Pengemis Binal 6 - Malaikat Bangau Sakti(2)





Langit tampak bersih. Sinar mentari mem-
biaskan warna perak. Angin berhembus pelan be-
rusaha mengusir gerah. Ranting pepohonan me-
liuk-liuk bagai tarian bidadari. Kicau burung yang
tak pernah bosan menghibur siang.
Ingkanputri duduk bersimpuh di hadapan
Resi Agaswara yang sedang bersemadi untuk
mengobati luka dalamnya. Baju yang dikenakan
kakek tua itu sebagian telah hancur memperli-
hatkan bahu kirinya yang hangus.
Ketika mentari telah condong ke barat, Resi

Agaswara membuka matanya.
"Kau tidak apa-apa, Eyang?" tanya Ingkan-
putri cemas.
"Hyang Widhi masih berkenan melindungi
nyawaku," kata sang Resi. "Tapi, sebagian uratku
telah hancur. Tangan kiriku tak mungkin dapat
digerakkan lagi."
Ingkanputri menarik napas panjang. Dita-
tapnya wajah Resi Agaswara dengan penuh belas
kasihan. Tiba-tiba air mata gadis itu meleleh. Dia
teringat ayahnya yang telah tiada.
"Orang yang terjun dalam rimba persilatan
harus mempunyai hati baja. Kenapa hanya meli-
hat peristiwa kecil saja, air mata mesti diperli-
hatkan...," kata Resi Agaswara dengan penuh ke-
lembutan. Kakek itu mengira Ingkanputri menan-
gisi dirinya yang terluka.
Resi Agaswara lalu bangkit berdiri. Ada se-
dikit keluhan keluar dari mulutnya. Ingkanputri
mendekat. Dibimbingnya kakek itu. Mereka berja-
lan menyusuri siang tanpa tujuan yang pasti.
Ketika malam hampir menjelang, beberapa
dusun telah terlewati. Ingkanputri pun sadar pa-
kaiannya yang serba merah selalu mengundang
perhatian orang. Maka, dengan uang pemberian
Resi Agaswara, dia membeli sepotong baju ber-
warna kuning.
"Kau sangat cantik, Putri...." puji sang Resi
sambil menatap baju baru Ingkanputri.
"Ah, Eyang...;" pipi gadis itu merona merah.
"Kita harus mencari tempat untuk berma-

lam. Mudah-mudahan ada orang baik yang mau
menyediakan rumahnya untuk kita."
"Aku sudah terbiasa tidur di alam bebas,"
sahut Ingkanputri.
"Maksudmu?"
"Di atas pohon, di hamparan tanah luas,
atau di tempat lainnya. Bagiku sama saja...."
"Kau tidak takut?" tanya Resi Agaswara se-
dikit heran. Bagaimana pun Ingkanputri adalah
seorang gadis muda yang cantik. Rasanya kurang
aman jika dia pergi ke mana-mana seorang diri.
Ingkanputri tersenyum tipis. "Eyang lupa
kalau aku adalah seorang petualang," katanya.
"Tapi, kau tetap seorang wanita yang tidak
bisa lepas dari kodrat. Ada banyak aturan yang
membuat seorang wanita tidak bisa berbuat se-
maunya."
"Ah, Eyang terlalu berlebihan," sungut In-
gkan putri,
"Hus!"
Ingkanputri tertawa, Resi Agaswara pun
tersenyum. Mereka berjalan kembali sambil terus
bercakap-cakap dengan akrabnya. Walaupun ba-
ru saling mengenal, tapi keakraban mereka sudah
seperti ayah dan putrinya.
Di tepi sebuah hutan akhirnya Resi Agas-
wara menuruti ajakan Ingkanputri untuk berma-
lam di atas pohon besar. Kakek itu merasa lelah
juga terus berjalan karena tidak mendapat tempat
penginapan atau rumah penduduk untuk berma-
lam. Padahal malam telah menjelang.

Ketika pagi baru saja tiba, mereka dike-
jutkan oleh teriakan dua orang lelaki tua bertam-
pang angker.
"Agaswara! Malaikat Bangau Sakti telah
menyusun kekuatan. Ribuan pendekar telah men-
jadi bangkai. Yang mempunyai akal sehat memilih
jalan sebagai pengikut. Hari ini Sang Ketua ber-
kenan mengundangmu ke Bukit Bangau!"
"Katakan kepada ketuamu, aku belum
mempunyai waktu untuk memenuhi undangan-
nya...," sahut Resi Agaswara dengan tenang.
Dua lelaki tua yang dikenal dengan sebu-
tan Bayangan Hitam dan Penyedot Arwah itu
menggeram.
"Menojak undangan Sang Ketua berarti
menantang maut!" kata Bayangan Hitam yang
bertubuh jangkung.
"Aku mencium maksud buruk. Kenapa aku
mesti pergi ke Bukit Bangau?!"
"Ha-ha-ha...," tawa Bayangan Hitam mem-
buat janggutnya yang putih panjang bergerak ba-
gai kibasan ekor sapi. "Katakan saja kalau kau
takut, Agaswara!" ejeknya kemudian.
Sang Resi tersenyum tipis. Ingkanputri ber-
jalan mendekat.
"Siapa dia?" tanya gadis itu dengan berbi-
sik.  "Yang berpakaian serba hitam adalah tokoh
sesat yang merajai wilayah barat. Sedangkan yang
berdiri di belakangnya penguasa wilayah timur,"
beritahu Resi Agaswara. 
"Hei, Agaswara!" hardik Penyedot Arwah.

"Tak perlu kau berbisik-bisik macam perempuan
kurang kerjaan! Segera kau penuhi perintah Sang
Ketua. Atau aku akan menyeretmu!"
Tak ada kata yang keluar dari mulut Resi
Agaswara. Kakek itu malah membenarkan letak
selempang di bahu kirinya untuk menutupi kain
jubah yang robek. Gerakan kakek itu sangat te-
nang tanpa sedikit pun menunjukkan kegentaran,
padahal dua orang tokoh hitam yang berdiri diha-
dapannya bukanlah manusia sembarangan. Se-
pak terjang mereka sangat ganas. Tak pernah
memberi ampunan terhadap lawan. 
Duuuk...
Tiba-tiba, Penyedot Arwah menggedrukkan
kaki kanannya ke tanah. Bumi seketika bergun-
cang. Beberapa buah batu besar bergeser dari
tempatnya. Tubuh Ingkanputri pun tampak lim-
bung. Tapi, Resi Agaswara malah tersenyum tipis,
heran kakek itu tak merasakan apa-apa. Tubuh-
nya tetap berdiri tegak.
Melihat itu, Penyedot Arwah menggeram,
telapak kakinya lalu kembali menghentak.
Swooosss...!
Permukaan tanah di depannya berkubang.
Gumpalan padas bercampur bebatuan berpinda-
han menghujani tubuh sang Resi! Kakek itu bu-
ru-buru mengibaskan ujung lengan jubahnya. Se-
rangkum angin pukulan berputar membuat se-
rangan Penyedot Arwah tiada berarti.
"Kau memang hebat, Agaswara...," puji le-
laki bertubuh kekar itu. "Tapi, aku ingin tahu da-

patkah kau bertahan dari ilmu 'Penghisap Darah'-
ku!"
Penyedot Arwah langsung membuka kedua
kakinya dengan badan sedikit terbungkuk. Kedua
tangan ditekuk menghadap ke depan. Bersamaan
dengan itu, wajah Penyedot Arwah berubah te-
gang. Matanya melotot merah 
Hhhh...!
Tak ada angin pukulan yang muncul. Tapi,
Resi Agaswara terperangah merasakan aliran da-
rahnya mendadak jadi kacau. Detak jantung
menghentak-hentak bagai dipukuli palu godam!
Tokoh tua yang sudah kenyang makan
asam garam rimba persilatan itu segera menge-
rahkan hawa murni. Tubuhnya tampak bergetar
hebat.
Penyedot Arwah menarik kaki kirinya ke
belakang bersamaan dengan kedua tangannya
yang menyentak. 
Kworshhh....
Suatu pemandangan mengerikan pun ter-
jadi. Mulut Resi Agaswara menyemburkan darah
segar. Tersedot oleh telapak tangan Penyedot Ar-
wah!
Wajah sang Resi langsung memucat, tata-
pan matanya terlihat nyalang. Agaknya dia tahu
maut telah mengancam. 
Tentu saja Ingkanputri tidak tinggal diam.
Gadis itu segera melancarkan pukulan jarak jauh
dengan berlambarkan ilmu 'Pukulan Api Neraka'.
Blaaarrr...!

Ledakan dahsyat menggema. Tubuh gadis
itu terlempar beberapa tombak. Rupanya, Bayan-
gan Hitam telah memapaki serangan Ingkanputri.
Resi Agaswara yang sedang berkutat mela-
wan maut menyorongkan telapak tangan kanan-
nya. Darah segar yang menyembur dari mulutnya
terhenti. Tapi, mendadak tubuh tokoh tua itu ja-
tuh terjengkang.
"Ha-ha-ha...."
Tawa Penyedot Arwah dan Bayangan Hitam
membahana bersamaan. Mereka menatap tubuh
Resi Agaswara dan Ingkanputri yang tergeletak di
tanah.
"Sang Ketua menunggumu di Bukit Ban-
gau, Agaswara!" teriak Bayangan Hitam.
Sang Resi bangkit seraya mendekap dada
kirinya. Saat itulah, Bayangan Hitam melihat tan-
gan kiri Resi Agaswara menggantung lemah.
"Huh! Rupanya kau telah cacat, Agaswara!
Semoga saja Sang Ketua masih mau memberimu
muka," kata lelaki berjanggut panjang itu.
"Kau kira ketuamu seorang malaikat, se-
hingga semua orang dipaksa bertekuk-lutut!"
hardik Ingkanputri yang telah berdiri di samping
Resi Agaswara "Hanya kalianlah yang patut dija-
dikan budak. Wajah kalian berdua sangat mirip
kerbau congek yang tak mampu berpikir pan-
jang!" ejek gadis itu.
"Bangsat!" umpat Bayangan Hitam seraya
menerjang.
Ingkanputri telah mempersiapkan diri. Tu-

buhnya melayang lalu mengirimkan tendangan.
Sayang, tendangan itu tak mengenai sasaran. Ju-
stru punggung Ingkanputri berhasil digedor la-
wan.
Gadis itu jatuh terjerembab. Kalau saja dia
tidak melindungi tubuhnya dengan tenaga dalam,
punggungnya pasti sudah hancur.
"Gadis ingusan mau coba-coba melawan-
ku!" dengus Bayangan Hitam.
Ketika Ingkanputri bangkit berdiri, ada se-
suatu yang jatuh dari balik bajunya. Bayangan
Hitam menatap benda itu dengan mata terbelalak.
"Wasiat datuk Risanwari," desisnya. Secepat kilat
disambarnya gulungan kulit harimau yang terge-
letak di tanah tak jauh darinya.
"Pencuri busuk!" hardik Ingkanputri.
Serta-merta gadis itu mengibaskan telapak
tangannya! Angin pukulan berhawa panas me-
nerpa. Bayangan Hitam pun menarik tangannya.
Tapi, dia segera melancarkan tendangan ke arah
Ingkanputri.
Dengan berkelit ke samping, gadis itu ber-
hasil menghindari serangan. Kemudian disam-
barnya gulungan kulit harimau yang tergeletak di
sisi kanan tubuhnya. 
Blab...!
Tiba-tiba, gadis itu menjerit tertahan. Tan-
gannya membentur kekuatan kasat mata yang di-
ciptakan Bayangan Hitam.
"Kau tak berhak memiliki benda wasiat itu,
Gadis kecil!" kata Bayangan Hitam sambil meng-

gerakkan telapak tangannya ke depan. Dan, gu-
lungan kulit harimau melayang ke arahnya.
"Jangan sentuh!" cegah Resi Agaswara. Di-
lancarkannya pukulan jarak jauh.
Blaaarrr...!
Bayangan Hitam yang berdiri di samping
Penyedot Arwah memapaki serangan itu. Akibat-
nya, tubuh sang Resi terlontar. Sadarlah dia ka-
lau lawan mempunyai tenaga dalam yang lebih
tinggi di atasnya.
Pukulan jarak jauhnya seperti membentur
tembok baja setebal satu depa.
Penyedot Arwah tertawa terbahak-bahak
"Jayalah Sang Ketua dengan Perkumpulan Ban-
gau Sakti-nya!" teriak tokoh sesat itu dengan sua-
ra lantang.
Tanpa ada yang mengusik, lelaki bertubuh
kekar itu memungut gulungan kulit harimau.
Namun, keterkejutan menghantam dadanya.
Benda yang hampir tersentuh tangan itu tiba-tiba
memancarkan sinar kehijauan. Tubuh Penyedot
Arwah terasa bagai dijalari hawa panas api nera-
ka.
"Hih! Dengan kehendak Penguasa Gelap,
tak ada kekuatan yang mampu menghalangi naf-
su angkara!" Dengan mengerahkan tenaga da-
lamnya, lelaki bertubuh kekar itu pun berhasil
menyambar gulungan kulit harimau. Kemudian,
dibawanya lari sambil tertawa terbahak-bahak.
"Sang ketua menunggu kedatanganmu,
Agaswara!" Bayangan Hitam seraya menghem-

paskan tubuhnya, menyusul kepergian Penyedot
Arwah. 
4

Puluhan bangau terbang rendah. Sayapnya
mengepak perlahan, kemudian terpentang dengan
gagahnya. Ketika hinggap di hamparan tanah
luas, paruhnya bergerak menotok mencari ma-
kan. Dilihat dari kejauhan bangau-bangau itu ba-
gai biasan warna putih yang bergerak mengikuti
irama.
Selagi mereka asyik mencari makanan di
kubangan-kubangan air, seekor bangau besar
berbulu hitam datang melesat dan membuat ke-
terkejutan dengan suaranya yang serak. Bangau-
bangau putih pun buyar. Cepat mereka terbang
dikejar oleh rasa takut. Sebentar kemudian, tem-
pat itu telah dikuasai oleh puluhan bangau hi-
tam. Mereka menotol-notol tanah dengan suara
riuh-rendah.
Di puncak bukit yang bertanah datar suatu
benteng setebal satu depa tampak melingkar.
Benteng itu, berkesan angker karena di pintu ger-
bang terdapat puluhan lelaki berdiri dengan sinar
mata bengis. Sementara di dalam benteng, di se-
buah bangunan megah, seorang lelaki berwajah
pucat duduk di singgasana perak bertaburkan
emas permata. Rambut lelaki itu telah memutih
semua. Dikuncir menjadi satu dalam jalinan pan-
jang. Tubuhnya yang kurus berkulit putih bersih

