KEMELUT KADIPATEN BUMIRAKSA
Serial Pengemis Binal
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cover oleh Henky
Penyunting: Puji S,
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau
memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Serial Pengemis Binal
dalam episode:
Kemelut Kadipaten Bumiraksa
128 hal.
1
Tubuh Suropati terbujur di samping
jenazah
gurunya. Setelah menggeliat kecil,
tubuh murid Pe-
riang Bertangan Lembut itu tak
bergerak-gerak lagi.
Banjaranpati yang bergelar
Bayangan Putih Da-
ri Selatan memandang penuh rasa
iba. Pengalamannya
selama puluhan tahun berkecimpung
di rimba persila-
tan, mengisyaratkan bahwa di dalam
tubuh murid si
Periang Bertangan Lembut telah
bersarang racun ga-
nas yang akan menjalar bila
tersentuh.
Sambil menghembuskan napas
panjang,
Bayangan Putih Dari Selatan
mengeluarkan sebutir
obat pulung dari balik bajunya.
Kemudian dilontar-
kannya obat itu ke mulut Suropati
yang sedikit terbu-
ka.
Remaja berpakaian penuh tambalan
itu meng-
geliat merasakan jalan napasnya
tersedak.
"Uuuhhh.... Apa yang
terjadi?" keluh Suropati
seraya membuka matanya.
"Kenapa tubuhku terasa
sangat panas...?"
"Tenanglah, Suro...,"
ujar Bayangan Putih Dari
Selatan, lembut. "Obat
pemunah racun yang kau telan
sedang bekerja."
Tiba-tiba Suropati yang oleh
teman-temannya
dijuluki Pengemis Binal mengerang.
Dia mencoba me-
rangkak bangkit.
"Di mana Kakek Periang
Bertangan Lembut...?"
tanya Pengemis Binal
"Dia berada di sampingmu,
Suro...," jawab
Bayangan Putih Dari Selatan.
Suropati langsung menajamkan
penglihatan-
nya. Ketika tatapan matanya
tertuju pada tubuh gu-
runya yang terbujur kaku, dia
jatuh terjengkang.
Sementara Anjarweni dan
Ingkanputri yang dari
tadi hanya diam, mencoba memberi
pertolongan. Tapi
tindakan mereka cepat dicegah oleh
Bayangan Putih
Dari Selatan
"Jangan sentuh
tubuhnya...," ujar kakek ber-
pakaian serba putih itu. Lalu,
tatapan matanya tertuju
pada Suropati. "Kau belum
terbebas dari pengaruh ra-
cun, Suro. Cobalah duduk bersila.
Dan, kumpulkan
seluruh hawa murnimu...."
Suropati segera menuruti nasihat
Bayangan
Putih Dari Selatan. Dengan susah
payah dia berusaha
bangkit, tapi gagal. Tubuhnya
terjungkal dibarengi
erangan kesakitan.
Mendadak Ingkanputri meloncat,
berusaha
membantu Suropati. Namun Bayangan
Putih Dari Se-
latan cepat menggerakkan
tangannya.
Wuuusss...!
Serangkaian angin pukulan
mendorong tubuh
gadis belia itu, hingga mundur
beberapa tindak.
"Sudah kubilang, jangan
sentuh tubuhnya! Ra-
cun itu sangat ganas dan mudah
menjalar...," tegas
Bayangan Putih Dari Selatan,
memberi peringatan.
Ingkanputri pun terdiam. Kemudian
tubuhnya
bergeser, mendekati kakak
seperguruannya.
Pengemis Binal terus berusaha
untuk dapat
duduk bersila. Karena kemauannya
keras, akhirnya
dia pun dapat menuruti nasihat
Bayangan Putih Dari
Selatan.
Mata murid si Periang Bertangan
Lembut terpe-
jam rapat. Tubuhnya bergetar
hebat. Perlahan-lahan
dari kepalanya mengepul asap
tipis. Dan tak lama ke-
mudian....
"Uoookkk...!"
Darah berwarna kehitam-hitaman
langsung
menyembur dari mulut Suropati,
membasahi rumput.
Sungguh dahsyat! Tiba-tiba rumput
itu layu dan men-
gering! Itulah keganasan racun
timbul dari kekuatan
ilmu 'Batu Kumala Hitam' yang
dimiliki Brajadenta
alias si Dewa Maut.
Ketika Suropati melancarkan ilmu
totokan
'Delapan Belas Tapak Dewa' saat
bertempur melawan
tokoh sesat sakti itu, mau tak mau
ujung jarinya me-
nyentuh tubuh si Dewa Maut. Dan
tanpa disadari, ra-
cun yang timbul dari kekuatan ilmu
'Batu Kumala Hi-
tam' mengalir ke dalam tubuhnya.
"Uuuhhh...!"
Sambil mengerang, Suropati membuka
ma-
tanya. Kini jenazah si Periang
Bertangan Lembut ter-
pampang dl hadapannya.
"Maafkan aku, Guru...,"
desah remaja berusia
tujuh belas tahun itu perlahan
sambil mendekati jena-
zah gurunya.
Setelah mengumpulkan semangatnya,
Penge-
mis Binal memanggul jenazah
Periang Bertangan Lem-
but. Seketika tubuhnya berkelebat,
menuruni lereng
Bukit Parahyangan. Sama sekali tak
dihiraukannya ke-
tiga orang yang terus
memperhatikan gerak-geriknya.
Ketika Anjarweni dan Ingkanputri
berjalan
hendak mengikuti, langkah kaki
mereka ditahan oleh
suara Bayangan Putih Dari Selatan.
"Biarkan Suropati dalam
kesendiriannya. Wa-
laupun sikapnya tampak konyol,
tapi sesungguhnya
dia sedang berduka. Kematian
gurunya sangat memu-
kul jiwanya...," ujar
Bayangan Putih Dari Selatan.
Setelah mengucapkan kalimat itu,
Bayangan
Putih Dari Selatan berkelebat
lenyap.
Anjarweni dan Ingkanputri saling
berpandan-
gan. Kemudian mereka juga
berkelebat menghilang da-
ri tempat ini.
Namun sesungguhnya, Ingkanputri
berlari den-
gan perasaan tak karuan. Terus
terang, dia sangat in-
gin berlama-lama dekat dengan
remaja yang telah ber-
hasil membalaskan dendam
kesumatnya, yakni mele-
nyapkan Brajadenta atau si Dewa
Maut dari muka
bumi. Gadis belia ini merasakan
ada suatu kekuatan
yang menguasai segenap perasaannya
untuk terus
mengingat sosok yang berjuluk
Pengemis Binal. Ada
debar-debar aneh yang berkecamuk
dalam hatinya se-
tiap menatap wajah remaja yang
berperilaku konyol
itu. Dan, kekonyolan Suropati sama
sekali tak mem-
buatnya marah. Bahkan malah
membuatnya senang.
Ingkanputri tak tahu, apa yang
sedang terjadi
dalam dirinya. Dia hanya dapat
menerka-nerka. Jatuh
cintakah dia? Ingkanputri tak
sanggup menjawabnya.
Tapi kalau tak benar apa yang
dirasakan memang cin-
ta, Ingkanputri pun akan
memelihara perasaannya itu.
Sebab dia menganggap Pengemis
Binal patut mendapat
perasaan cintanya. Selain tampan,
remaja itu juga
berkepandaian tinggi. Dia
merupakan sosok yang di-
dambakan gadis belia murid Dewi
Tangan Api.
***
Sementara itu setelah mendapatkan
tempat
yang cocok, yakni di sebuah tanah
datar agak luas,
Suropati segera menurunkan jenazah
gurunya.
Untuk sesaat remaja ini bingung,
dengan apa
akan membuat lubang untuk makam
gurunya. Tapi
ketika matanya menatap lempengan
batu selebar tela-
pak tangan, bibirnya tersenyum
tipis. Segera dipun-
gutnya batu itu. Dan mulailah
remaja itu menggali.
Sengatan sinar matahari sore sama
sekali tak
dihiraukan Suropati. Peluh terus
bergulir dari kening-
nya. Sebentar saja tubuhnya segera
basah bermandi-
kan keringat.
Ketika malam hampir rebah,
selesailah tugas
Suropati menggali lubang untuk
makam gurunya. Se-
jenak ditatapnya lubang yang telah
dibuat, kemudian
perlahan-lahan diturunkannya
jenazah si Periang Ber-
tangan Lembut ke dalam
persemayaman nya.
Perlahan sekali Suropati
mengucapkan kata
perpisahan kepada gurunya diiringi
sejuta keharuan.
Setelah hening sejenak,
dikeluarkannya Kitab Delapan
Belas Tapak Dewa dari balik
bajunya. Kemudian kitab
itu diremasnya hingga menjadi abu
yang menaburi je-
nazah si Periang Bertangan Lembut.
Lubang segera ditutup kembali. Dan
Suropati
segera mendorongkan sebongkah batu
sebesar kerbau
yang kemudian ditempatkan di atas
makam gurunya.
