3
Sebentuk kepala manusia tampak
menyembul ke atas permukaan air
danau
kecil itu. Wajah manusia yang
melakukan tapa brata itu menggambarkan
suatu keteduhan. Kedua matanya
terpejam dengan bantuk alis tebal
menukik tajam di kedua ujungnya.
Hidungnya mancung. Garis-garis
wajah-
nya menunjukkan ketampanan. Usia
orang
itu masih sangat muda, sekitar
tujuh
belas tahun. Dia adalah Suropati
atau
Pengemis Binal.
Tubuh telanjang remaja tampan itu
melayang di kedalaman air,
ditopang
oleh semburan mata air yang
memancar
di
bawah kakinya yang bersila.
Gelombang kecil tampak berputar di
sekitar kepala. Rambutnya yang
hitam
panjang bergerak-gerak mengikuti
arus.
Hari itu adalah hari ketujuh bagi
Suropati dalam menjalani tapa
brata
sesuai petunjuk yang diberikan
Datuk
Risanwari.
Dalam keheningan kalbu di
kekelaman pejaman matanya Suropati
tiba-tiba melihat segumpal cahaya
menuju ke arahnya. Cahaya itu
berpendar ketika jarak mereka
telah
dekat. Asap tipis terlihat
menyebar.
Sesaat kemudian, terbentuklah
sesosok
makhluk menyeramkan.
Tinggi makhluk itu menyamai
tinggi pohon kelapa. Tubuhnya
sebesar
tiga kali tubuh gajah. Tangan dan
kakinya mulur panjang, berbulu
lebat
dengan kuku-kuku hitam berkilat.
Kedua
matanya yang sebesar tampah tampak
memerah. Berhidung besar. Dari
sela-
sela bibirnya yang tebal menyembul
taring runcing.
"Bangunlah kau, Bocah!"
Suara makhluk menyeramkan itu
menggelegar laksana halilintar.
Suropati sama sekali tak
bergeming.
Kedua matanya tetap terpejam
rapat.
Tapi, dia melihat dengan mata
hatinya.
"Bocah Geblek! Kalau kau tak
segera bangun, aku akan melumatkan
tubuhmu!"
Tak ada tanggapan sedikit pun
dari Pengemis Binal.
Makhluk menyeramkan itu menggeram
marah. Dari mulutnya menyembur uap
panas. Suropati merasakan tubuhnya
bagai terpanggang di lautan api.
Pemuda itu segera mengerahkan
kekuatan
batinnya untuk melindungi tubuh.
Cahaya kebiru-biruan memancar
dari tubuh remaja tampan itu.
Lalu,
hawa dingin menyelimuti tubuhnya.
Rasa
panas yang dirasakan Suropati
seketika
lenyap. Tapi, mendadak saja kaki
makhluk menyeramkan itu menendang.
Suropati merasakan tubuhnya
terlontar
jauh masuk dalam kegelapan yang
begitu
pekat. Sernentara itu, seberkas
sinar
kemerahan meluncur ke arahnya!
Sinar
itu menelan tubuh Pengemis Binal.
Suropati merasakan suatu
kenikmatan yang luar biasa.
Tubuhnya
terasa segar. Hawa sejuk mengelus
sukma. Lalu, terdengar alunan
musik
berirama syahdu.
Seorang wanita cantik berpakaian
indah gemerlap tampak menari
dengan
lemah gemulai. Tubuhnya
meliuk-liuk
menciptakan gerakan yang
meng-undang
hasrat kelelakian.
"Bangunlah kau, Bocah
Bagus...,"
kata wanita cantik itu. "Mari
menari
bersamaku!"
Tangan wanita cantik itu
menggapai dengan mata terpejam
penuh
kepasrahan. Suropati hanya diam.
Pemuda itu tak melakukan tindakan
apa
pun. Perlahan-lahan wanita cantik
itu
bergerak menjauh. Sanggul
rambutnya
dilepas sehingga mahkota yang
indah
itu jatuh tergerai ke punggung.
Lalu,
satu persatu dia melepas kancing
bajunya.
Ketika kancing-kancing itu telah
usai dilepas, badannya dibalikkan
seraya menjatuhkan bajunya.
Nampaklah
kulit tubuhnya yang putih mulus
tanpa
noda. Suropati merasakan darahnya
berdesir. Jantungnya berdegup
lebih
cepat. Hasrat kelelakiannya terasa
melonjak-lonjak!
"Oh...," wanita cantik
itu
mendesah panjang. "Peluklah
aku."
Dengan dada sesak dan napas
terengah-engah menahan gejolak
nafsunya, Suropati mengerahkan
seluruh
kekuatan batinnya untuk melawan
godaan
hebat itu. Sementara wanita cantik
di
hadapan Suropati terus
mendesah-desah.
Diikutinya irama musik yang
mengalun
syahdu dengan menggoyang-goyangkan
pinggulnya. Sisa pakaian yang
menempel
di tubuhnya pun melorot jatuh.
Tampaklah suatu pemandangan yang
menggiurkan.
"Peluklah aku...," kata
wanita
cantik bertubuh telanjang itu.
Suropati merasakan bumi ber-
goncang dahsyat. Tubuh Suropati
yang
tengah melakukan tapa brata
bergetar
keras. Perang besar sedang
berkecamuk
dalam hati remaja tampan itu.
"Oh... oh...."
Suara desahan tiada henti
terdengar menggoda. Sampailah
Suropati
pada puncak keinginan gejolak
nafsunya. Perlahan-lahan dia
melepas
kedua tangannya yang bersedekap.
Hendak dipeluknya wanita cantik di
hadapannya. Pada saat itulah
muncul
bisikan lembut di telinga Pengemis
Binal.
"Manusia berhati lemah akan
selamanya diperbudak oleh nafsu.
Mereka akan dilemparkan ke jurang
gelap penuh penderitaan. Nafsu
selalu
menggoda. Hanya dengan keteguhan
imanlah godaan nafsu dapat
diatasi...."
Ketika bisikan itu berhenti,
Suropati mulai tersadar dari
keadaannya. Diiringi dengan
menyebut
asma Tuhan kedua tangan remaja
tampan
itu kembali bersedekap. Tubuhnya
lalu
diam tak bergeming bagai patung
batu.
Sinar kebiruan memendar dari
tubuh Suropati. Wanita cantik yang
hendak didekapnya terpental
disertai
suara jerit kesakitan. Kemudian,
bisikan lembut di telinga remaja
tampan itu terdengar kembali.
"Kau bisa membuka kelopak
matamu,
Suro. Tapa bratamu telah
usai."
