Pendekar Gagak Rimang 7 - Siasat yang Biadab

 
Pandu terus berlari dengan kencang. Kepalanya 
penuh dengan berjuta pikiran. Kesalahan apa yang te-
lah dilakukannya sehingga dia harus mengalami hal 
seperti ini? Terlibat dalam satu perkelahian dengan 
Nimas Andini atau si Banci Murah Senyum. Terlibat 
masalah dengan Sekar Perak dan kini terlibat dengan 
satu fitnahan yang amat keji. 
Yang jadi masalah, dia tidak tahu siapa orang 
yang telah memfitnahnya. Rencananya untuk mencari 
tahu tentang rahasia Goa Alas Bantan kini seakan le-
nyap begitu saja. 
Pandu merasa amat pusing memikirkan semua 
itu. Dia merasa lebih baik kembali ke Goa Alas Bantan 
di mana Sekar Perak sudah menunggu. 
Gadis manis itu sudah tentu kaget, karena me-
nurut perkiraannya Pandu akan meninggalkannya se-
lama tiga hari. Namun di samping itu dia pun merasa 
amat bahagia karena diam-diam dia memang mencin-
tai murid Eyang Ringkih Ireng, majikan Gunung Kidul. 
"Kakang... mengapa kau sudah kembali?" ta-
nyanya dengan nada suaranya tidak bisa menyembu-
nyikan betapa bahagianya dia. 
Pandu hanya tersenyum. 
"Karena aku tidak mau meninggalkan mu terla-
lu lama, Rayi...." 
Dada Sekar Perak semakin bergemuruh ken-
cang. Benarkah apa yang dikatakannya? Tidak tahu-
kah pemuda itu bila dia benar-benar mencintainya? 
"Kau nampaknya lelah sekali, Kakang... sebaik-
nya kau makan saja dulu. Kebetulan aku baru saja se-
lesai masak," kata Sekar Perak sambil menundukkan  
kepalanya. Dia benar-benar sudah jatuh hati pada pe-
nolongnya ini. 
Dari balik caping yang dikenakannya,  Pandu 
dapat melihat pancaran mata kebahagiaan pada sepa-
sang mata jernih milik Sekar Perak. Hatinya bergu-
mam pelan, "Kau memang cantik, Rayi Sekar... diam-
diam aku pun menaruh hati padamu." 
Lalu murid Eyang Ringkih Ireng itu mengajak 
Sekar Perak untuk masuk ke dalam goa. Goa Alas 
Bantan yang telah direbutnya dari tangan Nimas Andi-
ni secara tidak disengaja. 
Sekar Perak dalam melayani Pandu begitu tela-
ten dan penuh perasaan. Dia pun bagaikan seorang is-
tri yang sedang melayani suaminya yang baru saja pu-
lang dari bekerja. Padahal dari cerita yang didengar da-
ri mulut Sekar Perak sendiri, Pandu yakin kalau orang 
tua gadis itu adalah orang yang kaya. 
"Kakang Pandu... bila kau sudah mengantuk, 
lebih baik tidurlah...." kata Sekar Perak sambil me-
nundukkan kepala kala Pandu sudah selesai bersan-
tap. 
Pandu tersenyum. 
"Rayi Sekar... aku belum mengantuk. Masih 
banyak pikiran yang menghantui benakku. Sungguh, 
amat memusingkan sekali," kata Pandu sambil mena-
tap wajah Sekar  Perak. Oh, betapa cantiknya wajah 
itu. Wajah yang diingini oleh Bojo Mayit atau ketua 
Sangkur Baja yang membuat teror hingga semuanya 
jadi berantakan. Dan secara tidak sengaja dia bertemu 
dengan Sekar Perak yang tengah diculik. 
Hati-hati Sekar Perak duduk bersimpuh di ha-
dapan Pandu yang duduk bersila dan telah membuka 
capingnya. 
Lalu hati-hati pula dia mengangkat wajahnya.  
"Ada apakah, Kakang? Boleh aku tahu masalah 
apa yang sedang mengganggu pikiranmu?" 
"Rayi... biarlah pikiran ini menemaniku. Aku ti-
dak ingin kau pun menjadi ikut memikirkannya." 
"Kakang... atau tidak pantas bagiku untuk 
mengetahui masalah yang sedang kau hadapi?" 
"Bukan itu masalahnya, Rayi...." 
"Lalu apa, Kakang?" 
"Rayi...." 
Sekar Perak menundukkan kepalanya. Dia tahu 
kalau Pandu sedang tidak mau diganggu. Diam-diam 
dia menjadi malu sendiri dengan sikapnya yang nam-
pak bagaikan  memaksa. Pandu bukan apa-apanya. 
Mereka baru saja saling kenal selama dua minggu kala 
Pandu menyelamatkan secara tidak sengaja dari pen-
culikan yang dilakukan oleh anak buah Bojo Mayit 
atau ketua dari Sangkur Baja. 
Begitu pula dengan Pandu yang baru juga men-
genal Sekar Perak. Namun bagi Sekar Perak, perkena-
lan yang singkat itu dia sudah dapat mengetahui sikap 
dan tutur sapa dari Pandu yang begitu arif dan bijak-
sana. 
Dan perkenalan yang singkat itu pula telah 
menumbuhkan benih kasih di hatinya. Dia bahkan ti-
dak ingin kembali ke rumahnya, karena dia ingin ting-
gal di sini bersama Pandu atau Pendekar Gagak Ri-
mang. 
Namun diam-diam Sekar Perak pun sadar ka-
lau pemuda yang tengah duduk di hadapannya ini bu-
kan apa-apanya. Bukan pula adik atau kakaknya. Dia 
hanyalah seorang pemuda yang baru dikenalnya. Seo-
rang pemuda yang begitu arif tingkah lakunya. Dan 
seorang pemuda yang diam-diam telah meruntuhkan 
hatinya. 
 
Itulah sebabnya mengapa Sekar Perak diam-
diam menjadi malu sendiri karena merasa Pandu bu-
kan apa-apanya. Bahkan menganggap dia bukan apa-
apa selain teman belaka. 
"Maafkan aku, Kakang...." desisnya pelan den-
gan suara bergetar. 
Pandu mendesah panjang. Dia menjadi serba 
salah. Di satu segi dia tidak ingin memberitahukan 
masalah apa yang baru saja dialaminya. Dia difitnah 
memperkosa seorang gadis. Dan warga desa kini telah 
mencarinya. 
Di segi lain, dia pun tak ingin kegelisahannya 
ini menjadi miliknya sendiri. Dia memang hendak 
mencari orang yang telah memfitnahnya, yang telah 
membuatnya terperangkap dalam kesulitan. Yah, dia 
pun tak ingin memberati gadis secantik Sekar Perak 
yang baru saja mengalami kejadian yang amat menge-
rikan. 
Dia dilamar oleh Bojo Mayit, ketua Sangkur Ba-
ja yang kejam. Siapa pun pasti akan menolak lamaran 
Bojo Mayit. Begitu pula yang dilakukan oleh Juragan 
Banyu Biru. Namun akibat dari penolakannya, dia ha-
rus membayar dengan harga yang mahal. 
Berulang kali orang-orang Sangkur Baja mem-
buat onar. Namun kepala desa Ki Lurah Pandu Kelana 
dengan semangat bajanya berhasil mengusir orang-
orang jahat itu. Dia pun mengajak warga desa lainnya 
untuk saling membantu, terutama membantu Juragan 
Banyu Biru. 
Namun semuanya itu pun gagal mereka laku-
kan. Karena orang-orang Sangkur Baja dengan tiba-
tiba menyerang rumah Juragan Banyu Biru. Para jago 
bayaran yang disewa oleh Banyu Biru semuanya te-
was. 
 
Rumahnya dibakar. Meskipun warga desa den-
gan dipimpin oleh Ki Lurah Pandu Kelana dan Kendala 
Yoro, orang yang dinomorsatukan setelah Ki Lurah 
Pandu Kelana berhasil menyelamatkan, namun istri 
dari Banyu Biru telah diculik oleh orang-orang kejam 
itu bersama putrinya Sekar Perak. 
Yang lebih mengerikan lagi, mereka menemu-
kan istri Banyu Biru dalam keadaan yang amat me-
nyedihkan. Dia diperkosa sebelum dibunuh. 
Pandu mendengar semua itu dari Sekar Perak 
yang kala itu diculik oleh dua orang anak buah Bojo 
Mayit dan bertemu dengannya kala mereka berkelahi 
dengan Nimas Andini, hingga Pandu pun akhirnya ter-
libat perkelahian dengan banci itu. 
Karena perasaan tidak enak, hati-hati Pandu 
berkata: "Maafkan aku, Rayi...." 
"Tidak apa-apa, Kakang... aku mengerti.... Ka-
rena aku bukanlah apa-apamu...." Suara Sekar Perak 
terdengar tersendat. Nampak dia amat malu dan kece-
wa dengan perlakuan dari Pandu. Namun dia pun ti-
dak bisa menyalahkan pemuda itu, karena memang 
bukan salah pemuda itu. Dan dia sungguh malu kare-
na dia yakin Pandu akan menganggapnya lancang ber-
tanya. 
"Maafkan aku, Kakang... bila aku begitu men-
desak di matamu...." 
Pandu mendesah. 
"Mengapa kau berkata begitu, Rayi?" 
"Bukankah memang seperti itu yang kau mak-
sudkan, Kakang?" 
"Tidak, sungguh tidak, Rayi... aku tidak ber-
maksud begitu...." 
Sekar Perak tetap menundukkan kepalanya. 
Dia tetap berkeyakinan kalau pemuda yang duduk di 
hadapannya menganggapnya lancang. Oh, mau dita-
ruh di mana wajahnya ini memang bila benar demi-
kian? 
Pandu jadi serba salah. Dia selama ini tidak 
pernah mendapatkan kesulitan dengan seorang gadis. 
Dan di kala dia mengalaminya terasa begitu susah se-
kali. 
Dia tahu, Sekar Perak tentunya seorang gadis 
yang manja. Namun beberapa hari hidup bersama 
dengannya, Pandu tidak melihat tanda-tanda itu. Se-
kar Perak bagaikan seorang gadis yang telah matang, 
yang banyak ditimpa oleh pengalaman hidup yang pe-
nuh suka dan duka. 
"Rayi... tak pernah aku menganggap kau orang 
lain seperti yang kau sangka itu," katanya sambil 
mendesah. "Beberapa hari saja hidup denganmu, aku 
sudah yakin, kalau kau bisa menghadapi segala  tan-
tangan  kehidupan ini. Kau seorang gadis yang tegar, 
Rayi. Kau punya kemauan dan pendirian yang kukuh. 
Maka  ku  mohon  sekali lagi, hilangkan pikiran di be-
nakmu yang mengira aku menganggapmu hanya orang 
lain belaka." 
Dada Sekar Perak berdebar. 
Lalu dengan suara yang terdengar amat pelan 
dia berkata lirih: 
"Lalu... kau menganggap aku sebagai apa, Kakang...?" 
Kali ini Pandu benar-benar mendesah panjang. 
Bingung harus menjawab apa. Bila dia mau jujur, dia 
sebenarnya menaruh hati  pada Sekar Perak. Namun 
apakah kejujurannya itu harus dikatakan terus terang? 
Rasanya mustahil. Pandu sekali waktu memang 
pernah berpikir, untuk menghentikan petualangannya. 
 
Dan hidup rukun dengan seorang istri dan anak-anak 
yang manis yang menemaninya sepanjang hidupnya. 
Namun sekarang, di kala dia sudah mencintai 
petualangannya, sanggupkah dia menghentikan dan 
mewujudkan keinginan yang pernah timbul di benak-
nya dulu? 
Rasanya tidak mungkin. Bila dia menikah, 
Pandu tidak mau anak dan istrinya harus selalu  di-
tinggalkannya. 
"Rayi Sekar... kau adalah seorang gadis yang 
manis. Cantik dan berwatak lembut. Siapa pun akan 
menyukaimu, Rayi.... Yah, aku pun menyayangi mu, 
Rayi.... Hanya saja...." 
"Hanya apa, Kakang?" Terburu-buru Sekar Pe-
rak mengangkat kepalanya, menatap wajah tampan di 
hadapannya. Caping yang selalu dikenakan Pandu su-
dah dibuka. 
Pandu menebarkan senyum. Maksudnya agar 
Sekar Perak tenang. Namun dari senyum itu justru 
semakin memikat hati Sekar Perak dan sukar baginya 
untuk melupakan. 
"Aku memang menyayangi mu, Rayi Sekar... 
namun aku tidak bisa menyayangi mu seperti halnya 
seorang laki-laki terhadap seorang wanita. Aku hanya 
menyayangi mu  terbatas seorang kakak dengan seo-
rang adik. Kasih sayang yang tulus antara seorang ka-
kak dengan adiknya. Kau mengerti, Rayi Sekar?" 
"Oh!" 
"Kenapa, Rayi?" 
Terburu-buru Sekar Perak menggelengkan ke-
palanya: Di hatinya ada sesuatu yang hancur yang di-
rasakannya mampu membuat hatinya berkeping-
keping. 
Diusahakannya agar air matanya tidak jatuh. 
 
Kata-kata itu betapa menyakitkannya, betapa memus-
nahkan segala harapan dan impiannya. Betapa satu 
kejadian yang tak pernah dibayangkan dan diharapkan 
sebelumnya. 
Pandu jadi kebingungan sejenak. Namun tiba-
tiba dia pun tersadar, kalau kata-kata yang di-
ucapkannya terlalu amat menyakitkan Sekar Perak. 
Tetapi dia bisa berbuat apa lagi? Tak mungkin dia 
mengatakan mencintai gadis itu meskipun dia tahu be-
tapa gadis itu amat mengharapkan cintanya. 
Namun dia tetap menjadi tidak enak karena ga-
dis itu nampak begitu bersalah dan amat tertekan se-
kali. Makanya dengan hati-hati Pandu menjulurkan 
tangannya, mengangkat dagu gadis itu hingga mena-
tapnya. Dari sepasang mata bening yang jernih itu ter-
lihat riak kesedihan, malu dan galau yang menyatu di 
dada. Ini semakin membuat Pandu menjadi semakin 
tidak enak. 
"Rayi... adakah kata-kataku yang salah hingga 
menyinggung perasaanmu?" tanyanya berlagak tidak 
mengerti, karena dia tidak ingin menambah rasa geli-
sah di hati Sekar Perak. 
Karena memang tidak ada kata-kata Pandu 
yang menyinggung perasaannya maka gadis itu pun 
menggelengkan kepala. 
"Tidak, Kakang...." desisnya lirih bagaikan de-
sahan belaka. 
"Lalu mengapa tiba-tiba kau terdiam?" "Oh, ti-
dak, Kakang... tidak ada apa-apa...." 
"Rayi... katakanlah, bila ada sesuatu yang 
mengganjal di hatimu. Bicarakanlah padaku, seperti 
halnya masalah yang sedang kuhadapi ini. Ini pun ku-
bicarakan denganmu. Bukankah dengan cara seperti 
itu akan memudahkan kita untuk mencari jalan keluar  
bagi permasalahan yang ada?" ujar Pandu dengan sua-
ra lembut. "Bukankah begitu, Rayi?" 
Tetapi gadis itu lagi-lagi malah menundukkan 
kepalanya. Yah, dia pun harus menyadari kalau den-
gan sikapnya yang seperti ini sudah tentu akan mem-
buat Pandu heran. Dan murid Eyang Ringkih Ireng 
yang dijuluki oleh orang-orang rimba persilatan den-
gan julukan Pendekar Gagak Rimang itu pun menjadi 
semakin tidak enak hati. 
Perlahan-lahan Sekar Perak kembali mengang-
kat wajahnya. 
"Maafkan aku, Kakang...." "Rayi Sekar... apa 
pula yang harus ku maafkan? Kau tidak mempunyai 
salah sedikit pun terhadapku. Mana mungkin aku bisa 
memaafkan bila aku sendiri tidak tahu apa yang harus 
dimaafkan? Katakanlah, Rayi...." 
"Aku... aku...." "Kenapa denganmu, Rayi?" Ga-
dis itu  menggeleng-gelengkan kepalanya dan perlahan 
Pandu mendengar isaknya. Hatinya menjadi terenyuh 
dan tidak tahan melihat Sekar Perak gelisah. 
Dengan hati-hati dirangkulnya gadis itu. 
"Maafkan aku, Rayi... aku bukannya tidak 
mencintaimu... namun aku tetap tidak bisa mencin-
taimu...." kata Pandu akhirnya karena tidak mau meli-
hat gadis itu terus menerus nampak gelisah dan galau. 
Terdengar suara lirih gadis yang berada dalam 
dekapan dada yang bidang itu. "Mengapa, Kakang?" 
"Rayi... kau tahu siapa aku bukan? Aku hanyalah seo-
rang kelana yang tidak memiliki tempat naungan yang 
indah dan memuaskan. Memang, sekali waktu aku 
pernah berpikir untuk menghentikan pengembaraan-
ku. Berhenti dalam satu rumah yang indah dengan 
memiliki seorang istri dan beberapa orang anak yang 
lucu...." 
Tiba-tiba Sekar Perak menarik kepalanya. Ma-
tanya lekat menatap Pandu. 
"Mengapa tidak kau wujudkan keinginanmu itu 
sekarang, Kakang? Aku... aku bersedia membantu...." 
Ketika mengucapkan kata-kata terakhir gadis itu me-
nundukkan kepalanya. 
Pandu mendesah panjang. 
"Yah., sesungguhnya hati kecilku memang 
menginginkan demikian. Namun aku tak kuasa untuk 
melakukannya."  
"Kenapa?" 
"Karena... yah, aku sudah tentu tak akan bisa 
berdiam diri di rumah. Jiwaku seakan terpanggil un-
tuk menolong sesama. Juga untuk bersatu dengan 
alam bebas merdeka ini...." 
"Kakang... aku bersedia mengikuti mu ke mana 
saja...." 
"Perjalananku masih cukup panjang, Rayi... 
kau tak akan kuasa untuk mengikuti langkahku...." 
"Kakang... tekadku sudah bulat untuk hidup 
bersamamu... aku rela meskipun kita selalu singgah 
dari satu tempat ke tempat lain.  Aku rela, Kakang... 
asal... bersama mu...." 
Hati Pandu semakin terenyuh mendengarnya. 
Gadis ini sudah pasrah padanya. Sudah bertekad akan 
menyerahkan seluruh jiwa dan raganya untuknya. 
Namun tetap masih ada yang mengganjal di hatinya. 
Kalau memang Sekar Perak akan menjadi istrinya atau 
dia akan memiliki seorang istri sudah tentu tak akan 
dibiarkan istrinya mengikuti langkahnya. Langkah 
yang belum tentu selalu mulus. Karena kendala atau 
pun kejahatan masih merajalela di muka bumi ini. 
"Rayi...." 
"Kakang...." 
 
