Pengemis Binal 3 - Bidadari Lentera Merah(3)



5

Di sebuah ruangan berdinding
tebal tubuh Suropati terkulai lemah di
lantai. Walaupun dalam keadaan tak
sadarkan diri, tapi tangan kanan
Pengemis Binal itu tetap menggenggam
erat tongkatnya.

Obor-obor  yang menempel di
dinding memberikan penerangan
seperlunya Obor-obor berbahan bakar
gas alam itu menyala kecil.
"Uh...!"
Suropati  tersadar dari pingsan-

nya. Kelopak matanya membuka perlahan-
lahan.
"Di mana aku?" gumam Suropati.
"Apakah aku sudah mati? Dan, inikah
kerajaan Tuhan itu?"
Remaja konyol itu tetap berbaring
beberapa lama. Matanya mengerjap-
ngerjap memperhatikan sekitarnya.
Lalu, bergegas dia melompat bangkit
berdiri.
"Oh, tidak! Aku masih hidup!"
teriak Suropati penuh luapan rasa
senang. "Tapi, siapa yang menolongku
dari gempuran lentera-lentera itu?"
Setelah gagal menemukan
jawabannya, Suropati berputar
mengelilingi ruangan.
Namun, belum seluruh ruangan
dikelilingi mendadak pemuda itu
mendekap dadanya yang terasa sesak.
Pandangannya terasa berputar-putar.
Tubuh Suropati jatuh terjengkang di
lantai.
"Uh...! Tubuhku menyimpan
racun...," rintih pemuda itu.
Susah payah Suropati berusaha
menegakkan punggungnya untuk duduk
bersila. Setelah itu hanya keheningan
yang dia rasakan. Melalui pengerahan
segenap hawa murninya, perlahan-lahan
dari lubang hidung Pengemis Binal
mengalir darah kental berwarna
kehitam-hitaman.
Mata Suropati terbuka ketika

beberapa saat kemudian jalan per-
napasannya dirasakan sudah lancar.
Tapi, dia masih merasakan sakit di
bagian dadanya. "Ah, tak apa. Nanti
juga sembuh dengan sendirinya," ujar
pemuda itu seperti tak peduli.
Mata remaja konyol itu kemudian
jelalatan mengitari dinding ruangan.
Dia mencari pintu atau jendela yang da
pat digunakan untuk keluar dari sana.
Dhung...! dhung...!
Suropati membentur-benturkan
kepalan tangannya ke dinding.
"Di balik dinding ini sepertinya
ada ruangan lain," gumam remaja konyol
itu.
Dhung...! dhung...!
Tiba-tiba, terdengar suara
benturan dari balik dinding.
"Di balik dinding ini tentu ada
orang," ujar Suropati. "Mungkin dia
disekap seperti diriku. Akan kucoba
melihatnya  dengan menggunakan ilmu
'Mata Awas' yang diajarkan Kakek
Periang Bertangan Lembut..."
Tubuh Pengemis Binal duduk diam
tak bergeming. Kedua matanya terpejam
rapat. Kekuatan batinnya segera
dipusatkan.
Tak lama kemudian, kegelapan dari
kelopak matanya yang terpejam samar-
samar dihiasi cahaya keputihan. Lalu,
mata hati Suropati melihat sebentuk
ruangan berdinding tebal tiada

berpintu. Perlahan-lahan sesosok tubuh
manusia muncul di hadapannya....
"Dia seorang gadis," bisik
Suropati. "Siapa dia? Oh, aku seperti
pernah mengenalnya."
Pengemis Binal segera mengakhiri
semadinya. Kemudian, dengan pengerahan
tenaga dalam tongkatnya dihunjamkan ke
dinding.
Bluuusss...!
Tongkat itu menembus dinding.
Setelah dicabutnya, dia menjulurkan
kepala dan berusaha mengintip dari
lubang yang tercipta.
"Hah...?!"
Suropati meloncat ke belakang
karena saking kagetnya. Ketika dia
mengintip tadi, matanya melihat benda
putih yang ditengahnya terdapat sebuah
bulatan berwarna hitam. Suropati
terkejut karena benda bulat hitam itu
bergerak-gerak.
"Uh, rupanya gadis itu ikut
mengintip," keluh Suropati setelah
sadar dari keterkejutannya.
"Siapa kau?"
Terdengar pertanyaan yang
ditujukan kepada Pengemis Binal.
"Kau sudah mengenalku," jawab
Suropati.
"Siapa?"
"Kalau tidak salah, kita pernah
berjumpa tiga kali. Pertama, di sebuah
kedai di Kota Kadipaten Bumiraksa.

Kedua, di hutan kecil tak jauh dari
Kota Kadipaten Bumiraksa juga. Ketiga,
di kaki Bukit Parahyangan. He he
he...," Suropati memperdengarkan tawa.
"Di situ kau menghadiahkan ciuman
padaku."
"Kau Suropati?"
"Tepat!"
"Oh, Suro, aku Ingkanputri..." 
"Aku sudah tahu."
Ingkanputri tak menyahuti ucapan
Suropati. Dia teringat bagaimana
dirinya bisa sampai di tempat itu.
Malam hari ketika Perkumpulan
Bidadari Lentera Merah usai
mempertontonkan kebolehannya di Kota
Kadipaten Tanah Loh, Ingkanputri dan
Anjarweni beristirahat di sebuah
penginapan. Selagi kakak seperguruan-
nya itu keluar kamar untuk mengejar
sebuah bayangan misterius, Ingkanputri
terbangun dari tidurnya. Tiba-tiba dia
merasakan jalan napasnya terganggu.
Gadis itu melihat kepulan asap
berwarna kemerahan memenuhi kamarnya.
Setelah itu, dia tak tahu apa yang
terjadi karena kesadarannya telah
hilang. Dan ketika siuman, dia berha-
dapan dengan seorang wanita cantik
berpakaian serba merah.
"Siapa kau?" tanya Ingkanputri.
"Sekar Mayang atau  Bidadari
Lentera Merah."
"Kau menculikku?"

Sekar Mayang tersenyum.
"Aku mcmbutuhkan orang-orang
semacammu, Putri.  Seorang gadis yang
berilmu tinggi," sahut wanita itu
dengan suara lembut.
"Apa maksudmu?"
"Perkumpulan Bidadari Lentera
Merah membutuhkan lebih banyak anggota
lagi. Kau adalah salah seorang
pilihanku.".
"Siapa sudi menjadi anggota
perkumpulan mu?!" sentak Ingkanputri.
"Aku bisa memaksamu!"
"Lakukan kalau kau mampu!"
tantang Ingkanputri. Gadis itu
meloncat dari pembaringan. Tapi,
tubuhnya limbung dan langsung jatuh
menggelosor ke lantai.
"Ha ha ha...!" Sekar Mayang
tertawa terbahak-bahak. "Kau telah
terkena Racun Pelemah Raga. Tanpa obat
penawar, kau hanyalah seonggok sampah
tiada berguna."
"Bangsat!" umpat Ingkanputri.
"O, kau hendak menantangku
bertempur?!" ejek Sekar Mayang.
"Segera tunjukkanlah kemampuanmu!
"Serahkan  obat penawar racun itu
padaku!" sambut Ingkanputri.
"Baik. Aku akan meluluskan
keinginanmu itu. Tapi, kau harus
bersedia menjadi anggota Perkumpulan
Bidadari Lentera Merah."
"Apa untungnya menjadi anggota

perkumpulanmu?!" Mata Ingkanputri
tampak berkilat-kilat.
"Banyak. Banyak, Putri. Semua
orang akan memandangmu terkagum-kagum.
Dan tak lama lagi, kedudukan dan harta
melimpah akan dapat kau rengkuh...."
"Apa maksudmu?"
"Perkumpulan Bidadari Lentera
Merah adalah sebuah gerakan bawah
tanah. Tampuk kepemimpinan Kerajaan
Anggarapura merupakan tujuan kami.
Prabu Arya Dewantara hanyalah seorang
lelaki loyo. Dia tak pantas memegang
kendali pemerintahan."
"Jadi, kau ingin memberontak?!"
Sekar Mayang tersenyum simpul.
"Kata itu kurang tepat, Putri.
Kerajaan Anggarapura haruslah dipimpin
oleh seorang tokoh yang berkemampuan
luar biasa. Untuk mewujudkan cita-cita
itulah Perkumpulan Bidadari Lentera
Merah dibentuk."
"Itu tak ada bedanya. Namanya
tetap memberontak! "
"Terserah apa katamu. Tapi, kau
harus bersedia menjadi anggota
perkumpulanku." 
"Aku tak sudi!"
"Berpikirlah dengan masak
terlebih dahulu!" Sekar Mayang masih
berusaha menahan dirt
"Sudah kubilang, aku tak sudi!"
"Ha ha ha...!"  Sekar Mayang
terdengar tertawa bergelak. "Rupanya

kau ingin menjadi gadis loyo!"
Ingkanputri menggeram gusar.
"Kuberi kau waktu untuk ber-
pikir," kata Sekar Mayang seraya
mengibaskan ujung lengan bajunya. Asap
berwarna kemerahan pun seketika
menyebar.
"Uh...!"
Keluhan pendek keluar dari mulut
Ingkanputri. Gadis itu segera jatuh
pingsan.
Itulah yang dialami Ingkanputri.
Sekarang  Ingkanputri merasa
senang mengetahui kehadiran Suropati.
Timbul setitik harapan dalam hatinya
untuk dapat membebaskan diri dari
cengkeraman Bidadari Lentera Merah.
"Kenapa kau berada di tempat ini,
Suro?" tanya Ingkanputri' dari balik
dinding.
"Mestinya yang menanyakan hal itu
adalah aku," sambut Suropati.
"Aku ditawan."
"Aku juga," sambung Pengemis
Binal, cepat.
Ingkanputri menarik  napas
panjang. Tiba-tiba hatinya diliputi
kegalauan. "Kenapa kau bisa sampai
ditawan, Suro," tanyanya kemudian.
"Ssst.,.!" Suropati memberi
isyarat. "Jangan berkata-kata lagi.
Aku mendengar suara yang
mencurigakan...."
Tiba-tiba, seluruh ruangan terasa

berderak. Tubuh Suropati sampai
terhuyung-huyung. 
Seeerrr...!
Permukaan lantai bergeser
membentuk sebuah lubang. Tubuh
Pengemis Binal terjeblos ke dalamnya!
Dia terperangah kaget ketika melihat
Puspita telah berdiri di hadapannya.
"Kau?!"
"Ssst...!" Puspita menegakkan
jari telunjuknya di depan bibir. "Bila
kau ingin menemui Sekar Mayang, aku
akan menunjukkan jalannya...," bisik
wanita itu.
"Kau yang menolongku beberapa
waktu lalu?"
"Tak perlu banyak bicara. Ikuti
lorong sempit ini. Setelah bercabang
dua, ambil yang sebelah kanan."
"Bukan tipuan?"
"Untuk apa menipumu?" kata
Puspita meyakinkan. "Cepat kau ikuti
lorong sempit ini! Aku tidak punya
banyak waktu."
Suropati segera melangkahkan
kaki.
"Sebentar, Suro...," cegah
Puspita.
"Katanya kau tidak punya banyak
waktu."
"Aku hanya ingin menyampaikan
pesan."
"Apa?"
"Setelah bertemu Sekar Mayang.

