Pendekar Mabuk 58 - Gadis Buronan(2)

5
TUAK sakti itu ternyata bukan saja sebagai
penyembuh luka, melainkan juga jembatan bagi
terjalinnya sebuah persahabatan dan perdamaian. Secara
jujur batin Merpati Liar mengakui daya penyembuh
secara gaib. Ia rasakan sendiri khasiat tuak itu di
badannya; rasa sakit hilang, badan terasa lebih segar dari
sebelumnya, hati mereka lebih tenang setelah meneguk
tuak Suto.

"Kudengar kabar, hanya Tabib Darah Tuak yang
mempunyai kekuatan mujarab dalam penyembuhannya
melalui air tuak," katanya di depan Suto Sinting dan
Hantu Laut.


Suto Sinting hanya sunggingkan senyum, lalu
berkata, "Barangkali kabar itu memang benar. Tapi
barangkali kau belum tahu siapa Tabib Darah Tuak itu,
Merpati."
"Kudengar kabar, Tabib Darah Tuak adalah si
Pendekar Mabuk, murid Eyang Gila Tuak, sahabat
guruku."
Hantu Laut menyahut sambil menuding Suto Sinting,
"Dialah yang bergelar Pendekar Mabuk! Dia juga
yang menjadi satu-satunya murid si Gila Tuak dan
Bidadari Jalang!"
Merpati Liar sedikit terperanjat dan pandangi Suto
Sinting dengan keraguan.
"Benarkah kata-katanya itu?"
Pendekar Mabuk anggukkan kepala dengan senyum
ramah yang menawan.
"Oh, kalau begitu aku salah duga."
"Dia belum duda, masih perjaka. Mengapa kau bilang
dia duda?" sahut Hantu Laut salah dengar.
"Salah duga!" tegas Suto Sinting. "Bukan salah
duda!"


 




"Ooo...," Hantu Laut hanya manggut-manggut dan
buang muka menutupi rasa malunya. Merpati Liar
memandang Hantu Laut, tak ada senyum namun tak
bersikap bermusuhan seperti tadi.
"Merpati, kalau boleh kutahu, apa maksudmu mencari
pusaka Panji-panji Mayat?" tanya Suto Sinting mulai
menyelidik.
"Aku adalah murid tunggai Nyai Parisupit yang


bukan dari pihak keturunannya."
"Ya, aku telah dengar penjelasan itu dari Resi Pakar
Pantun."
"Kudengar kabar, Panji-panji Mayat dicuri oleh
seorang gadis yang berpihak kepada Perawan Titisan
Peri; si Hantu Laut itu. Perlu kau ketahui, Perawan
Titisan Peri adalah bukan dari keturunan leluhur Nyai
Guru Parisupit. Ketika Nyai Guru Parisupit belum
mangkat, beliau pernah berpesan padaku agar ikut
menjaga pusaka Panji-panji Mayat agar jangan sampai
jatuh di tangan orang yang bukan keturunan beliau. Aku
tahu persis, bahwa pusaka itu hanya berhak dimiliki oleh
kedua anak Nyai guruku; yaitu Jalma Dupi atau
Manggarsani, adiknya."
"Manggarsani...?!" gumam Suto Sinting dengan
berkerut dahi pertanda merasa asing terhadap nama
Manggarsani.
"Kudengar kabar, Jalma Dupi dan istrinya sudah
tewas di tangan keturunan Gajahloka, dua anaknya pun
tewas. Tetapi Jalma Dupi mempunyai tiga anak gadis
lainnya yang kudengar kabar, mereka masih hidup.
Hanya tak kutahu di mana tinggalnya sekarang dan
siapa-siapa saja tiga anak gadis Jalma Dupi itu. Satu
orang lagi yang berhak memegang pusaka itu adalah
Manggarsani, tetapi sudah lama Manggarsani
mengasingkan diri dan tak pernah kudengar kabarnya.
Mungkin sudah mati, mungkin juga masih hidup."
"Aku tak pernah mendengar nama Manggarsani,"
gumam Suto Sinting bagai bicara pada diri sendiri.


"Tapi aku tahu sifat dan watak Manggarsani yang tak
mau ribut tentang warisan leluhur. Bahkan ia selalu
menjauhi pertikaian dengan sesama. Manggarsani
seorang perempuan yang amat cinta pada perdamaian
dan ketenangan, ilmunya lumayan tinggi, tapi tak pernah
diumbar di dunia persiiatan. Kabar terakhir yang
kudengar, ia menggunakan nama julukan: Dewi
Cumbutari."
"Oooh...!" Suto Sinting menyentak lega, karena ia
segera ingat dengan seorang perempuan yang menjadi
ratu di negeri Wilwatikta dan bernama Ratu Dewi
Cumbutari. Suto Sinting kenal baik dan bahkan pernah
menyelamatkan negeri itu dari ancaman maut si Raja
iblis, (Baca serlai Pendekar Mabuk dalam episode:
"Pembantai Raksasa"). Suto Sinting pun segera
menceritakan peristiwa pertarungannya dengan si Raja
iblis itu kepada Merpati Liar.
"Aku harus menjalankan amanat mendiang Nyai
Guru untuk menjaga agar pusaka tersebut tidak jatuh di
tangan tokoh aliran hitam. Aku harus bisa me-
ngembalikan pusaka itu ke tangan pewarisnya."
"Kudukung tekadmu itu, Merpati Liar. Hanya saja,
barangkali perlu kau ketahui, gadis yang tadi bersama
kami, yang sempat kau bentak dengan garang, dia adalah
anak dari Jalma Dupi yang bernama Kejora."
"O, begitu...?!"
"Tiga anak gadis Jalma Dupi yang masih hidup
adalah Kejora, si bungsu Menik dan si sulung Dewi
Hening. Keduanya ada di Lembah Sunyi bersama Resi


Wulung Gading menanyakan tentang di mana pusaka itu
berada, dan sekarang Kejora sedang dalam perjalanan ke
sana pula bersama Resi Pakar Pantun."
"Hmmm...," Merpati Liar menggumam dan manggut-
manggut, tampak sekali sikap tegas dan pemberani di
wajah cantiknya itu.
"Jika benar begitu keadaan yang ada, aku harus
segera mencari si Kucing Hutan untuk merebut kembali
pusaka tersebut. Gadis pencuri pusaka itu, kudengar
bernama Peluh Setanggi. Gadis itu pula yang menjadi
sasaran buronanku."
Pendekar Mabuk anggukkan kepala. "Dari mana kau
dapat kabar tersebut?"
"Kujumpai sahabat lamaku yang bernama Sumbaruni,
dialah yang menceritakan hal itu. Menurut
pengakuannya, ia mendengar kabar itu dari Pendekar
Mabuk."
"O, pantas. Memang benar aku telah menceritakan
hal itu kepada Sumbaruni."
"Dan kudengar pengakuannya, bahwa Pendekar
Mabuk adalah kekasihnya."
Suto Sinting diam sambil palingkan wajah menutup
senyumannya. Merpati Liar memandang bagai
menunggu jawaban yang pasti dari Pendekar Mabuk.
Karena lama tak ada jawaban, Merpati Liar ajukan tanya
kembali,
"Benarkah kau kekasih Sumbaruni?" Karena Suto
Sinting hanya senyum-senyum saja, maka Hantu Laut
segera berkata,


"Itu fitnah. Suto tidak pernah menyembelih
Sumbaruni!"
"Siapa yang bilang menyembelih Sumbaruni?" ujar
Suto Sinting.
"Dia tadi bilang apa?"
"Apa benar aku kekasihnya Sumbaruni?.'" ucap Suto
Sinting memperjelas tekanan suaranya.
"Ooo... kekasih? Kudengar dia bilang 'sembelih', tak
tahunya 'kekasih'. Maklum sajalah...," Hantu Laut malu,
ia buang muka sambil garuk-garuk kepala.
"Dia bukan kekasihku, Merpati. Tapi aku tahu, dia
mencintaiku."
"Kau tidak membalasnya?"
Suto Sinting gelengkan kepala.
"Syukurlah kalau begitu," ucap Merpati Liar pelan,
seakan punya arti terselubung. Tapi Hantu Laut salah
dengar lagi.
"Siapa yang babak belur?!"
"Syukur!" sentak Suto Sinting memperjelas ucapan
Merpati Liar. "Dia bukan bilang 'babak belur', tapi
bilang 'syukur', jelas?!"
"Lha, iya... aku tadi juga bilang 'siapa yang syukur',
begitu!" Hantu Laut menyangkal ketuliannya. Pendekar
Mabuk jadi merenung dan berkata pada diri sendiri,
"Mengapa sekarang aku jadi ikut-ikutan budeg, ya?!"
Merpati Liar palingkan wajah sembunyikan senyum
tipisnya. Kemudian ia bergegas pergi menuju Lembah
Meong untuk temui Kucing Hutan. Suto Sinting dan
Hantu Laut ikut bersamanya.


Langkah mereka terhenti saat melewati hutan jati.
Sekelebat bayangan melintas jauh di depan mereka.
Tetapi mata Merpati Liar cukup tajam dan bisa
mengikuti kecepatan gerak bayangan itu. Akibat langkah
Merpati Liar tertahan, langkah Suto Sinting dan Hantu
Laut pun ikut terhenti. "Ada apa, Merpati?"
"Kulihat sosok seorang gadis berkutang hijau lari ke
arah selatan."
"Berkutang hijau?! Hmmm... apakah dia si Peluh
Setanggi?!" ujar Suto setelah membayangkan sosok
gadis berdada montok yang ditutup dengan kutang hijau
berhias benang emas.
"Akan kuikuti langkahnya!" ucap Merpati Liar pelan,
lalu ia lebih dulu melesat ke arah selatan. Weesss...!
Kecepatan geraknya sempat mencengangkan Pendekar
Mabuk. Ternyata perempuan itu mampu bergerak
hampir menyamai jurus 'Gerak Siluman'-nya Suto
Sinting, ia seperti orang menghilang lenyap ditelan
bumi. Pendekar Mabuk tak mau kalah saing, ia pun
segera pergunakan jurus 'Gerak Siluman' yang
kecepatannya melebihi kecepatan anak panah itu.
Ziaaapp...!
Hantu Laut terbengong melompong. Lalu terdengar
gerutuannya dengan wajah bersungut-sungut,
"Mentang-mentang pada bisa bergerak cepat aku
ditinggalkan begitu saja. Hmmm...! Kalian kira hanya
kalian yang bisa bergerak secepat itu? Aku pun mampu
melakukannya. Lihat..., huup...!"
Gusraak...!


