Seri Pengemis Binal
Episode :
Kitab Sukma Gelap
KITAB SUKMA GELAP
Serial Pengemis Binal
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cover oleh Henky
Penyunting: Tuti S.
Hak cipta pada Penerbit
Serial Pengemis Binal dalam
episode: Kitab Sukma Gelap
128 hal.
Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert & Editor : Dewi KZ
Ebook oleh : Dewi KZ
1
Bau anyir terasa menusuk hidung.
Sejauh mata
memandang di tempat itu yang
terlihat hanya tonjolan batu-
batu runcing. Dinding cadas
retak-retak. Di sela-sela retakan
penuh ditumbuhi jamur beracun.
Beberapa pohon yang ada
tinggal berupa batang dan ranting
yang hampir tiada berdaun.
Di sana-sini tulang-belulang
berserakan, baik tulang hewan
maupun manusia. Yang paling banyak
adalah tempurung
kepala manusia. Oleh sebab itulah,
lembah tandus ini
dinamakan Lembah Tengkorak.
Ketika terik mentari menyengat,
jamur-jamur beracun
mengeluarkan asap tipis kehitaman.
Siapa pun yang masuk ke
Lembah Tengkorak pada siang hari,
jangan harap dapat keluar
dengan selamat. Udara beracun di
sekitar situ sanggup
menghentikan detak jantung begitu
terhirup masuk ke dalam
paru-paru.
Tapi anehnya, seorang wanita
cantik tampak berjalan
dengan tenang menyibak siraman
cahaya baskara yang panas.
Pakaian wanita itu serba hitam.
Mengenakan kerudung yang
juga berwarna hitam, Lengan baju
sebelah kanan melambai-
lambai tertiup angin"
Agaknya, lengan wanita itu buntung.
Dia adalah Sekar Mayang. Wanita
cantik itu mengalami
kekecewaan berat karena usahanya
untuk menggulingkan
tahta kerajaan menemui kegagalan.
Perkumpulan Bidadari
Lentera Merah yang dipimpinnya pun
hancur. Karena rasa
kecewa dan dendam Sekar Mayang
melepas pakaian
merahnya. Menurutnya, itu hanya
akan mengingatkan pada
peristiwa pahit tersebut. Setelah
menggantinya dengan
pakaian serba hitam Sekar Mayang
berkeinginan untuk
menerapkan ilmu barunya. Ilmu
hitam dalam Kitab Sukma
Gelap warisan Dewa Sesat.
Wanita buntung itu melangkah
dengan pasti. Di sebuah
tebing yang bagian atasnya
menjorok keluar, dia berhenti lalu
duduk bersila. Sekar Mayang
memejamkan mata. Bibirnya
komat-kamit merapal mantera sesaat
Kemudian, tubuhnya
tampak bergetar diiringi ucapan
lirih dari mulutnya.
"Setan menguasai jagat geiap,
jagat hitam yang dipenuhi
nafsu angkara, nafsu sesat yang
menghimpun kekuatan
marah dan dendam. Roh-roh bangkit
dan menyatu dalam
penghancuran. Mayapada
porak-poranda. Manusia berhati
iblis, berjiwa pera-yangan,
menghimpun kekuatan setan.
Dengan kuasa alam semesta yang
berpendar bersama
kegelapan, setan tertawa dalam
kemenangaa Hadirkan Iblis
Darah dan Setan Racun! Dengan
kuasa jagad gelap, mereka
akan menyatu dalam kekuatan hitam
yang maha dahsyat..."
Sekar Mayang membentangkan
tangannya ke atas.
Kemudian, digerak-gerakkan di
depan dada.
Slashhh...!
Dua kepulan asap muncul di hadapan
wanita buntung itu.
Dia membuka matanya dan
mempercepat gerakan tangan.
Dua kepulan asap pun bergulung
semakin tebal. Sampai
akhirnya..., tiba-tiba asap itu
lenyap. Digantikan dengan
hadirnya dua sosok manusia
berwujud mengerikan.
Mereka sama-sama berkulit sangat
hitam dan hanya
mengenakan cawat. Yang seorang
memakai penutup dada,
pertanda dia adalah wanita. Wajah
mereka sangat kasar,
ditumbuhi bisul yang menyebar
rata. Mata memerah dan
terbeliak besar. Hidung terjuntai
ke depan serta bengkok ke
bawah. Dari bibir yang tebal hitam
menyembul dua taring
runcing. Taring si lelaki selalu
meneteskan cairan kental
berwarna merah. Dia adalah Iblis
Darah. Sedangkan yang
wanita kepalanya bertanduk,
mencuat dari sela-sela
rambutnya yang gimbal. Dia adalah
Setan Racun.
Ketika menatap Sekar Mayang yang
sedang duduk
bersimpuh di hadapan mereka, Iblis
Darah dan Setan Racun
mendengus.
"Kau siapa?!" tanya
Iblis Darah. Suara yang keluar dari
mulutnya sekeras ledakan
halilintar.
Sekar Mayang merasakan gendang
telinganya bergetar
keras. Tubuhnya bergoyang seperti
hendak terlontar. Namun,
dengan pengerahan tenaga dalam dia
pun dapat
menyunggingkan senyum.
"Aku Sekar Mayang. Mulai saat
ini, aku adalah tuanmu."
"Ha-ha-ha...!"
Tawa keras membahana. Lembah
Tengkorak bergetar.
Tiba-tiba Iblis Darah melancarkan
serangan. Tendangan
kakinya meluncur cepat Sekar
Mayang memapaki dengan
telapak tangannya. Iblis Darah
melenting ke udara dan
bersalto beberapa kali, sebelum
mengirimkan tendangan
beruntun ke arah Sekar Mayang!
Wanita buntung itu mengangkat
tangan tunggalnya. Suatu
kekuatan kasat mata menghentikan
gerakan Iblis Darah.
Tubuh manusia yang baru
dibangkitkan dari alam kubur itu
melayang di udara dalam keadaan
telentang.
"Sudah kubilang, mulai saat
ini kau harus ber-tekuk-lutut di
hadapanku. Kenapa berbuat yang
macam-macam?!" sentak
Sekar Mayang keras telapak
tangannya didorong ke depan
sambil mengeluarkan gertakan
pendek.
Blaaarrr...!
Tubuh Iblis Darah terlontar dengan
kecepatan kilat, lalu
membentur dinding cadas hingga
menimbulkan ledakan
dahsyat!
Permukaan tanah guncang. Debu
mengepul tebal Batu-
batu pun berhamburan. Bersamaan
dengan itu, tubuh Iblis
Darah Lenyap meninggalkan asap
bergulung-gulung.
Sekar Mayang menggerak-gerakkan
telapak tangannya.
Dan.... Tubuh Iblis Darah muncul
kembali dalam keadaan
berlutut
"Ha-ha-ha...!"
Sekar Mayang tertawa
terbahak-bahak. Tapi, tawa itu
berhenti dengan mendadak lalu
menatap Setan Racun.
"Kenapa kau tak segera
berlutut di hadapanku?!"
Setan Racun menggeram. Mulutnya di
buka lebar-lebar
memperlihatkan taringnya yang
runcing bagal habis diasah.
"Swooosss...!
Mulut manusia yang juga baru
dibangkitkan dari alam
kubur itu menyemburkan uap yang
mengandung racun ganas!
Namun Sekar Mayang hanya
mengeluarkan dengusan, uap
beracun itu pun buyar. Setan Racun
memutar tubuhnya dan
amblas ke dalam tanah. Lalu,
diiringi suara gemeretakan bumi
bergoncang hebat. Tubuh Sekar
Mayang bergeser dari
kedudukannya.
Wanita buntung itu segera
memukulkan lututnya ke tanah.
Guncangan itu pun berhenti. Tubuh
Setan Racun menyembul
dan terlontar ke udara bagai
lesatan anak panah lepas dari
busurnya.
Sekar Mayang menatap tajam. Lalu,
dari kedua matanya
meluncur sinar kehitam-hitaman!
Blaaarrr...!
Tubuh Setan Racun lenyap
meninggalkan asap bergulung-
gulung. Sekar Mayang
menggerak-gerakkan telapak
tangannya. Sesaat kemudian, tubuh
Setan Racun muncul
kembali dalam keadaan berlutut di
samping Iblis Darah.
Tawa Sekar Mayang membahana
berkepanjangan.
"Kalian berdua adalah simbol
dari kekuatan hitam.
Kekuatan yang akan menjadi raja
dari segala kekuatan. Dari
nafsu jahat dan keangkaramurkaan
yang tertanam dalam
diriku, kekuatan hitam akan
terhimpun. Dan, kalian berdua
adalah abdi yang akan selalu
menuruti perintahku!"
Mata Sekar Mayang bersinar tajam.
Kemudian, tangan
tunggalnya dihentakkan ke depan.
Di sekitar tubuh Iblis Darah
dan Setan Racun mengepul asap
hitam yang tersembur dari
dalam tanah.
"Dengan izin setan yang
menguasai jagat gelap, kalian
berdua bisa memanggilku dengan
sebutan 'Penghimpun
Angkara'!"
"Baik, Penghimpun
Angkara...," kata Iblis Darah. "Karena
kau yang telah membangkitkan kami
dari alam kubur, maka
sudah sepantasnya bila kami
mengabdi kepadamu. Kami pun
akan memakai sebutan 'Sepasang
Abdi Penghimpun
Angkara'...."
Setan Racun mengangguk-anggukkan
kepalanya. Sekar
Mayang tersenyum puas.
Tiba-tiba, terdengar suara tawa
tergelak. Kening Sekar
Mayang langsung berkerut
"Dewa Sesat..!" gumam wanita itu.
Sebuah bayangan berkelebat dan
berdiri tepat di tengah-
tengah batu cadas yang menjulang
tinggi. Tampaklah seorang
lelaki yang tubuhnya dipenuhi bulu
lebat. Wajahnya hampir
tak bisa dikenali karena bulu-bulu
yang tumbuh subur di
tempat itu.
Dia tidak mengenakan pakaian,
hanya bercawat hitam.
Berdiri terbongkok-bongkok menatap
Sekar Mayang.
"Rupanya kau telah
membangkitkan Iblis Darah dan Setan
Racun, Mayang...," kata
lelaki berbulu lebat yang berjuluk
Dewa Sesat itu.
Sekar Mayang hanya diam, tak
memberikan tanggapan
apa-apa.
"Kau memang pintar, Mayang.
