5
Bukit Pangalasan tersiram cahaya
mentari pagi. Kabut telah hilang
dari
pandangan. Angin yang bertiup
meng-
goyangkan ranting-ranting pohon.
Rerumputan tersenyum menyambut
hari
yang telah berganti.
Carang Gati berlari cepat menaiki
bukit. Keringat membanjiri
tubuhnya.
Wajah pemuda anggota Perkumpulan
Pengemis Tongkat Sakti itu mencer-
minkan kekalutan yang sangat.
"Kakek Gede...! Kakek
Gede...!"
teriak Carang Gati ketika langkah
kakinya telah sampai dekat tempat
tinggal mereka.
"Ada apa, Gati?" tanya
Gede
Panjalu. Disambutnya kedatangan
pemuda
bertubuh kurus itu.
"Bahaya... bahaya.,.. Sebaiknya
kita mengungsi!"
"Hah?! Apa katamu?"
"Di lereng bukit
sana...," Carang
Gati menudingkan jari telunjuknya.
"Ada apa?" tanya Gede
Panjalu,
heran. "Sebaiknya kau
tenangkan dulu
pikiranmu, Gati."
Carang Gati menarik napas panjang
lalu menghembuskannya kuat-kuat.
Pemuda itu berusaha menenangkan
dirinya. "Bahaya, Kakek
Gede...,"
katanya kemudian dengan sinar mata
masih me-nyimpan kekalutan.
"Kau jangan membingungkan
orang,
Gati. Katakan yang jelas. Apa yang
hendak kau sampaikan?"
"Perkumpulan Pengemis Baju
Hitam
hendak menyerbu kemari...."
"Hah?!" Gede Panjalu
tercengang.
"Jumlah mereka sekitar lima
ratus
orang," lapor Carang Gati.
"Benar katamu itu,
Gati?"
Carang Gati menganggukkan
kepalanya dengan past! Gede Panjalu
segera mengeluarkan desahan
panjang.
"Kita tak pernah berurusan
dengan
mereka...," kata kakek
bongkok itu.
"Apakah pertempuran kecil
antara kau
dengan Juwing Balangan di pasar
itu
telah menyulut api permusuhan yang
sedemikian hebat?"
Seorang pemuda bertubuh agak
pendek berlari mendekati. Gede
Panjalu
menatap kehadiran Katabang dengan
tatapan penuh tanda tanya.
"Ada apa, Katabang?" tanya kakek
bongkok itu.
"Perkumpulan Bidadari Lentera
Merah menyerbu kemari,"
beritahu
Katabang dengan napas agak
memburu.
Untuk kedua kalinya Gede Panjalu
dihantam keterkejutan yang luar
biasa.
Mata kakek bongkok itu sampai
mendelik.
"Berapa jumlah mereka?"
"Sekitar seratus orang,"
jawab
Katabang.
Gede Panjalu mendengus gusar.
"Apa maksud dua perkumpulan
itu
menyerbu kemari?" gumamnya.
"Mereka
sepertinya telah bersekongkol
untuk
memusnahkan Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti."
"Sebaiknya kita segera
mengungsi,
Kek...," usul Carang Gati.
"Jumlah
anggota perkumpulan kita yang
sekarang
berada di sini tak cukup untuk
menghadapi mereka."
Gede Panjalu menatap tajam Carang
Gati yang diliputi rasa takut.
"Kau mengungsilah bersama
para
wanita dan anak-anak. Lewat jalur
utara agar lebih cepat mencapai
Kota
Kadipaten Bumiraksa. Di sana
terserah
apa yang akan kalian
lakukan."
"Lalu, Kakek sendiri?"
"Aku akan menanti kehadiran
mereka."
"Kalau begitu, aku tidak jadi
mengungsi. Kita lawan
mereka!" Carang
Gati menolak usul Gede Panjalu.
"Jangan bodoh! Jumlah anggota
perkumpulan kita sekarang hanya
sekitar tiga ratus orang. Itu
sudah
termasuk anak-anak, wanita, dan
orang
tua. Seperti yang kau katakan, kita
tak mungkin melawan mereka.
Sebaiknya
kalian memang harus
mengungsi."
"Tidak! Aku akan bersamamu,
Kek!"
Carang Gati tetap bersikeras dengan
keinginannya.
"Benar, Kek. Kita harus
membela
kehormatan," timpal Katabang.
Gede Panjalu menatap wajah mereka
berdua bergantian. Perhatiannya
segera
dialihkan ketika melihat kilatan
cahaya berpendar di angkasa. Lalu,
disusul dengan suara halilintar
membahana. Awan tebal berarak
cepat
menutupi mentari. Rintik-rintik
hujan
mulai turun membasahi bumi.
"Terima kasih,
Tuhan...," gumam
Gede Panjalu sambil menatap cuaca
di
sekitar bukit yang berubah
gelap.
Carang Gati dan Katibang saling
berpandangan. Kemudian, ditatapnya
wajah Gede Panjalu bersamaan.
"Tuhan Yang Maha Agung sedang
menunjukkan kekuasaan-Nya...,"
kata
kakek bongkok itu lirih.
"Untuk
sementar waktu, orang-orang
Perkum-
pulan Pengemis Baju Hitam dan
Perkumpulan Bidadari Lentera Merah
tak
akan dapat melanjutkan perjalanan
mereka."
"Mudah-mudahan hujan turun
cukup
lama agar kita bisa mengumpulkan
bala
bantuan...," harap Carang
Gati.
"Izinkan aku untuk turun,
Kek."
"Untuk apa?"
"Mengumpulkan teman-teman
yang
berada di Kota Kadipaten
Bumiraksa."
"Aku akan ke Kadipaten Tanah
Loh," sahut Katabang.
Terdengar suara halilintar
menggelegar lebih keras. Hujan pun
turun semakin deras.
"Izinkan aku, Kek...,"
kata
Carang Gati dan Katabang hampir
bersamaan.
Mau tak mau Gede Panjalu akhirnya
menganggukkan kepalanya.
"Hati-hati...," pesan
kakek
bongkok itu sambil mengusap air hujan
yang membasahi wajah.
Mendengar ucapan sesepuh Perkum-
pulan Pengemis Tongkat Sakti itu,
Carang Gati dan Katabang segera
berlari menuruni bukit. Mereka
berdua
sudah sangat paham pada medan di
sekitar bukit itu. Permukaan tanah
yang berubah licin tak begitu
menyulitkan langkah mereka.
Sernentara itu, Perkumpulan
Pengemis Baju Hitam yang dipimpin
seorang tokoh beraliran hitam,
yang
bernama Banyak Jalamprang atau
Pengemis Baju Hitam, sedang
menaiki
Bukit Pangalasan dari jalur timur.
Mereka berserabutan mencari tempat
bernaung di bawah pohon-pohon
besar
agak terhindar dari siraman air
hujan
yang turun begitu deras.
"Juwing Balangan!"
panggil Banyak
Jalamprang pada anak buahnya yang
berlindung tak jauh dari
tempatnya.
"Ya, Ketua!" jawab
pemuda
bertubuh tinggi besar yang
berjuluk
Pengemis Gajah itu. Tangan
kanannya
memegang umbul-umbul hitam yang
bergambar tengkorak tertusuk dua
tongkat menyilang.
"Kau larilah ke selatan.
Katakan
kepada Sekara Mayang bahwa
teman-teman
di sini tak dapat melanjutkan
perjalanan. Sampaikan pula bila
hujan
tak segera berhenti, kita akan
nekat!"
Setelah menyerahkan umbul-umbul
pada temannya, Juwing Balangan
membungkukkan badan dan segera
berlalu
menyibak air hujan. Berkali-kali
pemuda bertubuh tinggi besar itu
jatuh
terpeleset. Suara halilintar yang
menyambar-nyambar sedikit
membuatnya
giris. Tapi karena tekadnya yang
bulat
untuk menyampaikan amanat
ketuanya,
akhirnya Juwing Balangan dapat
menemui
Sekar Mayang.
Wanita cantik yang bergelar
Bidadari Lentera Merah itu
mengerutkan
kening setelah menerima pesan yang
disampaikan Pengemis Gajah.
"Kau segeralah kembali
menghadap
ketuamu. Bila hujan tak segera
berhenti, jangan nekat. Itu sangat
berbahaya...," kata Sekar
Mayang.
"Hujan yang turun ini tidak
wajar. Aku
akan menghubungi Ketua Pertama.
Katakan kepada ketuamu, jangan
ber-
tindak gegabah. Tunggulah sampai
ada
perintah dariku."
"Baik, Ketua Mayang."
Juwing Balangan Membungkukkan
badan. Pemuda itu kemudian berlalu
dengan cepat. Sekar Mayang menatap
wajah Kapi Anggara yang berdiri di
sampingnya.
"Sebaiknya kau mengatur
orang-
orang kita, Anggara," pinta
wanita
cantik itu.
"Ah, kukira mereka bisa
mengatur
diri sendiri...," tolak si
Pendekar
Asmara seraya menatap Sekar Mayang
penuh arti. "Untuk menunggu
hujan
berhenti aku ingin bercumbu
denganmu,
Mayang."
"Gila! Tenda ini bisa
roboh!"
"Tidak! Aku akan bersikap
lembut."
"Ah, sudahlah. Kalau kau
tidak
mau mengatur orang-orang kita, tak
apa. Tapi jangan berbuat yang
macam-
macam. Dengan musnahnya
Perkumpulan
Pengemis Tongkat Sakti, jalan
mulus
akan aku dapatkan untuk mewujudkan
cita-citaku. Untuk itu, kau jangan
berbuat sesuatu yang akan
menggagalkan
rencana Ketua Pertama, Anggara."
"Aku heran, Mayang. Kenapa kita
tidak langsung saja menggempur
istana?
Toh, seluruh anggota Perkumpulan
Bidadari Lentera Merah yang kau
pimpin
rata-rata berilmu tinggi. Apalagi
dibantu oleh Banyak
Jalamprang."
"Goblok!"
Mata Kapi Anggara mendelik
mendengar makian Sekar Mayang.
"Kenapa kau berkata kasar
seperti
itu, Mayang?" kata pemuda
tampan
berambut pirang itu.
"Oh, maaf, Anggara. Rupanya
aku
sudah terbiasa memaki anak buahku
dengan kata itu. Aku tak sadar
bila
yang berada di dekatku adalah kau,
Kekasihku..."
Sekar Mayang memeluk tubuh Kapi
Anggara. Pemuda tampan itu pun
tersenyum senang. Dia segera balas
memeluk.
"Eh, jangan,
Anggara...."
Bidadari Lentera Merah menepis.
Kapi Anggara membisu dan menatap wajah
wanita cantik itu dalam-dalam.
"Kau belum menjawab
pertanyaanku,
Mayang," kata si Pendekar
Asmara
kemudian.
"Kau menanyakan
apa?"
"Kenapa kita tidak langsung saja
menggempur istana?"
"Tidak semudah yang kau kira,
Anggara. Pengawal istana Baginda
Prabu
adalah kaum rimba persilatan
golongan
atas. Ketua Pertama sedang mencoba
mempengaruhi dengan ilmu 'Asmara
Penggoda'."
"Lalu, apa hubungannya dengan
tindakan yang sedang kita lakukan
ini?
Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti
tak
mempunyai hubungan apa-apa dengan
pihak kerajaan. Apa untungnya
memusnahkan mereka?"
"Gob..., eh...."
"Hayo, kau mau mengatakan aku
'goblok' lagi, ya?" rungut
Kapi
Anggara.
"Ya, eh, tidak," Sekar
Mayang
menggelengkan kepalanya kuat-kuat.
"Ah, sudahlah," kata
Kapi Anggara
kemudian. "Jawab saja
pertanyaanku
itu...."
"Sedikitnya ada dua keuntungan
yang akan kita dapatkan bila dapat
memusnahkan Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti. Pertama, apabila
sewak-
tu-waktu pihak kerajaan membutuhkan
bala bantuan, perkumpulan pengemis
itu
tidak akan dapat berbuat
apa-apa...."
"Sebentar," potong Kapi
Anggara.
"Kenapa pihak kerajaan mesti
meminta
bantuan kepada perkumpulan
pengemis
itu?"
"Suropati yang menjadi
pemimpin
Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti
pernah berjasa kepada kerajaan.
Sekitar dua tahun yang lalu di
Bukit
Parahyangan dia telah telah melen-
yapkan seorang pengkhianat
kerajaan
yang bernama Brajadenta atau Dewa
Maut. Bukan itu saja, Suropati
adalah
murid mendiang Periang Bertangan
Lembut yang merupakan mantan
penasihat
kerajaan. Dengan alasan-alasan itu
bukan mustahil nanti Baginda Prabu
akan meminta bantuan remaja konyol
itu."
