Pendekar Mabuk 56 - Pembantai Raksasa(1)



1
MAYAT hidup yang penuh belatung itu bergerak
lamban menuju tepian hutan. Mayat itu tak lain adalah
mayat Resi Dirgantara yang telah dibangkitkan kembali
dari kuburnya oleh seorang tokoh aliran hitam yang
cantik dan bertubuh ramping. Perempuan yang bisa
membangkitkan mayat dari kuburnya itu tak lain adalah
Ratu Sangkar Mesum; Penguasa Pulau Cumbu, (Baca
serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Kipas Dewi
Murka").
Semasa hidupnya Resi Dirgantara adalah tokoh aliran
putih yang ilmunya cukup tinggi. Tapi setelah mendapat
pengaruh gaib dari Ratu Sangkar Mesum, kebangkitan
mayatnya menjadi liar dan buas. Ia tak mengenal lawan
maupun teman, mereka diserang dengan membabi buta
dengan tujuan untuk dibunuh. Mayat hidup itu bagaikan
tak suka melihat seseorang hidup dengan raga dan
sukma secara utuh. Karenanya, siapa saja yang
ditemuinya selalu diserang dan dihancurkan.
Kali ini orang yang kepergok perjalanan si mayat
hidup itu adalah seorang gadis berjubah merah
menyolok dengan baju dalamnya yang tanpa lengan itu
berwarna kuning gading. Rambutnya lurus sepundak
bagian depan diponi rata. Hidungnya bangir, matanya
bundar, bibirnya ranum menggairahkan. Gadis itu
berdada montok dengan pinggul yang amat menggiurkan
lawan jenisnya. Sayang sekali kecantikannya itu
berkesan angkuh dan jarang tersenyum, sehingga tidak
setiap pemuda berani mendekatinya.
Gadis yang punya sifat tidak mudah percaya dengan
omongan orang itu membawa kendang kecil yang
dikalungkan memakai kain selendang merah.
Kendangnya berukuran tiga jengkal, terbuat dari kayu
coklat tua berukir. Kendang itu yang menjadi ciri
penampilannya sebagai murid Nyai Serat Biru yang
dikenal dengan nama si Gadis Dungu, walau nama
aslinya adalah Indayani.
Pendekar Mabuk yang bernama Suto Sinting itu
sangat kenal dengan si Gadis Dungu, karena ia pernah
membantu menyelamatkan gadis itu dari ancaman maut
para tokoh beraliran hitam. Indayani pernah diduga
sebagai tokoh muda yang akan menghancurkan aliran
hitam pada usia dua puluh lima tahun nanti, karena ia
ditafsirkan sebagai gadis Titisan Dewa Pelebur Teluh.
Penafsiran itu ternyata salah, karenanya ia diungsikan
oleh sang Guru ke Puncak Gunung Randu untuk
menghindari pertikaian akibat salah duga itu, (Baca
serial Pendekar Mabuk dalam episode : Titisan Dewa
Pelebur Teluh").
Gadis Dungu itu keluar dari pengasingannya karena
diutus oleh sang Guru untuk menemui seorang tokoh tua
yang namanya cukup kondang di dunia persilatan, yakni
Resi Pakar Pantun.
Tetapi perjalanannya terpaksa terhenti oleh
kemunculan sosok mayat hidup yang seluruh tubuhnya
berbelatung menjijikkan. Secara tak langsung mayat itu
telah menghadang langkahnya di tepian hutan. Gadis
Dungu tak mau melarikan diri walau sebenarnya dalam
hatinya merasa jijik dan ngeri melihat penampilan mayat
yang tubuhnya telah hancur dan membusuk itu. Ia
beranikan diri untuk berhenti dengan hati membatin,
"Apa maksudnya makhluk asing ini menghadangku?
Agaknya ia tak bisa diajak bicara lagi. Tapi jika ia
bermaksud tak baik padaku, dengan sangat terpaksa aku
akan menghancurkannya!"
Mayat hidup itu bergerak lebih mendekat lagi.
Langkahnya gontai dan menyebarkan bau busuk yang
memuaikan perut.
Keangkuhan si Gadis Dungu itulah yang membuatnya
tak mau pergi dari tempatnya berdiri, ia bahkan berseru
dengan nada membentak si mayat hidup itu.
"Apa maumu menghadangku, hah?! Mau minta
dihancurkan?!"
"Krrrraaark... krrraakkh... gggrrhh...," hanya itu yang
bisa keluar dari mulut mayat hidup yang bagian bibirnya
telah digerogoti belatung berjubel-jubel itu.
Gadis Dungu tak bisa mengenali wajah itu, sehingga
ia tidak tahu bahwa mayat tersebut adalah mayat Resi
Dirgantara yang pernah dikenalnya semasa kecil. Resi
Dirgantara mempunyai adik bungsu: Nyai Serat Biru,
sedangkan Nyai Serat Biru adalah gurunya si Gadis
Dungu. Seharusnya Indayani menaruh hormat kepada
Resi Dirgantara. Namun dalam keadaan tubuh dan wajah
hancur begitu, si Gadis Dungu tidak punya hasrat untuk
menghormat kepada kakak dari gurunya itu.
"Gggrrhh... kaarrrh... kkhhaark...!" mayat hidup itu
perdengarkan suaranya yang serak dan tak jelas
maksudnya sambil terus dekati si Gadis Dungu.
Setelah mereka dalam jarak lima langkah, tiba-tiba
mayat hidup itu melayang bagaikan terbang dengan jari-
jari tangan yang berkuku panjang dan runcing itu siap
menerkam. Weeess...! Belatung-belatung berhamburan
karena gerakan terbang itu. Bola matanya yang putih rata
bergerak-gerak dengan menyeramkan.
Indayani cepat sentakkan kakinya dan bersalto ke
belakang dua kali setelah sebelumnya mundur mencapai
samping pohon. Akibatnya mayat terbang itu
menghantam pohon tersebut dengan keras. Prrrook...!
Krrraaakk... brrruuuuk!
Pohon itu tumbang seketika, batangnya yang sebesar
satu pelukan manusia dewasa itu patah karena terjangan
mayat hidup tersebut. Si Gadis Dungu terperanjat
melihat kekuatan mayat hidup yang mampu mematahkan
batang pohon sebesar itu.
"Gila! Rupanya ia punya kekuatan yang cukup
besar?! Oh, aku harus hati-hati melawannya."
Sebagian daging yang membusuk ada yang jatuh
akibat benturan dengan batang pohon tadi, demikian
juga belatung-belatungnya berguguran. Namun bukan
berarti semua belatung jatuh dari tubuhnya yang busuk,
karena dari dalam kebusukan itu masih tersisa ratusan
belatung yang saling berjubel-jubel. Mayat yang tangan
kirinya telah buntung itu bagai tidak mempunyai rasa
sakit. Walau ia telah jatuh terpuruk karena benturan
dengan pohon, namun dalam waktu singkat ia telah
bangkit kembali dan menggeram mengerikan dengan
gerakan kepala mencari di mana mangsanya berada.
Indayani segera menabuh kendangnya saat mayat itu
mulai melangkah mendekatinya lagi. Kendang kecil itu
ditabuh dengan dua tangan dan keluarkan bunyi yang
nyaring didengar.
Dung plak, plak, dung, dung, plak.
Dung, plak, dung, dung!
Plak, dung-dung, plak dung-dung, plak-plak, bledug!
Suara gaib kendang membuat mayat akhirnya menari-
nari dengan gerakan kaku. Sesekali terdengar suara
geramnya pertanda ia jengkel pada dirinya sendiri yang
sebenarnya tak mau menari. Tetapi karena suara gaib
dari bunyi kendang itu berlalu terus, semakin cepat
iramanya semakin cepat tariannya. Akhirnya mayat Resi
Dirgantara itu berjingkrak-jingkrak mengikuti irama
kendang dengan tarian yang tak jelas aturan geraknya.
