Serial Pengemis Binal
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cover oleh Henky
Penyunting: Puji S,
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau
memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Serial Pengemis Binal
dalam episode:
Pengkhianatan Dewa Maut
136 hal.
1
Alam baru saja bangun dari
tidurnya. Menggeliat lemah,
terusap angin
pagi yang lembut. Batang-batang
pohon
masih kokoh berdiri dengan
daun-daunnya
yang rimbun. Butiran embun
bergulir ke
pucuk daun untuk kemudian jatuh di
atas
rerumputan. Sang baskara malu-malu
menampakkan wujudnya. Sinarnya
menerobos
sela-sela rimbunan daun, kemudian
membentuk garis lurus memancarkan
rona-
rona indah di tanah.
Dari kejauhan, Bukit Argapala
tampak tersamar kabut. Seiring
berlalunya
waktu, sejengkal demi sejengkal,
kabut
itu membubung tinggi melewati
puncak
bukit, hingga perlahan-lahan warna
hijau
dedaunan pun tersembul. Kehidupan
terus
berlanjut, mengikuti alur yang
telah
digariskan Sang Pencipta.
Di pagi yang cerah itu, sebuah
bayangan putih berkelebat menaiki
Bukit
Argapala membelah kabut yang rindu
terusik. Bayangan itu bergerak
sangat
cepat, menyelinap di sela-sela
pohon
besar yang sebagian akarnya sudah
menonjol tinggi melewati permukaan
tanah.
Di belakang bayangan putih, juga
berkelebat sebuah bayangan yang
bergerak
tak kalah cepatnya. Kedua bayangan
itu
seperti berlomba memamerkan ilmu
meringankan tubuh. Apabila
terhadang
sebongkah batu besar atau sebuah
parit,
mereka cepat melenting ke atas,
kemudian
kembali menjejakkan kaki di atas
tanah
dengan gerakan sangat ringan.
Ketika sampai di sebuah pelataran
yang agak lapang bayangan putih
yang
berada di depan berhenti. Kini
baru jelas
wajah bayangan putih itu. Tampak
seorang
kakek tengah berdiri dengan tegap.
Pakaiannya putih longgar,
menyerupai
jubah pendeta. Rambutnya yang
putih
panjang dikuncir ke belakang. Raut
mukanya kemerahan dengan
garis-garis usia
yang belum begitu kentara. Padahal
umurnya paling tidak sudah
mendekati
tujuh puluh tahun. Dadanya bidang.
Dengusan napasnya sangat teratur,
sama
sekali tak menunjukkan bila habis
berlari
sedemikian jauh.
Mata kakek ini menyorot tajam,
menatap ke kejauhan. Badannya yang
tinggi
tegap tampak menggendong seorang
bocah
laki-laki berumur kira-kira dua belas
tahun. Bocah itu tak bergerak
sedikit pun
dengan tubuh lemas, seperti sudah
tak
bernyawa lagi.
Tak lama kemudian, bayangan lain
menyusul, kemudian berhenti tepat
dua
tombak di depan kakek yang tengah
menggendong bocah laki-laki itu.
"He, Nenek Peot! Perempuan
jelek!
Kenapa kau selalu mengikutiku,
Arumsari...?!" bentak kakek
berjubah
putih.
Yang ditanya tidak segera
menjawab.
Bayangan terakhir yang ternyata
seorang
perempuan tua ini menarik napas
panjang
untuk membenahi aliran darahnya
yang
sedikit kacau.
"Banjaranpati! Kau adalah
kakek
bengal yang tak tahu diuntung!
Rupanya
kau tak pernah bosan
mengejekku...,"
desis perempuan tua berusia
sekitar enam
puluh lima tahun.
Sambil berkata demikian, nenek
yang
dipanggil Arumsari menghentakkan
kakinya
ke tanah. Gerakannya ringan. Namun
di
luar dugaan, bumi kontan bergetar
dibuatnya.
Kakek yang bernama Banjaranpati
yang menggendong bocah laki-laki
itu
tertawa terbahak-bahak. Tawa yang
dibarengi pengerahan tenaga dalam
itu
bergema dahsyat, membuat nenek
yang
berada di hadapannya mengerutkan
kening.
Segera dikerahkannya hawa murni
untuk
melindungi gendang telinganya.
"Kakek Gendeng! Kalau mau
main-
main, tak perlu banyak ulah!"
Seketika Arumsari mengayunkan
kedua
tangannya ke depan.
"Wuuusss...!"
Sebuah pukulan jarak jauh
menimbulkan deru angin dahsyat,
terlontar
dari tangan nenek itu.
Sementara, yang dijadikan sasaran
cuma tersenyum. Dengan gerakan
ringan,
Banjaranpati menjentikkan ujung
jari
kakinya ke tanah. Saat itu juga
tubuhnya
melayang ke samping. Maka, pukulan
jarak
jauh itu pun luput. Namun, sebuah
pohon
besar yang tinggi menjulang kontan
terkena sasaran.
Breeessss...! Buuummm...!
Pohon itu tumbang dengan pangkal
menghitam seperti terbakar.
Melihat serangannya yang gagal,
Arumsari naik pitam. Segera
tubuhnya
melenting ke arah kakek yang telah
berdiri kira-kira empat tombak
dari
hadapannya sambil tetap
menggendong bocah
itu.
Ketika tubuh nenek itu melayang di
udara, rambutnya yang panjang dan
tergerai di punggung tiba-tiba
menjadi
kaku dan mengejang.
Rambut itu bergerak ke atas dan
meluncur deras laksana sebuah
tombak.
Sementara Banjaranpati yang
menjadi
sasaran, kembali tersenyum. Dengan
menyalurkan tenaga dalam ke tangan
kanan,
disampoknya rambut itu.
Praat!
Akibatnya rambut yang telah
mengejang itu membuyar dan kembali
tergerai.
Tak ayal lagi, Arumsari pun
menggerendeng penuh kemarahan.
Kembali
diserangnya kakek itu dengan
bertubi-tubi
tanpa mau memberi kesempatan
bernapas
kepada lawannya.
Pertempuran dahsyat kembali
terjadi. Suasana pagi di Bukit
Argapala
menjadi kacau. Hewan-hewan hutan
berlari
ketakutan. Burung-burung mencicit
ngeri.
Satu demi satu pohon-pohon tumbang
tersambar pukulan tenaga dalam
dahsyat.
Bila melihat pertempuran yang
sedemikian hebatnya, sesungguhnya
bukan
merupakan suatu hal luar biasa.
Karena,
yang sedang bertempur memang bukan
tokoh
sembarangan. Keduanya adalah tokoh
yang
sudah sangat termasyhur di rimba
persilatan.
Banjaranpati dikenal berjuluk
Bayangan Putih Dari Selatan.
Sedang
Arumsari dikenal berjuluk Dewi
Tangan
Api. Perempuan tua ini cepat
terkenal
karena pukulan jarak jauhnya yang
menimbulkan hawa panas. Walau
sudah tua,
tapi di wajahnya masih menampakkan
garis-
garis kecantikan. Tubuhnya yang
langsing
terbungkus baju berwarna hijau,
masih
sedap dipandang mata. Rambutnya
hitam
panjang tergerai indah.
Hingga lewat sepuluh jurus,
pertempuran antara dua tokoh sakti
itu
terus berlangsung seru. Dewi
Tangan Api
sangat bernafsu untuk segera
menyudahi
perlawanan Bayangan Putih Dari
Selatan.
Namun, Banjaranpati adalah tokoh
persilatan kelas wahid. Rasanya, tak
mudah bagi Dewi Tangan Api untuk
merobohkannya. Walaupun di
punggungnya
bergayut seorang bocah, Bayangan
Putih
Dari Selatan sanggup meladeni
serangan-
serangan.
