Pendekar Mabuk 55 - Utusan Raja Iblis(1)



1
"TOLOOONGGGG...!" Seruan itu menggema
merayapi dinding jurang bertebing curam. Sekelebat
bayangan melintas dari sela-sela pepohonan. Kejap
berikut bayangan itu tampak melesat menuruni dinding
tebing berjurang dalam. Dari tonjolan batu yang satu
bayangan itu melompat ke tonjolan batu yang satunya
lagi. Zlap, zlap, zlap, zlap...! Weeeesss...!

Gerakan yang begitu cepat melebihi gerakan anak
panah tampak menyambar sesuatu yang semula
bergelayutan pada salah satu bibir batu. Benda yang
disambar bukan sekadar singkong bakar atau pisang
rebus, melainkan seraut wajah cantik berbibir ranum,
tampak indah dan menggemaskan. Dalam waktu yang
amat singkat, wajah cantik yang semula bergelayutan di
bibir batu dan nyaris terjun ke dasar jurang itu sekarang
sudah ada di bawah pohon. Ternyata ia seorang gadis
berusia sekitar dua puluh satu tahun. Tubuhnya yang
ramping dan berkulit kuning mulus itu tampak masih
bergetar. Kedua matanya yang berbulu lentik itu masih
memejam kuat-kuat, ia belum sadar bahwa dirinya sudah
berada dibawah pohon dengan aman.
Sosok tubuh kekar yang berbaju coklat dan bercelana
putih lusuh itu berdiri di depan si gadis dengan bumbung
tuak menyilang di punggungnya. Anak muda yang
punya rambut lurus sepundak tanpa ikat kepala itu tak
lain adalah si tampan murid Gila Tuak yang dikenal
dengan nama Suto Sinting alias Pendekar Mabuk.
"Tolooong...!"
"Husy! Jangan berteriak lagi! Kau sudah aman,
Nona!" sentak Pendekar Mabuk dengan menahan rasa
geli di dalam hatinya, ia segera meraih bumbung
tuaknya karena ingin menenggak beberapa teguk tuak
pelega tenggorokan.
"Bukalah matamu, Nona. Kau sudah ada di daratan
dengan aman," kata Suto Sinting.
Maka gadis yang berpakaian serba kuning dengan
lengan bajunya yang longgar dan mempunyai belahan
dada cukup lebar itu, segera membuka matanya pelan-
pelan. Bibir ranum itu masih tampak gemetar, sehingga
jika dipandang terlalu lama bisa bikin lawan jenisnya
sesak napas karena diburu gairah dan kekaguman.
Pendekar Mabuk menenggak tuak sebentar, lalu
melepaskan napasnya dengan lega. Ia sunggingkan
senyuman kecil ketika si gadis akhirnya memandang
kaget ke arahnya.
"Kkkau... kaaau... kaukah yang membawaku
kemari?" tanya si gadis setelah terlebih dulu
memperhatikan keadaan sekelilingnya dan menyadari
bahwa dirinya sudah tidak bergelayutan pada dinding
tebing sepertitadi.
"Ya, aku yang membawamu kemari."
"De... dengan cara bagaimana?!" tanyanya lagi masih
kurang yakin.
"Menyambarmu dalam satu gerakan cepat yang
dinamakan jurus 'Gerak Siluman'."
"Hhmmm... apakah... apakah kau siluman?!"
Pendekar Mabuk sunggingkan senyumnya yang
berkesan geli namun penuh kesabaran.
"Aku bukan siluman. Aku manusia biasa, sama
sepertimu, Nona."
"Mengapa kaumempunyai gerak siluman?"
"Karena aku belajar bergerak cepat dengan gunakan
ilmu peringan tubuh sehingga kecepatannya seperti
siluman sedang bergerak."
Gadis itu memandang dengan dahi berkerut dan sorot
pandangan matanya amat polos.
"Apakah kau pernah... pernah... pernah melihat
siluman bergerak?"
"Cerewet juga gadis ini," gumam Suto daiam hatinya.
Namun yang disajikan di wajahnya adalah seulas
senyum menawan, sesuai dengan ketampanannya yang
sering membuat wanita berdebar-debar. Si gadis tak mau
tersenyum dan tetap memandang dalam kepolosan,
seolah-olah ia menunggu jawaban dari pertanyaannya
tadi. Tetapi yang dilakukan si Pendekar Mabuk bukan
menjawab, melainkan ganti bertanya kepada gadis itu.
"Apakah kau ingin melihat siluman bergerak?"
Gadis itu mengangguk dengan lugu. Suto Sinting kian
geli dan perdengarkan tawa yang mirip orang
menggumam.
"Sayang sekali siluman sedang mendapat sahabat
baru yang cantik jadi ia tak mau bergerak."
"Sombong sekali siluman itu," gumam si gadis
dengan wajah benar-benar tampak kecewa, seakan
kelakar Suto Sinting itu dianggap ucapan yang
sesungguhnya.
"Siapa kau sebenarnya, Nona? Dan mengapa kau bisa
sampai nyaris mati masuk jurang begitu?"
"Namaku..., hmm... namaku: Kejora," jawab si gadis
dengan ragu-ragu. Mata bundarnya yang berbulu lentik
itu seperti takut memandang wajah Pendekar Mabuk.
Bibirnya tak mau sunggingkan senyum sedikit pun,
masih kelihatan sisa ketegangan dari rasa takut jatuh ke
jurang tadi. Sebentar-sebentar ia menyingkap rambutnya
yang sering meriap ke pipi kiri jika sedang menunduk.
Rambut itu tampak lembut sepanjang punggung
berwarna hitam mengkilap.
Kejora berkata lagi, "Aku tadi jatuh ke tebing karena
tergelincir saat berlari menghindari kejaran orang-orang
Candi Bangkai."
Pendekar Mabuk kerutkan dahi sedikit. "Candi
Bangkai?!" gumamnya dengan merasa asing, karena
baru kali itu mendengar nama Candi Bangkai. Lalu ia
bertanya, "Candi Bangkai itu nama orang atau nama
perguruan?!"
"Candi Bangkai itu nama sebuah bangunan angker
yang letaknya di Bukit Pocong," jawab Kejora dengan
lugu. "Apakah kau belum pernah mendengar kisah Candi
Bangkai?!"
Si wajah tampan berhidung bangir itu gelengkan
kepala. "Baru sekarang kudengar nama itu."
Kejora melirik ke sana-sini diliputi rasa waswas,
kemudian kembali menatap Suto Sinting.
"Candi Bangkai itu tempat angker yang dihuni oleh si
Raja Iblis alias Barakoak."
"Hmmm... nama aneh lagi? Barakoak...?!" gumam
Suto Sinting bagai bicara pada dirinya sendiri.
Baru saja Suto Sinting ingin ajukan tanya lagi pada
gadis berdada sekal itu, tiba-tiba mereka sama-sama
dikejutkan oieh suara orang berseru dari arah belakang
Suto Sinting.
"Itu dia anaknya...!"
Suara kasar bernada besar itu membuat Suto Sinting
cepat berpaling dan Kejora tersentak dalam pekikan
tertahan.
"Oooh...!" wajah si gadis berubah tegang kembali.
Dua orang segera berlari menghampiri Kejora. Suto
Sinting cepat ambil sikap melindungi Kejora dengan
tubuh memunggungi gadis itu. Suara Kejora terdengar
bergetar dari belakang Suto Sinting.
"Itu... itu dia mereka! Mereka anak buah Barakoak!"
"Tenanglah, biar kuhadapi mereka," ujar Suto Sinting
dengan dada kekarnya sedikit terbusung, bumbung
tuaknya siap digantungkan di pundak agar sewaktu-
waktu mudah diraih. Jempol tangan kanannya mengait
tali bumbung tuak.
Dua orang bertampang sangar itu berhenti dalam
jarak lima langkah di depan Pendekar Mabuk. Keduanya
memandang Suto Sinting dengan sikap bermusuhan.
Keduanya sama-sama berkumis lebat dan berbadan
kekar. Namun yang satu berwajah lonjong dan berdagu
runcing, kulitnya hitam tebal, mengenakan celana hitam
dan rompi merah, ia berambut panjang sepundak dengan
ikat kepala kain merah.