Dung, biang, dung, biang... plak.
Plak, plak, dung-dung.
Biang, piak dung, dung, plak, dung, dung.
Biang, biang, duuut... biang, biang, duuut...!
"Goyang terus sampai pagiii...!" ledek Indayani
sambil tetap menabuh kendangnya dengan irama cepat.
Mayat itu pun menari kian penuh semangat. Gerakannya
tak beraturan lagi, kakinya berjingkrak ke sana kemari,
tangan kanannya berkelok-kelok tanpa mempunyai
gerakan gemulai. Kepalanya kadang menggeleng ke kiri-
kanan, sesekali tersentak ke depan, pinggul pun
bergoyang lucu.
Ada suara tawa yang tersembunyi di balik pepohonan
agak jauh. Suara tawa itu mengikik pertanda datang dari
mulut seorang gadis juga. Hanya saja, mulut mungil
gadis yang tertawa itu tiba-tiba terbekap sebuah tangan
yang datang dari belakangnya. Mau tak mau si gadis tak
bisa mengikik geli melihat mayat hidup menari dan
bergoyang pinggul.
"Uuff... uuff...! Puih...!" gadis itu menyentakkan
tangan yang membekapnya.
"Kenapa aku tak boleh tertawa? Orang berpenyakit
kulit itu lucu. Sudah penyakitan masih saja menari
berjoget begitu mendengar suara kendang."
"Dia bukan orang berpenyakit kulit. Dia adalah mayat
hidup."
"Hahh...?! Mayat?!" gadis berwajah mungil itu
mendelik dan menjadi tegang.
"Mayat itu dibangkitkan dengan kekuatan gaib oleh
seorang tokoh beraliran hitam, tapi karena sudah tidak
dikendalikan oleh kekuatan batin orang tersebut, maka
mayat itu hidup dengan liar."
"Oh, benarkah beg... begitu...?!" si gadis mulai
gemetar. Wajah cantiknya segera berubah pucat pasi.
Pemuda tampan yang mendampinginya tertawa
tertahan dan berkata dalam gumam,
"Yang jadi mayat di sana kok yang pucat di sini?!"
"Benarkah dia mayat hidup, Suto?!" tanya si gadis
berpakaian kuning berbelahan dada lebar. Gadis
berambut lurus panjang sepunggung itu tak lain adalah
Dewi Kejora yang akrab dipanggil dengan nama Kejora
saja. Sedangkan pemuda tampan berbaju coklat tanpa
lengan dengan celana putih itu adalah Pendekar Mabuk;
Suto Sinting, yang kemana-mana selalu membawa
bambu bumbung tuak.
"Lalu... lalu siapa gadis penabuh kendang itu?
Apakah kau mengenalnya?!"
Pendekar Mabuk ingin menjawab, tapi mulutnya
hanya sempat ternganga, karena tiba-tiba ia mendengar
suara ledakan yang cukup mengejutkan.
Jegaaar...!
Pandangan matanya segera tertuju pada si Gadis
Dungu yang akan disebutkan namanya. Di sana terjadi
ledakan yang mengepulkan asap sepintas. Pendekar
Mabuk tertegun sejenak melihat kenyataan yang ada di
depannya. Mayat hidup itu ternyata telah menjadi hancur
dengan potongan-potongan dagingnya menyebar ke
mana-mana, menempel pada pepohonan serta daun-daun
lebar. Rupanya si Gadis Dungu telah menghantamnya
dengan tenaga dalam bersinar biru dari tangannya.
Pada saat si mayat berjoget dengan gerakan semakin
cepat, kendali kekuatan tenaga dalamnya pun terlepas.
Dan pada saat itulah Indayani menghantamnya dengan
sinar biru yang mampu menghancurkan baja. Pada saat
itu juga mayat pun hancur menjadi berkeping-keping.
Jika kendali kekuatan tenaga dalam masih bekerja secara
naluri, maka si mayat hidup itu sukar dihancurkan
dengan kekuatan tenaga dalam macam apa pun.
Pendekar Mabuk hanya bisa menggumam, "Celaka!
Gadis Dungu tak tahu siapa mayat itu, sehingga dengan
seenaknya menghancurkannya!"
"Siapa yang kau maksud Gadis Dungu?" tanya Kejora
yang memang kecerdasannya kurang.
"Siapa lagi kalau bukan si penabuh kendang itu."
"O, jadi kau mengenalnya?"
"Ya, aku mengenalnya. Sebaiknya kita temui dia!"
Pemuda tampan berbadan kekar dan gagah itu segera
membawa Kejora menemui si Gadis Dungu. Kehadiran
pemuda berambut lurus tanpa ikat kepala sepanjang
pundak itu membuat Indayani terperanjat girang.
"Oh, kau... kau Suto Sinting, bukan?!"
Pendekar Mabuk sunggingkan senyum menawan.
"Bukan. Aku adalah si Dogol!"
Suto Sinting memancing ingatan si Gadis Dungu
yang dulu tak mau percaya bahwa dirinya adalah
Pendekar Mabuk bernama Suto Sinting. Senyum geli
mekar di bibir angkuh Indayani karena ingat dulu ia
memanggil Suto Sinting dengan nama si Dogol, karena
ia tak mau percaya pengakuan Suto Sinting tentang jati
dirinya.
"Indayani, maukah kau kukenalkan dengan sahabat
baruku ini?" ujar Suto Sinting memperkenalkan Kejora
kepada Indayani. Senyum si Gadis Dungu tiba-tiba
lenyap begitu memandang ke arah Kejora. Pandangan
matanya berkesan sinis, sementara Kejora sendiri juga
memandang kurang bersahabat.
"Rupanya kau terlalu mudah terpikat oleh wajah yang
tak seberapa cantik itu, Dogol!" ucap Indayani dengan
ketus.
Kejora segera bertanya kepada Suto Sinting dengan
kepolosannya, "Apakah wajahku kurang cantik, Suto?"
"Hmmm... eeh... anu...," Suto Sinting jadi salah
tingkah, tak enak hati mendengar ucapan Indayani tadi.
"Atau barangkali kau memang gemar bersahabat
dengan gadis berwajah musang?!"
Kejora kembali bertanya kepada Pendekar Mabuk,
"Suto..., apakah wajahku ini mirip wajah musang?"
"Iya...!" jawab indayani dengan ketus sekali.
"Suto, musang itu seperti apa?"
"Ya seperti kamu itu!" sahut Indayani.
"O, kalau begitu musang itu cantik, ya?!"
"Hhhmmm...!" Indayani buang muka sambil
mencibir. Pendekar Mabuk buru-buru mengatasi suasana
tak akrab itu dengan mengalihkan pembicaraan.
"Ehhhmm... Indayani, mengapa kau keluar dari
pengasinganmu?"
"Aku diutus oleh Guru untuk menemui Resi Pakar
Pantun."
"Oh. Resi Pakar Pantun...?!" Suto Sinting kerutkan
dahi sedikit. "Ada perlu apa Nyai Serat Biru
mengutusmu mencari Resi Pakar Pantun?"
Dengan dagu sedikit terangkat hingga tampak
angkuh, Indayani menjawab, "Guru ingin meminta
bantuan Resi Pakar Pantun untuk mengurus makam
kakak sulungnya; Resi Dirgantara. Sebab, ada kabar
yang didengar oleh Guru bahwa jenazah Eyang Resi
Dirgantara telah dibangkitkan seseorang. Guru ingin
meminta bantuan Resi Pakar Pantun untuk
mengembalikan jenazah Eyang Resi Dirgantara ke
makamnya. Menurut Guru, Eyang Resi Dirgantara
semasa hidupnya adalah sahabat Resi Pakar Pantun."
"Indayani...," ucap Suto Sinting agak ragu. Gadis itu
memandang dengan angkuhnya sebagai unjuk lagak di
depan Kejora.
"Apakah... apakah kau tak tahu bahwa mayat yang
kau hancurkan itu adalah mayat Eyang Resi
Dirgantara?!"