usahakan jangan sampai terjadi bentrok
dengannya." 
"Kenapa?"
"Nanti kau akan tahu sendiri. Kau
harus bermanis rupa di hadapannya."
"Tentu, karena itu...," Suropati
tak melanjutkan bicaranya. Dia malu
mengatakan tujuannya untuk menemui
Sekar Mayang.
"Ingat baik-baik pesanku itu,
Suro."
"Aneh...," pikir Suropati setelah
Puspita pergi. "Sepertinya wanita
cantik itu bukan anggota Perkumpulan
Bidadari Lentera Merah. Mungkinkah dia
sedang melakukan penyamaran?"
Pengemis Binal berdiri di
tempatnya seperti kera kehilangan
ekor. Tapi tak lama kemudian, dia
segera mengikuti petunjuk Puspita.
Lorong sempit yang dilaluinya
berkelok panjang. Namun, Suropati tak
menemukan kesulitan. Setiap sepuluh
tombak di dinding lorong terdapat
sebuah obor yang memberi penerangan
cukup.
Tak ada seperminum teh kemudian,
Suropati telah menemukan cabang lorong
yang dimaksudkan oleh Puspita. Dia pun
mengambil yang sebelah kanan. Sebuah
ruangan luas terbentang. Lantai dan
dindingnya terbuat dari batu pualam
licin mengkilat.
Suropati merundukkan tubuhnya

ketika tiba-tiba mendengar hembusan
napas memburu. Saat itu dia berada di
sisi sebuah meja besar yang juga
terbuat dari batu pualam.
"Uh, kau sangat  nakal,
Mayang...," terdengar suara laki-laki.
"Kau juga," sahut si perempuan.
"Kau yang mengawali."
"Uh! Tanganmu jangan begini!"
"Kenapa?"
"Geli."
"Ah, kukira kau merasa senang.
Kalau begitu, begini saja...." "Uh....
Uh...."
"Baru kau merasa senang
sekarang," ujar si laki-laki kembali.
Suara sahut-menyahut itu
terhenti. Berganti dengan hembusan
napas yang semakin memburu.
Suropati melebarkan pandangannya
ke seluruh penjuru ruangan. Dia
terkesiap ketika menyaksikan sebuah
adegan yang mendebarkan. Dua tubuh
hampir telanjang tampak bergumul dan
bergulingan di lantai.
Pengemis Binal menggeram gusar
ketika tahu kalau si lelaki adalah Si
Pendekar Asmara.
"Keparat!"  umpat Suropati dalam
hati. "Ternyata kau sudah berada di
sini, Kapi Anggara. Rupanya kau
sengaja membodohiku."
Sambil bersungut-sungut, remaja
konyol itu meninggalkan tempat persem-

bunyiannya. Tapi..., sesosok tubuh
menghadangnya.
"Kau mau ke mana, Suro?!"
Suropati menatap sejanak wajah
penghadangnya itu. "Aku menerima
kalah, Kapi Anggara," katanya.
"Biarkan aku pergi..."
"Tak semudah itu!" bentak Si
Pendekar Asmara sambil membenahi
bajunya yang berantakan.
"Aku sudah tidak lagi mempunyai
urusan denganmu!"
"Tapi, kau sudah kepalang basah
masuk ke sini!"
Tanpa diduga-duga Si Pendekar
Asmara tiba-tiba melayangkan pukulan
kepatan tangan kanannya meluncur
deras.
"Aku tidak mau berkelahi!" kata
Suropati sambil berkelit.
Kapi Anggara menyusuli sera-
ngannya dengan tendangan. Namun, kali
ini pun tetap tak mengenai sasaran.
"Kau jangan memaksaku, Kapi
Anggara!" bentak Suropati.
"Berpura-puralah melayani gempu-
ranku, Suro.."
Suropati terkejut mendengar suara
bisikan di dekat telinganya itu.
"Kenapa bengong?! Ikuti
perintahku!"
Suara itu muncul lagi. Pengemis
Binal menatap wajah Kapi Anggara yang
sedang melancarkan pukulan. Dia

menangkap isyarat mata dari pemuda
tampan itu.
Wuuuttt...! Wuuuttt...!
Suropati bergegas menuruti
perintah Kapi Anggara. Tongkat di
tangannya diputar cepat. Tapi ketika
hendak melakukan gempuran,
mendadak....
"Hentikan!"
Sekar Mayang meloncat ke sisi Si
PendekarbAsmara. Suropati pun
menghentikan putaran tongkatnya.
"Bukankah kau Pengemis Binal?!"
ujar Sekar Mayang.
"Ya," jawab Suropati pendek.
"Ha ha ha...!" Sekar Mayang
tertawa bergelak. "Hari ini aku
sungguh beruntung. Kudapatkan dua ekor
kelinci sekaligus...."
Suropati mendengus gusar.
Demikian pula dengan Si Pendekar
Asmara. Mereka tersinggung dikatakan
sebagai dua ekor kelinci.
"Suro...,"  suara Sekar Mayang
berubah lembut. "Apakah kau juga ingin
menjadi kekasihku?"
Suropati gelagapan  mendengar
pertanyaan itu. Belum pernah dia
menjumpai seorang wanita cantik yang
semikian berani menebak isi hatinya.
Tapi ketika melihat kecantikan
Sekar Mayang yang sangat mempesona,
remaja konyol itu tak sungkan-sungkan
lagi. Cepat kepalanya dianggukkan.

Tawa Sekar Mayang seketika
menggema. Suaranya memantul tak henti-
henti. "Sekarang juga kau menjadi
kekasih keduaku setelah Kapi Anggara,
Suro...."
"Aku keberatan!" Si Pendekar
Asmara meloncat ke hadapan Sekar
Mayang. "Kau harus memilih salah satu
di antara kami, Mayang...," katanya
dengan suara berat.
"Tidak. Kalian berdua sama tampan
dan sama gagahnya. Sayang, bila salah
satu harus dibuang."
Kapi Anggara mendengus keras.
Lalu, tubuhnya meluncur ke arah
Suropati. "Bangsat kau, Suro!"
teriaknya seraya melancarkan sebuah
tendangan.
Wuuusss...!
Tendangan itu hanya mengenai
angin kosong.
"Tampakkan kebencianmu kepadaku,
Suro...."
Suropati mendengar suara bisikan
itu. Setelah berpikir sejenak, dia
memutar tongkatnya kembali.
Tubuh Si Pendekar Asmara meliuk-
liuk, meng-hindari serangan. Lalu,
digempurnya Suropati dengan kecepatan
kilat!
Des...!
Tangan kiri Suropati menangkis
sebuah tendangan. Namun, tubuh Kapi
Anggara berputar cepat laksana

digerakkan oleh angin puting beliung.
Suropati terpaksa memutar tongkatnya
untuk melindungi tubuhnya dari cecaran
angin yang ditimbulkan oleh putaran
tubuh si Pendekar Asmara.
Sraaattt...!
Selembar kain lebar berwarna
merah terlihat mengembang. Angin
pukulan Kapi Anggara ber-balik arah.
Tubuh Si Pendekar Asmara itu mundur
beberapa tindak,  terkena sambaran
angin yang ditimbulkan oleh kekuatan
tenaga dalamnya sendiri.
"Kenapa kau nekat, Kapi
Anggara?!" sentak Sekar Mayang. Tangan
kanannya memegang selembar kain lebar
berwarna merah.
Si Pendekar Asmara menatap tajam
wajah wanita cantik itu.
"Aku mencintaimu, Sekar Mayang.
Tak seorang pun boleh menodai cintaku
yang tulus ini...."
Mendengar perkataan Kapi Anggara,
Sekar Mayang tertawa terbahak-bahak.
"Aku menghargai kejujuranmu, Kapi
Anggara. Tapi, kau tak berhak melarang
keinginanku untuk menerima hasrat
Suropati."
Usai berkata, Sekar Mayang
mengeluarkan suitan nyaring. Lalu,
sebuah bayangan merah berkelebat
datang. Seorang wanita cantik anggota
Perkumpulan Bidadari Lentera Merah.
Dia segera membungkukkan tubuh ke arah

junjungannya.
"Bawa tamu kehormatanku ini
menuju Ruang Penanti Sorga!" perintah
Sekar Mayang seraya melirik Suropati.
"Hamba, Ketua...."
Anak buah Sekar Mayang itu
kemudian mem-balikkan badan. Kakinya
melangkah perlahan-lahan meninggalkan
ruangan.
"Kau ikuti dia, Suro...," ujar
Sekar Mayang. Bagai kerbau dicocok
hidungnya, Suropati menuruti perintah
wanita itu.
"Kau tak perlu marah,
Kekasihku...," kata Sekar Mayang
kemudian dengan manjanya pada Kapi
Anggara. "Permainan kita tadi belum
usai. Ayolah, kita lanjutkan!"
Wanita cantik itu memejamkan
matanya. Lalu,tubuhnya bergoyang-
goyang. Mendadak baju Sekar Mayang
melorot jatuh, memperlihatkan bagian
tubuh yang indah dan mengundang hasrat
kelelakian.
Kapi Anggara terkesiap. Matanya
terbuka lebar. Dengan dengusan keras,
diterkamnya tubuh Sekar Mayang.

