Pendekar Mabuk 52 - Gundik Sakti(1)


1
LANGIT yang semula cerah mulai dilapisi gumpalan
awan hitam. Sinar mentari tak bisa menembus pancarkan
suryanya ke bumi.
Akibatnya alam bagaikan dirundung
duka dan bumi seakan tak lagi punya daya.
Dalam gugusan awan hitam itu sesekali tampak
percikan cahaya biru yang berkerilap menghantam awan
tanpa mega. Kilatan cahaya biru sering kelihatan
berusaha menjilat pucuk-pucuk cemara bagai mencari
kesempatan untuk menghantam ujung sebuah gunung.
Gelegar suara petir pun menggema serasa ingin menelan
seluruh suara yang ada di permukaan bumi. Namun
pekik pertarungan di kaki gunung itu masih saja tak mau
kalah dengan suara petir yang mengguntur di sana-sini.
Pekik pertarungan itu terlontar dari mulut orang-
orang pengusung tandu berwarna hitam. Empat
pengawal utamanya maju serentak menyerang tokoh tua
berusia sekitar delapan puluh tahun lebih, mengenakan
pakaian model biksu berwarna abu-abu, rambutnya
beruban tipis berkesan botak bagian tengahnya. Tokoh
tua yang berjenggot dan berkumis putih rata itu tak lain
adalah Resi Pakar Pantun yang selalu didampingi oleh
pelayannya: Kadal Ginting.
Namun dalam pertarungan ini, Kadal Gintingtak mau
ikut perkuat pertahanan tuannya, ia justru bersembunyi
di balik pohon yang letaknya sekitar lima belas langkah
dari tuannya. Sang tuan mati-matian hadapi empat
pengawal tandu dan beberapa pengusung yang
menyerang secara beruntun. Blaarr...!
Wuuut...! Jegaaar...!
Ledakan dahsyat terjadi karena Resi Pakar Pantun
menghadang serangan mereka berupa sinar-sinar hijau
yang merupakan pukulan tenaga dalam cukup tinggi.
Ledakan itu mengguncang pepohonan di sekitar mereka.
Sang Resi sendiri segera tumbang, jatuh ke belakang dan
berguling-guling. Namun dalam sekejap ia segera
bangkit dengan berguling ke kiri satu kali karena hindari
tebasan pedang yang membelah tubuhnya yang agak
gemuk itu.
"Desak terus, jangan beri kesempatan!" seru salah
seorang yang bertubuh tinggi, besar dan berkumis lebat.
Seruan itu membuat mereka menerjang Resi Pakar
Pantun secara bersama-sama.
Wuuuurrrss...!
Resi Pakar Pantun mulai terdesak oleh serangan
orang-orang berbadan kekar itu, sehingga ia terpaksa
gunakan jurus mautnya. Kedua tangan saling
merapatkan telapaknya, kemudian disentakkan menyebar
bersama hentakan kaki kanan ke tanah dan suaranya pun
menyentak kuat.
"Heeah...!"
Srraazz...!
Kedua tangan Resi Pakar Pantun menyebarkan
cahaya merah bagai bunga api yang menghantam orang-
orang di sekelilingnya. Sekalipun hanya dua-tiga
percikan sinar merah yang mengenai tubuh, namun
membuat orang tersebut terjungkal berguling-guling
dengan kepala kepulkan asap dan bau rambut terbakar
pun menyebar. Kepala yang dibungkus kain ikat kepala
pun mengepulkan asap dan kain penutup kepala tampak
terbakar sedikit demi sedikit. Lama-lama kain itu
menjadi hitam hangus dan menjadi debu.
Dalam kejap berikutnya, delapan penyerang sebagai
pihak pengawal dan pengusung tandu itu mengalami
nasib yang menyedihkan. Tubuh mereka menjadi lemas,
tak mampu mengangkat senjata lagi. Wajah mereka
menjadi pucat, dengan napas tersendat-sendat. Kepala
mereka menjadi gundul tanpa sehelai rambut lagi.
Bahkan yang semula mempunyai kumis, kini tanpa
selembar kumis lagi.
"Dahsyat sekali jurus 'Tebar Geni'-nya Eyang Resi
itu!" gumam hati si pelayan; Kadal Ginting dari tempat
persembunyiannya. "Semua rambut terbakar habis,
bahkan kurasa bulu ketiak mereka pun ikut rontok
karena terbakar. Mungkin juga rambut lain-nya pun
rontok terbakar dan menjadi plontos. Misalnya, rambut
di betis mereka dan rambut di dada mereka. Oh, benar-
benar hebat tuanku itu, selama aku mengikutinya ke
mana pun ia pergi, baru sekarang kulihat kedahsyatan
jurus 'Tebar Geni' yang sering diceritakan itu."
Plek...! Tiba-tiba pundak Kadal Ginting yang penakut
itu dipegang seseorang. Kadal Ginting terpekik dengan
napas tertahan dan suara tercekik. Jantungnya nyaris
putus karena rasa kagetnya mendapat sentuhan tangan
pada pundaknya. Pelan-pelan sekali kepalanya
dipalingkan ke belakang dengan hati mengeluh, "Mati
aku kalau begini...! Bakalan mati sebentar lagi!"
Rasa putus asanya itu timbul karena Kadal Ginting
yang bertubuh agak pendek dan berilmu rendah itu sadar
betul bahwa orang-orang yang menjadi pengawal tandu
hitam itu mempunyai tubuh kekar dan ilmu yang
lumayan tinggi. Jika ia berhadapan dengan salah satu
pengawal tandu, jelas wajahnya akan hancur dan babak
belur, mungkin juga nyawanya akan lepas dari raga jika
mendapat hantaman satu kali pun.
Namun alangkah lebih kagetnya si Kadal Ginting itu
setelah wajahnya dipalingkan ke belakang dan ternyata
yang memegang pundaknya itu adalah seorang berjubah
ungu dengan pinjung penutup dadanya yang montok itu
berwarna merah. Gadis itu berparas cantik, berhidung
bangir, bermata tajam namun indah, dan berbibir
menggiurkan.
"Pasti istrinya El Maut!" pikir Kadal Ginting semakin
gemetar seluruh tubuhnya pandangi gadis yanq
menyandang pedang di punggungnya. "Semakin
mampuslah aku kalau dia benar-benar istrinya El Maut.
Tapi, biarlah... kurasa kematianku lebih terhormat dari
yang lain, sebab nyawaku dijemput oleh istri El Maut
yang cantik. Setidaknya aku akan bisa mati dengan
tersenyum bangga."
Gadis itu menatap mata Kadal Ginting dengan tak
berkedip. Darah Kadal Ginting bagaikan mengalir cepat,
jantung berdetak lamban, nyawanya terasa sedang
disedot melalui tatapan mata itu. Rasa takut dan pasrah
membuat bagian bawah Kadal Ginting menjadi basah;
seluruh keringat mengalir ke paha dan betis bagai
diperas dari pori-pori tubuhnya.
"Jangan main curang kau!" hardik gadis berjubah
ungu yang usianya sekitar dua puluh empat tahun itu.
"Oh, hmmm... eeh... tid... tidak. Aku... aakk... aku
tidak bermain curang. Aaaku... aku hanya bermain mata.
Eh, bukan... maksudku... aku hanya mengintai
pertarungan tuanku itu dari sini. Aku tidak bermaksud
curang. Sungguh. Berani sumpah disambar kacang
rebus, aku tidak bermaksud jahat, Nona... eh, Dewi...,
eh, Bibi... eh, Nyai... eh, eh, eh, eh...." Kadal Ginting
terengah-engah diburu rasa takut.
Gadis berjubah ungu memandang ke pertarungan.
Ternyata pertarungan telah berhenti, entah hanya
sementara atau selamanya. Yang jelas, orang-orang yang
mengeroyok sang Resi saat ini sedang saling terkapar
dengan tubuh terkulai lemas. Mereka seakan baru saja
melakukan perjalanan amat jauh, atau melakukan
pendakian yang amat melelahkan. Orang-orang
pengusung tandu saling berpandangan dengan sedih,
masing-masing pegangi kepala mereka yang rontok
tanpa rambut lagi itu. Sementara itu, Resi Pakar Pantun
tetap berdiri di tempatnya penuh waspada. Matanya
pandangi lawan-lawannya dengan senyum geli, lalu ia
pun perdengarkan suara tawanya yang terkekeh pelan
sambil langkahkan kaki dekati tandu berselubung kain
hitam itu.
