Sampai di halaman depan, Pendekar
Harimau Terbang menatap tajam seorang
melewati pintu gerbang yang telah
jebol.
Para murid yang sedang berjaga
mencoba
menghalangi. Namun dengan
mengibaskan
ujung lengan bajunya, orang yang
baru
datang itu membuat para murid
Perguruan
Harimau Terbang terjungkal.
Orang berbaju ungu yang tak lain
si
Dewa Maut itu segera melompat ke
hadapan
Reksapati.
"Reksapati, aku hendak bicara
denganmu. Suruh murid-muridmu
menyingkir!"
Kening Pendekar Harimau Terbang
kembali berkerut. Melihat
penampilan
Brajadenta yang menampakkan
kesungguhan,
dia segera memberi isyarat kepada
murid-
muridnya untuk menjauh.
"Siapa kau? Dan, apa yang
hendak
kau bicara kan?" tanya
Reksapati.
"Aku Brajadenta, alias si
Dewa Maut
Akulah yang membunuh keempat
muridmu,
sebagai peringatan agar kau tahu
kalau
aku tidak main-main...!" kata
Brajadenta,
pongah.
Ketua Perguruan Harimau Terbang
itu
berusaha mengatasi gejolak
perasaannya
begitu mengetahui kalau yang telah
membunuh empat muridnya di Lembah
Sungai
Balirang, tak lain adalah orang
yang
tengah berdiri di hadapannya.
"Aku tak mengerti maksud
tindakanmu...," sahut
Reksapati, kalem.
"Reksapati! Aku tidak perlu
berbasa-basi lagi. Serahkan Batu
Kumala
Hitam padaku...!" bentak si
Dewa Maut.
Pendekar Harimau Terbang terkejut
mendengar perkataan Brajadenta.
"Kau kira siapa dirimu,
Brajadenta?! Berani benar kau
meminta
lambang Perguruan Harimau
Terbang...?!"
dengus Reksapati, gusar.
Ketua Perguruan Harimau Terbang
ini
makin marah saja, karena yang
diminta
adalah lambang perguruan. Apalagi
yang
meminta adalah si pembunuh dari
empat
orang muridnya. Namun sebagai
tokoh
berhati lurus, Reksapati tak mau
bertindak gegabah. Amarahnya
berusaha
ditekan semampunya.
Si Dewa Maut tersenyum dingin.
"Aku utusan Baginda Prabu.
Bila kau
bersedia menuruti permintaanku,
mungkin
aku bisa bersikap bijaksana dengan
mengampuni nyawamu...," sahut
Brajadenta,
dingin.
"Kau utusan Baginda Prabu?!
Apa
buktinya?" cecar Reksapati.
Dengan senyum sinis yang
mengembang
di bibir, Brajadenta mengeluarkan
sesuatu
dari balik bajunya.
Reksapati terkejut melihat benda
yang dipegang Brajadenta. Benda
itu
berupa lempengan emas sebesar
telapak
tangan orang dewasa, dengan ukiran
burung
rajawali. Itulah tanda pelimpahan
wewenang dari Baginda Prabu kepada
orang
yang dianggap dapat dipercaya dan
dapat
menjalankan tugas.
"Brajadenta! Apa hubunganmu
dengan
Batu Kumala Hitam?" tanya
Reksapati
kemudian.
"Baginda Prabu
menginginkannya...."
Reksapati menggelengkan kepalanya,
tidak mempercayai ucapan
Brajadenta.
"Harta benda di kerajaan
berlimpah.
Kenapa Baginda Prabu menginginkan
lambang
Perguruan Harimau Terbang yang tak
berharga bagi orang lain?"
tukas
Reksapati,
"Baginda Prabu menghendaki
Perguruan Harimau Terbang
dibubarkan...!"
desis si Dewa Maut.
"Heh?!"
Reksapati terkejut setengah mati
mendengar ucapan Brajadenta.
"Ucapanmu semakin ngawur
saja,
Brajadenta...!"
Si Dewa Maut kembali memamerkan
tawanya.
"Kau boleh tak mempercayai
ucapanku, Reksapati. Tapi,
sesungguhnya
itulah yang diinginkan Baginda
Prabu."
"Menilik perbuatanmu yang
kejam
terhadap murid-muridku di Lembah
Sungai
Balirang, aku memang tak menaruh
sedikit
pun kepercayaan padamu...!"
sentak
Reksapati, sengit.
Brajadenta mengeluarkan dengusan
keras. "Aku tak punya banyak
waktu. Cepat
serahkan Batu Kumala Hitam. Dan
segera
kau bubarkan Perguruan Harimau
Terbang...!" kata Brajadenta,
tak kalah
sengit.
Tiba-tiba seorang pemuda berbadan
tegap melompat ke hadapan
Brajadenta.
"Mulutmu terlalu berani,
Orang
Asing! Kau pantas diberi
pelajaran!"
bentak pemuda itu, lantang.
"Singalodra! Kau tak perlu
campur
tangan!" teriak Reksapati.
Pemuda yang dipanggil Singalodra
segera berbalik. Dia menjura,
memberi
hormat kepada gurunya.
"Izinkan aku yang bodoh ini
untuk
memberi sedikit pelajaran kepada
orang
asing yang tidak tahu sopan santun
itu,
Guru...," ucap Singalodra.
Pendekar Harimau Terbang diam
sejenak. Dia merasakan kebenaran
dari
ucapan muridnya. Dan, kemampuan
Singalodra pun tak diragukan
karena
memang salah satu muridnya yang
paling
utama.
Dengan anggukan pelan, Reksapati
memberikan isyarat kepada
muridnya. Maka
Singalodra pun segera berbalik
kembali,
berhadapan dengan si Dewa Maut
Brajadenta tersenyum penuh ejekan.
"Kenapa bukan gurumu saja
yang
memberi pelajaran? Tanganku sudah
gatal
untuk segera bermain-main
dengannya...."
"Tak perlu banyak bacot!
Lihat
serangan!" bentak Singalodra,
seraya
meluruk ke depan.
Brajadenta yang memandang enteng,
sama sekali tak beranjak dari
tempatnya
berdiri. Ketika tubuh Singalodra
yang
melayang hampir menyentuh
tubuhnya, ujung
lengan bajunya cepat dikibaskan.
Wuuusss...! Breeesss...!
Singalodra terkesiap merasakan
tubuhnya berhenti di udara, lalu
terbanting ke tanah.
Murid utama Perguruan Harimau
Terbang itu segera bangkit, dan
kembali
menyerang. Kedua tangan
dibentangkannya
lebar-lebar. Lalu dengan
mengerahkan
seluruh kekuatannya, dia hendak
mencengkeram dada Brajadenta.
Si Dewa Maut cuma tersenyum. Dan
tiba-tiba telunjuk jarinya
ditudingkan ke
arah Singalodra.
Cuuusss...!
"Aughhh...!"
Di luar dugaan, gerakan Singalodra
terhenti. Dengan serta-merta dia
mendekap
kepalanya.
Brukkk...!
Tubuh Singalodra kontan
menggelosor
ke tanah, langsung kelojotan. Dan,
tak
lama kemudian, tubuhnya sudah
mengejang
tanpa nyawa. Tampak dahinya
berlubang
menyemburkan darah segar.
Menyaksikan kejadian itu, semua
murid Perguruan Harimau Terbang
menjadi
terkejut bukan kepalang. Tak
terkecuali,
Reksapati sendiri.
"Muridmu itu tak berguna sama
sekali, Reksapati! Dia layak mati
karena
kebodohannya...!" ujar
Brajadenta,
congkak.
Sebelum, Reksapati memberikan
tang-
gapan, tiba-tiba para murid
Perguruan
Harimau Terbang menerjang
bersamaan ke
arah si Dewa Maut.
"Heaaa...!"
Dengan mendengus panjang,
Brajadenta memutar tubuhnya
laksana
sebuah gangsingan.
Wuuussss...!
"Aaa...!"
Hempasan angin dahsyat menerjang,
disusul jerit kematian yang saling
sahut
segera terdengar. Tampak belasan
tubuh
murid Perguruan Harimau Terbang
melayang
di udara, lalu jatuh berdebum ke
tanah.
Mereka mati dengan tubuh
berlumuran darah
tanpa sempat tahu apa yang telah
terjadi.