Keduanya saling tatap. Dua pasang mata itu 
bertemu, seakan memperlihatkan satu bentuk yang 
ada. Di mata Sekar Perak terlihat gelora cinta, kepa-
srahan dan keinginan yang mendalam. Sedangkan di 
mata Pendekar Tangan Malaikat terlihat satu riak cinta 
yang berpadu dengan keraguan. 
Sepasang mata itu semakin lekat. Dan entah 
siapa yang memulainya lebih dulu, kedua kepala itu 
saling mendekat. Dan bibir mereka pun bertemu dalam 
satu cinta yang suci. 
Namun ketika keesokan paginya Sekar Perak 
terbangun, dia tidak menemukan Pandu berada di si-
sinya. Semula dia menyangka Pandu sedang mandi di 
sungai. Namun hingga matahari sepenggalah pemuda 
itu tidak muncul-muncul juga. 
Hatinya pun menjadi galau dan cemas. 
Dia pun bangkit untuk mencari pemuda itu. 
Namun di sungai tidak terlihat sosok tubuh siapa pun. 
Hatinya mulai risau dan merasa tidak enak. 
"Kakang.... Kakang Pandu...." serunya keras 
namun hanya gema suaranya saja yang terdengar me-
mantul kembali. Dia makin bertambah galau. "Kakang 
Pandu! Kakaaaanggggg!!!" Kembali hanya  gema sua-
ranya saja yang terdengar. Tak ada nada lain kecuali 
bunyi gemuruh air sungai dan suara burung-burung 
pagi yang berdendang riang. 
Gadis itu merasakan sekujur tubuhnya menjadi 
lemas. Dan dia pun kini menyadari kalau pemuda itu 
sudah tidak ada di sisinya. Sekar Perak jatuh terdu-
duk. Dia hanya bisa menangis terguguk. 
"Kakang... kakang...." 
 
** 
 
 
Lima orang laki-laki itu terus melangkah den-
gan cepatnya, karena mereka melihat cuaca yang bu-
ruk sementara langit di atas sana menggumpal hitam 
dan bergerak cepat dihembus angin yang kencang. 
Nampak sebentar lagi akan turun hujan. Yang mereka 
kuatirkan, bila mereka kehujanan di tengah jalan se-
mentara tugas yang mereka emban belum terlihat titik 
hasilnya. 
"Ki Lurah...." memanggil salah seorang pada la-
ki-laki setengah baya gagah yang melangkah di depan-
nya. "Apakah tidak sebaiknya kita berhenti dulu? Saya 
melihat di sana ada hutan yang cukup lebat, mungkin 
dedaunan pepohonannya bisa menangkal air hujan." 
"Memang, maksudku seperti itu," sahut  laki-
laki yang dipanggil Ki Lurah. "Ayo kita ke sana. Tapi 
perlu diingat, konon Hutan Alas Bantan menyimpan 
satu misteri yang mengerikan...." 
Kelima orang itu pun bergerak dengan cepat 
mengikuti langkah Ki Lurah yang tak lain adalah Ki 
Lurah Pandu Kelana. Setelah menyadari istri dan putri 
dari Juragan Banyu Biru diculik oleh anak buah Bojo 
Mayit atau ketua Sangkur Baja, Ki Lurah pun segera 
memimpin warga desa untuk mencari. Hingga tidak te-
rasa mereka kini tiba di Hutan Alas Bantan. 
Begitu kaki mereka memasuki hutan itu, seki-
las bulu kuduk mereka meremang. Hutan ini sungguh 
amat menyeramkan sekali. Padahal hari masih siang. 
Bila saja langit tidak menggumpal hitam, mungkin 
akan terlihat jelas sang matahari yang berdiri tegak te-
pat di atas kepala. Namun Ki Lurah Pandu Kelana 
sendiri yakin, bila matahari bersinar, tetap saja sinar- 
nya tidak bisa menembus hutan luas dengan pohon-
pohon jati yang berdiri tegak menjulang seakan ingin 
memperlihatkan keperkasaannya untuk menantang 
langit. 
"Ki Lurah... saya merasa kita seperti diintip oleh 
ribuan mata yang bersinar kejam," kata salah seorang. 
"Ya, Ki Lurah... hutan ini benar-benar menyim-
pan misteri yang mengerikan," kata salah seorang. 
"Tenanglah kalian. Memang, aku pun sudah 
mendengar tentang Hutan Alas Bantan yang mengeri-
kan ini. Menurut kabar konon di penghujung hutan ini 
terdapat sebuah goa yang cukup lebar dan mengeri-
kan. Konon pula goa itu dulunya sebagai tempat perta-
rungan para pendekar sakti yang meninggal semua se-
cara mendadak. Konon pula ada kabar bahwa di sana 
terdapat banyak peninggalan ilmu-ilmu silat yang ma-
ha tinggi, terutama jurus Dewa Ular Putih milik men-
diang si Dewa Ular. Hanya kini terdengar kabar goa itu 
tidak berpenghuni, karena tak seorang pun yang bera-
ni untuk singgah maupun tinggal di sana," sahut Ki 
Lurah Pandu Kelana sambil terus melangkah sementa-
ra matanya amat waspada di samping kesal dan me-
nyesali karena hujan nampak sebentar lagi akan tu-
run. 
"Ki Lurah... apakah tidak sebaiknya kita mem-
percepat langkah untuk tiba di sana. Meskipun goa itu 
menyeramkan, nampaknya  lebih baik sebagai tempat 
berteduh karena cuaca yang amat buruk seperti ini?" 
"Ya, sebaiknya kita cari saja goa itu. Kalau ti-
dak salah, letaknya memang di penghujung hutan le-
bar ini...." sahut Ki Lurah. "Ayo!" 
Lalu kelima orang itu pun segera mempercepat 
langkah mereka. Di samping udara yang semakin din-
gin juga rasanya tidak enak berada di hutan seperti  
ini. Pohon-pohon besar yang berdiri tegak bagaikan 
raksasa-raksasa yang siap untuk bangun dari tidur 
mereka. Juga langit kelam dan hujan yang sebentar la-
gi akan menumpahkan ribuan airnya dengan deras. 
Namun mendadak saja Ki Lurah menghentikan 
langkahnya. Dia memasang telinganya. Lapat-lapat di-
iringi dengan desir angin yang menggesek daun-daun 
jati dia mendengar suara orang menangis. 
Suara orang menangis? Di hutan lebat menge-
rikan seperti ini? Dan terdengar seperti suara seorang 
perempuan? Nampaknya amat mustahil. Mustahil ada 
wanita yang mau bermain-main ke hutan seperti ini. 
Empat laki-laki lainnya pun mendengar suara 
tangis itu, dan mereka pun berpandangan dengan hati 
bertanya-tanya. Kala kesimpulan mereka singgah pada 
sesuatu yang mengerikan, mereka menjadi tegang. 
Agaknya Ki Lurah pun mengalami hal yang sa-
ma. Namun dia bisa bersikap lebih tenang. 
"Tenang... jangan panik...." desisnya waspada 
dan telinganya jelas-jelas menangkap suara orang 
mengisak. Suara yang semakin lama semakin lirih. 
"Suara apakah itu, Ki Lurah?" 
"Suara seorang wanita sedang menangis." 
"Mungkinkah ada seorang wanita yang iseng 
bermain-main ke sini?" 
"Mungkin dia tersasar." 
"Kalau pun tersasar mengapa harus tiba di hu-
tan seperti ini?" 
"Entahlah." 
"Ki Lurah...." 
"Ya?" 
"Jangan-jangan...." Orang itu ragu untuk mene-
ruskan kata-katanya. 
"Joko... jangan mengada-ngada. Sebaiknya kita  
cari saja dari mana datangnya sumber suara itu. Ba-
gaimana?" tanya Ki Lurah sambil memperhatikan 
keempat laki-laki yang ikut serta dengannya. 
Keempat laki-laki itu berpandangan, lalu saling 
mengangguk. Joko mewakili teman-temannya. "Baik-
lah... kami tidak takut dengan segala macam hantu. 
Kami percaya kepada Gusti Allah yang akan melindun-
gi umat-Nya dari segala resiko gangguan hantu. Bu-
kankah begitu adanya, Ki Lurah?" 
"Benar. Ayo!" 
Lalu mereka pun melangkah kembali. Mungkin 
dalam pikiran masing-masing hanya terpusat dari ma-
na dan siapa orang yang sedang menangis itu. Pikiran 
tentang yang lain-lainnya lenyap entah ke mana. 
"Suara itu berasal dari arah kiri," kata Ki Lurah 
pelan. 
Kembali semuanya melangkah. Bahkan dari ra-
sa tegang karena kuatir menjumpai makhluk yang 
mengerikan, mereka akhirnya pun tegang bila ternyata 
yang menangis itu adalah manusia yang hendak ber-
buat jahat dengan cara memancing mereka. Itulah se-
babnya masing-masing telah siap menggenggam hulu 
golok yang terselip di balik angkin yang mereka kena-
kan. 
Kini semakin lama suara isak itu semakin jelas 
terdengar. Langkah mereka pun kini makin diperlam-
bat, dengan jalan melangkah perlahan. 
Tak jauh dari mereka ada sebuah sungai yang 
cukup deras airnya. Gemuruh suaranya yang mengalir 
deras telah menerpa telinga mereka. Dan nampaknya 
suara isak itu berasal dari sana. Terbawa oleh angin 
yang bertiup ke arah mereka hingga mereka semua 
mendengarnya. 
Kini mereka pun melihat sosok tubuh yang tengah 
terduduk di tanah. Sosok itulah yang menangis. 
Ini membuat hati mereka menjadi bertambah tegang. 
Seorang perempuan? Di hutan lebat? Seorang diri? 
Hiii... pastilah hantu adanya. 
Namun karena Ki Lurah Pandu Kelana sudah 
melangkah, mereka pun mau tak mau mengikutinya. 
Suara langkah mereka itu memancing pendengaran 
dari gadis yang sedang terisak. Serentak gadis itu 
mengangkat kepalanya. 
Dua orang menjerit kaget karena saking te-
gangnya. 
Ki Lurah pun menjerit. Namun bukan jeritan 
terkejut, tegang maupun heran. Jeritan gembira kare-
na dia mengenali sosok tubuh yang tengah terduduk 
sambil menangis itu. 
"Dik Sekar Perak?" serunya dengan suara yang 
sedikit ragu dan sedikit gembira. 
Sosok tubuh yang menangis itu memang tak 
lain dari Sekar Perak adanya. Dia sudah satu harian 
berada di tempat itu dan menangis. Hatinya masih ga-
lau karena ditinggal oleh murid Eyang Ringkih Ireng. 
Sekar Perak pun mengenali Ki Lurah Pandu Ke-
lana. 
"Paman Lurah...." desisnya pelan. 
Ki Lurah Pandu Kelana pun segera memburu, 
begitu pula dengan yang lainnya. Kegembiraan itu me-
luap karena yang mereka cari secara tidak sengaja me-
reka temukan di sini. 
Ki Lurah pun bertanya bagaimana cara Sekar 
Perak bisa meloloskan diri dari dua orang penculik 
anak buah dari Bojo Mayit. Dengan tersendat-sendat, 
Sekar Perak pun menceritakan semuanya. 
"Lalu di mana sekarang pemuda itu, Sekar?" 
tanya Ki Lurah sambil memperhatikan sekelilingnya  
dan tak melihat orang lain kecuali mereka. 
Kali ini Sekar Perak menundukkan kepalanya 
dan kembali isaknya terdengar lagi. 
"Huhuhuhu.... dia pergi, Paman Lurah...  dia 
pergi meninggalkan aku.... Pemuda itu jahat... huhu-
hu... dia jahat, Paman Lurah... dia jahat." 
Ki Lurah Pandu Kelana mendesah. Dia dapat 
memaklumi dan mengerti apa yang sedang dialami 
oleh putri Banyu Biru ini. Pasti Sekar Perak sedang ja-
tuh cinta dan merana karena pemuda itu meninggal-
kannya. Dalam hati Ki Lurah mendesah, "Hmm... bo-
doh sekali pemuda  itu menyia-nyiakan cinta seorang 
gadis secantik Sekar Perak ini...." 
Hati-hati dirangkulnya gadis itu yang merasa 
damai karena ada yang mau mendengar ceritanya, di 
samping sebenarnya sejak tadi dia sudah amat ketaku-
tan dengan suasana mengerikan di hutan ini. 
"Dik Sekar... lebih baik kita pulang saja. Ayah-
mu sudah amat cemas menunggu. Marilah, Dik Se-
kar...." 
Sekar Perak mengangkat kepalanya, menatap 
Ki Lurah. Ki Lurah dapat melihat sepasang mata indah 
yang nampak memerah bengkak karena terlalu lama 
menangis. 
"Mengapa ayah tidak mencariku, Paman Lurah 
...?" tanyanya pelan. Kali ini di matanya terlihat sinar 
kecewa. 
"Ayahmu sedang menunggumu, Sekar...." 
"Tetapi mengapa dia tidak mencari dan men-
jemputku, Paman Lurah... apakah ayah tidak sayang 
padaku?" 
"Sudah tentu dia sayang padamu, Dik Sekar...." 
sahut Ki Lurah sambil menundukkan kepala. Dia me-
mang menyembunyikan sesuatu tentang diri Juragan  
Banyu Biru dan dia tidak tega untuk mengatakan yang 
sebenarnya pada Sekar Perak. Karena saat ini Juragan 
Banyu Biru sedang terbaring sakit karena shock den-
gan apa yang telah dialaminya. Kesehatannya setiap 
hari semakin memburuk. Makannya pun tak beratu-
ran lagi hingga tubuhnya nampak makin kurus. Dan 
setiap malam dia selalu mengigau panjang. 
Memang pada dasarnya Sekar Perak adalah ga-
dis yang manja, tetap saja dalam keadaan seperti ini 
dia masih bermanja. 
"Ayah jahat... jahat... kalau dia sayang padaku 
sudah tentu dia akan menjemputku, bukan? Tetapi 
mengapa ayah tidak datang menjemputku? Hhh! Aku 
tidak mau pulang!" Gadis itu merengut. Hilang sudah 
tanda-tanda bahwa dia habis menangis panjang. 
"Jangan begitu, Dik Sekar... ayahmu amat rin-
du padamu... dan dia selalu menanti kedatanganmu, 
Dik Sekar.... Lebih baik ayo kita pulang daripada harus 
terus menerus berada di hutan yang menyeramkan 
ini...." kata Ki Lurah masih tetap merahasiakan kea-
daan diri Juragan Banyu Biru. 
Namun Sekar Perak tetap pada keputusannya. 
Dia menggeleng-gelengkan kepalanya dengan gerakan 
yang cepat. Wajahnya masih tidak sedap dipandang. 
"Tidak, aku tidak akan mau pulang bila bukan 
ayah yang menjemputku ke mari...." katanya sambil 
merengut. 
"Ayolah, Dik Sekar... lebih baik kita kembali se-
karang sebelum hujan turun...." 
"Tidak, aku tidak mau... aku baru pulang bila 
ayah yang menjemput ke mari...." 
Ki Lurah Pandu Kelana mendesah panjang. Dia 
menjadi serba salah menghadapi kekeraskepalaan ga-
dis ini. Bila dia menceritakan keadaan diri Juragan  
Banyu Biru sesungguhnya, dia kuatir gadis ini akan 
kaget. Terlihat jelas kalau jiwa gadis ini sedang labil. 
Namun bila dia tidak menceritakan yang sesungguh-
nya, gadis ini akan tetap menolak untuk diajak pulang. 
Padahal dia berharap kesehatan Banyu Biru akan 
membaik bila melihat putrinya kembali dalam. kea-
daan selamat. Namun gadis manja ini memang keras 
kepala sekali. 
Yang lain pun tidak bisa berbuat apa-apa. Me-
reka pun menyadari bagaimana bingungnya Ki Lurah 
sekarang ini. Sedikit banyaknya mereka bersyukur ka-
rena bukan mereka yang membujuk gadis keras kepala 
ini. 
"Dik Sekar... apakah kau tidak lihat kalau se-
bentar lagi hujan akan turun?" 
"Aku tahu." 
"Lalu mengapa kau tidak ingin segera kembali 
padahal ayahmu menunggu di rumah?" 
"Kalau bukan ayah yang datang menjemputku 
ke mari, aku merasa lebih baik tinggal di sini...." 
Ki Lurah mendesah panjang. Tak ada jalan lain. 
Apalagi gemuruh  petir sudah terdengar sambar me-
nyambar. Bila seperti ini torus menerus, niscaya tak 
akan selesai dan hujan pasti akan segera turun den-
gan lebatnya. Dan bila hujan sudah turun, kemungki-
nan mereka untuk lekas kembali akan terlambat. 
Tak ada jalan lain. Dia memang harus menga-
takan yang sesungguhnya bila tidak ingin berlarut-
larut. Karena menghadapi gadis keras kepala ini harus 
berterus terang dan tegas. Tidak perlu bertele-tele. 
Ki Lurah masih melirik empat orang warganya 
yang juga tegang menunggu seakan meminta pendapat 
mereka. Keempatnya bagaikan sudah mengetahui 
maksud dari Ki Lurah. Tanpa berucap banyak keem- 
patnya mengangguk secara bersamaan. 
Bersamaan dengan helaan nafasnya, dia pun 
berkata dengan hati-hati. 
"Dik Sekar... ketahuilah... kalau kesehatan 
ayahmu sudah amat payah sekali karena memikirkan 
nasibmu...." 
"Apa?!" Suara itu terdengar cukup keras. Kepa-
la yang tak acuh itu menoleh cepat ke arah Ki Lurah 
Pandu Kelana yang sudah menduga hal seperti ini 
akan terjadi. Sepasang mata yang indah meskipun te-
lah terbalut bengkak, membelalak tak percaya. "Apa, 
Paman Lurah? Ayah sakit? Ayah sakit? Oh, tidak... ti-
dak.... Paman Lurah... benarkah ucapanmu itu?" 
Ki Lurah Pandu Kelana hanya mendesah pan-
jang. Benar dugaannya, gadis ini akan terkejut. Namun 
memang tak ada jalan lain agar gadis ini mau pulang 
bersama-sama mereka. 
Ditatapnya gadis itu yang juga balas menatap-
nya, menunggu jawabannya dengan tegang. Perlahan-
lahan Ki Lurah Pandu Kelana menganggukkan kepa-
lanya. 
"Benar ayah sakit, Paman Lurah?" 
"Benar, Dik Sekar... sejak penculikan dirimu 
dan ibumu, apalagi setelah mengetahui ibumu mati di-
bunuh dengan diperkosa terlebih dahulu, ayahmu ja-
tuh sakit...." 
"Oh, tidak... tidak.... Ayaaaaahhhhh!!!" seru Se-
kar Perak memekik kuat. Dan mendadak tubuhnya 
limbung lalu ambruk. Untunglah Ki Lurah Pandu Ke-
lana dengan cepat menangkap tubuh itu. 
Bersamaan dengan itu hujan pun turun dengan 
lebatnya. 
"Ayo cepat, kita cari goa itu!" seru Ki Lurah 
mengomando sambil membopong tubuh Sekar Perak  
yang dalam keadaan pingsan. Serentak mereka berla-
rian mencari goa dan mendapatkannya. 
 