"He, he, he, he...! Keluarlah dari tandumu, Gundik
Sakti!"
Gadis berjubah ungu itu terkejut mendengar Resi
Pakar Pantun menyebut nama 'Gundik Sakti'. Ia tak
peduli lagi dengan tatapan mata Kadal Ginting yang
penuh rasa takut itu. Dengan satu sentakan kaki ia
melesat tinggalkan persembunyian Kadal Ginting.
Wuuut...! Kejap berikutnya ia sudah berdiri tak jauh dari
Resi Pakar Pantun.
"Oh, kau ada di sini juga rupanya, Tembang
Selayang?!" Resi Pakar Pantun langsung kenali gadis
cantik bertahi lalat di sudut bibir atas sebelah kanan.
"Secara kebetulan kulewati daerah ini dalam
perjalananku menuju Bukit Kasmaran, Resi Pakar
Pantun."
Rupanya kemunculan Tembang Selayang bukan
hanya membuat sang Resi terkejut kecil, namun ada
sepasang mata yang sejak tadi memperhatikan dari atas
pohon rindang. Sepasang mata itu milik seorang pemuda
tampan berambut lurus sepanjang batas pundak dan
membawa sebuah bumbung tempat luak. Pemuda
tampan itu tak lain adalah Suto Sinting, murid si Gila
Tuak yang bergelar Pendekar Mabuk.
"Agaknya aku harus bergabung dengan mereka.
Sudah lama juga aku tidak jumpa dengan Tembang
Selayang, anak Empu Tapak Rengat itu. Hmmm... aku
punya cerita untuknya dan harus kusampaikan sekarang
juga," pikir Suto Sinting, lalu ia segera keluar dari
persembunyiannya.
Tembang Selayang memang anak Empu Tapak
Rengat, namun ia bukan murid sang Empu. Tembang
Selayang adalah murid yang keluar dari perguruan Bukit
Kasmaran karena tidak sepaham dengan ketuanya yang
baru; si Merak Cabul. Suto berkenalan dengan Tembang
Selayang dalam peristiwa rebutan sebuah pusaka milik si
Tua Bangka, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam
episode : "Kapak Setan Kubur").
Namun sekarang si Merak Cabul sudah tiada,
dibunuh oleh kakeknya sendiri yang merasa malu
mempunyai cucu sesat. Dan tentunya Tembang Selayang
belum mengetahui tentang kematian si Merak Cabul dan
Sanjung Rumpi, sebab kematian itu terjadi di depan
mata Pendekar Mabuk kala si Merak Cabul terbakar
gairah cintanya karena jurus 'Senyuman Iblis' yang
dipancarkan dari wajah tampan sang pendekar tampan
itu. Suto merasa perlu mengabarkan hal itu kepada
Tembang Selayang, sehingga ia pun segera tiba di antara
Resi Pakar Pantun dan putri Empu Tapak Rengat, (Baca
serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Sabuk Gempur
Jagat"). Tentu saja kehadiran Suto mengejutkan sang
Resi, sekaligus membuat Tembang Selayang
terperangah.
"Suto, sejak kapan kau bersembunyi di atas pohon
rindang itu?!" tanya Tembang Selayang yang
mengetahui kemunculan Suto dari kerimbunan pohon
tersebut.
"Sejak kau belum mendekati Kadal Ginting, aku
sudah ada di atas pohon itu, Tembang Selayang.
Dentuman kerasmemancingku untuk membelokkan arah
perjalanan kemari, dan ternyata di sini kulihat
pertarungan Resi Pakar Pantun dengan orang-orang
pengawal tandu hitam itu," ujar Suto Sinting sambil
sesekali melirik ke arah tandu yang masih tertutup kain
hitam tersebut.
"Kembang kempisnapas janda pulang pagi,
tidur di balai kayunya jati.
Untuk apa punya sobat berilmu tinggi,
jika hanya bisa mengintip orang maumati."
Pendekar Mabuk sunggingkan senyum gelinya
mendengar pantun sindiran sang Resi. Agaknya sang
Resi merasa dongkol karena pertarungannya hanya
dijadikan bahan tontonan oleh Suto. Karena, Suto pun
segera berkata dalam irama pantun asal-asalan pada saat
si Kadal Ginting mulai keluar dari persembunyiannya.
"Kembang kempis kembang peot,
badak terbang tak pernah pulang.
Manamungkin aku berani campur tangan,
karena tak kudengar kauminta bantuan."
"Mmmm... pantun apa itu? Tak ada seninya," Resi
Pakar Pantun mencibir dalam ejekan. Suto Sinting hanya
tertawa kecil, menertawakan dirinya yang tak pernah
bisa membuat pantun dengan baik.
"Resi," sapa Tembang Selayang. "Kudengar kau tadi
memanggil nama si Gundik Sakti. Apakah benar Gundik
Sakti ada di dalam tandu hitam itu?"
"Ya. Mereka adalah para pengawal Gundik Sakti,"
jawab sang Resi sambil menuding orang-orang yang
terkena jurus 'Tebar Geni'-nya. Orang-orang itu hanya
bisa diam dengan tubuh lemas dan pikiran bagaikan
hilang. Mereka menjadi linglung akibat jurus 'Tebar
Geni' yang melumpuhkan beberapa urat sarafnya.
"Kalau begitu aku juga ingin bertemu dengan si
Gundik Sakti. Aku mau bikin perhitungan sendiri
dengannya."
Kemudian gadis berkulit kuning langsat itu maju
selangkah dan berseru tertuju pada tandu hitam yang
masih tertutup kain hitam tak bergerak sedikit pun sejak
tadi. Tandu itu diletakkan di tanah pada tempat yang
terbuka tanpa pelindung pohon ataupun semak.
Keberadaannya seakan persis di tengah arena
pertarungan.
"Gundik Sakti, keluar kau dari tandumu! Kita masih
punya perkara yang belum selesai!" sentak Tembang
Selayang.
Setelah ditunggu dua helaan napas tak ada jawaban
dan tak ada gerakan apa pun dari tandu hitam itu,
Tembang Selayang serukan kata kembali dengan nada
marah.
"Sejak kapan kau jadi pengecut, Gundik Sakti?!
Keluarlah sekarang juga, kita selesaikan urusan lama
kita di sini juga! Kita tentukan siapa yang berhak pergi
ke neraka lebih dulu! Cepat keluar!"
Tandu hitam tetap tak bergeming. Namun Tembang
Selayang makin menjaga kewaspadaannya, karena ia tak
ingin terjebak oleh serangan yang bisa muncul sewaktu-
waktu dari dalam tandu. Sementara itu, Pendekar
Mabuk, Resi Pakar Pantun, dan Kadal Ginting masih
tetap berdiri di tempatnya pandangi tandu hitam itu.
Mereka sama-sama menunggu jawaban dari orang yang
ada dalam tandu. Sang Resi pun akhirnya serukan
pantunnya kepada orang di dalam tandu hitam itu.
"Kembang kempis suara batuk dalam hati,
kolor putus nyaring berbunyi.
Sia-sia punya nama dikenal sakti,
jika hadapi lawan tetap diam dan sembunyi."
Pendekar Mabuk tahu, sang Resi memancing nyali si
Gundik Sakti agar keluar dari dalam tandu hitam. Tetapi
sampai tiga helaan napas sang penghuni tandu belum
mau muncul juga. Hal ini timbulkan rasa jengkel dalam
hati Tembang Selayang, sehingga gadis itu nekat
lakukan satu lompatan dan menendang tandu itu dengan
kerasnya.
Wuuut...! Gubraaaak...!
Tandu hitam hancur berantakan. Mereka tertegun
kaget karena tidak temukan siapa-siapa di dalam tandu
hitam itu.
"Keparat! Rupanya tandu ini kosong!" geram
Tembang Selayang sambil pandangi Resi Pakar Pontun.
Wajah tokoh tua itu tampak kecewa juga. Kadal Ginting
segera memeriksa pecahan tandu itu dengan lagak
pemberani, karena ia merasa lega dan aman sejak
kemunculan Suto Sinting di situ. Jika terjadi sesuatu, ia
yakin Suto Sinting akan mampumengatasinya.