Baru saja Brajadenta berpaling ke
arah Reksapati....
"Heaaa...!"
Tiba-tiba sebuah bayangan biru
bergerak cepat, menerjang ke arah
si Dewa
Maut ini, sambil mengebutkan
senjatanya.
Trang...!
Pedang di tangan bayangan biru itu
membentur ujung lengan baju si
Dewa Maut.
Brajadenta menyeringai marah
merasa telah
dibokong.
"Mustikaweni!
Jangan...!" teriak
Reksapati keras.
Namun, terlambat. Istri ketua
Perguruan Harimau Terbang itu
telah
menerjang kembali ke arah si Dewa
Maut
dengan kalap.
Wuuuttt..!
Sambaran pedang Mustikaweni yang
mengarah leher tak mengenai
sasaran,
karena mendadak si Dewa Maut
menghempaskan tubuhnya ke atas.
Lalu
dengan kecepatan kilat, Brajadenta
menukik tajam sambil mendaratkan
pukulan
ke arah Mustikaweni! Begitu cepat
gerakannya. Dan...
Praaakkk!
Wanita cantik itu tak sempat
menghindar. Kepalanya remuk
tertimpa
kepalan tangan Brajadenta.
Tubuhnya
kontan limbung sambil memegangi
kepala,
lalu ambruk tak bergerak-gerak
lagi.
"Ibbbuuu...!"
Tiba-tiba seorang bocah perempuan
menghambur ke tubuh Mustikaweni
yang
telah tak bernyawa.
Menyaksikan kejadian itu,
Reksapati
segera berkelebat cepat. Tubuh
anaknya
yang bernama Ingkanputri itu
disambarnya.
Ingkanputri menangis meraung-raung
di gendongan ayahnya. Segera bocah
itu
diserahkan Reksapati pada salah
seorang
muridnya untuk dibawa ke tempat
yang
lebih aman.
"Sungguh keji perbuatanmu,
Brajadenta...!" desis
Reksapati dengan dada bergolak. Si Dewa Maut tertawa
bergelak. "Jika kau serahkan
Batu Kumala
Hitam, dan segera perguruanmu ini
dibubarkan, semua ini tak akan
terjadi...," kilah
Brajadenta.
"Untuk menebus kematian
murid-murid
dan istriku, aku akan menyabung
nyawa
denganmu...!" tegas
Reksapati, tak kuasa
lagi menahan amarahnya. Tawa
Brajadenta
semakin keras. "Jadi, wanita
berbaju biru
itu istrimu? Sungguh patut
disayangkan,
Reksapati. Kini kau telah jadi
duda. Ha
ha ha...!" ejek si Dewa Maut
Mendengar ejekan Brajadenta yang
menyakitkan hat, Reksapati segera
memasang kuda-kuda. Kedua kaki
dipen-
tangkan, dan mencengkeram erat ke
bumi.
Tangannya membentang berdampingan
di
depan dada. Lalu dengan kekuatan
penuh
dibukanya sebuah serangan. Tak
tanggung-
tanggung lagi, Reksapati langsung
menggunakan jurus 'Harimau
Menerjang
Bulan' yang menjadi andalan ilmu
silatnya.
"Hup...!"
Si Dewa Maut cepat berkelebat
menghindar ketika sambaran tangan
Reksapati mengarah ke dada. Pada
saat
yang sama, dengan cepat Pendekar
Harimau
Terbang mengayunkan kakinya untuk
menyambung serangannya yang gagal.
Brajadenta cepat menangkis dengan
tangan kanannya.
Plakk...!
Begitu terjadi benturan, tubuh
Reksapati kemudian melayang ke
udara.
Setelah bersalto beberapa kali,
tiba-tiba
telapak tangannya menghentak.
Wuuusss...!
Seberkas sinar berwarna putih
langsung melesat ke arah
Brajadenta.
Namun si Dewa Maut itu telah cepat
melenting ke atas. Dan....
Blarr...!
Serangan itu tak mengenai sasaran.
Tapi tanah tempat pukulan jarak
jauh
Reksapati mendarat amblong sedalam
setengah badan manusia dewasa.
Begitu mendarat kembali,
Brajadenta
terkesiap menyaksikan kehebatan
tenaga
dalam Reksapati. Maka tanpa
membuang
waktu lagi, tubuhnya segera
berkelebat
mengawali serangannya.
Suasana sore di Perguruan Harimau
Terbang segera berhias teriakan
kemarahan
dari sebuah pertempuran hebat.
Para murid
Reksapati hanya bisa menyaksikan
dari
jarak jauh. Mereka tentu saja tak mau
tertimpa pukulan jarak jauh yang
nyasar.
Lewat sepuluh jurus kemudian,
gelap
hampir menerpa. Tubuh Reksapati
dan
Brajadenta yang sedang bertempur
hampir
tak terlihat lagi karena begitu
cepat
mereka bergerak. Yang terlihat
hanya
bayangan-bayangan tubuh mereka
saja.
Memasuki jurus kedua belas,
Brajadenta melepas kain merah yang
bergayut di pundaknya yang
langsung
dikibaskan ke wajah
Reksapati.
Wuttt..!
Bau harum segera tercium. Pendekar
Harimau Terbang yang sudah kenyang
makan
asam garam rimba persilatan
melompat,
menjauhi ajang pertempuran.
"Kau sangat licik, Brajadenta.,.!"
desis Reksapati beringas.
Pendekar Harimau Terbang menyadari
adanya racun yang terkandung dari
bau
harum yang berasal dari kibasan
kain
merah di tangan Brajadenta. Maka
segera
ditelannya sebuah pil berwarna
merah
sebagai obat penawar racun.
Tak lama kemudian, tubuh Reksapati
kembali melayang. Kedua tangan
yang
terpentang lebar, segera
ditangkupkan
sambil menyalurkan seluruh
kekuatan
tenaga dalam pada kedua tangannya.
Lalu
tiba-tiba kedua tangannya
menghentak ke
depan.
Wusss...!
Brajadenta tak mau kalah. Kedua
tangannya pun dihentakkan memapak
serangan Reksapati.
Blarrr...!
Terdengar ledakan keras
menggelegar, disertai kepulan asap
tebal-
tebal akibat bertemunya dua
pukulan
bertenaga dalam tinggi. Dari
kepulan itu,
tubuh Pendekar Harimau Terbang
melayang
ke belakang, langsung membentur
tembok
gerbang.
Broooll...!
"Aaah...!"
Tak ayal lagi, tembok setebal dua
jengkal itu jebol. Dan, tubuh
Pendekar
Harimau Terbang itu terbanting ke
tanah
tanpa dapat bangun lagi. Perlahan-lahan
dari hidungnya mengalir darah
segar.
Si Dewa Maut sendiri terjajar
mundur beberapa tindak. Dari sini
jelas
terbukti kalau tenaga dalamnya
lebih
unggul. Dan dia hanya menatap
dingin pada
tubuh Reksapati yang tak bergerak
lagi.
"Guru...!"
Menyaksikan gurunya telah mati,
para murid Perguruan Harimau
Terbang
segera menghambur ke arah
Reksapati.
Sebagian segera berhamburan,
mengeroyok
si Dewa Maut
Namun Brajadenta melayani sambil
tertawa-tawa. Sekali kedua tangan
dan
kakinya bergerak satu persatu
murid
Perguruan Harimau Terbang itu
segera
berjatuhan ke tanah. Namun, tak
satu pun
dari mereka yang menjadi ciut
nyalinya.
Bahkan dengan melihat kematian
teman-
temannya, semangat mereka menjadi
bertambah.
Tiap kali Brajadenta mengayunkan
tangan, empat-lima pengeroyoknya
segera
meregang nyawa. Dan, sebelum gelap
benar-
benar menyelimuti Perguruan
Harimau
Terbang, seluruh murid telah
melayang tak
tersisa.
Sementara itu seorang bocah
perempuan berumur dua belas tahun
berjalan mendekati si Dewa Maut.
Matanya
menatap tajam tanpa sedikit pun
merasa
takut. Bocah perempuan anak
Reksapati
yang bernama Ingkanputri ini
mengepalkan
kedua telapak tangannya. Giginya
bertaut
kuat, menyimpan hawa dendam hebat.
