Pengemis Binal 01 - Pengkhianatan Dewa Maut(2)


Sampai di halaman depan, Pendekar
Harimau Terbang menatap tajam seorang
laki-laki berbaju ungu sedang berjalan
melewati pintu gerbang yang telah jebol.
Para murid yang sedang berjaga mencoba
menghalangi. Namun dengan mengibaskan
ujung lengan bajunya, orang yang baru
datang itu membuat para murid Perguruan
Harimau Terbang terjungkal.
Orang berbaju ungu yang tak lain si
Dewa Maut itu segera melompat ke hadapan
Reksapati.
"Reksapati, aku hendak bicara
denganmu. Suruh murid-muridmu
menyingkir!" 
Kening Pendekar Harimau Terbang
kembali berkerut. Melihat penampilan
Brajadenta yang menampakkan kesungguhan,
dia segera memberi isyarat kepada murid-
muridnya untuk menjauh.
"Siapa kau? Dan, apa yang hendak
kau bicara kan?" tanya Reksapati.
"Aku Brajadenta, alias si Dewa Maut
Akulah yang membunuh keempat muridmu,
sebagai peringatan agar kau tahu kalau
aku tidak main-main...!" kata Brajadenta,
pongah.

Ketua Perguruan Harimau Terbang itu
berusaha mengatasi gejolak perasaannya
begitu mengetahui kalau yang telah
membunuh empat muridnya di Lembah Sungai
Balirang, tak lain adalah orang yang
tengah berdiri di hadapannya.
"Aku tak mengerti maksud
tindakanmu...," sahut Reksapati, kalem.
"Reksapati! Aku tidak perlu
berbasa-basi lagi. Serahkan Batu Kumala
Hitam padaku...!" bentak si Dewa Maut.
Pendekar Harimau Terbang terkejut
mendengar perkataan Brajadenta.
"Kau kira siapa dirimu,
Brajadenta?! Berani benar kau meminta
lambang Perguruan Harimau Terbang...?!"
dengus Reksapati, gusar.
Ketua Perguruan Harimau Terbang ini
makin marah saja, karena yang diminta
adalah lambang perguruan. Apalagi yang
meminta adalah si pembunuh dari empat
orang muridnya. Namun sebagai tokoh
berhati lurus, Reksapati tak mau
bertindak gegabah. Amarahnya berusaha
ditekan semampunya.
Si Dewa Maut tersenyum dingin.
"Aku utusan Baginda Prabu. Bila kau
bersedia menuruti permintaanku, mungkin
aku bisa bersikap bijaksana dengan
mengampuni nyawamu...," sahut Brajadenta,
dingin.
"Kau utusan Baginda Prabu?! Apa

buktinya?" cecar Reksapati.
Dengan senyum sinis yang mengembang
di bibir, Brajadenta mengeluarkan sesuatu
dari balik bajunya.
Reksapati terkejut melihat benda
yang dipegang Brajadenta. Benda itu
berupa lempengan emas sebesar telapak
tangan orang dewasa, dengan ukiran burung
rajawali. Itulah tanda pelimpahan
wewenang dari Baginda Prabu kepada orang
yang dianggap dapat dipercaya dan dapat
menjalankan tugas.
"Brajadenta! Apa hubunganmu dengan
Batu Kumala Hitam?" tanya Reksapati
kemudian.
"Baginda Prabu menginginkannya...."
Reksapati menggelengkan kepalanya,
tidak mempercayai ucapan Brajadenta.
"Harta benda di kerajaan berlimpah.
Kenapa Baginda Prabu menginginkan lambang
Perguruan Harimau Terbang yang tak
berharga bagi orang lain?" tukas
Reksapati,
"Baginda Prabu menghendaki
Perguruan Harimau Terbang dibubarkan...!"
desis si Dewa Maut.
"Heh?!"
Reksapati terkejut setengah mati
mendengar ucapan Brajadenta.
"Ucapanmu semakin ngawur saja,
Brajadenta...!"
Si Dewa Maut kembali memamerkan

tawanya.
"Kau boleh tak mempercayai
ucapanku, Reksapati. Tapi, sesungguhnya
itulah yang diinginkan Baginda Prabu."
"Menilik perbuatanmu yang kejam
terhadap murid-muridku di Lembah Sungai
Balirang, aku memang tak menaruh sedikit
pun kepercayaan padamu...!" sentak
Reksapati, sengit.
Brajadenta mengeluarkan dengusan
keras. "Aku tak punya banyak waktu. Cepat
serahkan Batu Kumala Hitam. Dan segera
kau bubarkan Perguruan Harimau
Terbang...!" kata Brajadenta, tak kalah
sengit. 
Tiba-tiba seorang pemuda berbadan
tegap melompat ke hadapan Brajadenta.
"Mulutmu terlalu berani, Orang
Asing! Kau pantas diberi pelajaran!"
bentak pemuda itu, lantang.
"Singalodra! Kau tak perlu campur
tangan!" teriak Reksapati.
Pemuda yang dipanggil Singalodra
segera berbalik. Dia menjura, memberi
hormat kepada gurunya.
"Izinkan aku yang bodoh ini untuk
memberi sedikit pelajaran kepada orang
asing yang tidak tahu sopan santun itu,
Guru...," ucap Singalodra.
Pendekar Harimau Terbang diam
sejenak. Dia merasakan kebenaran dari
ucapan muridnya. Dan, kemampuan

Singalodra pun tak diragukan karena
memang salah satu muridnya yang paling
utama.
Dengan  anggukan pelan, Reksapati
memberikan isyarat kepada muridnya. Maka
Singalodra pun segera berbalik kembali,
berhadapan dengan si Dewa Maut
Brajadenta tersenyum penuh ejekan.
"Kenapa bukan gurumu saja yang
memberi pelajaran? Tanganku sudah gatal
untuk segera bermain-main dengannya...."
"Tak perlu banyak bacot! Lihat
serangan!" bentak Singalodra, seraya
meluruk ke depan.
Brajadenta yang memandang enteng,
sama sekali tak beranjak dari tempatnya
berdiri. Ketika tubuh Singalodra yang
melayang hampir menyentuh tubuhnya, ujung
lengan bajunya cepat dikibaskan.
Wuuusss...! Breeesss...!
Singalodra terkesiap merasakan
tubuhnya berhenti di udara, lalu
terbanting ke tanah.
Murid utama Perguruan Harimau
Terbang itu segera bangkit, dan kembali
menyerang. Kedua tangan dibentangkannya
lebar-lebar. Lalu dengan mengerahkan
seluruh kekuatannya, dia hendak
mencengkeram dada Brajadenta.
Si Dewa Maut cuma tersenyum. Dan
tiba-tiba telunjuk jarinya ditudingkan ke
arah Singalodra.

Cuuusss...!
"Aughhh...!"
Di luar dugaan, gerakan Singalodra
terhenti. Dengan serta-merta dia mendekap
kepalanya. 
Brukkk...!
Tubuh Singalodra kontan menggelosor
ke tanah, langsung kelojotan. Dan, tak
lama kemudian, tubuhnya sudah mengejang
tanpa nyawa. Tampak dahinya berlubang
menyemburkan darah segar.
Menyaksikan kejadian itu, semua
murid Perguruan Harimau Terbang menjadi
terkejut bukan kepalang. Tak terkecuali,
Reksapati sendiri.
"Muridmu itu tak berguna sama
sekali, Reksapati! Dia layak mati karena
kebodohannya...!" ujar Brajadenta,
congkak.
Sebelum, Reksapati memberikan tang-
gapan, tiba-tiba para murid Perguruan
Harimau Terbang menerjang bersamaan ke
arah si Dewa Maut.
"Heaaa...!"
Dengan mendengus panjang,
Brajadenta memutar tubuhnya laksana
sebuah gangsingan. 
Wuuussss...! 
"Aaa...!"
Hempasan angin dahsyat menerjang,
disusul jerit kematian yang saling sahut
segera terdengar. Tampak belasan tubuh

