Pendekar Mabuk 56 - Pembantai Rasasa(2)


4
PEMUDA tampan murid Resi Badranaya itu ternyata
memang hanya bisa membuka mata dan memandang
dengan sayu. Mereka membawanya ke sebuah gua di
balik bukit yang terlihat dari tepian sungai itu. Pendekar
Mabuk tampak lesu karena tuak saktinya tak mampu
melawan kekuatan racun 'Tapak Ungu' itu. Ia duduk di
atas sebuah batu datar setinggi lutut yang ada di dalam
gua.

Kejora berada di samping Darah Prabu yang
dibaringkan dengan berbantal dedaunan kering. Gadis
itu tampak kian berwajah sendu dan selalu mencoba
mengajak bicara Darah Prabu. Tapi yang diajak bicara
hanya bisa memandang dan menggerak-gerakkan
bibirnya dengan lemah sekali. Darah Prabu selalu gagal
mengatakan sesuatu walau berupa bisikan sekalipun.
"Aku suka sama kamu," kata Kejora. "Apakah kau
suka padaku, Darah Prabu?"
Gadis itu mendekatkan telinganya ke mulut Darah
Prabu, tapi sepatah kata pun tak didengarnya walau bibir
bergerak-gerak seperti mengalami kedutan. Sampai
telinga itu ditempelkan di mulut Darah Prabu, yang bisa
dirasakan Kejora hanya hembusan napas lirih membawa
kehangatan tersendiri di telinga Kejora.
"Bicaralah, jangan hanya melongo, nanti mulutmu
dimasuki lalat," ujar Kejora dengan nada duka, namun
cukup menggelikan hati si Tua Bangka. Tokoh tua yang
pernah diselamatkan Suto Sinting dari tiang gantungan
itu akhirnya geleng-geleng kepala, kemudian melangkah
dari mulut gua mendekati Pendekar Mabuk.
"Masih ingin mencoba menyembuhkan dengan
tuakmu?!"
Pendekar Mabuk menggeleng. Tampaknya ia telah
pasrah karena sudah mencoba menggunakan
penyembuhan dengan jurus 'Sembur Husada', yaitu
menyemburkan tuak ke dada Darah Prabu yang
membekas telapak tangan warna ungu itu, namun usaha
itu juga sia-sia. Bekas telapak tangan warna ungu itu
tetap melekat jelas di dada kekar si murid Resi
Badranaya. Menurut Tua Bangka, jika warna ungu itu
bisa hilang berarti racun yang ada di dalamnya pun akan
lenyap.
"Satu-satunya cara untuk menolong jiwa Darah Prabu
adalah dengan membasuh bekas telapak tangan itu
memakai air Sendang Ketuban," ujar Tua Bangka. "Tak
ada cara lain. Sebab jika kita suruh Nyi Mas Gandrung
Arum memberikan obat penawar racun, pasti ia akan
menolak dan pertarungan pun akan terjadi. Nyi Mas
Gandrung Arum itu tokoh wanita yang berbahaya. Tak
pernah bertindak tapi sekali bertindak dapat
mengakibatkan bencana bagi umat manusia."
"Pantas jika ia bisa menyambar tubuh Peluh Setanggi
secepat itu," kata Suto Sinting seperti orang
menggumam sendiri. Pandangan matanya tertuju ke luar
gua dengan sikap menerawang, bagai orang sedang
melamun.
"Itulah, aku sempat waswas ketika mengejar Peluh
Setanggi karena ia ingin mencuri Kapak Setan Kubur.
Mulanya aku ingin menghajarnya, tapi kupikir-pikir toh
usaha pencurian itu gagal. Jadi aku tak perlu
mengejarnya sampai ke Bukit Esa. Namun aku perlu
temui Nyi Mas Gandrung Arum untuk meluruskan
masalah pengejaranku terhadap Peluh Setanggi.
Sayangnya aku jumpa kalian dan merasa lebih tertarik
dengan perkara yang terjadi pada diri Darah Prabu.
Hatiku menjadi penasaran sekali, ingin mengetahui
perkara apa yang terjadi hingga si Peluh Setanggi
menjadi buronannya?!"
Pendekar Mabuk menarik napas panjang. Setelah itu
memandang si Tua Bangka dengan sorot pandangan
mata berkesan sayu.
"Aku sendiri menjadi penasaran dengan masalah ini
dan menunda kepergianku ke Jurang Lindu untuk temui
Guru si Gila Tuak. Agaknya aku perlu mengetahui dulu
masalah yang dihadapi Darah Prabu dengan pihak Nyi
Mas Gandrung Arum ini."
Tua Bangka agak berkerut dahi, "Kau mau menemui
gurumu di Jurang Lindu?"
Suto Sinting mengangguk satu kali.
"Ada masalah apa kau ingin bertemu Gila Tuak?
Tentunya ada persoalan yang cukup penting. Benarkah
begitu?"
Setelah mengangguk lagi, Suto Sinting pun
menjelaskan masalahnya yang dihadapi bersama pihak
keluarga Kejora. Pendekar Mabuk menceritakan
pertarungannya dengan Badai Kutub yang bertitik tolak
dari masalah pusaka Panji-panji Agung.
Tua Bangka terkejut dan wajahnya semakin
mendekat.
"Panji-panji Mayat, maksudmu?"
"Benar, Ki Sanupati! Apakah kau tahu tentang Panji-
panji Agung atau Panji-panji Mayat itu?!"
Tua Bangka menarik diri sambil menghela napas
dalam-dalam, ia berdiri tegak di depan Pendekar Mabuk.
Matanya memandang sekilas kepada Kejora yang sedang
berusaha mengajak bicara Darah Prabu. Kemudian
pandangan mata itu mengarah kepada Suto.
"Sekarang aku baru ingat tentang gadis itu. Rupanya
ia anak dari pasangan Jalma Dupi dan Sang Ratri. Waktu
aku berkunjung terakhir kalinya ke tempat kediaman
Jalma Dupi, gadis itu masih berusia tujuh tahun."
"Jadi kau kenal baik dengan keluarganya Kejora?"
"Cukup baik," jawab Tua Bangka. "Dan aku juga
sering mendengar pusaka Panji-panji Agung itu menjadi
bahan pembicaraan para tokoh tua."
"Apakah pusaka itu memang hak milik keluarganya
Kejora?"
Tua Bangka mengangguk. "Jalma Dupi memang
pewaris pusaka tersebut. Tapi demi keamanan, Panji-
panji Mayat itu dititipkan oleh Nyai Parisupit kepada
seorang sahabatnya. Dengan begitu siapa pun yang
menyerang keluarga Nyai Parisupit tidak akan/berhasil
mendapatkan pusaka Panji-panji Mayat itu."
"Maksudmu, dititipkan kepada Resi Wulung
Gading?"
Tua Bangka diam sebentar, tampak berpikir sungguh-
sungguh. Kejap berikut ia menarik napas dan berkata,
"Aku tak tahu secara pasti. Yang kutahu, Resi
Wulung Gading tak pernah sebut-sebut adanya pusaka
itu di tangannya. Setahuku, sekarang ini yang ada
padanya hanyalah pusaka Pedang Kayu Petir yang
kabarnya pernah kau temukan lalu kau serahkan kepada
beliau."
"Jika pusaka itu tidak ada pada Resi Wulung Gading,
lantas menurutmu siapa sahabat mendiang Nyai
Parisupit yang dipercaya menyimpan pusaka tersebut?"
Setelah diam sesaat, Tua Bangka pun menjawab,
"Ada beberapa orang yang kuduga menyimpan pusaka
Panji-panji Mayat; Batuk Maragam, Galak Gantung,
Badranaya, dan gurumu sendiri; si Gila Tuak."
"Resi Badranaya...?!" gumam Pendekar Mabuk
bernada heran. "Apakah Resi Badranaya sahabat Nyai
Parisupit?!"
"Semasa mudanya mereka pernah saling jatuh cinta,
tapi putus di tengah jalan karena Sabang Wirata, ayah
Parisupit tidak setuju jika anaknya berhubungan dengan
Badranaya, sebab Sabang Wirata tahu Badranaya
mempunyai kakak beraliran hitam yang pernah mencoba
menyerang perguruan Sabang Wirata."
"Ooo...," Pendekar Mabuk hanya bisa manggut-
manggut.
"Lebih tak suka lagi Sabang Wirata kepada
Badranaya, karena kakak si Badranaya yaitu Nyi Mas
Gandrung Arum itu memihak Kurupati, saudara tirinya
Sabang Wirata yang selalu mengincar Panji-panji Mayat
itu! Ketika berusia muda, Kurupati pernah menjadi
budak cintanya Nyai Mas Gandrung Arum, sehingga apa
pun kesulitan Kurupati dibantu oleh Nyi Mas Gandrung
Arum," tambah sang kakek berusia tujuh puluh tahun
lebih itu.
"Lalu, bagaimana dengan Batuk Maragam?!"
Suto Sinting mengenal tokoh tua yang sering batuk-
batuk sehingga berjuluk Batuk Maragam itu ketika ia
dituduh menghamili seorang gadis anak Lurah
Cakradayu yang menjadi keponakan dari Batuk
Maragam. Gadis itu bernama Dewi Angora. Batuk
Maragam sendiri sempat terkecoh oleh penampilan
kembar seseorang yang serupa betul dengan Pendekar
Mabuk, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode :
"Peri Sendang Keramat"). Tapi saat itu Suto Sinting
belum tahu bahwa Batuk Maragam mempunyai seorang
sahabat yang bernama Nyai Parisupit.
Tua Bangka berkata, "Batuk Maragam pernah
menyelamatkan nyawa Nyai Parisupit, dan sejak saat itu
persahabatan mereka jadi akrab. Tapi agaknya Batuk
Maragam segera menjauhkan diri karena perlu waktu
untuk menyelesaikan tugas-tugasnya sebagai satu-
satunya orang yang pernah berguru di Pegunungan
Sojiyama. Barangkali dalam masa tua belum lama ini,
Batuk Maragam pernah berkunjung di kediaman Nyai
Parisupit lalu mendapat kepercayaan sebagai penyimpan
pusaka Panji-panji Mayat. Sebab setahuku, Batuk
Maragam itu sebenarnya juga bisa membangkitkan
mayat orang yang telah mati dan menuruti kehendak
batinnya."
"Membangkitkan orang yang telah mati...?!" gumam
Suto Sinting sambil merenung, ia bicara bagai tertuju
pada dirinya sendiri. "Bukan hanya Batuk Maragam saja
yang bisa membangkitkan orang mati, melainkan Ratu
Sangkar Mesum juga bisa membangkitkan orang mati."
Kemudian ia bertanya kepada Tua Bangka, "Apakah
setiap pemegang Panji-panji Mayat atau Panji-panji
Agung adalah orang yang bisa membangkitkan mayat?!"
"Yang jelas, siapa pun yang membawa Panji-panji
Agung di dekat orang yang telah mati, maka walaupun
orang itu telah terkubur ratusan tahun, ia akan bangkit
kembali dan menjadi pengikutnya, siap menerima
perintah dari si pembawa Panji-panji Mayat!" jawab Tua
Bangka sambil bicara mondar-mandir di depan Suto
Sinting bagaikan orang dalam kegelisahan besar.
"Lalu, mengenai Ki Galak Gantung itu bagaimana?"
tanya Suto Sinting lagi, sebab ia merasa cukup kenal
dengan Galak Gantung, yang sudah jelas-jelas menjadi
sahabat gurunya; si Gila Tuak itu. Suto Sinting teringat
kembali saat pertemuan pertama kalinya dengan Galak
Gantung dalam suatu peristiwa hilangnya bumbung tuak
sakti yang menjadi satu-satunya senjata andalannya itu,
(Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Pusaka
Bernyawa"). Tokoh yang menjadi guru dari seorang
gadis bernama Kabut Merana itu tinggal di puncak Bukit
Wangi, yang hampir saja dibunuh oleh musuh lamanya;
si Tulang Naga dengan senjata pusaka cukup berbahaya,
(Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Sabuk
Gempur Jagat").
"Galak Gantung pernah bertaruh nyawa dengan
seorang tokoh sakti yang ingin membunuh Nyai
Parisupit. Tokoh itu adalah kakak dari si Tulang Naga.
Tetapi gurumu, si Gila Tuak, segera campur tangan dan
membuat kakak dari si Tulang Naga itu tumbang dan tak
berkutik sampai sekarang. Itulah sebabnya Tulang Naga
menaruh dendam kepada gurumu. Sejak itu hubungan
Galak Gantung dengan Nyai Parisupit menjadi sangat
akrab. Mereka berlima sering tampak lakukan
perundingan di sebuah puncak gunung atau di tengah
samudera. Tapi perundingan apa dan bagaimana
hasilnya, tak seorang pun yang tahu selain mereka
berlima: Galak Gantung, Gila Tuak, Badranaya, Batuk
Maragam, dan Parisupit sendiri."
Pendekar Mabuk menarik napas lagi setelah
merenung beberapa saat.
"Tua Bangka, menurutmu apa yang harus kulakukan
sekarang ini?!"
"Pergi ke Gunung Purwa dan mencari air Sendang
Ketuban."
"Gunung Purwa?!" gumam Suto Sinting dengan
berkerut dahi, ada sesuatu yang sedang diingat-ingatnya.
Tua Bangka berkata, "Di sana ada sebuah telaga
berair hijau bening. Jarang orang yang mengetahui letak
telaga itu. Air telaga tersebut hanya bisa dipakai untuk
mengobati luka racun yang tak bisa ditawarkan dengan
obat lainnya. Tapi jika racun itu bisa ditawarkan dengan
obat lainnya, maka khasiat air Sendang Ketuban tak
berguna."
"Jadi, air itu hanya bisa untuk sembuhkan sebuah
racun yang hanya punya satu penangkal?"
