Pengemis Binal 4 - Asmara Penggoda(3)





5

Bukit Pangalasan tersiram cahaya
mentari pagi. Kabut telah hilang dari
pandangan. Angin yang bertiup meng-
goyangkan ranting-ranting pohon.

Rerumputan tersenyum menyambut hari
yang telah berganti.
Carang Gati berlari cepat menaiki
bukit. Keringat membanjiri tubuhnya.
Wajah pemuda anggota Perkumpulan
Pengemis Tongkat Sakti itu mencer-
minkan kekalutan yang sangat.
"Kakek Gede...! Kakek Gede...!"
teriak Carang Gati ketika langkah
kakinya telah sampai dekat tempat
tinggal mereka.
"Ada apa, Gati?" tanya Gede
Panjalu. Disambutnya kedatangan pemuda
bertubuh kurus itu.
"Bahaya...  bahaya.,.. Sebaiknya
kita mengungsi!"
"Hah?! Apa katamu?"

"Di lereng bukit sana...," Carang
Gati menudingkan jari telunjuknya.
"Ada apa?" tanya Gede Panjalu,
heran. "Sebaiknya kau tenangkan dulu
pikiranmu, Gati."
Carang Gati menarik napas panjang
lalu menghembuskannya kuat-kuat.
Pemuda itu berusaha menenangkan
dirinya. "Bahaya, Kakek Gede...,"
katanya kemudian dengan sinar mata
masih me-nyimpan kekalutan.
"Kau jangan membingungkan orang,
Gati. Katakan yang jelas. Apa yang
hendak kau sampaikan?"
"Perkumpulan Pengemis Baju Hitam
hendak menyerbu kemari...."
"Hah?!" Gede Panjalu tercengang.
"Jumlah mereka sekitar lima ratus
orang," lapor Carang Gati.
"Benar katamu itu, Gati?"
Carang Gati menganggukkan
kepalanya dengan past! Gede  Panjalu
segera mengeluarkan desahan panjang.
"Kita tak pernah berurusan dengan
mereka...," kata kakek bongkok itu.
"Apakah pertempuran kecil antara kau
dengan Juwing Balangan di pasar itu
telah menyulut api permusuhan yang
sedemikian hebat?"
Seorang pemuda bertubuh agak
pendek berlari mendekati. Gede Panjalu
menatap kehadiran Katabang dengan
tatapan penuh tanda tanya.
"Ada apa,  Katabang?" tanya kakek

bongkok itu.
"Perkumpulan Bidadari Lentera
Merah menyerbu kemari," beritahu
Katabang dengan napas agak memburu.
Untuk kedua kalinya Gede Panjalu
dihantam keterkejutan yang luar biasa.
Mata kakek bongkok itu sampai
mendelik.
"Berapa jumlah mereka?"
"Sekitar seratus orang," jawab
Katabang.
Gede Panjalu mendengus gusar.
"Apa maksud dua perkumpulan itu
menyerbu kemari?" gumamnya. "Mereka
sepertinya telah bersekongkol untuk
memusnahkan Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti."
"Sebaiknya kita segera mengungsi,
Kek...," usul Carang Gati. "Jumlah
anggota perkumpulan kita yang sekarang
berada di sini tak cukup untuk
menghadapi mereka."
Gede Panjalu menatap tajam Carang
Gati yang diliputi rasa takut.
"Kau mengungsilah bersama para
wanita dan anak-anak. Lewat jalur
utara agar lebih cepat mencapai Kota
Kadipaten Bumiraksa. Di sana terserah
apa yang akan kalian lakukan."
"Lalu, Kakek sendiri?"
"Aku akan menanti kehadiran
mereka."
"Kalau begitu, aku tidak jadi
mengungsi. Kita lawan mereka!" Carang

Gati menolak usul Gede Panjalu.
"Jangan bodoh! Jumlah anggota
perkumpulan kita sekarang hanya
sekitar tiga ratus orang. Itu sudah
termasuk anak-anak, wanita, dan orang
tua. Seperti yang kau  katakan, kita
tak mungkin melawan mereka. Sebaiknya
kalian memang harus mengungsi."
"Tidak! Aku akan bersamamu, Kek!"
Carang  Gati tetap bersikeras dengan
keinginannya.
"Benar, Kek. Kita harus membela
kehormatan," timpal Katabang.
Gede Panjalu menatap wajah mereka
berdua bergantian. Perhatiannya segera
dialihkan ketika melihat kilatan
cahaya berpendar di angkasa. Lalu,
disusul dengan suara halilintar
membahana. Awan tebal berarak cepat
menutupi mentari. Rintik-rintik hujan
mulai turun membasahi bumi.
"Terima kasih, Tuhan...," gumam
Gede Panjalu sambil menatap cuaca di
sekitar bukit yang berubah gelap. 
Carang Gati  dan Katibang saling
berpandangan. Kemudian, ditatapnya
wajah Gede Panjalu bersamaan.
"Tuhan  Yang Maha Agung sedang
menunjukkan kekuasaan-Nya...," kata
kakek bongkok itu lirih. "Untuk
sementar waktu, orang-orang Perkum-
pulan Pengemis Baju Hitam dan
Perkumpulan Bidadari Lentera Merah tak
akan dapat melanjutkan perjalanan

mereka."
"Mudah-mudahan hujan turun cukup
lama agar kita bisa mengumpulkan bala
bantuan...," harap Carang Gati.
"Izinkan aku untuk turun, Kek."
"Untuk apa?"
"Mengumpulkan teman-teman yang
berada di Kota Kadipaten Bumiraksa."
"Aku akan ke Kadipaten Tanah
Loh," sahut Katabang. 
Terdengar suara halilintar
menggelegar lebih keras. Hujan pun
turun semakin deras.
"Izinkan aku, Kek...," kata
Carang Gati dan Katabang hampir
bersamaan.
Mau tak mau Gede Panjalu akhirnya
menganggukkan kepalanya.
"Hati-hati...," pesan kakek
bongkok itu sambil mengusap air hujan
yang membasahi wajah.
Mendengar ucapan sesepuh Perkum-
pulan Pengemis Tongkat Sakti itu,
Carang Gati dan Katabang segera
berlari menuruni bukit. Mereka berdua
sudah sangat paham pada medan di
sekitar bukit itu. Permukaan tanah
yang berubah licin tak begitu
menyulitkan langkah mereka.
Sernentara itu, Perkumpulan
Pengemis Baju Hitam yang dipimpin
seorang tokoh beraliran hitam, yang
bernama Banyak Jalamprang atau
Pengemis Baju Hitam, sedang menaiki

Bukit Pangalasan dari jalur timur.
Mereka berserabutan mencari tempat
bernaung di bawah pohon-pohon besar
agak terhindar dari siraman air hujan
yang turun begitu deras.
"Juwing Balangan!" panggil Banyak
Jalamprang pada anak buahnya yang
berlindung tak jauh dari tempatnya.
"Ya, Ketua!" jawab pemuda
bertubuh tinggi besar yang berjuluk
Pengemis Gajah itu. Tangan kanannya
memegang umbul-umbul hitam yang
bergambar tengkorak tertusuk dua
tongkat menyilang.
"Kau larilah ke selatan. Katakan
kepada Sekara Mayang bahwa teman-teman
di sini tak dapat melanjutkan
perjalanan. Sampaikan pula bila hujan
tak segera berhenti, kita akan nekat!"
Setelah  menyerahkan umbul-umbul
pada temannya, Juwing Balangan
membungkukkan badan dan segera berlalu
menyibak air hujan. Berkali-kali
pemuda bertubuh tinggi besar itu jatuh
terpeleset. Suara halilintar yang
menyambar-nyambar sedikit membuatnya
giris. Tapi karena tekadnya yang bulat
untuk menyampaikan amanat ketuanya,
akhirnya Juwing Balangan dapat menemui
Sekar Mayang.
Wanita cantik yang bergelar
Bidadari Lentera Merah itu mengerutkan
kening setelah menerima pesan yang
disampaikan Pengemis Gajah.

"Kau segeralah kembali menghadap
ketuamu. Bila hujan tak segera
berhenti, jangan nekat. Itu sangat
berbahaya...," kata Sekar Mayang.
"Hujan yang turun ini tidak wajar. Aku
akan menghubungi Ketua Pertama.
Katakan kepada ketuamu, jangan ber-
tindak gegabah. Tunggulah sampai ada
perintah dariku."
"Baik, Ketua Mayang."
Juwing Balangan Membungkukkan
badan. Pemuda itu kemudian berlalu
dengan cepat. Sekar Mayang menatap
wajah Kapi Anggara yang berdiri di
sampingnya.
"Sebaiknya kau mengatur orang-
orang kita, Anggara," pinta wanita
cantik itu.
"Ah, kukira mereka bisa mengatur
diri sendiri...," tolak si Pendekar
Asmara seraya menatap Sekar Mayang
penuh arti. "Untuk menunggu hujan
berhenti aku ingin bercumbu denganmu,
Mayang."
"Gila! Tenda ini bisa roboh!"
"Tidak! Aku akan bersikap
lembut."
"Ah, sudahlah. Kalau kau tidak
mau mengatur orang-orang kita, tak
apa. Tapi jangan berbuat yang macam-
macam. Dengan musnahnya Perkumpulan
Pengemis Tongkat Sakti, jalan mulus
akan aku dapatkan untuk mewujudkan
cita-citaku. Untuk itu, kau jangan

berbuat sesuatu yang akan menggagalkan
rencana Ketua Pertama, Anggara."
"Aku heran,  Mayang. Kenapa kita
tidak langsung saja menggempur istana?
Toh, seluruh anggota Perkumpulan
Bidadari Lentera Merah yang kau pimpin
rata-rata berilmu tinggi. Apalagi
dibantu oleh Banyak Jalamprang."
"Goblok!"
Mata Kapi Anggara mendelik
mendengar makian Sekar Mayang.
"Kenapa kau berkata kasar seperti
itu, Mayang?" kata pemuda tampan
berambut pirang itu.
"Oh, maaf, Anggara. Rupanya aku
sudah terbiasa memaki anak buahku
dengan kata itu. Aku tak sadar bila
yang berada di dekatku adalah kau,
Kekasihku..."
Sekar  Mayang memeluk tubuh Kapi
Anggara. Pemuda tampan itu pun
tersenyum senang. Dia segera balas
memeluk.
"Eh, jangan, Anggara...."
Bidadari Lentera Merah menepis.
Kapi Anggara membisu dan menatap wajah
wanita cantik itu dalam-dalam.
"Kau belum menjawab pertanyaanku,
Mayang," kata si Pendekar Asmara
kemudian. 
"Kau menanyakan apa?" 
"Kenapa kita  tidak langsung saja
menggempur istana?"
"Tidak semudah yang kau kira,

Anggara. Pengawal istana Baginda Prabu
adalah kaum rimba persilatan golongan
atas. Ketua Pertama sedang mencoba
mempengaruhi dengan ilmu 'Asmara
Penggoda'."
"Lalu, apa hubungannya dengan
tindakan yang sedang kita lakukan ini?
Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti tak
mempunyai hubungan apa-apa dengan
pihak kerajaan. Apa untungnya
memusnahkan mereka?"
"Gob..., eh...."
"Hayo, kau mau mengatakan aku
'goblok' lagi, ya?" rungut Kapi
Anggara.
"Ya, eh, tidak," Sekar Mayang
menggelengkan kepalanya kuat-kuat.
"Ah, sudahlah," kata Kapi Anggara
kemudian. "Jawab saja pertanyaanku
itu...."
"Sedikitnya  ada dua keuntungan
yang akan kita dapatkan bila dapat
memusnahkan Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti. Pertama, apabila sewak-
tu-waktu pihak kerajaan membutuhkan
bala bantuan, perkumpulan pengemis itu
tidak akan dapat berbuat apa-apa...."
"Sebentar," potong Kapi Anggara.
"Kenapa pihak kerajaan mesti meminta
bantuan kepada perkumpulan pengemis
itu?"
"Suropati yang menjadi pemimpin
Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti
pernah berjasa kepada kerajaan.

