Pendekar Mabuk 54 - Kipas Dewi Murka(1)


 1

LANGKAH si tampan Pendekar Mabuk terpaksa
berhenti ketika ia mendengar suara aneh yang
mencurigakan. Suara itu datang dari hutan sebelah
kirinya yang penuh dengan semak belukar. Daun-daun

ilalang tumbuh subur dalam ketinggian melebihi tubuh
manusia dewasa. Dari dalam semak belukar itulah suara
mirip orang merintih terputus-putus terdengar
menembus kelebatan semak.
"Ada yang terluka di sana?!" pikir Suto Sinting dalam
keraguan. "Suara orang merintih karena luka, atau suara
orang yang merintih karena nikmat?!"
Telinga si murid sinting Gila  Tuak  itu dipertajam
lagi. Suara rintihan yang terdengar samar-samar karena
jaraknya agak jauh itu terdengar semakin meragukan


bayangan yang ada dalam benak Suto Sinting.
"Uh, aah... aduh, aduh, aaah... uuuh... ooh, oh, oh...."
Hati pemuda tampan berambut lurus sepundak tanpa
ikat kepala itu mulai membatin lagi sambil dahi tetap
berkerut tajam.
"Suara itu jelas suara perempuan. Tapi perempuan tua
atau muda, ya?! Hmmm... jangan-jangan perempuan itu
sedang bercumbu? Tapi mengapa  suara lawan jenisnya
tidak terdengar? Apakah ia bercumbu dengan lelaki
bisu? Ah, sialan! Jantungku jadi berdebar-debar begini.
Sebaiknya kutinggalkan saja suara itu."
Namun rasa penasaran yang mudah terpancing dalam
hati Suto Sinting, tak mungkin mampu membuatnya
pergi begitu saja. Walaupun hati berdebar-debar dan
keringat dingin sempat keluar karena bayangan mesum
yang muncul di benaknya, Suto Sinting akhirnya nekat
mendekati suara rintihan seorang wanita itu. Ia
menerabas semak dengan langkah pelan-pelan agar tak
menimbulkan bunyi, ia bermaksud ingin mengintip si
pemilik suara tersebut.
"Ooh... uuuh... ah, ah, ah, aaaahh...," lalu disusul
suara napas terengah-engah seperti orang habis berlari
jauh.
Semakin dekat semakin jelas suara napas ngos-
ngosan itu, sehingga kini Pendekar Mabuk pun semakin
gemetar dan hati kian berdebar-debar karena bayangan
dalam benak Suto bertambah syur. Tapi kaki tetap
melangkah mendekati suara tersebut dengan batin kian
bicara,


"Suaranya merdu, agak serak-serak basah. Sepertinya
ia masih muda dan sedang diburu hasrat cinta yang
menggebu-gebu. Oh, ya... sebaiknya kuintip dari atas
pohon saja. Biar pemandangannya lebih jelas lagi."
Wuuut...! Tubuh kekar berdada bidang itu melesat ke
atas dan hinggap di atas pohon tanpa suara dan gerakan
berisik. Itu menandakan bahwa ilmu peringan tubuh
yang dimiliki Suto Sinting cukup tinggi, sehingga
tubuhnya mampu melayang dan hinggap bagaikan kapas
tanpa beban berat. Tak satu pun daun pohon itu yang
bergerak walau kaki Suto Sinting sempat menginjak
permukaan daun sebelum akhirnya pindah ke sebuah
dahan sebesar lengannya.
"Ya, ampuuun...?!" Pendekar Mabuk lebarkan
matanya yang indah itu. Ia terkejut melihat apa yang
dicarinya sejak tadi. "Ternyata aku salah khayal. Ooh...
celaka! Kalau begini caranya aku tak boleh terlalu lama
ada di sini. Aku harus segera turun dan... dan... ah, tapi
kalau aku turun dan mendekatinya, ia bisa salah paham
padaku?! Aduh, bingung juga kalau begini?!"
Pemandangan yang diintainya itu adalah
pemandangan segar yang menyedihkan. Seorang gadis
dengan rambut terurai lepas dari ikatannya berdiri di
antara dua pohon yang tumbuh dalam jarak dekat. Gadis
itu berwajah cantik, matanya berbulu lantik  dan
berbinar-binar indah sekali. Suto Sinting memperkirakan
usia gadis itu sekitar dua puluh dua tahun.
Tubuhnya sekal padat berisi, dengan dada yang
membengkak bagai penuh tantangan yang menggiurkan


setiap lelaki. Keadaan si gadis sangat menyedihkan.
Kedua tangannya diikat dalam keadaan terentang pada
dua pohon di kanan-kirinya. Kakinya juga merentang ke
kanan-kiri  dalam keadaan diikatkan pada dua pohon
tersebut. Jelas gadis itu tertawan dan seorang musuh
telah mengikatnya sedemikian rupa hingga mendebarkan
hati Pendekar Mabuk.
Hal yang paling mendebarkan si Pendekar Mabuk itu
adalah keadaan gadis itu yang mirip bayi. Ia ditawan
sebegitu rupa dalam keadaan polos tanpa selembar
benang pun. Keadaan itu yang membuat hati Suto
Sinting kian berdebar dan jantungnya menyentak-
nyentak.
Sesaat ia seperti terpesona melihat pemandangan di
hadapannya.  Gadis itu berkulit kuning langsat, mulus
tanpa cacat sedikit pun. Bentuk tubuhnya sangat indah,
tak terlalu kurus, juga tak terlalu gemuk. Sekal, padat
berisi.
"Ah, uuhh... eeeh... uuuh...!" suara si gadis
mengerang dan mendesah bukan lantaran menikmati
sentuhan mesra, namun berusaha menarik tangan agar
terlepas dari tali pengikatnya. Sebentar kemudian ia
berhenti dan terengah-engah kelelahan. Bibirnya yang
ranum mungil itu digigit sendiri bagai sedang menangis.
Melihat bibir digigit, Suto Sinting semakin menggeram
gemas dalam hatinya.
"Apa yang harus kulakukan jika begini?" pikir
Pendekar Mabuk dalam kebingungan.
"Kalau kudekati, nanti disangkanya aku ingin


menyaksikan kemulusannya. Kalau dibiarkan saja, oh...
alangkah kasihannya gadis itu?! Agaknya tali yang
dipakai untuk mengikatnya bukan sembarang tali.
Semakin ditarik-tarik semakin mengencang membuat
pergelangan tangan gadis itu menjadi kian  terjerat dan
kulitnya berubah merah."
Pakaian si gadis tak kelihatan di sana-sini. Senjatanya
pun tak ada di sekitar tempat itu. Timbul pertanyaan di
batin Suto Sinting,
"Apakah gadis itu setiap harinya memang polos
begitu ke mana pun ia pergi?! Mengapa tak ada selembar
pakaian pun di sekitarnya? Jika aku berhasil melepaskan
ikatannya, lalu apa yang harus kulakukan?!"
Pendekar Mabuk akhirnya duduk di atas dahan itu
merenungkan langkah yang harus diambil. Renungan itu
disertai pandangan mata tertuju lurus pada si gadis yang
malang. Semakin lama merenung semakin hanyut
khyalannya, sehingga yang terbayang dalam benak Suto
Sinting bukan mencari cara melepaskan gadis itu
melainkan bayangan indah dalam menikmati kemulusan
dan keterbukaan gadis cantik bertahi lalat kecil di ujung
bibir kirinya Itu.
Lamunan ngeres itu segera lenyap setelah gadis itu
perdengarkan suara walau lirih dan hampir tak terdengar
oleh Pendekar Mabuk dari atas pohon.
"Kalau saja ada orang yang datang menolongku, aku
akan sangat berterima kasih padanya. Jika ia perempuan,
aku akan mengabdi kepadanya sebagai  saudara angkat.
Jika yang menolongku seorang lelaki, seburuk apa pun


wajahnya aku akan bersedia menjadi istrinya dan akan
kuturuti apa kemauannya. Daripada aku harus begini
terus-terusan, lama-lama aku bisa mati nganggur! Oh,
Dewaaaaa... kirimkan-lah seorang penolong bagiku."
Kepala gadis itu akhirnya terkulai menunduk.
Mungkin menangis, tapi tak terlihat air mata meleleh di
pipinya. Mungkin hanya tangis batin yang dapat
dilakukannya. Hati Suto Sinting pun menjadi kian iba
melihatnya.
Pendekar Mabuk akhirnya beranikan diri untuk
berseru dari tempatnya. Keberanian itu timbul setelah ia
menenggak tuak beberapa teguk dari bumbung bambu,
tempat tuak yang ke mana pun perginya selalu dibawa-
bawa.
"Nona cantik, bolehkah aku datang menolongmu?!"
"Oooh... suara seorang lelaki?!" gadis itu terbelalak
kaget sekali, ia mulai tampak gusar dan panik. Matanya
membelalak memandangi arah sekelilingnya dengan
gerakan menggeragap. Jantung gadis itu menyentak-
nyentak cukup kuat karena rasa malu dan bingung
menyadari keadaan dirinya.
"Haruskah kubiarkan seorang lelaki datang
menolongku dalam keadaan tubuhku seperti ini?!" pikir
si gadis sambil menyentak-nyentak tangannya yang
ingin bergerak menutup bagian depan secara naluriah.
Namun tangan itu  tetap terjerat tali yang terbuat dari
sejenis akar aneh, karena jika tali itu semakin ditarik
jeratannya bukan mengendur melainkan justru semakin
mengencang.


