Pendekar Mabuk 59 - Perawan Titisan Peri(2)

"Hati-hati dengan perempuan itu. Dia bukan saja licin bagaikan belut, tapi juga licik bagaikan ular!"
    "Haruskah aku mempercayai kata-katamu, Duta Raja?"
    "Aku tak memaksamu untuk percaya. Tapi setidaknya kau punya bekal jika kau berhadapan dengan Paras Kencani lagi. Kusarankan tak perlu temui dia dan lupakan tentang dia! Kau masih muda, masih punya kesempatan lebih panjang untuk mencari perempuan yang lebih cantik dari Paras Kencani."
    Pendekar Mabuk masih tertegun di tempat, ia bagai tersihir dan tak bisa berbuat apa-apa ketika Duta Raja pergi meninggalkannya. Arah kepergiannya menuju ke perbatasan desa. Berarti Duta Raja tidak kembali lagi ke kedai.
    "Benarkah Paras Kencani bersekutu dengan Perawan Titisan Peri?!" pikir Suto Sinting masih berdiri di tempat. "Berarti hampir saja aku terkecoh oleh pengakuan perempuan itu. Mungkin ia ingin memanfaatkan kekuatanku menembus negeri Kincir Bantala untuk mengambil pusaka Panji-panji Mayat. Barangkali apa yang dikatakan tentang pusaka tersebut memang benar-benar tersimpan di sebuah kamar rahasia di negeri Kincir Bantala. Tetapi niatnya bukan hanya untuk menghidupkan kembali murid-muridnya, melainkan ingin menyerahkan pusaka Panji-panji Mayat kepada Kucing Hutan. Kurasa, dengan menyerahkan pusaka tersebut, Kucing Hutan bersedia membalaskan dendam Paras Kencani kepada Rangkak Dulang atau si Pawang Setan Binal."
    Kaki pun mulai melangkah pelan-pelan sambil benak berkecamuk terus. Saat beberapa langkah lagi sampai di kedai, Suto Sinting sempat berkata pada dirinya sendiri.
    "Aku harus bisa segera bertemu dengan Gusti Ayu Sunggarini sebelum Paras Kencani tiba di negeri itu. Aku khawatir Paras Kencani berhasil membujuk Gusti Ayu Sunggarini untuk menunjukkan kamar rahasia mendiang Prabu Dasawalatama. Jika hal itu terjadi, besar kemungkinan ia akan menggunakan berbagai cara untuk masuk ke kamar tersebut dan mengambil pusaka Panji-panji Mayat. Tetapi... ah, lagi-lagi aku selalu dibuat bingung arah mana yang harus kuambil agar tiba di negeri Kincir Bantala?!"
    Duduk di kedai merenung sendirian membuat Pak Tua pemilik kedai tertarik untuk mendekatinya. Dengan hati-hati Pak Tua pemilik kedai mengajak Pendekar Mabuk bicara dengan mengajukan sebuah pertanyaan,
    "Perawan Titisan Peri memakan korban lagi, Nak?"
    "Benar, Pak Tua."
    "Dan teman perempuanmu juga menjadi korban?"
    Pendekar Mabuk memandang tajam ke arah Pak Tua pemilik kedai.
    "Apa maksud pertanyaanmu, Pak Tua?"
    "Sebab kulihat ketika teman perempuanmu tadi bergegas menyusulmu, si tua bangka berjubah merah itu juga berkelebat menyusulnya. Aku khawatir teman perempuanmu menjadi sasaran si jubah merah."
    "Mengapa kau berkata begitu?"
    "Karena menurut dugaanku, si jubah merah adalah teman si pembantai yang haus darah itu. Setiap kali akan terjadi korban pembantain selalu diawali dengan kemunculan si jubah merah tadi."
    "Maksudmu... Duta Raja itu?!"
    "Aku tak tahu namanya. Tapi sudah empat kali dia selalu muncul di kedaiku, dan beberapa saat kemudian terjadilah pembantain yang dilakukan oleh Perawan Titisan Peri. Jika bukan karena kerja sama, mengapa kemunculannya selalu bertepatan dengan peristiwa pembantain itu?"
    "Edan!" geram Suto Sinting dalam hati sambil garuk-garuk kepala. "Sekarang semakin membingungkan lagi. Pak Tua ini memberikan keterangan yang bertentangan dengan keterangan si Duta Raja. Mana yang benar? Siapa sebenarnya yang bekerja sama dengan si Kucing Hutan itu? Paras Kencani atau Duta Raja?!"
    Paras Kencani memang tak pernah muncul lagi sampai pagi menyingsing. Pendekar Mabuk terpaksa harus tinggalkan desa itu seorang diri. Tapi sebelumnya ia sempat menemui Pak Tua pemilik kedai.
    "Kalau aku mau ke negeri Kincir     Bantala, tahukah kau arah mana yang harus kutuju, Pak Tua?"
    "Kau bisa berjalan terus ke arah utara, melewati sebuah lembah di kaki perbukitan cadas, dan akan menjumpai sebuah sungai besar. Di seberang sungai itulah tanah wilayah negeri Kincir Bantala."
    "Terima kasih atas bantuanmu, Pak Tua."
 "Apakah kau ingin mengikuti sayembara membangkitkan jenazah Prabu Dasawalatama, Nak?"
"Tidak. Aku hanya ingin bicara dengan putri sang Prabu saja."
    "Berhati-hatilah, karena negeri itu sedang berselisih dengan Kadipaten Pusar Langit. Dan kudengar Adipati Pusar Langit sedang menyewa beberapa orang berilmu tinggi aliran hitam untuk menumbangkan negeri Kincir Bantala."
    "Terima kasih atas saranmu, Pak Tua!"
    Perjalanan pagi menyusuri kaki perbukitan pun dilakukan seorang diri oleh Pendekar Mabuk. Wajah Paras Kencani masih membayang terus di pelupuk mata. Bukan karena rasa cinta, melainkan karena penjelasan dari Duta Raja bagai menghantui pikiran terus-menerus.
    Pertimbangan demi pertimbangan telah membuat langkah kaki Pendekar Mabuk tak terasa telah menyusuri kaki perbukitan cadas yang jarang ditumbuhi pepohonan. Perbukitan itu terasa kering dan tandus, sekalipun dua tiga pohon tampak di sana-sini.
    Akhirnya langkah itu pun terhenti manakala mata Pendekar Mabuk memandang ke puncak perbukitan yang membujur dari barat ke timur. Di atas perbukitan yang tandus itu terlihat gerakan dua orang sedang lakukan pertarungan cukup sengit.
    Seorang perempuan berusia tiga puluh tahun sedang menghadapi serangan tokoh tua berjubah merah kusam. Tokoh tua itu tak lain adalah Duta Raja yang saat itu sedang menghantamkan tongkatnya ke tubuh perempuan cantik berambut terurai sepunggung. Kalau saja perempuan itu tidak cepat rundukkan badan, maka kepalanya akan terhantam gerakan tongkat si Duta Raja yang berkelebat cepat tak bisa dilihat oleh mata manusia biasa.
    Wuuukk...!
    Pada saat itulah perempuan berpakaian terusan warna biru ketat menghantamkan pukulan dua jarinya ke arah perut Duta Raja. Sett...! Sodokan dua jari ke depan memang tidak kenai perut lawannya, tapi sinar hijau lurus yang keluar dari dua jari itu menghantam ke arah pusar si Duta Raja.
    Claaapp...!
    Dengan tangkas Duta Raja sentakkan tongkatnya ke tanah hingga tubuhnya melayang ke atas dalam keadaan kedua tangan masih bertumpu pada tongkat. Sinar hijau itu lolos dari perutnya. Tubuh Duta Raja berjungkir balik dengan cepat bagai seekor garuda terbang ke arah belakang perempuan bertubuh elok itu.
    Weeess...! Jlegg...!
    Perempuan itu sempat bingung menghadapi lawannya. Karena ketika lawannya melintas di atas kepala dan mendaratkan kaki di tanah belakangnya, tongkat sang lawan terlepas dan bergerak menyodok sendiri dari arah depan. Perempuan itu lebih mengkhawatirkan serangan dari arah belakangnya, sehingga ia berusaha cepat balikkan badan. Tapi tongkat  lawan sudah lebih dulu menyodok telak mengenai pinggangnya. Dugg...! .
    "Aaahg...!" perempuan itu terpekik bagai tak sadar, suaranya cukup keras menandakan rasa sakitnya pun amat tinggi, ia jatuh terkulai bagai tak bertenaga lagi. Tongkat itu jatuh begitu saja, lalu Duta Raja segera melompati tubuh yang jatuh terkulai dan menyambar tongkatnya dengan menggunakan kaki.
    Wuuutt...! Taaabb...!
    Dalam sekejap tongkat sudah berada di tangan Duta Raja, dan kedua kakinya menapak dengan tegap di tanah seberang perempuan yang sedang menggeliat kesakitan. Rupanya sodokan tongkat itu bukan sekadar sodokan biasa, melainkan mempunyai kekuatan tenaga dalam tinggi yang mampu membengkakkan semua bagian dalam tubuh. Napas perempuan itu tak bisa dihela lagi, hingga ia ternganga-nganga berusaha menghirup udara sebanyak mungkin.
    Duta Raja tak mau membiarkan lawannya hanya kesakitan, ia segera sentakkan kaki dan tubuhnya melesat lurus ke atas, lalu tongkatnya disentakkan sedikit ke arah perempuan itu. Seberkas sinar lurus warna merah keluar dari ujung tongkat dan mengarah pada punggung perempuan tersebut, Clappp..!
    Pendekar Mabuk segera lepaskan pukulan sinar biru dari kedua tangan disentakkan ke depan. Clappp...! Jurus 'Tangan Guntur' yang mengeluarkan sinar biru itu menghantam sinar merah dari tongkat Duta Raja. Blegaarrr...!
