Pendekar Mabuk 55 - Utusan Raja Iblis(2)



4
ALANGKAH terkejutnya Pendekar Mabuk begitu
tiba di mulut gua. Ia berhenti lama sekali di situ sebelum
teruskan langkah keluar dari gua tersebut. Wajah
tampannya kini mirip pemuda tolol yang hanya bisa
terbengong-bengong tanpa bisa ucapkan sepatah kata
pun. Sementara si kecil Menik tampak tenang dan tak
kelihatan terheran-heran.

"Beginilah jika si Badai Kutub turun tangan," kata si
kecil Menik setelah menarik napas. Kedua tangannya
segera bersedekap di dada bagai ingin memeluk
tubuhnya sendiri.
Pendekar Mabuk masih membisu seribu kata dengan
mata tak mau berkedip. Tetapi ia sempat menggumam
dalam hatinya,
"Pantas Menik memaksaku masuk ke dalam gua ini!"
Lalu tanpa sadar kepalanya manggut-manggut kecil.
Kini mata itu pun berkedip dan mulut terkatup, ludah
diteguk untuk basahi kerongkongannya yang kering
karena terlalu lama melongo. Pendekar Mabuk benar-
benar tak pernah menduga sedikit pun bahwa keadaan di
luar gua akan berubah menjadi padang salju.
Rumput tak terlihat lagi karena ketebalan salju yang
melapisi tanah. Pepohonan yang semula berdaun hijau
kini berubah menjadi putih. Bebatuan yang hitam pun
berselimut salju tebal dan putih bagai gumpalan kapas.
Hutan itu berubah menjadi hutan salju.
"Pantas sebelum aku dibawa masuk kemari,
kurasakan hembusan angin yang menderu itu membawa
udara dingin tak sewajarnya," pikir Suto Sinting saat
memandangi alam sekelilingnya yang berubah menjadi
serba putih itu. Ia merasa berada di wilayah kutub utara,
walau sebenarnya ia belum pernah pergi ke sana. Tapi
menurut cerita beberapa orang, beginilah keadaan di
kutub utara; serba putih dan alamnya dilapisi busa-busa
salju. Bahkan saat itu, mulut gua pun sebagian dilapisi
oleh busa salju yang masih menyebarkan hawa dingin
es.
"Rupanya kau sudah mengenali tanda-tanda
kemarahan si Badai Kutub itu, sehingga kau segera
membawaku masuk ke gua pada saat cahaya matahari
masih terang benderang."
"Rumah kami sering diserang salju seperti ini jika
Badai Kutub hendak datang menemui ayahku," kata
Menik dengan sikap berdiri seperti orang dewasa. "Jika
angin mulai terasa dingin pada saat matahari bersinar
terang, itu berarti si Badai Kutub mulai lancarkan
serangannya, ia ingin membuat lawannya kedinginan,
kemudian ia akan menyerang dengan mudah. Dalam
keadaan orang kedinginan dan menggigil, gerakan orang
itu akan lamban dan kaku. Kesempatan seperti itulah
yang dipakai oleh Badai Kutub untuk menghajar
lawannya."
Sebelum mulut Suto Sinting bergerak ingin ucapkan
kata, tiba-tiba terdengar suara teriakan seseorang dari
tempat yang agak jauh. Suara itu adalah suara seorang
wanita yang masih melekat dalam ingatan si Pendekar
Mabuk.
"Tolooong...! Tolooong... long, long, long, long...!"
"Kejora...?!" Pendekar Mabuk tak sengaja
menyebutkan nama itu bersamaan dengan Menik. Wajah
mereka menjadi tegang secara serentak.
"Tolooong... long, long, long...!"
"Suaranya ada di sebelah timur!" kata Pendekar
Mabuk.
"Bukan. Suara aslinya ada di barat," sanggah si kecil
Menik yang dianggap Suto sok tahu.
"Ah, telingamu agak rusak, Menik. Suara itu ada di
sebelah timur!"
"Tolooong... long, long, long...!"
Menik berlari lebih dulu dengan gerakan lincahnya,
bersalto dan plik-plak beberapa kali tanpa pedulikan kaki
dan tangan sering terendam busa salju. Pendekar Mabuk
berseru memanggil gadis kecil itu.
"Menik, dia ada di sebelah timur!"
"Yang kau dengar itu pantulan gemanya! Kejora ada
di sebelah barat!" lalu gadis itu teruskan langkahnya
menuju ke barat.
Suto Sinting termenung sejenak. "Benar juga
pendapatnya! Pantulan gema membuat Kejora seperti
ada di timur. Hmmm... kalau begitu aku harus segera
menyusul Menik!"
Gadis kecil yang lincah itu tiba-tiba lenyap dari
penglihatan Suto Sinting. Pada saat Menik melompat ke
balik semak berlapis salju, Suto masih bisa melihat
gerakan itu. Namun ketika disusul, ternyata Menik tidak
kelihatan lagi. Suto Sinting kehilangan arah, tak tahu ke
mana arah yang diambil oleh Menik.
Sementara itu, seruan minta tolong dari mulut
seorang wanita terdengar kembali tanpa gema.
"Tolooong...!"
"Suara itu sangat dekat?!" Pendekar Mabuk berpaling
ke arah kanan. Kemudian ia bergegas mendekati
serumpun ilalang yang sebagian besar sudah dilapisi
oleh busa-busa salju.
Pada saat itu seekor kelinci meloncat-loncat karena
suara kaki Suto menginjak salju yang dalamnya hampir
sebetis. Kelinci itu lari ketakutan, namun akhirnya
terperosok jatuh ke lubang yangtertutup busa-busa salju.
Tolooong...!"
Pendekar Mabuk tak jadi menghiraukan kelinci itu,
karena suara Kejora semakin jelas ada di depannya.
Maka ia pun berkelebat menuju ke tempat datangnya
suara tersebut dengan tubuh menggigil kedinginan.
Angin pun datang, berhembus agak kencang
menerbangkan busa-busa salju. Tubuh Suto Sinting
mulai dihinggapi busa-busa salju, ia sempat menduga
akan datang kekuatan si Badai Kutub untuk
menyergapnya, karena itu ia mempercepat langkahnya
hingga tiba di tempat Kejora.
"Kejoraaa...?!" seru Pendekar Mabuk sambil
memandang ke bawah. Ternyata Kejora masuk ke dalam
sebuah sumur yang sudah dipenuhi oleh busa salju.
Sumur itu agaknya sumur kering yang sudah tidak
bermata air lagi. Tapi karena banyak salju yang masuk
ke dalamnya maka tempat itu menjadi basah dan seperti
berair.
"Tolonglah akuuu...!" seru Kejora. "Aku terperosok
dan tak tahu bagaimana cara keluarnya!" gadis itu bicara
dengan gemetar karena tubuhnya menggigil. Tubuh itu
bagaikan dibungkus kapas, karena busa-busa salju
menghujaninya, hingga rambutnya yang lemas dan lurus
itu pun menjadi menggumpal karena dibungkus salju.
"Bertahanlah sebentar, aku akan mencari akar untuk
menarikmu!"
Pendekar Mabuk segera mendapatkan akar gantung
yang menyerupai tali. Ia memangkasnya dengan
menyentakkan akar itu hingga putus. Akar-akar tersebut
disambung saling mengait hingga menjadi panjang.
Kemudian akar itu dijulurkan ke dalam sumur tersebut.
"Pegang erat-erat, aku akan menarikmu, Kejora!"
Angin masih berhembus menerbangkan busa-busa
salju. Rambut dan tubuh Suto Sinting mulai banyak
dihinggapi busa-busa salju, ia menggigil saat menarik
tubuh Kejora dari dalam sumur. Tulang-tulangnya terasa
ngilu karena kedinginan yang amat mencekam dan
nyaris membekukan darah itu. Namun akhirnya gadis itu
berhasil diselamatkan dan naik ke permukaan sumur.
"Kejora... kau tak apa-apa?!" Suto Sinting segera
membantu Kejora untuk berdiri. Napas gadis itu
terengah-engah.
"Aku lupa kalau di sini banyak lubang bekas
penggalian harta karun yang tak pernah ada itu. Aku
terperosok ke dalam lubang itu sebelum datang angin
salju. Mulanya aku tak berani berteriak meminta tolong
siapa pun, karena takut didengar anak buah Barakoak
yang masih tersebar di mana-mana ingin menangkapku.
Tapi lama-lama aku tak kuat menahan dingin."
Untuk memberikan kehangatan pada tubuh yang
menggigil dibungkus salju 1tu, Pendekar Mabuk tak
segan-segan melepaskan bajunya dan diselimutkan ke
tubuh Kejora dari belakang, ia sendiri menjadi menggigil
hingga giginya gemeletak.
"Sial! Dinginnya kelewat batas! Apakah aku harus
meminta kembali bajuku? Ah, tak enak hati kalau
sampai begitu. Malu pada Kejora. Sebaiknya kutenggak
tuak beberapa teguk sebagai penghangat tubuhku."
Pendekar Mabuk segera membawa Kejora ke gua
semula. Untuk mempercepat langkah ia harus
menggendong Kejora dan membawanya lari dengan
menggunakan 'Gerak Siluman'-nya. Dalam beberapa
kejap saja ia sudah tiba di gua itu dan membawa masuk
Kejora sampai ke tempat yang mirip ruangan dan masih
diterangi nyala api obor.
"Hei, bagaimana mungkin kau bisa membawaku
kemari? Bukankah gua ini adalah gua tempat kebiasaan
adikku bermain?!"
"Apakah adikmu bernama Menik?!"
"Ya, dia bernama Menik. Apakah kau pernah jumpa
dengannya?"
Suto Sinting segera menceritakan pertemuannya
dengan Menik dan pertarungannya dengan Kelelawar
Setan di tempat itu.
"Ketika kami mendengar suaramu, kami segera
mencari tempat di mana kau berada. Tapi Menik hilang
dari pandanganku. Aku tak bisa temukan dia. Mungkin
karena waktu itu aku segera mendengar seruanmu, jadi
aku tak begitu punya waktu banyak untuk mencarinya."
"Ooh... Menik? Di mana kau sekarang, Adikku?!"
ucap Kejora dengan nada bicara yang lemah dan wajah
sendu hampir menangis. Suto Sinting menjadi bingung
jika gadis itu sampai menangis. Karenanya ia segera
berkata kepada Kejora.
"Tetaplah di sini, aku akan keluar mencari Menik.
Jangan ke mana-mana sebelum aku datang kembali."
"Pasti dia terperosok di salah satu lubang sepertiku
tadi."
"Kalau begitu aku akan mencarinya di sekitar tempat
tadi! Tenanglah dan jangan cemas, Menik pasti berhasil
kutemukan!" Suto Sinting berusaha meyakinkan
kemampuannya agar Kejora tidak begitu sedih.
Baru saja Suto Sinting tiba di luar gua, tiba-tiba ia
dikejutkan oleh suara ledakan yang membuat beberapa
busa salju berguguran dari ketinggiannya.
Blegaaar...!
"Ada pertarungan di sebelah timur?!" Ucapnya
menegang dalam hati. Pendekar Mabuk bergegas ke
timur karena ia gemar mengintip pertarungan. Tujuannya
mencari Menik sempat dilupakan, ia lebih tertarik untuk
melihat dulu siapa yang bertarung di sebelah timur itu.
Langkah Suto Sinting terhenti sejenak karena ia
menemukan sesosok mayat tergeletak dengan kepala
terbenam di tumpukan salju. Mayat itu diperhatikan
sesaat, ternyata si Kelelawar Setan telah tumbang tak
bernyawa. Keadaannya amat mengerikan, di antaranya;
urat-urat dalam tubuhnya menghambur keluar dalam
keadaan putus-putus, termasuk usus dan bagian dalam
tubuh lainnya. Kematian yang mengerikan itu pasti
akibat terkena jurusnya sendiri yang bersinar kuning itu.
Suto Sinting sempat bergidik menyaksikan keadaan
mayat Kelelawar Setan yang mengerikan sekaligus
menjijikkan itu. Maka mayat itu pun segera
ditinggalkan, hasratnya untuk menyaksikan pertarungan
kian menggebu-gebu.
Ternyata di sana terjadi pertarungan antara seorang
leiaki berjubah abu-abu dengan celananya yang juga
warna abu-abu. Lelaki itu berusia sekitar lima puluh
tahun lebih sedikit, tak sampai enam puluh tahun.
Rambutnya masih hitam, namun tipis dan panjangnya
sebatas punggung. Rambut itu tidak diikat sehingga
meriap-riap tersapu angin yang masih membawa
serpihan salju. Tubuh lelaki itu kurus dan tampangnya
berkesan bengis. Mata cekung, kumis melengkung, dagu
agak runcing dan ada bekas codet di rahangkanannya.
