Pendekar Mabuk 57 - Misteri Bayangan Ungu(2)

4
SETELAH mendengar cerita dari Suto Sinting
tentang Kejora dan pusaka Panji-panji Agung, akhirnya
Sumbaruni dapat memaklumi tuduhan Suto Sinting
terhadap dirinya. Dengan kesungguhan sikap,
Sumbaruni mengaku bahwa dia sama sekali tidak
mengenal Kejora dan bukan penculik gadis itu.

"Setelah kau ceritakan tentang Nyai Parisupit, barulah
aku ingat bahwa Jaima Dupi mempunyai lima anak
perempuan semua. Tapi aku tak hafal nama mereka satu
persatu."
"Dan tentunya kau juga tahu banyak tentang Panji-


panji Agung itu, bukan?"
"Mungkin tak terlalu banyak," jawab Sumbaruni
merendah diri. "Yang kutahu hanyalah, Panji-panji
Mayat adalah sebuah bendera pusaka milik Eyang Resi
Demang Sudra. Almarhum adalah guru dari Sabang
Wirata dan Kurupati. Panji-panji itu bisa bangkitkan
orang mati. Pemiliknya bisa sedot ilmu yang dimiliki
mayat semasa hidupnya jika orang tersebut tahu cara
menggunakan panji-panji itu. Semua mayat tunduk
kepada pemegang pusaka Panji-panji Agung, sehingga ia
bisa memiliki sejumlah prajurit yang terdiri dari para
mayat hidup."
"Cukup sakti juga pusaka itu," gumam Suto Sinting.
"Tapi tidak semua orang yang memegang atau
memiliki Panji-panji Mayat dapat pergunakan panji-
panji itu untuk menyedot ilmu para mayat semasa
hidupnya. Hanya beberapa orang saja yang tahu tentang
cara tersebut. Bahkan Jaima Dupi dan Sang Ratri sendiri
tak mendapat penjelasan dari Nyai Parisupit tentang cara
menggunakan panji-panji untuk menyedot ilmu mayat
semasa hidupnya."
"Apakah kau tahu caranya?"
"Tidak. Tapi aku tahu beberapa orang yang
mengetahui tentang cara menyedot ilmu mayat dengan
menggunakan panji-panji itu. Orang-orang yang
mengetahuinya antara lain; Ki Gendeng Sekarat serta
kedua gurumu; Gila Tuak dan Bidadari Jalang."
"Ki Gendeng Sekarat...?! Hmmm... pantas ia pernah
punya pasukan mayat sebelum  ia kembali menjadi


pelayan calon istriku; Dyah Sariningrum, Ratu Negeri
Gerbang Surgawi di Putau Serindu?!" pikir Suto Sinting
sambil membayangkan sesosok tubuh agak gemuk yang
gemar mengenakan pakaian merah dan bisa bertarung
dalam keadaan tertidur nyenyak, (Baca serial  Pendekar
Mabuk dalam episode: "Prahara Pulau Mayat").
"Tapi perlu kau ingat, Suto...," ujar Sumbaruni, si
tokoh tua yang masih tampak muda dan cantik itu.
"Beberapa waktu yang lalu, pernah terjadi heboh pusaka
Panji-panji Agung yang sampai membuat beberapa
tokoh kalangan atas turun tangan. Peristiwa  itu terjadi
sekitar tiga puluh tahun yang lalu...."
"Aku belum lahir," sela Suto Sinting
Sumbaruni lanjutkan ucapannya, "Nyai Parisupit
segera bersekongkol dengan seseorang untuk membuat
tiruan bendera Panji-panji Mayat atau Panji-panji Agung
itu. Jadi yang perlu kau pertimbangkan, apakah Panji-
panji Mayat yang dititipkan kepada Resi Badranaya itu
adalah  yang  asli? Siapa tahu Nyai Parisupit kala itu
menitipkan Panji-panji Mayat yang palsu kepada Resi
Badranaya?!"
"Wah, semakin rumit masalahnya jika begitu," ujar
Suto Sinting. "Paling tidak aku harus mempelajari Panji-
panji Mayat yang asli dan mengetahui yang palsu adalah
yang bagaimana."
"Itulah kesulitanmu. Karenanya aku ingin sarankan
padamu agar mundur dari persoalan itu. Kau akan dibuat
pusing sendiri oleh keaslian pusaka tersebut. Lebih baik
kau mengurus masalah  lain, sebab masalah itu sudah


dianggap masalah  kuno oleh para tokoh persilatan
kalangan atas."
"Tapi bagaimana dengan Kejora?! Kejora diculik
orang, dan Kejora adalah  keturunan dari Sang Ratri.
Padahal perempuan yang bernama Sang Ratri adalah
mantan prajurit Puri Gerbang Surgawi di alam gaib yang
dikuasai oleh calon  mertuaku; Ratu Kartika Wangi.
Sedangkan aku adalah  Manggala Yudha Kinasih dari
negeri Puri Gerbang Surgawi di alam gaib itu. Lalu apa
kata ibu Ratu Kartika Wangi jika aku hanya tinggal diam
menghadapi kematian mantan prajuritku itu? Bisa-bisa
aku dipecat tak jadi calon menantunya!"
"Bicaralah yang baik, jangan singgung-singgung soal
kekasihmu; Dyah Sariningrum dan keluarganya. Bisa-
bisa kalau aku tak sabar mulutmu akan kurobek dengan
pedangku, Suto!" ujar Sumbaruni dengan nada cemburu.
Pendekar Mabuk nyengir takut, ia sadar bahwa
Sumbaruni adalah lawan  berat bagi Dyah Sariningrum
dalam urusan cinta. Sumbaruni mencintai Suto Sinting,
dan Suto Sinting sudah menjadi calon suami dari anak
Ratu Kartika Wangi, yaitu Gusti Mahkota Sejati yang
bernama  asli  Dyah Sariningrum. Tentu saja
kecemburuan Sumbaruni akan terbakar jika Suto Sinting
banyak bicara tentang kekasihnya.
Cinta Sumbaruni kepada Pendekar Mabuk sungguh
besar, sehingga perempuan itu sempat punya rencana
untuk menantang pertarungan nyawa dengan Dyah
Sariningrum. Namun rencana itu sampai sekarang belum
sempat terlaksana karena Sumbaruni terlalu  banyak


punya urusan di rimba persilatan.
"Suatu saat aku pasti akan menantang Dyah
Sariningrum untuk menentukan siapa yang berhak
memilikimu, Suto!" ujar Sumbaruni yang  tidak terlalu
digapai oleh Pendekar Mabuk.
"Kalau begitu aku harus tetap menuju ke Biara Ungu
untuk bebaskan Kejora."
"Apakah kau yakin bahwa Kejora ada di Biara
Ungu?! Buktinya kau sudah salah  duga dengan
menyangkaku sebagai penculik Kejora, hanya gara-gara
aku mengenakan pakaian serba ungu. Padahal yang
namanya Nyi Mas Gandrung Arum itu tidak
mengenakan pakaian ungu, walaupun biaranya adalah
Biara Ungu."
"Kalau  begitu, aku harus bagaimana menghadapi
masalah ini, Sumbaruni?!"
"Temuilah gurumu dan tanyakan  ciri-ciri pusaka
Panji-panji Mayat yang asli, dan tanyakan di mana letak
perbedaannya antara yang asli dengan yang tiruan!"
"Baiklah, tapi setidaknya aku perlu menemui Nyi
Mas Gandrung Arum untuk membicarakan tentang
Kejora. Setelah  itu aku akan temui Guru untuk
membicarakan pusaka pembangkit mayat itu."
"Terserah langkahmu. Yang jelas aku akan merawat
anakku; Logo, yang habis terkena racunnya si Peluh
Setanggi. Untung aku bisa menyedot keluar racun itu,
jika tidak maka anakku bukan saja akan menderita luka
namun juga akan mati direnggut racun 'Lidah Malaikat'
milik si Peluh Setanggi!"


Sumbaruni mendekati Suto Sinting, berdiri di
depannya persis dalam  jarak kurang dari satu langkah.
Pemuda tampan itu dipandanginya dengan sorot
pandangan mata penuh pribadi. Guratan kedongkolannya
mulai  sirna, berubah rona lembut bermata sayu.
Pendekar Mabuk juga menatapnya dengan sunggingkan
senyum tipis menawan.
"Apakah kau kecewa jika aku tak membantumu
dalam membebaskan Kejora?!"     
Pendekar Mabuk gelengkan  kepala  dengan  lembut.
Lalu berucap dengan lirih, "Aku mampu tangani sendiri
masalah ini, Sumbaruni."
"Kalau  begitu aku harus segera pergi, kita berpisah
dulu, Suto," ucap Sumbaruni bersuara bisik, tangannya
meraba pipi Suto Sinting dengan mesra. Pemuda tampan
itu hanya anggukkan kepala samar-samar.
"Kau tak ingin... tak ingin menciumku?"
Pendekar Mabuk lebarkan senyum geli dan gelengkan
kepala.
Sumbaruni menarik napas menyimpan rasa kecewa.
Tapi ia segera berkata dengan suara lirihnya,
"Baiklah, kalau memang kau tak mau menciumku tak
apa, aku yang akan menciummu...."
Cuup...! Dengan gerakan cepat bibir Sumbaruni
mengecup pipi Suto Sinting. Gerakan cepat itu sukar
dihindari oleh Suto Sinting, bahkan ditangkis pun sulit.
Mau tak mau pipi itu terkena jurus kasmaran Sumbaruni
yang menghangat sampai ke dasar hati. Sumbaruni pun
menarik diri secepatnya, kemudian melesat  pergi tanpa


pamit lagi. Weeess...!
Pendekar Mabuk geleng-geleng  kepala  pandangi
kepergian Sumbaruni sambil mengusap-usap pipi yang
habis terkena jurus ciuman itu. Suaranya terdengar
menggumam  lirih  dengan senyum masih mengembang
samar-samar.
"Dasar perempuan... tidak diberi malah nyolong!
Hmmm... awas kau, lain  waktu akan kubalas dengan
lebih nakal lagi!"
Sinar matahari menyorot tajam ke permukaan bumi.
Pendekar Mabuk bergegas menyusuri pantai, karena dari
situ tampak jelas  Bukit Esa yang tak jauh dari pantai.
Setidaknya jarak itu lebih mudah ditempuh ketimbang
melewati hutan belantara.
Gugusan karang yang membukit di pantai itu
membentang bagai menghalangi langkah Pendekar
Mabuk, ia terpaksa harus mendaki bukit karang yang tak
seberapa tinggi untuk pencapai dataran pantai
seberangnya.
Tapi tiba-tiba langkahnya yang ingin mendaki
tertahan oleh suara ledakan menggelegar di dalam hutan.
Blegerrr...!
Getaran daya ledak  itu sampai terasa ke tanah yang
dipijak Pendekar Mabuk. Rasa ingin tahu membuat
Pendekar Mabuk akhirnya belokkan arah dan menerabas
hutan belantara untuk melihat  pertarungan yang terjadi
di sana.
"Pasti pertarungan itu sangat seru, suara ledakannya
sampai terasa menggetarkan tanah sekitar sini! Hmmm...


