Pengemis Binal 01 - Pengkhianatan Dewa Maut(3)





Sejak saat itu, Suropati telah
benar-benar menjadi seorang pengemis.

Dari rumah ke rumah, dari kedai ke kedai,
dari tempat yang satu ke tempat yang
lainnya, dia berjalan mencari sesuap
nasi. Tak seorang pun teman-temannya yang
bersedia membantu, karena takut kepada si
Periang Bertangan Lembut yang telah
menjadi guru mereka.
Hari ini, di pinggir alun-alun
Kadipaten Bumiraksa, Suropati berpapasan
dengan Empat Begundal Sakti yang pernah
ditaklukkannya!
"He, Empat Begundal Jelek! Rupanya
kalian masih punya nyali menampakkan
batang hidung di hadapanku...!" tegur
Suropati memasang wajah angker.
"Memang kami sengaja mencarimu,
Tuan Muda...," kata Gitapati yang menjadi
pemimpin seraya menjatuhkan diri,
berlutut di hadapan Suropati.
Ulah  Gitapati itu segera diikuti
teman-temannya.
"Aku tidak mau kalian sembah...!
Kalau minta uang, aku tidak punya...!"
cegah Suropati,
"Kami bukan minta uang, Tuan
Muda.... Tapi, kami minta sudilah kiranya
Tuan Muda mengajari kami beberapa jurus
ilmu silat...," ujar Gitapati, tanpa
merasa malu.
"Aku tidak mau...!" jawab Suropati
ketus.
Remaja tampan itu pun segera

melangkah. Tapi, hingga beberapa lama,
Empat Begundal Sakti selalu mengikutinya.
"Bedhes Jelek! Kenapa kalian
mengikutiku...?!" maki Suropati ketika
menyadari dirinya diikuti.
"Kami meminta beberapa jurus saja,
Tuan Muda...," ratap Gitapati sambil
membungkukkan badan.
"Sudah kubilang, aku tidak
sudi...!" bentak Suropati
Mendadak remaja itu menggedrukkan
kakinya ke tanah dengan sekuat tenaga.
Duuukkk...! 
"Aughhh...!"
Suropati menyeringai kesakitan
karena tulang kaki kanannya terkilir. Dia
lupa kalau ilmu silatnya telah
dimusnahkan si Periang Bertangan Lembut
Melihat Suropati yang kini berjalan
terpincang-pincang, kening Empat Begundal
Sakti berkerut.
"Kakimu terkilir, Tuan Muda...,"
usik Gitapati berusaha melembutkan
suaranya. "Aku mengerti sedikit, ilmu
urut. Barangkali bisa membantu...."
"Monyet Kudisan! Belum juga kalian
pergi...!"
Tiba-tiba Suropati melayangkan kaki
kirinya ke arah Gitapati!
Buuukkk...!
"Aughhh...!" 
Kembali remaja konyol itu

menyeringai kesakitan. Telapak kakinya
seperti membentur tembok tebal. Tubuhnya
pun terpelanting, jatuh ke tanah 
"Aduh! Kasihan kau, Tuan Muda...,"
desah Gitapati perlahan.
Tapi, tiba-tiba lelaki ini
melayangkan kaki kanannya, menyepak
pantat Suropati yang masih terbaring di
atas tanah.
Bukkk!
"Aduhh...!"
Tentu saja remaja konyol itu
mengerang kesakitan. Melihat itu, Empat
Begundal Sakti tertawa terbahak-bahak. 
"Rupanya kau sama sekali tak
berilmu, Bocah Geblek...!" ejek Gitapati
seraya menghadiahkan sebuah tendangan
kembali. 
Buuukkk...! 
"Aughhh...!"
Suropati mengaduh keras, merasakan
tubuhnya terlempar jauh.
Menyaksikan keadaan remaja konyol
itu yang sama sekali tak berdaya, Empat
Begundal Sakti segera menjadikannya
sebagai bulan-bulanan.
Sementara itu, sepasang mata
menatap kejadian ini dari balik sebuah
pohon beringin besar. Si pengintip
berulang kali mendesah, karena tak tega
melihat keadaan Suropati yang tampak
mengenaskan.

"Aku tak bisa membiarkan empat
lelaki bercambang bauk lebat itu berbuat
kejam...," gumam si pengintip yang tak
lain si Periang Bertangan Lembut, guru
Suropati.
Kakek kurus itu mendengus, melihat
kaki kanan Gitapati yang melayang cepat
hendak menginjak leher Suropati! Seketika
dia menarik sebuah kerikil, dan langsung
dilemparkannya.
Seeettt...!
Tak!
"Auuuh...!"
Kerikil itu tepat mengenai telapak
kaki kanan Gitapati, hingga merasa
kesemutan. Segera pergelangan kakinya
diturunkan sambil celingukan. Tapi karena
tak melihat sesuatu yang mencurigakan,
dia menatap ketiga anak buahnya. 
"Eh! Pernahkah kalian merasakan
daging manusia...?" tanya Gitapati penuh
kesungguhan.
Yang ditanya menggelengkan
kepalanya serempak.
 "Nah! Tubuh bocah gendheng ini
tentu masih empuk karena umurnya masih
belum seberapa. Bagaimana kalau
dipanggang?"
Anak buah Gitapati saling
berpandangan. Tapi mereka segera tertawa
terbahak-bahak.
Mendadak Suropati menatap Empat

Begundal Sakti dengan tajam.
"Monyet-monyet Kudisan, segera cium
kakiku...!"
Empat lelaki bercambang  bauk  lebat
itu tercengang beberapa saat. Tapi,
mereka pun kembali tertawa.
"Sudah mendekati liang kubur, masih
mengajak bercanda, Bocah Geblek...!" ejek
Gitapati.
Suropati terkejut. Disadari kalau
kekuatan sihirnya kini juga telah musnah
bersama ilmu silatnya.
Mendadak Gitapati menendang
punggung remaja konyol itu, hingga
terlontar satu tombak. Lalu orang yang
bernama Bureksa membopong tubuh Suropati,
dan membawanya lari menuju hutan kecil di
pinggir Kota Kadipaten Bumiraksa, diikuti
tiga temannya.
Si Periang Bertangan Lembut keluar
dari tempat persembunyiannya, dan segera
berlari menguntit. Hatinya khawatir akan
keselamatan muridnya.
Matahari sudah condong ke barat
ketika Empat Begundal Sakti sampai di
tanah datar berumput yang dikelilingi
pohon-pohon besar.
Setelah mengikat tangan dan kaki
Suropati, mereka segera membuat perapian.
"Bocah Geblek itu kita sembelih
dulu atau langsung dipanggang hidup-
hidup...?" tanya orang yang bernama

Sarmapati.
"Ha-ha-ha...," Gitapati tertawa
lebar. "Kita panggang saja hidup-hidup.
Biar dia merasakan terlebih dahulu sebuah
siksaan yang sangat menyakitkan!" 
Mata Suropati mendelik ketika
tubuhnya diangkat beramai-ramai. Dalam
hati dia pun segera berdoa, untuk
mengiringi kematiannya.
Hilang sudah segala kekonyolan
remaja tampan itu waktu melihat lidah api
yang menjilat-jilat. Sambil memejamkan
mata, dia berpasrah diri kepada Tuhan.
Tawa panjang mengiringi perbuatan
Empat Begundal Sakti yang melontarkan
tubuh Suropati ke perapian!
Sementara itu si Periang Bertangan
Lembut yang terus menguntit Empat
Begundal Sakti segera bangkit dari tempat
persembunyiannya. Tapi, kakek kurus itu
mengurungkan niatnya, karena melihat
sebuah bayangan berkelebat ke arah
Suropati.
Wusss...!
Dengan sebuah angin pukulan yang
berlambarkan kekuatan tenaga dalam, tubuh
Suropati yang sudah melayang di atas
lidah api tiba-tiba terlontar, dan jatuh
di samping perapian.
Empat Begundal Sakti terkesiap.
Mereka memicingkan mata sambil celingukan
mencari seseorang yang telah menolong

calon korbannya.
"Kenapa susah-susah mencari? Aku di
sini, Monyet-monyet Bau!"
Empat Begundal Sakti mendongakkan
kepala. Mereka melihat seorang gadis
sedang duduk santai di atas dahan pohon
besar.
"Turun kau, Perempuan Edan...!"
bentak Gitapati. 
"Kau saja yang naik, Monyet
Bau...!" balas gadis itu.
Mendengar ucapan itu, Gitapati jadi
naik pitam. Segera dipungutnya sebutir
batu sebesar kepalan tangan, lalu
dilontarkannya!
Wuuuttt...! 
Tap...!
Dengan mudah gadis itu menangkap
batu yang dilontarkan ke arahnya. Namun
mendadak gadis itu melemparkannya
kembali. Dan....
Wuuuttt...!
Taaakkk...!
"Adaaauwww...!"
Gitapati meraung kesakitan.
Kepalanya benjol sebesar telur ayam,
tertimpa lontaran batu.
"Perempuan Edan! Beraninya kau
mempermainkan aku...!" dengus lelaki
bercambang bauk lebat itu seraya meraup
batu-batu yang berada di dekatnya.
Lalu...

Weeesss...!
Gadis yang menjadi sasaran hujan
batu hanya menggerakkan tangan kanannya
perlahan. 
Wuuusss...!
Taaakkk...! Taaakkk...! Taaakkk...!
Taaakkk...!
Empat Begundal Sakti sama-sama
meraung kesakitan dengan kepala benjol-
benjol tertimpa batu-batu yang melontar
balik akibat hempasan tenaga dalam gadis
yang tengah duduk santai di dahan pohon.
Untuk beberapa lama, mereka tidak
tahu apa yang harus diperbuat.
Tiba-tiba Gitapati menggerendeng
gusar. Seketika goloknya dibabatkan!
Beeettt...!
Buuummm...!
Batang pohon itu tumbang. Dan gadis
yang bertengger di atasnya meloncat ke
tanah.
Tappp...!
Manis sekali gadis ini mendarat
"Perempuan Edan! Kenapa kau
mencampuri urusanku...?!" bentak
Gitapati.
Gadis yang tak lain  Anjarweni itu
mengangkat alisnya tinggi-tinggi. 
"Perbuatanmu itu sangat biadab,
Monyet Bau!"
"Bangsat! Masih saja kau menghinaku
dengan sebutan itu...!"

Kembali Gitapati membabatkan
goloknya. Kali ini sasarannya pinggang
Anjarweni.
Gadis itu hanya mundur  beberapa
tindak, seraya mengayunkan kakinya ke
tanah.
Wuuuttt..!
Taaakkk...!
Seketika batu sebesar kepalan
tangan bersarang di kepala Gitapati.
Untuk ketiga kalinya lelaki ini mengaduh
kesakitan.
Empat Begundal Sakti segera
mengeroyok Anjarweni Mereka yang sudah
terbiasa berbuat jahat, tak sungkan-
sungkan lagi mengerubut gadis cantik
murid Dewi Tangan api itu.
Wuuuttt..! Wuuuttt...!
Anjarweni menghemposkan tubuhnya ke
atas, menghindar dari sambaran golok
empat lelaki bercambang bauk lebat itu.
Tiba-tiba gadis itu memutar
tubuhnya di udara. Seketika tubuhnya
menukik, sambil mengebutkan tangannya.
Plak...! Plak...! Plak...! Plak...!
Empat Begundal Sakti mendekap pipi
masing-masing yang telah kena tampar.
Sebelum mereka sempat berbuat sesuatu,
Anjarweni mengayunkan tangan!
Wuuusss...!
Brash...!
Empat Begundal Sakti kontan

berjingkrak-jingkrak. Ternyata, celana
yang mereka kenakan tiba-tiba mengepulkan
asap. Terbakar!
"Wadooowww...!"
Mereka kontan lari berserabutan
sambil mendekap anunya yang keselomot
api!
Anjarweni memandangi kepergian
mereka sambil terbahak-bahak. 
"Aduh...! Tolooong...!"
Mendadak terdengar jeritan Suropati
yang masih tergeletak di tanah.
Anjarweni menolehkan kepala,
melihat Suropati sedang menggeliat-geliat
kepanasan karena sebagian bajunya
terjilat lidah api yang berasal dari
perapian.
"Aduh...! Gadis bloon! Kenapa
bengong saja?!" teriak Suropati kepada
Anjarweni.
Dengan bibir cemberut karena
dikatakan bloon, gadis itu segera
mengibaskan tangannya, memberi
pertolongan.
Wuuusss...!
Api yang menjilat baju Suropati
langsung padam, terkena kibasan telapak
tangan Anjarweni.
Sedangkan Suropati meronta-ronta,
berusaha melepaskan tali yang mengikat
tangan dan kakinya.
Melihat ulah Suropati yang seperti

ulat dipatuk ayam itu, Anjarweni tertawa
lebar.
"Kenapa kau tertawa, Gadis Bloon?!
Ayo, segera lepaskan tali yang mengikatku
ini...!" tegur Suropati konyol.
"Enak saja kau menyebutku 'gadis
bloon'! Menyesal aku menolongmu...,"
gerutu Anjarweni
Mendengar ucapan Anjarweni,
Suropati segera memasang wajah memelas.
"Pendekar wanita yang cantik dan
budiman, tolonglah aku untuk melepaskan
tali terkutuk ini...," pinta Suropati.
"Aku mau menolong, tapi ada
syaratnya...," ujar Anjarweni. 
Kening Suropati berkerut. Setelah
berpikir sejenak, dia mengembangkan
senyum.
"Baiklah. Apa pun syaratnya, aku
bersedia...."
Anjarweni mengerlingkan mata.
"Setelah kutolong, kau harus
bersedia jadi pembantuku seumur hidup."
"Tidak mau!" jawab Suropati,
langsung.
"Kenapa tidak mau?"
"Aku ini pemimpin pengemis. Gadis
Bloon! Walaupun pemimpin para pengemis,
tepi tetap pemimpin! Tak lucu kalau
dijadikan pembantumu. Apalagi seumur
hidup. Bisa-bisa aku nanti kau suruh
menyuapimu...."

