Pendekar Mabuk 58 - Gadis Buronan(1)


1
PERTARUNGAN di puncak bukit terpaksa terhenti
beberapa saat, karena kedua orang yang saling mengadu
kesaktian itu sama-sama terjungkal ke belakang. Sebuah
ledakan dahsyat melemparkan tubuh mereka hingga
berjungkir balik bagai dilanda badai angin panas.

Keduanya sama-sama mengucurkan darah dari hidung,
keduanya sama-sama berwajah pucat pasi bagai mayat
kemarin sore.
"Dadaku sesak sekali. Terasa sakit jika untuk
bernapas. Aku harus salurkan hawa dingin dulu untuk
mengatasi luka dalamku ini," pikir seorang pemuda
tampan bercelana hijau dengan rompinya yang hijau


berhias benang emas. Pemuda berambut panjang
digulung tengah itu tak lain adalah Darah Prabu, murid
Resi Badranaya yang diutus mengejar seorang gadis dari
Perguruan Biara Ungu.
Sementara itu, lawan Darah Prabu juga mengalami
nasib yang serupa. Tubuhnya sempat terkulai sesaat
setelah terlempar gelombang ledakan akibat beradu
tenaga dalam dengan Darah Prabu tadi.
"Monyet kadas! Tulang-tulangku bagaikan remuk
semua kalau begini caranya. Uuhf...! Hampir-hampir aku
tak mempunyai tenaga lagi, sehingga untuk bangkit saja
sukarnya bukan main. Aku harus lakukan penyembuhan
sementara dengan napas murniku!" ujar si gadis
membatin gerutu dan keluhan.

Gadis itu yang hanya mengenakan kutang tanpa jubah
dengan dada montok bertato gambar naga sejengkal itu
tak lain adalah Peluh Setanggi, buronan cantik yang ulet
dan licin bagaikan belut. Lukanya di bagian lambung
akibat pertarungannya dengan Sumbaruni itu sudah
mulai mengering, ia melakukan pengobatan sendiri
dengan napas murninya. Namun pengobatan itu belum
selesai, ia sudah dipergoki oleh Darah Prabu, sehingga
harus lari lagi menghindari murid Resi Badranaya itu,
(Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Misteri
Bayangan Ungu").

Agaknya keduanya sama-sama kuat, sehingga
keduanya sama-sama letih setelah bertarung sekian lama
tak ada yang tumbang salah satu. Jika Peluh Setanggi
melarikan diri, Darah Prabu mengejarnya lagi, lalu 
terjadilah pertarungan kembali. Hanya saja, agaknya
pertarungan di bukit itu adalah pertarungan terakhir yang
tanpa sadar disepakati dalam hati mereka. Peluh
Setanggi tak ingin melarikan diri lagi. Hidup dan mati,
menang atau kalah ia akan hadapi Darah Prabu,
demikian pula halnya dengan Darah Prabu sendiri.

Salah satu dari beberapa jurus andalannya telah
digunakan untuk melumpuhkan Peluh Setanggi. Tapi
sejak tadi si cantik berambut terurai itu cukup mampu
mematahkan jurus-jurus andalan Darah Prabu.

"Alot sekali nyawanya?!" gumam Darah Prabu
membatin. "Jurus-jurus berbahayaku masih bisa
ditangkis dengan jurus simpanannya, walau akhirnya
aku dan dia sama-sama jungkir balik kewalahan. Tapi
rupanya dia bukan gadis yang mudah ditaklukkan.
Mungkin usahaku merebut kembali pusaka itu harus
dilakukan dengan menggunakan tipu muslihat."
Sedangkan Peluh Setanggi pun membatin, "Jurus
simpananku ternyata tak bisa mengalahkan jurus-
jurusnya. Jika terus-terusan begini, bisa-bisa aku
kehabisan jurus simpanan. Rasa-rasanya aku harus
gunakan siasat untuk mengalahkan si monyet kadas itu!"

Setelah keduanya sama-sama mengumpulkan tenaga
kembali, kini mereka sama-sama berdiri dan saling
berhadapan dalam jarak tujuh langkah. Mata mereka
saling memandang penuh dendam tersembunyi.
Peluh Setanggi mempersiapkan dirinya untuk
bertarung kembali dengan tangan kanan mulai
memegangi gagang pedang yang ada di pinggang 
kirinya. Darah Prabu pun memperlihatkan kegagahannya
dengan berdiri tegak dan tangan memegangi gagang
pedang di pinggang, seakan siap dicabut kapan saja.
Dalam pandangan sepintas, mereka seolah-olah siap
beradu jurus pedang untuk menentukan siapa yang harus
tumbang. Tetapi sebenarnya dalam hati mereka sama-
sama menyimpan keraguan.
"Jangan-jangan jurus pedangku tak mampu
mematahkan jurus pedangnya?" pikir Peluh Setanggi.
"Menurut Guru jurus pedangku agak lemah.
Mampukah aku mengalahkan jurus pedangnya?!"
Darah Prabu maju satu langkah, Peluh Setanggi juga
maju satu langkah. Sreet...! Peluh Setanggi mendului
mencabut pedangnya. Sraang...! Darah Prabu pun
mencabut pedangnya, ia segera maju dua langkah, Peluh
Setanggi juga maju dua langkah. Kini jarak mereka
cukup dekat dan masih saling memandang dengan sorot
mata tajam. Kedua mata mereka sama-sama mengecil
bagai ingin membuat pandangannya lebih tajam lagi.
Semak di bawah pohon bergerak-gerak. Ternyata ada
orang yang mengintai pertarungan di baiik gerumbulan
semak itu. Sepasang mata memperhatikan ke arah Darah
Prabu dan Peluh Setanggi dengan penuh ketegangan.
Sepasang mata itu milik seorang lelaki berusia sekitar
empat puluh tahun, berambut pendek, ikat kepala putih,
baju hijau tua, kurus, pendek, dan tanpa kumis ataupun
jenggot selembar pun. Orang itu tak lain adalah pelayan
Resi Pakar Pantun yang bernama Kadal Ginting.
Sang pelayan terpisah dari tuannya akibat
pertarungan di negeri Bumiloka. Namun kesetiaan dari si
Kadal Ginting, bagaimanapun juga ia tetap mencari
tuannya; Resi Pakar Pantun. Setelah ia menemui
Penunggu Hutan Rawa Kotek sesuai petunjuk Suto
Sinting, dan ternyata sang Tuan tidak ada di sana, maka
Kadal Ginting mencari terus ke arah mana saja sampai
akhirnya tiba di bukit itu dan memergoki pertarungan
yang sejak tadi tiada habisnya, (Baca serial Pendekar
Mabuk dalam episode: "Pembantai Raksasa").

Pada waktu Darah Prabu dan Peluh Setanggi sama-
sama bangkit, Kadal Ginting sempat membatin,
"Nah, kali ini pasti lebih seru dari yang tadi. Oh
masing-masing sudah mulai memegangi gagang
pedangnya. Lha... benar, kan? Sekarang masing-masing
sudah mencabut pedangnya. Wah, pasti mereka akan
saling beradu kepandaian memainkan jurus pedang.
Hmmm... mana yang unggul nantinya; Darah Prabu atau
si gadis yang tadi sebelum terjadi ledakan dahsyat
kudengar dipanggil dengan nama Peluh Setanggi?!"
Kadal Ginting sudah mengenal Darah Prabu, karena
dulu pernah bertemu dengan Darah Prabu ketika ia
mengikuti Resi Pakar Pantun dalam suatu perjalanannya.
Tak heran jika Kadal Ginting masih ingat bahwa pemuda
tampan itu adalah muridnya Resi Badranaya, sahabat
Resi Pakar Pantun.
Tapi agaknya Kadal Ginting menyimpan
kedongkolan di balik persembunyiannya, karena kedua
orang itu tidak segera lakukan pertarungan dengan
pedang. Kadal Ginting sudah tak sabar, sehingga ia pun


bicara sendiri dengan suara lirih sekali,
"Ayo, lekas! Tinggal bacok sana, bacok sini saja kok
susah amat?! Tebaskan pedangmu Darah Prabu. Beet...,
begitu! Untung-untungan sajalah, apakah gadis itu bisa
menangkis atau tidak. Ledakan tidak ya mati, ledakan
bisa ya selamat. Ah, gadis itu juga agaknya ragu-ragu
menebaskan pedangnya ke leher Darah Prabu. Apakah
karena Darah Prabu ganteng maka ia tak tega
membuntungi kepalanya? Uuh... dasar gadis goblok!
Kehilangan lawan berwajah ganteng tak apalah, kan
masih ada aku yang juga berwajah ganteng?"
Peluh Setanggi benar-benar tak melihat ada lelaki lain
di situ kecuali Darah Prabu. Seandainya melihat pun tak
akan sudi melirik Kadal Ginting yang berwajah tua dan
berkulit seperti lipatan sabuk. Pusat perhatian Peluh
Setanggi memang tertuju pada sepasang mata bening
yang memancarkah kemarahan itu.
"Sebaiknya kupikat hatinya dengan jurus 'Mantra
Pemasung', biar dia tergila-gila padaku dan tunduk
padaku. Jika sudah begitu dia akan rela kuperlakukan
bagaimanapun juga, sekali pun kuhabisi nyawanya tak
akan melawan."
Begitu kecamuk batin Peluh Setanggi yang merasa
kewalahan menghadapi jurus-jurusnya Darah Prabu.
Padahal pada waktu itu Darah Prabu sendiri membatin
dalam hatinya,
"Agaknya aku perlu menggunakan jurus 'Tutur
Kasmaran', biar tak perlu repot-repot lagi menaklukkan
kekerasan hatinya yang tak mau bicara tentang pusaka


