Pendekar Mabuk 63 - Pemburu Darah Satria(1)


 1

PENGEJARAN Pendekar Mabuk terhadap lawan utamanya; Siluman Tujuh Nyawa,  terhenti di Pantai Karang Hantu. Dikatakan 'Karang Hantu' karena pantai itu mempunyai beberapa gugusan batu karang yang tinggi-tinggi dan berbentuk menyerupai sosok hantu beraneka bentuk. Ada yang mirip hantu merentangkan tangannya, ada yang mirip hantu hendak terbang, ada puia yang mirip hantu sedang duduk santai.

Kalau saja tokoh sesat yang paling terkutuk itu tidak melarikan diri, maka nama Siluman Tujuh Nyawa sudah tidak akan ada lagi di permukaan bumi ini. Pendekar Mabuk hampir saja berhasil tumbangkan Siluman Tujuh Nyawa dengan jurus 'Manggala'-nya. Tapi sayang, tokoh terkutuk itu mampu hindari jurus maut itu dan segera melarikan diri, masuk ke alam gaib. Pengejaran Suto Sinting si Pendekar Mabuk itu pun dilakukan hingga ke alam gaib, namun dari alam tersebut ia melihat sesuatu yang terjadi di Pantai Karang Hantu. Maka pengejaran itu pun akhirnya tertunda entah sampai kapan lagi akan dilanjutkan.
"Sampai kapan pun dia tetap akan menjadi buruanku. Cepat atau lambat, kepalamu harus kupenggal, Durmala Sanca! Karena kepalamu itulah maskawin yang harus kuserahkan untuk meminang calon istriku, Dyah Sariningrum, pujaan hati!" ujar Suto Sinting dalam hati, sebagai janji sang Pendekar Mabuk yang tetap akan ditepati pada suatu saat nanti.
 Pemuda berambut lemas lurus sepundak tanpa ikat kepala itu sengaja diam di atas gugusan karang berbentuk seperti hantu sedang merangkak. Pemuda tampan berbaju coklat tanpa lengan dengan celana putih kusam dan sabuk merah itu menyempatkan diri untuk menenggak tuaknya beberapa teguk. Tuak itu ada di dalam bumbung bambu yang menjadi senjata sakti baginya, karena itu ke mana saja bambu bumbung tuak selalu dibawa-bawa dan menjadi ciri yang dikenali beberapa tokoh di rimba persilatan.
Mata bening yang sering menawan hati setiap wanita itu memandang lurus ke arah pertarungan di Pantai Karang Hantu. Pertarungan itu dilakukan oleh seorang wanita cantik yang usianya sekitar dua puluh lima tahun, berkutang hijau muda dengan celana sebetis warna hijau muda juga, dilapisi kain pembalut pinggul warna merah tua. Gadis berdada montok menggoda hati lelaki itu dengan gesitnya menghajar seorang nenek tua disanggul yang mengenakan jubah abu-abu.
Nenek berambut putih disanggul acak-acakan itu telah dibuat terjungkal dan berguling-guling oleh pukulan tenaga dalam yang dilepaskan dari tangan si gadis berambut pendek sepundak dengan bagian depan diponi rata.
Melihat sang nenek yang sudah babak belur hingga keluarkan darah dari hidung dan mulutnya, Pendekar Mabuk menjadi iba hati dan tak tega membiarkannya. Maka ketika gadis itu ingin menghantamkan pukulan tenaga dalamnya yang telah membuat telapak tangannya menjadi merah membara, Pendekar Mabuk cepat lakukan tindakan penyelamatan terhadap nenek bungkuk yang diperkirakan sudah berusia delapan puluh tahun lebih itu.
Dengan pergunakan jurus 'Gerak Siluman' yang mempunyai kecepatan gerak melebihi anak panah itu, Pendekar Mabuk menyambar sang nenek bagai elang menyambar anak ayam. Wuuut...! Weeess...!
Dalam sekejap sang nenek sudah berpindah tempat, tujuh tombak di belakang gadis, berkutang hijau itu. Pendekar Mabuk berdiri di samping sang nenek yang terpuruk bersimpuh dengan napas tersengal-sengal menyedihkan. Sang gadis segera kebingungan mencari si nenek yang disangka menghilang ditelan bumi. Pukulan tenaga dalam yang membuat tangannya memancarkan warna merah membara itu diurungkan. Matanya mencari ke sana-sini sampai akhirnya menemukan di mana musuhnya berada.
Gadis itu tampak terkesiap memandang kemunculan pemuda tampan bertubuh kekar, tegap, dan gagah.
"Tindakanmu keterlaluan, Nona. Bukan aku ingin mencampuri urusanmu dengan nenek itu, tapi aku hanya sekadar menyelamatkan pihak yang lemah," ujar Pendekar Mabuk mengajukan alasan lebih dulu sebelum menerima tuduhan dari sang gadis.
Sambungnya lagi, "Kulihat, nenek ini tidak mempunyai ilmu yang seimbang untuk melawanmu, Nona. Kuharap kau mau hentikan murkamu dan membebaskan nenek ini!"
Gadis cantik berhidung bangir itu sunggingkan senyum dengan pandangan mata berkesan nakal. Senyum tipisnya itu sempat membuat hati Pendekar Mabuk berdesir. Dari bibirnya yang tampak legit dan pulen itu terdengar suara datar mirip orang menggumam.
"Pancinganku mengenai sasaran!"
"Apa maksudmu berkata demikian, Nona?!"
"Ternyata benar apa kata orang. Dia sangat tampan dan menggairahkan!"
"Maksudmu, nenek-ini sangat menggairahkan?!" tanya Suto Sinting dengan bingung.
Tiba-tiba tubuh gadis itu bagaikan meletus, menyemburkan segumpal asap tebal warna putih bergulung-gulung. Buusss...! Beberapa kejap berikutnya, asap itu lenyap tersapu angin pantai dan tubuh gadis itu pun sirna tanpa bekas dan tanpa sisa bayangan sedikit pun. Pendekar Mabuk hanya tersentak kaget tanpa suara, namun wajahnya kelihatan terperangah tegang memandangi lenyapnya si gadis cantik bertubuh sekal menggemaskan tadi.
"Setan cantik dari mana dia itu?" gumam hati Pendekar Mabuk.
Si murid sinting Gila Tuak itu akhirnya lepaskan diri dari rasa kagumnya, ia segera perhatikan si nenek yang makin lama badannya semakin melengkung ke depan dengan lemas, akhirnya keningnya membentur tanah bagai orang bersujud. Nenek tua itu keluarkan suara erangan kecil sebagai tanda bahwa ia sangat menderita sakit pada bagian tubuhnya.
"Nek, minumlah tuakku ini untuk sembuhkan luka-lukamu itu! Ayo, minumlah walau hanya seteguk saja," bujuk Suto Sinting sambil membangunkan nenek berjubah abu-abu itu.
Dengan bantuan Suto Sinting, tuak pun tertuang ke mulut sang nenek. Beberapa teguk tuak ditelannya. Sisanya disemburkan hingga mengenai wajah tampan si Pendekar Mabuk. Bwweerrs...!
"Sial! Kenapa kau semburkan ke wajahku?!" Suto Sinting agak menyentak dengan bergerak mundur, ia segera mengusap wajah dengan baju tanpa lengannya.
Sang nenek terkekeh-kekeh melihat Suto Sinting basah wajahnya.
"Jangan-jangan yang kutolong ini nenek gila?" piker Pendekar Mabuk sambil mencoba mengamat-amati nenek bungkuk itu.
"Tuakmu bikin tenggorokanku gatal dan hatiku jadi tergeletik geli," ucap sang nenek dengan suara tuanya.
"Tapi... tapi tuak ini mempunyai khasiat menyembuhkan luka dalam waktu sangat singkat, Nek."
"Mungkin memang begitu, Anak Muda. Tapi tanpa tuakmu pun aku sudah bisa sembuhkan lukaku menggunakan hawa saktiku yang tidak kalah hebat dengan tuakmu, Nak."
Nenek itu telah berdiri walau tetap membungkuk. Suto Sinting merasa dongkol karena tuak saktinya diremehkan. Tapi kedongkolan itu hanya disimpan dalam hati dan ia bersikap tenang kembali.
"Siapa kau sebenarnya, Nek? Dan siapa lawanmu tadi?"
"Lawanku tadi adalah Awan Setangkai. Kau tak akan bisa kalahkan ilmunya Awan Setangkai, bahkan Pendekar Mabuk pun tak akan mampu melawannya."
"Nek, aku inilah yang bernama Pendekar Mabuk!"
"Ah, bohong! Pendekar Mabuk kok jalannya tidak sempoyongan?! Hmmm... ngibul!" nenek itu mencibir menjengkelkan. Suto Sinting tarik napas dalam-dalam.
"Pendekar Mabuk hanya sebuah gelar yang diberikan oleh guruku. Jurus-jurusku seperti orang mabuk, tapi aku tak pernah mabuk walau meminum segentong tuak ataupun arak."
"Omong kosong! Pendekar Mabuk itu berjiwa mesra. Sedangkan kau tidak berjiwa mesra. Buktinya kau tak mau memelukku." Kata-kata itu cukup menggelikan hati Suto Sinting.
Pendekar tampan itu pun sunggingkan senyum sambil berlagak buang muka. Hatinya malu dikatakan sebagai orang berjiwa mesra. Tapi akhirnya ia pun berkata dengan lembut kepada si nenek, seakan menunjukkan kemesraannya.
"Kalau kau masih muda, mungkin kau akan kupeluk dan kucium, Nek. Tapi karena kau sudah tua, aku takut terkena kutuk jika memeluk dan menciummu. Tapi sejujurnya kukatakan, akulah Pendekar Mabuk yang bernama Suto Sinting, murid si Gila Tuak dan Bidadari Jalang!"
