Walet Emas 8 - Siluman Kedung Brantas

SATU 
 
Goyang pinggul penari itu benar-benar menyeret 
pandangan mata setiap lelaki yang terbius alunan ga-
melan yang kian memanas. Selingan teriakan yang ka-
dang-kadang terdengar melengking, umumnya mem-
bumbui dengan ucapan-ucapan yang mengundang ge-
lak tawa. Ada yang lucu. Ada yang jorok. Tetapi semua 
disambut seperti sudah sewajarnya. Kalau tak ada 
bumbu ucapan seperti itu, katanya kurang ‘nges’ atau 
kurang sedap. Dan sang penari yang terdiri dari tiga 
wanita itu, membiarkan saja kalau ada tangan-tangan 
jahil yang menthowel pantat. Itu pun kalau berani. Se-
bab tak kurang pula harus menanggung akibatnya. 
Ketiga penari itu bukan penari sembarangan. Konon 
mereka punya ilmu. Dengan tangkisan tangannya, 
maka si tangan jahil bisa rontok jari-jarinya kalau 
sampai kena seblak. Dan hal ini akhirnya menimbul-
kan semacam taruhan. Siapa lelaki yang paling banyak 
bisa menepuk pantat sang penari, biasanya bisa 
menggondol taruhan. 
Konon ada seorang yang disebut jagoan dalam hal 
‘thowel-menowel pantat’ bernama Kebo Parud. Boleh 
dibilang tak ada seorang penari pun yang belum per-
nah dithowel pantatnya oleh sang jagoan ini. 
Seperti halnya kali ini, ketika di Kademangan Rajeg 
Banjar diadakan tontonan seperti itu, maka yang na-
manya Kebo Parud tak ketinggalan unjuk ketrampilan. 
Ketiga penari itu semuanya berhasil dithowel pantat-
nya. Ini hanya berpacu tentang kegesitan saja. Kebo 
Parud menang taruhan lagi. Masing-masing telah ber-
hasil dithowel pantatnya rata-rata tiga kali. Sedangkan 
penari itu sendiri telah berhasil merontokkan jari-jari  
tangan lima orang lelaki yang mencoba menthowel 
pantat mereka. Benar-benar tontonan yang asyik tapi 
mengundang bahaya. 
“Kau mau maju lagi menthowel pantat mereka?” 
tanya seseorang kepada Kebo Parud yang meneguk 
minuman tuak. 
Satu bumbung tuak tersedia di sampingnya. Untuk 
menghabiskan satu bumbung tuak, orang biasa pasti 
ndlosor  terkapar alias mabuk. Tetapi Kebo Parud, itu 
bukan apa-apa. 
“Mereka akan mudah kuthowel lagi. Aku akan cari 
penari yang penuh tantangan,” kata Kebo Parud. 
“Penuh tantangan yang bagaimana?” 
“Yang sulit dithowel!” jawab Kebo Parud. 
“Kau nanti akan mendapat apa yang kau idamkan,” 
terdengar  suara di belakang Kebo Parud, yang ketika 
ditoleh ternyata kenalan lamanya, si Sempak Waja. 
“Hei, kau Sempak! Duduk kemari. Temani aku mi-
num,” sambut Kebo Parud ketika melihat kenalannya. 
Sempak Waja masih melayangkan pandangan ke 
arah ketiga penari yang dikelilingi beberapa orang lela-
ki. Mereka masih terlibat tarian yang diiringi teriakan-
teriakan. Seorang lelaki kena gampar tangannya ketika 
mencoba menthowel pantat si penari. Langsung laki-
laki itu mengaduh. Tiga tulang jarinya patah! 
“Apa kau bilang tadi? Aku akan mendapat apa yang 
kuidamkan?” tanya Kebo Parud. 
“Ki Demang akan mengeluarkan seorang penari an-
dalannya. Katanya belum pernah seorang lelaki pun 
yang berhasil menthowel pantatnya!” kata Sempak 
Waja. 
“Seorang... penari baru, maksudmu?” 
“Baru untuk ukuran di kademangan ini. Tetapi dia 
sudah kondang di tempat lain,” jawab Sempak Waja.  
“Nah, itu dia!” 
Kepala Kebo Parud mendongak melihat munculnya 
seorang penari baru. Dia muncul diiringi seorang ‘pe-
landang’ atau pembimbing ke tengah arena tari. Se-
dangkan munculnya penari tunggal ini menggantikan 
ketiga penari yang mundur dari arena. Suara gamelan 
yang semula bergaung dengan irama rendah ketika ter-
jadi pertukaran penari ini, kini mulai memanas dengan 
irama yang menyeret gerak gemulai penari baru. 
Suara riuh mulai bertingkah lagi. Penampilan pena-
ri baru ini memang aduhai. Aduhai dalam mutu 
orangnya. Setiap lelaki akan selalu menatap wajahnya 
terlebih dulu. Kemudian kontan ke bawah, ke lembah 
tumit yang bercekung dalam. Lalu pada betis yang ke-
lihatan hilang-hilang tampak dari belahan jarit  yang 
menyibak ketika kaki itu bergerak menurut irama ga-
melan. Dari sini, mata terus meneliti bentuk pantat 
yang padat, mengombak dari lekuk pinggang yang 
‘nawon kemit’. Lalu meneliti ke atas, ke ukuran dada 
dalam balutan kemben merah darah. Kemben itu me-
nutup buah dadanya sebatas tiga jari dari putingnya, 
sehingga tampak semakin menggunung mempesona. 
Kemudian setiap mata menikmati wajahnya lagi. Wa-
jah yang punya bibir ranum bagai tomat. Dengan se-
sungging senyum diimbuhi lirikan mata, maka setiap 
lelaki mau saja memberikan sepasang kerbau asal pe-
nari ini bersedia tidur dengannya. 
Baru kali ini ada peminat untuk turun ke gelang-
gang tari terjadi antrian panjang menanti giliran. Ada 
selusin lelaki sudah berdiri berjajar menanti  giliran. 
Setiap orang diberi kesempatan sepemakan sirih untuk 
bisa menthowel pantat penari. Ketika giliran lelaki per-
tama kena gampar sehingga jari-jarinya rontok, orang 
mulai membelalakkan mata. Ya, rontok! Jari-jari lelaki  
itu putus kelima-limanya lepas dari telapak tangannya. 
Darah menyembur. Belum pernah ada kejadian seperti 
ini. Biasanya si penari hanya bisa menepis, dan tulang 
jari si lelaki hanya kesemutan atau patah tulang atau 
urat saja. Belum ada yang rompal secara total seperti 
ini! 
Giliran orang kedua masih nekad tampil. Ini pun ti-
dak berlanjut lama. Ketika tangan si lelaki akan men-
thowel pantat si penari, langsung mendapat tepisan 
yang serupa. Bahkan kali ini telapak tangannya putus 
dari pergelangannya. Tentu saja hal ini membuat riuh 
semua orang yang menyaksikan. Tontonan ini jadi 
mendapat perhatian semakin besar. Yang jadi korban 
hanya bisa menyeringai dan meninggalkan gelanggang 
tari. 
Melihat hal ini para peminat yang antri, satu persa-
tu mengundurkan diri. 
“Wah, kalau yang begini, lebih baik jadi penonton 
saja daripada tangan bisa cacat seumur hidup!” kata 
seseorang yang menyingkir dengan klincutan  dari an-
trian. 
Akhirnya orang-orang yang berminat turun ke arena 
tari tak ada lagi. 
“Ini baru penari idaman!” bisik Kebo Parud setelah 
menyaksikan peristiwa itu yang kemudian beranjak 
dari tempatnya. 
Orang-orang minggir memberi jalan kepada Kebo 
Parud yang akan turun ke arena tari. Banyak orang 
mulai pasang taruhan. Kali ini pasaran taruhan ba-
nyak yang memihak kepada sang penari. Bagi Kebo Pa-
rud sendiri yang tampaknya mulai kehilangan pasa-
ran, tidak mempedulikan hal itu. Dengan jeli dia masih 
mengawasi penari yang tetap lemah gemulai menuruti 
irama gending gamelan. Lama Kebo Parud mengawasi  
penari itu. 
Di pihak lain, sang penari pun kadang-kadang meli-
rikkan pandangannya kepada Kebo Parud. Sikapnya 
benar-benar  ngletheki  memancing hasrat. Lemah ge-
mulai antara gerak tangan dan goyangan pinggul 
membuat setiap mata terpaku menyaksikan. 
“Ayo, Kebo Parud! Mengapa kau masih mematung 
saja? Thowel itu pantat! Aku pasang sepasang kerbau 
kalau kau mampu melakukannya!” teriak seseorang. 
“Dua pasang kerbau buatmu!” komentar yang lain. 
Ini artinya, kalau Kebo Parud sampai bisa mentho-
wel pantat sang penari, akan memperoleh taruhan itu. 
Kalau tidak, dia yang akan membayar. Sedangkan di 
petaruh yang lain, hanya bertaruh antar penonton. 
Tiba-tiba Kebo Parud memberi isyarat kepada pena-
buh gamelan untuk berhenti sejenak. Tidak biasanya 
hal yang demikian dilakukan oleh lawan penari. Aneh-
nya, pihak penabuh gamelan mematuhi isyarat itu. 
“Aku ingin bicara dengan Ki Demang sebentar,” seru 
Kebo Parud dengan melayangkan pandang kepada 
yang bersangkutan. 
Ki Demang Balawan yang berkuasa di Kademangan 
Rajeg Banjar tersenyum melihat Kebo Parud tampil di 
sana. Sepertinya hal ini memang diharapkan. Dia tahu 
bahwa Kebo Parud adalah jagoan dalam menthowel 
penari, dan tak pernah gagal. Dan acara yang diseleng-
garakan kali ini dalam memeriahkan ‘bersih desa’, Ki 
Demang sengaja mendatangkan penari yang kesohor 
yang belum pernah berhasil dithowel pantatnya oleh 
para pendamping tari. 
“Mohon maaf, Ki Demang. Langsung saja saya ingin 
taruhan dengan Ki Demang. Apakah Ki Demang ber-
kenan?” seru Kebo Parud dengan lantang sambil mem-
biarkan rompinya menganga menunjukkan simbar da- 
danya yang lebat. 
“Tentu saja. Taruhan apa yang kau minta?” jawab 
Ki Demang. 
“Seluruh hasil panen padi tahun ini yang Ki De-
mang miliki,” seru Kebo Parud. 
Terdengar suara gremeneng dari semua orang yang 
hadir di sana. Mereka menilai taruhan yang diminta 
oleh Kebo Parud sangat tinggi. Itu berarti separo hasil 
panen padi dari seluruh wilayah Kademangan Rajeg 
Banjar. 
“Bagaimana? Sebab, mungkin tanganku bisa cacat 
seumur hidup kalau tak berhasil menjamah pantat 
penari jempolan ini. Dan kedua, apabila berhasil, dia 
harus bersedia tidur dengan saya,” kata Kebo Parud 
ketika Ki Demang belum memberi persetujuan atas 
usulnya yang pertama. 
Mendengar usul yang kedua ini, kontan orang-orang 
berteriak “Huuuuuu...” tanda mencemoohkan usulan 
Kebo Parud yang dinilai kelewatan. 
Ki Demang Balawan mengerinyutkan alisnya. Piki-
rannya menjajagi keinginan Kebo Parud yang memang 
dinilai kelewatan. Tetapi hal ini memang menyangkut 
harga diri. Apalagi telah disaksikan oleh segenap pen-
duduk yang hadir dalam hajat ‘bersih desa’. 
“Untuk permintaanmu yang pertama, aku bisa me-
menuhi. Tetapi yang kedua, kau harus mengatakan 
sendiri kepada yang bersangkutan,” jawab Ki Demang. 
Mendengar hal ini sang penari menatap tajam ke-
pada Kebo Parud. Masalah tidur bersama, hal itu me-
nyangkut harga diri dan moral. 
“Kau harus banyak menundukkan aku untuk per-
mintaan yang satu itu,” jawab sang penari. 
Ucapan ini benar-benar menyengat perasaan Kebo 
Parud. Pikirannya segera menebak kemampuan penari  
ini sampai berapa jauh dia menguasai ilmu yang bu-
kan sekedar tari. 
“Baik!” jawab Kebo Parud singkat. Kemudian tan-
gannya memberi isyarat agar gamelan ditabuh. 
Suara hingar-bingar terdengar lagi. Sang penari mu-
lai menari menuruti irama gending gamelan. Suara so-
rak-sorai dari orang-orang yang menyaksikan mulai 
membahana. Kebo Parud pun mulai mengimbangi 
dengan gerak tari. Dia bergerak mengelilingi sang pe-
nari. Dua orang ini sebenarnya sudah saling mengatur 
siasat. Satu bertahan, yang lain akan menyerang den-
gan jamahan tangan ke arah pantat. Tampaknya sang 
penari lengah, tetapi jangan dikira itu sikap yang sem-
brono. Sebab hal ini merupakan jebakan agar lelaki 
lawannya menthowel pantatnya. Tetapi Kebo Parud ti-
dak gegabah untuk segera bertindak. Dia terus menari 
berputar seakan-akan tidak ada perhatian ke arah tu-
buh sang penari yang jadi incarannya. 
“Ayo,  Bo, sikat saja!” sebuah teriakan terdengar. 
Kemudian disusul omongan yang lain bernada jorok. 
Tetapi justru hal yang begini semakin mengundang ta-
wa orang-orang lainnya. 
Kebo Parud terus menari. 
Sang penari tetap dengan lemah gemulainya me-
mamerkan keindahan tubuhnya sesuai irama gending. 
Gerakannya lebih banyak dilakukan dengan sikap me-
rangsang lawan jenis. 
Dan pada saat itulah, tangan Kebo Parud berkelebat 
berbareng dengan liukan tubuhnya. Tetapi di luar du-
gaannya, tangan yang nyaris menthowel pantat itu ter-
sambar selendang sang penari. Dan itu bukan sekedar 
sambaran. Tetapi sambaran yang berisi tenaga dalam. 
Kontan Kebo Parud mengaduh tertahan. Ya, tertahan, 
sebab rasanya malu kalau sampai terdengar oleh para  
penonton. Tetapi tak urung para penonton telah berso-
rak karena kegagalannya. 
Kebo Parud terus menari tanpa mempedulikan sua-
ra-suara di sekelilingnya. 
“Ini tak boleh diremehkan,” pikir Kebo Parud sambil 
terus mengimbangi gerak tari. Tetapi matanya tak le-
pas dari gemulai tangan sang penari yang mungkin bi-
sa dipantau jurus geraknya. Ya! Jurus gerak. Sebab 
Kebo Parud tahu bahwa itu bukan sekedar gerak tari. 
Itu jurus serangan yang dilakukan dengan menari. Te-
gasnya, mereka berdua sedang perang tanding dalam 
kancah persilatan! Dan ini tak banyak orang yang ta-
hu. Hanya orang-orang yang menguasai ilmu persila-
tan yang mengerti jurus seperti ini. Itu pun tidak ba-
nyak yang teliti, sebab keadaannya telah dilebur dalam 
alunan gamelan. 
Ki Demang dengan cermat mengawasi mereka. Laki-
laki bernama Sempak Waja mendekati. 
“Saya tadi sempat membakar hatinya,” lapor Sem-
pak Waja kepada atasannya, Ki Demang itu. “Kali ini 
rupanya Kebo Parud benar-benar ketanggor.” 
“Ya! Ini satu cara untuk menindaknya setelah ber-
bagai cara kita lakukan tanpa membawa hasil,” sahut 
Ki Demang Balawan. “Dan gadis itu benar-benar jem-
polan untuk berperan sebagai penari. Siapa na-
manya?” 
“Pusparini!” jawab Sempak Waja. 
“Ya! Pusparini. Selalu saja aku lupa meskipun kau 
telah menyebut namanya berkali-kali,” kata Ki De-
mang. “Tetapi kita harus berjaga-jaga menunggu bun-
tut peristiwa berikutnya kalau Kebo Parud bisa ditun-
dukkan oleh penari itu.” 
“Ki Demang mengharap bahwa Kebo Parud akan 
membawa kita untuk mengungkap masalah Siluman  
Kedung Brantas?” tanya Sempak Waja. 
“Arahnya memang ke sana. Firasatku mengatakan 
bahwa lalu lintas Bengawan Brantas yang dikacaukan 
oleh munculnya Siluman Kedung Brantas, ada kaitan-
nya dengan Kebo Parud. Paling tidak, dia tahu banyak 
tentang tokoh yang menamakan diri sebagai Siluman 
Kedung Brantas,”  jawab Ki Demang dengan mendon-
gakkan kepalanya karena ingin tahu apa yang terjadi 
di arena tari. Hal ini karena terdengar sorak-sorai pe-
nonton yang menyaksikan tarian Kebo Parud mengha-
dapi penari baru yang tampaknya sulit dijinakkan. 
“Siapa kau sebenarnya?!” kata Kebo Parud sambil 
mengitari sang penari. 
“Kau harus menundukkan aku kalau ingin tahu 
namaku,” jawab penari yang bernama Pusparini. 
“Kau penari baru. Tetapi tak pernah kulihat menari 
di mana pun, di kawasan kademangan ini,” kata Kebo 
Parud lagi dengan mata menatap tajam untuk mencuri 
kesempatan menthowel pantat Pusparini. 
Ya! Wanita penari itu adalah Pusparini, yang punya 
gelar kependekaran Walet Emas. Dari perjalanannya 
yang malang-melintang di kawasan Kerajaan Medang, 
akhirnya dia harus berhadapan dengan masalah yang 
membikin resah penduduk di kawasan Kademangan 
Rajeg Banjar sepanjang Bengawan Brantas. Konon ada 
tokoh yang menamakan diri Siluman Kedung Brantas 
yang sering membegal perahu-perahu yang berlayar di 
Bengawan Brantas. Hal ini bukan menjadi masalah 
Kademangan Rajeg Banjar saja, tetapi sudah menjadi 
masalah pemerintah Kerajaan Medang juga. Hanya sa-
ja untuk menindaknya, perlu perhitungan yang hati-
hati. 
Pusparini terus menari. Sampai sekian jauh Kebo 
Parud belum berhasil menthowel pantat penari lawan- 
nya. Bahkan ketika Kebo Parud merasa yakin bisa ber-
tindak, lagi-lagi selendang Pusparini berhasil menang-
kis dengan hantaman keras. Kali ini Pusparini menge-
luarkan tenaga prima sehingga benturan selendang 
dengan tangan Kebo Parud mengepulkan asap. Itu per-
tanda kulit tangan Kebo Parud telah hangus. Dan itu 
benar adanya. Kebo Parud menyeringai kesakitan. Para 
penonton bersorak menggetarkan bangunan terop yang 
terbuat dari bambu. 
“Mundur saja, Bo, Kebo! Kau sudah keok!” seru pe-
nonton. 
Kebo Parud semakin penasaran. Kesempatan ku-
rang satu lagi. Sebab, dia diberi kesempatan untuk 
menthowel tiga kali. Dua kali telah gagal. Kalau sampai 
saat ini dia bisa bertahan, itu karena pertahanannya 
mempergunakan tenaga dalam. 
Sementara itu gending ditabuh kian bernada cepat. 
Memang sudah mencapai puncak  gerak tari yang 
membutuhkan alunan gaya yang paling menentukan. 
Dan pada saat itulah Kebo Parud mencoba lagi untuk 
melancarkan serangannya. Kali ini Pusparini bertindak 
lebih ganas. Selendang dikipatkan menyambar tangan 
Kebo Parud sebatas lengan. Bagaikan  pedang, selen-
dang yang lentur itu berisi tenaga dalam, memapras 
lengan Kebo Parud. Kontan putus! Penggalan tangan-
nya mencelat ke tengah para wiyaga, penabuh game-
lan, ke perangkat gong. Justru gong yang akan ditabuh 
sebagai penutup gending, kini telah dilanda penggalan 
tangan Kebo Parud. Gong berbunyi tepat pada irama 
penutup! 
Orang bersorak kagum. 
Kebo Parud terkulai sambil menebah lengannya 
yang putus. Dia mencoba menotok uratnya agar da-
rahnya tidak membanjir keluar dari lukanya. Dengan  
langkah gontai Kebo Parud meninggalkan arena tari di-
iringi sorak-sorai penonton. 
“Bo, ini lenganmu!” seru seseorang sambil memba-
wa potongan lengan yang terpenggal. Orang-orang nge-
ri menyaksikan. Dan Kebo Parud terus melesat dari 
sana tanpa mempedulikan potongan lengannya. 
Pusparini berdiri di tengah gelanggang tari dengan 
tenang sambil mengawasi larinya Kebo Parud. Meski-
pun Pusparini tenang-tenang saja, kini tak ada seo-
rang pun dari calon penari laki-laki yang berani turun 
ke gelanggang. Lalu Pusparini beranjak dari sana, ma-
suk ke dalam ruang rias. Kini gelanggang tari diisi lagi 
dengan ketiga penari lain, yang muncul untuk kedua 
kalinya. Baru saat inilah ada satu dua orang penari le-
laki berani turun ke gelanggang tari. Tontonan ramai 
lagi. Paling tidak dengan ketiga penari ini musibah ti-
dak separah ketika penari berkemben merah tadi 
menghajar Kebo Parud. 
Dan malam pun semakin larut...! 

*** 

DUA 
 
Tiga hari berikutnya setelah ‘bersih desa’ usai, Pus-
parini menemui Ki Demang Balawan. 
“Jadi kau pendekar yang dikirim oleh Mapatih Sa-
tyawacana dari Ibukota Medang?” tanya Ki Demang se-
telah Pusparini membeberkan tugasnya. 
“Benar, Ki! Ki Mapatih telah menggladi saya sebagai 
penari hampir sebulan lamanya,” jawab Pusparini yang 
kini tampil dengan pakaian kependekarannya, ber-
kemben kuning, dengan mencangklong Pedang Merapi 
Dahana yang terbungkus. 
 