curiannya!"
Maka batin Darah Prabu pun segera mengucapkan
sebaris mantra ajian yang dapat untuk meluluhkan hati
wanita dalam keadaan mata saling beradu pandang.
Sorot pandangan mata Darah Prabu mulai berbinar-binar
karena memancarkan kekuatan gaib yang menguasai
jiwa, pikiran dan batin si Peluh Setanggi.
"Cahya pamujan cahyaning pangeran 
mata wicara suryaning dewata 
tebar-tebur menebar lewat mata sampai dubur 
tundak-tanduk tertunduklah jabang bayinya 
Peluh Setanggi 
tanpa tunduk akan mati, semakin tunduk penuh 
gairah tak mau lepas ledakan tak kukehendaki. 
Bergobar-gaber sumsum selimut semut-semut 
nyut-nyut pengasih dikenyut susut. 
Sembah, sembah, sembah, sembah, 
sembahing kawula lan gusti."
Pandangan mata Darah Prabu mulai memancarkan
sinar hijau samar-samar yang berasap tipis. Sinar hijau
dan asap tipis itu tak terlihat oleh mata orang yang
diincar jurus 'Tutur Kasmaran' itu. Tetapi bagi yang
tidak diincar jurus tersebut melihat samar-samar
pancaran sinar hijau bercampur asap tipis itu.
Padahal waktu itu di dalam batin Peluh Setanggi juga
melepaskan kekuatan sihir ajaran dari Nyi Mas
Gandrung Arum, gurunya. Kekuatan sihir itu terpancar
karena 'Mantra Pamasung' diucapkan dalam batinnya,
"Peri keblak demit tandak 


lumpuhkan hatinya Darah Prabu 
dan jerat pikat dengan aji para dewa-dewi. 
Sir kumisir, ser gangser, cucup puser 
Peri puber satria ngiler, 
tak akan pisah sebelum basah. 
Ser, ser, ser.
Kiri muter, kanan muter, tengah gemeter. 
Nyimat-nyimut senat-senut, 
hati lanang digdaya pasrah seturut asmara ujung
perut.
Pasrah sumarah sukma batin jiwa si Darah Prabu.
Oh, ah, oh, ih. Mpot-mpot copot."
Kadal Ginting yang melihat adanya sinar biru bening
sebesar lidi melesat dari pertengahan kening di antara
kedua alis Peluh Setanggi. Sinar biru kening itu tidak
bisa dilihat Darah Prabu sebagai sasaran batin si Peluh
Setanggi. Tetapi bagi orang lain, seperti Kadal Ginting,
melihat jelas sinar biru bening sebesar lidi itu memancar
masuk ke dalam kening Darah Prabu tanpa rasa apa pun.
"Gila! Keduanya sama-sama melepaskan tenaga
dalam dan saling terkena serangan masing-masing. Wah,
pasti keduanya akan meledak bersama dan menjadi
serpihan daging hangus yang menjijikkan jika
dibayangkan. Oh, aku tak tega! Aku tak mau melihat
kengerian itul"
Kadal Ginting buang muka sambil menahan debar-
debar dalam dadanya. Jantung yang berdag-dig-dug itu
menunggu meledaknya dua orang tersebut dengan
ketegangan yang amat mencekam.


"Kok lama sekali mereka tidak saling meledak?!"
pikir Kadal Ginting sambil masih berpaling. Kemudian
perlahan-lahan rasa ingin tahunya memaksa kepala
bergerak ke arah semula, tapi matanya mengecil karena
bersiap untuk terpejam saat terjadi ledakan yang
dibayangkan.
Padahal saat itu Darah Prabu sedang maju satu
langkah, Peluh Setanggi juga maju satu langkah,
akhirnya mereka berada dalam satu jangkauan
sepelukan. Keduanya telah sama-sama terkena aji
pemikat yang membangkitkan gairah cinta dan hasrat
ingin bercumbu tak tertahankan lagi. Yang ada di dalam
hati mereka adalah debar-debar keindahan dan gejolak
hasrat ingin saling memberi kehangatan.
"Sebenarnya kau cantik sekali, Peluh Setanggi," ucap
Darah Prabu dengan lirih.
"Kau pun sangat tampan dan menawan, Darah
Prabu," balas Peluh Setanggi dalam suara mendesah.
"Oh, aku sangat berhasrat memelukmu, Peluh
Setanggi."
"Darah Prabu... tubuhku dingin sekali, hangatkan
dengan pelukanmu. Hangatkan sekarang juga, Darah
Prabu," desah Peluh Setanggi dengan pandangan
matanya menjadi sayu akibat diburu gairah bercumbu.
Maka pelan-pelan sekali Darah Prabu dekatkan
bibirnya ke bibir Peluh Setanggi. Pelan-pelan pula bibir
Peluh Setanggi merekah ternganga siap menerima
kehangatan lawannya. Darah Prabu kian tak mampu
bertahan melihat bibir merekah sebegitu indah. Akhirnya


bibir itu pun dikecup dengan bibirnya dan dilumat pelan-
pelan. Sekujur tubuh Peluh Setanggi seperti dikerumuni
jutaan semut. Berdesir indah sekali, sehingga keindahan
itu menuntun batin untuk merenggut lebih dari sekadar
kehangatan bibir.
Peluh Setanggi buru-buru memeluk Darah Prabu
dengan satu tangan, karena tangan kanannya masih
memegangi pedang. Begitu pemuda itu terpeluk erat,
lidah dan bibir menyerang dengan lincah dan ganas.
Darah Prabu terpaksa harus membalas lebih ganas lagi
dengan tangan kiri meremas punggung Peluh Setanggi
yang tak berkain itu.
"Lhooo...?!" Kadal Ginting bagai ingin terlonjak
dalam pekikan batinnya. Begitu ia membuka mata lebar-
lebar, ternyata yang dilihatnya bukan ledakan
mengerikan namun pertemuan bibir dengan bibir yang
saling melumat tanpa malu-malu lagi.
"Kok jadi begitu?!" pikir Kadal Ginting. "Wah, wah,
wah... kacau balau pertarungan ini! Pertarungan cap apa
ini namanya? Sudah sama-sama cabut pedang, tinggal
bres, bres, bres... eh, pakai adu mulut segala?! Ini
namanya melanggar tata tertib pertarungan. Harus
kulaporkan kepada Eyang Resi atau para tokoh tua rimba
persilatan! Tapi... tapi nanti dulu, ah! Untuk apa buru-
buru pergi, karena kelihatannya Peluh Setanggi
menuntun Darah Prabu ke semak-semak seberang sana.
Naah... betul, bukan?! Eh... kok mereka semakin
menjadi-jadi? Lho, lho... kok Darah Prabu melepaskan
rompinya. Sik, sik, sik... lakone apa ledakan begini,


ya?!" Kadal Ginting kebingungan mencari jalan untuk
mendekati semak-semak yang mulai bergoyang-goyang
itu.
Darah Prabu tak sadar lagi apa yang dilakukannya,
demikian pula Peluh Setanggi. Kasmaran mereka saling
beradu cukup seru, merusakkan ilalang sekitarnya,
memecah kesunyian puncak bukit dengan suara
gemerisik dan rintihan gaduh yang memekik-mekik dari
mulut Peluh Setanggi.
Darah Prabu tak ingat lagi tentang siapa-siapa,
bahkan tak terbayang sedikit pun wajah Kejora, si gadis
lugu yang kala itu sedang diculik oleh bayangan ungu.
Padahal sebelumnya hati Darah Prabu telah terpikat oleh
kecantikan Dewi Kejora yang akrab dipanggil Kejora
saja itu. Ia menjadi berang saat Kejora diculik orang.
Tapi sekarang, dalam dekapan hangat tubuh berdada
montok kencang itu, Darah Prabu tak berpikir lagi
tentang nasib Kejora. Ia tak tahu Kejora sudah
dibebaskan dari dekapan penculiknya oleh Pendekar
Mabuk dan Resi Pakar Pantun, (Baca serial Pendekar
Mabuk dalam episode: "Misteri Bayangan Ungu").
Darah Prabu memang tak tahu bahwa Kejora
kebingungan mencarinya dengan wajah sedih. Setelah
lolos dari tawanan si Kucing Hutan, Kejora tidak
menampakkan keceriaannya, hal itu membuat Resi Pakar
Pantun sebagai pelaku penyelamatan itu menjadi
kecewa. Tokoh tua berusia sekitar delapan puluh tahun
itu bersungut-sungut menjauhi Kejora yang merengut di
bawah pohon. Pemuda tampan berbaju coklat tak


berlengan dengan pakaian putih lusuh dan selalu
membawa bumbung tuak itu sedang berusaha membujuk
Kejora agar tak berduka. Pemuda tampan itu adalah
Pendekar Mabuk yang dikenai dengan nama Suto
Sinting, murid si Gila Tuak dan Bidadari Jalang.
"Kau tak boleh semurung ini, Kejora. Seharusnya kau
merasa beruntung karena kau telah bebas dari tangan si
Kucing Hutan alias Perawan Titisan Peri itu."
"Untuk apa aku bebas dari Kucing Hutan kalau tak
bisa bertemu dengan Darah Prabu? Aku kangen dan
ingin mendengar suaranya, Suto. Aku ingin melihat
ketampanan wajahnya dan, ah... pokoknya kangen
sekali."
Resi Pakar Pantun yang bersungut-sungut itu segera
menyahut, "Kangen, kangen...! Kau enak, tinggal
merasakan kangen, aku ini yang tak enak, susah payah
menyelamatkan dan membawa keluar dirimu dari
bangunan kuno itu sampai lututku membentur batu,
eeh... yang diselamatkan justru cemberut dan merasa
kecewa. Kalau begitu kau masuk kembali ke bangunan
kuno itu saja!"
"Jangan begitu, Resi," tutur Suto Sinting dengan
kalem. "Mohon dimaklumi saja, karena Kejora
menyimpan cinta begitu besar kepada Darah Prabu."
"Cinta, cinta... apa itu cinta?! Aku tidak tahu soal
cinta!" gerutu Resi Pakar Pantun sambil memunggungi
Suto Sinting dan Kejora. Kemudian terdengar suaranya
berucap dalam pantun.
"Sarung kumal diseruduk anak badak, 


robek tepinya dipakai jingkrak-jingkrak. 
Biar cinta sebesar gajah bengkak, 
apalah artinya kalau tak mampu bertindak."
 Kejora memandang sengit kepada Resi Pakar Pantun,
ia sempat berkata pelan, "Apa maumu sebenarnya, Pak
Tua?"
"Sarung kumal buat bungkus pisang, 
semakin lama semakin hangat dipegang. 
Hargailah susah payah seseorang, 
walau dengan senyum dan wajah riang." 
Si gadis justru semakin cemberut dan kesal kepada
Resi Pakar Pantun, ia segera melangkah pergi sambil
berkata dalam nada sewot,
"Bodo, bodo, bodo... pokoknya aku mau cari Darah
Prabu!"
"Hei, Kejora... mau ke mana kau mencarinya?" 
"Ke mana saja, pokoknya aku harus bertemu Darah
Prabu!"
"Bagaimana dengan pusaka leluhurmu?! Bukankah
kita sedang mencari pusaka itu?!" 
"Masa bodoh...!"
Weesss...! Kejora larikan diri tak mau diajak
berunding lagi. Pendekar Mabuk menahan rasa jengkel
menghadapi sikap manja si gadis lugu itu. Ia me-
mandang Resi Pakar Pantun dan segera berkata,
"Aku harus mendampinginya, karena ia dalam
tanggung jawabku. Kau sendiri bagaimana, terserah
keputusanmu, Resi."
"Uu...! Sama saja mengasuh anak sapi kalau begini


caranya!" seraya ia bergegas mengikuti langkah Suto
Sinting yang mengejar pelarian Kejora. Agaknya sang
Resi tak tega membiarkan Suto Sinting mendampingi
Kejora yang ingin mencari Prabu Darah itu, walau dalam
hati sang Resi penuh gerutu dan geram kejengkelan.
*
* *