murid Perguruan Harimau Terbang melayang
di udara, lalu jatuh berdebum ke tanah.
Mereka mati dengan tubuh berlumuran darah
tanpa sempat tahu apa yang telah terjadi.
Baru saja Brajadenta berpaling ke
arah Reksapati....
"Heaaa...!"
Tiba-tiba sebuah bayangan biru
bergerak cepat, menerjang ke arah si Dewa
Maut ini, sambil mengebutkan senjatanya.
Trang...!
Pedang di tangan bayangan biru itu
membentur ujung lengan baju si Dewa Maut.
Brajadenta menyeringai marah merasa telah
dibokong.
"Mustikaweni! Jangan...!" teriak
Reksapati keras.
Namun, terlambat. Istri ketua
Perguruan Harimau Terbang itu telah
menerjang kembali ke arah si Dewa Maut
dengan kalap.
Wuuuttt..!
Sambaran pedang Mustikaweni yang
mengarah leher tak mengenai sasaran,
karena mendadak si Dewa Maut
menghempaskan tubuhnya ke atas. Lalu
dengan kecepatan kilat, Brajadenta
menukik tajam sambil mendaratkan pukulan
ke arah Mustikaweni! Begitu cepat
gerakannya. Dan...
Praaakkk!
Wanita cantik itu tak sempat

menghindar. Kepalanya remuk tertimpa
kepalan tangan Brajadenta. Tubuhnya
kontan limbung sambil memegangi kepala,
lalu ambruk tak bergerak-gerak lagi.
"Ibbbuuu...!"
Tiba-tiba seorang bocah perempuan
menghambur ke tubuh Mustikaweni yang
telah tak bernyawa.
Menyaksikan kejadian itu, Reksapati
segera berkelebat cepat. Tubuh anaknya
yang bernama Ingkanputri itu disambarnya.
Ingkanputri menangis meraung-raung
di gendongan ayahnya. Segera bocah itu
diserahkan Reksapati pada salah seorang
muridnya untuk dibawa ke tempat yang
lebih aman.
"Sungguh keji perbuatanmu,
Brajadenta...!" desis Reksapati dengan dada bergolak. Si Dewa Maut tertawa
bergelak. "Jika kau serahkan Batu Kumala
Hitam, dan segera perguruanmu ini
dibubarkan, semua ini tak akan
terjadi...," kilah Brajadenta.
"Untuk menebus kematian murid-murid
dan istriku, aku akan menyabung nyawa
denganmu...!" tegas Reksapati, tak kuasa
lagi menahan amarahnya. Tawa Brajadenta
semakin keras. "Jadi, wanita berbaju biru
itu istrimu? Sungguh patut disayangkan,
Reksapati. Kini kau telah jadi duda. Ha
ha ha...!" ejek si Dewa Maut
Mendengar ejekan Brajadenta yang

menyakitkan hat, Reksapati segera
memasang kuda-kuda. Kedua kaki dipen-
tangkan, dan mencengkeram erat ke bumi.
Tangannya membentang berdampingan di
depan dada. Lalu dengan kekuatan penuh
dibukanya sebuah serangan. Tak tanggung-
tanggung lagi, Reksapati langsung
menggunakan jurus 'Harimau Menerjang
Bulan' yang menjadi andalan ilmu
silatnya. 
"Hup...!"
Si Dewa Maut cepat berkelebat
menghindar ketika sambaran tangan
Reksapati mengarah ke dada. Pada saat
yang sama, dengan cepat Pendekar Harimau
Terbang mengayunkan kakinya untuk
menyambung serangannya yang gagal.
Brajadenta cepat menangkis dengan
tangan kanannya.
Plakk...!
Begitu terjadi benturan, tubuh
Reksapati kemudian melayang ke udara.
Setelah bersalto beberapa kali, tiba-tiba
telapak tangannya menghentak.
Wuuusss...!
Seberkas sinar berwarna putih
langsung melesat ke arah Brajadenta.
Namun si Dewa Maut itu telah cepat
melenting ke atas. Dan....
Blarr...!
Serangan itu tak mengenai sasaran.
Tapi tanah tempat pukulan jarak jauh

Reksapati mendarat amblong sedalam
setengah badan manusia dewasa.
Begitu mendarat kembali, Brajadenta
terkesiap menyaksikan kehebatan tenaga
dalam Reksapati. Maka tanpa membuang
waktu lagi, tubuhnya segera berkelebat
mengawali serangannya.
Suasana sore di Perguruan Harimau
Terbang segera berhias teriakan kemarahan
dari sebuah pertempuran hebat. Para murid
Reksapati hanya bisa menyaksikan dari
jarak jauh. Mereka tentu saja  tak mau
tertimpa pukulan jarak jauh yang nyasar.
Lewat sepuluh jurus kemudian, gelap
hampir menerpa. Tubuh Reksapati dan
Brajadenta yang sedang bertempur hampir
tak terlihat lagi karena begitu cepat
mereka bergerak. Yang terlihat hanya
bayangan-bayangan tubuh mereka saja.
Memasuki jurus kedua belas,
Brajadenta melepas kain merah yang
bergayut di pundaknya yang langsung
dikibaskan ke wajah Reksapati. 
Wuttt..!
Bau harum segera tercium. Pendekar
Harimau Terbang yang sudah kenyang makan
asam garam rimba persilatan melompat,
menjauhi ajang pertempuran.
"Kau sangat licik, Brajadenta.,.!"
desis Reksapati beringas.
Pendekar Harimau Terbang menyadari
adanya racun yang terkandung dari bau

harum yang berasal dari kibasan kain
merah di tangan Brajadenta. Maka segera
ditelannya sebuah pil berwarna merah
sebagai obat penawar racun.
Tak lama kemudian, tubuh Reksapati
kembali melayang. Kedua tangan yang
terpentang lebar, segera ditangkupkan
sambil menyalurkan seluruh kekuatan
tenaga dalam pada kedua tangannya. Lalu
tiba-tiba kedua tangannya menghentak ke
depan.
Wusss...!
Brajadenta tak mau kalah. Kedua
tangannya pun dihentakkan memapak
serangan Reksapati. 
Blarrr...!
Terdengar ledakan keras
menggelegar, disertai kepulan asap tebal-
tebal akibat bertemunya dua pukulan
bertenaga dalam tinggi. Dari kepulan itu,
tubuh Pendekar Harimau Terbang melayang
ke belakang, langsung membentur tembok
gerbang.
Broooll...!
"Aaah...!"
Tak ayal lagi, tembok setebal dua
jengkal itu jebol. Dan, tubuh Pendekar
Harimau Terbang itu terbanting ke tanah
tanpa dapat bangun lagi. Perlahan-lahan
dari hidungnya mengalir darah segar.
Si Dewa Maut sendiri terjajar
mundur beberapa tindak. Dari sini jelas

terbukti kalau tenaga dalamnya lebih
unggul. Dan dia hanya menatap dingin pada
tubuh Reksapati yang tak bergerak lagi.
"Guru...!"
Menyaksikan gurunya telah mati,
para murid Perguruan Harimau Terbang
segera menghambur ke arah Reksapati.
Sebagian segera berhamburan, mengeroyok
si Dewa Maut
Namun Brajadenta melayani sambil
tertawa-tawa. Sekali kedua tangan dan
kakinya bergerak satu persatu murid
Perguruan Harimau Terbang itu segera
berjatuhan ke tanah. Namun, tak satu pun
dari mereka yang menjadi ciut nyalinya.
Bahkan dengan melihat kematian teman-
temannya, semangat mereka menjadi
bertambah.
Tiap kali Brajadenta mengayunkan
tangan, empat-lima pengeroyoknya segera
meregang nyawa. Dan, sebelum gelap benar-
benar menyelimuti Perguruan Harimau
Terbang, seluruh murid telah melayang tak
tersisa.
Sementara itu seorang bocah
perempuan berumur dua belas tahun
berjalan mendekati si Dewa Maut. Matanya
menatap tajam tanpa sedikit pun merasa
takut. Bocah perempuan anak Reksapati
yang bernama Ingkanputri ini mengepalkan
kedua telapak tangannya. Giginya bertaut
kuat, menyimpan hawa dendam hebat.