"Jawablah pertanyaanku tadi, Nona! Aku akan
menolongmu melepaskan penjerat itu, tapi apakah kau
izinkan diriku untuk mendekatimu?"
"Jangan!" jawabnya seketika itu juga. Tapi  ia jadi
berpikir lagi dan ragu-ragu memberi keputusan.
"Eh, tapi... boleh saja kau kemari, eh... anu... jangan,
sebab aku dalam keadaan... tapi, iya... silakan datang
asal... asal... asal kau tutup kedua matamu dan kau tak
boleh mengintip sedikit pun. Eh, tapi... anu juga...
begini...."
Tak ada yang jelas kata-katanya. Bagi si tampan
murid Gila Tuak dan Bidadari Jalang itu, kata-kata gadis
tersebut sangat membingungkan sehingga ia tak tahu apa
yang harus dilakukan, ia diam beberapa saat memikirkan
jalan terbaik.
"Kau... kkau... ada di mana?!" seru gadis itu dengan
wajah pucat karena rasa malu. Bagaimanapun juga ia
tahu bahwa ada seorang lelaki yang telah melihat
keadaannya dari balik persembunyian. Dan kesadaran
itulah yang membuatnya sangat malu hingga kakinya
gemetar.
"Nona, aku ingin menolongmu bukan ingin bertindak
tak sopan padamu!" seru Suto lagi.
"Bersumpahlah bahwa kau tak akan memandangiku
dengan nakal!"
"Aku... aku tak pernah bersumpah, jadi aku tak bisa
bersumpah."
"Ooh...!" gadis itu lemas, karena ia tahu tubuhnya
yang polos itu akan menjadi pusat pandangan mata


seorang lelaki. Alangkah memalukannya jika hal Itu
sampai terjadi, sementara ia belum kenal siapa lelaki itu
dan  belum tahu seperti apa wajah si lelaki. Tak heran
jika dalam hati gadis itu timbul  rasa muak dan sebal
kepada suara lelaki yang didengarnya.
"Tapi aku butuh bantuannya untuk melepaskan tali
penjerat ini?! Jika kuturuti perasaan malu dan muakku,
belum tentu ada seorang perempuan yang lewat hutan ini
dan menolongku. Aduh, bagaimana diriku jika sudah
begini?!" ujarnya membatin dengan sangat sedih dan
salah tingkah.
"Kau ada di mana, Kang...?!" seru gadis itu
memanggil 'kang' karena melalui suara yang didengar ia
dapat menduga bahwa lelaki yang akan menolongnya
belum terlalu tua.
"Aku ada di suatu tempat yang mudah mencapai
tempatmu dalam sekejap!" seru Suto Sinting. Suaranya
yang bergema membuat ia sulit diketahui letak
persembunyiannya.
"Apakah... apakah kau melihat keadaanku dengan
jelas?!"
"Jelas sekali!"
"Gawat!" gumamnya, lalu berseru lagi, "Dari mana
kau melihatku saat ini?!"
"Dari arah depanmu, Nona!"
"Mati aku!" ucapnya dalam hati dengan rasa malu
semakin menghujam hati dan membuatnya serba salah.
Kemudian  ia berseru kembali dengan suara bergetar
karena menahan perasaan yang bercampur aduk.


"Tutup matamu sekarang juga! Tutup!"
"Baik, sudah kututup mataku saat ini!" seru Suto
Sinting dengan mata terbuka lebar dan tetap memandang
ke arah gadis itu melalui celah dedaunan.
"Kau... kau boleh mendekatiku dari belakang. Jangan
dari depan!"
"Mengapa dari belakang?!"
"Aku mempunyai jurus 'Ludah Geni'. Jika kau
mendekatiku dari depan, ludahku bisa keluar secara tak
sadar dan membakar kulit tubuhmu!" seru sang gadis,
kemudian membatin kata untuk dirinya sendiri,
"Lebih baik kubohongi begitu, biar dia tidak
mendekatiku dari depan. Biarlah dia mendekatiku dari
belakang dan melepaskan tali penjerat ini. Jika sudah
terlepas semua, kubunuh pria itu supaya tidak
membayangkan kepolosan tubuhku terus-terusan!
Biarlah aku menjadi jahat satu kali ini saja. Tebusan
dosaku akan kuterima seberat apa pun.'
Hutan menjadi sepi, alam menjadi sunyi. Suara pria
yang diharapkan oleh sang gadis itu terdengar lagi. Sang
gadis menjadi bertanya-tanya  dalam  hati dengan rasa
heran. Matanya masih mencari ke sana-sini, namun tak
ditemukan sesosok tubuh yang mendekatinya dari balik
semak mana pun juga.
"Celaka! Jangan-jangan orang itu justru pergi karena
mendengar aku mempunyai jurus 'Ludah Geni'  yang
kukatakan tadi? Oh, bodohnya aku ini!  Bodoh  sekali!
Mestinya biarlah aku menderita malu sebentar, yang
penting aku bisa bebas dari jeratan akar setan ini!


Mestinya aku tak perlu menakut-nakuti dia, sehingga
akhirnya dia pergi tak mau menolongku. Mungkin dia
seorang lelaki pencari kayu atau mengembara tanpa
nyali."
Rasa sesal si gadis membuatnya dongkol dan semakin
salah tingkah, ia segera mencoba berseru ke arah depan,
karena menurut pengakuan yang didengar tadi orang
tersebut dapat melihatnya dari arah depan. Perkiraan si
gadis mengatakan, bahwa pria yang berseru itu ada di
semak depan, di bawah sebuah pohon besar berdaun
rimbun itu.
"Hoii...! Kenapa kau diam saja?! Kau ada di mana,
Kang?! Jawablah seruanku  ini! Jangan main-main
denganku, aku bisa mencelakakan dirimu walau kau ada
di balik semak-semak. Jawablah, di mana kau sekarang
berada!"
"Aku ada di belakangmu!"
"Oooh...?!" gadis itu memekik kaget. Begitu kagetnya
sampai tubuhnya terlonjak dan tali penjerat-nya kian
mengencang, ia ingin berpaling ke belakang, tapi tak jadi
sebab dari suara pelan yang didengarnya tadi ia tahu
bahwa si ielaki sudah ada di belakangnya dalam jarak
sekitar dua atau tiga langkah.
"Celaka! Ternyata dia sudah ada di belakangku?!
Mengapa tak kulihat dan tak kudengar gerakannya saat
berpindah tempat?!" pikir si gadis dengan jantung kian
menyentak-nyentak kuat. Ia tak tahu bahwa Suto Sinting
mampu bergerak cepat  bagai sekelebat bayangan
dihembus badai karena mempunyai jurus yang bernama


'Gerak Siluman', di mana kecepatan geraknya itu
melebihi kecepatan anak panah yang melesat dari
busurnya.
Suto Sinting memang ada di belakang gadis itu. Tapi
ia terpaku di tempat memandangi tubuh si gadis yang
mulus dengan keringat berbintik-bintik di permukaan
kulit halusnya itu. Pendekar Mabuk memandang penuh
rasa kagum dan hati berdebar-debar diburu hasrat ingin
memeluknya. Namun hasrat itu segera dikuasai dengan
tarikan napas pelan-pelan. Tetapi mata si tampan itu tak
bisa berkedip memandang kesekalan tubuh polos di
depannya.
"Pantatnya montok sekali!" gumam hati Suto Sinting
dengan jari bergerak-gerak bagai Ingin meremas gemas.
Sesuatu yang lebih menarik lagi bagi mata bening
Pendekar Mabuk adalah sebuah tato yang ada di
punggung gadis itu. Pada punggung dekat pundak kiri
gadis itu ada tato bergambar setangkai bunga mawar
warna Jingga. Tato itu tidak seberapa besar namun
tampak  indah dan mempunyai nilai seni cukup tinggi.
Tato itu menyimbulkan bahwa si gadis bukan wanita
yang cengeng dan penakut, bahkan mungkin tubuhnya
sudah terbiasa menerima sentuhan yang menyakitkan,
sehingga  ia berani ditato dengan jarum dan getah
pewarna pada kulit punggungnya.
"Hei, mengapa diam saja di belakangku, Setan!"
sentak si gadis mulai berang karena sejak tadi Pendekar
Mabuk tak berbuat apa-apa. Gadis itu menjadi risi
dipandangi dari belakang.


