Pendekar Mabuk 63 - Pemburu Darah Satria(2)

5
DENGAN hati sedih, Pendekar Mabuk mengangkat mayat Kabut Merana yang menjadi kecil itu. Ia sempat  berkata kepada Elang Samudera yang berdiri murung di sampingnya,

"Aku harus bawa mayat Kabut Merana kepada Galak Gantung, gurunya. Ikutlah aku sebagai saksi atas peristiwa ini, Elang."
"Aku tak keberatan sedikit pun. Sebaliknya kita berangkat sekarang saja, dan menunda kepergian kita ke Pulau Dulang. Tapi..., tapi bagaimana dengan hilangnya Bawana itu? Apakah kita perlu mencarinya sampai ketemu?"
Pendekar Mabuk yang sudah jongkok di samping mayat Kabut Merana hentikan gerakannya, ia tak jadi mengangkat mayat Kabut Merana. Ada sesuatu yang perlu direnungkan sebentar, yaitu tentang hilangnya Bawana.
Namun  sebelum ia harus berkata lagi, tiba-tiba mereka mendengar suara ledakan yang cukup dahsyat.
Tanah tempat mereka berpijak terasa bergetar kuat menandakan ledakan itu terjadi tak seberapa jauh dari tempat mereka. Pendekar Mabuk cepat bangkit dan berwajah tegang. Matanya memandang tajam ke arah datangnya suara ledakan.
"Ada sebuah pertarungan di sebelah barat sana!"
"Jangan-jangan orang yang membunuh Kabut Merana sedang bertarung melawan musuh lainnya?"
"Kita periksa sebentar ke sana, Elang!"
Dalam waktu sangat singkat, Pendekar Mabuk dan Elang Samudera tiba di tempat pertarungan. Apa yang dilihat oleh mereka sangat mengejutkan Pendekar Mabuk, sebab ia tahu persis siapa orang yang saling mengadu kesaktian itu.
Elang Samudera pun terperanjat melihat siapa yang bertarung dengan serunya itu, karena ia mengenal mereka. Bahkan tanpa sadar mulutnya berkata dengan nada menggumam,
"Awan Setangkai?!"
"Benar. Ternyata perempuan itu ada di sini. Mungkin juga perempuan itu yang membunuh Kabut Merana."
Pandangan mata Suto Sinting tertuju ke arah lawan perempuan itu yang berpakaian hitam dirangkap jubah tanpa lengan warna putih. Lelaki tua yang menjadi lawan Awan Setangkai itu berusia sekitar delapan puluh tahun, tapi gerakannya masih lincah dan gesit, ia mempunyai rambut panjang warna uban diikat ke belakang, jenggotnya putih pendek, tapi kumisnya lebat dan berwarna putih uban juga.
 Tokoh tua itu tak lain adalah sahabat si Gila Tuak yang dikenal dengan nama si Galak Gantung. Elang Samudera pernah bertemu Galak Gantung pada saat kakak perempuannya yang bernama Dewi Cintani itu menjadi manusia separo hewan, (Baca serial "Pendekar Mabuk dalam episode : "Dendam Selir Malam").
"Rupanya Ki Galak Gantung sudah mengenal Awan Setangkai," ujar Elang Samudera, karena ia mendengar suara Galak Gantung berseru saat sebelum lanjutkan serangannya,
"Akan kuhanguskan tubuh licikmu itu. Awan Setangkai! Kau telah menyerang muridku dari belakang, tapi aku akan menyerangmu dari depan sebagai langkah penebus kelicikanmu!"
Galak Gantung sentakkan tangannya dalam satu lompatan. Dari telapak tangan itu melesat sinar merah yang segera berubah menjadi kobaran api begitu sinar merah melewati pertengahan jarak mereka. Wuuuss...!
Tapi dengan tenangnya Awan Setangkai mengibaskan tangan kanan bagai membuang segenggam daun. Kibasan itu ternyata hadirkan angin cukup besar dan memadamkan kobaran api yang sedang menuju ke arahnya.
Wuuut...! Weess...!
Tubuh Galak Gantung yang melayang segera dihantam dengan pukulan jarak jauh berupa sinar kuning lebar. Sinar kuning itu keluar dari ujung-ujung jari Awan Setangkai yang disentakkan miring ke depan dalam keadaan keempat jarinya merapat. Suut...! Claaap...!
Galak Gantung menangkisnya dengan sinar merah yang keluar dari ayunan tangan kiri dari belakang ke depan. Wuut...!
Clap, jegaaarrr...!
Awan Setangkai terlempar akibat gelombang ledakan dari perpaduan dua sinar tadi. Galak Gantung sendiri juga terlempar ke belakang dan jatuh berjungkir balik.
Karena ledakan lebih dahsyat dari yang didengar Suto tadi telah membuat beberapa pohon tumbang serta gugusan batu pecah berhamburan. Bahkan Pendekar Mabuk dan Elang Samudera pun terlempar ke samping dalam jarak tiga langkah dari tempat pengintaian mereka itu.
"Edan! Jurus apa yang dipakai mereka ini? Rasa-rasanya bumi mau kiamat, langit mau runtuh dan...."
Elang Samudera tak bisa lanjutkan ucapannya karena mulutnya segera dibekap oleh Suto Sinting. Pendekar Mabuk bisikkan kata di telinga Elang Sa-mudera.
"Jangan bicara sekeras ini, nanti mereka mendengar dan mengetahui kehadiran kita di sini, Tolol!"
Elang Samudera menarik tangan yang menutup mulutnya dengan sedikit jengkel, ia ingin ucapkan sesuatu, namun tak jadi karena perhatiannya lebih tertarik pada apa yang akan dilakukan oleh Awan Setangkai.
Perempuan itu tampaknya tidak mengalami luka parah walau terlempar tujuh langkah jauhnya, ia berdiri tegak dalam waktu singkat, sementara Galak Gantung justru memuntahkan darah dari mulutnya saat merangkak berusaha untuk bangkit lagi.
Awan Setangkai mengangkat kedua tangannya dalam keadaan telapak tangan menghadang ke depan dan bagian belakang telapak tangan itu menempel di kening.
Kedua kaki perempuan itu sedikit merenggang dan badannya tampak tegak. Matanya terpejam beberapa saat, dan tiba-tiba kedua tangan itu berkelebat ke depan bagai melemparkan pisau. Wut, wut...!
Slaaap...!
Dua sinar merah berbentuk pisau kecil melesat dari kedua tangan Angin Setangkai. Sinar merah itu mengarah lurus ke tubuh Galak Gantung. Tokoh tua tersebut terperanjat begitu sadar bahwa ada dua sinar merah berbentuk pisau mendekatinya, ia terlambat menghindar dan menangkis sinar tersebut. Sekalipun sudah berusaha mengelak ke samping kiri, tapi salah satu sinar merah itu berhasil menembus bagian bawah pundak kirinya.
Claasss...!
"Uaahk...!" Galak Gantung terpekik dengan tubuh mengejang sedikit melengkung ke belakang, ia dalam keadaan berlutut saat mendekap luka di bawah pundak kirinya. Luka tersebut berasap merah dan dalam sekejap tubuh Galak Gantung terjungkal ke belakang. Brruk...!
"Aaahk...!" terdengar suaranya mengerang menahan sakit, seperti sedang mengalami sekarat.
Melihat hal itu, Suto Sinting merasa heran. Hatinya berkata, "Jika Galak Gantung saja bisa ditumbangkan oleh Awan Setangkai, berarti ilmu perempuan itu memang tinggi dan tak bisa diremehkan. Gila! Aku harus segera menolong Galak Gantung sebelum nyawanya melayang tinggalkan raga."
Lalu, ia berbisik kepala Elang Samudera, "Alihkan perhatian Awan Setangkai. Pancing dengan seranganmu agar ia tak memperhatikan Galak Gantung. Aku akan menolong Pak Tua itu sebelum ia mencapai ajal."
Tanpa banyak bicara Elang Samudera segera melemparkan sesuatu ke arah Awan Setangkai. Ternyata sebuah senjata rahasia berupa lempengan logam berbentuk bintang segi enam. Ziing...! Benda itu melayang ke punggung Awan Setangkai.
Tetapi agaknya Awan Setangkai mempunyai ketajaman rasa yang cukup tinggi, ia tahu ada benda yang melayang cepat di belakangnya. Maka ia segera balikkan badan sambil cabut pedangnya dan mengibas cepat.
Semua gerakan memang dilakukan serba cepat dan tepat, sehingga senjata rahasia Elang Samudera berhasil ditangkis dan dibuang ke arah lain menggunakan pedangnya. Trringg...! Juurb...! Senjata itu menancap pada sebatang pohon agak jauh dari tempat Awan Setangkai berdiri.
Pendekar Mabuk sudah pergi sejak Elang Samudera melemparkan senjata rahasianya tadi. Jurus 'Gerak Siluman' membuat Suto Sinting tahu-tahu sudah berada di dekat Galak Gantung yang terkapar di bawah pohon tak berdaun, karena daunnya rontok semua akibat gelombang ledakan tadi. Pendekar Mabuk segera menyeret tubuh Galak Gantung ke balik pohon untuk menjaga kemungkinan diserang sewaktu-waktu, ia segera menuangkan tuak ke mulut Galak Gantung.
Suto Sinting tak hiraukan dulu keadaan Elang Samudera. Ia tak tahu bahwa Elang Samudera pun kini telah mencabut pedangnya dan lakukan serangan ke arah Awan Setangkai.
Trang, trang, duaar...! Trang, tring, duaar...!
Perpaduan kedua pedang itu memercikkan bunga api yang sesekali timbulkan suara letusan cukup keras. Elang Samudera terdesak oleh serangan jurus pedang Awan Setangkai yang sukar dilihat gerakannya itu.
Dalam hati Elang Samudera sempat berkata,
"Ternyata jurus pedangnya cukup hebat! Jurus pedangku tak berhasil menembus kecepatan geraknya. Setan! Aku harus lakukan perlawanan dari jarak jauh saja!"
Wuut! Elang Samudera sentakkan kaki dan melayang mundur, kemudian ia bersalto, balik dua kali. Plak, plak...! Tapi begitu kakinya mendarat dari gerakan saltonya, tiba-tiba Awan Setangkai sentakkan pedang ke depan, dan dari ujung pedang keluar sinar biru lurus sebesar lidi. Claap...!
"Aaahg...!" Elang Samudera terpekik karena sinar biru itu menembus ulu hatinya dengan telak. Tubuhnya segera bergetar dan kejap berikutnya jatuh terkulai bagai tak bertenaga lagi. Lubang kecil yang ada di ulu hatinya itu makin lama semakin melebar dan menampakkan warna hitam hangus bercampur darah yang merah kehitam-hitaman. Luka berlubang itu seolah-olah semakin lebar jika terkena hembusan angin, dan rasa sakit yang terasa di sekujur tubuh menjadi sangat luar biasa.
"Aaaahhkk.,.!" Elang Samudera mengerang panjang, suaranya terdengar sampai di telinga Pendekar Mabuk.