Orang yang satunya lagi berwajah bundar lebar
dengan mata besar, rambutnya ikal pendek dengan ikat
kepala tali tambang putih. Mengenakan pakaian abu-abu
dengan baju lengan panjang longgar, juga berkulit hitam
tebal. Usianya sekitar empat puluh tahun, sama seperti
temannya yang bertubuh agak pendek darinya.
"Rujak Gada, tangkap gadis itu sebelum melarikan
diri lagi! Tangkap!" perintah orang berwajah lonjong
kepada temannya yang berpakaian abu-abu. Ternyata
orang itu bernama Rujak Gada. Mungkin karena ia
bersenjata besi berantai bandul bola berduri yang dapat
untuk menghancurkan kepala atau tubuh lawannya
seperti rujak bebek, maka ia dikenal dengan nama si
Rujak Gada.
Kejora tampak kian ketakutan saat dipandang oleh
Rujak Gada. Suaranya berbisik lirih dengan nada
gemetar di belakang Suto Sinting.
"Akutak mau ditangkap mereka...."
"Berlindunglah di balik pohon, biar aku bisa bergerak
bebas menghadapi mereka, Kejora," kata Suto Sinting
sedikit palingkan wajah, tapi matanya tetap mengarah
pada dua orang berwajah sangar itu.
Kedua orang itu kini melangkah ke samping saling
merenggangkan jarak. Masing-masing mencari
kesempatan baik untuk bergerak maju. Rujak Gada
terdengar berkata kepada temannya yang mengenakan
rompi merah itu.
"Rupanya pemuda gelandangan itu ingin menjadi
pahlawan, Cingur Barong. Hancurkan wajah tampannya
itu dan aku akan menyambar si Kejora!"
Orang yang dipanggil Cingur Barong menggeram
dengan mata melebar tertuju pada Suto Sinting.
Tangannya yang berjari besar itu bergerak-gerak bagai
ingin meremas kepala Suto Sinting hingga remuk. Tetapi
Suto Sinting masih kelihatan kalem-kalem saja.
Cingur Barong berseru kepada Pendekar Mabuk,
"Jangan cari penyakit di depan kami, Bocah Gembel!
Menyingkirlah dan tak perlu menjadi pelindung gadis
itu!"
"Aku hanya melindungi pihak yang lemah!" ucap
Suto Sinting dengan tegas.
"Gadis itu tidak perlu kau lindungi. Kami punya
urusan sendiri yang tidak berhak dicampuri oleh orang
lain. Karena itu, sekali lagi kuperingatkan kepadamu,
Bocah Gembel; menyingkirlah dari hadapan kami!"
"Jika kalian bisa singkirkan aku maka kalian dapat
menangkap gadis itu!"
"Bangsat! Jangan menantang kami, Pemuda Dungu!"
bentak Rujak Gada dengan sangat kasar.
Gertakan itu hanya membuat Pendekar Mabuk
tersenyum tipis. Senyum itu makin membuat Rujak
Gada menggeram tak sabar lagi. Maka, yang seharusnya
ia bertugas menyambar Kejora, kini justru ia yang
menyerang Suto Sinting lebih dulu.
"Kuhancurkan batok kepalamu, Setan Ingusan!
Heeeeah...!"
Rujak Gada bergerak maju dengan satu lompatan
bertubuh memutar. Putaran tubuh itu melayangkan
sebuah tendangan ke wajah Suto Sinting. Wuuuut...!
Suto Sinting menggeloyor bagai orang mabuk ingin
tumbang, namun sebenarnya ia menghindari tendangan
kaki lawan, sehingga kaki itu akhirnya hanya berkelebat
di atas kepalanya. Lalu dengan berlagak seorang mabuk
yang jatuh ke samping, kaki Suto Sinting menyampar
kaki lawannya. Weees...!
Plaaak...! Brrruk...!
Rujak Gada terpelanting jatuh akibat samparan kaki
Suto Sinting. Pada saat itulah Cingur Barong melompat
ke arah Kejora. Wuuuus...!
Melihat Kejora dalam bahaya, Suto Sinting segera
berguling di tanah satu kali, kemudian tubuhnya
melenting ke atas dengan satu sentakan tangan kiri ke
tanah. Wuuut...! Tubuh kekar itu melayang di udara ke
arah Cingur Barong. Pertemuan di udara membuat
mereka saling menghantamkan pukulannya.
"Modar kau!" Cingur Barong hantamkan kepalan
tinjunya yang besar.
Taaab! Suto Sinting menangkap pukulan itu dengan
tangan kiri. Lalu tangan kanannya menyodok ke depan
dengan gerakan amat cepat. Wuuuut...! Prrrok...!
"Uuuuhg...!" Cingur Barong tersentak mundur ke
belakang dalam keadaan masih melayang, lalu segera
jatuh tak berkeseimbangan lagi. Brrruk...!
Suto Sinting mendaratkan kakinya dengan limbung
mirip orang yang sudah mabuk berat. Namun dalam
sekejap ia tegak kembali dan tampak perkasa. Matanya
melirik ke arah Kejora.
"Syukurlah ia telah bersembunyi di balik pohon,"
pikir Suto Sinting merasa tenang melihat Kejora berada
di balik pohon, mengintip pertarungan itu dari sana.
Rujak Gada dan Cingur Barong sama-sama bangkit
berdiri penuh nafsu amarah. Keduanya sama-sama
menggeram dengan mata semakin memandang buas
kepada Pendekar Mabuk.
"Kau benar-benar cari penyakit, Setan Bodoh!"
bentak Rujak Gada. "Jangan merasa bangga dulu jika
kau bisa membuat kami jatuh, karena kami hanya
menjajal kemampuan ilmumu. Sekarang saatnya kami
mengirimmu ke neraka!"
"Kebetulan aku belum tahu jalan ke sana!" ujar Suto
Sinting menanggapi dengan tenang sekali. Bahkan di
bibirnya tersungging senyum tipis yang membuat kedua
lawannya kian penasaran.
Seeet...! Rujak Gada mencabut senjatanya; sepotong
besi berongga yang ujungnya mempunyai bola berduri
sebesar kepalan tangannya. Besi itu disentakkan ke
depan, srrraak...! Ternyata mengeluarkan rantai panjang
yang menjadi tali dari bola berduri itu. Kemudian bola
besi berduri itu diputar-putar di atas kepala. Wuuung,
wung, wuuung...!
"Hancurkan kepalanya, Rujak Gada! Jangan kasih
ampun lagi padanya. Pantatku dibuatnya sakit karena
membentur batu!" teriak Cingur Barong yang juga
segera mencabut senjatanya; kapak dua mata.
"Heeeeaaat...!" Rujak Gada melompat sambil
menyambarkan bola besi berduri itu ke arah kepala Suto
Sinting. Pendekar Mabuk tidak menghindar, namun
justru mengangkat bambu bumbung tuaknya dan
menangkis kedatangan bola besi berduri itu.
Traaang...!
Bola besi itu beradu dengan bambu bumbung tuak
menimbulkan suara gemerentang bagai menghantam
sepotong besi. Percikan api menyembur dari perpaduan
bola besi berduri dengan bambu bumbung tuak. Ternyata
bambu itu tidak mengalami kerusakan sedikit pun,
bahkan lecet sedikit juga tidak.
Tetapi Suto Sinting sedikit lengah, sehingga kaki
lawannya yang kekar itu berhasil menendang ujung
pundaknya. Deees...! Wuuut...!
Pendekar Mabuk terpelanting ke belakang dan
membentur pohon tak seberapa besar. Pohon itu
bergetar, daunnya rontok sebagian. Lalu, Rujak Gada
menyerang kembali dengan mengibaskan senjatanya.
Wuuuut...!
Suto Sinting cepat rendahkan badan, sehingga bola
berduri itu kenai pohon tersebut. Crraak...! Duaaar...!
Ledakan kecil terjadi setelah Suto Sinting berguling
ke samping dengan gerakan seperti seekor harimau
menghindari lawannya. Pohon yang terkena bola besi
berduri itu menjadi somplak lebar akibat ledakan yang
ditimbulkan oleh senjata tersebut. Rupanya senjata itu
bukan saja mengandalkan keruncingan durinya, namun
juga disaluri tenaga dalam cukup tinggi, sehingga jika
menyentuh apa pun akan timbulkan ledakan yang
menghancurkan benda tersebut.