"Apakah namamu, Mawar Jingga?" tanya Suto
Sinting setelah maju selangkah lagi. Suaranya makin
dekat, hingga si gadis merasa merinding menerima
hembusan napas dari mulut dan hidung Suto Sinting saat
bicara tadi.
"Tak perlu tanya soal nama!" ketus si gadis dengan
jengkel. "Lepaskan dulu ikatanku baru kita bicara soal
nama!" ujarnya dengan tetap tak berani memandang ke
belakang.
Pendekar Mabuk tertawa kecil, hati gadis itu kian
dongkol.
"Lakukanlah sekarang juga, Tolol!" bentak si  gadis
tak sabar lagi.
Suto Sinting segera menenggak tuaknya. Tuak tidak
ditelan semua, namun sebagian disimpan di mulut.
Kemudian tuak itu disemburkan ke tali pengikat pada
tangan kanan si gadis. Brruss...!
Laaap...!
Brrusssh...! Semburan berikutnya pada tali pengikat
di tangan kiri si gadis. Laaap...!
Si gadis terbengong melompong di tempat. Hampir-
hampir ia tak sadar bahwa tali dan kakinya sudah tidak
terikat lagi. Hal yang membuatnya tertegun di tempat
adalah keanehan yang dilihatnya dengan mata kepala
sendiri. Dua pohon yang tadi digunakan untuk mengikat
tali dan tangannya itu tiba-tiba lenyap tak berbekas
sedikit pun, demikian pula tali pengikat itu hilang
bagaikan ditelan angin.
Si gadis tidak tahu bahwa Suto Sinting mempunyai


jurus 'Sembur Siluman' yang dapat melenyapkan benda
apa pun dengan semburan tuaknya dari mulut. Semburan
itu mempunyai kekuatan sentak tersendiri yang berbeda
dengan sentakan napas saat ia pergunakan jurus 'Sembur
Husada', yaitu semburan untuk menghilangkan luka pada
diri seseorang.
Lenyapnya pohon membuat tali pengikat itu pun
hilang seketika. Kedua tangan dan kaki si gadis kini
telah bebas. Namun rasa heran dan terkagum-kagum
membuatnya masih diam di tempat dengan mulut
melongo dan mata terbelalak tak berkedip.
Brruk...! Gadis itu terkejut karena Suto Sinting
melemparkan baju coklatnya yang tanpa lengan itu. Baju
itu jatuh di pundak si gadis bersamaan suara Suto
Sinting yang berkata dengan nada kalem.
"Pakailah bajuku itu untuk sementara supaya kau
tidak masuk angin."
Ucapan itu membuat si gadis sadar bahwa dirinya
dalam keadaan polos. Dengan tetap memunggungi Suto
Sinting, ia mengenakan baju coklat tersebut dan
merapatkan bagian depannya dengan dipegangi dua
tangan. Baju itu panjangnya sampai paha, hingga
menutup bagian yang harus ditutupi di sekitar paha.
Walau tak tertutup sepenuhnya, namun bagian tersebut
sudah tak terbuka ngablak seperti goa tanpa pintu.
Gadis itu pun segera berpaling memandang Suto
Sinting. Deeg...! Hatinya bagai tersentak oleh rasa kaget
di luar dugaan.
"Ternyata dia seorang pemuda yang tampan, kekar


dan gagah?! Oh, tak kusangka penolongku seorang
pemuda setampan dia? Kalau begitu, niatku untuk
membunuhnya kuurungkan saja. Tak baik membunuh
orang yang telah menolongku. Lagi pula... tak begitu
rugi tubuhku dari tadi diperhatikan  pemuda setampan
dia. Kusangka yang memperhatikan tubuhku dari tadi
adalah lelaki bertampang memuakkan!"
Pandangan mata si gadis tertuju pada wajah Suto
Sinting. Kecamuk batinnya segera terhenti karena Suto
Sinting mengajaknya bicara dengan senyum kalem yang
menawan hati.
"Di mana pakaianmu, Nona?"
"Entahlah. Mungkin dibuang ke tempat jauh oleh si
iblis itu!"
"Siapa yang memperlakukan dirimu sedemikian
memalukannya?!"
"Peri Kedung Hantu!"
"Ooh... dia?!"
"Apakah kau kenal dengannya?!" si gadis agak curiga
karena Suto Sinting manggut-manggut.
"Aku kenal hanya sepintas, ia pernah bertarung
denganku dan kutinggalkan dalam keadaan luka," jawab
Suto Sinting lalu membayangkan pertarungannya
dengan Peri Kedung Hantu, (Baca serial Pendekar
Mabuk dalam episode: "Titisan Dewa Pelebur Teluh").
Gadis itu merasa lega setelah tahu bahwa Suto
Sinting ternyata bukan berada di pihak Peri Kedung
Hantu, ia pun menceritakan pertarungannya dengan Peri
Kedung Hantu yang mempunyai nama asli Rumisita itu.


"Dia berhasil menotokku, membuatku lemas tak
berdaya. Aku sempat pingsan beberapa saat. Ketika aku
sadar, keadaanku sudah terikat seperti tadi dan  aku tak
tahu pakaianku dikemanakan oleh si perempuan Iblis
itu!"
"Rumisita memang menyebalkan."
"Hei, kau tahu nama aslinya segala. Siapa kau
sebenarnya?"
"Suto Sinting, itu namaku!"
"Mak... maksudmu... maksudmu kau si Pendekar
Mabuk, muridnya Gila Tuak?"
"Benar, Nona. Bagaimana kau bisa mengenali diriku
sampai tahu nama guruku?"
"Aku pernah mendengar cerita dari guruku tentang
dirimu."
"Siapa gurumu itu, Nona?"
"Nini Kalong, Penghuni Hutan Rawa Kotek!"
"Oooo...," Suto Sinting manggut-manggut. Ia segera
terbayang wajah tua keriput yang badannya kurus dan
sedikit bungkuk berjubah hitam, (Baca serial Pendekar
Mabuk dalam episode : "Titisan Dewa Pelebur Teluh").
"Aku kenal dengan gurumu; Nini Kalong. Tapi aku
tak kenal siapa muridnya yang cantik dan meminjam
bajuku ini."
Gadis itu sunggingkan senyum tersipu, menunduk
sejenak, kemudian memandang Suto Sinting lagi dengan
bibir ranumnya masih tersungging senyum indah.
"Namaku adalah Puspita Jingga. Murid kedua dari
Nini Kalong setelah Syair Kusumi."


"Pantas kau punya tato bunga mawar jingga."
"Apakah kau suka dengan tatoku itu?"
Pendekar Mabuk yang kini hanya bercelana putih
kusam  dengan ikat pinggang kain merah itu hanya
sunggingkan senyum menawan. Senyuman itu membuat
hati Puspa Jingga berdebar-debar bagai  digelitik
keindahan.
"Aku lebih suka lagi jika kau mau sebutkan apa
alasanmu sehingga kau bertarung dengan Peri  Kedung
Hantu?!"
Puspa Jingga masih mendekap diri untuk merapatkan
baju yang dipakainya, ia melangkah ke samping hingga
mencapai bawah pohon. Dari sana ia berkata kepada
Suto Sinting dengan suara sedikit pelan.
"Aku diutus oleh Guru untuk mengambil  sebuah
pusaka yang ada di dalam makam Resi Dirgantara. Guru
membekaliku selembar denah tempat makam Resi
Dirgantara. Rupanya percakapanku dengan Guru disadap
oleh  Peri Kedung Hantu. Di perjalanan, denah itu
direbutnya. Aku mempertahankan, tapi ilmuku kalah
sakti dengan Peri Kedung Hantu. Denah itu berhasil
direbut dan dibawanya pergi bersama pakaianku."
"Pusaka apa yang ada dalam makam itu?!" tanya Suto
Sinting, namun Puspa Jingga ragu-ragu untuk
mengatakannya.
*
* *




2
NINI Kalong adalah tokoh beraliran hitam yang kala
itu pernah dilumpuhkan oleh Suto Sinting pada saat ia
menyerang si Gadis Dungu. Tetapi lukanya itu segera
ditolong pula oleh Suto Sinting, hingga si nenek pun
akhirnya terselamatkan jiwanya.
Pada saat Suto Sinting bertarung oleh Peri Kedung
Hantu yang merasa tak suka terhadap sikap Suto Sinting
dalam mempengaruhi Nini  Kalong, keduanya menjadi
terluka parah setelah adu kesaktian. Namun Suto Sinting
segera dilarikan oleh Nini Kalong dan melalui bantuan
Nini  Kalong tuak dalam bumbung bambu itu berhasil
diminumkan pada Suto, sehingga luka itu pun sembuh
kembali.
Nini Kalong segera meninggalkan Suto Sinting yang
kala itu sedang mengejar si pembawa lari Gadis Dungu
yang ternyata adalah Nyai Serat Biru, guru si Gadis
Dungu itu sendiri. Kepergian Nini Kalong agaknya
mempunyai maksud tersembunyi. Suto Sinting
merasakan nasihatnya kepada Nini Kalong untuk beralih
ke aliran putih cukup mengena di hati nenek tua itu.
Maka ketika Suto Sinting bertemu dengan Puspa
Jingga, gadis itu pun menceritakan diri sang guru yang
telah berubah dari tokoh aliran hitam menjadi tokoh
aliran putih. Namun mengenai  pusaka yang diburunya
sejak dulu itu masih tetap merupakan rencana dalam
hidup Nini Kalong.
"Guru tidak ingin pusaka itu jatuh di tangan tokoh
aliran hitam, sehingga begitu mendapat kabar dari