Si murid sinting Gila Tuak itu segera berkelebat mengarah ke tempat Elang Samudera. Zlaaap...! Pada waktu itu Awan Setangkai sedang bergerak maju dekati Elang Samudera dengan pedang siap dihujamkan penuh kemarahan. Tetapi langkah perempuan itu menjadi terhenti ketika tahu-tahu ia dihadang seorang pemuda yang membawa bumbung tuak. Wajah si cantik ganas itu terperanjat jelas.
"Kkau... kau masih bisa hidup?!" gumamnya bernada heran. "Tak seorang pun bisa lolos dari racun 'Bayi Panggang'-ku, tapi mengapa kau sekarang masih tetap hidup?!"
 "Hentikan keganasanmu, Awan Setangkai! Jangan paksa aku turun tangan menghancurkan tubuh mulusmu itu!" gertak Pendekar Mabuk tapi masih tampak tetap kalem.
"Kau harus kubunuh! Kau harus kulenyapkan sebelum...."
"Kalau begitu kita tentukan pertarungan pribadi di suatu tempat! Jangan libatkan orang lain hingga menjadi korban keganasanmu, Awan Setangkai!"
Perempuan cantik yang masih tampak muda dan menggairahkan itu diam sesaat, menarik napas dalam-dalam. Kemudian ia perdengarkan suaranya bernada datar.
"Baik. Kutunggu kau di Pantai Karang Hantu sebelum matahari terbenam. Kuharap kau berani melayani tantanganku ini!"
Blaaass...! Perempuan cantik itu melesat pergi seperti menghilang dalam sekejap. Gerakannya sangat cepat, ilmu peringan tubuhnya cukup tinggi. Jika Suto Sinting tidak terbiasa melihat gerakan angin, maka ia tidak akan tahu bahwa perempuan cantik itu sebenarnya lakukan lompatan jarak jauh yang amat cepat dan menuju ke arah pantai.
"Memang tinggi ilmunya!" gumam hati sang Pendekar Mabuk, ia tidak perhatikan lagi kepergian Awan Setangkai, kini yang menjadi pusat perhatiannya adalah nyawa Elang Samudera.
Pemuda tampan yang berusia lebih muda darinya itu dalam keadaan sedang merenggang nyawa. Sebentar lagi nyawa Elang Samudera akan lepas dari raganya akibat luka yang amat parah. Luka itu menjadi hebat hingga tampak menganga hampir memenuhi dada.
Pendekar Mabuk tak banyak berpikir lagi, ia segera membuka mulut Elang Samudera dengan paksa dan mengucurkan tuaknya, tanpa peduli tuak itu menghambur membasahi wajah Elang Samudera. Tanpa lakukan tindakan seperti itu, Elang Samudera akan kehilangan nyawanya dan luka tersebut akan memakan seluruh bagian rongga dadanya.
"Ke mana perginya perempuan binal itu?!"
Tiba-tiba terdengar suara bernada geram. Oh, ternyata si Galak Gantung sudah menjadi sehat kembali berkat tuak sakti Suto yang tadi diminumkan dengan paksa juga itu. Pendekar Mabuk segera bangkit berdiri, karena ia merasa sudah cukup menuangkan tuak ke mulut Elang Samudera. Ia biarkan Elang Samudera menunggu kesembuhannya dalam keadaan terkapar di tanah bersampah daun kering.
"Dia sudah pergi, Ki," ujar Suto Sinting dengan sikap sungkan terhadap sahabat gurunya itu.
"Biadab dia! Mengapa kau biarkan perempuan itu pergi?! Apakah kau telah berhasil melukainya dan menjamin dia akan mati di suatu tempat?"
Pendekar Mabuk agak bingung memberi jawaban.
Jika ia katakan yang sebenarnya, pasti Galak Gantung akan mengejar Awan Setangkai ke Pantai Karang Hantu. Hai itu sangat membahayakan jiwa Galak Gantung, sebab agaknya ilmu yang dimiliki Awan Setangkai mampu imbangi kesaktian Galak Gantung. Karenanya, Suto Sinting segera putuskan niatnya untuk tidak memberi jawaban yang sebenarnya demi keselamatan Galak Gantung.
"Dia memang pergi dalam keadaan terluka. Tapi aku tak berani pastikan apakah ia mampu mengobati lukanya atau tidak. Jika tidak, maka ia akan mati sebelum matahari terbenam nanti."
Agaknya jawaban itu kurang melegakan hati Galak Gantung yang berwajah berang, memancarkan sinar kemurkaan dari pandangan matanya yang dingin itu.
"Ke mana arah kepergiannya?*
"Ke... ke selatan," jawab Suio Sinting, padahal Awan Setangkai pergi ke arah utara.
"Aku harus menyusulnya untuk buktikan apakah ia benar-benar telah mati atau masih hidup!"
"Tapi... tapi tunggu dulu, Ki Galak Gantung. Ada beberapa hal yang ingin kuketahui tentang Awan Setangkai itu," sergah Pendekar Mabuk yang membuat Galak Gantung menunda gerakannya yang ingin tinggalkan tempat itu.
Mata dingin si Galak Gantung memandang tajam ke arah Suto Sinting, terasa begitu dingin membekukan setiap denyut nadi di sekujur tubuh Suto Sinting. Namun dengan tarikan napas pelan dan memanjang, Pendekar Mabuk masih mampu tampilkan sikap tenang, kalem, dan sopan.
"Kurasa kau mengenal betul siapa si Awan Setangkai itu, Ki."
"Hmmm! Yang jelas, ia mengancam nyawamu.
Hindari pertemuan dengan perempuan binal itu!" ujar Galak Gantung penuh wibawa.
"Akan kuturuti saranmu, Ki. Tapi aku ingin tahu siapa dia sebenarnya? Mengapa ia mengancam nyawaku?"
Elang Samudera mulai bisa menggeliat. Agaknya luka yang ada di dadanya telah lenyap dan mengatup rapat, kulit tubuhnya menjadi halus seperti sediakala, seakan tak pernah mengalami luka yang amat membahayakan jiwanya itu. Ia mencoba bangkit dengan perlahan-lahan.
Galak Gantung tak begitu peduli, perhatiannya tertuju kepada Pendekar Mabuk yang menunggu jawaban darinya itu.
"Awan Setangkai adalah orang kedua di wilayah Selat Bantai, ia tangan kanannya Ratu Cendana Sutera."
Pendekar Mabuk manggut-manggut dengan gumam lirihnya.
"Kulihat beberapa waktu sebelum tadi, ia bentrok dengan muridku, si Kabut Merana, ia lakukan kelicikan dalam serangannya, hingga kabut Merana terluka bagian dadanya. Aku segera mengalihkan perhatiannya dan berhasil memancingnya berlari mengejarku. Tapi aku tak tahu di mana Kabut Merana sekarang. Kurasa...."
"Dia telah tewas, Ki!" sahut Elang Samudera nyeplos begitu saja. Galak Gantung terkesiap, matanya mengecil memancarkan murka yang tertahan. Pendekar Mabuk menyesali ucapan Elang Samudera yang dianggap gegabah itu. Namun Suto tak berani menegur saat itu juga. Ia hanya melirik menampakkan rasa kesal lewat pandangan matanya. Elang Samudera segera paham maksud lirik Suto Sinting, sehingga ia menjadi salah tingkah sendiri.
"Jika benar muridku tewas, di mana mayatnya?"
"Tak jauh dari sini, Ki," jawab Suto Sinting yang akhirnya bicara apa adanya, karena Galak Gantung sudah telanjur mendengar ucapan Elang Samudera Padahal Suto Sinting bermaksud tidak memancing murka si Galak Gantung lebih besar lagi, sehingga tokoh tua itu tidak memburu Awan Setangkai.
Sebab jika tokoh tua itu memburu Awan Setangkai, hal itu sangat mencemaskan hati Suto Sinting. Cemas jika nyawa Galak Gantung lenyap di tangan Awan Setangkai, cemas pula jika nyawa Awan Setangkai pergi dari raganya sebelum Suto Sinting mendapat keterangan banyak-banyak tentang alasan perempuan itu memburunya.
Akhirnya Suto Sinting dan Elang Samudera membawa Galak Gantung ke tempat di mana mayat Kabut Merana tergeletak di antara semak. Galak Gantung terkesiap dan menahan napas begitu melihat mayat muridnya menjadi kecil seperti mayat anak berusia lima tahun. Wajah tuanya memancarkan warna merah sebagai tanda murka yang paling tinggi. Namun agaknya Galak Gantung masih tetap berusaha menahan luapan murkanya sebelum bertemu dengan Awan Setangkai, ia berdiri pandangi mayat Kabut Merana dengan mulut terkatup membisu. Bebeberapa saat kemudian barulah terdengar suaranya yang bernada geram itu."Pasti si Awan Setangkai yang membunuhnya, ia mempunyai jurus 'Suryapati' yang dapat membuat tubuh lawannya menyusut dan menjadi sekecil ini."
"Adakah kemungkinan orang lain yang melakukannya, Ki?" lanya Suto Sinting dengan hati-hati.
"Tidak. Hanya si perempuan binal; Awan Setangkai saja yang memiliki jurus 'Suryapati' peninggalan  mendiang neneknya; Nyai Pintal Sukma, bekas sahabatku semasa muda," jawab Galak Gantung dengan suara berat sebagai tanda menahan murka mati-matian, ia bicara tanpa memandang yang diajak bicara, karena sorot pandangan matanya tertuju lurus ke mayat muridnya. Pandangan mata itu memancarkan berbagai rasa, antara dendam dan duka, benci dan haru.
"Aku harus segera memakamkan jenazah muridku sebelum menjadi bangkai," ucapnya pelan sekali, nyaris tidak terdengar. "Setelah selesai memakamkan muridku, akan kucari perempuan itu untuk kukirim ke neraka!"
"Aku sependapat denganmu, Ki. Tapi aku masih belum tahu, mengapa Kabut Merana terlibat pertikaian dengan Awan Setangkai?"
"Kabut Merana pernah membunuh adik si Awan Setangkai. Dendam itulah yang membuat Awan Setangkai mengejar Kabut Merana setelah muridku keluar dari istana Selat Bantai sehabis menghadiri perkawinan sahabatnya di sana. Sejak ia pamit padaku hendak menghadiri perkawinan sahabatnya di Selat Bantai, aku menjadi tak enak hati, karenanya kubayang-bayangi muridku itu dari kejauhan. Ternyata firasatku memang benar, ia menemui ajal sepulangnya dari Istana Selat Bantai."
Sebenarnya masih banyak hal yang ingin ditanyakan oleh Suto Sinting. Tetapi agaknya Galak Gantung tak sabar lagi, ingin segera memakamkan jenazah muridnya di tempat kediamannya; di puncak Bukit Wangi. Maka Pendekar Mabuk pun membiarkan Galak Gantung pergi membawa mayat Kabut Merana dengan terlebih dulu berkata kepada si tokoh tua itu,
"Maaf, aku tak bisa ikut menghadiri pemakaman Kabut Merana karena ada urusan yang sangat penting, Ki!"
Tokoh tua itu seolah-olah tak mendengar ucapan Pendekar Mabuk, ia mengangkat mayat muridnya, kemudian melesat dalam satu sentakan kaki. Ia bagaikan lenyap ditelan bumi karena kecepatan geraknya.
