Kapi Anggara bersama lima prajurit
kerajaan mendapat
tugas dari Baginda Prabu untuk
memeriksa setiap pelosok
kotapraja. Raja yang arif
bijaksana itu mengkhawatirkan
adanya gerakan dari orang-orang
yang simpati kepada
Perkumpulan Bidadari Lentera Merah
dan Pengemis Baju
Hitam.
Pemuda tampan yang biasa disebut
si Pendekar Asmara itu
berusaha melaksanakan tugas yang
diembannya dengan
sebaik mungkin. Dengan menunggang
kuda bersama para
prajurit, mereka mengelilingi
kotapraja.
"Pesta syukuran akan diadakan
besok malam. Sebenarnya
tugas kita sangat berat Kita tak
mengetahui ciri-ciri orang
yang harus kita curigai,"
kata Kapi Anggara kepada seorang
prajurit yang berkuda di
sebelahnya.
"Yah, semoga saja tak terjadi
suatu apa," sahut prajurit itu.
"Malam ini langit tampak
eerah. Aku harap besok demikian
pula," gumam Kapi Anggara
seraya mendongakkan kepalanya
menatap kekelaman langit di atas
sana.
Sambil berkata-kata, enam orang
penunggang kuda itu
terus bergerak pelan. Ketika
sampai diseberang jalan kecil
yang terdapat pohon trembesi tua,
rombongan itu
menghentikan langkah kuda. Kapi
Anggara melihat sebuah
rumah tua yang hampir roboh. Ada
sorot cahaya perapian
keluar dari jendela yang sudah tak
berdaun.
"Coba kalian periksa rumah
itu!" perintah Kapi Anggara
kepada dua orang prajurit
kerajaan.
Dengan sigap, dua pemuda bertubuh
kekar itu menghentak
tali kendali kuda. Ketika mereka
sampai di tempat yang dituju,
lewat pintu yang Juga sudah tiada
berdaun, mereka terkejut
menyaksikan sebuah pemandangan
yang menjijikan.
Di dalam rumah yang sudah tak berpenghuni
itu terlihat
manusia berwajah seram sedang
menciumi seorang gadis
yang tergeletak lemah di lantai.
"Hai, apa yang kau
lakukan?!" teriak salah seorang prajurit
yang berada di depan.
Tentu saja lelaki yang sedang
berusaha melampiaskan
nafsunya itu terkejut. Dia segera
meloncat dan menggeram
berkepanjangan. Ketika melihat
jelas wajah lelaki itu, dua
perajurit kerajaan bergidik ngeri.
"Kau... kau siapa?"
tanya salah seorang prajurit.
Lelaki berwajah seram yang tak
lain Genthalimang itu
menggeram semakin keras.
"Pergi kau!" teriaknya sambil
menudingkan jari telunjuk.
Genthalimang menendang batu
sebesar kepalan tangan
yang berada di depan kakinya!
Prajurit yang berada di depan,
karena tak menduga akan datangnya
serangan, tak sempat
menghindar lagi. Tapi, sebuah
bayangan berkelebat dan
menyampok luncuran batu.
Kapi Anggara berdiri dengan gagah
menatap tajam wajah
Genthalimang.
"Manusia Busuk! Rupanya kau
hendak berbuat biadab!"
hardik pemuda tampan itu.
Genthalimang cuma mendengus. Tanpa
berkata-kata
diterjangnya si pengacau yang
telah menggagalkan niatnya
pada Dewi Ikata. Kapi Anggara
menggerakkan tubuhnya ke
samping, menghindari pukulan. Lalu
dilancarkan tendangan
berputar. Sayang, tendangan itu
hanya mengenai angin
kosong.
"Katakan siapa dirimu, Manusia
Busuk!" bentak si Pendekar
Asmara.
"Apa perlunya kau menanyakan
itu?!" sahut Genthalimang
tak kalah sengit.
"Bangsat! Kau memang pantas
disekap dalam ruang bawah
tanah sebagai santapan
tikus!"
Usai mengucapkan kalimatnya, Kapi
Anggara melancarkan
pukulan ke dada.
Zebs...!
Pemuda tampan itu terkejut bukan
main. Ketika tangan
Genthalimang menangkis, pukulannya
seperti membentur
gedebong pisang.
Tapi, pendekar yang sudah cukup
matang pengalaman itu
tak terpaku dalam keterkejutannya.
Dia segera melancarkan
serangan lanjutan. Lima orang
prajurit kerajaan ikut
membantu.
"Huh! Apa perlunya kalian
mengeroyokku?!" kata
Genthalimang sambil menghindari
serangan.
"Tidakkah kau lihat bahwa
kami prajurit kerajaan yang
bertugas menangkap orang-orang
semacammu!" ucap salah
seorang prajurit dengan beraninya.
Genthalimang segera memutar
tubuhnya. Dia berusaha
menyarangkan tendangan ke tubuh
Kapi Anggara. Tapi, pada
saat itu Kapi Anggara telah
mempersiapkan sebuah serangan
mendadak
Ketika kaki kanan Genthalimang
meluncur ke dadanya,
pemuda tampan itu tak bergerak
menghindar. Lalu, secara
tiba-tiba dia menjulurkan tangan
kanannya!
Bunga kenanga yang merupakan
senjata andalannya
menancap di pangkal paha
Genthalimang. Lelaki berwajah
seram itu tentu saja menjerit
kesakitan. Bola matanya
bergerak nanar. Ketika melihat
tidak ada kemungkinan
untuknya memenangkan pertempuran,
Genthalimang
menghem-poskan tubuhnya berusaha
melarikan diri.
"Hei, mau lari ke mana
kau?!" teriak Kapi Anggara seraya
melontarkan bunga-kenanga mautnya.
Zebs...!
"Argh...!"
Punggung Genthalimang yang menjadi
sasaran. Tapi,
manusia buruk rupa itu tak
mempedulikan luka yang
dideritanya. Dia lari
terbirit-birit bagai orang dikejar setan.
Lima orang prajurit kerajaan
berusaha untuk mengejar.
"Biarkan dia pergi...,"
cegah Kap Anggara. "Lebih baik kita
segera menolong gadis yang tak
berdaya itu."
"Tapi, lelaki tadi jelas
orang jahat," bantah salah seorang
prajurit.
"Tak perlu kau risaukan. Dia
hanya penjahat biasa. Pesta
syukuran tak akan diganggu oleh
orang semacam dia," sahut
si Pendekar Asmara meyakinkan.
Pemuda tampan itu lalu berjalan
mendekat Dewi Ikata yang
sedang mengucurkan air mata
sebagai pelampiasan rasa
syukur.
"Tak perlu takut, aku berniat
menolongmu," kata Kapi
Anggara seraya melepas kain yang
menyumpal mulut Dewi
Ikata.
Setelah tatokan di punggungnya
dibebaskan, gadis cantik
yang hampir saja kehilangan
kehormatannya itu menangis
tersedu-sedu sambil menutupi
bagian rubuhnya yang terbuka.
Kapi Anggara melepas mantel yang
dikenakannya. Lalu,
disodorkannya kepada Dewi Ikata.
"Pakailah...," kata
pemuda tampan itu.
Mau tak mau Dewi Ikata menerima
kebaikan Kapi Anggara.
"Te... terima kasih...,"
ucapnya di sela-sela tangisnya.
"Sudahlah," Si Pendekar
Asmara menenangkan. "Bahaya
sudah lewat. Aku akan mengantarmu
pulang."
"Terima kasih...."
"Di mana tempat tinggalmu?
Aku akan mengantarmu
sekarang juga."
Dewi Ikata menggelengkan
kepalanya.
"Kau tidak punya tempat
tinggal?" tanya Kapi Anggara
seraya menatap wajah Dewi Ikata dalam-dalam.
"Tidak," jawab gadis
berumur tujuh belas tahun itu. Dia sedang menuruti nasihat gurunya, agar tak
membeberkan
siapa jati dirinya kepada
sembarang orang.
Kening si Pendekar Asmara
berkerut.
"Gadis secantik dan seanggun
ini paling tidak pastilah putri
seorang demang atau adipati. Tapi,
kenapa dia bilang tak
bertempat tinggal?" kata
pemuda tampan itu dalam hati. "Ah,
hal ini malah kebetulan. Aku bisa
mengajaknya ke istana..."
Kapi Anggara tersenyum-senyum
sendiri.
"Namamu siapa?" tanya
pemuda tampan itu kemudian.
"Dewi Ikata."
"Ehm... sebuah nama yang
bagus. Kalau kau tidak punya
tempat tinggal, kau bisa ikut aku
ke istana."
'Tidak!"
Mendengar jawaban Dewi Ikata yang
tegas, Kapi Anggara
mengangkat kedua alisnya.
"Kenapa?" tanya pemuda
tampan itu.
"Aku harus mencari
guruku," jawab Dewi Ikata pelan.
"Siapa nama gurumu?"
"Arumsari."
"Dewi Tangan Api?"
"Ya."
Kapi Anggara menggeleng-gelengkan
kepalanya. Dia sama
sekali tak menyangka kalau gadis
yang tampak lemah ini
ternyata murid seorang tokoh yang
sudah cukup ternama di
rimba persilatan.
"Kalau kau memang benar mund
Arumsari, kenapa bisa
orang buruk rupa tadi berbuat tak
senonoh kepadamu?" tanya
si Pendekar Asmara heran. Bahkan,
setengah tak percaya.
Karena merasa telah berhutang budi
kepada pemuda
tampan itu, Dewi Ikata lalu
menceritakan peristiwa yang baru
saja dialaminya.
"Jadi, saat ini gurumu
kemungkinan besar sedang
mencarimu?" tanya Kapi
Anggara. Dewi Ikata menganggukkan
kepalanya. "Aku akan
membantumu untuk mencari gurumu itu
besok," Kapi Anggara
menawarkan jasa baiknya.
"Tidak. Aku akan mencarinya
sekarang." Dewi Ikata bangkit
dari duduknya. Tapi, tubuhnya
terhuyung-huyung.
"Tubuhmu masih lemah. Kau
lihat juga, hari masih malam."
Dewi Ikata tak mempedulikan ucapan
si Pendekar Asmara.
Dia berjalan keluar dari rumah tak
ber-penghuni itu. Lima
prajurit kerajaan menatapnya tak
mengerti.
Tiba-tiba si Pendekar Asmara
meloncat. Dihalanginya
langkah Dewi lkata. "Aku akan
membantu mencari gurumu
sekarang," katanya sambil
mengulum senyum.
"Tuan tidak perlu
bersusah-susah- Terima kasih atas segala
kebaikan Tuan."
"Jangan memanggilku dengan
sebutan 'tuan' Namaku Kapi
Anggara. Aku akan membantumu.
Berbahaya seorang gadis
berjalan seorang diri di malam
gelap seperti ini "
Pemuda tampan itu lalu meloncat ke
punggung kuda,
setelah melepas tali kendali yang
diikatkan ke balok kayu
bekas tiang pagar.
"Segeralah kau naik di
belakangku," pinta Kapi Anggara
pada Dewi Ikata.
Dewi Ikata tampak ragu sejenak.
Tapi kemudian karena
merasa dirinya tak mungkin mencari
Arumsari seorang diri,
gadis itu pun menganggukkan
kepala.
Tak lama kemudian, si Pendekar
Asmara dan lima prajurit
kerajaan telah memacu kuda mereka
dengan langkah
perlahan.
"Kenapa kau tidak
berpegangan?" tanya Kapi Anggara
heran kepada Dewi Ikata yang duduk
di punggung kuda
bersamanya. Dewi Ikata memang
tidak memeluk punggung
pemuda itu atau sekadar
mencengkeram baju belakangnya
untuk berpegangan.
Gadis itu tak menjawab. Wajahnya
merona merah. Sekilas
tampak rasa jengah terlihat di
matanya.
"Jalan di depan sangat gelap.
Kaki kuda bisa terperosok ke
dalam kubangan. Kau bisa terjatuh
bila tidak berpegangan,"
berirahu Kapi Anggara lagi,
Mendengar ucapan Kapi Anggara,
perlahan-lahan Dewi
Ikata melingkarkan lengannya ke
pinggang pemuda
penolongnya itu. Si Pendekar
Asmara pun tersenyum senang.
"Baginda Prabu memberi tugas
yang tepat kepadaku. Ada
merpati cantik yang begitu
menarik. Sebentar lagi merpati itu
akan jatuh ke pelukan sang
jantan," kata pemuda tampan itu
dalam hati.
"Kita hendak ke mana?"
tanya Dewi Ikata tiba-tiba.
"Lho, bukankah kita mencari
gurumu?" "Maksudku, kita
mencarinya ke mana?"