"Aaauwww...!" terdengar suara Kejora menjerit. Mata
Suto Sinting cepat dilayangkan ke tempat
persembunyian Kejora. Rupanya saat itu Kejora sedang
berpindah tempat karena hindari kedatangan Cingur
Barong.
Melihat keadaan yang membahayakan jauh dari
jangkauannya, Pendekar Mabuk segera keluarkan jurus
'Jari Guntur' yang menggunakan sentilan jari tangan
kanannya. Tuuuus...!
Wuuut...! Buuuhg...!
"Aaaahg...!" Cingur Barongterpekik karena pinggang
kirinya seperti ditendang kuda jantan amat kuat.
Sentilan jari yang mengeluarkan tenaga dalam tanpa
sinar itu membuat tubuh Cingur Barong melayang dan
terhempas hingga membetur sebongkah batu sebesar
anak sapi. Ia mengerang kesakitan sambil menggeliat
bangkit. Kepalanya berdarah akibat benturan dengan
batu besar itu.
"Manusia busuk!" geram Rujak Gada setelah melihat
temannya berdarah, ia memutar-mutar rantai bola
berduri dengan kaki sesekali menghentak ke tanah.
Hentakan itu adalah cara mengeluarkan tenaga dalam
yang disalurkan melalui rantai tersebut. Akibatnya
putaran rantai itu membuat bola besi berduri itu
memercik-mercikkan bunga api merah dalam setiap
putarannya.
"Habislah riwayatmu, Jahanaaaam...!"
Rujak Gada berteriak sambil lakukan sentakan pada
tangannya, zraaak...! Rantainya semakin panjang dan
segera menyambar tubuh Suto Sinting. Wuuuung...!
Namun pada saat itu Suto Sinting sudah berkelebat
menggunakan jurus 'Gerak Siluman'-nya menerjang
Cingur Barong yang berlari mengejar Kejora.
Zlaaaap...!Brruuss...!
"Aaaaow...!" Cingur Barong terlempar ke tepian
jurang akibat terjangan kaki Pendekar Mabuk. Pada saat
ia bangkit kembali dengan menggeram kesakitan, Suto
Sinting lepaskan jurus 'Jari Guntur'-nya lagi dengan
sebuah sentilan ke arah dada Cingur Barong. Tuuuss...!
Wuuuut...!
Buuuhk...! Tenaga dalam yang terlepas dari sentilan
jari Pendekar Mabuk tepat kenai bagian atas ulu hati
Cingur Barong. Orang itu tersentak ke belakang, padahal
di belakangnya adalah jurang bertebing curam.
Keseimbangan tubuhnya pun hilang, dan akhirnya
Cingur Barong jatuh ke jurang.
"Aaaaa...!" jeritannya melengking tinggi menggema
di sana-sini.
"Bangsaaaat...!" teriak Rujak Gada semakin murka, ia
berlari dan melompat ke arah Suto Sinting dengan bola
berduri yang masih memercik-mercikkan bunga api.
Suto Sinting rendahkan badan hingga berlutut satu kaki.
Kemudian jarinya menyentil lagi dan tenaga dalam yang
keluar menghantam perut Rujak Gada yang sedang
melayang di udara. Duuuhb...!
"Heeeehg...!" Rujak Gada memekik tertahan,
tubuhnya kian melambung tinggi dan berjungkir balik.
Gerakan jungkir baliknya melewati batas tepian bibir
jurang, akhirnya ia meluncur turun tanpa sempat
berpijak lagi. Ia terkejut mengetahui dirinya telah tidak
punya tempat berpijak.
"Aaaaaaowww...!" teriakannya pun menggema
karena pantulan dindingtebing curam itu.
Suto Sinting memandang dengan jengkel dan
menggerutu, "Yaaah... akhirnya dua-duanya masuk
jurang?! Uuuh...! Dasar bodoh! Sudah tahu jurang ini
dalam sekali, mau-maunya nyebur ke sana! Kalau begini
aku tak bisa dapat keterangan apa sebab mereka
mengejar si Kejora?! Sial! Punya lawan dua saja mati
semua! Lain kali kalau tidak berilmu tinggi janganlah
coba-coba melawanku. Mereka itu memang keras kepala
dan berlagak jago! Kalautahu ilmu merekatak seberapa,
aku tak mau melawannya dengan penuh semangat!
Uuuh... menyebalkan sekali mereka itu! Jangan-jangan
mereka memang punya kegemaran nyebur ke jurang?!"
Kedua orang Candi Bangkai sama-sama terlempar ke
jurang. Teriakan mereka pun segera menghilang dalam
beberapa kejap kemudian.
Setelah itu, alam menjadi sepi, dan Suto Sinting
segera menghela napas, melegakan dadanya yang tadi
dipakai menahan napas beberapa kali. Ia tak memeriksa
keadaan lawannya yang sudah masuk jurang itu. Yang
menjadi pusat perhatiannya sekarang adalah gadis
mungil yang punya kecantikan lugu itu.
"Hei, ke mana gadis itu tadi?!" sentak batin Suto
Sinting karena kaget tak menemukan Kejora di sekitar
tempat itu.
"Kejoraaaa...!" ia berusaha memanggil, namun tak
mendapat jawaban. Gadis itu telah hilang; entah
disambar anak buah Barakoak lainnya atau melarikan
diri karena tak mau dekat-dekat dengan pertarungan tadi.
Yang jelas Suto Sinting sudah menyusuri tempat itu, dan
si gadis memang tak ditemukan.
"Jangan-jangan ia tergelincir masuk jurang lagi?!"
pikir Suto Sinting.
Keputusan hati sang Pendekar Mabuk adalah mencari
Kejora ke arah datangnya dua orang Candi Bangkai tadi.
Hatinya menduga kuat bahwa Kejora ditangkap dan
dibawa lari oleh teman Rujak Gada dan Cingur Barong
yang tak ikut menampakkan diri selama pertarungan
tadi.
Namun ketika Suto Sinting ingin berkelebat mengejar
ke arah yang diyakini, tiba-tiba ia mendengar seruan dari
dasar jurang. Seruan itu terdengar kecil dan samar-
samar.
"Tolooong...?!"
Suto Sinting segera periksa keadaan di bagian tebing
curam itu. Ternyata yang berseru tadi adalah si Cingur
Barong, ia tersangkut bebatuan yang menonjol pada
dinding tebing, ia bergelayutan di sana dalam kedalaman
yang sukar dijangkau lagi.
Sementara itu, Rujak Gada juga mengalami nasib
yang sama, tersangkut pada ujung bebatuan yang
menonjol dari dinding tebing tandus itu. Jarak keduanya
tak terlalu jauh, namun juga tak mudah saling
menjangkau.
"Rujak Gadaaaa...! Tolong akuuu...! Tolong
selamatkan jiwaku, Rujak Gadaaa...!"
Rujak Gada yang kebingungan mengangkat diri dari
gelayutannya itu berseru jengkel,
"Matamu buta, ya?! Apa kautak lihat aku juga dalam
bahaya begini?!"
"Di mana letak setia kawanmu, Rujak Gada?!
Mengapa kautak mau menolongkuuu...!"
"Mukamu sobek!" maki Rujak Gada. "Aku sendiri
butuh pertolongan, bagaimana aku bisa menolongmu?!"
Pendekar Mabuk tertawa geli mendengar
pertengkaran mereka. Batinnya berkata,
"Dasar orang-orang dungu! Sudah tahu saling dalam
bahaya masih saja bertengkar!"
"Aaaaa...!" suara jeritan kecil itu kian mengecil,
kemudian lenyap dan berganti teriakan lain.
"Rujak Gadaaaa...! Rujaaaak...!"
Rupanya Rujak Gada gagal mencapai tempat berpijak
yang aman. Ia tergelincir dan jatuh ke dasar jurang yang
masih jauh dari tempatnya tersangkut tadi.
"Rujaaak...!" teriak Cingur Barong dengan sedih
melihat temannya takterselamatkan lagi.
Suto Sinting akhirnya meninggalkan tebing itu
setelah merasa tak akan mampu menyelamatkan Cingur
Barong, ia melangkah ke arah yang dimaksud tadi
sambil membatin kata,
"Sudah mau mati masih memanggil-manggil tukang
rujak! Ck, ck, ck... payah mereka itu!"