seorang pertapa tentang di mana adanya pusaka tersebut,
Guru memerintahkan diriku untuk mengambil pusaka itu
lebih dulu sebelum telanjur diambil dan dikuasai oleh
tokoh aliran hitam," ujar Puspa Jingga sambil mencari
pakaiannya.
"Mengapa bukan Nini  Kalong sendiri yang
mengambil pusaka itu?!"
"Guru belum selesai lakukan tapa gantung...."
"Tapa gantung...?!" Suto Sinting agak heran.
"Bertapa dengan kaki terikat di atas dan tubuh
berjungkir balik, itu yang dimaksud tapa gantung. Dalam
beberapa waktu lagi Guru akan selesai lakukan tapa
tersebut. Tapi merasa takut jika pusaka itu dimiliki orang
lain, maka aku ditugaskan untuk mengambil pusaka
tersebut."
"Mengapa kau tak mau sebutkan nama pusaka itu
padaku?"
"Guru melarangku bicara kepada siapa pun tentang
nama pusaka tersebut. Maafkan aku, aku tak bisa
mengatakannya padamu."
Pendekar Mabuk sempat berkerut dahi mengingat-
ingat peristiwa pertemuannya dengan Nini Kalong. Kala
itu ia bersama Gadis Dungu yang sekarang
mengasingkan diri bersama gurunya; Nyai Serat Biru, di
puncak Gunung Randu. Seingat Suto, waktu itu Indayani
si Gadis Dungu pernah sebutkan satu nama pusaka yang
sering menjadi bahan bentrokan antara Nini  Kalong
dengan Nyai Serat Biru. Suto Sinting mencoba
mengingat-ingat nama pusaka itu, namun sampai


akhirnya  ia menemukan pakaian Puspa Jingga, nama
pusaka itu masih belum bisa diingatnya dengan jelas.
Pakaian gadis itu ditemukan di jalanan bawah bukit
yang tak seberapa tinggi itu. Bahkan senjata Puspa
Jingga berupa pedang bersarung merah dengan
gagangnya yang dlbungkus kain merah itu juga ada tak
jauh dari pakaiannya.
Gadis itu segera mengenakan pakaiannya di balik
semak. Kejap berikutnya ia tampil dengan lebih cantik
lagi mengenakan pakaian berlengan komprang warna
ungu tanpa jubah. Pedangnya diselipkan pada ikat
pinggangnya yang terbuat dari kain warna hitam.
Rambutnya yang panjang disanggul sebagian, sisanya
dibiarkan meriap dengan lembut gemulai.
"Kau tampak cantik dan anggun jika mengenakan
pakaian seperti itu," ujar Suto Sinting setelah gadis itu
keluar dari semak belukar, selesai berganti pakaian, ia
lemparkan baju coklat Suto Sinting hingga baju itu jatuh
di pundak Suto Sinting.
"Kau justru tampak perkasa jika tanpa baju begitu,"
katanya sambil tersenyum-senyum.
"Kalau aku tanpa baju, kau pasti tak akan bisa pergi
mencari pakaianmu karena aku tak bisa meminjamkan
bajuku ini padamu."
"Tapi, sekalipun kau mengenakan baju itu, masih saja
tampak gagah dan perkasa!"
Pendekar Mabuk sunggingkan senyumnya dengan
mata melirik ke arah Puspa Jingga. Yang dilirik alihkan
pandangan dengan sikap malu-malu. Suto Sinting pun


mengenakan bajunya kembali.
Namun baru saja selesai mengenakan baju, tiba-tiba
ia harus melesat dan bersalto melintasi sisi kanan Puspa
Jingga. Wuuut...! Sang gadis terkejut lalu memandang
dengan heran ketika Suto Sinting berdiri
memunggunginya dengan wajah menengok kepadanya.
"Apa maksudmu melompat begitu? Mau pamer
ilmu?"
Suto Sinting berbalik arah berhadapan dengan Puspa
Jingga. Tangannya yang menggenggam segera membuka
dan sebilah logam berbentuk bintang segi enam terselip
di sela-sela jarinya.
"Hampir saja kau mati oleh senjata rahasia ini!"
katanya sambil matanya melirik ke arah datangnya
senjata rahasia itu. Puspa Jingga terbelalak kaget dan
segera berkerut dahi tajam-tajam.
"Bintang Neraka?!" gumam Puspa Jingga yang
agaknya cukup kenal dengan pemilik senjata rahasia itu.
"Seandainya kau tidak menyambar logam putih itu,
maka tubuhku akan menjadi lumer karena terkena racun
yang ada di ujung keruncingan bintang itu," kata Puspa
Jingga, ia pun segera mencabut pedangnya. Sraaang...!
Matanya menjadi nanar memandang ke arah datangnya
senjata maut tersebut.
"Bintang Neraka itu nama  orang atau nama senjata
ini?!"
"Nama senjata itu!" jawabnya dengan lirih sambil
bersiap menebaskan pedang jika terjadi serangan
mendadak, ia berkata juga kepada Suto Sinting walau


tanpa memandangi pemuda tampan itu.
"Pemiliknya sangat kukenal. Bintang Neraka adalah
senjata andalan Pangeran Umbardanu."
"Oh, ya... aku pernah mendengar nama Pangeran
Umbardanu," gumam Suto  Sinting sambil masih
memandang ke arah sekeliling, ia teringat nama
Pangeran Umbardanu sebagai nama kekasih dari si
Gadis Dungu yang kala itu ikut mengejar-ngejar Gadis
Dungu untuk dibunuh.
Dalam penjelasan Indayani, si Gadis Dungu itu, saat
Suto Sinting ikut mengantarkan sampai di kaki Gunung
Randu, orang yang bernama Pangeran Umbardanu itu
memang putra seorang sultan di Kesultanan Siliwindu.
Timbulnya peristiwa pengejaran titisan Dewa Pelebur
Teluh itu, Indayani  menjadi tahu bahwa Umbardanu
sebenarnya bukan mencintainya, melainkan berusaha
menangkapnya untuk dibunuh. Sebab kala itu Indayani
menjadi bahan buruan para tokoh aliran hitam dan akan
dihabisi masa hidupnya sebelum Gadis Dungu mencapai
usia dua puluh lima tahun.
Dalam kitab kuno yang bernama Kitab Samak Kubur
berisi ramalan-ramalan masa depan para tokoh aliran
hitam disebutkan bahwa titisan Dewa Pelebur Teluh
akan membantai habis para tokoh aliran hitam setelah
bocah itu berusia dua puluh lima tahun. Dan si Gadis
Dungu dicurigai sebagai titisan Dewa Pelebur Teluh itu,
sehingga dikejar-kejar oleh para tokoh aliran hitam. Jika
Pangeran Umbardanu ikut ingin melenyapkan si Gadis
Dungu, berarti Pangeran Umbardanu termasuk murid


seorang guru yang beraliran hitam.
"Mengapa Pangeran Umbardanu sekarang
menyerangmu dengan senjata andalannya ini?!" tanya
Suto.
Belum sampai Puspa Jingga menjawab pertanyaan
itu, tiba-tiba kilauan benda logam melayang lagi  dari
arah samping kanan gadis itu. Gerakannya begitu cepat
bagaikan kilasan cahaya perak. Zingg... zingg...!
Pedang yang sudah siap di tangan itu segera
berkelebat menangkisnya dengan gerakan cepat. Tring,
tring...! Tubuh gadis itu melompat ke arah belakang, dan
tangkisan pedang itu membuat dua bintang segi enam itu
terpental ke dua arah yang berlawanan. Salah satu benda
tersebut menancap pada sebatang pohon.
Jrrraab...!
Pohon itu kepulkan asap dari tempatnya yang
tertancap bintang segi enam. Makin lama asapnya
semakin tebal, menandakan bahwa benda itu mempunyai
racun yang berbahaya. Sementara itu bintang yang masih
ada dalam jepitan jari tangan Suto  Sinting itu segera
dilemparkan ke arah datangnya dua benda yang
ditangkis Puspa Jingga tadi. Ziiing...!
Zrrraaak...! Benda itu menerabas semak rimbun, lalu
terdengar suara nyaring bagaikan sentuhan logam
dengan besi. Traaang...!
Pohon yang tadi terkena Bintang Neraka itu menjadi
busuk dan seluruh daunnya berguguran. Pohon kekar itu
menjadi lumer bagaikan gedebong pisang yang sebentar
lagi membusuk. Sedangkan benda yang dilemparkan