"Mengelilingi kotapraja."
"Jangan...," Dewi lkata
memperlihatkan ketakutannya.
"Eh, kau kenapa?" tanya
Kapi Anggara heran. Pegangan
tangan Dewi Ikata di pinggangnya
tiba-tiba dilepas.
"Aku takut bertemu dengan
seseorang yang bernama
Banaspati," sahut Dewi Ikata
cemas. Laki-laki itu pasti akan
menangkap dirinya jika mereka
berjumpa.”
"Pembesar kerajaan yang
berjuluk si Kepalan Baja itu?"
"Ya."
"Kau punya urusan
dengannya?"
Dewi Ikata lalu menceritakan
peristiwa di depan kedai
makanan, yang berlanjut dengan
penggeledahan di
penginapan untuk mencari ia dan
gurunya.
"Kau jangan takut Dia tak
akan berani menghadapku," kata
Kapi Anggara penuh keyakinan.
Melihat kesungguhan ucapan pemuda
itu dan sepak
terjangnya tadi waktu melumpuhkan
lelaki 68 berwajah
seram, Dewi Ikata jadi bisa
bersikap tenang. Gadis itu mau
mengikuti ke mana Kapi Anggara
mengajaknya.
***
5
Pesta syukuran yang diadakan
Baginda Prabu berlangsung
meriah. Halaman istana benar-benar
jadi lautan manusia.
Tidak hanya para pembesar dan
pejabat tinggi kerajaan yang
hadir, rakyat jelata pun turut
menyatakan rasa syukurnya.
Mereka menyaksikan acara pesta itu
dengan riang gembira.
Tepat di samping kanan pintu
gerhang istana, Baginda
Prabu Arya Dewantara duduk
berdampingan dengan
permaisurinya yang cantik jelita,
Ra-ra Nawangwulan. Di
sebelah kiri dan kanan mereka
duduk mengapit Patih Rangga
Mahisa dan Senopati Risang Alit.
Sedangkan di antara tamu
kehormatan yang berjajar di
samping kiri Baginda Prabu,
menghadap ke panggung, tampak para
tokoh rimba persilatan
yang mempunyai hubungan dekat
dengan kerajaan.
Suropati duduk berjajar dengan
Raka Maruta, Gede
Panjalu, Wirogundi, Anjarweni, dan
beberapa tokoh
Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti
lainnya.
Mereka tampak asyik
bercakap-cakap. Sesekali menikmati
hidangan yang tersedia sambil
menyaksikan pertunjukan yang
digelar di atas panggung.
Ketika acara pesta telah berjalan
beberapa saat lamanya,
seorang pemuda tampan berambut
pirang
dan mengenakan pakaian indah
gemerlapan berjalan
mendekati Suropati.
"Aku mengajakmu
bertaruh," kata pemuda tampan itu
seraya menepuk bahu Pengemis
Binal.
"Eh kau, Pendekar Mata Maling...,"
Suropati sedikit terkejut.
Beberapa saat diperhatikannya
penampilan pemuda tampan
yang berdiri di belakangnya.
Pemuda itu tak lain Kapi Anggara.
"Rupanya kau telah menjadi
seorang bangsawan. Bangsawan
kedodoran. He-he-he...," goda
Suropati dengan lucunya.
"Hus! Jangan bercanda!"
bisik Kapi Anggara. "Kau tidak
mendengar perkataanku?"
"Apa?"
"Aku mengajakmu
bertaruh."
"Uh! Itu saja yang kau mau.
Apakah tidak ada pekerjaan
lain siilain mengajak
bertaruh?" cibir Suropati, tak tertarik.
Si Pendekar Asmara tersenyum
simpul. Pemuda Itu
meletakkan pantatnya di kursi
kosong di belakang Suropati.
"Di sini banyak gadis cantik.
Kita berlomba untuk
mendapatkan salah seorang dari
mereka. Yang mendapat
lebih cepat berarti dia yang
menang."
"Mana ada gadis cantik?"
tanya Suropati sambil
menggerakkan kepalanya
mencari-cari.
"Bodoh! Buka matamu
lebar-lebar! Yang duduk berjajar di
belakangmu kau kira siapa?"
sungut Kapi Anggara.
Suropati menyebarkan pandangan.
Remaja konyol itu
segera tersenyum simpul ketika
melihat jajaran gadis cantik
berpakaian indah tengah duduk di
belakangnya, la benar-
benar tidak melihat mereka tadi.
"Mereka siapa?" tanya
Suropati sambil menggaruk kepala.
"Putri pembesar-pembesar
kerajaan," jawab Kapi Anggara.
"Bagaimana, kau
sanggup?"
Pengemis Binal tampak berpikir.
Sesaat kemudian,
diperhatikannya dirinya sendiri
yang berpakaian penuh
tambalan.
"He-he-he...," si
Pendekar Asmara tertawa mengejek
"Rupanya kau ragu akan
kemampuanmu, Suro."
"Kau mau mengambil keuntungan
dengan pa-kaianmu,
Anggara," sungut Suropati
setengah mendongkol.
"Kenapa? Kau merasa kalah
sebelum bertanding? Karena
pakaian yang kau kenakan penuh
tambalan? Kalau kau mau,
aku bisa meminjamimu pakaian
seperti yang sedang kupakai."
Belum sempat Suropati memberi
jawaban, Raka Maruta
yang sedari tadi cuma diam
menyenggol lengannya.
"Kalian mempertaruhkan
apa?" tanya pemuda berwajah
lembut itu.
"He-he-he...," Suropati
tertawa. "Kau mau ikut?"
"Apa?"
"Menggaet gadis cantik."
Raka Maruta tersenyum kecut.
Pemuda itu mempunyai sifat
pemalu. Mana berani dia mendekati
seorang gadis lalu
merayunya. Maka, dia langsung
terdiam sambil menundukkan
kepala. Melihat itu, Suropati dan
Kapi Anggara tertawa.
"Ternyata kita punya teman
banci, Suro," sindir Kapi
Anggara.
"Siapa yang kau bilang
'banci'?" Raka Maruta tersinggung
mendengar ucapan pemuda tampan
itu.
"Begitu saja marah. Kalau kau
memang tidak banci, kau
harus ikut taruhan," tantang
Kapi Anggara.
"Baik, apa taruhannya?"
keberanian Raka Maruta langsung
bangkit.
Si Pendekar Asmara tampak berpikir
sejenak. Sesaat
kemudian, wajahnya bersinar
senang.
"Yang menang akan jadi
pemimpin di antara kita," kata
pemuda tampan itu penuh keyakinan.
"Baik!"
Suropati dan Raka Maruta menjawab
hampir bersamaan
Kapi Anggara tersenyum.
"Kalian sekarang ikut aku,"
ajaknya.
"Ke mana?" tanya Raka
Maruta.
Kapi Anggara membongkokkan
rubuhnya, kemudian
berbisik di telinga pemuda
berwajah lembut itu. Terlihat Raka
Maruta menganggukkan kepala.
Suropati, Kapi Anggara, dan
Raka Maruta lalu berjalan ke
belakang istana. Gede Panjalu
dan beberapa anggota Perkumpulan
Pengemis Tongkat bakti
yang bertanya, cuma dijawab dengan
senyuman.
Tak lama kemudian, ketiga pemuda
tadi telah kembali ke
dalam arena pesta. Pakaian yang
dikenakan Suropati dan Raka
Maruta telah berganti dengan
layaknya pakaian seorang
pangeran. Dengan langkah
digagah-gagahkan, mereka
berpencar mengelilingi arena
pesta.
"Uh! Kenapa badanku tiba-tiba
jadi meriang setelah
memakai baju ini?" kata
Suropati sambil memandangi baju
yang dikenakannya.
Tapi, senyum remaja konyol itu
segera mengembang ketika
melihat seorang gadis cantik.
Rambutnya digelung dengan
hiasan sekuntum bunga mawar.
"Aku akan memenangkan taruhan
ini...," desis Pengemis
Binal seraya berjalan mendekat
gadis yang duduk bersama
para undangan.
"Aku mau bicara sebentar.
Duduklah dibela-kang," ajak
Suropati sambil mengerjapkan
matanya.
Aneh, si gadis mengikuti tangkah
remaja konyol itu tanpa
bertanya-tanya lagi Mereka
mengambil tempat duduk di deret
belakang yang kebetulan banyak
terdapat kursi kosong.
"Siapa namamu?" tanya
Suropati mulai melancarkan
rayuannya.
Yang ditanya cuma mengulum senyum.
Matanya
mengerling penuh arti
"Eh, kau tidak mendengar
pertanyaanku?" tanya Suropati
lagi.
Gadis itu tetap diam. Kepalanya
ditundukkan dalam-dalam.
"Rupanya kau gadis pemalu.
Tapi, tak apa. Aku malah
senang. Kau cantik sekali
sih," goda Suropati dengan
tersenyum.
Mendengar ucapan Suropati, si
gadis meremas jemari
tangannya sendiri. Pengemis Binal
jadi gemas melihatnya.
Dicubitnya lengan gadis di
sampingnya itu.
"Ih! Kau sangat
menggemaskan," kata Suropati tanpa
sungkan-sungkan.
Si gadis tersenyum senang.
"Tempat tinggalmu di
mana?" tanya remaja konyol itu.
Tapi, tak mendapat jawaban.
"Kau anak siapa?" [tanyanya
lagi.
Karena tak satu pun pertanyaannya
mendapat jawaban,
Suropati menggerutu kecil. Namun
ketika teringat taruhannya
bersama Kapi Anggara dan Raka
Maruta, remaja konyol itu
jadi bersemangat kembali.
"Aku kira kau memang gadis
yang agak tertutup. Tapi, tak
jadi apa juga. Aku senang
kok," Suropati terus mengeluarkan
rayuannya. "Kau sangat
cantik. Sungguh sangat cantik.
Melebihi kecantikan bidadari yang
pernah kulihat di lukisan-
lukisan. Kau juga anggun.
Gerak-gerikmu lemah-gemulai,
sanggup membuat getar-getar aneh
dalam hatiku...."
Si gadis tersenyum-senyum. Semakin
nakal dia meremas
jemari tangannya sendiri. Kaki
kanannya diayun-ayunkan
perlahan.
Suropati menatap tanpa berkedip.
Kemudian, diraihnya
lengan gadis itu.
"Maukah kau jadi
pacarku?" tanya remaja konyol itu tiba-
tiba.
Mendadak si gadis melonjak
kegirangan. Tanpa malu-malu
diciumnya pipi Pengemis BinaL
"Eh, kalau ingin bermesraan
bukan di sini tempatnya. Di
belakang istana saja," ajak
Suropati.
"Uh... ah... auh... wa...
uh... waaa...."
Mulut si gadis mengeluarkan
kata-kata aneh. Kedua
tangannya digerak-gerakkan seperti
orang memberi isyarat.
"Apa katamu?" tanya
Suropati tak mengerti.
"Uh... ah... wau...
waaa...."
Mendengar kata-kata aneh itu
terulang lagi, Suropati
terperangah.
"Kau... kau bisu?"
"Uh... au...," si gadis
menganggukkan kepalanya.
Melihat itu, Suropati langsung
berlalu dari tempat itu
dengan mengambil langkah seribu.
Si gadis hanya dapat
mencak-mencak sambil
menu-ding-nudingkan jari tangannya.
Suropati berjalan seraya
menggaruk-garuk kepala.
"Kalau aku tahu dia gadis
bisu, tak bakalan aku
membuang-buang waktu.
Mudah-mudahan aku belum kalah,"
gerutu pemuda itu.
"Hai...!"
Tiba-tiba, seorang gadis yang
duduk terpisah dari para
undangan menyapa remaja konyol
itu. Suropati menoleh.
Ketika melihat yang menyapanya,
seorang gadis cantik
dengan dandanannya sangat aduhai,
dia datang menghampiri.
"Kalau ini dijamin tidak
bisu," kata Suropati dalam hati.
"Kau tidak punya teman?"
tanya si gadis.
Suropati menggaruk kepalanya.
"Aduh, sayang Seorang
pangeran tampan mempunyai kutu
di rambutnya...."
"Aku tidak punya kutu!"
bantah Suropati cepat.
"Syukurlah. Tapi, mungkin ada
kelainan di kepalamu. "
"Tidak. Ah, jangan ngomong
soal itu! Kau ingin bersahabat
denganku, kan?" Suropati
menunjukkan kesungguhan dalam
bias wajahnya.
"Tentu, asal...," si
gadis tersenyum sambil menggeleng-
gelengkan kepala.
"Asal apa?"
"Bajumu bagus. Kau tentu
banyak duit," sahut si gadis.
