5
"Apa yang telah terjadi di
Kadipaten Bumirak-
sa?" tanya Suropati kepada
Wirogundi, setelah sampai
di hutan kecil di kaki Bukit
Pangalasan.
"Panjang ceritanya,
Suro," kata pengemis muda
bertubuh kurus itu kepada
Suropati. "Oh, ya. Di mana
Eyang Guru? Kenapa kedatanganmu
tidak bersa-
manya?"
Pengemis Binal menghentikan
langkahnya. La-
lu, ditatapnya wajah Wirogundi.
"Eyang Guru sudah
meninggal..," desah Suro-
pati sambil berusaha
menyembunyikan gejolak ha-
tinya.
Wirogundi terkejut, seperti tidak
mempercayai
ucapan Suropati.
Melihat tatapan mata Wirogundi
yang dipenuhi
tanda tanya, Suropati lalu menceritakan
perihal si Pe-
riang Bertangan Lembut yang gugur
dalam mengem-
ban titah Baginda Prabu, untuk
menghukum Braja-
denta atau si Dewa Maut.
"Jadi, Eyang Guru meninggal
ketika bertempur
melawan si Dewa Maut di Bukit
Parahyangan?" tanya
Wirogundi ingin menegaskan.
Suropati mengangguk.
Wirogundi tertunduk lesu. Kemudian
bibirnya
komat-kamit, mengucapkan doa bagi
kepergian si Pe-
riang Bertangan Lembut. Walaupun
Wirogundi hanya
belajar beberapa jurus ilmu silat
darinya, tapi sangat
mencintai dan menghormati sosok
kakek yang bijak-
sana itu.
"Sudahlah,
Wirogundi...," ujar Suropati lirih.
"Aku telah mengikhlaskan
kepergian Eyang Guru. Ku-
harap kau pun demikian."
Mereka berdua kini tak
berkata-kata lagi. Mas-
ing-masing larut dalam pikiran di
benaknya sambil
berjalan perlahan menaiki Bukit
Pangalasan.
"Kau telah mendapat kemajuan pesat, Wiro-
gundi. Ilmu silatmu kelihatan
telah meningkat...," ce-
tus si Pengemis Binal ketika ingat
sepak terjang Wiro-
gundi menolongnya menghadapi tujuh
tokoh hitam di
Kota Kadipaten Bumiraksa yang baru
saja terjadi.
"Ah.... Kau terlalu memuji,
Suro," sergah Wiro-
gundi merendah. "Aku belajar
sedikit kepada Kakek
Gede Panjalu yang bergelar
Pengemis Tongkat Sakti"
"Pengemis Tongkat Sakti?
Siapa dia?" tanya
Pengemis Binal dengan kening
berkerut.
Kini, ganti Wirogundi bercerita
panjang lebar
tentang Gede Panjalu yang telah
menolongnya saat
menghadapi Patih Wiraksa yang
diutus Adipati Danu braja untuk mengusir seluruh pengemis dari Kota Ka-
dipaten Bumiraksa.
"Kalau prajurit kadipaten
dapat dihadapi, ke-
napa semua pengemis harus pergi
mengungsi?" tanya
Suropati kemudian.
"Kami hanya menuruti nasihat
Kakek Gede
Panjalu. Kota Kadipaten Bumiraksa
bukan lagi tempat
aman bagi para pengemis. Gusti
Adipati telah menyewa
tokoh-tokoh sesat untuk menghadapi
para pengemis
yang dianggap mau
memberontak..."
"Tapi, benarkah para pengemis
itu berkeinginan
untuk melakukan
pemberontakan?" tanya Pengemis
Binal lagi.
Wirogundi menggeleng. "Tidak,
Suro. Kami se-
mua sebenarnya tidak tahu-menahu
soal itu. Permu-
suhan ini terjadi hanya karena
prasangka buruk Gusti
Adipati yang sama sekali tak
beralasan."
"Kenapa kau tak
menjelaskannya, Wirogundi?"
"Tentu saja sudah, Suro. Tapi
yang namanya
penguasa, kadang-kadang bisa
berbuat sewenang-
wenang...."
***
Suropati hanya diam ketika matanya
menatap
pemukiman sederhana milik para
pengemis yang telah
mengungsi dari Kota Kadipaten
Bumiraksa.
"Kami semua telah pindah di
Bukit Pangalasan
ini, Suro. Sebagian hidup dengan
bercocok tanam, dan
sebagian lagi tetap melakukan
pekerjaan mengemis di
Kota Kadipaten Tanah Loh yang
tidak begitu jauh dari
bukit ini," jelas Wirogundi,
ketika mereka lelah tiba di
daerah pengungsian para pengemis.
Tiba-tiba seorang pengemis yang
sedang mene-
bang pohon menghentikan
pekerjaannya. Kemudian
dia berlari ke arah Suropati.
"Hei?! Coba lihat, siapa yang
datang...?!" teriak
pengemis itu kepada
teman-temannya.
Puluhan pengemis segera
berhamburan.
"Suropati datang...! Suropati
datang,..!"
Suara teriakan kegembiraan
berkumandang,
menyambut kedatangan Pengemis
Binal yang dianggap
sebagai pemimpin mereka. Dan
Suropati pun diarak
beramai-ramai. Mereka mengekor langkah
remaja be-
lasan tahun ini.
Tapi, tiba-tiba....
"Jangan dekati dia...!"
Terdengar teriakan keras
menggelegar, mem-
buat semua orang menoleh ke arah
asal suara. Tam-
pak Gede Panjalu muncul seperti
menyimpan hawa
amarah.
Melihat kehadiran kakek bongkok
yang sakti
para pengemis yang sedang mengarak
Suropati segera
pergi menjauh.
"Kaukah yang bernama
Suropati?" tanya Gede
Panjalu menyelidik sambil
melangkah maju ke hada-
pan Pengemis Binal.
Kening Suropati berkerut menatap
kakek bong-
kok yang tampak tak bersahabat
itu.
"Kaukah yang bernama
Suropati?" ulang Gede
Panjalu.
"Ya," jawab Suropati
singkat.
"Kau tak pantas menjadi
pemimpin para pen-
gemis, Suropati!" tandas Gede
Panjalu, langsung.
"Kenapa begitu,
Kek?"
"Ketika anak buahmu terancam
bahaya, kau
sama sekali tak memberi
perlindungan. Pemimpin ma-
cam apa kau ini?!"
"Aku tak mengerti maksudmu,
Kek...,"
"Aku meragukan
kemampuanmu...!"
Selesai mengucapkan kalimatnya,
Gede Panjalu
memasang kuda-kuda.
"Maaf, Kek. Aku tak mau
tarung tanpa alasan,"
cegah Suropati, tenang.
"Aku ingin melihat, sampai di
mana tingkat ke-
pandaianmu," tantang Gede
Panjalu langsung.
"Tahan sebentar,
Kek...," timpal Wirogundi se-
raya mendekati Gede Panjalu yang
sudah siap menye-
rang
"Kau tak perlu ikut campur,
Wiro!" bentak Gede
Panjalu, seraya menyentakkan
tangannya ke arah Wi-
rogundi
Wuuusss...!
Serangkai angin pukulan menerpa
tubuh Wiro-
gundi. Sehingga, tubuh pengemis
muda bertubuh ku-
rus itu bergeser menyamping beberapa
tindak.
"Lihat serangan, Bocah Sok
Pintar!" teriak Gede
Panjalu, keras.
Tubuh Pengemis Tongkat Sakti
langsung me-
nerjang Pengemis Binal. Tongkatnya
terayun cepat.
Wuuuttt..!
Suropati berkelit dengan melompat
ke bela-
kang.
"Sudah kubilang, aku tak mau
bertarung tanpa
alasan," kata Pengemis
Binal.
"Jangan sok!"
Pengemis Tongkat Sakti kembali
menyerang
dengan gencar. Kakek bongkok itu
melihat Suropati
seperti musuh yang harus
dienyahkan. Tanpa ragu,
tongkatnya dihunjamkan ke
bagian-bagian tubuh Su-
ropati yang paling berbahaya.
Pengemis Binal yang tak mau
membalas seran-
gan tentu saja menjadi kerepotan.
Dia hanya mengan-
dalkan kecepatan gerak tubuhnya
untuk menghindari
gempuran tongkat Gede Panjalu.
Namun ketika Gede Panjalu menambah
kecepa-
tannya....
Breeet...!
Bahu Suropati terserempet ujung
tongkat Pen-
gemis Tongkat Sakti. Begitu cepat
gerakan kakek ini,
padahal Pengemis Binal sudah
berusaha menjatuhkan
diri untuk menghindar.
Pengemis Tongkat Sakti segera menghentikan
serangannya. Matanya memandang
penuh ejekan pada
Suropati yang tengah bergulingan
di tanah.
"Hanya sebegitukah kepandaian
murid si Pe-
riang Bertangan Lembut...?!"
ejek Pengemis Tongkat
Sakti.
Suropati mendengus gusar mendengar
nama
gurunya disebut. Namun, tiba-tiba
bibirnya mengulum
senyum.
"Buang tongkat pengorek
sampahmu itu,
Kek...!" ujar Pengemis Binal,
langsung mengerahkan
daya sihirnya yang dimiliki sejak
lahir.
Gede Panjalu terkejut ketika
merasakan kekua-
tan yang mendorongnya untuk melepas tongkat yang
sedang dipegangnya. Tangannya
bergetar hebat. Dan
tongkatnya terasa sangat berat
Mendadak Pengemis Tongkat Sakti
mendengus.
