Pengemis Binal 4 - Asmara Penggoda(1)





ASMARA  PENGGODA


 Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cover oleh Henky
Penyunting : Tuti S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
Sebagian atau seluruh isi buku ini
Tanpa izin tertulis dari penerbit

 Serial Pengemis Binal 
Dalam episode : 
Asmara Penggoda 
128 hal.
 http://duniaabukeisel.blogspot.com/


1

Siang hari di Gurun Angkara
hamparan pasir luas tersiram cahaya
mentari. Biasan udara panas di
permukaan pasir membentuk kilatan-
kilatan terpendar. Asap tipis kehitam-
hitaman  membumbung, menimbulkan
bayang-bayang hingga mengaburkan
pandangan. Langit perak seperti
memantulkan hawa panas yang menerpa.
Pendekar Kipas Terbang berjalan
dengan tubuh bermandikan keringat.
Caping lebar dan pakaian longgarnya
tak sanggup memberi perlindungan dari
sengatan hawa panas.
"Ah, kenapa otakku jadi bebal?
Mau saja aku menempuh perjalanan yang
sangat menyiksa ini...," gerutu
pendekar muda berwajah lembut itu.
"Apa susahnya menolak tantangan Balong
Rapaksa? Toh, aku tak berurusan
dengannya. Tapi...."
Pendekar Kipas Terbang menarik
napas panjang, lalu dihembuskannya
keras-keras.
"Kaum persilatan tabu menolak
tantangan," lanjut pemuda itu. "Hanya
manusia pengecut dan berjiwa lemahlah
yang mau melakukan hal itu."
Sambil berkata-kata sendiri,
pendekar muda itu terus melangkahkan
kakinya menyusuri hamparan pasir luas
seperti tak bertepi. Kulit wajahnya

yang  putih berubah merah kehitam-
hitaman, akibat terpaan hawa panas
yang tiada terkira.
Ketika sampai di depan gundukan
pasir setinggi pohon kelapa, Pendekar
Kipas Terbang menghentikan langkahnya.
Dari jarak lima tombak matanya menatap
tajam gundukan pasir itu. Tiba-
tiba....
Wooosss...!
Puncak gundukan pasir menyembur
ke atas bagai gunung meletus. Lalu,
sebuah bayangan hitam menyembul ke
atas dengan kecepatan laksana anak
panah lepas dari busur. Bayangan hitam
itu berputar di angkasa. Sesaat
kemudian, dengan menimbulkan bunyi
keras sekali kain lebar di punggungnya
tiba-tiba mengembang seperti sebuah
payung. Bayangan hitam itu pun
melayang turun dengan perlahan.
"Manusia Gurun...!" desis
Pendekar Kipas Terbang.
"Ha ha ha...!" Manusia Gurun yang
bernama Balong Rapaksa itu tertawa.
"Ternyata kau memang seorang ksatria
tulen, Raka Maruta."
Pendekar  Kipas Terbang memandang
kehadiran Balong Rapaksa dengan
pandangan penuh selidik. Lelaki yang
berusia sebaya dengannya itu
berpakaian ketat serba hitam. Gambaran
tubuh Manusia Gurun yang tegap berisi
jadi terlihat jelas.

"Kenapa kau bengong, Maruta?
Apakah kau merasa heran melihat kulit
tubuhku yang hitam?" ujar Balong
Rapaksa seraya menyibak anak rambut
yang menutupi wajahnya.
Rupa Manusia Gurun itu sebenarnya
tampan, hanya kulit tubuhnya hitam
terbakar cahaya mentari sehingga
ketampanannya sedikit memudar.
"Aku tak pernah berurusan
denganmu, Rapaksa. Kenapa kau mengirim
surat tantangan kepadaku?" tanya Raka
Maruta.
"Sebuah tantangan tak  selamanya
berawal dari suatu urusan. Tantangan
adalah wujud nyata dari sebuah
keberanian. Aku kira kau pun tahu hal
itu, Maruta...," sahut Balong Rapaksa.
"Masalahnya sekarang bukan berani
atau tidak berani. Sebuah tantangan
tentu mempertaruhkan nyawa. Apakah
saat ini nyawa sudah tidak berharga
lagi, sehingga untuk mengikuti gejolak
nafsu mesti mempertaruhkan nyawa?
Bukankah hal ini sebenarnya tidak
perlu, Rapaksa? Raga yang bernyawa dan
kepandaian yang ada alangkah baiknya
bila digunakan untuk membela
kebenaran...."
"Cukup!" Balong Rapaksa menyela
ucapan Raka Maruta.
"Kalimatku belum selesai,
Rapaksa."
"Cukup! Tak perlu kau mengobral