Ketika dua puluh lima jurus telah
lewat, tiba-tiba Dewi Tangan Api
menghemposkan tubuhnya ke atas
melayang
menjauhi arena pertempuran.
"He, Nenek Peot! Kenapa mau
lari?!
Baru melakukan pemanasan beberapa
jurus
saja, napasmu sudah ngos-ngosan.
Tak
pantas kau berjuluk Dewi Tangan
Api!
Ganti saja dengan Nenek Peot
Bertangan
Keriput...!" ejek Bayangan
Putih Dari
Selatan. Mendengar ejekan itu,
Dewi
Tangan Api menggeram gusar.
Darahnya
mendidih naik sampai ke ubun-ubun.
Maka saat itu juga Arumsari
menyalurkan seluruh tenaga dalam
ke kedua
belah tangannya. Dengan cepat
kedua belah
tangan itu menjadi merah membara.
Hawa
panas segera menjalar, hingga
terasa
menerpa kulit Bayangan Putih Dari
Selatan.
Banjaranpati menyeringai gusar
melihat kesungguhan Dewi Tangan
Api. Sama
sekali tak diduga kalau nenek itu
sedemikian bernafsu untuk
menghabisi
nyawanya.
"Kakek bengal tak tahu
diuntung!
Aku tak punya waktu lagi untuk
main-main.
Cepat serahkan bocah laki-laki itu
kepadaku...!" ujar Arumsari,
membentak
Senyum yang selalu menghiasi bibir
Bayangan Putih Dari Selatan
mendadak
lenyap. Diliriknya bocah laki-laki
yang
berada dalam gendongannya. Kepala
bocah
itu terkulai lemas, di atas
pundaknya.
"Nenek Peot! Bocah ini
terlalu
berharga untuk kuberikan kepadamu.
Lagi
pula untuk apa kau
menginginkannya...?!"
tukas Banjaranpati.
"Goblok! Tentu saja hendak
kujadikan murid...!" bentak
Dewi Tangan
Api.
Banjaranpati tertawa keras.
"Kau tak pantas menjadi
gurunya,
Nenek Peot!"
"Bedhes Jelek! Masih saja kau
mengejekku dengan sebutan itu. Kau
pikir
dirimu pun pantas menjadi
gurunya?!"
"Daripada kau, kukira diriku
lebih
pantas. Sudah jelek, kau pun
jarang
mandi...!"
Mendengar penghinaan ini, bahu
Dewi
Tangan Api menjadi naik-turun
menahan
hawa kemarahan. Tanpa terasa, dua
belah
tangannya yang sudah berwarna
merah
membara semakin menunjukkan
kehebatannya.
Rumput dan dedaunan yang berada di
dekatnya perlahan-lahan terkulai
layu!
Bayangan Putih Dari Selatan segera
waspada. Dia tak mau menganggap
remeh.
Segera dilepaskannya bocah
laki-laki itu
dari gendongannya. Dengan ayunan
kecil,
bocah itu dilemparkannya ke tempat
aman.
Tubuh bocah berumur sepuluh
tahunan
itu pun melayang di udara. Dan
dengan
ringan dia jatuh tepat di bawah
pohon
rindang. Tubuhnya yang lemah
karena
ditotok jalan darahnya terkulai di
tanah
seperti selembar kain tak
berharga.
Dengan sigap Bayangan Putih Dari
Selatan segera mengumpulkan
seluruh hawa
murninya, untuk menyalurkan tenaga
dalam
pada kedua tangannya. Namun, sama
sekali
tak tampak perubahan yang terjadi
pada
kedua belah tangannya. Itulah
kehebatan
dari ilmu 'Pukulan Tanpa Bayangan'
yang
dimiliki Bayangan Putih Dari
Selatan!
"He, Kakek Bengal! Bedhes
Jelek!
Rupanya kau sudah siap untuk
menyambut
seranganku...," tegur
Arumsari.
Habis berkata demikian, Dewi
Tangan
Api segera mengambil kuda-kuda
untuk
memulai serangan. Tak lama
kemudian,
kedua belah tangannya ditarik ke
belakang
sejajar pinggang. Dan secepat
kilat
diayunkannya dengan kekuatan penuh
ke
depan.
Pada saat yang sama, Banjaranpati
juga menghentakkan tangannya ke
depan.
Wuuussss...! Blaaarrr...!
Dua kekuatan dahsyat bertemu di
udara. Tampak tubuh Dewi Tangan
Api
terdorong ke belakang, melayang ke
atas.
Dengan bersalto beberapa kali di
udara,
dia berusaha mendaratkan kakinya
ke
tanah. Namun karena dihempaskan
tenaga
dorong yang luar biasa, tubuh
Arumsari
jatuh berguling-guling di tanah
sejauh
lima tombak.
Apa yang dialami Bayangan Putih
Dari Selatan pun tak jauh berbeda.
Tubuhnya juga terlempar ke atas,
kemudian
bergulingan di tanah. Dan
gulingannya
baru berhenti setelah membentur
sebuah
pohon besar. Tak ayal lagi,
daun-daun
dari pohon itu pun berguguran.
Dewi Tangan Api dan Bayangan Putih
Dari Selatan sama-sama merasakan
kehebatan tenaga dalam satu sama
lain.
Dada mereka menjadi sesak.
Perlahan-lahan
dari hidung dan mulut mereka
mengalir
darah segar.
Dengan cepat mereka segera duduk
bersila mengambil sikap bersemadi,
untuk
mengurangi rasa sakit sebagai
akibat dari
benturan tenaga dalam yang dahsyat
barusan. Tubuh mereka diam tak
bergeming
dengan kedua mata terpejam. Mereka
mengatur pernapasan dan seluruh
aliran
darah, berusaha mengumpulkan hawa
murni
yang berguna mengatasi luka dalam
***
Suasana Bukit Argapala yang
menjelang siang pun menjadi sunyi.
Burung-burung kembali beterbangan,
hing-
gap dari satu pohon ke pohon lain
dengan
sesuka hati. Namun, pepohonan di
sekitar
arena pertempuran tak lagi
menampakkan
warna hijau daunnya. Daun-daun itu
telah
menguning. Bahkan sebagian telah
terbakar
hangus akibat hawa panas yang
ditimbulkan
kekuatan tenaga dalam Dewi Tangan
Api
yang bentrok dengan tenaga dalam
Bayangan
Putih Dari Selatan!
Sekitar delapan tombak dari arena
pertempuran, keadaan bocah
laki-laki yang
diperebutkan tampak menjadi sangat
mengenaskan. Pakaiannya yang
compang-
camping sudah tak terlihat lagi
wujudnya,
karena sebagian besar telah
terbakar
hangus. Dan yang lebih mengenaskan
adalah
keadaan rambutnya yang terbakar
habis tak
tersisa.
Karena hawa panas yang dirasakan,
perlahan-lahan mata bocah itu
terbuka.
Dia menggigit bibirnya sendiri
berusaha
mengusir rasa panas yang menjalar
di
sekujur tubuhnya. Tapi, rasa panas
yang
membakar itu tak mau hilang. Maka,
dengan
serta-merta matanya
dipejamkan.
Setelah segenap kekuatan batinnya
terpusat, akhirnya bocah laki-laki
itu
dapat mengatasi rasa sakitnya.
Apa yang dilakukan bocah berumur
sepuluh tahun itu memang luar
biasa,
karena di dalam tubuhnya sudah terdapat
hawa murni yang sedemikian kuat.
Hal
itulah yang membuat tubuhnya sama
sekali
tak terbakar hawa panas yang
ditimbulkan
bentrokan tenaga dalam Dewi Tangan
Api
dengan tenaga dalam Bayangan Putih
Dari
Selatan.
Memang keajaiban yang dimiliki
bocah itulah yang membuat para
tokoh
sakti di rimba persilatan berusaha
memperebutkannya untuk dijadikan
murid.