Dua makhluk Itu pernah
berjaya pada masanya. Mendengar
sepak-terjangnya saja,
orang-orang akan berlari
ketakutan. Bila kini dua makhluk itu
telah mengabdi kepadamu, berarti
kau telah sempurna
mewarisi ilmu 'Leluhur Sesat'
Dengan begitu, kau bisa
dianggap sebagai keturunan
kedelapan...."
"Yang ketujuh siapa?” tanya
Sekar Mayang dengan suara
berat.
Dewa Sesat tertawa menanggapi
pertanyaan itu. Mata
Sekar Mayang menyipit
"Kaukah keturunan ketujuh
itu?"
"Ya!"
"Aku tidak ingin menjadi
keturunan kedelapan. Angka
delapan bagiku tidak mengandung
arti apa-apa. Aku inginkan
yang nomor tujuh!" sentak
Sekar mayang tiba-tiba.
"Apa maksudmu?" tanya
Dewa Sesat penuh selidik.
"Kau harus keluar dari garis
keturunan Leluhur Sesat!"
"Bangsat!" umpat Dewa
Sesat "Akulah yang mewariskan
Kitab Sukma Gelap kepadamu. Kenapa
kau berani berucap
seperti itu kepadaku?!"
"Semakin berani orang berbuat
jahat dan memuja nafsu
angkara, semakin kuatlah ilmu
'Leluhur Sesaf yang ada dalam
diri orang itu. Tentu kau sudah
tahu hal itu, Dewa Sesat! Nah,
untuk itulah sekarang aku akan
membunuhmu!"
Mendengar ucapan Sekar Mayang,
Dewa Sesat terkejut
setengah mati. Tapi, dia segera
menutupi keterkejutannya
dengan mengeluarkan tawa.
"Aku menyadarinya,
Mayang...," ujar Dewa Sesat kemudian
dengan suara mirip rintihan orang
sakit. "Kaum hitam
memang tidak mengenal ukuran yang
memilah-milah harkat
dan martabat. Antara guru dan
murid, orang tua dan anak,
hanya merupakan sebutan sementara.
Untuk memuaskan
nafsu setan, guru harus diinjak,
orang tua mesti ditendang.
Tapi itu bisa dilakukan apabila ia
mempunyai kemampuan Bila
tidak, namanya bunuh
diri...."
Sekar Mayang tertawa
terbahak-bahak.
"Kau meremehkan kemampuanku,
Dewa Sesat!" kata
wanita buntung itu. Sinar matanya
tampak berapi-api. "Iblis
Darah dan kau Setan Racun, bunuh
Monyet Busuk itu!"
Dengan serta-merta, Sepasang Abdi
Penghimpun Angkara
menerjang Dewa Sesat Lelaki
berbulu lebat itu
menghemposkan tubuhnya, mendahului
menerjang Sekar
Mayang!
Splash...!
Penghimpun Angkara julukan baru
Sekar Mayang,
mengibaskan telapak tangan
tunggalnya. Tubuh Dewa Sesat
terdorong kesamping. Namun,
secepat kilat dia melenting ke
udara dan meluncur dengan
tendangan ke arah dada Sekar
Mayang.
Kibasan tangan tunggal Penghimpun
Angkara kembali
sanggup menghempaskan tubuh Dewa
Sesat. Sebelum
mendarat di tanah, lelaki berbulu
lebat itu telah digempur oleh
Iblis Darah dan Setan Racun
Mereka benar-benar menunjukkan
keganasannya. Iblis
Darah membuka mulutnya lebar-lebar
bagai hendak
mencaplok tubuh Dewa Sesat.
Sedangkan mulut Setan Racun
selalu menyemburkan uap beracun!
Tapi, Dewa Sesat bukanlah lawan
yang enteng. Tokoh tua
itu telah puluhan tahun
malang-melintang di rimba persilatan,
sebagai tokoh golongan hitam yang
selalu ditakuti kawan
maupun lawan. Uap beracun yang
menyembur dari mulut
Setan Racun sama sekali tak
berarti baginya.
Bahkan, pada suatu ketika tubuh
Dewa Sesat di selubungi
asap hitam. Lalu tubuh lelaki
berbulu lebat itu lenyap, berganti
dengan asap hitam bergulung-gulung
yang selalu mengejar
Iblis Darah dan Setan Racun.
Sepasang Abdi Penghimpun Angkara
itu jadi kerepotan.
Mereka memukul dan menendang tak
karuan. Namun
perlawanan mereka sia-sia. Iblis
Darah dan Setan Racun
bahkan jatuh bergulingan di tanah,
terkena gempuran asap
hitam yang tiba-tiba mengirimkan
tendangan beruntun.
Sepasang Abdi Penghimpun Angkara
kemudian melompat
jauh. Mereka sama-sama menggeram
keras. Perlahan sekali
terjadi keanehan di hadapan Dewa
Sesat. Tubuh Iblis Darah
lumer dan mencair, membentuk
cairan kental berwarna merah
yang membasahi tanah. Tubuh Setan
Racun sendiri menjadi
cairan kental berwarna hijau
gelap.
Dua cairan berbeda warna itu
kemudian melayang,
menyiram asap hitam yang masih
bergulung-gulung di udara!
"Arghhh...!"
Jerit kesakitan membahana. Tubuh
Dewa Sesat muncul
dalam keadaan yang mengerikan.
Bulu Lebat di tubuh tokoh
golongan hitam itu musnah
terbakar. Kulitnya pun
mengelupas, memperlihatkan daging
berwarna putih
kemerahan. Wajah Dewa Sesat sudah
tak karuan lagi
wujudnya. Mirip gumpalan daging
busuk yang telah dimakan
ulat!
"Ke... parat..!" umpat
Dewa Sesat, menyerupai rintihan
orang yang hampir dijemput ajal.
Tanpa mempedulikan keadaan dirinya
yang terluka parah,
dia menerjang Iblis Darah dan
Setan Racun dengan membabi-
buta. Tapi, Sepasang Abdi
Penghimpun Angkara dengan
mudah dapat menghindari setiap
serangannya. Bahkan,
menjadikan Dewa Sesat sebagai
bulan-bulanan.
Sekar Mayang yang menyaksikan
adegan itu mengeluarkan
tawa keras. Ketika dada Dewa Sesat
berhasil digedor oleh Iblis
Darah, tawa Sekar Mayang semakin
membahana ke Seantero
Lembah Tengkorak.
Blaaarrr...!
Dengan diiringi ledakan dahsyat,
dada dan punggung Dewa
Sesat berhasil digedor Sepasang
Abdi Penghimpun Angkara.
Akibatnya, tubuh Dewa Sesat
terbanting ditanah tanpa nyawa.
Sekar Mayan tertawa
tergelak-gelak.
"Kalian berdua benar-benar
Sepasang Abdi Penghimpun
Angkara yang akan segera
menggegerkan rimba persilatan!"
Usai mengucapkan kalimatnya,
wanita buntung itu
menggerak-gerakkan tangan
tunggalnya. Tubuh Iblis Darah
dan Setan Racun pun tertarik
mendekati, lalu berlutut di
hadapan Sekar Mayang.
***
2
Malam begitu pekat. Suara burung
hantu, kerik jengkerik,
dan hewan lainnya terdengar tak
berirama. Hanya kodok
mengorek yang terdengar berirama.
Di dalam sebuah ruangan cukup luas
yang diterangi cahaya
damar Gede Penjalu duduk
berdampingan dengan Suropati.
Kemudian dalam kedudukan melingkar
tampak Wirogundi,
Anjarweni, Carang Gati, dan
Katabang.
"Tugas yang diembankan
Baginda Prabu kepada kita
merupakan kebanggaan, tapi
sekaligus juga beban...," kata
Gede Panjalu. "Dikatakan
sebagai kebanggaan, karena dengan
pemberian tugas ini Baginda Prabu
percaya kalau kita
mempunyai kemampuan. Sedangkan
dikatakan sebagai beban
karena tugas yang harus kita emban
tidaklah mudah."
"Benar, Kek...," sambut
Wirogundi. "Rimba persilatan
sangat luas. Tidak dibatasi oleh
gunung, jurang, atau pun
lautan. Untuk mencari seseorang
akan banyak memakan
waktu. Apalagi orang yang kita
cari sedang diliputi rasa
dendam. Dia tentu akan
mengasingkan diri untuk
memperdalam ilmu guna membalaskan
dendamnya itu."
Gede Panjalu menganggukkan kepala.
Carang Gati segera
unjuk bicara.
"Kalau begjtu, kita tidak
usah mencarinya. Suatu saat dia
pasti akan muncul kembal"
"Masalahnya bukan cuma
itu," Anjarweni menyela. "Adik
seperguruanku, Ingkanputri, berada
dalam pengaruh kekuatan
sihir pemberontak itu."
Carang Gari terdiam.
"Dia tidak tahu apa-apa, tapi
harus menanggung
akibatnya," lanjut Anjarweni.
"Kalau terjadi sesuatu yang
diinginkan, aku tidak bisa tinggal
diam. Sampai ke kolong
langit pun wanita iblis itu akan
kucari!"
"Tenanglah, Weni...,"
ujar Gede Panjalu yang sudah
mengetahui hubungan murid Dewi
Tangan Api itu dengan
Wirogundi. "Kita tidak boleh
keburu nafsu. Kita harus berpi...,"
Kakek bongkok itu tidak
melanjutkan kalimatnya.
Mendadak saja muncul seekor ular
sendok di hadapan
mereka yang tengah duduk
melingkar. Terdengar jerit
keterkejutan. Anjarweni yang
merasa jijik dan ngeri langsung
melompat jauh.
"Tenang, tidak usah
panik...," kata Gede Panjalu seraya
menatap tajam ular berbisa yang
sudah mengembangkan
lehernya Itu, siap untuk
menyerang.
"Ular jadi-jadiankah itu,
Kek?" tanya Suropati.
"Tidak. Ular ini sungguhan.
Dia dikirim seseorang dari jarak
jauh."
Ular yang tampak ganas itu
tiba-tiba mencelat menyerang
Suropati!
"Eit...!"
Pengemis Binal berkelit. Ketika
ular yang menyerangnya
masih melayang di udara, tangan
remaja konyol itu bergerak
untuk menyampok
"Jangan...!" teriak Gede
Panjalu.
Suropati pun menguningkan niatnya.
Tubuh ular jatuh di
lantai tanah. Dengan separo badan
tegak ke atas, lidahnya
terjulur, matanya yang berkilat
menatap tajam pada Suropati.
Wooosss...!