Sedangkan Brajadenta memandang,
penuh nafsu membunuh. Namun,
sebelum
sesuatu yang tak diinginkan
terjadi,
tiba-tiba berkelebat satu bayangan
menyambar tubuh Ingkanputri, dan
menghilang dengan cepat
Si Dewa Maut hanya memandang
dengan
sinar mata penuh kemarahan. Dengan
langkah perlahan, dia mendekati
tubuh
Reksapati yang telah terbujur
kaku. Dan
tangannya pun segera merogoh ke
balik
baju Reksapati.
Setelah berhasil mendapatkan benda
yang dicarinya, Brajadenta tertawa
terbahak-bahak. Di tangan kanannya
kini
tergenggam Batu Kumala Hitam.
Tertimpa
gelap, batu itu memancarkan sinar
merah.
Hingga, membuat baju Brajadenta
yang
berwarna ungu menjadi bersemu
merah.
Dengan perasaan puas, si Dewa Maut
segera berkelebat, berlalu dari
tempat
itu. Suara tawanya yang panjang
masih
terdengar hingga beberapa lama.
5
Puluhan pengemis dan gelandangan
di
Kadipaten Bumiraksa berhamburan
keluar
dari sebuah kuil bobrok yang
dikenal
dengan nama Kuil Saloka. Lelaki-
perempuan, tua-muda, besar-kecil,
berjalan dari rumah ke rumah, dari
kedai
ke kedai, dari tempat satu ke
tempat
lainnya. Mereka berusaha mengais,
mencari
sesuatu yang dapat digunakan
sebagai
penyambung hidup.
Tubuh mereka kotor terbungkus
pakaian compang-camping.
Tulang-tulang
tubuh mereka menonjol, menandakan
suatu
penderitaan yang akrab dengan
keseharian
mereka. Tak hanya umpatan dan
cacian yang
diterima. Bahkan seringkali
mendapat
siksaan dari orang-orang yang
merasa
terganggu karena kehadiran mereka.
Tempat-tempat sampah dikais. Tapi,
tak
jarang mereka menyorotkan sinar
mata
kekecewaan karena tak menemukan
apa yang
sedang dicari. Namun, kadangkala
ada
orang yang begitu baik hati dengan
memberi makanan sekadarnya atau
pun
sekeping uang logam.
Para pengemis dan gelandangan
Kadipaten Bumiraksa itu memang
telah
begitu akrab dengan penderitaan.
Dan,
karena keakraban itulah yang
membuat
mereka sadar akan pentingnya
bertawakal.
Hidup mereka penuh kesulitan.
Karena
mereka berani hidup, mereka pun
harus
berani menghadapi kesulitan.
Sebelum manusia dilahirkan, tak
pernah merasakan sakitnya dicubit
orang,
sakitnya menerima ejekan dan
hinaan,
sakitnya badan ketika harus
berusaha
keras untuk dapat terus hidup,
sakitnya
batin ketika harus menerima cobaan
yang
datang bertubi-tubi. Tapi, setelah
terlahir dan menghirup udara
dunia,
mereka pun segera merasakan
apa yang
belum pernah dirasakan. Rasa sakit
berbagai wujud penderitaan segera
menimpa. Penderitaan datang tak
kunjung
berhenti selama hayat masih
dikandung
badan.
***
Seorang pengemis memasuki sebuah
kedai di Kota Kadipaten Bumiraksa.
Usianya masih muda, berusia
sekitar dua
puluh tahun. Tubuhnya kurus kering
dengan
tulang-tulang menonjol terbungkus
hias
kulit kotor tak terurus. Matanya
cekung.
Tulang rahangnya tampak kokoh
seperti
menandakan kekerasan hatinya untuk
mengarungi samudera kehidupan.
Baru melangkah beberapa tindak
dari
ambang pintu kedai, seorang
pelayan
mengusirnya.
"Aku bukan hendak mengemis,
Pak.
Aku hendak makan. Dan, aku pun
akan
membayar," sergah pengemis
muda itu.
"Kedai ini tidak melayani
pembeli
semacammu!" kata pelayan
kedai, menghina.
Pengemis muda yang terhina ini
menarik napas panjang.
"Aku membayar dengan uang,
Pak.
Dan, apakah pemilik kedai ini tak
butuh
uang...?"
"Sudah kubilang, kedai ini
tidak
melayani pembeli semacammu! Segera
enyah
dari tempat ini!" bentak
pelayan kedai
itu sambil mengayunkan tangannya
ke wajah
pengemis muda yang berdiri tak
jauh
darinya.
Tapi, pelayan itu menjadi terkejut
ketika merasakan ayunan tangannya
berhenti di udara.
"Biarkan dia masuk!"
Tiba-tiba terdengar suara bernada
memerintah. Dengan serta-merta
semua
orang yang berada di dalam kedai
menolehkan kepala.
Tampak di jajaran meja pojok
ruangan, terlihat dua orang wanita
tengah
duduk santai. Agaknya, suara tadi
berasal
dari salah satu dari dua wanita
ini.
Mereka sama-sama cantik dan
berbaju
hitam. Yang satu berumur kira-kira
dua
puluh tiga tahun. Dan, seorang
lagi masih
sangat belia, berumur tujuh belas
tahun.
"Biarkan dia masuk,
Pak!" ujar
wanita yang berumur dua puluh tiga
tahun.
Melihat penampilan kedua wanita
ini, pelayan kedai ini segera
berbalik.
Dan dia segera berlalu dari tempat itu
untuk melakukan tugasnya kembali.
Pengemis muda yang merasa mendapat
angin itu segera melangkah masuk.
"Terima kasih, Nona,"
ucap pemuda
pengemis ini sambil mengerlingkan
mata,
mencari tempat duduk kosong.
"Kau duduk di sini
saja," ujar
wanita yang berumur dua puluh tiga
tahun
itu sambil menunjuk kursi di
hadapannya.
Mendengar kalimat itu, semua orang
yang berada di dalam kedai kembali
menolehkan kepala.
Dan tiba-tiba seorang laki-laki
berewokan tiba-tiba tertawa keras.
"Dunia sudah gila! Tidak adakah
lelaki yang lebih berharga
daripada
seorang pengemis...?!" kata
lelaki
brewokan itu, mengejek.
Yang diejek cuma melirik mata
tanpa
perubahan air muka.
"Pengemis hina, jangan
mengotori
tempat ini...!"
Braakk...!
Mendadak lelaki berewokan itu
menggebrak meja. Seketika cangkir
yang
berada di hadapannya meluncur
deras ke
arah pengemis yang baru datang
itu.
Sejengkal sebelum cangkir
menyentuh
tubuh pengemis itu, tiba-tiba
gadis
berbaju hitam yang lebih tua mengibaskan
tangan kanannya. Seketika, cangkir
itu
berhenti di udara, kemudian jatuh
ke
lantai dan pecah berkeping-keping!
Lelaki berewokan itu terkejut.
Matanya memandang tajam pada kedua
wanita
yang duduk tak jauh darinya.
"Kenapa kau melindungi pengemis
jelek itu, Anak Manis?! Hm.... Aku
Wilkampana. He... he... he....
Tidakkah
kau lihat diriku lebih pantas
untuk duduk
bersamamu?!" kata lelaki
brewok bernama
Wilkampana dengan nada sombong.
Siapakah dua wanita cantik yang
baru saja memperlihatkan ilmu
kepandaiannya itu? Melihat raut
wajah,
jelas mereka adalah Anjarweni dan
Ingkanputri.
Waktu yang berjalan lima tahun,
membawa langkah kaki mereka ke
kedai di
Kota Kadipaten Bumiraksa. Apa
sesungguhnya yang telah terjadi
ketika
Anjarweni mendapat perlakuan
biadab dari
Brajadenta, si Dewa Maut di Lembah
Sungai
Balirang?
Setelah berhasil membunuh empat
orang murid Perguruan Harimau
Terbang,
kemudian merenggut kesucian
Anjarweni,
Brajadenta meninggalkan gadis itu
dalam
keadaan sangat mengenaskan.
Ketika pagi telah tiba, Arumsari
yang lebih dikenal sebagai Dewi Tangan
Api menemukan Anjarweni sedang
menangis,
meratapi nasibnya.