"Tak ada sepotong orang pun di sini, Eyang Resi!"
seru Kadal Ginting sambil memeriksa pecahantandu.
"Kelingkingnya pun tak ada, Eyang," tambah Kadal
Ginting.
"Untuk apa kau cari kelingkingnya?"
"Untuk menengok ayam kita sudah mau bertelur apa
belum, Eyang!" jawab Kadal Ginting sambil bayangkan
ayam piaraan yang sudah lama ditinggalkan di
padepokannya.
"Colok saja pakai hidungmu!" gerutu sang Resi.
"Kau terkecoh oleh permainan mereka, Resi," ujar
Tembang Selayang. "Sia-sia kau lumpuhkan para
pengawal tandu itu, karena yang mereka kawal adalah
tandu kosong."
Resi Pakar Pantun diam sejenak pandangi keadaan
sekeliling. Kemudian terdengar suaranya berkata bagai
menggumam, "Pasti dia kabur lebih dulu."
"Tidak. Dia memang tidak ada di dalam tandu! Kau
salah duga, Resi," kata Tembang Selayang.
"Tadi kulihat ia ada di dalam tandu!" sang Resi
ngotot. "Kalau tak percaya tanyakanlah kepada
pelayanku itu."
"Benar, Nona... eh, Bibi... eh, Nyai... eh, eh, eh...
anu," Kadal Ginting masih grogi bicara denganTembang
Selayang, sebab gadis cantik itu pancarkan pandangan
matanya lebih tajam dari saat bertemu di balik pohon
tadi.
"Jelaskan apa yang kau lihat tadi, Kadal Ginting!"
perintah sang Resi.
"Benar, Suto...," Kadal Ginting meresa lebih tenang
bicara kepada Suto Sinting. "... tadi kulihat seorang
wanita cantik menyingkapkan tabir penutup tandu itu
dan berseru kepada para pengawal agar menyerang
ku...."
"Bukan kau yang mau diserang, tapi aku!" sergah
sang Resi sambil bersungut-sungut.
"Benar, aku dan Eyang Resi yang ingin diserang.
Lalu, tandu diletakkan dan para pengusungnya ikut
menyerang kami. Tapi... anehnya sekarang perempuan
cantik itu tidak ada di dalam tandu. Ke mana dia.
Eyang?"
"Mana kutahu! Jangan tanya padaku! Aku sendiri
terkecoh!" sentak sang Resi sambil cemberut kesal.
Suto Sinting hanya manggut-manggut sambil otaknya
berputar mencari jawaban atas lenyapnya Gundik Sakti
dari dalam tandu. Sepanjang penglihatannya kala ia
bersembunyi di atas pohon, ia tak melihat ada seseorang
berlari keluar dari dalam tandu. Bahkan tandu itu tadi
sempat menjadi bahan perhatiannya cukup lama.
Sekelebat sinar atau bayangan pun tak tampak keluar
dari dalam tandu. Mustahil sekali kalau Suto Sinting tak
dapat melihat sekelebat bayangan keluar dari dalam
tandu, karena matanya sudah terlatih untuk memandang
gerakan sinar secepat apa pun.
Tembang Selayang segera mencengkeram baju salah
seorang pengawal tandu. Dengan wajah penuh pancaran
api kemarahan ia menggertak orangtersebut.
"Di mana si Gundik Sakti berada, hah?! Jawab!"
Orang itu menjawab dengan wajah penuh
kebingungan. "Di mana-mana...."
Plaaaak...! Tembang Selayang menampar orang itu.
Yang ditampar hanya diam tanpa menampakkan rasa
sakit, bahkan seperti orang serba bingung.
"Katakan, apakah kalian tadi membawa si Gundik
Sakti daiam tandu atau memangtandu itu kosong?"
"Kosong," jawab orang itu.
"Benar-benar kosong? Kautidak bohong?"
"Bohong," jawabnya pendek dan menjengkelkan.
Ploook...! Wajah orang itu dihantam keras-keras oleh
pangkal telapak tangan Tembang Selayang, hingga
terpental beberapa langkah jauhnya. Tapi orang itu tetap
bengong seperti tak pernah mengalami apa-apa.
Pengawal yang satu juga direnggut Tembang
Selayang, mata gadis itu pancarkan kemarahan lebih
tajam lagi. Ia menggertak dengan suara keras, tanpa
mengejutkan dan tanpa memancing perhatian para
pengawal lainnya yang keadaannya seperti orang
linglung itu.
"Di mana perempuan bejat itu?! Jawab...!"
"Bejat!" jawab orangtersebut dengan agak keras.
"Kuhabisi masa hidupmu kalau kau main-main
denganku. Jawab dengan benar atau kuhabisi masa
hidupmu, hah?!"
"Hiduuup...! Hiduuuupp...!" orang itu justru bersorak.
Tembang Selayang jengkel sekali dan dihantamnya dada
orang itu. Buuuhg...!
Wuuuus...! Brruk...!
Orang itu jatuh terpuruk tanpa tenaga. Namun ia
berusaha bangkit dan mengangkat tangannya dengan
lemah serta berseru dengan suara pelan, "Hiduuup...!
Hiduuup...!"
Tembang Selayang menggeram dengan gusar sekali.
Resi Pakar Pantun berkata daritempatnya berdiri,
"Percuma saja kautanyai mereka. Orangyangterkena
jurus 'Tebar Geni'-ku tak akan bisa gunakan otaknya
dengan waras. Sebaiknya kita cari saja ke tempat lain."
Suto menyahut, "Kurasa mereka sengaja
mengecohkan kalian dengan mengusung tandu kosong!"
"Tandu itu tadi tidak kosong!" sang Resi ngotot
sekali. "Berani disambar pisang rebus, kulihat sendiri
tandu itu tidak kosong, Suto!"
"Baiklah, anggap saja tandu itu memang tadi tidak
kosong dan sekarang kosong. Yang harus kalian lakukan
adalah mencari si Gundik Sakti itu ke tempat lain. Tak
bisa hanya beradu debat di sini saja."
"Nah, itu langkah yang baik!" ujar sang Resi. "Kau
mau membantuku, Suto?"
"Jelaskan dulu persoalannya; mengapa kau
bermusuhan dengan si Gundik Sakti? Mengapa kulihat
Tembang Selayang berang sekali kepada si Gundik
Sakti. Dan... siapa sebenarnya si Gundik Sakti itu?
Sebelum jelas persoalannya aku tak akan mau ikut
campur tangan dalam urusan kalian!"
"Kembang kempis bulan sekarat,
tidur dimangkuk terkena gugat.
Kalau tak ada perkara berat,
untuk apa aku datangmencegat"
Pendekar Mabuk lirikkan mata sebentar ke arah
Tembang Selayang. Agaknya gadis itu tak mau bicara
karena diliputi rasa dongkolnya yang menggebu-gebu.
Lalu, Suto bicara lagi kepada Resi Pakar Pantun,
"Perkara berat apa, tolong ceritakan dulu padaku,
Resi!"
"Kembang kempis...."
"Tak usah pakai kembang kempis dulu, Resi.
Langsung saja ceritakan perkara sebenarnya!" sergah
Suto membuat sang Resi tak jadi berpantun lagi.
*
* *
2
"GUNDIK SAKTI adalah pewaris Gua Tumbal
Perawan, letaknya di Bukit Sangkur," tutur Resi Pakar
Pantun. Namun baru saja ia mengawali ceritanya, tiba-
tiba para pengawal tandu yang terkena jurus 'Tebar
Geni'-nya Resi Pakar Pantun itu mengalami keanehan.
Satu-persatu mereka terpekik dengan suara tertahan.
Mata mereka mendelik dengan tubuh kejang. Wajah
mereka menjadi biru dan lidah terjulur. Kemudian satu-
persatu pula mereka hembuskan napas terakhir dan diam
selama-lamanya.
"Apa yang terjadi pada diri mereka?!" Pendekar
Mabuk bernada heran. Pertanyaan itu dilontarkan kepada
Resi Pakar Pantun. Tetapi tampaknya sang Resi pun
diliputi oleh keheranan. Tembang Selayang juga
memperlihatkan wajah herannya melihat orang-orang itu
tewas satu-persatu.
"Seperti ada yang mencekik mereka, Eyang!" seru
Kadal Ginting dengan wajah tegang.
"Jurusku tidak membuat orang mati tercekik," ujar
Resi Pakar Pantun seperti orang menggumam.
