BIDADARI LENTERA MERAH
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cover oleh Henky
Penyunting : Tuti S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau
memperbanyak
Sebagian atau seluruh isi buku ini
Tanpa izin tertulis dari penerbit
Serial Pengemis Binal
Dalam episode 003 :
Bidadari Lentera Merah
128 hal.
Http://duniaabukeisel.blogspot.com
1
Malam itu di Kota Kadipaten Tanah
Loh semua orang larut dalam
kegembi-
raan. Suara tepuk tangan dan
teriakan
kegembiraan menyemarakkan suasana.
Semua orang, besar kecil, tua
muda,
lelaki perempuan berdiri di
halaman
rumah. Mereka menyaksikan atraksi
yang
dipertunjukkan Perkumpulan
Bidadari
Lentera Merah.
Perkumpulan yang beranggotakan
wanita-wanita cantik itu melakukan
perjalanan keliling Kota Kadipaten
Tanah Loh. Dua puluh lima orang
wanita
berpakaian serba merah tampak
berjalan
perlahan sambil mengulum senyum di
bibir. Kedua tangan mereka
memegang
sehelai kain merah yang diputar
hingga
menyerupai kitiran. Gerakan mereka
terlihat seirama.
Di atas bahu wanita-wanita cantik
itu berdiri para wanita berpakaian
merah lainnya Tangan kanan mereka
memegang sebuah lentera
berkerudung
merah. Lentera itu bertuliskan
nama
perkumpulan mereka. Dari balik keru-
dung lentera sesekali keluar
pijaran
bunga api.
Sementara itu, tangan kiri mereka
menggenggam sebuah kebutan yang
juga
berwarna merah. Bulu-bulu kebutan
itu
berputar membentuk lingkaran.
Sesekali
dilontarkan ke atas dalam keadaan
masih berputar. Sorak-sorai
membahana
apabila kebutan yang
terlontar itu
tertahan di udara untuk beberapa
lama.
Di belakang barisan itu, sebuah
kerudung besar berwarna merah
tampak
melayang. Kerudung besar itu
bentuknya
mirip kuncup kelopak bunga mawar.
Di
dalamnya terdapat seorang wanita
berwajah sangat cantik. Matanya
indah
berbinar. Bila mengerjap,
keindahannya
tampak mempesona bak bintang
kejora.
Hidungnya mancung, menghiasi kulit
wajahnya yang putih dan bersemu
merah
pada kedua pipi. Bibirnya tipis
basah
dan selalu menampakkan senyum
manis.
Rambutnya hitam panjang. Rambut
itu
digelung ke atas dengan diikat
oleh
kain sutera merah dan tusuk konde
emas. Seperti wanita-wanita yang
berbaris di depannya, wanita ini
pun
berpakaian serba merah.
Dia adalah Sekar Mayang atau
Bidadari Lentera Merah, ketua
Perkumpulan Bidadari Lentera
Merah.
Setiap Sekar Mayang menggerakkan
tubuhnya, kerudung kuncup bunga
mawar
yang ditumpanginya akan
mengangkasa
semakin tinggi. Sesekali melesat
ke
depan melewati barisan anak
buahnya.
Sorak-sorai terdengar semakin
keras ketika kerudung kuncup bunga
mawar itu berputar cepat di
angkasa.
Bersamaan dengan itu, bunga aneka
warna yang beraroma harum berjatuhan
menyerupai hujan bunga. Semua mata
memandang dengan penuh rasa kagum.
Suara decak berulangkali
dikeluarkan.
Tepukan tangan dan sorak-sorai
meng-
gambarkan rasa takjub yang tiada
habisnya.
Anjarweni dan Ingkanputri yang
melihat atraksi Perkumpulan
Bidadari
Lentera Merah dari tingkat atas
sebuah
penginapan, juga menampakkan keka-
gumannya.
"Siapa mereka, Kak
Weni?" tanya
Ingkanputri.
"Kau bisa baca sendiri dari
tulisan yang terdapat pada
kerudung
lentera mereka," jawab
Anjarweni.
"Bukan itu maksudku. Mereka
berasal dari golongan mana?"
"Aku tak tahu. Tapi,
kedatangan
mereka ke Kota Kadipaten Tanah Loh
ini
sepertinya sengaja untuk
memamerkan
kepandaian."
"Untuk apa?"
"Pertanyaan itulah yang
sedang
berkecamuk dalam pikiranku."
"Dulu, ketika ayahku masih
hidup
beliau pernah bercerita tentang
Per-
kumpulan Bidadari Bunga Mawar.
Apakah
mereka ada hubungannya dengan per-
kumpulan itu?"
Anjarweni tak menjawab pertanyaan
Ingkanputri. Gadis berusia dua
puluh
tahunan itu tampak berpikir keras.
"Bagaimana cerita Guru
tentang
Perkumpulan Bidadari Bunga
Mawar?"
tanya Anjarweni. Dia menyebut ayah
Ingkanputri dengan sebutan guru.
Karena, ayah Ingkanputri memang
bekas
guru Anjarweni ketika dia menuntut
ilmu di Perguruan Harimau Terbang.
"Menurut cerita Ayah, perkumpulan
itu beraliran sesat. Walaupun ang-
gotanya wanita-wanita cantik, tapi
sepak terjang mereka di luar batas
kemanusiaan. Mereka sangat suka
pada
pemuda-pemuda tampan untuk
dijadikan
pelampiasan nafsu birahi. Apabila
pemuda-pemuda itu dianggap sudah
tidak
berguna lagi, tanpa segan-segan
mereka
akan membunuhnya."
"Apakah Perkumpulan Bidadari
Bunga Mawar itu sekarang masih
ada?"
tanya Anjarweni.
Ingkanputri menggelengkan kepala.
"Sudah tidak ada?
Kenapa?"
"Tak satu pun tokoh rimba
persiiatan yang tahu. Perkumpulan
Bidadari Bunga Mawar menghilang
bagai
ditelan bumi."
"Apakah Guru pernah bercerita
tentang suatu peristiwa yang
mungkin
menjadi latar belakang hilangnya
perkumpulan itu?"
Mendengar pertanyaan kakak
seperguruannya, dahi Ingkanputri
jadi
berkerut. Gadis berusia sembilan
belas
tahun itu tampak sedang
mengumpulkan
ingatannya.
"Oya, aku ingat...!"
Anjarweni menatap adik seper-
guruannya dengan penuh minat.
"Bagaimana ceritanya?"
"Pada masa itu Perkumpulan
Bida-
dari Bunga Mawar diketuai seorang
wanita yang memiliki kepandaian
sangat
tinggi. Wanita itu bernama
Ratnasari
Dia memakai gelar Bidadari Bunga
Mawar, sesuai dengan nama per-
kumpulannya."
"Lalu...."
"Anggotanya sangat banyak.
