***
Setiba di tanah datar tempat
anggota Perkum-
pulan Pengemis Tongkat Sakti
bermukim, puluhan
mata menyaksikan Carang Gati dan
Katabang sedang
membopong tubuh Adipati Danubraja.
"Kenapa orang itu, Carang
Gati?" tanya Gede
Panjalu yang tiba-tiba muncul di
hadapan mereka ber-
dua.
"Dia terluka parah, Kakek
Gede. Tubuhnya ku-
temukan tergeletak di lereng
bukit," jelas Carang Gati.
Gede Panjalu menatap tubuh Adipati
Danubra-
ja yang berlumuran darah.
Pakaiannya sudah tak ka-
ru-karuan lagi, bercampur darah
dan debu tebal.
"Segera bawa ke
bilikku...," ujar Gede Panjalu
memberi perintah.
Carang Gati dan Katabang segera
mengerjakan
perintah Gede Panjalu. Mereka
meletakkan tubuh Adi-
pati Danubraja di dipan bambu.
Sebentar kemudian, kakek bongkok
itu telah
sibuk melakukan pengobatan.
Bagian-bagian tubuh
Adipati Danubraja yang terluka
akibat sayatan pedang
dibalut dengan kain bersih.
Sedangkan pada bagian
yang memar, diborekan ramuan
daun-daunan.
"Untung hanya luka luar.
Jadi, tak begitu
membahayakan jiwanya...,"
gumam Gede Panjalu.
Suropati yang telah hadir di
tempat ini mende-
kati Pengemis Tongkat Sakti.
Remaja yang sudah ge-
nap berumur sembilan belas tahun
itu tampak sema-
kin gagah. Matanya bersinar tajam,
menyorotkan ilmu
kepandaian yang dimilikinya.
Rambutnya yang hitam
panjang masih tetap dibiarkan
terurai di punggung.
Pakaiannya walaupun penuh
tambalan, tapi tampak
bersih.
"Bukankah dia Gusti Adipati
Danubraja...?"
tanya Suropati kepada Gede
Panjalu, seperti ingin me-
negaskan dugaannya.
"Benar," jawab Gede
Panjalu pendek.
"Kenapa dia berada di sini
dengan tubuh terlu-
ka parah seperti itu?"
"Carang Gati dan Katabang
yang menemukan-
nya. Katanya tubuhnya ditemukan
tergeletak di lereng
bukit"
Sementara itu, perlahan-lahan
Adipati Danu-
braja sadar dari pingsannya.
Tubuhnya menggeliat ke-
cil
"Uhhh...! Di mana
aku...?" tanya Adipati Danu-
braja sambil mencoba bangun.
"Tenanglah, Gusti Adipati.
Luka-lukamu belum
sembuh...," ujar Pengemis
Binal perlahan.
Adipati Danubraja membuka mata lebar-lebar.
Ketika menatap Suropati dan Gede
Panjalu yang ber-
pakaian penuh tambalan, dia
beringsut menjauh.
"Kalian menculikku...?!"
Kening Suropati berkerut.
"Tidak ada yang menculik
Gusti Adipati. Justru
kakekku yang bernama Gede Panjalu
ini, yang meno-
long Gusti Adipati...," kata
Pengemis Binal memberi
penjelasan.
Adipati Danubraja diam tepekur di
atas dipan.
"Apakah pengemis-pengemis
yang mengeroyok-
ku itu bukan teman kalian?"
tanya Adipati Danubraja
diliputi rasa heran.
"Gusti Adipati dikeroyok
pengemis...?" Gede
Panjalu malah balik bertanya.
Sementara itu, kening Suropati
kembali berke-
rut.
"Cobalah Gusti Adipati
menceritakan peristi-
wanya...," ujar Pengemis
Binal.
Adipati Danubraja menatap wajah
Suropati dan
Gede Panjalu bergantian. Karena
tidak melihat sinar
permusuhan dari mata mereka,
segera diceritakannya
peristiwa di pendapa kadipaten
yang baru saja terjadi.
"Bagaimana ciri-ciri
kesepuluh pengemis itu?"
tanya Suropati kemudian.
"Aku tidak begitu memperhatikan.
Tapi, pa-
kaian mereka jelas seperti pakaian
pengemis layaknya.
Yakni, penuh tambalan. Dan mereka
bersenjata golok,"
Jelas Adipati Danubraja.
"Golok...?!" kata
Suropati dan Gede Panjalu
hampir bersamaan.
"Anggota Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti
tidak ada yang bersenjata golok.
Jelas, mereka sengaja
membuat fitnah...!" sentak
Suropati bersemangat
Tiba-tiba di luar terjadi
keributan seperti terjadi
pertengkaran mulut. Saat itu juga,
Suropati dan Gede
Panjalu segera melompat.
Tampak sekitar lima puluh orang
prajurit Kadi-
paten Bumiraksa tengah berhadapan
dengan para
pengemis bersenjata tongkat.
"Kami sedang mencari
junjungan kami! Kenapa
kalian menghalangi...?!"
tandas salah seorang dari pra-
jurit kadipaten.
Suropati berjalan mendekati.
"Siapa yang kau
cari, Prajurit?" tanya
Pengemis Binal.
"Gusti Adipati
Danubraja."
Mendadak Adipati Danubraja muncul
di tempat
itu. Dia berdiri tegak. Tubuhnya
yang terluka masih
bisa menunjukkan kegagahannya.
"Aku di sini, Prajurit,"
kata Adipati Danubraja
menampakkan kewibawaannya.
Melihat kehadiran adipati itu,
seluruh prajurit
kadipaten yang baru saja datang
segera berlutut.
Adipati Danubraja tersenyum sinis.
"Jangan bermain sandiwara di
hadapanku! Bu-
kankah kalian antek-antek Patih
Wiraksa yang diperin-
tah untuk membunuhku...?!"
dengus adipati ini.
"Ampun, Gusti Adipati.
Junjungan kami hanya
Gusti Adipati. Kalau kami
berdusta, nyawa kami taru-
hannya...," ucap seorang
prajurit kadipaten yang ber-
lutut di dekat Suropati.
"Kami semua adalah pengikut
setia Gusti Adipati."
Mendengar kalimat itu, Adipati
Danubraja ber-
jalan beberapa langkah seraya
mencabut pedang pen-
deknya. Dan....
Siiing..!
Pedang di tangan adipati itu
berkelebat cepat.
Seorang prajurit yang berada di
dekat Adipati Danu-
braja bergidik ngeri. Matanya
segera dipejamkan waktu
melihat kelebatan pedang tertuju
ke arahnya!
Prajurit yang sudah pasrah
menerima kematian
itu merasakan hembusan angin di
atas kepalanya. Dia
pun bernapas lega setelah
menyadari Adipati Danubra-
ja tak berniat membunuhnya.
"Baik! Aku percaya kepada
kalian. Dan seka-
rang juga, kalian ikut aku kembali
ke pendapa kadipa-
ten. Gusti Ayu Rara Anggi dan Dewi
Ikata harus segera
diselamatkan...!" tegas
Adipati Danubraja.
***
9
Sementara itu, suasana di Pendapa
Kadipaten
Bumiraksa telah kembali tenang.
Para pengikut Patih
Wiraksa dapat bekerja cepat
membersihkan sisa-sisa
pertempuran. Prajurit-prajurit
kadipaten yang berpi-
hak kepada Patih Wiraksa tampak
berjaga-jaga di pos
masing-masing seperti biasa.
Di dalam sebuah kamar, Rara Anggi
bersama
putrinya, Dewi Ikata, tak
henti-hentinya menghambur-
kan air mata. Kesedihan
menghantam, membuat luka
menganga di lubuk hati. Mereka
seperti sedang hidup
dalam mimpi buruk. Mereka belum
bisa menerima ke-
nyataan yang baru saja terjadi.
"Di mana ayahanda,
Bu...?" tanya Dewi Ikata di
sela-sela tangisnya.
Rara Anggi hanya diam terpuruk di
sudut
ruangan, tak mampu menjawab
pertanyaan putrinya.
"Apakah ayahanda telah
berpulang, Bu...?" de-
sak Dewi Ikata.
Rara Anggi menatap wajah putrinya
tanpa ber-
kedip. Mata Dewi Ikata terlihat
memerah dan bengkak,
karena terlalu banyak mengeluarkan
air mata.
"Oh..., Ikata
anakku...."
Tiba-tiba Rara Anggi berhambur,
memeluk tu-
buh putrinya. Maka suara tangis
mereka meledak.
Dengan saling berpelukan, mereka
menumpahkan pe-
rasaan masing-masing.
Di tengah suasana seperti itu
tiba-tiba pintu
terbuka. Ternyata yang muncul
adalah seorang lelaki
setengah baya berwajah bersih dan
halus. Bibirnya
mengulum senyum dingin ke arah
Rara Anggi yang
kontan menoleh saat pintu terbuka.
Dan yang datang
memang Patih Wiraksa.
"Pergi kau, Wiraksa...!"
teriak Rara Anggi, meli-
hat kehadiran patih itu.