Sang nenek memandang dengan sikap kurang percaya. Suto Sinting masih diam, berdiri di depan nenek itu sambil mengumbar senyum tipis yang memikat hati setiap perempuan muda. Nenek itu hanya berkerut dahi, kemudian menyuruh Pendekar Mabuk berlutut di depannya.
"Coba kemari, kuperiksa ketampananmu. Sebab menurut kabar dari orang-orang yang kudengar, Pendekar Mabuk itu berwajah tampan dan menawan."
Sambil berlutut di depan sang nenek Suto Sinting berkata, "Apakah wajahku kurang tampan menurutmu, Nek?"
"Mana kutahu, mataku sudah rabun. Jadi sulit membedakan mana wajah tampan dan mana wajah buruk. Hmmm...." Nenek itu manggut-manggut saat memeriksa wajah Pendekar Mabuk. Tangannya yang kurus dan berkulit keriput itu meraba-raba wajah Suto Sinting. Pendekar tampan itu berkata dalam sebuah gumam.
"Baru sekarang selama jadi pendekar wajahku diobok-obok oleh perempuan seburuk ini...."
Rupanya si nenek tidak perhatikan ucapan yang menggumam itu. Atau mungkin juga ia tidak mendengar gumaman lirih tersebut, sehingga kedua tangannya masih tetap sibuk meraba-raba kepala dan wajah Suto Sinting.
"Apakah kau masih belum percaya kalau wajahku ini tampan?" tanya Suto Sinting sengaja bernada konyol.
Sang nenek diam saja. Tetapi secara tiba-tiba kesepuluh jari nenek bungkuk itu keluarkan kuku runcing berwarna hitam. Zrraak...! Kesepuluh kuku runcing itu dengan cepat ditancapkan di kedua pelipis Suto Sinting. Jrrraab...!
"Aaaah...!" Suto Sinting memekik kesakitan. Bumbung tuak yang tadi ditentengnya kini dilepas. Kedua tangannya digunakan untuk melepaskan cengkeraman tangan si nenek bungkuk yang wajahnya berubah menjadi beringas dan liar itu. Matanya mendelik dengan mulut meringis keluarkan geram memanjang.
"Gggrrmmrn...!!"
"Aaahhg...! Aaahhg...!"
Suto Sinting merasakan kuku-kuku yang menancap di pelipisnya itu makin bergerak ke dalam seakan tumbuh semakin panjang lagi. Wajah tampan itu mulai berlumur darah. Urat-urat di lengannya mengeras karena berusaha mencabut kedua tangan nenek bungkuk itu. Tapi agaknya tenaga Suto Sinting cepat menjadi lemah, sehingga ia hanya bisa mengerang-erang sambil memegangi kedua tangan si nenek.
Pandangan mata Suto Sinting mulai buram. Sekujur tubuhnya terasa panas. Tenaganya semakin terasa berkurang, ia mulai menduga ada racun yang telah menyebar di dalam kepalanya melalui kuku-kuku yang mencengkeramnya itu.
Wuuuut...! Brrruss...!
Sekelebat bayangan melesat dan menerjang nenek berjubah abu-abu. Terjangan itu bertenaga besar, sehingga sang nenek terpental dan jatuh bergulingguling di atas pasir pantai.
"Kampret busuk...!!" maki sang nenek dengan geram kemarahan lebih membesar lagi.
Terjangan kuat itu ternyata datang dari seorang pemuda berwajah tampan juga, mengenakan celana ungu dan baju tanpa lengan warna ungu pula.
Pemuda tampan itu berusia sekitar dua puluh tahun, tampak lebih muda dari Pendekar Mabuk. Namun ia juga berbadan tegap dan kekar. Rambutnya lurus dikuncir satu. Ia mengenakan gelang kulit macan loreng di kedua tangannya. Pedang sarung perak terselip di pinggang.
Bagian belakang telapak tangannya terdapat tato gambar seekor burung mengepakkan sayapnya. Pemuda itulah yang bernama Elang Samudera alias Adhiyaksa, adik dari Dewi Cintani yang pernah diselamatkan Suto Sinting dari keganasan Selir Dewani, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Dendam Selir Malam").
Pendekar Mabuk belum menyadari siapa orang yang telah berhasil melemparkan tubuh nenek keji itu. Ia sibuk kelojotan sambil pegangi luka lubang di pelipis kanan-klrinya. Agaknya racun yang ada di sebuah kuku runcing si nenek bungkuk tadi semakin mengganas di dalam tubuh Suto Sinting, menyebar melalui darah dan menyerang bagian kepala, terutama bagian otak.
Akibatnya ia tak mampu berpikir lagi, bahkan tak  mempunyai gagasan untuk mengambil bumbung tuak dan menenggak tuak saktinya, ia hanya berguling-guling di pasir dengan mengerang kesakitan.
Sementara itu, Elang Samudera menjadi berang melihat sahabatnya dilukai sedemikian rupa. Nenek bungkuk itu segera dihantam dengan pukulan tenaga dalam dari jarak lima langkah. Claaap...! Sinar biru lurus melesat dari telapak tangan kiri Elang Samudera.
Sasarannya jelas ke arah dada si nenek bungkuk. Tetapi rupanya nenek itu tak kalah tangkas, ia segera kibaskan tangannya dan dari kelima jari menyebarkan sinar merah yang melebar. Sinar merah itu menjadi penangkis datangnya sinar biru.
Blaaap...!
Blegaaarrr...!
Ledakan cukup dahsyat terjadi akibat benturan kedua sinar tersebut. Gelombang ledakannya mempunyai daya hentak cukup besar, membuat beberapa gugusan batu karang berguncang, bahkan ada yang patah seketika, ombak pantai menyembur naik dan cukup tinggi.
Adhiyaksa sendiri terpental bagai dilemparkan oleh sebuah tenaga yang sangat kuat. Tubuhnya jatuh terbanting nyaris mengenai gugusan batu karang.
Sedangkan nenek berjubah abu-abu itu hanya terlempar sekitar dua langkah. Tubuhnya segera berdiri tegak, dan tiba-tiba tubuh tua itu bagaikan meletus keluarkan asap hijau. Buuusss...!
Elang Samudera memandang samar-samar dalam keadaan tengkurap. Asap hijau itu sirna dan sosok penampilan nenek bungkuk itu berubah menjadi seorang gadis cantik berkutang hijau, bercelana sebetis warna hijau pula dengan kain penutup pinggul warna merah.
Gadis itu berdada montok, berkulit kuning, berambut pendek diponi depan.
"Awan Setangkai...?!" gumam hati Eiang Samudera yang rupanya sejak tadi memperhatikan pertarungan si nenek dengan Awan Setangkai sampai datangnya Suto Sinting, ia baru muncul setelah melihat Suto Sinting dalam keadaan bahaya.
"Kurasa tugasku sudah cukup! Pendekar Mabuk sudah berhasil kulumpuhkan! Hi, hi, hi...!"
Blaaas...! Gadis cantik itu pun pergi begitu saja.
Elang Samudera tak bisa mengejarnya karena tulang-tulangnya terasa remuk.
*
* *

2
SEBUAH pondok di lereng bukit menjadi tempat persinggahan Elang Samudera. Ia membawa Suto Sinting ke pondok itu, karena di situlah tempat tinggal Ki Palang Renggo dan istrinya; Nyai Sedap Malam.
Ki Palang Renggo adalah sahabat dari gurunya Elang Samudera. Lelaki berusia sekitar enam puluh tahun yang gemar mengenakan jubah biru dengan baju dalam putih itu dulu pernah diselamatkan nyawanya oleh Pendeta Darah Api, sehingga hubungan suami-istri itu menjadi sangat akrab terhadap Pendeta Darah Api dan murid tunggalnya.
Ki Palang Renggo meski berwajah jenaka, namun menyimpan kharisma tersendiri dalam setiap penampilannya, ia berambut abu-abu sepanjang lewat pundak, mengenakan ikat kepala kain biru tua, berjenggot dan berkumis abu-abu tipis. Lelaki kurus dengan tinggi tubuh sedang itu mempunyai seorang istri cantik yang dikenal dengan nama Nyai Sedap Malam.
Jika Pendekar Mabuk tidak dalam keadaan terkena
racun dan terganggu ingatannya, maka ia akan tertawa geli melihat Ki Palang Renggo yang berusia enam puluh tahun itu mempunyai istri yang usianya masih sekitar dua puluh tujuh tahun. Nyai Sedap Malam bukan saja berwajah cantik dengan tahi lalat kecil di sudut dagu kirinya, tapi juga bertubuh sekal dan berdada montok, ia gemar mengenakan jubah kuning garis-garis merah dengan pinjung dan celana sebetis warna merah pula.
Sepasang suami-istri itu mempunyai ilmu yang sejajar dan di kalangan para tokoh rimba persilatan mereka dikenal sebagai ahli racun. Sebenarnya tujuan Elang Samudera bukan ke pondoknya Ki Palang Renggo, melainkan menemui seorang sahabatnya yang tinggal tak jauh dari Pantai Hantu. Tetapi demi menyelamatkan jiwa Pendekar Mabuk, keperluan tersebut ditunda entah untuk beberapa saat.
"Menurutku," ujar Ki Palang Renggo,"... racun yang mengenai Pendekar Mabuk ini adalah racun 'Bayi Panggang', selain melumpuhkan semua urat juga melumpuhkan daya kerja otak manusia. Dan racun seperti ini hanya dimiliki oleh orang-orang dari Selat Bantai."
"Jangan ngomong semba'angan, Renggo!" tukas istrinya yang bertampang cantik tapi judes. Sambungnya lagi, "Orang-orang Pulau Koyang dan orang-orang Pegunungan Tibet juga mempunyai racun 'Bayi Panggang', hanya saja namanya berbeda.
Orang-orang Pegunungan Tibet menamakan racun itu adalah racun  'Pucuk Pusar', karena penyembuhannya hanya bias diiakukan dengan menyalurkan hawa murni melalui pusar si penderita. Sedangkan orang-orang Pulau Koyang menamakan racun itu racun 'Sawan Bayi', sebab bisa mengubah otak manusia menjadi seperti bayi, artinya tidak bisa berbuat apa-apa."