Sedangkan Brajadenta memandang,
penuh nafsu membunuh. Namun, sebelum
sesuatu yang tak diinginkan terjadi,
tiba-tiba berkelebat satu bayangan
menyambar tubuh Ingkanputri, dan
menghilang dengan cepat
Si Dewa Maut hanya memandang dengan
sinar mata penuh kemarahan. Dengan
langkah perlahan, dia mendekati tubuh
Reksapati yang telah terbujur kaku. Dan
tangannya pun segera merogoh ke balik
baju Reksapati.
Setelah berhasil mendapatkan benda
yang dicarinya, Brajadenta tertawa
terbahak-bahak. Di tangan kanannya kini
tergenggam Batu Kumala Hitam. Tertimpa
gelap, batu itu memancarkan sinar merah.
Hingga, membuat baju Brajadenta yang
berwarna ungu menjadi bersemu merah.
Dengan perasaan puas, si Dewa Maut
segera berkelebat, berlalu dari tempat
itu. Suara tawanya yang panjang masih
terdengar hingga beberapa lama.


5

Puluhan pengemis dan gelandangan di
Kadipaten Bumiraksa berhamburan keluar
dari sebuah kuil bobrok yang dikenal
dengan nama Kuil Saloka. Lelaki-
perempuan, tua-muda, besar-kecil,

berjalan dari rumah ke rumah, dari kedai
ke kedai, dari tempat satu ke tempat
lainnya. Mereka berusaha mengais, mencari
sesuatu yang dapat digunakan sebagai
penyambung hidup.
Tubuh mereka kotor terbungkus
pakaian compang-camping. Tulang-tulang
tubuh mereka menonjol, menandakan suatu
penderitaan yang akrab dengan keseharian
mereka. Tak hanya umpatan dan cacian yang
diterima. Bahkan seringkali mendapat
siksaan dari orang-orang yang merasa
terganggu karena kehadiran mereka.
Tempat-tempat sampah dikais. Tapi, tak
jarang mereka menyorotkan sinar mata
kekecewaan karena tak menemukan apa yang
sedang dicari. Namun, kadangkala ada
orang yang begitu baik hati dengan
memberi makanan sekadarnya atau pun
sekeping uang logam.
Para pengemis dan gelandangan
Kadipaten Bumiraksa itu memang telah
begitu akrab dengan penderitaan. Dan,
karena keakraban itulah yang membuat
mereka sadar akan pentingnya bertawakal.
Hidup mereka penuh kesulitan. Karena
mereka berani hidup, mereka pun harus
berani menghadapi kesulitan.
Sebelum manusia dilahirkan, tak
pernah merasakan sakitnya dicubit orang,
sakitnya menerima ejekan dan hinaan,
sakitnya badan ketika harus berusaha

keras untuk dapat terus hidup, sakitnya
batin ketika harus menerima cobaan yang
datang bertubi-tubi. Tapi, setelah
terlahir dan menghirup udara dunia,
mereka pun segera merasakan apa  yang
belum pernah dirasakan. Rasa sakit
berbagai wujud penderitaan segera
menimpa. Penderitaan datang tak kunjung
berhenti selama hayat masih dikandung
badan.

***

Seorang pengemis memasuki sebuah
kedai di Kota Kadipaten Bumiraksa.
Usianya masih muda, berusia sekitar dua
puluh tahun. Tubuhnya kurus kering dengan
tulang-tulang menonjol terbungkus hias
kulit kotor tak terurus. Matanya cekung.
Tulang rahangnya tampak kokoh seperti
menandakan kekerasan hatinya untuk
mengarungi samudera kehidupan.
Baru melangkah beberapa tindak dari
ambang pintu kedai, seorang pelayan
mengusirnya.
"Aku bukan hendak mengemis, Pak.
Aku hendak makan. Dan, aku pun akan
membayar," sergah pengemis muda itu.
"Kedai ini tidak melayani pembeli
semacammu!" kata pelayan kedai, menghina.
Pengemis muda yang terhina ini
menarik napas panjang.

"Aku membayar dengan uang, Pak.
Dan, apakah pemilik kedai ini tak butuh
uang...?"
"Sudah kubilang, kedai ini tidak
melayani pembeli semacammu! Segera enyah
dari tempat ini!" bentak pelayan kedai
itu sambil mengayunkan tangannya ke wajah
pengemis muda yang berdiri tak jauh
darinya.
Tapi, pelayan itu menjadi terkejut
ketika merasakan ayunan tangannya
berhenti di udara.
"Biarkan dia masuk!"
Tiba-tiba terdengar suara bernada
memerintah. Dengan serta-merta semua
orang yang berada di dalam kedai
menolehkan kepala.
Tampak di jajaran meja pojok
ruangan, terlihat dua orang wanita tengah
duduk santai. Agaknya, suara tadi berasal
dari salah satu dari dua wanita ini.
Mereka sama-sama cantik dan berbaju
hitam. Yang satu berumur kira-kira dua
puluh tiga tahun. Dan, seorang lagi masih
sangat belia, berumur tujuh belas tahun.
"Biarkan dia masuk, Pak!" ujar
wanita yang berumur dua puluh tiga tahun.
Melihat penampilan kedua wanita
ini, pelayan kedai ini segera berbalik.
Dan  dia segera berlalu dari tempat itu
untuk melakukan tugasnya kembali.
Pengemis muda yang merasa mendapat

angin itu segera melangkah masuk.
"Terima kasih, Nona," ucap pemuda
pengemis ini sambil mengerlingkan mata,
mencari tempat duduk kosong.
"Kau duduk di sini saja," ujar
wanita yang berumur dua puluh tiga tahun
itu sambil menunjuk kursi di hadapannya.
Mendengar kalimat itu, semua orang
yang berada di dalam kedai kembali
menolehkan kepala.
Dan tiba-tiba seorang laki-laki
berewokan tiba-tiba tertawa keras.
"Dunia sudah gila! Tidak adakah
lelaki yang lebih berharga daripada
seorang pengemis...?!" kata lelaki
brewokan itu, mengejek.
Yang diejek cuma melirik mata tanpa
perubahan air muka.
"Pengemis hina, jangan mengotori
tempat ini...!" 
Braakk...!
Mendadak lelaki berewokan itu
menggebrak meja. Seketika cangkir yang
berada di hadapannya meluncur deras ke
arah pengemis yang baru datang itu.
Sejengkal sebelum cangkir menyentuh
tubuh pengemis itu, tiba-tiba gadis
berbaju hitam yang lebih tua mengibaskan
tangan kanannya. Seketika, cangkir itu
berhenti di udara, kemudian jatuh ke
lantai dan pecah berkeping-keping!
Lelaki berewokan itu terkejut.

Matanya memandang tajam pada kedua wanita
yang duduk tak jauh darinya.
"Kenapa kau melindungi pengemis
jelek itu, Anak Manis?! Hm.... Aku
Wilkampana. He... he... he.... Tidakkah
kau lihat diriku lebih pantas untuk duduk
bersamamu?!" kata lelaki brewok bernama
Wilkampana dengan nada sombong.
Siapakah dua wanita cantik yang
baru saja memperlihatkan ilmu
kepandaiannya itu? Melihat raut wajah,
jelas mereka adalah Anjarweni dan
Ingkanputri.
Waktu yang berjalan lima tahun,
membawa langkah kaki mereka ke kedai di
Kota Kadipaten Bumiraksa. Apa
sesungguhnya yang telah terjadi ketika
Anjarweni mendapat perlakuan biadab dari
Brajadenta, si Dewa Maut di Lembah Sungai
Balirang?
Setelah berhasil membunuh empat
orang murid Perguruan Harimau Terbang,
kemudian merenggut kesucian Anjarweni,
Brajadenta meninggalkan gadis itu dalam
keadaan sangat mengenaskan.
Ketika pagi telah tiba, Arumsari
yang lebih  dikenal sebagai Dewi Tangan
Api menemukan Anjarweni sedang menangis,
meratapi nasibnya.
Setelah memberi nasihat dan petuah,
nenek sakti yang tengah mencari seorang
murid itu akhirnya bersedia mendidik

Anjarweni dengan ilmu silat tingkat
tinggi. Dan, gadis  itu pun menyambutnya
dengan gembira. Dia berharap, akan dapat
membalas kebiadaban Brajadenta, si Dewa
Maut.
Sore hari menjelang malam, ketika
Dewi Tangan Api mengantarkan Anjarweni
untuk berpamitan kepada Reksapati.
gurunya, dia melihat Ingkanputri yang
masih berumur dua belas tahun tengah
berhadapan dengan Brajadenta yang kejam.
Melihat keadaan yang tak menguntungkan,
nenek sakti itu segera memberikan
pertolongan.
Dan sejak saat itu, Anjarweni dan
Ingkanputri menjadi murid Dewi Tangan
Api. Kedua gadis itu sama-sama mempunyai
dendam kesumat terhadap Brajadenta. Maka
selama lima tahun, mereka belajar ilmu
silat tanpa mengenal lelah!