Kemudian segenap kekuatan batinnya
dikumpulkan
untuk melawan kekuatan yang kasat
mata itu.
"Bocah Gendheng! Jangan
memamerkan ilmu
sihir di hadapanku!"
Sambil berkata demikian, tubuh
Gede Panjalu
melayang ke arah Suropati. Ujung
tongkatnya melun-
cur deras, mengarah tepat ke ulu
hati!
Namun sambil membalikkan tubuhnya,
Penge-
mis Binal menendang ujung tongkat
Gede Panjalu.
Tak!
"Rupanya kau tidak main-main,
Kek...," kata
Suropati seraya meraih sebatang
tongkat yang tergele-
tak di depan seorang pengemis yang
sedang menyaksi-
kan pertempuran.
Gede Panjalu menyeringai.
"Ingin kulihat, sam-
pai di mana kelihaianmu memainkan
tongkat. Lihat
serangan!"
Pengemis Tongkat Sakti segera
memutar cepat
tongkatnya hingga seperti
mengelilingi tubuhnya. Tiap
putarannya membentuk perisai yang
tak terlihat
Wuuuttt..!
Tiba-tiba Gede Panjalu meluruk
seraya meng-
geprak kepala Pengemis Binal.
Suropati menangkis.
Traaakkk...!
Pengemis Binal terkejut merasakan
telapak
tangannya jadi kesemutan. Namun,
belum sempat
mengambil napas, ujung tongkat
Gede Panjalu telah
meluncur mengarah jantung!
Wuuuttt...!
Cepat murid si Periang Bertangan
Lembut ini
berkelit dengan mengegos ke
samping. Dan, segera di-
mainkannya jurus yang diajarkan
gurunya.
"Jurus 'Tongkat Memukul
Anjing'...," kata Gede
panjalu. "Lihat jurus 'Tongkat
Menghajar Mating' yang
kumainkan...!"
Pengemis Tongkat Sakti merubah
gerakannya.
Tongkatnya dipegang pada bagian
tengah. Dan dua
ujungnya segera menghunjam ke arah
Suropati secara
bergantian.
Wuuuttt...! Wuuuttt...!
Pertempuran sengit segera terjadi.
Pengemis
Binal berusaha mengimbangi
gempuran tongkat Gede
Panjalu yang tampak aneh di
matanya.
Dua ujung tongkat Pengemis Tongkat
Sakti me-
liuk-liuk bagai kepala ular yang
sedang menerkam
mangsa. Gerakannya sangat cepat,
tak heran bila Pen-
gemis Binal seringkali dibuat
bingung, karena seran-
gan tongkat Gede Panjalu
kadang-kadang berubah
arah secara mendadak.
Sementara Gede Panjalu tampak
mudah meng-
hindari serangan Suropati. Jurus
'Tongkat Memukul
Anjing' sama sekali tak berarti
baginya. Setiap gerakan
remaja berusia tujuh belas tahun
itu selalu dapat di-
baca oleh kakek bongkok yang
bergelar Pengemis
Tongkat Sakti itu.
Sesungguhnya setiap gerakan dari
jurus
'Tongkat Memukul Anjing' telah
mendarah daging bagi
Gede Panjalu. Sebab, pencipta
jurus itu tak lain adalah
ayah dari Gede Panjalu sendiri,
semasa masih memim-
pin perkumpulan pengemis puluhan
tahun silam. Se-
bagai putra tunggal, tentu saja
Pengemis Tongkat Sakti
mewarisi kepandaian ayahnya.
Traaakkk...!
Terdengar suara benturan dua
tongkat dengan
keras. Pengemis Binal terkejut
setengah mati, merasa-
kan tongkatnya telah lepas dari
pegangan dan me-
layang jauh.
"Kiranya hanya sampai di situ
kemampuanmu,
Bocah Sok Pintar...," cemooh
Gede Panjalu.
Tiba-tiba kakek bongkok itu
membuang tong-
katnya.
"Aku ingin lihat jurus tangan
kosongmu. Lihat
jurus 'Pengemis Meminta
Sedekah'...!"
Pengemis Tongkat Sakti segera
mengembang-
kan tangannya lebar-lebar, lalu
bergerak ke depan
dengan telapak terbuka. Mendadak
telapak tangan itu
meluncur dengan kecepatan tinggi.
"Oaaahhh...."
Suropati menguap. Lalu dia
menjatuhkan diri
ke tanah, membuat serangan Gede
Panjalu luput
Kakek bongkok itu menatap tubuh
Pengemis
Binal yang tergeletak di tanah
dengan mata terpejam.
"Ilmu 'Arhat Tidur'...," gumam Pengemis Tong-
kat Sakti. "Bocah Gendheng!
Jangan kau kira ilmumu
itu akan dapat menghadapi jurus
'Pengemis Meminta
Sedekah'...."
Gede Panjalu menutup kelopak
matanya. Tu-
buhnya berdiri tegak di atas tanah
tanpa bergeming.
Pikirannya dipusatkan. Sikapnya seperti pasrah pada
kekuasaan Tuhan.
Tak lama kemudian, Pengemis
Tongkat Sakti
membuka matanya. Dan, kembali
kedua tangannya
dibentangkan lebar-lebar. Seketika
telapak tangannya
meluncur deras! Begitu derasnya,
membuat Suropati
tak sempat menggeliatkan tubuhnya
yang sedang tidu-
ran. Sehingga....
Buuukkk...!
Tubuh Suropati terpental sejauh
dua tombak.
Jerit ngeri terdengar dari para
pengemis yang menyak-
sikan pertempuran itu.
Perlahan-lahan Pengemis Binal
membuka ma-
tanya. Kedua telapak tangannya
mendekap dada kiri
yang nyaris amblong terkena
pukulan Gede Panjalu.
Darah segar mengalir dari sudut
bibirnya.
"Kenapa jurus 'Tongkat
Memukul Anjing' dan
Ilmu 'Arhat Tidur' sama sekali tak
berdaya menghadapi
kakek bongkok itu...?" tanya
Suropati dalam hati.
Sambil berdiri terhuyung-huyung,
remaja bela-
san tahun itu menatap Gede Panjalu
yang masih me-
mandang dengan tatapan penuh
hinaan.
"Adakah kau punya ilmu
simpanan, Bocah Sok
Pintar...?!" leceh Gede
Panjalu.
Suropati menyeringai gusar
mendengar hinaan
Gede Panjalu. Sesaat hatinya
diliputi keraguan. Ha-
ruskah ilmu totokan 'Delapan Belas
Tapak Dewa' di-
pergunakan? Bila ilmu totokan itu
dipergunakan,
hanya kematianlah akibatnya.
Sedang dia tak tega
membunuh kakek bongkok yang selalu
menatap sinis
itu. Suropati tahu, walaupun bibir
Pengemis Tongkat
Sakti selalu mengeluarkan kata
ejekan, tapi di balik
semua itu, raut wajahnya
mencerminkan kelembutan
dan kehalusan budi.
"Aku tidak mau bertempur
tanpa alasan,
Kek...," kilah Suropati yang
masih diliputi keraguan.
Gede Panjalu menaikkan ujung
bibirnya.
"Kau tak perlu ragu-ragu.
Segera keluarkan il-
mu simpananmu. Ingin kulihat,
apakah kau pantas
memimpin perkumpulan
pengemis," tandas Pengemis
Tongkat Sakti.
Melihat kesungguhan kakek bongkok
itu, Suro-
pati mengambil ancang-ancang.
"Jangan salahkan aku bila
terjadi sesuatu yang
tak kau inginkan, Kek...,"
ujar Pengemis Binal.
Kening Gede Panjalu berkerut
melihat gerakan
tangan dan kaki Suropati.
"Ilmu totokan 'Delapan Belas
Tapak Dewa'...,"
gumam kakek ini.
"Rupanya kau sudah mengenal
ilmu simpanan-
ku...," kata Suropati pelan.
"Dari mana kau belajar ilmu
totokan itu...?"
"Guruku mewariskannya"
"Jadi si Periang Bertangan
Lembut telah memi-
liki jurus itu, dan memberikannya
padamu?"
"Tepat," jawab Suropati
pendek.
"Di mana dia sekarang?"
cecar Pengemis Tong-
kat Sakti.
"Kenapa kau tanyakan itu...?
Dia telah berada
tempat yang tenang di sisi
Tuhan."
"Oh..."
Gede Panjalu mendesah panjang.
Tampak sinar
kedukaan terlintas di matanya.
"Kenapa kau meninggalkanku,
Pragolawu-
lung...?" kata Pengemis
Tongkat Sakti menyebut nama
kecil si Periang Bertangan Lembut.
"Kenapa Tuhan tak
memanggilku terlebih
dahulu...."
Sebutir mutiara bening bergulir
dari mata Gede
Panjalu. Kakek bongkok itu
berkali-kali menarik napas
panjang.
Mau tak mau, Suropati ikut terbawa
keadaan.
Hatinya merasa terharu menyaksikan
Gede Panjalu
yang tampak terpukul jiwanya
itu.
Perlahan-lahan Pengemis Tongkat
Sakti me-
langkah memasuki sebuah rumah yang
dibangun den-
gan darurat.
***
6
Gede Panjalu duduk bersimpuh di
atas tikar
daun pandan. Sorot matanya
bersinar kelabu. Sesuatu
yang tak pernah diinginkan telah
datang menghunjam
membuat luka di hatinya. Luka itu
tak akan pernah
dapat disembuhkan lagi, akibat
kepergian seseorang
yang sangat dicintainya.