Pengemis Binal mengikuti bisikan
lembut di telinganya. Dan ketika
gelap
telah pergi dari pandangan,
tampaklah
seorang kakek tua renta tengah
duduk
bersila dalam keadaan melayang di
udara.
"Datuk Risanwari...,"
gumam
Suropati.
"Sebuah ujian berat telah kau
jalani, Suro. Kini dalam dirimu
telah
tercipta sebuah benteng kokoh
untuk
menepis segala godaan nafsu
keduniawian. Dengan penuh
keikhlasan
dalam mengabdi kepada jalan
kebenaran,
mudah-mudahan kabut gelap yang
menyelimuti rimba persilatan dapat
kau
lenyapkan. Tuhan bersamamu,
Suro...."
Usai mengucapkan kalimatnya,
tubuh Datuk Risanwari meluncur
cepat
dan menghilang dari pandangan.
Suropati hanya memandangi keper-
giannya.
Pemuda konyol itu kemudian
berusaha menggerakkan kaki dan
tangan-
nya yang kaku. Dia berenang
mencapai
tepi danau. Diambilnya pakaiannya
yang
tergantung di dahan pohon.
Tak lama kemudian, dia telah
bertengger di dahan pohon
kedondong
besar. Dengan rakusnya dilahapnya
buah
berasa manis-asam itu. Tapi
mendadak
saja Suropati cengar-cengir.
Hidungnya
mencium aroma wangi bunga mawar.
"Rupanya di pagi ini ada Wewe
yang nyasar ke sini...."
Suropati celingukan. Ketika mata-
nya menangkap sosok wanita
berpakaian
serba merah yang tengah duduk di
seberang danau, dia meloncat turun
dari atas pohon. Dihampirinya
wanita
itu dengan berjalan mengitari
tepian
danau.
"Hai, Gadis Manis!" sapa
Suropati
yang mulai timbul kekonyolannya.
Yang disapa diam saja seperti tak
mendengar apa-apa.
"Uh! Sombong amat!"
umpat
Suropati. "Sayang, cantik
wajahnya
tapi telinganya tuli...."
"Apa?!"
Wanita berpakaian serba merah itu
menolehkan kepala. "Kau
mengatakan aku
tuli?" katanya berang. Tapi,
tiba-tiba
saja wanita berpakaian serba merah
itu
tertawa memperlihatkan barisan
giginya
yang berjajar rapi.
"Alangkah cantiknya...,"
gumam
Suropati sambil menggaruk kepala.
Matanya menatap keindahan yang
terpampang di wajah wanita
berpakaian
merah. "Siapa namamu?"
tanyanya
kemudian.
"Ratnasari."
Suropati terperanjat.
"Inikah wanita berumur
seratus
lima puluh tahun yang telah
menjalani
upacara pemulihan itu?!"
tanya
Suropati dalam hati.
Diperhatikannya
Ratnasari lebih teliti. "Dia
memang
sangat cantik. Menurut Datuk
Risanwari, wanita ini memiliki
ilmu
'Asmara Penggoda'. Aku harus
berhati-
hati..."
"Eh, kenapa kau bengong,
Tampan?"
Ratnasari bertanya. Suaranya
terdengar
begitu lembut. "Apakah namaku
terdengar aneh?"
"Ah, tidak. Namamu justru
sangat
enak di telinga. Ratna itu permata
Sari itu inti. Jadi, kau inti dari
keindahan permata. Pantas kau
sangat
cantik," puji Suropati
sejujurnya.
Ratnasari atau Bidadari Bunga
Mawar tertawa senang.
"Eh, siapa namamu,
Tampan?" tanya
wanita itu.
"Suropati."
"Pengemis Binal?"
"Ya."
"Oh, Dewata Yang
Agung.Ratnasari
menengadahkan kedua telapak
tangannya
seperti sedang berdoa.
"Betapa
bahagianya hatiku bertemu dengan
pemuda yang selama ini
kuimpi-impikan.
Terima kasih, Dewata Yang
Agung."
Mata Bidadari Bunga Mawar kemu-
dian mengerling penuh arti.
Suropati
merasakan ada sesuatu kekuatan
tiba-
tiba menguasai pikirannya.
"Uh! Aku harus lebih waspada.
Jangan-jangan ini salah satu
dari
jurus ilmu 'Asmara
Penggoda'...,"
gumam Suropati dalam hati.
Ratnasari mengambil bunga mawar
yang terselip di antara sanggulan
rambutnya.
"Terimalah bunga persembahanku
ini, Suro...."
Seperti kerbau dicocok hidungnya,
Suropati mengulurkan tangan kanan.
Ratnasari segera menangkap lalu
menarik ke arah dirinya. Suropati
yang
belum menyadari apa yang terjadi
jatuh
terjerembab ke dalam pelukan
Bidadari
Bunga Mawar.
"Uh...! Uh...!"
Pengemis Binal gelagapan ketika
jalan napasnya tersedak oleh
ciuman
ganas Bidadari Bunga Mawar.
Suropati
mendorong tubuh wanita cantik yang
mendekapnya.
"Aku tak bisa melakukan itu.
Soalnya aku masih anak-anak. He he
he...," ujar Suropati
kemudian.
"Eh, siapa yang masih
anak-anak?
Kau? Ah, tidak! Kau sudah
besar!"
bantah Ratnasari. "Kau belum
pernah
merasakan ciuman, ya?"
"Uh! Salah!"
"Lalu kenapa?"
"Aku ingin yang lebih dari
itu."
Ucapan konyol Suropati membuat
Ratnasari tertawa terbahak-bahak.
Tapi, sekejap kemudian dia
meloncat ke
belakang. Matanya menatap wajah
Suropati dalam-dalam.
"Eh, kau kenapa? Baru tahu
kalau
aku lebih tampan dari yang kau
kira?"
tanya Suropati menggoda.
Bidadari Bunga Mawar tak memberi
jawaban. Matanya terus menatap
wajah
Pengemis Binal. Bola mata
Ratnasari
yang hitam bening memantulkan
seberkas
cahaya aneh. Mata Suropati menjadi
pedih. Tanpa sadar dia mengucak-
ucaknya.
Tawa kemenangan Bidadari Bunga
Mawar terdengar membahana.
"Kini kau tak lebih dari
kunyuk
bodoh yang akan selalu menuruti
perintahku, Suro...."
Selesai mengucapkan kalimatnya,
tubuh Ratnasari berkelebat lenyap
meninggalkan Suropati yang berdiri
terhuyung-huyung sambil mendekap
wajah.
Rasa pedih yang menyerang mata
Suropati sedemikian hebatnya,
hingga
pemuda itu merintih-rintih
kesakitan.
Kemudian tubuh Suropati
terjerembab ke
tanah. Mendadak saja rasa pedih
yang
menyerang matanya lenyap, berganti
dengan kesejukan yang melenakan.