***

"Hei, Brewok! Cobalah berkaca! Bulu
yang tumbuh di wajahmu itu tak lebih
bagus dari bulu kera kudisan!" ejek
Ingkanputri  kepada Wilkampana yang telah
berlaku sombong.
Wilkampana pun menggeram gusar.
Ucapan gadis berumur tujuh betas tahun
itu benar-benar menyinggung perasaannya.
"Kucing Busuk! Beraninya kau

menghinaku...!"
"Kera Kudisan! Kau memang pantas
untuk dihina...!" balas Ingkanputri lebih
keras.
Wilkampana yang merasa dirinya
seorang jagoan menggerendeng penuh
kemarahan. Seumur hidupnya, belum pernah
dia dihina orang seperti itu. Apalagi
dari seorang gadis yang kecil yang tampak
lemah.
Dengan gerakan perlahan, Wilkampana
menjentikkan sebutir kacang dalam
genggamannya. Kacang itu pun meluncur
cepat ke arah Ingkanputri.    
Tapi sebelum mencapai sasaran,
Ingkanputri mengebutkan tangannya.
Seketika kacang itu berhenti di udara,
lalu jatuh ke lantai
Wilkampana kembali menggeram gusar.
Tiba-tiba telapak tangannya diputar-
putar, menimbulkan gulungan angin
menderu-deru yang melontarkan benda-benda
di dekatnya. Akibatnya, semua pengunjung
kedai berusaha menghindar dari sambaran
cangkir dan mangkuk yang beterbangan.
Ketika Wilkampana menggerakkan
telapak tangannya ke depan, gulungan
angin itu meluncur ke arah Ingkanputri!
Wuss...!
Tapi, gadis itu hanya tersenyum
kecil. Dengan perlahan telapak tangannya
dikibaskan. Saat itu juga, gulungan angin

yang dibuat Wilkampana tiba-tiba berbalik
arah, dan meluncur ke arah tuannya!
Lelaki brewokan itu terkejut
setengah mati. Dan, dia segera beranjak
dari tempat duduknya. Tapi, terlambat.
Dan....
Braaakkk...!
Tubuh Wilkampana kontan terdorong
menghantam meja. Begitu bangkit matanya
menatap Ingkanputri dengan sinar menyala-
nyala.
Tiba-tiba lelaki tua pemilik kedai
berlari mendekati Wilkampana yang sudah
berdiri penuh kemarahan.
"Sudahlah, Tuan.... Jangan berke-
lahi di sini...," ujar lelaki tua itu,
memohon.
"Heh! Tak perlu kau mencampuri
urusanku, Pak Tua...!" dengus Wilkampana.
Dengan serta-merta lelaki brewokan itu
mendorong tubuh pemilik kedai. Dan orang
yang  telah  lanjut usia itu pun jatuh
tersungkur menabrak meja dan kursi.
"Siapakah kau sebenarnya, Gadis
Kecil?" tanya Wilkampana kemudian.
Ingkanputri kembali tersenyum, lalu
mengerling kepada Anjarweni yang tampak
tenang-tenang saja.
"Apa perlunya kau menanyakan itu,
Kera Kudisan!" kata Ingkanputri mengejek,
"Apakah kau punya anak laki-laki yang tak
laku kawin? Oh! Aku tak sudi diambil

menantu...!"
Wajah Wilkampana pun merah padam. 
"Rupanya kau belum pernah diajar
sopan-santun ayahmu, Gadis Kecil! Karena
itu, atas nama ayahmu, aku akan memberi
pelajaran kepadamu...!"
Selesai mengucapkan kalimatnya,
lelaki brewokan itu segera memasang kuda-
kuda
Sementara melihat keadaan yang tak
menguntungkan, pengemis muda yang dari
tadi hanya diam di hadapan Anjarweni
segera beringsut menjauh.
"Lihat serangan...!" teriak
Wilkampana sambil menerjang Ingkanputri
tanpa sungkan.
Namun gadis itu hanya memiringkan
tubuhnya, ketika kepalan tangan
Wilkampana hampir mendarat di wajah. Dan
sebelum lelaki brewokan itu melanjutkan
serangan, tiba-tiba Ingkanputri mengi-
baskan telapak tangannya.
Blass...!
"Aaah...!"
Akibatnya sungguh di luar dugaan.
Bulu lebat yang tumbuh di wajah
Wilkampana menjadi terbakar mengepulkan
asap! Dan lelaki brewokan itu kontan
menjerit ngeri. Saat itu juga tubuhnya
yang terlontar bangkit berdiri, lalu
berkelebat terpontang-panting pergi dari
kedai ini. 

Plok! Plok! Plok...!
Mendadak terdengar suara  tepuk
tangan seseorang. Begitu semua orang
menoleh ke arah suara tepukan, tampak
seorang pemuda berusia sekitar tujuh
belas tahun melangkah memasuki kedai.
"Sungguh menakjubkan pertunjukan
yang baru saja kulihat. Bapak dihajar
oleh anak.... Sungguh lucu. He-he-he...,"
puji pemuda ini.
Pemuda yang baru saja muncul memang
hanya seorang remaja berpakaian putih
penuh tambalan. Tapi, kulitnya bersih.
Wajahnya sangat tampan. Rambutnya hitam
dibiarkan tergerai di punggung. Matanya
bening menyorot tajam dengan alis
menjulang laksana sayap burung rajawali.
Hidungnya mancung. Dengan bibir berwarna
kemerahan, membuat keadaannya sedap untuk
dipandang. Tubuhnya tegap berisi dengan
dada bidang.
Walaupun pakaian pemuda remaja ini
penuh tambalan, tapi tak mampu menyem-
bunyikan ketampanannya. Sehingga untuk
sesaat, sifat kewanitaan Ingkanputri yang
sedang mekar-mekarnya menjadi tergoda.
Demikian juga halnya Anjarweni.
"Hei?! Kenapa kalian diam saja dan
berlama-lama menatapku? Apakah ada yang
aneh dari penampilanku? Atau...."
Sebelum menuntaskan kata-katanya,
pemuda itu mengibas-ngibaskan tangannya

ke belakang.
"Kukira aku nggak punya ekor....
Kok, kalian memandangku seperti itu...,"
lanjut pemuda ini.
Ucapan konyol itu memaksa
Ingkanputri dan Anjarweni harus menahan
wajahnya yang bersemu merah dadu. Tapi,
mereka segera berpura-pura tak menggubris
tingkah laku remaja konyol itu
Sementara itu, pengemis muda yang
tidak  jadi  makan karena ulah Wilkampana
memperhatikan dengan seksama remaja yang
baru muncul.
Merasa diperhatikan, pemuda yang
baru datang membalas membalas tatapan.
"Eh! Bukankah kau Wirogundi...?!"
kata remaja tampan itu sambil berjalan
mendekati.
Setelah jaraknya dekat, pengemis
muda yang dipanggil Wirogundi itu
membelalakkan mata.
"Kau... kau Suropati?" kata
Wirogundi, hampir tak percaya.
Yang ditanya tertawa, kemudian
langsung memeluk tubuh Wirogundi.
"Aku memang Suropati,
Wirogundi...." kata remaja tampan
berpakaian putih penuh tambalan.
Mendengar ucapan Suropati,
Wirogundi melepas pelukannya. Kemudian
matanya kembali  menatap wajah Suropati
dengan lekat

"Kukira kau sudah mati, Suropati.
Lima tahun yang lalu, kau kutemukan dalam
keadaan sekarat. Tubuhmu telanjang
berkepala gundul seperti habis dibakar.
Tapi, sekarang...."
Wirogundi tak melanjutkan bicara-
nya, kemudian balas memeluk tubuh
Suropati. Dan tak lama kemudian,
terdengar suara tawa terbahak-bahak dari
mulut mereka berdua.