Suropati menggaruk kepalanya.
"Gadis ini tidak tahu kalau
baju yang kupakai adalah baju
pinjaman. Kalau dia menyangka aku
banyak duit, wah,
bagaimana?" katanya dalam
hati.
"Eh, kau tidak tanya namaku?"
si gadis mengedipkan
matanya.
"Siapa?" tanya Suropati
seperti orang bodoh.
"Rara Ayu Dyah Puspitaningrum
Lukitasari Prabaweni
Thoktrdl"
Suropati tertawa terbahak-bahak
mendengar nama yang
sepanjang itu
"Eh, kenapa kau tertawa?
Mengejek, ya?" kata si gadis
dengan bibir cemberut.
"Aku tidak mengejekmu. Kau
membuatku bingung.
Bagaimana aku harus
memanggilmu?"
"Kau bisa memanggilku
'Dhiajeng Thil.'"
Pengemis Binal tertawa kembali.
Kali ini lebih keras. Dia
sampai memegangi perutnya yang
terasa kejang.
"Kau rada gila, ya?" si
gadis bertanya dengan agak marah.
"Uh... ah, tidak!"
"Lalu, kenapa kau
tertawa?"
"Kau lucu. Hi-hi-hi...."
Si gadis mencubit dagu Suropati.
"Kau tampan dan sangat
menggemaskan...," katanya.
"Eh, kau belum menyebutkan
siapa namamu."
"Raden Mas Sosro Hadiningrat
Mangkubumi Mangkulangit
Hayuweningtyas Panyuwun Sadekah
alias Suroblonthang....
Eh, Suropati."
Ganti si gadis yang tertawa keras.
"Kau lucu," katanya
kemudian.
"Kau juga."
"Di mana tempat
tinggalmu?" "Banyak. Aku sering pindah-
pindah." "Wuih, kau
sangat kaya rupanya," si gadis
merasa sangat senang.
Suropati tersenyum-senyum.
"Kau sendiri?" tanya
remaja konyol itu sambil meremas
jemari tangan si gadis.
"Tergantung keadaan. Kalau
sekarang aku tidak sendiri.
Kan ada kau, Raden Mas Suroblon-thang.
Eh, Suropati...."
"Rumahmu?"
"Perlukah itu kujawab?"
"Tentu."
"Rumahku di pojok utara
kotapraja." 'Yang mana?"
"Rumah besar yang agak
menjorok ke dalam."
Mendengar itu, Pengemis Binal
terkejut bukan main. "Itu
kan rumah para wanita
panggilan...?" katanya setengah tak
percaya.
"Memangnya kenapa?"
"Kau tinggal di situ?"
'Ya."
"Jadi... jadi kau...."
'Ya. Aku putri asuhan Mak
Werti"
"Kau peL...."
'Ya. Kenapa, kau heran? Apakah kau
tidak jadi kencan
denganku?"
Suropati terdiam. Gerutuan
panjang-pendek keluar dari
mulutnya.
"Tadi dapat gadis bisu.
Sekarang wanita penghibur. Uh!
Sial!" umpat remaja konyol
itu dalam hati. "Tapi kalau aku
ajak gadis itu, Kapi Anggara dan
Raka Maruta tak kan tahu dia
bukan wanita baik-baik."
"Kok malah bengong? Jadi
kencan, nggak?" kata si gadis
tak sabaran.
Suropati menggaruk kepalanya.
"Kalau jadi, bayar uang muka
dulu."
Suropati segera merogoh-rogoh
kantong bajunya. Tentu
saja dia tak menemukan apa-apa.
Memang dia tak mempunyai
uang sepeser pun.
"Aku tak bawa uang,"
kata Suropati kemudian dengan
senyum kecut.
"Wah, tidak bisa kalau
begitu. Mak WerB nanti marah."
"Bayar belakangan
saja...."
Si gadis melengos Dia tak
mempedulikan Suropati lagi.
"Waduh, kalau begini aku bisa
kalah bertaruh...," kata
Pengemis Binal dalam hati.
"Ah, aku harus melakukan
sesuatu."
Remaja konyol itu lalu mengerahkan
kekuatan sihirnya
Akhirnya, si gadis mau saja ketika
diajak menuju ke belakang
istana, tempat yang telah
disepakati bersama Kapi Anggara
dan Raka Maruta.
Ketika sampai di samping istana,
Suropati tertawa
terbahak-bahak melihat Raka Maruta
dituding-tuding dan
diomeli seorang wanita tua yang
berdandan menor.
"Hei, Maruta! Menyerahlah!
Kau tidak berbakat menggaet
gadis! Menggaet nenek-nenek pun
tak bisa. He-he-he....."
Raka Maruta mendatangi Suropati
dengan muka kusut.
Pemuda berwajah lembut itu
memandang iri gadis yang
berada di samping Suropati.
"Kau berhasil, Suro...,"
kata Raka Maruta.
"Tentu."
"Kini lawanmu tinggal Kapi
Anggara. Aku menyerah saja."
Suropati mengedarkan pandangan.
"Di mana dia? Jangan-jangan
dia telah berada di belakang
istana...."
Dengan terburu-buru, Suropati
melangkah menuju
belakang istana. Si gadis
diseretnya agar melangkah cepat.
Raka Maruta berjalan mengikuti.
Suropati mengumpat-umpat
ketika dilihatnya Kapi Anggara
sedang bercengkerama dengan
seorang gadis berpakaian
putih-kuning. Melalui cahaya
rembulan, dapat dilihatnya jelas
mereka saling berpegangan
tangan.
"Hei, kalian datanglah cepat!
Aku akan segera jadi
pemimpin kalian!" teriak Kapi
Anggara saat melihat kehadiran
Suropati dan Raka Maruta.
Pengemis Binal berjalan mendekat
sambil menahan geram.
Gadis yang berada di sampingnya
ditinggal begitu saja.
"Ayo kenalkan, Suro. Ini
kekasihku. Namanya De...."
Kapi Anggara tak melanjutkan
kalimatnya. Dia melihat
wajah Suropati tiba-tiba
pucat-pasi waktu menatap gadis yang
berada di sampingnya.
"Kau... kau...," kata
Pengemis Binal tergagap.
"Kau Dewi Ikata?"
Si gadis tak kalah terkejutnya
saat menatap wajah
Suropati. Dia menjerit kecil.
Lalu, menundukkan kepala dalam-
dalam.
Suropati mundur beberapa tindak.
Sekejap kemudian,
tubuhnya melesat meninggalkan
tempat itu. Kapi Anggara
terperangah melihatnya. Raka
Maruta menatap kepergian
Suropati dengan pandangan tak
mengerti, lalu berlari
mengejar.
Suropati berlari cepat keluar dari
kotapraja. Bayangan Dewi
Ikata yang duduk berdampingan
mesra bersama Kapi Anggara
tak pemah lepas dari benaknya.
Bibir remaja konyol itu digigit
keras-keras. Sejenak ingatannya
melayang ke taman kepu-
tren Kadipaten Bumiraksa, di mana
dia pemah mengikat janji
bersama gadis pujaan hatinya.
Disaksikan rembulan dan bintang,
Suropati menyatakan
perasaan harinya.
"Aku pun mencintaimu,
Suro...," kata Dewi Ikata pada
waktu itu.
"Tapi, aku hanya orang miskin
yang tak punya apa-apa."
"Di mataku kau sangat
sempurna, Suro. Kau tampan dan
perkasa."
"Ah, kau hanya ingin
membuatku merasa senang," Suropati
tersipu malu.
"Tidak. Itu kukatakan dari
ketulusan hatiku,"
senyum Dewi Ikata.
"Sungguh?"
"Demi Tuhan, aku mencintaimu,
Suro...."
Mereka lalu berpelukan dan saling
mengucap janji untuk
selalu hidup bersama. Tapi,
kenyataan mengatakan lain. Dewi
Ikata harus mengikuti pengembaraan
gurunya, Arumsari atau
Dewi Tangan Api.
Mereka pun berpisah. Namun,
sebelumnya mereka telah
berjanji suatu saat akan
mewujudkan segala harapan yang
telah tersusun. Maka, pertemuan
mereka dibelakang Istana
Kerajaan Anggarapura benar-benar
menyakitkan hati Suropati.
Remaja konyol itu menggigit
bibirnya semakin kuat. Dia
menghentikan larinya, lalu
melangkah pelan dengan tubuh
gontai. Seorang pemuda berwajah
lembut menyusul dari
belakangnya.
"Kau kenapa, Suro?"
tanya pemuda itu, yang tak lain Raka
Maruta atau Pendekar Kipas
Terbang.
Suropati tak menjawab. Kepalanya
ditundukkan. Melihat
itu, Raka Maruta tertawa
terbahak-bahak.
"Hei, apa yang kau
tertawakan?" tanya Suropati,
tersinggung.
"Ternyata kau tidak sekonyol
yang kukira. Sebenarnya kau
kenapa, Suro? Menyesal karena
kalah taruhan? Kapi Anggara
memang banyak akal. Kita bisa
membalasnya di kemudian
hari."
"Bukan itu masalahnya. Gadis
yang berada disampingnya
itu'adalah kekasihku!"
Mulut Raka Maruta ternganga lebar.
"Dia putri Adipati Danubraja,
dan pernah mengikat janji
denganku," beritahu Suropati
melihat temannya terheran-
heran.
"Ck... ck... ck... Hebat! Kau
hebat sekali, Suro..."
"Apanya yang hebat? Sekarang
gadis itu melanggar
janjinya." "Janji
apa?"
"Untuk hidup bersama."
"Kau sendiri menepati
janjimu? Tidak pernah mendekati
gadis lain?" ujar Raka
Maruta.
Mendengar ucapan Raka Maruta,
Suropati mendengus. Lalu
digaruk-garuknya kepalanya yang
tl< l.i k gatal.
Pada saat itulah, terlihat sebuah
bola api besar mi'i.ih
membara meluncur di angkasa menuju
kotapraja.
"Kita harus segera kembali ke
istana. Baginda Prabu dalam
keadaan bahaya!" teriak Raka
Maruta.
"Tidak Kita harus mencari
orang yang membuat bola api
itu," tolak Suropati
"Kenapa? Kau tidak mau
berjumpa lagi dengan kekasihmu!"
"Bukan karena itu. Di istana
sudah banyak tokoh-tokoh
sakti. Mereka bisa berbuat sesuatu
untuk menyelamatkan
Baginda Prabu."
Usai kalimat Pengemis Binal
diucapkan, terdengar ledakan
dahsyat di angkasa hingga
menimbulkan lidah api tinggi ke
udara.
"Apa kataku? Bola api itu
terbentur sebuah kekuataan
dahsyat. Kekuatan itu tentu
berasal dari tenaga dalam tokoh-
tokoh sakti yang berada di
istana," ujar Suropati.
Tiba-tiba sebuah bola api yang
lebih besar meluncur
datang.
"Orang usil itu berada di
seberang sana!" Suropati
menunjukkan telunjuknya ke satu
arah. Tubuh pemuda itu lalu
melesat. Raka Maruta mengejar.
Tapi, tak seberapa lama
mereka tampak kebingungan.
"Kita tak bisa menentukan
dari mana bola api itu berasal,"
kata Raka Maruta sambil
menghentikan langkahnya.
Suropati mendongakkan kepala.
"Kita menunggu bola api
itu muncul kembali," ujar
remaja konyol itu sambil terus
menatap langit.
"Hei! Itu, Suro...!"
Raka Maruta menudingkan jari
telunjuknya. "Manusia licik
itu berada di Lembah Tengkorak!"
Suropati dan Raka Maruta segera
melesatkan rubuh mereka
kembali. Keduanya berlari cepat
dengan mengerahkan seluruh
ilmu meringankan tubuhnya.
Jarak lari dua orang pendekar itu
terus tak berubah. Ini
menandakan kalau ilmu meringankan
tubuh mereka seimbang.
Karena kecepatan lari mereka
sangat luar biasa, tubuh
Suropati dan Raka Maruta berubah
jadi bayangan yang
berkelebat cepat sekali. Sepeminum
teh kemudian, mereka
telah menginjakkan kaki di Lembah
Tengkorak. Pa dahal jarak
antara kotapraja dengan Lembah
Teng korak cukup jauh.
"Hei, Manusia Busuk! Keluar
kau dari persembunyianmu!"
teriak Pengemis Binal dengan
mengerahkan tenaga dalam.
Suaranya menggema di seluruh
permukaan lembah.
Mendadak sebuah bayangan hitam
berkelebat, dan
mendarat tepat lima tombak di
hadapan Suropati dan Raka
Maruta. Dua pendekar muda itu
menatap wajah wanita
buntung yang menyeringai dingin.