Sekitar dua tahun yang lalu di Bukit
Parahyangan dia telah telah melen-
yapkan seorang pengkhianat kerajaan
yang bernama Brajadenta atau Dewa
Maut. Bukan itu saja, Suropati adalah
murid mendiang Periang Bertangan
Lembut yang merupakan mantan penasihat
kerajaan. Dengan alasan-alasan itu
bukan mustahil nanti Baginda Prabu
akan meminta bantuan remaja konyol
itu."
Kapi Anggara mengangguk-anggukkan
kepalanya.
"Lalu, keuntungan kedua apa?"
"Sampai saat ini Suropati masih
terbebas dari pengaruh kekuatan ilmu
'Asmara Penggoda', jadi dia belum
dapat ditundukkan. Bila perkumpulan
pengemisnya dapat dimusnahkan,
termasuk melenyapkan Gede Panjalu,
Ketua Pertama berharap akan timbul
dendam kesumat dalam diri Suropati.
Dengan begitu, dia akan menjadi
makanan empuk ilmu 'Asmara Penggoda'."
"Kenapa bisa begitu?"
"Kalbu remaja konyol  itu telah
disucikan. Itu membuat ilmu 'Asmara
Penggoda' tak mempan untuk
mempengaruhinya. Tapi bila kalbu
Suropati telah terkotori oleh nafsu
amarah dan dendam membara, ilmu
'Asmara Penggoda' akan dapat men-
cengkeram erat jiwanya. Dari situ
kekuatan kita akan bertambah."

"Keuntungan lainnya lagi apa?"
"Eh, pertanyaanmu kok tak
berhenti sih?" sungut Sekar Mayang
dengan agak mendongkol.
"Memangnya kenapa? Kau mencuri-
gaiku?" tanya Kapi Anggara. "Kalau
dengan pertanyaanku itu timbul kecu-
rigaanmu kalau aku ini mata-mata,
sekarang juga minta saja kepada Ketua
Pertama untuk mengetrapkan ilmu
'Asmara Penggoda'-nya kepadaku,"
tantang pemuda itu kemudian.
"Ah, tidak, Anggara. Kau marah,
ya?" 
"Tidak."
"Syukurlah kalau begitu. Aku
sangat suka kepadamu, Anggara.  Aku
selalu menghalangi keinginan Ketua
Pertama yang ingin mengetrapkan ilmu
'Asmara Penggoda'nya kepadamu. Sebab
aku tak ingin kau menjadi bangkai
bernyawa...."
Kapi Anggara tersenyum senang.
Dicubitnya paha Sekar Mayang. Wanita
cantik itu menggeliat manja.
"Kau tadi mengatakan bahwa
sedikitnya ada dua keuntungan yang
akan kita dapatkan dari musnahnya
Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti.
Kau baru menyebutkan dua. Lainnya lagi
apa?" desak si Pendekar Asmar.
"Sebenarnya banyak. Salah satunya
adalah keuntungan tidak langsung yang
akan diterima oleh Perkumpulan

Pengemis Baju Hitam. Karena tanpa
saingan,  perkumpulan itu akan berkem-
bang  semakin pesat. Itu berarti  juga
keuntungan bagi kita. Banyak
Jalamprang telah tunduk kepada Ketua
Pertama."
Tiba-tiba angin berhembus dengan
kencang. Kilat menyambar. Sebatang
pohon besar yang berada tak jauh dari
tenda-tenda anggota Perkumpulan
Bidadari Lentera Merah langsung
tumbang tersambar!
"Firasatku benar...," gumam Sekar
Mayang. "Aku akan menghubungi Ketua
Pertama."
Kapi Anggara hanya diam
memperhatikan Bidadari Lentera Merah
duduk bersemadi. Tak lama kemudian,
wanita  cantik itu telah mencapai
kekosongan kalbu. Alam pikirannya
melesat terbang menuju lorong bawah
tanah di mana Ratnasari atau Bidadari
Bunga Mawar berada. Tapi, Sekar Mayang
mengerutkan kening dan membuka kelopak
matanya. Raut wajahnya tampak
menyimpan kekecewaan.
"Ada apa, Mayang?" tanya Kapi
Anggara, heran.
"Jiwa Ketua Pertama dibentengi
oleh kekuatan kokoh yang diciptakannya
sendiri. Ketua Pertama sedang
menghimpun kekuatan ilmu 'Asmara Peng-
goda'."
"Untuk apa?"

"Dia hendak mempengaruhi seluruh
pengawal istana Baginda Prabu."
"Ah, begitukah?!" Kapi Anggara
berusaha menyimpan keterkejutannya.
"Kau kenapa, Anggara?" tanya
Sekar Mayang yang melihat perubahan
sinar wajah si Pendekar Asmara.
"Tidak apa-apa. Mudah-mudahan
keinginan Ketua Pertama itu tercapai.
Kira-kira, kapan Ketua Pertama akan
mengetrapkan ilmu ajaibnya itu?"
"Entahlah. Tapi, tampaknya dalam
waktu dekat ini...."
Kapi Anggara menundukkan kepala.
Pemuda itu kelihatan berpikir keras.
Sekar Mayang menatapnya dengan sinar
mata penuh kasih.
Di luar hujan tetap turun dengan
derasnya. Angin berhembus kencang.
Ranting pohon meliuk-liuk bagai
ditarik tangan-tangan kasat mata.
Permukaan tanah bukit yang menjorok ke
bawah sebagian tampak longsor.
"Aku akan mengatur anak
buahku...," kata Sekar Mayang tiba-
tiba.
"Jangan!" cegah Kapi Anggara.
"Aku tak mau kau basah kuyup. Aku saja
yang akan mengatur mereka."
Tanpa meminta persetujuan lagi
pemuda tampan itu keluar  dari tenda.
Dia mengerutkan kening ketika matanya
menatap sebatang pohon besar yang
tumbang menimpa sebuah tenda. Pemuda

itu segera berlari mendekati tanpa
mempedulikan siraman air hujan yang
membasahi tubuhnya. Bersamaan dengan
itu beberapa anggota Perkumpulan
Bidadari Lentera Merah berloncatan
keluar dari tendanya. Mereka
menghampiri tiga orang wanita cantik
yang berlindung di bawah pohon.
"Kalian jangan di situ.
Berlindunglah di tendaku," kata
anggota Perkumpulan Bidadari Lentera
Merah yang baru keluar dari tenda.
"Benar. Segera kau turuti 
perkataannya," timpal Kapi Anggara.
Semua wanita cantik yang
berpakaian serba merah menatap Kapi
Anggara. Tapi, mereka segera berlalu
dan masuk ke dalam tenda.
"Rupanya mereka menaruh hormat
kepadaku," gumam Kapi Anggara dalam
hati.
Pemuda itu menoleh ketika
merasakan bahunya tersentil benda
kecil. Matanya segera melihat seorang
anggota Perkumpulan Bidadari Lentera
Merah yang sedang membuat jalan air di
sisi tenda. Kapi Anggara memberi
isyarat dengan gelengan kepala. Lalu,
tubuh pemuda tampan itu berkelebat
cepat.
Wanita cantik yang menangkap
isyarat itu segera menyusul.
Ketika sampai di sebuah tebing
yang bagian atasnya menjorok  keluar,

Kapi Anggara menghentikan langkah
kakinya. Tempat di mana dia berdiri
cukup terlindung dari terpaan angin
dan siraman air hujan. Sesosok
bayangan berkelebat dan berhenti di
samping pemuda tampan itu.
"Kau yakin tidak ada orang yang
mengikutimu, Puspita?" tanya Kapi
Anggara seraya mengedarkan pandangan
ke sekitar bukit.
"Ah, cepat saja kau katakan apa
yang telah kau dapat," kata Puspita
terburu-buru.
"Sekar Mayang curiga terhadap
hujan yang sengaja dibuat oleh tokoh-
tokoh istana. Tapi untunglah Ratnasari
sedang melakukan sesuatu, sehingga
wanita itu tak dapat berbuat apa-apa
untuk menghentikan hujan buatan ini."
"Jadi semua berjalan menurut
rencana, begitu?" tegas Puspita.
"Ya, hujan akan menghambat
perjalanan mereka, sampai prajurit-
prajurit kerajaan datang untuk
menghancurkan kekuatan Sekar Mayang."
"Lalu, kabar penting apa yang
hendak kau sampaikan?" Puspita menyeka
air hujan yang bergulir di wajahnya.
"Ratnasari sedang mengumpulkan
kekuatan ilmu 'Asmara Penggoda'-nya
untuk mempengaruhi para pengawal
istana."
"Celaka!" kata Puspita gusar.
"Kapan dia hendak mengetrapkan ilmu

iblisnya itu?"
"Kata Sekar Mayang dalam waktu
dekat ini."
"Aku harus segera menyampaikan
kabar ini kepada Baginda Prabu."
"Kau hendak ke istana?"
"Tentu saja tidak. Aku mempunyai
kurir yang menunggu di lereng bukit."
"Cepatlah kau hubungi orang itu!"
desak Kapi Anggara.
Puspita bergegas melesat untuk
menuruni bukit. Bagi seseorang yang
berilmu tinggi cuaca buruk dan keadaan
tanah yang licin bukanlah penghalang.
Puspita dapat berlari dengan cepat
menuju suatu tempat. Seorang laki-laki
berusia tiga puluh tahun yang
berpakaian layaknya seorang gembel
sedang menunggu di sebuah gubuk.
Setelah menerima pesan dari Puspita,
laki-laki itu segera pergi berlalu.
"Hati-hati, Sabrang. Hujan hanya
turun di sekitar Bukit Pangalasan. Kau
bisa melanjutkan perjalanan dengan
berkuda!" pesan Puspita.
Ketika kurirnya telah pergi,
wanita cantik itu pun berlari untuk
kembali ke perkemahannya. Tapi, sebuah
bayangan menghadang langkahnya!
"Benar dugaan Sang Ketua.
Perkumpulan Bidadari Lentera Merah
telah kemasukan seorang telik sandi.
Ternyata orangnya adalah kau,
Puspita!" bentak Ayumi yang memang

ditugasi Sekar Mayang untuk memper-
hatikan gerak-gerik Puspita.
"Terus, kau mau apa?!" sambut
Puspita tak kalah ketus.
"Menyerahlah! Aku akan membawamu
menghadap Sang Ketua!" "Aku tak sudi!"
Ayumi menatap Puspita dengan
pandangan sinis. Lalu.... Ujung
selendang panjangnya yang berwarna
merah kaku mengejang dan meluncur ke
arah Puspita.
"Senjata penggendong bayi itu
saja yang selalu kau andalkan, Ayumi!"
ejek Puspita seraya menghindar dari
serangan.
Sambil menggeram gusar, Ayumi
mengeluakan  jurus-jurus ampuhnya.
Selendang di tangan wanita cantik itu
berkelebat cepat, mencecar bagian-
bagian tubuh Puspita yang berbahaya.
Tapi, Puspita yang sudah hafal semua
jurus andalan Perkumpulan Bidadari
Lentera Merah dengan mudah dapat
menepis serangan.
Ayumi yang  menyadari hal itu
segera mengubah gerakannya. Dikeluar-
kannya jurus 'Bidadari Mengusir Awan'
yang merupakan salah satu jurus
rahasia Perkumpulan Bidadari Lentera
Merah. Tidak semua anggota perkumpulan
itu dapat memainkannya. Sekar Mayang
hanya mengajarkan jurus itu kepada
orang-orang kepercayaan. Melihat lawan
mengganti jurus yang masih asing

baginya, Puspita jadi sedikit
kerepotan.
"Uh! Selama aku berdiam di
Perkumpulan Bidadari Lentera Merah
jurus itu tak pernah kulihat?" keluh
Puspita dalam hati.
Wanita cantik telik sandi
kerajaan itu segera mengerahkan
seluruh ilmu meringankan tubuhnya.
Ditepisnya kelebatan ujung selendang
lawan  yang bergerak bagai patukan
seribu ular berbisa.
Sraaattt...!
Puspita meloloskan selendang yang
melingkar di pinggangnya. Kemudian,
langsung dibalasnya serangan Ayumi
dengan tak kalah hebat.
Pertempuran sengit antara
duawanita cantik yang sama-sama
mengenakan pakaian serba merah itu
berlangsung seru di bawah siraman air
hujan.
Di tempat lain, Kapi Anggara
berlari-lari kecil masuk ke dalam
tendanya kembali. Dia terkejut karena
tak melihat Sekar Mayang di sana.
Sebelum dia dapat menduga apa yang
terjadi, tiba-tiba saja tenda roboh
dan tubuh si Pendekar Asmara terjerat
di dalamnya. Tapi, pemuda tampan itu
bukanlah orang sembarangan.
Tubuh Kapi Anggara melenting ke
udara. Lalu, mendarat di tanah dengan
indahnya.