"Jika begitu, sebaiknya kita lakukan penyembuhan melalui pusar si Pendekar Mabuk ini. Tapi...," Ki Palang Renggo termenung sebentar. Elang Samudera mengerutkan dahi dan ajukan tanya dengan nada heran.
"Tapi kenapa, Ki?"
"Seingatku... murid si Gila Tuak ini tidak punya pusar."
"Menurut cerita orang-orang memang begitu," timpal sang istri. Ki Palang Renggo menengok ke arah istrinya dan berkata,
"Bagaimana jika meminjam pusarmu saja, Sayang?"
"Jaga bicaramu, Renggo!" sentak Nyai Sedap Malam dengan mata melotot. Sang suami hanya tertawa terkekeh dan Elang Samudera sembunyikan senyum geli.
Agaknya Nyai Sedap Malam tak pernah punya rasa takut kepada suaminya, sehingga dalam bersikap pun ia tampak seenaknya saja, seperti bersikap di depan teman sendiri. Namun walaupun Nyai Sedap Malam lebih galak dari suaminya, ia toh tetap saja ditaklukkan oleh sang suami. Buktinya si perempuan cantik itu bisa menjadi istri Ki Palang Renggo dan punya rasa cemburu cukup besar.
"Setahuku," kata Ki Palang Renggo, "... hanya ada satu cara untuk menawarkan kekuatan racun 'Bayi Panggang' ini, yaitu melalui jalan pusar. Tapi agaknya kali ini penyembuhan tersebut tidak bisa dilakukan begitu saja, karena anak muda ini tidak mempunyai pusar. Jadi aku tak tahu bagaimana harus bertindak menyelamatkan jiwa si murid sintingnya Gila Tuak ini?
Padahal Gila Tuak adalah sahabatku juga...."
"Dan aku kenal baik dengan si Bidadari Jalang, bibi gurunya anak muda ini!" sahut Nyai Sedap Malam.
"Rasa-rasanya tak enak hati jika kita tidak bisa tolong jiwa anak muda ini, Sayang."
Setelah merenung beberapa saat, Nyai Sedap Malam segera berkata bagai menemukan gagasan baru yang dapat diandalkan.
"Mengapa kita tidak coba menuangkan tuak ke mulut si Suto ini? Bukankah tuak di dalam bumbung sakti itu adalah tuak penyembuh segala macam luka dan penyakit?"
Elang Samudera memandang ke arah bumbung tuak yang memang dibawa serta ketika ia memanggul tubuh Pendekar Mabuk dari Pantai Hantu itu. Elang Samudera pun segera berkata,
"Kurasa itu gagasan yang sangat bagus, Nyai. Sebaiknya kita coba sekarang saja!"
"Nanti dulu!" cegah Ki Palang Renggo. "Sebaiknya kucoba dulu, apakah tuak ini masih bisa diminum atau sudah basi."
"Sudah, sudah!" sergah Nyai Sedap Malam, merampas bumbung tuak yang sudah di tangan suaminya. "Kau sudah berjanji tak akan minum tuak atau arak lagi jika aku mau menjadi istrimu, Renggo! Mengapa sekarang kau ingin meminum tuak ini?! Mau ingkar janji, ya? Mau berlagak lupa janjimu, hmm...?!"
Ki Palang Renggo hanya cengar-cengir dan membiarkan bumbung tuak direbut istrinya.
"Aku sekadar mau mencicipi saja kok. Tidak ingin ingkar janji," ujarnya bernada tersipu.
"Tidak! Nanti kau mabuk lagi!" gertak sang istri.
"Ya, sudah kalau tidak kau izinkan, Nyai," kata Ki Palang Renggo dengan sikap mengalah dan sabar, namun tetap cengar-cengir sambil melirik Elang Samudera.
Suto Sinting masih dibaringkan di atas balai-balai bambu beralaskan tikar pandan. Tubuhnya terkulai lemas bagai tanpa daya sedikit pun. Tapi matanya masih bisa berkedip-kedip pertanda ia masih bernyawa. Hanya saja luka tusukan kesepuluh kuku runcing yang kenai kepalanya itu masih mengeluarkan darah walau hanya merembas, seperti gentong retak terisi air.
Suto mendengar semua kata-kata mereka, tapi ia tak bisa menimpali sedikit pun. Ia benar-benar seperti bayi yang baru delapan hari. Nyai Sedap Malam segera menuangkan tuak ke mulut Pendekar Mabuk. Tetapi mulut itu tidak bisa terbuka lebar, akibatnya tuak tumpah ke mana-mana.
Mau tak mau Nyai Sedap Maiam meminumkan tuak itu menggunakan sendok dari daun pisang. Dengan pelan-pelan Nyai Sedap Malam menyuapi Suto Sinting hingga tuak pun tertelan sedikit demi sedikit.
Ki Palang Renggo berbisik, "Kalau melihat dia begitu, aku suka merasa iri. Sebab sampai setua ini aku belum pernah disuapi olehnya seperti itu. Kadang aku heran, Elang... aku ini suaminya atau mertuanya?"
"Kurasa Ki Palang Renggo pantas menjadi suami merangkap mertua!" Lalu, mereka berdua cekikikan.
Nyai Sedap Malam memandang kesal, mendengus dengan wajah cemberut. Sementara mereka cekikikan, di luar rumah ada dua lelaki berbadan gemuk mendekati pondok tersebut.
Kedua orang berbadan gemuk itu sama-sama berwajah sangar. Salah satu dari mereka mengenakan pakaian serba merah, dan yang satu lagi mengenakan pakaian serba hitam. Rupanya ia dua saudara kembar yang mempunyai wajah serupa. Brewokan, rambut botak depan, mata lebar berkesan ganas, dan sama-sama bersenjata pedang lebar.
Di tepian pedang itu terdapat gelang-gelang besi sebesar tiga biji. Gagang pedang tersebut mempunyai hiasan di ujungnya berupa ronce-ronce benang merah, Kedua pedang itu sama-sama berada dalam genggaman tangan masing-masing.
"Kurasa inilah gubuk si Palang Renggo!" ujar si baju hitam dengan suara menggeram besar
"Kalau begitu tunggu apa lagi! Robohkan saja gubuk itu!" si baju merah tampak tak sabar. Pandangan matanya kelihatan semakin nanar dan pedangnya mulai siap ditebaskan ke segala arah. Ketika ia hendak melangkah maju, saudara kembarnya yang berpakaian serba hitam itu mencekal pundaknya hingga langkah pun tertahan di tempat.
"Tunggu dulu, Mayat Bagus! Selidiki dulu keadaan pondok itu. Jangan-jangan si Palang Renggo memasang jebakan di sekeliling rumahnya ini!"
"Ah, tak mungkin! Palang Renggo tak secerdas itu! Percayalah, sekarang adalah saat terbaik untuk merajang habis tubuh si Palang Renggo itu, Setan Sewu!"
"Kau boleh sepelekan otak si Palang Renggo, tapi ingat... dia punya istri yang berotak cerdas! Mungkin saja si Sedap Malam, istrinya itu, memasang jebakan maut di sekeliling rumahnya ini! Sebaiknya kita panggil saja agar mereka keluar!"
Di dalam pondok kayu jati itu, mereka sedang perhatikan perubahan pada luka di kepala Pendekar Mabuk. Luka tersebut bergerak-gerak dan keluarkan asap kebiru-biruan. Semakin lama luka itu tampak merapat dengan sendirinya, karena beberapa teguk tuak telah ditelan Suto Sinting.
Wajah Ki Palang Renggo dan Elang Samudera tampak ceria. Tapi Nyai Sedap Malam tetap tanpa senyum dan kelihatan tenang-tenang saja. Matanya memandang perubahan luka yang menjadi rapat dalam waktu singkat dengan hati menggumam kagum.
"Sakti sekali kekuatan di dalam tuaknya itu. Pantas jika sebagian orang menjulukinya si Tabib Darah Tuak."
Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh seruan Mayat Bagus yang lantang dan bernada murka itu.
"Palang Renggo! Keluar kau! Kami datang untuk bikin perhitungan denganmu! Keluar kau, Palang Renggo!"
Elang Samudera memandang Ki Palang Renggo dengan wajah tegang. Suaranya terdengar bergetar saat ia ajukan tanya, "Siapa yang berseru di luar itu, Ki?"
Nyai Sedap Malam yang menjawab, "Si Kembar dari Teluk Pare!"
"Siapa itu si Kembar dari Teluk Pare? Aku baru kali ini mendengar namanya, Nyai."
"Dia musuhku!" sahut Ki Palang Renggo setelah menarik napas panjang-panjang. Wajahnya tampak beku dan pandangan matanya memancarkan permusuhan yang terpendam.
"Biar kutemui saja mereka!" ujar Nyai Sedap Malam.
"Jangan! Mereka berurusan denganku dan...," kata-kata Ki Palang Renggo terhenti karena istrinya cepat-cepat melesat keluar rumah. Weeess..! Ki Palang Renggo justru kelihatan semakin gusar. Maka ia pun segera bergegas keluar menyusul istrinya dengan perasaan cemas.
Dua wajah brewok undurkan diri selangkah melihat kemunculan Nyai Sedap Malam. Keduanya sama-sama mulai angkat senjata dengan mata memancarkan dendam dan kebuasan. Nyai Sedap Malam hanya diam di tempat dalam jarak lima langkah dari kedua lawannya. Mata perempuan cantik itu pun tak kalah tajam dalam menatap dua tamunya.
Ki Palang Renggo segera tampil mendampingi istrinya dengan wajah dingin, seakan tak berperasaan apa pun. Ia tampak tenang sekali menghadapi kegarangan dua lawannya yang kemunculannya sudah diperkirakan sebelumnya.
