MALAIKAT BANGAU SAKTI
Serial Pengemis Binal
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cover oleh Henky
Penyunting: Tuti S,
Ide cerita oleh S. Pranowo
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau
memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku
ini
tanpa izin tertulis dari
penerbit
Serial Pengemis Binal
dalam episode:
Malaikat Bangau Sakti
128 hal.
1
Ketika sang bayu berhembus
kencang, de-
bur ombak bergulung membentuk
julangan tinggi
bagai mulut raksasa. Suara yang
ditimbulkan le-
bih menggiriskan dari auman
seribu harimau. Ge-
lombang besar bergulung-gulung
menghantam
karang terjal yang menjorok ke
dalam laut.
Dewi Ikata duduk di hamparan
pasir pan-
tai. Mata gadis cantik itu
tampak sembab dan
memerah. Rambut serta pakaiannya
telah basah
oleh siraman air laut yang
terbawa hembusan an-
gin.
"Maafkan aku,
Suro...," desis Dewi Ikata li-
rih. "Aku dan Kapi Anggara
tak mempunyai hu-
bungan apa-apa. Aku berhutang
budi kepadanya.
Karena itulah aku tak bisa
menolak persahabatan
yang dia ulurkan. Tapi,
hubunganku dengan dia
tak lebih dari itu...."
Putri Adipati Danubraja itu
berkata-kata
seorang diri. Sinar mentari
menyengat kulitnya
yang halus. Tapi, tampaknya dia
tak peduli.
"Aku tak pernah lupa pada
janji kita, Suro.
Kau tak perlu meragukan cintaku.
Aku akan me-
rasa sangat bahagia bila dapat
hidup bersamamu.
Kau baik, perkasa, tampan, dan
lucu. He-he-
he...."
Dewi Ikata tertawa seperti
sedang menyak-
sikan sebuah adegan lucu. Kedua
kakinya yang
berselonjor dihentak-hentakkan,
hingga butiran
pasir berhamburan
Kemudian, dia bangkit dan berjalan me-
naiki sebongkah batu karang
besar. Ketika angin
berhembus lebih kencang, tubuh
gadis itu ter-
huyung-huyung. Tak ada rasa
giris membayang di
matanya. Padahal di
kiri-kanannya laut mengan-
ga lebar, menjanjikan kematian
bagi siapa saja
yang jatuh ke dalamnya.
"Oh, Dewata Yang Agung...,
adakah kekua-
tan yang melebihi kedahsyatan
cinta sepenuh ha-
ti?!" teriak Dewi Ikata
dengan suara lantang. Ke-
dua tangannya dibentangkan ke
atas seperti se-
dang mengiba. "Cinta
menggelora yang menghen-
tak dalam hati melebihi tiupan
angin topan. Pa-
nas membakar, membuat jiwa
laksana tenggelam
dalam magma. Kekuatan cinta
merubah wajah
Dewa Maut jadi lembut dan penuh
welas-asih.
Kematian bukanlah sesuatu yang
menakutkan bi-
la cinta telah terhempas rasa
kecewa..."
Gadis cantik itu menurunkan kedua tan-
gannya, lalu berjalan tiga
tindak. Dia berhenti
persis di tepi karang.
Ditatapnya deburan ombak
yang memukul-mukul kaki karang
jauh di ba-
wahnya.
"Bila cinta telah terhempas
rasa kecewa,
kematian memang patut untuk
dirindukan...."
Dewi Ikata memejamkan mata. Jiwanya
melayang dalam keheningan.
Seiring dengan
anak-anak rambutnya dipermainkan
sang bayu,
ingatan gadis cantik itu terbang
ke masa-masa
indah yang pernah dirasakan
bersama kekasih-
nya.
Bibir Dewi Ikata menyunggingkan
senyum,
kemudian berubah menjadi tawa
keras. Tubuh-
nya sampai berguncang-guncang.
Tiba-tiba dia
meloncatkan tubuhnya meluncur
deras menuju
gulungan ombak ganas. Malaikat
Kematian pun
membentangkan kedua
tangannya!
Tak ada jerit yang terlontar
dari mulut ga-
dis cantik itu. Luncuran
tubuhnya begitu cepat
hingga membuatnya jatuh pingsan.
Weeesss...!
Mendadak sesosok bayangan hitam
me-
nyambar tubuh Dewi Ikata.
Bayangan hitam yang
adalah seorang tokoh bernama
Perangai Gila itu
meluncur turun ke atas permukaan
air, lalu me-
lompat-lompat di atas lidah
ombak. Sambil me-
manggul tubuh Dewi Ikata, dia
melesat menuju
Pulau Hitam.
Walaupun kaki Perangai Gila
hanya bera-
laskan sebatang kayu tipis
selebar telapak ka-
kinya, tapi dia sanggup bertahan
untuk tak teng-
gelam. Padahal gulungan-gulungan
ombak begitu
besar. Dengan gerakan ringan dia
meloncat tinggi,
dan mendarat di atas air tanpa
mengalami kesuli-
tan.
Tubuh Perangai Gila meluncur
semakin
cepat. Ketika kakinya telah
menginjak hamparan
pasir pantai, dia
melonjak-lonjak seperti anak ke-
cil yang baru saja mendapat
mainan.
"Eaaa...! Eaaa...! Kini aku
tak sendiri lagi.
Ada kelinci manis yang akan
menemani. Oh, Pen-
guasa Alam Semesta, baru
sekarang aku merasa
bahagia!"
Sambil berteriak-teriak macam
orang kesu-
rupan, Perangai Gila
melonjak-lonjak semakin ce-
pat. Tanpa terasa tubuhnya
terlontar tinggi se-
tinggi pohon kelapa.
"Uh...!"
Dewi Ikata yang berada dalam
pondongan
manusia kurang waras itu
tersadar dari pingsan-
nya. Ketika merasakan tubuhnya
melayang-
layang, dia pun terkejut dan
menjerit keras-keras.
"Hei...! Rupanya kau telah
bangun dari ti-
durmu, Manis...," kata
Perangai Gila. Diturun-
kannya tubuh Dewi Ikata di atas
hamparan pasir.
Selagi gadis cantik itu duduk
bersimpuh
memikirkan apa yang baru saja
dialaminya, Pe-
rangai Gila berlari-lari kecil
mengitari. Mendadak,
Dewi Ikata tertawa keras.
Perangai Gila terperan-
gah, ditatapnya wajah Dewi Ikata
dalam-dalam.
"Kenapa kau tertawa?"
tanya Perangai Gila
keheranan.
Dewi Ikata tak menjawab. Dia
balas mena-
tap. Diperhatikannya wajah
wanita keriput yang
berdiri terbongkok di
hadapannya.
"Ha-ha-ha...!" Dewi
Ikata tertawa terbahak-
bahak. "Wajah Malaikat
Kematian ternyata sangat
lucu! Pipinya kasar macam
parutan kelapa. Gi-
ginya ompong. Dan, matanya
itu.... Hiii... Seperti
mata ikan. Ha-ha-ha...."
Mendengar itu, Perangai Gila
mendengus.
Lalu, telapak tangan kanannya
digerak-gerakkan
di depan mata Dewi Ikata.
"Kau sinting?" tanya
Perangai Gila kemu-
dian.
"Kau yang sinting!"
tuding Dewi Ikata.
"Ha-ha-ha...!"
Perangai Gila tertawa terba-
hak-bahak. "Kau jangan
ingkar. Akui saja kalau
kau sinting!"
"Ya. Aku sinting!"
Entah mengapa, Dewi
Ikata mengakui tuduhan Perangai
Gila.
"Sama!"
Dewi Ikata dan Perangai Gila
tertawa ber-
samaan. Dua wanita itu saling
tuding. Mereka te-
rus tertawa sampai meneteskan
air mata.
"Sekaranglah aku bisa
merasakan kebaha-
giaan yang
sesungguhnya...," kata Perangai Gila
seraya memegang kedua bahu Dewi
Ikata.
Tiba-tiba.... Tubuh gadis cantik
itu dilon-
tarkan ke atas hingga melebihi
ketinggian dua
pohon kelapa! Tapi bukan rasa
ngeri yang mem-
bayang di mata Dewi Ikata,
melainkan rasa gem-
bira yang meluap-luap. Bahkan
gadis cantik itu
tertawa semakin keras!
Ketika tubuh Dewi Ikata meluncur
jatuh ke
hamparan pasir, Perangai Gila
dengan sigap me-
nyambutnya. Dipegangnya kedua
kaki gadis can-
tik itu lalu diayunkan hingga
menyerupai kitiran.
Jerit kecil keluar dari mulut
Dewi Ikata.
Dia segera memejamkan mata
merasakan putaran
bumi bergerak semakin cepat.
Napas gadis cantik
itu hampir berhenti mendadak
ketika ayunan
tangan Perangai Gila bertambah
liar. Kalau saja
Dewi Ikata pernah tidak berlatih
untuk menya-
lurkan hawa murni, darahnya
tentu akan bergo-
lak dan muncrat dari mulut,
lubang hidung, dan
telinga!
Mendadak, tubuh Dewi Ikata
dilemparkan
ke tengah laut! Gadis cantik itu
dalam sekejap le-
nyap tertelan gulungan ombak.
Perangai Gila me-
natap sejenak. Lalu wanita
kurang waras itu me-
lesat bagai anak panah lepas
dari busur.
Byuuurrr...!
Ombak besar menenggelamkan tubuh
Pe-
rangai Gila.
Dalam genangan air laut yang
begitu luas,
wanita kurang waras itu membuka
mata lebar-
lebar berusaha mencari tubuh
Dewi Ikata.
Ketika didapatinya gadis cantik
itu sedang
menggapai-gapai hendak mencapai
permukaan
air, Perangai Gila memegang
kedua kaki Dewi Ika-
ta. Gadis cantik itu meronta
merasakan paru-
parunya hendak meledak karena
kehabisan uda-
ra. Tapi, Perangai Gila malah
berusaha meneng-
gelamkan tubuh Dewi Ikata!
Air laut mulai terminum gadis
yang sudah
tak berdaya itu. Perlahan-lahan
rontaan tubuh-
nya melemah. Maut pun telah
menanti
Pada saat Dewi Ikata berada pada
titik ak-
hir kemampuannya untuk
mempertahankan
nyawa, mendadak tubuhnya
mencelat. Terlihatlah
Perangai Gila mendorong tubuh
Dewi Ikata.
Bruuukkk...!
Gadis cantik itu terbanting
keras di atas
hamparan pasir dalam keadaan
telentang. Napas-
nya megap-megap seperti seekor
ikan terlalu lama
di darat. Perangai Gila menatap
tanpa rasa belas
kasihan. Bahkan, dia tertawa
terbahak-bahak
memperlihatkan giginya yang
ompong.
Kemudian, wanita kurang waras
itu berja-
lan mendekati tubuh Dewi Ikata.
Diinjaknya perut
gadis itu!
Hoeeekkk...!
Air asin menyembur dari mulut
Dewi Ikata.