Mereka
semua wanita-wanita cantik yang
haus
kasih sayang lelaki. Seperti yang
kukatakan tadi, lelaki itu akan
dibunuh apabila dipandang sudah
tidak
berguna lagi. Dari sekian banyak
lelaki yang bernasib malang itu
terdapat seorang anggota
Perkumpulan
Pengemis Tongkat Naga...."
"Kemudian timbul permusuhan
antara Perkumpulan Bidadari Bunga
Mawar dengan Perkumpulan Pengemis
Tongkat Naga, begitu?"
Anjarweni
menyela.
Ingkanputri mengangguk pelan.
"Terjadi pertempuran besar-
besaran?"
"Tidak," jawab Ingkanputri.
"Perkumpulan Pengemis
Tongkat Naga
yang dipimpin Datuk Risanwari
sedang
menghadapi masalah yang lebih
pelik."
Masalah apa?" desak
Anjarweni.
"Pihak kerajaan memusuhi
mereka."
"Lalu, apa hubungannya
masalah
yang dihadapi Perkumpulan Pengemis
Tongkat Naga dengan menghilangnya
Perkumpulan Bidadari Bunga
Mawar?"
"Kau tampak begitu bernafsu
ingin
mengetahui riwayat Perkumpulan
Bida-
dari Bunga Mawar, Kak Weni?"
ujar
Ingkanputri dengan tersenyum geli.
Tapi, tiba-tiba bola mata
Ingkanputri melebar. Tatapannya
diarahkan ke luar jendela.
"Lihat itu,
Kak Weni...!"
Anjarweni segera menuruti
perintah adik seperguruannya.
Matanya
memandang ke jalan kota kadipaten.
Decak kagum pun seketika keluar
dari
mulutnya.
Barisan Perkumpulan Bidadari
Lentera Merah menunjukkan atraksi
yang
lebih hebat. Wanita-wanita cantik
yang
memanggul temannya tampak melayang
di
udara. Telapak kakinya sama sekali
tak
menyentuh permukaan tanah. Dengan
diiringi deru angin keras, tubuh
mereka berputar cepat laksana
baling-
baling merah. Kerudung kuncup
bunga
mawar yang membawa ketua
perkumpulan
itu meluncur ke atas salah satu
baling-baling merah. Ketika
kerudung
itu hampir menyentuh putaran tubuh
anak buahnya, tiba-tiba meluncur
kembali menuju ke atas
baling-baling
merah lainnya.
Hal demikian terus berulang
sampai seluruh baling-baling merah
ciptaan putaran tubuh anak buahnya
didekati. Akhirnya, kerudung
kuncup
bunga mawar itu berputar di
angkasa
seraya mengeluarkan hujan bunga.
Semerbak harumnya menyebar
mengelus
hidung.
Tiba-tiba, dari dalam kerudung
meluncur empat selendang panjang
berwarna merah. Selendang itu
meliuk-
liuk, mempertunjukkan sebuah
tarian
yang indah.
Sorak-sorai terdengar semakin
keras. Ratusan pasang mata memandang
tanpa berkedip. Rasa kagum pun
memuncak.
"Ilmu mereka sangat
tinggi...,"
gumam Anjarweni sambil
memperhatikan
kepergian barisan Bidadari Lentera
Merah yang melanjutkan
perjalanannya.
"Kau sedang memikirkan apa,
Kak
Weni?" tanya Ingkanputri.
"Ah, aku tak bisa
membayangkan
apabila Perkumpulan Bidadari Lentera
Merah itu beraliran sesat. Betapa
sulit untuk
menghancurkannya."
Ingkanputri menatap tajam wajah
kakak seperguruannya. "Kita
tak perlu
berpikiran yang macam-macam. Toh,
selama kemunculan perkumpulan itu,
mereka tidak menunjukkan
tanda-tanda
akan berbuat jahat..."
"Untuk saat ini mereka belum
menunjukkan perbuatan yang
mengarah ke
situ. Tapi aku yakin, pada saatnya
nanti mereka akan membuka
kedoknya!"
"Sudah, Kak Weni. Aku tidak mau
membicarakan hal itu. Sebaiknya
kita
segera beristirahat. Besok
pagi-pagi
sekali kita harus melanjutkan
perjalanan," kata Ingkanputri
kemudian
menutup daun jendela
"Kau belum melanjutkan
ceritamu
tentang Perkumpulan Bidadari Bunga
Mawar, Putri...," ujar
Anjarweni
seraya mendekati Ingkanputri yang
su-
dah merebahkan diri di
pembaringan.
"Ayolah, Putri. Bukankah kau
telah
berjanji akan melanjutkan
ceritamu?"
Anjarweni lalu meletakkan
pantatnya di tepi pembaringan.
"Kenapa kau begitu bernafsu
untuk
mengetahui cerita tentang
perkumpulan
itu, Kak Weni?"
"Firasatku mengatakan kalau
Perkumpulan Bidadari Bunga Mawar
mempunyai hubungan dengan
Perkumpulan
Bidadari Lentera Merah. Tidak kah
kau
lihat kerudung besar yang
menunjukkan
atraksi itu? Bentuknya mirip
kuncup
bunga mawar. Lagi pula, kemunculan
Perkumpulan Bidadari Lentera Merah
bersamaan waktunya dengan semakin
berkembangnya Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti...."
Ingkanputri merasakan kebenaran
ucapan kakak seperguruannya.
"Menurut cerita Guru, setelah
Perkumpulan Pengemis Tongkat Naga
yang
dipimpin Datuk Risanwari dapat
dibubarkan oleh kerajaan,
bagaimana
keadaan Perkumpulan Bidadari Bunga
Mawar? Apakah perkumpulan itu
berkembang semakin pesat?"
Ingkanputri menarik napas
panjang. "Justru sebaliknya,
Kak
Weni," katanya sambil
memandang
langit-langit kamar penginapan
"Per-
kumpulan Bidadari Bunga Mawar pun
ikut
bubar setelah Perkumpulan Pengemis
Tongkat Naga dibubarkan."
"Aneh...," gumam Anjarweni.
"Dengan bubarnya Perkumpulan
Pengemis
Tongkat Naga, bukankah hal itu
merupakan suatu kesempatan bagi
Per-
kumpulan Bidadari Bunga Mawar
untuk
semakin memperbesar kekuatan?
Tapi,
kenapa perkumpulan itu malah ikut
bubar?"
Ingkanputri membisu. Matanya
menerawang. Coba dicernanya ucapan
Anjarweni.
"Ke manakah perginya Datuk
Risanwari setelah perkumpulan
penge-
misnya dibubarkan oleh
kerajaan?"
tanya Anjarweni lagi. Rupanya
gadis
itu begitu tertarik dengan cerita
Perkumpulan Bidadari Bunga Mawar.
"Tokoh itu menghilang. Tak
seorang pun tahu di mana dia
berada."
jawab Ingkanputri.
"Ketua Perkumpulan Bidadari
Bunga
Mawar yang bernama Ratnasari itu
apakah juga menghilang?"