*
* *
2
PENCARIAN si gadis lugu terhenti oleh suara
ledakan dari arah barat. Pendekar Mabuk arahkan
langkahnya ke barat karena rasa ingin tahu apa yang
terjadi di sana.
"Pasti sebuah pertarungan!" pikirnya penuh harap,
karena ia senang mengintai pertarungan untuk
mengumpulkan pengetahuan tentang jurus-jurus yang
ada di rimba persilatan.
Pengintaian di lakukan dari balik semak bertanah
tinggi. Dan mata yang tak pernah merah walau
menenggak tuak sebanyak apa pun itu kini menjadi
tegang terbelalak melihat tiga orang lelaki berusia rata-
rata sekitar empat puluh tahun, sedang berhadapan
dengan lawan yang bertubuh menjijikkan. Orang yang
bertubuh menjijikkan itu mempunyai kulit dan daging
yang lunak, membusuk, dan banyak belatung yang
sedang menggerogotinya. Sebagian wajahnya telah
somplak akibat dimakan kebusukan dan dibuat pesta
para belatung. Orang tersebut tak lain adalah sesosok
mayat yang sudah lama terkubur dan kini bangkit
kembali.
Pendekar Mabuk mengenali mayat itu, sehingga ia
pun menjadi terkesiap di tempat sambil menggumam
lirih pada dirinya sendiri.
"Mayat Resi Dirgantara...?! Oh, ternyata mayat itu
masih bergentayangan akibat dibangkitkan oleh si Ratu
Sangkar Mesum dulu?! Kusangka mayat itu sudah
kembali ke kuburnya, ternyata ia masih berkeliaran
dengan liar."
Peristiwa pertemuan Suto Sinting dengan mayat Resi
Dirgantara terbayang kembali dalam benak. Wajah
cantik jalang milik Ratu Sangkar Mesum juga muncul
dalam ingatan Suto Sinting. Hatinya tersengat rasa panas
ketika disadari bahwa wajah cantik itu adalah wajah
orang yang menjadi musuh calon istrinya; Gusti
Mahkota Sejati yang menjadi ratu di Puri Gerbang
Surgawi alam nyata. Kala itu si Ratu Sangkar Mesum
pergi meninggalkan Suto Sinting dalam keadaan terluka.
Apakah sekarang masih terluka, atau sudah sembuh, atau
justru sudah mati, Suto Sintingtak pernah tahu. Ia hanya
bisa mengenang peristiwa sebulan yang lalu itu, (Baca
serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Kipas Dewi
Murka").
"Kini mayat itu menyerang tiga lelaki berwajah
angker," kata hati Suto Sinting mengalihkan pikirannya.
"Siapa ketiga leiaki berwajah angker itu? Gerak-
geriknya menimbulkan kesan bahwa mereka dari aliran
hitam atau... ah, yang jelas mereka tampaknya bukan
orang baik-baik. Tak layak aku turut membantu mereka.
Biarlah mereka selesaikan sendiri urusan mereka dengan
mayat Resi Dirgantara. Tapi... oh, siapa yang
bersembunyi di balik pohon seberang itu? Bocah
kecil...?! Oh, ya... bocah kecil! Anak siapa dia? Mengapa
berani mengintai di balik pohon? Apakah dia tidak takut
dengan mayat Resi Dirgantara? Setidaknya ia akan jijik
melihat keadaan mayat busuk berbelatung begitu!"
Pandangan mata Suto Sinting beralih kembali ke
pertarungan. Mayat Resi Dirgantara dikurung tiga orang
berwajah angker. Namun mayat hidup dengan biji
matanya putih semua itu tidak melarikan diri. Ia justru
tampak buas, mengangkat kedua tangannya yang
berkuku panjang dan runcing itu, lalu mengeluarkan
suara serak yang susah dimengerti.
"Kkkkraaahhkk...! Ggrrr, kkrrraakkhg...!"
Salah seorang menyerangnya dengan sebilah golok
dari belakang. Orang itu melesat dalam satu lompatan
tak seberapa tinggi, kemudian goloknya ditebaskan ke
pundak si mayat hidup. Wuuut...! Tapi gerakan mayat
hidup lebih cepat saat membaiikkan badan. Weet...!
Kemudian ketika golok itu menebas turun, ia menangkap
dengan tangan kirinya. Zraaab...! Ia tak peduli telapak
tangannya terluka karena ketajaman goiok yang
ditangkap.
Namun tangan kirinya segera berkelebat mencakar
tubuh lawannya dengan gerakan dari bawah ke atas.
Wuuut...! Brreeet...!
"Aaaaahg...!" orang itu memekik dengan wajah
menyeringai. Perut hingga bagian dada robek parah
akibat cabikan kuku runcing si mayat hidup. Tangan
mayat tak mau melepaskan goiok orang itu, dan si
pemilik goiok sendiri tak mau melepaskan senjatanya.
Maka, cabikan cakar yang kedua terjadi dengan cukup
mengenaskan.
Wuuut...! Breeeett...!
"Aaaauh...!" orang itu memekik karena wajahnya
menjadi rusak bagai disabet lima mata pisau runcing
yang amat tajam. Dan robekan ketiga tepat kenai leher
orang tersebut. Jrrub, breeettt...!
"Heeggrr...!" tentu saja orang tersebut tak bisa
berteriak lagi. Ia segera tumbang sebelum kedua
temannya maju menyerang.
Rupanya mayat itu tahu apakah lawannya masih
hidup atau hanya pingsan saja. Ia melepaskan lawannya
yang sudah tidak bernapas itu, lalu segera menghadapi
kedua penyerangnya yang datang dari arah belakang.
Wuuut...! Dalam satu putaran gerak, tangan si mayat
berkelebat dari samping bawah ke samping atas.
Gerakan tangan itu timbulkan sinar merah panjang bagai
lidah api yang segera menyambar dua orang itu.
Claaaap...!
Crraasss...! Lidah api dari sinar merah kenai tubuh
kedua lawan dalam sekali serang. Akibatnya, tubuh
kedua orang itu kepulkan asap putih dalam keadaan
diam tertegun di tempat. Kejap berikutnya, ketika
mereka masih saling heran, tiba-tiba asap menjadi tebal
dan nyala api pun datang. Dalam waktu singkat
keduanya segera terbungkus api sekujur tubuhnya.
Wuuusss...!
"Aaaaow...!"
"Auuuh.... Panas, panas, panaaas...!" Keduanya saling
berjingkrak-jingkrak dalam upayanya memadamkan api,
tapi api yang membungkus tubuh mereka tak mau padam
juga. Keduanya segera berguling-guling namun api tak
mau padam, sehingga akhirnya mereka meraung-raung
dengan suara keras, dan akhirnya mereka diam tak
berkutik dalam keadaan mati hangus menjadi arang
tanpa serat daging maupun sisa pakaian mereka.
"Ganas sekali mayat itu?!" pikir Suto Sinting dengan
sedikit cemas kepada bocah yang sedang mengintip dari
balik pohon. Si bocah tampak masih tertarik dengan
adegan itu, sehingga ia masih berada di tempatnya.
Mayat hidup mendiang Resi Dirgantara mengerang
berkali-kali sambil bola matanya yang putih polos itu
bergerak ke sana-sini. Akhirnya mayat itu melangkah
gontai mendekati bocah kecil di balik pohon. Pendekar
Mabuk tersentak kaget, lalu segera gunakan jurus 'Gerak
Siluman' untuk selamatkan bocah tersebut.
Zlaaap...!
Tiba di balik pohon, Pendekar Mabuk terperanjat
kembali, karena bocah yang bersembunyi itu ternyata
adalah gadis kecil berambut cekak warna pirang, seperti
rambut jagung. Bocah itu pun terkejut melihat kehadiran
Suto Sinting hingga terpekik dan segera melarikan diri.
"Hei, tunggu...!" seru Suto Sinting dengan cemas,
karena bocah itu berlari ke arah datangnya mayat Resi
Dirgantara, ia tak sadar bahwa pelariannya itu membuat
si mayat hidup diam di tempat bagaikan menghadang
mangsa datang.
Ketika bocah itu tidak menengok ke belakang lagi, ia
terpekik kaget melihat mayat hidup sudah ada di
depannya dalam jaraktiga langkah.
"Aaaa...!" jeritannya cukup lengking dengan kedua
bola matanya yang bundar mirip kelereng itu terbelalak
lebar.