Elang Samudera mulai berani dekati Suto Sinting dan ajukan tanya dengan suara pelan, "Apakah kita tetap akan lanjutkan perjalanan ke Pulau Dulang? Atau mau mencari Bawana lebih dulu?"
"Ada sesuatu yang harus kukerjakan, Elang Samudera. Aku ingin kau mencari Bawana di sekitar sini, dan aku menyelesaikan urusanku. Kita bertemu di Pantai Karang Hantu nanti malam."
*
* *

6
TEBING curam, berdinding tegak lurus menjadi tempat penantian Awan Setangkai. Di atas tebing itu, perempuan cantik bermata galak itu lepaskan pukulan jarak jauh berupa cahaya biru sebesar jeruk purut.
Weess...! Cahaya biru itu melesat dan menghantam seonggok batu karang di pertengahan pantai. Blaaarr...!
Tujuannya hanya ingin memberi tahu Pendekar Msbuk yang sedang kebingungan mencarinya, bahwa ia ada di atas tebing curam itu menunggu menyelesaikan tantangannya. Pendekar Mabuk segera memandang ke arah tebing, lalu dalam sekejap ia pun lenyap, tahu-tahu sudah berada di atas tebing datar tersebut.
Awan Setangkai segera palingkan badan hingga berhadapan dengan Pendekar Mabuk. Sorot pandangan matanya memancarkan permusuhan yang masih merupakan tanda tanya bagi hati Pendekar Mabuk sendiri. Mereka saling beradu pandang dalam jarak enam langkah. Masing-masing memperlihatkan ketenangan dan keberanian yang tanpa gentar sedikit pun.
"Kau sudah siap mati di tanganku, Pendekar Mabuk?!" ucap Awan Setangkai sengaja menggertak untuk ciutkan nyali Suto Sinting. Tapi gertakan itu hanya ditertawakan oleh murid si Gila Tuak melalui senyum lebar yang memancarkan daya pikat mengagumkan setiap wanita. Hati perempuan cantik itu berdebar saat menyadari bahwa senyuman Suto Sinting itu ternyata begitu mengagumkan dan enak dipandang mata.
"Kapan pun aku siap mati di tanganmu, Nona Cantik," ujar Suto Sinting mulai gunakan 'aji rayuan gombal'-nya. Kata-kata seperti itu dilontarkan hanya untuk meremehan tantangan lawannya. Awan Setangkai merasa diremehkan, namun ia tetap menjaga luapan kemarahannya agar tetap terkendali dan tetap tenang. Ia sunggingkan senyum tipis yang sangat dingin, sedingin salju kutub utara.
"Tapi sebelum kau berhasil membunuhku," kata Suto Sinting, "... kumohon lebih dulu kau jelaskan apa alasanmu memusuhiku, Awan Setangkai? Baru sekarang aku merasa benar-benar dimusuhi oleh gadis secantik kau."
"Kau tak perlu tahu alasan itu. Tetapi percayalah dengan kata-kataku, kematianmu mempunyai manfaat sendiri bagi pihak lain. Terutama pihakku!"
"Tapi merugikan pihak lain juga, terutama pihak kekasihku: Dyah Sariningrum."
"Aku tak kenal perempuan itu, sehingga aku tak perlu peduli dengannya. Yang jelas, aku tak ingin kau hidup lebih dari satu hari lagi."
"Agaknya nyawaku sangat menggairahkan bagi
murkamu," ujar Suto Sinting sambil tersenyum kalem.
"Tapi percayalah, Awan Setangkai... membunuh orang seperti diriku memang sangat mudah. Yang sulit adalah melumpuhkan ilmuku sebelum nyawaku melayang.
Kalau tak percaya, cobalah bertanya pada arwah orang-orang yang memaksaku membunuhnya."
"Bicaramu semakin lama semakin membakar darahku, Pendekar Mabuk! Sebaiknya, kita mulai saja pertarungan ini dan bersiaplah untuk mati dalam satu gebrakan!"
"Kau perempuan yang terlalu yakin dengan diri sendiri," ujar Pendekar Mabuk dalam bingkai senyum ketenangannya. Awan Setangkai melangkah ke samping pelan-pelan dengan mata memandang tajam, penuh waspada. Suto Sinting justru sempatkan diri menenggak tuaknya tanpa rasa takut diserang.
Rupanya Pendekar Mabuk sudah terbiasa memancing lawannya dengan cara berlagak lengah meminum tuak.  Awan Setangkai tak tahu kalau sedang dipancing, sehingga ketika ia gerakkan tangannya untuk melepaskan pukulan jarak jauh, tiba-tiba tangan kiri Suto Sinting melepaskan sentilan yang bernama jurus 'Jari Guntur' itu. Tes, tes...!
Behg, behg...!
"Uuhg...!" Awan Setangkai tersentak mundur dua langkah karena tenaga dalam yang keluar dari sentilan tangan Suto Sinting itu mempunyai kekuatan sebesar tendangan kuda jantan. Ulu hati gadis itu menjadi sakit dan pernapasannya terasa sesak sekali.
"Setan! Aku kecolongan!" geram Awan Setangkai dalam hatinya. "Uuh... sakitnya bukan main. Tulang igaku seperti ada yang patah dan ulu hatiku bagai dihantam balok besar. Kurang ajar betul dia! Awas, akan kubalas dengan caraku sendiri!"
Pendekar Mabuk sengaja pamerkan senyum kemenangan saat Awan Setangkai tegak kembali setelah menghirup udara banyak-banyak. Sikap yang ditampilkan gadis itu adalah sikap tenang, seakan tidak merasa heran dengan serangan Suto Sinting tadi. Ia bahkan berlagak melengos ke samping kanan.
Tetapi tiba-tiba kepalanya menyentak ke kiri dengan pandangan mata tak berkedip. Wuuut...! Dan seketika itu pula Suto Sinting terlempar ke samping bagai ada tenaga besar yang membantingnya. Brruuk...!
"Edan! Rupanya ia punya kekuatan tenaga dalam melalui pandangan matanya?!" pikir Suto Sinting sambil bergegas bangun. "Hmmm... boleh juga. Tapi dia belum tahu kalau aku pun mempunyai jurus 'Pranasukma' yang dapat melemparkan tubuh manusia sebesar apa pun dengan kekuatan pandangan batinku...."
Jurus 'Pranasukma' adalah jurus yang mengandalkan kekuatan batin untuk memindahkan atau menghancurkan benda apa pun. Jurus ini pemberian dari tokoh sakti sahabat si Gila Tuak yang bernama Setan Merakyat.
Menurut keterangan Setan Merakyat, jurus 'Pranasukma' hanya bisa digunakan sebanyak seratus kali. Ketika itu, jurus tersebut sudah digunakan oleh Setan Meakyat sendiri sebanyak empat kali, sedangkan setelah diturunkan kepada Suto Sinting, jurus itu sudah digunakan tujuh belas kali. Berarti jurus itu sekarang tinggal tujuh puluh sembilan kali lagi, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Setan Rawa Bangkai").
Pendekar Mabuk berdiri tegak kembali, ia masih tampak kalem dengan senyum tipis menghias bibirnya.
Tatapan matanya tertuju lekat-lekat ke wajah Awan Setangkai. Gadis itu sunggingkan senyum sinis sebagai tanda penghinaan atas serangan balasannya tadi.
"Kau pikir hanya kau sendiri yang bisa lakukan serangan licik seperti tadi? Hmmm... kau lihat sendiri aku pun bisa menyerangmu tanpa beranjak dari tempatku!" ujar Awan Setangkai dengan rasa bangga.
Bahkan ia menambahkan kata ketika Suto Sinting hanya diam saja dan tetap sunggingkan senyuman yang  menjengkelkan hati itu,
"Sekarang apa lagi yang ingin kau lakukan? Aku sudah siap menerima seranganmu walau...."
Brruk...! Tiba-tiba tubuh Awan Setangkai terlempar ke belakang dan jatuh terbanting dalam keadaan telentang. Suto Sinting telah gunakan jurus 'Pranasukma' untuk mengecohkan sikap angkuh si gadis cantik itu.
Dengan begitu, kini jurus 'Pranasukma' hanya bisa digunakan sebanyak tujuh puluh delapan kali lagi.
Karena agaknya Suto Sinting tidak akan lakukan serangan kepada Awan Setangkai dengan jurus itu lagi.Cukup satu kali untuk membuat si gadis agar tak terlalu besar kepala.
"Setan kurap!" geram hati Awan Setangkai.
"Rupanya ia memiliki kekuatan pandangan mata seperti yang kumiliki. Hmmm... kalau begitu aku harus hati-hati melakukan tindakan kepadanya. Aku tak boleh lengah sedikit pun."
Pendekar Mabuk bicara dengan tawa kecilnya, "Kalau kumau, aku bisa melemparkan tubuhmu sampai ke tengah samudera sana, atau kusangkutkan pada tepian matahari yang ingin tenggelam di cakrawala itu!"
"Hmmm...!" Awan Setangkai mencibir sinis sekali.
Suto Sinting berkata, "Tapi aku tak mau lakukan kekejian seperti itu, karena gadis secantik kau tak layak diperlakukan seperti itu. Gadis seperti kau lebih layak diperlakukan dengan lemah lembut dan penuh kemesraan."
"Tutup mulutmu, Biadab!" sentak Awan Setangkai dengan berang. "Kau tak perlu coba-coba merayuku dengan ungkapan yang menjijikkan seperti itu!"
"Kau menganggap ungkapan itu menjijikkan karena kau belum pernah merasakan betapa indahnya kemesraan dalam pelukan yang damai. Jika kau pernah merasakan, maka kau tidak akan berkata 'menjijikkan' tapi akan berkata 'melenakan'. Percayalah kau....?"
"Diaaamm...!" teriak Awan Setangkai sambil menutup kedua telinganya, ia tampak tegang sekali dan wajahnya menjadi sangat berang. Suto Sinting sembunyikan perasaan herannya dalam hati melihat perubahan sikap lawannya.
"Mengapa ia tampak seperti tersiksa sekali mendengar kemesraan yang kukatakan? Mengapa ia kelihatannya sangat ketakutan mendengar ucapan lembutku? Ada apa di balik kekuatan ilmunya itu? Akan kucoba bicara tentang kemesraan lagi!"
Awan Setangkai berkata keras, "Jangan buang-buang waktu lagi! Bersiaplah untuk mati di tanganku, Pendekar Mabuk!"
"Kau akan kehilangan kasih sayang dan kehangatan jika sampai aku mati di tanganmu. Kau tak akan tahu bahwa ada sekerat hati yang mengagumi kecantikanmu dan ingin memelukmu dengan penuh kasih sayang dan keindahan yang dapat menerbangkan khayalanmu.
Kau...."
"Diam, diam, diaaam...!" teriaknya dengan semakin keras, lebih pantas dikatakan sebagai jeritan.
"Kuhancurkan mulut busukmu, Setan Kurap!
Hiaaah...!"
Wuuut...! Awan Setangkai menerjang Suto Sinting dengan satu lompatan cepat. Pendekar Mabuk segera menyingkir dengan pergunakan jurus 'Gerak Siluman'-nya. Zlaaap. Akibatnya gadis itu menerjang tempat kosong, sedangkan orang yang dituju sudah berada jauh di belakangnya. Dari sana Suto Sinting berseru melontarkan kata-kata bernada mesra.