Kini, bocah laki-laki yang bernama
Suropati itu berusaha menggerakkan
tubuhnya. Namun, berulang kali
usahanya
menemui kegagalan. Hal itu
menandakan
bahwa yang menotoknya bukanlah
tokoh
sembarangan. Dan kalau yang
menotok hanya
seorang pesilat biasa, dengan
sendirinya
tubuhnya akan memberikan
perlawanan.
Bayangan Putih Dari Selatan yang
mempunyai ilmu 'Pukulan Tanpa
Bayangan'
dapat melakukan totokan sedemikian
hebatnya. Sejak menculik Suropati, bocah
laki-laki itu terus digendongnya
dari
Kota Kadipaten Bumiraksa, menuju
Bukit
Argapala yang memakan waktu hampir
seharian penuh. Selama ini,
Banjaranpati
tak sekali pun memperbaharui
totokannya.
Tiba-tiba mata Suropati menjadi
nyalang. Entah dari mana, di
hadapannya
telah melingkar seekor ular
sebesar
lengannya. Ekornya bergerak lemah,
dan
sesekali menjulurkan lidahnya.
Untuk
beberapa lama, ular itu sama
sekali tak
menunjukkan tanda-tanda akan
menyerang.
Melihat ular yang tampak jinak,
hati Suropati menjadi tenang.
Perlahan-
lahan matanya dipejamkan kembali.
Seluruh
kekuatannya coba dikerahkan untuk
mengusir pengaruh totokan di
tubuhnya.
Tapi, tiap kali hawa mumi mengalir
melewati punggungnya, dia
merasakan
seperti ada tembok yang
menghalangi.
Sehingga, hawa murninya berbalik.
Tahulah Suropati kalau pusat dari
pengaruh totokannya terletak di
punggungnya. Maka dengan mata
terpejam,
segenap kekuatan batinnya segera
dikumpulkan.
Seperti terkena sihir, tiba-tiba
ular yang melingkar di hadapan
Suropati
bergerak perlahan, kemudian
merayap
mendekati. Dan dengan kecepatan
laksana
kilat, ular itu mematuk punggung
Suropati.
Tukkk...!
Suropati menggeliat. Sementara
ular
itu pun merayap ke semak-semak.
Bocah itu segera bangkit, namun
kembali jatuh terduduk karena
tenaganya
belum pulih benar. Ketika matanya
menatap
pemandangan di hadapannya,
keningnya
berkerut. Dia heran, mengapa
begitu
banyak pohon di sekitarnya
tumbang.
Tapi ketika melihat dua orang yang
tengah duduk bersila dan tampak
terluka
dalam, Suropati pun jadi mengerti
bila di
situ baru saja terjadi sebuah
pertempuran
dahsyat
Suropati segera bangkit kembali,
berusaha berlari secepatnya
setelah tahu
kalau salah seorang yang tengah
duduk
bersila adalah Bayangan Putih Dari
Selatan yang telah menculiknya.
Bocah gundul yang hampir telanjang
itu berlari dengan langkah
terseok-seok.
Namun belum genap dua puluh
langkah,
mendadak tubuhnya terjungkal, dan
jatuh
berguling-guling ke bawah bukit
Suropati merasakan kalau
punggungnya terasa sangat panas.
Sekujur
tubuhnya bergetar. Tanpa disadari,
tubuhnya telah terserang racun
hebat.
Ular yang membantu melepaskan
pengaruh
totokan di tubuhnya, sesungguhnya
adalah
seekor ular yang sangat berbisa!
2
Suropati terus bergulingan
melewati
semak-semak. Dan gulingan tubuhnya
baru
berhenti setelah sampai di tempat
datar.
Bocah itu menggigit bibirnya
kuat-kuat,
merasakan sekujur tubuhnya yang
kembali
menjadi sangat panas. Dadanya
sesak, dan
perutnya mual bagai diaduk-aduk.
Suropati sekuat tenaga berusaha
melawan rasa sakit yang diderita.
Tapi,
usahanya sia-sia belaka. Tubuhnya
laksana
digodok di tungku pembakaran. Dia
menggigil seperti terserang demam
yang
hebat
Sebelum kegelapan menyelimuti,
Suropati sempat melihat seekor
keledai
yang sedang merumput tak seberapa
jauh
dari tempatnya tergeletak. Dengan
sisa-
sisa kesadarannya, pikirannya
segera
dipusatkan. Perlahan-lahan keledai
yang
sedang merumput itu berjalan
mende-
katinya. Kemudian, binatang itu
merunduk
di hadapan Suropati. Rupanya,
kemampuan
Suropati memusatkan pikiran sangat
hebat.
Dirinya mampu memerintah benda
hidup
lainnya hanya dengan memusatkan
perhatian
ke satu titik.
Bocah itu segera beringsut,
berusaha segera naik ke punggung
keledai
yang sudah tak jauh darinya.
Dengan susah
payah, usahanya akhirnya berhasil.
"Bawa aku ke Kota Kadipaten
Bumiraksa...!" ujar Suropati.
Keledai itu pun meringkik,
kemudian
segera melangkahkan kakinya
menuruni
Bukit Argapala.
***
Seharian penuh keledai yang
membawa
tubuh Suropati berlari tanpa
henti.
Matahari sudah hampir terbenam,
ketika
sampai di pintu gerbang Kota
Kadipaten
Bumiraksa.
Tubuh Suropati yang lemah terkulai
di atas punggung keledai segera
menarik
perhatian orang-orang. Kepalanya
yang
gundul, dan nyaris telanjang
benar-benar
menjadikan sebuah pemandangan
ganjil.
"Hei, bukankah itu
Suropati...?!"
teriak seorang bocah tanggung
berpakaian
penuh tambalan.
Beberapa bocah tanggung lain yang
sedang berkerumun memperhatikan
lebih
seksama. Ketika tahu bahwa yang
terkulai
di atas punggung keledai itu tak
lain
Suropati, mereka segera
berhamburan
mendekati.
Beramai-ramai mereka menggiring
keledai yang menggendong Suropati
itu ke
tepi jalan. Mereka berebut untuk
menurunkan tubuh bocah yang malang
ini.
Tapi, mereka berteriak ngeri
ketika
tangan mereka menyentuh tubuh
Suropati
yang panas bagai habis dipanggang
api.
"Masih hidupkah dia...?"
tanya
salah seorang bocah berusia lima
belas
tahun.
Tak ada yang dapat memberi
jawaban.
Mereka hanya saling berpandangan
dan
mengangkat bahu tanda tak
mengerti.
"Kita bawa ke tabib,"
usul
seseorang yang disambut anggukan
kepala
dari teman-temannya.
Tak lama kemudian, mereka pun
beramai-ramai menggiring keledai
yang
menggendong tubuh Suropati masuk
ke dalam
kota.
Para bocah yang berusaha menolong
Suropati adalah para pengemis dan
gelandangan Kota Kadipaten
Bumiraksa yang
merupakan teman senasib Suropati
sendiri.
Usia mereka rata-rata masih
belasan
tahun. Bahkan ada yang berusia di
bawah
sepuluh tahun. Tubuh mereka hitam
kotor
tak terurus. Pakaiannya pun penuh
tambalan, nyaris tak layak
dipakai.
Ketika sampai di tempat yang
dituju, bocah yang berusia lima
belas
tahun dan bernama Wirogundi segera
mengetuk pintu rumah tabib yang
dikenal
bernama Pulanggeni. Karena daun
pintu tak
segera dibuka, maka beramai-ramai
mereka
menggedor-gedor.
"Heh?! Mau apa
kalian...?!"
Tabib Pulanggeni yang sudah uzur
menyambut mereka dengan muka
ditekuk.
"Temanku sakit, Kek. Perlu
segera
ditolong," pinta Wirogundi
setengah
berteriak.
Tabib Pulanggeni memandang sejenak
kepada Wirogundi. Lalu
kepalanya ber-
paling kepada teman-temannya.