Srat...! Srat...! Srat...!
Puluhan ujung selendang meluncur
laksana tombak langsung menghujani
tubuh Kapi Anggara. Pemuda itu dengan
terpaksa kembali melenting ke udara.
Ketika mendarat, dia pun mendengus
gusar melihat dirinya telah terkepung
belasan wanita cantik anggota
Perkumpulan Bidadari Lentera Merah.
"Hei! Kalian jangan gegabah! Aku
Kapi Anggara!" kata si Pendekar Asmara
dengan tatapan tak mengerti.
Seorang wanita cantik yang
rambutnya disanggul tinggi menyibak
kepungan.
"Belangmu sudah ketahuan,
Anggara!" kata wanita cantik itu, yang
tak lain Sekar Mayang.
Kening Kapi Anggara berkerut
dalam.
"Apa maksudmu, Mayang?"
"Huh! Jangan pura-pura bodoh! Aku
tak menyangka sama sekali orang yang
selama ini kukasihi ternyata hanyalah
monyet busuk, kaki tangan Prabu Arya
Dewantara yang bangkotan!"
Si Pendekar Asmara terkejut
mendengar perkataan Sekar Mayang.
"Rupanya aku telah bertindak
ceroboh...," keluhnya dalam hati.
"Bagaimana dengan Puspita?"
"Kau tak perlu diam terbengong-
bengong macam kerbau dungu, Anggara!"
bentak Sekar Mayang. "Kalau kau sedang

mengharapkan bantuan Puspita untuk
meloloskan diri dari lubang maut,
jangan mimpi, Kerbau Dungu! Temanmu
itu sebentar lagi akan menghadap Dewa
Kematian!"
Usai mengucapkan kalimatnya,
wanita cantik itu memberi isyarat.
Belasan anak buahnya segera menggempur
Kapi Anggara.
Selendang-selendang merah yang
basah terkena siraman hujan meluncur
cepat mencari jalan kematian di tubuh
si Pendekar Asmara!
Berkali-kali pemuda tampan itu
melennngkan tubuhnya ke atas
menghindari serangan. Dari sana Kapi
Anggara melemparkan senjata mautnya
yang berupa bunga kenanga.
Set...! Set...! Set...!
Jerit kesakitan langsung
membahana. Tujuh Perkumpulan Bidadari
Lentera Merah meloncat ke belakang
seraya mendekap dahinya yang
tertancapi setangkai bunga kenanga.
Tak lama kemudian, tubuh wanita-wanita
cantik itu berkelojotan di tanah
meregang nyawa.
Sekar Mayang menggeram. Dengan
lambaian tangan diberi isyarat pada
anak buahnya untuk kembali menyerang.
Sernentara Kapi Anggara masih
berputar-putar  di angkasa sambil
melempar bunga kenanga mautnya.
Selendang para anggota Perkum-

pulan Bidadari Lentera Merah
berkelebatan mencecar tubuh si
Pendekar Asmara. Tapi, tubuh pemuda
tampan itu sangat sukar untuk dicapai.
Putaran tubuhnya laksana putaran angin
puting beliung. Ujung-ujung selendang
anak buah Sekar Mayang yang hampir
menyentuh terpental balik. Bahkan,
Kapi Anggara berhasil menyebar
kematian lewat bunga kenanga mautnya.
"Arghhh...!"
Tiga jerit kematian terdengar
secara bersamaan. Tubuh-tubuh anggota
Perkumpulan Bidadari Lentera Merah
berkelojotan di tanah sambil mendekap
dahinya.
Sekar Mayang menggeram laksana
harimau marah.
"Minggir kalian semua!" teriak
wanita cantik itu.
Kapi Anggara berdiri di bawah
siraman hujan ketika para
pengeroyoknya menepi.
"Sebelum aku melumat tubuhmu
katakan siapa kau sebenarnya, Kapi
Anggara!"
"Dari dulu kau sudah tahu. Aku si
Pendekar Asmara. He he he...!" sahut
Kapi Anggara ringan sekali.
Sekar Mayang menatap sinis.
"Kentut Busuk! Apakah kau orang upahan
Prabu Arya Dewantara?!"
Mendengar pertanyaan itu, si
Pendekar Asmara hanya tersenyum

simpul.
"Bila kau memang orang upahan,
aku bersedia membayar lebih banyak
dari yang telah kau terima."
"Berapa kau akan membayarku?"
tantang Kapi Anggara dengan tatapan
melecehkan. 
"Berapa pun yang kau minta!" 
"Baik! Tapi, aku tidak minta
bayaran uang." 
"Apa?"
"Dirimu!  Kau akan kubawa
menghadap Baginda Prabu untuk
mempertanggungjawabkan perbuatanmu
yang hendak melakukan pemberontakan!"
"Bangsat!" umpat Bidadari Lentera
Merah. Diloloskannya selendang merah
dari pinggangnya. "Aku pun akan
meminta bayaran darimu berupa nyawa,
Kerbau Dungu!"
Kapi Anggara tersenyum. Pemuda
itu ringan sekali meloncat ke samping
ketika selendang Sekar Mayang
menghunjam. Wanita cantik itu tak mau
membuang-buang waktu lagi. Dia segera
mengeluarkan jurus 'Bidadari Mengusir
Awan'.
Kibasan dan hunjaman ujung
selendang Sekar Mayang menimbulkan
suara menderu-deru. Si Pendekar Asmara
berkali-kali melenting ke udara. Tapi,
selendang di tangan Sekar Mayang terus
mengejar.
Wooosss...!

Kapi Anggara mengeluarkan jurus
'Putaran Beliung'-nya. Tubuh pemuda
tampan itu pun berputar cepat sambil
melontarkan bunga-bunga kenanga.
Tes...! Tes...! Tes...!
Tebaran bunga itu rontok terkena
kibasan selendang Sekar Mayang!
"Habiskan senjata busukmu itu,
Kerbau Dungu!" kata wanita cantik itu
seraya melecutkan selendangnya
berusaha untuk membelit tubuh Kapi
Anggara.
"Selendangmu itu hanya pantas
untuk mengikat kayu bakar, Wanita
Murahan!" balas si Pendekar Asmara.
Dua orang berlainan jenis itu pun
segera terlibat pertempuran seru.
Disaksikan seluruh anggota Perkumpulan
Bidadari Lentera Merah. Mereka membuat
lingkaran besar tanpa mempedulikan air
hujan yang terus mengguyur.

* * *

Setelah keluar dari lereng Bukit
Pangalasan, kurir Puspita yang bernama
Goran Sabrang berhasil mendapatkan
kuda dan langsung memacunya menuju
istana. Jarak antara Bukit Pangalasan
dengan Kota Praja memakan waktu
setengah hari. Jadi, Goran Sabrang
yang sebenarnya seorang pengawal
kerajaan tak mau membuang waktu lagi.
Tapi, pemuda berumur tiga puluh

tahun dan bertubuh kekar itu menjadi
terkejut. Telinganya mendengar derap
langkah kaki kuda berlari cepat di
belakangnya. Goran Sabrang menolehkan
kepala. Terlihatlah olehnya lima orang
penunggang kuda berpakaian serba
merah.
"Celaka!" kata Goran Sabrang
dalam hati. "Anggota Perkumpulan
Bidadari Lentera Merah mengejarku."
Pemuda bertubuh kekar itu
menggeprak kuda-nya untuk berlari
lebih cepat. Namun, berulang kali
terdengar keluhan Goran Sabrang. Lari
kudanya bukan bertambah cepat, justru
meringkik-ringkik panjang dari berlari
semakin lambat.
"Uh! Kuda sialan!" umpat Goran
Sabrang. "Kalau tahu diikuti  orang,
tak bakalan aku memilihmu.
Sernentara itu, lima ekor kuda
yang sedang mengejarnya sudah semakin
dekat. Peluh segera membasahi wajah
pemuda itu. Bercampur dengan air hujan
yang membuat kuyup pakaiannya.
Goran Sabrang bukannya takut
untuk menghadapi kelima anggota
Perkumpulan Bidadari Lentera Merah.
Pemuda itu hanya sedang mengejar
waktu. Pesan yang akan disampaikannya
kepada Baginda Prabu Arya Dewantara
tidak boleh terlambat.
"Kuda tua sialan! Kenapa kau
tidak mati kemarin-kemarin saja!"

umpat pemuda bertubuh kekar itu sambil
melihat ke belakang. Jarak kelima
orang pengejarnya tinggal beberapa
tombak saja.
Sraaattt...!
Salah seorang anggota Perkumpulan
Bidadari Lentera Merah melontarkan
selendangnya. Kaki kuda yang
ditunggangi Goran Sabrang terbelit.
Akibatnya... kuda tua itu terpeleset
dan terjungkal jatuh. Derigan sigap
Goran Sabrang meloncat. 
Set...! Set...! Set...!
Puluhan jarum beracun menghunjam
kearahnya! Goran Sabrang bergegas
melempar tubuhnya ke atas. Serangan
senjata rahasia itu pun hanya mengenai
angin kosong. Goran Sabrang meloncat
jauh hendak melarikan diri begitu
menjejak tanah. Tapi, kuda-kuda
anggota Perkumpulan Bidadari Lentera
Merah telah mengepungnya.
"Kenapa kalian menyerangku?"
tanya Goran Sabrang.
Kelima wanita cantik penunggang
kuda itu tak memberi jawaban. Mereka
hanya mendengus. Diserangnya Goran
Sabrang dengan selendang ampuhnya.
Pemuda bertubuh kekar itu menjatuhkan
diri ke tanah. 
Saat itulah dari kejauhan tampak
seratus orang, penunggang kuda menuju
tempat itu. Goran Sabrang tersenyum
girang.

"Senopati Risang Alit!"
Kelima orang anggota Perkumpulan^
Bidadari Lentera Merah terkejut
melihat umbul-umbul  yang dibawa
penunggang kuda terdepan.
"Prajurit kerajaan...!" kata
salah seorang dari mereka.
Lalu, wanita cantik itu
menggeprak kudanya dan melarikan diri.
Teman-temannya segera menyusul. Goran
Sabrang hanya menatap kepergian mereka
tanpa berbuat apa-apa.
. "Kenapa kau di sini, Sabrang?"
tanya Senopati Risang Alit ketika
sudah sampai di dekat pemuda bertubuh
kekar itu.
"Aku tak punya waktu banyak,
Alit. Sebaiknya kupinjam kuda salah
seorang prajuritmu," sahut Goran
Sabrang.
Senopati Risang Alit yang sudah
mengenai siapa Goran Sabrang
mengabulkan permintaan itu. Tak lama
kemudian, Goran Sabrang telah melesat
dengan kuda tunggangannya. Ketika
pemuda bertubuh kekar itu berpapasan
dengan lima ratus orang prajurit
kerajaan  pejalan kaki, dia tak
mempedulikan. Kudanya dipacu bagai
orang kesurupan.
Sesampainya di istana Goran
Sabrang disambut dengan tatapan penuh
tanda tanya oleh Baginda Prabu Arya
Dewantara. Pemuda bertubuh kekar itu

segera menyampaikan pesan Puspita.
Baginda Prabu pun menyiapkan segalanya
untuk menyambut kedatangan Ratnasari
atau Bidadari Bunga Mawar.