    Ledakan dahsyat mengguncang perbukitan. Sebagian lereng bukit mengalami longsor, bebatuannya berhamburan menggelinding ke bawah. Ledakan itu menghadirkan gelombang berdaya sentak tinggi, sehingga tubuh Duta Raja terlempar ke belakang dan jatuh terpelanting. Brrruukkk ..!
    Pendekar Mabuk sengaja mematahkan serangan Duta Raja, karena perempuan yang nyaris mati oleh sinar merah dari ujung tongkat itu tak lain adalah Merpati Liar, murid mendiang Nyai Parisupit yang bukan dari pihak keluarga. Merpati Liar merupakan orang yang berusaha menyelamatkan pusaka Panji-panji Mayat agar tidak jatuh ke tangan orang yang bukan ahli waris Nyai Parisupit. Pendekar Mabuk berjumpa dengan Merpati Liar ketika ia dituduh berada di pihak Perawan Titisan Peri, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Gadis Buronan").
    Apa persoalan yang terjadi antara Merpati Liar dengan Duta Raja, belum jelas diketahui oleh Pendekar Mabuk. Namun nalurinya mengatakan bahwa ia harus memihak Merpati Liar. Setidaknya menyelamatkan perempuan itu dari ancaman jurus mautnya Duta Raja, mengingat Duta Raja adalah pelayan dan sahabat erat Rangkak Dulang, sedangkan Rangkak Dulang adalah tokoh aliran hitam.
    Tetapi sebelum Suto Sinting tiba di atas perbukitan, Merpati Liar masih sempat bangkit walau hanya bissa merangkak dengan bertumpu kedua tangannya.
    Pandangan matanya yang tajam itu berusaha menatap Duta Raja. Pada waktu itu Duta Raja menggeram penuh kemarahan akibat kegagalannya membunuh lawan.
    Ketika Duta Raja setengah berdiri, kepala Merpati Liar mengibas ke kanan. Weeess...! Tubuh Duta Raja yang berjarak delapan langkah darinya terbuang dan membentur sebongkah batu besar. Brruss...!
    Walaupun Suto kini sudah mencapai puncak bukit yang memang tak seberapa tinggi itu, tapi ia segera hentikan langkah dan gerakan demi melihat Merpati Liar lakukan serangan dengan jurus 'Kendali Netra'-nya yang mempunyai kekuatan pada pandangan mata. Dengan menatap Duta Raja, ia dapat melemparkan tokoh tua itu ke atas, ke bawah atau ke mana saja. Bahkan kali ini setelah Duta Raja dilemparkan dengan kekuatan matanya ke atas dan jatuh terjungkal di tanah tak berumput, Merpati Liar segera memandang sebongkah batu berukuran sebesar gentong air. Batu itu tiba-tiba terangkat sendiri dan melayang menghantam tubuh Duta Raja. Wuuuttt...!
    Praakk...!
    Sayang sekali sebelum batu itu sampai di tubuh Duta Raja, keadaan Duta Raja telah berjongkok bersiap untuk bangkit. Maka batu besar yang melayang ke arahnya segera dihantam dengan tusukan dua jari kirinya yang melepaskan segumpal tenaga dalam cukup tinggi.
    Suuutt..!
    Tak heran jika batu itu hancur menjadi berkeping-keping sebelum kenai sasarannya. Duta Raja segera bangkit dan melompat ke kiri, menyambar tongkatnya yang tergeletak di tanah dengan menggunakan satu kaki.
Wuuutt...! Taaab...!
Tongkat tergenggam kembali di tangannya. Tubuh Duta Raja bagaikan menghilang. Weess...! Tahu-tahu sudah berada di atas sebongkah batu cadas lebih besar lagi. Ia masih tampak segar dan sehat walau pakaiannya menjadi kotor akibat dibanting ke sana-sini dengan kekuatan mata Merpati Liar.
"Hentikan...!" seru Suto Sinting begitu melihat Merpati Liar beradu pandangan mata dengan Duta Raja.
Perpaduan pandangan mata itu rupanya saling berusaha menjatuhkan lawan. Tubuh tokoh tua itu bergerak-gerak bagai lidi dihembus angin di atas sebuah batu. Tetapi tubuh Merpati Liar juga bergetar dalam keadaan berlutut dengan kedua tangan merentang kuat.
Di pertengahan jarak keduanya terjadi percikan bunga api beberapa kali yang mengeluarkan letupan-letupan kecil.
Dari situlah Suto Sinting tahu bahwa mereka sedang beradu kekuatan tenaga dalam melalui pandangan mata. Karenanya, Suto Sinting perlu mengulang seruannya tadi dengan suara lebih keras lagi.
"Hentikaaan...!"   
Wuuuk...! Beeehg...!
"Aaaahg...!"
Duta Raja memekik panjang, tubuhnya terlempar bagaikan dihantam tenaga amat besar. Tubuh itu akhirnya jatuh ke lereng bukit dan terguling-guling tanpa ampun lagi. Sementara itu, Merpati Liar terengah-engah dengan tubuh bersimpuh lemas.
"Merpati, lekas minum tuakku ini!"
Sementara Merpati Liar meneguk tuak Suto, tampak Duta Raja berkelebat pergi larikan diri dalam keadaan terhuyung-huyung. Agaknya ia terluka bagian dalam cukup parah oleh serangan Merpati Liar, sehingga merasa perlu menyingkir untuk sembuhkan lukanya lebih dulu.
"Aku harus mengejarnya!" ujar Merpati Liar begitu selesai meminum tuak dan melihat Duta Raja melarikan diri.
"Jangan, Merpati! Tunggu tenagamu pulih kembali."
Pendekar Mabuk sengaja menahan karena ia tahu kekuatan Merpati Liar belum pulih seperti sediakala. Rasa sakit di seluruh tubuh memang sudah hilang, tapi Merpati Liar harus menunggu waktu sekitar lima puluh hitungan untuk memulihkan kekuatannya yang tadi hilang akibat sodokan tongkat lawan.
"Aku tak ingin kehilangan dia, Suto!"
Pendekar Mabuk sengaja menghadang di depan Merpati Liar, sikapnya tetap tenang seakan memasang wibawa untuk menundukkan keinginan perempuan cantik itu.
"Mengejar dan menangkapnya itu persoalan mudah. Aku sanggup lakukan sendiri. Tapi sebelumnya aku perlu tahu, mengapa kau bentrok dengannya?"
"Duta Raja menyerangku lebih dulu, karena ia tahu aku murid mendiang Guru Nyai Parisupit. Pasti dia tahu bahwa aku adalah salah satu dari orang yang akan merintangi niatnya memperoleh pusaka Panji-panji Mayat!"
Dahi Pendekar Mabuk berkerut heran. "Jadi, dia ingin mendapatkan pusaka Panji-panji Mayat? Apa alasannya?"
"Duta Raja adalah adik si Kucing Hutan!"
"O, ya...?!" Suto Sinting terbelalak bengong. Kabar itu seperti petir menyambar di ujung hidungnya.
*
* *

6
SATU pertanyaan tersimpan dalam batin Suto Sinting, "Jika Duta Raja ternyata adalah adik dari Kucing Hutan atau Perawan Titisan Peri, lalu bagaimana dengan Paras Kencani sendiri?"
Merpati Liar membersihkan pakaiannya yang kotor akibat jatuh tadi. Rambutnya yang panjang kini disatukan ke belakang dan diikat dengan seutas akar kecil. Perempuan itu tampak semakin cantik dalam keadaan rambut dikebelakangkan, ia menjadi serba kikuk setelah sadar sejak tadi dipandangi oleh Pendekar Mabuk yang dari dulu dikagumi oleh hatinya, namun tak pernah dinyatakan lewat ucapan.
"Bagaimana kau bisa sampai di perbukitan ini, Suto?"
Merpati Liar mengalihkan rasa agar tak semakin salah tingkah.
"Sejak kau lari mengejar Perawan Titisan Peri itu, aku segera menyusulmu setelah lebih dulu menyuruh Hantu Laut dan Kadal Ginting pergi ke Lembah Sunyi untuk menemui Resi Wulung Gading," tutur Pendekar Mabuk sehabis menenggak tuaknya tiga tegukan.
Lanjutnya lagi, "Sementara itu pula, Resi Badranaya pulang ke padepokannya bersama muridnya; Darah Prabu. Aku sengaja menyusulmu karena khawatir terjadi sesuatu pada dirimu jika berhadapan dengan si Kucing Hutan."
Merpati Liar menarik napas, ada perasaan aneh yang membuat hatinya berdesir indah begitu mendengar  pengakuan Suto Sinting, ia masih bisa membayangkan peristiwa pertarungan Kucing Hutan dengan Resi Badranaya yang membuat Suto Sinting dan dirinya segera mengambil alih pertarungan tersebut, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Gadis Buronan").
"Sayang sekali aku tidak tahu ke mana arah pengejaranmu kala itu, sampai akhirnya aku berjumpa dengan penabuh bende dari negeri Kincir Bantala yang menyebarkan sayembara. Kersa Gotri, si penabuh bende yang menjadi wakil suara Gusti Ayu Sunggarini itu sempat membawaku ke negeri Kincir Bantala. Dalam perjalanan itu aku bertemu dengan seorang tokoh wanita yang usianya sudah mencapai delapan puluh tahunan, tapi penampilannya masih muda dan cantik."
"Hmmm...!" Merpati Liar sempat mencibir sinis, kemudian segera ajukan tanya, "Siapa nama perempuan itu?"
"Paras Kencani," jawab Suto Sinting tenang, namun membuat Merpati Liar terperangah dan memandang dengan tajam.
Suto menjadi heran melihat perubahan wajah itu. "Mengapa kau terkejut? Apakah kau kenal dengan Paras Kencani?"
"Ketua Perguruan Pasir Pitu!"