Ular itu menyemburkan cairan
bisanya. Pengemis Binal
mengibaskan telapak tangan untuk
menepis bisa itu.
Gede Panjalu melangkah mundur
beberapa tindak. Dalam
keadaan berdiri, kakek bongkok itu
menyilangkan tangannya
di dada dan memejamkan mata.
Suatu keanehan terjadi. Ular
sendok yang ganas mendadak
tubuhnya jadi kaku. Diam tak
bergerak-gerak lagi. Semua
orang di ruangan itu menatap
dengan kening berkerut.
Sementara rubuh Gede Panjalu
bergetar. Dari kepalanya
mengepul asap tipis.
"Dia sedang berusaha mengusir
ular itu...," gumam
Suropati dalam hati.
Mata remaja tampan itu bersinar
nyalang menatap tubuh
Gede Panjalu yang bergetar semakin
keras. Perlahan-lahan
dari sudut bibirnya mengalir darah
segar. Bersamaan dengan
itu, tubuh ular yang telah kaku
bergerak lemah.
"Oh, Kakek Gede dalam
kesulitan. Aku harus
membantunya...," bisik
Pengemis Binal.
Remaja tampan itu menyedekapkan
tangannya. Dengan
mata terpejam dia berusaha
menembus kekuatan kasat mata
di mana Gede Panjalu tengah
bertarung. Tubuh Suropati
bergetar. Ketika asap tipis telah
menyelubungi kepalanya, ular
sendok yang berada di pojok
ruangan lenyap tanpa bekas
Pengemis Binal lalu membuka
matanya segera ditariknya
napas leqa
Tapi, tubuh Gede Panjalu
terhuyung-huyung. Wirogundi
berusaha menahan tubuh kakek
bongkok itu agar tidak jatuh
terjengkang.
"Aku tidak apa-apa,
Wiro...," kata Gede Panjalu sambil
ngibas-ngibaskan telapak tangannya
di depan mata.
"Kau terluka dalam, Kek"
Suropati mendekati. Semua yang
berada di tempat itu
merubung Gede Panjalu yang telah
bersila dengan mata
terpejam.
"Kekuatan batin Kakek Gede
membentur suatu kekuatan
dahsyat Entah kekuatan batin
siapa. Yang pasti, orang itu
sangat tangguh...," beritahu
Suropati pada kawan-kawannya.
"Pucat di wajahnya
berangsur-angsur lenyap, berarti luka
dalam Kakek Gede tidak begitu
parah," lanjutnya.
Kaki remaja tampan itu lalu
melangkah ke luar ruangan.
Ditatapnya rembulan sabit yang
bercahaya redup. Kemudian,
dia menuju ke suatu tanah lapang.
"Hawa di dalam sangat gerah,
aku butuh udara segar...,"
gumam pemuda itu.
Beberapa anggota Perkumpulan
Pengemis Tongkat Sakti
yang berpapasan dengannya berkata
menyapa. Suropati
membalasnya dengan anggukan
kepala.
Malam semakin larut Suara binatang
malam terdengar
melemah. Tiba-tiba angin berhembus
keras. Suropati terkejut
ketika menatap di kejauhan
terlihat seberkas cahaya merah
meluncur cepat ke arahnya!
Remaja tampan itu meloncat Dan...
tanah tempat bekasnya
berdiri tadi langsung berkubang
dalam. Seberkas cahaya
merah kembali meluncur ke arahnya,
Suropati mendorongkan telapak
tangannya ke depaa Sinar
merah itu pun berhenti di udara.
Dengan mengerahkan
seluruh tenaga dalamnya, pemuda
itu menahan luncuran sinar
merah.
Bunyi desisan terdengar ketika
telapak kaki remaja tampan
itu bergeser ke belakang. Keringat
membasahi sekujur tubuh.
Matanya melotot, merasakan jalan
napasnya yang sesak.
Perlahan-lahan seberkas cahaya
merah mendekati tubuh
Suropati. Malaikat Kematian
agaknya tengah mengintai
nyawanya. Tubuh remaja tampan itu
bergetar keras. Keringat
di tubuhnya semakin membanjir
Ketika cahaya merah tinggal
beberapa jengkal mencapai
tubuhnya, Pengemis Binal membeliak
lebar. Napasnya
memburu. Malaikat Kematian pun
semakin dekat mengintai....
Pada saat yang genting itulah
Suropati teringat pada ilmu
'Kalbu Suci Penghempas Sukma' yang
didapatnya dari
Bayangan Putih Dari Selatan
Suropati segera memejamkan
mata. Seluruh kekuatan batinnya
dipusatkan.
Sebentar kemudian, dari sekujur
tubuh remaja tampan itu
berpencar cahaya kebiruan.
Blammm !!
Sebuah ledakan dahsyat membahana.
Tanah berguncang.
Angin kencang menyampok pepohonan,
hingga ranting-
ranting bergoyang keras.
Pengemis Binal tetap berdiri tegak
di tempatnya. Cahaya
merah yang hampir merenggut
jiwanya pun lenyap.
"Uh! Hampir saja...,"
gerutu remaja tampan itu. "Aku sama
sekali tak menyangka cahaya merah
itu dapat dikendalikan
sedemikian rupa."
Sementara itu nun jauh di sana,
tepatnya di suatu gua di
Lembah Tengkorak, Sekar Mayang
atau Penghimpun Angkara
menggeram gusar. Bergegas dia
bangkit dari duduknya.
"Ada yang kurang dari ilmu
'Cahaya Sesatku. Ilmu itu
belum sempurna kukuasai...,"
gumam Sekar Mayang.
Wanita buntung itu berjalan ke
sebuah ruangan sempit
yang berada di dalam gua.
Diambilnya sebuah kitab bersampul
hitam dari sela-sela dinding
tonjolan batu. Dibantu cahaya
obor, Sekar Mayang membuka halaman
terakhir Kitab Sukma
Gelap yang ditaruh di atas
pangkuannya.
"Halaman ini kosong. Apakah
terhapus?" tanya wanita
buntung itu. "Ah, aku rasa
tidak. Walaupun kitab ini sudah
hampir hancur, tapi halaman
lainnya masih terbaca jelas.
Mungkin saja halaman terakhir ini
mengandung rahasia,
sehingga si pembuatnya berusaha
menyamarkan."
Lama Sekar Mayang duduk tercenung.
Otaknya terus
diperas untuk memecahkan teka-teki
ini. Kening Wanita
buntung itu berkerut-kerut
menandakan kerja keras
pikirannya.
Ketika dia mengangkat halaman
terakhir dari Kitab Sukma
Gelap yang terus dipeganginya,
mata Penghimpun Angkara
bersinar aneh. Melalui cahaya obor
yang menerpa kertas, dia
melihat bercak-bercak putih
berderet membentuk tulisan.
Sekar Mayang bangkit berdiri lalu
mendekat nyala obor
yang menempel di dinding gua.
Halaman terkahir dari Kitab
Sukma Gelap diangkatnya sejajar
dengan pandangan mata.
Terpampanglah tulisan:
Ilmu 'Cahaya Sesat' adalah ilmu
yang berasal dari pancaran
nafsu angkara, yang bersumber dari
marah dan dendam
membara. Kesempurnaan dapat
diperoleh bila manusia yang
menerima ajaran telah lebur jiwa
dan raganya dalam kekuatan
gelap. Mata lahir maupun batin
hanya memandang satu
tujuan pasti, mengabdi kepada Sang
Jahat yang menguasai
jagat kelam. Selama manusia yang
menerima ajaran masih
dibayangi rasa kemanusiaan, Ilmu
'Cahaya Sesat' tak akan
dapat mencapai kesempurnaan.
Setelah membaca kalimat itu, kerut
di kerung Sekar
Mayang semakin terlihat jelas.
"Apa maksudnya?" tanya
wanita buntung itu.
Beberapa lama Penghimpun Angkara
membara berulang-
ulang tulisan dalam halaman
terakhir Kllab Sukma Gelap.
Hingga akhirnya, dia mengulum
senyum di bibir.
"Aku tahu sekarang...,"
ucap Sekar Mayang. "Untuk
mencapai kesempurnaan ilmu 'Cahaya
Sesat', aku harus
menghilangkan rasa kemanusiaan
yang ada dalam diriku.
Tapi, rasa kemanusiaan yang
bagaimana?"
Kening wanita buntung itu kembali
berkerut, sambil
berjalan mondar mandir, dia
menimang-nimang kitab dalam
genggamannya.
"Ilmu 'Cahaya
Sesat'...," gumam Penghimpun Angkara.
"Jelas ilmu hitam. Ah, aku
sudah menemukan jawabannya!"
Sekar Mayang melonjak girang. Dia
tertawa tergelak-gelak
Tanpa sadar kakinya dihentakkan ke
lantai gua.
Seluruh ruangan terguncang.
Bebatuan yang menempel di
bagian atas rontok, hingga
menimbulkan debu yang mengepul
tebal. Cahaya obor lenyap karena
apinya padam di tiup angin
yang timbul dari guncangan. Dalam
kegelapan, tawa
Penghimpun Angkara semakin
terdengar membahana ke
seluruh bagian Lembah Tengkorak
"Sebentar lagi seluruh tokoh
rimba persilatan akan berlutut
di hadapanku. Dengan kekuatan ilmu
'Cahaya Sesat,' semua
tokoh putih maupun hitam akan
dapat kutaklukkan. Mereka
akan memandangku sebagai Raja
Kegelapan. Karena, aku
sudah tak punya lagi rasa
kemanusiaan yang tercermin dalam
tingkah-laku. Aku adalah tokoh
jahat yang paling jahat, tokoh
hitam yang paling hitam!"
Sekar Mayang mengibaskan telapak
tangan tunggalnya.
Dan....
Blaaammm...!
Dinding gua jebol, menganga lebar
dengan meninggalkan
debu tebal dan bebatuan yang
berpentalan.
"Aku tidak boleh mempunyai
perasaan cinta, belas kasihan,
dan seluruh rasa kemanusiaan
lainnya...," kata Penghimpun
Angkara dengan dengusan napas
berat. "Dendam dalam
hatiku harus kupupuk dan
kupertajam. Akan kumusnahkan
tiga manusia yang pernah membuatku
sengsara!"
Dengan mengepal tinju, wanita
buntung itu menggigit
bibirnya keras-keras.
"Pertama, akan kubunuh Raka
Maruta yang telah
membuntungi tangan kananku. Lalu
menyusui Kapi Anggara
yang telah memberikan cinta palsu
kepadaku. Terakhir, giliran
Suropati yang menjadi biang keladi
dari gagalnya cita-cita
yang telah kususun sejak
lama...."
