Pendekar Mabuk 51 - Sabuk Gempur Jagat(1)


 1

SISA-SISA kebakaran membentuk bayangan
kerangka hitam menyeramkan. Pilar-pilar istana
bagaikan sosok hantu hitam tanpa gerak dan
suara.
Diwarnai oleh kepulan asap tipis sisa
kebakaran dan bau daging hangus di sana-sini,
siapa pun  yang lewat di hamparan puing-puing
hitam itu akan merinding bulu kuduknya.
Begitu pula yang dirasakan oleh pemuda
tampan berambut lurus sepundak tanpa ikat
kepala. Pemuda yang kenakan baju tanpa lengan
warna coklat dan celana putih lusuh itu pandangi
tiang-tiang hitam yang menjadi saksi bisu atas
kekejian yang telah melanda tempat tersebut.

Pemuda berbadan tegap, kekar, dan gagah itu
mempunyai sepasang mata tajam yang kala itu tak
mampu berkedip karena terperangah menyaksikan
keadaan sekitarnya. Bumbung tuak yang
disandang melintang di punggung itu menjadi ciri
penampilannya sebagai murid Gila Tuak dan
Bidadari Jalang yang dikenal dengan nama Suto
Sinting alias si Pendekar Mabuk dari Jurang
Lindu.
"Mengapa bisa jadi begini?" Pendekar Mabuk
membatin dengan heran. "Siapa orangnya yang
telah membumihanguskan istana ini? Apakah tak
satu pun ada yang selamat? Oh... menjijikkan
sekali. Di sana-sini bergelimpangan mayat
terbakar hangus,  sebagian  masih ada yang tak
sampai menjadi arang. Aku hampir tak percaya
melihat istana ini menjadi ladang  hitam begini.
Melihat sisa asap yang masih mengepul, pasti
kejadiannya belum berselang lama."
Sekalipun di sana-sini banyak mayat
menjijikkan karena luka bakar, namun Pendekar
Mabuk tetap menyusuri tempat itu dengan
langkah hati-hati. Matanya pandangi tiap mayat
karena hatinya mencari berapa wajah yang
dikenalinya. Namun wajah-wajah mayat di situ
sukar dikenali lagi. Bahkan pakaian mereka pun
tak ada yang tersisa hingga tak bisa dijadikan ciri
bagi pemakainya. Pendekar Mabuk masih
mencoba membedakan mana mayat lelaki dan
mana mayat perempuan.
"Selama menjadi pendekar, baru sekarang
aku kebingungan memilih mayat lelaki dan mayat
perempuan," pikir Suto Sinting. "Ada baiknya
kalau kuperiksa saja sekeliling tempat ini, siapa
tahu kutemukan korban yang masih hidup atau
dalam keadaan sedang sekarat sehingga bisa
kudengarkan penjelasannya tentang musibah
maut ini."
Bau daging hangus sempat bikin perut mual.
Pendekar Mabuk terpaksa meraih bumbung
tuaknya dan menenggak tuak beberapa teguk.
Tuak itu membuat rasa mual lenyap seketika.
Suto hembuskan napas lega, lalu segera menutup
bumbung tuaknya.
Pada saat itulah tiba-tiba sekelebat benda
tampak melayang dari arah samping kanannya.
Suto Sinting cepat sentakkan kaki dan tubuhnya
melompat dalam  gerakan bersalto ke belakang
satu kali. Wuuut...! Dan benda yang melesat itu
tak jadi kenai tubuhnya.
Weess... Taab!
Benda yang melintas cepat itu menancap
pada sebatang pilar kayu yang sudah hangus dan
bagian atasnya telah menjadi arang keropos.
Pandangan mata Suto Sinting terarah pada benda
yang menancap pada bekas pilar itu; ternyata
sebatang anak panah dengan panjang sehasta
lebih sedikit. Pendekar Mabuk cepat alihkan
pandangan matanya ke arah datangnya anak
panah tersebut.
"Hmmm...?! Rupanya dia yang menyerangku
dengan panahnya?!" gumam si tampan sinting
murid Gila Tuak itu.
Di balik reruntuhan arang telah berdiri
seorang lelaki berusia sekitar lima puluh tahun.
Lelaki itu mengenakan celana merah tanpa baju.
Tubuhnya sedikit gemuk tapi tidak begitu tinggi.
Rambutnya panjang belakang bagian depannya
botak licin. Wajahnya tampak sedikit angker tapi
tak seangker kuburan tua. Berkumis tipis namun
panjang hingga melengkung sampai ke dagu. Ia
masih pegangi busur yang sudah ditarik talinya
dengan sebatang anak panah terarah kepada Suto
Sinting.
Meski dirinya terancam anak panah yang
akan dilepaskan ke dadanya, tapi Suto Sinting
tetap diam di tempat dengan sorot pandangan
mata tak berkedip. Berdiri tegak, dada sedikit
membusung sehingga tampak gagah dan berkesan
tak merasa gentar sedikit pun. Ujung panah itu
justru ditatapnya tajam-tajam, seakan ditantang
untuk lepas dari tali busurnya. Tetapi orang
bercelana merah itu tak mau segera lepaskan
anak panah tersebut, ia justru berseru dengan
nada tak ramah dan berkesan menggertak
Pendekar Mabuk.
"Tinggalkan tempat ini atau kau kehilangan
nyawa sekarang juga!"
Sehela napas ditarik dan dihembuskan
pelan-pelan  sebagai penenang keadaan dirinya.
Pendekar Mabuk mulai kendurkan ketegangannya
dan senyum tampannya mekar seulas dengan tipis
sekali.
"Sangkamu siapa diriku ini, Paman?" ujar
Suto dengan kalem, ia justru melangkah dekati
orang tersebut.
"Berhenti!" sentak orang itu dengan mata
melebar. "Selangkah lagi kau maju, dadamu akan
ditembus oleh panahku ini!"
"Apakah kau kira tubuhku terbuat dari
getuk, sehingga mudah ditembus anak panah?
Coba saja lepaskan kalau kau sanggup membidik
dadaku, Paman!"
Orang itu tidak main-main, ia benar-benar
lepaskan anak panah dari busurnya. Slaaap...!
Anak panah meluncur cepat ke dada Suto Sinting.
Kaki anak muda itu masih tegak berdiri
dengan sedikit merenggang, ia tidak menghindar,
melainkan meraih bumbung tuaknya dan
menghadangkan di depan dadanya. Anak panah
itu akhirnya kenai bumbung tuak yang terbuat
dari bambu bukan sembarang bambu itu.
Traaang...! Suara anak panah menghantam
bumbung tuak seperti anak panah menghantam
besi baja berongga.
Orang yang memanah Pendekar Mabuk
menjadi terbelalak kaget melihat anak panahnya
memantul dan berbalik arah dengan kecepatan
lebih tinggi. Hampir saja orang itu celaka dihujam
panahnya sendiri kalau saja ia tidak segera
gulingkan diri di udara dalam satu lompatan
cepat. Wuuut...!
Jrrabb...! Anak panah itu menancap pada
puing-puing sisa kebakaran dan membuat puing-
puing itu menjadi hancur berantakan bagaikan
dipukul dengan pukulan bertenaga dalam cukup
tinggi. Brraaass...! Puing-puing itu menyebar ke
segala arah, menimbuni kepala si pemilik panah
tersebut.
Orang bermata agak besar itu hanya
terperangah bengong pandangi Pendekar Mabuk.
Namun hatinya sempat menggumam sendiri,
"Hebat sekali dia? Panahku bisa
dikembalikan dalam keadaan lebih cepat dan
berkekuatan tenaga dalam cukup dahsyat?! Gila!
Agaknya aku tak boleh anggap remeh anak mudah
itu? Hmmm... siapa dia sebenarnya? Aku
sepertinya pernah melihatnya secara sepintas, tapi
tak sempat mengenalnya lebih dekat lagi. Dilihat
dari raut mukanya, agaknya dia bukan orang
jahat. Sebaiknya kukurangi kecurigaan jelekku
terhadap anak muda itu."
Pendekar Mabuk semakin dekati orang
tersebut. Dalam jarak tujuh langkah kurang ia
berhenti dan menyapa dengan suaranya yang
bernada kalem, mata memandang tanpa kesan
permusuhan.
"Apa maksudmu menyerangku, Paman?
Siapa kau sebenarnya?"
"Justru seharusnya aku yang berkata
begitu!" jawab orang itu masih menampakkan
sikap permusuhannya.
Suto Sinting tidak cepat jawab pertanyaan si
pemanah tersebut, melainkan justru pandangi
keadaan sekeliling dengan raut wajah kian datar,
sepertinya sedang memendam perasaan duka yang
tak ingin diketahui siapa pun. Kejap berikut
barulah terdengar suaranya tanpa pandangi orang
di depannya.
"Tak kusangka Lembah Birawa menjadi
seperti ini. Kaukah pelakunya, Paman?"
"Kurobek mulutmu jika bicara selancang itu
lagi!" sentak orang bersabuk hitam itu. Ia pun
segera maju tiga langkah dan berdiri dengan sikap
menantang di depan Suto Sinting. "Justru aku
yang curiga padamu sebagai orang yang
menghancurkan Istana Lembah Birawa ini! Pasti
kau yang melarikan Ratuku; Gusti Ratu
Jiwandani!"
"O, kalau begitu kau adalah prajurit dari
Lembah Birawa ini. Tapi  mengapa kau  tidak
mengenaliku, Paman? Apakah kau lupa bahwa
aku pernah selamatkan Ratu Jiwandani dari
ancaman Demit Lanang?"
"Ap... apakah kau yang bernama Suto
Sinting; Pendekar Mabuk?" orang itu agak gugup.
"Benar. Agaknya baru sekarang kau
melihatku, Paman."
"Mma... maafkan aku, kala itu aku tidak ada
di tempat, bertugas menghubungi seorang sahabat