Dalam keadaan duduk terbayang di
pelupuk mata Suropati wajah
wanita-
wanita cantik yang pernah
dijumpainya.
Pertama-tama muncul wajah
Anjarweni,
Ingkanputri, Dewi Ikata, dan
bayangan
wajah Puspita serta Ayumi.
Terakhir
wajah Sekar mayang. Tapi,
wajah-wajah
cantik itu segera lenyap, tersapu
oleh
cahaya kehitam-hitaman, Muncullah
seraut wajah yang sangat cantik
mempesona. Wajah Ratnasari atau
Bidadari Bunga Mawar.
Wanita cantik itu tampil di
hadapan Pengemis Binal dalam
keadaan
tanpa selembar benang pun menempel
di
tubuhnya. Untuk kedua kalinya jiwa
Suropati terserang hawa nafsu yang
menghentak. Meronta-ronta bagai
hendak
menghilangkan akal sehat. Tapi,
kalbu
Suropati yang baru saja tercuci
dalam
tapa brata membuat perisai hitam
yang
menutupi bayangan Ratnasari.
Pemuda
itu terlempar kembali ke alam
nyata.
"Uh...! Hampir saja aku
termakan
ilmu "Asmara Penggoda' yang
dilancar-
kan Ratnasari...," gumam
Suropati
sambil menggaruk kepalanya.
Kemudian,
dipungutnya bunga mawar yang
tergeletak di tanah tak jauh
darinya,
Tapi... bunga mawar yang dipegang
Suropati berubah menjadi sehelai
daun
lontar.
"Sihir...!" desis remaja
konyol
itu. Mata Pengemis Binal menatap
tajam
ke bans tulisan yang tertera di
atas
daun lontar.
Bunuh Raka Maruta Atau Pendekar
Kipas Terbang.
Kau Akan Mendapatkan Cinta
Membara Dariku.
"Huh! Siapa yang butuh cinta
palsumu, Nenek Sihir!" umpat
Suropati
seraya meremas daun lontar hingga
menjadi abu.
Remaja konyol itu lalu masuk ke
dalam danau. Tak lama kemudian
telah
mencapai tepian di seberang.
Dengan
pakaian basah kuyup, Pengemis
Binal
bersiul-siul melangkahkan kaki
dengan
ringannya.
* * *
Sementara itu di tempat lain
Anjarweni dan Wirogundi yang
mencari
Ingkanputri terjebak ke dalam
lorong
bawah tanah. Sudah sepekan mereka
ber-
putar-putar di tempat itu tanpa
bisa
keluar. Tubuh mereka lemas karena
selama itu tak makan suatu apa
pun.
Hanya minum tetes-tetes air yang
kebetulan merembes dari atas
dinding.
"Kita telah memasuki tempat
yang
lebih mengerikan dari lubang
tikus,
Weni," kata Wirogundi sambil
mengusap
dahinya. Jelaga yang menempel di
wajahnya semakin menyebar rata.
"Menyesal aku mengajamu,
Wiro,"
ucap Anjarweni pelan.
"Kau jangan berkata seperti
itu.
Aku pernah mengatakan kepadamu kalau
penderitaanmu adalah
penderitaanku.
Aku rela melakukan apa saja
untukmu,
Weni."
Anjarweni terdiam mendengar per-
kataan Wirogundi. Dia merasakan
suatu
kesejukan mengelus hatinya. Menim-
bulkan rasa bahagia yang tiada
terkira. Tanpa sadar murid Dewi
Tangan
Api itu meraih tangan
Wirogundi dan
menggenggamnya erat-erat.
"Terima kasih, Wiro...,"
gumam
Anjarweni.
Wirogundi membalas meremas.
Melalui cahaya obor gas alam yang
temaram, dia menatap wajah
Anjarweni
dalam-dalam. Mendadak, pemuda
anggota
Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti
itu
tertawa.
"Ha ha ha...! Kau lucu,
Weni!"
"Eh, apanya yang lucu?"
tanya
Anjarweni tak mengerti.
"Wajahmu itu...."
"Kenapa?"
"Hitam! Seperti monyet
kecebur
lumpur. Ha ha ha...!"
"Ha ha ha...," Anjarweni
ikut
tertawa. "Kau kira kau tidak
lucu?
Wajahmu juga hitam
seperti...."
"Seperti apa?"
"Nggak tahu!"
Tiba-tiba Anjarweni memegang
perutnya. Gadis itu meringis
kesakitan.
"Eh, kau kenapa, Weni?"
tanya
Wirogundi khawatir.
"Kau juga merasakannya,
bukan?"
"Lapar?"
Anjarweni menganggukkan kepala.
"Sayang, aku tidak bisa
keluar
dari tempat terkutuk ini.
Seandainya
bisa aku membawakanmu makanan yang
enak-enak."
"Bodoh! Kalau kau bisa
keluar,
tentu saja aku ikut. Siapa sudi
tinggal di tempat seperti
ini?"
"Kalau tinggal bersamaku, kau
tidak sudi?"
Anjarweni tak memberikan jawaban.
Matanya menerawang jauh.
"Kasihan
Ingkanputri...," katanya
lirih.
"Mungkinkah dia juga terjebak
di
tempat ini, Weni?"
"Kemungkinan itu ada
saja," sahut
Anjarweni.
Sebuah bayangan yang entah dari
mana datangnya berkelebat dan
berhenti
tepat dua tombak di hadapan kedua
remaja itu. Wirogundi dan Anjarweni
terkejut melihat kehadiran gadis
cantik berpakaian serba merah.
"Ingkanputri...!" ucap
mereka
hampir bersamaan.
Yang disebut namanya hanya
membisu. Kedua matanya yang
bersorot
aneh menatap Wirogundi dan
Anjarweni
bergantian.
"Ingkanputri, ini aku...
kakak-
mu...," Anjarweni menghambur
ke arah
adik seperguruannya. Tapi....
Serangkum angin pukulan menerpa.
Anjarweni terkesiap dan mencoba
menghindar.
Des...!
Terlambat! Anjarweni mendekap
bahu kanannya. Hawa panas terasa
menjalar. Baju yang dikenakannya
pun
hangus.
"Kau... kau...," kata
murid Dewi
Tangan Api itu gelagapan.
"Kau lupa padaku,
Putri?"
Ingkanputri tak memberikan
tanggapan apa-apa. Kedua matanya
yang
bersorot aneh menatap nyalang.
"Putri, itu kakak
seperguruanmu,
Anjarweni," Wirogundi ikut
meyakinkan.
Tapi Ingkanputri hanya mendengus.
Kedua telapak tangannya berubah
merah
membara. Hawa panas segera
menyelimuti
tempat itu.