"Aauuh...!" Hantu Laut mengerang karena kakinya
tersandung akar pohon, ia jatuh tersungkur mencium
tanah.
Merpati Liar sudah sampai di tempat jauh, di atas
bukit cadas yang tingginya hanya sekitar iima tombak.
Di sana ia menghadang bayangan yang tadi dilihatnya, ia
bersembunyi di balik gugusan batu cadas setinggi dua
tombak.
"Terpaksa kutinggalkan Pendekar Mabuk, karena aku
tak mau kehilangan jejak kalau benar gadis itu adalah si
Peluh Setanggi!" ucapnya lirih. Tapi tiba-tiba di sisi batu
cadas itu terdengar suara yang ditujukan kepadanya.
"Dugaanku tepat, kau pasti akan kemari, karenanya
aku menunggumu di sini."
Merpati Liar terperanjat tak berkedip. Wajah
Pendekar Mabuk muncul dari balik celah batuan cadas
itu.
"Sial! Rupanya ia sudah sampai di sini lebih dulu
sebelum aku tiba," gerutunya dalam hati. Ia hanya
geleng-gelengkan kepala tak kentara melihat senyum si
tampan mengembang di depannya. Mulut pun segera
ternganga untuk mengatakan sesuatu kepada Suto
Sinting, tetapi niat tersebut terpaksa batal. Bahkan
tangannya segera menekan pundak Suto Sinting agar
lebih merapat lagi ke lapisan sisi batu.
Rupanya Merpati Liar melihat gerakan menuju ke
jalanan di bawah bukit cadas itu. Suto Sinting segera
mengarahkan pandangannya ke sana. Ternyata
dugaannya benar, Peluh Setanggi sedang berlari hendak


melintasi jalanan di bawah bukit cadas.
"Benarkah gadis itu yang bernama Peluh Setanggi?"
"Benar," jawab Suto Sinting mengikuti irama bisikan
Merpati Liar.
"Aku akan menghentikan langkahnya! Mundurlah
sedikit!"
"Hei, apa yang ingin kau lakukan?"
"Menggelindingkan batu ini biar menghalangi
langkahnya!" jawab Merpati Liar sambil ingin menjejak
batu besar itu dengan kaki kanannya.
"Tunggu sebentar...!" cegah Suto Sinting. "Lihat, ada
orang yang mendahuluimu menghadang langkah gadis
itu!"
Merpati Liar urungkan niatnya, memandang ke arah
yang ditunjuk Suto Sinting. Ternyata di sana memang
ada seorang yang sengaja berdiri menghadang langkah
Peluh Setanggi persis di pengkolan jalan yang tidak
terlalu banyak ditumbuhi pepohonan.
Si penghadang itu adalah seorang gadis berusia
sekitar dua puluh lima tahun. Mempunyai rambut meriap
diikat dengan ikat kepala putih bersulam benang emas.
Ia hanya mengenakan kutang hijau, kain penutup
bawahnya berbelahan tiga berwarna hijau juga. Sebuah
pedang disandangnya di pinggang kiri.
"Siapa gadis itu? Kau kenal dengannya?"
"Sangat kenal," jawab Suto Sinting dalam bisikan.
"Dia juga murid dari Biara Ungu, bekas teman
seperguruan Peluh Setanggi. Dia adalah salah satu dari
tiga orang kepercayaan Nyi Mas Gandrung Arum. Dia


dikenai dengan nama Putik Linang."
"Apa yang dikehendaki oleh Putik Linang? Agaknya
bersikap memusuhi Peluh Setanggi."
"Kita perhatikan saja dulu apa yang ia lakukan
terhadap bekas teman seperguruannya itu."
Peluh Setanggi agak terkejut melihat kemunculan
Putik Linang yang menghadang langkahnya. Apalagi
sikap Putik Linang kentara sekali memusuhinya, Peluh
Setanggi cepat pasang kewaspadaan tinggi, setidaknya
dapat merasakan ada tujuan tak baik atas penghadangan
Putik Linang itu.
"Putik Linang, agaknya kau punya maksud tak baik
menghadang langkahku ini!"
"Tergantung bagaimana kau menilai sikapku," jawab
Putik Linang bernada tak ramah. "Yang jelas aku diutus
oleh Guru untuk menangkapmu!"
"Dengan tuduhan apa Guru akan menangkapku,
bukankah aku sudah bukan muridnya lagi?"
"Kau memalukan nama perguruan, mencemarkan
nama besar Guru dengan mencuri pusaka Panji-panji
Mayat! Kau dapat memancing permusuhan antara pihak
Guru dengan pihak Resi Badranaya!"
"Hmmm...!" Peluh Setanggi sunggingkan senyum
sinis. "Guru sudah berani memecatku, berarti Guru
sudah siap menghadapi hal-hal seperti ini! Kusarankan,
pulanglah kembali ke Biara Ungu dan sampaikan
salamku kepada Nyi Mas Gandrung Arum, katakan
bahwa sekarang antara dia dan aku tak punya urusan
apa-apa lagi. Segala tingkah lakuku di luar tanggung


jawabnya! Ingatkan kepada pendeta sesat itu, bahwa aku
sudah menjadi pengikut Kucing Hutan. Jika dia
menggangguku, berarti dia akan berurusan dengan
Perawan Titisan Peri itu!"
"Guru mengizinkan aku membunuhmu jika kau tak
mau ditangkap."
"Oh, begitu?!" senyum Peluh Setanggi adalah senyum
meremehkan lawannya. Begitu sinis dan memuakkan
bagi Putik Linang, sehingga kedua tangan Putik Linang
mulai meremas dan napasnya tampak tertahan karena
menggeram kemarahan.
"Kau pikir aku takut menghadapi gertakanmu, Putik
Linang?! Aku tak pernah merasa takut kepada siapa pun.
Bahkan kalau perlu gurumu, pendeta sesat itu, suruh
datang kemari dan berhadapan denganku. Sejengkal pun
kakiku tak akan melangkah mundur melawannya!"
"Kurang ajar! Bicaramu sudah kelewat batas, Peluh
Setanggi!" geram Putik Linang. "Sudah waktunya
mulutmu itu kuhancurkan sekarang juga. Heeeaaah...!"
Weeess...! Putik Linang berkelebat menerjang Peluh
Setanggi, menghantamkan pukulan tangannya yang kala
itu sudah menyala merah membara. Wuuuk...! Pukulan
bertangan bara itu berhasil dihindari Peluh Setanggi
dengan memiringkan badan, lalu kakinya menendang
maju dalam satu sentakan cepat. Wuut, beehg...!
"Uuhg...!" Putik Linang terlempar empat langkah ke
belakang. Ia jatuh dalam keadaan terkapar. Baahg...!
Peluh Setanggi segera melompat tinggi-tinggi dan
tubuhnya meluncur ke bawah tepat ke perut Putik


Linang. Suuutt...!
Putik Linang sadar akan datangnya bahaya dari atas.
Ia cepat gulingkan badan ke samping dua kali.
Wut, wuut...! Jleeg...! Kaki Peluh Setanggi akhirnya
menginjak tempat kosong.
Tanah yang dipijak Peluh Setanggi menjadi melesak
ke dalam sebatas mata kaki. Berarti kekuatan tenaga
dalam Peluh Setanggi kala itu sudah dipusatkan ke
telapak kakinya. Untung saja Putik Linang berhasil
hindari kaki itu, seandainya tidak, perutnya bisa jebol, isi
perut bisa berantakan ke mana-mana.
Putik Linang segera bangkit sambil lakukan
tendangan kaki yang menyentak ke samping. Wuuss...!
Tendangan itu tak mengenai sasaran karena Peluh
Setanggi cepat lakukan jungkir balik ke belakang.
Wuuuss...!
Tangan Putik Linang yang masih menyala bara
sebatas pergelangannya segera dihantamkan ke arah
dada Peluh Setanggi. Namun hantaman tersebut kali ini
diadu dengan telapak tangan Peluh Setanggi yang
mengepulkan asap putih dan mengeluarkan busa-busa
salju.
Deeb...! Zrrooosss...!
Asap mengepul bagai bara dicelup ke dalam air.
Namun keduanya sama-sama tersentak mundur hingga
tiga langkah jauhnya, mereka sama-sama terpelanting
nyaris jatuh.
"Terpaksa kutebas batang lehermu, dan kuserahkan
kepada Guru kepalamu, Setanggi!"


Sreett...! Putik Linang mencabut pedangnya. Pedang
segera dimainkan dengan jurus yang indah dilihat. Peluh
Setanggi belum mau mencabut pedangnya, ia masih
mengandalkan kekuatan tangan kosongnya dan merasa
tak gentar sedikit pun menghadapi lawan yang bersenjata
tajam itu.
"Majulah, Jahanam!" geramnya sambil memandang
benci kepada Putik Linang, karena memang Putik
Linang itulah orang yang paling dibenci olehnya semasa
ia menjadi murid di Biara Ungu. Kebencian itu timbul
setelah Putik Linang resmi diangkat sebagai pengawal
dan orang kepercayaan Nyi Mas Gandrung Arum.
Sementara dirinya yang sudah lebih dulu menjadi murid
di Biara Ungu masih belum mendapat kesempatan untuk
menjadi orang kepercayaan sang Guru. Peluh Setanggi
merasa sakit hati, lalu bertekad menjadi orang upahan
bagi pihak mana pun yang membutuhkan bantuannya.
Sebab itulah, ia dipecat sebagai murid Biara Ungu
sampai sekarang.
"Majulah, Kodok busuk! Jangan hanya memainkan
pedangmu saja!" bentak Peluh Setanggi tak sabar
menunggu serangan lawan. Putik Linang pun semakin
panas hatinya ditantang demikian.
"Hiaaah...!" Putik Linang lakukan lompatan
menerjang lawannya dengan pedang siap dihujamkan.
Tetapi Peluh Setanggi segera berkelebat ke samping
dalam satu lompatan bersalto dan saat itulah sekeping
logam menyerupai mata tombak dilemparkan ke arah
Putik Linang.


