Sejak saat itu, Suropati telah
benar-benar menjadi seorang
pengemis.
Dari rumah ke rumah, dari kedai ke
kedai,
dari tempat yang satu ke tempat
yang
lainnya, dia berjalan mencari
sesuap
nasi. Tak seorang pun
teman-temannya yang
bersedia membantu, karena takut
kepada si
Periang Bertangan Lembut yang
telah
menjadi guru mereka.
Hari ini, di pinggir alun-alun
Kadipaten Bumiraksa, Suropati
berpapasan
dengan Empat Begundal Sakti yang
pernah
ditaklukkannya!
"He, Empat Begundal Jelek!
Rupanya
kalian masih punya nyali
menampakkan
batang hidung di
hadapanku...!" tegur
Suropati memasang wajah angker.
"Memang kami sengaja
mencarimu,
Tuan Muda...," kata Gitapati
yang menjadi
pemimpin seraya menjatuhkan diri,
berlutut di hadapan Suropati.
Ulah Gitapati itu segera diikuti
teman-temannya.
"Aku tidak mau kalian
sembah...!
Kalau minta uang, aku tidak
punya...!"
cegah Suropati,
"Kami bukan minta uang, Tuan
Muda.... Tapi, kami minta sudilah
kiranya
Tuan Muda mengajari kami beberapa
jurus
ilmu silat...," ujar
Gitapati, tanpa
merasa malu.
"Aku tidak mau...!"
jawab Suropati
ketus.
Remaja tampan itu pun segera
melangkah. Tapi, hingga beberapa
lama,
Empat Begundal Sakti selalu
mengikutinya.
"Bedhes Jelek! Kenapa kalian
mengikutiku...?!" maki
Suropati ketika
menyadari dirinya diikuti.
"Kami meminta beberapa jurus
saja,
Tuan Muda...," ratap Gitapati
sambil
membungkukkan badan.
"Sudah kubilang, aku tidak
sudi...!" bentak Suropati
Mendadak remaja itu menggedrukkan
kakinya ke tanah dengan sekuat
tenaga.
Duuukkk...!
"Aughhh...!"
Suropati menyeringai kesakitan
karena tulang kaki kanannya
terkilir. Dia
lupa kalau ilmu silatnya telah
dimusnahkan si Periang Bertangan
Lembut
Melihat Suropati yang kini
berjalan
terpincang-pincang, kening Empat
Begundal
Sakti berkerut.
"Kakimu terkilir, Tuan
Muda...,"
usik Gitapati berusaha melembutkan
suaranya. "Aku mengerti
sedikit, ilmu
urut. Barangkali bisa
membantu...."
"Monyet Kudisan! Belum juga
kalian
pergi...!"
Tiba-tiba Suropati melayangkan
kaki
kirinya ke arah Gitapati!
Buuukkk...!
"Aughhh...!"
Kembali remaja konyol itu
menyeringai kesakitan. Telapak
kakinya
seperti membentur tembok tebal.
Tubuhnya
pun terpelanting, jatuh ke
tanah
"Aduh! Kasihan kau, Tuan
Muda...,"
desah Gitapati perlahan.
Tapi, tiba-tiba lelaki ini
melayangkan kaki kanannya,
menyepak
pantat Suropati yang masih
terbaring di
atas tanah.
Bukkk!
"Aduhh...!"
Tentu saja remaja konyol itu
mengerang kesakitan. Melihat itu,
Empat
Begundal Sakti tertawa
terbahak-bahak.
"Rupanya kau sama sekali tak
berilmu, Bocah Geblek...!"
ejek Gitapati
seraya menghadiahkan sebuah
tendangan
kembali.
Buuukkk...!
"Aughhh...!"
Suropati mengaduh keras, merasakan
tubuhnya terlempar jauh.
Menyaksikan keadaan remaja konyol
itu yang sama sekali tak berdaya,
Empat
Begundal Sakti segera
menjadikannya
sebagai bulan-bulanan.
Sementara itu, sepasang mata
menatap kejadian ini dari balik
sebuah
pohon beringin besar. Si pengintip
berulang kali mendesah, karena tak
tega
melihat keadaan Suropati yang
tampak
mengenaskan.
"Aku tak bisa membiarkan
empat
lelaki bercambang bauk lebat itu
berbuat
kejam...," gumam si pengintip
yang tak
lain si Periang Bertangan Lembut,
guru
Suropati.
Kakek kurus itu mendengus, melihat
kaki kanan Gitapati yang melayang
cepat
hendak menginjak leher Suropati!
Seketika
dia menarik sebuah kerikil, dan
langsung
dilemparkannya.
Seeettt...!
Tak!
"Auuuh...!"
Kerikil itu tepat mengenai telapak
kaki kanan Gitapati, hingga merasa
kesemutan. Segera pergelangan
kakinya
diturunkan sambil celingukan. Tapi
karena
tak melihat sesuatu yang
mencurigakan,
dia menatap ketiga anak
buahnya.
"Eh! Pernahkah kalian
merasakan
daging manusia...?" tanya
Gitapati penuh
kesungguhan.
Yang ditanya menggelengkan
kepalanya serempak.
"Nah! Tubuh bocah gendheng ini
tentu masih empuk karena umurnya
masih
belum seberapa. Bagaimana kalau
dipanggang?"
Anak buah Gitapati saling
berpandangan. Tapi mereka segera
tertawa
terbahak-bahak.
Mendadak Suropati menatap Empat
Begundal Sakti dengan tajam.
"Monyet-monyet Kudisan,
segera cium
kakiku...!"
Empat lelaki bercambang bauk
lebat
itu tercengang beberapa saat.
Tapi,
mereka pun kembali tertawa.
"Sudah mendekati liang kubur,
masih
mengajak bercanda, Bocah
Geblek...!" ejek
Gitapati.
Suropati terkejut. Disadari kalau
kekuatan sihirnya kini juga telah
musnah
bersama ilmu silatnya.
Mendadak Gitapati menendang
punggung remaja konyol itu, hingga
terlontar satu tombak. Lalu orang
yang
bernama Bureksa membopong tubuh
Suropati,
dan membawanya lari menuju hutan
kecil di
pinggir Kota Kadipaten Bumiraksa,
diikuti
tiga temannya.
Si Periang Bertangan Lembut keluar
dari tempat persembunyiannya, dan
segera
berlari menguntit. Hatinya
khawatir akan
keselamatan muridnya.
Matahari sudah condong ke barat
ketika Empat Begundal Sakti sampai
di
tanah datar berumput yang
dikelilingi
pohon-pohon besar.
Setelah mengikat tangan dan kaki
Suropati, mereka segera membuat
perapian.
"Bocah Geblek itu kita
sembelih
dulu atau langsung dipanggang
hidup-
hidup...?" tanya orang yang
bernama
Sarmapati.
"Ha-ha-ha...," Gitapati
tertawa
lebar. "Kita panggang saja
hidup-hidup.
Biar dia merasakan terlebih dahulu
sebuah
siksaan yang sangat
menyakitkan!"
Mata Suropati mendelik ketika
tubuhnya diangkat beramai-ramai.
Dalam
hati dia pun segera berdoa, untuk
mengiringi kematiannya.
Hilang sudah segala kekonyolan
remaja tampan itu waktu melihat
lidah api
yang menjilat-jilat. Sambil
memejamkan
mata, dia berpasrah diri kepada
Tuhan.
Tawa panjang mengiringi perbuatan
Empat Begundal Sakti yang
melontarkan
tubuh Suropati ke perapian!
Sementara itu si Periang Bertangan
Lembut yang terus menguntit Empat
Begundal Sakti segera bangkit dari
tempat
persembunyiannya. Tapi, kakek
kurus itu
mengurungkan niatnya, karena
melihat
sebuah bayangan berkelebat ke arah
Suropati.
Wusss...!
Dengan sebuah angin pukulan yang
berlambarkan kekuatan tenaga
dalam, tubuh
Suropati yang sudah melayang di
atas
lidah api tiba-tiba terlontar, dan
jatuh
di samping perapian.
Empat Begundal Sakti terkesiap.
Mereka memicingkan mata sambil
celingukan
mencari seseorang yang telah
menolong
calon korbannya.
"Kenapa susah-susah mencari?
Aku di
sini, Monyet-monyet Bau!"
Empat Begundal Sakti mendongakkan
kepala. Mereka melihat seorang
gadis
sedang duduk santai di atas dahan
pohon
besar.
"Turun kau, Perempuan
Edan...!"
bentak Gitapati.
"Kau saja yang naik, Monyet
Bau...!" balas gadis itu.
Mendengar ucapan itu, Gitapati
jadi
naik pitam. Segera dipungutnya
sebutir
batu sebesar kepalan tangan, lalu
dilontarkannya!
Wuuuttt...!
Tap...!
Dengan mudah gadis itu menangkap
batu yang dilontarkan ke arahnya.
Namun
mendadak gadis itu melemparkannya
kembali. Dan....
Wuuuttt...!
Taaakkk...!
"Adaaauwww...!"
Gitapati meraung kesakitan.
Kepalanya benjol sebesar telur
ayam,
tertimpa lontaran batu.
"Perempuan Edan! Beraninya
kau
mempermainkan aku...!" dengus
lelaki
bercambang bauk lebat itu seraya
meraup
batu-batu yang berada di dekatnya.
Lalu...
Weeesss...!
Gadis yang menjadi sasaran hujan
batu hanya menggerakkan tangan
kanannya
perlahan.
Wuuusss...!
Taaakkk...! Taaakkk...!
Taaakkk...!
Taaakkk...!
Empat Begundal Sakti sama-sama
meraung kesakitan dengan kepala
benjol-
benjol tertimpa batu-batu yang
melontar
balik akibat hempasan tenaga dalam
gadis
yang tengah duduk santai di dahan
pohon.
Untuk beberapa lama, mereka tidak
tahu apa yang harus diperbuat.
Tiba-tiba Gitapati menggerendeng
gusar. Seketika goloknya
dibabatkan!
Beeettt...!
Buuummm...!
Batang pohon itu tumbang. Dan
gadis
yang bertengger di atasnya
meloncat ke
tanah.
Tappp...!
Manis sekali gadis ini mendarat
"Perempuan Edan! Kenapa kau
mencampuri urusanku...?!"
bentak
Gitapati.
Gadis yang tak lain Anjarweni itu
mengangkat alisnya
tinggi-tinggi.
"Perbuatanmu itu sangat
biadab,
Monyet Bau!"
"Bangsat! Masih saja kau
menghinaku
dengan sebutan itu...!"
Kembali Gitapati membabatkan
goloknya. Kali ini sasarannya
pinggang
Anjarweni.
Gadis itu hanya mundur beberapa
tindak, seraya mengayunkan kakinya
ke
tanah.
Wuuuttt..!
Taaakkk...!
Seketika batu sebesar kepalan
tangan bersarang di kepala
Gitapati.
Untuk ketiga kalinya lelaki ini
mengaduh
kesakitan.
Empat Begundal Sakti segera
mengeroyok Anjarweni Mereka yang
sudah
terbiasa berbuat jahat, tak
sungkan-
sungkan lagi mengerubut gadis
cantik
murid Dewi Tangan api itu.
Wuuuttt..! Wuuuttt...!
Anjarweni menghemposkan tubuhnya
ke
atas, menghindar dari sambaran
golok
empat lelaki bercambang bauk lebat
itu.
Tiba-tiba gadis itu memutar
tubuhnya di udara. Seketika
tubuhnya
menukik, sambil mengebutkan
tangannya.
Plak...! Plak...! Plak...!
Plak...!
Empat Begundal Sakti mendekap pipi
masing-masing yang telah kena
tampar.
Sebelum mereka sempat berbuat
sesuatu,
Anjarweni mengayunkan tangan!
Wuuusss...!
Brash...!
Empat Begundal Sakti kontan
berjingkrak-jingkrak. Ternyata,
celana
yang mereka kenakan tiba-tiba
mengepulkan
asap. Terbakar!
"Wadooowww...!"
Mereka kontan lari berserabutan
sambil mendekap anunya yang
keselomot
api!
Anjarweni memandangi kepergian
mereka sambil terbahak-bahak.
"Aduh...! Tolooong...!"
Mendadak terdengar jeritan
Suropati
yang masih tergeletak di tanah.
Anjarweni menolehkan kepala,
melihat Suropati sedang
menggeliat-geliat
kepanasan karena sebagian bajunya
terjilat lidah api yang berasal
dari
perapian.
"Aduh...! Gadis bloon! Kenapa
bengong saja?!" teriak
Suropati kepada
Anjarweni.