"Kkkrraahk...!" mayat tersebut menyeringai
menampakkan mulutnya yang berbibir somplak,
sebagian belatung tersembur keluar dari mulut itu.
Kedua tangan si mayat merenggang hendak menyambar
gadis kecil berusia sekitar tujuh tahun itu.
Pendekar Mabuk cepat-cepat bergerak menerjang
mayat itu dengan bumbung tuak dihantamkan dalam
sekelebat. Zlaaap...! Wuuuut...!
Brrrruuss...!
Mayat hidup itu terlempar akibat hantaman bumbung
tuak. Belatungnya menyebar ke mana-mana, ia jatuh
terpuruk bagai seonggok daging busuk. Namun hal itu
tidak membuat si mayat hidup terpuruk selamanya, ia
mulai bangkit perlahan-lahan, padahal biasanya orang
yang terkena hantaman bumbung tuak itu akan menjadi
lumpuh atau hancur tulangnya dan tak berdaya lagi.
Agaknya mayat Resi Dirgantara sukar mengalami
kematian yang kedua, karena kekuatan gaib Ratu
Sangkar Mesum yang dipakai membangkitkan mayat itu
telah membuat kesaktian Resi Dirgantara bekerja
kembali.
"Bahaya...!" geram Suto Sinting saat memandangi
mayat yang muiai bergerak hendak bangkit itu. "Gadis
kecil itu yang harus kuselamatkan lebih dulu!" pikirnya.
Tapi ketika ia berpaling memandang si gadis kecil,
tiba-tiba gadis itu sentakkan kaki dan melompat pergi.
Gadis kecil itu bergerak dengan lincah, bersalto dua kali
di udara secara cepat. Wuuut, wuuut...! Kakinya
menjejak batang pohon dan bersalto kembali ke
belakang, lalu ia berpiak-piak, jungkir balik dengan
menggunakan kedua tangannya untuk bertumpu di
tanah. Wes, wes, wes, wes...!
Wuuut...! Gadis itu tiba-tiba sudah berada di atas
pohon, berdiri pada sebuah dahan. Kemudian sentakan
kakinya membuat tubuh kecil itu melesat dari pohon ke
pohon, melayang di udara dalam gerakan jungkir balik
beberapa kali, kemudian menerabas dedaunan pohon dan
melesat pergi entah ke mana.
Pendekar Mabuk dibuat terpaku dan terbengong di
tempat.
"Edan gadis kecil itu! Gerakannya cepat sekali seperti
anak menjangan. Aku harus memburu bocah itu dan
ingin mengetahui siapa dia sebenarnya!"
Rasa penasaran Suto Sinting membuatnya berkelebat
tinggalkan mayat Resi Dirgantara yang sudah mulai
bangkit lagi itu. Zlaaap...! Gadis kecil yang lincah dan
luar biasa gesitnya itu menjadi bahan buruan Suto
Sinting. Agaknya gadis kecil berpakaian rompi kulit
binatang berbulu hitam dan putih dengan celana
pendeknya juga terbuat dari kulit binatang warna coklat
rusa itu lebih menarik untuk diburu ketimbang gadis
cantik Kejora.
Pendekar Mabuk hampir saja salah arah. Untung ia
melihat gadis itu berlari biasa di sela-sela pepohonan.
Pendekar Mabuk pun segera membelokkan arahnya, ia
sengaja menguntit gadis kecil yang mengenakan kalung
tali hitam dengan bandul batu merah delima sebesar
kacang tanah. Lompatan demi lompatan yang dilakukan
oleh si gadis kecil sangat menarik perhatian dan
membuat hati Suto Sinting terkagum-kagum. Satu
lompatan menghasilkan jarak yang panjang, yang tidak
bisa dilakukan oleh orang dewasa tak berilmu. Suto
Sinting tersenyum girang memperhatikan gadis kecil itu
melompat-lompat dalam larinya.
"Benar-benar mirip anak menjangan mencari
induknya," gumam hati Suto Sinting sambii geleng-
geleng kepala. Rasa suka terhadap gadis kecil itu
membuat Pendekar Mabuk tak mau hanya sekadar
menguntit dan memperhatikan dari tempat tersembunyi,
maka ia pun segera berkelebat menyusul gadis kecil itu,
lalu menghadang si gadis kecil dengan lebih dulu
bersembunyi di balik pohon. Ketika gadis kecil itu
hendak melintasi jalan di depannya, Suto Sinting segera
muncul dengan gerakan cepat, tahu-tahu ada di depan si
gadis.
"Aaahh...?!" gadis kecil itu terpekik kaget. Matanya
yang bundar indah mendelik dengan mulut ternganga, ia
segera berbalik arah dan melesat pergi kembali ke arah
semula. Namun Suto Sinting segera menyambar lengan
si gadis kecil itu. Wuuuut...!
"Lepaskan aku...! Lepaskan aku...!" teriak si gadis
dengan meronta-ronta.
"Jangan takut, Gadis Kecil! Aku bukan orang jahat!
Ada yang ingin kutanyakan padamu, Dik!"
"Tidak mau! Aku tidak mau menjawab! Lepaskan
akuuu...!" gadis itu ingin menangis karena jengkel tak
bisa meronta lepas dari genggaman Suto Sinting.
Sedangkan pemuda ganteng itu justru tertawa-tawa
kegirangan melihat gadis kecil itu ingin menangis dan
berwajah cemberut.
"Lepaskan aku...! Aku tidak mau diperkosa!
Lepaskan...!"
"Husy! Siapa yang mau memperkosamu! Kau masih
kecil dan tak pantas untuk menerima perlakuan sehina
itu, Dik!"
Gadis itu akhirnya hentikan gerakannya, ia
memandang Suto Sinting dengan sikap ketus dan
berlagak angkuh.
"Mau apa kau memegangi tanganku?!"
"Aku ingin kenal denganmu," Suto Sinting
melepaskan genggamannya.
"Hmmm...!" gadis kecil itu buang muka dengan
mencibir. Lagaknya bagai orang dewasa yang angkuh
terhadap seorang lelaki. Ia berkata tanpa memandang
Suto Sinting.
"Apa perlunya berkenalan denganku? Aku masih
kecil, belum pantas menjadi istrimu!"
Suto Sinting justru tertawa geli. Si gadis kecil melirik
sinis, membuat Suto Sinting kian gemas dan kegelian
memandang lagak tengil itu.
"Kalau kau mau cari seorang kekasih atau calon istri,
carilah kakakku!"
"Oh, kau punya kakak?!"
Gadis kecil itu pandangi Suto Sinting dengan dagu
terangkat sedikit, kedua tangannya bersedekap di dada.
"Hmmm... boleh juga."
"Apanya yang boleh, Dik?"
"Ketampananmu boleh juga!"
"Gila! Kecil-kecil sudah bisa menilai ketampanan
seorang lelaki?!" ucap Suto bagai ditujukan pada diri
sendiri, tapi si gadis kecil menyahutnya.
"Apa sulitnya membedakan pria tampan dan pria
berwajah kusut?!"
Suto Sinting tertawa dengan suara rendah. Gadis kecil
itu agaknya mempunyai jalan pikiran dan kecerdasan
menyamai gadis tujuh belas tahun. Bibirnya yang kecil,
mungil, tipis, menandakan sebagai bibir gadis yang
cerewet dan pandai bicara.
"Siapa yang mengajarmu membedakan pria tampan
dan pria kusut?" pancing Suto sambil membungkuk agar
berhadapan wajah.
"Kakakku," jawabnya singkat bernada ketus, seakan
membanggakan kakaknya. Kemudian ia bertanya,
"Apakah kau orang Candi Bangkai?!"
"Bukan," jawab Suto Sinting dengan kerutkan
dahinya, merasa aneh mendengar pertanyaan gadis
sekecil itu yang menyebut-nyebut nama Candi Bangkai.
Tapi sebelum Suto bicara, ternyata gadis kecil itu sudah
lebih dulu perdengarkan suaranya yang kecil dan lucu.
"Kakakku bilang, pria yang tampan itu berwajah
bersih dan enak dipandang, contohnya seperti kau! Tapi
kalau pria yang kusut itu wajahnya sulit dipandang dan
tak bisa dinikmati keindahannya, contohnya seperti tiga
orangyangmengejarku tadi."