2
GERAKAN lari Kejora tanpa disengaja diterjang oleh
sekelebat bayangan yang sedang melintas. Terjangan itu
cukup kuat hingga membuat Kejora terlempar tinggi dan
tersangkut di kerimbunan sebuah pohon. 
"Aaaa...!" 
Gusraakk...!
"Auuuh...! Toloooong...!"
Teriak Kejora tidak mengejutkan Resi Pakar Pantun
dan Suto Sinting. Hal yang mengejutkan mereka adalah
sekelebat bayangan yang terlihat jelas menerjang Kejora.
Terjangan itu pun membuat sosok bayangan yang berlari
cepat itu terjungkal dan berguling-guling di tanah, lalu
berhenti terkapar di depan langkah Pendekar Mabuk dan
Resi Pakar Pantun.
"Uuuhhg...!" orang itu mengerang kesakitan sambil
melontarkan gerutu tak jelas.
"Hantu Laut...?!" sapa Suto Sinting dengan suara
menyentak heran.
Orang yang menerjang Kejora tanpa sengaja itu


memang seorang lelaki berkepala gundul, bercelana biru,
ikat pinggang merah, tak pernah pakai baju yang dikenal
dengan nama Hantu Laut. Ia berbadan besar, berhidung
bulat, berkulit hitam, perutnya sedikit buncit dan agak
budeg.
Resi Pakar Pantun mengenal orang bermata besar itu,
tapi juga pernah mendengar penjelasan dari salah
seorang sahabatnya bahwa Hantu Laut sudah bukan lagi
anak buah Siluman Tujuh Nyawa, si tokoh sesat yang
paling ditakuti oleh para tokoh aliran hitam itu. Semula
memang Hantu Laut adalah sekutunya Siluman Tujuh
Nyawa, bekerja menjadi pelayan Tapak Baja yang
menguasai sebuah kapal penyerang dalam pemerintahan
Siluman Tujuh Nyawa. Tapi ketika Hantu Laut
ditundukkan oleh Suto Sinting, akhirnya ia menjadi
pengikut Suto Sinting dan mengabdi kepada
pemerintahan Ratu Pekat di Pulau Beliung, (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode: "Pusaka Tombak
Maut").
Tentu saja kepergian Hantu Laut dari Pulau Beliung
atas perintah atau seizin Ratu Pekat. Biasanya ia
mengemban tugas dari Ratu Pekat untuk menyampaikan
suatu kabar kepada Pendekar Mabuk.
"Hantu Laut..., mengapa kau ada di sini?!" tanya Suto
Sinting setelah menarik tangan si Hantu Laut agar cepat
berdiri.
"Siapa bilang aku penakut? Aku berani berhadapan
dengan siapa saja!"
"Hei, yang kutanyakan tadi: mengapa kau ada di


sini?!" Suto Sinting memperjelas pertanyaannya, dan
Hantu Laut pun segera menggumam sambil manggut-
manggut, mengakui salah dengarnya tadi. "Oooo...
mengapa aku ada di sini? Apakah kau tak lihat kalau aku
di sini karena jatuh menabrak seekor rusa?!"
"Toloooong...!" seru Kejora di atas pohon. Suto
Sinting melirik ke atas sambil menahan geli, kemudian
bicara kepada Hantu Laut,
"Yang kau tabrak bukan seekor rusa, tapi seorang
gadis cantik! Lihat, dia tersangkut di atas pohon itu!"
"Sutooo... tolong akuuu...!" teriak Kejora dengan
nada suara penuh rasa takut.
Resi Pakar Pantun hanya memandang dengan
tersenyum sinis, sengaja tak mau berbuat apa-apa untuk
gadis itu. Pendekar Mabuk berkata kepada sang Resi,
"Kurasa kau bisa membantunya turun kemari, Resi."
"Memang bisa, tapi aku tak mau lakukan." 
"Kenapa begitu, Resi?"
"Pertolonganku tak akan punya arti baginya, ia tetap
akan murung tanpa merasa senang dan tak akan
menampakkan rasa syukurnya atas pertolonganku."
"Toloooong... aku takut jatuuuh...!" seru Kejora
bernada mau menangis.
"Mintalah tolong kepada Darah Prabu! Berteriaklah
yang keras memanggil nama kekasihmu itu!" seru Resi
Pakar Pantun dengan hati dongkol.
Suto Sinting hanya tertawa kecil melihat sikap sang
Resi yang pengaruh kebanyakan umur jadi bersikap
seperti anak kecil.


"Turunkan dia, cepat!" perintah Suto Sinting kepada
Hantu Laut.
Orang berkeringat itu tak berani menentang perintah
Pendekar Mabuk, ia pun segera melesat dalam satu
lompatan dan hinggap di dahan, kemudian menyambar
Kejora dan dibawanya turun. Wuuuss...! Zrraaak...!
"Aaaaa...! Takuuuttt...?"
Kejora menjerit lebih keras lagi. Setelah diturunkan
dari topangan kedua tangan Hantu Laut, ia buru-buru
memeluk Suto Sinting dengan manja dan berkata sambil
membenamkan wajah di dada Suto Sinting.
"Aku... aku takut, Suto! Aku takut kepada orang utan!
Aku paling jijik dengan seekor kera sekecil apa pun.
Apalagi sebesar itu, oooh... takut sekali, Suto!"
"Hei, hei... itu bukan kera. Bukan pula orang utan.
Dia adalah Hantu Laut sahabatku. Perhatikanlah baik-
baik, jangan sepintas saja!"
Sang Resi menimpali, "Apa kubilang tadi, tak ada
terima kasihnya gadis ini jika dapat pertolongan. Bukan
menampakkan rasa bersyukurnya malah menghina si
penolong. Untung si Hantu Laut orang budeg, jadi ia tak
dengar dikatakan sebagai orang utan atau kera raksasa."
"Kera raksasa!" sentak sang Resi memperjelas
ucapannya tadi.
Hantu Laut terbengong, lalu palingkan muka sambil
menggumam lirih, "Kebangetan...!"
Kejora pandangi Hantu Laut dengan sorot pandangan
mata penuh curiga, ia masih berlindung di balik tubuh
kekar si Pendekar Mabuk, ia sempat berbisik kepada


Suto Sinting,
"Apakah dia suka menggigit?"
"Husy, dia bukan sejenis serigala!" balas Suto Sinting
dalam bisikan pula.
"Tap... tapi dia sahabatmu?"
"Benar. Penampilannya memang menyeramkan, tapi
hatinya baik. Jangan beranggapan buruk kepadanya,
nanti dia tersinggung."
"Tiap hari makanannya apa?"
"Beling!" jawab Pendekar Mabuk agak kesal atas
pertanyaan Kejora itu. Rupanya Hantu Laut mendengar
percakapan itu walau secara samar-samar, lalu ia segera
berkata,
"Eh, Nona... biar begini-begini aku ini manusia. Kau
pikir kuda lumping?! Jangan menghinaku sebagai
pemakan beling. Aku makan nasi, jagung, ubi dan
sebagainya! Sama dengan kau juga."
"Siapa yang mengatakan kau makan beling? Bukan
aku, Kang Hantu! Suto yang menjawab begitu tadi."
"Sudah, sudah...," Suto Sinting segera melerai cekcok
kecil itu. "Hantu Laut, sekali lagi kutanya mengapa kau
ada di sini? Bukankah seharusnya kau ada di Pulau
Beliung?"
"Aku diutus oleh Ratu Pekat untuk menemuimu dan
menyampaikan sebuah kabar yang penting kau ketahui."
"Kabar apa itu?"
"Dyah Sariningrum, calon istrimu yang menjadi Ratu
di negeri Puri Gerbang Surgawi di Pulau Serindu,
mengirimkan utusan untuk menemuimu, tapi kapalnya


terdampar di Pulau Beliung."
Pendekar Mabuk sangat terkejut mendengarnya.
Terbayang seraut wajah cantik yang amat dicintai dan
selalu mendampingi alam pikirannya setiap hari. Dyah
Sariningrum yang berjuluk Gusti Mahkota Sejati
mengirimkan utusannya untuk menemui Pendekar
Mabuk. Hal ini jarang dilakukan jika tidak karena ada
perkara yang amat penting. Tapi anehnya, mengapa
kapal mereka terdampar di Pulau Beliung?
"Siapa yang menjadi utusan calon istriku itu?!" tanya
Suto Sinting kepada Hantu Laut
"Belum. Aku belum mendengar keputusan calon
istrimu."
"Siapa yang jadi utusan! Bukan keputusan! U-tu-
san!" seru sang Resi.
"O, yang diutus?! Hmmm... si cebol gagap; Dewa
Racun."
"Ooooh...!"
Brrruk...!
Kejora jatuh terkulai dengan lemas. Pendekar Mabuk
terkejut, yang lainnya memandang heran. Gadis itu
segera diangkat oleh Pendekar Mabuk.
"Kejora...?! Kejora, mengapa kau jatuh lemas begitu
mendengar nama Dewa Racun?!"
"Aku... aku tak kuat lagi menahan rasa sakit sekujur
tubuh, akibat... akibat terjangan Kang Hantu Laut itu.
Oooh...."
Resi Pakar Pantun menggumam dan menggerutu tak
jelas. Tapi wajahnya tampak tidak seheran tadi, bahkan