Lelaki itu bertarung melawan seorang wanita cantik
berjubah tipis warna ungu, penutup dadanya yang
montok itu warna merah dengan bintik-bintik putih
bening, pakaian bawahnya berupa kain merah yang
mempunyai belahan empat bagian. Bergerak sedikit saja
belahan itu tersingkap dan menampakkan kulit pahanya
yang putih mulus dan sekal. Perempuan yang usianya
sekitar dua puluh lima tahun itu mempunyai pedang di
punggungnya dengan sarung pedang dari logam kuning
seperti emas berukir, ia memakai kalung rantai putih
dengan bandul batuan warna hijau muda menyerupai,
batuan giok.
"Kau tidak akan bisa lolos lagi, Dewi Hening!" geram
lelaki itu dengan mata cekungnya memandang angker.
Pendekar Mabuk berkerut dahi, "Ooo... rupanya gadis
cantik itu bernama Dewi Hening? Apakah dia kakak
sulung Menik?! Hmmm... wajahnya memang cantik dan
bentuk badannya menggiurkan, tapi ia tidak mempunyai
kemiripan sama sekali dengan Dyah Sariningrum!
Ngawur saja si kecil Menik itu. Eh, tapi... dari mana dia
tahu Dyah Sariningrum? Apakah keluarganya mengenal
calon istriku itu? Oh, aku lupa menanyakannya pada
Menik."
Kecamuk hati Suto Sinting terhenti karena tiba-tiba
lelaki berjubah abu-abu itu lepaskan pukulan anehnya
berupa sinar berbentuk bintang-bintang kecil yang
berhamburan menyerang Dewi Hening. Sinar berbentuk
bintang-bintang itu berwarna biru, tak jelas kehebatan
sinar itu, karena belum-belum Dewi Hening telah
melawannya dengan sinar kuning berbintik-bintik
bagaikan serbuk emas yang keluar dari telapak
tangannya juga. Zrrruubb...! Weerrsss...!
Kedua sinar itu bertemu di pertengahan jarak, saling
bergulung-gulung menjadi suatu gumpalan yang
akhirnya meledak di angkasa dengan keluarkan asap
hitam membumbung tinggi ke langit.
Blegaaar...!
Hentakan gelombang ledak itu membuat Dewi
Hening terpental ke belakang dan jatuh dalam keadaan
bersimpuh. Sementara itu, lelaki berjubah abu-abu hanya
terpelanting beberapa langkah, dan segera berpegangan
pada pohon hingga tak sampai jatuh ketanah.
"Heeeaaat...!" orang berjubah abu-abu itu melayang
bagaikan terbang. Kedua tangannya terjulur ke depan.
Masing-masing tangan mempunyai tiga jari yang
mengeras lurus. Dari tiga jari itu keluar sinar-sinar
merah tanpa putus. Enam sinar merah menghantam
tubuh Dewi Hening secara bersamaan.
Zrrraab...!
Weeess...!
Zlaaaap...!
Sekelebat bayangan melintas di depan Dewi Hening.
Enam sinar merah lurus tertahan oleh sebuah benda yang
disilangkan mendatar di permukaan dada. Zeeebbss...!
Enam sinar itu membaiik ke arah semula dengan
lebih besar bentuknya dan lebih cepat gerakannya.
Wooooss...!
Orang berjubah abu-abu itu baru saja mau turun dari
gerakan melayangnya, ia terperanjat meiihat sinarnya
kembali ke arahnya dalam keadaan lebih besar, ia tak
dapat menghindari lagi, akhirnya keenam sinar itu
menghantamnya tanpa bisa ditangkis juga.
Syuuurrb...! Jegaaarrr...!
Ledakan dahsyat mengguncangkan bumi, membuat
salju-saiju berguguran. Asap hitam membubung tinggi
bersama serpihan tubuh lelaki berjubah abu-abu yang
hancur karena ilmunya sendiri yang dikembalikan itu.
Dan bayangan yang menghadang di depan Dewi Hening
itu tak lain adalah Pendekar Mabuk; Suto Sinting. Benda
yang dihantam keenam sinar merah itu tak lain adalah
bumbung tuak sakti.
Sisa udara dingin masih terasa menggigilkan
persendian. Busa-busa salju sudah tidak turun lagi.
Namun cuaca masih redup, matahari bagaikan
dibungkus oleh kabut yang sulit diterobos oleh sinar
panasnya.
Pendekar Mabuk bergidik satu kali saat berhadapan
dengan wanita cantik berambut sanggul kecil sisanya
meriap dengan indah itu. Ia menjadi salah tingkah saat
berhadap-hadapan dengan wanita itu, karena keadaannya
masih bertelanjang dada.
"Sial! Aku tadi lupa meminta bajuku yang dipakai
selimutan si Kejora. Terlalu terburu-buru sampai
akhirnya aku keluar dari gua tanpa baju lagi. Iiih... malu
juga jadinya, dia memandangi dadaku dengan sorot
pandangan mata yang angkuh-angkuh nakal," ucap Suto
Sinting dalam hatinya.
"Kaukah yang bernama Dewi Hening?!" ujar Suto
Sinting menutupi rasa malu dan kikuknya. Gadis
berjubah ungu itu hanya anggukkan kepala. Senyumnya
hampir tak terlihat karena begitu tipis namun berkesan
anggun.
"Aku sahabat adikmu," sambung Suto Sinting karena
Dewi Hening tak keluarkan kata sepatah pun.
"Namaku... oh, ya... adikmu belum tahu kalau namaku
Suto Sinting. Baru kepadamu aku memperkenalkan
namaku."
Dewi Hening hanya memandang dengan dahi sedikit
berkerut. Ada kesan bingung di wajah cantik berhidung
kecil tapi mancung itu.
"Kau kakak sulung Menik?"
Anggukan Dewi Hening berulang-ulang dan tampak
memburu. Wajahnya sedikit lebih ceria dari sebelumnya.
Tapi ia tak mau membuka mulut sedikit pun, ia hanya
pamerkan bibirnya yang mungil namun sepertinya terasa
legit untuk dinikmati itu.
"Aku juga bersahabat dengan adikmu yang bernama
Kejora. Dia adikmu juga, bukan?"
Kepala si cantik itu manggut-manggut kembali. Suto
Sinting diam memandang menunggu jawaban, namun
tak satu kata pun terlontar dari mulut Dewi Hening.
Pemuda tampan berbadan kekar dan gagah itu akhirnya
membatin,
"Jangan-jangan dia bisu? Oh, sayang sekali kalau dia
benar-benar bisu. Cantik-cantik kok tak bisa bersuara,
kasihan sekali. Tapi beruntung kalau punya istri dia;
bagaimanapun tingkah suami tak akan kena omelan."
Tiba-tiba gadis berkalung batuan hijau sebesar petai
sayur itu menggerak-gerakkan tangannya, memberi
isyarat agar Suto Sinting mendekatinya. Dengan rasa
heran Suto Sinting akhirnya menuruti keinginan gadis
itu. Ia mendekat, dan si gadis juga mendekat ke arah
telinga Suto. Laluterdengar suara bernada bisik ditelinga
Pendekar Mabuk.
"Sekarang di mana mereka?"
Suto Sinting menarik kepala dan memandang
sejenak. "Maksudmu, Menik dan Kejora?!"
Dewi Hening anggukkan kepala satu kali, menunggu
jawaban dari Suto Sinting yang kala itu sedang
membatin, "Bisa ngomong kok?! Kenapa dia tak mau
bersuara dan hanya mau berbisik saja? Tapi, ooh...
bisikannya itu sungguh menggoda hatiku, terasa
memancing hasratku untuk saling bermesraan. Aduh,
jangan-jangan aku tak bisa kendalikan godaan suara
yang membisik itu?"
Kecamuk batin Pendekar Mabuk segera dihentikan
setelah ia melihat Dewi Hening menghempaskan napas
dengan nada kesal. Rupanya ia menunggu jawaban
dengan tak sabar. Maka Suto Sinting pun segera berkata
kepadanya.
"Kejora ada di dalam gua tak jauh dari sini.
Sedangkan Menik... Menik entah ke mana. Saat aku
menolong Kejora, aku kehilangan Menik. Dugaan
Kejora, Menik terperosok di lubang-lubang mirip sumur
bekas penggalian harta karun, di sebelah barat sana."
Dewi Hening memberi isyarat lagi agar Suto Sinting
mendekat. Setelah pemuda tampan itu mendekat, si
cantik itu berbisik di telinga Suto Sinting.
"Aku akan pergi mencari Menik. Katakan kepada
Kejora agar jangan ke mana-mana supaya kami bisa
berkumpul. Aku tahu gua yang kau maksud, pasti yang
biasa dipakai bermain si bungsu; Menik."
"Ya, memang di sana Kejora berada. Tapi tentang
Menik, biarlah aku yang mencarinya. Kau saja yang
langsung temui Kejora di dalam gua."
Dewi Hening memberi isyarat lagi, Suto Sinting
mendekatkan telinga. Lalu perempuan muda itu bicara
dalam bisikan,
"Tapi kau yakin bahwa Menik tidak tertangkap
orang-orangnya Barakoak?"
"Aku hanya berharap hal itu jangan terjadi pada diri
Menik," jawab Suto Sinting setelah menarik diri. Dewi
Hening hembuskan napas pelan, kemudian segera
berkelebat tinggalkan tempat. Suto Sinting agak
bingung, tapi akhirnya mengikuti langkah Dewi Hening
yang berlari dengan langkah lebar-lebar bagaikan rusa
betina.
"Siapa lawanmu itu tadi, Dewi Hening? Apakah ia
termasuk orangnya Barakoak?!"
Sambil tetap melangkah, Dewi Hening anggukkan
kepala. Suto Sinting mengimbangi kecepatan langkah
kaki perempuan itu.
"Kudengar cerita dari Menik bahwa kau sedang
menghubungi seorang sahabat untuk meminta bantuan
guna melawan orang-orang Candi Bangkai. Mana
sahabatmu itu?"
Langkah kaki dihentikan sejenak. Dewi Hening
segera dekatkan diri dan berbisik di telinga Suto Sinting.
"Dia sedangtidak ada di tempat."
"O, jadi usahamu gagal?"
"Kami harus bertahan untuk sementara waktu, sampai
menunggu sahabatku itu pulang dari kepergiannya,"
jawabnya seperti orang berkasak-kusuk membicarakan
kejelekan tetangga. Suto Sinting tersenyum geli sendiri
membayangkan hal itu.
Sebelum mereka teruskan langkah, Dewi Hening
berbisik kembali ke telinga Suto Sinting.
"Apakah kau Suto Sinting yang bergelar Pendekar
Mabuk, murid si Gila Tuak dan Bidadari Jalang itu?!"
"Tak salah dugaanmu, akulah orangnya!" jawab Suto
Sinting sedikit bangga karena namanya dikenal secara
lengkap oleh gadis secantik Dewi Hening.
Bisikan itu datang lagi kepada Suto, "Kalau begitu
aku meminta bantuanmu untuk menghadapi orang-orang
Candi Bangkai. Aku akan memberikan sebuah hadiah
untukmu sebagai upah bantuanmu. Apakah kau setuju?"
Pendekar Mabuk menarik kepala sedikit,
memandangi Dewi Hening dalam senyum keramahan
yang menawan, kemudian menjawab pertanyaan
tersebut.
"Tanpa hadiah pun akan kulakukan hal itu. Karena
tugasku adalah melindungi kaum yang lemah,
menegakkan kebenaran dan melawan kejahatan.
Sebaiknya kita jangan bicara tentang upah atauhadiah."
"Terima kasih atas kesediaanmu," bisiknya pelan, lalu
ia memandang dengan seulas senyum yang sedikit lebih
lebar dari senyum tipisnya yang pertama tadi. Sejenak
kemudian ia mendekati telinga Suto Sinting dan berbisik
kembali,
"Hati-hatilah, Barakoak sedang menyebar orang-
orangnya untuk menangkap kami. Sudah hampir dua
bulan usaha penangkapan itu mereka lakukan, namun
belum satu pun dari kami yang berhasil ditangkap.
Orang yang memihak kami akan menjadi musuh utama
bagi Barakoak. Jadi bersiaplah juga menjadi musuh
Barakoak; si Raja Iblis itu."
Suto Sinting hanya sunggingkan senyum berkesan
meremehkan kekuatan Barakoak. Namun akhirnya ia
tanyakan juga hal itu kepada Dewi Hening.
"Apakah kekuatan Barakoak cukup besar?!"
Dewi Hening anggukkan kepala. Ia berbisik kembali
di telinga Suto Sinting,
"Anak buahnya cukup banyak. Ilmunya pun sangat
tinggi."