"Hahh...?!" Indayani terperanjat kaget, dahinya
berkerut tajam, matanya memandang lekat-lekat pada
Suto Sinting.
"Aku bicara dengan sesungguhnya, Indayani. Mayat
hidup itu adalah mayat Resi Dirgantara yang
dibangkitkan kembali dari kuburnya oleh Ratu Sangkar
Mesum untuk mengejar dan membunuh Resi Pakar
Pantun. Tapi usaha itu sempat kugagalkan dan Resi
Pakar Pantun sekarang berada di pondoknya Nini
Kalong."
Dengan mengangkat wajah sedikit Indayani berkata,
"Kau pikir aku percaya dengan bualanmu?!"
"Aku tidak membual. Kau boleh tanyakan sendiri
kepada Resi Pakar Pantun."
"Hmmm...!" Indayani mencibir. "Indayani bukan
gadis sebodoh gadismu itu. Aku tak bisa kau tipu dengan
kata-kata seperti itu."
"Mengapa kau tidak mau percaya dengan
penjelasanku, Indayani? Aku sendiri pernah melawan
mayat hidup itu!"
"Jangan sesumbar walau di depan gadis setengil dia,
Suto!" sambil Indayani menuding Kejora. "Kau tak akan
mampu melawan kekuatan mayat hidup tadi. Hanya
akulah yang mampu menghancurkannya, dan kau sudah
lihat sendiri buktinya!"
"Kalau aku mau sudah kuhancurkan sejak dulu. Tapi
aku ingat bahwa dia adalah mendiang kakak dari
gurumu, jadi aku tak berani menghancurkannya. Aku
berani bersumpah apa pun, dia memang mayat Resi
Dirgantara!"
"Persetan dengan sumpahmu! Urus saja gadismu
yang pikun itu! Aku akan mencari Resi Pakar Pantun!"
ketus Indayani semakin tajam, lalu tanpa permisi lagi ia
melesat pergi tinggalkan tempat itu. Pendekar Mabuk
hanya bisa geleng-geleng kepala sambil memandangi
kepergian Indayani.
*
* *
2
SETELAH berhasil membunuh orang kepercayaan si
Raja Iblis alias Barakoak, dan berhasil pula memporak-
porandakan Candi Bangkai dengan hembusan napas
badainya, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode :
"Utusan Raja Iblis"), Suto Sinting segera berunding
kembali dengan ketiga kakak-beradik cantik-cantik itu;
Dewi Hening, Kejora, dan si kecil tengil Menik.
Perundingan itu menghasilkan putusan pembagian tugas;
Dewi Hening pergi ke Lembah Sunyi untuk temui Resi
Wulung Gading dan menanyakan tentang keberadaan
pusaka leluhurnya yang bernama Panji-panji Agung alias
Panji-panji Mayat. Kepergian Dewi Hening, sang kakak
sulung itu, didampingi oleh adik bungsunya yang kecil
dan tengil; Menik, yang selalu berlagak sok tua itu.
Sedangkan Pendekar Mabuk didampingi Kejora pergi
ke Jurang Lindu untuk menemui si Gila Tuak, guru Suto
Sinting sendiri. Karena diduga si Gila Tuak juga
mengetahui tentang pusaka Panji-panji Agung yang
menjadi pusaka warisan dari leluhurnya tiga kakak-
beradik itu. Karena menurut cerita Dewi Hening, eyang
buyutnya yang bernama Sabang Wirata, juga mendiang
nenek mereka yang bernama: Nyai Parisupit, adalah
bekas sahabat si Gila Tuak.
"Menurut cerita Nenek," kata Kejora sebelum mereka
berbagi tugas, "Eyang Sabang Wirata pernah ditolong
oleh sahabatnya yang bernama Ki Sabawana saat
mempertahankan pusaka Panji-panji Agung dari tangan
Gajahloka. Ki Sabawana itulah yang sekarang dikenal
dengan nama si Gila Tuak dan...."
"Gajahloka itu siapa?" potong Suto karena merasa
asing dengan nama itu.
Dewi Hening yang menjawab pertanyaan tersebut
dengan suara berbisik:
"Gajahloka adalah anak dari Eyang Kurupati.
Sedangkan Eyang Kurupati adalah saudara tiri Eyang
Sabang Wirata termasuk saudara seperguruan. Gajahloka
mempunyai tiga anak, yang bungsu seorang perempuan,
dan perempuan itu adalah Ibu dari Barakoak."
"O, jadi Gajahloka adalah kakeknya Barakoak?"
"Benar," jawab Dewi Hening yang selalu
menggunakan suara bisik karena suara lantangnya
mempunyai kekuatan gaib yang cukup dahsyat,
berakibat buruk jika diperdengarkan.
"Sekarang bagaimana nasib Gajahloka? Apakah ia
masih hidup?" tanya Suto Sinting.
"Kami tak pernah mendapat penjelasan tentang nasib
Gajahloka sekarang ini," jawab Dewi Hening dalam
suara desah membisik. "Barangkali gurumu si Gila Tuak
lebih tahu tentang Gajahloka ketimbang kami, Suto."
Dari hasil pembicaraan itulah maka mereka berpisah
langkah. Sebenarnya si kecil Menik ingin sekali ikut
bersama Pendekar Mabuk, tetapi Kejora ngotot bahwa
dirinya yang harus ikut mendampingi Pendekar Mabuk.
Si kecil Menik yang berotak cerdas dan sok tua itu
sempat berdebat lucu dengan Kejora, tapi akhirnya Dewi
Hening memutuskan agar si kecil Menik ikut
bersamanya ke Lembah Sunyi menemui Resi Wulung
Gading.
Namun perjalanan menuju tempat kediaman Gila
Tuak itu terhenti akibat berpapasan dengan langkah
seorang lelaki berusia sekitar empat puluh tahun. Orang
itu berpakaian hijau tua, berbadan kurus dan agak
pendek, tanpa kumis dan jenggot, dengan rambutnya
yang pendek hitam berikat kepala putih. Pendekar
Mabuk sangat kenal dengan orang tersebut yang tak lain
adalah pelayan dari Resi Pakar Pantun bernama si Kadal
Ginting.
Lelaki yang tak cukup punya keberanian itu segera
berlari menyongsong langkah Suto Sinting dengan wajah
tegang dan terengah-engah. Pendekar Mabuk sempat
berkerut dahi karena merasa heran melihat Kadal
Ginting berjalan sendirian, sementara Kejora sempat
berlindung di belakang tubuh kekar Pendekar Mabuk
karena merasa takut melihat wajah jeleknya si Kadal
Ginting.
"Beruntung sekali aku bisa bertemu denganmu,
Suto!"
"Biasanya kau mendampingi tuanmu; Resi Pakar
Pantun, tapi mengapa sekarang kau sendirian, Kadal
Ginting?!"
"Itulah kebingunganku, Suto," jawab Kadal Ginting
dengan wajah mulai tampak tenang, karena merasa
bertemu dengan tokoh sakti yang dapat melindunginya
sewaktu-waktu dan bisa diharapkan bantuannya. Tetapi
begitu Kadal Ginting mengetahui bahwa Pendekar
Mabuk bersama seorang dara cantik jelita, rasa takutnya
itu semakin ditekan habis dan dipaksakan agar tak
tampak sama sekali, ia malu kepada sang dara cantik jika
kelihatan jiwa pengecutnya. Ia tak tahu bahwa Kejora
pun seorang gadis yang mudah dicekam perasaan takut.
Dengan sedikit lebih tegas lagi, Kadal Ginting
menyambung ucapannya yang tadi terhenti karena
matanya melirik Kejora.
"Aku terpisah dengan Eyang Resi sejak pertarungan
dengan pihak Ratu Sangkar Mesum. Sampai sekarang
aku tak pernah berhasil menemukan Eyang Resi. Apakah
kau mengetahui di mana beliau sekarang, Suto? Soalnya
upah bulananku untuk bulan ini belum kuterima dari
beliau."