siapa kira-kira yang lakukan pertarungan itu?!" pikir
Suto sambil memperhatikan kepulan asap di kejauhan
sana dan ia segera memburu ke arah kepulan asap itu.
Zlappp, zlappp..!
Dalam sekejap saja Pendekar Mabuk telah sampai di
suatu tempat menyerupai danau yang cukup lebar.
Danau itu berair hijau buram dengan garis tengah
lingkaran lebih dari dua puluh langkah. Di bagian tengah
danau terdapat beberapa tonjolan batu yang mencuat dari
kedalaman air danau. Seseorang yang ingin mencapai ke
pertengahan danau harus mampu melakukan lompatan-
lompatan yang tepat pada pucuk-pucuk bebatuan. Jarak
dari batu ke batu cukup lebar, tak bisa dilakukan hanya
sekedar dengan melangkah biasa.
Dan di atas batu-batu di pertengahan danau itu,
tampak tiga orang sedang mengadu kesaktian mereka.
Pendekar Mabuk mengintai dari atas pohon, dan merasa
kaget melihat  salah satu dari ketiga orang tersebut.
Orang itu berpakaian model biksu warna putih, rambut
putih tipis berkesan botak, jenggotnya agak panjang
berwarna putih, menandakan usianya sekitar delapan
puluh tahun. Tubuhnya agak gemuk, namun gerakannya
masih kelihatan lincah. Pendekar Mabuk tak asing lagi
dengan tokoh tua yang dikenal dengan nama Resi Pakar
Pantun itu.
Tetapi yang membuat Pendekar Mabuk lebih heran
lagi adalah kedua lawan Resi Pakar Pantun. Tokoh tua
itu bertarung melawan dua gadis berjubah ungu
mengenakan kutang hijau bersulam benang emas, talinya


dari rantai kuning emas yang melingkar ke belakang.
Pakaian bawahnya hijau berbelahan empat yang mudah
tersingkap sampai batas pinggang jika dipakai untuk
menendang, sehingga kemulusan kulit paha kedua gadis
itu akan terlihat jelas. Keduanya sama-sama
menyandang pedang di pinggang. Keduanya sama-sama
berambut lebat ikal terurai mekar. Keduanya sama-sama
pula mempunyai wajah serupa dengan Peluh Setanggi.
"Jangan-jangan salah satu dari kedua gadis itu adalah
Peluh  Setanggi?!" pikir Suto Sinting, namun ia segera
merasa kewalahan membedakan yang mana Peluh
Setanggi dan yang mana saudara kembarnya.
Resi Pakar Pantun tampak mulai  terdesak karena
kedua gadis itu sama-sama mencabut pedangnya.
Mereka menyerang bersama dalam satu lompatan
menyerupai dua pasang burung terbang. Wuuuttt...!
Pedang mereka dikibaskan dari kanan-kiri ke arah
dada Resi Pakar Pantun. Weesss...!
Hampir saja Resi Pakar Pantun terkena tebasan
pedang mereka kalau  tak cepat menghindar dengan
bersaito ke belakang dan kakinya tepat menapak pada
sebuah batu runcing. Tebb...! ia pergunakan ilmu
peringan tubuhnya hingga dapat  berdiri di atas batu
seruncing tombak itu. Hanya dengan satu kaki menapak,
Resi Pakar Pantun segera lepaskan pukulan  bertenaga
dalam  dari kedua tangan yang disentakkan ke depan.
Wuuttt...!
Clap, clap...! Dua sinar merah berbentuk piringan
melayang cepat menghantam dua gadis yang sedang


turun dari lompatannya. Yang sebelah kiri sempat
menahan sinar merah itu dengan melepaskan sinar biru
lebar dari tangan kirinya. Blaaarrr...! Tapi yang sebelah
kanan masih mampu berkelit dengan meliukkan
tubuhnya, hingga sinar merah Resi Pakar Pantun melesat
jauh dan menghantam pohon di daratan. Jlegarrr...!
Gadis yang lolos dari serangan sinar merah segera
menapakkan kakinya di atas sebongkah batu lebih
rendah dari batu yang dipakai berpijak Resi Pakar
Pantun. Tetapi gadis yang mengadu kekuatan tenaga
dalamnya dengan melepas sinar biru itu terpental ke
belakang,  hilang  keseimbangan badannya. Akhirnya
ketika kakinya ingin berpijak pada salah  satu batu, ia
tergelincir jatuh.
"Aaahh...!"
"Ambar...?!" seru gadis yang satunya dengan tegang
sekali.
Byuurr...! Gadis yang rupanya bernama Ambar itu
jatuh ke danau. Pendekar Mabuk memandang dengan
mata terbelalak penuh keheranan. Tubuh yang jatuh ke
danau segera hangus seketika, seperti besi panas masuk
ke dalam air.
Jrrooss...! Wuuusss...!
Asap mengepul putih membubung tinggi, lenyap
dalam sekejap. Tubuh yang jatuh ke perairan danau itu
segera menjadi tulang belulang yang berwarna hitam
arang. Kemudian tenggelam perlahan-lahan dengan sisa
asap yang semakin menipis dan segera lenyap.
"Gila!" gumam Suto Sinting berwajah tegang.


"Rupanya air danau itu sangat berbahaya. Ganasnya
melebihi lahar panas sebuah gunung berapi?! Uuh...
untung aku tidak gegabah bermain air itu!"
Gadis itu memekik dengan berang. "Jahanaaam...!
Kau bunuh adikku dengan keji, Manusia bejat! Kubalas
kau sekarang juga, hheeeaaah...!"
Wuuut...! Tubuh gadis itu berkelebat cepat menerjang
Resi Pakar Pantun dengan pedang ditebas-tebaskan
membabi buta. Resi Pakar Pantun sentakkan kaki dan
tahu-tahu sudah ada di batu lainnya. Wees...! Si gadis
tak sempat berhenti bergerak. Kakinya menyentak ujung
batu dan tubuhnya  melesat  ke arah Resi Pakar Pantun
berada.
"Hiaaah...!"
Wuuuss...! Bet, bet, bet, bet...!
Pedang ditebas-tebaskan hingga memancarkan
kilatan-kilatan sinar biru bagaikan lidah petir. Resi Pakar
Pantun hanya diam saja. Kedua tangannya saling
bertemu di dada. Mata terpejam, kepala tetap tegak.
Kilatan cahaya biru itu menyambarnya secara bertubi-
tubi.
Duaar, duaar... blaaarr...!
Tubuh sang Resi masih utuh. Seakan sinar-sinar biru
itu meledak  dengan sendirinya sebelum menyentuh
tubuh sang Resi.
Namun ketika tubuh si gadis mendekatinya dengan
pedang menebas berserabutan, kedua tangan sang Resi
menyentak membuka dengan suara pekik terlontar dari
mulutnya.


"Heeeah...!"
Claaap...! .
Sinar merah menyebar lebar menghantam tubuh gadis
yang melayang. Zeebb...!
"Uuhhg...!" gadis itu memekik tertahan, tubuhnya
terlempar dan berguling-guling di udara bagai segumpal
kapas disapu badai. Tubuh itu akhirnya jatuh di daratan
tepi danau, tepat di  bawah pohon yang dipakai Suto
Sinting untuk mengintai pertarungan itu. Brrrukkk...!
"Ooaaahg...!" mulut si gadis langsung semburkan
darah segar dengan tubuh kelojotan bagai dipanggang
api.
Suto Sinting yang tepat ada di dahan atas gadis itu
melihat jelas keadaan si gadis yang amat menyedihkan.
Rasa tak tega membuat Suto Sinting akhirnya turun dari
atas pohon. Wuuutt...! Tepat pada saat itu Resi Pakar
Pantun melompat dari tengah danau dengan kaki
menyentak di ujung-ujung batu. Teb, teb, teb...! Wuuttt,
jleeg...!
"Suto...?!" tegurnya penuh keheranan.
Suto Sinting tak sempat membalas teguran sang Resi
karena ia ingin buru-buru menolong gadis itu. Namun
baru saja ia merunduk, gadis itu telah hembuskan napas
terakhir dan tak berkutik selamanya.
"Yaaah... lewat!" keluh Suto Sinting bernada kecewa.
Matanya terpaku memandangi dada si gadis yang bertato
gambar mawar. Dalam hatinya pun segera berkata,
"Kalau begitu dia bukan si Peluh  Setanggi, karena
tatonya bukan bergambar naga. Tapi... wajahnya serupa


betul dengan Peluh Setanggi?!"
Resi Pakar Pantun melangkah lebih mendekat lagi.
Saat  itulah Pendekar Mabuk bangkit dari jongkoknya
dan memandang sang Resi yang cengar-cengir
kepadanya.
"Badak bunting rambutnya poni, 
badak jantan enggak dikebiri. 
Tak kusangka bertemu di sini, 
melihat gadis mati berseri."       
Sang Resi langsung berpantun karena memang
kesukaannya bertutur lewat pantun, ia mampu menyusun
dalam waktu singkat, sehingga layak menamakan diri
sebagai Resi Pakar Pantun.
"Mengapa kau bunuh kedua gadis kembar ini, Resi?!"
tanya Suto Sinting bernada kurang setuju atas tingkah
sang Resi sebagai tokoh aliran putih yang sudah cukup
akrab dengannya itu. Bahkan si Gila Tuak, gurunya Suto
Sinting, kenal  baik dengan Resi Pakar Pantun.
Semestinya sang Resi tidak mudah mencabut nyawa dua
gadis itu mengingat ilmu mereka masih jauh di bawah
kesaktian sang Resi. Tapi rupanya sang Resi punya
alasan tersendiri atas tindakannya yang sepintas tampak
kejam itu.
"Badak bunting minum tuak segentong penuh,
 penyakit panu dan kadas langsung sembuh. 
Tak sengaja hasrat hati ingin membunuh, 
semata-mata hanya lindungi jiwa dan tubuh."
Pendekar Mabuk tarik napas satu kali, pandangi
danau berair hijau buram yang menyerupai sang maut


menanti tumbal itu. Kejap berikutnya ia ajukan tanya
kembali kepada Resi Pakar Pantun,
"Persoalan apakah yang membuat mereka
menyerangmu seganas itu? Kulihat mereka sangat
bernafsu ingin membunuhmu."
"Badak bunting disangka buah delima,
hinggap di pohon disangka buaya.
Pembalasan menjadi pangkal dendam lama,
ayahnya mati kugempur kepalanya."
Sang Resi menyeringai bagai banggakan diri, tapi
Pendekar Mabuk gelengkan kepala berkali-kali. Merasa
heran melihat sang Resi bicara tentang pembunuhannya
dengan ringan bagai merasa tak berdosa. Hal itu
membuat Pendekar Mabuk semakin ingin tahu.
"Mengapa kau membunuh ayah mereka?"
Kini sang Resi menjawab tanpa pantun, "Dumpak
Roga, ayah mereka adalah pembunuh bayaran yang tak
kenal teman, tak kenal saudara. Siapa pun yang
mengupahnya untuk membunuh seseorang, biar adik
kandung sendiri tetap akan dibunuhnya asal besar upah
sesuai keinginannya. Dumpak Roga adalah tokoh aliran
hitam yang dibenci sesama aliran hitam, namun tidak
disukai oleh tokoh aliran putih. Aku bertarung
dengannya untuk mempertahankan sebuah pusaka
titipan, dan dalam pertarungan itu Dumpak Roga nyaris
membunuhku. Untung aku punya sisa kesaktian yang
nyaris kulupakan, maka kuhantam ia dengan jurus
lamaku itu, dan... kepalanya hancur tak sempat
kupunguti lagi."


Pendekar Mabuk pandangi wajah mayat si gadis.
Kemudian terlontar pertanyaan yang sejak tadi mengusik
batinnya,
"Apakah mereka ada hubungan saudara dengan
seorang gadis yang bernama Peluh Setanggi?!"
"Tentu ada, sebab Peluh Setanggi adalah kakak tertua
dari kesembilan adik kembarnya."
"Hahh...?! Sembilan kembar?!" Suto Sinting terkejut.
"Sepuluh," ulang Resi Pakar Pantun. "Dumpak Roga
mempunyai istri perempuan Pulau Godot yang rata-rata
bertubuh tinggi besar itu. Ia melahirkan anak kembar
sepuluh, yang dianggap anak sulung adalah Peluh
Setanggi, karena ia bayi yang lahir pertama. Habis
melahirkan bayi kembar sepuluh sang Ibu langsung tak
mau bernapas lagi sampai sekarang, alias mati."
"Hmmm...." Pendekar Mabuk manggut-manggut
penuh perasaan kagum mendengar perempuan
melahirkan bayi kembar sepuluh.
"Kini anak Dumpak Roga selalu memburuku. Kapan
saja kami bertemu mereka selalu berusaha membunuhku
sebagai curahan dendam, membalas kematian ayah
mereka. Selama ini aku selalu menghindar, karena gadis-
gadis itu tidak berdosa dan tidak tahu mengapa aku
harus membunuh ayah mereka. Tapi kali ini, agaknya
aku tak bisa menghindar diri dan terpaksa bertahan.
Kalau aku tak menyerang mereka, aku bisa mati jatuh ke
dalam air Danau Maut."
"Air danau itu tampaknya tenang namun mampu
membakar tubuh manusia secepat itu? Baru sekarang