Lalu, ujung jarinya yang dilambari
tenaga dalam me-
noreh tulisan:
Di sini disemayamkan si Periang
Bertangan
Lembut yang meninggal sebagai
ksatria pengemban tu-
gas menegakkan keadilan.
***
Pagi hari, di Kuil Saloka di kota
Kadipaten Bu-
miraksa, para pengemis yang masih
terlena dalam im-
piannya dikejutkan suara derap
langkah kaki prajurit.
Sebentar kemudian langkah-langkah
itu berhenti.
Seorang berpangkat punggawa maju
beberapa
tindak sambil berkacak pinggang.
"He, para pengemis hina!
Segera bangun! Dan
keluar kalian dengan tangan di
atas kepala...!" teriak
punggawa yang dikenal bernama
Anggaraksa.
Seorang pengemis setengah baya
berjalan ke-
luar dari kuil sambil
mengucak-ucak matanya.
"Oaaahhh...!" pengemis
itu menguap lebar. "Ada
apa, Tuan?"
"Segera bangunkan
teman-temanmu semua!"
ujar Anggaraksa, keras.
"Ah! Aku saja cukup. Kasihan
mereka. Sema-
lam mereka tidak tidur karena
asyik memancing ikan
di sungai...."
"Pengemis Bandel! Apa kau
sudah tuli?! Cepat
bangunkan teman-temanmu...!"
bentak Anggaraksa,
menampakkan kemarahannya.
"Ah! Kenapa Tuan
membentak-bentak seperti
itu...? Ada urusan apa,
sih...?" tanya pengemis seten-
gah baya ini sambil mengulet,
melemaskan otot-
ototnya.
Melihat sikap yang tak menghormat
itu Angga-
raksa mengumpat sejadi-jadinya.
Kemudian tangan
kanannya terayun, menampar wajah
lelaki setengah
baya itu.
Pengemis itu segera menyadari
keadaan itu. La-
lu badannya cepat merunduk.
Wuuuttt...!
"Heh?!"
Anggaraksa terkejut melihat
tamparannya
hanya mengenai angin kosong.
"Bedebah! Punya kepandaian
juga kau ru-
panya, Orang Tua busuk?!"
bentak Anggaraksa lagi.
Kemudian kepala prajurit itu
memberi isyarat
kepada empat orang bawahannya
untuk segera menge-
rubut pengemis itu.
Perkelahian pun tak bisa
dihindarkan lagi. Si
pengemis yang sudah mengerti
dasar-dasar ilmu silat,
tentu saja tak mudah untuk
dirobohkan. Jurus-jurus
yang diajarkan mendiang si Periang
Bertangan Lembut
segera dikeluarkan. (Untuk
jelasnya baca serial Pen-
gemis Binal dalam episode perdana
: Pengkhianatan
Dewa Maut).
Buuukkk...!
"Augkh...!"
Salah seorang bawahan Anggaraksa
mengerang
kesakitan terkena tendangan
pengemis itu. Terdorong
luapan amarah, rasa sakitnya tak
dipedulikan. Dan dia
segera kembali menerjang.
Dengan gerakan ringan, si pengemis
coba
menghindar ke samping. Namun
rupanya salah seo-
rang prajurit sudah menunggu
dengan satu ayunan
kaki. Dan...
Buuukkk...!
Ganti si pengemis yang mendekap
perutnya
akibat terkena tendangan seorang
prajurit kadipaten
yang mengeroyoknya. Tubuhnya
terjajar ke samping
pintu kuil.
Namun dia cepat mengambil sebuah
tongkat
yang tersandar di samping pintu.
Wuuuttt...! Wuuuttt...!
Tongkat dari dahan jambu batu itu
bergerak
cepat, menyerang keempat orang
pengeroyoknya. Ge-
rakan tongkat meliuk, kemudian
menghunjam ke dada
salah seorang prajurit kadipaten
hingga jatuh mengge-
losor ke tanah. Namun dia segera
bangkit, dan lang-
sung mencabut pedang.
Dukkk...!
"Matilah kau, Gembel
Busuk!" umpat pengemis
ini seraya menerjang.
Tiba-tiba....
"Tahan...!"
Disertai seruan keras, seorang
pengemis muda
keluar dari kuil. Dia tak lain
Wirogundi yang dipercaya
Pengemis Binal untuk sementara
memimpin teman-
temannya. (Baca episode perdana
serial ini).
Pengemis setengah baya yang
melihat kedatan-
gan Wirogundi segera melompat ke
samping, langsung
di hampirinya pengemis muda itu.
"Apa yang sedang terjadi,
Paman Bareksi?"
tanya Wirogundi kepada pengemis
setengah baya ber-
nama Bareksi.
Sebelum pengemis setengah baya itu
memberi-
kan jawaban, Anggaraksa berjalan
mendekati.
"Siapa yang menjadi pemimpin
para pengemis
di sini?" tanya kepala
prajurit itu.
Wirogundi menatap wajah
Anggaraksa. Dan, dia
pun ingat peristiwa di kedai nasi,
ketika kepala prajurit
itu dipermainkan Suropati.
"Kau yang menjadi
pemimpin...?" tunjuk Angga-
raksa, pada Wirogundi.
Wirogundi tersenyum.
"Sebenarnya ada urusan apa
sehingga Tuan
sudi berkunjung ke tempat kotor
ini?" tanya pengemis
muda ini.
"Aku diperintah Gusti Adipati
untuk mengusir
kalian ke luar dari Kota Kadipaten
Bumiraksa...," tegas
Anggaraksa dengan keras, agar
didengar para penge-
mis yang masih belum mau keluar
dari kuil.
"Kenapa kami harus diusir,
Tuan?" tanya Wiro-
gundi heran.
"Gusti Adipati mencium
gelagat yang tak baik
dari perkumpulan pengemis,"
jelas Anggaraksa.
"Gelagat tak baik bagaimana,
Tuan?" susul Wi-
rogundi.
Anggaraksa menatap tajam wajah
Wirogundi.
"Untuk apa kalian tiap hari
berlatih ilmu silat?"
tanya kepala prajurit itu, curiga.
"Oh, rupanya hal itu yang
menjadi persoalan,"
desah Wirogundi tenang. "Kami
berlatih ilmu silat
hanya untuk melindungi diri,
Tuan."
"Bohong!" bentak
Anggaraksa.
"Kami tidak bohong, Tuan.
Sudah lama kami
kaum pengemis selalu ditindas
orang-orang yang me-
rasa dirinya berkuasa. Untuk dapat
makan kenyang
saja, kami sudah merasa kesulitan.
Apalagi bila dipak-
sa tiap hari harus membayar
upeti...," jelas Wirogundi.
"Oleh sebab itulah, kami
merasa perlu untuk sedikit
belajar ilmu bela diri, supaya
tidak mudah diperas
orang...."
"Ah! Itu hanya dalihmu saja!
Akui saja bila ka-
lian ingin memberontak...!"
sentak Anggaraksa sambil
mengulapkan tangannya.
Wirogundi menggelengkan kepalanya.
"Tak sedikit pun kami
mempunyai maksud se-
perti yang Tuan katakan...."
"Jadi, kalian tidak mau
mengaku?" tanya Ang-
garaksa penuh tekanan.
Kembali Wirogundi menggeleng.
Melihat itu, Anggaraksa segera
memberikan
aba-aba kepada dua puluh orang
prajurit bawahannya.
"Seret mereka keluar dari
Kadipaten Bumirak-
sa...!" teriak Anggaraksa,
lantang.
Sebelum para prajurit dari
kadipaten itu me-
laksanakan perintah atasannya,
tiba-tiba dari dalam
kuil bermunculan puluhan orang
pengemis bersenja-
takan tongkat
"O.... Rupanya kalian ingin
melawan...?!" cibir
Anggaraksa dengan gusar.
Lalu dengan lantang kembali kepala
prajurit itu
memberi perintah kepada seluruh
prajurit bawahan-
nya untuk menyerang.
Srettt...!
Kedua puluh orang prajurit
kadipaten itu melo-
loskan pedang dari warangka
masing-masing.
"Serbu...!"
Sambil berteriak, mereka
menggempur para
pengemis yang tampak sudah siap
menanti datangnya
serangan.
Maka, pertempuran sengit pun tak
bisa dihin-
dari lagi. Para prajurit kadipaten
yang bersenjatakan
pedang, walaupun kalah jumlah,
tapi terus menggem-
pur dengan semangat berapi-api.
Sementara para pengemis pun tak
mau menga-
lah. Mereka memutar tongkat
laksana baling-baling.
Dari sebentar saja, terdengar
suara teriakan kesakitan.
Anggaraksa ikut merangsek,
membantu anak
buahnya. Tapi serangannya segera
dihadang Wirogun-
di
"Pengemis hina! Kalian semua
memang mencari
mampus!" dengus Anggaraksa,
penuh luapan amarah.
"Kami hanya membela hak, Tuan,"
kilah Wiro-
gundi. "Kami tidak mau terus
ditindas...."
"Baiklah, kalau memang itu
maumu. Lihat se-
rangan...!" desis Anggaraksa,
seraya melompat dengan
pedang dikebutkan.
