Langit tampak bersih. Sinar
mentari mem-
biaskan warna perak. Angin
berhembus pelan be-
rusaha mengusir gerah. Ranting
pepohonan me-
liuk-liuk bagai tarian bidadari.
Kicau burung yang
Ingkanputri duduk bersimpuh di
hadapan
Resi Agaswara yang sedang
bersemadi untuk
mengobati luka dalamnya. Baju
yang dikenakan
kakek tua itu sebagian telah
hancur memperli-
hatkan bahu kirinya yang hangus.
Ketika mentari telah condong ke
barat, Resi
Agaswara membuka matanya.
"Kau tidak apa-apa,
Eyang?" tanya Ingkan-
putri cemas.
"Hyang Widhi masih berkenan
melindungi
nyawaku," kata sang Resi.
"Tapi, sebagian uratku
telah hancur. Tangan kiriku tak
mungkin dapat
digerakkan lagi."
Ingkanputri menarik napas
panjang. Dita-
tapnya wajah Resi Agaswara
dengan penuh belas
kasihan. Tiba-tiba air mata
gadis itu meleleh. Dia
teringat ayahnya yang telah
tiada.
"Orang yang terjun dalam
rimba persilatan
harus mempunyai hati baja.
Kenapa hanya meli-
hat peristiwa kecil saja, air
mata mesti diperli-
hatkan...," kata Resi
Agaswara dengan penuh ke-
lembutan. Kakek itu mengira
Ingkanputri menan-
gisi dirinya yang terluka.
Resi Agaswara lalu bangkit
berdiri. Ada se-
dikit keluhan keluar dari
mulutnya. Ingkanputri
mendekat. Dibimbingnya kakek
itu. Mereka berja-
lan menyusuri siang tanpa tujuan
yang pasti.
Ketika malam hampir menjelang,
beberapa
dusun telah terlewati.
Ingkanputri pun sadar pa-
kaiannya yang serba merah selalu
mengundang
perhatian orang. Maka, dengan
uang pemberian
Resi Agaswara, dia membeli
sepotong baju ber-
warna kuning.
"Kau sangat cantik,
Putri...." puji sang Resi
sambil menatap baju baru
Ingkanputri.
"Ah, Eyang...;" pipi
gadis itu merona merah.
"Kita harus mencari tempat
untuk berma-
lam. Mudah-mudahan ada orang
baik yang mau
menyediakan rumahnya untuk
kita."
"Aku sudah terbiasa tidur
di alam bebas,"
sahut Ingkanputri.
"Maksudmu?"
"Di atas pohon, di hamparan
tanah luas,
atau di tempat lainnya. Bagiku
sama saja...."
"Kau tidak takut?"
tanya Resi Agaswara se-
dikit heran. Bagaimana pun
Ingkanputri adalah
seorang gadis muda yang cantik.
Rasanya kurang
aman jika dia pergi ke mana-mana
seorang diri.
Ingkanputri tersenyum tipis.
"Eyang lupa
kalau aku adalah seorang
petualang," katanya.
"Tapi, kau tetap seorang
wanita yang tidak
bisa lepas dari kodrat. Ada
banyak aturan yang
membuat seorang wanita tidak
bisa berbuat se-
maunya."
"Ah, Eyang terlalu
berlebihan," sungut In-
gkan putri,
"Hus!"
Ingkanputri tertawa, Resi
Agaswara pun
tersenyum. Mereka berjalan
kembali sambil terus
bercakap-cakap dengan akrabnya.
Walaupun ba-
ru saling mengenal, tapi
keakraban mereka sudah
seperti ayah dan putrinya.
Di tepi sebuah hutan akhirnya
Resi Agas-
wara menuruti ajakan Ingkanputri
untuk berma-
lam di atas pohon besar. Kakek
itu merasa lelah
juga terus berjalan karena tidak
mendapat tempat
penginapan atau rumah penduduk
untuk berma-
lam. Padahal malam telah
menjelang.
Ketika pagi baru saja tiba,
mereka dike-
jutkan oleh teriakan dua orang lelaki
tua bertam-
pang angker.
"Agaswara! Malaikat Bangau
Sakti telah
menyusun kekuatan. Ribuan
pendekar telah men-
jadi bangkai. Yang mempunyai
akal sehat memilih
jalan sebagai pengikut. Hari ini
Sang Ketua ber-
kenan mengundangmu ke Bukit
Bangau!"
"Katakan kepada ketuamu,
aku belum
mempunyai waktu untuk memenuhi
undangan-
nya...," sahut Resi
Agaswara dengan tenang.
Dua lelaki tua yang dikenal
dengan sebu-
tan Bayangan Hitam dan Penyedot
Arwah itu
menggeram.
"Menojak undangan Sang
Ketua berarti
menantang maut!" kata
Bayangan Hitam yang
bertubuh jangkung.
"Aku mencium maksud buruk.
Kenapa aku
mesti pergi ke Bukit
Bangau?!"
"Ha-ha-ha...," tawa
Bayangan Hitam mem-
buat janggutnya yang putih
panjang bergerak ba-
gai kibasan ekor sapi.
"Katakan saja kalau kau
takut, Agaswara!" ejeknya
kemudian.
Sang Resi tersenyum tipis.
Ingkanputri ber-
jalan mendekat.
"Siapa dia?" tanya
gadis itu dengan berbi-
sik. "Yang berpakaian serba hitam adalah
tokoh
sesat yang merajai wilayah
barat. Sedangkan yang
berdiri di belakangnya penguasa
wilayah timur,"
beritahu Resi Agaswara.
"Hei, Agaswara!"
hardik Penyedot Arwah.
"Tak perlu kau
berbisik-bisik macam perempuan
kurang kerjaan! Segera kau
penuhi perintah Sang
Ketua. Atau aku akan
menyeretmu!"
Tak ada kata yang keluar dari
mulut Resi
Agaswara. Kakek itu malah
membenarkan letak
selempang di bahu kirinya untuk
menutupi kain
jubah yang robek. Gerakan kakek
itu sangat te-
nang tanpa sedikit pun
menunjukkan kegentaran,
padahal dua orang tokoh hitam
yang berdiri diha-
dapannya bukanlah manusia
sembarangan. Se-
pak terjang mereka sangat ganas.
Tak pernah
memberi ampunan terhadap
lawan.
Duuuk...
Tiba-tiba, Penyedot Arwah
menggedrukkan
kaki kanannya ke tanah. Bumi
seketika bergun-
cang. Beberapa buah batu besar
bergeser dari
tempatnya. Tubuh Ingkanputri pun
tampak lim-
bung. Tapi, Resi Agaswara malah
tersenyum tipis,
heran kakek itu tak merasakan
apa-apa. Tubuh-
nya tetap berdiri tegak.
Melihat itu, Penyedot Arwah
menggeram,
telapak kakinya lalu kembali
menghentak.
Swooosss...!
Permukaan tanah di depannya
berkubang.
Gumpalan padas bercampur
bebatuan berpinda-
han menghujani tubuh sang Resi!
Kakek itu bu-
ru-buru mengibaskan ujung lengan
jubahnya. Se-
rangkum angin pukulan berputar
membuat se-
rangan Penyedot Arwah tiada
berarti.
"Kau memang hebat,
Agaswara...," puji le-
laki bertubuh kekar itu.
"Tapi, aku ingin tahu da-
patkah kau bertahan dari ilmu
'Penghisap Darah'-
ku!"
Penyedot Arwah langsung membuka
kedua
kakinya dengan badan sedikit
terbungkuk. Kedua
tangan ditekuk menghadap ke
depan. Bersamaan
dengan itu, wajah Penyedot Arwah
berubah te-
gang. Matanya melotot merah
Hhhh...!
Tak ada angin pukulan yang
muncul. Tapi,
Resi Agaswara terperangah
merasakan aliran da-
rahnya mendadak jadi kacau.
Detak jantung
menghentak-hentak bagai dipukuli
palu godam!
Tokoh tua yang sudah kenyang
makan
asam garam rimba persilatan itu
segera menge-
rahkan hawa murni. Tubuhnya
tampak bergetar
hebat.
Penyedot Arwah menarik kaki
kirinya ke
belakang bersamaan dengan kedua
tangannya
yang menyentak.
Kworshhh....
Suatu pemandangan mengerikan pun
ter-
jadi. Mulut Resi Agaswara
menyemburkan darah
segar. Tersedot oleh telapak
tangan Penyedot Ar-
wah!
Wajah sang Resi langsung
memucat, tata-
pan matanya terlihat nyalang.
Agaknya dia tahu
maut telah mengancam.
Tentu saja Ingkanputri tidak
tinggal diam.
Gadis itu segera melancarkan
pukulan jarak jauh
dengan berlambarkan ilmu
'Pukulan Api Neraka'.
Blaaarrr...!
Ledakan dahsyat menggema. Tubuh
gadis
itu terlempar beberapa tombak.
Rupanya, Bayan-
gan Hitam telah memapaki
serangan Ingkanputri.
Resi Agaswara yang sedang
berkutat mela-
wan maut menyorongkan telapak
tangan kanan-
nya. Darah segar yang menyembur
dari mulutnya
terhenti. Tapi, mendadak tubuh
tokoh tua itu ja-
tuh terjengkang.
"Ha-ha-ha...."
Tawa Penyedot Arwah dan Bayangan
Hitam
membahana bersamaan. Mereka
menatap tubuh
Resi Agaswara dan Ingkanputri
yang tergeletak di
tanah.
"Sang Ketua menunggumu di
Bukit Ban-
gau, Agaswara!" teriak
Bayangan Hitam.
Sang Resi bangkit seraya
mendekap dada
kirinya. Saat itulah, Bayangan
Hitam melihat tan-
gan kiri Resi Agaswara menggantung
lemah.
"Huh! Rupanya kau telah
cacat, Agaswara!
Semoga saja Sang Ketua masih mau
memberimu
muka," kata lelaki
berjanggut panjang itu.
"Kau kira ketuamu seorang
malaikat, se-
hingga semua orang dipaksa
bertekuk-lutut!"
hardik Ingkanputri yang telah
berdiri di samping
Resi Agaswara "Hanya
kalianlah yang patut dija-
dikan budak. Wajah kalian berdua
sangat mirip
kerbau congek yang tak mampu
berpikir pan-
jang!" ejek gadis itu.
"Bangsat!" umpat
Bayangan Hitam seraya
menerjang.
Ingkanputri telah mempersiapkan
diri. Tu-
buhnya melayang lalu mengirimkan
tendangan.
Sayang, tendangan itu tak
mengenai sasaran. Ju-
stru punggung Ingkanputri
berhasil digedor la-
wan.
Gadis itu jatuh terjerembab.
Kalau saja dia
tidak melindungi tubuhnya dengan
tenaga dalam,
punggungnya pasti sudah hancur.
"Gadis ingusan mau
coba-coba melawan-
ku!" dengus Bayangan Hitam.
Ketika Ingkanputri bangkit
berdiri, ada se-
suatu yang jatuh dari balik
bajunya. Bayangan
Hitam menatap benda itu dengan
mata terbelalak.
"Wasiat datuk
Risanwari," desisnya. Secepat kilat
disambarnya gulungan kulit
harimau yang terge-
letak di tanah tak jauh darinya.
"Pencuri busuk!"
hardik Ingkanputri.
Serta-merta gadis itu
mengibaskan telapak
tangannya! Angin pukulan berhawa
panas me-
nerpa. Bayangan Hitam pun
menarik tangannya.
Tapi, dia segera melancarkan
tendangan ke arah
Ingkanputri.
Dengan berkelit ke samping,
gadis itu ber-
hasil menghindari serangan.
Kemudian disam-
barnya gulungan kulit harimau
yang tergeletak di
sisi kanan tubuhnya.
Blab...!
Tiba-tiba, gadis itu menjerit
tertahan. Tan-
gannya membentur kekuatan kasat
mata yang di-
ciptakan Bayangan Hitam.
"Kau tak berhak memiliki
benda wasiat itu,
Gadis kecil!" kata Bayangan
Hitam sambil meng-
gerakkan telapak tangannya ke
depan. Dan, gu-
lungan kulit harimau melayang ke
arahnya.
"Jangan sentuh!" cegah
Resi Agaswara. Di-
lancarkannya pukulan jarak jauh.
Blaaarrr...!
Bayangan Hitam yang berdiri di
samping
Penyedot Arwah memapaki serangan
itu. Akibat-
nya, tubuh sang Resi terlontar.
Sadarlah dia ka-
lau lawan mempunyai tenaga dalam
yang lebih
tinggi di atasnya.
Pukulan jarak jauhnya seperti
membentur
tembok baja setebal satu depa.
Penyedot Arwah tertawa terbahak-bahak
"Jayalah Sang Ketua dengan
Perkumpulan Ban-
gau Sakti-nya!" teriak
tokoh sesat itu dengan sua-
ra lantang.
Tanpa ada yang mengusik, lelaki
bertubuh
kekar itu memungut gulungan
kulit harimau.
Namun, keterkejutan menghantam
dadanya.
Benda yang hampir tersentuh
tangan itu tiba-tiba
memancarkan sinar kehijauan.
Tubuh Penyedot
Arwah terasa bagai dijalari hawa
panas api nera-
ka.
"Hih! Dengan kehendak
Penguasa Gelap,
tak ada kekuatan yang mampu
menghalangi naf-
su angkara!" Dengan
mengerahkan tenaga da-
lamnya, lelaki bertubuh kekar
itu pun berhasil
menyambar gulungan kulit
harimau. Kemudian,
dibawanya lari sambil tertawa
terbahak-bahak.
"Sang ketua menunggu
kedatanganmu,
Agaswara!" Bayangan Hitam
seraya menghem-
paskan tubuhnya, menyusul
kepergian Penyedot
Arwah.
4
Puluhan bangau terbang rendah.
Sayapnya
mengepak perlahan, kemudian
terpentang dengan
gagahnya. Ketika hinggap di
hamparan tanah
luas, paruhnya bergerak menotok
mencari ma-
kan. Dilihat dari kejauhan
bangau-bangau itu ba-
gai biasan warna putih yang
bergerak mengikuti
irama.
Selagi mereka asyik mencari
makanan di
kubangan-kubangan air, seekor
bangau besar
berbulu hitam datang melesat dan
membuat ke-
terkejutan dengan suaranya yang
serak. Bangau-
bangau putih pun buyar. Cepat
mereka terbang
dikejar oleh rasa takut.
Sebentar kemudian, tem-
pat itu telah dikuasai oleh
puluhan bangau hi-
tam. Mereka menotol-notol tanah
dengan suara
riuh-rendah.