dibungkus pakaian sutera serba hitam dengan
ikat pinggang berwarna merah darah.
Dia adalah Malaikat Bangau Sakti, pemim-
pin Perkumpulan Bangau Sakti yang telah berha-
sil menaklukkan empat tokoh hitam penguasa
penjuru mata angin.
Di hadapannya duduk dua orang lelaki tua
yang juga berpakaian serba hitam. Mereka bersila
di lantai marmer. Yang berambut riap-riapan ada-
lah Dewa Laknat, penguasa wilayah selatan. Se-
dangkan yang bermata sipit adalah Pencabik
Sukma, penguasa wilayah utara.
Mereka mendongakkan kepala ketika Ma-
laikat Bangau Sakti mendengus, lalu berdiri dari
singgasananya.
"Bukit Bangau telah menjulang dengan ga-
gah bertumbalkan ribuan nyawa...," kata lelaki
berwajah pucat itu. "Namun, sebagian besar ada-
lah kaum kita sendiri yang tak mau bertekuk-
lutut di hadapanku. Tokoh-tokoh jajaran atas be-
raliran putih masih banyak yang berkeliaran den-
gan bebas. Kalian harus membuatku puas."
Kepala Dewa Laknat dan Pencabik Sukma
kembali tertunduk. Suara Malaikat Bangau Sakti
bergetar seperti menyimpan kemarahan.
"Seluruh tokoh rimba persilatan harus
bernaung di bawah bendera perkumpulan Bangau
Sakti. Tugas kalian adalah membuat mereka tak-
luk!"
"Hamba akan melaksanakan perintah...,"
kata Dewa Laknat dan Pencabik Sukma hampir

bersamaan.
Ketika Malaikat Bangau Sakti menggerak-
kan kepalanya, dua orang tokoh sesat itu pun se-
gera berlalu dari tempat itu.
Tak lama kemudian, seorang wanita cantik
berumur tiga puluh tahun hadir dengan gerak tu-
buhnya yang lemah gemulai. Tangan kanannya
membawa nampan berisi segelas arak. Malaikat
Bangau Sakti segera menyambut. Lalu ditenggak-
nya arak sampai tandas. Setelah itu dia menatap
berlama-lama wajah wanita cantik yang berdiri di
hadapannya.
"Hari ini kau kelihatan sangat cantik, In-
darwa...," puji lelaki berwajah pucat itu sambil
mengulum senyum.
Wanita yang dipanggil Indarwa membalas
senyum itu. Pergelangan tangannya dilingkarkan
ke pinggang Malaikat Bangau Sakti. "Kau juga
sangat tampan, Margana Kalpa...," bisiknya pelan.
Malaikat Bangau Sakti tertawa terbahak-
bahak. Di dekapnya tubuh Indarwa dengan erat.
Dia pun menghadiahkan kecupan mesra di bibir
wanita cantik itu.
"Aku senang kau menyebut nama kecilku,"
ucap Margana Kalpa seraya mentowel dagu In-
darwa.
"Mengapa kau perintahkan Empat Pengua-
sa Penjuru Angin dalam waktu yang hampir ber-
samaan, Kekasihku?" tanya Indarwa sambil men-
gerjapkan matanya menggoda.
"Supaya cita-citaku untuk menguasai rim-

ba persilatan segera terwujud," Malaikat Bangau
Sakti memberi alasan.
"Tapi, apakah kau telah mendapatkan Wa-
siat Datuk Risanwari yang katamu akan menjadi
penghalang?"
Mendadak Malaikat Bangau Sakti menden-
gus keras. Matanya nyalang menatap dinding
ruangan. 
Melihat perubahan sikap yang demikian
mendadak, Indarwa yang sebenarnya seorang to-
koh sesat jajaran atas yang berjuluk Setan Betina
itu segera memeluk tubuh Margana Kalpa. Di-
elusnya dada lelaki berwajah pucat itu dengan
lembut
"Kenapa mesti gusar? Bukankah anak
buahmu sangat banyak? Aku percaya mereka
akan dapat mewujudkan segala keinginanmu," bi-
sik Indarwa lembut sekali dengan bibir menyen-
tuh telinga. 
"Kau memang pandai menghibur hatiku,
Indarwa...," kata Malaikat Bangau Sakti. Kemu-
dian dia mengecup dahi kekasihnya.
"Aku bukan pandai menghibur. Hanya, aku
tidak suka melihatmu terbawa luapan amarah,"
ucap Indarwa. Hembusan napasnya yang harum
menerpa wajah Margana Kalpa.
Lelaki berwajah pucat itu lalu mencium bi-
bir Indarwa. Setan Betina pun mempererat pelu-
kannya. Margana Kalpa sejenak menatap wajah
cantik yang terpampang dekat di hadapannya,
sebelum mendaratkan ciuman ganas.

Indarwa menggelinjang membalas ciuman
itu hingga untuk beberapa lama bibir mereka
berpagutan. 
"Kau sangat cantik, Indarwa...," bisik Mar-
gana Kalpa kemudian.
"Dan kau sangat perkasa, Kekasihku...."
Setelah berkata-kata sebentar, dua anak
manusia  itu berjalan sambil terus berpelukan.
Mereka menuju ke sebuah kamar yang beraroma
harum semerbak.
Margana Kalpa menjatuhkan tubuh Indar-
wa ke pembaringan. Sedangkan dia sendiri duduk
di sisi wanita cantik itu.
"Kenapa kau tidak melanjutkan?" tanya Se-
tan Betina. 
Malaikat Bangau Sakti tak memberi jawa-
ban. Tangan kanannya menopang dagu. Sinar
matanya pun terlihat suram.
Indarwa bangkit lalu mengelus dada lelaki
berwajah pucat itu seraya mencium lehernya.
"Untuk menyenangkan hatimu, besok aku
akan pergi mencari Wasiat Datuk Risanwari," bi-
sik Indarwa.
"Ah, kau tak perlu melakukannya. Tugas-
mu adalah menemaniku bila aku berkeinginan
untuk berjalan-jalan ke nirwana," ucap Margana
Kalpa seraya meraih bahu Indarwa, lalu memba-
ringkannya kembali.
Di lumatnya bibir wanita cantik itu. Tan-
gannya bergerak bebas menelusuri setiap jengkal
tubuh Indarwa. Setan Betina menggelinjang. Sua-

ra desahan berulang kali keluar dari mulutnya.
Satu persatu pakaian yang menutupi tubuh In-
darwa jatuh ke lantai.
"Tunjukkanlah keperkasaanmu, Kekasih-
ku...," bisik wanita cantik itu.
Tak ada kata yang diucapkan Margana
Kalpa. Mata lelaki berwajah pucat itu tiada bosan
memandang lukisan keindahan tubuh Indarwa.
"Kau memang sangat cantik, Indarwa...," ucapnya
kemudian seraya menundukkan kepala
Wajah Margana Kalpa terbenam di dada
Setan Betina. Dengan gerak perlahan, bibir lelaki
berwajah pucat itu lalu menelusuri ke bawah.
Indarwa merintih. Kedua tangannya mere-
mas rambut Margana Kalpa.
Sementara di luar sinar mentari masih se-
tia menerangi mayapada. Langit bersih tiada se-
gumpal awan. Hembusan angin mengelus puncak
Bukit Bangau. Bayangan Hitam dan Penyedot Ar-
wah berjalan melewati pintu gerbang. Puluhan le-
laki yang menenteng golok di pinggang tampak
menundukkan kepala memberi hormat
Ketika telah sampai di ruang utama ban-
gunan megah, Bayangan Hitam dan Penyedot Ar-
wah saling berpandangan. 
"Panggil lah Sang Ketua, Sapi Dungu...!"
Perintah Penyedot Arwah pada teman di samping-
nya.
"Huh! Terhadapku kau berkuasa apa?!"
Bayangan Hitam berkata sinis. "Kerbau Bau! Kau-
lah yang harus mengerjakannya!"

"Kau takut?"
"Aku masih sayang nyawaku!"
Penyedot Arwah tertawa mengejek. "Tak di-
nyana penguasa wilayah barat ternyata mempu-
nyai nyali tikus!"
"Bangsat!" umpat Bayangan Hitam. Telapak
tangannya disabetkan ke wajah Penyedot Arwah.
Beberapa lukisan yang menempel di dind-
ing ruangan bergerak ke kiri-kanan terkena angin
pukulan. Tapi hanya dengan melangkah mundur
satu tindak serangan Bayangan Hitam tak men-
genai sasaran.
"Huh! Ilmu 'Pukulan Penghempas Gunung'-
mu memang hebat. Namun tak akan sanggup
menandingi ilmu 'Penghisap Darah'ku!" dengus
Penyedot Arwah dengan mata berkilat
"Baik. Kita buktikan!" tantang Bayangan
Hitam.
Usai mengucapkan kalimatnya, tubuh
Bayangan Hitam melayang di udara. Setelah ber-
salto beberapa kali, dia mendarat dua tombak da-
ri tempatnya semula.
"Jangan menyesal bila riwayatmu putus
sampai di sini!" kata lelaki berjanggut panjang itu
memperingatkan calon lawannya.
"Justru akulah yang akan mencabut nya-
wamu!" timpal Penyedot Arwah seraya membuka
kakinya. Dengan badan sedikit merunduk, tela-
pak tangan lelaki bertubuh kekar itu menyorong
ke depan.
Bayangan Hitam pun siap sedia untuk me-

nyambut ilmu pamungkas Penyedot Arwah
"Heaaa...!"
Dua teriakan menggema bersamaan. Sinar
kuning yang meluncur dari telapak tangan
Bayangan Hitam tertahan oleh kekuatan kasat
mata. Hingga, menimbulkan percikan bunga api
yang menyebar memenuhi ruangan.
Selama lima tarikan napas tubuh kedua
tokoh sesat itu berdiri kokoh di tempatnya. Tapi,
Bayangan Hitam segera dapat merasakan keheba-
tan ilmu pamungkas Penyedot Arwah. Detak jan-
tung lelaki berjanggut panjang itu menjadi tak te-
ratur. Aliran darahnya kacau. Di dalam dada se-
perti ada kekuatan yang menghentak-hentak. Tak
lama kemudian, dari hidung dan sudut bibir
Bayangan Hitam meleleh darah segar!
Apa yang dirasakan Penyedot Arwah pun
tak beda jauh. Tubuhnya yang kekar bergetar he-
bat. Pandangan matanya mengabur. Dadanya ba-
gai dipukul-pukuli palu godam, hingga terasa
mau jebol!
Sadarlah mereka berdua kalau ilmu pa-
mungkas masing-masing mencapai taraf seim-
bang. Mereka tak dapat menarik kembali kekua-
tan tenaga dalam yang telah terlontar. Apabila sa-
lah seorang melakukannya, kekuatan lawan akan
langsung menghantam dirinya tanpa dapat dihin-
dari lagi. Jalan satu-satunya untuk melenyapkan
dua kekuatan dahsyat itu adalah dengan menarik
kembali tenaga dalam masing-masing secara ber-
samaan. Tapi, siapa yang mau percaya lawan ti-

dak akan berbuat curang?
Menyadari hal itu, wajah Penyedot Arwah
dan Bayangan Hitam memucat. Malaikat Kema-
tian tampaknya akan menjemput ajal mereka se-
cara bersamaan!
Pada saat yang genting tersebut, tiba-tiba
seberkas cahaya kehitaman meluruk datang!
Blaaammm...!
Sebuah ledakan dahsyat menggema hingga
menggetarkan lantai ruangan. Tubuh Penyedot
Arwah dan Bayangan Hitam terlempar memben-
tur dinding.
"Manusia-manusia yang telah hilang akal-
nyalah yang patut melakukan tindakan seperti
itu!"
Malaikat Bangau Sakti tahu-tahu telah
berdiri tegak di sisi pintu ruangan. Kedua tangan
lelaki berwajah pucat itu masih mengepulkan
asap hitam. Dengan memusnahkan kekuatan te-
naga dalam Penyedot Arwah dan Bayangan Hi-
tam, dia telah menunjukkan kehebatannya. Apa
yang dilakukan Malaikat Bangau Sakti sama saja
dengan melawan dua kekuatan tenaga dalam ke-
dua anak buahnya. Jadi, dapat dibayangkan ting-
ginya ilmu yang dimiliki pemimpin Perkumpulan
Bangau Sakti itu.
"Manusia-manusia busuk! Apakah kalian
sengaja ingin memperlihatkan kepandaian di ha-
dapanku? Ampunan yang telah kuberikan apakah
tidak memuaskan kalian?!" kata Malaikat Bangau
Sakti dengan penuh kemarahan.