Pendekar Mabuk sunggingkan senyum geli. Ia
teringat peristiwa pertemuannya dengan Resi Pakar
Pantun saat sang Resi dikejar-kejar Ratu Sangkar
Mesum, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode :
"Kipas Dewi Murka"). Maka kisah itu pun dituturkan
oleh Pendekar Mabuk dan Kadal Ginting segera ajukan
tanya,
"Kalau begitu, apakah sampai sekarang Eyang Resi
masih ada di pondoknya Nini Kalong?"
"Mungkin saja masih di sana, tapi mungkin juga
sudah pergi. Aku tak bisa pastikan, Kadal Ginting.
Tetapi seandainya Resi Pakar Pantun sudah tidak ada di
Hutan Rawa Kotek, kau bisa tanyakan arah
kepergiannya kepada Nini Kalong; si Penguasa Hutan
Rawa Kotek itu."
Kadal Ginting ingin bicara lagi, tapi tiba-tiba
tubuhnya mengejang dan kaku. Matanya mendelik dan
mulutnya ternganga bagai tak bisa bernapas lagi.
"Suto, kenapa dia?!" Kejora menjadi tegang dan
matanya ikut terbelalak kaget.
Zlaaap, zlaaap...! Pendekar Mabuk melesat dengan
cepat bagaikan menghilang, ia menggunakan jurus
'Gerak Siluman' yang kecepatannya melebihi kecepatan
anak panah itu. Ia berkelebat menuju kerimbunan pohon
di sebelah selatan, karena ia tadi sempat melihat
sekelebat warna putih kemliau menerjang punggung
Kadal Ginting yang berjarak tiga langkah dari depannya
itu. Warna putih kemilau itu datangnya dari balik semak
sebelah selatan.
Namun usahanya mencari penyerang gelap tak
berhasil. Pendekar Mabuk cepat kembali ke tempat
semula untuk memeriksa keadaan Kadal Ginting.
"Ooh...?!" alangkah terkejutnya Pendekar Mabuk
ketika kembali ke tempat semula ternyata Kejora sedang
terancam bahaya.
Seorang perempuan cantik sedang menodongkan
sebilah pedang ke leher Kejora. Tubuh gadis itu berada
merapat dengan pohon dan kepalanya sedikit terdongak,
ia tak berani berteriak, bahkan bergerak sedikit pun tak
berani dilakukan. Perempuan yang menodongkan sebilah
pedang itu memandangi Suto Sinting dengan pandangan
cukup tajam, senyum sinis tampak mekar di bibirnya
yang sedikit tebal namun menggiurkan itu. Sedangkan si
Kadal Ginting dalam keadaan tertelungkup tak sadarkan
diri. Di punggungnya menancap kuat sebuah benda
logam putih mengkilat anti karat berbentuk mata
tombak.
"Siapa perempuan itu?" pikir Suto Sinting dalam hati.
"Seingatku baru sekarang aku bertemu dengannya.
Hmmm... tak jelas siapa yang dimusuhinya antara aku,
Kejora, dan si Kadal Ginting. Tapi mengapa ia
pergunakan Kejora sebagai sandera? Agaknya ia ingin
bicara denganku."
Pendekar Mabuk masih tetap tenang dengan
pandangan mata tak mau lepas dari seraut wajah cantik
berpakaian seronok. Perempuan itu hanya mengenakan
kutang dari kain warna hijau disulam benang emas. Kain
penutup dada yang montok itu sangat kecil, hingga
seolah-olah menutup bagian ujung seperlunya saja. Kain
kutangnya yang melingkar ketat ke belakang itu terbuat
dari rantai kuning emas.
Pakaian bawahnya kain hijau berbelahan empat,
tinggi belahan sampai ke bawah pinggulnya. Jika
bergerak kain itu menyingkap hingga tampak kulit
pahanya menantang hasrat bagi lawan jenisnya. Kulit
bertubuh sekal itu tampak halus mulus berwarna kuning
langsat. Namun pada bagian atas payudaranya yang kiri
tampak terdapat sebuah tato bergambar seekor naga
berukuran sejengkal.
"Apa maksudmu mengancam sahabatku itu, Nona?!"
sapa Suto Sinting kepada perempuan berusia sekitar dua
puluh lima tahun itu.
"Aku menuntut kematian pamanku. Kudengar kabar
dari para korban yang selamat, Pendekar Mabuk itulah
orang yang membunuh pamanku. Dan kau adalah
Pendekar Mabuk yang memihak keluarga Dewi Hening,
bukan?!"
"Siapa pamanku itu, Nona?!'
"Badai Kutub!" jawab gadis itu dengan tegas.
Matanya yang berkesan jalang memandang nanar,
namun masih tampak sinar penggoda dari pandangan
mata itu. Agaknya perempuan berambut mekar terurai
dan berbentuk ikai bergelombang itu punya maksud
sendiri dari tatapan matanya. Nyaris tak terlihat sinar
kebencian walau sikapnya bermusuhan kepada Pendekar
Mabuk.
Ketika Suto Sinting ingin memeriksa keadaan Kadal
Ginting, tiba-tiba perempuan yang masih tampak muda
dan cantik sekali itu menghardik dengan suara keras,
"Jangan melangkah lagi!"
Maka Suto Sinting pun tak jadi melangkah.
"Satu langkah lagi kau maju, leher Kejora kurobek
dengan pedangku ini!" ancamnya penuh kesungguhan,
karena genggaman tangannya pada pedang tampak
mengencang.
"Lalu apa maksudmu menyerang Kadal Ginting dan
menyandera Kejora, Nona?"
"Kau harus menebus kematian pamanku; si Badai
Kutub. Sebab dialah yang memelihara aku sejak kedua
orangtuaku tiada saat aku berusia empat tahun!"
"Aku tak melihat dendam di matamu. Apa yang ingin
kau tuntut dariku sebenarnya? Tuntutlah aku dan
lepaskan Kejora!"
"Tidak bisa! Gadis ini akan kubunuh jika kau tak mau
menuruti permintaanku."
"Apa permintaanmu?" desak Suto Sinting sambil
matanya memperhatikan gerakan tangan perempuan itu.
Tangan yang tak berpedang itu mengambil sesuatu dari
dalam kutangnya, kemudian sesuatu itu dilemparkan
kepada Suto Sinting dan dengan cepat Suto Sinting
menangkapnya. Wuuut...!
Ternyata sesuatu yang dilemparkan itu adalah obat
berbentuk butiran kecil sebesar kotoran kambing,
berwarna hitam dan berbau rempah-rempah. Perempuan
muda berhidung mancung itu berseru kembali kepada
Suto Sinting.
"Telan obat itu, jika tidak maka pedangku ini akan
menembus leher gadismu ini!"
"Jaaa... jaaa... jangan...!" Kejora ketakutan sekali,
wajahnya pucat dan keringat dinginnya mengalir.
Pendekar Mabuk pandangi obat itu dalam
kebimbangan, ia menatap perempuan berdada besar itu
dan ajukan tanya dengan sikapnya tetap tenang.
"Obat apa ini?"
"Telan saja, dan kau akan mati dengan tenang tanpa
merasakan sakit sedikit pun."
"Mengapa kau tidak membunuhku saja?!"
"Terlalu sulit membunuh seorang pemuda tampan
berbadan gagah sepertimu!" jawabnya dengan nada tegas
tapi mempunyai kesan pujian yang tersembunyi. Suto
Sinting akhirnya sunggingkan senyum tipis pada
perempuan itu.
"Jadi kau takut bertarung denganku?"
"Ilmuku tak setinggi ilmumu, jelas aku akan kalah.
Tapi dengan cara begini maka kau akan mati tanpa harus
kujamah dengan pedangku!"