Setelah
menyaksikan keadaan Suropati yang
mengenaskan, kepalanya malah
menggeleng-
geleng.
"Bawa saja ke tabib yang
lain,"
ujar Tabib Pulanggeni kemudian
sambil
menutup daun pintu.
"Eit! Tunggu dulu, Kek...!
Temanku
itu benar-benar membutuhkan
pertolongan,"
kata Wirogundi sambil menahan
gerakan
pintu yang bergerak hendak
menutup.
"Sudah kubilang, bawa saja ke
tabib
yang lain...."
"Kau tidak mau menolong,
Kek...?"
Tabib Pulanggeni tidak menjawab.
Matanya menatap tajam ke tubuh
Wirogundi
dan teman-temannya.
"Dengan apa kalian akan
membayar?"
tanya laki-laki tua ini
meremehkan.
Wirogundi saling berpandangan
dengan teman-temannya. Kemudian
dengan
sigap tangannya merogoh kantong
baju,
mengeluarkan dua keping uang
logam,
"Itu belum cukup," tukas Tabib
Pulanggeni dengan raut muka
dibuat-buat.
Mendengar kalimat tabib tua itu,
teman-teman Wirogundi segera
merogoh
kantong baju masing-masing.
Kini Tabib Pulanggeni tersenyum
menerima uang dari para pengemis
dan
gelandangan yang lugu itu,
***
Dengan langkah sedikit gemetar
karena termakan usia, Tabib
Pulanggeni
segera mendekati Suropati.
Diusapnya
kening bocah itu pelan-pelan.
Merasakan
tingginya suhu badan Suropati, dia
segera
tahu kalau bocah itu menderita
demam yang
hebat akibat keracunan. Segera
dibopongnya tubuh Suropati yang
hampir
telanjang itu ke bilik
pengobatannya.
Setelah meletakkan tubuh bocah
malang itu ke dipan yang terbuat
dari
kayu jati, tabib tua itu segera
memeriksa
seluruh aliran darahnya.
Tabib Pulanggeni mengernyitkan
dahinya ketika merasakan ada suatu
kekuatan yang berputar-putar di
perut
Suropati. Tepatnya, kekuatan itu
mengi-
tari pusar. Dan dia makin terkejut
setelah mengetahui bahwa darah
Suropati
telah bercampur racun. Segera di
periksanya bagian-bagian di tubuh
bocah
itu untuk mengetahui dari mana
racun itu
berasal. Berkali-kali kepalanya
meng-
geleng karena sama sekali tak
mengerti,
bagaimana Suropati bisa bertahan
hidup
dengan darah yang telah bercampur
racun.
Dengan hati-hati sekali Tabib
Pulanggeni memperlebar luka kecil di
punggung Suropati. Ingin diketahuinya
sebagaimana kuatnya racun itu
bercampur
darah di tubuh bocah yang malang
ini.
Kembali tabib itu menggelengkan
kepalanya. Sama sekali tak
diketahui,
keajaiban apa yang dimiliki
Suropati
sehingga dapat bertahan dari serangan
racun yang berasal dari bisa ular
yang
belum diketahui jenisnya
Keringat segera membasahi tubuh
tabib tua itu. Butiran peluh
sebesar
jagung menetes dari dahinya yang
keriput.
Jalan satu-satunya untuk menolong
Suropati adalah dengan
mengeluarkan racun
di tubuhnya. Dan itu berarti harus
mengeluarkan seluruh cairan
darahnya.
Namun tidak mungkin dilakukan,
karena
sama saja dengan mempercepat
kematiannya.
Lama Tabib Pulanggeni memeras
otak.
Ilmu ketabibannya sama sekali tak
mampu
memecahkan persoalan yang sedang
dihadapi. Keringat di tubuhnya
semakin
membanjir. Wajahnya yang sudah tua
semakin tampak tua, karena
berpikir
keras.
Di luar, malam sudah tiba. Obor
penerangan rumah sudah mulai
dinyalakan.
Sementara teman-teman Suropati
masih
setia menunggu di halaman rumah
Tabib
Pulanggeni untuk menantikan
hasilnya.
Brakkk...!
Daun pintu dibuka dengan keras.
Sebentar saja, Tabib Pulanggeni
muncul
dengan wajah kusut.
"Bawa saja teman kalian itu
ke
tabib lain...," ujar
laki-laki tua ini.
"Lho, kenapa, Kek?"
tanya Wirogundi
gusar
"Aku tidak sanggup," aku
Tabib
Pulanggeni pelan.
Baru saja kata-kata tabib itu
lenyap, tangan Wirogundi yang
terkepal
menghantam deras. Dan....
Buuukkk...!
"Aughhh...!"
Pukulan Wirogundi yang tiba-tiba,
membuat tubuh tua yang tampak
pusing itu
terlipat dengan mulut meringis
kesakitan.
"Bukankah kami sudah membayar
biaya
pengobatannya! Kenapa kau tidak
sanggup...?!" bentak
Wirogundi.
"Aduh, maaf,... Aku benar-benar
tidak tahu bagaimana harus
mengobati-
nya...," ucap Tabib
Pulanggeni, terbata-
bata
Mendengar ucapan tabib tua yang
tampak bodoh itu, seketika
teman-teman
Wirogundi maju mendekati. Dan
mereka
langsung menghujani tubuh Tabib
Pulanggeni dengan pukulan.
Tabib malang itu pun langsung jadi
bulan-bulanan. Dia pun
meraung-raung
minta ampun. Tubuh tua itu segera
lumat
dihajar remaja belasan tahun yang
berjumlah tak kurang dari sepuluh
orang!
Pada saat keributan terjadi, tanpa
diketahui seorang pun tiba-tiba
sebuah
bayangan berkelebat memasuki rumah
Tabib
Pulanggeni. Bayangan itu bergerak
sangat
cepat, sulit diikuti pandangan
mata.
Setelah mengambil Suropati yang
tergeletak lemah, bayangan itu
kembali
berkelebat menuju ke luar Kota
Kadipaten
Bumiraksa.
***
Bayangan yang membawa tubuh
Suropati terus berkelebat. Dan
ketika
sampai di sebuah kuil tua, dia
segera
melepas gendongannya.
Diletakkannya tubuh
Suropati di lantai. Dengan cekatan
segera
dibuat perapian. Dan kuil tua yang
sudah
tak dipakai itu kini menjadi
terang-
benderang.
Dalam kilatan cahaya perapian,
terlihat kalau orang yang membawa tubuh
Suropati adalah seorang kakek
kurus
dengan rambut dan janggutnya putih
panjang tampak terawatt.
Pakaiannya penuh
tambalan walaupun tampak bersih.
Warna
aslinya sudah hampir tak kentara,
karena
kelewat banyak tambalan. Sorot
matanya
tajam dengan alis menjulang ke
atas. Juga
telah memutih.
Tanpa mau membuang banyak waktu,
kakek itu segera menyandarkan
tubuh
Suropati di dinding. Tangan
kirinya
menyangga agar tubuh bocah yang
lemah itu
tak terkulai jatuh. Sedang tangan
kanannya sibuk membuat totokan di
beberapa aliran darah Suropati
yang telah
terserang racun yang hebat.
Dengan sebuah tarikan napas
panjang, kakek kurus itu segera
membuat
gerakan-gerakan untuk mengalirkan
tenaga
dalam ke pergelangan tangan
kanannya.
Kemudian dengan sigap, telapak
tangan
kanannya ditempelkan ke pusar
Suropati.
Sepeminum teh kemudian, wajah
kakek
kurus itu sudah berhias peluh.
Perlahan-
lahan suhu badan Suropati menurun.
Bersamaan dengan itu, dari luka di
punggung bocah laki-laki itu
keluar
cairan kebiru-biruan.