** 
 
 
Pengemis yang melangkah dengan pincang den-
gan tubuh yang sedikit bongkok itu terus saja dengan 
santainya melangkah, tanpa menghiraukan ejekan dan 
cemooh orang-orang yang kebetulan berpapasan den-
gannya. Dia tak acuh saja, sepertinya tidak ada keja-
dian apa-apa. 
"Cih! Mau apa pengemis busuk itu datang ke 
desa kita?!" ejek seorang gadis yang berdandan cukup 
menor itu pada teman pemudanya yang berdiri di 
sampingnya. Gayanya pun genit, sama halnya dengan 
si pemuda. 
"Hhh! Tak layak nampaknya desa kita dimasuki 
oleh gembel bongkok dan pincang itu!" sahut si pemu-
da dengan suara yang mengejek pula. 
Namun si pengemis itu tetap dengan santainya 
melangkah. Kaki kanannya yang pincang memang ter-
lihat jelas sebagai penghambat dari langkahnya. Na-
mun tetap saja dia menyeretnya dengan ringan. Kata-
kata ejekan dari pemuda-pemudi sombong itu diang-
gapnya hanyalah angin lalu belaka. 
"Hei, dia tuli juga rupanya!" seru si pemudi. 
"Atau... dia tengah mengejek kita dengan ber-
pura-pura menjadi tuli!" sahut si pemuda dengan sua-
ra yang terdengar sedikit mangkel. 
"Sialan kalau begitu! Hajar saja dia! Biar dia  
tahu rasa dan kapok berbuat seperti itu!" kata si pe-
mudi memanas-manasi si pemuda. 
Pemuda itu memang seorang yang panasan. 
Yang merasa tak seorang pun boleh merendahkannya 
atau pun menyamainya. Maka diapun menjadi panas. 
Dengan gusar dia memburu si pengemis yang terpin-
cang-pincang melangkah itu dan berdiri di depannya 
dengan sikap sok jago dengan kedua kaki terbuka le-
bar. 
"Berhenti!" serunya keras. 
Si pengemis bongkok itu pun berhenti melang-
kah. Wajahnya yang nampak penuh luka mengering 
itu diangkatnya untuk menatap si pemuda yang som-
bong menghadang langkahnya. Sementara si pemudi 
nampak sudah tidak sabar ingin melihat si pemuda 
menghajar pengemis bongkok itu. 
"Sudah, hajar saja! Hajar!" serunya mengoman-
do yang membuat si pemuda semakin panas. 
"Hhh! Gembel busuk! Lebih baik kau angkat 
kaki saja dari desa ini sebelum aku marah!!" serunya 
kasar. 
Pengemis itu hanya memamerkan senyumnya. 
"Hei, tersenyum lagi kau?!" 
"Sobat... mengapa kau melarang aku untuk 
singgah sejenak di desa ini?" tanya pengemis itu den-
gan suara yang terdengar sopan. Namun malah mem-
buat si pemuda menjadi berang, karena merasa pen-
gemis itu tidak pantas untuk bicara dengannya. 
"Hei, berani bicara pula kau ini!" 
"Mengapa, Sobat? Apakah di desa ini ada laran-
gan bagi seorang pengemis untuk singgah?" 
"Karena kau hanya mengotori desa ini saja! 
"Apakah orang sepertiku ini tak layak untuk 
mencari makan di sini?" 
 
"Ya! Karena kau hanya mengemis, pekerjaan 
bagi orang yang malas!" 
Pengemis itu menggelengkan kepalanya, masih 
tetap tersenyum. 
"Tidak, Sobat... aku datang untuk membeli se-
dikit makanan untuk mengganjal perutku yang kelapa-
ran ini...." 
Pemuda itu tiba-tiba terbahak. Dia menoleh 
sama si pemudi lalu berkata dengan sombongnya. 
"Kau dengar apa katanya tadi? Dia hendak membeli 
makanan di sini? Ha ha ha... hei, Pengemis busuk! 
Mana mampu kau membeli makanan bila tidak dengan 
cara mengemis, hah?! Kau ini sedang mengigau atau 
sedang bermimpi menjadi orang kaya...?" 
"Aku mempunyai sedikit uang, Sobat.... Yang 
kupikir dapat ku tukarkan dengan sedikit makanan...." 
"Hahaha... kau memang tengah mengigau ru-
panya!" Masih tertawa si pemuda itu mengejek. "Perli-
hatkan padaku, bila kau memang punya uang?" 
"Apakah bila benar aku punya uang kau mem-
perkenankan aku untuk singgah di desa  ini untuk 
mencari makan?" 
"Sudah tentu, asal tidak dengan cara menge-
mis! Tetapi nampaknya mustahil kau memiliki uang 
meskipun hanya sedikit!" 
"Kupegang kata-katamu itu, Sobat...." 
"Hhhh! Perlihatkanlah padaku!" seru pemuda 
itu setengah geram dan setengah geli. 
Sekali lagi pengemis itu menatap si pemuda. 
Lalu dengan hati-hati pula dia memasukkan tangan-
nya ke tas kumal yang tersampir di bahu kirinya. 
Kala tangan itu keluar dari tas kumalnya, di 
genggamannya sudah ada beberapa keping uang emas 
yang disodorkannya di depan wajah pemuda itu yang  
jadi terbelalak tak percaya. 
"Hei, kau mencuri di mana uang emas itu, 
hah?!" 
Pengemis itu menyeringai. Memperlihatkan wa-
jah yang tegang tak percaya. Belum pula dengan si 
pemudi yang sempat meneriakkan kata terkejut dan 
tak percaya. 
"Aku tidak mencurinya, Sobat.... Uang ini me-
mang milikku, pemberian seorang sahabat yang baik 
hati padaku...." 
"Tidak mungkin! Kau bukan hanya seorang 
pengemis, tetapi juga seorang  pencuri! Dosamu tak 
akan pernah dimaafkan!" 
"Hmm... kau mengada-ada, Sobat.... Bukankah 
tadi kau mengatakan, bila aku bisa membuktikan 
bahwa aku memiliki uang, maka kau akan memperbo-
lehkan aku untuk mencari makan di sini? Apakah kau 
lupa dengan kata-kata yang baru saja kau ucapkan 
itu, Sobat?" 
Wajah pemuda itu merah padam. Sebenarnya 
dia menuduh pencuri itu untuk menutupi keterkejutan 
dan kekalahannya. Namun dia memang seorang pe-
muda yang sombong, yang tak pernah mau mengalah 
atau dikalahkan. 
"Pencuri busuk! Berikan uang itu pada ku!" se-
runya geram dengan tangan terkepal. 
"Mengapa pula harus kuberikan pada mu?" 
"Anjing buduk! Rasakan ini!" serunya si pemu-
da sambil melayangkan pukulannya lurus ke wajah si 
pengemis. 
Namun sungguh di luar dugaannya, karena 
mendadak saja pukulannya tidak mengenai sasaran. 
Melompong mengenai angin. 
"Hei!" serunya terkejut.  
Dan dia lebih terkejut lagi karena menyadari si 
pengemis sudah tidak berada di dekatnya. Pemuda itu 
celingukan dan melihat si pengemis tengah berjalan 
dengan santainya meninggalkannya. Hal itu membuat 
si pemuda semakin menjadi geram. 
"Anjing keparat! Kau ingin bermain-main den-
ganku rupanya, hah!" serunya sambil mencegat lang-
kah si pengemis. Namun pengemis itu tetap saja te-
nang. Dia hanya tersenyum. 
"Mengapa kau masih marah kepadaku?" ujar-
nya lembut. "Bukankah kau sudah mengizinkan aku 
untuk mencari makan di sini?" 
"Pengemis sialan! Rupanya kau punya kebisaan 
juga, hah?!" bentak si pemuda jengkel. "Bagus, aku in-
gin melihat sampai di mana kebisaan mu itu, hah?!" 
"Sobat... mengapa jadi begini? Mengapa kau ja-
di berang seperti ini? Apakah aku mempunyai salah 
kepadamu?!" 
"Setttaaannn! Berikan uang itu padaku, hah?! 
Dan kau boleh meninggalkan tempat ini dalam kea-
daan selamat!" 
"Hmmm... aku tahu sekarang, rupanya uang ini 
yang membuatmu menjadi berang kepadaku? Mengapa 
kau masih berbasa-basi menuduhku sebagai pencuri?" 
"Kau memang pencuri! Berikan uang itu kepa-
daku!!" 
Pengemis itu tersenyum. 
"Tak akan pernah kuberikan kepadamu uang 
milikku ini...." 
"Hhhh!" Pemuda itu mendengus. "Rupanya kau 
memang ingin mengenalku lebih dalam! Baik! Lihat se-
rangan!!" 
Sesudah berkata begitu, si pemuda dengan ge-
rakan yang sungguh cepat menggerakkan tangan ka- 
nannya lurus ke wajah si pengemis. Namun sama se-
perti halnya tadi, pukulannya pun tidak mengenai sa-
sarannya. Dan lagi-lagi tanpa terlihat si pengemis su-
dah berpindah tempat. Hal ini semakin membuat si 
pemuda menjadi marah besar. 
"Anjing! Rupanya kau memang hendak menjual 
lagak di depanku, hah?!" serunya berang dan dengan 
kalapnya dia kembali menyerang. Kali ini dengan kece-
patan yang tinggi dan serangan yang membabi buta. 
Kejadian itu perlahan-lahan banyak mengun-
dang minat orang untuk menonton. Maka sebentar sa-
ja sudah ramai mereka bersorak sorai membentuk 
lingkaran. Rata-rata mengejek si pemuda yang selalu 
gagal dalam menyerangnya. Dan semua itu mereka la-
kukan karena sebenarnya mereka sendiri tidak suka 
dengan sikap si pemuda yang selalu membuat onar 
dan menyombongkan diri. Sementara si pemudi men-
jadi tegang memperhatikan. Namun sedikit banyaknya 
dia menjadi malu karena pemuda itu selalu menyerang 
pada sasaran kosong belaka. 
"Prangkulo... kau hanya besar mulut saja!" Ak-
hirnya terlontar kata-kata itu dari mulut si pemudi 
yang tidak tahan karena banyak yang mengejek si pe-
muda. 
Mendengar seruan itu, si pemuda yang berna-
ma Prangkulo menjadi semakin kalap. Dia terus me-
nyerang secara membabibuta. Namun sejauh itu tak 
satu pun serangannya yang mengenai sasaran. Hanya 
nafasnya yang kini terdengar terengah-engah. Gera-
kannya pun mulai terlihat kacau. Hanya semacam do-
rongan kesombongannya saja yang ada. 
Sorak-sorakan mengejek semakin ramai. 
"Prangkulo... kau hanya berani bila bersama teman-
temanmu!"  
"Hahaha... menghadapi seorang pengemis saja 
kau gagal! Tahu rasa kau!" 
"Lebih baik pulang saja dan rubah kelakuanmu 
yang sombong itu!" 
"Kena batunya kau sekarang, Prangkulo!" 
Sorakan mengejek yang diiringi dengan tepukan 
gemuruh itu semakin membahana. Meskipun geram 
bukan alang kepalang, namun Prangkulo masih beru-
saha untuk menjatuhkan pukulannya pada si penge-
mis. Agaknya pengemis pincang yang bungkuk itu bu-
kanlah pengemis sembarangan, karena gerakan-
gerakan yang dilakukannya untuk menghindari seran-
gan itu tidak terlihat oleh mata. 
Agaknya pula kalau pengemis itu memang ber-
niat hendak memberi pelajaran pada Prangkulo si pe-
muda sombong. Maka dia pun terus menerus meng-
hindar dengan maksud membuat si pemuda jera akan 
tingkah lakunya selama ini yang lama kelamaan men-
jadi kelelahan karena tenaganya terus menerus terku-
ras. Hingga lambat laun dia menjadi sempoyongan dan 
gerakannya semakin kacau. 
Mendadak tubuhnya limbung. 
Lalu ambruk setelah sempoyongan dua kali ke 
kiri dan ke kanan. Bersamaan dengan itu terdengar so-
rakan ramai dari pada penonton. 
"Hahaha... lebih baik kau mampus saja!" 
"Prangkulo... kau hanya besar mulut!" 
Sementara itu si pemudi menjadi jengkel bukan 
kepalang di samping malu yang tak terhingga karena 
kekasihnya itu kini menjadi bahan ejekan. Agaknya 
pula kalau para penduduk telah lama menunggu ke-
sempatan untuk mengejek Prangkulo yang diam-diam 
mereka tidak suka karena seringkali membuat onar. 
Belum lagi tingkahnya yang memuakkan sekali. Bah- 
kan dia sering meminta pajak pada para pedagang. 
Setelah pemuda itu ambruk dan pingsan kare-
na kecapaian, si pengemis pun dengan santainya me-
ninggalkan tempat itu. Sikapnya benar-benar tenang 
luar biasa. Seperti tidak mengalami hal apa-apa. 
Para penduduk pun seakan tidak memperduli-
kannya. Namun ada seseorang yang sejak tadi mem-
perhatikan. Dia adalah seorang laki-laki setengah 
baya, bertubuh tegap.  Dia adalah Barejo ayah dari 
Priatsih, yang diperkosa lalu dibunuh. Barejo masih 
ingat wajah dan ciri pemuda yang memperkosa anak-
nya. Dia laki-laki tampan, di punggungnya terdapat 
sebilah pedang. Dan dia adalah Pandu atau Pendekar 
Gagak Rimang yang difitnah oleh Nimas Andini atau si 
Banci Murah Senyum. Sebenarnya Nimas Andinilah 
yang memperkosa Priatsih lalu membunuhnya yang 
kemudian memfitnah Pandu karena beberapa kali dia 
dikalahkan oleh Pendekar Gagak Rimang itu dalam 
perkelahian. 
Hingga sekarang Barejo masih amat menden-
dam pada pemuda yang telah menghancurkan  hidup 
putrinya. Dia tak akan pernah menerima. Siang dan 
malam dia terus mencari pemuda itu. Tak akan pernah 
puas hatinya bila belum bisa membalas sakit hati pu-
trinya. 
Dan kini dia melihat ada seorang yang amat 
sakti. Meskipun dia hanyalah seorang pengemis na-
mun kesaktiannya patut diperhitungkan. Timbul minat 
dalam hati Barejo untuk meminta pertolongan dari si 
pengemis untuk mencari pemerkosa putrinya. 
Dia memang sudah lama menunggu orang yang 
amat perkasa. Namun dia menjadi ragu sendiri, pa-
tutkah dia meminta pertolongan dari seorang penge-
mis? Namun dia tidak perduli, yang penting dia bisa  
menemukan pemerkosa dan penghancur hidup pu-
trinya. Dan bila ini tidak dilakukannya maka dendam-
nya tak akan pernah tuntas, dendam yang amat abadi. 
Maka dengan hati-hati dia mengikuti langkah si 
pengemis dari belakang. Pengemis itu terlihat sedang 
memasuki sebuah kedai. Nampaknya dia ingin makan. 
Di kedai, tak seorang pun yang kembali mengejeknya. 
Malah si pengemis disambut dengan baik. Mereka sea-
kan mengerti kalau pengemis itu adalah bukan semba-
rangan pengemis. 
Barejo menunggunya hingga selesai makan. La-
lu dia kembali mengikutinya. Tiba di jalan setapak, dia 
menjadi celingukan. Karena mendadak saja pengemis 
itu telah lenyap dari pandangannya. 
"Hei, ke mana dia?!" serunya terkejut. 
"Aku berada di belakangmu, Sobat!" Terdengar 
suara bernada bersahabat dari belakangnya. 
 