Sesungguhnya Pragolawulung atau si
Periang
Bertangan Lembut telah menjadi bagian
dari hidup
Gede Panjalu alias Pengemis
Tongkat Sakti. Keper-
giannya menghadap Tuhan Yang Maha
Kuasa, mem-
buat jiwanya kering kerontang.
Rasa kehilangan yang
dalam menjadikan hidupnya seperti
dalam mimpi. Dia
seakan-akan tak percaya kepada apa
yang telah terja-
di.
Gede Panjalu dan Pragolawulung
sejak masih
anak-anak selalu hidup bersama.
Gede Panjalu adalah
putra tunggal Datuk Risanwari,
seorang tokoh sakti
rimba persilatan yang mendirikan
perkumpulan pen-
gemis puluhan tahun silam. Tubuh
Gede Panjalu yang
cacat bongkok, membuat Datuk
Risanwari berkeingi-
nan untuk mengambil putra angkat.
Maka yang dipi-
lihnya adalah Pragolawulung,
seorang pengemis kecil
yang berbudi halus, serta sangat
berbakat untuk men-
dalami ilmu silat.
Kehadiran Pragolawulung yang telah
mendapat
bagian cinta ayahnya, tak membuat
Gede Panjalu me-
rasa iri dan sakit hati. Kehadiran
Pragolawulung justru
membuat senang. Usia mereka yang
sebaya, membuat
kedua anak manusia itu cepat akrab
satu sama lain.
Pribadi Pragolawulung penuh rasa
persahabatan dan
selalu menampilkan sinar
kegembiraan. Hal itulah
yang membuat Gede Panjalu merasa
sangat dekat.
Di masa itu, di mana ada Gede
Panjalu, di situ
pasti ada Pragolawulung. Demikian
juga sebaliknya.
Datuk Risanwari pun merasa sangat
gembira melihat
keakraban mereka. Kasih sayangnya
tertumpah tanpa
pernah membeda-bedakan satu sama
lain. Bahkan se-
luruh kepandaiannya diwariskan
kepada dua putranya
dengan sepenuh hati.
Namun, Gede Panjalu dan
Pragolawulung
mempunyai minat yang berlainan
dalam menerima wa-
risan ilmu kepandaian dari ayah
mereka. Gede Panjalu
yang cacat bongkok, amat senang
mempelajari ilmu si-
lat yang menggunakan senjata
tongkat, disertai jurus-
jurus tangan kosong. Maka tak
heran kalau dia sangat
mahir memainkan senjata tongkat.
Memang, tongkat-
nya tak dapat dipisahkan dari
dirinya. Tubuhnya yang
bongkok membutuhkan sebuah alat
penyangga untuk
dapat berdiri tegak. Dan alat itu
adalah sebatang tong-
kat.
Sedangkan Pragolawulung yang
berotak cerdas
lebih suka mempelajari
kesusastraan dan filsafat. Tapi
karena dididik seorang tokoh
sakti, tentu saja diha-
ruskan untuk mempelajari ilmu
silat juga. Pragolawu-
lung pun menyadari akan hal itu.
Dia juga mempelajari
ilmu silat. Tetapi yang lebih
diutamakannya ilmu silat
yang mengandalkan kekuatan batin.
Maka, tak heran
kalau dia pun mahir memainkan ilmu
'Arhat Tidur' wa-
risan ayah angkatnya.
Malah, Datuk Risanwari berkenan
mewariskan
Kitab Delapan Belas Tapak Dewa
kepada Pragolawu-
lung yang dianggap lebih cocok
mempelajari ilmu yang
mengandalkan kekuatan batin. Untuk
dapat mengua-
sai ilmu yang tercantum dalam
Kitab Delapan Belas
Tapak Dewa, seseorang harus
menguasai ilmu sihir
terlebih dahulu. Dan,
Pragolawulung orang yang tepat.
Gede Panjalu pada dasarnya memang
sangat
mencintai Pragolawulung. Sehingga
keputusan ayah-
nya dapat diterima dengan ikhlas.
Dia menyadari ke-
kurangannya. Walaupun Kitab
Delapan Belas Tapak
Dewa tak diwariskan kepadanya, hal
itu tak akan per-
nah berarti apa-apa. Karena Gede
Panjalu sama sekali
tak berbakat dalam mempelajari
ilmu sihir yang men-
jadi dasar dari kehebatan ilmu
sakti itu.
Ketika perkumpulan pengemis yang
didirikan
Datuk Risanwari dibubarkan pihak
kerajaan, nasib
baik menyertai Pragolawulung yang
telah menginjak
dewasa. Dia yang sangat paham akan
filsafah kehidu-
pan tak pernah mendendam terhadap
tindakan pihak
kerajaan. Saat tampuk kepemimpinan
berganti, Prago-
lawulung mengabdikan diri untuk
kepentingan kera-
jaan. Dan karena kehalusan budi
serta kecerdasan
otaknya dia diangkat menjadi
penasihat kerajaan
Sedangkan Gede Panjalu hidup
terlunta-lunta
mencari ayahnya yang telah
menghilang sejak per-
kumpulan pengemisnya dibubarkan.
Namun hingga
usia menggerogoti, Gede Panjalu
tak pernah menjum-
pai orang yang sangat
dihormatinya.
Hidup Gede Panjalu dan
Pragolawulung akhir-
nya terpisah. Mereka hidup dengan
cara sendiri-sendiri
mengikuti panggilan jiwa masing-masing.
Namun, cin-
ta di dalam hati mereka sama
sekali tak pernah pa-
dam.
Jadi, wajar apabila Gede Panjalu
sangat sedih
mendengar berita kematian
Pragolawulung. Setelah
bertahun-tahun dia mencari jejak
ayahnya yang tak
pernah ditemuinya, kini ditambah
berita kepergian
Pragolawulung yang tak akan pernah
kembali. Jelas,
hal ini menjadikan Gede Panjalu
larut dalam kesedi-
han mendalam.
***
Beberapa hari lamanya Gede Panjalu mengu-
rung diri. Tepat hari ketujuh,
kakek bongkok itu me-
nyuruh salah seorang pengemis
untuk memanggil Su-
ropati.
Kening Pengemis Binal berkerut.
"Kenapa kakek bongkok itu
memanggilku?
Apakah aku hendak dijadikan barang
mainan lagi?
Atau mungkin ada sesuatu yang
penting, menyangkut
diriku? Ah, persetan...! Luka
dalam di dada kiriku ma-
sih terasa sakit. Kenapa aku
susah-susah memikir-
kannya...?" gumam Suropati.
Remaja belasan tahun ini
menggeleng-geleng
seperti memberi penolakan atas
panggilan Gede Panja-
lu.
"Mungkin Kakek Gede ingin
mengatakan sesua-
tu yang sangat penting untuk
dibicarakan denganmu,
Suro...," tambah seorang
pengemis tua.
"Aku tak sudi! Katakan pada
kakek itu bahwa
Suropati menolak
panggilannya...," jawab Pengemis
Binal, ketus.
"Kau memang keras kepala,
Suro...!"
Terdengar suara setengah membentak
dari pin-
tu gubuk darurat. Begitu Suropati
menoleh, ternyata
yang muncul Gede Panjalu.
Suropati tersenyum simpul.
"Aku keras kepala? Apa benar
katamu itu,
Kek...?" tukas Suropati mulai
kumat lagi kekonyolan-
nya.
Suropati memijat-mijat batok
kepalanya sendi-
ri. "Oh, ya. Benar! Kepalaku
memang keras...!" lanjut
remaja belasan tahun itu, sambil
menggerak-gerakkan
bola matanya.
"Bocah Gendheng!" santap
Gede Panjalu. Lalu
kakinya melangkah tegak mendekati
Suropati. "Hari ini
aku hendak menjadikanmu sebagai
tangan kanan un-
tuk memimpin perkumpulan pengemis
di sini...."
Mata Suropati terbeliak.
"O.... Jadi, kau sudah
mengakui kemampuanku
Kek?!" cetus Pengemis Binal
kekonyol-konyolan. "Tapi,
aku tidak mau hanya sekadar
menjadi tangan kanan!"
"Apa maksudmu?" tanya
Gede Panjalu, berker-
nyit alisnya.
"Aku ingin kau mengakuiku
sebagai pemimpin.
Pemimpin dari para
pengemis...!" tandas Suropati, te-
rang-terangan.
Gede Panjalu membersitkan
senyum.
"Baiklah.... Aku mengakuimu
sebagai pemimpin
para pengemis. Tapi, kau harus
mendapat persetujuan
dari orang-orang yang hendak kau
pimpin..."
Mendadak Gede Panjalu bertepuk
tiga kali. Tak
lama puluhan orang pengemis telah
berkumpul menge-
lilingi Pengemis Binal dan
Pengemis Tongkat Sakti
"Kau tanya mereka,
Suro...," ujar Gede Panjalu
Suropati tersenyum lebar.
"Tanpa kutanya, mereka sudah
mengakuiku
sebagai pemimpin!" sahut
Pengemis Binal, enteng.
"Aku belum mendengar
pernyataan mereka!"
sentak Pengemis Tongkat Sakti.
Suropati memandang wajah Gede
Panjalu se-
saat. Lalu tatapan matanya beralih
kepada para pen-
gemis yang telah berkumpul di
hadapannya.
"Saudara-saudara! Untuk
meyakinkan Kakek
Gede, coba tunjukkan persetujuan
kalian untuk men-
gangkatku sebagai seorang
pemimpin...," kata Suropati
lantang.