"Tepat!"
"Aneh...," gumam Anjarweni
kembali.
"Ah, sudanlah. Kak Weni. Kau
jangan terlalu memikirkan hal
itu,"
Ingkanputri memejamkan matanya,
bersiap-siap hendak pergi tidur.
"Putri...," panggil
Anjarweni.
Ingkanputri terpaksa membuka
kelopak matanya kembali. "Ada
apa?”
tanyanya.
"Tentu kau sudah tahu tentang
perkembangan Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti yang dipimpin oleh
Suropati...."
Mendengar ucapan kakak seper-
guruannya, mata Ingkanputri
langsung
menerawang jauh. Tiba-tiba dia
teringat sosok remaja pujaan hatinya
itu.
"Di manakah dia sekarang?
Masihkan dia tetap berperilaku
konyol
seperti dulu? Ah, kapan aku bisa
bertemu dengannya lagi?"
Ingkanputri
melamunkan Suropari.
"Putri...."
Panggilan Anjarweni menyadarkan
Ingkanputri dari lamunannya.
"Kau ingat remaja konyol itu,
Putri?"
Ingkanputri tak menjawab
pertanyaan kakak seperguruannya.
Namun, kedua pipinya tampak merona
merah. Melihat itu, bibir
Anjarweni
mengulum senyum.
"Kelihatannya adik
seperguruanku
ini sedang merindukan kehadiran
Suropati," kata Anjarweni
dalam hati.
"Eh, Kak Weni. Kenapa kau
tiba-
tiba membicarakan Perkumpulan
Pengemis
Tongkat Sakti?" tanya
Ingkanputri,
berusaha menepis bayangan Suropati
yang menggoda benaknya.
"Mungkinkah akan terjadi
bentrok
antara perkumpulan pengemis itu
dengan
Perkumpulan Bidadari Lentera
Merah?"
"Ah, kau ini aneh, Kak
Weni.sela
Ingkanputri. "Antara kedua
perkumpulan
itu tidak ada sangkut-pautnya,
kenapa
mesti terjadi bentrok?"
Anjarweni menatap wajah adik
seperguruannya.
"Kalau memang benar
Perkumpulan
Bidadari Lentera Merah ada
hubungannya
dengan Perkumpulan Bidadari Bunga
Mawar, hal itu aku kira mungkin
saja
terjadi. Mereka menyimpan dendam
lama.
Aku dengar, sesepuh Perkumpulan
Pengemis Tongkat Sakti yang
bernama
Gede Panjalu adalah putra Datuk
Risanwari."
"Mungkin benar demikian, Kak
Weni. Tapi sekarang aku tidak
dapat
menemanimu bicara. Kelopak mataku
sudah terasa sangat berat. Aku mau
tidur...," suara Ingkanputri
terdengar
lirih seperti orang yang terserang
kantuk berat.
Anjarweni menatap adik
seperguruannya. Kelopak mata gadis
berumur sembilan belas tahun itu
tampak terpejam rapat. Tak lama
kemudian, hembusan napasnya
terdengar
sangat teratur. Ingkanputri telah
terlelap dibuai mimpi.
Anjarweni membaringkan tubuhnya
di sisi saudara seperguruannya
itu.
Ditariknya selimut hingga sebatas
leher. Dia mencoba untuk
memejamkan
mata tapi tak mampu. Pikiran
tentang
Perkumpulan Bidadari Lentera Merah
terlalu mengusik benaknya. Matanya
nanar memandang langit-langit
kamar.
Dalam kesendiriannya itu, tiba-
tiba telinganya menangkap suara
gerakan yang mencurigakan di atas
atap.
"Malam sudah larut begini.
Orang
yang berada di atas atap itu tentu
mempunyai maksud buruk...,"
bisik
murid Dewi Tangan Api itu dalam
hati.
Bergegas Anjarweni bangkit dari
berbaringnya. Setelah membuka daun
jendela, dia pun melompat keluar.
Lalu, tubuhnya melenting ke atas
atap.
"Setan alas! Apa yang sedang
kau
lakukan?!" bentak Anjarweni.
Orang yang sedang berdiri membe-
lakangi Anjarweni itu terkejut
bukan
main. Cepat sosok hitam itu
meloncat
turun dan berlari menerobos
kegelapan
malam.
"Hei, Bangsat! Jangan
lari...!"
Anjarweni mengerahkan ilmu
meringankan tubuhnya untuk
mengejar.
Sementara sosok yang dikejarnya
berkelebat cepat meninggalkan Kota
Kadipaten Tanah Loh. Beruntung
bagi
Anjarweni, purnama sedang
memancarkan
cahayanya dengan penuh. Bias
cahaya
rembulan membantunya untuk terus
mengikuti gerak sosok itu.
Ketika sampai di pinggir hutan
kecil, bayangan misterius itu
membalikkan badan. Dari kedua
belah
telapak tangannya tiba-tiba
meluncur
sehelai selendang panjang berwarna
merah. Selendang itu kaku
mengejang,
dan menghunjam ke tubuh Anjarweni!
Wuuuttt...! Wuuuttt...!
Murid Dewi Tangan Api itu
berkelit. Namun belum sempat dia
members serangan balasan, bayangan
misterius itu telah berkelebat dan
untuk selanjutnya menghilang.
Mata Anjarweni nanar memandang
kegelapan malam. Dia menajamkan
pendengarannya ketika merasakan
deru
angin bersiutan di sekitar
tempatnya
berdiri.
"Mereka mengepungku!"
desis gadis
itu.
Tiba-tiba mata Anjarweni menjadi
silau. Cahaya terang benderang
menyibak kegelapan! Terlihatlah
kea-
daan sekelilingnya. Keningnya
berkerut
mengetahui dirinya benar-benar
telah
terkepung. Sepuluh wanita cantik
berpakaian serba merah berdiri
mengitarinya. Kesepuluh wanita
cantik
itu masing-masing memegang sebuah
lentera,
"Bidadari Lentera
Merah!" bisik
Anjarweni.
Dan ketika Anjarweni masih
terpaku, sepuluh ujung selendang
menghunjam deras ke arahnya!
"Bangsat!" umpat murid
Dewi
Tangan Api itu.
Buru-buru Anjarweni berusaha
menyampok ujung selendang yang
tampak
mengejang itu. Serangkaian angin
pukulan berhawa panas menerpa.
Tapi,
ujung-ujung selendang berbelok
arah!
Kemudian, segera meluncur kembali
ke
arah Anjarweni. Gadis itu cepat
menjatuhkan diri ke tanah dan meraup
segenggam kerikil. Lalu...
Wuuusss!
Kerikil itu meluncur menuju tubuh
kesepuluh wanita penyerangnya.
Tapi,
serangan Anjarweni tak berarti
apa-
apa. Kerikil yang menyebar rontok
di
tanah terkena kebutan selendang.
