
“Wanita selalu malu kalau disuruh mengungkap pe-
rasaannya,” terdengar suara Ki Megatruh. “Tapi kalau 
hal itu kau tanyakan padaku, aku akan menjawab tan-
pa tedeng aling-aling, bahwa aku sangat mencintai Nyi 
Saraswati, yang dikenal oleh orang-orang kini dengan 
panggilan Nyi Wungkuk! Aku mencintai sejak dulu, 
pertama kali bertemu sebelum dia dipersunting oleh 
Adipati Agung Sedayu, bahkan sampai sekarang dalam 
keadaannya yang terbuang itu.” 
“Lalu... tanggapan Nyi Saraswati bagaimana?” desak 
Pusparini yang penasaran ingin tahu tentang kisah 
asmara Ki Megatruh. 
“Sejak dulu dia tahu perasaanku. Tapi hatinya telah 
tertambat oleh Adipati Agung Sedayu itu. Kami pernah 
seperguruan ketika masih remaja. Lalu dia dipersun-
ting oleh Adipati itu. Untuk beberapa waktu, kami ber-
pisah. Perkawinannya dengan Adipati Agung Sedayu 
hanya membuahkan seorang putra. Tapi anak itu pada 
usia tiga tahun diculik oleh gerombolan pengacau yang 
didedengkoti oleh Simbar Menjangan. Karena tidak 
mendapat putra lagi, maka Adipati Agung Sedayu 
mempersunting wanita lagi. Dialah Nyi Blengoh. Wani-
ta ini pun berasal dari suatu perguruan. Jadi boleh di- 
kata, Adipati Agung Sedayu selalu mendambakan wa-
nita yang paling tidak bisa menguasai ilmu bela diri. 
Dari perkawinannya dengan Nyi Blengoh, sang Adipati 
mendapat dua orang keturunan. Seorang putra dan se-
orang putri. Kini masing-masing telah ‘jadi orang’ dan 
memegang jabatan penting di jajaran Kadipaten Se-
dayu.” 
“Tapi bagaimana kisahnya tentang Nyi Saraswati 
yang sampai tersingkirkan dari kadipaten?” tanya Pus-
parini setelah untuk beberapa saat Ki Megatruh ber-
diam diri. 
“Sifat dengki ternyata bercokol di lubuk hati Nyi 
Blengoh. Rupanya dia ingin menghaki peranannya se-
bagai permaisuri tunggal di Kadipaten Sedayu. Dia be-
nar-benar berupaya untuk itu...!” kata Ki Megatruh 
dengan batuk-batuk kecil. 
Ternyata batuk-batuk kecil ini hanya suatu tipuan 
saja untuk menghentikan ceritanya. Ki Megatruh tahu 
bahwa ada seseorang yang datang ke sana yang tiada 
lain Nyi Wungkuk yang sedang jadi bahan pembicara-
annya. 
Pusparini cepat berdiri dari tempatnya ketika meli-
hat tokoh wanita tua berpunggung bungkuk itu. Seki-
las hatinya terharu kalau teringat pengakuan Ki Me-
gatruh tentang wanita itu. 
“Rupanya kau telah menceritakannya,” terdengar 
suara Nyi Wungkuk dengan menghela napas panjang. 
“Maafkan aku,” kata Ki Megatruh. 
“Tak ada yang perlu dimaafkan,” jawab Nyi Wung-
kuk. “Aku telah memanggil Pusparini yang tujuannya 
memang untuk itu. Aku juga ingin menceritakan latar 
belakang semua peristiwa yang membuatku begini. Ka-
rena kini tiba saatnya aku akan bertindak mengada-
kan perhitungan.” 
 
“Jadi benar yang telah diceritakan oleh Ki Mega-
truh?” kata Pusparini. 
“Jadi kau tadi masih meragukan?” tanya Nyi Wung-
kuk dengan suara iba. 
“Tt... tidak! Hanya saja hampir-hampir tak percaya 
ada nasib begitu malang menimpa  diri Nyi Saraswa-
ti...!” jawab Pusparini dengan nada kelu. Terasa ada 
kabut keprihatinan menyapu wajah si Walet Emas ini. 
“Hsstt...! Jangan panggil namaku yang itu. Saras-
wati telah mati. Saraswati yang dulu dicintai oleh pe-
muda bernama Megatruh, telah mati. Saraswati yang 
tidak mengindahkan cinta pemuda Megatruh telah tia-
da....! Oh, alangkah sakit penyesalan itu. Aku hanya 
memburu kedudukan dan sanjungan. Suatu impian 
setiap gadis di Pedukuhan Klampis. Siapa yang tidak 
gandrung dengan hidup yang serba gemerlapan? Tapi 
semua tidak selanggeng yang kuimpikan. Malapetaka 
itu datang dengan rentetan peristiwa yang tak ku-
bayangkan. Dan akhirnya inilah aku, terhempas sam-
pai di sini...!” ucapan ini meluncur dari suara Nyi 
Wungkuk dengan nada bergetar. Jelas terasa ada nada 
kesedihan yang diperam dalam panas api dendam yang 
membara. 
“Beberapa hari yang lalu saya telah kehilangan pe-
dang. Seseorang telah mengambilnya dengan sosok pe-
nampilan bagai Nyi Wungkuk. Apakah ini bukan ulah 
seseorang yang ingin mencemarkan nama Nyi Wung-
kuk?” kata Pusparini. 
“Mulanya aku tak percaya dengan penjelasan Ki Me-
gatruh bahwa ada orang yang menyamar seperti pe-
nampilanku. Hal ini telah menimbulkan kecurigaanku, 
pasti keberadaanku di sini telah tercium oleh Nyi Ble-
ngoh,” kata Nyi Wungkuk. 
“Tapi Ki Megatruh pernah menjelaskan kepada saya  
bahwa ada musuh-musuh Nyi Wungkuk di sini. Me-
reka adalah Jrangkong Langit, Klabang Ireng dan Sa-
wer Jenar. Yang saya ingin tahu, sampai berapa jauh 
permusuhan itu terhadap Nyi Wungkuk?” tanya Pus-
parini dengan menumpuk kayu api unggun agar nya-
lanya berkobar kembali. 
“Belum sampai pada tingkat yang parah. Tapi me-
reka telah lama menyatroni aku. Mungkin keberada-
annya di desa ini hanya untuk menyelidiki siapa aku 
sebenarnya. Dugaanku, pasti mereka dikirim oleh Nyai 
Blengoh. Dan di sini mereka menyamar diri sebagai ja-
goan yang dipelihara oleh Jayenglaga, si tuan tanah 
itu.” 
“Kalau begitu, masalahnya tinggal siapa yang terle-
bih dulu menggebrak dengan tindakan. Memang sulit 
diramal, apakah Tiga Serangkai itu telah tahu siapa 
Nyai sebenarnya,” kata Pusparini mencoba memberi 
pandangan sambil mengawasi Ki Megatruh yang sejak 
kehadiran Nyi Wungkuk, laki-laki itu tetap membisu. 
“Aku pernah bentrok dengan salah seorang di an-
tara mereka, yaitu si Sawer Jenar. Lambungnya per-
nah terluka oleh senjataku. Itu sebabnya sampai saat 
ini perutnya selalu dibalut dengan ketat,” terdengar 
suara Ki Megatruh mengisi percakapan. “Siasatmu se-
waktu melumpuhkan dia sangat jempol. Memang di 
bagian lambung kelemahan dirinya sekarang.” 
“Jadi kalau mereka suatu ketika berpapasan de-
ngan Ki Megatruh, pasti terjadi bentrokan, bukankah 
begitu?” tanya Pusparini memancing. Sebab kalau saja 
Tiga Serangkai mau klayapan di kawasan Bendo Gro-
wong, pasti dengan mudah bisa berhadapan dengan Ki 
Megatruh, dan bentrokan terjadi. 
Ternyata penilaian Pusparini keliru. 
“Tidak,” jawab Ki Megatruh. “Sampai demikian jauh  
mereka tak berani memulai lagi untuk bikin kericuhan 
terlebih dulu. Aku sendiri mulanya tidak tahu apa se-
babnya. Tapi akhirnya sikap mereka bisa kulacak. Itu 
karena perintah Nyi Blengoh! Jelas sudah bahwa me-
reka adalah mata-mata yang dipanjer oleh Nyi Blengoh 
untuk mengawasi Nyi Wungkuk. Yang bisa kuraba, 
pasti Nyi Blengoh sedang mempersiapkan diri untuk 
bisa menindak Nyi Wungkuk. Saat ini mungkin  dia 
masih ragu-ragu, apakah Nyi Wungkuk adalah Nyi Sa-
raswati yang dahulu pernah disingkirkan.” 
“Suatu rahasia yang sebenarnya dengan mudah bi-
sa dilacak,” kata Pusparini. 
“Ini soal harga diri, Nduk,” sela Ki Megatruh. “Akan 
tercela kalau dia sampai bertindak gegabah. Di Kadipa-
ten Sedayu, putranya yang bernama Basunanda men-
jadi adipati pengganti ayahnya. Sedangkan anak pu-
trinya, Pandansari, menjadi wakil adipati. Sampai saat 
ini anak gadisnya tetap tidak berniat disanding oleh 
pria. Memang tak ada seorang pria pun yang berani 
mendekatinya. Dia dikenal seorang wanita yang judes 
dan tinggi hati.” 
“Rupanya mereka sedang menanamkan trah kelu-
arga agar langgeng dalam lingkungan kadipaten. Tapi 
satu hal yang saya belum tahu, bagaimana Nyi Wung-
kuk bisa tersingkir? Apakah hal itu tidak bisa ditang-
gulangi sejak awal?” tanya Pusparini yang semakin 
menggebu ingin tahu. 
“Kalau itu suatu pengkhianatan, pastilah telah di-
rencanakan dengan matang. Dan benar-benar terjadi 
menimpaku. Aku difitnah sehingga Adipati Agung Se-
dayu murka. Aku dikatakan punya niat untuk menying-
kirkan kedua anak mereka. Tentu saja aku mengelak 
tuduhannya. Tapi si Blengoh bersikeras bisa membuk-
tikan fitnahan itu. Aku diadili dengan tuduhan yang  
dibuat-buat. Aku dipaksa meminum minuman yang 
beracun. Aku nekad membuktikan bahwa itu bukan 
kerjaku. Itu cuma fitnah. Tapi sang Adipati yang telah 
mabuk kepayang dengan cumbu rayu si Blengoh, tetap 
menghendaki pengadilan itu. Akhirnya aku meminum 
minuman beracun itu sebagai bukti bahwa aku tak 
bersalah.” 
“Lalu?” tanya Pusparini tidak sabar lagi karena Nyi 
Wungkuk menghentikan kisahnya. 
“Aku tak tahu apa yang terjadi kemudian setelah 
minuman itu kuminum. Aku tak ingat apa-apa lagi. 
Ketika aku sadar, telah kulihat Ki Megatruh berada di 
sampingku. Aku telah berada di tempat lain...!” terde-
ngar ucapan Nyi Wungkuk memberi penjelasan. 
“Nyi Saraswati dibuang ke dalam jurang...!” sela Ki 
Megatruh. “Seorang pertapa menemukan dirinya ter-
sangkut di pepohonan. Pertapa itu bekas guruku. Na-
manya Ki Ageng Lejar Manyura. Dia menghubungi aku. 
Nyawa Nyi Saraswati berhasil kami selamatkan. Hanya 
cacat punggungnya itu yang tetap menandai seumur 
hidupnya, sebagai kenangan atas peristiwa tersebut...!” 