Para pengemis yang berada di
tempat itu pun
jadi kasak-kusuk, karena tidak
tahu bagaimana cara
menyatakan rasa persetujuannya.
"Setujukah kalian
mengangkatku menjadi pe-
mimpin pengemis...?!" teriak
Pengemis Binal, lantang.
"Setujuuu...!"
Sorak-sorai para pengemis segera
terdengar.
Suaranya membahana di angkasa
untuk beberapa saat
"Kau telah mendengar sendiri
pernyataan me-
reka, Kek...," kata Suropati
kepada Gede Panjalu
Kakek bongkok itu tersenyum.
"Baik! Aku akan menobatkanmu
menjadi pe-
mimpin pengemis...," jawab
Gede Panjalu sambil men-
geluarkan selembar kain dari
kantong bajunya.
"Untuk apa kain kumal itu,
Kek? Untuk me-
nyeka ingus? Ah! Aku bukan bocah
ingusan lagi...," se-
loroh Suropati.
"Husss...! Ini kain wasiat,
Goblok!" dengus Pen-
gemis Tongkat Sakti.
Mendengar ucapan Gede Panjalu,
Suropati ter-
tawa terbahak-bahak.
"Ah! Kau sedang melucu
rupanya, Kek. Masa'
kain kumal dan bau seperti itu
disebut kain wasiat..."
Tiba-tiba Gede Panjalu mengebutkan
kain yang
dipegangnya.
Wuuuttt...!
Saat itu juga bau apek menebar
menusuk hi-
dung. Mau tak mau Suropati dan
para pengemis yang
sedang berkumpul di tempat itu
segera menutup lu-
bang hidung.
"Ha ha ha...!" Gede
Panjalu tertawa terpingkal-
pingkal, lupa akan kesedihannya.
"Sudah kubilang,
kain ini adalah kain wasiat! Kalau
kalian tidak sema-
put mencium baunya, masih untung.
Kemarin, seekor
tergeletak mati waktu hendak
menggerogoti kain ini...."
Semua yang mendengar perkataan
Gede Panja-
lu tak dapat menahan tawa. Mereka
terpingkal-pingkal
dengan perut bagai diaduk-aduk.
"Diaaammm...!" teriak
Gede Panjalu nyaring.
Kemudian kakinya melangkah ke
belakang Pengemis
Binal. "Kalian semua yang
hadir di tempat ini menjadi
saksi. Aku Gede Panjalu yang
bergelar Pengemis Tong-
kat Sakti, hendak menobatkan
Suropati sebagai pe-
mimpin pengemis...."
Sret...! Sret....!
Tangan Gede Panjalu bergerak cepat
Pengemis
Binal cepat meraba kepalanya yang
tiba-tiba telah teri-
kat kain kumal milik Pengemis
Tongkat Sakti.
"Itu mahkota kebesaranmu,
Suro. Karena kau
Pemimpin Pengemis, pemimpin dari
orang-orang
miskin yang hidupnya sengsara, kau
tidak membutuh-
kan mahkota yang terbuat dari emas
berlian. Kain
kumal ini saja cukup...,"
jelas Gede Panjalu berwibawa,
setelah mengikatkan kain kumal di
kepala Suropati.
Mendadak hidung Suropati
kembang-kempis.
"Ah! Aku mencium bau tak
enak.... Seperti bau
terasi busuk," kata remaja
belasan tahun itu, seraya
melepas mahkotanya. Langsung
diciumnya kain itu
"Uhhh...! Bau busuk itu
berasal dari kain kum-
al ini. Aku tidak mau memakainya
lama-lama, Kek...."
Gede Panjalu tertawa keras.
"Ha ha ha.... Kain itu memang
lap keringat di
ketiakku, Suro...," kata
kakek bongkok itu sambil
mengulum senyum.
Seketika Suropati melemparkan kain
kumal itu
ke arah para pengemis yang
berkumpul di hadapan-
nya.
Tentu saja mereka berusaha
mengelak. Tapi,
seorang pengemis kecil menjadi merah
padam wajah-
nya, karena tersambar kain kumal
milik Gede Panjalu.
Pengemis kecil itu kemudian
melempar kain
kumal yang dipegangnya ke arah
pengemis lainnya.
Wuuusss...!
Kain kumal itu menimpa salah
seorang penge-
mis setengah baya. Dan, kemudian
dilemparkan kepa-
da pengemis lainnya. Begitu
seterusnya, sehingga para
pengemis sibuk melempar-lemparkan
kain kumal milik
Gede Panjalu. Bau apek pun segera
menebar.
"Diaaammm...!" bentak
Gede Panjalu, keras.
Pada saat itu, Wirogundilah orang
terakhir yang
memegang kain kumal milik Pengemis
Tongkat Sakti.
Karena sudah kepalang basah, dan
tak tahu ke mana
kain kumal itu hendak dilemparkan,
tiba-tiba tangan-
nya bergerak!
Weeerrr...!
Pluk!
Mata Gede Panjalu mendelik,
setelah mengam-
bil kain kumalnya sendiri yang
menimpa wajahnya.
Sementara, Wirogundi terkejut
setengah mati menya-
dari kesalahannya.
Kreeesss...!
Gede Panjalu meremas kain kumalnya
sendiri
hingga menjadi abu yang
mengeluarkan bau menusuk
hidung.
"Ha ha ha...!" Pengemis
Tongkat Sakti tertawa
keras. "Pemimpin Pengemis
tidak perlu mahkota...."
Mendengar tawa Gede Panjalu, hati
Wirogundi
jadi tenang kembali. Rasa takutnya
hilang tanpa be-
kas.
"Tapi sebagai raja, tentu
saja Suropati memer-
lukan sebuah lambang kekuasaan.
Dan lambang ke-
kuasaan yang tepat bagi seorang
pengemis adalah
tongkat...," lanjut Pengemis
Tongkat Sakti.
Gede Panjalu menimang-nimang
tongkatnya
sebentar, lalu mengangsurkannya
kepada Suropati.
Pengemis Binal menggeleng-geleng,
tak mene-
rima tongkat yang diserahkan
padanya.
"Tadi kain kumal. Sekarang
tongkat butut.
Apakah kau menghinaku,
Kek...?" kata Suropati pelan.
Mata Gede Panjalu kembali
mendelik. "Kau ka-
takan tongkat butut? Coba, apakah
kau mampu me-
matahkannya...?" sahut
Gede Panjalu seraya menye-
rahkan tongkat di tangannya.
Suropati pun menerima. Dan segera
dibukti-
kannya ucapan Gede Panjalu.
Seluruh tenaganya sege-
ra dikeluarkan untuk mematahkan
tongkat Gede Pan-
jalu. Namun mulutnya jadi meringis
kecut karena usa-
hanya tak membuahkan hasil.
Tiba-tiba telinga Pengemis Binal
menangkap so-
rak-sorai para pengemis yang
menyaksikan adegan itu.
Karena merasa malu, Suropati
segera mengerahkan
tenaga dalamnya.
Kretek....! Kretek...!
Tongkat di tangan Pengemis Binal
hanya men-
geluarkan suara gemeretakkan, tapi
tak terpatahkan
juga. Dan keringat dingin pun
mengucur dari seluruh
pori-pori di tubuhnya. Sorak-sorai
dari para pengemis
yang berada di dekatnya, semakin
keras terdengar.
Mendadak Suropati mendengus keras.
Lalu ka-
kinya melangkah mendekati batu
sebesar anak ker-
bau. Begitu mencapai jarak satu
tombak, tongkat itu
langsung dikebutkan ke batu.
Wussss...!
Buuummm...!
Batu yang tertimpa hantaman
tongkat langsung
pecah berkeping-keping,
menimbulkan asap tebal
mengaburkan pandangan. Sementara
Pengemis Binal
jadi bergidik ngeri menyaksikan
kekuatan tongkat
yang masih dipegangnya. Sedangkan
tongkat itu masih
tetap utuh tanpa cacat.
"Uhhh...! Tongkat macam apa
ini? Kenapa kuat
betul...?" bisik Suropati
dalam hati.
"Tongkat itu kuberikan
kepadamu, Suro...," ce-
tus Gede Panjalu kemudian.
"Ah! Aku tidak bisa
menerimanya, Kek. Tongkat
ini terlalu berharga untuk
diberikan kepadaku...," to-
lak Pengemis Binal, halus.
"Tidak. Kau pantas
menerimanya, Suro. Aku
yang tua dan mulai pikun ini sudah
tak begitu memer-
lukannya lagi...," sergah
Pengemis Tongkat Sakti.
Suropati meraba-raba tongkat
pemberian Gede
panjalu yang permukaannya licin
itu. Pangkalnya be-
rukir kepala naga. Sedangkan pada
bagian ujung tam-
pak seperti dipelintir sepanjang
dua jengkal. Saat ter-
timpa sinar mentari, tongkat itu
memendarkan cahaya
kehijau-hijauan.
"Kekuatan tongkat itu
melebihi kekuatan seba-
tang baja, Suro. Tak sebilah
pedang pun di dunia ini
yang sanggup mematahkannya. Aku
membuat tongkat
itu dari sebatang kayu pilihan
yang telah kurendam ke
dalam ramuan khusus selama
bertahun-tahun...," je-
las Gede Panjalu.
Pengemis Binal kemudian membongkokkan
ba-
dannya seraya menjura beberapa
kali di hadapan Gede
Panjalu.
"Terima kasih atas
pemberianmu, Kek.... Mu-
dah-mudahan aku dapat merawat
sebaik-baiknya,"
ucap Suropati, penuh harap.
Gede Panjalu tersenyum.
