Pengemis Binal 02 - Kemelut Kadipaten Bumiraksa(3)



 ***
Setiba di tanah datar tempat anggota Perkum-
pulan Pengemis Tongkat Sakti bermukim, puluhan
mata menyaksikan Carang Gati dan Katabang sedang
membopong tubuh Adipati Danubraja.

"Kenapa orang itu, Carang Gati?" tanya Gede
Panjalu yang tiba-tiba muncul di hadapan mereka ber-
dua.
"Dia terluka parah, Kakek Gede. Tubuhnya ku-
temukan tergeletak di lereng bukit," jelas Carang Gati.
Gede Panjalu menatap tubuh Adipati Danubra-
ja yang berlumuran darah. Pakaiannya sudah tak ka-
ru-karuan lagi, bercampur darah dan debu tebal.
"Segera bawa ke bilikku...," ujar Gede Panjalu
memberi perintah.
Carang Gati dan Katabang segera mengerjakan
perintah Gede Panjalu. Mereka meletakkan tubuh Adi-
pati Danubraja di dipan bambu.
Sebentar kemudian, kakek bongkok itu telah

sibuk melakukan pengobatan. Bagian-bagian tubuh
Adipati Danubraja yang terluka akibat sayatan pedang
dibalut dengan kain bersih. Sedangkan pada bagian
yang memar, diborekan ramuan daun-daunan.
"Untung hanya luka luar. Jadi, tak begitu
membahayakan jiwanya...," gumam Gede Panjalu.
Suropati yang telah hadir di tempat ini mende-
kati Pengemis Tongkat Sakti. Remaja yang sudah ge-
nap berumur sembilan belas tahun itu tampak sema-
kin gagah. Matanya bersinar tajam, menyorotkan ilmu
kepandaian yang dimilikinya. Rambutnya yang hitam
panjang masih tetap dibiarkan terurai di punggung.
Pakaiannya walaupun penuh tambalan, tapi tampak
bersih.
"Bukankah dia Gusti Adipati Danubraja...?"
tanya Suropati kepada Gede Panjalu, seperti ingin me-
negaskan dugaannya.
"Benar," jawab Gede Panjalu pendek.
"Kenapa dia berada di sini dengan tubuh terlu-
ka parah seperti itu?"
"Carang Gati dan Katabang yang menemukan-
nya. Katanya tubuhnya ditemukan tergeletak di lereng
bukit"
Sementara itu, perlahan-lahan Adipati Danu-
braja sadar dari pingsannya. Tubuhnya menggeliat ke-
cil
"Uhhh...! Di mana aku...?" tanya Adipati Danu-
braja sambil mencoba bangun.
"Tenanglah, Gusti Adipati. Luka-lukamu belum
sembuh...," ujar Pengemis Binal perlahan.
Adipati Danubraja membuka mata lebar-lebar.
Ketika menatap Suropati dan Gede Panjalu yang ber-
pakaian penuh tambalan, dia beringsut menjauh. 
"Kalian menculikku...?!"

Kening Suropati berkerut.
"Tidak ada yang menculik Gusti Adipati. Justru
kakekku yang bernama Gede Panjalu ini, yang meno-
long Gusti Adipati...," kata Pengemis Binal memberi
penjelasan.
Adipati Danubraja diam tepekur di atas dipan. 
"Apakah pengemis-pengemis yang mengeroyok-
ku itu bukan teman kalian?" tanya Adipati Danubraja
diliputi rasa heran.
"Gusti Adipati dikeroyok pengemis...?" Gede
Panjalu malah balik bertanya.
Sementara itu, kening Suropati kembali berke-
rut. 
"Cobalah Gusti Adipati menceritakan peristi-
wanya...," ujar Pengemis Binal.
Adipati Danubraja menatap wajah Suropati dan
Gede Panjalu bergantian. Karena tidak melihat sinar
permusuhan dari mata mereka, segera diceritakannya
peristiwa di pendapa kadipaten yang baru saja terjadi.
"Bagaimana ciri-ciri kesepuluh pengemis itu?"
tanya Suropati kemudian.
"Aku tidak begitu memperhatikan. Tapi, pa-
kaian mereka jelas seperti pakaian pengemis layaknya.
Yakni, penuh tambalan. Dan mereka bersenjata golok,"
Jelas Adipati Danubraja.
"Golok...?!" kata Suropati dan Gede Panjalu
hampir bersamaan.
"Anggota Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti
tidak ada yang bersenjata golok. Jelas, mereka sengaja
membuat fitnah...!" sentak Suropati bersemangat
Tiba-tiba di luar terjadi keributan seperti terjadi
pertengkaran mulut. Saat itu juga, Suropati dan Gede
Panjalu segera melompat.
Tampak sekitar lima puluh orang prajurit Kadi-

paten Bumiraksa tengah berhadapan dengan para
pengemis bersenjata tongkat.
"Kami sedang mencari junjungan kami! Kenapa
kalian menghalangi...?!" tandas salah seorang dari pra-
jurit kadipaten.
Suropati berjalan mendekati. "Siapa yang kau
cari, Prajurit?" tanya Pengemis Binal.
"Gusti Adipati Danubraja." 
Mendadak Adipati Danubraja muncul di tempat
itu. Dia berdiri tegak. Tubuhnya yang terluka masih
bisa menunjukkan kegagahannya.
"Aku di sini, Prajurit," kata Adipati Danubraja
menampakkan kewibawaannya.
Melihat kehadiran adipati itu, seluruh prajurit
kadipaten yang baru saja datang segera berlutut.
Adipati Danubraja tersenyum sinis.
"Jangan bermain sandiwara di hadapanku! Bu-
kankah kalian antek-antek Patih Wiraksa yang diperin-
tah untuk membunuhku...?!" dengus adipati ini.
"Ampun, Gusti Adipati. Junjungan kami hanya
Gusti Adipati. Kalau kami berdusta, nyawa kami taru-
hannya...," ucap seorang prajurit kadipaten yang ber-
lutut di dekat Suropati. "Kami semua adalah pengikut
setia Gusti Adipati."
Mendengar kalimat itu, Adipati Danubraja ber-
jalan beberapa langkah seraya mencabut pedang pen-
deknya. Dan....
Siiing..!
Pedang di tangan adipati itu berkelebat cepat.
Seorang prajurit yang berada di dekat Adipati Danu-
braja bergidik ngeri. Matanya segera dipejamkan waktu
melihat kelebatan pedang tertuju ke arahnya!
Prajurit yang sudah pasrah menerima kematian
itu merasakan hembusan angin di atas kepalanya. Dia

pun bernapas lega setelah menyadari Adipati Danubra-
ja tak berniat membunuhnya.
"Baik! Aku percaya kepada kalian. Dan seka-
rang juga, kalian ikut aku kembali ke pendapa kadipa-
ten. Gusti Ayu Rara Anggi dan Dewi Ikata harus segera
diselamatkan...!" tegas Adipati Danubraja.

***

9

Sementara itu, suasana di Pendapa Kadipaten
Bumiraksa telah kembali tenang. Para pengikut Patih
Wiraksa dapat bekerja cepat membersihkan sisa-sisa
pertempuran. Prajurit-prajurit kadipaten yang berpi-
hak kepada Patih Wiraksa tampak berjaga-jaga di pos
masing-masing seperti biasa.
Di dalam sebuah kamar, Rara Anggi bersama
putrinya, Dewi Ikata, tak henti-hentinya menghambur-
kan air mata. Kesedihan menghantam, membuat luka
menganga di lubuk hati. Mereka seperti sedang hidup
dalam mimpi buruk. Mereka belum bisa menerima ke-
nyataan yang baru saja terjadi.
"Di mana ayahanda, Bu...?" tanya Dewi Ikata di
sela-sela tangisnya.
Rara Anggi hanya diam terpuruk di sudut
ruangan, tak mampu menjawab pertanyaan putrinya.
"Apakah ayahanda telah berpulang, Bu...?" de-
sak Dewi Ikata.
Rara Anggi menatap wajah putrinya tanpa ber-
kedip. Mata Dewi Ikata terlihat memerah dan bengkak,
karena terlalu banyak mengeluarkan air mata.
"Oh..., Ikata anakku...."