"Selendang Membelit Sukma
...!"
Salah seorang dari anggota
Perkumpulan Bidadari Lentera Merah
itu
berteriak, memberi komando kepada
teman-temannya. Selendang di
tangan
kesepuluh wanita itu lalu bergerak
sangat cepat. Meliuk-liuk,
berusaha
mencapai tubuh Anjarweni,
Tentu saja gadis itu berusaha
mengelak. Tapi, mendadak dia
merasakan
tangan kanannya menjadi kaku dan
tak
dapat digerakkan. Tangan kanannya
telah terbelit selendang
lawan.
Bet! Bet! Bet!
Anjarweni menjadi gusar bukan
main. Sekujur tubuhnya tiba-tiba
terasa mengejang. Dia pun segera
sadar
kalau tubuhnya telah terbelit
kesepuluh selendang merah.
"Siapa kau? Kenapa mencampuri
urusan kami?!" tanya salah
seorang
wanita cantik berpakaian merah.
Anjarweni tak menjawab. Dia
mengerahkan seluruh kekuatannya
untuk
berusaha melepaskan diri dari
belitan
selendang. Peluh bergulir dari
kening
murid Dewi Tangan Api itu.
Selendang
yang membelitnya ternyata sangat
kuat.
Apabila dia mengerahkan tenaga
dalam-
nya, mendadak selendang itu
mengendor.
Sedangkan apabila menarik tenaga
dalamnya, selendang itu terasa
menjepit tubuhnya.
"Siapa kau? Dan, kenapa
mencampuri urusan kami?!"
Pertanyaan
itu kembali dilontarkan.
"Gadis Bandel! Apabila kau
tidak
segera menjawab pertanyaanku,
nyawamu
akan segera kukirim ke
neraka!" bentak
wanita cantik yang tadi
melontarkan
pertanyaan dan tak ditanggapi
Anjarweni.
Anjarweni tersenyum dingin.
"Siapa takut terhadap
ancamanmu?!
Kalau kau mampu, segera
lakukan!"
katanya dengan berani.
Tiba-tiba, selendang-selendang
yang membelit tubuh murid Dewi
Tangan
Api itu bergetar. Anjarweni
merasakan
rasa sakit yang hebat. Kulit
tubuhnya
terasa panas. Tulang-belulangnya
seperti mau remuk. Mata gadis itu
tampak melotot merasakan jalan
napasnya terhenti....
"Ha ha ha...!"
Kesepuluh anggota Perkumpulan
Bidadari Lentera Merah tertawa
keras.
Lalu, selendang di tangan mereka
bergerak pelan. Tapi, akibatnya
sung-
guh di luar dugaan. Tubuh
Anjarweni
yang sudah tak berdaya itu
terlontar
ke atas. Dan ujung-ujung selendang
di
tangan kesepuluh anggota
Perkumpulan
Bidadari Lentera Merah meluncur
laksana tombak. Siap menghunjam
tubuh
Anjarweni!
Gadis itu sudah tak mampu berbuat
apa-apa lagi. Dia segera
memejamkan
mata untuk menyambut datangnya
Dewa
Kematian. Tiba-tiba...
Bret! Bret! Bret!
Sesosok bayangan berkelebat cepat
dan menyampok hunjaman selendang
dengan menggunakan sebatang
tongkat!
Jlek!
Bayangan itu mendarat di tanah
dengan membopong tubuh Anjarweni.
Anjarweni tersenyum dalam
pondongan
dewa penolongnya.
"Suro...," bisik gadis
itu pelan.
Tapi, raut muka gadis itu segera
merona merah. Dia pun melompat
turun
dari pondongan penolongnya.
Diperha-
tikannya sosok itu. Sepintas
memang
mirip dengan Suropati. Pakaiannya
juga
penuh tambalan.
"Aku Wirogundi," kata
pemuda itu
memperkenalkan diri melihat
Anjarweni
berdiri tertegun.
"Selendang Menggempur Sukma
...!"
Teriakan itu terdengar melengking
nyaring. Sesaat kemudian, sepuluh
selendang merah berkelebatan
cepat.
Membentuk gulungan sinar merah
yang
menimbulkan suara menderu-deru.
Anjarweni dan Wirogundi
terperangah sesaat. Tapi, keduanya
segera menyadari keadaan dan
buru-buru
menyiapkan serangan untuk
menyambuti.
Wuuusss...!
Anjarweni melancarkan ilmu
'Pukulan Api Neraka'-nya.
Akibatnya,
lima selendang di tangan anggota
Perkumpulan Bidadari Lentera Merah
hangus terbakar.
Tongkat di tangan Wirogundi
digunakan untuk membabat hujan
selendang yang meluncur ke
arahnya.
Lima anggota Perkumpulan Bidadari
Lentera Merah menggeram gusar
ketika
melihat selendangnya terkoyak.
"Lentera Penyebar Kematian
...!"
Suara komando terdengar lagi.
Sepuluh lentera berkerudung merah
yang
dipegang wanita-wanita cantik itu
meluncur ke arah Anjarweni dan
Wirogundi.
Wuuuttt...! Wuuuttt...!
Wirogundi berusaha menggeprak
lentera-lentera. Tapi benda yang
mengeluarkan sinar merah itu mampu
menepis, seperti bernyawa saja.
Bahkan
kemudian berputar mengitari
Anjarweni
dan Wirogundi. Dan ketika kedua
orang
muda itu kebingungan, mendadak
dari
dalam lentera-lentera meluncur
keluar
puluhan jarum beracun!
Tes! Tes! Tes!
Wirogundi menghalau dengan
putaran tongkatnya. Namun,
Anjarweni
kesulitan untuk menepis serangan
itu.
Dia hanya mengandalkan kekuatan
tenaga
dalamnya untuk menyampok hujan
jarum
beracun. Sehingga....
"Ah...!"
Gadis itu menjerit ketika bahu
kirinya tertusuk sesuatu. Sesaat
kemudian tubuhnya limbung.
Pandangan-
nya pun mengabur. Tapi sebelum
tubuh
murid Dewi Tangan Api itu
terjerembab
ke tanah, Wirogundi bertindak
cepat.
Disambarnya tubuh Anjarweni lalu
dibawanya berlari meninggalkan
tempat
itu.
Wirogundi terus berlari tanpa
sekali pun menoleh ke belakang.
Suhu
badan Anjarweni yang berada di
atas
bahunya terasa meninggi. Tanpa mau
membuang waktu lagi, pemuda
anggota
Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti
itu
segera mengerahkan seluruh kemampuan-
nya untuk berlari cepat. Tubuh
pemuda
itu bermandi keringat. Tapi, dia
bernapas lega mengetahui tak
seorang
pun dari anggota Perkumpulan
Bidadari
Lentera Merah yang mengejarnya.