"O ya. Kau belum memberi nama
perkumpulan
pengemismu ini, Suro...,"
tukas Pengemis Tongkat Sak-
ti.
Dahi Suropati berkerut
"Nama...," gumam
Pengemis Binal. "Nama apa
yang cocok...?"
"Terserah kau, Suro."
Mendadak Suropati meloncat girang
seperti te-
lah menemukan sebuah gagasan cemerlang.
"Bagaimana kalau aku pinjam
gelarmu, Kek."
usul Pengemis Binal dengan mata
berbinar. "Aku beri
nama perkumpulan pengemis ini
dengan nama Per-
kumpulan Pengemis Tongkat
Sakti...."
Seketika sorak-sorai kembali
terdengar, me-
nyambut ucapan Suropati itu
"Bagaimana? Apakah kalian
semua menyetujui
nama yang kuberikan?" tanya
Suropati kepada para
pengemis yang sedang diliputi
kegembiraan.
"Setuju....!"
Sebuah jawaban serempak terdengar
keras. Ta-
pi Pengemis Binal tampak
bersungut-sungut, kemu-
dian kakinya melangkah mendekati
dua orang penge-
mis perempuan yang duduk
berdampingan.
"Kenapa kalian hanya menunduk
saja?" tegur
Suropati. "Apa kalian tidak
setuju bila aku jadi pe-
mimpin...?!"
"Eh, tidak...," jawab
salah seorang pengemis pe-
rempuan yang masih muda.
"Maksudmu, 'tidak
setuju'?!" desak Suropati.
"Tidak...."
"Apa? Tidak setuju?!"
"Ak..., aku setuju...,"
sahut si pengemis perem-
puan tergagap karena dibentak
Suropati.
Mendadak remaja konyol itu
memencet hidung
pengemis perempuan.
"Aduhhh...!"
Tentu saja perempuan itu menjerit
seraya me-
lompat
"He he he...," Suropati
tertawa terkekeh. "Kalau
berkata yang jelas!"
Pengemis Binal lalu menggelitik
pinggang si
pengemis perempuan. Yang digelitik
pun menjerit-jerit
seraya berlari pontang-panting.
Sambil menatap ke-
pergiannya, remaja konyol ini
tertawa terbahak-bahak.
"Dasar Pengemis
Binal...!" kata seorang penge-
mis, sambil memperhatikan tingkah
laku Suropati.
Saat itu juga pengemis-pengemis
lain ikut ber-
gumam tak karuan, sehingga mirip
sekawanan lebah.
"Senangnya menggoda
perempuan...," timpal
yang lain.
"Yah.... Namanya saja
Pengemis Binal...!"
Mendengar dirinya yang
dibicarakan, Suropati
masih tertawa terbahak-bahak.
Pada saat itu, terdengar derap
kaki kuda yang
berlari kencang. Seketika semua
mata menatap tajam
ke arah asal suara. Tampak dua
ekor kuda muncul, di-
tunggangi dua orang lelaki
setengah baya berpakaian
pembesar kerajaan. Sekitar lima tombak
di depan para
pengemis, dua lelaki setengah baya
ini turun dari ku-
danya.
Para pengemis seketika diliputi
ketegangan.
Mereka mengira, dua orang lelaki
yang baru hadir itu
adalah utusan Adipati Danubraja
yang memusuhi per-
kumpulan pengemis.
"Siapa di antara kalian yang
bernama Suropa-
ti?" tanya salah seorang
lelaki berpakaian pembesar
kerajaan.
Karena tidak melihat sinar
permusuhan, Suro-
pati segera berjalan mendekat.
"Ada apakah Tuan
mencariku?" tanya Pengemis
Binal sambil membungkukkan badan.
"Kau yang bernama
Suropati?" pembesar kera-
jaan ini malah balik bertanya
lagi.
Suropati membungkukkan badan lebih
dalam.
Kemudian matanya menatap si
penanya sambil nyen-
gir
"Aku Bramasta, utusan Baginda
Prabu Arya
Diwantara," kata penunggang
kuda itu, memperkenal-
kan diri. "Aku mengemban
titah beliau untuk me-
nyampaikan sesuatu kepadamu,
Suropati!"
Suropati hanya diam mendengarkan
ucapan
utusan Baginda Prabu yang mengaku
bernama Bra-
masta. Matanya menatap gerakan
tangan pembesar
ini.
"Baginda Prabu berkenan
memberikan lambing
kepercayaan kepadamu, Suropati.
Karena, kau telah
berhasil menumpas pengkhianat
kerajaan yang nama
Brajadenta atau si Dewa
Maut."
Bramasta kemudian menyerahkan
sebuah ben-
da yang terbuat dari emas murni
sebesar telapak tan-
gan orang dewasa. Pengemis Binal
pun menerimanya
dengan senang hati. Untuk beberapa
lama ditimang-
timangnya benda dari emas murni
yang berukir gam-
bar burung rajawali di dalam
genggamannya.
"Terima kasih, Tuan...,"
ucap Suropati seraya
menjura beberapa kali.
Bramasta menganggukkan kepalanya
lalu ber-
balik diikuti temannya. Begitu
mereka berada di atas
kuda masing-masing, segera mohon
diri dan mengge-
bah kudanya. Sebentar kemudian,
kedua penunggang
kuda itu telah lenyap dari
pandangan.
Sorak-sorai kegembiraan kembali
terdengar,
saat dua pembesar kerajaan itu
telah lenyap sama se-
kali
"Suropati pahlawan
kerajaan...! Suropati pah-
lawan kerajaan...!"
Kalimat itu berkali-kali
terdengar. Sementara
Suropati tertawa terbahak-bahak,
larut dalam kegem-
biraan.
"Rasa gembira ada batasnya,
Suro," kata Gede
Panjalu mengingatkan, sambil
melangkah mendekat.
"Kau tidak boleh
berlarut-larut mengikuti perasaan ha-
timu itu. Sebagai seorang
pemimpin, kau harus dapat
mengendalikan diri...."
Suropati mengangguk, tanda
menyadari kekeli-
ruannya.
"Ilmu kepandaianmu masih
belum seberapa.
Kau harus lebih banyak belajar,
Suro," lanjut Gede
Panjalu. "Bersediakah kau
belajar sedikit dariku,..?"
Suropati menatap wajah Gede
Panjalu, seakan
tak percaya mendengar tawaran ini.
"Terima kasih, Kek. Aku
bersedia...," sahut Su-
ropati mantap, namun penuh
penghormatan.
***
Sejak saat itu Pengemis Binal
bersama-sama
pengemis lain menjadi murid Gede
Panjalu atau Pen-
gemis Tongkat Sakti. Tetapi,
ajaran yang diberikan
Gede Panjalu kepada Suropati hanya
bersifat penyem-
purnaan saja. Yang lebih khusus,
Suropati kini berla-
tih ilmu tongkat secara lebih
mendalam.
Menurut Gede Panjalu, jurus
'Tongkat Memu-
kul Anjing' yang diajarkan si
Periang Bertangan Lem-
but hanyalah sebagian dari jurus
'Tongkat Sakti' wari-
san Datuk Risanwari, ayah kandung
kakek bongkok
itu.
Jurus 'Tongkat Sakti' terdiri dari
tiga buah ju-
rus yang satu sama lainnya saling
berkaitan. Hanya
karena kurang berminat, maka si
Periang Bertangan
Lembut hanya menguasai salah satu
dari rangkaian
jurus 'Tongkat Sakti' itu. Selain
jurus 'Tongkat Memu-
kul Anjing', juga terdapat jurus
'Tongkat Menghajar
Maling', dan jurus 'Tongkat
Mengejar Kucing'.
Untuk jurus tangan kosong,
Suropati menerima
tiga jurus dari Gede Panjalu yang
juga saling berkai-
tan. Yakni, jurus 'Pengemis
Meminta Sedekah', jurus
'Pengemis Menebah Dada', dan jurus
'Pengemis Meng-
hiba Rembulan'.
***
Pagi ini kelihatan cerah. Matahari
baru saja
bangun dari tidurnya. Gede Panjalu
tampak duduk
berhadapan dengan Suropati.
"Apa yang sedang kau
pelajari, hendaknya di-
pergunakan untuk membela kaum
lemah, kaum ter-
tindas yang terbiasa hidup
sengsara, Suro. Kau harus
berpegang teguh kepada kebenaran.
Karena, kebena-
ran mengajarkan manusia untuk
dapat melihat sesua-
tu dunia ini secara lebih jelas
dan gamblang. Kebena-
ran pun berperan sebagai cahaya
yang menerangi
mayapada, guna mengusir kegelapan
yang menyelimu-
ti pikiran manusia. Kebenaran juga
menampakkan si-
kap dan perilaku manusia,
bagaimana harus berbuat
dan bertindak. Kebenaran adalah
sebuah benteng yang
kokoh kuat, untuk menepis
datangnya nafsu manusia
yang sering kali bersifat
memperbudak...."
Suropati tetap diam membisu,
mendengarkan
nasihat Gede Panjalu. Otaknya
mencatat nasihat Pen-
gemis Tongkat Sakti yang berinti
kepada tindakan ma-
nusia yang harus tetap berpegang
teguh pada jalan
kebenaran.
***
Waktu terus berlalu mengikuti
garis yang telah
diciptakan Sang Penguasa Tunggal.
Waktu terus berge-
rak seorang pun mampu mencegahnya
Tanpa terasa dua tahun telah
berlalu. Perkum-
pulan Pengemis Tongkat Sakti yang
dipimpin Suropati
telah berkembang pesat.