* * 
 
 
Seketika Barejo membalikkan tubuhnya ke be-
lakang dan melihat si pengemis telah berdiri di bela-
kangnya. Gila, luar biasa, dia tidak melihat gerakan si 
pengemis yang demikian cepatnya! 
Dia kuatir pengemis itu akan menjadi marah 
karena dibuntuti. Dan yang lebih membuatnya kuatir, 
bila si pengemis menganggap perbuatannya adalah se-
buah perbuatan yang salah. Dia ingin meminta ban-
tuan pengemis itu, bukannya ingin mencari sikap per-
musuhan. Namun Barejo cukup bisa bernafas dengan  
lega karena terlihat pengemis itu tersenyum. 
"Ada apakah gerangan, Sobat? Mengapa kau 
mengikutiku?" tanyanya dengan suara yang tetap ber-
sahabat, tidak terkesan sedikit pun kalau dia marah 
karena dibuntuti secara diam-diam. 
Barejo menjadi sedikit tenang. Dia pun menye-
barkan senyumnya sebagai tanda persahabatan. 
"Maafkan aku, Sobat... yang telah lancang 
mengikuti langkahmu. Namaku Barejo... tidak mem-
punyai maksud jahat terhadapmu. Percayalah...." 
"Sobat Barejo... sudah tentu aku percaya. Nah, 
kau bisa memanggilku si Tanpa Nama. Katakanlah... 
ada keperluan apa hingga kau mau bersusah payah 
mengikuti langkahku yang terseok-seok ini...." 
"Sekali lagi maafkan aku... tak ada maksudku 
untuk berbuat jahat padamu. Hmm... bagaimana bila 
kita ke rumahku saja. Agaknya di sana kita bisa lebih 
leluasa bercerita panjang lebar daripada di jalan ini." 
"Kelihatannya kau sedang kebingungan, Bare-
jo.... Nampak jelas sekali masalah itu terbayang di ma-
tamu. Bila memang itu yang kau inginkan, baiklah... 
kita bisa segera ke rumahmu dan berbicara panjang 
lebar...." 
"Oh, terima kasih, Sobat. Mari!" sahut Barejo 
gembira. Lalu dia pun melangkah diiringi dengan lang-
kah si pengemis yang terseok-seok karena kaki sebelah 
kanannya pincang. 
Sesampai di rumah istri Barejo yang sebelum-
nya sudah diterangkan siapa si pengemis itu segera 
menyiapkan hidangan. Lalu dia pun menemani sua-
minya untuk bercakap-cakap dengan si pengemis. 
"Maafkan aku, Sobat...." kata Barejo sebelum 
bicara pada pokok persoalan. "Sekali lagi maafkan aku 
karena telah mengganggu mu..."  
"Tidak apa-apa... bukankah sebagai manusia 
kita harus saling bantu membantu? Nah, Sobat Bare-
jo... kemukakanlah masalah mu, barangkali saja aku 
bisa membantu...." 
"Benar, aku memang membutuhkan bantuan-
mu.... Baiklah, lebih baik kuceritakan saja padamu," 
kata Barejo sambil mendesah. Lalu dia pun mencerita-
kan kejadian beberapa minggu yang lalu di mana pu-
trinya Priatsih telah diculik, diperkosa dan dibunuh 
orang. Barejo merasa yakin kalau dia mengenali orang 
jahat itu. "Nah, maksudku adalah ingin meminta ban-
tuanmu, Sobat... meminta pertolonganmu untuk men-
cari orang jahat yang telah menghancurkan putri ter-
sayang ku...." 
"Hmm... secara pasti aku belum bisa mengeta-
hui duduk permasalahannya... namun aku sudah pa-
ham. Bagaimanakah ciri-ciri orang yang telah berbuat 
jahat pada putri mu itu?" 
"Dia seorang pemuda yang gagah. Berwajah 
tampan. Di punggungnya terdapat sebilah golok. Dia 
mengenakan pakaian berwarna putih. Dan dia pun 
memiliki caping menutup kepala yang tergantung di 
punggungnya...." 
"Kau sudah yakin kalau pemuda itu yang ber-
buat jahat pada putri mu?" 
"Ya." 
"Bagaimana kau bisa yakin?" 
"Karena dari balik semak di mana kutemukan 
mayat putri ku dalam keadaan menyedihkan, pemuda 
itu muncul dengan pakaian yang robek-robek...." 
"Lalu?" 
"Bukankah pakaian yang robek itu sudah seba-
gai tanda kalau putri ku melawan kala hendak diper-
kosa?"  
"Hmm... baiklah.... Bila aku bisa bertemu den-
gan pemuda jahanam itu... aku akan menangkapnya...." 
"Terimakasih atas pertolongan mu, Sobat...." 
"Masih adakah yang perlu dibicarakan lagi?" 
"Kurasa tidak. Sekali lagi terima kasih atas ke-
sediaanmu untuk membantu kami," kata Barejo setu-
lus hati. 
Begitu pula dengan istrinya. 
"Terima kasih, Saudara pengemis...." 
"Bila tak ada yang dibicarakan lagi, sebaiknya 
aku pergi saja... karena perasaanku mengatakan akan 
terjadi sesuatu. Perasaanku tidak enak," kata si pen-
gemis seraya bangkit dari duduknya. 
Dan perasaannya memang benar. Karena keti-
ka kakinya tiba di luar rumah Barejo, di halaman ru-
mah itu telah berdiri dengan sikap garang beberapa 
pemuda dengan memegang golok yang amat tajam. 
Dan salah seorang pemuda itu adalah Prangkulo!! 
Prangkulo amat mendendam sekali. Setelah si-
uman dari pingsannya, dia segera mencari teman-
temannya untuk menghabisi si pengemis. Dan kebetu-
lan salah seorang temannya melihat si pengemis pergi 
bersama Barejo ke rumahnya. Maka serentak Prangku-
lo memerintahkan ke sana. 
Barejo menjadi panik melihat keadaan itu. Is-
trinya langsung merangkulnya erat-erat karena keta-
kutan. Dan sikap orang-orang yang berdiri di halaman 
rumahnya dengan golok di tangan, siap untuk menya-
bet siapa saja yang berani membangkang. 
Prangkulo terbahak. 
"Hahaha... rupanya kau memang mempunyai 
nyali, Pengemis busuk! Kau masih berani berada di si-
ni! Dan kau akan merasakan akibat yang amat pedih 
dari perbuatan mu terhadapku!" serunya sambil ber-
kacak pinggang. 
Pengemis itu tersenyum, sedikit pun tidak terli-
hat kesan bahwa dia sedang ketakutan. Malah begitu 
tenang. 
"Rupanya kau masih penasaran terhadapku, 
Sobat...." 
"Aku akan tetap penasaran bila belum membu-
nuhmu!" 
"Oh! Keji sekali keinginanmu itu, Sobat____" 
"Anjing buduk! Kau memang pandai berbicara!" 
"Hmm... bila kau memang berniat untuk mem-
bunuhku, mengapa harus kau bawa teman-temanmu? 
Apakah kau takut untuk menghadapiku sendiri? Di 
mana nyalimu, Sobat...." 
"Setttaaannn!" "Hmm... bila tadi aku hanya 
menghindar saja, kali ini kau akan ku pukul  hingga 
merangkak! Nah, perintahkanlah kepada  teman-
temanmu itu untuk segera menghajar dan membu-
nuhku!" 
Tidak bisa dilukiskan lagi keberangan Prangku-
lo mendengar kata-kata si pengemis yang mengejek-
nya. Dengan penuh geram dan dendam yang amat 
sangat, dia pun berseru: 
"Hajar pengemis itu hingga mampus!!" 
Serentak teman-temannya menyerbu dengan 
golok di tangan. Golok-golok yang tajam itu pun berke-
lebatan dengan cepat. 
"Wuuutt!!" 
"Wuuutt!!" 
Si pengemis itu pun tak mau kalau dirinya 
menjadi sasaran empuk golok-golok yang tajam. Maka 
dia pun segera menghindar dengan cepat dan tangkas. 
"Hahaha... mengapa kalian hanya menyerang  
angin saja?" serunya mengejek sambil terus menghin-
dar yang membuat para penyerangnya menjadi buas 
dan kalap. 
"Mampuslah kau!!" 
Namun hingga sejauh itu tak satu pun golok ta-
jam di tangan teman-teman Barejo yang mengenai sa-
sarannya. Karena si pengemis dengan lincahnya 
menghindar. Bahkan kini terlihat kalau dia pun mulai 
membalas. Agaknya kakinya yang pincang dan tubuh-
nya yang bungkuk bukan merupakan satu halangan 
yang berarti baginya untuk  menghindar maupun 
membalas. 
Karena tidak terlihat seperti beban. Malah den-
gan ringannya dia bergerak ke sana ke mari. Dan bebe-
rapa kali tangannya pun mulai bergerak mencari sasa-
ran. 
"Des!" 
"Des!" 
Dua kali tangannya bergerak, dua kali pula 
mengenai sasaran. Dan dua jeritan pun terdengar be-
runtun disusul dengan tubuh yang sempoyongan. 
Pengemis itu terbahak mengejek. "Hahaha... 
orang seperti inikah yang kau andalkan untuk mem-
bunuhku?!" 
Wajah Prangkulo merah padam. Dia berseru-
seru geram, "Hei, bunuh dia! Kalian kubayar bukannya 
untuk berjoget di depannya! Bunuh dia!!" 
Mendengar seruan itu semangat teman-
temannya makin berkobar, namun mereka tak punya 
daya lagi untuk menghadapi si pengemis. Karena kini 
mereka yang menjadi bulan-bulanan tinju dan kaki si 
pengemis. "Buk!" "Buk!" "Des!" 
Sementara itu Barejo kini bisa bernafas dengan 
lega karena rupanya si pengemis bisa mengatasi orang- 
orang itu. Terlihat pula di wajah Barejo pengharapan 
yang semakin besar kalau si pengemis itu mampu me-
nangkap pemerkosa putrinya. Begitu halnya dengan is-
trinya yang kini perlahan-lahan melepaskan rangku-
lannya dari tangan suaminya. Harapan untuk mene-
mukan pemerkosa putrinya kini semakin menguak dan 
mendapatkan jalan. 
Prangkulo kini yang menjadi cemas dan men-
ciut nyalinya. Ketika temannya yang terakhir pun ha-
rus terjengkang dan pingsan karena dua pukulan si 
pengemis bersarang di dadanya, dia pun bermaksud 
untuk melarikan diri. 
Buru-buru dia membalikkan tubuhnya untuk 
mengambil langkah seribu. Namun belum lagi kakinya 
melangkah, tiba-tiba  saja si pengemis sudah berdiri 
menghadang di hadapannya. 
Prangkulo menjadi panik. Dia celingukan ke 
sana ke mari tanpa tahu apa yang bisa diperbuatnya. 
Pengemis itu menyeringai. 
"Hmm... agaknya orang seperti kau ini tidak pa-
tut untuk diberi ampun! Kau hanya patut bila dibunuh 
saja!" 
Semakin jeri Prangkulo mendengar kata-kata. 
Nyalinya sudah hilang sama sekali. Kesombongannya 
tidak terlihat lagi. Tiba-tiba dia jatuh terduduk. Lalu 
meratap-rapat menangis minta ampun. 
"Ampun... ampunkan aku... jangan, jangan pu-
kul... jangan bunuh aku.... Ampun... ampunkan 
aku...." 
Pengemis itu menyeringai. 
"Orang seperti kau ini tak patut untuk diampu-
ni... kau memang harus diberi pelajaran, Prangkulo. 
Agar kau tidak bersikap terus menerus seperti ini...." 
"Ampun... ampunkan aku...."  
"Aku tak akan pernah mengampuni orang som-
bong seperti kau! Di samping itu, kau begitu congkak 
dan merasa sok jago! Aku tidak pernah menyukai 
orang yang bersikap demikian seperti kau ini, Prang-
kulo!" 
"Maafkan... maafkan aku... ku mohon ampun-
kan aku... ampunkan aku...." 
"Hhh! Kau hanyalah memohon satu permintaan 
yang sia-sia, Prangkulo...." 
Mendengar ucapan itu kali ini Prangkulo bukan 
hanya meratap dan memohon, namun dia juga me-
nangis tersedu-sedu. Menangis bagaikan bocah kecil 
karena ibunya tidak membelikan permen seperti kein-
ginannya. 
"Huhuhu... ampun aku... ampunkan aku...." 
"Aku akan mengampunkan dan memaafkanmu, 
Prangkulo... hanya saja kau mau berjanji padaku...." 
"Ya, ya... aku berjanji padamu...." 
"Benar kau mau berjanji?" 
"Ya, ya... aku akan berjanji...." 
"Apa saja?" 
"Apa saja!" 
"Nah, berjanjilah bahwa kau mau ku bunuh!" 
"Oh!" Terbelalak Prangkulo. "Tidak, tidak aku 
tidak mau berjanji yang itu!" 
"Bukankah kau tadi sudah mengatakannya, 
bahwa kau mau berjanji apa saja!" 
"Iya, iya... aku mau berjanji... tapi tidak yang 
itu... aku belum mau mati...." 
"Lalu kau mau berjanji seperti apa?" 
"Apa saja... di luar itu!" 
"Bagaimana bila kau berjanji mau ku pukul 
sampai sekarat?" 
"Oh, tidak... jangan... aku tidak mau berjanji  
yang itu! Jangan!" 
"Kau berdusta padaku, Prangkulo!" 
"Jangan, jangan paksa aku berjanji yang itu! 
Aku tidak mau, aku tidak mau!" 
Pengemis itu tersenyum. Kini dia tahu siapa 
sebenarnya Prangkulo. Pemuda itu hanyalah seorang 
yang besar mulut saja. Yang hanya mengandalkan ke-
sombongan dan teman-temannya saja. Rasanya sudah 
cukup bagi si pengemis untuk mempermainkan Prang-
kulo. 
Lalu dia pun berkata, "Baiklah... berjanjilah di 
hadapanku sekarang.... Sementara Barejo dan istrinya 
menjadi saksi. Bagaimana?" 
"Ya, ya...." sahut Prangkulo cepat. 
"Berjanjilah untuk tidak membuat onar lagi. 
Bersikaplah biasa saja. Jangan terlalu angkat kepala 
dan juga jangan terlalu tundukkan kepala. Jadilah 
manusia yang berguna. Janganlah bersikap sombong. 
Jangan pula menjadi manusia yang merasa jago dan 
memiliki segalanya. Bagaimana? Maukah kau berjanji 
hal yang ringan seperti itu?" 
"Ya, ya... aku berjanji...." sahut Prangkulo cepat 
sambil menganggukkan kepalanya berkali-kali. Dia 
merasa sudah tidak berdaya. Dan perlahan-lahan di 
hatinya tumbuh rasa penyesalan yang mendalam akan 
sikapnya selama ini. Maka dia pun menganggukkan 
kepalanya dengan sikap yang tulus. 
"Bagus! Aku akan pegang janjimu itu, dan Ba-
rejo beserta istri menjadi saksi! Bila kau kulihat atau 
kudengar melanggar janji itu, maka akan ku cabut se-
mua sikapku sekarang ini. Bagaimana? Kau setuju?" 
Perlahan Prangkulo menganggukkan kepa-
lanya. 
"Ya, aku setuju... dan aku amat menyesal dengan 
sikapku yang sombong selama ini...." katanya den-
gan suara yang tulus dan penuh penyesalan. 
"Bagus! Nah, kau sekarang boleh pergi dari sini. 
Bersikaplah sebagaimana yang di inginkan Gusti Allah 
kepada umat-Nya. Dia tentu akan marah bila kita me-
langgar keinginanNya. Jadilah pemuda yang baik dan 
berguna bagi desa ini...." 
"Ya... terima kasih, Sobat... kau mau memban-
tuku untuk menyadari kekeliruan ku selama ini...." ka-
ta Prangkulo sambil perlahan-lahan berdiri. Ditatapnya 
pengemis itu yang juga sedang menatapnya. "Terima 
kasih, Sobat...." "Pulanglah...." 
Lalu dengan langkah tegap yang pasti, Prang-
kulo pun meninggalkan tempat itu. Dia merasa amat 
menyesal dan malu mengingat sikapnya selama ini. 
Dan dia sungguh-sungguh berjanji tidak akan mengu-
langi lagi sikapnya selama ini. 
Sementara itu Barejo dan istrinya mendesah le-
ga, karena si pengemis ternyata tadi hanya menggertak 
saja. Kala keduanya mengangkat kepala hendak meli-
hat si pengemis, mendadak saja mereka terkejut. Ka-
rena si pengemis sudah tidak berada di tempatnya 
berdiri! 
Dan hal ini semakin membuat keduanya ber-
tambah kagum. Mereka jadi bertanya-tanya, siapakah 
sesungguhnya pengemis pincang dan bongkok yang 
sakti dan arif bijaksana itu? 
 
 
** 
 
 
Keadaan Juragan Banyu Biru semakin lama 
semakin bertambah menguatirkan sekali. Dia terus 
tergolek sepanjang hari di kamarnya. Tubuhnya sema-
kin lama semakin kurus. Sudah puluhan tabib yang 
mencoba mengobatinya, gagal. Dan siang malam dia 
hanya menggumamkan nama istri dan putrinya. Agak-
nya  peristiwa yang telah terjadi itu amat mengganggu 
pikirannya dan membuat jiwanya goncang. Semakin 
lama dirinya semakin tak bertenaga. Terlihat pula dia 
amat tak berdaya. 
Sementara itu laki-laki setengah baya yang di-
pertuan selain Ki Lurah Pandu Kelana di desa itu, 
Kendala Yoro, hanya bisa mendesah panjang. Hatinya 
pun galau dan bingung memikirkan nasib Juragan 
Banyu Biru. Kendala Yorolah yang selama ini menjaga 
Juragan Banyu Biru di samping warga desa yang siang 
dan malam bergantian menjaga di sekeliling rumah Ju-
ragan Banyu Biru. Karena yang dikuatirkan, orang-
orang Sangkur Baja akan datang menyerang secara ti-
ba-tiba. Yang lebih dikuatirkan lagi bila Bojo Mayit 
yang memiliki ilmu kebal itu yang turun tangan sendi-
ri. Ini akan menjadi suatu peristiwa yang amat menge-
rikan, meskipun Kendala Yoro sendiri yakin akan ke-
mampuan dirinya. Namun dia menguatirkan keadaan 
warga yang lainnya. 
Makanya di kala ada waktu senggang, Kendala 
Yoro melatih para penduduk desa dalam hal ilmu bela 
diri. Karena dia berpikir, di samping para penduduk 
bisa menjaga dirinya sendiri, juga akan bisa memban-
tunya menghadapi orang-orang Sangkur Baja bila sua-
tu waktu mereka muncul menyerang. 
 