berkesan dongkol setelah mengetahui penyebab jatuhnya
Kejora. Pendekar Mabuk tertawa kecil, lalu segera
meminumkan tuaknya yang dikenal sebagai tuak sakti
paling mujarab untuk sembuhkan segala macam luka
dan penyakit. Terbukti dalam beberapa saat saja Kejora
sudah tampak segar dan mampu berdiri dengan tegak,
seluruh rasa sakitnya lenyap setelah menelan tuak Suto.
Kini pikiran Suto Sinting kembali tertuju pada kabar
tentang Dewa Racun. Jika bukan karena masalah penting
tak mungkin Dyah Sariningrum mengutus Dewa Racun
untuk menemui Suto Sinting, karena Dewa Racun adalah
orang kepercayaan Dyah Sariningrum yang ketujuh.
Ketika Dyah Sariningrum ingin memanggil Suto Sinting
ke istananya, ia mengutus Dewa Racun untuk mencari
sosok si Pendekar Mabuk yang dikenal pula sebagai
Bocah Tanpa Pusar itu. Pertemuan itulah yang membuat
Suto Sinting dan Dewa Racun menjadi akrab dan saling
bahu-membahu dalam menumbangkan kejahatan semasa
dalam perjalanan menuju Pulau Serindu, (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode: "Pertarungan di Bukit
Jagal").
"Kabar apa yang harus disampaikan oleh Dewa
Racun kepadaku?!" tanya Suto Sinting kepada Hantu
Laut.
"Aku tidak tahu, Suto. Sebaiknya datanglah ke Pulau
Beliung dan temuilah dia di sana, sebab Dewa Racun
dalam keadaan sakit."
"Sakit...?!" Suto Sinting terkejut. "Sakit apa dan
mengapa ia bisa sakit?"


"Aku bukan tabib jadi aku tak bisa menentukan jenis
penyakitnya," jawab Hantu Laut.
Resi Pakar Pantun yang berjalan di sekitar pohon
belakang Hantu Laut, tiba-tiba segera ajukan tanya
dengan suara agak keras.
"Mengapa punggungmu bernoda merah, Hantu
Laut?!"
"Aku tidak sedang marah-marah, aku sedang
menceritakan tentang...."
"Noda merah!" sang Resi memperjelas maksudnya
dengan suara lebih keras lagi.
"O, noda merah...?! Noda merah apa?" Hantu Laut
berusaha menengok ke belakang memeriksa
punggungnya, tapi tentu saja hal itu tak bisa dilakukan.
Tak ada orang yang bisa melihat punggungnya sendiri
jika tanpa bantuan cermin.
Wajah sang Resi tampak sedikit tegang, sehingga
Suto Sinting menjadi penasaran dan segera ikut
memeriksa punggung Hantu Laut, demikian pula dengan
Kejora yang tak mau jauh-jauh dari Pendekar Mabuk.
"Oh, benar. Ada tiga noda merah yang membentuk
sudut-sudut segitiga. Hmmm...." Suto Sinting manggut-
manggut memperhatikan tiga noda merah di punggung
Hantu Laut yang menyerupai pertemuan tiga sudut
dalam bangunan segi tiga. Noda itu sebesar biji jagung
dan tampak jelas bagian kulit yang matang akibat panas
api.
"Kau habis lakukan pertarungan, Hantu Laut?!" tanya
sang Resi.


"Pertukaran apa?"
"Pertarungan!" sentak sang Resi.
"O, pertarungan?! Iya, memang aku habis lakukan
pertarungan dengan seseorang yang tidak kukenal...."
Kata-kata itu terhenti karena tiba-tiba salah satu kuku
jari tangan Hantu Laut jatuh ke tanah bagai kehabisan
perekat. Pluuk...! Kuku yang jatuh itu adalah kuku
bagian jempol kirinya.
"Lho... kukumu jatuh, Kang Hantu!" ujar Kejora
dengan wajah kaget.
Hantu Laut bingung melihat kukunya copot tanpa
darah setetes pun. Jempol kirinya menjadi tak berkuku
sedikit pun. Baru saja Suto Sinting akan memeriksa
tangan kanan Hantu Laut, tiba-tiba kuku kelingking
kanannya copot juga. Pluk...!
"Tak salah lagi," ujar Resi Pakar Pantun. "Kau
terkena pukulan 'Aji Brangaspati' yang akan membuat
tubuhmu lambat laun terpotong tiap persendiannyal"
"Mung... mungkin juga," Hantu Laut agak gugup.
"Sebab aku tadi diserang oleh seseorang yang berilmu
tinggi dan sukar kulawan. Aku melarikan diri karena
merasa tidak sanggup menandingi ilmunya. Dan...
karena itulah aku menerjang Kejora tanpa sengaja sebab
tak mau diburu orang itu."
"Kau tak mengenali orangnya?! Aneh. Mengapa dia
menyerangmu dengan menggunakan pukulan berbahaya
jika kalian tak saling kenal?" kata Suto Sinting dengan
dahi berkerut.
"Aku benar-benar tak tahu, Suto. Bahkan persoalan


yang dibicarakan pun tak kumengerti."
"Persoalan apa?"
"Ia menyangka diriku sebagai anak buah Perawan
Titisan Peri dan memaksaku memberitahukan di mana
pusaka Panji-panji Mayat disembunyikan. Padahal...."
"Tunggu...!" sergah Suto Sinting dengan terkejut, lalu
ia memandang Resi Pakar Pantun dan Kejora secara
bergantian.
"Kau disangka anak buahnya Perawan Titisan Peri
dan disangka mengetahui tentang pusaka Panji-panji
Mayat?!" ulang Resi Pakar Pantun merasa aneh.
"Tapi aku tidak tahu tentang pusaka itu, Resi. Aku...
aku bahkan baru mendengarnya sekarang ini!" kata
Hantu Laut dengan suara agak ngotot, sehingga sang
Resi membentak,
"Iya, tapi jangan melotot di depanku begitu!" 
"Berarti ada pihak lain yang menghendaki Panji-panji
Mayat," gumam Suto Sinting, lalu Kejora yang
mendengar gumaman itu bertanya dalam keluguannya.
"Siapa pihak lain itu, Suto?" 
"Ini baru dibicarakan! Kok malah tanya?!" gerutu
Suto Sinting agak kesal dengan pertanyaan bodoh itu.
Kemudian Suto Sinting bertanya kepada Hantu Laut,
"Bagaimana ciri-ciri orang tersebut?!"
Tapi Resi Pakar Pantun lebih dulu bersuara sebelum
Hantu Laut menjawab,
"Rasa-rasanya aku kenal pemilik pukulan 'Aji
Brangaspati' ini."
Semua mata memandang Resi Pakar Pantun.


"Bukan aku pemiliknya, jangan memandangiku
dengan curiga begitu."
"Siapa yang mencurigaimu? Justru kami menunggu
jawabanmu jika benar kau tahu siapa pemilik 'Aji
Brangaspati' itu!" kata Suto Sinting masih bernada kesal
hati.
Pluuk...! Satu kuku dari jari tangan Hantu Laut jatuh
ke tanah tanpa rasa sakit. Semua mata memandang ke
arah kuku yang jatuh ke tanah itu. Hantu Laut menjadi
bertambah tegang. Kesepuluh jarinya diperhatikan
dengan sedih. Tinggal tujuh jari yang masih berkuku,
dan ia berkata bagai bicara pada dirinya sendiri,
"Apakah seluruh jariku ini nantinya akan tidak
berkuku semua?!"
"Mungkin malah kau akan tidak berkepala jika
seluruh persendianmu sudah putus semua," kata sang
Resi semakin membuat Hantu Laut menjadi cemas.
"Minumlah tuakku sebelum semua persendianmu
putus!" perintah Suto sambil menyerahkan bumbung
tuaknya. Hantu Laut pun buru-buru menenggak tuak itu
dengan gemetar, hingga air tuak mengguyur sebagian
wajahnya karena tak tepat jatuh ke mulut.
"Coba lihat punggungmu, apakah tuak Suto bisa
berhasil menghentikan kekuatan racun dari pukulan 'Aji
Brangaspati' itu?" ujar sang Resi.
Ternyata tuak sakti itu mampu melumpuhkan
kekuatan racun pukulan 'Aji Brangaspati'. Tiga noda
merah itu lambat laun menjadi samar-samar bagai
menguap dihembus angin. Pendekar Mabuk menarik


napas dan menghempaskan dengan perasaan lega setelah
tiga noda merah itu lenyap sama sekali, berarti pengaruh
kekuatan dari pukulan 'Aji Brangaspati' bisa dikalahkan
oleh kekuatan tuak saktinya.
"Resi, kau belum menjawab pertanyaanku tentang
siapa pemilik pukulan 'Aji Brangaspati' itu," ujar Suto
Sinting mengingatkan.
Tetapi sebelum Resi Pakar Pantun ucapkan kata, tiba-
tiba Pendekar Mabuk melihat seberkas sinar merah
berbentuk bintang melesat dari balik pohon dan menuju
ke punggung Hantu Laut. Weeesss...! Dengan gerakan
cepat di luar dugaan siapa pun, Pendekar Mabuk
menarik tangan Hantu Laut hingga orang besar berkulit
hitam itu terjungkal ke depan. Brrus...!
Satu lompatan kecil membuat Suto Sinting
menghadang laju sinar merah tersebut. Bumbung
tuaknya disilangkan di depan dada tepat pada waktu
sinar merah ingin mengenai dadanya sendiri.
Trruub...! Slaaab...! Sinar itu berbalik arah dalam
keadaan lebih besar dan lebih cepat gerakannya. Sebuah
pohon tempat datangnya sinar itu menjadi sasaran
dengan telak.
Blegeerr...!
Zuuurrbbsss...!
Buuusss...!
Pohon itu hangus bagai dijilat api setan. Dalam
sekejap sudah menjadi arang dari akar sampai ranting
paling pucuk. Daunnya menjadi debu yang
berhamburan. Sisa asap mengepul beberapa kejap lalu


hilang terhembus angin.
"Siapa pemilik sinar merah itu?!" tanya Kejora
kepada Hantu Laut. Pertanyaan itu tak dihiraukan oleh
Hantu Laut, sebab Suto Sinting segera berseru,
"Kalian tunggu di sini aku akan mencari orang itu!"
Kemudian sebuah suara terdengar dari belakang
mereka yang menghadap ke pohon terbakar itu.
"Tak perlu dicari, aku kan telah datang sendiri!"
Serentak wajah mereka berpaling ke belakang dengan
rasa kaget. Pandangan mata mereka tertuju pada sebuah
dahan pohon, di sana ada seseorang yang berdiri dengan
sikap menantang penuh keberanian. Resi Pakar Pantun
segera menggeram jengkel.
"Sudah kuduga kaulah orangnya. Turun kau!" 
"Itu dia orangnya yang menyerangku, Suto!" ujar
Hantu Laut.
Dengan mata memandang orang tersebut Suto Sinting
berbisik kepada Resi Pakar Pantun, "Siapakah dia,
Resi?"
*
* *