"Sekar Mayang!" desis
keduanya, kaget "Ha-ha-ha,!" Sekar
Mayang atau Penghimpun Angkara
tertawa berkepanjangan.
Suropati dan Raka Maruta terkesiap
merasakan degup
jantung mereka tiba-tiba berubah
cepat. Dua pendekar muda
ini buru-buru mengerahkan hawa
mumi untuk menepis
serangan tak terlihat itu.
"Tanpa susah-susah mencari,
rupanya kalian telah datang
untuk menyerahkan nyawa!"
kata Sekar Mayang dengan suara
lantang.
"Wanita Iblis! Rupanya kau
belum puas setelah aku
membuntungi tangan kananmu!"
sambut Raka Maruta tak
kalah lantangnya.
Mendengar itu, Penghimpun Angkara
tertawa tergelak.
Suropati dan Raka Maruta kembali
merasakan jantungnya
berdegup lebih kencang.
"Ilmu wanita itu telah
berkembang demikian cepat" desis
Raka Maruta.
Serta-merta pemuda berwajah lembut
itu me-nepukkan
kedua telapak tangannya. Timbullah
getaran kekuatan dahsyat
yang kasat mata. Tawa Sekar Mayang
langsung terhenti. Mata
wanita buntung itu mendelik
Terdengar dengusan gusarnya
ketika merasakan aliran darahnya
tiba-tiba jadi kacau. Dia pun
segera mengerahkan hawa murni
untuk melindungi diri. Kalau
saja wanita buntung itu tidak
segera mengambil tindakan
tersebut, cairan darahnya akan
muncrat keluar dari seluruh
pori-pori.
"Bangsat...! umpat Penghimpun
Angkara. "Aku akan segera
membalaskan sakit hatiku kepadamu,
Raka Maruta!"
"Kepada Raka Maruta saja? Aku
tidak?" Suropati mengulum
senyum. "Terima kasih kalau
begitu...."
Remaja konyol itu membalikkan
badan seperti hendak
berlalu dari tempat itu. Penghimun
Angkara menggeram.
Tangannya segera dihentakkan ke
depan.
Wuuusss...!
Seberkas sinar merah meluncur ke
arah Suropati!
Remaja konyol itu meloncat tanpa
membalikkan tubuhnya.
Ledakan dahsyat langsung
membahana. Permukaan tanah di
mana pukulan jarak jauh itu
mendarat berkubang dalam.
Bebatuan beterbangan
kesana-kemari.
"Uh! Hampir saja tubuhku
hancur...," gumam Pengemis
Binal. Tubuhnya kembali dibalikkan
menghadap sosok Sekar Mayang yang
mempunyai sorot
mata setajam pedang.
"Wanita ini telah berusaha
membunuh Baginda Prabu,
Suro...," ujar Raka Maruta.
"Kita harus melenyapkannya!"
Pemuda berwajah lembut itu
langsung menerjang
Penghimpun Angkara dengan kibasan
kipas bajanya. Tapi....
Ceeesss...!
Raka Maruta merasakan telapak
tangannya panas saat
kipasnya hampir menyentuh tubuh
Sekar Mayang. Dia pun
terkejut setengah mari melihat
senjatanya terhenti di udara.
Penghimpun Angkara mengibaskan telapak
tangan
tunggalnya. Pendekar Kipas Terbang
yang masih dalam
keterkejutan tak sempat berbuat
apa-apa, ketika senjata
andalannya tercampak lepas dari
pegangan dan melayang
jauh.
Pemuda berwajah lembut itu
terperangah. Pada saat itulah,
Sekar Mayang melancarkan sebuah
tendangan maut!
Sraaattt...!
Raka Maruta masih sempat
menjatuhkan diri ke tanah.
Tapi, tak urung bahunya
terserempet. Bajunya robek lebar
dan mengepulkan asap. Untunglah
pemuda berwajah lembut
itu mempunyai tenaga dalam yang
sudah mendekati
kesempurnaan. Kulitnya jadi tidak
hangus terbakar.
"Tunggu apa lagi,
Suro?!" teriak Raka Maruta. "Segera kita
gempur wanita iblis ini!"
"Sayang, aku tidak membawa
Tongkat Saktiku," gumam
Pengemis Binal.
Mata remaja konyol itu mendelik
ketika melihat Pendekar
Kipas Terbang yang telah
kehilangan senjata diserang oleh
Sekar Mayang. Pemuda berwajah
lembut itu tampak
kewalahan.
Suropati langsung terjun ke arena
pertempuran dengan
melancarkan pukulan dalam jurus
'Pengemis Menghiba
rembulan'!
Wuuusss...!
Kerudung hitam yang dikenakan
Sekar Mayang lepas,
terkena sambaran angin pukulan
Pengemis Binal. Wanita
buntung itu mendengus keras.
Telapak tangan tunggalnya
dikibaskan.
Hawa panas terasa menerpa.
Suropati meloncat tinggi-
tinggi kemudian meluncur cepat
mengge-prak kepala
Penghimpun Angkara. Bersamaan
dengan itu, Raka Maruta
melancarkan tendangan ke perut!
Sekar Mayang melentingkan tubuhnya
ke belakang lalu
bersalto beberapa kali di udara.
Kedua serangan lawannya
pun luput!
"Kalian benar-benar sudah
merindukan Malaikat Kematian!"
kata Sekar Mayang setelah menjejak
tanah.
Wanita itu bersuit nyaring. Dan
sebuah bayangan merah
berkelebat cepat mendarat di sisi
kiri Penghimpun Angkara.
"lngkanputri!" desis
Pengemis Binal.
"Ha-ha-ha...,'" Sekar
Mayang tertawa. "Kau kaget melihat
sahabatmu jadi budakku,
Suro?" Pandanglah sepuasmu
sebelum dia membunuhmu!"
"Jahanam! Bebaskan gadis yang
tak berdosa itu!" pekik
Suropati.
Penghimpun Angkara tertawa
kembali. Kemudian, telunjuk
jari tangan tunggalnya menuding.
"Cincang tubuhnya, Putri...!
Mendengar perintah itu,
Ingkanputri langsung menerjang!
Tangan kanannya bergerak lurus ke
depan dengan telapak
terbuka. Sedangkan tangan kiri
menekuk di samping dada.
Dengan lontaran tubuh, gadis itu
berusaha menyarangkan
pukulan ke kepala Pengemis Binal.
Suropati menggeser tubuhnya satu
tindak. Luncuran
tangan kanan Ingkanputri pun
luput. Tapi, remaja konyol itu
tak menyangka bila serangan hebat
Ingkanputri berpusat pada
tangan kiri yang menekuk!
Wuuusss...!
Tangan kiri Ingkanputri menyorong
ke depan sambil
memiringkan rubuhnya. Angin
pukulan berhawa panas
menerjang dada Pengemis Binal.
Remaja konyol itu meloncat
ke samping. Dan, Ingkanputri telah
mempersiapkan sebuah
tendangan!
Tubuh Suropati terpelanting waktu
tendangan Ingkanputri
bersarang di pinggang kiri,
"Ha-ha-ha...,"
Penghimpun Angkara tertawa tergelak-gelak.
"Lumat dia, Putri! Jangan,
beri kesempatan untuk bernapas!"
"Wanita Iblis! Akulah yang
akan melumat tubuhmu!"
sambut Raka Maruta seraya
menerjang.
"Ucapanmu itu
terbalik...!" Sekar Mayang segera
menyambut.
***
Malam di Lembah Tengkorak tak lagi
sunyi. Teriakan
kemarahan dan dentuman pukulan
membahana, memekakkan
gendang telinga. Pijaran cahaya
lewat pukulan jarak jauh yang
berasal dari pemusatan tenaga
dalam membuat gelap
tersibak.
"Haiiittt..!
Tubuh Suropati berkelebat cepat,
berusaha menotok dada
kiri lngkanputri. Tapi, gadis itu
mengibaskan telapak tangan
kirinya dengan ber-lambarkan ilmu
'Pukulan Api Neraka'!
"Ih...!"
Pengemis Binal menarik tangannya
ketika hawa panas
menghadang. Dia pun jadi
kerepotan, karena hanya mau
menyerang dengan mengandalkan
jurus-jurus totokan yang
tak membahayakan jiwa. Sedangkan
lngkanputri terus
mencecar remaja konyol itu dengan
serangan-serangan
mematikan.
Kedua tangan gadis murid Dewi
Tangan Api itu datang
menderu-deru membiaskan cahaya
merak Pengemis Binal
dipaksa berloncatan ke sana-kemari
untuk menghindari.
"Aku harus mencari akal untuk
memusnahkan kekuatan
sihir yang mempengaruhi
lngkanputri...," kata Suropati dalam
hati. 'Tapi, bagaimana aku dapat
memusatkan kekuatan batin
bila gadis itu
begitu bernafsu untuk
membunuhku?"
Melihat lawan berdiri dalam
keterpanaan, Ingkanputri tak
menyia-nyiakan kesempatan itu.
Kedua telapak tangannya
yang dilambati tenaga dalam penuh
menghentak ke depan.
Kilatan cahaya api meluncur ke
arah Pengemis Binal.
Remaja konyol itu sudah tak sempat
lagi untuk
menghindar. Dia melindungi dadanya
dengan kedua telapak
tangan. Kekuatan tenaga dalamnya
hanya dua pertiga karena
takut akan mencelakakan
Ingkanputri.
Blaaarrr...!
Ledakan dahsyat membahana,
menimbulkan percikan
bunga api yang menyibak gelap.
Tubuh Ingkanputri terlontar dua
tombak ke belakang.
Sedangkan tubuh Suropati terpental
jauh. Tapi, dengan
bersalto beberapa kali di udara
remaja konyol itu dapat
mendaratkan kakinya ke tanah.
Keluhan kecil keluar dari mulut
Pengemis Binal. Dadanya
terasa sesak dan pandangannya
sedikit mengabur. Dengan
tubuh terhuyung-huyung dia
menggeleng-gelengkan kepala,
berusaha mengusir kerlip cahaya
biru yang menebar di depan
matanya.
Pada saat itu Ingkanputri telah
melancarkan pukulan jarak
jauhnya kembali!
Wuuusss...!
Kali ini, serangan gadis itu hanya
dapat membuat kubangan
dalam di permukaan tanah. Suropati
telah melompat tinggi-
tinggi.
Pada waktu tubuh remaja konyol itu
masih melayang di
udara, kedua tangannya terpentang
lalu menangkup dengan
telapak menghadap ke depan.
Suropati memainkan
jurus'Pengemis Meminta Sedekah!
Deeesss...!
Tubuh lngkanputri berpusing di
tempat lalu terlontar lima
tombak. Terkena sodokan telapak
tangan Suropati yang
bersarang di bahu kanan. Setelah
bisa menguasai keadaan,
gadis itu menyeringai dingin
Ditatapnya Pengemis Binal
dengan penuh kemarahan.
Suropati menangkupkan kedua
telapak tangannya di depan
dada. Dia berusaha memusatkan
kekuatan batin untuk
menembus kekuatan sihir yang
mempengaruhi lngkanputri.
Tubuh Suropati bergetar keras
dengan keringat membanjir.
Ketika asap tipis mengepul dari
kepalanya, mendadak sebuah
tenaga gaib menyerang remaja
konyol itu. Tubuh Suropati
terhuyung-huyung mundur beberapa
tindak.
"lngkanputri dibentengi oleh
kekuatan sihir dahsyat yang
tak dapat ditembus...," gumam
Suropati seraya melompat
tinggi ke udara.
lngkanputri telah melancarkan
pukulan jarak jauhnya. Dan
untuk kesekian kalinya, permukaan
tanah berkubang dalam
akibat lontaran tenaga dalam yang
tak mengenai sasaran.
Pertempuran antara Raka Maruta
dengan Sekar Mayang
berlangsung lebih hebat. Dua
manusia itu sama-sama
bernafsu untuk segera menyudahi
perlawanan lawan. Tapi,
semenjak Sekar Mayang mendalami
Kitab Sukma Gelap
warisan dari Dewa Sesat,
kepandaian wanita buntung itu telah
beriipat ganda. Hal itu membuatnya
berada di atas angin.
Berkali-kali tubuh Raka Maruta
terserempet pukulannya,
hingga pakaian yang dikenakan
pemuda berwajah lembut itu
koyak-koyak seperti habis dibakar.
Apalagi pendekar muda itu
telah kehilangan senjata
andalannya. Raka Maruta semakin
kewalahan menghadapi lawan.
"Ha-ha-ha...!"
Tawa Penghimpun Angkara membahana.