Sore ini Kendala Yoro sedang berada di beranda 
rumah Juragan Banyu Biru. Dia tengah bercakap-
cakap dengan dua orang warga desa yang baru saja 
melaporkan hal yang amat menarik menurutnya. Ter-
lihat pula kalau Kendala Yoro manggut-manggut men-
dengarkan kata-kata salah seorang dari dua lawan bi-
caranya. 
"Benarkah demikian, Subra?" tanyanya setelah 
orang itu selesai bicara. 
"Benar, Puan," sahut yang dipanggil Subra. 
"Saya sendiri menyaksikan pengemis sakti itu mem-
permainkan pemuda sombong di desa sebelah Tengga-
ra sana. Saya pikir, pengemis itu bisa menolong diri 
Juragan Banyu Biru. Karena sudah tentu bila dia he-
bat memainkan ilmu kanuragan, tentu pula dia memi-
liki ilmu pengobatan yang amat hebat." 
"Sungguh menarik sekali. Mudah-mudahan apa 
yang kau pikirkan itu memang benar adanya, Subra." 
"Saya yakin soal itu, Puan." 
"Bisakah kau menemuinya dan memintanya 
untuk mengobati Juragan Banyu Biru?" tanya Kendala 
Yoro. "Karena aku sendiri sebenarnya sudah bingung 
dengan keadaan Juragan Banyu Biru. Kesehatannya 
semakin lama semakin memburuk sekali." 
"Kalau soal itu saya bisa, Puan.:. namun saya 
tidak tahu apakah dia mau datang ke mari untuk 
mengobati Juragan Banyu Biru atau tidak.... Bukan-
kah dia sendiri yang menentukan hal itu?" 
"Kau benar, Subra.... Memang dia yang menen-
tukannya dan kita tidak bisa memaksanya untuk mau 
datang ke mari dan mengobati Juragan Banyu Biru. 
Namun bukankah kau bisa mencobanya, Subra? Siapa 
tahu dia bersedia.... Bagaimana, Subra?" 
"Bisa, Puan...."  
"Nah, berangkatlah kau bersama Jagar. Jangan 
banyak membuang waktu dalam perjalanan. Lekaslah 
temukan pengemis sakti itu." 
"Baik, Puan...." 
"Pergilah dan lekaslah kembali dengan penge-
mis sakti itu!" kata Kendala Yoro. 
"Baik, Puan...." kata Subra sambil menghormat 
dan undur diri. Begitu pula dengan Jagar yang sejak 
tadi hanya diam saja mendengarkan percakapan itu. 
Dan sore itu pula dia memacu kudanya bersa-
ma Jagar menuju desa di sebelah Tenggara. Keduanya 
dengan cepat memacu kuda mereka seakan sedang di-
kejar wabah penyakit yang amat mengerikan. 
Kendala Yoro mendesah panjang, dia memang 
tidak bisa berharap banyak. Namun meskipun demi-
kian dia tetap menaruh harapan pada pengemis sakti 
itu. Karena memang hanya dialah yang kini bisa dija-
dikan harapan. 
Harapan yang masih belum terlihat wujudnya. 
Hanya bayangannya saja yang bisa dirasakan. 
Belum lagi dia bisa memikirkan hal itu lebih 
lama, tiba-tiba terdengar suara ribut-ribut  dari bela-
kang rumah Juragan Banyu Biru yang memiliki hala-
man demikian luasnya. Suara itu demikian keras, di-
iringi dengan bunyi senjata beradu dan suara teriakan 
disusul dengan jerit kesakitan. 
Segera saja Kendala Yoro berlari ke sana. Ha-
tinya mengatakan sesuatu yang tidak enak sedang ter-
jadi. Benar saja dugaannya itu. Meskipun dia sudah 
menduga namun tak urung betapa terkejutnya dia me-
lihat beberapa warga desa yang menjaga di bagian be-
lakang tengah mati-matian menghadapi beberapa 
orang yang dengan bengisnya membantai mereka. Dan 
Kendala Yoro masih melihat seorang warga desa yang  
ambruk dengan dada robek bersimbah darah akibat 
sabetan senjata tajam orang-orang itu. 
Di samping hatinya teriris, Kendala Yoro jug a 
menjadi geram. Dan dia pun tidak bisa mendiamkan 
hal itu terlalu lama lagi. Lalu dia pun bersalto bebera-
pa kali untuk hinggap di sana. Dan langsung mengha-
lau serangan-serangan kejam itu terhadap warga desa. 
Namun dia terlambat, karena tiga orang warga desa itu 
telah menemui ajalnya. 
Sementara itu pun berlarian beberapa orang 
yang menjaga di sekeliling rumah itu. Mereka pun ber-
diri di samping Kendala Yoro dengan mata terbelalak 
melihat kawan mereka yang mati dan pandangan ge-
ram terhadap orang-orang yang membunuh mereka 
itu! 
Kendala Yoro bisa bersikap lebih tenang meski-
pun dia geram bukan main. Hanya matanya saja yang 
tidak bisa menutupi betapa geramnya dia. Kala dia 
berkata, suaranya terdengar merandek sangar penuh 
amarah. 
"Hhh! Agaknya orang-orang Sangkur Baja su-
dah sampai di sini pula? Tidakkah kalian menyesal te-
lah membuat onar seperti ini?" 
Salah seorang dari orang-orang yang berpa-
kaian merah-merah itu mendengus. 
Dia bernama Pratiko. Seorang tangan kanan 
dari Bojo Mayit. 
"Hhh! Memang kesukaan kami berbuat hal se-
perti itu? Hmm... bila kau tidak suka dengan hal itu, 
mengapa kau hanya berdiam diri saja tidak melarang 
perbuatan kami, hah? Hmm... nampaknya kau lebih 
baik bersiap-siap saja beristirahat di rumah untuk 
menunggu ajal yang sebentar lagi akan tiba daripada 
harus berkeliaran seperti ini!"  
"Aku akan merasa sia-sia hidup bila ku lihat 
masih ada keangkaramurkaan di muka bumi ini! Apa-
lagi bila orang-orang keji seperti kalian yang telah me-
lakukannya! Sampai mati pun aku tak akan rela!" 
"Hahaha... kau bermimpi, Orang tua! Kau lupa 
siapa yang kau hadapi ini?" 
"Sombong!" 
"Karena memang sebentar lagi akan aku bukti-
kan, bahwa orang seperti kau lebih baik mampus saja! 
Hajar dia!!" 
Mendengar perintah itu, dua orang dari Per-
kumpulan Sangkur Baja segera maju menyerbu ke 
arah Kendala Yoro. Kendala Yoro yang sejak tadi sudah 
siap menghadapi segala sesuatunya pun segera me-
nyambut serangan itu. 
Dua serangan yang dilakukan dengan cepat 
dan hebat itu berhasil dihindarinya dengan jalan men-
gelak. Dan dengan kecepatan yang luar biasa pula dia 
menggerakkan tongkat yang dipegangnya dengan satu 
gerakan yang hebat. 
"Wuuut!" 
"Wuuuutttt!!" 
Dua kali tongkat itu bergerak. Namun dua la-
wannya bukanlah orang sembarangan, mereka berha-
sil menghindari serangan itu bahkan dengan cepatnya 
membalas. Namun Kendala Yoro bukanlah seorang tua 
yang kosong, pukulan tangan kanan lurus yang ditu-
jukan ke wajahnya di halaunya dengan sapuan tong-
katnya, lalu tongkat itu bergerak menyodok. 
"Des!" 
Serangan itu tepat mengenai sasarannya mem-
buat seorang lawannya harus menahan rasa sakit dan 
mual di perutnya. Yang seorang lagi masih terus me-
nyerang. Namun dua kali Kendala Yoro menggerakkan  
tongkatnya, dia pun harus mundur dengan tulang ker-
ing yang rasanya mau patah. 
Kendala Yoro menyeringai pada Pratiko. 
"Hmm... apakah kau masih mau menganggap 
ringan orang tua seperti aku ini?" 
Mendengar kata-kata itu dan melihat dua anak 
buahnya harus mundur dalam beberapa gebrakan sa-
ja, wajah Pratiko memerah gusar. Dia menggeram he-
bat. 
"Bangsat! Kubunuh kau, Bangsat!!" serunya se-
raya menyerbu dengan gerakan cepat. Tangan kanan-
nya yang penuh tenaga mengarah pada wajah Kendala 
Yoro. Kendala Yoro sendiri dengan sigapnya mengge-
rakkan tongkatnya untuk menghalau serangan itu. Se-
rentak Pratiko menarik tangannya, bersalto sekali dan 
meluncur kembali ke arah Kendala Yoro, kali ini kaki 
kanannya yang siap menjebol dada Kendala Yoro. 
Namun lagi-lagi Kendala Yoro menggerakkan 
tongkatnya, kali ini dengan bersalto. "Trakkk!!" 
Tongkat itu tepat menghantam kaki Pratiko. 
Yang sedikit merasakan ngilu. Bila saja dia tidak me-
nyalurkan tenaga dalamnya ke kaki, maka kaki itu 
niscaya akan remuk. Dia bersalto ke belakang dan kala 
hinggap di bumi dia kembali merasakan ngilu di ka-
kinya. 
Hal ini semakin membuatnya geram. "Bunuh 
manusia itu!" serunya pada anak buahnya. Serentak 
mereka menyerbu ke arah Kendala Yoro, namun para 
penduduk desa yang bersiaga sejak tadi pun tak mau 
ketinggalan. Serempak pula mereka menyerbu meng-
halau serangan mereka. 
Di tempat itu pun terjadilah pertempuran yang 
sengit dan hebat. Pratiko sendiri sudah kembali me-
nyerang Kendala Yoro. Keduanya kembali saling gem- 
pur dengan hebat. Masing-masing memperlihatkan ke-
hebatannya. Meskipun sudah cukup berumur, namun 
Kendala Yoro masih mampu bertahan bahkan memba-
las dengan gigih dan tak kalah hebatnya. 
Pratiko sekali ini merasa kena batunya karena 
tidak menyangka hal itu. Pikirnya tadi laki-laki beru-
mur itu hanya mampu bertahan dalam beberapa ge-
brak saja. Namun sekarang terbukti kalau laki-laki itu 
mampu bertahan beberapa lama. Hal ini semakin 
membuat bertambah geram. 
"Tak kusangka kau masih mampu bertahan, 
Orang tua!" serunya geram sambil mempergencar se-
rangannya. 
"Hahaha... kini kau tahu bukan siapa aku se-
benarnya? Lebih baik kau menyerah  dan minta maaf 
padaku, Orang jahat! Untuk apa kau berbuat onar se-
perti ini terus menerus? Apakah kau sudah tidak 
punya keinginan untuk berbuat baik, hah?!" balas 
Kendala Yoro sambil terus menghindar dan balas me-
nyerang. 
"Kau tak perlu berkhotbah, Orang tua! Kau le-
bih baik yang menyerah dan membunuh diri di hada-
panku! Bila tidak kau lakukan, kau akan kubunuh!" 
seru Pratiko sambil terus mengeluarkan segenap ke-
mampuannya. 
Kendala Yoro hanya tertawa saja. 
"Membunuhku? Hahaha... sejauh ini saja kau 
belum berhasil untuk  memukul ku  mundur, apalagi 
untuk membunuhku! Hahaha... jangan bermimpi di 
siang bolong, Orang jelek!" 
Makin murkalah Pratiko. Kalap dia menyerang. 
Namun hal itu malah memudahkan bagi Kendala Yoro 
untuk menyerang dengan hebat, menekan dan mende-
sak.  
Sementara itu anak buahnya terus bertempur 
dengan sengitnya melawan para penduduk desa yang 
dengan gigih bertahan dan balas menyerang. Mereka 
pun tak ingin dijadikan sasaran pukulan, tendangan 
mau pun sabetan senjata yang dipegang oleh lawan-
lawannya. 
Mereka juga tidak ingin membiarkan orang-
orang itu hidup terus menerus dan membuat onar. 
Makanya dengan penuh semangat yang membaja me-
reka terus membalas dan menyerang. Bagi mereka le-
bih baik mati daripada membiarkan orang-orang kejam 
itu hidup sepanjang masa. 
Sedangkan pertarungan antara Kendala Yoro 
dengan Pratiko terus berlangsung dengan serunya. 
Kendala Yoro terus menyerang dengan hebat Pratiko 
yang kelihatan mulai terdesak dengan hebat. Dan dua 
jurus kemudian terlihat kalau Pratiko sudah mulai 
terdesak hebat. Berkali-kali tongkat di tangan Kendala 
Yoro dengan cepat berkelebat ke sana ke mari mence-
car bagian-bagian tubuh dari Pratiko yang dengan su-
sah payah berusaha menghindar. Namun lambat laun 
dia mulai dengan tetap terdesak. Hingga dua kali tong-
kat di tangan Kendala Yoro mengenai sasarannya. 
"Des!" 
"Des!" 
Tubuh Pratiko terhuyung karena dadanya di-
hantam  dengan keras oleh dua sodokan yang cepat 
dan dilakukan sekaligus oleh Kendala Yoro. 
"Hahaha... bukankah tadi sudah kukatakan, 
lebih baik kau menyerah saja daripada harus mati ko-
nyol sekarang! Jangan bermimpi untuk bisa menga-
lahkan aku, Kawan!" 
"Anjing buduk!" menggeram Pratiko sambil me-
nyerang kembali dengan ganasnya. Namun lagi-lagi dia  
harus menerima pukulan keras dari tongkat yang di-
mainkan dengan hebatnya oleh Kendala Yoro. 
"Des!" 
Satu sodokan keras menggedor dada dari Prati-
ko yang kembali terhuyung. Kali ini dia merasakan 
yang amat sakit sekali. Lalu "Huak!" Dia pun muntah 
darah. 
Kendala Yoro yang sedang geram pun dengan 
beringasnya bergerak maju untuk menghabisi diri Pra-
tiko. Karena dia berpikir manusia seperti Pratiko bila 
dibiarkan hidup akan terus membuat onar yang tak 
pernah berkesudahan. 
"Hhh! Mampuslah kau, Manusia jahanam!!" 
Tubuh itu meluncur dengan deras ke arah Pra-
tiko. Siap untuk menghancurkannya. Tongkat yang 
tergenggam di tangannya dipegang erat oleh dua tan-
gan dan siap untuk diayunkan ke kepala Pratiko yang 
hanya bisa menyaksikan dalam keadaan pasrah. Ber-
maksud menghindar pun tiada guna lagi karena tu-
buhnya dirasakan amat sakit sekali. 
Terdengar  jeritan yang cukup keras. Namun 
bukan dari mulut Pratiko, melainkan dari mulut Ken-
dala Yoro disusul dengan meluncurnya tubuhnya ke 
belakang dengan deras. 
"Aaaakkkhhh!!" 
Dia ambruk dan dengan menahan rasa sakit-
nya dia berdiri tegak kembali. Matanya mencari-cari 
siapa yang telah menghalangi serangannya. Dan mata 
itu menangkap satu sosok tubuh yang tinggi kekar 
dengan wajah menyeramkan di hadapannya. Dia ada-
lah Bojo Mayit atau ketua Sangkur Baja! 
Kini manusia seram itu terbahak-bahak dengan 
kerasnya. Perutnya yang buncit terguncang karena ge-
rakan tubuhnya.  
"Hahaha... kakek tua... lebih baik kau mampus 
saja daripada menjual lagak di depanku, hah! Hmm... 
aku sebenarnya cukup 
bangga denganmu, dalam waktu yang setua ini 
kau masih mampu untuk bertahan melawan tangan 
kananku, bahkan kau bisa menjatuhkannya!" 
Kendala Yoro sadar dengan siapa kini dia ber-
hadapan. Dia sebenarnya sudah lama mendengar na-
ma Bojo Mayit yang amat tinggi kesaktiannya. Namun 
meskipun demikian dia tidak takut menghadapi ma-
nusia itu. Bahkan dia pun bermaksud untuk menjajal 
sampai seberapa tinggi ilmu yang dimiliki Bojo Mayit 
yang namanya sudah terdengar lama. 
Dia mendengus dengan sikap yang gagah. 
"Hhh! Rupanya kau yang bernama Bojo Mayit! 
Bagus, aku pun sudah lama ingin menjajal keheba-
tanmu!" 
Mendengar kata-kata yang dilontarkan oleh 
Kendala Yoro, malah membuat Bojo Mayit terbahak-
bahak karena geli. 
"Hahaha... kau rupanya amat pemimpi, Orang 
tua!" serunya. "Kau tidak melihat betapa tingginya lan-
git dan betapa dalamnya lautan! Kau hanya akan 
membuang nyawa dengan percuma!" 
"Manusia keparat! Menghadapimu aku tidak 
takut mati! Bahkan aku akan menyesali hidupku se-
panjang masa bila belum membunuhmu!" geram Ken-
dala Yoro. 
"Hahaha... mengapa tidak segera kau buktikan, 
Monyet tua! Mengapa kau hanya berkomentar saja, 
hah?!" 
Merah padam wajah Kendala Yoro mendengar 
ejekan seperti itu. 
Dia mendengus.  
"Anjing buduk! Kita lihat nanti siapa yang akan 
mampus berkalang tanah!" 
"Hahaha... aku suka sekali dengan kata-
katamu itu! Bagus, aku pun ingin tahu sampai di ma-
na kebenaran kata-katamu yang penuh bunga dan se-
sumbar itu!" 
"Anjing!" 
"Hahaha... mengapa kau masih berkomentar 
dan memaki-maki saja, Monyet tua!!" 
"Baik! Lihat serangan! Haaaiiiiittt!!!" 
 