Ratu untuk meminta bantuan dalam menghadapi
Demit Lanang. Tapi ketika aku berhasil pulang
dengan membawa bantuan, ternyata keadaan
sudah aman dan aku hanya mendengar cerita
tentang dirimu. Maafkan aku yang pikun ini,
Pendekar Mabuk."
Suto Sinting sunggingkan senyum
sekadarnya. Benaknya masih membayangkan
peristiwa beberapa waktu yang lalu ketika ia
terlibat dalam perkara kekejaman si Demit
Lanang, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam
episode: "Manusia Pemusnah Raga").
"Jadi, kau ada di pihak Ratu Jiwandani,
Paman?"
"Benar," jawab orang itu yang mulai semakin
bersikap lunak. "Aku prajurit sandi; namaku
Wirya Tabah."
"Pantas kau tak tampak sedih melihat
keadaan seperti ini. Mungkin kau orang paling
tabah di dunia, Paman."
"Yang ada dalam hatiku bukan kesedihan
tapi kemarahan. Aku ingin membalas dendam
kepada orang yang telah membumihanguskan
tempat ini. Ia harus menebusnya dengan
nyawanya sendiri."
"Apakah kau tak tahu siapa pelakunya?"
Wirya Tabah gelengkan kepala sambil
menarik napas. "Tadi pagi aku baru saja kembali
dari Pulau Lintang untuk mencari obat buat
sembuhkan adikku yang sakit. Tapi begitu tiba di
sini, ternyata adikku sudah tak ada dan mungkin
termasuk salah satu dari sekumpulan mayat-
mayat hangus ini!"
Mata lebar Wirya Tabah pandangi mayat-
mayat yang bergelimpangan di sana-sini. Tulang
rahangnya bergerak-gerak tanda sedang
menggeletukkan gigi menahan dendam yang
belum bisa terlampiaskan.
"Paman Wirya Tabah, apakah kau juga tidak
mengetahui bagaimana nasib hidupnya Kinanti?"
tanya Suto Sinting yang sejak tadi menyimpan
pertanyaan itu dalam hatinya.
"Jika nasib Gusti Ratu saja tidak kuketahui,
tentunya nasib Kinanti pun tidak kuketahui, Suto.
Rupanya kau kenal dekat dengan Kinanti. Apakah
kau kekasihnya?"
Suto hanya sunggingkan senyum geli. Ia
sengaja tak memberi kepastian jawaban kepada
Wirya Tabah, karena pada saat itu tiba-tiba
pandangan matanya tertarik pada sekelebat
bayangan yang melesat dari samping belakang.
Kelebatan bayangan itu  membuat Pendekar
Mabuk cepat palingkan wajah dan ikuti dengan
pandangan mata berkerut dahi. Jleeg...!
Bayangan itu berubah menjadi sesosok
tubuh berjubah kuning gading. Suto Sinting
makin lebarkan senyum melihat wajah si jubah
kuning gading yang cantik dengan rambut panjang
disanggul sebagian, ia adalah seorang gadis
berpinjung penutup dada warna hijau tua cukup
ketat hingga tampak sekali kemontokannya, ia
menyandang sebilah pedang di punggungnya
dengan gagang pedang diberi hiasan rumbai-
rumbai benang sutera warna merah.
"Kinanti...," sapa Pendekar Mabuk dengan
suara lembut. "Baru saja kami membicarakan
tentang dirimu."
Kinanti, pengawal Ratu Jiwandani itu, tak
bisa sunggingkan senyum sedikit pun. Wajahnya
tampak murung; antara duka dan benci. Bahkan
ketika ia pandangi keadaan sekelilingnya, kian
lama kedua matanya kian digenangi air bening. Air
mata itu akhirnya meleleh ke pipi berkulit kuning
langsat.
Wirya Tabah segera menghadang dengan
sedikit bungkukkan badan tanda menghormat.
Berarti kedudukan Kinanti lebih tinggi dari Wirya
Tabah.
"Ke mana saja kau, Wirya Tabah?!" hardik
Kinanti dengan suara parau.
"Maafkan aku yang terlambat datang. Tapi
kepergianku mencari obat untuk adikku sudah
seizin Gusti Ratu, Kinanti."
Plaaak...!
Tiba-tiba Kinanti layangkan tamparan
tangannya ke wajah Wirya Tabah tanpa tanggung-
tanggung lagi. Lelaki yang usianya lebih banyak
dari Kinanti itu terpelanting jatuh bersimpuh
akibat tamparan tersebut. Wajah yang ditampar
menjadi merah, menandakan tamparan itu disertai
hempasan tenaga dalam walau berukuran sedang-
sedang saja. Wirya Tabah tak berani melawan atau
membalas, ia hanya bangkit dan tetap tundukkan
kepala bersikap sebagai orang bersalah.
"Di mana rasa baktimu kepada negeri dan
ratumu, Wirya Tabah?! Dalam keadaan diserang
bahaya sekeji ini kau pergi tanpa mau
menanggung akibatnya. Pengabdian macam apa
yang kau miliki itu, Wirya Tabah!"
Kinanti angkat tangan kanannya dan ingin
tampar Wirya Tabah lagi, tapi seruan Suto Sinting
menghentikan gerak tangan tersebut.
"Cukup!" Suto Sinting kian mendekati
Kinanti. "Jangan limpahkan dendam dan
kemarahanmu kepada Paman Wirya Tabah,
Kinanti. Bukankah ia pergi sudah seizin sang
Ratu?"
Mata gadis cantik itu memandang Suto
dengan tajam. Napasnya ditarik dalam-dalam.
Tangan yang sudah terangkat diturunkan. Setelah
sesaat saling beradu pandang dengan Suto
Sinting, Kinanti pandangi arah jauh bagaikan
menerawang.
Terdengar Wirya Tabah ajukan tanya dengan
suara lirih, "Bagaimana keadaan Gusti Ratu?
Apakah beliau selamat? Jika selamat, di mana
beliau sekarang?"
"Kuselamatkan ke Puncak Bukit Wangi."
"Maksudmu, Gusti Ratu sekarang bersama
Ki Galak Gantung?"
"Benar! Pergilah ke sana dan jaga beliau.
Siapa tahu orang itu masih memburu Gusti Ratu."
"Tapi bukankah Ki Galak Gantung cukup
mampu mengatasi bahaya yang mengancam sang
Ratu?"
"Ki Galak Gantung sedang sakit,
kekuatannya berkurang. Muridnya sedang tidak
ada di tempat. Pergilah ke sana sekarang juga,
Wirya Tabah, lindungi Ratu dari bahaya yang
mengancamnya sewaktu-waktu!"
Pendekar Mabuk masih bungkamkan mulut.
Tapi hatinya berkecamuk sendiri, ingatannya
kembali pada seraut wajah tua milik Galak
Gantung yang pernah dikenalnya dalam satu
peristiwa pembebasan seorang tabib wanita yang
ditawan Ratu Sukma Semimpi, (Baca serial
Pendekar Mabuk  dalam episode : "Pusaka
Bernyawa"). Galak Gantung adalah sahabat dari si
Gila Tuak, karenanya Suto Sinting merasa aman
jika Ratu Jiwandani diungsikan ke pondok Galak
Gantung, sebab orang tua itu berilmu tinggi.
Sekalipun dalam keadaan sedang sakit, namun
kesaktiannya masih mampu melindungi Ratu
Jiwandani dari bahaya apa pun. Suto percaya
akan hal itu.
Maka ketika Wirya Tabah pergi menjalankan
perintah Kinanti; menuju puncak Bukit Wangi
yang menjadi tempat kediaman Galak Gantung,
kejap berikutnya Suto pun perdengarkan
suaranya dari belakang Kinanti.
"Kurasa Ki Galak Gantung cukup mampu
lindungi Ratu Jiwandani. Kau tak perlu khawatir
lagi jika Gusti Ratu-mu sudah ada dalam
lindungan Ki Galak Gantung. Aku kenal betul
kesaktian sahabat guruku itu."
Kinanti masih diam saja, seakan ia tak ingin
menanggapi kata-kata itu. Pandangan matanya
menerawang lurus pada kepergian Wirya Tabah,
sehingga Pendekar Mabuk merasa perlu sadarkan
lamunan duka Kinanti dengan sebuah teguran
lembut dari arah sampingnya.
"Kinanti, jelaskan padaku siapa orang yang
telah membumihanguskan Lembah Birawa ini?"
"Aku tak tahu," jawab Kinanti dengan datar.
"Orang itu menyerang pada tengah malam, tak
terlihat jelas wajahnya. Namun seorang anak
buahku yang saat itu belum menjadi korban
sempat memberitahukan padaku, bahwa orang
yang datang menyerang Istana itu bersenjata
Sabuk Gempur Jagat. Ia  tahu ciri-ciri sabuk
pusaka itu, tapi sayang anak buahku itu sekarang
sudah tiada. Jasadnya hancur disabet sabuk
pusaka itu di seberang kaki hutan sebelah utara
sana."
"Sabuk Gempur Jagat...?!" Suto Sinting
menggumam bernada heran dan penuh curiga,
sebab ia pernah mendengar nama pusaka tersebut
ketika menyelesaikan perkara dengan Pipit
Serindu, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam
episode: "Kutukan Pelacur Tua"). Karenanya
gumaman itu pun berkelanjutan dengan nada
datar,
"Kalau tak salah, Sabuk Gempur Jagat kala
itu sedang diperebutkan antara Resi Pakar Pantun
dengan si Tulang Naga."
Tiba-tiba wajah Kinanti berpaling pandangi
Suto dengan sorot mata tajamnya.
"Siapa itu Tulang Naga?"
"Penguasa Telaga Siluman!"
"Di mana letak Telaga Siluman?!"
"Apa maksudmu bertanya begitu?"
"Aku akan ke sana untuk temui si Tulang
Naga dan bikin perhitungan dengannya. Hanya
ada dua pilihan; nyawaku atau nyawanya yang
harus binasa!" geram Kinanti dengan dendam
berkobar dalam hatinya. Wajahnya pun
menampakkan kobaran dendam yang tak bisa
tertahan lagi.