"Benar. Dewata memberikan Sendang Ketuban untuk
mengatasi kejahatan manusia yang menjadi satu-satunya
kunci penawar sebuah racun. Dengan begitu, manusia
tidak akan merasa dirinya paling jago dengan
mempunyai satu obat penawar untuk satu racun
berbahaya."
Pendekar Mabuk manggut-manggut. Lalu ingatannya
menerawang pada sebuah peristiwa yang membuatnya
tersesat di punggung Gunung Purwa. Di situ Suto
Sinting berjalan bersama Kabut Merana tersesat di
sebuah pedesaan yang ternyata adalah sebuah negeri
aneh, bernama Negeri Wilwatikta. Penduduknya kaum
wanita dan mereka hidup tanpa busana dalam keadaan
wajah cantik-cantik serta tubuh meliuk sekal
menggiurkan. Haruskah Pendekar Mabuk meminta
bantuan masyarakat Negeri Wilwatikta yang sudah
dikenalnya itu?
"Pergilah dalam waktu jangan lebih dari satu hari.
Karena pada hari kedua, racun 'Tapak Ungu' akan
membuat jiwa Darah Prabu melayang alias mati," kata
Tua Bangka mengingatkan pada Suto Sinting yang
berkemas untuk berangkat ke Gunung Purwa.
"Aku akan datang secepatnya, Tua Bangka!"
"Bagus. Paling lambat lusa siang kau harus sudah
sampai sini. Jika kau datang sore hari, mungkin Darah
Prabu sudah tak bernyawa lagi."
"Kejora, kau mau ikut aku ke Gunung Purwa?!" sapa
Suto Sinting kepada gadis polos itu.
"Aku... aku menunggu di sini saja. Kasihan Darah
Prabu tak ada yang menunggunya."
"Biar aku yang menunggunya," sahut Tua Bangka.
"Apakah kau juga mencintai Darah Prabu, Pak Tua?!"
Tokoh berkulit keriput itu tertawa kecil dan berkata,
"Cintaku hanya sebatas cinta terhadap seorang cucu."
"Apakah dia cucumu?"
"Kuanggap sebagai cucuku karena aku kenal betul
dengan gurunya yang bernama Resi Badranaya!"
Tapi agaknya Kejora tak mau meninggalkan Darah
Prabu. Hatinya sedang terpikat indah kepada pemuda itu,
sehingga Suto Sinting pun akhirnya berangkat ke
Gunung Purwa sendirian, ia menggunakan jurus 'Gerak
Siluman', sehingga mampu bergerak cepat dalam
mengupayakan air Sendang Ketuban itu.
Zlap, zlap, zlap, zlap...!
Kecepatan gerak itulah yang diketahui Tua Bangka
dan membuat Tua Bangka mewanti-wanti agar Suto
Sinting kembali dalam waktu hanya satu hari. Tua
Bangka yakin bahwa murid si Gila Tuak itu mampu
mencari air Sendang Ketuban dalam waktu singkat.
Karena di samping ia tahu bahwa Suto Sinting berotak
cerdas, ia juga tahu bahwa Pendekar Mabuk adalah
pemuda yang sakti dan mempunyai keberanian sangat
besar. Jiwa persahabatannya tinggi, sehingga demi
seorang teman pun ia rela bekerja dengan susah payah.
Namun ketika Suto menghentikan langkahnya di
perjalanan karena menemukan dua mayat perempuan
terkapar di depan langkahnya, tiba-tiba seberkas sinar
kuning datang dari arah belakang dan menghantamnya
dalam kecepatan yang sukar dihindari. Weeett...!
Bumbung tuak yang di punggungnya terhantam sinar
kuning itu.
Zrrub...! Blegaaarrr...!
Tak pelak lagi Pendekar Mabuk terjungkal dan
berguling-guling karena ledakan itu. Seandainya ia tidak
menyandang bumbung tuak di punggungnya, maka ia
akan hancur atau binasa karena seberkas cahaya kuning
itu. Tapi karena bumbung tuak itu bukan sekadar
bumbung dari bambu biasa, melainkan mempunyai
kesaktian tersendiri; di antaranya dapat memantul
balikkan serangan lawan dan mempunyai kekuatan
tenaga dalam tersendiri, maka sinar kuning itu pun
meledak pada saat menghantam bumbung tuak tersebut.
Gelombang ledakannya menimbulkan hentakan
sangat kuat, karena sebatang pohon yang terdekat
dengan Suto Sinting itu sempat patah di pertengahan
batang dan tumbang menimpa pohon lainnya. Tentu saja
tubuh sekekar Pendekar Mabuk pun terjungkal ke depan
dan berguling-guling kehilangan keseimbangan
badannya.
Ledakan itu juga menimbulkan hantaman kuat pada
tubuh Pendekar Mabuk, sehingga ketika ia hendak
berdiri, dada dan punggungnya terasa panas, lalu
mulutnya segera memuntahkan darah segar dalam
keadaan kepala berkunang-kunang bagai habis dihantam
palu godam.
Tenaga pun terasa menjadi berkurang. Pendekar
Mabuk merasakan seluruh tulangnya bagaikan remuk
dan ia terpaksa bangkit dengan berpegangan pada batang
pohon agak merayap. Keadaan lemah itu membuat
lawan yang belum diketahui di mana kedudukannya
tahu-tahu datang menyerang dengan satu lompatan
cepat. Wuuut...! Brruuss...!
Suto Sinting terlempar ke arah semak-semak karena
terjangan lawan. Ia tak sempat meraih bumbung tuaknya,
sehingga tak sempat pula mengatasi rasa sakit di sekujur
badannya. Darah semakin banyak yang keluar, kali ini
bukan dimuntahkan lewat mulut saja, melainkan dari
lubang hidungnya pun keluar darah segar cukup banyak.
Wajah tampan itu menjadi berlumur darah dan
mengerikan jika dipandang.
Tetapi pada saat lawan ingin melepaskan pukulan
jarak jauhnya lagi, Suto Sinting memaksakan diri untuk
kerahkan sisa tenaga dalamnya. Pukulan lawan yang
berupa sinar merah kecil lurus tanpa putus itu melesat
dari pangkal pergeiangan tangan. Claaap...! Suto Sinting
masih sempat melepaskan pukulan 'Pecah Raga' yang
berupa sinar hijau dari telapak tangannya. Sinar itu
mampu memecahkan raga lawan dalam sekejap. Tetapi
kali ini sinar hijau itu sengaja dilepaskan untuk
menghadang kecepatan melesatnya sinar merahnya
lawan, maka kedua sinar itu pun bertemu dan saling
tabrak di pertengahan jarak. Jlegaaarrr...!
Bumi berguncang hebat, pohon-pohon bergetar
bahkan sebagian ada yang tumbang bagai dilanda
gempa. Tanah memercik ke udara karena akar pohon
terdongkel ke atas bersama robohnya sang pohon. Daun-
daun menjadi rontok dan batu-batu berukuran tak begitu
besar menjadi retak, bahkan ada yang pecah dengan
pecahan menyebar ke berbagai arah.
Ledakan dahsyat itu membuat lawan terbanting
membentur batang pohon besar yang tak ikut tumbang.
Daya lempar yang kuat membuat lawan jatuh terpuruk di
kaki pohon karena tulang punggungnya terasa patah, ia
menyeringai dan mengerang kesakitan. Sementara itu,
Suto Sinting hanya terjungkal kembali ke belakang
hingga tenggelam dalam kerimbunan semak. Pada saat
itulah ia punya kesempatan meraih bumbung tuaknya
dan buru-buru menenggak tuak beberapa teguk.
Tuak itu membuat rasa sakit lenyap dalam beberapa
saat. Tulang-tulang yang terasa patah menjadi kekar
kembali. Badan terasa segar dan siap lakukan
pertarungan dalam beberapa jurus pun. Ia berkelebat
keluar dari semak-semak itu. Ternyata lawan sudah
berdiri dan sedang menyalurkan hawa murninya untuk
meredam rasa sakit yang diderita.
"Ratu Sangkar Mesum...?!" gumam Suto Sinting
dengan geram kemarahan tertahan.
Suto sama sekali tak menyangka yang menyerangnya
adalah seorang perempuan cantik, ramping, montok,
bermata jalang. Mengenakan jubah hijau tipis, tanpa
pakaian apa-apa lagi di balik jubahnya itu, sehingga
perabot dan tetek bengeknya terlihat samar-samar dari
luar jubah yang hanya mempunyai satu kancing sebagai
penutupnya. Hati Pendekar Mabuk segera dapat
merasakan adanya pancaran dendam pada diri Ratu
Sangkar Mesum, karena Suto pernah membuat
perempuan aliran hitam itu nyaris binasa pada saat
menyelamatkan Resi Pakar Pantun, (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode : "Kipas Dewi Murka").
Dendam itu pun kini terucap di sela-sela helaan napas
yang masih tampak memburu itu.
"Aku akan menebus kekalahanku tempo hari.
Pendekar Tampan! Kecuali jika kau mau tunduk padaku
dan melayani asmaraku yang sudah beberapa hari tak
tersiram kehangatan lelaki, maka dendam itu akan
kulupakan dan kuanggap impas!"
"Manusia pembangkit tenaga mayat...!" sapa Suto
Sinting dengan mata sedikit terpicing menandakan
kebenciannya terhadap perempuan cantik itu. Katanya
lagi,
"Kau boleh memiliki seluruh kehangatan dan
kemesraanku jika kau mampu membuatku tak berdaya
lagi! Tapi jangan salahkan diriku jika nyawamu
melayang dalam perlawananku nanti!"
Senyum sinis berbau mesum mengembang di bibir
Ratu Sangkar Mesum yang memang menggiurkan itu.
Namun Suto Sinting menutup hatinya untuk tidak
memuji dan mengagumi senyuman tersebut. Napasnya
ditarik dan ditahan di dalam dada sebagai usaha
melawan rasa syur begitu melihat senyuman dan
pandangan mata Ratu Sangkar Mesum.
"Melumpuhkan dirimu adalah hal yang mudah,
Pendekar Tampan! Tapi jika kau sampai lumpuh tak
berdaya, percuma saja kubawa bercinta. Kemampuanmu
sebagai lelaki pun akan lumpuh dan aku tak memperoleh
kemesraan sedikit pun darimu. Jadi sebaiknya
kulenyapkan saja seluruh ilmu dan kesaktian yang kau
miliki selama ini. Aku terpaksa menggunakan jurus
'Sumsum Pamungkas' untuk membuatmu tak berilmu
lagi! Hi, hi, hi...."
Tiba-tiba tawa itu lenyap berganti suara pekik yang
menyentak, "Aaaahhg...!"
Pendekar Mabuk berkerut dahi dengan memancarkan
pandangan penuh keheranan. Tubuh Ratu Sangkar
Mesum mengejang dalam keadaan limbung ke depan.
Dari ulu hatinya tampak sebatang panah muncul ke
depan. Panah itu membara bagaikan besi terpanggang
api, sehingga lukanya pun menjadi berasap dan hitam.
Darahnya mengering dalam waktu sangat singkat.
Rupanya ada seseorang yang memanah Ratu Sangkar
Mesum dari belakang tembus ke depan, dan panah yang
digunakan bukan panah sembarangan.
Panah itu membuat Ratu Sangkar Mesum mengejang
kaku bagaikan patung. Matanya terbeliak dengan kepala
mendongak ke atas, mulut ternganga bagai ingin
menyerukan pekik kematian yang terakhir kali. Namun
pekik itu tak pernah terdengar lagi. Panah membara
merah itu telah membuat tubuh Ratu Sangkar Mesum
terbakar dari dalam. Warna kulitnya yang kuning langsat
dan mulus itu berubah menjadi hitam secara sedikit demi
sedikit. Mulutnya yang ternganga keluarkan asap putih
samar-samar, namun keadaannya masih berdiri agak
melengkung ke depan, kaku bagaikan sebuah prasasti
dari batu.
"Siapa orang yang membantuku dengan panah merah
itu?!" pikir Suto Sinting dengan tetap berdiri diam di
tempatnya.
*
* *
5
PANDANGAN mata Suto segera menangkap sosok
bertubuh langsing yang berada di dahan pohon jauh di
belakang Ratu Sangkar Mesum. Seorang perempuan
berambut sanggul rapi berada di pohon itu. Perempuan
tersebut melesat bagaikan terbang dengan jubahnya yang
tanpa lengan warna biru laut itu berkibar bagaikan sayap
seekor burung betina. Dalam sekejap perempuan berdada
besar itu telah berdiri di depan Pendekar Mabuk,
memandang dengan sorot mata yang dingin.
Pendekar Mabuk merasa belum pernah jumpa dengan
perempuan yang berusia sekitar tiga puluh tahun itu, tapi
mungkin juga usianya jauh lebih tua jika ia
menggunakan aji pengawet ayu. Yang jelas perempuan
itu masih menarik dan sosok tubuhnya yang sekal
berkulit sawo matang itu masih mengundang gairah
untuk bercumbu bagi lawan jenisnya, ia mengenakan
penutup dada warna kuning tipis, sehingga apa yang
ditutupi itu dapat terlihat secara samar-samar. Pakaian
bawahnya sebuah celana longgar dari kain biru tipis
yang menampakkan perabot wanitanya secara samar-
samar pula. Apalagi dalam keadaan mendapat sorotan
sinar dari belakang, tubuh elok itu terbayang jelas
bagaikan tanpa busana lagi.
"Kau yang bernama Suto Sinting dengan gelar
sombongnya berjuluk Pendekar Mabuk itu?!"
"Benar. Siapa dirimu sebenarnya? Aku merasa tak
pernah mengenalmu!" jawab Suto Sinting dengan
keramahan tertahan karena sikap perempuan itu cukup
ketus dan angkuh. Namun matanya yang berbulu lentik
itu memandang dengan tajam bagai mempunyai dua
makna; antara bermusuhan dan berkawan.