Perangai Gila memonyongkan
bibirnya. Kembali
diinjaknya perut Dewi Ikata
semakin keras. Ber-
samaan air asin yang menyembur
semakin ba-
nyak dari mulutnya, Dewi Ikata
meronta merasa-
kan sakit yang luar biasa!
"Ha-ha-ha...!"
Tawa Perangai Gila terbawa
hembusan an-
gin laut. Disambarnya bahu Dewi
Ikata, lalu me-
loncat tinggi-tinggi.
Bluuusss...!
Dari atas tubuh Dewi Ikata
dilemparkan
hingga amblas ke dalam pasir.
Dengan satu kiba-
san tangan kiri, kubangan pasir
yang terbentuk
dari luncuran tubuh Dewi Ikata
tertutup dan
memadat. Tinggal kepala Dewi
Ikata yang me-
nyembul di permukaan pasir.
Dan kemudian, sambil tertawa
keras Pe-
rangai Gila berlalu dari tempat
itu.
"Kau... jangan
pergi...!"
Dengan susah payah Dewi Ikata
mencoba
mencegah kepergian wanita kurang
waras itu. Ta-
pi Perangai Gila tak peduli. Dia
terus berjalan me-
lenggang-kangkung.
Mata Dewi Ikata pun mendelik.
Dia hendak
mengumpat, namun suaranya
tersekat di tenggo-
rokan.
Gadis cantik itu lalu
mengerahkan sisa te-
naganya untuk melepaskan diri
dari kubangan
pasir. Tapi usahanya tidak
berhasil.
Dewi Ikata menjerit seraya
menggelengkan
kepala melihat beberapa ekor ke
piring kecil me-
rayap mendekatinya! Dengan
gelengan kepalanya,
coba diusir binatang laut yang
terlihat sangat
mengerikan itu.
Dewi Ikata terkejut setengah
mati. Leher-
nya pedih seperti tertancapi
sebatang jarum. Dia
pun menggerakkan kepalanya
semakin keras.
Seekor kepiting kecil tak mau berhenti
menan-
capkan ujung kakinya yang
runcing.
Bersamaan dengan itu,
kepiting-kepiting
kecil lainnya mulai merayap ke
wajah Dewi Ikata.
Gadis cantik itu pun
menjerit-jerit ngeri. Tapi, su-
aranya hilang tersapu desau
angin laut
Di langit yang biru cahaya sang
baskara
menyengat semakin panas. Angin
berhembus
kencang. Debur ombak pun semakin
ganas. Ber-
gerak bagai kibasan tangan
raksasa.
Dilihat dari kejauhan, pulau
kecil yang ter-
letak di tengah lautan itu
membiaskan warna hi-
tam. Butiran-butiran pasir yang
menghampar
berwarna gelap. Karang terjal
yang menjulang
tinggi pun ditumbuhi lumut hijau
tua. Karena itu-
lah pulau tersebut dinamakan
Pulau Hitam.
Daratannya sangat tandus. Hanya
lumut
dan bermacam-macam jamur yang tumbuh.
Teb-
ing karang bertonjolan tajam
seperti mata pedang.
Tak ada manusia yang mau tinggal
di tempat itu,
selain Perangai Gila. Seorang
tokoh tua nomor
wahid yang telah bosan
malang-melintang di rim-
ba persilatan. Walaupun
tindak-tanduknya mirip
orang kehilangan ingatan, tapi
ketinggian ilmunya
sangat sulit untuk diukur.
Bertahun-tahun sudah tokoh itu
tinggal di
Pulau Hitam. Ketika dia sedang
berburu ikan, di-
lihatnya tubuh Dewi Ikata
meluncur deras dari
tebing karang. Hati Perangai
Gila tergerak untuk
menolong. Dibawanya gadis itu ke
Pulau Hitam di
mana dia tinggal
Perangai Gila melihat sikap
gadis cantik
yang ditolongnya tampak aneh,
mirip orang sint-
ing. Dia pun merasa senang.
Timbul keinginan
dalam hatinya untuk mengangkat
Dewi Ikata se-
bagai murid.
Jadi, apa yang dilakukan
Perangai Gila
terhadap Dewi Ikata dengan
seperti mencelaka-
kan dirinya, adalah tak lain
untuk menguji calon
muridnya itu.
***
Cahaya mentari mulai redup. Air
laut ber-
gerak naik, lidahnya merayap ke
pantai Pulau Hi-
tam. Buih ombak keputihan
membasahi leher
Dewi Ikata.
"Oh, Dewata Yang Agung...,
aku memang
merindukan kematian. Tapi bukan
begini ca-
ranya. Siksaan ini terlalu
kejam...," kata gadis
cantik itu dengan mata
berkaca-kaca. "Aku tahu
Malaikat Kematian telah menanti
kedatanganku.
Namun, kenapa nyawa ini tak juga
lepas dari ra-
ga?"
Usai berucap, Dewi Ikata membuka
mulut
lebar-lebar ketika gulungan air
laut bergerak ke
arahnya. Kepala gadis cantik itu
pun tersapu
hempasan gelombang. Beberapa ke
piring kecil
yang menempel di wajahnya
terlempar.
Setelah air laut kembali turun,
rambut De-
wi Ikata menempel menutupi
wajah. Kedua pi-
pinya tampak menggembung. Mulut
gadis cantik
itu menyemburkan air asin secara
perlahan-
lahan.
"Ha-ha-ha...!"
Tawa Dewi Ikata tiba-tiba
terdengar. Wa-
laupun sekujur tubuhnya terasa
sakit, tak henti-
hentinya dia mengeluarkan tawa.
Dadanya sam-
pai terasa sesak.
Bersama cahaya mentari yang
semakin pu-
dar, air laut pasang
menenggelamkan kepala Dewi
Ikata. Tapi dalam genangan air
yang begitu luas
dia dapat bertahan. Keanehan itu
dirasakan sen-
diri oleh Dewi Ikata.
"Apa yang terjadi?"
tanya gadis itu dalam
hati. "Kenapa aku tak juga
mati?"
Dewi Ikata tak lagi menghiraukan
keadaan
dirinya ketika suatu pemandangan
indah terpam-
pang di matanya.
Beraneka-macam ikan kecil
berwarna_-
warni berenang
melenggak-lenggokkan tubuhnya.
Waktu ikan-ikan itu berpusing di
sekitar kepala,
Dewi Ikata meniup. Timbullah
gelembung air. Ga-
dis cantik itu tersenyum senang
melihat ikan-ikan
berpencar karena terkejut.
Tak ada rasa pedih ketika Dewi
Ikata
membuka matanya lebar-lebar.
Dilihatnya seekor
ikan kecil sedang berusaha
meloloskan diri dari
kejaran ikan besar.
Ikan kecil berenang berputaran
seperti
hendak membuat pusing ikan
besar. Tapi, tak
lama kemudian ekor ikan kecil
tergigit. Dia pun
meronta-ronta hendak melepaskan
diri.
Karena rontaan yang keras, ekor
ikan kecil
robek. Lepaslah gigitan si ikan
besar. Namun dia
tak mau melepaskan mangsanya
begitu saja. Ikan
besar berenang cepat, mengejar.
Dia segera menghentikan laju
tubuhnya
waktu melihat calon mangsanya
bersembunyi di
sela-sela batu karang. Si ikan
besar tak kurang
akal. Ekornya dihempaskan hingga
batu karang
runtuh. Ikan kecil pun
terperangkap di dalamnya.
Cepat dia berusaha menerobos
sebuah
rongga sempit. Tapi, si ikan
besar telah mengha-
dang! Ikan kecil berusaha
berkutat dengan maut.
Sebentar kemudian, tubuhnya
telah koyak-koyak
terkena gigitan ikan besar.
Namun, semangat untuk
mempertahankan
nyawa tak pernah pupus. Sekuat
tenaga dia terus
melawan. Ketika ombak besar
menghempas, tu-
buh ikan kecil lenyap.
Tinggallah ikan besar ter-
paku di tempatnya.
Menyaksikan adegan itu, timbul
penyesa-
lan dalam hati Dewi Ikata.
"Seekor ikan yang sudah di
ambang maut
masih berusaha menyelamatkan
nyawanya. Tapi,
kenapa aku sebagai manusia yang
dikaruniai akal
budi malah ingin mati?"
kata gadis cantik itu da-
lam hati.
Perlahan-lahan mata Dewi Ikata
terpejam.
Dipanjatkannya doa supaya diberi
kekuatan da-
lam menghadapi cobaan Sang
Penguasa Tunggal.
Tanpa terasa, waktu berlalu
demikian ce-
pat. Gelap yang menyelubungi
langit telah lenyap.
Cahaya mentari kembali menerpa
permukaan
laut. Air pun mulai surut.
Kepala Dewi Ikata
muncul dari permukaan air.
Tampaklah Perangai
Gila berdiri di atas sebuah batu
karang meman-
dang ke arahnya.
"Dia memang cocok untuk
menjadi murid-
ku...," gumam nenek itu
penuh kagum. "Kini aku
tak sendiri lagi. Terima kasih,
Dewata. Anugerah
ini sangat membuatku
bahagia."
Wanita kurang waras itu tertawa
tergelak-
gelak.
Tubuhnya lalu melayang di udara
dan
mendarat di depan kepala Dewi
Ikata. Dijambak-
nya rambut gadis cantik itu,
kemudian dengan
kekuatan tenaga dalam
ditariknya!
Butiran pasir ambyar. Tubuh Dewi
Ikata
terlontar ke atas. Perangai Gila
menyambutnya.
Didapatinya gadis cantik itu
telah pingsan.
"Kau baru saja mengalami
penderitaan he-
bat, Manis...," bisik
wanita kurang waras itu. "Ta-
pi jangan khawatir. Semua itu
akan berguna bagi
kekuatan jiwa dan ragamu."
Setelah menimang-nimbang tubuh
Dewi
Ikata yang berada dalam
pondongannya, Perangai
Gila berjalan perlahan sambil
tertawa-tawa menu-
ju ke sebuah gua.
Wanita itu lalu menotok beberapa
jalan da-
rah di tubuh Dewi Ikata.
"Uh...!"
Dewi Ikata menggeliat. Ketika
didapatinya
dia telah terbaring di lantai
gua, gadis cantik itu
tertawa. Namun segera berhenti
saat merasakan
sekujur tubuhnya tak dapat
digerakkan. Kulit tu-
buhnya yang semula berwarna
kuning langsat ti-
ba-tiba telah membiru. Dia
terkejut bukan main
ketika telinganya menangkap
suara tawa keras.
"Kau manusia atau iblis?
Tunjukkan diri-
mu!" teriak Dewi Ikata.
"Aku berada di belakangmu,
Manis...."
Dewi Ikata menolehkan kepala.
Tampak Pe-
rangai Gila sedang duduk
bersandar pada dinding
gua.
"Kau yang tertawa
tadi?" tanya dewi Ikata.
"Kenapa?" balas
Perangai Gila dengan ter-
senyum.
