Pengemis Binal 4 - Asmara Penggoda(2)






3

Sebentuk kepala manusia tampak
menyembul ke atas permukaan air danau
kecil itu. Wajah manusia yang

melakukan tapa brata itu menggambarkan
suatu keteduhan. Kedua matanya
terpejam dengan bantuk alis tebal
menukik tajam di kedua ujungnya.
Hidungnya mancung. Garis-garis wajah-
nya menunjukkan ketampanan. Usia orang
itu masih sangat muda, sekitar tujuh
belas tahun. Dia adalah Suropati atau
Pengemis Binal.
Tubuh telanjang remaja tampan itu

melayang di kedalaman air, ditopang
oleh semburan mata air yang memancar
di  bawah kakinya yang bersila.
Gelombang kecil tampak berputar di
sekitar kepala. Rambutnya yang hitam
panjang bergerak-gerak mengikuti arus.
Hari itu adalah hari ketujuh bagi
Suropati dalam menjalani tapa brata
sesuai petunjuk yang diberikan Datuk
Risanwari.
Dalam keheningan kalbu di
kekelaman pejaman matanya Suropati
tiba-tiba melihat segumpal cahaya
menuju ke arahnya. Cahaya itu
berpendar ketika jarak mereka telah
dekat. Asap tipis terlihat menyebar.
Sesaat kemudian, terbentuklah sesosok
makhluk menyeramkan.
Tinggi makhluk itu menyamai
tinggi pohon kelapa. Tubuhnya sebesar
tiga kali tubuh gajah. Tangan dan
kakinya mulur panjang, berbulu lebat
dengan kuku-kuku hitam berkilat. Kedua
matanya yang sebesar tampah tampak
memerah. Berhidung besar. Dari sela-
sela bibirnya yang tebal menyembul
taring runcing.
"Bangunlah kau, Bocah!"
Suara makhluk menyeramkan itu
menggelegar laksana halilintar.
Suropati sama sekali tak bergeming.
Kedua matanya tetap terpejam rapat.
Tapi, dia melihat dengan mata hatinya.
"Bocah Geblek! Kalau kau tak

segera bangun, aku akan melumatkan
tubuhmu!"
Tak ada tanggapan sedikit pun
dari Pengemis Binal.
Makhluk menyeramkan itu menggeram
marah. Dari mulutnya menyembur uap
panas. Suropati merasakan tubuhnya
bagai terpanggang di lautan api.
Pemuda itu segera mengerahkan kekuatan
batinnya untuk melindungi tubuh.
Cahaya kebiru-biruan memancar
dari tubuh remaja tampan itu. Lalu,
hawa dingin menyelimuti tubuhnya. Rasa
panas yang dirasakan Suropati seketika
lenyap. Tapi, mendadak saja kaki
makhluk menyeramkan itu menendang.
Suropati merasakan tubuhnya terlontar
jauh masuk dalam kegelapan yang begitu
pekat. Sernentara itu, seberkas sinar
kemerahan meluncur ke arahnya! Sinar
itu menelan tubuh Pengemis Binal.
Suropati merasakan suatu
kenikmatan yang luar biasa. Tubuhnya
terasa segar. Hawa sejuk mengelus
sukma. Lalu, terdengar alunan musik
berirama syahdu.
Seorang wanita cantik berpakaian
indah gemerlap tampak menari dengan
lemah gemulai. Tubuhnya meliuk-liuk
menciptakan gerakan yang meng-undang
hasrat kelelakian.
"Bangunlah kau, Bocah Bagus...,"
kata wanita cantik itu. "Mari menari
bersamaku!"

Tangan wanita cantik itu
menggapai dengan mata terpejam penuh
kepasrahan. Suropati hanya diam.
Pemuda itu tak melakukan tindakan apa
pun. Perlahan-lahan wanita cantik itu
bergerak menjauh. Sanggul rambutnya
dilepas sehingga mahkota yang indah
itu jatuh tergerai ke punggung. Lalu,
satu persatu dia melepas kancing
bajunya.
Ketika kancing-kancing itu telah
usai dilepas, badannya dibalikkan
seraya menjatuhkan bajunya. Nampaklah
kulit tubuhnya yang putih mulus tanpa
noda. Suropati merasakan darahnya
berdesir. Jantungnya berdegup lebih
cepat. Hasrat kelelakiannya terasa
melonjak-lonjak!
"Oh...," wanita cantik itu
mendesah panjang. "Peluklah aku."
Dengan dada sesak dan napas
terengah-engah menahan gejolak
nafsunya, Suropati mengerahkan seluruh
kekuatan batinnya untuk melawan godaan
hebat itu. Sementara wanita cantik di
hadapan Suropati terus mendesah-desah.
Diikutinya irama musik yang mengalun
syahdu dengan menggoyang-goyangkan
pinggulnya. Sisa pakaian yang menempel
di tubuhnya pun melorot jatuh.
Tampaklah suatu pemandangan yang
menggiurkan.
"Peluklah aku...," kata wanita
cantik bertubuh telanjang itu.