"Pukulan Api Neraka!" desis
Anjarweni dalam keterkejutannya.
"Hati-hati, Weni...,"
pesan
Wirogundi seraya mendorong tubuh
Anjarweni ke samping.
"Adik seperguruanmu itu seperti-
nya sedang berada di bawah
pengaruh
ilmu sihir."
"Tidak!" Anjarweni
menepis perge-
langan tangannya dari pegangan
Wirogundi. "Tidak ada orang
yang mampu
menyihir Ingkanputri!"
"Tapi buktinya...."
"Tidak!" potong
Anjarweni keras.
Ingkanputri tak mempedulikan
perdebatan itu. Kedua tangannya
diangkat lalu mendorong ke depan.
Blaaarrr...!
Dinding lorong setebal satu depa
ambrol terkena hantaman pukulan.
Hujan
bebatuan tak bisa dihindari lagi.
Debu
mengepul tebal membuat keadaan
tempat
itu semakin gelap pekat.
Wirogundi menggamit lengan Anjar-
weni. Diajaknya gadis itu pergi.
Tapi,
Anjarweni berontak.
"Kau kenapa, Weni?"
tanya
Wirogundi heran. "Ingkanputri
sedang
kalap. Dia bisa membunuh
kita!"
"Biar!" jerit Anjarweni
seperti
orang kesurupan. "Ingkanputri
masih
sadar. Dia tidak
apa-apa."
"Tadi dia bermaksud
menyerangmu,
Weni."
"Tidak."
Wirogundi terperangah. Dia jadi
bingung. Melihat sikap Anjarweni
yang
seperti orang kehilangan ingatan,
pemuda bertubuh kurus itu dihantui
perasaan galau. Pemuda anggota
Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti
itu
segera menotok jalan darah di
punggung
Anjarweni. Tubuh gadis itu pun
melorot
jatuh bagai selembar karung basah.
Dengan susah payah Wirogundi yang
sangat menderita karena perutnya
kosong berusaha membopong tubuh
Anjarweni. Tapi pemuda itu hanya
berputar-putar di lorong yang tak
berujung pangkal. Wirogundi
terkejut
dan menghentikan langkah ketika
tiba-
tiba saja sosok Ingkanputri telah
berdiri di hadapannya.
Merasa tidak mampu menghadapi
murid Dewi Tangan Api itu,
Wirogundi
segera mengambil langkah seribu.
Tapi.... Serangkum angin pukulan
berhawa panas menerpa! Wirogundi
yang
sedang membawa beban tak mampu
berkelit. Dia hanya memutar
tongkat di
tangan kanannya.
Tongkat itu tak mampu menahan
pukulan lawan. Tubuh Wirogundi
terhempas. Sernentara pemuda itu
masih
tetap mendekap tubuh Anjarweni
dengan
erat. Mereka berdua bergulingan di
lantai.
"Ha ha ha...!" Tawa
Ingkanputri
membahana seperti tawa iblis yang
haus
darah.
Dengan kedua belah tangan merah
membara, murid Dewi Tangan Api itu
melangkah mendekati Wirogundi dan
Anjarweni yang sudah tiada
ber-daya.
Ingkanputri menghentakkan telapak
tangannya ke depan.
Blaaammm...!
Pukulan jarak jauh gadis
berpakaian merah itu membentur
kekuatan kasat mata.
Wirogundi dan Anjarweni yang
sudah pasrah menghadapi Dewa
Kematian
kelihatan terkejut. Ingkanputri men-
dengus marah. Matanya menatap
tajam
sosok wanita cantik yang telah
berdiri
di hadapannya. Wanita yang tak
lain
Puspita itu mengerling ke arah
Wirogundi.
"Bebaskan totokan gadismu
itu,"
bisik Puspita.
Wirogundi segera menuruti
perintah dewi penolongnya.
Puspita melangkah mundur dua
tindak. Lalu, secepat kilat dia
melancarkan pukulan jarak jauh ke
atap
lorong. Bebatuan runtuh diiringi
suara
menggelegar. Debu tebal menyelimuti.
Bersamaan dengan itu Puspita
menggamit
lengan Wirogundi dan Anjarweni.
Dibawanya kedua remaja itu berlari
ke
sebuah lorong sempit. Setelah
berputar-putar, sampailah mereka
ke
sebuah kolam kecil berair bening
dengan batu-batu cadas di
sekelilingnya.
"Kalian ikuti lorong yang
berada
di bawah kolam itu," kata
Puspita.
"Untuk apa?" tanya
Wirogundi.
"Bodoh! Apakah kau tidak
ingin
keluar dari tempat ini?!"
"Oh, ya...," Wirogundi
seperti
baru saja disadarkan dari keterpa-
kuannya. "Apakah aku harus
berenang?"
"Tentu saja."
"Uh! Aku sudah hampir
kehabisan
tenaga. Bayangkan, selama sepekan
aku
tak makan apa pun," keluh
Wirogundi.
"Sudahlah, Wiro. Kita ikuti
saja
petunjuk gadis penolong kita
ini,"
Anjarweni segera melerai.
"Bagaimana dengan
Ingkanputri?"
"Ah, kasihan dia. Tapi bagaimana
lagi? Kita tak bisa hidup di
tempat
seperti ini. Tampaknya ucapanmu
benar,
adik seperguruanku itu berada di
bawah
pengaruh kekuatan sihir,"
desah
Anjarweni dengan wajah muram.
"Hei, kenapa kalian hanya
berkata-kata saja?!" sela
Puspita.
Anjarweni menatap Puspita dalam-
dalam.
"Kenapa kau memandangku
seperti
itu?" tanya Puspita.
"Melihat warna pakaianmu yang
serba merah dan selendang yang
melingkar di pinggangmu, apakah
kau
anggota Perkumpulan Bidadari
Lentera
Merah?"
"Tak perlu kau ributkan itu.
Yang
penting segera kau turuti
petunjukku.
Aku tidak punya banyak
waktu."
Puspita membalikkan badan hendak
mening-galkan tempat itu.
"Eh, tunggu dulu!" cegah
Anjarweni. "Siapa
namamu?"
"Ah, itu juga tak
perlu...,"
jawab Puspita. Kemudian, gadis itu
melesat pergi menghilang dari
tempat
itu.
Anjarweni dan Wirogundi saling
berpandangan. "Eh,
Wiro...," kata
Anjarweni kemudian. "Kau bisa
berenang?"
"Kau?" balas Wirogundi.
"Bisa. Kau tidak bisa,
ya?"
Wirogundi tersenyum simpul.
"Kau lupa kalau aku seorang
pengemis, Weni," kata
Wirogundi.