Dengan bibir cemberut karena
dikatakan bloon, gadis itu segera
mengibaskan tangannya, memberi
pertolongan.
Wuuusss...!
Api yang menjilat baju Suropati
langsung padam, terkena kibasan
telapak
tangan Anjarweni.
Sedangkan Suropati meronta-ronta,
berusaha melepaskan tali yang
mengikat
tangan dan kakinya.
Melihat ulah Suropati yang seperti
ulat dipatuk ayam itu, Anjarweni
tertawa
lebar.
"Kenapa kau tertawa, Gadis
Bloon?!
Ayo, segera lepaskan tali yang
mengikatku
ini...!" tegur Suropati konyol.
"Enak saja kau menyebutku
'gadis
bloon'! Menyesal aku
menolongmu...,"
gerutu Anjarweni
Mendengar ucapan Anjarweni,
Suropati segera memasang wajah
memelas.
"Pendekar wanita yang cantik
dan
budiman, tolonglah aku untuk
melepaskan
tali terkutuk ini...," pinta
Suropati.
"Aku mau menolong, tapi ada
syaratnya...," ujar
Anjarweni.
Kening Suropati berkerut. Setelah
berpikir sejenak, dia
mengembangkan
senyum.
"Baiklah. Apa pun syaratnya,
aku
bersedia...."
Anjarweni mengerlingkan mata.
"Setelah kutolong, kau harus
bersedia jadi pembantuku seumur
hidup."
"Tidak mau!" jawab
Suropati,
langsung.
"Kenapa tidak mau?"
"Aku ini pemimpin pengemis.
Gadis
Bloon! Walaupun pemimpin para
pengemis,
tepi tetap pemimpin! Tak lucu
kalau
dijadikan pembantumu. Apalagi
seumur
hidup. Bisa-bisa aku nanti kau
suruh
menyuapimu...."
Anjarweni tertawa lebar.
"Kalau tidak mau, ya
sudah.... Aku
pun tak sudi menolong."
Sambil menggerutu panjang-pendek,
Suropati meronta semakin keras.
Tapi,
ikatan talinya tak juga terlepas.
Hingga
membuat kulit lengan dan kakinya
lecet-
lecet.
Melihat itu, rasa iba Anjarweni
timbul. Dan gadis itu segera
membantu.
"Kalau kau tidak pernah
menolongku,
aku pun tidak akan menolongmu,
Bocah
Edan!" cibir Anjarweni, ketus.
Suropati tertawa.
"Itu namanya pendekar
budiman. Tak
melupakan budi orang," kata
Suropati
sambil mencoba berdiri.
"Aduh...!"
Tiba-tiba remaja konyol itu jatuh
kembali. Dia lupa pada kaki
kanannya yang
telah terkilir.
"Kasihan juga kau rupanya,
Bocah
Edan...."
Melihat Suropati yang meringis
kesakitan, Anjarweni segera
memegang kaki
kanannya.
"Aduh...!" jerit
Suropati keras.
"Memangnya pelan-pelan saja. Dan, cepat
kau urut. Aku mau pingsan,
nih..."
Seperti terkena sihir, Anjarweni
menuruti perintah Suropati.
"Aduh...!" jerit
Suropati lagi.
"Gurunya jangan seperti itu! Pelan-pelan
saja...!"
Kembali Anjarweni menuruti
perintah
remaja konyol itu.
Tiba-tiba....
Coup...!
Suropati mencium pipi Anjarweni.
Gadis itu terkejut! Lalu....
Plak...!
Suropati terpelanting kena tampar.
"Bocah Edan! Rupanya kau
pintar
mencari kesempatan dalam
kesempitan!"
bentak Anjarweni, dengan wajah
memerah
menahan malu.
Melihat Anjarweni yang
marah-marah,
Suropati hanya tertawa. Dan gadis
itu pun
berkelebat cepat, melepaskan
serangan.
Buuukkk...! Buuukkk...!
Tubuh remaja konyol yang sudah
babak-belur itu kini jadi
bulan-bulanan
Anjarweni.
"Sudahlah, Kak Weni..."
Tiba-tiba terdengar suara teguran
dari belakang. Anjarweni
menolehkan
kepalanya. Ternyata Ingkanputri
yang
muncul.
"Bocah Edan ini memang layak
untuk
dihajar, Putri...!" dengus
Anjarweni
masih diliputi kemarahan.
"Jangan membuang-buang waktu,
Kak
Weni. Segeralah tanya dia.
Barangkali
tahu, di mana orang yang kita cari
berdiam diri," kata
Ingkanputri, lembut.
Anjarweni menatap tajam Suropati.
"Bocah Edan! Pernahkah kau
dengar
seseorang yang bernama Brajadenta
yang
bergelar si Dewa Maut?" tanya
Anjarweni.
Suropati memicingkan matanya
sambil
memegang bagian tubuhnya yang
terasa
sakit
"He, Bocah Edan!
Tuliskan kau?!"
bentak Anjarweni.
Suropati terperangah. "Ada
apa?"
"Pernahkah kau dengar
seseorang
yang bernama Brajadenta yang
bergelar si
Dewa Maut?" ulang Anjarweni.
"Apakah itu ayahmu?"
Suropati ganti
bertanya.
Buuukkk...!
"Hugh...!"
Anjarweni menendang perut
Suropati.
"Segera jawab pertanyaanku,
Bocah
Edan!"
"Aduh.... Kalau kau
marah-marah
begitu, mana aku sempat
berpikir...."
Suropati mengerutkan kening, pura-
pura berpikir,
"Oh, ya. Aku tahu...!"
kata
Suropati kemudian
Anjarweni dan Ingkanputri segera
berjalan mendekati
"Aku tahu...," kata
Suropati lagi
tampak sungguh-sungguh. "Aku
tahu. Tapi,
sekarang sudah lupa."
Buuukkk...!
Tubuh Suropati menggelosor ke
tanah
terkena tendangan Anjarweni.
"Bocah Edan! Rupanya kau
benar-
benar sudah sinting!"
Setelah mengucapkan kata-kata itu,
Anjarweni berkelebat cepat
menghilang
dari tempat itu, diikuti
Ingkanputri.
Suropati yang ditinggalkan seorang
diri, hanya bisa mengaduh
berkali-kali.
Tubuhnya yang babak-belur terasa
bagai
dirajam!
Tiba-tiba remaja konyol itu
tertawa
keras.
"Ha ha.... Nikmat juga
rasanya
mencium pipi gadis
cantik...."
Remaja itu pun ngeloyor pergi
dengan langkah sempoyongan.
8
Tiga puluh hari setelah Suropati
menjalani hukuman, si Periang
Bertangan
Lembut memanggilnya. Remaja konyol
itu
harus menghadap di dalam Kuil
Saloka.
"Bagaimana rasanya menjadi
pengemis, Suro?" tanya kakek
kurus ini.
Suropati tersenyum.
"Senang sekali, Kek...,"
sahut
remaja konyol itu. "Sungguh
nikmat
merasakan makanan sisa. Sungguh
syahdu
suara orang yang mencariku. Dan
kalau aku
kena tendang pun, rasanya badan
seperti
dipijit-pijit..."
Mendengar kalimat muridnya itu, si
Periang Bertangan Lembut kontan
tertawa.
"Kau benar-benar bocah
gendheng,
Suro. Tapi, aku sangat suka. Kau
memang
pantas menjadi murid si Periang
Bertangan
Lembut...," puji Periang
Bertangan Lembut
Suropati menggerakkan bola matanya
ke kiri dan kanan.
"Suro! Hari ini adalah hari
terakhir kau menjalani
hukumanmu...."
Mata Suropati berbinar mendengar
ucapan gurunya.
"Setelah genap tiga puluh hari kau
mengalami penderitaan, hikmah apa
yang
dapat kau petik, Suro?" tanya
Periang
Bertangan Lembut
"Hikmah? Hikmah apa,
Kek?" Suropati
malah balik bertanya.
"Sebenarnya kau sudah tahu,
tapi
pura-pura tidak tahu."
Suropati mengernyitkan hidungnya.
"Apa, Kek?"
"Penderitaan itu sakit, Suro.
Tapi
dari rasa sakit itulah, jiwamu
ditempa
untuk menjadi orang yang
bijaksana."
Suropati diam mendengarkan petuah
gurunya.
"Orang yang bijaksana, selalu
berpikir dari dua sudut yang
saling
bertentangan. Namun, saling isi.
Ketika
seseorang merasakan kebahagiaan,
hendaknya ingat akan penderitaan.
Agar
dia tidak hanyut dalam kebahagiaan
nya.
Karena kalau hanyut, sesungguhnya
telah
berada di ambang pintu
penderitaan. Sebab
apa? Sebab apabila dia hanyut
dalam
kebahagiaan nya, dia sama sekali
tak
mempunyai persiapan untuk
menyambut
datangnya penderitaan. Karena
tidak
mempunyai persiapan itulah
penderitaan
yang menimpa akan terasa
berlipat-lipat."
Suropati menundukkan kepala dalam-
dalam, merasakan kebenaran ucapan
si
Periang Bertangan Lembut.
"Sebaliknya, apabila
seseorang
telah seringkali merasakan
penderitaan,
sesungguhnya telah punya modal
berharga
untuk menjadi seseorang bijaksana
yang
mengerti kodratnya
sebagai manusia. Dan,
ketika dianugerahi kebahagiaan,
dia pun
tak akan pernah lupa akan
penderitaan
yang telah dialami. Dia akan terhindar
dari sifat sombong dan congkak,
karena
sadar kalau kebahagiaan itu tak
kekal.
Jadi, dia perlu hanyut pada
kebahagiaan
yang telah diperoleh"
Suropati membuka mata hatinya
untuk
melihat, merasakan, dan mencamkan
pengertian petuah gurunya.
"Kau mengerti, Suro?"
tanya si
Periang Bertangan Lembut kepada
muridnya.
Suropati mengangguk.
"Jawab pertanyaanku,
Suro!" sentak
si Periang Bertangan Lembut
"Ya, Kek. Aku mengerti,"
sahut
Suropati, mantap.
Tiba-tiba si Periang Bertangan
Lembut menggerakkan tangannya,
melepaskan
totokan di tubuh Suropati.
"Ilmu silatmu telah
kukembalikan,
Suro. Untuk sementara, kau telah
terbebas
dari penderitaan...."
Baru saja kata-kata Periang
Bertangan Lembut selesai, seorang
pengemis memasuki ruangan Kuil
Saloka.
Segera dihampirinya si Periang
Bertangan
Lembut yang tengah duduk bersila
bersama
muridnya.
"Seseorang ingin bertemu,
Guru...,"
lapor pengemis itu.
Si Periang Bertangan Lembut segera
bangkit dari duduknya, lalu
melangkah
keluar.
Di depan halaman kuil telah
berdiri
menunggu seorang lelaki setengah
baya
berpakaian prajurit
"Aku diutus Yang Mulia
Baginda
Prabu...," ucap prajurit itu
ketika
Periang Bertangan Lembut telah
berada di
depannya.
"Ada perlu apa? Bukankah
Baginda
Prabu tahu kalau aku sudah tak mau
lagi
mencampuri urusan kerajaan?"
tanya si
Periang Bertangan Lembut.
"Tapi, ini sangat penting.
Karena,
menyangkut kewibawaan Yang Mulia
Baginda
Prabu," tegas prajurit itu.
"Urusan apa?"
"Brajadenta alias si Dewa Maut
telah berkhianat."
"Pengawal kerajaan itu
berkhianat?"
tanya si Periang Bertangan Lembut
seperti
minta ketegasan, seraya
mengerutkan
keningnya.
"Ya," jawab utusan
kerajaan.
"Brajadenta telah mencuri
Kitab Batu
Kumala Hitam."
Si Periang Bertangan Lembut
terkejut bagai disambar petir.
"Bukan hanya itu saja. Dia
pun
telah berani menodai seorang
dayang-
dayang," tambah utusan ini.
Mendengar hal ini, kakek kurus
guru
Suropati itu seperti dilolosi
tulang-
tulangnya. Lemas sekali.
"Oh, Gusti Yang Maha Agung!
Kenapa
Brajadenta berani melakukan
perbuatan
biadab seperti itu...?" desah
si Periang
Bertangan Lembut sambil mengelus
dada.
"Hal itu terjadi sekitar lima
tahun
yang lalu," lanjut utusan ini
"Apakah tokoh-tokoh kerajaan
tidak
ada yang sanggup menyeretnya
kembali ke
hadapan Baginda Prabu?" tanya
si Periang
Bertangan Lembut
Utusan kerajaan itu menggelengkan
kepalanya.