Setelah memberi nasihat dan
petuah,
nenek sakti yang tengah mencari
seorang
murid itu akhirnya bersedia
mendidik
Anjarweni dengan ilmu silat
tingkat
tinggi. Dan, gadis itu pun menyambutnya
dengan gembira. Dia berharap, akan
dapat
membalas kebiadaban Brajadenta, si
Dewa
Maut.
Sore hari menjelang malam, ketika
Dewi Tangan Api mengantarkan
Anjarweni
untuk berpamitan kepada Reksapati.
gurunya, dia melihat Ingkanputri
yang
masih berumur dua belas tahun
tengah
berhadapan dengan Brajadenta yang
kejam.
Melihat keadaan yang tak
menguntungkan,
nenek sakti itu segera memberikan
pertolongan.
Dan sejak saat itu, Anjarweni dan
Ingkanputri menjadi murid Dewi
Tangan
Api. Kedua gadis itu sama-sama
mempunyai
dendam kesumat terhadap
Brajadenta. Maka
selama lima tahun, mereka belajar
ilmu
silat tanpa mengenal lelah!
***
"Hei, Brewok! Cobalah
berkaca! Bulu
yang tumbuh di wajahmu itu tak
lebih
bagus dari bulu kera
kudisan!" ejek
Ingkanputri kepada Wilkampana yang telah
berlaku sombong.
Wilkampana pun menggeram gusar.
Ucapan gadis berumur tujuh betas
tahun
itu benar-benar menyinggung
perasaannya.
"Kucing Busuk! Beraninya kau
menghinaku...!"
"Kera Kudisan! Kau memang
pantas
untuk dihina...!" balas
Ingkanputri lebih
keras.
Wilkampana yang merasa dirinya
seorang jagoan menggerendeng penuh
kemarahan. Seumur hidupnya, belum
pernah
dia dihina orang seperti itu.
Apalagi
dari seorang gadis yang kecil yang
tampak
lemah.
Dengan gerakan perlahan,
Wilkampana
menjentikkan sebutir kacang dalam
genggamannya. Kacang itu pun
meluncur
cepat ke arah Ingkanputri.
Tapi sebelum mencapai sasaran,
Ingkanputri mengebutkan tangannya.
Seketika kacang itu berhenti di
udara,
lalu jatuh ke lantai
Wilkampana kembali menggeram
gusar.
Tiba-tiba telapak tangannya
diputar-
putar, menimbulkan gulungan angin
menderu-deru yang melontarkan
benda-benda
di dekatnya. Akibatnya, semua
pengunjung
kedai berusaha menghindar dari
sambaran
cangkir dan mangkuk yang
beterbangan.
Ketika Wilkampana menggerakkan
telapak tangannya ke depan,
gulungan
angin itu meluncur ke arah
Ingkanputri!
Wuss...!
Tapi, gadis itu hanya tersenyum
kecil. Dengan perlahan telapak
tangannya
dikibaskan. Saat itu juga,
gulungan angin
yang dibuat Wilkampana tiba-tiba
berbalik
arah, dan meluncur ke arah
tuannya!
Lelaki brewokan itu terkejut
setengah mati. Dan, dia segera
beranjak
dari tempat duduknya. Tapi,
terlambat.
Dan....
Braaakkk...!
Tubuh Wilkampana kontan terdorong
menghantam meja. Begitu bangkit
matanya
menatap Ingkanputri dengan sinar
menyala-
nyala.
Tiba-tiba lelaki tua pemilik kedai
berlari mendekati Wilkampana yang
sudah
berdiri penuh kemarahan.
"Sudahlah, Tuan.... Jangan
berke-
lahi di sini...," ujar lelaki
tua itu,
memohon.
"Heh! Tak perlu kau
mencampuri
urusanku, Pak Tua...!" dengus
Wilkampana.
Dengan serta-merta lelaki brewokan
itu
mendorong tubuh pemilik kedai. Dan
orang
yang telah
lanjut usia itu pun jatuh
tersungkur menabrak meja dan
kursi.
"Siapakah kau sebenarnya,
Gadis
Kecil?" tanya Wilkampana
kemudian.
Ingkanputri kembali tersenyum,
lalu
mengerling kepada Anjarweni yang
tampak
tenang-tenang saja.
"Apa perlunya kau menanyakan
itu,
Kera Kudisan!" kata
Ingkanputri mengejek,
"Apakah kau punya anak
laki-laki yang tak
laku kawin? Oh! Aku tak sudi
diambil
menantu...!"
Wajah Wilkampana pun merah
padam.
"Rupanya kau belum pernah
diajar
sopan-santun ayahmu, Gadis Kecil!
Karena
itu, atas nama ayahmu, aku akan
memberi
pelajaran kepadamu...!"
Selesai mengucapkan kalimatnya,
lelaki brewokan itu segera
memasang kuda-
kuda
Sementara melihat keadaan yang tak
menguntungkan, pengemis muda yang
dari
tadi hanya diam di hadapan
Anjarweni
segera beringsut menjauh.
"Lihat serangan...!"
teriak
Wilkampana sambil menerjang
Ingkanputri
tanpa sungkan.
Namun gadis itu hanya memiringkan
tubuhnya, ketika kepalan tangan
Wilkampana hampir mendarat di
wajah. Dan
sebelum lelaki brewokan itu
melanjutkan
serangan, tiba-tiba Ingkanputri
mengi-
baskan telapak tangannya.
Blass...!
"Aaah...!"
Akibatnya sungguh di luar dugaan.
Bulu lebat yang tumbuh di wajah
Wilkampana menjadi terbakar
mengepulkan
asap! Dan lelaki brewokan itu
kontan
menjerit ngeri. Saat itu juga
tubuhnya
yang terlontar bangkit berdiri,
lalu
berkelebat terpontang-panting
pergi dari
kedai ini.
Plok! Plok! Plok...!
Mendadak terdengar suara tepuk
tangan seseorang. Begitu semua
orang
menoleh ke arah suara tepukan,
tampak
seorang pemuda berusia sekitar
tujuh
belas tahun melangkah memasuki
kedai.
"Sungguh menakjubkan
pertunjukan
yang baru saja kulihat. Bapak
dihajar
oleh anak.... Sungguh lucu.
He-he-he...,"
puji pemuda ini.
Pemuda yang baru saja muncul
memang
hanya seorang remaja berpakaian
putih
penuh tambalan. Tapi, kulitnya
bersih.
Wajahnya sangat tampan. Rambutnya
hitam
dibiarkan tergerai di punggung.
Matanya
bening menyorot tajam dengan alis
menjulang laksana sayap burung
rajawali.
Hidungnya mancung. Dengan bibir
berwarna
kemerahan, membuat keadaannya
sedap untuk
dipandang. Tubuhnya tegap berisi
dengan
dada bidang.
Walaupun pakaian pemuda remaja ini
penuh tambalan, tapi tak mampu
menyem-
bunyikan ketampanannya. Sehingga
untuk
sesaat, sifat kewanitaan
Ingkanputri yang
sedang mekar-mekarnya menjadi
tergoda.
Demikian juga halnya Anjarweni.
"Hei?! Kenapa kalian diam
saja dan
berlama-lama menatapku? Apakah ada
yang
aneh dari penampilanku?
Atau...."
Sebelum menuntaskan kata-katanya,
pemuda itu mengibas-ngibaskan
tangannya
ke belakang.
"Kukira aku nggak punya
ekor....
Kok, kalian memandangku seperti
itu...,"
lanjut pemuda ini.
Ucapan konyol itu memaksa
Ingkanputri dan Anjarweni harus
menahan
wajahnya yang bersemu merah dadu.
Tapi,
mereka segera berpura-pura tak
menggubris
tingkah laku remaja konyol itu
Sementara itu, pengemis muda yang
tidak jadi
makan karena ulah Wilkampana
memperhatikan dengan seksama
remaja yang
baru muncul.
Merasa diperhatikan, pemuda yang
baru datang membalas membalas
tatapan.
"Eh! Bukankah kau
Wirogundi...?!"
kata remaja tampan itu sambil
berjalan
mendekati.
Setelah jaraknya dekat, pengemis
muda yang dipanggil Wirogundi itu
membelalakkan mata.
"Kau... kau Suropati?"
kata
Wirogundi, hampir tak percaya.