Penyedot Arwah dan Bayangan Hitam sege-
ra berlutut di hadapan lelaki berwajah pucat itu.
"Hamba bersalah...," kata Penyedot Arwah
dan Bayangan Hitam bersamaan.
Margana Kalpa atau Malaikat Bangau Sakti
mendengus. Kaki kanannya digedrukkan ke lan-
tai. Tubuh dua tokoh sesat itu pun terlontar dan
membentur langit-langit ruangan, kemudian ja-
tuh berdebam. Tapi mereka sedikit pun tak me-
nunjukkan rasa sakit. Hanya desahan panjang
yang terdengar.
"Galungking Saba...," panggil Malaikat
Bangau Sakti dengan suara berat. "Sudahkah kau
bertemu dengan Resi Agaswara?"
Penyedot Arwah menganggukkan kepa-
lanya.
"Jawab pertanyaanku, Galungking Saba!"
teriak Margana Kalpa. Lelaki bertubuh kekar yang
disebut nama kecilnya itu segera berjalan mende-
kat.
"Hamba telah melaksanakan tugas Sang
Ketua dengan sebaik-baiknya," lapor Penyedot
Arwah. Suaranya terdengar bergetar.
"Ha-ha-ha...," tawa Margana Kalpa meng-
gema berkepanjangan. "Berarti sebentar lagi anj-
ing tua itu akan datang ke sini."
"Tapi...," sela Galungking Saba dengan ba-
dan menggigil ketakutan.
"Tapi apa, heh?!" bentak Margana Kalpa
tak senang.
"Hamba... hamba...."

"Keparat! Apa yang hendak kau katakan?!" 
"Hamba sudah menyampaikan undangan
Sang Ketua, tapi kehadiran Resi Agaswara belum
bisa ditentukan," akhirnya keluar juga kata-kata
itu.
"Goblok! Mestinya kau seret dia!"
Mendengar kata-kata keras Malaikat Ban-
gau Sakti, Galungking Saba semakin terjerat rasa
takut.
"Menurut ilmu 'Jangka Depan'ku, hanya
Resi itulah yang sanggup membangkitkan arwah
guruku Dewa Tapak Hitam," lanjut Margana kal-
pa.
"Tapi Sang Ketua tidak perlu kecewa. Ham-
ba membawa wasiat Datuk Risanwari...."
"Hah?!"
Mata Margana Kalpa terbelalak ketika Pe-
nyedot Arwah mengeluarkan gulungan kulit ha-
rimau dari balik bajunya.
Tawa Malaikat Bangau Sakti menggema
berkepanjangan. Benda-benda yang berada di da-
lam ruangan sampai berjatuhan. Penyedot Arwah
dan Bayangan Hitam merasakan jantung mereka
berdegup cepat bersama aliran darah yang tiba-
tiba menjadi kacau. Gendang telinga pun bergetar
keras bagai ditampar berulang kali. Sungguh he-
bat kekuatan tenaga dalam Margana Kalpa.
"Bagus! Bagus, Galungking Saba. Kau telah
menebus kesalahanmu...," kata Margana Kalpa
kemudian. Disambarnya gulungan kulit harimau
dari tangan Penyedot Arwah.

Tapi, lelaki berwajah pucat itu jadi terkejut.
Telapak tangannya terasa panas bagai teraliri api
neraka.
"Benda wasiat yang hebat," desis laki-laki
itu seraya mengerahkan tenaga dalam.
Perlahan-lahan gulungan kulit harimau di
buka. Malaikat Bangau Sakti pun membaca bari-
san huruf-huruf yang tertulis di atas kulit
"Ha-ha-ha...!"
Tawa lelaki berwajah pucat itu menggema
lagi. Penyedot Arwah dan Bayangan Hitam segera
mengerahkan tenaga dalamnya untuk melindungi
diri.
"Anak ajaib...," gumam Margana Kalpa.
"Sebelum orang yang disebut si Pelindung Tua
berbuat sesuatu, aku akan melenyapkan nyawa
anak ajaib itu. Tapi, siapakah dia?"
Dahi lelaki berwajah pucat itu berkerut.
Otaknya dipaksa untuk bekerja keras. Beberapa
lama dia berdiri terpaku di tempatnya. Tiba-tiba
dia mengulas senyum kemenangan.
"Kenapa aku mesti susah-susah memikir-
kannya?" kata hati lelaki berwajah pucat itu. "Ka-
lau aku memusnahkan gulungan kulit harimau
ini, tak akan ada masalah!"
Malaikat Bangau Sakti menatap sejenak
Wasiat Datuk Risanwari dalam genggamannya.
Lalu, sinar matanya berkilat. Margana  Kalpa
mengerahkan kekuatan tenaga dalamnya.
Ssss...!
Muncul suara desisan mirip bara api yang

tersiram air. Gulungan kulit harimau mengelua-
rkan asap. Margana Kalpa terkejut bukan main
melihat benda itu tak terbakar. Dia segera me-
nambah kekuatan tenaga dalamnya sampai ke
puncak.
Suara desisan semakin terdengar jelas.
Margana Kalpa bertambah terkejut. Gulungan ku-
lit harimau yang sedang diremasnya tak juga ter-
bakar. Padahal, kekuatan tenaga dalam yang dis-
alurkan ke tangannya sudah sanggup untuk me-
lelehkan sebatang baja.
Tiba-tiba, Malaikat Bangau Sakti merasa
seperti terhantam kekuatan kasat mata. Dia pun
meregangkan cengkeramannya pada gulungan
kulit harimau.
Splass...!
Gulungan kulit harimau melayang, dan
melesat cepat keluar dari ruangan.
Margana Kalpa terkejut bukan main bagai
disambar petir. Demikian pula halnya dengan Pe-
nyedot Arwah dan Bayangan Hitam yang duduk
bersimpuh tak jauh darinya.
Malaikat Bangau Sakti menghemposkan
tubuhnya untuk mengejar. Namun, gulungan ku-
lit harimau telah lenyap dari pandangan. Lelaki
berwajah pucat itu kembali sambil menggerutu
panjang-pendek.
"Kekuatan kaum hitam terancam...," gu-
mam Margana Kalpa penuh kecemasan. "Aku ha-
rus mencari tahu siapa sebenarnya anak ajaib
yang dimaksud Datuk Risanwari."

Tanpa mempedulikan Penyedot Arwah dan
Bayangan Hitam, lelaki berwajah pucat itu segera
berjalan menuju ke sebuah ruangan berdinding
hitam. Dengan duduk bersila sambil memejam-
kan mata, Margana Kalpa mengerahkan kekuatan
indera keenamnya. Alam pikiran lelaki berwajah
pucat itu segera melayang-layang mengitari
mayapada.
Tiga hari lamanya Malaikat Bangau Sakti
melakukan semadi. Selama itu tubuhnya tak ber-
gerak sedikit pun dari kedudukannya. Alam piki-
ran lelaki berwajah pucat itu terus melayang-
layang mencari jawaban mengenai anak ajaib.
Memasuki hari keempat, mendadak bibir
Margana Kalpa mengembangkan senyum.
"Suropati...!" desis Malaikat Bangau Sakti
seraya membuka mata.
Lelaki berwajah pucat itu lalu bangkit, dan
tertawa terbahak-bahak.
"Kau tampaknya sangat gembira hari ini,"
kata Indarwa atau Setan Betina yang tiba-tiba
muncul di tempat itu. 
"Aku memang sangat gembira, Kekasihku.
Sebentar lagi satu penghalang bagi terwujudnya
cita-citaku akan dapat kulenyapkan!" kata Malai-
kat Bangau Sakti seraya berjalan keluar ruangan.
Indarwa mengikutinya dari belakang.
Margana Kalpa mengumpulkan seluruh
anak buahnya yang berjumlah empat ratus orang.
Dibaginya mereka menjadi delapan kelompok
yang masing-masing dipimpin oleh seseorang pe-

mimpin.
"Hari ini juga kita akan menggempur Per-
kumpulan Pengemis Tongkat Sakti di Bukit Pan-
galasan!" kata Malaikat Bangau Sakti sambil ber-
diri di sebuah undak-undakan. "Tapi ingat, tiap
kelompok yang telah kususun harus bergerak
sendiri-sendiri. Jangan sampai ketahuan lawan
atau pun tercium oleh pihak kerajaan."
Setelah lelaki berwajah pucat itu memberi-
kan petunjuk-petunjuk, seluruh anak buahnya
segera menuruni bukit. Penyedot Arwah dan
Bayangan Hitam diperintah untuk bergerak paling
depan sambil mencari Dewa Laknat dan Pencabik
Sukma untuk bergabung.
Sepeninggal para anggota Perkumpulan
Bangau Sakti, Setan Betina menghadap Margana
Kalpa.
"Kau yakin Perkumpulan Pengemis Tongkat
Sakti akan dapat dibumihanguskan dalam per-
siapan yang demikian singkat?" tanya wanita can-
tik itu.
"Kenapa tidak?!" jawab Margana Kalpa.
"Tokoh sakti yang bercokol di dalam perkumpulan
itu hanya beberapa gelintir. Aku kira, hanya Gede
Panjalu dan Suropati sendirilah yang patut diper-
hitungkan."
Lelaki berwajah pucat itu mendapat semua
petunjuk mengenai Perkumpulan Pengemis yang
dipimpin Suropati melalui semadinya selama tiga
hari. Termasuk tentang pentolan-pentotan Per-
kumpulan Pengemis Tongkat Sakti.

"Tapi, bagaimana kalau pihak kerajaan
mengetahui gerakan kita? Bukankah Suropati
atau Pengemis Binal itu mempunyai hubungan
dekat dengan Baginda Prabu Arya Dewantara?"
"Maka dari itu aku akan berangkat menda-
hului."
Malaikat Bangau Sakti lalu bersuit nyaring.
Sebentar kemudian, di angkasa tampak seekor
bangau hitam raksasa terbang cepat dan menukik
turun di hadapan Margana Kalpa.
"Kaaakkk..! Kaaakkk...!"
Bangau raksasa itu merundukkan tubuh-
nya. Malaikat Bangau Sakti meloncat ke pung-
gung hewan tersebut 
"Bawa aku ke Bukit Pangalasan, Hitam...!"
perintah lelaki berwajah pucat seraya menepuk
leher bangau raksasa.
"Tunggu!" teriak Setan Betina. "Apakah aku
tidak boleh ikut serta?"
"Tidak! jawab Margana Kalpa. "Kau berja-
ga-jagalah di sini bersama lima puluh orang ang-
gota perkumpulan kita yang kutinggalkan."
Lelaki berwajah pucat kemudian menghen-
takkan kedua kakinya.
"Kaaakkk..!" Bangau raksasa mengepakkan
sayap. Tubuhnya lalu melesat di angkasa dengan
membawa tubuh Malaikat Bangau Sakti. Setan
Betina menatap kepergiannya tanpa berkedip. Dia
lalu memberi perintah kepada lima puluh orang
yang berdiri di halaman istana untuk berjaga-jaga
di pintu gerbang.

Di ruang utama bangunan megah wanita
cantik itu tertawa terbahak-bahak waktu melihat
dua orang lelaki berdiri dengan gagahnya. Mereka
adalah Dewa Laknat dan Pencabik Sukma.
"Kalamambang dan kau, Narakasura...,"
kata Setan Betina menyebut nama kecil kedua to-
koh sesat itu. "Bukankah kesempatan seperti ini
yang telah lama kita tunggu? Ha-ha-ha...!"
Setan Betina kembali tertawa terbahak-
bahak. Kalamambang dan Narakasura mengikuti.
Ruangan yang mereka tempati bergetar oleh gelak
tawa ketiga orang itu.
"Keinginan kita akan segera terwujud, In-
darwa...," kata Kalamambang atau si Dewa Lak-
nat "Jalan untuk memusnahkan kekuatan Mar-
gana Kalpa sudah terpampang di depan mata."
"Benar!" ucap Setan Betina. "Orang-orang
kita yang menyusup ke dalam tubuh Perkumpu-
lan Bangau Sakti akan menggempur anak buah
Margana Kalpa di tengah jalan. Dan untuk meng-
hadapi Penyedot Arwah serta Bayangan Hitam,
aku kira kalian berdua cukup mempunyai ke-
mampuan."
'Tapi, yang paling berat adalah menghadapi
Mangana Kalpa," kata Narakasura atau si Penca-
bik Sukma.
"Kau meremehkan kemampuanku, Naraka-
sura!" rungut Indarwa tak senang.
"Kau sanggup menghadapinya?" tanya Na-
rakasura meragukan kemampuan temannya.
Setan Betina tertawa lunak. "Apa gunanya

aku setiap saat selalu bersama lelaki busuk itu,
bila tidak untuk mencari  rahasia kelemahan il-
munya?"
"Kau sudah menemukannya?"
"Tentu saja sudah. Aku hanya menunggu
kesempatan...," kata Indarwa sambil mengulas
senyum. "Kini kesempatan itu telah tiba. Seka-
rang juga kita akan memanfaatkannya!"
Kalamambang dan Narakasura tertawa ke-
senangan.
"Dendam kesumatku akan terlampiaskan.
Dan, kita bertiga akan menjadi raja di raja rimba
persilatan!" kata Kalamambang dengan mata ber-
kilat.
Indarwa lalu pergi ke sebuah lorong yang
terletak di bagian belakang bangunan Perkumpu-
lan Bangau Sakti. Kalamambang dan Narakasura
mengikuti wanita itu, yang kini dianggapnya se-
bagai pemimpin.
"Kesaktian Margana Kalpa yang sedemikian
hebat adalah berkat bantuan arwah gurunya yang
bergelar Dewa Tapak Hitam...," beritahu Setan
Betina. Langkah kakinya berhenti di depan se-
buah dinding yang terbuat dari batu kasar. "Na-
mun, kita akan segera menciptakan malapetaka
bagi arwah orang tua bangkotan itu!"
Indarwa menekan tonjolan batu kecil ber-
warna hitam yang menempel di pojok ruangan.
Tapi, Indarwa terperangah karena maksud ha-
tinya tak terpenuhi.
"Kenapa batu besar yang menutup ruang

penyimpan jasad Dewa Tapak Hitam tak berges-
er?" tanya wanita cantik itu kebingungan.
Dicobanya menekan kembali batu kecil
berwarna hitam dengan kakinya yang berlambar-
kan kekuatan tenaga dalam.
Kresh...!
Batu kecil hancur menjadi serbuk halus.
Tapi, batu besar yang berada di samping Setan
Betina sama sekali tak bergerak.
"Kau sedang melakukan apa?" tanya Nara-
kasura tak mengerti melihat tindakan Indarwa.
"Jasad Dewa Tapak Hitam berada di balik
batu besar itu. Aku sedang mencoba untuk mem-
bukanya."
"Apakah Margana Kalpa juga melakukan
hal serupa bila hendak menemui jasad gurunya?"
"Ya. Tapi, kenapa aku tak dapat melaku-
kannya?" Indarwa semakin kebingungan.
"Margana Kalpa tentu telah melakukan se-
suatu untuk melindungi jasad Dewa Tapak Hi-
tam," duga Kalamambang.
"Kalau begitu, kita harus menghancurkan
batu penghalang itu!"
Setan Betina melangkah mundur tiga tin-
dak. Diambilnya ancang-ancang. Kemudian ke-
dua telapak tangannya menghentak ke depan!
Blaaarrr...!
Ledakan dahsyat menggema. Ruangan ba-
gai diguncangkan tangan raksasa. Tapi, batu be-
sar yang terhantam kekuatan tenaga dalam In-
darwa tetap berdiri kokoh di tempatnya.