"Lalu, mengapa mereka tiba-tiba mati tercekik?!" ujar
Tembang Selayang dengan dahi berkerut. Resi Pakar
Pantun pejamkan mata sebentar.
Kejap berikut ia perdengarkan suaranya dalam
keadaan mata masih terpejam.
"Ada kekuatan gaib yang mencekiknya. Datangnya
dari arah timur kita."
Semua mata memandang ke arah timur dengan
tegang. Tapi mereka tidak temukan siapa-siapa di
sebelah timur.
Zlaaaap...! Suto Sinting melesat ke arah timur dengan
kecepatan melebihi anak panah lepas dari busurnya, ia
pergunakan jurus 'Gerak Siluman' yang mirip orang
menghilang dalam sekejap.
Tembang Selayang mengerti maksud kepergian Suto
yang ingin mencari seseorang di sebelah timur. Maka ia
pun ikut melesat ke arah yang sama, namun kecepatan
geraknya tak bisa menyamai Suto Sinting.
"Kadal Ginting, tunggu di sini! Aku akan ikut
mencari ke arah timur!" ujar Resi Pakar Pantun, lalu
tubuhnya bergerak cepat hampir menyamai gerakan Suto
Sinting. Weeeesss...!
Kadal Ginting ketakutan setelah sadar dirinya berada
di antara para mayat yang baru saja mati tercekik sesuatu
yang tak tampak mata. Tubuhnya yang merinding itu
bergidik dengan jantung berdebar-debar.
"Daripada aku ikut tercekik, lebih baik lari ke arah
timur menyusul mereka!"
Wuuuut...! Kadal Ginting berlari dan baru saja
bergerak sudah jatuhtersungkur. Brruus...!
"Eyaaaang...!" ia menjerit ketakutan dengan mata
terpejam kuat-kuat, karena menganggap ada kekuatan
gaib yang ingin mencekiknya. Padahal ia jatuh
tersungkur karena kakinya menyampar tangan manyat
yangterkapar di depannya.
Pencarian mereka dilakukan hingga beberapa saat
lamanya. Namun agaknya tak satu pun temukan orang
yang dicurigai telah lakukan pembunuhan terhadap
beberapa pengawal tandu itu. Tepat di sebuah karang
bertebing batu, secara tak sengaja mereka berkumpul
kembali dari berbagai arah.
"Tak ada yang bisa ku lacak," kata Tembang
Selayang.
"Aku pun tak menemukan apa-apa," kata Pendekar
Mabuk.
Sang Resi diam sebentar, kemudian setelah pandangi
keadaan sekeliling, ia berkata dengan suara pelan mirip
orangmenggumam.
"Gundik Sakti yang lakukan pembunuhan itu! Pasti
dia orangnya."
"Mengapa dia lakukan terhadap para pengawalnya
sendiri? Mengapa tidak ia lakukan terhadap diri kita?"
tanya Tembang Selayang bernada menyanggah pendapat
Resi Pakar Pantun.
"Gundik Sakti merasa kecewa terhadap para
pengawalnya yang tak mampu tumbangkan diriku," ujar
sang Resi. "Ia merasa sia-sia punya pengawal seperti
mereka, lalu merasa lebih baik membuang mereka ke
neraka!"
"Kejam nian si Gundik Sakti itu?!" kata Suto Sinting,
lalu ia meneguk tuaknya beberapa kali.
"Gundik Sakti memang orang yang keji," kata Resi
Pakar Pantun sambil pandangi kedatangan Kadal Ginting
yangtergopoh-gopoh dan ngos-ngosan.
"Eyang, aku hampir saja mati dicekik oleh setan
pembunuh mereka tadi!" kata Kadal Ginting kepada
sang Resi. "Tapi untung aku mampu mengalahkan
kekuatan setan tanpa wujud itu, sehingga bisa lolos
kemari!"
Sang Resi hanya mencibir tak percaya, tapi Kadal
Ginting bersikap tak peduli atas tanggapan tuannya, ia
segera duduk di atas sebuah batu menenangkan napasnya
yangterengah-engah.
Resi Pakar Pantun lanjutkan kisahnya tentang si
Gundik Sakti.
"Gundik Sakti menjadi penguasa di Gua Tumbal
Perawan setelah ibunya yang berjuluk Nyai Selir Iblis
tewas dalam pertarungan dengan seorang senopati dari
tanah seberang. Perangai dan wataknya serupa betul
dengan mendiang ibunya."
"Nyai Selir iblis itu tokoh aliran hitam?"
"Ya, dan orang-orang Gua Tumbal Perawan memang
beraliran hitam semua. Mereka merupakan satu
masyarakat yang tinggal di dalam gua. Gua itu sangat
luas, menyerupai sebuah desa, sehingga sering disebut-
sebut orang sebagai Desa Lambung Bumi. Setiap malam
purnama mereka membutuhkan tumbal seorang
perawan. Darah perawan dipersembahkan kepada roh
sembahan mereka yang bernama Darahkula; Dewa
Penguasa Kegelapan."
"Salah satu perawan yang menjadi tumbal Darahkula
adalah kakak angkatku: Handayani!" sahut Tembang
Selayang. "Karenanya aku ingin balas dendam kepada
Gundik Sakti untuk menebus nyawa kakak angkatku
itu."
"Pantas kau tampak bernafsu sekali menyerang tandu
hitam itu," ujar Suto sambil manggut-manggut, mulai
paham alasan kemarahan Tembang Selayang terhadap
Gundik Sakti.
"Salah satu muridku juga menjadi tumbal di gua itu,"
sela Resi Pakar Pantun. "Murid perempuanku itu
bernama Windi Arum, putri Sultan Kemuning yang
diculik oleh Gundik Sakti sendiri pada malam purnama
baru lalu. Roh muridku itu bagaikan menangis terus-
menerus di sampingku, seakan minta dibalaskan
perlakuan si Gundik Sakti itu. Rasa-rasanya jika aku
belum bisa membunuh Gundik Sakti, tangis itu selalu
akan kudengar meresahkan jiwa di mana pun aku
berada."
"Banyak pihak yang telah menjadi korban kekejian
Gundik Sakti itu," ujar Tembang Selayang. "Karenanya
aku bermaksud mengadu domba antara Gundik Sakti
dengan Merak Cabul, karena kepemimpinan si Merak
Cabul di perguruanku sangat tidak kusetujui, ia
membawa orang-orang Bukit Kasmaran menjadi sesat
dan tidak bersusila."
"Merak Cabul telah tiada."
"Hahh...?!" Tembang Selayang terkejut. Matanya
memandang Suto Sinting dengan melebar.
"Ia mati bersama Sanjung Rumpi," sambung Suto.
"Siapa yangmembunuh mereka?"
"Kakeknya sendiri; Dewa Putih!" Suto pun segera
ceritakan kematian Merak Cabul secara singkat, (Baca
serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Sabuk Gempur
Jagat"). Cerita itu membuat Tembang Selayang bengong
sejenak, setelah itu menarik napas dalam-dalam dan
berkata dengan pandangan mata menerawang.
"Syukurlah jika Merak Cabul telah tiada. Kurasa
keadaan di perguruan sekarang sedang kacau karena
membutuhkan seorang ketua. Aku perlu ke sana untuk
menenangkan mereka dan mengembalikan langkah
mereka yang telah disesatkan oleh Merak Cabul.
Hmmm... tapi aku perlumencari Dinada lebih dulu."
"Dinada...?!" gumam Suto bagai bicara pada dirinya
sendiri, ia mulai terbayang seraut wajah cantik milik
seorang gadis peniup seruling yang punya nama asli
Milasi itu. Peristiwa perjumpaan dengan Dinada
dikenang oleh Pendekar Mabuk. Sayang ia tak tahu di
mana Dinada sekarang berada, (Baca serial Pendekar
Mabuk dalam episode : "Gelang Naga Dewa").
"Sebentar lagi malam purnama akan tiba. Aku harus
bisa hentikan pencarian tumbal yang dilakukan Gundik
Sakti dengan cara melumpuhkan perempuan itu!" ujar
Resi Pakar Pantun. Ia tampak bersemangat sekali, karena
di dalam hatinya menyimpan dendam atas kematian
murid wanitanya yang bernama Windi Arum itu.
