Pendekar Gagak Rimang 6 - Bencana Goa Iblis

 
Alam telah gulita. Kesenyapan begitu hen-
ing terasa. Angin pun seakan enggan berhembus, 
memberikan titik makna yang hilang. 
Entah mengapa suasana mencekam me-
nyelimuti desa di lereng Gunung Kelud. Desa 
yang biasanya ramai dan tentram, kini bagaikan 
tengah menunggu datangnya hantu-hantu yang 
hendak berbuat jahat. 
Semua penduduk seakan merasakannya. 
Namun di keheningan yang mencekam dan ma-
lam yang semakin larut, di balai desa suasana 
cukup ramai. Karena nampak beberapa orang 
pemuda dan laki-laki setengah baya tengah ber-
kumpul di sana. Hadir pula seorang laki-laki yang 
berwajah lembut dan berwibawa. Dia adalah Pan-
du Kelana, seorang lurah yang tengah menginjak 
usia 45 tahun. Sikapnya yang bijaksana dan pe-
nuh kewibawaan membuat orang-orang desa di 
sana begitu menaruh hormat padanya. 
Di balai desa itu hadir pula beberapa orang 
tua yang nampaknya seperti sesepuh. Dari ra-
mainya keadaan di balai desa ditimpali dengan 
wajah-wajah yang tegang, nampak jelas kalau di 
sana tengah dibicarakan dan dibahas satu masa-
lah yang nampaknya amat rumit. 
Laki-laki tua yang bernama Kendala Yoro 
mendehem, membuat semua mata tertuju pa-
danya. 
 
"Semakin hari kita semakin dicekam oleh 
ketakutan dan teror yang mengerikan. Teror yang 
setiap saat datang," katanya dengan suara pelan 
namun berat. "Yah... kita memang tidak bisa me-
nyalahkan Juragan Banyu Biru yang menolak pi-
nangan dari ketua Sangkur Baja, terhadap pu-
trinya. Siapa pun orangnya tentu akan menolak 
pinangan gerombolan kejam yang sadis itu. 
Namun akibat dari semua ini, berulang-kali 
orang-orang Sangkur Baja menebarkan terornya. 
Sudah tentu Bojo Mayit, ketua Sangkur Baja me-
rasa terhina dan tidak bisa menerima apa yang 
telah dikatakan Juragan Banyu Biru terhadap 
utusan yang membawa pinangan nya. Jelas kita 
tidak bisa menyalahkan Juragan Banyu Biru yang 
mana akibat dari semua ini, seisi desa yang akan 
bisa terkena sasaran...." 
Hening, tak ada yang bersuara. Hanya an-
gin malam yang berkesiuran  dingin. Siapa pun 
akhirnya tahu, karena secara mendadak beberapa 
kali desa mereka diserang oleh orang-orang yang 
mengaku dari golongan Sangkur Baja. Namun se-
jauh itu mereka dapat menghalaunya. Dan kare-
na serbuan itu diadakan berulangkali, dan beru-
langkali pula mereka melihat sasaran yang dituju 
adalah rum ah Juragan Banyu Biru. Ini membuat 
mereka menjadi heran. 
Lambat laun akhirnya mereka pun mulai 
membicarakannya, akhirnya diambil keputusan 
untuk bertanya langsung pada Juragan Banyu 
Biru yang secara ragu-ragu pun menceritakan ke- 
jadian sesungguhnya. 
Mereka cukup terkejut mendengarnya. Di 
samping tidak menyalahkan sikap diam Juragan 
Banyu Biru juga amat geram mengingat  putri  
Juragan  Banyu  Biru yang bernama Sekar Perak, 
putri jelita yang manis itu. Mereka pun seakan ti-
dak rela bila Sekar Perak harus menjadi pen-
damping manusia kejam Bojo Mayit yang berdiam 
di sebelah Tenggara Gunung Kelud. 
Dan mulai malam itu pula mereka semua 
berjaga-jaga. Juragan Banyu Biru sendiri telah 
menyewa beberapa orang jago-jago bayaran untuk 
melindungi keluarganya. 
Memang serangan dari orang-orang Sang-
kur Baja itu kembali datang, namun berkat kegi-
gihan mereka dibantu dengan jago-jago bayaran 
yang didatangkan oleh Juragan Banyu Biru, se-
muanya bisa dihalau. 
Tetapi biarpun begitu, mereka cukup te-
gang dan kuatir, bila suatu waktu orang-orang 
Sangkur Baja datang dengan jumlah yang besar. 
Selama ini Bojo Mayit memang belum turun tan-
gan. Dan inilah yang dikuatirkan mereka. 
Di balai desa itu keheningan masih terasa. 
Juragan Banyu Biru yang hadir pula di sa-
na, hanya mendesah panjang mendengar kata-
kata Kendala Yoro. Dia pun tidak menyalahkan 
apa yang telah dikatakan Kendala Yoro itu. Kare-
na memang dia yang menjadi penyebab pangkal 
semua ini. 
Kembali Kendala Yoro berkata:  
"Biarpun demikian, kita semua akan tetap 
berusaha untuk menghalau sepak terjang mere-
ka. Kita tidak bisa berpangku tangan begitu saja. 
Ini sudah menjadi kewajiban kita bermasyarakat." 
Orang-orang yang hadir membenarkan ka-
ta-kata Kendala Yoro itu. Mereka pun berniat un-
tuk menghalau dan bersiaga penuh terhadap 
orang-orang Sangkur Baja. 
Sementara Juragan Banyu Biru tersentuh 
hatinya. Mereka adalah orang-orang yang bersa-
habat, yang membuat satu arti hidup menjadi le-
bih matang. 
"Saudara-saudaraku, terima kasih atas ke-
relaan kalian untuk membantuku. Terus terang, 
aku tidak ingin menyusahkan kalian, tidak ingin 
membuat kalian resah. Namun apa daya, aku tak 
kuasa untuk membendungnya. Bila aku mau, 
aku pun rela mengorbankan putriku untuk dija-
dikan istri oleh Bojo Mayit. Namun aku tak bisa 
membayangkan bagaimana nasibnya nanti berada 
di tangan seorang suami seperti dirinya, yang ba-
nyak bergelimang dosa dan melakukan sepak ter-
jang yang mengerikan. Sekali  lagi, terima kasih 
atas bantuan kalian...." Ki Lurah Pandu Kelana 
mendehem. "Banyu Biru... sudah sepatutnya ka-
mi melakukan hal itu. Karena kami pun harus 
mempertahankan diri. Kau dan keluargamu me-
rupakan bagian dari kami warga di sini. Tak perlu 
kau risaukan kembali, karena kami siap untuk 
membela...." "Terima kasih, Ki Lurah...."  
"Dalam hal ini, aku minta," kata Ki Lurah  
Pandu Kelana kemudian sambil memandang se-
mua yang hadir. "Kalian harus bersiap siaga. Ka-
lian harus menjaga desa ini hingga titik darah te-
rakhir. Kita jangan hanya melimpah kesalahan ini 
pada Juragan Banyu Biru. 
Dalam hal ini dia tidak bersalah. Ini bu-
kan kesalahan dan kemauannya. Bagi kita yang 
mempunyai seorang anak perawan, pasti juga ti-
dak rela bila anak kita jatuh ke tangan seorang 
laki-laki kejam seperti Bojo Mayit. 
Di samping itu pula, kita harus bersatu. 
Dengan bersatu kita akan menjadi lebih berarti." 
Semua yang hadir rata-rata  mengangguk-
kan kepalanya  mendengar wejangan dari Ki Lu-
rah Pandu Kelana. Mereka semakin menaruh 
hormat padanya. 
Sejak semula mereka memang sudah me-
naruh hormat. Ini membuktikan bahwa Ki Lurah 
Pandu Kelana mempunyai wibawa dan kharisma 
yang besar. 
Kendala Yoro, orang yang di pertua di desa 
itu pun diam-diam dalam hati bangga terhadap 
Pandu Kelana. Dia tahu siapa Pandu Kelana. Tak 
lain adalah seorang laki-laki yang memiliki ilmu 
kanuragan yang tinggi. Disegani baik lawan mau-
pun kawan. 
Kendala Yoro sendiri merasa yakin, bahwa 
seorang seperti Pandu Kelana akan menjadi orang 
yang dihormati siapa saja selamanya, karena jiwa 
kepemimpinan nya, karena rasa simpatinya dan 
wibawanya yang besar. 
 
"Lalu apa rencanamu, Pandu?" tanyanya 
kemudian. 
Pandu Kelana menatap Kendala Yoro. 
"Puan... tentunya kita harus bersiaga pe-
nuh. Untuk itu, aku akan mengatur beberapa 
penjagaan yang lebih ketat. Agar kita bisa me-
mantau keadaan." 
"Cara apa yang akan kau lakukan?" 
"Pertama, kita akan menempatkan lima 
orang di pintu masuk desa sebelah Utara, Timur, 
Barat dan Selatan pun hal yang sama. Selain itu, 
kita pun akan memberi bantuan khusus di rumah 
Juragan Banyu Biru untuk membantu para jago-
jago bayaran- 
Aku tahu siapa Bojo Mayit. Dia seorang la-
ki-laki kejam yang memiliki ilmu Sangkur Baja 
yang amat hebat. Tubuhnya bisa menjadi kebal 
dan tahan terhadap segala macam senjata. Juga 
pukulan yang amat berbahaya sekalipun. 
Untuk menghadapi hal ini, agaknya kita 
masih perlu dan harus berani berkorban. Karena 
aku tahu siapa Bojo Mayit itu." 
Suasana kembali hening. Mereka seakan 
mendengar nada suara kecut yang diucap-kan 
oleh Ki Lurah Pandu Kelana. Namun diam-diam 
mereka pun yakin akan kehebatan ilmu yang di-
miliki oleh Ki Lurah. 
Mereka pun menjadi tenang. 
Namun sebelum pembicaraan  itu berlan-
jut, tiba-tiba muncul satu sosok tubuh tergesa-
gesa, bahkan terlihat sempoyongan. Tangan ka- 
nannya mendekap tubuh bagian dada. Terlihat 
pula tangan dan dada itu bersimbah cairan me-
rah. 
Darah! Darah yang keluar dari dada itu. 
Sosok itu tiba di balai desa dan langsung 
ambruk setelah mendesis terbata-bata. 
"Hei!" seru Ki Lurah Pandu Kelana terkejut 
dan sigap bangkit menolong sosok tubuh yang 
sedang menahan rasa sakit. 
Yang lebih terkejut lagi adalah Juragan 
Banyu Biru. Karena sosok yang terluka parah itu 
adalah salah seorang jago bayaran yang dis-
ewanya. 
"Kranggan!!" desisnya memburu. "Ada apa, 
Kranggan? Ada apa?!" lanjutnya tergesa-gesa. Se-
ketika terlihat di wajahnya kepanikan. Hatinya ti-
ba-tiba menjadi tidak enak. 
Sosok itu membuka matanya yang me-
mancarkan rasa kesakitan. Wajahnya seolah me-
nahan rasa sakit. 
"Tuan...." desisnya. 
"Ada apa, Kranggan? Katakan cepat! Apa 
yang telah terjadi? Apa yang terjadi?!" 
Kranggan menahan rasa sakitnya. 
"Hgggh. Tuan... akh... mereka datang, 
Tuan... mereka... akh...." 
"Siapa?! Siapa, Kranggan?!" 
"Mereka... mereka, Tuan.... Orang-orang 
Sangkur Baja... akh... tiba-tiba saja mereka mun-
cul dan menyerang... kami secara  membabi bu-
ta.... 
 
Teman-teman sedang... berusaha me-
nyelamatkan Putri Sekar dan Nyonya...." 
Kepanikan itu semakin kentara di wajah 
Juragan Banyu Biru. Tanpa berkata apa-apa dia 
langsung berlari dengan cepat, menyusul di bela-
kangnya dua orang jago bayarannya yang nampak 
sudah tidak sabar. 
Ki Lurah Pandu Kelana segera bertindak 
cepat. "Urus orang ini!" serunya lalu dia sendiri 
berlari dengan ilmu meringankan tubuhnya. 
Di belakangnya berlarian pula orang-orang 
dengan hati geram dan marah. Mereka sudah ti-
dak sabar ingin segera melumat manusia-
manusia kejam itu. 
Bangsat! Manusia-manusia yang lebih 
layak mati daripada hidup di muka bumi ini 
membuat onar dan merugikan manusia lain. 
Beberapa orang segera menolong Kranggan 
yang kini pingsan karena kekurangan darah. 
Kendala Yoro pun dengan cepat menotok bebera-
pa bagian tubuh dari Kranggan agar darah yang 
keluar tidak mengalir lagi. 
Lalu dia sendiri setelah itu segera berlari 
menuju rumah Juragan Banyu Biru. 
Tongkatnya yang berwarna putih seakan 
membantunya dalam berlari karena dijadikan 
tumpuan. 
 
* * 
 
 
 
Rumah Banyu Biru adalah rumah yang te-
rindah dan terbagus di desa itu. Namun di malam 
ini, rumah indah itu seakan tidak nampak kein-
dahannya. Dari kejauhan malah terlihat api ber-
kobar menyala menjilat-jilat udara. 
Api itu merayap di atas rumah Juragan 
Banyu Biru. 
Di halaman rumahnya terdengar suara 
orang menjerit dan senjata beradu keras. 
"Trang!" 
"Trang!" 
"Hahaha... lebih baik kalian menyerah saja, 
Bodoh!" Terdengar makian keras sambil tertawa 
membahana. 
"Bangsat! Kalian adalah orang-orang  bi-
adab yang kerjanya hanya mengganggu orang sa-
ja!" 
Seruan-seruan itu semakin kuat terdengar. 
Yang membentak pertama seorang laki-laki yang 
berwajah seram. Seluruh wajahnya nampak ba-
gaikan berbulu. Dia bernama Rondeng, seorang 
tangan kanan dari ketua Sangkur Baja, Bojo 
Mayit. 
Sedangkan yang membentak kedua adalah 
salah seorang dari jago bayaran yang disewa oleh 
Juragan Banyu Biru. Hanya tinggal dia sendiri! 
Teman-temannya yang lain sudah mampus lebih 
dulu. Mereka memang cukup terkejut ketika tiba-
 
tiba orang-orang itu hadir dan melancarkan se-
rangan yang membabi buta. 
Namun bagi seorang jago bayaran yang te-
lah mencurahkan dirinya pada orang yang mem-
bayarnya, maka nyawalah taruhannya. Jago 
bayaran itu pun semakin memperhebat seran-
gannya, meskipun dia yakin perbuatannya itu 
akan sia-sia.  Namun dia tak akan pernah mau 
menyerah begitu saja. 
"Hahaha... lebih baik kau membunuh diri 
saja, Goblok!!" maki Rondeng sambil tertawa. 
"Bunuh diri? Hahaha... kau bermimpi, Ka-
wan. Tak akan pernah aku mundur sejengkal pun 
dari hadapanmu!" serunya sambil menghindar 
dan membalas menyerang. 
Serangan demi serangan dengan cepat ter-
jadi. Saling serang dan mengelak dengan hebat. 
Sungguh suatu hal yang luar biasa diperlihatkan 
oleh jago bayaran itu. Karena kini Rondeng diban-
tu oleh dua orang teman-nya. 
"Kau masih main-main saja, Rondeng! Ha-
bisi!!" seru salah seorang temannya sambil maju 
menyerang. 
Jago bayaran itu pun dengan segenap ke-
kuatannya mencoba untuk bertahan. 
"Kalian memang manusia-manusia pe-
ngecut!" makinya sambil terus bertahan dan seka-
li-sekali menyerang. 
Namun karena kini lawannya bertiga, maka 
dia jelas keteter dengan hebat. Senjata-senjata 
lawannya sudah berkali-kali mengenai bagian- 
bagian tubuhnya. Darah pun merembas ke luar. 
Tubuhnya sudah sempoyongan dengan hebat. 
"Hahaha... mampuslah kau!!" seru Ron-
deng keras membahana. 
Sungguh malang nasib jago bayaran itu. 
Dirinya dijadikan  bulan-bulanan dengan hanta-
man-hantaman yang keras pada tubuhnya. Na-
mun sungguh mengagumkan ke-beranian yang 
diperlihatkan oleh jago bayaran itu. Dengan bera-
ninya dia terus bertahan dan menyerang. 
Kini dia melihat beberapa orang-orang  itu 
mulai masuk ke dalam rumah. Seketika pikiran-
nya tentang Sekar Perak dan istri majikannya. 
Dengan sigap sambil menahan rasa sakitnya, dia 
bersalto ke arah orang-orang yang hendak masuk 
itu. Dan langsung menyabetkan pedangnya. 
Namun hal itu tidak berlangsung lama, ka-
rena pisau yang dilemparkan oleh Rondeng telah 
menancap tepat di jantungnya! 
Dan tubuh itu pun langsung menggelepar 
dengan hebat diiringi suara menjerit mengerikan. 
Lalu diam tak berkutik dengan sepasang mata 
terbuka mendelik. 
"Hhh! Mampuslah kau!!" bentak Rondeng. 
Namun dia langsung berbalik ke kiri. Dan 
matanya terbelalak tak percaya. Dari kejauhan 
terdengar suara ramai dan derap kaki berdatan-
gan mendekat. Orang-orang Sangkur Baja yang 
berjumlah delapan orang itu menjadi saling pan-
dang. 
Betapa banyaknya orang-orang yang berda- 
tangan. "Hancurkan!" "Bunuh!" "Ganyang!!" 
"Jangan beri ampun manusia-manusia ke-
jam itu!!" 
Seruan-seruan kalap itu sudah terdengar. 
Membuat orang-orang Sangkur Baja menjadi ber-
siaga. 
Tiba-tiba terdengar seruan Rondeng, 
"Mangkoro! Ikut aku! Kalian hadang mereka!" 
Rondeng dan Mangkoro segera menyelinap 
ke dalam rumah itu. Mereka mencari Sekar Perak 
dan ibunya. Sementara yang lain segera berhan-
tam dengan para penduduk yang kalap. Ki Lurah 
Pandu Kelana dengan tangkasnya segera mener-
junkan diri dan bergerak dengan cepat. 
Tangan dan kakinya bergerak dengan cepat 
mencari sasarannya, bagaikan memiliki mata be-
laka. Dia seakan mencari sasaran yang empuk. 
Sasaran dari orang-orang yang telah berulangkali 
meneror mereka. 
Sungguh hebat apa yang dilakukan Ki Lu-
rah Pandu Kelana. Kendala Yoro sendiri  segera 
menerjunkan diri. Begitu pula dengan yang lain. 
Kembali di halaman depan rumah Juragan 
Banyu Biru terjadi pertarungan yang hebat. 
Banyu Biru sendiri bermaksud menyelinap masuk 
ke dalam rumahnya, untuk menyelamatkan putri 
dan istrinya. 
Namun orang-orang Sangkur Baja itu sea-
kan mengetahui maksudnya. Karena mereka ber-
kali-kali menghalanginya dengan sabetan-sabetan 
senjatanya. 
 