*** 

ENAM 
 
Pusparini terbaring di tempat tidurnya. Sesaat yang 
lalu telah berlangsung pertemuannya dengan Nyi 
Wungkuk yang mengungkapkan masa lampaunya. Se-
benarnya hal semacam itu bisa saja terjadi pada setiap 
orang. Keterlibatannya, karena dia akan mencari siapa 
yang mencuri Pedang Merapi Dahana. 
Malam yang semakin larut bahkan tidak bisa mem-
buat Pusparini tidur. Timbul firasatnya bahwa akan  
ada sesuatu yang terjadi. Dan itu tidak seperti bia-
sanya meskipun hampir sehari semalam tenaganya be-
lum mengalami istirahat. Siang tadi dia berhadapan 
dengan Tiga Serangkai. Malam harinya bergadang se-
bentar dengan Nyi Wungkuk yang mengungkap masa 
lampaunya. Ketika malam semakin bergeser, dia baru 
kembali ke tempat penginapannya. 
Seperti firasatnya yang terasa terusik, maka Puspa-
rini mempertajam indranya untuk mendengarkan 
langkah-langkah lembut yang dicurigai menapak di 
atas atap rumah. Dia segera beranjak dengan langkah 
lembut. Jendela dibuka dengan pelan, lalu melesat ke-
luar dengan gerakan ringan. Dari tempatnya berpijak, 
dia melihat sosok tubuh berambut putih mengendap di 
atas atap rumah. 
“Nyi Wungkuk?!” pikir Pusparini ragu-ragu. 
Prasangkanya lalu timbul bahwa itu bukan Nyi 
Wungkuk yang baru saja ditemui. Kalaulah Nyi Wung-
kuk datang lagi untuk menemui, mustahil dengan cara 
dan saat seperti ini. Didorong oleh prasangka buruk-
nya, maka Pusparini segera melesat dengan terjangan 
ke arah sosok tubuh berambut pulih itu. 
Tapi rupanya sasaran yang dituju cukup waspada 
dengan serangan itu. Sebelum kakinya menghunjam 
ke arah sasaran, maka sosok tubuh berambut putih 
telah berkelit sambil mengirim pukulan. 
Mendapat sambutan semacam ini Pusparini tak bi-
sa berkutik untuk mengatasi diri. Betisnya kena gam-
par karena tak sempat mengubah gerak. Tapi tak be-
rarti harus menyerah begitu saja. Dalam keadaan kehi-
langan keseimbangan, dia mencoba bergulir ke kiri, 
sebab peluang ini yang tampak bisa diandalkan. 
Tapi mendadak arah ini dikunci oleh lawannya, se-
hingga untuk kedua kalinya Pusparini kehilangan daya  
menangkal serangan. 
Melihat Pusparini kedodoran sikap, sang lawan te-
rus mendesak dengan terjangan-terjangan yang mema-
tikan. Pusparini terus melemparkan tubuhnya ke ba-
wah. 
Medan laga kini beralih di darat. Di sini Pusparini 
mendapat kesempatan untuk membenahi posisinya. 
“Kau bukan Nyi Wungkuk!” seru Pusparini sambil 
memberi gebrakan serangan. Sekilas terlihat bahwa 
orang itu memakai topeng dengan wajah seorang tua. 
“Kau yang mencuri pedangku!”. 
Pusparini terus ngomel dengan memberi serangan. 
Perasaan menggelegak ini sangat membantu dirinya 
dalam melancarkan serangan. Paling tidak ingin mele-
mahkan mental lawan yang penyamarannya telah di-
ketahui. Tapi siapa di balik kedok itu, memerlukan 
waktu dan tenaga untuk menyingkapnya. 
Dan tekad Pusparini malam ini diharapkan sudah 
bisa disingkap tabir penyamaran itu. 
“Dengan penyamaranmu, menunjukkan betapa pe-
ngecut dirimu!” seru Pusparini lagi. 
Kali ini lawannya benar-benar kehilangan kesempa-
tan untuk menanggulangi serangan si Walet Emas 
yang makin menggila. Jurus ‘Walet Terbang Malam’ 
sangat mengecoh lawan, sebab serangan ini dilancar-
kan dengan gerak tipu liukan tubuh yang sulit dipan-
tau. Apalagi dalam suasana malam, jurus itu sangat 
cocok dalam suasana seperti ini. Dan sasaran Puspa-
rini hanya ingin menjambret kedok itu. Tapi alangkah 
sulitnya. 
“Kalau kau klayapan kemari pasti punya tujuan ter-
tentu! Katakan apa maumu!” gertak Pusparini lagi. 
Baru saat inilah, sosok tubuh yang menyamar se-
bagai Nyi Wungkuk menghentikan serangannya. Agak- 
nya kata-kata itu meyakinkan dirinya. Ditambah sikap 
Pusparini sendiri yang tidak melanjutkan serangan, 
maka orang bertopeng itu membuka kedoknya. 
Pusparini mencoba menyimak wajah yang kini ter-
buka.... Wajah seorang laki-laki. 
“Siapa kau sebenarnya? Mengapa menyamar seba-
gai Nyi Wungkuk?” tanya Pusparini. 
“Jadi kita bisa bicara baik-baik ?” terdengar ucapan 
laki-laki itu. 
“Kau boleh jadi tamuku. Ayo masuk. Tidak baik 
berbicara di luar, asal kau tidak kurang ajar lagi!” 
Aneh! Ketegangan itu telah mencair jadi keramah-
tamahan. Tapi Pusparini tetap waspada. 
“Terus terang saja, bukankah kau yang mencuri pe-
dang dan pakaianku?!” tuduh Pusparini. 
“Ya! Dan aku bermaksud mengembalikan,” kata la-
ki-laki itu. 
“Apa aku tidak salah dengar?” sela Pusparini. 
Semula dia memang menghendaki bisa menemukan 
pedangnya kembali. Tapi ketika mendengar pengakuan 
laki-laki itu, maka kecurigaannya timbul. 
“Lalu apa maksud semua tindakanmu? Kau telah 
merepotkan aku sehingga terlibat dalam urusan Nyi 
Wungkuk. Siapa kau sebenarnya, hah?!” 
“Namaku Biyantara!” jawab laki-laki itu. 
“Biyantara?!” kata Pusparini mengulang. 
“Jangan sebut namamu. Aku telah tahu namamu,” 
kata laki-laki bernama Biyantara. 
“Oh, ya?! Jadi sudah tahu? Tentunya kau banyak 
menyelidiki tentang diriku.” 
“Sejak kau memasuki kawasan ini, kau telah ku-
buntuti. Bahkan ketika petir menyambar sehingga kau 
terlempar dari kudamu, aku berada tak jauh darimu.” 
Tiba-tiba Pusparini merasa tidak enak dengan peng- 
akuan itu. Rasa-rasanya dirinya telah dimata-matai 
oleh seorang yang tidak dikenal tanpa alasan yang je-
las. 
“Mengapa kau memata-matai aku? Apa yang kau 
lakukan ketika aku tertidur setelah sambaran petir 
itu?” tanya Pusparini penasaran. 
“Hanya memandangimu saja,” jawab Biyantara. 
“Cuma itu?” 
“Ya. Hanya memandangimu saja. Menikmati roman 
mukamu yang lelah, terpejam.” 
“Kalau begitu kau kurang ajar,” sela Pusparini. 
“Apa ada undang-undang yang melarang meman-
dangi orang lagi tidur?” 
“Itu tidak sopan!” 
“Aku tidak berbuat apa-apa. Menyentuhmu pun ti-
dak.” 
“Kemudian kau berniat mencuri pedangku? Me-
ngapa tidak kau lakukan pada saat itu juga?” 
“Belum terpikir olehku untuk mencuri pedangmu!” 
“Lalu mengapa kau lakukan di kala aku sedang 
mandi? Kau curi pula bajuku. Itu namanya sudah ke-
terlaluan,” kata Pusparini menggebu. “Kini kuminta 
pedangku. Pakaianku kurelakan seandainya telah kau 
rombengkan!” 
“Semua masih wutuh!” kata Biyantara dengan mem-
benahi punggungnya yang menyerupai orang bungkuk. 
Ketika jubah itu dibuka, ternyata ada sebuntal bung-
kusan di punggungnya. “Ini pakaianmu. Masih seperti 
semula.” 
Pusparini geleng-geleng melihat perbuatan laki-laki 
itu. Sejenak dia mengawasi laki-laki bernama Biyanta-
ra. Wajahnya tidak terlalu tampan, tapi enak dilihat. 
Raut mukanya mencerminkan seseorang yang keras 
hati yang terselubung sifat lembut. Alisnya tebal. Da- 
gunya terlihat jelas tempat persemaian cambang yang 
tidak dicukur bersih. Dan melihat penampilannya, Bi-
yantara adalah seorang laki-laki yang umurnya hampir 
mencapai kepala empat. Jauh di atas usia Pusparini. 
Tapi gayanya masih ‘mbocahi’. 
“Di mana pedangku?” tanya Pusparini setelah meli-
hat pakaiannya diserahkan kembali oleh Biyantara. 
“Justru itu yang membuat aku datang ke tempat ini 
untuk menemuimu,” jawab laki-laki itu. 
“Oh, kata-katamu mencemaskan aku. Kau ingin 
berkata bahwa pedang itu tidak di tanganmu lagi alias 
hilang?” kata Pusparini menderas ingin tahu. 
“Pedang itu... telah jatuh ke tangan Adipati Basu-
nanda!” jawab Biyantara dengan suara berat. 
“Bagaimana hal itu bisa terjadi?” meluncur kata-
kata Pusparini dengan nada heran. Dia tahu siapa 
Adipati Basunanda. Kalau benar senjata itu telah be-
rada di tangan Adipati itu, berarti dirinya benar-benar 
akan terlibat dengan urusan Nyi Wungkuk. 
“Katakan, bagaimana Adipati itu bisa mengambil 
pedang tersebut?” 
“Karena dia tahu keampuhannya ketika kupergu-
nakan untuk menjajal pedang lawan tandingku!” 
“Gila! Sedang apa kau saat itu? Bertanding dan dili-
hat oleh Adipati itu?” tanya Pusparini yang makin pe-
nasaran. 
“Aku adalah seorang Abdi Bhayangkara Kadipaten 
Sedayu. Ketika ada para begal yang hendak merampok 
iring-iringan Sang Adipati, kami, Abdi Bhayangkara se-
gera bertindak. Aku mempergunakan pedangmu... 
yang ternyata sangat mengejutkan aku ketika kucabut 
dari sarungnya. Pedang itu memancarkan cahaya me-
rah. Dan senjata para begal berhasil kurontokkan se-
hingga mereka bercerai-berai. Saat itu Sang Adipati  
memanggil aku dan menanyakan soal pedang itu. Ku-
jawab, senjata itu adalah warisan leluhurku. Tapi dia 
tidak percaya. Dia menyebut pedang itu Pedang Merapi 
Dahana! Ternyata dia mengenal ciri-cirinya.” 
“Dan pedang itu kau serahkan kepadanya?” 
“Ya! Karena dia menghendaki dengan imbalan uang. 
Tapi aku menolaknya. Aku hanya memohon jabatanku 
bisa naik ke jenjang yang lebih tinggi. Kini pangkatku 