"Suara tawa itu kudengar
dari luar. Adakah
orang lain selain kita
berdua?"
"Ha-ha-ha...!"
Perangai Gila tertawa terba-
hak-bahak. "Rupanya kau
masih sangat hijau,
Manis. Tapi tak apa. Aku malah
senang. Ilmu
yang akan kuturunkan tak akan
bercampur-baur
dengan ilmu lain."
"Apa maksudmu?"
Perangai Gila tak menjawab
pertanyaan
Dewi Ikata. Tangan kanannya
bergerak cepat me-
notok beberapa jalan darah di
tubuh gadis itu.
"Ah...!"
Dewi Ikata tak mampu mengelak.
Kembali
dia terkejut. Rasa dingin yang
melanda tubuhnya
mendadak lenyap, berganti dengan
rasa hangat
menyegarkan. Rasa kaku yang
membelenggu tu-
buhnya pun telah lenyap.
Ditatapnya tajam-tajam wajah
Perangai Gi-
la. Ingatan Dewi Ikata melayang
pada kejadian
yang baru saja dialaminya.
"Hei, kenapa
bengong?!" bentak Perangai
Gila. "Kau heran mendapati
dirimu tiba-tiba saja
bisa bernapas di dalam
air?" tanyanya kemudian.
Dewi Ikata menganggukkan kepala.
Me-
mang, hal itu yang mengusik
pikirannya.
Perangai Gila menyambut dengan
tawa le-
bar. Ditudingnya dahi Dewi
Ikata.
"Aku telah menotok beberapa
sinus di da-
damu. Itulah yang membuatmu
dapat bertahan
hidup di dalam air!"
"Kenapa kau
melakukannya?"
"Aku sedang melatihmu.
Selanjutnya, kau
harus dapat bertahan hidup
seperti itu tanpa
bantuan siapa pun."
"Bagaimana caranya?"
tanya Dewi Ikata in-
gin tahu.
"Aku akan
mengajarimu!"
"Ha-ha-ha...!"
Dewi Ikata tertawa
terbahak-bahak. Kemu-
dian, dia bangkit dari duduknya
dan melonjak-
lonjak kegirangan. Butiran pasir
yang menempel
di sekujur tubuhnya berjatuhan.
"Diam!" bentak
Perangai Gila.
Dewi Ikata memonyongkan
bibirnya. Meli-
hat itu, Perangai Gila tertawa
terbahak-bahak.
Tapi, tiba-tiba saja dia
melancarkan sebuah ten-
dangan!
Weeesss...!
Dewi Ikata merundukkan kepala.
Namun
Perangai Gila telah menyiapkan
serangan susu-
lan. Dewi Ikata bergegas
meloncat mundur. Dia
berdiri kokoh memasang
kuda-kuda. Perangai Gi-
la hanya menatapnya dengan
pandangan sinis.
Sesaat kemudian, tendangan dan
pukulan
Perangai Gila menghujani tubuh
Dewi Ikata. Den-
gan mengandalkan jurus-jurus
yang diajarkan
gurunya, Dewi Ikata mampu
menepis serangan
itu.
"Dari mana kau belajar
jurus-jurus itu?"
tanya Perangai Gila
terheran-heran.
"Tentu saja dari
guruku," jawab Dewi Ikata
sambil menyunggingkan senyum.
"Arumsari?"
"Ya. Guruku bergelar Dewi
Tangan Api!"
"Ha-ha-ha...!"
Perangai Gila tertawa se-
nang. "Rupanya aku telah
berjumpa dengan orang
sendiri."
Kening Dewi Ikata berkerut.
"Kau mengenal
guruku?"
"Bukan hanya mengenal. Aku
adalah ka-
kak kandungnya!"
Sejenak Dewi Ikata tercengang.
"Eyang...,"
gumam gadis itu seraya berlutut.
Mendadak, Perangai Gila
mendorong tela-
pak tangan kanannya ke depan!
Serangkaian an-
gin pukulan menerpa. Tubuh Dewi
Ikata terlontar
dan membentur dinding gua.
Gadis cantik itu bangkit sambil
meringis
kesakitan. Tuang-belulangnya
terasa hampir re-
muk.
"Kau jangan berlutut di
hadapanku!" kata
Perangai Gila dengan suara
menyimpan kemara-
han. "Sekali lagi kau
melakukan itu, aku akan
membunuhmu!"
Usai mengucapkan kalimatnya,
wanita ku-
rang waras itu tertawa
terbahak-bahak. Bagai me-
lihat sebuah lelucon, Dewi Ikata
ikut tertawa.
"Hush...!" hardik
Perangai Gila. "Kau belum
menyebutkan namamu."
"Dewi Ikata. Eyang bisa
memanggilku den-
gan sebutan 'Ika'."
Perangai Gila mendehem. Dia lalu
berjalan
masuk ke bagian gua yang lebih
gelap. Dewi Ikata
cuma memperhatikan. Wanita
kurang waras itu
mencabuti jamur kuning yang
tumbuh di sela-
sela rembesan air. Ketika kedua
telapak tangan-
nya telah penuh, jamur kuning
disodorkannya
kepada Dewi Ikata.
"Makanlah...," kata
Perangai Gila setengah
memaksa.
Kening Dewi Ikata berkerut.
Tiba-tiba perutnya dirasakan
melilit-lilit
karena lapar. Tapi melihat jamur
di tangan Pe-
rangai Gila, rasa laparnya
lenyap kembali.
"Kau jijik?" tanya
Perangai Gila.
Dewi Ikata diam saja. Kepalanya
mengge-
leng lemah.
"Bagus! Segera kau makan
jamur ini!"
"Ehm... aku...."
Perangai Gila tersenyum.
Dipandanginya
sejenak kumpulan jamur yang
berada di tangan
kiri.
"Jamur ini sangat
bermanfaat bagi keseha-
tan, Ika. Selain menambah
kekuatan dan mence-
gah beberapa penyakit, juga
dapat memperpan-
jang napas."
Wanita kurang waras itu lalu
melahap ja-
mur yang berada di tangan
kirinya. Melihat tin-
dakan Perangai Gila, mendadak
rasa lapar di pe-
rut Dewi Ikata muncul kembali.
Dia pun meneri-
ma tawaran wanita kurang waras
itu.
"Puah...!" Dewi Ikata
meludahkan kembali
jamur yang telah dikunyahnya.
"Pahit?" tanya
Perangai Gila.
"Ya."
"Bodoh!" Perangai Gila
marah. "Di dunia ini
sesuatu yang manis adalah
berawal dari kepahi-
tan. Orang tidak akan pernah
merasa bahagia
tanpa terlebih dahulu mengalami
penderitaan.
Rasa pahit penderitaan itulah
tebusan bagi ma-
nisnya kebahagiaan...,"
Perangai Gila menatap
wajah Dewi Ikata dalam-dalam.
"Jamur yang be-
rada dalam genggamanmu sangat
bermanfaat.
Sudah selayaknya bila terasa
pahit."
Dewi Ikata langsung memakan
habis jamur
pemberian Perangai Gila. Sekejap
kemudian, dia
merasakan kepalanya pening. Matanya
berku-
nang-kunang.
"Tak usah
khawatir...," kata Perangai Gila.
"Semua itu akan hilang
dengan sendirinya. Se-
bentar lagi kau akan merasakan
manfaat jamur
yang telah kau makan."
Bersamaan dengan usainya ucapan
wanita
kurang waras itu, Dewi Ikata
merasakan kehan-
gatan menjalar di sekujur
tubuhnya. Rasa pening
di kepalanya berangsur-angsur
lenyap.
"Kita keluar, Ika...,"
ajak Perangai Gila ke-
mudian.
Mereka berjalan
berdampingan. Setibanya
di hamparan pasir luas, Perangai
Gila menghenti-
kan langkah.
"Aku akan menyempurnakan
jurus-jurus
yang telah kau dapatkan dari
Arumsari. Setelah
itu, kau akan menerima warisan
ilmuku. Jurus-
jurus yang dimiliki Arumsari
sangat hebat. Sudah
patut untuk berdampingan dengan
ilmuku...,"
"Terima kasih,
Eyang...," Dewi Ikata menja-
tuhkan diri
Perangai Gila mendengus keras.
Cepat, ka-
ki kanannya diayunkan.
Dees...!
Telapak kaki wanita kurang waras
itu ber-
sarang tepat di dada Dewi Ikata.
Tubuh gadis
cantik itu pun melayang jauh,
lalu terhempas di
hamparan pasir dalam keadaan
pingsan. Dari su-
dut bibirnya meleleh darah
segar.
"Monyet geblek! Kadal
dungu!" umpat Pe-
rangai Gila sambil memukul-mukul
kepalanya
sendiri.
Wanita kurang waras itu berlari
ke arah
pantai. Digalinya pasir hingga
membentuk ku-
bangan lebar yang cukup untuk
menguburkan
seekor gajah. Bahu si Perangai
Gila tampak ber-
gerak naik-turun. Kedua matanya
berkaca-kaca.
Rupanya, dia sedang menangis.
Tiba-tiba dia menggeram. Kedua
telapak
tangannya dihentakkan ke depan.
Blaaammm...!
Air laut berkubang dalam,
membentuk ge-
lombang besar bagai ditepuk
tangan raksasa.
"Monyet geblek! Kadal
dungu! Kenapa aku
menyakiti muridku
sendiri?!" Teriak Perangai Gila
seraya berlari menghampiri tubuh
Dewi Ikata.
Wanita kurang waras itu lalu
menotok beberapa
aliran darah di tubuh Dewi Ikata
sebelum menya-
lurkan hawa murni
"Uh...!"
Dewi Ikata bangkit duduk. Diusap
dadanya
yang terasa panas dan sesak.
"Eyang hendak mencelakakan
aku?" tanya
gadis itu lirih.
Perangai Gila tak memberi
jawaban. Dia
hanya menatap wajah Dewi Ikata
dengan penuh
perasaan sesal. Air matanya
menetes semakin de-
ras.
"Kenapa Eyang
menangis?" tanya Dewi Ika-
ta heran
"Aku bukan hendak
mencelakakanmu, Ika.
Ketika kau berlutut, aku
teringat seseorang yang
sangat jahat terhadapku...," kata Perangai Gila
sambil mengusap air mata dengan
ujung lengan
bajunya. "Orang itu pada
mulanya baik. Aku san-
gat mencintainya. Tapi dia
kemudian mengkhia-
nati cintaku."
Perangai Gila tak melanjutkan
kalimatnya.
Suara tangisnya terdengar
semakin keras.
"Sudahlah, Eyang...,"
ujar Dewi Ikata yang
merasa terharu. "Tak perlu
mengungkit-ungkit
masa lalu."
Perangai Gila mengambil napas
panjang.
Perlahan air matanya diseka dengan
jemari tan-
gannya yang keriput.
"Ketika aku memutuskan
untuk berpisah
dengannya, dia menyatakan
penyesalannya. Aku
pun memberinya maaf. Tapi luka
hatiku sudah
telanjur dalam. Aku tak mungkin
menerima ke-
hadirannya kembali. Dia menangis
memohon be-
las kasihan sambil berlutut di
hadapanku. Na-
mun apa yang dia lakukan,
Ika?"