Yang ditanya tertawa, kemudian
langsung memeluk tubuh Wirogundi.
"Aku memang Suropati,
Wirogundi...." kata remaja
tampan
berpakaian putih penuh tambalan.
Mendengar ucapan Suropati,
Wirogundi melepas pelukannya.
Kemudian
matanya kembali menatap wajah Suropati
dengan lekat
"Kukira kau sudah mati,
Suropati.
Lima tahun yang lalu, kau
kutemukan dalam
keadaan sekarat. Tubuhmu telanjang
berkepala gundul seperti habis
dibakar.
Tapi, sekarang...."
Wirogundi tak melanjutkan bicara-
nya, kemudian balas memeluk tubuh
Suropati. Dan tak lama kemudian,
terdengar suara tawa
terbahak-bahak dari
mulut mereka berdua.
6
Tawa Suropati dan Wirogundi belum
terhenti, ketika di luar terjadi
sedikit
keributan. Ketika mereka melihat
ke luar,
tampak para pengemis dan
gelandangan yang
kebetulan berada di dekat kedai
berlari
ketakutan. Ternyata, belasan
prajurit
Kadipaten Bumiraksa sedang
berjalan
dengan wajah tegang seperti tengah
siap
bertempur.
Sebentar saja, salah seorang yang
berpangkat kepala prajurit
memasuki
kedai. Di belakangnya, tampak
Wilkampana
yang telah membebat sebagian
wajahnya
akibat serangan Ingkanputri.
"Itulah kucing kecil yang
telah
berani mempermainkan aku,
Anggaraksa...!"
kata Wilkampana, menunjuk
Ingkanputri
yang tengah duduk tenang di
tempatnya.
Kepala prajurit yang dipanggil
Anggaraksa memandang sekilas.
Kemudian
matanya menatap wajah Wilkampana
dalam-
dalam. Lelaki tegap berpangkat
punggawa
itu menaikkan alisnya.
"Benar kau yang telah melukai
tamu
kehormatan Gusti Adipati?"
tanya
Anggaraksa, penuh kesungguhan.
"O, jadi kera kudisan yang
sok jago
itu tamu kehormatan Gusti
Adipati....
Tapi, sikapnya sama sekali tak
pantas
untuk diberi hormat..!" sahut
Ingkanputri.
Anggaraksa terkejut, mendengar
ucapan Ingkanputri yang begitu
berani.
Sedang dada Wilkampana pun menjadi
bergolak kembali.
"Setiap tamu di Kadipaten
Bumiraksa
akan selalu mendapat perlindungan,
Gadis
Kecil. Dan karena telah berbuat
semena-
mena, maka kau akan kubawa
menghadap
Gusti Adipati untuk
mempertanggung-
jawabkan perbuatanmu...!"
kata
Anggaraksa, mantap.
"Enak saja kau berkata,
Prajurit!"
dengus Ingkanputri menjadi
beringas.
"Tidakkah kau tahu bahwa yang
memancing
perkara adalah temanmu
itu...?!"
"Aku tidak mau tahu! Yang
pasti,
kau telah melukai tamu Kadipaten
Bumiraksa. Dan berarti, kau telah
melecehkan aturan Gusti
Adipati....!"
Selesai berkata, Anggaraksa
berjalan mendekati Ingkanputri,
diikuti
empat orang prajurit tamtama.
Sedangkan
gadis itu segera mempersiapkan
diri.
"Jangan memaksaku,
Prajurit!" tegas
Ingkanputri.
"Terpaksa aku menggunakan
kekerasan, Gadis Kecil..!"
"Kalau mau menangkap gadis
kecil
itu segera lakukan, Prajurit!
Jangan
banyak cingcong. Lalu cepat
tinggalkan
tempat ini...!" teriak
Suropati sambil
menunjuk kursi kosong. Dia telah
menangkap isyarat kalau sikap
Anggaraksa
sungguh-sungguh.
Semua orang yang mendengar ucapan
Suropati menjadi terkejut. Karena,
mereka
menganggap ucapan remaja tampan
ini
terlalu berani.
Namun, keterkejutan mereka menjadi
bertambah, tatkala melihat Anggaraksa
membopong sebuah kursi dan
membawanya ke
luar kedai diikuti Wilkampana dan
prajurit-prajurit lainnya.
Apa-apaan ini?
"Sebaiknya kau dan temanmu
itu
segera pergi dari tempat
ini...," ujar
Suropati, kepada Ingkanputri dan
Anjarweni.
Kedua gadis itu menatap tajam ke
arah Suropati. Mereka tidak
menyangka
sama sekali bila remaja konyol itu
ternyata mahir ilmu sihir.
Buktinya,
Anggaraksa beserta rombongannya
seketika
terpengaruh oleh perkataan yang
diucapkan
Suropati.
Braaakkk...!
Tiba-tiba dinding depan kedai itu
jebol tertimpa kursi yang
dilontarkan
Anggaraksa.
"Siapa yang telah
mempermainkan
diriku, hah...?!" bentak
kepala prajurit
ini begitu tersadar.
Anggaraksa pun meloncat masuk ke
kedai kembali.
Suropati tertawa.
"He, Prajurit Gemblung! Sudah
kubilang kalau mau menangkap gadis
kecil
itu, segera saja lakukan! Setelah
dapat,
eh, malah dibanting.... Tidakkah
kau
merasa kasihan. Lihat! Kini, gadis
kecil
yang manis itu sedang menangis
kesakitan!
Ayo, segera bimbing dia. Rawat lukanya
baik-baik! Kalau dia belum sembuh
benar,
jangan kemari lagi...!" kata
Suropati
disertai tatapan mata aneh.
Untuk kedua kalinya, Anggaraksa
menjadi linglung. Dengan
serta-merta
dipungutnya kursi yang telah
dilemparkan.
Kepala prajurit itu segera berlalu
dari
tempat itu, bersama anak buahnya.
Wilkampana pun tak menampakkan
batang
hidungnya lagi.
Suropati menatap Ingkanputri dan
Anjarweni.
"Hmmm.... Kalian sungguh
cantik,..," puji Suropati
Pipi Ingkanputri dan Anjarweni
menjadi merah.
"Sayang, kalian tidak bisa
tinggal
berlama-lama di tempat ini....
Segeralah
berkemas-kemas, dan tinggalkan
Kota
Kadipaten Bumiraksa sebelum
orang-orang
itu kembali ke sini dengan membawa
lebih
banyak lagi prajurit..."
"Kami tidak takut!"
bentak
Anjarweni tiba-tiba.
"Jangan berlaku bodoh,
Saudari.
Urusan sepele itu bisa menjadi
lebih
gawat. Apakah kalian berdua ingin
selalu
dikejar-kejar prajurit Kadipaten
Bumiraksa selama hidup...?!"
tukas
Suropati.
Merasakan kebenaran ucapan dari
Suropati, Anjarweni segera menarik
lengan
Ingkanputri. Dan mereka segera
berkelebat
menghilang dari tempat itu.
"Bocah Gendheng! Kenapa kau
menyuruh mereka pergi?! Mereka
sama
sekali belum bayar...!"
Tiba-tiba pemilik kedai mencak-
mencak di hadapan Suropati.
Suropati pun jadi diam terlongong-
longong macam monyet kehilangan
ekornya.
"Aduh, kenapa aku
lupa...?"
Suropati menggaruk kepalanya yang
tidak
gatal. "Biarlah aku yang
bayar...," kata
Wirogundi yang berada di sebelah
Suropati
dengan suara berat
Segera pemilik kedai itu
menyebutkan jumlah uang yang harus
dibayarkan. Dia kembali
mencak-mencak
ketika menerima sejumlah uang dari
Wirogundi.
"Ini belum cukup...! Ini
belum
cukup...! Tidakkah kau lihat
dinding
kedaiku yang telah jebol akibat
ulah
prajurit itu...?!" bentak
lelaki tua ini.
Suropati mendengus.
"Kalau mau minta ganti rugi,
datang
saja ke kadipaten! Kami tidak
punya
uang...!"
Setelah mengucapkan kalimat itu,
Suropati segera menggandeng lengan
Wirogundi untuk diajak pergi.
Melihat kepergian mereka berdua,
pemilik kedai hanya bisa
menggerutu
panjang-pendek.
