Pendakar Mabuk 52 - Gundik Sakti(2)

Lanjutan
4
MENDUNG sore mulai hadirkan gerimis merintik ke
bumi. Pendekar Mabuk sudah berhasil sadarkan si cantik
Rara Santika.
Ternyata perempuan itu hanya pingsan
tanpa luka parah, ia segera siuman setelah Suto
mengguncang-guncangkan tubuhnya dan menampar-
nampar pelan pipinya.
"Mengapa kau sampai terkapar di sini?"
"Seseorang yang tak kulihat telah melemparkan
diriku dan, uuuuh...! Tulang punggungku terasa patah.
Sakit sekali!" Rara Santika merintih pelan.
"Minumlah tuakku biar rasa sakitmu hilang."
"Tak usah," katanya pelan, ia berusaha bangkit
dengan wajah menyeringai. Baru setengah duduk sudah
jatuh terkulai lagi.
"Aduuuh...!" rintihnya lagi. "Rupanya beberapa
uratkumenjadi putus akibat jatuhterkapar di sini. Oooh..
tolonglah aku. Angkatlah aku ke tempat yang aman,
Suto."
Pendekar Mabuk tak tega mendengar rintihan itu, ia
segera mengangkat tubuh Rara Santika yang berdada
sekal dan montok itu. Ia membawanya ke suatu tempat
yang berpohon rindang. Saat itulah gerimis sore mulai
turun membasahi bumi.
"Kita harus mencari tempat meneduh," kata Suto
Sinting, tak jadi meletakkan tubuh Rara Santika di
bawah pohon rindang. Perempuan itu berkata dengan
nada masih menahan rasa sakit.
"Seingatku, di tepian sungai ini ada reruntuhan biara
bekas milik Perguruan Bangau Hitam yang telah hancur.
Kurasa di sana ada tempat untuk meneduh sementara,
Suto. Bawalah aku ke sana!"
"Ke mana arahnya, aku tak tahu!"
"Berjalanlah ke arah hulu sungai, jangan jauh dari
tepiannya supaya kita tidak tersesat ke dalam hutan.
Reruntuhan biara itu ada di tepian sungai ini."
Pendekar Mabuk tak banyak pertimbangan lagi,
segera bergerak ke arah hulu sungai. Ternyata
reruntuhan bekas biara itu memang ada. Bangunan
tersebut sudah tampak tua, dinding dan lantainya
berlumut dan berwarna hitam. Atapnya sudah hancur,
tampak hitam karena bekas terbakar.
Sekalipun biara itu telah runtuh dan porak poranda,
namun agaknya ada tempat yang bisa dipakai untuk
berteduh. Tempat itu adalah sebuah ruangan bawah
tanah yang mempunyai jalan masuk melalui halaman
samping. Rara Santika yang menunjukkan adanya
ruangan bawah tanah itu, sehingga Suto Sinting sempat
curiga dan segera ajukan tanya kepada perempuan cantik
itu.
"Agaknya kau tahu persis tentang bangunan ini.
Apakah dulu kau pernah tinggal di biara ini?"
"Aku hanya pernah tersesat di daerah ini, lalu
kutemukan bangunan ini dan kupakai sebagai tempat
bersembunyi dari kejaran lawanku."
Pendekar Mabuk menggumam panjang dan manggut-
manggut. Keadaan ruangan yang gelap menimbulkan
rasa pengap dan sesak di pernapasan., Suto Sinting
terpaksa segera mencari kayu kering yang belum terkena
gerimis. Beberapa potong kayu papan dan dahan pohon
kering masih bisa diselamatkan untuk digunakan sebagai
tumpukan api unggun.
Ruangan bawah tanah menjadi terang setelah Suto
nyalakan api unggun dengan menggunakan dua batu
marmer yang digesekkan dan menimbulkan percikan api
yang segera membakar rumput kering. Rumput itu
segera membakar batang-batang kayu atau apa saja yang
dijadikan tumpukan api unggun.
Ruangan bawah tanah itu ternyata tidak sekotor
tempat lainnya. Lantai yang berubin itu tampak bersih
pada bagian tengah ruangan yang cukup lebar.
Sepertinya tempat itu digunakan oleh seseorang sebagai
tempat tinggal atau persembunyian sementara. Itulah
sebabnya Rara Santika tak keberatan ketika tubuhnya
dibaringkan di lantai tersebut.
"Lantainya cukup bersih, aku yakin ruangan ini ada
penghuninya. Hanya saja, mungkin sekarang
penghuninya sedangpergi," kata Suto Sinting.
"Dugaanmu benar," kata Rara Santika sambil masih
sesekali menahan rasa sakit dengan menggigit bibir atau
memejamkan mata kuat-kuat. Ia berkata tanpa
memandang Suto, melainkan menoleh ke kanan-kiri,
memperhatikan keadaan ruangan yang mirip tempat
berlatih bagi para mantan murid Perguruan Bangau
Hitam.
"Seorang temanku yang gemar berburu pernah
menceritakan tempat ini. Katanya, ia sering bermalam di
sini jika seharian tak mendapatkan binatang buruannya.
Bahkan ia pun pernah membawa pasangan kencannya ke
sini, karena menurutnya tempat ini mudah menimbulkan
gairah dan hasrat untuk bercumbu dengan lawan
jenisnya. Dan... dan sekarang pun aku merasakan ada
gelombang udara yang mampu membangkitkan
keindahan cinta dalam bayanganku. Apakah kau tak
merasakannya, Suto?"
Pendekar Mabuk hanya sunggingkan senyum tipis,
tangannya sibuk menatap susunan kayu agar api unggun
tak menjadi padam. Sekalipun gundukan api unggun itu
sangat kecil, namun Suto akan sangat menyayangkan
jika harus padam. Karena nyala apinya sangat berguna
bagi penerangan. Gerimis yang mulai berubah menjadi
hujan, dan hujan yang menghembuskan udara dingin,
ternyata dapat diusir dengan kehangatan uap api
tersebut.
"Minumlah tuakku supaya rasa sakitmu itu hilang dan
kau menjadi sehat seperti sediakala," bujuk Suto Sinting
setelah ia sendiri meneguk tuaknyatiga kaii.
"Aku tidak doyan tuak. Biarlah rasa sakitku ini akan
kusembuhkan sendiri dengan hawa murniku," kata Rara
Santika sambil merapikan sikap berbaringnya, karena ia
ingin menyalurkan hawa murninya ke seluruh tubuh.
"Jangan mengajakku bicara dulu," katanya lagi,
kemudian ia segera pejamkan mata. Kedua tangannya
saling merapatkan telapak tangan di dada. Suto Sinting
membiarkan, hanya memandangi dengan seulas senyum
kekaguman masih membias di bibir.
"Menggairahkan sekali dia," pikir Suto Sinting.
"Seolah-olah setiap lekuk tubuhnya menghadirkan daya
pikat yang tinggi, membuat alam pikiranku menjadi
jorok! Untung aku masih ingat bahwa mempunyai calon
istri yang tak mungkin bisa kukhianati. Dyah
Sariningrum, calon istriku itu, pasti akan mengetahui
jika aku berbuat serong dengan perempuan lain, karena
di negerinya sana; Puri Gerbang Surgawi yang ada di
Pulau Serindu, ia selalu memantauku menggunakan
teropong batinnya. Aku tak mau mengecewakan hatinya
dengan melakukan pergumulan bersama perempuan lain.
Aku tak mau menodai cintaku hanya karena kecantikan
dan keelokan Rara Santika."
Benak boleh saja berpikiran seperti itu, tapi hati kecil
Suto dibuat gelisah oleh debar-debar keindahan
manakala ia memandang kecantikan dan kemulusan
dada Rara Santika. Repotnya lagi, Suto mengalami
kesulitan saat ingin palingkan pandangan ke arah lain.
Rasa-rasanya lehernya tak bisa digerakkan untuk
berpaling ke arah lain. Matanya tak bisa dikedipkan
setelah beberapa saat lamanya pandangi tubuh Rara
Santika yang sedang berbaringtenang itu.
"Gawat! Kenapa aku jadi sukar berpaling ke arah
lain? Hatiku tak mau diajak untuk memandang tempat
lain. Rasa-rasanya persendian di leherku terpaku mati
dan hasratku tercurah kepadanya."
Pendekar Mabuk masih jongkok di dekat api unggun
kecil. Jarak api unggun dengan tempat Rara Santika
berbaring hanya tiga jangkah. Tentu saja Suto dapat
memandang jelas kecantikan yangmenggiurkan itu.
"Kurasa dia bukan perempuan sembarangan.
Setidaknya keluarga seorang bangsawan atau saudagar
kaya. Tubuh dan kecantikannya sangat terawat. Kulitnya
putih bersih, perhiasannya lengkap, jari-jarinya lentik
berkuku runcing rapi menandakan setiap hari terjaga
perawatannya. Belum lagi..., hei gelang itu?!"
Suto Sinting berkerut dahi menemukan kejanggalan
yang mengherankan. Jantung pun berdetak-detak ketika
matanya memandang ke arah gelang yang dikenakan
tangan kanan Rara Santika.
"Gelang itu... oh, gelang itu bermata merah delima
berbutir-butir. Bukankah tangan yang kulihat terjulur
dari dalam tandu hitam saat menyerahkan dan menerima
cawan tadi adalah tangan yang bergelang merah delima
berbutir-butir? Ya, aku yakin tangan itulah yang keluar
dari tandu hitam saat meminta air kepada pengawal?!"
Detak jantung Pendekar Mabuk semakin keras.
Keyakinannya tentang tangan bergelang merah delima
itu membuat tubuhnya sedikit gemetar dan napasnya
mulai sesak karena desakan rasa kaget, ia buru-buru
meneguk tuaknya untuk menghilangkan ketegangan.
Ternyata setelah meneguk tuak, rasa tenang dikuasai
kembali oleh Suto Sinting.
"Hmmm... ya, ya... sekarang aku tahu; Rara Santika
itulah si Gundik Sakti. Saat kedua orang kakak beradik
mati tercekik, Rara Santika tidak ada di sampingku.
Setelah mereka mati, kulihat ia terkapar di seberang
sungai. Kurasa ia tadi berpura-pura pingsan, dan
berpura-pura lumpuh agar dapat kupeluk dalam
gendongan. Hmmm... pancaran kecantikannya yang
begitu memikat hati itu bukan sekadar pancaran daya
pikat perempuan biasa, melainkan dibarengi kekuatan
ilmu pemikatnya yang belum digunakan sepenuhnya."
Napas Pendekar Mabuk ditarik dalam-dalam.
Pandangan matanya masih tertuju pada Rara Santika
yang masih tetap berbaring dengan kedua telapak tangan
saling merapat di dada.
"Ilmunya memang tinggi," ujar Suto, masih di dalam
hatinya, "Ia dapat keluar dari tandu tanpa kuketahui
gerakannya, ia dapat pergi dari sampingku tanpa
kudengar suara gerakannya. Jika bukan orang berilmu
tinggi tak mungkin bisa mengecohku dengan cara seperti
itu. Kalau sudah begini, apa yang kulakukan sekarang?"
Dalam diam otak Suto bekerja mencari cara terbaik
yang harus dilakukan. Pertimbangan demi pertimbangan
dipikirkan masak-masak. Walau sebenarnya bisa saja
Suto membunuh Gundik Sakti saat itu juga, namun ia tak
mau lakukan dengan gegabah. Salah-salah serangannya
akan membalik dan dirinya sendiri yang akan terbunuh
oleh kesaktian si Gundik Sakti.
"Sebaiknya kubiarkan diriku dibawanya ke Gua
Tumbal Perawan. Di sanalah saat yang baik untuk
menghancurkannya, sekaligus menghancurkan para
pengikutnya dan tempat sesat yang disebut desa
Lambung Bumi itu. Selama ia belum membawaku ke
sana, akan kudampingi terus dirinya, sehingga aku dapat
mengetahui apa saja rencana sesat yang akan
dilakukannya. Kurasa memang ada baiknya aku berlagak
tidak mengetahui siapa dirinya."
Hujan semakin deras, malam pun hadir bersama
udara dingin dan angin menderu berganti-ganti arah.
Tanpa disadari Suto Sinting tertidur di dekat perapian, ia
bagai terkena sirep, rasa kantuk datang begitu cepat dan
sangat tiba-tiba. Tidurnya nyenyak sekali, tak terganggu
oleh suara dan gerakan apa pun.
Saat ia terbangun, ternyata hari sudah lewat dari pagi.
Matahari telah pancarkan sinarnya dengan terang. Langit
pun bersih tanpa mendung segumpal pun. Dan sesuatu
telah terjadi sangat mengejutkan hati si pemuda tampan
itu.
Hampir saja Suto Sinting terpekik keras ketika ia
menyadari dirinya dalam keadaan tidak berbusana
selembar benang pun. Ia buru-buru bangkit dan
merapatkan kedua kakinya dengan wajah tegang. Celana
dan bajunya tergeletak di lantai dalam jarak tiga
jangkauan. Bumbung tuaknya ada di dekat pakaian
tersebut.
"Celaka! Apa yang telah terjadi pada diriku?!
Mengapa aku jadi telanjang begini? Siapa yang
menelanjangiku?" pikir Suto sambil matanya diarahkan
kepada Rara Santika.