kulihat ada danau pemakan manusia."
"Namanya Danau Maut, airnya adalah air beracun
yang tak bisa disentuh dengan benda apa pun. Kau lihat
ketika gadis itu melayang kemari dan pedangnya jatuh
ke permukaan air danau, pedang itu langsung menjadi
arang, bukan?! Hanya batu dan tanah yang tak bisa
hangus terkena air Danau Maut."
"Mengapa kau sampai bertarung di atas bebatuan
tengah danau itu?!"
"Tak sengaja. Aku hanya menghindari mereka, tapi
mereka mengejarku. Padahal tujuanku hanya mencari
pelayanku; si Kadal Ginting."
"Oh, ya... aku bertemu dengan Kadal Ginting. Dia
kusuruh menemuimu di Hutan Rawa Kotek, karena
kusangka kau masih ada di pondok Nini Kalong, Resi."
"Aku hanya sebentar di sana, tak boleh bermalam,"
ujar sang Resi dengan wajah melentur kecewa.
"Mengapa tak diizinkan bermalam di sana?"
"Nini Kolong takut hamil."
Suto Sinting tertawa agak keras.
"Padahal... padahal aku sudah tidak mampu lakukan
kewajibanku sebagai lelaki. Tapi  dia masih curiga,
kusuruh membuktikan tak mau juga. Akhirnya aku harus
pergi dari pondoknya sebelum malam tiba."
"Kasihan..,," gumam Suto Sinting sambil  tertawa
cekikikan. Wajah sendu sang Resi tampak lucu,
jenggotnya diusap-usap dengan gerakan lamban.
"Badak bunting main yoyo di bawah mega."
Suto Sinting bertanya sambil tersenyum geli, "Apa


artinya, Resi?"
"Sudah tahu semangatku loyo, eh... masih dicurigai
juga." 
Tawa pun terlepas walau tak keras. Pendekar Mabuk
geleng-geleng kepala sendiri pada saat tawanya mereda,
ia  segera menenggak tuak beberapa teguk, setelah itu
baru teringat sesuatu dan segera ditanyakan kepada sang
Resi.
"Katamu tadi, kau bertarung dengan Dumpak Roga
karena mempertahankan pusaka titipan?"
"Benar. Seorang sahabat lama menitipkan pusaka itu
padaku agar terhindar dari jamahan tangan-tangan
murka. Mau tak  mau harus kupertahankan walau
terpaksa bertaruh nyawa dengan si Dumpak Roga!"
Hati Suto Sinting berdebar-debar, dahinya berkerut
tajam memandangi Resi Pakar Pantun yang agaknya
berbicara dengan sungguh-sungguh.
"Pusaka apa itu, Resi?!"
"Pusaka kuno," jawab sang Resi mulai tampak malas
melanjutkan percakapan tentang masa lalunya. Tapi
Pendekar Mabuk menjadi sangat penasaran dan
jantungnya berdetak-detak.
"Apa nama pusaka itu, Resi? Katakanlah namanya!"
cecar Pendekar Mabuk tampak tak sabar lagi.
"Namanya... namanya Panji-panji Mayat."
"Oooh...?!" Suto terpekik tegang. "Ja... jadi pusaka itu
ada padamu, Resi?!"
Resi Pakar Pantun hanya menatap dengan mata
sedikit mengecil menampakkan keheranannya melihat


Suto Sinting setegang itu.
*
* *


5
PENDEKAR Mabuk terpaksa menceritakan segala
sesuatunya tentang persoalan pusaka Panji-panji Agung
itu. Resi Pakar Pantun baru paham apa yang dimaksud
Suto Sinting setelah mendengar cerita perjalanan anak
muda itu dari awal sampai akhir. Tokoh tua tersebut
akhirnya manggut-manggut sambil menggumam
panjang. Mereka bicara sambil meninggalkan Danau
Maut, setelah memakamkan Jenazah gadis bertato
mawar secara alakadarnya.
"Peristiwa pertarunganku dengan Dumpak Roga
adalah  peristiwa beberapa tahun yang lalu," ujar Resi
Pakar Pantun.  "Jadi sekarang Panji-panji Mayat sudah
tidak ada di tanganku lagi." 
"Ada di mana sekarang?" 
"Kuserahkan kembali kepada Nyai Parisupit.
Barangkali setelah itu pusaka dititipkan oleh Nyai
Parisupit kepada si Resi Badranaya."
Suto diam sejenak. Hatinya sedikit kecewa
mendengar pusaka itu sudah tidak di tangan Resi Pakar
Pantun. Padahal ia berharap pusaka itu tetap ada di
tangan Resi Pakar Pantun, sehingga tidak sulit-sulit lagi
menentukan di mana sebenarnya pusaka itu tersimpan.
"Kalau begitu, benar apa kata Darah Prabu, bahwa


pusaka itu telah dicuri oleh Peluh Setanggi atas perintah
Nyi Mas Gandrung Arum," ujar Suto Sinting seperti
bicara pada dirinya sendiri.
"Tapi mestinya Nyi Mas Gandrung Arum tidak berani
melakukan hal itu."
"Mengapa mestinya tidak berani?"
"Karena Nyi Mas Gandrung Arum adalah satu-
satunya tokoh perempuan sakti yang tidak boleh
memegang atau memiliki pusaka orang lain. Dia telah
disumpah oleh gurunya untuk tidak memiliki pusaka
orang lain, kecuali pusaka warisan dari leluhurnya dan
dari gurunya sendiri."
"Hmmm...." Suto Sinting manggut-manggut lagi.
"Mungkin... mungkin Nyi Mas Gandrung Arum adalah
murid dari Eyang Resi Demang Sudra? Atau mungkin
juga Nyi Mas Gandrung Arum muridnya Eyang Sabang
Wirata?!"
Ahli Pantun itu menggeleng. "Nyi Mas Gandrung
Arum bukan muridnya Resi Demang Sudra, juga bukan
muridnya Sabang Wirata. Dia mempunyai seorang guru
yang dikenal cukup sakti dan disegani di dunia
persilatan, namanya: Begawan Banjar Toya. Mendiang
Begawan Banjar Toya itu pamanku sendiri, dan
beberapa  ilmunya diturunkan padaku, tapi aku bukan
muridnya. Aku punya guru sendiri."
"Ooo...," sekali lagi Suto Sinting menggumam sambil
manggut-manggut.
"Dulu aku pernah mau diangkat murid Paman Banjar
Toya, tapi aku tidak mau disuruh agar tidak memegang


atau memiliki pusaka orang lain; kecuali pusaka dari
leluhurku dan dari Paman sendiri. Aku tidak mau
disumpah begitu, sebab kalau aku melanggar sumpah,
maka aku akan menemui ajal dalam tujuh hari setelah
memegang atau memiliki pusaka orang lain. Tiga orang
murid Paman Banjar Toya bersedia menerima sumpah
itu, salah satunya adalah Nyi Mas Gandrung Arum yang
usianya memang lebih tua dariku. Dulu aku dibujuk
olehnya agar mau menjadi murid Paman, tapi aku tetap
tidak mau, sebab waktu itu aku masih punya keinginan
besar untuk mencari pusaka Pedang Kayu Petir. Pedang
terdahsyat di seluruh rimba persilatan! Tapi setelah
Paman meninggal, barulah kusadari bahwa Pedang Kayu
Petir itu milik sahabat dari guruku, yaitu Resi Wutung
Gading, aku tak berani merebutnya, lalu kulupakan
hasratku ingin memiliki Pedang Kayu Petir itu."
Suto Sinting sempat sunggingkan senyum tipis,
karena ia tahu persis kedahsyatan Pedang Kayu Petir.
Dulu  pedang yang dianggap pusaka maha sakti ini
pernah hilang, dan Suto Sintinglah yang menemukannya,
bahkan sempat digunakan bertarung melawan Raja
Tumbal yang mempunyai pusaka maut bernama Seruling
Malaikat, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode:
Pedang Kayu Petir dan Seruling Malaikat).
"Kalau begitu, Rasi Wutung Gading itu sebenarnya
sudah berusia cukup banyak, lebih  tinggi dari usiamu
sendiri, Resi?" 
"Iya. Walaupun sekarang ia kelihatan tua, tapi
sebenarnya ia awet muda. Kalau dibandingkan dengan


usia sebenarnya, seharusnya ia lebih tua lagi  dari
keadaan yang sekarang."
Suto Sinting lebih tertarik dengan penjelasan
mengenai Nyi Mas Gandrung Arum, sehingga ia segera
mengembalikan pembicaraan ke alur semula.
"Menurutmu, apa yang mendorong Nyi Mas
Gandrung Arum berani mengutus Peluh Setanggi untuk
mencuri pusaka Panji-panji Mayat itu, Resi?!"
Sang Resi hanya angkat bahu pertanda tidak mengerti
jawabannya, ia hanya berkata sambil tetap melangkah
seiring dengan Pendekar Mabuk.
"Barangkali ia kepingin cepat mati dalam tujuh hari
setelah memiliki pusaka orang lain itu, sesuai dengan
sumpahnya di depan gurunya.'
"Kurasa alasan itu tak masuk akal."
"Kalau begitu, kita datangi saja Biara Ungu dan
biarkan aku yang bicara dengan Nyi Mas Gandrung
Arum."
"Kau pikir kita sekarang sedang berjalan ke arah
mana?"
"Oh, Jadi sekarang ini kita sedang mengarah ke Biara
Ungu?! Ya, ampuuun... mengapa baru sekarang kusadari
hal  itu?!" Resi Pakar Pantun sempat tertegun bengong
dan garuk-garuk kepala, langkahnya pun terhenti dengan
mata memandang ke arah Bukit  Esa yang ada di
depannya. Suto hanya tersenyum-senyum melihat
kepikunan sang Resi.
Ketika mereka mencapai perbatasan wilayah Biara
Ungu, langkah mereka terhenti karena menemukan


sesosok mayat tergeletak di rerumputan. Pendekar
Mabuk dan Resi Pakar Pantun sama-sama terkejut saat
menemukan mayat itu.
"Peluh Setanggi...?!"  gumam Suto dengan tegang.
"Rupanya ia telah dibunuh oleh Darah Prabu."
Resi Pakar Pantun mengendurkan ketegangan di
wajahnya. "Bukan, ini bukan mayat Peluh Setanggi."
"Aku masih ingat warna kutang dan pakaian
bawahnya, Resi. Wajahnya pun wajah si Peluh
Setanggi."
"Bukan!" sang Resi agak ngotot. "Lihat tato di atas
payudaranya. Tato itu bergambar pedang bersilang,
sedangkan tatonya Peluh Setanggi bergambar seekor
naga."
"O, Iya...?! Rupanya kau sangat hafal dengan gambar
tato itu, Resi?"
"Karena letaknya di  tempat yang patut dihafalkan,"
jawab sang Resi agak ngeres.
"Lalu, siapa gadis yang mati dalam keadaan bolong
lehernya ini?"
"Adik kembarnya Peluh Setanggi yang berjuluk si
Pedang Gunting."
"Bagaimana kau bisa mengenalinya sebagai si Pedang
Gunting?"
"Tatonya bergambar pedang bersilang, dan tempat
yang ditato... agak kecil sedikit dari  milik Peluh
Setanggi," Jawab sang Resi sambil cengar-cengir malu.
Suto Sinting sunggingkan senyum tipis berkesan
hambar.