"Memang benar. Perguruannya dihancurkan oleh Rangkak Dulang dan...."
"Rangkak Dulang alias Pawang Setan Binal itu?!"
"Benar. Apakah kau juga kenal dengan tokoh aliran hitam itu."
"Aku pernah bertarung dengannya beberapa tahun yang silam, karena suatu urusan pribadi. Kami sama-sama terluka parah, lalu sama-sama sepakat untuk menunda pertarungan. Sampai sekarang aku belum pernah bertemu lagi dengannya!"
"Sekarang dia sedang mengejar Kucing Hutan, karena mengejar sebuah kitab pusaka yang menurut pengakuan Paras Kencani kitab itu ada di tangan Kucing Hutan. Aku sempat selamatkan Paras Kencani yang terkena pukulan beracunnya si Pawang Setan Binal itu."
"Hemm...!" Merpati Liar mencibir lagi. Setiap Suto Sinting sebutkan nama Paras Kencani, wajah Merpati Liar menampakkan kesinisannya. Keanehan itu disimpan dalam hati Suto selama menuturkan perjalanannya hingga sampai di perbukitan itu.
Sambil menuruni lereng perbukitan, Suto masih melanjutkan ceritanya.
"Sejak semalam aku berpisah dengan Paras Kencani, dan sampai saat ini aku tak tahu dengan pasti ke mana perginya. Aku pun masih sangsi dengan keterangan Duta Raja tentang persekongkolan Paras Kencani dengan si Kucing Hutan."
Merpati Liar sengaja hentikan langkah tepat dibawah pohon teduh.
"Paras Kencani itu cucunya Gajahloka!"
Pendekar Mabuk terperangah kaget. "Cucunya Gajahloka?!"
Otak murid si Gila Tuak segera mengingat silsilah keluarga Nyai Parisupit yang mempunyai paman tiri Eyang Kurupati. Sedangkan Eyang Kurupati mempunyai anak Gajahloka. Gajahloka mempunyai tiga anak, yang bungsu adalah ibu dari Barakoak, yang dikenal dengan nama si Raja Iblis. Salah satu anak dari Gajahloka mempunyai keturunan yang sekarang masih hidup, dan Paras Kencani itulah keturunan dari anak Gajahloka, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Pembantai Raksasa).
"Berarti tujuannya menemui Gusti Ayu Sunggarini bukan sekadar untuk meminjam pusaka buat menghidupkan murid-muridnya, melainkan memang ingin menguasai pusaka Panji-panji Mayat itu?!"
"Dugaanmu tak salah lagi!" ujar Merpati Liar dengan tegas. "Barangkali karena ia tidak mempunyai kekuatan yang cukup untuk merebut Panji-panji Mayat, maka ia pergunakan dirimu sebagai penambah kekuatannya."
"Tapi dia tidak tahu bahwa aku adalah muridnya si Gila Tuak. Dia hanya mengenalku sebagai Suto Sinting, bukan sebagai Pendekar Mabuk."
"Omong kosong! Ciri-ciri penampilanmu sudah dikenal di rimba persilatan. Sebagai ketua perguruan, Paras Kencani pasti mengenali ciri-cirimu sebagai Pendekar Mabuk, ia hanya berpura-pura tolol supaya niat busuknya tidak kau ketahui!"
Mendengar keterangan itu, Pendekar Mabuk menjadi tertegun lama. Ia sama sekali tak menduga kalau Paras Kencani ternyata keturunan dari Eyang Kurupati. Hampir saja ia terjebak dan terpedaya oleh kepura-puraan Paras Kencani.
"Tapi anehnya, mengapa malam itu ia menghilang dariku? Apakah benar ia mengikuti pelarian si Kucing Hutan?"
"Menurutku apa yang dikatakan Duta Raja tentang si Paras Kencani itu tidak benar. Mungkin Duta Raja hanya merasa sirik karena ia gagal menjadi pendamping hidup si Paras Kencani. Mungkin juga ia cemburu melihat kau berduaan dengan Paras Kencani, sehingga ia perlu menyebar fitnah seperti itu agar kau menjauhi Paras Kencani."
"Rasa-rasanya... pendapatmu itu ada benarnya," gumam Suto Sinting sambil menerawang dalam keadaan tertegun di tempat.
Merpati Liar yang bersikap angkuh di depan Suto Sinting itu perdengarkan suaranya lagi, "Barangkali apa yang dikatakan oleh Paras Kencani tentang kamar rahasia dari Prabu Dasawalatama itu memang benar-benar ada. Sebab, sudah lama kudengar kabar bahwa Paras Kencani berteman akrab dengan Dasawalatama ketika Dasawalatama belum menjadi raja dan belum mencapai puncak kejayaannya. Setahuku juga, Dasawalatama berteman akrab pula dengan Galak Gantung."
"Karena itulah aku bertekad ingin temui Gusti Ayu Sunggarini, putri tunggal mendiang Prabu Dasawalatama itu."
"Apakah kau sanggup menahan diri?"
Pendekar Mabuk pandangi Merpati Liar dengan dahi berkerut. "Apa maksudmu, Merpati?!"
Dengan melengos ke arah lain, Merpati Liar menjawab bernada dingin, "Sunggarini punya kecantikan yang memikat tiap lelaki. Apakah kau sanggup untuk tidak terpikat olehnya?"
Pendekar Mabuk tertawa pendek. Merpati Liar berkata lagi,
"Kalau kau sanggup untuk tidak terpikat oleh Sunggarini, akan kuantar kau ke kerajaan Kincir Bantala."
"Kau pernah ke sana?!"
"Sunggarini adalah sahabatku." Hanya itu jawaban dari mulut Merpati Liar. Pendekar Mabuk menunggu keterangan tambahannya, namun Merpati Liar tetap katupkan bibirnya yang bikin hati geregetan itu.
"Satu lagi yang ingin kutanyakan padamu," ujar Suto Sinting. "Menurut keterangan Paras Kencani, Duta Raja adalah sahabat sekaligus pelayannya Rangkak Dulang. Benarkah itu?"
"Setahuku, dulu memang begitu. Tapi belakangan ini Duta Raja tidak memihak lagi kepada Rangkak Dulang, karena ia tahu bahwa kakaknya; si Kuping Hutan, telah menjalin permusuhan dengan Rangkak Dulang. Tentu saja Duta Raja yang dulu pernah menjadi utusan mendiang Raja Bonang segera berbalik sikap memihak kakaknya. Karena itu Rangkak Dulang pun benci kepada Duta Raja dan menggolongkan Duta Raja sebagai musuhnya."
"O, begitu ceritanya?! Lengkap sekali kau mengetahui cerita itu. Dari mana kau dapat mengetahuinya, Merpati?!"
"Duta Raja, Paras Kencani dan aku sendiri, pernah bersatu melumpuhkan kekuatan negeri seberang. Tiga tahun lamanya kami bersatu dan saling mengenal diri, kemudian setelah negeri seberang runtuh, kami saling berpisah."

Murid si Gila Tuak menggumam dan manggut-manggut, merasakan kelegaan dalam hatinya setelah mengetahui segala sesuatu yang sejak kemarin menjadi ganjalan hatinya. Sebenarnya ia ingin ajukan pertanyaan lagi kepada Merpati Liar. Namun niat itu tertunda karena tiba-tiba mereka mendengar suara ledakan menggelegar dari arah utara.
Blegaarrr...!
Pendekar Mabuk beradu pandang dengan Merpati Liar.
"Ada yang mengadu ilmu di sebelah utara!" ucap Suto Sinting seperti bicara pada diri sendiri.
Merpati Liar hanya membungkam diri, tapi pandangan matanya segera diarahkan ke utara. Tampak kepulan asap hitam membubung tinggi dari balik sebuah bukit cadas. Dapat dibayangkan, alangkah dahsyat ilmu yang mereka pertarungkan di sana. Hal itu sangat menarik perhatian Pendekar Mabuk, sehingga tanpa menunggu pertimbangan Merpati Liar, Suto segera melesat ke arah kepulan asap hitam itu.
"Aku akan menengoknya ke sana!"
Zlaaapp...!
Pendekar Mabuk bagaikan menghilang karena kecepatan bergeraknya yang menyerupai hembusan angin, melebihi kecepatan anak panah. Merpati Liar tak mau tinggal diam di tempat, ia pun bergerak cepat menggunakan ilmu peringan tubuhnya hingga mirip orang terbang.
Weeess...!
Ternyata di balik bukit cadas itu terjadi pertarungan cukup seru. Pendekar Mabuk yang mengintai dari atas bukit sangat mengenali dua tokoh yang sering beradu kesaktian. Mereka tak lain adalah Pawang Setan Binal sedang menghajar seorang perempuan buta berpakaian biru laut yang menyandang panah dan busur di punggungnya. Perempuan buta itu tak lain adalah Dewi Geladak Ayu, si bajak laut wanita yang cacat matanya saat melawan Peluh Setanggi, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Gadis Buronan").
Merpati Liar baru saja tiba saat Dewi Geladak Ayu terjungkal oleh pukulan jarak jauh si Pawang Setan Binal. Hanya dengan kelebatan tangan kiri bagai menyambar air, tubuh Dewi Geladak Ayu dibuat terjungkal bagai dihantam tenaga dalam cukup besar.
Bahkan perempuan cantik dari aliran hitam itu sempat memuntahkan darah kental dari mulutnya. Tangannya meraba-raba mencari tempat pegangan, namun tempat pegangan itu tak ditemukan di sekitar tempatnya jatuh.
"Di mana si Kucing Hutan? Kutahu kau berdua dengannya beberapa waktu yang lalu? Katakan saja di mana dia daripada aku harus mencabut nyawamu, Geladak Ayu!"
Dengan napas terengah-engah, Dewi Geladak Ayu menjawab dengan nada geram.