"Kau tak pantas menyerangku, Awan Setangkai! Karena kau akan kupeluk dan kucium dengan penuh kelembutan dan cinta yang membara. Barangkali kau akan kuterbangkan ke puncak-puncak keindahan cinta yang akan berkesan sepanjang hidupmu...."
"Tidaaaakk...!" teriaknya sambil lakukan lompatan lagi dan seberkas cahaya merah keluar dari telapak tangannya. Claaap...! Weeess...!
Blegaaar...!
Ledakan dahsyat terjadi begitu hebatnya, mengguncangkan tebing, merontokkan bebatuan karang yang menjadi kulit dinding tebing itu. Bahkan ombak lautan yang berjarak sepuluh langkah dari ketinggian di atasnya pun menyemburkan kekuatan getar hingga ombak itu melambung tinggi bagaikan ingin ikut murka.
Ledakan itu timbul karena sinar merah tersebut ditangkis oleh Suto Sinting menggunakan bumbung tuaknya. Biasanya bumbung tuak itu bisa memantul-balikkan sinar pukulan lawan. Tetapi kali ini sinar itu justru meledak setelah kenai bumbung tuak. Berarti sinar merah itu mempunyai kekuatan maha dahsyat yang mungkin dapat meleburkan raga Suto Sinting menjadi debu jika sampai kenai tubuh Suto Sinting.
Namun karena sinar mengenai bumbung tuak sakti, dan bumbung itu tidak lecet sedikit pun, maka yang terjadi adalah ledakan sedahsyat tadi.
Awan Setangkai masih menutup telinga dengan kedua tangannya. Napasnya terengah-engah dan kepalanya sedikit menunduk, ia bagaikan menyembunyikan ketakutan yang terpampang di wajahnya. Pendekar Mabuk semakin heran melihat kenyataan itu, dan berniat usil untuk menggunakan kalimat-kalimat mesra lagi. Dengan melangkah lebih mendekat lagi, Pendekar Mabuk pun gunakan kata-kata lembut yang merdu merayu.
"Jangan biarkan murkamu membunuh asmara yang timbul di batinku, Awan Setangkai. Asmara ini meratap ingin merenggut jiwamu untuk bersatu menjalin cinta dan keindahan...."
"Tidak! Tidak...! Hentikan ucapanmu itu! Hentikan!"
"Tak ada kemesraan yang bisa dihentikan jika sudah berhadapan denganmu, Awan Setangkai. Kau adalah ratu kemesraan yang sangat mengagumkan dan patut dimuliakan. Rasa-rasanya sekarang pun hatiku telah meremas penuh keindahan pada tepian hatimu. Aku terkulai lemas dalam pelukanmu, Sayang...."
"Tidaaaakk...! Hentikaaaan...! Hentikaaaan...!" teriak gadis aneh itu. Ia bagai mengalami rasa sakit yang begitu besar di telinganya, ia menahan kuat-kuat sambil berteriak-teriak hingga tubuhnya berkeringat dan jatuh terkulai berlutut.
"Remaslah jariku. Genggamlah tanganku. Semua menjadi milikmu, Awan Setangkai. Semua keindahan dan kemesraanku menjadi milikmu. Rasakan kehangatan bibirku yang merayap di lehermu, Awan Setangkai...."
"Ooooh, tidaaaakk...!" Awan Setangkai akhirnya menangis terisak-isak bagai ditinggal mati neneknya.
Kalimat-kalimat mesra itu seakan melumpuhkan kekuatan dan kegalakannya. Pendekar Mabuk diam terbengong memandangi Awan Setangkai terisak-isak sambil cucurkan air mata dan tetap menutup kedua telinga menggunakan kedua tangannya.
"Tolong hentikan...! Hentikan kata-katamu itu. Ooh...aku tak sanggup lagi menerimanya...," pinta gadis itu dalam tangis.
"Gadis ini gila apa sinting sebenarnya? Mendengar rayuan mesra menjadi lumpuh tak berdaya. Aneh sekali?! Padahal rayuanku tidak menggunakan tenaga dalam dan ilmu apa pun kecuali ilmu 'menggombal' yang sejak kecil sudah ada padaku," pikir Suto Sinting sambil tetap pandangi tangis Awan Setangkai.
Gadis cantik itu masih berlutut dan tundukkan kepala, mendekap kedua telinganya sambil perdengarkan suara tangis samar-samar. Pendekar Mabuk justru menjadi bingung sendiri; antara ingin membujuk atau membiarkan semangat membunuh si gadis timbul kembali?
Akhirnya ia berkata kepada Awan Setangkai depan suara pelan dan berkesan lembut,
"Apakah kita jadi bertarung mengadu nyawa? Mari sudah hampir gelap, cepat cabut pedangmu dan bunuhlah aku jika kau mampu, Awan Setangkai!"
Tiba-tiba gadis itu tegakkan badan, memandang dengan penuh nafsu membunuh, ia segera bangkit dan mencabut pedangnya. Namun sebelum pedang tercabut, Suto Sinting segera berkata,
"Kalau kau tega membunuh orang yang merindukan dirimu, mencintaimu dan berhasrat sekali mencium keningmu, maka bunuhlah sekarang juga. Biarlah kerinduan dan hasrat cintaku terkubur bersama jasadku.
Aku rela mati di tangan gadis yang telah kupeluk mesra dalam khayalanku...."
"Oooh...! Setaaan...! Hentikan kata-katamu itu! Hentikaaan...! Oh, jangan lagi bicara kemesraan di hadapanku. Aku... aku tak mampu menerimanya...."
Gadis itu menangis lagi, berlutut kembali, dan kekuatannya bagai sirna dalam beberapa waktu. Pendekar Mabuk hanya berucap dalam batinnya.
"Kurasa dia asli gila! Baru sekarang kutemukan seorang gadis yang bagaikan lumpuh begitu mendengar rayuan mesra. Hmm... jangan-jangan memang ia edan dari sananya."
Tangis itu tiba-tiba terhenti secara mengejutkan, berganti pekikan tertahan yang dibarengi gerakan tubuh tegak mengejang, wajah merenggang tegang, mulut ternganga dan mata mendelik lebar.
"Aaahk...!" .
"Awan Setangkai...?!" sentak Suto Sinting dengan rasa kagetnya. Dahi pendekar tampan itu segera berkerut penuh keheranan. Awan Setangkai roboh ke depan tak berdaya lagi.
Pada saat tubuh itu roboh ke depan Suto Sinting melihat sebilah pisau kecil menancap di punggung Awan Setangkai. Pisau itu berukuran panjang setengah jengkal.
Gagangnya terbuat dari logam kuning emas. Mata pisaunya terbenam seluruhnya di punggung Awan Setangkai.
Hal yang membuat heran Suto Sinting adalah asap merah yang keluar dari luka tusukan pisau tersebut.  Asap merah itu bercampur dengan busa kehitam-hitaman yang merembas keluar dari luka sekeliling pisau.
"Racun ganas...?!" gumam Suto Sinting dengan tegang. "Siapa pemilik pisau itu? Siapa orang yang telah menyerang Awan Setangkai? Tak kulihat ada bayangan di sebelah sana. Hmmm... jurus 'Lacak Jantung'-ku pun tak bisa menangkap detak jantung orang lain di sekitar sini? Gila! Pasti orang itu berilmu tinggi, hingga bisa sembunyikan detak jantungnya hingga tak tertangkap oleh jurus 'Lacak Jantung'-ku."
Pendekar Mabuk memandang dengan mata liar ke arah sekeliling tempat itu. Namun ia benar-benar tidak dapat melihat tanda-tanda kehidupan manusia lain di sekitar tempat tersebut. Sementara itu, luka di punggung Awan Setangkai semakin menyemburkan busa-busa hitam dan bau busuk menyebar ke mana-mana. Suto Sinting dalam kebimbingan antara membawa pergi Awan Setangkai untuk diselamatkan di tempat lain, atau memburu si penyerang' gelap itu?
*
* *

7
TEBING karang itu ternyata berongga bagian bawahnya. Lorong yang tercipta secara alami membentuk goa bermulut lebar. Air laut dapat masuk sampai ke dalam lorong itu apabila sedang pasang.
Beruntung sekali petang itu air laut tak pasang, sehingga lorong tersebut bisa digunakan sebagai tempat berteduh untuk sementara waktu.
Dalam cahaya api unggun yang sengaja disusun di tengah lorong itu oleh Suto Sinting, wajah cantik Awan Setangkai tampak bagai memancarkan sinar kecantikannya. Gadis itu baru saja siuman dari pingsannya. Racun yang mengganas di tubuhnya telah berhasil dilumpuhkan oleh kesaktian tuak Suto sebelum berhasil merenggut jiwa gadis itu.
Luka bekas tusukan pisau kecil pun hilang. Tak membekas walau seujung jarum pun. Kini pisau setengah jengkal bergagang emas sedang diperhatikan oleh Awan Setangkai. Tangannya yang memegangi pisau tersebut masih tampak gemetar pertanda kesehatannya belum pulih sepenuhnya.
Namun beberapa saat kemudian, getaran pada tangan pun hilang, dan tubuh Awan Setangkai terasa sangat segar. Lebih segar dari saat-saat sebelum itu. Suto Sinting sengaja tidak membuka suara, ia pandangi wajah cantik berbibir menggemaskan itu.
Sekalipun tanpa senyum, namun tetap saja mempunyai daya pikat cukup besar. Pendekar Mabuk berdecak kagum dalam hati beberapa kali.
"Rupanya dia sudah mengetahui tindakanku."
Tiba-tiba Awan Setangkai bicara pelan bagai orang menggumam. Pendekar Mabuk mulai tertarik dengan ucapan kata itu, walau ia tak tahu persis kepada siapa ucapan kata itu ditujukannya. Tapi ia mencoba melebarkan percakapan di ujung petang itu dengan ajukan sebuah pertanyaan sederhana.
"Dia siapa maksudmu?"
Tanpa memandang Suto Sinting, Awan Setangkai menjawab, "Pemilik pisau ini!"
"Kau mengenal pemiliknya?"
"Si Penyamun Senja!"
Suto Sinting sedikit merasa heran mendengar nama Penyamun Senja. Baginya nama itu cukup unik. Tapi ia tak ingin membahas keunikannya, ia hanya ingin tahu, siapa si Penyamun Senja itu. Karenanya ia segera ajukan tanya kepada Awan Setangkai.
"Siapa orang yang bernama Penyamun Senja itu?
Musuh lamamu atau lawan barumu?"
Awan Setangkai tarik napas panjang, wajahnya yang sejak tadi tertunduk pandangi pisau bergagang emas itu kini terangkat, sehingga tatapan matanya tertuju lurus ke mata Suto Sinting. Sejenak kemudian ia pun perdengarkan suaranya yang masih bernada ketus namun tak terlihat getar permusuhannya.
"Penyamun Senja adalah adik sepupu dari Nyai Ratu Cendana Sutera, namun juga sebagai pengawal pribadi sang Ratu."