***
Di sepanjang perjalanan, Suropati
dan Wirogundi tiada henti
bercakap-cakap.
Wirogundi yang baru saja melihat
kehebatan Suropati segera mengajak
teman-
temannya untuk menyambut
kedatangan
remaja tampan yang telah
menghilang
selama lima tahun itu.
Dan Suropati pun diarak menuju ke
sebuah kuil Saloka di pinggir kota
kadipaten. Tak bosan-bosannya
Wirogundi
bercerita kepada teman-temannya
tentang
kehebatan Suropati yang telah
berhasil
mengusir kepala prajurit kadipaten
bersama bawahannya hanya dengan
perkataannya.
Para pengemis dan gelandangan yang
rata-rata tidak mengerti ilmu
kanuragan
itu pun menjadi terkagum-kagum.
Sehingga
mereka menaruh rasa hormat kepada
remaja
tampan tapi konyol itu.
Maka, tak heran apabila Suropati
kemudian dijamu seperti layaknya
seorang
raja. Remaja konyol itu pun
menyambutnya
dengan penuh kegembiraan. Hingga
dua hari
penuh dia tak melakukan pekerjaan
apa pun
kecuali makan dan tidur.
***
Pagi ini terlihat cerah. Sinar
mentari mengusap lembut. Dedaunan
meliuk,
bergerak gemulai. Burung-burung
pun
tersenyum, berkicau riang hinggap
di atas
dahan.
Empat laki-laki bertampang bengis
tampak berjalan dengan langkah
tegap
menuju kuil Saloka tempat para
pengemis
dan gelandangan Kota Kadipaten
Bumiraksa
bertempat tinggal.
Warna pakaian mereka sama merah
dengan ikat kepala hitam. Mereka
semua
bercambang bauk lebat, dan tampak
sangat
beringas. Badan mereka yang tinggi
besar
dihiasi urat-urat menonjol, menandakan
keperkasaan.
"Heh, orang-orang jelek yang
tak
tahu diatur! Kenapa masih saja
suka
bermalas-malasan?! Empat Begundal
Sakti
telah datang untuk menagih upeti...!"
kata salah seorang dari mereka
sambil
memukul daun pintu kuil yang
terbuat dari
kayu lapuk.
Braaakkk...!
Pintu itu kontan terbuka dengan
paksa. Seketika para pengemis dan
gelandangan yang masih tertidur
melonjak.
Begitu mengenali siapa yang hadir,
mereka
menjadi ketakutan.
Mereka tahu, empat lelaki bernama
Gitapati, Sarmapati, Bureksa, dan
Tambuksa yang tergabung dalam
Empat
Begundal Sakti adalah orang-orang
kejam
yang mau enaknya sendiri. Mereka
memeras
para pengemis dan gelandangan
dengan
menarik upeti.
"Heh?! Masih juga belum
keluar...?!
Apakah kalian perlu kutendang satu
persatu...?!" bentak Gitapati
yang
menjadi pemimpin dari Empat
Begundal
Sakti.
Tiba-tiba para pengemis dan
gelandangan berserabutan ke luar
menuju
halaman kuil. Mereka segera duduk
bersimpuh di tanah dengan kepala
tertunduk. Jumlah mereka yang
hampir
seratus orang, sama sekali tak
mempunyai
keberanian untuk menatap wajah
Empat
Begundal Sakti. Sinar mata mereka
kuyu,
seperti ayam sedang menunggu
giliran
untuk disembelih.
Melihat para pengemis dan
gelandangan sudah berkumpul semua,
Gitapati menggedrukkan kakinya
Brukk...!
Bumi pun bergetar, membuat nyali
orang-orang yang berada di
hadapannya
makin ciut.
"Dua hari kalian tidak
membayar
upeti. Kenapa...?!" bentak
Gitapati.
Pertanyaan Pemimpin Empat Begundal
Sakti itu tak mendapat jawaban.
Dengan
penuh kemarahan, Gitapati segera
menggedrukkan kakinya kembali.
"Ayo,
jawab pertanyaanku...!"
Tiba-tiba Wirogundi yang duduk di
tengah-tengah para pengemis dan
gelandangan bangkit, segera
mendekati
Gitapati.
"Kami merasa keberatan atas
upeti
yang harus kami bayar," jelas
Wirogundi
sambil menyembunyikan rasa takut
Gitapati mendelik. Matanya
bersinar
nyalang. "Rupanya kau sudah
bosan hidup,
Gembel Busuk!"
Pemimpin Empat Begundal Sakti itu
seketika mengayunkan telapak
tangannya.
Dan....
"Plaaakkk...!"
Wirogundi terpelanting jatuh ke
tanah sejauh beberapa tombak. Pipi
kanannya merah, bergambar lima
jari.
"Apakah perkataanku salah,
Perampok
Hina!" kata Wirogundi
keras-keras, seraya
menatap Gitapati penuh kebencian.
"Kami
mencari makan bukan di tanah nenek
moyangmu! Kenapa kami harus tiap
hari
bayar upeti...!"
Melihat keberanian Wirogundi, bola
mata Gitapati melotot hampir
keluar dari
rongganya.
Siiing...!
Tiba-tiba Gitapati mencabut golok
yang terselip di pinggangnya.
"Kau memang layak untuk
disembelih,
Gembel Busuk!" desis Gitapati
seraya
melangkah mendekati Wirogundi.
Sebelum terjadi sesuatu atas
pengemis muda itu, tahu-tahu
seorang
remaja yang juga berpakaian penuh
tambalan berjalan mendekati
Gitapati.
"Tak balk marah-marah begitu,
Orang
Tua...," kata remaja itu,
tenang.
Gitapati pun berpaling.
"Apakah kau juga ingin mati,
Bocah
Gendeng?!" bentak Gitapati.
Remaja yang tak lain Suropati itu
hanya tersenyum mendengar bentakan
Gitapati.
"Sudah kubilang, tak baik
marah-
marah begitu, Orang Tua...,"
ujar
Suropati. "Coba berkaca.
Kalau sedang
marah, wajahmu yang jelek itu
semakin
bertambah jelek....!"
"Bocah Gemblung tak tahu
diuntung!
Kucincang tubuhmu seperti dendeng
ragi...!" desis Gitapati.
Sembari berkata demikian, Gitapati
membabatkan goloknya ke leher
Suropati.
Pada saat yang sama, tiba-tiba
Suropati menguap panjang.
"Oaaahhh...!"
Bruuukkk...!
Tubuh Suropati jatuh ke tanah
dengan mata terpejam. Tapi,
Gitapati
menjadi terkejut, melihat sambaran
goloknya tak mengenai sasaran.
Pimpinan Empat Begundal Sakti itu
menggerendeng gusar, melihat
remaja yang
tampak bodoh ini tiba-tiba telah
tertidur
pulas di hadapannya. Matanya
terpejam
erat, seperti terserang kantuk
hebat.
Tak mau membuang waktu, Gitapati
segera menusukkan ujung goloknya
ke dada
Suropati.
Semua yang melihat peristiwa ini
segera menahan napas dan bergidik
ngeri.
Sementara, Suropati tak bergerak
sedikit pun. Maka, tak ayal lagi
ujung
golok Gitapati segera meluncur
deras
tanpa terbendung lagi!
"Aaiihh...!"
Jeritan ngeri dari anak-anak dan
perempuan segera terdengar.
"Oaaahhh...!"
Tiba-tiba Suropati menguap lagi.
Tubuhnya dimiringkan tanpa membuka
mata. Maka, ujung golok yang
hampir
menyentuh dadanya menancap di
tanah.
Gitapati menjadi terkejut setengah
mati menyaksikan ulah Suropati
yang
tampak aneh. Maka dengan seketika
dibabatnya perut remaja yang
sedang tidur
itu.
"Oaaahhh...!"
Untuk ketiga kalinya Suropati
menguap.
Tubuhnya digeser ke samping tanpa
sedikit pun membuka matanya yang
terpejam. Namun bersamaan dengan
itu, dia
membuat gerakan seperti orang
sedang
menggeliat. Dan....
Buuukkk...!
Tiba-tiba Gitapati menyeringai
kesakitan karena perutnya terkena
tendangan.