adalah Perwira Tamtama Kadipaten yang membawahi 
Laskar Bhayangkara,” kata Biyantara. 
“Itu jabatan yang kau capai dengan cara kotor!” cela 
Pusparini. “Itu tak berarti kau kini harus sudah lepas 
dari tanggung jawabmu. Aku tetap akan menuntut 
kembalinya pedang itu!” 
“Dengar, Pusparini! Aku kemari didorong oleh rasa 
tanggung jawab pula. Aku benar-benar menyesal kare-
na pedang itu telah jatuh ke tangan sang Adipati. Ka-
lau tidak, pasti aku tidak akan kemari,” tangkis Biyan-
tara. 
“Sikapmu memang aneh! Aku jadi curiga kepada-
mu. Tindakanmu perlu diadili. Kau telah bersalah ter-
hadapku dan bersalah kepada Nyi Wungkuk. Tahukah 
kamu, bahwa dengan penyamaranmu sebagai Nyi 
Wungkuk, maka orang akan berpikir lain terhadap 
orang tua yang bernasib malang itu?” sergap Pusparini 
dengan tuduhan yang menyudutkan. 
“Apakah kau berpikir bahwa Nyi Wungkuk itu ha-
nya seorang tua yang loyo?” kini ganti Biyantara yang 
mencoba memancing pertanyaan. “Dia adalah tokoh 
yang terselubung, dan aku hanya ingin memancing 
perhatian orang-orang, terutama orang yang mungkin 
mengerti dengan keberadaannya di Bendo Growong 
itu.” 
Pusparini menatap tajam kepada Biyantara. Tiba- 
tiba banyak yang ingin diketahui dari laki-laki yang 
agaknya menyimpan rencana yang terselubung itu. 
“Siapa sebenarnya kau ini, Biyantara? Mengapa 
mencoba membangkitkan Nyi Wungkuk dari ‘tidur-
nya’? Pasti kau tahu tentang masa lampau wanita tua 
itu!” 
“Aku adalah anak Simbar Menjangan! Apakah nama 
ini punya arti bagimu?” kata Biyantara dengan tegas. 
“Anak Simbar Menjangan?” ulang Pusparini dengan 
nada terperangah. Sebab seberapa saat yang lalu nama 
Simbar Menjangan pernah didengarnya dari penga-
kuan Ki Megatruh. 
“Apakah kau juga mengenal nama Ki Megatruh yang 
selama ini mendampingi Nyi Wungkuk? Ketahuilah, 
nama Simbar Menjangan beberapa saat yang lalu ku-
dengar dari pengakuan Ki Megatruh.” 
“Oh, ya? Apa yang dikatakannya?” desak Biyantara 
yang ganti penasaran ingin tahu. 
“Aku telah banyak tahu tentang masa lampau Nyi 
Wungkuk. Dikatakannya, bahwa Nyi Wungkuk pernah 
kehilangan putranya yang berusia tiga tahun, diculik 
oleh gerombolan pengacau bernama Simbar Menja-
ngan.” 
Hening. Tak ada percakapan lagi. Biyantara sebe-
narnya bisa terkejut mendengar penjelasan Pusparini. 
Tapi karena dia telah menjaga semua kemungkinan 
yang diketahui orang lain, maka dicoba meredam pera-
saannya untuk tidak terkejut. 
“Kuharap semua ini tidak menjadi masalah yang 
terselubung lagi,” sambung Pusparini. “Apakah dengan 
penjelasan ini kau merasa lega? Atau... ada hal yang 
kau ingin jelaskan lagi?” 
“Kukira... kau akan menjadi orang pertama yang 
memberi pandangan bahwa aku adalah anak yang  
pernah diculik oleh Simbar Menjangan. Beginikah yang 
kau pikirkan?” kata Biyantara. 
Tapi ternyata Pusparini tidak cepat menanggapi 
bahwa hal itu mungkin benar, mungkin juga tidak. 
“Kau berpikir bahwa aku adalah anak yang diculik 
itu?” ulang Biyantara ketika diketahui Pusparini tetap 
membisu. 
“Kuncinya terletak pada perasaanmu sendiri! Ini 
bukan masalahku. Masalahku hanya mengupayakan 
agar pedang itu kembali lagi kepadaku!” jawab Puspa-
rini tegas. 
“Cobalah memberi pandangan,” terdengar suara Bi-
yantara dengan nada penuh harap. 
“Kedengarannya kau putus asa. Tidak imbang sama 
sekali dengan penampilanmu yang pertama kali ben-
trok denganku,” kata Pusparini yang sebenarnya me-
nyimpan rasa terkejut ketika Biyantara mengaku seba-
gai anak Simbar Menjangan. 
“Ini menjadi masalah yang terselubung bagiku sete-
lah kematian Simbar Menjangan dalam suatu bentro-
kan dengan sesama para pengacau. Ketika dia tewas, 
aku masih berumur sepuluh tahun. Kemudian aku di-
asuh oleh salah seorang anak buahnya yang kemudian 
menjadi petani. Kalau aku dianggap menjadi seorang 
anak hasil dari penculikan, rasanya hal itu tak akan 
begitu sulit untuk dibuktikan. Yang membuat ragu 
adalah, bahwa ada anak lain dari Simbar Menjangan 
yang juga diselamatkan oleh salah seorang anak 
buahnya. Hal itu kuketahui setelah aku menginjak de-
wasa.” 
“Hm! Rumit juga kedengarannya. Kalau begitu kau 
tidak tahu bahwa Simbar Menjangan mempunyai anak 
lain selain dirimu?” tanya Pusparini. 
“Tidak! Sebab aku pun selama itu tak pernah dekat  
dengan Simbar Menjangan. Aku diasuh di desa lain. 
Tapi selalu diberitahu bahwa aku adalah anak Simbar 
Menjangan. Paling akhir anak Simbar Menjangan yang 
lain itu kuketahui telah menjadi orang terkenal di desa 
ini, namanya Jayenglaga!” 
“Jayenglaga, tuan tanah itu?!” sela Pusparini. 
“Yha!!” 
“Benar-benar tak kuduga kalau ada masalah rumit 
seperti itu. Jadi kehadiranmu kemari untuk mengung-
kap masalah ini kepadaku?” tanya Pusparini. “Me-
ngapa aku yang kau datangi? Mengapa tidak kepada Ki 
Megatruh, atau langsung mengungkap hal ini kepada 
Nyi Wungkuk?” 
“Sementara ini memang ada kecurigaan, bahwa Nyi 
Wungkuk diduga sebagai bekas istri dari Adipati Agung 
Sedayu yang telah tewas. Yang meragukan hanya, ba-
gaimana dia bisa dinyatakan hidup lagi!” kata Biyanta-
ra. 
“Kini aku mengerti!” kata Pusparini. “Kau mempu-
nyai masalah tentang kerinduan terhadap seorang 
ibu!” 
“Yha! Sebab sampai begitu jauh, selama aku diang-
gap sebagai anak Simbar Menjangan, tak pernah ku-
temukan sosok seorang ibu, kecuali seorang wanita 
yang mengasuhku, istri anak buahnya!” 
“Seharusnya kau menemui Jayenglaga si tuan ta-
nah itu untuk mengungkap masalah ini!” saran Puspa-
rini. 
“Sudah! Tapi aku dianggap orang tidak waras. Ra-
sanya dia merasa terhina kalau dianggap keturunan 
Simbar Menjangan yang kesohor sebagai dedengkot 
pengacau masa lalu!” 
“Keterlibatanku dengan dia karena aku pernah me-
mergoki anak buahnya membunuh seseorang. Pasti  
orang itu memegang rahasia yang tak boleh diketahui 
orang lain.” sela Pusparini untuk memberi penjelasan 
kepada Biyantara yang tampaknya membutuhkan ke-
terangan sampai berapa jauh pengetahuannya menge-
nal Jayenglaga. “Rupanya dia tetap mengincar nya-
waku. Sayang, aku tak tahu peranan orang yang ter-
bunuh itu.” 
“Begini! Dari pihak Bhayangkara Kadipaten Sedayu 
telah tahu akan hal itu. Kami menyelidiki bahwa orang 
tua asuh Jayenglaga telah dibunuh orang. Dan sak-
sinya adalah laki-laki bernama Klungsur.” 
“Klungsur?” sela Pusparini. 
“Ya, Klungsur, orang yang kau lihat dibunuh di tepi 
sungai itu!” jawab Biyantara. 
“Ohh,” gumam Pusparini lirih, yang agaknya telah 
dapat mengambil kesimpulan dari mata rantai semua 
peristiwa yang terkait. “Kini persoalannya siapa di an-
tara kalian berdua yang benar-benar putra Nyi Wung-
kuk yang pernah diculik oleh Simbar Menjangan!” 
Biyantara tetap membisu. 
Pusparini mengawasi laki-laki itu dengan berbagai 
penilaian. Kiranya laki-laki bernama Biyantara ini te-
lah menguntit dirinya sejak dia memasuki desa itu. 
Herannya, dia sampai tak bisa tahu. 
Kini teka-teki tentang korban pembunuhan di tepi 
sungai telah diketahui. Yang jelas, Tuan Tanah Ja-
yenglaga pasti tetap mencari kesempatan untuk mem-
bunuhnya agar rahasia tersebut tidak menyebar dari 
mulut orang itu. 
“Aku akan mengungkapkan hal ini kepada Nyi 
Wungkuk,” kata Pusparini kemudian. 
“Kuharap jangan kau lakukan. Biar aku yang meng-
ungkapkannya. Aku khawatir dia bahkan tidak per-
caya dengan semua cerita yang didengarnya. Lagipula,  
aku masih ragu apakah aku ini anaknya yang pernah 
hilang diculik oleh Simbar Menjangan,” kata Biyantara 
dengan nada lesu. 
“Kalau bukan kau... pasti si Jayenglaga!” terka Pus-
parini. 
Biyantara mengangguk pelan. “Yang penting, akan 
kuusahakan bagaimana pedangmu bisa kembali lagi 
ke tanganmu!” 
“Pasti tak akan begitu mudah. Terima kasih atas ke-
jujuranmu!” kata Pusparini. “Tapi aku pun akan men-
cari jalan sendiri untuk mendapatkannya. Kuharap 
kau membantuku. Maksudku, kalau aku sampai bisa 
masuk ke Kadipaten, perlonggarlah penjagaan di sa-
na.” 
Biyantara tersenyum. “Aneh rasanya. Sikapku jadi 
seperti layang-layang putus. Aku seperti kehilangan 
pegangan. Yang kudambakan hanya satu, apakah Nyi 
Wungkuk itu ibuku atau bukan. Itu saja. Nah, sampai 
di sini dulu. Aku akan kembali ke tempatku.” 
Mereka berpisah. Biyantara melesat meninggalkan 
tempat itu sementara fajar mulai merekah di ufuk ti-
mur. 
Pusparini menghela napas panjang ketika sosok tu-
buh laki-laki bernama Biyantara itu lenyap di tikungan 
sana. 
Baru pada saat inilah rasa kantuk itu tiba-tiba me-
nyerang dirinya. Dia berniat untuk merebahkan diri-
nya di balai-balai. Dia bertekad untuk mbangkong hari 
itu, bangun pada siang hari. Tubuhnya terlalu le-
mah...! 