"Dia telah menguasai ilmu
'Batu
Kumala Hitam' dari kitab yang
telah
dicurinya. Oleh karenanya, tak satu
tokoh
kerajaan pun yang sanggup
menghadapi-
nya...."
"Dan, kedatanganmu ini tak
lain
untuk menyampaikan titah Baginda
Prabu
agar aku menghukum Brajadenta yang
telah
berkhianat itu, begitu...?"
Utusan kerajaan itu mengangguk.
"Baik, aku menyanggupi.
Segera kau
sampaikan hal ini kepada Baginda
Prabu...," tegas si Periang
Bertangan
Lembut
Setelah mendapat jawaban yang
diinginkan, utusan kerajaan itu
menjura
beberapa kali. Kemudian dia mohon
diri
untuk pamit
Dahi si Periang Bertangan Lembut
berkerut-kerut memikirkan tugas
yang
harus diembannya. Untuk beberapa
lama,
dia sama sekali tak menampakkan
senyum
yang biasa menghiasi bibirnya.
Melihat gurunya yang tampak
berpikir keras, Suropati segera
mendekati.
"Apakah Brajadenta yang
bergelar si
Dewa Maut itu sangat sakti,
Kek?" tanya
Suropati polos.
Dan, remaja ini pun segera ingat
kepada dua orang gadis yang juga
tengah
mencari pengkhianat kerajaan itu.
"Kalau si Dewa Maut
benar-benar
telah menguasai ilmu 'Batu Kumala
Hitam',
rasa-rasanya tak seorang pun yang
sanggup
mengatasinya...," gumam si
Periang
Bertangan Lembut, masygul.
"Bagaimana kalau dikeroyok,
Kek?"
cecar Suropati.
Mendengar ucapan muridnya, si
Periang Bertangan Lembut
tersenyum.
"Tidak semudah yang kau kira,
Suro."
"Jadi, dia benar-benar tak
bisa
dikalahkan?"
"Tentu bisa. Ilmu yang telah
dikuasai Brajadenta berinti kepada
Batu
Kumala Hitam. Apabila batu itu
terpisah
dari tubuh, kekuatannya pun akan
hilang.
Tapi, mustahil bisa merampas baru
itu
tanpa terlebih dulu membunuh si
Brajadenta...," jelas si
Periang
Bertangan Lembut. "Dan satu
lagi
kelemahannya, ilmu 'Batu Kumala
Hitam'
akan tak berdaya apabila
berhadapan
dengan ilmu totokan 'Delapan Belas
Tapak
Dewa'. Tapi, aku tak yakin mampu
menghadapinya. Karena aku sendiri
hanya
menguasai ilmu totokan itu sampai
tingkat
ketujuh belas."
"Ilmu totokan 'Delapan Belas
Tapak
Dewa'? Kenapa Kakek tidak
mengajarkannya
padaku?"
"Bocah Gendheng! Bagaimana
aku akan
mengajarimu? Sedang, ilmu
"Arhat Tidur'
saja belum kau kuasai?!"
Kening Suropati kontan berkerut.
Tiba-tiba timbul penyesalan dalam
hatinya. Kalau saja waktu itu
tidak
melarikan diri ketika disuruh
bersemadi
untuk memperdalam ilmu "Arhat
Tidur', dia
tentu sudah diajari ilmu totokan
'Delapan
Belas Tapak Dewa'.
Mendadak si Periang Bertangan
Lembut mengeluarkan sesuatu dari
balik
bajunya. Langsung diserahkannya
kepada
Suropati.
Remaja konyol yang sudah pandai
membaca karena diajari gurunya itu
menjadi sangat gembira. Matanya
berbinar-
binar memandang benda di tangannya
yang
tak lain adalah sebuah kitab ilmu
olah
kanuragan yang berjudul Delapan
Belas
Tapak Dewa.
"Kalau terjadi apa-apa pada
diriku,
kau pelajari sendiri ilmu totokan
itu,
Suro...," ujar si Periang
Bertangan
Lembut.
Setelah mengatakan itu, si Periang
Bertangan Lembut berkelebat cepat
langsung menghilang dari tempat
ini.
Suropati tak sempat berkata-kata
lagi. Dia hanya diam
terlongong-longong
memandangi kitab yang berada di
tangannya.
9
Berhari-hari Suropati tak bosan-
bosannya membuka lembar demi
lembar
halaman Kitab Delapan Belas Tapak
Dewa.
Halaman pertama dari kitab itu
bergambar
delapan belas pusat aliran darah
di tubuh
manusia. Halaman selanjutnya,
merupakan
petunjuk untuk menguasai ilmu
totokan
yang terkandung di dalamnya.
Suropati mempelajarinya secara
berurutan. Karena kecerdasan dan
kemampuannya menafsir, maka waktu
yang
diperlukannya hanya sepekan untuk
menghafal semua inti sari dari
ilmu
totokan 'Delapan Belas Tapak
Dewa'.
Ketika remaja konyol ini menutup
kitab pemberian gurunya, matanya
memancarkan sinar aneh. Pada kulit
belakang kitab terpampang huruf
besar-
besar yang bertuliskan:
Kekuatan sakti yang maha sakti
hanya sanggup menguasai ilmu
totokan
'Delapan Belas Tapak Dewa' sampai
tingkat
tujuh belas. Satu tingkat lagi,
kesempurnaan akan didapat. Tapi
bila
kekuatan yang maha sakti hanya
berasal
dari diri sendiri, jangan
coba-coba
melangkah ke tingkat delapan
belas.
Karena, nyawa taruhannya.
Kening Suropati berkerut ketika
membaca tulisan itu. Tapi, dia tak
mau
membuang-buang waktu untuk
berpikir.
Segera kakinya melangkah menuju
halaman
belakang kuil bobrok bernama
Saloka yang
menjadi tempat tinggalnya.
***
Di pagi yang cerah ini, Suropati
berlatih ilmu totokan 'Delapan
Belas
Tapak Dewa' yang maha sakti itu.
Setelah
memusatkan seluruh pikirannya,
tubuh
Suropati berkelebat mengitari
sebuah
pohon sebesar tubuh manusia.
Gerakannya
sangat cepat. Tambahan lagi, ilmu
totokan
itu didasari kekuatan sihir. Maka,
tubuh
Suropati seakan-akan hilang tak
berbekas!
Teppp....!
Suropati mendaratkan kakinya ke
tanah. Pandangan matanya tertuju
pada
pohon yang tadi menjadi sasaran
dari ilmu
totokannya. Ternyata, batang pohon
itu
telah berlubang-lubang tertusuk
ujung
jarinya yang dilambari tenaga
dalam.
Sekejap kemudian, dari
lubang-lubang itu
menyembur getah berwarna putih.
Suropati tersenyum puas
menyaksikan
hasil yang telah didapatkan. Segera
didekatinya pohon yang telah
menjadi
sasaran dari ilmu totokannya.
Tapi, dia
menjadi terkejut. Ternyata, lubang
yang
terdapat di pohon itu hanya
berjumlah
tujuh belas!
Remaja yang oleh kawan-kawannya
dijuluki Pengemis Binal ini diam
untuk
beberapa lama. Menurut perasaannya, dia
telah melakukan gerakan 'Delapan
Belas
Tapak Dewa'. Tapi, kenapa lubang
di pohon
itu hanya berjumlah tujuh belas?
Hingga beberapa saat si Pengemis
Binal berpikir keras. Karena belum
menemukan jawaban atas keanehan
itu,
segera latihannya diulangi. Tubuhnya
kembali berkelebat cepat,
mengitari pohon
lain yang jadi sasarannya.
Teppp...!
Kembali kaki Suropati mendarat di
tanah. Seperti yang pertama, pohon
kedua
yang menjadi sasaran dari ilmu
totokan
'Delapan Belas Tapak Dewa' juga
berlubang-lubang, menyemburkan
getah
berwarna putih.
Tapi untuk kedua kalinya, Suropati
menjadi terkejut. Ternyata lubang
di
pohon itu tetap berjumlah tujuh
belas!
Suropati segera menyadari keanehan
ini. Dia pun tahu, kenapa gurunya
juga
hanya menguasai ilmu totokan itu
pada
tingkat tujuh belas.
Namun, Suropati tidak mau putus
asa. Dia beranggapan, dalam
dirinya tentu
ada sesuatu yang kurang. Sehingga,
menjadikan ilmu totokan 'Delapan
Belas
Tapak Dewa' tidak sempurna
dikuasainya.
Segera Suropati memusatkan
pikirannya lebih tinggi lagi.
Seluruh
hawa murninya dikumpulkan. Dan
segenap
kekuatannya disatukan untuk
mengawali
latihannya kembali. Perlahan-lahan
dari
kepalanya menyembul asap tipis.
Tubuhnya
bergetar, semakin lama semakin
keras.
Dan....
Kini tubuh Suropati melayang
menuju
ke sebuah pohon. Dengan kecepatan
melebihi suara, dua ujung jari
telunjuknya bergerak....
Ketika mencapai totokan ketujuh
belas, tiba-tiba tubuh Suropati
terpental
tinggi!
Buuummm...!
Suropati jatuh telentang. Untuk
sesaat tubuhnya tak mampu
digerakkan.
Tulang-tulangnya terasa remuk.
Kepalanya
pusing, membuat pandangannya
mengabur.
Perlahan-lahan dari hidung dan
mulutnya
meleleh darah segar....
Suropati mencoba bangkit, tapi
segera jatuh lagi. Dadanya sesak
bagai
dipukul selaksa palu godam!
***
Pagi itu juga, Suropati bertekad
menyusul gurunya yang tengah
mencari
Brajadenta alias si Dewa Maut
Setelah menunjuk Wirogundi sebagai
pemimpin sementara bagi para
pengemis,
Suropati segera melangkah
meninggalkan
Kota Kadipaten Bumiraksa. Sama
sekali tak
dipedulikannya luka dalam yang
sedang
dideritanya.
Matahari sudah tepat di atas
kepala, ketika Suropati sampai di
pinggir
lembah kecil yang masih termasuk
wilayah
Kadipaten Bumiraksa.
Baru saja Suropati mengedarkan
pandangan ke sekeliling, tiba-tiba
keningnya berkerut. Telinganya
yang tajam
mendengar suara-suara pertarungan.
Saat
itu juga, dia kembali berkelebat
cepat ke
arah sumber suara pertarungan.
Tepat di tengah lembah, Suropati
melihat dua orang tengah
bertarung. Cepat
dia menyelinap, bersembunyi di
balik
sebuah pohon besar sambil
mengamati
jalannya pertarungan.
Buuummm...!
Sebuah pohon sebesar tubuh manusia
tumbang terkena sasaran pukulan
jarak
jauh.
"He, Banjaranpati. Masihkah
kau
tidak mau menyerah...?!" kata
salah
seorang lantang kepada lawannya
seorang
kakek berpakaian serba putih.
"Aku tidak tahu siapa dirimu.
Kenapa aku mesti menyerah
kepadamu...?!"
kata kakek berpakaian serba putih
yang
tak lain Banjaranpati alias
Bayangan
Putih Dari Selatan.
"Sudah kukatakan, aku
Pramubagas
utusan kerajaan! Aku memegang kuasa
Baginda Prabu untuk
menangkapmu!" tegas
lelaki tua yang mengaku sebagai
utusan
kerajaan dan bernama Pramubagas.
"Menangkapku? Apa salahku?
Dan,
kenapa aku harus ditangkap?"
tukas
Banjaranpati.
"Jangan berlagak bodoh,
Banjaranpati! Kau telah
bersekongkol
dengan Brajadenta untuk mencuri
Kitab
Batu Kumala Hitam!" sentak
utusan
kerajaan itu.
Bayangan Putih Dari Selatan
mendengus.
"Itu fitnah, Saudara!
Walaupun
Brajadenta adalah keponakan
muridku, tapi
aku sama sekali tak tahu menahu
atas
perbuatannya yang telah berani
mencuri
Kitab Batu Kumala Hitam."
Pramubagas menggelengkan kepala,
tak mempercayai ucapan Bayangan
Putih
Dari Selatan.
"Kau jangan banyak bacot,
Banjaranpati! Aku sama sekali tak
mempercayai ucapanmu!"
Usai mengucapkan kalimatnya,
utusan
kerajaan itu segera melancarkan
serangan
kembali.
"Kau termakan fitnah,
Saudara!"
kata Bayangan Putih Dari Selatan sambil
melompat ke kiri, mengelak dari
pukulan
Pramubagas.
Utusan kerajaan itu sama sekali
tak
mempedulikan ucapan Banjaranpati.
Segera
serangannya disambung dengan
tendangan
berputar.
Wuuuttt...!