"Persetan dengan si Kucing Hutan! Kalau aku berdua dengannya bukan lantaran aku bersekutu dengannya, tapi karena aku diperdaya olehnya. Kalau kau mencari Kucing Hutan, aku pun sedang mencarinya untuk menuntut balas tindakannya padaku tempo hari. Tapi jika kau tidak percaya padaku, apa pun maumu akan kulayani walau mataku telah buta, Rangkak Dulang!"
Weeess...! Weeesss...! Wut, wut, wut, wut...!
Pendekar Mabuk terbelalak bengong karena kagum melihat kecepatan gerak si Pawang Setan Binal. Lelaki tua yang kurus kerontang itu berkelebat mengitari Dewi Geladak Ayu. Rupanya ia mencabik-cabik pakaian tipis perempuan itu dengan menggunakan kuku-kuku tajamnya. Gerakannya bagaikan sebentuk hembusan angin topan yang mengelilingi Dewi Geladak Ayu.
Weeesss...! Dalam kejap tertentu ia menjauh dan muncul pada jarak tujuh langkah dari si bajak laut wanita itu.
"Oooh...?!" Dewi Geladak Ayu terpekik tertahan setelah meraba tubuhnya ternyata tidak terbungkus kain lagi. Kain yang membungkus tubuh eloknya telah tercabik-cabik hingga terlepas seluruhnya.
"Gila! Ck, ck, ck...!" Pendekar Mabuk geleng-gelengkan kepala melihat Dewi Geladak Ayu tidak berpakaian lagi.
Merpati Liar segera menotok tengkuk kepala Suto Sinting. Tees...!
"Uuhg...!" Suto terpekik lirih. Kemudian ia menjadi berdebar-debar tegang setelah matanya tak bisa dipakai untuk memandang. Tangan Suto mencoba mengucal kedua matanya, namun pandangan yang dapat dilihatnya hanya warna hitam berbintik-bintik merah dan kuning.
"Merpati...! Gila kau!" gerutunya pelan sekali.
"Mengapa kau totok diriku hingga menjadi buta?! Lepaskan totokanmu ini, Merpati!"
"Matamu harus dipenjara agar tidak menjadi jalang melihat Geladak Ayu tanpa busana."
"Merpati, aku tidak memandang ke arah tubuh Geladak Ayu. Aku... aku... oh, lepaskan totokanmu ini, lekas!"
"Mata nakalmu tak bisa kupercaya!" ujar Merpati  Liar dengan tetap membiarkan Suto Sinting dalam kebutaan.
Sementara itu, Rangkak Dulang masih tetap menganggap Dewi Geladak Ayu bersekongkol dengan Kucing Hutan, ia tetap mendesak agar Dewi Geladak Ayu memberitahukan di mana Kucing Hutan berada.
Tetapi perempuan yang sudah tak berbusana lagi itu tetap ngotot, bahkan melepaskan pukulan bersinar merah secara me mbabi buta.
Clap, clap, clap, clap...!
Wess, weess, weesss...!
Pawang Setan Binal menghindari tiap serangan itu dengan sangat mudah. Tubuhnya bagai sulit dihantam dengan sinar-sinar merah itu. Akibatnya, beberapa batu dan dinding bukit menjadi sasaran sinar merahnya Dewi Geladak Ayu.
Blaarr, blaarr, Jegaarr... blegarr..!
Batu dan dinding bukit hancur. Tanah dan bukit itu berguncang karena ledakan dahsyat yang terjadi saat itu. Dewi Geladak Ayu mengamuk tanpa hiraukan keadaan tubuhnya yang tidak berpakaian lagi itu. Bahkan busur serta anak panahnya telah terpental entah ke mana pada saat ia dikelilingi Rangkak Dulang tadi.
"Heeeaaatt...!"
Dengan menggunakan mata batinnya, Dewi Geladak Ayu lakukan serangan dengan sebuah lompatan mirip terbang ke arah lawannya. Rangkak Dulang hanya menghindar mundur tanpa gerakan bersalto. Zaaab...!
Tahu-tahu ia sudah pindah tempat, lima langkah dari
tempat berdirinya semula. Rupanya serangan membabi buta Dewi Geladak Ayu semakin membangkitkan kemarahan Pawang Setan Binal. Maka dengan mengangkat tangan kanannya ke depan, dari kuku jari kelingking melesat selarik sinar biru sebesar lidi. Claapp...! Sinar itu tepat kenai pinggang Dewi Geladak Ayu. Jeerb...!
Blegaaarrr...!
Pinggang dan perut Dewi Geladak Ayu jebol seketika. Tentu saja tokoh bajak laut wanita itu akhirnya terkapar tanpa nyawa lagi. Rangkak Dulang hanya memandanginya dengan dingin, kemudian cepat-cepat pergi dengan menimbulkan asap yang bergerak makin jauh makin menipis dan lenyap.
"Merpati! Merpati lepaskan totokanmu!" Suto Sinting ribut sendiri, berusaha melepaskan totokan dengan tangan sendiri tapi tidak berhasil. Padahal hatinya sangat penasaran mendengar suara ledakan dan pekik pertarungan tadi.
Pendekar Mabuk mencoba meminum tuaknya untuk membebaskan totokan yang membutakan matanya. Tetapi tuak tidak menolong. Mata masih tidak bisa digunakan untuk memandang sebagaimana mestinya. Jari-jari tangannya menotok leher dan beberapa bagian tubuhnya sendiri: des, des, des, des...!
"Aaauh...!" ia justru kesakitan karena totokannya sendiri. Sementara itu totokan Merpati Liar masih mengunci urat matanya hingga tak bisa dipakai untuk melihat apa-apa.
"Merpati! Lepaskan totokan ini! Lekaslah, Merpati...aku ingin melihat pertarungan itu! Hei, Merpati...?! Merpati di mana kau?!"
Suto Sinting akhirnya diam dengan merasa heran. Telinganya ditelengkan untuk menangkap dengus napas Merpati Liar. Bahkan jurus 'Lacak Jantung' digunakan untuk mendengar detak jantung Merpati Liar. Tetapi ternyata tak ada suara detak jantung sedikit pun, kecuali detak jantungnya sendiri.
Pendekar Mabuk menjadi cemas manakala ia sadari keadaan di sekelilingnya sangat sepi. Ia dapat menduga bahwa Merpati Liar tidak ada di sampingnya.
"Celaka! Dia telah meninggalkan aku dalam keadaan buta begini?! Kurang ajar! Awas nanti jika kudapatkan, akan kubalas dengan tindakan yang lebih menjengkelkan lagi!" geram Suto Sinting sambil mencoba melangkah dengan tangan meraba-raba.
*
* *



7
Merpati Liar sengaja pergi mendekati mayat Dewi Geladak Ayu. Ia menutup mayat yang telanjang itu dengan tanah di sekitarnya. Selesai melakukan hal itu, barulah ia bergegas kembali menemui Suto Sinting.
"Aaaa...!"
"Sutooo...!" seru Merpati Liar dengan tegang saat melihat Suto tergelincir dari atas bukit dan jatuh berguling-guling menuruni lerengnya.
Weeesss...! Merpati Liar segera bergerak dan menahan gerakan tubuh Suto yang hampir saja membentur batu besar pada bagian kepalanya. Wuuutt...!
Tubuh kekar Suto Sinting disambar dengan kedua tangan, seakan hal itu dilakukan dengan ringan, tanpa beban berat sedikit pun. Jika bukan dilakukan dengan tenaga dalam, tak mungkin Merpati Liar dapat menyambar tubuh kekar Suto seperti menyambar selembar sarung.
"Kucing kurap kau, Merpati!" maki Pendekar Mabuk sambil menahan rasa jengkel. "Gara-gara mataku kau buat buta, aku tergelincir dari atas bukit! Uuuh... sakitnya tulang pinggangku!"
Merpati Liar tertawa kecil, tapi Suto Sinting tak bisa melihat senyuman si cantik yang menjengkelkan itu.
Hati pendekar tampan hanya bisa menggeram dongkol, lalu segera menerima bumbung tuaknya yang diambilkan oleh Merpati Liar. Bumbung tuak itu tadi sempat terlempar jauh dari Suto Sinting. Untung tak ada orang yang menyambarnya, sehingga Suto dapat segera menenggak tuak beberapa teguk untuk menghilangkan rasa sakit akibat jatuhnya tadi.
Deebb...! Merpati Liar pun segera melepaskan kunci totokannya. Dengan begitu penglihatan Pendekar Mabuk menjadi terang kembali. Tapi rasa dongkol masih menyumbat relung hatinya, hanya saja karena ia segera tertarik pada mayat Dewi Geladak Ayu, maka rasa  dongkol itu tidak dihiraukan lagi olehnya.
"Geladak Ayu tewas...?!"
"Rangkak Dulang murka dan membunuhnya. Perutnya jebol, mengerikan sekali. Karena itu kututup dulu dengan tanah supaya kau tak dapat melihat lukanya dan melihat... dadanya," kata-kata terakhir itu diucapkan dengan pelan sekali.
Pendekar Mabuk hanya menarik napas dan geleng-geleng kepala merasakan kekecewaan besar yang terpaksa harus ditelannya.
"Kali ini kau sangat mengecewakan diriku, Merpati. Tingkahmu seperti anak-anak. Aku kan sudah dewasa, sudah pantas memandang keindahan perabot seorang wanita cantik seperti Dewi Geladak Ayu. Bukan hal tabu lagi barang seperti itu untuk kupandangi"
"Kawini saja mayat si Geladak Ayu," ketus Merpati Liar dengan tangan ditangkringkan di atas gagang pisau kembarnya yang terselip di pinggang kiri.
"Maksudku, hal yang sangat mengecewakan adalah karena aku tak bisa melihat pertarungan seru antara Dewi Geladak Ayu dengan Rangkak Dulang. Seharusnya...."
Kata-kata itu terhenti seketika karena Merpati Liar tiba-tiba menendang tubuh Pendekar Mabuk dengan keras. Wuuutt...! Beeehg...!