*** 

TUJUH 
 
 
Di Kadipaten Sedayu terlihat lengang. Hujan sema-
kin membekukan suasana di sana. Senja kian tema-
ram. 
Di sebuah ruangan keluarga, terjadi pertemuan da-
lam percakapan yang tegang. 
“Aku sudah tidak tahan lagi untuk menunda-nunda 
tindakan ini,” kata seorang wanita yang sangat ber-
pengaruh di kadipaten itu. Dia tiada lain adalah Nyi 
Blengoh, janda Adipati Agung Sedayu. Di sana hadir 
pula kedua putranya, Basunanda dan Pandansari. 
“Ibu harus dapat menahan diri. Apa jadinya kalau 
orang yang kita curigai itu bukan Nyi Saraswati?” kata 
Basunanda, putranya yang kini menjabat adipati di 
Kadipaten Sedayu. 
“Apa susahnya menindak dia seandainya dia benar-
benar Nyi Saraswati? Kuharap Ibu jangan khawatir. 
Kedudukan kita semakin kuat. Maksudku... aku telah 
memiliki senjata andalan. Apakah Ibu pernah mende-
ngar Pedang Merapi Dahana?” 
“Pedang Merapi Dahana?” kata Nyi Blengoh. “Bu-
kankah itu pedang yang sering jadi dongengan?” 
“Bukan dongengan lagi. Pedang itu telah berada di 
tanganku!” kata Basunanda dengan membuka sebuah 
bungkusan yang berbentuk panjang. Setelah kain yang 
membungkusnya dibuka, kini terlihat sebilah pedang 
yang sarung dan hulunya diukir dengan indah. “Inilah 
Pedang Merapi Dahana yang dibuat pada zaman Raja 
Samaratungga, pendiri Candi Borobudur!” 
Nyi Blengoh dan Pandansari terperangah menyaksi-
kan pedang itu. 
“Bagaimana kau bisa mendapatkan pedang ini? 
Mungkin kau terkecoh oleh bentuk-bentuk yang mirip. 
Katakanlah, pedang ini palsu dan kau lelah membe- 
linya dari seseorang. Begitu?” kata Nyi Blengoh dengan 
merenggut pedang itu dari tangan anaknya. Lalu de-
ngan tidak srantan, pedang itu dikeluarkan dari sa-
rungnya. 
“Pedang ini akan memancarkan cahaya merah  apa-
bila tertimpa sinar matahari,” kata Basunanda membe-
ri wawasan. “Kalau sudah begitu, tak akan ada logam 
yang bisa menandingi!” 
“Hm! Tampaknya begitu. Tapi kini dengan perpa-
duan mantera, seseorang telah bisa menciptakan pe-
dang untuk menandinginya,” kata Nyi Blengoh sambil 
menyarungkan pedang tersebut. 
“Kita memiliki Pedang Merapi Dahana atau tidak, 
maka wanita yang bernama Nyi Wungkuk itu harus  
kita tindak sekarang!” sela Pandansari. 
Tampak wajah judesnya yang membuat setiap lelaki 
enggan mendekatinya, sehingga menjadi perawan ka-
sep. 
Meskipun kedudukannya sebagai Wakil Adipati Ka-
dipaten Sedayu, tapi kekuasaan ini tak bisa membuat-
nya bahagia apabila sudah berfikir tentang laki-laki 
pendamping. Oleh sebab itu, dicarinya cara lain untuk 
mendapatkan apa yang dia inginkan apabila hasrat bi-
rahinya menggelegak. Dia ‘membeli’ laki-laki. Umum-
nya pemuda-pemudi yang berusia pancaroba. Dan ini 
bukan menjadi rahasia umum lagi. Hanya saja tak ada 
seorang pun yang berani mencemoohkan tindakannya 
secara terang-terangan. 
Sedangkan Adipati Basunanda juga begitu. Sampai 
sekarang belum ada seorang wanita yang dijadikan is-
trinya. Tapi sudah berapa banyak setiap gadis yang ja-
di korbannya, hanya dia yang tahu. Dan penduduk 
cuma bisa bungkam saja. Dan di kadipaten itu, kebeja-
tan moral mendapat porsi utama! 
 
“Aku ingin tahu dari mana kau mendapatkan pe-
dang itu!” tanya Nyi Blengoh. 
Basunanda tersenyum. Tampak senyum ini men-
cerminkan senyum orang yang berkuasa di mana tak 
seorang pun boleh menantang kehendaknya. 
“Ibu tahu orang bernama Biyantara yang kini men-
duduki jabatan Perwira Tamtama Kadipaten? Dialah 
yang memiliki pedang tersebut. Hal itu kuketahui keti-
ka dalam perjalananku ada sekelompok pengacau 
hendak membegal aku. Biyantara bertindak dengan 
mengeluarkan pedangnya. Pedang itu bercahaya me-
rah ketika ditimpa sinar matahari, dan semua pedang 
lawan berantakan semua!” 
“Kau semborono! Bagaimana seseorang yang memi-
liki pedang seampuh itu kau beri jabatan tinggi?!” sela 
Nyi Blengoh dengan nada sengol. 
“Sabar, Bu! Ini semua menjadi tanggung jawabku. 
Itu adalah imbalan yang dia harapkan. Dan rupanya 
dia cukup bahagia dengan jabatannya,” kata Basu-
nanda. 
Nyi Blengoh memandang tajam kepada anaknya 
yang baru saja memberi wawasan. 
“Baik! Untuk urusan Kadipaten ini memang tugas-
mu. Tapi kau jangan lagi mencegahku untuk me-
nyatroni Nyi Wungkuk itu,” kata Nyi Blengoh. “Kalau 
saja aku tidak mendapat berita dari seorang murid dari 
Perguruan Cempaka Putih yang dipimpin oleh Ki Ageng 
Lejar Manyura, aku tidak penasaran seperti ini. Sa-
yang, orang itu tak kuketahui ke mana perginya, se-
hingga aku tak dapat menyelidiki dengan pasti tentang 
omongannya itu. Sebab, kalau kuselidiki, jangan-ja-
ngan ada pihak lain yang tahu rahasia tersebut.” 
“Nah, Ibupun punya perasaan was-was juga. Kita 
jangan gegabah. Kelihatannya selama ini belum ada  
tanda-tanda yang menimbulkan kecurigaan. Ibu telah 
memasang mata-mata yang kini jadi kaki tangan Ja-
yenglaga. Dari laporan mereka pun belum ada yang bi-
sa meyakinkan bahwa orang yang kita curigai adalah 
orang yang dulu bernama Nyi Saraswati. Hanya saja si 
Sawer Jenar pernah bentrok dengan laki-laki bernama 
Ki Megatruh yang selalu mendampingi wanita tua itu,” 
kata Pandansari yang mulai buka suara dengan gen-
car. Sejak tadi dia hanya bicara seperlunya, karena te-
lah bosan membicarakan masalah ibunya. 
“Apa kau bilang? Coba, kau tadi menyebut nama 
siapa?” tanya Nyi Blengoh. 
“Ki Megatruh!” jawab Pandansari tegas. 
“Astaga! Orang itu yang pernah memberitahu aku 
tentang Nyi Saraswati yang masih hidup!” kata Nyi Ble-
ngoh. “Ya, dialah murid Ki Lejar Manyura yang pernah 
bertemu dengan aku beberapa belas tahun yang lalu. 
Dikatakannya, bahwa Nyi Saraswati sedang memper-
tinggi ilmunya untuk membalas dendam. Itu sebabnya 
aku pun tidak tinggal diam. Kusempurnakan ilmu ka-
nuraganku untuk menjaga sewaktu-waktu Nyi Saras-
wati muncul!” 
“Kalau begitu kita cari laki-laki bernama Ki Mega-
truh itu!” Basunanda memberi sara. “Kalau dia pernah 
bentrok dengan Sawer Jenar, kukira tak begitu sulit 
untuk melacak jejaknya!” 