***
3
Dua orang wanita tampak berjalan
santai memasuki
Kotapraja Kerajaan Anggapura. Yang
seorang berpakaian
hijau-hijau, bentuknya khas
petualang rambutnya yang hitam
panjang dibiarkan tergerai di
punggung. Tapi, walaupun
begitu tidak bisa menutupi usianya
yang telah mencapai enam
puluh lebih. Dia adalah Arumsari
atau Dewi Tangan Api Meski
sudah tua, wajah nenek itu masih
menunjukkan garis-garis
kecantikan.
Yang berjalan di sisi kirinya
adalah Dewi Ikata, putri
tunggal Adipati Danubraja yang
beberapa waktu lalu telah
diangkat sebagai murid nenek itu.
Pakaian yang dikenakan
Dewi Ikata terbuat dari bahan
sederhana, warnanya putih-
kuning. Rambutnya diikat selembar
kain merah. Tak satu pun
perhiasan menempel di tubuh gadis
tujuh belas tahun itu.
Meski berpenampilan sederhana,
tapi hal itu tak dapat
menyembunyikan kecantikannya.
Ketika dua wanita guru-murid itu
sampai di depan pintu
gerbang kotapraja, dua orang
penjaga yang memegang
perisai dan tombak berjalan
mendekati.
"Tampaknya Nisanak berdua
adalah orang asing...," kata
salah seorang penjaga yang
berwajah penuh bulu. "Kalau
boleh saya tahu, ada perlu apakah
Nisanak berdua hendak
memasuki kota-praja?"
Lelaki brewokan itu kemudian
mengerling ke arah Dewi
lkata. Kerlingan itu ditangkap
oleh mata ArumsarL Nenek itu
pun mengeluarkan dengusan pendek.
"Kau hendak bertanya atau mau
berbuat usil?" kata
Arumsari dengan suara berat
"Kami penjaga di sini. Sudah
selayaknya bila kami bertanya
kepada orang asing seperti
kalian," jawab lelaki brewokan
dengan suara tak kalah berat,
Sengaja untuk menunjukkan
kewibawaannya.
Bibir Dewi Tangan Api
menyunggingkan senyum mengejek,
"Kau hendak bertanya
apa?"
"He-he-he...," lelaki
berewokan itu tertawa. "Rupanya
telingamu mengalami sedikit
gangguan, Nenek Cantik."
Arumsari mendengus gusar.
"Kau jangan mengajak
bercanda. Aku tak biasa melayani
orang macam kalian!"
"Uh! Kenapa kau gampang
marah, Nek. Bukankah aku
telah bertanya, apa tujuan kalian
hendak memasuki kotapraja?
Kau saja yang tidak
mendengar...," lelaki brewokan tersenyum
seraya melirik Dewi lkata.
Kemudian, menatap kembali wajah
Dewi Tangan Api. "Eh, apa
katamu tadi, Nek? Kau tidak biasa
melayani orang macam kami? Lalu,
yang biasa kau layani
orang macam apa?"
Temannya yang berkulit gelap
menyenggol lengan lelaki
brewokan. "Kau jangan cari
gara-gara," bisiknya.
Lelaki brewokan cuma menatap
sebentar, lalu kembali
menyungging senyum menggoda.
"Kau belum menjawab
pertanyaanku, Nek," katanya
pada Arumsari.
Mata Dewi Tangan Api bersinar
tajam. "Mulutmu terlalu
ceriwis! Kau hanya mengundang
nafsu amarahku saja!"
Usai mengucapkan kalimatnya, nenek
itu menggandeng
lengan Dewi Ikata.
"Eh, kalian hendak ke
mana?!"
Lelaki brewokan menghalangi
langkah kaki mereka.
Arumsari pun mendengus marah.
"Aku datang ke kotapraja
bukan dengan maksud buruk,
kenapa kau
menghalangiku?!"ucap nenek Itu setengah
membentak.
"Kau belum mengatakan
tujuanmu yang sebenarnya. "
"Aku seorang petualang. Aku
hanya ingin melancong. "
"Bagus. Kalau begitu kau
boleh lewat, Nenek Bawel. Tapi,
alangkah baiknya bila nona cantik
ini" tinggal beberapa saat di
sini untuk menemaniku.
He-he-he...."
Sambil tertawa, penjaga usil itu
melirik ke arah Dewi Ikata.
Melihat hal demikian, sampailah
Arumsari pada batas
kesabarannya.
"Siapa kepala regu
kalian?!" tanya nenek itu.
"Apa perlumu menanyakan
itu?"
"Eh, kenapa kau suka cari
gara-gara, Kakang?" penjaga
yang berkulit gelap memperingatkan
temannya.
"Kau jangan ikut campur, Dhi.
Kalau ada enaknya pasti kau
akan kubagi. Jangan
khawatir!"
Dewi Tangan Api mendengus keras
mendengar ucapan
yang bernada kurang ajar itu.
"Monyet Busuk! Rupanya kalian
minta diberi pelajaran!"
Tangan kanan nenek itu pun melayang.
Plak...!
Penjaga usil mendekap pipinya yang
terkena tamparan.
Kalau saja Dewi Tangan Api
mengerahkan tenaga dalam,
kepala lelaki brewokan itu tentu
sudah pecah. Tapi, manusia
tak tahu diri ini tak mau
menyadari kesalahannya. Matanya
mendelik lebar menatap Arumsari.
"Keparat! Beraninya kau
menamparku!" Lelaki brewokan
melayangkan tangan. Namun
tamparannya hanya mengenai
angin kosong. Sekali lagi dia
mencoba melancarkan tendangan
ke arah dada Dewi Tangan Api.
Nenek itu cuma menggerakkan
sedikit tubuhnya,
tendangan itu pun luput dari
sasaran. Lalu, dengan sentilan
pelan dia membuat roboh lelaki
brewokan.
Sambil berkelojotan di tanah,
manusia tak tahu diri itu
melolong-lolong kesakitan. Dewi
Tangan Api hanya menatap
sebentar. Lalu digandengnya tangan
muridnya. Mereka
melangkahkan kaki melewati pintu
gerbang kotapraja.
Tanpa setahu mereka, dua orang
lelaki tua berwajah seram
mengikuti agak jauh di belakang.
"Kau lapar, Ika?" tanya
Arumsari ketika mereka sampai di
depan sebuah kedai nasi.
Dewi lkata tak memberikan jawaban.
"Aku tahu kau lapar, tapi tak
berani mengatakannya. Atau,
barangkali kau tidak doyan makanan
kedai? Kau harus belajar
hidup sederhana, lka...,"
lanjut Arumsari. Diliriknya sejenak
gadis cantik di sampingnya.
"Aku diam bukan karena itu,
Eyang," sambut Dewi lkata
sambil menatap wajah gurunya.
"Lalu karena apa?"
"Sudah beberapa candra aku
ikut berkelana bersama
eyang. Selama itu, banyak kujumpai
orang orang jahat. Tidak
hanya orang-orang kasar yang kata
Eyang beraliran hitam,
tapi juga orang terhormat pun
seringkali berbuat jahat."
Dewi Tangan Api tersenyum
mendengar perkataan
muridnya.
"Itulah manusia, Ika. Manusia
jahat tidak selamanya
bertampang jahat. Seseorang yang
kelihatannya baik dan
berbudi kadang-kadang bisa berbuat
lebih kejam. Demikian
pula sebaliknya, orang yang tampak
kasar dan berangasan
terkadang justru orang yang sangat
berbudi. Dunia ini luas.
Orang-orang seperti itu tidak
sedikit jumlahnya. Kau harus
hati-hati agar tidak salah
menilai."
"Ya, Eyang. Aku mengerti.
Tapi...."
"Tapi apa?"
"Apakah kita tidak jadi
makan?"
Arumsari mengembangkan senyum
lebar. Digandengnya
lengan Dewi Ikata untuk memasuki
kedai makanan.
Kedai itu tampak ramal Suasana
pagi membuat orang-
orang berkeinginan mencari
sarapan. Tidak hanya para
petualang yang kebetulan singgah,
para kepala rumah tangga
yang malas sarapan di rumah pun
memadati ruangan kedai.
"Uh! Ramai benar...,"
gerutu Dewi Ikata ketika sampai di
ambang pintu.
Belum sempat Arumsari berkata,
seorang pelayan yang
bertugas menyambut pengunjung
datang mendekati.
"Kedai ini memang selalu
ramai. Tapi, jangan khawatir. Di
dalam masih banyak kursi
kosong," kata pelayan itu seraya
mempersilakan Arumsari dan Dewi
Ikata.
Guru dan murid itu pun berjalan
masuk. Ketika baru
melangkah beberapa tindak dari
pintu kedai, mereka berdua
segera jadi bahan perhatian
Terutama Dewi Ikata.
Kecantikannya benar-benar
mem-pesonakan semua lelaki
yang berada di situ.
"Berlakulah biasa saja, Ika.
Jangan tatap pandangan
mereka," bisik Arumsari kepada
muridnya.
Mereka segera mengambil tempat
duduk yang telah
ditunjukkan oleh pelayan. Dengan
duduk berhadapan, mereka
menantikan hidangan. Tempat duduk
guru dan murid itu
berada di tengah-tengah ruangan.
Jadi, semua orang yang
berada disitu dapat dengan leluasa
memandang mereka.
Arumsari menggerutu kecil. Dia
merasa ditipu oleh pelayan
tadi Katanya masih banyak kursi
kosong, ternyata tidak.
Karena rasa laparlah, nenek itu
tak mempedulikan tatapan
mata orang-orang.
Berbeda dengan Dewi lkata, gadis
cantik berumur tujuh
belas tahun itu tak berani
mengangkat wajah. Dia hanya
menunduk sambil sesekali menatap
wajah gurunya.
"Kenapa pesanannya tidak
datang-datang? Aku hampir tak
tahan," kata gadis cantik itu
pelan.
"Bersabarlah, Ika. Sebentar
lagi pasti datang. Kau sudah
sangat lapar, ya?"
"Bukan begitu, Eyang. Aku tak
tahan dengan lalapan orang-
orang yang ditujukan kepada
diriku. Mereka menatapku
seperti seekor harimau kelaparan.
"
"Tenanglah, Ika. Mereka tidak
akan berani
mengganggumu."
Begitu kalimat Arumsari selesai,
seorang pelayan datang
dan segera meletakkan pesanan di
atas meja.