Tiba-tiba Rara Anggi berhambur, memeluk tu-
buh putrinya. Maka suara tangis mereka meledak.
Dengan saling berpelukan, mereka menumpahkan pe-
rasaan masing-masing.
Di tengah suasana seperti itu tiba-tiba pintu
terbuka. Ternyata yang muncul adalah seorang lelaki
setengah baya berwajah bersih dan halus. Bibirnya
mengulum senyum dingin ke arah Rara Anggi yang
kontan menoleh saat pintu terbuka. Dan yang datang
memang Patih Wiraksa.
"Pergi kau, Wiraksa...!" teriak Rara Anggi, meli-
hat kehadiran patih itu.
Patih Wiraksa menyeringai. Matanya menatap
tajam ke tubuh wanita cantik yang sedang memeluk
putrinya.
"Kau jangan berkata kasar seperti itu, Anggi.
Akulah yang memegang tampuk kepemimpinan di Ka-
dipaten Bumiraksa sekarang ini...," ujar Patih Wiraksa
tandas.
"Cihhh...!" Rara Anggi meludah di lantai. "Kau
hanyalah seekor binatang yang tak tahu membalas
budi...!"
Patih Wiraksa menggeram gusar. Sinar mata
berkilat nyalang. Tapi, segera meredup. Dan bibirnya
pun menampakkan senyum manis.
"Aku mencintaimu, Anggi...," kata Patih kadipa-
ten itu perlahan.
"Tua bangka tak tahu malu! Beraninya kau
mengatakan itu kepadaku...!"
"Benar, Anggi. Aku mencintaimu. Sejak kau di-
peristri Danubraja, hatiku sebenarnya telah hancur
berkeping-keping. Bertahun-tahun aku menunggu ke-
sempatan untuk dapat merebut dirimu. Dan, baru se-
karanglah keinginanku bakal terwujud adanya...."

"Tua bangka! Lihat dirimu yang sudah mende-
kati liang kubur! Apakah kau tak merasa malu mengu-
capkan kata itu...?!"
"Demi cintaku padamu, aku rela melakukan
apa saja, Anggi. Termasuk menepiskan rasa malu da-
lam diriku. Sekarang, aku mohon agar kau sudi men-
jadi istriku...," ratap Patih Wiraksa, berusaha berkata
lembut.
"Tidak! Aku tak sudi diperistri seekor binatang
macam kau, Wiraksa...!" teriak Rara Anggi.
Patih Wiraksa kembali menggeram gusar, se-
raya melangkah mendekati Rara Anggi.
"Aku katakan sekali lagi, sudikah kau menjadi
istriku?" desak lelaki itu.
"Aku tak sudi, Keparat!" dengus Rara Anggi.
Mendengar ucapan Rara Anggi yang memerahkan te-
linga, kesabaran Patih Wiraksa sampai pada batasnya.
Tiba-tiba tangannya bergerak, menjambak rambut Ra-
ra Anggi. Seketika ditariknya ke belakang, sehingga
wajah wanita cantik itu tengadah.
"Kau menolak cintaku, Anggi...," desis Patih Wi-
raksa dengan gigi gemeretuk. "Kau tahu, apa akibat-
nya...?!"
"Kalau kau mau membunuhku, segera laku-
kan...!" sentak Rara Anggi dengan beraninya.
Dewi Ikata yang menyaksikan kejadian ini me-
meluk tubuh ibunya dari belakang, tanpa mampu ber-
buat apa-apa.
Tiba-tiba.... 
Sreeet..!
Patih Wiraksa segera menghunus pedangnya.
Matanya menatap ketajaman pedangnya sebentar, ke-
mudian beralih ke tubuh Rara Anggi yang terpuruk di
lantai.

"Baik, kalau memang itu maumu. Segeralah
bersiap-siap menemui malaikat kematian...!"
Selesai mengucapkan kalimatnya, pedang di
tangan Patih Wiraksa berkelebat cepat!
Jerit Rara Anggi dan Dewi Ikata membahana.
Suaranya menggema terpantul di dinding. Namun,
yang terdengar justru tawa berderai dari mulut patih.
Ternyata niat membunuhnya diurungkan.
"Ha ha ha.... Aku masih merasa sayang nya-
wamu, Anggi," kata Patih Kadipaten itu sambil mema-
sukkan pedangnya ke dalam sarungnya.
Rara Anggi menatap Patih Wiraksa penuh ke-
bencian.
"Kenapa kau tidak segera membunuhku, Kepa-
rat?!" desis Rara Anggi.
"Hari ini aku merindukan kehangatan tubuhmu
Anggi...," kata Patih Wiraksa dengan dada bergolak.
Hasrat kelelakian patih ini tiba-tiba muncul. Setelah
menatap wajah Rara Anggi dalam-dalam, tangannya
bergerak cepat!
Breeet...!
"Auuuwww...!"
Rara Anggi menjerit gusar. Bajunya terkoyak
lebar, menampakkan dua gunung kembar yang tiba-
tiba menyembul. Dan ini membuat Patih Wiraksa ter-
beliak. Jakunnya turun-naik. Mendadak napasnya
menjadi ngos-ngosan.
Rara Anggi segera menutupi bagian tubuhnya
yang terlarang dengan kedua telapak tangannya.
"Ha ha ha...!" Patih Wiraksa tertawa gelak. "Aku
berharap kau bersedia melayani keinginanku dengan
penuh kepasrahan...."
"Binatang! Bunuh saja aku!" jerit Rara Anggi
dengan luapan amarah.

"Itu mudah, Anggi. Tanpa kau minta, aku pun
akan membunuhmu. Tapi hari ini, aku benar-benar
merindukan kehangatan tubuhmu...."
Patih Wiraksa kemudian bersiap-siap memeluk
tubuh Rara Anggi.
"Jangan...!" teriak Dewi Ikata keras, langsung
kembali menutupi tubuh ibunya.
Mata Patih Wiraksa melotot. Dan seketika tan-
gannya mencekal punggung Dewi Ikata. Tapi, gadis itu
tak mau lepas dari tubuh ibunya.
Breeet...!
Baju Dewi Ikata bagian belakang robek lebar te-
renggut tangan Patih Wiraksa.
"Ho ho ho...!" Lelaki setengah baya itu tertawa
lebar menyaksikan punggung Dewi Ikata yang telan-
jang. "Rupanya kulitmu lebih mulus dari kulit ibumu,
Ikata Gadis Manis...."
Tiba-tiba Patih Wiraksa yang sudah dikuasai
nafsu setan itu memeluk tubuh Dewi Ikata dari bela-
kang. Segera diciuminya leher gadis ini.       
Dewi Ikata terkejut, kemudian melompat men-
jauh. Patih Wiraksa menggeram. Dan ketika matanya
beralih ke Rara Anggi kembali terbeliak. Kini tubuh
Rara Anggi terpampang dekat di hadapannya. Saat itu
juga lelaki yang sudah hilang sifat kemanusiaannya ini
menerkam!
Rara Anggi berusaha meronta-ronta sekuat te-
naga melepaskan diri dari terkaman binatang jalang
ini. Namun, Patih Wiraksa malah merasa senang. Ron-
taan Rara Anggi dianggap sebagai geliatan manja. Ma-
ka dengan napas menderu-deru, dia berusaha melam-
piaskan nafsu setannya. Namun.... 
Braaakkk...!
Tiba-tiba saja daun pintu jebol. Seketika Patih

Wiraksa menghentikan tindakannya, dan menoleh ke
arah pintu. Ternyata, yang muncul adalah Adipati Da-
nubraja, Penguasa Kadipaten Bumiraksa ini telah ber-
diri dengan pedang terhunus.
"Jahanam busuk! Kau sungguh biadab, Wirak-
sa...!" bentak adipati ini, seraya bergerak menerjang
sambil membabatkan pedangnya. 
Wuuuttt...!
Patih Wiraksa melompat, menghindari samba-
ran pedang.
"Kau datang lagi, Danubraja! Rupanya kau
hendak mengantarkan nyawa...!" dengus Patih Wiraksa
dengan dada menggelegak.
"Justru aku yang akan mencabut nyawamu,
Wiraksa...!" jawab Adipati Danubraja tak kalah sengit-
nya
Patih Wiraksa menatap tubuh bekas junjun-
gannya yang penuh balutan luka. Mendadak mulutnya
menyeringai gusar, berusaha menajamkan telinganya.
"Rupanya kau tidak datang sendirian, Danu-
braja...!" kata Patih Wiraksa dengan gigi terpaut rapat
"Benar katamu, Wiraksa. Aku datang bersama
prajurit-prajurit setiaku. Sebentar lagi, mereka akan
mencercahmu...!"
"Ha ha ha...!" Patih Wiraksa tertawa. "Tidak se-
mudah yang kau kira. Para pengikutku terlalu tangguh
untuk ditaklukkan."
"Keparat! Aku ingin bukti dari ucapanmu itu...!"
dengus Adipati Danubraja seraya bergerak menerjang
kembali.
Namun Patih Wiraksa tak kalah sigap. Pedang-
nya pun bergerak memapak.
Trang...!
Dua senjata tajam berbenturan di udara.