Di sanggul perempuan itu terdapat tusuk konde dari
sebatang emas berbentuk sumpit. Ujung tusuk kondenya
mempunyai hiasan ronce-ronce benang merah,
sedangkan ujung yang satunya lagi berbentuk runcing
seperti mata jarum. Agaknya tusuk kondenya itu juga
bisa digunakan sebagai senjata sewaktu-waktu.
Punggungnya menyandang tempat panah berjumlah
enam batang. Sementara di tangan kirinya ia
menggenggam busur dari kayu lentur berlapis gading
sebagai penghiasnya.
"Kalau aku membunuh si Sangkar Mesum bukan
karena aku menyelamatkan nyawamu, tapi karena dia
mengkhianatiku. Dia bergabung dengan Barakoak, si
Raja Iblis itu, padahal Barakoak adalah musuhku. Jadi
aku terpaksa membunuhnya bukan demi menyelamatkan
nyawamu!"
"Barakoak masih hidup?" gumam Suto Sinting dalam
hati. "Berarti dia tidak ikut mati bersama reruntuhan batu
candinya itu?!"
Perempuan itu mencabut anak panahnya yang
membara seperti baja dari tubuh Ratu Sangkar Mesum
yang sudah tak bernyawa lagi itu. Sluuub...! Ketika anak
panah sudah tercabut, warnanya berubah menjadi kuning
gading, tak berasap dan tak memancarkan warna merah
bara lagi. Anak panah itu segera dimasukkan pada
tempatnya yang ada di punggung. Mata perempuan itu
mengawasi Suto Sinting, sementara Suto Sinting juga
pandangi perempuan itu dengan sikap tenang, ia
mencoba menerka-nerka siapa perempuan itu sebenarnya
sehingga merasa dikhianati oleh Ratu Sangkar Mesum,
namun sampai beberapa saat ia tak menemukan jawaban
yang pasti, sehingga sebuah pertanyaan pun diajukan
kepada perempuan itu.
"Boleh kutahu namamu?!"
Perempuan itu mendekat dengan langkahnya yang
tegap, pandangan matanya masih berkesan dingin,
seakan meremehkan penampilan Suto Sinting. Dalam
jarak tiga langkah ia berhenti, dagunya sedikit terangkat
hingga sikap sombongnya semakin terlihat jelas.
"Kau tak perlu tahu siapa diriku. Yang perlu kau
ketahui, aku muak mendengar kabar tentang dirimu yang
digembar-gemborkan sebagai pendekar sakti dan dipuji-
puji oleh mereka. Suatu saat aku akan menantangmu
bertarung sampai mati!"
Setelah bicara begitu ia berbalik ingin tinggalkan
tempat, tetapi Suto Sinting cepat serukan kata sebagai
pencegah langkahnya.
"Tunggu...!"
Perempuan itu hentikan gerakan dan berpaling ke
belakang melirik Pendekar Mabuk. Pemuda tampan itu
mencoba sunggingkan senyumannya yang menawan.
Rupanya ada perubahan tipis di hati perempuan itu yang
merasakan desiran halus menatap senyuman Pendekar
Mabuk. Namun desiran indah yang samar-samar itu
tidak membuat bibirnya membalas senyum Suto Sinting.
Hanya saja ia tak jadi melangkah pergi dan kini
berhadapan dengan Suto kembali.
"Kau bilang Ratu Sangkar Mesum bersekutu dengan
Barakoak. Apakah itu betul? Kusangka Barakoak alias si
Raja Iblis itu mati bersama reruntuhan candinya."
"Nyatanya ia dibantu oleh Ratu Sangkar Mesum
untuk merebut wilayah kekuasaan Dewi Cumbutari! Ia
menjanjikan sesuatu kepada Sangkar Mesum, sehingga
Sangkar Mesum bersekutu dengannya menyerang negeri
Wilwatikta."
Pendekar Mabuk terperanjat dalam hatinya. Negeri
Wilwatikta adalah tempatnya tersesat kala melakukan
perjalanan bersama Kabut Merana. Dan perempuan yang
bernama Dewi Cumbutari itu adalah penguasa negeri
yang masyarakatnya tidak mengenal busana walau
terdiri dari kaum perempuan semua itu. Pendekar Mabuk
bersahabat baik dengan Dewi Cumbutari yang pernah
membantunya dengan teropong indera keenamnya,
(Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Bayi
Pembawa Petaka"). Padahal rencana Suto Sinting untuk
menemukan Sendang Ketuban akan singgah ke desa
yang menjadi negeri Wilwatikta dan meminta bantuan
Dewi Cumbutari untuk menemukan sendang tersebut.
"Mengapa kau diam saja?! Kau terkejut mendengar
Barakoak masih hidup?!" ujar perempuan berwajah agak
lonjong itu.
"Aku hanya memikirkan siapa dirimu sebenarnya,"
jawab Suto Sinting sedikit berkesan menggoda.
"Wawasanmu begitu rendahnya hingga tak mengenal
adanya bajak laut wanita yang kesohor kesaktiannya ini!
Aku tak bisa bicara terlalu lama dengan orang yang
berwawasan rendah. Sebaiknya kugunakan waktuku
untuk menemui Barakoak dan membuat perhitungan
dengannya!"
Weeeesss...! Perempuan itu cepat sentakkan kaki ke
tanah dan lakukan lompatan panjang mirip terbang, ia
melesat pergi tinggalkan Suto Sinting yang masih
terbengong di tempat. Dalam hati sang Pendekar Mabuk
sempat membatin heran,
"Bajak laut wanita?! Hmm... kalau tak salah Resi
Pakar Pantun pernah menceritakan tentang si bajak laut
wanita yang memihak Ratu Sangkar Mesum dalam
menyerang negeri Bumiloka, tempat Kertapaksi dan
keluarganya bertakhta di sana. Kalau tak salah... Resi
Pakar Pantun menyebut nama Dewi Geladak Ayu, si
bajak laut wanita. Oh, apakah perempuan itu yang
bernama Dewi Geladak Ayu?!"
Kemudian Suto Sinting membayangkan
pertemuannya dengan Resi Pakar Pantun pada saat sang
Resi melawan orang dalam tandu hitam. Kata-kata Resi
Pakar Pantun terngiang kembali di telinga Suto Sinting,
sehingga hatinya semakin yakin bahwa perempuan itu
adalah Dewi Geladak Ayu yang dikenal dengan senjata
pusakanya bernama Panah Lebur Sukma itu, (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode : "Gundik Sakti").
"Firasatku mengatakan, Dewi Geladak Ayu pergi ke
Wilwatikta untuk menemui si Raja Iblis; Barakoak!
Kalau begitu aku harus mengikuti langkahnya agar bisa
sampai ke Wilwatikta."
Zlaaap...! Jurus 'Gerak Siluman' dipergunakan oleh
Pendekar Mabuk. Ternyata kecepatan jurus itu mampu
melebihi kecepatan gerak Dewi Geladak Ayu. Dalam
waktu singkat perempuan itu telah tersusul oleh Suto
Sinting. Bahkan Suto berhasil mendahului di depan
langkah Dewi Geladak Ayu. Tetapi ia tak mau
tampakkan diri dan tetap mengawasi dari tempat yang
tersembunyi. Ke mana pun langkah Dewi Geladak Ayu
dibayang-bayangi terus oleh Suto Sinting.
"Oh, dia berhenti...?! Sepertinya ada yang
menghadang langkahnya?!" pikir Suto Sinting dari
kejauhan, ia bersembunyi di balik batu yang ada di
lereng sebuah bukit. Dari tempatnya dapat terlihat jelas
kehadiran seseorang yang menghadang langkah Dewi
Geladak Ayu. Bahkan dengan menggunakan ilmu 'Sadap
Suara', Suto Sinting mampu mendengar dengan jelas
percakapan yang dilakukan Dewi Geladak Ayu dengan
penghadangnya.
"Kenanga Pilu...?!" gumam Suto Sinting lirih sekali
walau hatinya sempat terkejut begitu pandangannya
diperjelas.
Kenanga Pilu adalah murid tokoh tua yang beraliran
putih dan dikenal dengan nama Eyang Darah Guntur dari
Perguruan Tapak Dewa. Gadis cantik berjubah Jingga itu
bertemu dengan Suto Sinting dalam keadaan terkena
kutukan seorang tokoh sakti beraliran hitam, (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode : "Kutukan Pelacur
Tua"). Sejak kematian si Pelacur Tua, kutukan itu telah
lenyap dari diri Kenanga Pilu, tentunya tindakan
Kenanga Pilu menghadang langkah Dewi Geladak Ayu
tidak sebrutal dulu. Tetapi mengapa sekarang Kenanga
Pilu menghadang langkah Dewi Geladak Ayu dengan
sikap bermusuhan? Hal itu sangat menarik perhatian
Pendekar Mabuk, sehingga perhatiannya tercurah
sepenuhnya ke arah Kenanga Pilu dan Dewi Geladak
Ayu.
Dengan pedang di pinggang, Kenanga Pilu berdiri
sigap dengan kaki sedikit merentang, jaraknya hanya
empat langkah dari Dewi Geladak Ayu. Mereka saling
beradu pandang dengan sinis, agaknya keduanya sudah
saling kenal, sehingga tak ada rona heran di kedua wajah
mereka.
"Apa maksudmu menghadang langkahku, Kenanga
Pilu?!"
"Menuntut kematian Paman Guru Juru Taman!"
jawab Kenanga Pilu tegas dan membuat Suto Sinting
terperanjat kaget.
"Ooh, Resi Juru Taman ternyata sudah tewas di
tangan Dewi Geladak Ayu?! Hmmm... baru sekarang
kudengar kabar itu. Sejak kapan beliau tewas?!" Suto
Sinting membatin penuh keheranan, ia juga mengenal
Resi Juru Taman sebagai adik dari Eyang Darah Guntur
yang dulu ikut menyelamatkan Kenanga Pilu dari
serangan orang-orang yang ingin menuntut balas atas
tindakan liar gadis itu.
Renungan Suto atas nasib sial Resi Juru Taman itu
terputus, perhatiannya dikembalikan kepada ketegangan
di depan sana, karena Dewi Geladak Ayu perdengarkan
suara ketusnya.
"Apakah kau tak berpikir menggunakan otakmu,
hah?! Kalau orang yang kau sebut-sebut sebagai paman
guru saja mati di tanganku, mengapa kau mau coba-coba
melawanku?! Bukankah perlawananmu sama saja
dengan menyerahkan nyawa secara sia-sia?! Karenanya,
kusarankan padamu agar tidak coba-coba menuntut balas
padaku, Kenanga Pilu!"
"Persetan dengan saranmu!" hardik Kenanga Pilu,
kemudian segera mencabut pedangnya.
Sraaaaang...!
Dewi Geladak Ayu masih diam, hanya sunggingkan
senyum sinisnya. Tak merasa gentar sedikit pun terhadap
gertakan Kenanga Pilu. Nyalinya tetap besar walau
Kenanga Pilu sudah menggenggam pedangnya.
"Dengar kataku, Gadis Bodoh...," ujarnya makin
meremehkan Kenanga Pilu. "Kematian Juru Taman
bukan karena kesalahanku. Dia sendiri yang bikin ulah
berlagak menjadi pelindung bagi pihak negerinya
Kertapaksi. Dia sama saja dengan si Pakar Pantun;
sama-sama ingin menjadi jagoan dan dapat pujian,
akibatnya nyawa si Juru Taman melayang tanpa
penghargaan. Kerajaan Bumiloka sudah berhasil
kuhancurkan. Sayangnya, Kertapaksi dan gurunya; si
Pakar Pantun, melarikan diri tak terkejar olehku.
Ternyata Sangkar Mesum pun tak becus mengejar Pakar
Pantun, bahkan sekarang dia berkhianat padaku,
bersekutu dengan Barakoak!"
"Itu urusanmu, aku tak mau dengar!"
"Kau perlu mendengarkannya, Anak Manis!" ledek
Dewi Geladak Ayu. "Kau perlu menyimak keteranganku
agar pihakmu tahu bahwa kematian Juru Taman adalah
akibat kesalahannya sendiri. Dan kau perlu tahu, Ratu
Sangkar Mesum yang selama ini menjadi sahabat baikku
saja bisa kubunuh jika mengecewakan diriku, apalagi
kau yang baru kemarin sore dan bukan apa-apaku! Ilmu
yang kau miliki masih jauh di bawah si Sangkar Mesum,
tak ada gunanya kau menuntut balas atas kematian
paman gurumu itu."
Pendekar Mabuk sempat berpikir, "Kalau begitu
negeri Bumiloka telah hancur, dan Kertapaksi masih
hidup tapi melarikan diri. Hmmm.... Lantas siapa yang
menguasai negeri Bumiloka itu?! Bukankah sebenarnya
negeri itu ingin dikuasai oleh Ratu Sangkar Mesum?
Tapi perempuan itu kini telah tewas. Apakah dengan
begitu Dewi Geladak Ayu ingin menguasai negeri
Bumiloka?!"
"Aku punya usul padamu, Gadis Tolol...," ujar Dewi
Geiadak Ayu. "Kalau kau ingin bikin perhitungan
denganku, datanglah ke Bumiloka dan hadapi anak
buahku dulu. Kalau kau unggul melawan mereka satu-
persatu, kau boleh melawanku. Jadi aku tak buang-
buang waktu dengan melawan gadis kerempeng
sepertimu itu, Kenanga Pilu."
"Dalam sekali gebrak anak buahmu akan binasa di
tanganku. Justru aku mencarimu untuk bikin perhitungan
secara langsung. Kalau kau tak berani berhadapan
denganku, berlututlah dan memohon ampunlah padaku,
maka aku akan berbijak hati padamu, Geladak Ayu!"
"Keparat...!" geram Dewi Geladak Ayu. "Belum
pernah ada orang berani menghinaku seperti itu!
Rupanya kau memang ingin cepat menyusul si Juru
Taman ke neraka! Dasar perawan dungu! Hiaaah...!"