"Lalu... siapa yang membunuhnya? Jangan-jangan
Darah  Prabu salah bunuh, ia menyangka si Pedang
Gunting ini adalah Peluh Setanggi?!"
"Kurasa bukan Darah Prabu yang membunuhnya,
sebab dilihat dari luka berlubang di lehernya jelas ini
bukan perbuatan Darah Prabu."
"Lalu, perbuatan siapa jika bukan perbuatan Darah
Prabu?!"
Tiba-tiba ada suara yang menyahut dari belakang
mereka, "Perbuatanku...!"
Kedua lelaki itu menengok ke belakang secara
serentak, dan mereka temukan seorang perempuan
berdiri dengan tegak menggenggam sebuah busur dan
menyandang anak panah di punggungnya.
"Dewi Geladak Ayu...?!" ucap Pendekar Mabuk
dengan suara datar dan pelan. Matanya tak mau lepas
dari wajah cantik berhidung mancung itu. Wajah itu
tampak segar, dan masih terbayang jelas dalam ingatan
Suto ketika wajah itu diinjak-injak lawan hampir hancur,
hati Suto kala itu sungguh iba memandang kekalahan
perempuan tersebut, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam
episode: "Pembantai Raksasa").
Resi Pakar Pantun sedikit gelisah, sebab ia tahu siapa
perempuan berjubah biru laut dengan penutup dadanya
warna kuning tipis itu. Ketika Dewi Geladak Ayu
membantu mendiang Ratu Sangkar Mesum menyerang
negeri Bumiloka, sang Resi tampil sebagai  pembela
pihak negeri Bumiloka, sebab negeri itu milik leluhur
murid Resi yang bernama Kertapaksi. Tentunya


beberapa anak buah Dewi Geladak Ayu yang dikenal
sebagai  bajak laut wanita itu banyak yang tumbang di
tangan Resi Pakar Pantun. Kendati akhirnya sang Resi
sendiri lari dari pertarungannya melawan Ratu Sangkar
Mesum.
Kini pancaran mata tajam perempuan bertusuk konde
sumpit emas itu terang-terangan ditujukan kepada Resi
Pakar Pantun. Pancaran pandangan mata itu nyata-nyata
mengandung permusuhan. Namun sebelum Dewi
Geladak Ayu bicara, Suto Sinting sudah lebih dulu
perdengarkan suaranya dengan nada kalem dan bersikap
tenang.
"Mengapa kau bunuh gadis itu, Geladak Ayu?"
"Persoalanku bukanlah persoalanmu, untuk apa kau
ingin mengetahui alasanku membunuhnya?!"
"Sekadar  ingin tahu saja. Kalau kau keberatan
menjelaskannya, ya tak usah dijelaskanlah...!" jawabnya
sambil bersungut-sungut dan bersikap acuh tak acuh.
Tapi perempuan bermata galak itu rupanya mempunyai
pertimbangan pribadi, mengingat dulu jiwanya pernah
diselamatkan oleh si tampan Suto Sinting itu.
Karenanya, ia pun segera berkata sambil memperhatikan
Suto yang buang muka ke arah lain.
"Kapalku ditenggelamkan oleh anak buah si Nyi Mas
Gandrung Arum dengan alasan tak diizinkan berlabuh di
perairan wilayah Biara Ungu. Maka sebagai imbalannya,
akan kubantai habis orang-orang Biara Ungu satu demi
satu!"
Melihat sikap tenangnya Suto Sinting, Resi Pakar


Pantun menjadi ikut tenang, ia tersenyum geli
mendengar kapal Dewi Geladak Ayu ditenggelamkan
gara-gara tak boleh parkir di batas wilayah Biara Ungu.
Bagi sang Resi itu suatu hal yang lucu, sehingga ia pun
segera lontarkan pantun Jenakanya.
"Badak bunting badak yang nakal, 
bercanda dengan lintah di pinggir danau. 
Jika bajak laut tak lagi punya kapal, 
jadilah ia bajak sawah penunggang kerbau."
Resi Pakar Pantun bagaikan bicara kepada Pendekar
Mabuk, tapi sasaran pantunnya ditujukan kepada Dewi
Geladak Ayu. Maka perempuan itu pun mulai berang
dan melangkah lebih dekat lagi sambil  berkata dalam
geram.
"Berpantunlah sepuas hatimu, Jahanam! Sebentar lagi
nyawamu pun akan kukirim ke dasar neraka!"
"Mengapa marah padaku? Aku berpantun  kepada
Pendekar Mabuk," sangkal Resi Pakar Pantun. Bahkan ia
kembali lontarkan pantunnya sambil berhadapan dengan
Suto Sinting.
"Badak bunting karena telan biji salak, 
sekali lompat kandungan melorot ke kaki. 
Boleh saja perempuan berwajah galak, 
namun kesukaannya tetap saja di bawah lelaki."
Pendekar Mabuk menahan tawa gelinya dengan
buang muka dan tersenyum-senyum. Sang Resi seolah-
olah mengajak Suto Sinting tertawa hingga terkekeh-
kekeh. Tapi Dewi Geladak Ayu semakin berang,
sehingga tangan kanannya segera menyentak ke depan.


Wuuttt..! Dan seberkas sinar kuning seperti telur ayam
melesat ke arah Resi Pakar Pantun. Claappp...! 
Sang Resi sigap dengan keadaan itu. Ia cepat
sentakkan kaki dan tubuhnya melambung ke atas,
wuuttt...! Sinar kuning itu lolos dari tubuhnya,
menghantam pohon di belakangnya.
Duaarrr...!
Sang pohon rompal dalam keadaan daunnya
berguguran, beberapa dahannya patah dan jatuh ke
tanah. Suto Sinting segera hentikan senyuman gelinya
dan berdiri menghadang langkah Dewi Geladak Ayu
yang ingin hampiri Resi Pakar Pantun.
"Hentikan murkamu, Geladak Ayu!"
"Tidak bisa!" bentaknya. "Monyet tua itu harus
kubunuh, karena tiga anak buahku mati di tangannya
saat terjadi pertempuran di Bumiloka!"
Mata si tampan Suto tertuju ke wajah Dewi Geladak
Ayu tanpa berkedip. Ketajaman pandangannya
mempunyai kelembutan tersendiri yang membuat resah
hati Dewi Geladak Ayu. Dalam hati perempuan itu pun
berkata,
"Setan belang!  Tiap aku bertemu dengan pemuda
yang satu ini, selalu berdebar-debar  jika menerima
tatapan matanya! Hatiku menjadi gundah tak tentu arah
jika ia berdiri dan memandangku begitu. Setan alas betul
dia! Kemarahanku selalu dibuat surut oleh sikapnya
yang menawan. Dasar pemuda sial!" geramnya jengkel
pada diri sendiri.
Dewi Geladak Ayu bermaksud nekat menyerang Resi


Pakar Pantun dengan menggunakan jurus 'Geledek
Jalang', yaitu sebuah sentakan dua jari tangan kanan ke
arah samping, lalu dari ujung kedua jari itu melesat sinar
biru kecil sepanjang satu depa, besarnya seukuran
dengan bambu seruling. Slapppp...!
Sinar biru itu melesat menghantam pohon di samping
kanannya. Ternyata sinar biru itu memantul ke pohon
sebelahnya, terus memantul-mantul dari pohon ke pohon
dengan gerakan sangat cepat.
Crap, crap, crap, crap...!
Tahu-tahu sinar biru itu memantul ke arah punggung
Resi Pakar Pantun. Classs...! Pendekar Mabuk yang
mengikuti gerakan sinar dengan pandangan matanya
segera memutar tubuhnya dan kakinya berkelebat
menendang lengan Resi Pakar Pantun. Wuuttt...!
Deess...!
Sang Resi terjungkal ke samping tepat pada saat sinar
biru ingin menghantam punggungnya. Bruusss...! Dan
bumbung tuak Suto Sinting yang tergantung di pundak
itu segera digeser ke dada, lalu sinar biru yang ganti
melesat lurus ke dada Suto Sinting itu menghantam
bumbung bambu itu.
Deeb...! Wuusss...!
Sinar  itu berbalik arah dengan gerakan lebih cepat
dan lebih besar dari ukuran semula. Tiap pohon  yang
tadi dilewati sebagai tempat pantulannya, kini dilewati
kembali sampai akhirnya sinar biru besar itu menuju ke
arah Dewi Geladak Ayu. Weesss...!
"Setan laknat!" teriak Dewi Geladak Ayu antara kaget


dan berang, ia segera sentakkan kakinya dan tubuh sekal
itu pun terbang ke atas, wuuttt...! Sinar besar lewat di
bawah kakinya. Ketika tubuh berkulit kuning langsat itu
mendarat lagi ke bumi, sinar biru besar itu menghantam
sebuah pohon besar di kejauhan sana.
Blegaarrr...!
Resi Pakar Pantun yang baru saja mau bangkit berdiri
menjadi tumbang kembali karena getaran gelombang
ledak yang cukup kuat. Tanah pun berguncang bagai
dilanda gempa. Pohon besar itu hancur menjadi
serpihan-serpihan kayu sebesar kelingking. Bahkan tiga
pohon di sekitarnya tumbang seketika dengan keadaan
akarnya mencuat keluar dari kedalaman tanah.
Dewi Geladak Ayu yang tadi sempat oleng karena
getaran gelombang ledak itu, kini memandang bengong
ke arah pecahan pohon besar. Dalam hatinya perempuan
bajak laut itu menggumam kagum,
"Edani Jurus 'Geledek Jalang'-ku menjadi lebih
dahsyat dari aslinya?! Padahal hanya memantul akibat
kenai  bumbung tuak itu, tapi mengapa bisa menjadi
sedahsyat  itu?!  Benar-benar sinting ilmu si tampan itu.
Pantas kalau dia bernama Suto Sinting! Mengagumkan
sekali. Tapi biar bagaimanapun aku harus tetap kelihatan
acuh tak acuh, seakan tak merasa kagum terhadap
kehebatan ilmunya. Biar dia tidak ngelunjak padaku!"
Pada saat terperangah bengong itulah Dewi Geladak
Ayu mengalami kelengahan. Sebilah pisau garpu
berukuran sangat kecil melesat dari arah belakangnya.
Pisau garpu mata dua itu dengan enaknya menancap di


tengkuk Dewi Geladak Ayu. Wuuusst...! Jebb...!
"Aaahg...!"  Dewi Geladak Ayu terlambat
kesadarannya, ia hanya bisa terpekik dan segera oleng
beberapa saat, kemudian tumbang dalam keadaan
tengkurap di tanah. Brrruk...! Setelah itu si bajak laut
perempuan tak berkutik lagi. Namun kepalanya yang
tergeletak miring itu memperlihatkan bola matanya yang
hanya bisa kedip-kedip lemah dan sayu tanpa suara dan
rintih apa pun.
Pendekar Mabuk dan Resi Pakar Pantun terperanjat
juga melihat kejadian yang amat tak terduga-duga itu.
Pandangan mata mereka segera terpusat pada pisau kecil
berbentuk garpu dua mata berukuran setengah jengkal.
"Kucing Hutan...!" ucap Resi Pakar Pantun menegang
sambil clingak-clinguk kebingungan. "Kucing Hutan...!
Ada Kucing Hutan di sini...!"
"Untuk apa mencari kucing hutan?!" sentak Suto
Sinting sambil menepuk lengan sang Resi.
"Aku bukan mencari binatang kucing hutan!
Maksudku... maksudku si Kucing Hutan yang membuat
Dewi Geladak Ayu roboh!"
Pendekar Mabuk kerutkan dahi, "Siapa itu Kucing
Hutan?!"
"Perawan titisan peri!" jawab Resi Pakar Pantun
terburu-buru, setengah gugup. "Dia perempuan peminum
darah lelaki. Ilmunya cukup tinggi, lebih tinggi dari
ilmuku! Sebaiknya cepat tinggalkan tempat ini, Suto!"
"Tunggu dulu...!" cegah Suto Sinting sambil meraih
lengan Resi Pakar Pantun. "Dari mana kau tahu kalau di


sini ada Kucing Hutan?!"
"Pisau garpu tala itu kukenali sebagai senjata gaibnya
yang beracun ganas. Menyentuh kulit kita saja bisa
bengkak dan memborok apalagi sampai menancap di
tengkuk begitu. Pasti... seluruh saraf si Dewi Geladak
Ayu terhenti kecuali saraf pada matanya itu! Lekas kita
pergi dari sini sebelum ia melihat kita."
"Aku ingin bertemu dengannya."
"Gila kau! Darahmu bisa dihisap habis oleh si Kucing
Hutan kalau nekat menemuinya!" sambil Resi Pakar
Pantun menarik lengan Pendekar Mabuk dalam satu
sentakan. Tapi agaknya Pendekar Mabuk justru
penasaran dan ingin menunggu kemunculan si Kucing
Hutan Itu. "
*
* *

6
YANG disebut-sebut 'Kucing Hutan' oleh Resi Pakar
Pantun ternyata seorang gadis berusia sekitar dua puluh
lima tahun, bertubuh ramping dengan tinggi badan
sejajar dengan Suto Sinting, ia berwajah cantik,
hidungnya mancung kecil dan bibirnya mungil warna
merah segar. Matanya sungguh tajam dalam memandang
berwarna biru bening. Alisnya tebal namun  tumbuh
dengan rapi. Bulu matanya lentik dan lebat. Tak ada
kemiripan sedikit pun dengan seekor kucing.
Rambutnya terurai sepanjang punggung berwarna
hitam rada ungu sedikit, bening dan mengkilap, ia tidak


mengenakan ikat kepala, sehingga rambutnya sering
meriap ke depan terhempas angin.
"Cantik sekali?!" gumam hati Pendekar Mabuk
mengagumi kecantikan si Kucing Hutan yang hanya
mengenakan penutup dada warna ungu tua berukuran
kecil, seakan hanya menutupi bagian ujungnya saja.
Tetapi sebagai pelapis tubuhnya yang kuning langsat
berbulu halus cukup lebat  itu, ia mengenakan jubah
lengan panjang warna ungu muda yang tipis terbuat dari
kain sutera. Pakaian bawahnya berupa kain ungu tipis
yang seolah-olah hanya dililitkan secara asal-asalan saja,
sehingga paha kirinya sering tampak dari luar karena
kain itu sering tersingkap terhembus angin. Di
pinggangnya terdapat sabuk merah tua yang digunakan
untuk menyelipkan pisau-pisau kecil berbentuk garpu
mata dua.
Gadis berkuku panjang dan runcing itu sejak tadi
memandangi Pendekar Mabuk dengan sorot pandangan
mata yang tajam tak berkedip. Menyeramkan namun
juga mengagumkan.
Pendekar Mabuk hanya diam dalam ketenangan dan
seulas senyum tipis selalu mekar di bibirnya. Pandangan
mata sang pendekar tampan juga tertuju lurus ke mata
Kucing Hutan, antara tajam dan lembut.
Resi Pakar Pantun sedikit gelisah. Namun karena
melihat Suto Sinting kalem-kalem saja, maka sang Resi
pun paksakan diri untuk kalem juga. Bahkan sebagai
sapaan pertama sang Resi berani lontarkan pantunnya
kepada si Kucing Hutan.