"Kunyuk Jelek! Rupanya kau
sedang
mempermainkan aku...!"
dengus Gitapati,
penuh luapan kemarahan.
Wuuuttt...! Wuuuttt...!
Pemimpin Empat Begundal Sakti itu
menebas-nebaskan goloknya ke tubuh
Suropati. Namun, serangan itu
selalu
luput.
Melihat pemimpinnya tampak
kesulitan untuk segera menyudahi
riwayat
remaja konyol itu, tiga anggota
Empat
Begundal Sakti segera menerjang.
Wuuuttt...! Wuuuttt...!
Sambaran golok mereka yang
bertubi-
tubi menghunjam ke tubuh Suropati.
Namun,
remaja konyol itu sama sekali tak
membuka
matanya. Hanya tubuhnya yang
bergerak-
gerak perlahan.
"Jangan ganggu tidurku!
Segera
enyah kalian dari tempat
ini....'" ujar
Suropati sambil mengibaskan
telapak
tangannya.
Wuuussss....!
Seketika bertiup putaran angin
dari
telapak tangan Suropati. Dan Empat
Begundal Sakti yang tak menyadari
keadaan
menjadi terpental mundur beberapa
tindak.
Gerakan Suropati yang tampak main-
main benar-benar membuat Empat
Begundal
Sakti terperangah. Mereka sama
sekali tak
tahu, ilmu apa yang dimiliki
remaja
konyol itu.
Namun, karena terbawa amarah yang
meluap, mereka segera memulai
serangan
kembali.
Suropati yang terbaring di tanah,
sama sekali tak membuka matanya.
Gerakan
tubuhnya yang seperti orang
menggeliat
walau tampak asal-asalan, ternyata
mampu
menepis semua serangan Empat
Begundal
Sakti.
Sebenarnya remaja konyol yang baru
berumur tujuh belas tahun itu
sedang
menerapkan ilmu 'Arhat Tidur' yang
diajarkan gurunya yang bergelar si
Periang Bertangan Lembut. Walau
ilmu itu
belum dikuasai sepenuhnya, tapi
sudah
cukup tangguh untuk menghadapi
Empat
Begundal Sakti. Bahkan ketika
Suropati
bergerak seperti menggeliat...
Buuukkk...! Buuukkk...!
Buuukkk...!
Buuukkk...!
Tiba-tiba Empat Begundal Sakti
merasa sesak, ketika dada mereka
menjadi
sasaran tendangan dan pukulan
Suropati.
Gitapati menyeringai dingin.
Sarmapati, Buraksa, dan Tambuksa
pun
menggeram gusar. Namun sebelum
mereka
berbuat sesuatu, mendadak Suropati
bangkit dari tidur sambil
memicingkan
mata.
"Kalian masih juga belum mau
pergi?! Ku putus kepala kalian,
baru tahu
rasa...!" kata Suropati,
dingin.
Tiba-tiba Suropati berkelebat
cepat. Dan seketika napas Empat
Begundal
Sakti terasa berhenti. Mata mereka
pun
mendelik!
Mereka tak menyadari, apa
sesungguhnya yang telah terjadi.
Ketika
meraba leher, mereka baru tahu
kalau di
leher masing-masing telah terjerat
ikat
kepala mereka sendiri. Tanpa membuang
waktu lagi, mereka pun segera
berlari
ketakutan.
"Eh! Kalian belum mendapat
hadiah
dariku...!" teriak Suropati
sambil
mengibaskan tangannya.
Breeettt..! Breeettt..!
Breeettt..!
Breeettt...!
Mendadak celana yang dikenakan
Empat Begundal Sakti putus
talinya!
Empat lelaki bercambang bauk lebat
itu sudah tak mempedulikan lagi
celananya
yang melorot. Mereka lari
pontang-panting
seperti melihat hantu di siang
bolong.
Para pengemis dan gelandangan yang
tadinya diliputi rasa ketakutan,
kini
tertawa terbahak-bahak menyaksikan
Empat
Begundal Sakti yang melarikan diri
dengan
tubuh hampir telanjang.
Suropati pun tersenyum puas,
kemudian mengibas-ngibaskan
bajunya untuk
menghilangkan debu yang menempel.
Tiba-tiba para pengemis dan
gelandangan yang berada di tempat
itu
melampiaskan kegembiraan dengan
membopong
tubuh Suropati beramai-ramai.
Remaja
konyol itu pun tertawa lepas, merasa
keenakan.
"Suropati pemimpin kami...!
Suropati pemimpin kami...!"
teriak
Wirogundi seperti orang kesurupan.
Tiba-tiba Suropati meloncat, dan
segera berjalan mendekati
Wirogundi.
Kemudian, ditatapnya pemuda
pengemis itu
dengan sinar mata tajam.
"Eh! Ap..., apa aku salah
Suro...?"
kata Wirogundi, gelagapan karena
rasa
takut yang tiba-tiba menderanya.
"Kalau aku jadi pemimpin,
siapa
pendampingku...?!" tanya
Suropati,
setengah membentak.
Mendengar itu, Wirogundi dan
teman-
temannya jadi bengong.
"Apa maksudmu, Suro?"
tanya
Wirogundi kemudian.
"Bodoh! Masa' tidak tahu apa
yang
kumaksud?!"
Usai mengucapkan kalimatnya,
Suropati celingukan. Ditatapnya para
pengemis dan gelandangan yang
berada di
sekitarnya. Tiba-tiba terbersit
sinar
aneh di matanya. Sambil mengulum
senyum,
kakinya melangkah menghampiri
seorang
pengemis wanita yang sedang
berdiri
dengan kepala tertunduk.
"Siapa namamu?" tanya
Suropati.
Yang ditanya mengangkat wajahnya.
Senyum Suropati semakin mengembang.
Tiba-
tiba remaja konyol itu mencolek
dagu
wanita di hadapannya, yang
ternyata
seorang gadis berumur sekitar
tujuh belas
tahun. Wajahnya manis, walau
tampak
kotor.
"Apa-apaan, Kau...?!" bentak gadis
itu.
"Uh! Gitu saja marah?! Kau
manis!
He-he-he...."
Suropati tertawa terkekeh,
kemudian
kembali menowel dagu gadis itu.
Tentu saja gadis itu marah-marah.
Tapi, Suropati malah tertawa
keras. Dan
dia semakin berani menggoda.
Melihat ulah remaja yang
berpakaian
putih penuh tambalan itu, para
pengemis
dan gelandangan teman Wirogundi
saling
berbisik.
"Pengemis Binal...."
"Ya! Dia memang Pengemis
Binal!"
"Sikapnya konyol dan
gila-gilaan.
Tapi, menyenangkan."
"Sangat pantas dijuluki
Pengemis
Binal...." Mendadak Suropati
berjalan
menghampiri sekumpulan pengemis
dan
gelandangan yang sedang
berbisik-bisik
membicarakan dirinya.
"Apa yang kalian
katakan...?!"
bentak remaja konyol itu sambil
menatap
tajam salah seorang pengemis muda
yang
berambut riap-riapan.
"Ah, tidak.... Aku tidak berkata
apa-apa ..."
"Hei? Kau mau mungkir! Aku
tadi
mendengar kamu membicarakan
aku!"
"Ehm... Aku tadi hanya
bilang,
bahwa kau sangat pantas dijuluki
Pengemis
Binal...."
"Apa? Pengemis Binal?"
"I..., eh! Maaf...."
"Pengemis Binal...,"
gumam
Suropati. "Ha-ha-ha...."
Tiba-tiba remaja konyol ini
tertawa
terbahak-bahak sambil
meloncat-loncat
kegirangan.
Dan semua yang berada di tempat
itu
pun segera ikut tertawa.
"Eh! Kalian jangan ikut
tertawa...!" bentak Suropati.
"Bagaimana
kalau empat begundal jelek itu
tadi
kembali memeras kalian ketika aku
tidak
ada...?" Para pengemis dan
gelandangan
itu pun jadi diam. "Bagaimana
kalau aku
mengajari kalian beberapa jurus
ilmu
silat..?" tanya Suropati
lagi.
Ucapan Suropati itu segera
disambut
suara gemuruh tanda setuju.
"Nah! Sekarang cepat ambil
sebatang
kayu,..!"