***

6

Tatanan ruangan itu begitu indah
menyejukkan pandangan mata. Lantai dan

dindingnya licin mengkilat. Karangan
bunga terdapat di sudut-sudut ruangan.
Aroma harum bunga mawar memenuhi ru-
angan indah ini.
Suropati duduk terpaku di kursi
empuk berkain beludru. Matanya menatap
pembaringan berkelambu sutera tipis.
Lalu, perlahan dia bergerak bangkit
seraya meraih tongkatnya yang
tergeletak di lantai.
"Aku harus menyelamatkan Ingkan-
putri...," gumam pemuda itu.  "Tak
sepantasnya aku duduk tercenung di
sini. Kasihan Ingkanputri."
Suropati berusaha membuka pintu.
Tapi, ternyata terkunci rapat. Dike-
rahkannya ilmu 'Mata Awas' untuk
melihat keluar. Setelah mengetahui tak
ada seorang penjaga pun di sana,
Suropati menjebol daun pintu!
Braaakkk...!
Daun pintu hancur berkeping-
keping terhantam kepalan tangan
Pengemis Binal. Tapi belum sempat dia
melangkahkan kakinya keluar, Sekar
Mayang telah berdiri di hadapannya.
"Kau mau ke mana, Suro?" tanya
Sekar Mayang.
Suropati menggaruk kepalanya.
"Ah... ehm.... Aku ingin buang
air," jawab remaja konyol itu
sekenanya.
"Buang air di situ saja. Aku
ingin melihatnya.... He he he...,"

Sekar Mayang tertawa menggoda.
"Tidak jadi."
"Kenapa?"
"Aku sendiri tak tahu," kata
Suropati sambil menggaruk kepalanya.
Sekar Mayang segera meraih tangan
remaja konyol itu. Dituntunnya
Suropati kembali memasuki ruangan.
"Aku ingin mendengar kata-kata
indahmu, Suro...."
"Aku tidak bisa," elak Suropati. 
"Bodoh! Sebagai seorang lelaki,
kau harus pandai merangkai kata-kata." 
"Tentang apa?"
"Pujaan kepada seorang wanita."
Kepala Suropati menggeleng-geleng
lemah. "Kau sangat cantik, Mayang...,"
katanya kemudian dengan kelopak mata
menyipit. "Kecantikanmu melebihi nenek
buyutku."
"Secantik apakah nenek buyutmu
itu?" sahut Sekar Mayang.
"Aku tidak tahu."
"Bodoh! Mestinya, kau katakan
kalau kecantikanku melebihi Dewi
Ratih."
"Aku tidak tahu siapa Dewi Ratih
itu."
"Bodoh! Dewi Ratih adalah
bidadari kekasih Kamajaya."
"Siapa Kamajaya?"
"Ah, ternyata kau sangat dungu,
Suro...." Sekar Mayang menjadi jengkel
mendengarnya.

"Memang!" Suropati lalu menggaruk
kepalanya.
"Tapi aku suka. Karena, kau
tampan." 
"Setampan apakah aku ini?" tanya
Suropati ingin tahu.
"Kunyuk Buduk!" sahut Sekar
Mayang sambil menahan tawa.
"Bodoh! Mestinya kau katakan
kalau ketampananku melebih Kapi
Anggara."
"Tidak. Kau dan dia sama tampan."
"Bodoh! Aku merasa lebih tampan
dari dia!"
"Baiklah, kau memang lebih tampan
dari Kapi Anggara."
"He he he...!" Suropati tertawa
senang.
"Kita adalah sepasang kekasih,
Suro. Tidakkah kau ingin...," Sekar
Mayang menggantung kalimatnya. Matanya
tampak mengerjap-ngerjap mesra.
"Tidak!" sahut Suropati yang
segera dapat menangkap maksud isyarat
itu.
"Aku mencintaimu, Suro...."
"Bohong!"
"Uh...!"
Tubuh Sekar Mayang menggeliat
dengan mesra. Kepala wanita cantik itu
menengadah. Matanya dipejamkan.
Melihat sikap menggoda Sekar
Mayang, Suropati merasa jijik. Dia
segera membalikkan badannya.

"Kenapa kau tidak melayani
keinginanku, Suro?" tanya Sekar Mayang
penuh rasa kecewa.
"Aku ingin keluar dari tempat
ini!"
"Apa?! Kau ingin keluar? He he
he..,!" Sekar Mayang mengalunkan suara
tawa. "Silakan, kalau kau mampu..."
"Baik. Aku pergi sekarang!" sahut
Pengemis Binal seraya melangkahkan
kakinya.
Sekar Mayang cuma menatap dengan
sinar mata penuh ejekan.
Kaki Suropati terus melangkah
melewati ambang pintu lalu menyusuri
lorong-lorong sempit.
"Kenapa Sekar Mayang begitu mudah
melepaskan aku pergi?" tanya Suropati
dalam hati. "Ah, apa pedulinya dengan
sikap aneh wanita cantik itu! Yang
penting, sekarang aku punya kesempatan
untuk menolong Ingkanputri."
Dengan langkah lebar, Suropati
terus menyusuri lorong-lorong  di
hadapannya. Tapi lewat seperminum teh
kemudian langkah pemuda itu terhenti.
"Ah, rupanya aku hanya berputar-
putar di tempat ini!" Suropati
menggaruk kepalanya. "Aku tidak tahu
di mana Ingkanputri disekap. Dan, di
mana jalan keluar aku juga tak
tahu...."
Tiba-tiba remaja konyol itu
melihat sebuah  bayangan merah

berkelebat. Cepat Suropati menghempos
tenaganya dan berlari mengejar
bayangan yang baru dilihatnya. Karena
mengerahkan hampir seluruh ilmu
meringankan tubuh, akhirnya dia dapat
menyusul.
"Tunggu dulu, Nona...!"
Bayangan merah itu menghentikan
langkahnya. Ditatapnya wajah Suropati
dalam-dalam. "Kenapa kau berada di
sini?" tanyanya.
"Aku membutuhkan seorang penunjuk
jalan."
"Rupanya kau mencoba melarikan
diri..."
Suropati tidak menyahut.
Tangannya bergerak cepat melancarkan
sebuah totokan. Anggota Perkumpulan
Bidadari Lentera Merah ternyata cukup
lincah. Dengan mudah dia menghindar.
"Di sini segala keinginanmu tidak
mudah terwujud!" ujar wanita itu.
"Siapa bilang?!" sungut Suropati
tak senang.
Dilancarkannya sebuah tendangan
yang meluncur deras. Tendangan itu
membentur pergelangan tangan anak buah
Sekar Mayang. Tapi, sehelai selendang
merah datang mengancam leher Suropati.
"Permainan anak kecil!" kata
Suropati seraya melayangkan telapak
tangannya.
Ujung selendang berhasil ditang-
kap. Lalu, tangan Suropati membetot

keras. Tubuh anak buah Sekar Mayang
pun meluncur ke arahnya.
Tuk!
Totokan Pengemis Binal dapat
mengenai sasaran. Tubuh anak buah
Sekar Mayang menjadi lemas.
"Kau sangat cantik. Sayang untuk
dibunuh," kata Suropati. "Siapa
namamu?"
"Apa perlunya menyebutkan nama?!"
sentak wanita itu ketus sekali.
"Karena kau cantik, dan aku
membutuhkan bantuanmu."
"Aku tak mau!"
Tiba-tiba tangan Suropati
bergerak cepat. Ditotoknya jalan darah
di pinggang wanita yang sudah tak
berdaya itu. Jerit kesakitan langsung
terdengar.
"He he he...!" Suropati tertawa.
"Sebelum aku melepaskan totokanku,
rasa sakit itu akan terus melanda."
"Ah... aduh...! Ba.. baiklah...."
"Baiklah apa?" goda Suropati.
"Uh.... Ba... baiklah... aku...
aku mau..."
"Mau apa? Kucium?"
"Mem... membantumu."
Suropati tertawa senang. "Itu
namanya kau benar-benar seorang gadis
cantik yang baik hati."
Tangan Suropati bergerak melepas-
kan totokan. Rasa sakit yang melanda
pun hilang.

"Uh..,! Tubuhku bagian atas tetap
belum bisa digerakkan," keluh wanita
cantik itu.
"Biar kau tidak menipuku."
"Tapi tubuhku jadi lemah."
"Biar! Kakimu masih bisa melang-
kah. Mulutmu pun masih bisa bicara.
Itu sudah cukup!" Suropati kemudian
mendorong tubuh anak buah Sekar Ma-
yang. "Bawa aku ke ruang tahanan!"
perintahnya.
"Siapa yang kau cari?"
"Seorang gadis."
"Tahanan di sini banyak. Semuanya
gadis-gadis."
Suropati menggaruk kepalanya.
"Ehm, anu... seorang gadis
cantik."
"Semuanya juga cantik."
Suropati kembali menggaruk
kepalanya.
"Ah, sudahlah. Bawa saja aku ke
ruang tahanan. Aku akan pilih sendiri
gadis yang kucari."
Anak buah Sekar Mayang segera
melangkahkan kakinya.
"Eh, siapa namamu?" tanya
Suropati yang mulai timbul sifat
isengnya.
"Apa perlunya?"
"Karena kau cantik."
Mendengar perkataan  Suropati,
wanita berpa kaian merah tersenyum
kecil. 