*
* *

2

TULANG NAGA adalah tokoh aliran hitam
yang ganas dan berbahaya. Senjata andalannya
yang bernama Pusaka Nenggala Kubur itu sudah
cukup berbahaya bagi lawannya, apalagi jika
ditambah dengan senjata pusaka Sabuk Gempur
Jagat, tak heran jika Tulang Naga dapat
membumihanguskan sebuah negeri dalam waktu
singkat.
Sambil melangkah menuju Telaga Siluman
mendampingi Kinanti, ingatan Suto masih tertuju
pada seraut wajah bermata cekung dan bertubuh
kurus; wajah itu adalah wajah si Tulang Naga.
Rambutnya yang putih sepanjang pinggang tanpa
ikat kepala bertebaran menghiasi bayangan di
benak Suto Sinting. Murid si Gila Tuak itu teringat
betul saat ia hampir mati di tangan Tulang Naga
dalam mempertahankan mayat bayi anak pertama
Ratna Udayani dan Raden Prajita. Bayi yang
menjadi cucu Sultan Renggana itu sangat diminati
oleh beberapa tokoh aliran hitam sebagai
penambah kekuatan kesaktiannya, dan salah satu
orang yang bernafsu memiliki mayat bayi tersebut
adalah Tulang Naga, (Baca serial Pendekar Mabuk
dalam episode: "Bayi Pembawa Petaka").
Pada waktu itu, Pendekar Mabuk berhasil
dilumpuhkan oleh senjata Neggala Kubur-nya si
Tulang Naga. Namun ketika Penguasa Telaga
Siluman  itu  ingin menghabisi nyawa Suto, tiba-
tiba muncul serangan berbahaya dari Hantu Laut
yang kenal si Tulang Naga dan membuat si Tulang
Naga akhirnya lari tinggalkan mayat bayi tersebut.
"Apakah Ratu Jiwandani punya masalah
dengan si Tulang Naga?" tanya Suto Sinting
kepada Kinanti saat mereka berhenti di sebuah
lembah yang teduh. Lembah itu tak seberapa jauh
dari pantai, sehingga gemuruh suara ombak
terdengar samar-samar dari tempat mereka
berada.
"Setahuku, kami tidak punya masalah apa-
apa dengan tokoh sesat yang bernama Tulang
Naga dari Telaga Siluman itu. Yang kutahu, orang
tersebut menyerang kami di tengah malam dan
dalam sekejap Lembah Birawa dibuat menjadi
lautan api yang sukar dipadamkan. Aku segera
melarikan Ratu Jiwandani tanpa diketahui oleh
prajurit lainnya melalui jalan lorong bawah tanah."
"Apakah Ratu Jiwandani tak tahu juga
bahwa orang itu adalah si Tulang Naga?"
"Ratu tidak mengenal nama itu, karena ia