Kini Stito Sinting terbungkam merenungi jawaban tadi. Jika benar pisau itu milik adik sepupu Ratu Cendana Sutera, berarti pisau itu salah sasaran.
Tujuannya ke arah tubuh Suto Sinting, tapi mengenai punggung Awan Setangkai.
"Bukankah Awan Setangkai orang kepercayaan Ratu Cendana Sutera?" ujar Suto Sinting dalam hatinya.
Lalu, Suto terngiang kata-kata Nyai Sedap Malam saat sebelum ia, Elang Samudera dan Bawana meninggalkan rumah Ki Palang Renggo itu. Saat itu Nyai Sedap Malam bagai memberi pesan khusus untuk Suto Sinting karena bicaranya berbisik pelan seakan takut didengar Elang Samudera maupun Bawana.
"Jika bertemu dengan Awan Setangkai, hindarilah perempuan ganas itu. Ilmunya cukup tinggi. Dia adalah orang kepercayaan penguasa Selat Bantai yang paling berbahaya dari seluruh pengawal pribadi dan prajurit sang Ratu Cendana Sutera...."
"Mengapa harus kuhindari?" potong Suto dengan rasa ingin tahu sekali. Nyai Sedap Malam pun menjelaskan dengan berbisik,
"Jika ia telah menyerangmu, berarti ia tak ingin bertemu denganmu dalam keadaan hidup, ia tetap akan memburu nyawamu sampai kapan pun. Itulah sifat orang-orang Selat Bantai."
Maka, setelah mendengar pengakuan Awan Setangkai tentang si pemilik pisau itu, Suto Sinting yakin betul bahwa pisau itu salah sasaran, ia berkata kepada Awan Setangkai.
"Orang yang bernama Penyamun Senja itu ternyata bukan orang yang tangkas, ia masih bisa salah sasaran dalam melemparkan pisau mautnya. Seharusnya ia bisa mengarahkan ke dadaku, karena saat itu keadaanku sangat terbuka tanpa pelindung apa pun. Tapi mengapa dia bisa salah lemparkan pisau itu ke punggungmu?
Sungguh memalukan ketangkasan orang Selat Bantai itu rupanya."
"Sasaran pisau ini memang bukan dirimu. Sasarannya adalah nyawaku!" ujar Awan Setangkai dengan nada dingin.
Raut wajah Suto Sinting menampakkan keheranannya. "Apakah... apakah kau bermusuhan dengan Penyamun Senja? Bukankah kau dan Penyamun Senja sama-sama orang Selat Bantai dan sama-sama memburuku?"
"Memang. Tapi masing-masing punya tujuan yang berbeda."
"Bisa kau jelaskan mengapa bisa berbeda tujuan?"
Awan Setangkai tidak segera berikan jawaban, ia diam beberapa saat, memandangi pisau itu kembali. Lalu, pisau dilemparkan ke arah belakang bagai dibuang begitu saja. Tapi rupanya gerakannya punya tekanan jurus tersendiri, sehingga pisau itu dapat menancap kuat di sela-sela dinding karang.
Craaak... !
Suto Sinting terbengong melihat pisau itu menancap di dinding karang. Semakin terbengong lagi ketika Awan Setangkai menuding pisau itu dengan telunjuknya dan dari telunjuk keluar sinar putih perak kecil sekali. Sinar itu menghantam gagang pisau lalu pisau pun meledak.
Duaar...! Pisau hancur bersama serpihan dinding karang. Mulut melompong Pendekar Mabuk segera dikatupkan karena malu dipandangi gadis cantik itu.
Sang gadis segera ajukan tanya yang membuat Suto Sinting sedikit menggeragap.
"Mengapa kau selamatkan nyawaku dari racun pisau itu?!"
"Hmmm... ehh... aku... aku tak sengaja menyelamatkan nyawamu. Aku hanya... hanya menyangka kau kehausan, lalu kuberi minum tuakku, dan... entah mengapa kau tak jadi mati."
Awah Setangkai mencibir sinis. Tapi dalam hatinya tahu bahwa jawaban Suto Sinting hanya sekadar menutupi kenyataan yang ada. Ia tetap merasa diselamatkan oleh Pendekar Mabuk.
"Apakah jika sudah begini aku harus batalkan rencanaku menghabisi nyawanya?" ujar Awan Setangkai dalam hati. "Dia telah selamatkan nyawaku dari racun amat ganas itu. Dia telah mengetahui kelemahanku jika mendengar rayuan. Apakah aku masih bias membunuhnya seperti rencana semula?"
Pendekar Mabuk menengok tuaknya yang tinggal sepertiga bumbung itu. Awan Setangkai memperhatikan tiada berkedip dengan dada berguncang tak menentu rasa. Suto Sinting tahu dirinya sedang diresahkan oleh Awan Setangkai, dan ia berlagak acuh tak acuh terhadap pandangan gadis itu.
"Katakan, mengapa kau selamatkan nyawaku dari racun itu?!" desak Awan Setangkai.
"Sudah kukatakan tadi; aku tidak sengaja menyelamatkanmu!"
"Hmm...!" Awan Setangkai mencibir lagi. "Kalau begitu kau pendekar yang bodoh."
"Mungkin memang begitu."
"Sementara kau selamatkan nyawaku, kau sendiri terancam oleh kematian dariku. Apakah kau tak perhitungkan hal itu?"
"Kalau kau mau membunuhku, kurasa sudah sejak tadi kau menyerangku. Tapi mengapa tidak kau lakukan?"
Awan Setangkai salah tingkah sendiri, ia berkata sekenanya, "Aku sedang malas membunuh," sambil ia palingkan wajah tak berani menatap Suto Sinting yang memandangnya dengan pancaran sorot mata menggetarkan hati.
Pendekar tampan itu tersenyum, bahkan tertawa kecil tanpa suara. Tangannya meraih ranting kering dan bermain api unggun.
"Kurasa kau seorang manusia, bukan seekor binatang. Kau pasti punya perasaan manusiawi, yang tidak akan membunuh seseorang yang telah menyelamatkan nyawamu dari maut. Aku percaya kau bukan iblis betina yang menjelma menjadi Awan Setangkai. Kau wanita yang punya kelembutan tersembunyi dan...."
"Cukup!" sentak Awan Setangkai merasa takut mendengar rayuan lagi. Matanya yang bening bundar itu memandang tajam kepada Suto Sinting, dan oleh Suto hanya dilirik sebentar bersama senyum yang melebar geli.
"Jangan coba-coba merayuku lagi. Aku semakin muak padamu!"
"Aku tahu kelemahanmu sekarang," ucapan lirih Suto Sinting itu menggelisahkan hati Awan Setangkai.
"Tapi aku tak akan lakukan hal yang membuatmu sakit. Aku tak akan merayumu lagi," kata Suto dengan tenang. "Aku hanya ingin tahu, mengapa kau tampak menderita bila mendengar rayuan? Jelaskanlah padaku, setidaknya sebagai bekal sebelum rohku kau kirim ke neraka nanti."
Setelah diam beberapa saat, Awan Setangkai menjawab, "Aku dikutuk oleh bibiku sendiri karena dituduh berbuat tak senonoh dengan pamanku. Kutukan itu membuat seluruh tubuhku menjadi sakit dan tenagaku lenyap jika mendengar rayuan seorang lelaki yang menggetarkan hatiku. Sampai sekarang aku tak bisa hindari kutukan tersebut, sementara bibiku sendiri sudah tewas."
"Menyedihkan sekali," gumam Suto Sinting dengan seulas senyum lembut mekar di bibir dan membuat hati Awan Setangkai berdesir indah. Tapi sang hati mendesah jengkel karena sebenarnya ia tak ingin merasakan desiran itu.
"Desiran ini hanya membuatku tak tega membunuhnya," ujar batin si gadis yang merasa serba salah itu.
"Lalu, mengapa kau ingin sekali membunuhku. Apakah aku punya salah padamu? Atau kau punya dendam padaku?"
"Apakah kau tak bersedia untuk mati?" Awan Setangkai justru ganti bertanya, dan Suto Sinting tertawa pelan, cukup berwibawa.
"Siapa orangnya yang bersedia mati sebelum menikmati keindahan cintanya? Kurasa kau sendiri tidak bersedia mati semuda ini, bukan?"
"Kematianmu demi menyelamatkan berkembangnya darah keturunan sesat. Jika kau tetap hidup, maka kemaksiatan, kekejian dan kebiadaban tetap akan berlangsung di Selat Bantai."
Kening si murid sinting Gila Tuak itu berkerut menandakan bingung mengartikan penjelasan Awan Setangkai. Bahkan kini suara Suto Sinting pun terdengar bagai orang menggumam,
"Aku tak jelas dengan keteranganmu itu."
"Pakai otakmu, jangan pakai dengkulmu!" katanya dengan ketus.
"Setahuku kau orang Selat Bantai, dan menurutmu orang yang bernama Penyamun Senja itu juga orang Selat Bantai. Lalu, apa hubungannya antara rencanamu dengan tindakan Penyamun Senja itu. Awan Setangkai?"
Gadis cantik itu bangkit, memandang petang dari ambang mulut gua, kemudian kembali lagi ke dalam dan mendekati gugusan api unggun, ia tetap berdiri memandangi nyala api yang membuat suasana di dalam lorong gua itu menjadi temaram.
"Kalau kau tidak kubunuh, maka kau akan menjadi pria pembenih bagi Ratu Cendana Sutera dan orang-orangnya. Karena pada malam purnama nanti, bulan kesuburan telah datang. Nyai Ratu akan menangkapmu dan memaksamu dengan berbagai cara untuk membuahi kandungannya. Pada malam bulan kesuburan itulah,
Nyai Ratu dan orang-orang Selat Bantai bebas dari kemandulan. Mereka akan hamil dan mempunyai anak.
Semakin tinggi ilmu orang yang menanamkan bibit keturunan kepada mereka, semakin panjang pula usia mereka, juga anak mereka kelak akan menjadi ksatria-ksatria tangguh. Sebab itulah maka kau diburu oleh Nyai Ratu Cendana Sutera dan orang-orangnya. Mereka sepakat memilih kau sebagai pria penanam keturunan. Kau akan dipaksa melayani mereka dalam waktu tujuh hari."
"Alangkah indahnya," canda Suto Sinting yang merasa tak kaget lagi karena sudah mendengar keterangan dari Kabut Merana.
"Ya, memang indah. Tapi ketahuilah, setelah tujuh hari nanti kau harus dibunuh sehingga rohmu akan menitis pada bayi-bayi yang mereka kandung itu."
"Lalu, mengapa sekarang belum ada tujuh hari, bahkan belum dimulai pembenihan, kau sudah ingin membunuhku?"
"Karena aku ingin menggagalkan rencana mereka yang hanya mempunyai kesempatan seratus tahun sekali itu. Aku tak ingin mereka berkembang baik, karena tingkat kekejaman mereka sudah melampaui batas. Aku sebagai orang terdekat Nyai Ratu pun merasa tak setuju dengan kekejian mereka. Sebab itulah, dengan membunuhmu maka aku berarti menggagalkan kemunculan orang-orang sesat yang akan menjadi penerus sifat mereka."