6

Tawa Suropati dan Wirogundi belum
terhenti, ketika di luar terjadi sedikit
keributan. Ketika mereka melihat ke luar,
tampak para pengemis dan gelandangan yang
kebetulan berada di dekat kedai berlari
ketakutan. Ternyata, belasan prajurit
Kadipaten Bumiraksa sedang berjalan
dengan wajah tegang seperti tengah siap
bertempur.
Sebentar saja, salah seorang yang
berpangkat kepala prajurit memasuki
kedai. Di belakangnya, tampak Wilkampana
yang telah membebat sebagian wajahnya
akibat serangan Ingkanputri.
"Itulah kucing kecil yang telah
berani mempermainkan aku, Anggaraksa...!"
kata Wilkampana, menunjuk Ingkanputri
yang tengah duduk tenang di tempatnya.
Kepala prajurit yang dipanggil

Anggaraksa memandang sekilas. Kemudian
matanya menatap wajah Wilkampana dalam-
dalam. Lelaki tegap berpangkat punggawa
itu menaikkan alisnya.
"Benar kau yang telah melukai tamu
kehormatan Gusti Adipati?" tanya
Anggaraksa, penuh kesungguhan.
"O, jadi kera kudisan yang sok jago
itu tamu kehormatan Gusti Adipati....
Tapi, sikapnya sama sekali tak pantas
untuk diberi hormat..!" sahut
Ingkanputri.
Anggaraksa terkejut, mendengar
ucapan Ingkanputri yang begitu berani.
Sedang dada Wilkampana pun menjadi
bergolak kembali.
"Setiap tamu di Kadipaten Bumiraksa
akan selalu mendapat perlindungan, Gadis
Kecil. Dan karena telah berbuat semena-
mena, maka kau akan kubawa menghadap
Gusti Adipati untuk mempertanggung-
jawabkan perbuatanmu...!" kata
Anggaraksa, mantap.
"Enak saja kau berkata, Prajurit!"
dengus Ingkanputri menjadi beringas.
"Tidakkah kau tahu bahwa yang memancing
perkara adalah temanmu itu...?!"
"Aku tidak mau tahu! Yang pasti,
kau telah melukai tamu Kadipaten
Bumiraksa. Dan berarti, kau telah
melecehkan aturan Gusti Adipati....!"
Selesai berkata, Anggaraksa

berjalan mendekati Ingkanputri, diikuti
empat orang prajurit tamtama. Sedangkan
gadis itu segera mempersiapkan diri.
"Jangan memaksaku, Prajurit!" tegas
Ingkanputri. 
"Terpaksa aku  menggunakan
kekerasan, Gadis Kecil..!"
"Kalau mau menangkap gadis kecil
itu segera lakukan, Prajurit! Jangan
banyak cingcong. Lalu cepat tinggalkan
tempat ini...!" teriak Suropati sambil
menunjuk kursi kosong. Dia telah
menangkap isyarat kalau sikap Anggaraksa
sungguh-sungguh.
Semua orang yang mendengar ucapan
Suropati menjadi terkejut. Karena, mereka
menganggap ucapan remaja tampan ini
terlalu berani.
Namun, keterkejutan mereka menjadi
bertambah, tatkala melihat Anggaraksa
membopong sebuah kursi dan membawanya ke
luar kedai diikuti Wilkampana dan
prajurit-prajurit lainnya. Apa-apaan ini?
"Sebaiknya kau dan temanmu itu
segera pergi dari tempat ini...," ujar
Suropati, kepada Ingkanputri dan
Anjarweni.
Kedua gadis itu menatap tajam ke
arah Suropati. Mereka tidak menyangka
sama sekali bila remaja konyol itu
ternyata mahir ilmu sihir. Buktinya,
Anggaraksa beserta rombongannya seketika

terpengaruh oleh perkataan yang diucapkan
Suropati. 
Braaakkk...!
Tiba-tiba dinding depan kedai itu
jebol tertimpa kursi yang dilontarkan
Anggaraksa.
"Siapa yang telah mempermainkan
diriku, hah...?!" bentak kepala prajurit
ini begitu tersadar.
Anggaraksa pun meloncat masuk ke
kedai kembali.
Suropati tertawa.
"He, Prajurit Gemblung! Sudah
kubilang kalau mau menangkap gadis kecil
itu, segera saja lakukan! Setelah dapat,
eh, malah dibanting.... Tidakkah kau
merasa kasihan. Lihat! Kini, gadis kecil
yang manis itu sedang menangis kesakitan!
Ayo, segera bimbing dia.  Rawat lukanya
baik-baik! Kalau dia belum sembuh benar,
jangan kemari lagi...!" kata Suropati
disertai tatapan mata aneh. 
Untuk kedua kalinya, Anggaraksa
menjadi linglung. Dengan serta-merta
dipungutnya kursi yang telah dilemparkan.
Kepala prajurit itu segera berlalu dari
tempat itu, bersama anak buahnya.
Wilkampana pun tak menampakkan batang
hidungnya lagi.
Suropati menatap Ingkanputri dan
Anjarweni. 
"Hmmm.... Kalian sungguh

cantik,..," puji Suropati
Pipi Ingkanputri dan Anjarweni
menjadi merah.
"Sayang, kalian tidak bisa tinggal
berlama-lama di tempat ini.... Segeralah
berkemas-kemas, dan tinggalkan Kota
Kadipaten Bumiraksa sebelum orang-orang
itu kembali ke sini dengan membawa lebih
banyak lagi prajurit..."
"Kami tidak takut!" bentak
Anjarweni tiba-tiba.
"Jangan berlaku bodoh, Saudari.
Urusan sepele itu bisa menjadi lebih
gawat. Apakah kalian berdua ingin selalu
dikejar-kejar prajurit Kadipaten
Bumiraksa selama hidup...?!" tukas
Suropati.
Merasakan kebenaran ucapan dari
Suropati, Anjarweni segera menarik lengan
Ingkanputri. Dan mereka segera berkelebat
menghilang dari tempat itu.
"Bocah Gendheng! Kenapa kau
menyuruh mereka pergi?! Mereka sama
sekali belum bayar...!"
Tiba-tiba pemilik kedai mencak-
mencak di hadapan Suropati.
Suropati pun jadi diam terlongong-
longong macam monyet kehilangan ekornya.
"Aduh, kenapa aku lupa...?"
Suropati menggaruk kepalanya yang tidak
gatal. "Biarlah aku yang bayar...," kata
Wirogundi yang berada di sebelah Suropati

dengan suara berat
Segera pemilik kedai itu
menyebutkan jumlah uang yang harus
dibayarkan. Dia kembali mencak-mencak
ketika menerima sejumlah uang dari
Wirogundi.
"Ini belum cukup...! Ini belum
cukup...! Tidakkah kau lihat dinding
kedaiku yang telah jebol akibat ulah
prajurit itu...?!" bentak lelaki tua ini.
Suropati mendengus.
"Kalau mau minta ganti rugi, datang
saja ke kadipaten! Kami tidak punya
uang...!"
Setelah mengucapkan kalimat itu,
Suropati segera menggandeng lengan
Wirogundi untuk diajak pergi.
Melihat kepergian mereka berdua,
pemilik kedai hanya bisa menggerutu
panjang-pendek.