Kapi Anggara mengangguk-anggukkan
kepalanya.
"Lalu, keuntungan kedua
apa?"
"Sampai saat ini Suropati
masih
terbebas dari pengaruh kekuatan
ilmu
'Asmara Penggoda', jadi dia belum
dapat ditundukkan. Bila
perkumpulan
pengemisnya dapat dimusnahkan,
termasuk melenyapkan Gede Panjalu,
Ketua Pertama berharap akan timbul
dendam kesumat dalam diri
Suropati.
Dengan begitu, dia akan menjadi
makanan empuk ilmu 'Asmara
Penggoda'."
"Kenapa bisa begitu?"
"Kalbu remaja konyol itu telah
disucikan. Itu membuat ilmu
'Asmara
Penggoda' tak mempan untuk
mempengaruhinya. Tapi bila kalbu
Suropati telah terkotori oleh
nafsu
amarah dan dendam membara, ilmu
'Asmara Penggoda' akan dapat men-
cengkeram erat jiwanya. Dari situ
kekuatan kita akan
bertambah."
"Keuntungan lainnya lagi
apa?"
"Eh, pertanyaanmu kok tak
berhenti sih?" sungut Sekar
Mayang
dengan agak mendongkol.
"Memangnya kenapa? Kau
mencuri-
gaiku?" tanya Kapi Anggara.
"Kalau
dengan pertanyaanku itu timbul
kecu-
rigaanmu kalau aku ini mata-mata,
sekarang juga minta saja kepada
Ketua
Pertama untuk mengetrapkan ilmu
'Asmara Penggoda'-nya
kepadaku,"
tantang pemuda itu kemudian.
"Ah, tidak, Anggara. Kau
marah,
ya?"
"Tidak."
"Syukurlah kalau begitu. Aku
sangat suka kepadamu,
Anggara. Aku
selalu menghalangi keinginan Ketua
Pertama yang ingin mengetrapkan
ilmu
'Asmara Penggoda'nya kepadamu.
Sebab
aku tak ingin kau menjadi bangkai
bernyawa...."
Kapi Anggara tersenyum senang.
Dicubitnya paha Sekar Mayang.
Wanita
cantik itu menggeliat manja.
"Kau tadi mengatakan bahwa
sedikitnya ada dua keuntungan yang
akan kita dapatkan dari musnahnya
Perkumpulan Pengemis Tongkat
Sakti.
Kau baru menyebutkan dua. Lainnya
lagi
apa?" desak si Pendekar
Asmar.
"Sebenarnya banyak. Salah
satunya
adalah keuntungan tidak langsung
yang
akan diterima oleh Perkumpulan
Pengemis Baju Hitam. Karena tanpa
saingan, perkumpulan itu akan berkem-
bang semakin pesat. Itu berarti juga
keuntungan bagi kita. Banyak
Jalamprang telah tunduk kepada
Ketua
Pertama."
Tiba-tiba angin berhembus dengan
kencang. Kilat menyambar. Sebatang
pohon besar yang berada tak jauh
dari
tenda-tenda anggota Perkumpulan
Bidadari Lentera Merah langsung
tumbang tersambar!
"Firasatku benar...,"
gumam Sekar
Mayang. "Aku akan menghubungi
Ketua
Pertama."
Kapi Anggara hanya diam
memperhatikan Bidadari Lentera
Merah
duduk bersemadi. Tak lama
kemudian,
wanita cantik itu telah mencapai
kekosongan kalbu. Alam pikirannya
melesat terbang menuju lorong
bawah
tanah di mana Ratnasari atau
Bidadari
Bunga Mawar berada. Tapi, Sekar
Mayang
mengerutkan kening dan membuka
kelopak
matanya. Raut wajahnya tampak
menyimpan kekecewaan.
"Ada apa, Mayang?" tanya
Kapi
Anggara, heran.
"Jiwa Ketua Pertama
dibentengi
oleh kekuatan kokoh yang
diciptakannya
sendiri. Ketua Pertama sedang
menghimpun kekuatan ilmu 'Asmara
Peng-
goda'."
"Untuk apa?"
"Dia hendak mempengaruhi
seluruh
pengawal istana Baginda
Prabu."
"Ah, begitukah?!" Kapi
Anggara
berusaha menyimpan
keterkejutannya.
"Kau kenapa, Anggara?"
tanya
Sekar Mayang yang melihat
perubahan
sinar wajah si Pendekar Asmara.
"Tidak apa-apa. Mudah-mudahan
keinginan Ketua Pertama itu
tercapai.
Kira-kira, kapan Ketua Pertama
akan
mengetrapkan ilmu ajaibnya
itu?"
"Entahlah. Tapi, tampaknya
dalam
waktu dekat ini...."
Kapi Anggara menundukkan kepala.
Pemuda itu kelihatan berpikir
keras.
Sekar Mayang menatapnya dengan
sinar
mata penuh kasih.
Di luar hujan tetap turun dengan
derasnya. Angin berhembus kencang.
Ranting pohon meliuk-liuk bagai
ditarik tangan-tangan kasat mata.
Permukaan tanah bukit yang
menjorok ke
bawah sebagian tampak longsor.
"Aku akan mengatur anak
buahku...," kata Sekar Mayang
tiba-
tiba.
"Jangan!" cegah Kapi
Anggara.
"Aku tak mau kau basah kuyup.
Aku saja
yang akan mengatur mereka."
Tanpa meminta persetujuan lagi
pemuda tampan itu keluar dari tenda.
Dia mengerutkan kening ketika
matanya
menatap sebatang pohon besar yang
tumbang menimpa sebuah tenda.
Pemuda
itu segera berlari mendekati tanpa
mempedulikan siraman air hujan
yang
membasahi tubuhnya. Bersamaan
dengan
itu beberapa anggota Perkumpulan
Bidadari Lentera Merah berloncatan
keluar dari tendanya. Mereka
menghampiri tiga orang wanita
cantik
yang berlindung di bawah pohon.
"Kalian jangan di situ.
Berlindunglah di tendaku,"
kata
anggota Perkumpulan Bidadari
Lentera
Merah yang baru keluar dari tenda.
"Benar. Segera kau
turuti
perkataannya," timpal Kapi
Anggara.
Semua wanita cantik yang
berpakaian serba merah menatap
Kapi
Anggara. Tapi, mereka segera
berlalu
dan masuk ke dalam tenda.
"Rupanya mereka menaruh
hormat
kepadaku," gumam Kapi Anggara
dalam
hati.
Pemuda itu menoleh ketika
merasakan bahunya tersentil benda
kecil. Matanya segera melihat
seorang
anggota Perkumpulan Bidadari
Lentera
Merah yang sedang membuat jalan
air di
sisi tenda. Kapi Anggara memberi
isyarat dengan gelengan kepala.
Lalu,
tubuh pemuda tampan itu berkelebat
cepat.
Wanita cantik yang menangkap
isyarat itu segera menyusul.
Ketika sampai di sebuah tebing
yang bagian atasnya menjorok keluar,
Kapi Anggara menghentikan langkah
kakinya. Tempat di mana dia
berdiri
cukup terlindung dari terpaan
angin
dan siraman air hujan. Sesosok
bayangan berkelebat dan berhenti
di
samping pemuda tampan itu.
"Kau yakin tidak ada orang
yang
mengikutimu, Puspita?" tanya
Kapi
Anggara seraya mengedarkan
pandangan
ke sekitar bukit.
"Ah, cepat saja kau katakan
apa
yang telah kau dapat," kata
Puspita
terburu-buru.
"Sekar Mayang curiga terhadap
hujan yang sengaja dibuat oleh
tokoh-
tokoh istana. Tapi untunglah
Ratnasari
sedang melakukan sesuatu, sehingga
wanita itu tak dapat berbuat
apa-apa
untuk menghentikan hujan buatan
ini."
"Jadi semua berjalan menurut
rencana, begitu?" tegas
Puspita.
"Ya, hujan akan menghambat
perjalanan mereka, sampai
prajurit-
prajurit kerajaan datang untuk
menghancurkan kekuatan Sekar
Mayang."
"Lalu, kabar penting apa yang
hendak kau sampaikan?"
Puspita menyeka
air hujan yang bergulir di
wajahnya.
"Ratnasari sedang mengumpulkan
kekuatan ilmu 'Asmara
Penggoda'-nya
untuk mempengaruhi para pengawal
istana."
"Celaka!" kata Puspita
gusar.
"Kapan dia hendak
mengetrapkan ilmu
iblisnya itu?"
"Kata Sekar Mayang dalam
waktu
dekat ini."
"Aku harus segera
menyampaikan
kabar ini kepada Baginda
Prabu."
"Kau hendak ke istana?"
"Tentu saja tidak. Aku
mempunyai
kurir yang menunggu di lereng
bukit."
"Cepatlah kau hubungi orang
itu!"
desak Kapi Anggara.
Puspita bergegas melesat untuk
menuruni bukit. Bagi seseorang
yang
berilmu tinggi cuaca buruk dan
keadaan
tanah yang licin bukanlah
penghalang.
Puspita dapat berlari dengan cepat
menuju suatu tempat. Seorang
laki-laki
berusia tiga puluh tahun yang
berpakaian layaknya seorang gembel
sedang menunggu di sebuah gubuk.
Setelah menerima pesan dari
Puspita,
laki-laki itu segera pergi
berlalu.
"Hati-hati, Sabrang. Hujan
hanya
turun di sekitar Bukit Pangalasan.
Kau
bisa melanjutkan perjalanan dengan
berkuda!" pesan Puspita.
Ketika kurirnya telah pergi,
wanita cantik itu pun berlari
untuk
kembali ke perkemahannya. Tapi,
sebuah
bayangan menghadang langkahnya!
"Benar dugaan Sang Ketua.
Perkumpulan Bidadari Lentera Merah
telah kemasukan seorang telik
sandi.
Ternyata orangnya adalah kau,
Puspita!" bentak Ayumi yang
memang
ditugasi Sekar Mayang untuk
memper-
hatikan gerak-gerik Puspita.
"Terus, kau mau apa?!"
sambut
Puspita tak kalah ketus.
"Menyerahlah! Aku akan
membawamu
menghadap Sang Ketua!"
"Aku tak sudi!"
Ayumi menatap Puspita dengan
pandangan sinis. Lalu.... Ujung
selendang panjangnya yang berwarna
merah kaku mengejang dan meluncur
ke
arah Puspita.
"Senjata penggendong bayi itu
saja yang selalu kau andalkan,
Ayumi!"
ejek Puspita seraya menghindar
dari
serangan.
Sambil menggeram gusar, Ayumi
mengeluakan jurus-jurus ampuhnya.
Selendang di tangan wanita cantik
itu
berkelebat cepat, mencecar bagian-
bagian tubuh Puspita yang
berbahaya.
Tapi, Puspita yang sudah hafal
semua
jurus andalan Perkumpulan Bidadari
Lentera Merah dengan mudah dapat
menepis serangan.
Ayumi yang menyadari hal itu
segera mengubah gerakannya.
Dikeluar-
kannya jurus 'Bidadari Mengusir
Awan'
yang merupakan salah satu jurus
rahasia Perkumpulan Bidadari
Lentera
Merah. Tidak semua anggota
perkumpulan
itu dapat memainkannya. Sekar
Mayang
hanya mengajarkan jurus itu kepada
orang-orang kepercayaan. Melihat
lawan
mengganti jurus yang masih asing
baginya, Puspita jadi sedikit
kerepotan.
"Uh! Selama aku berdiam di
Perkumpulan Bidadari Lentera Merah
jurus itu tak pernah
kulihat?" keluh
Puspita dalam hati.
Wanita cantik telik sandi
kerajaan itu segera mengerahkan
seluruh ilmu meringankan tubuhnya.
Ditepisnya kelebatan ujung
selendang
lawan yang bergerak bagai patukan
seribu ular berbisa.
Sraaattt...!
Puspita meloloskan selendang yang
melingkar di pinggangnya.
Kemudian,
langsung dibalasnya serangan Ayumi
dengan tak kalah hebat.
Pertempuran sengit antara
duawanita cantik yang sama-sama
mengenakan pakaian serba merah itu
berlangsung seru di bawah siraman
air
hujan.
Di tempat lain, Kapi Anggara
berlari-lari kecil masuk ke dalam
tendanya kembali. Dia terkejut
karena
tak melihat Sekar Mayang di sana.
Sebelum dia dapat menduga apa yang
terjadi, tiba-tiba saja tenda roboh
dan tubuh si Pendekar Asmara
terjerat
di dalamnya. Tapi, pemuda tampan
itu
bukanlah orang sembarangan.