Perkumpulan pengemis itu
memberi naungan bagi para pengemis
yang membu-
tuhkan perlindungan dari tindakan
orang-orang yang
merasa dirinya lebih kuat dan
lebih berkuasa.
Seiring bergesernya waktu pula,
Suropati telah
menjadi sosok manusia yang lebih
dewasa. Dengan
mendapat bimbingan dari Gede
Panjalu, langkah Su-
ropati dalam bersikap dan
bertindak menjadi lebih ma-
tang. Jiwa kepemimpinannya semakin
terlihat. Dia tak
pernah segan untuk lebur dalam
penderitaan yang di-
rasakan anak buahnya. Dia tak
pernah segan turun
tangan dalam mengatasi segala
kesulitan. Karena jiwa
kepemimpinannya itulah, Suropati
menjadi panutan.
Hal itu membuat anggota
Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti semakin hari semakin
bertambah jum-
lahnya. Anggota perkumpulan
pengemis itu hingga kini
telah mendekati jumlah seribu
orang. Mereka tersebar
di beberapa kota kadipaten, yang
masih termasuk wi-
layah Kerajaan Anggarapura.
***
7
Malam yang biasanya sepi, kini
nampak seru.
Terutama di Pendapa Kadipaten
Bumiraksa yang dili-
puti kegembiraan.
Petinggi-petinggi kerajaan dengan
pakaian kebesarannya tampak duduk
berderet di kursi
jati berukir. Di hadapan mereka
terhidang aneka ma-
sakan lezat yang mengundang
selera. Buah-buahan
matang ranum tergolek di meja
seperti menggoda ha-
srat untuk segera menikmati.
Poci-poci indah dari pe-
rak gemerlap berisi arak kelas
satu. Suara tawa meng-
gema, mencerminkan rasa gembira
meluap-luap.
Pada barisan kursi lain, tampak
hadir para un-
dangan yang terdiri dari para
punggawa tinggi dari Ka-
dipaten tetangga dan tokoh-tokoh
sakti rimba persila-
tan, terutama dari golongan hitam.
Sepasang Iblis Penyebar Petaka
tampak duduk
berdampingan dengan Rabanga,
seorang tokoh aliran
hitam berjuluk Setan Pencabut
Nyawa. Di sampingnya
terlihat Brajamusti lelaki
berwajah dingin, mengena-
kan ikat kepala berwarna hitam.
Nama aslinya Braja-
musti sedang julukannya Dewa
Sesat. Di sampingnya
lagi, duduk Empu Barangas yang
sudah berusia lan-
jut. Kakek itu duduk tenang.
Matanya sedikit terpejam.
Empu Barangas adalah seorang ahli
pembuat keris.
Tak heran kalau julukannya Empu
Keris Hitam.
Kelima tokoh sakti itu duduk
berhadapan den-
gan Kaligundi dan Pradesta.
Kaligundi yang bertubuh
gemuk tampak menenggak arak yang
disuguhkan
sambil mengeluarkan suara omelan
tak berpangkal-
ujung. Umurnya sekitar lima puluh
lima tahun. Dia
terkenal dengan julukan Pegulat
Tangan Maut. Selain
ilmu silatnya telah mencapai
tingkatan tinggi, dia juga
mahir bergulat. Ilmu itu hasil
berguru kepada seorang
tokoh di daratan Mongolia.
Di sebelah Kaligundi, Pradesta
duduk tenang
sambil menghitung biji tasbihnya
tiada henti. Jubah-
nya berwarna kuning keemasan.
Wajahnya halus, ber-
hias kumis dan janggut panjang
yang telah memutih.
Sorot matanya sangat tajam,
mencerminkan keberin-
gasan dan kekejaman. Walaupun
Pradesta seorang
pendeta, tetapi jalan hidupnya
telah melenceng dari
garis kebenaran. Julukannya
Pendeta Murtad.
Di barisan kursi lain tak jauh
dari tempat du-
duk tokoh-tokoh sakti beraliran
hitam itu, tampak pa-
ra perwakilan dari kadipaten
sahabat. Mereka duduk
tenang, menikmati pesta secara
wajar.
Di sebelah utara para undangan,
Adipati Danu-
braja duduk berdampingan dengan
istrinya yang ber-
nama Rara Anggi. Wanita cantik
berumur sekitar tiga
puluh lima tahun itu tampak
bercakap-cakap dengan
seorang gadis belia yang berwajah
cantik. Hidungnya
mancung. Bibirnya merah merekah
laksana biji delima
yang telah ranum. Matanya berkedip indah, dengan
bulu lentik, mengundang hasrat.
Rambutnya yang hi-
tam panjang dijepit ke atas dengan
sebuah penjepit
emas bermata berlian. Pakaiannya
gemerlap, semakin
menambah sinar kecantikannya. Dia
adalah Dewi Ika-
ta, putri tunggal Adipati
Danubraja.
"Berbahagiakah kau hari ini,
Ikata?" tanya Rara
Anggi kepada putrinya.
"Ah! Aku rasa biasa-biasa
saja, Bu," jawab Dewi
Ikata.
"Kenapa kau katakan
biasa-biasa saja? Bukan-
kah ini hari ulang tahunmu yang
ketujuh belas? Mes-
tinya kau harus merasa bahagia,
karena ayahandamu
berkenan mengadakan pesta meriah
di hari ulang ta-
hunmu ini...," tukas Rara
Anggi.
"Kukira ayahanda
terlalu berlebihan dengan
mengadakan pesta meriah seperti
ini." sahut Ikata
lembut.
Rara Anggi tak melanjutkan
pembicaraannya.
Pandangan matanya kini tertuju
pada kehadiran seo-
rang penari cantik yang sedang
menunjukkan kebole-
hannya.
Diiringi suara gamelan yang
mengalun merdu,
lima penari itu bergerak lemah
gemulai. Melenggak-
lenggok begitu elok. Pergelangan
tangan mereka yang
halus indah terlihat laksana busur
terpentang.
Semua mata memandang penuh takjub.
Seper-
tinya, mereka tak bosan mengikuti
setiap gerak kelima
penari cantik itu.
Pesta ini benar-benar meriah.
Adipati Danubra-
ja tersenyum puas menyaksikan para
undangan yang
tampak sangat menikmati suasana.
Di saat orang terlena dalam
kemeriahan, seo-
rang pengawal Kadipaten Bumiraksa
tampak mende-
kati Adipati Danubraja.
"Mohon ampun, Gusti Adipati.
Hamba mengha-
dap untuk menyampaikan sesuatu
hal...," ucap pen-
gawal kadipaten ini.
"Segera katakan,
Pengawal!" ujar Adipati Danu-
braja menampakkan keterkejutannya.
"Di luar pendapa kadipaten
berkumpul sepuluh
orang pengemis, Gusti
Adipati...," lapor pengawal ini
"Segera usir mereka.
Kadipaten Bumiraksa tak
boleh dijamah pengemis...!"
perintah Adipati Danubra-
ja, keras.
"Ampun, Gusti Adipati. Kami
sudah berusaha
mengusirnya. Tapi, para pengemis
itu tetap ngotot tak
mau pergi...."
"Bangsat...!" umpat
Adipati Danubraja. Pen-
gawal kadipaten yang berlutut di
depan Adipati Danu-
braja menjadi pucat wajahnya.
"Kalau mereka keras kepala,
seret! Bila perlu,
penggal leher mereka...! Kenapa
kau menjadi goblok,
pengawal...?!"
Melihat kemarahan junjungannya,
pengawal itu
segera menjura, lalu berbalik
meninggalkan tempat ini.
Bersamaan dengan itu....
Braaakkk..!
Mendadak saja, melayang satu sosok
tubuh
yang menabrak pintu, dan langsung
jatuh menimpa
meja para undangan. Suara
barang-barang pecah be-
lah yang hancur berantakan
terdengar, diiringi jerit
ngeri para wanita yang hadir.
Adipati Danubraja bangkit dari
tempat duduk-
nya. Matanya mendelik ke arah
sosok tak bernyawa la-
gi, yang ternyata prajurit penjaga
pintu. Sementara Ra-
ra Anggi dan Dewi Ikata segera
masuk ke ruang dalam.
Seorang prajurit penjaga pintu
pendapa kadipa-
ten lainnya segera berlari ke arah
Adipati Danubraja.
"Pengemis-pengemis itu
mengamuk, Gusti Adi-
pati...," lapor prajurit ini
di sela-sela napasnya yang
ngos-ngosan.
Adipati Danubraja menggerendeng
penuh ke-
marahan.
"Pengemis hina-dina!
Beraninya membuat onar
di pestaku...!" gumam adipati
itu.
Lelaki setengah baya yang bertubuh
tegap ini
segera melompat ke luar pendapa,
mendekati pusat ke-
ributan. Tampak sepuluh orang
pengemis bersenjata
golok yang tengah mengamuk,
membunuhi prajurit-
prajurit kadipaten.
Di bawah sinar lampu yang temaram,
pertem-
puran sengit berlangsung seru.
Trang...! Trang...!
Suara benturan senjata tajam
membahana di
angkasa. Suasana pesta menjadi
semakin kacau. Para
penari dan pengrawit berserabutan
mencari tempat
perlindungan. Sedangkan para
undangan diam-diam
meninggalkan tempat, karena tak mau mencampuri
urusan dalam Kadipaten
Bumiraksa,
"Akhhh....!"
Seorang pengawal kadipaten mulai
terjungkal
dengan perut terkoyak. Tak lama kemudian,
teman-
temannya segera menyusul ke
akhirat.