tidak sebut-sebut nama Tulang Naga."
"Jika Ratu tidak kenal dengan Tulang Naga,
berarti orang yang membumihanguskan Lembah
Birawa bukan dia."
Kinanti segera berpaling menatap Pendekar
Mabuk. Dahinya berkerut, pandangan matanya
tajam penuh tanda tanya. Pendekar Mabuk
alihkan perhatian sebentar dengan menenggak
tuaknya beberapa teguk. Glek, glek, glek...!
Napas terhempas panjang menandakan rasa
lega sedang dialami Pendekar Mabuk. Setelah itu
ia tatap si cantik Kinanti yang sukar tersenyum
itu, lalu  terdengar ia berkata bagaikan orang
sedang menggumam.
"Jika bukan Tulang Naga,  lalu siapa
orangnya yang memegang pusaka Sabuk Gempur
Jagat? Setahuku sabuk pusaka itu dipegang
olehnya."
"Baru sekarang kudengar ada pusaka Sabuk
Gempur Jagat," ujar Kinanti. "Tapi aku belum
pernah melihat bentuknya."
"Apakah malam itu kau tidak melihat sabuk
pusaka itu digunakan oleh orang tersebut?"
Kinanti gelengkan kepala. "Aku hanya
mendengar pengaduan dari anak buahku. Api
telah berkobar dan aku segera larikan sang Ratu
tanpa sempat berhadapan dengan orang tersebut."
"Jadi kau tidak tahu ciri-ciri si pemegang
Sabuk Gempur Jagat?"
Kinanti gelengkan kepala lagi. "Repotnya
semua saksi mata yang pernah berhadapan


dengan orang itu tak ada yang selamat. Semuanya
mati hangus seperti apa yang kau lihat di puing
reruntuhan istana tadi."
"Kalau begitu, belum tentu si Tulang Naga
yang menghanguskan Lembah Birawa. Mungkin
musuh lain yang sangat menaruh dendam
kesumat kepada Ratu Jiwandani. Atau...."
Kata-kata itu terhenti seketika, karena ekor
mata Suto Sinting melihat sekelebat bayangan
benda yang meluncur dari belakang Kinanti.
Tubuh Kinanti segera ditarik ke samping kirinya
hingga gadis itu nyaris tersungkur mencium
tanah. Suto Sinting melompat maju, crrab...!
Sebilah pisau pendek berukuran sejengkal
ditangkap dengan mulut Pendekar Mabuk. Pisau
itu  kini ada dalam gigitannya, tak sedikit pun
menggores bibir maupun lidah Suto. Keadaan itu
membuat Kinanti belalakkan mata dan segera
bangkit dalam memasang kuda-kuda siap tempur.
Pendekar Mabuk segera lakukan lompatan
bersalto ke atas. Kepalanya menyentak ke samping
dan pisau pada mulutnya itu terlempar ke arah
datangnya tadi. Wuuut...! Sraaab...! Juuub...!
"Aaaaahg...!" terdengar suara pekikan orang
kesakitan dari balik semak belukar. Rupanya
pisau itu kenai tubuh pelemparnya yang masih
bersembunyi di baik semak, ia tak menyangka
pisau itu akan dilemparkan secepat itu hingga tak
sempat hindari senjatanya sendiri.
Orang yang memekik kesakitan itu roboh
dengan berguling keluar dari kerimbunan semak.


Mata Kinanti dan Suto Sinting pandangi orang
tersebut. Ternyata seorang lelaki kurus yang
masih meraung kesakitan karena bagian bawah
pundak kanannya ditembus pisau kecil. Pisau itu
beracun dan membuat lukanya menjadi
menghitam, pisau itu sendiri sukar dicabut dari
tubuh korban.
"Aauhh...! Tolooong... tolong cabut pisau
ini...!" ratap orang kurus itu sambil kelojotan
menderita rasa sakit.
Kinanti menggumam kata lirih, "Racun
Serap Darah?!"
"Apa maksudmu?"
"Pisau itu mengandung Racun Serap Darah,
yang membuatnya tak bisa lepas dari tubuh
korban karena menyerap darah korban. Sebelum
darah korban habis terserap ia tetap akan
menancap dan sukar dicabut."
"Aaahg...! Aaaahg...! Tolooong...," orang itu
meratap semakin lirih, gerakannya semakin
lemah.
Suto Sinting cepat-cepat menenggak tuak,
kemudian menyemburkan tuak dari mulutnya ke
arah pisau tersebut. Bruuusss...!
Jrooossss...! Luka itu kepulkan asap tebal,
seperti besi membara disiram air dingin. Orang itu
kian mengerang dengan tubuh mengejang.
Pendekar Mabuk segera cabut pisau itu dan
ternyata dapat dilepas dengan mudah sekali.
Jurus 'Sembur Husada' yang digunakan Suto
membuat luka itu terkatup dan menjadi kering,


dalam beberapa kejap saja sudah hilang secara
ajaib.
Kinanti hanya bisa diam terbengong melihat
kesaktian Suto dengan rasa kagum yang
menggumpal di dadanya. Karena memang baru
sekarang ia melihat kehebatan jurus 'Sembur
Husada' diperagakan oleh Suto Sinting walau
tidak dengan maksud pamer kesaktian.
"Biasanya kau menyuruh orang yang terluka
meminum tuakmu, tapi kali ini mengapa hanya
kau sembur saja?"
"Jurus ini dapat membuat orang yang
kutolong lupa kepadaku, seperti merasa baru
mengenalku. Ingatannya tentang diriku ikut
lenyap bersama lukanya. Karena itu, jurus
'Sembur Husada' tak pernah kulakukan untuk
mengobati orang yang sudah mengenalku. Jika
orang kurus ini lupa tentang diriku, tak jadi soal,
karena memang ia belum mengenalku." (Jurus ini
pernah digunakan dalam serial Pendekar Mabuk
episode : "Pusaka Tuak Setan").
Orang kurus itu segera bangkit dengan
perasaan penuh rasa kagum atas kesembuhan
lukanya. Namun ketika ia sadar dirinya berada di
depan Pendekar Mabuk dan Kinanti, ia buru-buru
bergegas melarikan diri. Namun Kinanti berhasil
menyambar lengan si kurus itu. Wuuut...!
"Mau ke mana kau!"
"Aaak... aku hanya... hanya disuruh
seseorang, Nona."
"Siapa yang menyuruhmu!" gertak Kinanti,


"Hmmm... eeh...," orang itu kebingungan dan
ragu menjawab. Pendekar Mabuk segera
mendesak dengan pertanyaan lain.
"Siapa yang ingin kau bunuh? Dia atau
aku?"
"Hmmm... hmm... anu...."
"Di sini tidak ada yang bernama 'Anu', jawab
yang jelas!" sentak Kinanti bagaikan tak sabar
ingin menampar mulut orang kurus itu.
"Aku disuruh membunuhmu, Nona!"
Kinanti beradu pandangan mata sejenak
dengan Suto Sinting. Kemudian ia kembali
mendesak orang kurus itu dengan pertanyaan
yang mendesak sekali.
"Kau murid dari Bukit Kasmaran, bukan?"
"Buk... bukan! Aku...."
"Omong kosong!"
Plaaaak...!
Kinanti menampar keras-keras wajah orang
kurus itu hingga orang tersebut terpelanting
berputar empat kali dengan cepat. Kejap
berikutnya ia roboh akibat tendangan kaki Kinanti
yang cukup kuat. Tubuhnya terkapar di bawah
pohon dalam keadaan tidak berkutik lagi. Sebuah
pekikan kecil sempat didengar oleh mereka
sebelum orang itu roboh.
Pendekar Mabuk segera mendekati orang
tersebut dengan perasaan heran dan curiga, ia
memeriksanya dengan pandangan mata dan dahi
berkerut. Kinanti menyusul mendekati Suto
Sinting.