Wirogundi pun segera memutar
tongkatnya.
Trang...!
Anggaraksa terkejut melihat
tongkat di tangan
pengemis itu tidak patah terbabat
pedangnya. Lalu
dengan kemarahan semakin meluap,
dia merangsek
dengan ganas.
Wuuuttt..! Wuuuttt..!
Wirogundi berusaha menghindar dari
sambaran
pedang dengan melompat ke samping.
Dan secepat ki-
lat dibalasnya serangan itu.
Tongkat di tangannya ber-
putar-putar membentuk perisai.
Kemudian tubuhnya
meluncur deras ke arah
Anggaraksa!
Wuuuttt...!
Dengan sigap kepala prajurit itu
menghindar
dengan mengegoskan tubuhnya ke
kiri. Untuk semen-
tara dia pun luput dari serangan
jurus 'Tongkat Me-
mukul Anjing'.
Tapi, tiba-tiba tubuh Wirogundi
melenting ke
atas, setelah berputaran beberapa
kali, tubuhnya
menghunjam ke arah Anggaraksa
dengan tongkat
mengibas. Dan...
Dheeesss...!
"Uhh...!"
Anggaraksa meringis merasakan
sakit pada
pundak kanannya yang terkena
sasaran tongkat Wiro-
gundi. Dan, pedangnya pun jatuh ke
tanah.
Sementara itu, kedua puluh orang
prajurit ka-
dipaten tampak keteter menghadapi
para pengemis
yang bertempur bahu-membahu.
Tampak tiga orang prajurit
kadipaten telah ke-
luar dari arena pertempuran dengan
tulang lengan pa-
tah. Kemudian segera disusul dua
orang lagi dengan
tulang kaki hampir remuk tergempur
tongkat di tangan
para pengemis.
"Mundurrr...!"
Melihat pihaknya terdesak,
Anggaraksa yang
sempat melirik ke arah prajuritnya
segera memberi
aba-aba untuk mundur. Saat itu
juga para prajurit ka-
dipaten berserabutan lari
pontang-panting meninggal-
kan tempat ini.
Para pengemis Kota Kadipaten
Bumiraksa yang
tinggal di Kuil Saloka yang bobrok
itu bersorak-sorai
merayakan kemenangan. Tapi, wajah
Wirogundi tam-
pak kusut. Dan berulang kali
keluar desah dari mu-
lutnya. Entah apa yang
dipikirkannya....
***
2
"Ampun, Gusti Adipati
Danubraja..," ucap An-
gyaraksa memelas ketika telah
menghadap Adipati
Bumiraksa untuk melaporkan
kegagalannya dalam
menindak kaum pengemis di Kuil Saloka. "Para pen-
gemis itu jumlahnya sangat banyak.
Sehingga, kami
tak mampu menghadapinya.."
Adipati Bumiraksa yang bernama
Danubraja
menggeram gusar.
"Kalian semua sudah sekian
tahun belajar ilmu
kawiraan dan olah kanuragan,
kenapa menghadapi pa-
ra pengemis saja kalian tidak
mampu...?!" bentak lelaki
gagah berusia empat puluh tahun
itu.
"Ampun, Gusti Adipati."
Anggaraksa berlutut di hadapan
Adipati Danu-
braja. Sementara adipati itu
memandang utusannya
tanpa berkedip, menyiratkan
kegeraman.
"Kalian semua memang
bodoh!" dengus Adipati
Danubraja menumpahkan
kekesalannya, lalu melang-
kah pergi meninggalkan ruang
balairung ini.
Adipati ini melangkah menuju
tempat peristira-
hatannya. Begitu sampai di depan
kamarnya, dia
membuka pintu dengan kasar.
Sebentar saja terdengar
bantingan pintu yang cukup keras,
hingga terdengar
sampai ke ruang balairung.
Adipati Danubraja berkali-kali
mengepalkan
tinjunya sambil berjalan
hilir-mudik tak menentu di
ruang kamar pribadinya. Seorang
wanita berusia tiga
puluh delapan tahun yang sudah
berada di kamar ini
segera mendekati.
"Ada apa, Kangmas?"
tanya wanita cantik yang
tak lain istri Adipati Danubraja.
Karena tak mendapat jawaban,
wanita ini me-
megang lengan suaminya.
Adipati Danubraja memandang
sejenak wajah
istrinya. "Para pengemis di
Kota Kadipaten Bumiraksa
ini, Rara Anggi. Mereka sudah
gila...!" desis adipati itu
dengan gigi gemeretuk.
"Ada apa dengan para pengemis
itu, Kangmas?"
tanya wanita cantik berpakaian
indah yang dipanggil
Rara Anggi.
"Pengemis-pengemis itu mau
memberontak!"
"Ah! Masa' iya,
Kangmas...?" tukas Rara Anggi,
tak mempercayai ucapan suaminya.
"Apa buktinya?"
"Mereka berani melawan
utusanku, Rara. Ang-
garaksa dan dua puluh orang
prajuritnya dihajar ha-
bis-habisan...," jelas
Adipati Danubraja.
"Apa...?"
Rara Anggi terkejut.
"Tapi, Kangmas tak perlu
tergesa-gesa men-
gambil kesimpulan. Belum tentu
mereka bermaksud
memberontak. Mungkin hal itu
disebabkan perlakuan
Anggaraksa dan prajuritnya yang
terlalu kasar...," lan-
jut Rara Anggi, buru-buru menukasi
ucapannya sendi-
ri.
"Ah! Kau tak perlu membela
orang-orang kotor
itu, Rara.... Mereka sudah jelas
akan memberontak!"
Rara Anggi pun tak bisa mencairkan
amarah
suaminya. Ketika Adipati Danubraja
berjalan ke arah
pintu, dia hanya memandang tanpa
mampu berbuat
apa-apa.
"Patih Wiraksa...,"
teriak Adipati Danubraja
sambil melongokkan kepala ke luar.
Seorang lelaki setengah baya
muncul dari arah
balairung menuju kamar Adipati
Danubraja dengan
langkah tergopoh-gopoh. Lelaki
bertubuh tegap yang
dipanggil Patih Wiraksa ini segera
menyembah membe-
ri hormat dengan merapatkan
telapak tangannya di
depan hidung. Lalu dia ikut masuk
ke kamar itu, begi-
tu Adipati Danubraja
mempersilakannya masuk.
"Ada apa, Gusti
Adipati...?" tanya Patih Wirak-
sa.
"Ada tugas yang harus segera
kau laksanakan.
Usir seluruh pengemis yang tinggal
di kota kadipaten
ini. Bila mereka membangkang,
hajar saja. Dan bila
perlu, kau dapat memenggal kepala
mereka satu per-
satu," perintah adipati ini.
"Sendika, Gusti
Adipati...."
"Bawa lima puluh orang
prajurit, Patih Wirak-
sa!"
Setelah kembali memberi hormat,
Patih Wirak-
sa segera mohon diri untuk
melaksanakan tugasnya.
***
Seorang pengemis kecil dari
kejauhan melihat
barisan prajurit bersenjata
lengkap tengah menuju
Kuil Saloka. Segera dia berlari
menuju tempat tinggal
para pengemis itu. Langsung
ditemuinya sang pemim-
pin pengemis di Kuil Saloka.
Wirogundi yang menerima laporan
dari penge-
mis kecil itu mendesah beberapa
kali. Dia sudah men-
duga akan adanya buntut dari
peristiwa yang baru sa-
ja terjadi. Dan karena tak mau
melihat harkat dan
martabat para pengemis
diinjak-injak, segera teman-
temannya disebar untuk
mengumpulkan semua pen-
gemis di Kota Kadipaten Bumiraksa.
Maka sebentar
kemudian, di depan kuil telah
berjajar seratus orang
lebih para pengemis bersenjata
tongkat.
Tepat ketika para prajurit yang
dipimpin Patih
Wiraksa sampai di depan kuil,
kontan terkejut me-
nyaksikan jumlah pengemis yang
begitu banyak. Sege-
ra Patih Wiraksa berbisik kepada
salah seorang praju-
ritnya. Dan prajurit itu segera
berbalik dan pergi dari
tempat ini. Kemudian patih itu
sendiri segera maju be-
berapa tindak.
"Siapa yang menjadi pemimpin
kalian?" tanya
Patih Wiraksa kepada para pengemis
yang agaknya
tampak sudah siap tempur.
Wirogundi maju mendekati patih
kadipaten itu.
"Ada apa, Tuan?" tanya
Wirogundi tanpa rasa
takut
"Kaukah yang menjadi pemimpin
para penge-
mis itu?" tanya Patih
Wiraksa, tanpa tekanan. Wiro-
gundi tak menjawab.
Patih Wiraksa menggeram gusar.
"Gusti Adipati
memerintahkan agar para pengemis
di kota kadipaten
segera enyah!"
"Tak semudah itu,
Tuan...," sahut Wirogundi
tenang.
Mata Patih Wiraksa mendelik.