"Bagus! Kalian memang lebih baik muncul berdua untuk menyambut kematian bersama," ucap si Mayat Bagus mengawali permusuhan hari itu. Ki Palang Renggo hanya sunggingkan senyum sinis, namun sebelum ia perdengarkan suaranya, sang istri lebih dulu bicara ketus kepada Mayat Bagus dan si Setan Sewu,
"Apa yang kalian kehendaki dari kami, Iblis Kembar?!"
"Hutang nyawa harus dibalas dengan nyawa!" geram si Setan Sewu. Sementara itu si Mayat Bagus menimpalinya,
"Kami ingin merenggut nyawa suamimu itu yang telah membuat perguruan kami hancur dan kehilangan nyawa beberapa anggota kami! Jika kau ingin ikut ke neraka bersama arwah suamimu, kami siap mengirimkanmu sekarang juga. Perempuan Ganjen!"
Ki Palang Renggo segera berkata, "Sudah selayaknya perguruan sesat kalian itu hancur, bahkan bila perlu menjadi lebur bagaikan debu. Jika kalian datang bermaksud untuk menebus kehancuran perguruan itu, maka yang akan terjadi adalah kebalikannya. Kalian akan kehilangan nyawa dan aku tak akan menyisakan secuil pun nyawa kalian!"
"Jahanam kau! Heeeeaah...!"
Setan Sewu lakukan lompatan cepat menerjang Ki Palang Renggo. Pedang lebarnya ditebaskan ke arah kepala tokoh tua itu, seakan ingin membelah kepala bagai membelah semangka.
Wuuut...! Kelebatan pedang lebar menimbulkan hembusan angin panas dalam sekejap. Tetapi hal itu tidak membuat Ki Palang Renggo terpojok, karena sebelum kelebatan pedang lebar itu datang, orang berambut campur uban itu telah melesat dari tempatnya, ia lakukan lompatan cepat dengan hanya sentakkan jempol kakinya ke tanah. Weess...!
Dalam kejap berikut, Ki Palang Renggo sudah berada di belakang Setan Sewu. Ia berdiri tenang sambil menggenggam tongkatnya yang berkepala burung garuda, ia masih kelihatan tidak ingin lakukan serangan balik, sehingga sang lawan yang gagal membelah kepalanya tampak semakin bernafsu untuk membunuhnya.
"Heeaat...!" Setan Sewu bergerak lagi. Tetapi gerakannya tiba-tiba dipatahkan oleh pukulan tenaga dalam jarak jauh yang dilepaskan dari tangan kiri Nyai Sedap Malam. Wuuut...! Buuuhk...! Tubuh gemuk itu pun terlempar ke samping dan jatuh mirip nangka busuk.
Bluuuhk...!
"Bangsat! Kubeset wajah ayumu itu, Perempuan Laknat! Heeah!"
Wuuut...! Mayat Bagus menerjang Nyai Sedap Malam dengan pedang berkelebat ke sana-sini. Gerakan pedang itu amat cepat, sehingga sukar ditangkis atau dihindari oleh Nyai Sedap Malam.
Namun ketika itu pula, Ki Palang Renggo segera sentakkan tongkatnya ke depan dalam keadaan masih tegak lurus. Weet! Claap...! Dari mulut kepala tongkat yang berbentuk kepala burung garuda itu keluar selarik sinar hijau bening yang berkerilap menghantam pinggang Mayat Bagus.
Sluuubs...!
"Aaahg...!" Mayat Bagus jatuh terbanting dengan kerasnya. Pinggangnya menjadi hangus, bajunya terbakar, dan ia mengerang kesakitan tak bisa bangkit lagi. Wajahnya menjadi pucat bagaikan kehabisan darah.
Matanya yang lebar mendelik menyeramkan, seakan  sedang kesulitan merenggangkan nyawanya.
"Bajingan tengik!" geram Setan Sewu melihat saudara kembarnya terancam kematian. Ia segera lakukan lompatan bersalto yang melintasi kepala Nyai Sedap Malam. Wuk, wuk...!
Jleeg..! Kedua kakinya mendarat dengan mantap di tanah samping si Setan Sewu. Ia segera meludahi Setan Sewu secara sembarangan saja.
"Cuih...!"
Plok! Ludah itu mengenai lengan Setan Sewu. Dalam kejap berikut, luka hangus di pinggang Setan Sewu tampak mengering, mengepulkan asap tipis, lama-lama luka berlubang itu merapat sendiri. Tubuh si Setan Sewu menjadi sehat, dan cepat bangkit dengan tenaga siap tanding kembali.

"Heeeeaaat...!!"
Setan Sewu lakukan serangan kembali, demikian juga halnya dengan si Mayat Bagus. Mereka bagai mempunyai jatah sendiri-sendiri; Setan Sewu menyerang Ki Palang Renggo, sedangkan Mayat Bagus menyerang Nyai Sedap Malam.
Pertarungan itu terjadi cukup seru, karena si kembar dari Teluk Pare itu sulit ditumbangkan. Jika salah satu terluka, yang satunya meludahi dan luka itu dapat lenyap dalam waktu beberapa kejap kemudian tubuhnya sehat kembali.
Mereka menggunakan paduan jurus kembar yang sangat membahayakan keselamatan jiwa sepasang suami-istri itu. Tebasan pedang mereka beberapa kali nyaris merobek perut dan punggung pasangan suami-istri tersebut. Tapi karena suami-istri itu juga mempunyai ilmu yang sama-sama hebatnya, maka serangan si Kembar dari Teluk Pare itu selalu dapat dihindari.
"Heeaat...! Cuiih...!" Setan Sewu lakukan lompatan bagai terbang, sasarannya adalah punggung Ki Palang Renggo. Tetapi sambil lakukan lompatan melayang begitu, ia pun meludahi saudara kembarnya yang terkapar dalam keadaan dadanya hangus akibat pukulan telapak tangan Nyai Sedap Malam.
Ludah itu kenai kaki si Mayat Bagus, sehingga luka bakar yang seharusnya telah menamatkan riwayatnya itu menjadi lenyap dalam beberapa kejap. Mayat Bagus bangkit kembali dan lakukan serangan kepada Nyai Sedap Malam.
Perempuan cantik itu terdesak karena mendapat serangan dari dua arah. Akibatnya, sebuah tendangan bertenaga dalam cukup tinggi mendarat di perutnya.
Buuhk...! Tubuh Nyai Sedap Malam terlempar tujuh langkah jauhnya dan membentur sebatang pohon.
Brruks...!
"Oohk...!" Nyai Sedap Malam semburkan darah segar dari mulutnya dalam keadaan jatuh tersimpuli di bawah pohon itu.
"Heeeaat...!"
"Heeeaah...!"
Dua manusia kembar itu segera lakukan lompatan bersalto mundur. Tahu-tahu mereka sudah tiba di samping kanan-kiri Ki Palang Renggo yang sedang terhenyak memandangi istrinya terluka. Sebelum Ki Palang Renggo lakukan gerakan, kedua tokoh aliran hitam dari Teluk Pare itu sudah lebih dulu lepaskan jurus pedang yang mempunyai gerakan sama dan seirama.
Wuut, wuut..! Cear, breet...!
"Aahkk...!" Ki Palang Renggo tersentak, tubuhnya mengejang dengan kedua lutut sedikit terlipat, matanya mendelik dengan mulut ternganga menahan napas.
Kedua pinggang kanan kirinya robek terkena tebasan pedang kedua lawannya. Darah pun memercik dari dua luka yang cukup dalam itu.
"Keparat kalian...!" Ki Palang Renggo menggeram dengan menggenggam tongkatnya kuat-kuat. Ia masih berusaha berdiri walau sebenarnya sudah tak mampu lagi.
"Renggooo...!" suara berat itu datang dari mulut Nyai Sedap Malam, ia melihat suaminya terluka parah dan sangat kecil harapannya untuk selamat. Maka ia pun mencoba untuk bangkit dan melepaskan pukulan ke arah lawan, sebab ia mendengar suara Setan Sewu berseru,
"Habisi saja orang ini!"
Namun ternyata Nyai Sedap Malam sudah kehilangan seluruh tenaganya akibat lukanya tadi. Ia nyaris tak mampu mengangkat tangan dan lakukan pukulan jarak jauh. Ia hanya bisa melihat suaminya terbungkuk-bungkuk menahan sakit, sementara Mayat Bagus telah mengangkat pedangnya kertas, demikian juga si Setan Sewu.
"Heeeaat...!" Mayat Bagus menebaskan pedangnya ke leher Ki Palang Renggo, sedangkan pedang Setan Sewu pun diayunkan ke arah punggung Ki Palang Renggo.
Clap, clap...!
Dua sinar merah seperti potongan besi sejengkal telah melesat menghantam kedua pedang si Kembar dari Teluk Pare. Sinar merah itu datang dari dalam rumah, yang segera menimbulkan suara ledakan cukup  mengejutkan si pemilik pedang.
Duar, duaar...!
Prrak, prrak ..! Dua pedang itu segera hancur menjadi kepingan-kepingan sebesar kancing baju. Mayat Bagus dan Setan Sewu sama-sama terbelalak lebar melihat tangan mereka kini hanya menggenggam gagang pedang saja. Kedua mata lebar itu segera memandang ke arah rumah, dan dari rumah itu melompatlah sesosok tubuh kekar berpakaian ungu. Wuuut...! Jleeg...!
Elang Samudera tampil dengan gagahnya. Sinar merahnya tadi membuat ia menjadi lebih percaya diri bahwa kedua orang brewok itu akan mampu ditumbangkan. Karenanya ia tak segan-segan melangkah lebih dekat lagi sambil bersiap hadapi serangan balasan.
"Biadab kau! Serang anak babi itu! Heeaat...!" Setan Sewu menjadi amat murka. Melihat saudara kembarnya sangat murka, si Mayat Bagus pun mengimbangi amukan tersebut, sehingga keduanya sama-sama lepaskan pukulan bersinar biru dari tangan kanan sambil lakukan lompatan ke depan.