Dewi Geladak Ayu marah mendapat hinaan seperti
itu. Ia segera kepretkan tangannya ke depan, dan
memerciklah bunga-bunga api warna merah kekuningan
bagai air yang memercik ke tubuh Kenanga Pilu.
Crraaaap...! Kenanga Pilu melompat mundur satu
langkah dengan mengibaskan pedangnya dalam gerakan
amat cepat hingga menimbulkan desau angin
bergemuruh. Tentu saja tebasan cepat yang berkali-kali
itu mempunyai gelombang tenaga dalam hingga dapat
semburkan angin kencang yang memadamkan percikan
bunga api dalam sekejap. Wuuusss...! Zuuurrb...!
Asap mengepul saat bunga api itu padam serentak.
Kenanga Pilu merendahkan kedua kakinya dengan
pedang terhenti di atas kepala, tangan kirinya maju ke
depan bagai melindungi dadanya dari serangan sewaktu-
waktu. Dewi Geladak Ayu semakin berang melihat
serangannya dapat dipatahkan lawan, ia segera
melompat dalam kecepatan tinggi, menerjang Kenanga
Pilu yang sempat terperanjat karena datangnya serangan
yang luar biasa cepatnya itu.
Wuuut...! Brrusss...! Crraaak...!
"Aaahg...!" Kenanga Pilu memekik tertahan. Rupanya
ia terkena ujung busur panah yang dikibaskan oleh Dewi
Geladak Ayu pada saat lakukan terjangan.
Murid Eyang Darah Guntur itu terpental delapan
langkah jauhnya. Dadanya berdarah karena luka
memanjang sampai ke atas pundak.
Namun agaknya Kenanga Pilu masih mampu
bertahan. Semangat membalas kematian paman gurunya
masih menyala-nyala dan dapat terlihat dari bola
matanya yang berbinar-binar penuh nafsu untuk
membunuh itu. Ia masih mampu pergunakan jurus
pedangnya, sehingga pedang itu segera dimainkan
dengan gerakan cepat.
"Hmmm... dia gunakan jurus 'Tebas Gunung' yang
mampu lukai lawan dari jarak sepuluh langkah tanpa
menyentuh tubuh lawannya," gumam Suto Sinting dalam
hati, sebab ia dulu pernah hampir mati menghadapi jurus
'Tebas Gunung'-nya si cantik Kenanga Pilu itu.
Wung, wung, wung, wung...! Suara tebasan pedang
menimbulkan getaran pada pohon-pohon di
sekelilingnya. Gelombang tenaga dalam yang meluncur
dari tebasan pedang itu mempunyai ketajaman yang
sama dengan mata pedang itu sendiri, sehingga angin
yang membawa gelombang tajam itu akan memotong
tubuh lawannya menjadi beberapa bagian.
Tetapi agaknya Dewi Geladak Ayu memang bukan
lawan setanding dengan Kenanga Pilu. Jurus pedang
'Tebas Gunung' dapat dipatahkan dengan busur panah
yang dikibaskan ke kanan-kiri dengan gerakan cepat.
Kibasan busur itu juga hasilkan gelombang tenaga dalam
yang saling bertemu dengan kekuatan tenaga dalam dari
jurus pedangnya Kenanga Pilu.
Di pertengahan jarak antara kedua wanita itu, terjadi
letusan-letusan kecil semacam petasan rentet dinyalakan.
Tar, tar, tar, trraaattt... tarrr....
Blegaaaarr...!
Ledakan besar mengakhiri bunyi rentetan letusan
tersebut. Ledakan besar itu timbul setelah tangan kiri
Dewi Geladak Ayu menyentak ke depan dan dari telapak
tangannya keluar sinar biru sebesar kepalan tinjunya.
Sinar biru menghantam cahaya merah yang timbul dari
letusan-letusan kecil tadi, hingga terjadilah gelegar
ledakan yang menggetarkan tanah di sekitar mereka.
Ledakan itu mengepulkan asap tebal warna putih.
Pandangan mata Kenanga Pilu tak mampu menembus
ketebalan asap putih tersebut, ia sedang mempersiapkan
jurus barunya, tapi tiba-tiba ia seperti ditampar angin
badai di sekujur tubuhnya. Wuuut...! Brrruuuss...!
"Aaaahg...!" Kenanga Pilu memekik lagi. Kejap
berikut Pendekar Mabuk melihat Kenanga Pilu roboh
bersimbah darah. Luka tebasan ujung busur menjadi
bertambah. Kini bagian perut dan leher Kenanga Pilu
terluka dalam dan mengerikan. Luka itu cepat menjadi
hitam bersama darahnya pertanda luka tersebut
mengandung racun berbahaya.
"Untuk melegakan jiwamu, kukirim nyawamu ke
neraka sekarang juga, Perawan Bodoh! Hiaaaah...!"
Dewi Geladak Ayu ingin habisi nyawa Kenanga Pilu
dengan jurus pukulan jarak jauh yang diduga akan
menghancurkan raga Kenanga Pilu. Tetapi Suto Sinting
cepat bertindak, ia berkelebat ke arah pertarungan
dengan menggunakan jurus 'Gerak Siluman'-nya.
Zlaaap...! Gerakan melesat itu juga dibarengi terlepasnya
sentilan maut yang dinamakan jurus 'Jari Guntur'
bertenaga dalam melebihi tendangan seekor kuda jantan.
Teess...! Wuuut...! Beehg...!
"Aoh...!" tubuh Dewi Geladak Ayu terpental terbang
akibat hantaman gelombang berkekuatan tinggi itu. Ia
tak jadi melepaskan pukulan penghancur raga.
Sementara itu, Kenanga Pilu segera disambar oleh Suto
Sinting dan dibawanya lari dengan gerakan yang sukar
dilihat secara utuh, hanya menyerupai kilatan cahaya
coklat-putih, sesuai warna baju dan celana Pendekar
Mabuk
Dalam sekejap saja Kenanga Pilu sudah berada di
balik bukit cadas jauh dari Dewi Geladak Ayu. Tentu
saja hal itu membuat si bajak laut wanita kebingungan
mengetahui lawannya telah lenyap bagai ditelan bumi.
"Keparat! Ke mana si perawan bodoh itu?!"
geramnya sambil bangkit berdiri dan memandangi alam
sekitarnya. "Hem... dadaku seperti dihantam dengan batu
sebesar gunung! Kurang ajar! Siapa orang yang berhasil
menghantamku sepanas ini?! Kalau tak segera kulawan
dengan hawa murniku, bisa jebol dadaku dan kehilangan
napas selamanya!" Dewi Geladak Ayu pun segera
menarik napas dengan memicingkan mata, memusatkan
pikiran dan kekuatannya pada hawa murninya.
Sedangkan di balik bukit, Suto Sinting sibuk
menuang tuak ke mulut Kenanga Pilu. Namun agaknya
ia terlambat. Racun dalam luka Kenanga Pilu sangat
ganas dan akibat banyaknya luka juga maka Kenanga
Pilu pun akhirnya menghembuskan napas terakhir
sebelum menelan tuak saktinya Pendekar Mabuk.
"Oooh... terlambat!" keluh Suto Sinting dengan sedih.
"Racun itu bekerja lebih cepat dari usahaku menuangkan
tuak ke mulutnya. Sial!"
Pendekar Mabuk hanya bisa memandangi Kenanga
Pilu yang sudah tak bernyawa dengan hati sedih
bercampur kecewa. Angin yang berhembus bagaikan
mengantar kematian Kenanga Pilu saat berada di
samping sang Pendekar Mabuk.
"Aku tak boleh kehilangan jejak Dewi Geladak Ayu
agar tak tersesat mencapai desa Wilwatikta. Sebaiknya
mayat Kenanga Pilu kuletakkan di tempat yang
tersembunyi dulu, nanti pulang dari mengambil air
Sendang Ketuban akan kuambil dan kuserahkan kepada
gurunya."
Zlaaaap...! Pendekar Mabuk bergegas menyusul Dewi
Geladak Ayu setelah meletakkan mayat Kenanga Pilu di
relung batu cadas yang menyerupai gua kecil itu. Dewi
Geladak Ayu meneruskan perjalanannya menemui
Barakoak di desa Wilwatikta, namun ia tak sadar bahwa
ada seseorang yang membayang-bayangi perjalanannya
itu selain si Pendekar Mabuk.
*
* *
6
KETIKA perjalanan sudah mulai mendekati kaki
Gunung Purwa, bayangan yang mengikuti Dewi Geladak
Ayu itu mulai tampakkan diri dengan cara merobohkan
pohon di depan langkah Dewi Geladak Ayu. Pohon itu
dihantamnya dengan kekuatan tenaga dalam hingga
tumbang dan hampir saja menjatuhi Dewi Geladak Ayu.
Duaaar...!
Kreeaaakkk...! Brruuuhk...!
Hampir saja Dewi Geladak Ayu tertimpa pohon besar
itu jika tidak segera bersalto ke belakang beberapa kali
dengan lincah dan cepat sekali. Perempuan itu selamat
dari ancaman maut pohon besar yang seluruh batangnya
berduri semacam pohon kapuk randu. Ia hinggap di
salah satu bongkahan batu setinggi dada manusia
dewasa. Dari sana ia memandang ke arah sekeliling
dengan cepat dan melepaskan pukulan jarak jauh
bersinar merah lurus tanpa putus.
Slaaaap...! Blegaaar...!
Dua pohon tumbang lagi karena hantaman sinar
merah lurus itu. Dari semak-semak di bawah pohon itu
melesatlah sesosok bayangan ungu yang bersalto di
udara dan hinggap di atas sebongkah batu setinggi perut
manusia dewasa. Jleeg...!
Pendekar Mabuk memperhatikan dari tempat
persembunyiannya, dan ia terkejut melihat sesosok
bayangan ungu yang menjelma di atas batu itu.
Bayangan ungu itu ternyata seorang pemuda tampan
dengan potongan baju lengan seperti Suto Sinting, tapi
warna bajunya ungu tua, demikian pula warna
celananya. Pemuda itu mempunyai rambut lurus panjang
sepundak seperti Suto Sinting, tapi mengenakan ikat
kepala dari kain merah beludru berhias benang emas.
Pemuda gagah itu menyandang pedang di punggungnya,
dan dilihat dari kemewahan pedangnya jelas ia bukan
pemuda sembarangan. Pendekar Mabuk yang terperanjat
segera menyebut sepotong nama yang dikenalnya
dengan suara lirih, menyerupai orang menggumam
kagum.
"Inupaksi...?!"
Pemuda berusia dua puluh tiga tahun itu memang
Inupaksi. Ia adalah anak Prabu Digdayuda penguasa
kerajaan Bumiloka. Wajah tampannya mirip dengan
Kertapaksi, sebab ia memang adik dari Kertapaksi. Tapi
mereka berbeda guru. Kertapaksi adalah murid Resi
Pakar Pantun, tapi Inupaksi bukan. Pendekar Mabuk
ingat pertemuannya dengan Inupaksi beberapa waktu
yang lalu ketika dalam perjalanan menyusuri lereng
Gunung Purwa juga, (Baca serial Pendekar Mabuk
dalam episode: "Bayi Pembawa Petaka").
"Tak salah lagi, Inupaksi pasti akan menuntut balas
atas kehancuran negerinya kepada Dewi Geladak Ayu,"
pikir Suto Sinting. "Namun apakah Inupaksi mampu
menumbangkan kesaktian Dewi Geladak Ayu?!"
Dewi Geladak Ayu memandang dengan mata sedikit
terpicing. Rupanya ia merasa heran melihat penampilan
anak muda yang mirip Kertapaksi itu. Ia pun menyapa
dengan nada dingin.
"Wajah dan penampilanmu serupa betul dengan
Kertapaksi yang lari tunggang langgang melawanku itu.
Apakah kau punya hubungan saudara dengan
Kertapaksi?!'
"Aku adalah adiknya. Akulah yang bernama
Inupaksi!" jawab Inupaksi dengan nada tak ramah.
"O, pantas kau lebih ganas dari Kertapaksi," ujar
Dewi Geladak Ayu dengan senyum sinis yang tipis.
"Rupanya kau ingin menyusul kematian ayahmu; Prabu
Digdayuda itu! Aku tak segan-segan menghancurkan
sisa keturunan si Digdayuda!"
"Kau memang perempuan busuk yang pantas
dilenyapkan dari muka bumi!" geram Inupaksi
menampakkan kemarahannya.
Lalu, dengan secara tiba-tiba tangan Inupaksi
menyentak ke depan dan dari tangan itu keluar
kepingan-kepingan logam putih mengkilat dalam bentuk
kelopak bunga. Jumlah kepingan logam yang keluar dari
telapak tangan itu sekitar sepuluh keping, melesat
bersama tertuju ke arah dada Dewi Geladak Ayu.
Zzriilng...l
Dewi Geladak Ayu tidak menghindar, tapi
menadahkan tangannya ke depan. Logam-logam
mengkilap yang merupakan senjata rahasia beracun
ganas itu dihadang oleh telapak tangan kanan Dewi
Geladak Ayu. Zzzuuurrb...! Kemudian tangan itu
menggenggam, ternyata kepingan logam itu telah
mengumpul menjadi satu dalam genggaman. Dewi
Geladak Ayu tunjukkan kesaktiannya yang mampu
menangkap seluruh benda beracun itu tanpa mengalami
luka sedikit pun pada telapak tangannya. Justru sekarang
kepingan-kepingan logam itu dilemparkan kembali ke
arah Inupaksi. Zrrriing...! Wuuut, wuuut...!
Inupaksi melompat melebihi ketinggian layang
kepingan-kepingan logam tersebut. Akibatnya kepingan-
kepingan logam itu menancap pada pohon yang ada di
belakang Inupaksi. Juuurrb...!