Di puncak bukit yang bertanah
datar suatu
benteng setebal satu depa tampak
melingkar.
Benteng itu, berkesan angker
karena di pintu ger-
bang terdapat puluhan lelaki
berdiri dengan sinar
mata bengis. Sementara di dalam
benteng, di se-
buah bangunan megah, seorang
lelaki berwajah
pucat duduk di singgasana perak
bertaburkan
emas permata. Rambut lelaki itu
telah memutih
semua. Dikuncir menjadi satu
dalam jalinan pan-
jang. Tubuhnya yang kurus
berkulit putih bersih
dibungkus pakaian sutera serba
hitam dengan
ikat pinggang berwarna merah
darah.
Dia adalah Malaikat Bangau
Sakti, pemim-
pin Perkumpulan Bangau Sakti
yang telah berha-
sil menaklukkan empat tokoh
hitam penguasa
penjuru mata angin.
Di hadapannya duduk dua orang
lelaki tua
yang juga berpakaian serba
hitam. Mereka bersila
di lantai marmer. Yang berambut
riap-riapan ada-
lah Dewa Laknat, penguasa
wilayah selatan. Se-
dangkan yang bermata sipit
adalah Pencabik
Sukma, penguasa wilayah utara.
Mereka mendongakkan kepala
ketika Ma-
laikat Bangau Sakti mendengus,
lalu berdiri dari
singgasananya.
"Bukit Bangau telah
menjulang dengan ga-
gah bertumbalkan ribuan
nyawa...," kata lelaki
berwajah pucat itu. "Namun,
sebagian besar ada-
lah kaum kita sendiri yang tak
mau bertekuk-
lutut di hadapanku. Tokoh-tokoh
jajaran atas be-
raliran putih masih banyak yang
berkeliaran den-
gan bebas. Kalian harus
membuatku puas."
Kepala Dewa Laknat dan Pencabik
Sukma
kembali tertunduk. Suara
Malaikat Bangau Sakti
bergetar seperti menyimpan
kemarahan.
"Seluruh tokoh rimba
persilatan harus
bernaung di bawah bendera
perkumpulan Bangau
Sakti. Tugas kalian adalah
membuat mereka tak-
luk!"
"Hamba akan melaksanakan
perintah...,"
kata Dewa Laknat dan Pencabik
Sukma hampir
bersamaan.
Ketika Malaikat Bangau Sakti
menggerak-
kan kepalanya, dua orang tokoh
sesat itu pun se-
gera berlalu dari tempat itu.
Tak lama kemudian, seorang
wanita cantik
berumur tiga puluh tahun hadir
dengan gerak tu-
buhnya yang lemah gemulai.
Tangan kanannya
membawa nampan berisi segelas
arak. Malaikat
Bangau Sakti segera menyambut.
Lalu ditenggak-
nya arak sampai tandas. Setelah
itu dia menatap
berlama-lama wajah wanita cantik
yang berdiri di
hadapannya.
"Hari ini kau kelihatan
sangat cantik, In-
darwa...," puji lelaki
berwajah pucat itu sambil
mengulum senyum.
Wanita yang dipanggil Indarwa
membalas
senyum itu. Pergelangan
tangannya dilingkarkan
ke pinggang Malaikat Bangau
Sakti. "Kau juga
sangat tampan, Margana
Kalpa...," bisiknya pelan.
Malaikat Bangau Sakti tertawa
terbahak-
bahak. Di dekapnya tubuh Indarwa
dengan erat.
Dia pun menghadiahkan kecupan
mesra di bibir
wanita cantik itu.
"Aku senang kau menyebut
nama kecilku,"
ucap Margana Kalpa seraya
mentowel dagu In-
darwa.
"Mengapa kau perintahkan
Empat Pengua-
sa Penjuru Angin dalam waktu
yang hampir ber-
samaan, Kekasihku?" tanya
Indarwa sambil men-
gerjapkan matanya menggoda.
"Supaya cita-citaku untuk
menguasai rim-
ba persilatan segera
terwujud," Malaikat Bangau
Sakti memberi alasan.
"Tapi, apakah kau telah
mendapatkan Wa-
siat Datuk Risanwari yang katamu
akan menjadi
penghalang?"
Mendadak Malaikat Bangau Sakti
menden-
gus keras. Matanya nyalang
menatap dinding
ruangan.
Melihat perubahan sikap yang
demikian
mendadak, Indarwa yang
sebenarnya seorang to-
koh sesat jajaran atas yang
berjuluk Setan Betina
itu segera memeluk tubuh Margana
Kalpa. Di-
elusnya dada lelaki berwajah
pucat itu dengan
lembut
"Kenapa mesti gusar?
Bukankah anak
buahmu sangat banyak? Aku
percaya mereka
akan dapat mewujudkan segala
keinginanmu," bi-
sik Indarwa lembut sekali dengan
bibir menyen-
tuh telinga.
"Kau memang pandai
menghibur hatiku,
Indarwa...," kata Malaikat
Bangau Sakti. Kemu-
dian dia mengecup dahi
kekasihnya.
"Aku bukan pandai
menghibur. Hanya, aku
tidak suka melihatmu terbawa
luapan amarah,"
ucap Indarwa. Hembusan napasnya
yang harum
menerpa wajah Margana Kalpa.
Lelaki berwajah pucat itu lalu
mencium bi-
bir Indarwa. Setan Betina pun
mempererat pelu-
kannya. Margana Kalpa sejenak
menatap wajah
cantik yang terpampang dekat di
hadapannya,
sebelum mendaratkan ciuman
ganas.
Indarwa menggelinjang membalas
ciuman
itu hingga untuk beberapa lama
bibir mereka
berpagutan.
"Kau sangat cantik,
Indarwa...," bisik Mar-
gana Kalpa kemudian.
"Dan kau sangat perkasa,
Kekasihku...."
Setelah berkata-kata sebentar,
dua anak
manusia itu berjalan sambil terus berpelukan.
Mereka menuju ke sebuah kamar
yang beraroma
harum semerbak.
Margana Kalpa menjatuhkan tubuh
Indar-
wa ke pembaringan. Sedangkan dia
sendiri duduk
di sisi wanita cantik itu.
"Kenapa kau tidak
melanjutkan?" tanya Se-
tan Betina.
Malaikat Bangau Sakti tak
memberi jawa-
ban. Tangan kanannya menopang
dagu. Sinar
matanya pun terlihat suram.
Indarwa bangkit lalu mengelus
dada lelaki
berwajah pucat itu seraya
mencium lehernya.
"Untuk menyenangkan hatimu,
besok aku
akan pergi mencari Wasiat Datuk
Risanwari," bi-
sik Indarwa.
"Ah, kau tak perlu
melakukannya. Tugas-
mu adalah menemaniku bila aku
berkeinginan
untuk berjalan-jalan ke nirwana,"
ucap Margana
Kalpa seraya meraih bahu
Indarwa, lalu memba-
ringkannya kembali.
Di lumatnya bibir wanita cantik
itu. Tan-
gannya bergerak bebas menelusuri
setiap jengkal
tubuh Indarwa. Setan Betina
menggelinjang. Sua-
ra desahan berulang kali keluar
dari mulutnya.
Satu persatu pakaian yang
menutupi tubuh In-
darwa jatuh ke lantai.
"Tunjukkanlah
keperkasaanmu, Kekasih-
ku...," bisik wanita cantik
itu.
Tak ada kata yang diucapkan
Margana
Kalpa. Mata lelaki berwajah
pucat itu tiada bosan
memandang lukisan keindahan
tubuh Indarwa.
"Kau memang sangat cantik,
Indarwa...," ucapnya
kemudian seraya menundukkan
kepala
Wajah Margana Kalpa terbenam di
dada
Setan Betina. Dengan gerak
perlahan, bibir lelaki
berwajah pucat itu lalu
menelusuri ke bawah.
Indarwa merintih. Kedua
tangannya mere-
mas rambut Margana Kalpa.
Sementara di luar sinar mentari
masih se-
tia menerangi mayapada. Langit
bersih tiada se-
gumpal awan. Hembusan angin
mengelus puncak
Bukit Bangau. Bayangan Hitam dan
Penyedot Ar-
wah berjalan melewati pintu
gerbang. Puluhan le-
laki yang menenteng golok di
pinggang tampak
menundukkan kepala memberi
hormat
Ketika telah sampai di ruang
utama ban-
gunan megah, Bayangan Hitam dan
Penyedot Ar-
wah saling berpandangan.
"Panggil lah Sang Ketua,
Sapi Dungu...!"
Perintah Penyedot Arwah pada
teman di samping-
nya.
"Huh! Terhadapku kau
berkuasa apa?!"
Bayangan Hitam berkata sinis.
"Kerbau Bau! Kau-
lah yang harus
mengerjakannya!"
"Kau takut?"
"Aku masih sayang
nyawaku!"
Penyedot Arwah tertawa mengejek.
"Tak di-
nyana penguasa wilayah barat
ternyata mempu-
nyai nyali tikus!"
"Bangsat!" umpat
Bayangan Hitam. Telapak
tangannya disabetkan ke wajah
Penyedot Arwah.
Beberapa lukisan yang menempel
di dind-
ing ruangan bergerak ke kiri-kanan
terkena angin
pukulan. Tapi hanya dengan
melangkah mundur
satu tindak serangan Bayangan
Hitam tak men-
genai sasaran.
"Huh! Ilmu 'Pukulan
Penghempas Gunung'-
mu memang hebat. Namun tak akan
sanggup
menandingi ilmu 'Penghisap
Darah'ku!" dengus
Penyedot Arwah dengan mata
berkilat
"Baik. Kita buktikan!"
tantang Bayangan
Hitam.
Usai mengucapkan kalimatnya,
tubuh
Bayangan Hitam melayang di
udara. Setelah ber-
salto beberapa kali, dia
mendarat dua tombak da-
ri tempatnya semula.
"Jangan menyesal bila
riwayatmu putus
sampai di sini!" kata
lelaki berjanggut panjang itu
memperingatkan calon lawannya.
"Justru akulah yang akan
mencabut nya-
wamu!" timpal Penyedot
Arwah seraya membuka
kakinya. Dengan badan sedikit
merunduk, tela-
pak tangan lelaki bertubuh kekar
itu menyorong
ke depan.
Bayangan Hitam pun siap sedia
untuk me-
nyambut ilmu pamungkas Penyedot
Arwah
"Heaaa...!"
Dua teriakan menggema bersamaan.
Sinar
kuning yang meluncur dari
telapak tangan
Bayangan Hitam tertahan oleh
kekuatan kasat
mata. Hingga, menimbulkan
percikan bunga api
yang menyebar memenuhi ruangan.
Selama lima tarikan napas tubuh
kedua
tokoh sesat itu berdiri kokoh di
tempatnya. Tapi,
Bayangan Hitam segera dapat
merasakan keheba-
tan ilmu pamungkas Penyedot
Arwah. Detak jan-
tung lelaki berjanggut panjang
itu menjadi tak te-
ratur. Aliran darahnya kacau. Di
dalam dada se-
perti ada kekuatan yang
menghentak-hentak. Tak
lama kemudian, dari hidung dan
sudut bibir
Bayangan Hitam meleleh darah
segar!
Apa yang dirasakan Penyedot
Arwah pun
tak beda jauh. Tubuhnya yang
kekar bergetar he-
bat. Pandangan matanya mengabur.
Dadanya ba-
gai dipukul-pukuli palu godam,
hingga terasa
mau jebol!
Sadarlah mereka berdua kalau
ilmu pa-
mungkas masing-masing mencapai
taraf seim-
bang. Mereka tak dapat menarik
kembali kekua-
tan tenaga dalam yang telah
terlontar. Apabila sa-
lah seorang melakukannya,
kekuatan lawan akan
langsung menghantam dirinya
tanpa dapat dihin-
dari lagi. Jalan satu-satunya untuk
melenyapkan
dua kekuatan dahsyat itu adalah
dengan menarik
kembali tenaga dalam
masing-masing secara ber-
samaan. Tapi, siapa yang mau
percaya lawan ti-
dak akan berbuat curang?
Menyadari hal itu, wajah
Penyedot Arwah
dan Bayangan Hitam memucat. Malaikat
Kema-
tian tampaknya akan menjemput
ajal mereka se-
cara bersamaan!
Pada saat yang genting tersebut,
tiba-tiba
seberkas cahaya kehitaman
meluruk datang!
Blaaammm...!
Sebuah ledakan dahsyat menggema
hingga
menggetarkan lantai ruangan.
Tubuh Penyedot
Arwah dan Bayangan Hitam
terlempar memben-
tur dinding.
"Manusia-manusia yang telah
hilang akal-
nyalah yang patut melakukan
tindakan seperti
itu!"
Malaikat Bangau Sakti tahu-tahu
telah
berdiri tegak di sisi pintu
ruangan. Kedua tangan
lelaki berwajah pucat itu masih
mengepulkan
asap hitam. Dengan memusnahkan
kekuatan te-
naga dalam Penyedot Arwah dan
Bayangan Hi-
tam, dia telah menunjukkan
kehebatannya. Apa
yang dilakukan Malaikat Bangau
Sakti sama saja
dengan melawan dua kekuatan
tenaga dalam ke-
dua anak buahnya. Jadi, dapat
dibayangkan ting-
ginya ilmu yang dimiliki
pemimpin Perkumpulan
Bangau Sakti itu.
"Manusia-manusia busuk!
Apakah kalian
sengaja ingin memperlihatkan
kepandaian di ha-
dapanku? Ampunan yang telah
kuberikan apakah
tidak memuaskan kalian?!"
kata Malaikat Bangau
Sakti dengan penuh kemarahan.
Penyedot Arwah dan Bayangan
Hitam sege-
ra berlutut di hadapan lelaki
berwajah pucat itu.
"Hamba bersalah...,"
kata Penyedot Arwah
dan Bayangan Hitam bersamaan.
Margana Kalpa atau Malaikat
Bangau Sakti
mendengus. Kaki kanannya
digedrukkan ke lan-
tai. Tubuh dua tokoh sesat itu
pun terlontar dan
membentur langit-langit ruangan,
kemudian ja-
tuh berdebam. Tapi mereka
sedikit pun tak me-
nunjukkan rasa sakit. Hanya
desahan panjang
yang terdengar.
"Galungking Saba...,"
panggil Malaikat
Bangau Sakti dengan suara berat.
"Sudahkah kau
bertemu dengan Resi
Agaswara?"
Penyedot Arwah menganggukkan
kepa-
lanya.