"Tiga orang yang mana?" Suto Sinting berkerut dahi.
"Yang tadi..., yang akhirnya dibunuh oleh manusia
busuk itu!"
"O, jadi kau dikejar-kejar oleh tiga orang yang mati
dibunuh mayat hidup itu?!"
"He, eh!" jawab si kecil dengan wajah bersungut-
sungut. "Orang-orang Candi Bangkai memang beraninya
hanya sama anak kecil!"
Makin tajam kerutan dahi Suto Sinting dalam
memandang si gadis kecil itu. Hatinya berkata, "Jadi tiga
orang berwajah angker tadi adalah orang-orang Candi
Bangkai; anak buah si Raja iblis itu?! Hmmm... kalau
begitu nasib gadis kecil ini sama dengan nasib si Kejora.
Lalu, untuk apa orang-orang Candi Bangkai mengejar
anak sekecil ini?!"
Gadis kecil yang memakai giwang merah delima
sebesar merica itu berkata bagai bicara pada diri sendiri.
Wajah manisnya bersungut-sungut membuat bibir
kecilnya itu meruncing lucu.
"Sayang aku tak bisa melawan mereka. Kalau aku
punya kesaktian tinggi, akan kutumbangkan si Raja iblis;
Barakoak itu! Akan kugulung habis orang-orang Candi
Bangkai!"
Ia memandang Suto Sinting dan menyambung kata,
"Mungkin saat ini kakakku sudah tertangkap oleh
mereka."
"Apakah kakakmu juga dikejar-kejar oleh mereka?!"
Gadis kecil itu mengangguk. Sorot matanya mulai
tampak sedih.
"Siapa kakakmu itu?!"
"Kejora!" jawabnya singkat, menyentak halus hati
Suto Sinting.
"Pantas, ternyata dia adik si Kejora," gumam Suto
Sinting dalam hatinya.
Gadis itu mengalihkan pandang sebentar sambil
berkata, "Jika Kejora tertangkap berarti aku tinggal
berdua dengan kakakku yang sulung."
"O, kau masih punya kakak lagi?"
"Dua kakakku sudah tewas di tangan mereka.
Demikian pula dengan Ayah dan ibuku, dibantai mereka
dalam satu malam. Tapi kakakku yang sulung saat itu
sedang pergi bersama Kejora. Jadi tidak ikut menjadi
korban pembantaian kaki tangan Barakoak. Aku bisa lari
loloskan diri melalui jalan belakang rumah. Sekarang
kami tinggal tiga saudara; masih juga diburu-buru oleh
Barakoak. Aku dan Kejora mencari kakak sulungku
yang sedang menghubungi sahabat Ayah untuk meminta
bantuan melawan orang-orang Candi Bangkai. Sampai
sekarang kami belum berhasil bertemu dengan kakak
sulungku. Aku dan Kejora berpencar karena pengejaran
orang-orang jahat itu!"
"Tabah sekali ia menuturkan cerita itu," kata Suto
Sinting dalam hati. "Ia tampak tegar walaupun
menyimpan kesedihan atas kematian keluarganya."
Gadis kecil itu tiba-tiba berkata, "Kalau kau mau
membantuku, nanti kukenalkan kepada kakak sulungku.
Akan kubujuk dia agar mau menjadi kekasihmu."
Senyum mekar di bibir Pendekar Mabuk berkesan
kaku; antara geli dan iba terhadap nasib gadis kecil itu.
Namun ucapan itu tetap ditanggapi dengan baik oleh
Pendekar Mabuk yang sudah berdiri tegak sejak tadi,
karena si gadis naik ke atas batu hingga ketinggian
mereka sejajar.
"Siapa nama kakakmu yang sulung itu?"
"Hening," jawab si gadis kecil dengan singkat tapi
jelas.
"Nama yang aneh," gumam Suto Sinting. "Lalu
namamu sendiri siapa?"
Gadis itu buang muka memandang ke arah lain, "Aku
biasa dipanggil dengan nama: Menik."
"Menik siapa?"
"Menik... Menikmati apa adanya," jawab si gadis
dengan mengulum senyum pertanda tidak sungguh-
sungguh menjawab. Namun nama Menik adalah nama
yang sebenarnya dimiliki si kecil tengil itu.
"Hening, kakakku itu, cantik sekali. Pantas menjadi
istrimu. Kalau kau mau membantuku, kau tak akan
kecewa mendapat hadiah berupa seorang istri secantik
Hening," kata Menik dengan nada bicara seperti orang
dewasa. Suto Sinting tertawa sedikit keras, merasa
sedang dibujuk anak kecil agar segera menikah dengan
seorang wanita pilihan si kecil sendiri. Bagi Suto Sinting
kejadian ini adalah kejadian yang lucu dan menggelikan
sekali.
"Kenapa tertawa saja? Apakah kau tak punya
keberanian menikahi seorang perempuan?!" sentak
Menik semakin sok tua, dan Suto Sinting semakin tak
bisa menjawab karena tawanya kian menjadi-jadi.
Tapi dalam hatinya pemuda tampan itu bertanya-
tanya, "Seperti apakah kecantikan gadis bernama Hening
itu, sehingga sang adik tampak berkeinginan sekali
menjodohkan aku dengan kakaknya? Aku jadi ingin
melihat kecantikan itu."
Pendekar Mabuk menjadi penasaran sekali; ingin
melihat kecantikan kakak sulung Menik. Tetapi gadis
kecil itu berkata,
"Kalau kau pernah melihat kecantikan seorang ratu
dari Pulau Serindu yang bergelar Gusti Mahkota Sejati,
maka kau berarti sudah pernah melihat kecantikan kakak
sulungku."
Suto Sinting kaget bukan kepalang. Gusti Mahkota
Sejati adalah gelar yang dipakai Dyah Sariningrum,
calon istri Suto yang sudah sering ditemuinya.
Perempuan itu memang seorang ratu dari negeri Puri
Gerbang Surgawi yang ada di Pulau Serindu. Tapi
apakah berarti kakak sulung Menik itu adalah Dyah
Sariningrum juga?
*
* *
3
GADIS kecil yang berpotongan seperti anak lelaki itu
segera membawa Suto Sinting masuk ke sebuah gua tak
jauh dari tempat mereka bertemu, ia menyuruh Suto
Sinting agar buru-buru masuk ke gua dengan wajah
tegang.
"Cepatlah masuk kalau kau tak ingin mati beku!"
Pendekar Mabuk heran mendengar seruan itu. "Hari
sepanas ini kau bilang aku akan mati beku? Apa
maksudmu, Menik?!" seru Suto yang masih ada di luar
gua dengan tenang.
"Masuklah, nanti kujelaskan apa maksud kata-kataku!
Cepat, cepat...!"
Dengan rasa ingin tahu, akhirnya Pendekar Mabuk
menuruti keinginan si kecil Menik, ia masuk ke gua
yang berlorong menjorok ke bawah. Agaknya lorong gua
itu cukup panjang, sehingga ketika mereka bicara
gemanya masih terdengar pada saat mulut mereka telah
berhenti bicara.
"Kau ini senang bikin ulah yang bukan-bukan
rupanya!" kata Suto Sinting sambil perhatikan si gadis
yang memandang ke arah luar dengan mata menegang.
"Sekarang aku sudah ada di dalam gua mengikuti
saranmu. Jelaskan apa maksudmu menarik-narikku dan
membawaku ke dalam gua ini?!"
Baru saja Pendekar Mabuk berhenti bicara, tiba-tiba
ia mendengar deru angin kencang dari kejauhan. Angin
itu bagal suara lolongan serigala yang mengalun
mendayu-dayu. Makin lama semakin jelas, pertanda
semakin dekat pula hembusan angin tersebut. Suto
Sinting menjadi bertambah heran hingga mengerutkan
dahinya. Sementara itu, Menik masih ada tak jauh dari
mulut gua dan memandang ke arah luar dengantegang.
Hembusan angin kini benar-benar terasa menerpa
alam sekitar gua itu. Cahaya matahari yang terang
menjadi redup dalam waktu yang amat singkat, bahkan
bisa dikatakan redup secara tiba-tiba. Hawa dingin mulai
terasa membelai kulit lengan Suto Sinting yang
mengenakan baju sebatas ketiak itu. Udara dingin itu
semakin lama semakin menyerap ke pori-pori kulit, dan
bertambah lama bertambah terasa menembus ke tulang
belulang.
