Walet Emas 1 - Kilatan Pedang Merapi

Pengarang Teguh Santosa

Tubuh sintal yang dibalik kemben 
kuning itu menarik berpasang-pasang 
mata, begitu dia memasuki warung yang 
merangkap sebagai penginapan. Terutama 
mata para lelaki yang bertampang 
urakan dengan cambang dan rambut tak 
terurus. Dan wanita berkemben kuning 
itu tanpa memperdulikan keadaan 
sekelilingnya terus mengambil tempat 
duduk di meja pojok sendiri. Di sana 
serba lesehan di atas tikar. Bungkusan 
dan bilah pedangnya diletakkan di 
sampingnya. 

"Wharagadah! Tiba-tiba saja 
kantukku jadi sirna. Siapa sangka ada 
bidadari jelita sudi mampir di tempat 
ini?" Suara ini meluncur dari mulut 
laki-laki bergigi tongos. Kemudian dia 
beranjak dari tempatnya, dan melangkah 
menuju wanita itu. 

"Apa tidak salah masuk ? Atau.... 
mungkin butuh teman bercanda di sini 
? " 

Si wanita tetap diam. Melirik pun 
tidak. Pandangannya tetap tertuju 
kepada pemilik warung yang siap 
melayani. 

"Coba beri saya secangkir tuak, 
pak!" terdengar suara si wanita. 

"Hwahahahahahaha.kalian 
dengar, kawan ? Gendhuk ayu ini 
memesan tuak. Bukan main. Ini baru 
betina sungguhan... hahahahaha...!!" 
laki-laki bergigi tongos itu meledek 
sambil mencoba menjamah dagu si 
wanita. Tetapi sebelum tangan itu 
berhasil menyentuh sasaran, tiba-tiba 
tubuhnya meliuk ke belakang karena 
sabetan tangan si wanita. 

Bruaakk!! 

Tubuh laki-laki itu mencelat 
melanda meja yang dikelilingi teman- 
temannya. Dengan sikap blingsatan dia 
mencoba berdiri, walau agak 
sempoyongan. Umpatannya meledak. 

"Hhuuh!! Galak juga kau rupanya. 
Jangan kira aku kapok. Ini membuat 
birahiku menggelegak, cah ayu! Aku 
suka sikapmu itu!" katanya sambil 
memasang kuda-kuda. Seperti yang telah 
diperhitungkan, lelaki ini terus 
menerjang ke muka. 

Tetapi si wanita cukup waspada. 
Dengan tetap duduk di tempatnya, 
tangannya berhasil membabat lambung 
perut lawannya yang nyaris menerkam 
buah dadanya. Si lelaki mengaduh. Kali 
ini darah muncrat dari mulutnya. 
Begitu mendadak. Ini menunjukkan 
serangan si wanita dikerahkan secara 
prima. Kemudian lelaki itu roboh. 
Melihat keadaan ini teman-temannya 
terperangah. Mereka bergerak membentuk 
pagar betis. 

"Hm. Apakah kalian manusia kebiri 
yang cuma berani main keroyok ? Aku 
bisa meladeni kalian. Tetapi aku tak 
mau menanggung biaya kerusakan tempat 
ini," tukas si wanita yang perangainya 
mulai ketus. 

"Jangan cari alasan! Seharusnya 
sejak tadi kami hati-hati dengan 
kehadiranmu di sini," kata salah 
seorang di antara para lelaki yang 
berperut buncit. "Sebut namamu sebelum 
kau menyesal memasuki tempat ini! " 

"Mengancam? Itu cuma gertakan 
macan ompong!" ledek si wanita sambil 
membuang senyum kecut. 

Dan detik selanjutnya, tak ada 
yang tahu siapa yang memulai menerjang 
ke.muka di antara lelaki itu. Yang 
jelas mereka bergerak serentak. Dan 
serentak pula tubuh mereka saling 
bertebaran ke belakang dan 
terjerembab. Itu bukan serangan fatal 
dari si wanita. Terbukti lawan- 
lawannya cepat bangkit dari tempatnya. 
Kali ini golok mereka diandalkan untuk 
menghadapi si wanita yang dinilai 
memang bukan wanita sembarangan, 
walaupun penampilannya benar seorang 
pendekar. 

Dua orang maju serentak. Golok 
mereka berkelebat mencari sasaran. 
Tetapi dengan gesit si wanita melesat 
dari tempatnya sambil mengirim pukulan 
ke punggung lawan. Mereka terjerembab 
melanda meja. 

Kemudian yang lain menyusul 
menyerang. Kali ini dengan gerak 
pengepungan yang ketat. Tetapi lagi- 
lagi si wanita masih di atas angin. 
Unggul. Dengan gebrakan pukulan yang 
sulit ditangkis, tiga laki-laki itu 
terjerembab di lantai dengan aduhan 
yang tersendat. sebab mereka terus 
pingsan. 

Enam laki-laki telah tersungkur 
karena sepak terjang wanita itu. Tiba- 
tiba terdengar suara tepuk tangan 
tanda kekaguman. 

Si wanita menoleh. Dengan 
pandangan ketus dia mengawasi 
datangnya suara tepuk tangan itu. 

"Kalau bukan Walet Emas, tak 
mungkin bisa bertindak seperti itu", 
kata yang bertindak tepuk tangan. 

"Ah, kau bisa menyebut nama Walet 
Emas, bagaimanabisa tahu ?" ucap si 
wanita. 

"Wanita berkemben kuning dengan 
ciri penampilanmu, telah menjadi buah 
bibir para pendekar di kaki gunung 
Merapi ini. Kau tahu, namamu menjadi 
terkenal karena telah membunuh Gagak 
Lodra, tokoh hitam yang sering bikin 
onar di desa Awu-awu Langit. Tetapi 
mungkin satu hal yang tak kau ketahui, 
bahwa ada kabar slentingan Gagak Lodra 
tidak mati," kata laki-laki berpakaian 
rapi itu. 

"Kata-katamu meluncur seperti air 
pancuran dengan nada serba tahu. Siapa 
kau sebenarnya ?" ujar si wanita yang 
telah dibuktikan dengan nama gelar 
Walet Emas. 

"Aku tidak gembagus, sok tampan, 
tetapi orang tuaku memberi nama Bagus 
Tulada." 

"Bagus Tulada?!" 

"Ya! Apakah nama ini berarti bagimu?" 

"Tidak!" 

"Hmm!" 

"Ada apa bilang Hmm?" 

"Sekedar meyakinkan saja. 
Tampaknya kau pura-pura tidak pernah 
mendengar namaku." 

"Jangan sok ! Aku memang tak 
pernah mendengar namamu," kata Walet 
Emas sambil menikmati hidangan 
pesanannya. Sementara itu kelompok 
laki-laki urakan yang telah dikalahkan 
mulai sadar dari pingsannya. Mereka 
satu persatu bangkit dengan gerakan 
perlahan agar tidak menarik perhatian 
Walet Emas. 

"Apakah mereka anak buahmu ?" 
tanya Walet Emas sambil melirik orang- 
orang yang mulai hengkang keluar dari 
warung itu. 

"Jangan menghina. Aku tak punya 
anak buah macam mereka," jawab Bagus 
Tulada berusaha menyemarakkan suasana 
menjadi ramah. "Bagaimana kalau kita 
rayakan pertemuan ini ?" 


Walet Emas meladeni. Kemudian 
keduanya duduk lesehan semeja. Tuak 
yang dihidangkan diteguk dengan tandas 
oleh Walet Emas. Bagus Tulada 
mengawasi dengan cermat tenggorokan 
wanita ini yang meneguk tuak tanpa 
ragu-ragu. 

"Itu minuman kegemaranmu?" tanya 
Bagus Tulada. 

"Untuk obat." 

"Obat?" Bagus Tulada ingin 
meyakinkan, pasti ini ada hubungannya 
dengan keracunan. Sebab ada jenis 
racun ganas yang bisa ditawarkan 
dengan minuman tuak. Apakah kau 
keracunan ? Maaf kalau aku lancang 
menduga, sebab tidak biasanya seorang 
wanita menegak tuak seperti itu." 

"Pengamatanmu jeli. Aku memang 
keracunan. Kini aku yakin dengan 
dugaanku barusan, kau pasti murid Ki 
Sembur Adas, tabib kesohor itu," 
sambung si Walet Emas sambil menyeka 
mulutnya berbibir menggemaskan, 
mangar-mangar bagai tomat yang ranum. 

"Kalau boleh aku tahu, kau 
mengidap racun dari siapa? Memang 
kulihat kau agak pucat" 

"Dua hari yang lalu aku bentrok 
dengan Sawung Cemani. Kau pernah 
dengar nama itu?" kata Walet Emas 
merasakan reaksi tuak yang baru 
diminumnya. Sikap itu tak luput dari 
perhatian Bagus Tulada. Dirasakan ada 
sesuatu yang tak beres, cepat 
tangannya mencengkal pergelangan 
tangan Walet Emas. 

"Tahan nafasmu sejenak," Bagus 
Tulada memberi saran. "Seharusnya kau 
makan nasi sebelum minum tuak itu. 
Tentunya kerongkonganmu sampai perutmu 
terasa panas." 

Bagus Tulada meraba jakun 
tenggorokan Walet Emas. Jari-jarinya 
memijit dengan lembut. Anehnya, Walet 
Emas pasrah saja dengan tindakan itu. 
Beberapa orang di warung itu melihat 
dengan penuh perhatian. Kemudian 
tangan Bagus Tulada merayap ke dada, 
yang kemudian meraba perut. Semua 
gerakan mengandung pijitan lembut, 
tetapi terisi tenaga dalam. 

"Nah, agak mendingan bukan ?!" 
kata Bagus Tulada dengan melepaskan 
pijitannya. 

Walet Emas menelan ludah. Dia 
menghela napas lega. Ada perasaan 
nyaman terlukis di wajahnya setelah 
pijitan yang dilakukan oleh Bagus 
Tulada. 

"Terima kasih. Berapa aku harus 
membayarmu?" tanya Walet Emas. 

Bagus Tulada ketawa sambil 
menjangkau makanan di meja. 

"Mengapa setiap pertolongan harus 
kau nilai dengan imbalan uang?" 

"Bukankah tabib adalah 
pekerj aanmu?" 

"Sekedar keterampilan saja. Dan 
aku bukan tabib." 

"Kalau begitu, apa yang mesti 

kulakukan untuk imbalan pengobatanmu?" 

"Bersahabat saja. Imbalannya 

persahabatan. Kau keberatan ?" tanya 
Bagus Tulada. 

"Itu tidak terlalu berat kurasa. 

Tetapi.ini tak berarti kita harus 
selalu bersama, bukan ?" 

"Enghhng.... kukira tidak. Yang 
penting kita telah saling berkenalan 
dengan dasar saling menghormati," 
jawab Bagus Tulada sambil melempar 
senyum. 

Tetapi sebelum suasana penuh 
persahabatan itu terjalin lewat 
pembicaraan lebih lanjut, mendadak 
terdengar hiruk-pikuk di ambang pintu 
luar. Di sana terlihat sekelompok 
manusia muncul dengan sikap brangasan. 
Di anta-ranya terlihat laki-laki yang 
pernah digampar oleh Walet Emas. 

"Tuh dia orangnya," kata laki- 
laki bergigi tongos. 

Seorang tokoh di antara kelompok 
orang-orang itu tampil ke depan. 
Perawakannya tegap dengan bulu dada 
sengaja dipamerkan sebagai lambang 
kej antanan. 

"Kudengar ada orang yang pamer 
keperkasaan di sini" katanya sambil 
menatap tajam ke arah Walet Emas dan 
Bagus Tulada. 

"Kalau yang kau maksud karena 
laporan si tongos itu, maka persoalan 
yang kau dengar keliru. Dia dan kawan- 
kawannya punya tindak tidak sopan 
terhadap teman wanitaku ini," tukas 
Bagus Tulada. 

"He, anak muda. Aku berbicara 
tidak tertuju kepadamu. Tetapi kepada 
wanita berkemben kuning itu. Atau.... 
kau lebih berkuasa dari dia dalam 
mengatasi masalah ini?" kata laki-laki 
kekar itu. 

"Persoalannya adalah persoalanku 
juga. Terutama yang ada hubungannya 
dengan kekurang-ajaran yang telah 
dilakukan oleh si tongos dan teman 
temannya." 

"Aku bapak buahnya, tahu... ? Dan 
aku paling tak suka kalau ada orang 
yang pamer ketangkasan di desa ini. 
Kalau kalian pernah dengar nama 
Branjang Geni, itulah aku!" ungkap 
laki-laki tegap itu. 

"Ini Walet Emas, dan aku Bagus 
Tulada!" 

"Bagus! Bagus! Kalian telah 
mengenalkan diri. Jadi aku tak usah 
repot-repot menjelaskan siapa nama 
orang yang bakal jadi mayat oleh 
tanganku." 

"Ini namanya kekerasan berantai. 
Semula cecungkuk macam si tongos itu 
yang bikin ulah, kemudian kau muncul 
untuk bertindak. Kalau kau nanti 
runtuh juga oleh sepak terjang kami, 
siapa lagi yang bakal muncul ?" tukas 
Bagus Tulada. Walet Emas tetap 
membisu. Tetapi dia telah menyiapkan 
diri untuk menghadapi tindakan 
sewaktu-waktu yang mungkin ada pihak 
pembokong di antara orang-orang itu 
selagi pembicaraan berlangsung. 

"Aku adalah aku. Tak ada atasan 
lagi. Disini ucapanku merupakan undang 
undang." 

"Ampuh benar ucapanmu. Nah, kita 
coba saja, apakah ucapanmu masih 
merupakan undang-undang di desa ini ?" 
terdengar suara Walet Emas. 

"Gendhuk tengil! Eman-eman kalau 
kulitmu yang mulus itu terpaksa harus 
lecet oleh gebrakan pukulanku. 
Pantasnya cuma untuk dielus di 
ranjang!" sahut Branjang Geni. Kata- 
kata ini mendapat sambutan hiruk-pikuk 
anak buahnya yang ketawa dengan nada 
urakan. 

Dan suara tawa itu tiba-tiba 
menjelma menjadi suara aduhan ketika 
Walet Emas menyiramkan tuak di guci 
yang sejak tadi terhidang di 
hadapannya. Siraman tuak dengan 
hempasan tenaga dalam itu menyayat 
muka mereka seperti sabetan pisau. 
Beberapa orang kulit wajahnya melepuh 
bagai tersiram air panas. Sedangkan 
Branjang Geni yang cukup tangkas 
berhasil mengelak dengan menggenjot 
tubuhnya melambung ke atas. 

Dia luput dari siraman tuak. 
Tetapi bukan berarti lepas dari 
bahaya, sebab Bagus Tulada segera 
menghajarnya dengan lemparan cawan 
berisi makanan. Cawan melesat ke 
arahnya. 

Tetapi memang Branjang Geni punya 
embel-embel nama pendekar, sehingga 
serangan Bagus Tulada dapat dielakkan 
pula. Cawan melesat membobol dinding 
warung. Begitu tubuh Branjang Geni 
turun, dia mendapat serangan pukulan 
Walet Emas yang menerjang ke muka. 

Di sini keduanya lalu terlibat 
perang tanding menggunakan tangan 
kosong. Di sisi lain Bagus Tulada 
meladeni serangan anak buah Branjang 
Geni yang berhamburan mengroyoknya. 

Warung menjadi ajang pertarungan. 
Isinya berantakan. Dinding-dindingnya 
jebol terlanda tubuh anak buah 
Branjang Geni yang mencelat akibat 
tendangan Bagus Tulada. 

Pada suatu kesempatan, karena 
keteter serangan Walet Emas, maka 
Branjang Geni melesat ke luar. 
Gerakannya membobol jende-la sehingga 
jeruji kayunya berantakan. Walet Emas 
memburu. Dengan gerakan bergulir di 
udara agar lawan tidak dapat menyerang 
ketika dia menerjang ke luar, Walet 
Emas masih memiliki pertahanan untuk 
membabat ke arah lawan. 

Branjang Geni melihat gerakan 
Walet Emas terpana sejenak. Dia tidak 
menyangka kalau lawan terus memburu 
secepat itu sebelum dia sempat 
mengatur pertahanannya. Bagaimana juga 
Branjang Geni terpaksa menggenjot 
tubuhnya dan bergulir ke atas ketika 
sabetan kaki Walet Emas menyapu ke 
arah tubuhnya. Serangan ini luput. 
Tetapi ketika tubuh Branjang Geni 
melorot ke bawah maka kaki Walet Emas 
yang sebelah telah menjegalnya. Tubuh 
Branjang Geni oleng. Kesempatan ini 
dipergunakan Walet Emas menerjangkan 
pukulan tangan dengan gerak burung 
Walet menyapu air, sehingga berhasil 
mengena ke arah sasaran. Tepat ke arah 
dada Branjang Geni. Kontan darah segar 
muncrat dari mulut! 

Branjang Geni mencoba menguasai 
dirinya dengan mengeluarkan golok dari 
sarungnya. Dengan pandangan beringas 
terus menerjang ke arah lawan. Walet 
Emas menggenjotkan tubuh ke atas 
ketika sabetan golok bertubi-tubi 
membabat ke arahnya. Tubuhnya limbung 
berputar di udara, dan ketika melorot 
ke bawah kakinya mengunjam ke tengkuk 
lawannya. 

Branjang Geni menggeliat. Tetapi 
cepat menguasai keadaan dengan memutar 
tubuh menghadapi lawan. Di sini 
sebelum sempurna mengatur serangan 
yang akan dilakukan, gerakan tangan 
Walet Emas meliuk manis menyambar 
lambungnya. Anehnya Branjang Geni 
tampak mampu bertahan. Tetapi terlihat 
bahwa dia menahan kesakitan yang amat 
sangat. Lalu goloknya dipermainkan 
untuk menggoyahkan perhatian lawan 
sambil bergerak ke depan. Untuk 
beberpa saat Walet Emas tak bisa 
mengatasi serangan ini. Sulit mencari 
peluang untuk mengimbangi serangan. 
Dia hanya berkelit ke kanan kiri. 
Merasa lawannya tak akan mampu lagi 
menghadapi serangannya, maka Branjang 
Geni melakukan serangan total. 
Ditebaskan goloknya dengan perhitungan 
mampu mencegah gerakan lawan sehingga 
terjebak di ujung senjatanya. 

Sayang, perhitungannya keliru. 
Walet Emas tidak bergerak ke arah yang 
diduga, tetapi merobohkan tubuhnya dan 
mengirimkan pukulan telak ke arah 
bawah pusar sehingga lawannya 
menggeliat kehilangan keseimbangan. 
Hal ini diisi lagi dengan pukulan 
berikutnya ke arah tangan yang 
menggenggam golok sehingga senjata 
tersebut mencelat. 

Senjata tersebut meluncur ke 
tanah dengan hulu senjata di bawah. 
Begitu menyentuh tanah, maka tubuh 
Branjang Geni menimpanya. Akibatnya 
ujung golok tersebut mengunjam 
menembus punggungnya, langsung merobek 
jantung. Aduhan meledak. Tubuh 

Branjang Geni menggelepar sesaat 
sebelum akhirnya diam direnggut ajal. 

Sementara itu Bagus Tulada yang 
meladeni beberapa orang anak buah 
Branjang Geni berhasil pula mengakhiri 
pertarungannya. Beberapa orang 
melarikan diri, yang lain pingsan, dan 
beberapa orang lagi mati konyol. 