Perempuan itu masih berbaring di tempatnya dalam
keadaan kedua tangan masih merapat di dada. Keadaan
tubuhnya tak ada yang bergeser sedikit pun, jaraknya
pun masih tetap sama dengan saat dipandangi dan
direnungi Suto kemarin petang.
"Rupanya ia tertidur nyenyak juga," ujar Suto
membatin. "Tapi mengapa pakaiannya masih utuh
sedangkan pakaianku sudah mental ke sana? Kalau
begitu bukan dia yang menelanjangiku? Lantas siapa
orangyang seusil dan seberani ini padaku?!"
Pakaian segera diraih, lalu buru-buru dikenakan.
Karena terburu-buru, kedua kaki Suto sampai masuk
dalam satu kaki celana, sehingga ia sulit melangkah.
Dengan hati penuh gerutu keadaan itu dibetulkan, ia tak
ingin Rara Santika terbangun pada saat ia masih
telanjang.
"Apa yang terjadi semalam pada diriku? Apakah aku
diperkosa seseorang? Hmmm... rasa-rasanya tak ada
gerakan apa pun yang membangunkan tidurku? Mimpi
bercumbu pun tidak. Bahkan aku tidak tahu apakah
semalam aku bermimpi atautidak?"
Rara Santika terbangun ketika Pendekar Mabuk
selesai menenggak tuaknya tiga tegukan. Suto sempat
menggeragap saat perempuan cantik itu terbangun,
namun buru-buru berhasil menenangkan diri dengan
berlagak sunggingkan senyum menawan sebagai senyum
penyambut pagi.
"Badanku terasa enteng sekali," ujar Rara Santika
sambil berdiri dan menggeliat melepas kesegarannya
"Sudah tak merasa sakit lagi?"
"Tidak," jawab Rara Santika. "Aku malah merasa
lebih segar dari sebelumnya. Rupanya aku terlalu lama
lakukan semadi penyembuhan, ya?"
"Semalaman aku terbaring di situ. Mungkin kau
tertidur."
"Ya, memang tertidur. Biasanya tak sebegitu lama
dalam melakukan penyembuhan."
"Apakah kau tak terbangun sedikit pun selama
semalam?" tanya Suto menyelidik secara halus.
"Apakah kau melihat aku terbangun dari semadiku?"
Rara Santika ganti bertanya membuat Suto Sinting
bingung menjawab. Yang dilakukan hanya tersenyum
tipis dan mengalihkan pandangan matanya ke arah jalan
keluar dari ruangan itu yang diterobos pancaran sinar
matahari.
Saat tangan Suto meraup wajahnya sendiri untuk
menyegarkan pandangan matanya, tiba-tiba ia mencium
wewangian pada telapak tangannya. Wewangian itu
serupa betul dengan wewangian yang ada di tubuh Rara
Santika. Pendekar Mabuk sembunyikan rasa curiganya,
ia sengaja keluar dari ruangan itu lebih dulu dengan
langkah santai.
Sampai di luar ia mencium lengannya sendiri.
"Hmmm... lenganku berbau harum, sama dengan
keharuman yang menyebar dari tubuh Rara Santika?"
Suto masih penasaran, ia segera jongkok dan
mencium pahanya sendiri. Ada aroma wangi di balik
kain celana putihnya yang kusam itu. Wewangian itu
juga sama dengan wewangian di tubuh Rara Santika.
Kecurigaan semakin besar dan hatinya kian gundah.
"Apakah ini bau keringat? Jika benar keharuman ini
adalah keringat Rara Santika, berarti semalam ia telah
berhasil menggelutiku?!"
*
* *
5
MENURUT Rara Santika, tak jauh dari tempat itu
ada sebuah desa. Di sana mereka bisa dapatkan makanan
sebagai pengisi perut. Suto Sinting segera mengajak
Rara Santika untuk mencari kedai di desa tersebut.
"Kau saja yang ke sana," ujar Rara Santika. "Aku
menunggumu di sini. Bawalah makanan kemari dan kita
makan bersama di sini."
"Mengapa kau tak mau pergi ke desa itu? Mengapa
harus menunggu di sini?" tanya Suto bernada curiga.
Rara Santika tidak langsung menjawab, melainkan
diam termenung beberapa saat. Setelah Suto mengulangi
pertanyaannya, perempuan cantik itu pun akhirnya
menjawab dengan suara lirih bernada duka, tubuhnya
disandarkan di sebuah pohon yangmenjulangtinggi.
"Kehadiranku di desa itu hanya akan menimbulkan
masalah."
"Masalah apa?" desak Suto semakin ingintahu.
"Kesalahpahaman."
Perempuan itu menjawab pendek sambil menatap
bola mata Pendekar Mabuk. Jaraknya yang hanya dua
langkah itu membuat Suto dapat rasakan getaran lembut
pada setiap tatapan mata Rara Santika. Ia mencoba untuk
bertahan dengan tetap mengadu tatapan mata, sampai
akhirnya Rara Santika membuang pandangannya karena
merasa tak sanggup beradu pandangan dengan Suto
terlalu lama. Pada saat itu, Suto memang lepaskan jurus
'Senyuman Iblis' yang mampu membuat lawan jenisnya
terpikat dan tak berdaya.
"Jika aku datang ke sebuah desa, pasti akan timbul
pertarungan yang disebabkan oleh salah paham mereka."
Suto berkata dalam hati, "Dia ingin mencari dalih
untuk hindari kecurigaanku. Hmmm... sebaiknya
memang kupancing dengan meninggalkan dirinya
sendirian di tempat ini!"
Kemudian Rara Santika hentikan ucapannya, Suto
Sinting buru-buru berkata kepadanya,
"Kau tak akan pergi ke mana-mana jika kutinggal
pergi mencari kedai?"
Rara Santika menggeleng tanpa mau memandang
Suto.
"Akan kutunggu di sini sampai kapan pun. Sebelum
kau datang akutak akan pergi dari sini."
"Baiklah, jika begitu aku harus pergi dan kembali
secepatnya agar kau tak terlalu lama menunggu," balas
Suto seakan juga mempunyai kesetiaan.
"Semakin cepat kau datang semakin baik, Suto," ucap
Rara Santika sambil memandang sebentar, lalu buang
muka lagi karena senyuman Suto mengguncangkan
hatinya cukup parah. Jurus 'Senyuman Iblis' akan
melumpuhkan kekerasan hati seorang wanita dan
membakar gairah jika wanita itu tidak berilmu cukup
tinggi. Agaknya Rara Santika masih mampu menahan
gejolak hati yang dibakar hasrat bercinta, dan itu berarti
ia mempunyai ilmu cukup tinggi.
Suto Sinting tidak benar-benar pergi ke desa untuk
mencari kedai, ia hanya memutar arah, lalu mengintai
Rara Santika dari kejauhan. Perempuan itu tampak
mondar-mandir dengan gelisah di depan reruntuhan
biara. Sesekali ia duduk termenung, sesekali berdiri di
tepian sungai, melempar ranting-ranting kecil ke
permukaan air sungai.
"Dia tak pergi ke mana-mana?" kata Suto membatin.
"Padahal dia bisa saja lari dan meninggalkan diriku. Dia
bisa saja pulang ke Gua Tumbal Perawan, lalu aku akan
mengikutinya. Tapi kenapa hal itu tidak dilakukannya?
Apakah ia sedang menunggu orang lain di tempat itu?
Atau... atau barangkali ia tahu kalau aku mengintipnya
dari suatu tempat, sehingga ia berlagak setia dalam
penantian?"
Agaknya Pendekar Mabuk pun bertahan di tempat
persembunyiannya, ia sengaja membiarkan perempuan
itu menunggu dengan gelisah. Untuk membuang
kegelisahannya, Rara Santika melatih gerakan-gerakan
silatnya dengan kecepatan tinggi. Suto Sinting justru
semakin betah di balik pengintaiannya. Setiap jurus
dicatat dalam benak Suto dan dipelajari kelemahannya.
"Gerakannya sungguh cepat, hampir tak bisa kuikuti
dengan pandangan mata," ujar Suto dalam hatinya.
"Gerak tipuannya pun cukup bagus, mampu
mengecohkan lawan selincah apa pun. Setiap gerakan
mengandung gelombang tenaga dalam yang membuat
pohon-pohon bergetar, semak-semak tersibak, dan daun-
daun kering di sekitarnya beterbangan. Kuakui ia
mempunyai jurus-jurus yang hebat. Sukar dipatahkan
lawannya. Hmmm... jika nanti aku harus melawannya,
harus kugunakan permainan jarak jauh agar gerakannya
tak mudah mengenaiku."
Tiba-tiba seberkas sinar merah melesat dari balik
semak. Sinar merah itu berbentuk seperti lidah api yang
menghantam punggung Rara Santika. Wuuuusss...!
Pada saat itu, Rara Santika sedang lakukan gerak
pengendalian napas karena ia ingin menghentikan
latihannya. Kedua kaki berdiri rapat dengan kedua
tangan terangkat ke atas dan diturunkan pelan-pelan
dalam satu tarikan napas. Namun sebelum kedua
tangannya turun sampai ke bawah, ia terpaksa harus
berputar arah dengan cepat dan telapak tangan kirinya
menghentak ke depan. Wuuut...!
Claaap...!
Selarik sinar hijau muda terlepas dari telapak tangan
kiri. Sinar hijau muda itu menghantam kedatangan sinar
merah dari balik semak-semak.
Zuuub...! Blaaarrr...!
Rara Santika berhasil pecahkan sinar merah yang
ingin merenggut nyawanya itu. Ledakan besar terjadi
dalam sekejap, namun gemanya masih membahana dan
gema itu mampu getarkan pepohonan besar, bahkan
sempat tumbangkan pohon-pohon kecil yang ada di
sekitarnya.
Rara Santika tersentak ke belakang, tubuhnya
melayang bagai terbuang. Namun ia cepat kendalikan
keseimbangan tubuh, sehingga dalam satu gerakan salto
ia mampu mendaratkan kakinya ke tanah dengan baik.
Jleeg...! Ia berdiri tegak menghadap ke arah datangnya
sinar merahtadi.
"Keluar kau. Setan! Untuk apa bersembunyi di balik
semak, karena aku dapat membunuhmu dari sini
sekarang juga?!"
Wuuuuusss...! Sesosok tubuh melompat dari balik
semak. Orang itu bersalto dua kali di udara, lalu dalam
sekejap sudah berada di depan Rara Santika dalam jarak
empat langkah. Suto Sinting sempat terbelalak kaget
melihat kehadiran orang tersebut, sebab ia merasa kenal
dengan tokoh yang baru saja muncul dari semak-semak.
"Jejak Setan...?!" gumam Suto pelan sekali. Lelaki
bertampang seram yang mengenakan pakaian serba
hitam itu berusia sekitar lima puluh tahun. Suto Sinting
belum lama ini berhadapan dengan si Jejak Setan, murid
dari mendiang Pelacur Tua yang bernama Nyai Pegat
Raga. Sekalipun Jejak Setan bertubuh kekar, namun
Suto Sinting sempat membuatnya lari terbirit-birit ketika
Suto melindungi Resi Pakar Pantun yang nyaris
ditumbangkan oleh si Jejak Setan, (Baca serial Pendekar
Mabuk dalam episode : "Sabuk Gempur Jagat").
Untuk menyadap pembicaraan Jejak Setan dengan
Rara Santika, Suto terpaksa gunakan jurus 'Sadap Suara'
yang mampu mendengarkan percakapan dari jarak jauh
itu. Pandangan matanya tetap terarah kepada Rara
Santika, sementara hatinya bertanya-tanya,
"Persoalan apa yang membuat Jejak Setan tahu-tahu
menyerang Rara Santika? Apakah ia tahu siapa Rara
Santika sebenarnya?"
Jejak Setan tampak menggeram dengan sikap
bermusuhan yang tak dapat ditawar-tawar lagi. Pancaran
matanya menandakan ada dendam yang menuntut
kematian Rara Santika.
Terdengar si Jejak Setan berkata penuh geram,
"Akhirnya kutemukan juga kau di tempat ini, Iblis
Betina!"
"Siapa kau? Aku tidak mengenalmu!" ketus Rara
Santika.
"Hmmm...!" Jejak Setan mencibir sinis. "Boleh saja
kau berlagak tidak mengenalku, tapi tentunya kau ingat
dengan Sarasati, muridku yang masih muda belia itu?!
Baru punya satu murid sudah kau ambil sebagai tumbal
dengan kelicikanmu! Sebagai guru seorang murid yang
masih perawan, aku berhak menuntut balas atas
kematiannya di tanganmu!"
"Kau salah paham! Aku tidak lakukan apa pun
terhadap muridmu, bahkan baru sekarang kudengar
nama Sarasati sebagai muridmu! Siapa kau
sebenarnya?!"
"Jejak Setan!" sentak orang bermata lebar itu sambil
menepuk dadanya sendiri keras-keras. "Kau pasti ingat
dengan nama Jejak Setan, murid mendiang Nyai Pegat
Raga!"
"Aku tahu tentang Nyai Pegat Raga, si Pelacur Tua
Itu. Tapi aku tak tahu kalau ia mempunyai murid yang
bernama Jejak Setan!"
"Tahu atau tidak masa bodoh! Yang penting sekarang
kau harus menebus nyawa muridku itu!"