Zing, zing, zing, zing...!
Trang, trang, trang, jeeb...!
"Aaahg...!" Putik Linang terkena lemparan senjata
rahasia yang terakhir. Logam yang mempunyai racun
'Lidah Malaikat' itu menancap di bawah pundak kiri
Putik Linang. Gadis itu langsung tumbang dan
mengejang, lukanya mengepulkan asap putih.
Pendekar Mabuk terperanjat cemas, karena ia pernah
melihat senjata rahasia itu menancap di tubuh Kadal
Ginting dan nyaris merenggut nyawa si pelayan Resi
Pakar Pantun itu, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam
episode: "Pembantai Raksasa"). Karenanya, Pendekar
Mabuk segera berkata kepada Merpati Liar dalam suara
membisik,
"Putik Linang terkena racun 'Lidah Malaikat', harus
segera diselamatkan. Aku akan menyambar Putik Linang
dan membawanya ke seberang sana, kau menahan
gerakan si Peluh Setanggi!"
"Aku tak suka diperintah. Aku akan lakukan apa yang
ingin kulakukan!" jawab Merpati Liar menampakkan
keras kepalanya.
Zlaaapp...! Suto Sinting tak mau pedulikan ucapan
itu, ia segera melesat dan menyambar tubuh Putik
Linang. Gerakannya yang seperti badai berhembus itu
tak mampu dilihat dengan jelas oleh Peluh Setanggi, ia
hanya melihat sekelebat bayangan yang menyambar
tubuh Putik Linang.
"Mau dibawa ke mana dia, Setan! Biarkan dia mati
oleh 'Lidah Malaikat'-ku!" seru Peluh Setanggi, lalu


cepat-cepat sentakkan tangannya dan dari telapak tangan
kiri itu keluar sinar merah memanjang tanpa putus.
Sinar merah itu tiba-tiba dihantam dengan sinar hijau
dari atas bukit cadas. Slaaap...! Blegaaarrr...!
Perpaduan kedua sinar itu menimbulkan ledakan
cukup dahsyat. Tanah di sekitar mereka bergetar,
demikian pula pepohonan yang tumbuh di sekeliling
tempat itu? Sinar hijau tadi membuat Peluh Setanggi
terperanjat dan segera memandang ke atas bukit.
Ternyata sinar hijau itu datang dari sentakan kedua
ujung jari Merpati Liar.
Melihat seorang perempuan berpakaian ketat warna
biru berdiri di atas bukit cadas, hati Peluh Setanggi
menjadi berang, ia berseru dari tempatnya berdiri.
"Setan kurap! Turun kau kalau memang...." Slaap,
jleeg...!
Belum habis ucapan itu, tiba-tiba Merpati Liar sudah
berada di samping Peluh Setanggi. Dalam hatinya Peluh
Setanggi merasa kaget melihat kecepatan gerak lawan
barunya itu. Kata-kata tadi tak jadi diteruskan, dan ia
segera memandang dengan penuh curiga, ia merasa
asing karena belum pernah bertemu dengan Merpati
Liar.
"Siapa kau, Setan kurap?! Apa maksudmu
mematahkan pukulan sinar merahku tadi, hah?!" Peluh
Setanggi menghardik lebih dulu agar tak kalah nyali.
Merpati Liar memandang dengan tajam. Bicaranya
pelan, namun jelas didengar oleh Peluh Setanggi. Nada
bicara itu sangat dingin, terasa seperti menembus sampai


ke dalam tulang.
"Kau pencuri pusaka Panji-panji Mayat itu! Kau
harus bertanggung jawab menghadapiku, Gadis dungu!"
"Kutanya siapa dirimu?! Jawab!" bentak Peluh
Setanggi semakin menampakkan keberaniannya.
"Tanyakan kepada tuanmu, siapa si Merpati Liar itu!
Kucing Hutan mengenalku dan ia akan lari terbirit-birit
jika melihatku!"
"Merpati Liar...?!" gumam Peluh Setanggi dalam
hatinya, ia mencoba mengingat-ingat nama itu, dan ia
merasa pernah mendengar nama tersebut disebutkan oleh
Nyi Mas Gandrung Arum, ketika ia masih menjadi
murid Biara Ungu.
Sementara itu, Suto Sinting sedang sibuk mengobati
luka Putik Linang dengan tuaknya. Tuak itu berhasil
diminumkan ke mulut Putik Unang. Senjata berupa
sekeping logam mengkilat berhasil dicabut dari tubuh
Putik Linang. Lukanya yang berlubang menutup sendiri
secara perlahan-lahan dengan menimbulkan asap tipis
dibarengi gerakan kulit yang mengatup. Rasa sakit Putik
Linang mulai berkurang, makin lama makin tidak terasa
lagi. Ia pun segera sadar siapa penolongnya saat itu.
"Pendekar Mabuk...?!"
"Jangan bergerak dulu, biarkan lukamu kering betul
baru bergerak lagi."
"Tapi... tapi aku harus menangkap Peluh Setanggi
dalam keadaan hidup ataupun mati."
"Seorang sahabatku sedang menanganinya. Diamlah
dulu di sini."


Pandangan mata si tampan segera diarahkan ke
pertemuan Peluh Setanggi dengan Merpati Uar.
Tampaknya Peluh Setanggi bernafsu sekali ingin
tumbangkan Merpati Liar, karena ia benci kepada orang
yang memihak Biara Ungu. Merpati Liar dianggap
memihak Biara Ungu, karenanya ingin sekali
dihancurkan bersama sisa dendamnya kepada Putik
Linang.
Namun baru saja Peluh Setanggi ingin bergerak, tiba-
tiba ia terlempar ke samping dengan keras. Wuuuss...!
Brruuk...!
"Haaahg...!"
Satu sentakan kepala Merpati Liar membuat
pandangan matanya mampu melemparkan tubuh Peluh
Setanggi. Mantan murid Biara Ungu itu membentur
dinding bukit cadas yang nyaris tegak lurus itu. Ia jatuh
terpuruk sesaat, dan segera berusaha bangkit dengan
kerahkan tenaganya.
Tetapi agaknya Merpati Liar tak mau beri
kesempatan kepada lawannya untuk lakukan
pembalasan. Pandangan matanya yang tajam menyentak
ke atas dan membuat tubuh Peluh Setanggi melambung
tinggi, lalu dalam keadaan melambung di udara, Merpati
Liar menggunakan kekuatan pandangan matanya untuk
melemparkan tubuh itu ke samping. Seett...!
Weess...! Brrukk...!
Tubuh gadis berkutang hijau itu membentur pohon.
Suara pekikannya tak terdengar lagi, karena yang
menghantam pohon bagian dadanya. Pernapasan pun


menjadi sesak. Benturan itu sempat membuat pohon jati
tersebut bergetar cukup hebat sehingga menimbulkan
suara gemerusuk gaduh.
Baru saja tubuh Peluh Setanggi jatuh dari ketinggian,
tiba-tiba melayang lagi dengan cepat dan menghantam
dinding cadas. Brruusss...!
Jatuh lagi ke tanah, tahu-tahu sudah terlempar lagi
menghantam pohon lebih besar dari yang tadi. Wuuutt...!
Brrukk...! Jatuh lagi, terlempar lagi menghantam dinding
cadas. Brruus...!
Merpati Liar hanya menggerakkan kepalanya ke
kanan atau ke kiri, atau pula ke atas dan ke bawah.
Tubuh Peluh Setanggi terbanting-banting bagai dibuat
mainan lawannya. Darah mengucur dari hidung, mulut,
dan bahkan kepalanya sempat bocor. Dadanya memar
membiru serta tulang punggungnya terasa patah.
Akhirnya Peluh Setanggi tak mampu berdiri lagi.
Bahkan mengeluarkan keluh dan erangan nyaris tak
kuasa.
"Serahkan pusaka itu atau nyawamu akan hilang
sekarang juga?!" hardik Merpati Liar kepada lawannya.
Peluh Setanggi hanya diam terkulai dengan menyeringai
kesakitan.
Mata perempuan berpakaian ketat itu sudah
memandang batu besar di atas bukit cadas itu. Batu
tersebut mulai bergerak-gerak ingin menggelinding. Jika
batu itu berhasil menggelinding dan jatuh ke bawah
bukit, maka tubuh Peluh Setanggi akan hancur kejatuhan
batu tersebut. Kekuatan mata Merpati Liar agaknya


cukup mampu menggelindingkan batu sebesar gardu
ronda itu.
"Katakan di mana kau simpan pusaka itu!" sentak
Merpati Liar sambil tetap pandangi batu tersebut siap-
siap untuk dijatuhkan dari atas bukit.
Pada saat setegang itu, tiba-tiba sekelebat bayangan
tmelintas cepat menerjang Merpati Liar. Wuuut...!
Craass...!
"Aaahg...!" Merpati Liar terpekik dan segera
limbung. Punggungnya koyak bagai ingin terbelah
menjadi dua bagian. Seseorang telah menebaskan
pedangnya dan tepat kenai punggung Merpati Liar.
Pendekar Mabuk yang sengaja tidak ingin turut
campur menghajar Peluh Setanggi, menjadi terbelalak
kaget melihat Merpati Liar terluka sebegitu parah. Lebih
terkejut lagi setelah ia tahu siapa orang yang telah
menebaskan pedangnya ke punggung Merpati Liar itu.
"Darah Prabu...?.'" ucapnya lirih penuh keheranan
yang amat besar.
Rupanya Darah Prabu sudah berhasil melumpuhkan
Buih Dewani dan Kuncup Nirwan. Kedua adik kembar
Peluh Setanggi itu ditinggalkan di pantai, ia menyusul
kekasihnya yang sedang menuju ke sebuah bukit, tempat
asmara mereka bertemu yang pertama kali. Tapi di
perjalanan ia melihat Peluh Setanggi dibuat babak belur
oleh seorang lawan. Maka ia pun murka dan menerjang
Merpati Liar dengan pedangnya.
"Setanggi...?! Setanggi..., aku datang!" seru Darah
Prabu sambil mendekap Peluh Setanggi yang sudah tak


bisa bersuara lagi itu.
Merpati Liar mengerang lirih dalam keadaan
tertelungkup di tanah. .Pendekar Mabuk segera muncul
di samping Merpati Liar. Pandangan matanya tertuju
tajam kepada Darah Prabu.
"Suto...?!" Darah Prabu heran melihat Suto Sinting
tampaknya berpihak kepada Merpati Uar.
"Mengapa kau lakukan kekejaman ini, Darah
Prabu?!"
"Dia... dia ingin membunuh kekasihku!"
Dahi Pendekar Mabuk kian berkerut tajam. "Siapa
kekasihmu yang kau maksud itu?"
"Peluh Setanggi...!" sambil Darah Prabu memeluk
Peluh Setanggi penuh kecemasan. Pedangnya sudah
dimasukkan ke dalam sarungnya.
"Darah Prabu, apakah kau tak salah lihat?! Peluh
Setanggi adalah gadis buronanmu! Mengapa sekarang
kau anggap sebagai kekasihmu?!"
"Karena... karena aku mencintainya dan dia
mencintaiku!"
"Gila...!" geram Pendekar Mabuk sambil tetap
memandang tajam kepada Darah Prabu.
Putik Linang muncul juga dalam keadaan sehat. Tapi
ia ragu-ragu ingin menyerang Darah Prabu, sebab ia tahu
Darah Prabu adalah murid Resi Badranaya yang tak
boleh diganggu oleh para murid Nyi Mas Gandrung
Arum. Akhirnya Putik Linang hanya diam terpaku, tak
tahu apa yang harus diperbuat.
Darah Prabu merasa malu dipandangi Suto Sinting


dengan sikap mencibir perasaan cintanya kepada Peluh
Setanggi. Akhirnya, ia putuskan untuk membawa pergi
Peluh Setanggi dan mengobatinya di tempat yang aman.
"Akan kujelaskan di lain kesempatan, Suto!" ujarnya,
lalu melesat pergi sambil membawa Peluh Setanggi.
Putik Linang bergegas mengejar, tapi Suto Sinting
segera mencegah dengan sebuah seruan, "Jangan kejar
dia.... "
"Tapi... tapi dia membawa lari Peluh Setanggi yang
seharusnya kutangkap dan kuserahkan kepada Guru!"
"Dia bersama Darah Prabu. Jika kau berurusan
dengan Darah Prabu, berarti kau akan mengadu domba
Nyi Mas Gandrung Arum dengan Resi Badranaya, adik
gurumu itu!"
Putik Linang menjadi salah tingkah sendiri. Pendekar
Mabuk tidak hiraukan sikap salah tingkahnya Putik
Linang. Perhatiannya tertuju pada Merpati Liar yang
sedang sekarat, ia buru-buru menuangkan tuak ke mulut
Merpati Liar dengan bantuan Putik Linang. Tuak
tersebut berhasil tertelan oleh Merpati Liar sedikit demi
sedikit. Lama-lama luka koyak memanjang dan dalam
itu mengering dan mengatup secara ajaib. Menjelang
senja nyaris berganti petang, Merpati Liar telah sehat
kembali bagai tak pernah mengalami luka apa pun.
"Ke mana larinya si gadis bodoh itu?!"
"Ke barat bersama Darah Prabu!" jawab Putik
Linang.
"Aku akan mengejarnya ke sana! Jika perlu pemuda
yang melukaiku itu pun akan kuhancurkan!"