Weeess...! Tubuh pemuda tampan itu terpental melayang dan jatuh berguling-guling. Tali bumbung tuaknya sengaja digenggam erat-erat agar tak terpisah darinya.
"Perempuan kecut! Apa-apaan dia sebenarnya?!" geram hati Pendekar Mabuk setelah cepat-cepat berdiri kembali.
Rupanya pada saat Merpati Liar selesai melayangkan tendangannya ke arah Suto Sinting, ia sendiri segera bersalto ke belakang dalam gerakan plik-plak beberapa kali dengan cepat. Gerakan plik-plak-nya yang terakhir sempat membuat Merpati Liar jatuh berlutut, dan ketika Suto telah berdiri serta memandangnya, perempuan itu sedang berdiri dari jongkoknya.
Namun ada sesuatu yang lebih menarik perhatian Pendekar Mabuk dan membuat dahinya berkerut heran.
Sebatang tombak tertancap di tanah tempatnya berdiri sebelum ditendang Merpati Liar. Tombak itu berpita merah panjang pada ujungnya. Seluruh mata tombak terbenam di tanah, sedangkan pita merahnya terkulai di tanah.
"Tombak siapa itu?!" gumam Pendekar Mabuk dengan mata tak berkedip. Kemudian pandangan matanya segera beralih ke arah datangnya tombak.
Ternyata di sana telah berdiri tiga orang lelaki berbadan kekar dan berwajah tak bersahabat. Usia mereka rata-rata sekitar empat puluh tahun.
"O, rupanya tendangan Merpati Liar tadi bermaksud menyelamatkan diriku dari lemparan tombak yang datang dari ketiga orang itu?! Hmmm... memang lebih baik terkena tendangan Merpati Liar daripada kelilipan tombak!" gumam Suto dalam hatinya.
Pendekar Mabuk segera melangkah menghampiri Merpati Liar, sedangkan perempuan itu pun juga melangkah menghampirinya. Mereka bertemu di dekat mayat Dewi Geladak Ayu. Keduanya sama-sama menghadap ke arah datangnya tiga orang kekar yang sedang menghampiri mereka.
"Siapa tiga orang itu, Merpati?!" tanya Suto Sinting dalam bisikan.
"Entahlah. Tapi menurutku mereka bukan orang negeri Kincir Bantala. Mungkin anak buahnya si Geladak Ayu. Biar kuhadapi mereka!"
Satu dari tiga lelaki kekar itu mengenakan rompi ketat warna merah beludru bersulam benang emas. Lelaki itu berkumis tipis, menyandang keris di perutnya, ia memakai ikat kepala kaku dari kain beludru merah juga yang bersulam benang emas.
Sedangkan dua lelaki di kanan-kirinya mengenakan rompi panjang dari kain biasa warna hijau dan hitam. Kedua orang itu menggenggam tombak berujung pedang besar. Dapat disimpulkan, tombak yang tertancap di tanah itu pasti senjata milik si rompi merah.
Ketika mereka hentikan langkah dalam jarak lima tindak dari Suto Sinting dan Merpati Liar, lelaki berompi merah maju satu langkah, sebagai tanda bahwa ia yang mewakili kedua lelaki di kanan-kirinya itu. Dengan mata nanar tanpa kesan bersahabat, lelaki itu lebih dulu perdengarkan suaranya yang bernada besar.
"Hanya kebetulan saja kalian masih bisa bernapas di depanku. Mestinya salah satu dari kalian modar di ujung tombakku! Tapi percayalah, sebentar lagi kalian akan kukirim ke neraka, karena tak ada orang Kincir Bantala yang akan hidup lebih lama jika kami yang berjuluk Iblis Tiga Paksa telah bertindak!"
"Kami bukan orang Kincir Bantala!" ucap Merpati Liar dengan ketus dan dingin. "Kami tak kenal siapa kalian, dan kami tak punya urusan dengan kalian!"
"Ha, ha, ha.,.! Rupanya perempuan cantik itu budek kupingnya," ujar lelaki yang memakai rompi merah kepada orang berbaju hitam.
Maka orang berbaju hitam tanpa lengan itu berkata kepada Merpati Liar ,
"Kami adalah Iblis Tiga Paksa yang disewa oleh Adipati Pusar Langit untuk membantai habis orang orang Kincir Bantala!"
"Sekali lagi kutegaskan pada kalian, kami bukan orang Kincir Bantala. Tetapi jika kalian bosan hidup, aku akan mewakili El Maut untuk merenggut nyawa kalian!"
Pendekar Mabuk sengaja diam saja. Tapi matanya tak lepas dari ketiga orang tersebut. Terutama yang berbaju hijau, tampak sudah menggeram dengan tangan menggenggam tombak menjadi kuat. Agaknya mereka tersinggung dengan ucapan Merpati Liar .
"Perempuan bermulut lebar! Kurobek mulutmu sekarang juga. Heeeah...!"
Orang berompi merah lakukan lompatan ke atas sambil tangannya menyentak ke depan. Telapak tangannya itu mengeluarkan seberkas sinar hijau tertuju ke arah Merpati Liar.
Dengan kaki merendah, Merpati Liar juga menyentakkan telapak tangannya ke depan, dan sinar merah tanpa putus melesat dari telapak tangan. Sinar merah itu menahan datangnya sinar hijau dan akhirnya meledak di pertengahan jarak.
Blegaaarr..!
Orang berompi merah yang melayang ke atas menjadi terpental tak tentu arah. Rupanya gelombang ledakan itu keluarkan angin menyerupai badai yang mampu menerbangkan tubuh orang tersebut, sementara tubuh Merpati Liar sendiri terdorong mundur tiga tindak.
Kedua orang berpakaian hijau dan hitam segera bertindak menyusul serangan si rompi merah. Namun baru saja mereka mengangkat tombaknya, kedua tangan Suto Sinting menyentil ke arah depan.
Tes, tes...! Jurus 'Jari Guntur' dilepaskan oleh Pendekar Mabuk. Sentilan yang mengandung kekuatan tenaga dalam cukup besar itu tepat mengenai ulu hati kedua orang tersebut. Dub, dub...!
"Heeggh..!" keduanya sama-sama terpekik dengan tubuh melengkung ke depan dan terdorong mundur dengan cepat. Keduanya sama-sama jatuh terkapar bagaikan dibanting tangan, raksasa. Buhgg...!
"Biarkan aku saja yang melayaninya!" hardik Merpati Liar kepada Pendekar Mabuk.
Murid si Gila Tuak hanya bisa sunggingkan senyum tipis sambil angkat bahu satu kali. Kemudian ia sengaja melangkah ke tempat lain, memberikan kesempatan kepada Merpati Liar untuk melawan ketiga orang sewaan Adipati Pusar Langit itu.
Merpati Liar berdiri tegak dengan kaki sedikit merentang. Matanya mulai memandang tajam ke arah lelaki berompi merah. Sebilah keris yang terselip di depan perut lelaki itu dipandanginya, lalu kepalanya menyentak ke atas samping. Maka keris itu pun terbang sendiri terbuang jauh bersama sarungnya.
Weeess...!
Si pemiiik keris tercengang bengong. Pada saat itu tiba-tiba tubuhnya bagai ada yang melemparkan ke arah samping. Wuuutt...! Brrrukk...!
"Aaaoh...!"
Orang itu menjerit kesakitan karena kepalanya bagaikan dibenturkan dengan sebongkah batu besar. Tenaga yang melemparkan orang itu adalah tenaga yang datang dari pandangan mata Merpati Liar .
Wuuut, brruk,..! Wuuutt, brruukk...! Weeess, prrok...!
"Aaaauh, aaah... aaaow... tolong, aaaauh...!"
Orang berompi merah menjerit-jerit kesakitan karena tubuhnya dilemparkan ke sana-sini, dibentur-benturkan batu ataupun pohon yang ada tak jauh darinya. Jurus 'Kendali Netra'-nya Merpati Liar membuat orang itu babak belur dan kehabisan tenaga. Sementara itu, kedua temannya hanya bisa memandang dengan kagum dan mulutnya ternganga bengong.
"Kenapa si Golo itu?! Mengapa ia membenturkan diri ke batu dan pohon?!" ujar si baju hitam.
"Perempuan itu menggunakan kekuatan mata! Serang dia sekarang juga! Heeeeaaah...!"
Kedua orang yang ingin maju menyerang itu tiba-tiba saling beradu kepala. Merpati Liar menggunakan kekuatan matanya untuk mengadu kepala kedua orang itu dengan kerasnya. Prraaakk...!
"Aaaoww...!"
Wees, praaakk...!
"Aaaohh...!"
Kedua orang itu berlumur darah, kepala mereka saling bocor. Bahkan terakhir kalinya tubuh mereka terlempar tinggi-tinggi saat kepala Merpati Liar menyentak ke atas. Tubuh yang terlempar tinggi itu akhirnya jatuh dalam keadaan kepala di bawah.
Brruukk...!
"Ouhgg...!"
Kedua orang itu mengalami patah tulang lehernya.  Kepalanya yang sudah berlumur darah semakin bocor lagi karena mereka jatuh ke tempat yang keras. Pada saat itu segera terdengar suara si lelaki berompi merah.
"Lariii...! Cepat lariii...!"
Dengan sempoyongan, mereka akhirnya melarikan diri ke arah selatan. Rupanya Merpati Liar sangat berang kepada mereka, sehingga ia pun segera mengejarnya.
Weeess...!
"Merpati...! Tak perlu dikejar!" seru Suto Sinting, namun seruan itu tak dihiraukan oleh Merpati Liar. Suto Sinting hanya geleng-geleng kepala melihat Merpati Liar mengejar tiga orang tersebut.
"Perempuan itu kalau sudah marah membahayakan sekali! Aku harus mencegahnya!" pikir Suto Sinting yang segera menyusul Merpati Liar. Zlapp...!