Menjelang kayu di perapian habis,
kakek kurus itu melepaskan telapak
tangan
kanannya dari pusar Suropati.
Kemudian
dibaringkannya tubuh bocah itu ke
lantai
kembali.
Setelah mengusap peluh di
wajahnya,
kakek itu memperbesar perapiannya
yang
hampir padam.
"Air...."
Tiba-tiba terdengar suara Suropati
yang tengah menggeliat
"Aku haus...," kata
bocah itu
dengan memelas.
Kakek kurus itu segera memberikan
apa yang diminta Suropati.
Kemudian
disuapinya bocah itu dengan
sepotong roti
yang menjadi bekalnya.
Suropati menatap tajam kakek kurus
yang duduk bersila di hadapannya.
"Kau sangat baik,
Kek...," puji
bocah ini, Kakek kurus itu
tersenyum.
Sedangkan Suropati memandangnya
dengan
tatapan mata tak mengerti.
Kemudian
kepalanya yang tak gatal digaruk.
Tiba-
tiba Suropati menjadi terkejut
setengah
mati, setelah mengetahui bila
rambutnya
sudah tiada lagi barang sehelai.
Bocah laki-laki itu mengernyitkan
keningnya. Bola matanya bergerak
ke kiri
dan ke kanan, tampak jenaka.
Wajahnya
yang polos menjadi merah, ketika
melihat
keadaan dirinya yang nyaris telanjang.
Dengan cepat kemaluannya yang
menyembul
ditutupi.
Kakek kurus yang tengah duduk
bersila itu tertawa terbahak-bahak
menyaksikan ulah Suropati. Tawanya
tiada
henti, membuat bahunya naik turun
dan
janggutnya yang panjang
bergerak-gerak.
Tiba-tiba Suropati ikut tertawa
keras. Mendengar tawa Suropati,
kakek
kurus itu menghentikan tawanya,
terdiam.
"Eh, apa yang kau
tertawakan?"
tanya kakek ini.
Suropati belum mau menghentikan
tawanya. Kakek kurus itu pun menjadi
sangat gusar.
"Apa yang kau tertawakan?" tanya
kakek ini lagi.
"Kau ini lucu, Kek...
Janggutmu
itu...."
Suropati tak meneruskan bicaranya.
Malah, tawanya terdengar makin
keras.
"Ada apa dengan
janggutku?" desak
kakek kurus itu dengan raut muka
kebodoh-
bodohan.
"Jangggutmu itu lucu. Seperti...,
seperti...."
"Seperti apa?"
"Seperti ekor sapi!"
"Ha... ha... ha...!"
Mendengar ucapan polos Suropati
kakek kurus itu pun tertawa
kembali.
Mendadak Suropati beringsut
menjauh.
"Kau menculikku, Kek?!"
tanya bocah
ini setengah takut.
Kakek kurus itu menggelengkan
kepalanya. "Justru aku telah
menolongmu,"
kilah kakek itu dengan suara
lembut.
"Menolongku?"
Suropati menggaruk kepalanya
kembali. Kemudian dia
mengingat-ingat
kejadian yang telah menimpa. Tak
lama
kemudian, tubuhnya pun beringsut
mendekati kakek yang tengah duduk
bersila
dengan tenang.
"Aku berhutang budi padamu,
Kek...," ucap Suropati,
tulus.
Kakek kurus itu tersenyum. Lalu,
dielusnya kepala Suropati yang
gundul.
Mata bocah laki-laki berumur
sepuluh
tahun itu tampak merem-melek,
merasakan
kenikmatan. Tapi, tiba-tiba
kepalanya
didongakkan.
"Aku mau belajar ilmu silat,
Kek...," cetus bocah ini
dengan
kesungguhan hati.
"Belajar ilmu silat? Pada
siapa?"
"Padamu."
"Ha ha ha..."
Kakek kurus yang duduk bersila di
hadapan Suropati tertawa lebar.
"Dengan belajar ilmu silat,
kau
akan banyak musuh...," elak
orang tua ini
sambil menatap wajah Suropati
dalam-
dalam. "Kau tidak
takut?"
Alis Suropati bertaut.
"Siapa bilang belajar ilmu
silat
membuat banyak musuh?" tukas
bocah laki-
laki itu sambil menggaruk-garuk
kepalanya
yang sudah tak berambut.
"Justru dengan
belajar ilmu silat, banyak yang
dapat
kuperbuat. Aku ingin menolong kaum
lemah
yang selalu tertindas, Kek. Aku
benci
melihat kebengisan para penjahat
yang
selalu membuat keresahan. Atau
paling
tidak, dengan belajar ilmu silat,
aku
bisa melindungi diriku sendiri
dari
ancaman bahaya...."
Plok... plok... plok...!
Kakek kurus penolong Suropati itu
bertepuk tangan mendengar kalimat
bocah
laki-laki berumur sepuluh tahun
itu.
"Wah! Bicaramu seperti
seorang
pendeta. Pendeta pikun! He he
he...,"
ledek kakek ini.
Kening Suropati berkerut.
"Kau mau kan, Kek, mengangkat
ku
sebagai murid?"
"Kalau aku tidak
mau?"
"Akan kupaksa!"
"He he he...," kakek
kurus itu
tertawa geli. "Dengan cara
apa kau akan
memaksaku?"
Tiba-tiba mata Suropati bersinar
tajam. "Kau harus mau,
Kek...!" bentak
bocah ini, berani.
Kakek kurus itu terkejut. Saat itu
juga terasa suatu dorongan
kekuatan yang
mempengaruhi jalan pikirannya.
"Hm.... Bocah ini mempunyai
bakat
ilmu sihir juga...," gumam
kakek ini
dalam hati seraya menggelengkan
kepalanya, berusaha mengusir
kekuatan
batin yang sedang menyerangnya.
Mendadak wajah kakek kurus itu
menjadi tegang.
"Hei, Bocah! Hati-hati! Di
belakangmu ada ular!"
Wajah Suropati kontan berpaling ke
belakang. Dia bergidik ngeri
karena tiba-
tiba di belakangnya telah
melingkar
seekor ular sebesar paha manusia
dewasa,
siap menelannya!
"Tolong aku, Kek...!"
teriak
Suropati sekuat tenaga seraya
melompat ke
depan.
Kakek kurus itu pun tertawa gelak.
"Mana ada ular, Bocah Geblek...?!"
sergah kakek
Suropati menjadi heran. Dan dia
kontan diam terlongong-longong
macam
monyet kena sumpit. Ular yang baru
saja
dilihatnya tiba-tiba lenyap tanpa
bekas!
"Kau mempermainkan aku,
Kek...,"
cibir Suropati dengan bibir
cemberut.
"Sungguhkah kau ingin menjadi
muridku, Bocah Geblek?" tanya
kakek itu.
"Ya," jawab Suropati,
penuh
keyakinan.
Kakek kurus itu kembali tertawa
terbahak-bahak. Dan Suropati yang
melihat
janggut kakek yang sedang tertawa
itu
bergerak-gerak seperti ekor sapi,
jadi
ikut tertawa.
Maka, kuil tua yang terletak di
pinggir Kota Kadipaten Bumiraksa
itu
segera berhias suara tawa
sahut-menyahut.
Sesungguhnya Suropati sangat
berun-
tung bertemu kakek kurus yang
tampak
lemah dan sangat miskin itu.
Karena,
kakek itu tak lain adalah
penasihat
kerajaan yang telah mengundurkan
diri dan
berpetualang dengan menyamar
sebagai
seorang pengemis. Namanya,
Pragolawulung
yang bergelar si Periang Bertangan
Lembut. Karena kakek itu memang
jarang
sekali menampakkan wajah muram
atau
sedih. Dia selalu tampak riang
gembira.
Sifatnya pun sangat lembut, penuh
welas
asih. Baik kepada lawan maupun
kawan.