“Hm, akhirnya pemerintah pusat mengirimkan 
orang pilihannya untuk menangani masalah ini,” gu-
mam Ki Demang. Tampaknya dia merasa terpukul 
dengan kehadiran Pusparini. Hal ini menunjukkan 
bahwa Ki Demang tidak mampu menangani masalah 
Siluman Kedung Brantas, dan pemerintah pusat telah 
turun tangan. 
“Ki Demang tak usah kecil hati. Kalau pemerintah 
pusat sampai mengirim saya kemari, itu menunjukkan 
adanya perhatian dari Ki Mapatih demi kepentingan 
warga Medang di pelosok. Bahkan ada berita-berita 
bahwa banyak orang-orang Sriwijaya yang masuk ke 
wilayah Medang untuk mengacaukan kerajaan ini dari 
dalam,” kata Pusparini menjelaskan. 
Setelah mengalami peristiwa menghadapi Dewi Se-
laksa Racun yang melibatkan orang-orang Sriwijaya, 
Pusparini semakin tahu tentang masalah politik dan 
intrik-intriknya. Setelah peristiwa itu, dirinya diberi 
kepercayaan oleh Mapatih Satyawacana sebagai anggo-
ta ‘telik sandi’ Kerajaan Medang. Tugas pertamanya 
mengharuskan dia ‘turba’ tanpa didampingi anggota 
‘telik sandi’ yang lain. Keadaan Kerajaan Medang ak-
hir-akhir ini memang gawat. Permusuhan dengan pi-
hak Sriwijaya mengharuskan mempergiat ketahanan 
keamanan wilayah, sementara pihak Sriwijaya mulai 
menyusupkan orang-orangnya ke dalam negeri Kera-
jaan Medang. Hal ini dalam kesempatan itu dibeberkan 
kepada Ki Demang. Orang tua itu hanya manggut-
manggut mencoba memahami perkembangan keama-
nan yang tampaknya tidak menggembirakan. 
“Ki Demang tahu apa arti tatakehidupan yang baik 
bagi suatu negeri? Itu akan membuat warganya taat 
kepada perintah raja. Tetapi kalau sudah tatakehidu-
pan semrawut dan hidup rakyatnya semakin menderi- 
ta, maka kepercayaan itu akan sirna dari nurani war-
ganya,” kata Pusparini. 
“Jadi orang-orang Sriwijaya yang menyusup kemari 
bertujuan menumbuhkan keresahan rakyat agar Kera-
jaan Medang kropos dari dalam?” sela Ki Demang. 
“Tepat sekali. Mungkin juga yang menamakan diri 
Siluman Kedung Brantas itu ada kaitannya dengan 
mereka. Atau mungkin juga dari pihak lainnya,” kata 
Pusparini  menambahi penjelasan. Pembicaraan yang 
semula obrolan ringan, ternyata dibicarakan semakin 
menyita perhatian. 
Tengah perbincangan itu membuih di bibir, tiba-tiba 
perabot kademangan bernama Sempak Waja datang 
dengan tergopoh-gopoh. 
“Hei, ada apa kau ini? Sepertinya kau dikejar hantu 
saja,” tegur Ki Demang sambil meludahkan kunyahan 
kinang dari mulutnya ke dalam paidon. 
“Mmm... memang ada hantu!” ujar Sempak Waja 
dengan wajah pucat pasi. 
“Hantu? Hantu apa? Kau ini mungkin nglindur 
siang-siang begini ada hantu,” sela Ki Demang. 
“Mmm... maksud saya... tangan Kebo Parud yang 
putus itu...!” kata Sempak Waja lagi dengan sikap yang 
masih belum tenang. 
Di belakangnya muncul pula dua orang lainnya. Te-
tapi mereka mengekor pada laporan Sempak Waja. 
Dua orang itu juga tampak pucat pasi. 
“Tangan Kebo Parud yang putus? Yang terpenggal 
karena diseblak oleh... Pusparini?” tanya Ki Demang. 
“Bukankah potongan tangan itu telah kita kuburkan 
ketika Kebo Parud tidak mempedulikan lagi dan terus 
melarikan diri yang sampai sekarang tidak muncul la-
gi?” 
“Bbb... be... benar, Ki!” kata Sempak Waja. “Justru  
itu... hantunya! Tangan itu muncul dari kuburnya... 
dan merayap ke mana-mana! Dia telah menimbulkan 
korban. Seorang wiyaga penabuh gamelan, mati terce-
kik di rumahnya.” 
“Dicekik oleh tangan itu?” sahut Pusparini. 
“Iii... iya! Dicekik oleh tangan itu. Sepertinya tangan 
itu bernyawa. Kini orang-orang khawatir kalau tangan 
itu menyerang mereka selagi lengah.” 
“Tidak diusahakan untuk menangkapnya?” tanya Ki 
Demang. 
“Wah, bagaimana cara menangkapnya. Lha wong 
geraknya gesit sekali. Sekali lompat, kemudian meng-
hilang ke dalam semak belukar,” kata orang di bela-
kang Sempak Waja. 
Ki Demang nyaris tak percaya dengan cerita orang-
orang itu. Dia ingin membuktikan kebenarannya. Bi-
asanya orang senang bercerita dengan sesuatu hal 
yang tidak dilihatnya sendiri, justru kemudian dibum-
bui dengan hal-hal lain untuk mempertambah 
‘wah’nya kejadian. 
“Kalian tahu di mana paling akhir potongan tangan 
itu terlihat?” tanya Pusparini. 
“Di semak-semak pinggir Bengawan Brantas, dekat 
dermaga sungai,” jawab teman Sempak Waja. 
“Ki Demang, bagaimana kalau kita tengok ke sana?” 
saran Pusparini. 

*** 

Saran Pusparini disetujui. 
Mereka segera menuju ke dermaga sungai, tempat 
berlabuhnya perahu-perahu yang berlayar di Benga-
wan Brantas. Di sana orang masih membicarakan 
munculnya potongan tangan Kebo Parud. Jelas sekali 
bahwa potongan tangan yang bisa bergerak itu adalah  
tangan Kebo Parud. Ciri lainnya karena terlihat cincin 
bermata akik yang masih menghiasi jari tangannya. 
Dan setelah diselidiki kuburan tangan itu, ternyata te-
lah kosong. Terlihat bahwa tangan itu memang berge-
rak dengan sendirinya keluar dari tempatnya dikubur-
kan. 
“Ilmu apa yang dimiliki oleh Kebo Parud itu?” bisik 
Pusparini dalam hati. 
Kemudian Ki Demang memutuskan untuk meme-
riksa rumah Kebo Parud di Puthuk Gilang, di sebuah 
tebing curam di tepi Bengawan Brantas. Dan tak jauh 
dari tempat itu terdapat suatu kedung, tempat benga-
wan yang paling dalam dan memiliki arus pusaran 
yang kuat, yang disebut Kedung Brantas. Dari tempat 
inilah beberapa waktu yang lalu muncul Siluman Ke-
dung Brantas. Sementara orang ada yang bercerita 
bahwa yang disebut siluman itu benar-benar siluman. 
Ada lagi yang mengatakan bahwa siluman itu adalah 
orang yang menyamar. 
“Itu dia rumahnya,” tunjuk seorang penunjuk jalan 
ke sebuah rumah yang terlihat terpencil dari rumah-
rumah yang lain. 
Rumah itu sebenarnya cukup besar, dan menun-
jukkan keberadaan yang terjamin tentang harta benda 
yang dimiliki Kebo Parud. Tetapi konon, itu semua 
hanya harta warisan dari orang tuanya yang kini tiada 
lagi. Di sana hanya ada dua orang pembantu. Satu 
seorang tukang kebun, dan yang lain pembantu dapur. 
Mereka adalah orang-orang yang dulu mengabdi kepa-
da almarhum kedua orang tua Kebo Parud. 
Sesampai di sana, Ki Demang mengetuk pintu ru-
mah. 
“Sepi, tak ada orang. Coba kau tengok dari bela-
kang,” perintah Ki Demang. 
 
Sempak Waja akan melaksanakan perintah itu, te-
tapi Pusparini mencegahnya. 
“Biar saya yang memeriksa,” sarannya. 
Pusparini melesat ke atas pagar rumah yang terbuat 
dari susunan batu kali. Dari sini dia meniti sepanjang 
pagar yang memanjang ke belakang. Sesampai di tem-
pat yang dituju Pusparini menengok pintu belakang 
rumah. Pintu itu menganga, terbuka. 
Firasatnya terusik tentang adanya hal-hal yang ti-
dak beres. Pusparini segera memasuki rumah itu lewat 
pintu belakang yang terbuka. 
“Spada!” serunya. 
Gemanya memantul ke seluruh ruangan. Karena 
tak ada jawaban, dia terus melangkah masuk. Tetapi 
baru saja kakinya menapak lima langkah, Pusparini 
dikejutkan dengan munculnya seseorang dari dalam 
kamar. Seorang lelaki muda bertelanjang dada dengan 
pedang bertengger pada punggungnya. Sedangkan di 
bahunya menggantung perbekalan. 
Melihat kehadiran Pusparini, laki-laki itu terus me-
nyerang tanpa basa-basi. Tentu saja terjangan yang 
mendadak ini sangat mengejutkan. Pusparini hanya 
mampu mengelak, sebab serangan itu telah mengunci 
peluang gerak yang mungkin dilakukan Pusparini un-
tuk membalas. Dengan sebuah tendangan, laki-laki itu 
berhasil menerobos ke luar melewati pintu yang men-
ganga lebar. 
Pusparini berniat memburu. Tetapi ketika sesampai 
di luar, laki-laki itu telah lenyap seperti ditelan bumi. 
Yang pasti, menurut dugaan Pusparini, telah melompat 
menyeberangi Bengawan Brantas dengan meminjam 
tenaga dari sebatang pohon yang kebetulan terhanyut. 
Sebab kalau tidak, mustahil seseorang bisa menyebe-
rangi bengawan yang lebar itu dengan sekali lompat  
menuju ke seberang. 
Kemudian Pusparini balik ke dalam rumah itu, dan 
membuka pintu depan dari dalam. 
“Rumah ini kosong! Saya menemukan seseorang di 
dalamnya. Kini dia melarikan diri. Pasti bukan peng-
huni rumah ini,” Pusparini memberi laporan. 
Kemudian mereka memeriksa keseluruhan isi ru-
mah. 
Tiba-tiba terdengar teriakan Sempak Waja. Buru-
buru mereka mendatangi tempat itu. Apa yang mem-
buat Sempak Waja menjerit karena dia menemukan 
dua sosok mayat terkapar dalam gudang pangan. Ada 
beberapa ekor tikus dalam gudang itu yang menggero-
goti dua mayat itu segera dihalau. 
“Mereka adalah dua orang pembantu rumah ini,” 
kata perabot kademangan yang ikut serta memeriksa 
di sana. 
“Ada bekas cekikan di leher mereka,” kata Ki De-
mang sesaat memeriksa kedua mayat itu. 
“Masih jadi teka-teki, apakah mereka dibunuh oleh 
laki-laki yang kupergoki tadi, ataukah...,” Pusparini ti-
dak melanjutkan kata-katanya. 
“Dicekik potongan  tangan Kebo Parud?” sela Sem-
pak Waja dengan nada bergetar. 
Tak ada yang memberi wawasan. Semua kemungki-
nan bisa saja terjadi. 
Kemudian Ki Demang memberi tugas kepada kedua 
perabot kademangan agar mengawasi rumah itu sete-
lah mereka pergi. Sedangkan Pusparini akan terus me-
lanjutkan mencari jejak Kebo Parud, dan mencari laki-
laki buron yang pernah dipergoki di dalam rumah itu. 
Ki Demang dan Sempak Waja kembali ke kademangan 
untuk memberi perintah lebih lanjut kepada perabot 
lainnya. 
 
Itulah kesibukan mereka sekarang. 
Peristiwa tentang Kebo Parud segera menyebar ke 
seluruh kademangan. Karena lidah manusia itu bisa 
diibaratkan bisa lebih panjang dari panjangnya jalan, 
maka berita itu bahkan menyebar sampai ke luar Ka-
demangan Rajeg Banjar. 
Kebo Parud jadi buronan. Maklumat tentang ini se-
gera menyebar ke pelosok desa. Hadiah untuk tertang-
kapnya Kebo Parud, hidup atau mati, dikeluarkan oleh 
Demang Balawan. Apalagi ketika pada suatu hari salah 
seorang keluarga Ki Demang tewas tercekik dan 
mayatnya ditemukan di galengan sawah, maka kecuri-
gaan siapa pelakunya tak sulit untuk ditebak. Biang 
keladinya adalah potongan tangan Kebo Parud. 
Orang lantas mencari keterangan tentang masa 
lampau Kebo Parud. Apakah dia pernah berguru kepa-
da orang yang berilmu tinggi sehingga potongan tan-
gannya bisa hidup dan membunuh orang lain? 
Dan tentang sayembara itu tentu saja mengundang 
munculnya para pemburu hadiah. Umumnya mereka 
terdiri dari para pendekar yang punya kegemaran un-
tuk itu. 
“Ini gara-gara penari bernama Pusparini yang ke-
nyataannya dia seorang pendekar wanita,” kata seo-
rang petani yang sedang istirahat di gubuk di tengah 
sawah. 
Di gubuk itu terdapat tiga orang. Satu laki-laki tadi 
yang kini sedang menikmati makan siangnya yang di-
kirim dari rumah. Sedangkan dua orang yang lain ada-
lah anak gadisnya dan istrinya. Laki-laki petani itu 
makan dengan lahap disaksikan oleh anak-istrinya. 
“Tidak tanduk, pak?!” tanya si gadis. 
“Kau menghendaki perutku mbledhos  kekenyan-
gan?” jawab ayahnya sambil meneguk air kendi. Cara  
meneguknya dengan menengadah ke atas. Dan pada 
saat itulah matanya terbelalak kaget. Kendi di tangan-
nya terlepas. 
“Ada apa, Pak?!” tanya istrinya. 
“Ttttt... tangan itu... hhhh!” terdengar suara laki-
laki petani sambil beranjak keluar gubuk. 
Anak gadisnya dan istrinya menengadah ke atas 
langit-langit gubuk itu. Di sana terlihat sepotong tan-
gan yang berpegangan pada bambu atap gubuk. Den-
gan kecepatan yang tak terlihat, tahu-tahu tangan itu 
telah melesat ke bawah dan mencengkeram leher istri 
si petani. Jeritannya melolong mengerikan. Melihat hal 
itu si petani segera mengambil goloknya untuk bertin-
dak menolong. 
“Pak! Cepat tolong emak!” seru anak gadisnya. 
Ayah gadis itu ragu-ragu bertindak. Dia khawatir 
kalau potongan tangan itu dibacok akan mengenai tu-
buh istrinya yang bergumul di pematang sawah. Kepa-
nikan membakar suasana. Petani itu dengan gugup te-
tap berusaha untuk membacok potongan tangan yang 
mencengkeram leher istrinya. Sedangkan anak gadis-
nya terus berlari dengan menjerit-jerit minta tolong. 
Petani-petani lainnya terkejut mendengar teriakan 
semacam itu. Mereka berbondong-bondong untuk me-
nolong. Ketika sampai di tempat kejadian, mereka me-
nyaksikan istri si petani telah tewas, sementara laki-
laki itu melolong-lolong menangis. 
“Di mana! Di mana tangan itu?!” teriak petani-
petani lainnya. 
Mereka terkejut menyaksikan tubuh istri petani te-
mannya yang berlumur darah. 
“Aku telah membunuhnya...,” seru petani itu den-
gan menangis. “Golokku mengenainya ketika kucoba 
menusuk potongan tangan keparat ituuuu...!” 
 
“Di mana potongan tangan Kebo Parud?” tanya sa-
lah seorang di antara mereka dengan tangan meme-
gang arit. 
“Menyusup ke sana!” seru petani yang malang yang 
telah keliru membunuh istrinya sendiri ketika hendak 
membabat potongan tangan Kebo Parud. 
Kemudian para petani berbondong-bondong menge-
jar ke arah yang ditunjukkan. Mereka tak mempeduli-
kan hamparan padi yang menguning. Tanaman yang 
beberapa hari lagi siap dituai itu diterjang langkah-
langkah kaki untuk memburu potongan tangan Kebo 
Parud. 

*** 

TIGA 
 
“Jadi potongan tangan itu terakhir kali  terlihat di 
sawah Pak Mintuno?” tanya Pusparini. 
“Kami tak bisa menemukan jejaknya lagi. Pasti po-
tongan tangan itu bisa membenamkan diri ke dalam 
lumpur dan bersembunyi di antara hamparan sawah. 
Sama halnya seperti mencari jarum dalam jerami,” ja-
wab laki-laki itu yang ikut mengejar potongan tangan 
Kebo Parud di sawah siang tadi. 
“Jelas si Kebo Parud itu punya ilmu iblis,” sela pe-
tani yang lain. 
Sementara ada beberapa orang mengawasi kebera-
daan Pusparini di sana. Dalam pikiran orang-orang itu 
ada yang menuduh bahwa semua ini gara-gara ulah 
tingkah laku pendekar wanita yang kini berada di ten-
gah-tengah mereka. 
“Seharusnya kau tidak menari dalam bersih desa 
itu,” kata seorang laki-laki yang tampaknya berpenga- 
ruh di antara kelompok para petani yang berkumpul di 
sana. 
“Menari atau tidak, kademangan ini tetap akan di-
landa keresahan,” tangkis Pusparini. Dia merasa bah-
wa telah ada beberapa kelompok orang di desa itu yang 
menuduhnya sebagai biang keladi kerusuhan. “Aku 
bertugas atas nama pemerintah Medang untuk menin-
dak biang keresahan di kademangan ini!” 
Baru dengan ucapan ini orang-orang itu mencoba 
memaklumi keberadaan Pusparini di sana. 
“Apakah kau berniat untuk mengejar hadiah pula?” 
tiba-tiba terdengar suara menimpali, datangnya dari 
pojok di samping lumbung padi. 
Justru makna ucapan itu yang membuat Pusparini 
cepat-cepat menoleh ke arah datangnya suara. Di sana 
berdiri seseorang bertopi lebar yang menelan seluruh 
wajahnya dari pandangan orang lain. Kemudian orang 
itu berjalan pelan mendekati Pusparini. Orang-orang 
menyibak memberi jalan. Atau mereka memang takut 
dengan penampilan orang itu yang tampaknya punya 
pembawaan disegani orang lain. 
“Kenalkan, namaku Narendra!” kata laki-laki bertopi 
lebar itu. 
Pusparini meneliti penampilan orang itu. Seorang 
lelaki muda.  Mungkin umurnya lima tahun di atas 
umur Pusparini. Wajahnya berbakat ditumbuhi kumis 
dan janggut. Tetapi bulu rambut itu sering dicukur se-
hingga meninggalkan bekas membiru di seputar dagu 
dan di atas bibirnya. Keadaan itu semakin menunjuk-
kan kejantanan penampilannya. Sebagai wanita, Pus-
parini bisa menilai, mana lelaki jantan dalam penampi-
lan, dan yang kebanci-bancian, atau perpaduan kedu-
anya. Penampilan laki-laki itu terus terang dengan ce-
pat menumbuhkan rasa simpati Pusparini berdasar- 
kan pengamatan lahiriah. Tentang watak batinnya, dia 
belum bisa menilai. 
“Kau pendekar pemburu hadiah buronan?” tanya 
Pusparini. 
“Secara kebetulan, bukan! Tetapi hadiah yang dis-
ediakan dengan tanda tangan Ki Demang itu menarik 
perhatianku. Kebetulan... aku butuh duit!” jawab laki-
laki bernama Narendra tanpa segan mengatakan kein-
ginannya. “Kata orang di sana itu menjelaskan bahwa 
namamu Pusparini. Benar?” 
Pusparini mengangguk. Lalu matanya mengawasi 
orang yang memberitahukan namanya kepada laki-laki 
bertopi lebar. Orang itu lantas pergi. 
“Kau pendekar utusan istana Medang?” tanya laki-
laki itu. 
“Tentu kau sudah bertanya banyak tentang diriku 
kepada orang-orang itu,” jawab Pusparini. 
“Sebenarnya aku tadi ingin bertanya langsung den-
ganmu. Tetapi tampaknya kau sibuk menghadapi 
orang-orang itu,” kata Narendra. “Kau mendapat kesu-
litan dengan mereka?” 
“Tidak! Mereka bisa mengerti. Tetapi kalau ada yang 
mengail di air keruh, suasananya memang bisa mere-
potkan,” jawab Pusparini. 
“Mengapa bisa begitu?” 
“Perlukah hal itu kau ketahui?” 
“Hanya sekedar ingin tahu,” jawab Narendra. 
“Saat ini Kerajaan Wengker dan Sriwijaya merupa-
kan musuh yang perlu diwaspadai,” kata Pusparini. 
“Dan ini memang sulit untuk mengetahui mana lawan 
dan mana teman. Keresahan yang timbul di kademan-
gan ini sudah dipastikan merupakan salah satu mata 
rantai yang ingin menjatuhkan kewibawaan Kerajaan 
Medang yang dipimpin oleh Baginda Raja Dharma- 
wangsa.” 
“Apakah kau lantas mencurigaiku?” tanya Narendra 
“Ada orang-orang tertentu yang perlu diwaspadai,” 
jawab Pusparini. “Dan itu tak bisa gegabah dilakukan.” 
Narendra tersenyum. Sebelum melangkah pergi, dia 
memberikan sesuatu kepada Pusparini. Si Walet Emas 
ini terkejut. 
“Hei! Dari mana kau dapatkan benda ini?” tanya 
Pusparini. 
“Kalau kau berkenan, aku bisa membuatkan lebih 
banyak  untukmu,” jawab Narendra sambil terus me-
ninggalkan tempat itu. 
Pusparini terpaku di tempatnya. Benda itu diamati 
dengan teliti. Sebuah bentuk senjata rahasia yang 
menggambarkan lambang burung walet! Walaupun ti-
dak terbuat dari emas, benda itu sangat cocok sekali 
sebagai kharisma senjata rahasianya. Tetapi bagaima-
na laki-laki bernama Narendra itu tahu nama kepen-
dekarannya? 
“Narendra, tunggu!” seru Pusparini. 
Tetapi laki-laki itu telah menghilang di antara po-
hon-pohon bambu. Geraknya menyelinap sangat men-
gagumkan. Kalau bukan orang berilmu, pasti sulit ber-
laku demikian. 
“Narendra!” bisik Pusparini lirih yang tercermin 
hanya dari gerak bibir saja. Nama itu jadi punya arti 
baginya. Kemudian Pusparini berlalu dari sana. 