"Aku akan mendampingimu, Resi!" kata Tembang
Selayang, "Kita serang bersama Gua Tumbal Perawan
itu!"
"Sebaiknya kau tidak usah ikut ke Bukit Sangkur,"
Resi Pakar Pantun berkata dengan hati-hati, takut
menyinggung perasaan Tembang Selayang. "Kalau kau
ikut ke sana bersamaku, dan terjadi sesuatu pada dirimu,
aku tak enak pada ayahmu; Empu Tapak Rengat. Dia
sahabat baikku dan aku tak mau persahabatanku
dengannya menjadi putus gara-gara kau ikut menyerang
ke Bukit Sangkur."
"Itu urusanku dengan Ayah. Aku toh punya urusan
pribadi dengan Gundik Sakti?!" Tembang Selayang
bernada ngotot.
Resi Pakar Pantun diam sesaat. Akhirnya Pendekar
Mabuk pun angkat bicara.
"Serahkan saja perkara ini padaku."
Tembang Selayang dan Resi PakarPantun sama-sama
pandangi Suto Sinting.
"Ini tugasku; tugas menghancurkan tindak angkara
murka dan kekejaman. Kalian tak perlu repot-repot
melabrak ke Gua Tumbal Perawan, biar aku saja yang
datang ke gua itu."
Tembang Selayang mencibir sinis. "Kau tak akan
mampu hancurkan Gundik Sakti...."
"Ilmunya cukup tinggi," sahut Resi Pakar Pantun.
"Kau lihat sendiri bagaimana ia menghukum
pengawalnya yang gagal melumpuhkan diriku tadi? Ia
mampu membunuh tanpa terlihat wujudnya, ia
menguasai jurus 'Teropong Pati' dan beberapa jurus
lainnya. Bukankah begitu maksudmu, Tembang
Selayang?"
"Yang jelas, Suto tak akan mampu membunuh
perempuan itu, sebab perempuan itu cantik dan tubuhnya
sangat mengundang gairah bagi lawan jenisnya. Ia
mampu membuat lawan jenisnya bertekuk lutut dengan
ilmu pemikat yang dimilikinya, ilmu pemikatnya itu
bukan saja untuk lelaki, tapi seorang gadis pun mampu
terpengaruh oleh ilmu pemikat-nya, menjadi menurut
dibawa ke mana saja, sehingga bagi seorang perawan
akan tunduk dengan segala perintahnya walau harus
menjadi tumbal di dalam gua tersebut."
"Benar. Gundik Sakti memang mempunyai ilmu sihir
cukup tinggi," timbal sang Resi. "Nafsu bercintanya pun
sangat besar dan selalu bergelora."
"Apakah menurut kalian aku tak mampu
menghindarinya? Jika ilmu pemikat si Merak Cabul
mampu kulawan, mengapa Gundik Sakti tak mampu
kulawan juga?"
Tembang Selayang berkata, "Ilmu pemikat si Merak
Cabul masih di bawah Gundik Sakti. Bahkan ilmu
pemikat mendiang guruku masih kalah tinggi
dibandingkan ilmu pemikat si Gundik Sakti."
"Itu memang benar, Suto," ujar sang Resi, lalu ia
berpantun penuh semangat:
"Kembang kempis bunyi ketupat berisi batu,
ditelan bayi nyaring sekali bunyinya.
Jangankan hati pemuda tampan sepertimu,
tembok saja pun akan jebol oleh kedipan matanya."
Pendekar Mabuk hanya sunggingkan senyum tipis, ia
berkata kepada Tembang Selayang dengan suara
lembutnya yang sering menghadirkan debaran indah di
hati seorang gadis seperti Tembang Selayang itu.
"Sebaiknya kau lanjutkan perjalananmu ke Bukit
Kasmaran. Perguruanmu membutuhkan seorang ketua.
Carilah Dinada dan berundinglah dengannya. Jika masih
ada perguruan yang punya kesucian, sembunyikan dulu
orang itu agar tak diculik oleh Gundik Sakti buat tumbal
malam purnama nanti."
Tembang Selayang diam membisu bagaikan
mengalami kebimbangan. Suto segera pandangi Resi
Pakar Pantun dan berkata dengantenang.
"Izinkan aku yang mengambil alih perkara si Gundik
Sakti itu. Percayakan padaku, Resi. Kau bisa kerjakan
hal-hal lain yang sama pentingnya dari menghancurkan
Gundik Sakti."
Kadal Ginting yang sejak tadi hanya diam mengikuti
pembicaraan ke pembicaraan, kini cepat-cepat menyela
kata dengan suaranya yang cempreng.
"Eyang Resi, Prabu Digdayuda pasti sudah
menunggu-nunggu kedatangan kita. Apakah Eyang Resi
tak bermaksud menyelamatkan tanah kekuasaan ayah si
Kertapaksi itu?"
Suto Sinting agak terperanjat. "Ada apa dengan
negerinya Kertapaksi?" tanya Suto, karena ia segera
ingat tentang Kertapaksi, murid Resi Pakar Pantun yang
pernah bentrok dengannya namun tak meninggalkan
dendam di hati masing-masing itu, (Baca serial Pendekar
Mabuk dalam episode : "Asmara Berdarah Biru").
"Negeri Bumiloka sedang mengalami kekacauan. Ada
pihak yang ingin merebut negeri itu, dan muridku
Kertapaksi terdesak, ia butuh bantuanku."
"Kalau begitu selesaikanlah urusan negeri Bumiloka,
Resi! Selamatkan muridmu agar tak mengalami celaka
karena keributan itu. Jangan sampai kau menyesal akibat
keterlambatanmu datang ke sana, Resi!"
Setelah merenung sebentar, sang Resi pun manggut-
manggut. "Benar juga, seharusnya kuselamatkan
muridku itu dari ancaman maut: Ratu Sangkar Mesum."
"Siapa...?!" Tembang Selayang terkejut. "Ratu
Sangkar Mesum...?! Oh, maksudmu si Penguasa Pulau
Cumbu itu?"
"Benar!" jawab sang Resi. "Kabar yang kuterima,
kekuasaan Prabu Digdayuda diserang orang-orang Pulau
Cumbu di bawah pimpinan Ratu Sangkar Mesum.
Apakah kau kenal dengan Ratu Sangkar Mesum,
Tembang Selayang?"
"Ketika mendiang guruku masih hidup, kami pernah
bentrok dengan Pulau Cumbu dan aku hampir mati di
tangan Ratu Sangkar Mesum."
"Hmmm...," Resi Pakar Pantun angguk-anggukkan
kepala. "Pulau yang sempit membuat Ratu Sangkar
Mesum selalu berusaha mencari tempat baru untuk
kembangkan kekuasaannya. Dan kali ini agaknya yang
diincar adalah negeri Bumiloka, karena selain wilayah
kekuasaan Bumiloka cukup luas, negeri itu juga
menghasilkan tambang emas dan perak cukup besar."
"Tapi bukankah negeri itu mempunyai banyak orang
kuat dan prajuritnya berjumlah cukup banyak? Mengapa
sampai terdesak oleh kekuatan orang-orang Pulau
Cumbu?"
"Kudengar Ratu Sangkar Mesum dibantu oleh Dewi
Geladak Ayu!"
"Oh, pantas! Negeri itu bisa hancur karena Dewi
Geladak Ayu, si bajak laut wanita itu, mempunyai
pusaka Panah Lebur Sukma!" Tembang Selayang
berwajah tegang, membuat Suto Sinting perhatikan
dengan kerutan dahi tajam pertanda ikut berpikir keras.
"Segawat itukah negerinya si Kertapaksi itu?" gumam
Suto membatin.
"Jika memang begitu, sebaiknya kau selamatkan dulu
negeri Bumiloka itu, Resi," ujar Tembang Selayang.
"Jika Ratu Sangkar Mesum berkuasa di sana dan bersatu
dengan Dewi Geladak Ayu, itu pertanda awal bencana
bagi orang-orang tanah Jawa. Dalam waktu singkat
kekuatan mereka dapat melenyapkan para tokoh aliran
putih di tanah Jawa ini, Resi!"
"Dua kekuatan hitam itu jika bersatu memang sangat
berbahaya," gumam sang Resi dengan mata
menerawang, seakan membayangkan kengerian yang
terjadi jika kedua tokoh aliran hitam itu bersatu di tanah
Jawa. Pendekar Mabuk pun tampak sembunyikan
kecemasan di balik ketenangan sikapnya.