Patih Wiraksa menyeringai. Matanya
menatap
tajam ke tubuh wanita cantik yang
sedang memeluk
putrinya.
"Kau jangan berkata kasar
seperti itu, Anggi.
Akulah yang memegang tampuk
kepemimpinan di Ka-
dipaten Bumiraksa sekarang
ini...," ujar Patih Wiraksa
tandas.
"Cihhh...!" Rara Anggi
meludah di lantai. "Kau
hanyalah seekor binatang yang tak
tahu membalas
budi...!"
Patih Wiraksa menggeram gusar.
Sinar mata
berkilat nyalang. Tapi, segera
meredup. Dan bibirnya
pun menampakkan senyum manis.
"Aku mencintaimu, Anggi...,"
kata Patih kadipa-
ten itu perlahan.
"Tua bangka tak tahu malu!
Beraninya kau
mengatakan itu kepadaku...!"
"Benar, Anggi. Aku
mencintaimu. Sejak kau di-
peristri Danubraja, hatiku
sebenarnya telah hancur
berkeping-keping. Bertahun-tahun
aku menunggu ke-
sempatan untuk dapat merebut
dirimu. Dan, baru se-
karanglah keinginanku bakal
terwujud adanya...."
"Tua bangka! Lihat dirimu
yang sudah mende-
kati liang kubur! Apakah kau tak
merasa malu mengu-
capkan kata itu...?!"
"Demi cintaku padamu, aku
rela melakukan
apa saja, Anggi. Termasuk
menepiskan rasa malu da-
lam diriku. Sekarang, aku mohon
agar kau sudi men-
jadi istriku...," ratap Patih
Wiraksa, berusaha berkata
lembut.
"Tidak! Aku tak sudi
diperistri seekor binatang
macam kau, Wiraksa...!"
teriak Rara Anggi.
Patih Wiraksa kembali menggeram
gusar, se-
raya melangkah mendekati Rara
Anggi.
"Aku katakan sekali lagi,
sudikah kau menjadi
istriku?" desak lelaki itu.
"Aku tak sudi, Keparat!"
dengus Rara Anggi.
Mendengar ucapan Rara Anggi yang
memerahkan te-
linga, kesabaran Patih Wiraksa
sampai pada batasnya.
Tiba-tiba tangannya bergerak,
menjambak rambut Ra-
ra Anggi. Seketika ditariknya ke
belakang, sehingga
wajah wanita cantik itu tengadah.
"Kau menolak cintaku,
Anggi...," desis Patih Wi-
raksa dengan gigi gemeretuk.
"Kau tahu, apa akibat-
nya...?!"
"Kalau kau mau membunuhku,
segera laku-
kan...!" sentak Rara Anggi
dengan beraninya.
Dewi Ikata yang menyaksikan
kejadian ini me-
meluk tubuh ibunya dari belakang,
tanpa mampu ber-
buat apa-apa.
Tiba-tiba....
Sreeet..!
Patih Wiraksa segera menghunus
pedangnya.
Matanya menatap ketajaman
pedangnya sebentar, ke-
mudian beralih ke tubuh Rara Anggi
yang terpuruk di
lantai.
"Baik, kalau memang itu
maumu. Segeralah
bersiap-siap menemui malaikat
kematian...!"
Selesai mengucapkan kalimatnya,
pedang di
tangan Patih Wiraksa berkelebat
cepat!
Jerit Rara Anggi dan Dewi Ikata
membahana.
Suaranya menggema terpantul di
dinding. Namun,
yang terdengar justru tawa
berderai dari mulut patih.
Ternyata niat membunuhnya
diurungkan.
"Ha ha ha.... Aku masih
merasa sayang nya-
wamu, Anggi," kata Patih
Kadipaten itu sambil mema-
sukkan pedangnya ke dalam
sarungnya.
Rara Anggi menatap Patih Wiraksa
penuh ke-
bencian.
"Kenapa kau tidak segera
membunuhku, Kepa-
rat?!" desis Rara Anggi.
"Hari ini aku merindukan
kehangatan tubuhmu
Anggi...," kata Patih Wiraksa
dengan dada bergolak.
Hasrat kelelakian patih ini
tiba-tiba muncul. Setelah
menatap wajah Rara Anggi
dalam-dalam, tangannya
bergerak cepat!
Breeet...!
"Auuuwww...!"
Rara Anggi menjerit gusar. Bajunya
terkoyak
lebar, menampakkan dua gunung
kembar yang tiba-
tiba menyembul. Dan ini membuat
Patih Wiraksa ter-
beliak. Jakunnya turun-naik. Mendadak
napasnya
menjadi ngos-ngosan.
Rara Anggi segera menutupi bagian
tubuhnya
yang terlarang dengan kedua
telapak tangannya.
"Ha ha ha...!" Patih
Wiraksa tertawa gelak. "Aku
berharap kau bersedia melayani
keinginanku dengan
penuh kepasrahan...."
"Binatang! Bunuh saja
aku!" jerit Rara Anggi
dengan luapan amarah.
"Itu mudah, Anggi. Tanpa kau
minta, aku pun
akan membunuhmu. Tapi hari ini,
aku benar-benar
merindukan kehangatan
tubuhmu...."
Patih Wiraksa kemudian
bersiap-siap memeluk
tubuh Rara Anggi.
"Jangan...!" teriak Dewi
Ikata keras, langsung
kembali menutupi tubuh ibunya.
Mata Patih Wiraksa melotot. Dan
seketika tan-
gannya mencekal punggung Dewi
Ikata. Tapi, gadis itu
tak mau lepas dari tubuh ibunya.
Breeet...!
Baju Dewi Ikata bagian belakang
robek lebar te-
renggut tangan Patih Wiraksa.
"Ho ho ho...!" Lelaki
setengah baya itu tertawa
lebar menyaksikan punggung Dewi
Ikata yang telan-
jang. "Rupanya kulitmu lebih
mulus dari kulit ibumu,
Ikata Gadis Manis...."
Tiba-tiba Patih Wiraksa yang sudah
dikuasai
nafsu setan itu memeluk tubuh Dewi
Ikata dari bela-
kang. Segera diciuminya leher
gadis ini.
Dewi Ikata terkejut, kemudian
melompat men-
jauh. Patih Wiraksa menggeram. Dan
ketika matanya
beralih ke Rara Anggi kembali
terbeliak. Kini tubuh
Rara Anggi terpampang dekat di
hadapannya. Saat itu
juga lelaki yang sudah hilang
sifat kemanusiaannya ini
menerkam!
Rara Anggi berusaha meronta-ronta
sekuat te-
naga melepaskan diri dari terkaman
binatang jalang
ini. Namun, Patih Wiraksa malah
merasa senang. Ron-
taan Rara Anggi dianggap sebagai
geliatan manja. Ma-
ka dengan napas menderu-deru, dia
berusaha melam-
piaskan nafsu setannya.
Namun....
Braaakkk...!
Tiba-tiba saja daun pintu jebol.
Seketika Patih
Wiraksa menghentikan tindakannya,
dan menoleh ke
arah pintu. Ternyata, yang muncul
adalah Adipati Da-
nubraja, Penguasa Kadipaten
Bumiraksa ini telah ber-
diri dengan pedang terhunus.
"Jahanam busuk! Kau sungguh
biadab, Wirak-
sa...!" bentak adipati ini,
seraya bergerak menerjang
sambil membabatkan pedangnya.
Wuuuttt...!
Patih Wiraksa melompat,
menghindari samba-
ran pedang.
"Kau datang lagi, Danubraja!
Rupanya kau
hendak mengantarkan
nyawa...!" dengus Patih Wiraksa
dengan dada menggelegak.
"Justru aku yang akan
mencabut nyawamu,
Wiraksa...!" jawab Adipati
Danubraja tak kalah sengit-
nya
Patih Wiraksa menatap tubuh bekas
junjun-
gannya yang penuh balutan luka.
Mendadak mulutnya
menyeringai gusar, berusaha
menajamkan telinganya.
"Rupanya kau tidak datang
sendirian, Danu-
braja...!" kata Patih Wiraksa
dengan gigi terpaut rapat
"Benar katamu, Wiraksa. Aku
datang bersama
prajurit-prajurit setiaku.
Sebentar lagi, mereka akan
mencercahmu...!"
"Ha ha ha...!" Patih
Wiraksa tertawa. "Tidak se-
mudah yang kau kira. Para
pengikutku terlalu tangguh
untuk ditaklukkan."
"Keparat! Aku ingin bukti
dari ucapanmu itu...!"
dengus Adipati Danubraja seraya
bergerak menerjang
kembali.
Namun Patih Wiraksa tak kalah
sigap. Pedang-
nya pun bergerak memapak.
Trang...!
Dua senjata tajam berbenturan di
udara.
"Kita cari tempat yang
longgar, Danubraja...!"
ujar Patih Wiraksa seraya
menghemposkan tubuhnya,
menuju ruang utama kadipaten.
Adipati Danubraja menatap istri
dan putrinya
sejenak.
"Aku minta doa
kalian...," bisik adipati itu, se-
gera tubuhnya bergerak, mengejar
Patih Wiraksa.