"Ayumi," katanya pendek.
"Ehm, nama yang bagus. Mudah-
mudahan setelah ini kita bisa berjumpa
lagi..."
Kaki Ayumi terus melangkah.
Sesekali dia membalikkan badannya dan
mengerling ke arah Suropati.
"Rupanya gadis ini naksir
padaku," gumam Suropati senang di
dalam hatinya.
Ketika mereka melewati sebuah
lorong sempit selebar badan, tiba-tiba
Ayumi meloncat ke depan. Tangannya
meraih seutas benang yang hampir kasat
mata.
Seeerrr...!
Lantai lorong sempit itu bergeser
cepat sepanjang dua tombak.
Suropati sedikit pun tidak
menyangka adanya jebakan itu. Dia
berusaha meloncat, tapi terlambat.
Tubuh remaja konyol itu meluncur masuk
ke dalam lubang. Dan Suropati terkejut
setengah mati menyaksikan dasar lubang
dihampari tombak-tombak bermata
runcing!
Bergegas Pengemis Binal berusaha
menjejakkan kakinya ke dinding. Tubuh
remaja itu melenting ke atas. Tapi,
lubang yang menganga di atasnya
mendadak tertutup kembali. Tubuh
Suropati membentur pintu jebakan, lalu
meluncur turun ke bawah dengan lebih
cepat!

Pengemis Binal bergidik ngeri.
Tak ada yang bisa dilakukannya lagi.
Dibayangkannya Dewa Kematian yang
sebentar lagi akan datang menjemput.
Mendadak...
Seeerrr...!
Dinding lubang jebakan terbuka!
Sehelai selendang merah menjulur
cepat, kemudian membelit tubuh
Suropati. Tubuh remaja itu tertarik ke
samping dan jatuh berdebam di lantai
dingin.
"Aduh!" keluh Suropati sambil
memegang pantatnya yang mendarat lebih
dahulu
"Kau memang sangat bodoh,
Suro...," kata seorang wanita
berpakaian serba merah, yang tak lain
Puspita.
"Eh, lagi-lagi kau menolongku,"
sambut Suropati dengan  tersenyum
senang.
"Ayumi itu  suruhan Sekar Mayang
yang ditugaskan untuk membunuhmu,"
beritahu Puspita
"Apa?!"
"Ayumi sengaja mengalah agar kau
mudah terkecoh."
"Keparat!" umpat Suropati.
"Sebaiknya kau segera keluar dari
sini, Suro. Sebentar lagi seluruh anak
buah Sekar Mayang akan mencarimu."
"Aku harus menyelamatkan seorang
temanku."

"Seorang gadis?"
"Ya."
"Cantik?"
"Ya."
Tiba-tiba Puspita melengos.
"Eh, kau cemburu?" tanya
Suropati.
"Tidak!" jawab Puspita sedikit
ketus.
"Aku dan dia tidak ada hubungan
apa-apa "
"Bohong!"
"Tidak!"
Puspita mengembangkan senyum
manis. "Sekarang juga kau harus keluar
dari sini, Suro," katanya kemudian.
"Aku harus menolong temanku itu
dulu."
"Aku yang akan mengurusnya."
"Aku bisa mempercayai ucapanmu?"
"Kenapa tidak? Siapa nama temanmu
itu?" Walaupun masih agak cemburu,
Puspita bertanya juga.
"Ingkanputri."
"Aku sudah tidak punya waktu
lagi. Segera kau ikuti lorong sempit
ini. Can seuntai benang yang menjulur
ke atas. Hitung sampai tiga, lalu
tarik. Ingat Suro, benang ketiga!
Jangan salah!"
"Baiklah. Aku akan menuruti
petunjukmu. Tapi, kau sebenarnya
siapa?"
"Pada saatnya nanti kau akan tahu

sendiri," sahut Puspita.
"Kau kenal Kapi Anggara?"
"Dia temanku."
"Kekasih?"
"Bukan. Ah, sudahlah. Segeralah
kau langkahkan kakimu!"
Suropati menatap wajah Puspita
sejenak. "Wanita cantik yang sangat
misterius," gumam pemuda itu dalam
hati.
"Aku berdoa untuk keselamatanmu,
Suro...," ujar Puspita sebelum
berkelebat pergi.
"Setelah menolongku, selalu saja
dia bilang tidak punya waktu.
Sebenarnya aku ingin sekali bisa
berlama-lama dengannya."
Bibir Suropati mengembangkan
senyum.
"Melihat kecepatan gerak Puspita,
aku bisa mengukur ketinggian ilmunya.
Namun, kenapa di pekuburan itu aku
dapat dengan mudah merobohkannya?
Apakah dia sengaja mengalah? Siapa se-
benarnya gadis itu?"
Suropati bertanya-tanya sendiri.
Tapi segera dihentikannya tindakan
itu. Remaja konyol itu kemudian
melangkahkan kakinya menyusuri lorong-
lorong yang berliku. Sambil berjalan,
kepalanya  ditengadahkan untuk mencari
untaian benang yang dimaksud Puspita.
"Satu... dua...," Suropati meng-
hitung dalam hati. Mendadak, sinar

matanya berkilat tajam. "Nah, ini dia.
benang ketiga!"
Suropati terpaku sejenak. Tangan-
nya mengelus untaian benang yang
menjulur di atas kepalanya.
"Seperti terbuat dari baja,"
gumam Suropati. Sambil menahan napas,
pemuda itu menarik benang yang
dipegangnya. Tiba-tiba lantai yang
diinjak bergeser cepat dan membentuk
sebuah kubangan. Dibiarkannya tubuhnya
terjeblos. Akibatnya, tubuh Suropati
meluncur menuruni sebuah lorong gelap.
Lubang di mana Suropati lewat tertutup
kembali.
Sebentar kemudian, pemuda itu
mendarat dengan ringan di dasar
lubang. Di depannya tampak sorot
cahaya rembulan yang temaram. Suropati
bergegas melangkah lebar-lebar.
Sampailah dia di mulut sebuah gua.
"Bukankah aku dulu masuk juga
lewat sini?" ujar pemuda itu. "Aku
masuk lewat sini, keluar pun lewat
sini. Benar-benar tamu terhormat."
Sambil tersenyum-senyum, Suropati
berjalan keluar gua. Tapi ketika
melihat bentuk rembulan yang hampir
bulat penuh, dia terperangah.
"Hari keempat belas bulan purnama
ketujuh!" Remaja konyol itu teringat
pada Aki Barondeng. Dia mempunyai
janji akan menemuinya besok malam.
Usai bertempur melawan Pendekar Murtad

dan Empu Barangas di Pendapa Kadipaten
Bumiraksa, tiba-tiba muncul Aki
Barondeng. Kakek tua renta itu
menuliskan sebuah pesan tantangan pada
dirinya.
"Kakek Bayangan Putih Dari
Selatan juga menuliskan pesan," gumam
Suropati lagi.
Kepala Suropati mendongak.
Ditatapnya bulatan rembulan yang
sedikit tersaput awan.
"Ah, sekaranglah saatnya aku
harus menuruti pesan Kakek Bayangan
Putih Dari Selatan...."
Sekejap kemudian, tubuh Suropati
berkelebat cepat menuruni bukit.
Pemuda itu mengerahkan seluruh
kemampuannya untuk mengejar waktu. Tu-
buhnya hanya tarnpak bagai bayangan.
Memasuki Kota Kadipaten
Bumiraksa, malam telah larut. Sunyi
senyap terbalut sepi. Kabut dingin
bergerak mencengkeram tulang.
Suropati berdiri tegak di depan
Kuil Saloka. Pakaiannya yang penuh
tambalan berkibar-kibar dimainkan
angin.  Dengan  elusan lembut, dia
mengusap peluh yang bergulir di
keningnya. Perlahan kakinya dilang-
kahkan memasuki kuil yang sudah tiada
berdaun pintu.
"Uh, gelap benar...," bisik Suro-
pati sambil menggapai-gapaikan
tangannya seperti hendak mengusir

kelam.
Sejenak dia terpaku di tempatnya.
Setelah kekuatan batinnya terpusat
dalam pengerahan ilmu 'Mata Awas',
cahaya berwarna putih seperti mem-
bayangi pandangan Pengemis Binal.
Kakinya pun melangkah pasti mengitari
ruangan di dalam kuil.
Tak perlu kau berputar-putar,
Suro...," sebuah suara lembut
terdengar menyapa Suropati. "Kakek
Bayangan Putih Dari Selatan!" Suropati
mengedarkan pandangan ke seluruh
penjuru ruangan. Tapi, sosok Bayangan
Putih Dari Selatan tak nampak.
"Di mana kau Kek...?!" tanya
Suropati kemudian.
"Aku  berada di suatu tempat,
Suro." 
"Di mana?"
"Tak perlu kau tahu. Kalau kau
datang ke sini untuk memenuhi pesanku,
berarti kau masih memikirkan
keselamatan nyawamu. Aki Barondeng
adalah tokoh rimba persilatan yang
tiada tandingan. Kepandaian yang
sekarang kau miliki belum sanggup
untuk menghadapinya, Suro..."
"Lalu, untuk apa kau menyuruhku
datang ketempat ini?"
"Aki Barondeng adalah kakak
seperguruanku.
Dia memiliki ilmu mujizat yang
bernama ilmu 'Penghisap Sukma'."

"Aku tidak takut," kata Suropati
konyol.  "Aku punya ilmu 'Penghisap
Kencing Sapi'. He he he!"
"Ini bukan saatnya untuk
bergurau! Segeralah kau duduk
bersila," tegur Bayangan Putih Dari
Selatan.
"Untuk apa?"
"Untuk menghadapi ilmu 'Penghisap
Sukma' kau harus mencapai tahap
penyucian kalbu."
"Ah,  seberapa hebatkah ilmu
'Penghisap Sukma' itu?" Suropati meng-
gerutu. "Kenapa Kakek Bayangan Putih
Dari Selatan begitu mengkhawatirkan
keselamatanku?"
"Segera kau turuti  perintahku,
Suro!" bentak Bayangan Putih Dari
Selatan kembali. Rupanya dia agak
jengkel  juga menyaksikan kekonyolan
Suropati.
"Baiklah, Kek. Tapi, kau jangan
mengencingiku dari atas...."
Usai mengucapkan kalimatnya,
Suropati menyilakan kedua kakinya di
lantai. Dengan tangan bersedekap di
depan dada pemuda itu lalu memejamkan
matanya. Sekejap berlalu, jiwa
Suropati seperti melayang-layang di
atas hamparan tanah luas tiada
bertepi. Kabut memendar dalam kehe-
ningan. Lalu, sebuah sinar keputihan
menyibak. Sinar itu memancar bagai
kilatan cahaya yang membentur cermin.