"Jangan gegabah, Merpati! Darah Prabu itu muridnya
Resi Badranaya!" ujar Pendekar Mabuk mengingatkan.
"Tak peduli murid siapa dia, jika berpihak pada
pencuri pusaka Panji-panji Mayat akan kuhabisi
nyawanya!"
Slaap...! Merpati Liar pun lenyap bagai ditelan bumi,
padahal ia bergerak menuju ke barat. Pendekar Mabuk
sempat geleng-geleng kepala dan bergumam lirih,
"Keras kepala sekali dia!"
Putik Linang segera berkata, "Apa yang harus kita
perbuat jika begini?"
"Pulanglah ke Biara Ungu, kabarkan kepada Nyi Mas
Gandrung Arum bahwa Peluh Setanggi sedang menjadi
bahan buronan Merpati Liar. Pihaknya tak perlu ikut
memburunya! Aku sendiri akan mengejar mereka
sekarang juga!"
Agaknya tak ada pilihan lain bagi Putik Linang
kecuali mengikuti saran Pendekar Mabuk, setelah
pemuda tampan itu berkelebat ke arah barat.
*
* *


6
PADA waktu pertarungan Merpati Liar dengan Peluh
Setanggi, ternyata Hantu Laut ada di balik semak-semak
tak jauh dari tempat itu. Ia menyaksikan sendiri
kehebatan Merpati Liar saat menghajar Peluh Setanggi,
sampai kemunculan Darah Prabu dengan menyabetkan


pedangnya, ia mendengar percakapan Darah Prabu
dengan Pendekar Mabuk, walaupun ada sebagian yang
tak begitu jelas karena gangguan di telinganya.
Maka ketika Darah Prabu membawa lari Peluh
Setanggi ke arah persembunyian Hantu Laut, orang
tanpa baju itu segera muncul menghadang dengan satu
lompatan yang mengejutkan Darah Prabu.
Dengan masih menyangga tubuh Peluh Setanggi
memakai kedua tangannya, Darah Prabu memandang
tajam ke arah Hantu Laut. Ia merasa tak mengenal siapa
orang yang menghadangnya, sehingga dengan suara
menghardik ia pun berkata,
"Siapa kau, Setan gundul?! Mengapa menghalangi
langkahku?!"
"Aku ada di pihak Pendekar Mabuk dan Merpati Liar.
Lepaskan gadis itu!" Hantu Laut berkata tegas. Senjata
yoyo sudah ada di genggaman tangannya.
"Kau boleh ambil gadis ini jika kau mampu
membuatku menjadi bangkai!"
"Mau dibuat menjadi tangkai apa?! Tangkai sapu atau
tangkai gayung?!" kata Hantu Laut salah dengar. Ucapan
'bangkai' didengarnya 'tangkai', dan hal itu membuat
Darah Prabu berkerut dahi merasa tak paham maksud
ucapan lawannya.
Merasa buang-buang waktu menghadapi orang yang
sukar dipahami bicaranya itu, Darah Prabu segera
hindari Hantu Laut dengan membawa lari Peluh
Setanggi ke arah lain. Weess...! Tapi Hantu Laut segera
mengejar dengan satu lompatan dan melepaskan pukulan


tenaga dalam dari tangan kirinya. Wuuukk...! Beeehg...!
"Aaahg...!" tenaga dalam tanpa sinar itu kenai
punggung Darah Prabu. Pemuda itu terjungkal dan Peluh
Setanggi terlepas dari tangannya.
Hantu Laut maju menyerang dengan menendangkan
kakinya ke arah kepala Darah Prabu yang baru saja mau
bangkit berdiri itu. Tetapi tendangan tersebut dapat
ditangkis dengan lengan kiri Darah Prabu. Plaak...! Dan
sebuah pukulan bertenaga dalam jarak jauh dilepaskan
menggunakan tangan kanannya. Wuuutt...! Claapp...!
Sinar kuning lurus mengenai lambung Hantu Laut.
Zzeeb...!
"Aaauaahk...!"
Hantu Laut terdorong ke belakang dengan terhuyung-
huyung sejauh enam langkah. Tubuhnya terbungkuk-
bungkuk dan seketika itu darah segar tersontak keluar
dari mulutnya. Kepalanya terasa pening, urat-uratnya
menjadi seperti putus semua. Akhirnya ia tumbang ke
bumi bagai beduk jatuh dari pohon. Bluuuhg...! Ia
terkulai tak mempunyai kekuatan lagi. Matanya
terbeliak-beliak dengan mulut ternganga, napasnya
tersentak-sentak bagai terhambat di tenggorokan.
Darah Prabu tak mau peduli lagi dengan lawannya.
Yang dipikirkan adalah membawa Peluh Setanggi ke
tempat aman untuk mengobati luka-luka sebelum
terkejar oleh Pendekar Mabuk. Maka serta merta tubuh
Peluh Setanggi yang babak belur dan dalam keadaan
mencemaskan itu diangkat dan dibawa lari lagi. Kali ini
ia menggunakan peringan tubuhnya yang tertinggi,


sehingga dapat berlari menerabas semak belukar dengan
mudahnya.
Merpati Liar tiba di tempat itu dan terkejut melihat
keadaan Hantu Laut yang tak berdaya lagi itu. Ia
mencoba mengajak bicara Hantu Laut dengan
merendahkan badan,
"Siapa yang melakukannya?!"
"Tid... tidak ada yang me... menakutkan."
"Siapa yang melakukannya?!" ulang Merpati Liar
dengan suara lebih keras lagi, karena Hantu Laut tadi
salah dengar.
"Dda... Darah... Darah Prabu!"
"Jahanam!" geram Merpati Liar. "Ke mana arah
larinya?"
Sebelum Hantu Laut menjawab, Suto Sinting sudah
tiba di tempat itu dan segera lakukan pertolongan dengan
tuaknya. Kedatangan Suto Sinting belum terlambat,
seandainya terlambat, maka Hantu Laut akan kehilangan
nyawa karena semakin lama ia merasa semakin sukar
bernapas. Tapi berkat meminum tuak saktinya Pendekar
Mabuk, luka dalam yang berbahaya itu dapat teratasi.
Hantu Laut dapat bicara dengan lancar lagi. Ia
menjelaskan arah pelarian Darah Prabu. Namun ketika
mereka hendak bergerak mengejar Darah Prabu kembali,
tiba-tiba sebuah suara memanggil Pendekar Mabuk di
kejauhan sana.
"Sutooo...! Sutooo...!"
Semua mata memandang ke arah lelaki berusia
sekitar empat puluh tahun yang berlari-lari ke arah


mereka. Merpati Liar kerutkan dahi dan bertanya ke-
pada Pendekar Mabuk,
"Siapa orang itu?"
"Kelihatannya seperti Kadal Ginting, pelayannya Resi
Pakar Pantun," jawab Suto Sinting dengan mengecilkan
mata untuk dapat melihat lebih jelas lagi.
Ternyata memang benar, Kadal Ginting yang
mengikuti pelarian Darah Prabu sejak dari pantai,
akhirnya tiba di tempat itu dan bertemu dengan Pendekar
Mabuk. Dengan napas terengah-engah, Kadal Ginting
mulai menceritakan apa yang dilihatnya secara
sembunyi-sembunyi tentang Darah Prabu dan Peluh
Setanggi.
"Gadis itu tak ada puasnya, mengajak lagi, mengajak
lagi, dan Darah Prabu sendiri tak ada capeknya. Aku
sendiri yang mengintip perbuatan itu merasa capek, tapi
mereka bagai tak kenal lelah sedikit pun," tutur Kadal
Ginting dengan berapi-api.
Merpati Liar palingkan wajah, memandang ke arah
pelarian Darah Prabu, ia merasa malu mendengar cerita
Kadal Ginting di depan Pendekar Mabuk. Apalagi Kadal
Ginting menceritakannya sambil sesekali menirukan
gerakan Darah Prabu dan Peluh Setanggi, bagi Merpati
Liar hai itu cukup memalukan sebab di situ hanya dia
seorang yang sebagai perempuan.
"Lalu, bagaimana dengan dua adik kembarnya Peluh
Setanggi itu?" tanya Suto Sinting kepada pelayan Resi
Pakar Pantun.
"Mereka terkapar di pantai, entah mati atau hanya


pingsan, aku tak berani memeriksanya."
Pendekar Mabuk segera memandang Merpati Liar
dan berkata, "Kelihatannya mereka saling lepaskan aji
pemikat, sehingga keduanya saling jatuh cinta tanpa
sadar siapa orang yang mereka cintai."
"Persetan! Itu urusan mereka," ujar Merpati Liar
dengan sifatnya yang agak kasar dan selalu ketus itu.
"Yang kupikirkan adalah pusaka itu. Peluh Setanggi
harus serahkan kembali pusaka Panji-panji Mayat
kepada orang yang berhak memilikinya!"
"Nah, tentang Panji-panji Mayat aku punya cerita
sendiri...!" sahut Kadal Ginting dengan sikap bangga.
Kemudian ia menceritakan apa yang didengar dari
percakapan Peluh Setanggi bersama kedua adik
kembarnya, mengenai pusaka Panji-panji Mayat yang
ternyata palsu itu. Merpati Liar dan Suto Sinting
terkejut.
"Palsu...?!" gumam Pendekar Mabuk dengan dahi
berkerut tajam dan sedikit melongo.
Hantu Laut menimpali, "Siapa yang bisu?!"
"Palsu! Bukan bisu!" sentak Kadal Ginting.
Pendekar Mabuk bicara mirip orang menggumam,
"Jika pusaka itu palsu, lantas mengapa Resi Badranaya
mengutus muridnya memburu Peluh Setanggi?!"
Merpati Liar menjawab, "Mungkin Resi Badranaya
sendiri tak tahu kalau pusaka itu palsu?"
"Jika benar begitu, lantas di mana pusaka yang asli?!"
Kadal Ginting ikut bicara, "Mungkin memang benar,
pusaka itu ditukar dengan yang palsu oleh Peluh