Namun lompatan maju Inupaksi itu mendekati Dewi
Geladak Ayu, sehingga ketika tubuhnya melayang turun,
Inupaksi melepaskan pukulan bersinar biru seperti
piringan dalam jarak cukup dekat. Claaap...! Dewi
Geladak Ayu masih berdiri di atas batu dan
merendahkan kedua kakinya dengan tangan kanan
disentakkan ke depan. Claaap...! Sinar merah seperti
bola melesat dari telapak tangan itu dan bertabrakan
dengan sinar birunya Inupaksi.
Blegaaarrr...!
Ledakan dahsyat terjadi mengguncangkan alam
sekeliling, termasuk tumbangnya beberapa pohon akibat
gelombang sentakan amat kuat dari ledakan tersebut.
Inupaksi sendiri terlempar ke atas dengan tanpa
keseimbangan badan, melayang-layang tinggi dengan
gerakan panik. Sedangkan Dewi Geladak Ayu terlempar
jatuh dari atas batu. Namun ia segera bangkit dan
berlutut satu kaki, kemudian ia sentakkan jari tangannya
yang merentang tegak kaku itu. Dari ujung jari tengah
keluar selarik sinar seperti lidi panjang warna merah.
Zuuuub...!
"Aaahg...!" terdengar suara pekikan Inupaksi saat
tubuh itu melayang turun dan disambut dengan sinar
merah sebesar lidi. Sinar itu kenai pinggang Inupaksi
yang membuat baju Inupaksi terbakar dan hangus pada
bagian pinggangnya. Inupaksi akhirnya jatuh berdebam
di tanah dengan suara mengerang kesakitan. Matanya
terbeliak-beliak, tubuhnya menggelinjang kaku. Salah
satu tangannya mencoba mendekap luka bakar di bagian
pinggangnya itu.
"Gawat! Inupaksi terluka parah, jiwanya dapat
melayang dalam waktu beberapa saat lagi. Aku harus
segera bertindak!" pikir Suto Sinting yang bergegas
ingin menyambar Inupaksi.
Tetapi tiba-tiba sekelebat bayangan putih melintas di
depannya, menuju ke arah pertarungan. Bayangan putih
itu bergerak dengan kecepatan tinggi dan menyambar
tubuh Inupaksi. Wuuuut...!
Bertepatan dengan tersambarnya tubuh Inupaksi,
Dewi Geladak Ayu melepaskan pukulan sinar merah
sebesar kepalan tangannya. Wuuusss...! Sinar merah itu
akhirnya menghantam tempat kosong karena Inupaksi
sudah lebih dulu disambar seseorang. Blegaaarr...!
Kalau saja Inupaksi masih ada di situ, ia pasti akan
hancur berkeping-keping karena hantaman sinar merah
besar tersebut. Karena Inupaksi sudah tidak ada di
tempat, maka sinar merah itu menghantam tanah dan
menyemburlah tanah tempat jatuhnya Inupaksi tadi.
Percikan tanah menyebar ke angkasa membuat alam
sekitarnya bagaikan mengalami hujan debu. Tempat
jatuhnya Inupaksi menjadi berongga besar sekali seperti
kubangan kerbau dengan kedalaman sekitar satu lutut
lebih dan berasap tipis.
Dewi Geladak Ayu clingak-clinguk mencari
kepergian lawannya. Akhirnya ia temukan lawannya di
sebelah timur, dalam keadaan dipanggul oleh seorang
lelaki tua berbadan gemuk. Pandangan Suto Sinting pun
terarah ke timur, menatap orang gemuk berjubah putih,
rambut pendek, dan kumis serta jenggotnya juga putih
rata.
"Jubah Kapur...?!" gumam hati si Pendekar Mabuk
yang mengenal tokoh tua itu.
Jubah Kapur adalah ketua gelandangan yang
termasuk tokoh aliran putih, guru dari Inupaksi.
Pendekar Mabuk bertemu dengan tokoh sakti yang
mengenal gurunya itu ketika terlibat peristiwa kematian
seorang bayi yang digantung oleh ayahnya sendiri, (Baca
serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Bayi Pembawa
Petaka").
Rupanya si Jubah Kapur selalu membayang-bayangi
kepergian muridnya, dan siap selamatkan sang murid
jika dalam keadaan berbahaya. Kali ini Jubah Kapur
sengaja hentikan langkah di atas gundukan tanah sambil
memandang ke arah Dewi Geladak Ayu. Tampaknya
perempuan itu pun sudah mengenal si Jubah Kapur,
sehingga ia segera serukan kata kepada tokoh serba putih
itu.
"Lepaskan pemuda itu biar puas hatinya jika sudah
kukirim ke neraka seperti kedua orangtuanya! Kalau kau
ingin ikut campur urusanku, datanglah kemari dan
hadapi aku, Jubah Kapur!"
"Belum saatnya aku menghadapimu, Perempuan
Bajak! Tapi ada saatnya sendiri di mana kita akan
bertemu dan saling mengadu nyawa! Tunggulah saatnya,
pasti akan tiba!"
Wuuut...! Jubah Kapur berkelebat pergi tinggalkan
Dewi Geladak Ayu yang masih merasa dongkol dengan
tingkahnya Inupaksi. Kepergian si Jubah Kapur ternyata
meninggalkan suara yang menggema bagai memenuhi
hutan sekitar situ.
"Jika aku sudah mengobati muridku, aku akan
mencarimu untuk bikin perhitungan, Geladak Ayu, yu,
yu, yu...!"
Pendekar Mabuk membatin, "Gelombang suara itu
pasti mempunyai kekuatan tenaga dalam hingga bisa
menggema sebegitu jelasnya. Hmmm... agaknya Dewi
Geladak Ayu tidak mau memburu Jubah Kapur, ia lebih
mengutamakan mencari Barakoak untuk mengadu
kesaktian. Rupanya si Raja Iblis itu benar-benar musuh
utama yang harus dilenyapkan oleh Dewi Geladak Ayu!
Tapi... hei, siapa itu yang berkelebat di sebelah barat?!"
Pendekar Mabuk memandang curiga ke arah barat. Di
sana tampak sekelebat bayangan berlari menelusup di
balik pepohonan. Sementara itu Dewi Geladak Ayu yang
tak tahu diikuti oleh Pendekar Mabuk segera tinggalkan
tempat dan teruskan perjalanan. Suto Sinting tak tahu
kalau Dewi Geladak Ayu telah pergi, karena pusat
perhatiannya lebih tertarik ke arah barat.
"Ooh... rupanya orang itu terluka?!" pikirnya saat
melihat orang yang berlari itu hentikan langkah dengan
terhuyung-huyung dan bersandar pada sebatang pohon.
Pendekar Mabuk memicingkan matanya, agar
pandangan matanya semakin jelas. Lalu, hatinya pun
membatin,
"Sepertinya aku mengenal orang itu?!"
Zlaaap...! Suto Sinting bergegas pergi ke arah barat.
Dalam sekejap saja ia sudah berada tak jauh dari seorang
perempuan yang miskin busana. Perempuan berkalung
tali hitam dengan bandul kulit kerang kuning mengkilap
itu tidak mengenakan pakaian semestinya, ia hanya
menutup bagian-bagian penting pada tubuhnya dengan
secarik kulit binatang warna hitam. Dadanya ditutup
pada bagian ujung saja dengan kulit binatang, bagian
bawahnya pun ditutup seperlunya saja dengan kulit
binatang berbulu hitam yang menggunakan tali melilit di
pinggang. Sisa tubuhnya yang mulus berwarna kuning
langsat itu tidak mengenakan selembar benang pun.
Pendekar Mabuk tak merasa heran melihat keadaan
tersebut, karena ia tahu cara berbusana seperti itu
merupakan ciri khas orang-orang desa Wilwatikta.
"Ciwuiani...?!" gumam hati Suto Sinting yang
mengenal perempuan tersebut sebagai orang
kepercayaan dari Ratu Dewi Cumbutari, penguasa negeri
Wilwatikta.
Ciwuiani tampak terluka pada bagian atas dada kiri
dekat pundak. Luka itu menghangus hitam dan masih
kepulkan asap. Agaknya ia sedang melarikan dari dari
sebuah pertarungan. Di punggungnya pun tampak luka
koyak bagaikan habis disabet dengan senjata tajam.
Wajah perempuan berusia dua puluh tujuh tahun itu
tampak pucat sekali, mencemaskan hati Pendekar
Mabuk. Maka ia pun segera menghampiri Ciwuiani yang
masih berdiri berpegangan batang pohon.
"Ciwuiani...?! Apa yang terjadi?!"
Ciwuiani memandang dengan mata sayu, makin lama
matanya semakin redup dan tubuhnya kian terkulai
lemas. Pendekar Mabuk segera menangkap tubuh tanpa
busana itu sebelum jatuh ke tanah.
"Lukanya cukup parah!" gumam Pendekar Mabuk,
sambil bergegas meminumkan tuak ke mulut Ciwuiani.
"Minumlah tuakku ini untuk obat lukamu! Minumlah
sedikit demi sedikit, Ciwuiani!" bujuk Suto Sinting
dengan hati berdebar-debar, takut terlambat seperti saat
ia ingin mengobati Kenanga Pilu tadi.
Bertemu dengan Pendekar Mabuk yang juga sering
dijuluki sebagai Tabib Darah Tuak adalah suatu
keberuntungan besar bagi orang yang terkena luka
seperti Ciwuiani. Andai saja Ciwuiani tidak mau
meneguk tuak saktinya Pendekar Mabuk, mungkin
sebelum senja nyawanya sudah melayang. Tapi karena
Ciwuiani mau meminum tuak saktinya Suto, maka
sedikit demi sedikit luka koyak di punggungnya
mengatup dan menjadi rapat seperti sediakala. Bahkan
darah yang berceceran bagai terserap habis oleh pori-
pori kulitnya. Luka hangus di dada kirinya pun perlahan-
lahan berubah warna dan menjadi seindah warna aslinya.
Ciwuiani akhirnya tertolong dan tubuhnya menjadi
segar, lebih segar dari sebelum melakukan pertarungan
dengan seseorang.
"Oh, untung aku bertemu denganmu, Pendekar
Mabuk. Seandainya tidak, tak tahulah sudah di mana
rohku saat ini," ujarnya sambil memulihkan
pernapasannya.
"Siapa yang menyerangmu sedemikian parahnya,
Ciwuiani?!"
"Suto, negeri kami diserang raksasa."
"Raksasa...?!" dahi Pendekar Mabuk berkerut karena
merasa janggal mendengar ucapan tersebut.
"Rakyat kami banyak yang mati dihancurkan oleh si
raksasa itu. Bahkan sekarang Ratu Dewi Cumbutari
sedang bertarung menghadapi raksasa itu. Beliau
serukan perintah agar kami berlari menyebar arah,
masing-masing disuruh menyelamatkan diri dari amukan
raksasa keparat itu."
"Raksasa...?!" Pendekar Mabuk masih menggumam
dalam renungan keheranannya. "Raksasa dari mana
maksudmu?"
"Entahlah. Kami tak tahu dari mana raksasa itu
berasal. Yang jelas ia ingin menguasai wilayah kami. Ia
mengaku bernama Raja Iblis...."
"Barakoak!" sahut Suto Sinting dengan suara
menyentak.
"Ya, dia juga menyebutkan nama aslinya: Barakoak,"
ujar Ciwuiani. "Dia sangat liar dan buas. Aku melihat
sendiri anak buahku dimakan lengannya setelah lehernya
dipatahkan, ia mengunyah daging manusia seperti
mengunyah lalap daun mede."
"Celaka!" geram Suto Sinting dengan pandangan
menerawang.
"Sebenarnya aku ingin membantu Gusti Ratu
Cumbutari, tapi Gusti Ratu marah dan menyuruhku
melarikan diri."
"Kita bantu sang Ratu sekarang juga!" sambil Suto
Sinting menarik tangan Ciwuiani, tetapi perempuan itu
menahan diri dengan wajah diliputi kecemasan.
"Raksasa itu berbahaya, Suto! Dia bisa menelan
bulat-bulat jika murkanya kian meninggi."
"Apa pun bahayanya akan kuhadapi dia!"
Ciwuiani masih diam pandangi Suto Sinting dalam
keraguan. Tangannya masih memegang pedang tanpa
darah. Agaknya ia tak mampu lukai lawannya sedikit
pun, hingga pedangnya masih tampak bersih. Itu berarti
Barakoak memang orang yang tak bisa disepelekan
begitu saja. Apalagi Suto Sinting ingat kata-kata Kejora,
bahwa Barakoak mempunyai ilmu 'Urat Bumi' yang
menjadi andalannya.
Ciwuiani berkata dengan lirih, "Raksasa itu tak bisa
dilukai dengan senjata apa pun. Ia bagaikan manusia
tanpa darah."
Kata-kata Ciwuiani itu memang sama dengan
keterangan Kejora beberapa waktu yang lalu. Tapi
apakah itu berarti Suto Sinting harus membatalkan
niatnya dalam menolong Ratu Dewi Cumbutari?
*
* *
7
MEMANG pantas jika Ciwuiani menganggap si Raja
Iblis; Barakoak, sebagai raksasa yang buas, karena
Barakoak seorang berwajah sangar yang bertubuh tinggi
besar. Ketinggian tubuhnya melebihi tinggi badan Suto
Sinting. Jika berdampingan, Suto Sinting hanya sebatas
pundaknya saja. Badannya kekar dan keras bagaikan
batu, berkulit gelap tapi bukan hitam keling.
Barakoak berkepala gundul, namun ia mempunyai
brewok yang tumbuh dengan liar tak teratur. Matanya
besar, bibirnya tebal. Jika menyeringai tampak giginya
yang besar-besar pula. Wajahnya itu layak dikatakan
sebagai wajah paling angker di antara para wajah
perampok.
Ia mengenakan jubah tanpa lengan warna merah
dengan tepian dilapis kain satin hitam mengkilap.