"Silakan...," kata
pelayan itu. "Bila perlu sesuatu, .panggilah
saya."
Arumsari hanya mengangguk kecil
melihat keramahan si
pelayan. Dia memberi isyarat kepada
muridnya untuk segera
menikmati hidangan.
Selagi mereka makan, seorang
lelaki setengah baya yang
duduk di pojok ruangan
memperhatikan dengan kening
berkerut. Rambut orang itu
digelung ke atas, dan dijepit
dengan gelang emas. Pakaiannya
terbuat dari bahan mahal,
tampak indah menempel di tubuhnya.
Wajahnya halus. Pada
bagian atas bibir dan dagu
terlihat bekas cukuran yang
membiru.
"Melihat cara makan gadis
itu, dia tentu seorang putri
pejabat tinggi. Paling tidak dia
pernah tinggal lama di istana.
Tapi melihat kecantikan dan
gerak-geriknya, kemungkinan
pertamalah yang paling
tepat..," gumam laki-laki itu dalam
hati.
Tatapannya kemudian dialihkan pada
seorang pemuda
tinggi tegap yang duduk di depan
meja lain tak jauh darinya.
"Branjang...,"
panggilnya dengan suara pelan.
Yang dipanggil menoleh, dan segera
menghampiri.
"Ada apa, Tuan?"
"Kau tahu gadis yang
berpakaian putih-kuning itu?"
"Yang duduk bersama nenek
cantik itu?"
"Ya," angguk lelaki
setengah baya. "Ajak dia kemari.
Katakan kalau seorang pembesar
kerajaan mengundangnya."
Mendengar perintah tuannya, pemuda
yang dipanggil
Branjang itu segera menghampiri
Dewi Ikata. Disampaikannya
pesan tersebut. Dewi Ikata tak
mengeluarkan kata-kata. Gadis
itu diam membisu. Sedangkan Arumsari
yang turut mendengar
perkataan Branjang segera
menyambutj.
"Untuk apa tuanmu mengundang
muridku?" tanya nenek
itu.
"Entahlah," jawab
Branjang. "Mungkin hanya ingin
bercakap-cakap."
"Katakan kepadanya, muridku
tidak biasa melayani orang
usil macam tuanmu itu!" ujar
Dewi Tangan Api ketus.
Mendengar perkataan itu, Branjang
kembali menghadap
tuannya dengan muka kusut.
"Rupanya tempat ini tak baik
untuk kita, Ika," kata
Arumsari kepada muridnya.
"Sebaiknya kita segera pergi."
Setelah membayar makanan, mereka
berdua hendak
berlalu dari kedai. Tapi baru
melangkah beberapa tindak dari
ambang pintu, lelaki setengah baya
yang undangannya ditolak
mentah-mentah datang menghalangi.
"Biarkan kami lewat...,"
kata Arumsari dengan suara berat.
"Kalian telah menghinaku.
Sebagai seorang pembesar
kerajaan, aku mempunyai wewenang
untuk menangkap
kalian."
"Huh! Melihat tampangmu, kau
tentu pembesar yang biasa
bertindak sewenang-wenang. Tapi,
jangan harap kau dapat
berbuat semaumu terhadap
kami!"
"Rupanya kau belum kenal
siapa aku. Semua orang di
kotapraja akan lari ketakutan bila
melihatku sedang marah.
Namaku Banaspati. Aku bergelar si
Kepalan Baja."
"Cih! Aku tak butuh tahu
siapa dirimu!" sentak Arumsari
kasar sekali.
"Keparat!" umpat lelaki
setengah baya yang mengenalkan
dirinya sebagai Kepalan Baja.
"Kau harus diajari sedikit sopan-
santun, Nenek Bawel!"
Usai mengucapkan kalimatnya,
Banaspati memberi isyarat
kepada Branjang yang telah berdiri
di sampingnya.
Pemuda bertubuh tinggi tegap itu
pun segera menerjang
Arumsari.
Wuuuttt...!
Bogem mentah Branjang hanya
mengenai angin kosong.
Dewi Tangan Api menangkap
perge-langan tangan pemuda
bertubuh tinggi tegap itu Lalu,
memelunCmya ke belakang.
Branjang menjerit kesakitan. Kaki
kanannya menyaruk-
nyaruk tanah, berusaha melepaskan
diri. Tapi, pegangan
tangan Arumsari sekuat jepitan dua
batang besi.
"Justru aku yang akan
mengajari sopan-santun kepada
anak buahmu ini, Pembesar
Edan!" sambut nenek itu dengan
suara lantang.
Buuukkk...!
Dewi Tangan Api menendang pantat
Branjang, hingga
tubuh pemuda itu mencelat sejauh
dua tombak.
"Apakah aku juga perlu
mengajarimu sopan-santun?!"
tanya Arumsari kepada Banaspati.
Pembesar kerajaan yang merasa
dilecehkan itu pun
menggeram gusar. Dengan sigap dia
melayangkan kaki
kanannya!
Tangan kiri Arumsari bergerak
menangkis. Banaspati
merasakan tubuhnya bergetar dan
berdiri sempoyongan.
Kalau saja pembesar kerajaan itu
mau tahu diri, pada
gebrakan pertama ini seharusnya
dia dapat mengukur
kepandaian lawan yang berada jauh
di atasnya. Tapi, manusia
yang sudah terbiasa mengumbar hawa
nafsu itu malah
menggeram penuh kemarahan.
"Sebelum aku menimpakan
kepalan bajaku di kepalamu,
katakan siapa namamu!" ancam
Kepalan Baja.
Dewi Tangan Api tak memberikan
jawaban. Dia
menggandeng tangan muridnya untuk
diajak pergi.
"Bangsat!" umpat
Banaspati. "Kau terlalu memandang
rendah kepadaku. Makan
kesombonganmu!"
Tubuh Kepalan Baja melayang lalu
melancarkan tendangan
ke punggung Dewi Tangan Api. Nenek
itu hanya dengan
memiringkan tubuhnya, serangan itu
pun gagal. Tangan
kanannya disentakkan untuk
menggedor.
Dhes...!
Banaspati merasakan punggungnya
bagai digedor palu
godam. Tubuh pembesar kerajaan itu
terhempas ke tanah.
Umpatan kasar keluar dari mulutnya.
"Aku tak berurusan denganmu!
Kenapa kau mencari gara-
gara?!" kata Arumsari dengan
mata mendelik.
"Di antara kita memang tak
ada urusan. Tapi, kau telah
menghinaku. Aku masih bisa
mengampunimu dan
memperbolehkan kau pergi, asal
gadismu itu kau tinggalkan!"
sahut Banaspati sambil mengibaskan
bajunya yang kotor oleh
debu.
"Cih! Lelaki hidung belang
sepertimu tak pantas menjadi
pembesar kerajaan!" maki
Arumsari.
Kepalan Baja menggeram gusar.
Dengan penuh luapan
kemarahan, diterjangnya Arumsari.
Gerakannya cepat hingga
sambaran tangannya menimbulkan
deru angin, pertanda
pukulan itu ber-lambarkan tenaga
dalam. Jurus yang
dimainkannya pun sangat berbahaya.
Mengincar bagian-
bagian tubuh yang mematikan.
Tapi, yang sedang dihadapinya
bukanlah tokoh
sembarangan Arumsari telah kenyang
makan asam-garam
rimba persilatan. Tanpa sedikit
pun merasa kesulitan,
diladeninya serangan Banaspati.
Bahkan, belum selesai satu
jurus nenek itu dapat mendaratkan
pukulan telak di dada
lawan.
Dhes...!
Tubuh Kepalan Baja jatuh
terjengkang. Dia mendekap
dadanya yang terasa sesak. Matanya
mendelik karena jalan
napasnya hampir terhenti.
Dewi Tangan Api melambati
pukulannya dengan
sepersepuluh dari tenaga dalamnya.
Dia tak mau menjatuhkan
tangan maut yang hanya akan
menyulitkan diri sendiri.
Membunuh seorang pembesar kerajaan
sama saja dengan
menciptakan suatu masalah.
Arumsari dan Dewi lkata kemudian
segera berlalu dari
tempat itu. Langkah mereka menuju
ke sebuah penginapan.
"Kita belum puas berjalan-jalan,
kenapa mesti pesan
kamar?" tanya Dewi lkata.
"Baginda Prabu akan
mengadakan pesta syukuran. Tentu
banyak tamu yang diundang. Aku
takut apabila tidak segera
memesan kamar, kita tak bisa
bermalam di sini," jawab
Arumsari.
"Kata Eyang, Baginda Prabu
akan mengadakan pesta
syukuran?"
"Ya. Kerajaan Anggarapura
berhasil memadamkan api
pemberontakan. Untuk itu, Baginda
Prabu merasa perlu
mengadakan pesta syukuran. Intinya
adalah untuk
memanjatkan rasa terima kasih yang
mendalam kepada Tuhan
Yang Maha Kuasa."
"Kapan itu, Eyang?"
"Yang kau tanyakan pemadaman
pemberontakan atau
pesta syukurannya?"
"Pestanya."
"Besok malam. Biasanya di
depan istana akan digelar tari-
tarian dan berbagai pertunjukan
lainnya. Kau bisa menonton
sepuasmu, Ika...," ujar
Arumsari lembut dan tampak
memanjakan muridnya.
"Aku tidak tertarik,"
gumam Dewi lkata perlahan.
"Lho, kenapa? Kau takut akan
berjumpa dengan lelaki
kurang ajar?"
"Tidak Pertunjukan seperti
itu aku sudah sering
menontonnya."
"Oh, ya...," Arumsari
seperti baru sadar akan sesuatu.
"Aku lupa kalau kau adalah
putri seorang adipati. "
"Itu dulu. Sekarang aku murid
Eyang," Mendengar
perkataan muridnya, Dewi Tangan
Api mengembangkan
senyum lebar. Mereka berhasil
mendapatkan sebuah kamar
dengan tempat tidur yang empuk.
"Pakaian bisa kita tinggal di
sini, Ika. Kita akan segera
jalan-jalan mengelilingi kota
praja," ucap Arumsari.
Tak lama kemudian mereka
melanjutkan pelancongan.
Ketika malam menjelang, guru dan
murid itu telah kembali ke
penginapan untuk melepas lelah.
"Kau tidak tidur, Ika?"
tanya Arumsari melihat muridnya
hanya duduk termenung di kursi.
Dewi Ikata mendongakkan kepalanya.
Gadis itu mendesah
perlahan.