"Kuingatkan, jangan berselisih denganku. Kau bisa
celaka sendiri, Jejak Setan!"
"Aku bukan anak kecil yang perlu kau takut-takuti
dengan gertakanmu! Sekian lama aku mencarimu.
Gundik Sakti, baru sekarang bisa kujumpa dan tak
mungkin akan kubiarkan pergi dalam keadaan hidup!"
Jejak Setan segera menyerang dengan satu lompatan
liarnya. "Heeaaat...!"
Rara Santika sentakkan kaki dan tubuhnya melesat
lurus ke atas mengimbangi ketinggian lompatan Jejak
Setan. Tendangan kaki kekar si Jejak Setan ditangkis
dengan telapak kaki Rara Santika, sehingga mereka
beradu kaki dua kali berturut-turut. Plak, plak...!
Pada saat tubuh mereka bergerak turun, Jejak Setan
lepaskan pukulan bertenaga dalam melalui kepalan
tangannya, tapi Rara Santika menahan pukulan itu
dengan sentakkan telapak tangannya.
Plak, plak...!
Jleeg...! Keduanya sama-sama mendarat, berdiri
tegak dan saling menyerang kembali. Jejak Setan putar
tubuhnya dengan cepat dan kaki pun berkelebat. Rara
Santika berusaha menangkis pukulan itu. Plak....!
Namun tiba-tiba kaki Jejak Setan yang satu lagi
menyentak dalam putaran balik dan kenai pangkal
pundak Rara Santika. Dees. .!
Brrruk...! Rara Santika jatuh terpelanting ke kiri.
Kesempatan itu dipergunakan oleh Jejak Setan untuk
melepaskan pukulan tenaga dalam tanpa sinar dari jarak
dua langkah. Wuuut...!
Beehg...!
"Uuhg...!" Rara Santika tersentak dalam pekikan
tertahan. Dadanya terkena gelombang tenaga dalam yang
dilepaskan dari telapak tangan Jejak Setan. Tubuhnya
sempat terjungkal ke belakang satu kali.
Jejak Setan tak mau berhenti sampai di situ saja.
Serta-merta ia maju menyerang dengan kakinya. Namun
pada saat itu Rara Santika telah berhasil berdiri dengan
satu lutut. Tendangan kaki lawan segera ditangkap
dengan tangan kiri. Taaab...! Lalu tangan kanannya
menghantam tulangkering lawan. Beed, kraaak...!
"Aaaoow...!" Jejak Setan memekik kesakitan dengan
mata terpejam kuat-kuat.
Rara Santika berdiri dan sentakkan tangan kanannya
dalam keadaan kelima jari mengeras lurus dan
menyodok ulu hati lawan. Suuut...! Deeeb...!
"Uuuhhg...!" Jejak Setan melengkung ke depan
dengan mata mendelik, mulutnya yang ternganga segera
muntahkan darah kental yang hampir-hampir kenai
tubuh Rara Santika kalau saja perempuan itu tidak
segera gulingkan tubuh ke belakang dan cepat berdiri
tegak dalam satu hentakan.
Kedua tangan terangkat dengan jari masih lurus
merapat. Pada saat itu Suto Sinting sengaja datang
dengan jurus 'Gerak Siluman'-nya, bermaksud mencegah
pukulan berbahaya selanjutnya. Tapi ia terlambat; kedua
tangan Rara Santika sudah lebih dulu bergerak cepat
menghantam pelipis kanan-kiri si Jejak Setan. Praaak...!
"Aaaahh...!" Jejak Setan memekik panjang dengan
tubuh terhuyung-huyung, telinga, hidung bahkan
matanya mengeluarkan darah kental. Tulang kepalanya
retak akibat hantaman yang menggencet ke dua
pelipisnya itu.
'Aaahg, aaahg, aaahg...!" Jejak Setan mengejang-
ngejang di tanah. Beberapa saat kemudian segera
hembuskan napas panjang-panjang, lalu diam tak
bergerak karena ditinggal pergi oleh rohnya.
Pendekar Mabuk tertegun bengong pandangi
kematian Jejak Setan. Rasa sesal timbul dalam hatinya
karena ia terlambat mencegah hantaman Rara Santika.
Semula ia pikir Jejak Setan mampu bertahan dan akan
larikan diri sebelum mengalami luka parah tapi ternyata
Rara Santika tak memberi kesempatan kepada Jejak
Setan untuk larikan diri. Serangannya yang beruntun
telah membuat lawannya tumbang dan tak bernyawa
lagi.
Ketika pandangan mata Suto dan Rara Santika
bertemu, perempuan itu menampakkan sikap kesalnya,
seakan tak mau disalahkan. Bahkan ia berkata dengan
nada dingin.
"Dia menyerangku lebih dulu. Sudah kuperingatkan
agar jangan menyerangku tapi ia nekat. Aku sekadar
membela diri untuk selamatkan nyawaku!"
"Kita tinggalkan saja tempat ini! Kau ikut aku ke desa
mencari kedai!"
"Aku...," Rara Santika belum selesai bicara, tapi Suto
Sinting sudah lebih dulu pergi. Mau tak mau perempuan
itu mengikutinya, ia berkelebat mengimbangi kecepatan
gerak Suto Sinting. Setibanya di perbatasan sebuah desa,
mereka hentikan langkah karena tangan Suto Sinting
ditahan oleh Rara Santika.
"Aku menunggu di bawah pohon tepi hutan itu saja,"
katanya kepada Suto.
"Tidak. Kau harus ikut. Jika kau sendirian kau akan
diserang orang lagi."
"Jika aku ikut pun akan lebih banyak yang
menyerangku."
"Mengapa kauyakin akan begitu?"
"Karena banyak orang yang menyangkaku sebagai si
Gundik Sakti."
"Hahh...?!" Suto Sinting terkejut, bukan karena
mendengar nama si Gundik Sakti, namun karena
pengakuan Rara Santika yang seolah-olah merasa
dirinya bukan Gundik Sakti. Tak heran jika mata Suto
Sinting pun memandang tajam kepada Rara Santika dan
benaknya mulai diliputi kebimbangan.
Seorang petani lewat tak jauh dari mereka. Petani
bertudung anyaman daun pandan itu dalam perjalanan
pulang dari sawahnya. Suto Sinting dekati petani itu,
melakukan percakapan sebentar, menyerahkan sekeping
uang, dan petani itu segera melepas tudung pandannya.
Suto segera kembali temui Rara Santika.
"Kenakan tudung ini jika kau takut dikenali orang
sebagai si Gundik Sakti. Kita bicarakan di kedai saja!"
Kedai itu sepi pembeli. Mungkin karena banyaknya
kedai di desa itu, sehingga tidak semua kedai ramai
pembeli. Sebuah kedai yang sepi sengaja dipilih oleh
Suto sebagai tempat mengisi perut mereka, sekaligus
mengisi bumbung tuaknya. Kedai yang sepi merupakan
tempat yang baik bagi Suto untuk mengulas tentang
perkataan Rara Santika tadi, yang merasa takut disangka
orang sebagai Gundik Sakti.
"Kalau begitu kau bukan Gundik Sakti?" Suto bicara
pelan karena tak mau percakapan itu didengar orang lain.
"Sudah kubilang, namaku Rara Santika. Aku bukan si
Gundik Sakti. Selama ini mereka salah paham padaku."
Walau sebagian wajahnya tertutup tudung pandan,
namun Pendekar Mabuk dapat melihat kesungguhan
wajah Rara Santika dalam menuturkan kata-kata itu.
Wajah cantik itu tampak murung memendam kesedihan,
sepertinya ia dipaksa hanyut dalam penderitaan nasib
hidupnya.
"Di mana pun aku berada, aku selalu dimusuhi orang,
karena mereka menganggapku sebagai si Gundik Sakti.
Mereka selalu menuduhku menculik gadis-gadis
perawan untuk dijadikan tumbal di Bukit Sangkur,
padahal aku tidak melakukan tindakan sekeji tuduhan
mereka."
"Kau kenal dengan Resi Pakar Pantun?" pancing
Suto.
"Resi Pakar Pantun...?" Rara Santika menggumam
lirih, lalu merenung sebentar. Tak lama kemudian
suaranya terdengar lagi dengan pelan.
"Aku pernah mendengar nama itu; kalau tak salah ia
pemilik pusaka PisauTanduk Hantu."
"Ya, memang dia pemiliknya. Tapi apakah kau tak
pernah bertemu dengan Resi Pakar Pantun?"
"Belum pernah," jawab Rara Santika dengan mata
memandang dari balik tepian tudung pandannya.
"Kau kenal dengan Tembang Selayang?"
"Tembang Selayang?! O, kurasa baru sekarang
kudengar nama itu. Siapa Tembang Selayang itu?"
Suto sunggingkan senyum tipis berkesan kurang
percaya, "Ia seorang sahabatku."
"Apa maksudmu menanyakan nama-nama mereka
kepadaku?"
"Mereka sedang mencari Gundik Sakti dan ingin
bikin perhitungan, karena sahabat ataupun murid mereka
menjadi korban penculikan si Gundik Sakti."
"Yang jelas mereka bukan mencariku. Gundik Sakti
bukan Rara Santika."
"Lalu, siapa Gundik Sakti itu sebenarnya jika bukan
kau?"
"Gundik Sakti adalah Rara Sumina."
Dahi Suto Sinting berkerut. "Siapa Rara Sumina itu?
Jelaskanlah!"
"Rasa Sumina adalah saudara kembarku," jawab Rara
Santika dengan pelan, sepertinya berat sekali melepas
kata-kata tersebut, ia menarik napas satu kali, kemudian
berkata lagi tanpa memandang Suto Sinting yang duduk
di depannya.
"Sumina lahir setelah aku keluar dari kandungan Ibu.
Kami anak kembar, tapi karena aku lahir lebih dulu,
maka Sumina-lah yang menjadi adikku dan aku
kakaknya. Wajah kami sama persis, bahkan pakaian dan
ciri-ciri kami juga sama persis. Sumina sengaja tampil
serupa persis denganku, karena dengan begitu ia dapat
bersembunyi di balik kesamaannya denganku."
"Apakah kau juga tinggal di Gua Tumbal Perawan?"
Rara Santika menggeleng. "Sejak berusia empat
tahun kami berpisah, sebab perkawinan kedua orangtua
kami mengalami perceraian. Sumina diambil Ibu dan
aku dibesarkan oleh Ayah. Sayang keduanya kini telah
tiada, sehingga tak bisa dijadikan saksi bahwa aku bukan
Sumina, bukan si Gundik Sakti."
"Siapa nama ibumu?" pancing Suto ingin
mencocokkan dengan penjelasan Resi Pakar Pantun
tempo hari.
"Ibuku dikenal dengan nama Nyai Selir Iblis,
sedangkan ayahku dikenal dengan nama Ki Panjuru
Gesang."
"Hmmm... ya, nama ibunya persis seperti nama yang
disebutkan Resi Pakar Pantun," gumam Suto dalam
hatinya.
"Belasan tahun aku dan Sumina tidak pernah saling
jumpa, karena Ayah dan Ibu menjadi bermusuhan. Ayah
beraliran putih, sedangkan Ibu tak mau ikut aliran Ayah,
sehingga terjadilah perceraian itu. Sesekali aku
mendengar kabar tentang saudara kembarku itu, sesekali
pula Sumina mendengar kabar tentang kemajuanku.
Rupanya Ibu sangat tak suka padaku, sebab aku
mewarisi semua ilmu Ayah bahkan sampai perangai dan
sifat Ayah pun ada padaku. Sikap tak suka itu
menimbulkan permusuhan batin, sehingga Sumina selalu
berusaha menggunakan ciri-ciriku dalam melakukan
tindakan maksiatnya. Ia mempunyai mata-mata yang
sampai sekarang belum kuketahui siapa orangnya. Mata-
mata itu bertugas mengirim kabar tentang perubahan
dalam penampilanku, sehingga ia pun akan lakukan
perubahan dalam penampilan sepersis diriku. Bagi orang
yang sudah pernah bertemu langsung dengan adik
kembarku, ia akan menganggapku sebagai Sumina jika
kami saling bertemu di tempat lain."
"Apakah dari jenis perhiasan juga ditiru oleh
adikmu?"
"Benar. Corak dan warna perhiasan maupun pakaian
selalu diusahakan sepersis diriku. Dengan begitu, aku
tak bisa membaur dalam kehidupan di antara sesama,
karena ke mana pun aku berada selalu dimusuhi oleh
mereka, dianggap Sumina."
Pendekar Mabuk manggut-manggut dalam
renungannya. Hatinya masih diliputi keraguan atas
pengakuan itu. Namun ia justru penasaran dan ingin
mendapat keterangan lebih banyak lagi dari Rara
Santika.
"Aku menyangkamu sebagai Gundik Sakti karena
kulihat gelangmu sama persis dengan gelang orang yang
ada dalam tandu hitam itu."
Rara Santika diam sebentar, kemudian melepas
gelang berentet batuan merah delima. Gelang itu segera
diletakkan di telapak tangan Suto dan tangan itu
dipaksakan untuk menggenggam.
"Bawalah gelang ini, lalu bedakan antara aku dengan
Rara Sumina. Sekarang aku sudah tidak kenakan gelang
lagi, Sumina pasti masih kenakan gelang."