Wajah orang kurus itu telah memucat,
mulutnya ternganga dan matanya terbeliak tak
berkedip. Tak satu pun bagian tubuhnya yang
bergerak. Bahkan dadanya tidak kelihatan sedang
bernapas.
"Dia tewas!" ujar Suto Sinting sambil pegangi
urat leher orang itu dan matanya memandang
Kinanti.
Gadis berjubah kuning gading itu setengah
tidak percaya, kemudian memeriksa pergelangan
tangan orang tersebut. Ternyata memang tak ada
denyut nadi lagi. Itu tandanya orang tersebut
sudah tidak bernyawa lagi. Gumam Kinanti pun
terlontar lirih bernada heran.
"Aneh. Mestinya ia tak sampai kehilangan
nyawa. Pukulan dan tendanganku tadi tidak
begitu membahayakan nyawa seseorang?!"
Pendekar Mabuk yang sempat menaruh
curiga atas kematian orang tersebut segera
membalikkan badan si korban, ia terperanjat,
demikian pula Kinanti, mereka melihat sebilah
pisau kecil seperti tadi menancap di punggung
orang tersebut. Rupanya pisau itulah yang
membuat nyawa orang kurus itu melayang, lepas
dari raganya.
"Ternyata ada pihak lain yang menyerang
orang ini hingga tewas."
"Kurasa dilakukan saat orang ini melayang
karena terkena tendanganmu tadi, Kinanti," kata
Suto Sinting sambil matanya memandang ke alam
sekitarnya.


"Sial! Kita terlambat mengorek keterangan
dari  mulutnya!" geram Suto Sinting yang merasa
penasaran karena belum mengetahui dengan pasti
siapa orang yang menyuruh si kurus untuk
membunuh Kinanti itu.
Namun gadis cantik berdada montok itu
berkata, "Aku yakin ia orang Bukit Kasmaran,
anak buah si Merak Cabul."
Pendekar Mabuk kerutkan dahi karena
merasa pernah mendengar nama Merak Cabul.
Hatinya bahkan berkata, "Kalau tak salah Bukit
Kasmaran adalah asal perguruannya Dinada atau
Milasi?" Dan seraut wajah cantik yang mempunyai
jurus maut dalam tiupan serulingnya terbayang
dalam ingatan Pendekar Mabuk, (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode : "Gelang Naga
Dewa").
Setelah sama-sama memeriksa keadaan
sekeliling mencari pembunuh si kurus itu, mereka
kembali bertemu di dekat mayat tersebut. Suto
Sinting sempat ajukan tanya kepada Kinanti.
"Dari mana kau yakin kalau orang ini adalah
orang si Merak Cabul?"
"Karena hanya Merak Cabul dan beberapa
orangnya yang mempunyai Racun Serap Darah
pada pisau mereka," jawab Kinanti.
Setelah merenung sejenak, Pendekar Mabuk
segera perdengarkan suaranya yang mirip orang
menggumam itu,
"Apa kira-kira alasan si Merak Cabul,
sehingga mengutus orang kurus itu untuk


membunuhmu?"
"Entahlah," jawab Kinanti dengan wajah
masih kaku karena menahan kemarahan. "Yang
jelas, aku tak pernah bentrok dengan si Merak
Cabul, walau aku selalu menunjukkan sikap tak
suka kepadanya."
"Kepada pihak Ratu Jiwandani apakah ada
masalah dengan si Merak Cabul?"
"Pernah terjadi bentrokan kecil  antara sang
Ratu dengan Merak Cabul gara-gara sebuah kitab
pusaka. Bentrokan itu sebenarnya hanya salah
paham si Merak Cabul yang menyangka Kitab Jati
Mulya ada di tangan sang Ratu. Padahal sang
Ratu tidak tahu-menahu tentang kitab tersebut."
"Mengapa Merak Cabul menuduh Ratu
Jiwandani memiliki Kitab Jati Mulya? Ada
hubungan apa antara Ratu Jiwandani dengan
pihak Merak Cabul?"
"Dulu, Ratu Jiwandani bersahabat akrab
dengan Nyai Guntur Ayu, ketua perguruan Bukit
Kasmaran. Ketika Nyai Guntur Ayu tewas, Kitab
Jati Mulya lenyap, entah siapa yang mencurinya.
Kecurigaan kuat si Merak Cabul, kitab itu
dititipkan kepada Ratu Jiwandani, padahal sama
sekali tidak."
Suto menggumam panjang dan pelan sambil
angguk-anggukkan kepala. Agaknya ia sedang
renungi rangkaian cerita itu. Sampai akhirnya ia
temukan satu kesimpulan yang masih meragukan
bagi hatinya sendiri.
"Apakah... apakah menurutmu ada kemung-


kinan penyerangan yang membumihanguskan
Bukit Birawa itu dilakukan oleh si Merak Cabul?"
"Maksudmu, Merak Cabul yang memegang
pusaka Sabuk Gempur Jagat itu?"
Suto Sinting angkat bahu, "Mungkin saja!"
"Hmmm... kalau begitu aku harus
menyerang Bukit Kasmaran dan bikin perhitungan
dengan Merak Cabul!" geram Kinanti dengan
kedua tangan menggenggam kuat-kuat.
"Nanti dulu, itu baru sebuah dugaan yang
belum  pasti. Kita harus punya bukti jika ingin
bertindak. Seandainya...."
Kata-kata Suto terhenti karena hembusan
angin dari arah belakangnya. Angin yang terasa
mendekatinya itu cukup besar sehingga naluri
Suto pun segera bekerja. Kakinya menyentak ke
tanah dan tubuhnya melayang ke samping dalam
gerakan lompat yang sangat cepat. Wuuut...!
Jleeg...!
Sesosok tubuh berdiri di depan Kinanti pada
saat Suto Sinting mendaratkan kakinya ke tanah.
Sosok tubuh itu milik seorang nenek berjubah
merah, rambutnya abu-abu  dikonde, bertubuh
kurus kerempeng, berusia sekitar enam puluh
tahun.
Melihat kehadiran nenek kerempeng itu
mata Suto Sinting segera terkesiap, sedikit
mengecil dengan dahi berkerut, karena ia merasa
pernah jumpa dengan nenek itu. Ingatan Suto pun
kembali  ke sebuah pertarungan yang dilakukan
oleh  nenek itu dengan seorang berbadan gemuk


yang dikenal dengan nama si Jubah Kapur.
"Nyai Songket...!" gumam Suto Sinting
bagaikan tak sadar mulutnya mengucap nama itu
begitu ingatannya menemukan sepotong nama
tersebut.
Tapi sang nenek bagaikan tak peduli dengan
gumaman Suto Sinting. Matanya yang cekung
tertuju pada Kinanti.  Agaknya gadis cantik itu
juga sudah mengenal  Nyai Songket, sehingga ia
segera menyapa dengan sikap tak ramah.
"Rupanya kaulah yang membunuh orang
kurus itu, Nyai Songket!"
"Tutup mulut bodohmu, Kinanti. Aku tidak
mengenal mayat orang kurus itu! Aku datang
untuk  bikin perhitungan sendiri denganmu! Kau
telah membunuh muridku; Widowidi. Sekarang
aku menuntut balas atas kematian murid
kesayanganku itu, Kinanti!"
Suto Sinting sempat membatin, "Bahaya!
Nyai Songket ini terkenal dengan ilmu teluhnya.
Kinanti tak akan mampu mengimbangi kekuatan
Nyai Songket. Agaknya aku harus segera bergerak
untuk mematahkan tiap serangan Nyai Songket."
"Hutang nyawa balas nyawa, Kinanti!" ujar
Nyai Songket sambil bergeser ke samping dan
diikuti oleh pandangan mata Kinanti. Nenek kurus
itu bicara lagi,
"Satu nyawa muridku kau binasakan, maka
tebusannya adalah seratus nyawamu, Kinanti!"
"Kalau begitu kaulah yang menghancurkan
orang-orang itu, Nyai Songket! Keparat kau!