Dengan serta-merta, Wirogundi dan
teman-temannya berhamburan. Mereka
segera
mematahkan ranting-ranting pohon
untuk
dipergunakan sebagai tongkat.
***
Setelah mengajarkan
gerakan-gerakan
dasar ilmu silat, Suropati segera
memperlihatkan jurus 'Tongkat
Memukul
Anjing'.
Remaja konyol itu bergerak lincah.
Tangannya yang memegang sebuah
ranting
pohon berputar-putar, membentuk
sebuah
perisai. Setelah melompat ke atas,
ranting pohon yang berada dalam
genggamannya diayunkan ke tanah.
Duuummm...!
Tanah tempat sasaran kontan
berlubang beberapa jengkal. Dan
pertunjukan Suropati segera
disambut
sorak-sorai berkepanjangan.
"Ayo, jangan menonton saja!
Cepat
tirukan gerakanku!" teriak
Suropati,
memerintah.
Dan di pagi yang cerah itu, para
pengemis dan gelandangan Kota
Kadipaten
Bumiraksa berlatih ilmu silat
dengan
sungguh-sungguh.
Suropati benar-benar telah menjadi
pemimpin bagi mereka!
7
Ketika seorang bocah merasa sudah
sangat tinggi
Seharusnya malu pada diri sendiri
Karena sesungguhnya belum banyak
yang dimengerti
Alam pun menertawakan perbuatan
yang merugi
Si bocah berlari ketika diuji
Sang guru mengeluh bingung, ke
mana
hendak mencari?
Ketika sudah menemui
Pelajaran apa yang harus diberi?
Tak lain adalah hukuman, untuk
lebih mengerti pada diri sendiri
Sebuah tembang mengalun syahdu.
Getaran suaranya merayap, menuju
halaman
Kuil Seloka di pinggir Kota
Kadipaten
Bumiraksa. Diiringi hembusan angin
dan
ayunan ranting-ranting pohon,
makna
tembang itu menyusup mengelus
sanubari.
Seorang remaja tampan berpakaian
putih penuh tambalan yang tengah
duduk di
bawah pohon tersentak, langsung
menajamkan telinga.
"Guru...," bisik pemuda
itu pada
diri sendiri.
Sebelum pemuda yang tak lain
Suropati itu bangkit berdiri,
sebuah
bayangan berkelebat mendekati.
"Bocah Gendheng tak tahu
diuntung!
Ke mana saja kau selama
ini...?!" maki
bayangan yang baru datang.
"Maafkan Suropati,
Guru...," ucap
Suropati kepada seorang kakek
kurus yang
telah berdiri di hadapannya.
"Kau telah berpaling dari
tanggung
jawabmu, Suro...," gumam
kakek kurus yang
tak lain si Periang Bertangan
Lembut
Suropati menundukkan kepalanya
dalam-dalam.
Tiba-tiba kakek kurus yang juga
berpakaian penuh tambalan itu
tertawa
keras.
"Ha-ha-ha.... Rupanya kau
bisa juga
merasa bersalah, Bocah
Gendheng...!"
Si Periang Bertangan Lembut
menepuk-nepuk bahu muridnya.
"Suro! Aku menyuruhmu bersemadi
selama empat puluh hari empat
puluh
malam. Kau tahu itu, Suro! Di
bawah
bimbinganku, kau sedang berlatih
menyempurnakan ilmu 'Arhat Tidur'!
Kenapa
kau malah lari...?!" omel
kakek kurus
berpakaian tambalan itu
Suropati mendongakkan kepalanya.
Mendadak, kekonyolannya muncul.
"Aku bosan tinggal di gunung.
Sepi!
Tiap hari monyet-monyet
mengejekku.
Bahkan jangkerik suka menggelitik
masuk
ke dalam celanaku.... Siapa yang
tahan,
Kek...?!" kilah remaja tampan
ini, polos.
Bahkan mengubah panggilan kepada
gurunya.
Si Periang Bertangan Lembut
kembali
tertawa.
"Itu tandanya kau tidak tahan
uji,
Bocah Gendheng! Kewajibanmu
sebagai murid
adalah belajar, dan selalu
menuruti
perintah guru! Tapi, kenapa kau
malah
berpaling dari
kewajibanmu...?!" tegur
Periang Bertangan Lembut
Suropati menggaruk-garuk
kepalanya.
"Kau harus segera menjalani
hukumanku,
Suro...!" bentak Periang
Bertangan Lembut
Tiba-tiba Suropati melonjak seraya
tertawa terkekeh-kekeh.
"Aku baru saja diangkat
menjadi
seorang pemimpin! Walaupun hanya
seorang
pemimpin bagi pengemis-pengemis,
mau
kuletakkan di mana wibawaku kalau
kau
menghukumku, Kek...?!" sergah
Suropati.
Si Periang Bertangan Lembut ikut
tertawa terkekeh-kekeh.
"Berbuat baik akan mendapat
ganjaran. Berbuat jahat akan
mendapat
pembalasan. Siapa melakukan
perbuatan
benar, dia akan mendapatkan manfaat.
Sebaliknya, siapa yang melakukan
perbuatan salah, akan mendapat
hukuman,"
kata si Periang Bertangan
Lembut
"Suro! Karena kau telah
melakukan
perbuatan salah, kau pun harus
mendapat
hukuman...!"
Selesai berkata demikian, kakek
kurus itu cepat menggerakkan kedua
tangannya. Langsung dilancarkannya
ilmu
totokan 'Delapan Belas Tapak
Dewa'.
Tuk! Tuk!
Suropati tak sempat berkata-kata
lagi. Walaupun totokan yang
dilancarkan
si Periang Bertangan Lembut hanya
sepertiga bagian, namun seluruh
kekuatannya menjadi hilang.
Karena keterkejutannya, remaja
tampan itu meloncat
Bruuukkk...!
Tubuh Suropati jatuh ke tanah,
seperti sudah kehilangan semua
keseimbangannya.
"Apa yang telah kau lakukan,
Kek...?" tanya Suropati
gusar.
"Aku telah menotok enam pusat
aliran darahmu. Bagaimana rasanya
Suro...?" kakek kurus itu
malah balik
bertanya.
Suropati bangkit. Segera kedua
tangan dan kakinya
digerak-gerakkan. Dan,
dia pun terkejut setengah mati....
"Kau telah memusnahkan ilmu
silatku, Kek...?" tanya
Suropati, tak
percaya.
Si Periang Bertangan Lembut
tertawa
terbahak-bahak.
"Itu hukuman untukmu,
Suro...,"
kata kakek itu, enteng.
Melihat Suropati yang bengong,
Periang Bertangan Lembut itu
memperkeras
tawanya.
"Ha-ha-ha.... Katanya kau
telah
menjadi pemimpin pengemis,
Suro...?! Nah!
Untuk menjadi seorang pemimpin
yang
bijaksana, kau harus dapat
merasakan
penderitaan kawulamu," ujar
si Periang
Bertangan Lembut sambil menatap
Suropati
dalam-dalam. "Untuk menyambung nyawamu,
kau harus mengemis! Tak seorang
pun dari
teman-temanmu yang boleh
membantumu. Jika
mereka membantumu, tahu sendiri
akibatnya. Dan kau harus makan
dari hasil
keringatmu sendiri...!"
Mata Suropati mendelik.
"Kau kejam,
Kek...!"
"Itu hukuman yang setimpal
untukmu,
Suro...."
"Tapi, Kek! Kau harus tahu
kalau
para pengemis dan gelandangan di
Kota
Kadipaten Bumireksa ini selalu
ditindas
orang yang merasa dirinya
berkuasa...?
Aku baru saja melakukan tanggung
jawabku
untuk melatih mereka beberapa
jurus ilmu
silat, sebagai perisai untuk
menghadapi
tindakan sewenang-wenang. Dan, kau
telah
menghalangiku untuk melakukan
kewajibanku
itu, Kek...," kata Suropati mencoba
berkilah.
"Ck... ck... ck.... Pintar
berkhotbah juga kau rupanya, Bocah
Gendheng! Kau tak perlu khawatir.
Akulah
yang akan melaksanakan
kewajibanmu...."
Mendengar ucapan gurunya, Suropati
mengambil napas panjang, dan
menghembuskannya dengan deras.
***
Emoticon