Sesampainya di tanah lapang
berumput tebal, Wirogundi
memperlambat
larinya. Kemudian diturunkannya
tubuh
Anjarweni dari pondongan. Dengan
di-
bantu sinar rembulan pemuda ini
memeriksa bagian tubuh Anjarweni
yang
terkena jarum beracun.
Pemuda itu menyobek lengan baju
Anjarweni. Darah Wirogundi
langsung
berdesir ketika menyaksikan kulit
Anjarweni yang putih mulus. Namun
me-
lihat ketidak berdayaan Anjarweni
yang
sangat membutuhkan pertolongan,
Wirogundi segera menepis
perasaannya
yang tiba-tiba menggelora.
Pemuda berumur dua puluh dua
tahun itu tampak bingung sejenak
menyaksikan luka kecil di bahu
kiri
Anjarweni.
"Bagaimana caraku untuk
mengeluarkan racun dalam
tubuhnya?"
Wirogundi bertanya-tanya sendiri.
"Untuk mendorong racun itu
keluar
tenaga dalamku belum begitu
sempurna.
Aku takut terjadi bentrokan dalam
tubuhnya. Dan kalau hal itu
terjadi,
bukan mustahil aku sendiri akan
ikut
celaka...."
Kening Wirogundi berkerut. Peluh
sebesar biji-biji jagung bergulir
dari
dahinya.
"Jalan satu-satunya untuk
menolongnya adalah... Ah...,"
dalam
batin Wirogundi terjadi perang.
"Persetan dengan semua itu!
Nyawanya
terancam. Aku harus bertindak
cepat!"
Setelah dapat mengatasi perang
yang berkecamuk dalam batinnya,
Wirogundi segera merundukkan
kepala ke
bahu kiri Anjarweni. Bibir pemuda
itu
mengulum bagian luka di bahu
Anjarweni. Darah Wirogundi kembali
berdesir, merasakan kehalusan
kulit
Anjarweni yang tersentuh bibirnya.
Perlahan-lahan Wirogundi menyedot
racun yang berkumpul di dalam luka
itu. Dan ketika pemuda itu
meludah,
darah berwarna kehitam-hitaman
keluar
dari mulutnya. Wirogundi kembali
mengulum luka di bahu gadis itu.
Akhirnya, darah yang diludahkan
Wirogundi pun berwarna merah
sehat.
"Uhhh.... Di mana
aku...?"
Anjarweni menggeliat kecil. Gadis
itu rupanya tersadar dari
pingsannya.
Perlahan-lahan kelopak matanya
membuka. Dia terperanjat ketika
melihat Wirogundi duduk tak jauh
dari
tempatnya berbaring.
"Siapa kau?!"
"Aku Wirogundi," jawab
pemuda
anggota Perkumpulan Pengemis
Tongkat
Sakti itu tenang.
"Kenapa aku berada di
sini?"
Anjarweni meraba bahu kirinya
yang masih terasa panas. Bagian
tubuhnya itu terbuka. Tiba-tiba,
gadis
itu meloncat bangkit.
"Apa yang telah kau
lakukan?!"
"Tenanglah, Nona. Tubuhmu
belum
begitu kuat. Berbaringlah
kembali."
Belum juga ucapan Wirogundi
selesai, tubuh Anjarweni mendadak
lim-
bung dan jatuh terduduk di tanah.
"Kau sedang terluka, Nona.
Istirahatlah dulu. Tak perlu kau
ber-
prasangka buruk padaku," ujar
Wirogundi lagi.
Anjarweni menarik napas panjang.
Dia berusaha mengingat-ingat apa
yang
baru saja dialaminya.
"Kaukah yang menolongku
ketika
menghadapi serangan angota-anggota
Perkumpulan Bidadari Lentera
Merah?"
tanya gadis itu sambil menatap
wajah
Wirogundi dalam-dalam.
Wirogundi cuma tersenyum kecil.
"Terima kasih," ucap
Anjarweni
kemudian. Diperhatikannya lebih
sek-
sama wajah Wirogundi. "Aku
seperti
pernah melihatmu...."
"Benar, Nona. Kita memang
pernah
berjumpa di sebuah kedai di Kota
Kadipaten Bumiraksa."
"Jangan memanggilku dengan
sebutan 'nona'. Namaku
Anjarweni,"
kata murid Dewi Tangan Api itu
sambil
menyungging senyum manis.
"Oya, siapa
namamu? Wirogundi?"
Yang ditanya menganggukkan
kepalanya. Tiba-tiba Anjarweni
ter-
cenung. "Perkumpulan Bidadari
Lentera
Merah," gumamnya. "Apa
yang kau
katakan, No..., eh...."
"Kau bisa
panggil aku dengan 'Weni'."
Mendengar
ucapan Anjarweni yang bernada
persahabatan itu, Wirogundi
menunduk-
kan kepala. Dia berusaha mengusir
perasaan hatinya yang tiba-tiba
jadi
tak karuan.
"Kenapa kau menolongku, Wiro-
gundi?" "Ah, hanya
kebetulan saja. Aku
melihat dirimu tengah terancam
bahaya,
lalu timbul keinginanku untuk
memberi
pertolongan," jawab Wirogundi
seraya
mendongakkan kepala. Melihat
tatapan
mata Anjarweni, darah pemuda itu
kembali berdesir.
"Aku tidak percaya bila kau
katakan itu hanya kebetulan saja.
Bukankah kau juga sedang menguntit
salah seorang anggota Perkumpulan
Bidadari Lentera Merah?"
"Benar, Weni. Ketika aku
sedang
beristirahat di emper sebuah
kedai,
aku melihat sebuah bayangan mencu-
rigakan berkelebat cepat. Aku
segera
mengejarnya, Tapi ketika langkah
kakiku sampai di pinggir hutan,
aku
kehilangan jejak. Dan ketika
kulihat
di kejauhan ada sinar terang
benderang, aku pun mendekati. Saat
itulah aku melihat dirimu tengah
terancam bahaya."
"Lalu kau menolongku,
begitu?"
Wirogundi menganggukkan kepala.
"Terima kasih,
Wirogundi."
"Kau sudah
mengatakannya," ucap
Wirogundi dengan tersipu.
"Uhhh...!"
Tiba-tiba Anjarweni menjatuhkan
tubuhnya ke tanah. "Bahu
kiriku terasa
sangat panas...," rintihnya.
Melihat Anjarweni yang tampak
menahan sakit itu, Wirogundi
bergegas
beringsut mendekat.
"Cobalah kau lihat bahu
kiriku,
Wirogundi," pinta Anjarweni.
Tanpa pikir panjang lagi
Wirogundi segera menuruti
permintaan
gadis itu. Tapi, Wirogundi jadi
terkesiap ketika Anjarweni
mendekap
telapak tangannya.
"Ah, apa yang kau lakukan,
Weni?"
"Badanku terasa sangat panas,
Wirogundi. Apakah kau bisa
menyalurkan
hawa murni?"
"Akan kucoba..."
Anjarweni melepas telapak tangan
Wirogundi yang didekapnya.