*** 

Nama Ki Megatruh kini jadi tumpuan perhatian. E-
sok harinya Basunanda dan Pandansari menuju ke 
rumah Ki Jayenglaga, si tuan tanah. 
Tentu saja kedatangan dua orang penting dari Ka-
dipaten Sedayu ini sangat mengejutkannya. 
“Tumben sang Adipati sepagi ini hadir di pondok  
saya. Angin apa gerangan yang meniupkan langkah 
paduka berdua?” sambut Jayenglaga dengan penuh 
keramah-tamahan. 
“Ada sesuatu yang sangat penting. Itu sebabnya aku 
berkenan hadir sendiri kemari,” kata Adipati Basunan-
da. “Aku hanya ingin bertemu dengan anak buah ke-
percayaanmu, si Tiga Serangkai itu. Terutama dengan 
Sawer Jenar!” 
“Ah! Ini benar-benar menyesalkan kalau hari ini pa-
duka menanyakan mereka,” jawab Jayenglaga. “Sudah 
beberapa hari ini mereka bertiga tidak muncul di sini 
sejak kami mengadakan pertunjukan adu pertandi-
ngan tempo hari.” 
“Ki Jayenglaga, kau tahu bahwa aku tak pernah 
gagal dalam mencari seseorang? Kuharap hal ini tidak 
menimbulkan kesulitanku. Aku menghendaki mereka 
hadir di hadapanku secepatnya!” kata Basunanda de-
ngan suara mantap. 
Jayenglaga yang mengerti sifat adipati itu segera 
memerintahkan anak buahnya untuk mencari Tiga Se-
rangkai. 

*** 

“Mohon paduka sabar. Tidak biasanya mereka se-
perti ini. Biasanya mereka selalu hadir di sini setiap 
harinya,” kata Jayenglaga dengan memberi isyarat ke-
pada pelayannya agar mengeluarkan hidangan yang le-
bih semarak. 
Tapi belum berapa lama mereka menanti kedata-
ngan Tiga Serangkai, tiba-tiba utusan yang disuruh 
mencari Tiga Serangkai telah kembali dengan napas te-
rengah-engah. 
“Ketiwasan, Ki Jayeng! Mmm... me... reka... tt... te-
lah tewas semua!” 
 
“Apa katamu?!” seru Jayenglaga. 
“Mm... mer.. mereka saya dapati terkapar di pon-
doknya! Rupanya mereka telah tewas beberapa hari 
yang lalu!” kata utusan itu dengan nada bergelut. 
Mendengar laporan seperti itu, tanpa pikir panjang 
Adipati Basunanda berangkat agar diantar ke tempat 
Tiga Serangkai. 
Ki Jayenglaga mengiringi dengan mengerahkan 
anak buahnya agar mencari sisik-melik berita tentang 
kejadian tersebut. 
Tak berapa lama kemudian, mereka telah tiba di 
tempat yang dituju. Mereka langsung memeriksa isi 
rumah. 
Bau tak sedap menyebar. Karena rumah itu terpen-
cil letaknya dari pemukiman penduduk yang lain, jadi 
hal seperti itu tak diketahui oleh orang lain. Lagipula 
jarang ada penduduk yang berani klayapan ke tempat 
itu karena perangai Tiga Serangkai yang galak. 
Tapi mengapa sampai mereka bisa jadi korban se-
perti itu? Inilah teka-teki yang ingin mereka ungkap! 
“Kau pikir siapa yang melakukannya?” tanya Adipa-
ti Basunanda dengan memeriksa luka yang merobek 
tubuh ketiga pendekar yang disebut Tiga Serangkai. 
Luka mereka nyaris sama, yaitu sabetan pedang 
pada arah leher yang dengan cermat telah memutus-
kan urat nadinya. 
“Aku punya dugaan bahwa ini perbuatan pendekar 
yang mempunyai gelar Walet Emas!” kata Jayenglaga. 
“Apa?!” tanya Pandansari, sementara kakaknya 
yang adipati itu juga tertarik dengan ucapan Jayeng-
laga. “Walet Emas?” 
“Ya, Walet Emas! Beberapa hari yang lalu dia ber-
hadapan dengan ketiga pendekar ini dalam acara adu 
pertandingan. Pertandingan itu sendiri belum tuntas  
karena adanya kebakaran,” kata Jayenglaga. 
“Namanya sendiri Pusparini. Sewaktu saya undang 
untuk hadir dalam adu pertandingan, ternyata dia 
muncul memenuhi undangan. Dia telah menuliskan 
namanya dan nama kependekarannya di buku tamu.” 
“Wale Emas? Jadi dia seorang wanita?” tanya Pan-
dansari dengan perasaan terpancing. Sebab kalau ada 
‘betina’ yang dianggap jagoan, kontan perasaannya 
merasa tersaingi. “Apakah kau yakin bahwa ini perbu-
atannya?” 
“Hanya prakiraan saja. Sebab siapa lagi yang bikin 
ulah terhadap Tiga Serangkai dengan alasan adu per-
tandingan yang tidak terselesaikan itu? Ketika saya li-
hat masing-masing meninggalkan gelanggang, tampak-
nya di antara mereka memendam dendam!” kata Ja-
yenglaga dengan memberi perintah anak buahnya agar 
membenahi mayat ketiga pendekar itu. 
Adipati Basunanda keluar dari pondok itu diiringi 
adiknya, Pandansari. 
“Aku ingin ketemu si Walet Emas,” kata Pandansari 
kepada Jayenglaga. “Pasti kau tahu tempatnya. Panggil 
dia agar datang ke rumahmu!” 
“Bagaimana, Jeng Sari?” tanya Jayenglaga pura-
pura tidak mendengar perintah tadi. Jayenglaga ini se-
benarnya pernah naksir terhadap Pandansari. Bahkan 
sering memberikan upeti-upeti hadiah kepadanya. Tapi 
sampai sebegitu jauh hanya dianggap angin oleh Pan-
dansari. 
“Undang dia ke rumahmu!” kata Pandansari  lagi. 
“Kau tahu di mana dia, bukan?” 
“Dia bertempat tinggal di rumah Man Ndoplang,” 
jawab Jayenglaga. 
“Man Ndoplang? Jangan buang waktu. Aku ingin 
menjajal dia di arena pertandinganmu! Panggil dia ke  
sini!” kata Pandansari. 
“Baik. Baik, akan saya panggil dia!” jawab Jayeng-
laga. 

*** 

Pusparini yang mendapat undangan agar datang ke 
tempat Jayenglaga untuk melanjutkan adu pertandi-
ngan, segera minta pertimbangan kepada Ki Megatruh 
yang kebetulan berada di sana. 
“Jelas tidak mungkin kalau kau harus bertemu lagi 
dengan Tiga Serangkai itu,” kata Ki Megatruh. 
“Mengapa?” 
“Tiga Serangkai itu telah tewas!” jawab Ki Megatruh. 
“Aku yang membunuh mereka!” 
“Apa?!” 
“Aku tak bisa membiarkan adanya banyak pihak 
yang dipasang oleh Nyi Blengoh untuk memata-matai 
Nyi Wungkuk. Dulu, aku pernah mencoba mengacau-
kan ketenangan Nyi Blengoh dengan mengatakan bah-
wa Nyi Saraswati masih hidup dan akan menuntut ba-
las. Tidak tahunya bahwa tindakanku itu telah mem-
buat dirinya mempertinggi ilmunya untuk menjaga 
munculnya Nyi Saraswati,” kata Ki Megatruh. “Seha-
rusnya aku tidak mengatakan hal itu. Tempo hari aku 
hanya ingin kepastian, apakah peristiwa tersingkirnya 
Nyi Saraswati merupakan fitnah yang dilakukan oleh 
Nyi Blengoh. Kalau dia berhati mulia, pasti tidak sepe-
nasaran seperti itu ketika kuberitahu bahwa Nyi Sa-
raswati masih hidup berkat pertolongan seseorang.” 
Pusparini hanya terdiam. Kata-kata yang baru saja 
diungkapkan oleh Ki Megatruh menimbulkan pikiran 
tentang keberadaan laki-laki itu terhadap peristiwa 
yang sedang berkembang di Kadipaten Sedayu ini. Ki 
Megatruh ternyata banyak berperan dalam peristiwa  
ini. Kalau Tiga Serangkai berhasil dibunuhnya, bukan 
tidak mungkin Ki Megatruh ini adalah tokoh persilatan 
yang tangguh. 
“Tapi mengapa Jayenglaga mengundang saya?” 
tanya Pusparini menghendaki agar Ki Megatruh mem-
berikan pandangan. 
“Aku belum mendapat gambarannya. Tapi kalau 
kau ke sana, jaga dirimu baik-baik. Mungkin mereka 
telah mendapati mayat Tiga Serangkai itu.” 
“Apakah mereka mencurigai saya?” 
“Mungkin saja. Sebab kau adalah orang terakhir 
yang pernah berhadapan dengan mereka dalam suatu 
bentrokan, walaupun dilakukan dalam adu pertandi-
ngan,” kata Ki Megatruh sambil memberikan sesuatu 
kepada Pusparini. 
“Benda apa ini?” 
“Kau bisa menggunakannya untuk menghindarkan 
diri dari hadapan lawanmu! Lemparkan benda itu, dan 
segera meledakkan asap tebal. Itu ramuan yang per-
nah diajarkan oleh Pendeta Budha dari Cina ketika 
berkelana di Jawadwipa,” kata Ki Megatruh. 
Pusparini mengawasi lima butir ramuan peledak se-
besar buah jambe yang kini berada di tangannya. 
“Kalau begitu saya akan berangkat sekarang,” kata 
Pusparini. 
“Apakah Mbak Rini memerlukan tenaga saya?” ta-
nya si Thole yang sejak tadi mendengarkan pembica-
raan. 
“Tak usah. Ini mungkin sangat membahayakan,” 
jawab Pusparini yang kemudian mempersiapkan pera-
latannya. 
Sejenak dia teringat Pedang Merapi Dahana yang ti-
dak ada di sampingnya lagi. Tapi kini dia tahu di mana 
senjata itu berada. 
 
Kali ini keberangkatan ke tempat Ki Jayenglaga di-
lakukan dengan berkuda, dan sekalian pamit kepada 
Man Ndoplang. 
“Lho, Nduk? Jadi nanti kau tidak kembali kemari 
lagi?” kata Man Ndoplang. 
“Mudah-mudahan saja bisa. Tapi kalau nasib meng-
hendaki lain, mungkin ini pertemuan kita yang ter-
akhir,” kata Pusparini dengan menghentakkan kakinya 
agar kudanya bergerak meninggalkan tempat itu. 
Kepergian Pusparini dilepas oleh pandangan si Tho-
le, Man Ndoplang beserta isterinya. Sedang Ki Mega-
truh telah melesat pergi begitu Pusparini berangkat 
menuju ke tempat Ki Jayenglaga. 
 