Pendekar Mabuk pandangi gelang itu sesaat,
kemudian segera berkata kepada Rara Santika, "Apakah
kau setuju jika aku melawan adik kembarmu?"
"Tidak," jawab Rara Santika dengan tegas-tegas.
"Kau tak boleh melawannya."
"Kenapa? Apa alasanmu melarangku begitu?"
"Sumina berilmu tinggi, karena ia mendapat kekuatan
dari iblis yang bernama Darahkula. Ia mempunyai ilmu
'Jarum Kemukus', yang bisa membuatnya lolos dari
kurungan serapat apa pun, asal ada lubang sebesar
jarum, ia bisa pindah ke tempat yang jauh, selama
tempat itu masih bisa dipandang oleh matanya."
"Hmmm... hampir sama dengan jurus yang dimiliki
Datuk Maragam yang bernama ilmu 'Kelana Indera',
sejauh mata memandang, sejauh itu pula ia bisa
pindahkan raganya," gumam Suto dalam hati saat
teringat tokoh tua bernama Datuk Maragam, (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode : "Peri Sendang
Keramat").
Rara Santika berkata lagi, "Selain itu, jurus andalan
yang paling berbahaya dan sukar ditandingi adalah jurus
'Bayangan Iblis', dapat membunuh lawan dari jarak jauh
dengan hanya membayangkan benda lain sebagai sosok
diri si lawan. Kemarin aku sempat melihat Dampak
Yogan dibunuhnya dengan jurus 'Bayangan Iblis',
setelah itu aku tak sadar lagi karena tubuhku merasa
disambar seseorang dan dilemparkan ke seberang
sungai."
"Pantas ia dapat lolos dari dalam tandu," gumam Suto
Sinting.
"Itulah sebabnya aku tidak setuju jika kau melawan
Gundik Sakti. Ilmu yang diwariskan oleh mendiang Ibu
kepada Rara Sumina bukan ilmu yang bisa dianggap
ringan oleh para tokoh rimba persilatan. Satu-satunya
lawan tandingnya adalah aku sendiri. Sebelum ayahku
meninggal, beliau sempat memberiku tugas untuk
melumpuhkan adik kembarku, jika bisa dilumpuhkan
tanpa harus membunuhnya, tapi jika terpaksa apa boleh
buat, semasa kematiannya itu demi keselamatan orang
banyak. Tetapi mendiang Ayah pun berpesan, jika aku
harus membunuh adikku, Gua Tumbal Perawan harus
dihancurkan pula, dan kekuatan si Darahkula harus
dimusnahkan. Itu berarti aku harus sudah siap mati
melawan orang-orang Bukit Sangkur yang berada dalam
pengaruh kekuatan si iblis Darahkula."
Pendekar Mabuk diam membisu dalam lamunan.
Namun hatinya masih saja resah dililit keragu-raguan.
Hati pun membatin berbagai pertanyaan yang
mengganggu ketenangan jiwa murid sinting Gila Tuak
itu.
"Benarkah yang kudengar ini sebuah pengakuan dai
jiwa yang jujur? Jangan-jangan hanya sebuah permainan
untuk mengelabuiku? Haruskah aku percaya?!"
*
* *
6
BERULANG kali Rara Santika menyarankan agar
Suto Sinting tidak coba-coba menantang pertarungan
dengan Gundik Sakti. Tetapi saran itu justru memacu
semangat Suto untuk segera menemui Gundik Sakti dan
lakukan pertarungan. Repotnya, kepercayaan Suto
Sinting kepada Rara Santika menjadi semakin tipis
setiap kali Rara Santika memberi saran untuk tidak
melawan Gundik Sakti.
"Dulu aku pernah terkecoh oleh saran baik seperti itu.
Ternyata justru orang yang memberiku saran itulah
musuh yang harus kuhadapi," pikir Suto Sinting sambil
mengenang masa pertemuannya dengan Pipit Serindu,
(Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Kutukan
Pelacur Tua"). Rupanya pengalaman itu yang membuat
Pendekar Mabuk bertambah penasaran dan semakin
menaruh curiga kepada Rara Santika.
"Satu hal perlu kau ketahui, bahaya yang akan
mengancammu dan sulit kau hindari jika berhadapan
dengan saudara kembarku itu adalah kekuatan ilmu
peletnya," kata Rara Santika ketika mereka melangkah
tinggalkan kedai. "Sumina mempunyai ilmu pemikat
sangat kuat. Jika ia berkeliaran, bukan hanya seorang
perawan yang dicarinya untuk tumbal Darahkula, tetapi
ia juga mencari seorang lelaki muda dan tampan untuk
dijadikan pemuas gairahnya. Dan apabila lelaki itu sudah
tidak mampu lagi memuaskan hasratnya, orang itu akan
dibunuh atau dijadikan budak penggali terowongan
bawah tanah."
"Aku masih bisa atasi hal itu."
"Tidak. Aku tidak ingin kau coba-coba mengatasi,
kalau kau gagal tak dapat kubayangkan betapa sedihnya
rimba persilatan kehilangan seorang pendekar sepertimu.
Barangkali saat itu pula murkaku timbul dan aku akan
mengamuk membabi buta di dalam Gua Tumbal
Perawan."
"Mengapa begitu?"
"Tak perlu kau tahu jawabnya, yang jelas, jika kau
ingin lakukan pertarungan dengan adik kembarku,
lakukanlah setelah kau lihat bangkai mayatku
dicampakkan oleh Sumina!"
"Itu berarti aku harus melawanmu dulu jika harus
melawan Gundik Sakti?"
"Aku tidak mengatakan begitu, Suto. Kalau aku
sudah tiada, aku tak akan melihat dirimu diperbudak
oleh nafsu adik kembarku. Hanya itu maksudku berkata
seperti tadi," Rara Santika bicara dengan lembut dan
lirih, seakan penuh resapan di dalam hatinya.
"Jadi...," sambung Rara Santika, "... sebaiknya kita
berpisah di sini saja dan jangan mengikutiku, karena aku
akan mencari adikku dengan arah menuju Bukit
Sangkur. Pergilah ke tempat lain, Suto. Jangan teruskan
niatmu mendampingiku. Aku tak ingin kau jatuh dalam
pelukan Gundik Sakti itu!"
Kata-kata yang terakhir mempunyai makna lebih
dalam dari sekian kata-kata yang telah terucap. Pendekar
Mabuk menangkap adanya rasa cemas yang berlebihan
dalam hati Rara Santika. Rasa cemas itu timbul karena
tunas-tunas kecemburuan mulai menghiasi tepian hati
Rara Santika.
"Ah, kurasa itu hanya sebuah permainan rasa yang
sangat kuat saja," batin Suto membantah kata hatinya
sendiri. "Dia pandai berpura-pura, sehingga mampu
menutupi kenyataan dirinya. Aku tak boleh hanyut
dalam permainannya."
Rasa cemas perempuan yang takut kehilangan
seorang lelaki semakin ditampakkan oleh Rara Santika
melalui ucapannya yang diiringi tatapan mata dari balik
tudung pandan itu.
"Jika kau mau jatuh dalam pelukan perempuan,
jatuhlah ke dalam pelukan perempuan lain. Jangan
dalam pelukan adik kembarku. Itu akan lebih
menyakitkan bagiku."
Suto Sinting hanya sunggingkan senyum kecil,
seakan meremehkan pernyataan hati Rara Santika.
Dalam benaknya segera timbul niat untuk memancing
perasaan Rara Santika dengan menceritakan kejadian
aneh saat Suto bangun tidur tadi pagi.
Wajah Rara Santika tersentak kaget dan menegang
ketika mendengar cerita Suto telanjang saat bangun
tidur. Wajah itu menjadi semburat merah setelah Suto
mengatakan,
"Aroma yang menempel di badanku adalah
wewangian yang ada pada tubuhmu."
"Oooh...?! Benarkah begitu?!"
Tangan Suto Sinting segera disambarnya. Tangan itu
dicium oleh Rara Santika dari telapak tangan sampai ke
pangkal lengan. Perempuan itu menjadi tambah tegang.
Hidungnya mengendus-endus di sekitar dada Suto
Sinting, lalu merayap ke leher dan mengelilingi tubuh
Suto. Perbuatan itu tak bisa dihentikan oleh Suto Sinting
sebab ia membutuhkan bukti kebenaran dari ceritanya
itu. Mau tak mau ia rela diciumi Rara Santika. Untung
hal itu dilakukan di tempat sepi yang terlindung dari
tanaman rambat cukup rimbun, sehingga Suto tak begitu
khawatir akan ada yangmelihat perlakuan mereka.
"Celaka!" geram Rara Santika setelah selesai
menciumi bagian tengkuk Suto Sinting.
"Pahaku pun berbau harum seperti wewangian pada
tubuhmu, Santika!"
Perempuan itu segera menciumi paha Suto untuk
membuktikan kebenarannya. Hidungnya mengendus-
endus dengan sedikit menempel pada paha Suto, bahkan
ciuman itu sampai ke betis, lalu naik lagi ke paha dan
naik lagi... ke perut. Baju Suto disentakkan hingga
terlepas dari ikat pinggangnya. Hidung perempuan itu
menempel di perut Suto, lalu menjalar naik ke ulu hati,
terus naik ke dada, ke leher, ke dagu, dan akhirnya mulut
perempuan itutiba di depan mulut Suto Sinting.
"Edan orang ini!" gerutu Suto dalam hati. "Mau apa
bibirnya bertolak pinggang di depan bibirku?! Uuuh...!
Kukecup baru tahu rasa kau!"
Debar-debar hati akibat ciuman Rara Santika tadi
membuat Pendekar Mabuk akhirnya nekat mengecup
bibir perempuan tersebut. Namun baru saja kepalanya
maju ke depan, kepala Rara Santika sudah lebih dulu
mundur buang muka sambil mendengus penuh
kecemasan.
"Tak salah lagi!" katanya dengan nada menggeram.
Suto Sinting yang kecele menjadi malu-malu
dongkol, lalu berkata menimpali ucapan itu, "Ya,
memang tak salah lagi, akhirnya yang kudapatkan hanya
angin. Hmmm... rasanya lebih nikmat mengecup angin
daripada mengecup bibir seranum delima."
Sindiran itu tak dihiraukan oleh Rara Santika. Dalam
benak perempuan cantik itu sudah dipenuhi oleh
kecamuk yang menegangkan, sehingga ia bagaikan
kehilangan selera bercinta, bagaikan tak memiliki hasrat
untuk bermesraan, ia pandangi Suto Sinting dengan sorot
pandangan mata cukup tajam. Suto Sinting jadi salah
tingkah sendiri, akhirnya membuka tutup bumbung
tuaknya dan meneguk tuak beberapa kali.
"Berarti semalam ia telah datang ke tempat kita, Suto.
Semalam ia telah... telah merenggut kehangatanmu
ketika kautidur dengan nyenyak."
"Dia atau kau?" pancing Suto dengan kalem.
"Dia!" sentak Rara Santika dengan jengkel, karena ia
malu jika dituduh merenggut kehangatan Suto pada saat
si tampan tertidur. "Akutidak pernah lakukan hal seperti
itu. Jangan rendahkan diriku, Suto!"
"Mengapa aroma wangimu masih tertinggal di kulit
tubuhku?"
"Sumina juga mempunyai keringat beraroma wangi
seperti yang kumiliki. Ketika kami masih berusia
delapan hari, kami dimandikan oleh Ayah di Telaga
Seribu Bunga, sebelum telaga itu kering akibat
kebakaran hutan. Barang siapa semasa bayinya
dimandikan dengan air Telaga Seribu Bunga, maka bau
keringatnya akan selalu menyebarkan aroma wangi.
Zaman dulu, Telaga Seribu Bunga dijadikan pemandian
para ratu, permaisuri, atau para selir raja. Telaga itu
dalam kekuasaan ibuku, karena Ibu semasa mudanya
adalah dayang perawat pemandian Taman Keputren.
Telaga itu terletak di dalam reruntuhan Taman
Keputren."
Pendekar Mabuk membisu seribu kata, tangan kirinya
bersandar pada batang pohon. Pandangan matanya
menatap lurus ke tanah di depannya. Tatapan mata itu
jelas sebuah terawang bayangan mengenang adegan
semalam. Jika benar semalam ia telah direnggut
kehangatannya oleh Gundik Sakti, maka berarti
'kesucian' Suto telah hilang dan tidak layak mengaku
sebagai 'perjaka ting-ting'. Lalu, bagaimana dengan
kesucian cintanya terhadap Dyah Sariningrum? Apakah
juga ikut ternoda sementara hal itu terjadi di luar batas
kesadaran Suto?
Rara Santika memecahkan kebisuan di antara mereka,
"Kalau aku yang melakukannya, jelas tak mungkin
dalam keadaan kau sedang tertidur. Aku bukan
perempuan bodoh. Aku pernah menikah selama dua
tahun, lalu suamiku serong dengan perempuan lain dan
aku jijik melayaninya, kami pun bercerai dan hidup
sendiri-sendiri. Aku bisa merasakan mana yang terbaik
dalam menikmati kemesraan bersama seorang lelaki.
Untuk apa aku merenggut kehangatanmu dalam keadaan
tidur, sama halnya aku mencari pemuas dahaga dengan
sebatang gedebog pisang. Tak ada keindahan di
dalamnya."