** 
 
 
Sambil menjerit keras tubuh Kendala Yoro den-
gan derasnya meluncur ke arah Bojo Mayit yang masih 
tertawa. Tongkat di tangannya siap bergerak menghan-
tam kepala dari Bojo Mayit. 
Namun meskipun sambil tertawa dengan san-
tai, serangan yang dilakukan oleh Kendala Yoro seakan 
dianggapnya hanyalah satu serangan anak kecil bela-
ka. Karena masih tetap tertawa, Bojo Mayit menggeser 
posisi berdirinya. Serangan yang dilakukan oleh Ken-
dala Yoro tidak mengenai sasarannya. 
"Hahaha... tongkat untuk memukul anjing gila 
kau gunakan kepadaku, Monyet tua!" 
"Seetttaan!!" 
Dengan geramnya Kendala Yoro memutar tong-
katnya kembali, mengincar sasaran pada kaki Bojo 
Mayit. Ketua Sangkur Baja itu dengan lincahnya men-
gangkat kakinya dan dengan satu gerakan yang amat  
luar biasa, bersamaan dengan mengangkat kakinya, 
dia bersalto ke belakang sekali dan kaki kirinya men-
gayun menghantam dada Kendala Yoro. 
"Buk!" 
Kendala Yoro tidak menyangka hal itu, sehing-
ga dadanya berhasil digedor oleh Bojo Mayit. Cukup 
menyakitkan, mampu membuat dadanya sesak untuk 
sementara. 
Bojo Mayit yang telah hinggap kembali di bumi, 
terbahak-bahak melihat Kendala Yoro mengusap-
ngusap dadanya. 
"Hahaha... bagaimana... apakah kau sudah 
mengakui kehebatanku, Monyet tua!" 
Sepasang mata tua itu menyipit dengan garang. 
Hatinya penuh dendam dan begitu terbakar sekali. 
"Sampai mati pun aku  akan bertarung den-
ganmu, Manusia busuk!" serunya dengan suara yang 
amat geram sekali. Lalu dengan kecepatan yang amat 
cepat, Kendala Yoro kembali menyerang. 
Namun kali ini Bojo Mayit tidak mau berbuat 
ringan lagi, dia segera membalas perlakukan Kendala 
Yoro dengan gerakan yang amat cepat pula menyerang. 
Pertarungan itu jelas tidak seimbang, karena Bojo 
Mayit sudah menggunakan ilmu kebal Sangkur Ba-
janya, hingga semua serangan yang dilakukan Kendala 
Yoro menjadi sia-sia belaka. 
"Hahaha... tak satu pukulan atau pun senjata 
yang bisa mengalahkan aku! Kau jangan terlalu ba-
nyak bermimpi yang terlalu indah dan muluk, Manusia 
busuk!" 
Kendala Yoro memang telah melakukan semu-
anya dengan penuh susah payah. Namun dia masih 
amat penasaran dengan hal itu. Kini dia pun bertekad 
untuk mengadu nyawa dengan Bojo Mayit.  
Maka diayunkannya tongkatnya dengan gera-
kan yang amat cepat dan tangkas. 
"Hhh! Aku akan mengadu jiwa denganmu, 
Bangsat!" 
"Hahaha... kau hanya mengorbankan nyawa 
yang tak berguna, Monyet tua!" seru Bojo Mayit sambil 
terus menghindari serangan-serangan yang dilakukan 
oleh Kendala Yoro. Baginya hal itu adalah sebuah pen-
gorbanan yang amat besar. Bila pun dia harus mam-
pus di tangan Bojo Mayit dia tak akan pernah menyes-
al menghadapi maut sekali pun. Yang pasti dia akan 
merasa satu pengorbanan yang amat besar. 
"Anjing keparat! Sampai mati pun aku berani 
mengadu jiwa denganmu!" serunya kalap sambil terus 
menyerang dengan membabi buta. 
Namun hingga sejauh itu, Bojo Mayit tak per-
nah mengelak atau menghindar, dia hanya mengan-
dalkan ilmu kebalnya saja. Dan sampai sejauh itu pula 
semua serangan yang dilakukan oleh Kendala Yoro 
hanya sia-sia belaka. 
Sementara itu warga desa yang mencoba untuk 
menahan setiap serangan dari orang-orang itu pun 
hanya bisa bertahan sejenak, karena tak lama kemu-
dian mereka pun harus mengorbankan nyawa. Namun 
karena mati dengan penuh rasa bangga karena merasa 
tidak percuma membuang nyawa sekalipun. 
Sedangkan Kendala Yoro kembali merasakan 
sia-sia menghadapi semua serangan yang dilakukan 
oleh Bojo Mayit, karena ketua Sangkur Baja itu sudah 
mulai membalas menyerang dan berkali-kali menu-
runkan tangan telengasnya. 
Hingga kemudian Kendala Yoro pun harus me-
nerima satu hajaran dari tangan yang kuat itu. 
"Des!"  
Dadanya dirasakan bagaikan digedor oleh satu 
hantaman baja yang amat kuat sekali, yang sanggup 
menghancurkan batu sebesar gajah. Bila saja Kendala 
Yoro tidak memiliki tenaga dalam yang cukup lu-
mayan, sudah tentu dadanya hancur digedor oleh pu-
kulan yang amat keras itu. 
Namun tak urung dia merasakan sakit yang 
amat luar biasa sekali. 
Terbahak-bahak Bojo Mayit melihat keadaan-
nya. 
"Hahaha... Monyet tua... sudah ku katakan... 
lebih baik kau membunuh diri saja di hadapanku da-
ripada harus mampus berkalang tanah dengan tubuh 
yang mengerikan!" 
Sambil menahan rasa sakit di dadanya, Kenda-
la Yoro mendengus. "Anjing buduk! Sekali pun aku 
mampus di tanganmu, aku tak akan pernah menyesal!" 
"Hahaha... kau hanya bisa berkomentar dan 
besar mulut belaka! Buktikan bila kau memang mam-
pu untuk menghadapiku!" 
"Anjing setttan! Mampuslah kau!!" seru Kendala 
Yoro kalap dan dengan beringas dia kembali menye-
rang. Namun lagi-lagi serangannya harus mengalami 
kegagalan, karena ilmu kebal yang dimiliki oleh Bojo 
Mayit menjadikan setiap serangan dari Kendala Yoro 
tak banyak artinya. 
"Hahaha... teruskan seranganmu, Monyet tua! 
Teruskan!!" 
Hal itu semakin membuat Kendala Yoro menja-
di geram namun dia tidak bisa berbuat banyak lagi. 
Karena sukar baginya untuk menaklukkan Bojo Mayit 
yang begitu perkasa dengan ilmu kebalnya yang tiada 
bandingnya.  Sungguh merupakan sebuah ilmu kebal  
yang cukup dan amat hebat dimiliki oleh Bojo Mayit. 
Dan ini bagi Kendala Yoro hanyalah sebuah serangan 
yang amat sia-sia belaka saja. 
"Anjing buduk! Kau memiliki ilmu iblis yang 
amat kejam dan mengerikan! Jahanam!" serunya yang 
berusaha untuk mencari titik kelemahan dari Bojo 
Mayit yang demikian hebat itu. Namun semuanya ha-
nyalah sia-sia belaka saja, karena dia tetap 
tidak dapat mengungguli Bojo Mayit. Sebuah 
serangan yang tak banyak gunanya bagi Kendala Yoro 
yang terus menerus berusaha untuk mengalahkan 
manusia itu. 
Bojo Mayit sendiri lama kelamaan menjadi bo-
san dengan sikap Kendala Yoro yang tak mau menga-
lah. Dia bahkan dengan ringannya menggerakkan tan-
gan kanannya untuk menangkis serangan gencar yang 
dilakukan oleh Kendala Yoro. 
Hingga suatu ketika, tongkat yang dipegang 
oleh Kendala Yoro terpotong menjadi dua akibat keras-
nya tenaga benturan yang terjadi. 
"Trak!!" Potongan tongkat itu satu terpental ke 
angkasa satu lagi meluncur deras ke arah Kendala Yo-
ro yang menjadi terkejut bukan kepalang. Untungnya 
dia masih bisa menguasai dirinya dengan seksama. 
Meskipun sempat tergedor oleh ujung tongkat itu, dia 
masih bisa menangkis. 
Namun di luar dugaannya, Bojo Mayit yang ti-
dak mau berbuat ayal lagi, dengan kecepatan yang su-
kar diikuti oleh mata meluncur dengan kecepatan yang 
cukup deras. Dua pukulan beruntun sekaligus dengan 
cepat hendak dilakukannya. 
Kali ini Kendala Yoro tidak bisa berbuat ba-
nyak. Maka tanpa ampun lagi dua pukulan yang men-
gandung tenaga dalam cukup lumayan itu menggedor  
bagian dada dari tubuhnya. 
"Des!" 
"Des!" 
Tubuh tua itu terhuyung ke belakang karena 
dorongan yang cukup keras. Sementara Bojo Mayit 
dengan ringannya telah bersalto ke belakang. 
Tawanya mengumandang ke angkasa. 
"Hahaha... sudah kukatakan sejak tadi, jangan 
terlalu sesumbar dengan kebohongan yang amat san-
gat! Hhh! Kini terimalah ajalmu, Monyet tua!!" 
Dengan diiringi oleh pekikan yang cukup keras 
tubuh itu pun meluncur. Serangkum tenaga dalam 
yang cukup tinggi tergenggam di kepalan tangan ka-
nannya, siap untuk di hajarkan pada Kendala Yoro 
yang hanya bisa mandah dan pasrah menerima. 
Memang tidak ada jalan lain lagi baginya untuk 
menghindar. Tubuhnya sungguh-sungguh dirasakan 
amat sakit sekali. Di samping itu dia pun seakan tidak 
mampu untuk bergerak. Menatap pun rasanya sulit. 
Namun memang Kendala Yoro seorang laki-laki 
berumur yang telah matang oleh pengalaman hidup. 
Dengan gagahnya dia membuka matanya perlahan-
lahan. 
Melihat tubuh dengan pukulan yang siap di-
hantamkan itu mengarah padanya. Melihat ajal  yang 
sebentar lagi menjemputnya. 
"Gusti Allah... bila memang hari ini aku harus 
mati, maka pasti aku akan mati. Tetapi bila Kau masih 
melindungiku dari maut, maka aku akan tetap hidup," 
doanya dalam hati. 
Dan matanya tetap terbuka melihat ajal yang 
datang! 
 
*** 
 
 
"Haaaaiiiiittttt!!" Seruan Bojo Mayit menggema 
keras. Membelah angkasa yang! sunyi dan keheningan 
langit biru. Dan tanpa ampun lagi pukulan yang men-
gandung tenaga dalam tinggi itu pun mendarat ke sa-
sarannya. 
Terdengar pula pekikan keras yang menyayat 
hati. Sungguh memilukan. Dan tubuh tua itu pun ter-
pental ke belakang dengan derasnya. Disusul dengan 
darah yang terlontar kuat dari mulutnya. Tubuh itu 
menabrak tembok yang ada di belakangnya. Lalu ter-
pental kembali ke depan dan ambruk. 
Beberapa saat tubuhnya masih kuat di angkat. 
Matanya memancarkan sinar dendam pada Bojo Mayit 
yang terbahak. Gemetar tangan tua yang lemah tak 
berdaya itu menunjuk, sebelum akhirnya terkulai dan 
meregang nyawa. 
"Hahaha... tak seorang pun yang akan bisa 
mengalahkan Bojo Mayit!!" serunya sombong dengan 
tawa yang menggelegar. Namun tiba-tiba dia merandek 
kepada anak buahnya. "Hhh! Mengapa kalian masih 
berada di sini, hah?! Cepat cari si tua Banyu Biru! Se-
ret dia ke mari dan bunuh!!" 
Para anak buahnya terkejut. Pratiko serentak 
mengomando, "Cepaaaatttt!!" 
Serentak pula mereka menerobos masuk ke da-
lam. Mengobrak-abrik rumah Juragan Banyu Biru. 
Namun ketika mereka melongok ke kamar di mana 
Banyu Biru terbaring, tidak nampak sosok itu di sana. 
Kamar itu kosong melompong! 
"Cari ke tempat lain!" seru Pratiko karena tidak 
mau Bojo Mayit akan menjadi murka.  
Mereka pun berpencar ke penjuru rumah itu, 
namun Banyu Biru tidak ditemukan. Jangankan un-
tuk menemukan orangnya, bayangannya saja pun ti-
dak nampak. 
Bojo Mayit yang mendengar pemberitahuan itu 
dari Pratiko menggeram murka, "Bangsaaat!! Ke mana 
larinya keparat itu, hah?!" 
Para anak buahnya tak ada yang berani berko-
mentar. Mereka hanya tundukkan kepala dengan sikap 
tegang. Bila Bojo Mayit sudah seperti ini, maka semu-
anya akan bisa menjadi berantakan. Makanya tak seo-
rang pun yang berani berkomentar. Mereka merasa le-
bih baik diam daripada kena sasaran kemarahan Bojo 
Mayit. 
Dan benar saja dugaan mereka, dengan geram-
nya Bojo Mayit menghancurkan apa saja yang berada 
di dekatnya hingga berantakan. Lalu terdengar benta-
kannya yang amat keras. "Cari keparat itu sampai da-
pat!" 
Serentak para anak buahnya berlarian serabutan. 
Merasa lebih baik menjauhi Bojo Mayit daripada 
kena sasaran! 
 
* * 
 
Malam telah larut. Suara binatang malam ter-
dengar ramai bersahut-sahutan. Keadaan begitu men-
cekam sekali. Suasana di sekitar tempat itu menye-
ramkan. Suara air sungai yang mengalir perlahan me-
nambah keseraman itu. Belum lagi udara yang dingin 
menusuk. 
Samar-samar terlihat satu sosok tubuh yang 
bergerak lincah diterangi oleh sinar bulan menuju ke  
gubuk jelek yang ada di sana. Lalu sosok tubuh itu 
mengetuk pintu gubuk. 
Tak lama terdengar pula suara ketukan mem-
balas dari dalam. Agaknya ketukan-ketukan itu seba-
gai isyarat bagi siapa yang datang. Hanya orang-orang 
itulah yang mengetahui ketukan isyarat itu. 
Perlahan. pintu gubuk itu terkuak setelah si 
pendatang membalas ketukan isyarat pula. 
Bila diperhatikan dari dekat, terlihatlah wajah 
si pendatang wajah Nimas Andini atau Banci Murah 
Senyum. Setelah berhasil memfitnah Pandu atau Pen-
dekar Gagak Rimang yang berkali-kali mengalahkan-
nya, dia pun segera menghilang beberapa saat. 
Sementara dia masih tetap terus memantau 
keadaan Goa Alas Bantan. Dan dia baru mengetahui 
kalau Goa Alas Bantan kini dihuni oleh beberapa 
orang. Itulah dia sebabnya mendatangi orang yang 
menyuruhnya dengan membayar. 
"Ada apa, Nimas? Mengapa kau menyuruhku 
untuk datang malam ini ke sini?" tanya sosok tubuh 
yang wajahnya tertutupi oleh kain hitam. Hanya sepa-
sang matanya saja yang nampak bersinar.  "Apakah 
kau sudah berhasil mendapatkan Kitab Lembayung 
Sakti yang kau sembunyikan di Goa Alas Bantan?" 
"Belum, Sobat...." 
"Hah? Lalu mengapa kau menyuruhku untuk 
datang sekarang?" dengus sosok yang wajahnya tertu-
tup kain hitam itu. Kali ini sepasang matanya bersinar 
geram. 
Nimas Andini terbahak. Banci yang telah 
menghancurkan Perguruan Perawan Mustika itu ber-
kata: 
"Hahaha... sabar, sabar... sebentar lagi aku 
pasti akan mendapatkannya..."  
"Lalu ada apa sekarang?" 
"Ada kabar yang baik sekali. Pendekar Gagak 
Rimang tidak ada di Goa Alas Bantan." 
"Lalu maksudmu?" 
"Goa itu kini dihuni oleh empat orang laki-laki 
dan gadis yang hendak ku... hihihi... ku cicipi dulu.... 
Bukankah hal ini malah memudahkan kita untuk 
mendapatkan barang yang kau inginkan...?" 
"Aku memang sudah lama menginginkan itu.... 
Cepatlah, aku sudah tidak sabar ingin mempelaja-
rinya." 
"Sebentar lagi, Sobat... sebentar lagi kau akan 
mendapatkannya. Setelah itu, aku akan mencari Pen-
dekar Gagak Rimang untuk kuhancurkan dan kubu-
miratakan!! Sepak terjangnya sangat mengganggu ke-
giatan orang-orang seperti kita! Dan Pendekar Gagak 
Rimang merupakan musuh abadi kita!" seru Nimas 
Andini sambil terbahak-bahak. 
Sosok berkedok hitam itu pun terbahak. Ba-
ginya tidak penting apa yang hendak dilakukan oleh 
Nimas Andini, yang diinginkannya hanyalah Kitab 
Lembayung Sakti yang telah dicurinya. Memang hingga 
saat ini belum terdengar suara dari Perguruan Lem-
bayung Sakti bahwa mereka telah kehilangan kitab 
saktinya. Nanti kita akan mengikutinya dalam serial 
Pendekar Gagak Rimang yang berjudul, (Petaka Kitab 
Pusaka). 
"Bagus kalau begitu! Lalu kapan kau akan mu-
lai hendak mengambil kitab itu?" "Hihihi... kau nam-
paknya begitu tidak sabaran sekali, Sobat...." kata Ni-
mas Andini sambil tersenyum genit yang membuat si 
Kedok Hitam menjadi mendengus.  
"Kau minta upah lagi, hah?"  
"Agaknya kau memang mengerti keinginanku  
itu. Yah... aku memang meminta upah lagi," Kali ini 
Nimas Andini tersenyum malu-malu. Padahal dia kini 
takut bila hendak menculik perawan dan memperko-
sanya, seperti kebiasaannya. Karena dia kuatir akan 
bertemu dengan Pendekar Gagak Rimang yang tengah 
dicari oleh Barejo dan warga desanya karena fitnah 
yang dilakukannya. 
"Maafkan aku, Sobat... kali ini aku tidak bisa 
memberimu upah terlebih dulu sebelum aku yakin kau 
sudah  mendapatkan Kitab Lembayung Sakti itu. Bu-
kannya aku melanggar janji, namun kau tak pernah 
menepati janjimu pula. Bukankah adil sekarang bila 
kita sama-sama tidak saling memenuhi?" 
Nimas Andini terkikik. 
"Bila begitu maumu, baiklah...." katanya kemu-
dian. "Malam ini juga aku akan kembali ke Goa Alas 
Bantan untuk mengambil kitab itu. Hihihi... ya, ya... 
aku lupa... bukankah di sana ada seorang gadis yang 
amat cantik? Dia bisa kujadikan pelampiasan nafsu 
binatang ku sekarang!" 
"Bila itu maumu terserah. Aku tidak  perduli 
kau mau apakan gadis itu. Yang ku inginkan hanyalah 
kitab pusaka itu. Kau mengerti, Nimas?" 
"Sudah tentu aku mengerti, Sobat.... Dan aku 
akan memenuhi janji ku itu padamu." 
"Bagus!" 
"Dan kau jangan lupa dengan segala janjimu?" 
"Bila kau mendapatkan  kitab itu, maka aku 
akan memenuhi janji ku. Percayalah...." 
"Hihihi... sudah tentu aku percaya padamu. 
Dan sudah tentu pula bukan bila kau percaya pada-
ku?" 
"Ya." 
"Hihihi... kalau begini adil namanya. Kita tidak  
saling mengikat dan terikat!" 
Diam-diam dalam hati si Kedok Hitam menjadi 
geram. Dia mengerti maksud dari kata-kata terselu-
bung Nimas Andini itu. Mengikat dan terikat. "Hhh! 
Sudah tentu aku yang terikat padamu, Nimas... karena 
pada kaulah aku bergantung. Kali ini aku akan tetap 
berbaik hati padamu. Namun lihat nanti, bila sudah 
kudapatkan kitab itu, maka kau akan menerima gan-
jaran yang pantas akibat perbuatanmu yang selalu 
mempermainkan aku!" geram si Kedok Hitam dalam 
hati. 
Karena jelas-jelas dialah  yang terikat oleh si 
Banci ini. Kalau si Banci ini memutuskan hubungan, 
berarti gagal lah dia mendapatkan kitab sakti itu. 
Namun dalam hatinya dia telah menyusun sua-
tu rencana untuk menyingkirkan dan membalas den-
damnya pada si Banci ini. 
"Yah... kita memang tidak saling mengikat dan 
terikat," desisnya menyembunyikan rasa geramnya. 
"Namun sudah tentu kita tidak akan mengingkari janji, 
bukan?" 
Si Banci terkikik dengan tersipu bak seorang 
gadis belaka, 
"Mengapa kau berkata demikian, Sobat? Apa-
kah kau kuatir aku akan mengingkari janji?" 
Semakin panas hati si Kedok Hitam mendengar 
suara yang bernada mengejek itu. 
"Ya, sudah tentu kau tidak akan mengingkari 
janjimu. Namun aku tak ingin kita saling bertemu da-
lam permusuhan yang dalam," katanya tetap  me-
nyembunyikan kegeramannya. 
"Hihihi... dari nada suaramu, aku menangkap 
kesan bahwa kau sebenarnya begitu marah sekali. Be-
narkah dugaanku ini, Sobat?"  
"Jangan berpikir yang tidak-tidak, sebaiknya 
kau pergi saja sekarang untuk mengambil kitab itu. 
Aku sudah tidak sabar ingin segera mempelajarinya! 
Karena yang ku tahu, Perguruan Lembayung Sakti be-
lum ada yang mempelajari isi kitab itu...." 
"Hihihi... baiklah bila itu maumu. Aku jelas 
bersedia membantumu...." kata Nimas Andini terus 
terkikik. Dan tiba-tiba saja tubuhnya telah lenyap dari 
pandangannya. Hanya suara kikiknya yang menggema 
keras. 
Si Kedok Hitam mendengus. Lalu diam-diam 
dia pun segera mengikuti ke mana Nimas Andini pergi! 
 