*** 

DELAPAN 
 
Ketika Pusparini tiba di tempat Ki Jayenglaga, sua-
sana sepi di sana. Tak ada seorang pun yang tampak. 
Cuaca pun tidak menunjang kehadirannya. Awan 
kelabu merata di langit. Tanpa memperdulikan keada-
an  di sana, Pusparini terus memasuki halaman utama 
dari pelataran rumah Jayenglaga yang luas bagai alun-
alun. 
Sesampai di tengah halaman, Pusparini menghenti-
kan kudanya. Dia menunggu perkembangan suasana 
dengan harapan ada yang muncul di sana. 
Sesaat kemudian harapannya terkabul. Dia melihat 
seseorang muncul dengan gerak cepat menuju ke 
arahnya. 
Pusparini waspada. 
Sebelum orang itu tepat melancarkan serangannya,  
Pusparini telah menangkis dengan sabetan pukulan. 
Akibatnya dua kekuatan beradu, sehingga Pusparini 
sendiri terpental dari kudanya. Si kuda melonjak de-
ngan liar dan lari menjauhi tempat itu. Sedangkan pi-
hak penyerang yang juga terpental, kini berhasil me-
napakkan kakinya ke tanah. 
Seorang wanita dengan pakaian serba mewah ber-
kacak pinggang dengan sikap menantang. 
“Siapa kau maka menggali permusuhan denganku?” 
tanya Pusparini. 
“Kalau diurut  kejadiannya memang kau tak ada 
sangkut pautnya dengan masalah kami. Tapi aku tak 
suka kalau ada betina lain yang unjuk kebolehan di 
kawasan Kadipaten Sedayu. Namaku Pandansari. Apa-
kah nama ini punya arti bagimu?” 
“Pandansari? Jadi kau yang disebut orang sebagai 
wakil adipati di sini? Kau adalah adik Basunanda?” 
berkata Pusparini dengan nada tegar yang ingin me-
nunjukkan sikap bahwa dia tidak takut menghadapi 
bahaya apapun di tempat itu. 
“Hm! Jadi pengetahuanmu cukup lumayan telah 
mengetahui keadaan orang-orang di Kadipaten Se-
dayu,” Pandansari mengimbangi dengan ketegarannya 
pula. Dadanya yang padat itu dibusungkan seolah me-
nantang tanpa banyak omong. 
Pusparini tak mau membuang waktu lagi. Jelas ke-
datangannya telah ditunggu oleh Pandansari, walau-
pun alasannya belum diketahui. 
Yang pasti, Pandansari merasa tersaingi kalau ada 
jagoan wanita lain yang agaknya membayangi na-
manya di daerah itu. 
Seperti ada wasit yang memberi aba-aba, maka ke-
duanya serentak saling melesat maju. Perang tanding 
berkembang dengan seru. Boleh dikata semua anggota  
badan mereka tak ada yang tidak berfungsi. Anggota 
badan mulai dari tangan sampai kaki memerankan tu-
gas masing-masing untuk menggojlok lawan. Saling 
tonjok, saling menangkis, menendang, menggampar, 
semua berkembang mengisi jurus-jurus yang dis-
erangkan terhadap lawan. 
Selama perang tanding itu berlangsung, ternyata 
banyak mata yang menyaksikan. Mereka berada di ba-
lik persembunyian di dalam bangunan-bangunan. Te-
rutama Adipati Basunanda yang dengan cermat men-
gawasi sepak terjang saudaranya dalam menghadapi 
pendekar yang punya gelar Walet Emas. Sayang Basu-
nanda belum menyadari bahwa Pedang Merapi Dahana 
yang berada di tangannya adalah milik si Walet Emas 
ini. 
Di sisi lain, sebagai penonton adalah Ki Jayenglaga 
sendiri. Dalam hati  kecilnya benar-benar mengagumi 
Pusparini yang terlihat bergerak lincah dalam mengha-
dapi Pandansari. Apalagi pertarungan kedua pendekar 
wanita itu telah berkembang mempergunakan senjata 
tajam. Mereka masing-masing telah mencabut pedang-
nya. Dentang dari beradunya senjata mereka bergema 
memantul di antara tembok-tembok bangunan yang 
ada di sana. Medan laga pun berkembang ke segenap 
penjuru. Kadang-kadang terpaksa menerobos rumah, 
dan sekali-kali melesat ke atas atap, dan kerusakan 
pun tak terhindarkan lagi. 
Tapi pada saat itulah, ketika mulai terlihat tanda-
tanda bahwa Pandansari mulai keteter oleh serangan 
Pusparini, maka Basunanda tampi keluar. Hal itu me-
narik perhatian Pusparini. Apalagi dengan kemuncu-
lannya itu Basunanda mencabut Pedang Merapi Daha-
na. Hanya sayang, saat itu cuaca mendung, sehingga 
pedang itu tidak dapat memancarkan sinar merah. 
 
Tersitanya perhatian Pusparini membuat Pandansa-
ri mempergunakan kesempatan ini untuk menjegal  ju-
rus yang kosong. Pusparini terjengkal ke tanah. Me-
lihat hal itu, dengan nafsu membunuh yang meluap 
Pandansari terus melancarkan serangannya. 
Tapi Pusparini tidak selengah yang diduga. Begitu 
Pandansari menubruk dengan tusukan pedang, maka 
Pusparini telah terlebih dulu membabatkan pedangnya 
ke arah lawan. 
Serangan fatal ini berhasil menembus jantung Pan-
dansari! 
“Sariiiiii!!!” seruan ini meledak dari bibir Basunan-
da. Langsung dia melesat untuk menindak Pusparini. 
Dengan mencabut pedangnya yang menghunjam 
dari dada Pandansari, maka Pusparini berancang-
ancang menghadapi munculnya laki-laki itu. Sekilas 
dilihatnya Pedang Merapi Dahana berada di tangan 
orang yang baru muncul itu. 
“Ini pasti yang bernama Basunanda, Adipati Se-
dayu,” pikir Pusparini sambil berkelit karena tahu ter-
jangan lawan akan langsung menuju arahnya. 
Ternyata gerakan Basunanda hanya untuk melihat 
keadaan adiknya yang dadanya bersimbah darah. 
Pandansari tak tertolong lagi. Tak ada kesempatan un-
tuk menyampaikan ucapan terakhir. Tusukan Puspa-
rini telah mengoyak jantung wanita itu. 
“Kau harus membayar dengan nyawamu!” kata Ba-
sunanda sambil menghunuskan pedang yang dipe-
gangnya ke arah Pusparini. 
Pedang Merapi Dahana itu untuk sejenak mence-
ngangkan Pusparini. Dia sendiri hampir-hampir tak 
percaya kalau pedang miliknya berada di tangan orang 
lain, dan akan merenggut nyawanya. 
“Untung matahari terhalang mendung. Kalau tidak,  
senjata itu akan merontokkan pedang di tanganku!” 
pikir Pusparini sambil menangkis serangan Basunan-
da. 
Serangan Basunanda dilakukan dengan kalap. 
Hampir-hampir Pusparini tidak mendapat peluang un-
tuk menghindarkan diri. Dan pikirannya selalu was-
was kalau-kalau sinar matahari tiba-tiba muncul dari 
balik mendung yang kelabu. 
Dalam keadaan ini, tanpa diduga tiba-tiba muncul 
sesosok tubuh yang lain dan menerjang ke arah Basu-
nanda. Tentu saja keadaan yang tidak diduga ini mem-
buat Basunanda terjerembab dari posisinya yang de-
ngan gencar menyerang Pusparini. 
“Biyantara!” seru Pusparini setelah tahu siapa yang 
mendobrak serangan Basunanda. Dan laki-laki ini te-
rus bertindak untuk mengambil alih peluang Puspari-
ni. 
Tentu saja kehadiran Biyantara sangat mengejutkan 
Basunanda. 
“Tunggu! Apa-apaan ini?! Apa kau sudah edan?! 
Aku Basunanda, adipatimu! Mengapa kau serang aku, 
hah?!” seru Basunanda dengan mata melotot ke arah 
lawannya itu. 
“Maaf! Saya tidak ingin pedang itu paduka gunakan 
untuk menghadapi gadis itu!” kata Biyantara yang ka-
ta-katanya masih mengandung rasa hormat. 
“Senjata ini telah menjadi milikku, dan kau tak ber-
hak melarang-larangku. Lagi pula kau ini siapa, hah?! 
Kau bawahanku! Berani benar menentang kehendak-
ku. Apakah kau sudah tidak sayang dengan jabatan-
mu?!” seru Basunanda semakin berang. 
“Pedang Merapi Dahana adalah milik gadis itu!” ka-
ta Biyantara dengan tenang. Tapi di balik ketenangan-
nya ini dia menyimpan sikap waspada yang siap meng- 
hadapi tindakan Basunanda. 
“Jangan nglindur! Kau akan mengacaukan perhati-
anku mentang-mentang dia cantik?!” kata Basunanda. 
“Kau sudah kasmaran dengannya? Sejak kapan kau 
mengenalnya, hah?!” 
“Maaf! Antara kita tak ada hubungan lagi. Jangan 
anggap aku sebagai bawahanmu lagi!” kata Biyantara 
yang bicaranya telah mengesampingkan tata-krama 
antara tuan dan bawahannya. 
“Berapa gadis itu telah membayarmu sehingga kau 
berpaling kepadanya, hah?!” seru Basunanda dengan 
nada lebih keras. 
Keadaan ini membuat munculnya Jayenglaga dari tem-
patnya. Kemunculan Jayenglaga diikuti anak buahnya. 
“Apakah ada yang bisa saya bantu?” katanya den-
gan memandang tajam ke arah dua orang yang sedang 
bersitegang kata itu. 
“Minggir saja kalian! Urusan ini bisa kuselesaikan 
sendiri!” hardik Basunanda kepada Jayenglaga. 
“Begitukah? Apakah sang Adipati tidak melihat sia-
pa yang di atas atap rumah itu?” kata Jayenglaga den-
gan menunjuk dua sosok tubuh yang baru saja mun-
cul. 
Basunanda mengekor telunjuk Jayenglaga. Di sana 
tegak dua orang dengan sikap tegar, walaupun yang 
seorang bertubuh bungkuk. Mereka tiada lain adalah 
Nyi Wungkuk dan Ki Megatruh. 
“Jahanam!” kata Basunanda. “Kiranya di sini jadi 
ajang pertemuan. Bukankah yang berambut putih itu 
Nyi Wungkuk?” 
“Ya! Tapi saya tidak tahu siapa orang satunya. 
Orang bercapil itu sering kulihat, tapi siapa gerangan 
dia, tidak saya ketahui,” jawab Jayenglaga. 
Dan suasana jadi bertambah gerah ketika tiba-tiba  
pula muncul seseorang yang melesat dengan cepat ke 
arah Nyi Wungkuk! 
“Ibu!” seru Basunanda ketika melihat siapa yang 
muncul lagi di sana. Ternyata Nyi Blengoh, dengan 
kemunculannya ini langsung menggebrak dengan se-
rangan yang ditujukan kepada Nyi Wungkuk. 
“Awas, Nyi!” seru Ki Megatruh memberi peringatan 
kepada Nyi Wungkuk. 
Tanpa diberitahu, Nyi Wungkuk telah siap pula. 
Memang sejak tadi dia bersama Ki Megatruh telah me-
nyatroni tempat itu dengan cara sembunyi-sembunyi. 
Pada saat itu, dia melihat pula kehadiran Nyi Blengoh 
yang tidak mempedulikan keadaan Pandansari yang 
diketahui telah tewas di tangan Pusparini. Rupanya 
wanita ini hatinya telah membara, sehingga nasib 
anaknya yang malang tidak diratapi lagi. Pikirannya 
hanya pada Nyi Saraswati yang dicurigai telah tampil 
sebagai Nyi Wungkuk! 
Terjangannya ke arah Nyi Wungkuk mendapat 
tangkisan hebat. Nyi Blengoh merasakan betul bagai-
mana gempurannya mendapat tangkisan yang begitu 
dahsyat dari Nyi Wungkuk. 
Dua kekuatan ilmu kanuragan telah saling berben-
turan, dan masing-masing terpental dari titik temu 
gempuran itu. Sedangkan Ki Megatruh yang berada 
dekat tempat itu merasakan pula imbasannya. Dia 
mencoba menjauh. 
Sekilas Nyi Blengoh sempat melihat dengan nyata 
wajah seorang lelaki yang pernah dikenalnya dan 
memberi tahu bahwa Nyi Saraswati masih hidup. 
“Kau? Kaukah itu, Megatruh?!” kata Nyi Blengoh 
sambil mengawasi dengan tajam ke arah laki-laki yang 
dikenalnya walaupun peristiwa itu telah berlangsung 
lama. “Katakan dengan jujur! Diakah Nyi Saraswati?” 
 