"Sejak kecil aku sudah
terbiasa hidup
di alam bebas. Jadi, soal berenang
bukan masalah bagiku."
"Tapi untuk menemukan lorong
yang
dimaksud gadis aneh itu kita mesti
menyelam. Kau juga bisa?"
"Yang menanyakan hal itu
seharusnya aku," Wirogundi
jadi kesal
juga karena kemampuannya
diragukan.
Mendengar perkataan Wirogundi,
Anjarweni mengambil ancang-ancang.
Lalu....
Byuuurrr...!
Air kolam yang semula tenang
tiba-tiba bergelombang besar
ketika
menerima beban tubuh Anjarweni.
Wirogundi segera menyusul.
Mereka menyelam mengitari dasar
kolam yang tak seberapa luas.
Setelah
menemukan lorong yang dimaksud
Puspita, mereka segera menyusul.
Tak
lama kemudian Wirogundi dan
Anjarweni
menyembul di permukaan sebatang
sungai
yang berarus tenang. Mereka pun
berenang ke tepian.
* * *
4
Di pinggir sebuah hutan jati
burung-burung terdengar mencicit
ngeri. Mereka terbang berserabutan
seperti menyimpan rasa takut yang
sa-
ngat. Lalu, suara menggelegar
laksana
guntur menusuk gendang telinga.
"Apa yang sedang terjadi di
sana?" tanya Suropati dalam
hati.
"Mungkinkah ada raksasa
sedang
mengamuk?"
Sambil menggaruk-garuk kepalanya,
remaja konyol itu terus
melangkahkan
kaki. Tongkat yang dipegang di
tangan
kanan terseret hingga membentuk
guratan di permukaan tanah.
Ketika terdengar suara mengge-
legar yang lebih keras, seekor
anak
harimau tampak berlari melintas di
hadapan Pengemis Binal. Remaja
konyol
itu bergegas menjejakkan kaki ke
tanah. Tubuhnya melayang lalu
mendarat
tepat di hadapan anak harimau yang
sedang berlari.
"Jangan terkejut, Manis. Aku
hanya hendak bertanya
kepadamu...,"
kata Suropati sambil membentangkan
kedua tangannya untuk menghalangi
jalan.
Anak harimau itu menggeram. Cepat
badannya dibalikkan seraya hendak
berlari.
"Eit! Tuhggu dulu! Kenapa
takut?
Aku bukan setan, Goblok!"
Tubuh Suropati melenting dan
menghalangi langkah kaki harimau
kecil
itu. Dengan tatapan mata nyalang,
anak
harimau menggeram marah.
"Lho, kenapa kau cepat naik
darah. Aku hanya hendak bertanya.
Di
pinggir hutan sebelah sana sedang
terjadi apa?"
Tentu saja anak harimau itu tak
bisa menjawab. Dia hanya
mengeluarkan
geraman marah.
"Eh, rupanya kau sakit gigi,
ya?
Mari kuperiksa...."
Suropati berjalan mendekati.
Tapi, anak raja rimba itu
menggeram
lebih keras, lalu menerkam!
Pengemis
Binal berkelit. Dan ketika harimau
kecil yang masih diliputi rasa
takut
itu menjejakkan kakinya di tanah,
dia
segera mengambil langkah seribu.
"Uts...! Kau terlalu jual
mahal,
Kucing Besar!" Kembali
Suropati
menghalangi jalan. "Di
pinggir hutan
sebelah sana sedang terjadi
apa?"
tanya remaja konyol itu lagi.
Karena tak mendapat jawaban,
Suropati menggaruk-garuk
kepalanya.
Lalu, tubuh remaja konyol itu
melayang
dan hinggap di punggung anak
harimau.
"Kalau kau tidak mau memberi
jawaban, tidak apa-apa. Tapi bawa
aku
ke sana...."
Harimau kecil itu bukannya menu-
ruti perintah Suropati, malah
meng-
geram penuh kemarahan dan berusaha
melontarkan tubuh pemuda yang
duduk di
atas punggungnya.
Dengan berpegangan di kedua
telinga anak harimau, Suropati
tertawa
kesenangan.
"Ayo, terus... terus....
Nikmat!
He he he...."
Anak harimau menggeram keras.
Tubuhnya melesat, berlari kencang
seperti sedang dikejar setan. Mata
Suropati mendelik. Pemuda itu
hendak
melompat turun tapi takut jatuh
terjerembab. Karena tak tahu apa
yang
harus diperbuat, dia
berteriak-teriak
seperti orang kehilangan ingatan.
"Hei! Sudah... sudah...!
Hentikan...!"
Teriakan Suropati membahana di
sekitar hutan. Keringat dingin
membasahi sekujur tubuh. Kedua
matanya
segera dipejamkan sambil
memanjatkan
doa.
Tiba-tiba anak harimau menghen-
tikan larinya. Suropati menarik
napas
lega. Perlahan-lahan dia membuka
kelopak matanya. Dan.... Suropati
langsung menjerit ngeri!
Di hadapan Pengemis Binal berdiri
seekor harimau besar yang sedang
mendelik marah. Remaja konyol itu
segera meloncat ke tanah sambil
menggaruk-garuk kepala dan cengar-
cengir.
"Maaf... maaf, Yang Mulia
Raja
Peng... eh, Raja Rimba. Aku tadi
cuma
main-main dengan anakmu. Habis,
anakmu
itu lucu, sih."
Suropati kemudian berjalan
mundur, setindak dua tindak sambil
menggaruk-garuk kepala tiada
henti.
Setelah dirasa cukup jauh, pemuda
itu
bergegas lari terbirit-birit....
Sementara itu, di bagian lain di
hutan jati itu sebuah pertempuran
sedang berlangsung seru. Suara
menggelegar akibat pukulan jarak
jauh
berkali-kali terdengar membahana.
"Aku akan segera mengirimmu
ke
neraka, Maruta!" kata
Prahasta atau
Tangan Halilintar.
"Sebenarnya di antara kita tidak
ada permusuhan. Tapi, kenapa kau
begitu bernafsu untuk
membunuhku?"
Mendengar perkataan Raka Maruta
atau Pendekar Kipas Terbang,
Prahasta
tertawa mengejek.
"Alasan bagiku tak begitu
penting...," sahut pemuda
brewokan
itu. "Demi dewi pujaan
hatiku, aku
rela melakukan apa saja."
"Siapa dia?"
"Kau tak perlu tahu!"
"Ratnasarikah?"
Mata Prahasta mendelik, mendengar
tebakan Raka Maruta yang tepat.
"Sadarlah, Prahasta...,"
kata
Pendekar Kipas Terbang,
kalem. "Kau
sedang berada di bawah pengaruh
ilmu
'Asmara Penggoda'."