*
* *
3
SEJAK berpisah dan berpencar arah dengan Tembang
Selayang dan Resi Pakar Pantun, hati Suto Sinting
diliputi rasa penasaran ingin segera bertemu dengan
yang namanya Gundik Sakti. Rasa ingin menjajal ilmu si
Gundik Sakti membuat Suto mempercepat langkahnya
menuju Bukit Sangkur. Untung sang Resi memberinya
petunjuk arah menuju Bukit Sangkur dan ciri-ciri
lembah berhutan cemara putih, sehingga Suto merasa tak
akan salah langkah.
"Kau akan melalui dua buah desa," kata sang Resi
sebelum berpisah. "Bermalamlah di desa pertama walau
hari masih terang. Sebab jika kau lanjutkan
perjalananmu, maka kau akan bermalam di hutan dan
mencapai desa kedua esok harinya. Tapi jika kau
bermalam di desa pertama, maka keberangkatanmu dari
desa itu pada esok harinya akan membuatmu tiba di desa
kedua di senja hari, dan kau bisa bermalam lagi di desa
kedua itu. Lanjutkan perjalanan pada pagi harinya, maka
kau akan tiba di Bukit Sangkur menjelang matahari
bertengger di atas kepala manusia."
Tentu saja perhitungan waktu sang Resi itu
berdasarkan langkah kakinya, ia tidak perhitungkan
kecepatan langkah Suto Sinting yang dapat melesat lebih
cepat karena pergunakan jurus 'Gerak Siluman'. Ia juga
tidak perhitungkan jika terjadi halangan di perjalanan
yang dapat menghambat langkah dan memakan waktu
tidak sedikit.
Kenyataan yang dialami Suto Sinting toh tidak
semulus dugaan Resi Pakar Pantun. Dalam perjalanan
menjelang sore. Pendekar Mabuk terpaksa hentikan
langkah karena matanya sempat memandang ke atas
sebuah bukit tak begitu tinggi. Di atas perbukitan itu
tampak iring-iringan manusia yang memanggul sebuah
tandu berwarna hitam.
"Tandu hitam itu sepertinya berisi orang penting,"
pikir Suto dalam bungkam. "Empat pengawal di depan
tampak bersenjata pedang dan berbadan kekar. Empat
pengawal di belakang juga tampak siaga dengan senjata
masing-masing. Keempat pengusungnya pun agaknya
orang-orang yang siap tempur, terbukti mereka
bersenjata semua. Hmmm... tak salah dugaanku, pasti si
Gundik Sakti yang ada di dalam tandu hitam. Bentuk
dan ukuran tandunya sama dengan tandu yang
dihancurkan Tembang Selayang."
Mestinya Suto menuju ke arah barat untuk mencapai
Bukit Sangkur. Namun begitu melihat iring-iringan
tandu hitam, ia membelok mengikuti arah yang dituju
tandu tersebut. Mereka ke utara, dan Suto juga ke utara.
Ia mengikuti dari kejauhan dengan sesekali menyelinap
di balik pohon atau di semak belukar. Rupanya Suto
ingin tahu ke mana tujuan tandu hitam itu dan apa yang
akan dilakukan orang di dalam tandu tersebut.
Iring-iringan tandu itu berhenti di tepi sebuah sungai.
Pendekar Mabuk pun hentikan langkahnya di balik
gugusan batu besar. Dari sana ia mengintai dengan
cermat. Hatinya berharap agar orang di dalam tandu itu
keluar untuk membasuh muka atau lakukan apa saja.
Tapi ternyata sampai sekian lama tandu masih tertutup
kain hitam. Beberapa pengawalnya yang mendekati
tepian sungai meminum air sungai yang bening dan
dangkal itu.
"Apakah tandu itu kosong, seperti tandu yang
dihancurkan Tembang Selayang itu?" pikir Suto Sinting.
Namun mendadak matanya sedikit terbelalak, karena
dari balik kain hitam yang menyelubungi tandu terjulur
sebuah tangan berkulit mulus dan bergelang batuan
merah delima. Tangan itu menyerahkan cawan kepada
seorang pengawal. Kemudian pengawal yang menerima
cawan segera ke perairan sungai, mengisi cawan emas
itu dengan air sungai yang bening. Kemudian cawan
tersebut diserahkan kembali kepada orang yang ada di
dalam tandu hitam tanpa menyingkap kain penutupnya.
Tangan orang yang ada di dalam tandu terulur sendiri
dan menerima cawan tersebut.
"Tangan itu jelas tangan seorang wanita. Tak salah
lagi, Gundik Sakti yang ada di dalam tandu. Tapi...
untuk apa air dalam cawan itu? Apakah ia meminum air
sungai? Atau hanya sekadar untuk cuci muka? Ah, sial
sekali! Mengapa ia tidak keluar dari dalam tandu dan
mengambil air sungai sendiri?"
Hati si murid sinting Gila Tuak itu menjadi resah.
Rasa penasaran ingin melihat wajah Gundik Sakti
membuatnya bingung sendiri, dan batinnya berkecamuk
penuh gerutu.
"Bagaimana kalau kuserang agar ia keluar dari dalam
tandu? Hmm... oh, jangan! Nanti malah timbul korban di
pihak para pengawalnya. Sebaiknya...."
Kecamuk batin Pendekar Mabuk terhenti secara
mendadak karena tiba-tiba ia mendengar dengusan napas
lembut di belakangnya. Ia buru-buru palingkan wajah,
dan nyaris terpekik kaget melihat seraut wajah cantik
telah berada di belakangnya, sedang merunduk-runduk
mendekatinya.
"Ssssttt...!" si pemilik wajah cantik itu memberikan
isyarat agar Suto jangan bersuara sedikit pun. Jari
telunjuknya ditempelkan di bibir yang agak lebar namun
menggiurkan sekali keindahannya. Perempuan cantik
berusia sekitar dua puluh delapan tahun itu kian dekati
Suto, dan ia ikut berlindung di balik gugusan batu besar,
tepat di samping kiri Suto Sinting.
Pendekar Mabuk jadi salah tingkah. Aroma wangi
yang menyebar dari tubuh perempuan berjubah merah
jambu itu menimbulkan kegelisahan sendiri di hati Suto
Sinting. Bola mata yang sedikit besar namun berbentuk
indah dengan bulu mata lentik itu menggelitik perasaan
cinta Suto. Belum lagi dandanannya yang tergolong
seronok, jubah tak berkancing dengan penutup dada tipis
warna biru muda, sungguh menggoda jiwa si murid
sinting Gila Tuak itu.
"Montok sekali dia? Kulitnya putih mulus dan,
waaah... pikiranku jadi kacau kalau begini," keluh
Pendekar Mabuk dalam hatinya. Akhirnya Suto melirik
kipas gading yang terselip di pinggang perempuan itu. Ia
lakukan lirikan ke arah kipas, karena hatinya merasa tak
kuat menahan debaran indah jika terlalu lama
memandang wajah berbibir menantang gairah itu.
"Apakah orang di dalam tandu itu sudah keluar?"
bisik perempuan tersebut berlagak akrab, seakan tak
membutuhkan basa-basi sama sekali.
"Bel... belum," jawab Suto Sinting agak gugup karena
debaran hatinya kian membakar hasrat ingin mencium
perempuan itu. Tapi si perempuan bersikap acuh tak
acuh, tak menghiraukan tatapan mata Suto yang nakal.
Pandangan matanya tertuju pada tandu hitam, di mana
para pengawalnya sedang beristirahat bagai habis
lakukan perjalanan jauh.
"Cepat atau lambat ia pasti keluar dari dalam tandu!"
ujar perempuan berjubah merah jambu dengan nada
membisik.
"Apakah kau tahu siapa yang ada di dalam tandu
hitam itu?" pancing Suto setelah ia berhasil
menenangkan diri. Pandangan matanya dikembalikan ke
arah tandu dan para pengawalnya.
Terdengar perempuan cantik itu menjawab
pertanyaan Suto tadi dengan nada masih membisik lirih.
Namun karena letak wajahnya dekat sekali dengan
telinga Suto, maka bisikan lirih itu pun terdengar jelas
bagi Pendekar Mabuk.
"Siapa lagi yang ada di dalam tandu hitam itu jika
bukan si Gundik Sakti."