Anjarweni tertawa lebar.
"Kalau tidak mau, ya sudah.... Aku
pun tak sudi menolong."
Sambil menggerutu panjang-pendek,
Suropati meronta semakin keras. Tapi,
ikatan talinya tak juga terlepas. Hingga
membuat kulit lengan dan kakinya lecet-
lecet.
Melihat itu, rasa iba Anjarweni
timbul. Dan gadis itu segera membantu.
"Kalau kau tidak pernah menolongku,
aku pun tidak akan menolongmu, Bocah
Edan!" cibir Anjarweni, ketus.
Suropati tertawa.
"Itu namanya pendekar budiman. Tak
melupakan budi orang," kata Suropati
sambil mencoba berdiri.
"Aduh...!"
Tiba-tiba remaja konyol itu jatuh
kembali. Dia lupa pada kaki kanannya yang
telah terkilir.
"Kasihan juga kau rupanya, Bocah
Edan...."
Melihat Suropati yang meringis
kesakitan, Anjarweni segera memegang kaki
kanannya.
"Aduh...!" jerit Suropati keras.
"Memangnya  pelan-pelan saja. Dan, cepat
kau urut. Aku mau pingsan, nih..."
Seperti terkena sihir, Anjarweni
menuruti perintah Suropati.
"Aduh...!" jerit Suropati lagi.

"Gurunya  jangan seperti itu! Pelan-pelan
saja...!"
Kembali Anjarweni menuruti perintah
remaja konyol itu.
Tiba-tiba....
Coup...!
Suropati mencium pipi Anjarweni.
Gadis itu terkejut! Lalu.... 
Plak...!
Suropati terpelanting kena tampar.
"Bocah Edan! Rupanya kau pintar
mencari kesempatan dalam kesempitan!"
bentak Anjarweni, dengan wajah memerah
menahan malu.
Melihat Anjarweni yang marah-marah,
Suropati hanya tertawa. Dan gadis itu pun
berkelebat cepat, melepaskan serangan.
Buuukkk...! Buuukkk...!
Tubuh remaja konyol yang sudah
babak-belur itu kini jadi bulan-bulanan
Anjarweni.
"Sudahlah, Kak Weni..."
Tiba-tiba terdengar suara teguran
dari belakang. Anjarweni menolehkan
kepalanya. Ternyata Ingkanputri yang
muncul.
"Bocah Edan ini memang layak untuk
dihajar, Putri...!" dengus Anjarweni
masih diliputi kemarahan.
"Jangan membuang-buang waktu, Kak
Weni. Segeralah tanya dia. Barangkali
tahu, di mana orang yang kita cari

berdiam diri," kata Ingkanputri, lembut.
Anjarweni menatap tajam Suropati.
"Bocah Edan! Pernahkah kau dengar
seseorang yang bernama Brajadenta yang
bergelar si Dewa Maut?" tanya Anjarweni.
Suropati memicingkan matanya sambil
memegang bagian tubuhnya yang terasa
sakit
"He, Bocah Edan! Tuliskan  kau?!"
bentak Anjarweni.
Suropati terperangah. "Ada apa?"
"Pernahkah kau dengar seseorang
yang bernama Brajadenta yang bergelar si
Dewa Maut?" ulang Anjarweni.
"Apakah itu ayahmu?" Suropati ganti
bertanya.
Buuukkk...! 
"Hugh...!"
Anjarweni menendang perut Suropati.
"Segera jawab pertanyaanku, Bocah
Edan!"
"Aduh.... Kalau kau marah-marah
begitu, mana aku sempat berpikir...."
Suropati mengerutkan kening, pura-
pura berpikir,
"Oh, ya. Aku tahu...!" kata
Suropati kemudian
Anjarweni dan Ingkanputri segera
berjalan mendekati
"Aku tahu...," kata Suropati lagi
tampak sungguh-sungguh. "Aku tahu. Tapi,
sekarang sudah lupa."

Buuukkk...!
Tubuh Suropati menggelosor ke tanah
terkena tendangan Anjarweni.
"Bocah Edan! Rupanya kau benar-
benar sudah sinting!"
Setelah mengucapkan kata-kata itu,
Anjarweni berkelebat cepat menghilang
dari tempat itu, diikuti Ingkanputri.
Suropati yang ditinggalkan seorang
diri, hanya bisa mengaduh berkali-kali.
Tubuhnya yang babak-belur terasa bagai
dirajam!
Tiba-tiba remaja konyol itu tertawa
keras.
"Ha ha.... Nikmat juga rasanya
mencium pipi gadis cantik...."
Remaja itu pun ngeloyor pergi
dengan langkah sempoyongan.


8

Tiga puluh hari setelah Suropati
menjalani hukuman, si Periang Bertangan
Lembut memanggilnya. Remaja konyol itu
harus menghadap di dalam Kuil Saloka.
"Bagaimana rasanya menjadi
pengemis, Suro?" tanya kakek kurus ini.
Suropati tersenyum.    
"Senang sekali, Kek...," sahut
remaja konyol itu. "Sungguh nikmat
merasakan makanan sisa. Sungguh syahdu

suara orang yang mencariku. Dan kalau aku
kena tendang pun, rasanya badan seperti
dipijit-pijit..." 
Mendengar kalimat muridnya itu, si
Periang Bertangan Lembut kontan tertawa.
"Kau benar-benar bocah gendheng,
Suro. Tapi, aku sangat suka. Kau memang
pantas menjadi murid si Periang Bertangan
Lembut...," puji Periang Bertangan Lembut
Suropati menggerakkan bola matanya
ke kiri dan kanan.
"Suro! Hari ini adalah hari
terakhir kau menjalani hukumanmu...."
Mata Suropati berbinar mendengar
ucapan gurunya. 
"Setelah  genap tiga puluh hari kau
mengalami penderitaan, hikmah apa yang
dapat kau petik, Suro?" tanya Periang
Bertangan Lembut
"Hikmah? Hikmah apa, Kek?" Suropati
malah balik bertanya.
"Sebenarnya kau sudah tahu, tapi
pura-pura tidak tahu." 
Suropati mengernyitkan hidungnya.
"Apa, Kek?"
"Penderitaan itu sakit, Suro. Tapi
dari rasa sakit itulah, jiwamu ditempa
untuk menjadi orang yang bijaksana."
Suropati diam mendengarkan petuah
gurunya.
"Orang yang bijaksana, selalu
berpikir dari dua sudut yang saling

bertentangan. Namun, saling isi. Ketika
seseorang merasakan kebahagiaan,
hendaknya ingat akan penderitaan. Agar
dia tidak hanyut dalam kebahagiaan nya.
Karena kalau hanyut, sesungguhnya telah
berada di ambang pintu penderitaan. Sebab
apa? Sebab apabila dia hanyut dalam
kebahagiaan nya, dia sama sekali tak
mempunyai persiapan untuk menyambut
datangnya penderitaan. Karena tidak
mempunyai persiapan itulah penderitaan
yang menimpa akan terasa berlipat-lipat."
Suropati menundukkan kepala dalam-
dalam, merasakan kebenaran ucapan si
Periang Bertangan Lembut.
"Sebaliknya, apabila seseorang
telah seringkali merasakan penderitaan,
sesungguhnya telah punya modal berharga
untuk menjadi seseorang bijaksana yang
mengerti  kodratnya  sebagai manusia. Dan,
ketika dianugerahi kebahagiaan, dia pun
tak akan pernah lupa akan penderitaan
yang telah dialami. Dia akan terhindar
dari sifat sombong dan congkak, karena
sadar kalau kebahagiaan itu tak kekal.
Jadi, dia perlu hanyut pada kebahagiaan
yang telah diperoleh"
Suropati membuka mata hatinya untuk
melihat, merasakan, dan mencamkan
pengertian petuah gurunya.
"Kau mengerti, Suro?" tanya si
Periang Bertangan Lembut kepada muridnya.

Suropati mengangguk.
"Jawab pertanyaanku, Suro!" sentak
si Periang Bertangan Lembut
"Ya, Kek. Aku mengerti," sahut
Suropati, mantap.
Tiba-tiba si Periang Bertangan
Lembut menggerakkan tangannya, melepaskan
totokan di tubuh Suropati.
"Ilmu silatmu telah kukembalikan,
Suro. Untuk sementara, kau telah terbebas
dari penderitaan...."
Baru saja kata-kata Periang
Bertangan Lembut selesai, seorang
pengemis memasuki ruangan Kuil Saloka.
Segera dihampirinya si Periang Bertangan
Lembut yang tengah duduk bersila bersama
muridnya.
"Seseorang ingin bertemu, Guru...,"
lapor pengemis itu.
Si Periang Bertangan Lembut segera
bangkit dari duduknya, lalu melangkah
keluar.
Di depan halaman kuil telah berdiri
menunggu seorang lelaki setengah baya
berpakaian prajurit
"Aku diutus Yang Mulia Baginda
Prabu...," ucap prajurit itu ketika
Periang Bertangan Lembut telah berada di
depannya.
"Ada perlu apa? Bukankah Baginda
Prabu tahu kalau aku sudah tak mau lagi
mencampuri urusan kerajaan?" tanya si

Periang Bertangan Lembut.
"Tapi, ini sangat penting. Karena,
menyangkut kewibawaan Yang Mulia Baginda
Prabu," tegas prajurit itu.
"Urusan apa?"
"Brajadenta alias si Dewa Maut
telah berkhianat."
"Pengawal kerajaan itu berkhianat?"
tanya si Periang Bertangan Lembut seperti
minta ketegasan, seraya mengerutkan
keningnya.
"Ya," jawab utusan kerajaan.
"Brajadenta telah mencuri Kitab Batu
Kumala Hitam."
Si Periang Bertangan Lembut
terkejut bagai disambar petir.
"Bukan hanya itu saja. Dia pun
telah berani menodai seorang dayang-
dayang," tambah utusan ini.
Mendengar hal ini, kakek kurus guru
Suropati itu seperti dilolosi tulang-
tulangnya. Lemas sekali.
"Oh, Gusti Yang Maha Agung! Kenapa
Brajadenta berani melakukan perbuatan
biadab seperti itu...?" desah si Periang
Bertangan Lembut sambil mengelus dada.
"Hal itu terjadi sekitar lima tahun
yang lalu," lanjut utusan ini
"Apakah tokoh-tokoh kerajaan tidak
ada yang sanggup menyeretnya kembali ke
hadapan Baginda Prabu?" tanya si Periang
Bertangan Lembut