Tubuh Kapi Anggara melenting ke
udara. Lalu, mendarat di tanah
dengan
indahnya.
Srat...! Srat...! Srat...!
Puluhan ujung selendang meluncur
laksana tombak langsung menghujani
tubuh Kapi Anggara. Pemuda itu
dengan
terpaksa kembali melenting ke
udara.
Ketika mendarat, dia pun mendengus
gusar melihat dirinya telah
terkepung
belasan wanita cantik anggota
Perkumpulan Bidadari Lentera
Merah.
"Hei! Kalian jangan gegabah!
Aku
Kapi Anggara!" kata si
Pendekar Asmara
dengan tatapan tak mengerti.
Seorang wanita cantik yang
rambutnya disanggul tinggi
menyibak
kepungan.
"Belangmu sudah ketahuan,
Anggara!" kata wanita cantik
itu, yang
tak lain Sekar Mayang.
Kening Kapi Anggara berkerut
dalam.
"Apa maksudmu, Mayang?"
"Huh! Jangan pura-pura bodoh!
Aku
tak menyangka sama sekali orang
yang
selama ini kukasihi ternyata
hanyalah
monyet busuk, kaki tangan Prabu
Arya
Dewantara yang bangkotan!"
Si Pendekar Asmara terkejut
mendengar perkataan Sekar Mayang.
"Rupanya aku telah bertindak
ceroboh...," keluhnya dalam
hati.
"Bagaimana dengan
Puspita?"
"Kau tak perlu diam
terbengong-
bengong macam kerbau dungu,
Anggara!"
bentak Sekar Mayang. "Kalau
kau sedang
mengharapkan bantuan Puspita untuk
meloloskan diri dari lubang maut,
jangan mimpi, Kerbau Dungu!
Temanmu
itu sebentar lagi akan menghadap
Dewa
Kematian!"
Usai mengucapkan kalimatnya,
wanita cantik itu memberi isyarat.
Belasan anak buahnya segera
menggempur
Kapi Anggara.
Selendang-selendang merah yang
basah terkena siraman hujan
meluncur
cepat mencari jalan kematian di
tubuh
si Pendekar Asmara!
Berkali-kali pemuda tampan itu
melennngkan tubuhnya ke atas
menghindari serangan. Dari sana
Kapi
Anggara melemparkan senjata
mautnya
yang berupa bunga kenanga.
Set...! Set...! Set...!
Jerit kesakitan langsung
membahana. Tujuh Perkumpulan
Bidadari
Lentera Merah meloncat ke belakang
seraya mendekap dahinya yang
tertancapi setangkai bunga
kenanga.
Tak lama kemudian, tubuh
wanita-wanita
cantik itu berkelojotan di tanah
meregang nyawa.
Sekar Mayang menggeram. Dengan
lambaian tangan diberi isyarat
pada
anak buahnya untuk kembali
menyerang.
Sernentara Kapi Anggara masih
berputar-putar di angkasa sambil
melempar bunga kenanga mautnya.
Selendang para anggota Perkum-
pulan Bidadari Lentera Merah
berkelebatan mencecar tubuh si
Pendekar Asmara. Tapi, tubuh
pemuda
tampan itu sangat sukar untuk
dicapai.
Putaran tubuhnya laksana putaran
angin
puting beliung. Ujung-ujung
selendang
anak buah Sekar Mayang yang hampir
menyentuh terpental balik. Bahkan,
Kapi Anggara berhasil menyebar
kematian lewat bunga kenanga
mautnya.
"Arghhh...!"
Tiga jerit kematian terdengar
secara bersamaan. Tubuh-tubuh
anggota
Perkumpulan Bidadari Lentera Merah
berkelojotan di tanah sambil
mendekap
dahinya.
Sekar Mayang menggeram laksana
harimau marah.
"Minggir kalian semua!"
teriak
wanita cantik itu.
Kapi Anggara berdiri di bawah
siraman hujan ketika para
pengeroyoknya menepi.
"Sebelum aku melumat tubuhmu
katakan siapa kau sebenarnya, Kapi
Anggara!"
"Dari dulu kau sudah tahu.
Aku si
Pendekar Asmara. He he
he...!" sahut
Kapi Anggara ringan sekali.
Sekar Mayang menatap sinis.
"Kentut Busuk! Apakah kau
orang upahan
Prabu Arya Dewantara?!"
Mendengar pertanyaan itu, si
Pendekar Asmara hanya tersenyum
simpul.
"Bila kau memang orang
upahan,
aku bersedia membayar lebih banyak
dari yang telah kau terima."
"Berapa kau akan
membayarku?"
tantang Kapi Anggara dengan
tatapan
melecehkan.
"Berapa pun yang kau
minta!"
"Baik! Tapi, aku tidak minta
bayaran uang."
"Apa?"
"Dirimu! Kau akan kubawa
menghadap Baginda Prabu untuk
mempertanggungjawabkan perbuatanmu
yang hendak melakukan
pemberontakan!"
"Bangsat!" umpat
Bidadari Lentera
Merah. Diloloskannya selendang
merah
dari pinggangnya. "Aku pun
akan
meminta bayaran darimu berupa
nyawa,
Kerbau Dungu!"
Kapi Anggara tersenyum. Pemuda
itu ringan sekali meloncat ke
samping
ketika selendang Sekar Mayang
menghunjam. Wanita cantik itu tak
mau
membuang-buang waktu lagi. Dia
segera
mengeluarkan jurus 'Bidadari
Mengusir
Awan'.
Kibasan dan hunjaman ujung
selendang Sekar Mayang menimbulkan
suara menderu-deru. Si Pendekar
Asmara
berkali-kali melenting ke udara.
Tapi,
selendang di tangan Sekar Mayang
terus
mengejar.
Wooosss...!
Kapi Anggara mengeluarkan jurus
'Putaran Beliung'-nya. Tubuh
pemuda
tampan itu pun berputar cepat
sambil
melontarkan bunga-bunga kenanga.
Tes...! Tes...! Tes...!
Tebaran bunga itu rontok terkena
kibasan selendang Sekar Mayang!
"Habiskan senjata busukmu
itu,
Kerbau Dungu!" kata wanita
cantik itu
seraya melecutkan selendangnya
berusaha untuk membelit tubuh Kapi
Anggara.
"Selendangmu itu hanya pantas
untuk mengikat kayu bakar, Wanita
Murahan!" balas si Pendekar
Asmara.
Dua orang berlainan jenis itu pun
segera terlibat pertempuran seru.
Disaksikan seluruh anggota
Perkumpulan
Bidadari Lentera Merah. Mereka
membuat
lingkaran besar tanpa mempedulikan
air
hujan yang terus mengguyur.
* * *
Setelah keluar dari lereng Bukit
Pangalasan, kurir Puspita yang
bernama
Goran Sabrang berhasil mendapatkan
kuda dan langsung memacunya menuju
istana. Jarak antara Bukit
Pangalasan
dengan Kota Praja memakan waktu
setengah hari. Jadi, Goran Sabrang
yang sebenarnya seorang pengawal
kerajaan tak mau membuang waktu
lagi.
Tapi, pemuda berumur tiga puluh
tahun dan bertubuh kekar itu menjadi
terkejut. Telinganya mendengar
derap
langkah kaki kuda berlari cepat di
belakangnya. Goran Sabrang
menolehkan
kepala. Terlihatlah olehnya lima
orang
penunggang kuda berpakaian serba
merah.
"Celaka!" kata Goran
Sabrang
dalam hati. "Anggota
Perkumpulan
Bidadari Lentera Merah
mengejarku."
Pemuda bertubuh kekar itu
menggeprak kuda-nya untuk berlari
lebih cepat. Namun, berulang kali
terdengar keluhan Goran Sabrang.
Lari
kudanya bukan bertambah cepat,
justru
meringkik-ringkik panjang dari
berlari
semakin lambat.
"Uh! Kuda sialan!" umpat
Goran
Sabrang. "Kalau tahu
diikuti orang,
tak bakalan aku memilihmu.
Sernentara itu, lima ekor kuda
yang sedang mengejarnya sudah
semakin
dekat. Peluh segera membasahi
wajah
pemuda itu. Bercampur dengan air
hujan
yang membuat kuyup pakaiannya.
Goran Sabrang bukannya takut
untuk menghadapi kelima anggota
Perkumpulan Bidadari Lentera
Merah.
Pemuda itu hanya sedang mengejar
waktu. Pesan yang akan
disampaikannya
kepada Baginda Prabu Arya
Dewantara
tidak boleh terlambat.
"Kuda tua sialan! Kenapa kau
tidak mati kemarin-kemarin
saja!"
umpat pemuda bertubuh kekar itu
sambil
melihat ke belakang. Jarak kelima
orang pengejarnya tinggal beberapa
tombak saja.
Sraaattt...!
Salah seorang anggota Perkumpulan
Bidadari Lentera Merah melontarkan
selendangnya. Kaki kuda yang
ditunggangi Goran Sabrang
terbelit.
Akibatnya... kuda tua itu
terpeleset
dan terjungkal jatuh. Derigan
sigap
Goran Sabrang meloncat.
Set...! Set...! Set...!
Puluhan jarum beracun menghunjam
kearahnya! Goran Sabrang bergegas
melempar tubuhnya ke atas.
Serangan
senjata rahasia itu pun hanya
mengenai
angin kosong. Goran Sabrang
meloncat
jauh hendak melarikan diri begitu
menjejak tanah. Tapi, kuda-kuda
anggota Perkumpulan Bidadari
Lentera
Merah telah mengepungnya.
"Kenapa kalian
menyerangku?"
tanya Goran Sabrang.
Kelima wanita cantik penunggang
kuda itu tak memberi jawaban.
Mereka
hanya mendengus. Diserangnya Goran
Sabrang dengan selendang ampuhnya.
Pemuda bertubuh kekar itu
menjatuhkan
diri ke tanah.
Saat itulah dari kejauhan tampak
seratus orang, penunggang kuda
menuju
tempat itu. Goran Sabrang
tersenyum
girang.
"Senopati Risang Alit!"
Kelima orang anggota Perkumpulan^
Bidadari Lentera Merah terkejut
melihat umbul-umbul yang dibawa
penunggang kuda terdepan.
"Prajurit kerajaan...!"
kata
salah seorang dari mereka.
Lalu, wanita cantik itu
menggeprak kudanya dan melarikan
diri.
Teman-temannya segera menyusul.
Goran
Sabrang hanya menatap kepergian
mereka
tanpa berbuat apa-apa.
. "Kenapa kau di sini,
Sabrang?"
tanya Senopati Risang Alit ketika
sudah sampai di dekat pemuda
bertubuh
kekar itu.
"Aku tak punya waktu banyak,
Alit. Sebaiknya kupinjam kuda
salah
seorang prajuritmu," sahut
Goran
Sabrang.
Senopati Risang Alit yang sudah
mengenai siapa Goran Sabrang
mengabulkan permintaan itu. Tak
lama
kemudian, Goran Sabrang telah
melesat
dengan kuda tunggangannya. Ketika
pemuda bertubuh kekar itu
berpapasan
dengan lima ratus orang prajurit
kerajaan pejalan kaki, dia tak
mempedulikan. Kudanya dipacu bagai
orang kesurupan.
Sesampainya di istana Goran
Sabrang disambut dengan tatapan
penuh
tanda tanya oleh Baginda Prabu
Arya
Dewantara. Pemuda bertubuh kekar
itu
segera menyampaikan pesan Puspita.
Baginda Prabu pun menyiapkan
segalanya
untuk menyambut kedatangan
Ratnasari
atau Bidadari Bunga Mawar.
* * *
6
Puspita yang sebenarnya adalah
seorang pendekar berjuluk Pedang
Perak
membuang selendang merahnya. Gadis
itu
menggantinya dengan senjata
andalannya
berupa pedang pendek terbuat dari
perak. Karena tertimpa air hujan,
pedang itu mengeluarkan asap
tipis.
Senjata andalan Puspita memang
mengandung tenaga mukjizat yang
berhawa panas.
Ayumi menggeram penuh kemarahan
ketika berkali-kali lehernya
sampai
terbabat. Tapi, orang kepercayaan
Sekar Mayang itu tak mau larut
dalam
keterkejutan. Dia berusaha
mencecar
Puspita dengan selendang merahnya
seraya melempar jarum-jaram
beracun.
Jarum-jarum itu tak begitu
berarti bagi Puspita. Dengan
putaran
pedangnya, senjata rahasia itu
rontok
ke tanah. Dan suatu saat pedang
Puspita meluncur cepat ke arah
dada!
Ayumi berkelit ke samping. Tapi,
pedang Puspita yang berlambarkan
jurus
'Pedang Membela Rembulan' berhasil
membabat.