"Kita cari tempat yang longgar, Danubraja...!"
ujar Patih Wiraksa seraya menghemposkan tubuhnya,
menuju ruang utama kadipaten.
Adipati Danubraja menatap istri dan putrinya
sejenak.
"Aku minta doa kalian...," bisik adipati itu, se-
gera tubuhnya bergerak, mengejar Patih Wiraksa.
Sebentar saja, pertempuran sengit antara dua
tokoh utama Kadipaten Bumiraksa segera terjadi! Adi-
pati Danubraja yang belum sembuh dari lukanya,
menggempur bagai banteng ketaton. Luka yang dideri-
tanya justru menambah semangatnya untuk segera
menghabisi lawannya.
Patih Wiraksa yang memandang rendah, sering
kali dibuat terperangah akibat ketidakwaspadaannya.
Namun, segera seluruh kepandaiannya dikerahkan un-
tuk menghadapi gempuran Adipati Danubraja.
Trang...! Trang...!
Benturan pedang terdengar beruntun. Pertem-
puran demi mempertahankan kehormatan itu segera
berlangsung semakin seru.
Di luar pendapa kadipaten, pertempuran seru
juga sedang berlangsung. Para prajurit yang masih se-
tia kepada Adipati Danubraja bertempur melawan pra-
jurit-prajurit pengikut Patih Wiraksa.
Sementara itu, dari pendapa kadipaten ber-
munculan sepuluh orang berpakaian penuh tambalan
yang segera menggempur para prajurit yang masih se-
tia kepada Adipati Danubraja. Dengan senjata golok,
mereka berusaha menyebar kematian.
Namun, sebelum mereka menyebar maut lebih
banyak lagi, mendadak dua bayangan berkelebat
menghadang!
"Siapa kalian? Kenapa berpakaian seperti pen-

gemis?!" bentak seorang penghadang yang tak lain
Pengemis Binal. Sementara, di sebelahnya tampak
Gede Panjalu. Masing-masing memegang tongkat.
Kesepuluh orang itu menatap Suropati dan
Gede Panjalu bergantian.
"Gembel busuk! Buka matamu lebar-lebar! Aku
adalah Respati, pemimpin Gerombolan  Golok Maut!"
dengus salah seorang yang berpakaian mirip pengemis.
Agaknya dia bertindak sebagai pemimpin.
"He he he...," Suropati tertawa mengejek. "Meli-
hat tampang kalian yang kasar-kasar, kalian tentu
rampok yang sering nyolong ayam milik tetangga. Ka-
rena sering ketahuan, jadinya kalian berubah jadi pen-
gemis...."
"Bangsat!" umpat Pemimpin Gerombolan Golok
Maut yang bernama Respati. "Kami bukan pengemis.
Gembel Busuk!"
"He he he...," Suropati tertawa lagi. "Kalau bu-
kan pengemis, mengapa berpakaian seperti  penge-
mis...?"
"Kami hanya menjalankan tugas, Goblok!"
Tiba-tiba seorang anak buah Respati mendekat.
"Sudahlah.... Kita tak punya waktu banyak. Un-
tuk apa melayani bocah gendheng itu...?!"
Respati mengangguk pelan, kemudian matanya
mengerling. Maka seketika seluruh anak buahnya se-
gera menerjang Suropati dan Gede Panjalu dengan
sambaran golok yang mematikan.
Wuuuttt...! Wuuuttt...!
Sambaran golok yang datang bertubi-tubi den-
gan mudah dihindari Pengemis Binal dan Gede Panja-
lu. Bahkan dengan suatu gerakan ringan, kedua tokoh
pengemis itu dapat menghunjamkan tongkatnya!
Dhesss...! Dhesss...!

Dua orang anggota Gerombolan Golok Maut
yang disewa Patih Wiraksa kontan menggelosor ke ta-
nah sambil mendekap dadanya. Mereka hanya menga-
duh-aduh, tanpa mampu bangkit lagi.
Melihat kepandaian lawan, Respati segera
membagi anak buahnya menjadi dua kelompok, yang
masing-masing terdiri dari empat orang. Dan, dua ke-
lompok itu kemudian mengerubut Pengemis Binal dan
Gede Panjalu.
Namun, sampai di mana pun mereka mengelu-
arkan seluruh  kepandaian, Pengemis Binal dan Gede
Panjalu tidaklah mudah dirobohkan. Malah kemu-
dian...
Dhesss...! Dhesss...!
Dua anak buah Respati kembali terjungkal. Tu-
buh mereka ambruk ke tanah terkena sambaran tong-
kat
Dan, tak sampai sepuluh tarikan napas kemu-
dian, seluruh Gerombolan Golok Maut telah tergeletak
pingsan.
"Rasakan, Pengemis Palsu! Jangan coba-coba
memfitnah, kalau belum punya nyawa rangkap...!" ejek
Suropati kekonyol-konyolan.
Tapi, tiba-tiba....
"Awas, Suropati...!" teriak Gede Panjalu membe-
ri peringatan ketika melihat ribuan jarum hitam me-
luncur deras ke arah mereka.
Saat itu juga, dua tokoh Perkumpulan Penge-
mis Tongkat Sakti ini memutar tongkatnya, membuat
ribuan jarum hitam itu pun rontok di tanah. Dan begi-
tu tak satu jarum pun menemui sasaran, mendadak
tujuh bayangan berkelebat. Tahu-tahu di depan Suro-
pati dan Gede Panjalu telah berdiri tujuh sosok yang
tampaknya dari golongan hitam.

"Kita bertemu lagi, Bocah Gendheng...!" bentak
Balagundi yang berdiri di tengah-tengah tujuh tokoh
beraliran hitam.
"He he he...," mulut Suropati mengeluarkan su-
ara tawa renyah. "Betul katamu, Kek. Kita memang
ada jodoh."
Balagundi tak berkata lagi. Bersama Balangan
saudara seperguruannya, dia menerjang Pengemis Bi-
nal. Serangan mereka pun diikuti oleh Rabanga Setan
Pencabut Nyawa.
"Wuihhh...! Sabar dikit dong, Kek. Kalau mau
minta jatah, antri dulu. Masa' main kerubut, begi-
tu...?!" ejek Suropati.
Tiga tokoh beraliran hitam itu mendengus ka-
sar. Dan mereka segera mengeluarkan jurus andalan.
Sepasang Iblis Penyebar Petaka menggebrak dengan
jurus "Iblis Menerjang Arwah'. Sedangkan kedua tan-
gan Rabanga bergerak cepat, berlambarkan jurus
mautnya
Sementara itu, keempat orang sewaan Patih Wi-
raksa lainnya segera menggempur Gede Panjalu.
Tanpa sungkan-sungkan lagi mereka mengeru-
but Pengemis Tongkat Sakti dari segala arah penjuru
angin. Kedua tangan Brajamusti atau si Dewa Sesat
tampak menghitam akibat pengerahan tenaga dalam.
Empu Barangas atau Empu Keris Hitam telah melo-
loskan keris berkeluk tujuhnya. Demikian pula, Kali-
gundi yang berjuluk Pegulat Tangan Maut. Sikapnya
seakan berusaha untuk dapat meremukkan tulang-
tulang Gede Panjalu. Sedangkan Pradesta, si Pendeta
Murtad, menyerang dengan tenang. Tasbih dan tong-
kat pendek di tangannya terus meluncur, mencari ja-
lan kematian.


***

Sementara itu, pertempuran antara Adipati Da-
nubraja dan Patih Wiraksa tampak berjalan seimbang
Luka di tubuh Adipati Danubraja yang tidak
begitu mengganggu gerakannya justru menambah se-
mangat bertarungnya. Pedang pendek di tangannya te-
rus mencecar tubuh Patih Wiraksa. Namun, lelaki se-
tengah baya yang hendak merebut tahta kadipaten itu
tentu saja tidak mau kalah. Pedangnya juga berkelebat
tak kalah cepat. 
Trang...!
Pedang mereka bertemu di udara, menimbul-
kan bunga api yang menyilaukan pandangan.
"Kerahkan seluruh kepandaianmu, Danubra-
ja...!" teriak Patih Wiraksa di sela-sela sambaran pe-
dang
Sebagai jawaban, Adipati Danubraja segera
mempercepat gerakan pedangnya.
Wuuuttt...!
Patih Wiraksa menghindari sambaran pedang.
Tiba-tiba Adipati Danubraja melompat, men-
jauhi arena pertempuran.
"Bersiap-siaplah, Wiraksa! Aku akan mengadu
nyawa denganmu!" desis adipati itu di antara desahan
napasnya yang memburu.
"Ho ho ho...," Patih Wiraksa tertawa penuh eje-
kan. "Aku masih sayang pada nyawaku. Nyawamu saja
yang kau serahkan padaku, sebagai tumbal penoba-
tanku menjadi adipati!"
"Baik, terimalah ini...!"
Dengan mata berkilat karena hawa amarah,
Adipati Danubraja menerjang Patih Wiraksa. Pedang
pendek di tangan kanannya meluncur lurus, tepat