Utusan kerajaan itu menggelengkan
kepalanya.
"Dia telah menguasai ilmu 'Batu
Kumala Hitam' dari kitab yang telah
dicurinya. Oleh karenanya, tak satu tokoh
kerajaan pun yang sanggup menghadapi-
nya...."
"Dan, kedatanganmu ini tak lain
untuk menyampaikan titah Baginda Prabu
agar aku menghukum Brajadenta yang telah
berkhianat itu, begitu...?"
Utusan kerajaan itu mengangguk.
"Baik, aku menyanggupi. Segera kau
sampaikan hal ini kepada Baginda
Prabu...," tegas si Periang Bertangan
Lembut
Setelah mendapat jawaban yang
diinginkan, utusan kerajaan itu menjura
beberapa kali. Kemudian dia mohon diri
untuk pamit
Dahi si Periang Bertangan Lembut
berkerut-kerut memikirkan tugas yang
harus diembannya. Untuk beberapa lama,
dia sama sekali tak menampakkan senyum
yang biasa menghiasi bibirnya.
Melihat gurunya yang tampak
berpikir keras, Suropati segera
mendekati.
"Apakah Brajadenta yang bergelar si
Dewa Maut itu sangat sakti, Kek?" tanya
Suropati polos.
Dan, remaja ini pun segera ingat

kepada dua orang gadis yang juga tengah
mencari pengkhianat kerajaan itu.
"Kalau si Dewa Maut benar-benar
telah menguasai ilmu 'Batu Kumala Hitam',
rasa-rasanya tak seorang pun yang sanggup
mengatasinya...," gumam si Periang
Bertangan Lembut, masygul.
"Bagaimana kalau dikeroyok, Kek?"
cecar Suropati.
Mendengar ucapan muridnya, si
Periang Bertangan Lembut tersenyum.
"Tidak semudah yang kau kira,
Suro."
"Jadi, dia benar-benar tak bisa
dikalahkan?"
"Tentu bisa. Ilmu yang telah
dikuasai Brajadenta berinti kepada Batu
Kumala Hitam. Apabila batu itu terpisah
dari tubuh, kekuatannya pun akan hilang.
Tapi, mustahil bisa merampas baru itu
tanpa terlebih dulu membunuh si
Brajadenta...," jelas si Periang
Bertangan Lembut. "Dan satu lagi
kelemahannya, ilmu 'Batu Kumala Hitam'
akan tak berdaya apabila berhadapan
dengan ilmu totokan 'Delapan Belas Tapak
Dewa'. Tapi, aku tak yakin mampu
menghadapinya. Karena aku sendiri hanya
menguasai ilmu totokan itu sampai tingkat
ketujuh belas."
"Ilmu totokan 'Delapan Belas Tapak
Dewa'? Kenapa Kakek tidak mengajarkannya

padaku?"
"Bocah Gendheng! Bagaimana aku akan
mengajarimu? Sedang, ilmu "Arhat Tidur'
saja belum kau kuasai?!" 
Kening Suropati kontan berkerut.
Tiba-tiba timbul penyesalan dalam
hatinya. Kalau saja waktu itu tidak
melarikan diri ketika disuruh bersemadi
untuk memperdalam ilmu "Arhat Tidur', dia
tentu sudah diajari ilmu totokan 'Delapan
Belas Tapak Dewa'.
Mendadak si Periang Bertangan
Lembut mengeluarkan sesuatu dari balik
bajunya. Langsung diserahkannya kepada
Suropati.
Remaja konyol yang sudah pandai
membaca karena diajari gurunya itu
menjadi sangat gembira. Matanya berbinar-
binar memandang benda di tangannya yang
tak lain adalah sebuah kitab ilmu olah
kanuragan yang berjudul Delapan Belas
Tapak Dewa.
"Kalau terjadi apa-apa pada diriku,
kau pelajari sendiri ilmu totokan itu,
Suro...," ujar si Periang Bertangan
Lembut.
Setelah mengatakan itu, si Periang
Bertangan Lembut berkelebat cepat
langsung menghilang dari tempat ini.
Suropati tak sempat berkata-kata
lagi. Dia hanya diam terlongong-longong
memandangi kitab yang berada di

tangannya.

9

Berhari-hari Suropati tak bosan-
bosannya membuka lembar demi lembar
halaman Kitab Delapan Belas Tapak Dewa.
Halaman pertama dari kitab itu bergambar
delapan belas pusat aliran darah di tubuh
manusia. Halaman selanjutnya, merupakan
petunjuk untuk menguasai ilmu totokan
yang terkandung di dalamnya.
Suropati mempelajarinya secara
berurutan. Karena kecerdasan dan
kemampuannya menafsir, maka waktu yang
diperlukannya hanya sepekan untuk
menghafal semua inti sari dari ilmu
totokan 'Delapan Belas Tapak Dewa'.
Ketika remaja konyol ini menutup
kitab pemberian gurunya, matanya
memancarkan sinar aneh. Pada kulit
belakang kitab terpampang huruf besar-
besar yang bertuliskan:

Kekuatan sakti yang maha sakti
hanya sanggup menguasai ilmu totokan
'Delapan Belas Tapak Dewa' sampai tingkat
tujuh belas. Satu tingkat lagi,
kesempurnaan akan didapat. Tapi bila
kekuatan yang maha sakti hanya berasal
dari diri sendiri, jangan coba-coba
melangkah ke tingkat delapan belas.

Karena, nyawa taruhannya.

Kening Suropati berkerut ketika
membaca tulisan itu. Tapi, dia tak mau
membuang-buang waktu untuk berpikir.
Segera kakinya melangkah menuju halaman
belakang kuil bobrok bernama Saloka yang
menjadi tempat tinggalnya.

***

Di pagi yang cerah ini, Suropati
berlatih ilmu totokan 'Delapan Belas
Tapak Dewa' yang maha sakti itu. Setelah
memusatkan seluruh pikirannya, tubuh
Suropati berkelebat mengitari sebuah
pohon sebesar tubuh manusia. Gerakannya
sangat cepat. Tambahan lagi, ilmu totokan
itu didasari kekuatan sihir. Maka, tubuh
Suropati seakan-akan hilang tak berbekas!
Teppp....!
Suropati mendaratkan kakinya ke
tanah. Pandangan matanya tertuju pada
pohon yang tadi menjadi sasaran dari ilmu
totokannya. Ternyata, batang pohon itu
telah berlubang-lubang tertusuk ujung
jarinya yang dilambari tenaga dalam.
Sekejap kemudian, dari lubang-lubang itu
menyembur getah berwarna putih.
Suropati tersenyum puas menyaksikan
hasil yang telah didapatkan.  Segera
didekatinya pohon yang telah menjadi

sasaran dari ilmu totokannya. Tapi, dia
menjadi terkejut. Ternyata, lubang yang
terdapat di pohon itu hanya berjumlah
tujuh belas!
Remaja yang oleh kawan-kawannya
dijuluki Pengemis Binal ini diam untuk
beberapa  lama. Menurut perasaannya, dia
telah melakukan gerakan 'Delapan Belas
Tapak Dewa'. Tapi, kenapa lubang di pohon
itu hanya berjumlah tujuh belas?
Hingga beberapa saat si Pengemis
Binal berpikir keras. Karena belum
menemukan jawaban atas keanehan itu,
segera  latihannya diulangi. Tubuhnya
kembali berkelebat cepat, mengitari pohon
lain yang jadi sasarannya. 
Teppp...!
Kembali kaki Suropati mendarat di
tanah. Seperti yang pertama, pohon kedua
yang menjadi sasaran dari ilmu totokan
'Delapan Belas Tapak Dewa' juga
berlubang-lubang, menyemburkan getah
berwarna putih.
Tapi untuk kedua kalinya, Suropati
menjadi terkejut. Ternyata lubang di
pohon itu tetap berjumlah tujuh belas!
Suropati segera menyadari keanehan
ini. Dia pun tahu, kenapa gurunya juga
hanya menguasai ilmu totokan itu pada
tingkat tujuh belas.
Namun, Suropati tidak mau putus
asa. Dia beranggapan, dalam dirinya tentu

ada sesuatu yang kurang. Sehingga,
menjadikan ilmu totokan 'Delapan Belas
Tapak Dewa' tidak sempurna dikuasainya.
Segera Suropati memusatkan
pikirannya lebih tinggi lagi. Seluruh
hawa murninya dikumpulkan. Dan segenap
kekuatannya disatukan untuk mengawali
latihannya kembali. Perlahan-lahan dari
kepalanya menyembul asap tipis. Tubuhnya
bergetar, semakin lama semakin keras.
Dan....
Kini tubuh Suropati melayang menuju
ke sebuah pohon. Dengan kecepatan
melebihi suara, dua ujung jari
telunjuknya bergerak....
Ketika mencapai totokan ketujuh
belas, tiba-tiba tubuh Suropati terpental
tinggi!    
Buuummm...!
Suropati jatuh telentang. Untuk
sesaat tubuhnya tak mampu digerakkan.
Tulang-tulangnya terasa remuk. Kepalanya
pusing, membuat pandangannya mengabur.
Perlahan-lahan dari hidung dan mulutnya
meleleh darah segar....
Suropati mencoba bangkit, tapi
segera jatuh lagi. Dadanya sesak bagai
dipukul selaksa palu godam!

***

Pagi itu juga, Suropati bertekad

menyusul gurunya yang tengah mencari
Brajadenta alias si Dewa Maut
Setelah menunjuk Wirogundi sebagai
pemimpin sementara bagi para pengemis,
Suropati segera melangkah meninggalkan
Kota Kadipaten Bumiraksa. Sama sekali tak
dipedulikannya luka dalam yang sedang
dideritanya.
Matahari sudah tepat di atas
kepala, ketika Suropati sampai di pinggir
lembah kecil yang masih termasuk wilayah
Kadipaten Bumiraksa.
Baru saja Suropati mengedarkan
pandangan ke sekeliling, tiba-tiba
keningnya berkerut. Telinganya yang tajam
mendengar suara-suara pertarungan. Saat
itu juga, dia kembali berkelebat cepat ke
arah sumber suara pertarungan.
Tepat di tengah lembah, Suropati
melihat dua orang tengah bertarung. Cepat
dia menyelinap, bersembunyi di balik
sebuah pohon besar sambil mengamati
jalannya pertarungan. 
Buuummm...!
Sebuah pohon sebesar tubuh manusia
tumbang terkena sasaran pukulan jarak
jauh.
"He, Banjaranpati. Masihkah kau
tidak mau menyerah...?!" kata salah
seorang lantang kepada lawannya seorang
kakek berpakaian serba putih.
"Aku tidak tahu siapa dirimu.