"Bukan salah kita kalau hari ini 
Sang Yamadipati, Dewa Maut, akan 
dibuat sibuk di akherat mencatat nama- 
nama mereka," kata Bagus Tulada sambil 
mengawasi tubuh Branjang Geni yang 
mati di tangan Walet Emas. 

"Kupikir aku harus meninggalkan 
desa ini sebelum senja," sela Walet 
Emas sambil berlalu ke dalam warung 
untuk mengambil bungkusannya. 

"Kau hendak ke mana ?" Teguran 
Bagus Tulada tak memperoleh jawaban. 
Matanya mengekor langkah wanita itu. 
Sekilas berhasil menangkap bentuk kaki 
Walet Emas yang berbetis indah dengan 
lekuk lembah di tungkai kakinya. 
Bentuk kaki yang sempurna sesuai 
dengan penilaian keindahan tubuh 
wanita. Sulit dipercaya bahwa pemilik 
kaki tersebut harus bergumul dengan 
kebengisan dunia persilatan. 

Lama Bagus Tulada menunggu 
kemunculan Walet Emas. Ketika tidak 
muncul juga sampai pada batas 
kesabaran menunggu, dia menyusul ke 
dalam. 

Tidak terlihat Walet Emas di 
sana. Kemudian dihampirinya pemilik 
warung yang sibuk membenahi kerusakan 
warungnya. 

"Pak, wanita berkemben kuning 
tadi ke mana?" 

"Telah pergi, den, lewat pintu 
belakang," jawab laki-laki tua itu. 
"Baru kali ini saya memperoleh ganti 
rugi karena tempat ini sering menjadi 
ajang keonaran para pendekar. Lihat, 
den, wanita itu telah memberi saya 
sejumlah uang sebagai pengganti 
kerusakan tempat ini. Kalau bukan 
orang kaya, tak mungkin dia memberi 
ganti rugi. Tapi... yhah, untuk 
memberi ganti rugi, saya kira belum 
tentu orang kaya. Dia pasti orang yang 
punya tanggung jawab, dandermawan," 
kata pemilik tempat itu dengan 
menimang nimang sekantung kecil uang 
pemberian Walet Emas. 

Bagus Tulada mengawasi kantung 
berisi uang di tangan pemilik warung. 

"Maaf, pak. Coba saya lihat 
kantung itu," pintanya. Dia 
memperhatikan dengan seksama ketika 
kantung itu diperlihatkan. 

"Hm. Ya! Terima kasih, pak!" kata 
Bagus Tulada terus berlalu dari sana. 

Di luar, dia menghampiri kuda 
tunggangannya yang sejak tadi 
ditambatkan di penitipan kuda. Seorang 
bocah dengan berambut kuncung 
menjaganya dengan setia. Setelah 
memberi upah penunggu kepada bocah 
itu, Bagus Tulada cepat memacu kudanya 
untuk memburu jejak Walet Emas. 

Senja kian temaram, menelan 
kecerahan sang surya. 

★ ★ ★ 


Lidah api di tumpukan ranting- 
ranting yang menghangatkan keadaan 
sekelilingnya, dicoba diperbesar oleh 
jangkauan tangan yang berselimut kain 
batik. Sekilas wajah terlihat di sana. 
Wajah Walet Emas, yang kini sibuk 
menghangatkan diri lewat perdiangan 
api yang disusun dari ranting-ranting 
kayu yang banyak bertebaran di sana. 

Walet Emas di tempat itu 
sendirian. Itu yang terjadi sekarang, 
setelah meninggalkan warung tanpa 
pamit lagi kepada Bagus Tulada. Dia 
memang sengaja menjauhi Bagus Tulada 
yang telah mengikrar diri sebagai 
sahabat. Dia tak ingin keberadaannya 
jadi terbebani karena kehadiran orang 
lain. Sejak semula memang dia ingin 
sendirian untuk menyelesaikan masalah 
pribadinya. Dia berhasil menghindar 
dari Bagus Tulada dengan ilmu larinya 
"Walet Menembus Awan" sehingga sampai 
di tempat yang sulit dijangkau 
kendaraan apapun. 

Nyala api itu dipandangnya dalam- 
dalam. Pada keheningan malam di mana 
terlihat nyala api, pikirannya selalu 
tergugah pada peristiwa masa lampau, 
sekitar tiga tahun yang lalu. 

Suara hiruk pikuk menjagakan 
dirinya dari tidur malam itu. Bau asap 
menusuk hidung. Serta merta dia keluar 
dari kamar, bertepatan dengan 
peristiwa robohnya tubuh ibunya yang 
terbabat sambaran golok dari seorang 
laki-laki kekar bercambang lebat. Di 
bagian sana ayahnya sedang terlibat 
baku hantam dengan beberapa orang yang 
mengeroyoknya. Ayahnya dengan gigih 
berjuang dan semakin kalap ketika 
mengetahui ibunya menjadi korban dalam 
kekacauan itu. Kemudian sang ayah 
berhasil mengatasi keadaan yang 
mengancam jiwanya, di mana para 
pengeroyok satu persatu tewas oleh 
babatan goloknya. Disusul serangan 
dari laki-laki yang telah membunuh 
ibunya yang kini berhadapan dengan 
sang ayah. 

"Wibhangga! Rupanya kau memilih 
mampus dari pada menyerahkan buku itu 
?" seru laki-laki bertubuh kekar 
kepada ayahnya. 

"Cara apa pun yang kau lakukan, 
kau tak akan memperoleh barang yang 
kau cari, Cakraganta! Aku rela 
keluargaku musnah, asal keselamatan 
umat dapat terhindar dari kehancuran 
karena kau memiliki buku itu," sahut 
ayahnya sambil menangkis serangan 
laki-laki bernama Cakraganta. Keduanya 
terlihat perang tanding sementara 
kebakaran terus melahap bangunan rumah 
itu. Pada suatu kesempatan ayahnya 
berhasil melukai Cakraganta dengan 
sayatan golok merobek wajahnya. 
Cakraganta menggeliat ke belakang. 
Tetapi sebelum ayahnya akan 
melancarkan serangan lagi, tiba-tiba 
muncul seorang wanita membokong 
ayahnya dengan sabetan senjata 
membabat leher ayahnya sehingga 
terpisah dari badannya. 

Tiba-tiba lamunan Walet Emas 
terpenggal. Kesadarannya pulih karena 
indranya menangkap bunyi gemerisik. 
Dia melirik ke arah datangnya suara 
itu, dan secepatnya melesat ke atas 
lalu nangkring di dahan pohon. 
Gerakannya lembut sehingga tak sebutir 
kerikil ikut tergeser serta tidak 
menggoyangkan dahan yang diinjak. Itu 
adalah gerakan "Kapas Tertiup Badai" 
yang baru dilakukan dengan sempurna 
beberapa bulan yang lalu. 

Kemudian ditunggunya beberapa 
saat dengan pandangan mata ditujukan 
ke arah datangnya suara. Dalam 
kegelapan malam yang dinaungi cahaya 
bulan, Walet Emas melihat sesosok 
tubuh berjalan mengendap-endap 
mendekati nyala api unggun yang 
dibuatnya. Diperhatikan dengan seksama 
sosok tubuh itu. Dan tamu yang tak 
diundang itu tanpa ragu-ragu lagi 
menjangkau panggangan ikan di sana. 
Sebelum santapan itu menyentuh 
mulutnya, tiba-tiba Walet Emas melesat 
ke bawah, tepat di sampingnya tanpa 
menimbulkan bunyi yang mengagetkan. 
Dan si pendatang itu terkejut setelah 
mengetahui di sampingnya telah berdiri 
sesosok tubuh. Gerakan njenggirat 
dengan maksud untuk lari tak berhasil 
dilakukan ketika Walet Emas dengan 
trengginas mencengkal batang lehernya. 

"Aaaaak.... ampuun! Ssss.saya 
orang baik-baik....!" suara sosok 
tubuh itu dengan melepaskan panggangan 
ikan di tangannya. 

"Orang baik-baik tidak akan 
mengambil milik orang lain tanpa 
permisi," tukas Walet Emas. 

"Mmm.... maafkan saya....!" 

"Siapa namamu ?" tanya Walet Emas 
sambil melepaskan cengkeramannya. 

"Www. . . .Wariga.! " 

"Wariga ?" 

"Iiyy... iya! Wariga. Ss.saya 
orang baik-baik. Hanya saja sudah 
seharian ini belum makan." 

"Tampangmu lusuh. Mengapa belum 
makan ?" tanya Walet Emas sambil 
membenah api unggun yang hampir padam. 

"Kalau kau belum makan, santap 
saja ikan itu. Kalau kurang, cari 
sendiri di sungai." 

Tanpa tercegah lagi anak muda 
bernama Wariga itu menjangkau sundukan 
ikan yang semula diincar. Dengan lahap 
dia makan ikan panggang itu. Sikapnya 
tak luput dari pengawasan Walet Emas. 
Terbetik perasaan iba melihat tingkah 
pemuda kecil itu. Umurnya sekitar lima 
belas tahun. Kain yang dipakai menutup 
auratnya dikenakan seenaknya saja. 

"Kau.pengemis ?" tanya Walet Emas . 

Tiba-tiba sikap Wariga tegang. 
Dipandangnya Walet Emas dengan tatapan 
mata tajam. 

"Saya bukan pengemis! Saya anak 
orang kaya. Orang tua saya juragan di 
pasar," katanya membela diri. Ucapan 
ini dicetuskan Wariga dengan sikap 
tegas. Bertolak belakang sekali dengan 
sikapnya semula yang kelihatan penakut 
ketika dipergoki Walet Emas. 

"Jadi bagimana kau bisa tampak 
begini?" 

"Beberapa hari yang lalu rumah 
kami dirampok. Kedua orang tua saya 
terbunuh dalam kekacauan itu. Dan... 
dan.... saya... yang berhasil 
menyelamatkan diri....!" kata Wariga 
dengan nada sedih. 

Walet Emas termenung, teringat 
dengan nasibnya sendiri. 

"Malam telah larut. Aku ingin 
tidur. Kau boleh berada di sini kalau 
mau. Besok kita ngobrol lagi," kata 
Walet Emas. Dengan perbekalannya, dia 
mempersiapkan diri untuk bisa tidur 
nyenyak. Dia tidak memperdulikan Wa- 
riga untuk tidur di mana. 

Wariga melihat keadaan Walet Emas 
yang begitu cepat pulas, berusaha 
mencari tempat untuk membaringkan 
tubuhnya. Mungkin karena kelelahannya 
juga yang membuat Wariga cepat 
terseret kelelapan meskipun udara 
dingin menyengat sekujur tubuhnya. 

Tetapi sebenarnya Walet Emas 
sendiri belum tertidur. Dia cuma pura- 
pura tidur. Dia hanya ingin tahu sikap 
pemuda bernama Wariga itu. Terselip 
kecurigaan juga di sanubari Walet Emas 
terhadap pendatang yang tiba-tiba 
muncul di sana. Apakah Wariga seorang 
mata-mata yang diselundupkan lawan 
untuk mengikuti jejaknya ? Tampaknya 
Wariga begitu polos dan jujur. Tetapi 
bagaimana kalau hal itu hanya kedok 
belaka? 

Api unggun itu telah padam. Walet 
Emas tak berniat menyalakannya lagi. 
Keremangan cahaya bulan diandalkan 
untuk melihat keadaan sekelilingnya, 
di samping inderanya yang terlatih 
peka untuk menangkap suara yang datang 
dari jauh. 

Beberapa saat ditunggu tak ada 
peristiwa lagi yang mencurigakan. 

Akhirnya Walet Emas terseret juga 
dengan rasa kantuk yang membebani 
matanya. 

★ ★ ★ 




Tiba-tiba Walet Emas njenggirat 
bangun. Dirasanya cahaya matahari 
menerpa wajahnya. Dilihatnya hari 
telah siang. Tidak biasanya dia bangun 
kesiangan seperti itu. Biasanya dia 
bangun ketika fajar pagi masih 
meremang di ufuk timur. 

Dilihatnya tempat Wariga di mana 
pemuda kecil itu tidur semalam. 

Kosong. Tak terlihat lagi Wariga 
di sana. Kecurigaan Walet Emas timbul. 
Dia cepat beranjak dari tempatnya dan 
melesat ke atas dahan pohon. Dari sana 
dia memeriksa keadaan sekelilingnya. 
Pandangannya ditujukan kearah sungai 
tak jauh dari tempatnya bermalam. Sepi 
di sana. Dan pada saat itulah. 

"Hah?" Walet Emas terperangah. 

Di sebelah timur di mana terdapat 
batu-batu terjal, muncul beberapa 
sosok tubuh. Mereka bergerak ke 
arahnya. Kelompok orang-orang itu 
berpakaian seragam punggawa kadipaten 
Rejodani. 

"Mereka berhasil juga mencium 
jejakku. Apakah ini ada hubungannya 
dengan si Wariga?" pikir Walet Emas. 
"Apapun sebabnya, aku tak ingin sepagi 
ini harus baku hantam dengan penguasa 
yang menyengsarakan rakyat. Secepatnya 
akan kutinggalkan tempat ini." 

Tubuhnya limbung ke bawah dengan 
gerakan manis tanpa menimbulkan bunyi. 
Dengan menyambar bungkusan dan 
pedangnya, kemudian melesat ke 
seberang sungai. Tiga lompatan dengan 
menapak batu yang muncul di permukaan 
air, Walet Emas telah sampai di 
seberang. 

Benar dugaannya. Kelompok 
punggawa kadipaten Rejodani rupanya 
akan menyergap keberadaannya di tempat 
itu. Tetapi bagaimana ceritanya mereka 
dapat mencium jejaknya, itu yang 
menjadi pertanyaan. Kecurigaannya 
bertumpu pada pemuda bernama Wariga 
itu yang kini amblas tanpa jejak. 
Walet Emas merasa terkecoh dengan 
tindakan ini. 

"Lihat bekas api unggun ini. 
Rupanya dia bermalam di sini," kata 
seseorang yang menjadi pimpinan para 
punggawa Rejodani. Perawakannya ceking 
dengan bentuk alis yang tebal. 

"Jadi petunjuk itu benar adanya," 
sela anak buahnya. "Apakah kita 
terlambat menyergapnya?" 

"Seperti yang telah disarankan, 
dia pasti telah lari ke timur, 
menyeberang sungai itu," jawab 
pemimpin mereka. 

"Benar-benar petunjuk yang jitu. 
Kalau selama ini tugas kita bisa 
diarahkan berdasar ramalan, maka 
setiap persoalan secepatnya akan 
berhasil kita atasi, " kata yang lain 
menggarami. 

Laki-laki ceking beralis tebal 
itu memandang ke seberang sungai. 

Dia dikenal dengan nama Wiro 
Brangasan. 

Penampilannya kalem, tetapi kalau 
sudah keslomot amarah, orang tak akan 
percaya bahwa di dalam tubuhnya yang 
ceking itu bisa meledakkan tindakan 
yang sangat membahayakan bagi orang 
lain. 

"Tetapi saran itu pula yang 
mengatakan kita tidak boleh 
menyeberang sungai. Bisa membawa sial 
kita. Kita harus bisa bergerak ke arah 
timur tanpa harus menyeberangi 
sungai," kata Wiro Brangasan lirih 
dengan menatap tajam ke arah pepohonan 
di seberang sungai yang airnya jernih 
itu. "Aku telah mencium baunya, dia 
memang ke sana." 

Kata-kata ini membuat anak 
buahnya terperangah. Mereka tahu, Wiro 
Brangasan memang bergelar Kucing 
Malaikat. Dia punya kelebihan bisa 
mengendus bau seperti indera penciuman 
kucing. Dengan penciumannya saja, 
walau matanya ditutup, dia bisa tahu 
siapa orang-orang yang berada di 
sekitarnya. 

"Ayo, kita cari jalan pintas 
menuju ke timur tanpa menyeberangi 
sungai ini," perintah Wiro Brangasan 
sambil beranjak dari tempatnya. 

Bagaimana dengan Walet Emas? 

Ternyata dia masih bercokol di 
seberang sungai di balik semak-semak 
sambil mengawasi orang-orang yang 
selama ini mengejarnya. Matanya dengan 
jelas dapat melihat kehadiran Wiro 
Brangasan dari tempatnya. 

"Hm ! Jadi dia ikut turun 
gelanggang untuk mengejar aku. Tetapi 
mengapa mereka tidak terus 
menyeberangi sungai ini ?" pikir Walet 
Emas. "Persetan ! Aku jadi banyak 
terlihat dengan pihak lain. Yang 
penting aku harus dapat melaksanakan 
tugasku yang utama. Menemukan tokoh 
bernama Cakraganta dan tokoh wanita 
yang telah membunuh ayahku. Sayang 
sekali aku tak tahu nama tokoh wanita 
itu. Tetapi wajahnya tak pernah aku 
lupakan.! " 

Walet Emas segera meninggalkan 
tempat itu, seiring dengan lenyapnya 
orang-orang kadipaten Rejodani dari 
seberang sungai. 

★ ★ ★ 


Kemudian di suatu desa yang 
dikenal dengan nama Pophitu. 

Hari pasaran, banyak orang 
berbondong- bondong menuju pasar di 
pusat desa Pohpitu. Lima hari sekali, 
tempat itu menjadi ajang pertemuan 
para penjual dan pembeli. Seperti yang 
sudah tertera dalam peraturan desa, 
para pedagang harus membayar pajak 
untuk bisa berdagang di sana. Pajak 
itu ditarik di pintu masuk. 

"Hei, gendhuk ayu! Bayar dulu di 
sini. Kau akan jualan apa?" tiba-tiba 
teguran ini menyengat perhatian Walet 
Emas yang sedang menginjak kawasan 
pasar. Suara teguran itu datang dari 
seorang berperut buncit dengan pusar 
diparmerkan. Ikat pinggangnya sengaja 
diplorotkan ke bawah. Dengan 
penampilan seperti itu dia ingin 
memberi kesan kepada orang lain, bawa 
dirinya punya kuasa di sana. Tetapi 
semua orang tahu, bahwa dia hanya 
bawahan saja. Namanya Surogemblung. 
Pas dengan penampilan orangnya. 

"Aku tidak berjualan apa-apa, 
pak!" jawab Walet Emas. 

"Bungkusan yang kau bawa itu? Kau 
pasti akan menjual sesuatu. Tampaknya 
kau belum pernah datang ke tempat 
ini, " kata Surogemblung lagi dengan 
pandangan mata 
menjelajahi celah dada Walet Emas 
yang dibungkus kemben kuning. Tubuh 
Walet Emas yang sintal itu memang 
cepat mengundang perhatian lelaki. 
Mata Surogemblung menyapu ke bawah. 
Entah apa yang dinilai, yang pasti 
jantungnya berdetak semakin cepat 
melihat penampilan Walet Emas. 

"Penampilanmu... kau pasti 
menguasai ilmu bela diri," kata 
Surogemblung lagi. 

"Omongan bapak ini akan melantur 
ke mana? Memeriksa diriku sebagai 
pedagang, atau.... pendekar ?" 

"Bisa dua-duanya. Kukira kau 
perlu diperiksa," Surogemblung 
mengumbar kata sambil memberi isyarat 
kepada tiga orang yang sejak tadi 
mematung di tempatnya. Dia banyak 
berdiam diri ketimbang Surogemblung 
sendiri yang banyak tingkah menghadapi 
orang yang lalu-lalang di sana. 