Pendekar Mabuk pandangi tubuh Kadal Ginting
sesaat. Luka yang ditembus senjata rahasia itu mulai
berasap. Sejenis racun berbahaya mulai bekerja dan
sangat membahayakan bagi keselamatan jiwa Kadai
Ginting. Seharusnya pelayan sang Resi itu segera diberi
minuman tuak sakti yang ada di bumbung bambu
bawaan Suto, tetapi agaknya perempuan berbibir ranum
menggiurkan itu tidak ingin Suto lakukan pengobatan
kepada si Kadal Ginting.
"Orang yang kau serang dengan senjata rahasiamu ini
tidak ikut campur dalam pertarunganku dengan si Badai
Kutub, mengapa ia kau serang juga? Rasa-rasanya
kurang bijaksana jika kau tidak bebaskan si Kadal
Ginting ini dari pengaruh racun senjata rahasiamu itu."
"Jangan banyak bicara! Telan obat dariku itu!" sentak
perempuan tersebut dengan mata melebar.
"Akan kuturuti tuntutanmu, tapi aku harus selamatkan
orang tak berdosa ini lebih dulu."
"Tak ada yang bisa selamatkan orang yang sudah
terkena senjata 'Lidah Malaikat'-ku itu, karena racunnya
tak bisa disembuhkan oleh siapa pun kecuali oleh diriku
sendiri!"
"Apakah kau yakin hanya kau yang bisa menawarkan
racun itu? Bagaimana jika kubuktikan bahwa aku
mampu membuat tawar racun dalam senjata 'Lidah
Malaikat'-mu itu?!"
Untuk sesaat suasana menjadi hening. Perempuan itu
agaknya mempertimbangkan kata-kata Suto Sinting.
Rasa ingin tahunya mulai terpancar dari gerakan
matanya yang sebentar-sebentar tertuju pada tubuh
Kadal Ginting.
"Barangkali kau ingin mengetahui bagaimana
seseorang mampu mengalahkan kekuatan racun dalam
senjata rahasiamu itu?! Kau akan mendapat pengalaman
yang amat berharga jika ternyata aku benar-benar bisa
menyelamatkan Kadal Ginting dari racunmu!"
"Omong kosong! Selama ini tak pernah ada korban
yang bisa selamat dari racun 'Lidah Malaikat', kecuali
orang itu segera kuberi penawarnya."
Senyum kalem Suto Sinting tampak mekar tipis,
sengaja menggoda ketegaran hati perempuan bertato
naga itu. Lirikan mata Suto Sinting pun tampak
mengganggu ketenangan dan membuat hati si
perempuan berdebar-debar tak karuan.
"Baiklah, kuizinkan kau mencobanya! Aku ingin tahu
seberapa jauh kemampuanmu dalam menghadapi racun
pada senjata 'Lidah Malaikat'-ku itu!"
Akhirnya pendekar tampan itu mencabut senjata
rahasia yang telah menancap di punggung Kadal
Ginting. Senjata yang terbentuk menyerupai mata
tombak itu melesat keluar dari punggung Kadal Ginting
dengan cara telapak tangan Pendekar Mabuk ditepukkan
di samping luka. Ploook...! Wuuuut...!
"Gila! Dia mampu membuat senjataku melesat dari
tubuh korban hanya dengan menepuk bagian tepi
lukanya. Pasti ia kerahkan tenaga dalamnya untuk
membuat sentakan hingga mementalkan sen-jata 'Lidah
Malaikat'-ku," pikir sang keponakan Badai Kutub itu.
Dan lebih menakjubkan lagi, ternyata senjata yang
melesat ke atas itu menancap kuat pada dahan sebuah
pohon yang cukup keras. Jrrub...! Lalu, daun-daun
pohon itu pun berguguran sebagian. Weeerr...!
"Edan...!" gumam batin perempuan yang kelihatan
pusarnya itu.
Selama Pendekar Mabuk mengobati Kadal Ginting,
perempuan itu memperhatikan dengan hati menyimpan
perasaan kagum atas kesaktian si murid sinting Gila
Tuak itu. Pengobatan itu dilakukan Suto bukan dengan
menggunakan jurus 'Sembur Husada' melainkan dengan
cara memaksa mulut Kadal Ginting agar terbuka, lalu
sedikit demi sedikit tuak dalam bumbung dituangkan ke
mulut itu. Agar tuak tertelan, kepala Kadal Ginting
diguncang-guncangkan sampai akhirnya orang itu
tersedak dan terbatuk-batuk. Kadal Ginting siuman
kembali, namun luka di punggungnya belum sempat
mengering.
Pendekar Mabuk membiarkan tubuh Kadal Ginting
masih terkulai lemas dalam keadaan telungkup, ia yakin
sebentar lagi racun yang telah terlanjur masuk ke dalam
tubuh Kadal Ginting akan lenyap dan lukanya akan
hilang pula. Sambil menunggu Kadal Ginting sehat
kembali, Pendekar Mabuk mulai pandangi si perempuan
yang masih menodongkan pedangnya ke leher Kejora.
"Siapa namamu sebenarnya?!" tanya Suto Sinting
dengan berdiri dalam jarak lima langkah di depan
perempuan itu.
"Kau tak perlu, heeeeggh...!"
"Aaaaa...!"
Tiba-tiba perempuan itu mengejang kaku dengan
napas terhenti sesaat, matanya terbeliak dengan kepala
terdongak ke atas. Pedangnya pun terlepas dari
genggaman dan jatuh ke tanah. Hal itulah yang membuat
Kejora menjerit dengan wajah sangat ketakutan.
Rupanya ada seseorang yang menyerangnya dari
belakang dengan menggunakan jurus totokan jarak
jauhnya. Pendekar Mabuk terkesiap ketika memandang
ke arah pepohonan di belakang perempuan tersebut.
Sedangkan Kejora sudah lebih dulu berlari
menghamburkan diri dan memeluk Suto Sinting. Saat
Pendekar Mabuk menerima pelukan Kejora itulah orang
yang melepaskan totokan dari jarak jauh muncul dari
balik pepohonan. Lompatannya yang cepat bagaikan
angin berhembus menandakan ilmunya cukup tinggi.
Wuuut...! Jleeeg..!
Dengan cepat Suto Sinting langsung mengenali
seorang pemuda tampan berompi dan bercelana hijau,
lebih muda dari warna hijaunya perempuan yang
mengaku keponakan dari Badai Kutub itu. Kejora sendiri
terperanjat kagum memandangi pemuda berkulit kuning
bersih dengan rambutnya yang panjang digulung di
tengah, sisanya dibiarkan meriap dengan gemulai.
Pemuda berpedang sarung perak di pinggangnya itu
sunggingkan senyum menawan ke arah Suto Sinting.
Tetapi pancaran matanya sempat berkelebat ke arah
Kejora, hingga hati Kejora merasa berdesir indah
menerimanya.
"Darah Prabu...?!" sapa Suto Sinting bernada penuh
persahabatan. Keramahannya pun mengembang lebih
ceria lagi ketika pemuda yang bernama Darah Prabu itu
kian melangkah mendekatinya.
"Buanglah obat itu. Kalau kau menelannya kau bukan
mati, tapi menjadi gila cumbuan." Ia tertawa pelan
seperti orang menggumam.
Suto Sinting hanya tertawa kecil pula. "Obat itu
sudah kubuang sejak tadi, saat aku mengobati si Kadal
Ginting," sambil mata Pendekar Mabuk melirik ke arah
Kadal Ginting. Pelayan Resi Pakar Pantun itu mulai
menggeliat bangun. Bekas lukanya telah lenyap dan
rapat kembali seperti sediakala, seakan ia tak pernah
mengalami luka yang mengepulkan asap seperti tadi.
"Kasihan dia, tak tahu masalahnya hampir menjadi
korban tingkahnya Peluh Setanggi," Darah Prabu melirik
ke arah si keponakan Badai Kutub itu.
"O, dia bernama Peluh Setanggi?!"