*** 

EMPAT 
 
Orang-orang masih tercekam ketegangan dengan 
merajalelanya potongan tangan Kebo Parud. Korban 
semakin bertambah. Dan potongan tangan itu semakin  
hari semakin menyebarkan bau busuk setiap kali 
orang memergoki kemunculannya. Oleh karenanya, 
kemunculannya akan segera diketahui apabila tiba-
tiba orang-orang mencium bau busuk. Bau mayat! 
Para pendekar silat bermunculan untuk menangkap 
Kebo Parud dan membasmi potongan tangannya. Teta-
pi sampai demikian jauh, kerja mereka seperti membu-
ru angin saja. 
Senja itu, Pusparini baru saja datang dari perjala-
nannya melacak jejak buronannya. Belum pernah dia 
merasakan kerja seperti ini. Agaknya sasaran yang di-
buru tahu bahwa dirinya sedang diincar oleh berbagai 
pihak sehingga ruang geraknya tak bisa leluasa lagi. 
Sempak Waja menemaninya mengobrol dengan di-
dampingi beberapa orang perabot kademangan lain. 
Sedangkan Ki Demang sendiri sudah dua hari pergi ke 
ibukota Kerajaan Medang untuk mendapat pengarahan 
lebih lanjut dari para atasan mengenai perkembangan 
negeri itu yang semakin menghangat. 
“Apakah Ki Sempak pernah mendengar nama Na-
rendra?” tanya Pusparini di tengah obrolan itu ketika 
mereka membicarakan tentang munculnya banyak 
pendekar di Kademangan Rajeg Banjar. 
“Narendra? Narendra siapa ya?” jawab Sempak Wa-
ja. 
“Kemarin ada orang yang mengenalkan namanya 
kepadaku,” jawab Pusparini. 
“Narendra...!” ulang Sempak Waja sambil mencoba 
mengingat-ingat nama itu. “Namanya menunjukkan 
golongan bangsawan. Kedengarannya gagah.” 
“O ya?” sahut Pusparini. 
Pikirannya segera melayang kepada laki-laki yang 
pernah ditemuinya. Baru kali ini Pusparini dibuat ‘ma-
buk’ oleh penampilan laki-laki itu. Seperti para pende- 
kar pengembara, maka pakaiannya memang tidak me-
wah. Tetapi sorot matanya yang tajam dinaungi alis le-
bat itu yang membuat Pusparini sulit menghapuskan 
bayangannya. Apalagi laki-laki bernama Narendra ini 
telah memberikan benda kenang-kenangan yang men-
cerminkan lambang kependekaran dirinya. Sebuah 
senjata rahasia berlambang burung walet. Paling tidak 
Narendra tahu tentang gelar kependekarannya. Bagi 
Pusparini memang sudah lama ingin menciptakan se-
buah senjata rahasia yang menunjukkan kharisma di-
rinya. Dan kini ada seorang laki-laki tanpa diduga te-
lah memberikan sebuah senjata rahasia yang dinilai 
cocok dengan apa yang diinginkan selama ini. Bahkan 
Narendra berpesan, kalau dia berkenan, akan dibua-
tkan sesuai dengan kebutuhannya. 
Dalam keasyikan merenungkan tentang Narendra, 
suasana santai itu dibuyarkan oleh sebuah jeritan. 
Seorang wanita setengah baya dengan tergopoh-gopoh 
datang ke tempat itu dalam keadaan pucat pasi. Kem-
bennya berlumur darah. 
“Oh... tolong! Tolonglah suami saya. Tangan itu 
muncul dan kini sedang bergumul di rumah saya!” se-
runya dengan nada gemetar. 
Sempak Waja adalah orang pertama yang mengam-
bil prakarsa untuk menuju ke rumah wanita itu yang 
terletak di seberang kademangan. Orang-orang ber-
bondong-bondong ke sana dengan membawa senjata 
masing-masing. Karena suasana malam hari, maka 
penerangan obor sangat dibutuhkan. Beberapa orang 
dari ‘jagabaya’ telah siap dengan sarana itu. Sedang-
kan Pusparini tidak bertindak gegabah. Kali ini dia le-
bih banyak mengamati dari jauh. Sebab, kalau poton-
gan tangan itu bergerak meloloskan diri karena mun-
culnya orang-orang, akan dengan mudah bisa menge- 
tahui arah ke mana perginya. 
Orang-orang telah menerobos masuk ke dalam ru-
mah. Beberapa orang terlihat mengepung di luar. Sem-
pak Waja yang kini penampilannya lebih berani dari-
pada hari-hari yang lalu, mendapati si pemilik rumah 
terkapar tak bernyawa lagi. Dari bekas darah yang ter-
cecer mereka mencoba mengikuti jejak potongan tan-
gan yang diketahui telah menuju ke luar rumah. Bau 
busuk masih menggenang dalam ruangan itu, tetapi 
semakin terasa menyengat hidung pada arah di luar 
rumah. 
Maka dengan berpedoman bau busuk itu, Pusparini 
melesat memburu ke dalam kegelapan malam. Indera 
penglihatannya dipertajam untuk mengetahui gerak 
yang mencurigakan. Pada suatu tempat, bau busuk itu 
tercium dengan sangat. Tak sangsi lagi, pasti potongan 
tangan Kebo Parud berada tak jauh dari tempatnya di 
sana. Tempat di mana dia berada sekarang, sudah 
jauh dari kademangan. Orang-orang yang semula ikut 
mengejar, kini sudah jauh tertinggal di belakang. 
“Bau itu semakin kuat di grumbulan itu,” pikir Pus-
parini dengan mempertajam pandangan ke arah se-
mak-semak setinggi manusia. Di seberang sana, sudah 
terdapat pinggiran Bengawan Brantas. 
Baru saja Pusparini berancang-ancang akan men-
gobrak-abrik grumbulan itu dengan pedangnya, tiba-
tiba muncul sesosok tubuh dari sana. Dia tak bisa me-
lihat dengan nyata wajah orang itu. Yang jelas punya 
rambut panjang sebatas pantat. 
Gerakan sosok tubuh itu begitu cepatnya sehingga 
Pusparini tak sempat mengatur serangan untuk me-
nangkis lawan. Terjangan kaki lawan dirasakan telah 
menghunjam ke tangannya sehingga pedangnya ter-
pental. Baru kali ini Pusparini mengalami hal semacam  
itu. Tenaga dalam lawan sangat ampuh. Biasanya dia 
mampu bertahan apabila ada serangan pada gengga-
man pedangnya. Sang lawan rupanya memang men-
gincar pedang di tangan Pusparini. 
Si Walet Emas ini tidak merisaukan benar walau-
pun pedang telah terlepas dari tangannya. Itu bukan 
Pedang Merapi Dahana, tetapi pedang lain yang sering 
dipergunakan untuk menghadapi peristiwa dasar. Ar-
tinya, sekedar memberi pemanasan saja. Kalau ada 
hal-hal yang perlu ditangani tanpa dapat dikuasai lagi, 
barulah Pusparini mempergunakan Pedang Merapi 
Dahana. 
Sementara itu sosok lawannya terus menerjang un-
tuk melumpuhkan dengan tendangan kaki terhadap 
Pusparini. Untung saja si wanita bergelar Walet Emas 
ini cepat menguasai keadaan. Kegelapan memang 
mempersulit gerak Pusparini yang tidak menguasai 
medan di sekitarnya. Tetapi berkat usaha memperta-
hankan diri, Pusparini berhasil menguasai diri untuk 
melancarkan serangan balasan. Matanya sudah terbia-
sa mengamati kegelapan di sana. Kini dengan gencar 
dia membalas setiap jurus lawan. Kebanyakan dilaku-
kan dengan baku hantam yang kadang-kadang disertai 
kekuatan tenaga dalam. Lagi-lagi Pusparini merasa ke-
teter  serangan yang sulit ditangkis. Beberapa kali tu-
buhnya jadi bulan-bulanan lawan yang memakai jubah 
bagaikan bentangan sayap kelelawar. Sedangkan ku-
ku-kukunya yang tajam sudah beberapa kali meng-
gores kulit Pusparini. 
Entah mengapa, tiba-tiba Pusparini merasakan tu-
buhnya lemas tak berdaya. Matanya mulai berkunang-
kunang. Sampai akhirnya ketika dia berusaha melan-
carkan serangan, yang bisa dilakukan hanya men-
gayunkan lengan saja. Itupun tak sampai tertuju ke  
arah sasaran, sebab tubuhnya telah dilanda terjangan 
lawan, yang akhirnya dia roboh ke tanah... 

*** 

Pusparini merasakan siraman air mengguyur tu-
buhnya. Terasa dingin menggigit kulit. Pandangannya 
agak kabur ketika dicoba untuk mengawasi keadaan 
sekelilingnya. Ketika terpaku kepada penampilan seso-
sok tubuh, dia tersentak kaget. 
“Kau...? Narendra?!” terdengar ucapan Pusparini 
dengan nada bergetar. Kesehatannya belum pulih be-
nar. Tetapi pikirannya berhasil menyimpulkan bahwa 
dia telah keracunan. 
Lalu teringat perkelahiannya dengan tokoh berju-
bah berambut panjang. Pusparini berusaha menghim-
pun tenaganya untuk menyerang laki-laki di hadapan-
nya yang dikenal dengan nama Narendra. Tetapi ayu-
nan tangannya tak bisa bertindak seperti yang diha-
rapkan. Dia roboh terkulai. 
“Tenang! Apa yang kau kerjakan ini?” terdengar 
ucapan Narendra. 
“Kau... kau yang menyamar dengan penampilan 
rambut panjang dan berjubah?!” seru Pusparini den-
gan suara lemah. 
“Tenang!” terdengar suara Narendra lagi dengan 
menahan tubuh Pusparini. Tetapi gadis ini malahan 
berontak ingin melepaskan diri. 
“Tubuhmu masih lemah! Kalau kau banyak tingkah, 
otot-otot tubuhmu akan bergeser dari tempatnya,” kata 
Narendra. 
Ucapan ini kemudian disadari oleh Pusparini. Lalu 
dia berusaha untuk tidak bergerak. 
“Tubuhmu hanya perlu didinginkan!” terdengar su-
ara Narendra lagi sambil membimbing tubuh Pusparini  
ke pembaringan. 
Pusparini pasrah! Pikirannya tentang sosok tubuh 
yang berjubah, lenyap dari ingatannya. Antara lupa-
lupa ingat, dia berusaha untuk mengetahui apa yang 
diperbuat oleh Narendra terhadap dirinya. 
Narendra mengambil sebumbung air dan diguyur-
kan ke seluruh tubuh Pusparini. Begitu berulang kali, 
sampai-sampai tubuh gadis itu basah kuyup. Kem-
bennya yang basah menyerap penampilan kulit da-
danya sehingga terlihat samar-samar. Dan air itu ter-
nyata air dingin yang diguyurkan berisi ramuan daun-
daun yang telah ditumbuk halus sehingga warnanya 
hijau. 
Ada suatu hambatan yang membuat Narendra rikuh 
dan segan. Seharusnya dia membuka kemben Puspa-
rini untuk mengadakan pijatan pada dadanya. Kemu-
dian dipertimbangkan untuk mencari cara lain agar ti-
dak menimbulkan prasangka yang tidak-tidak. Dan ca-
ra itu adalah yang sedang dilakukan saat ini! 
Guyuran air dihentikan. Narendra kini memijit tela-
pak kaki Pusparini setelah melepaskan terompahnya. 
Telapak kaki adalah tumpuan dari semua urat darah. 
Dia melakukan pijitan dengan memadukan totokan ja-
lan darah untuk mengeluarkan racun yang mendekam 
dalam tubuh gadis itu. Bukan itu saja. Tenaga dalam-
nya pun dikerahkan untuk mendorong racun itu ke-
luar dari tubuh Pusparini. Terlihat tapak kaki gadis ini 
mengeluarkan uap. Uap inilah cara pelepasan racun-
nya, tidak dari muntahan darah seperti yang lazim ter-
jadi. Hal itu berlangsung berulang kali sampai uap 
yang keluar berangsur-angsur menipis, yang akhirnya 
lenyap sama sekali. 
Sampai di situ Narendra menghentikan kerjanya. 
Dia terlihat letih. Peluhnya bercucuran. Kemudian me- 
langkah mencari ramuan tumbuh-tumbuhan untuk 
jampi. Lama menyusup ke gerumbulan semak-semak 
yang bertebaran di sana. Bagi orang yang tahu seluk-
beluk ramuan alami, hal itu bukan menjadi hambatan 
untuk mencari tumbuhan yang bisa dipergunakan se-
bagai obat-obatan 
Narendra telah mendapatkan tumbuhan yang dica-
ri. Kemudian ditumbuk halus, dan sari airnya ditam-
pung di cawan tempurung. Melihat perlengkapan yang 
dia bawa, orang bisa tahu bahwa Narendra memang 
punya kepandaian untuk melakukan pengobatan. 
“Ayo, minumlah!” katanya sambil mengangkat leher 
Pusparini agar tegak. 
“Apa ini?” tanya Pusparini dengan suara berbisik. 
Terlihat sikap ragu untuk tidak mau minum jampi 
yang ditawarkan kepadanya. 
“Kau boleh pilih. Jika mau cepat hengkang dari du-
nia ini, boleh untuk tidak minum jampi ini,” kata Na-
rendra. “Kau keracunan berat sekali!” 
Pusparini memandang dengan pandangan redup ke 
arah Narendra. Kemudian bibirnya menyentuh cawan 
tempurung itu. Cairan berwarna hijau tua itu mulai di-
reguknya. Terasa pahit tidak ketulungan, dan mulut 
terasa panas! Tetapi akhirnya habis juga jampi itu di-
reguk dengan memejamkan mata, seolah berusaha me-
lupakan rasa pahitnya. 
“Bagus. Bagus sekali. Biasanya orang lalu muntah 
setelah minum jampi ini. Sedangkan kau tidak. Berar-
ti, kau akan cepat sembuh,” kata Narendra memuji. 
Pusparini lalu menggeletak lagi. Dia tertidur...! 
Narendra mengawasi tubuh yang terbaring di hada-
pannya. Perasaannya berdetak keras apabila hanyut 
oleh pandangan matanya setiap melihat sosok tubuh 
Pusparini yang terbaring. Tidak seharusnya wanita se- 
perti ini menjadi pendekar pengembara. Pantasnya 
menjadi ibu rumah tangga pendamping suami. 
Narendra memang telah lama mencari Pusparini, 
wanita pendekar yang bergelar Walet Emas ini. Itu se-
mua adalah amanah gurunya, Ki Suswara, yang me-
mimpin Padepokan Canggal. Boleh dikata, Narendra 
adalah kakak seperguruannya. Tetapi sampai detik ini 
Pusparini belum mengetahui hal itu. Sebab, setelah 
dua tahun Narendra meninggalkan Padepokan Cang-
gal, barulah Pusparini mulai berguru di sana. 
Narendra sendiri belum pernah bertemu dengan 
Pusparini. Ki Suswara hanya mengatakan ciri-cirinya 
saja. Seperti: pakaian kharisma Pusparini yang ber-
kemben kuning. Pedang Merapi Dahana. Lalu ciri wa-
jahnya. Semua itu cepat ditangkap oleh Narendra, wa-
lau hanya sekilas gambaran. 
“Kau harus mendampinginya. Gadis itu tidak bakal 
mampu menghadapi tantangan dalam pengembaraan-
nya. Keadaan Kerajaan Medang kian memanas. Musuh 
dari luar telah menyusup ke dalamnya dengan berma-
cam cara,” pesan Ki Suswara pada suatu hari ketika 
beranjangsana ke Padepokan Canggal. 
“Jadi... dia adalah adik seperguruan saya?” tanya 
Narendra. 
“Benar. Dia tak punya sanak saudara lagi,” jawab Ki 
Suswara. “Carilah dia. Dan dampingilah!” 
Itulah amanah Ki Suswara kepada Narendra bebe-
rapa waktu yang lalu...! 
Dan kini gadis yang selama ini dibuntuti berhasil 
ditemukan. Tetapi sampai saat itu dia belum memberi-
tahu tentang peranannya, kecuali hanya memberitahu 
nama saja. 
Tiba-tiba terdengar Pusparini mengeluh membuka 
kesadarannya. Gadis ini mencoba bangun. Narendra  
membiarkan saja. Dia ingin tahu sampai berapa jauh 
kesadaran Pusparini untuk mendapatkan kekuatannya 
kembali. Dan akhirnya, terlihat Pusparini berhasil ber-
diri, walau agak sempoyongan. Lalu dipandangnya Na-
rendra. 
“Mandilah di sungai itu. Jemur pakaianmu. Dan 
untuk sementara, kau nanti bisa memakai kain ini,” 
kata Narendra sambil menyodorkan kainnya. 
Pusparini mematuhi saran itu. Sementara dia man-
di membersihkan badannya, maka Narendra berjaga 
tak jauh dari tempatnya. Untuk beberapa waktu tak 
ada percakapan. Hanya saja otak Pusparini dipenuhi 
tanda tanya tentang sikap-sikap Narendra yang telah 
menolongnya. 
“Jadi... kau telah berhasil menghalau lawan yang 
kuhadapi itu?” tanya Pusparini setelah berbenah diri. 
Sambil menunggu pakaiannya kering, dia mem-
bungkus badannya dengan kain pinjaman Narendra. 
Kain panjang itu dibungkuskan ke badannya sebatas 
dada dan diikatkan ujungnya dengan cara seperti me-
makai kemben. 
“Orang yang berperang denganmu itu bertopeng!” 
sela Narendra. “Tak disangsikan lagi, dialah tokoh yang 
punya nama Siluman Kedung Brantas!” 
“Aku juga punya dugaan begitu. Dan racun  yang 
mengenaiku berasal dari dia?” tanya Pusparini. 
“Ya!” jawab Narendra. 
“Tetapi aku tidak terluka ataupun tergores!” 
“Dia menyemburkan racun!” 
“Menyemburkan racun?” 
“Sepertinya semacam itu. Aku pernah tahu cara 
yang dilakukan oleh seseorang dalam melancarkan se-
rangan beracun. Dia mengunyah ramuan racun yang 
diciptakan. Kunyahan yang bermantera itu tercampur  
dengan ludahnya sehingga tercipta sejenis racun yang 
berupa uap. Lalu disemburkan ke arah lawan, kepa-
damu, ketika kalian berdua bertarung. Apakah kau ti-
dak merasakannya?” kata Narendra 
“Ya! Aku merasakannya. Tetapi tak sempat menyeli-
diki bagaimana dia melancarkan serangan dengan ra-
cun tersebut kepadaku,” jawab Pusparini mencoba 
mengingat-ingat peristiwa kemarin lusa. 
Ya. Kemarin lusa kejadian itu. Berarti telah dua hari 
Pusparini dalam perawatan Narendra yang dilakukan 
di sebuah gua di tepi Bengawan Brantas. Suatu tempat 
tersembunyi yang secara kebetulan diketemukan Na-
rendra beberapa hari yang lalu setelah dia berhasil 
berkenalan dengan Pusparini. 
“Sekarang jelaskan, bagaimana kau bisa mengerti 
tentang diriku? Yang kumaksud tentang... tanda bu-
rung walet sebagai senjata rahasia yang pernah kau 
tawarkan kepadaku,” tanya Pusparini. 
“Kau tentu tak percaya kalau kujelaskan bahwa aku 
adalah kakak seperguruanmu,” kata Narendra. 
“Apa?” sela Pusparini. 
“Aku kakak seperguruanmu dari Padepokan Cang-
gal!” 
“Kau mengada-ada. Aku tak pernah melihatmu se-
lama aku berguru di sana.” 
“Karena aku telah selesai dua tahun lebih awal se-
belum kau masuk ke sana. Apakah kita perlu pergi 
menghadap Ki Suswara untuk meyakinkan hal ini?” 
jawab Narendra. 
Pusparini memandang tajam kepada Narendra. Ada 
perasaan senang dan curiga. Dia akan senang sekali 
kalau Narendra ini benar-benar murid Padepokan 
Canggal, kakak seperguruannya. Tetapi bagaimana ka-
lau hanya ‘apus-apus’ saja? Mungkin dia telik candi  
dari Kerajaan Sriwijaya atau Wengker yang punya ken-
dala permusuhan dengan Kerajaan Medang, dimana 
Pusparini mengabdikan diri? 
“Agaknya sulit untuk mempercayai kata-katamu. 
Tapi akan kucoba untuk mengerti,” jawab Pusparini. 
“Artinya... kau masih setengah-setengah memper-
cayai aku?” 
“Daripada aku terjebak muslihat.” 
“Dengan pertolongan yang telah kuberikan ini kau 
masih ragu? Bagaimana dengan tanda ini?” kata Na-
rendra dengan mengeluarkan sebuah kalung  sebagai 
tanda murid Padepokan Canggal. 
Pusparini mengawasi benda di tangan Narendra. 
Sebuah kalung perunggu bertanda ‘makara’, ciri dari 
Padepokan Canggal. Sebenarnya Pusparini juga memi-
liki kalung semacam itu. Tetapi tak pernah dipertun-
jukkan kepada siapa-siapa, sebab tak ada alasan un-
tuk itu. Kalau Narendra sudah berlaku demikian, ar-
tinya dia benar-benar murid Padepokan Canggal. Me-
mang sudah diberi pengarahan oleh Ki Suswara, bah-
wa murid-murid perguruan Canggal hanya bisa dike-
nali dengan kalung tersebut, untuk saling mengetahui 
apabila bertemu dengan orang lain yang tidak dikenal, 
tetapi murid seperguruan. 
“Bagaimana? Tentu kau memiliki kalung serupa 
ini,” kata Narendra. 
“Oh, pakaianku mungkin telah kering,” kata Puspa-
rini membelokkan percakapan. 
Dia beranjak menghampiri jemuran pakaiannya. 
Narendra mengawasi dengan penuh tanda tanya. Per-
cayakah Pusparini dengan penjelasan tadi? 
“Pusparini, apakah kau mempercayai aku?” seru 
Narendra ketika dilihatnya gadis itu menyelinap di ba-
lik semak-semak untuk ganti pakaian. 
 