Sehingga membuat Banyu Biru menjadi ra-
gu untuk masuk. Dia pun lama kelamaan menja-
di geram adanya. Dengan seruan yang keras, dia 
melompat menerjang orang yang menghalanginya. 
"Mampuslah kau manusia busuk!" 
Serangan yang dilancarkan oleh Banyu Bi-
ru sungguh hebat. Dan cepat. Bahkan orang-
orang seakan baru tahu kalau Banyu Biru sebe-
narnya memiliki kesaktian yang cukup lumayan. 
Namun selama ini ditutupi-nya. 
Orang yang menghalanginya masuk itu 
pun keteter dengan cepat. Dan harus meregang 
nyawa karena tangan Banyu Biru yang mengan-
dung tenaga dalam yang kuat menghantam tepat 
di wajah dan jantungnya. 
"Akkhhhhh!!" 
Orang itu pun ambruk. Banyu Biru segera 
masuk ke dalam rumahnya. Sementara pertarun-
gan itu semakin seru berjalan. Masing-masing be-
rusaha untuk mempertahankan diri dan menga-
lahkan lawan-lawannya. 
Malam yang gulita kini bagaikan terang 
benderang. 
"Jangan beri ampun manusia-manusia ini!" 
Terdengar seruan dari Pandu Kelana yang mem-
beri semangat. 
Namun jelas terlihat lama kelamaan orang-
orang Sangkur Baja tergeser. Di samping mereka 
sudah lelah, juga jumlah penduduk desa yang 
banyak yang dengan geram hendak mencabut 
nyawa mereka. 
 
Sebentar saja mereka sudah terdesak. Se-
ruan-seruan keras kini berpadu dengan jerit ke-
sakitan. 
Dan akhirnya satu per satu pun harus te-
was setelah menjerit dengan hebat. 
Bersamaan dengan berakhirnya lawan-
lawan itu, muncul Banyu Biru dari dalam. Wa-
jahnya kelihatan amat panik. Dia bagaikan anak 
ayam kehilangan induk. 
Ki Lurah Pandu Kelana sigap segera men-
dekatinya. 
"Ada apa, Bayu?" 
"Anakku... istriku...." desis Banyu Biru ba-
gaikan orang bodoh belaka. Kepalanya berkeliling 
seakan yakin kalau anak dan istrinya berada di 
sekitar sana. 
"Mengapa mereka?" desis Pandu Kelana 
cemas. "Apakah mereka... oh, tidak!" 
"Mereka... mereka tidak ada, Pandu.... Me-
reka tidak ada.... Oh! Ke mana kalian permata ha-
tiku?" 
Pandu Kelana segera menenangkan Banyu 
Biru. "Bawa dia masuk ke rumahnya." 
Beberapa orang penduduk segera mem-
bawa Banyu Biru ke kamarnya. Lalu mereka 
kembali ke halaman depan, di mana Pandu Kela-
na dan yang lainnya masih berada di ^ Hana dan 
sedang terlibat dalam satu obrolan yang panjang. 
"Hmmm... agaknya kita harus mencari ma-
lam ini juga, Saudara-saudaraku!" kata Pandu 
Kelana lantang.  
Sahutan-sahutan setuju pun terdengar 
ramai. 
"Benar, kita harus mencari mereka!" 
"Ya, kita pun akan menyerang orang-orang 
Sangkur Baja!" 
"Bunuh mereka!" 
"Hancurkan mereka!" 
"Tenang, tenang, Saudara-saudaraku...." 
kata Pandu Kelana menenangkan warga-nya. "Ki-
ta memang harus berusaha untuk menghancur-
kan Sangkur Baja. Namun pada saat ini, tugas ki-
ta adalah untuk mencari dan menemukan Sekar 
Perak serta istri dari Banyu Biru. Bila semuanya 
sudah berhasil, barulah kita mendatangi Per-
kumpulan Sangkur Baja! Kita hancurkan mereka! 
Setuju?!!" 
"Setuju!!!" 
"Bagus, malam ini pula kita harus segera 
berangkat mencari. Jangan sampai luput satu 
tempat pun!" 
"Setuju!!" 
"Bagus, marilah kita mulai!!" 
Orang-orang itu pun segera berpencar un-
tuk mencari Sekar Perak dan istri dari Banyu Bi-
ru. Sementara Pandu Kelana dan Kendala Yoro 
masuk menemui Banyu Biru yang terbaring le-
mah seakan tiada daya. 
Sepasang matanya memancarkan sinar ke-
pedihan dan ketidakberdayaan. Dia seperti kehi-
langan hatinya hingga membuatnya terdiam da-
lam kepasrahan. 
 
Ki Lurah Pandu Kelana hanya berkata pe-
lan, "Banyu... mudah-mudahan putri dan istrimu 
ditemukan dalam keadaan selamat." 
Hanya pancaran mata Banyu Birulah yang 
berkata. Mudah-mudahan. Selebihnya hanya pa-
srah. 
Kendala Yoro pun mendehem. Lalu berka-
ta:  
"Kuatkanlah hatimu, Banyu.... Banyaklah 
berdoa kepada Gusti Allah, bahwa anak dan is-
trimu dalam keadaan selamat." 
Namun tepat ketika ayam jantan berkokok 
menandakan waktu telah pagi, terdengar kabar, 
istri Juragan Banyu Biru telah ditemukan. Na-
mun dia telah tewas dalam keadaan yang amat 
menyedihkan. 
Diperkosa terlebih dulu sebelum dibunuh! 
 
* * 
 
 
"Tolong... tolong... ampun... aku mau di-
bawa ke mana... huhuhu.... Bapa tolong aku... to-
long aku, Bapa...." Seruan keras di iringi dengan 
isak tangis itu terdengar. Dan sosok tubuh yang 
dipanggul di bahu yang kekar itu meronta-ronta 
minta dilepaskan. "Tolong... tolong aku!!" 
"Bangsat!!" Sosok yang memanggul itu  
menggeram marah. "Diam!" 
"Tolong! Lepaskan... lepaskan aku!!" 
"Anjing kurapan! Diaaam!!" 
Meskipun dibentak seperti itu, namun so-
sok itu terus menjerit-jerit. Membuat orang yang 
memanggulnya dengan lari ter-gesa-gesa menjadi 
jengkel. Tiba-tiba saja dia berhenti, lalu menyen-
takkan turun sosok tubuh yang dipanggulnya itu. 
"Diam! Bila kau tidak diam juga, kami akan 
menyeretmu dengan paksa!" 
"Huhuhu... lepaskan aku, lepaskan aku!!" 
"Setttannnn!!" Orang itu semakin jengkel 
dan dengan paksa kini menyeretnya. 
"Lepaskan, lepaskan!!" seru sosok tubuh 
itu sambil mencoba menahan dirinya, namun te-
naga laki-laki yang menyeretnya amat kuat dan 
mau tak mau kakinya harus terseret mengikuti 
tarikan tangan laki-laki itu bila dia tidak mau ter-
jerembab. 
"Brengsek! Jangan ribut!!" 
"Huhuhu... aku mau dibawa ke mana...." 
"Diam!!" 
Seruan-seruan itu terlontar dari mulut Se-
kar Perak dan Rondeng. Ternyata Rondeng dan 
Mangkoro masuk ke rumah Banyu Biru untuk 
membawa lari Sekar Perak dan ibunya, yang telah 
mereka perkosa sebelum mereka bunuh. 
Rondeng dan Mangkoro tidak berani me-
lakukan hal itu terhadap Sekar Perak, karena Bo-
jo Mayit menginginkannya. Bila mereka mengusik 
Sekar Perak sedikit saja, maka mautlah taruhan- 
nya. 
Itulah sebabnya mereka memperkosa dan 
membunuh ibu Sekar Perak daripada hanya me-
nyusahkan mereka saja. 
Rondeng mengusulkan untuk menyem-
bunyikan Sekar Perak di Goa Alas Bantan sebe-
lum membawanya kepada ketua mereka. Karena 
dia yakin, saat ini keduanya tengah dicari oleh 
warga desa. 
Goa Alas Bantan adalah sebuah goa yang 
berada amat jauh dari desa itu. Sebuah goa yang 
dikelilingi oleh hutan yang amat lebat. 
Sebuah goa yang amat mengerikan. 
Konon goa itu dulu tempat bertempurnya 
para tokoh sakti antara golongan putih dan hi-
tam. Mereka hendak memperebutkan goa itu se-
bagai kekuasaan. Di mana golongan putih amat 
menentang sekali perbuatan orang-orang golon-
gan hitam. 
Pertempuran itu amat hebat dan ber-
langsung selama berhari-hari. Namun di saat per-
tempuran itu terjadi, mendadak saja semua 
orang-orang itu meninggal. Dan tak seorang pun 
yang tahu sebab musabab yang sesungguhnya 
sehingga orang-orang itu mati. Mereka hanya 
menduga, para jago itu mati karena saling bunuh 
dalam pertempuran. 
Berita tentang goa itu hingga sekarang ti-
dak terdengar lagi. Namun Rondeng diam-diam 
tahu tentang hal itu. Dan dia yakin goa itu masih 
ada dan hingga sekarang belum ada yang memili- 
ki. 
Itu merupakan sebuah tempat persembu-
nyian yang amat aman sekali. 
"Masih jauhkah goa itu, Rondeng?" tanya 
Mangkoro sambil terus mengikuti langkah Ron-
deng. 
"Cukup jauh juga!" 
"Kita harus lebih cepat! Karena aku yakin, 
orang-orang desa akan tetap mencari kita! Dan bi-
la suasana sudah aman, barulah kita muncul dari 
goa itu dan menyerahkan gadis cantik ini untuk 
ketua. Hmm... sayang sekali... bila bukan untuk 
ketua, sudah ku-ganyang gadis ini. Tubuhnya 
amat menggiurkan sekali...." 
"Hahaha... bila kau nekad, nyawamu akan 
mampus di tangannya!" 
"Ya, ya... aku pun masih sayang dengan 
nyawaku!" 
"Hhh! Lebih baik kau bopong gadis ini, 
Mangkoro! Lumayan, tubuhnya yang meng-
giurkan itu akan menempel di tubuhmu!" 
"Hhh! Keenakan dia! Biar saja sini aku 
yang ganti menyeret!" seru Mangkoro. "Biar dia 
tahu rasa, sejak tadi aku tidak tahan mendengar 
jeritannya!!" 
Lalu dengan kasarnya Mangkoro menyeret 
Sekar Perak. Hal ini semakin membuat Sekar Pe-
rak menjadi ketakutan. Dia tidak pernah mem-
bayangkan hal seperti ini akan terjadi. Menurut-
nya.  keluargnya baik pada siapa pun. Dan tak 
pernah punya silang sengketa. 
 
Namun lamaran yang datang dari ketua 
penjahat itu membuat semuanya berubah.  Dan 
ketakutannya semakin menjadi. Makanya dia 
menjerit-jerit untuk menghilangkan rasa takut-
nya. 
"Tolong... tolong! Lepaskan, lepaskan aku, 
Orang jahat!" jeritnya keras. Dia amat takut sekali 
dengan orang-orang jahat ini. 
Apalagi dengan orang yang kini menyeret-
nya, yang tak punya perikemanusiaan. Kakinya 
sampai lecet-lecet karena harus tergesa-gesa 
mengikuti langkah orang itu. 
Tubuhnya sudah amat lemah. Sempo-
yongan, mau tak mau dia terus melangkah se-
mentara pergelangan tangannya terasa sakit se-
kali akibat cekalan yang keras. 
Dia   terus   tersaruk-saruk   mengikuti 
langkah laki-laki yang menyeretnya. Tenaganya 
dirasakan sudah hilang sama sekali. Kini dia 
bahkan terhuyung belaka. 
"Tolong... lepaskan aku... lepaskan aku... 
ampuni aku...." Kini suaranya bukan lagi jeritan, 
tetapi permohonan belas kasihan. 
"Jangan rewel!" membentak Mangkoro ka-
rena jengkel. "Kalau kau masih bicara terus, ku 
perkosa dan kubunuh kau seperti ibu mu, hah?!" 
"Oh! Lepaskan aku... ku mohon  lepaskan 
aku... huhuhu... apa salahku? Apa salah keluar-
gaku?  Kalian adalah manusia-manusia laknat! 
Jahat!" 
"Diam!"  
"Huhuhu... lepaskan aku... kalian jahat! 
Kalian jahat!!" "Diam! Diam!" "Lepaskan aku...." 
"Plak!" 
Tamparan itu melayang di pipinya. Meski-
pun dirasakannya sakit, Sekar Perak tetap merin-
tih memohon dilepaskan. 
"Bangsat! Bila kau tidak mau diam juga... 
kubunuh kau?!" bentak Mangkoro saking jeng-
kelnya. Telinganya benar-benar tidak tahan men-
dengar rengekan seperti itu. 
Kini Sekar Perak hanya terdiam dan me-
nangis terguguk karena tidak mau dibentak dan 
dipukuli lagi. Dia sudah tak mampu lagi untuk 
berkata-kata. Dia hanya bisa memaksakan sisa-
sisa tenaganya untuk melangkah, mengikuti 
langkah kedua orang yang berada di depannya 
itu. 
Tiba-tiba Mangkoro berhenti melangkah. 
Sekar Perak yang hanya mengikuti dengan lang-
kah sempoyongan terkejut hingga menabrak 
Mangkoro. 
"Bangsat! Kubunuh kau?!" bentak Mangkoro. 
"Oh!" 
"Diam!!" 
"Sudahlah, Mangkoro... aku pun tidak ta-
han sebenarnya, tapi karena dia milik ketua, mau 
apa lagi?" kata Rondeng. 
Mangkoro mendengus. 
"Hhh! Masih jauhkah tempatnya, Ron-
deng?" tanyanya malas-malasan. Rasanya ingin  
dibunuh saja gadis itu yang membuatnya jengkel 
dan harus menyeret-nyeret yang dirasakan bagai-
kan beban belaka. 
"Cukup lumayan." 
"Aku sudah bosan menyeret-nyeret gadis 
yang cerewet ini?!" makinya sambil melirik Sekar 
Perak yang menggunakan kesempatan itu untuk 
bisa bernafas dengan lega. 
"Hahaha... itu sudah tugasmu, bukan?" 
"Hhh! Jangan tertawa!" 
"Hahaha... bukankah lebih asyik mem-
bawa seorang gadis montok seperti dia dari pada 
membawa seorang laki-laki seperti aku?" 
"Sialan! Baiknya diapakan gadis ini, hah?!" 
"Terserah! Asal jangan kau perkosa dan 
kau bunuh! Karena nyawamu sebagai taruhan-
nya!" 
"Bangsat!" 
"Sudahlah! Ayo kita terus! Kita nanti akan 
sampai di hutan Alas Bantan. Di ujung hutan itu-
lah, Goa Alas Bantan yang amat tersembunyi be-
rada!" 
"Baiklah!" 
Kembali Mangkoro menyeret tubuh Sekar 
Perak yang lagi-lagi harus tersaruk-saruk mengi-
kuti langkahnya. Dia benar-benar sudah merasa 
amat tidak berdaya. 
Rondeng yang melangkah di belakang ke-
duanya terbahak-bahak. Dan diam-diam  dia 
memperhatikan bentuk tubuh Sekar Perak dari 
belakang. Sebuah tubuh yang amat menggiurkan. 
 