Wuuut, wuuut...! Kedua sinar biru itu mengarah ke dada Elang Samudera. Tetapi anak muda itu pun telah siap dengan jurus simpanannya, ia merenggangkan kakinya dengan sedikit merendah, kedua tangannya menyentak ke depan dan dari telapak, tangan itu keluar selarik sinar merah besar yang segera beradu dengan kedua sinar biru dipertengahan jarak mereka. Slap, slaap...!
Blegaar, blaaarr...!
Ledakan dahsyat menggema mengguncangkan bumi. Beberapa pohon menjadi bergetar dan daunnya berguguran. Atap rumah pun tersingkap karena hembusan gelombang daya ledak yang begitu kuat itu.
Bahkan dua pintu rumah jati itu sempat tersentak keras hingga menimbulkan suara gaduh yang semakin menyeramkan. Bumi bagai diguncang gempa, hanya saja tanah tak sampai terbelah membentuk celah mengerikan.
Setan Sewu dan Mayat Bagus terlempar jauh berpisah arah. Elang Samudera sendiri terlempar hingga tubuhnya menabrak dinding rumah. Mayat Bagus terkapar di bawah pohon, dari lubang hidung dan telinga mengeluarkan darah kental, sedangkan mulutnya memuntahkan darah yang berwarna merah kehitam-hitaman. Keadaan saudara kembarnya lebih mengenaskan; tersangkut di salah satu dahan dalam keadaan kepala berlumur darah karena benturan yang amat kuat tadi.
"Mayat Bagus... ooh... tolong aku!" ia mengerang di sela keheningan. Mayat Bagus tak menjawab selain berkata, "Tinggalkan tempat ini secepatnya!"
Elang Samudera diam tak bicara, karena tulangnya terasa patah semua akibat benturan kuat tadi. Tapi pada saat itu, seseorang muncul dari dalam rumah. Dia adalah Pendekar Mabuk.
*
* *

3
KEDUA orang Teluk Pare itu saling meludahi. Dengan saling meludahi, maka kekuatan sakti pada ludah itu menjadi saling menyembuhkan luka. Setan Sewu merasa kali ini menghadapi lawan yang berbahaya, karena mereka telah kehilangan senjata.
Langkah terbaik baginya adalah melarikan diri. Mundur beberapa waktu untuk mengatur siasat kembali dalam menghadapi Elang Samudera.
"Yang penting Palang Renggo pasti mati akibat tebasan pedang kita tadi," ujarnya kepada si Mayat Bagus. "Soal anak muda itu, agaknya kita perlu menyusun siasat dan mengatur kekuatan lagi. Kelak kita pasti akan balas kekalahan kita tadi."
"Bagaimana jika ternyata si Palang Renggo tidak mati?"
"Tak mungkin! Dia pasti mati karena kita telah memotong beberapa ususnya. Apakah kau tak melihat potongan ususnya akibat tebasan pedangku tadi? Sayang sekali kalau kau tak melihatnya, Mayat Bagus."
Mayat Bagus diam saja, berusaha menghilangkan kesangsiannya. Ia merasa belum puas jika belum betul-betul melihat Ki Palang Renggo menjadi bangkai di depan matanya.
Kesangsian Mayat Bagus itu ada benarnya, sebab setelah mereka pergi, Pendekar Mabuk muncul dari rumah itu. Keadaan Suto Sinting telah sehat bagaikan tak pernah terkena racun apa pun, ia bergegas menolong Ki Palang Renggo dan Nyai Sedap Malam.  Tuak saktinya itu berhasil selamatkan nyawa Ki Palang Renggo, walau memakan waktu sampai menjelang sore.
Nyai Sedap Malam dan Elang Samudera pun terhindar dari luka setelah meminum tuak saktinya Suto Sinting.
"Aku akan menuntut balas atas perlakuan mereka terhadapmu," ujar Nyai Sedap Malam kepada suaminya yang tua itu.
"Tak perlu cari penyakit. Biarlah mereka menganggap aku telah binasa. Biar hati mereka puas dan tak bikin ulah lagi."
"Aku setuju dengan pendapat Ki Palang Renggo," kata Suto Sinting. "Dendam tidak akan membuat hidup kita tenang. Dendam hanya akan hadirkan petaka dalam perjalanan hidup kita."
Nyai Sedap Malam agaknya tak mau ngotot dengan pendapatnya, ia menarik napas panjang-panjang untuk mengatasi gejolak dendamnya dalam hati.
"Apa kau juga punya dendam dengan orang yang melukaimu?"
"Maksudmu, dendam terhadap Awan Setangkai? Oh, tidak!" Pendekar Mabuk gelengkan kepala sambil tersenyum tipis. "Aku tidak perlu menaruh dendam kepada siapa pun, Ki. Aku hanya perlu tahu, mengapa Awan Setangkai mencelakaiku sedemikian rupa, sedangkan aku belum pernah kenal dengannya, bertemu pun baru kali ini."
Bayangan saat mengamati pertarungan seorang nenek dengan seorang gadis masih melekat dalam ingatan Suto Sinting. Pertarungannya dengan nenek jelmaan Awan Setangkai juga masih lekat dalam benak Suto. Tak heran jika di hati pemuda tampan itu pun timbul rasa penasaran, ingin mengetahui apa maksud tindakan si Awan Setangkai itu.
"Jangan coba-coba mencari tahu tentang Awan Setangkai dan orang-orang Selat Bantai," ujar Nyai Sedap Malam. Kata-katanya yang datar itu diiringi dengan sorot pandangan mata yang datar pula. Seakan ia bicara dalam renungannya dan ditujukan pada dirinya sendiri. Tetapi Elang Samudera pun tahu bahwa kata-kata itu ditujukan untuk si Pendekar Mabuk.
"Mengapa kau melarangku begitu, Nyai?" tanya Suto Sinting setelah ia melirik Ki Palang Renggo, dan pak tua itu pun diam merenung bagai menyimpan sesuatu yang dirahasiakan dalam hatinya.
Pertanyaan Suto Sinting itu tidak segera mendapat jawaban yang diharapkan. Nyai Sedap Malam hanya katupkan bibirnya yang pulen dan tak bergerak bagaikan patung bernyawa.
Elang Samudera ikut penasaran, sehingga ia pun akhirnya ajukan tanya kepada Nyai Sedap Malam dengan sikap hati-hati.
"Mengapa kau tidak menjawab pertanyaan Suto Sinting, Nyai? Ada apa di balik himbauanmu tadi? Aku sama sekali tak mengerti tentang si Awan Setangkai itu, Nyai. Tolong jelaskan pula untukku."
Nyai Sedap Malam angkat wajahnya pelan-pelan. Pandangan matanya tertuju pada Elang Samudera yang berdiri di depannya dalam jarak empat langkah. Pemuda yang bahu kirinya bersandar pada dinding kayu jati itu mencoba menatapnya dengan penuh harap, ia ingin sekali mendengar penjelasan yang dimaksud. Tapi tiba-tiba ada dua orang berlari mendekati rumah tersebut.
Mereka bergegas keluar dan menemukan seorang lelaki berusia sekitar empat puluh tahun. Tubuhnya kurus dengan wajah bermandi peluh. Lelaki itu mengenakan baju putih celana hitam, tanpa membawa senjata apa pun. Rambutnya pendek dan penampilannya berkesan polos. Dari peluh dan helaan napasnya yang memburu, ia tampak habis menempuh perjalanan yang melelahkan.
Ki Palang Renggo dan yang lainnya memandangi lelaki itu dengan perasaan asing, sebab tak satu pun yang mengenal lelaki itu. Setelah sedikit membungkuk sebagai tanda menghormat, lelaki kurus itu berkata kepada Ki Palang Renggo,
"Maaf, Kek... bolehkah aku meminta seteguk air untuk menghalau kehausanku ini?"
Pendekar Mabuk segera menyahut, "Minumlah tuakku ini!" seraya menyodorkan bumbung tuaknya.
Tanpa sungkan lagi orang tersebut segera meraih bumbung tuak dan menenggak tuak beberapa teguk, ia bagai tak peduli lagi dengan pandangan mata mereka yang tertuju lekat-lekat kepadanya.
"Terima kasih, Kisanak," ucapnya sambil mengembalikan bumbung tuak. Napasnya masih terengah-engah, namun wajahnya muiai tampak berseri, tak sekering tadi.
"Siapa kau sebenarnya?" tanya Ki Palang Renggo setelah orang itu diajaknya masuk ke rumah.
"Namaku.... Bawana, dari Pulau Dulang," jawab lelaki polos itu. "Tadi aku berpapasan dengan si Kembar dari Teluk Pare. Aku takut dibunuh oleh mereka, karena orang Teluk Pare tak suka dengan orang Pulau Dulang. Mereka mengenaliku sebagai orang Pulau Dulang. Karenanya aku segera melarikan diri sebelum mereka bernafsu untuk membunuhku."
"Mereka memang dari sini!" sahut Elang Samudera.
"Mereka habis kuhajar dan segera melarikan diri. Jika tidak, si Kembar dari Teluk Pare itu sudah kehilangan nyawanya."
"O, pantas mereka tak mau mengejarku ketika mereka lihat aku menuju kemari, Nak."
"Kurasa kau bisa lanjutkan perjalananmu," kata Nyai Sedap Malam dengan nada angkuh, walau sebenarnya tak angkuh hatinya.
"Biarkan ia beristirahat sebentar, Sayangku," ujar Ki Palang Renggo. Sang istri hanya menarik napas bagai tak peduli keputusan sang tamu nantinya.
"Sebentar lagi petang akan datang. Bolehkah aku numpang bermalam di pondokmu ini, Kek?" kata Bawana, pancaran matanya menampakkan harapan yang berbinar-binar.
Ki Palang Renggo pandangi istrinya sebentar, setelah melihat sang istri tidak menampakkan rasa tak suka, Ki Palang Renggo pun menjawab pertanyaan tamunya.
"Kami tidak mempunyai tempat tidur yang layak untuk seorang tamu, Tetapi jika kau mau tidur di sembarang tempat, kami tak keberatan menampungmu semalam dua malam. Asalkan kau tak boleh mengintipku jika aku nanti tidur dengan istriku."