Tak ada jawaban. Yang terjadi kemudian adalah 
kain Narendra yang tadi dipakai Pusparini, kini me-
layang dilemparkan. Lemparannya tepat ke arah Na-
rendra. 
Terlihat sesungging senyuman Narendra. Bau ke-
ringat Pusparini yang menempel di kain itu menimbul-
kan aroma yang khas. Kalau bukan gadis yang rajin 
minum jamu ramuan, pasti tidak punya bau keringat 
yang harum seperti itu. Pertanda kalau Pusparini rajin 
minum jamu. Dan aroma bau keringatnya sedap dihi-
rup. Bahkan menimbulkan rangsangan yang sulit di-
lukiskan bagi pikiran pria. 

*** 

LIMA 
 
Pusparini dan Narendra terlihat dalam perjamuan 
makan di kademangan. Siang tadi Ki Demang Balawan 
telah kembali dari ibukota Medang. Dalam kesempatan 
ini, Narendra diperkenalkan sebagai kakak sepergu-
ruannya oleh Pusparini. Tentu saja hal itu disambut 
dengan senang hati oleh Ki Demang. Paling tidak den-
gan kehadiran Narendra, maka kedudukannya merasa 
ada tambahan pengayoman untuk menghadapi keru-
suhan di daerah kekuasaannya. 
“Jadi... armada Medang telah menderita kekalahan 
di laut ketika berhadapan dengan armada Sriwijaya?” 
sela Pusparini menanggapi cerita Ki Demang yang beri-
ta tersebut diperoleh dari kalangan istana. 
“Yah!” jawab Ki Demang singkat. Terlihat mendung 
kemurungan terlukis di wajah laki-laki tua ini. “Tetapi 
mudah-mudahan kerajaan kita masih bisa memperta-
hankan daerah pesisir utara. Dan tampaknya pihak  
Sriwijaya belum siap sepenuhnya untuk langsung me-
nyerbu ke daratan Kerajaan Medang. Yang jelas, Sriwi-
jaya masih ragu-ragu untuk menyerang langsung ke 
istana.” 
“Tetapi  bukan berarti tidak bisa. Saya kira hal itu 
menyangkut soal waktu,” kata Narendra memberi pan-
dangan dengan ucapan yang cukup berani. 
“Kau... mempunyai dugaan seperti itu?” sela Puspa-
rini. 
“Aku dua tahun berada di Kerajaan Sriwijaya,” ja-
wab Narendra. “Jangan terkejut kalau aku mencerita-
kan sekarang. Secara kebetulan saja Ki Demang mem-
bicarakan tentang perkembangan keamanan negeri ini. 
Dan setahuku, Sriwijaya memang telah lama punya 
niat untuk menundukkan Medang. Semua bertumpu 
kepada kepentingan perdagangan semata.” 
“Kukira pengetahuanmu tentang seluk-beluk Kera-
jaan Sriwijaya perlu kau laporkan kepada Mapatih Sa-
tyawacana,” saran Pusparini. 
“Mereka sudah tahu apa yang terjadi. Aku hanya 
membumbui pembicaraan ini saja sebagai keterangan 
bagi mereka yang belum tahu,” kata Narendra dengan 
melempar pandang kepada segenap orang yang hadir 
dalam perjamuan makan itu. 
Hal itu memang menjadi berita baru bagi orang-
orang perabot Kademangan Rajeg Banjar. Berita ten-
tang keamanan negara, umumnya tidak boleh diketa-
hui umum apabila hal itu bisa menimbulkan keresa-
han penduduk. 
“Sekarang memang tak perlu untuk menutup-
nutupi hal seperti itu. Bahkan sebentar lagi pihak is-
tana akan mempersiagakan semua kawula Medang un-
tuk menghadapi serangan musuh dari luar,” sambut Ki 
Demang. “Yang jelas, saat ini kita sedang menghadapi  
sumber keresahan yang menamakan diri Siluman Ke-
dung Brantas itu!” 
“Dan tangan si Kebo Parud,” sambung Sempak Waja 
dengan meneguk minumannya. 
“Sudah. Kita lupakan sejenak urusan seperti itu. 
Kini kita santap hidangan makanan yang mungkin te-
lah semakin dingin. Ayo, silakan,” kata Ki Demang. 
Dalam hidangan yang dilakukan secara lesehan itu 
terhidang bermacam masakan. Dari semacam sayur 
lodeh sampai kuali besar berisi sejenis sayur gudheg, 
lalu panggangan daging kidang,  nasi, lalapan, buah 
pencuci mulut, semua tersedia di sana. Kuali besar be-
risi sejenis sayur gudheg itu belum terjamah. Mungkin 
karena dalam keadaan tertutup, maka orang masih 
enggan mengawali menyeduk untuk mengambil. Sem-
pak Waja sebagai wakil tuan rumah, mulai membuka 
kuali itu. Terlihat setumpuk sayur gudheg berwarna 
kecoklatan menggunung dalam kuali. Sempak Waja 
mulai menyeduk. 
“Rupanya sayur ini dicampuri paha kidang agar kita 
tidak repot-repot memilih lauk sampingannya,” kata 
Sempak Waja. 
Tangannya yang memegang sendok sayur mencoba 
memeriksa potongan daging yang bercampur irisan 
buah nangka muda yang diolah menjadi sayur. Tetapi 
begitu potongan daging itu disentuh, tiba-tiba bergerak 
dengan sendirinya...! 
“Hah?!” Sempak Waja tersentak kaget. Juga semua 
orang yang kebetulan menoleh ke kuali itu. 
Di dalam timbunan sayur gudheg itu tiba-tiba me-
nyembul telapak tangan yang akhirnya bergerak ke-
luar. Kemudian terlihat nyata bahwa itu adalah poton-
gan tangan Kebo Parud! 
Sementara orang-orang tercekam rasa ngeri dan ji- 
jik, Narendra segera mencabut senjatanya untuk dite-
baskan ke arah potongan tangan itu. 
Jbhraasss! 
Golok Narendra menghantam kuali besar di mana 
potongan tangan itu masih berada di sana. Kuali pecah 
berantakan. Isinya semburat. Tetapi potongan tangan 
itu cepat melesat ke atas! 
Pusparini tak tinggal diam. Dia sudah menduga un-
tuk menangani gerakan lincah dari potongan tangan 
Kebo Parud tidak akan semudah itu. Dengan senjata di 
tangan, dia menjebak gerak arah potongan tangan ter-
sebut. Ketika hal itu terjadi, Pusparini berhasil menje-
bak dengan tebasan senjatanya, sehingga telapak tan-
gan tersebut terbelah dan menghancurkan beberapa 
jari-jarinya. Potongan tangan itu akhirnya rontok ke 
tanah dan tak bergerak lagi. 
“Edan! Bagaimana potongan tangan itu menyusup 
dalam kuali? Untung belum ada seorang pun yang 
menyantap sayur gudheg itu,” kata seorang perabot 
kademangan dengan bergidik. 
Lebih-lebih Sempak Waja yang semula nyaris me-
nyeduk sayur itu. Dia terpaksa muntah-muntah ke be-
lakang. Lalu muncul lagi dengan pucat. 
“Jadi kekuatannya terletak pada cincin yang terpa-
sang pada jari tengahnya itu!” kata Narendra mencoba 
menjajagi rahasia kekuatan potongan tangan Kebo Pa-
rud yang selama ini bikin onar di Kademangan Rajeg 
Banjar. 
“Mungkin juga. Apakah kau berpikir bahwa poton-
gan tangan itu dimasukkan orang ke dalam kuali, atau 
masuk dengan sendirinya tanpa setahu orang-orang di 
dapur?” tanya Ki Demang yang nyaris memarahi orang 
dapur karena teledor sehingga terjadi peristiwa seperti 
itu. 
 
Untuk hal ini, tak seorang pun bisa menyalahkan 
pekerja dapur. Kini orang telah memperoleh jawaban 
atas rahasia yang bisa membuat potongan tangan itu 
bergerak. Sarananya adalah cincin yang kini telah 
hancur kena tebasan senjata Pusparini. Keadaan ini 
diuraikan oleh Narendra. Rupanya banyak orang yang 
sepaham dengan penjelasan itu. Cincin itu menjadi 
‘mediator’ yang memungkinkan potongan tangan ter-
sebut bisa bergerak sesuai dengan perintah yang 
punya. 
Siapa yang punya? 
Tentu saja si Kebo Parud, yang saat ini entah di 
mana beradanya. 
Mereka memang tidak tahu. Tetapi seandainya saja 
mereka mampu menyelidiki di lereng sebuah tebing di 
tepi Bengawan Brantas, mereka akan tahu di sanalah 
sarang tempat persembunyian Kebo Parud...! 

*** 

“Bedebah! Aku tak bisa mengendalikannya lagi. 
Cincin itu telah hancur!” terdengar suara di tengah 
rongga gua. Sosok tubuh itu tidak diterangi cahaya se-
dikit pun sehingga penampilannya selalu dalam naun-
gan bayangan. Sedangkan cahaya obor yang menyala 
tidak meneranginya karena terhalang oleh sebuah ‘sta-
lagmit’. 
“Sudahlah,  Kebo Parud. Hentikan saja permainan 
yang kekanak-kanakan itu,” terdengar suara yang di-
iringi langkah kaki mendekatinya. 
Ya. Inilah Kebo Parud yang menjadi buronan. Dan 
orang yang mendekati itu berwajah keriput, tanda dari 
usia tuanya yang melebihi usia manusia normal. 
“Aku akan memberi pelajaran kepada pendekar wa-
nita bernama Pusparini itu,” jawab Kebo Parud yang  
tangannya kini tinggal sebelah. 
“Memberi pelajaran? Kau lihat sendiri. Tempo hari 
dia nyaris dikalahkan oleh Siluman Kedung Brantas. 
Aku lihat sendiri pertarungan itu. Tetapi tiba-tiba 
muncul seorang lelaki muda membantunya sehingga 
Siluman Kedung Brantas meninggalkan gelanggang 
pertarungan. Lelaki muda itu rupanya punya ilmu un-
tuk menangkal berbagai racun.” 
“Nenek selalu menyebut Siluman Kedung Brantas. 
Mengapa tidak memanggilnya ‘Kang’ atau ‘Ki’ atau na-
manya yang pernah kesohor sebagai ‘Senopati Pasuka-
la’ semasa zaman pemerintahan Prabu Makutawang-
sawardhana, ayahanda Prabu Dharmawangsa?” kata 
Kebo Parud. 
Wanita tua itu termenung. Latar belakang masa 
lampau membayang di pelupuk matanya. Wanita tua 
ini bernama Nyi Kunjari, bekas seorang selir raja Ma-
kutawangsawardhana. Dia ‘ada main’ dengan seorang 
senopati yang dikenal dengan nama ‘Senopati Pasuka-
la’ yang nama aslinya Tarusbawa. Tindakan mereka 
tercium oleh raja, dan mereka melarikan diri. Berta-
hun-tahun orang sudah menganggap mereka sebagai 
pasangan yang telah sirna dari Kerajaan Medang. Me-
reka hidup secara sembunyi-sembunyi dengan jalan 
menyamar dan orang tidak mengenalnya lagi. Apalagi 
bagi orang-orang yang tinggal di pedesaan di tepi Ben-
gawan Brantas di mana mereka tinggal, yang tak seo-
rang pun mengenal mereka, kecuali namanya saja. 
Sayang sekali pasangan ini tidak berputra sama sekali. 
Masalah yang peka ini sangat mempengaruhi kehar-
monisan hubungan mereka. Akhirnya ada pihak ketiga 
yang menjadi biang kerok keretakan cinta mereka. 
Seorang saudagar yang sering berlayar di Bengawan 
Brantas berkenalan dengan Nyi Kunjari. Terjadi cinta  
‘jalan belakang’ antara saudagar bernama Ki Pradhana 
dan Nyi Kunjari, yang akhirnya diketahui oleh Tarus-
bawa. Akhirnya Tarusbawa yang dulu bergelar ‘Seno-
pati Pasukala’ minggat meninggalkan Nyi Kunjari. Ko-
non dia pergi dengan memendam dendam, dan mem-
perdalam ilmunya. 
Nyi Kunjari diboyong ke tempat tinggal Ki Pradhana. 
Pasangan asmarawan ini sebenarnya sudah tidak mu-
da lagi. Usia mereka telah berkepala lima. Artinya mas-
ing-masing telah berusia di atas lima puluh tahun. Nyi 
Kunjari berusia lima puluh lima tahun, sedangkan Ki 
Pradhana lima puluh sembilan tahun. Cinta kalau su-
dah melekat, usia bukan rintangan penyekat. Dari 
‘kumpul kebo’ antara mereka, maka lahirlah seorang 
bayi yang diberi nama Kebo Parud! 
Sampai di sini lamunan Nyi Kunjari terpenggal. Dia 
mengawasi anaknya yang telah mengalami nasib ma-
lang gara-gara ketanggor seorang pendekar wanita 
yang menyamar sebagai penari bernama Pusparini. 
Anak? Ya. Kebo Parud memang putra Nyi Kunjari. 
Tetapi karena keadaan usianya, yang membuat Nyi 
Kunjari tidak menyebut dirinya sebagai ‘ibu’ dari Kebo 
Parud. Dia membiasakan menyebutkan  sebagai ‘ne-
nek’, dan Kebo Parud dianggap sebagai cucunya. Se-
dangkan saudagar bernama Ki Pradhana itu meninggal 
ketika Kebo Parud berumur tiga tahun. Ki Pradhana 
terbunuh dalam bentrokan oleh seorang tokoh yang 
menamakan diri Siluman Kedung Brantas! 
Upaya  Nyi Kunjari untuk menyingkap siapa sebe-
narnya Siluman Kedung Brantas akhirnya berhasil. 
Ternyata dia adalah Tarusbawa, teman ‘kumpul ke-
bo’nya masa lalu. Pertemuan mereka kiranya menye-
maikan kembali cinta keduanya. 
“Aku masih mencintaimu, Nyi,” kata Tarusbawa.  
“Itu sebabnya aku selalu mengganggu kehidupan ka-
lian dengan menampilkan sosok diri sebagai Siluman 
Kedung Brantas!” 
Kehadiran Tarusbawa lain sekali dengan penampi-
lannya beberapa tahun yang lalu. Kini dia tampil seba-
gai laki-laki yang memiliki ilmu ‘linuwih’ yang tidak sa-
ja terbatas pada ketrampilan bela diri saja ketika men-
jabat sebagai senopati. 
“Kalau kau punya dendam karena aku telah mem-
bunuh Pradhana, lakukan dendammu sekarang,” kata 
Tarusbawa. 
Suatu tantangan yang menggelitik perasaan. Ba-
gaimana dia harus menerima laki-laki macam Tarus-
bawa yang telah membunuh orang yang membuahkan 
seorang anak baginya? Hal itu memang membutuhkan 
waktu bagi Tarusbawa untuk mendekati Nyi Kunjari. 
Akhirnya setelah sekian bulan Nyi Kunjari merasa tak 
tahan dengan hasratnya yang kian meluap, dia mene-
rima kehadiran laki-laki yang kini punya gelar Siluman 
Kedung Brantas itu. 
Karena hasrat yang meluap? Ya! Kiranya Tarusbawa 
tidak begitu saja dalam melaksanakan perjuangannya 
untuk mendapatkan kembali Nyi Kunjari. Tarusbawa 
memakai sarana pemikat semacam aji ‘pengasihan’ se-
hingga wanita itu jatuh ke dalam pelukannya lagi. 
Sungguh sulit dimengerti bahwa pasangan setua itu 
masih kranjingan amukan asmara yang ingin dinikma-
ti seperti pasangan muda lainnya. Tetapi sesungguh-
nya hal itu tak ada seorang pun yang mengerti dengan 
rahasia yang mereka bisa lakukan. Jasmani mereka 
memang tua. Dan Tarusbawa memiliki ilmu yang bisa 
menghilangkan semua hal yang menyangkut dengan 
ketuaan mereka. Dengan ilmu tersebut mereka dapat 
menjelma menjadi  pria dan wanita yang penampilan  
jasmaninya tidak sebagai orang-orang ‘manula’ lagi. 
Tetapi menjelma menjadi manusia muda remaja yang 
sedang diamuk badai asmara birahi. 
Setelah semua berlalu, barulah jasmani mereka 
yang tua itu pulih seperti semula. Jadi bukan seman-
gatnya saja. Benar-benar ilmu yang membuat kaum 
manula lain pasti ‘ngiler’ ingin bisa menikmati hal se-
perti itu. Ilmu tersebut aji ‘pengasihan’, yang bisa me-
mulihkan bentuk jasmani menjadi muda kembali di 
saat melangsungkan kebersamaan dalam amukan ba-
dai asmara birahi. Bukan main! Ya, bukan main-main 
memang. Ilmu itulah yang membuat Nyi Kunjari rela 
kembali ke dalam pelukan asmara Tarusbawa. Aneh-
nya hal itu hanya bisa dilakukan terhadap Nyi Kunjari. 
Tidak bisa dilakukan dengan wanita lain. Itu sebabnya, 
bagaimana pun, Tarusbawa selalu memburu cinta Nyi 
Kunjari. Ilmu itu ‘tidak ada jodoh’ kalau dilakukan ter-
hadap wanita lain. 
Tetapi sudah beberapa minggu ini Tarusbawa yang 
bergelar Siluman Kedung Brantas itu sepertinya tidak 
mengindahkan Nyi Kunjari lagi. Hal itu benar-benar di-
rasakan oleh Nyi Kunjari. Apalagi ketika Kebo Parud 
mengalami musibah seperti itu, tampaknya Tarusbawa 
tidak berhasrat menikmati saat-saat senggang seperti 
biasanya. Perubahan sikap ini mulanya tak begitu diri-
saukan. Tetapi ketika pada suatu malam Tarusbawa 
mengigau menyebut pendekar wanita bernama Puspa-
rini, maka perasaan Nyi Kunjari keslomot  kecembu-
ruan! 
“Aku harus menyelidiki hal itu. Katanya tidak ada 
wanita lain selain aku. Baru kali ini dia menyebut na-
ma wanita selain namaku. Disebutnya dalam mengigau 
tidurnya lagi. Ini pasti hal yang tidak bisa diremeh-
kan,” pikir Nyi Kunjari. 
 
“Tampaknya ada masalah antara nenek dan kakek!” 
kata Kebo Parud seraya berdiri dari tempatnya. 
“Jadi kau punya perhatian juga terhadap sikap-
sikap nenekmu yang tua ini?” tanya Nyi Kunjari. 
“Telah beberapa hari kakek tidak pulang. Kenapa?” 
tanya Kebo Parud. “Kakek telah berjanji kepadaku un-
tuk menurunkan penyempurnaan ajian yang disebut 
‘Sukma Lintah’ itu.” 
Seperti yang telah berlangsung, bahwa ajian ‘Sukma 
Lintah’ itu yang membuat potongan tangan Kebo Parud 
mampu bergerak sesuai dengan perintah yang dilaku-
kan lewat jarak jauh. Cincin yang masih melekat di jari 
tangannya yang terpotong, bisa dijadikan ‘mediator’ 
untuk menggerakkan potongan tangan tersebut. Itu 
karena ilmu ‘Sukma Lintah’ belum sempurna dikuasai 
oleh Kebo Parud. 
“Aku akan mencari kakek!” seru Kebo Parud seraya 
beranjak dari tempatnya. 
“Jangan! Ingat, kau belum sembuh benar!” sela Nyi 
Kunjari. 
“Aku tak mau jadi pajangan di sini. Aku akan me-
lampiaskan dendamku kepada Pusparini!” terdengar 
ucapan Kebo Parud yang kemudian lenyap dari balik 
pintu rahasia. 
Pintu itu dibuat dari lempengan batu besar yang di-
atur dengan tenaga air deras sehingga bisa ditutup dan 
dibuka oleh orang yang mengerti cara membukanya. 
“Anak bandel!” gerutu Nyi Kunjari. “Keadaan ini 
sangat mengkhawatirkan aku. Kalau sampai orang-
orang tahu bahwa aku dan Tarusbawa adalah pelarian 
dari istana Medang di kala pemerintahan Baginda Raja 
Makutawangsawardhana, pihak istana pasti menge-
rahkan kekuatan besar-besaran mendatangi tempat 
ini.” 
 
Kemudian Nyi Kunjari mendekati sebuah relung ba-
tu. Di sana ada lubang sebesar tampah. Kemudian 
tangannya merogoh ke dalam. Ketika ditarik keluar, 
tangan itu telah memegang sebilah keris. 
“Keris ini milik Baginda Raja Makutawangsaward-
hana yang berhasil kucuri dan kubawa lari. Konon 
termasuk keris sakti, mampu memenggal senjata yang 
terbuat dari logam apa pun. Aku sampai detik ini be-
lum pernah membuktikan. Tarusbawa pun tidak tahu 
bahwa aku menyimpan pusaka ini,” pikir Nyi Kunjari 
sambil mengawasi bilah keris yang kini dicabut dari 
sarungnya. 
Pada saat itulah, tiba-tiba keris tersebut seolah in-
gin lepas dari tangannya. Nyi Kunjari tersentak kaget. 
Tetapi dia berusaha untuk mempertahankan agar keris 
itu tidak lepas dari tangannya. Kemudian diusahakan 
untuk dimasukkan kembali ke dalam sarungnya. Me-
mang dibutuhkan tenaga untuk melakukan hal itu. 
“Jadi kau ingin minum darah, seperti yang pernah 
kudengar tentang keampuhanmu!” kata Nyi Kunjari 
dengan suara bergetar. Jiwanya seakan menyatu den-
gan keris itu. “Sabar! Kau akan memperolehnya. Ku-
janjikan darah dari perawan cantik yang telah mence-
derai Kebo Parud!” 