Celananya berwarna hitam satin dengan sabuk putih
berhias logam-logam emas. Di balik kain jubahnya yang
merah itu ia tidak mengenakan baju lagi, sehingga
dadanya yang mirip seonggok batu gunung itu tampak
berbulu tak teratur.
Kedua tangannya yang berlengan besar seperti batang
pohon kelapa itu mempunyai jari-jari cukup besar.
Orang mengatakan jari-jarinya sebesar pisang raja. Itu
hanya kata kiasan belaka, yang jelas jari-jari besar itu
berkulit tebal dan mempunyai kuku runcing walau tak
seberapa panjang. Kakinya mengenakan gelang binggel
dari logam emas, jika berjalan bagaikan mengguncang
bumi. Ia mengenakan kalung rantai emas berbandul
tengkorak bayi. Kedua lengannya kanan kiri bertato
gambar naga terbang dari batas ujung lengan sampai ke
pergelangan tangan.
Memang menyeramkan penampilan sosok Barakoak,
sehingga layak berjuluk si Raja Iblis. Suaranya yang
menggelegar bagaikan menghentakkan jantung
lawannya. Mata besarnya yang bertepian merah sering
membuat darah lawan bagai tak mengalir lagi jika
memandang tanpa kedip.
Sekalipun demikian, seorang perempuan cantik
berambut panjang dengan ikat kepala dari rantai emas
berbandul merah saga di tengah keningnya, terpaksa
harus beradu nyawa dengan si Raja Iblis itu. Perempuan
yang tanpa busana, tapi bagian kehormatannya ditutup
dengan kulit harimau loreng itu berjumpalitan ke sana-
sini menghindari serangan Barakoak. Perempuan itulah
yang dikenal sebagai Ratu Dewi Cumbutari, penguasa
negeri Wilwatikta.
Gerakannya yang lincah sering mengecohkan
serangan Barakoak yang liar itu. Namun manusia tinggi
besar itu tidak mudah dilumpuhkan walau telah berkali-
kali terkena tebasan pedang birunya Ratu Dewi
Cumbutari.
Sementara itu, pemukiman rakyat negeri Wilwatikta
sudah dibuat porak poranda oleh amukan Barakoak.
Rumah-rumah mereka yang terbuat dari anyaman jerami
berbentuk kerucut sebagian telah terbakar dan masih
mengepulkan asap, sebagian lagi rusak tak dapat dihuni
lagi. Sedangkan mayat-mayat pun tampak
bergelimpangan di sana-sini. Pada umumnya kaum
perempuan tanpa busana lengkap itu mati dalam keadaan
mengerikan; pecah kepalanya, robek dadanya, buntung
lehernya, amburadul isi perutnya dan sebagainya.
Pemandangan di desa Wilwatikta itu seperti
pemandangan di neraka. Negeri itu menjadi ladang
pembantaian bagi si Raja iblis yang ingin menguasai
wilayah tersebut.
Dengan sebilah pedang rampasan, Barakoak
mengamuk sambil berteriak-teriak memekakkan telinga.
Ratu Dewi Cumbutari masih tangguh menghadapi
lawannya yang sama sekali tak seimbang itu. Kelincahan
Dewi Cumbutari itulah yang membuat Barakoak sulit
melukai tubuh sang Ratu cantik.
Trangg... trrang ...!
Mereka beradu pedang dalam sekelebat. Ketika
pedang di tangan Barakoak ditebaskan ke depan dari atas
ke bawah, Dewi Cumbutari sudah berada di
belakangnya. Zaaap...! Kemudian pedang Dewi
Cumbutari yang memancarkan warna biru pijar itu
menghujam punggung Barakoak sambil lakukan
lompatan ke atas. Jrrruubb...!
Pedang itu tembus sampai ke depan perut. Barakoak
diam sambil menggeram dan kepalanya berpaling ke
belakang.
"Gggrrrmmm...!"
Dewi Cumbutari segera mencabut pedangnya dan
bersalto ke belakang menghindari sabetan pedang lawan.
Sluuub...! Ketika pedang dicabut, luka bolong itu
mengatup bersama gerakan terlepasnya pedang yang
menembus punggungnya.
Zuuullp...!
Daging dan kulit tubuh Barakoak menjadi rapat
kembali, sepertinya tak pernah mengalami luka seujung
jarum pun. Peristiwa itu terlihat jelas di depan mata
Pendekar Mabuk yang bersembunyi di balik reruntuhan
rumah jerami bersama Ciwuiani. Perempuan yang
bersamanya itu segera berbisik lirih,
"Itulah kehebatan si Raja iblis. Dari tadi tubuhnya tak
bisa kami lukai, karena setiap terluka, luka itu cepat
mengatup dan lenyap sebelum darahnya keluar.
Akibatnya senjata kami tak ada yang berlumur darah."
"Itu yang dinamakan ilmu 'Urat Bumi', salah satu
ilmu yang menjadi andalan si Barakoak," bisik Suto
Sinting, ia sengaja tak mau segera maju menyerang
Barakoak, karena ia perlu mempelajari kelemahan ilmu
'Urat Bumi' itu.
Barakoak hanya tertawa terbahak-bahak ketika
melihat perutnya tak terluka sedikit pun.
"Hah, hah, hah, nah...! Sudah kubilang, kau tak akan
bisa mengusirku dari sini, Dewi Cumbutari! Kau tak
akan bisa unggul jika masih bersikeras menentangku!
Kusarankan sebaiknya kau menyerah dan jangan
melawanku, supaya nasibmu tidak seperti anak buahmu
yang terkapar di sana-sini itu!"
"Sejengkal pun tanah ini akan kupertaruhkan dengan
nyawaku!" ujar Ratu Dewi Cumbutari. "Di sini tinggal
kau dan aku, Barakoak! Setinggi apa pun kesaktian
ilmumu akan kulayani sampai titik darah penghabisan!"
Pendekar Mabuk sempat berbisik dalam gumam,
"Ratumu benar-benar punya keberanian besar.
Pembelaannya terhadap tanah negeri ini tak tanggung-
tanggung lagi."
"Itulah sebabnya kami diperintahkan lari menghindari
amukan si Raja iblis. Semula Barakoak dibantu oleh
Ratu Sangkar Mesum, tapi entah di mana ia sekarang.
Setelah mengejar dua orang andalan kami, ia
menghilang tak muncul-muncul lagi."
"Dua orang andalan itu telah mati. Kurasa si Ratu
Sangkar Mesum itulah yang membunuh mereka."
"Ooh... benarkah begitu?! Apakah kau menemukan
mayat mereka?!"
Pendekar Mabuk anggukkan kepala. "Kutemukan saat
dalam perjalanan kemari. Keduanya tak bernyawa.
Ketika aku ingin memeriksanya, tiba-tiba aku diserang
Ratu Sangkar Mesum. Namun kini perempuan itu telah
mati pula."
"Kaukah yang membunuhnya?!"
Dengan tetap memandang ke arah pertarungan,
Pendekar Mabuk gelengkan kepala sebagai jawaban
pertanyaan Ciwuiani.
"Ratu Sangkar Mesum mati dibunuh oleh Dewi
Geladak Ayu, si bajak laut wanita itu!"
"Aku pernah mendengar nama itu, tapi belum pernah
melihat seperti apa rupa si bajak laut wanita itu!"
"Kalau kau ingin melihat rupa si bajak laut wanita,
pandanglah pohon yang ada di seberang sana, dekat
reruntuhan gapura itu!" Suto Sinting menunjuk ke arah
yang dimaksud. Ternyata di sana memang sudah berdiri
sosok perempuan cantik memegangi busur panahnya.
Agaknya ia sudah berada di balik pohon itu sejak tadi,
sebelum kedatangan Suto Sinting.
Rupanya Dewi Geladak Ayu juga sedang
mempelajari kelemahan Barakoak, sehingga sejak tadi ia
hanya memperhatikan pertarungan si Raja iblis dengan
Ratu Dewi Cumbutari. Ia sendiri tak mengetahui bahwa
Pendekar Mabuk sudah ada di tempat itu, jauh di
seberangnya dan sesekali mencuri pandang ke arahnya.
"Agaknya Barakoak telah menguasai ilmu 'Urat
Bumi'. Cukup sulit bagiku untuk mengalahkan ilmu itu,
tapi akan kucoba dengan panah 'Lebur Sukma' yang
selama ini tak pernah ada tandingannya," pikir Dewi
Geiadak Ayu sambil matanya memperhatikan gerakan
Dewi Cumbutari menghujamkan pedang yang berwarna
biru pijar ke perutnya Barakoak.
Orang bertubuh tinggi besar itu sengaja tidak
menghindar saat menerima tikaman pedang pada
perutnya. Bahkan kedua tangannya sedikit merentang,
seakan memberi peluang bagi lawan untuk
menghujamkan pedang ke tubuhnya.
Bluuuuss...! Slaaap...!
Pedang menembus sampai ke punggung, tapi ketika
ditarik kembali, lubang tusukan itu mengatup dengan
sendirinya bersama lolosnya mata pedang dari perut.
Dewi Cumbutari sentakkan kaki dan tubuhnya
melambung naik, pedangnya berkelebat mengibas dari
atas ke bawah. Craaasss...! Wajah Barakoak nyaris
terbelah dari kening sampai pusarnya. Tapi luka
ternganga itu merapat kembali dalam waktu hanya
sekejap, sehingga tubuh itu tak terluka sedikit pun.
"Hah, hah, hah, hah, hah...!" ia tertawa terbahak-
bahak dengan dada sedikit membusung.
Ratu Dewi Cumbutari dibuat penasaran oleh ilmu
'Urat Bumi' itu. Kemarahannya membuat sesak
pernapasan, namun agaknya ia tak mudah menyerah
begitu saja. Kali ini ia pergunakan jurus pedang lainnya.
Dengan satu sentakan kaki ke tanah, pedang yang
diarahkan ke dada Barakoak itu tiba-tiba mengeluarkan
sinar hijau lurus tanpa putus sebesar kelingking.
Slaaaapsss...! Sinar hijau itu tepat kenai dada Baiakoak,
tembus sampai ke punggung, bahkan sampai kenai
sebatang pohon dan pohon itu langsung hancur karena
meledak. Blaaarr...!
Ketika sinar hijau itu padam, lubang yang tembus
dari dada sampai punggung itu mengatup kembali dan
dada Barakoak tak mengalami luka sedikit pun. Bahkan
bekas menghitam hangus pun tak ada di dada itu.
"Hah, hah, hah. hah...! Sekarang giliranku
menyerangmu, Cumbutari! Heeeeaaah...!"
Barakoak berteriak memanjang, suaranya bagai ingin
memecah langit karena kerasnya. Tangannya
menghentak ke depan, dan dari tengah telapak tangan itu
menyembur asap ungu dengan derasnya. Wuuuusss...!
Di sela-sela semburan asap ungu tampak selarik sinar
putih yang menghantam ke dada Dewi Cumbutari.
Pedang berpijar biru segera menghadang tegak lurus di
depan dada, dan sinar putih itu menghantam pedang
tersebut. Trrak, jegaaarrr...!
Ledakan dahsyat terjadi hingga mengguncangkan
tanah dan pepohonan di sekitar tempat itu. Dewi
Cumbutari terpental setelah lebih dulu tersapu asap
ungu. Tubuh sekal itu bagai dilemparkan dengan tenaga
yang amat kuat. Melayang tinggi dan jatuh dalam jarak
sekitar sepuluh langkah dari tempat berdirinya semula.
Brruk...!
"Aaaahg...!" Sang Ratu mengerang dengan tubuh
kejang. Warna kulitnya menjadi berbintik-bintik ungu,
seakan darahnya keluar dari pori-pori tubuh dan
berwarna ungu, bukan berwarna merah seperti darah
biasanya.
"Huah, hah, hah, hah, hahhh...! Akhirnya kau modar
juga oleh jurus racun 'Lidah Bromo' yang tak ada
obatnya itu, Cumbutari! Huah, hah. hah, hah...!"
Ciwuiani menjadi tegang, ia bergegas ingin
menyambar tubuh Ratu Dewi Cumbutari, namun
tangannya dicekal dan ditahan oleh Pendekar Mabuk.
"Ratu terkena racun ganas! Aku harus segera
menolongnya!"
"Kau benar, tapi cari kesempatan yang baik untuk
membawanya pergi supaya Barakoak tidak melihat
keberadaan kita di sini!"
Sang Ratu dalam keadaan sekarat. Darahnya yang
tersumbul dari pori-pori kulit menjadi banyak dan
berwarna ungu. Tubuh sang Ratu bergetar seperti orang
terkena penyakit ayan. Mulutnya ternganga
mengeluarkan busa dan busa itu pun berwarna ungu.
Barakoak masih menertawakan lawannya yang tak
berdaya lagi. Namun tiba-tiba tawa itu terhenti seketika
karena sebuah anak panah melesat dan menembus
lehernya. Weesss...! Jluuub...!
Barakoak hanya terkejut dan palingkan pandangan ke
arah datangnya anak panah. Sementara itu, anak panah
yang membara merah bagai besi terpanggang api itu
lolos terus, dari leher kiri tembus ke leher kanan dan
melesat terus hingga menghantam sebuah pohon.
Blegaaar...! Pohon itu pecah menjadi serpihan kayu yang
menyebar ke mana-mana. Sang anak panah segera
kembali ke arah semula dengan cepat. Wuuut...!
Jluuub...! Ploosss...!
Kini tengkuk kepala Barakoak yang ditembus anak
panah itu sampai ke leher. Anak panah lolos dari leher
depan dan melesat kembali kepada pemiliknya. Dewi
Geladak Ayu segera menangkap anak panah itu dengan
tangan kanannya. Teeb...! Warna merah membara pun
padam seketika. Tetapi luka bolong di leher Barakoak
segera merapat kembali dan leher itu menjadi utuh bagai
tak pernah ditembus panah dua kali.