Gairahnya seakan bangkit perlahan-lahan. 
Namun dia masih bisa bertahan dan sadar 
kalau gadis ini adalah milik ketuanya. Bila saja 
bukan, sudah dinikmatinya tubuh yang menggi-
urkan dan mengundang selera itu. 
"Sialan!" makinya dalam hati. 
Hutan Alas Bantan yang kini mereka ma-
suki hampir sama lebatnya dengan Hutan Alas 
Roban. Tetapi hutan Alas Bantan lebih nampak 
bagaikan menyimpan misteri yang amat mengeri-
kan. Entah apa misteri itu. Yang pasti, Goa Alas 
Bantan terletak di ujungnya, yang pasti, Rondeng 
merasakan bulu remangnya berdiri. 
Hutan itu seakan hidup dan kesal karena 
dimasuki oleh tamu-tamu yang tak di  undang. 
Karena begitu mereka memasukinya, angin ber-
hembus kencang, menggesek dedaunan yang me-
nimbulkan irama mengerikan. 
Wajah Sekar Perak seketika pucat karena 
ketakutan. Dia benar-benar ngeri mengalami hal 
seperti ini. Sungguh suatu kejadian yang tak per-
nah dia bayangkan sebelumnya. Dan dia tak per-
nah mengerti mengapa justru dia yang harus 
mengalaminya. "Oh, Tuhan... kapankah berakhir-
nya ketegangan ini?" 
Mendadak saja terdengar suara tawa yang 
amat mengerikan. Yang mampu membuat bulu 
roma berdiri. 
"Hik... hik... hik...!!" 
Tawa itu menggema ke seluruh hutan. Ter-
bawa angin hingga ke segenap penjuru. Tawa  
yang seakan mengundang dan menyebarkan ha-
wa maut! 
 
* * 
 
 
Tawa itu terdengar lagi. "Hik... hik... hik...!" 
Mengerikan. Seketika Sekar Perak men-
jerit dengan tubuh lemas. Takutnya bukan alang 
kepalang. Dia seorang gadis yang jarang sekali ke 
luar rumah. Bila pun iya, paling diantar oleh em-
bannya. Namun sekarang, selagi dia ke luar ru-
mah, merupakan sebuah kejadian yang amat me-
nyiksanya. 
Sementara Rondeng dan Mangkoro segera 
waspada. Keduanya mencium sesuatu yang akan 
terjadi. 
"Bersiap, Rondeng...." 
"Ya... demikian pula dengan kau, Mangkoro...." 
Dan benar saja, tiba-tiba di hadapannya 
berlompatan delapan orang laki-laki seram den-
gan golok besar di tangan. Bukan, bukan para 
warga desa. Orang-orang ini bagaikan makhluk 
mengerikan yang siap mencabut nyawa. Mata me-
reka begitu buas, lebih-lebih setelah menatap Se-
kar Perak yang semakin menggigil. 
Tiba-tiba dari salah sebuah pohon bersalto  
satu sosok tubuh dengan lincahnya dan hinggap 
di hadapan orang-orang itu dengan ringannya. 
Rondeng sudah menduga, betapa tingginya ilmu 
meringankan tubuh orang Itu. Dia pun memper-
hatikan dengan seksama. 
Orang yang bersalto itu bertubuh ramping 
dan gemulai. Rambutnya terurai indah. Wajahnya 
cantik dan bibir yang mungil. Di pinggangnya ter-
lilit sebuah angkin berwarna merah. Dan di pung-
gungnya terdapat sebuah pedang tipis yang amat 
tajam. 
Rondeng segera mendapat kesimpulan, ga-
dis inilah yang memimpin delapan orang seram 
itu. Hanya satu yang dikuatirkannya. Sekar Perak 
bila diganggu orang-orang itu. Makanya Rondeng 
merasa lebih baik mati mempertahankan Sekar 
Perak daripada harus mati di tangan Bojo Mayit. 
Gadis yang berdiri di hadapan mereka itu 
terkikik. Wajahnya sungguh cantik sekali. 
"Hik... hik... siapakah kalian yang berani-
beraninya memasuki hutan ini, heh?!" tanyanya 
dengan suara yang genit dan lirikan mata yang 
mengundang gairah. "Agaknya kalian belum ta-
hu... kalau hutan ini akulah pemiliknya. Akulah 
yang berkuasa. Segala sesuatu yang terjadi atau 
akan terjadi di hutan ini, harus melalui aku. Hi-
hi... kalian mengerti, bukan?" 
Kedua laki-laki itu berpandangan. 
Rondeng yang tidak mau mencari ribut se-
gera menjura dengan hormat. "Maafkan kami, 
Nona...." 
Belum habis kalimatnya, gadis itu sudah 
tertawa. 
"Hik... hik... dia memanggilku Nona. No-
na... hik... hik... Nona... Nona...." Seperti orang gi-
la gadis itu menari dengan gembira. Mulutnya te-
rus berucap "Nona". 
Rondeng menjadi keheranan. Juga Mang-
koro, kenapa gadis ini senang dipanggil Nona? 
Apakah baru  kali ini ada yang memanggilnya 
dengan sebutan itu? 
Gadis edan itu sudah berhenti menari. Dan 
kembali matanya dengan genit melirik. 
"Karena kau sudah memanggilku Nona, 
kau kuterima dengan baik. Tapi katakan dulu apa 
maksud kalian datang ke mari?" 
"Kami...  ingin ke Goa Alas Bantan." kata 
Rondeng. 
Mendengar kata Goa Alas Bantan, wajah 
gadis itu berubah. Menjadi serius dan sengit. 
Orang-orang di belakangnya pun segera bersiap. 
Nampaknya mereka tidak suka ada orang yang 
menyebutkan nama goa itu. 
"Apa maksud kalian hendak ke sana?" sua-
ranya tinggi. 
"Kami tidak bisa mengatakannya kepada 
kalian...." 
"Hhh! Kalau kalian hendak ke sana, lain 
persoalan! Tak seorang pun yang kami izinkan ke 
sana!" 
"Apakah sekarang sudah menjadi goa la-
rangan?" 
"Ya! Dan kalian tidak boleh tahu apa pe-
nyebabnya?" 
"Tapi kami perlu sekali ke sana." 
"Dan kalian harus melalui kami!" Kedua 
tangan gadis itu terangkat ke atas. Serentak 
Orang-orang yang di belakangnya menyebar den-
gan posisi mengepung, Rondeng dan Mangkoro 
pun segera bersiap. Dilarang begini, membuat ke-
duanya menjadi semakin penasaran. Ada apa se-
benarnya di goa itu? 
"Apakah pertempuran ini harus terjadi?" 
seru Mangkoro. 
Gadis itu menatapnya dengan lekat. "Ya! 
Selagi kalian terus memaksa!" 
"Baik! Tak ada jalan lain! Kami memang in-
gin ke sana, dan harus ke sana!" 
Sehabis Mangkoro berkata demikian, gadis 
itu sudah mengibaskan tangannya ke depan. Se-
buah angin besar datang dengan cepat ke arah 
Mangkoro. Mangkoro segera berguling dengan 
menarik tangan Sekar Perak. Akibatnya, pohon 
yang berada di belakangnya, rubuh seketika. 
Suatu pukulan jarak jauh yang menga-
gumkan! 
"Hmmm... rupanya kau punya jurus an-
dalan juga, Orang jelek!" bentak si gadis sementa-
ra Mangkoro sudah membuka jurusnya. 
"Kalian boleh mengganyang kami! Tapi 
kuminta, kalian jangan mengganggu gadis ini!" 
bentak Ki Mangkoro. 
Kata-katanya itu hanya disambut  dengan  
tertawa oleh gadis itu. 
"Hihihi... tidak mengganggu gadis itu? hi-
hihi...." 
"Apa maksudmu?!" 
"Hihihi... orang jelek, orang jelek... laki-laki 
mana yang tidak suka dengan gadis secantik dia, 
hah?! Kami suka padanya”. 
"Gadis macam apa kau suka dengan seo-
rang gadis, hah?!" bentak Rondeng setengah jeng-
kel dan setengah heran. 
"Hihihi... kalian telah tertipu rupanya...." 
"Apa maksudmu?!" 
"Hihihi... namaku Nimas Andini atau yang 
bergelar, Nona Berwujud Lain...."  
"Hah?!" 
"Hihihi... ya, ya... gelarku Nona Berwujud 
Lain!" 
Rondeng makin tersentak kaget. "Kau... 
banci...?" 
Dan meradanglah gadis itu dengan gusar. 
Tatapannya memerah karena murka. Dia paling 
pantang disebut banci! 
Dia memang seorang laki-laki yang pernah 
berguru pada seorang wanita yang kesemua mu-
ridnya wanita pula. 
Semula guru wanita itu menolaknya untuk 
dijadikan murid. Namun Nimas Andini yang sebe-
lumnya bernama Jaka Purnama meyakinkan 
guru wanita itu, kalau dia akan belajar dengan 
baik dan sopan. 
Akhirnya guru wanita itu pun mengizinkannya 
menjadi murid di perguruannya. 
Karena semua temannya wanita, lambat 
laun pun Jaka Purnama bertingkah laku seperti 
wanita. Namun dia tetap seorang laki-laki. Dan 
dia tetap tidak bisa meninggalkan nafsu birahi la-
ki-lakinya terhadap wanita. 
Mulailah dia merayu beberapa orang murid 
wanita. Dan hampir semua murid di perguruan 
itu pernah dinodainya. Dan tak satu pun yang 
mengadu pada guru mereka, karena mereka sen-
diri pun menyukainya. Bahkan kedatangan Jaka 
Purnama dirasakan sebagai angin segar yang 
membawa kenikmatan di dalam Perguruan Pera-
wan Mustika. 
Namun sepintar-pintarnya orang me-
nyembunyikan bangkai, baunya akan tetap me-
nusuk pula. Akhirnya sang guru pun mengetahui 
semua perbuatannya.  Dia  tak mungkin mengu-
sir hampir semua muridnya. Maka Jaka Purna-
malah yang diusirnya karena telah merusak citra 
Perguruan Perawan Mustika. 
Hal ini membuat Nimas Andini marah be-
sar. Dengan kepandaiannya dia berhasil menun-
dukkan delapan orang kepala perampok dari ber-
bagai tempat. Dan dia pun segera menyusun ren-
cana untuk menyikat habis Perguruan Perawan 
Mustika. Perguruannya sendiri di mana selama 
tiga tahun tinggal di sana dia telah mendapatkan 
banyak ilmu. 
Dan kala malam telah larut, mereka pun 
segera menyerang. Dengan buas orang-orang itu  
menyerang dan menghancurkan mereka. Sia-sia 
perlawanan mereka karena orang-orang itu da-
tang kala mereka masih mengantuk dan tidak 
siap. 
Dalam waktu singkat mereka berhasil di-
kuasai.  Jaka Purnama sendiri dengan bernafsu 
memperkosa gurunya sendiri. Buas dan kejam 
hingga pingsan. 
Lalu dia menyuruh anak buahnya untuk 
bergantian memperkosa gurunya. Masih dalam 
keadaan pingsan, gurunya yang setengah  baya, 
namun berwajah cantik dan masih perawan, diga-
rap bergantian.  Lalu Jaka Purnama sendiri 
menghilang beserta anak buahnya. 
Ketika wanita setengah baya itu bangun 
dari pingsannya, melihat keadaan di sekelilingnya 
membuat hatinya serasa hancur ber-keping-
keping. 
Terlalu mengerikan! 
Hampir semua muridnya mati di tangan 
orang-orang  biadab itu. Dan sebagian besar di-
perkosa dengan buas. 
Menyadari dirinya mengalami hal yang sa-
ma, wanita itu bergidik ngeri dan menangis. Han-
cur! Hancur sudah semuanya! 
Tak tahan melihat semua itu dan kejadian 
yang menimpa dirinya, dia segera menggigit li-
dahnya sendiri hingga putus. Dan nyawanya pun 
melayang.  Hilanglah nama Perguruan Perawan 
Mustika!! 
Sementara itu wajah si Banci Nimas Andini  
semakin memerah. 
Lalu terdengar bentakannya. 
"Bangsat! Apa kau bilang?!!" 
Rondeng kini terbahak. "Hahaha... rupanya  
aku  bertemu  banci!   Kau  banci, bukan?!" 
"Banci?!" Menggeram murka Nimas Andini 
kata-kata yang dibencinya itu terdengar lagi. 
"Bangsaaattt!!" 
"Hahaha... ada banci marah rupanya!" 
"Anjing kurap! Hancurkan mereka!! Serah-
kan gadis itu untukku!!" 
Setelah  mendengar perintah dari Nimas 
Andini, orang-orang yang tadinya perampok, sege-
ra maju menerjang dengan golok mereka. Delapan 
buah golok yang amat tajam berkilatan di timpa 
cahaya matahari. Begitu mengerikan dan begitu 
cepat. 
Sekar Perak menjerit ketakutan meli-
hatnya. 
Rondeng segera mengambil tempat yang 
agak terbuka. Dia bersalto ke depan dengan lin-
cahnya. Dan empat buah golok segera menyam-
bar berbalik ke arahnya. Lagi-lagi dia bersalto dan 
sambil bersalto itu dia mematahkan batang kayu 
yang agak besar. Dengan senjata kayu itu dia 
menghadapi lawan-lawannya dengan jurus yang 
amat hebat. 
Begitu hebat dan tangguh, mampu mem-
buat keder hati para penyerangnya. Namun mere-
ka bukanlah orang-orang yang pengecut. Mereka 
terus mencecar dengan membabi buta. 
 
 
** 
 
 
Sementara itu Mangkoro segera menyusuli 
Sekar Perak untuk menjauh ketika serangan da-
tang ke arahnya. Dia pun segera mengambil tem-
pat yang agak lapang dan menghadapi lawan-
lawannya dengan jurus Tangan Bayangannya. 
Mangkoro mempunyai keuntungan sedikit, 
karena ilmu meringankan tubuhnya jauh di atas 
lawan-lawannya. Dengan mengandalkan ilmunya 
itu dia menghindar dan sekali-sekali menghantam 
dengan jurus Lengan Delapannya. 
Pertarungan dua orang penculik itu dengan 
delapan orang bekas perampok itu benar-benar 
hebat. Masing-masing terus melancarkan seran-
gan demi serangan dengan seruan yang keras. 
Nimas Andini atau Nona Berwujud Lain 
tertawa menyaksikan pertempuran itu. 
"Hihihi... kalian tidak akan bisa lari dari 
kejaran kami? Hihihi... lebih baik kalian mampus 
daripada membuang tenaga dengan percuma!" 
"Banci buduk! Jangan hanya tertawa saja 
kau?!" maki Rondeng geram. 
"Hihihi... kau kini masih bisa memaki juga, 
Orang jelek?!" Makin tertawa lebar Nimas Andini 
setelah melihat Rondeng terdesak. Batang kayu  
yang dipakai sebagai senjata sudah terlepas. Dan 
kilatan golok semakin sering datang padanya. 
Rondeng terus berusaha untuk meng-
hindar. Namun empat penyerangnya bukanlah 
lawan yang patut diremehkan. Mereka lebih baik 
mati daripada kalah. Itulah sebabnya mereka 
dengan nekat terus menyerang. 
"Aaaaaahhh!!" Tiba-tiba terdengar jeritan 
Rondeng keras. Kakinya terkena sedikit sabetan 
golok lawannya. 
Rondeng bersalto ke belakang. Dan me-
naikkan jurus Garuda pada tingkat akhir. Men-
dadak tangannya mengeluarkan asap putih. 
Orang-orang itu berpandangan sejenak, tetapi se-
gera menyerbu kembali dengan pekikan yang ke-
ras. 
Rondeng pun menyongsong. Kembali terja-
di pertempuran yang hebat, hingga suatu ketika 
Rondeng berhasil menyarangkan sebuah puku-
lannya ke tubuh pengeroyoknya yang langsung 
membiru dan mati. 
Ketiga lawannya yang lain sejenak meng-
hentikan serangannya. Agak ngeri melihat puku-
lan yang ampuh itu. Tetapi mereka segera menye-
rang kembali, tidak memperdulikan maut yang 
siap menjemputnya. Setan telah menebarkan ha-
wa kematian yang sip mengundang mereka. 
Benar saja, belum sepuluh jurus, dua 
orang sudah terkena pukulan maut Rondeng. Dan 
keduanya ambruk dengan pekikan melolong. Se-
kar yang sangat ketakutan tak kuasa melihatnya. 
 