Sebenarnya kakek kurus yang
bernama
Pragolawulung itu sudah lama
tinggal di
Kota Kadipaten Bumiraksa. Dia
selalu
memperhatikan gerak-gerik
Suropati, bocah
laki-laki berumur sepuluh tahunan
itu
disukai karena kepolosan dan
sifatnya
yang rada konyol. Dan tentu saja,
bakat
luar biasa yang dimilikinya,
Suropati
selain memiliki bakat sebagai
pesilat
tangguh, juga berbakat menjadi
seorang
penyihir karena memiliki kekuatan
batin
yang luar biasa di usia semuda itu
Sejak pertemuan di kuil tua
itulah.
Suropati belajar ilmu oleh
kanuragan pada
si Periang Bertangan Lembut.
Dengan tekun
bocah ini menimba ilmu tanpa
mengenal
waktu. Pragolawulung pun
mencurahkan
segala kemampuannya untuk
diwariskan
kepada muridnya yang memiliki
bakat luar
biasa!
3
Sore hari di Sungai Balirang.
Sinar
mentari mengusap permukaan air
yang
tenang. Warna keemasannya
memantul,
menerpa pinggiran perahu para
penambang.
Sebuah rakit tampak bergerak
pelan,
melewati semak-semak yang tumbuh
di
pinggir sungai. Seorang lelaki
setengah
baya bercaping lebar berdiri
dengan
angkuh di atasnya. Warna bajunya ungu.
Selembar kain merah tampak
bergayut di
pundak, terbuat dari bahan mahal.
Kain
itu berkibar-kibar ditiup angin.
Para penambang yang rata-rata
berpenampilan sangat sederhana
memandang
dengan sinar mata takjub. Merasa
dirinya
menjadi pusat perhatian, lelaki
bercaping
lebar itu mempercepat laju
rakitnya.
Ketika matanya menangkap gerak
seorang
gadis berpakaian kuning yang
hendak
memasuki keramaian pasar di tepi
sungai,
tongkat panjangnya segera
diayunkan ke
dalam air. Seketika rakit yang
menopang
tubuhnya segera meluncur dengan
kecepatan
tinggi. Jelas, dari tindakannya
dia
tengah mengerahkan tenaga
dalamnya.
Setelah rakit itu mencapai jarak
kurang dari satu tombak dengan
tepi
sungai, lelaki bercaping lebar itu
melompat ke udara. Beberapa kali
tubuhnya
berputaran, lalu mendarat tepat di
depan
gadis yang menjadi perhatiannya.
"Antarkan aku menghadap
Reksapati...!" pinta lelaki
bercaping
ini.
Gadis yang diajak bicara itu
terkejut melihat lelaki bercaping
lebar
ini tiba-tiba telah berdiri di
hadapan
nya. Demikian pula ketika
menyebutkan
nama Reksapati, sehingga membuat
dahinya
berkerut.
"Kenapa diam saja? Apakah kau
tidak
mendengar perkataanku, Anak
Manis...?"
kata lelaki bercaping lebar itu,
tersenyum menggoda.
"Siapa kau...?" tanya
gadis ini,
sinis. Dia begitu jengah melihat
tatapan
mata lelaki di depannya.
Yang ditanya membuat senyum lebar.
"Aku Brajadenta, si Dewa
Maut. Menilik
dari baju yang kau kenakan,
bukankah kau
murid Perguruan Harimau Terbang?
Dan
gurumu pasti si Reksapati..."
Gadis yang berpakaian kuning yang
di dadanya terdapat gambar harimau
bersayap itu menjadi gusar
mendengar nama
gurunya disebut dua kali tanpa
sedikit
rasa hormat.
"Apa maumu, Brajadenta?"
desis
gadis ini memasang wajah ketus.
Matanya
menatap lelaki setengah baya
bernama
Brajadenta dengan tajam.
Si Dewa Maut tidak segera
menjawab.
Matanya bermain nakal, menyaksikan
wajah
cantik gadis yang berada di
hadapannya.
Brajadenta yang sudah berumur
lebih dari
empat puluh tahun itu berulang
kali
menelan ludah, melihat
kesempurnaan wajah
gadis di depannya.
"Aku tak punya waktu banyak.
Segera
katakan saja, apa maumu...!"
ujar
Anjarweni, agak keras.
"Aku utusan Baginda Prabu.
Ada
urusan yang harus diselesaikan
dengan
gurumu. Tapi..."
Brajadenta tak melanjutkan
bicaranya. Senyum di bibirnya
semakin
mengembang.
"Aku benar-benar tak punya waktu
lagi...!" Usai mengucapkan
kalimatnya,
gadis itu beranjak dari tempatnya
berdiri.
"Eit! Tunggu dulu, Anak
Manis...,"
cegah Brajadenta seraya
menghalangi
langkah Anjarweni. "Aku juga
ada urusan
denganmu."
Gadis itu kembali mengerutkan
keningnya.
"Bajumu bagus, Anak
Manis," kata
Brajadenta kemudian, "Gambar
kepala
harimau bersayap di dada kirimu
itu
sangat indah. Bolehkah aku pinjam
sebentar...?"
"Jangan main-main. Aku,
Anjarweni,
paling tak sudi direndahkan!"
sentak
gadis bernama Anjarweni.
Brajadenta
tertawa lebar.
"Kalau kau marah, hanya akan
menambah kecantikanmu saja. He he
he...."
Brajadenta mentowel dagu
Anjarweni.
Gadis itu terkejut namun berusaha
mengelak. Tubuhnya cepat
dimiringkan ke
samping, sehingga maksud hati
Brajadenta
menjadi tak kesampaian.
Sebentar saja mereka berdua sudah
menjadi pusat perhatian
orang-orang yang
lalu-lalang di tempat itu. Apalagi
pakaian dan tingkah laku
Brajadenta yang
kurang ajar, membuat orang-orang
tak
segan untuk menatapnya
berlama-lama.
Merasa dirinya menjadi perhatian
orang, Anjarweni segera menjejakkan
kakinya ke tanah. Saat itu juga,
gadis
ini melompat meninggalkan
Brajadenta.
"Kau mau ke mana, Anak
Manis...?!"
Dengan gerakan ringan, Brajadenta
menyusul Dan Anjarweni jadi
menghentikan
langkahnya kembali, karena
terhalang
tubuh Brajadenta yang tinggi
besar.
"Aku tidak mau main-main,
Brajadenta!" dengus Anjarweni
sambil
mengayunkan tangannya ke wajah
Brajadenta.
"Eiiittt...!"
Brajadenta mengelak.
Gadis itu menjadi gusar, menyak-
sikan serangannya luput. Dengan
serta-
merta tubuhnya berputar seraya
melepas
tendangan di udara mengarah ke
dada
Brajadenta.
Lelaki berjuluk si Dewa Maut itu
cuma tersenyum melihat serangan.
Tangan
kirinya cepat bergerak
menangkis.
Plak!
Akibatnya Anjarweni. kontan terpe-
lanting diiringi tawa Brajadenta
yang
terbahak-bahak.
Sebelum Anjarweni sempat mengatur
keseimbangan tubuhnya, tiba-tiba
lelaki
itu telah menggerakkan tubuhnya ke
depan.
Dan dengan tangan kiri
dijambretnya
pundak Anjarweni.
Brettt...!
Tak ayal lagi kain baju Anjarweni
pada bagian pundak sobek selebar
dua
jengkal.
Brajadenta kembali tertawa.
Matanya
melotot, menyaksikan kulit mulus
Anjarweni.
Gadis yang merasa dipermainkan itu
menjadi sangat marah. Mukanya
merah
padam, menahan rasa malu. Maka
dengan
mengaum laksana seekor harimau, di
serangnya Brajadenta tanpa
sungkan-
sungkan lagi.
Si Dewa Maut dengan tertawa-tawa
melayani serangan Anjarweni.