"Aku sedang memburunya," jawab Darah Prabu.
"Alangkah beruntungnya kau mempunyai buronan
cantik seperti dia. Darah Prabu."
Pria tampan yang usianya lebih muda dari Suto
Sinting itu hanya tertawa kecil tak berkesan urakan.
Darah Prabu memang terdidik untuk menjadi seorang
pemuda yang punya penampilan terhormat, sebab dia
adalah murid dari Resi Badranaya, tokoh sakti aliran
putih yang cukup disegani di rimba persilatan. Pendekar
Mabuk bertemu dengan Darah Prabu yang merupakan
adik dari Pinang Sari, murid Nini Pucanggeni saat
mereka terlibat perkara sebuah pusaka yang merupakan
satu-satunya senjata untuk mengalahkan si pemakan
daging manusia itu; Gandapura, (Baca serial Pendekar
Mabuk dalam episode : "Kapak Setan Kubur").
"Apakah dia memang keponakannya si Badai
Kutub?" Kejora memberanikan diri bertanya kepada
Darah Prabu.
"Memang, tapi dia bukan murid dari Badai Kutub.
Dia tidak punya warisan ilmu apa pun dari Badai
Kutub," jawab Darah Prabu dengan tatapan mata
lembutnya terarah terus ke wajah mungil Kejora.
"Lalu, persoalan apa yang membuatmu memburu
Peluh Setanggi?" tanya Suto Sinting, dan Darah Prabu
hanya tersenyum-senyum, agaknya ia ragu untuk
menceritakan perkara sebenarnya. Pendekar Mabuk
sempat berpikir,
"Mengapa ia ragu menceritakan perkaranya dengan
Peluh Setanggi? Ada rahasia apa sebenarnya yang harus
ia sembunyikan di depanku?"
*
* *
3
BEGITU tegangnya Darah Prabu ketika mengetahui
Peluh Setanggi lenyap dari tempatnya. Sekelebat
bayangan melintas bagaikan cahaya, menyambar Peluh
Setanggi dan membawanya pergi ke arah utara. Saat
itulah mereka menjadi terkesima sejenak, lalu Darah
Prabu pergi berkelebat tanpa pamit pada siapa pun.
Weeeess...!
"Dia melarikan diri, Suto!" ujar Kejora dengan wajah
tampak sedikit tegang.
"Darah Prabu bukan melarikan diri, tapi mengejar
buronannya!" Pendekar Mabuk meluruskan pendapat
Kejora.
Kadal Ginting ikut menimpali, "Kelihatannya Darah
Prabu sangat ketakutan. Takut kalau buronannya
dilarikan jauh-jauh oleh seseorang."
"Aku bisa merasakan kecemasan Darah Prabu. Tapi
aku tak bisa mengerti mengapa Darah Prabu sangat
khawatir akan keadaan buronan cantiknya itu," ujar
Pendekar Mabuk.
"Bukankah kudengar tadi Darah Prabu menyebutkan
nama Peluh Setanggi?!"
"Perempuan yang menodongmu dengan pedang tadi
yang bernama Peluh Setanggi."
"Kuingat seseorang yang menjadi guru dan
mempunyai murid bernama Peluh Setanggi."
"Siapa orang itu?!" Pendekar Mabuk berkerut dahi
sambil menatap Kejora.
"Hmmm... ah, sayang aku lupa nama orang itu,"
jawab Kejora berkesan plin-plan.
"Tadi katanya ingat seseorang yang punya murid
Peluh Setanggi, sekarang mengaku tak ingat namanya?!
Bagaimana kau ini sebenarnya, Nona?!" Kadal Ginting
menggerutu sambil bersungut-sungut. Rupanya Kadal
Ginting menjadi segar dan otaknya terasa sedikit cerdas
sejak meminum tuak Suto Sinting tadi. Kini ia justru
ajukan usul kepada Pendekar Mabuk,
"Bagaimana jika kita ikuti jejak pelarian Darah
Prabu?"
"Aku baru mempertimbangkan begitu," kata
Pendekar Mabuk, lalu ia menenggak tuaknya beberapa
teguk.
"Aku jadi penasaran dengan si Peluh Setanggi itu.
Aku ingin membalas melukainya, karena aku tak punya
salah padanya tapi dilukai."
"Kalau tujuanmu hanya untuk membalas dendam,
kusarankan lebih baik kau segera ke Hutan Rawa Kotek
dan menemui Nini Kalong. Kau akan bertemu dengan
tuanmu; Resi Pakar Pantun!"
Kadal Ginting mengeluh pelan, wajahnya tampak
murung, ia merasa dilarang oleh Pendekar Mabuk dan
jiwa patuhnya masih membekas di hati, sehingga ia tak
berani menentang saran Pendekar Mabuk. Akhirnya ia
segera pergi ke Hutan Rawa Kotek setelah mendapat
pengarahan dari Suto Sinting tentang jalan menuju
Hutan Rawa Kotek.
Si cantik mungil Kejora ajukan tanya kepada Suto
Sinting, "Apakah kita juga akan pergi ke Hutan Rawa
Kotek?!"
"Untuk apa kita ke sana?"
"Untuk melihat apakah orang yang bernama Resi
Pakar Pantun itu masih ada di sana? Karena aku ingin
meminta bantuannya untuk membuatkan sebuah pantun
percintaan."
"Oh, kau sedang jatuh cinta?!" Suto Sinting
tersenyum menggoda.
"Tidak, aku tidak sedang jatuh cinta. Aku hanya
sedang mencoba untuk mencintai seseorang."
"Siapa orang yang ingin kau cintai itu?" desak Suto
Sinting dengan terang-terangan.
"Orang tadi yang ingin kucintai."
"Maksudmu, si Kadal Ginting, pelayan sang Resi
itu?"
"Uuuuhf...!" Kejora bersungut-sungut. "Untuk apa
mencintai orang setua dia? Aku ingin jatuh cinta kepada
pemuda sahabatmu tadi, hhmmm... siapa namanya
pemuda tadi itu?!"
"Darah Prabu?"
"O, ya.... Itulah nama orang yang ingin kucintai.
Apakah kau sakit hati jika aku tertarik kepada Darah
Prabu?!" tanyanya dengan polos.
Suto Sinting gelengkan kepala. "Kau bebas jatuh
cinta kepada siapa pun. Tapi sebaiknya selesaikan dulu
urusan kita tentang pusaka leluhurmu itu."
"Kalau kuselesaikan dulu nanti Darah Prabu sudah
dijatuhi cinta oleh gadis lain lebih dulu. Nanti aku tidak
dapat tempat di hati Darah Prabu."
Tawa si murid sinting Gila Tuak terdengar
memanjang walau bernada rendah, ia menertawakan
kepolosan Kejora yang bagai tak mengenal rasa malu
mengungkapkan isi hatinya.
"Aku akan menyusulnya, Suto. Tapi ke mana aku
harus menemui Darah Prabu?!"
"Yang jelas dia pergi ke arah utara."
"Jika begitu aku harus mengejarnya ke utara atau ke
selatan?!"
"Ke timur!" jawab Suto Sinting dengan agak dongkol
mendengar pertanyaan bodoh itu. Tetapi Kejora tidak
merasa tersinggung dan segera bergegas ke timur. Mau
tak mau Suto Sinting segera mencegahnya dengan
melompat tinggi dan bersalto satu kali. Ia mendarat tepat
di depan langkah Kejora.
"Kau ini bodohnya bersusun-susun," kata Suto
Sinting. "Mengapa kau mengejar Darah Prabu ke
timur?"
"Bukankah arah timur adalah arah yang kau
sarankan?"
"Aku tadi hanya jengkel dengan pertanyaanmu.
Sudah tahu perginya ke arah utara, ya tentu saja
mengejarnya ke arah utara, tak perlu ditanyakan kemana
kau harus mengejarnya?!"
"O, kalau begitu aku harus pergi ke utara sekarang
juga."
"Aku akan mendampingimu!"