"Apa katamu, Gembel
Busuk?!" sentak patih
itu. "Kau ingin menentang
kehendak Gusti Adipati...?!"
"Kami merasa tidak pernah
berbuat salah ter-
hadap Gusti Adipati. Lantas,
kenapa harus diusir...?"
tukas Wirogundi.
"Persetan dengan itu semua!
Kalau kalian tidak
mau pergi, terpaksa jalan
kekerasan akan ditempuh."
"Terserah apa kata
Tuan..."
Mendengar ucapan Wirogundi, Patih
Wiraksa
segera memberi aba-aba pada
prajuritnya untuk me-
nyerang. Maka lima puluh orang
prajurit langsung
menerjang.
Namun para pengemis yang berjumlah
dua kali
lipat tampaknya sama sekali tak
gentar. Terjangan pra-
jurit kadipaten dibalas dengan
gempuran. Maka di
siang yang panas ini, makin
bertambah panas oleh
pertempuran sengit.
Sambaran pedang dan tusukan tombak
prajurit
kadipaten dibalas gebukan tongkat
para pengemis. Je-
rit kesakitan segera membahana di
angkasa.
Wirogundi kini bertemu lawan
tangguh. Patih
Wiraksa. Dalam beberapa gebrakan
saja, sudah terli-
hat kalau kedua orang itu
bertempur bagai banteng
ketaton. Yang seorang bertempur
dengan alasan mem-
bela diri. Sedang yang satunya
bertempur karena men-
jalankan tugas.
Pada suatu kesempatan, Patih
Wiraksa coba
membabatkan pedangnya ke perut.
Namun dengan
tangkas Wirogundi menangkis. Tak
terjadi apa-apa,
kecuali masing-masing terjajar
beberapa langkah ke
belakang. Melihat tongkat pengemis
muda ini tak pa-
tah, Patih Wiraksa segera
menyalurkan tenaga dalam-
nya. Dan kembali pedangnya
bergerak membabat.
Wirogundi pun tak tinggal diam.
Cepat tong-
katnya mengebut, memapak
serangan.
Tasss...!
Teeesss...!
Tongkat di tangan Wirogundi kontan
patah jadi
dua. Pengemis muda yang masih buta
pengalaman
bertempur itu menjadi terkejut
bagai disambar petir.
Namun, belum sempat berpikir
sesuatu, pedang Patih
Wiraksa sudah datang menghunjam!
Wuuuttt..!
Wirogundi berkelit ke samping,
membuat se-
rangan patih ini gagal. Namun baru
saja pengemis ini
menarik napas lega, pedang di
tangan Patih Wiraksa
kembali bergulung-gulung cepat ke
arah jantung!
Sejengkal lagi pedang itu
menghunjam, menda-
dak berkelebat satu bayangan hitam
yang langsung
membentur pedang Path Wiraksa.
Trang...!
Pedang di tangan Patih Wiraksa
terlepas dari
pegangan. Patih kadipaten itu pun
terperangah, tak
tahu apa sesungguhnya yang telah
terjadi.
Melihat lawan yang dalam keadaan
bengong,
Wirogundi tak mau menyia-nyiakan
kesempatan itu.
Kakinya segera bergerak cepat!
Dan....
Dheeesss...!
Patih Wiraksa terjajar beberapa
langkah sambil
mendekap dadanya yang terasa
sesak. Lalu, sambil
menggeram keras dia menerjang ganas
dengan tangan
kosong.
Wirogundi yang sesungguhnya bukan
lawan
seimbang bagi Patih Wiraksa
langsung kewalahan.
Berkali-kali tubuhnya terserempet
pukulan Patih Wi-
raksa. Tapi, ketika Wirogundi
benar-benar dalam kea-
daan kepepet...
"Perhatikan gerakan kakinya!
Terus bergerak ke
kanan!"
Sebentar Wirogundi terkejut ketika
mendengar
suara halus di telinganya. Namun
dia cepat menyadari
kalau suara itu ditujukan padanya.
Buktinya, pada
wajah Patih Wiraksa tidak ada
perubahan.
Tanpa pikir panjang lagi pengemis
muda ini se-
gera menuruti suara yang
didengarnya. Dan kini Wiro-
gundi pun bisa sedikit bernapas
lega. Pukulan dan
tendangan Patih Wiraksa dapat
dengan mudah dielak-
kan.
Patih Wiraksa mendengus keras. Dan
segera ju-
rus serangannya diganti. Saat itu
juga tangan dan ka-
kinya bergerak semakin cepat
Wirogundi kembali terdesak oleh
serangan ce-
pat dan beruntun.
"Terus perhatikan gerak
kakinya! Jatuhkan di-
ri. Dan, tendang sekuat
tenaga!"
Kembali suara halus itu terdengar lagi.
Tanpa
mau membuang waktu lagi, Wirogundi
menuruti suara
yang didengarnya. Cepat dia
menjatuhkan diri seraya
melepaskan tendangan keras.
Dan....
Bruuukkk...!
Tubuh Patih Wiraksa langsung
terguling di ta-
nah menerima tendangan Wirogundi.
Namun dia sege-
ra bangkit dan menerjang!
Tapi setiap Patih Wiraksa
menyerang, suara ha-
lus itu sampai di telinga
Wirogundi. Dan dengan me-
nuruti semua petunjuk yang
didengarnya, Wirogundi
jadi berada di atas angin.
Berkali-kali dia dapat me-
nyarangkan pukulan di tubuh Patih
Wiraksa yang kini
benar-benar kewalahan
Sementara itu di bagian lain, para
pengemis ju-
ga berhasil mendesak prajurit
kadipaten. Satu persatu
prajurit-prajurit itu terjungkal
terkena gebukan tong-
kat. Keadaan mereka kini jadi
kocar-kacir. Apalagi, en-
tah dari mana tahu-tahu sebuah
bayangan berkelebat
cepat memberi bantuan pada para
pengemis.
Jerit kesakitan segera membahana.
Prajurit-
prajurit itu pun terjungkal tak
bangun-bangun lagi.
Dalam keadaan demikian, mendadak
saja da-
tang bala bantuan puluhan prajurit
kadipaten. Para
prajurit yang baru datang ini
segera terjun dalam kan-
cah pertarungan. Namun kedatangan
mereka segera
disambut para pengemis dan
bayangan yang terus
berkelebat dengan serangan gencar
dan ganas.
Sebentar saja, puluhan prajurit
yang baru da-
tang kembali kocar-kacir. Satu
persatu prajurit berja-
tuhan, seperti daun kering yang
rontok dari ranting.
Sebagian yang masih selamat,
segera berlari tunggang
langgang
"Mundur semua....!"
teriak Patih Wiraksa, se-
raya melompat menjauh,
meninggalkan Wirogundi
yang menjadi lawannya.
***
Ketika prajurit-prajurit kadipaten
telah mening-
galkan kancah pertempuran, tampak
seorang kakek
kurus berpakaian lusuh penuh
tambalan berdiri ter-
bongkok dengan sebatang tongkat di
tangan.
Melihat kedatangan kakek itu,
Wirogundi sege-
ra menjura memberi hormat Pemuda
pengemis ini ya-
kin bahwa yang membantunya
mengalahkan Patih Wi-
raksa tentulah kakek bongkok itu.
"Terima kasih atas
bantuannya, Kek..," ucap
Wirogundi menghormat
Kakek bongkok ini tersenyum tipis,
sambil
mengangguk ramah.
"Sudilah kiranya Kakek mampir
di tempat kami
yang kotor ini.... Yah... sekadar
beramah-tamah den-
gan kami para pengemis yang tak
punya apa-apa...,
kata Wirogundi, ramah.
Kakek bongkok ini menatap wajah
Wirogundi
lekat-lekat. Kemudian kakinya
melangkah menuju
badhuk di depan kuil. Sementara
Wirogundi segera
mengikuti sambil bercakap-cakap.
"Siapakah Kakek
sebenarnya?" tanya Wirogun-
di. "Aku Gede Panjalu, yang
berjuluk Pengemis Tong-
kat Sakti.... Dan kau siapa?"
sahut kakek bongkok
yang mengaku bernama Gede Panjalu
alias Pengemis
Tongkat Sakti.
"Wirogundi, Kek," jawab
pemuda pengemis ini.
"Umurmu?"
Kening Wirogundi berkerut. Dia tak
bisa men-
jawab pertanyaan itu.
"Dua puluh tahun, Kek,"
kata Wirogundi kemu-
dian, untuk menyenangkan hati Gede
Panjalu.
Kakek bongkok itu tersenyum, lalu
duduk di
sebuah batu sebesar anak kambing.
Sementara Wiro-
gundi duduk di depannya di atas
sebuah batu pula.
"Kaukah pemimpin dari para
pengemis di sini?"
tanya Gede Panjalu.
Wirogundi menggeleng.
"Pemimpin kami bernama
Suropati. Tapi, kami
tak tahu di mana dia sekarang
berada...."
Gede Panjalu mengangguk-anggukkan
kepa-
lanya.
"Perkumpulan
pengemis...," gumam kakek
bongkok ini.