"Badak bunting tidur di pangkuan itik, 
membeli sorban berkain batik. 
Gadis mana yang punya wajah cantik, 
selain si Kucing Hutan berdada lentik."
Gadis itu sunggingkan senyum, bibirnya terbuka
sedikit. Suto kontan terkejut, ternyata gadis itu
mempunyai sepasang taring kecil pada gigi atasnya.
Bulu kuduk Pendekar Mabuk langsung merinding walau
ia ikut-ikutan lebarkan senyum segadis.
Senyum si Kucing Hutan mendadak hilang, lalu
terdengar suaranya yang kecil merdu itu berseru kepada
Resi Pakar Pantun,
"Pandai nian kau buat pantun untukku, Pak Tua. Tapi
ketahuilah, dengan sejujurnya kunyatakan padamu; aku
tak suka dengan pantunmu!"
Wajah sang Resi tampak kecewa. Senyuman tuanya
mengendur dan lenyap dengan pandangan mata waswas
tertuju ke arah kanan-kirinya, seakan tak mau dipandang
oleh si Kucing Hutan, ia cenderung pandangi Suto
Sinting, karena agaknya Suto Sinting ingin menarik
perhatian si Kucing Hutan dengan bermain pantun juga.
"Badak bunting, bunting sendiri, 
mungkin bunting karena tertusuk duri. 
Lebih baik aku mati berdiri, 
daripada tak diundang ikut kenduri."
Senyum si Kucing Hutan tampak tersipu dan ditutup
tangan kirinya. Kemudian ia bertanya kepada Pendekar
Mabuk dengan mata memancarkan persa-habatan.
"Apa maksud pantunmu, Paman?"


"Paman...?!" Suto Sinting nyaris tertawa ngakak
dipanggil 'paman' oleh gadis cantik itu. Tawa pun
terpaksa ditahan karena si gadis maju dua langkah dan
mengulang pertanyaannya dengan tanpa malu-malu lagi.
"Apa maksud pantunmu itu?!"
"Mmm... maksudku... maksudku ingin bertanya, siapa
namamu dan di mana tempat tinggalmu?"
"Hmmm... tak ada hubungannya dengan pantun,"
gerutu sang Resi dengan bersungut-sungut.
"Namaku Kucing Hutan, tinggalku ya di dalam
hutan."
"Lalu tujuanmu kemari untuk menemui Resi Pakar
Pantun atau ingin membunuh Dewi Geladak Ayu?" 
"Ingin menemuimu," jawab Kucing Hutan dengan
suara lebih kecil lagi seperti berbisik, tapi didengar pula
oleh Resi Pakar Pantun, sehingga sang Resi menimpali
dengan suara pelan bernada takut,
"Mampuslah kau, Suto... siap-siap kehabisan darah
saja kau!"
"Kurobek mulutmu jika bicara seenaknya sekali lagi,
Pakar Pantun. Kurobek dan kujadikan bendera kematian,
baru tahu rasa kau!" hardik Kucing Hutan dengan
pandangan mata tajam dan mulai cemberut dan membuat
Resi bergidik merinding, lalu segera bergeser ke
belakang Suto Sinting.
Tiba-tiba wajah cemberut itu berubah cerah, mata
tajam berubah berseri, si gadis bertanya kepada
Pendekar Mabuk yang masih tetap tenang walau
menahan rasa waswas dalam hatinya.


"Siapa namamu?"
Suto Sinting diam sebentar, setelah itu berpikir baru
perdengarkan suaranya yang lembut seakan penuh
kesungguhan.
"Namaku... Suto Sayang. Aku biasa dipanggil nama
belakangku." 
"O, jadi tak salah jika aku memanggilmu Sayang,
bukan?"
"Itu panggilan penghormatanku."
"Uuh...!" sang Resi menggerutu lagi. "Panggilan
penghormatan: Sayang. Kalau panggilan penghinaan
apa? Sapi?"
"Ssstt...!" Suto Sinting terang-terangan menyuruh
Resi Pakar Pantun untuk diam sambil melirik ke
belakang. Setelah pandangan matanya kembali ke depan,
menatap seraut wajah cantik mencemaskan itu, ia segera
mendengar suara si Kucing Hutan berkata lagi.
"Aku mencium bau wangi darah pendekar pada
tubuhmu." 
"Yaah... apes juga akhirnya kau, Suto!" gerutu sang
Resi dalam bisikan.
"Maukah kau datang ke istanaku, Sayang?"
"Di mana istanamu berada?"
"Di  Lembah Meong, sebelah utara dari tempat ini.
Kusiapkan jamuan istimewa untuk kedatanganmu nanti
malam."
"Akan kuusahakan untuk datang."
"Kau memang pria penuh pesona. Sekarang aku harus
pergi membawa Dewi Geladak Ayu itu!"


"Mau kau bawa ke mana dia?"
"Ke Istanaku, Sayang."
"Mau kau apakan dia?"
Kucing Hutan tidak langsung menjawab, namun
segera mencabut pisau garpunya dari tengkuk Dewi
Geladak Ayu, kemudian mengangkat tubuh itu,
memanggulnya di pundak kiri. Sebelum melangkah
pergi ia sempat menjawab pertanyaan Suto Sinting tadi.
"Aku terpaksa harus memotong-motongnya menjadi
beberapa bagian, kecuali jika ia mau serahkan sebuah
pusaka kuno yang kuincar dari dulu."
"Pusaka apa?!" sergah Pendekar Mabuk.
"Jangan  lupa jamuan istimewa nanti malam. Jangan
sampai kau tak datang, Sayang. Tapi ingat, jangan bawa
pak tua peot itu. Darahnya pahit dan bikin gatal
tenggorokan."
"Tunggu, kau belum jawab pertanyaanku. Pusaka
kuno apa maksudmu tadi?"
"Mungkin kau akan mendengar jawabannya setelah
menikmati Jamuan Istimewa nanti malam. Sampai
jumpa di istanaku, Sayang!"
Wuuusss...!
"Hei, tunggu...!" seru Pendekar Mabuk, tetapi si
Kucing Hutan telah lenyap bagaikan ditelan bumi.
Caranya pergi menunjukkan tingginya ilmu yang
dimilikinya, sehingga Pendekar Mabuk merasa tak
berani bertindak gegabah terhadap gadis itu.
"Lupakan tentang tawarannya tadi," ujar Resi Pakar
Pantun sambil menarik lengan Suto Sinting untuk


lanjutkan perjalanan ke Biara Ungu.
"Rasa-rasanya aku perlu datang ke Lembah Meong
nanti malam, Resi. Ada sesuatu yang ingin kudengar
darinya." 
"Kubilang, lupakan saja! Itu hanya sebuah siasat licik
si betina buas tadi. Kau hanya akan dihisap darahnya dan
lama-lama mati tanpa darah. Sudah kubilang, dia itu
penghisap darah lelaki!"
Pendekar Mabuk ingin ucapkan kata lagi, namun
niatnya itu tertahan dengan kemunculan dua orang dari
arah depan mereka. Dua gadis berpakaian ungu dengan
pedang terhunus sedang mendekati arah Suto Sinting
dan Resi Pakar Pantun.
"Tunggu dulu...! Siapa dua gadis itu, Resi?!"
Belum sempat Resi Pakar Pantun menjawab, dari
arah kiri mereka muncul tiga gadis berpakaian ungu
berambut panjang dan mengenakan ikat kepala merah.
Ketiga gadis itu menggenggam tombak berujung pedang
lebar berumbai-rumbal benang merah. Langkah mereka
tampak tergesa-gesa. Salah seorang berseru kepada dua
gadis yang datang dari arah depan Suto Sinting.
"Jangan sampai lolos! Mereka telah bunuh si Pedang
Gunting!"
"Celaka!" bisik Suto Sinting. "Kita dituduh telah
membunuh si Pedang Guntingi"
"Tenang dulu, jangan lakukan sesuatu. Biar
kujelaskan pada mereka siapa yang membunuh si
Pedang Gunting."
Ketika Resi Pakar Pantun menengok ke arah kanan,


ternyata dari semak-semak telah muncul empat orang
gadis berpakaian ungu dengan senjata tak sama; pedang,
tombak, cambuk, dan trisula. Sedangkan dari arah
belakang terdengar suara orang berlari  menuju ke arah
Suto Sinting. Sang pendekar tampan dan Resi Pakar
Pantun segera menengok ke arah belakang. Oh, ternyata
dari arah belakang mereka tampak delapan gadis
berpakaian ungu sedang berlari mendekati Suto dan Resi
Pakar Pantun.
Dari atas pohon segera berlompatan gadis-gadis jelita
berkutang ungu tanpa baju. Mereka tampak siap tempur
karena senjata mereka sudah terhunus semua. Lebih dari
lima orang yang berlompatan dari atas pohon, salah
satunya melepaskan pukulan jarak jauh bersinar biru tua
berbentuk cakram. Wuuuttt...!
"Awas...!" seru Resi Pakar Pantun sambil menarik
pundak kanan Suto Sinting. Akibatnya tubuh Suto
Sinting miring ke kanan dan bumbung tuaknya segera
berkelebat menghadang sinar biru yang menuju ke
wajahnya. Tuubs...! Wooosss...!
Sinar biru membalik arah setelah membentur
bumbung tuak. Kecepatan geraknya lebih tinggi dari
semula dan bentuknya pun lebih besar dari bentuk
aslinya. Tapi si pemilik sinar biru yang sudah mendarat
di tanah, sehingga sinar biru yang sudah berubah bentuk
dan kecepatannya itu menghantam pohon tempat mereka
melompat tadi.
Jegaarrr...!
Ledakan menggelegar cukup dahsyat menggema ke


mana-mana. Dalam jarak lingkar empat puluh langkah
setiap tanaman bergetar, bahkan ada yang tumbang atau
patah dahannya akibat gelombang getar ledakan tadi.
Semua gadis berpakaian ungu itu memandang dengan
terkesima pada saat pohon yang terhantam pantulan sinar
biru itu pecah menyebar tinggi ke angkasa.
"Ck, ck, ck, ck...!" salah seorang geleng-geleng
kepala sambil berdecak penuh rasa kagum. Katanya lagi,
"Jurus kiamat siapa itu tadi? Hanya memantul dari
bumbung tuak saja daya ledaknya bisa sedahsyat itu,
apalagi kalau memantul dari jidat si tampan itu?!"
"Ya, tak akan memantul, karena kepala si tampan itu
pasti akan pecah oleh jurus 'Brajawuda'-nya si Mirasuti
tadi!" ujar temannya sambil teruskan langkah
mengepung kedua lelaki tua dan muda itu.
"Salah satu ada yang bawa mayat Pedang Gunting ke
Biara laporkan kepada sang Ketua keadaan di sini!" seru
seorang gadis berikat kepala putih. Lalu, salah seorang
dari mereka benar-benar memanggul mayat Pedang
Gunting dan lari ke arah biara. Kepergian satu orang itu
tidak mengurangi kekuatan mereka. Menurut Suto
Sinting, mereka masih berkekuatan penuh dalam
membentuk kepungan melingkar.
"Mengapa mereka mengenakan pakaian ungu semua,
Resi?"
"Karena memang seragam orang-orang Biara Ungu
begitu. Bentuk pakaian boleh apa saja, tapi warna harus
tetap ungu."
"Apa yang harus kita lakukan jika sudah terkepung