Sesosok tubuh tampak duduk bersila di
atas lempengan batu besar.
"Kakek Bayangan Putih Dari
Selatan," bisik Suropati.
"Mendekatlah kemari, Suro...."
Suropati menuruti perintah kakek
berpakaian serba putih itu. Dia naik
ke lempengan batu dan duduk bersila di
dekat si kakek.
"Tak ada satu pun kekuatan yang
sanggup menghentikan gerak jiwa
manusia...," kata Bayangan Putih Dari
Selatan. "Jiwa manusia sanggup
menembus kegelapan dan melewati segala
rintangan yang menjadi penghalang.
Tapi, hanya jiwa suci penuh kepasrahan
kepada Tuhanlah yang dapat melakukan
semua itu. Kau harus mencapainya,
Suro..."
"Bagaimana caranya, Kek?" "Kau
harus melalui tahap penyucian kalbu.
Untuk itu, dia harus mengekang hawa
nafsu yang mengotori hatinya.  Harus
menghindari segala pikiran buruk yang
mengajaknya bertindak di luar garis
kebenaran Tuhan. Karena kebenaran
Tuhan bersifat abadi, kau harus
menelusuri dan menyatukan kehendak
dalam kebesaran-Nya...."
Lama Bayangan Putih Dari Selatan
memberikan petunjuk kepada Suropati.
Wejangan itu baru kali pertama ini,
didengar Pengemis Binal. Pemuda itu
berusaha  menerimanya dengan segenap

kelapangan jiwa dan pikiran....
Tak terasa, malam telah berganti
pagi. Sinar mentari menerobos masuk
menerangi bagian dalam kuil. Suropati
membuka matanya.
"Uh! Rupanya hari telah
berganti...."
Pemuda itu bangkit berdiri.
Diluruskannya pinggangnya yang terasa
kaku. Kemudian, dia melangkah keluar.
Seorang kakek bongkok berpakaian penuh
tambalan tampak berjalan menghampiri.
"Kakek Gede," sapa Suropati.
"Semalam aku terus menunggumu,
Suro. Aku khawatir kau tidak memenuhi
pesan Bayangan Putih Dari Selatan."
"Jadi, ketika aku memasuki kuil
Kakek melihat?"
"Ya," jawab Gede Panjalu. "Kenapa
Kakek tidak menegurku?" 
"Waktumu sangat sempit. Kau sudah
menemui kakek budiman itu, Suro?"
"Sudah. Aku  mendapat bekal ilmu
yang bernama ilmu 'Kalbu Suci
Penghempas Sukma'." 
"Syukurlah. Eh, Suro..." 
"Apa, Kek?"
"Di Kota Kadipaten Bumiraksa ini
muncul Perkumpulan Pengemis Baju
Hitam."
Suropati kelihatan terkejut.
"Siapa yang mendirikannya? Dan, bagai-
mana sepak terjangnya?" pertanyaan
Suropati keluar beruntun.

"Aku tidak tahu siapa yang
mendirikannya. Tapi kalau kau ingin
tahu sepak terjangnya, man aku
tunjukkan..."
Gede Panjalu menghentakkan
kakinya dan melesat pergi dari tempat
itu. Suropati segera menyusul. Setelah
sampai di depan sebuah pasar kecil,
mereka baru berhenti.
"Kau lihat orang itu, Suro..."
Gede Panjalu menunjuk seorang
lelaki berbadan tinggi besar yang
berpakaian penuh tambalan. Tangan
kanan lelaki itu memegang sebatang
tongkat. Ujungnya bengkok menyerupai
gagang payung.
"Dia anggota Perkumpulan Pengemis
Baju Hitam," beritahu Gede Panjalu.
"Perhatikan gerak-geriknya...."
Kakek bongkok itu menggandeng
lengan Suropati. Mereka kemudian duduk
di samping seorang penjualsayur.
Dalam pengawasan Gede Panjalu dan
Suropati, lelaki berbadan tinggi besar
yang merupakan anggota Perkumpulan
Pengemis Baju Hitam itu tampak
menghampiri seorang penjuai ikan.
"Uang!" bentak pengemis baju
hitam itu.
Si penjual  ikan mendongakkan
kepalanya. "Daganganku  belum laku,"
katanya.
"Aku tak peduli! Berikan uang
yang kuminta!"

"Kau ini mengemis atau
merampok?!"
"Terserah apa katamu! Aku butuh
uang sekarang. Cepat berikan!"
Si penjual  ikan menatap wajah
pengemis baju hitam. "Enyah kau!"
bentaknya.
"Bangsat!" pengemis baju hitam
mengumpat.
"Kau belum tahu siapa aku...."
Tiba-tiba, lelaki berbadan tinggi
besar itu mengayunkan telapak
tangannya.
Plak!
Si penjual ikan mendekap pipinya
yang terkena tamparan.
Suropati yang menyaksikan adegan
itu jadi terperangah kaget. Dia hendak
bangkit berdiri. Tapi, Gede Panjalu
mencegahnya.
"Belum waktunya bertindak," kata
kakek bongkok itu.
Suropati meletakkan kembali
pantatnya di tanah.
"Kalau kau tidak segera memberiku
uang, aku bisa membunuhmu sekarang!"
ancam pengemis berbaju hitam kepada
penjual ikan.
Yang diancam menatap dengan sinar
mata penuh kebencian. Cepat diambilnya
sebilah pisau di balik bajunya. Lalu,
ditusukkan ke arah lelaki tinggi
besar. Tapi dengan sigap pengemis
berbaju hitam itu berkelit. Kemudian

telapak tangannya menyampok.
Siku penjual ikan terbentur.
Pisau yang digenggamnya jatuh ke
tanah. "Ha ha ha.,.!"
Pengemis berbaju hitam tertawa
terbahak-bahak. Suara tawanya yang
keras segera mengundang perhatian
orang. Namun mereka hanya bisa menatap
tanpa bertindak apa-apa. Ketika tawa
pengemis  berbaju hitam berhenti,
jempol kakinya menginjak gagang pisau
yang tergeletak di tanah.
Pisau itu melayang tinggi. Lelaki
berbadan tinggi besar segera menyambut
kemudian ditimang-timangnya. "Kau
tidak takut mati, Monyet Busuk?!"
katanya dengan mata berkilat menatap
penjual ikan.
Si penjual ikan bergidik ngeri.
Tubuhnya menggigil seperti orang
terserang demam.
Tiba-tiba kaki pengemis berbaju
hitam melayang. Dihantamnya meja
tempat penjual ikan menjajakan barang
dagangannya. Ikan-ikan berhamburan.
Semua orang yang berada di pasar
menyaksikan dengan mulut terkunci
rapat.
Suropati mengumpat diam-diam
dalam hati. Ketika hendak bangkit,
kembali Gede Panjalu mencegah.
"Kau lihat, seorang anggota
perkumpulan  kita berjalan mendekati,"
kata kakek bongkok itu.

"Carang Gati!" desis Suropati.
"Coba kita perhatikan apa yang
akan dilakukan pemuda kurus itu."
Carang Gati menghampiri pengemis
berbaju hitam.
"Tindakanmu terlalu biadab," ujar
anggota Perkumpulan Pengemis Tongkat
Sakti itu.
"Huh! Anak buah Suropati!" ejek
pengemis berbaju hitam.
Suropati terkejut mendengar
namanya disebut-sebut. Tapi, dia tetap
diam di tempatnya.
"Siapa kau?" tanya Carang Gati.
"Buka matamu lebar-lebar, Penge-
mis Buruk! Namaku Juwing Balangan. Kau
bisa menyebutku Pengemis Gajah!"
"Tidak sepatutnya kau berbuat
seperti ini."
"Aku tidak butuh nasihatmu!"
bentak Juwing Balangan.
Tangan Juwing Balangan lalu
bergerak cepat menyambitkan pisau.
Carang Gati menangkis dengan tongkat-
nya. Pisau itu langsung luruh ke
tanah. Juwing Balangan menggeram
gusar. Tongkatnya berkelebat cepat
menyodok dada Carang Gati.
Tongkat Pengemis Gajah bergetar
keras terkena benturan tongkat Carang
Gati.
"Bangsat!" umpat Juwing Balangan.
Lelaki tinggi besar itu lalu
memutar tongkatnya. Dicecarnya tubuh

Carang Gati dengan bertubi-tubi.
Pemuda kurus anggota Perkumpulan
Pengemis Tongkat Sakti itu berkelit ke
sana kemari. Kemudian, tongkat di
tangannya berkelebat tak kalah cepat.
Wuuuttt...! Wuuuttt...!
Suara sambaran tongkat terdengar
keras. Pertempuran sangit segera
berlangsung. Kegiatan di sekitar pasar
langsung berhenti. Orang-orang lebih
suka menonton pertunjukan gratis itu.
Lewat sepuluh jurus kemudian,
tiba-tiba tongkat di tangan Juwing
Balangan bergerak aneh.
Tongkat itu menyodok tanah. Lalu,
si empunya melayang seraya melancarkan
tendangan. Bersamaan dengan itu
pangkal tongkat yang melengkung me-
luncur tertuju ke dahi Carang Gati!
Pemuda bertubuh kurus itu
menangkis tendangan. Cepat digerakkan
kepalanya ke samping.
Wuuuttt...!
Serangan Pengemis Gajah gagal.
Tapi, dia segera menarik tongkatnya
hingga pangkal tongkat yang melengkung
mengait leher Carang Gati. Anggota
Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti itu
terkejut. Buru-buru tubuhnya dirun-
dukkan.
Melihat serangannya berhasil
dielakkan lawan, Juwing Balangan
berputar lalu melancarkan tendangan
beruntun!