Heeeah...!"
Kinanti menyerang lebih dulu dengan satu
lompatan cepat menerjang ganas. Tendangan kaki
Kinanti ditangkis dengan tangan kanan Nyai
Songket, lalu tangan kirinya menghantam pangkal
paha Kinanti. Untung tangan Kinanti dengan cepat
mampu menahan pukulan tersebut, hingga
pangkal pahanya selamat dari hantaman kuat
Nyai Songket.
Plak...! Plak, plak, buuhg...!
Nyai Songket terhantam dadanya oleh
tangan kiri Kinanti. Pukulan bertenaga dalam itu
membuat tubuh kurus itu melayang terpental ke
belakang dan jatuh terjungkal di semak-semak
berduri. Gusraaak...!
"Bangsat!" pekik Nyai Songket yang segera
menghentakkan telapak tangannya ke tanah dan
tubuhnya melenting di udara. Dalam kejap berikut
ia sudah berdiri dengan kaki merenggang dan
kedua tangannya terangkat ke samping kanan
kiri. Rupanya pukulan itu telah melukai bagian
dalamnya, sehingga wajah Nyai Songket tampak
sedikit pucat, hidungnya berdarah walau tak
seberapa banyak.
"Haaahhh...!" Nyai Songket mengerang
panjang, seluruh tubuhnya mengeras. Lambat
laun tampak keajaiban terjadi pada dirinya.
Ujung-ujung jari tangannya keluarkan kuku
runcing dan tiap kuku memancarkan warna
merah bening bagaikan gumpalan lahar panas.
Asap mengepul tipis dari tiap kuku yang tumbuh


secara ajaib itu.
"Kinanti, mundurlah! Dia berbahaya untuk
kau lawan!" ujar Suto Sinting sambil mendekati
gadis Itu.
"Minggirlah, Suto! Ini saatku membalas
dendam atas kekejiannya yang telah
membumihanguskan tempatku!"
"Kurasa bukan dia orangnya. Dia tidak
pergunakan senjata Sabuk Gempur Jagat!"
Kinanti segera sadar akan hal itu. Ia
bermaksud menuruti saran Pendekar Mabuk dan
menyerahkan pertarungan itu kepada sang
pendekar tampan. Tetapi tiba-tiba mereka berdua
dibuat kalang kabut oleh kilatan cahaya merah
yang datang beruntun dan berkelok-kelok seperti
tali-tali bercahaya merah.
Kilatan cahaya merah yang jumlahnya
sepuluh bias itu melesat bagai ingin menyergap
mereka berdua setelah Nyai Songket gerakkan
kedua tangannya secara serabutan dengan
teriakan melengking tinggi.
"Heeeaaahh...!"
Clap, clap, clap, clap, clap...!
Gerakan sinar merah itu begitu cepat dan
membingungkan sehingga Kinanti sempat dibuat
panik oleh keadaan seperti itu. Namun Suto
Sinting mencoba menghadangnya dengan
mengibaskan bumbung tuaknya di atas kepala.
Tali bumbung dipegang dan bumbung bambu itu
berputar cepat di atas kepala hingga timbulkan
bunyi yang mendengung.


Wuuuung, wuuung, wuung...!
Kibasan bumbung yang berputar itu ternyata
menghasilkan gelombang penangkis yang tak
terlihat bentuk dan besarnya. Namun ketika sinar-
sinar merah itu mendekati bumbung tuak
tersebut, gerakan selanjutnya sangat tak diduga-
duga oleh Nyai Songket. Cahaya merah itu
membalik arah dan kini berdatangan menyergap
dirinya sendiri dengan kecepatan tinggi dan
bentuk sinarnya berubah lebih besar hingga yang
semula menyerupai tali kini menjadi seperti
tambang.
"Bangsat kurap, heaaah...!"
Nyai Songket terdesak, mau tak mau ia
lepaskan pukulan dari dua telapak tangannya.
Kedua telapak tangan itu disentakkan ke depan
dan keluarlah sinar hijau berukuran besar. Sinar
hijau itulah yang dihantam oleh kilatan-kilatan
sinar merahnya sendiri.
Blar, blegaaarrr...!
Bumi terguncang, pepohonan nyaris
tumbang, hentakan gelombang ledak tadi cukup
besar dan kuat. Nyai Songket terlempar jauh dan
membentur sebatang pohon besar. Suto Sinting
dan Kinanti terlempar tunggang langgang tak bisa
kendalikan keseimbangan tubuh. Mereka sama-
sama terbanting di semak-semak ilalang.
Kejap berikutnya terdengar suara pohon
tumbang.
Kraaakk... brrruuk...!
"Aaaauhg...!" terdengar pekik Nyai Songket


dalam suara gemuruh gema ledakan yang masih
tersisa itu. Suto dan Kinanti sama-sama belum
bisa melihat keadaan Nyai Songket. Mereka masih
terkulai lemas dengan dada terasa sesak.
"Gila! Jurus apa yang dipergunakan si
dukun teluh itu?!" gumam Kinanti dalam keadaan
suara berat karena menahan rasa sakit di
dadanya.
Setelah ia diberi minuman tuaknya Suto,
rasa sakit itu pun menjadi lenyap, ia bisa berdiri
dengan tubuh terasa segar. Suto Sinting sudah
lebih dulu  mengalami kelegaan seperti itu,
sehingga ia bisa menuangkan tuak pelan-pelan ke
mulut Kinanti.
Kini keduanya sama-sama terperanjat
melihat Nyai Songket tertimpa pohon yang begitu
besar. Tubuh kurus kerempeng itu tak bisa
bergerak lagi. Mulutnya semburkan darah dalam
keadaan badan tengkurap. Hidung dan telinganya
pun keluarkan darah segar. Keadaan nenek renta
itu sudah tidak bernyawa lagi. Rupanya di
samping ia tertimpa pohon besar, lehernya
tertusuk tonggak runcing bekas patahan pohon
kering. Tonggak itu menghujam dari leher hingga
tembus ke tengkuk, sedangkan dari batas
punggung sampai kaki tertimpa pohon, tak dapat
dilihat lagi karena besarnya batang pohon
tersebut.

*
* *



3

PUSAT perhatian Kinanti tertuju pada Merak
Cabul di Bukit Kasmaran. Menurutnya,  orang
kurus yang menyerangnya dengan pisau beracun
itu pasti suruhan Merak Cabul. Besar
kemungkinan Merak Cabul tidak kehendaki orang
Bukit Birawa ada yang masih hidup, sehingga ia
menyuruh orang kurus itu untuk membunuh
Kinanti.
Suto akhirnya mengalah, tak mau berdebat
panjang lebar tentang perbedaan pendapat itu.
Sebab menurut Suto, Merak Cabul tidak terlibat
dalam perkara pembakaran istana Lembah Birawa
itu. Jika benar orang yang menyerang istana
Lembah Birawa adalah orang yang bersenjata
Sabuk Gempur Jagat, maka Tulang Naga itulah
orangnya.
"Pihakku tidak ada hubungannya dengan
Tulang Naga. Kami tidak kenal dengan Penguasa
Telaga Siluman itu. Tak ada alasan bagi Tulang
Naga untuk menyerang istana kami! Pasti
serangan itu datang dari si Merak Cabul yang
masih menyimpan kecurigaan tentang
tersimpannya Kitab Jati Mulya di tangan ratuku!"
Kinanti ngotot sekali, sehingga Suto Sinting
akhirnya hanya angkat bahu dan mengikuti jejak
Kinanti menuju ke Bukit Kasmaran. Untuk
mencapai ke Bukit Kasmaran mereka harus


melewati beberapa desa. Satu di antaranya adalah
desa yang pernah disinggahi Suto saat melakukan
perjalanan menuju Bukit Bunting bersama
Tembang Selayang. Desa itu bernama desa
Panganbumi yang mempunyai kehidupan lebih
maju dari desa-desa lainnya. Banyak keluarga
saudagar yang tinggal di desa itu, karena letaknya
tak begitu jauh dari kotaraja. Suto Sinting pun
mengajak Kinanti untuk singgah di sebuah kedai
milik Ki Punjul yang dulu disinggahi Suto dengan
Tembang Selayang, (Baca serial Pendekar Mabuk
dalam episode : "Kapak Setan Kubur").
Petang belum datang, tapi suasana desa
sudah sepi. Kesepian itu menimbulkan rasa curiga
di hati Suto Sinting. Maka setelah ia mengisi
bumbung tuaknya dengan tuak baru, ia pun
segera bertanya kepada Ki Punjul,
"Ki Punjul, malam belum tiba tapi mengapa
suasana desa sudah sesepi ini? Dulu ketika aku
datang dan bermalam di sini keadaan tidak sesepi
ini, bukan?"
"Hmmm... iya. Keadaan dulu dan sekarang
berbeda, Pendekar Mabuk."
"Apa yang membuatnya menjadi berbeda?"
"Penduduk desa kami dihantui oleh
perasaan takut, yaitu takut mengalami nasib
seperti desa Kijangan."
Bukan hanya Suto yang kerutkan dahi,
melainkan Kinanti ikut kerutkan dahi pertanda
merasa heran mendengar ucapan Ki Punjul.
"Apa yang terjadi terhadap desa Kijangan itu,