Sekalipun telah mendengar pernyataan seperti itu,
tetapi hati kecil Suto Sinting masih diliputi keraguan;
benarkah bukan Rara Santika yang merenggut
kehangatannya? Satu hal lagi yang masih meragukan
Suto ialah kebenaran atas tindakan itu. Benarkah
seseorangtelah merenggut kehangatannya?
"Apakah kau tak terasa sedang digeluti seseorang?
Mengapa kautak terjaga dari tidurmu?"
"Itu yang kupikirkan," kata Suto Sinting. "Aku sama
sekali tidak merasa apa-apa. Biasanya aku mudah terjaga
dalam tidur walau hanya mendengar rumput kering
terinjak kaki manusia. Tapi semalam rasa-rasanya aku
seperti mati."
"Sumina telah menggunakan ilmu sirep yang bisa
membuat kita tertidur nyenyak bagaikan mati. Sekalipun
begitu, apa benar kau tidak merasakan gerakan apa pun
saat ia menggelutimu?"
"Tidak kurasakan apa-apa! Aku tidak merasa dicium,
tidak merasa dipeluk, bahkan tidak merasa
mengeluarkan... mengeluarkan anggota badan. Tidak
sama sekali, Santika!"
"Aneh. Sebegitu kuat daya sirepnya?!" gumam Rara
Santika sambil matanya memandang hampa ke arah
pucuk-pucuk rerumputan di kaki Suto Sinting.
Jaraknya dengan Suto hanya tiga langkah. Hal itu
memungkinkan sekali bagi Pendekar Mabuk untuk
meraih tubuh Rara Santika ke dalam pelukannya.
Dengan sekali gerak, tubuh sekal berdada montok itu
telah berada dalam pelukan Suto Sinting.
Tentu saja hal itu mengejutkan bagi Rara Santika,
hingga secara tak sadar tangannya bergerak meronta dan
hatinya pun dibakar kemarahan.
"Apa-apaan kau ini?!" sentak Rara Santika.
Suto menyodorkan tangannya, Rara Santika
terperanjat melihat sekeping logam berbentuk bintang
segi enam terselip di sela jemari Suto. Logam bintang itu
tak lain adalah senjata rahasia seseorang yang melesat
dari balik pepohonan seberang. Senjata rahasia beracun
itu ditujukan ke punggung Rara Santika, berarti di
sekitar situ ada orang yang menghendaki kematian Rara
Santika.
Perempuan berjubah merah jambu itu segera menjadi
tegang dan memasang kewaspadaan tinggi. Matanya
memandang alam sekitarnya dengan nanar, penuh
tekanan amarah yangterpendam di dada.
"Ada yang bersembunyi di balik batu tinggi di bawah
pohon itu," bisiknya kepada Suto Sinting.
"Biar kuperiksa ke sana!" balas Suto, lalu segera
melesat dengan kecepatan tinggi mirip orang
menghilang ditelan bumi. Zlaaap...!
"Siapa pun orangnya, tak mungkin kuserang demi
membela Rara Santika. Sebab aku masih kurang yakin
dengan pengakuannya. Jika aku berada di pihaknya,
bisa-bisa sikapku itu menimbulkan rasa sesal sendiri
seandainya ternyata ia adalah Gundik Sakti. Kurasa
orang yang berusaha membunuhnya pasti punya dendam
kepada Gundik Sakti. Akan kudesak dulu orang itu
untuk menjelaskan hal-hal yang belum kuketahui tentang
Gundik Sakti agar dapat kupakai menilai kebenaran
pengakuan Rara Santika tadi."
Kecamuk batin itu akhirnya berhenti karena
pandangan mata Suto tak berhasil temukan penyerang
gelap. Kejap berikutnya ia mendengar suara Rara
Santika terpekik tertahan dan sangat samar-samar.
"Aaahg...!"
Pekikan pendek itu mengundang perhatian Suto
Sinting dan rasa penasaran yang menggoda hati. Maka
dengan cepat ia berkelebat kembali ke tempat asal.
Ternyata Rara Santika masih berada di tempat itu.
Perempuan tersebut sedang mengusap-usap leher kirinya
dengan wajah sedikit menyeringai.
"Tak ada orang yang kutemukan di sana," ujar Suto
sambil mendekat. "Kenapa kauterpekik, Santika?"
"Orang itu menyerangku lagi," ucapnya dengan suara
agak parau.
"Ada apa dengan lehermu?" Suto Sinting curiga,
kemudian menarik tangan Rara Santika yang sedang
mengusap-usap leher. Dahi Suto Sinting segera berkerut
melihat noda hitam membekas jelas di leher kiri Rara
Santika.
"Kau... oh, lehermuterluka, Santika!"
"Membekas merah?"
"Membekas hitam, bagaikan hangus terbakar!"
"Oh, celaka...!" ia tampak tegang. "Besarkah noda
hitam ini?"
"Sebesar kacangtanah."
"Keparat orang itu! Ia menyerangku dengan sesuatu
yang tak sempat kulihat. Mungkin seberkas sinar,
mungkin pula sebuah benda kecil. Tapi... rasanya
napaskumakin lama semakin sesak."
"Bahaya sekali ini, Santika!" gumam Suto Sinting
bernada cemas. "Minumlah tuakku biar noda hitam itu
hiiang."
"Tidak, tidak... aku tidak terbiasa minum tuak. Bisa
muntah seisi perutku jika dipaksakan meminum tuak."
"Tapi...," Suto Sinting terbungkam seketika. Noda
hitam yang dipandanginya itu bergerak bagaikan pindah
tempat. Dari keadaan di dekat telinga menjadi turun ke
bawah mendekati pundak.
"Tunggu dulu, jangan bergerak...!" sergah Suto
Sinting sambil tangannya sedikit memiringkan kepala
Rara Santika. Noda hitam itu dipandanginya tanpa kedip
beberapa saat lamanya.
"Oh, dia bergeser lagi ke belakang?!" gumam hati
Suto Sinting penuh keheranan yang menegangkan.
Biasanya, luka bakar tak akan bisa bergerak ke sana-
sini. Tapi luka bakar yang satu ini mampu bergeser
mendekati tengkuk bagaikan binatang aneh yang
merayap. Suto Sintingteringat sesuatu dalam benaknya.
"Setahuku, luka seperti ini hanya terjadi akibat jurus
'Racun Simalakama'. Racun itu akan menyumbat saluran
pernapasan dan jalan darah secara perlahan-lahan sampai
akhirnya si korban menemui ajal. Tetapi jika noda
hitamnya dihilangkan dengan cara diberi ramuan obat
apa pun, justru akan mempercepat kematian
penderitanya. Hilangnya noda hitam sama saja hilangnya
nyawa penderitanya."
Rara Santika menegur Suto karena terlalu lama
mereka saling membisu.
"Apa yang kau lihat? Kemulusan leherku atau noda
itu?"
Pendekar Mabuk hembuskan napas, melepaskan
tangannya hingga kepala Rara Santika tegak kembali.
Wajah perempuan itu tampak sedikit berbeda, agak
pucat dari sebelum terjadi serangan tadi.
"Kau terkena jurus 'Racun Simalakama', Santika."
Nada bicara Suto terdengar lemah pertanda ia
semakin dicekam kegelisahan dan kesedihan, ia segera
menjelaskan tentang akibat dari jurus 'Racun
Simalakama' yang tak ada obat penawarnya itu. Tapi
penjelasan tersebut tidak membuat wajah Rara Santika
berubah menjadi cemas.
"Jika benar aku akan mati, berarti sudah selayaknya
aku menikmati keindahan hidup di dunia sepuas-
puasnya, Suto. Keindahan itu hanya bisa kunikmati jika
bersamamu."
"Mengapa kau tak merasa cemas? Mengapa justru
tersenyum tenang?"
"Karena aku merasa mampu menawarkan segala jenis
racun di seluruh dunia. Kau tak perlu khawatirkan
diriku, Suto Sinting. Aku hanya merasa sedikit sesak
napas dan kurang enak badan. Antarkan aku kembali ke
reruntuhan biara itu, Suto. Aku akan sembuhkan diri di
sana."
Pendekar Mabuk dililit kebingungan dan
kebimbangan, ia tahu persis bahwa jurus 'Racun
Simalakama' hanya dimiliki oleh satu orang. Di seluruh
dunia tak ada orang yang memiliki jurus 'Racun
Simalakam' kecuali penguasa negeri Puri Gerbang
Surgawi di Pulau Serindu yang bergelar Gusti Mahkota
Sejati dan bernama asli Dyah Sariningrum.
Itulah sebabnya Suto Sinting sempat gemetar dan
berdebar-debar hatinya. Karena jika benar noda hitam itu
akibat 'Racun Simalakama', berarti Dyah Sariningrum
ada di sekitar tempatnya berada. Sedangkan Dyah
Sariningrum adalah calon istrinya yang sudah digariskan
sesuai kodrat kehidupan sang Pendekar Mabuk, (Baca
serial Pendekar Mabuk daiam episode : "Pusaka Tuak
Setan").
Jika bukan urusan yang sangat pribadi dan teramat
penting, tak mungkin seorang ratu keluar dari istananya,
bahkan keluar dari pulau tempatnya bertakhta seperti
saat itu. Pendekar Mabuk diguncang perasaan antara
percaya dan tidak.
"Mudah-mudahan noda hitam itu bukan akibat Jurus
'Racun Simalakama'. Tapi... menurut cerita Dewa Racun,
pengawal setia calon istriku itu, jurus 'Racun
Simalakama' mempunyai ciri yang tidak dimiliki racun
lain, yaitu meninggalkan noda hitam dan noda itu bisa
bergerak di permukaan kulit manusia," ujar Suto dalam
hati sambil membayangkan percakapannya dengan
Dewa Racun yang terjadi saat ia berkunjung ke Pulau
Serindu beberapa waktu yang lalu. Dewa Racun-lah
yang mengatakan bahwa di dunia ini tak ada orang yang
memiliki jurus 'Racun Simalakama' selain Dyah
Sariningrum; Ratu negeri Puri Gerbang Surgawi di alam
nyata. Gusti Ratu Kartika Wangi, ibu Dyah Sariningrum
yang berkuasa di negeri Puri Gerbang Surgawi di alam
gaib itu pun tidak memiliki jurus 'Racun Simalakama',
padahal ia tokoh terpandang yang paling ditakuti para
tokoh tua di rimba persilatan.
"Ciri-ciri orang yang terkena 'Racun Simalakama'
pada awalnya ialah diserang rasa ketakutan yang sangat
besar, sehingga ia bisa menjadi orang yang paling
pengecut di dunia ini. Melihat benda apa pun tampak
menyeramkan dan menakutkan baginya. Namun hal itu
terjadi selama beberapa saat saja. Setelah itu, keberanian
orangtersebut akan tumbuh kembali dan menjadi seperti
semula. Pada saat keberanian itu timbul, 'Racun
Simalakama' telah menguasai seluruh jaringan darah dan
pernapasan. Makin lama akan semakin mempersempit
jaringan itu, sampai akhirnya menewaskan orang
tersebut, itulah cara membunuh yang tidak sekejam
membantai menggunakan pedang."
Begitu kata-kata Dewa Racun yang sempat terngiang
di telinga Suto Sinting. Untuk meyakinkan kebenaran
tentang racun yang mengenal leher Rara Santika, Suto
pun segera ajukan pertanyaan ketika Rara Santika mulai
meraih lengannya dan minta diantar kembali ke
reruntuhan biara.
"Perasaan apa yang kau alami ketika serangan itu
mengenaimu?"
"Hmmm... perasaan takut. Takut sekali. Melihat batu
saja takut. Tapi, ah... sudahlah. Perasaan itu sekarang
sudah tak ada lagi padaku. Mengapa harus kau
hiraukan?"
"Karena rasa takut yang timbul itulah ciri khusus
pada penderita 'Racun Simalakama'. Kau akan mati,
Santika!"
"Tidak mungkin. Kau akan lihat sendiri hasilnya
setelah kulakukan semadi di ruang bawah reruntuhan
biara itu! Antarkan aku ke sana. Temanilah aku, Suto,"
Rara Santika bernada manja dengan suaranya yang
masih sedikit parau. Suto menganggap perubahan suara
parau itu akibat dari terkena racun tersebut.
"Hei, mengapa tak kau cari penyerangmu itu?!
Sebaiknya biarkan akumencarinya di sekitar sini!"
"Tak perlu. Kulihat ia telah lari terbirit-birit sebelum
kau datang tadi. Aku sempat lepaskan pukulan
berbahaya yang dapat membuat raganya menjadi lumer.
Rupanya ia kenali jurus itu, dan ia pun lari sebelum jurus
keduaku mengenainya."
"Lelaki atau perempuan penyerangmu itu?"
"Hmmm... mungkin seorang perempuan, sebab
kulihat gerakan rambutnya meriap saat melesat pergi
dari persembunyiannya," jawab Rara Santika sambil
semakin bergelayut di pundak Suto. "Sudahlah, jangan
banyak bicara soal penyerang gelap itu. Lekas kita
tinggalkan tempat ini, aku butuh tempat khusus untuk
lakukan semadi penyembuhan!"
Pendekar Mabuk menjadi seperti orang bodoh.
Kecamuk hati yang meresahkan membuatnya menuruti
langkah Rara Santika dan membiarkan lengannya
dipeluk erat oleh perempuan itu. Pertanyaan terbesar
dalam benak Suto kala itu adalah, "Benarkah Dyah
Sariningrum, kekasihku, ada di sekitar sini?!"