"Apa alasan Barakoak memusuhi keluargamu, Dewi
Hening?"
Pertanyaan itu baru mau dijawab, tapi terpaksa
dibatalkan karena mereka segera mendengar suara
seruan Menik di tempat jauh. Suara itu menggema ke
mana-mana.
"Lepaskan akuuu...! Lepaskaaaan...!"
*
* *
5
SEORANG lelaki agak gemuk memanggul tubuh
Menik yang sudah tertotok jalan darahnya. Dua orang
lelaki lainnya mengikuti dari belakang, satu orang lelaki
kurus ada di depan sendiri bagai pemandu jalan. Mereka
tak sadar bahwa di jalan yang akan mereka lewati, dua
orang sedang menghadang di balik pohon besar yang
masih terbungkus busa-busa salju. Dua orang itu tak lain
adalah Suto Sinting dan Dewi Hening.
Setelah tuak diteguk dua kali, Suto Sinting menerima
bisikan dari perempuan cantik yang tak pernah mau
bicara keras itu,
"Mereka telah menangkap Menik."
"Apa mau mereka menangkap anak seusia Menik?"
"Mereka akan membantai habis keluargaku."
"Mengapa mereka ingin membantai habis
keluargamu?!"
Bisikan dari Dewi Hening terdengar bersama
hembusan napas yang menggelitik di telinga dan
menciptakan debaran indah di hati Pendekar Mabuk.
"Eyang buyutku dan eyang buyutnya Barakoak
bermusuhan; saling berebut kekuasaan. Ceritanya cukup
panjang, nanti akan kujelaskan setelah Menik kita
selamatkan."
"Kalau begitu serahkan mereka berempat padaku.
Jangan keluar dari persembunyianmu."
"Tetapi si Badai Kutub ada bersama mereka."
"Badai Kutub?! Oh, ya... yang mana yang bernama
Badai Kutub?"
"Orang kurus yang berjalan paling depan itu!"
Mata Suto Sinting menatap orang kurus berambut
panjang warna putih perak berjubah biru tua dengan
celananya yang berwarna hitam. Orang itu bertubuh
jangkung, dan mempunyai gerakan yang ringan.
Langkahnya hampir tak terlihat menyentuh tanah, seperti
berjalan di permukaan lapisan salju yang menutupi
tanah.
Sepuluh langkah sebelum mereka mencapai tempat
penghadangan Suto Sinting dan Dewi Hening, orang
bertongkat kepala babi itu telah lenyap bagai ditelan
bumi. Tetapi ketiga orang lainnya bagaikan tak peduli
dengan lenyapnya si Badai Kutub. Mereka tetap berlari
membawa Menik. Sedangkan Suto Sinting dan Dewi
Hening terperanjat dan menjadi bingung melihat
lenyapnya si Badai Kutub.
"Ke mana perginya orang itu?!" tanya Suto Sinting
dengan pelan, seakan ditujukan pada diri sendiri. Dewi
Hening ingin berbisik memberi jawaban, tetapi tiba-tiba
mereka dikejutkan oleh suara orang di belakang mereka.
"Aku di sini!"
Semakin terperanjat Suto Sinting dan Dewi Hening
begitu menengok ke belakang, ternyata Badai Kutub
sudah berdiri di sana dalam jarak empat langkah.
Matanya yang cekung memandang dengan dingin,
melebihi dinginnya busa-busa salju di sekitar tempat itu.
Rambutnya yang putih perak sepanjang punggung
tanpa ikat kepala apa pun meriap-riap dihembus angin,
sebagian rambut menyilang di wajahnya yang keras dan
bertulang pipi menonjol itu. Pusat pandangan matanya
tertuju pada Dewi Hening, seakan sedang mempengaruhi
wanita cantik itu dengan kekuatan pada matanya.
Sebelum Suto Sinting melangkah maju, Badai Kutub
perdengarkan suaranya yang ditujukan kepada Dewi
Hening.
"Kalian tinggal bertiga. Sebentar lagi kalian hanya
berdua jika si kecil itu sudah dimusnahkan oleh
Barakoak. Hanya ada dua pilihan yang harus kau ambil
salah satu; musnah semuanya atau serahkan Panji-panji
Agung kepada kami!"
Kemudian mata yang memandang dingin sekali itu
beralih kepada Suto Sinting. "Jika kau ikut campur, kau
akan mati bersama gurumu; si Gila Tuak dan Bidadari
Jalang!"
Dewi Hening tarik napas dalam-dalam. Suto Sinting
menahan napas karena gurunya ikut diancam yang sama
artinya menjadi bahan hinaan. Namun sebelum satu
anggota tubuh mereka bergerak, Badai Kutub lenyap
secara tiba-tiba. Laaap...!
Tahu-tahu ia muncul di belakang mereka dan
perdengarkan suara datarnya, "Keputusanmu hanya
sampai batas esok siang!"
Dewi Hening dan Suto Sinting berbalik arah dengan
hati terperanjat. Ternyata si Badai Kutub sudah berada
dalam jarak lima langkah dari tempat mereka berdiri.
"Jika Panji-panji Agung tak kau serahkan, gadis kecil
itu akan mati dan kalian pun segera menyusul hancur!"
tambah si Badai Kutub.
Laaap...! Ia menghilang lagi dalam satu gerakan yang
amat cepat, menyamai jurus 'Gerak Siluman'-nya
Pendekar Mabuk. Tahu-tahu ia sudah ada di belakang
mereka lagi. Kemunculan itu tak timbulkan suara apa
pun, sehingga ketika mereka mencari dengan menengok
ke belakang, mereka temukan orang itu sudah ada dalam
jarak empat langkah.
Namun pada saat itu tangan kirinya telah berkelebat
seperti melemparkan sesuatu kepada Dewi Hening.
Claaaap...!
Laaap...! Ia menghilang kembali sebelum sinar hijau
bening yang dilemparkan itu akhirnya menghantam
tubuh Dewi Hening, Rupanya kali ini Badai Kutub
pindah di atas pohon. Berdiri dengan tegak di salah satu
dahan dan memandang ke arah Suto Sinting. Sedangkan
Suto Sinting dibuat bingung karena Dewi Hening
mengejangkan tubuh dengan mata terbeliak. Pori-pori
kulitnya mulai kepulkan asap tipis. Dari atas pohon
segera terdengar suara Badai Kutub yang sengaja bicara
kepada Pendekar Mabuk.
"Racun 'Sukma Beku' hanya bisa ditahan sampai
malam tiba. Esok pagi jika Panji-panji Agung tidak
diserahkan kepada kami, wanita itu akan kehilangan
nyawa pada siang harinya. Jangan coba-coba
menentangku, karena penawar racun 'Sukma Beku' ada
padaku dan hanya akuyangmempunyai penawarnya."
Laaap...! Badai Kutub lenyap kembali setelah bicara
datar bagai orang tak berperasaan sama sekali. Pendekar
Mabuk tak sempat memburunya karena tubuh Dewi
Hening segera tumbang berdebam ke tanah bersalju.
Buukh...!
Orang-orang yang membawa Menik sudah tidak
kelihatan ke mana arah kepergian mereka. Suto Sinting
merasa sia-sia mengejar orang-orang itu, karena ia tak
mau buang-buang waktu menghadapi Dewi Hening yang
terkena racun 'Sukma Beku' itu. Tubuh Dewi Hening
bagaikan batu kerasnya. Tak ada bagian tubuh yang
mampu ditekuk sedikit pun. Sehelai rambutnya pun tak
mampu dilipat karena kakunya. Tubuh yang membatu
itu benar-benar tidak mempunyai bagian daging yang
empuk, semuanya serba keras dan dingin sekali. Asap
yang mengepul dari pori-pori kulit itu ternyata adalah
uap es yang membentuk busa salju dan melapisi tubuh
Dewi Hening.
"Menik tak akan mati, karena ia dijadikan sandera
oleh mereka sampai esok siang. Sebaiknya kuselamatkan
dulu kakak sulungnya ini, baru kususun rencana untuk
membebaskan Menik," pikir Suto Sinting, lalu ia
mengangkat tubuh yang keras dan dingin itu dan
membawanya pergi ke gua.
Kejora yang menunggu di dalam gua terkejut melihat
Suto Sinting datang membawa tubuh kakaknya yang tak
bisa bergerak sedikit pun itu. Kejora menampakkan
kecemasan dan kebodohannya dengan wajah tegang dan
gerakan menjadi panik. Pendekar Mabuk meletakkan
tubuh itu di atas tumpukan jerami.
"Hening...! Hening, kenapa kau jadi seperti batu es?!
Hening, bicaralah padaku!" Kejora mengguncang-
guncang tubuh kakaknya.
"Hening tak bisa bicara karena ia terkena racun
'Sukma Beku' dari si Badai Kutub."
"Racun 'Sukma Beku' itu racun apa?"
"Racun berbahaya," jawab Pendekar Mabuk sambil
berpikir bagaimana cara menyembuhkan Dewi Hening.
"Racun berbahaya itu bisa membuat kakakku
bagaimana?"
"Ya, begini! Kau lihat sendiri bagaimana keadaan
kakakmu sekarang."
"Beku, keras seperti batu, badannya dingin dan
berbusa salju."
"Kalau sudah tahu jangan tanya lagi," kata Suto
Sinting agak jengkel.
Tapi gadis berwajah lugu dan polos itu justru ajukan
tanya kembali sambil memandang ke arah Suto Sinting,
penuh dengan kesungguhan dari rasa ingin tahunya.
"Mengapa racun itu bisa bikin tubuh Dewi Hening
jadi keras begini?"
"Mana akutahu?! Pemilik racunnya bukan aku!"
Kejora manggut-manggut kecil, suara gumamnya
pelan sekali. Pandangan matanya tertuju pada jasad sang
kakak yang tak bergerak-gerak itu. Beberapa saat
kemudian ia bertanya lagi kepada Suto Sinting.
"Mengapa kau temukah kakakku, sedangkan yang
kau cari adalah adikku?"
Pendekar Mabuk menarik napas mendengar
pertanyaan lugu itu. Memang terasa jengkel dan
menyebalkan, tapi keluguan Kejora memaksanya untuk
menjawab dengan sabar, ia pun segera menceritakan
pertemuannya dengan Dewi Hening dan nasib Menik
yangtelahtertangkap oleh pihak Candi Bangkai
"Mengapa Menik mautertangkap?"
"Siapa yang mau?!" sergah Suto Sinting. "Kalau dia
tahu mau ditangkap dia tak akan mau. Kalau dia bisa
loloskan diri dia akan loloskan diri. Pertanyaanmu kok
aneh-aneh?!"
Kejora diam dan pandangi jasad kakaknya dengan
wajah sedih yang berkesan polos. Pendekar Mabuk
sempat membatin, "Gadis yang satu ini ternyata lebih
bodoh dari adiknya; si Menik itu. Tapi agaknya dia
membutuhkan orang yang sabar untuk menjelaskan apa
pun yang ingin diketahuinya. Hmmm... kasihan juga
keadaan otak Kejora. Cantik wajahnya kalau bebal
otaknya bisa membuatnya terhina di mata lelaki."
Kejora memandang Suto Sinting yang sudah
mengenakan bajunya kembali, "Kapan Menik
dibebaskan? Atau... atau Menik akan dibunuh mereka?"
"Menik tidak akan dibunuh oleh mereka jika pihakmu
bisa menyerahkah panji-panji Agung yang menjadi
tuntutan mereka.!"
"Haaah...!" Kejora mendesah jengkel. "Dari dulu
yang dituntut Panji-panji Agung terus. Mengapa mereka
tidak menuntut minta beras atau jagung saja?"
Gerutuan itu sempat membuat Suto Sinting
tersenyum kecil. Pandangan mata Suto Sintjng sempat
tertuju pada sebilah pisau di pinggang Kejora. Pisau itu
panjangnya tiga jengkal dengan sarung dan gagangnya
terbuat dari perak ukir. Di ujung gagangnya ada batu
berwarna merah sebesar biji salak, indah sekali pisau itu.
Dalam hati si murid Gila Tuak bertanya-tanya,
"Itukah yang dimaksud Panji-panji Agung?! Karena
tampaknya hanya pisau atau pedang Dewi Hening itu
yang layak menjadi barang incaran Barakoak."
Kejora ajukan tanya kembali, "Kalau kita tidak bisa
serahkan Panji-panji Agung, lantas sebagai gantinya kita
harus serahkan apa pada mereka?"
"Nyawa," jawab Pendekar Mabuk setelah itu menarik
napas dalam-dalam,
"Nyawa siapa yang kita serahkan? Nyawanya domba
atau nyawanya ayam? Berapa ekor ayam yang mereka
minta?"