Tendangan kaki Pramubagas tak
mengenai sasaran karena
Banjaranpati
sudah merundukkan tubuhnya. Namun,
sebelum kakinya mendarat di tanah,
tangan
kanannya telah terayun. Pada
saat yang
sama, Banjaranpati sengaja
menadahi
pukulan Pramubagas.
Buuukkk...!
Utusan kerajaan itu pun terkejut
Tubuh Bayangan Putih Dari Selatan
ternyata sama sekali tak bergeming
menerima pukulannya.
"Heaaah...!"
Dengan cepat, Pramubagas melenting
ke belakang seraya menyalurkan seluruh
tenaga dalamnya ke kedua telapak
tangan.
Begitu mendarat di tanah, dengan
serta-
merta kedua tangannya dihentakkan
ke
depan!
Breeesss...!
Buuummm...!
Pukulan jarak jauh itu tak
mengenai
sasaran karena, Bayangan Putih
Dari
Selatan melenting ke atas. Namun,
sebatang pohon besar di belakang
Bayangan
Putih Dari Selatan kontan tumbang.
Tiba-tiba Bayangan Putih Dari
Selatan yang berada di atas,
melepas
jurus 'Udang Menghantam Batu'.
Mendadak
tubuhnya meluruk dengan kecepatan
tinggi
dengan kaki terjulur ke depan.
Duuukkk...!
"Ahhh...!"
Pramubagas melenguh tertahan
ketika
pundaknya terserempet ujung kaki
Banjaranpati. Utusan kerajaan itu
mendengus penuh kemarahan dengan
tubuh
terjajar beberapa langkah ke
samping.
Setelah bisa menguasai
keseimbangannya,
dilepaskannya sebuah cemeti dari
pinggang. Sambil meluruk,
Pramubagas
melecutkan senjatanya ke arah
Bayangan
Putih Dari Selatan.
Cletaaarrr...!
Kakek berpakaian serba putih itu
hanya tersenyum melihat serangan
itu
seraya menjatuhkan diri ke tanah,
sehingga sambaran cemeti luput.
Pertempuran itu berlangsung sangat
seru. Dua pendekar golongan tua
itu sama-
sama mengerahkan seluruh ilmu
kepandaian.
Suropati yang menyaksikan dari
balik pohon besar berdaun rimbun
bersorak
seperti sedang menyaksikan sebuah
permainan menarik. Matanya enggan
untuk
berkedip. Dia yang sudah mengenal
kakek
berpakaian serba putih itu menjadi
sangat
kagum. Gerakan ilmu silat Bayangan
Putih
Dari Selatan memang tak
mencerminkan
keganasan. Hal itu sangat disukai
Suropati yang konyol, tapi berhati
lembut.
Kini tampak tubuh Bayangan Putih
Dari Selatan melenting, bangkit.
Begitu
menjejak tanah, langsung
dilancarkan ilmu
'Pukulan Tanpa Bayangan'. Seketika
kedua
tangannya dihentakkan.
Wuuusss...!
Pramubagas terperangah merasakan
sambaran angin pukulan
Banjaranpati yang
berhawa dingin. Karena untuk
mengelak
sudah tak ada waktu, maka utusan
kerajaan
itu cepat memapak dengan
menyilangkan
tangan.
Duuukkk...!
"Aaakh...!"
Pramubagas mengerang kesakitan
ketika pukulan jarak jauh
Banjaranpati
menghantam tangannya. Tulang
sikunya
kontan patah. Tubuhnya terpelanting
sejauh beberapa tombak.
"Maafkan aku,
Saudara...," ucap
Bayangan Putih Dari Selatan,
seperti
menyimpan penyesalan.
"Bangsat kau, Banjaranpati!
Tunggu
pembalasanku...!" maki utusan
kerajaan
itu, seraya bangkit
Pramubagas menyadari tak akan
mendapat kemenangan. Maka dia
segera
berbalik, dan berlalu dari tempat
ini.
Sementara Bayangan Putih Dari
Selatan hanya memandang kepergian
kakek
utusan kerajaan itu dengan tatapan
mata
penuh arti. Ketika Pramubagas tak
terlihat lagi, dia pun
menghemposkan
tubuhnya, meninggalkan tempat
pertem-
puran.
Suropati yang merasa penasaran
segera mengerahkan ilmu
meringankan
tubuhnya untuk mengejar. Tapi,
ternyata
dia sama sekali tak mampu
menandingi
kecepatan lari Banjaranpati.
Hingga sepeminum teh kemudian,
Suropati kehilangan jejak. Sambil
menggerutu panjang-pendek, larinya
segera
dihentikan. Kini remaja itu jalan
santai.
Namun.....
Seorang bocah berlari penasaran
menendang kerikil
Kerikil melayang menghunjam pohon
Pohon bergetar merontokkan daun
Daun luruh di samping kerikil
Kerikil dan daun diam tenang
berdampingan
Seorang kakek rindu kehadiran si
bocah
Seperti mendapat durian runtuh
Tak dinyana si bocah datang
Dengan kesadarannya
Pucuk dicinta ulam tiba
Sebuah syair mengalun, membuat
Suropati mengerlingkan matanya.
Dia
berusaha mencari asal suara.
Begitu
kepalanya mengarah ke kanan,
tampak
Bayangan Putih Dari Selatan tengah
duduk
bersantai di atas sebongkah batu
besar.
"Kenapa kau mengikutiku,
Suropati?"
tanya Banjaranpati, langsung.
Suropati tak segera memberi
jawaban. Dipandangnya kakek
berbaju putih
itu tanpa berkedip.
"Kini, kau datang padaku,
Bocah.
Kenapa dulu menolak menjadi
muridku?"
tegur Banjaranpati.
"Aku tidak mau sembarangan
memilih
guru, Kek," tukas Suropati.
"Guruku
haruslah orang yang pilih
tanding...."
Bayangan Putih Dari Selatan
tersenyum. Wajahnya yang kemerahan
menampakkan kelembutannya.
"Betul katamu, Bocah. Melihat
bakatmu yang luar biasa, kau
memang tak
pantas berguru pada pesilat
penjual
obat."
"Tapi jangan salah sangka,
Kek. Aku
bukan hendak berguru
kepadamu."
Kening Banjaranpati berkerut.
"Lalu apa maksudmu dengan
bersusah-
payah mengikutiku?" tanya
Banjaranpati.
"Aku hendak mencari murid
keponakanmu yang bernama
Brajadenta...,"
sahut Suropati.
Banjaranpati tertawa mendengar
ucapan Suropati.
"Ada urusan apa kau hendak
mencarinya, Bocah?" tanya
Bayangan Putih
Dari Selatan,
"Aku hendak menghukumnya!"
sahut
Suropati, mantap.
Kembali Banjaranpati tertawa,
mendengar ucapan Suropati yang
polos.
"Ketahuilah, Bocah.
Brajadenta
sekarang telah menjadi seorang
raja kecil
yang menguasai Wilayah Utara.
Istananya
berada di lereng Bukit
Parahyangan.
Sebagian besar tokoh rimba
persilatan
yang beraliran hitam, telah
bertekuk
lutut kepadanya. Mereka telah
menjadi
kaki-tangan si Dewa Maut itu. Oleh
karenanya, kau jangan coba-coba
mencari
perkara...!" jelas Bayangan
Putih Dari
Selatan.
Aku tidak takut!" kata
Suropati
tegas.
Tiba-tiba bayangan putih dari
selatan menatap tajam kepada
Suropati.
"Rupanya kau sedang menderita
luka
dalam," gumam Banjaranpati.
Suropati hanya tersenyum,
menampakkan kekonyolannya.
"Dari mana kau tahu kalau aku
sedang menderita luka dalam,
Kek?" tanya
Suropati, heran.
"Wajahmu tampak pucat. Dan
aku
dapat merasakan aliran darahmu
yang tak
teratur."
Mendadak Suropati merasakan
tubuhnya jadi limbung. Matanya
berkunang-
kunang, lalu jatuh terduduk.
"Bocak geblek yang sok
pintar!
Mengurus diri sendiri saja tak
becus, mau
berulah macam-macam...,"
umpat
Banjaranpati seraya mendekati
Suropati
yang nyaris pingsan.
Kakek itu segera menempelkan kedua
telapak tangannya ke dada
Suropati.
Tenaga dalam yang bersifat lembut
mengalir, membantu remaja itu
untuk
mengatasi rasa sakit yang
diderita.
Saat itu juga, Suropati merasakan
sebuah hawa nikmat yang mengelus
tubuhnya. Semakin lama hawa nikmat
itu
semakin terasa, membuatnya jadi
terlena.
"Bocah Geblek! Rupanya kau
keenakan...," umpat Bayangan
Putih Dari
Selatan.
Banjaranpati segera melepas
telapak
tangannya dari dada Suropati.
"Kalau kau memang
jagoan, datang
saja ke Bukit Parahyangan!"
Usai mengucapkan kalimatnya, tubuh
Banjaranpati berkelebat cepat.
Begitu
tinggi ilmu meringankan tubuhnya,
sebentar saja dia telah lenyap
dari
pandangan.
10
Bukit Parahyangan terselimut kabut
Puncak bukit yang berwarna hijau
kehitam-
hitaman menjulang ke atas,
membentuk
kerucut terpotong. Sebuah jurang
menganga
lebar, berkelok memagari kaki
bukit.
Jurang itu tak terukur lagi
dalamnya.
Hanya binatang-binatang bersayap
yang
berani bermain-main di dekatnya.
Di lereng bukit itu sebuah istana
kecil berdiri megah. Beberapa
orang
berpakaian serba hitam tampak
berjaga-
jaga. Raut wajah mereka rata-rata
menampakkan kebengisan. Tangan
mereka
yang kekar berotot memegang sebuah
perisai dengan golok terselip di
pinggang.
Di bagian dalam, Brajadenta tengah
bercengkerama bersama para
gundiknya yang
berwajah cantik dan bertubuh
sintal.
Tiada henti-hentinya, Brajadenta
mengeluarkan tawa sambil
memegang-megang
tubuh para gundiknya.
"Kau sangat cantik,
Mayang," puji
Brajadenta kepada salah seorang
gundiknya.
Gundik bernama Mayang itu
tersenyum
menggoda.
Melihat senyuman yang memikat,
mata
Brajadenta berbinar.
"Kau memang sangat cantik....
Ehm..."
Brajadenta mencium pipi Mayang.
"Ah! Kakang Brajadenta jangan
berlebihan," ujar Mayang,
pura-pura jual
mahal.
"Aku tidak berlebihan,
Mayang. Kau
memang sangat cantik."
Pipi Mayang merona merah mendengar
pujian Brajadenta. Dengan
serta-merta
dipeluknya tubuh Brajadenta.
Si Dewa Maut segera balas memeluk
Bibir Mayang dipagutnya dengan
ganas.
Melihat hal ini, para gundik
Brajadenta yang lain menjadi iri.
Bibir
mereka cemberut. Mereka cepat
melengos ke
arah lain.
"Eh, kalian jangan
marah...," ujar
Brajadenta, "Kalian pun akan
mendapat
giliran. Ayolah segera mendekat
kemari,
Sayang."
Seketika para gundik Brajadenta
berhamburan memeluk tubuh tuannya.
Dan si
Dewa Maut pun menjadi kewalahan.
"Ehmmm..."
Brajadenta tak sempat berkata-kata
lagi. Bibirnya lumat terkena
ciuman para
gundiknya.
Baru saja Brajadenta menikmati
pelayanan para gundiknya, di luar
telah
terjadi kegaduhan. Tak lama,
seorang
pengawal sudah mengganggu
keasyikannya.
"Ada apa di luar,
Pragota?" tanya
Brajadenta kepada pengawalnya yang
baru
datang tergopoh-gopoh
"Prajurit kerajaan
menyerbu...,"
lapor pengawal yang dipanggil
Pragota.
"Bangsat! Dedemit
Busuk!" umpat
Brajadenta sejadi-jadinya.
"Segera
enyahkan mereka, Pragota! Jangan
biarkan
seorang pun dari mereka
hidup!"
Melihat amarah Brajadenta yang
meluap, Pragota segera
mengundurkan diri.
Tubuhnya berkelebat, membantu
bawahannya
yang tengah bertempur.
"Kau tak perlu risau,
Kakang...,"
hibur Mayang. "Semua pengawal
Kakang
adalah orang yang sakti. Apalagi,
si
Pragota itu. Tentu mereka akan
sanggup
mengatasi para prajurit
kerajaan...."
Brajadenta hanya tersenyum.
Dingin.
"Eighff...!"
Brajadenta langsung memagut bibir
Mayang.