"Jadi, singkat cerita, kau menjadi pembangkang kekuasaan Nyai Ratu Cendana Sutera?"
"Terserah apa kata mereka; pembangkang atau penentang, aku tak pernah peduli. Yang terpikir olehku adalah menghancurkan kekuasaan lalim di Selat Bantai itu."
"Mengapa kau ingin menghancurkan kekuasaan ratumu sendiri?" desak Suto Sinting menandakan rasa ingin tahunya kian bertambah besar lagi.
"Selat Bantai dulu merupakan kekuasaan dari nenekku. Tetapi nenekku ditumbangkan oleh ibunya Nyai Ratu Cendana Sutera. Sekarang aku ganti akan merebut kekuasaan itu dan menggunakan malam bulan kesuburan sebagai jembatan menuju kehancuran kekuasaan Nyai Ratu Cendana Sutera. Aku harus bisa membunuh ksatria tangguh yang akan menjadi tumbal keturunan mereka. Kebetulan, ksatria tangguh itu adalah kau. Jadi, kumohon kau memaklumi jika aku berniat membunuhmu."
"Niat membunuh kok harus dimaklumi? Yang benar saja kau!" Pendekar Mabuk bersungut-sungut membuat Awan Setangkai terpaksa salah tingkah kembali.
"Jadi, kau ingin aku merelakan diriku kau bunuh?"
Awan Setangkai menjawab, "Itu hanya untuk menggagalkan kemunculan keturunan mereka."
"Apa pun alasannya. Jelas aku tak akan merelakan diriku kau bunuh atau dijadikan tumbal mereka."
Awan Setangkai menarik napas panjang, terasa sulit mengambil sikap di depan Pendekar Mabuk. Sebagian hatinya menyalahkan rencananya sendiri, sebagian hati lagi membenarkan.
Ia hanya bisa berkata, "Yang jelas, rencanaku menghancurkan ksatria pilihan mereka ternyata sudah diketahui Nyai Ratu, sehingga Nyai Ratu mengutus Penyamun Senja itu membunuhku. Itulah sebabnya maka ia tidak menyerangmu, melainkan menyerangku dengan pisau beracun ganas tadi."
Kini si Pendekar Mabuk manggut-manggut. Ia mulai jelas terhadap persoalan yang dihadapinya. Jika ia tidak dibunuh Awan Setangkai, maka ia akan dijadikan pembenih Ratu Cendana Sutera dan orang-orangnya setelah itu baru dibunuh. Baginya, semua sama saja; sama-sama mengancam nyawanya. Tapi agaknya ia punya pilihan lain dalam bersikap.
"Bagaimana menurutmu, jika aku datang menemui Ratu Cendana Sutera? Apakah kau setuju?"
"Aku setuju setelah kau datang ke sana tanpa nyawa!"
jawab Awan Setangkai tegas dan ketus. Pendekar Mabuk sunggingkan senyum kalemnya, ia masih duduk di atas batu setinggi betis.
"Aku ke sana bukan untuk melayani mereka."
"Lalu mau apa kau ke sana? Melawan mereka?!
Hmmm...! Kau tak akan mampu melawan kesaktian
Nyai Ratu Cendana Sutera. Melawanku saja kau hampir terteter, apalagi melawan ratuku?!" Awan Setangkai tampak berang, karena hatinya diliputi kecemasan yang cukup besar.
"Tapi jika kau harus membunuhku, itu tindakan yang kurang bijaksana, Awan Setangkai. Kurasa ada langkah yang lebih bijaksana dari niatmu membunuhku itu."
"Rencana apa?!"
"Misalnya, dengan cara menyembunyikan diriku sampai batas bulan kesuburan itu berakhir baru aku muncul kembali. Bukankah itu lebih bijaksana daripada harus membunuhku?" Suto bicara dengan bersungut-sungut pula seperti orang memohon belas kasihan. Padahal dalam otaknya ia sudah mempunyai rencana sendiri yang mungkin akan mengejutkan Awan Setangkai.
"Kau tak akan bisa bersembunyi ke mana pun juga. Walau kau berada di liang semut yang paling dalam, atau berada di perut bumi. Ratu Cendana Sutera tetap dapat menemukan dirimu, karena ia mempunyai ilmu 'Kelana iblis', yang dapat menunjukkan di mana orang yang dicarinya berada."
Pendekar Mabuk diam termenung, ia membatin, "Jika benar begitu, memang tak ada tempat lagi bagiku untuk bersembunyi."
Awan Setangkai lanjutkan kata-katanya yang tadi,
"Sebab itulah Penyamun Senja mengetahui di mana aku berada saat kita di Pantai Karang Hantu. Nyai Ratu pun dapat mengetahui rencanaku membunuhmu untuk menggagalkan malam bulan kesuburan itu, sehingga ia mengutus Penyamun Senja untuk membunuhku di Pantai Karang Hantu."
"Kalau begitu," Suto Sinting bangkit dan melangkah sedikit jauhi api unggun. Sambungnya lagi,
"... berarti tak ada tempat lagi bagiku untuk bersembunyi. Lalu, untuk apa harus lari ke sana-sini jika akhirnya tertangkap juga? Lebih baik kutemui ratumu itu dan kutantang beradu nyawa dalam pertarungan!"
Awan Setangkai memandang sambil geleng-gelengkan kepala.
"Sama saja kau bunuh diri jika menantang pertarungan pribadi dengan Nyai Ratu."
"Tapi aku akan mati secara terhormat. Bukan mati sebagai budak birahinya, bukan mati sebagai tumbal keturunannya! Aku seorang pendekar, aku harus mati secara terhormat, Awan Setangkai!" ucap Suto Sinting semakin tegas lagi.
"Bagaimana jika kau mati di tanganku dalam pertarungan pribadi tanpa gunakan rayuanmu?"
"Mati di tanganmu itu tidak terhormat, Awan Setangkai! Tak beda dengan mati konyol!"

Awan Setangkai hembuskan napas. Dalam hatinya

berkata, "Seandainya kau setuju dengan pertarungan kita, belum tentu aku tega membunuhmu, karena kau ternyata bukan pria yang pantas dibunuh tanpa kesalahan besar. Bukan kau yang salah sebenarnya, tetapi semua itu kulakukan demi menggagalkan rencana Nyai Ratu.
Sementara itu, aku tak berani bertarung melawan Nyai Ratu secara pribadi. Aku tahu bahwa aku akan hancur dalam satu gebrakan saja jika melawan Nyai Ratu."
*
* *

8
MENGINGAT Ratu Cendana Sutera mempunyai ilmu 'Kelana Iblis', maka tak ada jalan lain kecuali dengan menantang pertarungan sang Ratu Cendana Sutera. Meskipun Awan Setangkai tidak setuju dan menentang keras rencana itu, tapi Suto Sinting tetap ngotot ingin lakukan pertarungan di suatu tempat bersama Ratu Cendana Sutera.
Di ujung pagi, ketika mereka bangkit dari tidur yang saling berjauhan itu, Awan Setangkai bagaikan menemukan kesegaran dalam pikirannya, ia menyatakan sikap setujunya terhadap rencana Suto Sinting untuk lakukan pertarungan melawan Nyai Ratu Cendana Sutera.
"Tapi jika kau mati dalam pertarungan itu, aku akan menggantikanmu dan akan bertarung sampai mati pula."
"Mengapa begitu?" tanya Suto Sinting setelah meneguk tuaknya beberapa kali.
"Karena aku tak sudi mati di tangan para pengawal Nyai Ratu. Lebih baik aku mati di tangan Ratu, karena itu lebih terhormat bagiku ketimbang mati di tangan bawahannya."
Pendekar Mabuk manggut-manggut sambil sunggingkan senyum tipis, kemudian terdengar suaranya berkata bagai menggumam,
"Aku salut dengan tekad dan keberanianmu! Kau gadis cantik yang punya perhitungan matang, dalam menyambut kematian!"
Awan Setangkai hanya sunggingkan senyum tipis berkesan sinis. Tapi senyum itu justru menambah kecantikannya semakin memancar menggoda hati setiap lelaki, termasuk si Pendekar Mabuk sendiri.
Sampai akhirnya mereka sepakat untuk pergi ke Selat Bantai dan menantang pertarungan dengan Nyai Ratu Cendana Sutera. Dalam hal ini, Awan Setangkai bersedia sebagai pihak perantara yang akan menghadap sang Ratu dan menyampaikan tantangan Suto Sinting.
Tetapi langkah mereka segera terhenti ketika mereka menuruni lembah dan melihat sekelebat bayangan berlari melintas di hutan depan mereka. Bayangan itu tampak sebagai sosok seseorang berpakaian putih-hitam yang mempunyai kecepatan gerak cukup tinggi, walau tidak seperti gerakan Suto Sinting jika berlari gunakan jurus 'Gerak Siluman'-nya.
Di belakang orang yang berlari cepat itu tampak seseorang mengejarnya dengan gerakan yang sama cepat. Namun agaknya si pengejar segera meningkatkan kecepatan larinya, hingga dalam beberapa kejap saja ia dapat memburu lawannya. Orang berpakaian putih-hitam terjungkal saat diterjang dari belakang oleh lawannya.
Brrruus...!
"Aaahg...!" orang itu terpekik tertahan, namun tampak segera bangkit kembali dengan memasang kuda-kudanya.
Pendekar Mabuk segera ambil tempat untuk bersembunyi. Awan Setangkai mengikutinya dengan dahi berkerut-kerut. Lalu ia berbisik kepada Suto Sinting dari balik semak-semak itu,
"Kalau tak salah lihat, orang berbaju ungu itu adalah sahabatmu yang kala itu menerjangku saat kita di Pantai Karang Hantu. Aku masih punya perhitungan tersendiri dengannya"
Suto Sinting hanya nyengir pendek. "Dia memang sahabatku. Namanya Elang Samudera. Tapi kumohon lupakan tentang perhitungan itu. Jangan coba-coba melawannya, nanti aku menjadi tak simpati lagi padamu. Lebih baik bersahabatlah, seperti halnya diriku yang tak membalas racunmu waktu itu."
"Ssst...! Sudah, sudah! Perhatikan saja percakapan mereka. Agaknya sahabatmu itu menuduh Bawana sebagai...."
"Hei, kau tahu nama lelaki berpakaian putih-hitam itu, rupanya?" potong Suto Sinting.
"Tentu saja, aku mengenalnya. Bawana adalah orang Pulau Dulang yang sudah bersekutu dengan Ratu Cendana Sutera. Dia orang kuat di Pulau Dulang. Tapi demi upah besar dari sang Ratu, dia mau lakukan kerjasama, mengerjakan apa pun perintah Ratu Cendana Sutera."
"Ooo.. jadi dia memang benar sebagai orang Pulau Dulang? Tapi ia juga bekerja untuk Ratu Cendana Sutera?"
Awan Setangkai mengiyakan dalam gumam. Pendekar Mabuk rnanggut-manggut, lalu tak bicara lagi, sebab suara Bawana terdengar menyentak keras kepala Elang Samudera.
"Kalau benar aku orang Selat Bantai, kau mau apa?!"