Sebentar saja, pertempuran sengit
antara dua
tokoh utama Kadipaten Bumiraksa
segera terjadi! Adi-
pati Danubraja yang belum sembuh
dari lukanya,
menggempur bagai banteng ketaton.
Luka yang dideri-
tanya justru menambah semangatnya
untuk segera
menghabisi lawannya.
Patih Wiraksa yang memandang
rendah, sering
kali dibuat terperangah akibat
ketidakwaspadaannya.
Namun, segera seluruh
kepandaiannya dikerahkan un-
tuk menghadapi gempuran Adipati
Danubraja.
Trang...! Trang...!
Benturan pedang terdengar
beruntun. Pertem-
puran demi mempertahankan
kehormatan itu segera
berlangsung semakin seru.
Di luar pendapa kadipaten,
pertempuran seru
juga sedang berlangsung. Para
prajurit yang masih se-
tia kepada Adipati Danubraja
bertempur melawan pra-
jurit-prajurit pengikut Patih
Wiraksa.
Sementara itu, dari pendapa
kadipaten ber-
munculan sepuluh orang berpakaian
penuh tambalan
yang segera menggempur para
prajurit yang masih se-
tia kepada Adipati Danubraja.
Dengan senjata golok,
mereka berusaha menyebar kematian.
Namun, sebelum mereka menyebar
maut lebih
banyak lagi, mendadak dua bayangan
berkelebat
menghadang!
"Siapa kalian? Kenapa
berpakaian seperti pen-
gemis?!" bentak seorang
penghadang yang tak lain
Pengemis Binal. Sementara, di
sebelahnya tampak
Gede Panjalu. Masing-masing
memegang tongkat.
Kesepuluh orang itu menatap
Suropati dan
Gede Panjalu bergantian.
"Gembel busuk! Buka matamu
lebar-lebar! Aku
adalah Respati, pemimpin
Gerombolan Golok Maut!"
dengus salah seorang yang
berpakaian mirip pengemis.
Agaknya dia bertindak sebagai
pemimpin.
"He he he...," Suropati
tertawa mengejek. "Meli-
hat tampang kalian yang
kasar-kasar, kalian tentu
rampok yang sering nyolong ayam
milik tetangga. Ka-
rena sering ketahuan, jadinya
kalian berubah jadi pen-
gemis...."
"Bangsat!" umpat
Pemimpin Gerombolan Golok
Maut yang bernama Respati.
"Kami bukan pengemis.
Gembel Busuk!"
"He he he...," Suropati
tertawa lagi. "Kalau bu-
kan pengemis, mengapa berpakaian
seperti penge-
mis...?"
"Kami hanya menjalankan
tugas, Goblok!"
Tiba-tiba seorang anak buah
Respati mendekat.
"Sudahlah.... Kita tak punya
waktu banyak. Un-
tuk apa melayani bocah gendheng
itu...?!"
Respati mengangguk pelan, kemudian
matanya
mengerling. Maka seketika seluruh
anak buahnya se-
gera menerjang Suropati dan Gede
Panjalu dengan
sambaran golok yang mematikan.
Wuuuttt...! Wuuuttt...!
Sambaran golok yang datang
bertubi-tubi den-
gan mudah dihindari Pengemis Binal
dan Gede Panja-
lu. Bahkan dengan suatu gerakan
ringan, kedua tokoh
pengemis itu dapat menghunjamkan
tongkatnya!
Dhesss...! Dhesss...!
Dua orang anggota Gerombolan Golok
Maut
yang disewa Patih Wiraksa kontan
menggelosor ke ta-
nah sambil mendekap dadanya.
Mereka hanya menga-
duh-aduh, tanpa mampu bangkit
lagi.
Melihat kepandaian lawan, Respati
segera
membagi anak buahnya menjadi dua
kelompok, yang
masing-masing terdiri dari empat
orang. Dan, dua ke-
lompok itu kemudian mengerubut
Pengemis Binal dan
Gede Panjalu.
Namun, sampai di mana pun mereka
mengelu-
arkan seluruh kepandaian, Pengemis Binal dan Gede
Panjalu tidaklah mudah dirobohkan.
Malah kemu-
dian...
Dhesss...! Dhesss...!
Dua anak buah Respati kembali
terjungkal. Tu-
buh mereka ambruk ke tanah terkena
sambaran tong-
kat
Dan, tak sampai sepuluh tarikan
napas kemu-
dian, seluruh Gerombolan Golok
Maut telah tergeletak
pingsan.
"Rasakan, Pengemis Palsu!
Jangan coba-coba
memfitnah, kalau belum punya nyawa
rangkap...!" ejek
Suropati kekonyol-konyolan.
Tapi, tiba-tiba....
"Awas, Suropati...!"
teriak Gede Panjalu membe-
ri peringatan ketika melihat
ribuan jarum hitam me-
luncur deras ke arah mereka.
Saat itu juga, dua tokoh
Perkumpulan Penge-
mis Tongkat Sakti ini memutar
tongkatnya, membuat
ribuan jarum hitam itu pun rontok
di tanah. Dan begi-
tu tak satu jarum pun menemui
sasaran, mendadak
tujuh bayangan berkelebat.
Tahu-tahu di depan Suro-
pati dan Gede Panjalu telah
berdiri tujuh sosok yang
tampaknya dari golongan hitam.
"Kita bertemu lagi, Bocah
Gendheng...!" bentak
Balagundi yang berdiri di
tengah-tengah tujuh tokoh
beraliran hitam.
"He he he...," mulut
Suropati mengeluarkan su-
ara tawa renyah. "Betul
katamu, Kek. Kita memang
ada jodoh."
Balagundi tak berkata lagi.
Bersama Balangan
saudara seperguruannya, dia
menerjang Pengemis Bi-
nal. Serangan mereka pun diikuti
oleh Rabanga Setan
Pencabut Nyawa.
"Wuihhh...! Sabar dikit dong,
Kek. Kalau mau
minta jatah, antri dulu. Masa'
main kerubut, begi-
tu...?!" ejek Suropati.
Tiga tokoh beraliran hitam itu
mendengus ka-
sar. Dan mereka segera
mengeluarkan jurus andalan.
Sepasang Iblis Penyebar Petaka
menggebrak dengan
jurus "Iblis Menerjang
Arwah'. Sedangkan kedua tan-
gan Rabanga bergerak cepat,
berlambarkan jurus
mautnya
Sementara itu, keempat orang
sewaan Patih Wi-
raksa lainnya segera menggempur
Gede Panjalu.
Tanpa sungkan-sungkan lagi mereka
mengeru-
but Pengemis Tongkat Sakti dari
segala arah penjuru
angin. Kedua tangan Brajamusti
atau si Dewa Sesat
tampak menghitam akibat pengerahan
tenaga dalam.
Empu Barangas atau Empu Keris
Hitam telah melo-
loskan keris berkeluk tujuhnya.
Demikian pula, Kali-
gundi yang berjuluk Pegulat Tangan
Maut. Sikapnya
seakan berusaha untuk dapat
meremukkan tulang-
tulang Gede Panjalu. Sedangkan
Pradesta, si Pendeta
Murtad, menyerang dengan tenang.
Tasbih dan tong-
kat pendek di tangannya terus
meluncur, mencari ja-
lan kematian.
***
Sementara itu, pertempuran antara
Adipati Da-
nubraja dan Patih Wiraksa tampak
berjalan seimbang
Luka di tubuh Adipati Danubraja
yang tidak
begitu mengganggu gerakannya
justru menambah se-
mangat bertarungnya. Pedang pendek
di tangannya te-
rus mencecar tubuh Patih Wiraksa.
Namun, lelaki se-
tengah baya yang hendak merebut
tahta kadipaten itu
tentu saja tidak mau kalah.
Pedangnya juga berkelebat
tak kalah cepat.
Trang...!
Pedang mereka bertemu di udara,
menimbul-
kan bunga api yang menyilaukan
pandangan.
"Kerahkan seluruh kepandaianmu,
Danubra-
ja...!" teriak Patih Wiraksa
di sela-sela sambaran pe-
dang
Sebagai jawaban, Adipati Danubraja
segera
mempercepat gerakan pedangnya.
Wuuuttt...!
Patih Wiraksa menghindari sambaran
pedang.
Tiba-tiba Adipati Danubraja
melompat, men-
jauhi arena pertempuran.
"Bersiap-siaplah, Wiraksa!
Aku akan mengadu
nyawa denganmu!" desis
adipati itu di antara desahan
napasnya yang memburu.
"Ho ho ho...," Patih
Wiraksa tertawa penuh eje-
kan. "Aku masih sayang pada
nyawaku. Nyawamu saja
yang kau serahkan padaku, sebagai
tumbal penoba-
tanku menjadi adipati!"
"Baik, terimalah
ini...!"
Dengan mata berkilat karena hawa
amarah,
Adipati Danubraja menerjang Patih
Wiraksa. Pedang
pendek di tangan kanannya meluncur
lurus, tepat
mengarah ke jantung!
Patih Wiraksa menyeringai bengis.