kata-kata. Selesaikan kalimatmu itu
dengan darah, Maruta. Darahmu atau
darahku yang akan merembes ke dalam
pasir?!" ucap Balong  Rapaksa seraya
memasang kuda-kuda.
"Tunggu, Rapaksa!" Raka Maruta
setengah berteriak. "Bukannya aku
takut. Tapi, sebelum darah di antara
kita mengucur, aku ingin kau
menyebutkan alasanmu  yang sebenarnya
kenapa kau menantangku?"
"Ha ha ha...!" Tawa Balong
Rapaksa terdengar berkepanjangan, tapi
segera lenyap tersapu angin. "Kau tahu
Ratnasari?" tanya pemuda berkulit
hitam itu.
"Bidadari Bunga Mawar...," gumam
Raka Maruta dalam hati.
"Bukankah dia sangat cantik,
Maruta?"
Pendekar Kipas Terbang terpaku di
tempatnya. Matanya menatap wajah
Manusia Gurun dalam-dalam. Raka Maruta
tahu walaupun sifat dan sikap Balong
Rapaksa berangasan, tapi pemuda
berkulit hitam itu sangat menjunjung
tinggi nilai-nilai kebenaran. Dia tak
pernah bertindak atas desakan nafsu
pribadinya. Kaum rimba persilatan
memasukkannya dalam tokoh beraliran
putih. Karena itu ketika Balong
Rapaksa menyebut nama Bidadari Bunga
Mawar, Raka Maruta menjadi heran.
"Balong Rapaksa...," kata

Pendekar Kipas Terbang, kalem.
Manusia Gurun terlihat
menyunggingkan senyum mengejek.
"Apakah kecantikan Ratnasari
begitu mempesona sehingga kau pun
terpikat, dan hal itu berakibat
hiiangnya akal sehatmu?"
"Ha ha ha...!" Balong Rapaksa
tertawa terbahak-bahak. "Bukankah kau
pun ingin memilikinya, Maruta?"
Pendekar  Kipas Terbang mengge-
lengkan kepalanya.
Balong Rapaksa kembali tertawa. 
"Pengecut!" umpat pemuda itu.
"Kau tidak berani mengatakan isi
hatimu sendiri!" 
"Apa maksudmu?"
"Aku tidak mau tedeng aling-
aling! Aku ingin memiliki Ratnasari.
Dan untuk mewujudkan impianku itu, aku
harus melenyapkanmu!"
Manusia Gurun mengakhiri kalimat-
nya dengan sebuah terjangan.
Pendekar Kipas Terbang berusaha
berkelit. "Tunggu dulu, Rapaksa!"
cegahnya buru-buru.
"Aku sudah tidak punya waktu
untuk berkata-kata!" sahut Balong
Rapaksa, sewot.
"Aku tak berkeinginan untuk
memiliki Ratnasari..."
"Sudah! Jangan banyak bacot!
Lihat seranganku!"
Manusia Gurun memutar tubuhnya

seraya melakukan tendangan beruntun.
Pendekar Kipas Terbang melompat jauh-
jauh, sehingga serangan itu luput dan
menimbulkan deru angin bersiutan.
Melihat lawan mencecarnya dengan penuh
kesungguhan, Pendekar Kipas Terbang
pun segera mengeluarkan jurus-jurus
andalannya.
Hawa gurun  yang panas menyengat
terasa semakin panas oleh tempuran
sengit yang terjadi. Serangan Manusia
Gurun bertubi-tubi menghujani tubuh
Pendekar Kipas Terbang. Namun, Raka
Maruta bukanlah lawan yang enteng.
Serangan balasan yang dilancarkan
pemuda berwajah lembut itu tak kalah,
berbahayanya.
Sebenarnya, apa yang dilakukan
Balong Rapaksa atau si Manusia Gurun
bukan atas kehendaknya sendiri.
Semenjak kedatangan Ratnasari ke
kediamannya, yakni di Gurun Angkara,
Balong Rapaksa telah terkena pengaruh
ilmu 'Asmara Penggoda' yang dimiliki
wanita pemuja setan itu.
Balong Rapaksa jadi tergila-gila
kepada Ratnasari. Dan Ratnasari pun
mau meladeni keinginan pemuda berkulit
hitam tersebut, dengan syarat dia
bersedia melenyapkan para tokoh muda
yang dianggap sebagai penghalang
Ratnasari untuk mewujudkan cita-
citanya menguasai rimba persilatan.
Balong Rapaksa tentu saja menyanggupi.