"Ha ha ha...!" Tangan
Halilintar
tertawa terbahak-bahak. "Aku
memang
sedang tergoda asmara, Maruta. Dan
untuk mewujudkan segala impianku,
sebaiknya kau serahkan
kepalamu!"
Raka Maruta menatap wajah
Prahasta dengan tatapan penuh
belas
kasihan. "Sadarlah,
Prahasta," ucapnya
lembut.
Tangan Halilintar tak
mempedulikan peringatan
itu. Dia
menggeram keras lalu menyorongkan
te-
lapak tangannya ke depan.
Wuuusss...!
Serangkum angin pukulan menerpa.
Pendekar Kipas Terbang meloncat ke
samping. Akibatnya, permukaan
tanah
tempat pukulan itu mendarat
berlubang
besar. Batu dan kerikil
berhamburan.
Debu mengepul hitam. Lubang yang
menganga lebar pada sisi-sisinya
berwarna hitam seperti habis
tersambar
lidah petir.
Prahasta terus mencecar Raka
Maruta dengan 'Pukulan
Halilintar'-
nya. Melihat kehebatan lawan yang
begitu bernafsu untuk membunuhnya,
Pendekar Kipas Terbang tanpa
sungkan-
sungkan lagi segera mengeluarkan
jurus
andalannya. Jurus yang membuatnya
begitu terkenal, yakni jurus
'Kipas
Terbang Membelah Angin'.
Pertempuran berlangsung semakin
seru. Diiringi suara menggelegar
yang
memekakkan telinga, kipas di
tangan
Raka Maruta mendesing-desing tak
kalah
hebatnya. Tak jauh dari arena
pertempuran sepasang mata tampak
mengawasi. Sosok itu berlindung di
balik semak belukar yang tumbuh di
sela-sela pohon jati.
"Wuih, hebat...!" puji
si
pengintip yang tak lain Suropati.
"Kipas pemuda berbaju kuning
itu
seperti bernyawa saja. Walaupun
lawan
mempunyai ilmu pukulan yang dahsyat,
dia dapat mengimbanginya."
Bersamaan dengan usainya kalimat
Suropati, kipas Raka Maruta
berkelebat
cepat.
Breeettt...!
Prahasta melompat jauh sambil
mendekap kulit dadanya yang robek
lebar. Darah segar merembes dari
sela
jari pemuda brewokan itu.
"Keparat!" umpat
Prahasta, geram.
"Bukan maksudku untuk
melukaimu,
Prahasta. Tapi, aku mesti membela
diri
dari gempuranmu yang membabi
buta,"
kata Pendekar Kipas Terbang untuk
membela diri.
"Tak perlu banyak bacot! Aku
akan
membalas hinaanmu!"
Dengan secepat kilat tubuh Tangan
Halilintar meluncur. Kedua
tangannya
terulur lurus ke depan mengarah
dada
Pendekar Kipas Terbang. Raka
Maruta
bergegas meloncat ke samping
seraya
melancarkan sebuah tendangan
melingkar.
Des...!
Tendangan itu tertangkis tangan
kanan Prahasta. Raka Maruta
merasakan
kakinya kesemutan. Tubuh pendekar
berwajah lembut itu jadi limbung.
Kesempatan ini tak disia-siakan
Tangan Halilintar. Dengan
mengerahkan
seluruh tenaga dalam-nya, dia
melontarkan pukulan jarak jauh.
Raka
Maruta yang tak mempunyai kesempatan
untuk menghindar segera
mengibaskan
kipas di tangannya.
Blaaarrr...!
Suara menggelegar membahana di
angkasa. Tubuh Prahasta terlempar
dua
tombak. Karena kedudukannya yang
tidak
menguntungkan, tubuh Raka Maruta
terhempas lebih jauh dan jatuh
bergulingan di tanah.
"Ha ha ha...."
Diiringi suara tawa yang
mendirikan bulu roma, tubuh Tangan
Halilintar kembali meluncur ke
arah
Raka Maruta yang tampak belum siap
untuk menerima serangan. Suropati
yang
melihat adegan itu jadi bergidik
ngeri.
Sraaartt...!
"Arghhh...!"
Tubuh Prahasta sesaat tertahan di
udara. Lalu, jatuh berdebam di
tanah.
Bersamaan dengan itu kepalanya
lepas
dari tubuh dan menggelinding jauh.
Rupanya, dalam keadaan terdesak
Raka Maruta masih sempat
melontarkan
kipas terbangnya. Tangan
Halilintar
yang tak menduga datangnya
serangan
hanya dapat mendelik tanpa mampu
untuk
menghindar. Akibatnya, leher
pemuda
brewokan itu terbabat!
Ketika mendengar suara jeritan,
Suropati menyebut asma Tuhan.
Perlahan-lahan kemudian dia
membuka
kelopak matanya yang tadi
dipejamkan.
Remaja konyol itu terkejut bukan
main
menyaksikan tubuh Tangan
Halilintar
tergeletak tanpa kepala lagi.
Keterkejutan Suropati semakin
menjadi
tatkala di hadapannya terpentang
sepasang kaki yang tampak begitu
kokoh.
"Kenapa kau
mengintipku?" Terde-
ngar sebuah suara. Suropati
menggaruk-
garuk kepala mendengar pertanyaan
itu.
"Eh, bukankah kau Pengemis
Binal?"
"Kau mengenalku? Aku memang
sudah
terkenal. He he he...," ujar
Suropati
seraya bangkit dari berjongkoknya.
"Aku pun mengenalmu. Bukankah
kau Raka
Maruta atau Pendekar Kipas
Terbang?"
Tiba-tiba Raka Maruta meloncat
mundur. "Apakah kau juga
ingin mem-
bunuhku?" tanyanya dengan
pandangan
nanar.
"Eh, kau kenapa? Siapa yang
mau
membunuhmu?"
"Kau tidak terpengaruh oleh
kekuatan ilmu 'Asmara
Penggoda'?"
Suropati menggelengkan kepalanya
kuat-kuat.
"Memangnya kenapa?"
"Semua tokoh muda yang
kujumpai
selalu berusaha untuk
membunuhku."
"Oh, begitu. Mereka semua
berada
dalam pengaruh ilmu iblis yang
dilancarkan Ratnasari atau
Bidadari
Bunga Mawar," jelas Suropati.
"Aku sudah tahu."
"Kenapa kau tidak ikut
terpengaruh?"
Raka Maruta menatap tajam wajah
Suropati.
"Apakah kau benar-benar bukan
utusan wanita cantik itu?"
tanya
pendekar berwajah lembut ini
dengan
ragu.
"Demi Tuhan, bukan!"