Sebentar
kemudian, pemuda anggota
Perkumpulan
Pengemis Tongkat Sakti itu pun
menyalurkan hawa murni ke tubuh
Anjarweni.
"Rasa panas itu telah
berkurang,"
kata murid Dewi Tangan Api seraya
menggeliat. Tak disengaja kakinya
menendang lutut Wirogundi. Pemuda
berumur dua puluh dua tahun itu
pun
jatuh terjerembab di atas tubuh
Anjarweni. Dia memang sedang dalam
kedudukan berjongkok ketika
menyalurkan hawa murninya
"Ah, maaf...," bisik
Anjarweni.
Otak Wirogundi jadi linglung
ketika merasakan hembusan napas
Anjarweni mengelus pipinya. Dia
mencoba bangkit berdiri. Tapi,
darahnya berdesir begitu keras
melihat
bagian tubuh Anjarweni yang
terbuka.
"Ehm... ah...,"
Wirogundi jadi
gelagapan. "Kau... kau sangat
cantik,
Weni..."
Tanpa sadar pemuda bertubuh kurus
itu menatap wajah Anjarweni
berlama-
lama. Kemudian, tatapannya beralih
ke
bagian tubuh Anjarweni yang
tiba-tiba
jadi sangat mempesona.
"Apa yang kau lihat?"
tanya
Anjarweni.
"Eh, tidak...."
Melihat sikap Wirogundi yang
mendadak jadi aneh, Anjarweni yang
sedang terbaring telentang mencoba
bangkit. Dengan bertelekan pada
kedua
tangannya ke tanah, akhirnya dia
berhasil duduk di hadapan
Wirogundi.
Saat itulah baju Anjarweni yang
telah
robek melorot turun. Wirogundi pun
terkesiap. Sebuah pemandangan yang
sangat menggiurkan terpampang di
depan
matanya.
Anjarweni segera menyadari kea-
daan itu. Dia menjatuhkan tubuhnya
kembali seraya mengeluarkan isakan
tangis.
"Bunuh saja aku!" kata
gadis itu
di sela-sela tangisnya.
Wirogundi jadi kebingungan.
"Maafkan aku, Weni...,"
bisik
pemuda itu dengan rasa bersalah
yang
tiba-tiba datang menyergap.
"Aku malu. Kau bunuh saja
aku,
Wirogundi!" Mata Wirogundi
jadi
nyalang menyaksikan tangis
Anjarweni
yang semakin hebat. "Uhhh...!
Aduh...!"
Tiba-tiba Anjarweni menjerit
kesakitan. Gadis itu
menggeliat-geliat
seperti sedang merasakan kesakitan
yang sangat.
"Eh, kau kenapa, Weni?!"
tanya
Wirogundi tak mengerti.
Tak ada jawaban yang keluar dari
mulut Anjarweni. Tubuh gadis itu
bergerak mengejang!
"Ah, jangan-jangan sisa racun
yang bersarang dalam tubuhnya
sedang
bekerja," desis Wirogundi
cemas
sekali.
Dan karena terbawa rasa khawatir
akan keselamatan Anjarweni,
Wirogundi
buru-buru membungkukkan tubuhnya
untuk
memeriksa.
"Aduh, bahu kiriku terasa
panas
lagi!"
Anjarweni mengaduh. Serta-merta
Wirogundi meraba bagian tubuh
Anjarweni yang terluka. Kembali
disalurkannya hawa murni untuk
menolong murid Dewi Tangan Api
itu.
Usai menyalurkan hawa murni,
mendadak Wirogundi memeluk tubuh
Anjarweni. Lalu, mencium bibirnya
yang
merah bagai delima merekah. Tanpa
sadar Anjarweni membalas ciuman
Wirogundi.
Mereka pun segera berkutat dengan
ciuman melenakan.
Kedua tangan Wirogundi meraba-
raba seluruh bagian tubuh
Anjarweni.
Bibirnya pun tak mau kalah,
menelusuri
keindahan yang terbentuk dari
kehalusan kulit gadis yang berada
dalam dekapannya itu.
Malam yang dingin membuat mereka
berdua semakin terlena. Suara
jangkrik
dan burung hantu mengiringi dengus
napas mereka yang memburu. Kedua
anak
manusia itu semakin erat
berpelukan....
***
2
Di sebuah gua yang terletak di
Bukit Hantu, obor-obor gas alam
menyala terang. Tonjolan-tonjolan
batu
di dinding gua tampak berkilat
tajam.
Sementara tebaran batu runcing
meratai
permukaan atas gua. Di lantai gua
pun
kerikil-kerikil tajam berserakan
hingga ke lorong-lorong sempit.
Seorang nenek tua renta terlihat
duduk tiada bergeming di
singgasananya
yang terbuat dari tulang-belulang
manusia. Bahu nenek itu diapit dua
tempurung kepala. Kedua tangannya
tergeletak lemah dengan ditopang
tulang paha. Kakinya yang terjulur
ke
bawah dijepit oleh tulang-tulang
iga.
Wujud nenek yang duduk di
singgasana aneh itu pun tak
menyerupai
manusia pada umumnya. Tubuhnya
kurus
kering tiada berdaging. Hanya
kulit
keriput yang membungkus
tulang-tulang
tubuhnya.
Rupa nenek itu sudah menyerupai
tengkorak yang berbalut kulit
tipis.
Kulit wajah itu ditumbuhi jamur.
Rambutnya yang berwarna putih
riap-
riapan menambah kengerian bagi
siapa
pun yang memandangnya. Yang
membedakan
wujud nenek itu dari rupa sesosok
mayat adalah hembusan napasnya
yang
masih teratur.
Kelopak matanya terpejam rapat.
Ujung hidungnya bengkok ke
samping.
Sebuah jamur payung berwarna putih
tampak menempel di ujungnya.
Bentuk
bibirnya sudah tak karuan lagi.
Jatuh
ke bawah laksana serpihan lilin
yang
habis terbakar.
Tak jauh dari tempat duduk nenek
berwujud mengerikan itu, seorang
kakek
duduk bersimpuh di atas batu
lebar.
Rupa kakek itu pun tak kalah
menyedihkan. Rambutnya yang putih
riap-riapan terjuntai panjang
menutupi
seluruh wajahnya. Ujung-ujung
rambut
itu berserakan di atas permukaan
batu.
Pakaian yang dikenakannya nyaris
hancur termakan usia. Hingga, tak
mampu menutupi tulang-tulangnya yang
terbungkus kulit keriput.
Nenek yang duduk di singgasana
tulang itu adalah Ratnasari. Atau,
biasa disebut Bidadari Bunga
Mawar.
Sedangkan kakek yang duduk
bersimpuh
adalah Datuk Risanwari, pendiri
Perkumpulan Pengemis Tongkat Naga!