*** 

ENAM 
 
Potongan tangan Kebo Parud yang telah hancur ka-
rena dibabat pedang oleh Pusparini akhirnya dibakar. 
Abunya dibuang ke Bengawan Brantas. 
Lenyap sudah momok yang bikin onar penduduk. 
Tetapi tidak berarti masalahnya telah tuntas. Sehari  
setelah peristiwa itu, sebuah perahu dagang yang me-
layari Bengawan Brantas menuju istana Medang, di-
hancurkan oleh Siluman Kedung Brantas. 
Kali ini, menurut saksi mata yang melihat peristiwa 
itu, Siluman Kedung Brantas tidak sendirian dalam 
melakukan operasinya. Beberapa orang anak buahnya 
yang memakai kedok serupa, ikut mengobrak-abrik pe-
rahu-perahu tersebut. 
“Jelas sekarang, bahwa Siluman Kedung Brantas 
bukan ‘siluman’ roh halus, tetapi kelompok manusia 
yang hendak bikin kacau!” kata Pusparini. 
Sejak dia ditolong oleh Narendra, maka kehadiran-
nya selalu didampingi oleh kakak seperguruannya itu. 
Dan omongan usil pun berkembang, bahwa mereka 
adalah pasangan pendekar yang cocok seandainya me-
reka menjalin kehidupan sebagai suami istri. Tetapi 
omongan semacam itu tak pernah digubris oleh yang 
bersangkutan. Bagi Pusparini sendiri, berdampingan 
dengan pria untuk menunaikan tugasnya, bukan hal 
baru. Dia sudah sering bekerja sama dengan pendekar 
lain. Tetapi kalau dikaji, keberadaan Narendra me-
mang lain. Laki-laki yang satu ini agaknya punya kha-
risma yang membuat Pusparini senang untuk berbin-
cang-bincang membicarakan sesuatu yang menyang-
kut tugas mereka. 
Seperti halnya hari itu, ketika mendengar bahwa Si-
luman Kedung Brantas mengganas lagi, maka pasan-
gan pendekar Pusparini dan Narendra bergerak untuk 
melacak jejak di mana serangan itu dilakukan oleh la-
wan mereka. 
“Jadi di sini tempatnya?” tanya Pusparini kepada 
seorang anak buah korban perahu yang dihancurkan 
oleh Siluman Kedung Brantas. 
Pusparini didampingi Sempak Waja dan beberapa  
perabot desa bagian jagabaya. Mereka sibuk meneliti 
tempat itu. Menurut keterangan Sempak Waja, dari 
para  pelapor yang perahu mereka digasak oleh Silu-
man Kedung Brantas, baru pertama kali itu tempat 
tersebut dijadikan penghadangan oleh sang ‘siluman’. 
“Jadi umumnya sang siluman selalu mengadakan 
penghancuran perahu pada tempat-tempat yang ba-
nyak buayanya. Seperti bagian Bengawan Brantas se-
belah sini. Kau lihat di sana itu? Lihat, ada tiga ekor 
buaya sedang mendarat menuju rerumputan di pinggi-
ran bengawan,” kata Narendra yang mencoba menga-
nalisa cara kerja Siluman Kedung Brantas. 
“Ah, ngomong-ngomong tentang tugas, bagaimana 
kalau kita ke warung itu dulu?” sela Sempak Waja 
sambil menunjuk ke sebuah warung di seberang sana. 
“Ajakan yang paling kusetujui,” sela Pusparini sam-
bil menjawil Narendra. 
Tak berapa lama kemudian, mereka telah berada di 
dalam warung. Sayang sekali tempatnya telah penuh. 
Ada beberapa kelompok orang telah mangkal di situ 
beberapa saat lalu. Rupanya orang-orang itu bukan 
penduduk Kademangan Rajeg Banjar. 
“Boleh aku tahu dari mana para kisanak ini?” tanya 
Sempak Waja yang merasa lebih berwenang menanya-
kan hal itu karena dia perabot kademangan. 
Orang yang ditegur tidak menggubris pertanyaan 
itu. Bahkan dengan tenang masih meneguk tuak pesa-
nannya. Juga yang lain-lain. Mereka seakan-akan ti-
dak mengindahkan kedatangan Pusparini dan kawan-
kawannya. 
“Hm! Rupanya warung ini telah ketamuan orang-
orang bisu,” kata Sempak Waja lagi. 
Dan akibat ucapan itu memang fatal. Orang yang 
ditegur tadi menyemburkan tuak dari mulutnya ke  
arah Sempak Waja. Semburan yang bukan sembarang 
semburan. Ada tenaga dalam yang dikerahkan. Kontan 
Sempak Waja menebak wajahnya dan mencelat ke be-
lakang. Tubuhnya terasa ditendang dengan hempasan 
angin yang keras. 
“Hai! Aturan sedikit! Tuak hanya untuk diminum, 
bukan untuk mencuci muka orang!” seru Pusparini. 
Teguran itu dianggap tantangan oleh orang yang 
bersangkutan. Langsung dia berdiri dengan menanting 
tempat tuak yang terbuat dari bambu. 
“Apa aku tak salah dengar dengan omongan baru-
san?” katanya sambil memandang Pusparini dengan 
mata  jlalatan. Ini disebabkan oleh prasangkanya. Se-
mula tak menduga kalau yang punya teguran itu seo-
rang wanita muda bertubuh sintal. “Wah, kalau kau 
yang bicara, aku bisa memaafkan. Tetapi imbalannya 
‘sun’ dulu! Hahahahahahahaha...!” 
Dan suara tawa itu tiba-tiba terbungkam. Itu kare-
na Pusparini dengan cepat telah melemparkan kue ke-
tela yang disambar dari sampingnya dan dilempar ke 
mulut orang tersebut. 
“Bhuuaahh!” semburnya dengan menyapu mulut-
nya yang belepotan kue ketela. 
Sikap ini disusul dengan hantaman tempat tuak ke 
arah Pusparini. Bumbung itu melayang ke arah sasa-
ran. Tetapi Pusparini dengan tangkas menangkapnya 
dan dikembalikan ke arah penyerang. 
Ppprakk! 
Bumbung melanda pelipis orang itu sehingga tu-
buhnya oleng ke belakang. Melihat keadaan itu, te-
man-temannya yang lain beranjak untuk turun tan-
gan. Yang terjadi kemudian adalah tawuran ketika Na-
rendra dengan cepat menangani para penyerang yang 
ingin membantu. Untuk menghindarkan warung itu  
menjadi ajang baku hantam, Pusparini memancing 
mereka bergerak keluar. Baku hantam ini sebenarnya 
tidak dikehendaki oleh Pusparini. Tetapi sekedar 
memberi pelajaran bagi kelompok laki-laki urakan 
yang kerjanya cuma luntang-luntung dan mangkal di 
warung-warung. 
“Hentikan!” tiba-tiba terdengar seruan menengahi 
keributan itu. 
Pusparini adalah orang pertama yang melihat siapa 
yang punya suara perintah tersebut. Perasaannya ter-
sirap ketika melihat sosok orang itu. Dia adalah laki-
laki yang pernah dijumpai di rumah Kebo Parud se-
waktu Pusparini menggropyok tempat itu. 
“Kau?! Akhirnya kutemui lagi di tempat ini,” kata 
Pusparini. “Aku ingin keterangan darimu tentang ter-
bunuhnya dua orang pembantu di rumah Kebo Parud!” 
“Aku tak tahu-menahu apa yang kau bicarakan. 
Aku tidak merasa membunuh dua orang pembantu se-
perti tuduhanmu!” jawab laki-laki itu. “Tanyakan ke-
pada mereka itu!” Telunjuknya ke arah orang-orang 
yang tadi berkelahi melawan perabot kademangan. 
Melihat hal itu Pusparini dapat mengambil kesim-
pulan bahwa orang ini pasti pimpinan mereka. Tetapi 
apa peranannya di Kademangan Rajeg Banjar, belum 
diketahui dengan jelas. 
“Kalian ingin memburu Kebo Parud karena ada ha-
diah yang disediakan untuk itu?” tanya Pusparini 
mencoba menebak. 
“Benar! Bukankah hal itu masih berlaku? Kudengar 
Kebo Parud belum tertangkap sampai saat ini,” jawab 
laki-laki itu. “Harap kau ketahui, aku ke rumah Kebo 
Parud karena ingin mencari Kebo Parud!” 
“Dari mana kau tahu bahwa itu rumah Kebo Pa-
rud?” tanya Sempak Waja nimbrung dalam percaka- 
pan. Dia merasa perlu tampil karena sebagai salah 
seorang perabot kademangan yang punya wewenang. 
“Apa gunanya aku punya lidah? Tentu saja bertanya 
kepada penduduk setempat!” jawab laki-laki itu. 
Sempak Waja merasa kena batunya melontarkan 
pertanyaan seperti itu tadi. Untuk sementara memang 
hal itu bisa dipercayai. Masalah Kebo Parud memang 
sedang menjadi buah bibir orang-orang di sana. 
“Baik! Lakukan tugasmu memburu Kebo Parud. 
Hadiah untuk itu memang tetap disediakan. Demi ta-
takramanya, aku ingin tahu namamu,” tanya Puspari-
ni. 
Laki-laki itu tertawa. Terlihat gigi gingsulnya me-
nonjol sebelah kanan. 
“Merupakan suatu kehormatan ada wanita cantik 
mau tahu namaku. Ingat baik-baik. Namaku Panung-
galan!” kata laki-laki itu. 
“Hm. Panunggalan. Aku akan ingat-ingat itu. Seha-
rusnya ketika kupergoki kau di rumah Kebo Parud, 
kau tidak melarikan diri! Tampaknya ada yang kau ta-
kutkan. Boleh aku tahu?” tanya Pusparini. 
Panunggalan memandang tajam. Seakan-akan ingin 
mengetahui dengan jelas otak Pusparini yang menim-
bulkan pertanyaan seperti itu. Jelas bahwa wanita 
yang sedang dihadapi ini menaruh kecurigaan terha-
dap tindakannya tempo hari. 
“Tidak ada yang kutakutkan. Tetapi aku tidak ingin 
ada orang lain ikut campur dalam urusanku. Secara 
kebetulan saja nama Kebo Parud punya peran dalam 
peristiwa yang menyangkut diriku sendiri,” jawab Pa-
nunggalan. 
Kemudian dia memberi isyarat kepada keenam anak 
buahnya untuk mengikuti langkahnya meninggalkan 
tempat itu. Dan sebelum pergi, Panunggalan melem- 
parkan pertanyaan : 
“Boleh aku tahu namamu, Cah Ayu?” 
“Walet Emas!” jawab Pusparini singkat. 
Panunggalan menghentikan langkah, “Kau... pende-
kar wanita yang bergelar Walet Emas?” 
“Cukup! Kau boleh pergi sekarang,” kata Pusparini 
memenggal percakapan. 
Ternyata yang heran mendengar sebutan itu bukan 
Panunggalan saja. Para perabot kademangan pun, 
termasuk Sempak Waja, terkejut mendengar jawaban 
Pusparini. Tetapi mereka memendam perasaan itu. 
Nama Pendekar Walet Emas memang santer terdengar 
di kawasan Kerajaan Medang akhir-akhir ini. Mereka 
hanya mendengar nama saja. Tidak tahunya pendekar 
yang selama ini jadi bahan pergunjingan telah berada 
di tengah-tengah mereka. 
Panunggalan dan orang-orangnya lenyap di balik 
persimpangan jalan. 
“Mengapa kau sebut gelar kependekaranmu?” tanya 
Narendra. 
“Untuk memancing sikap mereka,” jawab Pusparini. 
“Pamer?” 
Pusparini tersenyum, “Aku ingin tahu sampai bera-
pa jauh namaku dikenal mereka. Kadangkala akan 
menimbulkan rangsangan sikap bagi orang-orang yang 
menebar sikap jahat.” 
“Lalu bagaimana kesanmu terhadap mereka setelah 
mendengar gelar kependekaranmu?” tanya Narendra. 
“Tampaknya mereka punya kerja lain di samping 
memburu Kebo Parud untuk hadiahnya!” jawab Puspa-
rini dengan terus pergi memasuki warung. 
Di sana pemilik warung membenahi tikar yang kotor 
karena bentrokan tadi. 
“Kami akan memberi ganti rugi, Pak,” kata Puspari- 
ni kepada pemilik warung. “Sebelum itu, tolong kami 
disediakan minuman dan makanan. Juragan yang 
nanti akan membayar Bapak ada di samping saya ini,” 
kata Pusparini sambil menunjuk Sempak Waja. 
Sempak Waja nyengir, walaupun anggaran untuk 
itu akan diambilkan dari kocek kademangan. 

*** 

TUJUH 
 
Pusparini menggeliat di pembaringannya. Malam ini 
dia merasa gerah karena udara panas. Kembennya di-
lepas. Sendirian di kamar seperti itu, dengan leluasa 
dia bisa bertindak semaunya. Kini dia bertelanjang da-
da. Hal seperti itu umumnya bukan hal yang tabu bagi 
wanita jamannya. Banyak wanita desa yang bertelan-
jang dada. Hanya kaum bangsawan saja yang menge-
nakan penutup semacam kemben atau penutup puting 
buah dada yang terbuat dari cungkup emas atau tem-
baga yang berukir. Bagi dia dengan penampilan ke-
pendekarannya, sangat cocok dengan mengenakan 
kemben. 
Lalu pikirannya menerawang kepada Narendra. Ha-
ri-hari terakhir ini dia merasa akrab dengan laki-laki 
sebagai kakak seperguruannya itu. Rasanya ada sesu-
atu yang dia ingin ungkapkan apabila berdekatan den-
gan Narendra, walaupun hal itu hanya dengan ramah-
nya pembicaraan serta sentuhan tangan. Seperti hal-
nya tadi sore selepas dari bentrokan di warung, Naren-
dra tiba-tiba memeluknya. Ini bukan sikap yang ku-
rang ajar. Tetapi Narendra berniat mendorong tubuh 
Pusparini ketika ada seekor laba-laba beracun melun-
cur dari atas pohon yang nyaris menimpa bahunya. 
 
Tetapi mengapa Narendra bertindak seperti itu? 
Bukankah dengan menebas laba-laba itu pakai senjata 
maka dia bisa diselamatkan? Atau memang hal seperti 
itu yang bisa dilakukan Narendra berhubung dengan 
keadaan yang mendadak? 
Peristiwa semacam itu memang hal yang biasa. Te-
tapi tidak biasa apabila dirasakan oleh dua insan yang 
keslomot asmara. 
“Astaga, apakah aku sedang jatuh cinta?” pikir Pus-
parini sambil menelungkupkan tubuhnya. Lalu dia ter-
lentang lagi. Khayalnya melambung. Pikirannya selalu 
terkait pada hal-hal kebersamaan dalam hari-hari yang 
sibuk di mana Narendra mendampinginya. Laki-laki itu 
banyak memomongnya dan memberi pengarahan den-
gan sabar. Jarang terjadi perdebatan yang memancing 
ketegangan. 
Dan lamunan ini buyar tiba-tiba. Itu karena terden-
gar suara ketukan pintu kamarnya. 
“Siapa?” tanya Pusparini dengan membenahi tu-
buhnya yang tidak berkain. 
Tak ada jawaban. 
Pusparini terpaksa membuka pintu. Dilongokkan 
kepalanya keluar. Tak ada siapa-siapa. Di depan pintu 
kamarnya terbentang halaman luas. Ini adalah wahana 
kademangan, dan setiap kamar yang terpisah dihuni 
oleh satu orang jagabaya, penjaga keamanan. 
Sepi di luar. Malam sedang memeluk bumi. Bulan 
sepotong mengambang di langit, yang setiap saat jadi 
redup karena terhalang awan yang melintas. 
Pusparini mempersiapkan diri. Dia keluar dengan 
menating pedangnya. Tetapi bukan Pedang Merapi Da-
hana. Perasaannya jadi tidak enak. Firasatnya terusik 
bahwa ketukan tadi memang dilakukan oleh seseo-
rang. 
 
Tiba-tiba pandangannya tertuju kepada sosok tu-
buh yang berkelebat dari samping rumah jaga yang di-
huni oleh Sempak Waja. Sosok tubuh itu melesat ke 
atas wuwungan, dan bertengger di sana. Tidak srantan 
lagi, Pusparini terus melesat memburu ketika dilihat-
nya orang itu melompat ke arah kediaman Ki Demang 
Balawan. 
“Siluman Kedung Brantas!” desis Pusparini setelah 
yakin dengan penglihatannya. 
Dia terus mengejar. Ketika berada di dekat sasaran, 
dia terus melompat menerjang. Kekhawatirannya bah-
wa Siluman Kedung Brantas akan mempergunakan ra-
cun lagi, tidak dipikirkan, sebab Narendra telah mem-
berinya penawar racun. 
Terjangan Pusparini tepat mendarat di punggung 
lawan. Tokoh bertopeng berambut panjang itu mence-
lat ke depan. Tetapi dia cepat menguasai diri dan me-
noleh ke arah  Pusparini yang siap menyerang untuk 
kedua kalinya. 
“Hm. Kau berani sekali klayapan  kemari. Apakah 
Bengawan Brantas telah kehabisan ikan sehingga kau 
mencari makan di daratan?” ejek Pusparini dengan 
melancarkan serangan beruntun. 
Sosok tubuh itu memang dikenali sebagai Siluman 
Kedung Brantas yang pernah ketanggor bentrokan 
dengan Pusparini. Paling akhir Pusparini mendengar 
bahwa ‘siluman’ ini membajak perahu di Bengawan 
Brantas dengan beberapa anak buahnya yang mema-
kai kedok serupa. Tetapi mengapa malam ini klayapan 
sendirian kemari? 
Pusparini akan tahu kemudian. Yang penting dia 
getol sekali menghadapi sosok tokoh yang bikin onar 
ini. Paling tidak, dia ingin membuka kedoknya untuk 
dilihat tampangnya. 
 