"Rupanya kau mau membokongku, Geladak Ayu?!"
geram si Raja Iblis dengan pandangan matanya yang
berang, ia segera melangkah dekati Dewi Geladak Ayu
yang telah berdiri tegak dengan kaki sedikit menganga,
seakan siap menghadapi serangan lawannya.
Zlaaap...! Pendekar Mabuk berkelebat cepat nyaris
tak terlihat oleh Ciwuiani. Tahu-tahu ia telah kembali
sambil membawa tubuh Ratu Dewi Cumbutari yang
sekarat. Tuak sakti segera dituangkan ke mulut sang
Ratu. Tuak itu tertelan sedikit demi sedikit, namun tidak
membuat kesembuhan bagi luka racun yang diderita
sang Ratu.
"Celaka! Tuakku tidak bisa mengalahkan racun
'Lidah Bromo' ini?!" gumam Suto Sinting dengan wajah
tegang. Sang Ratu masih menyentak-nyentak dalam
keadaan kejang.
"Kudengar racun 'Lidah Bromo' tak pernah ada
obatnya," bisik Ciwuiani. "Kalau begitu, Ratu harus
segera dibawa ke Sendang Ketuban."
"Hahh...?! O, iya... Sendang Ketuban?! Di mana letak
Sendang Ketuban?!" tanya Suto Sinting penuh semangat,
karena ia segera ingat tujuan semula pergi meninggalkan
Kejora, Tua Bangka, dan Darah Prabu.
"Ikutlah aku...!" ujar Ciwuiani sambil merunduk-
runduk agar gerakannya tak terlihat Barakoak. Pendekar
Mabuk mengangkat tubuh Ratu Dewi Cumbutari dan
mengikuti langkah Ciwuiani.
Ternyata yang dinamakan Sendang Ketuban terletak
di dalam istana jerami yang digunakan sebagai
singgasana sang Ratu Dewi Cumbutari. Sendang itu
berupa kolam berair hijau bening yang saat itu dalam
keadaan kotor sekelilingnya karena hancurnya istana
jerami tersebut. Namun sehelai jerami atau kotoran lain
tak ada yang sampai jatuh ke permukaan kolam berair
hijau itu.
Ciwuiani segera menyiram tubuh sang Ratu dengan
air kolam tersebut. Wajah sang Ratu dicuci dengan
tergesa-gesa, dan cairan-cairan ungu itu bagai menguap
dengan sendirinya. Makin lama semakin lenyap
sehingga tubuh Ratu Dewi Cumbutari menjadi bersih
seperti sediakala.
Sungguh ajaib air Sendang Ketuban itu. Ratu Dewi
Cumbutari segera sehat tanpa rasa sakit sedikit pun.
Bahkan ia segera menyadari bahwa Pendekar Mabuk
sudah berada di sampingnya.
"Kau datang juga rupanya," sapa sang Ratu kepada
Pendekar Mabuk dan Suto Sinting hanya berikan
senyum ramah yang cukup menawan hati lawan
jenisnya.
"Tujuanku sebenarnya mencari air Sendang Ketuban
untuk sembuhkan luka seorang sahabat, Ratu."
"Kalau begitu kau bisa membawanya pulang dalam
sebuah guci. Tapi terlebih dahulu aku akan
menyelesaikan pertarunganku dengan si Raja Iblis itu!
Akan kuusir dia dari tanah kekuasaanku ini!"
"Tak perlu, biar aku yang mengusirnya, Ratu!" kata
Suto Sinting dengan lembut. "Barakoak bukan
tandinganmu! Akulah sekarang yang akan maju
melawannya!"
Ratu Dewi Cumbutari hanya memandangi Suto
Sinting dengan pandangan anggun berkesan bangga
terhadap Pendekar Mabuk.
*
* *
8
HATI Pendekar Mabuk merasa lega telah mengetahui
letak air Sendang Ketuban. Menurut cerita Ratu Dewi
Cumbutari, air Sendang Ketuban memang berkhasiat
khusus untuk luka atau penyakit yang tak ada obatnya.
Air itu selalu dalam keadaan bersih dan bening dengan
warnanya yang hijau kemilau itu. Menurut keterangan
sang Ratu, air itu tak bisa kotor, karena setiap ada
kotoran, seperti sehelai daun kering yang jatuh di
permukaan air tersebut, maka daun kering itu akan
lenyap bagai menguap dan hilang tanpa bekas sedikit
pun sehingga air tetap kelihatan bersih dan bening.
Persoalan air Sendang Ketuban dikesampingkan dulu
oleh Pendekar Mabuk. Kini yang dipikirkan adalah
menghadapi Barakoak yang berjiwa iblis keji itu.
Mereka bertiga menemui Barakoak di tempat
pertarungan semula. Tetapi mereka terhenti di tempat
persembunyian Suto Sinting dan Ciwuiani semula. Dari
sana mereka menyaksikan pertemuan antara Barakoak
dengan Dewi Geladak Ayu.
"Biarkan dulu si Geladak Ayu selesaikan urusannya
dengan Barakoak, baru kau bertindak jika kau memang
ingin bertindak." ujar Ratu Dewi Cumbutari yang
agaknya sudah mengenal Dewi Geladak Ayu.
"Persoalan apa sebenarnya yang membuat Dewi
Geladak Ayu bermusuhan dengan Barakoak, Ratu?"
tanya Suto Sinting dengan rasa ingin tahunya.
"Barakoak pernah membantai habis anak buah
Geladak Ayu dalam satu kapal yang dipimpin oleh adik
kandungnya si Geladak Ayu. Kapal itu sendiri
dihancurkan oleh Barakoak di depan mata Geladak
Ayu."
"Apakah Gusti Ratu kala itu menyaksikan sendiri?!"
sahut Ciwuiani.
"Tidak. Geladak Ayu yang menceritakan padaku,
ketika kami mengadakan pertemuan dengan beberapa
tokoh silat lainnya, di puncak Gunung Purwa ini untuk
membicarakan pusaka kuno yang bernama Panji-panji
Mayat."
Deeeg..! Jantung Suto Sinting langsung tersentak
begitu mendengar Panji-panji Mayat diucapkan oleh
Ratu Dewi Cumbutari. Pendekar Mabuk pun segera
ajukan tanya dengan penuh semangat namun dalam
lahiriyahnya ia bersikap kalem seakan kurang tertarik
dengan pusaka kuno itu.
"Apakah kau tahu banyak tentang pusaka itu, Ratu?"
"Entahlah. Yang jelas, sampai sekarang tak ada orang
yang mengaku memegang pusaka Panji-panji Mayat.
Ada yang bilang terbakar habis, ada yang bilang
tenggelam di dasar samudera dan... aku benar-benar tak
tahu ke mana perginya pusaka kuno itu. Sudah lama aku
melupakan pusaka tersebut."
"Apakah kau semula juga ingin memiliki pusaka itu,
Ratu?"
"Ya, karena pusaka itu adalah milik leluhurku."
"Leluhurmu...?!" Suto Sinting terkejut dalam suara
berbisik. "Bukankah... bukankah pusaka itu milik leluhur
mendiang Jalma Dupi yang menikah dengan Sang Ratri
dari negeri Puri Gerbang Surgawi?!"
"Aku adalah adik Jalma Dupi yang telah dianggap
hilang dan mati oleh keluargaku."
"Ooh...?!" Suto Sinting semakin kaget mendengar
penjelasan itu. "Berarti kau adalah bibinya Dewi Hening,
Dewi Kejora, dan Dewi Menik?!"
Kini sang Ratu ganti terperanjat. "Dari mana kau tahu
nama anak-anak kakakku itu?!"
"Ak... aku diminta bantuannya mengurus tentang
pusaka Panji-panji Agung aiias Panji-panji Mayat itu
oleh mereka. Dan... kupikir mereka sudah tidak
mempunyai keluarga lagi. Barangkali mereka juga tidak
tahu kalau masih mempunyai seorang bibi yang masih
hidup."
Ratu Dewi Cumbutari diam sejenak, lalu menarik
napas panjang-panjang sambil pandangi percakapan
Dewi Geladak Ayu dengan Barakoak. Beberapa saat
kemudian ia perdengarkan suaranya yang mirip orang
menggumam itu.
"Satu-satunya orang yang tahu persis tentang Panji-
panji Mayat adalah ratu negeri Puri Gerbang Surgawi
yang berkuasa di Pulau Serindu."
"Apa...?!" Suto Sinting semakin kaget dan terheran-
heran.
"Tanyakanlah kepada Gusti Mahkota Sejati, Ratu di
negeri Puri Gerbang Surgawi yang mempunyai nama
asli Dyah Sariningrum. Sebab dialah yang menyarankan
kepada Sang Ratri agar pusaka itu dititipkan kepada
seseorang sebelum direbut oleh keluarga si Raja Iblis
itu!"
"Dyah Sariningrum...?!" Pendekar Mabuk sempat
berdebar-debar mendengar ucapan itu, sebab nama Dyah
Sariningrum sebenarnya adalah sebuah nama yang selalu
terukir di hati dan terucap di kalbunya. Barangkali sang
Ratu belum tahu bahwa Dyah Sariningrum adalah calon
istri Suto Sinting sesuai dengan garis kodrat yang telah
diketahui oleh si Gila Tuak.
Suto Sinting tinggal menyerahkan satu maskawin
untuk Dyah Sariningrum, yaitu kepala Siluman Tujuh
Nyawa, tokoh sesat yang terkutuk dan telah memakan
korban ratusan nyawa orang tak berdosa itu.
Blegaaar...!
Lamunan Suto tergugah oleh bunyi ledakan yang
menggelegar membuat tanah bergetar bagai dilanda
gempa setempat. Ledakan itu timbul akibat pertarungan
Dewi Geladak Ayu dengan Barakoak yang sudah tidak
membutuhkan bincang-bincang lagi. Dewi Geladak Ayu
tampak terpental akibat ledakan tersebut, sedangkan
Barakoak masih berdiri tegak dan kokoh, bagaikan
gunung yang sukar dirobohkan.
"Kedatanganmu sama saja membuang nyawa tanpa
arti, Geladak Ayu! Kau tak akan unggul melawanku,
Perempuan Jalang!" geram Barakoak dengan matanya
yang memandang penuh nafsu membunuh.
Dewi Geladak Ayu segera bangkit dari jatuhnya, ia
mengambil sebatang anak panah dari punggungnya.
Rupanya anak panah yang tadi sempat menembus leher
Barakoak telah hancur akibat ledakan tadi. Barakoak
menghantam anak panah yang dilepaskan ke arahnya
dengan pukulan tenaga dalam yang tak sempat dilihat
Suto Sinting. Tahu-tahu telah terjadi ledakan dan Dewi
Geladak Ayu terpental lima langkah dari tempatnya
berdiri semula.
Kini Dewi Geladak Ayu bersiap lepaskan anak panah
yang sudah dipasang di busurnya. Anak panah itu
memancarkan sinar hijau berpendar-pendar pada bagian
ujungnya. Tentunya mempunyai kedahsyatan lebih
tinggi dari yang telah hancur itu.
"Masih kurang puas kau?! Cobalah lepaskan semua
anak panahmu ke dadaku! Kau akan tahu bahwa aku
adalah orang terkuat yang tak bisa dirobohkan oleh siapa
pun!" gertak si Raja Iblis dengan mata mendelik penuh
tantangan.
Suaranya yang keras menghentak menggetarkan
dahan-dahan pohon. Dewi Geladak Ayu sempat grogi,
sehingga anak panahnya jatuh ke tanah dan segera
dipungutnya lalu dipasang ke tali busur. Tali busur pun
mulai direntangkan.
Pendekar Mabuk melihat kecemasan mulai
membayang di wajah Barakoak. Dalam hati sang
Pendekar Mabuk berkata,
"Ia kelihatan takut dengan panah itu, tapi ia beranikan
diri dan Dewi Geladak Ayu tak mengetahuinya.
Hmmm... mengapa Dewi Geladak Ayu tak mau segera
lepaskan panahnya? Padahal dada itu terbuka lebar-lebar
dan... dan... oh, sekarang Barakoak menutup dadanya
seakan tak mau menerima panah itu. Mengapa begitu?!"
Anak panah segera dilepaskan. Claaap...! Sinar hijau
di ujung anak panah itu menjadi besar berpendar-pendar
bagai api tertiup angin. Barakoak tidak membiarkan
anak panah itu menembus dadanya, ia menghentakkan
kakinya ke bumi. Duuhg!
Dengan tangan tak berpedang terangkat ke atas, anak
panah yang meluncur ke arahnya itu berhenti di udara
tanpa gerakan sedikit pun. Warna hijau di ujung anak
panah itu padam seketika. Hal itu membuat mata Dewi
Geladak Ayu tampak tercengang, demikian pula mata
Ratu Dewi Cumbutari, Pendekar Mabuk, dan Ciwuiani.
Mereka memandang heran melihat kemampuan
Barakoak menghentikan anak panah di udara.
"Hebat sekali ilmunya?! Anak panah bisa dihentikan
di udara tanpa bergerak sedikit pun?!" ujar Ciwuiani
bernada kagum.
"Heeeeah...!" seru Barakoak sambil menghantamkan
pukulannya ke anak panah itu. Prrraak...! Anak panah
pun remuk tanpa dentuman sedikit pun. Lalu tiba-tiba
pedang di tangan kirinya dilemparkan ke arah Dewi
Geladak Ayu dengan gerak seperti melempar tombak.
"Makan pedang ini, haaah...!" Wuuuus....!
Dewi Geladak Ayu melesat naik melebihi ketinggian
terbang pedang tersebut. Wuuuut...! Pedang itu
berkelebat di bawah kaki Dewi Geladak Ayu. Dan tiba-
tiba kaki perempuan itu menapak di permukaan pedang,
sehingga pedang yang melayang itu berhenti sejenak,
kemudian kaki itu menyentak ke depan dan pedang itu
berbalik arah. Kini pedang itu melesat ke arah Barakoak.
Wuuusss...!