Bret...!
"Augh...!"
Jerit kecil keluar dari mulut
Ayumi. Bahu kanannya terserempet.
Kalau saja dia tidak cepat
meloncat ke
belakang, pedang Puspita akan
memenggal kepalanya.
"Bangsat!" umpat Ayumi.
Puspita mendengus dan terus
mengejar. Tampaknya dia tak mau
memberi kesempatan kepada lawan
untuk
menarik napas.
Wuuuttt...! Wuuuttt...!
Ujung pedang Puspita sepera'
mempunyai mata. Berkelebat cepat
mencari jalan kematian di tubuh
Ayumi.
Hingga kemudian....
"Arghhh...!"
Ayumi berdiri kaku dengan mata
mendelik. Dadanya tertembus pedang
Puspita. Perlahan-lahan tubuh
tanpa
nyawa itu terjerembab ke tanah.
Puspita bernapas lega. Kakinya
dilangkahkan hendak meninggalkan
tempat itu.
Sraaattt...!
Empat selendang merah meluncur
cepat. Puspita yang tak menduga
datangnya serangan merasakan tubuh
dan
kedua belah tangannya tak dapat
digerakkan. Rupanya, dia telah
terbelit!
Wanita cantik itu menggeram
marah. Matanya menatap empat orang
anggota Perkumpulan Bidadari
Lentera
Merah yang berputar mengitarinya.
Puspita tahu belitan selendang-
selendang lawan tak akan dapat
dilawannya. Bila dia mengerahkan
tenaga dalam selendang-selendang
itu
akan semakin erat membelitnya.
Dengan gerakan lemah Pedang Perak
menjatuhkan senjatanya. Kaki kanan
wanita cantik itu menendang gagang
pedang. Pedang itu pun terlontar
ke
atas. Senjata andalan Puspita itu
kemudian bergerak cepat seperti
mengikuti pusaran air.
Slash...!
Empat selendang merah yang
membelit tubuhnya terbabat putus.
Puspita langsung menerjang.
Kecepatan
geraknya bagai setan sedang mengejar
mangsa.
Keempat lawannya yang masih
terperangah karena selendang
mereka
terbabat putus tak mampu
menghindari
datangnya serangan. Maka, tak ayal
lagi pedang Puspita menyambar
leher
empat anggota Perkumpulan Bidadari
Lentera Merah. Jerit panjang
mengiringi kematian mereka!
Tiba-tiba, serangkaian angin
pukulan berhawa panas menerjang
tubuh
Puspita dari belakang. Wanita cantik
yang masih dalam kesiagaan penuh
itu
meloncat.
Blaaarrr...!
Tanah tempat pukulan jarak jauh
itu mendarat berkubang dalam.
Mayat-
mayat yang tergeletak tak jauh
dari
tempat itu terlontar jauh.
"Ingkanputri...!" desis
Puspita.
Gadis yang disebut namanya cuma
mendengus. Murid Dewi Tangan Api
yang
dalam pengaruh kekuatan sihir itu
menatap wajah Puspita penuh
kebencian.
Pedang Perak yang sudah
mengetahui keadaan gadis di
hadapannya
itu balas menatap. Tapi, Puspita
segera melangkah mundur dua
tindak.
"Celaka!" kata Puspita
dalam
hati. "Aku sudah berjanji
kepada
Suropati untuk melindungi gadis
ini.
Kalau dia menyerangku, apa yang
harus
kuperbuat?"
Puspita tak mempunyai kesempatan
untuk berpikir lebih panjang.
Ingkanputri telah menerjangnya.
Mau
tak mau Pedang Perak memutar
senjatanya untuk membentuk suatu
perlindungan....
Suropati dan Raka Maruta berlari
menuju Bukit Pangalasan. Di
belakangnya tampak Carang Gati dan
puluhan anggota Perkumpulan
Pengemis
Tongkat Sakti.
"Mereka berada di mana,
Gati?"
tanya Suropati. Pemuda itu
menanyakan
tempat berkumpulnya para anggota
Perkumpulan Pengemis Baju Hitam.
"Di lereng sebelah
timur...,"
Carang Gati mendongakkan kepalanya
menatap langit yang berangsur-angsur
terang. "Bila hujan telah
berhenti
mereka akan segera naik,"
kata Carang
Gati kemudian.
"Tidak," sela Suropati.
"Mereka
akan menunggu sampai tanah menjadi
kering."
"Orang-orang Perkumpulan
Pengemis
Baju Hitam terkenal nekat."
"Itu berarti keuntungan bagi
kita. Mereka akan bersusah payah
untuk
naik. Setelah sampai di tujuan,
keadaan mereka tidak bugar
lagi...."
"Tapi, anggota perkumpulan
kita
yang berada di atas bukit tak
cukup
banyak untuk menghadapi
mereka," ucap
Carang Gati, khawatir.
Pada saat itu dari arah belakang
terdengar derap langkah kaki kuda
berlari cepat. Seluruh anggota
Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti
membalikkan badan. Ketika melihat
umbul-umbul kerajaan, ketegangan
di
wajah mereka sedikit memudar.
Senopati Risang Alit dan kese-
ratus prajuritnya mengekang
kendali
kuda. Mereka berhenti di hadapan
Suropati.
"Suropati...," kata
Senopati Ri-
sang Alit. "Kebetulan aku
berjumpa
denganmu di tempat ini. Aku
membawa
titah Baginda Prabu untuk
disampaikan
kepadamu."
Pengemis Binal hanya mena-
tap.wajah pejabat tinggi kerajaan
itu
dengan tatapan tak mengerti.
"Baginda Prabu meminta
bantuanmu
untuk turut memadamkan
pemberontakan
Perkumpulan Bidadari Lentera Merah
dan
Perkumpulan Pengemis Baju Hitam."
Kening Suropati berkerut. Tanpa
sadar dia menggaruk-garuk
kepalanya.
"Tapi, kenapa mereka hendak
menyerbu pemukiman orang-orang
kami?"
tanya remaja konyol itu,
"Itu salah satu siasat dari
mereka....",
Bersamaan dengan usainya kalimat
Senopati Risang Alit, cahaya
mentari
menyorot ke bumi dengan terangnya.
Awan hitam yang semula
menyelimuti,
telah pergi. Hujan pun berhenti.
"Sebentar lagi akan datang
lima
ratus orang prajurit pejalan kaki.
Kau
dan anak buahmu harap membantu
mereka,
Suro...," pinta Senopati
Risang Alit.
Pengemis Binal menarik napas lega
mengetahui jumlah prajurit
kerajaan
yang begitu besar. Jadi, untuk
menghadapi orang-orang Perkumpulan
Pe-
ngemis Baju Hitam tak akan banyak
menemui kesulitan. Suropati
mengang-
gukkan kepalanya.
Melihat persetujuan itu, Senopati
Risang Alit memberi tanda kepada
prajuritnya untuk segera
melanjutkan
perjalanan. Mereka menyendal
kendali
kuda dan berlari ke arah selatan.
"Mereka mau ke mana?"
tanya
Suropati.
"Ke tempat berkumpulnya
orang-
orang Perkumpulan Bidadari Lentera
Merah," jawab Carang Gati.
"Jadi, dua perkumpulan itu
telah
mengepung pemukiman kita...."
Suropati menggaruk kepalanya.
Raka Maruta yang berdiri di.
sampingnya menyenggol lengan
remaja
konyol itu.
"Kau jangan bersikap seperti
kerbau dungu begitu!" kata
Pendekar
Kipas Terbang. "Anak buahmu
sedang
menanti perintah darimu."
"Eh, iya...," Suropati
tetap tak
menghentikan garukan di kepalanya.
"Kau naiklah, Gati. Katakan
kepada
Kakek Gede bahwa lima ratus prajurit
kerajaan akan datang. Seluruh
anggota
Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti
agar membantu menggempur para
pemberontak itu."
"Lalu, teman-teman yang ikut
bersama kita ini?"
"Suruh menunggu kedatangan
prajurit kerajaan, dan agar ikut
menyerbu bersama-sama."
"Kau sendiri hendak ke
mana?"
"Aku bersama Raka Maruta akan
membantu Senopati Risang
Alit!"
"Huh! Enak saja!" gerutu
Carang
Gati. "Kalau mendengar ada
wanita
cantik, penyakitmu selalu
kambuh!"
"Ah, sudahlah. Tak perlu kau
ributkan itu. Segera kau turuti
perintahku!"
Suropati meloncat lalu berlari ke
selatan. Raka Maruta bergegas
menyusul. Carang Gati menatap
kepergian mereka sambil
menyunggingkan
senyum pahit.
"Huh! Maunya yang enak saja.
Bertempur dengan wanita-wanita
cantik
sambil mencari kesempatan untuk
colak-
colek...," gerutu pemuda
bertubuh
kurus itu.
* * *
Setelah hujan berhenti, pertem-
puran antara Puspita dan
Ingkanputri
bertangsung tak seimbang.
Puspita yang tak mau menjatuhkan
tangan maut hanya bergerak
menghindar.
Sesekali gadis cantik itu
melakukan
serangan tak membahayakan.
Sebaliknya,
Ingkanputri tampak begitu bernafsu
untuk segera menyudahi pertempuran
itu.
Berkali-kali pukulan jarak jauh
Ingkanputri hampir mencapai
sasaran.
Pakaian yang dikenakan Puspita
telah
koyak-koyak terkena angin sambaran
pukulan murid Dewi Tangan Api.
Pada suatu kesempatan, tubuh
Puspita melenting bagai seekor
udang
meloncat dari atas batu. Kald kiri
wanita cantik itu menyambar. Tangan
kanannya digerakkan untuk menotok
jalan darah di punggung
Ingkanputri.
Melihat serangan itu, Ingkanputri
tersenyum sinis. Pancingannya
ternyata
berhasil. Serta-merta dia
menjatuhkan
tubuh ke tanah lalu memutar kaki
kanannya ke samping!
Des...!
Tubuh Puspita terlontar dua
tombak. Wanita cantik itu segera
bangkit berdiri sambil mendekap
bahu
kirinya. Perlahan-lahan dia
meloloskan
pedang yang telah disarungkannya
kembali. Tapi ketika Puspita
menatap
ketajaman pedangnya, dia terpuruk
dalam keraguan.
"Apakah aku harus membunuh
gadis
itu? Dia hanyalah raga yang jiwanya
telah dikuasai oleh Sekar Mayang.
Ah,
bagaimana dengan Suropati bila dia
meminta
pertanggungjawabanku...?"
Ingkanputri menatap dingin.
Sambil mendengus, dia menerjang
Puspita dengan hentakan tenaga
dalam
penuh.
"Jangaaan...!"
Sebuah teriakan keras membahana
di angkasa. Tapi, pukulan jarak
jauh
Ingkanputri sudah tak dapat
dibendung
lagi. Puspita hanya dapat
membentengi
tubuhnya dengan putaran pedang.
Untunglah seberkas sinar putih
memapaki pukulan jarak jauh
Ingkanputri.
Blaaarrr...!
Tak urung, tubuh Puspita mencelat
akibat serempetan pukulan jarak
jauh
Ingkanputri.
"Puspita...!" pekik
Suropati yang
baru saja hadir di tempat itu.
Remaja konyol itu mengejar tubuh
Pedang Perak yang bergulingan di
atas
tanah berlumpur. Kemudian, dia
mendekap erat dalam rasa haru.
Menyaksikan hal itu, sikap
Ingkanputri jadi semakin beringas.
Dengan kekuatan penuh dia hendak
melancarkan 'Pukulan Api
Neraka'-nya!
Untunglah Raka Maruta telah datang.
Lebih dulu diterjangnya murid Dewi
Tangan Api.
"Puspita...," bisik
Suropati
sambil menatap wajah wanita cantik
yang berada dalam dekapannya.
Pedang Perak balas menatap, lalu
mengulum senyum. Darah segar
meleleh
dari sudut bibirnya.
"Aku terlambat datang,
Puspita...."
"Tidak, Suro. Kau datang
tepat
pada waktunya. Arghhh...!". Pedang
Perak mengeluh sambil mendekap
dadanya.
"Aku akan menyalurkan hawa
murni
ke tubuhmu, Puspita," kata
Suropati.
Didudukkannya tubuh Pedang Perak.
Sebentar kemudian, wanita cantik
itu
merasakan hawa segar muncul dari
telapak tangan Suropati yang
menempel
di punggungnya.
Tiba-tiba terdengar sebuah suitan
nyaring. Ingkanputri yang sedang
bertempur melawan Raka Maruta
menggeleng-gelengkan kepala.
Dengan
sebuah geraman keras dia meloncat
dan
berlari cepat menuju asal suara
suitan. Raka Maruta berlari
mengejar.