Ketika gadis
itu membuat gerakan mencakar
bagian
wajah, Brajadenta menepis sambil
melepaskan sodokan ke perut.
Plak!
Desss....!
Untuk kedua kalinya Anjarweni
terpelanting. Dan, kali ini
kesempatan
itu tak disia-siakan Brajadenta.
Dengan
gerakan sulit diikuti pandangan
mata,
tubuhnya berkelebat sambil menotok
punggung gadis murid Perguruan
Harimau
Terbang itu.
Tuk! Tuk!
"Aaah...!"
Tubuh Anjarweni menjadi lemas
seketika. Namun, sebelum
terjerembab ke
tanah, Brajadenta menyambar tubuh
gadis
cantik itu dan berkelebat lenyap.
Orang-orang yang menyaksikan per-
kelahian barusan menjadi
kasak-kusuk.
Belum pernah mereka menyaksikan
murid
Perguruan Harimau Terbang dapat
begitu
mudah dilumpuhkan. Maka sore itu,
orang-
orang begitu ramai membicarakan
kehadiran
Brajadenta, si Dewa Maut yang
telah
melumpuhkan dan membawa lari
Anjarweni.
***
Brajadenta membopong tubuh
Anjarweni menuju Lembah Sungai
Balirang
yang sunyi. Berulang kali dia
menelan air
liurnya sendiri karena merasakan
tangan
dan pundaknya yang menyentuh kulit
mulus
Anjarweni.
Sementara, gadis itu sama sekali
tak berdaya. Dia menggelantung
lemas di
pundak Brajadenta. Hanya matanya
yang
memancarkan sinar kemarahan.
Si Dewa Maut tertawa puas, seperti
seorang anak yang baru saja
memperoleh
mainan yang telah lama
diidam-idamkannya.
Larinya pun dipercepat, berpacu
dengan
hasrat hatinya yang menggelora!
Matahari sudah hampir terbenam,
ketika Brajadenta menemukan tempat
lapang
berumput tebal. Saat itu juga, tubuh
Anjarweni segera dihempaskan ke
tanah.
"He he he..... Kau akan
segera
dapat merasakan surga dunia, Anak
Manis...," leceh Brajadenta
sambil
membuang capingnya.
Anjarweni bergidik ngeri melihat
sinar mata Brajadenta yang seperti
hendak
menelannya bulat-bulat. Bagaikan
seekor
serigala siap menerkam mangsanya.
"Bunuh saja aku....!"
teriak
Anjarweni ketakutan. Brajadenta
tertawa
terbahak-bahak. "Tidak
semudah itu, Anak
Manis...." Perlahan-lahan si
Dewa Maut
mendekati tubuh Anjarweni yang
meringkuk
tanpa bisa berbuat apa-apa.
"Jangan sentuh diriku, Lelaki
Jahanam! Bunuh saja aku....!"
teriak
Anjarweni semakin ketakutan.
Tawa Brajadenta semakin
keras.
"Kenapa takut, Anak Manis?!
Dan,
kenapa pula minta dibunuh?
Bukankah aku
mau mengajakmu mencicipi nikmatnya
surga
dunia...?!"
Sambil berkata itu, Brajadenta
kembali menjambret baju Anjarweni.
Gadis
itu pun berteriak ngeri, ketika
menyaksikan tubuh bagian atasnya
yang
hampir telanjang.
Menyaksikan kulit kuning Anjarweni
yang tanpa cacat, mata Brajadenta
semakin
melotot. Jakunnya bergerak
turun-naik.
Nafsu birahi si Dewa Maut sudah
tak
dapat dikendalikan lagi. Hasrat
hatinya
begitu menggelora, sehingga tak
sabaran
diterkamnya tubuh Anjarweni.
Dengan kasar Brajadenta melumat
bibir gadis yang tak berdosa itu.
Tubuh
Anjarweni dipeluknya kuat-kuat.
Tangan
kirinya berusaha melepas sisa
pakaian
yang dikenakan gadis yang hendak
dijadikan korban nafsu birahinya.
Pada saat yang gawat itulah, tiba-
tiba berkelebat empat sosok
bayangan
serba hitam yang tersamar suasana
hampir
gelap. Menyaksikan kebiadaban
Brajadenta,
salah satu bayangan segera
menerjang!
Si Dewa Maut terkesiap. Sebagai
seorang pesilat tangguh, indera
keenamnya
segera tahu akan adanya serangan.
Dengan
gusar pelukannya dilepaskan. Dan
secepat
kilat dia melompat ke samping.
Maka
serangan itu pun tak mengenai
sasaran.
"Siapa kau?! Jangan
mencampuri
urusanku...!" bentak
Brajadenta penuh
kemarahan.
Tak ada jawaban. Empat bayangan
yang ternyata empat laki-laki berbaju
hitam segera mengepung si Dewa
Maut.
Ketika melihat gambar kepala
harimau di dada kiri dari
orang-orang
yang mengepungnya, Brajadenta mendengus
keras
"Punya nyali juga kalian
rupanya...! Tidak tahukah kalian,
sedang
berhadapan dengan siapa...?!"
"Kami tidak perlu tahu siapa
dirimu...!"sahut salah satu
orang berbaju
hitam. "Melihat perbuatanmu
yang melebihi
binatang, kau layak untuk
dienyahkan dari
muka bumi ini...!"
Brajadenta kembali mendengus,
"Kenapa hanya kalian yang
datang ke
sini?! Apakah murid Perguruan
Harimau
Terbang lainnya masih enak-enakan
tidur
siang?! Dan, kenapa tak kalian
ajak si
Reksapati, guru kalian itu?!
Apakah dia
sedang sibuk menggali lubang
kuburnya
sendiri?! Atau, barangkali sedang
menyembunyikan diri karena takut
seperti
anjing buduk yang hendak dihajar
tuannya?!" kata Brajadenta,
pedas.
Mendengar ucapan Brajadenta yang
terasa panas di telinga, keempat
murid
Perguruan Harimau Terbang
menggerendeng
penuh kemarahan.
"Hiaaattt...!"
Secara serempak keempat lelaki ini
menerjang Ki Dewa Maut! Saat itu
juga,
terjadilah pertempuran sengit.
Anjarweni
yang masih belum bisa menggerakkan
tubuhnya hanya memandang dengan
sinar
mata penuh harap bagi kemenangan
saudara-
saudara seperguruannya.
Keempat murid Perguruan Harimau
Terbang itu dapat mengikuti jejak
Brajadenta, karena mendengar
pembicaraan
orang-orang di sekitar Sungai
Balirang.
Dan disebabkan rasa ikut
bertanggung
jawab akan keselamatan Anjarweni,
mereka
segera mengejar si Dewa Maut yang
telah
menculik saudara seperguruannya.
Tapi, yang mereka hadapi bukanlah
lawan enteng. Si Dewa Maut
walaupun belum
begitu ternama di rimba
persilatan,
tetapi memiliki ilmu kepandaian
sangat
tinggi. Apalagi, dia merupakan
salah
seorang pengawal istana kerajaan.
"Buuukkk...! Aughhh...!"
Tiba-tiba salah seorang murid
Perguruan Harimau Terbang
terjungkal
terkena hantaman si Dewa Maut.
Dari
mulutnya langsung menyembur darah
segar.
Dan, tak lama kemudian tubuhnya meregang
melepas nyawa!
Menyaksikan kematian temannya,
murid-murid Perguruan Harimau
Terbang
lainnya mengaum keras laksana
seekor
harimau. Mereka berhamburan
menyerang
Brajadenta dari berbagai penjuru.
Namun, si Dewa Maut bukanlah lawan
yang seimbang bagi mereka. Ketika
Brajadenta berkelebat begitu cepat
sambil
melepaskan pukulan dan
tendangan....
Desss.... Dess.... Dess....
"Aaah! Aaa.... Aaah...!"
Tiga jeritan panjang terdengar.