"Jawab pertanyaanku, Galungking
Saba!"
teriak Margana Kalpa. Lelaki
bertubuh kekar yang
disebut nama kecilnya itu segera
berjalan mende-
kat.
"Hamba telah melaksanakan
tugas Sang
Ketua dengan
sebaik-baiknya," lapor Penyedot
Arwah. Suaranya terdengar
bergetar.
"Ha-ha-ha...," tawa
Margana Kalpa meng-
gema berkepanjangan.
"Berarti sebentar lagi anj-
ing tua itu akan datang ke
sini."
"Tapi...," sela
Galungking Saba dengan ba-
dan menggigil ketakutan.
"Tapi apa, heh?!"
bentak Margana Kalpa
tak senang.
"Hamba... hamba...."
"Keparat! Apa yang hendak
kau katakan?!"
"Hamba sudah menyampaikan
undangan
Sang Ketua, tapi kehadiran Resi
Agaswara belum
bisa ditentukan," akhirnya
keluar juga kata-kata
itu.
"Goblok! Mestinya kau seret
dia!"
Mendengar kata-kata keras
Malaikat Ban-
gau Sakti, Galungking Saba
semakin terjerat rasa
takut.
"Menurut ilmu 'Jangka
Depan'ku, hanya
Resi itulah yang sanggup
membangkitkan arwah
guruku Dewa Tapak Hitam,"
lanjut Margana kal-
pa.
"Tapi Sang Ketua tidak
perlu kecewa. Ham-
ba membawa wasiat Datuk
Risanwari...."
"Hah?!"
Mata Margana Kalpa terbelalak
ketika Pe-
nyedot Arwah mengeluarkan
gulungan kulit ha-
rimau dari balik bajunya.
Tawa Malaikat Bangau Sakti
menggema
berkepanjangan. Benda-benda yang
berada di da-
lam ruangan sampai berjatuhan.
Penyedot Arwah
dan Bayangan Hitam merasakan
jantung mereka
berdegup cepat bersama aliran
darah yang tiba-
tiba menjadi kacau. Gendang
telinga pun bergetar
keras bagai ditampar berulang
kali. Sungguh he-
bat kekuatan tenaga dalam
Margana Kalpa.
"Bagus! Bagus, Galungking
Saba. Kau telah
menebus kesalahanmu...,"
kata Margana Kalpa
kemudian. Disambarnya gulungan
kulit harimau
dari tangan Penyedot Arwah.
Tapi, lelaki berwajah pucat itu
jadi terkejut.
Telapak tangannya terasa panas
bagai teraliri api
neraka.
"Benda wasiat yang
hebat," desis laki-laki
itu seraya mengerahkan tenaga
dalam.
Perlahan-lahan gulungan kulit
harimau di
buka. Malaikat Bangau Sakti pun
membaca bari-
san huruf-huruf yang tertulis di
atas kulit
"Ha-ha-ha...!"
Tawa lelaki berwajah pucat itu
menggema
lagi. Penyedot Arwah dan
Bayangan Hitam segera
mengerahkan tenaga dalamnya
untuk melindungi
diri.
"Anak ajaib...," gumam
Margana Kalpa.
"Sebelum orang yang disebut
si Pelindung Tua
berbuat sesuatu, aku akan
melenyapkan nyawa
anak ajaib itu. Tapi, siapakah
dia?"
Dahi lelaki berwajah pucat itu
berkerut.
Otaknya dipaksa untuk bekerja
keras. Beberapa
lama dia berdiri terpaku di
tempatnya. Tiba-tiba
dia mengulas senyum kemenangan.
"Kenapa aku mesti
susah-susah memikir-
kannya?" kata hati lelaki
berwajah pucat itu. "Ka-
lau aku memusnahkan gulungan
kulit harimau
ini, tak akan ada masalah!"
Malaikat Bangau Sakti menatap
sejenak
Wasiat Datuk Risanwari dalam
genggamannya.
Lalu, sinar matanya berkilat.
Margana Kalpa
mengerahkan kekuatan tenaga
dalamnya.
Ssss...!
Muncul suara desisan mirip bara
api yang
tersiram air. Gulungan kulit
harimau mengelua-
rkan asap. Margana Kalpa
terkejut bukan main
melihat benda itu tak terbakar.
Dia segera me-
nambah kekuatan tenaga dalamnya
sampai ke
puncak.
Suara desisan semakin terdengar
jelas.
Margana Kalpa bertambah
terkejut. Gulungan ku-
lit harimau yang sedang
diremasnya tak juga ter-
bakar. Padahal, kekuatan tenaga
dalam yang dis-
alurkan ke tangannya sudah
sanggup untuk me-
lelehkan sebatang baja.
Tiba-tiba, Malaikat Bangau Sakti
merasa
seperti terhantam kekuatan kasat
mata. Dia pun
meregangkan cengkeramannya pada
gulungan
kulit harimau.
Splass...!
Gulungan kulit harimau melayang,
dan
melesat cepat keluar dari ruangan.
Margana Kalpa terkejut bukan
main bagai
disambar petir. Demikian pula
halnya dengan Pe-
nyedot Arwah dan Bayangan Hitam
yang duduk
bersimpuh tak jauh darinya.
Malaikat Bangau Sakti
menghemposkan
tubuhnya untuk mengejar. Namun,
gulungan ku-
lit harimau telah lenyap dari
pandangan. Lelaki
berwajah pucat itu kembali
sambil menggerutu
panjang-pendek.
"Kekuatan kaum hitam
terancam...," gu-
mam Margana Kalpa penuh
kecemasan. "Aku ha-
rus mencari tahu siapa
sebenarnya anak ajaib
yang dimaksud Datuk
Risanwari."
Tanpa mempedulikan Penyedot
Arwah dan
Bayangan Hitam, lelaki berwajah
pucat itu segera
berjalan menuju ke sebuah
ruangan berdinding
hitam. Dengan duduk bersila
sambil memejam-
kan mata, Margana Kalpa
mengerahkan kekuatan
indera keenamnya. Alam pikiran
lelaki berwajah
pucat itu segera melayang-layang
mengitari
mayapada.
Tiga hari lamanya Malaikat
Bangau Sakti
melakukan semadi. Selama itu
tubuhnya tak ber-
gerak sedikit pun dari
kedudukannya. Alam piki-
ran lelaki berwajah pucat itu
terus melayang-
layang mencari jawaban mengenai
anak ajaib.
Memasuki hari keempat, mendadak
bibir
Margana Kalpa mengembangkan
senyum.
"Suropati...!" desis
Malaikat Bangau Sakti
seraya membuka mata.
Lelaki berwajah pucat itu lalu
bangkit, dan
tertawa terbahak-bahak.
"Kau tampaknya sangat
gembira hari ini,"
kata Indarwa atau Setan Betina
yang tiba-tiba
muncul di tempat itu.
"Aku memang sangat gembira,
Kekasihku.
Sebentar lagi satu penghalang
bagi terwujudnya
cita-citaku akan dapat kulenyapkan!"
kata Malai-
kat Bangau Sakti seraya berjalan
keluar ruangan.
Indarwa mengikutinya dari
belakang.
Margana Kalpa mengumpulkan
seluruh
anak buahnya yang berjumlah
empat ratus orang.
Dibaginya mereka menjadi delapan
kelompok
yang masing-masing dipimpin oleh
seseorang pe-
mimpin.
"Hari ini juga kita akan
menggempur Per-
kumpulan Pengemis Tongkat Sakti
di Bukit Pan-
galasan!" kata Malaikat
Bangau Sakti sambil ber-
diri di sebuah undak-undakan.
"Tapi ingat, tiap
kelompok yang telah kususun
harus bergerak
sendiri-sendiri. Jangan sampai
ketahuan lawan
atau pun tercium oleh pihak
kerajaan."
Setelah lelaki berwajah pucat
itu memberi-
kan petunjuk-petunjuk, seluruh
anak buahnya
segera menuruni bukit. Penyedot
Arwah dan
Bayangan Hitam diperintah untuk
bergerak paling
depan sambil mencari Dewa Laknat
dan Pencabik
Sukma untuk bergabung.
Sepeninggal para anggota
Perkumpulan
Bangau Sakti, Setan Betina
menghadap Margana
Kalpa.
"Kau yakin Perkumpulan
Pengemis Tongkat
Sakti akan dapat dibumihanguskan
dalam per-
siapan yang demikian
singkat?" tanya wanita can-
tik itu.
"Kenapa tidak?!" jawab
Margana Kalpa.
"Tokoh sakti yang bercokol
di dalam perkumpulan
itu hanya beberapa gelintir. Aku
kira, hanya Gede
Panjalu dan Suropati sendirilah
yang patut diper-
hitungkan."
Lelaki berwajah pucat itu
mendapat semua
petunjuk mengenai Perkumpulan
Pengemis yang
dipimpin Suropati melalui
semadinya selama tiga
hari. Termasuk tentang
pentolan-pentotan Per-
kumpulan Pengemis Tongkat Sakti.
"Tapi, bagaimana kalau
pihak kerajaan
mengetahui gerakan kita?
Bukankah Suropati
atau Pengemis Binal itu
mempunyai hubungan
dekat dengan Baginda Prabu Arya
Dewantara?"
"Maka dari itu aku akan
berangkat menda-
hului."
Malaikat Bangau Sakti lalu
bersuit nyaring.
Sebentar kemudian, di angkasa
tampak seekor
bangau hitam raksasa terbang
cepat dan menukik
turun di hadapan Margana Kalpa.
"Kaaakkk..!
Kaaakkk...!"
Bangau raksasa itu merundukkan
tubuh-
nya. Malaikat Bangau Sakti
meloncat ke pung-
gung hewan tersebut
"Bawa aku ke Bukit
Pangalasan, Hitam...!"
perintah lelaki berwajah pucat
seraya menepuk
leher bangau raksasa.
"Tunggu!" teriak Setan
Betina. "Apakah aku
tidak boleh ikut serta?"
"Tidak! jawab Margana
Kalpa. "Kau berja-
ga-jagalah di sini bersama lima
puluh orang ang-
gota perkumpulan kita yang
kutinggalkan."
Lelaki berwajah pucat kemudian
menghen-
takkan kedua kakinya.
"Kaaakkk..!" Bangau
raksasa mengepakkan
sayap. Tubuhnya lalu melesat di
angkasa dengan
membawa tubuh Malaikat Bangau
Sakti. Setan
Betina menatap kepergiannya
tanpa berkedip. Dia
lalu memberi perintah kepada
lima puluh orang
yang berdiri di halaman istana
untuk berjaga-jaga
di pintu gerbang.
Di ruang utama bangunan megah
wanita
cantik itu tertawa
terbahak-bahak waktu melihat
dua orang lelaki berdiri dengan
gagahnya. Mereka
adalah Dewa Laknat dan Pencabik
Sukma.
"Kalamambang dan kau,
Narakasura...,"
kata Setan Betina menyebut nama
kecil kedua to-
koh sesat itu. "Bukankah
kesempatan seperti ini
yang telah lama kita tunggu?
Ha-ha-ha...!"
Setan Betina kembali tertawa
terbahak-
bahak. Kalamambang dan
Narakasura mengikuti.
Ruangan yang mereka tempati
bergetar oleh gelak
tawa ketiga orang itu.
"Keinginan kita akan segera
terwujud, In-
darwa...," kata Kalamambang
atau si Dewa Lak-
nat "Jalan untuk
memusnahkan kekuatan Mar-
gana Kalpa sudah terpampang di
depan mata."
"Benar!" ucap Setan
Betina. "Orang-orang
kita yang menyusup ke dalam
tubuh Perkumpu-
lan Bangau Sakti akan menggempur
anak buah
Margana Kalpa di tengah jalan.
Dan untuk meng-
hadapi Penyedot Arwah serta
Bayangan Hitam,
aku kira kalian berdua cukup
mempunyai ke-
mampuan."
'Tapi, yang paling berat adalah
menghadapi
Mangana Kalpa," kata
Narakasura atau si Penca-
bik Sukma.
"Kau meremehkan
kemampuanku, Naraka-
sura!" rungut Indarwa tak
senang.
"Kau sanggup
menghadapinya?" tanya Na-
rakasura meragukan kemampuan
temannya.
Setan Betina tertawa lunak.
"Apa gunanya
aku setiap saat selalu bersama
lelaki busuk itu,
bila tidak untuk mencari rahasia kelemahan il-
munya?"
"Kau sudah
menemukannya?"
"Tentu saja sudah. Aku
hanya menunggu
kesempatan...," kata
Indarwa sambil mengulas
senyum. "Kini kesempatan
itu telah tiba. Seka-
rang juga kita akan
memanfaatkannya!"
Kalamambang dan Narakasura
tertawa ke-
senangan.
"Dendam kesumatku akan
terlampiaskan.
Dan, kita bertiga akan menjadi
raja di raja rimba
persilatan!" kata
Kalamambang dengan mata ber-
kilat.
Indarwa lalu pergi ke sebuah
lorong yang
terletak di bagian belakang
bangunan Perkumpu-
lan Bangau Sakti. Kalamambang
dan Narakasura
mengikuti wanita itu, yang kini
dianggapnya se-
bagai pemimpin.
"Kesaktian Margana Kalpa
yang sedemikian
hebat adalah berkat bantuan
arwah gurunya yang
bergelar Dewa Tapak
Hitam...," beritahu Setan
Betina. Langkah kakinya berhenti
di depan se-
buah dinding yang terbuat dari
batu kasar. "Na-
mun, kita akan segera
menciptakan malapetaka
bagi arwah orang tua bangkotan
itu!"
Indarwa menekan tonjolan batu
kecil ber-
warna hitam yang menempel di
pojok ruangan.
Tapi, Indarwa terperangah karena
maksud ha-
tinya tak terpenuhi.
"Kenapa batu besar yang
menutup ruang
penyimpan jasad Dewa Tapak Hitam
tak berges-
er?" tanya wanita cantik
itu kebingungan.
Dicobanya menekan kembali batu
kecil
berwarna hitam dengan kakinya
yang berlambar-
kan kekuatan tenaga dalam.
Kresh...!
Batu kecil hancur menjadi serbuk
halus.
Tapi, batu besar yang berada di
samping Setan
Betina sama sekali tak bergerak.
"Kau sedang melakukan
apa?" tanya Nara-
kasura tak mengerti melihat
tindakan Indarwa.
"Jasad Dewa Tapak Hitam
berada di balik
batu besar itu. Aku sedang
mencoba untuk mem-
bukanya."