Suropati yang telah selesai
menyalurkan hawa murni ke tubuh
Puspita menatap sejenak kepergian
mereka.
"Kau sudah bisa mengatasi
luka
dalammu sendiri, Puspita?"
tanya
remaja konyol itu.
Pedang Perak mengangguk pelan.
Suropati segera bangkit berdiri
dan
mengejar kepergian Ingkanputri.
"Bantu Kapi Anggara,
Suro...!"
teriak Puspita.
* * *
Cahaya perak mentari kembali
menyapa Bukit Pangalasan. Dedaunan
yang basah perlahan-lahan
mengering.
Hembusan sang bayu membantu sisa
butiran air hujan turun ke tanah.
Burung-burung terbang dalam
kicaunya
yang riang. Di balik keindahan
yang
diciptakan Sang Penguasa Tunggal
itu,
mayat-mayat bergelimpangan di
lereng
bukit. Darah tercecer dan merembes
ke
dalam tanah berlumpur.
Siasat Baginda Prabu Arya
Dewantara untuk menghancur leburkan
kekuatan pemberontak yang dipimpin
Sekar Mayang sangat jitu. Raja
yang
telah mencium adanya pemberontakan
itu
mengirim sepasang telik sandi,
yaitu
Kapi Anggara dan Puspita.
Dari merekalah Baginda Prabu Arya
Dewantara tahu kalau untuk
menggempur
kekuatan Sekar Mayang merupakan
hal
yang mustahil. Sarang mereka
berada di
dalam lorong bawah tanah yang
berliku-
liku dan penuh jebakan.
Jalan satu-satunya untuk memus-
nahkan kekuatan Perkumpulan
Bidadari
Lentera Merah, yang dibantu
Perkum-
pulan Pengemis Baju Hitam,
hanyalah
dengan menunggu mereka keluar dari
sarangnya.
Kapi Anggara berhasil menanamkan
rasa benci dalam dada Sekar Mayang
kepada Suropati. Akhirnya, wanita
cantik itu bermaksud memusnahkan
perkumpulan pengemis yang dipimpin
murid Periang Bertangan Lembut
itu.
Dari situ pula Sekar Mayang
berharap akan timbul dendam dalam
diri
Suropati, agar ilmu 'Asmara
Penggoda'
yang dimiliki Puspita dapat
mempenga-
ruhinya. Tapi, kenyataannya
langkah
itulah yang justru menghancurkan
kekuatan Sekar Mayang sendiri.
Pasukan berkuda yang dipimpin
Senopati Risang Alit menggempur
orang-
orang Perkumpulan Bidadari Lentera
Merah tanpa mau memberi ampun.
Tapi,
semangat dalam diri anak buah
Sekar
Mayang tak pernah pupus. Mereka
memberi perlawanan sampai titik
darah
penghabisan.
Sekar Mayang yang dibantu belasan
anak buahnya terus menggempur Kapi
Anggara. Pemuda berwajah tampan
itu
jadi kerepotan. Berkali-kali
tubuhnya
terlempar dihajar ujung selendang
lawan.
Aku akan segera mengirimmu ke
nereka, Keparat!" umpat Sekar
Mayang
sambil terus mencecar tubuh si
Pendekar Asmara dengan kibasan
selendangnya.
"Sebaiknya kau menyerah saja,
Mayang," jawab Kapi Anggara.
"Tidakkah
kau lihat prajurit kerajaan telah
mendesak anak buahmu?!"
"Bangsat! Bicaralah
sepuasnya,
karena hal itu akan mempercepat
kematianmu!"
Sekar Mayang menghunjamkan ujung
selendangnya ke dada Kapi Anggara.
Dibarengi oleh kibasan selendang
belasan anak buahnya.
Wooosss...!
Dengan jurus 'Putaran Beliung'-
nya, si Pendekar Asmara berusaha
menepis serangan itu. Tapi ketika
kaki
pemuda tampan itu kembali menjejak
tanah, Sekar Mayang telah
mempersiap-
kan sebuah serangan mematikan.
Tadi sewaktu tubuh Kapi Anggara
berputaran di udara, Sekar Mayang
meluncur ke atas. Dan ketika kaki
si
Pendekar Asmara telah mendarat,
Bidadari Lentera Merah meluruk
dari
atas dengan sebuah tendangan ke
arah
kepala.
Kapi Anggara yang tak menduga
datangnya serangan itu hanya
sempat
memiringkan kepalanya.
Des...!
Bahu kanan pemuda tampan itu
tertendang dengan telak. Tubuh si
Pendekar Asmara terlempar sambil
berputaran. Kalau saja Kapi Anggara
tak melambari tubuhnya dengan tenaga
dalam, tulang-belulangnya tentu
akan
remuk.
Sekar Mayang menatap tajam si
Pendekar Asmara yang berdiri
terhuyung-huyung. Pemuda tampan
itu
mengibas-ngibaskan telapak
tangannya
di depan wajah, karena
pandangannya
menjadi kabur.
Saat itulah Sekar Mayang mengge-
rakkan tangan kanannya. Puluhan
jarum
beracun meluncur deras.
Srat...!
Trak....!
Putaran pedang bersinar hitam
menyampok jarum-jarum itu. Sekar
Mayang terperangah menatap
kehadiran
Senopati Risang Alit.
"Kentut Busuk! Rupanya kau
juga
mencari mati!"
Mendengar perkataan gadis itu,
Senopati Risang Alit tersenyum
sinis.
Senapati kerajaan yang berwajah
halus
dengan rambut digelung ke atas itu
menatap Sekar Mayang tanpa sinar
kebencian.
"Menyerahlah kau!" ucap Senopati
Risang Alit penuh wibawa. "Mungkin
Baginda Prabu akan meringankan
hukumanmu."
"Cih! Siapa sudi menyerah!
Justru
kaulah yang harus menyerahkan
kepalamu!"
Sebuah bayangan berkelebat, dan
berhenti tepat di samping Bidadari
Lentera Merah.
"Bagus, Putri...," Sekar
Mayang
tersenyum senang. "Tugasmu
masih
banyak. Bunuh laki-laki berpedang
itu!"
Mendengar perintah itu, Ingkan-
putri langsung menggeprak.
Senopati
Risang Alit memutar pedang. Disam-
butnya serangan Ingkanputri dengan
ujung pedang mengarah ke dada.
Tubuh Ingkanputri terus meluncur.
Ketika ujung pedang tinggal
sejengkal
mencapai sasaran, tiba-tiba tubuh
murid Dewi Tangan Api itu
melenting ke
atas seraya melancarkan tendangan!
Wuuuttt...!
Senopati Risang Alit terperangah.
Beruntung dia segera meloncat ke
belakang. Kalau tidak, tubuhnya
tentu
akan terlempar pada gebrakan
pertama
itu.
"Bagus, Putri. Segera kau
bunuh
dia!" teriak Sekar Mayang.
Wanita itu
kemudian melesat untuk menyerang
Kapi
Anggara.
Dua sosok bayangan berkelebat
datang dan berhenti di pinggir
arena
pertempuran.
"Kau bantulah Kapi
Anggara...,"
pinta Suropati kepada Raka Maruta.
"Aku akan mencoba menyadarkan
Ingkanputri. Aku takut senopati
kerajaan itu akan menjatuhkan
tangan
mautnya."
Suropati melenting dan langsung
berusaha melumpuhkan Ingkanputri.
Tapi, gadis itu bukanlah lawan
yang
mudah untuk ditundukkan. Kelebatan
kedua belah tangannya sangat
berbahaya
karena selalu memendarkan hawa
panas.
Suropati terperangah menyaksikan
serangan-serangan Ingkanputri yang
membabi buta. Tapi, Pengemis Binal
tak
mau menggunakan tongkatnya. Dia
hanya
mengandalkan jurus 'Pengemis
Meminta
Sedekah' untuk melancarkan totokan
di
tubuh Ingkanputri.
Sernentara itu, Kapi Anggara dan
Raka Maruta telah berhasil
menjatuhkan
beberapa anak buah Sekar Mayang.
Dua
pendekar muda itu tak mau membuang
waktu lagi untuk segera menyudahi
perlawanan Sekar Mayang.
Mata wanita cantik itu mendelik
penuh amarah. Jurus 'Bidadari
Mengusir
Awan'-nya sama sekali tak mampu
untuk
menghadapi kedua lawannya. Bahkan,
pada suatu kesempatan selendang di
ta-
ngan Sekar Mayang terbabat putus
oleh
kibasan kipas Raka Maruta.
Lalu, dengan satu gerakan indah
tubuh Pendekar Kipas Terbang
bersalto
di udara seraya melontarkan kipas
mautnya.
Breeettt...!
Tangan kanan Sekar Mayang yang
masih me-egang potongan selendang
terbabat putus sebatas siku!
Wanita cantik itu menjerit keras.
Mulutnya lalu mengeluarkan suitan
nyaring. Tubuh Sekar Mayang
berkelebat
pergi.
Ingkanputri yang sedang bertempur
melawan Senopati Risang Alit dan
Suropati mendengar suitan Sekar
Mayang. Gadis itu menghentikan
serangannya, dan berlari mengikuti
Ketua Perkumpulan Bidadari Lentera
Merah.
Suropati ingin bergerak mengejar,
tapi ditahan oleh Kapi Anggara.
"Aku harus membebaskan
Ingkan-
putri dari pengaruh sihir yang
menggelapkan matanya," kata
Suropati
memberi alasan.
"Masih banyak waktu untuk
mela-
kukan hal itu. Kau harus
mengkesam-
pingkan urusan pribadimu dulu,
Suro...," sahut si Pendekar
Asmara.
"Kemungkinan besar saat ini
Ratnasari
sedang menuju istana untuk
mengetrapkan ilmu 'Asmara
Penggoda'-
nya. Kita harus menghadang
kehadiran
wanita iblis itu."
Suropati menatap wajah Kapi
Anggara sejenak, lalu kepalanya
di-
anggukkan.
Mereka berdua bersama Raka Maruta
segera naik ke punggung kuda.
Binatang
tunggangan itu meluncur cepat
menuju
istana kerajaan. Senopati Risang
Alit
tinggal di tempat untuk membantu
prajuritnya menumpas sisa-sisa
anggota
Perkumpulan Bidadari Lentera
Merah.
Sementara itu, di bagian timur
lereng Bukit Pangalasan
pertempuran
masih berlangsung seru. Jerit
kesakitan dan teriak kematian
terus
membahana. Permukaan tanah memerah
bersimbah darah.
Prajurit-prajurit kerajaan
menggempur para anggota
Perkumpulan
Pengemis Baju Hitam laksana
benteng ketaton. Anak buah Banyak Jalamprang
memberikan perlawanan gigih.
Mereka
yang rata-rata berasal dari
golongan
hitam menerjang ganas seperti
iblis
haus darah!
Dari arah Kadipaten Tanah Loh
tampak puluhan anggota Perkumpulan
Pengemis Tongkat Sakti bersama
Katabang, Wirogundi, dan
Anjarweni.
Setelah mengetahui teman-teman
mereka bertempur bahu-membahu
dengan
prajurit kerajaan, mereka segera
menyerang para anggota Perkumpulan
Pengemis Baju Hitam.
Wirogundi dan Anjarweni bertempur
saling membelakangi. Setiap musuh
yang
mencoba mendekat akan terpental
oleh
hantaman tongkat Wirogundi, atau
tendangan dan pukulan Anjarweni.
Sepasang kekasih ini dapat muncul
di tempat itu karena berjumpa
dengan
Katabang yang sedang berusaha
mengumpulkan para anggota
Perkumpulan
Pengemis Tongkat Sakti. Katabang
menceritakan apa yang telah
terjadi di
Bukit Pangalasan.
Di sebuah tanah datar Gede
Panjalu berhadapan dengan Banyak
Jalamprang. Dua orang tokoh yang
sama-
sama ahli memainkan tongkat itu
saling
terjang dengan hebatnya.
Berkali-kali
senjata mereka berbenturan di
udara,
hingga kedua pemiliknya terpental.
Gede Panjalu dan Banyak
Jalamprang sadar kalau tenaga
dalam
mereka seimbang. Keduanya segera
mengandalkan kecepatan gerak ilmu
meringankan tubuh untuk menghadapi
serangan lawan..
Deru angin deras mengiringi
kelebatan tongkat di tangan kedua
tokoh tua itu. Pada suatu
kesem-patan,
tubuh mereka saling geprak dari
kejauhan. Gede Panjalu berusaha
menyodok dada iawan dengan ujung
tongkatnya. Sedangkan Banyak
Jalam-
prang mengemplang kepala!
Tak...!