Setanggi sebelum diserahkan kepada Kucing Hutan."
Pendekar Mabuk dan Merpati Liar saling pandang
dalam renungannya. Kejap berikutnya Merpati Liar tarik
napas dalam-dalam, setelah itu baru berkata seperti
ditujukan pada dirinya sendiri,
"Untuk mendapatkan kepastian, Peluh Setanggi harus
berhasil kutangkap dan kupaksa bicara dengan caraku
sendiri!"
Merpati Liar bergerak lebih dulu tanpa memberi
perintah kepada siapa pun. Pendekar Mabuk akhirnya
mengikuti gerakan perempuan tersebut menuju ke arah
pelarian Darah Prabu. Hantu Laut dan Kadal Ginting
mengikutinya dengan susah payah, mereka tertinggal
jauh. Apalagi hari menjadi petang, mereka sulit
menemukan arah gerakan Pendekar Mabuk dan Merpati
Liar.
Pengejaran itu membawa mereka ke sebuah desa. Di
desa itu ada kedai yang lumayan besar dengan
pengunjung cukup ramai. Pendekar Mabuk mengajukan
gagasan kepada Merpati Liar untuk singgah di desa itu
dan meneruskan pengejaran esok paginya.
"Malam-malam begini tak mungkin kita bisa temukan
arah pelarian mereka, Merpati!"
Gagasan itu dapat diterima Merpati Liar karena
beralasan dan masuk akal. Kesempatan singgah di kedai
digunakan Suto Sinting untuk mengisi bumbung tuaknya
yang tinggal beberapa teguk lagi itu. Jika bumbung
berisi tuak penuh, hati Pendekar Mabuk merasa lega,
seakan ke mana pun ia pergi tak mempunyai kecemasan


sedikit pun.
"Bagaimana dengan Hantu Laut dan Kadal Ginting?
Apakah mereka tahu kita ada di sini?" tanya Merpati
Liar setelah sampai beberapa saat mereka berada di
kedai, tapi Hantu Laut dan Kadal Ginting belum muncul
juga.
"Hantu Laut sudah terbiasa mencari jejakku, mereka
pasti akan menemukan kita," kata Suto Sinting sambil
pandangi orang-orang di dalam kedai itu. Tak satu pun
wajah yang dikenalnya, sebab memang desa itu baru
pertama kali disinggahi olehnya.
Dengan menyewa sebuah kamar, mereka bermalam
di desa tersebut. Tentu saja Merpati Liar tak mau tidur
seranjang dengan Pendekar Mabuk. Hati kecil bisa
menerima, tapi akal sehatnya menolak, sebab ia tak mau
jatuh harga dirinya dengan menerima kehadiran lelaki di
ranjangnya. Mau tak mau Pendekar Mabuk tidur di
lantai dengan menggelar tikar pandan.
"Selama ini aku tak pernah mendengar namamu
disebut-sebut dalam dunia persilatan," kata Suto Sinting
sambil merebahkan badan. "Mengapa sampai terjadi
begitu, Merpati?"
"Aku sedang pelajari suatu ilmu warisan Nyai Guru
yang sampai sekarang belum bisa kurampungkan,"
jawab Merpati Liar sambil berbaring telentang di
ranjangnya, ia bagaikan bicara dengan langit-langit
kamar.
"Ilmu apa yang kau peiajari itu?"
Merpati Liar tak langsung menjawab, ia mempunyai


pertimbangan sendiri. Agaknya ia merahasiakan ilmu
tersebut, tak ingin diketahui oleh orang lain sebelum
berhasil dipelajari. Karenanya ia pun segera
memiringkan badannya, memandang ke bawah dan di
bawah tampak wajah Suto Sinting telentang dengan
lengan di dahi.
"Aku sedang mempelajari ilmu pemikat," jawabnya
tampak tidak bersungguh-sungguh, membuat Pendekar
Mabuk memandang sambil sunggingkan senyum
menawan. Desir di hati Merpati Liar membuat batin
mengeluh, seakan tak mau menerima desiran indah
setiap memandang senyuman Suto Itu.
"Siapa yang ingin kau pikat?" tanya Pendekar Mabuk
memancing canda, mengendurkan ketegangannya dalam
mengejar gadis buronan itu.
"Siapa saja orangnya yang mau kupikat akan kupikat
dengan ilmu itu. Termasuk kau!"
Senyum pendekar tampan itu kian melebar. Kini
Merpati Liar mulai sunggingkan senyum tipis yang amat
menarik dan menambah kecantikannya. Mereka saling
pandang dengan tatapan mata lembut. Lalu, Pendekar
Mabuk memancing sikap perempuan cantik itu,
"Aku bersedia kau pikat. Pikatlah aku dengan ilmumu
itu!"
Senyum Merpati Liar kian lebar. Bunga-bunga indah
mekar di hatinya. Namun agaknya ia tak mau menuruti
irama indah dalam hati, sehingga dengan mengubah
tidurnya menjadi telentang kembali, Merpati Liar sempat
ucapkan kata yang memancing tawa lirih di bibir Suto


Sinting.
"Nanti saja, kalau gadis buronan itu sudah berhasil
kutangkap dan pusaka Panji-panji Mayat berhasil
kukembalikan kepada yang berhak, kau akan kujerat
dengan ilmu pemikatku!"
Agaknya Merpati Liar sangat patuh kepada wasiat
gurunya. Perhatiannya tercurah pada tugasnya menjaga
agar jangan sampai pusaka Panji-panji Mayat jatuh ke
tangan orang yang bukan keturunan dari Nyai Parisupit.
Terlebih jangan sampai pusaka itu jatuh ke tangan tokoh
aliran hitam. Sebab itulah, Merpati Liar menjadi berang
saat mendengar kabar pusaka Panji-panji Mayat dicuri
Peluh Setanggi, ia sendiri tak tahu kalau peristiwa ini
akan mempertemukan dirinya dengan Pendekar Mabuk
yang memiliki wajah tampan dan senyum menawan itu.
Sekalipun demikian dekat dengan si pendekar tampan,
namun urusan pribadinya masih mampu
dikesampingkan, dan ia lebih mengutamakan tugas yang
diberikan oleh mendiang gurunya ketika sang Guru
masih hidup.
Begitu matahari mulai menampakkan suryanya,
Merpati Liar bergegas meninggalkan kedai itu. Pendekar
Mabuk masih terasa mengantuk, tapi karena perempuan
itu nekat akan pergi meneruskan pengejarannya
walaupun tanpa Suto Sinting, mau tak mau murid si Gila
Tuak menghapus rasa kantuknya dengan meneguk tuak
di ujung pagi. Mereka bergerak mengikuti naluri Merpati
Liar, arah utara menjadi sasaran pengejarannya.
Perempuan itu seakan punya keyakinan bahwa di arah


utara nanti ia akan dapat bertemu dengan Darah Prabu
dan Peluh Setanggi.
Merpati Liar mempunyai firasat yang cukup tajam.
Kenyataannya Darah Prabu dan Peluh Setanggi memang
bergerak ke arah utara. Semalaman mereka tinggal di
dalam gua, dan di gua itulah Darah Prabu melakukan
penyembuhan terhadap diri Peluh Setanggi dengan cara
menyalurkan pernapasan murni yang dapat membentuk
hawa sakti di dalam tubuh Peluh Setanggi. Hawa sakti
itulah yang membuat rasa sakit Peluh Setanggi lenyap,
luka-lukanya mengering walau tak bisa hilang seperti
menelan tuak Suto. Tetapi tenaga Peluh Setanggi
berhasil pulih kembali. Buktinya mereka sempat bercinta
satu kali di dalam gua tersebut
"Kita menghadap guru saja, dan minta dinikahkan
secara resmi!" usul Darah Prabu yang benar-benar telah
tertawan hatinya oleh nikmatnya bercumbu bersama
Peluh Setanggi Itu.
"Apakah gurumu mau menikahkan kita, karena...
karena kurasa gurumu tahu siapa diriku."
"Guru pasti mau menuruti permintaanku, karena
beliau tak punya murid lain kecuali aku sendiri."
"Bagaimana jika gurumu menolak?"
"Aku akan tinggalkan dia dan kita menikah di tempat
lain. Aku kenal seorang pendeta aliran putih yang
menganggapku seperti anak sendiri. Kita bisa minta
bantuannya untuk menikahkan kita, supaya kelak jika
kau melahirkan bayi maka bayi kita bukan bayi setan."
"Terserah padamu, apa saja yang ingin kau lakukan


aku akan selalu setuju, asal jangan kau tinggalkan diriku
walau sekejap pun, Prabu."
"Meninggalkan kau sama saja meninggalkan
nyawaku, Setanggi."
Kebulatan tekad itulah yang membawa mereka ke
arah utara, karena di sana ada sebuah gunung yang
bernama Gunung Wakas. Di pundak Gunung Wakas
itulah sang Resi Badranaya membangun pertapaan, dan
pertapaan itu akhirnya menjadi padepokan untuk melatih
ilmu kanuragan bagi murid tunggalnya; Darah Prabu.
Perjalanan mereka ke Gunung Wakas tak bisa mulus,
apalagi Darah Prabu membawa gadis buronan yang
diburu oleh berbagai pihak, tentu saja cukup banyak
perintangnya.
Seberkas sinar hijau sebesar buah kelapa melesat dari
suatu kerimbunan semak. Sinar hijau itu mengarah
kepada Peluh Setanggi. Tetapi dengan cekatan Darah
Prabu menyambar tubuh gadis buronan dan
membawanya terbang sejauh delapan langkah.
Wuuss...! Jegaarrr...!
Sinar hijau menghantam tanah, dan tanah itu menjadi
retak selebar dua langkah panjangnya sekitar sepuluh
tombak. Asap mengepul dari keretakan tanah tersebut.
*
* *