"Kita masuk ke tempat yang lebih dalam!" ajak
Menik sambil menarik tangan Suto Sinting. Mau tak
mau Pendekar Mabuk yang saat itu seperti kambing
congek karena serba heran dan bingung itu segera
mengikuti langkah Menik. Mereka menuruni lorong
gelap yang berdinding iembab.
Hembusan udara dingin terasa masuk ke gua dan
menerpa kulit tubuh mereka. Dalam keadaan gelap,
Pendekar Mabuk hanya bisa mengikuti langkah kaki
Menik yang berjalan lebih dulu, berlari-lari kecil sambil
menuntun tangan Suto Sinting.
"Mau kau bawa ke mana aku ini, Menik?"
"Menyelamatkan diri!" jawab Menik. "Ikuti saja
langkahku, kau tak akan terancam bahaya. Aku sudah
sering masuk ke gua ini. Sepuluh langkah lagi dari sini
aku menyimpan sebatang obor bambu pada dinding
kanan kita. Tapi aku tak punya pematik untuk
menyalakan sumbunya!"
Pendekar Mabuk kurang tertarik menanggapi kata-
kata itu, karena hatinya berkecamuk sendiri tentang
udara dingin yang masuk ke gua dan menerpa kulit
tubuhnya. Udara dingin dan deru angin yang datang tadi
merupakan suatu keanehan yang hampir-hampir tak
dipercayai oleh Suto Sinting.
"Angin dingin apa sebenarnya yang berhembus di
luar gua itu?! Dari mana asal datangnya angin yang
membawa uap dingin itu?! Bagaimana gadis kecil ini
bisa mengetahui akan datang angin dingin di tempat
sepanas tadi?!"
Semakin menyusuri lorong ke dalam semakin tak
terasa hembusan angin dinding itu. Kini yang dirasakan
oleh Suto Sinting adalah kelembaban udara tanpa
desiran angin setajam tadi.
Sebatang obor telah dinyalakan dengan menggunakan
gesekan bumbung tuak dengan batu untuk mendapatkan
apinya. Kini lorong itu menjadi terang, dan Menik
membawa Suto Sinting lebih ke dalam lagi, hingga
mereka menemukan tempat lega yang datar, langit-
langitnya tinggi dan di salah satu sisinya terdapat
tumpukan jerami. Tumpukan jerami itu agaknya pernah
dipakai tidur oleh seseorang.
Walaupun di situ terdapat bongkahan batu gunung,
tapi jaraknya tak terlalu rapat sehinga memungkinkan
seseorang untuk bergerak leluasa di tempat itu.
"Aku sering bermalam di sini!" kata Menik sambil
melompat dan duduk di atas tumpukan jerami kering itu.
"Kau sering bermalam di sini? Bersama siapa?"
"Kadang-kadang bersama Kejora, kadang-kadang
sendirian. Aku tak pernah bermalam di sini dengan
seorang lelaki."
Suto Sintingtertawa geli mendengar kata-kata seperti
itu terlontar dari mulut gadis kecil yang belum pantas
bicara tentang lelaki. Tapi agaknya pembicaraan seperti
itu bukan hal aneh lagi bagi Menik sendiri.
"Baru sekarang ada seorang lelaki yang kubawa
masuk kemari, itu pun kalau bukan karena terpaksa, aku
tak akan memberitahukan kepada siapa pun tempat ini."
Suto Sinting manggut-manggut sambil memandangi
keadaan sekeliling, seakan memeriksa keamanan di
tempat itu. Gadis kecil yang sok tua itu berkata lagi,
"Keadaan di sini aman-aman saja! Jangan khawatir;
Naga Sokat sudah dibunuh oleh kakakku; Hening."
"Naga Sokat...?!" Suto buru-buru berpaling
memandang Menik. Gadis kecil itu tersenyum kecil.
"Naga Sokat itu penunggu gua ini. Beberapa waktu
yang lalu telah dibunuh oleh kakak sulungku karena
sang Naga sering keluar dan menelan korban penduduk
yang mencari kayu di sekitar sini. Tapi telur naga masih
ada lima butir di kedalaman sana."
"Hahh...?! Telur naga masih ada di sana?!" Suto
Sinting terkejut. Gadis kecil itu cekikikan sambil
melonjorkan kakinya dengan santai.
"Kau ketakutan sekali, ya?! Padahal aku tidak
bersungguh-sungguh. Aku hanya bercanda dan menguji
keberanianmu. Telur naga itu sudah kupecahkan
beberapa bulan yang lalu. Tak ada anak naga di
dalamnya."
Pendekar Mabuk malu hati dan salah tingkah sendiri
ditertawakan anak sekecil Menik, ia tak mau
memandang anak itu untuk menutupi rasa malunya, ia
mencoba melangkah mengitari ruangan lebar tersebut,
sementara obor bambu yang sebagai satu-satunya
penerang ruangan diletakkan di atas sebuah batu setinggi
pundak Suto yang atasnya terbelah sedikit.
"Kita istirahat di sini dulu, nanti kita keluar lagi dan
aku akan tetap mencari kakak sulungku. Namun lebih
dulu aku harus mencari kepastian di mana Kejora
berada; tertangkap atau dalam pelarian. Setahuku ia
dikejar-kejar oleh dua orang Candi Bangkai yang
kukenal bernama Cingur Barong dan Rujak Gada."
"Mereka sudah masuk ke jurang!" kata Suto Sinting
sambil melangkah mendekati tumpukan jerami kering.
"Siapa yang masuk ke jurang? Kakakku?!" gadis
kecil itu menegang cemas.
"Cingur Barong dan Rujak Gada terlempar ke jurang
saat melawanku."
"Ooh...?! Jadi kau berani melawan dua orang ganas
itu?"
"Kalau bukan karena melindungi Kejora, aku tidak
akan bentrok dengan Cingur Barong dan Rujak Gada."
"Kau...?!" Menik bangkit berdiri di atas jerami.
"Benarkah kau sudah bertemu dengan Kejora?"
"Berpakaian kuning dan mengenakan kalung
berbandul batu biru, bukan?!"
"Ah, benar!" sambil jarinya menjentik sok tahu.
"Berarti kau memang sudah bertemu Kejora!"
Namun tiba-tiba sekeping logam melesat menuju ke
dadanya. Menik terperanjat lalu melompat ke samping.
Lompatannya terlambat sedikit dan lengan Menik
tergores benda tersebut. Craaas...!
"Aaaauh...!" pekiknya sambil menjatuhkan diri.
Pendekar Mabuk terkejut dan segera memandang ke
arah datangnya benda itu. Dari sebuah lorong yang
menjadi sambungan dari lorong tempat mereka datang
tadi muncul seorang lelaki berkepala botak. Rambutnya
tersisa di bagian tepi bawah saja, itu pun bisa dihitung
jumlahnya. Lelaki itu bermata lebar dengan kumis kecil
melengkung ke bawah.
"Ha, ha, ha, ha...!" lelaki itu tertawa melihat Menik
jatuh dan merintih-rintih memegangi lukanya.
"Akhirnya kau mati juga gadis tengil! Kau tak akan
bisa lolos dari racun 'Gurun Tandus' yang akan membuat
darahmu mengering dalam waktu singkat! Ha, ha, ha,
ha...!"
"Menik...?!" Pendekar Mabuk mendekati gadis kecil
itu dan berlutut memeriksa lukanya. Ternyata luka itu
memancarkan warna merah bara berpijar-pijar,
menandakan senjata rahasia bergerigi itu memang
mempunyai racun berbahaya.
"Katamu di sini tak ada orang lain kecuali kita?!
Mengapa orang itu ada di dalam lorong?!"
"Aku tak tahu, dia masuk sini sebelum kita datang.
Uuhgg...!" Menik menyeringai semakin kuat. "Lakukan
sesuatu untuk mengusir si Kelelawar Setan itu! Dia... dia
orangnya Barakoak! Uuuhf...!"
Kelelawar Setan berseru kepada Pendekar Mabuk,
"Hei, Anak muda tolol...! Jangan coba-coba menolong
gadis itu. Dia keturunan iblis yang perlu dilenyapkan!
He, he, he, he...!"
Pendekar Mabuk memandang dengan mata tajam, ia
bangkit perlahan-lahan tanpa sepatah kata pun.