Adipati Danubraja menggerendeng
keras meli-
hat sepuluh orang pengemis
bersenjatakan golok ten-
gah bertempur dengan membabi buta.
Lalu, matanya
menatap tujuh orang tokoh sakti
beraliran hitam yang
sedang duduk tenang, seperti tak
pernah terjadi apa-
apa
"Kenapa Tuan-tuan diam
saja...?" tanya Adipati
Danubraja, gusar.
"Kalau tidak diam, kami mau
berbuat apa...?!"
Balagundi, salah seorang dari
Sepasang Iblis Penyebar
Petaka malah balik bertanya. Menjengkelkan!
Kening Adipati Danubraja berkerut.
"Pengemis-pengemis busuk itu
harus diberi pe-
lajaran, Tuan," ujar Adipati
Danubraja.
"He he he...," Balagundi
malah tertawa. "Kalau
mau memberi pelajaran, kenapa
tidak kau sendiri yang
turun tangan, Danubraja?!"
Mendengar ucapan Balagundi itu,
Adipati Da-
nubraja terkejut
"Apa maksud, Tuan?"
"Kami tidak lagi berpihak
kepadamu, Danubra-
ja!"
Keterkejutan Adipati Danubraja
semakin ber-
tambah. Mulutnya meringis gusar.
Lalu matanya me-
natap tokoh sakti lainnya.
Ternyata teman-teman golongan
Balagundi pun
menatap sinis kepada adipati itu.
"Ah! Kenapa Tuan-tuan jadi
bersikap seperti
ini...?" tanya Adipati
Danubraja.
"Sudah kubilang, kami tidak
lagi berpihak ke-
padamu, Danubraja!" kata
Balagundi setengah mem-
bentak, lalu bangkit dari tempat
duduknya.
Melihat kesungguhan dari tokoh
sakti itu, adi-
pati ini segera memanggil para
prajuritnya. Seketika,
belasan orang prajurit kadipaten
bermunculan dengan
senjata pedang terhunus.
"Katakan, apa maksud
Tuan-tuan sebenar-
nya...?!" bentak Adipati
Danubraja.
Tujuh orang tokoh sakti beraliran
hitam itu ter-
tawa lebar.
"Kau sudah tak pantas untuk
memegang tam-
puk pimpinan di Kadipaten
Bumiraksa!" tegas Braja-
musti atau si Dewa Sesat,
langsung.
"Jadi, kalian mau
memberontak?!" tanya Adipa-
ti Danubraja, seperti ingin
menegaskan pendengaran-
nya.
Tujuh orang tokoh sakti itu
kembali tertawa le-
bar.
Adipati Danubraja segera menyadari
keadaan.
Belasan orang prajurit kadipaten
yang telah berdiri di
sampingnya seketika diperintah
untuk menyerang.
Maka, belasan prajurit menerjang
cepat. Tapi,
tujuh orang tokoh sakti itu
melayaninya sambil terta-
wa-tawa.
Maka Adipati Danubraja terbeliak
ketika tahu
dirinya telah terkepung sepuluh orang
pengemis ber-
senjata golok.
"Pengemis-pengemis busuk! Mau
apa kalian?!"
Pengemis-pengemis itu tidak
menjawab. Mereka
mendengus, kemudian mengayunkan
golok ke arah
Adipati Danubraja yang masih
diliputi keterkejutan
Wuuuttt...! Wuuuttt..!
Adipati Danubraja berkelit,
menghindari sam-
baran golok yang datang beruntun.
Sementara kesepu-
luh orang pengemis itu tak mau
memberi kesempatan
berpikir panjang kepada Adipati
Danubraja. Mereka
kembali menerjang secara serempak!
Mata adipati bertubuh tegap itu
makin melotot.
Dan segera dicabutnya sebilah
pedang pendek dari ba-
lik bajunya. Lalu tangannya yang
memegang pedang
segera bergerak menangkis.
Trang...! Trang...!
Tangkisan pedang Adipati Danubraja
membuat
tapak tangan para pengemis menjadi
kesemutan.
Menyaksikan lawannya terperangah,
adipati itu
segera berteriak, memanggil
prajurit-prajurit kadipaten
Sebentar saja, puluhan prajurit
bersenjata peda
segera menerjang para pengemis
yang sudah siap
mengayunkan golok.
Kini pertempuran sengit segera
berlangsung
semakin seru. Tiba-tiba Adipati
Danubraja berkelebat
masuk ke ruang dalam. Tapi ketika
langkah kakinya
baru sampai di ruang utama
kadipaten, Patih Wiraksa
sudah datang menghadang.
"Kenapa kau berada di sini,
Patih?! Tidakkah
kau melihat di luar sedang
berlangsung pertempuran
hebat..?!" bentak Adipati
Danubraja, setengah terkejut
"He he he...," Patih
Wiraksa tertawa mengejek.
"Tentu saja aku tahu,
Danubraja!"
Mendengar kata-kata Patih Wiraksa
yang tidak
menunjukkan sikap hormat, Adipati
Danubraja meng-
geram gusar.
"Rupanya kau biang dari
peristiwa ini, Patih
Wiraksa...!" duga Adipati
Danubraja, langsung menger-
ti.
"Tepat!" sahut Patih
Wiraksa pendek.
"Bangsat! Segera kukirim kau
ke neraka...!"
Adipati Danubraja segera menerjang dengan
pedang pendeknya. Namun Patih
Wiraksa tak kalah si-
gap. Cepat dipapaknya serangan itu
dengan pedangnya
yang telah tercabut
Trang...!
Baru saja terjadi benturan
senjata, ujung pe-
dang Patih Wiraksa kembali menghunjam
ke dada Adi-
pati Danubraja!
"Pengkhianat Busuk!"
geram adipati itu sambil
berkelit.
Patih Wiraksa terus merangsek.
Pedangnya
berkelebat cepat, membentuk
gulungan sinar yang
menyilaukan mata
Sedangkan Adipati Danubraja
menghadapi se-
rangan sambil terus menggerendeng
penuh kemara-
han.
***
Sementara itu, tujuh orang tokoh
yang berali-
ran hitam yang dikeroyok belasan
prajurit kadipaten
tampaknya berada di atas angin.
Mereka mudah sekali
merobohkan lawan-lawannya. Sambil
tertawa, mereka
menyebar kematian.
Prajurit-prajurit kadipaten jelas
sekali tak ber-
daya. Mereka seperti sedang
memasrahkan nyawa.
Mendadak lima puluh orang prajurit
yang di-
pimpin Anggaraksa menerjang dengan
pedang berkele-
batan.
Wuuuttt..! Wuuuttt...!
Namun tujuh orang tokoh sakti itu
hanya me-
nyeringai dingin. Dan ketika tubuh
mereka bergerak
cepat sambil melepaskan
serangan....
Desss.... Desss....
"Akhhh...!"
Tujuh orang prajurit kadipaten
menjerit bersa-
ma sambil mendekap dadanya yang
telah amblong!
"Jangan gentar....! Terjang
terus....!" teriak Ang-
garaksa, memberi semangat kepada
para bawahannya
"Kroco-kroco bodoh! Kalian
hanya mengantar
nyawa!" desis Brajamusti
sambil memutar tubuhnya.
Jerit, kematian kembali membahana.
Suaranya me-
mantul ke dinding pendapa
kadipaten. Tujuh orang
prajurit bawahan Anggaraksa
mendekap kepala mas-
ing-masing yang telah remuk, lalu
jatuh berdebum di
lantai. Darah membanjir,
menebarkan aroma amis
Anggaraksa menggeram laksana
harimau terlu-
ka. Kemudian menerjang Brajamusti!
Namun, Anggaraksa bukanlah lawan
yang
seimbang bagi tokoh aliran hitam
yang berjuluk Dewa
Sesat itu. Sebentar saja, tubuhnya
melayang jauh me-
nimpa meja pesta. Prajurit
kadipaten yang setia itu
meregang tubuhnya, kemudian
tewas....
***
Di ruang utama kadipaten, pedang
di tangan
Patih Wiraksa berkelebatan,
mencari jalan kematian di
tubuh Adipati Danubraja.
"Aaww...!"
Tiba-tiba terdengar jerit dua
orang wanita. Adi-
pati Danubraja menoleh ke arah
sumber suara. Tam-
pak Rara Anggi bersama Dewi Ikata
sedang digiring
dua orang prajurit yang telah
berkhianat, dengan sebi-
lah pedang tajam menempel di
leher.
Adipati Danubraja tertegun. Dan,
kesempatan
itu tak disia-siakan Patih
Wiraksa. Saat itu juga, pe-
dangnya bergerak cepat!
Breeet...!
"Aughhh...!"
Diiringi pekik kesakitan, Adipati
Danubraja
menekap dadanya yang robek
sepanjang telapak tan-
gan ketika tersambar pedang Patih
Wiraksa. Darah
mengalir dari lukanya, membasahi
baju kebesarannya.
Untunglah dia masih sempat
berkelit. Kalau tidak, pas-
tilah tubuhnya telah terpotong
menjadi dua bagian.
"Bangsat kau Wiraksa!"
rutuk Adipati Danubra-
ja dengan sinar mata nyalang.
"Istri dan putriku itu
tak tahu apa-apa! Segera lepaskan
mereka!"
Patih Wiraksa tertawa nyaring.
Bibirnya me-
nyungging senyum penuh ejekan.
"Kalau kau mampu, kenapa
tidak lakukan sen-
diri...?!" leceh patih itu.