* * *

6

Puspita yang sebenarnya adalah
seorang pendekar berjuluk Pedang Perak
membuang selendang merahnya. Gadis itu
menggantinya dengan senjata andalannya
berupa pedang pendek terbuat dari
perak. Karena tertimpa air hujan,
pedang itu mengeluarkan asap tipis.
Senjata andalan Puspita memang
mengandung tenaga mukjizat yang
berhawa panas.
Ayumi menggeram penuh kemarahan
ketika berkali-kali lehernya sampai
terbabat. Tapi, orang kepercayaan
Sekar Mayang itu tak mau larut dalam
keterkejutan. Dia berusaha mencecar
Puspita dengan selendang merahnya
seraya melempar jarum-jaram beracun.
Jarum-jarum itu tak begitu
berarti bagi Puspita. Dengan putaran
pedangnya, senjata rahasia itu rontok
ke tanah. Dan suatu  saat pedang
Puspita meluncur cepat ke arah dada!
Ayumi berkelit ke samping. Tapi,
pedang Puspita yang berlambarkan jurus
'Pedang Membela Rembulan' berhasil

membabat.
Bret...!
"Augh...!"
Jerit kecil keluar dari mulut
Ayumi. Bahu kanannya terserempet.
Kalau saja dia tidak cepat meloncat ke
belakang, pedang Puspita akan
memenggal kepalanya.
"Bangsat!" umpat Ayumi.
Puspita mendengus dan terus
mengejar. Tampaknya dia  tak mau
memberi kesempatan kepada lawan untuk
menarik napas.
Wuuuttt...! Wuuuttt...!
Ujung pedang Puspita sepera'
mempunyai mata. Berkelebat cepat
mencari jalan kematian di tubuh Ayumi.
Hingga kemudian....
"Arghhh...!" 
Ayumi berdiri kaku dengan  mata
mendelik. Dadanya tertembus pedang
Puspita. Perlahan-lahan tubuh tanpa
nyawa itu terjerembab ke tanah.
Puspita bernapas lega. Kakinya
dilangkahkan hendak meninggalkan
tempat itu.
Sraaattt...!
Empat selendang merah meluncur
cepat. Puspita yang tak menduga
datangnya serangan merasakan tubuh dan
kedua belah tangannya tak dapat
digerakkan. Rupanya, dia telah
terbelit!
Wanita cantik itu menggeram

marah. Matanya menatap empat  orang
anggota Perkumpulan Bidadari Lentera
Merah yang berputar mengitarinya.
Puspita tahu belitan selendang-
selendang lawan tak akan dapat
dilawannya. Bila dia mengerahkan
tenaga dalam selendang-selendang itu
akan semakin erat membelitnya.
Dengan gerakan lemah Pedang Perak
menjatuhkan senjatanya. Kaki kanan
wanita cantik itu menendang gagang
pedang. Pedang itu pun terlontar ke
atas. Senjata andalan Puspita itu
kemudian bergerak cepat seperti
mengikuti pusaran air.
Slash...!
Empat selendang merah yang
membelit tubuhnya terbabat putus.
Puspita langsung menerjang. Kecepatan
geraknya bagai  setan sedang mengejar
mangsa.
Keempat lawannya yang masih
terperangah karena selendang mereka
terbabat putus tak mampu menghindari
datangnya serangan. Maka, tak ayal
lagi pedang Puspita menyambar leher
empat anggota Perkumpulan Bidadari
Lentera Merah. Jerit panjang
mengiringi kematian mereka!
Tiba-tiba, serangkaian angin
pukulan berhawa panas menerjang tubuh
Puspita dari belakang. Wanita cantik
yang masih dalam kesiagaan penuh itu
meloncat.

Blaaarrr...!
Tanah tempat pukulan jarak jauh
itu mendarat berkubang dalam. Mayat-
mayat yang tergeletak tak jauh dari
tempat itu terlontar jauh.
"Ingkanputri...!" desis Puspita.
Gadis  yang disebut namanya cuma
mendengus. Murid Dewi Tangan Api yang
dalam pengaruh kekuatan sihir itu
menatap wajah Puspita penuh kebencian.
Pedang Perak yang sudah
mengetahui keadaan gadis di hadapannya
itu balas menatap. Tapi, Puspita
segera melangkah mundur dua tindak.
"Celaka!" kata Puspita dalam
hati. "Aku sudah berjanji kepada
Suropati untuk melindungi gadis ini.
Kalau dia menyerangku, apa yang harus
kuperbuat?"
Puspita tak  mempunyai kesempatan
untuk berpikir lebih panjang.
Ingkanputri telah menerjangnya. Mau
tak mau Pedang Perak memutar
senjatanya untuk membentuk suatu
perlindungan....
Suropati dan Raka Maruta berlari
menuju Bukit Pangalasan. Di
belakangnya tampak Carang Gati dan
puluhan anggota Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti.
"Mereka berada di mana, Gati?"
tanya Suropati. Pemuda itu menanyakan
tempat berkumpulnya para anggota
Perkumpulan Pengemis Baju Hitam.

"Di lereng sebelah timur...,"
Carang Gati mendongakkan kepalanya
menatap langit yang berangsur-angsur
terang. "Bila hujan telah berhenti
mereka akan segera naik," kata Carang
Gati kemudian.
"Tidak," sela Suropati. "Mereka
akan menunggu sampai tanah menjadi
kering."
"Orang-orang Perkumpulan Pengemis
Baju Hitam terkenal nekat."
"Itu berarti keuntungan bagi
kita. Mereka akan bersusah payah untuk
naik. Setelah sampai di tujuan,
keadaan mereka tidak bugar lagi...."
"Tapi, anggota perkumpulan kita
yang berada di atas bukit tak cukup
banyak untuk menghadapi mereka," ucap
Carang Gati, khawatir.
Pada saat itu dari arah belakang
terdengar derap langkah kaki kuda
berlari cepat. Seluruh anggota
Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti
membalikkan badan. Ketika melihat
umbul-umbul kerajaan, ketegangan di
wajah mereka sedikit memudar.
Senopati Risang Alit dan kese-
ratus prajuritnya mengekang kendali
kuda. Mereka berhenti di hadapan
Suropati.
"Suropati...," kata Senopati Ri-
sang Alit. "Kebetulan aku berjumpa
denganmu di tempat ini. Aku membawa
titah Baginda Prabu untuk disampaikan

kepadamu."
Pengemis Binal hanya mena-
tap.wajah pejabat tinggi kerajaan itu
dengan tatapan tak mengerti.
"Baginda Prabu meminta bantuanmu
untuk turut memadamkan pemberontakan
Perkumpulan Bidadari Lentera Merah dan
Perkumpulan Pengemis Baju Hitam."
Kening Suropati berkerut. Tanpa
sadar dia menggaruk-garuk kepalanya.
"Tapi, kenapa mereka hendak
menyerbu pemukiman orang-orang kami?"
tanya remaja konyol itu,
"Itu salah satu siasat dari
mereka....",
Bersamaan dengan usainya kalimat
Senopati Risang Alit, cahaya mentari
menyorot ke bumi dengan terangnya.
Awan hitam yang semula menyelimuti,
telah pergi. Hujan pun berhenti.
"Sebentar lagi akan datang lima
ratus orang prajurit pejalan kaki. Kau
dan anak buahmu harap membantu mereka,
Suro...," pinta Senopati Risang Alit.
Pengemis Binal menarik napas lega
mengetahui jumlah prajurit kerajaan
yang begitu besar. Jadi, untuk
menghadapi orang-orang Perkumpulan Pe-
ngemis Baju Hitam tak akan banyak
menemui kesulitan. Suropati mengang-
gukkan kepalanya.
Melihat persetujuan itu, Senopati
Risang Alit memberi tanda kepada
prajuritnya untuk segera melanjutkan

perjalanan. Mereka menyendal kendali
kuda dan berlari ke arah selatan.
"Mereka mau ke mana?" tanya
Suropati.
"Ke tempat berkumpulnya orang-
orang Perkumpulan Bidadari Lentera
Merah," jawab Carang Gati.
"Jadi, dua perkumpulan itu telah
mengepung pemukiman kita...."
Suropati menggaruk kepalanya.
Raka Maruta yang berdiri di.
sampingnya menyenggol lengan remaja
konyol itu.
"Kau jangan bersikap  seperti
kerbau dungu begitu!" kata Pendekar
Kipas Terbang. "Anak buahmu sedang
menanti perintah darimu."
"Eh, iya...," Suropati tetap tak
menghentikan  garukan di kepalanya.
"Kau naiklah, Gati. Katakan kepada
Kakek Gede  bahwa lima ratus prajurit
kerajaan akan datang. Seluruh anggota
Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti
agar membantu menggempur para
pemberontak itu."
"Lalu, teman-teman yang ikut
bersama kita ini?"
"Suruh menunggu kedatangan
prajurit kerajaan, dan agar ikut
menyerbu bersama-sama."
"Kau sendiri hendak ke mana?"
"Aku bersama Raka Maruta akan
membantu Senopati Risang Alit!"
"Huh! Enak saja!" gerutu Carang

Gati. "Kalau mendengar ada wanita
cantik, penyakitmu selalu kambuh!"
"Ah, sudahlah.  Tak perlu kau
ributkan itu. Segera kau turuti
perintahku!"
Suropati meloncat lalu berlari ke
selatan. Raka Maruta bergegas
menyusul. Carang Gati menatap
kepergian mereka sambil menyunggingkan
senyum pahit.
"Huh! Maunya yang enak saja.
Bertempur dengan wanita-wanita cantik
sambil mencari kesempatan untuk colak-
colek...," gerutu pemuda bertubuh
kurus itu.

* * *

Setelah hujan berhenti, pertem-
puran antara Puspita dan Ingkanputri
bertangsung tak seimbang.
Puspita yang tak mau menjatuhkan
tangan maut hanya bergerak menghindar.
Sesekali gadis cantik itu melakukan
serangan tak membahayakan. Sebaliknya,
Ingkanputri tampak begitu bernafsu
untuk segera menyudahi pertempuran
itu.
Berkali-kali pukulan jarak jauh
Ingkanputri hampir mencapai sasaran.
Pakaian yang dikenakan Puspita telah
koyak-koyak terkena angin sambaran
pukulan murid Dewi Tangan Api.
Pada suatu kesempatan, tubuh

Puspita melenting bagai seekor udang
meloncat dari atas batu. Kald kiri
wanita  cantik itu menyambar. Tangan
kanannya digerakkan untuk menotok
jalan darah di punggung Ingkanputri.
Melihat serangan itu, Ingkanputri
tersenyum sinis. Pancingannya ternyata
berhasil. Serta-merta dia menjatuhkan
tubuh  ke tanah lalu memutar kaki
kanannya ke samping!
Des...!
Tubuh Puspita terlontar dua
tombak. Wanita cantik itu segera
bangkit berdiri sambil mendekap bahu
kirinya. Perlahan-lahan dia meloloskan
pedang yang telah disarungkannya
kembali. Tapi ketika Puspita menatap
ketajaman pedangnya, dia terpuruk
dalam keraguan.
"Apakah aku harus membunuh gadis
itu? Dia hanyalah raga yang  jiwanya
telah dikuasai oleh Sekar Mayang. Ah,
bagaimana dengan Suropati bila dia
meminta pertanggungjawabanku...?"
Ingkanputri menatap dingin.
Sambil mendengus, dia menerjang
Puspita dengan hentakan tenaga dalam
penuh. 
"Jangaaan...!"
Sebuah teriakan keras membahana
di angkasa. Tapi, pukulan jarak jauh
Ingkanputri sudah tak dapat dibendung
lagi. Puspita hanya dapat membentengi
tubuhnya dengan putaran pedang.

Untunglah seberkas sinar putih
memapaki pukulan jarak jauh
Ingkanputri.
Blaaarrr...!
Tak urung, tubuh Puspita mencelat
akibat serempetan pukulan jarak jauh
Ingkanputri.
"Puspita...!" pekik Suropati yang
baru saja hadir di tempat itu.
Remaja konyol itu mengejar tubuh
Pedang Perak yang bergulingan di atas
tanah berlumpur. Kemudian, dia
mendekap erat dalam rasa haru.
Menyaksikan hal itu, sikap
Ingkanputri jadi semakin beringas.
Dengan kekuatan penuh dia hendak
melancarkan 'Pukulan Api Neraka'-nya!
Untunglah Raka Maruta  telah datang.
Lebih dulu diterjangnya murid Dewi
Tangan Api.
"Puspita...," bisik Suropati
sambil menatap wajah wanita cantik
yang berada dalam dekapannya.
Pedang Perak balas menatap, lalu
mengulum senyum. Darah segar meleleh
dari sudut bibirnya.
"Aku terlambat datang,
Puspita...."
"Tidak, Suro. Kau datang tepat
pada waktunya.  Arghhh...!". Pedang
Perak mengeluh sambil mendekap
dadanya.
"Aku akan menyalurkan hawa murni
ke tubuhmu, Puspita," kata Suropati.

Didudukkannya tubuh Pedang Perak.
Sebentar kemudian, wanita cantik itu
merasakan hawa segar muncul dari
telapak tangan Suropati yang menempel
di punggungnya.
Tiba-tiba terdengar sebuah suitan
nyaring. Ingkanputri yang sedang
bertempur melawan Raka Maruta
menggeleng-gelengkan kepala. Dengan
sebuah geraman keras dia meloncat dan
berlari cepat menuju asal suara
suitan. Raka Maruta berlari mengejar.
Suropati yang telah selesai
menyalurkan hawa murni ke tubuh
Puspita menatap sejenak kepergian
mereka.
"Kau sudah bisa mengatasi luka
dalammu sendiri, Puspita?" tanya
remaja konyol itu.
Pedang Perak mengangguk pelan.
Suropati segera bangkit berdiri dan
mengejar kepergian Ingkanputri.
"Bantu Kapi Anggara, Suro...!"
teriak Puspita.
 