Ratnasari dan Datuk Risanwari
sesunggihnya sedang menunggu saat
kebangkitan mereka cembali. Yakni,
kebangkitan menuju usia muda dan
memulihkan seluruh kekuatan yang
pernah mereka miliki.
Tiba-tiba dari luar gua, sebuah
bayangan berkelebat masuk kemudian
menjatuhkan diri di hadapan
Ratnasari.
"Sekar Mayang datang
menghadap...," kata wanita
cantik yang
berlutut di hadapan nenek berwajah
mengerikan.
Perlahan-lahan kelopak mata
Ratnasari terbuka. Debu yang
menempel
di dahinya rontok. Dengan sinar
mata
tajam ditatapnya kehadiran Sekar
Mayang.
"Sekar Ma... yang..."
Suara yang terdengar lebih mirip
suara iblis penunggu kuburan
ketika
Ratnasari menggerakkan bibirnya.
"Hamba, Ketua
Pertama...," kata
Sekar Mayang sambil mendongakkan
kepala. Ditatapnya rupa
junjungannya
yang pucat pasi.
"Bagaimana dengan tujuh
perawan
itu?"
"Hamba sudah
mendapatkannya."
Tiba-tiba Ratnasari tertawa
terkekeh. Suara yang keluar dari
mulutnya terasa mengandung hawa
magis
yang sanggup mendirikan bulu roma.
"Cepat kau bawa kemari,
Mayang!"
“Baik, Ketua Pertama."
Sekar Mayang beringsut ke
belakang. Lalu, tubuhnya melesat
ke
luar gua.
Tak lama kemudian, tujuh bayangan
berkelebat masuk dengan membawa
sesuatu. Mereka meletakkan tubuh
tujuh
gadis yang tergolek pingsan di
lantai.
Ratnasari kembali tertawa
terkekeh.
Getaran suaranya menggema hingga
debu
tebal yang menempel pada dinding
gua
beterbangan.
"Bagus!" kata Ratnasari
dengan
suara lantang. "Kau memang
patut
menjadi ketua Perkumpulan Bidadari
Lentera Merah!"
Sekar Mayang tak mengucapkan
sepatah kata pun. Hanya, kepalanya
terangguk pelan.
"Segera kau siapkan upacara
pemulihanku, Mayang!"
Kepala Sekar Mayang mendongak,
lalu menunduk dalam-dalam seraya
menghaturkan sembah.
Tiba-tiba dia mengangkat telapak
tangannya. Gerakannya mirip
seseorang
yang sedang mengiba kepada Dewa
Langit. Pergelangan tangannya yang
sedikit bengkok seperti siap
menyambut
datangnya anugerah.
Dengan kedua mata terpejam, bibir
gadis cantik berumur dua puluh
tujuh
tahun itu bergetar mengucapkan
mantera-mantera. Lalu, tubuhnya
mengangkasa dan berputar
menyamping,
menghadap dinding gua yang
terdapat
sebongkah batu besar menyerupai
sebuah
pintu.
Seeerrr...!
Batu besar itu bergeser.
Tampaklah sebuah kolam indah yang
berair sangat jernih. Pinggir
kolam
berhiaskan patung-patung kecil
wanita
cantik berwarna merah.
Ruangan yang baru saja dibuka itu
berdinding batu pualam halus
mengkilat. Lantai di sisi-sisi
kolam
dihampari bunga mawar yang
beraroma
harum semerbak. Pada bagian ujung
yang
sedikit menjorok ke dalam, sebuah
singgasana emas berada. Obor-obor
gas
alam yang menempel di dinding
berkeru-
dung kain merah. Cahaya yang
terpendar
pun jadi berwarna kemerah-merahan.
Tanpa membuka matanya, kedua
tangan Sekar Mayang bergerak
menghadap
ke tubuh tujuh gadis yang tergolek
pingsan di lantai. Perlahan tubuh-
tubuh tak berdaya itu terangkat.
Lalu,
meluncur ke permukaan kolam....
"Ha ha ha...!"
Ratnasari tertawa terbahak-bahak.
Bahunya naik turun hingga
menggetarkan
tempurung kepala yar.j terletak di
sisi kiri dan kanannya. Lalu,
ujung
jari tangan kanannya bergerak
cepat.
Tujuh sinar kemerahan meluncur
menuju
dahi ketujuh gadis yang tubuhnya
tengah melayang di atas kolam.
Sraaattt!
Tubuh-tubuh tak berdaya itu
tampak menggeliat lemah. Dari dahi
mereka yang telah bocor mengucur
darah
segar. Cucuran darah segera
berbaur
dengan air kolam.
Ratnasari kembali mengeluarkan
suara tawa. Dan ketika tetes-tetes
darah tujuh gadis korban itu telah
habis, Ratnasari mengayunkan
telapak
tangannya!
Wuuusss!
Serangkaian angin pukulan
menerpa. Ketujuh tubuh gadis manis
itu
melayang dan menghantam dinding
gua.
Tubuh mereka terbanting tanpa me-
ngeluarkan suara jeritan.
"Ha ha ha...!"
Ratnasari tertawa penuh rasa
puas. Dalam keadaan terduduk,
tubuh
nenek berwajah mengerikan itu
kemudian
melayang dari singgasana tulang-
belulangnya. Dan...
Byuuurrr...!
Air kolam yang telah memerah oleh
darah menggelegak tertimpa tubuh
Ratnasari. Perlahan-lahan air
kolam
itu mengeluarkan
gelembung-gelembung
udara. Lalu, tubuh Ratnasari
tenggelam....
Bunyi gemuruh timbul dari
permukaan air kolam. Kemudian,
muncul
pusaran air. Berputar cepat
laksana
digerakkan oleh kekuatan maha
dahsyat!
Air kolam terus bergolak hingga
warna merah darah memudar dan air
kembali jemih. Ketika permukaan
air
telah kembali tenang, muncul
riap-riap
rambut hitam panjang. Lalu seraut
wajah cantik jelita. Dan tak lama
kemudian, sesosok tubuh halus
mulus
berkulit kuning langsat bergerak
pelan
mendaki tangga kolam.
"Ha ha ha...!"
Ratnasari tertawa tergelak. Tapi
segera terhenti. la mendengar
suara
tawanya masih tetap ngorok seperti
suara iblis penunggu kuburan. Dengan
tubuh telanjang, ditatapnya Sekar
Mayang yang telah duduk kembali di
tempatnya.
"Upacara pemulihan belum
sempurna, Mayang!" kata
Ratnasari.
Sekar Mayang hanya mendongakkan
kepalanya sedikit. Diperhatikan
tubuh
junjungannya yang berubah wujud
menjadi sosok wanita cantik.
Rambut
Ratnasari hitam panjang. Tergerai
basah di punggungnya. Wajahnya
keli-
hatan begitu sempurna. Sekar
Mayang
memandang dengan penuh kekaguman.
Dia
merasa kalah bila dibandingkan
kecantikan Ratnasari.