*
* *
7
DUA orang berpakaian serba hitam tiba-tiba muncul
dari tikungan kaki bukit cadas. Kedua orang itu langsung
berlutut satu kaki, meletakkan kepalan tangan kanannya
ke tanah sedangkan tangan kirinya memegangi
pinggang, keduanya sama-sama tundukkan kepala bagai
memberi hormat. Kemunculan dua lelaki itulah yang
membuat langkah Suto dan si perempuan cantik itu
terhenti.
Dahi Suto Sinting berkerut ketika salah satu dari
kedua orang berpakaian hitam itu berkata dengan suara
lantang dan tegas namun penuh hormat.
"Ketua, kami telah dapatkan seorang calon, sekarang
sedang dibawa ke Bukit Sangkur. Kami harap Ketua
segera kembali untuk penyucian sang calon sebelum
purnama tiba."
Mata tajam Suto melirik Rara Santika. Yang dilirik
menjadi gusar sesaat, lalu membentak kedua orang itu
dengan maju selangkah.
"Siapa yang kalian panggil 'ketua' di sini?! Jangan
bicara sembarangan di depan kami kalau nyawa kalian
tak ingin melayang!"
"Maaf, Ketua... kami hanya memberitahukan tentang
calon yang sudah kami dapatkan."
"Calon apa?!" bentak Rara Santika dengan lebih keras
lagi. Ia tampak berang sekali, terlebih setelah tahu
diperhatikan oleh Suto Sinting. Dengan rasa tak enak
hati, ia dekati Suto Sinting dan berkata pelan dalam
bisik.
"Mereka pasti orang Bukit Sangkur. Mereka sangka
aku si Gundik Sakti, ketua mereka!"
"Kalau kenyataannya memang demikian, mereka tak
salah memanggilmu sebagai ketua," kata Suto
memancing sikap perempuan itu.
"Aku tidak mengenal kedua orang itu!" geramnya
dengan cemberut. Kemudian ia segera berbalik arah dan
temui kedua orang yang masih berlutut satu kaki itu.
"Perglah kalian, aku bukan Gundik Sakti!"
Kedua orang itu sama-sama mendongak dan
memandang dengan mulut terbengong. Mereka berdiri
secara pelan-pelan dan mata mereka tak berkedip
pandangi Rara Santika. Salah seorang berkata dengan
suara pelan.
"Tak mungkin. Kami kenal betul Ketua kami."
Yang satunya menyahut, "Suara Ketua tak bisa kami
lupakan."
"Dasar bodoh!" bentak Rara Santika. "Ini upah
kebodohan kalian!" Slaaaap...!
Dua tangan maju ke depan. Lengan dan jarinya lurus
dan mengeras. Dari ujung-ujung jari itu keluar dua sinar
hijau muda berbentuk seperti mata tombak. Sinar hijau
itu mempunyai ekor bersinar merah yang mirip tali kecil.
Kedua sinar hijau itu menghantam dada kedua orang
berpakaian serba hitam itu. Jlab, jlaab...!
"Aaaaahg...!" Keduanya sama-sama terpekik
serempak, tubuh mereka terpental melayang ke
belakang, kemudian jatuh berdebum ke bumi. Tubuh
kedua orang itu pun mengepulkan asap. Makin lama
semakin tebal. Pemandangan itu diperhatikan oleh
Pendekar Mabuk tanpa berkedip. Sampai asap tebal itu
menjadi tipis kembali, lalu hilang musnah tertiup angin.
Kini yang tinggal adalah kerangka berbaju, tanpa sekerat
daging pun. Senjata mereka masih terselip di pinggang
masing-masing.
"Jurus edan!" geram Suto Sinting dalam hatinya.
Perempuan berdada sekal itu kembali temui Suto Sinting
dengan senyum kecil.
"Hukuman itu layak mereka terima sebagai imbalan
atas penghinaan mereka yang menganggapku sebagai
Gundik Sakti!"
Dengan suara ragu Suto berucap kata, "Seharusnya
tidak sekejam itu, Santika. Kau perlakukan mereka
dengan tidak manusiawi sekali. Mereka masih bisa
diberi penjelasan sampai akhirnya percaya bahwa kau
bukan Gundik Sakti, melainkan saudara kembarnya."
"Ah, itu terlalu lama dan bertele-tele. Mereka bisa
membuat kita kehabisan waktu!"
Perempuan itu maju selangkah lagi hingga jaraknya
tinggal satu langkah dari depan Suto. Bibirnya yang
menggemaskan sunggingkan senyum menggoda,
matanya mengerling sambil berucap kata,
"Jangan buang-buang waktu. Setelah kulakukan
pengobatan untuk menawarkan racun di tubuhku, kita
akan punya banyak waktu untuk merajut keindahan di
ruang bawah reruntuhan biara itu, Suto."
Kling...! Mata kiri perempuan itu berkerling lagi.
Jantung Suto Sinting bagaikan dibetot. Kaget namun
segera merasakan keindahan mengalir di setiap aliran
darahnya. Rasa indah itu telah menimbulkan perasaan
kagum dan bahagia yang menguasai jiwa. Senyum si
murid sinting Gila Tuak itu pun segera mengembang
mempesona hati lawan jenisnya.
"Kita harus cepat sampai ke tempat kita semalam,
lalu kita lewatkan saat-saat indah di sana."
Suto menjawab dengan debaran hati penuh rasa suka
cita tiada terkira. Bahkan tangannya berani mencubit
dagu perempuan cantik itu tanpa canggung lagi.
"Akan kuberikan yang terindah untukmu. Tapi
berikan pula yang paling indah untukku."
"Aku tak bisa menolak tantanganmu, Suto. Hi, hi,
hi...." Rara Santika tampak kegirangan. Mereka segera
berlari menuju tepian sungai. Mereka menyusuri tepian
sungai dengan saling bergandengan tangan. Bahkan
sesekali mereka berhenti untuk saling beradu pandangan
mata dan berkata dalam bisik, seakan suara hati mereka
saling bertukar rasa.
"Aku sudah tak sabar lagi, Suto."
Pendekar Mabuk berseri-seri, tangan perempuan
cantik itu diangkat dan diciumnya dengan lembut.
Si perempuan sempat mendesah,
"Oh, ya... hangat sekali ciumanmu."
"Akan kuberikan yang terhangat untukmu, tapi
berikan pula yang palinghangat untukku, Santika!"
"Kehangatanku akan mengalir terus untukmu, Suto.
Hanya untukmu, Sayang. Oooh...," perempuan itu
menjatuhkan diri dalam pelukan Suto Sinting, ia
sodorkan wajahnya agar diciumi oleh si tampan
bertubuh kekar dan berdada bidang itu.
Namun tiba-tiba Suto Sinting segera memeluk tubuh
Rara Santika kuat-kuat dan membawanya melesat ke
udara. Wuuuuss...! Tubuh mereka saling berpelukan di
atas, karena mata tajam Suto sempat menangkap
seberkas sinar sebesar telur puyuh meluncur dengan
kecepatan tinggi, lalu menghantam sebongkah batu di
kaki tanggul sungai.
Blaaar...!
Batu itu hancur menjadi serpihan kecil, lebih kecil
dari batuan kerikil. Serpihan itu menyebar ke angkasa
dan membuat tempat di sekitar situ bagaikan mengalami
hujan batu. Seandainya Suto Sinting tidak membawa
tubuh Rara Santika melesat ke udara, tentunya kedua
tubuh mereka akan mengalami nasib seperti batu sebesar
kerbau itu.
"Siapa orang yang menyerang kita, Suto?!" mata
perempuan cantik itu menjadi lebar dan berkesan liar.
"Dia ada di seberang sungai!" kata Suto Sinting
dengan mata mengecil untuk memperjelas
penglihatannya.
Sebongkah batu tinggi dipakai bersembunyi
seseorang. Kainnya kelihatan sedikit dari tempat mereka
berdiri. Rara Santika segera lepaskan pukulan jarak
jauhnya sambil berseru,
"Keluar kau dari situ, Keparat! Hiaah...!"
Slaaaap...!
Ia bagaikan melemparkan pisau ke arah seberang
sungai, namun yang keluar dari tangannya adalah
seberkas sinar merah berbentuk menyerupai bintang.
Sinar itu segera menghantam batu besar dengan telak
sekali.
Blegaaar...!
Batu itu hancur lebur menjadi debu dalam sekejap.
Orang yang ada di balik batu itu melenting ke atas dan
bersalto beberapa kali, lalu hinggap di atas sebuah batu
datar yang ada di tengah sungai dangkal itu. Jleeeg...!
Suto Sintingterkesiap pandangi sosok yang berdiri di
atas batu. Ia melirik Rara Santika sejenak, ternyata
perempuan itu menatap dengan mata menyipit.
Pandangan matanya memancarkan permusuhan yang
dalam. Sementara Itu Suto Sinting menahan debar-debar
ketegangan dalam hatinya, mencari cara terbaik untuk
mengambil sikap dalam keadaan seperti itu.
"Gundik Sakti!" seru orang tersebut, "Tak ada waktu
lagi kau untuk sembunyi maupun lari! Sudah saatnya
kau mati menebus dosa-dosamu, Gundik Sakti!"
"Kau salah pandang, Raja Maut. Aku bukan Gundik
Sakti! Bukalah matamu lebar-lebar supaya nyawamu
tidak mati sia-sia!" seru Rara Santika dengan lantang.
Sementara itu Suto Sintinghanya berkata dalam hatinya,
"Sepertinya aku pernah kenal orang itu. Hmmm...
Raja Maut?! Di mana aku pernah kenal dia? Kapan aku
pernah bertemu? Hmmm... kalau tak salah dia adalah
tokoh tua yang tinggal di Bukit.... Bukit... aduh. Bukit
apa namanya? Kenapa aku bisa lupa begini?"
Suto Sinting mencoba mengingat-ingat tokoh tua
yang jenggot dan-rambutnya berwarna abu-abu, berusia
sekitar tujuh puluh tahun kurang sedikit, mengenakan
jubah putih kusam dan berbadan kurus dengan mata
cekungnya tampak tajam jika memandang seseorang.
Tokoh tua itu sebenarnya sangat akrab dengan Pendekar
Mabuk, karena ia adalah sahabat dari si Gila Tuak, guru
sang Pendekar Mabuk. Tetapi saat itu ingatan Suto bagai
dikebiri, sehingga tak mampu mengingat dengan baik
tentang tokoh bertongkat hitam yang meliuk-liuk seperti
ular itu. Ia bahkan tak mampu mengingat nama Bukit
Semberani sebagai tempat kediaman si Raja Maut itu.
Suara tua si Raja Maut masih terdengar cukup
lantang, wajahnya kelihatan memancarkan kemarahan
cukup besar, ia berseru kembali kepada Rara Santika,
"Gundik Sakti, mata tuaku ini tak bisa ditipu oleh
kelicikanmu! Aku masih cukup jelas mengenalimu
sebagai orang yang membawa lari muridku; Sri Murti,
dan menjadikannya sebagai tumbal tiga purnama yang
lalu! Sekarang aku menuntut balas atas kematian
muridku itu, juga atas kematian paratumbal lainnya!"
"Jika kau masih bersikeras untuk mengadu kesaktian
denganku, aku pun akan melayanimu dengan senang
hati, Monyet Tua!" seru perempuan itu dengan keras dan
berkesan kasar, ia segera dekati Suto Sinting yang
sedang bingung dalam mengambil sikap dan berbisik
lirih,
"Menjauhlah sedikit, biar kubereskan dulu si monyet
tua ini! Jangan ikut campur, karena dia berilmu lumayan
tinggi."
"Mengapa... mengapa ia bersikeras menganggapmu
sebagai Gundik Sakti, Santika?"
"Itulah kebodohannya. Kebodohan itu harus dibantai
agar tidak menular kepada kita dan orang lain."
Tiba-tiba Raja Maut berseru kepada Pendekar
Mabuk, "Suto, apakah kau ada di pihak si perempuan
keparat itu?!"
Suto Sinting hanya bisa bungkam mulut dan pandangi
Raja Maut dengan hati gundah. Saat itu, Rara Santika
berkata dengan kesan mendesak Suto Sinting untuk
mundur,
"Jangan hiraukan kata-katanya. Lekas menjauh, aku
akan segera lenyapkan dia dalam dua jurus!"
Pendekar Mabuk manggut-manggut sebentar,
kemudian melangkah menjauhi Rara Santika. Gerakan
mundurnya itu diperhatikan oleh Raja Maut dengan
keheranan tersimpan di hati. Bahkan hati sang tokoh tua
itu pun bertanya-tanya,
"Mengapa ia sepertinya tidak mengenaliku? Mengapa
ia tak mau memihakku? Apakah ia telah terkena ilmu
pelet si keparat Gundik Sakti itu?! Biasanya ia tak
bersikap demikian!"
"Raja Maut, sekarang apa maumu, hah?!" tantang
perempuan itu dengan sikap siap hadapi pertarungan.
Raja Maut menggeram, genggaman pada tongkatnya
semakin kuat.
"Binasalah kau, Manusia Terkutuk! Heeeah...!"