"Tak perlu, aku hanya ingin berdua dengan Darah
Prabu. Aku ingin menikmati ketampanannya dan
senyuman menggodanya tadi. Kalau kau ikut denganku,
aku malu memandanginya."
"Aku akan tutup mata jika kau sudah bertemu dengan
Darah Prabu! Yang jelas aku harus menjagamu karena
urusan pusaka leluhurmu masih kutangani."
Akhirnya mereka pergi ke utara menyusul pengejaran
Darah Prabu. Kecepatan lari mereka tak seimbang
dengan kecepatan gerak Darah Prabu. Namun
seandainya tanpa Kejora, tentunya Pendekar Mabuk
dapat mengejar Darah Prabu dengan menggunakan jurus
'Gerak Siluman'-nya. Jika saat itu Pendekar Mabuk
gunakan jurus 'Gerak Siluman', maka Kejora akan
tertinggal jauh dan mungkin akan tersesat arah.
Di tepi sungai yang menyerupai padang batu itu
mereka temukan Darah Prabu dalam keadaan terkapar.
Kejora memandang dengan penuh kecemasan, wajahnya
tampak tegang sekali. Pendekar Mabuk memperhatikan
luka di dada Darah Prabu. Luka itu membekas telapak
tangan berjari empat dengan warna ungu.
Darah Prabu bagaikan mati dalam keadaan kedua
tangannya terentang, tubuhnya telentang di atas sebuah
batu besar setinggi dada. Agaknya telah terjadi
pertarungan antara Darah Prabu dengan seorang berilmu
tinggi yang mempunyai jurus sakti, membuat dada
Darah Prabu membekas telapak tangan berjari empat
warna ungu.
"Sepertinya Darah Prabu tak sempat memberi
perlawanan," gumam Suto Sinting di samping Kejora,
matanya masih memandangi keadaan murid Resi
Badranaya itu. "Darah Prabu belum sempat mencabut
pedangnya, ia sudah terkena pukulan sakti yang
mungkin sukar dihindari."
"Apakah dia... oh, Suto... tolong periksalah apakah
dia sudah tak bernyawa?!"
Pendekar Mabuk menekan leher Darah Prabu bagian
samping dengan telunjuknya, ia masih merasakan denyut
nadi yang sangat kecil. Denyut nadi itu juga amat lemah,
tidak seperti seseorang yang dalam keadaan sehat.
"Ia masih bernyawa, Kejora. Tetapi lukanya sangat
parah dan membuatnya sukar bernapas.
"Tap... tapi ia masih punya sisa napas?"
"Masih," jawab Pendekar Mabuk sambil bangkit dari
jongkoknya. Matanya memandang sekeiillng dengan
cepat, mencari kemungkinan si lawan Darah Prabu
masih di sekitar tempat itu. Ternyata kemungkinan
tersebut tak ada.
"Lawannya pasti telah pergi," ujar Suto Sinting pelan
sekali.
"Siapa lawannya yang membuat ia sampai begini,
Suto?"
"Mana aku tahu?! Bukankah aku dan kau baru saja
tiba di sini?!"
Kejora diam sebentar, memandang penuh kecemasan
namun tak berani menyentuh tubuh Darah Prabu.
Kejap berikutnya ia perdengarkan suaranya yang
polos dan lugu itu, "Dapatkah kau menyembuhkan
lukanya, Suto?"
"Akan kucoba!" gumam Suto Sinting sambil menarik
napas. "Tapi kurasa tempat ini tidak aman bagi kita.
Darah Prabu harus dibawa ke suatu tempat yang lebih
aman lagi."
"Bagaimana jika kita cari sebuah gua untuk merawat
Darah Prabu?!"
"Apakah di sekitar sini ada gua?!"
"Seingatku di balik bukit yang kelihatan dari sini ada
gua tempat peristirahatan para pengembara."
"Apakah kau pernah ke sana?"
"Belum," jawabnya dengan jujur dan polos tapi justru
mendongkolkan hati Pendekar Mabuk. Hanya saja
Pendekar Mabuk segera dapat memaklumi kepolosan
dan kebodohan itu karena memang demikianlah keadaan
pribadi si cantik yang punya nama lengkap Dewi Kejora
itu.
"Sewaktu aku dan Menik berada di sekitar sini,
Menik pernah bilang bahwa di balik bukit itu ada gua
untuk peristirahatan para pengembara. Apakah kau tak
ingin mencoba membawa Darah Prabu ke balik bukit
itu?!"
"Tak ada salahnya untuk mencoba ke sana!" ujar
Pendekar Mabuk, kemudian ia bergegas mengangkat
tubuh Darah Prabu.
Tetapi tiba-tiba mereka mendengar suara seseorang
bicara di belakang mereka,
"Jiwanya tak akan tertolong lagi!"
Mereka berdua terkejut dan segera palingkan wajah
ke belakang. Ternyata di atas sebuah batu yang tingginya
sebatas perut telah berdiri seorang kakek berambut putih
pendek lurus. Tokoh tua itu mengenakan baju dan celana
abu-abu, badannya kurus dan agak pendek, gigi
depannya tinggal dua.
"Tua Bangka...?!" Pendekar Mabuk menyapa dengan
heran, karena tak disangka-sangka ia bertemu lagi
dengan tokoh sakti yang sedikit slebor, pemilik sebuah
pusaka yang dulu pernah diperebutkan dan Suto Sinting
berada di pihak si tokoh tua itu, (Baca serial Pendekar
Mabuk dalam episode : "Kapak Setan Kubur").
Tua Bangka melompat dari tempatnya ke batu tempat
Darah Prabu terkapar dalam keadaan luka dalam itu. Ia
pandangi luka membekas tangan berjari empat di bagian
dada bidang Darah Prabu itu. Lalu, terdengar suara
gumamnya yang pelan namun memanjang.
"Hmmm...," ia manggut-manggut sesaat. "Sudah
kuduga, ia terkena jurus beracun yang bernama jurus
'Tapak Ungu', dan hanya satu orang yang memiliki jurus
'Tapak Ungu' itu."
"Siapa orang tersebut, Tua Bangka?!" tanya Pendekar
Mabuk dengan rasa ingin tahunya sangat besar.
"Siapa lagi kalau bukan Nyi Mas Gandrung Arum."
Pendekar Mabuk pandangi si Tua Bangka yang
bernama asli Ki Sanupati itu. Pandangan mata Suto
Sinting mengandung keheranan, dan si Tua Bangka
mengetahui maksud pandangan mata yang
membutuhkan penjelasan itu. Maka si Tua Bangka pun
perdengarkan kembali suara tuanya sambil sesekali
matanya memandang ke arah Suto sesekali ke arah
Darah Prabu yang ada di bawahnya.
"Nyi Mas Gandrung Arum adalah tokoh aliran hitam
yang menjadi penguasa Bukit Esa di daerah Pantai
Tawar, ia seorang pendeta perempuan dari aliran hitam
yang menguasai ilmu 'Tapak Ungu', sebuah ilmu tenaga
dalam beracun tinggi yang cara penggunaannya dengan
memukul bagian tubuhnya sendiri. Jika ia berhadapan
dengan seorang lawan, lalu ia memukul dadanya sendiri,
maka dada si lawan yang terkena pukulan itu dan tak
dapat ditangkis maupun dihindari lagi."
Kejora memberanikan diri ajukan tanya kepada si
Tua Bangka, "Apakah... apakah dia ada hubungannya
dengan perempuan cantik itu, Pak Tua?!"
"Perempuan cantik yang mana? Semua muridnya
adalah perempuan cantik. Sebab Nyi Mas Gandrung
Arum mempunyai ramuan pengawet kecantikan dan
mantra awet mudanya diajarkan pada setiap muridnya."
"Maksudku, perempuan yang tadi menodongkan
pedang padaku itu, Pak Tua."
Tua Bangka memandangi Kejora dengan bingung.