Para gundik si Dewa Maut yang lain
segera menyerbu. Tak lama
kemudian,
mereka sudah bergulat dengan nafsu
birahi.
Brajadenta tertawa-tawa menghadapi
keroyokan itu. Usianya yang sudah
mendekati setengah abad, masih
bisa
menunjukkan keperkasaannya.
Seperti tak
punya lelah, si Dewa Maut meladeni
hasrat
hatinya yang menggelora bak lautan
api
yang tak terpadamkan.
Di luar, para pengawal Brajadenta
berjuang mati-matian menghadapi
amukan
prajurit kerajaan yang bertempur
bahu-
membahu.
Bangkai-bangkai manusia tergeletak
di tanah tak berharga. Diiringi
sambaran
pedang dan ayunan golok, darah
menyembur
bagai pancaran mata air yang tak
pernah
kering. Teriakan kematian
membahana
menyayat telinga.
Prajurit kerajaan yang jauh lebih
banyak terus merangsek Para
pengawal
Brajadenta pun memberi perlawanan
gigih.
Mereka yang rata-rata berasal dari
golongan hitam, sedikit pun tak
punya
rasa gentar.
Di medan pertempuran bagian
selatan, tampak seorang kakek
tengah
mengamuk bagai malaikat pencabut
nyawa.
Sekali tangannya terayun,
tiga-empat
pengawal Brajadenta terjungkal
menyemburkan darah segar.
Kakek yang tengah mengamuk itu tak
lain Pramubagas yang menjadi
pemimpin
penyerbuan itu. Usianya yang sudah
lanjut
sedikit pun tak menampakkan
kewalahan
menghadapi keroyokan yang
membabibuta.
Memang, setelah berhasil
menyembuhkan tangannya yang patah
karena
bertarung melawan Bayangan Putih
Dari
Selatan, Pramubagas segera
memimpin
penyerbuan ke istana Brajadenta
yang
telah dianggap sebagai pengkhianat
kerajaan. Di tengah-tengah keasyikannya
bertarung tiba-tiba sebuah
bayangan
berkelebat memapaki serangan
Pramubagas.
Plakk...!
"Tua bangka tak tahu
diuntung!
Sudah mendekati liang kubur, masih
suka
membuat perkara!" rutuk
bayangan yang
baru saja memapak serangan
Pramubagas.
Ternyata dia adalah Pragota.
Kakek itu hanya mendengus, lalu
mengayunkan tangannya.
Wuuuttt..!
Namun Pragota cepat berkelit
dengan
mengegos ke samping, sehingga
pukulan itu
tak mengenai sasaran....
Pramubagas segera menyambung
serangan dengan melepas tendangan.
Pragota pun tak mau tinggal diam.
Tubuhnya melejit ke atas. Begitu
di
udara, tubuhnya meluruk melepas
hantaman
ke dada Pramubagas.
Pramubagas berkelit dengan
melompat
ke samping, seraya menyalurkan
seluruh
tenaga dalam ke tangan kanan.
Begitu
lawannya mendarat, kedua tangannya
dihentakkan.
Wuuusss...!
Sebuah pukulan jarak jauh
Pramubagas menyambar. Namun
Pragota cepat
menghemposkan tubuhnya ke atas,
sehingga
serangan itu luput.
"Aaa...!"
Ternyata para pengawal Brajadenta
yang lain menjadi sasaran. Tubuh
mereka
terpental beberapa tombak, untuk
kemudian
meregang melepas nyawa.
"Tua bangka kudisan! Jangan
memamerkan kekuatanmu di
hadapanku...!"
teriak Pragota penuh marah.
Pragota segera mengerahkan seluruh
tenaga dalamnya untuk mengimbangi
gempuran Pramubagas.
Dua tokoh sakti itu segera
terlibat
dalam pertempuran sengit. Mereka
saling
serang penuh nafsu membunuh. Tubuh
mereka
pun berkelebat cepat, memamerkan
jurus-
jurus ampuh masing-masing. Hingga
pada
suatu saat...
Wuuuss...!
"Arghhh...!"
Pramubagas berteriak ngeri melihat
sebagian bajunya yang hangus
terbakar
terserempet pukulan jarak jauh
Pragota.
"Punya kepandaian juga
rupanya kau,
Cecunguk!" maki Pramubagas,
geram.
Pragota tertawa keras.
"Tahu begitu, kenapa tak
segera
ajak anak buahmu untuk
menyingkir...?!"
kata Pragota, sinis.
"Bangsat! Jangan berlagak di
hadapanku!"
Pramubagas pun menghemposkan
tubuhnya, menerjang Pragota
kembali
sambil menghentakkan kedua
tangannya.
Wuuuss...! Wuuusss...!
Dua sambaran pukulan jarak jauh
tak
mengenai sasaran, karena Pragota
telah
cepat melenting ke belakang sambil
memutar tubuhnya.
Pramubagas menggerendeng marah.
Segera ajian pamungkasnya
dikeluarkan.
Tiba-tiba tubuhnya bergetar hebat.
Semakin lama tubuh Pramubagas
menjadi
bergoyang ke kiri dan ke kanan.
Bersamaan
dengan itu, bermunculan
sosok-sosok yang
berwajah dan berpenampilan mirip
Pramubagas. Hingga jumlahnya tak
kurang
dart sepuluh orang. Itulah ilmu
'Sukma
Kembar' yang dimiliki Pramubagas.
Pragota yang baru saja mendaratkan
kakinya terperangah menyaksikan
kehebatan
ilmu Pramubagas. Namun, belum
sempat
berbuat sesuatu, dia telah diserbu
sepuluh Pramubagas!
Pengawal Brajadenta itu menjadi
sangat kerepotan menghadapi
gempuran yang
saling susul-menyusul tiada henti.
Untuk
mengambil napas pun tak sempat
Sehingga pada satu kesempatan,
salah satu Pramubagas melepas
serangan.
Cepat Pragota melenting ke atas.
Namun
justru kesempatan itu yang
ditunggu
Pramubagas. Begitu tubuh Pragota
melayang, dengan cepat Pramubagas
yang
lain meluruk sambil melepaskan
hantaman
ke dada. Dan....
Dheeesss...!
Pragota kontan terpental dengan
melesak terkena pukulan dahsyat
Dia
menjerit menyayat, dan langsung
terjatuh
di tanah tak bangun-bangun lagi.
Mati
dengan mata mendelik. Mulutnya
ternganga
lebar.
Pramubagas tertawa terbahak-bahak,
menyaksikan tubuh Pragota yang
sudah
tiada bergerak lagi. Kemudian
tubuhnya
meluruk, menerjang pengawal
Brajadenta
yang lain.
Tubuh kakek itu bergerak cepat,
menyebar kematian. Siapa pun yang
berada
di dekatnya, seperti memasrahkan
nyawa
saja. Tubuh mereka terjungkal
dalam
keadaan mengenaskan.
***
Siang hari ini, Bukit Parahyangan
benar-benar banjir darah. Para
pengawal
Brajadenta sama sekali tak berdaya
menghadapi keganasan Pramubagas.
Kakek
yang sedang kalap itu seperti
sedang haus
darah.
Mayat-mayat yang bergelimangan di
atas tanah, seperti menambah
semangatnya
untuk terus menyebar kematian.
"Hentikan perbuatanmu,
Pramubagas!"
Mendadak terdengar sebuah suara
yang disusul dengan berkelebatnya
satu
sosok bayangan ke medan
pertempuran.
Pramubagas mengerlingkan matanya,
dan langsung meloncat mendekati
sosok
bayangan yang tak lain Brajadenta.
"Akhirnya batang hidungmu
tampak
juga, Brajadenta...," kata
utusan
kerajaan itu.
"Aku tak punya banyak waktu,
Tua
Bangka! Bila kau menginginkan
sesuatu,
segera katakan!"
"Aku menginginkan
nyawamu!" sahut
Pramubagas.
Brajadenta tertawa keras mendengar
ucapan Pramubagas.
"Kalau kau mampu, segera
wujudkan
keinginanmu itu!"
Tanpa membuang-buang waktu lagi,
Pramubagas segera melancarkan
serangan
dengan menghentakkan kedua
tangannya.
Wuuussss...!
Sebuah pukulan jarak jauh yang
disertai dengan angin kencang
meluruk
deras.
"Itu hanya mainan anak kecil,
Tua
Bangka!" kata Brajadenta
sambil mengegos
ke kanan, menghindari serangan.
Wuuusss...!
Sebagai jawaban, Pramubagas
kembali
menghentakkan kedua tangannya.
Pukulan jarak jauhnya langsung
meluncur deras.
Wuuuttt....
Brajadenta mengibaskan ujung
lengan
bajunya. Sehingga, pukulan jarak
jauh itu
pun melenceng.
Melihat kehebatan Brajadenta,
Pramubagas segera mengeluarkan
ajian
pamungkasnya ilmu 'Sukma Kembar'.
Sebentar kemudian, tubuh kakek itu
menjadi berlipat sepuluh.
"Ilmu 'Sukma Kembar',"
ucap
Brajadenta, "Kau kira dengan
ilmumu itu
kau akan sanggup menghadapiku, Tua
Bangka...?!"
Tanpa pikir panjang lagi,
Brajadenta segera mengeluarkan
ilmu 'Batu
Kumala Hitam' yang telah
dikuasainya
dengan baik. Tiba-tiba kulit
tubuhnya
menjadi sangat hitam bagai arang.
Diiringi suara menggelegar,
tubuhnya
berkelebat menggempur Pramubagas
yang
telah menjadi sepuluh orang.
Blaaammm...!
Satu tubuh Pramubagas hancur
berkeping-keping terkena pukulan
Brajadenta. Tapi, suatu keanehan
segera
terjadi. Dari kepingan-kepingan
itu,
mendadak bermunculan Pramubagas-
Pramubagas yang lain. Bahkan
segera
menerjang si Dewa Maut!
Blaaammm...!
Satu tubuh Pramubagas hancur lagi
terkena pukulan Brajadenta. Dan
keanehan
itu segera terulang kembali. Pramubagas-
Pramubagas bermunculan semakin
banyak.
Si Dewa Maut terperangah
menyaksikan kehebatan lawan. Maka
segera
tubuhnya dihempos, menjauhi ajang
pertempuran.
Begitu mendarat, tiba-tiba tubuh
Brajadenta menjadi diam tak
bergeming.
Perlahan-lahan dari sekujur
tubuhnya
mengepul asap hitam. Dan, suasana
di
sekitarnya diliputi hawa di alam
sihir.
Kini kedua tangan si Dewa Maut
terpentang ke atas. Dan....
Wooosss...!
Mendadak tubuh Pramubagas yang
telah menjadi banyak tersedot!
Blaaammm...!
Suara ledakan menggema.
Pramubagas-
Pramubagas palsu kontan hancur
berkeping-
keping tanpa ampun.
Brajadenta tertawa lebar. Matanya
bersinar tajam, menatap Pramubagas
asli
yang kini berdiri limbung.
Tanpa mau membuang waktu lagi, si
Dewa Maut segera mengerahkan
seluruh
kekuatannya, membuat tubuh
Pramubagas
tersedot!
Utusan kerajaan itu berusaha
sekuat
tenaga melawan kekuatan yang
sedang
menyeret. Tapi Pramubagas yang
memang
sudah menderita luka dalam, tak
mampu
memberi perlawanan berarti. Hingga
kemudian....
Blaaammm...!
Ledakan dahsyat segera terdengar
lagi. Tubuh Pramubagas pun hancur
berkeping-keping, menjadi serpihan
daging
yang mengeluarkan bau amis!
Tubuh Brajadenta yang berwarna
hitam pekat kemudian melayang, menggempur
prajurit-prajurit kerajaan.
Sebentar kemudian, orang-orang
yang
mengemban titah Baginda Prabu
menjadi
kocar-kacir. Tapi, Brajadenta yang
sudah
dirasuki setan, sama sekali tak
memberi
ampun. Tubuh para prajurit itu tak
satu
pun yang masih menyimpan nyawa!
Tawa si Dewa Maut langsung
menggema
di seluruh Bukit Parahyangan,
mendirikan
bulu roma....
11
Dengan langkah pasti Anjarweni dan
Ingkanputri menaiki Bukit
Parahyangan.
Tekad mereka sudah bulat untuk
menghabisi
riwayat Brajadenta. Dendam di dada
kedua
gadis itu seperti sanggup
menghancurkan
gunung.
Anjarweni berlari cepat sambil
menggigit bibirnya sendiri.
Bayang-bayang
kelabu masa lalu tiba-tiba
terpampang
kembali di matanya. Kekejaman dan
kebiadaban si Dewa Maut
benar-benar
membuat darahnya menggelegak.