Kenapa aku mesti menyerah kepadamu...?!"
kata kakek berpakaian serba putih yang
tak lain Banjaranpati alias Bayangan
Putih Dari Selatan.
"Sudah kukatakan, aku Pramubagas
utusan kerajaan! Aku memegang kuasa
Baginda Prabu untuk menangkapmu!" tegas
lelaki tua yang mengaku sebagai utusan
kerajaan dan bernama Pramubagas.
"Menangkapku? Apa salahku? Dan,
kenapa aku harus ditangkap?" tukas
Banjaranpati.
"Jangan berlagak bodoh,
Banjaranpati! Kau telah bersekongkol
dengan Brajadenta untuk mencuri Kitab
Batu Kumala Hitam!" sentak utusan
kerajaan itu.
Bayangan Putih Dari Selatan
mendengus.
"Itu fitnah, Saudara! Walaupun
Brajadenta adalah keponakan muridku, tapi
aku sama sekali tak tahu menahu atas
perbuatannya yang telah berani mencuri
Kitab Batu Kumala Hitam."
Pramubagas menggelengkan kepala,
tak mempercayai ucapan Bayangan Putih
Dari Selatan.
"Kau jangan banyak bacot,
Banjaranpati! Aku sama sekali tak
mempercayai ucapanmu!"
Usai mengucapkan kalimatnya, utusan
kerajaan itu segera melancarkan serangan

kembali.
"Kau termakan fitnah, Saudara!"
kata Bayangan Putih  Dari Selatan sambil
melompat ke kiri, mengelak dari pukulan
Pramubagas.
Utusan kerajaan itu sama sekali tak
mempedulikan ucapan Banjaranpati. Segera
serangannya disambung dengan tendangan
berputar.
Wuuuttt...!
Tendangan kaki Pramubagas tak
mengenai sasaran karena Banjaranpati
sudah merundukkan tubuhnya. Namun,
sebelum kakinya mendarat di tanah, tangan
kanannya telah terayun. Pada saat  yang
sama, Banjaranpati sengaja menadahi
pukulan Pramubagas.
Buuukkk...!
Utusan kerajaan itu pun terkejut
Tubuh Bayangan Putih Dari Selatan
ternyata sama sekali tak bergeming
menerima pukulannya.
"Heaaah...!"
Dengan cepat, Pramubagas melenting
ke belakang  seraya menyalurkan seluruh
tenaga dalamnya ke kedua telapak tangan.
Begitu mendarat di tanah, dengan serta-
merta kedua tangannya dihentakkan ke
depan!
Breeesss...! 
Buuummm...!
Pukulan jarak jauh itu tak mengenai

sasaran karena, Bayangan Putih Dari
Selatan melenting ke atas. Namun,
sebatang pohon besar di belakang Bayangan
Putih Dari Selatan kontan tumbang.
Tiba-tiba Bayangan Putih Dari
Selatan yang berada di atas, melepas
jurus 'Udang Menghantam Batu'. Mendadak
tubuhnya meluruk dengan kecepatan tinggi
dengan kaki terjulur ke depan.
Duuukkk...!
"Ahhh...!"
Pramubagas melenguh tertahan ketika
pundaknya terserempet ujung kaki
Banjaranpati. Utusan kerajaan itu
mendengus penuh kemarahan dengan tubuh
terjajar beberapa langkah ke samping.
Setelah bisa menguasai keseimbangannya,
dilepaskannya sebuah cemeti dari
pinggang. Sambil meluruk, Pramubagas
melecutkan senjatanya ke arah Bayangan
Putih Dari Selatan.
Cletaaarrr...!
Kakek berpakaian serba putih itu
hanya tersenyum melihat serangan itu
seraya menjatuhkan diri ke tanah,
sehingga sambaran cemeti luput.
Pertempuran itu berlangsung sangat
seru. Dua pendekar golongan tua itu sama-
sama mengerahkan seluruh ilmu kepandaian.
Suropati yang menyaksikan dari
balik pohon besar berdaun rimbun bersorak
seperti sedang menyaksikan  sebuah

permainan menarik. Matanya enggan untuk
berkedip. Dia yang sudah mengenal kakek
berpakaian serba putih itu menjadi sangat
kagum. Gerakan ilmu silat Bayangan Putih
Dari Selatan memang tak mencerminkan
keganasan. Hal itu sangat disukai
Suropati yang konyol, tapi berhati
lembut.
Kini tampak tubuh Bayangan Putih
Dari Selatan melenting, bangkit. Begitu
menjejak tanah, langsung dilancarkan ilmu
'Pukulan Tanpa Bayangan'. Seketika kedua
tangannya dihentakkan.
Wuuusss...!
Pramubagas terperangah merasakan
sambaran angin pukulan Banjaranpati yang
berhawa dingin. Karena untuk mengelak
sudah tak ada waktu, maka utusan kerajaan
itu cepat memapak dengan menyilangkan
tangan.
Duuukkk...! 
"Aaakh...!"
Pramubagas mengerang kesakitan
ketika pukulan jarak jauh Banjaranpati
menghantam tangannya. Tulang sikunya
kontan patah. Tubuhnya terpelanting
sejauh beberapa tombak.
"Maafkan aku, Saudara...," ucap
Bayangan Putih Dari Selatan, seperti
menyimpan penyesalan.
"Bangsat kau, Banjaranpati! Tunggu
pembalasanku...!" maki utusan kerajaan

itu, seraya bangkit
Pramubagas menyadari tak akan
mendapat kemenangan. Maka dia segera
berbalik, dan berlalu dari tempat ini.
Sementara Bayangan Putih Dari
Selatan hanya memandang kepergian kakek
utusan kerajaan itu dengan tatapan mata
penuh arti.  Ketika Pramubagas tak
terlihat lagi, dia pun menghemposkan
tubuhnya, meninggalkan tempat pertem-
puran.
Suropati yang merasa penasaran
segera mengerahkan ilmu meringankan
tubuhnya untuk mengejar. Tapi, ternyata
dia sama sekali tak mampu menandingi
kecepatan lari Banjaranpati.
Hingga sepeminum teh kemudian,
Suropati kehilangan jejak. Sambil
menggerutu panjang-pendek, larinya segera
dihentikan. Kini remaja itu jalan santai.
Namun.....

Seorang bocah berlari penasaran
menendang kerikil
Kerikil melayang menghunjam pohon
Pohon bergetar merontokkan daun
Daun luruh di samping kerikil
Kerikil dan daun diam tenang
berdampingan
Seorang kakek rindu kehadiran si
bocah
Seperti mendapat durian runtuh

Tak dinyana si bocah datang
Dengan kesadarannya
Pucuk dicinta ulam tiba

Sebuah syair mengalun, membuat
Suropati mengerlingkan matanya. Dia
berusaha mencari asal suara. Begitu
kepalanya mengarah ke kanan, tampak
Bayangan Putih Dari Selatan tengah duduk
bersantai di atas sebongkah batu besar.
"Kenapa kau mengikutiku, Suropati?"
tanya Banjaranpati, langsung.
Suropati tak segera memberi
jawaban. Dipandangnya kakek berbaju putih
itu tanpa berkedip.
"Kini, kau datang padaku, Bocah.
Kenapa dulu menolak menjadi muridku?"
tegur Banjaranpati.
"Aku tidak mau sembarangan memilih
guru, Kek," tukas Suropati. "Guruku
haruslah orang yang pilih tanding...."
Bayangan Putih Dari Selatan
tersenyum. Wajahnya yang kemerahan
menampakkan kelembutannya.
"Betul katamu, Bocah. Melihat
bakatmu yang luar biasa, kau memang  tak
pantas berguru pada pesilat penjual
obat."
"Tapi jangan salah sangka, Kek. Aku
bukan hendak berguru kepadamu."
Kening Banjaranpati berkerut.
"Lalu apa maksudmu dengan bersusah-

payah mengikutiku?" tanya Banjaranpati.
"Aku hendak mencari murid
keponakanmu yang bernama Brajadenta...,"
sahut Suropati.
Banjaranpati tertawa mendengar
ucapan Suropati.
"Ada urusan apa kau hendak
mencarinya, Bocah?" tanya Bayangan Putih
Dari Selatan,
"Aku hendak menghukumnya!" sahut
Suropati, mantap.
Kembali Banjaranpati tertawa,
mendengar ucapan Suropati yang polos.
"Ketahuilah, Bocah. Brajadenta
sekarang telah menjadi seorang raja kecil
yang menguasai Wilayah Utara. Istananya
berada di lereng Bukit Parahyangan.
Sebagian besar tokoh rimba persilatan
yang beraliran hitam, telah bertekuk
lutut kepadanya. Mereka telah menjadi
kaki-tangan si Dewa Maut itu. Oleh
karenanya, kau jangan coba-coba mencari
perkara...!" jelas Bayangan Putih Dari
Selatan.
Aku tidak takut!" kata Suropati
tegas.
Tiba-tiba bayangan putih dari
selatan menatap tajam kepada Suropati.
"Rupanya kau sedang menderita luka
dalam," gumam Banjaranpati.
Suropati hanya tersenyum,
menampakkan kekonyolannya.

"Dari mana kau tahu kalau aku
sedang menderita luka dalam, Kek?" tanya
Suropati, heran.
"Wajahmu tampak pucat. Dan aku
dapat merasakan aliran darahmu yang  tak
teratur."
Mendadak Suropati merasakan
tubuhnya jadi limbung. Matanya berkunang-
kunang, lalu jatuh terduduk.
"Bocak geblek yang sok pintar!
Mengurus diri sendiri saja tak becus, mau
berulah macam-macam...," umpat
Banjaranpati seraya mendekati Suropati
yang nyaris pingsan.
Kakek itu segera menempelkan kedua
telapak tangannya ke dada Suropati.
Tenaga dalam yang bersifat lembut
mengalir, membantu remaja itu untuk
mengatasi rasa sakit yang diderita.
Saat itu juga, Suropati merasakan
sebuah hawa nikmat yang mengelus
tubuhnya. Semakin lama hawa nikmat itu
semakin terasa, membuatnya jadi terlena.
"Bocah Geblek! Rupanya kau
keenakan...," umpat Bayangan Putih Dari
Selatan.
Banjaranpati segera melepas telapak
tangannya dari dada Suropati.
"Kalau kau memang jagoan,  datang
saja ke Bukit Parahyangan!"
Usai mengucapkan kalimatnya, tubuh
Banjaranpati berkelebat cepat. Begitu

tinggi ilmu meringankan tubuhnya,
sebentar saja dia telah lenyap dari
pandangan.

10

Bukit Parahyangan terselimut kabut
Puncak bukit yang berwarna hijau kehitam-
hitaman menjulang ke atas, membentuk
kerucut terpotong. Sebuah jurang menganga
lebar, berkelok memagari kaki bukit.
Jurang itu tak terukur lagi dalamnya.
Hanya binatang-binatang bersayap yang
berani bermain-main di dekatnya.
Di lereng bukit itu sebuah istana
kecil berdiri megah. Beberapa orang
berpakaian serba hitam tampak berjaga-
jaga. Raut wajah mereka rata-rata
menampakkan kebengisan. Tangan mereka
yang kekar berotot memegang sebuah
perisai dengan golok terselip di
pinggang.
Di bagian dalam, Brajadenta tengah
bercengkerama bersama para gundiknya yang
berwajah cantik dan bertubuh sintal.
Tiada henti-hentinya, Brajadenta
mengeluarkan tawa sambil memegang-megang
tubuh para gundiknya.
"Kau sangat cantik, Mayang," puji
Brajadenta kepada salah seorang
gundiknya.
Gundik bernama Mayang itu tersenyum

menggoda.
Melihat senyuman yang memikat, mata
Brajadenta berbinar.
"Kau memang sangat cantik....
Ehm..."
Brajadenta mencium pipi Mayang.
"Ah! Kakang Brajadenta jangan
berlebihan," ujar Mayang, pura-pura  jual
mahal.
"Aku tidak berlebihan, Mayang. Kau
memang sangat cantik." 
Pipi Mayang merona merah mendengar
pujian Brajadenta. Dengan serta-merta
dipeluknya tubuh Brajadenta.
Si Dewa Maut segera balas memeluk
Bibir Mayang dipagutnya dengan ganas.
Melihat hal  ini, para gundik
Brajadenta yang lain menjadi iri. Bibir
mereka cemberut. Mereka cepat melengos ke
arah lain.
"Eh, kalian jangan marah...," ujar
Brajadenta, "Kalian pun akan mendapat
giliran. Ayolah segera mendekat kemari,
Sayang."   
Seketika para gundik  Brajadenta
berhamburan memeluk tubuh tuannya. Dan si
Dewa Maut pun menjadi kewalahan.
"Ehmmm..."
Brajadenta tak sempat berkata-kata
lagi. Bibirnya lumat terkena ciuman para
gundiknya.
Baru saja Brajadenta menikmati

pelayanan para gundiknya, di luar telah
terjadi kegaduhan. Tak lama, seorang
pengawal sudah mengganggu keasyikannya.
"Ada apa di luar, Pragota?" tanya
Brajadenta kepada pengawalnya yang baru
datang tergopoh-gopoh
"Prajurit kerajaan menyerbu...,"
lapor pengawal yang dipanggil Pragota.
"Bangsat! Dedemit Busuk!" umpat
Brajadenta sejadi-jadinya. "Segera
enyahkan mereka, Pragota! Jangan biarkan
seorang pun dari mereka hidup!"
Melihat amarah Brajadenta yang
meluap, Pragota segera mengundurkan diri.
Tubuhnya berkelebat, membantu bawahannya
yang tengah bertempur.
"Kau tak perlu risau, Kakang...,"
hibur Mayang. "Semua pengawal Kakang
adalah orang yang sakti. Apalagi, si
Pragota itu. Tentu mereka akan sanggup
mengatasi para prajurit kerajaan...."
Brajadenta hanya tersenyum. Dingin.
"Eighff...!"
Brajadenta langsung memagut bibir
Mayang.
Para gundik si Dewa Maut yang lain
segera menyerbu. Tak lama kemudian,
mereka sudah bergulat dengan nafsu
birahi.
Brajadenta tertawa-tawa menghadapi
keroyokan itu. Usianya yang sudah
mendekati setengah abad, masih bisa