"Wajahmu cantik sekali tapi bicaramu membingungkan
orang seusiaku, Nona. Usiaku bisa menjadi lebih pendek
jika terlalu sering bicara denganmu."
Pendekar Mabuk tertawa kecil dan pendek.
"Maksudnya, seorang perempuan cantik yang berpakaian
seronok. Tadi kami diserang oleh perempuan itu yang
menurut Darah Prabu bernama Peluh Setanggi."
"Ooo... Peluh Setanggi?!" Tua Bangka manggut-
manggut lagi.
"Agaknya kau mengenalnya, Ki Sanupati."
"Tentu saja aku mengenal si Peluh Setanggi, sebab
belum lama ini aku pernah menghajarnya, karena ia akan
mencuri Kapak Setan Kubur-ku."
Pendekar Mabuk terkesiap, agak kaget mendengar
Kapak Setan Kubur mau dicuri oleh si Peluh Setanggi.
Sebelum ia ajukan tanya, Tua Bangka lebih dulu berkata,
"Peluh Setanggi memang muridnya Nyi Mas
Gandrung Arum."
"Pantas ia menyerang Darah Prabu, sebab Darah
Prabu mengejar Peluh Setanggi," ujar Kejora kepada
Suto Sinting.
Tapi hal itu membuat Tua Bangka merasa heran dan
berkerut pandangi Kejora.
"Darah Prabu mengejar-ngejar Peluh Setanggi?! Apa
kau tak salah ucap, Nona? Darah Prabu beraliran putih,
untuk apa ia mengejar-ngejar gadis dari aliran hitam?
Bukankah banyak gadis cantik lainnya yang lebih pantas
dikejar-kejar oleh Darah Prabu?!"
"Maksudnya, Peluh Setanggi menjadi buronan si
Darah Prabu!" sahut Pendekar Mabuk setelah meneguk
tuaknya dua kali.
Tua Bangka kian kerutkan dahi. Wajah tuanya
tampak diliputi keheranan saat memandang Suto Sinting.
Mulutnya yang hanya mempunyai dua gigi bagian depan
itu menggumamkan kata bernada heran.
"Buronan...?!" kemudian ia merenung dengan
menunduk, memandangi Darah Prabu yang masih diam
tak berkutik itu.
"Aneh sekali sebenarnya; murid Nyi Mas Gandrung
Arum menjadi buronannya Darah Prabu. Padahal Darah
Prabu itu muridnya Resi Badranaya, dan Resi Badranaya
adalah adik dari Nyi Mas Gandrung Arum."
"Adik...?!" kini ganti Suto Sinting yang bernada
heran. "Kalau begitu Nyi Mas Gandrung Arum usianya
sudah banyak?!"
"Mungkin sudah mencapai seratus tahun lebih," tukas
si Tua Bangka. "Aku pun kalah tua dengannya. Tapi
kalau kau melihat penampilan Nyi Mas Gandrung Arum,
kau seperti melihat penampilan perempuan cantik yang
masih berusia sekitar tiga puluhan kurang."
"Sakti sekali mantra pengawet kecantikannya itu?!"
"Yang membuatku heran bukan mantra awet ayunya
itu, melainkan keberanian Darah Prabu memburu si
Peluh Setanggi. Padahal menurut cerita dari Badranaya
yang pernah kudengar, Badranaya tak akan mengusik
perguruan kakaknya, ia tak akan berani ikut campur apa
pun urusan Nyi Mas Gandrung Arum, sebab nyawa
Badranaya ada di tangan Nyi Mas Gandrung Arum.
Hanya perempuan itu yang mengetahui bagaimana cara
membunuh Badranaya. Karena rahasia kesaktian
Badranaya ada di tangan Nyi Mas Gandrung Arum."
Pendekar Mabuk manggut-manggut sambil
menyimak penjelasan itu dengan sungguh-sungguh. Tua
Bangka menjadi gelisah, walau kegelisahannya
disembunyikan dalam bentuk tarikan-tarikan napas
tuanya.
"Persoalan apa yang membuat murid si Badranaya ini
berani bertindak selancang itu; menjadikan Peluh
Setanggi sebagai buronannya?!" kata si Tua Bangka lagi,
seperti bicara pada dirinya sendiri. Lanjutnya kemudian,
"Pasti hal ini akan membuat Nyi Mas Gandrung
Arum murka kepada si Badranaya. Dan jika sudah
begitu, habislah riwayatnya."
"Mungkinkah Darah Prabu tak mengetahui hal itu,
Tua Bangka?"
"Tidak mungkin. Badranaya pasti mewanti-wanti
betul kepada muridnya agar tidak mengganggu
Perguruan Bukit Esa, dan pasti Badranaya menceritakan
hubungan pribadinya dengan Penguasa Bukit Esa itu.
Jika ternyata Darah Prabu berani memburu murid
Perguruan Bukit Esa Itu, maka jelas tindakannya itu atas
seizin Badranaya. Tetapi apa yang membuat Badranaya
mengizinkan muridnya memburu murid Nyi Mas
Gandrung Arum?!"
"Kurasa Darah Prabu bisa jelaskan setelah
kusembuhkan dengan tuak saktiku ini, Tua Bangka. Jadi
sebaiknya kulakukan dulu penyembuhan itu atas diri si
Darah Prabu ini!"
"Sia-sia...," potong Tua Bangka dengan mencibir.
"Racun 'Tapak Ungu' tak ada yang mampu
menyembuhkan kecuali pemiliknya sendiri, atau dengan
cara dibasuh dengan air Sendang Ketuban."
Pendekar Mabuk tak percaya dengan penjelasan Tua
Bangka. Bagaimanapun juga ia masih menganggap
tuaknya mampu sembuhkan luka dan menangkal racun
dalam tubuh Darah Prabu. Tua Bangka hanya angkat
bahu ketika Suto Sinting ingin mencoba menyembuhkan
dengan tuak saktinya.
"Kalau memang Darah Prabu bisa sadar, ia tetap akan
menderita pengeringan anggota dalam tubuhnya.
Jantung, usus, paru-paru, dan apa saja yang ada dalam
tubuhnya akan mengering dalam waktu tak lebih dari
dua hari. Kelumpuhan tetap akan dideritanya meskipun
Darah Prabu bisa membuka mata dan ia tetap tak akan
bisa bicara, karena pita suaranya dalam tenggorokan
juga ikut mengalami pengeringan akibat racun 'Tapak
Ungu' itu," tutur si Tua Bangka yang membuat Kejora
menjadi bertambah cemas. Wajah gadis itu tampak sedih
sekali.
"Lakukanlah pengobatanmu, Suto. Siapa tahu
pendapat Pak Tua itu hanya omong kosong belaka,"
desak Kejora yang mengharap kesembuhan Darah Prabu.
Maka Suto Sinting pun mencoba menuangkan tuak ke
dalam mulut Darah Prabu dengan cara memaksa mulut
itu terbuka. Tuak pun dituangkan sedikit demi sedikit
dan sangat hati-hati sekali.
Krucuk, krucuk, krucuk...!
Tuak berhasil masuk ke tenggorokan Darah Prabu.
Tapi hanya sebagian saja, sisanya masih menggenang di
dalam mulut yang dingangakan secara paksa itu. Dan
tanda-tanda kesembuhan belum terlihat. Si Tua Bangka
terkekeh pelan sambil berucap,
"Sia-sia saja, Suto! Kau hanya akan membuang-
buang tuakmu. Lebih baik kau cari air Sendang Ketuban
itu di Gunung Purwa."
"Tuakku baru tertelan sedikit, kita tunggu
perubahannya." Pendekar Mabuk masih merasa yakin
bahwa kesaktian tuaknya dapat dipakai untuk melawan
racun 'Tapak Ungu' itu. Kejora menunggu dengan
berharap-harap cemas. Sesekali ia memandangi keadaan
Darah Prabu, sesekali beralih pandang pada Suto
Sinting.
*
* *