* * *

Cahaya perak mentari kembali
menyapa Bukit Pangalasan. Dedaunan
yang basah perlahan-lahan mengering.
Hembusan sang bayu membantu sisa
butiran air hujan turun ke tanah.
Burung-burung terbang dalam kicaunya
yang riang. Di balik keindahan yang

diciptakan Sang Penguasa Tunggal itu,
mayat-mayat bergelimpangan di lereng
bukit. Darah tercecer dan merembes ke
dalam tanah berlumpur.
Siasat Baginda Prabu Arya
Dewantara untuk menghancur  leburkan
kekuatan pemberontak yang dipimpin
Sekar Mayang sangat jitu. Raja yang
telah mencium adanya pemberontakan itu
mengirim sepasang telik sandi, yaitu
Kapi Anggara dan Puspita.
Dari merekalah Baginda Prabu Arya
Dewantara tahu kalau untuk menggempur
kekuatan Sekar Mayang merupakan hal
yang mustahil. Sarang mereka berada di
dalam lorong bawah tanah yang berliku-
liku dan penuh jebakan.
Jalan satu-satunya untuk memus-
nahkan kekuatan Perkumpulan Bidadari
Lentera Merah, yang dibantu Perkum-
pulan Pengemis Baju Hitam, hanyalah
dengan  menunggu mereka keluar dari
sarangnya.
Kapi Anggara berhasil menanamkan
rasa benci dalam dada Sekar Mayang
kepada Suropati. Akhirnya, wanita
cantik itu bermaksud memusnahkan
perkumpulan pengemis yang dipimpin
murid Periang Bertangan Lembut itu.
Dari situ pula Sekar Mayang
berharap akan timbul dendam dalam diri
Suropati, agar ilmu 'Asmara Penggoda'
yang dimiliki Puspita dapat mempenga-
ruhinya. Tapi, kenyataannya langkah

itulah yang justru menghancurkan
kekuatan Sekar Mayang sendiri.
Pasukan berkuda yang dipimpin
Senopati Risang Alit menggempur orang-
orang Perkumpulan Bidadari Lentera
Merah tanpa mau memberi ampun. Tapi,
semangat dalam diri anak buah Sekar
Mayang tak pernah pupus. Mereka
memberi perlawanan sampai titik darah
penghabisan.
Sekar Mayang yang dibantu belasan
anak buahnya terus menggempur Kapi
Anggara. Pemuda berwajah tampan itu
jadi kerepotan. Berkali-kali tubuhnya
terlempar dihajar ujung selendang
lawan.
Aku akan segera mengirimmu ke
nereka, Keparat!" umpat Sekar Mayang
sambil terus mencecar tubuh si
Pendekar Asmara dengan kibasan
selendangnya.
"Sebaiknya  kau menyerah saja,
Mayang," jawab Kapi Anggara. "Tidakkah
kau lihat prajurit kerajaan telah
mendesak anak buahmu?!"
"Bangsat! Bicaralah sepuasnya,
karena hal itu akan mempercepat
kematianmu!"
Sekar Mayang menghunjamkan ujung
selendangnya ke dada Kapi Anggara.
Dibarengi oleh kibasan selendang
belasan anak buahnya.
Wooosss...!
Dengan jurus 'Putaran Beliung'-

nya, si Pendekar Asmara berusaha
menepis serangan itu. Tapi ketika kaki
pemuda tampan itu kembali menjejak
tanah, Sekar Mayang telah mempersiap-
kan sebuah serangan mematikan.
Tadi sewaktu tubuh Kapi Anggara
berputaran di udara, Sekar Mayang
meluncur ke atas. Dan ketika kaki si
Pendekar Asmara telah mendarat,
Bidadari Lentera Merah meluruk dari
atas dengan sebuah tendangan ke arah
kepala.
Kapi Anggara yang tak menduga
datangnya serangan itu hanya sempat
memiringkan kepalanya.
Des...!
Bahu kanan pemuda tampan itu
tertendang dengan telak. Tubuh si
Pendekar Asmara terlempar sambil
berputaran.  Kalau saja Kapi Anggara
tak melambari tubuhnya  dengan tenaga
dalam, tulang-belulangnya tentu akan
remuk.
Sekar Mayang menatap tajam si
Pendekar Asmara yang berdiri
terhuyung-huyung. Pemuda tampan itu
mengibas-ngibaskan telapak tangannya
di depan wajah, karena pandangannya
menjadi kabur.
Saat itulah Sekar Mayang mengge-
rakkan tangan kanannya. Puluhan jarum
beracun meluncur deras.
Srat...! 
Trak....!

Putaran pedang bersinar hitam
menyampok jarum-jarum itu. Sekar
Mayang terperangah menatap kehadiran
Senopati Risang Alit.
"Kentut Busuk! Rupanya kau juga
mencari mati!"
Mendengar perkataan gadis itu,
Senopati Risang Alit tersenyum sinis.
Senapati kerajaan yang berwajah halus
dengan rambut digelung ke atas itu
menatap Sekar Mayang tanpa sinar
kebencian.
"Menyerahlah  kau!" ucap Senopati
Risang Alit penuh wibawa.  "Mungkin
Baginda Prabu akan meringankan
hukumanmu."
"Cih! Siapa sudi menyerah! Justru
kaulah yang harus menyerahkan
kepalamu!"
Sebuah bayangan berkelebat, dan
berhenti tepat di samping Bidadari
Lentera Merah.
"Bagus, Putri...," Sekar Mayang
tersenyum senang. "Tugasmu masih
banyak. Bunuh laki-laki berpedang
itu!"
Mendengar perintah itu, Ingkan-
putri langsung menggeprak. Senopati
Risang  Alit memutar pedang. Disam-
butnya serangan Ingkanputri dengan
ujung pedang mengarah ke dada.
Tubuh Ingkanputri terus meluncur.
Ketika ujung pedang tinggal sejengkal
mencapai sasaran, tiba-tiba tubuh

murid Dewi Tangan Api itu melenting ke
atas seraya melancarkan tendangan!
Wuuuttt...!
Senopati Risang Alit terperangah.
Beruntung dia segera meloncat ke
belakang. Kalau tidak, tubuhnya tentu
akan terlempar pada gebrakan pertama
itu.
"Bagus, Putri. Segera kau bunuh
dia!" teriak Sekar Mayang. Wanita itu
kemudian melesat untuk menyerang Kapi
Anggara.
Dua sosok bayangan berkelebat
datang dan berhenti di pinggir arena
pertempuran.
"Kau bantulah Kapi Anggara...,"
pinta Suropati kepada Raka Maruta.
"Aku akan mencoba menyadarkan
Ingkanputri.  Aku takut senopati
kerajaan itu akan menjatuhkan tangan
mautnya."
Suropati melenting dan langsung
berusaha melumpuhkan Ingkanputri.
Tapi, gadis itu bukanlah lawan yang
mudah untuk ditundukkan. Kelebatan
kedua belah tangannya sangat berbahaya
karena selalu memendarkan hawa panas.
Suropati terperangah menyaksikan
serangan-serangan Ingkanputri yang
membabi buta. Tapi, Pengemis Binal tak
mau menggunakan tongkatnya. Dia hanya
mengandalkan jurus 'Pengemis Meminta
Sedekah' untuk melancarkan totokan di
tubuh Ingkanputri.

Sernentara itu, Kapi Anggara dan
Raka Maruta telah berhasil menjatuhkan
beberapa anak buah Sekar Mayang. Dua
pendekar muda itu tak mau membuang
waktu lagi untuk segera menyudahi
perlawanan Sekar Mayang.
Mata wanita cantik itu mendelik
penuh amarah. Jurus 'Bidadari Mengusir
Awan'-nya sama sekali tak mampu untuk
menghadapi kedua lawannya. Bahkan,
pada suatu kesempatan selendang di ta-
ngan Sekar Mayang terbabat putus oleh
kibasan kipas Raka Maruta.
Lalu, dengan satu gerakan indah
tubuh Pendekar Kipas Terbang bersalto
di udara seraya melontarkan kipas
mautnya.
Breeettt...!
Tangan kanan Sekar Mayang yang
masih me-egang potongan selendang
terbabat putus sebatas siku!
Wanita cantik itu menjerit keras.
Mulutnya lalu mengeluarkan suitan
nyaring. Tubuh Sekar Mayang berkelebat
pergi.
Ingkanputri yang sedang bertempur
melawan Senopati Risang Alit dan
Suropati mendengar suitan Sekar
Mayang.  Gadis itu menghentikan
serangannya, dan berlari mengikuti
Ketua Perkumpulan Bidadari Lentera
Merah.
Suropati ingin bergerak mengejar,
tapi ditahan oleh Kapi Anggara.

"Aku harus membebaskan Ingkan-
putri dari pengaruh sihir yang
menggelapkan matanya," kata Suropati
memberi alasan.
"Masih banyak waktu untuk mela-
kukan hal itu. Kau harus mengkesam-
pingkan urusan pribadimu dulu,
Suro...," sahut si Pendekar Asmara.
"Kemungkinan besar saat ini Ratnasari
sedang menuju istana untuk
mengetrapkan ilmu 'Asmara Penggoda'-
nya. Kita harus menghadang kehadiran
wanita iblis itu."
Suropati menatap wajah Kapi
Anggara sejenak, lalu kepalanya di-
anggukkan.
Mereka berdua bersama Raka Maruta
segera naik ke punggung kuda. Binatang
tunggangan itu meluncur cepat menuju
istana kerajaan. Senopati Risang Alit
tinggal di tempat untuk membantu
prajuritnya menumpas sisa-sisa anggota
Perkumpulan Bidadari Lentera Merah.
Sementara itu, di bagian timur
lereng Bukit Pangalasan pertempuran
masih berlangsung seru. Jerit
kesakitan dan teriak kematian terus
membahana. Permukaan tanah memerah
bersimbah darah.
Prajurit-prajurit kerajaan
menggempur para anggota Perkumpulan
Pengemis Baju Hitam laksana benteng ketaton. Anak buah Banyak Jalamprang
memberikan perlawanan gigih. Mereka

yang rata-rata berasal dari golongan
hitam menerjang ganas seperti iblis
haus darah!
Dari arah Kadipaten Tanah Loh
tampak puluhan anggota Perkumpulan
Pengemis Tongkat Sakti bersama
Katabang, Wirogundi, dan Anjarweni.
Setelah mengetahui teman-teman
mereka bertempur bahu-membahu dengan
prajurit kerajaan, mereka segera
menyerang para anggota Perkumpulan
Pengemis Baju Hitam.
Wirogundi dan Anjarweni bertempur
saling membelakangi. Setiap musuh yang
mencoba mendekat akan terpental oleh
hantaman tongkat Wirogundi, atau
tendangan dan pukulan Anjarweni.
Sepasang kekasih ini dapat muncul
di tempat itu karena berjumpa dengan
Katabang yang sedang berusaha
mengumpulkan para anggota Perkumpulan
Pengemis Tongkat Sakti. Katabang
menceritakan apa yang telah terjadi di
Bukit Pangalasan.
Di sebuah  tanah datar Gede
Panjalu berhadapan dengan Banyak
Jalamprang. Dua orang tokoh yang sama-
sama ahli memainkan tongkat itu saling
terjang dengan hebatnya. Berkali-kali
senjata mereka berbenturan di udara,
hingga kedua pemiliknya terpental.
Gede Panjalu dan Banyak
Jalamprang sadar kalau tenaga dalam
mereka seimbang. Keduanya segera