menunjukkan keperkasaannya. Seperti tak
punya lelah, si Dewa Maut meladeni hasrat
hatinya yang menggelora bak lautan api
yang tak terpadamkan.
Di luar, para pengawal Brajadenta
berjuang mati-matian menghadapi amukan
prajurit kerajaan yang bertempur bahu-
membahu.
Bangkai-bangkai manusia tergeletak
di tanah tak berharga. Diiringi sambaran
pedang dan ayunan golok, darah menyembur
bagai pancaran mata air yang tak pernah
kering. Teriakan kematian membahana
menyayat telinga.
Prajurit kerajaan yang jauh lebih
banyak terus merangsek Para pengawal
Brajadenta pun memberi perlawanan gigih.
Mereka yang rata-rata berasal dari
golongan hitam, sedikit pun tak punya
rasa gentar.
Di medan pertempuran bagian
selatan, tampak seorang kakek tengah
mengamuk bagai malaikat pencabut nyawa.
Sekali tangannya terayun, tiga-empat
pengawal Brajadenta terjungkal
menyemburkan darah segar.
Kakek yang tengah mengamuk itu tak
lain Pramubagas yang menjadi pemimpin
penyerbuan itu. Usianya yang sudah lanjut
sedikit pun tak menampakkan kewalahan
menghadapi keroyokan yang membabibuta.
Memang, setelah berhasil

menyembuhkan tangannya yang patah karena
bertarung melawan Bayangan Putih Dari
Selatan, Pramubagas segera memimpin
penyerbuan ke istana Brajadenta yang
telah dianggap sebagai pengkhianat
kerajaan. Di  tengah-tengah keasyikannya
bertarung tiba-tiba sebuah bayangan
berkelebat memapaki serangan Pramubagas.
Plakk...!
"Tua bangka tak tahu diuntung!
Sudah mendekati liang kubur, masih suka
membuat perkara!" rutuk bayangan yang
baru saja memapak serangan Pramubagas.
Ternyata dia adalah Pragota.
Kakek itu hanya mendengus, lalu
mengayunkan tangannya.
Wuuuttt..!
Namun Pragota cepat berkelit dengan
mengegos ke samping, sehingga pukulan itu
tak mengenai sasaran....
Pramubagas segera menyambung
serangan dengan melepas tendangan.
Pragota pun tak mau tinggal diam.
Tubuhnya melejit ke atas. Begitu di
udara, tubuhnya meluruk melepas hantaman
ke dada Pramubagas.
Pramubagas berkelit dengan melompat
ke samping, seraya menyalurkan seluruh
tenaga dalam ke tangan kanan. Begitu
lawannya mendarat, kedua tangannya
dihentakkan.
Wuuusss...!

Sebuah pukulan jarak jauh
Pramubagas menyambar. Namun Pragota cepat
menghemposkan tubuhnya ke atas, sehingga
serangan itu luput.
"Aaa...!"
Ternyata para pengawal Brajadenta
yang lain menjadi sasaran. Tubuh mereka
terpental beberapa tombak, untuk kemudian
meregang melepas nyawa.
"Tua bangka kudisan! Jangan
memamerkan kekuatanmu di hadapanku...!"
teriak Pragota penuh marah.
Pragota segera mengerahkan seluruh
tenaga dalamnya untuk mengimbangi
gempuran Pramubagas.
Dua tokoh sakti itu segera terlibat
dalam pertempuran sengit. Mereka saling
serang penuh nafsu membunuh. Tubuh mereka
pun berkelebat cepat, memamerkan jurus-
jurus ampuh masing-masing. Hingga pada
suatu saat...
Wuuuss...! 
"Arghhh...!"
Pramubagas berteriak ngeri melihat
sebagian bajunya yang hangus terbakar
terserempet pukulan jarak jauh Pragota.
"Punya kepandaian juga rupanya kau,
Cecunguk!" maki Pramubagas, geram.
Pragota tertawa keras. 
"Tahu begitu, kenapa tak segera
ajak anak buahmu untuk menyingkir...?!"
kata Pragota, sinis.

"Bangsat! Jangan berlagak di
hadapanku!"
Pramubagas pun menghemposkan
tubuhnya, menerjang Pragota kembali
sambil menghentakkan kedua tangannya.
Wuuuss...! Wuuusss...!
Dua sambaran pukulan jarak jauh tak
mengenai sasaran, karena Pragota telah
cepat melenting ke belakang sambil
memutar tubuhnya. 
Pramubagas menggerendeng marah.
Segera ajian pamungkasnya dikeluarkan.
Tiba-tiba tubuhnya bergetar hebat.
Semakin lama tubuh Pramubagas menjadi
bergoyang ke kiri dan ke kanan. Bersamaan
dengan itu, bermunculan sosok-sosok yang
berwajah dan berpenampilan mirip
Pramubagas. Hingga jumlahnya tak kurang
dart sepuluh orang. Itulah ilmu 'Sukma
Kembar' yang dimiliki Pramubagas.
Pragota yang baru saja mendaratkan
kakinya terperangah menyaksikan kehebatan
ilmu Pramubagas. Namun, belum sempat
berbuat sesuatu, dia telah diserbu
sepuluh Pramubagas!
Pengawal Brajadenta itu menjadi
sangat kerepotan menghadapi gempuran yang
saling susul-menyusul tiada henti. Untuk
mengambil napas pun tak sempat
Sehingga pada satu kesempatan,
salah satu Pramubagas melepas serangan.
Cepat Pragota melenting ke atas. Namun

justru kesempatan itu yang ditunggu
Pramubagas. Begitu tubuh Pragota
melayang, dengan cepat Pramubagas yang
lain meluruk sambil melepaskan hantaman
ke dada. Dan....
Dheeesss...!
Pragota kontan terpental dengan
melesak terkena pukulan dahsyat Dia
menjerit menyayat, dan langsung terjatuh
di tanah tak bangun-bangun lagi. Mati
dengan mata mendelik. Mulutnya ternganga
lebar.
Pramubagas tertawa terbahak-bahak,
menyaksikan tubuh Pragota yang sudah
tiada bergerak lagi. Kemudian tubuhnya
meluruk, menerjang pengawal Brajadenta
yang lain.
Tubuh kakek itu bergerak cepat,
menyebar kematian. Siapa pun yang berada
di dekatnya, seperti memasrahkan nyawa
saja. Tubuh mereka terjungkal dalam
keadaan mengenaskan.

***

Siang hari ini, Bukit Parahyangan
benar-benar banjir darah. Para pengawal
Brajadenta sama sekali tak berdaya
menghadapi keganasan Pramubagas. Kakek
yang sedang kalap itu seperti sedang haus
darah.
Mayat-mayat  yang bergelimangan di

atas tanah, seperti menambah semangatnya
untuk terus menyebar kematian.
"Hentikan perbuatanmu, Pramubagas!"
Mendadak terdengar sebuah suara
yang disusul dengan berkelebatnya satu
sosok bayangan ke medan pertempuran.
Pramubagas mengerlingkan matanya,
dan langsung meloncat mendekati sosok
bayangan yang tak lain Brajadenta.
"Akhirnya batang hidungmu tampak
juga, Brajadenta...," kata utusan
kerajaan itu.
"Aku tak punya banyak waktu, Tua
Bangka! Bila kau menginginkan sesuatu,
segera katakan!"
"Aku menginginkan nyawamu!" sahut
Pramubagas.
Brajadenta tertawa keras mendengar
ucapan Pramubagas.
"Kalau kau mampu, segera wujudkan
keinginanmu itu!"
Tanpa membuang-buang waktu lagi,
Pramubagas segera melancarkan serangan
dengan menghentakkan kedua tangannya.
Wuuussss...!
Sebuah pukulan jarak jauh yang
disertai dengan angin kencang meluruk
deras.
"Itu hanya mainan anak kecil, Tua
Bangka!" kata Brajadenta sambil mengegos
ke kanan, menghindari serangan.
Wuuusss...!

Sebagai jawaban, Pramubagas kembali
menghentakkan kedua tangannya.
Pukulan jarak jauhnya langsung
meluncur deras. 
Wuuuttt....
Brajadenta mengibaskan ujung lengan
bajunya. Sehingga, pukulan jarak jauh itu
pun melenceng.
Melihat kehebatan Brajadenta,
Pramubagas segera mengeluarkan ajian
pamungkasnya ilmu 'Sukma Kembar'.
Sebentar kemudian, tubuh kakek itu
menjadi berlipat sepuluh.
"Ilmu 'Sukma Kembar'," ucap
Brajadenta, "Kau kira dengan ilmumu itu
kau akan sanggup menghadapiku, Tua
Bangka...?!"
Tanpa pikir panjang lagi,
Brajadenta segera mengeluarkan ilmu 'Batu
Kumala Hitam' yang telah dikuasainya
dengan baik. Tiba-tiba kulit tubuhnya
menjadi sangat hitam bagai arang.
Diiringi suara menggelegar, tubuhnya
berkelebat menggempur Pramubagas yang
telah menjadi sepuluh orang.
Blaaammm...!
Satu tubuh Pramubagas hancur
berkeping-keping terkena pukulan
Brajadenta. Tapi, suatu keanehan segera
terjadi. Dari kepingan-kepingan itu,
mendadak bermunculan Pramubagas-
Pramubagas yang lain. Bahkan segera

menerjang si Dewa Maut!
Blaaammm...!
Satu tubuh Pramubagas hancur lagi
terkena pukulan Brajadenta. Dan keanehan
itu segera terulang kembali. Pramubagas-
Pramubagas bermunculan semakin banyak.
Si Dewa Maut terperangah
menyaksikan kehebatan lawan. Maka segera
tubuhnya dihempos, menjauhi ajang
pertempuran.
Begitu mendarat, tiba-tiba tubuh
Brajadenta menjadi diam tak bergeming.
Perlahan-lahan dari sekujur tubuhnya
mengepul asap hitam. Dan, suasana di
sekitarnya diliputi hawa di alam sihir.
Kini kedua tangan si Dewa Maut
terpentang ke atas. Dan....
Wooosss...! 
Mendadak tubuh Pramubagas yang
telah menjadi banyak tersedot!
Blaaammm...!
Suara ledakan menggema. Pramubagas-
Pramubagas palsu kontan hancur berkeping-
keping tanpa ampun.
Brajadenta tertawa lebar. Matanya
bersinar tajam, menatap Pramubagas asli
yang kini berdiri limbung.
Tanpa mau membuang waktu lagi, si
Dewa Maut segera mengerahkan seluruh
kekuatannya, membuat tubuh Pramubagas
tersedot!
Utusan kerajaan itu berusaha sekuat

tenaga melawan kekuatan yang sedang
menyeret. Tapi Pramubagas yang memang
sudah menderita luka dalam, tak mampu
memberi perlawanan berarti. Hingga
kemudian....
Blaaammm...!
Ledakan dahsyat segera terdengar
lagi. Tubuh Pramubagas pun hancur
berkeping-keping, menjadi serpihan daging
yang mengeluarkan bau amis!
Tubuh Brajadenta yang berwarna
hitam pekat kemudian melayang, menggempur
prajurit-prajurit kerajaan.
Sebentar kemudian, orang-orang yang
mengemban titah Baginda Prabu menjadi
kocar-kacir. Tapi, Brajadenta yang sudah
dirasuki setan, sama sekali tak memberi
ampun. Tubuh para prajurit itu tak satu
pun yang masih menyimpan nyawa!
Tawa si Dewa Maut langsung menggema
di seluruh Bukit Parahyangan, mendirikan
bulu roma....


11

Dengan langkah pasti Anjarweni dan
Ingkanputri menaiki Bukit Parahyangan.
Tekad mereka sudah bulat untuk menghabisi
riwayat Brajadenta. Dendam di dada kedua
gadis itu seperti sanggup menghancurkan
gunung.