mengarah ke jantung!
Patih Wiraksa menyeringai bengis. Tubuhnya
tak bergeming dari tempatnya berdiri. Dengan penuh
keberanian, dipapaknya serangan. Batang pedangnya
yang lebih panjang sejengkal, mengarah ke ulu hati
Adipati Danubraja!
Tokoh puncak di Kadipaten Bumiraksa itu ter-
kejut. Namun, karena sudah kenyang pengalaman
tempur, segera dibuatnya tipu muslihat. Ketika jarak
ujung pedang Patih Wiraksa tinggal seusap dengan tu-
buhnya, dia menjatuhkan diri ke lantai. Lalu, pedang-
nya menyambar deras!
Bret..!
"Aughhh...!"
Mata Patih Wiraksa mendelik begitu pedang pa-
ri Danubraja menyambar perutnya. Bola mata bak ke-
lereng yang mau melompat ke luar. Dengan tangan ki-
rinya luka lebar di perutnya didekap. Darah kontan
muncrat! Perlahan-lahan usus Patih Kadipaten itu
menyembul dari sela-sela jari tangannya.
"Kau... kau keparat... Dan..., Danubraja...!" ka-
ta Patih Wiraksa sambil menahan rasa sakitnya. Pe-
dang yang masih digenggam erat, diacungkan ke arah
Adipati Danubraja yang telah berdiri di hadapannya.
"Sekarang aku akan mengirimmu ke neraka,
Wiraksa!" desis  Adipati Danubraja menggeram, lalu
pedangnya berkelebat cepat!
Tesss...!
"Aaa...!!"
Diiringi jeritan panjang yang mendirikan bulu
roma, leher Patih Wiraksa terbabat putus. Kepalanya
langsung menggelinding. Darah menyembur bak mata
air yang baru dibuka. Perlahan-lahan tubuh tanpa ke-
pala itu melorot ke lantai, dan segera terbaring tanpa

nyawa.
Tiba-tiba Rara Anggi dan Dewi Ikata berhambur
memeluk tubuh orang yang dicintai. Air mata sudah
tak bisa dibendung lagi, mengalir deras terbawa pera-
saan haru.
"Sudahlah, Anggi dan Ikata...," ujar Adipati Da-
nubraja sambil melepas pelukan. "Di luar masih terjadi
pertempuran. Aku harus segera turun tangan. Semoga
kemelut di Kadipaten Bumiraksa ini dapat kuatasi
tanpa menimbulkan lebih banyak korban lagi...."
Adipati Danubraja kemudian melangkah. Di-
ambilnya kepala Patih Wiraksa, dan ditentengnya ke
luar pendapa kadipaten.
"Antek-antek Wiraksa! Jatuhkan senjata. Lihat,
apa yang kubawa...?!" teriak Adipati Danubraja, lan-
tang. Dia berdiri di tangga pendapa, sehingga bisa dili-
hat semua orang yang sedang bertempur.
Seperti kena sihir, pertempuran berhenti men-
dadak. Semua mata menatap benda yang ditenteng
Adipati Danubraja.
Melihat junjungannya telah menemui ajal, pra-
jurit-prajurit pengikut Patih Wiraksa segera menjatuh-
kan senjata yang dibawa, dan menyerah bulat-bulat.


***

10

Tujuh tokoh beraliran hitam yang tengah men-
geroyok Suropati dan Gede Panjalu juga menghentikan
gempuran. Mereka menatap nanar kepala Patih Wirak-
sa yang menggantung di tangan Adipati Danubraja

"Bagaimana, Kakek-kakek yang budiman? Ma-
sihkah kalian ingin meneruskan permainan ini...?"
tanya Pengemis Binal sambil mengulum senyum.
Sepasang Iblis Penyebar Petaka dan Setan Pen-
cabut Nyawa menyeringai gusar. Namun karena sudah
kepalang basah, mereka kembali menerjang!
"Kakek-kakek Bandel! Tuan kalian sudah me-
nemui ajal, kenapa masih nekat?! Untuk siapa kalian,
mempertaruhkan nyawa...?!" ejek Pengemis Binal. 
"Untuk dedemit yang menunggui pendapa ka-
dipaten ini, Bocah Gendheng!" jawab Balangangsil
sambil melayangkan pukulan jarak jauhnya. 
Wuuussss....!
Serangkum angin meluncur dahsyat, namun
Pengemis Binal cepat melenting ke atas.
Blaaarrr....!
Serangan kakek cebol itu tak mengenai sasa-
ran. Sebagai gantinya, tanah tempat Suropati tadi ber-
diri amblong dalam.
Balagundi tak mau ketinggalan. Segera dice-
carnya Pengemis Binal dengan serangan beruntun.
Kini, Sepasang Iblis Penyebar Petaka yang su-
dah mengetahui kehebatan lawan, terus menggempur
tanpa mau memberi kesempatan bernapas. Namun,
mereka berulang kali dibuat terkejut. Karena, selalu
saja Suropati mudah sekali dapat menghindari seran-
gannya. Tahulah mereka bahwa waktu yang telah ber-
jalan dua tahun, membawa kemajuan pesat terhadap
kepandaian remaja berpakaian putih penuh tambalan
yang berjuluk Pengemis Binal ini.
Rabanga atau  Setan Pencabut Nyawa pun tak
kalah terkejutnya. Belum pernah seumur hidupnya dia
menyaksikan seorang remaja belasan tahun yang se-
demikian hebatnya. Serangannya saja selalu mengenai

angin kosong, sehingga membuatnya jadi putus asa.
Gerak kaki dan tangannya pun jadi ngawur. Dan hal
itu membuatnya lengah. Sehingga....
Dheeesss...!
Tubuh kakek berpakaian serba merah ini ter-
lempar dua tombak dengan tulang iga patah terkena
sodokan tongkat Pengemis Binal. Darah segar sembu-
rat, membasahi bibirnya. Dan dia pun segera rebah,
tak sadarkan diri.
Melihat seorang temannya sudah tak berdaya,
nyali Sepasang Iblis Penyebar Petaka jadi kecut. Gem-
purannya mendadak jadi kendor. Dan, hal itu tak dis-
ia-siakan Suropati. Tubuhnya berkelebat menggerak-
kan jurus 'Tongkat Memukul Anjing'. Tongkatnya seke-
tika melayang deras! Dan....
Dheeesss...! Dheeesss...!
Balagundi dan Balangangsil terjungkal menyu-
sul Rabanga ketika tongkat Pengemis Binal mendarat
di dada. Tubuh mereka kontan terpuruk di tanah den-
gan luka dalam yang parah.
Kini Pengemis Binal berdiri tegak dengan ga-
gahnya. Pakaian serta rambutnya yang hitam panjang
berkibar tertiup angin. Tapi, matanya segera membela-
lak lebar ketika mengetahui Gede Panjalu tengah ter-
desak hebat!
 Trak...! Weeer...!
Tongkat Gede Panjalu tampak terbelit tasbih di
tangan Pendeta Murtad. Bersamaan dengan itu, Empu
Barangas meluncur mengarah ke jantung!
Wuuusss...!
Tiba-tiba Gede Panjalu menghemposkan tu-
buhnya ke atas. Karena tak menemukan jalan lain,
tongkatnya dilepas. Namun, belum sampai mendarat
tanah, Brajamusti dan Kaligundi telah menerjang ber-

samaan.
Gede Panjalu terkejut setengah mati. Tapi tiba-
tiba Pengemis Binal melesat sambil melemparkan
tongkatnya.
"Terima tongkatku, Kek...!" teriak Suropati.
Dengan sigap, Gede Panjalu menyambut. Dan
ketika tongkatnya diputar dengan cepat
Wuuuttt...! Wuuuttt...!
Walaupun tubuh Pengemis Tongkat Sakti ma-
sih melayang di udara, tapi dapat cepat memutar tong-
katnya membentuk perisai lebar.
Brajamusti dan Kaligundi terperangah. Karena
tak mau terhantam tongkat di tangan Gede Panjalu,
mereka segera melenting, menjauhi arena pertempuran
Teppp....!
Gede Panjalu berhasil mendaratkan kakinya
dengan mulus.
"Terima kasih, Suro....'" ucap Pengemis Tongkat
Sakti sambil menatap keempat pengeroyoknya.
"Masing-masing dapat dua bagian, Kek...!" te-
riak Suropati seraya menerjang Pendekar Murtad dan
Empu Barangas.
Kini dengan tangan kosong, Suropati mencoba
menggempur dua tokoh tua beraliran hitam itu. Kedua
tangan remaja yang telah memakai julukan Pengemis
Binal itu mengembang lebar di udara, lalu menangkub.
Dan...
Wuuusss...!
Dua rangkaian angin pukulan meluncur ber-
samaan ke arah Pendeta Murtad dan Empu Barangas.
Dua tokoh sakti itu mendengus gusar, kemu-
dian segera meloncat ke samping.
Blaaarrr...!
Tanah tempat pukulan Suropati mendarat ber-

lubang sedalam tinggi badan manusia dewasa. Sambil
tersenyum simpul karena melihat dua lawannya terpe-
rangah, Pengemis Binal segera melanjutkan jurus
'Pengemis Meminta Sedekah'nya.
Dalam waktu yang hampir bersamaan, Gede
Panjalu pun telah menggeprak Brajamusti dan Kali-
gundi kembali. Tongkat di tangannya berkelebat cepat
berlambarkan jurus ketiga dari rangkaian jurus
'Tongkat Sakti'. Namanya jurus 'Tongkat Mengejar
Kucing'!