Demikian pula Ingkanputri. Mata
gadis belia berumur tujuh belas
tahun itu
berkaca-kaca. Kematian kedua
orangtuanya
yang paling dicintai membuatnya
tak kuasa
meneteskan air mata.
Ketika sampai di tepi jurang yang
memagari bukit, langkah kedua gadis itu
berhenti. Mereka ragu sejenak.
Jika
mengikuti jalan setapak, terpaksa
harus
berjalan melingkar yang memakan
banyak
waktu. Jalan pintas yang tercepat
hanyalah dengan melewati jurang
yang
menganga lebar di depan
Tapi, karena kebulatan tekad dan
dorongan amarah yang meluap, tanpa
berpikir panjang lagi kedua gadis
itu
segera menghentakkan kaki.
"Hiaaattt..!"
Kedua gadis itu melayang ke atas
sambil berputaran di udara ke arah
seberang jurang. Lalu....
Teppp...!
Begitu berhasil mendarat di
seberang jurang kedua gadis itu
mengerutkan kening, mencium bau
anyir
darah yang menusuk hidung.
***
Di depan istana Brajadenta,
Anjarweni dan Ingkanputri berdiri.
Tampak
darah masih membasahi tanah.
Burung-
burung membisu menyaksikan jagal
manusia
yang berpesta kematian.
Sunyi-senyap
menangkupi palagan berdarah itu.
Alam
seperti menyesali apa yang telah
terjadi.
"Panggil Brajadenta
keluar...!"
bentak Anjarweni kepada seorang
lelaki
berewokan yang sedang membersihkan
sisa-
sisa pertempuran.
Lelaki itu memandang curiga.
Hatinya diliputi rasa gusar dan
keterkejutan, karena tak mendengar
langkah kaki dua orang gadis yang
tiba-
tiba sudah berdiri di hadapannya.
"Kau tidak mendengar
perkataanku?!
Panggil Brajadenta
keluar...!" bentak
Anjarweni lagi.
Melihat kedua tamu yang tak
diundang itu menunjukkan sikap tak
bersahabat, lelaki brewokan ini
segera
mencabut golok dan langsung
mengayunkannya.
Wuuuttt...!
Anjarweni menghindar seraya
mengayunkan kepalan
tangannya.
Duk...!
"Ughhh...!"
Lelaki berewokan itu kontan
terjungkal ke tanah. Mulutnya
meringis
kesakitan sambil mendekap dadanya
yang
terhantam.
Belum sempat lelaki itu berbuat
sesuatu, Anjarweni telah menendang
punggungnya.
Duk!
"Ahhh...!"
Lelaki itu kontan Jatuh tengkurap,
tak sadarkan diri.
Dan mendadak kedua gadis itu
berpaling, ketika puluhan orang
berlari
serabutan. Dan mereka langsung
mengeroyok
Anjarweni dan Ingkanputri.
Tapi, dua gadis cantik murid Dewi
Tangan Api itu bukanlah lawan yang
seimbang bagi mereka. Dengan
mengandalkan
ilmu meringankan tubuh, Anjarweni
dan
Ingkanputri bergerak cepat sambil
melancarkan totokan. Akibatnya,
sebentar
saja puluhan pengawal Brajadenta
pun
terperangah dengan mata mendelik,
karena
tak bisa menggerakkan tubuhnya
yang tiba-
tiba jadi kaku.
Belasan orang yang masih tersisa
segera meloncat, menjauh dengan
nyali
ciut. Mereka tidak menyangka bila
dua
orang gadis yang tampak lemah itu
dapat
bertindak sedemikian hebat
Tiba-tiba dari pintu gerbang
istana
muncul lima orang wanita cantik
berpakaian sangat tipis. Sehingga,
tak
mampu menyembunyikan lekuk-lekuk
tubuh
mereka yang sangat menggiurkan.
"Siapa kalian...?!"
tanya salah
seorang wanita itu dengan suara
lantang.
"Kau tak perlu tahu siapa
kami!
Segera panggil Brajadenta!"
ujar
Ingkanputri, tak kalah lantang.
Mendengar ucapan kasar itu, kelima
wanita cantik yang baru muncul
segera
menerjang dengan pedang terhunus.
Pada
saat yang sama, belasan pengawal
Brajadenta yang telah bernyali
kecut ikut
menerjang dengan sabetan golok!
Anjarweni dan Ingkanputri
menggeram. Mereka berdua segera
berloncatan, menghindari sambaran
senjata
tajam yang datang saling susul.
Tanpa mau membuang tenaga, dua
gadis murid Dewi Tangan Api itu
mengeluarkan ilmu 'Pukulan Api
Neraka'.
Kini kedua pergelangan tangan
mereka pun
jadi merah membara, mengeluarkan
hawa
panas!
Salah satu gundik Brajadenta yang
bernama Mayang segera melompat,
menjauhi
pertempuran. Tapi, teman-temannya
terlambat menyadari keadaan.
Akibatnya...
Wooosss...!
Para pengawal dan gundik
Brajadenta
menjerit kesakitan seraya berlari
pontang-panting. Ternyata hawa
panas yang
dikeluarkan Anjarweni dan
Ingkanputri
membakar pakaian mereka!
Melihat itu, Mayang bergidik
ngeri.
Tubuhnya menggigil ketakutan.
Tanpa
terasa, pedang yang dipegangnya
melorot
dan jatuh ke tanah.
Anjarweni menatap tajam, kemudian
berjalan mendekati.
"Ampuuunnn...."
Mayang menjatuhkan tubuhnya ke
tanah, berlutut di hadapan
Anjarweni.
"Tunjukkan di mana Brajadenta
berada!" ujar Anjarweni,
kasar.
Mayang segera bangkit, dan
berjalan
memasuki istana. Sementara
Anjarweni dan
Ingkanputri mengikuti.
Istana Brajadenta benar-benar
dipenuhi kemewahan. Lantainya
licin
mengkilat terbuat dari batu manner
bermutu tinggi. Tiang-tiang saka
guru
yang kokoh kuat penuh ukiran,
menjadi
hiasan yang sedap dipandang mata.
Dinding
dihiasi puluhan lukisan karya seniman
kawakan.
Memasuki ruang utama, Anjarweni
dan
Ingkanputri disambut permadani
berbulu
lembut terhampar. Tampak
Brajadenta duduk
santai di singgasananya yang
bertahtakan
emas. Bajunya yang berwarna ungu
semakin
menyorotkan sinar gemerlap.
"Segera mendekat, Gadis-gadis
Manis," sambut si Dewa Maut
melihat
kedatangan Anjarweni dan
Ingkanputri.
"Dari tadi aku gelisah
menunggu
kedatangan kalian...."
"Jahanam! Tak perlu kau
bermanis
mulut!" umpat Anjarweni.
Brajadenta tertawa.
"Kalau kau marah,
kecantikanmu
semakin mempesona...."
"Jahanam! Tak tahu
malu!" umpat
Anjarweni lagi.
"Jangan terus marah begitu,
Manis.
Aku tahu maksud kedatanganmu
kemari.
Bukankah kau hendak mengulang
kenangan
manis di Lembah Sungai
Balirang...?"
Anjarweni menggigit bibirnya
sendiri, menahan geram mendengar
ucapan
Brajadenta. Tiba-tiba semua
peristiwa
pahit yang telah menimpanya muncul
dalam
ingatan.
"Dan kau siapa, Gadis
Kecil?" tanya
Brajadenta kepada Ingkanputri.
"Aku anak Reksapati yang telah
kau
bunuh dengan biadab!" sahut
Ingkanputri,
ketus.
"Jadi, kau anak Ketua
Perguruan
Harimau Terbang itu?!" kata
si Dewa Maut
seraya tertawa kembali.
"Sekarang aku
tahu maksud kedatanganmu, Gadis
Kecil.
Bukankah kau hendak mengantarkan
nyawa
untuk menyusul arwah orang
tuamu yang
mati sia-sia itu...?"
"Iblis keji! justru aku yang
akan
meminta nyawamu sebagai penebus
hutangmu
padaku!"
"Pandai berlagak juga rupanya
kau,
Gadis Kecil" ejek Brajadenta.
Tiba-tiba si Dewa Maut itu
memandang tajam kepada Mayang yang
dari
tadi hanya diam membisu.
"Mayang! Coba beri pelajaran
kepada
gadis kecil itu...!"
Gundik Brajadenta yang memendam
rasa takut tiba-tiba menjatuhkan
diri,
dan mencium kaki tuannya.
"Ampunkan aku, Kakang.... Aku
tak
sanggup...," ratap Mayang.
Mendengar ucapan gundiknya, mata
Brajadenta mendelik.
"Kau takut..?" tanya si
Dewa Maut
Mayang mendongakkan kepala seraya
mengangguk perlahan.
"Bangsat..!" bentak
Brajadenta
marah seraya menggerakkan kakinya
cepat
Buuukkk...!
Tubuh Mayang kontan terbang
membentur dinding setebal dua
jengkal.
Dan tak ayal lagi, tanpa sempat
mengeluarkan suara erangan,
nyawanya
segera loncat dari tubuhnya.
"Kau memang manusia biadab,
Brajadenta!" teriak
Anjarweni, keras.
Tanpa sungkan-sungkan lagi,
Anjarweni pun menerjang si Dewa
Maut yang
masih duduk santai di
singgasananya
sambil menghentakkan kedua
tangannya.
Wuuussss...!
Namun tubuh Brajadenta telah lebih
cepat melesat ke atas.
"Rupanya kau ingin
bermain-main
denganku, Gadis Manis...,"
kata si Dewa
Maut sambil meluruk. Kakinya
berputar,
menyodok perut Anjarweni.
Namun gadis itu cepat menangkis.
Plak!
Sehabis terjadi benturan, tangan
kiri Anjarweni terayun, menghantam
dada
Brajadenta.
Kini ganti si Dewa Maut yang
menangkis serangan murid Dewi
Tangan Api
itu.
Plak!
Melihat kakak seperguruannya
tengah
menggempur Brajadenta yang kesohor
kejam
dan bengis, Ingkanputri segera
menghemposkan tubuhnya.
Si Dewa Maut terperangah sejenak
melihat kehebatan murid Dewi
Tangan Api
yang masih berumur belasan tahun.
Maka,
dia pun segera meloncat ke udara.
Tubuhnya berputar-putar laksana
sebuah
gangsingan. Dan seketika tangan
kanannya
menyambar kain merah di pundaknya.
Lalu....
Weeerrr...!
Selembar kain merah itu berputaran
di udara dan mengembang. Lalu
tercium
aroma harum, ketika serangkum
angin
menyebar ke sekitarnya.
"Awas racun, Putri...!"
teriak
Anjarweni memberi peringatan.
Kedua gadis itu segera menahan
napas, dan menelan pil penawar
racun yang
selalu berada di dalam kantong
mereka.
Tiba-tiba tubuh Brajadenta yang
masih berputar-putar di udara
menghunjam
ke arah Anjarweni tanpa bisa
dihindari.
Wuuusss...!
"Ahhh...!"
Anjarweni terkejut setengah mati
melihat sebagian bajunya yang
robek dua
jengkal tersambar angin pukulan si
Dewa
Maut.
Brajadenta tertawa lebar.
"Kulit tubuhmu semakin
menggairahkan saja, Gadis Manis.
Sebentar
lagi aku akan
menelanjangimu...!" kata
Brajadenta, menggiriskan.
Bahu Anjarweni turun-naik menahan
luapan hawa amarah. Lalu segera
diterjangnya Brajadenta dengan
kalap
sambil menghentakkan tangannya
disertai
tenaga dalam penuh.
Wuuusss...!
Pukulan jarak jauh Anjarweni
meluncur deras.
Dengan mengerahkan seluruh tenaga
dalam, Brajadenta menyampok.
Sehingga,
pukulan Anjarweni berbelok arah.
Blaaammm...!
Dinding istana Brajadenta kontan
berlubang besar, terkena pukulan
nyasar.
Melihat kemampuan lawan yang
sedemikian hebat, kedua murid Dewi
Tangan
Api segera menyatukan seluruh
tenaga
dalam. Kedua belah tangan mereka
pun
merah membara. Hawa panas menerpa.
Saat
itu juga, Anjarweni dan
Ingkanputri
mengayunkan tangannya ke depan
secara
bersamaan!
Mata si Dewa Maut mendelik.
Seluruh
kekuatan tenaga dalamnya pun
dipusatkan
kembali. Dan tiba-tiba, kedua
tangannya
menghentak ke depan.
Blaaarrr...!
Dua kekuatan bertemu di udara,
menimbulkan suara menggelegar
laksana
petir menyambar.