"Kau kenal dengan Gundik Sakti?"
"Sangat kenal," jawab perempuan itu tanpa
memandang Suto.
Ia berpaling memandang Suto, tatapan matanya terasa
menembus jantung si Pendekar Mabuk, membuat
pemuda berbaju cokiat tanpa lengan dengan celana putih
lusuh dililit ikat pinggang kain merah itu menjadi
gundah sesaat. Gerakan mata si tampan Suto tampak
nanar, bingung mencari sasaran.
"Aku memang kenal dengan Gundik Sakti, tapi aku
belum kenal dengan pemuda yang mengintainya dari
balik batu ini."
Senyum pun tersungging berkesan malu-malu. Suto
Sinting paham bahwa perempuan itu ingin mengenal
namanya. Maka sambil mengarahkan pandangan mata ke
tandu hitam, Suto menyebutkan namanya dengan lirih.
"Kau bisa memanggilku: Suto, sebab namaku adalah
Suto Sinting."
"Oh, jadi... jadi kau yang bergelar Pendekar
Mabuk?!" perempuan itu terperanjat, suara bisiknya
bernada terpekik walau tak sekeras pekikan biasa
sewajarnya. Bola mata yang semula sedikit sayu itu kini
menjadi berbinar-binar dengan senyum indah mekar di
bibir merah segar. Suto Sinting tampak tersipu dan tak
mau pandangi perempuan yang mengenakan perhiasan
lengkap itu.
"Aku sering mendengar namamu menjadi bahan
percakapan orang-orang. Mulanya aku menyangka
orang-orang itu terlalu berlebihan menceritakan
ketampanan Pendekar Mabuk. Tapi setelah kulihat
sendiri kenyataannya, ternyata mereka kurang lengkap
menceritakan ketampananmu. Mereka tidak pernah
menceritakan bahwa Pendekar Mabuk adalah seorang
pemalu yang tak berani memandang wanita dari jarak
sedekat ini."
"Ah, sudahlah!" Suto Sinting berusaha mengalihkan
pembicaraan. Tapi perempuan berjubah merah jambu itu
masih saja mengajak berkasak-kusuk sambil sesekali
matanya memandang ke arahtandu hitam.
"Orang-orang yang menyanjungmu itu lupa
mengatakan, bahwa Pendekar Mabuk itu seorang
pemuda yang mudah berkeringat dingin jika terlalu lama
dipandang oleh perempuan."
Suto jadi semakin kikuk dan malu, sebab ia baru
menyadari bahwa di kening dan dahinya telah tersembul
butiran keringat, dan keringat itu adalah keringat dingin
akibat kegugupannya berhadapan dengan perempuan
cantik dalam jarak kurang dari satu langkah. Untuk
menutupi rasa malunya, akhirnya Suto beranikan diri
menanyakan nama perempuan itu.
"Aku belum mengenal siapa dirimu. Maukah kau
sebutkan siapa namamu dan dari mana asalmu?"
"Namaku...? Oh, maaf. Aku lupa memperkenalkan
diri padamu," seulas senyum menawan sengaja
dipamerkan perempuan itu di depan Suto Sinting.
Sambungnya lagi,
"Kau bisa memanggilku Rara, karena namaku adalah
Rara Santika."
"Nama yang bagus sekali," ujar Suto sambil paksakan
keberaniannya. untuk menatap mata Rara Santika.
"Mengenai dari mana asalku; kurasa itu belum
penting bagimu. Yang terpenting adalah...."
Tiba-tiba Rara Santika hentikan bisik-bisiknya,
karena tiba-tiba mereka mendengar suara pekikan
seseorang yang cukup mengejutkan.
"Aaaaah...!"
Kedua orang di balik batu besar serentak lemparkan
pandangan ke arah tandu hitam. Ternyata seorang
pengawal bersenjata tombak berujung pedang itu telah
roboh dalam keadaan ulu hatinya tertancap pisau kecil.
Suasana menjadi tegang dan kacau, karena kejap
berikutnya seorang pengusung tandu pun memekik
panjang, mengejutkan mereka yang ada di sekitarnya.
"Aaaaah...!"
Leher pengusung tandu itu dihujam pisau kecil
bergagang hitam dengan ujung gagangnya berhias
rumbai-rumbai benang hijau. Pisau itu sama dengan
pisau yang menancap di ulu hati pengawal yang kini
telah tak bernyawa itu.
"Menyebar...!" seru seorang pengawal berompi merah
yang kumisnya cukup lebat dan wajahnya berkesan
angker itu. Ia mencabut pedangnya, kemudian
mengibaskan ke berbagai arah dengan gerakan memutar.
Trang, trang, tring...!
Rupanya gerakan pedang itu dilakukan untuk
menangkis serangan tiga mata pisau yang meluncur
deras ke arahnya. Tiga pisau itu berhasil ditangkis,
namun pisau keempat tak mampu dihindari lagi.
Zuuuut...! Juubb...!
"Aaaahhh...!" orang itu menjerit dengan kasar dan
keras, matanya mendelik, tubuhnya mengejang. Sebilah
pisau berukuran dua kali lebih besar dari pisau-pisau tadi
telah menancap di tengkuknya. Pisau itu membuat orang
tersebut roboh ke depan, menggelepar sebentar, setelah
itu menghembuskan napas terakhir dan tak bergerak lagi.
"Dari mana datangnya serangan itu?!" gumam Suto
Sinting dengan heran dan matanya bergerak jelalatan
memandang ke sana-sini.
"Serangan itu dilakukan oleh dua orang," bisik Rara
Santika. "Yang satu berada di atas pohon sebelah timur,
yang satu berlindung di balik dua pohon yang tumbuh
merapat di sebelah utara. Perhatikan kedua pohon yang
tumbuh saling berjajaran itu!"
Pendekar Mabuk arahkan pandangan matanya ke
utara, dan ia temukan gerakan kecil daun-daun ilalang
yang tumbuh di sekitar dua pohon tersebut. Gerakan
kecil daun ilalang itu bukan gerakan karena angin,
namun karena kaki seseorang yang bersembunyi di sana.
"Hmmm... benar!" gumamnya lirih. "Tajam sekali
penglihatanmu, Rara," puji Suto, namun agaknya pujian
itutak dihiraukan oleh Rara Santika.
"Pandanglah ke arah atas pohon di sebelah timur. Di
balik kerimbunan daun pohon berwarna hijau kehitaman
itu ada seseorang yang bersembunyi di sana."
Suto Sinting ikuti saran tersebut. Mulanya ia tak
menemukan tanda-tanda kehidupan manusia di atas
pohon tersebut. Tapi kilauan cahaya putih yang terjadi
akibat pantulan sinar matahari dari sebuah senjata
berlogam putih telah membuat Suto manggut-manggut
dan mengakui kebenaran dugaan Rara Santika. Hati sang
pendekar pun membatin,
"Benar-benar jeli mata perempuan ini! Aku harus
mengakui keunggulannya dalam memandang seseorang
yang bersembunyi."
Rupanya orang yang di atas pohon itu tak sabar
memendam murkanya. Ia melompat keluar dari
persembunyiannya sambil melepaskan pukulan jarak
jauh yangmemancarkan sinar merah lurus tanpa putus.
"Heeeeaaaah...!"
Claaap...! Sinar merah itu melesat dari telapak
tangannya dan menghantam dua orang pengawal yang
berada membelakangi tandu. Melihat sinar merah itu
meluncur cepat ke arahnya, kedua pengawal itu segera
saling melompat ke samping kanan-kiri, dan akibatnya
sinar merah itu menghantamtandu hitam.
Duuaaar...!
Tandu hitam menjadi hancur, potongan kayu dan
kainnya menyebar ke berbagai arah. Mata murid sinting
si Gila Tuak punterbelalak kaget.
"Tandu itu kosong?! Aneh! Padahal tadi kuiihat ada
tangan yang terulur keluar menyerahkan cawan dan
menerimanya kembali?!"
Tak ada sepotong daging manusia yang ikut tersebar
dalam kehancuran tandu hitam itu. Bahkan sesobek
pakaian wanita pun tak terlihat ada di antara puing-puing
tandu. Hal itu benar-benar mengherankan bagi Suto
Sinting, ia berkata kepada Rara Santika dengan nada
tegang.