"Kau mempunyai ilmu
penangkal?"
"Kau sendiri?"
"Aku mewarisi ilmu leluhurku
yang
bernama ilmu 'Hati Suci'. Ilmu itu
membuatku kebal dari segala
pengaruh
kekuatan jahat."
"Hebat!" puji Suropati.
"Tapi
ilmu penangkalku agak aneh.
Namanya
ilmu 'Hati Ayam'! He he
he...."
"Hus! Ini bukan saatnya untuk
bercanda!" bentak Raka Maruta
dengan
mata melotot.
"Kenapa Ratnasari tidak
mempengaruhi tokoh-tokoh tua
dengan
ilmu iblisnya itu?" Suropati
termenung. Dia baru menyadari
keanehan
tindakan Ratnasari.
"Entahlah...."
"Bodoh! Karena mereka sudah
loyo.
Tak mampu bergelut sampai tiga
ronde.
He he he...!" ucap Suropati
dengan
konyolnya.
"Kalau kau sudah tahu, kenapa
bertanya?"
Suropati hanya menggaruk-garuk
kepalanya.
"Mulai saat ini sebaiknya kita
saling bahu-membahu untuk
menghentikan
tindakan wanita itu," usul
Pendekar
Kipas Terbang kemudian.
"Huh! Keenakan kau!"
tolak
Suropati buru-buru.
"Kenapa?"
"Gadis-gadis cantik yang
menggemariku banyak. Kalau kau
selalu
bersamaku, aku takut mereka akan
berpaling kepadamu."
Mendengar perkataan Suropati,
Pendekar Kipas Terbang tersenyum
simpul. "Aku bukan lelaki
hidung
belang," katanya.
"Syukurlah kalau begitu. Tapi
kita tidak bisa terus berdiam diri.
Tindakan Ratnasari harus segera
dihentikan."
"Benar. Kita serbu
sarangnya!"
sambut Raka Maruta penuh semangat.
"Kau tahu tempatnya?"
tanya
Suropati dengan tak kalah
tertariknya.
"Tidak."
"Bodoh! Kalau kau tidak tahu
kenapa kau berkata mau menyerbu
sarangnya?" Suropati jadi
kecewa
mendengar jawaban Raka Maruta.
"Kita bisa mencarinya."
"Ratnasari atau Bidadari
Bunga
Mawar tentu ada hubungannya dengan
Perkumpulan Bidadari Lentera
Merah.
Kalau sarang perkumpulan itu, atau
tahu..,."
"Kita masuk ke sana!"
Suropati menggelengkan kepalanya.
"Jangan! Itu sama saja dengan
mencari
mati."
"Kenapa?"
"Sarang perkumpulan itu di
lorong
bawah tanah yang berliku-liku dan
penuh jebakan. Sebaiknya kita
pancing
saja Bidadari Bunga Mawar itu
untuk
keluar."
"Bagaimana caranya?"
Suropati menggaruk-garuk
kepalanya. Wajah pemuda itu
kelihatan
tegang. Rupanya dia sedang mencari
cara untuk melaksanakan
rencananya.
* * *
Lewat bola kristal ajaibnya
Ratnasari tahu kalau Raka Maruta
belum
mati. Semua tokoh muda tingkat
atas
yang berada di bawah pengaruh ilmu
setannya gagal melaksanakan perin-
tahnya.
Kemarahan Ratnasari benar-benar
tak dapat dibendung lagi. Darahnya
mendidih bagai digodok di atas
tungku
api neraka. Apalagi ketika dia
tahu
Suropati pun kebal terhadap
pengaruh
sihir ilmu 'Asmara Penggoda'.
Bahkan,
dua tokoh muda berilmu tinggi itu
telah bersepakat untuk
menghentikan
tindakannya.
Dengusan yang keluar dari hidung
Ratnasari begitu keras. Geraham
Bidadari Bunga Mawar itu
bergemeletukan. Sinar matanya
menyala-
nyala, membuat kecantikan wajahnya
memudar.
Braaakkk...!
Ratnasari menendang meja di
hadapannya hingga hancur
berkeping-
keping. Bola kristal yang berada
di
atasnya terlempar deras. Tapi,
luncuran benda ajaib itu tiba-tiba
berhenti di udara, lalu melayang
ke
arah Ratnasari. Bola kristal itu
hinggap di atas telapak tangannya
yang
tengadah.
Bidadari Bunga Mawar memandang
bola kristal ajaibnya dengan
tatapan
aneh. Tiba-tiba... dengan
meninggalkan
bunyi letupan cukup keras dan asap
tipis kehitaman, benda bulat
kuning
seperti kaca itu lenyap.
"Kalian jangan gembira
dulu...,"
rungut Ratnasari. "Aku akan merejam
tubuh kalian menjadi serpihan
daging
cincang. Sukma kalian akan kuper-
sembahkan kepada setan untuk
dijadikan
budak!"
Seorang pemuda berpakaian serba
hijau datang menghadap Ratnasari.
"Kenapa kau kemari,
Jenar?" tanya
Ratnasari dengan tatapan mata
penuh
selidik.
"Aku mendengar suaramu yang
merdu, Sari. Tiba-tiba timbul
hasratku
untuk menemuimu," jawab
Sawung Jenar
atau Iblis Selaksa Ular.
"Apa perlumu?"
"Aku merindukan kehangatan
cintamu...."
Mendengar ucapan Sawung Jenar,
Ratnasari tertawa terbahak-bahak.
"Walau wajahmu tidak tampan,
tapi
kau sungguh hebat, Jenar. Hal itu
yang
membuatku suka."
Sawung Jenar tersenyum. Matanya
mengerling penuh arti. Pemuda itu
segera menghambur ke arah
Ratnasari.
"Eit! Tunggu dulu!"
Wanita cantik itu menghindar.
Sawung Jenar terdengar mendengus
gusar.
"Kau tahu Raka Maruta dan
Suropati, Jenar?" tanya
Ratnasari.
"Kenapa?"
"Kau harus mampu
mempersembahkan
darah mereka untukku."
Iblis Selaksa Ular tertawa.
"Apa susahnya membunuh
mereka,
Sari," kata pemuda berkulit
kasar
seperti sisik ular itu.
"Kau yakin bisa
melakukannya?"
"Kenapa tidak?"
Ratnasari membentangkan kedua
tangannya. Kemudian, dengan
kekuatan
penuh dia mendorongnya ke depan.
Sawung Jenar yang tak menduga akan
datangnya serangan, tak bisa
menghindar. Dadanya terhantam
dengan
telak.
Brooolll...!
Tubuh pemuda berkulit kasar itu
terhempas dan membentur dinding
setebal satu depa hingga jebol!