Wirogundi memandang wajah Pengemis
Tong-
kat Sakti yang keriputan itu.
"Dari dulu perkumpulan
pengemis selalu men-
dapat tantangan dari para
penguasa. Mereka selalu ta-
kut jika pada suatu saat nanti
para pengemis yang
sengsara hidupnya akan melakukan
pemberonta-
kan...," tutur Pengemis
Tongkat Sakti, bergumam lagi.
Wirogundi diam mendengarkan cerita
Gede
Panjalu.
"Puluhan tahun yang lalu,
berdiri perkumpulan
pengemis besar yang anggotanya
ribuan orang. Per-
kumpulan pengemis itu dipimpin
seorang datuk yang
sangat sakti, dan selalu
melindungi anggota perkum-
pulannya. Sehingga pada waktu itu,
tak seorang pun
yang berani memandang sebelah mata
kepada para
pengemis. Tak terkecuali,
tokoh-tokoh rimba persila-
tan. Mereka semua menaruh rasa
hormat kepada para
pengemis."
Gede Panjalu menghentikan
ceritanya untuk
mengambil napas. "Namun,
pihak kerajaan meman-
dang curiga. Baginda Prabu Anggara
Sanca, kakek dari
Baginda Prabu yang sekarang,
merasa kedudukannya
terancam dengan adanya perkumpulan
pengemis. Dan
melalui pertempuran dahsyat,
perkumpulan pengemis
akhirnya dapat
dibubarkan...."
"Lalu, datuk sakti pemimpin
perkumpulan pen-
gemis itu bagaimana, Kek?"
tanya Wirogundi.
"Tak seorang pun yang tahu,
di mana dia bera-
da setelah perkumpulan pengemis
dibubarkan."
"Kakek dapat menceritakan
semua itu. Siapa-
kah Kakek sebenarnya?" tanya
Wirogundi tiba-tiba.
"Aku adalah putra tunggal
datuk sakti itu," ja-
wab Gede Panjalu.
Mendengar itu, Wirogundi segera bangkit
dari
tempat duduknya, lalu bersujud
beberapa kali.
"Tak perlu berlebihan,
Wirogundi. Aku yang su-
dah tua renta dan bodoh ini hanya
seorang pengemis
biasa," ujar Gede Panjalu
merendah.
Dengan agak ragu-ragu, Wirogundi
menegak-
kan tubuhnya, bersimpuh di depan
Pengemis Tongkat
Sakti.
"Siapa yang mengajarkan jurus
'Tongkat Me-
mukul Anjing' kepada para pengemis
di sini?" tanya
Gede Panjalu kemudian.
Wirogundi lalu menceritakan
perihal si Periang
Bertangan Lembut.
"Si Periang Bertangan
Lembut?" Gede Panjalu
terkejut "Di manakah dia
sekarang?"
Wirogundi menggeleng.
"Dia adalah sahabatku yang
paling baik. Kabar
terakhir, kudengar dia
mengundurkan diri dari segala
urusan kerajaan. Sebelumnya, dia
menjadi penasihat
kerajaan...."
Gede Panjalu kemudian tampak
melamun, tapi
tiba-tiba dia berdiri.
"Aku akan menyempurnakan
jurus 'Tongkat
Memukul Anjing' kalian...,"
cetus kakek bongkok itu
kepada seluruh pengemis yang sudah
duduk berkelil-
ing mengitari Wirogundi dan
Pengemis Tongkat Sakti.
Sorak-sorai segera terdengar,
menyambut kein-
ginan Gede Panjalu atau Pengemis
Tongkat Sakti yang
ingin menjadi guru bagi para
pengemis Kota Kadipaten
Bumiraksa.
***
3
Pagi ini, Dusun Paldaplang tampak
damai dan
tenang. Para gembala kecil duduk
santai di bawah po-
hon rindang menunggui binatang
ternaknya yang se-
dang merumput. Para petani sibuk
mengerjakan sawab
ladangnya. Diiringi lenguh lembu,
burung-burung ber-
kicau menampakkan suasana hati
yang riang.
Seorang lelaki tua berusia sekitar
satu abad
dengan pakaian compang-camping
berjalan ke arah
sebuah kedai sambil mengeluarkan
gerutu kecil tak
menentu. Sesekali tangannya
menggaruk bagian-
bagian tubuh yang terasa gatal.
Bunyi garukannya ter-
dengar keras, menimbulkan guratan
berwarna putih
membekas di kulit.
Ketika kakek tua renta itu telah
memasuki ke-
dai minuman, segera memesan arak
yang paling baik.
Pemilik kedai yang berusia sekitar
lima puluh
lima tahun tentu saja memandang
heran. Dia tak ya-
kin akan kesanggupan kakek itu
untuk dapat mem-
bayar pesanannya.
"Cepat suguhkan arak yang
paling baik!" pinta
lelaki tua ini membentak.
Lelaki setengah baya hanya diam
membisu
mendengar bentakan.
"Kenapa kau diam saja?!
Tulikah telingamu?!"
bentak lelaki tua ini lagi.
"Maaf, persediaan arak yang
paling baik di ke-
dai ini tinggal sedikit...,"
ucap pemilik kedai pelan.
Tiba-tiba lelaki tua ini
menggebrak meja hingga
hancur berantakan.
"Bangsat! Beraninya kau
menolak permintaan
si Mayat Hidup?!"
Melihat sinar mata dan mendengar
nama si
Mayat Hidup, pemilik kedai dengan
tergopoh-gopoh se-
gera meninggalkan tempat itu.
Sebentar kemudian, lelaki setengah
baya pemi-
lik kedai sudah kembali membawa
pesanan lelaki tua
berpakaian compang-camping yang mengaku
berjuluk
Mayat Hidup.
Siapakah si Mayat Hidup? Puluhan
tahu lalu,
tokoh ini memang malang melintang
dalam rimba per-
silatan. Tidak jelas, berasal dari
golongan mana dia be-
rada. Kadang, tindakannya sering
bagai seorang pen-
dekar dengan memerangi golongan
hitam. Namun tak
jarang dia juga bertarung dengan
tokoh golongan pu-
tih.
Selama ini, tokoh yang bernama
asli Aki Baron-
dang sudah tak terdengar lagi
namanya. Kabarnya, dia
mengasingkan diri dari dunia
persilatan yang penuh
dengan darah. Namun kali ini si
Mayat Hidup muncul
lagi. Apa yang menyebabkan
kemunculannya?
"Lagi!" pinta kakek tua
renta itu, ketika telah
menandaskan arak dalam secangkir
bambu.
Mata pemilik kedai mendelik.
"Arak yang paling
baik sudah habis...."
"Dusta! Kau mau membohongiku,
Ki...?!" Tiba-
tiba tangan Aki Barondeng bergerak
cepat! Lalu...
Prak...!
Cangkir bambu yang dipegang si
Mayat Hidup
hancur berantakan menjadi serpihan
kecil, ketika di-
remas dengan pengerahan tenaga
dalam tinggi. Begitu
tangan itu terbuka, serpihannya
jatuh menancap di
lantai yang terbuat dari tanah
keras.
"Segera turuti permintaanku,
kalau kau tidak
ingin kepalamu pecah...!"
ancam Aki Barondeng.
Pemilik kedai kembali
tergopoh-gopoh mening-
galkan tempat untuk memenuhi
pesanan si Mayat Hi-
dup.
Sikap Aki Barondeng yang tampak
seenaknya
segera menjadi perhatian seluruh
pengunjung kedai.
Tak terkecuali, dua orang
laki-laki dewasa yang me-
nyelipkan pedang di punggung.
Aki Barondeng sama sekali tak
mempedulikan
tatapan mata orang-orang yang
tertuju ke arahnya.
Dengan rakus, dia menenggak arak
pesanannya.
Setelah puas, si Mayat Hidup
segera mengang-
kat pantatnya untuk berlalu dari
tempat itu. Namun,
buru-buru si pemilik kedai
menghampirinya.
"Maaf, Tuan. Araknya belum
dibayar...," tegur si
pemilik kedai.
"Apa? Aku harus
membayar?!" Aki Barondeng
mendengus. "Kurang
ajar!"
Tiba-tiba saja, Aki Barondeng
mengayunkan
tangannya, menghantam pilar
penyangga atap kedai.
Kroookkk...!
Pilar itu patah. Dan kedai
terancam roboh.
Orang-orang yang berada di
dalamnya segera berlonca-
tan ke luar, menyelamatkan diri
dari reruntuhan. Se-
mentara si pemilik kedai jadi
mengkeret keberanian-
nya.
Braaakkk...!
Kedai itu benar-benar roboh, sedangkan
tubuh
Aki Barondeng telah berkelebat
cepat, menghilang dari
tempat itu.
***
Aki Barondeng bersiul-siul kecil,
melangkah
mengikuti jalan setapak di luar
Dusun Paldaplang.
"Tunggu dulu, Orang
Tua...!" Sebuah teguran terden-
gar, diikuti dua bayangan yang
berkelebat mengha-
dang langkah Aki Barondeng.