Dewi Ikata memandang wajah
Perangai Gi-
la tanpa berkedip. Rasa kasihan
semakin bergulat
di hatinya.
"Orang Jahat itu
memperdayai aku...," lan-
jut Perangai Gila. "Lihatlah,
Ika. Apa yang diper-
buatnya kepadaku?"
Perlahan-lahan wanita kurang
waras itu
meraba rambutnya yang hitam
kemerah-
merahan.
Srat...!
Dewi Ikata bergidik ngeri.
Rambut Perangai
Gila tercabut meninggalkan
kepala gundul tanpa
kulit. Terlihatlah tempurung
kepalanya yang ber-
warna putih.
"Orang jahat itu membeset
kulit kepalaku,
Ika...."
Tangis Perangai Gila langsung
meledak.
Dia bangkit dari duduknya dan
berlari-lari mirip
orang kesurupan.
"Aku akan membunuhmu! Aku
akan mem-
bunuhmu!" teriak Perangai
Gila dengan suara
lantang.
Dewi Ikata memandang tanpa
berkedip.
Rasa haru semakin mendesak dada.
Perlahan-
lahan dia menundukkan kepalanya.
Gadis cantik
itu pun menangis....
***
2
Dewi Ikata menatap gulungan ombak
yang
terus bergerak susul-menyusul
pantai. Suara de-
bur yang ditimbulkan seperti
mengandung irama
nyanyian alam.
Bibir gadis cantik itu
menyunggingkan se-
nyum. Perlahan-lahan bayangan
Suropati atau si
Pengemis Binal terpampang jelas
di matanya.
Saat pertama mereka berjumpa
adalah ketika Su-
ropati dan Gede Panjalu membantu
ayahanda
Dewi Ikata, Adipati Danubraja,
untuk menumpas
pemberontakan Patih Wiraksa.
Setelah berhasil
memadamkan kemelut di Kadipaten
Bumiraksa,
Suropati dan Gede Panjalu menjadi
tamu kehor-
matan Adipati Danubraja. Sejak
Itulah wajah Su-
ropati yang tampan dan
keperkasaan sepak ter-
jangnya tak pernah lepas dari
benak Dewi Ikata.
Waktu dia sedang duduk di bangku
taman seo-
rang diri. Tiba-tiba muncul
seorang remaja me-
nyapanya.
"Suasana sore yang indah.
Hembusan an-
gin terasa segar. Membuat
Pengemis Binal ingin
duduk-duduk di taman sambil
menikmati pe-
mandangan yang
menakjubkan...."
Dewi Ikata menoleh. Terkejutlah
dia meli-
hat kehadiran Suropati yang tak
disangka-
sangka.
"Mau apa kau, Tu...,
eh...," kata gadis can-
tik itu gelagapan.
Pengemis Binal jadi ingin
tertawa melihat
pipi Dewi Ikata merona merah.
Gadis berumur tu-
juh belas tahun itu lalu
menunduk menyembu-
nyikan perasaan malu.
"Di suasana sore yang indah
ini bolehkan
Suropati yang miskin berkenalan
dengan Tuan
Putri yang cantik rupawan?"
tanya Suropati
Mendengar ucapan itu, hati Dewi
Ikata jadi
berdebar tak karuan. Rasa malu,
takut, dan se-
nang bercampur jadi satu,
membuat dia tak tahu
harus bersikap bagaimana. Tapi
karena desakan
perasaan aneh yang menggelora di
relung kalbu,
Dewi Ikata mendongakkan kepala.
Dicobanya
menatap wajah remaja tampan yang
berdiri tak
jauh darinya. Mereka pun
bersirobok pandangan.
Pipi Dewi Ikata semakin merona
merah.
"Jangan panggil aku 'Tuan
Putri'. Namaku
Dewi Ikata," kata gadis
cantik itu seraya menun-
dukkan kepalanya kembali
"Dewi Ikata? Sebuah nama
yang bagus.
Aku harus panggil 'Dewi' atau
apa?"
"Aku biasa dipanggil
'Ika'....."
Senyum Suropati mengembang
lebar. "Bo-
leh aku duduk di sampingmu,
Ika?"
Seperti sedang melayang-layang
di angka-
sa, begitulah gambaran perasaan
Dewi Ikata wak-
tu itu. Beberapa saat dia tak
mampu membuka
suara. Sikap diamnya dianggap
sebagai tanda
persetujuan oleh Suropati. Maka,
remaja tampan
itu segera meletakkan pantatnya
di sisi Dewi Ika-
ta.
"Kau suka bunga, Ika?"
tanya Suropati
berbasa-basi
Tak ada suara yang keluar dari
mulut Dewi
Ikata. Pengemis Binal menyambung
ucapannya
"Setiap gadis tentu suka bunga. Kenapa
aku mesti bertanya. He-he-he...
Ehm, kau cantik
sekali, Ika. Kau suka bunga
warna merah, kun-
ing, biru, atau putih? Kalau aku
sangat suka
bunga berwarna merah. Akan
kupetikkan untuk-
mu. Mudah-mudahan kau suka...."
Remaja konyol itu langsung
bangkit dari
duduknya. Tanpa meminta
persetujuan Dewi Ika-
ta, dia berjalan menuju rimbunan
bunga mawar.
Dipetiknya setangkai yang paling
bagus menurut-
nya. Ketika itulah Dewi Ikata
mendengar jerit ke-
cil yang keluar dari mulut
Suropati.
"Eh, kau kenapa?"
tanya Dewi Ikata seraya
berjalan menghampiri.
"Ah, tidak. Tidak
apa-apa...," Suropati ber-
dusta.
"Kau tertusuk
duri?"
"Tidak"
"Lalu kenapa kau
menjerit?"
"Aku ikut merasakan betapa
sakitnya saat
tangkai bunga mawar ini kupetik
tadi."
Mendengar itu kepala Dewi Ikata
tertunduk
malu. Ia telah menunjukkan
kekhawatiran yang
sebenarnya tidak perlu.
"Ika...," ucap
Suropati penuh kelembutan.
"Seandainya kau bunga
mawar, apakah kau juga
akan merasakan sakit apabila
dipetik oleh seseo-
rang?"
"Aku tak tahu."
"Kenapa? "
"Aku bukan bunga
mawar" sahut Dewi Ika-
ta pelan.
"Ah, aku tadi kan sudah
bilang
'seandainya'. Bagaimana, Ika?
Apakah kau juga
akan merasa sakit?"
"Tentu saja sakit. Tapi,
aku berharap agar
orang yang memetikku itu adalah
orang yang baik
budi dan tidak akan
menyia-nyiakan diriku."
"Ika, apabila seseorang
yang akan meme-
tikmu itu adalah orang yang
sangat mencintaimu
dan rela melakukan apa saja
untukmu, apakah
kau akan bahagia bila dipetik
olehnya? Masihkah
kau merasa sakit?"
"Aku kira, orang yang
seperti kau katakan
itu tidak ada," sahut Dewi
Ikata dengan kepala
tertunduk.
"Seandainya ada?"
"Aku akan menyerahkan
hidupku kepa-
danya."
Perlahan-lahan Suropati memegang
dagu
Dewi Ikata. Lalu didongakkannya
seraya menatap
wajah gadis cantik itu
dalam-dalam.
"Ika...," ucap
Pengemis Binal dengan penuh
kesungguhan. "Apabila orang
yang rela berkorban
itu sekarang berada di dekatmu,
apakah kau juga
akan menyerahkan hidupmu?"
Dewi Ikata tak menjawab.
Kepalanya ter-
tunduk kembali. Tak ada
kata-kata yang sanggup
melukiskan perasaannya saat itu.
Ucapan Suro-
pati bagai angin yang berhembus
nikmat, bisa di-
rasakan sampai ke dasar hati.
Melihat Dewi Ikata hanya
tertunduk, Pen-
gemis Binal menyelipkan
setangkai bunga mawar
yang baru dipetiknya ke
sela-sela rambut gadis
cantik itu.
"Ika...," bisik
Suropati seraya meraih kedua
tangan Dewi Ikata, lalu
didekapnya erat-erat.
"Kau cantik
sekali...," gumamnya lirih.
Dewi Ikata menurut saja ketika
dirinya di-
bimbing oleh Pengemis Binal
untuk duduk kem-
bali di bangku taman.
"Ika, apakah kau pernah
bermimpi dida-
tangi seorang pangeran tampan
yang sangat per-
kasa, kemudian dia menyatakan
perasaan ha-
tinya?" tanya Suropati
lagi.
"Pernah."
"Kau menerima?"
"Ya."
"Dalam kenyataan, apabila
pangeran tam-
pan yang sangat perkasa itu
berubah menjadi
orang miskin yang tidak punya apa-apa kecuali
cinta, apakah kau masih akan
menerimanya?"
ujar Suropati.
Belum sempat Dewi Ikata memberi
jawa-
ban, mereka telah dikejutkan
oleh kedatangan
Adipati Danubraja bersama
Arumsari atau Dewi
Tangan Api. Nenek itu hendak
mengambil Dewi
Ikata sebagai murid. Suropati
berlalu dari tempat
itu sambil bersungut-sungut
karena merasa ter-
ganggu.
Keesokan harinya ketika Dewi
Tangan Api
sedang memperagakan beberapa
jurus ilmu silat,
Pengemis Binal mengintip. Sayang
tindakannya
diketahui nenek itu.
"Hei, Bocah Gendeng! Kenapa
kau berada
di sini?!" bentak Dewi
Tangan Api.
Suropati tidak menjawab. Dia
hanya me-
nyengir sambil menggaruk-garuk
kepala.
"Jawab pertanyaanku! Kenapa
kau berada
di sini!"
"Aku tamu kehormatan Gusti
Adipati Da-
nubraja. Tentu saja aku berada
di sini."
"Bocah Gendeng! Kalau itu
aku sudah ta-
hu! Yang kutanyakan, apakah kau
di sini sedang
mengintipku?!"
"Huh! Siapa sudi melakukan
itu, Nenek
Bawel! Aku bukan sedang
mengintipmu!" sungut
Suropati dengan muka cemberut
"Lalu mengintip
siapa?!"
"Muridmu."
Mendengar ucapan itu, Dewi Ikata
yang
berdiri tak jauh dari Dewi
Tangan Api tampak ter-
senyum-senyum.
"Untuk apa kau mengintip
Dewi Ikata?!"
bentak Dewi Tangan Api kemudian.
"Aku mau bicara"
"Tidak"
"Kenapa?"
"Ia harus berlatih."
"Ah, sebentar saja. Masa'
tidak boleh?" Su-
ropati mencoba merayu.
"Kau nekat rupanya?!"
tantang Dewi Tan-
gan Api.
"Tidak! Aku sedang
berusaha."
Dewi Tangan Api tiba-tiba
menampar wajah
Suropati. Tapi, tamparannya
hanya mengenai an-
gin kosong, Pengemis Binal telah
meloncat ke be-
lakang.