Tiga orang itu maju serentak. 
Dengan kasar dia merenggut bungkusan 
yang disandang Walet Emas. Dibiarkan 
saja mereka bertindak seperti itu. 
Bungkusan segera diduduh. Isinya hanya 
perlengkapan untuk keperluan pribadi. 
Lalu mata ketiga orang itu mengikuti 
pada bungkusan lain sebesar kelapa 
yang masih di tangan Walet Emas. 

"Yang itu?" tanya yang seorang 
sambil mengulurkan tangan untuk 
menjangkau bungkusan tersebut. 

Tetapi sebelum sampai lebih 
lanjut, lutut Walet Emas telah 
menerjang kemaluan laki-laki itu. 
Kontan menjerit dengan membungkukkan 
badan. Kedua teman yang lain segera 
bertindak untuk meringkus, tetapi 
tangan Walet Emas telah berkelebat 
menyikat rahang mereka dengan 
kecepatan yang sulit dilihat. Keduanya 
menggeliat saling bertubrukan. Sebelum 
keduanya jatuh, disusui lagi dengan 
tendangan sehingga mencelat ke arah 
Surogemblung. 

Peristiwa itu menimbulkan 
perhatian banyak orang. Beberapa orang 
bersorak kegirangan karena melihat 
tindakan Walet Emas. 

"Bener itu, jeng ! Gebrak saja 
tukang kepruk itu. Banyak pajak pasar 
yang masuk untuk perutnya sendiri," 
terdengar suara di antara hingar 
bingar orang yang menonton. 

"Keparat!!" teriak Surogemblung 
sambil beranjak ke depan. Langkahnya 
tak begitu gesit karena tambun 
perutnya menyimpan banyak lemak. 
Begitu dekat ke arah Walet Emas, 
tangannya berniat mehcengkeram tubuh 
wanita yang semula dikagumi karena 
kesintalannya. Tetapi sebelum kedua 
tangan Surogemblung sampai pada 
sasaran, tendangan kaki Walet Emas 
mengunjam perutnya. 

Aneh! Surogemblung tak bergiming 
sedikit pun. Seakan-akan Walet Emas
menendang batu padas yang kokoh 
tertanam di tanah. 

"Hehehehehehehe.! Baru 
tahu siapa aku ya?! Surogemblung! Nah, 
sudah tahu namaku? Kini sebut namamu, 
cah ayu, sebelum kulitmu kubuat lecet 
karena berani kurang ajar di sini." 

Walet Emas tak menjawab. 
Tendangannya berbicara lagi. Kali ini 
yang menjadi sasaran dada 
Surogemblung. Ternyata tokoh berperut 
buncit itu tak bisa dirobohkan dengan 
tendangan seperti itu. 

"Ayo, teruskan. Kuras tenagamu. 
Pilih yang mana yang hendak kau 
jadikan sasaran. Rasanya enak kena 
tendanganmu. Kayak dipijit. Ayo lagi! 
Mengapa belum bertindak juga?" sumbar 
si gendut dengan suara lantang. 

Melihat hal ini orang-orang yang 
semula berpihak kepada Walet Emas, 
mulai membisu. Dalam hati mereka 
mengakui bahwa Surogemblung bukan 
orang sembarangan. Pantas saja dia 
diberi wewenang menarik pajak pasar. 

Suara tawa Surogemblung masih 
nyekakak dengan nada kebanggaan 
berkibar di dadanya. Tetapi pada saat 
itulah, tiba-tiba dia merasakan 
sengatan pukulan yang benar-benar 
membuat matanya berkunang-kunang. Dan 
kesakitan itu dirasakan pada 
kemaluannya. Ya, benar! Kiranya Walet 
Emas telah melancarkan tendangan ke 
arah itu. Tubuh Surogemblung oleng. 

Dia tak bisa lagi mengatur kekuatan 
pertahanannya. Pada kesempatan ini 
Walet Emas mundur beberapa langkah, 
Kemudian dengan menggenjot kekuatan 
prima, dia mengunjamkan tendangan ke 
arah dada Surogemblung. Kontan laki- 
laki gendut ini mencelat roboh. Orang- 
orang bersorak-sorai. Nama 
Surogemblung jadi ejekan. Tetapi hal 
itu tak berlangsung lama. Suara orang- 
orang membungkam serentak. Semua mata 
tertuju kepada sosok laki-laki berkuda 
muncul di sana. Orang-orang pada 
minggir dengan sikap hormat, penuh 
keengganan. Tepatnya, mereka terpaksa 
menghormat. 

"Hah? Dia? Bagus Tulada?! " pikir 
Walet Emas setelah melihat siapa yang 
muncul di sana. 

"Walet Emas!" seru Bagus Tulada. 
"Apa kerjamu di sini? Kemarin kau 
pergi tanpa pamit" 

"Aku punya urusan yang tak bisa 
didampingi orang lain," jawabnya. 

"Urusan? Menangani Surogemblung? 
Bagaimana kau bisa terlibat bentrokan 
dengan dia? Dia pasti melaporkan hal 
ini kepada ayahku. Dan itu yang tak 
kuharapkan." 

"Jadi ... ayahmu penguasa tempat ini?" 

Bagus Tulada menggangguk. "Ayo 
kita tinggalkan tempat ini. Kita cari 
tempat tenang untuk berbicara." 

Ajakan Bagus Tulada mendapat 
sambutan. Kemudian keduanya menuju 
tempat semacam pesanggrahan. Ketika 
Walet Emas memasuki tempat itu, 
berulah tahu bahwa itu tempat 
penginapan bagi para pedagang yang 
sering kemalaman apabila harus 
bercokol di sini. Tetapi dengan 
melihat keadaannya. Walet Emas tahu 
bahwa tidak sembarang bisa menginap di 
sana. Ini menyangkut soal martabat dan 
kekayaan. 

"Nah, kita berbicara lagi di 
sini. Kau bisa pula menginap di sini," 
kata Bagus Tulada dengan sikap ramah. 
Tindakan itu menunjukkan bahwa dia 
berkuasa di sana. Beberapa orang 
pelayan menghidangkan minuman dan 
makanan. Itu berlangsung setelah Bagus 
Tulada memberi isyarat yang cukup 
dipahami oleh mereka. 

"Apa urusanmu maka kini orang- 
orang tertentu mempergunjingkan 
namamu?" tanya Bagus Tulada. 

"Oh ya? Begitukah yang kau 
dengar? Karena hal itu maka kau 
tertarik padaku?" jawab Walet Emas 
sambil menikmati minumannya. 

"Namamu terdengar santer menjadi 
pergunjingan tokoh persilatan dalam 
beberapa bulan ini. Pada awalnya 
tersebar berita, kau berhasil 
membinasakan Gagak Lodra di desa Awu- 
awu Langit." 

"Kau menjelaskan bahwa Gagak 
Lodra belum mati. Aku berhasil 
menghunjamkan senjataku ke tubuhnya, 
lalu dia tercebur sungai. Mungkin juga 
berita yang kau sampaikan benar. Dia 
belum mati. Mungkin menyelamatkan 
diri, dan mengobati luka-lukanya. 
Tetapi bagaimanapun, dia tokoh hitam 
yang secara tak sengaja terpaksa 
bentrok denganku begitu aku turun 
gunung dari perguruanku. Aku mengambil 
sikap untuk berpihak pada kelompok 
putih yang membasmi kejahatan dan 
kebatilan," ucapan ini dicetuskan 
Walet Emas dengan nada kesungguhan 
dengan pandangan tajam tertuju kepada 
Bagus Tulada. 

"Wah. Hatiku jadi mengkirik 
mendengar tekadmu." 

"Apakah ucapanku bertentangan 
dengan nuranimu?" Bagus Tulada tak 
cepat menjawab. Hening beberapa saat. 

"Aku punya pandangan hidup, 
apabila ada sesuatu yang merugikan 
diriku, maka itu berarti memusuhiku," 
katanya kemudian. 

"Walau datangnya dari pihak 
kebenaran?" 

"Kebenaran yang mana? Kebenaran 
yang timbul karena suara terbanyak? 
Karena kekuasaan ?" tanya Bagus Tulada 
mencari ketegasan. 

"Ini bisa berkepanjangan apabila 
kita berdebat tentang kebenaran. Yang 
jelas, sebaiknya kita mengurusi diri 
masing-masing saja," jawab Walet Emas. 

"Akur! Tetapi sementara ini, 
tentunya kau tak keberatan kalau aku 
ingin tahu banyak tentang dirimu," 
Bagus Tulada berkata dengan nada 
mengharap. 

"Kau sudah tahu bahwa aku adalah 
Walet Emas." 

"Walet Emas kurasa cuma gelar. 
Siapa nama aslimu?" Pertanyaan Bagus 
Tulada tak cepat memperoleh jawaban. 
Tetapi dirasakan pandangan mata Walet 
Emas yang mengandung banyak teka-teki 
ini bisa mengganti jawaban yang enggan 
untuk dikatakan. 

"Baiklah. Memang aku tak ingin 
memaksakan kehendak. Karena kurasa kau 
perlu istirahat, kau boleh menginap di 
sini. Aku akan pamit dulu untuk pergi 
ke kelurahan," kata Bagus Tulada 
dengan terus bangkit dari duduknya. 
Sebelum meninggalkan tempat itu, Bagus 
Tulada berpesan kepada para pelayan 
agar menyediakan sebuah kamar untuk 
Walet Emas. 

★ ★ ★ 




Malam hari. Walet Emas 
menggeletak di pembaringan. Pikirannya 
masih dibebani oleh pertemuannya 
dengan Bagus Tulada yang terjadi siang 
tadi. Memang tak diduga, yang akhirnya 
dapat terbeber bahwa Bagus Tulada 
adalah putra Lurah desa Pohpitu. 
Melihat penampilannya, bisa dipastikan 
bahwa Lurah Pohpitu seorang pejabat 
yang kaya. Dan itu tercermin oleh 
penampilan Bagus Tulada sendiri. 

Akhirnya pikiran Walet Emas 
tertambat kepada pertanyaan Bagus 
Tulada yang ingin tahu lebih banyak 
tentang dirinya. Hal ini yang menyeret 
lamunannya kepada masa lampau. 

Ketika ayahnya terbunuh di depan 
komplotan Cakraganta, maka dirinya 
adalah satu-satunya orang yang masih 
hidup di antara keluarganya yang telah 
binasa dalam peristiwa itu. Sebuah 
buku menjadi sengketa. Buku tentang 
rumus pembuatan sebilah pedang sebagai 
warisan dari keturunan raja-raja 
wangsa Syailendra beberapa ratus tahun 
yang lalu. 

"Pusparini! Aku mendapat firasat 
bahwa ketentraman keluarga kita akan 
terancam bencana. Kalau ada peristiwa 
di luar kemampuan kita untuk 
menanggulangi, kau harus bisa 
menyelamatkan diri," kata ayahnya, 
Wibhangga, pada suatu hari kepadanya. 

"Ayah merasa bahwa pusaka yang disebut 
"Tosan Aji" kini sedang diincar pihak 
lain yang menginginkan. Buku itu ayah 
simpan baik-baik dengan harapan tidak 
jatuh ke tangan orang berwatak jahat." 

"Buku Tosan Aji itu buku apa, 
ayah ?" tanya Pusparini yang saat itu 
berumur tiga belas tahun. 

"Buku dari kumpalan lontar yang 
berisi rahasia bagaimana meramu logam 
untuk senjata yang ampuh. Buku itu 
disusun oleh seorang Mpu pembuat keris 
di zaman wangsa Syailendra. Dahulu, 
ada dua wangsa atau keturunan raja, 
yang bernama Sanjaya dan Syailendra. 
Buku Tosan Aji itu menjadi terkenal 
ketika pemerintahan keturunan 
Syailendra bernama Samaratungga yang 
mendirikan candi Borobudur. Entah 
bagaimana kisahnya, yang jelas buku 
tersebut akhirnya berada di tangan 
salah seorang kakek buyutmu. Kemudian 
diturunkan kepadaku. Karena kau anak 
tunggal, dan aku tak mempunyai anak 
laki-laki, maka kaulah yang harus 
menj aganya." 

"Ayah menjelaskan bahwa buku 
Tosan Aji memuat rumusan cara membuat 
senjata yang ampuh. Apakah selama ini 
sudah banyak senjata yang dihasilkan?" 
tanya Pusparini yang kemudian memakai 
gelar Walet Emas. 

"Menurut dongeng turun temurun, 
baru sebilah pedang yang berhasil 
dibuat berdasarkan rumusan yang 
tertulis dalam buku Tosan Aji. Pedang 
itu dinamakan oleh pembuatnya sebagai 
Pedang Merapi Dahana. Dia memakai nama 
Merapi sebab logam yang diramu, unsur 
salah satunya adalah pijaran lahar 
gunung Merapi 

"Wah, sulit kalau begitu membuat 
pedang ampuh semacam itu," sahut 
Pusparini. 

"Ya! Oleh sebab itu tidak semua 
orang bisa membuatnya. Untuk mendapat 
pijaran lahar Merapi sangat sulit 
kalau gunung itu tidak kebetulan 
meletus. Dan itu berarti toh nyawa 
untuk mendapatkan. Kemudian unsur 
lainnya adalah batu karang yang bisa 
didapat di Laut Selatan. Karang 
berwarna merah! Kau bisa membayangkan 
betapa sulitnya untuk mendapatkan 
sarana seperti itu. Orang harus 
menyelam menakhlukkan ombak besar. Dan 
unsur lain masih banyak yang kau kelak 
bisa mengetahuinya sendiri dalam buku 
itu. " 

"Lalu.pedang yang disebut 
Pedang Merapi Dahana yang pernah 
dibuat di zaman raja Samaratungga, 
sekarang di mana?" 

"Pedang itu memang ampuh. Menurut 
cerita, raja Samaratungga sendiri 
berkenan memiliki, tetapi tak pernah 
terlaksana. Oleh Mpu pembuatnya, 
pedang tersebut diwariskan kepada 
putranya sendiri. Kini sekitar dua 
ratus tahun kisah itu begitu. Konon 
keturunan wangsa Sanjaya dan wangsa 
Syailendra terus saling bermusuhan. 
Untuk memperoleh keunggulan, mereka 
telah berlomba untuk mendapatkan buku 
Tosan Aji tersebut setelah Pedang 
Merapi Dahana yang pernah diciptakan 
hilang tak tentu rimbanya!" 

Lamunan Walet Emas yang kini kita 
ketahui memiliki nama asli Pusparini, 
terhenti. Ada sesuatu yang mengusik 
perasaannya. Ada sesuatu yang tiba- 
tiba membuatnya pusing. Kecurigaaannya 
timbul. Dia menyelidik ruangan itu. 
Terasa tercium bau asap seperti 
belerang barcampur dupa. 

Pusparini mencoba untuk bangun. 
Terlambat! Bau asap itu telah merasuk 
ke paru-parunya. Kesadarannya goyah. 
Dia tahu, pasti ada pihak lain yang 
melakukan pembiusan. 

"Aku harus secepatnya keluar dari 
ruangan ini," pikirnya sambil berjalan 
sempoyongan untuk menjangkau 
pedangnya. Tetapi niatnya kandas. Dia 
tak kuat bertahan. Dan ambruk ke 
lantai.! 


★ ★ ★ 


Entah berapa lama Pusparini tak 
sadarkan diri. Yang jelas ketika 
siuman, dirinya merasa terikat di 
sebuah tonggak. Bau pengap menusuk 
hidung. Dia berada di suatu tempat 
kotor. Paling tidak sebuah gudang yang 
tak terurus. 

Ketika pandangannya pulih dengan 
sempurna, maka sesosok tubuh terlihat 
di hadapannya. 

"Gagak Lodra?!" suara Pusparini 
menyebut nama laki-laki yang 
dilihatnya. "Kau benar-benar masih 
hidup.! " 

"Kukira kau akan menduga melihat 
hantu. Jadi kau tahu bahwa aku masih 
hidup?" kata tokoh bernama Gagak 
Lodra. 

"Bagaimana kau bisa membuatku tak 
berdaya seperti ini?" Pusparini 
mencoba mengorek keterangan lebih 
lanjut. 

"Atau. 

"Kau kenal baik dengan Bagus 
Tulada?" 

"'Kemudahan yang kuperoleh atas 
usahaku sendiri. Nama Bagus Tulada 
memang kuketahui. Tetapi aku tidak 
kenal kepadanya. Hanya secara 
kebetulan, kau menginap di tempat 
miliknya. Dan aku telah lama 
menyatroni dirimu, Pusparini alias 
Walet Emas!!" kata Gagak Lodra dengan 
sikap angkuh. 

Sekilas Pusparini teringat bagaimana asal 
mula bentrokan dengan Gagak Lodra 
Langit di desa Awu-awu.

Setelah dia terhindar dari 
pembantaian yang dilakukan oleh 
kelompok Cakraganta, dia diasuh oleh 
seorang pimpinan perguruan bernama Ki 
Suswara di padepokan Canggal. Inipun 
awalnya secara kebetulan ketika Pus- 
parini sewaktu melarikan diri menjadi 
buronan orang-orang Cakraganta dan 
diselamatkan oleh Ki Suswara. Kemudian 
Pusparini diangkat sebagai murid, dan 
dididik kurang lebih tiga tahun di 
padepokan Canggal. Ketika turun 
gunung, Pusparini yang memakai gelar 
Walet Emas, bentrokan dengan Gagak 
Lodra.! 

"Jadi kau akan balas dendam?" 
tanya Pusparini menghapus lamunannya 
masa lalu. 

"Apapun namanya, aku kini menjadi 
salah satu dari sekian banyak orang 
yang menghendaki buku Tosan Aji itu, 
Pusparini! Memang awalnya tak aku 
duga, bahwa buku yang dicari banyak 
orang itu berada di tanganmu. Sekarang 
mana buku itu, cah ayu ?" kata Gagak 
Lodra sambil meraba dada Pusparini 
secara kurang ajar. Pusparini yang tak 
berdaya karena ikatan, hanya 
mengatupkan geraham. Dan tangan Gagak 
Lodra kian nakal menyusup ke dalam 
sebelah kembennya. 

"Tetapi bagaimana kalau sebelum 
kepada tujuan utama berbicara tentang 
buku itu, kita bermain cinta dulu?" 
rayu Gagak Lodra dengan remasan 
tangannya yang semakin menggila di 
dada Pusparini. Napas Pusparini turun 
naik. Terlukis jelas lewat gerak 
dadanya yang diremas Gagak Lodra. 

"Kau benar-benar manusia bejat!! 
Laki-laki pengecut! Hanya berani 
menghadapi wanita yang tak 
berdaya.!" debat Pusparini. 

"Memangnya ada hukum yang 
melarang?" ejek Gagak Lodra. "Sebagai 
wanita kau sedang ranum-ranumnya. 
Bibirmu merah seperti tomat. Dadamu 
nyengkir gading. Pinggangmu nawon 
kemit. Betismu indah. Tak pantas jadi 
pendekar!" 

"Bedebah! Manusiabejat!!" 
Pusparini mencoba berontak. Semakin 
beringas dia berusaha lepas dari 
ikatan, semakin menggila pula Gagak 
Lodra mencengkeram dadanya. 

Dan pada saat itulah...., tiba- 
tiba dinding tempat itu jebol! Sesosok 
tubuh melesat kedalam. Sebelum Gagak 
Lodra sadar apa yang terjadi, 
pendatang itu menggenjotkan tubuhnya 
dan berputar di udara, yang 
selanjutnya kakinya berkelebat 
mengunjam ke dagu Gagak Lodra. 