Suto Sinting tadi tidak menampakkan perubahan apa-apa
pada dua buah pohon yang ada di balik semak. Berarti
bintang  itu tidak mengenai pohon tersebut, tapi
mengenai sesuatu yang menimbulkan suara denting.
"Keluarlah kau dari situ! Aku tahu kau adalah
Pangeran Umbardanu!" seru Puspa Jingga dengan sikap
siaga menghadapi serangan lawan.
"Bagaimana kalau ternyata dia bukan Pangeran
Umbardanu?!" bisik Suto Sinting dalam  jarak dua
langkah di samping kiri gadis itu.
"Senjata yang kau lemparkan tadi sebenarnya
mengenai dadanya, tapi karena kebiasaannya memakai
baju perisai besi, maka ia tidak mengaiami luka  apa
pun!" balas Puspa Jingga dalam bisikan pula.
Beberapa saat lamanya mereka hanya menunggu
kemunculan dan serangan berikutnya dari orang di balik
semak belukar. Tetapi ternyata yang ditunggu  tak
muncul-muncul juga, sehingga Puspa Jingga kehilangan
kesabaran. Kemudian ia lepaskan pukulan jarak jauhnya
dari tangan kiri. Pukulan itu berupa gumpalan asap
merah sebesar buah jeruk. Wuuut...!
Zrrraak...! Bruaaasss...!
Semak belukar rusak, menghambur ke atas bagaikan
diterjang badai pemangkas yang cukup besar. Daun-daun
terpotong bagai dipangkas dengan senjata tajam. Dalam
sekejap saja semak belukar itu telah lenyap, tempat itu
menjadi terang seakan siap dipakai untuk jalanan.
"Gila! Kau menyerang musuh atau babat hutan buat
jalanan?!" bisik Suto Sinting dengan nada sedikit kagum


dan geli.
Puspa Jingga menjadi jengkel sendiri karena rasa
penasarannya. Orang yang menyerangnya secara
sembunyi-sembunyi itu tidak muncul-muncul juga.
Akhirnya ia berkelebat menerjang semak dan mencari
orang tersebut di sekeliling tempat itu. Suto Sinting
melesat ke atas, tubuhnya dengan sangat ringan
melayang tanpa bersalto  dan hinggap di atas sebuah
pohon. Dari sana ia memandang ke arah sekelilingnya, ia
melompat dari dahan ke dahan, dari pohon ke pohon.
Namun ia tak menemukan sesosok bayangan pun selain
bayangan Puspa Jingga sendiri.
"Mungkin ia telah kabur!" seru Suto Sinting sambil
meluncur turun dari atas pohon. Tubuhnya melayang
dengan tenang dan kakinya mendarat ke tanah tanpa
hentakan dan suara apa-apa.
Puspa Jingga yang melihat hal itu hanya membatin,
"Benar-benar tinggi ilmu peringan tubuhnya. Pantas jika
Guru merasa kagum dan bangga terhadap si Pendekar
Mabuk ini. Biar sering minum tuak, tapi matanya tidak
kelihatan merah seperti beberapa orang pemabuk yang
pernah kujumpai di kedai-kedai itu. Namanya saja
Pendekar Mabuk, tapi matanya bening dan teduh,
membuat hatiku sering berdesir indah penuh khayalan
asmara. Ah, lupakan dulu soal kehebatannya itu!"
Puspa Jingga menarik napas dan kecamuk batinnya
pun sirna seketika. Kini ia memandang ke sana-sini,
masih penasaran mencari orang yang menyerangnya dari
persembunyian tadi.


"Apakah Pangeran Umbardanu itu seorang
pengecut?!" tanya Suto Sinting seraya mengambil
tempat di bawah pohon rindang, ia berdiri dengan satu
tangan bersandar pada batang pohon itu. Bumbung
tuaknya tetap menggantung di pundak, siap
dipergunakan sewaktu-waktu.
"Aku tak tahu apakah Pangeran Umbardanu itu
sebenarnya orang yang punya nyali atau seorang
pengecut. Tapi  dari jenis senjatanya tadi aku dapat
pastikan bahwa dialah penyerangnya."
"Apakah kau ada masalah dengan Pangeran
Umbardanu?"
"Dia pernah ingin melamarku. Dia menyatakan
hatinya jatuh cinta padaku. Tapi aku menolaknya secara
kasar, sebab aku tahu dia punya maksud tersembunyi
dari ungkapan cintanya itu."
"Maksud apa kira-kira?"
"Dia mengincar pusaka, dan rahasia pusaka itu ada di
tangan guruku. Dia ingin dapatkan pusaka itu dengan
memperalat diriku."
"Pusaka apa yang dimaksud?"
"Pusaka yang ada dalam makam Resi Dirgantara."
Pendekar Mabuk tertawa kecil. "Kelicikannya selalu
gagal. Cinta dipakainya sebagai jembatan memperoleh
keinginannya. Kurasa lelaki macam dia satu hari bisa
jatuh cinta seratus kali. Agaknya ia cukup berbahaya
bagi seorang wanita seperti kau, Puspa Jingga. Untung
kau cukup waspada. Hal yang sama pun pernah dialami
oleh Indayani dan...."


"Indayani...?! Oh, si Gadis Dungu itu maksudmu?"
"Benar. Pangeran Umbardanu mendekati Indayani
dengan bahasa cinta, padahal ia ingin membunuh gadis
itu pada  saat si gadis lengah. Namun usahanya gagal,
sebelum niatnya tercapai Indayani  telah berhasil
diselamatkan oleh gurunya; Nyai Serat Biru."
"Apakah kau punya hubungan dekat dengan
Indayani?" pancing Puspa Jingga dengan nada curiga.
Pendekar Mabuk hanya tersenyum lebar, tertawa
pelan tanpa suara.
"Hubungan dekatku dengan Indayani bukan untuk
masalah cinta."
"Syukurlah kalau kau tak jatuh cinta kepada Indayani.
Guru pasti akan mengecammu jika kau jatuh cinta pada
Indayani, sebab Guru bermusuhan dengan Nyai Serat
Biru."
Suto Sinting membuka tutup bumbung bambu itu,
kemudian beberapa teguk tuak ditenggaknya. Badannya
terasa segar setelah meneguk tuak yang mempunyai
kesaktian sendiri bersama bumbungnya itu.
Puspa Jingga memasukkan pedang ke sarungnya.
Trak...! Lalu ia berkata kepada Pendekar Mabuk yang
baru saja menutup bumbung tuaknya.
"Kurasa Pangeran Umbardanu melapor kepada
gurunya mengenai keberadaanmu bersamaku."
"Siapa guru Pangeran Umbardanu itu?"
"Dupa Dewa, dari Perguruan Serikat Jagal."
"Ooo... pantas dia sampai hati ingin membunuh
Indayani, rupanya rencana itu atas perintah gurunya;


Dupa Dewa yang merasa takut kalau Indayani  tetap
hidup sampai usia dua puluh lima tahun."
"Kudengar si Dupa Dewa ingin membalas  dendam
padamu. Menurut cerita seorang anak buahnya yang
pernah bertemu denganku, Dupa Dewa menderita luka
parah saat bertarung denganmu. Lukanya sampai
sekarang belum sembuh betul, dan ia menyimpan
dendam pada Pendekar Mabuk."
Suto Sinting hanya tertawa kecil, ia teringat saat
bertarung dengan Dupa Dewa yang membuat Dupa
Dewa terpental akibat hembusan badai yang keluar dari
jurus 'Naga Tuak Setan'-nya itu. Rupanya Dupa Dewa
masih hidup, dan sekarang tentunya sedang persiapkan
diri untuk melakukan balas dendam kepadanya. Tapi
Suto Sinting tak punya rasa  takut sedikit pun, bahkan
menertawakan dengan rencana balas dendam itu.
"Aku akan pergi ke makam Resi Dirgantara," ujar
Puspa Jingga pelan sekali, seperti takut didengar orang
lain.
"Aku akan mendampingimu. Tapi apakah kau tahu
tempatnya? Bukankah peta menuju ke makam itu telah
direbut oleh Peri Kedung Hantu?!"
"Aku masih ingat patokannya. Mendiang Resi
Dirgantara dimakamkan dalam goa. Goa itu ada di Bukit
Batok, letak bukit itu ada di antara Gunung Sumbar dan
anak gunung itu yang bernama Gunung Gempur."
"Kau tahu arah menuju ke Bukit Batok?!"
"Patokan kita adalah Gunung Sumbar yang tinggi dan
ada di sebelah timur tempat ini. Kalau kita sudah


temukan Gunung Sumbar, kita mudah temukan Bukit
Batok. Kalau kau mau mendampingiku, kau harus siap
menghadapi Peri Kedung Hantu, sebab perempuan itu
pasti ke sana."
"Kalau mau bergerak lebih cepat dari Peri Kedung
Hantu, kau harus mau kugendong, karena aku akan
pergunakan jurus 'Gerak Siluman' supaya cepat sampai
di sana."
"Bodoh  sekali  aku  kalau  sampai merasa keberatan
dengan usulmu," ujar Puspa Jingga dengan senyum
indah mekar di bibirnya yang ranum itu.
Baru saja Suto Sinting dekati Puspa Jingga dan ingin
menggendongnya, tiba-tiba dua berkas sinar  kuning
sebesar lidi menghantam punggung mereka. Clap,
clap...! Deb, deb...!
"Uhg...! Sssu.... Suto...?!"
Puspa Jingga tersentak dengan tubuh mengejang, lalu
meliuk sebentar dan jatuh terkulai dalam keadaan tak
sadarkan diri. Sedangkan Pendekar Mabuk juga
mengalami hal serupa, tapi ia berusaha untuk bertahan.
Napasnya yang terasa sesak itu dipaksakan untuk disedot
dalam-dalam. Tetapi semakin lama pandangan mata Suto
Sinting mulai berkunang-kunang. Tubuh pendekar
tampan itu semakin lemas, dan ia jatuh berlutut dengan
kepala mulai tertunduk lemas.
Dalam keadaan seperti itu, Pendekar Mabuk sempat
melihat sekelebat bayangan yang menyambar tubuh
Puspa Jingga. Sayang sekali yang dapat dilihat Suto
Sinting hanya berupa sekelebat bayangan, tak jelas


seperti apa wajah orang itu dan siapa sebenarnya orang
itu.
Pendekar Mabuk pun roboh ke depan saat Puspa
Jingga disambar dan dibawa pergi oleh  orang tersebut.
Suto Sinting dibiarkan terkulai di tanah tanpa ada yang
mengusiknya lagi.
*
*  *