"Apakah Margana Kalpa juga
melakukan
hal serupa bila hendak menemui
jasad gurunya?"
"Ya. Tapi, kenapa aku tak
dapat melaku-
kannya?" Indarwa semakin
kebingungan.
"Margana Kalpa tentu telah
melakukan se-
suatu untuk melindungi jasad
Dewa Tapak Hi-
tam," duga Kalamambang.
"Kalau begitu, kita harus
menghancurkan
batu penghalang itu!"
Setan Betina melangkah mundur
tiga tin-
dak. Diambilnya ancang-ancang.
Kemudian ke-
dua telapak tangannya menghentak
ke depan!
Blaaarrr...!
Ledakan dahsyat menggema.
Ruangan ba-
gai diguncangkan tangan raksasa.
Tapi, batu be-
sar yang terhantam kekuatan
tenaga dalam In-
darwa tetap berdiri kokoh di
tempatnya.
"Kalian berdua harus
membantuku!" teriak
Setan Betina menyimpan
kegusaran.
Dewa Laknat dan Pencabik Sukma
segera
melompat di sisi wanita cantik
itu. Mereka bertiga
menyalurkan seluruh kekuatan
tenaga dalamnya.
Dan, dalam waktu yang bersamaan
ketiganya
mendorong telapak tangan.
Wooosss...!
Blaaammm...!
Bunga api berpijaran. Guncangan
hebat
terjadi. Langit-langit ruangan
runtuh. Debu dan
bebatuan beterbangan mengaburkan
pandangan.
Batu besar yang merupakan pintu
ruang penyim-
pan jasad Dewa Tapak Hitam tak
bergeming sedi-
kit pun. Padahal dinding marmer
di sisi kiri-
kanan batu telah hancur
berkeping-keping.
Tentu saja kenyataan itu membuat
Setan
Betina dan kedua temannya
terkejut setengah
mati. Belum sempat mereka
menyadari keadaan
itu, tiba-tiba terdengar suara
tawa berkepanjan-
gan.
"Malaikat Bangau
Sakti!" desis ketiga tokoh
sesat itu bersamaan.
"Kita sudah kepalang
tanggung. Kita hada-
pi manusia busuk itu!"
perintah Indarwa.
"Aku tak sanggup,"
jawab Kalamambang
dan Narakasura.
"Pengecut! Bukankah kalian
penguasa wi-
layah selatan dan utara? Untuk
apa kesaktian
yang kalian miliki bila
seseorang telah merendah-
kan derajat kalian sebagai raja
golongan sesat?"
"Tapi, aku telah merasakan
kehebatan
Margana Kalpa," ucap
Kalamambang menyimpan
rasa takut
"Bodoh!" umpat
Indarwa. "Sekarang kau ti-
dak sendirian!"
Mendengar ucapan itu, nyali
Kalamambang
muncul kembali. Dia berdiri
tegak menunjukkan
kegagahannya.
"Keluar kau, Margana
Kalpa.'" teriak Setan
Betina yang disertai pengerahan
tenaga dalam.
Suaranya terdengar
mendengung-dengung di
gendang telinga.
Sesosok bayangan hitam
berkelebat cepat.
Lima tombak dari hadapan Indarwa
dan kedua
temannya, sosok itu mendarat.
"Aku memang telah mencium
siasat licik
kalian...," kata Margana
Kalpa mendengus. "Ru-
panya kau musuh dalam selimut,
Indarwa!"
"Cih! Siapa yang sudi jadi
budak lelaki bu-
suk sepertimu!" sahut
Indarwa kertus.
Tawa Malaikat Bangau Sakti
membahana.
"Di balik kecantikanmu
ternyata tersimpan iri
dengki yang demikian
besar!" ucapnya sinis.
"Kau lupa aku adalah tokoh
hitam yang se-
lalu memuja nafsu sesat!"
sahut Indarwa.
"Bagus! Kalau begitu,
kejarlah nafsu se-
satmu sampai ke neraka!"
Usai mengucapkan kalimatnya,
Margana
Kalpa menghemposkan tubuh untuk
melancarkan
sebuah pukulan maut. Tapi, Setan
Betina yang
sudah siap siaga berusaha
mendahului serangan
itu dengan tendangan tertuju ke
kepala.
Gebrakan pertama mereka
sama-sama tak
mengenai sasaran.
Margana Kalpa mendengus keras.
Lelaki
itu bergerak ke samping seraya
mengirimkan to-
tokan maut ke punggung Indarwa.
Namun Dewa
Laknat dan Pencabik Sukma telah
mengawali se-
rangannya.
"Monyet-monyet busuk!
Kalian akan segera
menyusul nyawa para cecunguk
anak buahmu!"
kata Malaikat Bangau Sakti
sambil menepis pu-
kulan dan tendangan yang datang
beruntun.
"Orang-orangku tidak akan
semudah itu
dapat dikalahkan," ucap
Narakasura.
Margana Kalpa tertawa sinis.
"Para pengi-
kutmu sudah masuk ke lubang
jebakan. Kini aku
akan melemparkanmu ke lubang
neraka!"
Lelaki berwajah pucat itu
menghemposkan
tubuhnya ke atas. Kemudian,
meluncur deras un-
tuk melancarkan tendangan ke
rusuk kiri Penca-
bik Sukma. Tapi, lelaki sipit
berkuku panjang itu
segera bergerak mencakar wajah
Malaikat Bangau
Sakti.
"Uts...!"
Margana Kalpa berkelit.
Sementara ten-
dangan kakinya terhenti akibat
tangkisan tangan
kiri Narakasura.
Setan Betina dan Kalamambang
berteriak
bersamaan. Mereka melancarkan
pukulan dengan
berlambarkan kekuatan tenaga
dalam penuh.
Deeesss...!
Dada dan punggung Malaikat
Bangau Sakti
terkena pukulan dengan telak.
Dia hanya men-
dengus seperti tak merasakan
apa-apa. Setan Be-
tina dan Kalamambang tampak
terkejut sekali.
"Kalian hanyalah
tikus-tikus yang tak tahu
diuntung!" maki Margana
Kalpa. Cepat tubuhnya
diputar hingga menyerupai
gangsingan.
Slash...!
Cahaya hitam mendadak berpendar
dari
putaran tubuh Margana Kalpa.
Sinar itu menye-
bar memenuhi ruangan.
"Awas...!" teriak
Setan Betina sambil meng-
hemposkan tubuhnya.
Tindakan itu segera diikuti oleh
Dewa Lak-
nat dan Pencabik Sukma. Tubuh ke
tiga tokoh se-
sat itu meluncur ke atas, dan
menjebol langit-
langit ruangan. Bersamaan dengan
hancurnya
dinding ruangan yang terhempas
cahaya hitam
dari putaran tubuh Malaikat
Bangau Sakti.
Pertempuran seru beralih ke
halaman ban-
gunan megah. Bahu-membahu. Setan
Betina ber-
sama kedua temannya berusaha
mendesak Mar-
gana Kalpa.
Sementara itu lima-puluh orang
lelaki yang
sedang berjaga di pintu gerbang,
ketika melihat
pertempuran itu, seketika mereka
saling gempur.
Lima puluh lelaki itu memang
anggota Perkumpu-
lan Bangau Sakti, separuhnya
adalah para pengi-
kut Narakasura yang bermaksud
meruntuhkan
kekuasaan Margana Kalpa dari
tampuk pimpinan.
"Aku akan segera melumat
tubuh kalian!"
teriak Malaikat Bangau Sakti
seraya menghem-
boskan tubuhnya menjauhi arena
pertempuran.
Rupanya dia hendak mencari
keleluasaan dalam
mengetrapkan ajian
saktinya.
Namun, ketiga lawannya sedikit
pun tak
memberi kesempatan. Mereka terus
menerjang
ganas berusaha menjatuhkan
tangan maut.
"Keparat!" umpat
Margana Kalpa. "Kalian
benar-benar ingin mampus!"
Lelaki berwajah pucat itu
memutar tubuh-
nya dengan cepat. Cahaya hitam
kembali berpen-
dar dari putaran tubuhnya. Tapi,
ketiga lawannya
telah meloncat tinggi seraya
melontarkan pukulan
jarak jauh secara
bersamaan!
Blaaarrr...!
Gabungan ketiga pukulan jarak
jauh itu
membentur cahaya hitam. Tubuh
Malaikat Ban-
gau Sakti langsung berhenti
berputar. Namun, dia
tertawa terbahak-bahak
mengiringi tubuhnya
yang mendadak melesat di udara.
Dees... dees... dees...!
Tubuh Setan Betina, Dewa Laknat,
dan
Pencabik Sukma terbanting ke
tanah terkena ten-
dangan Margana Kalpa. Tawa
Lelaki berwajah pu-
cat itu terdengar makin keras,
membuat jantung
orang-orang yang berada di
tempat itu berdegup
kencang.
Ketiga tokoh sesat yang
tergeletak di tanah
bergegas bangkit berdiri. Mereka
membentuk ba-
risan berjajar dan saling merangkul. Kemudian,
berloncatan hingga membentuk
barisan di mana
Setan Betina berada di depan. Di
belakangnya
Dewa Laknat menempelkan telapak
tangan di
punggung wanita cantik itu. Di
belakang sekali
Pencabik Sukma berbuat serupa.
Kekuatan tena-
ga dalam tiga tokoh sesat itu
kini telah disatukan!
Malaikat Bangau Sakti hanya
menatap
dengan sinis. Kedua telapak
tangannya lalu di ge-
rakkan seperti sedang mengusap
suatu benda.
Slaps...!
Muncul cahaya kelabu di depan
tubuh le-
laki berwajah pucat itu.
"Tunggu apa lagi? Segera
kirim Malaikat
Kematian kepadaku!" teriak
Margana Kalpa.
Setan Betina menggeram. Kedua
telapak
tangannya dihentakkan ke depan
untuk mengi-
rimkan pukulan jarak jauh.
Blaaammm...!
Ledakan yang sangat dahsyat
terdengar.
Pukulan jarak jauh Setan Betina
yang disaluri
kekuatan tenaga dalam kedua
temannya mem-
bentur cahaya kelabu di depan
tubuh Malaikat
Bangau Sakti.
Suatu pemandangan yang
menggiriskan
terjadi. Dinding bangunan megah
berguncang ke-
ras bagai terlanda gempa.
Genteng-genteng ter-
lontar dari tempatnya. Yang
lebih mengerikan
adalah teriakan kematian dari
lima puluhan ang-
gota Perkumpulan Bangau Sakti.
Tubuh mereka
yang sedang saling serang
mendadak jatuh berge-
letakan dengan lubang hidung dan
telinga menga-
lirkan darah segar.
Sedangkan Setan Betina, Dewa
Laknat,
dan Pencabik Sukma terlontar
jauh hingga men-
jebolkan benteng setebal satu
depa. Ketiga tokoh
sesat itu masih sempat
menggeliat. Lalu, menge-
jang dan diam tak berkutik untuk
selama-
lamanya.
Malaikat Bangau Sakti tertawa
terbahak-
bahak.
"Tak ada seorang manusia
pun yang boleh
menghalangi cita-citaku untuk
merajai rimba per-
silatan!"
Margana Kalpa mengakhiri
ucapannya
dengan suitan nyaring.
"Kaaakkk...!
Muncul bangau hitam raksasa yang
ter-
bang rendah. Margana Kalpa
meloncat, dan hing-
gap tepat di punggung bangau
raksasa itu.
"Kaaakkk..!"
Sayap bangau sakti mengepak.
Burung itu
melesat cepat menuju lereng
bukit di mana per-
tempuran antara anak buah
Margana Kalpa me-
lawan para pengikut Narakasura
sedang berlang-
sung.
Orang-orang yang membelot dari
Perkum-
pulan Bangau Sakti terdesak oleh
tangan maut
yang dilancarkan Penyedot Arwah
dan Bayangan
Hitam.
Dengan kedatangan Malaikat
Bangau Sak-
ti, mereka jadi semakin
terdesak. Sebentar saja
nyawa mereka melayang tiada
tersisa.
Bangau hitam berdiri tegak di
atas tanah.
Di punggungnya Margana Kalpa
menatap gusar
pada jumlah anak buahnya yang
tinggal dua ra-
tus orang.
"Apakah kita akan
meneruskan perjalanan
ke Bukit Pangalasan?" tanya
Galang Gepak atau
Bayangan Hitam.
"Untuk kembali ke markas
kita sudah ke-
palang-tanggung," jawab Malaikat
Bangau Sakti.
"Jadi, niat untuk
menggempur Perkumpu-
lan Pengemis Tongkat Sakti tetap
diteruskan?"
"Benar!" Margana Kalpa
mengangguk man-
tap, "Kau bersama
Galungking Saba harus dapat
memimpin para anggota
perkumpulan kita. Sece-
patnya menuju Bukit
Pangalasan!"
"Hamba akan menjalankan
perintah se-
baik-baiknya," sahut Galang
Gepak.
Lelaki berjanggut panjang itu
segera men-
gatur para anggota Perkumpulan
Bangau Sakti
untuk melanjutkan perjalanan.
Sedangkan Malai-
kat Bangau Sakti langsung
terbang bersama ban-
gau raksasanya.
5
Di sebuah gua yang terletak di
Bukit Ra-
wangun sesosok tubuh terbujur
kaku. Napas dan
detak jantungnya sudah berhenti.
Tapi, suhu ba-
dannya masih normal. Hal itulah
yang membuat
daging sosok tubuh itu tidak
membusuk, walau
telah enam candra lebih
terbaring di sana.
Dia adalah Suropati atau
Pengemis Binal.
Pemuda itu mati suri akibat
terkena kehebatan
ilmu 'Cahaya Sesat' saat
bertempur melawan Se-
kar Mayang di Lembah Tengkorak.
Seorang pemuda berwajah lembut
berjalan
perlahan membawa tongkat yang
diketuk-
ketukkan di atas tanah.
Dihampirinya tubuh Su-
ropati.
"Suro...," panggil
pemuda itu yang tak lain
Raka Maruta atau Pendekar Kipas Terbang. Ke-
dua matanya buta oleh serangan
racun abdi Se-
kar Mayang yang berjuluk Setan
Racun.
Pemuda berwajah lembut itu
meraba-raba
Suropati. Tak lama kemudian
keluar rintihan dari
mulutnya. Raka Maruta menangis
dalam haru.
Seorang pemuda tampan berambut
pirang mun-
cul dan menepuk bahunya.
"Pendekar Cengeng..."
kata pemuda tam-
pan itu yang tak lain Kapi
Anggara atau si Pende-
kar Asmara. Raka Maruta hanya
meraba tangan
sahabatnya. Lalu, menundukkan
kepala dalam-
dalam.