"Nah, begitu lebih bagus. Kau telah mengaku secara tak langsung!" kata Elang Samudera. "Kita tinggal main perhitungan saja; mengapa kau membawaku dan Pendekar Mabuk keluar dari pondok Ki Palang Renggo?"
"Yang ingin kubawa bukan kau, Bocah Kencur! Yang ingin kubawa adalah Pendekar Mabuk, ia akan kujebak masuk dalam perangkap Nyai Ratu Cendana Sutera.
Sebab memang aku diupah oleh beliau untuk menangkap Pendekar Mabuk dalam keadaan hidup-hidup. Aku terpaksa harus merendah dan menggunakan siasat supaya di antara kami tak terjadi pertarungan yang membahayakan nyawa si Pendekar Mabuk.
Tapi rupanya si murid Galak Gantung, musuh lamaku itu, mulai membuka rahasia dengan berkasak-kusuk kepada Pendekar Mabuk, ia pernah melihatku berada di istana Selat Bantai. Aku jadi waswas, dan terpaksa pergi untuk mengatur siasat baru."
"Manusia licik!" geram Elang Samudera.
"Tanpa kelicikan, siapa pun akan binasa dimakan kebodohannya sendiri!"
"Hemm...!" Elang Samudera mendengus sinis.
"Sekarang apa maumu, hah?!" bentak Bawana bernada menantang. "Selagi tak ada Pendekar Mabuk, aku tak keberatan melenyapkan nyawamu sekarang juga, jika memang itu maumu!"
"Kau tak akan berhasil membawa Pendekar Mabuk kepada Ratu Cendana Sutera! Selagi aku masih ada dan masih bisa bernapas, kau akan sia-sia menggunakan siasat dan kelicikanmu untuk menjebak Pendekar Mabuk!"
"Kalau begitu, berarti aku harus melenyapkan dirimu lebih dulu. Dan terimalah awal kehancuranmu ini, Bocah Dungu! Heeaah...!"
Bawana menyerang lebih dulu dengan tangan kosong. Suatu lompatan cepat dilakukan menerjang Elang Samudera. Sambil melompat, ia melepaskan jarum-jarum hitam dari tangannya.
Weeerrss...!
Elang Samudera segera hindari jarum-jarum hitam itu dengan melenting tinggi ke atas dan melepaskan pukulan bercahaya hijau mirip bintang berekor. Claaap...! Sinar hijau itu menghantam kepala Bawana. Sayang, sebelum kenai kepala, Bawana Sudah lebih dulu menghentakkan tangan kirinya, dan seberkas sinar merah melesat menghantam sinar hijaunya Elang Samudera itu.
Claap...!
Blegaaar...!
Ledakan cukup dahsyat terjadi dan mengguncangkan beberapa pohon di sekitar tempat itu. Tetapi agaknya kedua orang yang bertarung itu tidak hiraukan ledakan tersebut. Bawana yang semula tampak polos dan seperti orang tak berilmu itu tiba-tiba melambung tinggi ke udara dalam gerakan bersalto beberapa kali. Wuk, wuk, wuk...! Lalu, ia segera mendaratkan kakinya ke bumi.
Jleeg...!
"Gila!" sentak Suto Sinting dengan suara tertahan, ia sangat terkejut, sama seperti Elang Samudera. Karena pada saat Bawana menapakkan kakinya kembali ke tanah, orang kurus itu berubah menjadi manusia tinggi, besar, dan berwajah lebar. Bawana menjadi raksasa yang tingginya dua kali lebih tinggi dari Pendekar Mabuk.
Kakinya besar, tangannya besar, mulutnya lebar. Matanya membelalak besar menyeramkan. Perubahan  badannya yang kurus itu kini menjadi gemuk seperti badan dua kerbau dijadikan satu.
Elang Samudera segera mencabut pedangnya sambil bergerak mundur. Saat itu, Awan Setangkai berbisik kepada Suto Sinting,
"Temanmu itu akan tumbang diinjak-injak Bawana. Jika ia sudah menjadi raksasa seperti itu, ilmunya lebih tinggi lagi dan sukar ditumbangkan lawan."
"Seandainya kau yang melawannya, apa yang akan kau lakukan?"
"Akan kuhantam mata kakinya, karena di situlah letak kekuatannya. Jika mata kakinya pecah, walau Cuma salah satu, maka ia akan lemah dan berubah kembali menjadi manusia biasa!"
Pendekar Mabuk sunggingkan senyum kecil. Tapi Awan Setangkai segera sadar bahwa ia telah terjebak oleh pertanyaan Suto Sinting, sehingga tanpa sadar ia mencubit pinggang Suto Sinting dan menggerutu di dekat telinga pemuda tampan itu.
"Setan kau! Pandai sekali lidahmu membuat jebakan seperti itu! Aku sampai tak merasa telah terpancing membeberkan rahasia yang seharusnya hanya aku dan orang-orang tertentu yang mengetahuinya."
"Kau sendiri mengetahui rahasia itu dari Bawana, bukan?"
"Bukan! Aku mengetahui rahasia itu dari Nyai Ratu. Semua orang Selat Bantai mengetahui rahasia tersebut. Karenanya, Bawana ciut nyali jika harus bentrok dengan orang Selat Bantai," tutur Awan Setangkai sambil memperhatikan Elang Samudera yang tampak kewalahan menghadapi serangan ganas si raksasa Bawana itu.
"Kalau kau tak turun tangan, temanmu itu sebentar lagi pasti akan menjadi mayat yang mengerikan!" bisik gadis itu.
Baru saja Awan Setangkai berkata demikian, tiba-tiba Pendekar Mabuk melihat jelas tubuh Elang Samudera dibanting kuat-kuat oleh raksasa Bawana. Pedang yang ditebaskan Elang Samudera berhasil dihindari. Tangan Elang Samudera disambar, oleh raksasa Bawana, kemudian disabetkan di pohon. Buuurrk...!
"Aauh...!" pekik Elang Samudera. Kemudian tubuh itu dibanting ke tanah berbatu. Brrus...!
"Aauuh...!" teriakan itu lebih keras dari yang pertama, sebab kepala Elang Samudera mulai bocor, darah mengalir berlumuran membasahi wajah dan tubuhnya.
Ditambah lagi kaki raksasa Bawana segera menginjak kepala itu dengan sentakan keras, bagai seseorang menginjak seekor semut.
Zlaaap...! Duuk...!
Pendekar Mabuk cepat bertindak melihat temannya terancam mati di kaki raksasa Bawana. Ia berkelebat dan bergulingan melewati celah kedua kaki raksasa itu.
Bumbung tuaknya segera menyodok ke depan dan tepat kenai mata kaki si raksasa Bawana.
Praaak...!
"Aaaaoow...!" teriakan keras bersuara besar itu menggetarkan pepohonan. Mata kaki raksasa itu pecah akibat sodokan bambu tuak yang mempunyai tenaga dalam cukup besar. Tubuh raksasa itu segera tumbang dan berguling-guling sambil perdengarkan suara meraung panjang. Ketika gerakan tergulingnya berhenti, raksasa Bawana sudah tidak ada lagi. Kini Bawana berubah menjadi manusia biasa seperti sediakala.
"Elang, minum tuakku sedikit saja! Jangan semuanya!" kata Suto Sinting sambil serahkan bumbung tuaknya, ia biarkan Elang Samudera berusaha menenggak tuak sendiri, sementara matanya memperhatikan Bawana yang dikhawatirkan menyerang secara mendadak.
"Suto, untung kau datang tepat waktu. Kalau terlambat sedikit, kepalaku sudah menjadi tepung diinjaknya!" kata Elang Samudera yang sudah mulai tampak sehat kembali, lukanya telah mengering, dalam kejap berikutnya akan lenyap tanpa bekas.
Bumbung tuak sudah dikembalikan ke tangan Suto Sinting. Tetapi pada saat itu, seberkas sinar merah melesat menghantam Elang Samudera dari samping kiri.
Claap...! Suto Sinting segera menendang perut Elang Samudera hingga pemuda itu terjungkal ke belakang.
Dengan gerakan menggeloyor seperti orang mabuk, bumbung tuak Suto Sinting dihadangkan dan menjadi sasaran sinar merah tersebut.
Blegaaar...!
Sinar merah tidak memantul balik, melainkan justru pecah dengan menimbulkan ledakan bergelombang kuat. Itu pertanda orang yang memiliki sinar merah tersebut bukan orang sembarang, setidaknya berilmu cukup tinggi. Suto Sinting terpelanting dan jatuh berguling-guling membentur akar pohon besar.
Pada saat itu, Bawana bangkit dengan satu lutut dan melepaskan  pukulan bersinar hijau ke arah Suto Sinting sebagai ungkapan kemarahannya. Wuuut...!
Tapi sinar hijau itu segera meledak di pertengahan jarak karena kemunculan sinar putih perak dari dalam semak belukar. Claap...! Blaaarr...!
Sinar putih itu milik Awan Setangkai yang segera muncul dalam satu lompatan langsung menyerang Bawana. Lelaki kurus itu terkejut dan tak sempat hindari serangan Awan Setangkai yang tak diduga-duga itu.
Maka dalam keadaan terperangah kaget, dada Bawana terkena tendangan bertenaga dalam tinggi. Buuuhk...!
"Hoaaaeek..!" Darah segar menyembur dari mulut Bawana yang terpental ke belakang. Darah itu bukan saja menyembur dari mulut, namun juga menyembur dari hidung dan telinga.
Agaknya tendangan Awan Setangkai merupakan tendangan maut yang tak pernah ingkar janji dari kematian lawan. Terbukti setelah Bawana terkapar dan tersentak-sentak tiga kali, napas terakhirnya pun dihembuskan lepas. Tubuh Bawana terkulai lemas dan tak bergerak untuk selama-lamanya.
"Awas...!" seru Elang Samudera yang berada di belakang Awan Setangkai. Pekikan keras itu timbul karena ia melihat datangnya sebilah pisau yang melesat dan mengarah ke punggung Awan Setangkai.
Maka secara gerak naluri, Awan Setangkai putarkan badan dan sentakkan kaki ke tanah. Tubuh gadis cantik berkutang hijau itu meluncur naik ke atas dalam gerakan berputar indah. Wuuusss...! Akibatnya pisau yang mengarah kepadanya tidak menemui sasaran, dan justru menancap pada sebatang pohon jauh di samping mayat Bawana.
Elang Samudera segera lepaskan pukulan tenaga dalamnya berupa sinar hijau lagi ke arah semak-semak tempat datangnya pisau dan sinar merah yang nyaris mengenainya tadi. Claap...!
Gusrrak...! Blaaar...!
Dari semak itu melesat sesosok tubuh ramping berambut panjang terurai, mengenakan jubah tak berlengan warna kuning bintik-bintik merah, ia adalah seorang wanita muda, yang usianya masih sekitar dua puluh lima tahunan. Jika ia tidak lakukan lompatan keluar dari semak, maka ia akan terhantam sinar hijaunya Elang Samudera.
Wuuut...! Jleeg...!
Mata beningnya memandang tajam sekeliling tempat itu tanpa gerakan kepala sedikit pun. Elang Samudera sempat terperangah memandang kecantikan gadis berjubah kuning bintik-bintik merah itu. Demikian pula halnya dengan Suto Sinting yang nyaris lupa berkedip memandang bagian dada si gadis yang tampak montok dan sedikit terbuka bagian atasnya. Kemulusan kulit dada itu bagai sebuah tantangan yang sulit dihindari bagi setiap lelaki.