***

Sementara itu, di sekitar arena pertempuran,
keadaan telah kembali tenang. Adipati Danubraja ber-
sama beberapa orang prajuritnya berdiri di ambang
pintu pendapa kadipaten, menyaksikan pertempuran
seru yang sedang berlangsung.
Berkali-kali mata adipati yang berusia sekitar
empat puluh dua tahun itu terbelalak, terbawa rasa
kagum akan kehebatan Suropati dan Gede Panjalu.
Dan tiba-tiba, dada Adipati Danubraja dihan-
tam rasa sesak. Dia teringat sikap tak terpujinya yang
terjadi dua tahun silam. Waktu itu dia dengan sewe-
nang-wenang telah mengusir seluruh pengemis dari
Kota Kadipaten Bumiraksa. Terbayang pula di matanya
menyewa tujuh tokoh tua beraliran hitam untuk me-
wujudkan keinginannya. Dan, sekarang di saat ketu-
juh orang sewaannya telah menunjukkan pengkhiana-
tan, hantaman rasa sesal di dadanya sudah tak terkira
lagi. Seketika jalan pernapasannya jadi sesak
Sebentar kemudian, mata adipati itu tampak
berkaca-kaca. Dia teringat keadaan dirinya yang tak
berdaya di lereng Bukit Pangalasan. Dengan keadaan

terluka, tubuhnya tergeletak di tanah berdebu, tak sa-
darkan diri. Dan ketika sadar, adipati itu mendapati
dirinya telah mendapat pertolongan dari para penge-
mis.
Rasa haru ganti menghantam dada Adipati Da-
nubraja. Ketika air matanya hendak bergulir, segera
diambilnya napas panjang untuk memberi kekuatan
dalam hatinya. Bagaimanapun juga, dia adalah seo-
rang adipati. Tabu baginya menampakkan air mata di
hadapan para bawahannya.
Mendadak Rara Anggi dan Dewi Ikata muncul
dari ruang dalam, segera didekatinya Adipati Danubra-
ja.
"Siapa yang sedang bertempur, Ayah...?" tanya
Dewi Ikata.
"Mereka berdua dewa penolong Ayah, Ikata" ja-
wab Adipati Danubraja perlahan.
"Apakah mereka berdua seorang pengemis?"
tanya Dewi Ikata lagi, yang melihat pakaian Suropati
dan Gede Panjalu penuh tambalan.
"Tampaknya memang begitu. Tapi Ayah yakin
mereka bukan orang-orang sembarangan. Mereka ten-
tu dua tokoh penting dari perkumpulan pengemis."
Tepat dengan terhentinya ucapan Adipati Da-
nubraja, tongkat di tangan Gede Panjalu tampak me-
luncur dengan kecepatan tinggi ke arah Kaligundi!
Dan....
Dhuk...!
Tubuh kakek yang berjuluk Pegulat Tangan
Maut terdorong ke belakang sejauh sepuluh tindak,
terkena sodokan ujung tongkat Gede Panjalu. Dia
langsung mendekap erat dadanya. Dan ketika darah
menyembur dari mulutnya, tubuh Kaligundi terjeng-
kang ke tanah tanpa mampu bangkit lagi.

Brajamusti mengumpat tak karuan. Matanya
mengerling ke kiri-kanan. Melihat keadaan yang tak
menguntungkan, tubuhnya segera dikempos guna me-
larikan diri....
"Pengecut! Hendak lari ke mana kau...?!" kata
Gede Panjalu seraya melempar tongkatnya.
Brajamusti yang tidak menduga akan datang-
nya serangan, tak mampu berkelit lagi. Sehingga....
Tlaaakkk...!
Tepat sekali tongkat Gede Panjalu melabrak ke-
pala Brajamusti. Dan, tubuh kakek yang berjuluk si
Dewa Sesat itu jatuh berdebum di tanah diiringi jeritan
yang mendirikan bulu roma. Gede Panjalu mengambil
napas panjang. Segera dipungutnya tongkat yang ter-
geletak tak jauh dari tubuh Brajamusti.

***

Babak terakhir dari pertempuran seru di depan
Pendapa Kadipaten Bumiraksa adalah antara Suropati
melawan Pendeta Murtad dan Empu Barangas.
"He he he...," Suropati masih sempat mengelua-
rkan tawa di sela-sela serangan lawannya. "Napas ka-
lian sudah ngos-ngosan, Kek.... Aku takut kalian nanti
mati bukan karena seranganku. Tapi karena kehabi-
san napas yang berhenti mendadak...."
"Bocah Gendheng! Tak perlu banyak bacot!
Bersiap-siaplah masuk ke neraka...!" desis Pendeta
Murtad sambil mengibaskan kebutannya.
Wuuusss...!
Saat itu juga, melesat serangkum angin yang
menderu-deru.
Suropati hanya berkelit dengan mengegos ke
samping.

"Wuih! Nikmat,  Kek...," kata Pengemis Binal
"Dari tadi aku memang merasa kegerahan."
Pendeta Murtad menggerendeng dengan mata
berkilat. Tubuhnya seketika meluruk dengan tasbih
tangan kanan menghantam kepala. 
Wuuuttt...!
Serangan itu hanya mengenai angin kosong, ke-
tika  Suropati dengan lincahnya melompat ke kanan.
Dan baru saja mendarat, keris di tangan Empu Baran-
gas meluncur, menghunjam dada!
Dengan cepat Suropati memiringkan tubuhnya.
Namun mendadak ujung keris itu berbelok arah, me-
nyambar leher!
Wuuusss...!
Suropati meloncat ke belakang. Tapi, ujung ke-
ris Empu Barangas terus mengejar! Bersamaan dengan
itu, tasbih Pendeta Murtad juga segera menggeprak!
Mata Suropati mendelik. Kemudian.... 
"Berhenti...!" bentak si Pengemis Binal langsung
menerapkan kekuatan sihirnya.
Mendadak Empu Barangas dan Pendeta Murtad
merasakan otot-ototnya mengejang. Dan serangan me-
reka pun berhenti mendadak. Walaupun hanya seke-
jap, tapi Suropati tak mau menyia-nyiakan kesempa-
tan itu. Seketika, kaki kanannya bergerak cepat!
Dhes...! Dhes...!
Tanpa ampun lagi, tubuh Empu Barangas dan
Pendeta Murtad terpelanting ke tanah.
Suropati tertawa lebar menyaksikan dua tubuh
lawannya bergulingan di tanah.. Tapi, tiba-tiba.... 
Werrr...!
Ternyata, biji-biji tasbih Pendeta Murtad beter-
bangan, menghujani Pengemis Binal.
Suropati terkejut setengah mati, tak menduga

akan datangnya serangan mendadak ini. Segera selu-
ruh tenaga dalamnya dikerahkan. Lalu, dengan cepat
tangannya bergerak menangkis.
Thak...! Thak...!
Biji-biji tasbih Pendeta Murtad itu buyar. Na-
mun, tak urung ada sebutir yang lolos dari tangkisan-
nya.... 
Dhuk...! 
"Aaahhh...!"
Suropati meringis kesakitan. Tubuhnya mun-
dur beberapa tindak. Dadanya terasa hendak amblong!
Tapi, untunglah tenaga dalamnya sudah sedemikian
kuatnya semenjak memperoleh saluran hawa murni
dari mendiang Periang Bertangan Lembut di Bukit Pa-
rahyangan. Sehingga, tubuhnya tak sampai mengalami
cidera berarti.
Namun, kejadian yang berlangsung sekejap itu
sanggup membuat orang-orang yang menyaksikan per-
tempuran merasa khawatir.
Gede Panjalu  tampak terperangah, dan meng-
geram gusar. Adipati Danubraja bergidik ngeri. Se-
dangkan Rata Anggi dan Dewi Ikata mengeluarkan jerit
tertahan.
"Ha ha ha...," Pendeta Murtad tertawa sambil
memegang pundak kirinya yang terkena tendangan.
"Sekarang  kau baru tahu  kehebatanku,  Bocah
Gendheng...!"
Usai mengucapkan kalimatnya, tokoh tua bera-
liran hitam itu segera menerjang kembali. Demikian
pula Empu Barangas.
Pengemis Binal segera merubah jurusnya. Ke-
dua telapak tangannya bersilang di depan dada, lalu
mengembang. Segera disambutnya gempuran Pendeta
Murtad dan Empu Barangas!