Bawana tertawa pelan "Itu tak mungkin kulakukan, Kek. Aku pergi dari Pulau Dulang bukan untuk berbuat tak senonoh seperti itu, melainkan untuk suatu tujuan yang suci."
"Apa tujuanmu pergi dari Pulau Dulang?" tanya Elang Samudera yang masih pandangi Bawana dengan sorot pandangan mata bersifat menyelidik.
Bawana menatap Elang Samudera dengan dahi sedikit berkerut.
"Apakah... apakah kau yang berjuluk Pendekar Mabuk, Kisanak?"
Ki Palang Renggo dan Nyai Sedap Malam segera lemparkan pandangan matanya ke arah Suto Sinting.
Elang Samudera pun melirik Suto Sinting beberapa saat, sementara Suto Sinting sendiri menatap Bawana dengan pandangan bernada heran.
"Mengapa kau menyangka diriku Pendekar Ma buk?" tanya Elang Samudera setelah lebih mendekat lagi.
"Karena... karena kepergianku dari Pulau Dulang memang untuk mencari Pendekar Mabuk. Aku ingin bertemu dengan beliau."
"Untuk apa?" tukas Suto Sinting.
"Aku ingin meminta bantuan Pendekar Mabuk untuk membunuh raksasa keji di pulau kami."
"Raksasa...?!" gumam Pendekar Mabuk sambil melirik Ki Palang Renggo. Lelaki tua itu pun akhirnya berkata,
"Aku tahu letak Pulau Dulang, walau aku belum pernah singgah ke sana. Tapi setahuku, di sana tak ada raksasa. Kau jangan mengarang cerita yang bukan-bukan, Bawana!"
"Aku bicara yang sesungguhnya, Kek. Raksasa itu berbentuk hantu. Hmmm... maksudku, tak bisa dilihat seperti apa wujudnya. Dalam perjalanan mencari Pendekar Mabuk ini, semula aku bersama tiga temanku.
Tetapi ketiga temanku hilang satu persatu saat melintasi hutan menuju pantai. Bahkan yang seorang lagi lenyap tanpa bangkai ketika kami menyeberangi lautan. Aku bersyukur sekali, karena aku berhasil lolos dari ancaman maut hantu raksasa itu dengan cara menyelam beberapa saat lamanya di dalam lautan. Penyeberanganku itu akhirnya kulanjutkan dengan berenang sampai ke pantai Karang Hantu."
Melihat kesungguhan pada wajah Bawana, Suto Sinting merasa yakin dengan cerita tersebut. Elang Samudera juga menilai bahwa Bawana bicara jujur sebagai orang yang selamat dari ancaman maut.
Sedangkan Nyai Sedap Malam bagaikan tak peduli sedikit pun dengan cerita itu. Ki Palang Renggo tampak merenung dalam keragu-raguan.
"Apakah orang Pulau Dulang tak ada yang mampu menangkap hantu raksasa itu?" tanya Suto Sinting beberapa saat kemudian.
"Kami sudah mencobanya berulang kali, Kisanak. Tetapi setiap kami mengirimkan utusan untuk menangkap hantu raksasa itu, selalu saja utusan kami tak pernah kembali. Kami hanya bisa menemukan mayat utusan kami yang telah dalam keadaan mengenaskan.
Hantu Raksasa itu kadang juga mendatangi desa kami dan merenggut korban beberapa penduduk. Akhirnya desa kami hanya tinggal beberapa gelintir manusia saja yang masih hidup, termasuk aku sendiri. Maka kami bersepakat untuk meminta bantuan Pendekar Mabuk yang kesaktiannya terbawa angin sampai ke telinga orang-orang Pulau Dulang."
"Akulah yang berjuluk Pendekar Mabuk," kata Suto Sinting setelah mereka saling membisu tiga helaan napas. Bawana tampak terkejut, matanya memandang Suto Sinting dengan tajam, berkesan antara percaya dan tidak.
"Benarkah kau orangnya?!" ucap Bawana dalam nada gumam.
"Apa yang membuatmu sangsi?" tanya Nyai Sedap Malam secara di luar dugaan. Namun ia tetap berdiri di depan jendela memandang ke arah luar, seakan menikmati senja yang akan tiba itu. Mau tak mau Bawana pun menatap perempuan tersebut sambil berkata pelan,
"Semuda inikah tokoh sakti yang kondang itu?"
"Apakah kau kira Pendekar Mabuk itu berusia sebayaku?" ujar Ki Palang Renggo. Bawana menjadi tersipu sendiri, dan mulai kikuk dalam bersikap di depan Suto Sinting.
"Kusangka memang berusia di atas lima puluh tahun," katanya. "Tapi jika kulihat ciri-ciri anak muda ini; baju coklat tanpa lengan, celana putih, bumbung tuak, rambut panjang dan wajah tampan... sepertinya memang dialah orang yang kucari-cari selama lima hari ini."
Suto Sinting menarik napas, melangkah dekati Nyai Sedap Malam, ia berkata dalam nada bisik, tapi Ki Palang Renggo yang berada tak jauh darinya mendengar bisikan itu.
"Bagaimana menurut pendapatmu, Nyai?"
"Aku tak percaya dengan ceritanya. Baru sekarang kudengar ada hantu raksasa yang bergentayangan."
Ki Palang Renggo menyahut, "Kurasa ia memang dalam kesulitan, tapi agaknya bukan karena hantu raksasa."
Nyai Sedap Malam berkata lagi ketika Elang Samudera ikut bergabung dalam bisik-bisik itu.
"Kalau kau percaya dengan ceritanya, terserah langkahmu. Kalau kau tak percaya, usir saja dia dan lupakan tentang cerita hantu raksasa itu."
"Agaknya aku cenderung percaya dengan kesulitannya," kata Suto Sinting, lalu ia melirik Elang Samudera dan menyambung kata, "Pandangan matanya memancarkan harapan yang mengibakan hati. Rasa-rasanya aku memang harus membantunya."
"Aku akan mendampingimu jika memang itu keputusanmu, Suto."
"Elang Samudera, kurasa kau mempunyai urusan sendiri yang belum selesai. Entah urusan apa, aku tak tahu. Tapi yang jelas, kau tak perlu ikut ke Pulau Dulang."
"Semua urusanku bisa kutangguhkan. Aku lebih memilih untuk ikut terlibat dalam urusanmu. Firasatku mengatakan, kau membutuhkan seorang teman dalam menghadapi hantu raksasa itu."
Nyai Sedap Malam segera berkata, "Jangan bodoh, Elang Samudera! Berurusan dengan misteri di Pulau Dulang sama saja bertarung nyawa secara sia-sia. Kalau kau mati, kau tak akan mendapat penghargaan dari orang Pulau Dulang. Masyarakat di Pulau Dulang hanya akan menghormati leluhurnya saja. Mereka tak akan peduli jasa orang lain.
Bahkan untuk berterima kasih pun sulit mereka lakukan untuk orang lain. Masyarakat Pulau Dulang adalah masyarakat terasing, sehingga beberapa penduduk di pulau lainnya ada yang mengatakan,  penduduk Pulau Dulang adalah penduduk terbuang yang tak pernah menjadi bahan pembicaraan baik di kedai-kedai maupun di perjalanan."
"Aku hanya ingin dampingi Pendekar Mabuk, Nyai. Bukan untuk mencari sanjungan atau penghargaan dari siapa pun."
"Jika begitu maumu, aku tak bisa melarangmu untuk pergi bersama si murid sinting Gila Tuak itu."
"Aku tetap tak setuju kalau kau ikut denganku Elang Samudera!" kata Suto Sinting membuat Elang Samudera menyimpan rasa kecewa dalam hatinya. Suto Sinting berkata lagi dengan lebih tegas, "Perjalananku ke Pulau Dulang adalah perjalanan biasa. Tak perlu harus didampingi oleh seorang ksatria gagah sepertimu!"
"Jika kau melarangku ikut, sama artinya kau tak mau bersahabat lagi denganku, Suto! Aku pun akan berusaha melupakan dirimu, Sobat!"
"Elang Samudera, kumohon jangan tersinggung dulu. Dengarkan penjelasanku...."
"Aku tak butuh penjelasanmu. Hatiku telah mengambil keputusan; boleh atau tidak, aku tetap akan ikut ke Pulau Dulang. Karena aku sendiri penasaran dengan cerita kemunculan hantu raksasa itu."
Percakapan yang makin lama sudah bukan merupakan bisik-bisik lagi itu didengar oleh Bawana. Maka sang tamu pun segera menyela kata saat mereka sama-sama terbungkam.
"Jika memang kau keberatan, aku pun tak akan memaksamu, Pendekar Mabuk. Mungkin memang nasib kami harus berjuang melawan hantu raksasa yang sukar dilihat itu."
Pendekar Mabuk tarik napas dalam-dalam, kemudian melangkah dekati Bawana. Pundak lelaki kurus itu ditepuknya pelan. Pluk...! Lalu, ia pun berkata dengan nada ramah.
"Jangan berkesimpulan seperti itu, Kang. Kesimpulan yang salah dapat membuat hatimu terluka dan membakar kebencian."
"Jadi... jadi maksudmu kau bersedia untuk datang ke Pulau Dulang dan melawan hantu raksasa itu?!"
Pendekar Mabuk tidak segera menjawab, namun matanya melirik ke arah Ki Palang Renggo dan Nyai Sedap Malam. Suami-istri itu hanya diam, tanpa memberikan isyarat apa pun. Bawana menjadi berdebar-debar karena merasa khawatir jika sampai Pendekar Mabuk tak mau ikut ke Pulau Dulang.
*
* *

4
KABUT pagi mulai menipis. Pada saat itulah Pendekar Mabuk bergegas meninggalkan pondok Ki Palang Renggo menuju Pulau Dulang bersama Bawana dan Elang Samudera. Arah yang mereka tuju adalah Pantai Karang Hantu sebelah timur. Sebab menurut Bawana, di sana ada perkampungan nelayan dan ia mempunyai seorang kenalan yang memiliki perahu.