Anjarweni berlari cepat sambil
menggigit bibirnya sendiri. Bayang-bayang
kelabu masa lalu tiba-tiba terpampang
kembali di matanya. Kekejaman dan
kebiadaban si Dewa Maut benar-benar
membuat darahnya menggelegak.
Demikian pula Ingkanputri. Mata
gadis belia berumur tujuh belas tahun itu
berkaca-kaca. Kematian kedua orangtuanya
yang paling dicintai membuatnya tak kuasa
meneteskan air mata.
Ketika sampai di tepi jurang yang
memagari  bukit, langkah kedua gadis itu
berhenti. Mereka ragu sejenak. Jika
mengikuti jalan setapak, terpaksa harus
berjalan melingkar yang memakan banyak
waktu. Jalan pintas yang tercepat
hanyalah dengan melewati jurang yang
menganga lebar di depan
Tapi, karena kebulatan tekad dan
dorongan amarah yang meluap, tanpa
berpikir panjang lagi kedua gadis itu
segera menghentakkan kaki. 
"Hiaaattt..!"
Kedua gadis itu melayang ke atas
sambil berputaran di udara ke arah
seberang jurang. Lalu.... 
Teppp...!
Begitu berhasil mendarat di
seberang jurang kedua gadis itu
mengerutkan kening, mencium bau anyir
darah yang menusuk hidung.

***

Di depan istana Brajadenta,
Anjarweni dan Ingkanputri berdiri. Tampak
darah masih membasahi tanah. Burung-
burung membisu menyaksikan jagal manusia
yang berpesta kematian. Sunyi-senyap
menangkupi palagan berdarah itu. Alam
seperti menyesali apa yang telah terjadi.
"Panggil Brajadenta keluar...!"
bentak Anjarweni kepada seorang lelaki
berewokan yang sedang membersihkan sisa-
sisa pertempuran.
Lelaki itu memandang curiga.
Hatinya diliputi rasa gusar dan
keterkejutan, karena tak mendengar
langkah kaki dua orang gadis yang tiba-
tiba sudah berdiri di hadapannya.
"Kau tidak mendengar perkataanku?!
Panggil Brajadenta keluar...!" bentak
Anjarweni lagi.
Melihat kedua tamu yang tak
diundang itu menunjukkan sikap tak
bersahabat, lelaki brewokan ini segera
mencabut golok dan langsung
mengayunkannya.
Wuuuttt...!
Anjarweni menghindar seraya
mengayunkan kepalan tangannya. 
Duk...! 
"Ughhh...!"
Lelaki berewokan itu  kontan

terjungkal ke tanah. Mulutnya meringis
kesakitan sambil mendekap dadanya yang
terhantam.
Belum sempat lelaki itu berbuat
sesuatu, Anjarweni telah menendang
punggungnya.
Duk!   
"Ahhh...!"
Lelaki itu kontan Jatuh tengkurap,
tak sadarkan diri.
Dan mendadak kedua gadis itu
berpaling, ketika puluhan orang berlari
serabutan. Dan mereka langsung mengeroyok
Anjarweni dan Ingkanputri.
Tapi, dua gadis cantik murid Dewi
Tangan Api itu bukanlah lawan yang
seimbang bagi mereka. Dengan mengandalkan
ilmu meringankan tubuh, Anjarweni dan
Ingkanputri bergerak cepat sambil
melancarkan totokan. Akibatnya, sebentar
saja puluhan pengawal Brajadenta pun
terperangah dengan mata mendelik, karena
tak bisa menggerakkan tubuhnya yang tiba-
tiba jadi kaku.
Belasan orang yang masih tersisa
segera meloncat, menjauh dengan nyali
ciut. Mereka tidak menyangka bila dua
orang gadis yang tampak lemah itu dapat
bertindak sedemikian hebat
Tiba-tiba dari pintu gerbang istana
muncul lima orang wanita cantik
berpakaian sangat tipis. Sehingga, tak

mampu menyembunyikan lekuk-lekuk tubuh
mereka yang sangat menggiurkan.
"Siapa kalian...?!" tanya salah
seorang wanita itu dengan suara lantang.
"Kau tak perlu tahu siapa kami!
Segera panggil Brajadenta!" ujar
Ingkanputri, tak kalah lantang.
Mendengar  ucapan kasar itu, kelima
wanita cantik yang baru muncul segera
menerjang dengan pedang terhunus. Pada
saat yang sama, belasan pengawal
Brajadenta yang telah bernyali kecut ikut
menerjang dengan sabetan golok!
Anjarweni dan Ingkanputri
menggeram. Mereka berdua segera
berloncatan, menghindari sambaran senjata
tajam yang datang saling susul.
Tanpa mau membuang tenaga, dua
gadis murid Dewi Tangan Api itu
mengeluarkan ilmu 'Pukulan Api Neraka'.
Kini kedua pergelangan tangan mereka pun
jadi merah membara, mengeluarkan hawa
panas!
Salah satu gundik Brajadenta yang
bernama Mayang segera melompat, menjauhi
pertempuran. Tapi, teman-temannya
terlambat menyadari keadaan. Akibatnya...
Wooosss...!
Para pengawal dan gundik Brajadenta
menjerit kesakitan seraya berlari
pontang-panting. Ternyata hawa panas yang
dikeluarkan Anjarweni dan Ingkanputri

membakar pakaian mereka!
Melihat itu, Mayang bergidik ngeri.
Tubuhnya menggigil ketakutan. Tanpa
terasa, pedang yang dipegangnya melorot
dan jatuh ke tanah.
Anjarweni menatap tajam, kemudian
berjalan mendekati.
"Ampuuunnn...."
Mayang menjatuhkan tubuhnya ke
tanah, berlutut di hadapan Anjarweni.
"Tunjukkan di mana Brajadenta
berada!" ujar Anjarweni, kasar.
Mayang segera bangkit, dan berjalan
memasuki istana. Sementara Anjarweni dan
Ingkanputri mengikuti.
Istana Brajadenta benar-benar
dipenuhi kemewahan. Lantainya licin
mengkilat terbuat dari batu manner
bermutu tinggi. Tiang-tiang saka guru
yang kokoh kuat penuh ukiran, menjadi
hiasan yang sedap dipandang mata. Dinding
dihiasi puluhan  lukisan karya seniman
kawakan.
Memasuki ruang utama, Anjarweni dan
Ingkanputri disambut permadani berbulu
lembut terhampar. Tampak Brajadenta duduk
santai di singgasananya yang bertahtakan
emas. Bajunya yang berwarna ungu semakin
menyorotkan sinar gemerlap.
"Segera mendekat, Gadis-gadis
Manis," sambut si Dewa Maut melihat
kedatangan Anjarweni dan Ingkanputri.

"Dari tadi aku gelisah menunggu
kedatangan kalian...."
"Jahanam! Tak perlu kau bermanis
mulut!" umpat Anjarweni.   
Brajadenta tertawa.
"Kalau kau marah, kecantikanmu
semakin mempesona...."
"Jahanam! Tak tahu malu!" umpat
Anjarweni lagi.
"Jangan terus marah begitu, Manis.
Aku tahu maksud kedatanganmu kemari.
Bukankah kau hendak mengulang kenangan
manis di Lembah Sungai Balirang...?"
Anjarweni menggigit  bibirnya
sendiri, menahan geram mendengar ucapan
Brajadenta. Tiba-tiba semua peristiwa
pahit yang telah menimpanya muncul dalam
ingatan.
"Dan kau siapa, Gadis Kecil?" tanya
Brajadenta kepada Ingkanputri.
"Aku anak Reksapati yang telah kau
bunuh dengan biadab!" sahut Ingkanputri,
ketus.
"Jadi, kau anak Ketua Perguruan
Harimau Terbang itu?!" kata si Dewa Maut
seraya tertawa kembali. "Sekarang aku
tahu maksud kedatanganmu, Gadis Kecil.
Bukankah kau hendak mengantarkan nyawa
untuk menyusul arwah orang tuamu  yang
mati sia-sia itu...?"
"Iblis keji! justru aku yang akan
meminta nyawamu sebagai penebus hutangmu

padaku!"
"Pandai berlagak juga rupanya kau,
Gadis Kecil" ejek Brajadenta.
Tiba-tiba si Dewa Maut itu
memandang tajam kepada Mayang yang dari
tadi hanya diam membisu.
"Mayang! Coba beri pelajaran kepada
gadis kecil itu...!"
Gundik Brajadenta yang memendam
rasa takut tiba-tiba menjatuhkan diri,
dan mencium kaki tuannya.
"Ampunkan aku, Kakang.... Aku tak
sanggup...," ratap Mayang.
Mendengar ucapan gundiknya, mata
Brajadenta mendelik.
"Kau takut..?" tanya si Dewa Maut
Mayang mendongakkan kepala seraya
mengangguk perlahan.
"Bangsat..!" bentak Brajadenta
marah seraya menggerakkan kakinya cepat
Buuukkk...!
Tubuh Mayang kontan terbang
membentur dinding setebal dua jengkal.
Dan tak ayal lagi, tanpa sempat
mengeluarkan suara erangan, nyawanya
segera loncat dari tubuhnya.
"Kau memang manusia biadab,
Brajadenta!" teriak Anjarweni, keras.
Tanpa sungkan-sungkan lagi,
Anjarweni pun menerjang si Dewa Maut yang
masih duduk santai di singgasananya
sambil menghentakkan kedua tangannya. 

Wuuussss...!
Namun tubuh Brajadenta telah lebih
cepat melesat ke atas.
"Rupanya kau ingin bermain-main
denganku, Gadis Manis...," kata si Dewa
Maut sambil meluruk. Kakinya berputar,
menyodok perut Anjarweni.
Namun gadis itu cepat menangkis.
Plak!
Sehabis terjadi benturan, tangan
kiri Anjarweni terayun, menghantam dada
Brajadenta. 
Kini ganti si Dewa Maut yang
menangkis serangan murid Dewi Tangan Api
itu.
Plak!
Melihat kakak seperguruannya tengah
menggempur Brajadenta yang kesohor kejam
dan bengis, Ingkanputri segera
menghemposkan tubuhnya.
Si Dewa Maut terperangah sejenak
melihat kehebatan murid Dewi Tangan Api
yang masih berumur belasan tahun. Maka,
dia pun segera meloncat ke udara.
Tubuhnya berputar-putar laksana sebuah
gangsingan. Dan seketika tangan kanannya
menyambar kain merah di pundaknya.
Lalu....
Weeerrr...!
Selembar kain merah itu berputaran
di udara dan mengembang. Lalu tercium
aroma harum, ketika serangkum angin

menyebar ke sekitarnya.
"Awas racun, Putri...!" teriak
Anjarweni memberi peringatan.
Kedua gadis itu segera menahan
napas, dan menelan pil penawar racun yang
selalu berada di dalam kantong mereka.
Tiba-tiba tubuh Brajadenta yang
masih berputar-putar di udara menghunjam
ke arah Anjarweni tanpa bisa dihindari.
Wuuusss...!
"Ahhh...!"
Anjarweni terkejut setengah mati
melihat sebagian bajunya yang robek dua
jengkal tersambar angin pukulan si Dewa
Maut.
Brajadenta tertawa lebar.
"Kulit tubuhmu semakin
menggairahkan saja, Gadis Manis. Sebentar
lagi aku akan menelanjangimu...!" kata
Brajadenta, menggiriskan.
Bahu Anjarweni turun-naik menahan
luapan hawa amarah. Lalu segera
diterjangnya Brajadenta dengan kalap
sambil menghentakkan tangannya disertai
tenaga dalam penuh.
Wuuusss...!
Pukulan jarak jauh Anjarweni
meluncur deras.
Dengan mengerahkan seluruh tenaga
dalam, Brajadenta menyampok. Sehingga,
pukulan Anjarweni berbelok arah.
Blaaammm...!