Dengan menahan kesabaran Suto Sinting menjawab,
"Kalau pihakmu tak bisa menyerahkan Panji-panji
Agung, maka nyawamu, nyawa kakakmu dan nyawa
adikmu itulah yang menjadi penggantinya."
"Aku tidak mau," ujarnya dengan cemberut manja.
"Nyawaku hanya satu, kalau kuserahkan pada mereka,
nanti aku bisa mati."
"Ya, pasti mati!" kata Suto Sinting bernada jengkel,
namun dalam hati ia segera tertawa geli menyadari
kebodohan Kejora yangpolos itu.
Kejora merenung dan bicara sendiri, "Barakoak
memang serakah, sudah punya nyawa masih
menginginkan nyawa orang lain. Apakah aku harus
menyerahkan nyawaku supaya Menik tetap hidup?"
Pendekar Mabuk tersenyum geli mendengar keluhan
gadis kecil lugu itu. Pikirannya segera kembali pada
keadaan Dewi Hening, ia belum tahu bagaimana harus
menolong perempuan cantik itu. Dalam keadaan kaku,
mulut Dewi Hening tak bisa dibuka dengan paksa.
Berarti tak ada tuak yang bisa dimasukkan ke dalam
mulut Dewi Hening. Padahal jika tuaknya bisa ditelan
Dewi Hening, maka pengaruh racun 'Sukma Beku' akan
sirna dan keadaan Dewi Hening akan sehat kembali.
"Sama saja membuka mulut arca, tak akan mungkin
bisa dilakukan!" pikir Suto Sinting setelah melakukan
percobaan membuka mulut Dewi Hening yang ternyata
memang tidak bisa dilakukan itu. Sementara busa-busa
salju masih terus bersumbulan dan membungkus kulit
tubuh Dewi Hening.
Sambil berpikir mencari jalan keluar untuk
menyelamatkan jiwa Dewi Hening, Suto Sinting sempat
bertanya kepada Kejora, si gadis lugu itu.
"Apakah kalian menyimpan Panji-panji Agung?"
"Aku tidak tahu," jawab Kejora. "Menurut cerita
ibuku, keluarga kami memang mempunyai Panji-panji
Agung."
"Ceritanya bagaimana?" tanggap Suto Sinting dengan
rasa ingin tahu.
"Dulu, eyang buyut kami mempunyai Panji-panji
Agung yang disebut juga Panji-panji Dewa, atau ada
yang menyebutnya Panji-panji Mayat. Karena jika Panji-
panji itu dibawa melewati kuburan, maka orang-orang
yang telah mati itu akan bangkit lagi terkena kekuatan
gaib dari panji-panji tersebut."
Dahi si tampan Suto berkerut sebentar, mulutnya
menggumamkan kata lirih, "Sepertinya aku pernah
mendengar nama Panji-panji Mayat. Kapan dan di mana
aku mendengarnya?!"
Kejora teruskan penjelasan yang berupa rangkaian
cerita dalam penuturan apa adanya. Pendekar Mabuk
segera menyimak kembali penuturan itu.
"Menurut cerita Nenek, ibu dari ayahku, bahwa
Eyang Kurupati selalu bentrok dengan Eyang Sabang
Wirata memperebutkanPanji-panji Agung..."
"Eyang Kurupati itu siapa?" potong Suto Sinting.
"Eyang Kurupati itu leluhurnya Barakoak, saudara tiri
dari Eyang Sabang Wirata, leluhur kami," jawab Kejora
dengan wajah lugu tanpa rasa bangga sedikit pun.
Pendekar Mabuk manggut-manggut dalam gumam yang
lirih. Kejora pun menyambung ceritanya lagi.
"Menurut cerita Nenek, Eyang Sabang Wirata selalu
mempertahankan Panji-panji Agung yang akan
diwariskan kepada darah keturunannya. Sebab, menurut
cerita Nenek, barang siapa yang mempunyai Panji-panji
Agung, maka ia akan mempunyai keturunan panjang dan
aliran silatnya akan berkembang terus dari masa ke
masa.!"
"Panji-panji Agung itu milik siapa sebenarnya?"
"Mana aku tahu, waktu itu aku belum lahir," jawab
Kejora dengan polosnya. "Tapi menurut cerita Nenek,
Panji-panji Agung itu warisan dari guru Eyang Wirata
dan Eyang Kurupati. Panji-panji itu sebuah pusaka yang
mempunyai pengaruh gaib seperti yang kusebutkan tadi.
Karena itu, pihak keturunan Eyang Kurupati ingin sekali
memiliki Panji-panji Agung supaya aliran silatnya
berkembang turun-temurun. Karena sepeninggalan guru
mereka, Eyang Kurupati dan Eyang Sabang Wirata
bermusuhan, ingin menjadi penguasa tunggal atas aliran
silat yang mereka miliki. Eyang Kurupati menghendaki
aliran silat Eyang Sabang Wirata hancur, hingga yang
ada hanyalah aliran silat Kurupati."
"Pantas mereka mencoba membantai seluruh
keluargamu. Apakah keturunan dari Eyang Sabang
Wirata tinggal keluargamu saja?"
"Menurut cerita Nenek, ayahku mempunyai dua
orang adik. Tetapi keluarga dari kedua adik ayahku
sudah dibunuh sampai habis oleh Barakoak. Sekarang
tinggal keluargaku yang menjadi sisa keturunan Eyang
Sabang Wirata. Dan Barakoak adalah keturunan terakhir
dari Eyang Kurupati. Barakoak tidak mempunyai
saudara lagi, sebab ia lahir sebagai anak tunggal dan
seorang ibu yang bersuamikan raksasa."
"Hahh...? Bersuami raksasa?!",Suto Sinting kaget.
"Menurut cerita nenek, ibunya Barakoak pernah
menjadi istri seorang titisan raksasa yang bernama
Gandapura..."
"Gandapura?!" Suto Sinting terkejut kembali. "Aku
pernah mengenal nama Gandapura?" pikirnya sambil
membayangkan beberapa peristiwa yang melibatkan
nama Gandapura, manusia pemakan daging orang yang
menjadi titisan raksasa itu adalah penguasa Pantai Ajal,
(Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode :
"Pertarungan Tanpa Ajal"). Tetapi Gandapura akhirnya
mati di tangan tokoh tua yang bernama Tua Bangka,
(Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Manusia
Pemusnah Raga").
Suto Sinting membatin, "Agak susah membedakan
mana yang benar; ibunya Barakoak pernah menjadi istri
Gandapura atau pernah melayani Gandapura sampai
akhirnya hamil dan mempunyai anak Barakoak?"
"Tunggu sebentar," ujar Pendekar Mabuk. "Jika benar
Barakoak anak dari Gandapura, mengapa ia tidak minta
bantuan Gandapura untuk merebut Panji-panji Agung
itu?"
"Menurut cerita Nenek, Barakoak tidak diakui
sebagai anak Gandapura dan ia tidak mewarisi ilmu apa-
apa dari Gandapura."
"Ooo... begitu?!" Pendekar Mabuk manggut-
manggut. "Berarti ibunya Barakoak itu bukan asli
istrinya Gandapura. Mungkin memang pernah melayani
Gandapura dan akhirnya hamil, sedangkan Gandapura
hanya sekadar mencari pemuas gairah saja."
"Menjadi pelayan kok bisa hamil? Memangnya
diapakan kok bisa jadi hamil?"
"Melayani itu bukan berarti menjadi pelayan atau
pesuruh, tapi tidur bersama Gandapura!"
"Tidur kok bisa hamil? Aku setiap malam tidur tapi
tidak hamil-hamil?"
Pendekar Mabuk tertawa geli mendengar pertanyaan
polos itu. Terlalu riskan baginya untuk menjelaskan arti
kata 'tidur', sehingga Pendekar Mabuk segera berkata,
"SekarangPanji-panji Agung ada di mana?"
"Akutidak tahu," jawab Kejora tak mengejar jawaban
dari pertanyaan semula.
"Apakah mendiang Ayah dan ibumu menyimpan
Panji-panji Agung?"
"Yang kutahu, Ibu masih menyimpan panci buat
memasak nasi dari bahan perunggu."
"Panci dengan panji-panji apakah ada kesamaannya?"
"Aku tidak tahu, sebab aku tidak pernah membuat
panci," jawab Kejora dengan polosnya, membuat Suto
menahan tawa geli hingga tubuhnya terguncang-
guncang. Kebodohan itu sungguh menggelikan baginya,
hampir saja Suto Sinting lupa bahwa ia harus
menghadapi Dewi Hening yang terkena racun dan tidak
bisa menelan tuak. Belum lagi ia harus memikirkan
nasib si kecil Menik yang sewaktu-waktu bisa mati di
tangan Barakoak.
"Barangkali aku harus lakukan penyembuhan dengan
jurus 'Sembur Husada'," pikir Suto Sinting. "Tetapi
semburan tuakku nanti dapat membuat Dewi Hening
lupa akan diriku dan merasa belum pernah mengenalku.
Hmmm... kurasa tak jadi soal, mumpung ia belum
banyak mengenal siapa diriku. Jika memang jurus
'Sembur Husada' berhasil menyembuhkannya, aku harus
menjelaskan dari ulang tentang pertemuanku dengannya
atautentang siapa diriku sebenarnya. Kurasa hanya jalan
itulah yang bisa kutempuh untuk menyelamatkan
keturunan terakhir pewaris aliran silat Sabang Wirata
ini!"
Jurus penyembuh yang dinamakan 'Sembur Husada'
memang jarang digunakan oleh Suto Sinting, kecuali
terhadap orang yang belum mengenalnya. Sebab
seseorang yang dapat sembuh dari lukanya akibat jurus
'Sembur Husada', ia akan lupa ingatan tentang diri Suto
Sinting dan merasa seolah-olah belum pernah berkenalan
dengan Pendekar Mabuk. Itulah sebabnya Suto Sinting
lebih sering gunakan penyembuhan dengan cara
meminumkan tuak kepada si penderita agar si penderita
jika sembuh tetap ingat siapa diri Suto Sinting
sebenarnya.
Tubuh yang dibungkus busa salju semakin tebal itu
bagaikan gumpalan kapas yang teronggok di atas
tumpukah jerami. Pendekar Mabuk segera menenggak
tuaknya, sebagian tuak disisakan di mulutnya. Lalu
dengan menahan napas panjang-panjang, tuak itu
disemburkan ke sekujur tubuh Dewi Hening.
Brrrruusss...! Brrruuussss... Brrruuusss...! Semburan itu
dilakukan beberapa kali agar kekuatan sakti dari tuak
menjadi lebih besar dan mempercepat hancurnya busa-
busa salju yang tampaknya mulai mengkristal itu. Kejora
memperhatikan hal itu dengan hati penuh rasa heran.
"Mengapa kau ludahi kakakku? Apa salahnya
padamu?" tanya gadis lugu itu.
"Ini namanya penyembuhan. Aku sedang mengobati
kakakmu."
"Menyembuhkan?!" dahi si cantik lugu itu berkerut
tipis. "Menurut cerita Nenek, orang yang melakukan
penyembuhan dengan cara meludahkan air kumur-
kumurnya hanyalah Tabib Darah Tuak. Apakah kau
Tabib Darah Tuak?"
Pendekar Mabuk tersenyum, "Apakah nenekmu
masih hidup?"
"Sudah meninggal delapan bulan sebelum Ayah dan
Ibu dibantai orang-orangnya Barakoak. Mengapa kau
menanyakan nenekku? Apakah kau ingin menyusulnya
dan bertanya tentangTabib DarahTuak?"
Agak menyinggung perasaan juga pertanyaan itu, tapi
Suto Sinting segera memakluminya, ia hanya
melebarkan senyum lalu berkata dengan menatap lekat-
lekat wajah cantik yangpolos itu.
"Tabib Darah Tuak adalah si Pendekar Mabuk...."
"Ya, menurut cerita Nenek memang begitu. Pendekar
Mabuk itu bernama Suto Sinting, murid si Gila Tuak dan
Bidadari Jalang. Tapi apakah kaukenal dengan Pendekar
Mabuk?"
"Akulah yang bernama Suto Sinting," ujar pemuda itu
pada akhirnya.
"Kalau kau Suto Sinting berarti kau kenal dengan
Pendekar Mabuk?"
"Akulah Pendekar Mabuk, Tolol!" geram Suto
jengkel sekali.
Gadis itu memandang tanpa rasa heran dan bangga.
Justru yang timbul di wajah cantiknya adalah rona
kebingunan yangterpendam.
"Tapi menurut cerita Nenek, Pendekar Mabuk itu
bertubuh kekar, gagah, ganteng, ke mana-mana
membawa bumbung tuak."