Mereka bersepakat untuk menyewa perahu tersebut untuk menyeberang menuju Pulau Dulang. Karena Bawana tidak mempunyai ilmu peringan tubuh, gerakan larinya tak bisa secepat Elang Samudera dan Suto Sinting, maka langkah mereka pun menjadi lamban.
Untuk mencapai Pantai Karang Hantu sebenarnya bisa ditempuh dalam waktu kurang dari seperempat hari. Namun karena gerakan mereka lamban, maka waktu yang mereka butuhkan untuk tiba di Pantai Karang Hantu menjadi hampir setengah hari penuh.
Ketika mereka tiba di sebuah lembah, tak berapa jauh dari Pantai Karang Hantu, tiba-tiba langkah mereka terhenti oleh kemunculan seorang perempuan cantik berusia sekitar dua puluh dua tahun.
Perempuan yang tampak masih gadis itu mengenakan baju biru tanpa lengan, sehingga kulitnya yang kuning mulus dapat terlihat dengan jelas. Rambutnya lurus dengan poni di bagian depan. Matanya bundar, hidungnya mancung, mempunyai bentuk wajah bulat telur. Gadis bersabuk hitam dari kulit binatang itu menyelipkan pisau gagang tanduk rusa di pinggangnya. Pendekar Mabuk mengenal gadis itu sebagai murid Galak Gantung yang bernama Kabut Merana alias Murdaningsih, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Bayi Pembawa Petaka").
Sedangkan Galak Gantung adalah tokoh tua sahabat si Gila Tuak, gurunya Suto Sinting (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Pusaka Bernyawa").
Kabut Merana muncul dalam keadaan terhuyung- huyung dengan dada terluka dan mengeluarkan darah, ia menghamburkan diri dari pohon ke pohon sebagai upaya mempertahankan nyawa dan menggunakan sisa kekuatan yang ada. Setiap pohon yang dipeluknya meninggalkan bekas darah yang berlumuran. Pendekar Mabuk cepat hampiri gadis itu dan segera menolongnya.
"Kabut Merana...?!" sapa Suto Sinting dengan nada cemas. Tubuh gadis yang sekal itu segera tertangkap dalam pelukannya. Mata sang gadis mulai terbeliak-beliak dengan mulut ternganga sulit bicara. Wajah cantiknya telah pucat pasi seperti mayat.
"Baringkan dia, Suto. Lukanya cukup dalam dan parah sekali," kata Elang Samudera. Kemudian ia membantu Suto Sinting membaringkan tubuh Kabut Merana dan membuka mulut si gadis, sehingga Suto Sinting dapat tuangkan tuaknya sedikit demi sedikit.
Tuak tertelan dan Kabut Merana pun mulai memperoleh kekuatan kembali. Lukanya cepat mengering dan merapat, sehingga dalam beberapa kejap saja luka itu telah menjadi rata dan dada pun menjadi berkulit halus bagai tak pernah terluka oleh senjata tajam apa pun. Untung luka itu tepat ada di bagian atas gundukan kedua bukit di dadanya, sehingga mereka tak terlalu sungkan memandangi luka berlubang yang sepertinya bekas tusukan senjata tajam itu.
Darah yang semula berlumuran di sekitar dada Kabut Merana pun menguap dan lenyap bagaikan terhembus angin. Kesaktian tuak sakti telah membuat Kabut Merana segera menyadari bahwa ia berada di dekat Pendekar Mabuk.
"Suto...?! Oh, syukurlah kau menemukan diriku. Jika tidak, mungkin nyawaku telah melayang karena luka tadi."
"Apa yang terjadi pada dirimu, Kabut Merana?" tanya Suto Sinting setelah ia memperkenalkan Elang Samudera sebagai sahabat barunya, dan Bawana sebagai utusan dari Pulau Dulang.
Namun gadis cantik itu segera kerutkan dahi saat diperkenalkan kepada Bawana. Matanya memandang tajam ke arah wajah polos Bawana, sehingga Suto Sinting menjadi tak enak hati dan segera mengalihkan perhatian dengan pertanyaannya tadi. Kabut Merana alihkan pandangannya ke arah Suto Sinting.
"Seseorang telah melukaiku dengan pedangnya. Kalau aku tak melarikan diri, mungkin aku telah mati di tangannya."
"Siapa orang itu?" desak Suto Sinting menjadi penasaran.
Kabut Merana tampak kikuk. Matanya melirik ke arah Elang Samudera dan Bawana secara bergantian. Kebisuan mulutnya membuat Elang Samudera menjadi curiga dan segera bicara,dengan nada suara yang lembut.
"Jelaskan selengkapnya kepada Suto tentang apa yang terjadi pada dirimu, Kabut Merana. Aku yakin kau mendapat kesulitan dan tentunya kami tak akan tinggal diam, karena kau sahabat Suto Sinting. Kami akan lindungi dirimu dari serangan siapa pun, Kabut Merana!"
Gadis itu segera memandang Suto dan berkata, "Aku perlu bicara empat mata denganmu, Suto."
Di dalam hatinya Pendekar Mabuk merasa heran atas permintaan Kabut Merana itu. Ia pun tak enak hati kepada Elang Samudera dan Bawana jika harus bicara empat mata bersama Kabut Merana.
Namun agaknya si gadis benar-benar tak mau pembicaraannya didengar oleh kedua orang itu, sehingga Suto Sinting terpaksa menuruti kehendak si gadis. Kabut Merana melangkah ke sudut semak-semak, dan Pendekar Mabuk  mengikutinya. Jarak mereka dengan Elang Samudera dan Bawana sekitar dua belas langkah.
"Siapa pemuda tampan itu?" bisik Kabut Merana dengan pandangan mata tak tertuju pada Elang Samudera. Namun Pendekar Mabuk tahu persis bahwa yang dimaksud adalah Elang Samudera. Senyum pun tersungging di bibir Suto Sinting, kemudian disusul sebuah pertanyaan sindiran,
"Apakah kau menyukainya?"
"Bukan soal itu! Aku khawatir dia orang Selat Bantai."
Mendengar kata 'Selat Bantai', Pendekar Mabuk cepat kerutkan dahi. Dalam hatinya berkata, "Mengapa Kabut Merana menyinggung-nyinggung soal orang Selat Bantai? Apakah ia pun mengenal Awan Setangkai, yang menurut Ki Palang Renggo adalah orang Selat Bantai itu?"
"Suto, jawablah pertanyaanku dengan jujur; apakah Elang Samudera itu adalah orang Selat Bantai?"
"Bukan," jawab Suto Sinting pelan sambil gelengkan kepala samar-samar. Katanya lagi,
"Elang Samudera adalah muridnya Pendeta Darah Api dari Teluk Merah. Aku tak tahu apakah Teluk Merah ada hubungannya dengan Selat Bantai. Yang jelas, kulihat Elang Samudera bukan dari aliran hitam."
Kabut Merana menarik napas, melirik ke arah Elang Samudera yang sedang bicara pelan dengan Bawana. Agaknya gadis itu menahan kecurigaannya untuk sementara waktu.
"Lalu, siapa lelaki berbaju putih dan bercelana hitam itu?"
"Bawana. Bukankah tadi sudah kuperkenalkan padamu?"
"Maksudku, apakah dia... ah, kurasa aku pernah melihatnya berkeliaran di wilayah Selat Bantai."
Suto Sinting kerutkan dahinya, ia memandang dalam keraguan kepada Kabut Merana. Tetapi gadis itu seakan ingin lebih meyakinkan anggapannya dengan berkata kepada Suto,
"Aku ingat, dia pernah kulihat menyelinap di belakang puri pemujaan. Aku semakin yakin, dia orang Selat Bantai, Suto!"
"Jika benar dia orang Selat Bantai, apa pendapat mu selanjutnya, Kabut Merana?" tanya Suto Sinting dengan rasa ingin tahu cukup besar dan menggelisahkan hatinya.
"Jika benar dia seorang Selat Bantai, sebaiknya jauhilah dia, Suto! Jauhi semua orang dari Selat Bantai."
"Jelaskan alasanmu, Kabut Merana."
"Kau sedang menjadi bahan buruan orang-orang Selat Bantai. Penguasa Selat Bantai yang bernama Nyai Ratu Cendana Sutera sedang membutuhkan darah ksatria muda. Sasaran utamanya adalah dirimu, Suto. Sebab mereka tahu, kau adalah seorang pendekar muda yang berilmu tinggi."
"Untuk apa dia mencari seorang ksatria muda?"
"Tepat malam bulan purnama yang kurang tiga hari lagi ini, dia harus bercumbu dengan seorang ksatria muda, diutamakan yang berilmu tinggi.
Menurut kabar yang kudengar dari seorang sahabat yang menjadi prajurit di Selat Bantai, bulan ini adalah bulan kesuburan bagi darah keturunan Selat Bantai. Pada bulan kesuburan inilah Nyai Ratu Cendana Sutera mempunyai kesempatan untuk menanamkan bibit keturunan dalam dirinya.
Bulan kesuburan hanya terjadi setiap seratus tahun sekali bagi darah keturunan Selat Bantai. Bibit yang akan berhasil membuahkan keturunan adalah bibit seorang ksatria muda. Semakin tinggi ilmu ksatria muda itu semakin cepat pembibitannya. Keturunan yang lahir dari Nyai Ratu Cendana Sutera itulah yang nantinya akan menggantikan kekuasaan sang Ratu di wilayah Selat Bantai."
Pendekar Mabuk menarik napas, menenangkan jiwanya yang mulai bergolak karena mendengar penjelasan tersebut.
"Kedengarannya seperti sesuatu yang tidak masuk akal," katanya. "Kurasa kepercayaan seperti itu sekarang sudah tidak dianut lagi oleh mereka."