Dirinya telah terkena ilmu sesat yang
dapat mempengaruhi jalan pikirannya.
Balong Rapaksa lalu membuat surat
tantangan. Sudah puluhan tokoh muda
mati di tangan Manusia Gurun, baik
yang  berasal dari golongan hitam
maupun golongan putih. Dan kini
Pendekar Kipas Terbang pun datang ke
Gurun Angkara untuk memenuhi tantangan
pemuda berkulit hitam itu.
Tapi, ilmu kepandaian yang di-
miliki Raka Maruta sudah bisa
disejajarkan dengan tokoh-tokoh tua
tingkat tinggi. Kenyataan ini cukup
menyulitkan Balong Rapaksa yang juga
berkepandaian tinggi. Pertempuran
antara dua tokoh muda itu pun
berlangsung sangat seru. Sampai
kemudian....
Wooosss...!
Balong Rapaksa menjatuhkan
tubuhnya ke hamparan pasir,  lalu
meluncur dengan cepat. Kedua kaki
pemuda berkulit hitam itu berputar
laksana sebuah baling-baling. Dihuja-
ninya tubuh bagian bawah Raka Maruta
dengan serangan mematikan.
Pendekar Kipas Terbang meloncat
ke belakang seraya mengeluarkan
senjata andalan dari balik bajunya.
Dengan sebuah gerakan indah benda
pipih pendek itu mengembang. Dan,
terbentuklah kipas yang berwama
keemasan.

Balong Rapaksa tertawa dengan
tubuh masih terbaring di hamparan
pasir. "Terima kasih kau telah
mengeluarkan senjatamu itu, Maruta.
Kini aku tidak sungkan-sungkan lagi
mengundang Dewa Kematian untuk
mencabut nyawamu!"
Pendekar Kipas Terbang tak
memberikan tanggapan. Dia melepas
caping lebar yang menempel di
kepalanya. Lalu, dilemparkannya caping
itu ke arah Balong Rapaksa. Caping
meluncur cepat dalam keadaan berputar.
Manusia Gurun menyeringai dingin.
Tangan kanannya segera dipentangkan
untuk menyambut luncuran caping.
Usahanya ternyata berhasil. Caping
Raka Maruta dapat ditangkapnya.
"Kau makan sendiri benda tak
berguna ini, Maruta!" kata Manusia
Gurun seraya melemparkan caping  yang
berada di tangannya.
Pendekar Kipas Terbang bergegas
menghindar. Caping lebar itu pun
meluncur jauh dan hilang dari
pandangan. Tiba-tiba, tubuh Balong
Rapaksa bergulingan dengan cepat. Raka
Maruta meloncat untuk menghindari
serangan. Kemudian, kipas di tangannya
berkelebat cepat hendak memotong kaki
Manusia Gurun! 
Wooosss...!
Butiran pasir bermuncratan ketika
tubuh Manusia Gurun berputar laksana

gangsing. Sekejap saja tubuh pemuda
itu  telah amblas ke dalam hamparan
pasir!
Pendekar Kipas Terbang
terperangah melihat kubangan pasir
yang telah tertutup. Dan belum sempat
dia berbuat sesuatu, hamparan pasir di
bawah kaki Raka Maruta bergetar. Lalu,
sebuah bayangan hitam meluncur keluar
dengan kecepatan kilat seraya
melancarkan serangan!
Des...!
Kaki kanan Pendekar Kipas Terbang
terhantam. Pemuda itu pun jatuh
terjengkang. Bayangan hitam yang tak
lain Balong Rapaksa itu kembali amblas
ke dalam pasir. Tapi Raka Maruta
terkejut setengah mati. Tubuhnya
terasa bagai tersedot.
Pemuda berwajah lembut itu
menjejakkan kakinya dalam-dalam  ke
pasir, berusaha melawan tenaga
sedotan. Tapi hal itu justru memper-
parah keadaan. Tubuh Pendekar Kipas
Terbang amblas ke dalam kubangan
pasir. Sekejap kemudian, hilang dari
pandangan.
Pertempuran segera terhenti.
Suasana gurun berubah menjadi hening
kembali seperti sebelum terjadi
pertempuran.  Hanya desau angin yang
menemani mentari. Hembusannya menghi-
langkan jejak-jejak pertempuran yang
baru saja terjadi.