Dia menjerit-jerit dia menangis. 
Mangkoro pun sudah merubuhkan  dua 
Orang lawannya. Jurus tangan kosong Lengan 
Bayangannya begitu hebat. Tangannya seakan 
menjadi banyak dan bergerak dengan kecepatan 
luar biasa. Mengandung kekuatan yang luar biasa 
pula. 
Melihat hal itu, Nimas Andini menggeram 
marah. Dia bersalto ke depan seraya membentak. 
"Mundur!!" 
Anak buahnya yang bersisa tiga orang itu 
pun bersalto ke belakang. Rondeng dan Mangkoro 
saling mendekat. Nimas Andini atau Nona Berwu-
jud Lain memperhatikan keduanya dengan sikap 
seorang jagoan. Tiba-tiba dia tersenyum. Dan 
mendadak kedua tangannya mengibas ke depan. 
Serangkum angin besar datang dari masing-
masing tangannya ke arah kedua pentolan Bojo 
Mayit itu. 
Keduanya terkejut dan reflek saling ber-
gulingan. Kembali dua buah pohon di belakang 
mereka tumbang seketika. 
Nimas Andini terkekeh. 
"Kalian jangan harap bisa keluar dari sini!" 
Suaranya tajam dan penuh ancaman. "Nyawa 
anak buahku yang terbunuh, harus kalian bayar 
lunas!" 
"Banci, jangan banyak bacot kau!" bentak 
Mangkoro yang lebih bernafsuan daripada Ron-
deng. Dia memang tidak sabaran. Apalagi merasa 
perjalanan menuju Goa Alas Bantan terhambat 
 
total. Belum lagi harus menguras tenaga! 
Wajah Nimas Andini memerah seperti ke-
piting rebus dipanggil dengan sebutan yang san-
gat dibencinya. 
Dengan memekik dia menerjang ke depan. 
Kedua tangannya mengembang mengancam ke 
arah tenggorokan lawan. Mangkoro langsung me-
rebahkan tubuhnya dan kakinya menyapu ke ba-
gian bawah Nimas Andini. Sedangkan Rondeng 
menangkis dan membalas dengan pukulan ke 
arah kepala. 
Kedua serangan balasan itu dielakkan den-
gan bagus sekali oleh Nimas Andini. Dan tokoh 
banci yang sakti itu ternyata mampu mengimban-
gi kedua jurus-jurus dari kedua orang Kediri itu. 
Bahkan dia bisa berada di atas angin. 
Selain tenaga keduanya sudah terkuras ta-
di, juga kalah sakti ilmu silat mereka. Rondeng 
sendiri heran, baru kali ini dia melihat seorang 
tokoh muda yang kosen. Yang begitu tangguh dan 
matang dalam setiap gerakannya. Yang secara tak 
disangka mampu melebihi tingkat kesaktian me-
reka. Jurus-jurus Naga yang diperlihatkan Nimas 
Andini sangat ampuh. Gerakannya aneh dan 
mengandung tenaga yang sangat besar. Juga ilmu 
meringan tubuhnya yang luar biasa tinggi. Kece-
patan geraknya pun luar biasa. Salah satu keun-
tungan untuk Nimas Andini, dia masih muda ma-
sih bisa bergerak demikian lincah. 
Pada jurus yang ketiga puluh, sebuah pu-
kulannya mampir di bahu Mangkoro yang ter- 
huyung beberapa tindak. Dia merasa seperti di-
hantam oleh godam yang besar. Dan ketika se-
rangan selanjutnya menyusul. Rondeng berusaha 
memapaki dengan jurus Rajawali Tiwikrawanya.  
"Des! Duaaarrr!" 
Luar biasa. Benturan kedua jurus yang 
ampuh itu menimbulkan bunyi seperti ledakan. 
Dan yang amat mengagumkan, Rajawali Tiwikra-
wa Rondeng tak mampu untuk merubuhkan Ni-
mas Andini! 
Orang itu terkekeh. 
"Sudah kubilang tadi', kalau nyawa kalian 
akan kupetik saat ini juga! Nah, bersiaplah seka-
rang! Aku tidak akan bertindak tanggung lagi!!" 
Keduanya pun bersiap. Masih menahan ra-
sa sakitnya. Mangkoro membuka jurusnya lagi. 
Nimas Andini hanya memperhatikan  sambil ter-
tawa. 
Tiba-tiba dia terdiam. Menatap dengan ta-
jam penuh ancaman. Mendadak mulutnya menge-
luarkan desisan mirip ular. Dan tangannya pun 
bergerak bagai ular, membentuk kepala ular yang 
siap mematuk. 
"Kalian akan merasakan keampuhan jurus 
Dewa Ular Putih...." 
Sampai di situ Nimas Andini bicara, kedu-
anya terpekik kaget. Jurus Dewa Ular Putih!! Ju-
rus yang tak asing lagi di telinga keduanya. Jurus 
yang dimiliki oleh si Dewa Ular Putih. Tokoh sakti 
yang menjadi legendaris. Si Dewa Ular Putih, to-
koh yang menjadi momok setiap lawan dan ka- 
wan. Jurus-jurusnya sangat ampuh. Dengan se-
kali totok dia mampu menghancurkan batu sebe-
sar kerbau. Dan dengan sekali kibas, pohon bisa 
tumbang. Jurus Dewa Ular Putih yang ditakuti. 
Lalu bagaimana bisa dikuasai oleh si banci ini. 
Sedangkan Dewa Ular Putih sudah meninggal le-
bih dari lima puluh tahun! 
Bagaimana caranya? Melihat kedua lawan-
nya tercengang dan nampak kaget, Nimas Andini 
terkekeh. "Jangan   heran,   hai  monyet-monyet! 
Dewa Ular Putih adalah guruku yang ter-amat 
sakti!" 
Rondeng tak kuasa menahan untuk ber-
tanya, "Bagaimana mungkin hal itu bisa terjadi?!" 
"Hik... hik... hik... itulah sebabnya kalian 
ku larang masuk ke Goa Alas Bantan, karena se-
mua rahasia itu kudapat dari sana! Aku telah 
menemukan buku silat yang aneh, yang terdiri 
dari, ilmu meringankan tubuh, jurus Naga dan 
jurus Dewa Ular Putih! Lima tahun lamanya aku 
mendiami goa itu untuk mempelajari isi buku. 
Dan kalian lihat hasilnya, aku benar-benar telah 
menjadi seorang manusia yang sakti! Dan kalian 
beruntung karena akan kuperlihatkan jurus De-
wa Ular Putih!" 
"Tunggu!" bentak Mangkoro. "Kau manusia 
iblis, kau telah mengacak kesucian Goa Alas Ban-
tan!" 
"Hik... hik... bukankah kalian hendak ke 
sana? Apakah kalian tidak ingin mengacak! Su-
dah, jangan banyak bacot aku sudah ingin me- 
renggut nyawa kalian!!" 
Dan si banci pun membuka jurus sakti 
yang ditakuti hampir oleh seluruh jagoan di za-
man dulu dan zaman sekarang. Mau tak mau ke-
duanya pun segera bersiap untuk menyambut se-
rangan itu. 
Dan benar-benar luar biasa, si Banci me-
mainkan jurus yang ampuh dengan cepat dan 
dahsyat. Keduanya hanya mempergunakan kelin-
cahan mereka bergerak saja dan sekali-sekali be-
rusaha untuk membalas. Dalam lima jurus saja, 
nampak keduanya terdesak hebat. Pohon dan ba-
tu besar sudah ambruk terhantam pukulan dah-
syat Itu. 
Tak terasa mereka bertempur sudah sekian 
lama, karena malam mendadak saja turun, meng-
ganti senja yang mulai redup. Malam pun meng-
gantikan pekerjaan matahari yang nampak sudah 
lelah pula. Tapi pertempuran itu masih terus ber-
jalan. Akhirnya dapat terlihat, kalau keduanya itu 
terdesak hebat. Nimas Andini tidak menyianyia-
kan kesempatan itu untuk mendesak terus kedu-
anya. Dan akibatnya amat mengerikan! 
Mangkoro yang nampak lelah, terjatuh be-
berapa tindak. Dan kesempatan itu dipakai Nimas 
Andini untuk menghantam kati Ki Manggada. 
"Heittt!!" 
Tak ada kesempatan lagi bagi Mangkoro 
untuk mengelak atau pun menyongsong serangan 
itu. Begitu tiba-tiba dan amat cepat. 
Saat yang menentukan bagi Mangkoro. 
 
Rondeng hanya mampu menghalangi se-
bentar dengan melemparkan kayu besar yang te-
lah dialiri tenaga dalamnya. Kayu itu kini ibarat 
baja yang siap merenggut nyawa lawannya. 
Namun kayu besar yang dialiri tenaga da-
lam itu, hanya dikibaskan saja oleh Nona Berwu-
jud Lain dengan satu tangannya, dan selebihnya 
hanya membuat Rondeng pasrah. 
Tubuhnya pun sudah letih. Tidak ada ke-
kuatan lagi untuk menyelamatkan Mangkoro dari 
ancaman maut Nimas Andini. 
Maut bagi Ki Manggada memang sudah di 
ambang mata.  Tubuh Nimas Andini meluncur 
dengan deras! Tangannya siap mencabut nyawa 
Ki Manggada!! 
"Mampuslah kau, Orang busuk!!" 
Mangkoro hanya bisa memejamkan ma-
tanya, menanti ajal yang siap menjemputnya. 
 
** 
 
 
"Sreeett!!" 
Mendadak selarik sinar putih melesat, 
menghalangi langkah tubuh Nimas Andini hingga 
membuat si banci itu buru-buru bersalto ke bela-
kang. 
Rondeng terkejut melihat hal itu.  
Mangkoro yang menyangka dirinya akan 
mampus, perlahan-lahan membuka mata-nya ke-
tika dia merasakan tidak ada sesuatu yang men-
genai tubuhnya. Dan kini dia melihat Nimas An-
dini sedang bersalto ke belakang. 
Tak jauh dari mereka, tiba-tiba muncul 
seorang pemuda bertubuh gagah dengan menge-
nakan caping hingga sebagian wajahnya tertutup. 
Di punggungnya terdapat sebilah golok yang 
aneh. Golok itu bersarung dari kulit kayu yang 
bersinar kekuningan. Pemuda yang tak lain murid 
tunggal Eyang  Ringkih Ireng dari Bukit Paringin 
itu menjura. Dia adalah Pandu atau yang digelari 
oleh orang-orang rimba persilatan sebagai Pende-
kar Gagak Rimang. 
Dan Nimas Andini yang bersalto dengan 
lincah menghindari serangan pukulan sinar putih 
yang dilepaskan Pandu. 
"Siapa kau, hah?!" menggeram banci itu 
marah. "Berani-beraninya kau mengganggu uru-
sanku! Orang yang berani berbuat seperti itu, ma-
tilah sebagai ganjarannya!" 
Meskipun dalam gelap, Pandu bisa melihat 
kalau gadis yang berdiri di hadapannya lumayan 
cantik. 
"Maafkan saya, Nona... saya hanya kebe-
tulan lewat... dan sungguh, saya tidak menyukai 
perbuatan nona yang sungguh kejam...." 
"Sombong! Itu urusanku!" 
"Dan menjadi urusan saya, Nona!" Suara 
Pandu terdengar berwibawa.  
"Hmm... jadi dengan kata lain, kau ingin di 
anggap sebagai pahlawan?" 
Pandu hanya tersenyum. Sementara Ron-
deng dan Mangkoro merasa tidak mengenal laki-
laki itu. Namun biarpun mereka orang kejam, 
namun mereka masih punya rasa terima kasih. 
Bila terjadi apa-apa dengan pemuda itu, mereka 
rela membantu. 
"Terserah apa kata-kata nona! Yang pasti, 
aku tak pernah menyukai kekerasan! Bila lawan 
sudah kalah, tidak sepatutnya untuk dibunuh!!" 
"Hhh! Baik, Pahlawan. Kini kau harus me-
nerima ganjarannya! Dan mengganti nyawa anak 
buahku!!" bentaknya keras. Lalu berseru pada 
anak buahnya yang bersisa tiga orang. "Kalian 
ganyang keduanya! Dan cabut nyawa mereka! Bi-
ar pemuda usil ini aku yang menangani!!" 
Sehabis berkata begitu, Nimas Andini ber-
salto ke arah Pandu yang langsung mengirimkan 
satu pukulan. Pandu menjadi serba salah. Mak-
sudnya tadi menghalangi serangan gadis itu pada 
orang tua yang tak berdaya itu, agar menyelesai-
kan persoalan secara damai. 
Tetapi kini persoalan menjadi runyam. Dan 
dia tidak mungkin dapat menghindar lagi.  Mau 
tak mau terpaksa dia harus melawan. 
Kini sasaran Nimas Andini adalah langsung 
memusnahkan lawan. Dia tetap menggunakan ju-
rus Dewa Ular Putih! 
"Anak muda!!" seru Ki Runding Alam. "Hin-
darkan dirimu untuk bersentuhan dengannya!!"  
"Bangsat kau!!" geram Nimas Andini se-
raya mengibaskan tangannya. Dengan cepat Ki 
Runding Alam bersalto ke samping. Angin besar 
yang datang ke arahnya itu menghantam sebuah 
pohon hingga tumbang. Dan ketika kakinya hing-
gap di bumi, anak buah si banci itu sudah me-
nyerangnya dengan bertubi-tubi. 
Menghadapi orang-orang ini, bagi Ki Rund-
ing Alam dan Ki Manggada amatlah mudah. Apa-
lagi kini mereka berdua menggempur. Dan sisa 
lawannya pun tinggal tiga orang. 
Dalam waktu yang singkat saja ketiganya 
berhasil mereka bantai. Rondeng buru-buru 
menggotong tubuh Sekar Perak yang masih ping-
san. Dan membawanya ke tempat yang agak jauh 
dari pertempuran itu. 
Mangkoro sendiri langsung terjun mem-
bantu Pandu menghadapi Nimas Andini. 
"Hati-hati, Kawan!!" serunya memper-
ingatkan. "Jurus-jurusnya amat mengerikan! Se-
kali saja kau bersentuhan dengannya, maka kau 
bisa mati dibuatnya!" 
"Terima kasih, Kawan!" sahut Pandu sema-
kin berhati-hati. 
Justru Nimas Andini yang menjadi murka. 
Dia menyerang keduanya dengan hebat dan ce-
pat. Meskipun dikeroyok, namun banci itu benar-
benar tangguh. Jurus-jurus Dewa Ular Putihnya 
membuat kedua lawannya ngeri. Pandu sendiri 
merasakan angin panas menerpa ke arahnya ke-
tika tangan Nimas Andini bergerak. 
 