Tongkat mereka saling
berbenturan. Banyak Jalamprang
segera
menendang dada Gede Panjalu. Kakek
bongkok itu hanya memiringkan
tubuhnya, kemudian balas
menendang.
Desss...!
Secara bersamaan tendangan mereka
mengenai tubuh lawan.
Gede Panjalu terkena bahu
kanannya, hingga tongkatnya
terpental
dari pegangan. Banyak Jalamprang
terkena siku kanannya. Tongkat di
tangan kakek berjanggut lebat itu
pun
jatuh ke tanah.
Gede Panjalu dan Banyak
Jalamprang saling berpandangan
dengan
geraman gusar. Kemudian, saling
menerjang kembali mengandalkan
jurus
tangan kosong.
Gede Panjalu melambari serangan-
nya dengan jurus 'Pengemis
Menghiba
Rembulan'. Tubuh bongkok itu
meluncur
ke atas, lalu melenting cepat
seraya
melancarkan pukulan jarak jauh.
Blaaarrr...!
Pukulan itu hanya membuat
kubangan dalam di tanah. Banyak
Jalamprang berhasil mengelak
dengan
melompat jauh ke belakang. Gede
Panjalu terus merangsek maju.
Desss...!
Tubuh Banyak Jalamprang terpental
tiga tombak ketika tendangan Gede
Panjalu bersarang tepat di
dadanya.
Kakek berjanggut lebat itu bangkit
de-
ngan tubuh limbung. Darah segar
menyembur dari mulutnya.
"Bangsat kau, Bongkok
Bangkotan!"
umpat Banyak Jalamprang.
Gede Panjalu tak mau mendengarkan
kata-kata itu. Tubuhnya melesat
cepat
bagai anak panah lepas dari busur.
Desss...!
Untuk kedua kalinya tubuh Banyak
Jalamprang terlempar jauh. Kali
ini
dia hanya sempat mengangkat
kepalanya.
Lalu, diam untuk selama-lamanya.
Menyaksikan tubuh ketuanya
tergeletak di tanah tanpa nyawa,
nyali
para anggota Perkumpulan Pengemis
Baju
Hitam langsung menciut. Keadaan
mereka
kocar-kacir. Bahkan, di antaranya
ada
yang menggunakan kesempatan itu
untuk
melarikan diri.
* * *
7
Bukit Hantu terselubungi hawa
magis yang pekat. Burung gagak
berkoakan dalam rasa ngeri.
Burung-
burung lain tak sanggup
mengeluarkan
suara. Mereka hanya berloncatan di
atas dahan. Satwa-satwa tanah
terpuruk
dalam kebisuan. Angin yang
berhembus
menimbulkan desau yang sanggup
mendirikan bulu roma.
Di depan meja pemujaan yang
menempel pada dinding Ratnasari
duduk
bersimpuh. Tangannya terpentang
memegang lidi sembahyang yang
ujungnya
mengepulkan asap keputihan.
Kemudian,
kedua tangan wanita yang telah
menjalani upacara pemulihan itu
menangkup. Diletakkannya lidi yang
dipegangnya ke sebuah tabung kecil
berwarna hitam. Tubuh Ratnasari
tampak
bergetar keras dalam kedudukan
bersemadi. Bibirnya bergerak-gerak
mengucapkan mantera. Lalu, tangan
kanannya menjuntai ke depan meraih
gelas yang berisi cairan darah
bayi.
Ratnasari meminum cairah darah
itu dengan penuh nafsu. Sesaat
kemudian, tubuhnya meloncat ke
atas
dan bersalto beberapa kali. Wanita
itu
mendarat di lantai dalam kedudukan
tubuh agak dibungkukkan untuk
memberi
hormat.
"Demi setan, jin, ulu-ulu,
banaspati, peri perayangan yang
menguasai jagat hitam, telah hamba
persembahkan upacara kegelapan yang
akan menyatukan segala kekuatan
angkara murka. Himpunlah daya
pancar
kekuatan gaib sesat dalam diri
hamba.
Umu 'Asmara Penggoda', menyatulah
da-
lam tatap wajah hamba yang cantik
mempesona. Menyatulah dalam
hembusan
napas dan aliran darah hamba.
Dengan
kekuasaan alam hitam, mayapada
goncang, manusia terpuruk dalam
nafsu
buta..."
Bukit Hantu sunyi berbaur sepi.
Burung gagak diam. Suaranya tersekat
di tenggorokan. Satwa lainnya
bergerak
lemah seperti kehilangan kekuatan.
Desau angin membuat suasana makin
mencekam.
Perlahan-lahan sebuah kerudung
kuncup bu-nga mawar sebesar
gentong
melayang di angkasa. Lalu, melesat
cepat bagai gerak batu meteor.
* * *
Setelah menerima pesan Puspita
yang disampaikan Goran Sabrang,
Baginda Prabu Arya Dewantara
segera
memerintahkan seluruh pendekar
kerajaan untuk membuat pagar
betis.
Istana Kerajaan Anggarapura
dikelilingi oleh para ahli silat
tingkat atas. Para ahli sihir pun
setelah menyelesaikan tugasnya,
untuk
membuat hujan tiruan, berkumpul
kembali di ruang nujum. Mereka
menciptakan benteng gaib di
sekitar
istana.
Baginda Prabu Arya Dewantara
sendiri berdiri di ruang utama
sambil
bersedekap. Matanya menatap tajam
jauh
ke
depan. Bibirnya bergetar
mengucapkan doa.
"Dewata Yang Agung, cobaan
yang
Kau timpakan kepada Kerajaan
Anggarapura begitu besar. Berilah
kekuatan kepada hamba dan seluruh
punggawa istana. Dengan kekuasaan-Mu
pula Kerajaan Anggarapura akan
kembali
tenteram dan damai...."
Di luar para tokoh silat kerajaan
dalam ketegangan memuncak. Dari
kejauhan tampak titik merah
mengang-
kasa bergerak cepat menuju istana.
Diiringi suara seperti desisan
ular,
kerudung kuncup bunga mawar
berhenti
di depan pintu gerbang istana.
"Seperti ada kekuatan kasat
mata
yang menghalangi gerakku,"
bisik
Ratnasari yang berada di dalam
kerudung kuncup bunga mawar.
"Apakah
tokoh-tokoh istana telah
mengetahui
kedatanganku?" belum sempat wanita
cantik pemuja setan itu berpikir
lebih
jauh, mendadak....
Wuuuttt...! Wuuuttt...!
Srat! Srat! Srat!
Puluhan batang tombak dan ratusan
anak panah meluncur datang!
Ratnasari menghentakkan kakinya.
Kerudung kuncup bunga mawar yang
sedang ditungganginya pun
melenting ke
atas. Serangan mendadak itu tak
mengenai sasaran.
Bidadari Bunga Mawar menggeram
gusar melihat dirinya telah
terkepung
puluhan tokoh silat kerajaan.
"Ha ha ha...!"
Tawa Puspita kemudian membahana.
"Kalian hanya kroco-kroco
yang akan
menjemput Dewa Kematian!"
Kerudung kuncup bunga mawar
meluncur cepat.
Desss...!
Seorang tokoh silat kerajaan
terjungkal. Tawa Ratnasari kembali
membahana. Tiba-tiba, kerudung
kuncup
bunga mawar bergerak menuju tanah
bebas. Tirai penutup kerudung
kuncup
bunga tersibak. Ratnasari menatap
tajam puluhan tokoh silat kerajaan
yang berdiri tak jauh darinya.
"Awas! Jangan tatap
matanya!"
Seorang tokoh silat kerajaan yang
mengenakan ikat kepala berteriak
lantang.
"Bangsat!" umpat
Ratnasari.
"Siapa yang telah membocorkan
rencanaku ini?!"
Sraaattt...!
Sehelai tali baja menjerat
kerudung kuncup bunga mawar
Ratnasari.
Wanita pemuja setan itu menggeram
marah. Telunjuk jari kanannya
digerakkan. Meluncurlah sinar
kemerah-
merahan yang hanya sanggup
menggetar-
kan tali baja.
Wanita pemuja setan itu pun
mengaum laksana harimau murka.
Kerudung kuncup bunga mawar yang
ditungganginya berputar cepat.
Tali
baja yang menjerat pun lepas.
Tapi....
Srat...! Srat...! Srat...!
Puluhan tali baja lainnya
meluncur deras disertai sebuah
jaring
lebar. Kerudung kuncup bunga mawar
terjerat erat.
Wooosss...!
Tubuh Ratnasari meluncur ke atas
meninggalkan kerudung kuncup bunga
mawarnya.
Wanita pemuja setan itu mendarat
di tanah dengan mulus. Pakaian
kebesarannya yang berwarna merah
berkibar tertiup angin. Ditatapnya
tajam-tajam puluhan tokoh silat
kerajaan yang berdiri empat tombak
di
hadapannya.
"Jangan tatap matanya!"
teriak
tokoh silat kerajaan yang
mengenakan
ikat kepala untuk kedua kalinya.
"Wanita Iblis, kau
menyerahlah!"
teriak tokoh silat lainnya.
Ratnasari mendengus. Kedua
tangannya diputar hingga
menimbulkan
pusaran angin besar. Para ahli
tokoh
silat kerajaan berloncatan
menghindar.
Pusaran angin besar itu tetap
mengejar
mereka!
Seorang tokoh silat kerajaan yang
berpakaian seperti pendeta menarik
kedua tangannya ke belakang.
Kemudian,
dihentakkan ke depan dengan
seluruh
kekuatan tenaga dalamnya.
"Heaaa...!"
Blaaarrr...!
Diiringi ledakan dahsyat, pusaran
angin yang diciptakan Ratnasari
lenyap
seketika. Wanita pemuja setan itu
lalu
menerjang. Kedua tangan dan
kakinya
bergerak cepat menimbulkan suara
bersuitan.
Para tokoh silat kerajaan
bergerak mengepung.
"Jangan biarkan dia
lolos!"
teriak tokoh silat kerajaan yang
mengenakan ikat kepala.
Pertempuran seru segera
berlangsung. Tokoh-tokoh kerajaan
mencecar tubuh Ratnasari dengan
serangan hebat. Sambaran pedang,
tombak, keris, trisula, dan
senjata
tajam lainnya berbaur jadi satu
mencari jalan kematian!
Tapi, tubuh Ratnasari bergerak
cepat bagai bayangan iblis. Dengan
mengandalkan jurus-jurus maut yang
dilambari ilmu setan, wanita
cantik
itu membobol kepungan.
Des...! Des...! Des...!
Tiga tokoh silat kerajaan roboh
dengan dada hancur terkena pukulan
dan
tendangan Ratnasari.
Namun, tokoh-tokoh kerajaan yang
rata-rata telah berusia lanjut itu
tak
gentar. Mereka terus merangsek
maju
dengan jurus dan ilmu pamungkas
mereka
yang paling dahsyat.
"Heaaa...!"
Disertai teriakan nyaring,
seorang tokoh silat kerajaan yang
mengenakan pakaian pendeta
menerjang.
Kedua tangannya bergerak lurus ke
depan. Ratnasari balas menerjang.
Kedua tangannya menempel di dada,
lalu
menghentak!
Blaaarrr...!
Dua kekuatan tenaga dalam bertemu
di udara. Tubuh tokoh silat
kerajaan
terlontar dan membentur dinding
gerbang istana hingga jebol. Tokoh
tua
itu pun terhempas ke tanah lalu
menghembuskan napas terakhir.
Ratnasari sendiri hanya terdorong
mundur satu tindak. Kesempatan itu
tak
disia-siakan lawan-lawannya yang
lain.
Mereka menerjang secara bersamaan.
Tubuh Ratnasari meluncur ke atas.
Pada saat itu seorang kakek
bertubuh
gemuk melontarkan jaring. Tapi,
pukulan jarak jauh Ratnasari telah
mendahului.
Blaaarrr...!
Tubuh kakek gemuk itu terlempar
dalam keadaan hancur!
Ratnasari benar-benar berpesta
kematian. Satu persatu tokoh-tokoh
kerajaan terjungkal. Permukaan
tanah
di sekitar arena pertempuran basah
bersimbah darah. Jerit-jerit
kesakitan
membahana mengantarkan kematian.
Di ruang utama istana Baginda
Prabu Arya Dewantara diliputi rasa
amarah dan khawatir. Matanya
memandang
nanar ke setiap sisi ruangan.
Raja yang berusia lima puluh
tahun itu kemudian meloloskan keris
lambang kekuasaannya. Keris
berlekuk
sembilan sembilan itu memancarkan
sinar kebiruan. Untuk beberapa
lama
Baginda Prabu Arya Dewantara
menatap
keris yang diacungkan ke depan
wajahnya. Kemudian, kakinya
melangkah....
"Sinuwun hendak ke
mana?"