Blaaarrr...!
Pengerahan tenaga dalam si Pengemis Binal
yang didasari jurus 'Pengemis Menghiba Rembulan'
menimbulkan ledakan dahsyat di udara. Tubuh Pen-
dekar Murtad dan Empu Barangas terhuyung-huyung
mundur beberapa tindak. Mata mereka berdua meme-
rah dan melotot!
"Ke..., parat...!" umpat Pendeta Murtad dan
Empu Barangas. Namun yang terdengar hanya berupa
bisikan pelan.
Belum tuntas umpatan mereka, tiba-tiba se-
buah bayangan berkelebat dari atap pendapa kadipa-
ten ke arah Pendeta Murtad dan Empu Barangas.
Langsung ditendangnya kedua tokoh tua beraliran se-
sat itu dengan sekuat tenaga.
Desss...! Desss...!
Tanpa dapat dihindari lagi, tubuh Pendeta Mur-
tad, dan Empu Barangas yang sudah terluka dalam
terlempar jauh. Begitu menghantam tanah, mereka
berkelojotan. Sebentar kemudian mereka diam untuk
selama-lamanya.
"Monyet-monyet buduk tak berguna...!" bentak
seorang kakek tua renta sambil menatap tubuh Pende-
ta Murtad dan Empu Barangas dengan sinis.
Kening Suropati berkerut, menatap kehadiran
kakek tua renta itu. Tokoh tua yang baru datang itu
berpakaian asal-asalan. Bagian dadanya terbuka lebar,
memperlihatkan tulang-tulang iganya yang bertonjo-
lan. Pergelangan tangan dan kakinya tampak melebihi
panjang ukuran manusia biasa.
"Aku Aki Barondeng atau si Mayat Hidup," kata
kakek tua renta itu, memperkenalkan diri. Matanya
berkilat, membalas tatapan mata si Pengemis Binal.
"Aku ada perlu denganmu sedikit, Bocah...."

Lelaki tua yang memang si Mayat Hidup ini
menggerak-gerakkan ujung jari telunjuknya. Maka se-
ketika sinar keputih-putihan berkelebatan, menghuja-
ni tubuh Suropati.
Dengan tangkas Pengemis Binal segera melon-
cat ke samping.
Sret! Sret! Sret!
Sinar keputih-putihan yang timbul dari ujung
jari Aki Barondeng menerpa ke tanah kosong.
Mata si Pengemis Binal terbeliak, melihat gura-
tan-guratan di tanah yang membentuk tulisan:

Datanglah Ke Bukit Hantu Pada Malam Bulan
Purnama Ketujuh, Ada Urusan Yang Harus Diselesai-
kan!

Ketika pandangan Suropati beralih, tubuh si
Mayat Hidup yang habis menuliskan pesan itu telah
lenyap bagai ditelan bumi.
Gede Panjalu berjalan mendekat.
"Siapa dia, Suro?" tanya Pengemis Tongkat Sak-
ti. Suropati menatap wajah Gede Panjalu sejenak. "Dia
menyebut dirinya Aki Barondeng atau si Mayat Hidup,"
jawab Pengemis Binal dengan kedua alis bertaut
"Si Mayat Hidup...?!" Gede Panjalu tampak ter-
kejut
"Kenapa, Kek?" tanya Suropati.
"Kau harus berhati-hati, Suro. Tokoh tua itu te-
lah lama mengasingkan diri. Kalau kini dia tiba-tiba
muncul, tentu mempunyai urusan yang tidak boleh di-
anggap enteng."
"Kau mengenalnya, Kek?"
"Semua tokoh tua di rimba persilatan tentu
mengenalnya. Dia sangat sakti. Sepak terjangnya tak

pernah dapat ditebak. Kadang sikapnya budiman, tapi
kadang pula sangat kejam."
Setelah melihat dengan seksama tulisan yang
terpampang di atas tanah, Gede Panjalu menatap wa-
jah Pengemis Binal dalam-dalam.
"Kau punya urusan dengannya, Suro?" tanya
Pengemis Tongkat Sakti kemudian.
"Ah! Melihat tampang kakek tua renta itu saja
baru kali ini. Kenapa aku punya urusan dengan-
nya...?" jawab Suropati.
"Kau harus hati-hati...," ingat Pengemis Tong-
kat Sakti.
"Kenapa, Kek?"
"Pesan Aki Barondeng mengandung makna tan-
tangan."
"He he he...," Suropati tertawa. "Aku tidak ta-
kut. Paling kusentil sedikit saja, tubuhnya yang kurus
sudah mrothok...."
Gede Panjalu tersenyum mendengar kekonyo-
lan Pengemis Binal itu. Tapi, senyum itu hanya sekilas
saja.
"Kau jangan memandang rendah padanya, Su-
ro. Dia terkenal dengan ilmu 'Pengisap Sukma'-nya.
Dan semua tokoh tua persilatan tentu mengakui kalau
Aki Barondeng kebal terhadap serangan ilmu apa
pun."
"He he he...," Suropati kembali tertawa. "Aku
kan sudah bilang, bila kusentil sedikit saja, tubuhnya
akan mrothol...."
"Sombong kau, Suro...."
Tiba-tiba angin berhembus, menimbulkan hawa
sejuk. Bersamaan dengan itu, sinar kebiru-biruan ber-
kelebatan menghunjam tanah di hadapan Suropati dan
Gede Panjalu. Dan, tertorehlah sebuah tulisan:


Sebelum Malam Bulan Purnama Ketujuh Datan-
glah Ke Kuil Saloka Di Pinggir Kota Kadipaten Bumirak-
sa. Kalau Nyawa Tidak Ingin Melayang.

Suropati dan Gede Panjalu mendongakkan ke-
pala ke atas. Dan, tampaklah Bayangan Putih Dari Se-
latan tengah duduk santai di pinggir atap pendapa ka-
dipaten. Pakaiannya yang serba putih berkibar-kibar
tertiup angin.
"Betul kata kakekmu itu, Suro...," kata Bayan-
gan Putih Dari Selatan. "Turuti saja pesanku itu...."
Usai mengucapkan kalimatnya, tubuh Bayan-
gan Putih Dari Selatan melayang. Dan sebentar saja te-
lah hilang dari pandangan.
Gede Panjalu menatap wajah Suropati. Tapi,
Pengemis Binal hanya tersenyum simpul.

***

11

"Tunggu dulu, Anak Muda...."
Adipati Danubraja berjalan mendekat, mence-
gat langkah Suropati.
Pengemis Binal pun menghentikan langkahnya.
"Ada apa, Gusti Adipati?" tanya Pengemis Binal
"Tidakkah kau berkenan meninggalkan nama
serta tempat tinggal..,?"
Suropati mengulum senyum. Bola matanya
bergerak-gerak.
"Nama hamba Suropati, Gusti Adipati. Tempat
tinggal hamba sementara ini di Bukit Pangalasan. Na-

mun, hamba hanyalah seorang pengemis hina," sahut
Pengemis Binal, merendah.
Mendengar ucapan Suropati yang merendah
dan sekaligus menampakkan kekonyolannya, Adipati
Danubraja menaikkan ujung bibirnya sedikit
"Lalu kau sendiri siapa, Ki?" tanya Adipati Da-
nubraja kemudian kepada Gede Panjalu.
"Hamba bernama Gede Panjalu, Gusti Adipati,"
jawab kakek bongkok itu sambil merundukkan tubuh-
nya.
"Tak perlu bersikap seperti itu, Ki. Kau telah
berjasa kepada Kadipaten Bumiraksa. Kiranya tak per-
lu merendah seperti itu. Justru aku yang harus me-
nyampaikan rasa hormatku kepadamu...," ujar Adipati
Danubraja seraya menjura kepada Gede Panjalu.
Kakek bongkok itu jadi salah tingkah. Seumur
hidup belum pernah dia mendapat penghormatan dari
seorang pembesar seperti ini.
"Sudilah kiranya kalian berdua mampir ke pen-
dapa kadipaten untuk sekadar menikmati jamuan...?"
tawar Adipati Danubraja.
Mendadak mata Suropati jadi berbinar-binar.
"Wah! Kebetulan sekali kalau begitu. Pagi tadi aku be-
lum sarapan...," desah Suropati seraya menggamit len-
gan Gede Panjalu.
Matahari sudah condong ke barat ketika mere-
ka memasuki ruang utama kadipaten. Bekas-bekas
pertempuran di tempat itu sudah tak tampak lagi. Be-
gitu tiba di dalam, mereka duduk di kursi kayu jati be-
rukir yang berjajar rapi menghadap sebuah meja be-
sar.
Adipati Danubraja menepuk telapak tangannya.
Dan tak lama kemudian, seorang pelayan datang
membawa suguhan arak wangi.