Barakoak hanya menggeram ketika pedang itu datang
dan menghujam dadanya hingga tembus ke belakang
lalu lolos terus sampai menemukan tempat untuk
menancap. Luka bolong di dada mengatup kembali
dengan cepat tak sampai meneteskan darah sedikit pun.
"Kuremukkan batok kepalamu, Perempuan Rakus...!
Heeeaah...!"
Wuuus...! Tubuh tinggi besar bagaikan raksasa itu
melompat dengan kecepatan tinggi, menerjang tubuh
Dewi Geladak Ayu yang sedang turun dari gerakan
melayang tadi. Brrrus...! Ploook...!
Terdengar suara pukulan telak mendarat di pipi Dewi
Geladak Ayu. Pukulan itu sempat memancarkan sinar
merah sekejap, lalu padam seketika. Berarti pukulan itu
mempunyai kekuatan tenaga dalam yang cukup tinggi
dan beradu dengan hawa murni yang disalurkan oleh
Dewi Geladak Ayu ke daerah kepalanya.
Sekalipun demikian, tubuh perempuan cantik itu pun
terlempar berguling-guling di tanah. Beberapa anak
panahnya terlepas dari tempatnya. Dewi Geladak Ayu
menggeram sambil meraih salah satu anak panahnya.
Keadaan hidung dan mulutnya sudah berdarah
mengerikan.
"Ajalmu telah tiba, Barakoak! Roh adikku akan
senang melihat kematianmu dari alam sana! Hiaaah...!"
Wuuut...! Anak panah itu melesat cepat ke arah
Barakoak dalam keadaan memercikkan cahaya biru
bagai lidah-lidah petir. Barakoak bukan diam saja,
melainkan berusaha menghindari anak panah itu dengan
satu lompatan cepat dan berguling di tanah satu kali.
Suara gerakannya bagaikan gemuruh bebatuan
menggelinding dari atas lereng bukit. Gluuduk,
wuuurrs...!
Dalam sekejap Barakoak sudah bangkit kembali dan
anak panah itu menghantam gugusan batu di kejauhan
sana. Blegaaar...! Batu besar itu pun hancur menjadi
serbuk hitam yang beterbangan ke mana-mana.
"Mengapa ia menghindari anak panah itu?" pikir Suto
Sinting secara diam-diam. Matanya memandang terus ke
arah pertarungan tanpa berkedip.
Dewi Geladak Ayu hendak mengambil anak panah
yang tersisa dan terjatuh di tanah. Namun tiba-tiba
Barakoak melompat dan kakinya jatuh tepat di tangan
Dewi Geladak Ayu. Bluuuk...!
"Aaaauh...!" perempuan itu menjerit kesakitan,
tangannya bagai ditindih dengan besi sebesar almari.
Kaki kiri Barakoak segera menendang wajah cantik itu.
Ploook...!
Tubuh Dewi Geladak Ayu tak bisa terpental karena
tangannya diinjak kaki kanan Barakoak. Akhirnya
perempuan itu menjadi sasaran kaki kiri Barakoak yang
menendangnya secara bertubi-tubi. Biarpun darah
menyembur dari mulut Dewi Geladak Ayu, namun
Barakoak bagai orang kesetanan, tetap menghajar
perempuan itu dengan tendangan kakinya yang
bertenaga dalam. Bahkan tubuh montok itu sempat
terkapar dalam keadaan tangan terlepas dari injakan kaki
lawan. Namun kini justru dadanya yang menjadi sasaran
Barakoak. Dada itu diinjak-injak seenaknya dengan
suara geram kebencian menggema panjang.
Brus, brus, brus, bruuhk, brruhk...!
"Heeehehgg...!" Dewi Geladak Ayu mendelik dengan
mulut semburkan darah kental.
"Modar kau! Modar kau! Heeeah...!" Barakoak
menggeram penuh nafsu menumbuk tubuh sekai itu.
Zlaaap...! Ploook...!
Tiba-tiba tengkuk kepala Barakoak terasa dijatuhi
batu sebesar gunung. Rupanya Pendekar Mabuk tak tega
melihat perempuan cantik itu diinjak-injak oleh
Barakoak. Ia berkelebat menggunakan jurus 'Gerak
Siluman' untuk menerjang tubuh raksasa itu. Akibatnya,
tubuh besar itu terjungkal dan berguling-guling sampai
sejauh lima langkah dari tempatnya berdiri.
"Bangsaaat...!" teriak Barakoak. "Rupanya kau ikut
campur juga, hah?! Melihat bumbung tuak dan ciri
pakaianmu, pasti kau yang bernama Pendekar Mabuk,
yang menghancurkan Candi Bangkai tempatku
bertakhta!"
"Memang akulah si Pendekar Mabuk, murid Gila
Tuak!" jawab Suto Sinting dengan tegas.
"Gggrrmm...! Kuhancurkan kau sebagai
pembalasanku atas kelancanganmu tempo hari.
Heaah...!"
Tiba-tiba kedua tangan Barakoak menyentak ke
depan dan gelombang angin yang menyerupai badai
berhembus cukup kuat.
Wuuussss...!
Pendekar Mabuk terpental tunggang langgang.
Tubuhnya terbawa terbang dan membentur-bentur pohon
serta reruntuhan rumah jerami. Guzraaak...! Akhirnya ia
terhempas masuk dalam reruntuhan rumah jerami.
Seketika itu pula Barakoak lepaskan sinar merahnya dari
ujung jari telunjuk. Claaap...! Sinar merah meluncur
cepat kenai reruntuhan jerami.
Blaarrr...! Reruntuhan jerami terbakar, apinya
berkobar-kobar. Suto Sinting ada di dalamnya.
"Sutooo...!" teriak Ratu Dewi Cumbutari dengan
tegang, ia dan Ciwuiani berlari mendekati kobaran api.
Namun belum sampai terlalu dekat, sekelebat bayangan
keluar dari dalam kobaran api. Zlaaap...! Pendekar
Mabuk berhasil lolos dari kobaran api dengan gerakan
cepatnya, ia segera berdiri tak jauh dari Ciwuiani.
Matanya memandang tajam pada Barakoak setelah
menenggak tuaknya sesaat. Barakoak menghampirinya
dengan menggeram buas.
"Ciwuiani, pinjam pedangmu...!" kata Suto sambil
mengulurkan tangan ke samping, tapi matanya masih
memandangi Barakoak. Ciwuiani serahkan pedangnya,
lalu Pendekar Mabuk segera maju dengan bumbung tuak
diselempangkan ke belakang.
"O, kau mau pakai senjata?! Boleh saja, kalau perlu
bawa semua senjata dan hujamkan ke tubuhku! Kau tak
akan bisa melukaiku, Pemuda Hina!"
Sreeek...! Ujung pedang digesrekkan ke tanah.
Barakoak terbelalak kaget dan hentikan langkah dengan
wajah tegang. Pendekar Mabuk segera maju mendekat.
Barakoak mundur dua langkah sambil menyimpan
kecemasan.
"Mau apa kau, haahhh...!" teriaknya sambil
melepaskan serangan berupa sinar biru dari kedua
telapak tangannya. Wut, wuuut...! Sinar itu dihindari
Suto Sinting dengan bersalto di udara dalam ketinggian
melebihi kedua sinar tersebut. Wes, wes...! Tubuh itu
melayang melintasi atas kepala Barakoak. Pedang pun
segera ditebaskan dalam gerakan cepat. Beeet...!
Crraasss...!
"Aaaahhhggrr...!" Barakoak memekik keras, pundak
kanannya terbelah nyaris putus. Darah menyembur ke
mana-mana. Sang Ratu dan Ciwuiani terperangah
bengong melihat Pendekar Mabuk mampu lukai si Raja
Iblis itu.
Baru saja kaki Suto Sinting menyentuh ke bumi,
tubuhnya telah melesat kembali ke atas. Wuuut...! Pada
saat itu Barakoak oleng ke kiri dan membalik badan
hingga berhadapan dengan Suto Sinting. Namun tangan
Pendekar Mabuk sudah telanjur berkelebat menebaskan
pedang dari kanan ke kiri. Wuuut...! Crrraasss...!
"Oohh...?!"
Suara pekikan itu bukan datang dari mulut si Raja
Iblis, melainkan dari mulut Ratu Dewi Cumbutari yang
terkejut dan kagum melihat Suto Sinting berhasil
memenggal kepala Barakoak. Gerakan pedang yang
cepat membuat Barakoak sempat mendelik walau
lehernya telah putus ditebas pedang. Ketika ia terhuyung
ke belakang, kepalanya pun segera menggelinding jatuh
ke tanah. Plook...! Kejap berikutnya tubuh tanpa kepala
itu pun tumbang berdebam bagai sebatang pohon roboh.
Bluuuuk...!
Semua mata yang memandang kejadian itu terbelalak
tak berkedip. Semua mulut ternganga bengong. Mereka
merasa seperti berada di alam mimpi melihat Barakoak
yang mempunyai ilmu 'Urat Bumi' itu ternyata mampu
dipenggal oleh Pendekar Mabuk tanpa menggunakan
pedang pusaka. Sementara pedang pusaka milik Ratu
Dewi Cumbutari justru hancur pada saat digunakan
menangkis sinar dan asap beracun ungu tadi.
Setelah menyadari si raksasa Barakoak telah tumbang
terpenggal kepalanya, Ratu Dewi Cumbutari segera
hampiri Suto Sinting dengan senyumnya yang ceria.
Ciwuiani sendiri sunggingkan senyum kemenangan
sambil menerima pedangnya kembali dari tangan
Pendekar Mabuk.
"Terima kasih atas bantuanmu," hanya itu yang bisa
diucapkan oleh Ratu Dewi Cumbutari dengan mata
berkaca-kaca memendam tangis keharuan dan
kebahagiaan karena negerinya bebas dari ancaman maut
si Raja Iblis.
Pendekar Mabuk hanya menepuk-nepuk pundak sang
Ratu tanpa sungkan-sungkan, lalu terselip sebaris kata
menggelitik darinya.
"Kau semakin cantik jika mengucapkan terima kasih
selembut itu, Ratu. Tapi bagiku lebih penting
mendapatkan air Sendang Ketuban daripada
mendapatkan ucapan terima kasih, sebab seorang
sahabat dalam keadaan terancam maut jika tak segera
dapatkan air Sendang Ketuban itu."
"Ciwuiani akan menyiapkan air itu untuk kau bawa
pulang. Jangan pikirkan hal itu lagi!" jawab Ratu Dewi
Cumbutari.
"Uuuhhg...!" terdengar erangan Dewi Geladak Ayu,
si bajak laut wanita yang terluka parah itu. Pendekar
Mabuk segera hampiri perempuan tersebut, kemudian
memberi minum dengan tuaknya. Tuak sakti itulah yang
membuat nyawa Dewi Geladak Ayu tertolong dan ia
menjadi sehat kembali seperti sediakala.
"Mengapa kau menyelamatkan nyawaku?" ucap sang
bajak laut wanita masih bernada angkuh.
"Karena kau pernah menyelamatkan nyawaku pula
dari ancaman jurus mautnya Ratu Sangkar Mesum,"
jawab Suto Sinting dengan seulas senyum menawan.
"Satu lagi yang ingin kuketahui, dari mana kau bisa
temukan rahasia menembus ilmu 'Urat Bumi'-nya si
Barakoak itu?"
"Hanya bersifat untung-untungan. Kulihat ia merasa
cemas dan takut ketika anak panahmu jatuh ke tanah, ia
tak berani membiarkan anak panah itu menembus
tubuhnya. Juga ketika kau memungut anak panah yang
berantakan, ia hanya berani menghindari anak panah itu
sampai berjungkir balik di tanah. Maka kesimpulanku,
ilmu 'Urat Bumi' akan tumbang jika menggunakan
senjata yang sebelumnya harus terkena debu atau tanah
lebih dulu. Kucoba menggoreskan pedangku ke tanah,
dan kulihat ia terkejut serta ketakutan. Maka yakinlah
aku bahwa tanah menjadi kunci untuk melumpuhkan
ilmu 'Urat Bumi'-nya itu."
Dewi Geladak Ayu menghembuskan napas. Lalu
berkata dengan nada datar,
"Kau bukan hanya tampan, namun juga cerdik!
Kapan-kapan kita bertemu lagi!"
Wuuuutt...! Bajak laut wanita itu segera melesat pergi
tanpa pamit kepada Ratu Dewi Cumbutari. Namun
agaknya sang Ratu tidak peduli hal itu. Perhatiannya
lebih tertuju kepada Suto Sinting yang dianggap sebagai
pahlawan, penyelamat negeri Wilwatikta. Tak heran jika
kepulangan Suto Sinting diantar oleh sang Ratu sendiri
sampai di perbatasan. Lambaian tangannya menyertai
perjalanan pulang Suto Sinting yang membawa guci
berisi air Sendang Ketuban. Namun sebelum ia tiba di
gua, terlebih dulu ia mengambil mayat Kenanga Pilu dan
dibawanya ke Perguruan Tapak Dewa. Selesai memberi
penjelasan apa adanya, barulah berangkat menemui
Kejora, Tua Bangka, dan Darah Prabu yang menderita
racun berbahaya itu.
Namun di perjalanan benak Suto Sinting sempat
bertanya pada dirinya sendiri,
"Jadi sebenarnya siapa yang menyimpan pusaka
Panji-panji Agung itu? Benarkah calon istriku; Dyah
Sariningrum, mengetahui rahasia Panji-panji Agung
itu?!"
SELESAI

Segera terbit!!!
MISTERI BAYANGAN UNGU
Pembuat E-book:
Scan buku ke DJVU: Abu Keisel
Convert & Edit: Paulustjing
Ebook oleh: Dewi KZ
http://kangzusi.com
http://dewi-kz.info
http://www.tiraikasih.co.cc/
http://ebook-dewikz.com/
convert txt : http://www.mardias.mywapblog.com