"Pergi, Kau!" usir
Dewi Tangan Api marah
bukan main. Rupanya dia merasa
dipermainkan.
"Kau yang harus pergi,
Nenek Bawel!"
"Keparat!" umpat Dewi
Tangan Api seraya
menerjang.
Suropati berkelit ke samping.
Melihat se-
rangannya luput, Dewi Tangan Api
semakin naik
pitam. Dilancarkannya serangan
bertubi-tubi.
"Eit! Rupanya kau gampang
naik darah,
Nenek Bawel! Nanti wajahmu yang
keriput itu jadi
bertambah keriput seperti wewe
gombel. Hiii..!"
goda Pengemis Binal diantara
cecaran pukulan
dan tendangan Dewi Tangan Api.
"Bocah Gemblung! Aku akan
melumat tu-
buhmu menjadi serpihan
daging!"
"Kebetulan. Kalau kau suka,
bisa dibikin
soto. He he he...."
"Keparat! Aku benar-benar
akan melumat
tubuhmu!" Kemarahan Dewi
Tangan Api tak da-
pat dibendung lagi.
Melihat kesungguhan Dewi Tangan
Api da-
lam menyerang Suropati, Dewi
Ikata berteriak,
"Sudahlah, Eyang! Kasihan
dia!"
Dewi Tangan Api bergegas
menghentikan
serangan dan berdiri di hadapan
Dewi Ikata.
"Apa katamu?! Kau kasihan
pada bocah
gendeng itu?" ucap Dewi
Tangan Api "Dia buaya,
Ika..."
"Buaya baik hati yang
sering menolong
orang. He-he-he...," sahut
Pengemis Binal.
"Huh! Mana ada buaya baik
hati?!" hardik
Dewi Tangan Api
"Ada! Buaya dalam dongeng
kancil. He-he-
he...."
Dewi Tangan Api mendengus.
Diterjangnya
Suropati kembali sambil berkata,
"Akan kuron-
tokkan gigimu!"
"Aduh! Kau terlalu kejam,
Nek! Gimana
aku mesti makan? Apakah kau akan
menyuapi
aku bubur setiap hari?"
"Sekarang juga aku akan
menyuapimu
dengan telapak kakiku!"
sahut Dewi Tangan Api.
Sambil berkata demikian, Dewi
Tangan Api
melancarkan tendangan lurus
terarah ke mulut
Suropati. Remaja konyol itu
berkelit ke samping.
Tangannya menyodok perut Dewi
Tangan Api.
Duuk...!
Pergelangan tangan Pengemis
Binal mem-
bentur telapak kaki Dewi Tangan
Api. Remaja ko-
nyol itu mengeluarkan keluhan
kecil karena me-
rasakan tubuhnya seperti
dijalari api.
"Makanlah ini!" ucap
Dewi Tangan Api se-
raya melancarkan tendangannya
kembali.
Tentu saja Suropati tak mau
giginya ron-
tok. Dia segera membuat
tangkisan. Namun, ten-
dangan memutar Dewi Tangan Api
telah menyu-
sul!
Deees...!
Dengan telapak tangan menempel
di dada,
Pengemis Binal menadahi
tendangan Dewi Tan-
gan Api. Lalu, dia pura-pura
menjatuhkan diri.
"Aduh!" keluh remaja
konyol itu sambil
mendekap dadanya.
"Suro!" jerit Dewi
Ikata berlari berhambur.
"Ak... aku... tidak bisa...
bernapas...." Men-
dengar ucapan Suropati yang
gagap, sinar mata
Dewi Ikata mendadak berubah
nyalang. Hatinya
diliputi rasa khawatir.
"Ak... aku mau ma...
ti...," ucap Pengemis
Binal sambil mendekap erat
jemari tangan Dewi
Ikata.
Gadis cantik yang masih buta
ilmu silat itu
termakan sandiwara Suropati.
Perlahan-lahan
mutiara bening bergulir dari
matanya.
"Kau jangan mati,
Suro...," Isak gadis itu
dengan suara gemetar.
"Ak... aku sudah me...
lihat Malaikat Kema-
tian. Katakan kau... kau suka
padaku, Ika...."
"Ya, Suro. Aku menyukaimu.
Tapi kau jan-
gan mati."
"Kalau aku mati ba...
gaimana...?"
"Aku ikut..."
"Ha-ha-ha...!"
Mendadak saja, Suropati tertawa
terbahak-
bahak. Dia meloncat tinggi
sambil membopong
tubuh Dewi Ikata.
"Aku tidak jadi mati,
Ika...," kata remaja
konyol itu, kemudian mencium
pipi Dewi Ikata.
Dewi Tangan Api jadi gemas
melihatnya.
Kakinya dihentakkan keras-keras
ke tanah kare-
na jengkel.
"Rupanya gurumu benar-benar
marah,
Ika...," ucap Pengemis
Binal. "Sebaiknya aku pergi
saja. Kau berlatihlah dengan
tekun...," pesannya.
Suropati berjalan pergi sambil
menggaruk-
garuk kepala. Dewi Ikata menatap
kepergiannya
dengan sinar mata tak mengerti.
Tapi, tiba-tiba
dia merasakan suatu kebahagiaan
yang belum
pernah dia alami. Ciuman
Pengemis Binal tadi
membuat jiwa gadis cantik itu
seperti melayang di
angkasa.
Sejak saat itu, setiap pagi
Suropati selalu
menunggui Dewi Ikata berlatih
silat dengan gu-
runya. Dewi Tangan Api yang
semula tidak suka
melihat sikap Pengemis Binal
yang nekad, konyol,
dan tampak ugal-ugalan, jadi
luluh hatinya. Ne-
nek itu pun membiarkan saja
ketika Suropati ikut
memberi petunjuk kepada
muridnya. Kepandaian
Pengemis Binal memang tak kalah
bila diban-
dingkan dengan Dewi Tangan Api
sendiri.
Suropati semakin kerasan tinggal
di Kadi-
paten Bumiraksa. Ketika Gede
Panjalu yang juga
menjadi tamu kehormatan Adipati
Danubraja
mengajak remaja konyol itu
kembali ke Bukit
Pangalasan, dia menolak.
Alasannya Adipati Da-
nubraja masih membutuhkan
tenaganya untuk
berjaga-jaga. Barangkali saja
ada kaki-tangan Pa-
tih Wiraksa yang hendak
menggempur kadipaten
kembali.
Pada suatu sore yang cerah, Dewi
Ikata
menghadap ayahandanya.
"Suropati hendak mengajakku
berlatih me-
nunggang kuda, Ayah...,"
lapor gadis cantik itu
sekaligus memohon ijin.
"Kau harus minta ijin
gurumu," jawab Adi-
pati Danubraja.
"Eyang Arumsari sedang ada
keperluan,
Ayah. Mungkin menjelang malam
Eyang baru
kembali."
Mengetahui bila Suropati telah
berjasa ke-
pada tampuk pimpinan di
Kadipaten Bumiraksa
dan remaja tampan itu pun
bukanlah tokoh sem-
barangan, akhirnya Adipati
Danubraja melu-
luskan permohonan Dewi Ikata
untuk berlatih
bersama pemuda itu.
Suropati mengajak Dewi Ikata
pergi ke tepi
hutan kecil. Malang, di sana
langkah kaki kuda
mereka dihadang sekawanan perampok
bersenja-
ta. Lewat sebuah pertempuran
sengit, Pengemis
Binal dapat mengusir
perampok-perampok itu.
Namun, Dewi Ikata terkejut
mendapati tubuh Su-
ropati tergeletak di tanah dan
berlumuran darah.
"Ak... aku terluka,
Ika...," ucap Pengemis
Binal sambil mendekap perutnya.
"Tidak. Kau mau
membohongiku lagi!" kata
Dewi Ikata setengah membentak.
Dia teringat ke-
tika Suropati pura-pura terkena
tendangan Dewi
Tangan Api beberapa hari yang
lalu.
"Tidakkah kau lihat darahku
yang menga-
lir, Ika? Perutku terkena
sabetan golok..."
"Kau tidak bohong,
Suro?" suara Dewi Ika-
ta mulai menunjukkan kecemasan.
"Kali ini aku akan mati
sungguhan..."
Dewi Ikata berjongkok hendak
memeriksa
luka Pengemis Binal. Tapi,
remaja konyol itu
mencegah. Dia tidak mau tangan
Dewi Ikata kotor
oleh lumuran darah.
"Kalau aku mati, kuburkan
jasadku di
puncak Bukit Pa... nga...
lasan...."
"Tidak, Suro! Kau tidak
boleh mati!" teriak
Dewi Ikata pasrah.
"Aku tidak bisa melawan
takdir, Ika. Cium-
lah aku sebagai tanda
perpisahan...."
"Suro...," desis Dewi
Ikata dengan air mata
berlinang, Dia merunduk untuk
mencium kening
Suropati.
"Cium bibirku,
Ika...," ucap Pengemis Binal
sambil meringis kesakitan.
Air mata Dewi Ikata pun semakin
deras
mengalir. Perlahan diciumnya
bibir Suropati. Se-
telah itu, dengan susah payah
Pengemis Binal
naik ke punggung kuda.
"Aku tidak mau melihat
kau... menangis
saat aku menutup mata...."
Dengan hati hancur Dewi Ikata
menatap
tubuh remaja tampan itu yang
terduduk lemah di
punggung kuda. Suropati pergi
meninggalkan
Dewi Ikata. Rupanya dia hendak
menyendiri.
Akhirnya, Dewi Ikata kembali ke
Kadipaten
seorang diri. Tentu saja Adipati
Danubraja kehe-
ranan melihat putri tunggalnya
pulang dengan li-
nangan air mata. Waktu ditanya,
Dewi Ikata
hanya membungkam dan langsung
menuju ka-
mar. Di sana dia menumpahkan
semua kesedi-
hannya.
Tak lama kemudian, samar-samar
telinga
Dewi Ikata menangkap suara syair
yang melantun
merdu....
Tak ada kebahagiaan yang
melebihi keba-
hagiaan cinta terbalaskan
Tak ada kesedihan yang melebihi
kesedi-
han bila kekasih telah
meninggalkan
Putri pujaan hati, kematian tak
perlu disesa-
li
Kekasih pergi, apalah arti
Yang telah kembali, tak perlu
ditangisi
Begitu syair usai dilantunkan,
Dewi Ikata
meloncat dan berlari menuju
taman. Dari sanalah
suara itu berasal. Dia pun
terkejut bukan main
melihat Suropati telah duduk di
bangku sambil
tersenyum-senyum. Dewi Ikata
langsung meng-
hambur. Bukan memeluk, tapi
menghujani dada
Pengemis Binal dengan pukulan.
Namun yang di-
pukuli malah tertawa senang.
Untuk kedua kalinya Dewi Ikata jadi kor-
ban kekonyolan Suropati. Tapi
gadis, cantik itu
tak pernah sakit hati. Perasaan
cinta dalam ha-
tinya telah tumbuh subur,
membuat harapannya
kian melambung tinggi.