"Kau rindu ayah-bundamu,
Ika?"
"Tidak"
"Lalu kenapa?"
"Aku hanya memikirkan
kejadian tadi pagi."
"Ah, hal seperti itu sudah
biasa terjadi. Kau tak perlu
memikirkannya."
"Aku takut prajurit kerajaan
akan mencari kita. Bukankah
lelaki yang bernama Banaspati itu
seorang pembesar
kerajaan?"
Arumsari hanya diam mendengar
perkataan muridnya.
***
Penginapan yang ditempati Arumsari
dan Dewi lkata adalah
salah satu dari tiga penginapan
terbesar di kotapraja.
Bangunannya bertingkat. Tersedia
tidak kurang dari seratus
kamar. Tentu saja tarifnya mahal
untuk mengimbangi
pelayanan yang memuaskan. Tapi,
bagi guru dan murid itu
tidak menjadi soal. Adipati
Danubraja, ayah Dewi lkata,
berkenan memberi bekal sekantong
uang emas.
Malam itu suasana penginapan
tampak ramai. Banyak
orang berlalu- alang di ruang
depan yang luas. Seorang
penerima tamu duduk santai
menyelonjorkan kaki. Tugasnya
menjadi ringan karena kamar telah
habis. Berar dugaan
Arumsari, bila tak memesan kamar
lebih awal tentu tak akan
dapat.
Penginapan-penginiapan lainnya di
kotapraja pun sama
halnya. Rata-rata kamar telah
habis terpesan. Rupanya, pesta
syukuran yang akan digelar Baginda
Prabu benar-benar
menarik perhatian orang. Bukan
hanya para undangan yang
membanjiri kotapraja, para
pelancong pun banyak yang
datang.
Ketika petang baru saja lewat,
seorang penerima tamu
yang berdiri di ambang pintu
dikejutkan oleh kedatangan
sepuluh orang prajurit. Mereka
dipimpin oleh Banaspati.
"Tuan Besar hendak melakukan
pemeriksaan?" tanya si
penerima tamu setelah memberi
hormat.
"Tidak. Aku sedang mencari
dua orang wanita," jawab
Banaspati dengan suara angker.
"Siapa nama mereka?" "Aku
tidak tahu."
Mendengar jawaban pembesar
kerajaan itu, kening si
penerima tamu berkerut.
"Tamu yang menginap di sini
banyak, Tuan Besar. Kalau
tidak tahu nama dua wanita yang
Tuan Besar cari, bagaimana
mesti mencarinya?"
"Aku akan menggeledah setiap
kamar!"
Banaspati langsung menerobos masuk
Kening si penerima
tamu semakin berkerut. Dia segera
berlari untuk menemui
tuannya.
Seorang lelaki gemuk yang bagian
perutnya tampak
menggantung menyapa Kepalan Baja
dengan ramah.
"Tuan Banaspati
rupanya...," ujar laki-laki itu seraya
membungkukkan badan. "Ada
yang bisa saya bantu?"
"Aku tidak butuh bantuanmu.
Aku bisa mengerjakannya
sendiri!"
Alis lelaki gemuk yang adalah
pemilik penginapan itu
terangkat Ditatapnya wajah
Banaspati dengan pandangan tak
mengerti.
"Ah, Tuan Banaspati tak perlu
report-repot turun tangan.
Pekerjaku banyak. Mereka bisa
membantu," ujar laki-laki itu
lagi untuk mengambil hati Kepala
Baja.
"Sudah kubilang, aku bisa
mengerjakannya sendiri!" bentak
Banaspali. Matanya melotot lebar.
Dia segera memberi isyarat
kepada kesepuluh prajuritnya agar
menggeledah setiap kamar
di penginapan itu.
"Tunggu sebentar,
Tuan...," cegah si pemilik penginapan.
"Tidakkah lebih baik yang
melakukan itu para pekerjaku? Saya
takut para tamu terkejut dan
merasa terganggu. Bila hal
demikian terjadi, akan mengurangi
citra penginapan ini"
"Persetan dengan semua
itu!"
"Tapi, Tuan...."
Banaspati mendengus. "Rupanya
kau hendak
menentangku. Apakah kau ingin penginapan
ini ditutup?!"
"Bukan begitu, Tuan.
Tapi...."
Kepalan Baja tak mempedulikan
ucapan lelaki gemuk
pemilik penginapan. Dia bersama
para prajurit yang
menyertainya segera melakukan
penggeledahan.
Tatap mata mereka yang bengis dan
sikap yang kasar
benar-benar mengejutkan para tamu.
Bahkan, ada yang
berlari ketakutan karena mengira
sedang terjadi sesuatu yang
gawat.
Arumsari dan Dewi lkata yang
kebetulan mendapat kamar
di tingkat atas terkejut juga
mendengar suara-suara gaduh.
"Prajurit kerajaan sedang
melakukan penggeledahan," beri
tahu Dewi lkata kepada gurunya
setelah menengok dari atas
tangga.
"Kau lihat pembesar kerajaan
yang kita temui tadi pagi?"
tanya Arumsari.
"Ya. Dia tampak
marah-marah."
"Uh! Jelas mereka mencari
kita. Sebaiknya kita segera
pergi. Berurusan dengan orang yang
sering menyalahgunakan
kekuasaan hanya akan menimbulkan
kesusahan."
Tanpa bertanya apa-apa, Dewi Ikata
langsung mengemasi
barang-barangnya yang tak seberapa
banyak. Hanya beberapa
helai pakaian dan perlengkapan
perjalanan.
"Jika kita lewat depan apakah
memungkinkan, Ika?" tanya
Arumsari usai mengemasi barangnya
sendiri.
"Aku rasa tidak, Eyang.
Seorang prajurit menjaga di bawah
tangga."
"Kalau begitu, kita keluar
lewat jendela."
"Jendela?"
"Ya. Kenapa?"
"Eyang lupa bila kita berada
di tingkat atas?"
"Tidak," jawab Dewi
Tangan Api seraya membuka daun
jendela. Nenek itu menatap wajah
muridnya sejenak. "Aku
akan melompat turun terlebih
dahulu. Kau menyusul
kemudian."
Tanpa mengambil ancang-ancang,
Arumsari meluncurkan
tubuhnya ke tanah dengan
mengerahkan ilmu meringankan
tubuh.
Hup...!
Kaki nenek itu dengan sigap
mendarat di tanah, tanpa
menimbulkan suara apa pun. Padahal
ketinggian jendela
dengan permukaan tanah tidak
kurang dari empat tombak
Dewi lkata berdiri ragu di ambang
jendela. Matanya nanar
memandang ke bawah.
"Cepatlah, Ika...," Dewi
Tangan Api mengerahkan ilmu
mengirim suara jarak jauh yang
membuat ucapannya tak
dapat di dengar orang lain.
Dewi lkata walaupun baru beberapa
candra berguru kepada
Arumsari, tapi sebagian ilmu
kepandaian nenek Itu telah dia
warisi. Yang membuatnya ragu
adalah karena belum terbiasa
melakukan sesuatu yang
kadang-kadang dirasanya tidak
masuk akal.
"Cepatlah, Ika...," kata
Dewi Tangan Api lagi. Mendengar
perkataan gurunya yang tampak
yakin akan kemampuannya.
Dewi ikata langsung melompat.
Gadis cantik itu mendarat
dengan mulus, walau masih
terdengar suara ketika kakinya
mendarat di tanah.
Guru dan murid itu kemudian
berlari melompati pagar yang
tak begitu tinggi. Langkah kaki
mereka menuju ke utara.
Dua lelaki tua berwajah seram yang
duduk termenung di
depan sebuah toko, tak jauh dari
penginapan, tampak saling
berbisik Mereka yang sejak pagi
menguntit Arumsari dan
muridnya bergegas berlari
mengejar.
Ketika sampai di perbatasan
kotapraja yang sepi, di mana
terdapat sebuah sungai kecil, Dewi
Tangan Api menghentikan larinya.
"Ada apa, Eyang?" tanya
Dewi Ikata heran. Arumsari tidak
segera menjawab pertanyaan
muridnya. Matanya bersinar
aneh ketika tertimpa cahaya
rembulan. Kepala nenek itu
bergerak pelan untuk mempertajam
pendengarannya.
"Dua orang yang mengikutiku
segera keluar dari tempat
persembunyian kalian!"
Tiba-tiba Dewi Tangan Api berteriak
keras.
Dua lelaki tua yang sedang bersembunyi
di balik semak-
semak tentu saja terkejut. Bukan
saja langkah kaki mereka
dapat didengar Arumsari. Tapi,
nenek itu bahkan dapat
menebak jumlah orang yang sedang
mengikutinya.
"Hei, kenapa kalian hanya
bengong saja seperti maling
takut dikejar anjing?!" kata
Arumsari lagi dengan suara
lantang.
Sekejap kemudian, dua sosok
bayangan melayang di udara.
Setelah bersalto, kedua sosok
bayangan itu mendarat ringan
di tanah.
"Rupanya kalian ingin
memamerkan kepandaian di
hadapanku," ejek Dewi Tangan
Api tak senang.
Nenek itu menatap wajah dua orang
yang telah berdiri tiga
tombak dari hadapannya.
Dibantu cahaya rembulan yang
temaram, Arumsari dapat
melihat wajah lelaki-lelaki tua
yang penuh benjolan bisul-bisul.
Hidung mereka tersamar oleh
bisul-bisul. Cekungan matanya
tertutup oleh daging yang
menggelambir. Tubuh mereka pun
sama kurus. Tapi, sikap berdiri
mereka tegap dan tampak kuat
mencengkeramkan kaki-kakinya di
bumi
"Yang hadir rupanya si Kembar
Budukan," Dewi tangan Api
mengulum senyum.
"Daya ingatmu ternyata masih
tajam, Arumsari, " ujar salah
seorang dari dua lelaki tua
berwajah seram.
"Apa perlumu
menguntitku?" tanya Arumsari yang merasa
heran melihat perbuatan Kembar
Budukan.
Tiba-tiba si Kembar Budukan
tertawa terbahak-bahak.
"Jangan main-main di
hadapanku!" bentak Arumsari.
Salah seorang dari lelaki tua
berwajah seram, yang
mengenakan baju kuning, maju
selangkah. "Tentunya kau
tidak lupa peristiwa sepuluh tahun
yang lalu di tepi sungai
kecil di Lembah Tengkorak!"'
katanya.
Dewi Tangan Api menyeringai
dingin.
"Lalu, apa hubungannya
kedatanganmu dengan peristiwa
itu. Balas dendam?