“Kukira hati nuranimu telah meyakinkan daripada 
aku harus membuka mulut!” kata Ki Megatruh. 
“Kurang ajar!!” seru Nyi Blengoh sambil mengirim-
kan angin pukulan, dan... dinding itu jebol kena imbas 
pukulan ketika Ki Megatruh melompat menghindari. 
Ini membuat Nyi Blengoh semakin penasaran. Tapi dia 
tidak lagi menyerang Ki Megatruh. 
Kini serangannya ditujukan kepada Nyi Wungkuk 
yang telah diyakini sebagai Nyi Saraswati. Dia mener-
jang ke arah wanita berpunggung bungkuk itu. 
Barulah sekarang keduanya terlibat baku hantam 
dengan saling menerjang ke arah peluang yang diduga 
bisa melumpuhkan lawan. Tapi kenyataannya kedua-
nya belum mampu merontokkan lawannya. 
Untuk beberapa jurus pertarungan Nyi Wungkuk 
dan Nyi Blengoh menjadi tontonan orang-orang yang 
berada di sana. 
Tapi Pusparini yang melihat peluang ini, tidak mem-
biarkan hasratnya yang semula ingin merebut kembali 
Pedang Merapi Dahana yang kini berada di tangan Ba-
sunanda. Dia langsung melesat ke arah Basunanda. 
Sayangnya si lawan ini sempat tahu gerakannya. 
Pedang Merapi Dahana segera diayunkan ke arah Pus-
parini. Untung Pusparini menangkis  dengan senja-
tanya. Dan masih untung pula bahwa Pedang Merapi 
Dahana belum menunjukkan keampuhannya  karena 
tiadanya cahaya matahari saat itu. Cuaca masih dili-
puti mendung. Tapi ada tanda-tanda bahwa kea-
daannya akan bisa cerah, karena angin dengan pelan 
mulai mengikis awan kelabu yang menutupi sinar ma-
tahari. 
Pusparini agak berdebar melihat perkembangan cu-
aca itu. 
“Ayoh, bertahanlah terus! Kau tahu sendiri keadaan  
pedang ini, bukan?” kata Basunanda sambil terus me-
nyerang ke arah Pusparini. 
Didorong oleh semangat bahwa dia tak boleh mem-
biarkan Pedang Merapi Dahana jatuh ke tangan orang 
lain, maka semangat Pusparini kian menggebu. Basu-
nanda sendiri heran dengan keadaan lawan yang se-
perti kesurupan setan tak mempan jurus mematikan. 
Di lain pihak, Jayenglaga sudah gatal ingin meli-
batkan diri ke tengah bahu hantam. Tapi kepada siapa 
dia akan berpihak? 
Sebagai tuan tanah tentu saja dia menghendaki 
kemudahan-kemudahan dalam melaksanakan kehen-
daknya apabila harus berhadapan dengan pihak pe-
nguasa. Oleh sebab itu diputuskan untuk membantu 
Adipati Basunanda. Tapi rasanya tidak ksatria kalau 
harus nimbrung dan mengroyok Pusparini. Untuk 
mengambil muka, dia tahu apa yang harus dilakukan, 
maka diperintahkan semua anak buahnya untuk me-
nindak laki-laki bercapil lebar itu, yang tiada lain Ki 
Megatruh. 
Tahu bahwa anak buah Jayenglaga dengan diam-
diam bergerak ke arahnya, maka Ki Megatruh tak ting-
gal diam. Dia segera meladeni serangan itu. Baku han-
tam semakin melebar. Suasana semakin riuh. 
Melihat hal itu Biyantara pun tak tinggal diam. Per-
hatiannya  ditujukan kepada Jayenglaga yang masih 
mengawasi anak buahnya mengroyok Ki Megatruh. 
“Jayenglaga!” seru Biyantara. “Kini kita lanjutkan 
urusan kita sendiri!” 
“Apa maumu, Biyantara?!” 
“Tantanganku tempo hari belum kau jawab. Kita ini 
pernah dianggap sebagai  anak dedengkot pengacau 
bernama Simbar Menjangan!” seru Biyantara. 
“Senangnya kau mengungkit-ungkit masalah basi  
seperti itu! Apakah kau ingin menjatuhkan martabatku 
bahwa aku anak dedengkot pengacau?” 
“Bukan itu! Aku hanya ingin tahu, siapa sebenarnya 
anak Simbar Menjangan yang asli. Kau tahu, aku pun 
merasa sebagai anak Simbar Menjangan!” 
“Apa? Kau anak Simbar Menjangan? Lucu! Di lain 
pihak tentunya tak ada orang yang sudi dianggap se-
bagai anak Simbar Menjangan yang pengacau itu, ma-
lah kau mengaku sebagai anaknya!” 
“Dengar dan pasang telingamu baik-baik! Almar-
hum Simbar Menjangan dikabarkan orang punya anak 
dua orang. Yang satu hasil penculikan anak seorang 
tokoh di Kadipaten Sedayu. Anak itu putra Adipati 
Agung Sedayu yang kini juga telah mangkat. Tapi se-
lanjutnya anak itu diasuh oleh anak buah Simbar 
Menjangan. Kau pun tentu tahu bahwa kau sejak ke-
cilmu diasuh oleh anak buah Simbar Menjangan. Ter-
sebar berita bahwa istri Simbar Menjangan meninggal 
setelah melahirkan anak laki-lakinya. Kemudian anak 
itu diasuh oleh pembantunya. Aku hanya ingin tahu, 
siapa sebenarnya anak adipati yang diculik itu!” kata 
Biyantara dengan nada menggebu. 
Baru saat itulah Jayenglaga mengerti duduk persoa-
lannya. Tentu saja kesempatan ini akan dipergunakan 
untuk mengangkat derajat dirinya. 
“Alangkah tololnya kau berkata begitu. Dari kea-
daanku saja orang akan tahu bahwa akulah yang di-
pandang sebagai putra Adipati Agung Sedayu yang se-
masa kecilnya pernah diculik Simbar Menjangan!” kata 
Jayenglaga bangga. 
Omongan itu sempat didengar oleh Basunanda yang 
sedang menghadapi Pusparini. Tentu saja hal itu sa-
ngat menyengat perasaannya. Bagi Basunanda, kebe-
radaan putra Nyi Saraswati dipandang sebagai ganja- 
lan, lebih berbahaya ketimbang saat itu menghadapi 
Pusparini. Maka tanpa direncanakan, Basunanda 
membelokkan perhatiannya kepada Jayenglaga yang 
sedang membanggakan diri bahwa dialah putra Adipati 
Agung Sedayu. 
Jayenglaga benar-benar tak menduga bahwa tiba-
tiba napasnya jadi sesak ketika dirasakan sebuah ben-
da tajam menembus punggungnya! Lalu disusul teba-
san lagi pada arah leher ketika dia sempat melihat sia-
pa yang melakukan! 
“Mampuslah kau, anak yang terculik!!” seru Basu-
nanda dengan mengawasi tubuh Jayenglaga roboh ke 
tanah. 
Tak kalah terkejutnya adalah Biyantara! Secepatnya 
dia menjaga jarak agar tidak terlibat serangan Basu-
nanda yang kelihatan mata gelap. 
Pusparini sendiri sangat digelisahkan oleh tersibak-
nya awan kelabu di langit yang secara pelan mulai me-
nampakkan cahaya matahari. Begitu cahaya matahari 
bersinar cerah, maka memancarlah cahaya merah dari 
Pedang Merapi Dahana. 
“Hahahahahaha... lihat! Inilah pancaran Pedang 
Merapi Dahana! Dia mendapat tenaganya dari sinar 
matahari!” seru Basunanda sambil melirik ke arah 
Pusparini. “Kau akan dibantai oleh pedangmu sendiri, 
Walet Emassss!!!”  Basunanda mengakhiri ucapannya 
dengan melesat ke arah Pusparini. 
Sejenak Pusparini berpikir untuk menghadapi se-
rangan Basunanda dengan tangkisan pedangnya. Tapi 
niat itu dibatalkan dengan tindakan cepat yang lain. 
Dia melemparkan butiran yang diberikan oleh Ki Mega-
truh kepadanya. Dan.... 
Bhusshhh...! 
Ledakan asap menghalangi pandangan Basunanda.  
Kemudian disusul lemparan kedua, sehingga peman-
dangan semakin menyulitkan Basunanda. 
Pada saat itulah Pusparini melesat maju. Dia berte-
kad merebut pedang itu dari tangan lawannya. 
Basunanda masih mencoba mengatasi asap yang 
menyerang pandangannya ketika tiba-tiba dirasakan 
renggutan tangan yang mencoba merampas Pedang 
Merapi Dahana dari tangannya. Dia mencoba memper-
tahankan. Pergumulan terjadi. Hulu Pedang Merapi 
Dahana tercekam oleh dua pasang tangan. Di antara 
keduanya saling merebut. Sungguh sulit untuk meng-
awasi keadaan ini. 
Pada suatu kesempatan Basunanda berbuat cu-
rang. Tapi bukankah berbuat curang itu dihalalkan da-
lam berkelahi? Dan itulah yang dilakukan Basunanda. 
Dia menyikat payudara Pusparini! Oh..., alangkah sa-
kit rasanya. 
Pusparini menyeringai menahan sakit. Tapi sesaat 
kemudian akalnyapun berkembang. Dia ganti mener-
jang kemaluan Basunanda dengan ujung lututnya. 
Basunanda mengaduh. Pada saat itulah Pusparini 
mempertinggi hentakan tangannya untuk merebut pe-
dang yang saling dicekam. Untuk ini dia mengulangi 
menerjang kemaluan Basunanda untuk kedua kalinya. 
Tapi Basunanda menjaga kemungkinan ini, membuat 
serangan Pusparini ini luput dari sasaran. 
Justru ketika Basunanda mencoba menggagalkan 
serangan Pusparini, malahan perutnya yang kena. Un-
tuk sesaat Basunanda menyeringai dan dicoba menga-
tasi dengan mengatur pernapasannya. 
Tentu saja hal ini merupakan kesempatan untuk 
menggalakkan serangan. Sikut Pusparini melesat ke 
dagu Basunanda sehingga laki-laki ini tersentak ke be-
lakang. 
 