Gagak Lodra tergeser dari 
tempatnya sambil mengatur diri untuk 
mencegah serangan berikutnya. Dia 
melihat bagaimana sosok tubuh yang 
muncul tiba-tiba ini melepaskan ikatan 
tali yang melilit di tubuh Pusparini 
dengan sayatan cudrik, keris kecil, 
sekali tebas. Tali yang melilit di 
tubuh Pusparini terurai lepas. 

"Hah? Kau.?" Pusparini 
terpana. Tetapi keheranan ini cepat 
sirna seiring dengan tindakan 
melepaskan diri dari tempatnya untuk 
memberi bantuan, karena melihat Gagak 
Lodra telah bergerak melancarkan 
balasan kepada si penyerang tadi. 
Tetapi sebelum Pusparini melaksanakan 
bantuannya, tokoh penyelamat itu 
berhasil mengatasi serangan Gagak 
Lodra dengan menggelindingkan tubuhnya 
menghindarkan diri dari tendangan 
beruntun lawannya. 

Pusparini mencegah gerak Gagak 
Lodra dengan sapuan kaki ke arah 
lambung lawan. Tindakan pencegahan ini 
berhasil, tetapi segera mengalihkan 
perhatian Gagak Lodra ke arahnya. 

"Jadi kalian saling mengenal, 
hah?!" seru Gagak Lodra sambil 
mengimbangi serangan Pusparini. 
Melihat Gagak Lodra kini ganti 
berhadapan dengan Pusparini, maka si 
penyelamat untuk beberapa saat menjadi 
penonton. Dia tersenyum cengar-cengir 
melihat adegan baku hantam yang sedang 
berlangsung. 

"Wariga! Kau akan kutandangi 
sampai modar kalau Walet Emas ini 
berhasil kuringkus lagi!" seru Gagak 
Lodra sambil terus dengan gencar 
mengirimkan serangan ke arah lawan. 

Ya! Wariga si penyelamat itu! 
Beberapa saat tadi Pusparini sempat 
dibuat heran, karena tidak menduga 
bahwa Wariga yang muncul. Wariga yang 
pernah dikenali kemarin lusa yang 
kehadirannya seperti bocah clola-cloco 
seperti pengemis, ternyata punya 
kemampuan tak terduga. Atau memang hal 
itu menjadi sikap Wariga yang tidak 
sok pamer dengan kemampuan dirinya? 
Wariga yang pernah mencuri ikan 
panggang di api unggun, benar-benar 
merupakan malaikat penolong. Apa 
jadinya kalau bocah itu tidak muncul? 
Keperawanan Pusparini pasti amblas 
dilahap Gagak Lodra yang konon 
mendapat julukan Si Pemetik Bunga, 
alias doyan merusak anak gadis orang 
di desa-desa yang dilaluinya. 

"Aku tidak ingin disebut 
pengecut, oleh sebab itu aku tidak 
membantumu menangani Si Pemetik Bunga 
itu!" seru Wariga di tempatnya sambil 
terus menonton. 

Sementara itu baku hantam telah 
menjebol dinding ruangan itu, dan kini 
beralih di luar. Untuk beberapa jurus, 
kekuatan mereka seimbang. Tetapi 
kemudian terlihat beberapa pukulan 
dari Pusparini mulai banyak bersarang 
ke tubuh Gagak Lodra. 

"Hm! Gadis ini tetap tegar 
walaupun baru kena pembiusanku. Tenaga 
dalam yang dimiliki pasti ampuh, " 
pikir Gagak Lodra sambil mengelakkan 
pukulan lawannya. "Umumnya murid-murid 
perguruan Canggal memiliki daya 
penangkal racun tingkat tinggi. Toh 
kemarin dia berhasil kubius dengan 
ramuan baru temuanku." Gagak Lodra 
tetap hanyut dalam pikirannya sambil 
mencari peluang untuk melakukan 
serangan balasan. Tetapi kenyataannya 
pertahanan Pusparini sulit ditembus. 
Dan pada saat itulah. 

"Ahh ! " terdengar aduhan dari 
mulut Pusparini. Dia merasakan angin 
pukulan mengenai lambungnya. Sekilas 
dia mencari dari mana datangnya 
pembokong yang menyerang dirinya 
secara pengecut. Di sisi lain, karena 
melihat Pusparini tak menguasai diri 
lagi, maka Gagak Lodra berniat 
melancarkan serangan balasan. Tetapi 
tindakan ini tidak kesampaian. Sebab 
dirinya pun mendapat serangan serupa, 
yakni pukulan jarak jauh yang 
dilakukan oleh orang yang menyerang 
Pusparini. 

Tertimpa pukulan ini Gagak Lodra 
limbung beberapa langkah ke belakang. 
Dia tahu ada pihak ketiga yang 
mencampuri baku hantam ini. Matanya 
jelalatan mencari datangnya si 
penyerang. Akhirnya diketahui bahwa 
ada seseorang telah muncul di atas 
dahan pohon. Pusparini pun melihat 
tokoh yang baru muncul. Dan tak luput 
pula si Wariga, juga menyaksikan 
campur tangan orang itu. Tiga pasang 
mata mengawasi ke arah tokoh yang baru 
muncul tersebut. 

"Kalian kecewa aku turut campur?" 
tanya tokoh itu. 

Pusparini mengenalinya. 

"Sawung Cemani?!" 

"Kau tak menduga kalau kita bisa 
bertemu lagi, Walet Emas ?" kata tokoh 
bernama Sawung Cemani. 

Beberapa waktu yang lalu terjadi 
juga bentrokan Pusparini dengan tokoh 
bernama Sawung Cemani ini. Pusparini 
terkena pukulan "Jalu Beracun" yang 
dimiliki Sawung Cemani sehingga 
tubuhnya sedikit keracunan. Tetapi di 
sisi lain Pusparini berhasil melukai 
Sawung Cemani cukup parah dengan 
sabetan pedang. Kemudian keduanya 
mengundurkan diri. Dalam perjalanan, 
akhirnya Pusparini berjumpa dengan 
Bagus Tulada di warung penginapan yang 
melibatkan bentrokan dengan Branjang 
Geni . 

Kini, Sawung Cemani muncul lagi! 
Gagak Lodra menahan geram. Dia merasa 
disepelekan dengan munculnya orang 
yang ikut campur dalam 
pertarungannya. Apalagi ketika 
Pusparini menyebut nama orang itu, 
yang tiada lain Sawung Cemani. Dan 
tokoh ini diketahui juga memburu buku 
Tosan Aji. 

Semua orang menghendaki buku 
Tosan Aji. Dan diketahui bahwa 
Pusparini alias Walet Emas yang 
menyimpannya. 

"Sawung Cemani! Antara kita 
memang belum pernah berkenalan. Tetapi 
aku tahu, kalau kau menghendaki buku 
Tosan Aji, kau harus mundur dulu. Saat 
ini giliranku untuk merebut dari 
tangan si sintal ini," seru Gagak 
Lodra. 

"Hahahahahaha.! Cepat benar 
kau mengambil kesimpulan begitu... 
eee.siapa namamu, kisanak?" ucap 
Sawung Cemani sambil melompat dari 
dahan di atas pohon. 

"Terang sekali bahwa lingkunganmu 
seperti katak dalam terpurung kalau 
tidak kenal nama Gagak Lodra!" jawab 
Gagak Lodra dengan nada angkuh. 

"Ah, ya, ya! Gagak Lodra! Aku 
pernah dengar itu. Tetapi kau jangan 
lantas bangga punya nama seperti itu, 
sebab namamu tak masuk hitungan dalam 
kancah orang-orang penting di sekitar 
gunung Merapi ini," jawab Sawung 
Cemani. Sindiran seperti ini terang 
saja memanaskan telinga Gagak Lodra 
yang sifatnya brangasan. Tak ayal 
lagi, kontan dia menghentakkan 
kakinya, dan melesat ke arah Sawung 
Cemani. 

Sawing Cemani cukup waspada. 
Sebelum tendangan lawan tertuju ke 
dadanya, dia membungkukkan badannya ke 
samping sambil menghentakkan kaki 
kanannya memapag tendangan lawan. Dan 
kaki yang dibungkus kulit ini, tiba- 
tiba mencuatkan jalu besi di atas 
tumitnya. Inilah yang disebut "Jalu 
Beracun"! 

Gagak Lodra terlambat menyadari 
adanya senjata lawan tersebut. 
Akibatnya kakinya robek oleh senjata 
yang berbentuk jalu itu. Kalau tempo 
hari Pusparini pernah mengalami 
mengidap racun dari jalu ini, itu 
hanya terkena tendangannya saja. 
Tetapi tendangan ini menyemburkan 
bubuk beracun yang terisap 
pernafasannya. Dan kini lain halnya 
dengan Gagak Lodra. Dia benar-benar 
kena sabetan jalu besi itu ! 

Gagak Lodra merasakan seperti ada 
api membakar kakinya. Ketika dilihat 
sambil mencari peluang untuk mengatur 
pertahanannya kembali, kakinya telah 
mengucurkan darah. Darah berwarna 
kehitaman. Dia sadar, luka itu telah 
dicemari racun. Begitu cepat 
perkembangannya. Darahnya langsung 
berwarna kehitaman. Melihat keadaan 
ini Gagak Lodra secepatnya menotok 
aliran darah di atas luka tersebut 
untuk menghambat racun yang mungkin 
menjalar ke seluruh tubuhnya. Dia 
berhasil melakukan, tetapi akibatnya 
membuat kaki itu sukar digerakkan 
untuk melancarkan serangan lagi. 

"Percuma kau menghadapi aku lagi, 
Gagak Lodra. Menyingkir saja dari 
percaturan orang-orang yang hendak 
merebut buku Tosan Aji dari Walet 
Emas," seru Sawung Cemani yang nama 
ini berarti Ayam Laga Hitam. "Dalam 
keadaan seperti itu dengan mudah aku 
bisa membabat nyawamu terbang ke 
akherat. Kuberi kau waktu untuk 
hengkang dari hadapanku." 

Mendengar ancaman yang sangat 
merendahkan dirinya, maka Gagak Lodra 
meledakkan suara jeritan. Sawung 
Cemani untuk sesaat sempat dibuat 
kaget dengan suara itu, sebab nada 
getaran suara tersebut mengandung te- 
naga dalam untuk membuyarkan 
perhatian. 

Benar saja, dengan teriakan 
seperti itu Gagak Lodra berusaha 
mengadakan serangan walaupun kakinya 
yang terluka sukar digerakkan. Benar- 
benar suatu upaya yang nekad. Tubuhnya 
bisa meluncur ke arah lawan. Tetapi 
Sawung Cemani bukan tokoh kelas teri 
yang bisa dikecoh dengan gertakan 
seperti itu. Dia dengan trengginas 
mempersiapkan diri menghadapi serangan 
tersebut dengan meregangkan tapak 
tangannya. Tapak tangan ini berhasil 
menyambar tendangan kaki Gagak lodra, 
dan mencengkeram pergelangan kaki. 

Gerak Gagak Lodra terasa ketanggor 
batu padas yang membuat aliran darah 
di bagian kakinya terasa membeku. 
Tidak itu saja. Tiba-tiba terasa 
tulang kaki yang dicengkeram Sawung 
Cemani berdetak. Tulang kaki di bagian 
itu remuk kena cengkeraman tangan 
lawan. Benar-benar suatu kesialan yang 
beruntun. Kini dia benar-benar lumpuh! 
Sementara Sawung Cemani dapat 
membendung serangan Gagak Lodra, tiba- 
tiba Wariga yang sejak tadi tenang 
asyik menyaksikan pergulatan tersebut, 
kini menggebrak dengan terjangan ke 
punggung Sawung Cemani. Tentu saja 
keadaan ini benar-benar mengagetkan 
tokoh yang kali ini menjadi pusat 
perhatian karena keunggulannya 
menangani Gagak Lodra. 

Sambil melempar tubuh Gagak 
Lodra, Sawung Cemani berusaha 
menangkis serangan yang tiada terduga 
itu, yang kemungkinan akan dilakukan 
secara beruntun oleh pihak penyerang. 
Sesaat dia menduga bahwa yang 
menyerang adalah Pusparini alias Walet 
Emas. Ternyata bocah laki-laki yang 
tak pernah diperhatikan sama sekali 
walaupun sejak tadi berada di sana. 

Tendangan kaki Wariga cukup 
menyakitkan. Terbukti Sawung Cemani 
mengatupkan gerahamnya mengatur 
pernapasan untuk mengendalikan rasa 
sakit. Rupanya bocah itu cukup jeli di 
mana bagian tubuh lawan yang bisa 
diserang sehingga menggoyahkan 
pertahanan. 

"Bocah edan! Jadi kaupun ingin 
ambil bagian dalam masalah ini?" seru 
Sawung Cemani setelah dirinya 
melimbungkan tubuhnya yang kemudian 
berpijak ke tanah kembali untuk 
mempersiapkan serangan balasan. 

"Aku cuma penonton! Sebagai 
penonton akan tidak senang kalau ada 
tindakan para pemain yang akan 
memborong nilai permainan dengan 
serakah dan curang!" kata Wariga tanpa 
gentar sedikit pun. 

"Jangan sok kau bocah. Apa maksud 
kata-katamu memborong nilai permainan 
dengan serakah?" tanya Sawung Cemani 
dengan mata melotot menahan geram. 
Kulitnya yang kehitaman menambah 
seramnya penampilan dalam rangkaian 
pakaiannya yang berwarna hitam dan 
merah. 

"Belum lima jurus, kau telah 
mengeluarkan senjata rahasiamu ! Jalu 
besi di atas tumitmu terlalu cepat kau 
gunakan. Apa kau tak punya kebolehan 
ilmu bela diri dengan tangan kosong 
untuk pemanasan perang tanding? Caramu 
itu sah-sah saja. Tetapi kurang 
ksatria. Kalau dinilai sepak terjangmu 
dapat angka tiga!" 

"Umurmu masih ingusan sudah bisa 
ngumbar omongan seperti itu ! Dengar, 
bocah ! Aku pantang bertarung dengan 
pengemis seperti dirimu! Kau tadi 
telah menendangku. Itu kumaafkan. 
Kalau kau ingin panjang umur, cepat 
menyingkir dari sini!" sanggah si Sa- 
wung Cemani. 

"Cobalah kau usir tidak dengan 
omongan ! Itu yang kukehendaki!" 

"Jahanam keparat!!" teriak Sawung 
Cemani sambil terus menggerakkan 
tubuhnya menerjang ke arah Wariga. 

Benar-benar tak disangka. 
Ternyata Wariga mampu berkelit dengan 
gesit mengelakkan serangan Sawung 
Cemani. Gerakannya begitu lincah, dan 
ternyata dia menguasai Ilmu Kera. Ini 
benar-benar diperhatikan oleh Pus- 
parini yang terus memantau peristiwa 
itu. Wariga yang berpenampilan seorang 
pengemis sangat menguasai Ilmu Kera. 
Ilmu itu dikembangkan oleh Perguruan 
Anoman yang konon padepokannya berada 
di puncak Gunung Dieng. 

Mengetahui kepastian akan hal ini 
Pusparini tak meragukan lagi dengan 
keberadaan Wariga yang telah 
menolongnya. Dia tahu betul bahwa 
Perguruan Anoman mempunyai hubungan 
kekeluargaan dengan Perguruan Canggal 
yang dipimpin oleh Ki Suswara, orang 
yang telah mendidiknya sampai menjadi 
seorang pendekar pilih tanding. 

Sementara itu Sawung Cemani yang 
nenyaksikan gerakan-gerakan bela diri 
si Wariga, cukup membuat perasaannya 
terkesima. Dia mengenal jurus kera. 
Tetapi yang dimiliki oleh Wariga bukan 
main tangkas dan lincahnya. Sulit 
diramal ke arah mana setiap gerak yang 
dilancarkan akan menuju. Sebab tanpa 
diduga, serangan yang diperkirakan 
menjurus ke kanan, bisa berubah ke 
arah kiri atau ke arah atas atau 
bawah. Konon jurus seperti ini disebut 
jurus Kera Siluman, suatu sempalan 
ilmu bela diri yang dicangkok dari 
Negeri Atas Angin. Tempat ini kemudian 
dikenal pula dengan nama Himalaya, di 
kawasan India sana. Di tempat itulah 
menurut legenda setempat, tempat 
lahirnya tokoh manusia kera bernama 
Hanuman, yang kemudian di Jawa dikenal 
dengan nama Anoman. 

Sawung Cemani benar-benar 
kuwalahan menghadapi gerak kelincahan 
si Wariga. Ini ibarat pertarungan 
antara ayam jago dengan kera. Betapa 
dahsyat. Si jago dengan jurus kepakan 
sayapnya mencoba memberikan pukulan 
fatal. Belum lagi ditambah jurus 
tendangan kaki yang berjalu beracun 
itu. Sementara si kera dengan cakaran 
lewat tendangan tangan dan kaki, semua 
itu menambah sengitnya pertarungan. 
Tetapi kalau diukur dengan usia, maka 


Wariga mendapat angka jempol. Sebab 
dengan usianya begitu muda, dia dapat 
menandingi Sawung Cemani yang sudah 
boleh dibilang kampiun dalam rimba 
persilatan. Sampai pada akhirnya. 

Tiba-tiba mereka merasakan bumi 
bergetar! Semua yang berada di sana 
menghentikan sikap, memantau keadaan 
alam yang tiba-tiba dirasakan tidak 
seperti biasanya. 

Gempa bumi! 

Ya. Itulah yang terjadi. Tidak 
cukup keras memang, tetapi hal ini 
menimbulkan perhatian yang sangat 
serius, karena setiap mata tiba-tiba 
mengarah kepada puncak gunung Merapi 
di sebelah barat sana. 

Gunung Merapi meletus. Jelas 
kelihatan kepulan asap kelabu yang 
tebal dengan gerak pelan membumbung ke 
angkasa. 

Dan entah siapa yang membuat 
prakarsa, semua pihak segera melesat 
meninggalkan tempat itu, menuju arah 
gunung Merapi. 

Tentu saja tidak semua. Hanya 
Gagak Lodra yang tak bisa bertindak 
apa-apa. Pertarungannya dengan Sawung 
Cemani membual dirinya lumpuh tak 
berdaya. 

Pusparini cepat mengambil 
kesimpulan mengapa Wariga dan Sawung 
Cemani melesat lari ke arah gunung 
Merapi. Mereka pasti mengerti tentang 
rumusan dalam buku Tosan Aji. Apalagi 
kalau tidak begitu ? Sebab dalam ru- 
musan itu tercantum catatan adanya 
unsur batu lahar berpijar untuk 
menciptakan sebilah pedang yang ampuh. 
Sedangkan rumusan yang lain berisi 
ramuan tidak diketahui oleh siapa pun, 
kecuali kalau sudah memiliki buku 
tersebut. 

Kini Wariga dan Sawung Cemani 
telah melesat lari ke arah gunung 
Merapi yang sedang meletus. 

"Jadi si Wariga mengerti juga. 
Pasti dia menghendaki buku tersebut. 
Tetapi mengapa dia tampak baik-baik 
saja terhadapku? Apakah ada maksud 
tersembunyi yang aku tidak tahu dengan 
sikapnya itu? Bagaimanapun, siapa yang 
berkepentingan untuk memperoleh batu 
lahar berpijar, pasti menghendaki buku 
Tosan Aji!" pikir Pusparini sambil 
terus berlari. 