Pada suatu malam, disaksikan
oleh rembu-
lan dan bintang, Suropati
mengungkapkan pera-
saan hatinya. Kebahagiaan Dewi
Ikata semakin
memuncak karenanya.
"Aku pun mencintaimu,
Suro...," kata Dewi
Ikata dengan malu-malu.
"Tapi aku hanya orang
miskin yang tak
punya apa-apa," ujar
Suropati merendah.
"Di mataku kau sangat
sempurna, Suro.
Kau tampan dan perkasa."
"Ah, kau hanya ingin
membuatku merasa
senang. "
"Tidak. Itu kukatakan dari
ketulusan hati-
ku," Dewi Ikata menatap
Suropati lekat-lekat.
"Sungguh?"
"Demi Tuhan, aku
mencintaimu, Suro...."
Mereka lalu berpelukan, dan
saling mengu-
cap janji untuk hidup bersama. Tapi kenyataan
mengatakan lain. Dewi Ikata
harus mengikuti
pengembaraan gurunya, Arumsari
atau Dewi
Tangan Api.
Dalam pengembaraannya itu Dewi
Ikata di-
culik oleh salah seorang dari si
Kembar Budukan.
Kemudian, muncul Kapi
Anggara menolongnya.
Pemuda tampan berambut pirang
itu mengajak
Dewi Ikata ke istana Kerajaan
Anggarapura. Kapi
Anggara adalah salah seorang
kepercayaan Ba-
ginda Prabu Arya Dewantara.
Saat Sang Prabu mengadakan pesta
syuku-
ran, Dewi Ikata menurut saja
ketika Kapi Anggara
mengajaknya ke taman di belakang
istana. Kapi
Anggara mencoba merayu Dewi
Ikata sambil me-
remas jemari tangannya. Saat
itulah, tanpa dis-
angka-sangka Dewi Ikata melihat
kehadiran Su-
ropati.
Tentu saja Pengemis Binal kecewa
bukan
main. Kekasihnya tampak
bermesraan dengan
Kapi Anggara. Tanpa mengucapkan
sepatah kata
pun Suropati berlalu dari
hadapan Dewi Ikata.
Perasaan Dewi Ikata terpukul.
Diam-diam
dia meninggalkan istana
kerajaan, kemudian
mencoba bunuh diri. Perbuatan
nekat itu berhasil
diselamatkan oleh Perangai Gila.
Sampai di situ, lamunan Dewi
Ikata buyar.
Gadis itu lalu melangkah menuju
gua di mana Pe-
rangai Gila telah menunggu.
Nenek itu telah men-
gambil Dewi Ikata sebagai murid.
Diajarkannya
seluruh ilmu kepandaiannya
kepada gadis cantik
tersebut. Enam candra kemudian
Perangai Gila
mengajak Dewi Ikata pergi
mengembara.
3
Sebuah kedai makanan yang cukup
besar
di Kademangan Masopati tampak
seorang gadis
cantik berpakaian serba merah
tengah duduk
mematung. Hidangan yang tersedia
di hadapan-
nya sama sekali tak tersentuh.
Rambut gadis cantik itu digelung
ke atas
dengan ikatan kain sutera merah.
Raut wajahnya
terlihat suram. Sinar matanya
kosong seperti tan-
pa gairah hidup. Kedua kakinya
diselonjorkan.
Sedangkan tangan kanan
mengetuk-ngetuk meja
dan tangan kiri tergeletak
lemah.
Sudah beberapa lama dia berada
di tempat
itu, hingga waktu sarapan telah
lewat dan kedai
telah sepi. Dua orang pelayan
yang berdiri di am-
bang pintu dapur memperhatikan
dengan kening
berkerut.
"Gadis aneh...," bisik
pelayan yang bertu-
buh jangkung.
"Siapa dia?" tanya
temannya. Tak ada ja-
waban. Si pelayan yang
bercambang bauk mena-
tap gadis aneh itu tanpa
berkedip.
"Kau ingat peristiwa besar
beberapa candra
yang lalu, Dhi?"
"Peristiwa apa?" tanya
temannya yang ber-
tubuh jangkung.
"Pemberontakan Perkumpulan
Bidadari
Lentera Merah."
"Kenapa?"
"Jangan-jangan gadis itu
sisa anggota per-
kumpulan tersebut. Kau lihat
pakaiannya, Dhi.
Bukankah itu ciri dari
perkumpulan yang telah
ditumpas pihak kerajaan?"
"Lalu, kita harus berbuat
apa?"
"Lapor kepada Demang,"
usul pelayan ber-
cambang bauk
"Ah, kenapa kita harus
mencampuri uru-
san yang bukan tanggung jawab
kita?" kata pe-
layan bertubuh jangkung sambil
berjalan mema-
suki dapur.
"Tunggu dulu!" cegah
temannya. "Aku den-
gar pihak kerajaan berupaya
menumpas Perkum-
pulan Bidadari Lentera Merah
sampai ke akar-
akarnya. Dengan melaporkan gadis
itu kepada
Demang, siapa tahu kita akan
mendapat hadiah."
"Betul katamu. Tapi, kau sajalah
yang me-
lapor. Tugasku masih
banyak," mendengar akan
mendapat hadiah, pelayan
bertubuh jangkung
langsung mendukung.
"Uh! Enak saja! Tapi tak
apa, mumpung ju-
ragan sedang pergi. Kalau
kutinggal sebentar dia
tak akan tahu."
Pelayan bercambang bauk lalu
melangkah-
kan kakinya keluar kedai. Ketika
berada di am-
bang pintu depan, dia berpapasan
dengan seo-
rang Resi yang berpakaian serba
putih.
"Silakan, Pak Tua...,"
kata pelayan itu, ma-
sih sempat memberi sambutan.
Sang Resi pun mengambil tempat
duduk di
pojok ruangan, berhadapan dengan
si gadis aneh.
"Kasihan...," kata
sang Resi dalam hati.
Matanya menatap tajam wajah si
gadis. Kedua
alisnya yang telah memutih naik
bersama ke-
ningnya yang berkerut. Pelayan
bertubuh jang-
kung menghampiri Resi itu. Sang
Resi menye-
butkan pesanannya tanpa menoleh.
"Dua manusia aneh telah
hadir di kedai
ini...," kata pelayan itu
dalam hati. Sambil ber-
sungut-sungut dia melayani
pesanan tamunya.
Belum sempat sang Resi menyantap
hidan-
gan yang tersedia, lima orang
prajurit kademan-
gan hadir di tempat itu bersama
pelayan kedai
bercambang bauk.
"Gadis itukah yang kau
maksud?" tanya
salah seorang prajurit.
Si pelayan menganggukkan
kepalanya.
"Kita menunggu Ki
Demang."
"Ah, kenapa tidak langsung
ditangkap sa-
ja?" sahut pelayan
bercambang bauk.
"Goblok! Semua anggota
Perkumpulan Bi-
dadari Lentera Merah
berkepandaian tinggi," pra-
jurit kademangan jengkel.
Tak lama kemudian Demang
Sosrobahu
muncul. Lelaki bertubuh tegap
itu langsung
menghampiri si gadis aneh.
"Siapa namamu?" tanya
lelaki tua berikat
kepala itu.
Si gadis hanya mendengus, tanpa
men-
gangkat wajahnya.
"Kau anggota Perkumpulan
Bidadari Lente-
ra Merah?" tanya Demang
Sosrobahu lagi.
Mendadak si gadis menggebrak
meja. Lalu,
bangkit dari duduknya seraya
hendak berlalu dari
tempat itu.
"Hei! Hendak ke mana
kau?!" bentak salah
seorang prajurit sambil melompat
menghadang.
Tanpa menjawab si gadis aneh
mendorong
telapak tangan kanannya ke
depan.
Dees...!
Tubuh prajurit itu terhempas ke
lantai. Se-
telah menyemburkan darah segar,
dia tak mampu
bergerak lagi.
Semua mata memandang kejadian
itu den-
gan penuh keterkejutan. Demang
Sosrobahu yang
sudah matang pengalaman pun tampak
mundur
beberapa tindak
"Tangkap dia!" teriak
Ki Demang kepada
empat prajurit yang berdiri di
ambang pintu
"Tahan...!"
Tiba-tiba sang Resi yang sedari
tadi cuma
memperhatikan, meloncat
menghalangi gerakan
keempat prajurit.
"Siapa kau?!" tanya
Demang Sosrobahu
dengan suara lantang.
"Aku hanyalah manusia
biasa. Aku hanya
ingin mencegah pertumpahan darah
di tempat
ini...."
"Jangan hiraukan kata-kata
manusia usil
itu!"
Usai mengucapkan kalimatnya,
Demang
Sosrobahu memberi isyarat kepada
empat praju-
ritnya untuk segera menangkap si gadis aneh.
Sang Resi mengibaskan ujung
lengan ju-
bahnya.
Weeesss...!
Serangkum angin pukulan menerpa.
Keempat prajurit kademangan
terlempar dan ja-
tuh bergulingan di lantai kedai.
Demang Sosrobahu tercengang.
Matanya
mendelik dengan mulut terbuka
lebar. Si gadis
aneh tersenyum tipis, kemudian
menghemposkan
tubuhnya ke luar kedai.
Sang Resi pun melemparkan
beberapa
uang logam di atas meja, lalu
melesat mengejar.
"Empat prajurit itu hanya
pingsan...," katanya se-
belum meninggalkan kedai
Si gadis aneh berpakaian serba
merah ber-
lari sangat cepat. Tampaknya dia
memperguna-
kan ilmu meringankan tubuh.
Sekeluar dari wi-
layah Kademangan Masopati, dia
mendengus ke-
ras seraya menghentikan gerak
kakinya.
"Aku bermaksud baik
kepadamu, Anak
Manis...," kata sang Resi
yang telah berdiri di ha-
dapan si gadis sejak keluar dari
kedai dia me-
mang terus menuruti gadis itu.
"Kekuatan sihir
jahat sedang mempengaruhimu. Aku
akan beru-
saha melenyapkannya,"
lanjutnya.
Si gadis hanya mendengus seraya
melan-
carkan tendangan. Sang Resi
berkelit sambil me-
lancarkan totokan ke sinus dada
kiri. Mendadak,
gadis berpakaian merah
mengibaskan telapak
tangan kanannya. Angin pukulan
berhawa panas
pun menerpa!
"Uts...!"
Sang Resi menarik pergelangan
tangannya
kembali. Bersamaan dengan itu,
si gadis meloncat
ke samping dan menggeram keras.
Sang Resi pun
terkejut melihat kedua
pergelangan gadis aneh itu
berubah merah membara!
"Diam di tempatmu!"
perintah sang Resi.
Ucapannya dilancari kekuatan
ilmu sihir.