Ki?" tanya Suto dengan rasa penasaran.
"Desa itu sekarang sudah menjadi arang.
Seluruh bangunan dan rumah-rumah penduduk
hangus dilalap api. Bahkan penduduknya
sebagian lari mengungsi ke desa lain, sebagian lagi
mati terbakar di tempat itu. Yang mati terbakar
separuh bagian lebih."
Kini sepasang mata Kinanti menatap
Pendekar Mabuk. Mata si pendekar tampan itu
pun menatap Kinanti, seakan keduanya
menampakkan sikap semakin ingin tahu. Kinanti
tak sabar dan segera ajukan tanya kepada Ki
Punjui,
"Apa yang membuat desa itu terbakar habis,
Ki?"
"Seseorang telah mengamuk kepada Lurah
Kijangan. Ia menggunakan pusaka bernama
Sabuk Gempur Jagat, dan... begitulah akhirnya,
desa itu habis terbakar oleh kekuatan sakti Sabuk
Gempur Jagat!"
Debar-debar  dalam  dada Kinanti bagaikan
sesuatu yang ingin menjebolkan tulang dada.
Napas pun mulai  terasa berat, karena dendam
Kinanti terhadap si pemegang Sabuk Gempur
Jagat mulai meluap-luap.
Pendekar Mabuk mencoba bersikap tenang
agar Kinanti ikut terpengaruh oleh
ketenangannya. Kejap berikut barulah Suto
Sinting ajukan tanya kembali kepada Ki Punjul.
"Siapa orang yang memegang Sabuk Gempur
Jagat itu, Ki Punjul? Apakah kau tahu namanya?"


Ki Punjul berpikir sebentar, kejap berikutnya
perdengarkan suaranya yang pelan, bagaikan
orang dalam keragu-raguan.
"Beberapa pengungsi dari desa Kijangan
pernah menyebutkan nama Tulang Ular. Tapi saya
tak tahu apakah orang itu yang mengamuk
dengan Sabuk Gempur Jagat itu atau bukan."
"Tulang Ular?!" Kinanti menggumam heran.
Suto Sinting bertanya, "Tulang Ular atau
Tulang Naga?"
"Maksud saya... Tulang Ular Naga. Eh...
entahlah, saya kurang jelas soal nama itu.
Mungkin yang mereka maksud Tulang Naga,
mungkin juga Tulang Ular. Yang jelas mereka
sebut-sebut nama yang pakai kata 'tulang',
begitu."
"Pasti yang dimaksud adalah Tulang Naga,"
ujar Pendekar Mabuk kepada Kinanti.
Gadis cantik berpinjung hijau beludru itu
diam saja. Kini ia menjadi termenung lama
menimbang-nimbang langkahnya. Hatinya sempat
dibuat dongkol oleh ketidakpastian antara Tulang
Naga dan Merak Cabul. Siapa pemegang Sabuk
Gempur Jagat itu sebenarnya? Sukar sekali
dipastikan dalam keadaan serba tak jelas begitu.
"Aku butuh waktu untuk berpikir," kata
Kinanti. "Agaknya malam ini kita harus bermalam
di sini untuk menentukan langkah kita, Suto."
"Aku tak keberatan," jawab Suto Sinting. "Ki
Punjul juga menyediakan kamar untuk
penginapan para tamunya."


Ketika hal itu dikemukakan Ki Punjul, orang
berusia di atas empat puluhan tahun itu berkata,
"Tinggal satu kamar yang masih kosong.
Apakah kalian ingin menggunakan kamar itu
untuk berdua? Jika mau begitu, silakan saja."
Kinanti menatap Suto Sinting dengan mulut
terkatup rapat. Tak ada senyum seulas pun di
bibir mungil menggemaskan itu. Suto Sinting yang
nyengir sambil garuk-garuk kepala serta berkata
dengan gumam lirih,
"Sial. Hanya ada satu kamar."
"Tak usah berlagak mengeluh. Hatimu girang
kalau kita tinggal satu kamar, bukan?"
"Dugaanmu mengada-ada," jawab Suto
sambil tertawa kecil.
"Biarlah kita satu kamar, tapi kau tidur di
lantai dan jangan seranjang denganku!" ujar
Kinanti agak ketus.
"Kenapa begitu? Kau takut aku kurang ajar
padamu?"
"Kau nakal," jawabnya sambil melengos ke
arah lain. Ia biarkan senyum pemuda tampan itu
mengembang makin mekar dengan suara tawa
yang mengikik lirih.
Tiba-tiba pandangan mata Kinanti tertuju ke
arah pintu masuk kedai. Dua orang lelaki
berbadan besar baru saja memasuki kedai
tersebut dan segera mengambil tempat duduk
bersebelahan dengan Kinanti. Kedua lelaki itu
berwajah buas, penuh dengan cambang dan
kumis. Dari caranya memandang dapat diketahui


sifatnya yang kasar dan urakan. Rambut mereka
sama-sama panjang selewat pundak, tapi yang
satu diikat dengan ikat kepala dari kulit macan
tutul, yang satu lepas tanpa ikat kepala.
Orang yang berikat kepala kulit macan tutul
itu mengenakan celana hitam dan baju merah tua
tak dikancingkan bagian depannya, sehingga
sebilah golok besar yang terselip di sabuk
hitamnya terlihat jelas. Sedangkan orang yang
tidak memakai ikat kepala itu mengenakan
pakaian serba abu-abu, dari baju sampai
celananya. Dadanya yang berbulu tampak jelas
karena bajunya yang tanpa lengan itu tidak
dikancingkan, ia menggenggam sebilah kapak dua
mata yang segera diletakkan di atas meja dengan
kasar, menimbulkan suara mengagetkan, hingga
memancing perhatian orang lain.
"Ki, sediakan kami arak putih dua poci!"
seru orang berpakaian abu-abu kepada Ki Punjul
dengan keras dan kasar. "Cepat, ya! Jangan
lamban. Kalau lamban kuobrak-abrik kedaimu
ini!"
"Bba... baik. Akan segera kusediakan, Tuan,"
Ki Punjul tampak ketakutan.
"Sabrawi," ujar si baju abu-abu kepada
temannya setelah ia melirik ke arah Kinanti
dengan nakal, ia berkata melanjutkan ucapannya
tadi setelah temannya memandangnya.
"Agaknya kita malam ini akan pesta
kehangatan. Ada mangsa emas di sini, Sabrawi!
Ha, ha, ha, ha...!"