"Bagi seorang pendekar,
nilai pengorbanan
untuk menegakkan kebenaran tak
perlu disesali,"
ucap Kapi Anggara menasihati.
"Siapa yang
menyesali?" kata Raka Maruta
bernada protes.
"Lalu, kenapa kau
menangis?"
"Aku hanya merasa kasihan
kepada diriku
sendiri. Mataku buta, Anggara.
Aku juga tidak bi-
sa berbuat apa-apa untuk
menolong Suropati
yang telah kuanggap sebagai adik
kandungku!"
"Kalaupun matamu bisa
melihat, apakah
kau akan dapat menolong
Suropati? Tidak, Maru-
ta! Banyak tokoh sakti yang
dapat melihat tapi
tak mampu mengembalikan jiwa
Suropati."
Mendengar ucapan Kapi Anggara,
Raka
Maruta diam termenung. Memang
benar apa yang
dikatakan Kapi Anggara.
"Ke mana Wajah Merah?"
tanya pemuda
berwajah lembut itu kemudian.
"Sebentar lagi dia akan
datang." Bersa-
maan dengan usainya kalimat Kapi
Anggara, seo-
rang lelaki tua berjalan
terbungkuk menghampiri
mereka.
Rambut Lelaki tua itu sudah
berwarna pu-
tih semua. Dibiarkannya tergerai
sampai di pung-
gung. Kulit tubuhnya putih
bersih. Terbungkus
pakaian berwarna kuning. Tapi, yang membuat
penampilan lelaki tua itu tampak
aneh adalah ku-
lit wajahnya yang bersemu merah
seperti tomat
matang. Karena itulah dia
dijuluki si Wajah Me-
rah. Lelaki tua itu dikenal di
rimba persilatan se-
bagai seorang tabib terkenal.
"Kalian minggirlah,"
perintah Wajah Merah
seraya memberi isyarat dengan
tangan.
Raka Maruta beringsut menjauhi
tubuh
Suropati. Kapi Anggara berjalan
mendekati Wajah
Merah yang duduk bersila.
"Kau juga minggir!"
bentak tabib pandai
itu.
Kapi Anggara bergegas menjauh.
Diperha-
tikannya wajah lelaki tua yang
telah menyembuh-
kan luka dalamnya akibat
gempuran Iblis Darah
di Lembah Tengkorak.
Wajah Merah menyedekapkan kedua
tan-
gan. Matanya terpejam rapat.
Alam pikiran tabib
pandai itu segera mencapai
keheningan.
Sebentar kemudian, mata batinnya
melihat
cahaya terang. Jiwa Wajah Merah
melesat lepas
dari raganya.
Dalam wujud tubuh gaib tabib
pandai itu
berjalan mendekati pusat cahaya.
Tampaklah
olehnya jiwa Suropati sedang
meronta-ronta dari
kepungan cahaya kuning kemerahan
yang me-
menjarakannya,
"Kau diamlah di tempatmu, Suro...," kata
Wajah Merah dalam kekuatan
batin. "Aku akan
mencoba membebaskanmu."
"Cepatlah, Kek! Sebentar
lagi makhluk me-
nyeramkan itu akan membakarku!"
teriak Suro-
pati.
"Tenanglah! Cahaya yang
memenjarakan-
mu akan kuhancurkan!"
Wajah Merah menarik napas
panjang. Lalu,
tangan kanannya menyampok. Tapi,
sinar putih
yang meluncur dari telapak
tangan tabib pandai
itu terpental balik!
Wajah Merah menjerit kecil.
Tubuh gaibnya
bergetar keras bagai digedor
tangan raksasa.
"Cahaya itu sangat kuat
menjerat jiwa Su-
ropati. Akan kucoba
menghancurkannya sekali
lagi...."
Tangannya direntangkan ke atas
untuk
menyedot tenaga gaib
sebanyak-banyaknya. Ke-
mudian, Wajah Merah mendengus
seraya meng-
hentakkan kedua telapak tangan
ke depan.
Slaps...!
Hempasan tenaga gaib tabib
pandai itu
berbalik. Tubuh gaib Wajah Merah
terlontar jauh.
Tapi, dia segera bangkit berdiri
dan kembali berja-
lan mendekati pusat cahaya yang
memenjarakan
tubuh Pengemis Binal.
"Kau gagal, Kek?"
tanya remaja konyol itu.
"Waduh! Makhluk mengerikan
itu akan segera da-
tang untuk membakarku. Tamatlah
riwayatku..."
"Tenanglah, Suro!" bentak
Wajah Merah.
"Aku akan mencari kelemahan
dari cahaya yang
memenjarakanmu."
Mata tabib pandai itu terlihat
menyorotkan
sinar aneh. "Aku butuh
bantuan, Suro...," ka-
tanya kemudian.
Weeesss....!
Tubuh gaib Wajah Merah
menghilang. Ji-
wanya kembali ke alam nyata.
Badan kasar tabib
pandai itu yang tengah duduk
bersila di sisi tu-
buh Suropati bergoyang sebentar.
Kemudian, ke-
dua matanya terbuka.
"Jiwa Suropati
terpenjara...," beritahu Wa-
jah Merah pada Raka Maruta dan
Kapi Anggara.
"Aku butuh bantuan untuk
membebaskannya."
"Aku bersedia, Kek!"
sambut Raka Maruta
penuh semangat. Dia berjalan
dengan bantuan
tongkatnya mendekati Wajah
Merah.
"Tapi, nyawa
taruhannya...," kata Wajah
Merah memperingatkan.
"Aku tidak takut. Dalam keadaan
buta se-
perti ini, apa gunanya hidup
lama. Lebih baik
mengorbankan nyawaku untuk
keselamatan sa-
habat yang kucintai."
"Baiklah. Kalau begitu
mendekatlah ke ma-
ri...."
Wajah Merah dan Raka Maruta
duduk ber-
sila berhadapan. Kedua tangan
Wajah Merah me-
nempel di bahu Raka Maruta.
Demikian pula se-
baliknya.
Dengan mata terpejam, badan
halus Raka
Maruta dibimbing oleh Wajah
Merah untuk me-
nembus alam gaib di mana jiwa
Suropati terpen-
jara.
"Kau lihat pusat cahaya
itu, Maruta...,"
tanya Wajah Merah kemudian
setelah mencapai
tempat yang dituju.
"Ya. Aku melihat tubuh
Suropati dilapisi
cahaya kuning-kemerahan."
"Apa yang kau lihat itu
bukan tubuh Suro-
pati, melainkan rohnya...,"
beritahu Wajah Merah.
"Sekarang kau
bersiap-siaplah, Maruta. Badan
halusmu akan kukirim masuk ke
dalam pendaran
cahaya itu."
"Lalu, apa yang harus
kulakukan?" Raka
Maruta kebingungan.
"Kumpulkan seluruh kekuatan
batinmu
dengan berlambarkan ilmu 'Hati
Suci' yang kau
miliki. Setelah aku memberi
aba-aba, gempurlah
cahaya kuning-kemerahan
itu," Wajah Merah
memberi petunjuk.
Usai mengucapkan kalimatnya,
Wajah Me-
rah lalu berdiri di belakang
Raka Maruta. Kedua
telapak tangannya mengusap
punggung pemuda
berwajah lembut itu. Sesaat
kemudian... badan
halus Raka Maruta terlontar, dan
membentur roh
Suropati.
"Eh! Kau, Maruta...?"
kata Pengemis Binal
kaget. "Apakah kau mau
bunuh diri? Aku di sini
sedang berkutat melawan maut.
Kenapa kau ma-
lah menyusul?"
"Hush! Aku hendak
menolongmu!" tukas
Raka Maruta.
"Bagaimana caranya?"
"Aku datang bersama Wajah
Merah."
Pada saat itu Wajah Merah
menggeram.
Jengkel dia melihat dua orang
sahabatnya itu ma-
lah bercakap-cakap.
"Jangan bertindak bodoh,
Maruta!" teriak
tabib pandai itu. "Kekuatan
kita untuk menem-
bus alam nirwana ada batasnya.
Kita tidak bisa
berlama-lama tinggal di tempat
ini!"
"Maafkan aku, Kek...,"
kata Raka Maruta.
"Segera kita gempur cahaya
yang memenjarakan
ini."
Pemuda berwajah lembut itu kemudian
mengumpulkan kekuatan batinnya
yang dilamba-
ri ilmu 'Hati Suci'. Lalu, kedua
tangannya meng-
hentak ke depan.
Bersamaan dengan itu Wajah Merah
menghantamkan tenaga
gaibnya.
Srash...!
Cahaya kuning-kemerahan
mengitari tu-
buh gaib Raka Maruta dan
Suropati tiba-tiba le-
nyap, meninggalkan suara seperti
desisan ular.
"Kau telah bebas,
Suro...!" teriak Raka Ma-
ruta girang.
Pengemis Binal menatap wajah
sahabatnya
sejenak, lalu menghambur untuk
memeluknya.
Tanpa mereka sadari di tempat
itu telah muncul
sesosok makhluk berwujud
mengerikan. Telapak
tangannya yang sebesar tubuh
gajah langsung
menyambar tubuh gaib Raka Maruta
dan Suropa-
ti!
"Awas...!" teriak
Wajah Merah.
Sayang peringatan itu terlambat
datang-
nya. Tubuh halus dua pendekar
muda itu berha-
sil disambar. Dan, tangan
raksasa si makhluk
mengerikan langsung meremas.
Wajah Merah bu-
ru-buru menghantamkan tenaga
gaibnya
Splash...!
Tubuh makhluk mengerikan itu
mengge-
liat. Remasan tangannya
mengendor. Kesempatan
itu tak disia-siakan Raka Maruta
dan Suropati.
Mereka segera meloncat. Tapi,
tiba-tiba makhluk
mengerikan itu menyemburkan api!
"Awas, Suro...!"
teriak Raka Maruta seraya
mendorong tubuh halus Pengemis
Binal. Malang
bagi dirinya. Semburan api
berhasil mengepung
tubuh halus Raka Maruta.
Diiringi jeritan pan-
jang, tubuh halus pemuda
berwajah lembut itu
terbakar, lalu lenyap.
Suropati dan Wajah Merah
memandang
dengan perasaan ngeri. Tapi
sebelum sesuatu
yang tak diinginkan terjadi,
Wajah Merah telah
menyambar tubuh halus Suropati
untuk memba-
wanya kembali ke alam nyata.
Badan kasar Pengemis Binal yang
tergele-
tak di atas batu besar
menggeliat. Bersamaan
dengan itu Wajah Merah membuka
kedua ma-
tanya. Kedua tangannya yang
menempel di bahu
Raka Maruta dilepaskan. Dan
badan kasar pemu-
da berwajah lembut itu jatuh
terjengkang.
"Pendekar budiman...,"
gumam Wajah Me-
rah. "Semoga Tuhan
mengampuni segala do-
sanya."
Wajah Merah terpekur sejenak
mengenang
kebaikan Raka Maruta yang rela
mengorbankan
dirinya untuk menolong
sahabatnya.
"Uh...! A...!"
Tiba-tiba terdengar suara
keluhan. Wajah
Merah menoleh. Dilihatnya tubuh
Suropati berge-
rak-gerak mengejang bagai ayam
habis disembe-
lih.
"Kenapa dia, Kek...?"
tanya Kapi Anggara
yang berada di sisi batu besar.
Matanya meman-
dang dengan penuh kekhawatiran.
Wajah Merah tak memberi jawaban.
Mata
batinnya sedang bekerja.
"Roh Suropati masih ditahan
oleh kekua-
tan gaib...," gumam tabib
pandai itu kemudian.
Wajah Merah segera duduk
bersemadi. Tu-
buh halusnya kembali melayang
menembus alam
nirwana.
Tabib pandai itu terkejut bukan
main keti-
ka mata batinnya melihat tubuh
halus Suropati
meronta-ronta di tengah garis
cahaya kuning-
kemerahan. Dan, makhluk
mengerikan yang baru
saja memangsa tubuh halus Raka
Maruta tampak
mengeluarkan sinar putih dari
kedua tangan rak-
sasanya. Dia berusaha menyeret
tubuh halus Su-
ropati yang sudah berada di
tengah-tengah alam
gaib dan alam nyata.
"Hei! Makhluk
Gaib...!" teriak Wajah Merah.
"Manusia tidak pernah
mengusik kaummu. Tapi
kenapa kau ingin menyiksa
seorang anak manu-
sia?"
"Ha-ha-ha...!" makhluk
mengerikan itu ter-
tawa. "Siapa bilang manusia
tidak pernah mengu-
sik kaumku? Manusia-manusia
picik yang haus
nafsu keduniawian biasa memuja
kaumku. Tapi,
mereka kemudian memperbudak
untuk mewu-
judkan segala
keinginannya!"
"Setelah mereka menemui
ajal, bukankah
roh mereka ganti diperbudak oleh
kaummu?" ba-
las Wajah Merah.
"Huh! Itu masih belum
cukup!"
"Terserah apa katamu! Tapi,
lepaskan roh
anak manusia yang tidak ada
sangkut-pautnya
dengan dirimu itu!"
"Siapa sudi! Justru aku pun
akan memen-
jara roh-mu, Manusia Usil! Kau
terlalu lancang!"
teriak makhluk mengerikan.
Mulutnya kemudian
menyemburkan api yang segera
menghujani tu-
buh halus Wajah Merah.
Karena di tempat itu telah
dipenuhi lautan
api yang menerpa dari atas, tak
ada cara lain bagi
Wajah Merah untuk meloloskan
diri, kecuali
menghantamkan tenaga gaibnya
Srash...!
Lautan api itu buyar. Tapi,
kaki makhluk
mengerikan berusaha menginjak
tubuh halus Wa-
jah Merah. Kembali tabib pandai
itu menghan-
tamkan tenaga gaibnya. Si
makhluk mengerikan
menggeliat kesakitan. Telapak
kakinya terasa pa-
nas.
Kesempatan yang hanya sekejap
itu tak
disia-siakan Wajah Merah. Dia segera menyo-
rongkan kedua telapak tangannya.
Sinar putih
yang membelenggu tubuh halus
Suropati lang-
sung lenyap. Wajah Merah segera
menyambarnya.
Tapi, kibasan sinar putih
menghantam!
"Argh...!"