Tapi, tiba-tiba Sekar Mayang
terperanjat menyaksikan jemari
tangan
junjungannya. Kulitnya meleleh
seperti
terbeset.
"Apa yang kau lihat,
Mayang?!"
tegur Ratnasari.
Ratnasari mengangkat kedua
tangannya. Dia menggeram gusar
melihat
jemari tangannya masih membiaskan
pemandangan mengerikan.
"Upacara pemulihanku belum
sempurna, Mayang...," kata
Ratnasari
lagi. "Pada malam purnama
ketujuh
nanti kau harus menyediakan korban
lagi. Jumlahnya bukan tujuh,
Mayang.
Tapi empat puluh! Kau dengar?
Empat
puluh!"
"Hamba akan mengusahakannya,
Ketua Pertama," kata Sekar
Mayang
dengan suara berat.
Tiba-tiba mata Ratnasari
mendelik.
"Kau tidak boleh hanya
mengusahakannya! Empat puluh
perawan
itu harus benar-benar ada!"
Sekar Mayang menganggukkan
kepala.
"Nyawamu sebagai taruhannya,
Mayang!" ancam Ratnasari.
Sekar Mayang kembali
menganggukkan kepala.
"Sekarang hamba
mohon diri...," katanya
seraya bangkit
berdiri. Lalu, bergerak
meninggalkan
gua bersama keenam kawannya.
Ratnasari tertawa terbahak-bahak.
Pantulan suaranya menggema tiada
henti. Dinding gua sampai bergetar
hebat. Batu-batu kecil yang
menempel
di atap gua rontok bertebaran
memenuhi
lantai.
Wanita cantik itu lalu berkelebat
memasuki sebuah lorong sempit.
Sesaat
dia telah kembali dengan tubuh
terbungkus pakaian indah berwarna
merah. Pakaian ketat itu memper-
lihatkan lekuk-lekuk tubuhnya yang
indah. Kedua tangannya mengenakan
sarung tangan yang berhias pernik-
pernik gemerlap. Rambutnya
disanggul
tinggi. Bunga mawar diselipkan di
antara lekuk sanggul.
"Hei, Risanwari...!"
Ratnasari
memanggil kakek tua renta yang
duduk
diam di atas batu besar.
"Tidakkah kau
mau membuka sedikit matamu untuk
menyaksikan kesempurnaan yang
telah
kudapat?!"
Datuk Risanwari tak memberikan
tanggapan. Rambutnya yang putih
riap-
riapan tetap menutupi seluruh
wajahnya.
"Monyet Busuk! Orang Tua
Bodoh!"
Ratnasari mengumpat. "Bila
kau hanya
duduk terpuruk menunggu saat
kebangkitanmu, mustahil pemulihan
usia
akan kau dapatkan!"
Datuk Risanwari tetap tak
memberikan tanggapan.
Ratnasari mendengus gusar.
"Untuk apa kau duduk di situ?
Hanya akan menyakiti dirimu
sendiri!"
katanya dengan suara lantang.
"Bila
kau sedang menunggu datangnya Dewa
Kematian, tak perlu berlama-lama
lagi.
Akuakan segera mengirimmu ke
neraka!"
Kedua tangan Ratnasari dipen-
tangkan lebar-lebar. Kemudian
dengan
sebuah gerakan indah, telapak
tangan-
nya bergerak ke depan. Serangkaian
angin pukulan meluruk deras
menghantam
tubuh Datuk Risanwari.
Wuuusss!
Blaaarrr...!
Debu tebal mengepul. Kerikil dan
batu berham-buran. Dinding gua pun
bergetar hebat!
Ratnasari menyeringai dingin
menyaksikan tubuh Datuk Risanwari
masih diam di tempatnya.
"Bangsat!" umpat
Ratnasari
"Rupanya kau masih menyimpan
kepan-
daian, Orang Tua Jelek!"
Usai mengucapkan kalimatnya, kem-
bali kedua tangan Ratnasari
terpentang
lebar. Kini seluruh kekuatan
tenaga
dalamnya disalurkan. Lalu...
Blaaarrr...!
Suara menggelegar kembali
membahana. Seluruh ruang gua
bergetar
hebat. Batu-batu runcing yang
menempel
pada atap gua berjatuhan bagai
puluhan
batang tombak!
Ratnasari meloncat untuk mencari
tempat bernaung. Tapi, serangan
dahsyat yang dilancarkan wanita
cantik
itu tetap tak berpengaruh apa-apa
terhadap Datuk Risanwari.
Mata Ratnasari melotot lebar.
Secepat kilat diterjangnya kakek
itu.
Dhesss...!
Bruuukkk...!
Tendangan wanita cantik itu
membentur kekuatan gaib yang
melindungi tubuh Datuk Risanwari.
Akibatnya, tenaga yang tersalur
pada
kaki kanannya berbalik hingga
membuat
tubuhnya jatuh bergulingan. Wanita
cantik bekas ketua Perkumpulan
Bidadari Bunga Mawar itu bangkit
dengan napas terengah-engah.
"Kau jangan
menggangguku...,"
terdengar suara lirih dari mulut
Datuk
Risanwari.
"Keparat!" umpat
Ratnasari.
"Aku tahu kau telah mengalami
penyempurnaan. Tapi, hal itu tak
perlu
kau pamerkan di hadapanku,"
kata Datuk
Risanwari.
"Tubuhmu sudah mau hancur, Orang
Tua Bodoh!" kata Ratnasari
dengan mata
berkilat tajam. "Bila kau
tidak segera
melakukan penyempurnaan, tubuhmu
itu
akan lumat dimakan cacing
tanah!"
"Aku sudah merasa bahagia
dengan
keadaanku seperti sekarang ini. Dan,
aku tak tak perlu mengorbankan
nyawa
manusia tak berdosa untuk
kepentingan
diriku."
"Lalu, untuk apa kau duduk
terpuruk di tempat itu?! Menunggu
keajaiban? Wujudmu tak akan pulih
dengan sendirinya, Orang Tua
Bodoh!"
"Justru aku sedang menunggu
kuasa
Sang Pencipta untuk memanggil
nyawaku."
"Ha ha ha...!" Ratnasari
tertawa
tergelak. "Bila kau memang
ingin mati,
kenapa kau melindungi tubuhmu dari
gempuranku?"
"Aku tidak mau mati di tangan
manusia tak beradab sepertimu,
Wanita
Picik!"
Ratnasari menggeram marah
mendengar ucapan Datuk Risanwari.
Namun, tiba-tiba tubuhnya bergerak
limbung.
"Oh.... Penyempurnaanku
benar-
benar belum sempurna. Tubuhku
masih
terasa sangat lemah," rintih
wanita
cantik itu.
Tubuhnya segera dlgerakkan
melayang dan jatuh tepat di
singgasana
emas. Kemudian, tubuh wanita
cantik
itu duduk diam dengan mata terpejam
rapat...
***
Emoticon