Tubuhnya
tak bergeming dari tempatnya
berdiri. Dengan penuh
keberanian, dipapaknya serangan.
Batang pedangnya
yang lebih panjang sejengkal,
mengarah ke ulu hati
Adipati Danubraja!
Tokoh puncak di Kadipaten Bumiraksa
itu ter-
kejut. Namun, karena sudah kenyang
pengalaman
tempur, segera dibuatnya tipu
muslihat. Ketika jarak
ujung pedang Patih Wiraksa tinggal
seusap dengan tu-
buhnya, dia menjatuhkan diri ke
lantai. Lalu, pedang-
nya menyambar deras!
Bret..!
"Aughhh...!"
Mata Patih Wiraksa mendelik begitu
pedang pa-
ri Danubraja menyambar perutnya.
Bola mata bak ke-
lereng yang mau melompat ke luar.
Dengan tangan ki-
rinya luka lebar di perutnya
didekap. Darah kontan
muncrat! Perlahan-lahan usus Patih
Kadipaten itu
menyembul dari sela-sela jari
tangannya.
"Kau... kau keparat...
Dan..., Danubraja...!" ka-
ta Patih Wiraksa sambil menahan
rasa sakitnya. Pe-
dang yang masih digenggam erat,
diacungkan ke arah
Adipati Danubraja yang telah
berdiri di hadapannya.
"Sekarang aku akan mengirimmu
ke neraka,
Wiraksa!" desis Adipati Danubraja menggeram, lalu
pedangnya berkelebat cepat!
Tesss...!
"Aaa...!!"
Diiringi jeritan panjang yang
mendirikan bulu
roma, leher Patih Wiraksa terbabat
putus. Kepalanya
langsung menggelinding. Darah
menyembur bak mata
air yang baru dibuka.
Perlahan-lahan tubuh tanpa ke-
pala itu melorot ke lantai, dan
segera terbaring tanpa
nyawa.
Tiba-tiba Rara Anggi dan Dewi
Ikata berhambur
memeluk tubuh orang yang dicintai.
Air mata sudah
tak bisa dibendung lagi, mengalir
deras terbawa pera-
saan haru.
"Sudahlah, Anggi dan
Ikata...," ujar Adipati Da-
nubraja sambil melepas pelukan.
"Di luar masih terjadi
pertempuran. Aku harus segera
turun tangan. Semoga
kemelut di Kadipaten Bumiraksa ini
dapat kuatasi
tanpa menimbulkan lebih banyak
korban lagi...."
Adipati Danubraja kemudian
melangkah. Di-
ambilnya kepala Patih Wiraksa, dan
ditentengnya ke
luar pendapa kadipaten.
"Antek-antek Wiraksa!
Jatuhkan senjata. Lihat,
apa yang kubawa...?!" teriak
Adipati Danubraja, lan-
tang. Dia berdiri di tangga
pendapa, sehingga bisa dili-
hat semua orang yang sedang
bertempur.
Seperti kena sihir, pertempuran
berhenti men-
dadak. Semua mata menatap benda
yang ditenteng
Adipati Danubraja.
Melihat junjungannya telah menemui
ajal, pra-
jurit-prajurit pengikut Patih
Wiraksa segera menjatuh-
kan senjata yang dibawa, dan
menyerah bulat-bulat.
***
10
Tujuh tokoh beraliran hitam yang
tengah men-
geroyok Suropati dan Gede Panjalu
juga menghentikan
gempuran. Mereka menatap nanar
kepala Patih Wirak-
sa yang menggantung di tangan
Adipati Danubraja
"Bagaimana, Kakek-kakek yang
budiman? Ma-
sihkah kalian ingin meneruskan
permainan ini...?"
tanya Pengemis Binal sambil
mengulum senyum.
Sepasang Iblis Penyebar Petaka dan
Setan Pen-
cabut Nyawa menyeringai gusar.
Namun karena sudah
kepalang basah, mereka kembali
menerjang!
"Kakek-kakek Bandel! Tuan
kalian sudah me-
nemui ajal, kenapa masih nekat?!
Untuk siapa kalian,
mempertaruhkan nyawa...?!"
ejek Pengemis Binal.
"Untuk dedemit yang menunggui
pendapa ka-
dipaten ini, Bocah Gendheng!"
jawab Balangangsil
sambil melayangkan pukulan jarak
jauhnya.
Wuuussss....!
Serangkum angin meluncur dahsyat,
namun
Pengemis Binal cepat melenting ke
atas.
Blaaarrr....!
Serangan kakek cebol itu tak
mengenai sasa-
ran. Sebagai gantinya, tanah
tempat Suropati tadi ber-
diri amblong dalam.
Balagundi tak mau ketinggalan.
Segera dice-
carnya Pengemis Binal dengan
serangan beruntun.
Kini, Sepasang Iblis Penyebar
Petaka yang su-
dah mengetahui kehebatan lawan,
terus menggempur
tanpa mau memberi kesempatan
bernapas. Namun,
mereka berulang kali dibuat
terkejut. Karena, selalu
saja Suropati mudah sekali dapat
menghindari seran-
gannya. Tahulah mereka bahwa waktu
yang telah ber-
jalan dua tahun, membawa kemajuan
pesat terhadap
kepandaian remaja berpakaian putih
penuh tambalan
yang berjuluk Pengemis Binal ini.
Rabanga atau Setan Pencabut Nyawa pun tak
kalah terkejutnya. Belum pernah
seumur hidupnya dia
menyaksikan seorang remaja belasan
tahun yang se-
demikian hebatnya. Serangannya
saja selalu mengenai
angin kosong, sehingga membuatnya
jadi putus asa.
Gerak kaki dan tangannya pun jadi
ngawur. Dan hal
itu membuatnya lengah.
Sehingga....
Dheeesss...!
Tubuh kakek berpakaian serba merah
ini ter-
lempar dua tombak dengan tulang
iga patah terkena
sodokan tongkat Pengemis Binal.
Darah segar sembu-
rat, membasahi bibirnya. Dan dia
pun segera rebah,
tak sadarkan diri.
Melihat seorang temannya sudah tak
berdaya,
nyali Sepasang Iblis Penyebar
Petaka jadi kecut. Gem-
purannya mendadak jadi kendor.
Dan, hal itu tak dis-
ia-siakan Suropati. Tubuhnya
berkelebat menggerak-
kan jurus 'Tongkat Memukul
Anjing'. Tongkatnya seke-
tika melayang deras! Dan....
Dheeesss...! Dheeesss...!
Balagundi dan Balangangsil
terjungkal menyu-
sul Rabanga ketika tongkat
Pengemis Binal mendarat
di dada. Tubuh mereka kontan
terpuruk di tanah den-
gan luka dalam yang parah.
Kini Pengemis Binal berdiri tegak
dengan ga-
gahnya. Pakaian serta rambutnya
yang hitam panjang
berkibar tertiup angin. Tapi,
matanya segera membela-
lak lebar ketika mengetahui Gede
Panjalu tengah ter-
desak hebat!
Trak...! Weeer...!
Tongkat Gede Panjalu tampak
terbelit tasbih di
tangan Pendeta Murtad. Bersamaan
dengan itu, Empu
Barangas meluncur mengarah ke
jantung!
Wuuusss...!
Tiba-tiba Gede Panjalu
menghemposkan tu-
buhnya ke atas. Karena tak
menemukan jalan lain,
tongkatnya dilepas. Namun, belum
sampai mendarat
tanah, Brajamusti dan Kaligundi
telah menerjang ber-
samaan.
Gede Panjalu terkejut setengah
mati. Tapi tiba-
tiba Pengemis Binal melesat sambil
melemparkan
tongkatnya.
"Terima tongkatku,
Kek...!" teriak Suropati.
Dengan sigap, Gede Panjalu
menyambut. Dan
ketika tongkatnya diputar dengan
cepat
Wuuuttt...! Wuuuttt...!
Walaupun tubuh Pengemis Tongkat
Sakti ma-
sih melayang di udara, tapi dapat
cepat memutar tong-
katnya membentuk perisai lebar.
Brajamusti dan Kaligundi
terperangah. Karena
tak mau terhantam tongkat di
tangan Gede Panjalu,
mereka segera melenting, menjauhi
arena pertempuran
Teppp....!
Gede Panjalu berhasil mendaratkan
kakinya
dengan mulus.
"Terima kasih,
Suro....'" ucap Pengemis Tongkat
Sakti sambil menatap keempat
pengeroyoknya.
"Masing-masing dapat dua
bagian, Kek...!" te-
riak Suropati seraya menerjang
Pendekar Murtad dan
Empu Barangas.
Kini dengan tangan kosong,
Suropati mencoba
menggempur dua tokoh tua beraliran
hitam itu. Kedua
tangan remaja yang telah memakai
julukan Pengemis
Binal itu mengembang lebar di
udara, lalu menangkub.
Dan...
Wuuusss...!
Dua rangkaian angin pukulan meluncur
ber-
samaan ke arah Pendeta Murtad dan
Empu Barangas.
Dua tokoh sakti itu mendengus
gusar, kemu-
dian segera meloncat ke samping.