Raja Maut sentakkan tongkatnya ke depan dalam
keadaan kepala tongkat mengarah lurus. Dari kepala
tongkat itu keluar sinar merah terputus-putus
membentuk piringan lempengan bundar.
Clap, clap, clap, clap...!
Sinar merah menerjang tubuh Rata Santika. Namun
perempuan itu tidak mau menghindar, melainkan justru
menghentakkan kedua tangannya ke depan dengan
telapak tangan terbuka. Wuuut...! Maka melesatlah sinar
kuning kemerah-merahan dari kedua telapak tangan
tersebut. Slaaap, slaap...! Salah satu sinar kuning
menghantam sinar merahnya si Raja Maut.
Blaaarrr...! Ledakan terjadi cukup keras dan sempat
mengguncang tanah di sekitar sungai tersebut.
Sementara itu, sinar kuning satunya lagi melesat lurus
mengarah ke dada si Raja Maut. Weess...!
Raja Maut cepat putar tongkatnya bagaikan baling-
baling sambil lakukan lompatan ke arah tepian sungai.
Wuuuungg...! Kecepatan putar tongkat itu hasilkan
gelombang tenaga dalam yang memancarkan sinar
merah besar. Lalu sinar merah besar itu dihantam sinar
kuning hingga timbulkan ledakan yang lebih
menggelegar dari yang pertama tadi. Jegaarrr...!
Gelombang ledakan menghentakkan tubuh Raja Maut
yang sedang melayang. Tubuh itu bagaikan dihempas
badai dan terpental jatuh tanpa keseimbangan badan.
Bruuuus...! Semak di tepi sungai menjadi sasaran
jatuhnya tubuh si Raja Maut.
Sementara itu, gelombang ledakan tersebut juga
menghentakkan tubuh Rara Santika, sehingga
perempuan itu terdorong ke belakang dengan terhuyung-
huyung dan nyaris jatuh ke sungai. Namun ia segera
sigap kembali setelah sentakkan kaki dan tubuhnya
melenting di udara sambil menjaga keseimbangan tubuh.
"Kelihatannya Rara Santika mulai terdesak oleh
serangan Raja Maut. Haruskah aku turun dengan
membantunya? Oh, jangan dulu! Rara Santika belum
tampak kewalahan sekali. Tapi jika sampai ia kewalahan
sekali, Raja Maut terpaksa kubunuh demi
menyelamatkan Rara Santika," pikir Pendekar Mabuk
dari tempatnya, ia masih pandangi pertarungan itu
dengan tenang, namun penuh waspada, sehingga kapan
pun bertindak tak akan temui kegagalan.
Perempuan itu memang belum kewalahan, justru Raja
Maut yang tampak mulai terdesak oleh serangan lawan.
Karena saat Raja Maut baru saja bangkit dari semak-
semak, ia segera diserang oleh perempuan cantik itu.
Tubuh si perempuan cantik melesat bagaikan terbang
dengan gerakan tubuh memutar mirip alat pengebor.
Wuuuurrss...! Kecepatan geraknya sangat tinggi,
sehingga Raja Maut sendiri sempat terperanjat dan
bingung menghadapinya. Akhirnya Raja Maut sentakkan
kaki ke bumi dan tubuhnya melesat tinggi dalam
keadaan tegak lurus. Kemudian ia hantamkan tongkatnya
ke arah tubuh lawan yang berputar cepat itu. Wuuuut...!
Prraak, duaar...!
Tongkat itu belum sampai menyentuh tubuh Rara
Santika namun sudah seperti membentur baja tebal yang
beraliran tenaga dalam tinggi. Ledakan yang timbul
membuat tongkat tersebut patah menjadi beberapa
potong, tinggal bagian kepala tongkat saja yang masih
digenggam tangan si Raja Maut.
"Celaka! Tongkatku bisa sampai hancur begini?! Ia
mempunyai lapisan tenaga dalam yang jarang dimiliki
orang. Pasti ia telah kuasai jurus 'Perisai Malaikat',
sehingga pada benda apa pun yang mau menyentuhnya
akan pecah sebelum sampai pada sasarannya. Hmm...
jika begitu aku pun harus pergunakan jurus 'Lahar
Gegana' untuk melawan jurus 'Perisai Malaikat' itu!"
pikir si Raja Maut sambil perhatikan lawannya yang
sedang memainkan jurus dengan gerakan lamban.
Raja Maut kerahkan tenaganya dengan tangan
membuka ke atas membentuk cakar pada jari-jarinya.
Tangan itu segera menyentak ke sana-sini dengan cepat,
kemudian berhenti di pertengahan dada. Seluruh jarinya
menggenggam kecuali jari tengah dari kedua tangan. Jari
tengah itu saling merapat, kemudian dengan kaki
menghentak ke bumi, kedua tangan yang jari tengahnya
saling merapat lurus itu menyentak ke depan. Suuut...!
Selarik sinar biru tanpa putus melesat dari ujung
kedua jari tengah itu. Sinar itu semakin jauh semakin
melebar dan membesar, hingga akhirnya menghantam
tubuh Rara Santika. Namun dalam jarak dua langkah
sebelum mencapai tubuh perempuan montok itu, sinar
biru tersebut telah pecah menyebar dan menimbulkan
ledakan yang amat dahsyat.
Blegaaaarrr...!
Air sungai meluap seketika, tanah bagaikan dihentak
gelombang dari kedalaman bumi. Batu-batuan terpental,
ada yang pecah seketika, ada pula yang hanyut terbawa
arus sungai. Pepohonan tumbang beberapa bagian.
Daun-daun pohon yang hanya terguncang oleh getaran
gelombang ledak tadi menjadi berhamburan ke mana-
mana. Tanggul sungai mengalami jebol pada sisi barat,
tanahnya longsor dan nyaris mengubur Suto Sinting jika
pemuda itu tidak segera pindah tempat dengan
pergunakan jurus 'Gerak Siluman'-nya. Zlaaap...!
Rupanya jurus 'Lahar Gegana' tak bisa menembus
jurus 'Perisai Malaikat', sehingga akibatnya Raja Maut
sendiri terlempar tinggi oleh sentakan gelombang ledak
tadi. Tubuhnya melayang ke atas tanpa keseimbangan
badan. Dan pada saat itulah, Rara Santika lepaskan
pukulan jarak jauhnya yang berbahaya. Tangan
kanannya menyentak ke atas dalam keadaan kelima jari
lurus merapat. Sinar hijau bening keluar dari jari-jari
tersebut dan menghantam tubuh Raja Maut sebelum
bergerak turun ke bumi. Slaap...! Jroooss...!
Tubuh Raja Maut kepulkan asap ketika bergerak
turun. Brrruk...! Tubuh itu jatuh terbanting di tanah
bagaikan gumpalan asap dari langit. Angin berhembus
menerbangkan asap tersebut. Kejap berikut tampaklah
sosok tubuh Raja Maut telah berubah menjadi kerangka
berpakaian jubah putih, ia mengalami nasib seperti dua
orang yang memanggil Rara Santika dengan sebutan
'ketua' tadi. Kematian itu hanya membuat Suto bengong
di tempat.
Rara Santika hembuskan napas pelan-pelan dari
mulutnya yang meruncing itu. Kedua tangannya
bagaikan melepaskan benda dari atas ke bawah secara
pelan-pelan juga. Ia pandangi lawannya yang telah
menjadi kerangka hangus namun masih kenakan pakaian
itu. Senyum pun mekar sebagai tanda kemenangan yang
sedang dinikmatinya. Lalu, ia langkahkan kaki untuk
mendekati Pendekar Mabuk yang saat itu sudah berada
di dekat tulang-belulang si Raja Maut dengan hati
membatin kata,
"Mampus juga kau, Raja Maut. Kau terlalu bodoh,
sehingga berani menganggap Rara Santika sebagai
Gundik Sakti. Kau tak tahu kalau Rara Santika itu juga
berilmu tinggi, setara dengan adik kembarnya; si Gundik
Sakti itu. Yaaah... salam saja buat rekan-rekanku yang
sudah lebih dulu bermukim di akhirat sana!"
Di wajah Pendekar Mabuk tak ada rona duka sedikit
pun melihat kematian Raja Maut. Padahal dulu ia pernah
dibantu Raja Maut dalam berbagai pertarungan dengan
tokoh sakti lainnya, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam
episode : "Ratu Tanpa Tapak"). Suto bahkan tampak
kagum dan lega memandang kehadiran Rara Santika
yang mendekatinya, ia sunggingkan senyum sebagai
penyambut kemenangan si perempuan cantik itu.
Kedua tangan Suto mengembang dan ia berkata
dengan nada ceria, "Perempuan terhebat, masuklah
dalam pelukanku!"
Wajah perempuan itu berseri-seri. Ia segera memeluk
Suto Sinting dan Pendekar Mabuk pun segera
memeluknya. Suto sempat bisikkan kata bernada mesra,
penuh kelembutan yang menyentuh perasaan seorang
wanita seperti Rara Santika Itu.
"Untung kau selamat. Jika kau sampai tiada, tak tahu
harus ke mana kucurahkan gairahku yang telah
menggebu-gebu saat ini, Santika!"
"Oh, Suto... gairahmu tak akan tercurah kepada siapa
pun kecuali kepadaku seorang. Bawalah aku ke tempat
yang aman jika kau tak sabar menahan hasratmu,
Sayang...!"
"Bagaimana kalau kita bercumbu di balik kerimbunan
semak itu, Santika sayang?!"
"Di mana pun aku siap menerima kehangatanmu,
Suto-ku tampan!" sambil tangan Rara Santika mengusap
pipi Pendekar Mabuk. Kemudian kedua tangan Pendekar
Mabuk meraih tubuh Rara Santika, menggendongnya
dengan kokoh dan membawanya lari ke arah semak-
semak di bawah pohon beringin putih.
Namun sebelum mereka mencapai tempat itu, sebuah
suara terdengar berseru dari belakang mereka dengan
lantang.
"Hentikan langkah kalian."
Seruan itu membuat Suto dan Rara Santika tersentak
kaget. Langkah pun dihentikan, tubuh Rara Santika
turun dari gendongan. Keduanya sama-sama pandangi
orangyang berseru dengan lantang itu.
"Ooh...?!" Suto Sinting sangat terkejut, bahkan
sempat mundur tiga langkah dari tempatnya. Apa yang
dipandangnya saat itu telah membuat hatinya menjadi
bimbang dan segera mengalami keresahan batin cukup
besar.
Orang yang berseru lantang tadi adalah seorang
perempuan yang mempunyai wajah serupa persis dengan
Rara Santika. Wajahnya, potongan tubuhnya, warna
kulitnya, pakaiannya, semua sama persis dengan Rara
Santika. Akibatnya mata Suto memandang kian kemari
dengan bingung. Hatinya sempat berucap kata,
"Inikah adik kembar Rara Santika?! Hmmm... benar-
benar sulit dibedakan antara Rara Santika dengan Rara
Sumina; si Gundik Sakti itu. Keduanya sama-sama
cantik dan menggairahkan. Tapi agaknya aku harus
memihak Rara Santika, supaya kekejaman si Gundik
Sakti tidak merajalela lagi."
Orang yang baru datang berwajah kembar dengan
Rara Santika itu pandangi Suto Sinting dengan tajam.
Tapi sebelum ia bicara, Rara Santika lebih dulu dekati
Suto dan berkata.
"Cantik sekali adik kembarku itu, bukan?! Tapi
sayang dia berada di jalan yang sesat! Perhatikan
kesamaannya denganku. Bukankah hal yang pantas jika
setiap orang menyangka diriku adalah Gundik Sakti?
Padahal dialah orang yang selama ini berjuluk si Gundik
Sakti."
"Aku bukan Gundik Sakti!" seru perempuan yang
baru datang itu. "Aku adalah Rara Santika! Kau jangan
melemparkan dosa padaku, Sumina!" tudingnya kepada
perempuan yang di samping Suto Sinting. Perempuan itu
hanya tersenyum sinis, lalu berkata kepada Suto dengan
nada manja,
"Dia ketakutan kepada kita, sebab dia tahu jika
kekuatan kita menjadi satu, dia akan hancur lebur dalam
sekejap saja! Tapi, aku tak ingin kau ikut celaka. Kalau
tubuhmu luka atau lecet sedikit saja, nanti masa
bercumbu kita kurang hangat, Suto. Sebaiknya kau
menyisi dulu, biar kuhadapi adikku itu."
Pendekar Mabuk masih bingung mengambil sikap.
Karena perempuan yang baru datang itu segera maju
dalam satu lompatan bersalto dan mendaratkan kakinya
dalam jarak empat langkah di depan Suto Sinting.
Wuuut...! Jleeeg...!
"Suto, buka matamu lebar-lebar! Jangan sampai kau
salah duga. Perhatikan siapa diriku sebenarnya dan siapa
dirinya. Perhatikan baik-baik, Suto. Aku tak ingin kau
terkecoh oleh kesamaan rupa ini!"
Rara Santika menyambar dagu Suto yang sedang
memandangi orang yang baru datang itu. Wajah Suto
dipalingkan hingga menatapnya, lalu ia berkata dengan
suara manja sedikit serak,
"Pandanglah aku saja. Bukankah aku lebih
menggairahkan daripada dia?"
Suto Sinting tersenyum tawar. "Kau memang sangat
menggairahkan, Santika!"
"Akulah Santika, Suto!"