"Apakah kau pikir aku kurang ganteng?" tanya Suto
Sinting bernada jengkel-jengkel gemas. "Apakah kau
pikir yang kubawa-bawa ini bumbung kandang
jangkrik?!"
"Apakah yang kau minum tadi adalah tuak?"
"Bukan. Yang kuminum tadi air kelapa!" jawab Suto
Sinting makin menampakkan kejengkelannya.
"Berarti kau bukan Pendekar Mabuk, sebab Pendekar
Mabuk tidak pernah minum air kelapa."
"Terserah apa katamu sajalah...!" ujar Suto Sinting
sambil bersungut-sungut jengkel.
*
* *
6
PENGOBATAN melalui 'Sembur Husada' ternyata
berhasil membuat racun 'Sukma Beku' menjadi tawar.
Tubuh yang terbungkus busa-busa salju itu mencair
sedikit demi sedikit, sampai akhirnya tubuh itu bersih
oleh salju, hanya basah kuyup oleh cairan dingin. Mata
indah Dewi Heningmulai terbuka.
"Minumlah tuak ini buat memulihkan tenagamu,"
saran Suto Sinting, dan Dewi Hening menurut saja. Tapi
setelah ia bisa bangkit dan duduk di tempatnya, ia
bertanya dalam bisikan,
"Siapa kau sebenarnya?"
Mau tak mau Suto Sinting menjelaskan perkara
sebenarnya. Daya ingat Dewi Hening berangsur-angsur
pulih, sehingga ia mulai mengenal siapa Suto Sinting, ia
menjelaskan kepada Kejora bahwa pemuda tampan itu
adalah Pendekar Mabuk yang sering diceritakan
mendiang nenek mereka. Kejora menjadi percaya,
karena ia selalu mempercayai kata-kata kakaknya.
"Jika begitu, dialah kekasih Gusti Mahkota Sejati;
Dyah Sariningrum itu, Hening."
Dewi Hening anggukkan kepala, tapi Suto Sinting
berkerut dahi. Sesuatu yang nyaris lupa ditanyakan kini
teringat kembali.
"Dari mana kalian mengenal nama Gusti Mahkota
Sejati?"
Dewi Hening mendekatkan mulutnya di telinga Suto
Sinting, lalu berbisik memberi jawaban.
"Ibuku adalah sang Ratri, bekas prajuritnya Gusti
Ratu Kartika Wangi, ibu dari Dyah Sariningrum."
"Ooo...," Pendekar Mabuk hanya bisa melongo
sambil manggut-manggut.
"Kami pernah berkunjung ke Pulau Serindu untuk
bertatap muka dengan Gusti Mahkota Sejati, calon
istrimu itu."
"Untuk apa kalian berkunjung kePulau Serindu?"
"Sekadar anjangsana. Ibu memperkenalkan anak-
anaknya kepada Gusti Mahkota Sejati," bisik Dewi
Hening. "Sebab itu, jangan coba-coba menggodaku,
nanti jika Gusti Mahkota Sejati mengetahuinya, aku bisa
ikut celaka!"
Pendekar Mabuk nyengir, malu-malu geli sambil
garuk-garuk kepala. Percakapan mereka pun beralih
pada nasib Menik dan Panji-panji Agung. Mereka
berkumpul bertiga saling berdekatan, sebab Dewi
Hening bicaranya selalu menggunakan suara membisik,
sehingga tak bisa jelas jika didengar dari jarak empat
langkah.
Sementara itu, suasana di luar gua telah menjadi
gelap. Namun keadaan di dalam sama saja; hanya
diterangi dengan sebatang api obor yang minyaknya dari
sadapan getah sebuah pohon. Si kecil Menik yang
membuat obor itu, hingga menimbulkan kekagumam
bagi Pendekar Mabuk.
"Menik mempunyai otak yang bertolak belakang
dengan kakaknya; Kejora. Dia anak yang cerdas sekali.
Amat disayangkan jika harus mati di tangan Barakoak,"
pikir Suto Sinting. "Aku harus bisa menyelamatkan
Menik, sebab ia adalah keturunan dari mantan prajurit
Ibu Ratu Kartika Wangi."
Dewi Hening pun tahu bahwa Pendekar Mabuk
adalah panglima sang Ratu Kartika Wangi, yaitu seorang
Manggala Yudha negeri Puri Gerbang Surgawi yang ada
di alam gaib. Bukan karena Dewi Hening bisa melihat
noda merah di kening Suto Sinting yang hanya bisa
dilihat oleh orang-orang berilmu tinggi saja, melainkan
karena ibu mereka pernah menceritakan diri Pendekar
Mabuk kepada anak-anaknya, (Baca serial Pendekar
Mabuk dalam episode : "Manusia Seribu Wajah").
Pembicaraan tentang menyelamatkan Menik hanya
dilakukan oleh Dewi Hening dan Pendekar Mabuk.
Sementara si polos Kejora hanya sebagai pendengar saja.
Sebab menurut pengakuan Dewi Hening, adiknya yang
lugu itu tidak mempunyai bekal ilmu yang cukup untuk
melawan orang-orang Candi Bangkai. Kejora kurang
lincah dan tak setangkas Menik, ia sangat lamban dalam
menuntut ilmu ajaran mendiang ayah mereka.
"Jika keluargamu tidak menyimpan Panji-panji
Agung, lantas ke mana perginya pusaka itu?" tanya Suto
Sinting kepada Dewi Hening.
"Barangkali dititipkan oleh seorang sahabat kakek
yang amat setia," jawab Dewi Hening dengan suara
bisik.
"Siapa sahabat kakekmu itu?"
"Resi Wulung Gading."
"Oooh...?!" Pendekar Mabuk terperanjat, lalu segera
teringat seorang tokoh tua yang amat dikenalnya; Resi
Wulung Gading.
Tokoh tua yang punya kesaktian tinggi itu tinggal di
Lembah Sunyi yang menjadi pemegang pusaka
terdahsyat; Pedang Kayu Petir. Hubungan Suto Sinting
dengan tokoh tua itu bukan sekadar hubungan biasa,
namun boleh dibilang luar biasa. Karena Resi Wulung
Gading sesungguhnya adalah keponakan dari Nini Galih.
Sedangkan orang yang bernama Nini Galih adalah guru
dari Bidadari Jalang, dan Bidadari Jalang adalah salah
satu gurunya Pendekar Mabuk. Sudah terlalu sering Suto
Sinting mencurahkan keluh kesahnya kepada Resi
Wulung Gading, sehingga tokoh berkharisma tinggi itu
dianggap seperti gurunya sendiri, (Baca serial Pendekar
Mabuk dalam episode : "Cambuk Getar Bumi" dan
"Pedang KayuPetir").
Tiba-tiba Kejora yang dari tadi diam saja itu ikut
bicara, ia berkata kepada kakak sulungnya dengan wajah
polos.
"Kalau begitu, kita pergi temui Resi Wulung Gading
dan meminta Panji-panji Agung itu. Setelah kita
dapatkan Panji-panji Agung, kita serahkan kepada
Barakoak, lalukita minta ia membebaskan Menik."
Plaaaak...! Tangan kakak sulungnya berkelebat
menampar pipi Kejora. Gadis itu tersentak tanpa suara,
kemudian berpaling muka dengan cemberut. Tamparan
itu memang tak keras, tapi cukup membuat Kejora takut
kepada sang kakak sulung. Pandangan mata Dewi
Hening tak berani ditatapnya. Kejora akhirnya
tundukkan kepala ketika Dewi Hening berkata dalam
suara desah.
"Apa pun yang terjadi, kita harus pertahankan Panji-
panji Agung sebagai warisan leluhur kita. Apakah kau
mau aliran kita hancur dan tidak ada penerusnya?!"
"Begini saja," Suto Sinting menengahi ketegangan
itu. "Aku akan datang sendiri ke Candi Bangkai untuk
menyelamatkan Menik, kalian berdua tetaplah di sini,
atau mencari tempat yang lebih aman lagi."
"Jangan!" sergah Kejora sambil memandang ke arah
Suto. "Orang-orang Candi Bangkai itu jahat-jahat. Kau
bisa dibunuhnya jika bermaksud membebaskan Menik.
Kalau kau mati, kami tidak punya pelindung lagi. Siapa
yang akan menolongku jika aku terperosok ke dalam
lubang atau tergelincir di tebing jurang itu?"
Pendekar Mabuk tersenyum memberi ketenangan
kepada Kejora. Ia menepuk-nepuk pundak gadis itu
dengan lemah lembut, sementara Dewi Hening
memperhatikan tanpa berkedip.
"Jangan punya pikiran seperti itu, Kejora. Percayalah
padaku, bahwa aku pasti bisa membebaskan Menik
dalam keadaan hidup."
"Aku tidak percaya," ketus Kejora sambil cemberut.
"Barakoak punya pengawal sakti; Badai Kutub,
misalnya. Dia orang yang sukar dikalahkan, apalagi
untuk dibunuh itu sangat sulit. Belum lagi kalau kau
terkena jurus 'Surya Benggala' seperti nasib adik ayahku,
kau akan menjadi manusia kaca dan hancur jika disentuh
seseorang. Barakoak sendiri bukan tokoh rendahan. Dia
tak bisa dibunuh karena punya ilmu 'Urat Bumi', jika
ditusuk dengan pedang, lukanya mengatup lagi begitu
pedang dicabut dari tubuhnya. Bagaimana mungkin kau
akan bisa melawan dan mengalahkan orang seperti
mereka?''
"Kalau begitu, biarlah aku saja yang datang ke Candi
Bangkai untuk membebaskan Menik," kata Dewi Hening
dalam suara bisik mendesah.
"Jangan! Kau pun bisa mati jika melawan mereka.
Buktinya kau tak bisa hindari jurus racun 'Sukma Beku'-
nya si Badai Kutub. Kalau kau datang ke sana, berarti
kau menyerahkan nyawa. Aku tak akan mempunyai
seorang kakak lagi!" kata Kejora dengan wajah diliputi,
rasa takut.
Dewi Hening tarik napas menahan kejengkelan atas
sikap adiknya. "Jadi, sebaiknya kita biarkan saja Menik
berada di tangan mereka!" sambungnya masih dalam
bisikan.
"Jangan! Kalau Menik terlalu lama di tangan mereka,
Menik pasti akan dibunuh, sebab Menik adalah
keturunan paling akhir dari keluarga kita!"
"Jadi mestinya kita harus bagaimana, Dewi
Kejoraaa...!" ujar Dewi Hening dengan jengkel, suara
bisikannya sedikit keras dan tertekan. Pendekar Mabuk
tertawa kecil sambil melengos.
"Atau kau saja yang membebaskan Menik?" Dewi
Hening bersuara desah lagi.
"Aku bisa mati kalau datang ke Candi Bangkai
sendirian. Aku mau datang ke sana membebaskan
Menik, tapi kalian berdua harus ikut dan menjaga
keselamatanku."
Dewi Hening gemas sekali kepada adiknya hingga
mendesah dalam satu sentakan lepas. Pendekar Mabuk
dari tadi senyum-senyum saja mendengarkan perdebatan
kakak-beradik; yang satu pintar, yang satunya bodoh
karena kepolosan berpikirnya. Akhirnya Pendekar
Mabuk perdengarkan suaranya yang lembut dan enak
didengar itu.
"Ada baiknya jika kita menghadap Resi Wulung
Gading dan menanyakan tentang pusaka Panji-panji
Agung itu. Pertama kita perlu tanyakan, apakah benar
pusaka Panji-panji Agung ada pada Eyang Resi Wulung
Gading. Kedua, andaikata memang benar, apakah Panji-
panji Agung itu punya kekuatan tersendiri untuk
melawan orang-orang seperti Barakoak itu? Ketiga, kita
tanyakan seandainya Panji-panji Agung itu diserahkan
kepada Barakoak apakah benar bisa membuat aliran silat
leluhurmu ini akan hancur dan lenyap, karena tak ada
penerusnya?"
"Itu akan membuang waktu," sela Dewi Hening
dalam desahan. "Barakoak memberi waktu sampai esok
pagi, menurut penjelasanmu tadi. Berarti kita tidak
punya banyak waktu untuk menghadap Eyang Resi
Wulung Gading."
"Jika begitu, sekarang kita tetapkan saja; aku akan
pergi membebaskan Menik," kata Suto kepada Dewi
Hening. "Lalu, kau pergi menghadap Eyang Resi
Wulung Gading untuk membicarakan tentang pusaka
Panji-panji Agung itu."
"Aku lebih baik ikut kau saja!" sergah Kejora.
"Candi Bangkai berbahaya bagi gadis seperti kau,
Kejora. Lebih baik kau mendampingi kakakmu saja."