"Tahan amarahmu, Merpati. Tak perlu kau semarah itu kepada mereka!" kata Suto Sinting yang tiba-tiba muncul di depan langkah Merpati Liar, membuat langkah perempuan itu akhirnya terhenti.
"Mereka harus diberi pelajaran biar jera!"
"Kurasa pelajaran untuk mereka sudah cukup. Mereka kabur, itu tandanya mereka jera melawanmu, Merpati! Tahanlah luapan amarahmu itu, nanti dapat mencelakakan diri sendiri."
Bujukan Pendekar Mabuk lambat laun berhasil menurunkan kemarahan Merpati Liar. Walau wajah perempuan itu masih cemberut, tapi helaan napasnya sudah tidak memburu seperti tadi.
"Sebaiknya kita teruskan perjalanan kita menuju Kincir Bantala!" usul Suto.
Merpati Liar tidak menjawab, namun melangkah lebih dulu sehingga diikuti oleh Pendekar Mabuk setelah sang pendekar tampan menenggak tuaknya tiga kali.
Akhirnya mereka tiba di tanggul sebuah sungai lebar. Menurut keterangan Pak Tua pemilik kedai, sungai itu adalah perbatasan tanah negeri Kincir Bantala. Merpati Liar sendiri hentikan langkah dan berkata,
"Kita harus menyeberangi sungai itu. Di seberang sanalah istana negeri Kincir Bantala berada."
"Tak ada jembatan yang dekat dari tempat kita ini. Merpati?!"
"Seorang berilmu tinggi sepertimu, apakah masih membutuhkan jembatan untuk menyeberangi sungai?!" ucap Merpati Liar dengan nada melecehkan pertanyaan Suto Sinting tadi. Pendekar Mabuk hanya menyeringai, kemudian segera memetik beberapa daun selebar telapak tangan.
"Kita menyeberang sekarang juga, Merpati!"
Pendekar Mabuk segera lemparkan helai demi helai daun yang dipetiknya. Pluk, pluk, pluk, pluk! Daun-daun itu mengambang di permukaan air sungai. Kemudian Pendekar Mabuk menyeberangi sungai itu dengan menggunakan daun-daun tersebut sebagai alas pijakan kakinya.
Tab, tab, tab, tab, tab...! Jleeggg...!
Merpati Liar rupanya tak mau kalah ilmu dengan Pendekar Mabuk. Daun-daun bekas pijakan kaki Suto Sinting digunakan sebagai pijakan kakinya, sehingga ia seperti berjalan di atas permukaan air sungai yang tak seberapa deras itu.
Tab, tab, tab, tab...! Jlegg...!
Keduanya kini telah tiba di seberang sungai. Merpati Liar segera naik ke tanggul diikuti oleh Pendekar Mabuk.
Tepat pada saat itu, Suto melihat sekelebat bayangan berlari di sela-sela pepohonan jati.
"Ssstt...! Kita ikuti dia!" bisik Suto Sinting. Merpati Liar kerutkan dahinya memandang bayangan yang berkelebat menjauhi tanggul sungai. Mulutnya sempat menggumam dengan nada menggeram.
"Duta Raja...?! Rupanya dia lebih dulu sampai di sini!
"Ia sudah berhasil menyembuhkan luka pertarungannya denganmu tadi."
"Ya, dan... dan kurasa ia sedang menuju ke Istana Kincir Bantala."
"Apakah ia juga menghendaki Panji-panji Mayat?!"
"Tentu saja, sebab ia berpihak kepada kakak perempuannya; Perawan Titisan Peri! Bukankah Perawan Titisan Peri bernafsu sekali untuk memiliki pusaka itu?"
"Tapi bagaimana ia bisa tahu bahwa pusaka itu ada di Istana Kincir Bantala?!"
*
* *

8
LANGKAH Duta Raja terhenti karena dihadang oleh tokoh yang baru saja menghilang dari penglihatan Merpati Liar. Mau tak mau Pendekar Mabuk menahan gerakan Merpati Liar dan mengajaknya bersembunyi di balik kerimbunan pohon.
"Mau apa si Pawang Setan Binal itu?!" bisik Pendekar Mabuk.
"Tentunya dia punya urusan sendiri dengan Duta Raja. Kita lihat saja sejauh mana Pawang Setan Binal melepaskan kebenciannya kepada Duta Raja."
Pandangan mata yang dingin bagai menusuk tulang membuat Duta Raja menarik napas, ia sadar kali ini ia berhadapan dengan tokoh yang lebih tinggi ilmunya. Namun ia tidak menampakkan rasa takut ataupun gentar sedikit pun. Ia menghadapi Rangkak Dulang dengan sikap tenang.
"Aku terpaksa menghadapmu, Pengkhianat!" ujar Rangkak Dulang menampakkan kebenciannya.
"Aku tak punya urusan lagi denganmu, Rangkak Dulang. Kumohon, jangan menggangguku lagi. Aku sudah cukup berbakti kepadamu selama dua puluh tahun melayanimu dan bersahabat denganmu. Kita tak punya urusan apa-apa lagi."
"Siapa bilang?" gumam Rangkak Dulang. "Sekarang kau memihak kakak perempuanmu; si Perawan Titisan Peri itu. Pasti kau tahu di mana perempuan laknat itu!"
"Bicaralah yang ramah kepadaku, Rangkak Dulang!"
"Persetan dengan keramahan, kau tidak membutuhkan dan aku pun tidak membutuhkannya. Yang kubutuhkan adalah si Kucing Hutan yang rakus darah itu! Di mana dia sekarang?!"
"Untuk apa kau mencari kakakku?!"
"Dia telah merebut kitab pusaka dari tangan Paras Kencani! Kitab itu harus kumiliki!"
"Oh, kurasa kau telah dikelabuhi oleh Paras Kencani. Kakakku tidak memiliki kitab pusaka dan tidak pernah merebutnya dari Paras Kencani. Urusan yang dihadapi Kucing Hutan adalah memiliki pusaka kuno yang bernama Panji-panji Mayat. Aku ditugaskan mencurinya dari istana Kincir Bantala."
"Omong kosong! Pusaka itu sudah tidak ada, hilang entah ke mana!"
"Pusaka itu masih ada!" bantah Duta Raja. "Paras Kencani berhasil dilumpuhkan saat keluar dari kedai bersama pemuda tampan yang kurasa ia adalah murid si Gila Tuak. Kuserahkan Paras Kencani kepada Kucing Hutan yang malam itu berhasil membawa seorang lelaki untuk diambil darahnya. Di tempat kediaman kami, Paras Kencani tak tahan menerima siksaan dari kakakku, sehingga sebelum ia menghembuskan napas terakhir, ia telah menyebutkan di mana pusaka Panji-panji Mayat berada. Karena itu, aku ditugaskan oleh Kucing Hutan untuk mencuri pusaka tersebut yang tersimpan di salah satu kamar rahasia di dalam Istana Kincir Bantala."
"Bualanmu berlebihan, Duta Raja!"
"Aku bicara tentang kenyataan. Aku dan Kucing Hutan tak pernah bicara tentang kitab pusaka. Yang kami bicarakan belakangan ini hanya pusaka Panji-panji Mayat."
Dari persembunyian Suto Sinting menggumam lirih sekali dan berbisik kepada Merpati Liar,
"O, rupanya waktu aku memeriksa di rumah korban pembantain si Kucing Hutan, Duta Raja sempat melumpuhkan Paras Kencani dan menyerahkan kepada Kucing Hutan yang sedang membawa lari lelaki suami korban."
"Dan sekarang Paras Kencani sudah meninggal akibat siksaan keji si Kucing Hutan."
"Tapi dari mana Kucing Hutan mengetahui bahwa Paras Kencani punya rahasia tentang pusaka Panji-panji Mayat itu?"
"Duta Raja berhubungan lama dengan Paras Kencani. Tentunya ia tahu Paras Kencani keturunan dari Gajahloka. Mungkin juga Paras Kencani dulu pernah menceritakan tentang pusaka tersebut kepada Duta Raja, sehingga saat Kucing Hutan membutuhkan pusaka itu, Duta Raja mengorbankan Paras Kencani sebagai kunci rahasia penyimpanan pusaka tersebut. Lagi pula...."
"Ssst...!" potong Suto Sinting. "Ceritanya nanti saja. Sekarang perhatikan kedua orang itu, agaknya Duta Raja bersikeras melawan Rangkak Dulang."
Duta Raja memang masih berdiri tenang dengan tongkat digenggamnya. Tetapi Rangkak Dulang sudah tak bisa menahan kemarahannya. Rangkak Dulang tidak mempercayai keterangan Duta Raja dan tetap mendesak agar Duta Raja menyebutkan di mana Perawan Titisan Peri berada. Sampai akhirnya Duta Raja berkata dengan tegas-tegas.
"Jika kau ingin mengusik kakakku, kau harus melangkahi mayatku lebih dulu, Rangkak Dulang!"
"Biadab mulutmu, Duta Raja!" geram Rangkak Dulang. Matanya memandang semakin tajam dan dingin. Rahangnya kelihatan menggeletuk kuat. Rangkak Dulang mengangkat tangan kirinya dengan jari-jari membentuk cakar terarah kepada Duta Raja.
Wuuutt...! Srraabb...!
Lima larik sinar biru sebesar lidi keluar berkuatan dari tiap ujung kuku tangan tersebut. Duta Raja segera memutar tongkatnya dengan gerakan sangat cepat. Putaran tongkat itu keluarkan cahaya merah lebar yang menjadi perisai datangnya lima sinar biru. Claaapp..!
Blegaaarr...!
Duta Raja terlempar sejauh lima langkah. Tubuhnya terbanting dengan kuat hingga membuat bumi seolah-olah semakin berguncang. Padahal tanpa jatuhnya tubuh itu, bumi pun sudah berguncang akibat ledakan dahsyat tersebut.