Tubuh halus Wajah Merah
terlontar. Suro-
pati yang sudah lepas dari biasan cahaya yang
membelenggunya menatap dengan
perasaan nge-
ri. Beruntung pemuda itu segera
menyadari kea-
daan yang ada. Tubuh halusnya
melayang sece-
pat kilat mendahului luncuran
sinar putih yang
akan menghempaskan tubuh halus
Wajah Merah.
Si makhluk mengerikan menggeram.
Men-
dadak, sinar putih yang meluncur
dari telapak
tangannya melesat semakin cepat
membentur
punggung Pengemis Binal!
Blab...!
Sinar Putih itu buyar dan
terlontar balik.
Jerit ngeri yang menyayat hati
keluar dari mak-
hluk gaib berwujud menyeramkan.
Rupanya, dalam keadaan genting
Suropati
masih sempat mengeluarkan ilmu
'Kalbu Suci
Penghempas Sukma'-nya. Sehingga,
tubuh gaib
remaja konyol itu terlindungi
cahaya kebiru-
biruan.
"Selekasnya kita kembali ke
alam nyata,
Kek...!" kata Pengemis
Binal sambil memeluk tu-
buh halus Wajah Merah.
"Awas, Suro...!"
teriak tabib pandai itu ke-
tika melihat sinar putih kembali
meluncur deras.
"Heaaa...!"
Pengemis Binal meloncat sambil
membo-
pong tubuh halus Wajah Merah.
"Makhluk mengerikan itu
bergerak sema-
kin ganas. Kita harus segera
berlalu dari tempat
ini," kata remaja konyol
itu.
"Kau siapkan kekuatan
batinmu," ucap
Wajah Merah seraya menatap
makhluk mengeri-
kan.
Slaps...!
Sinar putih yang keluar dari
telapak tan-
gan makhluk mengerikan itu hanya
mengenai an-
gin kosong, karena tubuh halus
Suropati dan Wa-
jah Merah telah lenyap.
Badan kasar Wajah Merah
tergeletak di
samping jasad Raka Maruta. Kapi
Anggara meno-
pang kepala tabib pandai itu
dengan tangan ka-
nannya. Sedangkan Suropati
menatap dengan pe-
rasaan penuh haru.
"Aku berhutang budi
kepadamu, Kek...,"
ucap Suropati.
"Kau... kau tak perlu
memikirkan itu, Su-
ro...," desak Wajah Merah
yang terluka dalam
sangat parah.
"Kau seorang pendekar yang
sanggup me-
nyinari gelap rimba
persilatan.... Aku senang ber-
hasil menyelamatkanmu, meski
nyawaku taru-
hannya..."
"Kek, aku akan menyalurkan
hawa murni
ke tubuhmu"
Mata Wajah Merah mengerjap
lemah. "Te-
rima kasih, Suro," ujarnya
dengan suara seakan
melemah.
"Kau... kau ambillah kitab
yang berada di
balik bajuku. Aku mewariskannya
kepada...
mu...."
Usai mengucapkan kalimatnya,
kepala ta-
bib pandai itu terkulai.
Suropati mengeluarkan je-
rit tertahan. Kapi Anggara
menatap haru seraya
menarik napas panjang.
Diletakkannya kepala
Wajah Merah di lantai gua.
"Usahanya selama enam
candra lebih un-
tuk menyelamatkan nyawamu tidak
sia-sia, Su-
ro...," kata Kapi Anggara
kemudian.
"Enam candra?!"
Pengemis Binal kehera-
nan
"Ya."
"Jadi... jadi tubuhku
terbaring di atas batu
besar itu selama waktu yang
sedemikian panjang?
Tapi, kenapa badan kasarku bisa
bertahan untuk
tidak membusuk?"
"Setiap hari Wajah Merah
menyalurkan
hawa murni ke tubuhmu. Dan
selama itu dia juga
memperdalam ilmu kesaktian,
untuk membe-
baskan rohmu yang katanya
ditahan makhluk ha-
lus."
"Lalu, kenapa Raka Maruta
juga rela men-
gorbankan nyawanya?"
"Ketika bertempur melawan
Setan Racun di
Lembah Tengkorak, Raka Maruta
terluka parah.
Wajah Merah berhasil
menyelamatkan jiwanya.
Tapi, kedua mata pemuda berwajah
lembut itu te-
lah terkena racun ganas yang tak
dapat disem-
buhkan. Hingga membuat matanya
buta."
Kepala Suropati tertunduk
mendengar pe-
nuturan Kapi Anggara.
"Raka Maruta memang seorang
sahabat se-
jati, Suro...," kata pemuda
itu kemudian. "Hampir
setiap hari dia menangisi
keadaannya yang tidak
bisa berbuat apa-apa untuk
menolongmu. Ketika
Wajah Merah memerlukan seseorang
yang sang-
gup menolong dirimu, dia
bersedia...."
"Oh...."
Pengemis Binal mendekap
wajahnya. Hati
remaja tampan itu diliputi
perasaan haru yang
sangat.
"Dua orang yang baik budi
telah pergi ka-
rena usahanya untuk
menyelamatkan diriku...,
gumam Suropati. "Semoga
arwah mereka ditem-
patkan di sisi Tuhan
sebaik-baiknya."
"Kau ingat pesan terakhir
Wajah Merah,
Suro?" tanya Kapi Anggara.
"Apa?"
"Bodoh! Kerbau
pelupa!" ujar Kapi Anggara
jengkel.
"Eh...."
Pengemis Binal mengerenyitkan
dahi se-
raya menggaruk-garuk kepalanya.
"Sebal melihat kebiasaanmu
itu!" umpat
Kapi Anggara lagi.
"Kalau sebal jangan kau
lihat!"
"Uh! Dasar kerbau!"
"Aku bukan kerbau!"
bantah Suropati.
"Kalau bukan kerbau, coba
kau ingat pe-
san terakhir Wajah Merah."
Suropati menggaruk-garuk kepala
lagi.
"Ha-ha-ha...!" tawa
Kapi Anggara meledak.
"Seekor kerbau memang
berotak bebal!"
Pemuda tampan yang bergelar
Pendekar
Asmara itu kemudian berjalan
menghampiri jasad
Wajah Merah. Dikeluarkannya
sebuah kitab dari
balik bajunya.
"Hei! Aku ingat
sekarang!" teriak Suropati.
"Wajah Merah mewariskan
kitab itu kepadaku."
"Kau keliru. Kitab yang
kupegang ini diwa-
riskan kepadaku."
"Tidak! Kau jangan ngawur,
Anggara!" ban-
tah Suropati.
"Siapa yang ngawur? Kaulah
yang menga-
da-ada," sergah Kapi
Anggara.
"Tidak! Kau harus
menyerahkan kitab itu
kepadaku!" bentak Pengemis
Binal bernada ma-
rah.
"Ha-ha-ha...!"
Kapi Anggara tertawa
terbahak-bahak.
"Bangsat!" umpat
Suropati. "Kau rupanya
seorang sahabat yang tidak bisa
dipercaya."
Pengemis Binal lalu
menghemposkan tu-
buhnya berusaha menyambar kitab
yang dipe-
gang Kapi Anggara. Sayang
sambaran itu hanya
mengenai angin kosong.
"Bila kau menginginkan
kitab ini, langkahi
dulu mayatku!" tantang si
Pendekar Asmara.
"Baik! Aku akan segera
menginjak-injak
mayatmu."
Suropati kembali menyerang
dengan ganas.
Tapi, Kapi Anggara cuma
tertawa-tawa sambil te-
rus menghindar. Lewat dua jurus
kemudian, Pen-
gemis Binal meloncat dua tombak
dari hadapan si
Pendekar Asmara.
"Aku tidak peduli siapa
kau. Wasiat orang
yang telah mati harus dipegang
teguh...," ucap
remaja konyol itu. "Dengan
ilmu totokan 'Delapan
Belas Tapak Dewa,' aku akan
mengantarkan nya-
wamu ke neraka, Manusia
Culas!"
Suropati segera mengerahkan
seluruh ke-
kuatan tenaga dalam ke ujung
jari telunjuknya
yang menyatu di depan dada.
Sesaat kemudian,
asap tipis mengepul dari
kepalanya yang bergetar.
"Tahan...!" teriak
Kapi Anggara.
"Huh! Kau mau berkata apa
lagi? Segera
kau serahkan kitab
itu."
"Justru aku akan
menghancurkannya,"
ujar Kapi Anggara dengan kalem.
Mata Pengemis Binal mendelik!
Ditatapnya
kitab warisan Wajah Merah yang
diremas oleh
Kapi Anggara. Suropati menjadi
gusar terbawa
oleh rasa penasaran. Dia pun
tercenung di tem-
patnya. Tak mampu berbuat
apa-apa.
Tiba-tiba, si Pendekar Asmara
tertawa ter-
bahak-bahak. "Kau memang
kerbau dungu yang
mudah diperdayai orang, Suro!"
katanya seraya
melemparkan kitab yang
dipegangnya.
Pengemis Binal buru-buru
menyambut Di-
lihatnya kitab warisan Wajah
Merah itu masih
utuh. Tak kurang suatu apa.
"Aku hanya bercanda. Kenapa kau me-
nanggapinya dengan
sungguh-sungguh, Suro...?"
ujar Kapi Anggara seraya
tersenyum penuh ke-
menangan.
Suropati menggaruk-garuk
kepalanya. La-
lu, mengumpat sejadi-jadinya.
"Siapa yang mau merebut hak
seorang sa-
habat, Suro...?" ucap si
Pendekar Asmara sambil
menepuk bahu Pengemis Binal.
Tapi, tiba-tiba remaja konyol
itu men-
gayunkan kepalan tangannya.
Buuukkk...!
Kapi Anggara meringis kesakitan.
Perutnya
terasa mulas bagai kebanyakan
makan sambal.
Dia pun segera memasang
kuda-kuda untuk
mengawali serangan.
"Aku hanya bercanda. Kenapa
kau me-
nanggapinya dengan
sungguh-sungguh, Angga-
ra... ?" elak Suropati
sambil tersenyum.
"Bangsat!" umpat si
Pendekar Asmara
jengkel. Kena juga dia
diperdayai sahabatnya itu.
Pengemis Binal tertawa
terbahak-bahak
sambil menggaruk kepalanya. Melihat
itu, Kapi
Anggara ikut tertawa.
"Kita harus segera
menguburkan jenazah
Raka Maruta dan Wajah
Merah...," kata Suropati
kemudian dengan ucapan berubah
sendu. Bagai-
manapun dia telah kehilangan
sahabat-sahabat
yang selama ini telah
membantunya.
Ketika remaja konyol itu hendak
mengang-
kat jasad Wajah Merah, Suropati
terkejut. Jasad
tabib pandai itu masih hangat.
Dia pun segera
memeriksa jasad Raka Maruta.
"Jasat pendekar budiman ini
juga masih
hangat. Padahal waktu telah
berlalu sekian lama.
Mungkinkah dia masih
hidup?" tanya Suropati
dalam hati.
Melihat Pengemis Binal tertegun,
Kapi Ang-
gara segera menghampiri. Pemuda
itu turut me-
meriksa jasad Wajah Merah dan
Raka Maruta.
"Mereka dalam keadaan mati
suri seperti
dirimu, Suro...," beritahu
Kapi Anggara.
Kening Suropati berkerut.
"Lalu, siapa lagi
yang bisa menolong mereka?"
"Dengan Air Sakti roh Wajah
Merah dan
Raka Maruta akan dapat kembali
ke badan ka-
sarnya," beritahu Kapi
Anggara.
"Di mana kita bisa
memperoleh Air Sakti
itu?"
"Air Sakti adalah air
ajaib. Untuk menda-
patkannya juga memerlukan
keajaiban."
Suropati menggaruk-garuk
kepalanya.
"Aku harus mendapatkan Air
Sakti. Bagai-
manapun caranya. Aku akan
mencarinya...," janji
remaja konyol itu.
Setelah membaringkan jasat Wajah
Merah
dan Raka Maruta di atas batu
besar secara ber-
dampingan, Pengemis Binal
melangkahkan ka-
kinya ke istana Kerajaan
Anggarapura. Mereka
bersepakat untuk sementara akan
berpisah.
6
Bukit Pangalasan terselimuti
kabut. Sem-
burat cahaya mentari menyinari
dalam kereman-
gan. Terang belum sempurna benar
karena pagi
baru saja datang. Hawa dingin
masih setia me-
nemani. Satwa-satwa pun malas
beranjak.
Tanpa mempedulikan hawa dingin
yang
menusuk tulang, ratusan manusia
merayap naik
menuju puncak bukit dari arah
utara dan sela-
tan. Penyedot Arwah dan Bayangan Hitam me-
mimpin di depan. Sementara di
angkasa berputa-
ran seekor bangau raksasa
berbulu hitam. Di
punggungnya bertengger Malaikat
Bangau Sakti.
"Kaaakkk...! Kaaakkk...!"
Bangau raksasa itu melesat cepat
menuju
sisi bukit sebelah utara.
Kemudian mendarat di
atas tanah.
Satwa yang tampak perkasa itu
mengepak-
ngepakkan sayapnya, membuat
angin berhembus
kencang dan hawa dingin terasa
semakin menu-
suk tulang.
"Galungking Saba...!"
teriak Margana Kalpa
atau Malaikat Bangau Sakti.
Sesosok bayangan hitam berkelebat. Lalu
berdiri tegak tiga tombak dari
hadapan bangau
raksasa.
"Hamba, Sang
Ketua...," lapor bayangan hi-
tam itu yang tak lain Penyedot
Arwah.
"Kau bersama anak buahmu
bergeraklah
menyerong ke arah barat. Dari
arahmu berjalan
sekarang, banyak tebing terjal
yang akan mem-
perlambat langkah
kelompokmu."
"Hamba, Sang
Ketua...," Galungking Saba
membungkukkan badan.
"Kaaakkk...!
Kaaakkk...!"
Setelah lehernya ditepuk Margana
Kalpa,
bangau raksasa terlihat
mengepakkan sayapnya.
Burung itu kembali melesat ke
angkasa membawa
tubuh Malaikat Bangau Sakti.
Sementara itu di puncak bukit
yang berta-
nah datar suasana sepi masih
setia menamani.
Perkampungan di mana para
anggota Perkumpu-
lan Pengemis Tongkat Sakti
bermukim belum me-
nunjukkan tanda-tanda gerak
kehidupan. Seba-
gian besar masih terlelap dibuai
mimpi.
Di dalam sebuah rumah berdinding
papan,
Gede Panjalu sedang bersemadi.
Wajah kakek
bongkok yang penuh keriput itu
membiaskan ca-
haya teduh. Rambut dan alisnya
telah memutih
semua.