Dari peristiwa ini bisa 
diketahui, bahwa Pusparini, Wariga dan 
Sawung Cemani memiliki ilmu yang 
tinggi dalam mengerahkan tenaga 
larinya. Entah jurus lari apa namanya, 
yang jelas semua itu telah mereka 
kerahkan untuk mencapai tempat yang 
dituju. 




Gunung Merapi meletus! Awan 
kelabu membumbung tinggi. Karena angin 
berembus ke arah barat, maka asap 
letusan itu meliuk ke barat. Lelehan 
lahar terlihat jelas menuruni lereng 
di sebelah selatan. Banyak penduduk 
yang menyaksikan peristiwa itu dengan 
harap-harap cemas. Mereka khawatir 
kalau letusan itu semakin besar 
seperti beberapa waktu yang lalu, 
seperti yang pernah didongengkan oleh 
para leluhur mereka. Beberapa puluh 
tahun yang lalu gunung Merapi pernah 
meletus dengan dahsyat sehingga abunya 
menyelimuti daerah sekitarnya. 

Sedangkan candi-candi yang 
terdapat di sekeliling kawasan Merapi 
sampai tertimbun abu lahar setebal dua 
jengkal. 

Suara gemuruh semakin nyata 
terdengar begitu Pusparini bertambah 
dekat dengan gunung tersebut. Daerah 
yang diterobos semakin menanjak 
tinggi. Langkahpun kian berat menapak 
batu-batu yang menghadang jalan. Dari 
sini dia tahu bahwa Wariga dan Sawung 
Cemani sudah berpencar. Entah kemana. 

"Hm ! Jelas sudah. Mereka pasti 
akan mencari lahar berpijar dari 
gunung Merapi ini untuk membuat pedang 
ampuh", pikir Pusparini sambil terus 
melompat ke atas. Kini gerakannya 
dilakukan dengan cara melompat dari 
batu satu ke batu yang lain yang letak 
tempatnya kian menanjak. Kawasan yang 
dilalui mulai berbau belerang, dan 
pandangan tak bisa melihat jelas 
sejauh lima tombak. 

"Oh.... aku sulit bernafas dengan 
nyaman. Udara di sini telah bercampur 
uap belerang," pikir Pusparini sambil 
melepas selendang ikat pinggangnya 
untuk menutup hidung. 

"Memang tak begitu mudah untuk 
mendapatkan sarana pedang tersebut!" 

Keluhan-keluhan mulai dirasakan. 
Siapa yang mampu melawan kekuatan 
alam? Tetapi hal itu belum membuat 
Pusparini putus asa. Dia terus 
memanjat dengan gerak lompatan semakin 
ke atas. Kadang-kadang perhitungannya 
meleset, sebab batu yang diinjak tiba- 
tiba longsor ke bawah. Beberapa kali 
dia mengalami hal itu. Dia yakin di 
suatu tempat di atas sana ada daerah 
yang bisa dibuat tempat untuk 
mendapatkan pijaran lahar. 

Tiba-tiba dirasakan dentuman 
hebat. Pusparini yang semula baru akan 
melompat ke atas, tubuhnya terpental 
karena hempasan dentuman tersebut. Itu 
adalah dentuman letusan untuk kesekian 
kalinya. Membuktikan adanya limpahan 
lahar yang dikeluarkan lewat kepundan 
gunung Merapi. 

"Astaga! Ada lahar yang menuju ke 
tempatku!" kata Pusparini dalam hati. 

Ada rasa panik mencekam hatinya. 
Dia memang mendapat bekal ajaran 
sebagai pendekar pilih tanding. Tetapi 
menghadapi keganasan alam yang begini 
tak pernah diajarkan. Walaupun begitu 
Pusparini tak cepat putus asa. Dia 
menganggap aliran lahar itu sebagai 
lawan yang menyerang dirinya. Maka 
dengan menggenjot tubuhnya ke atas, 
dia mencoba menghindarkan diri dari 
terjangan lahar tersebut. Usahanya 
berhasil. Kini tubuhnya nangkring di 
atas batu padas, sementara aliran 
lahar mulai menerjang di bawahnya. 

Semua disaksikannya dengan 
perasaan berdebar. Pijaran lahar yang 
dicari dengan jelas terpapar di 
hadapannya. Tinggal mengambil saja. 
Tetapi dengan alat apa? Tiba-tiba 
dirasakan betapa tolol dirinya 
menghadapi semua ini. 

Konon pernah didengar cerita dari 
ayahnya, bahwa empu pembuat senjata 
bisa dengan mudah meraup pijaran lahar 
itu dengan tangan telanjang. Tanpa 
bantuan alat apa-apa. Tentunya orang 
semacam itu adalah orang yang sakti. 

"Jadi sia-sia saja aku berada di 
sini!" pikirnya. 

Mendadak Pusparini teringat akan 
Sawung Cemani dan Wariga. Dia ingin 
tahu apa yang telah dikerjakan mereka. 

"Akan kucari mereka. Aku ingin 
tahu dengan cara apa mereka mengambil 
lahar berpijar ini," kata Pusparini 
dalam hati sambil melesat meninggalkan 
tempat itu. 

Pusparini melompati batu-batu 
yang bertonjolan di lereng Merapi 
sementara lahar berpijar meluncur ke 
bawahnya. Belum lama dia bertindak, 
tiba-tiba pandangannya tertuju kepada 
sesosok tubuh berkelebat di seberang 
sana. 

"Wariga!" teriak Pusparini. 
Wariga menoleh. Senyumnya menghias 
bibir. 

"Apa yang akan kau lakukan di 
tempat ini?" tanya Pusparini sambil 
melompat mendekat ke arah bocah itu. 

"Mungkin.... seperti yang akan 
kau lakukan juga," jawab Wariga sambil 
memandangi aliran lahar berpijar di 
kakinya. 

"Mengambil lahar ini?" Pusparini 
menyelidik. 

"Maaf. Aku juga mempunyai 
kepentingan yang sama," Wariga 
menjawab dengan nada bicara berwibawa. 
Seakan-akan dirinya bukan bocah 
seperti yang dikenal Pusparini. Juga 
suara Wariga terdengar mantap seperti 
suara orang dewasa. 

"Bagaimana kau akan mengambil 
lahar berpijar ini?" tanya Pusparini 
dengan mengerutkan dahi. Tiba-tiba 
dirasakan Wariga yang dikenal beberapa 
hari yang lalu, seperti bukan Wariga 
lagi. Ada perubahan sikap yang tidak 
dimengerti oleh Pusparini. 

"Akan kuambilkan untukmu!" jawab 
Wariga sambil melangkah turun 
mendengati aliran lahar berpijar. 

"Dengan alat apa?" 

"Lihat saja apa yang bisa 
kulakukan untukmu," jawab Wariga 
dengan sikap santai. 

Kemudian Wariga berjongkok. Lama 
dia termenung mengawasi lahar berpijar 
yang mengalir di depannya. Orang biasa 
akan merasakan betapa panas udara di 
dekat lahar yang mengalir itu. 
Tampaknya Wariga tidak merasakan hal 
itu. Pusparini mengawasi dengan tekun. 

Wariga seperti sibuk membaca 
mantera-mantera. Perhatiannya tertuju 
ke arah pijaran lahar yang mengalir di 
hadapannya. Dan kemudian yang 
dilakukan Wariga membuat perasaan 
Pusparini berdetak cepat. Tanpa ragu 
Wariga meraup lahar berpijar itu 
dengan tangannya! 

Kedua tangan Wariga kini memapah 
pijaran lahar. Dan tangan itu tak 
cedera sedikitpun! Kemudian dia 
bangkit dari sana, mendekati 
Pusparini. 

"Www.. Wariga.. . . ! Bagaimana kau 
bisa melakukan hal ini? Kau... tidak 
sesepele yang kuduga. Kau.punya 
banyak keunggulan dari padaku. Siapa 
kau sebenarnya?" tanya Pusparini 
sambil mengawasi kedua tangan yang 
membawa setumpuk lahar berpijar. 
Tetapi pijaran lahar itu berangsur- 
angsur menghitam, dan suhu panasnya 
kian merendah. 

"Aku telah berkata, aku 
mengambilkan untukmu," jawab Wariga 
yang suaranya tidak seperti bocah 
lagi. "Ayo, kita tinggalkan tempat 
ini. Udara di sini tidak baik untuk 
kesehatan." 

Kemudian mereka beranjak 
meninggalkan tempat itu dengan 
lompatan-lompatan menuju ke bawah. 
Langkah ini kelihatannya lebih mudah 
dari pada mereka harus mendaki. Tetapi 
yang diperkirakan tidaklah demikian. 

Hujan abu yang semakin deras 
karena arus angin yang berbalik ke 
arah mereka membuat pandangan semakin 
terhalang. 

"Jangan terlalu jauh denganku, 
Pusparini!" kata Wariga sambil memberi 
isyarat dengan gerakan kepala agar 
Pusparini mendekat ke arahnya. 

Pusparini yang kini seperti 
seorang bocah yang tidak tahu apa-apa, 
menuruti saran itu. Dia mengekor 
langkah Wariga sementara suara gemuruh 
terdengar lagi dengan dahsyat. Ini 
pertanda ada muntahan lahar lagi dari 
kepundan gunung. 

"Kita jangan sampai terjebak 
udara beracun! Harus kita cari tempat 
yang sesuai dengan arah angin 
bertiup!" saran Wariga. 

"Lahar berpijar di tanganmu 
rupanya telah dingin dan warnanya 
berubah menghitam !" sela Pusparini. 

"Tak menjadi masalah. Yang 
penting, syarat bahwa pengambilan 
lahar ini harus diambil dengan tangan 
telanjang sewaktu masih dalam keadaan 
berpijar. Ah, sudahlah. Kita jangan 
mengomongkan masalah ini dulu. Yang 
penting kita harus meninggalkan kawas- 
an ini secepatnya." Wariga terus 
melangkah sambil mengakhiri ucapannya. 

Mereka berdua terus menuruni 
lereng Merapi. Seperti ada yang 
mengingatkan, tiba-tiba Pusparini 
teringat akan Sawung Cemani. Apakah 
dia juga berhasil mendapatkan lahar 
berpijar? Mungkinkah dia juga 
mempunyai kemampuan seperti Wariga 
yang bisa mengambil pijaran lahar 
dengan tangan telanjang? 

Ya! Siapa tahu? Dalam dunia 
persilatan, kadang-kadang seseorang 
yang kelihatan tidak memiliki 
kemampuan tangguh, ternyata memyimpan 
kehebatan ilmu yang jarang dikuasai 
orang lain. Dan kini dilihatnya Sawung 
Cemani belum juga terlihat batang 
hidungnya lagi. Apakah dia tewas 
diterjang lahar? Atau sudah berhasil 
mendapatkan tetapi kini masih berada 
di tempat lain ? Pusparini benar-benar 
dihadapkan kepada tugas yang penuh 
tantangan. Disadari kini bahwa dirinya 
menjadi tumpuan perhatian orang-orang 
yang mengerti akan buku Tosan Aji. 

Tetapi tentang Wariga, walaupun 
tampaknya bocah itu berpihak 
kepadanya, dia tetap menaruh 
kecurigaan. Siapa tahu bahwa semua itu 
cuma kedok untuk mengelabui dirinya? 
Pusparini tetap mengingat pesan 
gurunya, Ki Suswara, agar tidak 
mempercayai siapapun dalam suatu 
urusan. Maksudnya, agar hati-hati. 
Apalagi kalau hal itu dikaitkan dengan 
persahabatan yang terdapat masalah 
terselubung, yang mengandung teka- 
teki . Dan Wariga adalah seorang bocah 
yang masih menjadi teka-teki baginya. 
Wariga adalah seseorang yang 
berpenampilan seperti seorang bocah 
dengan sifat kebocahannya, tetapi 
kadang-kadang terlihat seperti 
seseorang yang telah dewasa, dengan 
nada suara kedewasaannya. Ini sangat 
aneh! 

"Kita berteduh di situ saja," 
ajak si Wariga sambil memberi isyarat 
ke arah sebuah gua. 

Pusparini tetap mengekor langkah 
bocah itu. Gua yang dituju dikelilingi 
dahan-dahan pohon yang meranggas 
kering, dengan selimut abu gunung 
menebal. 

"Huh ! Baru bisa bernafas lega di 
sini," keluh Wariga sambil mencari 
tempat untuk meletakkan lahar yang 
telah membeku di tangannya. "Kau bisa 
membuat api unggun?" 

Pusparini bertindak. Aneh! Kini 
api yang dibutuhkan, padahal tadi 
keduanya terbirit-birit menghindari 
lahar panas. Dengan ketrampilannya, 
Pusparini segera mempersiapkan api 
unggun dengan dahan-dahan kayu yang 
mudah diperoleh di sekitar tempat itu. 
Dengan menggosok-gosokkan dua batang 
kayu kering, maka terciptalah api. 
Begitu api berkobar, Wariga segera 
membenamkan batu lahar yang telah 
membeku ke dalam api itu. 

"Untuk apa? Mengapa harus 
begitu?" tanya Pusparini. 

"Agar pamor batu itu tetap ada, 
harus diperlakukan seperti itu. Harus 
tetap hangat. Tidak boleh dingin 
membeku. Kalau tidak ada api, kita 
harus selalu menggenggamnya, karena 
tubuh kita juga mengandung unsur api. 
Hal itu berlangsung sampai batu lahar 
ini siap ditempa sesuai dengan 
campuran sarana yang lain....!" Wariga 
mengumbar omongan seakan-akan 
menggurui masalah yang buku kuncinya 
terletak di tangan Pusparini. 

"Pasti kau juga menghendaki buku 
Tosan Aji itu," terka Pusparini dengan 
pandangan menyelidik. "Aku benar-benar 
tak mengerti siapa kau sebenarnya, 
Wariga. Penampilanmu sungguh asing dan 
mengundang teka-teki. Sulit dikatakan 
bahwa kau seorang bocah seperti 
terlihat pada bentuk lahirmu." 

Terdengar suara tawa Wariga. 

"Mengapa ketawa? Ada yang lucu 
dengan pertanyaanku tadi ?" tanya 
Pusparini seakan-akan merasa 
disepelekan dengan sikap Wariga. 

"Kau pasti mencurigai aku. Sudah 
kukatakan, aku hanya ingin menolongmu. 
Tak lebih dari itu. Ketika secara 
kebetulan gunung Merapi itu meletus, 
kau pasti menghendaki lahar berpijar 
untuk sarana pembuatan senjata ampuh 
seperti yang tertulis dalam kitab 
Tosan Aji," Wariga menambahi 
penjelasan. 

"Kini katakan, siapa kau 
sebenarnya?!" 

"Aku? Namaku sudah kau kenal. 
Asalku? Enghmm.sebut saja sebagai 
Manusia Kabur Kanginan.. Orang yang 
tak diketahui asal-usulnya. Nah, puas ? " 

"Tidak!" 

"Tidak?! Ya sudah. Tak ada yang 
bisa kuceritakan padamu lagi. 
Seseorang berhak menyimpan suatu 
rahasia bukan? Apalagi kalau hal itu 
menyangkut tentang diri pribadi nya, " 
kata Wariga dengan sikap tak acuh. Dia 
bangkit untuk memeriksa keadaan di 
luar gua. "Kelihatannya kita terpaksa 
bermalam di sini. Merapi masih belum 
reda dari krodanya." 

"Apa pikiranmu tentang Sawung 
Cemani?" tanya Pusparini. Dia 
mengharapkan bahwa Wariga yang 
menyimpan banyak rahasia ini dapat 
memberi penjelasan. 

"Aku tak tahu apakah dia bisa 
mengambil lahar berpijar dengan 
tangannya sesuai dengan persyaratan. 
Tetapi melihat gelagatnya ketika dia 
begitu terburu-buru ingin mendapatkan 
pijaran lahar itu, bisa dipastikan, 
dia mampu melakukan!" ujar Wariga 
meyakinkan. "Seperti halnya dengan 
yang lain, maka sebagian isi buku 
Tosan Aji sudah banyak orang yang 
tahu. Dan yang paling utama adalah 
sarana lahar berpijar dari gunung 
Merapi." 

"Jadi.batu lahar ini akan kau 
berikan padaku?" Pusparini menyelidik. 

"Ambillah ! Itu memang kucarikan 
untukmu," jawab Wariga sambil mencari 
tempat untuk tidur. 

"Kau pikir aku berniat membuat 
pedang sesuai dengan rumusan dalam 
buku Tosan Aji?" tanya Pusparini lagi. 

Wariga tak menjawab. 

"Wariga?.... Kau sudah tidur?" 
terdengar suara Pusparini. 

Tak terdengar jawaban. 
Dipandanginya tubuh Wariga yang 
terbaring dengan berbantal tangan. 


Tubuh yang tak berbaju. Hanya bagian 
bawah saja yang tertutup kain. Itu pun 
kain yang sudah lusuh. Penampilan 
macam itu akan menimbulkan kesimpulan 
bahwa Wariga adalah seorang 
gelandangan. Kasarnya pengemis. Tetapi 
Pusparini tidak menganggap lagi 
pandangan seperti itu. Wariga 
mempunyai banyak kelebihan. Dan 
mungkin tidak semua yang ditonjolkan. 
Hanya saja tentang suara yang pernah 
didengar ketika mengambil pijaran 
lahar itu, benar-benar membuat heran 
Pusparini. Suara Wariga terdengar 
tidak seperti bocah seusianya. Tetapi 
terdengar seperti suara orang dewasa! 

Memikirkan banyak hal tentang 
teka-teki yang menyangkut diri Wariga, 
membuat Pusparini terseret rasa 
ngantuk. Akhirnya dia tertidur. 

★ ★ ★ 




Pusparini njenggirat kaget. 
Kesadarannya cepat pulih di saat dia 
terbangun dari tidurnya. Rasanya ada 
seseorang yang membangunkan. Tetapi 
ketika diselidiki keadaan sekitarnya, 
tak ada seorangpun yang terlihat. Juga 
si Wariga! 

"Wariga?!" panggilnya. Tak ada 
sahutan. Tak terlihat sosok tubuh 
Wariga. Tempat di mana Wariga tidur, 
terlihat kosong. 

Pusparini mengawasi tempat api 
unggun. Di situ masih terdapat batu 
lahar. Api unggun telah padam, tetapi 
terasa masih hangat sisa-sisanya. 

"Kemana lagi dia ?" pikir 
Pusparini. "Selalu begini. Tempo hari 
ketika aku bangun, dia sudah lenyap. 
Kali ini lagi. Tetapi dengan adanya 
batu lahar tetap di tempatnya, agaknya 
kata-katanya bisa dipercaya." 

Pusparini memeriksa ke luar gua. 
Letusan telah mereda walaupun sisa- 
sisa berupa genangan kabut masih 
menebal di sekitar tempat itu. 

"Warigaaaa!!!" teriak Pusparini. 
Gema suaranya bergaung memantul lereng 
tebing gunung. Berkali-kali dia 
memanggil nama Wariga, tetapi orang 
yang dipanggil tak kunjung muncul. 