Tapi, tak lama kemudian....
"Heaaa...!"
Dua tubuh anak manusia meluncur
dari dalam pasir. Ketika telah berada
di udara, mereka saling menyerang. Dan
tampaknya serangan kali ini berhasil
melukai masing-masing lawannya. Mereka
meluncur turun hampir bersamaan sambil
mendekap luka di tubuhnya. Raka Maruta
berdiri mendekap dadanya yang terkena
pukulan. Sebaliknya, Balong Rapaksa
meraba bahunya yang mengucurkan darah
karena terkena sambaran kipas lawan.
"Kau hebat, Rapaksa," puji
Pendekar Kipas Terbang dengan
kesungguhan hati.
"Kau pun lihai, Maruta," sambut
Manusia Gurun balas memuji.
"Sayang, kita harus menyabung
nyawa hanya karena sebuah alasan tak
berarti."
"Apa pun yang kau  katakan,
pertempuran ini harus dilanjutkan.
Sampai ada di antara kita yang
tergeletak tiada bernyawa!" Manusia
Gurun tetap pada niatnya semula.
Balong Rapaksa  berdiri tegak di
tempatnya. Kedua tangannya terpentang
ke atas. Kemudian, turun perlahan-
lahan dan bertemu di depan dada.
Bersamaan dengan itu hembusan angin
kencang keluar dari telapak tangannya
yang menyatu. Butiran pasir langsung
beterbangan menghunjam ke arah Raka

Maruta!
Wesss...! Wesss...!
Pemuda berwajah lembut itu
mengibas-ngibaskan kipasnya yang
terbuat dari baja bersepuh emas. Dari
kibasan itu timbul hembusan angin yang
tak kalah kencang. Butiran pasir yang
menghunjam ke arahnya sampai terhenti
di udara. Lalu, meluncur ke atas dan
jatuh bertaburan bagai hujan deras.
Manusia Gurun  mendengus kasar
melihat tindakan lawan. Dengan
kecepatan yang melebihi kecepatan
suara, dia kembali menerjang. Raka
Maruta bergegas mengacungkan kipasnya.
Dan, kilatan benda putih kecil
memapaki tubuh Balong Rapaksa!
Blak...!
Dengan tubuh masih melayang di
udara, Manusia Gurun mengembangkan
kain lebar di punggungnya. Pisau kecil
yang meluncur ke arahnya pun terpental
ketika membentur kain. Lalu, kain
lebar hitam itu mengejang dan
menghunjam ke dada Raka Maruta.
Pendekar Kipas Terbang mengga-
galkan serangan itu dengan kibasan
kipasnya. Belum sempat Manusia Gurun
menyambung serangannya kembali, kipas
di tangan Raka Maruta lepas lalu
meluncur deras!
Balong Rapaksa terpaksa meloncat
ke sana kemari menghindari serangan
yang bertubi-tubi. Kipas Raka Maruta

berkelebatan mencari jalan kematian di
tubuh Manusia Gurun. Seuntai tali
halus yang hampir kasat mata
mengendalikan gerak serangan kipas
Raka Maruta.
Ketika mengetahui keberadaan tali
halus itu, kain lebar hitam milik
Balong Rapaksa digunakan untuk
menyampok kipas hingga terpental.
Lalu, dengan kecepatan kilat telapak
tangan Manusia Gurun membacok tali
kipas.
Tali itu hanya  bergetar! Balong
Rapaksa terperangah melihat tali yang
dibacoknya tak putus. Padahal,
sebatang pohon kelapa pun akan tumbang
terkena bacokan telapak tangannya itu.
Dalam keheranannya pemuda
berkulit hitam ini menjadi lengah.
Akibatnya....
Srat...!
Dada Balong Rapaksa robek lebar.
Darah segar kembali mengucur deras.
Raka Maruta bergegas menarik
senjatanya melihat lawan yang telah
terluka.
"Maaf, Rapaksa...," kata Pendekar
Kipas Terbang.
"Kau tak perlu mengucapkan kata
itu, Maruta. Kau memang lihai. Lebih
lihai dari yang kukira. Tapi, aku
belum kalah...."
Usai mengucapkan kalimatnya,
tubuh Manusia Gurun amblas ke dalam