Mata wanita
buntung itu memancarkan sinar
aneh. Ditatapnya tubuh
Pendekar Kipas Terbang yang
berdiri gontai.
"Neraka jahanam telah
menunggu kehadiranmu,' Raka
Maruta!" kata Sekar Mayang
seraya menghentakkan tangan
tunggalnya.
Weeesss...!
Sebuah bola api merah membara
meluncur ke arah
Pendekar Kipas Terbang!
Pemuda berwajah lembut itu
melompat ke samping. Pada
saat itulah mulutnya menyemburkan
darah segar
Mendadak bola api yang meluncur
tak mengenai sasaran
berbalik arah, dan menghunjam ke
tubuh Raka Maruta dari
arah belakang!
Raka Maruta sudah tak mempunyai
daya untuk
menghindar. Tubuhnya melengkung ke
depan hendak jatuh.
Bola api yang panas membara pun
meluncur semakin dekat.
Malaikat Kematian telah mengintai!
Pada saat yang sangat genting itu,
tiba-tiba seberkas sinar
kebiruan meluncur datang.
Kemudian...
Blaaarrr...!
Ledakan dahsyat membahana,
mengguncangkan Lembah
Tengkorak Percikan bunga api
menebar bagai hujan deras.
Bola api ciptaan Sekar Mayang dari
kehebatan ilmu 'Cahaya
Sesat' yang dimilikinya, lenyap
akibat hadangan pukulan jarak
jauh Suropati. Tapi, remaja konyol
itu mesti merelakan bahu
kirinya terhantam pukulan
lngkanputri. Tubuh Pengemis Binal
terhempas dan bergulingan di atas
tanah.
Belum sempat remaja konyol itu
bangkit berdiri, lngkanputri
telah melancarkan pukulan jarak
jauhnya dengan kekuatan
tenaga dalam penuh!
Dalam waktu yang bersamaan, Sekar
Mayang pun
melontarkan kembali bola api
ciptaannya ke tubuh Raka
Maruta yang tergeletak di tanah.
Jiwa dua pendekar muda itu
terancam maut. Tapi,
kekuatan kasat mata tiba-tiba
muncul membentengi tubuh
Suropati dan Raka Maruta. Serangan
lngkanputri dan Sekar
Mayang berhasil dipunahkan.
Seorang kakek kurus kering yang
berambut putih riap-
riapan telah hadir di tempat itu.
Kakek itu duduk bersila
dengan kedua tangan bersedekap.
Namun anehnya, tubuh
kakek itu tidak menyentuh tanah,
melainkan melayang di
udara setinggi dua tombak.
"Datuk Risanwari...!"
desis Sekar Mayang. Wanita buntung
itu sudah mengenal siapa kakek
yang baru datang. Dia pemah
tinggal di lorong bawah tanah di
Bukit Hantu bersama
Ratnasari, junjungan Sekar Mayang
semasa Perkumpulan
Bidadari Lentera Merah masih
berjaya.
"Sadarlah kau, Sekar
Mayang...," kata Datuk Risanwari.
Suara yang keluar dari mulutnya
terdengar begitu parau.
"Amarah dan dendam hanya akan
menceburkan ke lembah
dosa. Perbuatan kita di dunia
ibarat orang menanam pohon,
yang akan kita petik hasilnya
nanti ketika ajal telah riba...."
"Huh...!" Penghimpun
Angkara mendengus. "Kau tak perlu
mencampuri urusanku!"
"Kedatanganku hanya untuk
menyelamatkan dua anak
manusia yang hendak kau jadikan
korban...," kata Datuk
Risanwari seraya membentangkan
kedua tangannya.
Suatu kekuatan kasat mata menyedot
tubuh Suropati dan
Raka Maruta yang masih tergeletak
di tanah. Kemudian, Datuk
Risanwari mendekapnya. Tubuh
mereka pun melesat di udara
bagai Ie-satan batu meteor.
Melihat itu, Sekar Mayang
menggeram marah. Bergegas dia
mengerahkan ilmu 'Cahaya
Sesat'-nya sampai ke puncak.
Muncullah bola api sebesar
KITAB SUKMA GELAP 97
kerbau mengejar luncuran tubuh
Datuk Risanwari.
Blaaarrr...!
Terlihat jelas punggung Datuk
Risanwari terbentur bola api
ciptaan Sekar Mayang. Tapi, dia seperti
tak mengalami suatu
apa! Tubuhnya terus melesat
semakin cepat sambil mendekap
erat Suropati dan Raka Maruta.
***
Malam telah berlalu. Sang Baskara
malu-malu
menampakkan wujudnya. Seiring
kokok ayam alas yang
semakin menghilang, cahaya perak
menyiram bumi. Satwa-
satwa pun menggeliat bangun dari
tidurnya untuk meneruskan
jalan kehidupan.
Di dalam sebuah gua yang tak
begitu jauh letaknya dari
Lembah Tengkorak, Suropati dan
Raka Maruta duduk bersila
dengan mata terpejam. Di
belakangnya Datuk Risanwari
menempelkan kedua telapak
tangannya ke punggung dua
pendekar muda itu. Datuk Risanwari
sedang menyalurkan
hawa muminya untuk membantu
penyembuhan luka dalam
Suropati dan Raka Maruta.
Perlahan-lahan mata Suropati
terbuka. Dia merasakan
tubuhnya jadi sangat ringan. Dia
bergeser dari tempat
duduknya, karena merasa telah
bebas dari terpaan sakit yang
berpusat di bahu kirinya.
"Bertalianlah di tempatmu,
Suro...," Bisik Datuk Risanwari.
Mendengar itu. Pengemis Binal
menghentikan gerak
tubuhnya. Lalu, memejamkan mata
kembali.
Remaja konyol itu baru sadar kalau
Datuk Risanwari tengah
membagi kekuatan tenaga dalamnya^.
Kalau saja dia telanjur
melepas saluran hawa mumi kakek
itu, maka hawa mumi yang
mengalir di tubuh Datuk Risanwari
akan menjadi kacau. Dan,
hal itu sangat berbahaya bagi
keselamatannya.
"Hoeeekkk...!"
Darah segar menyembur dari mulut
Raka Maruta yang
menderita luka dalam lebih parah.
Sesaat kemudian, mata
pemuda berwajah lembut itu
perlahan-lahan terbuka. Dia
merasakan tubuhnya telah kembali
ringan dan sakit di
dadanya berkurang.
Datuk Risanwari pun menarik kedua
tangannya. Tapi,
mendadak kakek itu membungkukkan
badan seraya
menempelkan kedua ujung jari
telunjuknya ke kening.
"Kau tidak apa-apa,
Kek?" tanya Suropati melihat tubuh
Datuk Risanwari bergetar semakin
hebat.
Perlahan-lahan kakek itu
meluruskan tubuhnya. Terlihat
mulut dan hidungnya belepotan
darah.
"Kau tidak apa-apa,
Kek?" tanya Suropati lagi.
"Ilmu wanita iblis itu sangat
hebat. Aku bisa merasakan
akibatnya...," kata Datuk
Risanwari dengan suara parau.
Kakek itu lalu menatap wajah
Suropati dan Raka Maruta
bergantian.
"Semakin kuat amarah dan
dendam dalam jiwa wanita iblis
itu, semakin hebatlah ilmunya.
Untuk
memusnahkannya, rasa kemanusiaan
wanita iblis itu harus
dibangkitkan..."
Usai mengucapkan kalimatnya, Datuk
Risanwari
menggelengkan kepala. Rambutnya
yang putih panjang
bergerak menutupi seluruh
wajahnya. Tubuh kakek itu lalu
menggeliat kecil Bersamaan dengan
itu, rambut putihnya telah
basah bersimbah darah!
"Kek...!" jerit Pengemis
Binal. Raka Maruta yang lebih bisa
menguasai perasaan hanya menatap
dengan pandangan haru
Tangan kanan datuk Risanwari
bergerak pelan.
Dikeluarkannya gulungan kulit
harimau dari balik baju. Tapi,
tangan kakek tua renta itu segera
terkulai. Kulit harimau yang
terikat tali penjalin itu pun
menggelinding ke hadapan
Suropati.
"Serahkan benda itu kepada
Gede Panjalu, Suro...," kata
Datuk Risanwari dengan suara
ngorok bagai ayam habis
disembelih.
Dengan susah-payah, kakek itu
menyedekap-kan
tangannya kembali. Lalu,
menghentakkan telapak kakinya ke
lantai gua. Weeesss...!
Tubuh Datuk Risanwari melesat ke
luar gua. Suropati dan
Rawa Maruta hanya menatap
keper-giannya.
"Semoga Tuhan memberi
kekuatan kepadanya," gumam
Pengemis Binal. Lalu, remaja
konyol itu memungut gulungan
kulit harimau yang tergeletak di
hadapannya. "Aku harus
melaksanakan amanat Datuk
Risanwari...."
"Siapa sebenarnya kakek itu,
Suro?" tanya Raka Maruta
sambil beringsut ke dekat Pengemis
Binal.
"Kau tentu sudah mengenal
Gede Panjalu yang bergelar
Pengemis Tongkat Sakti, Maruta.
Kakek tua renta yang baru
saja menolong kita itu adalah ayah
kandungnya."
"Ayah kandung Kakek Gede
Panjalu?"
"Kenapa? Kau heran?"
"Tidak. Seorang tokoh sakti
jika dia berumur seratus tahun
lebih bukan sesuatu yang
mengherankan. "
"Lalu, apa yang kau
pikirkan?"
"Kalau saja Datuk Risanwari
mau bergabung dalam
Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti
yang kau pimpin, berarti
dua tokoh pilih tanding berdiri di
belakangmu. Hal itu akan
membuat perkumpulan pengemismu akan
semakin berjaya."
"Aku tidak membutuhkan
kejayaan, Maruta. Perkumpulan
Pengemis Tongkat Sakti hanyalah
sebuah wadah periindungan
bagi para pengemis yang biasa
hidup terhina."
Pengemis Binal bangkit dari tempat
duduknya.
"Aku dan seluruh tokoh
penting Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti mendapat tugas dari
Baginda Prabu untuk
melenyapkan Sekar Mayang. Karena
itu, aku tidak bisa
berdiam lama di tempat
ini...."
"Kau hendak ke mana?!"
cegah Raka Maruta waktu melihat
Suropati melangkahkan kaki keluar
gua.
Pengemis Binal menghentikan
langkah. Ditatapnya wajah
Raka Maruta dalam-dalam.
"Kau tidak kasihan melihat
seorang gadis yang tak berdosa
jadi budak wanita iblis itu?"
tanya Suropati.
"Bukan begitu, Suro. Kita
tidak boleh bertindak gegabah,"
kata Pendekar Kipas Terbang dengan
suara kalem. "Datang ke
Lembah Tengkorak pada siang hari
sama saja dengan bunuh
diri."
"Kenapa?"
"Jamur-jamur yang tumbuh di
lembah itu bila tertimpa
sinar matahari akan mengeluarkan
asap beracun."
"Aku sudah tahu."
"Lalu, kenapa kau hendak ke
sana?"
"Sekar Mayang pun manusia.
Dia tidak mungkin berdiam
diri di lembah itu."
"Jadi, kau mengira wanita
iblis itu tinggal di sekitar Lembah
Tengkorak tanpa menginjakkan
kakinya pada siang hari di
lembah itu?" kata Raka
Maruta. "Kau keliru, Suro. Ilmu Sekar
Mayang telah berkembang sedemikian
cepat. Tak mustahil
tubuhnya telah menjadi kebal
terhadap segala jenis racun.
Dan lagi, sewaktu kita mencari
asal luncuran bola api yang
melesat ke kotapraja, bukankah
kita dapatkan kalau bola api
itu berasal dari Lembah Tengkorak?
Kalau Sekar Mayang tidak
berdiam diri di situ, untuk apa
dia bersusah-payah ke Lembah
"
Tengkorak dulu sebelum melancarkan
serangannya ke
kotapraja?"
"Kata-katamu ada benarnya.
Tapi, kenapa Ingkanputri juga
dapat bertahan dari serangan racun
bila dia tinggal di Lembah
Tengkorak?" "Sekar
Mayang telah membantunya." Suropati
mengangguk. Lalu, tangan kanannya
bergerak ke atas.
Pemuda itu melakukan kebiasaannya,
menggaruk-garuk
kepala.
"Kalau begitu, untuk menggempur
Sekar Mayang kita harus
menunggu datangnya malam...,"
kata remaja konyol itu
sambil menyandarkan tubuhnya ke
dinding gua.
"Bukan hanya menunggu. Kita
harus berbuat sesuatu.