Akhirnya Pusparini memutuskan 
untuk turun gunung. Batu lahar itu 
disimpan dalam bungkusan selendang 
ikat pinggangnya. Dari hal ini 
Pusparini baru tahu betapa berat batu 
lahar tersebut, kira-kira 30 kati. 
Tetapi dengan mudah Wariga membawanya 
seperti membawa kapas saja. Dengan 
besar sekitar lima genggam dan 
beratnya 30 kati, bisa dibayangkan 
bagaimana batu lahar itu memiliki 
kekuatan sebagai sarana pembuatan 
pedang. Dan hanya lahar Merapi yang 
mempunyai syarat sempurna! 

Pusparini telah jauh meninggalkan 
kawasan gunung Merapi. Cuaca masih 
diselimuti kabut. Tak diragukan lagi, 
hari telah tinggi. Keputusan 
Pusparini, bahwa dia akan menuju desa 
Pohpitu, sebab sewaktu dia diculik 
oleh Gagak Lodra barang-barangnya 
diperkirakan masih tertinggal di 
penginapan milik Bagus Tulada. 

Desa Pohpitu kelihatan sepi 
ketika Pusparini tiba di sana. Suasana 
di ambang senja ini memang tidak 
menggembirakan penduduk setempat, 
karena suasana letusan Merapi juga 
terasa di sana. Abu bertebaran di 
pelosok tempat. 

Langkah Pusparini langsung menuju 
ke penginapan. Tetapi beberapa orang 
tiba-tiba muncul dari dalam bangunan 
itu, langsung mengepungnya. 

Perasaan Pusparini tersirap. Dia 
melihat pakaian seragam orang-orang 
yang mengepungnya. Mereka para 
punggawa kadipaten Rejodani yang telah 
lama memburunya. Ini namanya "ulo 
marani gebuk" alis ular mencari 
gebukan! Tetapi siapa sangka kalau 
bahaya yang tak dikehendaki tiba-tiba 
saja menanti di depan mata? Dan para 
punggawa kadipaten Rejodani itu 
dipimpin langsung oleh seorang tokoh 
bernama Wiro Brangasan yang mendapat 
gelar Kucing Malaikat. Dan tokoh itu 
muncul dengan langkah penuh berwibawa. 

"Aku tak akan bisa melupakan 
baumu, cah ayu! Kalau kau mengerti 
akan gelarku. Kucing Malaikat, tentu 
kau tak akan sembrono memunculkan diri 
di sini. Kini kau harus mempertanggung 
jawabkan perbuatanmu yang pernah 
memasuki ruang perbendaraan kadipaten 
Rejodani dan menjarah isinya. 
Kasarnya, kau telah merampok harta 
benda kadipaten!" 

"Tunggu dulu. Ini adalah kesalah 
pahaman!" sanggah Pusparini sambil 
melirik keadaan di sekelilingnya. 
Bagaimanapun, dia harus dapat 
menguasai keadaan kalau nanti 
pembicaraan ini harus diselesaikan 
dengan ujung senjata. 

Mengapa Pusparini sampai terlibat 
masalah tersebut? 

Hal ini memang diluar kehendak 
Pusparini. Inipun gara-gara Gagak 
Lodra yang pertama kaki bentrokan 
dengan Pusparini. 

Saat itu Pusparini memang berada 
di kadipaten Rejodani begitu dia 
menyelesaikan pendidikannya sebagai 
murid Ki Suswara di padepokan Canggal. 
Dia berada di sana hanya sekedar 
numpang lewat untuk menuju desa 
kelahirannya kembali. Ketika malam 
tiba, dia melihat sesosok tubuh 
menyatroni sebuah bangunan kadipaten. 

Setelah diselidiki, ternyata seseorang 
yang hendak merampok di ruang 
bendahara. Si pelaku berhasil 
menggasak barang yang diinginkan, 
yaitu seperti uang yang cukup lumayan 
nilainya. Pusparini terpaksa bertindak 
untuk meringkus perampok itu. 
Bentrokan terjadi. Dan si perampok 
berhasil dikalahkan. Si perampok kabur 
dengan barang jarahan yang tercecer. 

Tetapi Pusparini tidak terus mengejar. 
Dia mencoba memungut beberapa pundi- 
pundi uang yang tercecer. Pada saat 
itulah pada punggawa Rejodani yang 
dipimpin Wiro Brangasan muncul. Mereka 
langsung mencurigai Pusparini sebagai 
biang keladi perampokan itu. Bentrokan 
terjadi ketika Pusparini tak berhasil 
meyakinkan mereka bahwa bukan dia yang 
merampok di tempat perbendaharaan 
kadipaten Rejodani. Pusparini tidak 
ingin memperpanjang permasalahan. 
Kemudian dia melarikan diri dari 
gelanggang pertarungan. Tekatnya, dia 
hendak meringkus si perampok tadi. 

Niat Pusparini berhasil. Akhirnya 
dia bertemu dengan orang yang diburu. 
Orang itu tak lain adalah Gagak Lodra. 
Dalam kesempatan ini terjadi 
pembicaraan lebih gamblang antara 
Pusparini dengan Gagak Lodra. 

"Apa salahnya aku menjarah harta 
pemerintah yang mengisap darah rakyat 
lewat pajak-pajak yang tak 
berperikemanusiaan?" kata Gagak Lodra 
pada waktu itu. 

Dari sini Pusparini baru tahu 
bagaimana keadaan penguasa kadipaten 
Rejodani dalam memerintah rakyatnya. 
Tetapi di sisi lain, akhirnya Gagak 
Lodra tahu siapa Pusparini yang 
memakai gelar Walet Emas tersebut. 
Ternyata seseorang yang menyimpan buku 
Tosan Aji yang diincar banyak orang di 
kawasan itu sejak Wibhangga, ayah 
Pusparini terbunuh oleh komplotan yang 
dipimpin Cakraganta. Peristiwa 
selanjutnya, dalam bentrokan lagi, 
Gagak Lodra berhasil dilukai oleh 
Pusparini dan terlempar ke sungai.... 

Itulah latar belakang masalah 
Pusparini dengan para punggawa 
kadipaten Rejodani. 

"Kau tak bisa keluar dengan 
selamat lagi, cahayu!" kata Wiro 
Brangasan. Tokoh ini memberi isyarat 
kepada anak buahnya. Dan sekejap 
kemudian orang-orang yang mengepung 
Pusparini maju serentak. 

Sayang. Tindakan mereka buyar 
berantakan, karena Pusparini telah 
bergerak dengan tangkas mengayunkan 
bungkusan yang berisi batu lahar. 
Benda seberat 30 kati itu menghantam 
tubuh-tubuh yang mencoba meringkusnya. 
Jeritan meledak dari mulut mereka. Tak 
seorangpun luput dari sabetan ayunan 
itu. Lalu beberapa orang mencoba 
menggunakan senjatanya. Tetapi inipun 
tak berhasil menghentikan sepak 
terjang Pusparini. 

Tentu saja hal ini menimbulkan 
amarah Wiro Brangasan alias Kucing 
Malaikat yang bertubuh ceking beralis 
tebal sehingga dua ujungnya saling 
bertaut. Dengan menyeringai bagaikan 
seekor kucing menghadapi lawan, dia 
melesat ke muka. Dia memang menguasai 
jurus kucing dengan sempurna. Kedua 
tangan nya dihiasi kuku-kuku yang 
mencuat tajam. Anggota badan inilah 
yang pertama kali dipergunakan sebagai 
senjata untuk menandangi Pusparini 
alias Walet Emas. 

Pusparini sadar dengan kehadiran 
pentolan punggawa Rejodani ini. Batu 
lahar dalam bungkusan tetap dipakai 
senjata untuk menghadapi serangan 
lawan. Beberapa kali Wiro Brangasan 
dapat menghindari sabetan bungkusan 
Pusparini. Sementara itu tak ada 
seorangpun tahu apa isi bungkusan yang 
dipegang Pusparini. Tetapi ketika Wiro 
Brangasan mencoba menerkam lawannya, 
dengan gaya burung walet meliuk di 
permukaan air Pusparini berhasil 
menghindar, sekaligus mengirimkan 
serangan berupa tendangan kaki yang 
mengunjam tengkuk. Wiro Brangasan 
terguling. Tetapi ibarat kucing, 
jatuhnya selalu bertumpu kepada 
kakinya. Bahkan dengan cepat pula dia 
menggenjotkan tubuh untuk memberi 
serangan balik ke arah Pusparini. 
Tetapi usaha ini mendadak tersendat. 

Tiba-tiba dia melihat seseorang muncul 
dengan gerakan limbung melaju ke 
arahnya. Keadaan yang mendadak ini 
tentu saja sulit dihindarkan, sebab 
dia memperhitungkan pula serangan dari 
Pusparini. Akibatnya, sosok tubuh yang 
baru muncul itu menghantamnya. Wiro 
Brangasan mencelat tertimpa tubuh itu. 
Tetapi dia mencoba mengatasi dengan 
cengkraman kuku-kuku tangannya kalau 
orang yang menerjangnya itu memberikan 
serangan bertubi-tubi dengan jurus 
yang tak bisa dilacak geraknya. Tetapi 
tidak. Orang itu tidak menyerang. 
Bahkan terlihat tak berdaya sama 
sekali. Wiro Brangasan terperangah 
kaget. Dia mengenali siapa orang itu. 

"Gagak Lodra?!" desisnya sambil 
mengenyahkan tubuh orang yang 
dikenalnya. 

Tak kurang herannya demikian juga 
di pihak Pusparini. Dia melihat tubuh 
Gagak Lodra tergeletak tak bergerak. 

"Dialah yang merampok di 
kadipaten Rejodani!" Suara ini 
dibarengi munculnya seseorang dengan 
gerak melambung, dan mendarat di 
antara Pusparini dan Wiro Brangasan. 

"Bagus Tulada?!" terdengar hampir 
bersamaan ucapan ini meluncur dari 
mulut Pusparini dan Wiro Brangasan. 

Ya. Bagus Tulada yang muncul. Dia 
mengaku bahwa dirinyalah yang melempar 
tubuh Gagak Lodra untuk melerai 
pertarungan yang telah terjadi. 

"Maaf, ki Wiro. Kukira saya 
terpaksa bertindak demikian, karena 
tak ingin para punggawa Rejodani 
menindak orang yang tak bersalah," 
kata Bagus Tulada dengan nada 
meyakinkan. 

"Bagus Tulada ! Apakah kau tahu 
mengapa Gagak Lodra sampai tak berdaya 
begitu? Ketahuilah, itu akibat 
pertarungannya dengan Sawung Cemani 
sebelum letusan Merapi," ucap 
Pusparini sambil mengawasi Bagus 
Tulada yang mungkin akan unjuk jasa 
dalam peristiwa ini. 

"Kau pikir aku akan mengelabuhi 
latar belakangnya?" sanggah Bagus 
Tulada. "Dia telah mengaku apa yang 
dilakukan. Kutemui dia dalam keadaan 
sekarat di saat letusan Merapi itu 
terjadi. Dia menceritakan tentang 
dirimu, dan juga Sawung Cemani. Dan 
kubawa agar mempertanggung jawabkan 
perbuatannya. Dan kukira.... saat ini 
Gagak Lodra tetap dalam keadaan 
pingsan." 

"Mudah-mudahan keteranganmu bisa 
melunakkan para punggawa itu," jawab 
Pusparini sambil beranjak masuk ke 
penginapan. "Maaf, aku akan mengambil 
barang-barang yang lain. Semua masih 
di sini ketika Gagak Lodra menculikku. 
Itu kalau tidak ada tangan jahil yang 
mengambilnya. " 

"Barang-barangmu telah kusimpan 
di suatu tempat yang aman," kata Bagus 
Tulada dengan menyambar lengan 
Pusparini yang beranjak masuk ke 
penginapan. 

"Apa?!" 

"Barang-barangmu tidak lagi di 
penginapan ini." 

"Kau begitu lancang!" 

"Ah, seharusnya kau berterima 
kasih, dari pada barang-barangmu itu 
digrayangi isinya oleh orang-orang 
yang tak bertanggung jawab." 

Pusparini terdiam. Dia mengawasi 
Bagus Tulada dengan tajam. 

"Dan kau punya kesempatan untuk 
mendudah barang-barangku, bukan?" 

"Ayo ikut aku. Tak baik 
membicarakan hal itu di sini," kata 
Bagus Tulada tanpa mengindahkan lagi 
para punggawa Rejodani yang dipimpin 
Wiro Brangasan itu. 

Pusparini sempat melihat Wiro 
Brangasan memerintahkan anak buahnya 
agar mengangkut tubuh Gagak Lodra 
dalam keadaan pingsan sebelum dia 
mengikuti langkah Bagus Tulada. 

Langkah mereka menuju suatu jalan 
yang kanan kirinya banyak dipasang 
obor untuk penerangan jalan. Suasana 
malam kian pekat. Dan dari jauh 
yang Pusparini melihat bangunan 
berpenerangan dengan mewah. 

"Itukah rumahmu?" tanyanya. 
Tetapi Bagus Tulada tidak menjawab 
sepatah pun sampai mereka memasuki 
halaman rumah itu. 

"Ayo, masuk. Silakan. Jangan 
ragu," Bagus Tulada mulai membuka 
omongan. 

Pusparini masih berdiri di ambang 
pintu halaman. Matanya menyapu keadaan 
sekitar-nya. 

"Kau pikir rumah ini penuh 
jebakan?" kata Bagus Tulada lagi. "Kau 
aman di sini. Seharusnya sejak semula 
kau kuajak kemari dari pada menginap 
di penginapan itu." 

"Tetapi itu adalah penginapan 
milikmu. Seharusnya kau bisa menjaga 
keamanannya." 

"Sebenarnya bukan milikku, tetapi 
milik ayahku!" 

"Dan ini rumah ayahmu bukan?" 

"Tidak. Ini milikku sendiri. 
Tempat tinggal pribadi." 

"Ow. Kalau begitu, kau tinggal 
bersama istrimu," Pusparini berkata 
dan langkahnya tersendat karena ragu 
dengan ucapannya sendiri. 

"Aku belum beristri" jawab Bagus 
Tulada tegas dengan melempar senyum. 

Pusparini mengekor langkah laki- 
laki itu. Matanya jelalatan mengawasi 
keadaan isi bangunan yang tampak mewah 
untuk ukuran desa itu. 

"Kau sendirian di sini? Engm.... 
maksudku... siapa saja yang berada di 
rumah ini?" tanya Pusparini. 

"Cuma seorang pelayan penjaga 
rumah. Nah, sebelah itu adalah 
kamarmu. Barang-barangmu ada di 
dalam," kata Bagus Tulada dengan sikap 
ramah. Justru ini yang tiba-tiba 
menimbulkan kecurigaan Pusparini.Hati 
nuraninya memperingatkan agar dia 
berhati hati. Ini salah satu pelajaran 
dari Ki Suswara yang mengatakan, di 
suatu tempat di mana dua orang pria 
dan wanita berada, maka pihak ketiga 
adalah setan! Suatu peringatan yang 
dikaitkan dengan moral. 

"Tolong, ambilkan barangku di 
dalam ruangan itu," kata Pusparini 
dengan menghentikan langkahnya. 
Kemudian diawasinya Bagus Tulada, yang 
rupanya ada perubahan pada wajahnya 
ketika mendengar ucapan si Walet Emas. 
Keduanya saling berpandangan. Suatu 
bentrokan sikap antara kecurigaan dan 
maksud yang terselubung. Hal ini 
dirasakan benar oleh Walet Emas alias 
Pusparini. 

Kecurigaannya semkin menebal 
karena sampai sebegitu jauh Bagus 
Tulada tak pernah menanyakan batu 
lahar yang dibawa Pusparini dalam 
bungkusan, di samping masalah buku 
Tosan Aji yang menjadi banyak incaran 
Tulada pihak-pihak tertentu. 

Kini terlihat Bagus mengumbar senyum. 

"Kau mencurigaiku, Walet Emas?" 

"Sebagai tamu, tak baik kalau aku 
blusak-blusuk semaunya meskipun kau 
ijinkan," jawab Pusparini tegas. 

"Baik. Kuambilkan barang- 
barangmu, " kata Bagus Tulada sambil 
melangkah ke depan. Tetapi begitu dia 
berada di samping Pusparini, tangannya 
mendorong tubuh wanita yang bergelar 
Walet Emas itu. Pusparini yang tidak 
menduga perlakuan ini terdorong ke 
depan dan menabrak daun pintu di 
depannya. Pintu menganga, dan tubuh 
Pusparini meluncur kebawah. Ya, 
meluncur ke bawah, sebab ruangan itu 
tidak berlantai, tetapi sebuah lubang 
yang menganga! Ditambah dengan berat 
batu lahar yang berada dalam bungkusan 
yang dibawanya, membuat tubuh 
Pusparini semakin cepat meluncur ke 
bawah. Tak ada sarana untuk 
menyelamatkan diri. Dalam saat yang 
sedemikian cepat, dia sempat berpikir 
tentang apa yang menanti di bawah 
lubang itu. Ujung-ujung tombakkah? 
Atau tanah yang keras? Atau air? 
Jawabannya segera diketahui begitu 
tubuhnya terhempas di bawah. Ternyata 
sebuah jaring.! 

★ ★ ★ 


Untuk beberapa saat Pusparini 
terbaring dalam lilitan jaring yang 
menyangga tubuhnya. Dia mencoba 
menenangkan perasaannya dan menanti 
peristiwa selanjutnya. Sepi. Tak ada 
apa-apa yang terjadi lagi. Kini 
tubuhnya bergelantungan tersekap 
jaring. Baru saja dia mencoba berpikir 
untuk meloloskan diri dari tempat itu, 
tiba-tiba tercium bau aroma yang tak 
sedap. 

"Uap beracun!" desis Pusparini 
sambil mencoba menutup hidungnya 
dengan selendang pembungkus batu 
lahar. 

"Bagus Tulada ternyata tak lebih 
dari sekian banyak orang yang hendak 
mengecoh diriku. Apalagi kalau tidak 
dengan alasan buku Tosan Aji itu? 
Untung buku itu kusimpan di suatu 
tempat dengan rapi. Kalau kubawa-bawa 
terus, pasti telah lama jatuh ke 
tangan pihak lain. Dan untuk kedua 
kalinya aku harus berhadapan dengan 
uap seperti ini. Suatu cara agar aku 
lebih tak berdaya....!" 

Dan kesadaran Pusparini hanya 
sampai di situ.! 

Lalu, satu-satunya perasaan yang 
menyengat kesadarannya adalah bau 
harum yang mengusik hidungnya. Dengan 
pelan dibukanya matanya yang masih 
terasa berat. Tetapi begitu dia bisa 
melihat nyata, perasaannya tersentak 
kaget. 

Bagus Tulada berada dihadapannya, 
sementara tubuhnya sendiri dalam 
keadaan terikat di tiang sebuah 
bangunan. 

"Dia telah siuman, ayah . 
terdengar ucapan Bagus Tulada kepada 
seseorang yang dipanggil sebagai ayah. 

Pusparini mencoba mengawasi 
keadaan di sekitarnya. Ada dua orang 
lagi yang berada di sana di samping 
Bagus Tulada. Seorang laki-laki 
setengah umur, dan lainnya seorang 
wanita yang hampir sebaya. Laki-laki 
itu berperawakan gembrot dengan 
pakaian mewah. Juga si wanita di 
sampingnya. Tetapi yang membuat 
Pusparini tersengat rasa kaget bukan 
kehadiran mereka. Tiada lain adalah 
siapa kedua orang itu! 

"Ki Cakraganta, dan si wanita 
itu! Mereka terlibat dalam pembantaian 
keluargaku. Dan wanita itu yang 
membunuh ayahku.! ! " 
geram Pusparini dalam hati. Ini 
semua membuat perasaannya membara. 