pasir. Raka Maruta menajamkan
pendengarannya. Daun telinganya bagian
bawah tampak bergetar. Mendadak pemuda
itu meloncat jauh-jauh dari tempat
berdirinya.
Bias! Bias! Bias!
Puluhan batu runcing menghujani
tubuhnya dari dalam pasir. Cecaran
bebatuan itu laksana kerutukan
berondong  jagung. Dan sebuah ledakan
dahsyat yang menimbulkan gempa
berkepanjangan mengakhiri serangan
itu.
Tubuh Pendekar Kipas Terbang
terlontar ke udara. Saat mendarat di
pasir Pendekar Kipas Terbang
menyeringai sambil mendekap dadanya
yang terasa sesak. Tapi, tangannya
segera bergerak cepat meluncurkan
senjata mautnya.
Kipas itu amblas ke dalam pasir.
Tak lama kemudian, darah segar tengah
merembes keluar. Mata Raka Maruta
bersinar tajam. Ditariknya tali
pengendali kipas.
Tubuh Manusia Gurun tertarik
keluar kemudian jatuh berdebam di atas
hamparan pasir. Tapi, dia segera
bangkit berdiri. Tangan kanannya
memegang tali pengendali kipas dengan
kuat. Sementara tangan kirinya
mencabut kipas Raka Maruta yang
tertancap di dada kiri. Ketika Balong
Rapaksa ber-hasil mencabut kipas baja

bersepuh emas itu, darah menyembur
laksana sebuah mata air yang baru
dibuka.
"Kau jangan gembira dulu,
Maruta...," desah Manusia,Gurun dengan
geram. "Aku belum kalah."
Tangan kanan pemuda berkulit
hitam itu lalu menghentakkan tali
pengendali kipas Raka Maruta. Mereka
pun berkutat saling mengerahkan
kekuatan tenaga dalam. Tapi hal itu
hanya sekejap. Dengan tiba-tiba tubuh
Manusia Gurun melayang seraya
melancarkan sebuah tendangan maut!
Pendekar Kipas Terbang berkelit
ke samping. Tangan kirinya lalu
dilontarkan kuat-kuat. Pukulan Raka
Maruta telak menghantam dada Balong
Rapaksa. Dan, tubuh pemuda berkulit
hitam itu jatuh bergulingan di atas
hamparan pasir.
Manusia Gurun berhasil bangkit
berdiri. Tapi, segera jatuh
terjengkang. Dari mulutnya menyembur
darah segar. Balong Rapaksa menatap
wajah lawannya dengan tiada berkedip.
"Kau... kau hebat, Mar...
Maruta...," ujar Balong Rapaksa
terbata-bata. "Aku puas... mati di ta-
ngan... mu...."
Tubuh Manusia Gurun itu lalu diam
tak bergerak-gerak lagi.
Desau angin mengantar kepergian
Balong Rapaksa untuk menghadap pada

Sang Pencipta. Suasana gurun kembali
sepi. Butiran pasir terhampar rata.
Hening....

* * *

2

Ketika itu di tepi Sungai
Bayangan sebuah perahu kecil bergerak
perlahan. Pirangga Muksa atau Dewa
Obat duduk tenang di atasnya.
Pakaiannya yang berwarna putih-kuning
berkibaran ditiup angin. Wajah lelaki
berusia dua puluh delapan tahun itu
merona merah diterpa cahaya mentari
siang.
Matanya berkilat tajam memperha-
tikan kecipak air yang ditimbulkan
oleh gerakan dayungnya. Dia menghen-
tikan dayungannya ketika merasakan
arus sungai tiba-tiba membesar. Ter-
lihat puluhan benda pipih panjang
berkelok-kelok meluncur dengan cepat.
Lalu, melayang ke atas perahu Pirangga
Muksa!
Tas! Tas! Tas!
Dewa Obat memutar-mutar dayung-
nya. Dipapakinya benda-benda pipih
panjang itu. Cairan kental berwarna
merah bermuncratan ke atas permukaan
sungai.
"Ular-ular bodoh!" umpat pemuda
bertubuh kekar itu. "Bila mengikuti