mengandalkan kecepatan gerak ilmu
meringankan tubuh untuk menghadapi
serangan lawan..
Deru angin deras mengiringi
kelebatan tongkat di tangan kedua
tokoh tua itu. Pada suatu kesem-patan,
tubuh mereka saling geprak dari
kejauhan. Gede Panjalu berusaha
menyodok dada iawan dengan ujung
tongkatnya. Sedangkan Banyak Jalam-
prang mengemplang kepala!
Tak...!
Tongkat mereka saling
berbenturan. Banyak Jalamprang segera
menendang dada Gede Panjalu. Kakek
bongkok itu hanya memiringkan
tubuhnya, kemudian balas menendang.
Desss...!
Secara bersamaan tendangan mereka
mengenai tubuh lawan.
Gede Panjalu terkena bahu
kanannya, hingga tongkatnya terpental
dari pegangan. Banyak Jalamprang
terkena siku kanannya. Tongkat di
tangan kakek berjanggut lebat itu pun
jatuh ke tanah.
Gede Panjalu dan Banyak
Jalamprang saling berpandangan dengan
geraman gusar. Kemudian, saling
menerjang kembali mengandalkan jurus
tangan kosong.
Gede Panjalu melambari serangan-
nya dengan jurus 'Pengemis Menghiba
Rembulan'. Tubuh bongkok itu meluncur

ke atas, lalu melenting cepat seraya
melancarkan pukulan jarak jauh.
Blaaarrr...!
Pukulan itu hanya membuat
kubangan dalam di tanah. Banyak
Jalamprang berhasil mengelak dengan
melompat jauh ke belakang. Gede
Panjalu terus merangsek maju.
Desss...!
Tubuh Banyak Jalamprang terpental
tiga tombak ketika tendangan Gede
Panjalu bersarang tepat di dadanya.
Kakek berjanggut lebat itu bangkit de-
ngan tubuh limbung. Darah segar
menyembur dari mulutnya.
"Bangsat kau, Bongkok Bangkotan!"
umpat Banyak Jalamprang.
Gede Panjalu tak mau mendengarkan
kata-kata itu. Tubuhnya melesat cepat
bagai anak panah lepas dari busur.
Desss...!
Untuk kedua kalinya tubuh Banyak
Jalamprang terlempar jauh. Kali ini
dia hanya sempat mengangkat kepalanya.
Lalu, diam untuk selama-lamanya.
Menyaksikan tubuh ketuanya
tergeletak di tanah tanpa nyawa, nyali
para anggota Perkumpulan Pengemis Baju
Hitam langsung menciut. Keadaan mereka
kocar-kacir. Bahkan, di antaranya ada
yang menggunakan kesempatan itu untuk
melarikan diri.

* * *

7

Bukit Hantu terselubungi hawa
magis yang pekat. Burung gagak
berkoakan dalam rasa ngeri. Burung-
burung lain tak sanggup mengeluarkan
suara. Mereka hanya  berloncatan di
atas dahan. Satwa-satwa tanah terpuruk
dalam kebisuan. Angin yang berhembus
menimbulkan  desau yang sanggup
mendirikan bulu roma.
Di depan meja pemujaan yang
menempel pada dinding Ratnasari duduk
bersimpuh. Tangannya terpentang
memegang lidi sembahyang yang ujungnya
mengepulkan asap keputihan. Kemudian,
kedua tangan wanita yang telah
menjalani upacara pemulihan itu
menangkup. Diletakkannya lidi yang
dipegangnya ke sebuah tabung kecil
berwarna hitam. Tubuh Ratnasari tampak
bergetar keras dalam kedudukan
bersemadi. Bibirnya bergerak-gerak
mengucapkan mantera. Lalu, tangan
kanannya menjuntai ke depan meraih
gelas yang berisi cairan darah bayi.
Ratnasari meminum cairah darah
itu dengan penuh nafsu. Sesaat
kemudian, tubuhnya meloncat ke atas
dan bersalto beberapa kali. Wanita itu
mendarat di lantai dalam kedudukan
tubuh agak dibungkukkan untuk memberi
hormat.
"Demi setan, jin,  ulu-ulu,

banaspati, peri perayangan yang
menguasai jagat hitam, telah hamba
persembahkan  upacara kegelapan yang
akan menyatukan segala kekuatan
angkara murka. Himpunlah daya pancar
kekuatan gaib sesat dalam diri hamba.
Umu 'Asmara Penggoda', menyatulah da-
lam tatap wajah hamba yang cantik
mempesona. Menyatulah dalam hembusan
napas dan aliran darah hamba. Dengan
kekuasaan alam hitam, mayapada
goncang, manusia terpuruk dalam nafsu
buta..."
Bukit Hantu sunyi  berbaur sepi.
Burung gagak diam. Suaranya tersekat
di tenggorokan. Satwa lainnya bergerak
lemah seperti kehilangan kekuatan.
Desau angin membuat suasana makin
mencekam.
Perlahan-lahan sebuah kerudung
kuncup bu-nga mawar sebesar gentong
melayang di angkasa. Lalu, melesat
cepat bagai gerak batu meteor.

* * *

Setelah menerima pesan Puspita
yang disampaikan Goran Sabrang,
Baginda Prabu Arya Dewantara segera
memerintahkan seluruh pendekar
kerajaan untuk membuat pagar betis.
Istana Kerajaan Anggarapura
dikelilingi oleh para ahli silat
tingkat atas. Para ahli sihir pun

setelah menyelesaikan tugasnya, untuk
membuat hujan tiruan, berkumpul
kembali di ruang nujum. Mereka
menciptakan benteng gaib di sekitar
istana.
Baginda Prabu  Arya Dewantara
sendiri berdiri di ruang utama sambil
bersedekap. Matanya menatap tajam jauh
ke  depan. Bibirnya bergetar
mengucapkan doa.
"Dewata Yang Agung, cobaan yang
Kau timpakan kepada Kerajaan
Anggarapura begitu besar. Berilah
kekuatan kepada hamba dan seluruh
punggawa istana. Dengan kekuasaan-Mu
pula Kerajaan Anggarapura akan kembali
tenteram dan damai...."
Di luar para tokoh silat kerajaan
dalam ketegangan memuncak. Dari
kejauhan tampak titik merah mengang-
kasa bergerak cepat menuju istana.
Diiringi suara seperti desisan ular,
kerudung kuncup bunga mawar berhenti
di depan pintu gerbang istana.
"Seperti ada kekuatan kasat mata
yang menghalangi gerakku," bisik
Ratnasari yang berada di dalam
kerudung kuncup bunga mawar. "Apakah
tokoh-tokoh istana telah mengetahui
kedatanganku?"  belum sempat wanita
cantik pemuja setan itu berpikir lebih
jauh, mendadak.... 
Wuuuttt...! Wuuuttt...! 
Srat! Srat! Srat!

Puluhan batang tombak dan ratusan
anak panah meluncur datang!
Ratnasari menghentakkan kakinya.
Kerudung kuncup bunga mawar yang
sedang ditungganginya pun melenting ke
atas. Serangan mendadak itu tak
mengenai sasaran.
Bidadari Bunga Mawar menggeram
gusar melihat dirinya telah terkepung
puluhan tokoh silat kerajaan.
"Ha ha ha...!"
Tawa Puspita kemudian membahana.
"Kalian hanya kroco-kroco yang akan
menjemput Dewa Kematian!"
Kerudung  kuncup bunga mawar
meluncur cepat.
Desss...!
Seorang tokoh silat kerajaan
terjungkal. Tawa Ratnasari kembali
membahana. Tiba-tiba, kerudung kuncup
bunga  mawar bergerak menuju tanah
bebas. Tirai penutup kerudung kuncup
bunga tersibak. Ratnasari menatap
tajam puluhan tokoh silat kerajaan
yang berdiri tak jauh darinya.
"Awas! Jangan tatap matanya!"
Seorang tokoh silat kerajaan yang
mengenakan ikat kepala berteriak
lantang.
"Bangsat!" umpat Ratnasari.
"Siapa yang telah membocorkan
rencanaku ini?!"
Sraaattt...!
Sehelai tali baja menjerat

kerudung kuncup bunga mawar Ratnasari.
Wanita pemuja setan itu menggeram
marah.  Telunjuk jari kanannya
digerakkan. Meluncurlah sinar kemerah-
merahan yang hanya sanggup menggetar-
kan tali baja.
Wanita pemuja setan itu pun
mengaum laksana harimau murka.
Kerudung kuncup bunga mawar yang
ditungganginya berputar cepat. Tali
baja yang menjerat pun lepas. Tapi....
Srat...! Srat...! Srat...!
Puluhan tali baja lainnya
meluncur deras disertai sebuah jaring
lebar. Kerudung kuncup bunga mawar
terjerat erat.
Wooosss...!
Tubuh Ratnasari meluncur ke atas
meninggalkan kerudung kuncup bunga
mawarnya.
Wanita pemuja setan itu mendarat
di tanah dengan mulus. Pakaian
kebesarannya yang berwarna merah
berkibar tertiup angin. Ditatapnya
tajam-tajam puluhan tokoh silat
kerajaan yang berdiri empat tombak di
hadapannya.
"Jangan tatap matanya!" teriak
tokoh silat kerajaan yang mengenakan
ikat kepala untuk kedua kalinya.
"Wanita Iblis, kau menyerahlah!"
teriak tokoh silat lainnya.
Ratnasari  mendengus. Kedua
tangannya diputar hingga menimbulkan

pusaran angin besar. Para ahli tokoh
silat kerajaan berloncatan menghindar.
Pusaran angin besar itu tetap mengejar
mereka!
Seorang tokoh silat kerajaan yang
berpakaian seperti pendeta menarik
kedua tangannya ke belakang. Kemudian,
dihentakkan ke depan dengan seluruh
kekuatan tenaga dalamnya.
"Heaaa...!"
Blaaarrr...!
Diiringi ledakan dahsyat, pusaran
angin yang diciptakan Ratnasari lenyap
seketika. Wanita pemuja setan itu lalu
menerjang. Kedua tangan dan kakinya
bergerak cepat menimbulkan suara
bersuitan.
Para tokoh silat kerajaan
bergerak mengepung.
"Jangan biarkan dia lolos!"
teriak tokoh silat kerajaan yang
mengenakan ikat kepala.
Pertempuran seru segera
berlangsung. Tokoh-tokoh kerajaan
mencecar tubuh Ratnasari dengan
serangan hebat. Sambaran pedang,
tombak, keris, trisula, dan senjata
tajam lainnya berbaur jadi satu
mencari jalan kematian!
Tapi, tubuh Ratnasari bergerak
cepat bagai bayangan iblis. Dengan
mengandalkan jurus-jurus maut yang
dilambari ilmu setan, wanita cantik
itu membobol kepungan.

Des...! Des...! Des...!
Tiga tokoh silat kerajaan roboh
dengan dada hancur terkena pukulan dan
tendangan Ratnasari.
Namun, tokoh-tokoh kerajaan yang
rata-rata telah berusia lanjut itu tak
gentar. Mereka terus merangsek maju
dengan jurus dan ilmu pamungkas mereka
yang paling dahsyat.
"Heaaa...!"
Disertai teriakan nyaring,
seorang tokoh silat kerajaan yang
mengenakan pakaian pendeta menerjang.
Kedua tangannya bergerak lurus ke
depan. Ratnasari balas menerjang.
Kedua tangannya menempel di dada, lalu
menghentak!
Blaaarrr...!
Dua kekuatan tenaga dalam bertemu
di udara. Tubuh tokoh silat kerajaan
terlontar dan membentur dinding
gerbang istana hingga jebol. Tokoh tua
itu pun terhempas ke tanah lalu
menghembuskan napas terakhir. 
Ratnasari sendiri hanya terdorong
mundur satu tindak. Kesempatan itu tak
disia-siakan lawan-lawannya yang lain.
Mereka menerjang secara bersamaan.
Tubuh Ratnasari meluncur ke atas.
Pada saat itu seorang kakek bertubuh
gemuk melontarkan jaring. Tapi,
pukulan  jarak jauh Ratnasari telah
mendahului.
Blaaarrr...!

Tubuh kakek gemuk itu terlempar
dalam keadaan hancur!
Ratnasari benar-benar berpesta
kematian. Satu persatu tokoh-tokoh
kerajaan terjungkal. Permukaan tanah
di sekitar arena pertempuran basah
bersimbah darah. Jerit-jerit kesakitan
membahana mengantarkan kematian.
Di ruang utama istana Baginda
Prabu Arya Dewantara diliputi rasa
amarah dan khawatir. Matanya memandang
nanar ke setiap sisi ruangan.
Raja yang berusia lima puluh
tahun itu kemudian meloloskan  keris
lambang kekuasaannya. Keris berlekuk
sembilan sembilan itu memancarkan
sinar kebiruan. Untuk beberapa lama
Baginda Prabu Arya Dewantara menatap
keris yang diacungkan ke depan
wajahnya. Kemudian, kakinya
melangkah....
"Sinuwun hendak ke mana?"
Seorang wanita cantik berpakaian
gemerlap muncul dari serambi. Baginda
Prabu Arya Dewantara menatap kehadiran
wanita cantik itu.
"Kabut yang menyelubungi istana
begitu tebal, Nimas," ucap Baginda
Prabu Arya dewantara. "Aku akan
mencoba untuk mengusir kabut itu."
"Jangan, Sinuwun...," cegah
wanita cantik berpakaian gemerlap yang
tak lain permaisuri Baginda Prabu Arya
Dewantara, Rara Nawangwulan.