Pada kesempatan ini Pusparini dihadapkan sesuatu 
hal yang aneh. Sepertinya dia tidak berhadapan den-
gan lawan yang pernah menyerang dirinya beberapa 
waktu yang lalu. Yang ini punya keterbatasan gerak 
dalam memberikan perlawanan. Seperti halnya ketika 
Pusparini menggojlok dengan gerak tipu untuk menje-
bak sikap lawan, ternyata sosok yang satu ini berhasil 
masuk ke dalam perangkap serangannya. Tentu saja 
dengan mudah dia bisa membuat pusing lawannya, ke-
tika pukulan itu berhasil menghantam tengkuknya. 
Serangan ini kontan saja membuat topeng itu lepas 
dari tempatnya. Dengan cepat pula Pusparini segera 
menjambretnya. 
“Tunggu! Aku menyerah,” seru sosok tubuh itu, 
yang ternyata seorang wanita. 
“Hah? Kau... Siluman Kedung Brantas gadungan?!” 
ujar Pusparini dengan berusaha mengamati wanita di 
hadapannya. “Kalau kau ingin menyerahkan diri, be-
rarti bisa bicara baik-baik. Ayo, ke tempatku!” 
Ketika mereka akan meninggalkan tempat itu, Na-
rendra muncul. 
“Ada apa ini? Tampaknya kau berhasil menangkap 
maling,” kata Narendra sambil mengamati wanita di 
samping Pusparini. 
“Dia menyerahkan diri. Sebaiknya kita berbicara di 
dalam saja,” kata Pusparini. 
Melihat wanita itu terlihat pasrah, maka kekhawati-
ran akan tipu daya dari orang ini bisa disisihkan seje-
nak. 
“Siapa namamu dan mengapa menyamar sebagai 
Siluman Kedung Brantas?!” tanya Pusparini setelah 
berada di dalam ruang kamarnya. 
“Aku salah seorang anak buahnya. Namaku Daya-
ni,” jawab wanita yang tampak sebaya dengan Puspa- 
rini. 
“Dayani? Lalu apa kerjamu menyatroni tempat ini? 
Kulihat kau tadi akan menyusup ke tempat Ki Demang 
Balawan,” tanya Pusparini sambil mengamati topeng 
yang menampilkan wajah siluman di tangannya. 
“Aku membelot!” jawab wanita itu. 
“Membelot?” ucap Narendra terasa kurang yakin 
pengakuan wanita itu. 
“Sebab apa? Apakah karena kau kurang terjamin 
hidupmu dalam kelompok itu?” 
“Tunanganku, yang juga anak buahnya, beberapa 
hari yang lalu dibunuhnya,” jawab wanita bernama 
Dayani itu dengan menunduk sedih. Wajahnya manis. 
Kulitnya agak kehitaman. Bulu alisnya tebal. Matanya 
blalak-blalak seperti wanita Hindustan. 
“Mengapa kekasih... eh, tunanganmu mengalami 
nasib sial seperti itu?” tanya Pusparini. Perkara ten-
tang pasangan yang sedang dilanda asmara, tiba-tiba 
sangat menarik perhatiannya. 
“Sebenarnya... kami berdua adalah pihak luar yang 
menyusup ke dalam kelompok Siluman Kedung Bran-
tas. Aku dan Lutungan, kekasihku itu, berasal dari Ke-
rajaan Wengker!” jawab Dayani. 
“Kau... warga Wengker?” ulang Pusparini dengan 
nada serius. Kerajaan Wengker bermusuhan dengan 
Kerajaan Medang, di mana dia mengabdi sebagai war-
ganya. Selain Wengker, Kerajaan Medang juga satru 
dengan Sriwijaya. Tetapi Wengker bukan sekutu Sriwi-
jaya. Pengakuan Dayani menylomot perhatian serius. 
“Tunggu. Aku mengerti apa yang kau pikirkan. Ka-
mi menyusup ke dalam komplotan Siluman Kedung 
Brantas bukan untuk kepentingan penguasa Weng-
ker,” sela Dayani ketika melihat perubahan wajah Pus-
parini. Rupanya Dayani sudah menduga bahwa kata- 
katanya akan menimbulkan kecurigaan. 
“Lantas untuk apa?” ucap Narendra menimpali. Dia 
pun merasa bahwa masalah yang dihadapi kian ber-
kembang kepada pihak-pihak lain yang bertumpu pada 
penampilan sosok orang yang menamakan diri Silu-
man Kedung Brantas. 
“Memburu orang yang pernah mencuri kitab pusaka 
guruku!” jawab Dayani. Sorot matanya tajam, dan 
membuat pandangan aneh seperti memendam den-
dam. 
“Perkara curi-mencuri aku mengerti. Tetapi kitab 
pusaka yang berisi ilmu apa yang dicuri oleh Siluman 
Kedung Brantas itu?” tanya Narendra setengah ber-
canda. Sebab masalah yang begini sebenarnya bukan 
barang baru di kalangan kaum persilatan. Seorang 
murid mencuri kitab perguruan, atau kelompok lain 
mencuri kitab perguruan lain, hal itu sudah bukan 
aneh lagi 
“Tentu kalian tidak tahu siapa orang yang bergelar 
Siluman Kedung Brantas itu!” kata Dayani yang seper-
tinya lebih mengerti dari mereka yang sedang dihadapi. 
“Dia bekas senopati Kerajaan Medang semasa pemerin-
tahan Raja Makutawangsawardhana!” 
“Astaga!” seru Pusparini. “Kau jadi lebih banyak ta-
hu daripada kami.” 
“Dia melarikan seorang selir raja,” lanjut Dayani. 
“Bukan main,” sahut Narendra. 
“Dan mereka berdua jadi buron,” sambung Dayani 
lagi. 
Pusparini terperangah mendengar kisah itu. 
“Siapa nama sebenarnya ‘siluman’ itu?” sahut Na-
rendra. 
“Senopati Tarusbawa!” jawab Dayani. 
“Aku akan memanggil Ki Demang,” kata Pusparini  
dengan beranjak dari tempatnya. “Mungkin dia tahu 
juga tentang hal itu kalau ceritamu benar.” 
“Jangan!” cegah Dayani. 
“Mengapa? Kau takut bahwa cerita bohongmu itu 
terbongkar?” kata Pusparini. 
“Jadi kau tidak mempercayai ceritaku?” sela Daya-
ni. 
“Hanya ingin pembuktian saja. Ki Demang adalah 
tokoh tua yang tentunya tahu keadaan pemerintahan 
Baginda Raja Makutawangsawardhana, ayahanda Sri 
Baginda Dharmawangsa,” jawab Pusparini. 
“Kau boleh membuktikan dengan memanggil Ki 
Demang kemari. Tetapi sebelum itu kuberitahu sesua-
tu yang mungkin kau semakin tidak mempercayai ceri-
taku,” kata Dayani lagi seraya mengeluarkan sebuah 
gulungan kulit yang berguna sebagai sarana tulisan di 
samping daun lontar yang umumnya juga terpakai un-
tuk itu. 
“Untuk apa itu?” tanya Pusparini. 
“Justru kedatanganku kemari untuk menemui Ki 
Demang. Semua pintu kuketuk untuk mengetahui 
apakah penghuninya telah tidur,” jawab Dayani. 
“Hm, jadi kau yang mengetuk pintu kamarku?” kata 
Pusparini. “Tetapi ada baiknya memang. Dengan begitu 
aku terjaga dan keluar ruangan yang kemudian kuper-
goki dirimu yang menyatroni tempat Ki Demang. Lalu 
apa maksudmu menunjukkan gulungan kulit itu ke-
pada kami?” 
“Bukti bahwa Ki Demang terlibat dalam pencurian 
kitab pusaka guruku. Dia juga tahu siapa Senopati Ta-
rusbawa,” jawab Dayani. 
Gulungan kulit sebagai sarana lembaran tulisan itu 
dibuka oleh Pusparini. Dia membaca tulisan-tulisan 
yang tertera di situ. Narendra nimbrung membaca. La- 
lu keduanya saling pandang setelah selesai membaca. 
“Bagaimana?” tanya Dayani. 
“Jadi tindakan Siluman Kedung Brantas selama ini 
hanya dendam kepada Ki Demang Balawan?” kata Na-
rendra dengan tetap meneliti tulisan itu. 
“Sebagian kitab yang dicuri itu bagian akhirnya dis-
embunyikan oleh Ki Demang. Dan surat ini adalah 
pengakuan yang semacam prasasti pribadi tentang 
pencurian kitab pusaka itu yang ditulis oleh Senopati 
Tarusbawa beberapa puluh tahun yang lalu,” kata 
Dayani. “Kisah selengkapnya pernah diceritakan oleh 
Nyi Kunjari kepadaku sehingga aku tahu semua ri-
wayat mereka.” 
“Nyi Kunjari? Siapa dia?” tanya Pusparini. 
“Selir Raja Makutawangsawardhana yang dilarikan 
Senopati Tarusbawa,” jawab Dayani. “Maaf. Karena 
aku telah bertemu dengan kalian, maka rencanaku 
semula untuk menemui Ki Demang sebaiknya tidak 
kulakukan lagi. Cukup kepada kalian aku minta to-
long.” 
“Minta tolong?” sahut Pusparini. “Kedengarannya 
enak. Berkenalan pun baru saja terjadi. Itu pun den-
gan cara tidak wajar atas dasar bermusuhan. Bukan-
kah kau sekarang ini tawananku? Bagaimana aku bisa 
menolongmu? Dan untuk apa?” 
“Membongkar kedok Ki Demang, dan sekalian 
menghancurkan komplotan Siluman Kedung Brantas,” 
jawab Dayani mantap. Kedengarannya memang tidak 
meragukan. Tetapi apakah secepat itu Pusparini bisa 
mempercayai? 
“Jadi surat ini semula akan kau tunjukkan kepada 
Ki Demang sebagai todongan agar dia menyerahkan 
sebagian kitab pusaka yang tercuri itu?” tanya Naren-
dra.  
“Ya!” 
“Kau menganggap bahwa Ki Demang akan takut 
dengan ancamanmu kalau hal ini dibeberkan kepada 
para penggedhe di istana Medang? Begitu?” tebak Pus-
parini. 
“Ya,” jawab Dayani dengan sorot mata yang blalak-
blalak agar pengakuannya dipercayai. Dan tampaknya 
memang ada kejujuran pada sinar matanya. 
“Lalu apa yang harus kulakukan seandainya aku 
bersedia menolong mencari kitab pusaka tersebut yang 
sebagian disimpan oleh Ki Demang?” kata Pusparini. 
“Ini semata-mata hanya untuk tidak menimbulkan 
imbasan peristiwa yang besar. Maksudku... tentang 
permusuhan Wengker dan Medang yang saat ini bagai 
api dalam sekam,” jawab Dayani. “Kami hanya ingin 
mendapatkan kitab pusaka itu tanpa menyeret bentro-
kan dua kerajaan.” 
“Begitukah akibatnya kalau tak terkendali?” kata 
Pusparini. 
“Ya! Sebab hal ini menyangkut keberadaan asal ki-
tab pusaka itu yang berasal dari Wengker,” jawab 
Dayani. “Kitab itu berisi bermacam-macam ilmu kanu-
ragan yang umumnya banyak dikuasai oleh pendekar 
pilih tanding. Tetapi ada bab yang menguraikan ten-
tang ajian yang disebut ‘Sukma Lintah’, yang bisa 
menggerakkan benda dari jarak jauh. Ada lagi sejenis 
ilmu pengasihan yang disebut ajian ‘Kamajaya Ratih’, 
yang bisa membuat jasmani berubah menjadi remaja 
di kala melakukan cinta sebadan.” 
Berkata tentang yang terakhir ini Dayani agak eng-
gan, sebab Narendra rupanya begitu tertarik dengan 
penjelasannya. 
“Cinta sebadan... yang kau maksud... senggama?” 
tanya Narendra tanpa sungkan.  
“Maaf, begitulah adanya. Ajian ‘Kamajaya Ratih’ pa-
da umumnya berlaku bagi peminat yang berusia lan-
jut,” jawab Dayani yang menjadikan pembicaraan itu 
semakin asyik. 
Lidah Narendra berdecak tanda kagum. Sedangkan 
Pusparini mencoba menghindari masalah itu walaupun 
hati kecilnya ingin tahu lebih banyak bagaimana keu-
nikan ajian ‘Kamajaya Ratih’ tersebut. Yang jelas ajian 
itu bisa membuat seorang ‘manula’ bisa menjelma se-
cara jasmaniah menjadi remaja ketika bermain cinta 
dengan orang yang dia cintai. Lalu tubuh mereka men-
jadi tua kembali setelah segala permainan asmara itu 
selesai! Bukan main! 
“Sudah! Kita jangan terbius soal ajian yang digan-
drungi oleh orang-orang itu,” tukas Pusparini. “Aku 
akan menyelidiki sampai berapa jauh tindakan Ki De-
mang yang masa lalunya punya hubungan dengan Se-
nopati Tarusbawa yang  kini tampil sebagai Siluman 
Kedung Brantas. Benar-benar sikap mendua yang rapi. 
Selama ini kita kenal Ki Demang sebagai orang jujur 
dan setia kepada pemerintah Medang. Kalau benar 
bahwa dahulu dia membantu Senopati Tarusbawa me-
larikan selir Baginda Raja Makutawangsawardhana, 
maka namanya bisa dimasukkan dalam ‘daftar hitam’. 
Dan orang seperti ini bisa dipandang sebagai 
pengkhianat terhadap keluarga raja walaupun hal itu 
telah puluhan tahun berlalu.” 
Baru saja Pusparini mengakhiri ucapannya, men-
dadak Ki Demang Balawan muncul...! 
“Aku telah mendengar semuanya, Pusparini!” kata 
orang tua itu. “Dan kalian adalah orang-orang yang 
banyak tahu tentang rahasia masa lampau itu!” 
“Ki Demang...!” sela Pusparini untuk menjajagi apa 
yang akan dilakukan oleh orang yang rupanya sejak  
tadi telah mencuri dengar pembicaraan mereka. 
Dan Demang Balawan telah bertindak. Tangannya 
berkelebat. Angin pukulan yang dilancarkan untuk 
membuyarkan perhatian tiga orang di hadapannya 
menghajar dengan deras. Untung ketiga orang itu ber-
hasil mengelak dengan melesat keluar. Gerak mereka 
menjebol langit-langit ruangan, dan menerobos wu-
wungan. 
“Kau benar, Dayani!” seru Pusparini setelah men-
ginjak tanah kembali. 
Basa-basi tak sempat lagi, sebab Ki Demang telah 
memburu mereka keluar. 
“Orang tua ini tidak selemah yang kukira,” seru Na-
rendra sambil menghindarkan diri karena serangan 
lawan yang ditujukan ke arahnya. 
Dia belum siap menguasai medan laga. Sedangkan 
Pusparini dan Dayani baru mempersiapkan diri untuk 
menghadapi serangan Ki Demang yang kelihatannya 
mulai memperlihatkan sikap siapa dia sebenarnya. 
Satu lawan tiga. Itulah yang terjadi sekarang. Men-
groyok lawan hukumnya sah-sah saja. Tetapi rasanya 
kurang ksatria. Pusparini lebih senang untuk mengha-
dapi lawannya seorang diri. 
“Minggir! Biar kuhadapi dia!” seru Pusparini. 
Narendra memberi kesempatan walaupun kurang 
setuju dengan sikap Pusparini. Baku hantam antara Ki 
Demang dengan Pusparini terjadi. Lawan tua ini mem-
perlihatkan kegesitan geraknya yang sulit dibendung. 
Serangan-serangan si Walet Emas sering mendapat 
kunci penolak sehingga harus mencari peluang untuk 
membuka jurus baru. Tetapi itu semua belum seluruh 
kemampuan Pusparini dikerahkan. Ketika Pusparini 
mengeluarkan jurus-jurus waletnya, Ki Demang mulai 
kesulitan dalam mencari peluang untuk menghadapi z 
kegesitan gerak lawan. Apalagi setelah Pusparini me-
nambah dengan sapuan tendangan yang jangkaua-
nnya sulit diramal. Sebuah tendangan bisa menghajar 
dua, tiga kali. Itu karena gerak ganda yang beruntun 
dilakukan dalam keadaan tubuh mengudara. 
Darah mulai mengalir dari hidung dan mulut orang 
tua itu 
“Kau memang tak boleh diremehkan,” desis Ki De-
mang dengan melepas ikat pinggangnya. Ternyata me-
rupakan stagen sepanjang tiga depa berwarna merah. 
Ujungnya berjumbai dengan butiran logam pada pu-
cuknya. Sekali tebas, maka stagen itu menjadi kaku 
bagaikan pedang dan dihantamkan ke arah Pusparini. 
Pusparini berhasil menangkis serangan Ki Demang 
dengan landasan tapak tangannya. Hal ini menjadi dua 
kekuatan yang saling beradu. Empat jurus serangan 
yang serupa berhasil ditangkis oleh Pusparini. Tetapi 
ke lima kalinya, Pusparini terjebak dengan serangan 
yang diubah jurusnya. Stagen itu melemas sehingga 
lenturannya menghantam wajah si Walet Emas. Rasa 
panas bagai terbakar dirasakan oleh Pusparini. Pan-
dangannya berkunang-kunang. 
Narendra yang tahu hal ini segera turun ke gelang-
gang. Dia berhasil mencegah serangan Ki Demang be-
rupa tendangan kaki ke arah Pusparini. Tendangan itu 
berhasil disergap oleh Narendra dengan menyambar 
tumit Ki Demang. Dengan tangkapan ini  lalu ditarik-
nya tubuh Ki Demang yang selanjutnya dilemparkan 
sehingga tubuh tua itu melanda tembok. 
Ki Demang Balawan misuh-misuh. Pada saat itulah 
orang-orang perabot kademangan keluar untuk meli-
hat apa yang terjadi. 
“Tangkap mereka!” seru Ki Demang. 
Adalah Sempak Waja yang clingukan kurang yakin  
dengan perintah itu. Begitu juga orang-orang lainnya. 
“Mereka musuh kerajaan!” hasut Ki Demang lagi ke-
tika mengetahui anak buahnya belum juga ada yang 
bertindak. 
Melihat keadaan ini, Pusparini melesat masuk ke 
dalam ruang kamarnya dan mengambil Pedang Merapi 
Dahana. Walaupun tahu bahwa malam hari pedang 
tersebut keampuhannya tidak berperan, tetapi kalau 
untuk menghalau lawan seluruh perabot kademangan, 
pasti bisa. Apakah hal itu akan dilakukan terhadap 
mereka yang tak berdosa? 
“Kita harus menghindari mereka!” seru Pusparini 
kepada Narendra dan Dayani. 
Ini adalah pikiran yang waras untuk mencegah kor-
ban dari mereka yang tidak tahu-menahu duduk per-
soalannya, tetapi harus patuh kepada perintah Ki De-
mang. 
Kemudian mereka bertiga melesat meninggalkan ha-
laman kademangan yang kian banyak dikerumuni 
orang-orang...! 