Itu menandakan satu jurus yang dahsyat!! 
Pandu sendiri sudah mengeluarkan jurus 
berkelitnya yang teramat hebat, jurus Gagak Ter-
bang Lalu. Dia berusaha menghindari serangan 
Nimas Andini dengan lincah. 
Namun lama kelamaan Pandu berfikir, te-
naganya bisa terkuras habis karena selalu meng-
hindar. Dan tiba-tiba dia melenting ke angkasa. 
Kali ini dia melontarkan Pukulan Sinar Putihnya. 
"Sreeet!!" 
"Sreeet!!" 
Serangan sinar putih itu ternyata memba-
wa hasil. Nimas Andini tunggang langgang meng-
hindarinya. 
"Bangsat!!" geramnya marah dan kembali 
pontang panting menghindari Pukulan Sinar Pu-
tih yang dilepaskan oleh Pandu. 
"Hahaha... mau lari ke mana kau, Gadis?!" 
terkekeh Pandu. Sementara Mangkoro bisa berna-
fas lega melihat apa yang dilakukan anak muda 
itu. 
Dengan sinar putih itu, Pandu bisa mem-
buat jarak yang cukup bagi Nimas Andini untuk 
mendekat. Dan cukup kerepotan banci itu di-
buatnya. Sedikit pun tidak diberi kesempatan un-
tuk maju. 
Ini merupakan satu keuntungan bagi Pan-
du. Dia terus mempergencar serangannya. 
"Bangsat! Kubalas kau nanti!" geram Nimas 
Andini terus menghindar. 
"Hahaha... mengapa tidak segera kau la- 
kukan, hah? Mengapa kau masih bermain akro-
bat seperti itu?!" 
"Anjing sialan!!" 
"Hahaha... dan kini anjing itu mampu 
membuat kau jatuh bangun, bukan?!" 
Nimas Andini menggeram hebat. Namun 
sulit baginya untuk menerobos ke depan. Hingga 
suatu ketika kakinya terserempet Pukulan Sinar 
Putih itu. Seketika banci itu ambruk sambil me-
ringis kesakitan. 
Barulah Pandu menghentikan serangannya. 
"Hmm.... Nona... aku bisa membunuhmu 
saat ini juga! Tapi aku bukan seorang pemuda 
yang telengas menurunkan tangan! Aku bukan 
seorang pembunuh! Maka pergilah kau dari sini, 
jangan sampai aku menjadi seorang pembunuh! 
Cepat!!" serunya dengan nafas kembang kempis! 
Nimas Andini memandang dengan geram. 
Dia bermaksud hendak memberi perlawanan lagi, 
tapi kakinya terasa perih sekali. 
"Aku mengakui kalah, Sobat! Tapi nanti... 
kau tunggu pembalasanku! Goa Alas Bantan kini 
menjadi milik kalian, tapi aku akan datang kem-
bali untuk merebutnya!" 
Setelah berkata begitu, Nimas Andini 
bangkit dan pergi meninggalkan tempat yang te-
lah didiaminya selama lima tahun. Rondeng dan 
Mangkoro menghela nafas lega. 
Pandu  sendiri  menggeleng-gelengkan ke-
palanya, secara tidak disengaja dia sudah mena- 
namkan bibit permusuhan pada diri gadis itu. 
Sungguh sulit menjadi pembela kebenaran. Untuk 
menjadi orang pendamai. Karena tidak setiap 
orang suka karena ada yang membenci sikap se-
perti itu! 
Sementara Rondeng dan Mangkoro seakan 
disadarkan oleh kesalahan-kesalahan yang sela-
ma ini mereka perbuat. Mereka telah banyak ber-
buat dosa dan kejahatan. Kini semua itu seperti 
disadarkan oleh satu hal, di mana mereka melihat 
betapa pemuda ini dengan suka rela membela 
mereka. 
Padahal bila pemuda ini tahu siapa mere-
ka, apakah pemuda ini akan tetap membelanya? 
Namun melihat dari sikap dan tutur kata pemuda 
itu, mereka yakin bila pemuda itu adalah seorang 
yang bijaksana dan pemaaf. 
Tiba-tiba Rondeng berkata. "Ki Sanak... be-
ribu terima kasih kami ucapkan kepada mu yang 
telah menolong kami dari maut...." 
Pandu tersenyum. 
"Ki Sanak... tak perlulah kau mengucap-
kan terima kasih seperti itu padaku, karena me-
mang sudah kewajibankulah untuk menolong se-
sama..." sahut Pandu. "Yah... aku hanya kebetu-
lan lewat. Lagipula, bila kalian tidak membantu 
pun aku akan sukar untuk mengalahkan manu-
sia sakti itu...." 
Betapa rendahnya hati pemuda ini. Hal itu 
pun semakin  membuat Rondeng dan Mangkoro 
sadar, kalau selama ini mereka telah bersikap  
congkak dan sombong. Telah bergelimang banyak 
dosa dari hasil kejahatan yang mereka perbuat. 
Mereka menjadi malu dan menyesal. Pa-
dahal bila mereka tidak membantu pun mereka 
yakin kalau pemuda ini akan mampu menakluk-
kan banci itu. Mereka bahkan merasa hanya 
mengganggu gerak pemuda itu saja tadi. 
Dan keduanya merasa amat rendah sekali 
berhadapan dengan pemuda bercaping ini. 
"Siapakah sebenarnya kisanak ini?" tanya 
Rondeng. 
"Hmm... namaku Pandu!" 
"Pandu... sekali lagi kami ucapkan banyak 
terima kasih padamu. Namaku Rondeng dan ini 
kawanku.... Mangkoro...." 
Belum lagi Pandu berkata, tiba-tiba mun-
cul Sekar Perak yang langsung memaki-maki 
Rondeng dan Mangkoro. 
"Manusia-manusia jahat! Jahat! Kalian le-
bih baik mampus!" serunya, lalu berpaling pada 
Pandu. "Ki Sanak... mengapa kau menolong 
orang-orang jahat seperti mereka? Mereka tak 
layak untuk hidup! Bunuh mereka! Bunuh!" 
Pandu yang tidak mengerti hanya kerut-
kan kening. 
Sekar Perak masih membentak-bentak. 
"Bunuh mereka! Bunuh! Mereka adalah orang-
orang jahat yang tidak patut dibela! Mengapa kau 
membela mereka, hah? Apakah kau orang jahat 
juga yang saling sekongkol?!" 
Sekar Perak terus menjerit-jerit kalap.  
Pandu akhirnya berkata karena dia semakin bin-
gung. 
"Maafkan aku, Nona... siapakah nona se-
benarnya?" 
"Hhh! Tak perlu kau tahu siapa aku sebe-
narnya? Yang perlu kau tahu, kedua manusia ini 
adalah orang-orang jahat! Mereka menculik aku! 
Mereka membakar rumahku! Bahkan mereka 
memperkosa dan membunuh ibuku!!" seru Sekar 
Perak kalap hingga suaranya hilang. Lalu tubuh-
nya terjatuh dan dia terguguk sedih yang berke-
panjangan. 
Pandu mendesah panjang. 
Rondeng dan Mangkoro hanya menunduk-
kan kepalanya. Keduanya kini benar-benar sadar 
bahwa yang telah mereka lakukan selama ini ada-
lah hanya kebejatan belaka. 
Pandu menatap keduanya. 
"Ki Sanak... ceritakanlah apa yang se-
sungguhnya telah terjadi? Aku tidak mengerti 
mengapa gadis ini mengatakan kalian orang-
orang jahat? Benarkah apa yang telah dikatakan 
oleh gadis ini, Ki Sanak?  Ceritakanlah... jangan 
membuatku jadi semakin bertanya-tanya ada apa 
gerangan...." 
Rondeng dan Mangkoro kini bagaikan anak 
kecil belaka. Tidak terlihat lagi kegarangan dan 
kekejamannya. Mereka semakin sadar bahwa se-
lama ini mereka telah salah melangkah. Langkah 
mereka telah terlalu jauh menyimpang dari jalan 
kebenaran. Semua ini mereka lakukan karena  
mereka takut pada Bojo Mayit, ketua Perkumpu-
lan Sangkur Baja. 
Bila mereka keluar dari perkumpulan itu, 
sudah tentu Bojo Mayit akan mencari dan mem-
bunuh mereka. Ini merupakan di lema buat me-
reka. Karena tidak tahu sikap  yang bagaimana 
yang harus mereka perlihatkan. 
Rondeng mendesah sebelum angkat bicara. 
"Maafkan kami sebelumnya, Ki Sanak.... 
Kami memang telah banyak berbuat kesalahan. 
Dan apa yang dikatakan oleh gadis itu adalah be-
nar adanya...." 
"Jadi?" 
"Sekarang kami sadar, Ki Sanak... bahwa 
apa yang telah kami lakukan selama ini salah be-
sar. Dan kami seakan baru melihat titik terang itu 
pada dirimu... sehingga kami menyadari apa yang 
telah kami jalani hanyalah membuat dosa dan ke-
salahan...." 
Pandu mendesah. Walaupun baru kalimat 
itu yang dilontarkan oleh Rondeng,  dia dapat 
memakluminya. Gadis itu benar. Dan mereka te-
lah sadar serta mengerti bahwa apa yang telah 
mereka lakukan adalah sebuah kesalahan besar. 
"Dan kami ingin minta maaf atas kesalahan 
yang telah kami perbuat selama ini...." 
Pandu sekali lagi mendesah. Lalu berpaling 
pada Sekar Perak yang masih terduduk di tanah 
sambil terisak. 
"Nona... kau dengar kata-kata itu?"  
Sekar Perak tetap terguguk. Bayangan ru-
mahnya yang terbakar, ibunya yang mati terbu-
nuh dan diperkosa, semuanya bersatu di benak-
nya. Dia masih tidak bisa menerima keadaan itu. 
Perlahan-lahan diangkatnya kepalanya un-
tuk menatap Pandu. 
"Pendekar budiman... hatiku hancur oleh 
semua yang telah dilakukan mereka.... Sulit bagi-
ku untuk memaafkan mereka.... Aku tak kuasa 
menahan semua ini.... Dan dendamku akan terus 
ada sebelum mereka mati...." 
"Mereka sudah menyesali semua kesa-
lahannya...." 
"Mengapa mereka tidak sadar bahwa yang 
mereka lakukan itu berdosa? Mengapa kesadaran 
itu tidak muncul sebelumnya, sehingga ibuku 
masih hidup? Keluargaku tentram dan aman? 
Mengapa?!" Kali ini suara itu bagaikan menuntut. 
"Itu kesalahan mereka, Nona...." 
"Dan kesalahan itu hanya bisa ditebus bila 
mereka sudah mati!" 
"Mereka sudah minta maaf, Nona...." 
"Kata maaf hanya kamuflase saja. Bila 
keadaan sudah amat mendesak, kata maaf itu ba-
ru dilontarkan. Tapi, Tuan pendekar... apakah ka-
ta maaf itu bisa dijadikan pegangan? Apakah 
yang dimintai maaf itu langsung menerima? Ti-
dak, tak akan pernah aku memaafkan mereka!!" 
kata Sekar Perak tegas dengan mata beringas. 
Pandu hanya mendesah panjang. 
Mendadak terdengar jeritan yang amat keras 
dan menyayat sekali. Pandu terkejut dan lebih 
terkejut lagi ketika melihat Rondeng dan Mangko-
ro sudah terkapar dengan leher hampir putus. 
Keduanya secara diam-diam memungut golok 
yang tergeletak di dekat kaki mereka. 
Dan menggorok lehernya sendiri untuk bu-
nuh diri. 
Sekar Perak sendiri terkejut. Dan menjerit, 
"Akkhhhhh!!" Sebenarnya dia tidak ingin melihat 
hal itu. Dia tidak ingin melihat orang-orang itu 
mati. 
Tadi yang dilontarkan hanyalah emosi-nya 
belaka. Dia pun menangis panjang karena ngeri 
dan menyesal. 
Dengan hati-hati Pandu merangkulnya. 
"Nona.., kau lihatlah... betapa mereka begitu tu-
lus untuk meminta maaf dan menyesali perbua-
tannya.... 
Sudahlah, tak ada yang perlu ditangisi lagi. 
Lebih baik, kuantar kau kembali ke rumahmu...." 
 
** 
 
 
Bulan di langit sepotong. Sebagian tersaput 
oleh awan gelap. Suasana langit begitu suram. 
Suasana sepi. Mendadak dari Istana Kediri me-
lompat sosok tubuh dengan ringannya. Dan ber- 
kelebat dengan cepat menerobos kepekatan ma-
lam. 
Rupanya orang itu memiliki ilmu merin-
gankan tubuh yang amat sempurna, karena gera-
kannya hampir-hampir tidak menimbulkan suara. 
Orang itu terus berlari dengan cepatnya, 
menuju ke arah sungai yang sepi, yang jaraknya 
lumayan jauh dari Kerajaan Kediri. 
Di dekat sebuah sungai ada satu pondokan 
yang kecil. Dari kejauhan terlihat ada sinar yang 
agak remang-remang. Menandakan pondokan itu 
berpenghuni. 
Orang yang berlari itu bergegas ke pondo-
kan tadi. Lalu dengan hati-hati dia mengetuk pin-
tu perlahan. Delapan kali. Diketuk secara lambat-
lambat. Seperti merupakan satu ketukan isyarat. 
Agak berapa lama terdengar pula sahut-an 
ketukan dari dalam dua kali. Dan orang yang ba-
ru datang itu pun kembali mengetuk tiga kali. Ba-
rulah kemudian pintu itu terbuka. 
Sosok tubuh kecil berdiri di ambang pintu. 
Dia menyuruh orang yang baru datang itu 
agar segera masuk, dan dia sendiri melihat sekeli-
lingnya, sedang mencari apakah ada yang melihat 
kedatangan tamu itu. 
Ketika akan menutup pintu lagi, tiba-tiba 
dia mengibaskan tangan kirinya ke depan. Dan 
semak-semak yang bergerak hingga membuatnya 
curiga, hancur berantakan terkena pukulan jarak 
jauhnya. Dan seekor binatang malam menggele-
par lalu mati dengan tubuh hancur lumat.  
Orang itu mendengus. Lalu menutup pintu.  
Orang yang datang tadi segera menegur. 
“Bagaimana, Nimas? Barang itu aman?" 
Yang dipanggil ikutan duduk.  
"Kemungkinan besar masih aman, Kawan. 
Tapi..." 
"Tapi kenapa, Nimas?" 
"Ada kejadian yang memalukan." 
"Apa maksudmu?" 
"Maafkan aku, Kawan. Yah... tempat itu 
sudah dikuasai oleh orang-orang Kediri." 
"Hei, kenapa bisa begitu?" 
"Kami gagal mempertahankannya." 
"Apa maksudmu?" Suara orang yang baru 
datang itu meninggi. Wajahnya meradang. 
"Maafkan aku, Kawan... sebenarnya kami 
mampu menghabisi Rondeng, Mangkoro, dan seo-
rang gadis cantik...." 
"Rondeng dan Mangkoro?!" Orang itu me-
motong dengan suara terkejut. 
"Ya! Dia yang menyerang kami!" 
"Lalu?" 
"Saat itu kami sudah berada di atas angin 
dan mampu mengalahkan mereka. Tetapi kemu-
dian mendadak muncul seorang pemuda yang ga-
gah perkasa. Dia membuat barisan kami porak 
poranda. Bahkan dia berhasil melukai kaki kiriku 
ini dengan Pukulan Sinar Putihnya.  Yah... Goa 
Alas Bantan berhasil mereka rebut." 
Dari rasa terkejut kembali orang itu me-
maki geram. Nafasnya mendengus-dengus. Tan- 
gannya mengepal. 
"Kau bodoh, Nimas! Kau tidak bisa men-
jalankan tugas yang kuberikan!" 
"Maafkan aku, Kawan.... Aku sudah mela-
kukannya semampuku. Sebisaku. Dengan tekad 
bulat untuk menangkapnya. Tetapi pemuda itu 
benar-benar tangguh. Di samping tenaga kami 
sudah terkuras, juga kehebatan pemuda itu se-
pertinya amat sakti. Seperti seorang dewa. Dan 
dia menguasai Pukulan Patuk Gagak yang amat 
tangguh. Delapan orang anak buahku mampus di 
tangan mereka. Tetapi bila Pendekar Gagak Ri-
mang...." 
"Pendekar Gagak Rimang?" potong orang 
itu lagi. 
"Ya, dialah pendekar muda yang berjuluk 
Pendekar Gagak Rimang. Bila saja dia tidak ada, 
mungkin Goa Alas Bantan masih berada di tan-
gan kita!" 
"Lalu bagaimana dengan barang itu?!" 
"Barang itu aman!" 
"Bagaimana kau bisa seyakin itu, hah?!" 
"Ingat, Kawan... aku sudah lama men-
diami Goa Alas Bantan dan aku tahu seluk beluk 
rahasianya." 
"Kau bisa menjamin?" 
"Jiwa dan ragaku sebagai taruhannya! Goa 
Alas Bantan hanya akulah yang mengetahui ra-
hasianya. Di sana pula aku mendapatkan ilmu-
ilmu yang sangat berbahaya dan tangguh. Barang 
itu pasti aman. Mereka tidak ada yang tahu di  
mana barang itu ku  sembunyikan. Kau sendiri 
pun tidak tahu, bukan?" 
Orang yang baru datang itu mendesah. Ke-
lihatan lega. 
"Tapi ingat, Nimas... barang itu jangan 
sampai hilang. Sudah lama aku mengidamkan-
nya. Dan tak lama lagi aku akan menjadi raja di 
dunia persilatan yang gagah perkasa.  Hmmm... 
maksud kedatanganku ke sini begini, Nimas. Se-
benarnya, aku masih dan ingin mengambil barang 
itu sekarang. Aku sudah tidak sabar untuk mem-
pelajarinya. Dan bila selesai akan ku tantang se-
mua jago-jago di rimba persilatan ini.  Ingat, Ni-
mas... tak ada yang boleh tahu siapa yang telah 
mencuri Kitab Lembayung Naga Langit itu." 
"Hihihi... tak seorang pun yang akan tahu. 
Dan kau bisa mempelajarinya dengan seksama. 
Dan bila sudah tamat, jurus Dewa Ular Putih 
yang ku temukan secara tidak sengaja di Goa Alas 
Bantan pun dapat kau taklukkan...." 
"Ya, ya... inilah mungkin yang bisa ku  la-
kukan...." 
"Hihihi.... dan tentunya kau tidak akan lu-
pa bukan dengan upah yang akan kau janjikan?" 
"Hhh! Kau selalu mengeruk bagian dari-
ku? Menjaga barang itu saja kau tidak mampu!" 
"Hihihi... jangan kuatir, aku akan segera 
mengambilnya. Tetapi bagianku kurang.... Kau 
tentunya tidak lupa dengan bagianku, bukan?" 
"Apa maksudmu?" 
"Hihihi... kau lupa kalau begitu...."  
"Menurut perasaanku, semua yang kau 
minta telah kuberikan padamu. Apa lagi yang ku-
rang?" 
"Hihihi... mana lagi wanita-wanita yang 
akan kau kirimkan padaku, hah? Mana? Kau lu-
pa dengan janjimu itu? Dan sialan, salah seorang 
wanita yang kau kirimkan padaku pekan lalu su-
dah tidak perawan! Tetapi... hihihi... ya, enak juga 
untuk dicicipi!"  
"Sialan!" 
Keduanya terbahak. 
"Hahaha... baiklah, bila kau berhasil me-
rebut kembali Goa Alas Bantan dan mengambil 
barang itu atau Kitab Lembayung Naga Langit, 
semua yang kau inginkan akan terpenuhi. Kau 
akan mendapatkan harta yang banyak dan pera-
wan-perawan cantik yang akan menemanimu se-
tiap saat. Kau suka itu, bukan?" 
"Hihihi... kau membuatku malu, Kawan... 
aku ini seorang gadis, masa kau akan memberi-
kan para gadis cantik?" Banci itu tertawa ngikik. 
Tersipu-sipu bagaikan seorang gadis yang 
tengah dilamar oleh pemuda idamannya. 
Dan banci itu adalah seorang laki-laki yang 
penuh nafsu birahi!! Banci itu menampilkan wa-
jah tersipu-sipu. 
Orang yang datang itu tertawa keras. Nam-
pak lucu mendengar kata-kata si banci. 
"Hua-ha-ha... kau ini, Nimas... kau ini laki-
laki tulen, biar seperti wanita lagakmu, tapi naf-
sumu gede jika lihat perempuan cantik! Sudah- 
lah, jangan berlagak seperti wanita! Lakukan pe-
rintahku ini dengan cepat. Dan aku tidak ingin 
kau melaporkan hal ini dalam usaha yang gagal. 
Aku harus kembali sekarang. Aku tidak in-
gin ada yang tahu siapa aku sesungguhnya. Na-
mun rencanaku ini sudah kau ketahui semuanya. 
Nah, Nimas. Kau rebut kembali Goa Alas 
Bantan dan jangan sampai lupa tentang Kitab 
Lembayung Naga Langit. Aku sudah tidak sabar 
untuk mempelajarinya. 
Tak lama lagi aku akan menjadi jago di 
rimba persilatan! Aku akan menjadi raja....! Hua-
ha-ha-ha...." 
Kedua orang yang punya rencana busuk 
itu tertawa panjang lebar. Nimas Andini  berjanji 
akan menjalankan perintah itu dengan baik. 
Tak lama kemudian, laki-laki yang datang 
tadi segera berpamitan. Dia bergerak  dengan ce-
pat menuju istana dan masuk ke  sana tanpa seo-
rang pun melihat dan mengetahuinya, siapa 
orang itu. 
Sementara itu Nimas Andini menutup pin-
tu kembali.  Dan berpikir bagaimana caranya un-
tuk membunuh Prabu Kediri. Dia harus berhasil. 
Harus berhasil. 
Dia sudah malu karena gagal memper-
tahankan Goa Alas Bantan. Dia berjanji akan me-
rebutnya lagi.  Dan dia tidak ingin kegagalan itu 
terjadi lagi, maka dia harus berhasil membunuh 
sang Prabu Kediri! 
Setelah berhasil menemukan caranya, tiba- 
tiba dia bangkit, membuka pintu dan memperha-
tikan keadaan sekelilingnya. Sepi. Sunyi. 
Tiba-tiba dia berkelebat ke luar. 
Hanya lima menit dia keluar dan kembali 
lagi. Kali ini bersama seorang perempuan muda 
yang terkulai lemah di bahunya karena tertotok. 
Wajah perempuan muda itu amat cantik. Matanya 
kelihatan habis menangis dan sayu. 
Nimas Andini tertawa. Dia laki-laki tulen! 
Bahkan kadar gairah birahinya begitu be-
sar sekali. Daripada terbengong sendirian tanpa 
ada kerjaan, lebih baik dia puaskan nafsunya sa-
ja. Urusan pembunuhan itu gampang dan sudah 
ditemukan caranya. 
Dan keesokan harinya, desa itu gempar ka-
rena seorang perempuan muda ditemukan tewas 
di tengah sawah dalam keadaan telanjang bulat 
dan darah di selangkangannya! 
Para gadis-gadis di sana menjadi ngeri me-
lihatnya. Dan para laki-lakinya berjaga-jaga agar 
jangan kejadian itu sampai terulang lagi, 
Namun sore harinya, ditemukan lagi se-
sosok mayat wanita dalam keadaan tergantung di 
pohon dengan tubuh telanjang bulat dan selang-
kangan berdarah pula. 
Benar-benar kejam banci itu! 
Dia sudah memperkosa, kini membunuh 
pula! Hanya Dewata yang tahu hukuman apa 
yang pantas untuk manusia kejam seperti Nimas 
Andini! 
 