Des...!
Tubuh Carang Gati terpental, dan
bergulingan di tanah. Tanpa mau
membuang waktu tongkat Juwing Balangan
menghunjam ke tubuh Carang Gati yang
masih bergulingan.
Suropati terperangah. Pemuda itu
segera bangkit berdiri. Tapi, gerakan
Gede Panjalu lebih cepat. Tubuh kakek
bongkok itu meluncur bagai anak panah
lepas dari busurnya.
Tak...!
Tongkat Juwing Balangan terpapaki
tongkat Gede Panjalu.
Anggota Perkumpulan Pengemis Baju
Hitam itu jadi terpaku di tempatnya.
Matanya menatap kehadiran Gede Panjalu
dengan penuh kemarahan.
"Bangsat kau, Gede Panjalu!"
umpat Juwing Balangan. Lalu, lelaki
bertubuh tinggi besar itu memutar
tubuhnya. Dia berkelebat cepat mening-
galkan pasar.
Gede Panjalu cuma memandang
kepergian Juwing Balangan sebelum
menghampiri Carang Gati. "Kau tidak
apa-apa, Gati?" tanyanya.
"Tidak apa-apa, Kek," jawab
Carang Gati sambil mengibas-ngibaskan
bajunya yartg berdebu. "Terima kasih,
Kek. Kau telah menolongku."
Gede Panjalu menggamit lengan
Carang Gati. Diajaknya pemuda itu
berjalan mendekati Suropati.

"Kini kau telah tahu sepak
terjang anggota Perkumpulan Pengemis
Baju Hitam, Suro," ujar Gede Panjalu
pada Suropati.
"Pengemis jahat!" desis Suropati.
"Aku ingin meluruskan langkah mereka
yang melenceng."
"Sekarang bukan saatnya kau
melakukan hal itu. Kau mesti
mempersiapkan diri untuk menghadapi
Aki Barondeng di Bukit Hantu besok
malam."
"Ah, aku tak pernah habis pikir.
Kenapa kakek tua renta itu
menantangku?"
Suropati melangkahkan kakinya.
Gede Panjalu dan Carang Gati
mengikuti. Orang-orang memandang
kepergian mereka dengan tatapan mata
kagum.

***

7

Rembulan bulat penuh menyorotkan
cahaya kuning keperakan. Gumpalan awan
putih bergerak bersama hembusan angin.
Di hamparan tanah luas di puncak
Bukit Hantu tampak sesosok tubuh
berdiri mematung. Kedua tangannya
bersedekap di depan dada. Pakaiannya
yang compang-camping berkibar tertiup
angin. Rambutnya riap-riapan, menambah

seram wajah sosok yang sudah
menyerupai mayat itu. Dia adalah Aki
Barondeng atau si Mayat Hidup. Tokoh
tua golongan hitam yang tiada tanding.
Ketika angin berhembus lebih
kencang, sebuah bayangan berkelebat
datang. Sosok itu kini berdiri tegak
lima tombak dari hadapan Aki
Barondeng. Sosok yang bam muncul itu
masih belia. Berpakaian penuh
tambalan. Tangan kanannya memegang
sebatang tongkat. Dia adalah Suropati
atau Pengemis Binal.
Beberapa lama dua manusia itu
saling bertatapan dengan mulut
terkunci dan tatapan menjorong tajam.
Sementara kaki mereka menjejak tanah
dengan kokoh.
"Ha ha ha...!" Tiba-tiba, Aki
Barondeng tertawa keras.
"Orang Gila!" umpat Suropati
dalam hati.
"Kau benar-benar ksatria, Suro."
"Apa enaknya jadi ksatria?! Tak
mendapat upah," sahut Suropati
seenaknya.
"Bocah Gendeng! Aku menghargai
keberanianmu."
"Kau hargai berapa? Sekeping? Dua
keping? Atau, seraup uang emas?"
"Uh! Dasar sinting! Mata duitan!
Kau memang patut dijuluki Pengemis
Binal. Tiap hari kerjamu hanya
menghitung uang hasil meminta-minta

anak buahmu," ejek Aki Barondeng.
"Aku tiap hari menghitung uang
karena aku pandai. Tapi, kerjamu tiap
hari hanya menghitung bilangan karena
otakmu bebal!" balas Suropati tak
kalah galak.
Mendengar ucapan Suropati, Aki
Barondeng menggeram. Tangan kanannya
cepat digerakkan ke depan. Sinar
keputihan segera meluruk deras ke arah
Pengemis Binal.
Blaaarrr...!
Permukaan tanah di mana Suropati
berdiri tadi langsung berkubang dalam.
Suropati telah lebih dulu mengelak
dengan melompat ke samping.
"Rupanya kau sedang membuat
lubang kuburan. Untuk siapakah itu?"
ejek Suropati seraya tersenyum sinis.
Aki Barondeng mendengus gusar.
Tubuhnya lalu melayang seraya melan-
carkan pukulan dengan tangan
geledeknya. Suropati berkelit. Tapi,
tiba-tia  tangan Aki Barondeng mulur
dan terus menghunjamkan bogem mentah! 
"Eit...!"
Pengemis Binal bergegas meloncat
jauh menghindari serangan. Bersamaan
dengan itu mulutnya melontarkan
ejekan.
"Karena terlalu sering mencuri,
tanganmu sampai bisa molor panjang.
Untuk menggaet mangga tetangga tentu
sip!"

Aki Barondeng mendengus marah.
"He he he...!" Pengemis Binal
tertawa terkekeh. "Rupanya kau gampang
naik darah, Kek...."
"Aku tidak  main-main. Aku akan
segera membunuhmu!" geram Aki
Barondeng.
"Kau ini aneh, Kek. Kenapa begitu
gampang mengatakan mau membunuh
orang?"
"Aku mempunyai alasan yang
tepat!"
"Apa?"
"Kau kenal Brajadenta atau si
Dewa Maut?"
Mendengar pertanyaan Aki
Barondeng, ingatan Suropati segera
melayang ke Bukit Parahyangan. Di
sanalah ia melenyapkan
keangkaramurkaan tokoh sesat yang
disebutkan kakek tua renta itu.
"Kau kenal dia, Suro?" ulang Aki
Barondeng.
"Ya."
"Kau telah membunuhnya!" 
"Ya."
"Aku akan menuntut balas!"
"Eh, bicaramu ngelantur, Kek.
Apakah Brajadenta itu anakmu?" 
"Tepat!"
"He he he...!" Suropati segera
mengeluarkan tawa mengejek. "Bapak dan
anak sama saja. Sukanya membunuh
orang...."

"Tepat! Dan, kini orang yang akan
kubunuh adalah kau!"
"Wuih! Kejam amat. Tidakkah kau
kasihan kepadaku, Kek. Aku ini masih
perjaka tingting. He he he...."
"Bangsat! Segera kau kukirim ke
neraka!" umpat Aki Barondeng.
"Heh?! Mengirimku ke neraka pakai
apa? Ke sorga sajalah. Ongkosnya
mungkin tak beda jauh," goda Suropati
dengan mimik wajah lucu.
"Baik. Aku akan mengirimmu ke
sorga.  Tapi, tubuhmu akan kulumatkan
terlebih dahulu!"
"Dilumatkan seperti menumbuk
sambal, begitu? Wah, jangan Kek. Aku
khawatir Malaikat Penanya nanti
kesulitan mengenaliku."
"Bocah Gendeng! Mulutmu terlalu
ceriwis!"
"Oh! Rupanya kau sangat bernafsu
untuk membunuhku, Kek. Tapi, sebaiknya
kita bertempur besok pagi saja. Aku
sudah ngantuk, nih...."
Tiba-tiba, tubuh Suropati
menggelosor ke tanah.
Aki Barondeng terkesiap melihat
tubuh remaja konyol itu meringkuk
dengan mata terpejam rapat.
Sebentar kemudian, terdengar
bunyi dengkurannya.
"Bocah Gendeng! Kau jangan
memandang rendah padaku!" maki Aki
Barondeng kalang kabut.

Kaki si Mayat Hidup segera
diayunkan menendang kepala Suropati.
Remaja konyol itu menggeliat.
Tendangan Aki Barondeng luput dari
sasaran. Kakek itu murka bukan main
melihat serangannya gagal.
"Keparat! Kubunuh kau sekarang!"
Kedua tangan si Mayat Hidup
terpentang lebar. Kemudian, secepat
kilat dihempaskan ke depan. Sinar
keputihan meluncur deras ke tubuh
Suropati.
"Oaaahhh...!"
Remaja  konyol itu menguap. Lalu,
tubuhnya digulingkan cepat sejauh dua
tombak. Pukulan jarak jauh Aki
Barondeng membentur tanah kosong.
Sebentuk kubangan segera menganga
lebar.
Si Mayat Hidup menatap tajam
tubuh Suropati yang terbujur lemah
sambil mengeluarkan bunyi dengkuran.
"Jangan terlalu bangga dengan
ilmumu itu, Bocah Gendeng!"
Aki Barondeng berdiri terpaku di
tempatnya. Sambil bersidekap kakek tua
renta itu memejamkan mata. Perlahan-
lahan tubuhnya bergetar. Asap putih
kehitaman mengepul keluar dari pori-
pori.
Asap itu terus mengepul semakin
tebal. Membumbung rendah di atas
tanah. Kemudian, kaki kanan Aki
Barondeng menghentak. Asap itu pun