Blaaarrr...!
Tanah tempat pukulan Suropati
mendarat ber-
lubang sedalam tinggi badan
manusia dewasa. Sambil
tersenyum simpul karena melihat
dua lawannya terpe-
rangah, Pengemis Binal segera
melanjutkan jurus
'Pengemis Meminta Sedekah'nya.
Dalam waktu yang hampir bersamaan,
Gede
Panjalu pun telah menggeprak
Brajamusti dan Kali-
gundi kembali. Tongkat di
tangannya berkelebat cepat
berlambarkan jurus ketiga dari
rangkaian jurus
'Tongkat Sakti'. Namanya jurus
'Tongkat Mengejar
Kucing'!
***
Sementara itu, di sekitar arena
pertempuran,
keadaan telah kembali tenang.
Adipati Danubraja ber-
sama beberapa orang prajuritnya
berdiri di ambang
pintu pendapa kadipaten,
menyaksikan pertempuran
seru yang sedang berlangsung.
Berkali-kali mata adipati yang
berusia sekitar
empat puluh dua tahun itu
terbelalak, terbawa rasa
kagum akan kehebatan Suropati dan
Gede Panjalu.
Dan tiba-tiba, dada Adipati
Danubraja dihan-
tam rasa sesak. Dia teringat sikap
tak terpujinya yang
terjadi dua tahun silam. Waktu itu
dia dengan sewe-
nang-wenang telah mengusir seluruh
pengemis dari
Kota Kadipaten Bumiraksa. Terbayang
pula di matanya
menyewa tujuh tokoh tua beraliran
hitam untuk me-
wujudkan keinginannya. Dan,
sekarang di saat ketu-
juh orang sewaannya telah
menunjukkan pengkhiana-
tan, hantaman rasa sesal di
dadanya sudah tak terkira
lagi. Seketika jalan pernapasannya
jadi sesak
Sebentar kemudian, mata adipati
itu tampak
berkaca-kaca. Dia teringat keadaan
dirinya yang tak
berdaya di lereng Bukit
Pangalasan. Dengan keadaan
terluka, tubuhnya tergeletak di
tanah berdebu, tak sa-
darkan diri. Dan ketika sadar,
adipati itu mendapati
dirinya telah mendapat pertolongan
dari para penge-
mis.
Rasa haru ganti menghantam dada
Adipati Da-
nubraja. Ketika air matanya hendak
bergulir, segera
diambilnya napas panjang untuk
memberi kekuatan
dalam hatinya. Bagaimanapun juga,
dia adalah seo-
rang adipati. Tabu baginya
menampakkan air mata di
hadapan para bawahannya.
Mendadak Rara Anggi dan Dewi Ikata
muncul
dari ruang dalam, segera
didekatinya Adipati Danubra-
ja.
"Siapa yang sedang bertempur,
Ayah...?" tanya
Dewi Ikata.
"Mereka berdua dewa penolong
Ayah, Ikata" ja-
wab Adipati Danubraja perlahan.
"Apakah mereka berdua seorang
pengemis?"
tanya Dewi Ikata lagi, yang
melihat pakaian Suropati
dan Gede Panjalu penuh tambalan.
"Tampaknya memang begitu.
Tapi Ayah yakin
mereka bukan orang-orang
sembarangan. Mereka ten-
tu dua tokoh penting dari
perkumpulan pengemis."
Tepat dengan terhentinya ucapan
Adipati Da-
nubraja, tongkat di tangan Gede
Panjalu tampak me-
luncur dengan kecepatan tinggi ke
arah Kaligundi!
Dan....
Dhuk...!
Tubuh kakek yang berjuluk Pegulat
Tangan
Maut terdorong ke belakang sejauh
sepuluh tindak,
terkena sodokan ujung tongkat Gede
Panjalu. Dia
langsung mendekap erat dadanya.
Dan ketika darah
menyembur dari mulutnya, tubuh
Kaligundi terjeng-
kang ke tanah tanpa mampu bangkit
lagi.
Brajamusti mengumpat tak karuan.
Matanya
mengerling ke kiri-kanan. Melihat
keadaan yang tak
menguntungkan, tubuhnya segera
dikempos guna me-
larikan diri....
"Pengecut! Hendak lari ke
mana kau...?!" kata
Gede Panjalu seraya melempar
tongkatnya.
Brajamusti yang tidak menduga akan
datang-
nya serangan, tak mampu berkelit
lagi. Sehingga....
Tlaaakkk...!
Tepat sekali tongkat Gede Panjalu
melabrak ke-
pala Brajamusti. Dan, tubuh kakek
yang berjuluk si
Dewa Sesat itu jatuh berdebum di
tanah diiringi jeritan
yang mendirikan bulu roma. Gede
Panjalu mengambil
napas panjang. Segera dipungutnya
tongkat yang ter-
geletak tak jauh dari tubuh
Brajamusti.
***
Babak terakhir dari pertempuran
seru di depan
Pendapa Kadipaten Bumiraksa adalah
antara Suropati
melawan Pendeta Murtad dan Empu
Barangas.
"He he he...," Suropati
masih sempat mengelua-
rkan tawa di sela-sela serangan
lawannya. "Napas ka-
lian sudah ngos-ngosan, Kek....
Aku takut kalian nanti
mati bukan karena seranganku. Tapi
karena kehabi-
san napas yang berhenti
mendadak...."
"Bocah Gendheng! Tak perlu
banyak bacot!
Bersiap-siaplah masuk ke
neraka...!" desis Pendeta
Murtad sambil mengibaskan
kebutannya.
Wuuusss...!
Saat itu juga, melesat serangkum
angin yang
menderu-deru.
Suropati hanya berkelit dengan
mengegos ke
samping.
"Wuih! Nikmat, Kek...," kata Pengemis Binal
"Dari tadi aku memang merasa
kegerahan."
Pendeta Murtad menggerendeng
dengan mata
berkilat. Tubuhnya seketika
meluruk dengan tasbih
tangan kanan menghantam
kepala.
Wuuuttt...!
Serangan itu hanya mengenai angin
kosong, ke-
tika Suropati dengan lincahnya melompat ke kanan.
Dan baru saja mendarat, keris di
tangan Empu Baran-
gas meluncur, menghunjam dada!
Dengan cepat Suropati memiringkan
tubuhnya.
Namun mendadak ujung keris itu
berbelok arah, me-
nyambar leher!
Wuuusss...!
Suropati meloncat ke belakang.
Tapi, ujung ke-
ris Empu Barangas terus mengejar!
Bersamaan dengan
itu, tasbih Pendeta Murtad juga
segera menggeprak!
Mata Suropati mendelik.
Kemudian....
"Berhenti...!" bentak si
Pengemis Binal langsung
menerapkan kekuatan sihirnya.
Mendadak Empu Barangas dan Pendeta
Murtad
merasakan otot-ototnya mengejang.
Dan serangan me-
reka pun berhenti mendadak.
Walaupun hanya seke-
jap, tapi Suropati tak mau
menyia-nyiakan kesempa-
tan itu. Seketika, kaki kanannya
bergerak cepat!
Dhes...! Dhes...!
Tanpa ampun lagi, tubuh Empu
Barangas dan
Pendeta Murtad terpelanting ke
tanah.
Suropati tertawa lebar menyaksikan
dua tubuh
lawannya bergulingan di tanah..
Tapi, tiba-tiba....
Werrr...!
Ternyata, biji-biji tasbih Pendeta
Murtad beter-
bangan, menghujani Pengemis Binal.
Suropati terkejut setengah mati,
tak menduga
akan datangnya serangan mendadak
ini. Segera selu-
ruh tenaga dalamnya dikerahkan.
Lalu, dengan cepat
tangannya bergerak menangkis.
Thak...! Thak...!
Biji-biji tasbih Pendeta Murtad
itu buyar. Na-
mun, tak urung ada sebutir yang
lolos dari tangkisan-
nya....
Dhuk...!
"Aaahhh...!"
Suropati meringis kesakitan.
Tubuhnya mun-
dur beberapa tindak. Dadanya
terasa hendak amblong!
Tapi, untunglah tenaga dalamnya
sudah sedemikian
kuatnya semenjak memperoleh
saluran hawa murni
dari mendiang Periang Bertangan
Lembut di Bukit Pa-
rahyangan. Sehingga, tubuhnya tak
sampai mengalami
cidera berarti.
Namun, kejadian yang berlangsung
sekejap itu
sanggup membuat orang-orang yang
menyaksikan per-
tempuran merasa khawatir.
Gede Panjalu tampak terperangah, dan meng-
geram gusar. Adipati Danubraja
bergidik ngeri. Se-
dangkan Rata Anggi dan Dewi Ikata
mengeluarkan jerit
tertahan.
"Ha ha ha...," Pendeta
Murtad tertawa sambil
memegang pundak kirinya yang
terkena tendangan.
"Sekarang kau baru tahu
kehebatanku, Bocah
Gendheng...!"
Usai mengucapkan kalimatnya, tokoh
tua bera-
liran hitam itu segera menerjang
kembali. Demikian
pula Empu Barangas.