Tubuh Anjarweni dan Ingkanputri
terpental, membentur dinding
hingga
jebol! Lalu dari mulut mereka
menyembur
darah segar....
Sedangkan tubuh Brajadenta hanya
melayang satu tombak dari
permukaan
lantai. Dan dengan bersalto di
udara, si
Dewa Maut berhasil mendarat mulus.
Tawa panjang segera membahana.
Gema
suaranya memantul tak
henti-hentinya.
Brajadenta benar-benar menikmati
kemenangan itu.
Kini lelaki melengas itu
menghampiri kedua murid Dewi
Tangan Api
yang masih meringkuk di lantai
menderita
luka dalam.
"Kau bunuh saja aku...!"
teriak
Anjarweni dengan mata mendelik.
Si Dewa Maut tersenyum.
"Kalau
untuk membunuhmu, semudah
membalikkan
tangan, Manis.... Namun, aku ingin
bermesraan dulu denganmu...,"
kata
Brajadenta tersenyum dingin.
"Jahanam...!" umpat
Ingkanputri
seraya memungut sebongkah
batu pecahan
dinding, dan melemparkannya ke
tubuh
Brajadenta.
Brajadenta malah menadahi luncuran
batu itu dengan dadanya.
Dukkk...!
Kemudian lelaki itu tertawa
bergelak. Ingkanputri menyeret
tubuhnya,
beringsut mendekati kakak
seperguruannya.
"Segera kau bunuh kami,
Iblis...!"
bentak Ingkanputri sambil mendekap
tubuh
Anjarweni dari samping.
"Baiklah, kalau memang itu
permintaanmu...." Si Dewa
Maut
menyalurkan tenaga dalam ke kedua
belah
tangannya. Dan, segera dia
mengambil
ancang-ancang....
Anjarweni dan Ingkanputri saling
berpelukan. Dengan mata terpejam,
mereka
memanjatkan doa untuk sambut
kedatangan
malaikat pencabut nyawa.
Tiba-tiba....
"Brajadenta! Segera keluar
dari
persembunyianmu...!"
Si Dewa Maut mendengus gusar
begitu
mendengar suara teriakan di luar
istananya.
Setelah menatap dua murid Dewi
Tangan Api yang sudah tak berdaya,
dia
segera meloncat
***
Di luar, seorang kakek kurus
berpakaian penuh tambalan berdiri
tegak
menanti kedatangan si Dewa Maut.
Dia tak
lain dari si Periang Bertangan
Lembut
yang sedang menjalankan titah
Baginda
Prabu.
"Rupanya kau pun senang ikut-
ikutan, Pragolawulung!"
sambut
Brajadenta, menyebut nama kecil si
Periang Bertangan Lembut.
Kakek kurus berpakaian penuh
tambalan itu menatap sejenak
kepada
Brajadenta.
"Ck... ck... ck.... Kau
semakin
hebat, Brajadenta. Istanamu bagus.
Dan,
kau pun tampak hidup bergelimang
kemewahan...," decak si
Periang Bertangan
Lembut.
Si Dewa Maut tertawa tergelak.
"Berbeda dengan kau,
Pragolawulung.
Menilik pakaianmu yang penuh
tambalan,
apakah Baginda Prabu sudah tak
mampu lagi
untuk menggajimu, sehingga kau
terpaksa
menjadi seorang
pengemis...?!" leceh
Brajadenta.
Si Periang Bertangan Lembut
tersenyum mendengar ejekan itu.
"Tak perlu banyak cakap,
Brajadenta. Baginda Prabu
menitahkanmu
untuk menghadap, guna
mempertanggung-
jawabkan semua perbuatanmu yang
biadab...," kata
Pragolawulung.
"Di sini aku telah menjadi
raja,
Pragolawulung! Baginda Prabu pun
tak
berhak untuk
memerintahkanku...," sahut
si Dewa Maut, enteng.
"Terpaksa aku akan
menyeretmu...."
Si Periang Bertangan Lembut segera
mengambil ancang-ancang untuk
menyerang.
Lalu tubuhnya meluncur dengan
kecepatan
tinggi, menerjang Brajadenta.
Si Dewa Maut pun tak mau tinggal
diam. Tubuhnya melayang, memapak
serangan
Periang Bertangan Lembut.
Blaaarrr....!
Terdengar ledakan dahsyat ketika
dua kekuatan bertemu di udara.
Dua orang tokoh sakti sama-sama
terhempas. Dengan bersalto
beberapa kali
di udara, mereka berhasil
mendaratkan
kaki di tanah dalam waktu
bersamaan.
Sebentar kemudian si Periang
Bertangan Lembut dan si Dewa Maut
saling
terjang. Maka, pertempuran hebat
segera
terjadi.
Bukit Parahyangan hari itu benar-
benar menjadi sebuah tempat yang
harus
darah. Burung-burung tak lagi
berkicau
riang. Mereka pergi menjauh, tak
sudi
melihat kebrutalan manusia....
12
Sementara itu, setelah mendapat
petunjuk Banjaranpati, Suropati
yang oleh
para pengemis dijuluki Pengemis
Binal
segera menuju ke Bukit Parahyangan
mengikuti suara hatinya.
Ada dua alasan, mengapa Suropati
sangat berhasrat untuk dapat
bersitatap
dengan Brajadenta atau si Dewa
Maut
Pertama, karena penasaran
mendengar
kesaktian pengawal kerajaan yang
telah
berkhianat itu. Terutama, keingin-
tahuannya terhadap ilmu 'Batu
Kumala
Hitam' yang telah dikuasai
Brajadenta.
Kedua, mengikuti jiwa ksatrianya.
Suropati merasa ikut terpanggil
untuk
membantu melenyapkan
keangkara-murkaan di
bumi!
Ketika sampai di halaman istana
Brajadenta, yang pertama dilihat
Suropati
adalah dua bayangan yang bergerak
cepat
saling serang.
Melihat jurus-jurus yang
digunakan,
Suropati segera tahu kalau salah satu
dari bayangan itu adalah gurunya
yang
bergelar si Periang Bertangan
Lembut.
Sedangkan yang seorang lagi, tentu
Brajadenta atau si Dewa Maut
Melihat dua orang yang sedang
bertempur mati-matian itu,
Pengemis Binal
mendapat keasyikan tersendiri. Maka,
segera dicarinya tempat
persembunyian
yang teduh untuk dapat menikmati
tontonan
tanpa tersengat sinar matahari.
Blaaarrr...!
Kembali terdengar ledakan, ketika
dua kekuatan tenaga dalam bertemu
di
udara.
Tubuh Brajadenta dan si Periang
Bertangan Lembut melayang. Tapi
mudah
sekali mereka berdua dapat
mendarat di
tanah dengan sempurna.
Kekuatan tenaga dalam mereka
berdua
tampak seimbang. Oleh sebab itu,
masing-
masing tak mengalami cidera yang
berarti
akibat bentrokan barusan.
Mendadak, si Dewa Maut mengayunkan
tangannya. Seketika ribuan jarum
beracun
meluncur deras ke arah si Periang
Bertangan Lembut.
Namun dengan gerakan dahsyat, si
Periang Bertangan Lembut memutar
tongkatnya yang sejak tadi belum
digunakan.
Wuuuttt...!
Traak...!
Si Periang Bertangan Lembut
berhasil membuat jarum-jarum itu
rontok
di tanah.
"Kau licik,
Brajadenta...!" umpat
si Periang Bertangan Lembut.
Brajadenta hanya menatap dengan
sinar mata kebencian. Sebentar
saja, dia
segera menerjang kembali.
Si Periang Bertangan Lembut yang
masih memegang sebatang tongkat
tak mau
menyia-nyiakan senjata di
tangannya.
Segera dikeluarkannya jurus
'Tongkat
Memukul Anjing'.
Tongkat di tangan kakek kurus itu
berputar-putar sangat cepat,
mengeluarkan
suara angin menderu-deru. Kemudian
tubuhnya mencelat ke udara, lalu
menghunjam ke arah Brajadenta
sambil
menyambarkan tongkatnya.
Pada saat yang sama si Dewa Maut
mengeluarkan tenaga simpanannya.
Seketika
dipapaknya sambaran tongkat itu.
Traaakkk...!
Si Periang Bertangan Lembut
terkejut setengah mati melihat
tongkatnya
patah menjadi dua. Namun, sebelum
menyadari keadaan, tangan
Brajadenta
telah meluncur ke dada si Periang
Bertangan Lembut
Dan....
Duuukkk...!
"Aaah...!"
Si Periang Bertangan Lembut
terjajar beberapa tindak sambil
mendekap
dadanya yang tersodok tangan
Brajadenta.
Pengemis Binal yang menyaksikan
adegan itu segera melompat dari
tempat
persembunyiannya.
"Kau tak apa-apa,
Kek...?" tanya
remaja belasan tahun itu.
Melihat muridnya yang tiba-tiba
muncul di hadapannya, si Periang
Bertangan Lembut menggeram gusar.
"Pergi kau, Bocah
Gendheng!" bentak
Periang Bertangan Lembut.
Namun, Pengemis Binal tak mau
menuruti perintah gurunya. Malah,
matanya
memandang si Dewa Maut yang sedang
tertawa terbahak-bahak.
Tiba-tiba si Periang Bertangan
Lembut mengibaskan tangannya,
membuat
tubuh Suropati terpelanting
menjauhi
ajang pertempuran. Dan tiba-tiba
tubuh si
Periang Bertangan Lembut meluncur
melebihi kecepatan suara sambil
menyambarkan tangannya.
Brettt...!
"Heh...?!"
Brajadenta yang tidak menduga
datangnya serangan, merasakan
tubuhnya
limbung. Bahunya telah terserempet
angin
pukulan si Periang Bertangan
Lembut.
Darah si Dewa Maut naik sampai ke
ubun-ubun. Dia pun segera
mengeluarkan
ilmu andalannya, ilmu 'Batu Kumala
Hitam'!
Si Periang Bertangan Lembut
terperangah, menyaksikan tubuh
lawannya
yang berubah jadi hitam legam
seperti
arang. Belum sempat berpikir
panjang,
mendadak kakek kurus itu merasakan
tubuhnya tersedot ke arah
Brajadenta.
Namun, tiba-tiba kakek kurus itu
menguap. Dan tubuhnya lalu jatuh
ke
tanah. Jelas, si Periang Bertangan
Lembut
mengeluarkan ilmu 'Arhat Tidur'.
Tubuh si Periang Bertangan Lembut
tetap tersedot kekuatan ilmu 'Batu
Kumala
Hitam'. Tapi, ketika tubuhnya
sudah
dekat, mendadak melenceng ke
samping, dan
menjauh lagi.
Hal demikian terulang hingga
beberapa kali, membuat Brajadenta
semakin
dikuasai amarah.
Tanpa pikir panjang lagi,
Brajadenta segera mengerahkan
seluruh
kekuatannya. Dan tubuhnya yang
sudah
hitam legam semakin bertambah
hitam. Tak
terkecuali, kedua matanya juga
bersorot
hitam.
Kini wajah si Dewa Maut sudah
tidak
lagi menyerupai manusia. Wujud
kemanusiaannya telah hilang,
berganti
menjadi sesosok tubuh yang
mengerikan!
Kedua tangan Brajadenta terayun ke
atas,
dan bertepuk.
Blaaarrr...!
Timbul suara menggelegar laksana
petir menyambar ketika telapak
tangan si
Dewa Maut beradu.
Bersamaan dengan itu, satu bentuk
tenaga telah menyedot tubuh si
Periang
Bertangan Lembut yang tak
terbendung
lagi.
Kini, tubuh si Periang Bertangan
Lembut benar-benar terseret, tanpa
mampu
berbuat apa-apa lagi.
Pengemis Binal yang menyaksikan
keadaan gurunya yang tengah
berjuang
melawan maut, segera menghemposkan
tubuhnya ke arah Brajadenta. Namun
ketika
dua depa lagi tubuhnya tiba....
Blaaarrr...!
Remaja belasan tahun yang mencoba
memusnahkan tenaga sedotan ilmu
'Batu
Kumala Hitam' merasakan tubuhnya
mental
balik, ketika membentur satu
kekuatan
kasat mata. Dan tubuhnya kontan
terhempas
jatuh ke tanah disertai semburan
darah
segar!
Pengemis Binal bingung, bagaimana
harus bertindak untuk menolong
gurunya
yang tengah berkutat melawan arus
kematian dari ilmu 'Batu Kumala
Hitam'
yang dahsyat.
Mata remaja belasan tahun itu
jelalatan. Bola matanya membesar.