"Pusparini alias Walet Emas! Hmm, 
siapa sangka kalau kau yang menjadi 
kunci masalah selama ini?!" terdengar 
suara Cakraganta yang kemudian disusul 
ketawa dengan nada ejekan. "Rupanya 
kau telah menjelma menjadi seorang 
gadis dewasa yang banyak tingkah. Aku 
memang telah lama menyatroni dirimu 
dari jauh beberapa minggu ini setelah 
kudengar ada seseorang dari keturunan 
Wibhangga yang ternyata menyimpan buku 
Tosan Aji yang menimbulkan 
persengketaan itu." 

"Tentunya usahamu itu tidak 
tanggung-tanggung. Tentu kau menyebar 
banyak orang untuk mendapatkan buku 
Tosan Aji. Dan paling akhir, ternyata 
Bagus Tulada ini yang dapat menyeretku 
ke hadapanmu sehingga aku pun bisa 
bertemu dengan orang yang kucari 
selama ini sebagai pembantai keluarga- 
ku. Terutama wanita di sampingmu ini!" 
kata Pusparini dengan pandangan penuh 
dendam. 

"Dia Nyi Sanghata. Kau tahu apa 
arti 'Sanghata'? Artinya suka 
membunuh. Kau tentunya sangat 
mendendam kepadanya. Aku tak tahu 
ketika itu kau berada di mana ketika 
kami datang untuk membantai keluargamu 
karena tidak mau menyerahkan buku 
Tosan Aji. Kau tentu menduga bahwa 
hasratku untuk mendapatkan buku Tosan 
Aji dengan tujuan ingin menciptakan 
pedang ampuh seperti yang rumus- 
rumusnya tertulis dalam buku tersebut. 
Kau keliru. Keliru besar, cah ayu ! ! 
Aku hanya ingin membinasakan buku itu 
agar tak ada orang yang membuat pedang 
ampuh lagi yang disebut Pedang Merapi 
Dahana!" kata Cakraganta dengan suara 
terkekeh diakhir ucapannya yang 
dibumbui ketawa. 

"Pedang Merapi Dahana berada di 
tanganku. Aku dari keturunan wangsa 
keturunan Sanjaya yang selalu 
bermusuhan dengan pihak Syailendra, 
tak menginginkan adanya pedang yang 
menyamai keampuhan Pedang Merapi 
Dahana!" sela wanita bernama Nyi 
Sanghata. 

"Jadi kau yang lebih berkuasa 
dari pada Cakraganta ini?" tanya 
Pusparini dengan harapan bisa 
mendapatkan pengetahuan lebih banyak 
tentang permusuhan turun-temurun yang 
pernah diceritakan oleh almarhum 
ayahnya. 

"Tak kuduga bahwa Cakraganta yang 
selama ini kucari ternyata hanya 
begundalnya seorang wanita. Huh!!" 

Dan.... cplas!! Sebuah tamparan 
mendarat di pipi Pusparini. Tangan 
Cakraganta telah mdayang tanpa 
terkendali lagi karena ucapan itu. 

"Ayah berjanji tidak akan 
menyakitinya dalam keadaan tak 
berdaya," sela Bagus Tulada dengan 
sikap mencegah tindakan ayahnya lebih 
lanjut. 

"Hmm! Rupanya kecantikan Walet 
Emas ini telah melumpuhkan kesetiaanmu 
kepada wangsa keturunan Sanjaya. 
Mungkin itu sebabnya kau terlibat 
waktu yang lama untuk meringkus gadis 
ini walaupun ada kesempatan 
melakukannya. Aku tak suka kau 
bersikap loyo. Bagus ! Kukira Sawung 
Cemani yang tak kuperhatikan serta 
kuabaikan kesetiaannya, mungkin lebih 
tegas dalam bertindak dari padamu ! " 
kata Cakraganta dengan pandangan mata 
melecehkan sikap anaknya. 

"Sawung Cemani?" tercetus ucapan 
ini dalam hati Pusparini. "Jadi Sawung 
Cemani ada hubungannya dengan 
Cakraganta? Oh, kalau begitu semua itu 
terdiri satu kelompok saja. Termasuk 
Gagak Lodra tentunya? Tetapi mengapa 
Sawung Cemani bentrok juga dengan 
Gagak Lodra ? Atau memang Gagak Lodra 
berdiri di pihak lain untuk 
kepentingannya sendiri? Mungkin!" 

Inilah yang bisa disimpulkan oleh 
Pusparini saat ini. Tengah berpikir 
tentang Sawung Cemani, tiba-tiba orang 
yang menjadi buah pikiran ini muncul 
pula di tempat itu. Penampilannya 
tampak tenang. Dia muncul dengan 
memberikan hormat terlebih dulu kepada 
Nyi Sanghata. Jelas sekali bahwa Nyi 
Sanghata lebih tinggi derajatnya dari 
pada Cakraganta. Tetapi bagaimana 
Sawung Cemani bisa muncul di sana, itu 
yang tidak diketahui. 

Sebab paling akhir Pusparini 
melihat Sawung Cemani lari ke arah 
gunung Merapi ketika gunung itu 
meletus beberapa hari yang lalu. Dia 
menduga bahwa Sawung Cemani akan 
mendapatkan lahar berpijar. 
Kenyataannya sampai begitu jauh, dia 
tidak melihat Sawung Cemani lagi, 
sampai akhirnya orang itu muncul pula 
di sini. 

"Saya mendapat laporan dari 
orang-orang bahwa Walet Emas telah 
tertangkap. Itu sebabnya saya 
menghadap kemari untuk membuktikan 
kebenarannya," kata Sawung Cemani 
sambil mengawasi Pusparini yang tak 
berdaya dalam ikatan. 

"Kalau dia kini memiliki batu 
lahar, hal itu karena bantuan seorang 
bocah yang berpenampilan pengemis. 
Tetapi digdayanya bukan main. Kulihat 
dari tempat persembunyianku bagaimana 
dia mengambil lahar panas itu dengan 
tangan telanjang tanpa alas apa-apa," 
kata Sawung Cemani memberi kesaksian. 

"Seorang bocah pengemis katamu?!" 
sela Nyi Sanghata. 

"Iya, Nyi! Seorang bocah!" ucap 
Sawung Cemani. "Aku sempat bentrok 
dengan dia sebelum terjadi letusan 
gunung Merapi." 

"Dia bukan seorang bocah. Namanya 
pasti Wariga. Dia bukan seorang bocah 
walaupun penampilannya seperti itu. 
Aku tahu betul dengan si Wariga itu. 

Umurnya telah delapan puluh tahun. 
Jadi lebih tua dari pada kita-kita 
ini. Dia seorang empu pembuat Keris!!" 
debat Nyi Sanghata dengan nada ketus. 

"Wariga berumur delapan puluh 
tahun?" pikir Pusparini yang pernah 
bergaul akrab dengan laki-laki yang 
diduga masih bocah itu. Wariga pernah 
mengecoh lewat penampilannya dan 
mengaku sebagai seorang yang kini 
hidup melarat karena seluruh 
keluarganya dibunuh oleh perampok. 
Tentunya hal ini bohong belaka untuk 
merahasiakan siapa dirinya di hadapan 
Pusparini. 

"Lalu apa yang akan kita lakukan 
terhadap penyimpan buku Tosan Aji 
ini?" tanya Sawung Cemani dengan 
mengawasi Pusparini yang secara 
kebetulan melirik ke arahnya. 

"Tentu saja akan kita paksa agar 
dia berbicara !" sahut Nyi Sanghata. 

"Tidak!! Jangan lakukan itu!" 
cegah Bagul Tulada. "Dia bisa kita 
perlakukan dengan baik-baik agar 
menyerahkan buku itu. Aku berhasil 
menangkapnya dan menyerahkan kepada 
kalian karena janji bahwa dia tidak 
akan disakiti." 

"Membujuknya secara baik-baik 
katamu? Dengan cara apa? Kau akan 
merayunya? Akan kau beri kenikmatan 
dia dengan cumbu rayu di atas ranjang? 
Owwh, nak Bagus. Mengapa semangatmu 
jadi betina?" cela Nyi Sanghata sambil 
membelai pipi pemuda itu. Kemudian dia 
meraih tangan Bagus Tulada dan 
ditempelkan ke atas buah dadanya. 

"Ayahmu bisa cemburu karena 
melihat tanganmu membelai buah dadaku, 
Bagus. Sebenarnya aku lebih suka tidur 
denganmu dari pada harus menuruti 
hasrat ayahmu yang selama ini tak 
berani dia lakukan karena aku tak sudi 
melayaninya sebelum buku Tosan Aji itu 
jatuh ke tanganku dan kuhancurkan!" 
kata Nyi Sanghata sambil memaksa 
tangan Bagus Tulada agar membelai buah 
dadanya yang membukit di balik 
kembennya. Walaupun usia Nyi Sanghata 
ini sudah kepala lima, tetapi 
penampilannya tidak kalah dengan gadis 
remaja. Bahkan penampilannya yang 
mencerminkan 'wanita matang' sangat 
menggoyahkan iman lawan jenisnya. 

Melihat tindakan Nyi Sanghata dan 
mendengar omonganhya, tentunya harga 
diri Cakraganta terasa tercoreng. 
Tetapi apa mau dikata, Nyi Sanghata 
adalah orang yang berpengaruh serta 
berkuasa dalam kelompok yang menamakan 
diri sebagai orang-orang keturunan 
wangsa Sanjaya. Di sisi lain, Puspa- 
rini terpaksa memalingkan wajahnya 
karena tindakan Nyi Sanghata yang 
merobek kesopanan itu. 

Dan tiba-tiba Nyi Sanghata 
mendorong dengan keras tubuh Bagus 
Tulada. 

"Ki Cakraganta! Aku tak suka 
perangai anakmu ini! Kalau kau sebagai 
orang mengaku anak kepadanya, beri 
pelajaran dia!!" kata Nyi Sanghata 
sambil memandang bengis ke arah Bagus 
Tulada yang kehilangan peranan di 
tengah orang-orang itu. 

Cakraganta seperti kerbau dicocok 
hidung, serta merta menggampar kepala 
Bagus Tulada. Dia benar-benar 
kehilangan muka atas peristiwa ini. 
Dan untuk menjaga kedudukannya 
dihadapan Nyi Sanghata, dia tak segan- 
segan melakukan perintah tersebut. 
Tubuh Bagus Tulada oleng ke belakang. 
Tetapi ketika ayahnya akan bertindak 
kedua kalinya, dia mempertahankan diri 
dengan mengelak sehingga pukulan 
ayahnya menerobos tempat terbuka. 

"Kurang ajar!!" umpat Cakraganta. 

"Maaf, aku tak bisa diperlakukan 
seperti binatang karena ayah terlalu 
gandrung dengan wanita itu!" jawab 
Bagus Tulada dengan berang. 

"Ayah terlalu diperbudak olehnya. 
Aku tak suka itu. Kini aku mengerti 
mengapa ibu sampai meninggal karena 
sakit. Karena ayah tidak sungguh- 
sungguh mencari upaya penyembuhan agar 
ibu sehat kembali. Ayah telah 
terbelenggu oleh iblis betina ini!!" 

Benar-benar tak diduga kalau 
Bagus Tulada akan berkata seperti itu. 
Cakraganta tak bisa mengendalikan 
dirinya lagi. Pedangnya kini berperan. 
Bagitu lepas dari sarungnya, langsung 
disabetkan ke arah anaknya. Tetapi 
Bagus Tulada berhasil mengelakkan. Dia 
menggelindingkan tubuhnya ke samping 
sambil melemparkan pisaunya ke arah 
tali yang melilit tubuh Pusparini. 

Lemparan pisau menyayat lilitan tali. 
Kesempatan ini dipergunakan oleh 
Pusparini untuk melepaskan diri. Dan 
berhasil ! Semua terjadi dengan cepat 
sehingga tak seorang pun sadar akan 
tindakan Bagus Tulada yang tiba-tiba 
berbalik arah menentang mereka. 

Nyi Sanghatalah orang yang 
pertama kali mencoba membendung 
gerakan Pusparini ketika diketahui 
gadis itu lepas dari ikatannya. Tetapi 
tindakannya kalah gesit dengan gadis 
yang bergelar Walet Emas itu. Nyi 
Sanghata maju ke muka, tetapi 
tendangan Pusparini yang menyambutnya. 
Tepat ke lambung perut. Wanita yang 
membanggakan dirinya sebagai keturunan 
wangsa Sanjaya ini menggeliat sambil 
menebah perutnya. Tetapi secepat itu 
pula dia berhasil menguasai dirinya. 

Detik selanjutnya semua terlibat 
pertarungan. Nyi Sanghata, Cakraganta 
dan Sawung Cemani di satu pihak, 
melawan Pusparini serta Bagus Tulada. 
Ini benar-benar satu kesempatan yang 
ditunggu oleh Pusparini. Telah lama 
dia mencari pembantai keluarganya. 

Kini kesempatan itu terjadi walaupun 
belum tahu sampai di mana ketangkasan 
lawan yang harus dihadapi. Sasaran 
pertama adalah Nyi Sanghata. Dia terus 
melabrak ke arah wanita itu sementara 
Bagus Tulada terlihat berhadapan 
dengan ayah kandungnya sendiri yang 
dibantu Sawung Cemani. Dendam memang 
mengalahkan pikiran sehat. Pusparini 
tidak memperdulikan dirinya lagi dalam 
menghadapi lawan. Akibatnya Nyi 
Sanghata sampai kuwalahan menangkis 
serangan-serangan si Walet Emas yang 
banyak mengandalkan jurus-jurus 
waletnya. Bisa dibayangkan betapa 
gesit kalau seekor burung walet 
menyambar. Begitu juga dengan sepak 
terjang Pusparini. Ruangan tempat 
mereka bertarung jadi porak poranda. 
Kini mereka melebarkan gerak di tempat 
terbuka. 

Melihat Nyi Sanghata terus 
keteter serangan Pusparini, Cakraganta 
mencoba memberi bantuan. Parhatian 
Walet Emas kini bercabang harus 
menghadapi dua arah serangan. Rupanya 
Cakraganta ingin unjuk keperkasaan di 
hadapan Nyi Sanghata. Medan laga 
diambil alih agar Nyi Sanghata dapat 
menghindarkan diri. Paling tidak untuk 
mengatur perlawanan lebih lanjut. Hal 
ini benar-benar disadari karena sepak 
terjang Pusparini bagaikan banteng 
kedaton yang tidak memperdulikan 
dirinya lagi. 

Kesempatan itu dimanfaatkan oleh 
Nyi Sanghata untuk mengundurkan diri. 
Entah kemana perginya. Yang jelas 
Pusparini tidak melihat wanita itu 
lagi . 

"Aku harus melumpuhkan Cakraganta 
ini terlebih dahulu, " pikir Pusparini 
sambil mengelakkan diri karena sabetan 
senjata lawan nyaris membabat arah 
lehernya. Sejak awal Cakraganta telah 
menggunakan pedangnya sementara 
Pusparini masih lawaran tanpa senjata 
selain mengandalkan anggota badannya, 
baik tangan maupun kakinya. Sekilas 
Pusparini berhasil melihat pertarungan 
antara Sawung Cemani dengan Bagus 
Tulada yang dengan susah payah harus 
menghindari tendangan kaki lawan yang 
jalu besinya telah mencuat untuk 
senjata. Keduanya telah menggunakan 
bilah senjata tajam. Masing-masing 
telah terlibat pertarungan dengan 
bilah pedang. Tetapi Sawung cemani 
memperguna kan pula senjatanya yang 
lain, yaitu jalu besinya yang 
mengandung racun. Di sini terlihat 
bagaimana Bagus Tulada menghindari 
tendangan kaki lawan dengan sikap 
hati-hati. Sebab kalau salah 
perhitungan, dirinya bisa terjebak 
oleh kaki berjalu yang lain. 

Melihat lawannya merasa keteter 
dengan serangannya, maka Sawung Cemani 
ingin memberi serangan yang mematikan. 
Dia mengadakan gerak jebakan agar 
lawan menghindar ke samping kiri. Dari 
sini dia akan mengecoh Bagus Tulada 
yang kemudian akan diserang dengan 
jepitan kedua kakinya yang berjalu. 
Bisa dipastikan leher lawan akan 
berhasil ditembus oleh jalu yang 
mencual di atas tumit kakinya. Siasat 
serangan dijalankan. Tetapi tiba-tiba 
Sawung Cemani merasa betisnya 
tersambar pedang lawan. Tentu saja, 
sebab ternyata Bagus Tulada bisa 
menebak gerak serangan yang dilakukan 
oleh Sawung Cemani. Kena sabetan 
pedang, kontan kaki kanan Sawung 
Cemani terpental. Kaki itu putus 
mencelat empat tombak jauhnya. 
Jeritannya meledak. Tetapi secepat itu 
pula dia berhasil menguasai keadaan. 

Pedangnya menyambar ke arah lawan yang 
masih terlena dengan kemenangannya. 
Pedang Sawung Cemani berhasil membabat 
bahu Bagus Tulada sehingga tangan yang 
memegang pedang itu terkulai 
menyemburkan darah. Kini keduanya 
saling terluka. Keduanya masih sama- 
sama beringas. Dengan menahan rasa 
sakit keduanya masih berniat menyerang 
ke pihak lawan. 

Semua itu sempat disaksikan oleh 
Pusparini sambil menghadapi 
Cakraganta. Pusparini benar-benar 
terharu dengan pengorbanan Bagus 
Tulada. Siapa sangka kalau pemuda itu 
berani menentang sikap ayah kandungnya 
sendiri? Tetapi inilah sialnya. Karena 
perhatiannya tertuju kepada Bagus 
Tulada, Pusparini lengah sejenak 
sehingga pedang Cakraganta menyambar 
lengannya. Hanya tergores. Darah 
mengucur. Tetapi tak dihiraukan oleh 
Pusparini, sebab lawannya terus 
melabrak dengan sabetan yang beruntun. 
Pusparini benar-benar kewalahan sebab 
tidak berhasil mendapatkan peluang 
untuk membendung serangan tersebut. 

Kalau saja dia memegang senjata, pasti 
mampu menangkis sabetan pedang 
Cakraganta. Dalam gerak menghindar 
dengan jurus waletnya, Pusparini 
melihat sempalan kaki Sawung Cemani 
yang menggeletak putus akibat sabetan 
pedang Bagus Tulada. Dengan cepat 
sempalan kaki sebatas lutut itu 
disambarnya, dan dengan kecepatan yang 
sulit diduga oleh Cakraganta sendiri, 
bagian tubuh Sawung Cemani itu melesat 
ke arahnya. 

Dan.... crass!!! Tepat mengenai 
leher Cakraganta. Jalu beracun yang 
mencuat itu menancap di situ. Jeritan 
meledak. Cakraganta menggeliat, tetapi 
dia tetap berusaha untuk bisa berdiri. 
Dia mencabut benda yang menjijikkan 
itu. Sempalan kaki berjalu yang 
melukainya dilemparkan. Dengan mata 
arah beringas dia memandang ke 
Pusparini. 