Pohon-pohon di sekitar tempat itu menjadi bergetar dan daun-daun berguguran. Rangkak Dulang masih tetap berdiri tegak tanpa bergeser dari tempatnya. Matanya memandang tajam ke arah Duta Raja yang sedang berusaha untuk bangkit.
Namun tiba-tiba tubuh Rangkak Dulang bagaikan menghilang. Zaabb...! Tahu-tahu muncul di samping kiri Duta Raja. Tentu saja kemunculannya sempat membuat Duta Raja terperanjat. Belum habis rasa kagetnya, Duta Raja telah menerima pukulan telapak tangan Rangkak Dulang pada pelipisnya. Plaaakk...! Dueerr...!
Hantaman itu menimbulkan suara ledakan yang membisingkan telinga. Duta Raja terpental lagi dan berguling-guling. Tongkatnya terlepas dari genggaman tangan. Telinganya berdarah, separo wajahnya menjadi hitam menyedihkan. Asap mengepul dari pori-pori kulit wajahnya.
Duta Raja tak bisa bicara, bahkan merintih pun sudah tak mampu. Tubuhnya terkapar dengan bersandar pada sebatang pohon besar. Keadaan itu membuat mulut Duta Raja tampak mengucurkan darah yang berbusa-busa.
Kelopak matanya sudah tak sanggup untuk dibuka lagi, tarikan napasnya tampak tersengal-sengal dan memberat.
Sekalipun demikian, agaknya Rangkak Dulang masih belum puas menghajar lawannya, ia segera melepaskan pukulan tenaga dalam berbentuk sinar merah tak kentara yang keluar dari ujung dua jari tangannya yang disentakkan ke depan.
"Racun 'Inti Mayat'...?!" bisik Pendekar Mabuk dengan tegang.
Namun pada saat sinar sebesar benang itu melesat ke arah dada Duta Raja, tiba-tiba muncul sinar hijau bening menghantam ujung sinar merah tersebut. Claaap...!
Jegaaarr...!
Dentuman dahsyat terdengar kembali. Disusul kemudian dengan kemunculan seorang perempuan cantik seperti masih berusia dua puluh lima tahun.
Matanya biru bening, hidungnya mancung, alisnya tebal rapi, bulu matanya lentik. Rambutnya terurai lepas sepunggung, ia mengenakan kutang tipis penutup dada montoknya berwarna ungu, dilapisi jubah sutera ungu.
"Kucing Hutan datang?!" sentak Pendekar Mabuk dalam nada membisik.
"Saatnya untuk melumpuhkan si Perawan Titisan Peri itu!" geram Merpati Liar. Ia ingin bergerak keluar dari persembunyiannya, tapi ditahan oleh Pendekar Mabuk.
"Biarkan dulu ia berurusan dengan Pawang Setan Binal! Hematlah tenagamu, siapa tahu Perawan Titisan Peri itu hancur di tangan Rangkak Dulang."
Rupanya pada saat terjadi ledakan dahsyat itu, gelombang hentakannya menghantam dada Duta Raja.
Akibatnya, napas yang sepotong itu pun akhirnya lenyap seketika. Duta Raja tak bernyawa lagi di depan kakaknya yang masih tampak muda belia itu.
"Keparat kau, Rangkak Dulang! Kau telah membunuh adikku, harus kau tebus dengan seluruh darah dan dagingmu!"
"Kau pun akan mengalami nasib seperti adikmu, Kucing Hutan. Tapi akan kubebaskan dari murkaku jika kau mau serahkan kitab Lorong Zaman yang kau rampas dari tangan Paras Kencani!"
Pendekar Mabuk terperanjat sekali mendengar nama Kitab Lorong Zaman, sebab ia tahu persis di mana kitab itu berada.
"Kitab Lorong Zaman adalah kitab yang mempelajari ilmu untuk tembus waktu, bisa melompat ke masa lalu dan masa datang," bisik Merpati Liar seakan tak mau ketinggalan pengetahuannya tentang kitab tersebut.
Tapi pikiran mereka tidak tertuju pada kitab itu lagi, karena tampaknya Kucing Hutan tak sanggup menahan murkanya terhadap Rangkak Dulang, ia segera melepaskan serangannya berupa sepasang sinar biru lurus dari kedua matanya. Claaapp ..!
Zaaab...! Rangkak Dulang bagaikan lenyap ditelan bumi. Tahu-tahu ia berada di belakang Kucing Hutan.
Sementara sepasang sinar biru itu menghantam pepohonan dan membuat dua pohon itu hancur menjadi serbuk lembut tanpa suara menggelegar.
Zuuurrb...! Weerrsss...!
"Uuuaaaoooww...!"

Perawan Titisan Peri mengerang setelah lakukan lompatan cepat ke arah sebatang pohon, lalu kakinya menjejak pohon itu dan tubuhnya melesat ke arah lain sambil bersalto. Ketika kakinya mendarat ke tanah, tubuhnya membungkuk dan mengerang seperti seekor kucing murka. Rangkak Dulang sempat dibuat bingung hingga tak jadi melepaskan serangannya.
Wuuub...! Rangkak Dulang berubah menjadi asap, dari kepulan asap itu muncul sinar merah sebesar kelereng. Sinar merah itu bergerak melayang-layang memburu Kucing Hutan menimbulkan cahaya merah kecil bagai ekor bintang jatuh. Wut, wut, wut, wut...!
Sinar merah sebagai ganti perwujudan Rangkak Dulang bergerak mengejar Kucing Hutan.
Slap, Slaaapp...! Kucing Hutan bersalto di udara dan tahu-tahu sudah berada di atas pohon, ia mengerang dengan buas, menampakkan giginya yang bertaring pendek.
"Oooeewww..! Oooeeoooww...!"
Weeess...! Sinar merah mengejar ke atas pohon. Zlab, zlab..! Perawan Titisan Peri itu lenyap dalam sekejap, muncul di pohon lain. Lenyap lagi, dan muncul kembali sudah di tanah. Jleeg...!
Sinar merah bergerak memburunya. Tapi pada saat sinar itu melayang di udara, Perawan Titisan Peri melepaskan pukulan bersinar biru dari telapak tangannya. Claaapp...! Sinar sebesar jari telunjuk Itu menghantam sinar merah tersebut.
Blegaaarr...!
Dentuman dahsyat mengguncang alam sekitar tempat itu. Pohon-pohon tumbang, tanah bagaikan dijungkirbalikkan oleh tangan-tangan raksasa. Sinar merah jelmaan Rangkak Dulang itu pecah dan padam seketika. Dan itulah tanda kematian bagi si Pawang Setan Binal.
Namun amukan alam akibat gelombang ledakan yang dahsyat telah membuat tubuh Merpati Liar terlempar keluar dari persembunyiannya. Suto Sinting pun terjungkal ke semak-semak lain setelah lebih dulu tanah yang dipijaknya menghentak ke atas bagai mengalami ledakan dari kedalamannya.
Brrrukk...! Merpati Liar jatuh terguling di tanah depan Perawan Titisan Peri. Melihat kemunculan Merpati Liar, Perawan Titisan Peri menyeringai sambil mengerang bagaikan kegirangan.

"Ooeeegggrrr...!"
Merpati Liar cepat bangkit dan pasang kuda-kuda. Pisau kembarnya dicabut dari pinggang. Tetapi baru saja pisau itu dicabut, Kucing Hutan sudah menerjang lebih dulu. Wuuutt...! Brrruifbs...! Pisau kembar itu bisa terpental dari kedua tangan Merpati Liar . Sementara itu, tubuh Merpati Liar pun terdorong mundur dan jatuh membentur pohon yang baru saja tumbang.
"Perempuan picisan! Rupanya kau ada di sini untuk menghalangi niatku mendapatkan pusaka itu, hah?!" hardik Perawan Titisan Peri.
Merpati Liar bergegas bangkit dengan penuh waspada. Matanya yang tajam pandangi si Kucing Hutan yang bergerak ke sana-sini di depannya.
"Kau akan mati menelan murkaku jika masih tetap ingin menghalangi niatku! Aku tahu kau murid Parisupit, tapi jangan harap aku merasa gentar dengan murid Parisupit yang bertugas melindungi pusaka Panji-panji Mayat itu! Apa pun jadinya, pusaka itu harus kuperoleh! Siapa yang menghalangiku akan kuhancurkan dan rohnya kukirim ke neraka!"
"Jahanam kau, Kucing Hutan!" geram Merpati Liar.
"Hiaaah...!"
Merpati Liar sentakkan kepalanya bagai ingin melemparkan tubuh Kucing Hutan dengan kekuatan matanya. Tetapi Kucing Hutan diam tak bergerak dengan pandangan mata tetap tertuju pada Merpati Liar.
Perawan Titisan Peri juga sentakkan kepalanya bagai Ingin membuang tubuh Merpati Liar dengan kekuatan pandangan matanya.
"Hiaaahh..!"
Merpati Liar mengokohkan kuda-kuda, menjaga keseimbangan tubuhnya. Tubuh itu hanya merasa bergerak sedikit namun bisa cepat dikuasai. Rupanya si Kucing Hutan juga mempunyai kekuatan melemparkan lawan dengan pandangan mata. Akibatnya kedua perempuan itu saling mengerahkan tenaganya dari jarak enam langkah, tubuh mereka sama-sama gemetar karena berjuang keras menumbangkan lawan.
"Hiaaah...!"
"Hhheeeah...!"
Mereka saling mengerang dengan suara tertahan. Urat-urat leher saling keluar bertonjolan. Wajah mereka menjadi berkulit merah, sama-sama mendelik dengan gigi menyeringai.
"Hentikan! Hentikaaan...!" seru Pendekar Mabuk yang mencemaskan keselamatan Merpati Liar.