Kakek tua renta itu segera
menghentikan lang-
kahnya. Matanya menatap tajam dua
orang yang telah
berdiri di hadapannya.
Usia dua orang yang menghadang
tampak se-
baya. Sekitar tiga puluh tahun. Pakaian
kuning seder-
hana, membungkus tubuh mereka yang
kekar, padat
dan berisi. Dengan sebilah pedang
di punggung, mere-
ka berdua tampak gagah berwibawa.
"Siapa kalian. Dan, mau apa
menghadangku?"
tanya Aki Barondeng langsung
dengan sorot mata ta-
jam.
"Kami dikenal sebagai
Sepasang Pedang Kilat.
Dan aku sendiri bernama Pramudya.
Sedangkan ka-
kakku Aditya," sahut pemuda
yang berkumis tipis.
"Dan kau tentu tahu akibat
dari perbuatan
yang baru saja kau lakukan.
Pemilik kedai itu tentu
tak bisa lagi mencari nafkah
selama kedainya belum
diperbaiki. Dia punya anak-istri
yang harus diberi ma-
kan...," timpal pemuda yang
bernama Aditya
"Lalu, kau mau apa?!"
jawab Aki Barondeng,
bernada menantang.
Mendengar kalimat Aki Barondeng
itu Aditya
mengangkat alisnya.
"Tidakkah kau merasa
bersalah, Orang Tua...?"
Aki Barondeng tertawa keras.
Tubuhnya ber-
guncang-guncang membuat
tulang-belulangnya seperti
hendak rontok. Menilik tubuhnya
yang kurus laksana
tulang terbungkus kulit, kakek itu
memang pantas di-
juluki si Mayat Hidup.
"Kalau aku sudah merasa
bersalah, terus ka-
lian mau apa?" tantang Aki
Barondeng kemudian.
"Kau harus bertanggung jawab,
Orang Tua!" de-
sis Aditya.
"Tanggung jawab? Tanggung
jawab yang bagai
mana?"
Mendengar ucapan Aki Barondeng,
Pramudya
jadi naik pitam.
"Tak perlu banyak basa-basi.
Segera kita beri
pelajaran kakek yang tak beradab
ini," ujar Pramudya.
"Mulutmu terlalu lancang,
Anak Muda...!" ben-
tak si Mayat Hidup.
Saat itu juga orang tua ini
meluruk deras ke
arah Pramudya sambil menghantamkan
tangan ka-
nannya.
Pemuda itu segera memiringkan
tubuhnya se-
dikit membuat serangan Aki
Barondeng tak menemui
sasaran. Tapi, tiba-tiba tangan si
Mayat Hidup itu ber-
gerak menyamping
Dengan sebisa-bisanya, Pramudya meloncat
ke
belakang. Namun, mendadak dia jadi
terkejut setengah
mati. Ternyata tangan lelaki tua
itu molor, dan terus
mengejarnya!
Siiing...! Wuuuttt...!
Pramudya mencabut pedangnya. Dan
segera
dibabatnya tangan si Mayat Hidup.
Sayang, Aki Barondeng cepat
menarik tangan-
nya, sehingga babatan pedang
Pramudya luput. Lelaki
tua ini tersenyum sinis.
"Kalian hanya
kroco....'" ejek si Mayat Hidup
sambil menjejakkan kaki, berusaha
meninggalkan
tempat itu.
Namun, dengan gerakan cepat Aditya
segera
melenting dan mendarat di depan si
Mayat Hidup.
"Kau belum menyelesaikan
urusanmu, Orang Tua!" de-
sis Aditya.
Aki Barondeng mendengus semakin
gusar.
"Rupanya kalian mencari
mampus...!"
Tiba-tiba tangan kiri lelaki tua
ini bergerak
menghentak.
Wuuusss...!
Aditya cepat melompat tinggi
menghindari pu-
kulan jarak jauh si Mayat
Hidup.
Blarrr...!
Dan pukulan yang luput itu
menghunjam ke
tanah, membuat lubang sedalam
setengah badan ma-
nusia dewasa.
Melihat kehebatan lawan, dua
pemuda berjuluk
Sepasang Pedang Kilat segera
menerjang bersama.
"Heaaa...!"
Pedang di tangan Aditya dan
Pramudya berke-
lebat cepat memperagakan jurus
'Pedang Menghantam
Gunung'.
Aki Barondeng hanya tersenyum
mengejek me-
lihat gulungan sinar pedang yang
menderu-deru. Na-
mun begitu serangan mendekat,
kakek tua renta itu
segera menghindari dengan
meliuk-liukkan tubuhnya.
"Hup...!"
Tiba-tiba tubuh si Mayat Hidup
melayang ke
atas, menghindari sambaran pedang
Aditya dan Pra-
mudya sekaligus melepas serangan
dengan menghen-
takkan kedua tangannya. Maka dua
berkas sinar kepe-
rakan segera meluncur deras ke
arah Sepasang Pedang
Kilat!
Masih untung Aditya dan Pramudya
melompat
ke kiri dan ke kanan, sehingga
terhindar dari serangan
yang mematikan.
Blaaarrr...!
Pukulan jarak jauh Aki Barondeng
yang tak
menemui sasaran menghantam tanah
menciptakan
dua lubang menganga lebar. Debu
pun mengepul tebal
mengaburkan pandangan.
Dan dalam keadaan demikian, si
Mayat Hidup
berkelebat sambil menyambarkan
tangannya ke mas-
ing-masing pedang Sepasang Pedang
Kilat
Trak...! Trak...!
Sepasang Pedang Kilat terkejut
bagai disambar
petir, begitu pedang mereka
tiba-tiba lepas dari pegan-
gan.
"Masihkah kalian ingin
melanjutkan permai-
nan, Kroco-kroco... ?" tanya
si Mayat Hidup bernada
menghina.
Sepasang Pedang Kilat
menggerendeng marah,
lalu menerjang dengan tangan
kosong. Aditya melan-
carkan tendangan mengarah kepala,
sedangkan Pra-
mudya menghantam dada!
Melihat serangan itu, Aki
Barondeng sama se-
kali tak bergeming dari tempatnya
berdiri. Tapi ketika
tangannya bergerak mengibas sambil
bergerak ke ka-
nan, tiba-tiba....
Praaakkk....!
"Aughhh...!"
Aditya menjerit panjang sambil
mendekap ke-
palanya yang pecah bersimbah
darah, terkena tampa-
ran telapak tangan si Mayat Hidup.
Sementara, tangan
Pramudya terus meluncur. Namun
arahnya berubah
ke perut
Bluuusss...!
Pukulan Pramudya menghantam perut
Aki Ba-
rondeng. Tapi, tiba-tiba tangan
pemuda itu menancap
dan tak bisa ditarik lagi!
Pramudya terkejut. Segera sebelah
tangannya
yang masih bebas diayunkan!
Bluuusss....!
Kembali tangan Pramudya yang satu
lagi me-
nancap ke perut si Mayat Hidup!
Dengan mengerahkan
seluruh tenaga, pemuda ini
berusaha melepaskan ke-
dua tangannya. Tapi sampai tenaganya
hampir habis,
kedua tangannya tak juga lepas.
Aki Barondeng tertawa keras,
kemudian meng-
geram. Dan...
"Aaa...!"
Diiringi jeritan panjang, tubuh
Pramudya men-
dadak bagaikan tersedot sari
patinya. Perlahan-lahan,
tubuh itu berubah kering kerontang
bagai selembar
daun yang habis terpanggang api.
Brukkk...!
Tubuh Pramudya menggelosor ke
tanah tanpa
nyawa.
Si Mayat Hidup tertawa gelak, lalu
berkelebat
meninggalkan tempat ini.
***
Puluhan Penduduk Paldaplang
mengerumuni
mayat Sepasang Pedang Kilat yang
tergeletak di tanah
dalam keadaan sangat mengerikan.
Mereka tak habis
pikir, siapakah yang melakukan
pembunuhan kejam
seperti ini?
Di antara kerumunan penduduk,
tampak me-
nyeruak seorang remaja belasan
tahun.
"Apa yang terjadi, Pak?"
tanya remaja belasan
tahun itu yang tak lain Suropati
alias Pengemis Binal.
Lelaki bercaping yang ditanya
menatap wajah
Suropati sejenak, kemudian
menceritakan apa yang di-
lihatnya.
Suropati mengangguk-anggukkan
kepalanya.
Setelah mengucapkan terima kasih,
pemuda yang diju-
luki Pengemis Binal ini segera
berlalu.
"Orang yang melakukan
pembunuhan itu pasti
sangat sakti. Siapakah dia?
Menilik dari ilmu yang di-
gunakan, dia tentu berasal dari
golongan hitam. Aku
jadi ingin tahu tampangnya...,"
gumam Suropati dalam
hati, sambil melangkah.
Remaja belasan tahun itu
mengemposkan tu-
buhnya, menggunakan ilmu lari
cepat ke arah Kadipa-
ten Bumiraksa.