"Siapa bilang?! Mereka adalah pengikut aliran hitam dari Selat Bantai. Dan mereka sangat percaya dengan peraturan kuno tinggalan leluhur mereka."
"Alangkah bodohnya mereka. Mengapa mereka tidak melakukan pembibitan di luar bulan kesuburan ini? Apakah mereka tak berminat untuk mencobanya dengan seorang lelaki sebelum bulan kesuburan itu tiba?"
Kabut Merana mendesah jengkel. "Percayalah, Suto!
Sebaiknya jauhilah orang Selat Bantai. Selain mereka berilmu tinggi, mereka juga dari para wanita cantik yang punya daya pikat cukup kuat. Orang-orang Selat Bantai adalah para wanita yang dikutuk menjadi mandul sebelum bulan kesuburan tiba. Jadi tak satu pun dari wanita Selat Bantai yang bisa hasilkan keturunan."
Suto Sinting menggut-manggut. Kabut Merana berkata lagi, "Tapi pada bulan kesuburan nanti, semua wanita Selat Bantai terlepas dari kutuk kemandulannya. Saat itulah kesempatan emas bagi mereka, dari yang muda sampai yang tua, Untuk dapatkan benih lelaki demi mendapatkan keturunan. Kudengar kabar dari sabahatku itu, Nyai Ratu Cendana Sutera mengincarmu.
Dia ingin mempunyai keturunan dari darah seorang pendekar sejati. Tentunya kau akan diperbudak oleh mereka, disuruh membuahi para wanita Selat Bantai satu persatu. Padahal jumlah mereka lebih dari seratus orang wanita. Menurut kepercayaan para wanita Selat Bantai, jika mereka dapatkan benih dari pria yang bekas dipakai ratu mereka, maka mereka akan berumur panjang dan keturunan mereka pun akan dianggap keluarga Nyai Ratu Cendana Sutera. Keturunan mereka diperlakukan sama dengan keturunan Nyai Ratu Cendana Sutera."
Suto Sinting tertawa kecil bernada geli,
"Jika begitu, tentunya sang Ratu tidak akan membiarkan pria yang pernah membuahinya dipakai rebutan oleh para bawahannya?"
"Tidak, Suto! Setiap pria yang pernah menanamkan benih dalam diri Nyai Ratu, ia harus mati. Jika tidak mati, maka benih itu tidak akan menjadi janin. Dan biasanya sebelum pria itu dibunuh, maka ia akan digunakan sebagai pejantan bagi wanita-wanita pendukung Nyai Ratu. Setelah semua wanita mendapat bibit dari pria tersebut, maka mereka pun akan mengakhiri hidup pria itu."
Semakin geli sang Pendekar Mabuk mendengar  penjelasan tersebut, ia menggumam bagai bicara pada dirinya sendiri.
"Aliran sesat macam apa yang mereka anut sebenarnya? Kurasa semua itu hanya isapan jempol belaka, Kabut Merana. Semua penjelasan yang kau dengar dari sahabatmu itu hanya rekayasa dan kepalsuan belaka. Jangan mau percaya dengan cerita seperti itu, Kabut Merana. Sebab...."
"Ini bukan rekayasa, Suto! Kudengar kabar tentang mereka sudah cukup lama, sejak aku belum mengenalmu."
"O, ya?!" Suto Sinting kian lebarkan senyum dengan nada tak mau percayai hal itu.
"Satu lagi yang belum kau dengar, Suto...!" ujar Kabut Merana dengan berapi-api, menampakkan kesungguhannya dalam membeberkan rahasia perempuan Selat Bantai itu.
"... jika pada bulan kesuburan yang datangnya hanya seratus tahun sekali itu sang Ratu tidak mendapatkan  bibit ksatria muda berilmu tinggi, maka selamanya ia tidak akan mendapat keturunan lagi, kecuali ia mampu bertahan hidup sampai datangnya bulan kesuburan berikutnya. Karena itu...."
Sebelum kata-kata Kabut Merana selesai, tiba-tiba tubuh gadis itu tersentak ke depan dengan kepala terdongak dan wajah menyeringai. Suara pekik tertahan terlontar dari mulutnya.
"Huuuggh...!"
"Kabut Merana?!" seru Suto Sinting dengan terkejut. Seruan itu membuat Elang Samudera dan Bawana lemparkan pandangan ke arah Kabut Merana. Kedua orang itu pun terperanjat melihat tubuh gadis itu kepulkan asap putih buram. Tubuh sekal itu akhirnya mengerut dan menjadi susut, lama-lama mengecil dan mengecil terus, hingga akhirnya jatuh terkulai menjadi seperti bocah berusia lima tahun.

"Suto, apa yang terjadi pada dirinya?!" Elang Samudera bernada tegang sambil bergegas menghampiri Kabut Merana yang telah menyusut dan menjadi seperti bocah berusia lima tahun.
Pendekar Mabuk tak bisa jelaskan apa yang sempat dilihatnya tadi, karena kala itu Pendekar Mabuk terkesima dan terkunci mulutnya, kelu lidahnya, karena ia segera menyadari bahwa Kabut Merana yang berubah seperti bocah berusia lima tahun itu ternyata sudah tidak bernyawa lagi. Tak ada napas sedikit pun yang keluar dari mulut maupun hidungnya. Tak ada denyut nadi atau detak jantung yang menjadi tanda kehidupannya. Jika semua itu tak ada, maka Suto Sinting segera paham bahwa gadis itu telah tewas oleh sebuah serangan dari tempat tersembunyi tadi.
Serangan tersebut berupa seberkas sinar kecil warna pelangi yang menghantam punggung Kabut Merana dengan sangat cepat. Pendekar Mabuk tak sempat menyingkirkan Kabut Merana, juga tak sempat lakukan penangkisan dengan cara apa pun. Sinar berwarna pelangi itu muncul dan melesat dalam keadaan sangat tiba-tiba. Kecepatan gerak sinar pelangi itu nyaris tak bisa dilihat oleh mata kepala Suto Sinting sendiri.
"Dia... dia telah tiada, Suto!" ucap Elang Samudera dengan nada sedih. Pendekar Mabuk segera tarik napas dan buang pandangan ke arah datangnya sinar pelangi tadi. Kemudian dalam kejap berikutnya, sosok Pendekar Mabuk telah lenyap dari depan Elang Samudera, karena si Pendekar Mabuk segera lakukan pengejaran terhadap pelakunya dengan menggunakan jurus 'Gerak Siluman yang mampu bergerak melebihi anak panah lepas dari busurnya. Zlaaap...! Weess.. !
"Suto...! Suto, tunggu dulu!" seru Elang Samudera, seperti anak kecil takut kehilangan kakaknya. Sementara itu, Bawana hanya diam pandangi mayat kecil si Kabut Merana dengan mulut melongo dan mata tak berkedip.
Orang yang melepaskan pukulan dahsyat tadi ternyata tidak ada di tempat datangnya sinar pelangi kecil itu. Pendekar Mabuk terpaksa mencarinya keliling tempat itu dengan masih pergunakan jurus 'Gerak Siluman'-nya.
Zlaap, zlaap, zlaap...! Dan Elang Samudera mencari berlawanan arah dengan Suto Sinting, agar ia bisa melakukan pengepungan terhadap si pembunuh Kabut Merana itu.
Di suatu sisi tempat, kedua pemuda tampan itu saling bertemu dan hentikan langkah mereka. Mata mereka masih memandang nanar kepada keadaan sekeliling, karena keduanya sama-sama penasaran tak menemukan siapa-siapa di tempat itu kecuali mereka sendiri.
"Aku melihat sinar pelangi sekelebat dan menghantam punggung Kabut Merana. Datangnya dari arah sini, tapi di sini tidak ada manusia sepotong pun kecuali kita berdua, Elang Samudera."
"Dugaanku juga begitu, pasti Kabut Merana terkena pukulan jarak jauh yang tersembunyi dan kau pasti akan mengejarnya. Aku tak mau kehilangan kau, Suto. Sehingga walaupun aku tahu pengejaran ini akan sia-sia, tapi aku tetap datang mendukungmu, Suto! Kalau boleh kutahu, sebenarnya apa yang dibicarakan gadis itu kepadamu?"
Pendekar Mabuk akhirnya ceritakan kecurigaan Kabut Merana terhadap diri Bawana. Seketika itu pula Elang Samudera tampak terperanjat dan menjadi cemas.
Lalu ia bergerak lebih dulu dari Pendekar Mabuk.
"Celaka! Jangan-jangan Bawana adalah mata-mata dari Selat Bantai?! Kita harus segera menemuinya dan memaksanya bicara!"
Pendekar Mabuk bergerak ke arah semula. Zlaaap...! Ia tiba di samping mayat Kabut Merana lebih dulu.
Elang Samudera sempat kaget melihat Suto sudah ada di tempat.
"Cepat sekali gerakan larinya?! Aku tak mungkin bisa mengungguli kecepatan geraknya itu."
"Hei, mana orang yang mencariku tadi?" ujar Suto Sinting sambil memandang ke sana-sini. Ternyata Bawana tidak ada di tempat dan tidak diketahui ke mana kepergian orang tersebut.
"Jangan-jangan dia memang orang Selat Bantai yang... yang ingin menangkapmu, Suto!" kata Elang Samudera setelah mendengar penjelasan singkat dari Suto tentang apa yang dituturkan Kabut Merana tadi.
"Jika begitu, cari si Bawana tadi dan paksa dia agar tunjukkan pada kita di mana letak Selat Bantai itu."
Pendekar Mabuk diam termenung menahan kemarahan dalam hatinya. Elang Samudera masih tetap berpaling ke sana-sini sambil berseru keras-keras.
"Bawana! Bawanaaa...! Di mana kau, Bawana...?!"
Suasana masih tetap sepi dan mulut mereka pun tetap terkunci walau sudah lima kali masing-masing dari mereka berteriak memanggil nama Bawana.

"Apa yang harus kita lakukan jika begini, Suto?" tanya Elang Samudera dengan penuh rasa membela pihak teman.
*
* *