* * 
 
 
Malam terus bergerak. Semakin lama semakin 
muram. Langit pun seakan tak berbintang. Bulan telah 
tersaput oleh awan hitam yang menggumpal dan digu-
lung oleh angin. 
Suasana amat mencekam. 
Begitu pula dengan suasana Hutan Alas Bantan 
begitu mengerikan. Siang maupun malam memang 
keadaannya amat mengerikan sekali. Dalam Goa Alas 
Bantan Ki Lurah Pandu Kelana tengah termenung. Su-
dah sehari semalam mereka berada di sini. Sebenarnya 
Ki Lurah hendak pergi sore tadi, sebelum malam da-
tang. Namun Sekar Perak tertidur pulas. Jelas sekali 
kalau gadis itu amat mengantuk. Dari raut wajahnya 
masih membayang duka yang amat sangat, membekas 
pula hingga ke keningnya yang nampak berkerut da- 
lam tidur menandakan dia amat gelisah. 
Joko yang sejak tadi memperhatikan Ki Lurah 
yang termenung, perlahan-lahan mendekatinya. 
"Ki Lurah...." desisnya pelan karena tidak ingin 
melihat Ki Lurah tersentak kaget. 
Ki Lurah Pandu Kelana tersenyum, menoleh 
pada Joko. 
"Ada apa, Joko?" 
"Apakah kita tidak sebaiknya meninggalkan 
tempat ini? Perasaanku tidak enak dan mengatakan 
telah terjadi sesuatu di rumah Juragan Banyu Biru se-
peninggal kita." 
Ki Lurah mendesah. 
"Kau benar, Joko... perasaanku pun mengata-
kan telah terjadi sesuatu di sana... Memang, aku pun 
berniat hendak kembali, namun Dik Sekar masih terti-
dur pulas...." 
"Aku kuatir dengan keadaan teman-teman di 
sana, Ki Lurah," kata Joko pula. 
"Ya, aku pun demikian adanya. Namun aku ti-
dak ingin kita membawa Dik Sekar dalam keadaan se-
perti itu. Jiwanya sedang labil dan aku menyesal telah 
memberitahunya tentang keadaan ayahnya sekarang. 
Biarlah dia tidur terlebih dulu, kemarin seharian dia 
hanya duduk termenung saja...." 
Belum lagi Joko menjawab, tiba-tiba Ki Lurah 
menekap mulut pemuda itu dan langsung menempel-
kan jari telunjuk ke bibirnya. "Jangan berisik," desis-
nya lalu perlahan-lahan  dia bangkit. Telinganya yang 
cukup terlatih menangkap suara orang yang datang. 
Tidak hanya satu orang, bisa beberapa orang. Karena 
suara-suara yang tertangkap oleh telinganya berupa 
suara orang bercakap-cakap. 
Joko yang mengerti mengapa Ki Lurah Pandu  
Kelana bersikap seperti itu, segera membangunkan ti-
ga orang temannya. Dan langsung berbisik. "Jangan 
ribut! Ada yang datang! Kita bersiap-siap sekarang!" 
Serentak ketiganya bangkit dan menyiapkan 
golok mereka. Lalu berhati-hati melangkah ke mulut 
goa di mana Ki Lurah Pandu Kelana berada di sana. 
"Ada apa, Ki Lurah," tanya salah seorang. 
"Jangan ribut, aku mendengar ada orang yang 
datang ke sini...." sahut Ki Lurah dengan membisik pu-
la. Lalu dia kembali menajamkan pendengarannya. 
Dan telinganya semakin yakin kalau dia jelas-jelas 
mendengar suara orang yang datang. 
"Hhh! Goa apa lagi ini, Pratiko!" Terdengar sua-
ra bernada geram, dan berkesan malas-malasan. "Su-
dah kukatakan agar segera mencari Banyu Biru! Aku 
sudah tidak sabar untuk membunuhnya! Hhh! Anjing 
keparat! Ke mana perginya Sekar Perak gadis impian 
ku itu?!" 
Pratiko hanya bisa menyembunyikan kepalanya 
saja. Tadi pun kakinya tidak sengaja memasuki Hutan 
Alas Bantan. Entah mengapa dia sepertinya yakin ka-
lau di hutan sanalah Juragan Banyu Biru berada. Atau 
bila beruntung bisa bertemu dengan Sekar Perak-gadis 
pujaan dari Bojo Mayit. 
Tiba-tiba dia berseru. "Hei! Bukankah di balik 
rimbunnya pepohonan itu mirip sebuah goa? Coba ku-
lihat sebentar!" Pratiko berlari menuju tempat itu. "Hei, 
benar! Ketua, benar ini sebuah goa!" serunya. 
Orang-orang itu pun berjalan ke arah Pratiko. 
Bojo Mayit terbahak-bahak. "Hahaha... bagus, bagus... 
goa itu bisa kita jadikan sebagai tempat beristirahat 
semalaman!" 
Orang-orang itu tertawa. Sementara di dalam 
goa itu Ki Lurah Pandu Kelana berbisik dengan sikap  
waspada. "Joko... bangunkan Dik Sekar. Jangan sam-
pai dia terkejut. Berbahaya." 
Joko segera melaksanakan perintah itu. Tak 
lama kemudian dia sudah kembali ke tempat semula 
bersama Sekar Perak. Sebelum Sekar Perak bertanya, 
Ki Lurah sudah berkata: "Dik Sekar... nampaknya kea-
daan gawat sekarang...." 
"Mengapa, Ki Lurah?" 
"Hmm... yah... aku memang harus memberita-
hukan siapa yang datang sebenarnya...." 
"Siapa, Ki Lurah?" Kali ini bukan hanya Sekar 
Perak yang bertanya, tetapi semuanya. Hampir serem-
pak. 
"Hmm... mereka adalah orang-orang Sangkur 
Baja. Dan salah seorang adalah Bojo Mayit, ketua 
Sangkur Baja," kata Ki Lurah Pandu Kelana pelan. 
Namun tak urung Sekar Perak menjerit. Un-
tunglah Ki Lurah cepat menekapkan tangannya ke mu-
lut Sekar Perak. 
"Jangan tegang, Dik Sekar.... Kami akan beru-
saha menyelamatkanmu. Joko, nasib Dik Sekar berada 
di tanganmu sekarang. Bila kami sedang melawan me-
reka, kau berusahalah untuk menyelamatkan Sekar 
perak." 
"Baik, Ki Lurah...." kata Joko patuh. 
Sementara ketegangan di hati Sekar Perak se-
makin menjadi-jadi. Betapa mengerikannya. Manusia 
laknat yang telah menyebabkan semua keonaran ini 
terjadi, kini telah tiba di sini. "Oh Tuhan... bila ini se-
mua kehendak-Mu... aku rela menerimanya," desisnya 
di hati pasrah. 
Sementara itu pula terdengar suara Bojo Mayit. 
"Bujang Toko... periksa keadaan goa itu! Dan aku tidak 
mau terjadi sesuatu di sana sebelum kita mengetahui  
ada apa di dalam goa yang cukup mengerikan itu." 
Anak buahnya yang bernama Bujang Toko itu 
pun segera melangkah. Langkahnya bagaikan seorang 
jumawa yang amat hebat. Kakinya pun perlahan mulai 
masuk ke Goa Alas Bantan. Gelap menyeruaknya. Ma-
tanya mencari dan tangannya menggapai-gapai. Na-
mun dia amat terkejut ketika kakinya melangkah lagi, 
tiba-tiba dirasakannya tangannya ada yang menarik. 
Belum lagi dia sadar apa yang telah terjadi. 
Tiba-tiba dirasakannya sesuatu  yang keras 
menghantam tengkuknya. Dan dia pun tak ingat apa-
apa lagi. Pingsan! 
Ki Lurah Pandu Kelana berbisik. "Seret dia ke 
sana!" 
Sementara di luar Bojo Mayit menunggu den-
gan kesal. "Bujang Toko! Sedang apa kau di dalam sa-
na, hah?! Cepat keluar!! Hei, Bujang! Mau mampus 
kau rupanya!" 
Suaranya menggema di seluruh hutan, menga-
getkan binatang-binatang malam yang sedang berke-
liaran sehingga mereka langsung berlari masuk ke sa-
rang kembali. 
Yang lainnya mendengus dalam hati. Konyol si 
Bujang Toko ini! Pikir mereka. Mau mampus rupanya! 
Namun yang dipanggil tidak muncul-muncul 
juga. Hal ini semakin membuat Bojo Mayit menggeram 
marah. 
"Kusuro! Periksa tempat itu! Dan bunuh manu-
sia laknat itu!" 
Yang diperintah kali ini tergesa-gesa melaku-
kannya. Dia ngeri sebenarnya mendapatkan perintah 
untuk membunuh Bujang Toko, namun dia lebih ngeri 
lagi bila harus mampus dengan kepala terpenggal. 
Dia masih sayang nyawanya. Apalagi teringat  
istri mudanya yang baru saja dinikahinya. Masih han-
gat-hangatnya. 
Kakinya pun tergesa melangkah. Namun sama 
seperti yang dialami oleh Bujang Toko, dia pun mera-
sakan tangannya ditarik dan lehernya dihantam puku-
lan keras dari belakang. Dia pun jatuh pingsan. 
"Sudah dua orang yang kita lumpuhkan," desis 
Ki Lurah Pandu Kelana dalam gelap. Karena peneran-
gan yang ada di sana sudah dipadamkan. "Mudah-
mudahan orang-orang itu terus berbuat  seperti-ini. Ki-
ta akan bisa melumpuhkannya satu persatu. Ini me-
mudahkan kita untuk menaklukkan mereka." 
"Benar, Ki Lurah," desis Joko. 
Di luar goa sana Bojo Mayit menjadi semakin 
geram sekali. Karena yang ditunggu tidak keluar juga. 
"Anjing keparat! Mau mampus rupanya kalian 
berdua!!" geramnya penuh amarah. "Hhh! Berani sekali 
kalian melawan kehendakku! Lebih baik kalian mam-
pus di dalam goa itu! Daripada harus susah payah ku 
bunuh! Kuhancurkan goa keparat itu!!!" 
Tiba-tiba Bojo Mayit terdiam. Matanya berkon-
sentrasi. Kedua tangannya bersatu di dada. Siap me-
lontarkan tenaga dalamnya yang tinggi. 
Sementara di dalam goa Ki. Lurah Pandu Kela-
na menjadi amat terkejut. "Lekas, lekas keluar! Goa ini 
akan dihancurkannya!!" serunya mengomando sambil 
melesat keluar. 
Serentak yang lainnya keluar. Joko langsung 
menarik dengan keras tangan Sekar Perak yang mau 
tak mau terpaksa mengikutinya. Dua kali dia terjatuh. 
Bojo Mayit yang sedang  berkonsentrasi penuh 
mengurungkan gerakan tangannya untuk menghan-
curkan goa itu, karena matanya menangkap beberapa 
sosok tubuh yang berlarian ke luar.  
"Bangsat! Siapa pula kalian?!" serunya dengan 
suara mengguntur. 
Ki Lurah Pandu Kelana yang merasa sudah 
percuma untuk menyembunyikan diri terus menerus 
menghentikan larinya, begitu pula dengan yang lain. 
"Joko... terus kau bawa lari Dik Sekar!" desisnya. 
Namun terlambat, karena mata belo Bojo Mayit 
telah melihat sosok Sekar Perak. Dia terbahak. 
"Hahaha... tak kusangka, dinda ku Sekar Perak 
rupanya bersembunyi di sini? Hahaha... bagus, ba-
gus... Dinda, mengapa kau melarikan diri dari Kanda, 
hah? Mengapa, Dindaku? Tidak tahukah kau bahwa 
Kanda  mu  ini telah lama mencari dan merindui mu, 
Dindaku?" 
Ki Lurah Pandu Kelana terus berseru, "Joko! 
Mengapa kau masih berada di sini, hah? Cepat kau 
pergi dari sini!" 
Namun lagi-lagi terlambat, karena dengan seka-
li bersalto Bojo Mayit sudah berdiri di hadapan mere-
ka. Menghalangi langkah Joko yang hendak menarik 
tangan Sekar Perak. 
"Hahaha... tak kusangka dan tak kuduga... ka-
lau  akan  berjumpa  denganmu, Dinda Sekar.... Haha-
ha.... Tuhan memang maha adil. Ya, ya... sudah tentu 
dengan hal seperti ini kau sudah pasti akan menjadi 
jodohku!" 
Wajah Sekar Perak memerah antara geram dan 
jijik. Dia geram bila teringat manusia inilah yang 
menghancurkan keluarganya. Yang membuatnya terpi-
sah dari ayahnya. Yang membuatnya harus berpisah 
dari ibunya selama-lamanya. 
Dan yang membuatnya jijik, karena manusia 
bejat inilah yang melamarnya.  
"Oh, Tuhan... mengapa peristiwa mengerikan 
ini Kau berikan padaku?" 
"Manusia keparat! Belum cukup puaskah kau 
menghancurkan keluargaku?! Belum cukup puaskah 
kau berbuat onar terus menerus di muka bumi ini?!" 
serunya berang dengan kemarahan yang amat sangat. 
"Hohoho... mengapa kau membentak ku seperti 
itu, Dinda  ku? Bukankah aku calon suamimu ter-
sayang? Kemarilah kau...." 
"Setan belang! Lebih baik aku mati daripada 
menjadi istrimu!" geram Sekar Perak. 
"Hohoho... tak akan pernah bisa kau menghin-
dar dariku, Manisku?" 
Ki Lurah Pandu Kelana yang sejak tadi mem-
perhatikan, langsung melangkah ke depan, sambil lalu 
dia berbisik pada Joko. "Bila ada kesempatan, larikan 
Sekar Perak!" Lalu dia berkata pada Bojo Mayit. "Hhh! 
Bojo Mayit... kau masih belum puas juga membuat 
onar di muka bumi ini! Lebih baik enyahlah kau dari 
sini sebelum kemarahanku semakin menjadi!" 
"Hahaha.... Ki Lurah, kaulah yang berulangkali 
menggagalkan keinginanku. Kau pula yang mengge-
rakkan warga desa untuk bersatu menentang keingi-
nanku! Hhh! Aku tak akan pernah membiarkan ada 
yang menghalangi keinginanku!" 
"Bojo Mayit! Siapa pun orangnya akan menen-
tang keinginanmu itu! Keinginan busuk yang tak akan 
pernah dimaafkan oleh Gusti Allah! Lebih baik kau 
pergi ke neraka!" 
Merah padam wajah Bojo Mayit. Udara yang 
dingin malah membuat darahnya semakin mendidih. 
"Bangsat! Aku jadi penasaran ingin melihat il-
mu yang kau miliki itu!" 
"Hhh! Aku pun jadi penasaran ingin menyaksi- 
kan sendiri semua yang kau banggakan, Manusia bu-
suk!" 
"Anjing keparat!. Bunuh manusia itu!" seru Bo-
jo Mayit berang. 
Dengan serentak Pratiko bergerak bersama dua 
orang temannya. Begitu mendengar Bojo Mayit mem-
beri perintah, Ki Lurah Pandu Kelana segera bersalto 
ke tempat yang agak lapang. Meskipun gelap, matanya 
yang cukup terlatih untuk melihat dalam gelap bisa 
melihat tiga laki-laki yang mengurungnya dengan sen-
jata yang siap didaratkan pada tubuhnya. 
Di samping itu dia pun bermaksud memberi 
kesempatan bagi Joko untuk melarikan Sekar Perak 
dari manusia kejam itu. Baginya jiwa Sekar Peraklah 
yang paling penting sekarang. 
Pratiko mendengus. 
"Lurah tua! Mampuslah kau!!" serunya seraya 
menyerang dengan pukulan yang beruntun yang siap 
akan dilakukannya. 
Ki Lurah pun bersiaga dengan mata was-pada. 
 