3
DARI atas pohon meluncurlah tubuh elok semampai
berpakaian ketat warna biru. Wuuuss...! Rambut panjang
terurai sepunggung menebar bagai sayap kupu-kupu.
Perempuan yang seperti berusia sekitar tiga puluh tahun
itu mendaratkan kakinya ke tanah tanpa suara. Ini


menandakan ia mempunyai ilmu peringan tubuh cukup
tinggi.
Perempuan cantik bermata dingin itu mengenakan
pakaian terusan dari bahan yang lentur, ketat sekali
dengan tubuh hingga berbentuk lekak-lekuk keindahan
tubuhnya yang berdada montok dan berpinggul sekal.
Bahan pakaiannya seperti terbuat dari campuran karet
tipis berkancing rapat dari dada sampai bawah perut.
Kancingnya adalah kancing jepret, yang sekali sentak
dapat lepas seluruhnya.
Tubuh yang terbungkus kain tipis ketat dari atas siku
sampai betis itu tidak mengenakan sabuk atau ikat
pinggang apa pun, sehingga senjatanya ditaruh di bawah
lengan, ia mempunyai sepasang pisau kembar bersarung
tembaga di kanan-kiri tangannya. Ukuran pisau hanya
sebatas dari pergelangan sampai siku, mempunyai tali
pengikat dari bahan karet warna biru, sesuai warna
pakaiannya.
Resi Pakar Pantun berbisik kepada Pendekar Mabuk,
"Dialah yang bernama Merpati Liar, satu-satunya
murid Nyai Parisupit yang awet muda."
"Hmmhh..., padahal Nyai Parisupit itu neneknya
Kejora."
"Benar," bisik sang Resi lagi. "Neneknya Kejora
hanya punya satu murid di luar keturunannya."
Bisik-bisik itu dihentikan karena Merpati Liar tampak
bergerak dekati Hantu Laut. Suto Sinting tak mau
lepaskan pandangan matanya dan bersiap lakukan
sesuatu jika Merpati Liar menyerang Hantu Laut.


Sedangkan Resi Pakar Pantun segera menyapanya
dengan pantun untuk melepas kebisuan di antara mereka.
"Sarung kumal sarung sialan, 
sekali dipakai bikin bisulan. 
Jangan dulu memancing permusuhan, 
sebelum jelas letak persoalan." 
Mata dingin itu melirik sang Resi. Lalu menuding
dengan tegas sambil ucapkan kata bernada tak ramah.
"Kau tak punya hak untuk mencampuri urusanku,
Pakar Pantun! Kuharap tutup mulut dan jangan ikut
campur kalau esok masih ingin bernapas."
Resi Pakar Pantun paksakan diri untuk terkekeh
pendek.
"Merpati Liar...."
"Sarung kumal lupa ditenun,
sekali ditenun bikin orang manyun.
Siapa remehkan si Pakar Pantun,
akan menderita apes turun-temurun."
Merpati Liar masih melirik sangar ke arah Resi Pakar
Pantun, jari-jari tangannya mulai mengeras. Pendekar
Mabuk tahu gelagat, perempuan itu pasti akan lepaskan
pukulan tenaga dalamnya ke arah Resi Pakar Pantun.
Maka sebelum hal itu terjadi, Pendekar Mabuk lebih
dulu bicara kepada Merpati Liar.
"Apa perlumu bersikap memusuhi kami, Merpati
Liar?!"
Kini pandangan mata dingin yang cukup tajam itu
beralih ke arah Suto Sinting. Yang dipandang
menampakkan ketenangan wajahnya, sehingga sikap


bermusuhan tak terlihat di permukaan wajah tampan itu.
"Siapa kau dan apa hubunganmu dengan si bandot tua
itu?!" seraya ia menuding Resi Pakar Pantun.
"Aku hanya seorang sahabat Eyang Resi, juga sahabat
dari Hantu Laut dan Kejora," sambil Suto Sinting
memperkenalkan Hantu Laut dan Kejora. Tambahnya
lagi, "Namaku Suto Sinting dan...."
"Aku tak butuh pemuda sinting!" sahut Merpati Liar
dengan sinis.
Kejora menyahut dengan lugu, "Eh, Yu... Suto bukan
pemuda sinting. Namanya saja Suto Sinting, tapi dia
bukan orang sinting alias orang gila! Bodoh amat kau
ini, Yu?!"
"Jangan turut bicara, Gadis tolol!" ketus Merpati Liar
sambil memandang sangar kepada Kejora.
Yang dipandang menjadi mengkerut, dan bergeser ke
belakang Resi Pakar Pantun.
"Aku kemari hanya ingin bikin perhitungan dengan si
kebo keling itu!" seraya Merpati Liar menuding Hantu
Laut.
"Aku bukan maling! Enak saja mengatakan aku
maling!" sentak Hantu Laut salah dengar.
"Kebo keling!" sang Resi memperjelas ucapan tadi.
"Siapa yang kebo keling?" Hantu Laut bingung.
"Kau...!" sentak Merpati Liar menampakkan
kegalakannya. "Kebo keling macam kau layak mati jika
tak mau tunjukkan di mana si Perawan Titisan Peri itu
menyimpan pusaka 'Panji-panji Mayat!"
"Aku bukan anak buah Perawan Titisan Mayat, eh...


Peri!" kata Hantu Laut dengan ngotot. "Sudah kubilang,
aku tidak kenal dengan titisan peri atau titisan setan,
sebab aku titisan orang baik-baik!"
"Omong kosong!" geram Merpati Liar. 
"Dia memang tidak tahu-menahu tentang Perawan
Titisan Peri alias si Kucing Hutan itu!" timpal Suto
Sinting. "Dia datang dari Pulau Beliung, tak punya
urusan apa-apa dengan Kucing Hutan."
"Diam kau, Pendusta!" gertak Merpati Liar, namun
gertakan itu hanya ditertawakan oleh Suto Sinting
melalui senyumannya yang melebar. Senyuman itu
dipandangi oleh Merpati Liar dan membuat perempuan
itu menyimpan kegundahan dalam hatinya. Tapi ia tetap
lanjutkan kata-katanya yang bernada tak bersahabat itu.
"Kulihat dengan mata kepalaku sendiri, dia mondar-
mandir di depan bangunan kuno yang menjadi tempat
kediaman si Kucing Hutan itu. Dia pasti mata-mata si
Kucing Hutan yang bertugas mengamankan sekitar
sarang mereka itu!"
"Aku... aku mondar-mandir di sekitar bangunan kuno
itu karena mencari Suto Sinting. Sebab dikejauhan
kudengar suara ledakan di sana, kusangka itu
pertarungan Suto Sinting, ternyata yang kutemukan
hanya mayat seorang lelaki bergincu. Tapi aku tak tahu
siapa pembunuh lelaki bergincu itu!" ujar Hantu Laut
menjelaskan dengan nada tetap ngotot.
"Dia memang mencariku, Merpati Liar. Dan lelaki
bergincu itu memang lawanku. Dia anak buah si Hantu
Laut yang berhasil kulumpuhkan," kata Suto Sinting


dengan nada kalem seakan penuh kesabaran.
Merpati Liar tampak ragu mempercayai ucapan itu,
kemudian berkata dengan masih tetap bernada ketus.
"Kurasa kalian adalah komplotan si Hantu Laut itu!
Rasa-rasanya harus kuhancurkan salah satu agar kalian
mengaku di depanku!"
Weess...! Kepala Merpati Liar mengibas ke samping
kiri. Dari bola matanya keluar sepasang sinar hijau
sebesar lidi mengarah ke dada Hantu Laut. Slaaap...!
Hantu Laut lompat ke samping belakang untuk
hindari sinar hijau itu. Sebenarnya gerakan Hantu Laut
itu terlambat dan ia bisa terkena sepasang sinar hijau
yang bergerak sangat cepat itu. Namun sebelumnya Suto
Sinting sudah lebih dulu lepaskan jurus 'Tangan Guntur'
yang mengeluarkan sinar biru besar dari telapak
tangannya. Sinar biru itu menghantam sepasang sinar
hijau di pertengahan jarak. Wesss...!
Jlegaaarr...!
Ledakan menghentak kuat telah membuat mereka
tunggang langgang terlempar ke berbagai arah, termasuk
Resi Pakar Pantun dan Kejora. Bahkan Pendekar Mabuk
sendiri terlempar dalam keadaan terkapar dan jatuh tak
kuasai keseimbangan badan. Buuhk...! Sedangkan
Merpati Liar terhempas kuat dan membentur sebuah
pohon di belakangnya. Hantu Laut terguling-guling
bagai kapas dihempaskan badai.
Perempuan cantik berhidung mancung itu segera
bangkit berdiri dan pandangi Suto Sinting yang telah
tegak lebih dulu.