***
4
Memasuki Kota Kadipaten Bumiraksa,
berkali-
kali kening Suropati berkerut. Di
tempat-tempat yang
biasa dibuat mangkal para
pengemis, hari ini telah
menjadi sepi. Tak satu pengemis
pun yang menam-
pakkan batang hidungnya.
Seakan-akan mereka le-
nyap ditelan bumi.
"Apakah mereka masih berada
di kuil? Tapi,
mengapa di hari sesiang ini mereka
belum melakukan
sesuatu untuk menyambung hidup?
Apakah mereka
telah begitu malas? Atau...?"
Mendadak bibir Suropati mengulum
senyum
mengikuti suara hatinya yang
bertanya-tanya.
"Apakah mereka sudah hidup layak,
sehingga
tak perlu lagi mengemis? Tapi,
mengapa perbuatan itu
begitu cepat terjadi? Atau mungkin
mereka telah men-
gungsi untuk mencari tempat yang
lebih bisa menja-
min kelangsungan hidup
mereka?"
Hati Suropati terus diliputi tanda
tanya. Dan,
kakinya segera melangkah menuju
Kuil Saloka tempat
dulu dia pernah tinggal bersama
para pengemis Kota
Kadipaten Bumiraksa.
Ketika sampai di halaman kuil
bobrok itu, ke-
dua alis Suropati bertaut. Kerut
di keningnya semakin
jelas terlihat Di tempat ini, tak
terlihat seorang penge-
mis pun
"Di manakah mereka?"
tanya hati Suropati
kembali "Apakah mereka
benar-benar mengungsi?
Atau barangkali telah terjadi
sesuatu di antara mere-
ka?"
Belum sempat Suropati memperoleh
jawaban
atas pertanyaan-pertanyaan itu,
mendadak telinganya
menangkap desir angin menuju ke
arahnya. Dengan
cepat kepalanya menoleh.
Siiing...!
Murid si Periang Bertangan Lembut
itu segera
berkelit ke samping, begitu
melihat satu batang tom-
bak meluncur ke arahnya.
Dan baru saja Pengemis Binal ini
tegak kembali
dua orang berpakaian serba hitam
tiba-tiba mendarat
di hadapannya. Padahal, Suropati
tampak masih ber-
diri terlongong-longong.
Tubuh dua orang yang baru
menampakkan diri
itu tampak berbeda jauh satu sama
lain. Yang seorang
bertubuh tinggi kurus. Tulang
rahangnya menonjol.
Hidungnya panjang terjuntai ke
bawah, mirip paruh
burung betet. Bajunya kedodoran,
berkibar-kibar ter-
tiup angin. Bila ditaksir, umurnya
sekitar lima puluh
tahun.
Yang seorang lagi juga berumur
sekitar lima
puluh tahun. Tapi tubuhnya sangat
pendek, hanya se-
batas pinggang sosok di
sampingnya. Walaupun sudah
tua namun wajahnya tampak
kekanak-kanakan.
"Siapa kalian? Dan, mengapa
menyerangku?"
tanya Pengemis Binal, kalem.
"Aku Balagundi," sahut
lelaki bertubuh tinggi
kurus. "Dan temanku
Balangangsil! Kami yang dikenal
sebagai Sepasang Iblis Penyebar
Petaka, datang ini
membunuhmu!"
Memang, Sepasang Iblis Penyebar
Petaka be-
rasal dari golongan hitam. Dari
julukan mereka yang
berkesan seram tersirat kebengisan
mereka. Semua
orang persilatan tahu kalau sepak
terjang mereka ber-
dua terkenal kejam dan
menggiriskan.
Suropati mengernyitkan kening
melihat pe-
nampilan dua orang yang berdiri di
hadapannya.
"Apakah kalian berdua punya
urusan denganku
sehingga ingin membunuhku?"
tanya Suropati sambil
menggaruk-garuk kulit kepalanya.
"Gembel Busuk! Kau akan kami
bunuh, karena
belum juga mengikuti teman-temanmu
pergi dari kota
kadipaten ini?!" kata
Balagundi keras.
Mendengar ucapan Balagundi itu,
Suropati di-
am sejenak. Dia segera mendapat
jawaban atas segala
pertanyaan yang sedang berkecamuk
dalam benaknya
"Jadi, para pengemis di sini
benar-benar telah
meninggalkan Kota Kadipaten
Bumiraksa...?" bisik Su-
ropati kepada diri sendiri.
"Kenapa diam saja?! Segera
enyah dari tempat
ini, Gembel Busuk!" bentak
Balagundi.
Suropati tersenyum-senyum
"Lho? Kenapa jadi
sewot...?" tukas Pengemis
Binal tanpa mempedulikan
tatapan beringas Balagundi.
"Siapakah kau punya hak
untuk mengusir setiap pengemis
yang tinggal di kota
kadipaten ini?"
"Punya nyali juga kau
rupanya...," desis lelaki
pendek yang bernama Balangangsil.
Mendadak Suropati tertawa
mendengar suara
Balangangsil yang mirip suara
anak-anak.
"Kau ini lucu.... Wajahmu
mirip anak-anak. Ta-
pi tingkah lakumu persis
kakek-kakek? Tapi aku ya-
kin, usiamu sudah bau
tanah...."
Mendengar ucapan Pengemis Binal
yang ko-
nyol, Balangangsil menggeram
marah. Seketika ka-
kinya melangkah mendekati murid si
Periang Bertan-
gan Lembut sambil mengayunkan
tangannya ke wajah
Suropati.
Wuuuttt...!
Tapi dengan menggeser tubuhnya
sedikit, Pen-
gemis Binal mampu menghindarinya.
"Kenapa kau marah-marah? Kalau mau main
petak umpet, aku bisa
menemani...," ledek Suropati
menjadi-jadi.
Raut muka Balangangsil merah
padam. Giginya
berkerut menahan geram. Rahangnya
menggelembung.
Hawa amarahnya meluap karena
merasa dipermain-
kan pemuda di depannya.
"Gembel Busuk! Segera kau kukirim ke nera-
ka!" bentak Balangangsil
seraya menendang dada Pen-
gemis Binal.
Dengan gerakan cepat Suropati
menangkis.
Plak!
Balangangsil terjajar beberapa
langkah, ketika
tendangannya tertangkis. Sementara
Pengemis Binal
tak bergeser barang sejengkal pun.
"Untuk mengawali permainan,
bukan begitu ca-
ranya, Orang Tua? Kita undi dulu.
Yang menang jadi
kucing, yang kalah jadi anjing.
Tapi, tampaknya kau
pantas jadi anjing...," kata
Suropati, semakin bertam-
bah kekonyolannya.
Mata Balangangsil pun memerah
seperti darah.
Amarahnya sudah tak mampu
dibendung lagi. Dan tu-
buhnya bergerak cepat, menerjang
Pengemis Binal
"Oaaahhh...!" Suropati
menguap. "Aku ingin ti-
dur, Orang Tua! Main-mainlah dulu
dengan teman-
mu...."
Brukkk...!
Tubuh Suropati tiba-tiba
menggelosor ke tanah.
Melihat kesempatan itu,
Balangangsil segera
mengemposkan tubuhnya ke atas,
lalu meluruk den-
gan kaki terarah ke dada Suropati.
"Oaaahhh...!"
Remaja berjuluk Pengemis Binal itu
menguap
lebar. Dan tahu-tahu tubuhnya
menggeliat ke samp-
ing. Sehingga....
Dhuuukkk...!
Ujung kaki Balangangsil tak
menemui sasaran,
hanya mendarat di tanah datar.
Kakek cebol itu terpe-
rangah. Matanya bersinar tajam,
menatap Suropati
yang tampak asyik tertidur lelap.
Segera kaki kanan-
nya didekatkan ke leher Suropati.
Karena tak ada
tanggapan kaki kanannya segera
diayunkan dengan
deras!
Wuuuttt...!
Tendangan itu luput, ketika
Pengemis Binal
kembali menggeliat sambil
menguap.
Balangangsil kembali terperangah.
"Dedemit Busuk! Ilmu apa yang
sedang dipa-
merkannya?!" tanya
Balangangsil dalam hati.
Melihat Balangangsil bengong,
Balagundi berja-
lan mendekat
"Tebarkan jarum hitam,
Goblok!" bentak Bala-
gundi, sengit.
Seperti habis bangun dari tidur,
kakek cebol itu
menekuk pinggangnya ke belakang.
Seketika berham-
buran jarum-jarum berwarna hitam
dari perutnya yang
bagaikan hujan lebat ke tubuh
Pengemis Binal.
"Oaaahhh...!"
Suropati menggeliat. Dan tiba-tiba
tubuhnya
berputar di tanah, laksana sebuah
kitiran.
Wuuussss...!
Putaran itu membuat suatu
rangkaian angin
yang bertiup dahsyat. Sehingga
jarum-jarum yang
menghunjam ke arah Pengemis Binal
terpental.
Sepasang Iblis Penyebar Petaka
terkejut. Mere-
ka tidak menduga bila remaja yang
tampak konyol itu
mampu menepis serangan jarum hitam
sedemikian
mudahnya.