"Aku tak mau kena tampar lagi," ujar Kejora sambil
cemberut. "Aku merasa aman jika pergi ke mana-mana
bersamamu. Buktinya kau telah selamatkan nyawaku
dua kali, sedangkan Hening belum pernah selamatkan
nyawaku."
Dewi Hening tersenyum tipis memaklumi cara
berpikir sang adik. Akhirnya ia pun berkata kepada Suto
Sinting,
"Biarlah aku menghadap Eyang Resi sendirian,
ajaklah Kejora ke Candi Bangkai. Siapa tahu ia bisa
punya keberanian sehingga tidak selalu menjadi gadis
penakut seperti sekarang ini."
"Tapi...."
"Apakah kau malu berjalan dengan gadis sebodoh
aku?" sergah Kejora sebelum Suto Sinting menolak
dengan alasan tertentu. Mendengar pertanyaan seperti
itu, hati Suto Sinting menjadi iba. Alasan penolakan tak
jadi dilontarkan, akhirnya Suto pun menyetujui rencana
tersebut. Kejora tampak girang dan bersemangat,
wajahnya berseri-seri dengan kecantikan yang
menandingi kakaknya.
Esok paginya, mereka bergegas keluar dari dalam gua
untuk mengerjakantugas masing-masing.
Semalaman Suto Sinting mengatur rencana berdua
dengan Kejora yang akan menjadi pasangan dalam
menyerang Candi Bangkai. Dewi Heningtertidur dengan
nyenyak ketika Suto Sinting mengatur rencana dengan
Kejora.
"Kau tak boleh jauh-jauh dariku, dan pisaumu tetap
harus ada di tangan. Jika ada yang mendekatimu,
langsung tancapkan pisau itu ke tubuh orang tersebut tak
peduli kena bagian apanya saja, yang penting kau
lakukan perlawanan."
"Kalau yang mendekat kau sendiri apakah aku harus
menancapkan pisauku ini?" tanya Kejora.
"Kalau kautega tak apa."
"Aku tak tega. Tapi bagaimana jika malam ini kulatih
ketegaanku untuk menancapkan pisau ke tubuhmu?"
"Kau asli gila atau pura-pura gila?!" ujar Suto Sinting
sedikit dongkol tapi juga merasa geli melihat kepolosan
wajah Kejora saat berkata demikian.
"Sebaiknya tak kulakukan pada dirimu saja, ya? Nanti
kalau kau kutancap pakai pisau ini, kau bisa mati.
Karena menurut cerita Nenek, pisau ini beracun ganas."
"Syukurlah kalau kau masih punya sisa kewarasan
sedikit," ucap Suto Sinting bagai orang menggerutu.
Mereka bertiga keluar dari gua pada saat embun pagi
mulai sirna. Busa-busa salju telah tiada. Tinggal sisa
cairannya yang membuat alam menjadi basah bagaikan
habis hujan semalaman. Mereka bertiga akhirnya tiba di
suatu persimpangan jalan dan harus lakukan perpisahan.
Pendekar Mabuk dan Kejora ke arah Candi Bangkai,
sedangkan Dewi Hening pergi ke arah yang berlawanan
menuju Lembah Sunyi untuk temui Resi Wulung
Gading.
Namun sebelum mereka berpisah, mendadak mereka
disergap oleh delapan orang berpakaian hitam. Delapan
orang itu segera mengurung mereka dengan senjata
masing-masing siap di tangan. Mereka mengenakan kain
hitam untuk menutup bagian hidung hingga mulut,
sedangkan bagian atasnya dibiarkan terbuka: ada yang
memakai ikat kepala ada yangtidak.
Suto Sinting terkesiap melihat kehadiran mereka.
Kejora menjadi tegang dan ketakutan. Tapi Dewi Hening
bersikap tenang dengan matanya yang memandang tajam
mengitari mereka satu-persatu.
"Siapa orang-orang ini?" bisik Suto Sinting yang
merapatkan diri kepada Dewi Hening,
"Mereka adalah Gerombolan Rampok Setan yang
mempunyai dendam padaku karena ketua mereka
kubuntungi kakinya."
"Apa persoalannya sehingga kau buntungi kaki ketua
mereka itu?"
"Mereka hendak merampok harta kami saat sebelum
rumah kami dihancurleburkan oleh Barakoak," jawab
Dewi Hening dalam bisikan.
Kejora berkata dengan suara lirih dan bergetar, "Kita
lari saja, Hening. Jumlah mereka banyak dan punya
senjata semua. Pasti senjata mereka tajam-tajam,
Hening."
"Tutup telinga kalian, aku mau bicara pada mereka,"
bisik Dewi Hening yang membuat Suto Sinting berkerut
dahi, tak paham maksud perintah Dewi Hening itu.
Tetapi Kejora segera menutup telinganya dengan
memasukkan telunjuk ke lubang telinga, ia menyuruh
Suto Sinting melakukan hal yang sama dengan
tendangan kaki kecil.
"Tutup telingamu, Hening mau bicara pada mereka."
"Mengapa harus menutup telinga? Apakah aku tak
boleh mendengar apa yang dibicarakan Hening kepada
mereka?"
Karena tak jelas mendengar kata-kata Suto, maka
gadis itu menjawab tanpa ada kaitannya dengan ucapan
Suto tadi.
"Aku tak tahu siapa nama ketua mereka. Aku belum
pernah kenalan dengan ketua mereka."
Satu-satunya orang yang mengenakan penutup wajah
warna merah adalah seorang lelaki berbadan kekar dan
tinggi rambutnya panjang terurai diikat dengan kain
merah. Orang itu lebih dulu keluarkan suaranya dengan
menggeram penuh dendam.
''Kami datang untuk menebus penghinaanmu terhadap
sang Ketua, Dewi Hening!"
Kakak sulung Kejora diam membisu, matanya
memandang lurus pada orang yang bicara dengan suara
besar. Pendekar Mabuk pandangi dua orang yang ada di
samping kirinya, tapi telinganya menyimak kata apa pun
yang keluar dari mulut mereka maupun dari mulut Dewi
Hening nanti.
"Jika kau berhasil membuntungi kaki ketua kami,
maka kami akan membuntungi kepalamu sebagai
tebusannya. Itulah perintah yang kami terima dari sang
Ketua."
Dewi Hening berkata dengan suara lepas,
"Lakukan...!"
Tiba-tiba delapan orang pengepung itu tersentak dan
menyeringai kesakitan. Semua memegang telinga secara
serentak. Pendekar Mabuk sendiri merasakan ada rasa
sakit di dalam gendang telinganya ketika mendengar
Dewi Hening bicara dengan suara lepas, tanpa bisik-
bisik.
"Celaka!" gumam Suto Sinting dalam hati. "Rupanya
perempuan itu mempunyai kekuatan tenaga dalam pada
gelombang suaranya. Pantas ia selalu berbicara dengan
bisik-bisik. Jika ia bicara dengan suara lepas, maka
gelombang suaranya itu dapat menyakitkan lawan
bicaranya. Untung aku segera menarik napas dan
menahan gelombang tenaga dalam yang masuk lewat
lubang telingaku, jika tidak demikian aku pasti akan
kesakitan sekali seperti mereka. Pantas pula kalau
Kejora mendesakku untuk menutup telinga, rupanya ia
tahu jika kakaknya mau bicara berarti akan keluar
kekuatan tenaga dalam yang dapat merusakkan gendang
telinga."
Pendekar Mabuk pun segera kendalikan napasnya
untuk menyalurkan tenaga dalam yang dapat dipakai
menutup pendengarannya, ia sengaja lakukan hal itu
supaya ia tidak sama seperti yang lain; menutup telinga
demi keselamatan gendang telinganya. Seorang
pendekar memang harus bisa mengatasi hal seperti itu
tanpa melakukan penutupan pada lubang telinga. Dan
hal itu membuat Dewi Hening melirik Suto sebentar,
menyimpan rasa kagumnya terhadap kekuatan Suto
Sinting dalam menerima gelombang suara bertenaga
tinggi itu.
"Tutup telingamu!" sentak Kejora dalam bisikan.
Tapi Suto Sinting hanya tersenyum dan pandangi tiga
orang yang kini bergerak lebih merapat di samping
kirinya.
Dewi Hening berkata dengan suara jelas, "Kalau
kalian bisa, lakukan pembalasan padaku!"
"Aaaaa...!" mereka saling berteriak kesakitan begitu
mendengar suara Dewi Hening. Bahkan dua orang jatuh
berlutut di belakang Suto Sinting dan Kejora. Orang itu
menyeringai dan meraung kesakitan. Lubang telinga
mereka mulai berdarah.
Orang yang mengenakan penutup wajah warna merah
itu segera berseru memberikan aba-aba,
"Serang mereka! Seraaaaang...!"
Dewi Hening berteriak, "Heeaaaat...!" dengan tangan
dan kaki memasang kuda-kuda sebagai pembuka jurus.
Tetapi orang-orang yang hendak maju menyerang itu
saling terpental ke belakang dalam satu seruan kesakitan.
Orang yang memakai penutup wajah warna merah juga
tersentak ke belakang dan menggeram menahan rasa
sakitnya. Akhirnya ia jatuh terduduk di tanah dengan
telinga mulai berdarah.
Dua orang yang mendekat dari samping kiri Pendekar
Mabuk itu terguling-guling kelojotan sambil melepaskan
senjata dan kedua tangannya memegangi telinga. Namun
darah masih saja keluar dari telinga mereka.
"Hebat juga ilmu yang dimiliki Dewi Hening;" ujar
Suto Sinting membatin sendiri. "Kalau aku tidak segera
tanggap, pasti telingaku pun akan berdarah seperti
mereka. Alangkah malunya jika aku sampai begitu?!"
Salah seorang dari kedelapan pengepung itu nekat
menyerang Dewi Hening sambil menahan rasa sakit.
Sebuah lompatan menerjang Dewi Hening dilakukan
dari belakang. Tapi perempuan itu cepat balikkan badan
dan hentakkan tangannya ke depan, tenaga dalam tanpa
sinar terlepas dari telapak tangan itu.
"Hiaaah,..!" teriak Dewi Hening yang membuat orang
itu menjerit lebih kuat lagi.
"Aaaaa...!"
Tubuhnya melayang ke belakang dengan luka ganda;
pertama luka karena pukulan tenaga dalam yang
mengenai ulu hatinya, kedua luka pada telinganya yang
menjadi rusak berat akibat suara teriakan Dewi Hening.
Teriakan itu sempat membuat kedua kaki Suto
Sinting bergetar karena menahan tenaga dalam yang
menusuk masuk ke telinganya. Dalam hati sang
pendekar berkata,
"Luar biasa! Mengapa tak digunakan melawan Badai
Kutub dan Barakoak? Mungkinkah ilmu ini pernah
dipakai oleh Dewi Hening, tapi tidak mampu membuat
telinga Barakoak dan Badai Kutub pecah seperti orang-
orang di sini?! Ooh... aku berkeringat dingin menahan
kekuatan itu. Mudah-mudahan Dewi Hening dan Kejora
tak memperhatikan keringat dinginku ini."
Suara teriakan tadi bukan saja membuat orang yang
menyerang terpental dan terluka parah, tetapi beberapa
pengepung lainnya juga semakin meraung-raung merasa
telinganya bagai dipakukuat-kuat.
"Tinggalkan setan betina itu! Cepat lariiii...!" seru
orang berpenutup wajah warna merah. Sebagian dari
mereka lari tunggang langgang menuju satu arah. Tiga
orang lainnya masih tinggal di tempat karena tak
mendengar seruan tersebut. Mata mereka terpejam kuat-
kuat sambil mulutnya masih meraungkan rasa sakit.
"Aaaaahh... Aaaaoow...!",
Pendekar Mabuk mendekati tiga orang itu, mencolek
salah satu dari ketiganya sambil berkata,
"Heh temanmu sudah pada lari! Kau tak mau ikut
lari?!"
"Haahh...?!" orang itu terkejut melihat teman-
temannya sudah cukup jauh darinya. Maka ia pun
mencolok dua temannya dan segera melarikan diri
dengan terhuyung-huyung. Pendekar Mabuk tertawa geli
melihat kebodohan tiga orangtersebut.
Keadaan telah menjadi sepi kembali. Kejora
melepaskan penutup telinganya dan bertanya kepada
Pendekar Mabuk,
"Apakah telingamuterbuat dari baja?"
"Mungkin begitu," jawab Pendekar Mabuk seenaknya
sambil cengar-cengir.
"Di mana kau pesan telinga sekuat itu? Aku ingin
memesannya pula. Sebab kalau kakakku sedang marah,
aku sering kena getahnya mendengar omelannya."