Mata perempuan itu memandang Suto Sinting lebih
tajam lagi, bagai memancarkan kemarahan yang lebih
besar dari sebelumnya. Lalu tiba-tiba kepalanya
menyentak sedikit ke atas. Tanpa diduga-duga tubuh
Pendekar Mabuk terlempar ke atas bagai dilemparkan
oleh suatu kekuatan gaib.
Wuuuss...!
Perempuan itu segera gerakkan kepalanya ke
samping. Seet...! Dan tubuh Suto yang masih
dipandanginya itu terlempar ke samping dengan kuat.
Wuuus...! Brruk...! Tubuh itu membentur pohon dengan
kerasnya.
"Gila! Ternyata kabar yang kudengar selama ini tidak
salah. Merpati Liar mempunyai kekuatan besar pada
matanya," pikir Resi Pakar Pantun. "Rupanya ia telah
kuasai jurus 'Kendali Netra' yang mampu melemparkan
benda apa saja cukup menggunakan pandangan
matanya."
Suto Sinting menyeringai, kepalanya terasa sakit
beradu dengan batang pohon besar, ia buru-buru
menenggak tuaknya setelah berkelebat ke balik pohon.
Hanya beberapa kejap saja Pendekar Mabuk sudah
keluar dari balik pohon tepat pada saat Merpati Liar
menghampirinya dengan langkah garang.
Seett...! Kepala Merpati Liar menghentak ke kanan,
Suto Sinting terlempar lagi ke kiri. Wuuuss...! Brrruk...!
Pohon tak seberapa besar menjadi sasaran tubuh Suto
Sinting. Krraak...! Pohon itu menjadi retak karena
hantaman tubuh kekar Pendekar Mabuk.


Melihat Suto dihajar oleh perempuan cantik, Hantu
Laut tak bisa tinggal diam. Ia segera lakukan lompatan
penuh murka dan melepaskan senjata yoyonya yang
beracun itu.
"Heeeaaah...!"
Wuuuttt...!
Weess...! Senjata yoyo itu dilemparkan ke arah
punggung Merpati Liar. Dari tepian yoyo itu keluar
gerigi tajam beracun ganas. Apabila yoyo itu
disentakkan talinya ke belakang, maka akan membalik
arah dalam keadaan gerigi masuk ke dalam.
Tetapi sebelum yoyo itu kenai punggung Merpati
Liar, tiba-tiba tubuh perempuan itu berbalik arah dan
kepalanya terayun membuat kekuatan tenaga dalam pada
matanya menyentak, melemparkan tubuh besar Hantu
Laut hingga jatuh terguling-guling di bebatuan.
Brrusss...!
Pada saat itulah, Pendekar Mabuk segera lepaskan
jurus 'Jari Guntur'-nya yang berupa sentilan bertenaga
dalam cukup besar. Tees...! Duugh...!
Tubuh Merpati Liar terjungkal karena punggungnya
bagai ditendang seekor kuda jantan binal. Pendekar
Mabuk yang semula berlutut kaki satu kini bangkit dan
melepaskan sentilannya lagi.
Tes, tes, tes, tes...!
Brruk, gusrak, wwees... gubras, prakkk...!
Kini ganti perempuan itu yang dihajar Suto Sinting,
dijungkirbalikkan ke sana-sini dengan sentilan 'Jari
Guntur' yang sukar ditangkis itu. Jarak mereka yang


lebih dari lima langkah membuat Suto Sinting leluasa
melepaskan sentilannya, hingga Merpati Liar bagaikan
dihajar oleh makhluk halus yang tak bisa dilihat ke mana
arah gerakannya.
"Keparat...!" geram Merpati Liar setelah hujan
sentilan 'Jari Guntur' itu berhenti. Jika tidak dihentikan,
perempuan itu dapat mati dalam keadaan jebol dadanya
atau hancur wajahnya oleh sentilan Pendekar Mabuk.
"Resi, bawa Kejora ke Lembah Sunyi, biar bergabung
dengan kakak dan adiknya di padepokan Resi Wulung
Gading!" ujar Suto saat berada tak jauh dari Resi Pakar
Pantun.
Merasa ilmunya kalah tinggi dengan Pendekar
Mabuk, maka sang Resi pun menuruti perintah tersebut,
ia bergegas pergi membawa Kejora setelah Pendekar
Mabuk bicara lagi dengan mata tetap tertuju pada
Merpati Liar,
"Nanti aku akan menyusulnya ke sana. Aku akan
atasi dulu perempuan ini!"
Hantu Laut tak mau ikut pergi bersama sang Resi, ia
memperhatikan pertarungan Suto Sinting dengan
Merpati Liar, dan tidak bermaksud ikut campur lagi
sebab menurutnya Suto Sinting mulai keluarkan
kekuatan ilmunya, sehingga mampu mengimbangi
serangan lawan.
"Ia mempunyai kekuatan pada mata, aku harus
gunakan jurus 'Pucuk Rembulan' untuk
mengimbanginya," kata Suto Sinting dalam hatinya.
"Hiaaah...!" Merpati Liar serukan suara dengan kedua


tangan merentang ke samping membentuk cakar.
Matanya memandang tajam ke arah Suto Sinting.
Pandangan mata itu dilawan oleh Pendekar Mabuk
dengan menggunakan jurus 'Pucuk Rembulan' yang bisa
mendorong benda pakai mata dari bawah ke atas. Jurus
ini pernah dipakai saat terjadi peristiwa di Pulau Mayat,
(Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Prahara
Pulau Mayat").
Kekuatan 'Kendali Netra' perempuan itu melawan
kekuatan mata dari jurus 'Pucuk Rembulan' ternyata
menghasilkan pertarungan yang cukup seru. Tubuh
mereka sama-sama terangkat ke atas tanpa alas berpijak
sedikit pun. Tubuh itu melayang dalam ketinggian
setengah tombak dalam keadaan saling bergetar.
"Hhhheeeaahh...!"
Merpati Liar mengerang panjang akhirnya terlontar
dalam satu teriakan murka. Tubuhnya melesat maju
bagaikan terbang dalam satu hempasan. Suto Sinting
bersikap menunggu walau tanpa alas berpijak. Lalu tiba-
tiba kepala Suto Sinting menyentak ke kiri. Seeettt...!
Weeerrr...!
Tubuh Merpati Liar berputar di udara bagaikan
baling-baling, gerakan majunya terhenti akibat tertahan
kekuatan mata Suto Sinting. Tubuh yang berputar itu tak
bisa mengendalikan keseimbangannya lagi, lalu
terlempar ke samping dan menghantam kerimbunan
daun di atas pohon. Zrrraakk...! Duuurr...!
Pohon besar itu bergetar dihantam tubuh Merpati
Liar. Perempuan itu tersangkut di celah-celah dahan,


terjepit tak bergerak di sana untuk beberapa saat.
Tes, tess...! Suto Sinting menghajarnya dengan
sentilan bertenaga dalam. Perempuan itu tak bisa
menghindar dan menangkis karena keadaannya yang
terjepit dahan. Mau tak mau ia hanya memekik-mekik
dengan suara tertahan merasakan sakit pada daerah yang
terkena hantaman tenaga dalam menyerupai tendangan
kuda jantan itu.
"Aahg, uuhg...!"
Pendekar Mabuk segera menapakkan kakinya ke
tanah. Kemudian menyentak dan bersalto dua kali di
udara mendekati pohon tersebut. Di bawah pohon ia
memandang ke atas dan berseru,
"Masihkah kau ingin pamer ilmu di depanku,
Perempuan cantik?!"
Tak ada jawaban yang keluar dari mulut yang
menyeringai karena berusaha melepaskan diri dari
jepitan dahan itu. Agaknya ia mengalami kesulitan
karena tak bisa lakukan gerakan apa-apa. Kedua
tangannya merapat dengan tubuhnya, sehingga yang bisa
digerakkan hanya bagian kaki, itu pun tak bisa leluasa.
Huup...! Pendekar Mabuk melenting naik dan
menendang pangkal dahan yang menjepit tubuh Merpati
Liar. Dees...! Krraakkk...!
Dahan patah seketika, melayang jatuh ke tanah dalam
keadaan jepitan merenggang. Saat itulah Merpati Liar
mampu lepaskan diri dengan sebuah sentakan lengan.
Prraakk...!
Wuusss...! Ia berguling ke samping, lalu segera


berdiri dengan satu lutut dan melepaskan pukulan
bersinar merah dari ujung kedua jarinya. Claaapp...!
Sinar itu memecah menjadi tiga larik, dan itulah yang
dinamakan pukulan 'Aji Brangaspati' yang tadi melukai
Hantu Laut. Tetapi tiga larik sinar merah itu dihantam
dengan sinar hijaunya Suto Sinting. Clap, blaarr...!
Sinar merah itu hancur oleh pukulan 'Guntur
Perkasa'-nya Pendekar Mabuk. Sentakan gelombang
ledaknya lebih besar ke arah Merpati Liar, karena jarak
pertemuan dua sinar itu dekat dengan Merpati Liar.
Akibatnya, perempuan itu terlempar berguling-guling di
tanah dan baru terhenti setelah membentur batu besar. Di
sana ia memuntahkan darah merah walau tak banyak.
Namun ia merasakan sakit pada dadanya yang mulai
sulit bernapas.
"Dia terluka cukup berbahaya," pikir Pendekar
Mabuk secara diam-diam, sikapnya masih tampak
tenang dan penuh waspada.
Merpati Liar mencoba bangkit, tapi segera terhuyung-
huyung mau jatuh, ia buru-buru berpegangan pada batu
setinggi perut orang dewasa itu. Ia mencoba bernapas
dengan berat dan menggigit bibirnya untuk menahan
rasa sakit di dada.
Pendekar Mabuk segera mendekati bersama Hantu
Laut yang lecet punggungnya akibat jatuh di bebatuan
tadi.
"Kau tertuka berbahaya, Merpati Liar. Aku tak
bermaksud mencelakaimu jika kau tak memusuhi kami."
Merpati Liar tundukkan kepala dengan badan masih


miring ke kanan, karena lengan kanannya dipakai untuk
bertumpu di atas batu. Pendekar Mabuk segera
menyodorkan bumbung tuaknya dengan sikap ramah.
"Minumlah tuakku untuk mengobati lukamu!"
Perempuan iu diam saja, perlahan-lahan kepalanya
terangkat, matanya memandang ke wajah Pendekar
Mabuk. Sorot pandangan mata itu masih saja bersikap
bermusuhan. Agaknya ia dalam kebimbangan untuk
memutuskan; menerima uluran bumbung tuak itu atau
menyerang kembali dalam jarak hanya dua langkah.
*
* *