"Kalian berdua harus membantuku!" teriak
Setan Betina menyimpan kegusaran.
Dewa Laknat dan Pencabik Sukma segera
melompat di sisi wanita cantik itu. Mereka bertiga
menyalurkan seluruh kekuatan tenaga dalamnya.
Dan, dalam waktu yang bersamaan ketiganya
mendorong telapak tangan.
Wooosss...!
Blaaammm...!
Bunga api berpijaran. Guncangan hebat
terjadi. Langit-langit ruangan runtuh. Debu dan
bebatuan beterbangan mengaburkan pandangan.
Batu besar yang merupakan pintu ruang penyim-
pan jasad Dewa Tapak Hitam tak bergeming sedi-
kit pun. Padahal dinding marmer di sisi kiri-
kanan batu telah hancur berkeping-keping.
Tentu saja kenyataan itu membuat Setan
Betina dan kedua temannya terkejut setengah
mati. Belum sempat mereka menyadari keadaan
itu, tiba-tiba terdengar suara tawa berkepanjan-
gan.
"Malaikat Bangau Sakti!" desis ketiga tokoh
sesat itu bersamaan.
"Kita sudah kepalang tanggung. Kita hada-
pi manusia busuk itu!" perintah Indarwa.
"Aku tak sanggup," jawab Kalamambang
dan Narakasura.
"Pengecut! Bukankah kalian penguasa wi-
layah selatan dan utara? Untuk apa kesaktian
yang kalian miliki bila seseorang telah merendah-
kan derajat kalian sebagai raja golongan sesat?"

"Tapi, aku telah merasakan kehebatan
Margana Kalpa," ucap Kalamambang menyimpan
rasa takut
"Bodoh!" umpat Indarwa. "Sekarang kau ti-
dak sendirian!"
Mendengar ucapan itu, nyali Kalamambang
muncul kembali. Dia berdiri tegak menunjukkan
kegagahannya.
"Keluar kau, Margana Kalpa.'" teriak Setan
Betina yang disertai pengerahan tenaga dalam.
Suaranya terdengar mendengung-dengung di
gendang telinga.
Sesosok bayangan hitam berkelebat cepat.
Lima tombak dari hadapan Indarwa dan kedua
temannya, sosok itu mendarat.
"Aku memang telah mencium siasat licik
kalian...," kata Margana Kalpa mendengus. "Ru-
panya kau musuh dalam selimut, Indarwa!"
"Cih! Siapa yang sudi jadi budak lelaki bu-
suk sepertimu!" sahut Indarwa kertus.
Tawa Malaikat Bangau Sakti membahana.
"Di balik kecantikanmu ternyata tersimpan iri
dengki yang demikian besar!" ucapnya sinis.
"Kau lupa aku adalah tokoh hitam yang se-
lalu memuja nafsu sesat!" sahut Indarwa.
"Bagus! Kalau begitu, kejarlah nafsu se-
satmu sampai ke neraka!"
Usai mengucapkan kalimatnya, Margana
Kalpa menghemposkan tubuh untuk melancarkan
sebuah pukulan maut. Tapi, Setan Betina yang
sudah siap siaga berusaha mendahului serangan

itu dengan tendangan tertuju ke kepala.
Gebrakan pertama mereka sama-sama tak
mengenai sasaran.
Margana Kalpa mendengus keras. Lelaki
itu bergerak ke samping seraya mengirimkan to-
tokan maut ke punggung Indarwa. Namun Dewa
Laknat dan Pencabik Sukma telah mengawali se-
rangannya.
"Monyet-monyet busuk! Kalian akan segera
menyusul nyawa para cecunguk anak buahmu!"
kata Malaikat Bangau Sakti sambil menepis pu-
kulan dan tendangan yang datang beruntun.
"Orang-orangku tidak akan semudah itu
dapat dikalahkan," ucap Narakasura.
Margana Kalpa tertawa sinis. "Para pengi-
kutmu sudah masuk ke lubang jebakan. Kini aku
akan melemparkanmu ke lubang neraka!"
Lelaki berwajah pucat itu menghemposkan
tubuhnya ke atas. Kemudian, meluncur deras un-
tuk melancarkan tendangan ke rusuk kiri Penca-
bik Sukma. Tapi, lelaki sipit berkuku panjang itu
segera bergerak mencakar wajah Malaikat Bangau
Sakti.
"Uts...!"    
Margana Kalpa berkelit. Sementara ten-
dangan kakinya terhenti akibat tangkisan tangan
kiri Narakasura.
Setan Betina dan Kalamambang berteriak
bersamaan. Mereka melancarkan pukulan dengan
berlambarkan kekuatan tenaga dalam penuh.
Deeesss...!

Dada dan punggung Malaikat Bangau Sakti
terkena pukulan dengan telak. Dia hanya men-
dengus seperti tak merasakan apa-apa. Setan Be-
tina dan Kalamambang tampak terkejut sekali.
"Kalian hanyalah tikus-tikus yang tak tahu
diuntung!" maki Margana Kalpa. Cepat tubuhnya
diputar hingga menyerupai gangsingan.
Slash...!
Cahaya hitam mendadak berpendar dari
putaran tubuh Margana Kalpa. Sinar itu menye-
bar memenuhi ruangan. 
"Awas...!" teriak Setan Betina sambil meng-
hemposkan tubuhnya.
Tindakan itu segera diikuti oleh Dewa Lak-
nat dan Pencabik Sukma. Tubuh ke tiga tokoh se-
sat itu meluncur ke atas, dan menjebol langit-
langit ruangan. Bersamaan dengan hancurnya
dinding ruangan yang terhempas cahaya hitam
dari putaran tubuh Malaikat Bangau Sakti.
Pertempuran seru beralih ke halaman ban-
gunan megah. Bahu-membahu. Setan Betina ber-
sama kedua temannya berusaha mendesak Mar-
gana Kalpa.
Sementara itu lima-puluh orang lelaki yang
sedang berjaga di pintu gerbang, ketika melihat
pertempuran itu, seketika mereka saling gempur.
Lima puluh lelaki itu memang anggota Perkumpu-
lan Bangau Sakti, separuhnya adalah para pengi-
kut Narakasura yang bermaksud meruntuhkan
kekuasaan Margana Kalpa dari tampuk pimpinan.
"Aku akan segera melumat tubuh kalian!"

teriak Malaikat Bangau Sakti seraya menghem-
boskan tubuhnya menjauhi arena pertempuran.
Rupanya dia hendak mencari keleluasaan dalam
mengetrapkan ajian saktinya. 
Namun, ketiga lawannya sedikit pun tak
memberi kesempatan. Mereka terus menerjang
ganas berusaha menjatuhkan tangan maut.
"Keparat!" umpat Margana Kalpa. "Kalian
benar-benar ingin mampus!"
Lelaki berwajah pucat itu memutar tubuh-
nya dengan cepat. Cahaya hitam kembali berpen-
dar dari putaran tubuhnya. Tapi, ketiga lawannya
telah meloncat tinggi seraya melontarkan pukulan
jarak jauh secara bersamaan! 
Blaaarrr...!
Gabungan ketiga pukulan jarak jauh itu
membentur cahaya hitam. Tubuh Malaikat Ban-
gau Sakti langsung berhenti berputar. Namun, dia
tertawa terbahak-bahak mengiringi tubuhnya
yang mendadak melesat di udara.
Dees... dees... dees...!
Tubuh Setan Betina, Dewa Laknat, dan
Pencabik Sukma terbanting ke tanah terkena ten-
dangan Margana Kalpa. Tawa Lelaki berwajah pu-
cat itu terdengar makin keras, membuat jantung
orang-orang yang berada di tempat itu berdegup
kencang.
Ketiga tokoh sesat yang tergeletak di tanah
bergegas bangkit berdiri. Mereka membentuk ba-
risan  berjajar dan saling merangkul. Kemudian,
berloncatan hingga membentuk barisan di mana

Setan Betina berada di depan. Di belakangnya
Dewa Laknat menempelkan telapak tangan di
punggung wanita cantik itu. Di belakang sekali
Pencabik Sukma berbuat serupa. Kekuatan tena-
ga dalam tiga tokoh sesat itu kini telah disatukan!
Malaikat Bangau Sakti hanya menatap
dengan sinis. Kedua telapak tangannya lalu di ge-
rakkan seperti sedang mengusap suatu benda.
Slaps...!
Muncul cahaya kelabu di depan tubuh le-
laki berwajah pucat itu.
"Tunggu apa lagi? Segera kirim Malaikat
Kematian kepadaku!" teriak Margana Kalpa.
Setan Betina menggeram. Kedua telapak
tangannya dihentakkan ke depan untuk mengi-
rimkan pukulan jarak jauh.
Blaaammm...!
Ledakan yang sangat dahsyat terdengar.
Pukulan jarak jauh Setan Betina yang disaluri
kekuatan tenaga dalam kedua temannya mem-
bentur cahaya kelabu di depan tubuh Malaikat
Bangau Sakti.
Suatu pemandangan yang menggiriskan
terjadi. Dinding bangunan megah berguncang ke-
ras bagai terlanda gempa. Genteng-genteng ter-
lontar dari tempatnya. Yang lebih mengerikan
adalah teriakan kematian dari lima puluhan ang-
gota Perkumpulan Bangau Sakti. Tubuh mereka
yang sedang saling serang mendadak jatuh berge-
letakan dengan lubang hidung dan telinga menga-
lirkan darah segar.

Sedangkan Setan Betina, Dewa Laknat,
dan Pencabik Sukma terlontar jauh hingga men-
jebolkan benteng setebal satu depa. Ketiga tokoh
sesat itu masih sempat menggeliat. Lalu, menge-
jang dan diam tak berkutik untuk selama-
lamanya.
Malaikat Bangau Sakti tertawa terbahak-
bahak.
"Tak ada seorang manusia pun yang boleh
menghalangi cita-citaku untuk merajai rimba per-
silatan!"
Margana Kalpa mengakhiri ucapannya
dengan suitan nyaring. 
"Kaaakkk...!
Muncul bangau hitam raksasa yang ter-
bang rendah. Margana Kalpa meloncat, dan hing-
gap tepat di punggung bangau raksasa itu.
"Kaaakkk..!"
Sayap bangau sakti mengepak. Burung itu
melesat cepat menuju lereng bukit di mana per-
tempuran antara anak buah Margana Kalpa me-
lawan para pengikut Narakasura sedang berlang-
sung.
Orang-orang yang membelot dari Perkum-
pulan Bangau Sakti terdesak oleh tangan maut
yang dilancarkan Penyedot Arwah dan Bayangan
Hitam.
Dengan kedatangan Malaikat Bangau Sak-
ti, mereka jadi semakin terdesak. Sebentar saja
nyawa mereka melayang tiada tersisa.
Bangau hitam berdiri tegak di atas tanah.

Di punggungnya Margana Kalpa menatap gusar
pada jumlah anak buahnya yang tinggal dua ra-
tus orang.
"Apakah kita akan meneruskan perjalanan
ke Bukit Pangalasan?" tanya Galang Gepak atau
Bayangan Hitam.
"Untuk kembali ke markas kita sudah ke-
palang-tanggung," jawab Malaikat Bangau Sakti.
"Jadi, niat untuk menggempur Perkumpu-
lan Pengemis Tongkat Sakti tetap diteruskan?"
"Benar!" Margana Kalpa mengangguk man-
tap, "Kau bersama Galungking Saba harus dapat
memimpin para anggota perkumpulan kita. Sece-
patnya menuju Bukit Pangalasan!"
"Hamba akan menjalankan perintah se-
baik-baiknya," sahut Galang Gepak.
Lelaki berjanggut panjang itu segera men-
gatur para anggota Perkumpulan Bangau Sakti
untuk melanjutkan perjalanan. Sedangkan Malai-
kat Bangau Sakti langsung terbang bersama ban-
gau raksasanya.

5

Di sebuah gua yang terletak di Bukit Ra-
wangun sesosok tubuh terbujur kaku. Napas dan
detak jantungnya sudah berhenti. Tapi, suhu ba-
dannya masih normal. Hal itulah yang membuat
daging sosok tubuh itu tidak membusuk, walau
telah enam candra lebih terbaring di sana.