Seorang wanita cantik berpakaian
gemerlap muncul dari serambi.
Baginda
Prabu Arya Dewantara menatap
kehadiran
wanita cantik itu.
"Kabut yang menyelubungi
istana
begitu tebal, Nimas," ucap
Baginda
Prabu Arya dewantara. "Aku
akan
mencoba untuk mengusir kabut
itu."
"Jangan, Sinuwun...,"
cegah
wanita cantik berpakaian gemerlap
yang
tak lain permaisuri Baginda Prabu
Arya
Dewantara, Rara Nawangwulan.
"Kewajiban seorang raja
selain
memimpin, mengatur, dan memakmurkan
kehidupan rakyat j-ga harus dapat
memberikan rasa aman dan
tenteram...,"
titah Baginda Prabu Arya Dewantara
de-
ngan suara lembut. "Ratnasari
adalah
salah satu sumber kekacauan yang
akan
memporak porandakan kehidupan
rakyat.
Sebagai seorang pemimpin, sudah
menjadi kewajibanku untuk
menghalau
wanita iblis itu."
"Tapi tokoh-tokoh kerajaan masih
banyak, Sinuwun"
"Kau lihat sendiri, Nimas.
Mereka
tak mampu menghadapi keganasan
wanita
iblis itu."
"Tapi...."
"Ah, sudahlah. Kau jangan
menghalangiku...."
Baginda Prabu Arya Dewantara
melangkahkan kakinya. Rara
Nawangwulan
hanya dapat menatap kepergian
laki-
laki kecintaan yang sekaligus
junjungannya itu.
Pada saat itulah muncul Kapi
Anggara. Pemuda tampan ini
langsung
berlutut di hadapan Baginda Prabu
Arya
Dewantara.
"Mohon ampun, Baginda. Hamba
datang terlambat. Tapi, Baginda tak
perlu turun tangan. Hamba datang
bersama Pengemis Binal dan
Pendekar
Kipas Terbang," lapor Kapi
Anggara.
"Mereka di mana?"
"Langsung menggempur
Ratnasari.
Untuk itu, perkenankanlah hamba
mohon
diri guna membantu mereka."
Kapi Anggara beringsut mundur.
Lalu, berkelebat menuju ke arena
pertempuran.
Tokoh silat kerajaan yang masih
tersisa tiga orang bisa bernapas
lega
melihat kehadiran Suropati dan
Raka
Maruta. Apalagi ketika datang Kapi
Anggara yang sudah mereka kenal.
Semangat tempur mereka tiba-tiba
menggelora kembali.
"Hyaaattt...!"
Dengan berteriak bersamaan,
Suropati dan Raka Maruta
menerjang!
Tongkat di tangan Pengemis Binal
terayun dalam jurus 'Tongkat
Menghajar
Maling'. Sedangkan Pendekar Kipas
Terbang melontarkan kipas
andalannya
dengan jurus 'Kipas Terbang
Membelah
Angin'.
Tak...!
Wuuusss...!
Tangan kiri Ratnasari menangkis
ayunan tongkat Suropati. Tangan
kanannya menghentak ke depan seraya
melancarkan pukulan jarak jauh.
Akibatnya, kipas Raka Maruta
terpental.
Wanita pemuja setan itu langsung
menendang kepala Suropati. Tapi,
dengan mudah Pengemis Binal
menghin-
dari serangan itu. Ratnasari tak
putus
asa karenanya. Kaki kanannya yang
masih melayang di udara terus
meluncur!
Desss...!
Seorang tokoh silat kerajaan
tertendang dadanya dengan telak.
Dia
pun roboh memeluk bumi tanpa mampu
bangkit lagi.
"Ha ha ha...!" Tawa
Ratnasari
membahana. "Satu persatu aku
akan
mengirim kalian ke neraka!"
Tubuh wanita pemuja setan itu
berputar cepat hingga menimbulkan
deru
angin dahsyat. Putaran itu tanpa
diduga-duga berhenti mendadak lalu
meluncurlah serangan beruntun.
Des...! Des...!
Dua tokoh kerajaan yang masih
tersisa tak sempat menghindar.
Tubuh
mereka terlontar dalam keadaan
hancur.
Pukulan Ratnasari memang dilambari
seluruh kekuatan tenaga dalamnya.
* * *
8
Sehebat-hebatnya seorang manusia,
apabila terus-menerus mengerahkan
tenaga tentu tubuhnya
berangsur-angsur
akan menjadi lemah. Hal itu juga
dialami Ratnasari.
Pertempuran yang berlangsung dari
menjelang siang sampai malam
banyak
menguras tenaganya. Apalagi yang
dihadapi bukanlah tokoh-tokoh samba-
rangan. Ratnasari harus
mengerahkan
segala kemampuannya untuk
menghadapi
mereka.
Pakaian wanita cantik itu telah
basah oleh keringat bercampur
darah.
Peluh sebesar biji-biji ja-gung
bergulir dari keningnya. Dengusan
napasnya pun terdengar memburu.
Tapi, wanita pemuja setan itu
terus mencecar lawan. Dia berusaha
menjatuhkan tangan mautnya.
Teriakan-
nya masih terdengar nyaring.
Dan, di suatu kesempatan yang
kurang menguntungkan Ratnasari....
Des...!
Tongkat Suropati berhasil
mengenai bahu kiri. Tapi, tenaga
dalam
wanita pemuja setan itu sudah
sedemikian kuatnya. Dia tak
mengalami
luka yang berarti. Namun
keberuntungan
itu tak berlangsung lama. Senjata
andalan Raka Maruta meluncur cepat
menjalankan tugasnya!
Bret...!
Punggung Ratnasari terkoyak
lebar. Darah segar merembes
mengotori
kulit tubuhnya yang putih.
Sebentar
kemudian.... bunga kenaga Kapi
Anggara
menancap di dada kanan wanita itu.
Diiringi jeritan panjang tubuh
Ratnasari mencelat jauh. Wanita
itu
kemudian berdiri tegak dengan
kedua
telapak tangannya menyatu di depan
dada. Mulutnya komat-kamit merapal
mantera.
Wooosss...!
Tubuh Ratnasari lenyap bagai
ditelan bumi, meninggalkan asap
keputih-putihan di tempat
hilangnya.
"Di mana dia?" tanya
Raka Maruta
dan Kapi Anggara bersamaan.
Suropati menggaruk kepalanya.
"Kalian bertanya
kepadaku?" katanya
ganti bertanya.
"Kerbau dungu!" umpat
Raka
Maruta.
"Eh, siapa yang kau katakan
'kerbau dungu' itu?" tanya
Pengemis
Binal.
"Kau! Monyet Goblok!"
sungut Kapi
Anggara.
Mendengar itu Suropati hanya
menggaruk-garuk kepalanya.
"Uh!
Sebel!" katanya pelan.
"Kalian tidak
lebih pintar bila dibanding
denganku.
Kenapa mesti mengataiku seperti
itu?"
"Tolol!" umpat Kapi
Anggara lagi.
"Kalau kau tidak mau
dikatakan goblok
dan dungu, coba kau cari di mana
Ratnasari sekarang?!"
Pengemis Binal menggaruk kepala-
nya lagi.
"Wanita iblis itu sedang
mengetrapkan aji 'Halimun Sakti',
Tuan
Pendekar Budiman yang pintar kaya
kentut!"
Brot...!
Suropati menggoyang-goyangkan
pantatnya yang habis mengeluarkan
udara 'beracun'. Dengan serta
merta,
Raka Maruta dan Kapi Anggara
memencet
hidung mereka. Mencegah udara
'beracun' itu terhirup masuk ke
dalam
paru-paru.
"Eh, jangan memencet hidung,
Pendekar Pintar! Nanti udara
'beracun'-nya tidak
terhirup!" teriak
Suropati dengan cengengesan.
Mendengar kalimat itu, Raka
Maruta dan Kapi Anggara berjalan
mendekati Suropati. Lalu....
Tak!
Tak!
Remaja konyol itu meraba
kepalanya yang terkena jitakan.
"Setan Alas! Kambing Congek!
Kadal Buduk! Sapi Ompong!"
umpat
Suropati sejadi-jadinya.
Setelah puas memaki-maki, dia
membentangkan tangannya.
Gerakannya
seperti sedang mengu-ir sesuatu.
"Minggir kau,
Pendekar-Pendekar
Pintar! Aku akan mengeluarkan ilmu
'Mata Awas'-ku untuk mencari
Ratnasari...."
Tubuh remaja konyol itu kemudian
melesat. Dikejarnya asap keputihan
yang melayang tertiup angin. Raka
Maruta dan Kapi Anggara saling
berpandangan. Dengan menggerutu
mereka
mengikuti langkah kaki Suropati.
Asap keputihan itu terus melayang
hingga sampai ke sebuah sungai
kecil
berair dangkal. Tiba-tiba saja
Pengemis Binal melancarkan pukulan
jarak jauh.
Blaaarrr...!
Suara menggelegar langsung
membahana. Asap keputihan itu pun
lenyap. Tampaklah tubuh Ratnasari
yang
berdiri terhuyung-huyung.
"Rupanya kau sedang mabuk
karena
terlalu banyak makan kentutku,
ya?"
ejek Suropati.
"Bocah Gendeng! Aku akan
mengupas
bibirmu yang memble itu!"
teriak
Ratnasari.
"Eit! Tak baik marah-marah
begitu! Dulu kau pernah mengajakku
bermesraan. Bagaimana kalau kita
mulai
sekarang?" goda Suropati
dengan
konyolnya.
"Kurang ajar!" umpat
Ratnasari.
Wanita pemuja setan itu menyerang
dengan membabi buta. Tapi karena
tubuhnya yang sudah sedemikian
lemah,
gerakan Ratnasari jadi lambat,
Sambil
tersenyum-senyum Suropati
menghindar
dengan mudah. Bahkan tongkat
remaja
konyol itu berhasil mengemplang
kepala
Ratnasari. Kalau saja wanita
cantik
itu bukan tokoh pilih tanding,
tentulah kepalanya akan pecah.
"Lihat kepalamu yang benjol
itu,
Sayang!" ucap Pengemis Binal.
"Nah,
tidak bisa, kan? Nggak usah
dilihat!
diraba saja!"
Ratnasari mendengus dengan kema-
rahan yang meluap-luap. Darahnya
mendidih naik sampai ke ubun-ubun.
Kembali diterjangnya Suropati
dengan
lebih bernafsu.
Tapi, Suropati telah
mempersiapkan serangan mendadak.
Tubuh
remaja konyol itu membalik berdiri
membelakangi. Ratnasari tersenyum
senang melihat tindakan remaja
konyol
itu. Dia pun semakin mempercepat
terjangannya. Namun....
Bluuusss...!
Mata wanita pemuja setan itu
mendelik lebar. Mulutnya menganga.
Kedua tangannya menggelantung
lemah.
Dada Ratnasari tertembus ujung
tongkat
Pengemis Binal!
Dengan sigap Suropati mencabut
tongkatnya. Lalu, mata remaja
konyol
itu menata tubuh Ratnasari yang
tergeletak di atas tanah.
"Mati kau, Wanita
Iblis!"
Tiba-tiba, suatu keanehan ter-
jadi. Luka yang menganga di dada
Ratnasari mengepulkan asap hitam.
Sekejap kemudian luka itu
perlahan-
lahan menangkup kembali seperti
sediakala.
Wooossss...!
Tubuh wanita pemuja setan itu
mencelat ke atas, dan mendarat di
tanah dengan mulusnya.
"Ha ha ha...! Kau jangan
gembira
dulu, Bocah Gendeng! Demi setan
gentayangan penguasa jagat hitam,
aku
akan mempersembahkan nyawamu untuk
dijadikan budak!"
Mau tak mau Suropati merasa
ngeri. Pemuda itu melangkah
rrmndur
beberapa tindak. Mata Ratnasari
tampak
memancarkan sinar aneh.
"Ilmu 'Asmara
Penggoda'," bisik
Suropati seraya memalingkan
mukanya.
"Ayo, pandanglah aku, Bocah
Gendeng! Katanya kau ingin
bermesraan
denganku!"
"Baik. Aku akan segera
memeluk
tubuhmu," Suropati
membalikkan badan-
nya.
Dengan kepala tertunduk remaja
konyol itu mendekatkan ujung jari
telunjuknya ke depan dada.
Sebentar
kemudian, dari kepalanya mengepul
asap
tipis. Tubuh Pengemis Binal lalu
meluncur deras melancarkan ilmu
totokan 'Delapan Belas Tapak
Dewa'!
Blab! Blab! Blab!