 
* * 
 
 
Bojo Mayit adalah seorang laki-laki yang 
berwajah seram. Di kepalanya terdapat sebuah 
ikatan berwarna merah. Di kedua tangannya yang 
besar dan gempal melingkar gelang-gelang yang 
terbuat dari akar bahar. Tubuhnya gempal dan 
kekar. Dia memiliki ilmu Sangkur Baja, yang 
mampu membuat tubuhnya kebal terhadap senja-
ta dan ilmu apa pun. 
Sudah tiga hari ini Bojo Mayit menunggu 
para anak buahnya yang disuruhnya untuk men-
culik Sekar Perak dan membuat huru hara di de-
sa itu. 
Namun hingga kini, belum seorang pun 
yang menampakkan diri. Dia menjadi amat marah 
karena merasa dipermainkan. 
Anak buahnya tidak ada yang berani untuk 
menenangkannya. Begitu pula dengan para selir-
nya yang berjumlah 12 orang yang hanya bisa 
mengelus dada saja dan harus melayani kemauan 
Bojo Mayit. Karena bila dia sudah teramat kesal, 
dia pun menggumuli selirnya dengan penuh ke-
biadaban. 
Hari ini pun dia marah-marah. 
"Gembolo! Ke sini kau?!" bentaknya uring-
uringan sambil hilir mudik. Dia sudah tidak sabar  
ingin menggumuli diri Sekar Perak yang pernah 
dilihatnya beberapa bulan yang lalu. 
Dia memang sudah mengirimkan utusan 
untuk melamar Sekar Perak, namun hasilnya ni-
hil. Dan ini membuatnya geram, hingga dia pun 
memerintahkan anak buahnya untuk membuat 
onar di desa itu. 
Yang membuatnya geram, karena orang-
orang desa seperti bersatu. Dan malam itu dia 
pun menyuruh langsung untuk menculik Sekar 
Perak. Namun hingga kini utusannya belum ada 
yang kembali membawa kabar yang menggembi-
rakan. 
Yang dipanggil Gembolo tadi muncul den-
gan tergesa-gesa. Dia menjatuhkan diri di depan 
Bojo Mayit setelah menjura dengan hormat. 
"Ada apa, Ketua?" 
"Hhh! Kau cari orang-orang yang ku  utus 
untuk menculik calon istriku itu! Harus dapat! 
Dan ingat, bila kau gagal, kau akan mampus se-
cara mengerikan, Gembolo!" 
"Baik, Ketua!" 
"Sekarang pula kau berangkat mencari me-
reka!" 
"Baik, Ketua!" 
"Dan ingat dengan sangsi yang akan ku-
jatuhkan padamu itu!" 
"Baik, Ketua!" sahut Gembolo dengan pe-
nuh hormat. Lalu dia pun mundur untuk melak-
sanakan tugas yang diberikan oleh ke-tuanya. 
Sungguh suatu tugas yang dirasakan amat sulit  
sebenarnya. Apalagi dengan ancaman yang cukup 
mengerikan. 
Gembolo pun membawa beberapa orang 
teman untuk mendampinginya. Dia pernah ikut 
dalam satu serangan yang mereka lakukan, dan 
orang-orang desa sudah bersatu dan bersiap un-
tuk menghadapi mereka. Itulah sebabnya dia 
membawa teman. 
Sementara itu Bojo Mayit segera bangkit 
dan berjalan sambil menyeret salah seorang selir-
nya untuk dibawa ke kamar. 
Sang selir hanya bisa mendesah panjang 
dan tidak bisa berbuat apa-apa. Dia yakin, tu-
buhnya akan semakin hancur diganyang oleh 
manusia biadab ini! 
 
* * 
 
"Kau tetap tidak mau kembali ke rumah-
mu?" tanya Pandu dengan suara yang ramah. 
Sekar Perak menundukkan kepalanya. La-
lu memandang sekeliling hutan. Mereka baru saja 
keluar dari Goa Alas Bantan.' Sudah dua hari me-
reka berada di sana. 
Dan dua hari pula Pandu membujuk Sekar 
Perak untuk segera pulang. Karena dari peristiwa 
yang terjadi, Pandu dapat membayangkan bagai-
mana bingungnya orang tua Sekar Perak si Banyu 
Biru. 
Namun gadis itu malah menolak. Dia tidak  
mau kembali ke rumah dengan alasan tidak mau 
melihat lagi pertumpahan darah yang mengeri-
kan. 
Bunuh diri yang dilakukan Rondeng dan 
Mangkoro masih membekas di hatinya. Dia amat 
menyesal hingga keduanya nekad membunuh di-
ri. Seharusnya dia memaafkannya. 
Namun dia begitu keras kepala. Dan sung-
guh, Sekar Perak terus menyesali kejadian itu. 
Hati-hati diangkatnya kepalanya. Di tatap-
nya Pandu yang membuka capingnya. Wajah itu 
begitu tampannya. Sekar Perak sebenarnya lebih 
suka berada di tempat ini berduaan dengan Pan-
du. Dua hari mereka tinggal bersama, sudah me-
numbuhkan benih kasih di hati Sekar Perak. 
Pemuda ini begitu baik padanya. 
Namun sudah tentu sebagaimana seorang 
gadis, amat malu untuk menunjukkan bahwa dia 
menyayangi lawan jenisnya bila lawan jenisnya 
belum memulai. 
"Tidak, Kakang... aku tidak ingin kembali 
ke rumah...." katanya. 
"Rayi, Sekar... tidakkah kau kasihan pada 
ayahmu yang sudah tentu amat cemas menanti 
kedatanganmu dan berpikir-pikir tentang diri-
mu?" 
"Aku tahu soal itu, Kakang?" 
"Lalu mengapa kau tidak ingin kembali pu-
lang?" 
"Aku merasa lebih baik di sini."  
"Mengapa?"  
"Di sini jauh dari keramaian. Di sini aman, 
tenang dan damai. Tidak ada orang-orang jahat 
yang selalu berkeliaran. Aku menyukai tempat ini, 
Kakang...." 
Aku juga menyukai tempat ini, Rayi... kata 
Pandu dalam hati. Namun jiwa yang sudah mele-
kat pada diriku adalah jiwa petualang. Jiwa yang 
selalu mengembara. Dan aku tidak pernah me-
nyukai tempat untuk berdiam diri kecuali Bukit 
Paringin, di mana aku merasa tentram di sisi 
Eyang Ringkih Ireng. 
Eyang... aku rindu padamu.... 
Sekar Perak yang melihat Pandu terdiam 
jadi bertanya, "Ada apa, Kakang? Mengapa kau 
diam? Adakah kata-kataku yang salah?" 
Pandu buru-buru tersenyum.  
"Tidak, Rayi... tidak ada apa-apa...." 
"Kakang marah karena aku tidak mau pu-
lang?"  
"Tidak." 
"Atau... atau Kakang tidak mau menema-
niku di sini?" 
"Mengapa kau berkata begitu?" 
"Jawablah, Kakang... bukankah begitu?" 
Pandu tersenyum. Tangannya disentuh-
kan kepada bahu Sekar Perak. Yang disentuh jadi 
merinding. Karena dia memang amat mengha-
rapkan sentuhan tangan dari Pandu. 
"Tidak, Rayi... sungguh aku suka me-
nemanimu di sini. Namun aku tidak mau bila 
ayahmu begitu menjadi cemas terhadapmu  
Sekali lagi bukannya aku melarangmu atau 
tidak suka kau tinggal di sini, namun aku tidak 
ingin terjadi apa-apa di antara kita...." 
"Apa maksudmu, Kakang?" 
"Rayi... tidak sadarkah kau bahwa kita 
hanya berdua?" 
"Lalu?" 
"Aku kuatir... akan terjadi apa-apa di anta-
ra kita. Kita masih sama-sama berjiwa muda, ge-
jolak nafsu birahi kadang bisa muncul kapan saja 
dan aku kuatir kita tidak akan bisa mengekang-
nya." 
"Mengapa demikian, Kakang?" 
"Aku pun tidak mengerti. Yang pasti hal 
itulah yang aku kuatirkan, Rayi...." 
Sekar Perak menundukkan kepalanya. 
"Malah aku suka bila hal itu benar terjadi, Ka-
kang. Aku malah mengharapkannya. Kakang 
Pandu... diam-diam aku semakin kagum padamu. 
Rasa simpati dan benih kasih yang tumbuh di ha-
tiku bisa menjadi subur, Kakang." 
Namun tiba-tiba Pandu terdiam. Telinganya 
menangkap satu gerakan yang mencurigakan. 
Namun dia tetap tenang, karena tidak ingin mem-
buat Sekar Perak menjadi cemas. 
Maka dengan hati-hati dia berkata, "Rayi... 
sebaiknya kau masuk ke dalam saja." 
"Mengapa, Kakang? Aku suka berada di si-
ni?" 
"Aku ingin berdiam sendiri di sini." 
"Oh, kau tidak suka bila kita berdua, Kakang?" 
"Bukan itu maksudku, Rayi... aku kuatir 
bila kita selalu berdua, akan terjadi apa-apa. Kau 
mengerti bukan maksudku, Rayi?" 
 
** 
 
Sekar Perak mengangguk. Lalu perlahan-
lahan dia bangkit masuk ke dalam goa. Di am-
bang mulut goa dia masih menoleh ke belakang 
untuk melihat Pandu. 
Pandu hanya tersenyum. Setelah Sekar Pe-
rak hilang dari pandangan, dia pun segera berja-
lan ke arah hutan. Karena telinganya menangkap 
gerakan yang mencurigakan. 
Lalu dia berkata pelan. "Yang mengintai... 
silahkan keluar, mengapa harus pakai sembunyi 
segala?" 
Mendadak satu sosok tubuh melompat dari 
atas pohon. Dia adalah Nimas Andini yang datang 
kembali untuk membalas dendam sekaligus me-
rebut "barang" yang ada di Goa Alas Bantan. 
Sejak tadi dia sudah mengintip keduanya. 
Pikirnya dia aman-aman saja. Karena sikap Pan-
du sepertinya tidak mengetahui kedatangannya. 
Namun dia salah sangka. Dia terlalu remeh 
menganggap Pandu. Inilah akibatnya. 
Dan sekarang, laki-laki itu ternyata me-
mergokinya, tak ada jalan lain bagi Nimas Andini 
untuk menampakkan diri. 
 
Pandu tertawa melihat Nimas Andini muncul. 
"Ha... ha... rupanya Banci Murah Senyum 
yang main kucing-kucingan." 
Wajah Nimas Andini memerah, benar-
benar dia yang bodoh, pengintaiannya rupanya 
sejak semula diketahui Pandu. Tetap dia hanya 
mendengus, menganggap remeh Pandu. 
Pandu berkata lagi. "Nona yang gagah per-
kasa, ternyata masih suka bermain sembunyi-
sembunyian. Ada apakah gerangan?" 
Semakin memerah wajah Nimas Andini. 
Matanya melotot gusar, tetapi Pandu hanya ter-
tawa. Dia tahu kenapa Banci Murah Senyum ini 
mengintainya. Dendam! Namun sebelum dia ber-
kata, Nimas Andini sudah membentak keras. 
"Aku memang sengaja datang lagi... Pandu. 
Kau tahu kenapa?" 
Pandu tersenyum. 
"Aku ingin membunuhmu!" Suara Nimas 
Andini kejam dan menusuk. Matanya me-
mancarkan nafsu membunuh. Apalagi teringat 
kekalahannya beberapa hari yang lalu. 
Pandu melengak sebentar tapi kemudian 
tenang, "Aku tak mengerti mengapa kau hendak 
berbuat demikian? Padahal aku tahu, kita tak 
pernah berselisih!" 
"Hhh! Kau harus mampus, Pandu! Seka-
rang bersiaplah kau! Sudah lama aku ingin men-
jajal kesaktian Pendekar Gagak Rimang. Tahan 
serangan!" membentak Nimas Andini dan melesat  
dengan pukulan lurus ke wajah Pandu. Tak ada 
jalan lain buat Pandu kecuali melawan. Dia pun 
merunduk dan menangkis lalu balas menyerang 
lebih cepat. Nimas Andini berkelit dengan cekatan 
dan kakinya menyambar. Pandu memperlihatkan 
ilmu meringankan tubuhnya dengan melompat ke 
sana ke mari menghindari serangan Nimas Andi-
ni. Nimas Andini pun meningkatkan serangan-
serangannya. Terjadilah di tempat itu pertempu-
ran yang hebat dan seru. Masing-masing sudah 
memperlihatkan kelincahannya dan kesaktiannya. 
Dan keduanya sama-sama masih bertahan. 
Tiba-tiba keduanya sama-sama memekik panjang. 
Nimas Andini maju menyerbu dengan dorongan 
kedua tangannya. Pandu tidak mengelak, dia ma-
lah menyambut dengan dorongan yang sama. 
"Dess...!" 
Kedua tenaga besar itu saling bertemu 
dengan hebatnya.  Tubuh Nimas Andini mental ke 
belakang dengan deras, sedangkan Pandu hanya 
terhuyung lima langkah. Itu saja sudah menan-
dakan, kalau tingkat tenaga dalam Nimas Andini 
masih jauh berada di bawah Pandu. 
Nimas Andini mengusap darah yang ke-
luar melalui mulutnya. Dia sekarang yakin dan 
menyadari kalau lawannya bukanlah orang sem-
barangan dan tidak boleh diang-gap ringan. Nama 
besar Pandu memang suatu kenyataan yang tidak 
bisa dipungkiri. 
Namun biar begitu Nimas Andini tidak gentar, 
dia malah penasaran. Tiba-tiba dia membuka 
angkinnya. Angkin itu diuraikan dan menjadi se-
buah selendang. Dia mengebut-ngebutkan selen-
dangnya, rupanya akan dijadikan senjata. 
Pandu hanya tersenyum saja. 
"Kalau aku boleh tahu, Nimas. Siapa yang 
menyuruhmu untuk membunuhku?" tanyanya 
sebelum Nimas Andini menyerang. Namun Nimas 
Andini tidak mau menjawab. Dia malah terkikik. 
Dan mengibaskan angkinnya dengan cepat. 
Angkin itu bagaikan digerakkan oleh tena-
ga magnit, bisa bergerak dan menangkis dengan 
cepat. Rupanya itu memang senjata  andalan Ni-
mas Andini. 
Pandu pun bergerak dengan cepat meng-
hindarkan serangan selendang itu yang kadang 
melemas namun penuh tenaga dan kadang tegang 
seperti tombak. Namun dengan jurus Gagak Ter-
bang lalu kembali Pandu bisa menghindarkan se-
rangan-serangan itu dan membuat Nimas Andini 
semakin penasaran. 
Suatu ketika Pandu membentak keras dan 
tubuhnya melentik ke atas, bersamaan dengan itu 
Nimas Andini mengibaskan angkinnya yang men-
dadak menjadi tombak dan siap menembus leher 
Pandu. 
Masih di udara Pandu bersalto dan ber-
balik menyambar ujung angkin itu. Terjadilah adu 
tenaga yang kuat, masing-masing hendak mem-
pertahankan ujung angkinnya yang dipegangnya. 
Nimas Andini yakin dia akan kalah dalam  
hal adu tenaga dalam. Maka dia membiarkan 
angkinnya dibetot oleh Pandu. Dan bersamaan 
dengan itu dia menggenjot tubuhnya ke depan 
dengan tangan dan kaki menyerang. 
Pandu sedikit terkejut dengan serangan 
demikian. Dia tidak menduga sama sekali. 
Dengan gerakan  yang amat cepat dia me-
lempar tubuhnya ke samping. Namun Nimas An-
dini telah" lebih dulu memburu dengan cepat. 
"Des!" 
Tangan kanannya menghantam dada Pan-
du hingga bergulingan. 
"Hihihi... hanya begitu saja kehebatan Pen-
dekar Gagak Rimang rupanya!" 
Pandu mendengus seraya bangkit. 
"Kau memang hebat, Banci! Sayang... ilmu 
yang amat hebat itu kau gunakan untuk jalan ke-
sesatan!" 
"Jangan banyak omong!" 
"Hmm... agaknya aku pun menjadi pena-
saran terhadapmu!" * 
"Aku akan lebih penasaran bila belum 
membunuhmu, Pandu!" geram Nimas Andini. 
"Hhh! Tahan serangan!!" serunya pula. 
Lalu dia menyerbu kembali diiringi dengan 
pekikan yang amat keras. Pandu pun segera me-
mapakinya. Kembali keduanya saling serang den-
gan cepat.  
Hebat. 
Tangkas. 
Berbahaya. 
Penuh dengan serangan-serangan tipuan. 
Sejauh ini nampak keduanya berimbang. 
Tiba-tiba Nimas Andini bersalto ke belakang dan 
begitu hinggap di tanah langsung menggenjot tu-
buhnya kembali. Kali ini jurus Dewa Ular Putih-
nya sudah siap hendak dijotoskan kepada Pandu. 
Pandu sendiri melihat keadaan yang amat 
kritis itu. Tak ada jalan lain. "Maafkan aku, 
Eyang. Terpaksa kugunakan Pukulan Cakar Ga-
gak Rimang untuk menghadapi lawan yang se-
dang gila ini." 
Lalu dia pun menderu maju memapaki se-
rangan Nimas Andini. Dapat dibayangkan betapa 
dahsyatnya dua ilmu yang amat tinggi itu berte-
mu dalam gempuran tenaga yang hebat. Suasana 
menjadi amat mencekam. 
"Duaaarrrr!!" 
Terdengar suara bagaikan ledakan belaka 
kala kedua ilmu itu bertemu. 
Terlihat pula asap putih mengepul tebal. 
Daun-daun berguguran. Dan dari balik asap tebal 
itu terlontar dua sosok tubuh ke belakang. 
Nimas Andini muntah darah begitu jatuh 
ke tanah. Nafasnya terasa sesak. Dia tidak me-
nyangka Pandu berani memapakinya dan tenaga 
Pandu demikian hebat. 
Sementara Pandu pun merasakan hal yang 
sama. Dia tidak menyangka Pukulan Cakar Ga-
gak Rimang mampu ditandingi oleh Dewa Ular 
Putih. 
 