sebegini banyaknya, Resi?! Kalau kita bertindak, mereka
pasti ada yang korban nyawa. Kasihan  mereka,
kesalahpahaman membuat mereka harus korban nyawa,
Itu tidak bijak namanya, Resi."
"Sebab  itulah  aku akan bicara kepada Putik Linang
yang berikat kepala putih itu! Kalau tak salah dia
menjabat  sebagai  kepala keamanan Biara Ungu,
termasuk tiga pengawal Nyi Mas Gandrung Arum."
Senjata sudah arahkan ke tengah lingkaran, wajah-
wajah penuh nafsu membunuh mulai terpampang jelas di
setiap kecantikan mereka. Pendekar Mabuk memandang
dengan kebingungan, karena tak bisa menilai mana yang
paling cantik dari mereka. Semuanya cantik-cantik dan
bertubuh sintal menggoda iman.
"Putik  Linang," sapa Resi Pakar Pantun. "Apa
maksudmu mengurung kami begini?! Kau anggap kami
ini apa, hah?!"
"Jangan beriagak bodoh, Resi Pakar Pantun!" jawab
gadis berikat kepala putih bersulam benang emas. "Kau
tak bisa cuci tangan begitu saja setelah membunuh
Pedang Gunting! Kau boleh memilih, kami tangkap dan
adili di dalam biara atau kami bunuh dan kepala kalian
kami serahkan kepada Nyi sang Ketua; Nyi Mas
Gandrung Arum?!"
"Pedang Gunting bukan mati di tangan kami!"
sangkal Resi Pakar Pantun agak ngotot. "Perhatikanlah
luka berlubang di lehernya, itu bukan luka ciri khas kami
jika terpaksa membunuh lawan! Kalian salah paham
semua."


"Buktikan pembelaanmu di depan sang Ketua nanti.
Jika kalian tak mau kami tangkap dan kami bawa
menghadap sang Ketua, berarti kalian ingin mati di
sini!"
"Hajar saja!" teriak salah seorang gadis bersenjata
pedang di belakang Suto Sinting. Tentu saja seruan  itu
membuat Suto Sinting berpaling memandang gadis itu
dengan tenang. Sang gadis segera berkata,
"Yang satu jangan dihajar pakai pedang, tapi pakai
bibir saja!"
Teman di sebelahnya menyahut, "Yang tua direbus
saja biar tambah empuk!"
"Kau kira singkong!" bentak Resi Pakar Pantun
dengan perasaan tersinggung. Lalu ia mulai  bermain
pantun di depan para pengepungnya.
"Badak bunting bergincu arang, 
masuk ke pasar duduk di atas bubur. 
Jangankan hanya sekian orang, 
seribu  orang maju bersama tak akan membuatku
mundur...."
"Paling-paling lari," tambahnya dengan pelan.
Pendekar Mabuk menahan tawa matanya masih
memandang tajam penuh waspada, seakan semua indera
dipertajam agar tahu gerakan lawan dan datangnya
bahaya.
"Kalau begitu kau memang menghendaki mati di
tangan kami, Resi Pakar Pantun!"
"Demi membela kebenaran, terpaksa kulakukan
pertarungan dengan kalian!"


"Serrbuuu...!"
Zlaaap...!
Wuuurrsss...! Semua maju menyerang dengan senjata
dihujamkan. Senjata-senjata itu saling beradu satu
dengan yang lainnya, sambil mereka lontarkan seruan-
seruan murka.
"Heeeaaatt...! Claaahhh...! Heeittt...!" 
Trang, trang, tring, prak, prang, tring...! 
"Aauh, Jangan nyodok perutku, Tolol!" 
"Maaf, agak sengaja! Heeeaaat...!" 
Gaduh sekali suara mereka. Sebegitu banyak gadis
tanpa pertarungan saja sudah berisiknya seperti geger
kiamat, apalagi menghadapi pertarungan penuh murka,
seolah-olah suara berisiknya menembus langit tingkat
tujuh membuat para dewa menjadi panik.
"Hentikan! Hentiiikaaan...!" teriak Putik Linang
dengan keras. Teriakan itu benar-benar membuat mereka
berhenti lakukan serangan. Mereka saling mundur pelan-
pelan pandangi Putik Linang. Si  gadis berikat kepala
putih itu membentak dengan mata melotot.
"Lihat, apa yang kalian serang?! Tak ada apa-apa di
situ!"
"Lho... ke mana dua orang lelaki tadi?!" gumam salah
seorang dengan heran. Yang lain pun memandang
dengan penuh keheranan. Tempat berdiri Suto Sinting
dan Resi Pakar Pantun telah kosong. Tanahnya hancur
diserang senjata mereka.     
"Kok mereka bisa lenyap? Ke mana perginya? Kapan
bergeraknya?!"


Mereka segera clingak-clinguk penuh kebingungan.
Putik Linang segera berseru keluarkan perintah dengan
wibawa.
"Cari mereka sekarang juga! Jangan bengong saja!
Carlii...!"
Wuuurrsss...!  Mereka mencari dengan penuh
semangat.
"Hoi, mengapa mencari secara berbondong-bondong
begitu?! Menyebar, Goblok! Menyebaaarr...!" 
Mereka yang sudah berlari berbondong-bondong ke
arah barat segera menyebar ke berbagai  arah. Gerakan
mereka sebenarnya lincah-lincah dan cepat-cepat, tapi
ternyata belum ada sekuku hitamnya dibanding gerakan
Suto Sinting yang menggunakan jurus 'Gerak Siluman'.
Mereka tak tahu bahwa sebelum serbuan datang Suto
Sinting sudah berkelebat lebih dulu sambil menyambar
tubuh Resi Pakar Pantun dengan menggunakan jurus
'Gerak Siluman' andalannya itu. Pada saat senjata
mereka ditebaskan beramai-ramai, bekas bayangan Suto
Sinting masih terlihat di mata mereka. Padahal orangnya
sudah kabur entah ke mana bersama sang Resi.
"Mereka tidak ada, Putik Linang! Mereka ditelan
bumi!" seru salah seorang dari kejauhan.
"Kau kira bumi ini nenekmu yang suka menelan apa
saja?!" gerutu Putik Linang dengan suara pelan,
wajahnya bersungut-sungut penuh kedongkolan dan rasa
heran. Hatinya pun bertanya-tanya, "Ke mana kedua
lelaki itu sebenarnya?!"



*
* *
 
7
BANGUNAN berwarna ungu di lereng bukit itulah
yang dinamakan Biara Ungu. Dibangun dengan susunan
batu bertangga seratus baris. Bangunan itu sendiri
mempunyai tiga tingkat, bergenteng warna ungu yang
tampaknya cukup kekar bagaikan lempengan batu kali.
Benteng biara itu pun tampak cocok dengan ketinggian
sekitar empat tombak. Setiap sudut mempunyai menara
pengawas yang dilengkapi dengan panah api berkaki tiga
untuk menyerang lawan yang hendak menyerang biara.
Bangunan utama biara itu mempunyai serambi luas
dan lebar, hampir separo dari luasnya halaman depan
yang berlantai marmer itu. Di sanalah sang Ketua yang
mengangkat diri sebagai pendeta melakukan
pembicaraan dengan para tamunya, atau mengajar
mantra hitam kepada para muridnya.
Ketika Putik Linang bersama anak buahnya datang
tanpa berhasil membawa pulang Suto Sinting  dan Resi
Pakar Pantun, ia langsung menemui Nyi Mas Gandrung
Arum di ruang utama. Putik Linang  sempat heran
sejenak melihat pelataran kotor, banyak potongan kayu
dan serpihan logam pedang yang berserakan. Ciri-ciri itu
menandakan telah terjadi pertarungan sengit di pelataran
yang tak diketahui siapa pelakunya.
"Ah, persetan dengan keadaan kotor ini! Aku harus
segera melapor kepada sang Ketua; Gusti  Pendeta Nyi


Mas Gandrung Arum tentang keterlibatan Resi Pakar
Pantun dan si pemuda tampan berbumbung tuak." 
Langkah Putik Linang tampak terburu-buru
mendekati ruang pertemuan. Langkah itu segera terhenti
dengan wajah terperanjat karena ia melihat Gusti
Pendeta Nyi Mas Gandrung Arum sedang bicara dengan
dua orang tamu yang ada di samping kanan, sementara
di samping kiri tampak beberapa murid dan dua
pengawal berjaga-jaga. Hal yang membuat Putik Linang
terbelalak adalah keberadaan dua orang tamu itu.
Hatinya sempat menggerutu dalam kedongkolan.
"Setan kurap tujuh tempat! Rupanya si tua Resi Pakar
Pantun dan pemuda sombong itu sudah ada di sini?!
Aneh. Bagaimana caranya lolos dari sergapan orang
sebanyak itu?!"
Pendekar Mabuk dan Resi Pakar Pantun memang
sudah berada di Biara Ungu. Kecepatan 'Gerak Siluman'
membuat mereka berdua segera sampai dan disambut
dengan pertarungan para murid yang menolak kehadiran
mereka. Suto Sinting-lah yang merampungkan
pertarungan itu tanpa menimbulkan korban nyawa saat
mereka ada di pelataran. Melihat pertarungan itu begitu
seru dan bisa membahayakan keselamatan para murid
Biara Ungu, maka Nyi Maa Gandrung Arum segera
menghentikannya. Mau tak mau ia terpaksa menerima
kehadiran kedua tamunya yang kurang disukai itu. Sebab
mereka hadir tepat pada saat Nyi Mas Gandrung Arum
ingin istirahat siang.
"Kami  ingin bicara denganmu, Gandrung Arum!"


kata Resi Pakar Pantun seolah-olah menjadi wakil dari
kunjungan itu. Suto Sinting belum mau banyak bicara,
bahkan bersikap seperti pengawalnya sang Resi.
"Aku tak suka menerima tamu dalam keadaan aku
ingin istirahat, Pakar Pantun. Tapi karena anak muda itu
menunjukkan kebolehannya di depanku tadi, maka
dengan sangat terpaksa kalian kuterima."
"Anak muda ini bernama Suto Sinting, murid si Gila
Tuak!"
Nyi Mas Gandrung Arum terkesiap memandang Suto
Sinting. Yang dipandang justru menatap ke arah lain
dengan lagak acuh tak acuh. Tapi telinganya menyimak
tiap ucapan perempuan cantik berjubah ungu berbintik-
bintik warna emas dari bahan kain mahal.
Sebenarnya Suto Sinting sejak tadi mencuri pandang
ke arah Nyi Mas Gandrung Arum, karena perempuan itu
berpakaian seronok, hanya mengenakan jubah panjang
sampai betis dari kain tipis sejenis sutera. Kain itu sangat
tipis sedangkan bagian dalamnya hanya mengenakan
penutup secukupnya dari kain kuning mengkilat seperti
rajutan benang  emas. Kemontokan dada Nyi Mas
Gandrung Arum dan kemulusan kulitnya tampak jelas.
Lekak-lekuk tubuhnya pun begitu menggiurkan.
Ditambah dengan perhiasan yang lengkap dan rambut
tersanggul  rapi diberi penghias seperti mahkota, Nyi
Mas Gandrung Arum layak dikatakan sebagai
perempuan cantik yang punya seribu daya tarik  bagi
lelaki. Jantung Suto Sinting sempat berdebar-debar
karena menahan rasa kagumnya terhadap keindahan