Orang berikat kepala kulit macan tutul itu
ikut tertawa setelah melirik ke arah Kinanti. Wajah
Kinanti lurus ke depan tak mau memperhatikan
ke arah kedua orang kasar tersebut, sedangkan
Suto tampak tenang dan sesekali sunggingkan
senyum sambil berlagak memainkan cangkir
tuaknya.
"Kurasa malam ini kita memang bernasib
mujur sekali, Polang! Sudah hampir satu purnama
aku tidak menikmati kehangatan seorang wanita
karena sibuk mengejar pemegang Sabuk Gempur
Jagat. Sekaranglah saatnya aku istirahat  dan
menikmati kehangatan yang kurindukan, sebelum
kita menemukan si Jejak Setan dan merebut
sabuk pusaka itu!"
Senyum Suto Sinting segera lenyap. Kini ia
melirik Kinanti dengan keheranan tersimpan di
ujung lirikannya. Kinanti pun sedikit kerutkan
dahi pertanda memendam rasa jengkel yang
mengusik hatinya. Pendekar Mabuk segera bicara
pelan kepada gadis berjubah kuning gading itu.
"Apakah kau tahu, siapa Jejak Setan itu?"
"Murid Nyai Pegat Raga dari Lembah Petang,"
bisik Kinanti pelan sekali, tapi mengejutkan hati
Suto Sinting dan membuat wajah tampan itu
berkerut dahi semakin tajam.
"Maksudmu, Jejak Setan itu muridnya si
Pelacur Tua?"
"Benar. Apakah kau mengenalnya?"
"Aku telah mengenalnya," bisik Suto Sinting
lirih, dan terbayang peristiwa yang terjadi di Bukit


Kemenyan, (Baca serial  Pendekar Mabuk dalam
episode : "Kutukan Pelacur Tua").
Pendekar Mabuk segera membatin,
"Benarkah sabuk pusaka itu ada di tangan Jejak
Setan?"
Kata batinnya segera dihentikan karena
kedua orang kasar yang ternyata bernama Polang
dan Sabrawi itu segera unjuk tingkah dengan
melemparkan sebutir kacang tanah yang masuk
ke cangkir minuman Kinanti. Pluuung...!
"Ha, ha, ha, ha...!" mereka tertawa
kegirangan. Kinanti diam saja, sedangkan Suto
Sinting mulai waswas terhadap sikap Kinanti yang
bisa mengamuk membabi buta karena memang
sudah lama menahan kemarahan dalam hati.
"Hei, Nona Cantik...," sapa Polang dengan
seringai memuakkan. "Tolong lemparkan kemari
kacang itu, aku salah lempar."
Kacang dalam cangkir diambil dengan
tenang. Digenggam sesaat, lalu dilemparkan ke
arah Polang  tanpa memandang kedua orang
tersebut. Wuuut...! Lemparan kacang kenal jidat
Polang. Deess...!
"Aaauw...!"
Brrruk...! Polang jatuh terjungkal ke
belakang membuat Sabrawi terjengkang pula dan
jatuh tertindih tubuh Polang hingga terdengar
suaranya yang tergencet berat itu.
"Heegh...!"
Gadis cantik tanpa senyum itu tetap diam di
tempat tanpa berpaling sedikit pun, sementara


semua mata pengunjung kedai tertuju pada Polang
dan Sabrawi yang saling berebut untuk segera
bangkit. Suto Sinting hanya sunggingkan senyum
tipis, sambil membatin dalam hatinya,
"Boleh juga pelajaran dari Kinanti itu. Aku
yakin sebelumnya ia telah  tanamkan tenaga
dalamnya pada kacang tersebut, sehingga ketika
kenai  kening orang berbaju abu-abu itu mampu
membuat kepala orang tersebut bagaikan
ditendang kaki kuda. Masih untung kepala itu tak
sampai pecah. Hmmm... diam-diam gadis ini
punya simpanan yang boleh juga dibanggakan.
Oh... sekarang keduanya sudah berdiri, agaknya
mereka marah kepada Kinanti dan  akan
menyerang bersama. Aku harus siaga melindungi
Kinanti!"
"Gadis setan!" maki Polang yang keningnya
menjadi biru legam dan nyaris tidak dipercaya
oleh pandangan para pengunjung kedai.
"Hanya terkena sebutir kacang tanah saja
bisa menjadi sememar itu?" ucap salah seorang
pengunjung secara bisik-bisik.
Sabrawi tidak sabar, ia segera mendekati
Kinanti dan menampar wajah Kinanti seenaknya
saja.
Wuuut...! Taaab...!
Tamparan tangan kanan Sabrawi ditangkap
oleh Kinanti. Pergelangan tangan itu diremasnya
kuat-kuat dengan curahan tenaga dalam, hingga
beberapa orang yang ada di dekat mereka
mendengar suara tulang diremukkan.


Krraaaak...!
"Aaauh...!" Sabrawi menjerit kesakitan,
sedangkan Kinanti segera melepaskan. Wajahnya
tetap memandang lurus, seakan tidak melirik ke
arah lawannya sedikit pun. Tangan yang meremas
tulang pergelangan Sabrawi itu segera menyentak
dan tubuh Sabrawi bagaikan didorong oleh tenaga
kuda dengan cepat. Wuuut...! Buuurkk...!
"Heegh...!"
Kali ini yang terpekik tertahan adalah
Polang, karena tubuhnya tertabrak badan
Sabrawi. Ia jatuh terkapar dan tubuh Sabrawi
menjatuhinya dengan telak.
"Anjing kurapan!" sentak Sabrawi sambil
bangkit sempoyongan. "Heeeaat...!"
Sabrawi hendak menyerang dengan satu
tendangan yang disertai lompatan pendek. Tetapi
jari tangan Suto Sinting segera melepaskan jurus
'Jari Guntur' berupa sentilan kecil ke arah
Sabrawi. Teees...! Buuhg...!
"Uhhg...!" Sabrawi bagaikan sukar bernapas
lagi. Matanya mendelik karena ulu hatinya terkena
sentilan bertenaga dalam dari jarak jauh.  Tubuh
itu terlempar mundur kembali dan jatuh menindih
Polang yang baru saja mau bangkit berdiri.
"Heehg ..!" Polang terpekik dengan suara
tertahan, matanya mendelik karena perutnya
kejatuhan tubuh besarnya Sabrawi.
"Setan binal! Bunuh dia!" teriak Polang
dengan wajah kian beringas.
"Tanganku tak bisa dipakai memegang


senjata!" kata Sabrawi sambil menyeringai
merasakan sakit akibat tulang pergelangan
tangannya remuk.
Polang tak sabar, segera sambar kapaknya di
meja dan menyerang dengan hantaman kapak dari
atas ke bawah. Wuuut...!
Jraaak...!
Kapak menghantam bangku tempat duduk
Kinanti. Gadis itu telah lenyap dari tempatnya.
Rupanya sebelum kapak menghantamnya, ia
sudah lebih dulu melesat dan berpindah ke tempat
lain dengan satu sentakan kaki ke lantai.
Gerakannya cukup cepat sehingga mirip orang
menghilang.
Kapak Polang menancap di bangku dengan
kuatnya, sukar dicabut kembali dengan cepat.
Sementara itu, Suto Sinting masih duduk di
bangku tersebut dengan tenangnya, padahal
kapak itu menancap dalam jarak empat  jengkal
dari pahanya.
Melihat ketenangan Suto Sinting, Polang
menjadi semakin berang. Maka begitu kapak
berhasil dicabut, langsung dihantamkan ke
punggung Suto Sinting. Wuuut...!
Ternyata kaki Suto Sinting bergerak lebih
cepat dari gerakan kapak. Kaki itu menendang ke
dada Polang. Dug...!
"Uuhg...!" mulut Polang pun segera
semburkan darah segar dalam keadaan tubuh
melayang ke belakang dan menabrak Sabrawi
hingga keduanya jatuh saling tindih kembali.


"Sekali  lagi  kalian coba mengganggu kami,
akan kubuat patah batang leher kalian!" hardik
Suto dalam keadaan tetap duduk di tempat.
Sabrawi segera berkata kepada Polang,
"Cepat tinggalkan tempat ini dan laporkan kepada
ketua kita, Polang!"
Dengan langkah sempoyongan, akhirnya
mereka segera meninggalkan kedai. Tapi di pintu
keluar Polang sempat tinggalkan ancaman,
"Tunggu pembalasanku!"

*
* *