"Bangsat! Tak kusangka kau
tega melakukan
semua ini, Wiraksa. Selama aku
memimpin Kadipaten
Bumiraksa, aku selalu berbuat baik
kepadamu. Aku
mengangkatmu menjadi Patih
Kadipaten, karena men-
ganggapmu sebagai orang yang
berbudi luhur dan da-
pat bertindak bijaksana. Tapi,
ternyata kau tak lebih
baik dari seorang begundal busuk!
Perbuatanmu se-
perti iblis yang haus
kekuasaan...!" maki Adipati Da-
nubraja.
Patih Wiraksa kembali tertawa
nyaring.
"Aku memang iblis yang haus
kekuasaan, Da-
nubraja! Maka dari itu, segera
serahkan tampuk ke-
pemimpinan kepadaku. Dan,
berlututlah di hadapan-
ku. Mungkin aku bisa bermurah hati
untuk mengam-
puni nyawamu...!" balas Patih
Wiraksa, enteng.
"Bangsat!" Adipati
Danubraja menggeram keras.
"Seujung rumput pun, aku tak
akan berlutut di hada-
panmu...!"
Selesai mengucapkan kalimatnya,
mata Adipati
Danubraja menatap kehadiran
sepuluh orang penge-
mis yang telah berdiri mengepung.
"Pikir baik-baik tawaranku,
Danubraja! Kau
berlutut di hadapanku atau mati di
tangan orang-
orang itu...?!" ujar Patih
Wiraksa.
"Kau memang keparat,
Wiraksa...!" teriak Adi-
pati Danubraja, keras. Dan segera
dia menerjang sepu-
luh orang pengemis yang sedang
mengepung.
Wuuuttt..!
Pedang pendek di tangan adipati
itu berkelebat
cepat! Namun para pengemis telah
bergerak cepat me-
mapak.
Trang...!
Benturan senjata tajam terdengar
memekakkan
telinga.
Tubuh Adipati Danubraja bergerak
lincah,
mengeluarkan jurus-jurus andalan.
Luka goresan pe-
dang di dadanya sama sekali tak
dihiraukan. Penguasa
Kadipaten Bumiraksa ini bertempur
sambil menyim-
pan hawa amarah tak terbendung
lagi.
Namun, kesepuluh orang pengemis
yang ber-
senjata golok bukanlah orang
sembarangan. Mereka
mudah sekali dapat mengikuti
kecepatan gerak Adipati
Danubraja. Golok di tangan mereka
menyambar-
nyambar bagai air bah yang tak
kunjung berhenti
Sebentar saja, Adipati Danubraja
segera terde-
sak hebat. Sambil menggigit bibir,
dia bertempur mati-
matian untuk membela
kehormatannya.
Hingga pada suatu kesempatan....
Breeet...!
"Aughhh...!"
Tubuh Adipati Danubraja
bergulingan di lantai.
Bahunya tersambar golok salah
seorang pen-
gemis yang tajam bukan main. Darah
kembali me-
nyembur. Baju kebesarannya semakin
belepotan da-
rah.
Sementara itu, Patih Wiraksa hanya
tertawa
terbahak-bahak menyaksikan
peristiwa ini. Suara ta-
wanya menggema berkepanjangan,
mengisyaratkan ke-
licikannya.
"Begundal-begundal busuk!
Kaki tangan Patih
Wiraksa yang tak tahu balas budi!
Lihat serangan-
ku...!" bentak Adipati
Danubraja sambil menggeram
gusar.
Tubuh adipati yang telah terluka
ini cepat me-
nerjang dengan brutal. Pedang
pendek di tangannya
bergulung-gulung, mengeluarkan
deru angin dahsyat.
Tiba-tiba Patih Wiraksa yang tak
mau mem-
buang waktu segera ikut menggempur
Adipati Danu-
braja yang tampak kalap.
"Hiaaattt...!"
Dengan teriakan panjang, Patih
Wiraksa meng-
hunjamkan ujung pedangnya,
mengarah tepat ke jan-
tung! Namun dengan sebisanya,
Adipati Danubraja
menangkis.
Trang...!
"Wiraksa keparat! Kucincang
tubuhmu menjadi
serpihan daging tak
berguna...!" desis Adipati Danu-
braja penuh hawa marah.
"Jangan banyak bacot! Segera
lakukan kalau
mampu...!" tantang Patih
Wiraksa sambil memutar ce-
pat pedangnya.
Menghadapi sebelas orang yang tak
berilmu
rendah, Adipati Danubraja semakin
keteter. Maka tak
heran kalau dia hanya bisa
bertahan, tanpa mampu
memberi serangan balasan.
Sementara itu, menyaksikan orang
yang dicin-
tainya tengah berjuang melawan
maut, Rara Anggi dan
Dewi Ikata segera memejamkan mata.
Mereka tak
sanggup melihat lebih lama
peristiwa yang sangat
menggiriskan hati itu. Leher yang
diancam sebilah pe-
dang tajam dua orang prajurit,
membuat Rara Anggi
dan Dewi Ikata tak mampu berbuat
apa-apa, kecuali
memanjatkan doa.
Dan, tak lama kemudian....
Breeet..!
"Arkh...!"
Pergelangan tangan kanan Adipati
Danubraja
tersambar pedang Patih Wiraksa.
Mata Adipati Danubraja bersinar
nyalang, me-
nahan rasa sakit. Dia menggigit
bibirnya sendiri kuat-
kuat. Namun tiba-tiba tubuhnya
yang telah terluka pa-
rah melayang ke atas. Dan....
Tes...! Pyaaarrr...!
Mendadak saja, lampu gantung yang
menerangi
ruang utama kadipaten itu jatuh ke
lantai, dan hancur
berkeping-keping terkena sambaran pedang Adipati
Danubraja.
Gelap seketika menyelimuti. Pada
saat itu, tu-
buh Adipati Danubraja melayang ke
luar. Dia berlari
cepat meninggalkan pendapa
kadipaten. Dan, segera
lenyap ditelan kegelapan malam.
Sementara, Patih Wiraksa
mendengus penuh
kemarahan. Dia yang tak bisa melihat
apa-apa karena
gelap masih menyelimuti, segera
memberi perintah un-
tuk mengejar.
Kesepuluh orang pengemis
bersenjata golok
berlompatan ke luar pendapa
kadipaten. Namun, lang-
kah kaki mereka hanya asal-asalan,
karena tak tahu
ke mana harus mengejar....
***
8
Pagi ini cukup cerah di Bukit
Pangalasan. Men-
tari tersenyum di ufuk timur.
Sinarnya menerpa de-
daunan, membentuk bayang-bayang di
atas tanah.
Ranting-ranting pohon meliuk-liuk
bagai sedang mena-
ri tatkala angin berhembus. Kabut
membubung, sema-
kin hilang dari pandangan. Hawa
dingin perlahan-
lahan lenyap, berganti kehangatan
yang mengelus
sukma.
Dua orang berpakaian penuh
tambalan anggota
Perkumpulan Pengemis Tongkat
Sakti, tampak berja-
lan menuruni bukit. Langkah kaki
mereka terhenyak
ketika di hadapan mereka
terpampang sesosok tubuh
tergeletak di tanah bermandikan
darah.
"Siapa dia, Adi
Katabang?" tanya pengemis yang
lebih tua umurnya.
"Entahlah, Kakang Carang
Gati," jawab penge-
mis satunya, yang dipanggil
Katabang sambil menatap
sesosok tubuh yang tergeletak di
tanah.
"Ayo, kita dekati
dia...," ajak pengemis bernama
Carang Gati.
"Oh! Dia masih
hidup...," desah Katabang yang
telah meraba denyut nadi orang
yang tergeletak ber-
mandikan darah.
"Banyak benar luka di
tubuhnya. Dia seperti
habis bertempur
mati-matian...."
Tiba-tiba Katabang meloncat,
karena dihantam
keterkejutan.
"Dia..., dia Gusti Adipati
Danubraja...," tunjuk
pengemis itu terbata-bata.
Carang Gati menaikkan kedua
alisnya. Matanya
bersinar tajam.
"Benar katamu, Adi Katabang.
Dia memang
Gusti Adipati Danubraja...."
"Sebaiknya kita segera
berlalu dari tempat ini
Kakang...," ajak Katabang
seperti menyimpan ketaku-
tan.
"Ah! Lebih baik kita
menolongnya," tolak Ca-
rang Gati.
"Apakah kau sudah lupa
tindakan adipati itu
yang telah mengusir kita dengan
paksa dari Kota Kadi-
paten Bumiraksa...?"
"Tidak, Adi Katabang. Menurut
nasihat Kakek
Gede, kita tidak boleh menyimpan
dendam."
Katabang diam, mendengarkan
kalimat Carang
Gati yang ada benarnya.
"Bagaimanapun juga, Gusti
Adipati Danubraja
adalah bekas junjungan kita. Dan,
kini dia sedang
membutuhkan pertolongan. Kita
berdosa kalau tidak
menolongnya," tandas Carang
Gati.
"Tapi, bagaimana kalau musuh
Adipati Danu-
braja itu mengejar...?" tanya
Katabang.
"Kau takut...?"
Carang Gati menatap wajah
Katabang. Yang di-
tatapnya menundukkan kepalanya.
"Terserah kau,
Kakang...," kata Katabang ke-
mudian.
Tak lama kemudian, dua pengemis
itu segera
membopong tubuh Adipati Danubraja
menaiki Bukit
Pangalasan.
"Biar Kakek Gede yang
mengurusnya. Kita tak
mengerti ilmu pengobatan...,"
kata Carang Gati.
Katabang mengangguk lemah.
Emoticon