Dinding istana Brajadenta kontan
berlubang besar, terkena pukulan nyasar.
Melihat kemampuan lawan yang
sedemikian hebat, kedua murid Dewi Tangan
Api segera menyatukan seluruh tenaga
dalam. Kedua belah tangan mereka pun
merah membara. Hawa panas menerpa. Saat
itu juga, Anjarweni dan Ingkanputri
mengayunkan tangannya ke depan secara
bersamaan!
Mata si Dewa Maut mendelik. Seluruh
kekuatan tenaga dalamnya pun dipusatkan
kembali. Dan tiba-tiba, kedua tangannya
menghentak ke depan.
Blaaarrr...!
Dua kekuatan bertemu di udara,
menimbulkan suara menggelegar laksana
petir menyambar.
Tubuh Anjarweni dan Ingkanputri
terpental, membentur dinding hingga
jebol! Lalu dari mulut mereka menyembur
darah segar....
Sedangkan tubuh Brajadenta hanya
melayang satu tombak dari permukaan
lantai. Dan dengan bersalto di udara, si
Dewa Maut berhasil mendarat mulus.
Tawa panjang segera membahana. Gema
suaranya memantul tak henti-hentinya.
Brajadenta benar-benar menikmati
kemenangan itu.
Kini lelaki melengas  itu
menghampiri kedua murid Dewi Tangan Api

yang masih meringkuk di lantai menderita
luka dalam.
"Kau bunuh saja aku...!" teriak
Anjarweni dengan mata mendelik.
Si Dewa Maut tersenyum. "Kalau
untuk membunuhmu, semudah membalikkan
tangan, Manis.... Namun, aku ingin
bermesraan dulu denganmu...," kata
Brajadenta tersenyum dingin.
"Jahanam...!" umpat Ingkanputri
seraya memungut sebongkah batu  pecahan
dinding, dan melemparkannya ke tubuh
Brajadenta. 
Brajadenta malah menadahi luncuran
batu itu dengan dadanya. 
Dukkk...!
Kemudian lelaki itu tertawa
bergelak. Ingkanputri menyeret tubuhnya,
beringsut mendekati kakak seperguruannya.
"Segera kau bunuh kami, Iblis...!"
bentak Ingkanputri sambil mendekap tubuh
Anjarweni dari samping. 
"Baiklah, kalau memang itu
permintaanmu...." Si Dewa Maut
menyalurkan tenaga dalam ke kedua belah
tangannya. Dan, segera dia mengambil
ancang-ancang....
Anjarweni dan Ingkanputri saling
berpelukan. Dengan mata terpejam, mereka
memanjatkan doa untuk sambut kedatangan
malaikat pencabut nyawa. Tiba-tiba.... 
"Brajadenta! Segera keluar dari

persembunyianmu...!"
Si Dewa Maut mendengus gusar begitu
mendengar suara teriakan di luar
istananya.
Setelah menatap dua murid Dewi
Tangan Api yang sudah tak berdaya, dia
segera meloncat

***

Di luar, seorang kakek kurus
berpakaian penuh tambalan berdiri tegak
menanti kedatangan si Dewa Maut. Dia tak
lain dari si Periang Bertangan Lembut
yang sedang menjalankan titah Baginda
Prabu.
"Rupanya kau pun senang ikut-
ikutan, Pragolawulung!" sambut
Brajadenta, menyebut nama kecil si
Periang Bertangan Lembut.
Kakek kurus berpakaian penuh
tambalan itu menatap sejenak kepada
Brajadenta.
"Ck... ck... ck.... Kau semakin
hebat, Brajadenta. Istanamu bagus. Dan,
kau pun tampak hidup bergelimang
kemewahan...," decak si Periang Bertangan
Lembut.
Si Dewa Maut tertawa tergelak.
"Berbeda dengan kau, Pragolawulung.
Menilik pakaianmu yang penuh tambalan,
apakah Baginda Prabu sudah tak mampu lagi

untuk menggajimu, sehingga kau terpaksa
menjadi seorang pengemis...?!" leceh
Brajadenta.
Si Periang Bertangan Lembut
tersenyum mendengar ejekan itu.
"Tak perlu banyak cakap,
Brajadenta. Baginda Prabu menitahkanmu
untuk menghadap, guna mempertanggung-
jawabkan semua perbuatanmu yang
biadab...," kata Pragolawulung.
"Di sini aku telah menjadi raja,
Pragolawulung! Baginda Prabu pun tak
berhak untuk memerintahkanku...," sahut
si Dewa Maut, enteng.
"Terpaksa aku akan menyeretmu...."
Si Periang Bertangan Lembut segera
mengambil ancang-ancang untuk menyerang.
Lalu tubuhnya meluncur dengan kecepatan
tinggi, menerjang Brajadenta.
Si Dewa Maut pun tak mau tinggal
diam. Tubuhnya melayang, memapak serangan
Periang Bertangan Lembut.
Blaaarrr....!
Terdengar ledakan dahsyat ketika
dua kekuatan bertemu di udara.
Dua orang tokoh sakti sama-sama
terhempas. Dengan bersalto beberapa kali
di udara, mereka berhasil mendaratkan
kaki di tanah dalam waktu bersamaan.
Sebentar kemudian si Periang
Bertangan Lembut dan si Dewa Maut saling
terjang. Maka, pertempuran hebat segera

terjadi. 
Bukit Parahyangan hari itu benar-
benar menjadi sebuah tempat yang harus
darah. Burung-burung tak lagi berkicau
riang. Mereka pergi menjauh, tak sudi
melihat kebrutalan manusia....


12

Sementara itu, setelah mendapat
petunjuk Banjaranpati, Suropati yang oleh
para pengemis dijuluki Pengemis Binal
segera menuju ke Bukit Parahyangan
mengikuti suara hatinya. 
Ada dua alasan, mengapa Suropati
sangat berhasrat untuk dapat bersitatap
dengan Brajadenta atau si Dewa Maut
Pertama, karena penasaran mendengar
kesaktian pengawal kerajaan yang telah
berkhianat itu. Terutama, keingin-
tahuannya terhadap ilmu 'Batu Kumala
Hitam' yang telah dikuasai Brajadenta.
Kedua, mengikuti jiwa ksatrianya.
Suropati merasa ikut terpanggil untuk
membantu melenyapkan keangkara-murkaan di
bumi!
Ketika sampai di halaman istana
Brajadenta, yang pertama dilihat Suropati
adalah dua bayangan yang bergerak cepat
saling serang.

Melihat jurus-jurus yang digunakan,
Suropati segera tahu kalau salah satu
dari bayangan itu adalah gurunya yang
bergelar si Periang Bertangan Lembut.
Sedangkan yang seorang lagi, tentu
Brajadenta atau si Dewa Maut
Melihat dua orang yang sedang
bertempur mati-matian itu, Pengemis Binal
mendapat keasyikan tersendiri. Maka,
segera dicarinya tempat persembunyian
yang teduh untuk dapat menikmati tontonan
tanpa tersengat sinar matahari.
Blaaarrr...!
Kembali terdengar ledakan, ketika
dua kekuatan tenaga dalam bertemu di
udara.
Tubuh Brajadenta dan si Periang
Bertangan Lembut melayang. Tapi mudah
sekali mereka berdua dapat mendarat di
tanah dengan sempurna.
Kekuatan tenaga dalam mereka berdua
tampak seimbang. Oleh sebab itu, masing-
masing tak mengalami cidera yang berarti
akibat bentrokan barusan.
Mendadak, si Dewa Maut mengayunkan
tangannya. Seketika ribuan jarum beracun
meluncur deras ke arah si Periang
Bertangan Lembut.
Namun dengan gerakan dahsyat, si
Periang Bertangan Lembut memutar
tongkatnya yang sejak tadi belum
digunakan.

Wuuuttt...!
Traak...!
Si Periang Bertangan Lembut
berhasil membuat jarum-jarum itu rontok
di tanah.
"Kau licik, Brajadenta...!" umpat
si Periang Bertangan Lembut.
Brajadenta hanya menatap dengan
sinar mata kebencian. Sebentar saja, dia
segera menerjang kembali.
Si Periang Bertangan Lembut yang
masih memegang sebatang tongkat tak mau
menyia-nyiakan senjata di tangannya.
Segera dikeluarkannya jurus 'Tongkat
Memukul Anjing'.
Tongkat di tangan kakek kurus itu
berputar-putar sangat cepat, mengeluarkan
suara angin menderu-deru. Kemudian
tubuhnya mencelat ke udara, lalu
menghunjam ke arah Brajadenta sambil
menyambarkan tongkatnya.
Pada saat yang sama si Dewa Maut
mengeluarkan tenaga simpanannya. Seketika
dipapaknya sambaran tongkat itu.
Traaakkk...!
Si Periang Bertangan Lembut
terkejut setengah mati melihat tongkatnya
patah menjadi dua. Namun, sebelum
menyadari keadaan, tangan Brajadenta
telah meluncur ke dada si Periang
Bertangan Lembut
Dan....

Duuukkk...! 
"Aaah...!"
Si Periang Bertangan Lembut
terjajar beberapa tindak sambil mendekap
dadanya yang tersodok tangan Brajadenta.
Pengemis Binal yang menyaksikan
adegan itu segera melompat dari tempat
persembunyiannya.
"Kau tak apa-apa, Kek...?" tanya
remaja belasan tahun itu.
Melihat muridnya yang tiba-tiba
muncul di hadapannya, si Periang
Bertangan Lembut menggeram gusar.
"Pergi kau, Bocah Gendheng!" bentak
Periang Bertangan Lembut.
Namun, Pengemis Binal tak mau
menuruti perintah gurunya. Malah, matanya
memandang si Dewa Maut yang sedang
tertawa terbahak-bahak.
Tiba-tiba si Periang Bertangan
Lembut mengibaskan tangannya, membuat
tubuh Suropati terpelanting menjauhi
ajang pertempuran. Dan tiba-tiba tubuh si
Periang Bertangan Lembut meluncur
melebihi kecepatan suara sambil
menyambarkan tangannya.
Brettt...!
"Heh...?!"
Brajadenta yang tidak menduga
datangnya serangan, merasakan tubuhnya
limbung. Bahunya telah terserempet angin
pukulan si Periang Bertangan Lembut.

Darah si Dewa Maut naik sampai ke
ubun-ubun. Dia pun segera mengeluarkan
ilmu andalannya, ilmu 'Batu Kumala
Hitam'!
Si Periang Bertangan Lembut
terperangah, menyaksikan tubuh lawannya
yang berubah jadi hitam legam seperti
arang. Belum sempat berpikir panjang,
mendadak kakek kurus itu merasakan
tubuhnya tersedot ke arah Brajadenta.
Namun, tiba-tiba kakek kurus itu
menguap. Dan tubuhnya lalu jatuh ke
tanah. Jelas, si Periang Bertangan Lembut
mengeluarkan ilmu 'Arhat Tidur'.
Tubuh si Periang Bertangan Lembut
tetap tersedot kekuatan ilmu 'Batu Kumala
Hitam'. Tapi, ketika tubuhnya sudah
dekat, mendadak melenceng ke samping, dan
menjauh lagi.
Hal demikian terulang hingga
beberapa kali, membuat Brajadenta semakin
dikuasai amarah. 
Tanpa pikir panjang lagi,
Brajadenta segera mengerahkan seluruh
kekuatannya. Dan tubuhnya yang sudah
hitam legam semakin bertambah hitam. Tak
terkecuali, kedua matanya juga bersorot
hitam.
Kini wajah si Dewa Maut sudah tidak
lagi menyerupai manusia. Wujud
kemanusiaannya telah hilang, berganti
menjadi sesosok tubuh yang mengerikan!