3
TEBING terjal berbatu karang mempunyai rongga
menyerupai goa. Di dalam goa Itulah Pendekar Mabuk
sadarkan diri dan terkejut melihat keadaannya terkapar
di atas batu datar setinggi lutut. Batu itu seukuran
dengan sebuah tempat tidur yang cukup untuk dua
orang.
Langit-langit goa yang tinggi adalah sasaran pertama
ketika Suto Sinting membuka matanya. Sebelum  ia
bangkit duduk, terlebih dulu dirasakan gerakan urat-urat
sekujur tubuhnya. Masih terasa kaku dan linu, namun
sudah bisa untuk bergerak sebagaimana mestinya.
Pendekar Mabuk pun segera bangkit dan bertanya dalam
hati,
"Di mana aku ini?! Hmmm... siapa yang membawaku
ke sini?! Bagaimana dengan Puspa Jingga?!"
Goa itu sangat sunyi, kosong tanpa orang lain. Tapi
melihat tumpukan kayu bakar bekas api unggun, Suto
Sinting yakin bahwa goa ini bukan dihuni oleh dirinya
sendiri. Pasti ada seseorang yang membawanya ke situ.


Beberapa buah kelapa hijau tampak terbelah dan
berserakan di sana-sini, juga beberapa sisa makanan lain,
termasuk tempat pembakaran ikan yang tersisa
tulangnya di sekitar tempat bara.
Bumbung tuak sakti ada di samping batu, bersandar
dalam keadaan berdiri. Pendekar Mabuk cepat ambil
bumbung tuak itu dan menenggak tuak beberapa teguk.
Dalam waktu singkat tubuhnya menjadi segar dan
kekuatannya pulih kembali seperti sediakala.
Turun dari batu datar Suto Sinting melangkah dekati
mulut goa. Oh, ternyata ia berada di lereng tebing dalam
kemiringan tegak lurus. Di  bawahnya tampak lautan
bergelombang besar. Jaraknya cukup jauh dari mulut
tebing. Di depan pintu goa yang ternganga lebar itu ada
sebidang tanah berbatu, di sanalah Suto Sinting berdiri
dan memandang ke atas. Ternyata jarak antara mulut goa
dengan bagian atas tebing iebih dekat ketimbang jarak
ke perairan laut.
"Tempat yang sungguh aman untuk persembunyian.
Hmmm... siapa orang yang menempati goa ini
sebenarnya? Mengapa ia tidak ada di tempat? Tak
kulihat ada manusia di sekitar tebing ini. Ah, sial betul,
aku tak bisa menduga-duga siapa orang yang
membawaku kemari sebenarnya?!"
Akhirnya Pendekar Mabuk putuskan untuk
menunggu di dalam goa sambil sesekali menikmati
tuaknya secara sedikit demi sedikit. Keadaan di dalam
goa diperiksanya untuk menentukan dugaan siapa
penghuni goa tersebut. Goa yang tidak mempunyai jalan


tembus ke mana-mana dan keadaannya tak terlalu dalam
itu mendapat sorotan sinar matahari dari  arah timur.
Sinar matahari itu cukup menyegarkan udara di dalam
goa, walau sinarnya tak sampai menembus ke dinding
dasar goa, tapi sinar itu membuat terang goa tersebut,
sehingga benda apa pun yang ada di situ bisa dilihat
dengan jelas.
Beberapa saat lamanya Pendekar Mabuk menunggu si
penolong yang membawanya ke goa tersebut. Hatinya
menjadi tak sabar dan ingin segera meninggalkan goa
itu. Tetapi tiba-tiba niatnya terpaksa dibatalkan karena
sekelebat bayangan masuk ke dalam goa saat Suto
Sinting bergegas ingin menuju ke pintu goa. Langkah
murid sinting si Gla Tuak itu pun terhenti dan
pandangan matanya tertuju kepada orang yang baru
datang itu. Orang tersebut pastilah yang membawanya
ke tempat itu dalam keadaan pingsan.
"Sudah sehatkah keadaanmu, Suto?!"
"Rara Santika...?!" gumam Suto Sinting dengan lirih
dan bernada kagum.
Perempuan yang rambutnya disanggul dan dihiasi
permata  itu sunggingkan senyum manis kepada Suto.
Benak Suto Sinting segera teringat peristiwa saat
bertemu dengan perempuan berusia sekitar dua puluh
delapan tahun yang berwajah cantik, bulat telur,
berhidung mancung, dan bermata indah itu. Jubah satin
warna merah jambu menutup dada montoknya yang
dilapisi kain biru muda sesuai kain bagian bawahnya
membuat Suto Sinting segera mengenali perempuan itu.


Ia  mengenal Rara Santika dalam satu peristiwa yang
cukup menegangkan karena perempuan itu mempunyai
saudara kembar beraliran hitam, (Baca serial Pendekar
Mabuk dalam episode : "Gundik Sakti").
"Tak kusangka kaulah orangnya yang membawaku
kemari dalam keadaan aku tidak berdaya," ujar Suto
Sinting saat Rara Santika mendekatinya.
"Aku pun tak menyangka sejak perpisahan kita
setelah menghancurkan Goa Tumbal Perawan dulu,
tahu-tahu kujumpa dirimu dalam keadaan terkapar tanpa
daya. Kau telah pingsan selama dua hari, Suto."
"Oh, jadi aku berada di sini sudah dua hari?"
"Lebih tepatnya dua hari tiga malam. Ini hari
ketigamu berada di sini. Kupikir kau tak dapat siuman
kembali. Aku sudah berusaha mengobati dengan tenaga
intiku dan hawa murniku, namun tak mampu
membuatmu sadar. Aku baru saja pergi ke seorang tabib
untuk membawanya kemari, tapi sayang tabib itu tidak
ada di tempat."
Perempuan bersenjata kipas gading dengan hiasan
ronce-ronce merah di bagian gagang kipasnya itu
memandangi Suto Sinting dengan sorot pandangan mata
yang ceria dan berbinar-binar. Agaknya ia punya kesan
pribadi tersendiri selama bersama Pendekar Mabuk
dalam usaha menghancurkan Desa Lambung Bumi yang
ada di dalam Goa Tumbal Perawan, bekas tempat
kekuasaan adik kembarnya yang berjuluk si Gundik
Sakti itu.
"Siapa orangnya yang bisa membuatmu sampai


pingsan beberapa hari itu, Suto?!" sambil tangan
perempuan itu mengusap rambut Suto Sinting dengan
penuh kelembutan.
"Aku tak tahu siapa orangnya, karena kala itu aku
sedang bersama Puspa Jingga...."
"Maksudmu, si genit murid Nini Kalong itu?"
"Benar, apakah kau kenal dengannya?"
"Aku cukup kenal dengan Nini  Kalong dan kedua
murid andalannya; Puspa Jingga dan Syair Kusumi. Tapi
hanya sebatas kenal biasa, tanpa ikatan jasa apa pun.
Yang jelas kami tidak saling bermusuhan."
"Apakah kau juga tahu siapa orang yang membawa
lari Puspa Jingga dalam keadaan tak berdaya itu?"
Rara Santika berkerut dahi. "Jadi, Puspa Jingga
dibawa lari oleh seseorang?"
Pendekar Mabuk segera ceritakan masalah
sebenarnya tentang Puspa Jingga. Perempuan itu pun
menanyakan tentang pusaka yang ada di dalam makam
Resi Dirgantara, tapi Suto Sinting tak bisa memberi
penjelasan.
"Puspa Jingga sendiri tak mau menyebutkan nama
pusaka tersebut karena takut melanggar larangan dari
gurunya," ujar Suto Sinting sambil duduk di batu
tempatnya terbaring tadi.
"Resi Dirgantara semasa hidupnya adalah sahabat
dari mendiang ayahku," kata Rara Santika. "Tapi beliau
tidak pernah bicara tentang pusaka miliknya kepada
Ayah. Semasa berusia empat belas tahun, aku pernah
ikut Resi Dirgantara menyeberang ke Pulau Sumbing,


dan dalam perjalanan itu aku dapat mengetahui bahwa
Resi Dirgantara tak pernah punya pusaka. Rasa-rasanya
janggal sekali jika ada kabar yang mengatakan bahwa di
dalam makam Resi Dirgantara terdapat sebuah pusaka."
"Apakah Resi Dirgantara tidak mempunyai senjata
apa pun?"
"Hmmm... ya, memang punya, tapi menurutnya
bukan pusaka, itu hanya senjata biasa untuk keamanan
dirinya."
Suto Sinting terbungkam dalam keadaan merenung.
Kemudian terdengar gumam lirihnya secara samar-
samar,
"Jadi  untuk apa Nini Kalong membekali muridnya
sebuah peta menuju makam Resi Dirgantara?! Benarkah
Nini Kalong mendapat petunjuk dari dewata bahwa ada
pusaka di dalam makam Resi Dirgantara?!"
"Kurasa itu hanya rekaan Nini Kalong saja. Kalau toh
di dalam makam itu ada pusaka, satu-satunya orang yang
tahu persis adalah Nyai Serat Biru. Sebab dia adalah
adik kandung dari Resi Dirgantara."
"Nyai Serat Biru...?!" Pendekar Mabuk kerutkan dahi.
"Aku kenal betul dengan Nyai Serat Biru."
"Tanyakanlah kepada Nyai Serat Biru tentang pusaka
itu. Kurasa hanya dialah yang bisa menjelaskan
mengenai isi makam Resi Dirgantara."
Untuk memperjelas keadaan yang sebenarnya,
Pendekar Mabuk merasa perlu menemui Nyai Serat Biru
yang sedang mengasingkan diri di puncak Gunung
Randu yang bersama muridnya: Indayani, si Gadis