Dalam keadaan sehat saja kita tak
dapat menghadapinya,
apalagi sekarang kita baru saja
sembuh dari luka dalam...."
"Lalu, apa yang harus kita
perbuat?" tanya Suropati
kebingungan.
"Kau ingat pesan Datuk
Risanwari?"
"Aku harus menyerahkan
gulungan kulit harimau ini kepada
Kakek Gede Panjalu."
"Yang lainnya?"
Kening Suropati berkerut, berusaha
mengingat-ingat pesan
terakhir Datuk Risanwari.
"Uh! Rupanya daya ingatmu
sangat payah, Suro...," ejek
Raka Maruta,
"Tidak apa-apa. Asalkan masih
banyak gadis yang
menyukaiku, aku akan berusaha
mempertajam daya ingatku.
Biar aku tak lupa kesukaan me-
reka...," kata Suropati.
Tapi, mendadak wajah remaja konyol
itu jadi kusut.
"Bangsat kau, Kapi
Anggara!" umpatnya, la teringat Dewi
lkata yang tampak begitu lengket
dengan si Pendekar Asmara.
"Hei, rupanya kau teringat
kepada kekasihmu itu, Suro...,"
kata Raka Maruta seraya bangkit
dari duduknya.
"Aku akan menyabung nyawa
denganmu, Pendekar Mata
Maling!" umpat Suropati lagi.
"Sudahlah, Suro. Lupakan hal
itu dulu. Perihal Sekar
Mayang lebih penting."
Suropati diam sambil
menggaruk-garuk kepala.
"Datuk Risanwari telah
berpesan agar kita dapat
memusnahkan ilmu wanita iblis itu,
rasa kemanusiaan dalam
hatinya harus dibangkitkan."
"Rasa kemanusiaan yang
bagaimana?"
Pendekar Kipas Terbang tampak
berpikir.
"Yah, semacam pancaran hari
nurani yang mengarah pada
kebaikan," kata pemuda
berwajah lembut itu kemudian.
"Contohnya?"
"Ehm... seperti rasa belas
kasihan, penghormatan, kasih
sayang, dan cinta..."
"Kalau begitu, kita butuh
seseorang yang sanggup
membangkitkan rasa kemanusiaan
itu. Tapi, siapa?"
"Mungkinkah Kapi Anggara
dapat melakukannya?" tanya
Raka Maruta.
"Dapat!" sambut Pengemis
Binal penuh kepastian.
"Apa alasannya?"
Suropati menggaruk-garuk
kepalanya, lalu nyengir.
"Kalau gagal, biar dia mati.
He-he-he...."
"Ah, kau terbawa sakit
hatimu, Suro...," ucap Raka Maruta.
"Tidak. Aku hanya bercanda.
Cobalah pikir, aku kira Kapi
Anggara memang sanggup
melakukannya. Bukankah dia
pernah mempunyai hubungan dengan
Sekar Mayang?"
"Tapi, Sekar Mayang yang
merasa dikhianati tentu
mempunyai rasa benci kepadanya,
bahkan bisa berwujud
dendam membara."
"Bagaimanapun juga, wanita
tidak bisa lepas dari kodratnya
untuk memiliki hati lemah. Kalau
Kapi Anggara tampak
menyesali perbuatannya dan
bersedia menebus kesalahan,
aku kira Sekar Mayang akan takluk.
Toh, Kapi Anggara yang
bergelar Pendekar Mata Maling, eh,
Pendekar Asmara, tentu
bukan nama kosong...."
"Tapi, aku belum yakin
sepenuhnya."
"Kita bisa mencoba."
"Ini urusannya dengan nyawa,
Suro. Kita tidak bisa
mencoba-coba."
"Uh! Rupanya ada pendekar
yang takut mati!"
"Bukan begitu. Sebaiknya
kita...."
Ucapan Raka Maruta terpotong
karena disela tawa
Suropati.
"Bangsat kau, Suro!"
umpat Pendekar Kipas Terbang.
"Bagaimana? Kau bisa menerima
usulku?" Suropati tak
menghiraukan makian Raka Maruta.
"Baiklah. Kita segera
menemui Kapi Anggara."
"Kau saja yang melakukannya."
"Kenapa?"
"Kalau aku ikut ke kotapraja,
itu hanya akan membuang-
buang waktu dan tenaga. Untuk
sampai ke Lembah Tengkorak
lagi pasti hari telah gelap."
"Lho, bukankah kita akan menggempur
Sekar Mayang pada
waktu malam."
"Bodoh!" olok Suropati
sambil nyengir. "Bila aku tinggal di
sini, akan banyak kesempatan untuk
membebaskan
lngkanputri dari pengaruh sihir.
Itu berarti mengurangi
kekuatan Sekar Mayang."
"Kalau begitu kita berbagi
tugas. Kau membebaskan
lngkanputri, dan aku menemui Kapi
Anggara."
"Satu pesanku, karena kau
belum sembuh benar dari luka
dalammu, tempuhlah perjalanan
dengan berkuda," kata
Suropati.
Raka Maruta mengangguk.
"Mudah-mudahan usaha kita tak
menemui halangan...,"
ucap pemuda itu.
Kemudian, pemuda berwajah lembut
itu melangkah keluar
dari gua, menembus cahaya mentari
yang telah memayungi
kepala.
Suropati langsung duduk bersila
untuk bersemadi Ia
hendak mengumpulkan kekuatan yang
telah terkuras saat
bertempur melawan Ingkanputri
Tanpa terasa malam telah
tiba. Gelap menerpa. Lembah
Tengkorak tampak angker
ketika angin berhembus seperti
nyanyian iblis yang
berkumandang di angkasa.
Sebenarnya untuk mencari seseorang
rit lembah itu tidak
mudah. Selain luas juga banyak goa
yang bisa digunakan
sebagai tempat persembunyian.
Namun, bagi Suropati, hal itu
tidak terlalu menyulitkan, dia
mempunyai ilmu penglihatan
yang sanggup menembus gelap dan
tebalnya tebing.
"Ingkanputri tentu berada di
dalam gua sebelah sana...,"
ujar Pengemis Binal dalam hati.
"Tapi, di mana Sekar
Mayang?"
Untuk beberapa saat, remaja konyol
itu diliputi keraguan.
Hanya karena tekad yang bulatlah
akhirnya dia melanjfJtkan
langkah.
"Mudah-mudahan aku tidak
kepergok wanita iblis itu
sebelum Raka Maruta dan Kapi
Anggara datang...," harapnya
kepada diri sendiri.
Sebentar kemudian Suropati telah
berada di ambang gua.
Dengan langkah halus yang
mempergunakan ilmu
meringankan tubuh, remaja konyol
itu berjalan memasuki gua.
Kegelapan yang hitam pekat
langsung menyergapnya.
Walaupun mata lahir Suropati tak
dapat melihat apa-apa, tapi
mata batinnya sedang bekerja.
Dia segera berjalan mengikuti
petunjuk yang
didapatkannya. Tak lama kemudian,
Suropati telah
mendapatkan tubuh Ingkanputri yang
terbaring di atas batu
besar.
"Kalau mendengar desah
napasnya, dia pasti sedang tidur.
Tapi, apakah dia hanya
berpura-pura?" Suropati diliputi
keraguan. "Ah, persetan
dengan semua itu. Mumpung ada
kesempatan Aku harus bertindak
cepat!"
Dalam gelap, tubuh remaja konyol
itu melayang. Hendak
dilancarkannya totokan ke dada
kiri lngkanputri. Tak ada
reaksi apa-apa dari murid Dewi
Tangan Api itu. Totokan
Suropati tepat mengenai sasaran.
Kemudian, dengan bebas
dia melancarkan totokan ke
bagian-bagian tubuh lainnya.
Dibopongnya tubuh lngkanputri
keluar gua.
"Kenapa aku begitu mudah
mendapatkan gadis ini?"
gumam remaja konyol itu.
"Apakah ini bukan jebakan?"
Suropati tak sempat berpikir lebih
panjang lagi ketika
terdengar suara tawa
berkepanjangan. Bersamaan dengan itu,
bola api merah membara meluncur ke
arahnya!
"Uts...!"
Suropati meloncat. Tapi bola api
itu berbelok arah dan
menghantam punggung!
Tubuh Pengemis Binal melenting ke
atas. Remaja konyol itu
jadi terkejut setengah mati waktu
merasakan tubuhnya tidak
segera mendarat ke permukaan
tanah, namun terus meluncur
ke bawah.
Sadarlah Suropati kalau dia telah
terperosok ke dalam
lubang jebakan....
Sambil terus mendekap tubuh
Ingkanputri, Suropati
berusaha mencapai dinding lorong.
Tangan kanannya
dikepalkan lalu dilontarkan ke
depan!
Bluuusss...!
Pergelangan tangan kanan Pengemis
Binal menancap di
dinding lorong yang berupa tanah
padas hingga sebatas siku.
Terdengar jerit tertahan ketika
tangan remaja konyol itu
terhentak keras waktu menahan
luncuran tubuhnya. Karena
kekuatan tenaga dalam yang sudah
mendekati sempurna
Suropati tak mengalami cidera.
Blus...!
Blus...!
Suropati menancapkan ujung telapak
kaki kanan dan
kirinya secara bergantian. Dengan
cara Itu dia merayap naik.
Selagi remaja konyol itu beranjak
tiga tombak dari
kedudukan semula, mendadak dinding
lorong yang tertancapi
ujung telapak kaki kirinya ambrol!
Tubuh Pengemis Binal kembali
meluncur ke bawah. Remaja
konyol itu segera menghentikan
luncuran tubuhnya dengan
menancapkan pergelangan tangan
kanan ke dinding lorong,
seperti yang pertama dia lakukan.
Pada saat tubuh Suropati masih
menggantung, tiba-tiba
lngkanputri menggeliat. Tentu saja
Pengemis Binal terkejut.
Totokan yang dilancarkan ke tubuh
gadis itu tak akan lepas
sebegitu cepat.
Suropati tak pernah menyangka
kalau lngkanputri
mempunyai ilmu 'Pemencar Jalan
Darah' yang dapat
memindah-mindahkan pusat aliran
darah, hingga membuat
gadis itu tak mempan di totok.
Dan, apa yang sedang
dilakukan lngkanputri dengan
berpura-pura tak berdaya
adalah sebagian dari tipu muslihat
Sekar Mayang.
Kini murid Dewi Tangan Api itu
melayangkan kepalan
tangan kanannya, menggedor dada
Pengemis Binal!
Dheeesss...!
"Arghhh...!"
Suropati memuntahkan darah segar.
Tubuhnya terayun-
ayun. Namun, dia berusaha sekuat
tenaga untuk menahan
pergelangan tangan kanannya yang
menancap rji dinding
lorong. Demikian pula dengan
tangan kirinya yang mendekap
tubuh lngkanputri.
"Kenapa kau memukulku?"
tanya remaja konyol itu sambil
menahan rasa sakit dalam dadanya.
Tak ada kata-kata yang keluar dari
mulut lngkanputri.
Dalam kegelapan tiba-tiba mata
gadis itu bersinar merah.
Bersamaan dengan itu, tangan
kanannya telah membara dan
memancarkan hawa panas. Siap
dihantamkan ke kepala
Suropati!
"Sadarlah, Putri! Aku
Suropati!" teriak Suropati dengan
mata mendelik.
Ingkanputri mendengus. Mendadak
gadis itu Jadi ragu.
Walaupun dia berada di bawah
pengaruh sihir, tapi hati
Ingkanputri jadi terpuruk dalam
kebimbangan saat mendengar
teriakan orang yang sangat
dicintainya itu.
"Aku Suropati, Putri. Aku
berusaha menolongmu...," kata
Suropati lagi mencoba menyadarkan
Ingkanputri.
Mendengar itu, Ingkanputri
menggeleng-gelengkan kepala.
Telinganya mendengar perintah
untuk segera menjatuhkan
tangan maut ke tubuh Suropati.
Kebimbangan dalam hati
gadis itu akhirnya lenyap. Dengan
menggeram keras,
Ingkanputri mengayunkan kepalan
tangannya ke kepala
Pengemis Binal.
Malaikat Kematian benar-benar
telah mengintai nyawa
remaja konyol itu. Suropati pun
panik, karena tak melihat
jalan lain untuk melepaskan diri
dari maut, dia melepas tangan
kirinya yang mendekap tubuh
Ingkanputri!
"Aaa...!"
"Putri!"
Jerit panjang Ingkanputri
dibarengi teriakan Suropati.
Namun, hal itu tak menghalangi
tubuh Ingkanputri yang
meluncur deras jatuh ke dasar
lorong.