"Kewajiban seorang raja selain
memimpin, mengatur, dan  memakmurkan
kehidupan rakyat j-ga harus dapat
memberikan rasa aman dan tenteram...,"
titah Baginda Prabu Arya Dewantara de-
ngan suara lembut. "Ratnasari adalah
salah satu sumber kekacauan yang akan
memporak porandakan kehidupan rakyat.
Sebagai seorang pemimpin, sudah
menjadi kewajibanku untuk menghalau
wanita iblis itu."
"Tapi tokoh-tokoh  kerajaan masih
banyak, Sinuwun"
"Kau lihat sendiri, Nimas. Mereka
tak mampu menghadapi keganasan wanita
iblis itu." 
"Tapi...."
"Ah, sudahlah. Kau jangan
menghalangiku...."
Baginda Prabu Arya Dewantara
melangkahkan kakinya. Rara Nawangwulan
hanya dapat menatap kepergian laki-
laki kecintaan yang sekaligus
junjungannya itu.
Pada saat itulah muncul Kapi
Anggara. Pemuda tampan ini langsung
berlutut di hadapan Baginda Prabu Arya
Dewantara.
"Mohon ampun, Baginda. Hamba
datang  terlambat. Tapi, Baginda tak
perlu turun tangan. Hamba datang
bersama Pengemis Binal dan Pendekar
Kipas Terbang," lapor Kapi Anggara.
"Mereka di mana?"

"Langsung menggempur Ratnasari.
Untuk itu, perkenankanlah hamba mohon
diri guna membantu mereka."
Kapi Anggara beringsut mundur.
Lalu, berkelebat menuju ke arena
pertempuran.
Tokoh silat kerajaan yang masih
tersisa tiga orang bisa bernapas lega
melihat kehadiran Suropati dan Raka
Maruta. Apalagi ketika datang Kapi
Anggara yang sudah mereka kenal.
Semangat tempur mereka tiba-tiba
menggelora kembali.
"Hyaaattt...!"
Dengan berteriak bersamaan,
Suropati dan Raka Maruta menerjang!
Tongkat di tangan Pengemis Binal
terayun dalam jurus 'Tongkat Menghajar
Maling'. Sedangkan Pendekar Kipas
Terbang melontarkan kipas andalannya
dengan jurus 'Kipas Terbang Membelah
Angin'.
Tak...! 
Wuuusss...!
Tangan kiri Ratnasari menangkis
ayunan tongkat Suropati. Tangan
kanannya  menghentak ke depan seraya
melancarkan pukulan jarak jauh.
Akibatnya, kipas Raka Maruta
terpental.
Wanita pemuja setan itu langsung
menendang kepala Suropati. Tapi,
dengan mudah Pengemis Binal menghin-
dari serangan itu. Ratnasari tak putus

asa karenanya. Kaki kanannya yang
masih melayang di udara terus
meluncur! 
Desss...!
Seorang tokoh  silat kerajaan
tertendang dadanya dengan telak. Dia
pun roboh memeluk bumi tanpa mampu
bangkit lagi.
"Ha ha ha...!" Tawa Ratnasari
membahana. "Satu persatu aku akan
mengirim kalian ke neraka!"
Tubuh wanita pemuja setan itu
berputar cepat hingga menimbulkan deru
angin dahsyat. Putaran itu tanpa
diduga-duga berhenti mendadak lalu
meluncurlah serangan beruntun.
Des...! Des...!
Dua tokoh kerajaan yang masih
tersisa tak sempat menghindar. Tubuh
mereka terlontar dalam keadaan hancur.
Pukulan Ratnasari memang dilambari
seluruh kekuatan tenaga dalamnya.

* * *

8

Sehebat-hebatnya seorang manusia,
apabila terus-menerus mengerahkan
tenaga tentu tubuhnya berangsur-angsur
akan menjadi lemah. Hal itu juga
dialami Ratnasari.
Pertempuran yang berlangsung dari
menjelang siang sampai malam banyak

menguras tenaganya. Apalagi yang
dihadapi bukanlah tokoh-tokoh  samba-
rangan. Ratnasari harus mengerahkan
segala kemampuannya untuk menghadapi
mereka.
Pakaian wanita  cantik itu telah
basah oleh keringat bercampur darah.
Peluh sebesar biji-biji ja-gung
bergulir dari keningnya. Dengusan
napasnya pun terdengar memburu.
Tapi, wanita pemuja setan itu
terus mencecar lawan. Dia berusaha
menjatuhkan tangan mautnya. Teriakan-
nya masih terdengar nyaring.
Dan, di suatu kesempatan yang
kurang menguntungkan Ratnasari....
Des...!
Tongkat Suropati berhasil
mengenai bahu kiri. Tapi, tenaga dalam
wanita  pemuja setan itu sudah
sedemikian kuatnya. Dia tak mengalami
luka yang berarti. Namun keberuntungan
itu tak berlangsung lama. Senjata
andalan Raka Maruta meluncur cepat
menjalankan tugasnya! 
Bret...!
Punggung Ratnasari terkoyak
lebar. Darah segar merembes mengotori
kulit tubuhnya yang putih. Sebentar
kemudian.... bunga kenaga Kapi Anggara
menancap di dada kanan wanita itu.
Diiringi jeritan  panjang tubuh
Ratnasari mencelat jauh. Wanita itu
kemudian berdiri tegak dengan kedua

telapak tangannya menyatu di depan
dada. Mulutnya komat-kamit merapal
mantera.
Wooosss...!
Tubuh Ratnasari lenyap bagai
ditelan bumi, meninggalkan asap
keputih-putihan di tempat hilangnya.
"Di mana dia?" tanya Raka Maruta
dan Kapi Anggara bersamaan.
Suropati menggaruk kepalanya.
"Kalian bertanya kepadaku?" katanya
ganti bertanya.
"Kerbau dungu!" umpat Raka
Maruta.
"Eh, siapa yang kau katakan
'kerbau dungu' itu?" tanya Pengemis
Binal.
"Kau! Monyet Goblok!" sungut Kapi
Anggara.
Mendengar  itu Suropati hanya
menggaruk-garuk kepalanya. "Uh!
Sebel!" katanya pelan. "Kalian tidak
lebih pintar bila dibanding denganku.
Kenapa mesti mengataiku seperti itu?"
"Tolol!" umpat Kapi Anggara lagi.
"Kalau kau tidak mau dikatakan goblok
dan dungu, coba kau cari di mana
Ratnasari sekarang?!"
Pengemis Binal menggaruk kepala-
nya lagi.
"Wanita iblis itu sedang
mengetrapkan aji 'Halimun Sakti', Tuan
Pendekar Budiman yang pintar kaya
kentut!"

Brot...!
Suropati menggoyang-goyangkan
pantatnya yang habis mengeluarkan
udara 'beracun'. Dengan serta merta,
Raka Maruta dan Kapi Anggara memencet
hidung mereka. Mencegah udara
'beracun' itu terhirup masuk ke dalam
paru-paru.
"Eh, jangan memencet hidung,
Pendekar Pintar! Nanti udara
'beracun'-nya tidak terhirup!" teriak
Suropati dengan cengengesan.
Mendengar kalimat  itu, Raka
Maruta dan Kapi Anggara berjalan
mendekati Suropati. Lalu....
Tak!
Tak!
Remaja konyol itu meraba
kepalanya yang terkena jitakan.
"Setan Alas! Kambing Congek!
Kadal Buduk! Sapi Ompong!" umpat
Suropati sejadi-jadinya.
Setelah puas  memaki-maki, dia
membentangkan tangannya. Gerakannya
seperti sedang mengu-ir sesuatu.
"Minggir kau, Pendekar-Pendekar
Pintar! Aku akan mengeluarkan ilmu
'Mata Awas'-ku untuk mencari
Ratnasari...."
Tubuh remaja konyol itu kemudian
melesat. Dikejarnya asap keputihan
yang melayang tertiup angin. Raka
Maruta dan Kapi Anggara saling
berpandangan. Dengan menggerutu mereka

mengikuti langkah kaki Suropati.
Asap keputihan itu terus melayang
hingga sampai ke sebuah sungai kecil
berair dangkal. Tiba-tiba saja
Pengemis Binal melancarkan pukulan
jarak jauh.
Blaaarrr...!
Suara menggelegar langsung
membahana. Asap keputihan itu pun
lenyap. Tampaklah tubuh Ratnasari yang
berdiri terhuyung-huyung.
"Rupanya kau sedang mabuk karena
terlalu banyak makan kentutku, ya?"
ejek Suropati.
"Bocah Gendeng! Aku akan mengupas
bibirmu yang memble itu!" teriak
Ratnasari.
"Eit! Tak baik marah-marah
begitu! Dulu kau pernah mengajakku
bermesraan. Bagaimana kalau kita mulai
sekarang?" goda Suropati dengan
konyolnya.
"Kurang ajar!" umpat Ratnasari.
Wanita pemuja setan itu menyerang
dengan membabi buta. Tapi karena
tubuhnya yang sudah sedemikian lemah,
gerakan Ratnasari jadi lambat, Sambil
tersenyum-senyum Suropati menghindar
dengan mudah. Bahkan tongkat remaja
konyol itu berhasil mengemplang kepala
Ratnasari. Kalau saja wanita cantik
itu bukan tokoh pilih tanding,
tentulah kepalanya akan pecah.
"Lihat kepalamu yang benjol itu,

Sayang!" ucap Pengemis Binal. "Nah,
tidak bisa, kan? Nggak usah dilihat!
diraba saja!"
Ratnasari mendengus dengan kema-
rahan yang meluap-luap. Darahnya
mendidih naik sampai ke ubun-ubun.
Kembali diterjangnya Suropati dengan
lebih bernafsu.
Tapi, Suropati telah
mempersiapkan serangan mendadak. Tubuh
remaja konyol itu membalik berdiri
membelakangi. Ratnasari tersenyum
senang melihat tindakan remaja konyol
itu. Dia pun semakin mempercepat
terjangannya. Namun....
Bluuusss...!
Mata wanita pemuja setan itu
mendelik lebar. Mulutnya menganga.
Kedua tangannya menggelantung lemah.
Dada Ratnasari tertembus ujung tongkat
Pengemis Binal!
Dengan sigap Suropati mencabut
tongkatnya. Lalu, mata remaja konyol
itu menata tubuh Ratnasari yang
tergeletak di atas tanah.
"Mati kau, Wanita Iblis!"
Tiba-tiba, suatu keanehan ter-
jadi. Luka yang menganga di dada
Ratnasari mengepulkan asap hitam.
Sekejap kemudian luka itu perlahan-
lahan menangkup kembali seperti
sediakala.
Wooossss...!
Tubuh wanita pemuja setan itu

mencelat ke atas, dan mendarat di
tanah dengan mulusnya.
"Ha ha ha...! Kau jangan gembira
dulu, Bocah Gendeng! Demi setan
gentayangan penguasa jagat hitam, aku
akan mempersembahkan nyawamu untuk
dijadikan budak!"
Mau tak mau Suropati merasa
ngeri. Pemuda itu melangkah rrmndur
beberapa tindak. Mata Ratnasari tampak
memancarkan sinar aneh.
"Ilmu 'Asmara Penggoda'," bisik
Suropati seraya memalingkan mukanya.
"Ayo, pandanglah aku, Bocah
Gendeng! Katanya kau ingin bermesraan
denganku!"
"Baik. Aku akan segera memeluk
tubuhmu," Suropati membalikkan badan-
nya.
Dengan kepala tertunduk remaja
konyol itu mendekatkan ujung jari
telunjuknya ke depan dada. Sebentar
kemudian, dari kepalanya mengepul asap
tipis. Tubuh Pengemis Binal lalu
meluncur deras melancarkan ilmu
totokan 'Delapan Belas Tapak Dewa'!
Blab! Blab! Blab!
Ilmu totokan yang dilambari
kekuatan sihir itu tepat mengenai
sasaran. Tubuh Ratnasari berdiri
limbung. Dari bagian tubuh yang
tertotok memancar darah segar. Untuk
beberapa lama, Ratnasari memandangi
tubuhnya yang basah bersimbah darah.