Tiba-tiba Balagundi menghentakkan
tangan-
nya. Maka, angin pukulan berwarna
kehitam-hitaman
segera meluncur ke arah Suropati
yang masih tampak
seperti tertidur lelap.
Bluuummm....!
Tanah tempat pukulan jarak jauh
itu mendarat
langsung berlubang dalam. Debu
bercampur bongka-
ran tanah terbang ke angkasa
mengaburkan pandan-
gan. Namun ketika perlahan-lahan
mulai jelas....
"Hei?!"
Sepasang Iblis Penyebar Petaka
kontan terpe-
rangah. Mereka memutar tubuh,
mencari sosok Suro-
pati. Tapi, remaja belasan tahun
itu sama sekali terli-
hat.
"Ke mana dia?" tanya
Balagundi.
"Aku tak tahu," jawab
Balangangsil.
"Mungkinkah dia terkena
pukulanku, sampai-
sampai tubuhnya hancur bercampur
debu dan tanah
itu?"
"Mungkin juga."
Dua orang kakek itu
berbisik-bisik. Lalu, kepa-
la mereka celingukan ke kiri dan
kanan. Dan untuk
kedua kali mereka terperangah
ketika tiba-tiba terden-
gar dengkuran keras.
Sepasang Iblis Penyebar Petaka
mendongak ke-
pala. Dan lagi-lagi mereka
terperanjat!
Tubuh Suropati tampak
menggelantung di da-
han pohon seperti seekor
kelelawar. Bahu murid si Pe-
riang Bertangan Lembut itu
bergerak perlahan seirama
bunyi dengkuran yang keluar dari
mulutnya.
"Bocah Edan! Bedhes Jelek!
Setan Alas!" umpat
Balagundi sejadi-jadinya.
"Ilmu apa yang sedang
diperagakan, Kakang
Balangundi?" tanya
Balangangsil disertai kegeraman
memuncak.
Balagundi menggelengkan kepalanya.
"Entah-
lah. Tapi yang jelas, bukan ilmu
setan. Kita gempur dia
dengan jurus 'Iblis Menerjang
Arwah'...!"
Saat itu juga, tubuh Sepasang
Iblis Penyebar
Petaka berkelebat cepat ke arah
Suropati. Gerakan dua
orang kakek itu menimbulkan deru
angin yang dah-
syat, membuat rontok daun-daun di
pohon. Dan seke-
tika berbarengan mereka
menghentakkan tangannya.
Blaaarrr...!
Pukulan jarak jauh Sepasang Iblis
Penyebar Pe-
taka yang dilancarkan sambil
menerjang, meledak di
udara. Namun tanpa mereka sadari, Pengemis
Binal te-
lah lebih dulu berkelebat.
Dua batang pohon ambruk bersamaan.
Debu
tebal pun kembali mengepul untuk
beberapa lama.
Sementara Sepasang Iblis Penyebar
Petaka kembali ce-
lingukan.
"Di mana dia?" tanya
Balagundi dan Balan-
gangsil bersamaan.
Dua tokoh hitam itu pun jadi
saling berpan-
dangan.
"Matikah dia?" tanya
Balagundi.
"Aku tak tahu," sahut
Balangangsil.
Bola mata Sepasang Iblis Penyebar
Petaka ber-
putar-putar mencari sosok
Suropati. Dan mereka
menggerendeng penuh kemarahan
ketika menyaksikan
tubuh Pengemis Binal yang
tergeletak di depan pintu
kuil.
"Gembel busuk itu punya ilmu
setan!" dengus
Balangangsil.
"Tidak!" sahut
Balagundi.
Tiba-tiba Suropati yang tampak
tidur terlelap
membuka matanya. Setelah
menggeliat kecil, dia
bangkit
"Aku memang punya ilmu setan,
Kek," kata
murid si Periang Bertangan Lembut
ini. "Ilmu itu aku
beri nama ilmu 'Arhat
Tidur'."
Sepasang Iblis Penyebar Petaka
menatap wajah
Suropati yang tampak
kebodoh-bodohan.
"He, kenapa kalian berdua
tidak segera pergi?
kata Suropati lagi. "Bukankah
sudah kukatakan, aku
punya ilmu setan. Kenapa kalian
tidak takut...?!"
"Takut gundulmu itu, Gembel
Busuk!" umpat
Balagundi, seraya menerjang.
Dengan asal-asalan tangan Suropati
meraih se-
batang tongkat butut yang
tersandar di samping pintu
kuil. Dan seketika tongkat itu
berputar cepat, mema-
pak serangan.
Wuuuttt...! Wuuuttt...!
"Kurang ajar!" umpat
Balagundi seraya meng-
hentikan gerakan tubuhnya. Dan
seketika dia melent-
ing ke belakang, menghindari
hajaran tongkat Suropa-
ti.
Sementara, Pengemis Binal tampak
tersenyum
simpul.
"Akan kutunjukkan ilmu
setanku yang lain, ju-
rus 'Tongkat Memukul
Anjing'...!"
Pengemis Binal segera memutar
tongkatnya
membentuk sebuah perisai lebar.
Saat itu juga terden-
gar bunyi bersiutan yang
memekakkan telinga. Seseka-
li, ujung tongkat itu menghunjam
ke tubuh Balangun-
di dari berbagai penjuru.
Wuuuttt..!
Kakek kurus tinggi itu melenting
ke atas. Tapi
ujung tongkat Suropati terus
memburu.
Breeet..!
Baju Balagundi robek lebar
terserempet ujung
tongkat Pengemis Binal.
"He, Balangangsil! Kenapa kau
hanya menonton
saja?!" bentak Balagundi,
geram kepada saudara se-
perguruannya.
Seperti tersengat kala,
Balangangsil menyadari
keadaan. Dia baru tahu bila
Balagundi telah terdesak
hebat.
"Gembel Busuk! Kini, aku
benar-benar akan
mencabut nyawamu!" umpat
Balangangsil.
Tubuh Balangangsil seketika
melayang ke arah
Suropati. Namun, dia jadi terkejut
setengah mati kare-
na tiba-tiba tubuhnya telah
terkurung sambaran tong-
kat Suropati.
"Bangsat!" umpat
Balangangsil sambil meliuk-
liukkan tubuhnya menghindari
serangan.
Kehadiran Balangangsil ternyata
tak banyak
membantu. Kini Sepasang Iblis
Penyebar Petaka terde-
sak hebat. Mereka terus bermain
mundur menghindari
serangan tanpa mampu membalas.
Untungnya sebe-
lum terjadi sesuatu, entah dari
mana datangnya berke-
lebat lima sosok bayangan yang
langsung menggempur
Suropati!
"Dua Iblis Bodoh! Kenapa
menghadapi seorang
gembel saja kalian tak
mampu...?!" leceh salah satu
dari lima sosok bayangan itu.
Balagundi dan Balangangsil tak
sempat menja-
wab karena sibuk menghindari
serangan Suropati.
Namun melihat kehadiran lima sosok
itu, mereka ber-
dua jadi bisa bernapas lagi.
Kini, Suropati telah dikeroyok
tujuh orang.
Tongkatnya segera diayun semakin
cepat, memperta-
jam jurus 'Tongkat Memukul
Anjing'nya.
Agaknya, lima orang yang baru
datang bukan-
lah tokoh sembarangan. Buktinya,
baru jurus pembu-
ka saja sudah terasa kalau
kesaktian mereka rata-rata
setingkat dengan Sepasang Iblis
Penyebar Petaka. Ma-
ka tak ayal lagi, Pengemis Binal
menjadi kelelahan.
Serangan-serangan mereka sangat
berbahaya,
penuh nafsu membunuh. Apalagi
serangan seorang
kakek berjubah pendeta yang
memegang tasbih dan
tongkat pendek.
Dua senjata di tangan kakek itu
bergerak san-
gat cepat, sulit diikuti pandangan
mata. Setiap dua
senjata itu menerjang, deru angin
terdengar, sehingga
menyesakkan pernapasan Suropati.
Bruuukkk...!
Suropati menjatuhkan diri,
menghindari seran-
gan yang datang secara beruntun.
Keringat segera
membanjir di tubuh murid Periang
Bertangan Lembut
itu. Sama sekali tak diduga bila di Kota Kadipaten
Bumiraksa telah bercokol banyak
tokoh beraliran hi-
tam.
Dalam keadaan gawat, mendadak
berkelebat
sebuah bayangan memapak serangan
yang mengan-
cam Pengemis Binal.
"Wirogundi...!" pekik
Suropati.
"Segera lari ke
utara....!" ujar Wirogundi. Meli-
hat keadaan yang benar-benar tak
menguntungkan,
Suropati segera melenting tinggi,
lalu berkelebat ke
utara kemudian menyusul Wirogundi.
Sepasang Iblis Penyebar Petaka
menggeram pe-
nuh kemarahan. Mereka berniat
hendak mengejar.
"Biarkan mereka pergi...," cegah kakek yang
mengenakan jubah pendeta.
Balagundi dan Balangangsil hanya
bisa me-
nyumpah-nyumpah dalam hati.
***
Emoticon