***
 
Di sepanjang perjalanan, Suropati
dan Wirogundi tiada henti bercakap-cakap.
Wirogundi yang baru saja melihat
kehebatan Suropati segera mengajak teman-
temannya untuk menyambut kedatangan
remaja tampan yang telah menghilang
selama lima tahun itu.
Dan Suropati pun diarak menuju ke
sebuah kuil Saloka di pinggir kota

kadipaten. Tak bosan-bosannya Wirogundi
bercerita kepada teman-temannya tentang
kehebatan Suropati yang telah berhasil
mengusir kepala prajurit kadipaten
bersama bawahannya hanya dengan
perkataannya. 
Para pengemis dan gelandangan yang
rata-rata tidak mengerti ilmu kanuragan
itu pun menjadi terkagum-kagum. Sehingga
mereka menaruh rasa hormat kepada remaja
tampan tapi konyol itu.
Maka, tak heran apabila Suropati
kemudian dijamu seperti layaknya seorang
raja. Remaja konyol itu pun menyambutnya
dengan penuh kegembiraan. Hingga dua hari
penuh dia tak melakukan pekerjaan apa pun
kecuali makan dan tidur.

***

Pagi ini terlihat cerah. Sinar
mentari mengusap lembut. Dedaunan meliuk,
bergerak gemulai. Burung-burung pun
tersenyum, berkicau riang hinggap di atas
dahan.
Empat laki-laki bertampang bengis
tampak berjalan dengan langkah tegap
menuju kuil Saloka tempat para pengemis
dan gelandangan Kota Kadipaten Bumiraksa
bertempat tinggal.
Warna pakaian mereka sama merah
dengan ikat kepala hitam. Mereka semua

bercambang bauk lebat, dan tampak sangat
beringas. Badan mereka yang tinggi besar
dihiasi  urat-urat menonjol, menandakan
keperkasaan.
"Heh, orang-orang jelek yang tak
tahu diatur! Kenapa masih saja suka
bermalas-malasan?! Empat Begundal Sakti
telah datang  untuk menagih upeti...!"
kata salah seorang dari mereka sambil
memukul daun pintu kuil yang terbuat dari
kayu lapuk.
Braaakkk...! 
Pintu itu kontan terbuka dengan
paksa. Seketika para pengemis dan
gelandangan yang masih tertidur melonjak.
Begitu mengenali siapa yang hadir, mereka
menjadi ketakutan.
Mereka tahu, empat lelaki bernama
Gitapati, Sarmapati, Bureksa, dan
Tambuksa yang tergabung dalam Empat
Begundal Sakti adalah orang-orang kejam
yang mau enaknya sendiri. Mereka memeras
para pengemis dan gelandangan dengan
menarik upeti.
"Heh?! Masih juga belum keluar...?!
Apakah kalian perlu kutendang satu
persatu...?!" bentak Gitapati yang
menjadi pemimpin dari Empat Begundal
Sakti.
Tiba-tiba para pengemis dan
gelandangan berserabutan ke luar menuju
halaman kuil. Mereka segera duduk

bersimpuh di tanah dengan kepala
tertunduk. Jumlah mereka yang hampir
seratus orang, sama sekali tak mempunyai
keberanian untuk menatap wajah Empat
Begundal Sakti. Sinar mata mereka kuyu,
seperti ayam sedang menunggu giliran
untuk disembelih.
Melihat para pengemis dan
gelandangan sudah berkumpul semua,
Gitapati menggedrukkan kakinya
Brukk...!
Bumi pun bergetar, membuat nyali
orang-orang yang berada di hadapannya
makin ciut.
"Dua hari kalian tidak membayar
upeti. Kenapa...?!" bentak Gitapati.
Pertanyaan Pemimpin Empat Begundal
Sakti itu tak mendapat jawaban. Dengan
penuh kemarahan, Gitapati segera
menggedrukkan kakinya kembali. "Ayo,
jawab pertanyaanku...!" 
Tiba-tiba Wirogundi yang duduk di
tengah-tengah para pengemis dan
gelandangan bangkit, segera mendekati
Gitapati.
"Kami merasa keberatan atas upeti
yang harus kami bayar," jelas Wirogundi
sambil menyembunyikan rasa takut
Gitapati mendelik. Matanya bersinar
nyalang. "Rupanya kau sudah bosan hidup,
Gembel Busuk!"
Pemimpin Empat Begundal  Sakti itu

seketika mengayunkan telapak tangannya.
Dan.... 
"Plaaakkk...!"
Wirogundi terpelanting jatuh ke
tanah sejauh beberapa tombak. Pipi
kanannya merah, bergambar lima jari.
"Apakah perkataanku salah, Perampok
Hina!" kata Wirogundi keras-keras, seraya
menatap Gitapati penuh kebencian. "Kami
mencari makan bukan di tanah nenek
moyangmu! Kenapa kami harus tiap hari
bayar upeti...!"
Melihat keberanian Wirogundi, bola
mata Gitapati melotot hampir keluar dari
rongganya.
Siiing...! 
Tiba-tiba Gitapati mencabut golok
yang terselip di pinggangnya.
"Kau memang layak untuk disembelih,
Gembel Busuk!" desis Gitapati seraya
melangkah mendekati Wirogundi.
Sebelum terjadi sesuatu atas
pengemis muda itu, tahu-tahu seorang
remaja yang juga berpakaian penuh
tambalan berjalan mendekati Gitapati.
"Tak balk marah-marah begitu, Orang
Tua...," kata remaja itu, tenang.
Gitapati pun berpaling.
"Apakah kau juga ingin mati, Bocah
Gendeng?!" bentak Gitapati.
Remaja yang tak lain Suropati itu
hanya tersenyum mendengar bentakan

Gitapati.
"Sudah kubilang, tak baik marah-
marah begitu, Orang Tua...," ujar
Suropati. "Coba berkaca. Kalau sedang
marah, wajahmu yang jelek itu semakin
bertambah jelek....!"
"Bocah Gemblung tak tahu diuntung!
Kucincang tubuhmu seperti dendeng
ragi...!" desis Gitapati.
Sembari berkata demikian, Gitapati
membabatkan goloknya ke leher Suropati.
Pada saat yang sama, tiba-tiba
Suropati menguap panjang.
"Oaaahhh...!" 
Bruuukkk...!
Tubuh Suropati jatuh ke tanah
dengan mata terpejam. Tapi, Gitapati
menjadi terkejut, melihat sambaran
goloknya tak mengenai sasaran.
Pimpinan Empat Begundal Sakti itu
menggerendeng gusar, melihat remaja yang
tampak bodoh ini tiba-tiba telah tertidur
pulas di hadapannya. Matanya terpejam
erat, seperti terserang kantuk hebat.
Tak mau membuang waktu, Gitapati
segera menusukkan ujung goloknya ke dada
Suropati.
Semua yang melihat peristiwa  ini
segera menahan napas dan bergidik ngeri.
Sementara, Suropati tak bergerak
sedikit pun. Maka, tak ayal lagi ujung
golok Gitapati segera meluncur deras

tanpa terbendung lagi!
"Aaiihh...!"
Jeritan ngeri dari anak-anak dan
perempuan segera terdengar. 
"Oaaahhh...!" 
Tiba-tiba Suropati menguap lagi.
Tubuhnya dimiringkan tanpa membuka
mata. Maka, ujung golok yang hampir
menyentuh dadanya menancap di tanah.
Gitapati menjadi terkejut setengah
mati menyaksikan ulah Suropati yang
tampak aneh. Maka dengan seketika
dibabatnya perut remaja yang sedang tidur
itu.
"Oaaahhh...!"
Untuk ketiga kalinya Suropati
menguap.
Tubuhnya digeser ke samping tanpa
sedikit pun membuka matanya  yang
terpejam. Namun bersamaan dengan itu, dia
membuat gerakan seperti orang sedang
menggeliat. Dan....
Buuukkk...!
Tiba-tiba Gitapati menyeringai
kesakitan karena perutnya terkena
tendangan.
"Kunyuk Jelek! Rupanya kau sedang
mempermainkan aku...!" dengus  Gitapati,
penuh luapan kemarahan.
Wuuuttt...! Wuuuttt...!
Pemimpin Empat Begundal Sakti itu
menebas-nebaskan goloknya ke tubuh