7
SIAPA orang yang menyerang kita?!" bisik Peluh


Setanggi setelah turun dari topangan tangan Darah
Prabu. Matanya memandang ke sekeliling dengan jeli.
Darah Prabu bersiap lindungi gadis buronan itu dengan
berdiri di depan Peluh Setanggi.
Tiba-tiba sebatang anak panah melesat dengan
memancarkan cahaya merah bara. Weeess...!
"Awas...!" seru Darah Prabu mengingatkan Peluh
Setanggi, karena anak panah itu datang dari arah
samping mereka. Keduanya saling melompat berbeda
arah. Wuut, wuut...! Anak panah yang menyala bagai
besi membara itu melesat ke tempat kosong, lalu
menghantam sebuah pohon. Deeebb...!
Weess...!
Anak panah itu membalik arah dengan sendirinya,
sasarannya menuju kepada Peluh Setanggi. Melihat
Peluh Setanggi terancam bahaya, Darah Prabu segera
lepaskan pukulan bersinar biru dari telapak tangan
kirinya. Claapp...! Sinar biru itu menghantam anak
panah yang menuju Peluh Setanggi.
Blegaarr...!
Ledakan menggelegar terjadi bersamaan dengan
hancurnya anak panah yang memercikkan bunga api ke
mana-mana itu. Ledakan itu menyentakkan tubuh Peluh
Setanggi hingga terlempar ke belakang dan berguling-
guling tujuh langkah jauhnya. Sedangkan Darah Prabu
yang berada dalam jarak cukup jauh dari ledakan tadi
hanya terdorong ke belakang dua tindak.
Ia segera melesat hampiri kekasihnya yang terpuruk
di bawah sebatang pohon. Weess...! Dalam sekejap


sudah berada di samping Peluh Setanggi dan matanya
memandang ke sana-sini dengan tajam.
"Setanggi, kau terluka?!"
"Tidak, Prabu. Aku tidak apa-apa!" Peluh Setanggi
segera bangkit dan menarik napas dalam-dalam. Darah
Prabu memeriksanya sebentar, ia segera memeluk lega
kepada gadis buronannya yang telah menjadi kekasihnya
itu.
"Syukurlah, kau tak terluka apa pun!"
Namun pada saat mereka berpelukan, sebatang anak
panah meluncur lagi dari balik kerimbunan semak yang
sama. Sasaran anak panah itu adalah punggung Darah
Prabu yang sedang memeluk Peluh Setanggi.
Melihat kedatangan anak panah yang memercik-
mercikkan sinar biru petir itu, Peluh Setanggi segera
memeluk erat pemuda itu. Kakinya menghentak ke tanah
dan tubuh mereka melesat ke atas dalam keadaan tetap
berpelukan. Wuuuttt...!
Anak panah itu tiba-tiba memecah menjadi empat
bagian, masing-masing ke arah kanan, kiri, atas, bawah.
Cahaya biru petir masih menyertai tiap anak panah
tersebut.
Tubuh mereka yang melambung ke atas kini telah
saling terpisah dan sama-sama hinggap di atas sebuah
dahan berbeda pohon. Wut, wut...! Jleg, jleg...!
Anak panah yang menuju ke atas mengarah kepada
Darah Prabu. Peluh Setanggi segera lepaskan pukulan
dari tempatnya dengan sentakan kedua jarinya yang
memancarkan selarik sinar merah. Slaapp...!


Sinar merah tanpa putus itu menghantam anak panah
yang mengarah kepada Darah Prabu. Taaarrr...!
Letupan kecil terdengar namun justru membuat Darah
Prabu dan Peluh Setanggi terbelalak kaget, karena anak
panah yang meletup akibat dihantam sinar merah tadi
pecah menjadi delapan bagian. Tiap bagian membentuk
anak panah kecil yang masih memancarkan kilatan sinar
biru petir. Kedelapan anak panah melaju cepat ke arah
Darah Prabu.
"Lari, Prabu...!" teriak Peluh Setanggi dengan tegang.
Darah Prabu pun segera sentakkan kaki dan tubuhnya
bagaikan terbang berpindah pohon. Wuuusss...!
Delapan anak panah kecil itu akhirnya menghantam
batang pohon tempat berdirinya Darah Prabu semula.
Jegaarr...! Blaaarr...! Blegaaarr...!
Ledakan yang timbul sungguh dahsyat, mengguncang
beberapa pohon di sekitar tempat itu. Bahkan dua pohon
tua ada yang tumbang dengan akar terangkat ke atas,
tanahnya menyebar ke mana-mana. Pohon yang terkena
delapan anak panah kecil-kecil itu menjadi serpihan
kayu yang tak bisa dikatakan lagi sebagai batang atau
ranting.
Ledakan itu membuat Peluh Setanggi kehilangan
keseimbangan dan tergelincir jatuh dari dahan yang
dipijaknya. Wuuutt...! Untung ia bisa menguasai
keseimbangan tubuh, sehingga ketika sampai di tanah
kedua kakinya menapak dengan baik. Ia sempat melihat
tiga anak panah lainnya berbalik arah tanpa menyentuh
apa pun, lalu di pertengahan jalan ketiganya bergabung


menjadi satu dan melesat lurus kembali ke tempat
datangnya tadi.
Wuk, wuk, wuk...! Darah Prabu melompat turun
dengan bersalto tiga kali. Gerakan itu dilakukan dengan
cepat, sehingga dalam sekejap sudah berada di sisi Peluh
Setanggi lagi.
"Setanggi, kau masih tak apa-apa?" tanyanya cemas.
"Tenang, Prabu! Akan kuhantam orang yang
bersembunyi di balik gerumbulan semak di seberang
sana!" ujar Peluh Setanggi kemudian melepaskan
pukulan jarak jauhnya dengan menyentakkan tangan kiri
yang keempat jarinya berdiri tegak merapat dan
mengarah lurus ke depan. Wuuutt...!
Slaaapp...!
Segumpal sinar merah bagaikan bola api melayang
cepat menghantam gerumbulan semak di seberang sana.
Zrraakk...! Buummm...!
Blegaarr...!
Dua pohon tumbang seketika dihantam bola api itu.
Semak-semak yang ada di bawah pohon tersebut
buyarkan menjadi hangus, sehingga tempat itu tampak
terbuka terang. Tetapi tak ada orang di balik semak yang
terbakar hangus itu. Peluh Setanggi memandang penuh
rasa kecewa yang menambah kemarahannya.
"Jahanam! Tak ada manusia di sana!" geramnya
dengan kedua tangan menggenggam kuat-kuat.
"Pasti dia sudah berpindah tempat!" kata Darah
Prabu.
"Memang...!" tiba-tiba sebuah suara menjawab tepat


di atas kepala mereka. Seseorang ada di atas pohon
tempat mereka berdiri. Orang itu segera lepaskan
pukulan ke bawah bersinar merah lurus. Slaaap...!
"Prabu...!" sentak Peluh Setanggi karena arah sinar
itu bagai ingin menembus ubun-ubun Darah Prabu.
Dengan cepat Darah Prabu sentakkan telapak
tangannya ke atas, kakinya berlutut satu. Claapp...!
Sinar kuning melesat dari telapak tangan Darah Prabu
dan menghadang kecepatan gerak sinar merah dari atas.
Blegaarr...!
Darah Prabu terpental dan berguling-guling,
sedangkan orang yang ada di atas pohon itu pun
terpental hingga mematahkan sebatang dahan milik
pohon sebelahnya. Krraakk...! Brruukk...!
Peluh Setanggi melesat hampiri kekasihnya yang
berusaha bangkit berdiri, ia menolong bangkit dengan
memegangi tangan Darah Prabu. Wajah Peluh Setanggi
tampak cemas melihat mulut pemuda itu mengeluarkan
darah sedikit di tepian bibirnya.
"Kau terluka, Prabu?! Kau terluka? Ooh... Prabu...!"
"Tenang, tenang... aku hanya terluka sedikit. Tak apa,
bisa kuatasi dengan napas murniku!"
"Atasilah dulu lukamu, aku akan melayani si keparat
itu!"
Orang yang jatuh dari pohon itu ternyata mampu atasi
diri sehingga tidak mengalami luka dan sakit apa pun. Ia
kini berdiri dengan kaki sedikit merenggang menghadap
ke arah Peluh Setanggi. Di tangannya menggenggam
busur panah berhias gading, tempat panahnya ada di


punggung diikat dengan tali kulit menyilang dada.
Pemanah itu adalah seorang perempuan cantik berhidung
mancung dengan rambut disanggul.
Rupanya Peluh Setanggi mengenali wajah cantik
yang seperti berusia tiga puluh tahun itu, walaupun
sebenarnya usianya sudah cukup banyak. Tak heran jika
Peluh Setanggi segera menyapa dengan kasar kepada
perempuan berjubah biru iaut tanpa lengan dan berkulit
sawo matang itu.
"Keparat kau, Geladak Ayu!"
Dewi Geladak Ayu yang dikenal sebagai bajak laut
wanita itu hanya sunggingkan senyum tipis dan sinis, ia
melangkah dua tindak dan berhenti dengan sikap
menantang penuh wibawa. Rupanya ia benar-benar
berhasil mengatasi racun yang nyaris mencelakakan
nyawanya pada saat ia terkena lemparan pisau
beracunnya si Kucing Hutan. Ia berhasil lolos dari
cengkeraman Kucing Hutan yang bermaksud
memaksanya untuk menyerahkan pusaka Panji-panji
Mayat, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode:
"Misteri Bayangan Ungu"). Kucing Hutan tak ingat
bahwa Dewi Geladak Ayu mempunyai ilmu 'Napas
Tolak Bala' yang mampu menawarkan racun dengan
sendirinya sebelum merenggut nyawanya.
Darah Prabu segera dekati Peluh Setanggi dan
memandang ke arah Dewi Geladak Ayu. Pada saat itu
sebenarnya mereka diperhatikan oleh dua pasang mata
yang mengintai dari balik pohon seberang. Mereka yang
ada di balik pohon itu adalah Pendekar Mabuk dan


Merpati Liar.
Suara ledakan dahsyat tadi memancing arah
pengejaran mereka ke tempat itu. Merpati Liar ingin
segera menyerang Peluh Setanggi ketika Peluh Setanggi
jatuh dari pohon. Tetapi gerakannya ditahan oleh Suto
Sinting yang berkata dalam bisik,
"Kita lihat dulu siapa penyerang mereka dan
bagaimana hasilnya! Ngirit tenaga!"
Merpati Liar akhirnya urungkan niat, ia menyimak ke
arah pertarungan. Bahkan sekarang ia merasa lebih baik
di persembunyian daripada ikut terjun ke pertarungan,
sebab dengan berada di persembunyian ia bisa
mendengar percakapan mereka. Merpati Liar pun
mengenal siapa Dewi Geladak Ayu itu, namun antara
dirinya dengan Dewi Geladak Ayu tidak pernah punya
masalah apa-apa. Karenanya ia berharap agar Dewi
Geladak Ayu dapat lumpuhkan Peluh Setanggi dan
Darah Prabu yang mulai dibencinya karena memihak
Peluh Setanggi.
"Mengapa kau menyerang kami, Geladak Ayu?!
Apakah kau sudah bosan hidup menjadi bajak laut?
Apakah kau ingin hidup sebagai bajak neraka?!"
"Tutup mulutmu, Peluh Setanggi!" bentak Dewi
Geladak Ayu dengan pandangan mata mulai buas.
"Beberapa waktu yang lalu kapalku kau tenggelamkan
bersama orang-orang Biara Ungu, beberapa anak buahku
kalian bantai seenak perut kalian sendiri! Sekarang aku
menuntut balas dan ingin hancurkan orang-orang Biara
Ungu! Karena kau adalah orang Biara Ungu, maka kau