perintah tuanmu, hanya kematian yang
akan kalian dapatkan!"
Lalu dengan sebuah dayungan yang
menggunakan tenaga dalam perahu
Pirangga Muksa meluncur ke tengah
sungai. Dan, berhenti tepat di sisi
gundukan batu besar yang menjulang
tinggi. Dewa Obat bergegas meloncat ke
atasnya. Gerakannya sangat tangkas.
Pemuda itu mendarat dengan mulusnya.
Padahal, permukaan batu itu licin oleh
lumut.
"Tampakkan batang hidungmu,
Sawung Jenar!" teriak Pirangga Muksa.
Teriakan yang dibarengi penge-
rahan tenaga dalam itu terdengar
membahana ke seluruh permukaan Bukit
Bayangan.
Tiba-tiba, seekor ular sebesar
paha manusia dewasa muncul dari dalam
air. Mulutnya menganga lebar berusaha
mencaplok kepala Dewa Obat. Pemuda
bertubuh kekar itu terlihat sama
sekali tak bergeming dari tempatnya.
Hanya, dengan dengusan pendek dia
melayahgkan telapak tangannya!
Prakkk...!
Darah segar berhamburan. Kepala
ular besar itu hancur menjadi serpihan
daging berbau anyir.
"Ini hanya permainan anak kecil,
Sawung Jenar!" teriak Pirangga Muksa
lebih keras.
Tak lama kemudian, dari hulu

sungai muncul sebuah titik hitam yang
bergerak perlahan mendekati Dewa Obat.
Ketika sudah dekat, tampaklah seorang
lelaki bermata sipit dan berkulit
kasar seperti sisik ular duduk bersila
di atas air.
"Jangan memamerkan tipuan di
hadapanku, Jenar! Tubuhmu tak seringan
kipas! Kau hanya duduk di atas ular
buduk!"
Mendengar perkataan Pirangga
Muksa, Sawung Jenar atau Iblis Selaksa
Ular menggeram. Ujung jari telunjuknya
dicelupkan ke dalam air. Dan.... tubuh
Sawung Jenar terangkat. Tampaklah
seekor naga yang menyeramkan. Lidahnya
bercabang tiga, menjilat-jilat
sepanjang satu tombak.
"Kenapa kau membawa cacing ke
hadapanku, Jenar?!" kata Dewa Obat
mengejek. Iblis Selaksa Ular tak
memberi jawaban. Dia mengelus kepala
ular naganya. Ular itu menggeliat.
Dilontarkannya tubuh Sawung Jenar ke
tepi sungai. 
"Pengecut!" umpat Pirangga Muksa.
Tapi, dia tak sempat berkata-kata
lebih banyak. Ular besar yang berada
di hadapannya telah menyerang. Dewa
Obat  meloncat, menghindari terkaman.
Ular naga itu menyembur. Uap kehitaman
bercampur dengan  percikan api keluar
dari mulutnya.
"Bangsat!" umpat Pirangga Muksa

sambil meloncat tinggi-tinggi. Sebuah
pukulan jarak jauh segera dilontar-
kannya. Ular naga itu hanya menggeliat
terkena pukulan Dewa Obat. Mulutnya
kembali mengeluarkan semburan.
"Cacing Tanah! Jangan kau kira
dirimu kebal terhadap ilmu pukulanku!"
kata Pirangga Muksa.
Kembali dilancarkan pukulan jarak
jauh untuk kedua kalinya. Ledakan
dahsyat menggema.  Air sungai yang
semula mengalir tenang menjadi
bergolak akibat geliat kesakitan ular
naga. Dan ketika ledakan ketiga
menggema, kepala ular naga itu hancur
berkeping-keping.
"Ha ha ha...!" Pirangga Muksa
tertawa terbahak-bahak. Lalu, tubuhnya
melayang ke tepi sungai. 
"Giliran kepalamu yang akan
kupecahkan, Sawung Jenar!" kata Dewa
Obat dengan sinar mata berkilat.
Ditatapnya Iblis Selaksa Ular yang
berdiri tiga tombak dari hadapannya.
"Ucapanmu terbalik, Muksa!" kata
Sawung Jenar tak kalah lantang.
"Justru aku yang akan melumatkan
kepalamu!"
"Huh! Kata-kata tak ada bukti,
apa gunanya?!"
"Baik. Akan aku buktikan. Untuk
mendapatkan cinta Bidadari Bunga Mawar
memang perlu mempertaruhkan nyawa...."
"Ha ha ha...!" Dewa Obat tertawa