Pengemis Binal segera merubah
jurusnya. Ke-
dua telapak tangannya bersilang di
depan dada, lalu
mengembang. Segera disambutnya
gempuran Pendeta
Murtad dan Empu Barangas!
Blaaarrr...!
Pengerahan tenaga dalam si
Pengemis Binal
yang didasari jurus 'Pengemis
Menghiba Rembulan'
menimbulkan ledakan dahsyat di
udara. Tubuh Pen-
dekar Murtad dan Empu Barangas
terhuyung-huyung
mundur beberapa tindak. Mata
mereka berdua meme-
rah dan melotot!
"Ke..., parat...!" umpat
Pendeta Murtad dan
Empu Barangas. Namun yang
terdengar hanya berupa
bisikan pelan.
Belum tuntas umpatan mereka,
tiba-tiba se-
buah bayangan berkelebat dari atap
pendapa kadipa-
ten ke arah Pendeta Murtad dan
Empu Barangas.
Langsung ditendangnya kedua tokoh
tua beraliran se-
sat itu dengan sekuat tenaga.
Desss...! Desss...!
Tanpa dapat dihindari lagi, tubuh
Pendeta Mur-
tad, dan Empu Barangas yang sudah
terluka dalam
terlempar jauh. Begitu menghantam
tanah, mereka
berkelojotan. Sebentar kemudian
mereka diam untuk
selama-lamanya.
"Monyet-monyet buduk tak
berguna...!" bentak
seorang kakek tua renta sambil
menatap tubuh Pende-
ta Murtad dan Empu Barangas dengan
sinis.
Kening Suropati berkerut, menatap
kehadiran
kakek tua renta itu. Tokoh tua
yang baru datang itu
berpakaian asal-asalan. Bagian
dadanya terbuka lebar,
memperlihatkan tulang-tulang
iganya yang bertonjo-
lan. Pergelangan tangan dan
kakinya tampak melebihi
panjang ukuran manusia biasa.
"Aku Aki Barondeng atau si
Mayat Hidup," kata
kakek tua renta itu,
memperkenalkan diri. Matanya
berkilat, membalas tatapan mata si
Pengemis Binal.
"Aku ada perlu denganmu
sedikit, Bocah...."
Lelaki tua yang memang si Mayat
Hidup ini
menggerak-gerakkan ujung jari
telunjuknya. Maka se-
ketika sinar keputih-putihan
berkelebatan, menghuja-
ni tubuh Suropati.
Dengan tangkas Pengemis Binal
segera melon-
cat ke samping.
Sret! Sret! Sret!
Sinar keputih-putihan yang timbul
dari ujung
jari Aki Barondeng menerpa ke
tanah kosong.
Mata si Pengemis Binal terbeliak,
melihat gura-
tan-guratan di tanah yang
membentuk tulisan:
Datanglah Ke Bukit Hantu Pada
Malam Bulan
Purnama Ketujuh, Ada Urusan Yang
Harus Diselesai-
kan!
Ketika pandangan Suropati beralih,
tubuh si
Mayat Hidup yang habis menuliskan
pesan itu telah
lenyap bagai ditelan bumi.
Gede Panjalu berjalan mendekat.
"Siapa dia, Suro?" tanya
Pengemis Tongkat Sak-
ti. Suropati menatap wajah Gede
Panjalu sejenak. "Dia
menyebut dirinya Aki Barondeng
atau si Mayat Hidup,"
jawab Pengemis Binal dengan kedua
alis bertaut
"Si Mayat Hidup...?!"
Gede Panjalu tampak ter-
kejut
"Kenapa, Kek?" tanya
Suropati.
"Kau harus berhati-hati,
Suro. Tokoh tua itu te-
lah lama mengasingkan diri. Kalau
kini dia tiba-tiba
muncul, tentu mempunyai urusan
yang tidak boleh di-
anggap enteng."
"Kau mengenalnya, Kek?"
"Semua tokoh tua di rimba
persilatan tentu
mengenalnya. Dia sangat sakti.
Sepak terjangnya tak
pernah dapat ditebak. Kadang
sikapnya budiman, tapi
kadang pula sangat kejam."
Setelah melihat dengan seksama
tulisan yang
terpampang di atas tanah, Gede
Panjalu menatap wa-
jah Pengemis Binal dalam-dalam.
"Kau punya urusan dengannya,
Suro?" tanya
Pengemis Tongkat Sakti kemudian.
"Ah! Melihat tampang kakek
tua renta itu saja
baru kali ini. Kenapa aku punya
urusan dengan-
nya...?" jawab Suropati.
"Kau harus
hati-hati...," ingat Pengemis Tong-
kat Sakti.
"Kenapa, Kek?"
"Pesan Aki Barondeng
mengandung makna tan-
tangan."
"He he he...," Suropati
tertawa. "Aku tidak ta-
kut. Paling kusentil sedikit saja,
tubuhnya yang kurus
sudah mrothok...."
Gede Panjalu tersenyum mendengar
kekonyo-
lan Pengemis Binal itu. Tapi,
senyum itu hanya sekilas
saja.
"Kau jangan memandang rendah
padanya, Su-
ro. Dia terkenal dengan ilmu
'Pengisap Sukma'-nya.
Dan semua tokoh tua persilatan
tentu mengakui kalau
Aki Barondeng kebal terhadap
serangan ilmu apa
pun."
"He he he...," Suropati
kembali tertawa. "Aku
kan sudah bilang, bila kusentil
sedikit saja, tubuhnya
akan mrothol...."
"Sombong kau, Suro...."
Tiba-tiba angin berhembus,
menimbulkan hawa
sejuk. Bersamaan dengan itu, sinar
kebiru-biruan ber-
kelebatan menghunjam tanah di
hadapan Suropati dan
Gede Panjalu. Dan, tertorehlah
sebuah tulisan:
Sebelum Malam Bulan Purnama
Ketujuh Datan-
glah Ke Kuil Saloka Di Pinggir
Kota Kadipaten Bumirak-
sa. Kalau Nyawa Tidak Ingin
Melayang.
Suropati dan Gede Panjalu
mendongakkan ke-
pala ke atas. Dan, tampaklah
Bayangan Putih Dari Se-
latan tengah duduk santai di
pinggir atap pendapa ka-
dipaten. Pakaiannya yang serba
putih berkibar-kibar
tertiup angin.
"Betul kata kakekmu itu,
Suro...," kata Bayan-
gan Putih Dari Selatan.
"Turuti saja pesanku itu...."
Usai mengucapkan kalimatnya, tubuh
Bayan-
gan Putih Dari Selatan melayang.
Dan sebentar saja te-
lah hilang dari pandangan.
Gede Panjalu menatap wajah
Suropati. Tapi,
Pengemis Binal hanya tersenyum
simpul.
***
11
"Tunggu dulu, Anak
Muda...."
Adipati Danubraja berjalan
mendekat, mence-
gat langkah Suropati.
Pengemis Binal pun menghentikan
langkahnya.
"Ada apa, Gusti
Adipati?" tanya Pengemis Binal
"Tidakkah kau berkenan
meninggalkan nama
serta tempat tinggal..,?"
Suropati mengulum senyum. Bola
matanya
bergerak-gerak.
"Nama hamba Suropati, Gusti
Adipati. Tempat
tinggal hamba sementara ini di
Bukit Pangalasan. Na-
mun, hamba hanyalah seorang
pengemis hina," sahut
Pengemis Binal, merendah.
Mendengar ucapan Suropati yang
merendah
dan sekaligus menampakkan
kekonyolannya, Adipati
Danubraja menaikkan ujung bibirnya
sedikit
"Lalu kau sendiri siapa,
Ki?" tanya Adipati Da-
nubraja kemudian kepada Gede
Panjalu.
"Hamba bernama Gede Panjalu,
Gusti Adipati,"
jawab kakek bongkok itu sambil
merundukkan tubuh-
nya.
"Tak perlu bersikap seperti
itu, Ki. Kau telah
berjasa kepada Kadipaten
Bumiraksa. Kiranya tak per-
lu merendah seperti itu. Justru
aku yang harus me-
nyampaikan rasa hormatku kepadamu...,"
ujar Adipati
Danubraja seraya menjura kepada
Gede Panjalu.
Kakek bongkok itu jadi salah
tingkah. Seumur
hidup belum pernah dia mendapat
penghormatan dari
seorang pembesar seperti ini.
"Sudilah kiranya kalian
berdua mampir ke pen-
dapa kadipaten untuk sekadar
menikmati jamuan...?"
tawar Adipati Danubraja.
Mendadak mata Suropati jadi
berbinar-binar.
"Wah! Kebetulan sekali kalau
begitu. Pagi tadi aku be-
lum sarapan...," desah
Suropati seraya menggamit len-
gan Gede Panjalu.
Matahari sudah condong ke barat
ketika mere-
ka memasuki ruang utama kadipaten.
Bekas-bekas
pertempuran di tempat itu sudah
tak tampak lagi. Be-
gitu tiba di dalam, mereka duduk
di kursi kayu jati be-
rukir yang berjajar rapi menghadap
sebuah meja be-
sar.