Pendekar Mabuk makin tertawa geli. Kejora geleng-
geleng kepala merasa kagum dengan kekuatan telinga
pemuda tampan itu. Lalu ia berkata kepada kakak
sulungnya,
"Ilmu 'Guntur Swara' tidak berlaku untuk telinganya.
Kalau kau melawan dia kau akan kalah, Hening."
Dewi Hening menjawab dengan suara membisik,
"Karena dia kekasih Gusti Mahkota Sejati, tentu saja
mempunyai ilmu lebih tinggi dariku."
"Bagaimana kalau kita menyerang Candi Bangkai
bersama-sama saja? Kau bisa gunakan ilmu 'Guntur
Swara' itu untuk melawan para kroco-kroconya
Barakoak. Aku yang menghadapi Barakoak dan Badai
Kutub!" Suto menyarankan.
Dewi Hening menggelengkan kepala dan menjawab
dengan suara mendesah.
"Mereka sudah terlatih mengendalikan tenaga dalam
untuk melapisi gendang telinga. Kekuatan ilmuku ini
sudah diketahui Barakoak, sehingga orang-orangnya pun
sudah terlatih untuk menghadapi ilmuku ini."
"Baiklah, kalau begitu kita berjalan sesuai rencana
semula saja. Hati-hati dalam perjalanan menuju Lembah
Sunyi!" kata Suto Sinting berkesan akrab sekali.
Namun mendadak mereka terkejut mendengar suara
di kejauhan,
"Haiiyaaaa... hiya, hiya, hiyaaa...!"
Kejora terpekik, "Itu suara Menik...?!"
"Menik...?!" desah Dewi Hening dengan wajah
menegang.
"Pasti dia berhasil meloloskan diri dan sekarang
sedang dikejar-kejar oleh mereka!" tambah Kejora
dengan berapi-api.
"Kalau begitu, kita cari ke mana arah larinya. Kita
cegat orang-orang yang ingin menangkapnya kembali!"
kata Suto Sinting dengan penuh semangat. Mereka
sama-sama menyimak suara Menik lagi dengan
mempertajam pendengaran mereka. Tapi sampai
beberapa saat lamanya suara Menik tidak terdengar lagi.
Mereka menjadi cemas dan bertanya-tanya dalam hati,
"Apakah Menik tertangkap lagi, atau tewas dibunuh
tanpa suara apa pun?!"
*
* *
7
DARI ketinggian tempat mereka berada dapat dilihat
gerakan seorang bocah yang melompat bersalto dan plik-
plak beberapa kali. Kecepatan gerak yang mirip anak
kijang itu merupakan ciri-ciri yang tak dapat disangkal
lagi, bahwa bocah kecil itu tak lain adalah Dewi Menik
yang lebih sering dipanggil Menik.
"Itu dia mereka...!" tuding Kejora ke arah tiga orang
yang berlari-lari mengejar Menik.
"Hanya tiga orang yang mengejar Menik," gumam
Suto Sinting. Tetapi pundaknya segera ditepuk oleh
Dewi Hening, lalu perempuan itu menunjuk ke arah
lebih belakang lagi. Ternyata ada empat orang yang
sedang berpencar menghadang pelarian Menik.
"Hiyaaa... hiya, hiya, hiyaaaa...!" seru Menik sambil
berlari dalam lompatan-lompatan cepat, lincah, dan
gesit. Tahu-tahu ia sudah ada di atas pohon. Melompat
dari dahan ke dahan, kemudian pindah lagi sudah di
tanah. Menyelinap di sela-sela pohon hutan menuju
lembah.
"Hei, lihat di sana...!" tuding Kejora dengan mata
menegang.
"Oh, Badai Kutub itu turun tangan?!" gumam
Pendekar Mabuk. "Kalian hadapi kroco-kroco, aku akan
hadapi Badai Kutub setelah menyambar Menik."
"Tapi...."
Zlaaap...! Kejora tak jadi bicara karena Pendekar
Mabuk sudah menghilang bagai ditelan bumi. Ia
bergerak cepat dengan menggunakan jurus 'Gerak
Siiuman' yang punya kecepatan melebihi anak panah itu.
Ketika Menik melompat ke dahan dalam gerakan
salto cukup cepat, tahu-tahu tubuhnya disambar
seseorang yang segera membawanya menjauh dari
tempat itu. Weees...! Tapi gadis kecil itu menjerit karena
kaget.
"Aaaaa...!"
Jeritan itu membuat para pengejarnya mengetahui ke
mana arah gerakan si gadis kecil. Walaupun mulutnya
buru-buru dibekap dengan tangan penyambarnya, tapi
segalanya telah terlambat. Para pengejar membelokkan
arah menujutempat datangnya suara jeritan bocah tadi.
Zlap, zlaaapp...! Terpaksa orang yang menyambarnya
berkelebat cepat tanpa bicara apa pun kepada Menik.
Tahu-tahu mereka berdua sudah berada di puncak
sebuah bukit yang tak seberapa tinggi. Di sana barulah
Menik tahu bahwa orang yang telah menyambarnya itu
adalah Pendekar Mabuk; Suto Sinting.
"Oh, kau rupanya?!"
"Suaramu membuat mereka tahu di mana arah
gerakanmu. Maka lain kali kalau kau melarikan diri
jangan disertai dengan jeritan atau teriakan agar
pengejarmu tak tahu kau bergerak ke arah mana."
"Hmmm... ya, masuk akal juga penjelasanmu," kata si
gadis kecil sambil manggut-manggut dengan lagak sok
tuanya.
"Mengapa kau bisa tertangkap mereka?" tanya Suto
Sinting, lalu ia menenggak tuaknya sambil
mendengarkan jawaban dari Menik.
"Aku terperosok masuk ke lubang galian seperti
sumur. Ketika aku berusaha keluar dari sana, tahu-tahu
dua orang Candi Bangkai menangkapku dari belakang."
"Mengapa kautak mau berteriak sehingga akutahu di
mana dirimu saat itu?"
"Aku hanya menghadapi persoalan kecil, tak perlu
bantuanmu. Nyatanya toh aku bisa keluar sendiri dari
lubang yang dalam itu?!"
Pendekar Mabuk menggantungkan bumbung tuak di
pundaknya. Saat ia sedang berpikir mau dibawa ke mana
gadis kecil itu, tiba-tiba si kecil ajukan tanya,
"Bagaimana kakakku; Kejora? Berhasil kau
temukan?"
"Ya, berhasil. Bahkan aku berhasil bertemu dengan
kakak sulungmu; Dewi Hening."
"Bagus sekali kerjamu," ujarnya sambil tersenyum
dan dua tangannya segera bersedekap di dada.
"Sok tua sekali kau. Tengil!" ujar Suto Sinting di sela
senyum gelinya.
"Kau sudah bisa tertarik dengan kecantikan kakakku;
Dewi Hening itu?"
Suto Sinting mencibir dan bersungut-sungut.
"Katamu dia seperti Gusti Mahkota Sejati, nyatanya jauh
berbeda!"
"Hik, hik, hik, hik...! Kau tertipu, ya? Aku memang
menipumu, karena aku ingin memancing mata
keranjangmu."
Suto Sinting tak jadi kecewa malainkan justru geli
sendiri. Tawa mereka tiba-tiba terhenti ketika terdengar
suara bernada dingin di belakang mereka.
"Puaskan tawa kalian, sebentar lagi nyawa si kecil itu
akan lenyap!"
Pendekar Mabuk pandai menutupi rasa kagetnya.
Begitu berpaling dan memandang orang yang bicara, ia
masih bersikap tenang dan berkata dengan kalem,
"Oh, rupanya kau sudah tak sabar menunggu ajalmu,
Badai Kutub!"
Menik tampak sedikit cemas, matanya bergerak
lincah ke sana-sini mencari tempat untuk berlari. Tetapi
dari arah kanan kiri segera muncul dua orang Candi
Bangkai yang tadi mengejar Menik dari belakang.
"Kalau bukan karena licik, kalian tak akan bisa
menangkapku!" seru Menik dengan berani. "Kalau
kalian memang berilmutinggi, mari kita adu lari!"
Pendekar Mabuk hanya sunggingkan senyum
mendengar ucapan Menik, ia tahu Menik sedang
memancing mereka agar bisa lolos dari keadaan itu. Tapi
agaknya mereka tidak terpancing oleh tantangan Menik.
Suara si Badai Kutub terdengar menjawab tantangan itu.
"Percuma kami beradu lari denganmu, Anak Tikus!
Nyawamu sebentar lagi melayang dan menyusul dua
orangtuamu ke neraka. Untuk apa buang-buang tenaga
dengan beradu lari?!"
"Kakak iparku ini tak akan tinggal diam, Pak Tua
kurap!" ujar Menik sambil menepuk pinggang Suto
Sinting, seakan menunjukkan bahwa Pendekar Mabuk
itulah yang dimaksud sebagai kakak iparnya. Tentu saja
Pendekar Mabuk sedikit terperanjat mendengar
keberanian gadis kecil berkata demikian, ia memandang
Menik dan Menik tersenyum sambil mengerlingkan
mata kirinya.
"Kecil-kecil genit juga kau!" geram Suto Sinting
seraya kembali memandang ke arah Badai Kutub.
"Serahkan bocah itu kepada kami, atau kami akan
menghabisi riwayat hidupmu juga?!" ancam Badai
Kutub, pada saat itu dari belakang Suto Sinting dan
Menik muncul Dewi Hening dan Kejora. Sedangkan dari
belakang Badai Kutub muncul beberapa orang yang tadi
ingin menghadang pelarian Menik.
"Kejora, Hening...!" sapa Menik seenaknya tanpa
menyebut kata 'kakak' kepada kedua gadis itu. "Untung
kau cepat datang. Kita akan saksikan pertarungan seru!"
"Menik, ini semua gara-gara kau tertangkap jadi si
Pendekar Mabuk akhirnya terpaksa bertarung melawan
mereka!"
"Pendekar Mabuk?! Ohh... jadi pemuda ganteng itu
Pendekar Mabuk yang sering diceritakan mendiang
nenek kita? Pantaaasss...!" Menik manggut-manggut
menggemaskan.
"Apa yang pantas?!"
"Pantas dia terkejut ketika kusebutkan nama Gusti
Mahkota Sejati. Pantas pula dia punya wajah tak
sebanding dengan wajah si Badai Kutub."
"Lindungi si tengil itu!" bisik Dewi Hening kepada
Kejora. Kemudian Dewi Hening maju dua langkah
sejajar dengan tempat berdirinya Suto Sinting.
"Bagus, kalian telah kumpul. Ini akan mempermudah
kami menghancurkan kalian!" ujar Badai Kutub.
Suto Sinting berbisik kepada Dewi Hening, "Gunakan
ilmu 'Guntur Swara'-mu untuk menyingkirkan yang
lain."
"Tak mungkin bisa, sudah kubilang mereka cukup
terlatih menghadapi suaraku dan lagi aku takut kedua
adikku menjadi korban kekuatanku sendiri."
"Kalau begitu mundurlah, lindungi kedua adikmu
itu!"
Sebelum Dewi Hening bergerak, lebih dulu terdengar
suara Badai Kutub berkata kepada orang-orang di
belakangnya,
"Bunuh mereka semua, tak perlu ada yangtersisa!"
Badai Kutub mundur, orang-orang itu maju. Dewi
Hening tak jadi mundur, melainkan justru melangkah
maju menghadapi orang-orangnya Badai Kutub. Pedang
pun dicabut dari sarungnya. Sraaang...! Mau tak mau
Suto Sinting segera mundur menyerahkan pertarungan
itu kepada Dewi Hening. Pendekar Mabuk cenderung
menjaga Kejora dan Menik dari incaran Badai Kutub.
Wung, wung, wung...! Dewi Hening mainkan
pedangnya sebagai pembuka jurus. Tiga orang bersenjata
golok lebar maju menyerang dengan jurus kembar gerak.
"Heeeaaah...!"
Dewi Hening berkelebat dalam satu lompatan tinggi,
bersalto satu kali dan ketika bergerak mendarat di
belakang mereka pedangnya segera berkelebat. Wuuut...!
Crras, cras, cras...!
"Aaaa...!" mereka memekik bersamaan. Ketiganya
terbabat pedang Dewi Hening yang mempunyai jurus
berbahaya dan sukar dilihat kecepatannya. Melihat
gerakan jurus pedang itu, Pendekar Mabuk teringat
pelajaran pedang yang diterimanya dari Ki Argapura.
Menurutnya jurus pedang itu mirip dengan jurus 'Pedang
Ekor Petir' yang pernah dipelajari, (Baca serial Pendekar
Mabuk dalam episode : "LadangPertarungan").