yang dimiliki Nyi Mas Gandrung Arum itu. Dengan
lagak acuh tak acuh dan seperti orang angkuh itulah ia
berhasil mengendalikan debar-debar indah yang semula
menggelisahkan hati.
"Pantas dia mampu melumpuhkan kedua pengawal
tadi. Rupanya kau datang dengan membawa si Pendekar
Mabuk, Pakar Pantun." 
"Benar, Gandrung Arum." 
"Badak bunting menelan pedang, 
tembus di leher seperti cupang. 
Tak sudi aku datang, 
jika tanpa urusan yang menantang." 
Sambil  tetap duduk di sebuah kursi berbentuk
singgasana, Nyi Mas Gandrung Arum sunggingkan
senyum sinis begitu mendengar pantun sang Resi.
Sikapnya yang penuh wibawa dan berkharisma tinggi itu
membuat Suto Sinting menggodanya dengan Jurus
'Senyuman Iblis' yang mampu membuat lawan jenisnya
kasmaran. Jurus itu tidak digunakan sepenuhnya, hanya
sekadar sebagai penggoda hati sang pendeta aliran hitam
itu.
Ternyata Nyi Mas Gandrung Arum mulai gelisah saat
memperhatikan senyuman Pendekar Mabuk. Duduknya
menjadi tak tenang, akhirnya ia berdiri dan berjalan
mondar-mandir di depan singgasananya, kedua tangan
dikebelakangkan.
"Bocah setan!" geramnya dalam hati. "Senyumnya
membuat gairahku mulai panas dan jantungku berdetak
cepat. Kurang ajar! Aku harus bisa melawan hasratku


dengan mantra pembantai gairah."
Lalu, dalam hati Nyi Mas Gandrung Arum membaca
sebaris mantra pembunuh rasa ingin bercumbu. Mantra
itu tak mampu mengalahkan daya pikat yang ada dalam
senyuman Suto Sinting, sekalipun memang bisa
mengurangi rasa ingin bercumbu, namun tak bisa lenyap
tuntas seperti biasanya dalam menghadapi hasrat
bercumbu yang harus dibunuh. Usaha itu sudah cukup
membuat hati Nyi Mas Gandrung Arum sedikit tenang
dan bisa bicara lagi dengan Resi Pakar Pantun, yang
menjadi ponakan dari gurunya itu.
Namun sebelum Nyi Mas Gandrung Arum teruskan
pembicaraan yang terhenti karena kenakalan Suto
Sinting itu, tiba-tiba Putik Linang datang menghadap
dan langsung memberi hormat dengan kaki berlutut satu,
badan membungkuk ke depan dan kedua tangan saling
genggam di dada.
"Ada apa kau menghadap dalam keadaan sedang ada
tamu begini, Putik Linang?!"
"Saya mau melaporkan tentang kematian Pedang
Gunting, Guru!"
"Nanti saja! Menyingkirlah dulu, karena ada sesuatu
yang  ingin kubicarakan dengan kedua tamuku ini.
Tahukah kau, pemuda gagah itu ternyata murid si Gila
Tuak yang bergelar Pendekar Mabuk. Pembicaraanku
dengan tokoh kondang ini tak  bisa  disela sedikit pun
dengan masalah lain."
"Maaf, Gusti Pendeta...." Putik Linang terpaksa
mundur dengan hati dongkol, ia berdiri di jajaran para


pengawal lainnya, ikut menyimak percakapan tersebut.
Nyi Mas Gandrung Arum segera ajukan tanya kepada
Resi Pakar Pantun yang sejak tadi berdecak-decak dalam
hati memandangi kecantikan para murid dan para
pengawal di situ.
"Terangkan persoalanmu datang kemari membawa
Pendekar Mabuk segala?! Apakah kau tak berani datang
sendiri? Takut ditumbangkan murid-muridku?!"
Resi Pakar Pantun merasa tersinggung, namun ia
segera menelan perasaan itu dan tidak mau
membahasnya, ia langsung bicara tentang persoalan
sebenarnya.
"Tentunya kau masih ingat tentang pusaka Panji-panji
Mayat."
"Hmmm..., ya, aku masih ingat pusaka itu milik
keturunan si Parisupit. Ada apa dengan pusaka itu?"
"Apakah kau merasa keturunan dari Parisupit  atau
Sabang Wirata?!"
Nyi Mas Gandrung Arum kerutkan dahi memandang
Resi Pakar Pantun.
"Ke mana arah pembicaraanmu sebenarnya, Pakar
pikun?! Bicaralah yang searah!"
Pendekar Mabuk sendiri tak sabar dengan basa-
basinya Resi Pakar Pantun, maka ia segera perdengarkan
suaranya yang lembut namun punya kharisma tersendiri.
"Kami datang  untuk meminta pusaka itu dari
tanganmu, Nyi Mas  Gandrung Arum! Kami akan
serahkan kembali pusaka itu kepada pewarisnya, yaitu
anak-anak dari Jalma Dupi dan Sang Ratri."


Kerutan dahi Nyi Mas Gandrung Arum saat itu
semakin tajam, setajam matanya dalam memandangi
wajah Pendekar Mabuk.
"Kau menuduhku menyembunyikan pusaka itu, bocah
tampan?! Apakah otakmu lebih dungu daripada seekor
kerbau?!"
"Setahuku, kerbau dengan diriku masih pintar diriku."
"Mengapa kau menganggap pusaka itu ada di
tanganku? Apakah kau tak tahu bahwa aku bukan
keturunan dari Sabang Wirata?"
"Justru karena aku tahu kau bukan keturunan Eyang
Sabang Wirata, maka kau tidak berhak memiliki pusaka
Panji-panji Mayat itu, Nyi Mas!"
"Setan belang tujuh rupa kau ini!" geram Nyi Mas
Gandrung Arum tampak mulai marah. "Serendah itu kau
tuduh diriku sebagai pencuri pusaka milik orang lain?!"
Nyi Mas Gandrung Arum geleng-geleng kepala.
"Untung kau murid si Gila Tuak, jika bukan sudah
kutumbuk mulutmu sekarang juga!"
Rupanya Nyi Mas Gandrung Arum masih
memandang sungkan kepada si Gila Tuak, sehingga ia
tak berani bertindak gegabah kepada murid sinting si
Gila Tuak itu. Berarti, sekalipun Nyi Mas Gandrung
Arum berilmu tinggi dan dikenal sebagai pendeta sakti
aliran hitam, namun ia masih merasa ilmunya di bawah
Gila Tuak.
Tapi tuduhan itu dirasakan amat menjengkelkan
hatinya, hingga bara murka mulai mengepul memanasi
darahnya. Dengan suara lantang, perempuan cantik yang


menjadi tambah cantik dalam keadaan galak begitu,
segera berkata kepada Resi Pakar Patun.
"Pakar Pantun... apakah kau tak pernah ceritakan
kepada bocah sinting ini tentang sumpah dan perjanjian
selama menjadi murid pamanmu; Eyang Guru Begawan
Banjar Toya?!"
"Bisa saja kau melanggar sumpah itu, karena Paman
Banjar Toya sudah tiada.""
"Mana mungkin aku berani melanggarnya, sumpah
itu merupakan pedang pengintai kelemahanku sepanjang
masa. Badar Pagetan terbukti mati dalam tujuh hari
setelah ia merebut dan menguasai pusaka Tombak
Belalang-nya Sinduraja, padahal saat itu Eyang Guru
Banjar Toya juga sudah tiada.  Apakah  kau pikir aku
ingin meniru kematian Nyai Badar Pagetan?! Alangkah
tololnya aku jika mau menyimpan atau memiliki pusaka
Panji-panji Mayat. Sama saja aku mempersiapkan diri
untuk mati dalam tujuh hari mendatang!"
Kedua tamu beda usia itu sama-sama diam tertegun
merenungi  kata-kata Nyi Mas Gandrung Arum.
Penjelasan itu sangat masuk akal, terlebih setelah Nyi
Mas Gandrung Arum memberi contoh kematian saudara
seperguruannya: Nyai Badar Pagetan itu. Resi Pakar
Pantun sendiri tahu persis tentang kematian Nyai Badar
Pagetan yang sudah diramalkan oleh  batinnya karena
mendengar kabar Nyai Badar Pagetan berhasil merebut
pusaka orang lain. Resi Pakar Pantun tak berani
menyanggah pengakuan Nyi Mas Gandrung Arum.
Tetapi Suto Sinting mencoba ajukan alasan atas tuduhan


tersebut.
"Muridmu, Peluh Setanggi telah ketahuan mencuri
pusaka itu dari tangan Resi Badranaya!"
Nyi Mas Gandrung Arum terkejut mendengarnya,
matanya terbuka dan mulutnya ternganga sejenak.
Kemudian segera berkata sambil melangkah dekati Suto
Sinting dan berhenti di depan pemuda tampan itu dalam
jarak tiga langkah.
"Aku tak pernah menyuruh Peluh Setanggi menemui
Badranaya, adikku itu!"
Pendekar Mabuk sunggingkan senyum berlagak tidak
percaya terhadap pengakuan itu. Ia berkata dengan nada
tenang namun menjengkelkan bagi  Nyi  Mas Gandrung
Arum.
"Jika kau tidak mengutusnya, lantas mengapa kau
menyelamatkan Peluh Setanggi dari buruan murid Resi
Badranaya; si Darah Prabu?!"
"Kau memfitnahku, Nak! Aku tak pernah
menyelamatkan murid murtad itu!"
"Mengapa kau sampai tega melukai  Darah Prabu
dengan racun 'Tapak Ungu'-mu itu, Nyi Mas? Apakah
luka racun berbahaya pada diri Darah Prabu bukan dari
tanganmu? Apakah ada tokoh lain yang punya jurus
'Tapak Ungu' selain dirimu?"
"Darah Prabu memang kuhantam dengan 'Tapak
Ungu'-ku, karena dia berusaha menyerangku ketika aku
dan beberapa muridku dalam perjalanan pulang dari
Lereng Pelung. Dia menyerangku lebih dulu saat kami
ingin menyeberangi sungai. Dua muridku terluka parah


oleh serangannya, aku terpaksa menghentikan
serangannya itu dengan mengirimkan pukulan 'Tapak
Ungu' kepadanya. Tapi itu bukan karena aku membela
atau ingin menyelamatkan Peluh Setanggi!""
Sangkalan Nyi Mas Gandrung Arum membuat Suto
Sinting terdiam kembali. Benaknya berpikir menilai
kebenaran dari apa yang dikatakan Nyi Mas  Gandrung
Arum.
"Lalu... bagaimana dengan Kejora?"
"Kejora siapa?!" sergah Nyi Mas Gandrung Arum. .
Resi Pakar Pantun yang menjawab, "Kejora gadis
anak Jalma Dupi yang kau culik saat berduaan dengan
Darah Prabu."
"Pakar Pantun...!" geram Nyi Mas Gandrung Arum
sambil menghampiri sang Resi. "Lama-lama mulutmu
kuberangus agar tak bisa bicara selama hidupmu! Apa
maksudmu menuduhku menculik Kejora?! Apa
alasanmu mengatakan begitu, hah?!"
Suto Sinting yang menjawab, "Karena kulihat
bayangan ungu yang berkelebat menyambar Kejora
setelah gadis itu ditotok dari jarak jauh!"
"Bayangan ungu...?! Apakah bayangan ungu itu
aku?"
"Kau memakai jubah ungu, Nyi Mas?"
"Memang. Tapi apakah hanya aku perempuan yang
memakai jubah ungu?! Kau lihat sendiri, murid-muridku
pun pada umumnya memakai pakaian serba ungu!
Tokoh lain yang memakai pakaian ungu pun banyak.
Mengapa harus aku yang menjadi sasaran kecurigaanmu,