Tiga orang murid Perguruan Harimau
Terbang kontan terjungkal tak
bangun-
bangun lagi dengan dada amblong!
Si Dewa Maut menyeringai dingin
sambil menatap mayat
lawan-lawannya.
Tangannya mengibaskan bajunya yang
berdebu. Bau anyir darah segera
menusuk
hidung.
Tiba-tiba Brajadenta teringat
dengan tawanannya. Kepalanya
kontan
menoleh ke arah Anjarweni.
Tampangnya
jadi beringas ketika mendapatkan
tubuh
Anjarweni masih tergolek lemas di
atas
rerumputan.
"Aku sudah tak tahan lagi,
Anak
Manis.... Kita segera menikmati
surga
dunia...."
Tubuh Brajadenta kemudian
melayang.
Sebentar saja, dia sudah tiba di
depan
Anjarweni. Langsung diterkamnya
tubuh
mulus Anjarweni.
Gadis itu hanya pasrah dengan mata
basah. Dia hanya bisa memejamkan mata
sambil menggigit bibir kuat-kuat.
Tak ada
kemampuan lagi untuk
mempertahankan
kehormatannya.
4
Sore ini, Perguruan Harimau
Terbang
diliputi suasana berkabung. Para
murid
tingkat rendah yang biasa berlatih
di
halaman belakang hanya duduk-duduk
tanpa
tahu harus berbuat apa. Tak
seorang pun
yang berani mengeluarkan suara
keras.
Mereka hanya saling bisik,
membicarakan
malapetaka yang baru saja menimpa
saudara-saudara seperguruan
mereka.
Si Reksapati atau Pendekar Harimau
Terbang yang merupakan ketua
sekaligus
pendiri Perguruan Harimau Terbang,
tampak
berjalan memasuki pelataran
perguruan.
Wajahnya kusut, seperti menyimpan
kemarahan menggelegak. Di belakang
pendekar berusia hampir lima puluh
tahun
itu, tujuh puluh orang murid
utamanya
berjalan mengikuti dengan kepala
tertunduk, membersitkan rasa duka.
Hampir seharian penuh mereka
menyisir Lembah Sungai Balirang
untuk
mencari si pembuat petaka yang
telah
berani mengusik ketenteraman
Perguruan
Harimau Terbang.
"Kalian semua berjaga-jagalah
di
depan...," ujar Reksapati
kepada ketujuh
puluh orang muridnya.
Kemudian, lelaki setengah baya itu
berjalan memasuki ruang utama
perguruan.
Lalu dia langsung berbelok
memasuki ruang
pribadinya.
Baru saja Reksapati menutup pintu,
seorang bocah perempuan berumur
dua belas
tahun mengetuk daun pintu.
"Siapa...?" tanya
Reksapati dari
dalam kamarnya.
"Ingkanputri, Ayah...,"
kata bocah
perempuan sambil membuka daun
pintu.
Reksapati memandang kehadiran
bocah
kecil bernama Ingkanputri dengan
sorot
mata sayu. Rasa kecewa bercampur
amarah
karena tak berhasil mencari orang
yang
telah menanamkan api permusuhan
bagi
perguruan silatnya, terbayang
jelas di
wajah lelaki yang bertubuh agak
kurus
itu.
"Kenapa Ayah diam saja?
Bukankah
ini sudah waktunya Ayah mengajari
Putri
berlatih ilmu silat?" tanya
gadis kecil
ini.
"Berlatih dengan Ibu saja,
Putri.
Ayah sedang sibuk." tolak
Reksapati, ayah
Ingkanputri ini.
"Sibuk? Ayah hanya duduk diam
di
situ, kenapa bilang sibuk?"
kata
Ingkanputri, polos.
Bersamaan dengan itu pintu kamar
ini terbuka. Dari baliknya muncul
seorang
wanita cantik berusia tiga puluh
tahun.
Kulit tubuhnya kuning bersih.
Rambutnya
disanggul ke atas dengan tusuk
konde
terbuat dari gading. Bajunya
berwarna
biru, membungkus tubuhnya yang
tampak
sintal.
"Putri.... Kau berlatih silat
dengan Kakang Singalodra
saja," ujar
wanita ini kepada bocah perempuan
yang
sedang bergayut di lengan
Reksapati.
"Tidak, Ibu! Putri ingin
berlatih
dengan Ayah!" tolak Ingkanputri,
nakal.
"Putri, jangan bandel!"
kata wanita
cantik itu seraya memandang Ingkanputri
dengan sorot mata memerintah.
Bocah perempuan berumur dua belas
tahun itu segera meninggalkan
tempat
sambil mengeluarkan gerutuan
kecil.
Sementara Reksapati kembali
mengeluarkan desah panjang. Lalu
tubuhnya
berbalik, membelakangi wanita
cantik yang
baru saja muncul.
Wanita itu tak lain dari istri
Reksapati. Bila diperhatikan
dengan
seksama, umur Reksapati dan
istrinya
terpaut agak jauh. Reksapati
memang
terlambat berumah tangga. Sebagai
seorang
pesilat, dia lebih senang
mengembara
tanpa mempunyai suatu ikatan. Tapi
setelah mendirikan Perguruan Harimau
Terbang barulah mulai dipikirkan
penting-
nya berumah tangga demi
mengembangkan
keturunan sebagai penerus sejarah
leluhur.
"Sudahlah, Kangmas.... Jangan
terlalu dijadikan beban pikiran.
Hanya
akan membuat buruk
kesehatanmu...," ingat
istri Reksapati itu.
Pendekar Harimau Terbang hanya
mendesah pelan. Dia tak bergeming
dari
tempat duduknya.
"Semua sudah menjadi kehendak
Yang
Maha Kuasa, Kangmas," kata
wanita itu
lagi. "Inilah yang namanya
takdir."
Reksapati memalingkan muka,
menatap
wajah istrinya dengan lekat.
"Mustikaweni.... Aku tak
pernah
bisa mengerti, kenapa orang itu
bisa
berbuat begitu biadab terhadap
anak murid
kita. Sepertinya dia memang
sengaja
memancing perkara," gumam
Reksapati
dengan suara berat
"Itulah yang disebut tokoh
sesat.
Dia bisa berbuat seenaknya sendiri
tanpa
memikirkan akibat dari
perbuatannya...,"
hibur perempuan bernama
Mustikaweni.
Reksapati menatap tajam mendengar
perkataan istrinya.
"Kau jangan
mengguruiku...!" ujar
lelaki ini kemudian.
Mustikaweni menundukkan kepalanya.
"Maafkan aku, Kangmas. Bukan
maksudku
untuk menggurui. Tapi, kalau
melihat
Kangmas begitu terpengaruh
memikirkan
kejadian itu, aku jadi ikut
sedih," ucap
perempuan cantik ini.
Mendengar ucapan Mustikaweni yang
tulus, Reksapati beranjak dari
tempat
duduknya.
"Inilah cobaan bagi Perguruan
Harimau Terbang," katanya
pelan sambil
meraih tangan istrinya.
Pada saat itu pintu ruangan ini
kembali terbuka. Dari baliknya
muncul
seorang pemuda dengan
tergopoh-gopoh.
"Guru! Ada seseorang yang
ingin
bertemu Guru," lapor pemuda
itu sedikit
gelagapan.
"Siapa?" tanya
Reksapati.
"Dia mengenalkan diri
Brajadenta
yang berjuluk si Dewa Maut"
Kening Reksapati berkerut. Dia
merasa belum pernah mendengar nama
itu.
"Suruh Singalodra
menemuinya!"
perintah Reksapati kepada pemuda
yang
baru muncul itu.
"Sudah. Tetapi, dia tetap
nekat,
Guru...."
Braaakkk...!
Tiba-tiba terdengar bunyi benturan
benda keras. Reksapati segera
melompat
dan berkelebat ke luar.
***
Emoticon