Berarti di atas langit masih ada langit. 
Bagi Nimas Andini bila dia masih nekad 
untuk melawan, pastilah dia akan berakhir. Lalu 
dengan dipaksakan atas sisa-sisa tenaga yang 
ada, perlahan-lahan dia bangkit sambil meme-
gang dadanya. 
"Kau... hhh... hari ini... kau menang kem-
bali, Pandu... tetapi ingat... sampai kapan pun 
aku akan datang untuk membalas semua ini...." 
Lalu tubuhnya pun melesat dengan cepat, 
membawa luka di dadanya. 
Sementara bagi Pandu itu adalah suatu hal 
yang amat baik sekali. Karena dia pun merasakan 
nyeri di dadanya. Lalu dengan terhuyung diba-
wanya langkahnya ke Goa Alas Bantan. 
Sudah tentu Sekar Perak amat terkejut me-
lihat keadaannya yang terluka. Sebelum gadis itu 
berkata apa-apa, Pandu sudah ambruk pingsan. 
"Kakang!!" 
 
* * 
 
 
Sesosok tubuh itu menyelinap di kege-
lapan malam. Berlari menuju sebuah gubuk kecil 
yang di belakangnya ada sebuah sungai. Orang 
itu meninggalkan kudanya tak jauh dari gubuk 
itu. Angin malam berhembus dingin. Suara aliran  
sungai agak keras terdengar. 
Dia mengetuk pintu gubuk itu delapan kali. 
Sebuah isyarat  untuk temannya yang di dalam, 
bahwa dia yang datang. 
Dari dalam pun terdengar ketukan ba-
lasan sebanyak tiga kali. Tanda orang di dalam 
gubuk itu mengiyakan. Dan perlahan pintu itu 
terbuka. 
Orang yang datang tadi segera menyelinap 
masuk. Perlahan pintu tertutup kembali. 
"Bagaimana, Nimas? Kau berhasil membu-
nuhnya?" tanyanya kepada Nimas Andini yang ja-
di serba salah. Orang ini menjadi penasaran. Dia 
mendekati Nona Berwujud Lain itu. 
"Bagaimana, Nimas? Kau sudah berhasil 
membunuhnya, bukan? Katakan secepatnya, aku 
tidak punya waktu banyak sekarang. Malam ini 
pula aku harus segera pergi." 
Orang itu menunggu dengan gelisah kare-
na Nimas Andini tidak segera menjawab. 
Banci itu berkali-kali menghela nafas. Dan 
dia perlahan mengangkat wajahnya. Sorot ma-
tanya penuh penyesalan, sehingga orang itu sege-
ra bisa menebaknya. 
"Kau gagal lagi, Nimas?" tekannya dengan 
suara geram. 
"Maafkan aku, Kawan," Suara Nimas Andi-
ni pelan. 
"Bagaimana kau sampai gagal? Kau adalah 
orang kepercayaan ku, Nimas!" 
"Lagi-lagi pemuda itu datang bagai setan,  
Kawan." 
"Pemuda yang mengalahkanmu dan mere-
but Goa Alas Bantan?" seru orang itu panas. 
Nimas Andini mengangguk. 
"Bangsat! Siapa dia adanya?" 
"Yang  ku tahu  dia bernama Pandu. Dia 
memiliki kesaktian yang tinggi. Juga Golok Cin-
darbuana." 
Seketika orang itu berpaling dan dengan 
suara kaget berkata, "Apa?" 
"Golok Cindarbuana, Kawan." 
"Golok Cindarbuana? Golok pusaka yang 
hilang 20 tahun yang lalu? Bagaimana kau bisa 
tahu dia memilikinya?" 
"Dia menyerangku dengan golok itu. Ilmu 
goloknya pun hebat dan tangguh, hingga menyu-
litkanku untuk menaklukkannya." 
"Hhh!" Orang itu mendengus. "Siapa pe-
muda itu sebenarnya. Dia bisa jadi 'duri pengha-
lang bagi kita untuk menjadi jago nomor satu, 
Nimas... secepatnya kau harus mengetahui siapa 
sebenarnya pemuda itu. Di mana posisi dia sebe-
narnya." 
"Secepatnya, Kawan." 
"Aku tidak mau kau gagal lagi, Nimas. Kita 
harus bergerak dengan cepat." 
"Aku berjanji akan melaksanakannya den-
gan baik." 
"Aku tidak mau hanya janji saja. Kau ha-
rus membuktikan!" 
"Aku akan membuktikan."   
"Bagus!" 
"Dan secepatnya kau akan mendapat ke-
terangan lengkap mengenai pemuda itu." 
"Baik! Aku pergi sekarang!" kata orang itu 
dan keluar menyelinap di kegelapan malam dan 
banyaknya pepohonan. Dia menaiki kudanya 
kembali. Padahal dia betapa geramnya karena 
orang suruhannya itu gagal kembali. Hhh! Seha-
rusnya dibunuh saja Nimas Andini itu. Tapi dia 
tidak mau melakukannya sekarang, karena tena-
ga Nimas Andini masih diperlukan. Kalau dia su-
dah tidak memerlukan atau banci itu gagal lagi 
menjalankan tugasnya, akan segera dihabisinya 
manusia yang tak berguna itu. 
Lalu orang itu menggebrak kudanya den-
gan kencang. Menerobos malam dan angin yang 
dingin. 
Dan angin dingin itu menusuk kulit Nimas 
Andini yang masih berdiri di ambang pintu, me-
natap hilangnya orang yang datang tadi. 
Ini gara-gara pemuda yang bernama Pandu 
itu. Bah! Dia harus bisa membalaskan dendam 
ini. Dia tidak ingin mengalami kegagalan terus 
menerus. 
Dia akan mencari pemuda itu sebelum pe-
muda itu menemukan atau mencarinya di gu-
buknya ini. Tapi toh gubuknya ini terhalang oleh 
pepohonan yang rimbun. Dia pasti amam dan 
tempat ini tidak bisa diketahui orang. 
Hawa dingin yang menusuk itu memer-
cikkan gairah birahi di hati si banci. Dalam kea- 
daan dingin begini, lebih asyik mendekap seorang 
gadis cantik dan menggumulinya sampai puas. 
Sampai tergeletak dengan peluh berluruhan. 
Dia tersenyum sendiri. 
Lalu menutup pintu. 
Dan berkelebat dengan cepat  menerobos 
malam yang pekat. Seperti biasa kalau birahinya 
sudah datang, dia sukar untuk membendungnya. 
Dia harus melampiaskannya. Apalagi hatinya se-
dang geram begini, melihat gadis cantik yang di-
gumulinya nanti menangis dan menjerit-jerit an-
tara sakit dan nikmat, bisa menghilangkan kege-
ramannya. 
Apalagi juga karena udara yang sangat 
dingin ini. Seorang gadis bertubuh padat dan mu-
lus lebih enak dirasakan menggelinjang dalam 
dekapannya. Menggairahkan darahnya yang bisa 
mengalir panas. 
Dan di tengah kegelapan malam itu terden-
gar pekikan keras. 
"Tolong... tolong...!" 
Dan dalam bayangan bulan nampak se-
sosok tubuh tengah memanggul seorang gadis 
manis. Sosok tubuh itu adalah Nimas Andini yang 
karena terlalu bernafsu lupa untuk menotok si 
gadis, yang kini meronta-ronta dalam panggulan-
nya. 
Namun pekikan gadis itu sudah terdengar 
dan memecahkan keheningan malam. Menarik 
perhatian para peronda yang sedang berpatroli 
dan menjaga di posnya.  
Mereka segera bergerak mencari sumber 
suaranya itu. 
Samar-samar nampak di sebuah rumah 
kecil seorang laki-laki dan wanita tua tengah 
menjerit-jerit minta tolong dan me-manggil-
manggil sebuah nama. 
"Priatsih! Priatsih! Hu-hu-hu... tolong, to-
long anak gadisku...!" 
Para peronda itu sampai ke dekat mereka. 
Salah seorang bertanya tergesa. 
"Apa yang terjadi, Pak tua?" 
Laki-laki tua itu menyahut tersendat, 
"Anakku... anakku.... Priatsih... dia diculik 
orang. Oh, tolong, tolong anakku...." 
Para peronda itu segera bergerak dengan 
cepat, setelah ditunjukkan ke mana arah larinya 
penculik itu. Dengan membawa obor dan parang 
mereka bergegas. Mereka geram sekali. Sudah 
sering terjadi penculikan para gadis remaja di si-
ni. Dan sampai sekarang belum diketahui siapa 
yang telah melakukannya. Itulah sebabnya sudah 
beberapa minggu ini penjagaan diperketat. Tapi 
toh mereka masih kecolongan juga. 
Kasihan para gadis remaja di desa itu. Me-
reka selalu ngeri dibayangi penculikan dan perko-
saan. Karena jika malamnya ada penculikan, ma-
ka besok paginya gadis itu ditemukan sudah mati 
dengan selangkangan berdarah. Rupanya pencu-
lik itu memperkosa begitu kejam, hingga darah 
itu terus menetes dari kemaluan sang perawan 
meskipun dia sudah meninggal. Tentunya meru- 
pakan satu siksaan bagi si perawan di kala dia 
masih hidup dan disiksa. 
Ini sudah tentu membuat para peronda 
semakin geram. Mereka bersumpah, bila mene-
mukan penculik dan pemerkosa itu akan mencin-
cangnya sampai mati. Bahkan mayatnya akan 
diseret oleh kuda!! 
Sementara itu, Nimas Andini sudah makin 
menjauh  dari sana. Dia sudah menotok gadis 
yang dipanggulnya, yang kini terdiam kaku. 
Dia menyesali kecerobohannya tadi. Bang-
sat! Mengapa dia sampai lupa untuk menotok ta-
di? Juga kedua orang tua gadis itu. Sialan! Ham-
pir saja dia terpergoki! 
Tetapi Nimas Andini yakin kalau sekarang 
dia sedang dicari, sedang menjadi buronan. Apa-
lagi samar-samar dari kejauhan dilihatnya cahaya 
yang sedang berjalan ke arahnya. 
Sialan! Ini bisa mengganggu keasyikan-ku 
saja! Makinya jengkel. Lalu dia bergegas berlari 
lagi. 
Di suatu tempat yang cukup sepi, Nimas 
Andini melompat ke balik semak. Gadis itu dire-
bahkannya di rumput. Dia terkekeh. Hmm... me-
lihat gadis yang montok ini, nafsu birahinya seke-
tika muncul dan sukar untuk dibendung lagi. 
Tetapi kalau disikat di sini, orang-orang 
yang mencarinya bisa memergokinya. Dia hanya 
mampu menelan liurnya saja melihat dada gadis 
yang montok itu dan pahanya yang mulus karena 
kainnya sudah tersingkap. 
 
Berdebar hati Nimas Andini melihatnya. 
"Sialan! Aku hanya jadi penonton saja tu-
buh yang mulus dan aduhai ini!!" makinya jeng-
kel. Dia menggaruk-garuk kepalanya. 
Sekali lagi dia menelan ludahnya. Jakun-
nya turun naik. Debaran jantungnya semakin ke-
ras terdengar. Bergedebuk. 
"Kurap! Monyet! Sialan!!" makinya karena 
jengkel. Nafsu birahinya sudah benar-benar naik. 
Gara-gara orang-orang yang mengejarnya itu dia 
tidak berani langsung menggarap korbannya. Pa-
dahal hidangan itu sudah tersedia di hadapan-
nya.   ' 
Nimas Andini tidak mau menanggung resi-
ko untuk berkelahi. Padahal baginya tentu mudah 
untuk membunuh para pengejarnya itu. Namun 
dia enggan untuk membuang tenaga banyak 
menghadapi mereka. Untuk menikmati hidangan 
ini saja, bukankah membutuhkan tenaga yang 
banyak? 
Nimas Andini terkikik karena merasa geli 
sendiri. Dan kembali dia memaki-maki. 
Orang-orang yang mencarinya sudah se-
makin dekat padanya. Nampak karena obor yang 
dibawa mereka menampakkan cahaya yang me-
nandakan mereka sudah semakin dekat. 
Sekali-sekali mereka melihat ke kanan dan 
ke kiri. Barangkali saja penculik itu berada tak 
jauh dari mereka. 
Nimas Andini terkikik. 
Namun tiba-tiba telinganya yang terlatih  
menangkap sebuah langkah dari arah kirinya. 
Langkah yang ringan dan tenang. 
"Hhh! Siapa lagi ini? Kayaknya bukan dari 
para pengejar itu?" geramnya gusar. 
Lalu dengan hati-hati dia menyibakkan 
semak itu sedikit, untuk mengintip siapa yang da-
tang! 
 