Bumi berguncang. Atap ruangan
seperti hendak runtuh. Ratnasari
menatap tubuh Iblis Selaksa Ular
yang
terbujur kaku tertindih
puing-puing
reruntuhan.
"Aku tak butuh orang bermulut
bes..., eh...?!"
Ucapan wanita cantik itu
terhenti. Tubuh Sawung Jenar
tampak
bergerak-gerak, lalu bangkit
berdiri.
"Kenapa kau memukulku,
Sari?"
tanya Iblis Selaksa Ular sambil
rpemegang bajunya yang hangus
terbakar
pada bagian dada.
"Kau... kau tidak
mati?!"
Bidadari Bunga Mawar kelihatan
terkejut bukan main.
"Ha ha ha...!" Suara
Sawung Jenar
menggema. "Kau belum menjawab
pertanyaanku. Sari. Kenapa kau
memukulku?"
"Aku hendak menguji sampai di
mana tingkat kepandaian yang kau
miliki," dusta Ratnasari.
"Untuk apa?"
"Raka Maruta dan Suropati
bukan
tokoh sembarangan. Untuk
menaklukkan
mereka dibutuhkan manusia yang
benar-
benar pilih tanding."
"Jadi kau meragukan
kemampuanku?"
"Ah, sudahlah. Kau tak perlu
mempersoalkan itu," Ratnasari
berusaha
mengelakkan percakapan. Wanita itu
lalu memejamkan matanya. Wajahnya
ditengadahkan. "Peluk aku,
Jenar...,"
bisik Ratnasari, manja.
Iblis Selaksa Ular yang berada
dalam pengaruh ilmu 'Asmara
Penggoda'
melihat sosok Ratnasari bagai
seorang
bidadari turun dari kahyangan.
Dengan
penuh nafsu dia pun menerkam.
Digumulinya wanita cantik itu.
Ratnasari mengerang. Sawung Jenar
semakin ganas. Tubuh wanita cantik
yang berada dalam pelukannya itu
dihempas-hempaskan ke lantai.
Mendadak, Ratnasari melepaskan
pelu-
kannya.
Tubuh dua anak manusia itu pun
bergulat, dan lebur dalam desakan
nafsu yang menggelora. Hingga
sampai
beberapa lama.
"Eh, kau kenapa. Sari?"
tanya
Iblis Selaksa Ular sambil berusaha
memeluk tubuh Ratnasari kembali.
"Cukup, Jenar. Aku harus
melakukan sesuatu."
"Apa?"
"Kau tak perlu tahu."
Sawung Jenar melompat. Diraihnya
tubuh Bidadari Bunga Mawar. Tapi,
wanita cantik itu menghindar.
"Sari, mari kita lanjutkan
permainan tadi, Aku belum selesai...."
"Tidak! Besok masih ada
waktu,"
kata Ratnasari seperti menyimpan
kekhawatiran.
Iblis Selaksa Ular tidak peduli.
Ditariknya tubuh wanita cantik itu
ke
lantai. Lalu, diciuminya dengan
ganas.
Bidadari Bunga Mawar berusaha
melepas pelukan pemuda yang sudah
kerasukan setan itu. Tenaga Sawung
Jenar begitu kuat. Mau tak mau
Rat-
nasari mesti mengerahkan tenaga
dalam.
Akibatnya....
Blaaarrr...!
Tubuh Iblis Selaksa Ular
terlontar. Namun, dengan geraman
pendek dia bangkit dan kembali me-
nerkam.
Plak...!
Pipi pemuda berkulit kasar itu
terkena tamparan Ratnasari. Kalau
saja
bukan Sawung Jenar, kepalanya
tentu
akan remuk terkena tamparan yang
berlambarkan kekuatan tenaga dalam
itu.
Iblis Selaksa Ular tetap nekat.
Dia kembali menerkam bagai seekor
harimau kelaparan. Dan, Ratnasari
yang
tak sempat berkelit segera
menerima
dekapan Sawung Jenar. Dengan napas
memburu, Iblis Selaksa Ular meng-
hempas-hempaskan tubuh wanita
cantik
itu. Bidadari Bunga Mawar meronta-
ronta sekuat tenaga.
Sawung Jenar jadi terkejut
setengah mati ketika merasakan
kulit
halus Ratnasari berubah kasar dan
keriput. Tanpa sadar dia meloncat
ke
belakang. Matanya bersinar nyalang
menatap sosok Bidadari Bunga
Mawar.
Ratnasari tiba-tiba berubah wujud
men-
jadi nenek berwajah menyeramkan.
"Kau... kau...," Iblis
Selaksa
Ular gelagapan.
"Bangsat kau, Jenar!"
umpat
Ratnasari. Suara yang keluar dari
mulutnya bagai suara iblis
penunggu
kuburan.
"Kau... kau Ratnasari?"
Pertanyaan Sawung Jenar tak
mendapat jawaban. Tubuh Bidadari
Bunga
Mawar telah lenyap dari
pandangannya.
Di depan sebuah kolam berair
jernih yang pada sisi-sisinya
berhias
patung wanita cantik berwarna
merah,
Sekar Mayang terkejut melihat
kedatangan Ratnasari yang telah
berubah wujud.
"Aku lupa bila malam ini
adalah
malam bulan purnama," kata
Bidadari
Bunga Mawar. "Cepat kau
siapkan
upacara pemulihanku kembali,
Mayang."
"Sejak tadi telah hamba
persiapkan, Ketua Pertama,"
beritahu
Sekar Mayang.
"Kalau begitu, cepat
laksanakan
upacara pemulihanku itu!"
Sekar Mayang yang telah duduk
bersimpuh mengangkat kedua
pergelangan
tangannya. Perlahan-lahan tujuh
tubuh
gadis yang terbujur kaku di
hadapannya
melayang ke atas kolom. Dilubanginya
dahi ketujuh gadis korban itu. Dari
sana menguncur darah segar yang
memerahkan warna air kolam.
Wuuusss...!
Bruuukkk...!
Tubuh gadis-gadis malang yang
telah terkuras darahnya itu
kembali
melayang, dan membentur dinding
dengan
derasnya. Tak terdengar suara
jeritan.
Ratnasari segera meloncat masuk
ke dalam kolam. Cahaya rembulan
yang
menyorot dari jendela batu
memperlihatkan permukaan air kolam
yang bergolak. Lalu,
berputar-putar
dan membentuk pusaran. Tak lama
kemudian, tubuh Ratnasari
menyembul
keluar dari kolam dengan wujud
yang
telah kembali sempurna.
"Ha ha ha...!"
Tawa wanita cantik pemuja setan
itu menggema tiada henti. Cerminan
rasa puas yang menghentak....
* * *
Emoticon