Bocah ganteng?!" seraya Nyi Mas Gandrung Arum
dekati Suto lebih rapat lagi. Matanya memandang tak
berkedip bagai ingin menembus ke dalam hati Pendekar
Mabuk.
"Perlu kau ketahui," sambung Nyi Mas Gandrung
Arum. "Peluh Setanggi sudah bukan muridku lagi. Ia
telah murtad karena bekerja sama dengan orang lain
demi mendapatkan upah. Empat adik kembarnya ikut
angkat kaki dari biara  ini bersamanya, sedangkan lima
adiknya yang lain masih punya kesetiaan padaku.
Sayang baru-baru  ini tiga adik  kembarnya hilang, satu
ditemukan mati dengan leher berlubang...."
"Dewi Geladak Ayu yang memanahnya!" sahut Resi
Pakar Pantun.
"Hmmm... jadi Geladak Ayu mau menuntut balas
padaku?! Kalau begitu, aku harus menghancurkannya
sekarang juga!" sambil Nyi Mas Gandrung Arum
manggut-manggut menggeram amarahnya.
"Geladak Ayu sudah menjadi tawanan si Kucing
Hutan," kata Resi Pakar Pantun.
"Kucing Hutan...?! Si perawan titisan peri itu?!
Hmmm...!" Nyi Mas Gandrung Arum mencibir sinis.
Tapi dari sorot matanya tampak memancarkan
kebencian, ia duduk di singgasananya dan berkata
kepada Pendekar Mabuk, 
"Kalau kau ingin mencari pusaka Panji-panji Mayat,
temuilah si  Kucing Hutan dan carilah padanya. Peluh
Setanggi adalah orang upahannya, dan sekarang ia
menjadi orangnya si Perawan Titisan Peri itu. Hancurkan


mereka kalau memang kau ingin menegakkan
kebenaran, Pendekar Mabuk!"
Suto Sinting beradu pandang dengan Resi Pakar
Pantun. Mereka saling berkerut dahi menampakkan
keheranan yang bercampur keragu-raguan. Nyi Mas
Gandrung Arum berkata kembali,
"Hei, Pendekar Mabuk...! Apakah kau takut melawan
Perawan Titisan Peri itu?! Kalau kau takut, akan kukirim
bantuan untuk memperkuat kesaktianmu!"
Pendekar Mabuk panas hatinya. "Jangankan si
Perawan Titisan Peri, perawan titisan belatung pun aku
tak akan takut berhadapan dengannya!"
"Kalau begitu untuk apa kau berlama-lama di sini!
Pergilah ke Lembah Meong dan hancurkan si Perawan
Titisan Peri itu. Kujamin kau akan dapatkan pusaka itu
dan gadis bernama Kejora juga pasti ada bersamanya!"
Ingatan si murid Gila Tuak segera kembali pada
sekelebat bayangan ungu yang menyambar Kejora dan
menculiknya hingga saat itu. Dalam hati Suto Sinting
segera berkata,
"Kucing Hutan berpakaian serba ungu! Berarti dialah
yang menyambar Kejora saat itu!"
Maka tanpa menunggu pertimbangan lebih bertele-
tele lagi, Suto Sinting segera melesat pergi ke Lembah
Meong, Resi Pakar Pantun terpaksa mengikuti gerakan
langkah si Pendekar Mabuk, karena ia pun merasa
penasaran dengan batin bertanya-tanya, "Benarkah
pusaka itu telah berhasil dicuri Peluh Setanggi, dan
sekarang berada di tangan Kucing Hutan?!"


Pendekar Mabuk sendiri membutuhkan pemandu
menuju Lembah Meong, karenanya ia sangat setuju Resi
Pakar Pantun mendampinginya. Melalui panduan Resi
Pakar Pantun, Lembah Meong dapat dengan mudah
ditemukan oleh Pendekar Mabuk. Di lembah itu terdapat
bangunan tua yang dindingnya mulai berjamur. Menurut
sang Resi, bangunan itu  bekas sebuah perguruan yang
seluruh anggota perguruan mati karena racun, termasuk
gurunya. Sampai sekarang rahasia kematian mereka
belum pernah ada yang mengungkapnya, tak pernah ada
yang tahu, siapa yang meracuni mereka hingga mati
semua tanpa sisa sepotong pun.
Remang senja mulai datang. Bangunan kuno di dalam
hutan itu menjadi tampak angker oleh keremangan
cahaya senja. Pendekar Mabuk mengintai dari atas
pohon, sementara Resi Pakar Pantun ada di bawahnya,
mengintai dari semak belukar.
"Oh, ada seorang lelaki yang berjaga-jaga di depan
bangunan itu. Hmmm... siapa mereka? Dan mengapa
tempat itu tampaknya sepi-sepi saja? Apakah Kucing
Hutan sedang tinggalkan istananya?" pikir Suto Sinting
sambil memperhatikan seorang lelaki berbadan tinggi
besar, namun berdandan seperti wanita; mengenakan
giwang, memakai bedak dan gincu, gerak-geriknya pun
seperti wanita. Pendekar Mabuk segera turun dari atas
pohon dan mendekati Resi Pakar Pantun.
"Siapa lelaki yang berdandan wanita itu?"
"Dia orang Perguruan Pedang Iblis yang dikenal
dengan nama Banci Wadak. Ilmu pedangnya cukup


tinggi. Agaknya dia membelot dari perguruannya karena
pengaruh bujukan si Kucing Hutan, sehingga kini ia
menjadi pengikut Kucing Hutan."
"Kau masuk ke dalam bangunan itu sementara aku
akan menghadapi si Banci Wadak!"   
"Pancing dia agak menjauh dari pintu gerbang agar
aku bisa masuk dengan bebas!"
Zlaaapp ..! Suto Sinting segera melesat ke arah
bangunan kuno Itu. Tiba-tiba ia muncul di bagian
samping bangunan dan bersuit memancing perhatian si
Banci Wadak.
"Suiiit...!"
Banci Wadak menengok ke belakang dan terkejut,
tapi segera menjadi girang, ia berseru tanpa sadar.
"Eh,  ada lelaki lho...! Aduuuh... gantengnya bocah
itu!"
Suto Sinting menggoda dengan lambaian tangan,
karena ia segera tanggap bahwa Banci Wadak suka
dengan lelaki. Melihat lambaian tangan itu, Banci
Wadak semakin kegirangan dan segera berlari ke arah
samping bangunan yang berpohon jarang.
"Hai, Ganteng...," sapanya dengan suara perempuan.
"Kok ada di sini sendirian? Masuk ke dalam, yuk?"
sambil ia semakin dekati Suto Sinting.
"Tidak, aku tidak mau masuk ke dalam, takut kena
marah si Kucing Hutan."
"Tak perlu takut, Kucing Hutan sedang pergi. Pasti
pulangnya agak malam. Kita bicara di dalam saja," rayu
si Banci Wadak sambil mengusap-usap punggung Suto


Sinting, ia tak tahu kalau saat itu tengkuk Suto Sinting
menjadi merinding karena jijik diraba lelaki bertubuh
besar itu. Bahkan rabaan si  Banci Wadak makin lama
semakin nakal, Suto Sinting segera sentakkan tangan
berbulu itu. Tapi Banci Wadak mencobanya lagi
menggapai bagian terlarang di tubuh Suto Sinting.
"Jangan malu-malu begitu, ah! Mumpung tak ada
orang kecuali seorang tawanan perempuan di dalam
sana!" 
Tiba-tiba ketika tangan Banci Wadak membandel ke
arah tertentu, Suto Sinting menghantamnya dengan
kepalan tinjunya. Plookk...! Krrraakk...!
"Aaauh...!" Banci Wadak menjerit sambil berjingkat-
jingkat mundur. Tulang pergelangan tangannya terasa
patah.
"Bangsat jelek kau, Cah Bagus! Hiaaatt..!" Banci
Wadak segera menyerang Suto Sinting dengan sebuah
tendangan, tapi Suto Sinting dapat merundukkan kepala
dengan gesit, sehingga tendangan itu lolos dari
kepalanya. Tubuh Suto Sinting yang menggeloyor
seperti orang mabuk itu segera tegak dalam satu
sentakan di mana bumbung tuaknya menyodok perut
Banci Wadak. Buuhg...!
"Uuhhg...!"
Brrrruuss...! Banci Wadak jatuh ke semak-semak,
terlempar lima langkah jauhnya, ia langsung
memuntahkan darah segar dari mulutnya. Namun
agaknya luka dalam yang cukup parah tak dihiraukan, ia
segera bangkit dan mencabut pedangnya dengan tangan


kanan yang masih sehat itu. Srrang...!
"Bocah panuan!  Kubunuh kau sekarang juga.
Hiaaattt...!"
Wut, wut, wut, wut...!
Pedang berkelebat dengan cepat bagai sukar diterobos
dengan pukulan apa pun. Kecepatan gerakan pedang
membuat Banci Wadak bagaikan dilapisi cahaya
kemilau pedang besar itu. Suto Sinting agak bingung
mencari kesempatan menyerang.
Tiba-tiba seberkas sinar merah keluar dari tebasan
pedang  lawan. Claaap...!  Suto menangkis dengan
bumbung tuaknya. Teuub...! Sinar merah tidak
membalik arah, berarti kekuatan tenaga dalam sinar itu
sangat besar. Yang terjadi hanyalah sebuah ledakan
menggelegar membuat tubuh Suto Sinting terlempar
jauh ke belakang.
Blegaarrr...!
Wuuuss...! Brruukkk...!
"Uuhg...!" Suto Sinting menggeliat kesakitan.
"Heeaaahh...!"
Wuuusss...!
Banci Wadak bagaikan terbang ke arah Pendekar
Mabuk dengan pedang siap ditebaskan. Pada saat itu,
Suto Sinting sempat melihat  sekelebat bayangan
melompati tembok bangunan kuno itu dari dalam keluar.
Lalu, sebuah suara memanggilnya.
"Sutoo...!"
Ternyata Resi Pakar Pantun telah berhasil keluar dari
bangunan kuno itu dengan memanggul gadis berbaju


kuning. Gadis itu tak lain adalah Kejora.
Semangat Pendekar Mabuk menjadi tambah tinggi
setelah mengetahui Kejora dapat diselamatkan oleh Resi
Pakar Pantun, sekarang sedang dibawa lari ke arah
selatan.
Pada saat itu, Suto Sinting hampir tertebas lehernya
oleh gerakan pedangnya Banci Wadak. Wuuutt...!
Untung kakinya tersandung akar rumput hingga ia jatuh
kembali. Dengan begitu pedang tersebut tak jadi
mengenai lehernya.
Tetapi ia segera bangkit dengan satu kaki. Tubuhnya
meliuk ke samping bagai orang mabuk mau jatuh, lalu
bumbung tuaknya disodokkan ke atas depan. Beeegh...!
Sodokan kali ini adalah sodokan dari jurus 'Mabuk
Lebur Gunung' yang mempunyai kekuatan tenaga dalam
tersendiri.
"Uuhhg...!" Banci Wadak tak bisa berteriak.
Tubuhnya terlempar ke belakang dan rubuh dalam
keadaan kejang-kejang. Sodokan yang mengenai
perutnya itu membuat sekujur badan segera menjadi
memar membiru, rambutnya rontok bagai terkelupas dari
kulit kepala, beberapa kejap kemudian Banci Wadak
hembuskan napas terakhir dalam keadaan terkapar
mengerikan.
Pendekar Mabuk segera tinggalkan lawannya dan
berlari mengejar Resi Pakar Pantun. Zlaaap...! Dalam
waktu sangat singkat, ia sudah berhasil menyusul sang
Resi, kemudian mereka berhenti sejenak di tempat yang
aman.


"Sutooo...?!" sapa Kejora yang diturunkan dari
pundak sang Resi. Kemudian gadis itu berlari memeluk
Suto Sinting dengan wajah penuh ketakutan. 
"Kau sudah aman, Kejora! Tenanglah...!" 
"Aku tak mau kembali ke rumah kotor itu, Suto!"
"Aku juga tak mau," sahut sang Resi. "Di sana sepi,
ada bangkai manusia di lantai bawah. Tapi tak
kutemukan si Geladak Ayu maupun Peluh Setanggi!"
"Mungkin si Kucing Hutan punya rencana sendiri
untuk si Geladak Ayu! Sebaiknya kita segera pergi ke
tempat yang lebih aman, Resi!"
Kejora bertanya, "Darah Prabu bagaimana?! Di mana
dia sekarang?!"
Suto Sinting bingung memberi penjelasan, karena
terakhir kali ia melihat Darah Prabu berhasil mengejar
Peluh Setanggi, sampai senja itu belum pernah jumpa
lagi. Suto pun tak tahu, bagaimana nasib Darah Prabu
saat itu.
Tapi yang jelas, gadis yang dalam tanggung jawabnya
itu sudah bisa diselamatkan dari tangan si penculik, yang
rupanya ingin mendesak  Kejora untuk menunjukkan di
mana Panji-panji Mayat disembunyikan oleh
keluarganya. Suto Sinting merasa heran mendengar
cerita Kejora tentang desakan Kucing Hutan, sehingga ia
pun berkata kepada Resi Pakar Pantun,
"Kalau begitu, Peluh Setanggi tak berhasil membawa
lari Panji-panji Mayat dari tempat kediaman Resi
Badranaya?! Lalu siapa yang memegang pusaka itu
sebenarnya?"


Sang Resi angkat bahu sambil menjawab, "Yang jelas
bukan aku. Sumpah!"
Suto Sinting menatap curiga, sang Resi buang muka
karena tak enak hati dipandang demikian.



SELESAI
 
Segera menyusul!!!
GADIS BURONAN



Pembuat E-book:
DJVU & E-book (pdf): Abu Keisel
Edit: Paulustjing

http://duniaabukeisel.blogspot.com/
  
convert txt : http://www.mardias.mywapblog.com