Melihat Pendekar Mabuk tampak bersahabat dengan Awan Setangkai, maka Elang Samudera pun segera bergabung dengan mereka, ia sempat mendengar Suto Sinting ajukan tanya dalam bisikan pelan,
"Siapa orang itu, Awan Setangkai?!"
"Dia yang bernama Penyamun Senja!"
"Ooo...." Suto Sinting manggut-manggut kecil.
"Kurasa lebih cocok lagi kalau bernama penyamun cinta!"
Awan Setangkai tidak mendengar, tapi Elang Samudera mendengar ucapan Suto Sinting yang lirih mirip orang menggumam itu, sehingga ia menambahkan kata, "Akan lebih pantas jika bernama Penyamun...."
"Ssst...!" Suto Sinting menghardik lirih, membuat Elang Samudera agak kecewa karena tak jadi lanjutkan ucapannya.
"Mundurlah kalian," bisik Awan Setangkai. "Biar kutangani sendiri gadis itu!"
Pendekar Mabuk dan Elang Samudera saling pandang sejenak. Elang Samudera sentakkan pundak, tanda terserah kepada Pendekar Mabuk; harus mundur atau ikut menyerang. Tetapi Pendekar Mabuk beri isyarat agar mereka berdua mundur dan menjadi penonton yang baik saja. Maka kedua pemuda tampan itu pun mengambil tempat di bawah pohon berakar besar.
Sementara itu, Awan Setangkai maju dua langkah, dan Penyamun Senja juga maju dua langkah, hingga mereka menjadi berjarak sekitar enam langkah.
"Sudah siapkah kau menjadi pengkhianat, Awan Setangkai?!"
"Yang perlu kau ketahui, aku sudah siap mati membela Pendekar Mabuk!" jawab Awan Setangkai membuat Elang Samudera terbelalak geli memandang  Pendekar Mabuk. Si Pendekar Mabuk sengaja mencibir sambil busungkan dada seakan merasa bangga.
Kekonyolan itu membuat Elang Samudera tertawa tertahan sambil melengos ke arah lain.
"Hei, lihat...! Apa yang mereka lakukan itu?!" bisik Suto Sinting bernada tegang. Elang Samudera segera lemparkan pandangan ke arah dua wanita cantik itu.
Elang Samudera juga terperanjat dan wajahnya menegang saat melihat tubuh Penyamun Senja bergerak-gerak melebar bagaikan kerupuk sedang mekar di penggorengan. Tangannya membengkak, kakinya, wajahnya, semuanya membengkak besar sampai akhirnya Penyamun Senja menjadi sosok perempuan bertubuh tinggi besar menyerupai raksasa perempuan.
Wajah cantiknya sudah berganti menyeramkan karena pembengkakan itu. Sedangkan Awan Setangkai juga mengalami perubahan. Tubuhnya mulai keluarkan bulu yang makin lama semakin lebat. Wajahnya membengkak dengan mulut maju ke depan. Kaki dan tangannya keluarkan kuku panjang berwarna hitam. Bulu-bulu itu semakin lama semakin lebat, demikian pula bulu di daun telinganya yang menjadi lebar dan tinggi. Sampai akhirnya Awan Setangkai berubah total menjadi seekor serigala besar yang bertaring dan bermata merah.
"Gggrrr.,.!" serigala itu mengerang dan tetap berdiri dengan dua kaki. Raksasa di depannya juga mengerang dengan melebarkan mata dan membuka mulutnya lebar-lebar.
"Gila! Benar-benar gila mereka itu!" gumam Suto Sinting terheran-heran. Elang Samudera berbisik pula padanya,
"Persis seperti kata Nyai Sedap Malam kepadaku tempo hari, bahwa orang-orang Selat Bantai ilmunya tinggi-tinggi. Jika anak buah Ratu Cendana Sutera saja bisa berubah seperti itu, bagaimana ratunya sendiri, ya?
Pasti lebih sakti dari mereka!"
"Elang, mundurlah sedikit lagi. Agaknya pertarungan ini akan melebar sampai ke mana-mana!"
"Mengapa kau tak turun tangan saja, biar urusannya cepat selesai?" ujar Elang Samudera sambil berlindung di balik pohon.
"Awan Setangkai akan kecewa jika aku turun tangan sekarang."
Kedua pemuda itu segera hentikan kasak-kusuknya, karena Awan Setangkai yang berubah menjadi manusia serigala itu segera melompat menyambut terjangan raksasa Penyamun Senja. Wuut...!
"Grrraaow...!"
"Grrraaa...!"
Brus, brus, braass...! Buuhk, crak, bruus...!
Kedua makhluk aneh itu bertarung dengan liar dan buas. Sekalipun dalam wujud seperti itu, mereka masih mampu bergerak dengan cepat, lincah, dan tangkas.
Kadang mereka melambung tinggi, dan salah satu melepaskan sinar dari mata atau tangan mereka, lalu sinar itu saling beradu di udara dan timbulkan ledakan yang menggelegar.
Pertarungan itu membuat pepohonan rusak, ada yang tumbang dan ada pula yang patah karena hantaman tangan si raksasa Penyamun Senja. Bebatuan terbang ke mana-mana diterjang amukan mereka. Semak belukar rusak dan morat-marit tak karuan. Tanah bergetar terus bagai dilanda gempa yang tiada hentinya. Suara gaduh membuat telinga terasa seperti ditusuk-tusuk dengan lidi.
Pendekar Mabuk dan Elang Samudera berulang kali pejamkan mata karena terkena hembusan angin gerakan mereka yang sesekali mengandung udara panas. Tapi pada saat berikutnya, mata Suto Sinting tak mau berkedip karena melihat serigala itu dihajar habis-habisan oleh raksasa Penyamun Senja. Darah mulai mengucur dari mulut panjang serigala Awan Setangkai.
Namun kejap berikutnya, raksasa Penyamun Senja berhasil ditumbangkan oleh serudukan kepala serigala yang agaknya mempunyai kekuatan tenaga dalam cukup besar. Raksasa itu tumbang dan diterkam oleh serigala.
Kemudian mereka bergulat di tanah hingga menyebarkan debu-debu yang mengepul bagaikan asap.
Raksasa itu pun tampak berdarah karena gigitan mulut serigala. Dan pada kejap berikut, keduanya sama-sama bangkit lalu sama-sama mengadu pukulan. Plaak...!
Blegaaar..!
Kedua makhluk besar itu saling terpental. Tubuh mereka sama-sama berasap. Ketika asap hilang terhembus angin, tubuh mereka telah berubah menjadi seperti semula sebagai wanita-wanita cantik yang mengagumkan kaum pria.
Tetapi agaknya Awan Setangkai mengalami luka parah di bagian dalamnya. Darah kental keluar dari mulut dan hidung. Wajahnya menjadi pucat dan memar membiru.
Tetapi Penyamun Senja sendiri juga mengalami luka cukup parah. Wajahnya rusak karena cakaran kuku serigala tadi. Bagian bawah leher koyak bagai bekas gigitan binatang buas. Dadanya menjadi hitam di sebelah kiri, pertanda bekas pukulan tenaga dalam cukup tinggi, ia juga keluarkan darah dari mulutnya, namun tampak masih punya tenaga untuk lanjutkan pertarungan.
"Awan Setangkai kehabisan tenaga. Tampaknya ia akan diserang lagi oleh Penyamun Senja. Bahaya! Aku harus segera turun tangan jika begitu!" pikir Pendekar Mabuk.
Penyamun Senja cabut salah satu pisau yang ada di pinggangnya. Pisau bergagang kuningan bagaikan emas itu dilemparkan ke arah Awan Setangkai dengan gerakan cepat dan nyaris tak terlihat.
Wuuut...! Kala itu Awan Setangkai sedang terengah-engah dalam keadaan setengah merangkak, ia tak tahu bahwa pinggangnya sedang dijadikan sasaran pisau beracun ganas itu.
Gerakan pisau yang mirip anak panah tak akan bisa dihindari lagi oleh Awan Setangkai.
Zlaaap...! Pendekar Mabuk bergerak lebih cepat dari gerakan anak panah. Tahu-tahu dia sudah berdiri dengan satu lutut di depan Awan Setangkai.
Pisau yang menuju ke arahnya segera ditangkis dengan bumbung tuaknya. Traang...! Weess...! Pisau itu berbalik arah dan bergerak lebih cepat dari gerakan semula.
Weeess...! Jruub...!
"Uuhg...!" Penyamun Senja mendelik, ia bagai tak percaya dengan apa yang dialami saat itu; pisaunya sendiri menancap di dada kiri, tepat di bagian jantungnya.
Penyamun Senja mencoba untuk bertahan, tangannya ingin mencabut pisau yang masuk sampai separo gagangnya ikut terbenam pada dada tersebut. Tapi kekuatan Penyamun Senja segera lenyap termakan racunnya sendiri, ia akhirnya limbung, lalu tumbang dalam keadaan telungkup.
Bruuuk...! Gagang pisau   semakin terbenam ke tubuh Penyamun Senja akibat beradu dengan tanah. Dan tubuh Penyamun Senja tak bisa bergerak lagi. Akhirnya ia menghembuskan napas terakhir tanpa mengalami sekarat lebih lama lagi.
"Tamat sudah riwayatnya," gumam Suto Sinting, lalu ia segera ingat dengan Awan Setangkai dan memberinya minum tuak.
"Cepat minum! Cepat, sebelum lukamu merenggut jiwa!" desak Pendekar Mabuk, ia membantu menuangkan tuak ke mulut Awan Setangkai. Akhirnya tuak tersebut berhasil diteguk Awan Setangkai. Luka yang nyaris menewaskan itu bisa terobati, Awan Setangkai pun mulai tampak segar kembali.
"Hei, ke mana si Elang Samudera? Tadi dia kutinggalkan di balik pohon itu?!" ujar Suto Sinting dengan bingung, mencari Elang Samudera yang tidak terlihat di sekitar tempat itu.
"Mungkin dia pergi karena punya urusan sendiri," kata Awan Setangkai sambil membantu memeriksa keadaan sekitar tempat itu.
Tiba-tiba ia berkata bagai berbisik di samping Pendekar Mabuk, "Aku punya firasat lain."
"Firasat apa?"
"Jangan-jangan Elang Samudera diculik utusan Nyai Ratu Cendana Sutera. Biasanya Nyai Ratu selalu mengirimkan utusan berjumlah dua orang. Penyamun Senja pasti ada temannya, dan temannya itu telah menotok Elang Samudera lalu diculiknya."
"Benarkah begitu?!" gumam Suto Sinting dengan dahi berkerut menandakan keragu-raguannya.

SELESAI


Segera menyusul :
GEGER DI SELAT BANTAI
Pembuat E-book:
DJVU & E-book (pdf): Abu Keisel
Edit: Paulustjing
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
https://www.facebook.com/pages/Dunia-Abu-
Keisel/511652568860978
convert txt : http://www.mardias.mywapblog.com