Ha-ha-ha...!"
Nenek itu tertawa
terpingkal-pingkal. Dewi lkata yang
berada di sampingnya buru-buru
memegang lengan gurunya.
Gadis cantik itu merasa khawatir sekali
melihat keadaan
Arumsari.
"Jangan takut,
Ika...,"bisik Arumsari kepada muridnya.
"Wajah mereka memang seram,
tapi kepandaian yang mereka
miliki tidak seberapa,"
tambahnya penuh keyakinan.
"Rupanya sifat sombongmu dari
dulu tidak Juga hilang,
Arumsari!" sentak Kembar
Budukan yang berbaju putih.
Dewi Tangan Api hanya mendengus.
Tapi, dia jadi terkejut
ketika melihat lelaki budukan itu
menggerak-gerakkan
tubuhnya seperti belut menggeliat.
"Kali ini jangan harap kau
dapat lolos dari lubang
kematian!"
Lelaki berbaju putih kemudian
menggeram keras dan
menerjang Dewi Tangan Api.
"Aku sudah bosan memberi
ampunan kepada kalian. Kali ini
justru aku yang akan
membunuhmu!" teriak Dewi Tangan Api
seraya berkelit ke samping.
Melihat serangan pertama gagal, si
baju putih menggerak-
gerakkan tubuhnya semakin aneh.
Meliuk-liuk seperti tak
punya tulang. Walaupun tampak
ngawur, tapi Arumsari dapat
merasakan sebuah serangan dahsyat
ditujukan kepada
dirinya.
Zebs...!
Dewi Tangan Api menangkis
tendangan si baju putih. Tapi,
lengan nenek itu terasa seperti
membentur gedebong pisang.
Yang lebih mengejutkan adalah
ketika kaki lawannya menekuk
dan berusaha menjepit lengan.
Arumsari menarik lengannya.
Gerakannya seperti orang
yang merasa sangat jijik.
"Ha-ha-ha...!" Si baju
putih tertawa terbahak-bahak "Ilmu
baruku kini akan segera mengirim
nyawamu ke neraka,
Arumsari!"
"Kau Jangan terlalu
yakin!" bantah Dewi Tangan Api. Lalu,
dilancarkannya serangan balasan
dengan tak kalah dahsyat.
Sementara itu, si baju kuning
hanya berdiri terpaku di
tempatnya. Matanya menatap tak
berkedip. Bukan
menyaksikan pertempuran seru yang
sedang berlangsung,
melainkan melihat Dewi lkata yang
berdiri sambil mendekap
mulutnya.
Gadis berumur tujuh belas tahun
yang belum lama terjun
dalam rimba persilatan itu merasa
ngeri melihat sepak terjang
si baju putih dan gurunya.
"Kenapa kau diam saja,
Manis?" tanya si baju kuning sambil
berjalan mendekati.
Dewi Ikata hanya menatap dengan
sinar mata ngeri.
"He-he-he...," si baju
kuning terkekeh. "Kau cantik sekali,
apakah kau murid Arumsari? Kalau
memang begitu, kita bisa
bermain-main sebentar."
Si baju kuning tersenyum-senyum.
Matanya mengedip
penuh arti, membuat gelambir yang
mencuat dari atas alisnya
bergerak-gerak Tersiram cahaya
rembulan, wajah lelaki
budukan itu persis wajah iblis
yang baru bangkit dari kubur.
Ketika langkah kaki manusia
berwajah seram ini telah
dekat, Dewi Ikata bergerak mundur.
Kengerian terbayang
Jelas di matanya.
Si baju kuning tertawa senang.
Mendadak dia menerkam
murid Dewi Tangan Api. Dewi Ikata
berkelit ke samping.
Kemudian, meloncat jauh.
"Hei, Manusia Busuk! Hadapi
saja diriku!" teriak Arumsari di
sela-sela pertempuran.
"Uh! Nenek Cerewet! Aku saja
sudah cukup. Biarkan
saudaraku bersenang-senang,"
sambut si baju putih sambil
melancarkan pukulan ke dada.
Tangkisan yang dilakukan Dewi
Tangan Api seperti
membentur gedebong pisang. Mau tak
mau nenek itu
terperangah untuk kesekian
kalinya. Dan ketika dia melihat
Dewi Ikata sedang digempur telaki
budukan berbaju kuning,
geram kemarahan segera terdengar
dari mulutnya. Serta-
merta Arumsari mengerahkan ilmu
'Pukulan Api Neraka'-nya
Kedua tangan nenek itu merah
membawa. Di-cecarnya
lawan dengan hebatnya. Dalam
keremangan malam, gerakan
tangan Arumsari seperti dua batang
tongkat mainan
bercahaya merah yang meliuk dengan
Indahnya.
***
Siapakah sesungguhnya dua orang
lelaki berwajah seram
yang dipanggil Arumsari dengan
sebutan si Kembar Budukan?
Yang berbaju putih adalah
Gisalimang. Sedang adiknya yang
mengenakan baju kuning bernama
Genthalimang.
Ketika mereka masih muda wajah
keduanya tidak seburuk
itu. Bahkan, dapat dikatakan
tampan. Tubuh mereka pun
tinggi tegap. Mereka kemudian
mengenal Arumsari muda yang
cantik jelita.
Ketiganya lalu bersahabat.
Setelah waktu berlalu, rupanya
kecantikan Arumsari sangat
menarik simpati Gisalimang dan
Genthalimang. Anehnya,
mereka tidak bersaing untuk
mendapatkan cinta Arumsari.
Malah menyatakan perasaan mereka secara
bersamaan.
Arumsari yang menganggap mereka
berdua tak lebih dari
sekadar sahabat, menolak keinginan
Gisalimang dan
Genthalimang untuk menyuntingnya.
Dua pemuda kembar itu
jadi kecewa. Mereka tidak
menganggap tolakan cinta Arumsari
sebagai hal yang wajar. Bahkan
sebaliknya, timbul amarah
dan dendam karena dorongan rasa
malu dan patah hari.
Akhirnya, Gisalimang dan
Genthalimang berusaha
memaksakan kehendaknya.
Namun, kepandaian Arumsari
melebihi mereka berdua.
Gisalimang dan Genthalimang -pun
menelan pil pahit. Dalam
suatu pertempuran mereka kalah
lalu melarikan diri.
Bertahun-tahun kemudian mereka
bertemu kembali. Karena
sebuah tipu daya yang jitu,
Arumsari terperangkap dalam
jebakan di Lembah Tengkorak. Tapi
Gisalimang dan
Genthalimang tak menyangka
kepandaian Arumsari telah
berkembang pesat. Arumsari dapat
meloloskan diri.
Dalam keadaan tak berdaya, wajah
Gisalimang dan
Genthalimang dilumuri cairan Jamur
beracun yang banyak
tumbuh di Lembah Tengkorak. Hal
itu sengaja dilakukan
Arumsari. Ia jengkel dan sakit
hati karena merasa
dipermainkan.
Wajah saudara kembar ltupun rusak.
Selama bertahun-
tahun mereka berusaha memperdalam
ilmu untuk membalas
dendam. Dan, di kotapraja itulah
akhirnya mereka bertemu
dengan Arumsari.
***
4
Pertempuran antara Dewi Ikata
dengan Genthalimang
berjalan tak seimbang. Gadis
cantik itu yang baru beberapa
candra mengenal ilmu silat tentu
saja kurang pengalaman.
Kenyataan ini membuat Dewi Ikata
terdesak hebat. Apalagi,
kepandaian Genthalimang jauh di atas
kepandaiannya.
Genthalimang terus berusaha
mempermainkan lawannya.
"Kau sangat cantik, Manis.
Tak baik memukul-mukul begitu.
Menari saja di hadapanku. Aku akan
senang. He-he-he...."
Dewi Ikata tak memperhatikan
ucapan lelaki berwajah
seram itu. Dia berusaha keras
dapat menyarangkan pukulan di
tubuh lawan.
Wuuuttt...!
Tendangan Dewi Ikata yang luput
segera disambut dengan
tawa Genthalimang.
"Ayo, menarilah, Manis. Nah,
begitu baru bagus. Sekarang
aku akan mengimbangi
tarianmu...."
Lelaki berwajah seram itu
menggerakkan tangannya
dengan cepat. Dewi Ikata pun tak
mampu berkelit.
Akibatnya....
Bret...!
Sengaja Genthalimang tak melukai
gadis cantik itu. Dia
hanya menjambret baju Dewi Ikata
di bagian pundak hingga
robek dua jengkal.
Antara ngeri dan marah, gadis
berumur tujuh belas tahun
itu menggeram. Serangannya
diperhebat, tanpa
mempedulikan sebagian kulit putih
mulusnya yang sudah
terpampang.
Tep...!
Ketika Dewi Ikata melancarkan
pukulan ke dada,
Genthalimang menangkap pergelangan
tangan gadis cantik
itu.
"He-he-he.... Kenapa
meronta-ronta, Manis? Bukankah
lebih enak bila menari sambil
berperlukan?" kata lelaki
berwajah seram Hu.
Arumsari yang melihat adegan
tersebut segera
melentingkan tubuhnya ke arah
Genthalimang. "Lepaskan dia,
Bangsat!" teriaknya.
Tapi, sebuah tendangan Gisalimang
yang ber-lambarkan
tenaga dalam penuh memapak gerakan
Arumsari. Nenek itu
menangkis dengan pukulan tangan
kanan. Gisalimang terkejut
bukan main. Tubuhnya terasa
dialiri hawa panas yang luar
biasa. Dia pun mundur beberapa
tindak
Kesempatan itu tak disia-siakan
oleh Arumsari.
Diterjangnya Genthalimang yang
sedang berusaha berbuat
kurang ajar terhadap muridnya.
"Hentikan...!" teriak
Genthalimang tiba-tiba.
Arumsari yang sedang melancarkan
pukulan mautnya ke
kepala terpaksa menghentikan
serangan. Jemari tangan
Genthalimang menempel erat di
leher Dewi Ikata.
"Lepaskan dia!" ujar
Dewi Tangan Api dengan kemarahan
meluap-luap.
"He-he-he...,"
Genthalimang tertawa terkekeh. "Rupanya
kau sangat sayang kepada muridmu ini,
Arumsari. Tapi,
sebentar lagi dia tentu akan
kubunuh!"
"Bangsat! Kalau kau melakukan
itu, akan ku-cincang
tubuhmu menjadi serpihan daging
untuk santapan cacing!"