Mata si gadis mendelik tanpa
mampu ber-
buat apa-apa. Kesempatan itu tak
disia-siakan
oleh sang Resi. Segera
dilancarkannya totokan be-
runtun. Tubuh gadis berpakaian
merah terkulai
lemah seperti selembar kain
basah. Sang Resi bu-
ru-buru menyambarnya supaya tak
terjerembab
ke tanah.
"Kasihan...," desis
sang Resi. Dia berjalan
menuju sebuah tempat di bawah
naungan pohon
berdaun rindang. Setelah menatap
sejenak wajah
si gadis, dia lalu memeriksa
denyut nadinya.
"Kekuatan sihir jahat itu
benar-benar telah
menyatu. Aliran darahnya sangat kacau...," gu-
mam sang Resi. "Kalau aku
tidak segera meno-
longnya, dia akan menjadi
gila."
Kakek itu menyandarkan tubuh si
gadis ke
batang pohon. Sementara dia
sendiri duduk bersi-
la di hadapannya. Kedua matanya
dipejamkan.
Kakek Resi itu berusaha menembus
kekuatan
gaib yang memperbudak gadis
berpakaian merah.
Sebentar kemudian, wajah lembut
sang Resi
mengeluarkan cahaya kedamaian.
Hembusan na-
pasnya terdengar sangat teratur.
Tapi, di balik
semua itu. Kekuatan batinnya
sedang bekerja ke-
ras memusnahkan pengaruh sihir
jahat
Argh...!
Mendadak kakek itu mengeluarkan
jerit
tertahan. Dari sudut bibirnya
meleleh darah se-
gar. Lalu, tubuh sang Resi
bergetar hebat bagai
terserang demam.
Bruk....
Diiringi pekikan tertahan tubuh
sang Resi
terjengkang ke belakang. Ketika dia berusaha
bangkit, rasa panas menerjang
tubuhnya. Kedua
matanya berubah nyalang. Jalan
pikirannya pun
mendadak jadi kacau. Dia tak
dapat lagi memu-
satkan pikiran, meskipun telah
dicobanya.
"Heaaa...!"
Sang Resi tak dapat
mengendalikan gerak
tubuhnya untuk melakukan
loncatan. Kemudian
menghantam sebatang pohon besar
hingga tum-
bang.
Kakek itu berkelebatan ke
sana-ke mari
seperti sedang berkutat dengan
maut Berkali-kali
mulutnya mengeluarkan erangan.
Bahkan, men-
jerit keras seperti sedang melihat kejadian yang
menggiriskan.
Buuummm...!
Sebatang pohon jatuh berdebum
terkena
tendangan sang Resi yang kalap.
Mendadak, tu-
buhnya melenting ke atas bagai
seekor udang me-
loncat
Waktu tubuh kakek itu masih
melayang di
udara, ditekannya kedua sisi
kening dengan jari
telunjuk. Wajah sang Resi
mengeluarkan cahaya
kebiru-biruan.
Splash...!
Ketika cahaya itu lenyap, tubuh
sang Resi
melayang turun dan mendarat di
permukaan ta-
nah dalam keadaan bersila.
"Oh, Dewata Yang
Agung!" bibir kakek itu
bergetar menyebut Asma Penguasa
Jagat.
Sambil mengatur napasnya yang
membu-
ru, diperhatikannya dengan
seksama wajah gadis
yang duduk bersandar jauh
darinya.
"Kekuatan sihir yang
mempengaruhinya
sangat jahat. Tak dapat aku
memusnahkannya.
Seperti sebuah benteng yang
berlapis-lapis...,"
gumam sang Resi. "Jiwaku
pun hampir terbawa
hanyut"
Beberapa lama kakek itu terpuruk
dalam
kebingungan. Sinar mentari yang
semakin me-
nyorot panas membuat peluh
ditubuhnya terus
bergulir.
"Kekuatan sihir biasa akan
bersifat semen-
tara dalam mempengaruhi jalan
pikiran. Tapi
yang ini lain. Kekuatan itu
sangat kuat dan mem-
punyai kemampuan untuk memutar
balik daya
batin yang hendak
memusnahkannya. Aku men-
gira, ada benda beryoni yang
menyatu dalam tu-
buh gadis itu..."
Sang Resi lalu mendorong kedua
telapak
tangannya ke depan.
Digerakkannya berputar se-
cara perlahan-lahan. Beberapa
saat lamanya, bi-
bir sang Resi telah
mengembangkan senyum.
"Tujuh batang jarum
berkekuatan sihir ja-
hat telah mempengaruhi
syarafnya...," desis ka-
kek itu seraya bergerak
mendekati si gadis.
Kemudian, tangan kanan kakek itu
men-
dekap kepala gadis berpakaian
merah. Menda-
dak....
Slash...!
Tujuh batang jarum hitam melesat
dan
menembus telapak tangan sang
Resi. Tubuh si
gadis tersentak bersama keluhan
kecil yang dike-
luarkan sang Resi. Ketika kakek
itu menarik tan-
gannya, darah merembes keluar.
Tapi, dia tak be-
gitu mempedulikan.
Langsung tangannya bersedekap
dengan
kedua mata terpejam.
Melalui pengerahan seluruh kekuatan
ba-
tinnya, sang Resi berusaha
menghalau sisa keku-
atan sihir yang mencengkeram
jiwa gadis berpa-
kaian merah. Sebentar kemudian,
tubuh kedua
orang itu bergetar. Dengan
perlahan sekali geta-
ran itu akhirnya mereda.
Khrog...!
Dari mulut si gadis keluar suara
seperti
ayam disembelih. Lalu, tubuhnya
mengejang dan
menghentak. Sesaat kemudian asap
hitam men-
gepul dari kedua lubang
telinganya. Bersamaan
dengan itu tubuh gadis
berpakaian merah melorot
ke tanah dan jatuh pingsan!
"Puji syukur ke hadirat
Hyang Widhi...," bi-
sik sang Resi.
Dibebaskannya totokan di tubuh
si gadis,
lalu mengusap wajahnya. Gadis
berpakaian me-
rah menggeliat lemah. Dia
membuka matanya
dan bergerak bangkit.
"Apa yang terjadi?"
tanya gadis itu mirip
gumaman.
"Tenanglah...," ucap
sang Resi. "Tetap du-
duklah di tempatmu. Kau baru
saja terbebas dari
pengaruh sihir jahat."
Bersamaan dengan usainya kalimat
sang
Resi, gadis berpakaian merah
merasakan aliran
darahnya terasa kacau bagai
diaduk-aduk. Hal
itu membuat kepalanya pening dan
pandangan
matanya mengabur.
"Bersemadilah!"
perintah sang Resi.
Si gadis mengikuti petunjuk
Kakek Resi.
Ternyata petunjuknya cukup
berhasil. Rasa sakit
yang mendera tubuhnya berhasil
dihilangkan.
"Siapa namamu, Gadis Manis?"
tanya sang
Resi kemudian.
"Ingkanputri...,"
jawab si gadis. "Sebenar-
nya apa yang terjadi? Kenapa
perasaanku seperti
sedang mengalami suatu kelahiran
kembali?" Ga-
dis bernama Ingkanputri itu
tampak kebingun-
gan.
Sang Resi lalu menceritakan apa
yang telah
menimpa diri gadis itu. Setelah
mendengar kisah
tersebut, Ingkanputri segera
berlutut di hadapan
sang Resi. Dinyatakannya rasa
terima kasih sam-
bil menangis terharu.
Ingkanputri baru teringat
kembali apa yang
menyebabkan dia sampai bisa
berada di kedai
dan bertemu sang Resi.
Dia bersama Suropati terjerumus
dalam lo-
rong jebakan di Lembah
Tengkorak. Ingkanputri
hendak menjatuhkan tangan maut
kepada Suro-
pati yang bermaksud menolongnya.
Karena tak
melihat cara lain untuk
menyelamatkan diri, den-
gan terpaksa Suropati melepas
dekapannya pada
tubuh Ingkanputri. Gadis itu pun
meluncur jatuh
ke dasar lorong.
Dalam keadaan gawat Ingkanputri
masih
sempat menghunjamkan ujung
selendangnya ke
dinding lorong. Tubuh
Ingkanputri tertahan hing-
ga tak terhempas ke dalam
lorong.
Apa yang dilakukan gadis itu
adalah hasil
ajaran Sekar Mayang, selama
Perkumpulan Bida-
dari Lentera Merah masih
berjaya. Sebagai anak
buah yang sangat diandalkan,
Sekar Mayang me-
rasa perlu untuk mengajarkan
pada Ingkanputri
mengenai ilmu memainkan
selendang.
Dengan menghunjam-hunjamkan
ujung se-
lendang ke dinding lorong,
Ingkanputri merayap
naik. Gadis itu berhasil keluar
dengan selamat.
Ketika dia berjalan hendak
keluar dari Lembah
Tengkorak, Ingkanputri melihat
sinar kehijauan
memancar dari sebuah benda
bergulung terbuat
dari kulit harimau.
Ingkanputri memungut benda yang
tergele-
tak tanah itu. Dibawanya ke mana
pun dia pergi.
Tanpa disadarinya, benda itulah
yang menyela-
matkannya dari pengaruh sihir
jahat Sekar
Mayang hingga tak menjadikannya
benar-benar
hilang ingatan.
"Sudahlah...," kata
sang Resi. "Kau tak per-
lu larut dalam kesedihan.
Seharusnya kau ber-
gembira. Dirimu telah kembali
seperti sediakala."
"Bagaimana aku harus
membalas budi
Eyang?" ujar Ingkanputri
dengan kepala tertun-
duk.
"Manusia diwajibkan untuk
saling tolong-
menolong. Balas budi memang
baik, tapi tidak di-
haruskan Hyang Widhi mengetahui
kebaikan se-
seorang. Dia-lah yang akan membalas sega-
lanya...."
"Terima kasih,
Eyang...," desis Ingkanputri.
Sang Resi menepuk bahu gadis
itu. Lalu di-
tariknya pelan agar Ingkanputri
berdiri.
"Kau ikutlah ke mana aku
pergi. Jiwamu
perlu di sirami kasih Sang
Penguasa Jagat," ajak
Kakek Resi.
Ingkanputri tidak membantah. Dia
me-
mang tidak memiliki siapa pun
untuk tempatnya
bergantung. Gurunya, Dewi Tangan
Api, tidak di-
ketahui di mana rimba.
Ketika Ingkanputri baru berjalan
beberapa
tindak, gadis itu merasakan
sesuatu mengganjal
di balik pakaian. Buru-buru
Ingkanputri mera-
banya.
"Apa ini?" desis
Ingkanputri setelah menge-
luarkan benda yang tidak pernah
diambilnya se-
belum meninggalkan Lembah
Tengkorak. Ru-
panya dia sudah lupa pada benda
itu.
Dahi sang Resi yang memang sudah
penuh
kerutan semakin berkerut menatap
gulungan ku-
lit harimau yang dipegang
Ingkanputri.
"Ada getaran aneh muncul
dari dalam ben-
da itu...," gumam kakek
tersebut. "Seperti sebuah
benda wasiat dari seorang tokoh
sakti yang telah
menyucikan diri."