"Tadi kulihat Gundik Sakti ada di dalam tandu itu,
kenapa sekarang tandu itu pecah dan Gundik Sakti tak
ada di dalamnya?!"
"Mungkin dia sudah keluar tinggalkan tandu sebelum
terjadi penyerangan tadi."
"Tidak mungkin," sangkal Suto. "Kalau dia keluar
dari tandu pasti aku melihatnya, sebab dari tadi aku
memperhatikan tandu itu, dan tak kulihat ada orang
keluar dari sana."
Rara Santika sunggingkan senyum tipis, tak jelas
artinya bagi Pendekar Mabuk. Namun senyuman itu
segera tak dihiraukan karena suara gaduh pertarungan
lebih memancingperhatian Suto Sinting.
Para pengawal dan pengusung tandu diserang oleh
dua orang lelaki yang usianya sekitar tiga puluh tahun.
Yang satu sedikit tampak lebih muda dari yang satunya.
Mereka bersenjatakan pisau terbang yang melingkar di
pinggang bagaikan sabuk. Gerakan mereka sangat lincah
dan sukar diikuti dengan pandangan mata, juga sukar
ditebak gerakan berikutnya.
Dalam beberapa waktu saja, para pengawal dan
pengusung tandu berjatuhan tanpa nyawa lagi. Tinggal
dua pengawal yang masih gigih melawan dua lelaki
berpakaian serba kuning itu. Hanya saja, yang satu
berikat kepala hijau, yang satunya berikat kepala merah.
"Kau kenal dengan mereka, Rara?"
"Ya, aku kenal. Mereka adalah kakak beradik. Yang
berikat kepala merah itu kakaknya, bernama: Dampak
Yogan. Sedangkan adiknya berikat kepala hijau
bernama: Hanu Yogan."
"Mengapa mereka menyerangtandu hitam itu?"
"Karena mereka menyangka Gundik Sakti ada di
dalamnya."
"Iya, aku tahu hal itu. Yang kutanyakan, mengapa
mereka menyerang Gundik Sakti?"
"Entahlah. Mungkin mereka punya dendam atau
persoalan pribadi dengan Gundik Sakti," Rara Santika
bicara lirih bagai orang malas bicara. Matanya tertuju
pada pertarungan satu lawan satu yang agaknya cukup
seru itu.
Dampak Yogan mempunyai tubuh yang lentur dan
lincah, sehingga ketika pedang lawannya menebas leher,
ia justru bergerak maju dengan tubuh memutar cepat,
tahu-tahu pisaunya dihujamkan ke dada lawan. Jrrub...!
"Aaaahg...!" pengawal tandu yang berpakaian hitam
itu mendelik, kejap berikutnya tumbang dan tak
bernyawa lagi.
Sementara itu, Hanu Yogan melenting di udara
hindari tebasan pedang lawan yang akan merobek
perutnya. Gerakan bersaltonya cukup cepat, hingga tahu-
tahu kedua kakinya sudah hinggap ke pundak lawan.
Jleeeg...!
Lawan yang terkejut itu tak sempat lakukan gerakan
apa-apa lagi, karena tangan kiri Hanu Yogan
menghantam kuat ubun-ubun lawannya. Wuuut...!
Praaak...!
"Aaaaa...!" orang itu memekik keras-keras sambil
melangkah limbung saat tubuh Hanu Yogan telah
melesat dari pundaknya dan turun ke tanah. Kepala
orang itu berlumuran darah, bukan hanya dari mulut dan
telinga saja, melainkan dari pelipis dan tengkuk pun
mengalir darah merah segar menandakan kepala itu
retak. Biji matanya tersembul keluar nyaris terlepas dari
kelopaknya. Hantaman bertenaga dalam di kepala
membuat orang tersebut akhirnya tumbang dan tak
bernyawa lagi.
"Hanu Yogan, kita cari si Gundik Sakti itu! Belum
puas hatiku jika si Gundik Sakti belum mati seperti para
pengawalnya ini. Pasti ia larikan diri dan masih berada
di sekitar sini!" kata Dampak Yogan dengan mata
berbinar-binar penuh nafsu untuk membunuh.
"Kita menyebar, Dampak Yogan," ujar Hanu Yogan.
"Jangan bunuh dulu si Gundik Sakti jika salah satu dari
kita menemukannya. Aku sendiri belum puas jika belum
ikut menghancurkan raga si Gundik Sakti itu. Rasa-
rasanya roh adik kita; Hutami Yogan yang dijadikan
tumbal olehnya masih akan menuntutku jika aku tidak
ikut membantai perempuan keparat Itu!"
Suto berbisik kepada Rara Santika, "Ooo... rupanya
mereka menaruh dendam kepada Gundik Sakti, karena
adik perempuan mereka yang bernama Hutami Yogan
itutelah dijadikan tumbal oleh si Gundik Sakti."
Bisikan itu tak mendapat balasan apa pun. Suto
Sinting curiga dan segera berpaling memandang ke arah
kiri, ternyata Rara Santika sudah tidak ada di
sebelahnya. Suto terkejut dan kebingungan mencari
dengan pandangan matanya.
"Rara...?!" panggilnya bernada bisik, tapi panggilan
itu tak mendapat jawaban dari Rara Santika. Hanya saja,
tiba-tiba Pendekar Mabuk dikejutkan oleh suara orang
memekik tertahan dan suara gaduh dari kaki
menghentak-hentak tanah.
"Aaaahhg...! Aaaahg...! Aaaahg...!"
"Dampak Yogan, ada apa? Kenapa kau, Dampak
Yogan?!" suara sang adik berseru penuh keheranan dan
ketegangan.
Dampak Yogan ada yang mencekik, namun tidak
terlihat wujud lawannya. Tentu saja hal itu
membingungkan Hanu Yogan. Sang adik menjadi
semakin tegang setelah kejap berikutnya ternyata
Dampak Yogan roboh dan tak bernyawa lagi dalam
keadaan wajah membiru dan lidah terjulur.
"Dampak Yogan...! Dampak Yogaaan...!" teriak sang
adik dengan sedih dan murka.
Pendekar Mabuk baru akan keluar dari
persembunyiannya, namun langkahnya itu terhenti
dengan kejadian yang mengherankan lagi. Ia
memandang bengong kepada Hanu Yogan yang tahu-
tahu tumbang dan menggelepar-gelepar tanpa bisa
berteriak lagi. Kedua tangannya memegangi leher,
seakan ingin melepas sesuatu yang mencekik lehernya
dengan sangat kuat. Kejadian itu terjadi beberapa saat,
karena Hanu Yogan berusaha bertahan sekuat tenaga.
"Bagaimana aku harus membantunya? Aku pun tak
melihat siapa orang yang mencekik si Hanu Yogan itu?"
pikir Suto Sinting bingung sendiri. Akhirnya ia hanya
bisa menyaksikan kematian Hanu Yogan tanpa bisa
berbuat sesuatu dari balik persembunyiannya.
"Benarkah si Gundik Sakti yang mencekik mereka,
seperti para pengawal yang kalah menghadapi Resi
Pakar Pantun?!" pikir Suto Sinting begitu alam menjadi
sunyi dan lengang setelah Hanu Yogan hembuskan
napas terakhirnya.
"Ke mana tadi si Rara Santika? Mengapa ia tiba-tiba
hilang? Apakah dia diculik oleh Gundik Sakti?!"
Suto Sinting mulai melangkah pelan-pelan tinggalkan
persembunyiannya. Kewaspadaan ditingkatkan karena ia
mulai sadar bahwa sebentar lagi akan berhadapan
dengan tokoh berilmu tinggi yang mampu membunuh
lawan tanpa dapat dilihat jasadnya.
"Oh, itu dia si Rara Santika?! Celaka! Jangan-jangan
dia terkapar tak bernyawa di seberang sana?!" ucap Suto
Sinting bersuara lirih dengan nada tegang, ia segera
menghampiri Rara Santika yang terkapar di rerumputan
dalam keadaan tergolek tanpa bergerak. Perempuan itu
ada di seberang sungai di atas tanah berumput tipis,
sehingga sosoknya dapat terlihat jelas dari tempat Suto
berdiri.
"Siapa yang melemparkannya sampai ke sana?!"
gumam Suto dalam hatinya sambil melesat
menyeberangi sungai dengan lompatan tampak ringan
dari batu ke batu.
*
* *