*** 

DELAPAN 
 
“Kita sekarang jadi buronan,” kata Pusparini setelah 
mereka bertiga berhasil menyelamatkan diri. “Kalau 
omongan Ki Demang menyebar, maka orang-orang se-
luruh kademangan ini akan memburu kita.” 
Kini mereka berada di suatu tempat di mana Na-
rendra pernah menyembuhkan Pusparini dari racun 
Siluman Kedung Brantas. Suatu tempat di tepi hutan 
di pinggiran Bengawan Brantas. Di sana dipandang 
aman. Sebab orang akan berpikir tujuh kali kalau  
akan ke sana. Tempat yang dikelilingi rawa-rawa itu 
memang banyak binatang buayanya. 
“Kita tak mungkin berada di sini terus,” kata Daya-
ni. “Kini kalian sudah membuktikan bahwa demang 
tua itu punya kaitan dengan senopati pelarian yang 
kini menyamar sebagai Siluman Kedung Brantas. Aku 
punya gagasan seandainya kalian setuju.” 
“Apa gagasanmu?” tanya Pusparini. 
“Mempertemukan Siluman Kedung Brantas dengan 
Ki Demang!” kata Dayani. 
“Itu juga terlintas dalam pikiranku barusan. Tetapi 
bagaimana caranya?” sela Narendra. 
“Aku akan mengatakan bahwa Nyi Kunjari sedang 
bermain cinta dengan Ki Demang!” kata Dayani. “Seca-
ra kebetulan Nyi Kunjari sangat akrab denganku. Dia 
bisa kuajak ke kademangan dengan dalih suaminya 
membutuhkan kehadirannya  untuk menjernihkan 
urusan lama!” 
“Bisa semudah itu?” tanya Pusparini. “Apa latar be-
lakangnya maka Nyi Kunjari harus kau kabarkan ber-
main cinta dengan Ki Demang?” 
“Itu hanya masa lampau yang pernah diceritakan 
oleh Nyi Kunjari kepadaku,” jawab Dayani. 
“Terserah kau saja. Kukira pikiran itu jalan satu-
satunya untuk mengadu domba tokoh-tokoh lama 
yang terlibat dalam peristiwa itu,” kata Pusparini. “Kau 
bisa berangkat sekarang!” 
“Tunggu!” sela Narendra. “Apa tidak sebaiknya kita 
berdua ikut serta? Aku ingin tahu sarang Siluman Ke-
dung Brantas itu.” 
“Astaga! Kau benar, Kakang Narendra!” sahut Pus-
parini. “Kita memang harus ke sana!” 
Mereka bertiga segera mengawali kerja lagi. Kali ini 
Dayani menjadi petunjuk jalan dan pegang peranan  
untuk mengungkap kedok Siluman Kedung Brantas. 
Dayani memang punya alasan kuat untuk itu. Keka-
sihnya telah dibunuh oleh Tarusbawa, tokoh ‘siluman’ 
itu dengan alasan yang tidak jelas. Atau saat ini Daya-
ni sudah bisa menduga mengapa Lutungan, kekasih-
nya itu, dibunuh oleh Siluman Kedung Brantas. Apala-
gi kalau bukan rahasia masa lalunya yang mungkin te-
lah diketahui oleh Lutungan sehingga Tarusbawa, si 
Siluman Kedung Brantas, terpaksa membunuhnya? 
Dan kini tinggal dia. Dayani sendiri. Mungkinkan saat 
ini Siluman Kedung Brantas sedang mengincar ji-
wanya? 
“Tidak! Ini akan sangat membahayakan kalau aku 
kembali ke sarang Siluman Kedung Brantas,” kata 
Dayani yang merubah pendirian. Semua tindakan se-
pertinya semrawut. Tidak ada kepastian untuk me-
nempuh kerja yang tiba-tiba harus ditangani. 
“Kalau begitu tunjukkan saja tempatnya,” saran Na-
rendra. “Bagaimana?” katanya lagi ketika Dayani keli-
hatan ragu-ragu. 
“Begitu mungkin lebih baik. Tetapi nanti kalau ada 
perkembangan bahwa aku bisa menemui Nyi Kunjari, 
akan kulakukan sendiri. Yang jelas, untuk sementara 
aku harus menghindari Siluman Kedung Brantas,” ka-
ta Dayani. 
“Aku tak ingin ada perubahan tindakan lagi,” justru 
Pusparini yang mengawali langkah untuk pergi dari 
sana. 
Dayani dan Narendra tahu, bahwa Pusparini tak 
suka dengan cara kerja seperti itu. Sekarang siapa 
yang memimpin dan dipimpin, peranannya jadi kabur. 
Masing-masing punya cara untuk bertindak yang ha-
rus bisa ditunjang. Itu namanya memang musyawarah. 
Tetapi kalau caranya tidak tegas, maka sangat mem- 
bingungkan sekali. 
Kini mereka bertiga menuju ke sarang Siluman Ke-
dung Brantas. Jalan yang ditempuh memang me-
mungkinkan orang untuk tidak berani ke sana. Pada 
suatu tempat, mereka terpaksa mengerahkan ilmu en-
teng tubuh, sebab yang dilewati adalah genangan lum-
pur yang bisa menghisap tenggelam apa saja yang ber-
pijak di atasnya. Hal itu memang nyata, ketika terlihat 
seekor babi hutan yang melintas di atas genangan 
lumpur dan terhisap ke dalamnya tanpa bisa melo-
loskan diri. 
“Di situ kubur si Lutungan, kekasihku,” kata Daya-
ni dengan menunjuk ke arah genangan lumpur yang 
baru dilewati. 
“Dikubur dalam lumpur?” tanya Pusparini dengan 
mengawasi hamparan lumpur yang luas sekali. 
Bisa dipastikan, kalau Bengawan Brantas banjir, 
kawasan itu ikut tenggelam. Mungkin di sana ada 
hamparan cekungan yang dipenuhi lumpur dan di ba-
wahnya ada aliran air bawah tanah yang merupakan 
pusaran yang berhubungan dengan aliran Bengawan 
Brantas. Dengan keadaan itu maka hamparan lumpur 
tersebut punya tenaga pengisap yang kuat sekali. Te-
tapi anehnya, lumpur itu tidak terkikis habis, dan te-
tap merupakan hamparan abadi yang merupakan tem-
pat maut. 
“Dalam keadaan luka parah setelah bentrok dengan 
Siluman Kedung Brantas, dia menyeberangi tempat 
itu. Tetapi keburu terkejar dan terpenggal kepalanya 
oleh bekas senopati pelarian itu,” kata Dayani menge-
nang peristiwa yang merenggut nyawa Lutungan, ke-
kasihnya. “Ayo, kita terobos semak-semak di sana. Ka-
lau ada terlihat ‘Watu Kebo’, maka di sampingnya ada 
trowongan menuju goa bawah tanah yang akan menu- 
ju ke lereng tebing di pinggiran Bengawan Brantas.” 
Konon, orang menyebut tempat itu sebagai cepuri 
‘Watu Kebo’. Suatu tempat keramat. Tetapi setelah di 
sana bercokol Siluman Kedung Brantas, maka tak ada 
seorang penduduk pun yang ‘nyadran’ ke sana. Mung-
kin juga si ‘siluman’ itu telah menimbulkan korban ba-
gi mereka yang nyadran ke sana sehingga menakutkan 
bagi setiap orang yang mengenal tempat itu. 
Mereka bertiga telah sampai di sisi ‘Watu Kebo’. Te-
tapi baru saja mereka akan menyusup masuk, tiba-
tiba ada langkah kaki yang terdengar hendak keluar 
dari relung goa. 
Dayani memberi isyarat agar Pusparini dan Naren-
dra cepat mengambil tempat bersembunyi. Tetapi 
agaknya tempat untuk itu tidak ada. Di sana memang 
merupakan lorong lurus, sehingga kalau ada yang ber-
papasan pasti kepergok. Dan langkah kaki itu terden-
gar datang dari arah tikungan. 
“Terlambat!” bisik Dayani setelah suara langkah ka-
ki itu memunculkan sosok tubuh orangnya. 
“Kebo Parud!” ucap Pusparini ketika melihat siapa 
yang muncul. 
Ya. Kebo Parud yang nongol di sana. Dia pun terke-
jut melihat tiga orang berpapasan dengannya. 
“Wah, Wah! Pusparini! Apakah aku mimpi karena 
melihatmu di sini?” ujar Kebo Parud dengan pandan-
gan mata jlalatan. “Dan kau... Dayani! Aku tak bisa 
percaya kalau kalian telah saling mengenal. Yang satu 
ini... siapa?” tunjuknya ke arah Narendra. 
“Aku Narendra!” 
“Oowh, Narendra?” sahut Kebo Parud. “Apapun ala-
san kalian sampai di sini, yang harus kalian ketahui 
hanya satu. Di sini ada hukum ‘jalmo moro, jalmo mati’. 
Ada manusia datang, harus mati! Sebab tempat ini ter- 
larang bagi orang luar di kelompok kami. Termasuk 
kau, Dayani! Namamu telah kami coret dari sini. Itu 
berarti... kau harus mati terlebih dulu karena memba-
wa orang luar masuk kemari!” 
Dan ucapan Kebo Parud itu adalah awal bentrokan 
yang kemudian berkembang dengan seru. Dia tak gen-
tar harus menghadapi mereka. Apalagi dengan Puspa-
rini yang dalam gelanggang tari telah memenggal len-
gannya sehingga kini tinggal sebelah. 
Kebo Parud mengenakan jubah lengan panjang, se-
hingga lengannya yang terpotong itu tertutup. Justru 
lengan jubah tersebut bisa leluasa bergerak untuk di-
pakai senjata dengan cara mengibaskan ke arah lawan. 
Bagi Dayani yang tahu seluk-beluk tempat itu, ber-
tempur dalam lorong goa itu sangat membahayakan. 
Di sana banyak jebakan senjata rahasia. Apakah hal 
ini yang membuat Kebo Parud tanpa was-was berani 
menghadapi lawan yang salah seorang di antaranya te-
lah memenggal lengannya tempo hari? Tampaknya be-
gitu. Terbukti dengan gerakan Kebo Parud yang ingin 
memancing lawan ke arah di mana ada jebakan raha-
sia yang cukup mematikan. 
Hal itu kemudian terjadi. Ketika berhasil memanc-
ing Narendra ke arah suatu sisi dinding goa, tangan 
Kebo Parud bergerak menyentuh tonjolan batu. Dan 
sekejap kemudian dari lobang-lobang dinding melun-
cur beberapa batang tombak. Kalau Narendra tidak 
waspada, pasti lambungnya disergap oleh luncuran 
tombak itu. Untung dia berhasil berkelit dengan memi-
pihkan perut sehingga tombak itu nylonong  satu jari 
dari kulitnya. Keadaan ini membuat Pusparini pun ha-
rus berhati-hati dengan gerakan serangan Kebo Parud. 
Dayani segera mengambil prakarsa agar Kebo Parud 
tidak dekat-dekat dengan dinding goa. Caranya adalah  
menghalangi langkah lawannya. 
Cara ini ketahuan. Kebo Parud harus menindak 
Dayani terlebih dulu. Sebab dia banyak mengetahui se-
luk-beluk goa yang terpasang jebakan senjata rahasia. 
Akhirnya pada suatu serangan, Kebo Parud berhasil 
mengibaskan lengan jubahnya sehingga melilit leher 
Dayani. Lalu tangannya yang sebelah, segera menyer-
gap dengan tusukan cundrik (keris kecil) ke arah dada 
wanita itu. 
Dayani benar-benar tak berdaya. Pusparini dan Na-
rendra yang hendak membantu, terhalang oleh senjata 
rahasia yang tiba-tiba meluncur ketika kaki Kebo Pa-
rud menendang ke salah satu tonjolan batu yang lain. 
Tangan Kebo Parud yang memegang cundrik yang 
saat ini ditancapkan ke dada Dayani, benar-benar 
menjadi adegan yang mengerikan. Sebab cundrik itu 
diputar-putar ke arah dada, tepat pada jantung kor-
bannya. Tentu saja jantung Dayani hancur total, dan 
wanita itu terenggut ajal dengan cara itu. Kemudian 
tubuh yang tak berdaya itu dicampakkan ke tanah. 
“Nah, siapa yang akan menyusul?” kata Kebo Parud 
dengan wajah bengis. 
Pusparini tak tahan lagi. Dia segera mencabut Pe-
dang Merapi Dahananya. Dalam relung goa, secara ke-
betulan ada celah-celah yang memungkinkan cahaya 
matahari menerobos masuk. Keadaan ini memungkin-
kan Pedang Merapi Dahana punya kekuatan dengan 
membiaskan cahaya merah. 
“Pedang Merapi Dahana?!” bisik Kebo Parud. 
“Hm. Jadi kau kenal juga dengan senjata ini?” seru 
Pusparini dengan nada ketus, tidak ramah. 
“Kau pasti pendekar yang punya gelar Walet Emas”, 
kata Kebo Parud lagi. 
“Seharusnya kau merasa terhormat tahu tentang  
aku. Sebagai kelompok hitam, itu berarti akhir dari 
kerjamu,” kata Pusparini. 
Kebo Parud sadar akan hal ini segera menyentuh 
tonjolan batu yang lain. Sekejap kemudian melesat bi-
lah-bilah senjata tajam. Pusparini dengan tangkas 
membabat serangan senjata rahasia tersebut. Semua 
dibuat rontok berkeping-keping. 
“Jadi begitu keampuhannya?” pikir Kebo Parud 
dengan melesat menjauhi tempat itu. “Aku tak mung-
kin menghadapi dengan senjata di tanganku!” 
Tak ayal lagi, Pusparini dan Narendra segera men-
gejar. Lari Kebo Parud menuju ke dalam, berarti ke 
jantung sarang Siluman Kedung Brantas. Tindakan 
pasangan pendekar ini, Pusparini dan Narendra, san-
gat berhati-hati. 
Lorong-lorong yang bersimpang siur terdapat dalam 
goa itu memang membingungkan setiap orang yang 
baru masuk ke sana. Oleh sebab itu dalam mengejar 
Kebo Parud, mereka tak boleh kehilangan pandangan 
sekejap pun dari buronannya. 
Tetapi memang untung tak bisa diraih. Pada suatu 
tikungan, mereka kehilangan jejak. 
Narendra mengumpat. “Ke arah mana? Ke sana, 
atau ke sebelahnya itu? Atau ke sampingnya lagi?” ka-
ta Narendra dengan menunjukkan arah ke lorong-
lorong yang terdapat di sana. 
Pusparini membisu. Kebingungan menyulam be-
naknya. 
“Kau ke sana, aku ke sebelahnya,” tunjuk Puspari-
ni. “Kudengar gema langkahnya, tetapi pada arah ma-
na hal itu tidak jelas.” 
Narendra mematuhi ajakan itu. Kemudian masing-
masing memasuki lorong yang disepakati. Entah su-
dah berapa lama mereka menapak pada lorong-lorong  
tersebut, yang jelas Pusparini tiba pada rongga yang 
cukup luas. Rupanya tempat itu dijadikan semacam 
balairung, tempat pertemuan antara pimpinan dan 
anak buah. Pusparini mengamati dengan teliti. Kese-
pian yang terjadi di sana, menunjukkan bahwa anak 
buah Siluman Kedung Brantas tidak sedang berada di 
tempat. Tetapi benarkah anggapan itu? Jangan-jangan 
kedatangannya telah menjadi incaran berpasang-
pasang mata yang mengintai dari tempat persembu-
nyian. Bukankah Kebo Parud telah mengetahui keda-
tangannya? 
Dalam kesendirian menanti perkembangan peristi-
wa, tiba-tiba Pusparini dikejutkan oleh datangnya sua-
tu serangan dari celah-celah lubang di sekeliling ruan-
gan itu. Orang-orang bertopeng mirip seperti Siluman 
Kedung Brantas, bahkan mirip yang pernah dipakai 
Dayani, muncul dengan melemparkan tali-temali yang 
langsung menjerat ke arah Pusparini. Berkat sikap 
yang trengginas, Pusparini berhasil membabat putus 
beberapa tali yang menjerat ke arahnya. Tetapi sisanya 
sempat menjerat pinggangnya dan menyeret tubuhnya. 
Dia mencoba menebas tali-temali itu dengan Pedang 
Merapi Dahana, tetapi muncul lagi tali lain yang me-
nyergap tangannya. Geraknya jadi terhambat, bahkan 
sulit melakukan serangan. Untuk beberapa saat Pus-
parini mencoba menghimpun kekuatan dengan tujuan 
mengerahkan tenaga dengan semangat prima kalau 
pihak penyerang kendor sekejap saja. 
Sebelum hal itu dilakukan, tiba-tiba muncul seo-
rang tokoh atasan mereka. Dia tidak bertopeng. Jelas 
bukan Siluman Kedung Brantas, sebab yang tampil ini 
seorang wanita tua yang berpakaian cukup mewah. La-
lu disusul munculnya Kebo Parud yang tegak di samp-
ing wanita tua. 
 
“Jadi dia yang bernama Pusparini alias Walet 
Emas?” tanya wanita tua itu yang tiada lain adalah Nyi 
Kunjari. 
Kebo Parud mengangguk. 
Nyi Kunjari menatap wajah Pusparini. Ada suatu 
rahasia yang menyelinap dalam hati wanita tua ini. Dia 
tahu bahwa Tarusbawa pernah bentrok dengan wanita 
muda ini. Dalam bentrokan itu Tarusbawa alias Silu-
man Kedung Brantas bisa mengetahui bahwa Puspari-
ni punya kecocokan sebagai pasangan untuk melaku-
kan krida-asmara ajian ‘Kamajaya Ratih’. Dan ini bisa 
dipandang sebagai saingannya! Dari mana Nyi Kunjari 
bisa tahu? Sebab Tarusbawa sendiri yang mengatakan 
dengan alasan bahwa hal itu akan bisa ditrapkan un-
tuk mencangkok keremajaan Pusparini untuk disalur-
kan ke dalam jiwa Nyi Kunjari sehingga menjelma 
menjadi keremajaan abadi! 
Mengingat alasan itu, Nyi Kunjari menyunggingkan 
senyum. Sasaran tanpa direncanakan telah jatuh ke 
tangan. 
“Kau tak akan kami sakiti kalau mau menurut,” ka-
ta Nyi Kunjari. 
“Apakah aku sedang berhadapan dengan Nyi Kunja-
ri?” tanya Pusparini. 
“Tak salah, Cah Ayu. Akulah Nyi Kunjari. Dari mana 
kau tahu perihal diriku?” tanya wanita tua itu. 
“Dari Dayani!” 
“Dayani?!” sahut Nyi Kunjari seperti tak percaya 
dengan pengakuan Pusparini. 
“Dayani rupanya telah membocorkan semua yang 
ada sangkut pautnya dengan kelompok kita,” kata Ke-
bo Parud. “Tetapi dia telah kuhabisi nyawanya.” 
“Hm. Rupanya kita kebobolan musuh. Tempo hari 
kakekmu telah menyingkirkan Lutungan,” sambut Nyi  
Kunjari. 
“Yang kalian binasakan itu adalah murid-murid dari 
salah satu perguruan di Kerajaan Wengker. Mereka 
memburu kemari untuk melacak jejak hilangnya se-
buah kitab pusaka milik gurunya yang telah dicuri 
oleh pasangan Senopati Tarusbawa dan Demang Bala-
wan!” kata Pusparini. 
Tentu saja ucapan Pusparini sangat mengejutkan 
mereka. Apalagi hal itu menyangkut nama Demang Ra-
jeg Banjar, Demang Balawan. 
Yang tak kurang kagetnya adalah Kebo Parud. Dia 
selama ini tak menduga kalau Demang Balawan mem-
punyai sangkut paut dengan diri ‘kakeknya’ yang di-
kenal sebagai Siluman Kedung Brantas. 
“Nek! Mengapa hal ini tidak kau ceritakan padaku?” 
tanya Kebo Parud. “Mengapa justru orang yang kua-
nggap sebagai musuh jadi lebih tahu tentang hal itu?” 
“Sabar! Sabar, Kebo Parud! Dia pasti mencoba un-
tuk mengacaukan keadaan di sini,” sahut Nyi Kunjari. 
“Ringkus terus wanita itu. Kalian harus waspada 
kepada salah seorang temannya yang masih klayapan 
di sini!” seru Kebo Parud untuk mengesampingkan 
ucapan Nyi Kunjari. Kebo Parud punya rencana untuk 
membahas hal itu pada kesempatan lain setelah mem-
bereskan Pusparini. 
Pada saat itulah tanpa diduga, Pusparini berontak. 
Tenaga yang dihimpun berhasil mendobrak semua ika-
tan tali yang melilitnya. Apalagi setelah tangan yang 
memegang Pedang Merapi Dahana dapat bergerak le-
luasa. Dengan sekali gebrak, dia berhasil melesat ke 
arah orang-orang yang tadi meringkusnya. Kontan 
orang-orang itu mencelat dengan menebah perut yang 
robek karena disabet Pedang Merapi Dahana. 
“Biar kuhadapi dia!” seru Nyi Kunjari.  
“Nek, jangan!” seru Kebo Parud. 
Terlambat. Nyi Kunjari telah melesat dari tempatnya 
dan menghadang gerak Pusparini. 
“Aku tak gentar dengan pedang mautmu!” 
“Sebenarnya aku tak punya urusan dendam den-
ganmu, Nyi!” kata Pusparini dengan bersiap mengha-
dapi serangan wanita tua itu. “Aku hanya ingin menin-
dak Siluman Kedung Brantas dan Kebo Parud!” 
“Urusan mereka adalah urusanku juga!” berkata 
begitu Nyi Kunjari menerjang ke arah Pusparini. 
Bentrokan kedua orang ini terjadi tanpa bisa dice-
gah lagi. 
Kebo Parud yang mencoba menengahi dengan 
membantu Nyi Kunjari, tiba-tiba terpelanting dari tem-
patnya. Itu karena ada sebuah tendangan yang meng-
hunjam pantatnya. Kontan pisuhan selangit menyem-
prot dari mulutnya. Ketika dilihat siapa yang melaku-
kan, ternyata Narendra telah muncul di sana. 
“Kau?” seru Kebo Parud. 
“Sebaiknya laki-laki lawan laki-laki! Ayo!” balas Na-
rendra dengan mengumbar kesombongan untuk me-
mancing kemarahan lawan. Sebab dengan kemarahan 
yang meledak, Kebo Parud tidak bakal terpusat penuh 
pada serangan yang dilancarkan. 
Kebo Parud melabrak ke arah Narendra. Dua orang 
ini segera terlibat baku hantam. Tangan Kebo Parut 
yang sebelah itu menggenggam sebilah pedang yang 
punggungnya bergerigi. Sedangkan Narendra memper-
gunakan golok pendek. Dua senjata beradu dan me-
mancarkan bunga-bunga api. Gigih sekali keduanya 
mempertahankan nyawa dan sangat bernafsu untuk 
membinasakan lawan. Tak kurang dari sabetan kaki 
ikut berperan pula sementara senjata mereka mencari 
peluang untuk merenggut nyawa yang tergantung di  
jantung masing-masing. 
Sementara itu di pihak lain Pusparini masih meng-
hadapi Nyi Kunjari. Dalam hati kecil Pusparini sebe-
narnya tidak tega kalau harus berhadapan dengan wa-
nita tua korban cinta ini. Masa lampaunya sebagai se-
lir almarhum Baginda Raja Makutawangsawardhana 
sebenarnya cukup enak. Sandang pangan raja-brana 
cukup tersedia. Tetapi mengapa sampai lari minggat 
bersama seorang senopati bernama Tarusbawa? Cinta 
kalau sudah melekat, pahitnya empedu terasa madu. 
Batasan antara madu dan racun jadi sirna. 
“Sadarlah, Nyi. Sebenarnya aku tak mau bermusu-
han dengan Nyai!” kata Pusparini berkali-kali setiap 
berhasil memojokkan wanita tua itu. Tetapi setiap kali 
pula Nyi Kunjari tidak menggubris saran tersebut. 
Pusparini hampir-hampir kehilangan kesabaran. 
Wanita itu memegang keris yang mampu bertahan ter-
hadap tebasan Pedang Merapi Dahana. Dalam hal ini 
memang ada hambatannya, sebab di dalam rongga goa 
itu tidak ada cahaya matahari yang membuat pedang 
di tangan Pusparini bisa lebih ampuh. Di pihak lain 
Nyi Kunjari beranggapan, bahwa keris pusaka bekas 
milik Prabu Makutawangsawardhana itu memang 
mampu menghancurkan senjata dari logam apa pun. 
Dan sampai detik itu senjata di tangan lawannya ma-
sih tegar tidak rontok secuil pun. Hal ini sempat mem-
buat Nyi Kunjari bertanya-tanya tentang senjata di 
tangan pendekar yang punya gelar Walet Emas terse-
but. 
Tiba-tiba Pusparini mengambil sikap untuk keluar 
dari dalam goa. Nyi Kunjari mengejar. Sulit dipercaya 
bahwa wanita tua itu mampu melesat untuk mengejar. 
Boleh dipastikan bahwa dia memang memiliki ilmu 
persilatan yang cukup andal. Apakah itu sudah dimili- 
ki semasa menjadi selir raja atau setelah dibawa ming-
gat oleh Senopati Tarusbawa, Pusparini tidak tahu. 
Pancingan Pusparini berhasil. Dia memang hendak 
menunjukkan kepada wanita tua itu bagaimana kea-
daan Pedang Merapi Dahana yang sebenarnya. 