Sementara itu Bagus Tulada sempat 
pula menyaksikan keadaan ayahnya. 
Tiba-tiba timbul rasa ibanya. 
Bagaimanapun, dia tak sampai hati 
melihat ayahnya terluka seperti itu. 
Karena hal inilah, di saat Bagus 
Tulada lengah, maka Sawung Cemani 
mengunjamkan pedangnya ke arah lawan. 
Pedang itu menembus perut Bagus 
Tulada. Dan dengan buasnya pedang yang 
mengunjam ke perut itu diputar- 
putarkan sehingga menimbulkan luka 
yang lebar. Boleh dikata isi perut 
Bagus Tulada diaduk-aduk sehingga 
ususnya terburai keluar. Perbuatan 
Sawung Cemani benar-benar ganas. Dalam 
berdiri dengan satu kaki dia menyiksa 
lawannya yang semakin tak berdaya. 
Akhirnya tubuh Bagus Tulada terjerem- 
bab ke tanah.! 

Puas memandangi lawan yang sudah 
tak berdaya, Sawung Cemani mengalihkan 
perhatiannya kepada Pusparini yang 
tercekam tegang menyaksikan keadaan 
Cakraganta. Laki-laki ini tampak 
mengerikan karena merasakan rasukan 
racun yang menggerogoti kepalanya. Dan 
kepala Cakraganta terlihat melepuh di 
sana sini. Kulit wajahnya mengelupas 
dengan mengucurkan darah hitam akibat 
keganasan racun. Pusparini menahan 
jeritnya ketika tiba-tiba menyaksikan 
kedua mata Cakraganta melotot keluar. 
Ya, keluar ! Yang kemudian copot dari 
tempatnya. Disusul dengan mulut 
Cakraganta yang menganga lebar 
mengumandangkan jeritan dengan suara 
parau menyeramkan. Dan mulut inipun 
terkelupas kulitnya sehingga 
menampakkan gigi giginya dengan lidah 
yang menjulur mcm-bengkak. Keadaan 
inilah yang mengakhiri riwayat 
Cakraganta, yang kemudian roboh. 

Belum sirna rasa ngeri 
menyaksikan kematian Cakraganta, tiba- 
tiba Pusparini dikejutkan oleh 
sambaran angin pukulan. Ketika 
menoleh, dilihatnya Sawung Cemani 
telah menyerang dirinya. Untung saja 
serangan pertama ini tidak berhasil 
karena gerak Sawung Cemani yang sudah 
tidak prima lagi. Dia kehilangan 
banyak darah pada kakinya yang buntung 
sebelah. Ketika Sawung Cemani 
menyerang lagi, Pusparini telah siap 
dengan tendangan kaki. Tetapi gerakan 
tendangan ini tidak dia lanjutkan, 
sebab dengan gesit Sawung Cemani 
mencoba menahan dengan kaki yang 
berjalu. Tentu saja hal ini dilakukan 
dengan gerak melambungkan tubuhnya 
untuk keseimbangan. Pusparini 
menghindar. Dia tahu benar keganasan 
racun j alu Sawung Cemani yang rupanya 
lebih ampuh dari pada tempo hari. 

Untungnya, dalam menghindarkan diri 
ini Pusparini mendapat kesempatan 
meraih pedang milik Cakraganta. Dengan 
mengerahkan tenaganya, Pusparini 
melemparkan pedang tersebut ke arah 
lawan. 

Jhebb!!! 

Pedang mengunjam tepat di arah 
jantung. Sawung Cemani 
sempoyongan dengan wajah menyeringah 
Dengan kakinya yang tinggal sebelah 
dia mencoba menguasai diri. Dia hendak 
menerjang ke arah Pusparini dengan 
menggenjotkan tubuhnya. Tetapi 
Pusparini telah terlebih dulu 
bertindak. Dengan melesat ke udara 
mengeluarkan jurus waletnya, Pusparini 
berhasil menerjang ujung senjata yang 
menancap di dada Sawung Cemani. 
Akibatnya pedang itu semakin melesak 
ke dalam dada, dan tubuh Sawung Cemani 
roboh ke tanah dan menemui ajal dengan 
cara itu. 

Pusparini terkulai kepayahan. 
Pandangannya menyapu ke arah tubuh- 
tubuh terkapar tak bernyawa lagi. 
Tetapi tunggu. Ada seseorang yang 
masih bergerak. Itu tubuh Bagus 
Tulada. Pusparini menghampiri. 

"Bagus Tulada!" kata Pusparini. 
"Kau telah berkorban untukku....!" 

"Kk. . . . karena.. . aku 
mencintaimu..!" jawab Bagus Tulada 
lirih. 

Hanya sampai di situ. Tak 
terdengar lagi suara Bagus Tulada. Dia 
menghembuskan napas terakhir di 
pangkuan Pusparini. 

Dan pada saat itulah... terasa 
ada sesuatu yang menyengat 
perasaannya, Pusparini menoleh....! 

Nyi Sanghata muncul lagi. Kini 
kelihatan lebih bangga dengan dirinya. 
Kemunculannya dengan menanting sebuah 
pedang yang masih tersimpan di dalam 
sarungnya. Sarung pedang itu berwarna 
merah dengan hiasan keemasan. Hulunya 
berkepala makara. 

"Rupanya aku terlambat datang. 
Kalau tadi pedang ini kubawa, 
peristiwanya tidak seburuk ini. Tetapi 
yang penting aku harus membinasakan 
kau, Walet Emas, meskipun buku Tosan 
Aji tak akan kutemukan lagi. Atau bisa 
kutemukan setelah kematianmu dengan 
pedang ini. Lihat! Pedang inilah yang 
disebut Pedang Merapi Dahana!!" 
terdengar suara lantang Nyi Sanghata 
sambil mengeluarkan pedang itu dari 
sarungnya. 

Shhrringg!! 

Pedang lepas dari sarungnya. 
Sinar matahari yang menerangi membuat 
bilah pedang tersebut memantulkan 
cahaya merah. Konon pedang tersebut 
hanya ampuh kalau dipergunakan pada 
siang hari saja. Artinya, benda apapun 
yang ditebas pasti terpental putus. 
Oleh sebab itu tak ada logam lain yang 
mampu bertahan dengan tebasannya. 

"Pedang ini tak bisa dimasukkan 
ke dalam sarungnya lagi kalau belum 
berlumur darah manusia, Walet Emas," 
terdengar suara Nyi Sanghata dengan 
lantang. Langkahnya dengan pelan terus 
mendekat ke arah Pusparini. 

Pusparini tertegun menyaksikan 
yang memancar dari Pedang Merapi 
Dahana.! tentang bagaimana 
keampuhan pedang tersebut, telah 
diketahui pula lewat buku Tosan Aji 
yang dia simpan. 

"Dengan apa aku harus menghadapi 
nya?" pikir Pusparini. Tanpa pikir 
panjang, dia menjangkau pedang di 
sampingnya ketika dilihatnya Nyi 

Sanghata semakin dekat ke arahnya. 
Sekejap kemudian pedangnya telah 
beradu dengan Pedang Merapi Dahana. 

Trangg!! 

Sekali tebas, pedang di tangan 
Pusparini terpenggal. Hanya karena Nyi 
Sanghata lamban mengadakan serangan 
kedua kalinya, Pusparini berhasil 
berkelit dan melesatkan tubuhnya 
dengan gaya burung walet menjauhi 
lawannya. Untuk kedua kalinya 
Pusparini menjangkau pedang yang 
lain. diambil dari genggaman tangan 
Cakraganta yang telah jadi mayat. 
Pedang milik Cakraganta berbentuk agak 
besar. 

"Ayo, carilah seribu pedang untuk 
melawanku," sumbar Nyi Sanghata dengan 
lantang. Sekejap berikutnya tubuhnya 
telah melesat ke arah Pusparini yang 
masih ragu untuk menggunakan pedang di 
tangannya. Pusparini bergulir ke 
samping ketika Nyi Sanghata menerjang 
ke arahnya. Tetapi sebelum dia 
mempersiapkan diri lagi, dilihatnya 
Nyi Sanghata siap mengayunkan pedang 
Merapi Dahana ke arahnya. Pusparini 
berusaha menangkis pedang itu. Dan 
untuk kedua kalinya pedang di 
tangannya terpenggal. Melihat keadaan 
ini dia mencoba menghindar. Tetapi Nyi 
Sanghata berhasil menjegal geraknya 
dengan tendangan kaki. Pusparini 
terjerembab. Pandangannya sempat 
menangkap bagaimana Nyi Sanghata 
dengan bernafsu sekali akan menebaskan 
pedang ke arahnya. Lalu diusahakan 
daya upaya untuk menghindari. Tetapi 
kaki Nyi Sanghata berperan lagi. Kali 
ini berhasil menginjak ujung kainnya 
sehingga kain itu robek karena 
hentakan dirinya yang mencoba 
menghindar. 

"Ohh, Aku tahu sampai kapan 
pedang itu mempunyai keampuhan. Selama 
sinar matahari bersinar tak akan ada 
benda yang dapat menahan tebasannya. 
Tetapi hari masih tinggi. Kuatkah aku 
menghadapinya sampai matahari 
terbenam? Tenagaku akan terkuras 
habis!" pikir Pusparini sambil terus 
mengelak dengan berbagai gaya 
menghindari tebasan pedang Merapi 
Dahana yang diserangkan ke arahnya 
oleh Nyi Sanghata. 

"Ayo, larilah sampai ke ujung 
jagad, aku akan terus memburumu, Walet 
Emas !" teriak Nyi Sanghata. Kali ini 
tebasan pedangnya nyaris membabat 
lambung buronannya. Tetapi Pusparini 
masih mampu berkelit sampai dirinya 
menggulirkan tubuhnya ke tanah dan 
menyentuh potongan kaki Sawung Cemani. 

Tanpa pikir panjang lagi dia 
menjangkau potongan kaki itu dan 
dilempar ke arah Nyi Sanghata. Tetapi 
wanita ini waspada. Pedang ditebaskan 
untuk menahan potongan kaki yang 
melesat ke arahnya. Kena. Potongan 
kaki Sawung Cemani hancur berantakan, 
tetapi jalu beracun yang mencuat itu 
mencelat menggores bahunya! 

Nyi Sanghata tersentak kaget. Dia 
tahu bagaimana ampuhnya racun jalu 
besi yang dimiliki Sawung Cemani. 
Kemudian dia menotok jalan darah di 
bahunya agar racun itu tidak cepat 
menjalar. Tetapi akibat totokan jalan 
darah ini dia tak bisa menggerakkan 
tangan kirinya lagi, padahal 
penggunaan pedang Merapi Dahana hanya 
bisa dipergunakan dengan sempurna 
apabila dipegang dengan dua belah 
tangan. Pusparini melihat gelagat ini. 
Dia tidak ingin membuang kesempatan. 

Dengan tekad yang menggebu dia melesat 
ke arah Nyi Sanghata. Tujuannya untuk 
merebut pedang itu yang kini hanya 
dipegang sebelah tangan kanan saja. 
Melihat gerak Pusparini, Nyi Sanghata 
hendak mengayunkan pedang tersebut. 
Tetapi Pusparini lebih cepat meraih 
tangannya. Kini terjadi pergulatan 
untuk merebut pedang. Dari peristiwa 
ini Pusparini baru tahu betapa hebat 
kekuatan Nyi Sanghata. Gerak bela 
dirinya memang agak lambat, tetapi Nyi 
Sanghata mempunyai kekuatan otot 
seperti laki-laki. Bertentangan sekali 
dengan penampilannya yang menggiurkan. 

Walaupun hanya dengan sebelah tangan, 
Nyi Sanghata mampu memegang ketat 
pedang tersebut. Pusparini menempel 
terus. Dia tak boleh merenggangkan 
tubuhnya menjauhi lawan. Sebab apabila 
hal itu dilakukan, maka dengan mudah 
Nyi Sanghata akan menjulurkan pedang 
ke arahnya. 

Dua tubuh itu kini bergulir di 
tanah setelah keduanya roboh serentak. 
Peristiwanya berlangsung lama. Pakaian 
mereka telah terobek awut-awutan 
karena hempasan-hempasan tubuh mereka 
sendiri dalam mencari kelemahan lawan. 

Tetapi tiba-tiba... Nyi Sanghata 
tersentak kejang! Pegangannya pada 
pedang merenggang. Kesempatan ini 
dipergunakan Pusparini untuk merebut 
Pedang Merapi Dahana dari cengkeraman 
lawannya. Dan berhasil, sementara Nyi 
Sanghata sendiri blingsatan di tanah 
seperti cacing kepanasan. 

"Aku berhasil melepaskan totok 
jalan darahnya sehingga racun itu 
tanpa disadari menjalar ke segenap 
tubuhnya....!" kata Pusparini kepada 
dirinya sendiri. Dia terus mengawasi 
keadaan Nyi Sanghata yang dalam 
keadaan pola tidak karuan. Bagian 
tubuh pada bahunya mulai melepuh, lalu 
menjalar kekepala.! Peristiwa 
semuanya sama dengan yang dialami 
Cakraganta. Kedua biji matanya melotot 
keluar dan lepas dari tempatnya. 
Disusul kemudian dengan lepasnya kulit 
dan daging di kepala Nyi 

Sanghata.! Kemudian wanita yang 
selama ini menyimpan Pedang Merapi 
Dahana menemui ajalnya....! 

"Tetapi pedang ini tak dapat 
dimasukkan ke dalam sarungnya sebelum 
merenggut nyawa manusia. Padahal semua 
orang telah tewas.!" keluh 

Pusparini sambil mengawasi pedang yang 
menimbulkan sengketa berdarah. 

"Jangan khawatir, Pusparini!" 
tiba-tiba terdengar suara dari 
kejauhan. 

Pusparini menoleh. Dilihatnya 
Wariga berdiri tegak di seberang sana 
didampingi seseorang, yang dikenal 
sebagai gurunya, yaitu Ki Suswara. 
Pusparini berniat mendatangi kedua 
orang itu, tetapi geraknya terganggu 
oleh pedang di tangannya. Pedang 
Merapi Dahana itu seperti memiliki 
tenaga dan mengendalikan tangan 
Pusparini.... berayun kesana kemari 
dengan liar. 

"Ohh, apa yang terjadi dengan 
pedang ini? Benda ini seperti mau 
lepas dari tanganku!" jerit Pusparini 
dengan cemas. 

Wariga dan Ki Suswara bertindak. 
Pusparini melihat Wariga membawa batu 
lahar yang dikenali sebagai benda yang 
pernah diberikan kepadanya. 

"Untung aku menemukan batu lahar 
ini di sana. Jangan khawatir. Terus 
pegang dengan erat pedang itu dan 
tebaskan ke arah batu ini!" ujar 
Wariga dengan tenang sambil meletakkan 
batu lahar tersebut di tanah. 

Pusparini segera menebaskan 
Pedang Merapi Dahana ke arah batu 
lahar. Dan. 

Bbhllaarrr !!! 

Tubuh Pusparini terpental. Tetapi 
tangannya masih menggenggam pedang 
itu. Dengan ragu dia mencoba bangkit 
sambil mengawasi pedang di tangannya. 
Pedang Merapi Dahana tidak bergolak 
lagi. 

"Hh. Bagaimana bisa begitu? 
Pedang ini.tiba-tiba terasa 
ringan di tangan saya," ujar Pusparini 
seperti seorang bocah mendapat sebuah 
mainan yang didambakan. Lain memandang 
Wariga yang tetap memandangnya dengan 
tenang. Sedangkan gurunya dengan 
senyum kebanggaan melangkah 
menghampirinya. 

"Sang Hyang Widhi rupanya 
menghendaki semua ini, Pusparini. Buku 
Tosan Aji yang kau titipkan padaku 
agar tidak jatuh ke tangan orang-orang 
berwatak angkara, telah kupelajari. 
Kemudian aku mencari seorang sahabat 
untuk membicarakan hal ini. Kau tahu 
siapa dia bukan? Ki Wariga ! Itulah 
orangnya yang kau kenal dengan Wariga 
si pengemis. Dia memang suka 
memperdaya orang. Tetapi siapa 
menyangka kalau dia telah berumur 
lebih dari delapan puluh tahun? Dia 
memiliki ajian ampuh sehingga 
penampilannya seperti bocah," kata Ki 
Suswara. 

"Saya telah mengetahuinya dari 
cerita Nyi Sanghata," jawab Pusparini 
yang kini bersikap hormat kepada Ki 
Wariga. 

"Aku dengan Ki Wariga berhasil 
memecahkan rahasia pedang itu 
bagaimana cara mengendalikan. Dan kau 
lihat sendiri. Pedang Merapi Dahana 
tidak dapat ditenangkan begitu dia 
dikeluarkan dari sarungnya sebelum 
membinasakan nyawa manusia. Cara 
mengatasi harus ditebaskan ke batu 
lahar. Kau lihat, batu itupun tidak 
cuil sedikitpun. Sebab batu lahar itu 
salah satu unsur senyawanya," Ki 
Suswara terus menjelaskan. 

"Dan kita akan membuat sarung 
pedang dengan menggunakan batu lahar 
itu agar bisa mengamankan keganasan 
Pedang Merapi Dahana. ! Maksudku, 
kalau pedang itu terlanjur lepas dari 
sarungnya, dan tidak mendapatkan 
mangsa nyawa, bisa dimasukkan kembali 
ke dalam sarungnya. Nah, kini masukkan 
pedang tersebut ke dalam sarungnya, 
sementara dalam beberapa hari ini aku 
dan Ki Wariga akan membuat sarung 
pgdang dari bahan batu lahar itu, " 
kata Ki Wariga dengan nada suara 
dewasa. 

"Sebaiknya kita secepatnya 
meninggalkan tempat ini sebelum ada 
pihak lain mencium peristiwa ini. 
Mari" ajak Ki Suswara. Kemudian mereka 
berangkat menuju padepokan 
Canggal....! 


★ ★ ★ 

Beberapa hari kemudian. 
Terlihat Pusparini berdiri di 
samping kudanya yang akan membawa dia 
pergi meninggalkan padepokan. 

"Pedang Merapi Dahana kini 
menjadi milikmu, Pusparini. Sarung 
pedangnya yang telah berhasil kami 
buat, akan mengamankannya. Tetapi 
tidak berarti kau bisa semena-mena 
mempergunakannya. Senjata ampuh tidak 
boleh dipergunakan sembarangan, " kata 
Ki Wariga. Terbayang sekilas bagaimana 
Ki Wariga dan Ki Suswara menciptakan 
sarung Pedang Merapi Dahana. Pusparini 
mengakui kehebatan Ki Wariga bagaimana 
dia membentuk batu lahar yang 
dicairkan lewat tungku dan hanya 
dipenyet-penyet dengan tangan 
telanjang. Dan Ki Suswara mengukir 
hiasannya dengan tambahan kayu untuk 
memperindah bentuknya. Akhirnya 
tercipta penampilan pedang yang tampak 
berwibawa....! 

"Kau bukan orang pertama yang 
akan menjadi pendekar pembasmi 
kejahatan, Tetapi.jadilah yang 
terbaik !" pesan Ki Suswara. 

"Jaga dirimu baik-baik, Walet 
Emas....!" 

"Mohon doa restu. Saya akan 
berangkat sekarang," ucap Pusparini 
lirih dengan penuh hormat. 

Pusparini segera menaiki kudanya. 
Dengan hentakan kakinya dia 
memerintahkan kuda bergerak. 

Langkahnya tenang meninggalkan 
padepokan Canggal, dilepas dengan 
pandangan Ki Wariga dan Ki Suswara 
sementara cakrawala Timur membiaskan 
warna jingga.! Hari semakin 
cerah. Dan kehidupan menantang 
Pusparini alias Walet Emas di seberang.

SELESAI 

Serial Walet Emas