* * 
 
10 
 
Tiba-tiba nampak wajahnya yang terkejut 
begitu melihat dan mengenali siapa yang datang. 
Pemuda yang dibencinya! Pemuda  yang berkali-
kali mempercundanginya. 
Bangsat! 
Yang datang itu memang  Pandu. Setelah 
pingsan dan terluka akibat perkelahiannya den-
gan Nimas Andini, selama dua malam dia beristi-
rahat. Dan Sekar Perak dengan penuh kasih 
sayang merawatnya. 
Sudah tentu dengan penuh kasih sayang, 
karena gadis itu memang mencintainya. Dia begi-
tu telaten sekali. Dan berkali-kali di menatap wa-
jah Pandu selagi pemuda itu pingsan. 
Ingin didekapnya. 
Ingin dibelainya. Ingin dikecupnya. 
Namun dia tidak berani  melakukannya  
meskipun Pandu dalam keadaan pingsan. 
Ketika pemuda itu siuman, betapa gem-
biranya Sekar Perak. Barulah saat itu dia meme-
luk Pandu karena terlalu gembira. Tetapi kemu-
dian buru-buru dilepaskannya sambil menjerit 
kecil tersipu. 
"Oh!" 
Pandu hanya tersenyum kecil walau di-
rasakannya kasih sayang yang terpancar dari wa-
jah Sekar Perak. Dan kehangatan rangkulan yang 
baru saja dia rasakan. 
Namun Pandu tetap menahan perasaan-
nya. Kalau mau jujur dia pun sebenarnya menyu-
kai gadis itu. Namun dia tidak berani pula untuk 
mengatakannya. Bukannya tidak berani, namun 
bagi Pandu bercinta dan berpacaran itu pun bila 
sampai berakhir ke pernikahan, akan membuat-
nya terbelenggu dan tidak merasa bebas me-
layang bagaikan burung terbang lepas. 
Dan yang membuat Sekar  Perak terkejut, 
ketika malam harinya Pandu berkata: "Rayi... aku 
bermaksud untuk keluar dari hutan ini...." 
"Mengapa, Kakang?" "Aku tidak bisa terlalu 
lama berdiam di-sini. Aku semakin tidak mengerti 
dan tidak tahu apa yang sesungguhnya terjadi." 
kata Pandu. 
"Lalu bagaimana denganku, Kakang?" 
"Kau tetap saja di sini." 
"Mengapa, Kakang?" 
"Karena kupikir kau lebih aman di sini." 
"Tanpa mu kau yakin aku akan aman, Kakang?" 
"Ya, Rayi..." 
"Lalu kau sendiri?" 
"Aku  hanya ingin mengetahui mengapa 
semua ini terjadi? Siapa sebenarnya orang yang 
berdiri di balik semua ini." 
"Sudah kuceritakan padamu, Kakang.... 
Bojo Mayitlah yang menjadi momok semua itu." 
"Mungkin dia. Mungkin pula bukan."  
"Apa maksudmu, Kakang?"  
"Aku tidak mengerti tentang Nimas Andini. 
Mengapa dia begitu mendendam."  
"Karena kau mengalahkannya."  
"Bukan itu maksudku."  
"Lalu apa, Kakang?"  
"Ada rahasia apa di goa ini." 
"Bukankah kau sudah mengeceknya? Dan 
tak ada satu pun yang  mencurigakan?" Pandu 
mendesah.  
"Benar." 
"Lalu?" 
"Aku ingin mencari tahu di luar sana, ten-
tang Goa Alas Bantan."  
"Jadi?" 
"Ya, aku akan tetap keluar." 
"Berarti aku sendiri di sini?" 
"Untuk sementara ya, Rayi. Aku tidak la-
ma. Bila sudah kudapatkan informasi  tentang 
Goa Alas Bantan. Aku akan cepat kembali." 
Sekar Perak menunduk. 
"Aku yakin, kau adalah gadis yang pem- 
berani, Rayi. Dan aku yakin pula bahwa kau akan 
menungguku di sini." 
"Benarkah kakang akan kembali?" 
"Selama kau mengenalku, pernahkah aku 
berbohong padamu, Rayi?" 
Sekar Perak menggelengkan kepala. 
"Belum." 
"Bahkan tidak dan tidak akan pernah. Per-
cayalah padaku, Rayi." 
"Baiklah, Kakang.... Kapan kakang akan 
pergi mencari informasi itu...." 
"Malam ini, Rayi...."  
"Malam ini?"  
"Ya."  
"Oh!" 
"Kenapa, Rayi?"  
"Secepat itu, Kakang?"  
"Ya, biar aku semakin cepat kembali ke si-
ni," kata Pandu.  
"Tapi, Kakang...?"  
Pandu tersenyum. 
"Baiklah, Rayi... besok pagi aku akan pergi...." 
Dan keesokan paginya Pandu pun be-
rangkat. Sekar Perak hanya bisa memperhatikan 
dengan hati yang sedih. Tetapi dia berbahagia ka-
rena Pandu berjanji untuk kembali. 
Pandu pun tidak menggunakan kuda-nya. 
Dia berjalan kaki. Dan tak terasa dia sudah berja-
lan cukup jauh. 
Sementara itu Nimas Andini masih mem- 
perhatikan pemuda yang datang itu. Dia lalu 
mendengus. Hhh! Lagi-lagi manusia itu! 
Tiba-tiba bibir Nimas Andini membentuk 
seulas senyum. Dia mendapat satu pikiran yang 
jahat. Ya, dia akan melakukannya  sekarang ini 
juga! 
Tanpa memperdulikan resiko bahaya-nya, 
pikiran Nimas Andini berbalik seratus delapan 
puluh derajat. Dengan buasnya dia memperkosa 
gadis itu saat itu juga. Dengan buas tanpa men-
genal ampun. 
Gadis itu hanya menahan sakitnya. Me-
nangis, namun air matanya tidak keluar. Dia me-
nahan rasa sakit yang luar biasa. Sakit di hatinya 
lebih-lebih lagi, bagai di rejam oleh ribuan jarum 
yang sangat tajam. 
Tadi dia mengira penculiknya itu tidak 
akan memperkosanya karena sejak tadi dia ter-
diam. Dan gadis itu berharap para pencarinya se-
gera menemukannya. Namun harapan itu hanya-
lah kosong belaka. 
Sementara Nimas Andini semakin buas 
memperkosanya. Kegeramannya seakan di-
tumpahkan kepada gadis itu. Hancurlah pertaha-
nan perawan yang menjaga kehormatannya, yang 
akan mempersembahkan kepada suaminya nanti. 
Hancur sudah! Berkeping! 
Dan karena tak kuasa menahan sakit dan 
malunya, dia pingsan sementara Nimas Andini 
masih asyik memperkosanya. 
"Hmmm... kebetulan sekali gadis ini pingsan," 
desisnya setelah selesai memuaskan nafsunya. 
Tubuhnya agak lemas. Dan saat itulah 
Pandu tiba di dekatnya. Berjalan dengan tenang. 
Namun tiba-tiba sebuah serangan bergerak 
ke arahnya. Pandu yang pendengarannya pun te-
lah terlatih, segera reflek berguling ke kiri. Justru 
inilah yang dikehendaki oleh Nimas Andini, kare-
na pemuda itu berguling ke tempat Priatsih ping-
san. Dan dengan satu gerakan yang cepat, Nimas 
Andini bergerak dan tangannya menyambar baju 
Pandu. 
Pandu yang terkejut karena melihat sosok 
tubuh yang  terdiam di dekatnya, tidak  sempat 
mengelakkan sambaran tangan si Banci. 
"Brek!!" 
Baju itu robek di bagian dada. Setelah ber-
hasil, Nimas Andini pun segera berkelebat pergi. 
Pandu berusaha mengejar. 
"Hei!" 
Namun bayangan itu sudah berkelebat 
dengan cepat dan sebentar saja menghilang. 
Sedikit pun Pandu tidak sempat melihat 
siapa orang itu sebenarnya. 
Pandu mengurungkan niatnya untuk men-
gejar, mengingat seorang gadis yang di  lihatnya 
tadi kala dia bergulingan. Gadis itu sepertinya 
pingsan. 
Entah apa yang telah dilakukan orang tadi 
terhadap gadis itu. Lalu Pandu pun segera meng-
hampiri ke balik semak untuk melihat keadaan  
gadis itu.   Benar, gadis itu pingsan. Keadaan ga-
dis itu begitu menyedihkan. Pakaiannya robek, 
dengan kain yang tersingkap hingga ke atas. Pan-
du terkejut melihat ada noda darah di kain gadis 
itu. 
Setelah dia dapat mengerti mengapa terjadi 
seperti itu. Pandu semakin terkejut. Ya Tuhan... 
orang tadi telah memperkosanya! Ya, ya... sung-
guh kejam! Buas dan tega! 
Pandu menggeram. Ah, kalau saja dia da-
tang tidak terlambat? Sesalnya dalam hati. Orang 
itu telah memperkosa gadis ini dengan kejam, 
hingga pingsan pula! Biadab! 
Sungguh biadab! Hatinya pilu melihat kea-
daan gadis ini. Betapa mengenaskannya. Kasihan 
gadis manis ini. Wajah gadis itu memang cantik. 
Ah, kasihan kau, Manis. 
Nyatanya badai besar telah menghadang 
mu sebelum sampai ke tujuan. 
Tiba-tiba Pandu melihat cahaya terang da-
tang mendekatinya. 
Pandu yang tidak tahu apa sebenarnya 
yang tengah terjadi, berdiri, menyembulkan kepa-
lanya dari semak itu. 
"Bapak.... Bapak...." Panggilnya tanpa me-
rasa akan terjadi sesuatu pada dirinya. 
Orang-orang itu segera menoleh. Dan se-
rentak wajah mereka menjadi beringas. Dengan 
marah mereka mengacungkan parang yang dipe-
gangnya. 
Salah seorang yang ternyata pimpinan pe- 
ronda itu, membentak, "Di mana kau sembunyi-
kan Priatsih?!" 
Pandu yang tidak tahu apa-apa, kebingungan. 
"Saya tidak tahu apa... apa maksud anda...?" 
Orang yang bernama Barejo itu menggeram 
marah. 
"Jangan berpura-pura, penculik busuk! Di 
mana kau sembunyikan Priatsih! Atau... parang-
parang ini akan ikut menanyakan mu?!" 
Pandu semakin bingung. Ada apa sebenar-
nya  ini? Ada apa? Tadi ada orang yang menye-
rangnya. Lalu gadis yang pingsan diperkosa ini. 
Belum lagi orang yang muncul ini dan marah-
marah padanya. Oh... ada apa ini? 
Tiba-tiba setitik kesadaran memercik mun-
cul. Dan membuat Pandu menjadi kuatir akan di-
rinya. 
Orang yang memperkosa ini ternyata seo-
rang bajingan tulen. Dia ingin melemparkan kesa-
lahannya pada dirinya. Ingin membuat kambing 
hitam pada dirinya. Dan orang-orang inilah yang 
mencari gadis itu. Sudah tentu dia tidak bisa 
mengelak dari tuduhan yang dilontarkan mereka. 
Karena hanya dirinyalah yang berada di sini. 
"Hhh! Bangsat orang tadi!" 
"Hei, katakan di mana Priatsih?!" bentak 
Barejo gusar. 
Tiba-tiba seorang temannya meloncat ke 
semak itu. Dan dia terkejut melihat Priatsih da- 
lam keadaan pingsan dengan baju yang compang-
camping. 
"Kakang Barejo!" serunya sambil meme-
riksa tubuh Priatsih. "Jangan lepaskan pemuda 
itu! Dia telah memperkosa Priatsih!" 
Serentak orang-orang itu segera me-
ngurung Pandu. Pandu yang merasa sulit meng-
hindari mencoba menerangkan apa yang telah 
terjadi. 
Sudah tentu orang-orang yang geram itu 
tidak percaya dengan apa yang dikatakannya. 
Bukti telah nyata, itu yang penting bagi mereka. 
Bukannya penjelasan. 
"Sungguh, Bapak-bapak.  Begitulah keja-
dian yang sebenarnya." 
"Jangan mungkir, Anak muda!" geram Ba-
rejo. "Semua sudah jelas dan terbukti!!" 
"Tapi... bukan saya yang melakukan per-
kosaan kejam itu. Seseorang telah menyerang 
saya dan membuat kambing hitam pada saya!" 
"Hhh! Kau tidak bisa lari dari bukti itu, 
Anak muda. Kami mendengar suara ribut-ribut 
tadi!" 
"Karena aku berkelahi melawan orang  tadi." 
"Jangan berpura-pura!" bentak salah seo-
rang yang memegang obor. Dia sudah ingin mem-
bakar saja wajah pemuda yang tampan itu. "Keri-
butan tadi pasti antara kau dengan Priatsih! Ka-
rena Priatsih menolak apa yang hendak kau laku-
kan padanya! Perbuatan keji!"  
"Percayalah, Bapak-bapak," kata Pandu se-
bisanya. Dia masih berusaha untuk meyakinkan 
keadaan yang sebenarnya. Dia pun tidak ingin 
bentrok dengan penduduk di desa ini. "Bukan 
aku yang melakukannya. Bebaskan aku seka-
rang, aku akan mencari orang itu." 
"Bangsat! Membebaskan?! Enak sekali kau 
bicara, Anak muda! Dari pakaianmu yang robek 
itu pun sudah merupakan sebuah bukti bahwa 
Priatsih menolak apa yang hendak kau lakukan 
padanya!"  
"Tapi...!" 
"Bangsat! Kau masih mungkir juga! Se-
rang dia!" seru Barejo panas. 
Dan serentak ketujuh parang itu berke-
lebat ke arah Pandu. Pandu segera bersalto ke 
depan. Namun mereka segera mengurungnya 
kembali. Mereka adalah peronda-peronda keper-
cayaan yang juga memiliki kepandaian bersilat. 
Sudah tentu tidak mudah bagi Pandu untuk lari 
dari kepungan itu. Namun dia tidak bisa lagi 
menghindari perkelahian ini. Orang-orang itu su-
dah marah besar. Dan mereka merasa telah me-
nemukan orang yang selama ini membuat onar di 
desa mereka. Sudah tentu mereka tidak akan me-
lepaskan manusia bejat ini. Mereka  harus bisa 
membekuk dan memberi pelajaran baginya. Atau 
paling tidak, hukuman yang setimpal bagi si pe-
merkosa. 
Tetapi rupanya para peronda itu belum ta-
hu siapa yang dihadapinya. Nimas Andini berhasil  
membuat kambing hitam pada Pandu. Dan Pandu 
tidak memiliki kesempatan lagi untuk membela 
diri. Parang-parang itu terus berkelebatan dengan 
cepat. Kilatannya nyata terlihat karena cahaya 
rembulan. Para peronda itu geram sekali karena 
sudah beberapa lama tapi si pemuda bejat ini be-
lum juga mampu mereka lumpuhkan. 
Pandu sendiri biarpun berhasil meng-
hindari setiap serangan itu merasa lama kela-
maan dia bisa terdesak pula. Tenaganya makin 
lama semakin melemah. Apalagi orang-orang itu 
banyak, tenaga mereka masih besar. Mereka me-
nyerang secara beruntun dan bergantian. Sudah 
tentu menghemat tenaga. 
Dia pun mulai berusaha membalas namun 
tidak dengan pukulan mematikan. Hanya berusa-
ha untuk meloloskan diri. Tetapi biarpun telah 
berhasil, orang-orang itu telah mencapnya seba-
gai pemerkosa. Dan mereka tentu tak akan melu-
pakannya.  Pemuda  yang memakai baju putih-
putih dan berikat kepala biru. 
Tiba-tiba salah seorang dari penyerang-nya 
itu mengibaskan tangan kirinya, melempar obor-
nya dengan gerakan cepat. 
Pandu terkejut. Apalagi jaraknya dengan 
orang itu begitu dekat. Hanya refleknya sajalah 
yang membuatnya bisa menghindarkan api itu. 
Dia berguling dengan cepat dan kakinya menyapu 
orang yang melemparkan obor itu. 
"Des!" 
Orang itu berguling ambruk. Melihat te- 
mannya berhasil dilumpuhkan, keenam orang itu 
semakin garam. Serangan mereka semakin kacau 
balau namun sangat mematikan. 
Dengan mengandalkan jurus berkelit-nya 
Kijang Kumala, Pandu berhasil menghindari se-
rangan itu. 
Sementara  api obor yang dilempar orang 
tadi, sudah mulai membakar rerumputan. Namun 
orang-orang itu seakan tak perduli, mereka terus 
mencecar pemuda bejat ini. Mereka harus berha-
sil membekuknya dan mengadilinya seberat-
beratnya. 
Melihat api itu semakin besar, Pandu me-
rasa hanya api itulah yang bisa menolong. Selain 
tidak mau melukai orang-orang ini, dia juga su-
dah mulai letih. Hampir dua jam dia menghindari 
serangan itu. Juga hal ini menghambat perjala-
nannya menuju Goa Alas Bantan. 
Sambil menghindar serangan itu, dia ber-
seru, "Api! Api! Api itu semakin besar!" 
Dan seperti tersadar orang-orang itu 
menghentikan serangannya. Mereka terkejut me-
lihat api yang sudah membesar. Lebih terkejut la-
gi kalau di semak itu ada Priatsih yang masih da-
lam keadaan pingsan. 
Barejo berseru, "Padamkan api itu! Sela-
matkan Priatsih!" 
Tiga orang segera berusaha memadamkan 
api, sementara Barejo sendiri beserta kedua te-
mannya menghadapi Pandu. Hal ini mengun-
tungkan Pandu, karena serangan tidak begitu lagi  
rapat. 
Sambil  mengibaskan tangan dan kakinya, 
dia membuat jalan keluar. Dan tiba-tiba dengan 
sangat ringannya dia melenting ke atas, meng-
hindari kepungan itu. Dan dengan cepat dia su-
dah menghilang dalam kegelapan malam. 
Barejo terkejut dan berusaha mengejar, 
namun bayangan pemuda itu telah menghilang. 
Dia memaki-maki sendiri. Jengkel. Semen-
tara api sudah berhasil dipadam-kan. Priatsih su-
dah diangkat dan dipindahkan ke tempat yang 
agak lapang. 
Dengan menghentakkan kakinya jengkel, 
Barejo kembali menemui teman-temannya. 
"Kita gagal lagi, Kawan-kawan. Bangsat itu 
ternyata pemuda yang berkepandaian tinggi," ka-
tanya dengan suara menyesali. 
"Kita tidak bisa tinggal diam, Kakang Bare-
jo. Kita harus segera mencari pemuda itu." 
"Kita laporkan kejadian ini kepada Ki Lu-
rah." 
"Ya, kita laporkan kejadian ini pada Ki Lu-
rah. Mudah-mudahan Ki Lurah bisa membawa 
persoalan ini kepada Prabu Sri Jayarasa." 
Barejo masih kelihatan geram. Tetapi ke-
mudian dia segera memerintahkan teman-
temannya untuk kembali. Apalagi nampak fajar 
sudah mulai menyingsing. Lalu mereka segera 
meninggalkan tempat itu. Tiga orang membopong 
Priatsih dan tiga  orang lagi membopong teman 
mereka yang pingsan.  
Hati mereka geram dan marah. 
Sementara Barejo masih menyesali ke-
kalahan mereka sehingga tidak bisa membekuk 
Durjana Pemetik Bunga itu. Berarti manusia bu-
suk itu masih berkeliaran. Dan ini tidak bisa di-
biarkan berlarut-larut. Karena amat membahaya-
kan jiwa para anak perawan. 
Dan Barejo tidak bisa menahan pilunya 
mendengar tangis dan ratapan orangtua Priatsih. 
Mereka malah lebih rela kalau anak-nya mening-
gal saja, daripada hidup tetapi menanggung malu 
yang teramat menyiksanya. Yang bisa merendah-
kan harga diri anak tunggal mereka. Yang harus 
menanggung malu seumur hidup.  Yang harus 
melahirkan bila hasil perko-saan itu membuah di 
rahimnya. 
Tuhan... kesalahan apa yang telah di laku-
kan anaknya itu. Dan kesalahan apa yang telah 
mereka lakukan?  Tangis dan ratapan itu masih 
terdengar. Memilukan dan menyayat hati. 
Diam-diam Barejo meninggalkan tempat itu 
dengan kepala menunduk:  Dia tak  akan pernah 
melupakan wajah pemuda bejat itu. 
Sampai kapan pun dia akan mencarinya. 
Ketika dia sampai di rumahnya, terdengar bunyi 
kokok ayam jantan yang keras. Peristiwa itu akan 
diingatnya sampai kapanpun juga. Dia tak akan 
pernah memaafkannya. 
 
  
TAMAT