Bersama hembusan napasnya yang
teratur,
sesepuh Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti itu
mencapai puncak keheningan alam
semesta. Tapi,
tiba-tiba dia membuka kelopak
matanya seraya
menajamkan pendengaran.
"Aku mendengar suara yang
tidak biasanya
di angkasa...," kata hati
Gede Panjalu. "Seperti
suara bangau raksasa yang
terbang cepat..."
Perlahan-lahan kakek bongkok itu
bangkit
dari duduknya. Disambarnya
sebatang tongkat
yang tersandar di dinding papan.
Diambang pintu
rumah Gede Panjalu menatap
suasana pagi yang
masih remang-remang. Dia segera
mempertajam
pendengarannya kembali. Tapi,
hanya kokok
ayam alaslah yang terdengar
bersahutan.
"Aneh...," desis Gede
Panjalu. "Apakah
bangau raksasa itu hanya sekadar
lewat. Tapi, fi-
rasatku mengatakan lain.
Mungkinkah darah
manusia akan menyiram puncak Bukit Pangala-
san?"
Mendadak, sesosok bayangan
berkelebat.
Sosok itu berhenti di sisi Gede
Panjalu yang se-
dang tercenung.
"Kau mendengar sesuatu yang
mencuriga-
kan, Kek?" tanya sosok
bayangan yang tak lain
Wirogundi. Dia salah seorang
tokoh penting da-
lam Perkumpulan Pengemis Tongkat
Sakti.
"Kau juga mendengarnya,
Wiro?" Gede Pan-
jalu ganti bertanya.
"Ya. Dan, perasaanku
tiba-tiba jadi merasa
tidak enak."
"Aku pun demikian."
Gede Panjalu kemudian kembali
terme-
nung. Bayangan Suropati
berkelebat di depan ma-
tanya.
"Selama enam candra lebih
remaja konyol
itu tidak menampakkan batang
hidungnya. Ke
mana dia?" gumam Gede
Panjalu dengan tarikan
napas panjang-panjang.
"Kau berkata apa,
Kek?" tanya Wirogundi
tak jelas.
"Aku ingat Suropati,"
"Mungkinkah dia sedang
mengalami sesua-
tu yang tak
diinginkan?"
"Kau jangan berpikir yang
macam-macam,
Wiro. Sebaiknya kita...."
Gede Panjalu tak sempat
melanjutkan uca-
pannya. Tiba-tiba terdengar
suara keras disertai
lesatan burung bangau raksasa
berbulu hitam di
angkasa.
"Bangau perkasa!"
teriak Anjarweni yang
tahu-tahu saja sudah muncul di
samping Wiro-
gundi.
Pemuda bertubuh kurus itu
menolehkan
kepalanya sebentar menatap
Anjarweni lalu,
kembali memperhatikan bangau
raksasa yang
terbang rendah. Kibasan sayap
bangau perkasa
itu membuat angin berhembus
kencang yang
membawa hawa dingin.
"Suruh keluar
Suropati!" teriak Malaikat
Bangau Sakti yang bertengger di
punggung ban-
gau raksasa.
"Siapa kau? Dan apa maksud
kedatan-
ganmu?!" teriak Gede
Panjalu yang disertai penge-
rahan tenaga dalam. Hingga
suaranya terdengar
sekeras halilintar.
"Ha-ha-ha...!"
Margana Kalpa atau Malaikat
Bangau Sakti
tertawa. Dia meloncat dari
bangau raksasa tung-
gangannya. Walaupun ketinggian
yang dilaluinya
melebihi tinggi sebatang pohon
kelapa, tapi tela-
pak kaki lelaki berwajah pucat
itu sama sekali tak
mengeluarkan suara ketika
mendarat di atas ta-
nah. Kenyataan itu menandakan
ilmu meringan-
kan tubuh Malaikat Bangau Sakti
telah mencapai
taraf sempurna.
"Bila kalian belum tahu
siapa raja di raja
kaum sesat, akulah orangnya!
Kalian bisa me-
manggilku dengan sebutan
Malaikat Bangau Sak-
ti, ketua Perkumpulan Bangau
Sakti!" kata Mar-
gana Kalpa dengan suara lantang.
"Apa maksudmu datang
kemari?" tanya
Gede Panjalu lagi penuh selidik.
"Aku ingin Suropati
menampakkan batang
hidungnya!"
"Dia tidak ada!"
Malaikat Bangau Sakti tertawa
terbahak-
bahak. "Kalian sengaja
menyembunyikannya.
Atau, dia sendiri yang
bersembunyi karena ta-
kut?!"
"Kau jangan menghina,
Kisanak! Suropati
memang tidak ada di sini. Kalau
Kisanak mem-
punyai kepentingan, datanglah
lain waktu...,"
ucap Gede Panjalu tak senang
mendengar Suro-
pati diremehkan.
"Rupanya kau berusaha
menyembunyikan
Suropati di balik kata manismu,
Orang Tua
Bongkok!" Margana Kalpa
terus menyudutkan.
"Keparat!" umpat
Wirogundi. "Kau kira sia-
pa dirimu berani berkata seperti
itu?!"
"Ha-ha-ha...!" Margana
Kalpa kembali ter-
tawa terbahak-bahak.
"Seorang gembel busuk yang
sedang marah
ternyata wajahnya berubah mirip
monyet kebaka-
ran ekor!"
"Bangsat!"
Kemarahan Wirogundi tak dapat
ditahan
lagi.
Pemuda itu langsung menerjang.
Tapi, Ma-
laikat Bangau Sakti telah
meloncat kembali ke
punggung bangau raksasa.
"Bila Suropati tidak segera
menampakkan
diri, aku akan mengobrak-abrik
tempat ini!" an-
cam lelaki berwajah pucat itu
dengan tidak main-
main.
Tiba-tiba, bangau raksasa
melesat cepat
seraya menyorongkan kedua
cakarnya.
Braaakkk...!
Rumah papan yang ditempati Gede
Panjalu
hancur berantakan. Tiang
penyangga roboh dan
genteng-genteng melayang dalam
keadaan hancur
berkeping-keping, terhantam
cakar bangau rak-
sasa.
"Kaaakkk...!
Kaaakkk...!".
Satwa perkasa itu terbang
tinggi. Lalu
kembali menukik cepat bagai
lesatan batu meteor,
dan mendarat di atas tanah
dengan gagahnya.
"Segera panggil
Suropati!" teriak Margana
Kalpa marah.
"Suropati terlalu terhormat
untuk men-
jumpai manusia busuk
sepertimu!" sahut Wiro-
gundi seraya menerjang dengan
tongkat di tan-
gan.
Mendadak, bangau raksasa
mengibaskan
sayapnya hingga menimbulkan
tiupan angin to-
pan. Wirogundi yang tak
menyangka hal itu akan
terjadi tiada sempat
mengendalikan gerak tubuh-
nya. Tubuh anggota Perkumpulan
Pengemis
Tongkat Sakti itu terhempas ke
tanah.
Bermunculanlah puluhan anggota
Per-
kumpulan Pengemis Tongkat Sakti
lainnya. Mere-
ka langsung mengepung Malaikat
Bangau Sakti
dengan senjata tongkat.
"Kroco-kroco dungu! Kalian
hanya mencari
mati!" teriak Margana Kalpa
seraya menepuk
bangau tunggangannya. Si bangau
raksasa kem-
bali mengepakkan sayap.
"Weeesss...!"
Hembusan angin topan menerpa.
Puluhan
tubuh anggota Perkumpulan
Pengemis Tongkat
Sakti terpental dengan diiringi
jerit yang me-
nyayat hati.
Tapi, puluhan lelaki bersenjata
tongkat
lainnya muncul datang. Margana
Kalpa menatap
sinis. Kemudian laki-laki itu
bersuit nyaring.
Bermunculanlah para anggota
Perkumpulan Ban-
gau Sakti dari arah utara dan
barat bukit.
Pertempuran seru segera terjadi.
Anak
buah Malaikat Bangau Sakti yang
bersenjata go-
lok menerjang ganas bagai iblis
haus darah. Di-
bantu oleh Penyedot Arwah dan
Bayangan Hitam,
mereka menyebar kematian!
"Kaaakkk...!"
Bangau raksasa melesat menerjang
Gede
Panjalu. Tapi, kakek bongkok itu
telah memper-
siapkan serangan mendadak.
Dada bangau raksasa terhantam
pukulan
jarak jauh Gede Panjalu. Satwa
perkasa itu
menggeliat ganas. Tubuh Malaikat
Bangau Sakti
yang bertengger di punggungnya
terlontar!
"Kaaakkk...!"
Bangau raksasa melesat cepat dan
berlalu
dari tempat itu. Tinggallah
Margana Kalpa men-
dengus penuh kemarahan.
"Aku akan mengirim nyawamu
ke neraka,
Orang Tua Bongkok!" teriak
lelaki berwajah pucat
itu seraya menerjang.
"Kau lawan aku dulu,
Manusia Busuk!" sa-
hut Anjarweni balas menerjang.
"Weni! Jangan...!"
Wirogundi memperin-
gatkan, "Ingat bayi yang
kau kandung!"
Tapi, Anjarweni tak
mempedulikannya. Dia
menyerang Malaikat Bangau Sakti
dengan jurus-
jurus maut. Margana Kalpa segera
balas menye-
rang tak kalah hebatnya.
Anjarweni yang sebenarnya sedang
men-
gandung tiga bulan tampak
kerepotan menghada-
pi jurus-jurus aneh Malaikat
Bangau Sakti. Meli-
hat itu, Wirogundi langsung
memutar tongkat di
tangannya dengan kecepatan luar
biasa. Bebera-
pa anggota Perkumpulan Bangau
Sakti yang se-
dang mengeroyoknya roboh tanpa
mampu bangkit
lagi.
"Kau menyingkirlah,
Weni...!" teriak pemu-
da bertubuh kurus itu seraya
menerjang Malaikat
Bangau Sakti.
"Kita hadapi manusia busuk
itu bersama-
sama, Wiro!"
"Tidak! Ingat calon anak
kita, Weni!"
Peringatan Wirogundi tak
dipedulikan An-
jarweni. Dia segera mengerahkan
ilmu 'Pukulan
Api Neraka'-nya. Angin pukulan
berhawa panas
mencecar tubuh Margana Kalpa.
Wirogundi beru-
saha menghunjamkan tongkatnya
dengan ber-
lambarkan jurus 'Tongkat Memukul
Anjing' dis-
usul dengan jurus 'Tongkat
Menghajar Maling'
dan 'Tongkat Mengejar Kucing'.
Tapi, Malaikat
Bangau Sakti bukanlah lawan yang
enteng. Tu-
buh lelaki berwajah pucat itu
berubah jadi
bayangan. Di lancarkannya serangan
yang lebih
hebat.
Sementara itu Penyedot Arwah
tampak
mengganas, menyebar kematian
bagi para anggo-
ta Perkumpulan Pengemis Tongkat
Sakti
Gede Panjalu segera meninggalkan
para
pengeroyoknya setelah
menjatuhkan tangan
maut. Diterjangnya Penyedot
Arwah. Tapi Bayan-
gan Hitam telah memapaki.
"Hadapilah aku, Orang Tua
Bongkok!" ben-
tak lelaki berjanggut panjang
itu seraya menghen-
takkan kedua telapak tangannya
ke depan dalam
jurus ilmu 'Pukulan Penghempas
Gunung.'
Wuuusss...!
Sinar kuning meluncur deras ke
arah Gede
Panjalu. Kakek bongkok itu
segera menghem-
poskan tubuhnya ke atas. Dia
terperangah. Tu-
buhnya yang limbung di udara
terkena sambaran
angin pukulan jarak jauh
Bayangan Hitam. Gede
Panjalu segera menyadari
kehebatan lawan.
"Heaaa...!"
Sesepuh Perkumpulan Tongkat
Sakti itu
kemudian memutar tongkatnya.
Dihantamkannya
ke arah kepala Bayangan Hitam!
Serangan itu
hanya mengenai angin kosong.
Tubuh Bayangan
Hitam telah berkelebat sangat
cepat.
"Keluarkan seluruh
kemampuanmu, Sapi
Tua!" ejek lelaki
berjanggut panjang itu.
Gede Panjalu mendengus gusar.
Dia segera
mengeluarkan rangkaian Jurus
Tongkat Saktinya
yang digabungkan dengan jurus
'Pengemis Me-
minta Sedekah'!
"Heaaa...!"
Kakek bongkok itu menerjang
ganas. Na-
mun, tubuh Bayangan Hitam
berkelebatan seraya
melancarkan serangan balik,
berusaha menghan-
tam lawan dengan ilmu 'Pukulan
Penghempas
Gunung.'
***
Sang baskara telah bergerak
memayungi
kepala. Sinarnya menerpa tubuh
ratusan manu-
sia yang tergeletak di atas
tanah tiada bernyawa.
Darah yang berceceran telah
mengering. Tapi, cai-
ran darah baru muncrat dari
tubuh-tubuh yang
terluka. Bukit Pangalasan
benar-benar jadi ajang
pertempuran yang menggiriskan.
Para anggota Perkumpulan
Pengemis
Tongkat Sakti terdesak hebat
Manusia-manusia
haus darah yang bernaung dalam
Perkumpulan
Bangau Sakti terus mencecar
lawan dengan teba-
san goloknya. Apalagi dibantu
oleh Penyedot Ar-
wah. Anak buah Malaikat Bangau
Sakti itu dapat
dengan mudah menjatuhkan tangan
mautnya.
Sementara itu pertempuran antara
Marga-
na Kalpa melawan Wirogundi dan
Anjarweni ber-
jalan tak seimbang. Gerak tubuh
Malaikat Ban-
gau Sakti yang berlambarkan
jurus 'Bangau Men-
gejar Mangsa' sangat sulit
diikuti pandangan ma-
ta. Wirogundi dan Anjarweni jadi
kewalahan
menghadapinya.
Namun, semangat tempur sepasang
keka-
sih itu tak pernah kendor.
Mereka terus mencecar
lawan dengan jurus-jurus
andalan.
"Jaga kepalamu, Manusia
Busuk!" kata An-
jarweni seraya melancarkan
tendangan melingkar.
"Jaga kepalamu sendiri,
Babi Bunting!"
ucap Margana Kalpa menepis
serangan. Kemu-
dian, dia menghantamkan kepalan
tangannya ke
kepala Anjarweni.
Wuuuttt..!
Gebukan tongkat Wirogundi telah
menda-
hului. Malaikat Bangau Sakti
meloncat ke samp-
ing. Tapi, tongkat di tangan
Wirogundi terus men-
gejar!