pun wajib mati di tanganku!"
"Aku bukan orang Biara Ungu lagi!" sentak Peluh
Setanggi dengan lantang. "Aku sudah keluar dari
perguruan keparat itu! Jangan libatkan aku lagi dengan
urusan Biara Ungu! Jika kau ingin menuntut kehancuran
kapalmu, tuntutlah si pendeta sesat itu!"
"Hmmm...," Dewi Geladak Ayu mencibir sinis. "Kau
ingin cuci tangan begitu saja karena takut menghadapi
kesaktianku? Oh, tak bisa! Kau harus ikut mati seperti
halnya adik kembarmu; si Pedang Gunting!"
Peluh Setanggi terperanjat mendengar adik
kembarnya yang bernama Pedang Gunting telah dibunuh
oleh Dewi Geladak Ayu. Rona wajahnya menjadi merah
menandakan kemarahannya mulai memuncak, ia pun
menggeram dengan kedua mata mengecil memancarkan
dendam begitu dalam.
"Kalau begitu kau layak kuhancurkan sekarang juga,
Geladak keparat!"
"Kau yang harus hancur, Peluh cabul! Hiaaah...!"
Dewi Geladak Ayu melambung ke atas, dari ujung
busurnya keluarlah sinar biru menghantam ke arah Peluh
Setanggi. Slaaap...! Peluh Setanggi lompat ke kiri, Darah
Prabu lompat ke kanan. Tapi dari tangan mereka masing-
masing lepaskan pukulan jarak jauh yang berbahaya.
Peluh Setanggi lepaskan pukulan bersinar hijau
patah-patah, sedangkan Darah Prabu lepaskan pukulan
kuning bergumpal-gumpal mirip kabut. Claap...!
Wuuurrss...!
Blaaarr...! Sinar birunya Dewi Geladak Ayu


mengenai tanah tempat mereka berdiri semula.
Jegaarrr...! Blaaarrr...!
Kedua serangan lawannya ditangkis dengan kibasan
busur yang mengeluarkan sinar biru membentuk
setengah lingkaran bagai melingkupi tubuhnya. Rupanya
sinar biru itu tidak bisa ditembus sinar tenaga dalam
lawan, akibatnya meledak bersamaan dan membuat
Dewi Geladak Ayu terjengkang ke belakang tiga langkah
jauhnya, ia jatuh berguling satu kali, tapi tiba-tiba sudah
bangkit berdiri dengan tegak kembali.
"Perempuan jalang!" sentak Darah Prabu. "Kalau kau
ingin menghancurkan kekasihku yang tercinta ini, kau
harus berhadapan denganku dulu. Darah Prabu tak akan
izinkan siapa pun menyentuh bayangan Peluh Setanggi!"
sambil Darah Prabu menepuk dada.
"Hmmm...!" Dewi Geladak Ayu mencibir sinis.
"Ketampananmu belum seberapa dibanding ketampanan
Pendekar Mabuk, Bocah ingusan! Perempuan bodoh itu
memang layak mendapatkan kekasih sepertimu, hanya
kau saja yang lebih bodoh sehingga mau menjadi
kekasih pelacur murahan itu!"
"Jahanam! Berani menghina calon istriku kau, hah?!
Heiaaatt...!"
Darah Prabu marah, pedangnya dicabut dan ia
melesat maju menerjang Dewi Geladak Ayu. Pedangnya
ditebaskan dengan cepat ke arah Dewi Geladak Ayu.
Tapi bajak laut wanita itu menangkisnya dengan busur
yang dialiri tenaga dalam hingga kekerasannya
menyerupai baja.


Trang, trang, trang, weess...! Trang, beeehg...!
"Uuhg...!" Darah Prabu tersodok ujung busur pada
ulu hatinya, ia tersentak mundur dua langkah dengan
sedikit membungkuk menahan rasa mual di perutnya.
"Prabu...?!" Peluh Setanggi tampak cemas melihat
keadaan Darah Prabu, ia menjadi semakin marah dan
segera lakukan pembalasan kepada Dewi Geladak Ayu.
"Hiaaatt...!"
Sraaang...! Pedang dicabut dari sarungnya, Peluh
Setanggi berkelebat dengan gerakan pedang bagai
melilit-lilit di tubuhnya. Tebasannya begitu cepat dan
kuat, sehingga ketika ditangkis dengan busur
menimbulkan percikan sinar merah beberapa kali.
Trang, claap... trang, clap... trang, dap...!
"Aauh...!" Dewi Geladak Ayu memekik sambil
palingkan wajah. Matanya terpejam kuat-kuat karena
kedua mata itu terkena percikan sinar merah dari
perpaduan pedang dengan busur, ia mencoba membuka
mata dan memandang sekitarnya, namun langkahnya
menjadi gontai karena tak bisa berbuat apa-apa. Ia segera
menyadari dirinya telah menjadi buta.
"Bangsaaat...!" teriaknya murka. "Kau telah membuat
mataku menjadi buta, Keparat!" sambil mencoba meraba
sekelilingnya, ia menemukan sebatang pohon dan
berpegangan pada batang pohon itu.
"Hik, hik, hik, hik...!" Peluh Setanggi tertawa
kegirangan. "Sekarang kau adalah bajak laut yang tuna
netra, Geladak setan! Kau akan berlayar menuju lautan
api, tepatnya di kubangan besar yang bernama neraka.


Kukirim kau ke sana sekarang juga sebagai pembalasan
atas kematian si Pedang Gunting. Heeeaaah...!"
"Matilah si Geladak Ayu itu!" gumam Merpati Liar
dengan wajah tegang.
Pada saat-saat menegangkan itu, tiba-tiba berkelebat
seberkas sinar ungu menerjang pedang Peluh Setanggi
yang sudah terangkat siap ditebaskan dari atas ke bawah
itu. Slaapp...! Prraang...! Pedang itu pun buntung
seketika karena pecah menjadi kepingan-kepingan tak
berguna.
"Siapa yang melakukannya?!" sergah Merpati Liar
dengan mata melebar dan suara membisik. Suto Sinting
yang ikut terperangah itu segera ucapkan kata membisik
pula.
"Pasti ada pihak lain yang lindungi Dewi Geladak
Ayu!"
Bluub...!
Segumpal asap muncul di depan Peluh Setanggi.
Kemunculan asap itu mengeluarkan gelombang tenaga
dalam yang menyentak dan membuat tubuh Peluh
Setanggi terlempar ke belakang, langsung ditangkap
oleh Darah Prabu.
Asap putih mengepul makin tinggi dan makin tipis,
lalu tampaklah sosok seorang lelaki tua berkepala
gundul dengan brewok putih rata. Lelaki tua itu
mengenakan pakaian model biksu dengan warna kain
kuning, mengenakan kalung tasbih batu putih sebesar
kelereng. Kemunculannya yang tiba-tiba menunjukkan
kesaktian ilmunya di atas Peluh Setanggi dan Darah


Prabu.
Yang jelas, Darah Prabu terperanjat tegang melihat
kemunculan tokoh tua itu. Ia tak berani lakukan serangan
balasan untuk membela Peluh Setanggi. Sementara itu,
Peluh Setanggi pun segera berwajah cemas begitu
mengetahui siapa yang muncul di depannya melindungi
Dewi Geladak Ayu.
"Guru...?!" sapa Darah Prabu kemudian segera
membungkuk memberi hormat.
"Siapa orang itu, Merpati?" tanya Suto Sinting.
"Resi Badranaya!" jawab Merpati Liar dengan mata
tetap lurus ke arah pertarungan.
"Oooh... dia orangnya yang bernama Resi
Badranaya? Baru sekarang aku melihatnya," gumam
Suto Sinting. Kemudian ia segera hentikan gumaman
kareni Resi Badranaya mulai bicara.
"Apa yang kau lakukan di sini, Darah Prabu?!"
tanyanya penuh wibawa.
"Hmmm... eh... kami... kami melawan Geladak Ayu,
Guru," jawab Darah Prabu dengan gugup. "Mengapa
Guru melindungi bajak laut wanita, tokoh sesat itu?"
"Bukan bajak lautnya yang kulindungi, dan bukan
kesesatannya yang kubela, tetapi gadis buronanmu itu
tidak boleh memakan korban lagi! Sudah waktunya dia
yang menjadi korban peristiwa pencurian pusaka itu!"
Darah Prabu melihat gurunya memusuhi Peluh
Setanggi, ia segera berdiri di depan Peluh Setanggi,
melindungi kekasihnya dari murka sang Guru.
"Kuharap, Guru jangan murka kepadanya. Peluh


Setanggi telah menjadi kekasih saya, calon istri saya,
Guru! Mohon Guru sudi merestui pernikahan kami."
"Apa...?!" sentak Resi Badranaya dengan kaget.
"Malah mau kau nikahi?! Edan tujuh turunan kau ini,
Prabu?!"
Suto Sinting tertawa terkikik-kikik mendengar
ucapan Resi Badranaya. Mulutnya segera dibekap
dengan tangan Merpati Liar.
"Diam, tolol! Jangan sampai mereka tahu kita
menyadap pembicaraan di sini!" bisik Merpati Liar, dan
Suto Sinting menghentikan tawanya. Tangan itu belum
mau dilepaskan dari mulut Suto Sinting. Dengan nakal
Suto menggigit tangan Merpati Liar.
"Auh...!" sentak Merpati Liar dengan suara tertahan,
ia segera melepaskan tangannya dari mulut Suto Sinting.
"Bagaimana aku tak merasa geli, disuruh menangkap
musuh malah minta dikawinkan? Konyol itu namanya!"
Mereka kembali menyimak percakapan di seberang
sana.
"Ada apa dengan dirimu, Muridku?! Kulihat noda
merah pecah di keningmu. Hmmm... kalau tak salah
dugaanku, kau telah terkena jurus pemikat aliran si
Gandrung Arum!"
"Tidak... tidak, Guru. Saya tidak kena pikat, tapi
memang mencintai Peluh Setanggi. Kami saling
mencintai, Guru. Mohon segera dinikahkan secara
resmi!"
"Tidak!" sentak Resi Badranaya. Kemudian ia
menuding muridnya dengan telunjuk, dan dari


telunjuknya itu melesat sinar putih perak bagai anak
panah melesat dari busurnya. Claaapp...! Deeebbb...!
Sinar itu menghantam kening Darah Prabu. Kepala
pemuda tampan itu tersentak mundur satu kali, tapi tak
membuatnya tumbang atau celaka. Hanya saja, ia segera
terkejut dan seperti merasa heran terhadap keadaan
sekelilingnya.
Suto Sinting berkata lirih, "Hei, lihat... Geladak Ayu
melarikan diri dengan gunakan mata batinnya!"
"Ssst...! Biarkan saja dia lari. Lihat, Darah Prabu
menjadi seperti orang linglung. Rupanya ia baru
disadarkan oleh gurunya dari pengaruh ilmu pemikatnya
Peluh Setanggi!"
Darah Prabu memang seperti orang linglung, bahkan
ia bertanya pada diri sendiri, "Mengapa aku ada di sini?!
Lho... Guru? Oh, ampuni saya, Guru! Saya tidak tahu
kalau Guru ada di depan saya!" lalu ia membungkuk
memberi hormat kepada Resi Badranaya.
"Prabu...?!" sapa Peluh Setanggi dengan cemas, ia
masih dalam pengaruh jurus pemikatnya Darah Prabu.
Dan ketika murid Resi Badranaya itu berpaling ke
belakang, wajah sang murid menjadi tegang.
"Hei, kau ada di sini, buronanku?!"
"Hmmm... iya, kita... kita memang selalu bersama,
Prabu!"
"Keparat! Kau yang mencuri panji-panji itu, bukan?!
Hiaaat..."
Darah Prabu menerjang Peluh Setanggi tanpa rasa
cinta lagi. Gadis itu terpental karena tendangan keras