Tapi kedua wanita itu bagai tak mendengar seruan tersebut. Mereka masih saling mengerahkan tenaga dan saling serang melalui pandangan mata.
"Sebaiknya kulepaskan jurus 'Jari Guntur'-ku agar Merpati Liar tak kalah tenaga," pikir Suto Sinting.
Namun baru saja ia bersiap ingin menyentil Kucing Hutan dari jarak jauh, tiba-tiba sekelebat bayangan melesat dan menerjang Kucing Hutan dari arah samping kanan. Wuuutt...! Bruuss...!
"Aaahg...!" Kucing Hutan memekik tertahan. Perawan Titisan Peri itu terjungkal dan berguling-guling bagai diterjang sebongkah batu gunung. Namun ia cepat bangkit, tak mempeduiikan rasa sakitnya. Matanya segera memandang orang yang baru datang.
"Kaaau...!" geram Perawan Titisan Peri.
Pendekar Mabuk terperangah dengan mulut ternganga melihat orang yang baru datang itu. Sedangkan Merpati Liar pun agak terkejut sejenak.
Suto Sinting tak berkedip memandangi gadis berambut acak-acakan dengan pakaian hitam yang lekat dengan tubuh, seperti terbuat dari bahan karet. Pedang bergagang hitam disandang di punggungnya. Suto Sinting tak akan lupa dengan wajah cantik berkesan liar dan ganas itu.

"Angin Betina?!" ucap Suto Sinting membuat Merpati Liar terperanjat kembali karena tak menyangka Suto Sinting kenal dengan gadis itu. Merpati Liar tak pernah tahu bahwa Suto cukup lama mengenal Angin Betina sebagai gadis yang tak rela jika Suto Sinting dilukai orang karena perasaan cinta yang ada di dalam hati gadis itu, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Seruling Malaikat").
Tetapi saat itu bukan saat saling membeberkan kisah lama. Karena pada saat itu, Perawan Titisan Peri semakin murka setelah mendapat serangan telak dari Angin Betina. Matanya memandang Angin Betina yang berdiri di depan Merpati Liar seakan menjadi perisai bagi Merpati Liar .
"Laknat busuk kau! Heeeaahh...!"
Kucing Hutan sentakkan kedua tangannya ke depan dan dari kedua telapak tangan itu keluar sepasang sinar besar warna marah membara. Wooosss...!
"Angin Betina, minggir kau!" seru Merpati Liar.
Tetapi Angin Betina tak mau menyingkir, bahkan ia mengerahkan tenaganya dan menyentakkan kedua tangannya juga ke depan, dari telapak tangan keluar sepasang sinar putih perak sebesar kelingking. Claaap...! Sinar putih perak beradu dengan sinar merah besar di pertengahan jarak.
Blegaaarrr...!
Angin Betina terlempar ke belakang menabrak Merpati Liar. Keduanya saling berguling-guling dalam hempasan hawa panas akibat ledakan dahsyat itu.
Sedangkan Perawan Titisan Peri hanya terlempar ke belakang dalam keadaan masih bisa berdiri dan punggungnya membentur potongan batang pohon yang tadi patah akibat guncangan hebat. Beeegh...!
"Kalau aku tak turun tangan, bisa berbahaya kedua perempuan itu!" pikir Suto Sinting yang juga ikut terpental akibat sentakan gelombang ledak tersebut. Ia segera melompat ke pertengahan jarak, menghadap ke arah Perawan Titisan Peri.
Tetapi pada saat itu, Perawan Titisan Peri tampak semakin liar dan ganas, ia menyentakkan kedua tangannya ke langit.
"Heeeaaahhh..!"
Blegaarr...! Kilatan cahaya petir menyambar, langit menjadi redup tertutup mega hitam dalam waktu sangat singkat. Kemudian dari langit turun hujan merah yang mengerikan. Hujan itu adalah hujan bara panas yang dapat membuat kulit hangus ataupun melepuh.
"Aaauh...! Uuuh..! Aaah...!"
Mereka saling terpekik karena tubuhnya dihujani bara panas. Tapi anehnya si Kucing Hutan tidak merasakan panas sedikit pun walau tubuhnya juga terkena hujan bara. Pendekar Mabuk sempat kelabakan menghadapi hujan bara itu. Sambil melompat ke sana-sini ia berusaha menenggak tuaknya untuk menahan rasa panas.
Tiba-tiba dengan hati dongkol, Pendekar Mabuk sentakkan suara dalam keadaan mendongak ke langit.
"Heeeaahh...!"
Jurus 'Napas Tuak Setan' terlepas dari hembusan napas Pendekar Mabuk. Angin badai datang dengan gila-gilaan. Untung arahnya ke langit, sehingga hujan bara itu bagai dipindahkan ke arah lain dalam waktu sangat singkat. Gelegar suara guntur bersahutan membuat langit bagai mau pecah.
Kucing Hutan terperangah melihat hujan bara buatannya berhasil disingkirkan oleh Pendekar Mabuk. Dengan sangat murka ia segera mencabut pisau garpunya sebagai senjata berbahaya yang mengandung racun ganas.
"Keparat kau! Terimalah pisau ini sekarang juga, hiaaah...!"
Tangan Pendekar Mabuk tiba-tiba menghentak ke depan dalam keadaan miring, napas terhembus dalam satu sentakan melalui hidung. Fuihh..!
Clap, clap, clap, clap...!
Cahaya perak berbentuk bintang kecil-kecil keluar dari telapak tangan Pendekar Mabuk. Cahaya perak itu tak bisa dilihat jika bukan oleh mata orang berilmu tinggi.
Bintang-bintang itu menghantam dada Perawan Titisan Peri secara beruntun. Zuurrt, Kemudian perempuan itu diam tak bergerak bagaikan patung.
Pendekar Mabuk telah mempergunakan jurus 'Yudha' pemberian Ratu Kartika Wangi, ibu dari Dyah Sariningrum, calon istrinya itu. Akibatnya, satu demi satu tubuh Kucing Hutan terpotong dengan sendirinya.
Ruas demi ruas bagian tubuh itu berjatuhan sampai akhirnya Perawan Titisan Peri itu menjadi setumpuk potongan tubuh yang tak bisa disambung sambung lagi.
"Akhirnya ia mati dengan jurus 'Yudha'-ku juga!" gumam hati Pendekar Mabuk sambil menghempaskan napas kelegaan. Kejap berikutnya, ia segera hampiri Merpati Liar dan Angin Betina yang mengalami luka bakar karena hujan bara tadi. Mereka segera diberi minum tuak, sehingga dalam waktu singkat luka bakar itu hilang, rasa panas pun sirna.
"Angin Betina... bagaimana mungkin kau bisa tahu aku berada di sini?!" tanya Pendekar Mabuk dalam keheranannya.
"Aku diutus oleh Resi Wulung Gading untuk menemui Sunggarini agar membatalkan sayembaranya itu," jawab Angin Betina dengan nada tegas. Sesekali ia melirik Merpati Liar yang ada di samping kirinya. Katanya lagi, "Heboh pusaka Panji-panji Mayat sampai ke telinga Resi Wulung Gading. Walau sebenarnya dari dulu aku memburu pusaka itu, tapi setelah mendapat penjelasan dari Resi Wulung Gading, niatku untuk memiliki pusaka itu menjadi kubatal kan."
"Apa alasan Resi Wulung Gading menyuruh Sunggarini membatalkan sayembaranya?"
"Takut pusaka kuno itu semakin banyak yang memburu untuk menghidupkan mendiang Prabu Dasawalatama. Padahal pusaka Panji-panji Mayat yang ada di tangan Batuk Maragam telah diserahkan kepada Resi Wulung Gading dan sekarang sudah diterima oleh Dewi Hening, sebagai pewaris pusaka yang sebenarnya."
"O, jadi pusaka itu sebenarnya ada di tangan Batuk Maragam?"
"Betul. Sedangkan yang disimpan oleh Prabu Dasawalatama adalah tiruannya, untuk mengecohkan para pemburu pusaka seperti si Perawan Titisan Peri itu."
"Hmmm...!" Suto Sinting manggut-manggut. "Tapi...tapi ada satu masalah lagi yang belum kuketahui. Kucing Hutan, Rangkak Dulang, dan Paras Kencani memperebutkan sebuah kitab pusaka yang bernama Kitab Lorong Zaman. Padahal setahuku kitab itu ada di tanganmu. Apakah benar kitab itu dicuri oleh Paras Kencani?!"
"Hanya tiruannya juga yang dicuri Paras Kencani beberapa waktu yang lalu."
"Ooo... hanya kitab tiruannya?!"
"Kitab yang asli kusimpan di suatu tempat setelah isinya selesai kupelajari," kata Angin Betina.
"Hei, tunggu sebentar...!" sela Merpati Liar. "Sejak kapan kalian saling kenal sehingga ngobrol seenaknya sendiri begitu hah?"
"Cukup lama," jawab Pendekar Mabuk. "Dan kau sendiri, sejak kapan mengenal Angin Betina, sahabat eratku ini?!"
Merpati Liar menjawab, "Dia adikku...!"
"Hahh...?!" Pendekar Mabuk memandang dengan mata melebar.
Angin Betina berkata kepada kakaknya, "Suto adalah kekasihku!"
"Haahh...?!" kini Merpati Liar yang membelalakkan mata, lalu menatap Suto Sinting dengan tak berkedip.
Hal itu membuat Angin Betina hanya bisa berkerut dahi memandangi kakaknya dengan perasaan heran, ia tak tahu bahwa kakaknya pun terpikat oleh ketampanan Suto Sinting yang hanya terpendam dalam hati
SELESAI

PENDEKAR MABUK

Segera terbit!!!
DENDAM SELIR MALAM
Pembuat E-book:
DJVU & E-book (pdf): Abu Keisel
Edit: Paulustjing
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
convert txt : http://www.mardias.mywapblog.com