Namun,
kelopak matanya tiba-tiba terpejam
ketika
menyaksikan tubuh gurunya yang
tinggal
beberapa jengkal lagi akan
membentur
pusat kekuatan ilmu 'Batu Kumala
Hitam'.
Tapi, sesuatu yang tak terduga
terjadi. Mendadak tubuh si Periang
Bertangan Lembut yang tampak sudah
tak
berdaya berkelebat cepat,
melancarkan
ilmu totokan 'Delapan Belas Tapak
Dewa'
sambil memutari tubuh Brajadenta.
Wuuusss...!
Blaaarrr...!
Setelah melancarkan ilmu
totokannya, tubuh si Periang
Bertangan
Lembut terpental sejauh empat
tombak!
Tubuh kakek kurus itu bergulingan
di tanah. Setelah bisa
mengendalikan
gerak tubuhnya, dia mencoba
bangkit.
Namun, si Periang Bertangan Lembut
segera
terjungkal kembali dengan mulut
menyemburkan darah berwarna
kehitam-
hitaman dari hidung dan
telinganya.
Agaknya, si Periang Bertangan
Lembut menderita luka dalam yang
sangat
parah!
Sedangkan tubuh si Dewa Maut tetap
berdiri tegak. Tapi tak lama
kemudian,
dari tujuh belas pusat aliran
darahnya
memancar darah segar laksana
sebuah
pancuran yang baru saja diisi air.
Tubuh si Dewa Maut
bergoyang-goyang
sejenak. Namun Brajadenta tetap
bertahan
untuk tidak jatuh. Dan tiba-tiba
dikeluarkannya sesuatu dari balik
baju!
Sementara si Periang Bertangan
Lembut yang telah terluka parah
memandang
penuh keterkejutan.
Tampak tangan kanan si Dewa Maut
menggenggam sebuah batu berwarna
hitam
kelam sebesar kepalan tangan orang
dewasa.
Tangan kiri si Dewa Maut mendadak
bergerak, menyobek kulit perutnya
sendiri
menggunakan kuku!
Darah segar segera menyembur dari
luka yang menganga. Tapi,
Brajadenta sama
sekali tak merasakan sakit.
Bibirnya
malah mengulum senyum. Dan
perlahan-lahan
dimasukkannya Batu Kumala Hitam ke
dalam
luka di perutnya. Sebentar
kemudian, luka
itu sudah terbalut selembar kain
berwarna
merah.
Si Dewa Maut meringis,
memperlihatkan gigi dan gusinya
yang juga
telah berwarna hitam legam!
Bersamaan
dengan itu, dari kepalanya
mengepul asap
hitam. Semakin lama semakin tebal,
mengaburkan pandangan. Itulah
puncak dari
ilmu 'Batu Kumala Hitam'!
"Suropati...!"
Dengan sisa-sisa tenaganya, si
Periang Bertangan Lembut memanggil
muridnya yang berada tak jauh,
darinya.
Pengemis Binal yang juga sudah
terluka dalam segera mendekati
gurunya.
Dia kemudian duduk bersila, di
hadapan si
Periang Bertangan Lembut
"Kau sudah mempelajari ilmu
totokan
'Delapan Belas Tapak Dewa',
Suro?" tanya
si Periang Bertangan Lembut
terbata-bata.
Pengemis Binal mengangguk lemah.
"Tapi, hanya sampai tingkat
tujuh
belas...."
"Ilmu totokan 'Delapan Belas
Tapak
Dewa' tingkat tujuh belas belum
bisa
memusnahkan ilmu 'Batu Kumala
Hitam'.
Untuk itu, aku akan menyempur-
nakannya...."
Setelah berkata demikian, si
Periang Bertangan Lembut
menempelkan
kedua telapak tangan ke dada
muridnya.
Maka saat itu juga, sebuah
kekuatan
tenaga dalam segera mengalir.
Pengemis
Binal langsung merasakan sebuah
arus
deras sedang berputar di sekujur
tubuhnya
yang segera memusat ke pusar. Semakin
lama putaran arus itu semakin
lemah.
Dan....
"Uookkk...!"
Mulut si Periang Bertangan Lembut
kembali menyemburkan darah
berwarna
kehitam-hitaman.
"Guru...!"
Suropati menjerit keras ketika
menyaksikan tubuh gurunya jatuh
terjengkang.
Sesaat Pengemis Binal memeluk
tubuh
gurunya yang sudah tak bernyawa,
lalu
segera bangkit!
Si Dewa Maut tertawa tergelak.
"Aku belum memperlihatkan
seluruh
kepandaianku. Kenapa si Tua Bangka
itu
sudah melepas nyawa...?!"
ejek
Brajadenta, pongah.
"Jangan banyak ucap, Keparat!
Aku
akan menuntut balas kematian
guruku...!"
sentak Suropati.
Tawa si Dewa Maut semakin keras.
"Bocah Gendheng! Kalau kau
tak
ingin menyusul arwah gurumu,
segera
buktikan ucapanmu...!"
tantang
Brajadenta.
"Baik! Aku akan menjajal ilmu
'Batu
Kumala Hitam'-mu!"
Melihat kesungguhan Suropati, si
Dewa Maut segera mengerahkan
seluruh
kekuatannya, hingga sampai ke
puncak.
Tangan si Dewa Maut terpentang ke
atas. Dan setelah mengeluarkan
suara
menggelegar, tubuh Pengemis Binal
pun
terseret!
Suropati sama sekali tak melawan
arus kekuatan yang sedang
menyeretnya.
Karena disadari, perlawanannya
akan sia-
sia.
Perlahan-lahan tubuh Pengemis
Binal
mendekati pusat kekuatan ilmu
'Batu
Kumala Hitam'! Dan mendadak tubuh
Suropati berkelebat dengan
kecepatan
melebihi kecepatan suara. Lalu
diputarinya tubuh Brajadenta
seraya
mengerahkan ilmu totokan 'Delapan
Belas
Tapak Dewa' sambil mengerahkan
ilmu
sihirnya yang terdahsyat. Begitu
cepat
gerakan Suropati, sehingga....
Blaaarrr...!
Tubuh murid si Periang Bertangan
Lembut itu terhempas, lalu
bergulingan di
atas tanah, Namun, dia segera
berdiri
tegak!
Sementara itu, tubuh si Dewa Maut
terhuyung-huyung. Dari berbagai
tempat di
tubuhnya memancar darah segar.
Kemudian....
Blaaarrr...!
Dengan diiringi bunyi menggelegar,
tubuh si Dewa Maut meledak, hancur
menjadi abu!
Ternyata, ilmu totokan 'Delapan
Belas Tapak Dewa' yang dilancarkan
Pengemis Binal tak dapat dielakkan
si
Dewa Maut. Karena, ilmu totokan
itu telah
dilambari kekuatan sihir, sehingga
membuatnya terpukau tanpa mampu
berbuat
apa-apa. Hal itu membuat ujung
jari
Pengemis Binal dapat bergerak
bebas,
mencari jalan kematian di tubuh si
Dewa
Maut.
Empat totokan Pengemis Binal
bersarang di kepala, empat di
leher,
empat di dada, empat di punggung,
dan dua
di pangkal paha si Dewa Maut. Pada
tempat-tempat itulah, tubuh
pengkhianat
kerajaan itu memancarkan darah
segar,
untuk kemudian meledak dan hancur
menjadi
abu.
Tak lama kemudian, Pengemis Binal
berjalan menuruni Bukit
Parahyangan
sambil membopong jenazah
gurunya...
Anjarweni dan Ingkanputri berlari
susah-payah mengikuti langkah kaki
Suropati.
"Tunggu dulu, Bocah...!"
teriak
Anjarweni.
"Memangnya aku anakmu? Kok,
kau
panggil 'bocah'...?" kata
Suropati
konyol.
"Lalu, aku harus panggil
siapa?"
tanya Anjarweni.
"Suropati alias Pengemis
Binal,"
sebut remaja belasan tahun itu
tanpa
menghentikan langkah kakinya.
Anjarweni dan Ingkanputri yang
masih belum sembuh dari luka
dalamnya
terus mengikuti dengan kening
berkerut.
Mereka kini baru sadar, kalau
remaja yang
berpakaian putih penuh tambalan
itu
berjuluk Pengemis Binal.
"Hei, mengapa kau dijuluki
Pengemis
Binal? Pantas kelakuanmu memang
binal!"
timpal Ingkanputri.
"Yah, karena kelakuanku
memang
binal! Tapi kalian suka, kan.
Kalian
tahu, teman-temankulah yang
menjuluki aku
demikian...," sahut Suropati
sambil terus
melangkah.
"Tunggu dulu, Pengemis
Binal...!"
ujar Ingkanputri lagi.
"Tidak mau!" jawab
Pengemis Binal,
asal buka mulut,
"Aku ingin mengucapkan terima
kasih, Pengemis Binal...."
"Untuk mengucapkan kata itu,
apa
susahnya? Sambil berjalan pun
bisa...."
Ingkanputri terdiam mendengar
ucapan Suropati. Memang pas bila
dia
dijuluki Pengemis Binal!
"Eh! Aku tidak hanya ingin
mengucapkan terima kasih. Aku juga
ingin
memberi hadiah...," cetus
gadis itu.
Mendengar itu mata Pengemis Binal
berbinar. Dan, tubuhnya pun segera
berbalik. Untuk sementara
diturunkannya
jenazah si Periang Bertangan
Lembut
"Benarkah apa yang kau
katakan?"
tanya Pengemis Binal.
"Benar, Suro...," jawab
Ingkanputri.
Dan....
Cuppp...!
Suropati meraba pipinya yang
terkena ciuman, dan langsung
tertawa
lebar.
"Uh! Ciumanmu tak enak. Kau
jarang
gosok gigi, ya?" ledek
Suropati.
Mendengar. ucapan Suropati itu,
papi Ingkanputri merona merah.
"Bocah Gendheng! Kalau mau
minta
tambah, katakan saja! Tak perlu
berkata
yang macam-macam!" bentak
Ingkanputri
nakal.
Bola mata Suropati bergerak ke
kiri
dan ke kanan.
Tiba-tiba....
Cuppp...!
Ganti Ingkanputri yang meraba
pipinya.
"Kau pun jarang gosok gigi,
Suro...," ledek
Ingkanputri.
Suropati tertawa terbahak-bahak
Tapi, tiba-tiba tubuh Suropati
menggelosor ke tanah.
Anjarweni tersenyum.
"Bocah Gendheng! Rupanya kau
suka
berulah macam-macam...! Pantas
bila dia
dijuluki Pengemis Binal!"
Mendengar itu, Suropati hanya diam
saja. "He he he...,"
Anjarweni tertawa.
"Mungkin dia minta yang lebih
'panas'
lagi, Putri...."
Ingkanputri cemberut mendengar
ucapan kakak seperguruannya.
"Kita biarkan saja, Kak Weni.
Kalau
kepanasan dipanggang matahari baru
tahu
rasa...!"
Anjarweni dan Ingkanputri segera
berteduh di bawah pohon rindang.
Tapi
hingga beberapa saat, tubuh
Suropati sama
sekali tak bergerak.
"Mungkin terjadi apa-apa
dengan
dirinya, Kak Weni. Coba kita lihat...,"
ujar Ingkanputri kepada kakak
seperguruannya.
Mereka berdua segera mendekati
tubuh Suropati yang terbujur di
samping
jenazah gurunya. "Jangan
sentuh dia...!"
Tiba-tiba terdengar teriakan, yang
disusul berkelebatnya, seorang
kakek
berpakaian serba putih ke arah
mereka.
Anjarweni dan Ingkanputri
mengerutkan kening.
"Dalam tubuh Suropati
tersimpan
racun ganas. Dan, kini racun itu
sedang
bekerja. Bila kalian sentuh
tubuhnya,
racun itu akan menjalar ke tubuh
kalian...," kata kakek itu.
Anjarweni dan Ingkanputri
memandang
tubuh Suropati yang masih belum
bergerak.
Mereka pun jadi bergidik ngeri,
merasakan
kebenaran ucapan kakek yang baru
datang
itu.
Mendadak Pengemis Binal
menggeliat.
"Oughhh.... Siapa nama gadis
yang
menghadiahkan ciuman
tadi...?"
Mendengar itu, Anjarweni dan
Ingkanputri tertawa lebar.
Tapi, kakek berpakaian serba putih
yang baru datang itu mengerutkan
kening....
Apa sesungguhnya yang sedang
terjadi dalam diri Pengemis Binal?
Benarkah tubuhnya telah menyimpan
racun
ganas?
SELESAI
Ikutilah kelanjutan kisah ini
dalam
episode : KEMELUT KADIPATEN
BUMIRAKSA
Emoticon