Adipati Danubraja menepuk telapak
tangannya.
Dan tak lama kemudian, seorang
pelayan datang
membawa suguhan arak wangi.
"Silakan.... Kalian berdua
adalah tamu kehor-
matanku," ucap Adipati
Danubraja.
Tanpa menaruh rasa sungkan,
Suropati lang-
sung mengangkat gelas perak di
hadapannya. Isinya
pun ditenggaknya sampai tandas.
"Wuih...! Arak apa ini?
Nikmatnya seperti arak
dari sorga," puji Pengemis
Binal.
Mendengar perkataan Suropati itu,
Gede Panja-
lu menyodok lengannya. Sementara
Pengemis Binal
hanya melirik sambil sedikit
mencibir.
"Dasar bocah
gendheng...!" umpat Gede Panjalu
dalam hati.
"Kau mau lagi, Anak
Muda...?" tanya Adipati
Danubraja sambil tersenyum melihat
kerakusan Suro-
pati.
"Oh! Tentu..., tentu, Gusti
Adipati. Siapa yang
mau menolak tawaran sebagus
ini...?" jawab si Penge-
mis Binal.
Ketika tiga orang pelayan datang
membawa
aneka masakan lezat, salah seorang
dari mereka mem-
bawa sepoci besar berisi arak
wangi. Harumnya me-
nerpa hidung. Dan ini membuat
Pengemis Binal terse-
nyum-senyum.
"Oh! Betapa senangnya jadi
seorang tamu ke-
hormatan...," bisik Suropati
dalam hati.
Mereka bertiga kemudian menyantap
suguhan
yang dihidangkan. Gede Panjalu
tampak malu-malu
dan canggung, karena tidak biasa
makan bersama seo-
rang pembesar. Sedangkan Adipati
Danubraja beru-
lang kali mengulum senyum di
bibir, melihat keraku-
san Suropati.
Si Pengemis Binal itu makan
seperti habis ber-
puasa genap satu bulan. Maklum,
belum pernah dia
merasakan hidangan yang sedemikian
lezat.
"Sudilah kalian berdua
menginap di sini barang
satu-dua hari...," tawar
Adipati Danubraja lagi usai
bersantap.
Suropati menganggukkan kepala
tanpa memin-
ta persetujuan Gede Panjalu.
"Tentu kami bersedia, Gusti
Adipati," sambut
Suropati.
Gede Panjalu menyodok lengan si
Pengemis Bi-
nal.
"Kakek bodoh! Ditawari
rezeki, kenapa mesti di-
tolak...?" kata Suropati
dalam hati.
Adipati Danubraja mengeplokkan
telapak tan-
gannya kembali. Tak lama,
datanglah dua orang pe-
layan menghampiri.
"Antarkan kedua tamu
kehormatanku ini me-
nuju ke tempat
peristirahatannya...." perintah Adipati
Danubraja.
Dua pelayan yang baru datang itu
menghormat
kepada Gede Panjalu dan Suropati. Dan mereka pun
segera beranjak dari tempat
duduknya, untuk mengi-
kuti langkah kaki dua pelayan
suruhan Adipati Danu-
braja.
Sambil berjalan, Gede Panjalu dan
Suropati
berdecak kagum melihat keindahan
suasana di penda-
pa kadipaten. Namun, tiba-tiba
Gede Panjalu menepuk
bahu Suropati.
"Kau jangan keburu senang,
Bocah Gendheng!"
ujar Pengemis Tongkat Sakti,
sengit.
"Kenapa, Kek?" tanya
Suropati terkejut.
"Ingat tantangan Aki
Barondeng atau si Mayat
Hidup!"
Suropati mengerutkan kening.
"Malam bulan purnama ketujuh,
tepat dua pu-
luh lima hari lagi."
Alis si Pengemis Binal saling
bertaut.
"Apakah aku pernah berbuat
salah kepada ka-
kek tua renta itu? Ah, kurasa
tidak. Tapi, kenapa dia
menantangku?" hati Suropati
bertanya-tanya. "Kalau
Kakek Bayangan Putih Dari Selatan
memperingatkan-
ku, berarti kakek tua renta yang
bernama Aki Baron-
deng memang tidak main-main. Dan
tampaknya, dia
sangat berbahaya...."
"Silakan, Tuan...."
Suropati tersentak ketika pelayan
menunjuk-
kan tempat peristirahatannya.
Namun, sebelum me-
langkah ke ambang pintu, mata
Suropati melihat sosok
Dewi Ikata yang tengah duduk di
taman keputren. Se-
dangkan Gede Panjalu sudah tak
tampak batang hi-
dungnya.
"Rezeki memang tak pantas
untuk ditolak," bi-
sik hati Suropati.
Bibir Pengemis Binal mengembangkan
senyum.
Dan, kakinya pun melangkah menuju
ke taman kepu-
tren. Sedangkan pelayan yang
berdiri di sampingnya
hanya bisa menggeleng-geleng
melihat remaja yang tak
tahu sopan santun itu.
"Suasana sore yang indah.
Hembusan angin ra-
sa segar. Membuat si Pengemis Binal ingin duduk-
duduk di taman sambil menikmati
pemandangan me-
nakjubkan..," kata Suropati
yang telah berada tak jauh
dari Dewi Ikata.
Putri tunggal Adipati Danubraja
itu menoleh.
Dan dia pun terkejut setengah
mati, melihat kedatan-
gan Suropati.
"Mau apa kau, Tu...,
eh...," Dewi Ikata gelaga-
pan. Pipi gadis berumur tujuh
betas tahun itu merona
merah. Kepalanya tertunduk,
menyembunyikan pera-
saan malu.
"Di suasana sore yang indah
ini, bolehkah Su-
ropati yang miskin ini berkenalan
dengan Tuan Putri
yang cantik rupawan...?" kata
si Pengemis Binal nakal.
Perlahan-lahan Dewi Ikata
mendongak. Pan-
dangan matanya tertumbuk dengan
tatapan Suropati.
Pipi gadis itu pun semakin merona
merah.
"Jangan panggil aku 'Tuan
Putri'. Namaku Dewi
Ikata," ujar putri tunggal
Adipati Danubraja.
"Dewi Ikata? Sebuah nama yang
bagus. Tapi,
aku apa harus panggil 'Dewi' atau
apa?" sahut Suropa-
ti makin berani.
"Aku biasa dipanggil
'Ika'."
Senyum di Pengemis Binal mengembang
lebar.
"Boleh aku duduk di
sampingmu, Ika...?"
Dewi Ikata tak menjawab. Tapi, hal itu diang-
gap sebagai persetujuan oleh
Suropati. Dan pantatnya
pun diletakkan di sisi Dewi Ikata.
***
Sementara itu, di pintu gerbang
pendapa kadi-
paten, seorang nenek berbaju ungu
tengah berhadapan
dengan penjaga. Rambutnya yang
masih berwarna hi-
tam tergerai panjang ke punggung.
Wajahnya walau-
pun telah menunjukkan kerutan,
tapi masih mem-
biaskan kecantikannya. Dia adalah
Arumsari, yang
bergelar Dewi Tangan Api.
"Aku hendak bertemu
Gustimu...," kata Dewi
Tangan Api.
"Hari ini Gusti Adipati tidak
menerima tamu,"
jawab penjaga pintu gerbang.
"Heh, apa katamu?!"
sentak Dewi Tangan Api.
"Gusti Adipati berpesan, hari
ini tak seorang
pun diperbolehkan bertamu ke
pendapa kadipaten."
Dewi Tangan Api menyeringai
dingin.
"Katakan pada ratu gustimu
itu, Arumsari atau
Dewi Tangan Api yang
datang...!" ujar nenek ini seperti
menyimpan amarah.
Si penjaga pintu menatap wajah
Dewi Tangan
Api.
"Kenapa kau ngotot
amat...?!" usik penjaga ini.
"Bangsat..!" umpat Dewi
Tangan Api seraya
mendorong tubuh si penjaga pintu
gerbang.
Bruk...!
Tubuh laki-laki itu terjengkang,
jatuh ke tanah.
Sementara Dewi Tangan Api dengan
enaknya melang-
kah. Tapi, seorang penjaga pintu
gerbang yang lainnya
menghadang dengan senjata tombak.
"Mau ke mana kau, Nenek
Bandel?!" bentak
penjaga ini.
"Kau jangan coba-coba
menghalangiku...!"
Tiba-tiba Dewi Tangan Api
menggerakkan tan-
gannya. Maka seketika tubuh penjaga
pintu gerbang
bersenjata tombak itu jatuh
telentang di atas tanah.
Kembali dengan enaknya, Dewi
Tangan Api segera me-
lanjutkan langkahnya.
Tapi, baru dapat beberapa langkah
dari am-
bang pintu gerbang, lima orang
prajurit bersenjata pe-
dang datang menghadang.
Dewi Tangan Api mendengus gusar.