bergerak menyelubungi tubuh Suropati! 
"Uh! Uh!"
Napas Pengemis Binal terasa sesak
bukan main. Tubuh remaja konyol  itu
menggeliat dan meronta-meronta. Asap
tebal yang menyelubungi bagai belitan
ular raksasa,
"Ha ha ha...!"
Tawa si Mayat Hidup berkumandang
menyibak suasana malam yang hening.
"Rasakan hasil kesombonganmu itu,
Bocah Gendeng!"
Suropati terus bergulat melawan
asap tebal yang menyelubungi tubuhnya.
Dalam keadaan hampir tak bernapas dia
berusaha memusatkan kekuatan batinnya.
Sesaat kemudian, dengan dilampiri
tenaga dalam tubuh Pengemis Binal
mengejang.
Blaaarrr...!
Suara menggelegar yang memekakkan
telinga terdengar begitu keras. Angin
tiba-tiba berhembus sangat kencang.
Binatang-binatang malam berlari
menjauh. Asap tebal yang menyelubungi
tubuh Suropati lenyap seketika.
Pengemis Binal bangkit berdiri
seraya menyedot udara sebanyak-
banyaknya. Diisinya dadanya yang
terasa hampir meledak. Aki Barondeng
hanya mendengus laksana banteng marah.
Suropati tertawa terkekeh. "Asap
buatanmu terasa hangat di tubuhku,
Kek. Tapi, kau membuatku terkejut. Aku

sampai terbangun dari tidur yang
nyenyak."
"Bocah Gendeng! Kau tak perlu
banyak bacot!"
Aki Barondeng kemudian menerjang.
Tangan dan kaki kakek tua renta itu
mulur panjang seperti terbuat dari
karet saja.
Merasakan sebuah gempuran yang
hebat, Pengemis Binal tak sempat lagi
berkata-kata. Tongkat di tangannya
bergerak cepat memainkan jurus
'Tongkat Memukul Anjing'.
Wuuuttt...! Wuuusss...!
Bunyi gempuran terdengar susul
menyusul. Tongkat Suropati terus
bergerak mencecar tubuh Aki Barondeng.
Tapi, kakek tua renta yang sudah
kenyang makan asam garam rimba
persilatan itu bergerak lebih cepat.
Serangan Pengemis Binal tak satu pun
yang mengenai sasaran. Bahkan, tangan
dan kaki si Mayat Hidup yang mulur
panjang berkelebatan mendesak
Suropati.
Deees...!
Bahu kiri Suropati terserempet
pukulan. Tubuhnya terdorong mundur
beberapa tindak.
"Makan kesombonganmu, Bocah
Gendeng!"
Suropati hanya menyeringai dingin
mendengar perkataan Aki Barondeng.
Lalu, remaja konyol itu memutar

tongkatnya memainkan jurus 'Tongkat
Menghajar Maling'.
Tongkat Pengemis Binal berke-
lebatan menghujani tubuh Aki Barondeng
dengan serangan-serangan berbahaya!
Perubahan jurus yang dilakukan
Suropati membuat si si Mayat Hidup
terkesiap. Kali ini dia merasakan
kehebatan lawannya. Tapi, sejurus
kemudian kakek itu menggempur dengan
tak kalah hebat!
Pertempuran berlangsung seru.
Suara yang dirjmbulkannya terdengar
begitu jelas di antara sunyinya
suasana malam itu. Tubuh Suropati dan
Aki Barondeng berubah menjadi dua
bayangan yang hampir tak terlihat.
Sementara itu, di balik semak
belukar tak jauh dari arena
pertempuran, Carang Gati berbisik-
bisik pada Gede Panjalu. Mereka tengah
mengintip jalannya pertempuran.
"Sanggupkah Suropati menghadapi
tokoh tua itu?" tanya Carang Gati.
"Kau berdoalah," sahut Gede
Panjalu pelan.
"Tangan dan kaki tokoh tua itu,
dapat mulur panjang. Apakah dia
menggunakan ilmu sihir, Kek?"
"Tidak. Kenyataannya memang
begitu. Dengan latihan yang memakan
waktu puluhan tahun hal itu dapat
dilakukan. Tapi, ilmu seperti itu
biasanya hanya dimiliki tokoh-tokoh

beraliran sesat."
"Jadi,  Aki Barondeng itu orang
jahat?"
"Kurang tepat. Dia mempunyai
sifat dan sikap yang aneh. Terkadang
dia memihak golongan putih, tapi tak
jarang pula berpihak pada golongan hi-
tam."
"Plin-plan, begitu?"
Gede Panjalu tak menanggapi
ucapan Carang Gati. Pembicaraannya
segera dialihkan pada jalannya
pertempuran.
"Eh, kau lihat pertempuran itu,
Gati. Tampaknya akan memakan waktu
lama, kedudukan mereka seimbang.
Kecuali kalau keduanya mengubah jurus
masing-masing...."
Sementara itu, di  arena
pertempuran Suropati sambil memutar
tongkatnya melesat menjauhi arena
pertempuran.
Aki Barondeng tertawa keras. "Kau
takut, Bocah Gendeng?!" tanyanya
kemudian dengan nada mengejek.
"Tidak. Aku memberi kesempatan
kepadamu untuk mengambil napas. Aku
khawatir paru-parumu yang kosong akan
membuat tubuhmu yang kurus kering itu
bercopotan tulang-tulangnya.”
"Bangsat!" umpat si Mayat Hidup.
Didorong rasa amarah, kakek tua
renta itu menerjang Suropati dengan
kecepatan kilat. Pengemis Binal segera

memutar  tongkatnya seraya merubah
gerakan. Kali ini menggunakan 'Tongkat
Mengejar Kucing'.
Di saat tubuh Aki Barondeng
melayang di udara, tongkat Suropati
memburu dengan cecaran dahsyat dan
mematikan. Bergegas kakek ini menambah
laju luncuran tubuhnya untuk
menghindari serangan. Tapi, ujung
tongkat Pengemis Binal terus memburu.
Aki Barondeng terperangah. Dia
tidak mempunyai kesempatan untuk
berkelit. Maka, dengan terpaksa tangan
kanannya menangkis.
Tak...!
Tongkat Suropati terpental bagai
membentur balok baja. Sebaliknya, si
Mayat Hidup menggeram gusar.
Pergelangan tangan kanannya terasa
kesemutan. Rasa itu kemudian menjalar
ke seluruh tubuh.
"Kenapa bengong, Kek?" ejek
Suropati melihat Aki Barondeng
termangu. "Kau berpikir untuk
melarikan diri?"
"Benar. Namun, aku akan memotes
kepalamu terlebih dahulu!"
Aki Barondeng membuktikan
ucapannya dengan memulurkan tangan
kanan sepanjang tiga tombak ke arah
kepala Suropati. Gerakannya seperti
hendak memotes kepala remaja konyol
itu.
"Eit! Tangan maling!" sambut

Pengemis  Binal seraya menghantamkan
tongkatnya.
Bluuukkk...!
Pada bagian tangan kanan Aki
Barondeng yang terkena hantaman tiba-
tiba melengkung. Tapi, telapak
tangannya tetap meluncur mendekati
kepala Suropati.
Remaja konyol itu terkejut.
Tubuhnya bergegas ditarik ke belakang.
"Uh! Hampir  saja...," umpat
Suropati dalam hati.
Si Mayat Hidup tersenyum penuh
ejekan.
"Mukamu pucat, Bocah Gendeng!
Tapi, aku akan tetap membunuhmu!"
"Kentut Busuk! Berkali-kali kau
mengucapkan kata itu, namun tak
terwujud juga. Padahal aku sudah rindu
untuk  memeluk bidadari-bidadari
kahyangan yang cantik molek," Suropati
menanggapi dengan kata-kata yang
membuat telinga Aki Barondeng memerah.
"Baik, kalau memang itu yang kau
minta!"
Aki Barondeng menggeram panjang.
Suaranya melolong  bagai serigala
kelaparan. Kemudian, kakek tua renta
itu berjalan perlahan mendekati
Suropati.
"Hah! Apa yang akan dilakukan
orang tua jelek itu?" Pengemis Binal
bertanya-tanya dalam hati.
Langkah kaki si Mayat Hidup

semakin dekat. Diangkatnya kedua
tangannya ke depan laksana setan
sedang mendekati korbannya. Dan ketika
jarak1 di antara mereka berdua tinggal
satu depa, Pengemis Binal
menghunjamkan ujung tongkatnya ke
perut Aki Barondeng.
Bluuusss...!
Perut si Mayat Hidup tertembus
tongkat Suropati. Tapi, kakek tua
renta itu malah tertawa senang. Tiba-
tiba tangan kirinya bergerak melayang.
Pengemis Binal mendekap pipinya
yang terkena tamparan.
Ketika tangan Aki Barondeng
hendak melayangkan serangan susulan,
Suropati melepas tongkatnya seraya
melempar tubuhnya ke belakang.
"Ha ha ha...!"
Tawa si Mayat Hidup menggema.
Perutnya yang masih tertancapi tongkat
Pengemis Binal bergerak-gerak
menggoyangkan batang tongkat.
"Ilmu apa yang digunakan tokoh
tua itu, Kek?" tanya Carang Gati di
tempat persembunyiannya.
"Ilmu 'Penghisap Sukma' tingkat
pertama," jawab Gede Panjalu.
"Memangnya ilmu itu ada berapa
tingkat?" 
"Tiga." 
Tepat seusai perkataan Gede
Panjalu, si Mayat Hidup mencabut
tongkat yang menancap di perutnya.