Dungu. Ketika hal itu dikemukakan  oleh  Suto,  Rara
Santika  menampakkan wajah kurang setuju dan serba
salah.
"Sebenarnya aku tak suka dengan Indayani yang
sombong itu," ujarnya kepada Suto Sinting. "Aku sering
cekcok mulut dengan murid Bibi Serat Biru. Jika tidak
memandang Bibi Serat Biru termasuk sahabat mendiang
ayahku, sudah kuhancurkan mulut si Gadis Dungu itu."
Suto Sinting tertawa pendek. "Apakah ia pernah bikin
persoalan denganmu?"
"Memang tidak, tapi aku tak betah mendengar kata-
katanya. Hatiku cepat panas jika ia berbicara muluk-
muluk."
"Kendalikan saja hatimu, jangan terpengaruh oleh
sifatnya yang memang sudah begitu adanya. Setiap
orang mempunyai pembawaan pribadi sejak kecil. Kau
harus bisa berlapang dada dan memaklumi pembawaan
tiap pribadi manusia."
Rara Santika diam termenung, semantara itu Suto
Sinting sudah berada di ambang mulut goa. Ia
memandang ke arah lautan lepas. Sejenak kemudian
berpaling menatap Rara Santika dan bertanya dengan
suara merdunya.
"Aku akan berangkat ke puncak Gunung Randu
menemui Nyai Serat Biru. Bagaimana dengan dirimu?
Apakah mau ikut ke sana atau tidak?"
Rara Santika tarik napas dalam-dalam, ia memandang
Suto Sinting dengan hati diliputi kebimbangan. Setelah
dua helaan napas ia bangkit dan mendekati Suto Sinting.


"Baik, aku akan ikut ke Gunung Randu. Tapi dengan
satu syarat yang harus kau penuhi."
"Syarat apa?" seraya Suto Sinting sunggingkan
senyum tipis.
"Jangan terlalu dekat dengan Indayani!"
"Mengapa jika aku terlalu dekat dengannya?"
"Aku bisa benci padamu, karena kuanggap kau ikut-
ikutan menjadi manusia sombong."
Tawa pelan mirip suara menggumam itu
berkepanjangan. Rara Santika menjadi tersipu malu dan
salah tingkah sendiri. Pendekar Mabuk segera meraih
kedua pundak perempuan itu dan menghadapkan ke
arahnya. Wajah cantik yang sudah cukup dewasa itu
dipandanginya beberapa saat dalam hiasan senyum yang
menawan.
"Baiklah, akan kuturuti saranmu itu. Tapi kau tidak
boleh mudah cemburu jika aku bicara padanya."
"Siapa yang cemburu?!" Rara  Santika bersungut-
sungut, Pendekar Mabuk tertawa geli.
Mereka berdua segera melesat menuju Gunung
Randu. Mereka bergerak ke arah selatan dari tebing
curam itu. Namun baru mendapat beberapa langkah
terpaksa harus berhenti karena kehadiran seseorang yang
tahu-tahu menghadang di depan mereka.
Jleeg...!
Orang tersebut bagaikan hantu yang muncul dari
alam gaib. Tahu-tahu ada di depan mereka dan
mengejutkan Rara Santika. Mata tajam Pendekar Mabuk
mulai  memandangi sosok orang yang berdiri


menghadang  langkahnya itu, namun sikapnya masih
tampak tenang dan tak menunjukkan keheranan sedikit
pun. Keheranan itu hanya dipendam dalam hati, karena
Suto merasa baru sekarang berjumpa dengan orang
tersebut.
"Kau kenal dengannya?" bisik Suto Sinting kepada
Rara Santika.
"Aku tak pernah jumpa dengannya," jawab Rara
Santika dengan mata tetap tertuju pada seorang pemuda
berusia sebaya dengan Suto Sinting. Pemuda itu
mengenakan pakaian hijau berhias benang emas dengan
celananya yang berwarna sama pula. Rambutnya
panjang sebatas punggung dengan kepala mengenakan
ikat dari logam emas berhias butiran permata kecil.
Tangan kirinya menggenggam pedang bersarung kuning
emas dengan ukiran indah.
"Dilihat dari pedang dan pakaiannya, agaknya
pemuda itu bukan dari golongan masyarakat biasa!"
bisik Suto Sinting.
Rara Santika memperhatikan rompi perunggu yang
dikenakan pemuda itu dalam  keadaan rapat. Rompi itu
berukir dan tampak tebal sekali. Agaknya rompi itu
berguna sebagai pelindung dada dari serangan senjata
tajam dan sejenisnya.
Rara Santika  segera menyapa dengan sikap tak
ramah, "Siapa kau sebenarnya, dan apa perlumu
menghadang langkah kami?!"
"Aku ingin bicara dengan pemuda sinting itu!"
jawabnya sambil menuding Pendekar Mabuk.


Pemuda berkumis tipis dengan ketampanan yang
berkesan licik itu  diperhatikan Suto Sinting tanpa
berkesip. Di bibir Suto masih ada seulas senyum tipis
sebagai kesan menyepelekan kewibawaan pemuda
tersebut. Suto Sinting sengaja tidak bicara, sehingga
Rara Santika mewakilinya.
"Ada  perlu  apa kau ingin bicara dengan sahabatku
ini?!"
"Kulihat tadi dia bersama kekasihku; Puspa Jingga!"
"O.... jadi kau yang bernama Pangeran Umbardanu?!"
sahut Suto Sinting segera dapat menyimpulkan siapa
pemuda itu.
"Kalau kau sudah tahu siapa aku, sekarang kau harus
memberi tahu di mana kekasihku; Puspa Jingga itu?!"
"Kalau  dia kekasihmu, tentunya kau tidak akan
menyerangnya dengan senjata Bintang Neraka-mu,
Pangeran!" kata Suto Sinting tak kalah  ketus.
Senyumnya justru dibuat sinis dan memancing
kejengkelan Pangeran Umbardanu.
"Aku tadi ingin  membunuhmu, bukan membunuh
Puspa Jingga."
"Arahnya jelas kepada Puspa Jingga, bukan
kepadaku. Kau punya kemarahan kepada Puspa Jingga
karena tak mau menerima cintamu, bukan?!"
"Persetan dengan cinta! Sekarang yang kuminta
darimu adalah sebuah peta! Kudengar Puspa Jingga yang
membawa sebuah peta dari gurunya untuk menuju ke
makam Resi Dirgantara. Aku yakin peta itu sekarang
sudah berpindah ke tanganmu karena kulihat kau pandai


membujuk hati wanita!"
Pendekar Mabuk kian sunggingkan senyum bernada
sinis. "Kau  tak akan mendapatkan apa-apa dariku,
Pangeran Umbardanu! Aku bukan pria sepertimu;
mendekati wanita untuk maksud kelicikan pribadi! Sama
halnya kala kau mendekati Indayani dan berlagak jatuh
cinta...."
"Tutup mulutmu!" sentak Pangeran Umbardanu
sambil tangannya mulai memegang gagang pedangnya.
"Kucabik-cabik tubuhmu kalau tak segera serahkan peta
itu!"
"Oh, kau mencabik-cabik dia?! Kalau begitu ada
baiknya kau hadapi dulu aku, Umbardanu!" ujar Rara
Santika dengan sikap menantang tanpa rasa takut sedikit
pun.
"Perempuan lacur kau! Jangan berlagak menjadi
pelindung pemuda ingusan macam dia! Menyingkirlah
dari hadapanku!"
"Dapatkah kau memaksaku untuk menyingkir dari
tempatku?!"
"Keparat! Rupanya kau belum tahu siapa Pangeran
Umbardanu ini, hah?! Hiaaaat...!"
Srang...! Pedang dicabut dari sarungnya dan Pangeran
Umbardanu lompat ke depan. Wuuut...!
Tangan bersenjata pedang terangkat ke atas, siap
menebaskan pedang tersebut ke kepala Rara Santika.
Namun tubuh Rara Santika segera bergerak cepat, ia
bersalto ke belakang sambil salah satu kakinya
menendang pergelangan tangan Pangeran Umbardanu.