"Silakan.... Kalian berdua adalah tamu kehor-
matanku," ucap Adipati Danubraja.
Tanpa menaruh rasa sungkan, Suropati lang-
sung mengangkat gelas perak di hadapannya. Isinya
pun ditenggaknya sampai tandas.
"Wuih...! Arak apa ini? Nikmatnya seperti arak
dari sorga," puji Pengemis Binal.
Mendengar perkataan Suropati itu, Gede Panja-
lu menyodok lengannya. Sementara Pengemis Binal
hanya melirik sambil sedikit mencibir.
"Dasar bocah gendheng...!" umpat Gede Panjalu
dalam hati. 
"Kau mau lagi, Anak Muda...?" tanya Adipati
Danubraja sambil tersenyum melihat kerakusan Suro-
pati.
"Oh! Tentu..., tentu, Gusti Adipati. Siapa yang
mau menolak tawaran sebagus ini...?" jawab si Penge-
mis Binal.
Ketika tiga orang pelayan datang membawa
aneka masakan lezat, salah seorang dari mereka mem-
bawa sepoci besar berisi arak wangi. Harumnya me-
nerpa hidung. Dan ini membuat Pengemis Binal terse-
nyum-senyum.
"Oh! Betapa senangnya jadi seorang tamu ke-
hormatan...," bisik Suropati dalam hati.
Mereka bertiga kemudian menyantap suguhan
yang dihidangkan. Gede Panjalu tampak malu-malu
dan canggung, karena tidak biasa makan bersama seo-
rang pembesar. Sedangkan Adipati Danubraja beru-
lang kali mengulum senyum di bibir, melihat keraku-
san Suropati.
Si Pengemis Binal itu makan seperti habis ber-
puasa genap satu bulan. Maklum, belum pernah dia
merasakan hidangan yang sedemikian lezat.

"Sudilah kalian berdua menginap di sini barang
satu-dua hari...," tawar Adipati Danubraja lagi usai
bersantap.
Suropati menganggukkan kepala tanpa memin-
ta persetujuan Gede Panjalu.
"Tentu kami bersedia, Gusti Adipati," sambut
Suropati.
Gede Panjalu menyodok lengan si Pengemis Bi-
nal.
"Kakek bodoh! Ditawari rezeki, kenapa mesti di-
tolak...?" kata Suropati dalam hati.
Adipati Danubraja mengeplokkan telapak tan-
gannya kembali. Tak lama, datanglah dua orang pe-
layan menghampiri.
"Antarkan kedua tamu kehormatanku ini me-
nuju ke tempat peristirahatannya...." perintah Adipati
Danubraja.
Dua pelayan yang baru datang itu menghormat
kepada  Gede Panjalu dan Suropati. Dan mereka pun
segera beranjak dari tempat duduknya, untuk mengi-
kuti langkah kaki dua pelayan suruhan Adipati Danu-
braja.
Sambil berjalan, Gede Panjalu dan Suropati
berdecak kagum melihat keindahan suasana di penda-
pa kadipaten. Namun, tiba-tiba Gede Panjalu menepuk
bahu Suropati.
"Kau jangan keburu senang, Bocah Gendheng!"
ujar Pengemis Tongkat Sakti, sengit.
"Kenapa, Kek?" tanya Suropati terkejut.
"Ingat tantangan Aki Barondeng atau si Mayat
Hidup!"
Suropati mengerutkan kening.
"Malam bulan purnama ketujuh, tepat dua pu-
luh lima hari lagi."

Alis si Pengemis Binal saling bertaut.
"Apakah aku pernah berbuat salah kepada ka-
kek tua renta itu? Ah, kurasa tidak. Tapi, kenapa dia
menantangku?" hati Suropati bertanya-tanya. "Kalau
Kakek Bayangan Putih Dari Selatan memperingatkan-
ku, berarti kakek tua renta yang bernama Aki Baron-
deng memang tidak main-main. Dan tampaknya, dia
sangat berbahaya...."
"Silakan, Tuan...."
Suropati tersentak ketika pelayan menunjuk-
kan tempat peristirahatannya. Namun, sebelum me-
langkah ke ambang pintu, mata Suropati melihat sosok
Dewi Ikata yang tengah duduk di taman keputren. Se-
dangkan Gede Panjalu sudah tak tampak batang hi-
dungnya.
"Rezeki memang tak pantas untuk ditolak," bi-
sik hati Suropati.
Bibir Pengemis Binal mengembangkan senyum.
Dan, kakinya pun melangkah menuju ke taman kepu-
tren. Sedangkan pelayan yang berdiri di sampingnya
hanya bisa menggeleng-geleng melihat remaja yang tak
tahu sopan santun itu.
"Suasana sore yang indah. Hembusan angin ra-
sa segar. Membuat  si Pengemis Binal ingin duduk-
duduk di taman sambil menikmati pemandangan me-
nakjubkan..," kata Suropati yang telah berada tak jauh
dari Dewi Ikata.
Putri tunggal Adipati Danubraja itu menoleh.
Dan dia pun terkejut setengah mati, melihat kedatan-
gan Suropati.
"Mau apa kau, Tu..., eh...," Dewi Ikata gelaga-
pan. Pipi gadis berumur tujuh betas tahun itu merona
merah. Kepalanya tertunduk, menyembunyikan pera-
saan malu.

"Di suasana sore yang indah ini, bolehkah Su-
ropati yang miskin ini berkenalan dengan Tuan Putri
yang cantik rupawan...?" kata si Pengemis Binal nakal.
Perlahan-lahan Dewi Ikata mendongak. Pan-
dangan matanya tertumbuk dengan tatapan Suropati.
Pipi gadis itu pun semakin merona merah.
"Jangan panggil aku 'Tuan Putri'. Namaku Dewi
Ikata," ujar putri tunggal Adipati Danubraja.
"Dewi Ikata? Sebuah nama yang bagus. Tapi,
aku apa harus panggil 'Dewi' atau apa?" sahut Suropa-
ti makin berani.
"Aku biasa dipanggil 'Ika'."
Senyum di Pengemis Binal mengembang lebar.
"Boleh aku duduk di sampingmu, Ika...?"
Dewi Ikata  tak menjawab. Tapi, hal itu diang-
gap sebagai persetujuan oleh Suropati. Dan pantatnya
pun diletakkan di sisi Dewi Ikata.

***

Sementara itu, di pintu gerbang pendapa kadi-
paten, seorang nenek berbaju ungu tengah berhadapan
dengan penjaga. Rambutnya yang masih berwarna hi-
tam tergerai panjang ke punggung. Wajahnya walau-
pun telah menunjukkan kerutan, tapi masih mem-
biaskan kecantikannya. Dia adalah Arumsari, yang
bergelar Dewi Tangan Api.
"Aku hendak bertemu Gustimu...," kata Dewi
Tangan Api.
"Hari ini Gusti Adipati tidak menerima tamu,"
jawab penjaga pintu gerbang.
"Heh, apa katamu?!" sentak Dewi Tangan Api.
"Gusti Adipati berpesan, hari ini tak seorang
pun diperbolehkan bertamu ke pendapa kadipaten."

Dewi Tangan Api menyeringai dingin.
"Katakan pada ratu gustimu itu, Arumsari atau
Dewi Tangan Api yang datang...!" ujar nenek ini seperti
menyimpan amarah.
Si penjaga pintu menatap wajah Dewi Tangan
Api.
"Kenapa kau ngotot amat...?!" usik penjaga ini.
"Bangsat..!" umpat Dewi Tangan Api seraya
mendorong tubuh si penjaga pintu gerbang.
Bruk...!
Tubuh laki-laki itu terjengkang, jatuh ke tanah.
Sementara Dewi Tangan Api dengan enaknya melang-
kah. Tapi, seorang penjaga pintu gerbang yang lainnya
menghadang dengan senjata tombak.
"Mau ke mana kau, Nenek Bandel?!" bentak
penjaga ini.
"Kau jangan coba-coba menghalangiku...!"
Tiba-tiba Dewi Tangan Api menggerakkan tan-
gannya. Maka seketika tubuh penjaga pintu gerbang
bersenjata tombak itu jatuh telentang di atas tanah.
Kembali dengan enaknya, Dewi Tangan Api segera me-
lanjutkan langkahnya.
Tapi, baru dapat beberapa langkah dari am-
bang pintu gerbang, lima orang prajurit bersenjata pe-
dang datang menghadang.
Dewi Tangan Api mendengus gusar.
"Kalian mau apa...?.'" bentak Dewi Tangan Api
"Kami hanya menjalankan tugas. Segera enyah
dari tempat ini, Nenek Nekat....!" bentak salah seorang
prajurit
"He he he...," Dewi Tangan Api tertawa menam-
pakkan giginya yang masih berjajar rapi. "Rupanya
kau tidak takut mati....!"
Usai mengucapkan kalimatnya, tangan nenek