Kelelawar Setan memperhatikan dengan tawa yang
memuakkan hati Suto Sinting.
"Minggirlah kau, Anak muda tolol! Aku akan
membawa gadis kecil itu ke Candi Bangkai sebelum ia
menjadi mayat."
"Kau tak akan bisa menyentuhnya lagi dengan cara
apa pun, Manusia Keji!" geram Pendekar Mabuk tampak
menahan kemarahan. Napasnya membuat batu di
depannya bergetar, karena jika sedang marah begitu
maka napasnya akan berubah menjadi senjata maut yang
bernama NapasTuak Setan.
"Kalau begitu kau pun harus kutangkap dan
kuserahkan kepada Tuanku Barakoak! Heeeaah...!"
Kelelawar Setan lepaskan senjata rahasianya lagi ke
arah Suto Sinting. Weeesss...! Dengan cekatan Suto
menghadangkan bumbung tuaknya dan senjata itu kenai
bumbung tuak. Traaang...! Suaranya seperti mengenai
logam baja.
Senjata itu berbalik arah dengan gerakan lebih cepat
lagi. Ziiing...!
"Edan!" pekik Kelelawar Setan yang terkejut melihat
senjatanya meluncur dengan kecepatan lebih tinggi ke
arahnya, ia segera melompat dalam satu hentakan.
Wuuuss...!
Tiba-tiba orang itu sudah berada di langit-langit
dalam keadaan menggantung seperti seekor kelelawar,
kedua kakinya menempel pada langit-langit dan
tangannya melepaskan senjata bergerigi lagi. Zeeb,
zeeeeb...!
Pendekar Mabuk segera berkelit dengan lakukan
lompatan cepat untuk pindah tempat Trak, trak...!
Senjata tersebut kenai batu dinding gua. Kelelawar Setan
masih menempel di langit-langit, ia ingin lakukan
serangan serupa lagi, tetapi Suto Sinting segera kirimkan
sentilan 'Jari Guntur'-nya yang bertenaga dalam cukup
besar itu. Tuuuus....!
Buuuhg...!
Tuuuus...!
Krraaak...!
"Aaaauh...!" jerit Kelelawar Setan sambil melayang
jatuh karena mata kakinya yang kiri remuk dihantam
tenaga dalam 'Jari Guntur' itu. Sedangkan dadanya pun
terasa sesak karena terkena jurus 'Jari Guntur' yang
pertama, ia melayang jatuh tak bisa menjaga
keseimbangan badannya.
Bruuuk...!
"Aaaoow...!" ia memekik lagi karena kepalanya
membentur batu runcing dan batu itu menancap di
bagian pelipisnya. Crrusss...!
Suto Sinting hentikan sebentar serangannya karena ia
melihat keadaan Menik semakin parah. Sekujur
tubuhnya mulai tampak memerah bagaikan kepiting
rebus.
"Menik...! Menik, bertahanlah! Minum tuakku ini
beberapa teguk saja. Minumlah...!"
Dengan bantuan Suto Sinting, gadis kecil itu
meneguk tuak tersebut, ia tak tahu kalau tuak itu adalah
tuak sakti yang mampu menawarkan racun dan
mengobati luka apa pun, sehingga Pendekar Mabuk
sering pula dijuluki orang sebagai Tabib Darah Tuak.
Kelelawar Setan berhasil mencabut batu runcing dari
kepalanya. Walau dalam keadaan berlumur darah, ia
masih nekat lakukan serangan kepada Suto Sinting.
"Bangsat kau, Jahanam! Heeeeahh...!"
Suto Sinting cepat balikkan badan ketika Kelelawar
Setan menyerang dengan melepaskan tenaga dalamnya
bersinar kuning. Slaaap...! Sinar kuning itu keluar dari
tengah telapak tangannya.
Bumbung tuak yang baru saja selesai ditutup kembali
itu segera berkelebat menghadang sinar kuning itu.
Akibatnya, sinar kuning itu menghantam bumbung tuak
dan berbalik ke arah pemiliknya dalam keadaan lebih
besar dan lebih cepat lagi. Wuuusss...!
Zrruub...!
"Heeegh...!" Kelelawar Setan mendelik ketika sinar
kuning yang berubah besar itu menghantam telak
dadanya. Tubuh kurus berpakaian hitam itu berubah
menjadi berasap kuning seperti asap belerang. Kulit
kepalanya tampak bergerak-gerak, urat-uratnya ingin
menjebol keluar dari balik kulit. Tubuh itu bergetar yang
semakin lama semakin terguncang-guncang karena
kerasnya getaran. Agaknya ia tahu bahaya yang akan
melanda dirinya, maka serta-merta ia berusaha melarikan
diri keluar dari gua tersebut.
"Hhgggrr... hhhgggeerr... hhhgggrr...!"
Suara yang mirip gorila itu semakin menjauh,
pertanda Kelelawar Setan benar-benar meninggalkan
tempat itu. Si gadis kecil yang sudah mulai sembuh
segera bangkit, ia pandangi luka goresan di lengannya.
Ternyata luka itu telah merapat kembali dan kulit
tersebut akhirnya mulus seperti sediakala tanpa goresan
apa pun. Menik pun merasakan tubuhnya menjadi lebih
segar dari sebelumnya.
"Boleh juga ilmumu!" kata Menik sambil manggut-
manggut dalam senyum kebanggaannya.
"Kelelawar Setan akan mati sebelum tiba di Candi
Bangkai. Jurusnya itu tadi kukenali sebagai jurus
penghancur jaringan tubuh manusia, termasuk dapat
memutuskan seluruh urat yang ada dalam tubuh."
"Agaknya kau banyak tahu tentang jurus-jurus orang
Candi Bangkai."
"Karena cukup lama kami berselisih dengan mereka.
Terutama sejak kakek dan nenek buyut kami masih
hidup."
"O, jadi...," Suto Sinting mendekat dengan membuka
tutup bumbung tuaknya. ".... Kalian bermusuhan dengan
Barakoak sejak semasa leluhurmu masih hidup?"
"Benar! Barakoak ingin menumpas habis aliran silat
keluarga Sabang Wirata."
"Siapa Sabang Wirata itu?"
"Eyang buyut kami!" jawab Menik dengan suara
kecilnya yang bening.
Pendekar Mabuk manggut-manggut setelah mendapat
penjelasan singkat itu. Ia merenung beberapa saat,
kemudian terdengar suara Menik bicara lagi kepadanya.
"Sebaiknya kita keluar sekarang juga. Kita pindah
tempat persembunyian?!"
"Pindah tempat persembunyian?!" gumam Suto. "Jadi
kita di sini bersembunyi?!"
"Kita bersembunyi dari amukan si Badai Kutub."
"Badai Kutub?! Siapa si Badai Kutub itu, Menik?!"
"Orang kepercayaan si Raja Iblis itu! Biasanya kalau
Badai Kutub sudah turun tangan, berarti Barakoak mulai
dibakar kemarahan. Dan agaknya keluargakulah yang
dijadikan sasaran kemarahan si Barakoak."
"Tapi... tapi dari mana kau tahu kalau si Barakoak
sudah dibakar kemarahan? Dari mana kau tahu kalau si
Badai Kutub sudah turun tangan?!" tanya Pendekar
Mabuk dengan wajah penuh keheranan. Gadis kecil yang
cerdas itutersenyum angkuh.
"Ternyata aku lebih sakti darimu!" ujar si kecil
Menik. Suto Sinting hanya tersipu-sipu sambil garuk-
garuk kepala. Ia pun membatin kata,
"Barangkali Menik mempunyai ilmu teropong jiwa.
Tapi anak sekecil dia apakah benar punya ilmu teropong
jiwa? Padahal ilmu teropong jiwa hanya dimiliki oleh
orang-orang yang sudah mampu mengendalikan indera
keenamnya. Atau... aku sedang ditipu oleh si mungil
yang cerdas itu?! Nyatanya sebelum aku dan dia masuk
ke gua ini, tak ada orangyang bernama Badai Kutub dan
menampakkan kemarahannya?! Ah, kurasa si mungil
tengil ini memangpandai membual!"
Pendekar Mabuk akhirnya tertawa sendiri ketika ia
mengikuti saran Menik untuk keluar dari dalam gua
tersebut.
*
* *