*** 

SEMBILAN 
 
Di luar goa langit cerah. Pusparini telah bertengger 
di atas batu cepuri ‘Watu Kebo’. Pedang Merapi Daha-
na disarungkan. Dia menunggu kemunculan Nyi Kun-
jari. Tak berapa lama kemudian wanita tua itu mun-
cul. 
“Jangan sesumbar kalau kau hanya mencari tempat 
yang lebih lapang,” seru Nyi Kunjari. 
“Tidak! Aku hanya ingin memberi pelajaran yang 
lain kepada Nyai!” jawab Pusparini. “Lihat pedangku!” 
sambungnya seraya mencabut Pedang Merapi Dahana. 
“Ohh!” hanya ini yang keluar dari mulut wanita tua 
itu ketika menyaksikan kilauan cahaya merah yang 
memancar dari Pedang Merapi Dahana. 
Seketika itu juga sikapnya lunglai. Dia bersimpuh 
seolah pasrah dengan keadaan. Lalu menutup wajah-
nya dengan kedua tangannya setelah kerisnya lepas 
dari tangannya. 
“Kau wanita yang diramalkan terhadap nasibku!” 
terdengar suara Nyi Kunjari dalam isakan tangis yang 
tertahan. 
“Apa katamu, Nyai?” tanya Pusparini yang begitu 
heran melihat sikap wanita tua yang semula bersikap 
galak. 
“Ini tentang masa lampauku sebelum aku diangkat  
selir oleh raja. Seorang pendeta telah meramalkan ten-
tang semua ini. Aku tidak boleh menuruti kata hati. 
Sebagai bukti, aku akan berhadapan dengan wanita 
yang memiliki pedang api! Aku harus tunduk. Sebab 
kalau tidak, ajalku akan membawa sukmaku merana,” 
kata Nyi Kunjari. “Kini aku telah sadar bahwa selama 
ini aku hanya menuruti kata hati saja. Hidup ini hanya 
untuk sementara. Aku tak ingin kehidupan langgeng di 
alam abadi dengan sukma yang merana...!” 
Pusparini termenung mendengar pengakuan wanita 
itu. 
“Kau belum terlambat untuk sadar, Nyai,” katanya. 
“Kini Nyai bisa menolongku, bukan?” 
“Apa yang bisa saya lakukan untukmu?” jawab Nyi 
Kunjari. 
“Mempertemukan aku dengan Siluman Kedung 
Brantas dan Ki Demang Balawan,” kata Pusparini. 
“Bagaimana dengan Kebo Parud? Sebenarnya dia 
anakku. Bukan cucuku. Anakku yang lahir dari laki-
laki bernama Ki Pradhana, seorang saudagar. Hanya 
karena jasmani yang tua ini maka dia terbiasa men-
ganggapku sebagai ‘nenek’ nya.” 
“Seperti yang Nyai dengar dari pendeta itu, bahwa 
Nyai tak boleh menuruti kata hati yang panas. Manu-
sia membawa kodrat sendiri-sendiri. Siapa yang tidak 
sayang kepada anak? Tetapi kalau sang anak telah me-
lenceng dari kebajikan, apa itu akan dibela? Kita lihat 
saja nanti bagaimana kodrat nasib Kebo Parud menga-
lir bagai air sungai yang mesti menuju ke muaranya,” 
kata Pusparini yang penuh khotbah. 
Ucapan Pusparini tersebut didengar oleh Nyi Kunja-
ri seperti bukan ucapan seorang wanita muda yang se-
dang dihadapi. Tetapi terasa seperti dari seorang pen-
deta tua yang dulu pernah menemuinya.  
“Baik. Mari kita menuju Kademangan Rajeg Banjar,” 
kata Nyi Kunjari tanpa mempedulikan keadaan tempat 
itu lagi. Juga kepada Kebo Parud. 
Mereka segera meninggalkan tempat itu. Untuk 
menghemat waktu, maka dilakukan menempuh jarak 
dengan mengerahkan ilmu kanuragan semacam ‘ki-
dang menerabas rumput’ atau ‘walang miber’. Tetapi di 
tengah perjalanan, pandangan mereka segera menang-
kap peristiwa pembajakan di sungai. Rupanya Siluman 
Kedung Brantas sedang membajak sebuah perahu da-
gang di sana dengan diikuti beberapa orang anak 
buahnya. 
“Melihat cirinya, itu perahu milik Ki Demang Bala-
wan,” kata Nyi Kunjari. 
“O ya? Apakah mungkin Ki Demang berada di sana 
pula?” ujar Pusparini yang tidak memerlukan pertim-
bangan lagi karena dia terus melesat ke arena bentro-
kan itu. Sedangkan Nyi Kunjari sendiri tetap berada di 
tepi bengawan seperti yang disarankan oleh Pusparini. 
“Ini seperti lelucon saja! Apakah Ki Demang tidak 
tahu bahwa Siluman Kedung Brantas adalah Tarusba-
wa, senopati kenalannya ketika bersama-sama mencu-
ri sebuah kitab pusaka di suatu perguruan di wilayah 
Wengker?” pikir Pusparini dengan melesat ke arah 
tiang perahu. Dia terus nangkring di atas tiang utama 
itu. 
Tentu saja kehadirannya mengundang perhatian 
dari mereka yang sedang terlibat baku hantam. Apalagi 
ketika Pedang Merapi Dahananya dicabut dari sarung-
nya sehingga mengeluarkan bias cahaya warna merah. 
Niatnya sudah pasti. Dua pihak itu akan dilerai. 
Oleh sebab itu ketika Pusparini menerjang ke ten-
gah gelanggang baku hantam, yang jadi sasaran hanya 
senjata-senjata mereka yang sedang terlibat bentrokan.  
Senjata mereka rontok semua ditebas Pedang Merapi 
Dahana. Tentu saja hal ini sangat membingungkan ke-
dua belah pihak. Mereka tidak tahu ke mana Pusparini 
berpihak. Di sisi lain keadaan Pusparini memang se-
dang diburu oleh pihak Kademangan Rajeg Banjar. 
Tindakan Pusparini tidak berhenti sampai di situ, 
dengan kelincahan gerak, dia berhasil mencongkel to-
peng-topeng yang dikenakan oleh anak buah Siluman 
Kedung Brantas. Kini wajah-wajah yang nyata terbuka 
di hadapan mereka. 
“Aku menghendaki baku hantam ini diakhiri!” seru 
Pusparini dengan mengacungkan Pedang Merapi Da-
hananya. Pedang itu tetap memancarkan cahaya me-
rah sehingga menciutkan nyali mereka. 
“Di mana pimpinan kalian?” seru Pusparini lagi. 
Semua orang mengalihkan pandang ke seberang 
sungai, di punggung bukit yang disebut Bukit Thothok 
Bulus. 
Pandangan mata Pusparini dipertajam. Di sana 
memang sedang terjadi bentrokan dua orang dalam 
keadaan sengit-sengitnya. 
Pusparini segera melesat ke sana. Rencana telah 
nyata. Dia akan menindak kedua tokoh yang sedang 
bentrokan itu. Siluman Kedung Brantas dan Ki De-
mang Balawan! 
“Hentikan!” seru Pusparini. 
Kalau dua orang yang sedang bentrokan itu meng-
hentikan sikap,  itu bukan karena seruannya, tetapi 
mereka melihat kemilau Pedang Merapi Dahana yang 
membiaskan cahaya merah karena terpaan sinar ma-
tahari yang mulai bergulir ke barat. 
“Pusparini?!” omong Ki Demang. 
Ucapan ini tidak bermakna apa-apa. Yang jelas 
mencerminkan rasa kaget Ki Demang ketika melihat  
kehadiran si Walet Emas. Sedangkan di pihak lain, Si-
luman Kedung Brantas yang tetap mengenakan to-
peng, memendam perasaan serupa. Ketika Ki Demang 
hendak berkata lagi, mendadak muncul Nyi Kunjari 
menyusul nimbrung dalam pertemuan yang memen-
dam ketegangan itu. Kehadirannya benar-benar mem-
buat kaget mereka yang sedang bentrok. 
“Nah, genap sudah tokoh-tokoh masa lampau yang 
punya alasan masing-masing sehingga Kademangan 
Rajeg Banjar ini selalu dirundung kemelut keonaran!” 
kata Pusparini. “Apa aku mesti membeberkan riwayat 
masa lalu kalian?” 
“Kau tahu itu?” terdengar suara Siluman Kedung 
Brantas yang tanpa diduga melepas topengnya. 
Tentu saja hal ini sangat mengejutkan Ki Demang. 
Pusparini sepertinya punya wibawa yang diperoleh se-
cara ketiban pulung. Setelah topeng ditanggalkan, kini 
terlihat wajah Tarusbawa yang dulu punya gelar ‘Se-
nopati Pasukala’ di jaman pemerintahan Raja Makuta-
wangsawardhana di Medang. Wajah tua yang keriput 
itu benar-benar membuat pangling Ki Demang. Tetapi 
dari sorot matanya, ada secercah tanda kenal yang tak 
bisa dilupakan. 
“Aku Tarusbawa. Kau ingat itu?” kata Tarusbawa 
yang dia sendiri tak tahu mengapa tiba-tiba bersikap 
lunak. 
“Kau... Senopati Pasukala? Kukira kau telah me-
nyingkir dari Medang,” sahut Ki Demang. 
“Itu Kunjari!” jawab Tarusbawa sambil menunjuk 
wanita tua yang berdiri tak jauh dari mereka. 
“Kunjari? Selir Baginda Raja Makutawangsaward-
hana?” kata Ki Demang. 
“Kita seperti anak-anak yang bodoh. Kita pernah 
bersama-sama pergi ke Kerajaan Wengker atas perin- 
tah Baginda Raja Makutawangsawardhana. Kita ke sa-
na sebagai telik-sandi, mata-mata, untuk menda-
patkan sarana rahasia kerajaan itu. Kita kepergok dan 
nyaris tertangkap. Untung ada seorang tokoh pimpi-
nan perguruan yang menolong kita. Kemudian kita di-
ajak ke padepokannya. Kau masih ingat siapa tokoh 
itu?” kata Tarusbawa. 
“Namanya Ki Palasem dari Padepokan Wayahan,” 
sahut Ki Demang dengan wajah beku. Tak ada kera-
mah-tamahan walaupun suasana di sana tidak tegang 
lagi. Mereka berbicara seperti dalam sarasehan. 
“Ya... Ki Palasem. Orang tua itu begitu baik kepada 
kita. Sampai-sampai diceritakan tentang kitab pusa-
kanya yang menyimpan mantera ajian ilmu aneh yang 
sulit diurai nalar. Kita masih muda saat itu. Ajian 
‘Kamajaya Ratih’ yang diceritakan sangat menerbitkan 
keinginanku untuk memiliki. Aku... mencurinya!” ter-
dengar suara Tarusbawa mengenang masa lampaunya. 
“Dan kau lalu mencuri sebagian kitab itu dari tangan-
ku!” suara ini tiba-tiba melengking tinggi. 
Hampir saja bentrokan terjadi lagi kalau Pusparini 
tidak mengacungkan Pedang Merapi Dahananya yang 
siap bertindak. Lalu sikap Tarusbawa mengendor. 
“Kita sama-sama maling!” terdengar suara Tarus-
bawa lagi. “Tetapi kau maling yang pengecut, sebab 
mencuri apa yang telah kucuri. Itu sangat menimbul-
kan dendamku. Apalagi ketika kau melaporkan apa 
yang telah terjadi antara aku dengan Kunjari. Kami 
berdua melarikan diri, menyingkir!” 
Ki Demang termenung mendengar kisah itu. 
“Dan kau lalu mencoba merusak citra pemerinta-
hanku sebagai demang dengan menyamar Siluman 
Kedung Brantas?!” katanya kemudian. “Itu memang 
hakmu. Tetapi aku punya alasan kalau harus bertahan  
bahwa kau harus kubinasakan!” 
“Cukup!” seru Pusparini. “Siapa yang bersikeras pa-
da sikap masing-masing, akan berhadapan dengan aku 
atas nama pemerintahan Medang dari Mapatih Satya-
wacana!” 
Berkata begitu Pusparini mengeluarkan tanda pen-
genalnya walaupun benda itu pernah ditunjukkan ke-
pada Ki Demang beberapa waktu yang lalu. “Kuharap 
kau menyerah saja, Ki Tarusbawa. Pemerintah masa 
lalumu telah berganti. Mungkin aku bisa mengajukan 
pengampunan bagimu kepada Baginda Raja Dharma-
wangsa yang bertahta sekarang di Medang.” 
“Apakah semudah itu?!” sahut Tarusbawa. 
“Tidak akan semudah itu!” tiba-tiba terdengar suara 
lantang. 
Semua yang mendengar suara itu menoleh ke arah 
datangnya seruan. Di sana muncul pula seseorang 
yang sangat mereka kenal. 
“Astaga! Kebo Parud!” sahut Pusparini. 
Dengan munculnya dia, bagaimana nasib Narendra 
yang semula berhadapan dengan orang itu. Tewaskah 
Narendra? Berpikir tentang ini tiba-tiba perasaan Pus-
parini keslomot kemarahan. 
“Hanya dengan dia aku punya urusan!” sambung 
Pusparini dengan siap menerjang ke arah Kebo Parud. 
Tetapi tindakan ini tersendat karena munculnya 
beberapa orang lagi. Ternyata Panunggalan dan anak 
buahnya yang memburu hadiah bagi Kebo Parud, hi-
dup atau mati. 
“Dia bagianku, Walet Emas!” seru Panunggalan. 
“Aku berhasil melacaknya sampai tiba di ‘Watu Kebo’. 
Tetapi dia meloloskan diri dan kami kejar sampai ke-
mari!” 
“Kau tidak melihat seseorang bernama Narendra?”  
tanya Pusparini dengan perasaan cemas. Karena tak 
ada jawaban, maka pandangan penuh dendam tertuju 
lagi kepada Kebo Parud. “Kalau kau berhasil membu-
nuhnya, pasti sesumbar dengan bangga kepadaku!” 
“Rupanya kau kedanan  terhadap Narendra itu?” 
ejek Kebo Parud. “Sayang dia tidak setangguh yang 
kau bayangkan. Sayang sekali.” 
“Katakan! Tewaskah dia?” seru Pusparini. 
“Aku di sini, Pusparini!” tiba-tiba terdengar suara 
lantang dengan munculnya sesosok tubuh yang tiada 
lain Narendra masih segar bugar. 
“Narendra!” seru Pusparini dengan nada suara su-
mringah. 
Justru hal ini membuat lengah dirinya. Tiba-tiba 
Kebo Parud menyeblak tangan Pusparini dengan len-
gan jubahnya, sehingga Pedang Merapi Dahana lepas 
dari pegangannya. Pedang mencelat dan jatuh ke tan-
gan Tarusbawa. Ini benar-benar  peristiwa yang tak 
terduga, tetapi bisa merubah suasana. Siluman Ke-
dung Brantas itu bagaikan mendapat semangat yang 
kemudian tegar lagi untuk menguasai suasana. 
“Kini akulah yang menguasai suasana di sini!” seru 
Siluman Kedung Brantas. 
Melihat hal ini Pusparini nekad untuk merebut pe-
dangnya kembali. Suasana berubah memanas kembali. 
Terlihat kini masing-masing punya urusan. Pusparini 
berhadapan dengan Siluman Kedung Brantas. Kebo 
Parud berhadapan dengan si pemburu hadiah, Pa-
nunggalan beserta enam orang anak buahnya. Dan 
yang jadi penonton adalah Nyi Kunjari, Narendra dan 
Ki Demang. 
Dalam baku hantam ini yang paling repot Pusparini. 
Menghadapi Siluman Kedung Brantas yang memegang 
Pedang Merapi Dahana memang agak sulit. Pusparini  
lebih banyak menghindar untuk mencari peluang un-
tuk merebut senjatanya. Narendra timbul rasa was-
wasnya. Sebagai bekas senopati, dalam memainkan 
pedang maka Tarusbawa lebih lihai tentunya. Tetapi 
tak kurang lincahnya adalah Pusparini sendiri yang 
dengan gesit mengetrapkan jurus-jurus burung walet 
dalam menyergap mangsa. 
“Pusparini! Tangkap ini!” tiba-tiba terdengar seruan 
Nyi Kunjari melemparkan keris pusaka milik Raja Ma-
kutawangsawardhana yang pernah dicurinya. Konon 
keris itu mampu bertahan terhadap gempuran senjata 
logam apapun. 
Pusparini berhasil menangkap senjata itu tanpa 
mengerti maksud tindakan Nyi Kunjari. Kalau berniat 
menolongnya, berarti dia harus membunuh Tarusbawa 
alias Siluman Kedung Brantas. Dengan alasan apa? 
Pusparini benar-benar tak mengerti. Tetapi apakah ke-
ris tersebut mampu bertahan terhadap Pedang Merapi 
Dahana? 
Dengan keris pusaka di tangan, Pusparini mencoba 
bertahan. 
Claangg! 
Dua senjata beradu. Ternyata keris itu tidak cuil 
sedikit pun. Kemudian berkali-kali Pedang Merapi Da-
hana ditebaskan oleh Siluman Kedung Brantas untuk 
menghantam senjata di tangan Pusparini tersebut. Ke-
ris itu tetap utuh! Pusparini sendiri kagum. Tetapi 
yang semakin penasaran malahan Siluman Kedung 
Brantas sendiri. Tindakan itu dipandangnya sebagai 
pengkhianatan oleh Nyi Kunjari terhadap dirinya. Se-
lama ini Nyi Kunjari tak pernah bercerita bahwa dia 
memiliki keris semacam itu. Apakah ini dendam yang 
terpendam Nyi Kunjari karena dia telah membunuh Ki 
Pradhana, saudagar yang berhasil memikat hatinya?  
Dan rahasia ini tetap menjadi rahasia bagi Kebo Parud, 
karena Ki Pradhanalah ayah si Kebo Parud! 
“Kau wanita celaka, Kunjari!” seru Siluman Kedung 
Brantas seraya tetap menggempur Pusparini. 
Karena hal inilah maka sikap Siluman Kedung 
Brantas jadi kedodoran kewaspadaan. Sebuah sabetan 
kaki dari Walet Emas berhasil menjebol pertahanan-
nya. Siluman Kedung Brantas mencelat ke belakang. 
Pusparini dengan tangkas meliuk untuk memburu. 
Justru niatnya ingin merebut Pedang Merapi Dahana 
dari tangan lawan. Tetapi si Siluman lebih trengginas 
menguasai keadaan dirinya. Maunya dia mengelak. 
Dan itu hampir berhasil kalau tidak Pusparini dengan 
gerakan tangkas menghadangnya dengan ayunan pu-
kulan ke arah lambungnya. Serangan ini benar-benar 
membuat mual perut si Siluman. Belum selesai dia 
menguasai perasaan ini, dagunya kena hajar oleh 
dengkul Pusparini yang meliuk dengan manis sehingga 
terdengar suara berdetak. Tulang rahang si Siluman 
pecah. 
Dengan sempoyongan Siluman Kedung Brantas 
berdiri. Dia clingukan sejenak sebab dirasakannya ada 
sesuatu yang lepas dari tangannya.  Ya! Senjata itu, 
Pedang Merapi Dahana, telah pindah ke tangan Puspa-
rini. 
“Sekarang kau siap membunuhku, bukan?!” ka-
tanya dengan suara terengah-engah. 
Sementara itu di pihak lain, ternyata Kebo Parud 
berhasil membinasakan semua anak buah Panungga-
lan. Bahkan Panunggalan sendiri berhasil dilumpuh-
kan dengan renggutan nyawa yang mengerikan. Kepa-
lanya terpenggal oleh senjatanya sendiri berkat keule-
tan Kebo Parud dalam melancarkan serangan terhadap 
lawan. 
 
Kemudian Kebo Parud berpaling ke arah Pusparini 
yang sedang berhadapan dengan Siluman Kedung 
Brantas. Melihat hal itu dia segera menerjang ke sana. 
Pusparini lengah. Keris di tangannya berhasil direbut 
oleh Kebo Parud. Dengan gerakan ganda Kebo Parud 
ingin menghunuskan senjata itu ke arah wanita yang 
selama ini didendami. 
Tetapi Pusparini bergulir dengan cepat. Gerakan 
Kebo Parud tidak terkendali, dan meluncur terus ke 
arah Siluman Kedung Brantas. 
“Aaakhh!”  jeritan  itu meledak dari mulut Siluman 
Kedung Brantas. 
Keris di tangan Kebo Parud menghunjam tepat ke 
arah jantung tokoh yang selama ini bikin onar di Rajeg 
Banjar. 
“Oh, Kakek! Maafkan aku!” seru Kebo Parud dengan 
perasaan panik. 
Tarusbawa, yang dulu dikenal sebagai Senopati Pa-
sukala, yang kini ditakuti dengan kemunculannya se-
bagai Siluman Kedung Brantas, sekarat diambang ajal! 
“Ini karma! Kukira... aku telah memetik buahnya. 
Kau bukan cucuku. Juga bukan anak keturunanku...!” 
ujar Tarusbawa. 
Ketika menoleh, dia melihat Nyi Kunjari datang 
mendekati. Ada rasa penyesalan terlukis pada wajah 
wanita itu yang tak berdaya menghadapi keadaan. 
“Dia... ibumu... bukan nenekmu...!” kata Tarusbawa 
lagi. “Kau... anak Pradhana... saudagar kaya yang per-
nah memikat... Kkk... Kun... jarii... hhh!” 
Dan suara itu tak terdengar lagi. Nyawanya amblas! 
Kebo Parud terasa mimpi menghadapi  semua ini. 
Lalu dengan pelan dia mengawasi Nyi Kunjari yang 
mencoba memeluk dirinya. Tetapi Kebo Parud menepis 
lengan yang terjulur ke arahnya. 
 
“Apapun masalahnya, aku merasa seperti boneka 
mainan saja. Alangkah bodohnya aku,” terdengar sua-
ra Kebo Parud seperti untuk didengar bagi dirinya sen-
diri yang tanpa mempedulikan orang-orang di sekitar-
nya. Tiba-tiba dia menebah dadanya. Dia sendiri heran 
karena dirasakan ada sesuatu yang salah dalam tu-
buhnya. 
“Kau keracunan, Kebo Parud!” terdengar suara Na-
rendra yang melangkah mendekati. “Kau ingat ketika 
kita baku hantam barusan? Aku kau tendang sehingga 
roboh sebelum orang-orang yang dipimpin Panungga-
lan muncul. Kau kira aku pingsan. Tetapi aku berhasil 
melemparkan ramuan ke dalam mulutmu. Kau ingat 
itu?” 
“Keparat kau. Racun apa itu? Mengapa mujarabnya 
begitu pelan dan menyakitkan?” terdengar suara Kebo 
Parud dengan nada tertahan. 
“Untuk menghadapimu dihalalkan berbagai cara 
untuk membayar dosa-dosamu terhadap orang-orang 
yang tewas karena ulah potongan tanganmu! Maaf, 
aku terpaksa memakai cara seperti itu!” kata Naren-
dra. “Kukira akulah yang berhak atas hadiah karena 
mengalahkanmu!” 
“Kau... jahanam keparat!” seru Kebo Parud dengan 
melompat ke arah Narendra. 
Tetapi laki-laki ini berkelit dan membiarkan tubuh 
lawannya menerobos sasaran kosong, dan terjerembab 
lagi ke tanah. Kebo Parud berusaha bangkit. Tetapi tak 
berdaya. Lalu jatuh terkapar. Busa membuih dari mu-
lutnya dengan mata melotot kejang. Dan itu akhir dari 
hidupnya...! 

*** 

Nyi Kunjari mencoba melupakan semua peristiwa  
itu. Tetapi bagaimana mungkin? Keputusannya, dia 
akan pergi dari tepian Bengawan Brantas, entah ke 
mana. 
“Rumah peninggalan Ki Pradhana yang dihuni Kebo 
Parud masih ada, Nyai. Mengapa tidak tinggal di sana 
saja menghabiskan sisa-sisa hidup Nyai?” kata Puspa-
rini setelah beberapa hari kemudian peristiwa bentro-
kan itu berakhir. Ini dikatakan pada pertemuan di Ka-
demangan Rajeg Banjar. 
Kelihatannya memang aneh bahwa Ki Demang su-
dah tidak bermusuhan dengan Pusparini. Ki Demang 
terpaksa mengatakan kepada seluruh perabot kade-
mangan, bahwa yang telah terjadi hanya kesalah-
pahaman belaka. 
Setelah diberi pengarahan lagi, akhirnya Nyi Kunjari 
menerima saran Pusparini. Sedangkan Ki Demang 
dengan sadar menyerahkan sebagian isi kitab pusaka 
yang pernah dicurinya dari tangan Tarusbawa. Begitu 
juga Nyi Kunjari. Dia menyerahkan kitab bagian lain-
nya setelah berhasil diketemukan di tempat penyimpa-
nannya. Kini lengkap sudah kitab pusaka tersebut. 
Pusparini dan Narendra tak tahu nama kitab itu. 
Tetapi tekad mereka akan menghancurkan saja kitab 
pusaka tersebut. 
“Sebenarnya kita bisa mempelajari untuk kita sen-
diri,” kata Narendra ketika Pusparini membakar selu-
ruh kitab pusaka tersebut. 
“Jangan terseret akhlak bejad. Ini semua menen-
tang kodrat,” sahut Pusparini serius. 
“Ah, cuma guyon,” sahut Narendra. “Tetapi ada rasa 
senang juga menghadapi peristiwa ini. Aku dapat ha-
diah dari Ki Demang untuk kematian Kebo Parud.” 
“Rasanya tidak jadi daging kalau aku ikut makan 
dengan beaya hadiah itu.”  
“Kenapa?” tanya Narendra. 
“Kau kurang jujur mengalahkan Kebo Parud. Den-
gan melempar racun ke arah lawan, apakah itu tinda-
kan ksatria?” jawab Pusparini dalam perjalanan me-
ninggalkan Rajeg Banjar. 
“Kalau sudah ada undang-undangnya, aku tidak 
akan melakukan. Apa bedanya aku mempergunakan 
pedang atau keris beracun untuk membunuh lawan?” 
kata Narendra berkilah. 
“Rasanya... cuma kurang sreg!” jawab Pusparini 
dengan menghentakkan kudanya. 
Melihat hal itu Narendra mengikutinya dari bela-
kang. Kudanya pun segera dilecut untuk memburu 
Pusparini. Tujuan mereka sudah pasti, yaitu menuju 
istana Medang untuk melaporkan peristiwa selesainya 
tugas menangani Siluman Kedung Brantas kepada 
Mapatih Satyawacana. 
Sepanjang perjalanan, pasangan pendekar ini dipe-
nuhi canda ria. Kesepian tak lagi dirasakan oleh Pus-
parini. 
 
SELESAI