"Kalian mau apa...?.'"
bentak Dewi Tangan Api
"Kami hanya menjalankan
tugas. Segera enyah
dari tempat ini, Nenek
Nekat....!" bentak salah seorang
prajurit
"He he he...," Dewi
Tangan Api tertawa menam-
pakkan giginya yang masih berjajar
rapi. "Rupanya
kau tidak takut mati....!"
Usai mengucapkan kalimatnya,
tangan nenek
sakti ini bergerak dilambari
tenaga dalam.
Wuuusss....!
Seketika serangkaian angin pukulan
menerpa
tubuh kelima prajurit bersenjata
pedang itu. Dan...
Bruuukkk...!
Tubuh mereka jatuh ke tanah,
tergeletak ping-
san.
"Cecurut-cecurut tak tahu
diuntung! Tidak ta-
hu sedang berhadapan dengan
siapa...?!" gerutu Dewi
Tangan Api.
Tapi, sebelum nenek sakti itu
sempat melang-
kahkan kakinya kembali belasan
orang prajurit kadi-
paten telah menghadang. Dan mereka
langsung me-
nerjang.
Wuuuttt...! Wuuuttt....!
Sambaran pedang datang
bertubi-tubi, meng-
hunjam tubuh Dewi Tangan Api.
Tapi, nenek sakti itu mudah sekali
mengelak-
kan serangan. Dan tiba-tiba
kembali tangannya berge-
rak dilambari tenaga dalam.
Wuuusss....!
Tujuh orang prajurit kadipaten
kontan terje-
rembab ke tanah, membuat prajurit
lain menjadi terke-
jut setengah mati. Seketika mereka
mundur beberapa
tindak.
"He he he...," Dewi
Tangan Api tertawa. "Nah,
itu bagus. Berarti kalian masih
bisa berpikir waras...."
"Ada apa, Arumsari...?"
tanya Adipati Danubra-
ja yang tiba-tiba muncul di tempat
itu.
Dewi Tangan Api menoleh. Matanya
menatap
tubuh Adipati Danubraja yang
menampakkan balutan
luka.
"Rupanya kau baru saja
tertimpa musibah, Da-
nubraja...," kata nenek sakti
itu, tanpa penghormatan.
Untuk beberapa lama, Adipati
Danubraja tak
memberi tanggapan. Tapi, senyumnya
segera mengem-
bang tanpa sedikit pun menampakkan
ketersinggun-
gannya atas panggilan Dewi Tangan
Api yang kurang
menghormat.
"Kau tampak awet muda,
Arumsari...," puji adi-
pati ini seraya melangkah ke dalam
pendapa kadipa-
ten.
Dewi Tangan Api mengikuti.
"Kedatanganku ini hendak
menagih janjimu
Danubraja," kata nenek sakti
itu kemudian.
Adipati Danubraja tampak
tercenung.
Pikirannya melayang ke masa silam.
Waktu itu, Adipati Danubraja masih
berusia ti-
ga puluh tahun. Dia bermaksud
mengadakan kunjun-
gan ke Kadipaten Tanah Loh, yang
dipimpin Barasang-
ga. Dia adalah ayahanda Rara
Anggi, istri Adipati Da-
nubraja. Dan, kunjungan itu
bertujuan untuk meme-
nuhi keinginan Adipati Barasangga,
untuk melihat cu-
cunya, Dewi Ikata.
Ketika perjalanan Adipati Danubraja
bersama
rombongannya melewati sebuah
lereng bukit terjal, ge-
rombolan perampok datang mencegat.
Maka, terjadilah
pertempuran seru. Para pengawal
Adipati Danubraja
tak sanggup menghadapi keganasan
perampok-
perampok itu. Pada saat keadaan
sudah gawat, mun-
cul Arumsari atau Dewi Tangan Api
memberi pertolon-
gan.
Gerombolan perampok itu akhirnya
dapat diha-
lau.
Kebaikan Dewi Tangan Api tidak
sampai di situ.
Dia bahkan bersedia mengawal
perjalanan Adipati Da-
nubraja sampai ke tempat
tujuannya.
Dan dalam perjalanan itulah, Dewi
Tangan Api
melihat sosok bocah perempuan
sehat, putri Adipa
Danubraja. Dewi Tangan Api
bermaksud mengambil-
nya sebagai murid. Tentu saja
Adipati Danubraja me-
rasa keberatan. Karena bila
putrinya diambil murid
oleh Dewi Tangan Api, tentu akan
dibawa mengemba-
ra.
Tapi melihat dewi penolongnya,
Adipati Danu-
braja tidak tega untuk menolak
secara terang-
terangan. Maka dia berjanji untuk
menerima permin-
taan Dewi Tangan Api, bila umur
putrinya sudah men-
capai tujuh belas tahun. Dengan
harapan, Dewi Tan-
gan Api akan lupa pada putrinya karena termakan
waktu.
Tapi kini, Dewi Tangan Api datang
untuk me-
nagih janji. Dan Adipati Danubraja
sebenarnya merasa
terkejut juga. Karena sebagai
seorang pemimpin, dia
harus menepati janji yang telah
diucapkan.
"Di mana Dewi Ikata
sekarang?" tanya Dewi
Tangan Api kemudian.
"Dia berada di taman
keputren," jawab Adipati
Danubraja.
"Kita ke sana,
Danubraja...."
Adipati Danubraja kemudian
berjalan menuju
ke taman keputren, diikuti Dewi
Tangan Api.
Sesampai di tempat yang dituju,
mereka jadi
terkejut melihat sosok pengemis
muda yang tampak
asyik bercanda dengan Dewi Ikata.
"Siapa dia?" tanya Dewi
Tangan Api.
"Dia tamu kehormatanku.
Namanya, Suropati,"
jelas Adipati Danubraja.
"Suropati...?" Dewi
Tangan Api mendengus gu-
sar, lalu berjalan mendekat.
"Bocah Gendheng! Kenapa kau
berada di si-
ni...?!" dengus Dewi Tangan
Api.
Suropati dan Dewi Ikata terkejut
"Eh, kau siapa, Nek?"
tanya Suropati.
"Aku calon guru Dewi Ikata.
Pergi kau dari
tempat ini!"
"Eh! Aku merasa sudah
mengenalmu, Nek. Bu-
kankah kau yang bertempur dengan
Kakek Bayangan
Putih Dari Selatan di Bukit
Argapala, yang bermaksud
mengambilku sebagai
murid...?" tanya Pengemis Binal.
"Jangan banyak bacot! Pergi
dari sini, Gembel
Busuk!"
"Apa hakmu untuk mengusirku,
Nenek Ba-
wel?!" balas Suropati
kekonyol-konyolan.
Tiba-tiba Dewi Tangan Api
menggerakkan tan-
gannya dengan cepat Seketika
serangkaian angin pu-
kulan berhawa panas menerpa tubuh
si Pengemis Bi-
nal.
"Wadouw...! Kau kok gampang
marah gitu, sih.
Makanya kau tak laku
kawin...," ejek Suropati sambil
melompat, menghindari serangan
Dewi Tangan Api.
"Gembel busuk tak tahu
aturan! Dewi Ikata itu
putri Adipati Danubraja. Beraninya
kau mendekati...?!"
"Apa salahnya? Bukankah aku
tamu kehorma-
tan Gusti Adipati?" timpal
Pengemis Binal sambil meli-
rik Adipati Danubraja yang berdiri
tak jauh darinya.
Tapi, muka Suropati jadi kusam
melihat mata
Adipati Danubraja yang mendelik ke
arahnya.
"Eh...," Pengemis Binal
jadi salah tingkah.
"Sepertinya aku memang harus
pergi dari si-
ni...," kata Pengemis Binal
Suropati segera melangkah,
meninggalkan ta-
man keputren. Tapi, matanya masih
sempat mengerl-
ing sesaat Dewi Ikata.
"Ika, Nenek ini calon
gurumu," kata Adipati Da-
nubraja kemudian.
"Guru apa, Ayah?" tanya
Dewi Ikata, tak men-
gerti.
"Guru ilmu silat."
"Jadi, aku nanti belajar
berkelahi, Ayah?"
Adipati Danubraja mengangguk
pelan. Semen-
tara mata Dewi Ikata berbinar.
"Mulai besok kau sudah resmi
jadi muridku,"
kata Dewi Tangan Api. "Tapi,
kau mesti tahu, Ika. Kau
bukan muridku satu-satunya. Kakak
seperguruanmu
ada dua. Dan sekarang, mereka
sedang mengembara.
Namanya, Anjarweni dan Ingkanputri."
Dewi Ikata tak begitu
memperhatikan ucapan
calon gurunya. Dia sedang asyik
membayangkan di-
rinya yang akan jadi sakti dan
pandai berkelahi.
"Haiiittt...!"
Tiba-tiba gadis itu meloncat
kegirangan.
Adipati Danubraja dan Dewi Tangan
Api terse-
nyum senang.
Bagaimana dengan tantangan Aki
Barondeng
pada Suropati? Lalu, apakah maksud
Bayangan Putih
Dari Selatan yang tiba-tiba
menyampaikan sebuah pe-
san?
SELESAI
Ikuti serial Pengemis Binal dalam
episode
BIDADARI LENTERA MERAH
Emoticon