Laaaap...! Jleeeg...!
Badai Kutub sudah berada di belakang Menik dan
Kejora. Suto Sinting segera berbalik arah dan
memandang penuh waspada. Dugaannya mulai terbukti,
Badai Kutub sengaja menyuruh para kroco maju
menyerang sementara ia mencari kesempatan
menyambar Menik atau membunuh langsung ketiga
kakak-beradik itu. Tapi ternyata dua dari tiga kakak-
beradik itu dalam penjagaan Pendekar Mabuk, sehingga
kesempatan itu sulit diperoleh Badai Kutub.
Salah seorang kroco mencoba membokong mereka
dengan melemparkan pisau ke arah punggung Menik.
Tetapi Kejora segera menarik lengan adiknya dan pisau
pun melesat ke arah kosong. Namun tangan Kejora
segera mencabut pisaunya dan dilemparkan dalam
gerakan yang tak bisa dilihat. Wuuut...! Zeeeet...!
Jrrrrub...!
"Aaaahhgg...!" pisau tiga jengkal itu menancap tepat
di leher orang yang membokong. Begitu tangan Kejora
disentakkan mundur, pisau itu lolos dengan sendirinya
melesat kembali ke tangan Kejora. Pendekar Mabuk
sempat terkesima sebentar melihat kehebatan jurus pisau
dan kedahsyatan pisau itu yang ternyata mempunyai
keistimewaan sendiri, yaitu dapat kembali ke pemiliknya
setelah menikam lawannya. Cukup dengan satu sentakan
mundur tangan Kejora, pisau itu melayang balik dengan
sendirinya.
"Pisau itu ternyata bukan sembarang pisau," kata hati
Pendekar Mabuk. Kata-kata batinnya tak jadi dilanjutkan
karena tiba-tiba ia melihat Badai Kutub lepaskan sinar
putih bening dari ujung jari tengahnya. Claaap...!
Pendekar Mabuk cepat sambar tubuh Menik dan
bergerak ke samping dengan gerakan sangat cepat.
Zlaaap...! Sinar putih bening yang diarahkan kepada
Menik itu melesat lurus tanpa putus, akhirnya mengenai
anak buahnya sendiri yang sedang mencari kesempatan
untuk membokong Dewi Hening.
Zyyrruub...!
"Aaahg...!" pekikan pendek terdengar dari orang yang
terkena sinar putih bening itu. Orang tersebut mengejang
seketika dengan kedua tangan terangkat, kedua kaki
merapat sedikit melengkung ke depan. Tubuh orang itu
berasap putih, kejap berikut asap pun hilang dan sosok
tubuh orang tersebut berubah menjadi patung kaca
lengkap dengan goloknya.
Pendekar Mabuk terperanjat dan hatinya
menggumam, "Jurus 'Surya Benggala'...?! Mungkin
inilah yang diceritakan Kejora saat di dalam gua?!
Dahsyat sekali!"
Orang yang berubah menjadi patung kaca bening itu
tersentuh oleh jubah Dewi Hening. Seketika itu pula
patung kaca menjadi pecah dalam bentuk serpihan beling
kecil-kecil. Pyaaar...!
Rasa kagum Suto Sinting terpaksa diputus karena ia
melihat lagi gerakan sinar putih bening meluncur dari
jari tangan Badai Kutub, sasarannya ke arah Kejora. Saat
itu Kejora sedang lengah perhatikan pecahan kaca.
Pendekar Mabuk segera melesat dan menghadang
kecepatan sinar putih bening tersebut. Zlaaap...!
Seberkas sinar hijau melesat dari tangan Suto Sinting
dan bertabrakan dengan sinar putih bening.
Claaap...!
Blegaaarrr...!
Ledakan sangat tinggi terjadi akibat benturan sinar
putih dengan sinar dari jurus 'Pukulan Guntur Perkasa'
milik Pendekar Mabuk. Ledakan itu membuat beberapa
pohon tumbang dan puncak bukit bagai mau runtuh
tertelan bumi. Badai Kutub terlempar ke belakang,
demikian pula Suto Sinting. Kejora dan Menik terlempar
berlainan arah. Dewi Hening terjungkal ke depan,
pedangnya terlempar dan tepat menancap di dada lawan
terakhirnya. Jrrrub...!
Pendekar Mabuk cepat bangkit dan memandang
sekelilingnya. Menik terguling-guling menuruni lereng
bukit. Badai Kutub berkelebat ingin menangkap anak
itu, tapi Suto Sinting lebih dulu melesat menyambar
tubuh Menik. Zlaaap...! Wuuut...!
"Jahanam kauuu...!" geram Badai Kutub, kemudian ia
mengangkat kedua tangannya ke atas kepala membentuk
cakar menyeramkan. Pendekar Mabuk segera
melepaskan Menik dan gadis kecil itu berlari dengan
lincah,tahu-tahu sudah ada di atas pohon.
Badai Kutub keluarkan asap hitam dari kedua
tangannya. Asap hitam itu menyembur ke arah Pendekar
Mabuk. Tak ada jalan lain untuk menghadapi asap hitam
yang sudah pasti mengandung racun ganas itu kecuali
dengan cara menghindarinya.
Zlaaap, zlaaap...! Suto Sinting sudah berada di
belakang Badai Kutub. Lelaki berjubah biru tua itu
bingung mencari lawannya, lalu berbalik ke belakang.
Pada waktu itulah Suto Sinting lepaskan jurus 'Surya
Dewata'-nya, berupa sinar ungu sebesar lidi yang keluar
dari kedua tangan yang saling merapat. Claaap...!
Bleeegaaar...!
Ledakan dahsyat terdengar kembali, karena Badai
Kutub menangkis sinar ungu itu dengan sinar putih
beningnya yang tadi. Ledakan itu membuat tubuh Badai
Kutub terlempar ke belakang dalam keadaan berasap,
sedangkan Suto Sinting terjungkal dengan mulut
semburkan darah kental.
"Sutooo...?!" pekik kejora sambil berlari menuruni
lereng bukit. Gadis itu sangat cemas melihat keadaan
Suto Sinting. Tetapi Suto Sinting segera bangkit
menampakkan keperkasaannya.
Badai Kutub bangkit dengan tubuh masih berasap.
Ternyata keadaannya cukup menyedihkan. Badannya
menjadi hangus dengan rambut peraknya menjadi
trondol dan hitam akibat terbakar gelombang ledakan
tadi. Melihat keadaan lawannya lebih parah, Pendekar
Mabuk menjadi lebih bersemangat lagi. Ia buru-buru
menenggak tuaknya beberapa teguk, kemudian bersiaga
lagi menghadapi serangan lawannya. Namun ternyata
lawannya tak lakukan serangan melainkan justru
melarikan diri.
Weeesss...!
Zlaaap...! Pendekar Mabuk mengejar dengan jurus
'Gerak Siluman' yang menjadi andalan larinya itu.
Agaknya Badai Kutub merasakan lukanya sangat
berbahaya dan tak mungkin bisa bertahan, ia akan
kembali bertarung jika sudah sembuhkan lukanya.
Tetapi Suto Sinting tak mau kehilangan kesempatan,
ia mengejar terus lawannya yang berusaha menghindari
pertarungan kedua. Pengejaran itu tak sadar memancing
Suto Sinting untuk mendekati sebuah bukit, tempat
bangunan batu bernama Candi Bangkai itu berdiri.
Di kaki bukit itu, tiba-tiba Badai Kutub hentikan
langkahnya. Kedua tangannya mengejang keras di
samping dada dengan telapak tangan terbuka. Suto
Sinting berhenti mendadak karena gerakan kakinya
terasa berat.
Rupanya Badai Kutub keluarkan jurus andalannya
berupa badai salju yang menghembuskan angin
berkecepatan tinggi dengan hawa salju yang
menggigilkan tulang. Suto Sinting menggeram jengkel
merasa terjebak dalam udara dingin. Tapi ia berusaha
untuk tetap maju dengan gerakan kaki yang amat berat.
Sementara itu busa-busa salju mulai menerpa tubuhnya,
membuat tubuh kekar itu bagai dihinggapi serat-serat
kapas.
Tubuh yang hampir terjungkal karena desakan badai
salju itu membuat Suto Sinting kian menggeram dengan
mengerahkan seluruh tenaga untuk bertahan. Akhirnya ia
tak sabar lagi dan memekik keras-keras dengan mulut
terbuka dan kaki menghentak ke bumi.
"Heeeaaahh...!"
Pada saat itulah kekuatan dahsyat yang dinamakan
Napas Tuak Setan terlepas dari mulut dan hidung
Pendekar Mabuk. Napas Tuak Setan adalah kekuatan
dahsyat yang menghadirkan badai besar tiada
tandingnya.
Wuuuusss...!
Wuuueerrr...!
Alam bergemuruh dengan guncangan mengerikan
terjadi di bagian tanah. Langit bermega hitam bergulung-
gulung memercikkan cahaya petir yang saling
menggelegar bagaikan ingin meruntuhkan sang langit.
Badai besar melanda bagian alam di depan Pendekar
Mabuk. Pohon-pohon tumbang dan beterbangan dengan
sangat mengerikan. Batu-batu pun sebagian pecah
sebagian lagi beterbangan sebesar apa pun ukurannya.
Tubuh Badai Kutub terlempar tanpa ampun lagi,
tergencet pohon besar dengan batu sebesar rumah.
Nyawanya jelas tak ada lagi. Tapi mayatnya akhirnya
terlempar karena amukan badai.
Alam bagaikan klamat, badai yang mengamuk
mencapai di ketinggian bukit. Bangunan hitam dari batu
yang bernama Candi Bangkai roboh tersapu badai yang
mengamuk. Jerit dan teriakan orang sekarat saling
bersahutan. Seluruh penghuni Candi Bangkai tersapu
badai, terpental ke sana-sini, terbang tak tentu arah
bersama pohon-pohon dan batu-batu yang terhempas
sangat kuat.
"Jahanaaammm...!"
Suara teriakan murka itu terdengar menggema,
namun terbawa badai dan makin lama semakin menjauh,
lalu hilang ditelan gemuruh badai. Teriakan itu datang
dari mulut Barakoak, yang menamakan dirinya si Raja
Iblis. Rupanya Barakoak juga ikut terlempar dan entah
bagaimana nasibnya tak diketahui secara jelas oleh
Pendekar Mabuk.
Yang jelas, tanah bukit itu longsor separo bagian,
bangunan candi roboh menjadi tumpukan batutanpa arti.
Mayat-mayat bergelimpangan di sana-sini, pada
umumnya tergencet pohon atau batu besar yang tak
sempat pecah. Sedangkan yang tidak mengalami
gencetan terkapar tak bernyawa dalam keadaan luka
parah jauh dari bukit itu.
Pendekar Mabuk terengah-engah saat badai telah
berhenti. Dewi Hening dan kedua adiknya datang, dan
mereka menjadi lega melihat Suto Sinting dalam
keadaan selamat. Pemuda itu menenggak tuaknya
beberapa teguk untuk mengembalikan tenaganya yang
lemas karena tadi melawan badai salju.
Kejora memeriksa keadaan sekeliling dengan mata
mendelik tegang dan terheran-heran. Ia menemukan
mayat Badai Kutub tergencet pohon dan batu besar. Si
kecil Menik berseru dari samping Kejora yang ada di
dekat mayat itu,
"Utusan si Raja Iblis tak bernyawa lagi! Jangan ada
yang maumeminjamkan nyawanya!"
Dewi Hening tertawa kecil dalam desahan lembut.
Pendekar Mabuk pun akhirnya tertawa seraya
menyambut kedatangan Menik yang melompat dalam
gerakan plik-plak, tahu-tahu berada di pundak Suto
Sinting.
"Sakti sekali kau, Kang Pendekar!" ujarnya sambil
mencubit hidung Suto Sinting. Kemudian ia berseru dari
atas pundak Suto,
"Ayo, siapa yang berani melawan kakak iparku ini!"
"Menik...?!" ucap Dewi Hening dalam desahan
menghentak dan Kejora pun berucap sama dalam suara
jelas. Keduanya sama-sama merasa cemas dan malu
mendengar Menik menyebut 'kakak ipar' kepada Suto
Sinting. Mereka berdua jadi tak enak hati, tapi Suto
Sinting hanya terkekeh geli.
SELESAI

Segera menyusul!!!
PEMBANTAI RAKSASA
Pembuat E-book:
Scan buku ke DJVU: Abu Keisel
Convert & Edit: Paulustjing
Ebook oleh: Dewi KZ
http://kangzusi.com
http://dewi-kz.info/
http://www.tiraikasih.co.cc/
http://ebook-dewikz.com/
convert txt : http://www.mardias.mywapblog.com