Trak...!
Pemuda bertubuh kurus itu
terkejut seten-
gah mati. Tangkisan lawan dapat
mematahkan
senjata andalannya. Belum sempat
dia menyadari
keadaan, Margana Kalpa telah
melancarkan se-
buah tendangan!
Tubuh Wirogundi terlontar. Bahu
kanan-
nya terkena sasaran serangan
lawan. Dia berusa-
ha bangkit. Tapi pemuda itu
hanya sanggup ber-
diri terhuyung-huyung untuk
beberapa lama. Da-
ri sudut bibirnya meleleh darah
segar.
Melihat orang yang dicintainya
terluka, An-
jarweni menggeram marah.
Tubuhnya digenjot ke
belakang.
"Segera kau sambut
kedatangan Malaikat
Kematian, Manusia
Busuk...!" teriak murid Dewi
Tangan Api itu.
Dengan mengerahkan seluruh
kekuatan
tenaga dalamnya yang melambari
ilmu 'Pukulan
Api Neraka', kedua pergelangan
tangan Anjarweni
semakin marah membara. Dia
meloncat ke depan
dengan telapak tangan
disorongkan!
Melihat sinar merah yang
meluncur deras
ke arahnya, Margana Kalpa segera
mengibaskan
telapak tangannya. Muncullah
cahaya kebiru-
biruan yang membentengi tubuh
lelaki berwajah
pucat itu.
Blaaarrr...!
Sebuah ledakan dahsyat membahana
di
angkasa ketika dua kekuatan
tenaga dalam ber-
temu.
Tubuh Malaikat Bangau Sakti
tetap berdiri
tegak di tempatnya. Sedangkan
tubuh Anjarweni
mencelat jauh bagai dilemparkan
tangan raksasa.
"Ha-ha-ha...!" Margana
Kalpa tertawa puas.
"Makan kesombohganmu, Babi
Bunting!"
Wirogundi yang melihat adegan
menggi-
riskan itu segera berlari.
Dihampirinya tubuh ke-
kasihnya yang tergeletak di atas
tanah.
"Anjarweni...,"
panggil pemuda bertubuh
kurus itu sambil mendekap kepala
orang yang di-
cintainya.
"Ma... maafkan aku,
Wiro...," ujar Anjarwe-
ni lirih. Baju yang dikenakannya
telah basah oleh
darah yang menyembur dari mulut.
"Kuatkan dirimu,
Weni...."
"Ak... aku mengecewakanmu,
Wiro.... aku
tidak bisa men... menjaga bayi
dalam kandun-
ganku.... Ma... maafkan
aku...."
"Ya. Aku memaafkanmu,
Weni."
"Ak... aku ingin mendengar
ucapan cinta-
mu untuk yang terakhir
kalinya...."
Mendengar ucapan kekasihnya,
mata Wiro-
gundi menjadi sembab oleh
genangan air mata.
"Aku mencintaimu dengan
tulus suci, We-
ni...," kata pemuda
bertubuh kurus itu kemudian.
Diciumnya kening Anjarweni
dengan mesra.
Bibir murid Dewi Tangan Api itu
mencoba
mengulum senyum. Tapi, rasa
sakit menghentak
dalam dadanya. Dia pun meringis
kesakitan.
"Weni!" teriak
Wirogundi seraya mempere-
rat dekapannya.
"Kau... kau jangan menangis,
Wiro...," An-
jarweni berusaha menguatkan
diri. "Aku sekarang
merasa sangat bahagia. Cintamu
kubawa ke alam
nirwana, Wiro. Aku menunggumu
di... sa... na...."
"Weni,..!"
Wirogundi mengguncang-guncangkan
tu-
buh Anjarweni. Hatinya diliputi
kekalutan yang
sangat. Dia pun menangis
menggerung-gerung
menyesali kepergian kekasihnya
menghadap Sang
Penguasa Tunggal.
Saat itulah Margana Kalpa
berhasil menja-
tuhkan tangan maut terhadap
belasan orang ang-
gota perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti yang
sedang mengeroyoknya. Kemudian,
lelaki berwa-
jah pucat itu menghemposkan
tubuhnya ke atas.
Melenting dengan cepat dan
menerjang Wirogundi
yang masih terbelenggu rasa
sedih.
Gede Panjalu yang melihat bahaya
men-
gancam jiwa salah seorang
muridnya segera me-
loncat seraya mengayunkan
tongkat. Dia memba-
talkan serangannya terhadap
Bayangan Hitam
demi menyelamatkan nyawa
Wirogundi!
Thak....!
"Argh...!"
Kakek bongkok itu berhasil
menyerampang
tulang kering kaki Margana
Kalpa. Tubuh lelaki
berwajah pucat itu jatuh
terjerembab ke tanah.
Serangannya terhadap Wirogundi
pun menemui
kegagalan.
Bayangan Hitam buru-buru
melancarkan
pukulan jarak jauh ke arah Gede
Panjalu yang
belum sempurna benar mendaratkan
kakinya di
atas tanah. Tapi, kakek bongkok
itu telah mendu-
ga akan datangnya serangan
tersebut. Dia meng-
gedrukkan ujung tongkatnya ke
tanah. Tubuh se-
sepuh Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti itu
pun melayang ke samping, membuat
pukulan ja-
rak jauh Bayangan Hitam menerpa
tubuh para
anggota Perkumpulan Bangau Sakti
yang sedang
bertempur tak seberapa jauh dari
tempatnya.
Galang Gepak atau Bayangan Hitam
meng-
geram penuh amarah. Tubuh
beberapa temannya
sendiri yang terlontar tiada
bernyawa akibat se-
rangannya.
Lelaki berjanggut panjang itu
segera me-
nerjang Gede Panjalu dengan
mengandalkan ilmu
meringankan tubuhnya yang hebat.
Kedua tangan
dan kakinya berkelebatan,
mencari jalan kema-
tian di tubuh sesepuh Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti.
Bersamaan dengan itu Malaikat
Bangau
Sakti melancarkan pukulan maut
ke arah dada
Gede Panjalu.
Wuuuttt...! Wuuuttt..!
Cepat kakek bongkok itu memutar
tong-
katnya. Serangan beruntun dari
dua lawannya
menemui jalan buntu. Tapi,
Galang Gepak dan
Margana Kalpa adalah dua orang
tokoh sesat
yang sulit dicari tandingannya.
Mereka mencecar
tubuh Gede Panjalu dengan
kecepatan gerak yang
sulit diikuti pandangan mata.
Sesepuh Perkum-
pulan Tongkat Sakti itu tampak
kewalahan.
"Keparat...! Kuhancurkan
tubuhmu, Manu-
sia Busuk...!" teriak
Wirogundi tiba-tiba. Diter-
jangnya Malaikat Bangau Sakti
dengan tongkat di
tangan.
"Justru aku yang akan
meremukkan tu-
lang-tulangmu, Gembel
Kudisan...!" maki Marga-
na Kalpa sambil menepis
serangan.
Lelaki berwajah pucat itu segera
memain-
kan jurus-jurus bangau
andalannya. Tapi, Wiro-
gundi berusaha mendahului
serangan. Dia me-
mutar tongkat tanpa pernah
mempedulikan luka
di bahu kanannya.
"Kau harus membayar hutang
nyawa keka-
sihku, Keparat!"
Teriakan penuh amarah Wirogundi
mem-
bahana di angkasa. Tapi, segera
tersapu oleh ta-
wa Margana Kalpa yang
berkepanjangan.
Walaupun Wirogundi telah
mengerahkan
segala kemampuannya, tapi
Margana Kalpa sang-
gup menepis semua serangan
pemuda bertubuh
kurus itu. Bahkan, Malaikat
Bangau Sakti berha-
sil mematahkan tongkat Wirogundi
untuk kedua
kalinya.
Lelaki berwajah pucat itu
kemudian meng-
hemposkan tubuhnya. Dia
melancarkan tendan-
gan melingkar ke arah kepala
Wirogundi!
"Argh...!"
Wirogundi berhasil meloncat.
Tapi pung-
gungnya sebagai ganti sasaran.
Tubuh kurus pe-
muda anggota Perkumpulan
Pengemis Tongkat
Sakti itu mencelat, lalu
bergulingan di atas tanah.
Tanpa mau memberi kesempatan
untuk
bangkit, Margana Kalpa
melancarkan pukulan ja-
rak jauhnya! Gede Panjalu segera
menyambar tu-
buh Wirogundi yang bergulingan
ke arahnya.
Blaaammm...
Pukulan jarak jauh Malaikat
Bangau Sakti
menerpa tanah, membuat kubangan
dalam yang
cukup untuk mengubur seekor
gajah. Bumi pun
berguncang bagai dilanda gempa.
Bongkahan ta-
nah bercampur debu beterbangan,
mengaburkan
pandangan.
Akibat buruk diterima oleh Gede
Panjalu.
Dia yang baru saja menyelamatkan
jiwa Wirogun-
di, merasakan gedoran dahsyat di
bahu kiri. Jerit
tertahan keluar dari mulut kakek
bongkok itu.
Darah segar menyembur akibat
pukulan Bayan-
gan Hitam.
Tubuh Gede Panjalu dan Wirogundi
terus
bergulingan di atas tanah,
hingga jatuh ke jurang
yang berada di sisi belakang
pemukiman para
anggota Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti.
Margana Kalpa dan Galang Gepak
segera
meloncat ke bibir jurang. Ketika
mereka mengeta-
hui kedalaman jurang yang tak
terlihat dasarnya,
dua tokoh sesat itu tertawa
terbahak-bahak.
"Tunjukkan batang hidungmu,
Suropati!"
teriak Malaikat Bangau Sakti
kemudian. Sua-
ranya menggema ke seantero Bukit
Pangalasan.
Saat itulah seberkas cahaya
kebiru-biruan
meluncur deras ke arah Margana
Kalpa! Lelaki
berwajah pucat itu langsung
meloncat.
"Dedemit Busuk! Kenapa kau
membokong-
ku?!" teriak Margana Kalpa.
"Itu adalah salam
perkenalan dari Penge-
mis Binal!" ucap Suropati
yang rupanya telah ha-
dir di tempat itu.
"Ha-ha-ha...."
Malaikat Bangau Sakti ter-
tawa terbahak-bahak untuk
kesekian kalinya.
"Rupanya kedatanganku tidak
sia-sia. Aku akan
melumatkan tubuhmu, Bocah
Gemblung...!"
Selesai berkata demikian, lelaki
berwajah
pucat itu menerjang Suropati.
Galang Gepak pun
ikut mengeroyok. Tapi sebuah
kibasan angin pu-
kulan melontarkan tubuhnya.
"Aku tak butuh bantuanmu,
Kroco...!" har-
dik Margana Kalpa.
Galang Gepak terkejut. Dia
menumpahkan
kekesalannya kepada para anggota
Perkumpulan
Pengemis Tongkat Sakti yang
masih bertempur
dengan gigih.
Tak ada kata-kata yang keluar
dari mulut
Pengemis Binal waktu dia
membalas terjangan
Malaikat Bangau Sakti. Rupanya,
hawa amarah
telah melumuri jiwa remaja
konyol itu. Tempat
perkumpulannya telah menjadi
lautan darah.
Tanpa mau membuang waktu,
Suropati se-
gera mengeluarkan jurus-jurus
ampuhnya. Dia
mencecar tubuh Margana Kalpa
bagai hujan de-
ras yang tiada henti. Tentu saja
Margana Kalpa
tak mau kalah. Dengan
jurus-jurus bangau anda-
lannya, dia membuat serangan
balik yang tak ka-
lah hebat.
Hingga lewat sepuluh jurus
kemudian, ti-
ba-tiba Malaikat Bangau Sakti
meloncat ke bela-
kang menjauhi arena pertempuran.
"Apa yang kau takutkan,
Bangsat?!" umpat
Pengemis Binal.
"Cih! Siapa yang
takut?!" balas Margana
Kalpa, "Aku tak mau
bermain-main dengan men-
gandalkan ilmu silat penjual
obat! Aku ingin sege-
ra menyudahi pertempuran ini
dengan ilmu pa-
mungkas!"
"Baik! Kuturuti
kemauanmu!"
Mendengar ucapan itu, Malaikat
Bangau
Sakti melangkah mundur satu
tindak. Ditariknya
udara sebanyak-banyaknya.
Mendadak tubuh la-
ki-laki itu memancar cahaya
kelabu. Lalu dia me-
langkah perlahan mendekati
Suropati.
"Dengan ilmu 'Kabut Kelabu'
aku ingin me-
lihatmu mati perlahan-lahan,
Bocah Gemblung!"
"Segera kau buktikan
ucapanmu itu!" tan-
tang Suropati dengan berani.
Dengan menempelkan kedua telapak
tan-
gan di depan dada, Pengemis
Binal menghimpun
kekuatan semesta. Lalu, dari
sekujur tubuhnya
memancar cahaya kebiru-biruan.
Sambil tertawa lebar, Margana
Kalpa beru-
saha menempelkan kedua telapak
tangannya
yang menyorong ke kepala
Suropati.
Tapi....
Blaaarrr...!
Sebuah ledakan membahana di
angkasa.
Tubuh Malaikat Bangau Sakti
terlontar ke udara,
kemudian meluncur masuk ke dalam
jurang!
Rupanya ilmu 'Kabut Kelabu' tak
mampu
menandingi ilmu 'Kalbu Suci
Penghempas Sukma'
milik Pengemis Binal.
Melihat Margana Kalpa berhasil
dikalahkan
Suropati, semua anggota
Perkumpulan Bangau
Sakti lari terbirit-birit.
Mereka tidak punya nyali
lagi untuk melanjutkan
pertempuran. Penyedot
Arwah dan Bayangan Hitam
menggeram keras ke
arah Suropati. Tapi mereka
segera menyusul ke-
pergian teman-temannya.
Puncak Bukit Pangalasan
benar-benar jadi
tempat tebaran mayat manusia.
Tubuh-tubuh
tanpa nyawa mengonggok bagai
sampah. Para
anggota Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti
yang tinggal di situ kini
tinggal belasan orang.
Melihat demikian, Suropati
memerintahkan para
anggotanya untuk menguburkan
mayat-mayat
yang berserakan. Dia sendiri
berjalan perlahan
menuju padepokan.
SELESAI
Lalu, bagaimana nasib Gede
Panjalu dan Wiro-
gundi yang jatuh ke dalam
jurang?
Ikuti kelanjutan kisah ini dalam
episode:
DENDAM PARA PENGEMIS
Emoticon