4
GEGER pusaka Panji-panji Mayat ternyata
memancing beberapa tokoh lama untuk saling
bermunculan. Mereka ternyata cukup peduli dengan
pusaka tersebut, karena sebagian besar dari mereka tahu
siapa orang yang berhak memiliki Panji-panji Mayat itu.
Para tokoh aliran putih berusaha agar Panji-panji Mayat
atau Panji-panji Agung jangan sampai jatuh ke tangan
tokoh aliran hitam, sebab jika pusaka itu jatuh ke tangan
tokoh beraliran hitam maka akan timbul kekacauan di
mana-mana. Setidaknya akan terbentuk serombongan
pasukan mayat hidup yang dapat mengusik perdamaian
dan ketenangan kehidupan di muka bumi.
Sikap kepedulian terhadap Panji-panji Mayat ternyata
nyaris hilang dari diri Darah Prabu. Murid Resi


Badranaya itu ditugaskan deh gurunya untuk memburu
seorang gadis yang mencuri Panji-panji Mayat dari
padepokan sang Resi. Gadis buronan itu tak lain adalah
Peluh Setanggi, tetapi agaknya keduanya mempunyai
ilmu yang sama kuat, sehingga terjadi perubahan sikap
di luar rencana. Darah Prabu adalah murid Resi
Badranaya sedangkan Peluh Setanggi murid Nyi Mas
Gandrung Arum. Padahal antara Resi Badranaya dengan
Nyi Mas Gandrung Arum ada hubungan sedarah walau
bukan seperguruan. Sikap Resi Badranaya terhadap
kakaknya; Nyi Mas Gandrung Arum, sangat
bertentangan dan sering terjadi perang batin di antara
keduanya, sebab Nyi Mas Gandrung Arum menganut
aliran hitam sedangkan Resi Badranaya beraliran putih.
Keduanya bersepakat untuk tidak saling mengusik,
jika tidak inginkan perang saudara. Sejauh ini mereka
saling tidak tahu menahu tentang aliran masing-masing
dan tidak mau ikut campur dalam setiap urusan masing-
masing. Tetapi belakangan ini, setelah Peluh Setanggi
keluar dari Perguruan Biara Ungu dan menjadi pengikut
Kucing Hutan yang juga dikenal sebagai Perawan
Titisan Peri itu, sikap Resi Badranaya mulai
menampakkan permusuhannya terhadap sang kakak,
sebab Resi Badranaya belum tahu bahwa Peluh Setanggi
sudah bukan murid kakaknya lagi. Darah Prabu pun
tidak tahu kalau Peluh Setanggi telah berpihak kepada
Kucing Hutan, yaitu seorang gadis cantik yang buas dan
mempunyai kebiasaan meminum darah kaum lelaki.
Tetapi akibat sama-sama menggunakan jurus


pemikat, Darah Prabu dan Peluh Setanggi menjadi rukun
dan saling menyayangi. Permusuhan di hati mereka sirna
tuntas sejak Darah Prabu memberikan keperkasaannya
dan Peluh Setanggi memberikan kehangatannya. Mereka
bagai tak pernah saling bermusuhan sedikit pun. Yang
ada di dalam hati dan jiwa mereka adalah rasa ingin
mencintai dan dicintai, rasa ingin menyayangi dan
disayangi, juga rasa ingin memanjakan dan dimanjakan.
Sambil memandang ombok bergulung-gulung,
mereka saling berpelukan dengan mesra. Sesekali Darah
Prabu mencium kening Peluh Setanggi, sesekali pula
Peluh Setanggi yang mengecup bibir Darah Prabu
dengan nakal. Kemudian tawa mereka berderai-derai
menyimbulkan adanya kebahagiaan di dalam
kebersamaan tersebut.
"Dulu aku pernah bercita-cita ingin mempunyai
seorang istri yang cantik, berani, berilmu dan pandai
bercumbu. Kupikir semua itu mustahil dapat kuperoleh.
Tapi ternyata sekarang perempuan dalam bayangan dan
cita-citaku itu ada padamu, Peluh Setanggi."
"Betulkah kau mencintaiku dengan tulus, Darah
Prabu?"
"Lebih tulus dari cinta seorang ibu terhadap
anaknya," jawab Darah Prabu dengan nada lembut. "Aku
yakin di dunia ini tak ada sesuatu yang putih seputih
cintaku padamu, Setanggi."
"Oh, aku senang sekali mendengar ucapanmu, Darah
Prabu," sambil Peluh Setanggi menyandarkan kepalanya
ke dada pemuda tampan itu. "Aku pun dulu bercita-cita


ingin mendapatkan suami yang gagah, tampan, tinggi
ilmunya dan perkasa dalam bercinta. Ternyata semua itu
telah kau penuhi, Darah Prabu, itulah sebabnya aku
sungguh tak bisa jika harus berpisah darimu. Sampai ke
liang kubur pun aku ingin ikut bersamamu, Darah
Prabu."
"Boleh saja ikut ke liang kubur, tapi tidak boleh
nakal."
Peluh Setanggi tertawa riang. "Nanti di dalam kubur
kita bisa saling umpuk-tumpukan lagi, bukan?"
"Ya, memang harus ditumpuk kalau satu liang kubur
dipakai dua orang."
Canda mereka bekepanjangan melantur ke mana-
mana. Yang jelas hati mereka bahagia sekali, serasa
bumi ini hanya dihuni oleh mereka berdua. Mereka tak
tahu kalau dari salah satu sisi ada sepasang mata yang
mengintainya dari sejak berada di puncak bukit sampai
kepantai. Sepasang mata yang mengikuti mereka adalah
mata si pelayan Resi Pakar Pantun; Kadal Ginting.
Tubuhnya sudah berulang-kali basah kuyup karena
keringat dinginnya membanjir terus melihat adegan-
adegan syur yang dilakukan Peluh Setanggi dengan
Darah Prabu, ia berusaha menyimak setiap suara yang
keluar dari mulut mereka, dan berusaha memperhatikan
setiap gerakan yang mereka lakukan.
"Jangan-jangan keduanya sama-sama telah miring
otaknya," pikir Kidal Ginting. "Padahal mereka
bermusuhan sesengit itu, mengapa sekarang jadi
bermesraan segesit ini?! Kuikuti dari tadi, sudah tiga kali


mereka melakukan percumbuan yang edan-edanan di
balik semak. Kurasa sekarang mereka akan istirahat di
pantai ini sambil mengumpulkan tenaga kembali."
Namun, telinga Kadal Ginting segera menangkap
suara Peluh Setanggi yang sambil cekikikan melakukan
kerajinan tangan dengan rajin sekali itu. "Prabu, di balik
gugusan karang itu sepertinya ada tempat teduh yang
lega. Tak inginkah kau pergi te sana?"
"Untuk apa kita ke sana?"
"Tak inginkah kau menikmati surga di tubuhku lagi?"
"Siapa yang tak ingin? Dari tadi aku sedang mencari
tempat yang enak untuk berlayar dengan perahu
cintamu."
"Hi, hi, hi... kalau begitu kita ke sana sekarang juga,
Prabu. Gairahku telah terbakar oleh ciuman-
ciumanmu...." Kalimat itu terpotong oleh desah Peluh
Setanggi. "Ah, jangan begitu tanganmu, Prabu. Di sana
saja kalau ingin melakukannya. Jangan di sini, nanti ada
setan lewat, aku malu dilihat setan!"
Kadal Ginting membatin, "Kurang ajar! Aku
dianggap setan. Kalau tak ingat sedang mengintip,
kutabok mulut gadis itu, dan... lho, lho... kok mereka ke
sana? Wah, pasti akan begituan lagi! Gila! Tak ada
puasnya perempuan itu rupanya. Ah, tapi... lumayan juga
buat tontonan iseng. Sebaiknya aku lebih dekat lagi
supaya dapat melihat dengan jelas seperti tadi...!"
Kadal Ginting pun bergegas mendekati gugusan
karang berongga, ia bersembunyi di celah-celah karang
ketika Peluh Setanggi mulai menyapu habis tubuh Darah


Prabu dengan ciumannya. Darah Prabu masih berdiri
melepas, rompinya.
"Luar biasa gadis itu. Ia tak sabar mendapatkan
kemesraan seperti tadi. Wah-wah, wah... rupanya ia
gadis yang berselera tinggi. Enak sekali si Darah Prabu
diperlakukan seperti anak kucing sedang dimandikan
begitu, ya? Iih... tubuhku jadi merinding sendiri,
sepertinya tubuhku ikut dimandikan oleh ciuman Peluh
Setanggi." Kadal Ginting bergidik sendiri dengan
jantung berdetak-detak keras. Lututnya gemetar nyaris
tak mampu berdiri lagi.
Ketika senja akan tiba, pelayaran cinta mereka pun
usai. Darah Prabu dan Peluh Setanggi terkapar lemas
dicekam kelelahan. Kadal Ginting duduk bersimpuh di
pasir basah karena lututnya bagai kehilangan urat
penopang tubuh. Sekujur badannya basah bukan karena
percikan ombak, tapi karena banjir keringat dingin
selama menyaksikan tontonan iseng itu. Bukan hanya
napas Peluh Setanggi dan Darah Prabu saja yang
terengah-engah, melainkan napas Kadal Ginting pun
ngos-ngosan. Bahkan napas mereka sudah reda, tapi
napas Kadal Ginting masih ngos-ngosan.
Peluh Setanggi dan Darah Prabu masih membiarkan
busananya terkulai di samping mereka. Alam indah dan
irama ombak memacu gairah sedang dinikmati tanpa
rasa canggung dan malu, sebab mereka yakin tak ada
orang yang melihat keadaan mereka saat itu.
Tetapi tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara ledakan
yang cukup menggelegar. Ledakan itu membuat gugusan