Lalu...
Wuuusss...!
Tongkat dilontarkan ke arah
pemiliknya! Suropati berkelit, hingga
tongkat menancap ke sebatang pohon
besar. Batang tombak terbenam hamper
separoh lebih.
Si Mayat Hidup tertawa terbahak-
bahak.
"Kau mendekatlah kemari, Bocah
Gendeng. Aku akan segera mengirimmu
untuk menemui bidadari-bidadari
cantik!"
"Sebuah tawaran yang bagus!"
sambut Suropati dengan bersemangat.
Tubuh Pengemis Binal itu berdiri
tegak di tempatnya. Dua telunjuk
jarinya disatukan lalu ditempelkan di
dada. Perlahan-lahan, dari kepala
remaja konyol itu mengepul asap tipis.
Lalu, tubuhnya melayang ke arah
Aki Barondeng seraya melancarkan
serangan ilmu totokan 'Delapan Belas
Tapak Dewa'.
Bluuusss...!
Kedua tangan Suropati menancap di
perut si Mayat Hidup. Pengemis Binal
meronta, berusaha mencabutnya. Tapi,
tak bisa...
Sementara di tempat persembunyian
Gede Panjalu dan Carang Gati
terperangah menyaksikan adegan yang
menggiriskan itu. Carang Gati hendak
keluar untuk membantu ketua

perkumpulannya, namun dicegah oleh
Gede Panjalu.
"Jangan! Tubuhmu akan ikut
tersedot oleh kekuatan ilmu 'Penghisap
Sukma' itu!" 
"Bagaimana dengan Suropati, Kek?" 
"Semoga Tuhan melindunginya,"
sahut Gede Panjalu penuh harap.
Pengemis Binal sendiri, masih
berkutat melawan maut. Kedua tangannya
yang menancap di perut Aki Barondeng
tak sejengkal pun dapat ditarik
kembali. Suropati merasakan hawa panas
menjalar ke sekujur tubuhnya. Asap
mengepul dari pori-pori. 
"Lepas!"
Pada keadaan yang gawat itu
Pengemis Binal membentak dengan
menggunakan kekuatan ilmu sihirnya.
Tubuh Suropati terhempas, dan jatuh
bergulingan di tanah. Dan ketika dia
bangkit... 
"Uoookkk...!"
Darah kental kehitam-hitaman
menyembur dari mulut pemuda itu. Darah
itu melumuri bajunya yang penuh
tambalan.
"Ha ha ha...!"
Tawa Aki Barondeng langsung
menggema. Seluruh bukit bergetar.
Pohon-pohon bergoyangan hingga
dedaunan rontok ke bumi.
Suropati jatuh terduduk. Kedua
tangannya bersedekap. Tubuh pemuda itu

menggigil seperti terserang demam
hebat.
Terdengar si Mayat Hidup
menghentakkan kaki kanannya ke tanah. 
Duk...!
Tubuh Suropati terangkat naik dan
tersedot ke arah kakek itu!
Gede Panjalu dan Carang Gati
secepat kilat keluar dari tempat
persembunyiannya. Mereka berusaha
memusnahkan tenaga sedotan dari ilmu
'Penghisap Sukma' milik Aki Barondeng.
Tubuh kedua orang itu melayang,
menggempur si Mayat Hidup!
Tapi, luncuran tubuh Suropati
lebih cepat. Ketika jarak antara
Pengemis Binal itu dengan Aki
Barondeng tinggal sejenak, tiba-tiba
tubuh Suropati memancarkan sinar
kebiruan.
Blaaammm...!
Dua kekuatan maha dahsyat bertemu
di udara. Malam yang ditaburi cahaya
rembulan sekejap berubah gelap-pekat.
Tubuh Pengemis Binal terpental jauh.
Tapi, akibat yang diterima si
Mayat Hidup sungguh mengerikan.
Tubuhnya jatuh terduduk. Kedua
pergelangan kakinya lepas sampai
sebatas paha. Menyusul, kedua
lengannya rontok ke tanah Kemudian,
kepala kakek tua renta itu terpisah
dari le-her dan menggelinding jauh.
Terakhir, tubuh seram si Mayat Hidup

jatuh rebah di tanah dengan keadaan
yang sangat mengenaskan.
Dia telah terkena kehebatan ilmu
'Kalbu Suci Penghempas Sukma' yang
dilancarkan Suropati.
Secara tidak langsung, Gede
Panjalu dan Carang Gati pun merasakan
kehebatan ilmu itu. Tubuh mereka yang
semula melayang ke arah Aki Barondeng
terpental dan bergulingan di tanah.
Darah segar mengalir dari sudut
bibir Gede Panjalu. Keadaan Carang
Gati yang berilmu rendah tampak lehih
mengenaskan. Sekujur tubuh pemuda
bertubuh kurus itu mengalirkan darah
segar. Dia terkulai lemas tak sadarkan
diri.
Suropati sendiri yang  langsung
terkena ledakan dahsyat tampak duduk
bersila. Seluruh hawa murninya
dipusatkan untuk mengatasi luka dalam
yang telah diderita.
Angin bertiup lembut. Ranting-
ranting pohon bergoyang perlahan. Sepi
sunyi kembali menyelimuti bukit itu.

***

Sementara itu di dalam gua di
bagian lain Bukit Hantu, Sekar Mayang
atau Bidadari Lentera Merah tampak
duduk bersimpuh di hadapan Ratnasari,
si Bidadari Bunga Mawar.
"Hari ini malam bulan purnama

ketujuh, Mayang. Sudah siapkah upacara
pemulihan itu?" tanya Ratnasari.
"Sudah, Ketua Pertama."
"Ha ha ha...."
Tawa Ratnasari menggema. Suaranya
memantul ke dinding gua.
"Cepat bawa kemari empat puluh
perawan itu, Mayang!"
Suara Ratnasari yang ngorok
seperti iblis terdengar memberi
perintah. Setelah menundukkan kepala,
tubuh Sekar Mayang berkelebat pergi.
Tak lama kemudian,  di hadapan
Ratnasari telah membujur tubuh empat
puluh orang gadis-gadis cantik. Tubuh
mereka melayang ke atas kolam. Lalu,
tangan Ratnasari yang bersarung indah
dengan pernik-pernik gemerlap bergerak
cepat.
Sraaattt...!
Darah segar mengucur dari dahi
keempat puluh gadis korban itu.  Air
kolam langsung berubah merah.
Setelah menyingkirkan mayat-mayat
korban, Ratnasari bangkit dari
singgasana emasnya. Perlahan-lahan dia
membuka seluruh bajunya. Tapi ketika
wanita cantik itu membuka sarung
tangannya, keningnya tampak berkerut.
"Tangan buruk, kau tak usah
khawatir. Sebentar lagi kau akan
mencapai kesempurnaan," kata Ratnasari
sambil menatap kedua belah tangannya
yang keriput.

Byuuurrr...!
Wanita cantik itu meloncat ke
dalam kolam. Lalu, tenggelam. Selang
beberapa lama kemudian Ratnasari
keluar dari dalam kolam. Tubuhnya kini
telah benar-benar sempurna. Suaranya
yang tadi seperti orang ngorok pun
kini berubah halus dan merdu.
"Kini kesempurnaan telah ku-
dapatkan!" kata Ratnasari penuh
kegembiraan. "Sebentar lagi aku akan
merajai rimba persilatan. Ha ha
ha...!"
Dari ruangan lain dekat dengan
tempat Ratnasari, sesosok tubuh yang
sedang duduk bersila melesat keluar
dari mulut gua. Tubuh itu melayang-
layang untuk beberapa lama.
Wujud orang yang sedang duduk
bersila itu adalah seorang kakek
berambut riap-riapan yang menutupi
seluruh wajahnya. Pakaian yang
dikenakan sudah koyak-koyak dan tampak
menyedihkan. Dia adalah Datuk
Risanwari.
Tubuh yang pernah berjaya puluhan
tahun silam itu meluncur ke suatu
tempat. Lalu, mendarat tanpa sedikit
pun mengeluarkan suara di hadapan
Suropati yang sedang duduk bersila.
"Bukalah matamu, Bocah Bagus!"
perintah Datuk Risanwari. Suara yang
keluar dari mulutnya mirip desisan
ular.

Pengemis Binal tak juga membuka
matanya. Sementara itu, Gede Panjalu
yang sedang menolong Carang Gati
terkejut melihat kehadiran Datuk
Risanwari.
"Siapa, kau?" tanya kakek bongkok
itu. 
"Kau jangan mencampuri urusanku,
Gede..." Kembali Gede Panjalu terkejut
mendengar namanya disebut. 
"Siapa, kau?" tanyanya lagi. 
"Datuk Risanwari ..." 
"Ayah!"
Gede Panjalu mengeluarkan jeritan
panjang. Dia menghambur ke arah Datuk
Risanwari. Kakek itu sungguh tak
mengenali ayahnya lagi. Perpisahan
yang sekian lama dan keadaan Datuk
Risanwari yang sangat mengenaskan
telah membuatnya pangling.
Bruuukkk...!
Tubuh Gede Panjalu membentur
kekuatan kasat mata. Tubuhnya jatuh
terjengkang ke belakang.
"Jangan mencampuri urusanku!"
bentak Datuk Risanwari. "Sebentar lagi
rimba persilatan akan diliputi kabut
gelap...."
Gede Panjalu menatap Datuk
Risanwari dengan penuh perasaan haru
bercampur bahagia. Ayah yang dicari-
carinya selama ini kini telah
diketemukan.
"Benarkah kau Datuk Risanwari?"

tanya kakek bongkok itu kemudian
seperti tak percaya.
"Sudahlah, Gede. Kau segera
menyingkirlah, Aku ada kepentingan
dengan bocah bagus ini."
Tanpa sadar Gede Panjalu
melangkah mundur menjauhi Datuk
Risanwari.
"Bukalah matamu, Bocah Bagus...,"
kata Datuk Risanwari kepada Suropati.
Tapi, Pengemis Binal tak juga
membuka matanya.
Datuk Risanwari diam membisu.
Lalu, tokoh itu memasuki alam pikiran
Suropati.
"Sebentar lagi rimba persilatan
akan diliputi kabut gelap," kata Datuk
Risanwari kemudian. "Untuk
menyingkirkan kabut itu, dibutuhkan
seorang pendekar yang berjiwa
bersih...."
"Apa maksudmu, Kek?" tanya
Suropati dalam keheningan kalbunya.
"Seorang tokoh wanita jahat telah
bangkit. Dia akan membuat kekacauan di
rimba persilatan. Kau harus
mencegahnya, Bocah Bagus."
"Aku?" 
"Ya."
Perlahan-lahan Pengemis Binal
membuka matanya. Ketika di hadapannya
duduk bersila seorang kakek berwujud
mengerikan, Suropati terkejut bukan
main dan bergegas melompat ke

belakang.

Siapakah tokoh wanita yang
dikatakan oleh Datuk Risanwari akan
bangkit dan membuat kekacauan di rimba
persilatan?


SELESAI



Ikuti serial Pengemis Binal 
Dalam episode :

“ASMARA PENGGODA”



Scan/E-Book: Abu Keisel

Juru Edit: mybenomybeyes



http://duniaabukeisel.blogspot.com/