Dia adalah Suropati atau Pengemis Binal.
Pemuda itu mati suri akibat terkena kehebatan
ilmu 'Cahaya Sesat' saat bertempur melawan Se-
kar Mayang di Lembah Tengkorak.
Seorang pemuda berwajah lembut berjalan
perlahan membawa tongkat yang diketuk-
ketukkan di atas tanah. Dihampirinya tubuh Su-
ropati.
"Suro...," panggil pemuda itu yang tak lain
Raka Maruta  atau Pendekar Kipas Terbang. Ke-
dua matanya buta oleh serangan racun abdi Se-
kar Mayang yang berjuluk Setan Racun. 
Pemuda berwajah lembut itu meraba-raba
Suropati. Tak lama kemudian keluar rintihan dari
mulutnya. Raka Maruta menangis dalam haru.
Seorang pemuda tampan berambut pirang mun-
cul dan menepuk bahunya.
"Pendekar Cengeng..." kata pemuda tam-
pan itu yang tak lain Kapi Anggara atau si Pende-
kar Asmara. Raka Maruta hanya meraba tangan
sahabatnya. Lalu, menundukkan kepala dalam-
dalam.
"Bagi seorang pendekar, nilai pengorbanan
untuk menegakkan kebenaran tak perlu disesali,"
ucap Kapi Anggara menasihati.
"Siapa yang menyesali?" kata Raka Maruta
bernada protes.
"Lalu, kenapa kau menangis?" 
"Aku hanya merasa kasihan kepada diriku
sendiri. Mataku buta, Anggara. Aku juga tidak bi-
sa berbuat apa-apa untuk menolong Suropati

yang telah kuanggap sebagai adik kandungku!"
"Kalaupun matamu bisa melihat, apakah
kau akan dapat menolong Suropati? Tidak, Maru-
ta! Banyak tokoh sakti yang dapat melihat tapi
tak mampu mengembalikan jiwa Suropati."
Mendengar ucapan Kapi Anggara, Raka
Maruta diam termenung. Memang benar apa yang
dikatakan Kapi Anggara.
"Ke mana Wajah Merah?" tanya pemuda
berwajah lembut itu kemudian.
"Sebentar lagi dia akan datang." Bersa-
maan dengan usainya kalimat Kapi Anggara, seo-
rang lelaki tua berjalan terbungkuk menghampiri
mereka.
Rambut Lelaki tua itu sudah berwarna pu-
tih semua. Dibiarkannya tergerai sampai di pung-
gung. Kulit tubuhnya putih bersih. Terbungkus
pakaian   berwarna kuning. Tapi, yang membuat
penampilan lelaki tua itu tampak aneh adalah ku-
lit wajahnya yang bersemu merah seperti tomat
matang. Karena itulah dia dijuluki si Wajah Me-
rah. Lelaki tua itu dikenal di rimba persilatan se-
bagai seorang tabib terkenal.
"Kalian minggirlah," perintah Wajah Merah
seraya memberi isyarat dengan tangan.
Raka Maruta beringsut menjauhi tubuh
Suropati. Kapi Anggara berjalan mendekati Wajah
Merah yang duduk bersila.
"Kau juga minggir!" bentak tabib pandai
itu.
Kapi Anggara bergegas menjauh. Diperha-

tikannya wajah lelaki tua yang telah menyembuh-
kan luka dalamnya akibat gempuran Iblis Darah
di Lembah Tengkorak.
Wajah Merah menyedekapkan kedua tan-
gan. Matanya terpejam rapat. Alam pikiran tabib
pandai itu segera mencapai keheningan.
Sebentar kemudian, mata batinnya melihat
cahaya terang. Jiwa Wajah Merah melesat lepas
dari raganya. 
Dalam wujud tubuh gaib tabib pandai itu
berjalan mendekati pusat cahaya. Tampaklah
olehnya jiwa Suropati sedang meronta-ronta dari
kepungan cahaya kuning kemerahan yang me-
menjarakannya,
"Kau diamlah  di tempatmu, Suro...," kata
Wajah Merah dalam kekuatan batin. "Aku akan
mencoba membebaskanmu."
"Cepatlah, Kek! Sebentar lagi makhluk me-
nyeramkan itu akan membakarku!" teriak Suro-
pati.
"Tenanglah! Cahaya yang memenjarakan-
mu akan kuhancurkan!"
Wajah Merah menarik napas panjang. Lalu,
tangan kanannya menyampok. Tapi, sinar putih
yang meluncur dari telapak tangan tabib pandai
itu terpental balik!
Wajah Merah menjerit kecil. Tubuh gaibnya
bergetar keras bagai digedor tangan raksasa.
"Cahaya itu sangat kuat menjerat jiwa Su-
ropati. Akan kucoba menghancurkannya sekali
lagi...."

Tangannya direntangkan ke atas untuk
menyedot tenaga gaib sebanyak-banyaknya. Ke-
mudian, Wajah Merah mendengus seraya meng-
hentakkan kedua telapak tangan ke depan. 
Slaps...!
Hempasan tenaga gaib tabib pandai itu
berbalik. Tubuh gaib Wajah Merah terlontar jauh.
Tapi, dia segera bangkit berdiri dan kembali berja-
lan mendekati pusat cahaya yang memenjarakan
tubuh Pengemis Binal.
"Kau gagal, Kek?" tanya remaja konyol itu.
"Waduh! Makhluk mengerikan itu akan segera da-
tang untuk membakarku. Tamatlah riwayatku..."
"Tenanglah, Suro!" bentak Wajah Merah.
"Aku akan mencari kelemahan dari cahaya yang
memenjarakanmu."
Mata tabib pandai itu terlihat menyorotkan
sinar aneh. "Aku butuh bantuan, Suro...," ka-
tanya kemudian.
Weeesss....!
Tubuh gaib Wajah Merah menghilang. Ji-
wanya kembali ke alam nyata. Badan kasar tabib
pandai itu yang tengah duduk bersila di sisi tu-
buh Suropati bergoyang sebentar. Kemudian, ke-
dua matanya terbuka.
"Jiwa Suropati terpenjara...," beritahu Wa-
jah Merah pada Raka Maruta dan Kapi Anggara.
"Aku butuh bantuan untuk membebaskannya."
"Aku bersedia, Kek!" sambut Raka Maruta
penuh semangat. Dia berjalan dengan bantuan
tongkatnya mendekati Wajah Merah.

"Tapi, nyawa taruhannya...," kata Wajah
Merah memperingatkan.
"Aku tidak takut. Dalam keadaan buta se-
perti ini, apa gunanya hidup lama. Lebih baik
mengorbankan nyawaku untuk keselamatan sa-
habat yang kucintai." 
"Baiklah. Kalau begitu mendekatlah ke ma-
ri...."
Wajah Merah dan Raka Maruta duduk ber-
sila berhadapan. Kedua tangan Wajah Merah me-
nempel di bahu Raka Maruta. Demikian pula se-
baliknya.
Dengan mata terpejam, badan halus Raka
Maruta dibimbing oleh Wajah Merah untuk me-
nembus alam gaib di mana jiwa Suropati terpen-
jara.
"Kau lihat pusat cahaya itu, Maruta...,"
tanya Wajah Merah kemudian setelah mencapai
tempat yang dituju.
"Ya. Aku melihat tubuh Suropati dilapisi
cahaya kuning-kemerahan."
"Apa yang kau lihat itu bukan tubuh Suro-
pati, melainkan rohnya...," beritahu Wajah Merah.
"Sekarang kau bersiap-siaplah, Maruta. Badan
halusmu akan kukirim masuk ke dalam pendaran
cahaya itu."
"Lalu, apa yang harus kulakukan?" Raka
Maruta kebingungan.
"Kumpulkan seluruh kekuatan batinmu
dengan berlambarkan ilmu 'Hati Suci' yang kau
miliki. Setelah aku memberi aba-aba, gempurlah

cahaya kuning-kemerahan itu," Wajah Merah
memberi petunjuk.
Usai mengucapkan kalimatnya, Wajah Me-
rah lalu berdiri di belakang Raka Maruta. Kedua
telapak tangannya mengusap punggung pemuda
berwajah lembut itu. Sesaat kemudian... badan
halus Raka Maruta terlontar, dan membentur roh
Suropati.
"Eh! Kau, Maruta...?" kata Pengemis Binal
kaget. "Apakah kau mau bunuh diri? Aku di sini
sedang berkutat melawan maut. Kenapa kau ma-
lah menyusul?"
"Hush! Aku hendak menolongmu!" tukas
Raka Maruta.
"Bagaimana caranya?"
"Aku datang bersama Wajah Merah."
Pada saat itu Wajah Merah menggeram.
Jengkel dia melihat dua orang sahabatnya itu ma-
lah bercakap-cakap.
"Jangan bertindak bodoh, Maruta!" teriak
tabib pandai itu. "Kekuatan kita untuk menem-
bus alam nirwana ada batasnya. Kita tidak bisa
berlama-lama tinggal di tempat ini!"
"Maafkan aku, Kek...," kata Raka Maruta.
"Segera kita gempur cahaya yang memenjarakan
ini."
Pemuda berwajah lembut itu kemudian
mengumpulkan kekuatan batinnya yang dilamba-
ri ilmu 'Hati Suci'. Lalu, kedua tangannya meng-
hentak ke depan.
Bersamaan dengan itu Wajah Merah

menghantamkan tenaga gaibnya. 
Srash...!
Cahaya kuning-kemerahan mengitari tu-
buh gaib Raka Maruta dan Suropati tiba-tiba le-
nyap, meninggalkan suara seperti desisan ular.
"Kau telah bebas, Suro...!" teriak Raka Ma-
ruta girang.
Pengemis Binal menatap wajah sahabatnya
sejenak, lalu menghambur untuk memeluknya.
Tanpa mereka sadari di tempat itu telah muncul
sesosok makhluk berwujud mengerikan. Telapak
tangannya yang sebesar tubuh gajah langsung
menyambar tubuh gaib Raka Maruta dan Suropa-
ti!     
"Awas...!" teriak Wajah Merah.
Sayang peringatan itu terlambat datang-
nya. Tubuh halus dua pendekar muda itu berha-
sil disambar. Dan, tangan raksasa si makhluk
mengerikan langsung meremas. Wajah Merah bu-
ru-buru menghantamkan tenaga gaibnya
Splash...!
Tubuh makhluk mengerikan itu mengge-
liat. Remasan tangannya mengendor. Kesempatan
itu tak disia-siakan Raka Maruta dan Suropati.
Mereka segera meloncat. Tapi, tiba-tiba makhluk
mengerikan itu menyemburkan api!
"Awas, Suro...!" teriak Raka Maruta seraya
mendorong tubuh halus Pengemis Binal. Malang
bagi dirinya. Semburan api berhasil mengepung
tubuh halus Raka Maruta. Diiringi jeritan pan-
jang, tubuh halus pemuda berwajah lembut itu

terbakar, lalu lenyap.
Suropati dan Wajah Merah memandang
dengan perasaan ngeri. Tapi sebelum sesuatu
yang tak diinginkan terjadi, Wajah Merah telah
menyambar tubuh halus Suropati untuk memba-
wanya kembali ke alam nyata.
Badan kasar Pengemis Binal yang tergele-
tak di atas batu besar menggeliat. Bersamaan
dengan itu Wajah Merah membuka kedua ma-
tanya. Kedua tangannya yang menempel di bahu
Raka Maruta dilepaskan. Dan badan kasar pemu-
da berwajah lembut itu jatuh terjengkang.
"Pendekar budiman...," gumam Wajah Me-
rah. "Semoga Tuhan mengampuni  segala do-
sanya." 
Wajah Merah terpekur sejenak mengenang
kebaikan Raka Maruta yang rela mengorbankan
dirinya untuk menolong sahabatnya. 
"Uh...! A...!" 
Tiba-tiba terdengar suara keluhan. Wajah
Merah menoleh. Dilihatnya tubuh Suropati berge-
rak-gerak mengejang bagai ayam habis disembe-
lih.
"Kenapa dia, Kek...?" tanya Kapi Anggara
yang berada di sisi batu besar. Matanya meman-
dang dengan penuh kekhawatiran.
Wajah Merah tak memberi jawaban. Mata
batinnya sedang bekerja.
"Roh Suropati masih ditahan oleh kekua-
tan gaib...," gumam tabib pandai itu kemudian.
Wajah Merah segera duduk bersemadi. Tu-

buh halusnya kembali melayang menembus alam
nirwana.
Tabib pandai itu terkejut bukan main keti-
ka mata batinnya melihat tubuh halus Suropati
meronta-ronta di tengah garis cahaya kuning-
kemerahan. Dan, makhluk mengerikan yang baru
saja memangsa tubuh halus Raka Maruta tampak
mengeluarkan sinar putih dari kedua tangan rak-
sasanya. Dia berusaha menyeret tubuh halus Su-
ropati yang sudah berada di tengah-tengah alam
gaib dan alam nyata.
"Hei! Makhluk Gaib...!" teriak Wajah Merah.
"Manusia tidak pernah mengusik kaummu. Tapi
kenapa kau ingin menyiksa seorang anak manu-
sia?"
"Ha-ha-ha...!" makhluk mengerikan itu ter-
tawa. "Siapa bilang manusia tidak pernah mengu-
sik kaumku? Manusia-manusia picik yang haus
nafsu keduniawian biasa memuja kaumku. Tapi,
mereka kemudian memperbudak untuk mewu-
judkan segala keinginannya!"
"Setelah mereka menemui ajal, bukankah
roh mereka ganti diperbudak oleh kaummu?" ba-
las Wajah Merah.
"Huh! Itu masih belum cukup!"
"Terserah apa katamu! Tapi, lepaskan roh
anak manusia yang tidak ada sangkut-pautnya
dengan dirimu itu!"
"Siapa sudi! Justru aku pun akan memen-
jara roh-mu, Manusia Usil! Kau terlalu lancang!"
teriak makhluk mengerikan. Mulutnya kemudian

menyemburkan api yang segera menghujani tu-
buh halus Wajah Merah.
Karena di tempat itu telah dipenuhi lautan
api yang menerpa dari atas, tak ada cara lain bagi
Wajah Merah untuk meloloskan diri, kecuali
menghantamkan tenaga gaibnya
Srash...! 
Lautan api itu buyar. Tapi, kaki  makhluk
mengerikan berusaha menginjak tubuh halus Wa-
jah Merah. Kembali tabib pandai itu menghan-
tamkan tenaga gaibnya. Si makhluk mengerikan
menggeliat kesakitan. Telapak kakinya terasa pa-
nas.
Kesempatan yang hanya sekejap itu tak
disia-siakan Wajah Merah.  Dia segera menyo-
rongkan kedua telapak tangannya. Sinar putih
yang membelenggu tubuh halus Suropati lang-
sung lenyap. Wajah Merah segera menyambarnya.
Tapi, kibasan sinar putih menghantam!
"Argh...!"   
Tubuh halus Wajah Merah terlontar. Suro-
pati yang sudah  lepas dari biasan cahaya yang
membelenggunya menatap dengan perasaan nge-
ri. Beruntung pemuda itu segera menyadari kea-
daan yang ada. Tubuh halusnya melayang sece-
pat kilat mendahului luncuran sinar putih yang
akan menghempaskan tubuh halus Wajah Merah.
Si makhluk mengerikan menggeram. Men-
dadak, sinar putih yang meluncur dari telapak
tangannya melesat semakin cepat membentur
punggung Pengemis Binal!