Suropati. Namun, serangan itu selalu
luput.
Melihat pemimpinnya tampak
kesulitan untuk segera menyudahi riwayat
remaja konyol itu, tiga anggota Empat
Begundal Sakti segera menerjang.
Wuuuttt...! Wuuuttt...!
Sambaran golok mereka yang bertubi-
tubi menghunjam ke tubuh Suropati. Namun,
remaja konyol itu sama sekali tak membuka
matanya. Hanya tubuhnya yang bergerak-
gerak perlahan.
"Jangan ganggu tidurku! Segera
enyah kalian dari tempat ini....'" ujar
Suropati sambil mengibaskan telapak
tangannya.
Wuuussss....!
Seketika bertiup putaran angin dari
telapak tangan Suropati. Dan Empat
Begundal Sakti yang tak menyadari keadaan
menjadi terpental mundur beberapa tindak.
Gerakan Suropati yang tampak main-
main benar-benar membuat Empat Begundal
Sakti terperangah. Mereka sama sekali tak
tahu, ilmu apa yang dimiliki remaja
konyol itu.
Namun, karena terbawa amarah yang
meluap, mereka segera memulai serangan
kembali.
Suropati yang terbaring di tanah,
sama sekali tak membuka matanya. Gerakan
tubuhnya yang seperti orang menggeliat

walau tampak asal-asalan, ternyata mampu
menepis semua serangan Empat Begundal
Sakti.
Sebenarnya remaja konyol yang baru
berumur tujuh belas tahun itu sedang
menerapkan ilmu 'Arhat Tidur' yang
diajarkan gurunya yang bergelar si
Periang Bertangan Lembut. Walau ilmu itu
belum dikuasai sepenuhnya, tapi sudah
cukup tangguh untuk menghadapi Empat
Begundal Sakti. Bahkan ketika Suropati
bergerak seperti menggeliat...
Buuukkk...! Buuukkk...! Buuukkk...!
Buuukkk...! 
Tiba-tiba Empat Begundal Sakti
merasa sesak, ketika dada mereka menjadi
sasaran tendangan dan pukulan Suropati.
Gitapati menyeringai dingin.
Sarmapati, Buraksa, dan Tambuksa pun
menggeram gusar. Namun sebelum mereka
berbuat sesuatu, mendadak Suropati
bangkit dari tidur sambil memicingkan
mata.
"Kalian masih juga belum mau
pergi?! Ku putus kepala kalian, baru tahu
rasa...!" kata Suropati, dingin.
Tiba-tiba Suropati berkelebat
cepat. Dan seketika napas Empat Begundal
Sakti terasa berhenti. Mata mereka pun
mendelik!
Mereka tak menyadari, apa
sesungguhnya yang telah terjadi. Ketika

meraba leher, mereka baru tahu kalau di
leher masing-masing telah terjerat ikat
kepala mereka sendiri.  Tanpa membuang
waktu lagi, mereka pun segera berlari
ketakutan.
"Eh! Kalian belum mendapat hadiah
dariku...!" teriak Suropati sambil
mengibaskan tangannya.
Breeettt..! Breeettt..! Breeettt..!
Breeettt...!
Mendadak celana yang dikenakan
Empat Begundal Sakti putus talinya!
Empat lelaki bercambang bauk lebat
itu sudah tak mempedulikan lagi celananya
yang melorot. Mereka lari pontang-panting
seperti melihat hantu di siang bolong.
Para pengemis dan gelandangan yang
tadinya diliputi rasa ketakutan, kini
tertawa terbahak-bahak menyaksikan Empat
Begundal Sakti yang melarikan diri dengan
tubuh hampir telanjang.
Suropati pun tersenyum puas,
kemudian mengibas-ngibaskan bajunya untuk
menghilangkan debu yang menempel.
Tiba-tiba para pengemis dan
gelandangan yang berada di tempat itu
melampiaskan kegembiraan dengan membopong
tubuh Suropati beramai-ramai. Remaja
konyol itu pun tertawa lepas, merasa
keenakan.
"Suropati pemimpin kami...!
Suropati pemimpin kami...!" teriak

Wirogundi seperti orang kesurupan.
Tiba-tiba Suropati meloncat, dan
segera berjalan mendekati Wirogundi.
Kemudian, ditatapnya pemuda pengemis itu
dengan sinar mata tajam.
"Eh! Ap..., apa aku salah Suro...?"
kata Wirogundi, gelagapan karena rasa
takut yang tiba-tiba menderanya.
"Kalau aku jadi pemimpin, siapa
pendampingku...?!" tanya Suropati,
setengah membentak.
Mendengar itu, Wirogundi dan teman-
temannya jadi bengong.
"Apa maksudmu, Suro?" tanya
Wirogundi kemudian.
"Bodoh! Masa' tidak tahu apa yang
kumaksud?!"
Usai mengucapkan kalimatnya,
Suropati celingukan.  Ditatapnya para
pengemis dan gelandangan yang berada di
sekitarnya. Tiba-tiba terbersit sinar
aneh di matanya. Sambil mengulum senyum,
kakinya melangkah menghampiri seorang
pengemis wanita yang sedang berdiri
dengan kepala tertunduk.
"Siapa namamu?" tanya Suropati.
Yang ditanya mengangkat wajahnya.
Senyum Suropati semakin mengembang. Tiba-
tiba remaja konyol itu mencolek dagu
wanita di hadapannya, yang ternyata
seorang gadis berumur sekitar tujuh belas
tahun. Wajahnya manis, walau tampak

kotor.
"Apa-apaan,  Kau...?!" bentak gadis
itu.
"Uh! Gitu saja marah?! Kau manis!
He-he-he...."
Suropati tertawa terkekeh, kemudian
kembali menowel dagu gadis itu.
Tentu saja gadis itu marah-marah.
Tapi, Suropati malah tertawa keras. Dan
dia semakin berani menggoda.
Melihat ulah remaja yang berpakaian
putih penuh tambalan itu, para pengemis
dan gelandangan teman Wirogundi saling
berbisik. 
"Pengemis Binal...."
"Ya! Dia memang Pengemis Binal!"
"Sikapnya konyol dan gila-gilaan.
Tapi, menyenangkan."
"Sangat pantas dijuluki Pengemis
Binal...." Mendadak Suropati berjalan
menghampiri sekumpulan pengemis dan
gelandangan yang sedang berbisik-bisik
membicarakan dirinya.
"Apa yang kalian katakan...?!"
bentak remaja konyol itu sambil menatap
tajam salah seorang pengemis muda yang
berambut riap-riapan.
"Ah, tidak.... Aku tidak berkata
apa-apa ..."
"Hei? Kau mau mungkir! Aku tadi
mendengar kamu membicarakan aku!"
"Ehm... Aku tadi hanya bilang,

bahwa kau sangat pantas dijuluki Pengemis
Binal...."
"Apa? Pengemis Binal?"
"I..., eh! Maaf...."
"Pengemis Binal...," gumam
Suropati. "Ha-ha-ha...."
Tiba-tiba remaja konyol ini tertawa
terbahak-bahak sambil meloncat-loncat
kegirangan.
Dan semua yang berada di tempat itu
pun segera ikut tertawa.
"Eh! Kalian jangan ikut
tertawa...!" bentak Suropati. "Bagaimana
kalau empat begundal jelek itu tadi
kembali memeras kalian ketika aku tidak
ada...?" Para pengemis dan gelandangan
itu pun jadi diam. "Bagaimana kalau aku
mengajari kalian beberapa jurus ilmu
silat..?" tanya Suropati lagi.
Ucapan Suropati itu segera disambut
suara gemuruh tanda setuju.
"Nah! Sekarang cepat ambil sebatang
kayu,..!"
Dengan serta-merta, Wirogundi dan
teman-temannya berhamburan. Mereka segera
mematahkan ranting-ranting pohon untuk
dipergunakan sebagai tongkat.