terpingkal-pingkal. "Kau sungguh lucu,
Jenar. Tidakkah kau tahu diri?
Tampangmu itu sudah mirip ular
tercebur lumpur, mana mau Ratnasari
yang cantik jelita memberikan cinta
kepadamu?!"
"Kesaktian adalah jawabannya!"
Pirangga Muksa kembali tertawa.
"Kau merasa dirimu sakti?
Kepandaianmu hanyalah menjinakkan
ular. Kau tak patut mendampingi
Bidadari Bunga Mawar!"
"Bangsat!" Iblis Selaksa Ular
menggeram marah.
Gigi lelaki berumur tiga puluh
tahun itu bertaut erat. Rahangnya
menegang hingga membentuk balok segi
empat. Lalu, dengan gerakan cepat dia
mencabut seruling dari balik bajunya.
Sawung Jenar menerjang Dewa Obat.
Sending di tangannya menusuk leher.
Melihat serangan itu, Pirangga Muksa
hanya menyeringai dingin. Dan setelah
berkelit ke samping, telapak tangannya
berkelebat!
Des...!
Dada Iblis Selaksa Ular dengan
telak terkena pukulan. Tubuhnya
terlempar dan bergulingan di atas
tanah. Tapi, dia segera bangkit
berdiri seperti tak terjadi apa-apa.
Dewa Obat menatap heran.
Pukulannya itu apabila menghantam
batang pohon sebesar rangkulan manusia

dewasa akan tumbang. Tapi, kenapa
tubuh Sawung Jenar tetap tegar?
"Kenapa bengong, Muksa? Kau heran
melihat pukulanmu tak mempan?" kata
Sawung Jenar penuh ejekan. "Inilah
sebagian dari kesaktian yang
kumiliki."
"Huh! Jangan pamer kesombongan di
hadapanku!"
Usai mengucapkan kalimatnya,
kedua tangan Pirangga Muksa
terpentang, lalu menghentak ke depan!
Blaaarrr...!
Iblis Selaksa Ular menadahi
pukulan jarak jauh Dewa Obat dengan
dadanya. Akibatnya, manusia bersisik
ular itu terlontar. Tubuhnya membentur
sebatang pohon besar hingga tumbang.
Sawung Jenar tetap bangkit
berdiri dan berjalan perlahan
mendekati Pirangga Muksa. Tentu saja
Dewa Obat terkejut setengah mati.
Pukulan jarak jauhnya yang berlam-
barkan seluruh tenaga dalam hanya
sanggup mengoyakkan baju Iblis Selaksa
Ular. Keanehan  itu membuat Pirangga
Muksa bergidik ngeri.
"Manusia atau silumankah dia?"
tanya Dewa Obat dalam hati.
"Rupanya otakmu tak lebih pintar
dari otak monyet kudisan, Muksa," ejek
Sawung Jenar. "Kau senang berpikir
untuk mencari jawaban, tapi tak pernah
kau temukan apa yang kau cari itu."

"Kau hebat, Jenar," gumam Dewa
Obat.
"Ha ha ha...!" Iblis Selaksa Ular
tertawa bangga. "Dengan ilmu 'Lembu
Sekilan' yang kumiliki, tentu saja aku
jadi hebat. Kau tak perlu heran,
Muksa. Inilah modalku untuk
mendapatkan cinta Bidadari Bunga
Mawar."
Dewa Obat menggeram. "Tidak!"
katanya membentak. "Kau tak pantas
duduk berdampingan dengan wanita
cantik itu!"
"Selain dungu, rupanya kau juga
suka ngeyel, Muksa. Tapi, saat ini
juga aku akan menghentikan eyelanmu
itu."
Sawung Jenar mendekatkan seruling
ke bibirnya yang tipis dan monyong ke
depan. Keluarlah sebuah irama merdu
yang mendayu-dayu. Pirangga Muksa
menyeringai dingin mendengarkan suara
syahdu yang mengelus sukmanya itu.
"Kau jangan mengajak bercanda,
Jenar...."
Pirangga Muksa menatap tajam
wajah Iblis
Selaksa Ular yang tiba-tiba
berubah lembut seperti seorang bocah
yang tiada berdosa. Mendadak, alunan
irama yang keluar dari seruling Sawung
Jenar melengking tinggi dan menyayat
hati. Dewa Obat terperangah. Degup
jantungnya dirasakan mengencang.