"Jangan banyak bacot kau,
Nenek Cerewet! Kalau memang
tidak ingin terjadi sesuatu pada
muridmu itu, kau
menyerahlah...," ujar
Gisalimang yang sudah bisa menguasai
keadaan dirinya.
"Licik!" umpat Arumsari
seraya mendengus bagai seekor
banteng terluka. "Baik, aku
menyerah. Tapi, lepaskan muridku
terlebih dahulu!"
"Ha-ha-ha...!" si Kembar
Budukan tertawa bersamaan.
Dewi Tangan Api bisa sedikit
bernapas lega ketika melihat
cengkeraman tangan Genthalimang di
leher muridnya
dilepaskan. Namun, secara tak
diduga-duga Gisalimang
melayang cepat dan melancarkan
totokan ke punggung
Arumsari! Nenek itu langsung lemas
seketika dan jatuh
terduduk di tanak
"Ha-ha-ha...!" tawa si
Kembar Budukan membahana
berkepanjangan.
Dewi Ikata yang sudah terlepas
dari cengkeraman
Genthalimang menghambur ke arah
gurunya. Mendadak
Genthalimang bergerak cepat.
Ditotoknya jalan darah di
punggung gadis cantik itu. Dewi
Ikata tak mampu berbuat
apa-apa lagi ketika tubuhnya
terhuyung, dan jatuh ke dalam
pondong-an Genthalimang.
"Bangsat! Manusia
Culas!" umpat Arumsari melihat
Genthalimang melarikan muridnya.
Nenek itu menghentakkan
kakinya ke tanah. Tubuh yang tadi
tertotok pun mencelat dan
berusaha mengejar Genthalimang.
Tentu saja Gisalimang terkejut
setengah mati melihat
tindakan Dewi Tangan Api. Rasa
heran timbul dalam hatinya.
Totokan di tubuh Arumsari
tiba-tiba telah bebas. Tapi, tanpa
mau berpikir panjang lagi lelaki
berwajah seram itu segera
melancarkan pukulan jarak jauh!
Terpaksa Arumsari menghentikan
gerakannya ketika
melihat sinar kekuningan
memapaknya. Pukulan jarak jauh
Gisalimang pun tak mengenai
sasaran, dan menumbangkan
sebatang pohon besar.
Dewi Tangan Api menggeram.
Tubuhnya kemudian di
hemposkan kembali untuk mengejar
Genthalimang yang
menculik Dewi Ikata. Tapi,
Gisalimang telah menghadang!
"Iblis Keparat!" umpat
Arumsari seraya menerjang.
Wuuuttt...!
Ketika pukulan nenek itu tak
mengenai sasaran, dia segera
menyusuli serangannya dengan
tendangan ke arah lambung.
Tangkisan Gisalimang menimbulkan
suara seperti gedebong
pisang tersiram air panas.
Pertempuran seru segera
berlangsung kembali.
Bagaimanakah Dewi Tangan Api bisa
terbebas dari totokan
Gisalimang? Hal itu sebenarnya tak
pernah diduga oleh
Gisalimang sendiri. Nenek itu
memiliki ilmu aneh yang
dinamakan ilmu 'Pemencar Jalan
Darah.' Jadi, jalan darah di
mana pusat kekuatan di tubuh
Arumsari berada dapat
dipindah-pindahkan.
Dengan Ilmu aneh itu, dia menjadi
tak mempan ditotok.
Waktu nenek itu jatuh terduduk
saat totokan Gisalimang
dilancarkan, dia hanya pura-pura
untuk mengecoh lawan.
Tapi, Arumsari tak menyangka bila
Genthalimang mau berbuat
culas dengan menculik muridnya.
Karena kemarahan yang meluap-luap,
Dewi Tangan Api
mencecar tubuh Gisalimang dengan
serangan-serangan
mematikan. Nenek itu memutar
tubuhnya sambil melancarkan
tendangan beruntun.
Tendangan ketiga tak dapat
ditangkis oteh Gisalimang.
Kepalanya tertendang dengan telak!
Tubuh lelaki berwajah seram itu
berputar di tempatnya
kemudian terlontar jauh. Tapi, dia
segera bangkit seperti tak
mengalami kejadian apa pun.
"Lihat Malaikat Kematian yang
akan menjemputmu!" kata
Dewi Tangan Api seraya melancarkan
'Pukulan Tangan Api'-
nya.
Blaaarrr...!
Sinar kekuningan memapak serangan
nenek itu. Ledakan
dahsyat yang menimbulkan bola api
besar menerangi gelap
yang temaram.
Tubuh Arumsari terdorong dua tindak
ke belakang.
Sedangkan Gisalimang terhempas dan
jatuh bergulingan di
atas tanah. Rupanya, tenaga dalam
Dewi Tangan Api lebih
unggul dua tingkat di atas lelaki
berwajah seram itu.
"Kini Malaikat Kematian
benar-benar akan menjemputmu!"
Usai mengucapkan kalimatnya, tubuh
Arumsari melayang
ke arah Gisalimang yang masih
tergeletak di tanah!
Telapak kaki kanan nenek itu
mendarat tepat di dada
lawan. Mata Gisalimang mendelik,
merasakan dadanya yang
blong. Kepalanya terangkat.
Setelah itu, terkulai di tanah
tanpa sempat mengeluarkan suara
jeritan.
Arumsari mengambil napas panjang.
Tapi, bola matanya
bergerak nanar.
"Genthalimang Keparat!
Kembalikan muridku!" teriak nenek
itu tiba-tiba. Tubuhnya dilesatkan
ke arah larinya
Genthalimang.
Hanya dibantu cahaya rembulan yang
temaram, Dewi
Tangan Api berlari tanpa mengenal
lelah. Berkali-kali dari
mulutnya keluar teriakan
kemarahan. Hingga sepeminum teh
kemudian Arumsari rianya berlari
tanpa tahu ke mana harus
mencari. Tapi dia tak mau putus
asa. Setelah kotapraja di-
kitarinya, nenek itu menyusuri
tepian sungai.
Sementara itu, Genthalimang
sebenarnya masih berada tak
begitu jauh dari arena
pertempuran.
Dia hendak menunggu kedatangan
saudara kembarnya,
yang dia kira akan segera dapat
menghabisi riwayat Arumsari.
Namun ketika lelaki berwajah seram
itu mendengar
teriakan Arumsari yang sedang
mencarinya, sadarlah dia kalau
saudara kembarnya telah mati di
tangan nenek itu. Maka,
Genthalimang segera menyelinap di
semak-semak gelap. Dia
sadar sepenuhnya kalau kepandaiannya
belum dapat
menandingi kepandaian Dewi Tangan
Api.
Setelah menunggu beberapa lama dan
melihat Arumsari
menyusuri tepian sungai,
Genthalimang bergegas
menggendong tubuh Dewi Ikata
kembali. Dibawanya menuju
ke sebuah rumah tak berpeng-huni
di pinggir kotapraja.
Bruk...!
Genthalimang melemparkan tubuh
Dewi Ikata ke lantai.
Gadis itu cuma dapat mendelik
marah. Tubuhnya tiada
berdaya apa-apa akibat pengaruh
totokan. Mulutnya pun
disumpal dengan kain.
"Kau berbaringlah di situ
terlebih dahulu, Manis. Aku akan
membuat perapian," kata
Genthalimang sambil tersenyum-
senyum.
Laki-laki itu mengambil batu api
dari balik bajunya. Tak
lama kemudian, ruangan rumah tak
berpenghuril itu pun tak
gelap lagi. Dengan tertawa terkekeh,
Genthalimang menatap
tubuh Dewi Ikata yang tergeletak
di lantai. Gadis cantik itu
bergidik ngeri melihat keseraman
wajah Genthalimang.
"He-he-he.... Kau takut
kepadaku, Manis?" kata
Genthalimang sambil berjalan
mendekati. "Ketahuilah,
wajahku bisa berupa seperti ini
akibat perbuatan gurumu, si
Arumsari keparat itu!"
Bola mata Dewi Ikata bergerak
nanar ketika Genthalimang
membongkokkan badan di dekatnya.
Lelaki berwajah seram
itu memegang dagu Dewi Ikata.
Matanya yang sebagian
tertutup gelambir daging, menatap
wajah gadis cantik itu.
"Aku tidak bisa membalaskan
dendam kesumatku kepada
gurumu. Tapi, tak jadi apa. Kau
akan menjadi gantinya, Manis.
He-he-he...."
Dewi Ikata berusaha menggerakkan
tubuhnya karena
desakan rasa ngeri. Namun usahanya
sia-sia belaka. Hanya
kepalanya yang menggeleng lemah.
"Aku bukan hanya akan
mencabik-cabik wajahmu, tapi juga
sekujur tubuhmu!"
Genthalimang memperlihatkan
kuku-kuku jari tangannya
yang panjang kehitam-hitaman.
Mendadak, jari tangan itu
bergerak ke bawah. Dan...
Bret...!
Baju Dewi Ikata yang telah robek
semakin robek lebar.
Genthalimang mendengus, melihat
sebagian kulit dada Dewi
Ikata yang masih tertutup kain
putih berenda. Lelaki berwajah
seram itu lalu tertawa senang.
"Rupanya kau sangat
memperhatikan kerapian, Manis.
Tapi, boleh kan bila aku melihat
keindahan kulitmu sebelum
aku menghancurkannya?"
Bret...!
Jemari tangan Genthalimang
bergerak. Dan, terpampanglah
sebuah pemandangan menakjubkan
yang sanggup
menaikturunkan jakun lelaki
berwajah seram itu.
"Uh...! Uh...!"
Hanya suara keluhan yang keluar
dari mulut Dewi Ikata.
Rasa ngeri semakin membayang di
mata gadis cantik itu.
Napas Genthalimang terdengar
memburu. Matanya
memandang tubuh bagian atas Dewi
Ikata yang telah
telanjang dengan tanpa berkedip.
"Kau sangat menarik,
Manis...."
Jemari tangan lelaki berwajah
seram itu bergerak lincah,
menggerayang ke setiap lekuk liku
keindahan tubuh Dewi
Ikata. Semakin lama gerakan
Genthalimang semakin kasar.
Seiring dengus napasnya yang
semakin memburu akibat nafsu
yang menggelora.
Dewi Ikata hanya dapat memejamkan
mata. Perlahan-lahan
mutiara bening bergulir ke
pipinya. Mendadak Genthalimang
mendekap tubuh gadis cantik itu.
Diciumnya bibir Dewi
Ikata....
***
Emoticon