Wuuut...! Deess...!
"Aaauuh...!" Pangeran Umbardanu terpekik menahan
sakit. Pedang yang ada di tangannya itu terlepas dan
terpental. Sementara itu Rara Santika sudah berdiri tegak
kembali dengan kaki sedikit merenggang dan merendah,
siap hadapi serangan lawannya. Namun sang lawan
agaknya tidak cepat bergerak akibat menahan rasa sakit
pada tulang tangannya.
"Setan kurap! Tendangannya mematahkan tulang
tanganku! Uuh...! Sakitnya bukan main. Pasti ia salurkan
tenaga salju ke dalam tendangannya hingga seluruh
darahku teraaa dingin sekali! Hmmm... agaknya aku
harus gunakan Bintang Neraka untuk membunuh
perempuan keparat itu!"
Pangeran Umbardanu menggeram-geram sambil
bergerak membuka  jurus baru. Sementara itu, Suto
Sinting hanya senyum-senyum  saja  dari tempat
berdirinya di dekat gerumbulan semak belukar. Matanya
memperhatikan Pangeran Umbardanu dengan sikap
mencemooh ilmu putra sultan itu.
Zub, zub, zub...! Tiba-tiba tiga keping logam melesat
dari tangan Pangeran Umbardanu yang bergerak
melemparkan benda itu dengan gerakan cepat.
Sepertinya ia mengambil benda berbentuk bintang segi
enam itu dari balik rompi perunggunya.
Tiga benda yang melayang ke arah Rara Santika itu
sengaja tidak dihindari. Namun tangan Rara Santika
dengan cepat menyambar senjata kipas gadingnya yang
sejak tadi tertutup kain jubahnya. Suut...! Kipas gading


itu pun dibentangkan di depan dada. Bred...!
Jub, jub, jub...! Tiga keping bintang bersegi enam
menancap pada kipas gading bagaikan besi semberani.
Kipas itu segera dikibaskan ke depan, weesss...! Dan tiga
keping senjata rahasia itu melesat ke arah Pangeran
Umbardanu. Zing, zing, zing...!
"Heaaah...!" pekik Pangeran Umbardanu sambil
lakukan lompatan bersalto ke belakang. Senjata rahasia
yang memburu balik ke arahnya itu melesat ke tempat
kosong dan akhirnya ketiga senjata itu menancap pada
tiga batang pohon. Jrab, jrab, jrab...!
Pohon yang segera menjadi layu itu tidak dihiraukan
oleh mereka. Pangeran Umbardanu masih  penasaran
untuk lakukan serangan beruntun kepada Rara Santika.
Sebuah tendangaan berputar bagaikan kipas dilancarkan
dengan cepat. Wut, wut wut, wut...!
Kaki kekar itu melayang bagai ingin membabat
kepala Rara Santika. Namun perempuan itu
menghindarinya dengan meliuk-liukkan kepala dan
punggung hingga lolos dari tendangan putar beruntun
tersebut. Hanya saja, pada saat tendangan Pangeran
Umbardanu berubah menjadi menyodok lurus ke depan,
Rara Santika hampir saja terkena tendangan tersebut di
bagian wajahnya. Untung tangan kirinya segera
berkelebat dan telapak tangan itu menahan tendangan
yang menggunakan ujung kaki itu.
Dees...!
Kipas segera mengatup. Taab...! Kemudian ujung
kipas disodokkan ke mata kaki Pangeran Umbardanu.


Duuhg...!
"Aaaauuww...!" Pangeran Umbardanu menjerit keras
karena mata kaki kanannya remuk seketika itu juga. Ia
tak bisa berdiri dengan menggunakan kaki kanannya, ia
terlonjak-lonjak ke belakang menggunakan kaki kiri,
sementara tangannya memegangi kaki kanannya.
"Bangsat kau, Perempuan Iblis!!" teriaknya penuh
murka.
Rara Santika hanya sunggingkan senyum sinis sambil
berdiri dengan tangan memegangi kipas terangkat ke
atas. Kipas itu sendiri masih dalam keadaan tertutup.
Matanya memandang tajam tak berkedip.
"Terpaksa kuhancurkan tubuhmu yang kotor itu,
Jahanam! Heeeaah...!"
Pangeran Umbardanu sentakkan kedua tangannya.
Wuuut...! Dari kedua tangan itu meluncur dua larik sinar
biru sebesar gagang pedang. Wuuut, wuuut...!
Rara Santika segera membuka kipasnya. Breed...!
Lalu dikibaskan dari atas ke bawah, dan ke atas lagi.
Wuus, wees...!
Sinar biru menghantam tanah. Blaaarr...!  Tanah
menjadi retak, tubuh Pangeran Umbardanu hampir
terperosok masuk ke dalam belahan tanah. Namun
sebelum ia terperosok, angin badai berhembus sangat
cepat dan kencang. Wuuusss...!
Cahaya petir biru kemerahan memercik dari tepian
kipas sebanyak tiga larik dan saling bertebaran
menghantam tubuh Pangeran Umbardanu. Trat, trat,
trat...!


Sayang  sekali  tubuh  itu telah terbang dihempaskan
angin badai yang dahsyat. Sinar petir itu menghantam
beberapa pohon yang ikut jebol dan terbang karena
angin badai dari kipas Rara Santika itu.
Duaaar, blegaaarrr...!
Gleeeerrrr...!
Suara gemuruh bagai langit roboh terdengar
menggema panjang. Alam menjadi porak-poranda.
Pohon-pohon dijungkirbalikkan oleh angin badai dari
kipas Rara Santika. Tempat itu bagai dilanda bencana
alam. Tanah yang terbelah akibat sinar birunya Pangeran
Umbardanu tadi menjadi kian retak dan bergetar hebat.
Bahkan keretakan tanah terjadi di sana-sini, terutama
pada bekas  pohon yang tumbang dan jebol bersama
akarnya.
Pendekar Mabuk hanya bisa tertegun bengong
menyaksikan kehebatan kipas Rara Santika yang hampir
menyerupai kedahsyatan 'Napas  Tuak Se-tan'-nya. Jika
jurus 'Napas Tuak Setan' dipergunakan Pendekar Mabuk,
maka langit pun menjadi gaduh, petir menyambar-
nyambar dan awan hitam datang bergulung-gulung.
Kali ini awan hitam juga datang bergulung-gulung
walau tak sebanyak jika 'Napas Tuak Setan' digunakan
Suto Sinting. Kilatan cahaya petir bermunculan dari
gulungan awan  hitam di langit, alam dibuat semakin
gaduh oleh gelegar guntur yang bersahutan.
"Dahsyat juga kipas itu?! Dalam sekejap saja hutan
ini menjadi bersih bagai ladang tanpa tanaman?!" pikir
Suto Sinting sambil pandangi tumpukan pohon yang


menggunung di kejauhan sana. Di  antara tumpukan
pohon itu, terdapat tubuh Pangeran Umbardanu yang tak
jelas apakah masih hidup atau sudah tak bernyawa.
Rara Santika juga memandang ke arah depannya
yang bersih dan terang karena tanpa pepohonan lagi.
Napasnya ditarik panjang-panjang, kipasnya dikatupkan
dan diselipkan ke pinggang kanan, tertutup jubah merah
jambunya.
"Mengapa sampai seperti itu kau melawannya?
Mestinya tak perlu sampai merusak alam," ujar Suto
Sinting yang melangkah mendekatinya.
"Tanggung," jawab Rara Santika dengan datar. "Dia
tak akan berani menantangmu sembarangan lagi. Itu
baru melawanku, belum melawanmu! Kurasa ia akan
cepat menjadi mayat jika melawanmu."
"Kalau dia sampai tewas, berarti kita akan berurusan
dengan Perguruan Serikat Jagal dan orang-orang dari
Kesultanan Siliwindu."
"Akan kugulung habis mereka jika masih coba-coba
membalas dendam padamu."
Pendekar Mabuk diam saja, tapi hatinya membatin,
"Begitu marahnya ia melihat diriku ditantang orang?
Apa arti sikapnya ini?! Seakan ia tak ingin orang lain
menyinggung perasaanku sedikit pun. Jika begitu ia akan
murka jika melihat orang lain melukai tubuhku walau
segores pun?! Apa benar ia punya sikap seperti itu?!"
Rara Santika berkata dengan tegas, "Lanjutkan
langkah kita! Jangan bertindak jika ada yang ingin
berkurang ajar padamu. Biar aku yang bertindak


memberi pelajaran pada mereka! Jika perlu akan
kuhentikan masa hidupnya siapa pun juga orangnya
yang menantangmu dengan gegabah!"
Pendekar Mabuk tertawa kecil menyimpan rasa geli
dan bangga hati. Ia nyaris tertinggal karena Rara Santika
melangkah lebih dulu. Sambil menyusul langkah Rara
Santika hati Pendekar Mabuk pun berkata pada diri
sendiri,
"Pembelaannya itu jelas mempunyai maksud tertentu
yang amat pribadi. Maukah ia menjelaskannya jika
kutanya maksud pembelaannya ini?!"
*
*  *