Blab...!
Sinar Putih itu buyar dan terlontar balik.
Jerit ngeri yang menyayat hati keluar dari mak-
hluk gaib berwujud menyeramkan.
Rupanya, dalam keadaan genting Suropati
masih sempat mengeluarkan ilmu 'Kalbu Suci
Penghempas Sukma'-nya. Sehingga, tubuh gaib
remaja konyol itu terlindungi cahaya kebiru-
biruan.
"Selekasnya kita kembali ke alam nyata,
Kek...!" kata Pengemis Binal sambil memeluk tu-
buh halus Wajah Merah.
"Awas, Suro...!" teriak tabib pandai itu ke-
tika melihat sinar putih kembali meluncur deras.
"Heaaa...!"
Pengemis Binal meloncat sambil membo-
pong tubuh halus Wajah Merah.
"Makhluk mengerikan itu bergerak sema-
kin ganas. Kita harus segera berlalu dari tempat
ini," kata remaja konyol itu.
"Kau siapkan kekuatan batinmu," ucap
Wajah Merah seraya menatap makhluk mengeri-
kan. 
Slaps...!
Sinar putih yang keluar dari telapak tan-
gan makhluk mengerikan itu hanya mengenai an-
gin kosong, karena tubuh halus Suropati dan Wa-
jah Merah telah lenyap.
Badan kasar Wajah Merah tergeletak di
samping jasad Raka Maruta. Kapi Anggara meno-
pang kepala tabib pandai itu dengan tangan ka-

nannya. Sedangkan Suropati menatap dengan pe-
rasaan penuh haru.
"Aku berhutang budi kepadamu, Kek...,"
ucap Suropati. 
"Kau... kau tak perlu memikirkan itu, Su-
ro...," desak Wajah Merah yang terluka dalam
sangat parah.
"Kau seorang pendekar yang sanggup me-
nyinari gelap rimba persilatan.... Aku senang ber-
hasil menyelamatkanmu, meski nyawaku taru-
hannya..."
"Kek, aku akan menyalurkan hawa murni
ke tubuhmu"
Mata Wajah Merah mengerjap lemah. "Te-
rima kasih, Suro," ujarnya dengan suara seakan
melemah.
"Kau... kau ambillah kitab yang berada di
balik bajuku. Aku mewariskannya kepada...
mu...."
Usai mengucapkan kalimatnya, kepala ta-
bib pandai itu terkulai. Suropati mengeluarkan je-
rit tertahan. Kapi Anggara menatap haru seraya
menarik napas panjang. Diletakkannya kepala
Wajah Merah di lantai gua.
"Usahanya selama enam candra  lebih un-
tuk menyelamatkan nyawamu tidak sia-sia, Su-
ro...," kata Kapi Anggara kemudian.
"Enam candra?!" Pengemis Binal kehera-
nan
"Ya."
"Jadi... jadi tubuhku terbaring di atas batu

besar itu selama waktu yang sedemikian panjang?
Tapi, kenapa badan kasarku bisa bertahan untuk
tidak membusuk?" 
"Setiap hari Wajah Merah menyalurkan
hawa murni ke tubuhmu. Dan selama itu dia juga
memperdalam ilmu kesaktian, untuk membe-
baskan rohmu yang katanya ditahan makhluk ha-
lus."
"Lalu, kenapa Raka Maruta juga rela men-
gorbankan nyawanya?"
"Ketika bertempur melawan Setan Racun di
Lembah Tengkorak, Raka Maruta terluka parah.
Wajah Merah berhasil menyelamatkan jiwanya.
Tapi, kedua mata pemuda berwajah lembut itu te-
lah terkena racun ganas yang tak dapat disem-
buhkan. Hingga membuat matanya buta." 
Kepala Suropati tertunduk mendengar pe-
nuturan Kapi Anggara.
"Raka Maruta memang seorang sahabat se-
jati, Suro...," kata pemuda itu kemudian. "Hampir
setiap hari dia menangisi keadaannya yang tidak
bisa berbuat apa-apa untuk menolongmu. Ketika
Wajah Merah memerlukan seseorang yang sang-
gup menolong dirimu, dia bersedia...."
"Oh...."
Pengemis Binal mendekap wajahnya. Hati
remaja tampan itu diliputi perasaan haru yang
sangat.
"Dua orang yang baik budi telah pergi ka-
rena usahanya untuk menyelamatkan diriku...,
gumam Suropati. "Semoga arwah mereka ditem-

patkan di sisi Tuhan sebaik-baiknya." 
"Kau ingat pesan terakhir Wajah Merah,
Suro?" tanya Kapi Anggara.
"Apa?"     
"Bodoh! Kerbau pelupa!" ujar Kapi Anggara
jengkel. 
"Eh...."
Pengemis Binal mengerenyitkan dahi se-
raya  menggaruk-garuk kepalanya.
"Sebal melihat kebiasaanmu itu!" umpat
Kapi Anggara lagi. 
"Kalau sebal jangan kau lihat!"
"Uh! Dasar kerbau!"
"Aku bukan kerbau!" bantah Suropati.
"Kalau bukan kerbau, coba kau ingat pe-
san terakhir Wajah Merah."
Suropati menggaruk-garuk kepala lagi.
"Ha-ha-ha...!" tawa Kapi Anggara meledak.
"Seekor kerbau memang berotak bebal!"
Pemuda tampan yang bergelar Pendekar
Asmara itu kemudian berjalan menghampiri jasad
Wajah Merah. Dikeluarkannya sebuah kitab dari
balik bajunya.
"Hei! Aku ingat sekarang!" teriak Suropati.
"Wajah Merah mewariskan kitab itu kepadaku."
"Kau keliru. Kitab yang kupegang ini diwa-
riskan kepadaku."
"Tidak! Kau jangan ngawur, Anggara!" ban-
tah Suropati.
"Siapa yang ngawur? Kaulah yang menga-
da-ada," sergah Kapi Anggara.

"Tidak! Kau harus menyerahkan kitab itu
kepadaku!" bentak Pengemis Binal bernada ma-
rah.
"Ha-ha-ha...!"
Kapi Anggara tertawa terbahak-bahak.
"Bangsat!" umpat Suropati. "Kau rupanya
seorang sahabat yang tidak bisa dipercaya."
Pengemis Binal lalu menghemposkan tu-
buhnya berusaha menyambar kitab yang dipe-
gang Kapi Anggara. Sayang sambaran itu hanya
mengenai angin kosong.
"Bila kau menginginkan kitab ini, langkahi
dulu mayatku!" tantang si Pendekar Asmara.
"Baik! Aku akan segera menginjak-injak
mayatmu."
Suropati kembali menyerang dengan ganas.
Tapi, Kapi Anggara cuma tertawa-tawa sambil te-
rus menghindar. Lewat dua jurus kemudian, Pen-
gemis Binal meloncat dua tombak dari hadapan si
Pendekar Asmara.
"Aku tidak peduli siapa kau. Wasiat orang
yang telah mati harus dipegang teguh...," ucap
remaja konyol itu. "Dengan ilmu totokan 'Delapan
Belas Tapak Dewa,' aku akan mengantarkan nya-
wamu ke neraka, Manusia Culas!"
Suropati segera mengerahkan seluruh ke-
kuatan tenaga dalam ke ujung jari telunjuknya
yang menyatu di depan dada. Sesaat kemudian,
asap tipis mengepul dari kepalanya yang bergetar.
"Tahan...!" teriak Kapi Anggara.
"Huh! Kau mau berkata apa lagi? Segera

kau serahkan kitab itu." 
"Justru aku akan menghancurkannya,"
ujar Kapi Anggara dengan kalem.
Mata Pengemis Binal mendelik! Ditatapnya
kitab warisan Wajah Merah yang diremas oleh
Kapi Anggara. Suropati menjadi gusar terbawa
oleh rasa penasaran. Dia pun tercenung di tem-
patnya. Tak mampu berbuat apa-apa.
Tiba-tiba, si Pendekar Asmara tertawa ter-
bahak-bahak. "Kau memang kerbau dungu yang
mudah diperdayai orang, Suro!" katanya seraya
melemparkan kitab yang dipegangnya.
Pengemis Binal buru-buru menyambut Di-
lihatnya kitab warisan Wajah Merah itu masih
utuh. Tak kurang suatu apa.
"Aku hanya bercanda.  Kenapa kau me-
nanggapinya dengan sungguh-sungguh, Suro...?"
ujar Kapi Anggara seraya tersenyum penuh ke-
menangan.
Suropati menggaruk-garuk kepalanya. La-
lu, mengumpat sejadi-jadinya.
"Siapa yang mau merebut hak seorang sa-
habat, Suro...?" ucap si Pendekar Asmara sambil
menepuk bahu Pengemis Binal.
Tapi, tiba-tiba remaja konyol itu men-
gayunkan kepalan tangannya.
Buuukkk...!
Kapi Anggara meringis kesakitan. Perutnya
terasa mulas bagai kebanyakan makan sambal.
Dia pun segera memasang kuda-kuda untuk
mengawali serangan.

"Aku hanya bercanda. Kenapa kau me-
nanggapinya dengan sungguh-sungguh, Angga-
ra... ?" elak Suropati sambil tersenyum.
"Bangsat!" umpat si Pendekar Asmara
jengkel. Kena juga dia diperdayai sahabatnya itu.
Pengemis Binal tertawa terbahak-bahak
sambil menggaruk kepalanya. Melihat itu, Kapi
Anggara ikut tertawa.
"Kita harus segera menguburkan jenazah
Raka Maruta dan Wajah Merah...," kata Suropati
kemudian dengan ucapan berubah sendu. Bagai-
manapun dia telah kehilangan sahabat-sahabat
yang selama ini telah membantunya.
Ketika remaja konyol itu hendak mengang-
kat jasad Wajah Merah, Suropati terkejut. Jasad
tabib pandai itu masih hangat. Dia pun segera
memeriksa jasad Raka Maruta.
"Jasat pendekar budiman ini juga masih
hangat. Padahal waktu telah berlalu sekian lama.
Mungkinkah dia masih hidup?" tanya Suropati
dalam hati.
Melihat Pengemis Binal tertegun, Kapi Ang-
gara segera menghampiri. Pemuda itu turut me-
meriksa jasad Wajah Merah dan Raka Maruta.
"Mereka dalam keadaan mati suri seperti
dirimu, Suro...," beritahu Kapi Anggara.
Kening Suropati berkerut. "Lalu, siapa lagi
yang bisa menolong mereka?"
"Dengan Air Sakti roh Wajah Merah dan
Raka Maruta akan dapat kembali ke badan ka-
sarnya," beritahu Kapi Anggara.

"Di mana kita bisa memperoleh Air Sakti
itu?"
"Air Sakti adalah air ajaib. Untuk menda-
patkannya juga memerlukan keajaiban."
Suropati menggaruk-garuk kepalanya.
"Aku harus mendapatkan Air Sakti. Bagai-
manapun caranya. Aku akan mencarinya...," janji
remaja konyol itu.
Setelah membaringkan jasat Wajah Merah
dan Raka Maruta di atas batu besar secara ber-
dampingan, Pengemis Binal melangkahkan ka-
kinya ke istana Kerajaan Anggarapura. Mereka
bersepakat untuk sementara akan berpisah.


6

Bukit Pangalasan terselimuti kabut. Sem-
burat cahaya mentari menyinari dalam kereman-
gan. Terang belum sempurna benar karena pagi
baru saja datang. Hawa dingin masih setia me-
nemani. Satwa-satwa pun malas beranjak.
Tanpa mempedulikan hawa dingin yang
menusuk tulang, ratusan manusia merayap naik
menuju puncak bukit dari arah utara dan sela-
tan.  Penyedot Arwah dan Bayangan Hitam me-
mimpin di depan. Sementara di angkasa berputa-
ran seekor bangau raksasa berbulu hitam. Di
punggungnya bertengger Malaikat Bangau Sakti.
"Kaaakkk...! Kaaakkk...!"

Bangau raksasa itu melesat cepat menuju
sisi bukit sebelah utara. Kemudian mendarat di
atas tanah.
Satwa yang tampak perkasa itu mengepak-
ngepakkan sayapnya, membuat angin berhembus
kencang dan hawa dingin terasa semakin menu-
suk tulang.
"Galungking Saba...!" teriak Margana Kalpa
atau Malaikat Bangau Sakti.
Sesosok  bayangan hitam berkelebat. Lalu
berdiri tegak tiga tombak dari hadapan bangau
raksasa.
"Hamba, Sang Ketua...," lapor bayangan hi-
tam itu yang tak lain Penyedot Arwah.
"Kau bersama anak buahmu bergeraklah
menyerong ke arah barat. Dari arahmu berjalan
sekarang, banyak tebing terjal yang akan mem-
perlambat langkah kelompokmu."
"Hamba, Sang Ketua...," Galungking Saba
membungkukkan badan.
"Kaaakkk...! Kaaakkk...!"
Setelah lehernya ditepuk Margana Kalpa,
bangau raksasa terlihat mengepakkan sayapnya.
Burung itu kembali melesat ke angkasa membawa
tubuh Malaikat Bangau Sakti.
Sementara itu di puncak bukit yang berta-
nah datar suasana sepi masih setia menamani.
Perkampungan di mana para anggota Perkumpu-
lan Pengemis Tongkat Sakti bermukim belum me-
nunjukkan tanda-tanda gerak kehidupan. Seba-
gian besar masih terlelap dibuai mimpi.