Sang Resi lalu meminta gulungan
kulit ha-
rimau, dan mengamatinya. Dia
tidak tahu kalau
benda itu adalah wasiat Datuk
Risanwari yang
harus disampaikan Suropati
kepada Gede Panja-
lu.
"Apakah kau bisa
mengingat-ingat dari
mana benda ini berasal, Putri?"
tanya sang Resi.
Ingkanputri berusaha memenuhi
permin-
taan penolongnya. Tapi hanya
kegelapanlah yang
dia temui. Selama enam candra
lebih gadis itu te-
lah lupa segala-galanya
Melihat Ingkanputri hanya
berdiam diri,
sang Resi lalu mendongakkan
kepalanya.
"Semoga Hyang Widhi memberi
petunjuk
untuk mengetahui isi gulungan kulit harimau
ini," gumam kakek itu
memanjatkan doa.
Perlahan-lahan tangannya membuka
ika-
tan tali penjalin. Gulungan
kulit harimau itu pun
terkuak. Peluh segera membasahi
kening sang
Resi. Kedua tangannya gemetar
ketika membaca
barisan huruf-huruf yang
tertera....
Seiring bertambahnya usia jagat
yang se-
makin tua, manusia semakin lupa
akan kodratnya.
Nafsu jahat merajalela.
Sifat-sifat tak terpuji se-
makin tertanam dalam jiwa.
Manusia terus mengi-
kuti hasrat hati tanpa dapat
membedakan salah
dan benarnya. Keluhuran budi
yang hakiki menja-
di bayangan semu yang akan
memudar. Terlindas
oleh cerminan perilaku angkara.
Ketika rimba persilatan dikuasai
oleh tokoh-
tokoh beraliran sesat, bumi
berguncang laksana
kiamat. Manusia saling membunuh.
Darah dijadi-
kan pelepas dahaga. Tiada arti
sanak kerabat.
Semua adalah musuh yang harus
dienyahkan.
Langit seakan-akan telah runtuh.
Jerit kematian
berubah jadi irama merdu yang
mengelus gendang
telinga. Manusia semakin
terpuruk ke dalam lem-
bah dosa.
Adalah Dewata Agung Yang Maha
Adil. Dia
telah menurunkan seorang anak
ajaib yang sang-
gup menyibak kegelapan. Dalam
tubuhnya tersim-
pan kebangkitan dari kebenaran
dan keadilan.
Usai membaca untaian kalimat
itu, sang
Resi menarik napas panjang.
Jiwanya seakan ter-
bang melayang. Alam pikiran pun
mendadak ko-
song.
Beberapa lama kakek itu diam
terpaku di
tempatnya. Namun, dengan
menyebut Asma Sang
Tunggal akhirnya dia menyadari
keadaan dirinya.
Perlahan-lahan tangan sang Resi
menutup kem-
bali gulungan kulit harimau.
Saat itulah dua bayangan
berkelebat, dan
mendarat tepat tiga tombak di
hadapan sang Resi.
Kakek itu menatap dengan penuh
keterkejutan!
"Keparat kau,
Agaswara...!" hardik sosok
nenek yang baru datang.
"Kebetulan aku berjum-
pa denganmu di sini. Sakit
hatiku hanya dapat
diobati dengan nyawamu!"
Sang Resi yang dipanggil
Agaswara mun-
dur beberapa tindak. Tiba- tiba sinar matanya
meredup. Tubuhnya menggigil
seperti orang ke-
dinginan.
"Sekar Arum....,"
gumam Agaswara dengan
suara gemetar.
"Ha-ha-ha...!" Sekar
Arum alias si Perangai
Gila tertawa keras. "Ketika
nyawa sudah di am-
bang pintu neraka, kau masih mau
menyebut
nama kecilku. Tapi, jangan harap
peristiwa pulu-
han tahun lalu akan terulang
lagi!"
"Maafkan aku,
Arum...."
"Cih! Perbuatanmu melebihi
kebiadaban
binatang! Apakah hanya dengan
kata maaf semua
dapat pulih kembali?!" ujar
Perangai Gila dengan
berapi-api "Telah sekian
lama aku hidup dalam
penderitaan akibat rasa malu
yang mendera.
Hanya kematianlah
tebusannya!"
Wanita kurang waras itu
merenggut ram-
but palsunya. Kemudian
dilemparkan ke arah Re-
si Agaswara! Lemparan yang
disertai pengerahan
tenaga dalam itu membuat tubuh
sang Resi ter-
lempar, dan jatuh bergulingan di
atas tanah.
Melihat itu, Ingkanputri
buru-buru melon-
cat untuk membantu sang Resi
bangkit berdiri.
"Kau menjauhlah, Putri...," perintah Agas-
wa sambil mendekap dadanya.
"Aku memang manusia biadab.
Aku akan
menebus dosa...."
Resi Agaswara menyodorkan
gulungan ku-
lit harimau yang digenggamnya
kepada Ingkanpu-
tri. Dia kemudian berdiam diri,
siap menghadapi
segala tindakan Perangai Gila. Ketika matanya
menatap kepala Perangai Gila
yang gundul tanpa
kulit, dia menunduk tak sanggup
menatap lebih
lama.
Perangai Gila melirik ke arah
Dewi Ikata
yang berdiri di sampingnya.
"Dialah manusia licik yang
telah memper-
dayaiku, Ika...," beritahu
wanita kurang waras itu
dengan suara bergetar. "Dia
memang pandai ber-
tipu muslihat. Kau lihat
pakaiannya yang mirip
seorang pertapa, semua itu hanya
untuk me-
nyembunyikan kebobrokan
moralnya!"
"Jangan sebut itu,
Arum...," sergah Resi
Agaswara. "Jauh hari
setelah aku melakukan
perbuatan terkutuk itu, timbul
keinginanku un-
tuk menebusnya dengan
mendekatkan diri kepa-
da Yang di Atas. Aku belajar
tentang kebenaran
dan kesesatan. Dan, semua itu
menimbulkan ra-
sa sesal yang tak pernah ada
habis-habisnya...."
Perangai Gila tertawa
terbahak-bahak
mendengar ucapan Agaswara. Lalu,
kepalanya di-
palingkan menatap wajah
muridnya. "Kau lihat
sendiri, Ika. Manusia keparat
itu masih berusaha
untuk memperdayai. Tapi, siapa
yang tak tahu
kedok manusia penutup jiwa
busuk!" kata wanita
kurang waras itu setengah
berteriak "Hei, Agas-
wara! Hubungan di antara kita
telah lama putus.
Kata-kata merdu tak layak untuk
mengiringi ke-
matianmu! Bersiap-siaplah
kau!"
Perangai Gila menggeram keras.
Kedua
tangannya ditarik ke belakang
dengan hembusan
napas berat. Seluruh kekuatan
tenaga dalamnya
telah tersalurkan!
Resi Agaswara cuma menatap
sebentar. La-
lu, kakek itu berdiri tegak
seraya memejamkan
mata.
"Tak ada kekuatan yang
melebihi kekuatan
yang Widhi. Tak ada kekuasaan
yang melebihi
kekuasaan Sang Penguasa Alam.
Dengan kasih-
Nya, semoga dosa-dosaku kepada
Sekar Arum te-
rampuni...."
Resi Agaswara tampak pasrah
menyambut
datangnya Malaikat Kematian.
Melihat kedua tangan Perangai
Gila berge-
tar oleh kuatnya aliran tenaga
dalam, Ingkanputri
melompat ke hadapan Resi
Agaswara.
"Pergi kau!" bentak
Perangai Gila.
Ingkanputri diam di tempatnya.
Matanya
memandang wanita tak berambut
itu tanpa ber-
kedip.
"Kau jangan mencari
kesulitan, Putri...,"
ujar Resi Agaswara. Dia tahu
gadis itu berkeingi-
nan hendak menolongnya.
"Biarkanlah aku me-
nyambut kematian tanpa seorang
pun ikut men-
jadi korban."
"Tidak!" teriak
Ingkanputri seraya memba-
likkan badan. "Eyang telah
menyelamatkan diriku
dari tempat kelam yang
menyakitkan dari segala
siksaan. Haruskah aku berdiam
diri melihat
Eyang terancam bahaya?"
Gadis itu lalu menghambur dan
memeluk
tubuh Resi Agaswara. Ingkanputri
menangis da-
lam keharuan. Walaupun dia tak
tahu siapa se-
benarnya Resi Agaswara dan apa
yang telah dila-
kukannya terhadap Perangai Gila,
tapi Ingkanpu-
tri dapat menilai kalau kebaikan
sang Resi tidak
dibuat-buat. Kepasrahan kakek
itu untuk mene-
rima kematian sanggup meluluhkan
hati Ingkan-
putri. Gadis itu tenggelam dalam
rasa haru yang
sangat.
"Kau tak perlu mengalirkan
air mata untuk
manusia kotor sepertiku, Putri.
Segeralah pergi.
Dunia luas menanti uluran
tanganmu!" ujar Resi
Agaswara mantap.
Usai mengucapkan kalimatnya,
kakek itu
menyentakkan lengannya dengan
berlambarkan
tenaga dalam. Akibatnya tubuh
Ingkanputri ter-
dorong jatuh
Bersamaan dengan itu Perangai
Gila me-
lancarkan pukulan jarak jauhnya!
Sinar perak meluncur deras ke arah
Resi
Agaswara. Tapi, kakek itu tetap
diam di tempat-
nya tanpa sedikit pun bergerak
menghindar.
Deeesss...!
Resi Agaswara terlempar beberapa
tombak,
dan jatuh bergulingan di atas tanah dalam kea-
daan pingsan.
Perangai Gila segera berpaling
menatap ta-
jam wajah muridnya. "Kenapa
kau menghalangi-
ku untuk melenyapkan manusia
busuk itu?!"
bentaknya dengan penuh geram.
Dewi Ikata yang baru saja
melancarkan
pukulan jarak jauh untuk mencegah gurunya
menjatuhkan tangan maut, hanya
tertunduk di-
am. Serangan Perangai Gila
meleset karena puku-
lan jarak jauh Dewi Ikata telah
menjatuhkan tu-
buh Resi Agaswara.
Perangai Gila menggeram semakin
keras.
"Cepat katakan! Apakah kau
hendak mela-
wanku?!"
Dewi Ikata langsung menjatuhkan
diri,
kemudian memeluk kaki Perangai
Gila. Dia ingin
meredakan kemarahan gurunya.
"Aku mencintaimu, Eyang.
Aku menyayan-
gimu. Tapi aku tak ingin melihat
Eyang membu-
nuh orang yang telah mengakui
kesalahannya,"
ucap Dewi Ikata. Air matanya
membanjir.
Perangai Gila tertawa
terbahak-bahak.
Sambil menengadahkan wajah
menanggapi uca-
pan muridnya.
Kakinya menepis pelukan Dewi
Ikata. Wa-
nita kurang waras itu lalu
berlari pergi sambil te-
rus tertawa.
"Eyang...!" Dewi Ikata
berlari mengejar.
***
Emoticon