Gendang telinganya pun bergetar keras
seperti mau pecah!
Pirangga Muksa terpaksa
mengerahkan seluruh hawa murninya
untuk memberi perlindungan. Sementara
alunan irama seruling semakin
meninggi. Tubuh Pirangga Muksa
menggigil seperti terserang hawa
dingin yang hebat. Perlahan-lahan
tubuh Dewa Obat melorot ketanah, lalu
duduk bersila. Asap tipis mengepul
dari kepala pemuda bertubuh tegap itu.
Goyangan tubuhnya menimbulkan gesekan
di permukaan tanah hingga debu
mengepul.
Tiba-tiba alunan irama seruling
Sawung Jenar berubah cepat bagai desau
tiupan angin topan. Akibatnya, dari
seluruh pori-pori tubuh Pirangga Muksa
mengalir darah segar. Bersamaan dengan
itu bermunculan puluhan ular dari
semak-semak.
Ular-ular itu terus merayap
mendekati tubuh Dewa Obat. Ketika
ular-ular menyentuh tubuh Pirangga
Muksa, binatang melata tersebut
terlempar jauh lalu berkelojotan dan
mati!
"Tubuh Pirangga Muksa mengandung
racun ganas," kata Sawung Jenar dalam
hati. "Tapi, bukanlah Iblis Selaksa
Ular bila tidak mempunyai ular yang
sanggup menandingi keganasan racun
itu." Sawung Jenar menghentikan tiupan

serulingnya, Lalu, benda bulat panjang
itu dihentakkan. Seekor ular putih
sebesar lidi meluncur dengan cepat ke
arah Pirangga Muksa. 
Plap...!
Ular itu masuk ke dalam lubang
hidung Dewa Obat. Lewat kerongkongan
ular itu menyerang! jantung! Tubuh
Pirangga Muksa terjengkang. Sebentar
kemudian berkelojotan seperti ayam
disembelih. Tubuh pemuda naas itu pun
diam dalam keadaan telentang.
Splash...!
Dari dada kiri tubuh tanpa nyawa
itu menyembul ular putih kecil yang
baru saja merenggut nyawa Pirangga
Muksa. Ular itu meluncur cepat dan
masuk kembali ke dalam seruling di
tangan Sawung Jenar.
Pemuda bersisik ular itu pun
tertawa terbahak-bahak menikmati
kemenangannya. Rupanya, ilmu 'Asmara
Penggoda' Ratnasari benar-benar telah
mempengaruhi jalan pikirannya. Sawung
Jenar kemudian berlari cepat menuju
Bukit Hantu, di mana Ratnasari
tinggal.
Rimba persilatan memang telah
diselimuti kabut hitam. Tokoh-tokoh
muda saling bunuh. Tak peduli dari
aliran putih atau pun hitam. Darah
manusia yang masih penuh harapan itu
membanjir hanya untuk mewujudkan
sebuah harapan. Mereka menginginkan

Ratnasari atau Bidadari Bunga Mawar.
Setelah menjalani upacara
pemulihan,  wanita cantik itu
menyebarkan ilmu 'Asmara Penggoda'.
Tak satu puh tokoh muda rimba
persilatan yang sanggup melawan ilmu
setan itu. Mereka jadi linglung, tak
mampu berpikir benar sehingga dengan
mudah Ratnasari mengadu domba.
Untuk sementara, yang luput dari
serangan ilmu 'Asmara Penggoda'
hanyalah Raka Maruta atau Pendekar
Kipas  Terbang. Pendekar berwajah
lembut itu memiliki ilmu 'Hati Suci'
yang merupakan warisan dari
leluhurnya.

* * *