sakti ini bergerak dilambari tenaga dalam.
Wuuusss....!
Seketika serangkaian angin pukulan menerpa
tubuh kelima prajurit bersenjata pedang itu. Dan... 
Bruuukkk...!
Tubuh mereka jatuh ke tanah, tergeletak ping-
san.
"Cecurut-cecurut tak tahu diuntung! Tidak ta-
hu sedang berhadapan dengan siapa...?!" gerutu Dewi 
Tangan Api.
Tapi, sebelum nenek sakti itu sempat melang-
kahkan kakinya kembali belasan orang prajurit kadi-
paten telah menghadang. Dan mereka langsung me-
nerjang.
Wuuuttt...! Wuuuttt....!
Sambaran pedang datang bertubi-tubi, meng-
hunjam tubuh Dewi Tangan Api.
Tapi, nenek sakti itu mudah sekali mengelak-
kan serangan. Dan tiba-tiba kembali tangannya berge-
rak dilambari tenaga dalam. 
Wuuusss....!
Tujuh orang prajurit kadipaten kontan terje-
rembab ke tanah, membuat prajurit lain menjadi terke-
jut setengah mati. Seketika mereka mundur beberapa
tindak.
"He he he...," Dewi Tangan Api tertawa. "Nah,
itu bagus. Berarti kalian masih bisa berpikir waras...."
"Ada apa, Arumsari...?" tanya Adipati Danubra-
ja yang tiba-tiba muncul di tempat itu.
Dewi Tangan Api menoleh. Matanya menatap
tubuh Adipati Danubraja yang menampakkan balutan
luka.
"Rupanya kau baru saja tertimpa musibah, Da-
nubraja...," kata nenek sakti itu, tanpa penghormatan.

Untuk beberapa lama, Adipati Danubraja tak
memberi tanggapan. Tapi, senyumnya segera mengem-
bang tanpa sedikit pun menampakkan ketersinggun-
gannya atas panggilan Dewi Tangan Api yang kurang
menghormat.
"Kau tampak awet muda, Arumsari...," puji adi-
pati ini seraya melangkah ke dalam pendapa kadipa-
ten.
Dewi Tangan Api mengikuti.
"Kedatanganku ini hendak menagih janjimu
Danubraja," kata nenek sakti itu kemudian.
Adipati Danubraja tampak tercenung.
Pikirannya melayang ke masa silam.
Waktu itu, Adipati Danubraja masih berusia ti-
ga puluh tahun. Dia bermaksud mengadakan kunjun-
gan ke Kadipaten Tanah Loh, yang dipimpin Barasang-
ga. Dia adalah ayahanda Rara Anggi, istri Adipati Da-
nubraja. Dan, kunjungan itu bertujuan untuk meme-
nuhi keinginan Adipati Barasangga, untuk melihat cu-
cunya, Dewi Ikata.
Ketika perjalanan Adipati Danubraja bersama
rombongannya melewati sebuah lereng bukit terjal, ge-
rombolan perampok datang mencegat. Maka, terjadilah
pertempuran seru. Para pengawal Adipati Danubraja
tak sanggup menghadapi keganasan perampok-
perampok itu. Pada saat keadaan sudah gawat, mun-
cul Arumsari atau Dewi Tangan Api memberi pertolon-
gan.
Gerombolan perampok itu akhirnya dapat diha-
lau.
Kebaikan Dewi Tangan Api tidak sampai di situ.
Dia bahkan bersedia mengawal perjalanan Adipati Da-
nubraja sampai ke tempat tujuannya.
Dan dalam perjalanan itulah, Dewi Tangan Api

melihat sosok bocah perempuan sehat, putri Adipa
Danubraja. Dewi Tangan Api bermaksud mengambil-
nya sebagai murid. Tentu saja Adipati Danubraja me-
rasa keberatan. Karena bila putrinya diambil murid
oleh Dewi Tangan Api, tentu akan dibawa mengemba-
ra.
Tapi melihat dewi penolongnya, Adipati Danu-
braja tidak tega untuk menolak secara terang-
terangan. Maka dia berjanji untuk menerima permin-
taan Dewi Tangan Api, bila umur putrinya sudah men-
capai tujuh belas tahun. Dengan harapan, Dewi Tan-
gan Api akan lupa  pada putrinya karena termakan
waktu.
Tapi kini, Dewi Tangan Api datang untuk me-
nagih janji. Dan Adipati Danubraja sebenarnya merasa
terkejut juga. Karena sebagai seorang pemimpin, dia
harus menepati janji yang telah diucapkan.
"Di mana Dewi Ikata sekarang?" tanya Dewi
Tangan Api kemudian.
"Dia berada di taman keputren," jawab Adipati
Danubraja.
"Kita ke sana, Danubraja...."
Adipati Danubraja kemudian berjalan menuju
ke taman keputren, diikuti Dewi Tangan Api.
Sesampai di tempat yang dituju, mereka jadi
terkejut melihat sosok pengemis muda yang tampak
asyik bercanda dengan Dewi Ikata.
"Siapa dia?" tanya Dewi Tangan Api.
"Dia tamu kehormatanku. Namanya, Suropati,"
jelas Adipati Danubraja.
"Suropati...?" Dewi Tangan Api mendengus gu-
sar, lalu berjalan mendekat.
"Bocah Gendheng! Kenapa kau berada di si-
ni...?!" dengus Dewi Tangan Api.

Suropati dan Dewi Ikata terkejut
"Eh, kau siapa, Nek?" tanya Suropati.
"Aku calon guru Dewi Ikata. Pergi kau dari
tempat ini!"
"Eh! Aku merasa sudah mengenalmu, Nek. Bu-
kankah kau yang bertempur dengan Kakek Bayangan
Putih Dari Selatan di Bukit Argapala, yang bermaksud
mengambilku sebagai murid...?" tanya Pengemis Binal.
"Jangan banyak bacot! Pergi dari sini, Gembel
Busuk!"
"Apa hakmu untuk mengusirku, Nenek Ba-
wel?!" balas Suropati kekonyol-konyolan.
Tiba-tiba Dewi Tangan Api menggerakkan tan-
gannya dengan cepat Seketika serangkaian angin pu-
kulan berhawa panas menerpa tubuh si Pengemis Bi-
nal.
"Wadouw...! Kau kok gampang marah gitu, sih.
Makanya kau tak laku kawin...," ejek Suropati sambil
melompat, menghindari serangan Dewi Tangan Api.
"Gembel busuk tak tahu aturan! Dewi Ikata itu
putri Adipati Danubraja. Beraninya kau mendekati...?!"
"Apa salahnya? Bukankah aku tamu kehorma-
tan Gusti Adipati?" timpal Pengemis Binal sambil meli-
rik Adipati Danubraja yang berdiri tak jauh darinya.
Tapi, muka Suropati jadi kusam melihat mata
Adipati Danubraja yang mendelik ke arahnya.
"Eh...," Pengemis Binal jadi salah tingkah.
"Sepertinya aku memang harus pergi dari si-
ni...," kata Pengemis Binal
Suropati segera melangkah, meninggalkan ta-
man keputren. Tapi, matanya masih sempat mengerl-
ing sesaat Dewi Ikata.
"Ika, Nenek ini calon gurumu," kata Adipati Da-
nubraja kemudian.

"Guru apa, Ayah?" tanya Dewi Ikata, tak men-
gerti.
"Guru ilmu silat."
"Jadi, aku nanti belajar berkelahi, Ayah?"
Adipati Danubraja mengangguk pelan. Semen-
tara mata Dewi Ikata berbinar.
"Mulai besok kau sudah resmi jadi muridku,"
kata Dewi Tangan Api. "Tapi, kau mesti tahu, Ika. Kau
bukan muridku satu-satunya. Kakak seperguruanmu
ada dua. Dan sekarang, mereka sedang mengembara.
Namanya, Anjarweni dan Ingkanputri."
Dewi Ikata tak begitu memperhatikan ucapan
calon gurunya. Dia sedang asyik membayangkan di-
rinya yang akan jadi sakti dan pandai berkelahi.
"Haiiittt...!"
Tiba-tiba gadis itu meloncat kegirangan.
Adipati Danubraja dan Dewi Tangan Api terse-
nyum senang.
Bagaimana dengan tantangan Aki Barondeng
pada Suropati? Lalu, apakah maksud Bayangan Putih
Dari Selatan yang tiba-tiba menyampaikan sebuah pe-
san?

SELESAI

Ikuti serial Pengemis Binal dalam episode 
BIDADARI LENTERA MERAH