Di dalam sebuah rumah berdinding papan,
Gede Panjalu sedang bersemadi. Wajah kakek
bongkok yang penuh keriput itu membiaskan ca-
haya teduh. Rambut dan alisnya telah memutih
semua.    
Bersama hembusan napasnya yang teratur,
sesepuh Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti itu
mencapai puncak keheningan alam semesta. Tapi,
tiba-tiba dia membuka kelopak matanya seraya
menajamkan pendengaran.
"Aku mendengar suara yang tidak biasanya
di angkasa...," kata hati Gede Panjalu. "Seperti
suara bangau raksasa yang terbang cepat..."
Perlahan-lahan kakek bongkok itu bangkit
dari duduknya. Disambarnya sebatang tongkat
yang tersandar di dinding papan. Diambang pintu
rumah Gede Panjalu menatap suasana pagi yang
masih remang-remang. Dia segera mempertajam
pendengarannya kembali. Tapi, hanya kokok
ayam alaslah yang terdengar bersahutan.
"Aneh...," desis Gede Panjalu. "Apakah
bangau raksasa itu hanya sekadar lewat. Tapi, fi-
rasatku mengatakan lain. Mungkinkah darah
manusia akan  menyiram puncak Bukit Pangala-
san?"
Mendadak, sesosok bayangan berkelebat.
Sosok itu berhenti di sisi Gede Panjalu yang se-
dang tercenung.
"Kau mendengar sesuatu yang mencuriga-
kan, Kek?" tanya sosok bayangan yang tak lain
Wirogundi. Dia salah seorang tokoh penting da-

lam Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti.
"Kau juga mendengarnya, Wiro?" Gede Pan-
jalu ganti bertanya.
"Ya. Dan, perasaanku tiba-tiba jadi merasa
tidak enak."
"Aku pun demikian."
Gede Panjalu kemudian kembali terme-
nung. Bayangan Suropati berkelebat di depan ma-
tanya.
"Selama enam candra lebih remaja konyol
itu tidak menampakkan batang hidungnya. Ke
mana dia?" gumam Gede Panjalu dengan tarikan
napas panjang-panjang.
"Kau berkata apa, Kek?" tanya Wirogundi
tak jelas.
"Aku ingat Suropati,"
"Mungkinkah dia sedang mengalami sesua-
tu yang tak diinginkan?" 
"Kau jangan berpikir yang macam-macam,
Wiro. Sebaiknya kita...."
Gede Panjalu tak sempat melanjutkan uca-
pannya. Tiba-tiba terdengar suara keras disertai
lesatan burung bangau raksasa berbulu hitam di
angkasa. 
"Bangau perkasa!" teriak Anjarweni yang
tahu-tahu saja sudah muncul di samping Wiro-
gundi.
Pemuda bertubuh kurus itu menolehkan
kepalanya sebentar menatap Anjarweni lalu,
kembali memperhatikan bangau raksasa yang
terbang rendah. Kibasan sayap bangau perkasa

itu membuat angin berhembus kencang yang
membawa hawa dingin.
"Suruh keluar Suropati!" teriak Malaikat
Bangau Sakti yang bertengger di punggung ban-
gau raksasa.
"Siapa kau? Dan apa maksud kedatan-
ganmu?!" teriak Gede Panjalu yang disertai penge-
rahan tenaga dalam. Hingga suaranya terdengar
sekeras halilintar.
"Ha-ha-ha...!"
Margana Kalpa atau Malaikat Bangau Sakti
tertawa. Dia meloncat dari bangau raksasa tung-
gangannya. Walaupun ketinggian yang dilaluinya
melebihi tinggi sebatang pohon kelapa, tapi tela-
pak kaki lelaki berwajah pucat itu sama sekali tak
mengeluarkan suara ketika mendarat di atas ta-
nah. Kenyataan itu menandakan ilmu meringan-
kan tubuh Malaikat Bangau Sakti telah mencapai
taraf sempurna.
"Bila kalian belum tahu siapa raja di raja
kaum sesat, akulah orangnya! Kalian bisa me-
manggilku dengan sebutan Malaikat Bangau Sak-
ti, ketua Perkumpulan Bangau Sakti!" kata Mar-
gana Kalpa dengan suara lantang.
"Apa maksudmu datang kemari?" tanya
Gede Panjalu lagi penuh selidik.
"Aku ingin Suropati menampakkan batang
hidungnya!"
"Dia tidak ada!"
Malaikat Bangau Sakti tertawa terbahak-
bahak. "Kalian sengaja menyembunyikannya.

Atau, dia sendiri yang bersembunyi karena ta-
kut?!"
"Kau jangan menghina, Kisanak! Suropati
memang tidak ada di sini. Kalau Kisanak mem-
punyai kepentingan, datanglah lain waktu...,"
ucap Gede Panjalu tak senang mendengar Suro-
pati diremehkan.
"Rupanya kau berusaha menyembunyikan
Suropati di balik kata manismu, Orang Tua
Bongkok!" Margana Kalpa terus menyudutkan.
"Keparat!" umpat Wirogundi. "Kau kira sia-
pa dirimu berani berkata seperti itu?!"
"Ha-ha-ha...!" Margana Kalpa kembali ter-
tawa terbahak-bahak.
"Seorang gembel busuk yang sedang marah
ternyata wajahnya berubah mirip monyet kebaka-
ran ekor!"
"Bangsat!"
Kemarahan Wirogundi tak dapat ditahan
lagi.
Pemuda itu langsung menerjang. Tapi, Ma-
laikat Bangau Sakti telah meloncat kembali ke
punggung bangau raksasa.
"Bila Suropati tidak segera menampakkan
diri, aku akan mengobrak-abrik tempat ini!" an-
cam lelaki berwajah pucat itu dengan tidak main-
main.
Tiba-tiba, bangau raksasa melesat cepat
seraya menyorongkan kedua cakarnya.
Braaakkk...! 
Rumah papan yang ditempati Gede Panjalu

hancur berantakan. Tiang penyangga roboh dan
genteng-genteng melayang dalam keadaan hancur
berkeping-keping, terhantam cakar bangau  rak-
sasa.
"Kaaakkk...! Kaaakkk...!".
Satwa perkasa itu terbang tinggi. Lalu
kembali menukik cepat bagai lesatan batu meteor,
dan mendarat di atas tanah dengan gagahnya.
"Segera panggil Suropati!" teriak Margana
Kalpa marah.
"Suropati terlalu terhormat untuk men-
jumpai manusia busuk sepertimu!" sahut Wiro-
gundi seraya menerjang dengan tongkat di tan-
gan.
Mendadak, bangau raksasa mengibaskan
sayapnya hingga menimbulkan tiupan angin to-
pan. Wirogundi yang tak menyangka hal itu akan
terjadi tiada sempat mengendalikan gerak tubuh-
nya. Tubuh anggota Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti itu terhempas ke tanah.
Bermunculanlah puluhan anggota Per-
kumpulan Pengemis Tongkat Sakti lainnya. Mere-
ka langsung mengepung Malaikat Bangau Sakti
dengan senjata tongkat.
"Kroco-kroco dungu! Kalian hanya mencari
mati!" teriak Margana Kalpa seraya menepuk
bangau tunggangannya. Si bangau raksasa kem-
bali mengepakkan sayap.
"Weeesss...!"
Hembusan angin topan menerpa. Puluhan
tubuh anggota Perkumpulan Pengemis Tongkat

Sakti terpental dengan diiringi jerit yang me-
nyayat hati.
Tapi, puluhan lelaki bersenjata tongkat
lainnya muncul datang. Margana Kalpa menatap
sinis. Kemudian laki-laki itu bersuit nyaring.
Bermunculanlah para anggota Perkumpulan Ban-
gau Sakti dari arah utara dan barat bukit.
Pertempuran seru segera terjadi. Anak
buah Malaikat Bangau Sakti yang bersenjata go-
lok menerjang ganas bagai iblis haus darah. Di-
bantu oleh Penyedot Arwah dan Bayangan Hitam,
mereka menyebar kematian!
"Kaaakkk...!"
Bangau raksasa melesat menerjang Gede
Panjalu. Tapi, kakek bongkok itu telah memper-
siapkan serangan mendadak.
Dada bangau raksasa terhantam pukulan
jarak jauh Gede Panjalu. Satwa perkasa itu
menggeliat ganas. Tubuh Malaikat Bangau Sakti
yang bertengger di punggungnya terlontar!
"Kaaakkk...!"
Bangau raksasa melesat cepat dan berlalu
dari tempat itu. Tinggallah Margana Kalpa men-
dengus penuh kemarahan.
"Aku akan mengirim nyawamu ke neraka,
Orang Tua Bongkok!" teriak lelaki berwajah pucat
itu seraya menerjang.
"Kau lawan aku dulu, Manusia Busuk!" sa-
hut Anjarweni balas menerjang.
"Weni! Jangan...!" Wirogundi memperin-
gatkan, "Ingat bayi yang kau kandung!"

Tapi, Anjarweni tak mempedulikannya. Dia
menyerang Malaikat Bangau Sakti dengan jurus-
jurus maut. Margana Kalpa segera balas menye-
rang tak kalah hebatnya.
Anjarweni yang sebenarnya sedang men-
gandung tiga bulan tampak kerepotan menghada-
pi jurus-jurus aneh Malaikat Bangau Sakti. Meli-
hat itu, Wirogundi langsung memutar tongkat di
tangannya dengan kecepatan luar biasa. Bebera-
pa anggota Perkumpulan Bangau Sakti yang  se-
dang mengeroyoknya roboh tanpa mampu bangkit
lagi.
"Kau menyingkirlah, Weni...!" teriak pemu-
da bertubuh kurus itu seraya menerjang Malaikat
Bangau Sakti.
"Kita hadapi manusia busuk itu bersama-
sama, Wiro!"
"Tidak! Ingat calon anak kita, Weni!"
Peringatan Wirogundi tak dipedulikan An-
jarweni. Dia segera mengerahkan ilmu 'Pukulan
Api Neraka'-nya. Angin pukulan berhawa panas
mencecar tubuh Margana Kalpa. Wirogundi beru-
saha menghunjamkan tongkatnya dengan ber-
lambarkan jurus 'Tongkat Memukul Anjing' dis-
usul dengan jurus 'Tongkat Menghajar Maling'
dan 'Tongkat Mengejar Kucing'. Tapi, Malaikat
Bangau Sakti bukanlah lawan yang enteng. Tu-
buh lelaki berwajah pucat itu berubah jadi
bayangan. Di lancarkannya serangan yang lebih
hebat.
Sementara itu Penyedot Arwah tampak

mengganas, menyebar kematian bagi para anggo-
ta Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti
Gede Panjalu segera meninggalkan para
pengeroyoknya setelah menjatuhkan tangan
maut. Diterjangnya Penyedot Arwah. Tapi Bayan-
gan Hitam telah memapaki.
"Hadapilah aku, Orang Tua Bongkok!" ben-
tak lelaki berjanggut panjang itu seraya menghen-
takkan kedua telapak tangannya ke depan dalam
jurus ilmu 'Pukulan Penghempas Gunung.'      
Wuuusss...!
Sinar kuning meluncur deras ke arah Gede
Panjalu. Kakek bongkok itu segera menghem-
poskan tubuhnya ke atas. Dia terperangah. Tu-
buhnya yang limbung di udara terkena sambaran
angin pukulan jarak jauh Bayangan Hitam. Gede
Panjalu segera menyadari kehebatan lawan.
"Heaaa...!"
Sesepuh Perkumpulan Tongkat Sakti itu
kemudian memutar tongkatnya. Dihantamkannya
ke arah kepala Bayangan Hitam! Serangan itu
hanya mengenai angin kosong. Tubuh Bayangan
Hitam telah berkelebat sangat cepat.
"Keluarkan seluruh kemampuanmu, Sapi
Tua!" ejek lelaki berjanggut panjang itu.
Gede Panjalu mendengus gusar. Dia segera
mengeluarkan rangkaian Jurus Tongkat Saktinya
yang digabungkan dengan jurus 'Pengemis Me-
minta Sedekah'! 
"Heaaa...!"
Kakek bongkok itu menerjang ganas. Na-

mun, tubuh Bayangan Hitam berkelebatan seraya
melancarkan serangan balik, berusaha menghan-
tam lawan dengan ilmu 'Pukulan Penghempas
Gunung.'

***

Sang baskara telah bergerak memayungi
kepala. Sinarnya menerpa tubuh ratusan manu-
sia yang tergeletak di atas tanah tiada bernyawa.
Darah yang berceceran telah mengering. Tapi, cai-
ran darah baru muncrat dari tubuh-tubuh yang
terluka. Bukit Pangalasan benar-benar jadi ajang
pertempuran yang menggiriskan.
Para anggota Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti terdesak hebat Manusia-manusia
haus darah yang bernaung dalam Perkumpulan
Bangau Sakti terus mencecar lawan dengan teba-
san goloknya. Apalagi dibantu oleh Penyedot Ar-
wah. Anak buah Malaikat Bangau Sakti itu dapat
dengan mudah menjatuhkan tangan mautnya.
Sementara itu pertempuran antara Marga-
na Kalpa melawan Wirogundi dan Anjarweni ber-
jalan tak seimbang. Gerak tubuh Malaikat Ban-
gau Sakti yang berlambarkan jurus 'Bangau Men-
gejar Mangsa' sangat sulit diikuti pandangan ma-
ta. Wirogundi dan Anjarweni jadi kewalahan
menghadapinya.
Namun, semangat tempur sepasang keka-
sih itu tak pernah kendor. Mereka terus mencecar
lawan dengan jurus-jurus andalan.