"Ha ha ha...!"
Tiba-tiba, tawa wanita itu
tercetus. "Ini hanya. ilmu tembre,
Bocah Gendeng! Aku akan...."
Wanita pemuja setan itu
melanjutkan kalimatnya.  Dia merasakan
suatu perubahan terjadi pada tubuhnya.
Perlahan-lahan kulit tubuh Ratnasari
menjadi keriput,  lalu mengelupas.
Wajahnya yang semula cantik berubah
mengerikan bagai wajah iblis baru
bangun dari kuburan.
Suropati terkejut bukan main.
Kepalanya tertunduk tak sanggup
menyaksikan pemandangan yang menggi-
riskan itu. Saat itulah tubuh
Ratnasari yang mengeluarkan bau anyir
melayang ke arah Pengemis Binal.
Malaikat kematian pun mengintai nyawa
Suropati.
Mendadak, sebuah bayangan
berkelebat memapaki luncuran tubuh
Ratnasari.
Blaaarrr...!
Tubuh dewa penolong yang tak lain
Kapi Anggara itu terlontar dalam
keadaan terluka dalam. Ratnasari
berjumpalitan di udara lalu mendarat
di atas tanah.
Suropati bergegas menghampiri
Kapi Anggara. "Kau tidak apa-apa,
Anggara?" tanyanya.
"Tidak apa-apa bagaimana? Jelas
aku.... Uoookkk..!"

Si Pendekar Asmara menyemburkan
darah segar. Dia pun segera duduk
bersila untuk menyalurkan hawa
murninya ke dada.
"Lukanya tidak sebegitu parah,
Suro," kata Raka Maruta yang datang
bersamaan dengan Kapi Anggara. "Kita
hadapi bersama wanita iblis itu."
Pengemis Binal tidak menyahuti.
Pemuda itu melompat ke hadapan
Ratnasari. Wanita pemuja setan itu
hendak menerjang. Tapi, Suropati hanya
diam di tempatnya. Kedua tangannya
bersedekap. Lalu, dari sekujur tubuh
Pengemis Binal memancar cahaya kebiru-
biruan. 
Blaaarrr.,.!
Tubuh Ratnasari terpental jauh.
Wanita itu terkena hempasan kekuatan
ilmu 'Kalbu Suci Penghempas Sukma'
yang melindungi tubuh Suropati.
Tubuh wanita pemuja setan itu
bergulingan di atas tanah. Tapi, dia
segera bangkit dengan sosok yang lebih
mengerikan. Pakaiannya yang koyak-
koyak memperlihatkan bagian tubuh
membusuk dengan daging berbau anyir
dan mengelupas di sana-sini.
Sosok mengerikan itu kembali
menerjang Pengemis Binal. Bersamaan
dengan itu Raka Maruta melayang cepat.
Dilemparkannya kedua telapak tangannya
ke punggung Suropati.
Blaaarrr...!

Kembali ledakan dahsyat membahana
di angkasa. Ilmu 'Kalbu  Suci
Penghempas Sukma' yang disertai
kekuatan ilmu 'Hati Suci' milik Raka
Maruta membuat tubuh Ratnasari lebur
jadi serpihan daging berbau sangat
anyir.
Dengan matinya Ratnasari atau
Bidadari Bunga Mawar, para tokoh rimba
persilatan yang dipengaruhi ilmu
'Asmara Penggoda' langsung tersadar.
Mereka terkejut, bagai baru
muncul dari tempat gelap yang
membutakan pikiran dan akal sehat. Di
antara tokoh itu adalah Sawung Jenar
atau Iblis Selaksa Ular yang masih
berada di lorong rahasia di Bukit
Hantu.
Pemuda bersisik ular itu berlari-
lari bagai orang kesurupan. Dia
mencoba keluar dari tempat yang sangat
membingungkannya itu. Dengan ilmu yang
dimilikinya dia berhasil mencapai
Sungai Bayangan, tempat kediamannya.

* * *

Mentari terusir. Malam rebah
menangkupi bumi. Gelap menerpa.
Perlahan-lahan Sang Candra menampakkan
wujudnya. Cahayanya berbaur dengan
gemerlap bintang.
Sekar Mayang dan Ingkanputri
berlari cepat menuju Lembah Tengkorak.

"Aduh!" jerit Sekar Mayang tiba-
tiba.
"Kau kenapa, Ketua?" tanya
Ingkanputri.
"Tidakkah kau lihat tanganku
tinggal sebelah, Putri?"
"Oh...."
Ingkanputri mendekap mulutnya.
Dalam temaram malam, murid Dewi Tangan
Api itu menatap pergelangan tangan
Sekar Mayang yang buntung sebatas
siku. Balutannya masih basah oleh
darah.
Tuk...! Tuk...! Tuk...!
Sekar Mayang menotok beberapa
jalan darah di lengan kanannya. Jerit
tertahan keluar dari mulut wanita
cantik itu.
"Segera kau cari tempat untuk
bermalam, Putri...," pinta Sekar
Mayang kemudian.
Ingkanputri menganggukkan kepala.
Dia segera berlalu dari tempat itu.
Tak lama kemudian Ingkanputri telah
kembali.
"Di sana ada sebuah gua, Ketua,"
lapor Ingkanputri sambil menudingkan
jari telunjuknya.
"Sekarang juga kita ke sana,
Putri."
Dua wanita cantik itu pun melesat
berlari menyibak gelap. Sesampainya di
gua yang mereka dituju Sekar Mayang
memerintahkan Ingkanputri untuk

membuat perapian. Murid Dewi Tangan
Api itu segera menuruti.
Keadaan dalam gua jadi terang-
benderang. Sekar Mayang menyandarkan
tubuhnya ke dinding. Ingkanputri duduk
di hadapan perapian. Sesekali gadis
itu memandang wajah Sekar Mayang
dengan tatapan kosong.
Sekar Mayang menghembuskan napas
berat. Matanya menerawang jauh.
Pikirannya kembali ke peristiwa yang
baru saja dialaminya.
Tiba-tiba, terdengar alunan suara
seruling yang mendayu-dayu. Sekar
Mayang memejamkan pendengarannya. 
"Siapa itu?!" teriak Sekar
Mayang. Suaranya menggema dan memantul
di dinding-dinding gua.
Lama wanita cantik itu menunggu
jawaban. Tapi, yang diinginkannya tak
juga dia dapatkan.
"Tunjukkan dirimu, Manusia!"
teriak Sekar Mayang lebih keras.
Jawabannya adalah suara seruling
yang semakin keras. Sekar Mayang
menggeram gusar.
"Segera kau cari peniup seruling
itu, Putri!"
Ingkanputri bangkit dari
duduknya. Gadis cantik itu melangkah
ke luar gua. Suara tawa berkepanjangan
yang tak tentu dari mana asalnya
menghentikan langkah Ingkanputri.
"Tunjukkan dirimu, Keparat!"

teriak Sekar Mayang, geram bukan main.
Perlahan-lahan suara tawa itu
berhenti, lalu berganti dengan alunan
bunyi seruling kembali. Sayup-sayup
terdengar lantunan tembang....

Ketika setan telah terusir dari
sorga
Dia punya kekuatan untuk
melurukkan
Manusia ke lembah dosa
Tapi, manusia pun punya kekuatan 
Untuk menghalaunya
Kekuatan setan terhempas
Namun, bisa dihimpun
Kekuatan setan yang telah
terhimpun
Sanggup melontarkan manusia ke
neraka
Jiwa pun luruh dalam gelap nafsu
angkara
Satu jalan menghimpun kekuatan
setan
Adalah Kitab Sukma Gelap.

Mata Sekar Mayang bersinar nanar
ketika lantunan tembang itu berhenti.
"Apa maksud yang terkandung di
dalam syair itu?" gumam wanita
bertangan buntung ini. "Seperti sebuah
petunjuk untuk menghimpun kekuatan
setan. Tapi, bagaimana caranya? Ah,
tadi kudengar kata 'Kitab Sukma
Gelap'. Apakah itu jawabannya?"

Ketika Sekar Mayang larut dalam
pikirannya, seberkas cahaya meluncur
ke arahnya. Sekar Mayang meloncat
tinggi-tinggi. Cahaya itu akhirnya
membentur dinding gua hingga jebol.
Debu mengepul tebal. Serpihan
batu berhamburan. Dari dinding gua
yang menganga lebar terpancar cahaya
menerangi seluruh ruangan.
Seorang kakek bertelanjang dada
tampak du-uk di atas batu besar. Bulu
lebat tumbuh subur di sekujur
tubuhnya. Wajahnya hampir tak bisa
dikenali lagi. Tertutup bulu lebat
yang juga tumbuh di seputar wajahnya.
Yang menandakan kalau dia seorang
lelaki tua adalah dadanya yang datar
dan telapak kakinya yang keriput.
"Siapa kau?" tanya Sekar Mayang
dengan tatapan ngeri.
"Dewa Sesat...," jawab kakek
berbulu lebat itu. Suara yang keluar
dari mulutnya seperti rintihan orang
sakit.
"Apakah kau yang barusan
menyerangku?" 
"Ha ha ha...!"
Terdengar suara tawa menggema
berkepanjangan. Sekar Mayang mendengus
gusar.
"Jawab pertanyaanku, Dewa Sesat!"
"Hawa  amarah bercampur dendam
membutakan mata. Seseorang yang ingin
menunjukkan kebaikan pun terkena

akibatnya."
"Apa maksudmu?" tanya Sekar
Mayang penuh selidik.
"Mendekatlah kemari, Wanita
Buntung.."
Sekar Mayang terpaku di
tempatnya. Hatinya diliputi keraguan.
"Bila kau punya dendam membara,
mendekatiah kemari, Wanita Buntung!"
"Untuk apa?"
"Aku akan menunjukkan jalan untuk
melampiaskan dendammu itu."
Perlahan  lahan Sekar Mayang
melangkahkan kakinya.
"Bagus, Wanita Buntung. Kau punya
keberuntungan hingga menjadi pewaris
ilmu 'Leluhur Sesat'. Untuk itu,
segeralah kau berlutut di hadapanku!"
"Huh! Aku tak tahu siapa kau.
Kenapa kau memerintah seenak perutmu
sendiri?!" 
"Ha ha ha...!"
Kembali suara tawa menggema
berkepanjangan.
"Binatang! Kenapa kau selalu
mengeluarkan tawa jelekmu itu? Apakah
kau sengaja menghinaku?!" Sekar Mayang
membentak keras-keras.
Kakek berbulu lebat yang
memperkenalkan dirinya sebagai Dewa
Sesat terlihat menggelengkan kepala.
"Sudah kukatakan, kau punya
keberuntungan hingga menjadi pewaris
ilmu 'Leluhur Sesat'! Lalu, untuk apa

aku menghinamu? Kau adalah manusia
yang dianugerahi amarah dan dendam
membara yang begitu berapi-api. Kau
pantas untuk memiliki Kitab Sukma
Gelap."
"Jangan bicara yang tak ketahuan
ujung pangkalnya!" sentak Sekar
Mayang. 
"Sedikit pun aku tak tahu maksud
ucapanmu."
"Di dunia ini ada dua kekuatan
yang saling bertentangan. Hitam dan
putih.  Kekuatan hitam terhimpun dari
dunia gelap yang dikuasai nafsu
angkara. Kekuatan setan itu selalu
berusaha menghancurkan kekuatan putih.
Demikian pula sebaliknya. Tapi, dengan
Kitab Sukma Gelap kekuatan hitam akan
dapat mengalahkan kekuatan putih. Dan
kau adalah pewaris kitab itu, Wanita
Buntung...."
Dewa Sesat menengadahkan telapak
tangan kanannya. Sebuah kitab
bersampul hitam berada di atas telapak
tangan itu. Sekar Mayang menatap tajam
kitab yang disodorkan ke arahnya.
Rupanya, wanita buntung itu benar-
benar akan menjadi pewaris Kitab Sukma
Gelap.
Sampai di manakah kehebatan ilmu
hitam yang terkandung di dalam kitab
tersebut? Dan, bagaimanakah  sepak
terjang Sekar Mayang setelah
mempelajari isinya?

SELESAI



Ikuti serial Pengemis Binal dalam
episode
"KITAB SUKMA GELAP"