***

Setelah mengajarkan gerakan-gerakan
dasar ilmu silat, Suropati segera

memperlihatkan jurus 'Tongkat Memukul
Anjing'.
Remaja konyol itu bergerak lincah.
Tangannya yang memegang sebuah ranting
pohon berputar-putar, membentuk sebuah
perisai. Setelah melompat ke atas,
ranting pohon  yang berada dalam
genggamannya diayunkan ke tanah.
Duuummm...!
Tanah tempat sasaran kontan
berlubang beberapa jengkal. Dan
pertunjukan Suropati segera disambut
sorak-sorai berkepanjangan.
"Ayo, jangan menonton saja! Cepat
tirukan gerakanku!" teriak Suropati,
memerintah.
Dan di pagi yang cerah itu, para
pengemis dan gelandangan Kota Kadipaten
Bumiraksa berlatih ilmu silat dengan
sungguh-sungguh.
Suropati  benar-benar telah menjadi
pemimpin bagi mereka!

7

Ketika seorang bocah merasa sudah
sangat tinggi
Seharusnya malu pada diri sendiri
Karena sesungguhnya belum banyak
yang dimengerti
Alam pun menertawakan  perbuatan
yang merugi

Si bocah berlari ketika diuji
Sang guru mengeluh bingung, ke mana
hendak mencari?
Ketika sudah menemui
Pelajaran apa yang harus diberi?
Tak lain adalah hukuman, untuk
lebih mengerti pada diri sendiri

Sebuah tembang mengalun syahdu.
Getaran suaranya merayap, menuju halaman
Kuil Seloka di pinggir Kota Kadipaten
Bumiraksa. Diiringi hembusan angin dan
ayunan ranting-ranting pohon, makna
tembang itu menyusup mengelus sanubari.
Seorang remaja tampan berpakaian
putih penuh tambalan yang tengah duduk di
bawah pohon tersentak, langsung
menajamkan telinga. 
"Guru...," bisik pemuda itu pada
diri sendiri.
Sebelum pemuda yang tak lain
Suropati itu bangkit berdiri, sebuah
bayangan berkelebat mendekati.
"Bocah Gendheng tak tahu diuntung!
Ke mana saja kau selama ini...?!" maki
bayangan yang baru datang.
"Maafkan Suropati, Guru...," ucap
Suropati kepada seorang kakek kurus yang
telah berdiri di hadapannya.
"Kau telah berpaling dari tanggung
jawabmu, Suro...," gumam kakek kurus yang
tak lain si Periang Bertangan Lembut

Suropati menundukkan kepalanya
dalam-dalam.
Tiba-tiba kakek kurus yang juga
berpakaian penuh tambalan itu tertawa
keras.
"Ha-ha-ha.... Rupanya kau bisa juga
merasa bersalah, Bocah Gendheng...!"
Si Periang Bertangan Lembut
menepuk-nepuk bahu muridnya. 
"Suro! Aku menyuruhmu bersemadi
selama empat puluh hari empat puluh
malam. Kau tahu itu, Suro! Di bawah
bimbinganku, kau sedang berlatih
menyempurnakan ilmu 'Arhat Tidur'! Kenapa
kau malah lari...?!" omel kakek kurus
berpakaian tambalan itu
Suropati mendongakkan kepalanya.
Mendadak, kekonyolannya muncul.
"Aku bosan tinggal di gunung. Sepi!
Tiap hari monyet-monyet mengejekku.
Bahkan jangkerik suka menggelitik masuk
ke dalam celanaku.... Siapa yang tahan,
Kek...?!" kilah remaja tampan ini, polos.
Bahkan mengubah panggilan kepada gurunya.
Si Periang Bertangan Lembut kembali
tertawa. 
"Itu tandanya kau tidak tahan uji,
Bocah Gendheng! Kewajibanmu sebagai murid
adalah belajar, dan selalu menuruti
perintah guru! Tapi, kenapa kau malah
berpaling dari kewajibanmu...?!" tegur
Periang Bertangan Lembut

Suropati menggaruk-garuk kepalanya.
"Kau harus segera menjalani hukumanku,
Suro...!" bentak Periang Bertangan Lembut
Tiba-tiba Suropati melonjak seraya
tertawa terkekeh-kekeh.
"Aku baru saja diangkat menjadi
seorang pemimpin! Walaupun hanya seorang
pemimpin bagi pengemis-pengemis, mau
kuletakkan di mana wibawaku kalau kau
menghukumku, Kek...?!" sergah Suropati.
Si Periang Bertangan Lembut ikut
tertawa terkekeh-kekeh.
"Berbuat baik akan mendapat
ganjaran. Berbuat jahat akan mendapat
pembalasan. Siapa melakukan perbuatan
benar, dia akan mendapatkan  manfaat.
Sebaliknya, siapa yang melakukan
perbuatan salah, akan mendapat hukuman,"
kata si Periang Bertangan Lembut 
"Suro! Karena kau telah melakukan
perbuatan salah, kau pun harus mendapat
hukuman...!"
Selesai berkata demikian, kakek
kurus itu cepat menggerakkan kedua
tangannya. Langsung dilancarkannya ilmu
totokan 'Delapan Belas Tapak Dewa'. 
Tuk! Tuk!
Suropati tak sempat berkata-kata
lagi. Walaupun totokan yang dilancarkan
si Periang Bertangan Lembut hanya
sepertiga bagian, namun seluruh
kekuatannya menjadi hilang.

Karena keterkejutannya, remaja
tampan itu meloncat
Bruuukkk...!
Tubuh Suropati jatuh ke tanah,
seperti sudah kehilangan semua
keseimbangannya.
"Apa yang telah kau lakukan,
Kek...?" tanya Suropati gusar.
"Aku telah menotok enam pusat
aliran darahmu. Bagaimana rasanya
Suro...?" kakek kurus itu malah balik
bertanya.
Suropati bangkit. Segera kedua
tangan dan kakinya digerak-gerakkan. Dan,
dia pun terkejut setengah mati....
"Kau telah memusnahkan ilmu
silatku, Kek...?" tanya Suropati, tak
percaya.
Si Periang Bertangan Lembut tertawa
terbahak-bahak.
"Itu hukuman untukmu, Suro...,"
kata kakek itu, enteng.
Melihat Suropati yang bengong,
Periang Bertangan Lembut itu memperkeras
tawanya.
"Ha-ha-ha.... Katanya kau telah
menjadi pemimpin pengemis, Suro...?! Nah!
Untuk menjadi seorang pemimpin yang
bijaksana, kau harus dapat merasakan
penderitaan kawulamu," ujar si Periang
Bertangan Lembut sambil menatap Suropati
dalam-dalam.  "Untuk menyambung nyawamu,

kau harus mengemis! Tak seorang pun dari
teman-temanmu yang boleh membantumu. Jika
mereka membantumu, tahu sendiri
akibatnya. Dan kau harus makan dari hasil
keringatmu sendiri...!"
Mata Suropati mendelik.
"Kau kejam, Kek...!" 
"Itu hukuman yang setimpal untukmu,
Suro...." 
"Tapi, Kek! Kau harus tahu kalau
para pengemis dan gelandangan di Kota
Kadipaten Bumireksa ini selalu ditindas
orang yang merasa dirinya berkuasa...?
Aku baru saja melakukan tanggung jawabku
untuk melatih mereka beberapa jurus ilmu
silat, sebagai perisai untuk menghadapi
tindakan sewenang-wenang. Dan, kau telah
menghalangiku untuk melakukan kewajibanku
itu,  Kek...," kata Suropati mencoba
berkilah.
"Ck... ck... ck.... Pintar
berkhotbah juga kau rupanya, Bocah
Gendheng! Kau tak perlu khawatir. Akulah
yang akan melaksanakan kewajibanmu...."
Mendengar ucapan gurunya, Suropati
mengambil napas panjang, dan
menghembuskannya dengan deras.

***