** 
 
 
Ki Lurah Pandu Kelana tidak mau mengambil 
resiko yang berbahaya. Dia menggeser sedikit tubuh-
nya. Serangan yang dilakukan oleh Bojo Mayit memang 
luput dari sasaran. Namun serangan yang lain pun 
berdatangan. Membuat Ki Lurah Pandu Kelana harus 
segera mengubah posisi. 
Perkelahian tiga lawan satu itu pun terjadi dengan 
sengitnya. Sementara itu Bojo Mayit terkekeh pada 
Sekar Perak yang tengah dilindungi oleh empat orang 
warga desa. Belum lagi mereka sadar, Bojo Mayit su-
dah menggerakkan tangannya. 
"Des!" 
"Des!" 
"Des!" 
Tiga sosok tubuh terpental dan mampus tanpa 
sempat tahu tangan atau kaki yang menghantam da-
danya, tanpa sempat menjerit pula. 
Sekar Perak terpekik. Joko mendengus geram. 
Dia tidak menyangka kalau Bojo Mayit akan menye-
rang dengan cepat seperti itu. Sungguh suatu ilmu 
yang amat hebat sekali dimiliki oleh Bojo Mayit. 
Gerakannya tidak terlihat, namun sungguh 
berbahaya sekali. Meskipun demikian dia tidak takut 
untuk menghadapinya, sekalipun Joko tahu bahwa dia 
tak akan mampu menghadapi manusia itu. 
"Manusia keparat! Aku akan mengadu jiwa 
denganmu!!" geramnya sambil meloloskan goloknya. 
Namun lagi-lagi tanpa sempat terlihat gerakan apa 
yang dilakukan oleh Bojo Mayit, tubuh Joko mendadak 
terpental dan mampus. 
Bojo Mayit terbahak. 
"Hahaha... mampuslah kalian semua!" 
Kini matanya yang kejam dan jalang tertuju 
pada Sekar Perak. "Hhh! Bila kau masih belum berse-
dia juga menjadi istriku, lebih baik ku perkosa kau!!" 
desisnya sambil melangkah mendekati Sekar Perak 
yang mundur ketakutan. 
"Jangan, jangan ganggu aku, Orang jahat!" 
Bojo Mayit hanya terkekeh. Dan dengan tiba-
tiba dia melompat menyergap. Sekar Perak tak bisa 
menghindar lagi. Tubuhnya jatuh tertindih tubuh Bojo  
Mayit yang besar dan kekar itu. 
Dia meronta. "Lepaskan, lepaskan aku!!" 
"Hehehe... tak akan pernah kau akan kule-
paskan!" desisnya lalu dengan garangnya dia merobek 
baju bagian dada dari Sekar Perak hingga nampaklah 
bukit dadanya yang putih mencuat indah. 
"Lepaskah, lepaskan aku!!" seru gadis itu kala 
Bojo Mayit menciumi bagian dadanya dengan  penuh 
nafsu sambil terkekeh. 
"Hehehe... tak akan pernah... hehehe... 
heigkh!!" Tiba-tiba tawanya terputus karena dirasa-
kannya sesuatu menghantam bagian punggungnya. 
Dengan geram dia menoleh dan melihat sosok 
tubuh yang sedang tersenyum genit. Dia adalah Nimas 
Andini atau Banci Murah Senyum. 
"Siapa kau, hah?!" serunya sambil berdiri. Ni-
mas Andini terkikik. 
"Hihihi... agaknya kau tidak mengenali ku, Bojo 
Mayit?" 
Bojo Mayit mendengus. "Hhh! Rupanya kau 
banci yang kerjanya selalu mengganggu kesenangan 
orang lain!" 
"Aku bukannya bermaksud mengganggu kerja-
mu, namun aku tidak ingin melihat kau menikmati tu-
buh gadis incaran ku itu... hihihi... kau mengerti bu-
kan maksudku?" 
Bojo Mayit menggeram. Sementara Sekar Perak 
beringsut ketakutan. Sekar Perak merapikan letak ba-
junya. Semula dia bersyukur karena ada yang meno-
longnya, namun begitu dia mengetahui yang meno-
longnya Nimas Andini, yang dua kali berkelahi dengan 
Pendekar Gagak Rimang, dia hanya bisa mendesah 
panjang. Tiba-tiba dia jadi teringat dengan Pandu. Pe-
muda yang telah membuatnya jatuh hati.  
"Gusti Allah... mengapa Kakang Pandu harus 
menjauh dariku?" desisnya dan dia yakin akan merasa 
lebih tenang bila yang datang itu adalah pemuda yang 
dicintainya. Namun sekarang, pemuda itu entah di 
mana berada. 
Bojo Mayit mendengus marah. Dia jengkel me-
lihat sikap Nimas Andini yang seperti menantangnya. 
"Kau membuatku muak, Nimas!" 
"Hihihi begitu pula dengan aku bila kau masih 
ingin meneruskan niat busukmu itu!" terkikik Nimas 
Andini. "Hihihi... janganlah berbuat nekat di depanku, 
Bojo Mayit! Kau akan merasakan akibatnya bila terus 
melakukannya!" 
"Anjing keparat! Mampuslah kau!!" seru Bojo 
Mayit sambil menggeram dengan hebat dia pun menye-
rang Nimas Andini yang sambil terkikik bersalto 
menghindar. 
"Hihihi... tak kusangka kita akan bertarung se-
perti ini, Bojo Mayit!" 
Pertarungan memang tidak bisa dihindarkan 
lagi. Keduanya bertarung dengan hebat. Masing-
masing mengeluarkan ilmu yang teramat dahsyat. Bojo 
Mayit sendiri sudah menggunakan ilmu kebalnya 
Sangkur Baja. Sementara Nimas Andini pun menye-
rang dengan jurus Dewa Ular Putihnya. Jurus yang di-
dapatnya dari kitab yang ditemukannya di Goa Alas 
Bantan. 
Hingga suatu kali keduanya memekik keras 
sambil menerjang dengan hebatnya. Masing-masing te-
lah merangkum tenaga sakti di tangan. Siap untuk 
sating membunuh. 
Dan keduanya sudah nekat untuk mengadu ji-
wa. 
Namun tiba-tiba berkelebat sosok tubuh dan  
langsung bergerak ke arah keduanya. Dan langsung 
memapaki serangan yang di lancarkan keduanya. 
"Des!" 
"Des!" 
Keduanya terpental ke belakang. Dan masing-
masing muntah darah. Benturan tenaga pendatang itu 
amat kuat sekali. Dan keduanya terbelalak ketika me-
lihat siapa yang datang. 
Seorang pengemis bongkok! Yang sekarang se-
dang menyeringai pada keduanya. 
"Hehehe... untuk apa kalian harus membunuh 
diri seperti itu? Agaknya kalian sudah tidak sayang 
dengan nyawa kalian sendiri...." terkekeh si pengemis. 
Bojo Mayit mengeram. "Bangsat! Siapa pula 
kau, hah?!" bentaknya dengan kejengkelan yang amat 
luar biasa. 
"Hehehe... aku hanyalah seorang pengemis 
bongkok yang tak punya arti apa-apa!" 
Lain halnya dengan Nimas Andini yang  terke-
keh. "Hehehe... tahu rasa kau sekarang, Bojo Mayit! 
Itulah akibatnya bila suka memperkosa anak orang! 
Hihihi... namun cara kerjamu itu sungguh buruk seka-
li, Bojo Mayit!" 
"Hhh! Bukankah kau demikian pula, Banci je-
lek?!" 
"Hehehe... cara kerjaku lain. Aku memang 
memperkosa, namun orang lain yang terkena getah-
nya!" sahut Nimas Andini bangga. 
"Apa maksudmu?" 
"Hihihi... Pendekar Gagak Rimang... dialah yang 
terkena getahnya akibat ulah ku memperkosa perawan 
desa yang bernama Priatsih!" 
Bojo Mayit mendengus. 
"Hhh! Aku tidak punya pikiran sejelek itu!"  
Sementara itu si pengemis tersentak. Diakah 
yang memperkosa Priatsih, putri dari Barejo? Anjing 
terkutuk! Tiba-tiba saja si pengemis menggerakkan ke-
dua tangannya. Dan perlahan-lahan tubuhnya mene-
gak. 
"Banci keparat! Rupanya kau yang telah mem-
fitnah aku, hah?!" suara si pengemis berubah. Tan-
gannya menarik topeng yang menutupi wajahnya. 
Dan... terlihatlah wajah Pandu si Pendekar Gagak Ri-
mang! 
Nimas Andini terkejut. Sekar Perak tersentak. 
Mulutnya kontan bersuara: "Kakang Pandu!!" 
Murid Eyang Ringkih Ireng yang menyamar se-
bagai seorang pengemis, tersenyum pada Sekar Perak. 
"Kau aman sekarang, Rayi...." 
"Kakang...." 
Pandu berbalik pada Nimas Andini yang terke-
jut. Pendekar Gagak Rimang mendengus. 
"Hhh! Kali ini kau tak akan kuampuni, Nimas!" 
seru Pandu dengan suara sangar. 
Meskipun terkejut namun Nimas Andini tetap 
tenang. Dia malah berkata pada Bojo Mayit. "Hihihi... 
kau beruntung, Bojo Mayit! Kau bisa melihat langsung 
laki-laki bodoh yang menjadi korban perbuatanku!" 
Bojo Mayit pun terbahak. "Hahaha... rupanya 
kaulah yang bergelar Pendekar Gagak Rimang! Bagus! 
Kau akan mampus sekarang!" 
"Hihihi... bagus, bagus, Bojo Mayit.... Kita ha-
rus bersatu menghadapi manusia ini!" terkikik Nimas 
Andini dengan nada memancing, karena dia tetap me-
rasa tak akan mampu menghadapi pemuda perkasa ini 
seorang diri. 
Pandu mendengus. Dia membuka baju penya-
marannya. Dan nampaklah tangkai golok Cindarbuana  
dan capingnya yang membuat tubuhnya menjadi 
bongkok. Lalu dia kembali mengenakan caping itu. Kali 
ini terlihat jelas sosok pendekar perkasa itu. 
"Hhh! Kau memang pandai menghasut, Banci! 
Bagus! Aku pun ingin melihat sampai di mana keheba-
tan manusia yang selalu membuat onar! Kaulah 
orangnya, Bojo Mayit!!" 
Bojo Mayit menggeram murka. "Manusia kepa-
rat! Mampuslah kau!!" geramnya sambil melompat me-
nyerang. Sepasang tangannya yang kekar telah ter-
himpun tenaga Sangkur Baja. Dia tidak mau bertindak 
ringan lagi karena dia tahu siapa yang dihadapinya. 
Nama Pendekar Gagak Rimang memang pernah ter-
dengar oleh telinganya. Pendekar budiman yang selalu 
menolong kaum yang tertindas. Maka dia pun tak mau 
bertindak tanggung lagi. 
Pandu merasakan desiran angin yang amat ke-
ras sekali kala tangan itu bergerak mengancamnya. 
Dengan jurus Gagak Terbang. Lalu dia pun menghin-
dari serangan itu. Namun belum lagi dia hinggap di 
bumi, Nimas Andini sudah menyerbu dengan jurus 
Dewa Ular Putih. 
Dua lawan yang kini menjadi kawan, masing-
masing mengeluarkan kehebatannya untuk menggem-
pur murid Eyang Ringkih Ireng. Pertarungan sengit 
terjadi.. Mereka saling serang dengan ganas. Masing-
masing berambisi untuk menjatuhkan lawan. Bahkan 
dengan cara yang keji dan licik sekalipun. 
Sementara itu Ki Lurah Pandu Kelana sudah 
menjatuhkan lawan-lawannya. Dan Pratiko yang masih 
berusaha bertahan pun harus mampus ketika golok di 
tangan Ki Lurah membabat lehernya hingga buntung. 
"Mampuslah kau!" dengusnya dengan dada 
kembang kempis. Lalu dia pun memperhatikan perta- 
rungan yang sedang terjadi. Dia tidak tahu siapa sebe-
narnya pemuda bercaping itu. Namun melihat gelagat-
nya pemuda itu berada di pihaknya. Dia pun berdoa 
untuk keselamatan pemuda gagah itu. 
Pertarungan itu semakin lama semakin sengit. 
Pandu sendiri lama-lama merasakan desakan demi de-
sakan yang datang beruntun. Silih berganti dengan 
gencarnya. Dia pun sudah menggunakan Pukulan Si-
nar Putihnya, yang mampu membuat kedua lawannya 
harus kocar-kacir dan kesempatan itu digunakannya 
untuk menghindar. Menjaga jarak. . 
"Hhh! Sepertinya aku tidak bisa bertindak 
tanggung-tanggung lagi terhadap kalian!" dengusnya. 
Wajah yang sebagian tertutup caping itu memerah ka-
rena marah dan geram. Hatinya terbakar. Jiwanya be-
rontak untuk memusnahkan kedua manusia busuk ini 
dari muka bumi. 
Perlahan malam pun berganti. Fajar di ufuk 
Timur sana sudah menampakkan biasnya. Kokok 
ayam jantan di kejauhan terdengar silih berganti. Ber-
sahut-sahutan. 
"Hihihi... kau sudah terdesak hebat, Bocah gan-
teng!" terkikik Nimas Andini. 
"Dan sebentar lagi kau akan mampus sekarat!!" 
suara Bojo Mayit tak kalah garangnya. 
"Hh! Kita lihat sekarang, siapa yang akan 
mampus! Kalian berdua atau aku! Kalian sungguh 
memuakkan sekali!!" seru Pandu geram. 
Kedua lawannya terbahak. 
"Kita lihat siapa yang masih bisa menikmati 
matahari siang nanti!!" seru Bojo Mayit. Lalu dia segera 
mengeluarkan ilmu Sangkur Bajanya tingkat tinggi. 
Terangkum di tangan dan seluruh tubuhnya yang 
menjadi kebal. 
 
Sementara Nimas Andini pun mengeluarkan ilmu Dewa
Ular Putihnya dalam tingkat tinggi. Mulutnya 
mendesis-desis bagaikan ular. Dan sepasang matanya 
menyala berkilat-kilat penuh amarah yang berkobar. 
"Hihihi... sebentar lagi nama Pendekar Gagak 
Rimang akan punah dari muka bumi ini!! Hihihi... tak 
ada harapan lagi, tak akan ada harapan lagi...." 
Pandu sendiri merasakan bahaya yang men-
gancam dirinya begitu berat sekali. Memang tak ada ja-
lan lain. Sambil mendesis dalam hati dia pun menge-
luarkan pukulan andalannya. Pukulan Cakar Gagak 
Rimang yang amat dahsyat warisan dari gurunya 
Eyang Ringkih Ireng. 
"Maafkan aku, Eyang... nampaknya tidak ada 
jalan lain bagiku untuk menghadapi mereka," desisnya 
di hati. "Aku tidak mau mati konyol, Eyang.... Malam 
ini... aku yang mati ataukah mereka yang mati.... Ber-
katilah aku, Eyang.... Sekali lagi maafkan aku, Eyang... 
maafkan aku...." 
Kini tenaga Cakar Gagak Rimang pun tersalur 
di kedua tangannya. Siap untuk menumpahkan semu-
anya. Tenaga yang amat sakti. Yang bisa menghancur-
kan gunung batu yang kokoh. 
"Nimas Andini... dan kau Bojo Mayit, agaknya 
kita memang harus melihat siapakah yang bisa melihat 
matahari siang nanti!" seru Pandu gagah. 
"Hihihi...  jangan terlalu sesumbar, Bocah! Na-
sibmu berada di tangan kami hari ini!!" terkikik Nimas 
Andini. "Hihihi... itulah akibatnya bila sok menjadi 
pahlawan dan berani menentang perbuatan kami!" 
"Berdoalah semoga kau masih sempat bernafas 
sehari lagi!" seru Bojo Mayit sambil terbahak. "Namun 
rasanya, sudah tidak ada harapan lagi bagimu untuk 
bisa mendapatkan hal itu, Anjing! Bernafaslah sepuas- 
puasmu sekarang ini, selagi kau bisa melakukannya!!" 
Pandu hanya memicingkan matanya. Dia sebe-
narnya tidak merasa pasti kalau akan bisa menandingi 
kedua manusia ini. Memang tidak ada jalan lain lagi. 
Karena belum lagi Pandu bisa memikirkan lebih pan-
jang lagi, tiba-tiba terdengar pekikkan keras yang be-
runtun. 
Bertalu-talu. Mengerikan. 
Dua sosok tubuh melesat cepat bagaikan anak 
panah mengarah padanya. 
Pandu sendiri segera mengempos tubuhnya 
bersamaan dengan teriakannya yang keras pula. 
Ki Lurah Pandu Kelana hanya memperhatikan 
dengan hati cemas. Sebuah tenaga sakti akan melawan 
dua tenaga sakti sekaligus. 
Mampukah? 
Sementara  Sekar Perak hanya bisa memejam-
kan matanya dengan kengerian yang amat sangat. 
Tiba tubuh itu pun saling menerjang!! 
 
** 
 
10 
 
Tanpa ampun lagi ketiga tubuh itu pun saling 
menghantam dengan kerasnya. Terdengar bunyi suara 
keras bagaikan ledakan. Daun-daun pun berguguran. 
Bahkan ada beberapa cabang pohon yang tumbang. 
Dari tempat ketiganya bertemu dengan pukulan yang 
amat mengerikan, terlihat asap tebal mengepul bersatu 
dengan debu yang mampu membuat mata menjadi bu-
ta sejenak. 
 
Mendadak saja dari balik asap dan debu tebal 
itu, terpental tiga sosok tubuh ke belakang. Diiringi 
dengan jeritan masing-masing. 
Dan ketiganya ambruk dengan berdebam. 
Nimas Andini langsung mampus dengan luka 
mengoyak bagian dada. 
Pandu harus merasakan sakit yang luar biasa. 
Meskipun dia masih mampu bertahan, namun rasa 
nyeri di dadanya menyengat bukan main. 
Hanya si Bojo Mayitlah yang kemudian bangun 
setelah ambruk ke tanah. Dia terkekeh. Ilmu kebal 
Sangkur Bajanya mampu melindungi tubuhnya. 
"Hehehe... kini mampuslah kau, Pandu!!" ge-
ramnya sambil menyerbu menyerang Pandu. Pandu 
sudah merasa tidak mampu lagi untuk menghindar 
maupun menangkis serangan itu. 
Tubuh Bojo Mayit meluncur dengan deras. 
Terdengar pekikan yang amat hebat sekali. Be-
gitu memilukan hati. 
"Aaaakkhhhh!!!" 
Tubuh Bojo Mayit ambruk. Kepalanya mengge-
linding. Pandu mendesah. Di tangannya telah tergeng-
gam Golok Cindarbuana yang di ujungnya masih me-
netes darah segar. Bila saja dia terlambat mencabut 
golok itu, maka mampuslah dia. 
Sekar Perak yang tadi menutup mata karena 
ngeri, saat membuka matanya menjadi kaget, karena 
dia melihat pemuda yang dicintainya masih hidup 
meskipun terluka parah. 
Berlari dia memburu dan menjatuhkan tubuh-
nya ke pelukan Pandu. "Kakang...." 
Pandu menahan sakit yang luar biasa di da-
danya. Sementara Ki Lurah  Pandu Kelana mendesah 
panjang.  
Namun belum lagi mereka bisa menikmati kea-
daan itu, tiba-tiba berkelebat satu sosok tubuh dan 
hinggap tak jauh dari mereka. Sosok tubuh itu menge-
nakan pakaian ringkas dengan wajah tertutup kedok 
hitam. 
Dia terkekeh melihat mayat Nimas Andini. "He-
hehe... itulah akibatnya bila berani mempermainkan 
aku, Nimas...." Lalu dia mendengus pada orang-orang 
yang memperhatikannya. "Hhh! Bagus, Anak muda! 
Kau meringankan tugasku untuk membunuh manusia 
itu! Dan kau memudahkan pula bagiku untuk men-
gambil Kitab Lembayung Sakti yang disembunyikan si 
Banci ini di dalam Goa Alas Bantan.... Hahaha...." 
Pandu mendengus. Rupanya itulah rahasia Goa 
Larangan ini. Namun dia pun tidak menginginkan ma-
nusia berkedok itu mengambil Kitab Lembayung Sakti. 
Maka ketika si Kedok Hitam melompat hendak masuk 
ke dalam goa, dengan cepat Pandu mengibaskan tan-
gannya. Dan meluncurkan pukulan sinar putih yang 
melesat dengan cepat. 
Si Kedok Hitam tidak melihat hal itu. Maka 
tanpa ampun lagi tubuhnya tersambar dan hangus. 
Jeritannya tinggi menyayat hati. 
"Aaaakkkhhh!!" 
Lalu ambruk tak bernyawa. 
Pandu mendesah. Dia sebenarnya tidak ber-
maksud membunuh, namun si Kedok Hitam agaknya 
terlalu bernafsu sekali. Ki Lurah Pandu Kelana berge-
rak menghampiri dan mencabut kedok yang menutupi 
wajah orang itu. 
Pekikannya terdengar: "Juragan Banyu Biru!!" 
Mendengar suara itu, Sekar Perak seketika me-
noleh, dan melihat wajah ayahnya di balik kedok itu. 
"Bapaaaakkkk!" 
 
Memburu dia berlari. Menangis tersedu-sedu. 
Ki Lurah mendesah panjang dan kala dia menoleh ke 
arah Pandu pemuda itu sudah tidak nampak di tem-
patnya. 
Tangis Sekar Perak berkepanjangan. 
Lagi Ki Lurah mendesah: "Tak kusangka.... Ju-
ragan Banyu Biru sendirilah yang mengatur semua 
ini...." 
Matahari pun nampak buram bersinar. 
 
 
TAMAT