karang yang menjadi atap berteduh mereka itu runtuh
sebagian. Tentu saja Peluh Setanggi dan Darah Prabu
menjadi panik dan secepat kilat mengenakan pakaian
mereka.
"Perbuatan siapa ini?!" geram Darah Prabu.
"Tetaplah di sini, akan kucari orang yang
mengganggu kemesraan kita!" seraya Peluh Setanggi
mengenakan penutup dadanya.
Wees, wees...! Peluh Setanggi keluar dari rongga
karang itu, Darah Prabu tak mungkin mau tinggal di
tempat, sebab ia tak ingin Peluh Setanggi menghadapi
bahaya sendirian, ia pun ikut melesat keluar dari rongga
karang.
Sementara itu, Kadal Ginting semakin gemetar dan
tak bisa bergerak, karena pecahan karang tadi ada yang
terbang mengenai tengkuk kepalanya. Pandangan mata
Kadal Ginting menjadi buram sedikit, tapi rasa sakit
nyut-nyutan menjalar sampai ke ubun-ubun. Untung saja
bongkahan karang segenggaman itu tak sampai membuat
kepalanya bocor.
Dari tempatnya terkulai bersimpuh itu, Kadal Ginting
masih bisa melihat ke mana arah kepergian Darah Prabu
dan Peluh Setanggi. Ternyata mereka sedang berhadapan
dengan dua orang gadis berwajah kembar. Dua orang
gadis itu mengenakan kutang hijau dan kain penutup
bagian bawahnya sepanjang betis berwarna ungu
berbelahan empat. Keduanya sama-sama mempunyai
wajah serupa dengan Peluh Setanggi. Kesamaan rupa
dan bentuk tubuh itu yang membuat Kadal Ginting


terperangah memandang heran hingga mulutnya
melongo.
"Kembar...?! Siapa yang kembar sebenarnya? Kedua
gadis yang baru datang itu atau Peluh Setanggi yang
kebetulan punya wajah serupa dengan kedua gadis itu?!"
gumam lirih Kadal Ginting. Ia tak tahu bahwa Peluh
Setanggi bersaudara kembar sepuluh. Dua adik
kembarnya ikut memihak Kucing Hutan, sementara
sisanya masih menjadi murid Perguruan Biara Ungu,
(Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Misteri
Bayangan Ungu").
Dua adik kembarnya yang ikut memihak Kucing
Hutan adalah Kuncup Nirwana dan Buih Dewani. Kedua
adik kembar itulah yang datang ke pantai dan
melepaskan pukulan penghancur karang bagian atas
rongga tadi. Yang menjadi tanda bagi kedua adik kembar
Peluh Setanggi adalah gambar tato di atas payudara kiri
mereka. Buih Dewani mempunyai tato bergambar
sebilah keris bercahaya, sedangkan Kuncup Nirwana
mempunyai tato bergambar kepala harimau. Karenanya,
Peluh Setanggi dapat mengenali dengan cepat siapa adik
kembarnya yang datang itu.
"Nirwana, Dewani...!" sentak Peluh Setanggi. "Apa
maksud kalian mengganggu kemesraanku, hah?!"
Darah Prabu terbengong melompong memandangi
dua gadis kembar yang sama persis dengan kekasihnya,
ia tak menyangka ada dua gadis kembar yang sedikit pun
tak berbeda dengan Peluh Setanggi, kecuali pada gambar
tatonya. Darah Prabu belum tahu bahwa Peluh Setanggi


mempunyai sembilan adik kembar, sebab itu ia sempat
berbisik kepada Peluh Setanggi,
"Siapa mereka itu, Setanggi?"
"Dua adik kembarku! Hati-hati, jangan salah cium.
Aku punya sembilan adik kembar yang sama persis
dengan diriku. Perhatikan tato di dada kami!" jawab
Peluh Setanggi dengan cepat, lalu perhatiannya tertuju
kepada Kuncup Nirwana dan Buih Dewani yang berdiri
dengan sikap menantang.
"Masih untung kalian adikku sendiri, jika bukan
sudah kuhancurkan kepala kalian karena mengganggu
kemesraanku dengan Darah Prabu!"
Kuncup Nirwana buka suara, "Pantaskah kalian
bercengkerama di sana sementara kami kena marah terus
oleh Ratu Kucing Hutan?!"
"Tiga kali kami menerima hajaran dari Ratu Kucing
Hutan gara-gara kau mencuri pusaka palsu!" timpal Buih
Dewani. "Kami ditugaskan mencarimu, Setanggi!
Ternyata kau sedang bercinta seenaknya dengan pemuda
itu! Memuakkan sekali!"
"Percuma kami mengikutimu kalau kau tak punya
pembelaan terhadap diri kami!" sahut Kuncup Nirwana.
"Kami yang menerima hukuman kau yang menerima
kemesraan. Hmmm... apakah itu adil menurutmu?!"
"Lalu apa mau kalian sebenarnya, hah?!" bentak
Peluh Setanggi menjaga wibawa di depan adik-adiknya.
"Tinggalkan pemuda itu dan pergilah menghadap
sang Ratu. Kau harus menebuskan kesalahanmu yang
telah mencuri pusaka palsu!"


"Pusaka palsu...?!" Peluh Setanggi berkerut dahi,
karena ia segera ingat tentang pusaka Panji-panji Mayat
yang dicurinya dari pondok Resi Badranaya.
Darah Prabu pun segera ingat tentang pusaka Panji-
panji Mayat dan tugas menangkap Peluh Setanggi.
Tetapi tugas itu ternyata kalah dengan rasa cinta yang
ingin memiliki Peluh Setanggi selamanya. Hanya saja,
Darah Prabu sempat merasa heran mendengar pusaka
yang dicuri Peluh Setanggi itu adalah pusaka palsu.
"Jadi... selama ini Guru menyimpan pusaka palsu?!"
tanyanya dalam hati bernada heran.
"Setanggi, kami ditugaskan membawamu pulang ke
Hutan Lembah Meong untuk menghadap Ratu Kucing
Hutan!" ujar Kuncup Nirwana dengan nada tegas.
"Tidak. Aku tidak mau, karena tugasku telah selesai.
Pusaka itu tidak mungkin palsu!"
"Ratu mencoba membawa Panji-panji Mayat ke
sebuah makam, tapi ternyata mayat dalam makam tak
bisa bangkit. Lalu panji-panji itu dibawanya ke kuburan
para penduduk desa, ternyata para penghuni kubur tak
satu pun yang bangkit mengikuti panji-panji itu!" kata
Buih Dewani.
Mata dan mulut Peluh Setanggi menampakkan sikap
tertegun yang membimbangkan hati. Sementara itu,
Kuncup Nirwana serukan kata kembali,
"Panji-panji itu sekarang sudah dihancurkan oleh
Ratu Kucing Hutan dengan murka. Menurut kabar yang
diperoleh Banci Wadak, pusaka Panji-panji Mayat sudah
berhasil dicuri oleh Dewi Geladak Ayu. Maka sang Ratu


sendiri segera menangkap Dewi Geladak Ayu. Namun
sayang bajak laut perempuan itu mampu lepaskan diri
dari pengaruh racun di pisau sang Ratu, dan segera
melarikan diri. Sementara kemarin siang kami kembali
ke istana dan menemukan Banci Wadak telah menjadi
mayat mengenaskan. Entah siapa pembunuhnya!"
"Yang jelas bukan aku pembunuh Banci Wadak.
Setelah kuserahkan panji-panji curianku kepada sang
Ratu, aku segera pergi memburu pembunuh Paman
Badai Kutub. Dan sejak itu aku belum kembali ke
istana!"
"Jangan menambah murka sang Ratu, Setanggi! Kami
yang kena getahnya!" seru Buih Dewani agak
membentak.
Kuncup Nirwana menambahkan kata, "Jika kau tak
menghadap sang Ratu, anggapan sang Ratu tetap buruk
kepadamu."
"Anggapan apa?!"
"Kau telah menukar pusaka yang asli dengan yang
palsu. Itulah anggapan sang Ratu!" jawab Buih Dewani.
"Dusta! Fitnah itu namanya!" sentak Peluh Setanggi.
"Yakinkanlah kepada sang Ratu bahwa anggapan itu
tidak benar. Jelaskan semuanya di depan sang Ratu,
Setanggi!"
"Aku tidak mau menemui sang Ratu, karena aku tak
mau berpisah dari Darah Prabu!"
"Kau bisa membawa pemuda itu menghadapnya
juga."
"Kau pikir aku bodoh?! Ratu Kucing Hutan adalah


peminum darah lelaki, ia sangat berselera dengan lelaki
semuda dan segagah Darah Prabu. Aku tak mau Darah
Prabu direbutnya dan menjadi korbannya seperti lelaki
yang lain!"
"Kalau kau tetap tak mau, haruskah kami
memaksamu dengan cara kasar, Setanggi?!" ucap Buih
Dewani yang dirasakan oleh Peluh Setanggi sebagai
tantangan. Maka ia pun memandangi kedua adik
kembarnya dengan sorot pandangan mata tajam penuh
pertimbangan.
"Haruskah aku bertarung dengan adik kembarku
sendiri?" gumam Peluh Setanggi pelan, namun didengar
oleh Darah Prabu. Pemuda itu pun akhirnya berbisik
kepada Peluh Setanggi.
"Biar kuhadapi kedua adikmu, larilah ke bukit tempat
cinta kita bertemu. Nanti aku akan menyusulmu ke
sana."
"Kau... kau akan melawan adikku? Mereka bukan
berilmu rendah, Prabu! Kalau hanya satu orang mungkin
saja kau bisa kalahkan mereka, tapi kalau dua orang kau
akan dibuat tak berdaya dalam dua gebrakan saja!"
"Aku masih punya jurus simpanan yang belum
pernah kugunakan untuk melawan siapa saja."
"Itu berarti kau akan membunuh kedua adikku!"
"Lalu, aku harus bagaimana? Jika mereka
membahayakanmu, apa salahnya jika mereka
dilenyapkan?"
"Tidak. Aku tidak ingin hal itu terjadi!" ujar Peluh
Setanggi dalam bisikan, namun benaknya masih dibuat
pusing oleh keputusan langkahnya; menemui Kucing
Hutan atau melumpuhan kedua adik kembarnya itu?
Darah Prabu segera berbisik lagi, "Baiklah, aku hanya
akan membuat kedua adikmu tumbang sementara kau
melarikan diri ke bukit itu. Aku berjanji tak akan 
melenyapkan nyawa adikmu, Setanggi! Larilah sana, dan 
akan kuhadang mereka jika mengejarmu. Tunggu aku di 
bukit dan jangan ke mana-mana sebelum aku datang 
menjemputmu." 
Kini yang ada dalam pikiran Peluh Setanggi adalah 
sebuah keraguan; mampukah Darah Prabu menghadapi 
kedua adiknya tanpa harus melenyapkan nyawa mereka? 
* *