"Putri...," gumam
Pengemis Binal dengan keharuan yang
sangat. "Maafkan aku. Aku
tidak bermaksud
mencelakakanmu."
Untuk beberapa lama, tubuh
Suropati menggantung di
dinding lorong. Pikiran remaja
konyol itu sedang kalut karena
rasa sesak dalam dadanya.
Huk...!
Tiba-tiba Suropati tersedak. Dari
hidungnya mengalir darah
segar akibat pukulan lngkanputri
yang bersarang tepat di dada
remaja konyol itu. Dan, karena
Suropati teringat akan
kewajibannya untuk melenyapkan
Sekar Mayang, dia pun
berusaha merayap naik.
Keringat membanjir di tubuh remaja
konyol itu. Dengan
menggigit bibir kuat-kuat, dia
berusaha menghalau rasa sakit
yang menghunjam dadanya. Sedikit
demi sedikit Suropati
semakin mendekati mulut lorong.
***
Di luar, cahaya rembulan masih
setia menemani malam
Dari kejauhan tampak dua ekor kuda
dipacu dengan cepat
"Heaaa...!"
"Heaaa...!"
Raka Maruta dan Kapi Anggara
berteriak tak sabaran.
"Kita harus secepatnya
mencapai Lembah Tengkorak!"
teriak Raka Maruta. "Aku
takut terjadi sesuatu terhadap
Suropati!"
"Aku juga sudah tak sabar
untuk segera im-leiiyapkan
Sekar Mayang. Baginda Prabu
menjanjikan jabatan tinggi bila
aku dapat mempersembahkan kepala
wanita iblis itu."
Mereka pun memacu kudanya semakin
cepat. Kuda yang
mereka tunggangi adalah kuda
pilihan yang bertenaga besar.
Larinya bagai lontaran anak panah.
Sebentar kemudian Raka Maruta dan
Kapi Anggara telah
sampai di tempat yang dituju.
Setelah mengikat tali kuda pada
tongkat kayu, mereka segera
mengitari lembah. Tapi, mereka
tak menemukan orang yang dicari.
"Di mana kira-kira wanita
iblis itu berada?" tanya Kapi
Anggara.
"Entahlan. Suropati pun tak
kita temukan," jawab Raka
Maruta.
"Mungkinkah mereka sedang
bertempur di dalam gua?"
"Tidak mungkin. Kita tidak
mendengar suara pertempuran.
Dan lagi, Suropati tentu
menghindari bentrokan dengan Sekar
Mayang sebelum kehadiran
kita."
"Sebaiknya kita periksa
setiap gua." "Jangan! Hal itu sangat
berbahaya!" "Lalu,
bagaimana?"
"Kita pancing Sekar Mayang
untuk keluar dari tempat
persembunyiannya."
"Kalau begitu, kau segera
menyingkirlah...."
Raka Maruta menuruti perintah Kapi
Anggara. Pemuda itu
cepat berlalu dari tempat itu.
Kapi Anggara mencabut sehelai daun
ilalang yang tumbuh
tak seberapa banyak. Kemudian,
pemuda tampan itu duduk
bersila di tanah datar yang agak
luas.
Daun ilalang yang telah
dipotongnya menjadi sejengkal
segera didekatkan ke bibir. Dengan
tiupan yang disertai
tenaga dalam, terdengarlah alunan
irama merdu
mengangkasa di seluruh permukaan
Lembah Tengkorak.
Untuk beberapa lama irama merdu
itu terus mengalun. Dan
ketika berhenti, mulut Kapi
Anggara mengalunkan tembang...
Sedih yang mendalam timbul dan'
rasa sesal Sesal muncul
dan dorongan rasa salah Salah
adalah pelencengan arah
Akibat perbuatan yang khilaf-lupa
Oh, juuMa batiku....
Penyesalan begitu mencengkeram
kalbu Pilu menggelut
keinginan untuk bertemu Apakah
rindu ini akan terhempas
sendu? Sesaat setelah tembang itu
usai dilantunkan, sesosok
bayangan hitam berkelebat dan
berdiri tepat tiga tombak di
hadapan Kapi Anggara.
"Sekar Mayang...," kata
pemuda tampan itu dengan suara
lirih seperti menyimpan rasa haru
"Aku merindukanmu."
Penghimpun Angkara mendengus.
"Jahanam! Tak perlu kau
mengiba di hadapanku!" kata
wanita buntung itu dengan
suara lantang. "Kau
mengkhianati cintaku. Kesalahanmu
hanya dapat ditebus dengan
kematian!"
"Tidakkah kau memberi
kesempatan padaku untuk
memperbaiki kesalahan?"
"Tidak! Aku sudah tak
mengharapkan kehadiranmu. Cinta
di hatiku telah berubah jadi
dendam membara yang tak akan
terpadamkan, kecuali oleh
nyawamu!"
Mendengar perkataan Sekar Mayang
yang menyerupai
ancaman iblis haus darah, Kapi
Anggara terhenyak. Namun,
dia menggeser duduknya lebih
dekat.
"Aku benar-benar menyesali
perbuatanku, Mayang...," rayu
pemuda itu. "Aku manusia. Aku
bisa khilaf. Dan,
kedatanganku ini adalah untuk
menebus kekhilafanku itu."
"Ha-ha-ha...!"
Penghimpun Angkara tertawa terbahak-
bahak. "Sudah kubilang, untuk
menebus kesalahanmu
hanyalah dengan kematian!"
Usai mengucapkan kalimatnya,
wanita buntung itu
menggerakkan tangan tunggalnya
dengan pengerahan tenaga
dalam penuh.
"Tunggu, Mayang!" teriak
Kapi Anggara.
"Apakah kau meminta waktu
untuk memanjatkan doa
sebelum Malaikat Kematian
menjemputmu?!" tanya Sekar
Mayang dengan mata mendelik.
"Bukankah kau pemah
bercita-cita untuk menjadi tokoh
nomor satu di rimba persilatan,
Mayang? Kau akan dapat
mewujudkannya bila aku
membantumu...."
"Ha-ha-ha...!"
Penghimpun Angkara kembali tertawa
terbahak-bahak. "Kau bisa
apa, Kapi Anggara?! Kepandaianmu
hanya merayu wanita!"
"Tapi cintaku kepadamu tulus,
Mayang. Aku rela melakukan
apa saja untukmu. Aku merindukanmu...."
Tiba-tiba pemuda tampan itu
menunduk sambil mendekap
wajahnya.
"Aku mencintaimu,
Mayang...," ujar Kapi Anggara dengan
kepala tengadah kembali.
Ditatapnya Penghimpun Angkara
dengan penuh permohonan.
Perlahan-lahan mata Kapi
Anggara meneteskan mutiara bening.
"Air mata buaya!" umpat
Sekar Mayang seraya
menggerakkan tangan tunggalnya
untuk segera menjatuhkan
tangan maut.
Melihat itu, Kapi Aanggara
tertunduk lesu. Dia pun tampak
pasrah untuk menerima kematian
Sesaat Penghimpun Angkara menatap
tubuh si Pendekar
Asmara. Lalu, tangan tunggalnya
menghentak ke depan!
Wuuusss...!
Sekar Mayang benar-benar
melancarkan pukulan jarak
jauhnya. Debu mengepul tebal.
Bebatuan pun berpentalan.
Tubuh Kapi Anggara terlontar dan
bergulingan sejauh lima
tombak. Tapi, dia tak mengalami
cidera yang berarti. Pukulan
jarak jauh Penghimpun Angkara
hanya menerpa permukaan
tanah di depannya.
"Kau tidak membunuhku,
Mayang?" tanya pemuda tampan
itu seraya bangkit, Ulu berj.il.in
mendekati Penghimpun
Angkara.
Sekar Mayang hanya menatap, tanpa
berbuat apa-apa
ketika si Pendekar Asmara memeluk
tu buhnya dengan erat
seraya mendaratkan ciuman
ganas....
Penghimpun Angkara membalas ciuman
Kapi Anggara. Bibir
mereka saling pagut. Tak lama
kemudian, rubuh dua anak
manusia itu menggelo-sor ke tanah.
"Aku mencintaimu,
Mayang...."
"Oh, Anggara.... Aku pun
mencintaimu...."
Mendengar itu, si Pendekar Asmara
semakin ganas
mendaratkan ciuman di bibir Sekar
Mayang. Perlahan-lahan
tangan pemuda tampan itu
menggerayang, dan berusaha
melepas baju Sekar Mayang.
"Aku mencintaimu,
Anggara...," bisik Sekar Mayang. "Uh!
Jangan buka bajuku. Aku malu.
Tanganku buntung...."
"Ah, cintaku kepadamu tulus,
Mayang. Bagaimanapun
keadaanmu, aku bisa
menerima," ujar Kapi Anggara.
Tangan Kapi Anggara bergerak cepat
melepas seluruh
pakaian wanita yang berada dalam
dekapannya itu. Akhirnya,
tubuh telanjang dua anak manusia
itu menyatu seperti tak
dapat dipisahkan lagi.
Rembulan terus menyiramkan
cahayanya. Bintang-bintang
berkedip, memamerkan sinar kebiruan.
Angin berhembus
mengundang hawa dingin.
Dari balik batu besar Raka Maruta
mengintip adegan yang
dilakukan Kapi Anggara dan Sekar
Mayang
"Uh! Mereka membuatku jadi
iri saja," kata hati pemuda
berwajah lembut itu.
Raka Maruta memandang tanpa
berkedip. Tiba-tiba,
napasnya jadi memburu. Namun,
mendadak dia melonjak
waktu kepalanya tertimba sebutir
kerikil yang dilontarkan
dengan keras.
"Hei! Apa yang sedang kau
lakukan?" Raka Maruta menoleh
ke belakang. Ketika dilihatnya
Suropati telah hadir di tempat
itu, dia pun mengumpat-umpat tak
karuan.
"Hus! Jangan
keras-keras!" kata Pengemis Binal. "Aku
sedang mencari tempat yang leluasa
untuk mengintip adegan
panas itu."
Remaja konyol itu lalu mendorong
rubuh Raka Maruta.
Kemudian, melongokkan kepalanya di
samping batu besar.
"Minggir, kau!" kata
Raka Maruta seraya meraih tubuh
Suropati dan menghempaskannya.
Selagi mereka berkutat untuk
memperebutkan tempat
mengintip, tiba-tiba terdengar
jerit kesakitan yang sangat
menggiriskan. Suropati dan Raka
Maruta terkejut. Keduanya
bergegas meloncat ke atas batu,
berusaha melihat apa
sesungguhnya yang telah terjadi.
Mereka pun jadi bergidik ngeri.
Tubuh telanjang Sekar
Mayang tampak menggelepar di atas
tanah dengan bersimbah
darah. Tak jauh darinya. Kapi
Anggara berdiri tegak dengan
tangan kanan memegang
potongan pergelangan tangan.
"Bangsat...!" umpat
Penghimpun Angkara seraya
melentingkan tubuhnya. Terlihatlah
tangan tunggal wanita itu
telah tanggal sampai ke
pangkalnya.
"Iblis neraka akan segera
mencabik-cabik tubuhmu,
Anggara!" kata Penghimpun
Angkara dengan dengusan napas
bagai banteng marah.
Mendadak wanita iblis itu
menghentakkan kakinya ke tanah
dua kali. Dan...
Slash...!
Muncul asap tipis di hadapannya.
Seiring dengan dengus
kemarahan Sekar Mayang, asap itu
membumbung semakin
tebal. Didahului suara letupan
kecil
Blab...!
Asap itu lenyap dan menghadirkan
dua sosok manusia
berwujud mengerikan. Mereka adalah
Iblis Darah dan Setan
Racun.
"Lenyapkan Manusia Busuk
itu!" perintah Penghimpun
Angkara dengan suara yang angker.
Sepasang Abdi Penghimpun Angkara
pun langsung
menerjang Kapi Anggara!
"Aku akan membantumu,
Anggara!" teriak Raka Maruta
seraya meloncat dari tempatnya
berdiri.
Suropati yang menyaksikan
peristiwa itu sesaat cuma
berdiri terpaku di tempatnya.
"Uh! Aku harus bertempur
melawan siapa?" kata pemuda
itu sambil garuk-garuk kepala.
"Apakah aku harus menyerang
Sekar Mayang yang berdiri
telanjang? Ih! Malu, ah!"
Remaja konyol itu menggaruk-garuk
kepalanya semakin
keras. Tapi, akhirnya dia pun
melesatkan tubuhnya dan
menerjang Penghimpun Angkara!
***
Iblis Darah menyerang Kapi Anggara
dengan hebatnya.
Sambil menggeram-geram dan
meneteskan cairan darah dari
mulutnya, manusia setengah iblis
itu berusaha menyarangkan
pukulan yang mematikan.