"Diam kau!" bentak perempuan di samping Suto.
"Kau yang diam! Kau yang harus berhenti dari
kesesatanmu, Sumina! Aku mempunyai wewenang
untuk membunuhmu jika kau tidak kembali ke jalan
yang benar!"
"Bocah ingusan mau jual lagak di depan Pendekar
Mabuk! Kuhancurkan mulutmu jika kau masih mencoba
mengaku bernama Santika! Akulah yang punya nama
itu!"
"Pengecut kau, Sumina! Kau berani berbuat tapi tak
berani menanggung akibatnya! Demi nama baikku aku
rela bertarung mengadu nyawa denganmu!"
"Hik, hik, hik, hik...! Bocah kemarin sore mau
mengadu nyawa denganku?! Apa aku tak salah dengar,
Suto?! Dia pikir setelah namanya dikenal sebagai
Gundik Sakti, lantas akan dengan mudah
menumbangkan diriku?! Hik, hik, hik...! Lucu sekali
sikap anak kecil itu. Sudah mengaku bernama Rara
Santika, masih saja mau mengadu nyawa denganku!"
"Memang akulah Rara Santika, dan kau adalah Rara
Sumina; si Gundik Sakti! Kau telah menotokku, dan
menyembunyikan aku di balik semak belukar kala Suto
Sinting mencari seorang penyerang yang ingin
membunuhku dengan senjata rahasianya itu! Sekarang
aku tahu, kaulah orang yang menyerangku dengan
selempeng logam beracun untuk memancing kepergian
Suto dari sampingku. Begitu Suto pergi, kau menotokku
dari belakang dan menyembunyikan diriku di semak
belukar. Lalu kau tampil di tempatku berdiri sebagai
Rara Santika untuk merebut perhatian Suto Sinting!"
"Bohong!" bentak perempuan di samping Suto
dengan mata mendelik lebar, seakan ia ingin menelan
saudara kembarnya itu.
"Kau pikir mudah memperdaya Suto tanpa diriku,
Sumina?! Hmmm, tidak semudah dugaanmu, Adikku!
Totokanmu mampu kulepaskan dengan jurus 'Panca
Batin' warisan mendiang Ayah. Kau murid mendiang
Ibu, tak akan mempunyai jurus seperti itu!"
"Kurobek mulutmu kalau masih bicara lagi,
Jahanam!" ia maju selangkah dengan berang sekali.
"Aku sudah siap mati di tangan adik kembarku
sendiri. Untuk apa aku takut menghadapimu, Sumina!
Biarpun kau telah berhasil membuat Suto terpikat oleh
ilmu pemikatmu melalui kerlingan mata, namun
pertarungan ini akan membuka kesadarannya, bahwa kau
adalah Gundik Sakti dan aku adalah Rara Santika!"
"Bangsaaat...!" teriak perempuan yang tadi habis
membunuh Raja Maut itu. Ia segera melompat
menerjang perempuan yang baru datang itu. Wuuut....
Lompatan itu disambut oleh lawan dengan gerakan
melesat mirip terbang. Kedua tangan mereka saling
berusaha hantamkan pukulan selama dalam lompatan di
udara.
Plak, plak, plak, plak...! Blaarr...! Sinar merah
menyebar sekejap ketika telapak tangan mereka beradu.
Hentakan gelombang ledak yung timbul ketika itu
membuat tubuh Suto Sinting terpental ke belakang dan
berguling-guling. Kepalanya sempat membentur batu
dan merasa pusing dalam beberapa kejap. Suto Sinting
mengibas-ngibaskan kepalanya, membuang rasa pusing.
Tapi ternyata yang terbuang bukan saja rasa pusing,
melainkan kekuatan pengaruh ilmu pemikat ikut hilang
dari alam pikiran jiwanya.
"Oh, kenapa aku ada di sini?!" Suto Sinting membatin
dengan bingung sendiri. Semakin bingung lagi setelah
melihat dua perempuan kembar rupa bertarung dengan
pergunakan kipas gading masing-masing.
"Rara Santika bertarung melawan adik kembarnya;
Gundik Sakti. Tapi... tapi yang mana yang bernama
Gundik Sakti ?!" pikir Suto dengan dahi berkerut tajam.
"Aku harus membela Rara Santika untuk
menumbangkan si Gundik Sakti! Aduh, yang mana Rara
Santika?! Yang mana...?!" Suto tegang dan jengkel
sendiri. Matanya bergerak nanar diburu nafsu bertarung.
Blegaaar.... Kedua perempuan itu mengadu kipas di
udara. Ledakan besar terjadi bersama menyebarnya sinar
biru terang dari perpaduan kedua kipas tersebut. Salah
satu kipas terpental dan hancur berkeping-keping. Tapi
perempuan yang tanpa kipas itu masih tampak berani
lakukan penyerangan terhadap lawannya, ia
berjumpalitan di tanah beberapa kali, kemudian berhenti
dalam keadaan berlutut satu kaki dan sentakkan
tangannya ke depan. Sinar merah lurus keluar dari ujung
jari tangannya yang menguncup itu. Slaaap...! Sinar
lurus dihadang oleh kipas yang dikembangkan di depan
dada. Deeb...! Blaaarr...!
Zlaaap...! Orang yang memegang kipas lenyap
seketika. Bukan hancur karena hantaman sinar tadi,
melainkan berpindah tempat di belakang orang yang
tidak memegang kipas, ia mampu bergerak luar biasa
cepatnya, hingga tak terlihat ke mana arah gerakannya.
Tahu-tahu ia tebaskan kipasnya ke punggung lawan.
Wuuuut...! Breeett...!
"Aaahg...!" perempuan yang tak berkipas memekik
kesakitan, punggungnya robek lebar bagai dibabat
dengan pedang pemenggal kepala. Luka tersebut
keluarkan asap tipis, makin lama makin melebar dan
menjadi hitam. Penderitanya terhuyung-huyung
menahan rasa sakit yang luar biasa itu, sampai akhirnya
ia jatuh terkulai di atas sebongkah batu dalam keadaan
telungkup. Kedua tangannya terjuntai lemas, napasnya
sesak, suara rintihannya semakin pelan. Namun ia
tampak berusaha untuk tetap bisa bangkit dan membalas
serangan lawan.
"Aku terpaksa tega padamu! Terimalah kematianmu
sekarang juga. Hiaaah...!"
Craaaak...! Ujung kipas keluarkan mata pisau putih
tipis yang runcing dan tajam. Pada saat itu orang yang
sudah terluka sedang membalikkan badan menjadi
telentang dengan seringai kesakitan dipaksakan. Pisau di
ujung kipas segera ditebaskan untuk merobek leher
lawannya. Wuuut...!
"Hiaah...!" Suto Sinting melesat cepat. Zlaap...! Jurus
'Gerak Siluman' membuatnya bergerak seperti anak
panah, menerjang perempuan yang masih bersenjata
kipas itu. Bumbung tuaknya dihantamkan ke dada
perempuan tersebut pada saat menerjangnya. Buuhhg...!
"Aaahg...!" perempuan itu memekik tertahan,
tubuhnya melayang ke belakang. Suto Sinting
mengejarnya dengan lompatan bertenaga 'Gerak
Siluman' lagi. Zlaaap...!
Prraak...! Bumbung tuak menghantam kepala.
"Uuhg...!" perempuan itu terpental, terguling-guling
dalam keadaan kepala berlumur darah.
Tepat ketika perempuan itu berusaha bangkit, Suto
Sinting lepaskan jurus 'Mabuk Lebur Gunung',
menggeloyor seperti mau jatuh, ternyata menyodokkan
bumbung tuak ke punggung lawan. Beehg...! Brrruk...!
Lawan pun jatuh tersungkur, tubuhnya mulai sulit
bergerak. Rambutnya menjadi rontok semua. Tubuh itu
menjadi biru legam. Kejap berikutnya perempuan itu tak
mampu bernapas lagi. Ia menghembuskan napas terakhir
dengan tubuh menyentak satukali.
Weesss...! Nyawa pun melayang.
Suto Sinting segera menolong perempuan yang
terluka punggungnya itu. Dengan paksa ia meminumkan
tuak saktinya, membuat luka itu cepat sembuh secara
ajaib, dan kesehatan perempuan itu pun pulih kembali.
"Gundik Sakti telah tiada!" ucap Suto Sinting ketika
perempuan itu pandangi mayat tanpa rambut itu. "Dia...
Rara Santika?"
Suto Sinting gelengkan kepala. "Dia bukan Rara
Santika, tapi kaulah yang bernama Rara Santika. Dia
adalah Gundik Sakti; Rara Sumina, adik kembarmu itu."
"Dari mana kau bisa membedakan bahwa dia adalah
adikku?"
Suto Sinting mengambil sesuatu dari dalam ikat
pinggangnya. Sebuah gelang beruntai batu merah delima
dimainkan di telapak tangannya sambil sunggingkan
senyum menawan.
"Kulihat tangannya mengenakan gelang seperti ini,
sedangkan kau tidak mengenakan gelang. Karena
gelangmu kau serahkan padaku saat kita di kedai, dan
aku lupa mengembalikannya! Maka aku yakin, kaulah
Rara Santika. Sedangkan orang yang sejak tadi
bersamaku serta membuatku tega melihat kematian si
Raja Maut itu tak lain adalah si Gundik Sakti. Maka tak
ada salahnya jika aku segera menyerangnya demi
selamatkan nyawamu, dan nyawa para calon tumbal
lainnya."
Rara Santika yang tadi hentikan langkah Suto saat
mau menuju ke semak bersama Gundik Sakti itu segera
sunggingkan senyum manis, ia memandangi Suto
dengan penuh curahan rasa kagum. Sebaris gumam lirih
terdengar dalam suara lembut,
"Kau memang cerdas, Suto! Ambillah gelang itu
selamanya, jadikan milikmu yang paling berharga. Jika
masih kurang, ambillah pemilik gelang itu juga, aku
bersedia menjadi milikmu yang paling berharga."
Tiba-tiba terdengar suara, "Kau tak boleh melebihi
batas, Rara Santika!"
Mereka terkejut dan menjadi tegang. Suara bergema
itu adalah suara perempuan, namun tak terlihat bentuk
wujudnya. Hanya saja, telinga rindu Suto sangat
mengenali suara tersebut, sehingga ia pun berseru,,
"Kaukah yang mengirimkan suara itu, Dyah
Sariningrum?!"
"Ya, akulah yang bicara, Calon suamiku. Aku
terpaksa ikut campur karena hampir saja si Gundik Sakti
merenggut kehangatanmu. Tak kuizinkan ia berbuat
demikian padamu, sehingga terpaksa kulepaskan jurus
'Racun Simalakama' sebagai ungkapan murkaku
kepadanya. Tanpa kau bunuh pun sebenarnya ia akan
mati dengan sendirinya akibat 'Racun Simalakama'-ku
itu."
"O, jadi kauyangmencegah perbuatan liciknya itu?"
"Kukirimkan 'Racun Simalakama' melalui hembusan
sang bayu, dan ia menjadi ketakutan saat melihat
keadaanmu seperti bayi."
"Apakah kau juga melihatku dalam keadaan seperti
bayi, Dyah Kasih?" tanya Suto sambil ingin tertawa.
"Ya, aku melihatmu seperti itu juga," jawab suara
bergema.
"Dan kau menjadi takut seperti si Gundik Sakti itu?!"
"Aku... aku menjadi bertambah rindu, Suto!" suara
bergema itu kian lirih, menandakan ada rasa malu saat
mengucapkannya.
Suto Sinting tertawa sendiri. "Dyah Kasih..., aku tak
melihat wujudmu. Di mana kau bersembunyi?
Keluarlah, Dyah Kasih...!" bujuk Suto.
"Aku ada di Pulau Serindu sedang menunggumu,
Suto sayang...!"
"Kalau begitu aku akan berangkat ke Pulau Serindu
sekarang juga, Dyah kasihku."
"Tidak harus sekarang. Selesaikan sampai tuntas dulu
perkaramu itu. Gua Tumbal Perawan masih dihuni
orang-orang sesat bersama iblis sembahan mereka;
Darahkula. Gua dan Darahkula harus kau hancurkan
demi keselamatan para gadis lainnya, Suto! Setelah itu,
lekaslah pulang ke Pulau Serindu, di sana aku
menunggumu!"
"Baik, akan kuhancurkan gua itu dengan Napas Tuak
Setan-ku!" kata Suto penuh semangat. Kemudian ia
memandang Rara Santika yang terbungkam diliputi
perasaan takut. Perempuan itu pun akhirnya berkata,
"Aku akan ikut ke gua itu, tapi... tapi aku tak berani
lagi lebih dekat denganmu. Suara itu membuat jiwaku
menjadi sangat ketakutan. Kalau boleh kutahu, suara
siapa itu?"
"Itu suara calon ibunya anak-anak," jawab Suto
sambil cekikikan sendiri.
SELESAI
PENDEKAR MABUK
Segera menyusul!!!
TITISAN DEWAPELEBURTELUH


Pembuat E-book:
Scan buku ke DJVU: Abu Keisel
Convert & Edit: Paulustjing
Ebook oleh: Dewi KZ
http://kangzusi.com
http://dewi-kz.info/
http://www.tiraikasih.co.cc/
http://ebook-dewikz.com/
convert txt : http://www.mardias.mywapblog.com