Kedua tangan Brajadenta terayun ke atas,
dan bertepuk.
Blaaarrr...!
Timbul suara menggelegar laksana
petir menyambar ketika telapak tangan si
Dewa Maut beradu.   
Bersamaan dengan itu, satu bentuk
tenaga telah menyedot tubuh si Periang
Bertangan Lembut yang tak terbendung
lagi.
Kini, tubuh si Periang Bertangan
Lembut benar-benar terseret, tanpa mampu
berbuat apa-apa lagi.
Pengemis Binal yang menyaksikan
keadaan gurunya yang tengah berjuang
melawan maut, segera menghemposkan
tubuhnya ke arah Brajadenta. Namun ketika
dua depa lagi tubuhnya tiba....
Blaaarrr...!
Remaja belasan tahun yang mencoba
memusnahkan tenaga sedotan ilmu 'Batu
Kumala Hitam' merasakan tubuhnya mental
balik, ketika membentur satu kekuatan
kasat mata. Dan tubuhnya kontan terhempas
jatuh ke tanah disertai semburan darah
segar!
Pengemis Binal bingung, bagaimana
harus bertindak untuk menolong gurunya
yang tengah berkutat melawan arus
kematian dari ilmu 'Batu Kumala Hitam'
yang dahsyat.
Mata remaja belasan tahun itu

jelalatan. Bola matanya membesar. Namun,
kelopak matanya tiba-tiba terpejam ketika
menyaksikan tubuh gurunya yang tinggal
beberapa jengkal lagi akan membentur
pusat kekuatan ilmu 'Batu Kumala Hitam'.
Tapi, sesuatu yang tak terduga
terjadi. Mendadak tubuh si Periang
Bertangan Lembut yang tampak sudah tak
berdaya berkelebat cepat, melancarkan
ilmu totokan 'Delapan Belas Tapak Dewa'
sambil memutari tubuh Brajadenta.
Wuuusss...!
Blaaarrr...!
Setelah melancarkan ilmu
totokannya, tubuh si Periang Bertangan
Lembut terpental sejauh empat tombak!
Tubuh kakek kurus itu bergulingan
di tanah. Setelah bisa mengendalikan
gerak tubuhnya, dia mencoba bangkit.
Namun, si Periang Bertangan Lembut segera
terjungkal kembali dengan mulut
menyemburkan darah berwarna kehitam-
hitaman dari hidung dan telinganya.
Agaknya, si Periang Bertangan
Lembut menderita luka dalam yang sangat
parah!
Sedangkan tubuh si Dewa Maut tetap
berdiri tegak. Tapi tak lama kemudian,
dari tujuh belas pusat aliran darahnya
memancar darah segar laksana sebuah
pancuran yang baru saja diisi air.
Tubuh si Dewa Maut bergoyang-goyang

sejenak. Namun Brajadenta tetap bertahan
untuk tidak jatuh. Dan tiba-tiba
dikeluarkannya sesuatu dari balik baju!
Sementara si Periang Bertangan
Lembut yang telah terluka parah memandang
penuh keterkejutan.
Tampak tangan kanan si Dewa Maut
menggenggam sebuah batu berwarna hitam
kelam sebesar kepalan tangan orang
dewasa.
Tangan kiri si Dewa Maut mendadak
bergerak, menyobek kulit perutnya sendiri
menggunakan kuku!
Darah segar segera menyembur dari
luka yang menganga. Tapi, Brajadenta sama
sekali tak merasakan sakit. Bibirnya
malah mengulum senyum. Dan perlahan-lahan
dimasukkannya Batu Kumala Hitam ke dalam
luka di perutnya. Sebentar kemudian, luka
itu sudah terbalut selembar kain berwarna
merah.
Si Dewa Maut meringis,
memperlihatkan gigi dan gusinya yang juga
telah berwarna hitam legam! Bersamaan
dengan itu, dari kepalanya mengepul asap
hitam. Semakin lama semakin tebal,
mengaburkan pandangan. Itulah puncak dari
ilmu 'Batu Kumala Hitam'!
"Suropati...!"
Dengan sisa-sisa tenaganya, si
Periang Bertangan Lembut memanggil
muridnya yang berada tak jauh, darinya.

Pengemis Binal yang juga sudah
terluka dalam segera mendekati gurunya.
Dia kemudian duduk bersila, di hadapan si
Periang Bertangan Lembut
"Kau sudah mempelajari ilmu totokan
'Delapan Belas Tapak Dewa', Suro?" tanya
si Periang Bertangan Lembut terbata-bata.
Pengemis Binal mengangguk lemah.
"Tapi, hanya sampai tingkat tujuh
belas...."
"Ilmu totokan 'Delapan Belas Tapak
Dewa' tingkat tujuh belas belum bisa
memusnahkan ilmu 'Batu Kumala Hitam'.
Untuk itu, aku akan menyempur-
nakannya...."
Setelah berkata demikian,  si
Periang Bertangan Lembut menempelkan
kedua telapak tangan ke dada muridnya.
Maka saat itu juga, sebuah kekuatan
tenaga dalam segera mengalir. Pengemis
Binal langsung merasakan sebuah arus
deras sedang berputar di sekujur tubuhnya
yang segera memusat ke  pusar. Semakin
lama putaran arus itu semakin lemah.
Dan....
"Uookkk...!"
Mulut si Periang Bertangan Lembut
kembali menyemburkan darah berwarna
kehitam-hitaman. "Guru...!"
Suropati menjerit keras ketika
menyaksikan tubuh gurunya jatuh
terjengkang.

Sesaat Pengemis Binal memeluk tubuh
gurunya yang sudah tak bernyawa, lalu
segera bangkit!
Si Dewa Maut tertawa tergelak.
"Aku belum memperlihatkan seluruh
kepandaianku. Kenapa si Tua Bangka itu
sudah melepas nyawa...?!" ejek
Brajadenta, pongah.
"Jangan banyak ucap, Keparat! Aku
akan menuntut balas kematian guruku...!"
sentak Suropati. 
Tawa si Dewa Maut semakin keras.
"Bocah Gendheng! Kalau kau tak
ingin menyusul arwah gurumu, segera
buktikan ucapanmu...!" tantang
Brajadenta.
"Baik! Aku akan menjajal ilmu 'Batu
Kumala Hitam'-mu!"
Melihat kesungguhan Suropati, si
Dewa Maut segera mengerahkan seluruh
kekuatannya, hingga sampai ke puncak.
Tangan si Dewa Maut terpentang ke
atas. Dan setelah mengeluarkan suara
menggelegar, tubuh Pengemis Binal pun
terseret!
Suropati sama  sekali tak melawan
arus kekuatan yang sedang menyeretnya.
Karena disadari, perlawanannya akan sia-
sia.
Perlahan-lahan tubuh Pengemis Binal
mendekati pusat kekuatan ilmu 'Batu
Kumala Hitam'! Dan mendadak tubuh

Suropati berkelebat dengan kecepatan
melebihi  kecepatan suara. Lalu
diputarinya tubuh Brajadenta seraya
mengerahkan ilmu totokan 'Delapan Belas
Tapak Dewa' sambil mengerahkan ilmu
sihirnya yang terdahsyat. Begitu cepat
gerakan Suropati, sehingga....
Blaaarrr...!
Tubuh murid si Periang Bertangan
Lembut itu terhempas, lalu bergulingan di
atas tanah, Namun, dia segera berdiri
tegak!
Sementara itu, tubuh si Dewa Maut
terhuyung-huyung. Dari berbagai tempat di
tubuhnya memancar darah segar.
Kemudian....
Blaaarrr...!
Dengan diiringi bunyi menggelegar,
tubuh si Dewa Maut meledak, hancur
menjadi abu!
Ternyata, ilmu totokan 'Delapan
Belas Tapak Dewa' yang dilancarkan
Pengemis Binal tak dapat dielakkan si
Dewa Maut. Karena, ilmu totokan itu telah
dilambari kekuatan sihir, sehingga
membuatnya terpukau tanpa mampu berbuat
apa-apa. Hal itu membuat ujung jari
Pengemis Binal dapat bergerak bebas,
mencari jalan kematian di tubuh si Dewa
Maut.
Empat totokan Pengemis Binal
bersarang di kepala, empat di leher,

empat di dada, empat di punggung, dan dua
di pangkal paha si Dewa Maut. Pada
tempat-tempat itulah, tubuh pengkhianat
kerajaan itu memancarkan darah segar,
untuk kemudian meledak dan hancur menjadi
abu.
Tak lama kemudian, Pengemis Binal
berjalan menuruni Bukit Parahyangan
sambil membopong jenazah gurunya...
Anjarweni dan Ingkanputri berlari
susah-payah mengikuti langkah kaki
Suropati.
"Tunggu dulu, Bocah...!" teriak
Anjarweni.
"Memangnya aku anakmu? Kok, kau
panggil 'bocah'...?" kata Suropati
konyol.
"Lalu, aku harus panggil siapa?"
tanya Anjarweni.
"Suropati alias Pengemis Binal,"
sebut remaja belasan tahun itu tanpa
menghentikan langkah kakinya.
Anjarweni dan Ingkanputri yang
masih belum sembuh dari luka dalamnya
terus mengikuti dengan kening berkerut.
Mereka kini baru sadar, kalau remaja yang
berpakaian putih penuh tambalan itu
berjuluk Pengemis Binal.
"Hei, mengapa kau dijuluki Pengemis
Binal? Pantas kelakuanmu memang binal!"
timpal Ingkanputri.
"Yah, karena kelakuanku memang

binal! Tapi kalian suka, kan. Kalian
tahu, teman-temankulah yang menjuluki aku
demikian...," sahut Suropati sambil terus
melangkah.
"Tunggu dulu, Pengemis Binal...!"
ujar Ingkanputri lagi. 
"Tidak mau!" jawab Pengemis Binal,
asal buka mulut,
"Aku ingin mengucapkan terima
kasih, Pengemis Binal...."
"Untuk mengucapkan kata itu, apa
susahnya? Sambil berjalan pun bisa...."
Ingkanputri terdiam mendengar
ucapan Suropati. Memang pas bila dia
dijuluki Pengemis Binal!
"Eh! Aku tidak hanya ingin
mengucapkan terima kasih. Aku juga ingin
memberi hadiah...," cetus gadis itu.
Mendengar itu mata Pengemis Binal
berbinar. Dan, tubuhnya pun segera
berbalik. Untuk sementara diturunkannya
jenazah si Periang Bertangan Lembut
"Benarkah apa yang kau katakan?"
tanya Pengemis Binal.
"Benar, Suro...," jawab
Ingkanputri.
Dan....
Cuppp...!
Suropati meraba pipinya yang
terkena ciuman, dan langsung tertawa
lebar.
"Uh! Ciumanmu tak enak. Kau jarang

gosok gigi, ya?" ledek Suropati.
Mendengar. ucapan Suropati itu,
papi Ingkanputri merona merah.
"Bocah Gendheng! Kalau mau minta
tambah, katakan saja! Tak perlu berkata
yang macam-macam!" bentak Ingkanputri
nakal.
Bola mata Suropati bergerak ke kiri
dan ke kanan.
Tiba-tiba.... 
Cuppp...! 
Ganti Ingkanputri yang meraba
pipinya.
"Kau pun jarang gosok gigi,
Suro...," ledek Ingkanputri.      
Suropati tertawa terbahak-bahak
Tapi, tiba-tiba tubuh Suropati
menggelosor ke tanah.
Anjarweni tersenyum.
"Bocah Gendheng! Rupanya kau suka
berulah macam-macam...! Pantas bila dia
dijuluki Pengemis Binal!"
Mendengar itu, Suropati hanya diam
saja. "He he he...," Anjarweni tertawa.
"Mungkin dia minta yang lebih 'panas'
lagi, Putri...."
Ingkanputri cemberut mendengar
ucapan kakak seperguruannya.
"Kita biarkan saja, Kak Weni. Kalau
kepanasan dipanggang matahari baru tahu
rasa...!"
Anjarweni dan Ingkanputri segera

berteduh di bawah pohon rindang. Tapi
hingga beberapa saat, tubuh Suropati sama
sekali tak bergerak. 
"Mungkin terjadi apa-apa dengan
dirinya, Kak Weni. Coba kita lihat...,"
ujar Ingkanputri kepada kakak
seperguruannya. 
Mereka berdua segera mendekati
tubuh Suropati yang terbujur di samping
jenazah gurunya. "Jangan sentuh dia...!"
Tiba-tiba terdengar teriakan, yang
disusul berkelebatnya, seorang kakek
berpakaian serba putih ke arah mereka.
Anjarweni dan Ingkanputri
mengerutkan kening.
"Dalam tubuh Suropati tersimpan
racun ganas. Dan, kini racun itu sedang
bekerja. Bila kalian sentuh tubuhnya,
racun itu akan menjalar ke tubuh
kalian...," kata kakek itu.
Anjarweni dan Ingkanputri memandang
tubuh Suropati yang masih belum bergerak.
Mereka pun jadi bergidik ngeri, merasakan
kebenaran ucapan kakek yang baru datang
itu.
Mendadak Pengemis Binal menggeliat.
"Oughhh.... Siapa nama gadis yang
menghadiahkan ciuman tadi...?"
Mendengar itu, Anjarweni dan
Ingkanputri tertawa lebar.
Tapi, kakek berpakaian serba putih
yang baru datang itu mengerutkan
kening....
Apa sesungguhnya yang sedang
terjadi dalam diri Pengemis Binal?
Benarkah tubuhnya telah menyimpan racun
ganas?


SELESAI


Ikutilah kelanjutan kisah ini dalam
episode : KEMELUT KADIPATEN BUMIRAKSA