"Jaga kepalamu, Manusia Busuk!" kata An-
jarweni seraya melancarkan tendangan melingkar.
"Jaga kepalamu sendiri, Babi Bunting!"
ucap Margana Kalpa menepis serangan. Kemu-
dian, dia menghantamkan kepalan tangannya ke
kepala Anjarweni.
Wuuuttt..!
Gebukan tongkat Wirogundi telah menda-
hului. Malaikat Bangau Sakti meloncat ke samp-
ing. Tapi, tongkat di tangan Wirogundi terus men-
gejar!
Trak...!
Pemuda bertubuh kurus itu terkejut seten-
gah mati. Tangkisan lawan dapat mematahkan
senjata andalannya. Belum sempat dia menyadari
keadaan, Margana Kalpa telah melancarkan se-
buah tendangan!
Tubuh Wirogundi terlontar. Bahu kanan-
nya terkena sasaran serangan lawan. Dia berusa-
ha bangkit. Tapi pemuda itu hanya sanggup ber-
diri terhuyung-huyung untuk beberapa lama. Da-
ri sudut bibirnya meleleh darah segar.
Melihat orang yang dicintainya terluka, An-
jarweni menggeram marah. Tubuhnya digenjot ke
belakang.
"Segera kau sambut kedatangan Malaikat
Kematian, Manusia Busuk...!" teriak murid Dewi
Tangan Api itu.
Dengan mengerahkan seluruh kekuatan
tenaga dalamnya yang melambari ilmu 'Pukulan
Api Neraka', kedua pergelangan tangan Anjarweni

semakin marah membara. Dia meloncat ke depan
dengan telapak tangan disorongkan!
Melihat sinar merah yang meluncur deras
ke arahnya, Margana Kalpa segera mengibaskan
telapak tangannya. Muncullah cahaya kebiru-
biruan yang membentengi tubuh lelaki berwajah
pucat itu.
Blaaarrr...!
Sebuah ledakan dahsyat membahana di
angkasa ketika dua kekuatan tenaga dalam ber-
temu.
Tubuh Malaikat Bangau Sakti tetap berdiri
tegak di tempatnya. Sedangkan tubuh Anjarweni
mencelat jauh bagai dilemparkan tangan raksasa.
"Ha-ha-ha...!" Margana Kalpa tertawa puas.
"Makan kesombohganmu, Babi Bunting!"
Wirogundi yang melihat adegan menggi-
riskan itu segera berlari. Dihampirinya tubuh ke-
kasihnya yang tergeletak di atas tanah.
"Anjarweni...," panggil pemuda bertubuh
kurus itu sambil mendekap kepala orang yang di-
cintainya.
"Ma... maafkan aku, Wiro...," ujar Anjarwe-
ni lirih. Baju yang dikenakannya telah basah oleh
darah yang menyembur dari mulut.
"Kuatkan dirimu, Weni...."
"Ak... aku mengecewakanmu, Wiro.... aku
tidak bisa men... menjaga bayi dalam kandun-
ganku.... Ma... maafkan aku...."
"Ya. Aku memaafkanmu, Weni."
"Ak... aku ingin mendengar ucapan cinta-

mu untuk yang terakhir kalinya...."
Mendengar ucapan kekasihnya, mata Wiro-
gundi menjadi sembab oleh genangan air mata.
"Aku mencintaimu dengan tulus suci, We-
ni...," kata pemuda bertubuh kurus itu kemudian.
Diciumnya kening Anjarweni dengan mesra.
Bibir murid Dewi Tangan Api itu mencoba
mengulum senyum. Tapi, rasa sakit menghentak
dalam dadanya. Dia pun meringis kesakitan.
"Weni!" teriak Wirogundi seraya mempere-
rat dekapannya. 
"Kau... kau jangan menangis, Wiro...," An-
jarweni berusaha menguatkan diri. "Aku sekarang
merasa sangat bahagia. Cintamu kubawa ke alam
nirwana, Wiro. Aku menunggumu di... sa... na...."
"Weni,..!"
Wirogundi mengguncang-guncangkan tu-
buh Anjarweni. Hatinya diliputi kekalutan yang
sangat. Dia pun menangis menggerung-gerung
menyesali kepergian kekasihnya menghadap Sang
Penguasa Tunggal.
Saat itulah Margana Kalpa berhasil menja-
tuhkan tangan maut terhadap belasan orang ang-
gota perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti yang
sedang mengeroyoknya. Kemudian, lelaki berwa-
jah pucat itu menghemposkan tubuhnya ke atas.
Melenting dengan cepat dan menerjang Wirogundi
yang masih terbelenggu rasa sedih.
Gede Panjalu yang melihat bahaya men-
gancam jiwa salah seorang muridnya segera me-
loncat seraya mengayunkan tongkat. Dia memba-

talkan serangannya terhadap Bayangan Hitam
demi menyelamatkan nyawa Wirogundi!
Thak....!
"Argh...!"
Kakek bongkok itu berhasil menyerampang
tulang kering kaki Margana Kalpa. Tubuh lelaki
berwajah pucat itu jatuh terjerembab ke tanah.
Serangannya terhadap Wirogundi pun menemui
kegagalan.
Bayangan Hitam buru-buru melancarkan
pukulan jarak jauh ke arah Gede Panjalu yang
belum sempurna benar mendaratkan kakinya di
atas tanah. Tapi, kakek bongkok itu telah mendu-
ga akan datangnya serangan tersebut. Dia meng-
gedrukkan ujung tongkatnya ke tanah. Tubuh se-
sepuh Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti itu
pun melayang ke samping, membuat pukulan ja-
rak jauh Bayangan Hitam menerpa tubuh para
anggota Perkumpulan Bangau Sakti yang sedang
bertempur tak seberapa jauh dari tempatnya.
Galang Gepak atau Bayangan Hitam meng-
geram penuh amarah. Tubuh beberapa temannya
sendiri yang terlontar tiada bernyawa akibat se-
rangannya.
Lelaki berjanggut panjang itu segera me-
nerjang Gede Panjalu dengan mengandalkan ilmu
meringankan tubuhnya yang hebat. Kedua tangan
dan kakinya berkelebatan, mencari jalan kema-
tian  di tubuh sesepuh Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti.
Bersamaan dengan itu Malaikat Bangau

Sakti melancarkan pukulan maut ke arah dada
Gede Panjalu. 
Wuuuttt...! Wuuuttt..!
Cepat kakek bongkok itu memutar tong-
katnya. Serangan beruntun dari dua lawannya
menemui jalan buntu. Tapi, Galang Gepak dan
Margana Kalpa adalah dua orang tokoh sesat
yang sulit dicari tandingannya. Mereka mencecar
tubuh Gede Panjalu dengan kecepatan gerak yang
sulit diikuti pandangan mata. Sesepuh Perkum-
pulan Tongkat Sakti itu tampak kewalahan.
"Keparat...! Kuhancurkan tubuhmu, Manu-
sia Busuk...!" teriak Wirogundi tiba-tiba. Diter-
jangnya Malaikat Bangau Sakti dengan tongkat di
tangan.
"Justru aku yang akan meremukkan tu-
lang-tulangmu, Gembel Kudisan...!" maki Marga-
na Kalpa sambil menepis serangan.
Lelaki berwajah pucat itu segera memain-
kan jurus-jurus bangau andalannya. Tapi, Wiro-
gundi berusaha mendahului serangan. Dia me-
mutar tongkat tanpa pernah mempedulikan luka
di bahu kanannya.
"Kau harus membayar hutang nyawa keka-
sihku, Keparat!"
Teriakan penuh amarah Wirogundi mem-
bahana di angkasa. Tapi, segera tersapu oleh ta-
wa Margana Kalpa yang berkepanjangan.
Walaupun Wirogundi telah mengerahkan
segala kemampuannya, tapi Margana Kalpa sang-
gup menepis semua serangan pemuda bertubuh

kurus itu. Bahkan, Malaikat Bangau Sakti berha-
sil mematahkan tongkat Wirogundi untuk kedua
kalinya.
Lelaki berwajah pucat itu kemudian meng-
hemposkan tubuhnya. Dia melancarkan tendan-
gan melingkar ke arah kepala Wirogundi!
"Argh...!" 
Wirogundi berhasil meloncat. Tapi pung-
gungnya sebagai ganti sasaran. Tubuh kurus pe-
muda anggota Perkumpulan Pengemis Tongkat
Sakti itu mencelat, lalu bergulingan di atas tanah.
Tanpa mau memberi kesempatan untuk
bangkit, Margana Kalpa melancarkan pukulan ja-
rak jauhnya! Gede Panjalu segera menyambar tu-
buh Wirogundi yang bergulingan ke arahnya.
Blaaammm...
Pukulan jarak jauh Malaikat Bangau Sakti
menerpa tanah, membuat kubangan dalam yang
cukup untuk mengubur seekor gajah. Bumi pun
berguncang bagai dilanda gempa. Bongkahan ta-
nah bercampur debu beterbangan, mengaburkan
pandangan.
Akibat buruk diterima oleh Gede Panjalu.
Dia yang baru saja menyelamatkan jiwa Wirogun-
di, merasakan gedoran dahsyat di bahu kiri. Jerit
tertahan keluar dari mulut kakek bongkok itu.
Darah segar menyembur akibat pukulan Bayan-
gan Hitam.
Tubuh Gede Panjalu dan Wirogundi terus
bergulingan di atas tanah, hingga jatuh ke jurang
yang berada di sisi belakang pemukiman para

anggota Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti.
Margana Kalpa dan Galang Gepak segera
meloncat ke bibir jurang. Ketika mereka mengeta-
hui kedalaman jurang yang tak terlihat dasarnya,
dua tokoh sesat itu tertawa terbahak-bahak.
"Tunjukkan batang hidungmu, Suropati!"
teriak Malaikat Bangau Sakti kemudian. Sua-
ranya menggema ke seantero Bukit Pangalasan.
Saat itulah seberkas cahaya kebiru-biruan
meluncur deras ke arah Margana Kalpa! Lelaki
berwajah pucat itu langsung meloncat.
"Dedemit Busuk! Kenapa kau membokong-
ku?!" teriak Margana Kalpa.
"Itu adalah salam perkenalan dari Penge-
mis Binal!" ucap Suropati yang rupanya telah ha-
dir di tempat itu.
"Ha-ha-ha...." Malaikat Bangau Sakti ter-
tawa terbahak-bahak untuk kesekian kalinya.
"Rupanya kedatanganku tidak sia-sia. Aku akan
melumatkan tubuhmu, Bocah Gemblung...!"
Selesai berkata demikian, lelaki berwajah
pucat itu menerjang Suropati. Galang Gepak pun
ikut mengeroyok. Tapi sebuah kibasan angin pu-
kulan melontarkan tubuhnya.
"Aku tak butuh bantuanmu, Kroco...!" har-
dik Margana Kalpa.
Galang Gepak terkejut. Dia menumpahkan
kekesalannya kepada para anggota Perkumpulan
Pengemis Tongkat Sakti yang masih bertempur
dengan gigih.
Tak ada kata-kata yang keluar dari mulut

Pengemis Binal waktu dia membalas terjangan
Malaikat Bangau Sakti. Rupanya, hawa amarah
telah melumuri jiwa remaja konyol itu. Tempat
perkumpulannya telah menjadi lautan darah.
Tanpa mau membuang waktu, Suropati se-
gera mengeluarkan jurus-jurus ampuhnya. Dia
mencecar tubuh Margana Kalpa bagai hujan de-
ras yang tiada henti. Tentu saja Margana Kalpa
tak mau kalah. Dengan jurus-jurus bangau anda-
lannya, dia membuat serangan balik yang tak ka-
lah hebat.
Hingga lewat sepuluh jurus kemudian, ti-
ba-tiba Malaikat Bangau Sakti meloncat ke bela-
kang menjauhi arena pertempuran.
"Apa yang kau takutkan, Bangsat?!" umpat
Pengemis Binal.
"Cih! Siapa yang takut?!" balas Margana
Kalpa, "Aku tak mau bermain-main dengan men-
gandalkan ilmu silat penjual obat! Aku ingin sege-
ra menyudahi pertempuran ini dengan ilmu pa-
mungkas!"
"Baik! Kuturuti kemauanmu!"
Mendengar ucapan itu, Malaikat Bangau
Sakti melangkah mundur satu tindak. Ditariknya
udara sebanyak-banyaknya. Mendadak tubuh la-
ki-laki itu memancar cahaya kelabu. Lalu dia me-
langkah perlahan mendekati Suropati.
"Dengan ilmu 'Kabut Kelabu' aku ingin me-
lihatmu mati perlahan-lahan, Bocah Gemblung!"
"Segera kau buktikan ucapanmu itu!" tan-
tang Suropati dengan berani.     

Dengan menempelkan kedua telapak tan-
gan di depan dada, Pengemis Binal menghimpun
kekuatan semesta. Lalu, dari sekujur tubuhnya
memancar cahaya kebiru-biruan.
Sambil tertawa lebar, Margana Kalpa beru-
saha menempelkan kedua telapak tangannya
yang menyorong ke kepala Suropati.
Tapi.... 
Blaaarrr...!
Sebuah ledakan membahana di angkasa.
Tubuh Malaikat Bangau Sakti terlontar ke udara,
kemudian meluncur masuk ke dalam jurang!
Rupanya ilmu 'Kabut Kelabu' tak mampu
menandingi ilmu 'Kalbu Suci Penghempas Sukma'
milik Pengemis Binal.
Melihat Margana Kalpa berhasil dikalahkan
Suropati, semua anggota Perkumpulan Bangau
Sakti lari terbirit-birit. Mereka tidak punya nyali
lagi untuk melanjutkan pertempuran. Penyedot
Arwah dan Bayangan Hitam menggeram keras ke
arah Suropati. Tapi mereka segera menyusul ke-
pergian teman-temannya.
Puncak Bukit Pangalasan benar-benar jadi
tempat tebaran mayat manusia. Tubuh-tubuh
tanpa nyawa mengonggok bagai sampah. Para
anggota Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti
yang tinggal di situ kini tinggal belasan orang.
Melihat demikian, Suropati memerintahkan para
anggotanya untuk menguburkan mayat-mayat
yang berserakan. Dia sendiri berjalan perlahan
menuju padepokan.


SELESAI




Lalu, bagaimana nasib Gede Panjalu dan Wiro-
gundi yang jatuh ke dalam jurang?
Ikuti kelanjutan kisah ini dalam episode:
DENDAM PARA PENGEMIS