Darah Prabu. Brrus...!
"Aaauh...! Prabu, mengapa kau berubah sikap
padaku?!" Peluh Setanggi ketakutan menghadapi Darah
Prabu yang berbalik sikap menjadi memusuhinya.
"Tangkap dia dan paksa untuk mengembalikan
pusaka itu!" perintah Resi Badranaya.
Tetapi tiba-tiba sekelebat bayangan melintas di depan
Darah Prabu. Wuuutt...! Jleeg...!
Suto Sinting terpekik kaget dengan suara membisik.
"Kucing Hutan...?! Itu dia si Perawan Titisan Peri?!"
"Kalau begitu, sekarang giliranku bertindak!" geram
Merpati Liar.
Namun tiba-tiba Kucing Hutan yang berpakaian ungu
itu menyentakkan tangannya ke arah Darah Prabu. Dari
tangannya keluar sinar merah sebesar lidi. Claaap...
Deess...!
"Aaahg...!" Darah Prabu terpental ke belakang
menabrak gurunya. Brruk...!
"O, rupanya kau biang keladinya, Kucing Hutan?!"
ujar Resi Badranaya masih tampak tenang, bagai tak
peduli keadaan muridnya yang jatuh di bawah kakinya.
"Memang aku yang mengutus Peluh Setanggi
mencuri pusaka itu! Tapi ternyata aku mengirimkan
utusan yang bodoh! Pusaka itu palsu!"
"Palsu...?!" Resi Badranaya berkerut dahi. Rupanya
sejak tadi telapak kakinya mengepulkan asap tipis, asap
itu dihirup oleh Darah Prabu, dan luka dalam yang parah
itu menjadi sembuh karena tubuh Darah Prabu mulai
dipenuhi dengan asap tersebut.


Kucing Hutan berbalik memandang Peluh Setanggi
yang hidungnya berdarah akibat terjangan Darah Prabu
tadi.
"Manusia bodoh kau! Mengapa yang kau curi pusaka
palsu?!"
"Tidak mungkin!" sangkal Resi Badranaya. "Pusaka
itu bukan pusaka palsu! Parisupit sendiri yang
menitipkan kepadaku agar tak dijamah oleh orang-orang
serakah dan sesat sepertimu, Kucing Hutan! Pusaka itu
asli!"
Kucing Hutan geram karena bingung sendiri. Lalu ia
memandang Peluh Setanggi.
"Kalau begitu, kau telah menukarnya dengan yang
palsu sebelum pusaka itu kau serahkan padaku!"
"Tidak! Aku... aku...."
"Pengkhianat!" bentak Kucing Hutan, kemudian
tangannya berkelebat cepat. Breeett...!
"Aaahg...!" Peluh Setanggi tersentak dengan kepala
terdongak. Lehernya menjadi robek karena terpotong
kuku runcing si Kucing Hutan yang murka itu. Ia segera
roboh dan menghembuskan napas terakhir. Nasib sang
gadis buronan akhirnya mati di tangan 'tuan' nya sendiri.
Namun Kucing Hutan sudah telanjur murka dan
segera berkata kepada Resi Badranaya.
"Kau seorang resi yang bejat! Menyimpan pusaka
palsu demi memperbesar namamu biar menjadi
kondang!"
"Gawat...!" bisik Suto Sinting sambil bangkit berdiri
dengan tegang.


Kucing Hutan berseru lagi, "Sekarang terimalah upah
penipuanmu itu, Resi bejat! Heeaaah. .!"
Wuusss...!
Gumpalan api melesat dari telapak tangan Kucing
Hutan, arahnya tertuju pada Resi Badranaya dan Darah
Prabu. Guru dan murid itu baru saja hendak lakukan
tangkisan dengan menggerakkan tangan mereka. Tetapi
seberkas sinar ungu melesat lurus menghantam
gumpalan api yang sebesar buah kelapa itu. Claaap...!
Sinar ungu itu datang dari kedua tangan Pendekar
Mabuk yang saling merapat dan disentakkan ke depan.
Sinar ungu itulah yang dinamakan jurus 'Surya Dewata'
yang cukup berbahaya.
Blegaaarr...!
Ledakan dahsyat terjadi saat sinar ungu sebesar lidi
itu menghantam bola api di pertengahan jarak antara
Resi Badranaya dengan Kucing Hutan. Ledakan itu
membuat tanah di sekitar mereka guncang dan retak
merekah. Bahkan mayat Peluh Setanggi terperosok
masuk ke dalam keretakan tanah. Resi Badranaya dan
muridnya sama-sama melompat hindari keretakan tanah
dan rubuhnya sebuah pohon. Sementara lebih dari
delapan pohon lainnya tumbang tak tentu arah bagai
dilanda klamat.
Merpati Liar hanya tertegun bengong mengetahui
sinar ungu itu mampu membuat keadaan alam menjadi
serusak itu. Tapi matanya tetap mengarah pada Kucing
Hutan yang terpental akibat ledakan dahsyat tadi. Tubuh
perempuan yang mempunyai sepasang taring pendek itu


terjepit di antara keretakan tanah. Namun dalam sekejap
ia mampu melompat keluar bersama hancurnya tanah
penjepit tubuh itu.
Brraasss...!
"Keparat busuk!" teriaknya. "Siapa pun orangnya
yang mematahkan seranganku, kelak akan berhadapan
denganku setelah aku mempunyai pasukan mayat yang
akan menggegerkan rimba persilatan! Panji-panji Mayat
akan berhasil kutemukan dan menjadi milikku
selamanya! Tunggu saatnya mereka bangkit dari kubur!"
Setelah berseru seperti orang gila, Kucing Hutan
melesat pergi meninggalkan mereka. Merpati Liar tak
mau tinggal diam. Slaaap...! Tahu-tahu ia telah hilang
dari samping Pendekar Mabuk. Rupanya ia lakukan
pengejaran terhadap diri si Kucing Hutan yang bernafsu
sekali ingin memiliki pusaka Panji-panji Mayat.
Pendekar Mabuk ingin menyusulnya, tapi Hantu Laut
dan Kadal Ginting datang berlari-lari dengan panik. Mau
tak mau Suto Sinting muncul dari persembunyiannya
dan menemui mereka.
"Hantu Laut...!" panggilnya, lalu kedua orang itu
bergegas menuju ke arahnya.
"Suto, kami mendengar bunyi langit runtuh. Dunia
mau kiamat! Cepat cari tempat buat sembunyi!" seru
Hantu Laut.
"Kami tersesat mencarimu, Suto! Tapi berani sumpah
mati sekarang juga, bukan kami yang membuat bumi
berguncang dan langit menjadi runtuh!" sela Kadal
Ginting dengan wajah tegang.


Pendekar Mabuk hanya tersenyum dan berkata,
"Langit masih utuh! Lihatlah, ia tetap di atas kepala kita
menaungi orang berhati mulia. Kecuali seluruh manusia
sudah menjadi busuk hatinya, mungkin langit akan turun
menimpa kita semua!"
Darah Prabu memanggil dari tempatnya dengan ceria,
"Suto...! Suto Sinting...!"
Lalu ia berkata kepada sang Guru, "Dia murid si Gila
Tuak, Guru! Dia yang menolong saya saat saya terkena
racun 'Tapak Ungu'...!"
"Aku lebih tahu dari kau, bahwa dia adalah murid
sinting si Gila Tuak. Kulihat ciri-cirinya memang sesuai
dengan penampilan Gila Tuak semasa muda yang gemar
membawa-bawa bumbung tuak!"
Resi Badranaya dan Darah Prabu segera menghampiri
Pendekar Mabuk. Sang pendekar segera memberi hormat
kepada sahabat gurunya itu.
"Pasti kau yang melepaskan sinar ungu tadi, Suto."
"Betul, Eyang Resi," jawab Suto Sinting.
"Terima kasih atas bantuanmu. Tapi sayang gadis
buronan kami itu telah mati, mati tak tahu di mana ia
menyimpan pusaka Panji-panji Mayat yang asli," kata
sang Resi sambil melirik ke arah lubang tempat mayat
Peluh Setanggi terperosok bagai mengubur sendiri.
"Yang jelas, pusaka yang dititipkan padaku oleh
Parisupit itu adalah pusaka yang asli. Jika sampai
Kucing Hutan menyangka palsu, aku tak tahu
dikemanakan pusaka asli itu oleh Peluh Setanggi!"
"Merpati Liar sedang melacaknya, Eyang Resi. Saya


harus membantu Merpati Liar untuk dapatkan pusaka
yang asli."
"Baik, berangkatlah sekarang juga. Aku akan kembali
ke Lembah Sunyi, menemui Wulung Gading dan
mengabarkan hal ini. Sebab di tempat Wulung Gading
ituaku mendengar cerita dari Pakar Pantun tentang
keadaanmu dan keadaan muridku, sehingga aku perlu
mencarinya!"
"Saya akan ikut Pendekar Mabuk, Guru!"
"Tidak usah, kau nanti kena pikat lagi. Di pondok
Eyang Wulung Gading, ada gadis yang merindukanmu."
"Siapa, Guru?""
"Kejora."
"Ooh... Kejora...?! Kejora ada di sana?!" Darah Prabu
terbelalak girang. Suto Sinting hanya manggut-manggut
sambil sunggingkan senyum. Kemudian ia bergegas
pergi menyusul Merpati Liar yang mengejar Kucing
Hutan, setelah memerintahkan Hantu Laut untuk
menunggunya di padepokan Resi Wulung Gading.


SELESAI
 
Ikuti kelanjutan kisah ini!!!
PERAWAN TITISAN PERI




Pembuat E-book:
Scan buku ke DJVU: Abu Keisel
Convert & Edit: Paulustjing
Ebook oleh: Dewi KZ
http://kangzusi.com
http://dewikz.byethost22.com
http://www.tiraikasih.co.cc/
http://ebook-dewikz.com/




 
convert txt : http://www.mardias.mywapblog.com