Ilmu totokan yang dilambari
kekuatan sihir itu tepat mengenai
sasaran. Tubuh Ratnasari berdiri
limbung. Dari bagian tubuh yang
tertotok memancar darah segar.
Untuk
beberapa lama, Ratnasari
memandangi
tubuhnya yang basah bersimbah
darah.
"Ha ha ha...!"
Tiba-tiba, tawa wanita itu
tercetus. "Ini hanya. ilmu
tembre,
Bocah Gendeng! Aku akan...."
Wanita pemuja setan itu
melanjutkan kalimatnya. Dia merasakan
suatu perubahan terjadi pada
tubuhnya.
Perlahan-lahan kulit tubuh
Ratnasari
menjadi keriput, lalu mengelupas.
Wajahnya yang semula cantik
berubah
mengerikan bagai wajah iblis baru
bangun dari kuburan.
Suropati terkejut bukan main.
Kepalanya tertunduk tak sanggup
menyaksikan pemandangan yang
menggi-
riskan itu. Saat itulah tubuh
Ratnasari yang mengeluarkan bau
anyir
melayang ke arah Pengemis Binal.
Malaikat kematian pun mengintai
nyawa
Suropati.
Mendadak, sebuah bayangan
berkelebat memapaki luncuran tubuh
Ratnasari.
Blaaarrr...!
Tubuh dewa penolong yang tak lain
Kapi Anggara itu terlontar dalam
keadaan terluka dalam. Ratnasari
berjumpalitan di udara lalu
mendarat
di atas tanah.
Suropati bergegas menghampiri
Kapi Anggara. "Kau tidak
apa-apa,
Anggara?" tanyanya.
"Tidak apa-apa bagaimana?
Jelas
aku.... Uoookkk..!"
Si Pendekar Asmara menyemburkan
darah segar. Dia pun segera duduk
bersila untuk menyalurkan hawa
murninya ke dada.
"Lukanya tidak sebegitu
parah,
Suro," kata Raka Maruta yang
datang
bersamaan dengan Kapi Anggara.
"Kita
hadapi bersama wanita iblis
itu."
Pengemis Binal tidak menyahuti.
Pemuda itu melompat ke hadapan
Ratnasari. Wanita pemuja setan itu
hendak menerjang. Tapi, Suropati
hanya
diam di tempatnya. Kedua tangannya
bersedekap. Lalu, dari sekujur
tubuh
Pengemis Binal memancar cahaya
kebiru-
biruan.
Blaaarrr.,.!
Tubuh Ratnasari terpental jauh.
Wanita itu terkena hempasan
kekuatan
ilmu 'Kalbu Suci Penghempas Sukma'
yang melindungi tubuh Suropati.
Tubuh wanita pemuja setan itu
bergulingan di atas tanah. Tapi,
dia
segera bangkit dengan sosok yang
lebih
mengerikan. Pakaiannya yang koyak-
koyak memperlihatkan bagian tubuh
membusuk dengan daging berbau
anyir
dan mengelupas di sana-sini.
Sosok mengerikan itu kembali
menerjang Pengemis Binal.
Bersamaan
dengan itu Raka Maruta melayang
cepat.
Dilemparkannya kedua telapak
tangannya
ke punggung Suropati.
Blaaarrr...!
Kembali ledakan dahsyat membahana
di angkasa. Ilmu 'Kalbu Suci
Penghempas Sukma' yang disertai
kekuatan ilmu 'Hati Suci' milik
Raka
Maruta membuat tubuh Ratnasari
lebur
jadi serpihan daging berbau sangat
anyir.
Dengan matinya Ratnasari atau
Bidadari Bunga Mawar, para tokoh
rimba
persilatan yang dipengaruhi ilmu
'Asmara Penggoda' langsung
tersadar.
Mereka terkejut, bagai baru
muncul dari tempat gelap yang
membutakan pikiran dan akal sehat.
Di
antara tokoh itu adalah Sawung
Jenar
atau Iblis Selaksa Ular yang masih
berada di lorong rahasia di Bukit
Hantu.
Pemuda bersisik ular itu berlari-
lari bagai orang kesurupan. Dia
mencoba keluar dari tempat yang
sangat
membingungkannya itu. Dengan ilmu
yang
dimilikinya dia berhasil mencapai
Sungai Bayangan, tempat
kediamannya.
* * *
Mentari terusir. Malam rebah
menangkupi bumi. Gelap menerpa.
Perlahan-lahan Sang Candra menampakkan
wujudnya. Cahayanya berbaur dengan
gemerlap bintang.
Sekar Mayang dan Ingkanputri
berlari cepat menuju Lembah
Tengkorak.
"Aduh!" jerit Sekar
Mayang tiba-
tiba.
"Kau kenapa, Ketua?"
tanya
Ingkanputri.
"Tidakkah kau lihat tanganku
tinggal sebelah, Putri?"
"Oh...."
Ingkanputri mendekap mulutnya.
Dalam temaram malam, murid Dewi
Tangan
Api itu menatap pergelangan tangan
Sekar Mayang yang buntung sebatas
siku. Balutannya masih basah oleh
darah.
Tuk...! Tuk...! Tuk...!
Sekar Mayang menotok beberapa
jalan darah di lengan kanannya.
Jerit
tertahan keluar dari mulut wanita
cantik itu.
"Segera kau cari tempat untuk
bermalam, Putri...," pinta
Sekar
Mayang kemudian.
Ingkanputri menganggukkan kepala.
Dia segera berlalu dari tempat
itu.
Tak lama kemudian Ingkanputri
telah
kembali.
"Di sana ada sebuah gua,
Ketua,"
lapor Ingkanputri sambil
menudingkan
jari telunjuknya.
"Sekarang juga kita ke sana,
Putri."
Dua wanita cantik itu pun melesat
berlari menyibak gelap.
Sesampainya di
gua yang mereka dituju Sekar
Mayang
memerintahkan Ingkanputri untuk
membuat perapian. Murid Dewi
Tangan
Api itu segera menuruti.
Keadaan dalam gua jadi terang-
benderang. Sekar Mayang
menyandarkan
tubuhnya ke dinding. Ingkanputri
duduk
di hadapan perapian. Sesekali
gadis
itu memandang wajah Sekar Mayang
dengan tatapan kosong.
Sekar Mayang menghembuskan napas
berat. Matanya menerawang jauh.
Pikirannya kembali ke peristiwa
yang
baru saja dialaminya.
Tiba-tiba, terdengar alunan suara
seruling yang mendayu-dayu. Sekar
Mayang memejamkan
pendengarannya.
"Siapa itu?!" teriak
Sekar
Mayang. Suaranya menggema dan
memantul
di dinding-dinding gua.
Lama wanita cantik itu menunggu
jawaban. Tapi, yang diinginkannya
tak
juga dia dapatkan.
"Tunjukkan dirimu,
Manusia!"
teriak Sekar Mayang lebih keras.
Jawabannya adalah suara seruling
yang semakin keras. Sekar Mayang
menggeram gusar.
"Segera kau cari peniup
seruling
itu, Putri!"
Ingkanputri bangkit dari
duduknya. Gadis cantik itu
melangkah
ke luar gua. Suara tawa
berkepanjangan
yang tak tentu dari mana asalnya
menghentikan langkah Ingkanputri.
"Tunjukkan dirimu,
Keparat!"
teriak Sekar Mayang, geram bukan
main.
Perlahan-lahan suara tawa itu
berhenti, lalu berganti dengan
alunan
bunyi seruling kembali.
Sayup-sayup
terdengar lantunan tembang....
Ketika setan telah terusir dari
sorga
Dia punya kekuatan untuk
melurukkan
Manusia ke lembah dosa
Tapi, manusia pun punya
kekuatan
Untuk menghalaunya
Kekuatan setan terhempas
Namun, bisa dihimpun
Kekuatan setan yang telah
terhimpun
Sanggup melontarkan manusia ke
neraka
Jiwa pun luruh dalam gelap nafsu
angkara
Satu jalan menghimpun kekuatan
setan
Adalah Kitab Sukma Gelap.
Mata Sekar Mayang bersinar nanar
ketika lantunan tembang itu
berhenti.
"Apa maksud yang terkandung
di
dalam syair itu?" gumam
wanita
bertangan buntung ini.
"Seperti sebuah
petunjuk untuk menghimpun kekuatan
setan. Tapi, bagaimana caranya?
Ah,
tadi kudengar kata 'Kitab Sukma
Gelap'. Apakah itu
jawabannya?"
Ketika Sekar Mayang larut dalam
pikirannya, seberkas cahaya
meluncur
ke arahnya. Sekar Mayang meloncat
tinggi-tinggi. Cahaya itu akhirnya
membentur dinding gua hingga
jebol.
Debu mengepul tebal. Serpihan
batu berhamburan. Dari dinding gua
yang menganga lebar terpancar
cahaya
menerangi seluruh ruangan.
Seorang kakek bertelanjang dada
tampak du-uk di atas batu besar.
Bulu
lebat tumbuh subur di sekujur
tubuhnya. Wajahnya hampir tak bisa
dikenali lagi. Tertutup bulu lebat
yang juga tumbuh di seputar
wajahnya.
Yang menandakan kalau dia seorang
lelaki tua adalah dadanya yang
datar
dan telapak kakinya yang keriput.
"Siapa kau?" tanya Sekar
Mayang
dengan tatapan ngeri.
"Dewa Sesat...," jawab
kakek
berbulu lebat itu. Suara yang
keluar
dari mulutnya seperti rintihan
orang
sakit.
"Apakah kau yang barusan
menyerangku?"
"Ha ha ha...!"
Terdengar suara tawa menggema
berkepanjangan. Sekar Mayang
mendengus
gusar.
"Jawab pertanyaanku, Dewa
Sesat!"
"Hawa amarah bercampur dendam
membutakan mata. Seseorang yang
ingin
menunjukkan kebaikan pun terkena
akibatnya."
"Apa maksudmu?" tanya
Sekar
Mayang penuh selidik.
"Mendekatlah kemari, Wanita
Buntung.."
Sekar Mayang terpaku di
tempatnya. Hatinya diliputi
keraguan.
"Bila kau punya dendam
membara,
mendekatiah kemari, Wanita
Buntung!"
"Untuk apa?"
"Aku akan menunjukkan jalan
untuk
melampiaskan dendammu itu."
Perlahan lahan Sekar Mayang
melangkahkan kakinya.
"Bagus, Wanita Buntung. Kau
punya
keberuntungan hingga menjadi
pewaris
ilmu 'Leluhur Sesat'. Untuk itu,
segeralah kau berlutut di
hadapanku!"
"Huh! Aku tak tahu siapa kau.
Kenapa kau memerintah seenak
perutmu
sendiri?!"
"Ha ha ha...!"
Kembali suara tawa menggema
berkepanjangan.
"Binatang! Kenapa kau selalu
mengeluarkan tawa jelekmu itu?
Apakah
kau sengaja menghinaku?!"
Sekar Mayang
membentak keras-keras.
Kakek berbulu lebat yang
memperkenalkan dirinya sebagai
Dewa
Sesat terlihat menggelengkan
kepala.
"Sudah kukatakan, kau punya
keberuntungan hingga menjadi
pewaris
ilmu 'Leluhur Sesat'! Lalu, untuk
apa
aku menghinamu? Kau adalah manusia
yang dianugerahi amarah dan dendam
membara yang begitu berapi-api.
Kau
pantas untuk memiliki Kitab Sukma
Gelap."
"Jangan bicara yang tak
ketahuan
ujung pangkalnya!" sentak
Sekar
Mayang.
"Sedikit pun aku tak tahu
maksud
ucapanmu."
"Di dunia ini ada dua
kekuatan
yang saling bertentangan. Hitam
dan
putih. Kekuatan hitam terhimpun dari
dunia gelap yang dikuasai nafsu
angkara. Kekuatan setan itu selalu
berusaha menghancurkan kekuatan
putih.
Demikian pula sebaliknya. Tapi,
dengan
Kitab Sukma Gelap kekuatan hitam
akan
dapat mengalahkan kekuatan putih.
Dan
kau adalah pewaris kitab itu,
Wanita
Buntung...."
Dewa Sesat menengadahkan telapak
tangan kanannya. Sebuah kitab
bersampul hitam berada di atas
telapak
tangan itu. Sekar Mayang menatap
tajam
kitab yang disodorkan ke arahnya.
Rupanya, wanita buntung itu benar-
benar akan menjadi pewaris Kitab
Sukma
Gelap.
Sampai di manakah kehebatan ilmu
hitam yang terkandung di dalam
kitab
tersebut? Dan, bagaimanakah sepak
terjang Sekar Mayang setelah
mempelajari isinya?
SELESAI
Ikuti serial Pengemis Binal dalam
episode
"KITAB SUKMA GELAP"
Emoticon