Wuuusss...!
Angin pukulan yang sanggup
menerbangkan seekor gajah
menerpa tubuh Kapi Anggara. Tapi,
pemuda tampan itu telah
menyilangkan kedua tangannya di
depan dada. Angin pukulan
Iblis Darah membentur cahaya
kekuning-kuningan, hingga
menimbulkan ledakan dahsyat!
Belum sempat si Pendekar Asmara
memperbaiki kedudukan
kakinya yang goyah. Iblis Darah
telah mencecarnya dengan
serangan- serangan berbahaya.
"Keparat!" umpat pemuda
tampan itu. "Beri aku
kesempatan untuk mengenakan
bajuku, Bangsat!"
Tentu saja Iblis Darah tak mau
mendengarkan kata-kata
itu. Dia bahkan menyerang lebih
ganas.
Tapi, mendadak tubuh Kapi Anggara
berputar cepat dalam
jurus 'Putaran Beliung'-nya. Lalu,
meluncur deras ke arah Iblis
Darah!
Zebs...!
Dada manusia setengah iblis itu
tertembus kepalan tangan
si Pendekar Asmara.
Kapi Anggara meloncat mundur
sewaktu tangan kanan Iblis
Darah berusaha mengemplang
kepalanya. Iblis Darah
menyeringai dingin melihat
serangannya gagal. Tubuh
manusia setengah iblis itu berdiri
tegak seperti tak pernah
mengalami suatu apa. Padahal,
kepalan tangan si Pendekar
Asmara benar-benar menembus
dadanya. Cairan darah yang
melumuri tangan pemuda tampan itu
pun masih basah.
Sesaat Kapi Anggara diliputi
keterkejutan. Tapi, dia segera
tersenyum senang waktu melihat
celananya tergeletak di
tanah tak jauh darinya.
"Kau jangan serang aku
dulu!" kata pemuda tampan itu ke
konyol-konyolan. Diraihnya
celananya kemudian dikenakan.
Mendadak....
Wuuusss...!
Angin pukulan menghempas ke arah
si Pendekar Asmara
yang belum memakai celananya
dengan benar.
"Bangsat..!"umpat pemuda
tampan itu seraya melesatkan
tubuhnya ke atas sambil
membenarkan letak celananya.
Pertempuran antara Iblis Darah
dengan Kapi Anggara pun
berlangsung semakin seru. Tapi,
kali ini Iblis Darah
mengeluarkan jurus-jurus yang
tampak aneh. Tubuhnya pun
mengepulkan asap kehitaman yang
mengaburkan pandangan.
Si Pendekar Asmara dibuat
kerepotan. Hinga akhirnya....
Dada Kapi Anggara berhasil
digedor. Dan pemuda tampan itu
memuntahkan darah segar.
Melihat lawan telah terluka, Iblis
Darah semakin ganas
melancarkan serangan. Si Pendekar
Asmara sampai berkali-
kali terhempas ke tanah, terkena
pukulan dan tendangan.
Sementara itu Raka Maruta yang
tengah bertempur
melawan Setan Racun juga tampak
keteter. Pemuda berwajah
lembut itu telah menghirup uap
beracun yang menyembur dari
mulut lawannya. Dhuk..!
Raka Maruta yang sebenarnya masih
belum sembuh benar
dari luka dalamnya, menggelosor ke
tanah akibat sodokan siku
Setan Racun.
Pandangan Raka Maruta yang telah
kabur menjadi semakin
kabur. Baju yang dikenakannya pun
telah basah bersimbah
darah.
Dengan sisa-sisa kemampuannya,
pemuda berwajah
lembut iba mencoba untuk bertahan.
Hanya pertempuran antara Suropati
melawan Sekar
Mayang yang tampak seimbang.
Pengemis Binal menyerang
wanita tanpa lengan itu dengan .
jurus 'Pengemis Menebah
Dada.' Kedua telapak taT ngan
Suropati mengibas-ngibas,
menimbulkan deru angin dahsyat.
Lalu, sebuah gerak tipu
dilancarkan.
Tubuh Pengemis Binal meluncur
cepat dengan telapak
tangan kanan diluruskan ke depan!
Sekar Mayang memiringkan tubuhnya.
Mendadak tangan
kiri Suropati menyampok.
Penghimpun Angkara pun meloncat
tinggi-tinggi. Tapi tubuh Suropati
telah melenting, mendahului
lawan seraya melancarkan sebuah
tendangan!
Des...!
Tubuh Sekar Mayang terhempas ke
tanah karena
punggungnya kena hantaman dengan
telak.
Tapi, suatu keanehan terjadi.
Tubuh Pengemis Binal ikut
terhempas ke tanah sambil mendekap
dadanya yang terasa
panas bagai terbakar.
Rupanya, remaja konyol itu tak
menyangka ketika dia
melancarkan tendangan, mata
Penghimpun Angkara
memancarkan cahaya rnerah yang
dengan telak menerpa
dadanya.
Namun, karena tenaga dalam mereka
sudah demikian
tinggi, keduanya segera dapat
bangkit kembali.
"Segera kau pakai bajumu,
Goblok! Aku malu melihat tubuh
telanjangmu! "kata Pengemis
Binal. "Oh ya, aku lupa kalau
kau sudah tak mempunyai tangan.
Bagaimana kalau aku
menolongmu untuk mengenakan bajumu
kembali?" godanya
kemudian.
Sekar Mayang tak mempedulikan
ucapan remaja konyol itu.
Wanita yang sudah dirasuki nafsu
iblis tersebut kembali
menerjang!
Suropati pun balas menerjang
dengan tak kalah hebatnya.
Pertempuran dahsyat segera
berlangsung lebih menggiriskan.
Penghimpun Angkara meskipun tanpa
lengan, tapi masih
dapat menunjukkan ketangguhannya.
Dengan mengandalkan
kecepatan gerak kedua kaki, dia
mencecar tubuh Suropati
dengan serangan-serangan
mematikan!
Des...!
Tubuh Suropati terlontar karena
pinggangnya telah menjadi
sasaran.
Penghimpun Angkara menatap tubuh
Pengemis Binal
bergulingan di tanah. Tiba-tiba
mata wanita tanpa lengan itu
bersinar aneh. Dia rupanya tengah
berusaha menghimpun
kekuatan ilmu 'Cahaya Sesaf-nya.
Tubuh Sekar Mayang
terlihat U'rqi't,ir keras.
Sumpal) yang sudah bisa menguasai
keadaan dirinya
Acyfrm menyatukan dua telunjuk
jarinya di depan dada. Ketika
tubuh remaja konyol itu bergetar,
dari kepalanya mengepul
asap tipis.
Slash...!
Seberkas cahaya merah keluar dari
mulut Penghimpun
Angkara, meluncur ke arah Pengemis
Binal yang masih
berusaha mengerahkan ilmu
andalannya. Tiba-tiba....
Wuuusss...!
Tubuh Suropati meluncur, dan
menembus cahaya merah
yang menghunjam ke arahnya.
Pengemis Binal melancarkan
ilmu totokan 'Delapan Belas Tapak
Dewa'! Tapi mendadak
tubuh remaja konyol
Itu terhempas ke tanah, dan tak
bergerak-gerak lagi. "Ha-
ha-ha...!"
Tawa Sekar Mayang langsung
membahana di angkasa.
Suaranya menyebar ke seluruh
permukaan Lembah
Tengkorak. Namun, secara tiba-tiba
pun tawa wanita tanpa
lengan itu terhenti. Tubuhnya
tampak berdiri limbung. Lalu....
Dari delapan belas pusat aliran
darah di tubuh Penghimpun
Angkara memancar cairan kental
berwarna merah.
Blaaarrr...!
Tubuh wanita tanpa lengan itu
meledak, menimbulkan bau
amis yang menusuk lubang hidung.
Bersamaan dengan itu, Iblis Darah
dan Setan Racun yang
sedang berusaha menjatuhkan tangan
maut kepada Kapi
Anggara dan Raka Maruta, mendadak
lenyap dengan
meninggalkan asap
bergulung-gulung.
Tubuh Kapi Anggara dan Raka Maruta
yang sama-sama
terluka parah menggelosor ke
tanah. Untuk beberapa saat
mereka tak bergerak-gerak.
Kapi Anggara-lah yang terlebih
dahulu bangkit. Dengan
susah-payah dia berjalan menghampiri
Raka Maruta. •
"Kau... kau terluka,
Maruta?" tanya si Pendekar Asmara
terbata-bata.
Yang ditanya tak segera memberikan
jawaban. Dia hanya
mengaduh. Lalu, mencoba bangkit
berdiri.
"Di mana Suropati?" kata
Raka Maruta seraya berjalan
dengan tubuh terhuyung-huyung.
Dia berjalan sambil menjulurkan
kedua tangan ke depan.
Matanya mendelik, tapi hanya
bayang-bayang hitamlah yang
dia lihat. Uap racun yang
menyembur dari Setan Racun telah
mempengaruhi Indera penglihatan
pemuda berwajah lembut
itu.
Keadaan Raka Maruta memang tampak
mengenaskan.
Pakaiannya yang semula berwarna
kuning telah pudar,
berganti warna merah-hitam karena
lumuran darah bercampur
debu. Wajah dan rambutnya pun
demikian halnya.
"Di mana Suropati?"
tanya pendekar muda itu lagi dengan
suara lirih.
"Dia di sini...," jawab
Kapi Anggara yang juga dalam
keadaan tak kalah mengenaskan.
Pemuda tampan itu duduk di
sisi rubuh Suropati yang
tergeletak di tanah.
Dengan susah-payah, Raka Maruta
menghampiri. Setelah
duduk di dekat Kapi Anggara, dia
menempelkan telapak
tangan kanannya ke dada Pengemis
Binal.
"Detak jantungnya telah
berhenti!" desis Raka Maruta
penuh kejutan."
"Hembusan napasnya pun telah tiada."
"Dia telah mati...,"
gumam Kapi Anggara dengan
menyimpan kedukaan.
"Tidak. Suhu badannya masih
normal," bantah Raka
Maruta.
Mendengar itu, Kapi Anggara
menempelkan punggung
telapak tangannya ke dahi
Suropati. "Kita harus cepat-cepat
pergi dari lembah ini sebelum
matahari terbit. Selain jamur-
jamur akan mengeluarkan asap
beracun, kita pun harus
selekasnya menolong
Suropati...."
Tak lama kemudian, Kapi Anggara
dan Raka Maruta
berjalan sambil membopong tubuh
Pengemis Binal. Langkah
mereka sangat lambat. Berkali-kali
jatuh ke tanah, karena dua
pendekar muda itu pun sebenarnya
telah terluka dalam sangat
parah.
"Kita ke mana? tanya Kapi
Anggara.
"Mencari si Wajah
Merah," jawab Raka Maruta.
"Dalam keadaan seperti ini
sanggupkah kita melakukan
perjalanan jauh?"
"Tenanglah. Yang penting kita
pergi dari Lembah
Tengkorak dulu. Setelah itu, aku
akan meminta pertolongan
Wajah Merah dengan panggilan
batin," sahut Raka Maruta
menenangkan .
Dua pendekar muda itu tak
berkata-kata lagi. Mereka
berjalan semakin jauh sambil
membopong tubuh Suropati.
Ketika matahari telah terbit di
ufuk timur, mereka telah keluar
dari Lembah Tengkorak.
***
Sementara itu, seorang gadis
cantik berpakaian putih-
kuning tampak sedang berlari-lari
kecil keluar dari kotapraja.
Wajah gadis itu membiaskan
kesedihan yang dalam. Tapi,
sesekali dia menyunggingkan senyum
di bibir.
"Maafkan aku, Suro...,"
kata gadis itu, yang tak lain Dewi
Ikata. "Ih! Kau nakal, sih!
Tapi, aku senang, kok. Ha-ha-ha...."
Mendadak gadis cantik itu tertawa
terbahak-bahak. Lalu,
tersenyum-senyum seorang diri, dan
berkata-kata tak habis-
habisnya.
Rupanya putri Adipati Danubraja
itu mengalami guncangan
jiwa akibat rasa sesal yang dalam.
Pertemuannya dengan
Suropati, kekasihnya, pada saat
yang tak terduga di belakang
istana kerajaan benar-benar
menghantui jalan pikirannya.
Sambil terus tersenyum-senyum dan
berkata-kata seorang
diri, gadis itu berjalan tak tentu
arah.
Bagaimanakah nasib gadis cantik
itu?
Ikuti kelanjutan kisah ini dalam
episode : MALAIKAT
BANGAU SAKTI
SELESAI
Emoticon