Pegangan yang dirasa renggang pada hulu Pedang 
Merapi Dahana, cepat dihentakkan oleh Pusparini 
dengan tambahan terjangan kaki ke dada Basunanda 
yang tubuhnya merenggang dari himpitan! 
Tindakan ini membuat pegangan Basunanda terle-
pas. Pedang Merapi Dahana berhasil direbut Pusparini! 
“Hah?!” hanya ini yang keluar dari mulut Basunan-
da. 
Melihat Pedang Merapi Dahana yang memancarkan 
cahaya merah, membuat Basunanda kehilangan se-
mangat. Pada saat inilah tanpa diduga Biyantara me-
nerjang ke arah Basunanda! 
“Aku bukan bawahanmu lagi!” teriak Biyantara 
sambil menggampar dagu Basunanda dengan tumit 
kakinya. 
Basunanda terguling. Justru gerakannya ini mem-
buat  dirinya berhasil meraih sebilah pedang dekat ma-
yat adiknya, Pandansari. Pedang itu dipergunakan un-
tuk mempertahankan diri. 
“Hadapi dia, Biyantara! Aku akan menjadi wasit da-
lam masalah ini!” seru Pusparini. 
Biyantara melesat ke arah Basunanda. Keduanya 
terlibat perang tanding dengan pedang. 
Karena Basunanda telah mengerahkan tenaganya 
dalam menghadapi Pusparini, maka menghadapi Bi-
yantara dia agak kedodoran. Serangannya banyak yang 
meleset. 
Tapi Basunanda dapat meraih serangan yang nyaris 
menerbangkan nyawa Biyantara. Tebasan pedang Ba-
sunanda merobek rompi Biyantara sehingga tersibak 
punggungnya. 
Rompi yang koyak itu direnggutkan sehingga terli-
hat telanjang dadanya. Sedangkan punggungnya telah 
mengalir darah karena sabetan pedang Basunanda. 
 
Luka itu tidak terlalu dalam, tapi cukup membuat pe-
nasaran Biyantara untuk mengadakan balasan. 
Selama semua terlibat bentrokan, Pusparini kini 
hanya sebagai penonton. Di seberang sana terlihat Ki 
Megatruh masih sibuk menghadapi anak buah Jayeng-
laga. Di sisi lain Nyi Wungkuk dan Nyi Blengoh masih 
gencar dengan serangan masing-masing.  
Tak berapa lama kemudian, terjadi perkembangan 
lagi. Anak buah Jayenglaga banyak yang menyerah. 
Sebagian lagi ada yang melarikan diri. Mereka merasa 
tidak tahu lagi bertempur untuk siapa setelah diketa-
hui juragannya telah tewas. 
“Kelihatannya kau asyik sekali melihat pertarungan 
mereka!” terdengar suara yang membuat Pusparini 
mengalihkan pandangan dari mana datangnya teguran 
itu. 
Ternyata Ki Megatruh telah berada di dekatnya. 
“Saya merasa tidak berhak lagi mencampuri. Saya 
telah menemukan senjata saya,” kata Pusparini de-
ngan menimang Pedang Merapi Dahana. 
“Apa pikiranmu tentang Biyantara?” tanya Ki Mega-
truh. 
“Saya belum tahu. Tampaknya dia ingin suatu ke-
pastian siapa dirinya yang sebenarnya,” jawab Puspa-
rini sambil mengawasi Biyantara yang terus melancar-
kan serangan terhadap Basunanda. 
“Dia adalah putra Nyi Saraswati yang terculik!” kata 
Ki Megatruh. 
“Bagaimana Ki Megatruh bisa yakin begitu?” 
“Lihatlah tanda hitam di punggung Biyantara. Itu 
‘toh’ yang sejak lahir dimiliki oleh putra Nyi Saraswati. 
Hal itu pernah diceritakannya kepadaku oleh Nyi Sa-
raswati, bahwa anaknya yang terculik memiliki ‘toh’ 
seperti bunga mawar!” 
 
“Mudah-mudahan Nyi Saraswati sempat melihat 
tanda itu selagi sedang berhadapan dengan Nyi Ble-
ngoh,” kata Pusparini. Tentu saja harapannya agar Nyi 
Saraswati yang dikenal sebagai Nyi Wungkuk dapat 
memenangkan pertarungan itu. 
Sementara itu keadaan Basunanda telah semakin 
payah. Dia benar-benar tak kuasa lagi menangkis se-
rangan Biyantara. Sampai akhirnya serangan yang cu-
kup fatal harus diterima dari lawannya. Pedang Biyan-
tara berhasil menebas lehernya, lalu disusul tusukan 
pada dada, tepat di arah jantungnya. Basunanda ro-
boh! 
Pada saat peristiwa itu terjadi, Nyi Blengoh sempat 
melihat adegan tersebut. Baru kali ini dia tersendat 
dan hatinya merasa terguncang...! Dua orang anaknya 
telah tewas! Bagaimana itu semua bisa terjadi dalam 
waktu singkat? Rasanya seperti karma yang harus di-
bayar mahal pada hari itu juga. 
Pada saat yang lengah ini, Nyi Wungkuk tidak me-
nyia-nyiakan peluang. Pukulan yang diisi tenaga dalam 
dihunjamkan ke tubuh lawannya. 
Kontan tubuh Nyi Blengoh terpental dengan me-
nyemburkan darah segar dari mulutnya. Dan tubuh 
itu akhirnya terpaku pada sebuah ujung kayu yang 
runcing, tembus dari punggung sampai ke dada! 
Nyi Saraswati tercekam oleh peristiwa itu. Pada ak-
hirnya dia memenangkan pertikaian yang berkembang 
lebih dari tiga puluh tahun! 
“Semua sudah berakhir...!” terdengar suara di de-
katnya. 
Nyi Saraswati menoleh. Dilihatnya Pusparini yang 
didampingi Ki Megatruh telah berada di sampingnya, 
lalu, tak berapa lama kemudian Biyantara mendekati 
mereka. 
 
“Nyi!” kata Ki Megatruh. “Masih ingatkah dengan 
ucapanmu tentang anakmu yang hilang? Kau pernah 
berkata tentang ‘toh’ di punggung anakmu yang me-
nyerupai bentuk bunga mawar. Sekarang kau bisa me-
lihat seseorang yang memiliki tanda seperti itu. Terse-
rah kau mempercayainya atau tidak.” 
“Nyi! Biyantara ini telah lama mencari siapa ibunya 
yang sebenarnya. Lihatlah tanda itu di punggungnya,” 
tambah Pusparini. 
Nyi Saraswati mengawasi Biyantara. 
“Rasanya tanpa melihat ‘toh’ itu, akupun melihat 
sinar mata Kangmas Agung pada matanya. Tapi na-
mamu dulu bukan Biyantara, tapi Bawaleksana...!” ka-
ta Nyi Saraswati. “Kukira orang yang menculikmu ti-
dak tahu nama itu...!” 
“Jadi... Ibu yakin bahwa aku adalah Bawaleksana 
anak Ibu yang hilang itu?” terdengar suara Biyantara 
dengan nada ragu. 
“Perasaanku mengatakan bahwa kau anakku yang 
hilang...!” kata Nyi Saraswati dengan suara tertelan 
memendam kebahagiaan yang sulit dicetuskan. 
Biyantara lalu memeluk wanita tua itu...! 
*** 
Beberapa hari kemudian... terlihat Pusparini telah 
dalam perjalanan meninggalkan Kadipaten Sedayu. 
Dalam perjalanan ini masih terngiang suara Biyantara 
yang tiada henti-hentinya mengucap syukur atas ban-
tuan Pusparini dalam memulihkan suasana di Kadipa-
ten Sedayu. 
“Jangan bersyukur kepada saya. Ini semua telah 
dikehendaki Sang Hyang Widhi!” kata Pusparini. “Saya 
hanya pelengkap saja dalam peristiwa itu.” 
“Mengapa kau tidak tinggal di kadipaten ini saja?  
Sampai berapa lama kau harus menuruti kata hatimu 
untuk mengembara?” kata Biyantara alias Bawaleksa-
na yang kini menjabat adipati di Kadipaten Sedayu, 
sebagai pewaris trah dari almarhum Adipati Agung Se-
dayu. 
“Suatu saat pasti saya akan menetap di suatu tem-
pat,” kata Pusparini sambil menghentakkan tali ke-
kang kudanya. 
Semua mata mengawasi keberangkatan Pusparini 
yang punya gelar kependekaran Walet Emas. Nyi Sa-
raswati melepas keberangkatan itu dengan linangan air 
mata. Sedangkan Ki Megatruh dengan tatapan mata 
sendu. Dan Biyantara sendiri mengantar dengan doa...! 
Dan Pusparini terus menghentakkan lari kudanya 
untuk cepat-cepat meninggalkan tempat itu. Dia belum 
berniat untuk tinggal di suatu tempat...! 
 
*** 
 
SELESAI EPISODE INI