Suropati merasakan bumi ber-
goncang dahsyat. Tubuh Suropati yang
tengah melakukan tapa brata bergetar
keras. Perang besar sedang berkecamuk
dalam hati remaja tampan itu.
"Oh... oh...."
Suara desahan tiada henti
terdengar menggoda. Sampailah Suropati
pada puncak keinginan gejolak
nafsunya. Perlahan-lahan dia melepas
kedua tangannya yang bersedekap.
Hendak dipeluknya wanita cantik di
hadapannya. Pada saat itulah muncul
bisikan lembut di telinga Pengemis
Binal.
"Manusia berhati lemah akan
selamanya diperbudak oleh nafsu.
Mereka akan dilemparkan ke jurang
gelap penuh penderitaan. Nafsu selalu
menggoda. Hanya dengan keteguhan
imanlah godaan nafsu  dapat
diatasi...."
Ketika bisikan itu berhenti,
Suropati mulai tersadar dari
keadaannya. Diiringi dengan menyebut
asma Tuhan kedua tangan remaja tampan
itu kembali bersedekap. Tubuhnya lalu
diam tak bergeming bagai patung batu.
Sinar kebiruan memendar dari
tubuh Suropati. Wanita cantik yang
hendak didekapnya terpental disertai
suara jerit kesakitan. Kemudian,
bisikan  lembut di telinga remaja
tampan itu terdengar kembali.

"Kau bisa membuka kelopak matamu,
Suro. Tapa bratamu telah usai."
Pengemis Binal mengikuti bisikan
lembut di telinganya. Dan ketika gelap
telah pergi dari pandangan, tampaklah
seorang kakek tua renta tengah duduk
bersila dalam keadaan melayang di
udara. 
"Datuk Risanwari...," gumam
Suropati. 
"Sebuah ujian berat telah kau
jalani, Suro. Kini dalam dirimu telah
tercipta sebuah benteng kokoh untuk
menepis segala godaan nafsu
keduniawian. Dengan penuh keikhlasan
dalam mengabdi kepada jalan kebenaran,
mudah-mudahan kabut gelap yang
menyelimuti rimba persilatan dapat kau
lenyapkan. Tuhan bersamamu, Suro...."
Usai mengucapkan kalimatnya,
tubuh Datuk Risanwari meluncur cepat
dan menghilang dari pandangan.
Suropati hanya memandangi keper-
giannya.
Pemuda konyol itu kemudian
berusaha menggerakkan kaki dan tangan-
nya yang kaku. Dia berenang mencapai
tepi danau. Diambilnya pakaiannya yang
tergantung di dahan pohon.
Tak lama kemudian, dia telah
bertengger di dahan pohon kedondong
besar. Dengan rakusnya dilahapnya buah
berasa manis-asam itu. Tapi mendadak
saja Suropati cengar-cengir. Hidungnya

mencium aroma wangi bunga mawar.
"Rupanya di pagi ini ada Wewe
yang nyasar ke sini...."
Suropati celingukan. Ketika mata-
nya menangkap sosok wanita berpakaian
serba merah yang tengah duduk di
seberang danau, dia meloncat turun
dari atas pohon. Dihampirinya wanita
itu dengan berjalan mengitari tepian
danau.
"Hai, Gadis Manis!" sapa Suropati
yang mulai timbul kekonyolannya.
Yang disapa diam saja seperti tak
mendengar apa-apa.
"Uh! Sombong amat!" umpat
Suropati. "Sayang, cantik wajahnya
tapi telinganya tuli...." "Apa?!"
Wanita berpakaian serba merah itu
menolehkan kepala. "Kau mengatakan aku
tuli?" katanya berang. Tapi, tiba-tiba
saja wanita berpakaian serba merah itu
tertawa memperlihatkan barisan giginya
yang berjajar rapi.
"Alangkah cantiknya...," gumam
Suropati sambil menggaruk kepala.
Matanya menatap keindahan yang
terpampang di wajah wanita berpakaian
merah. "Siapa namamu?" tanyanya
kemudian.
"Ratnasari."
Suropati terperanjat.
"Inikah wanita berumur seratus
lima puluh tahun yang telah menjalani
upacara pemulihan itu?!" tanya

Suropati dalam hati. Diperhatikannya
Ratnasari lebih teliti. "Dia memang
sangat cantik. Menurut Datuk
Risanwari, wanita ini memiliki ilmu
'Asmara Penggoda'. Aku harus berhati-
hati..."
"Eh, kenapa kau bengong, Tampan?"
Ratnasari bertanya. Suaranya terdengar
begitu lembut. "Apakah namaku
terdengar aneh?"
"Ah, tidak. Namamu justru sangat
enak di telinga. Ratna itu permata
Sari itu inti. Jadi, kau inti dari
keindahan permata. Pantas kau sangat
cantik," puji Suropati sejujurnya.
Ratnasari atau Bidadari Bunga
Mawar tertawa senang.
"Eh, siapa namamu, Tampan?" tanya
wanita itu.
"Suropati." 
"Pengemis Binal?" 
"Ya."
"Oh, Dewata Yang Agung.Ratnasari
menengadahkan kedua telapak tangannya
seperti sedang berdoa. "Betapa
bahagianya hatiku bertemu dengan
pemuda yang selama ini kuimpi-impikan.
Terima kasih, Dewata Yang Agung."
Mata Bidadari Bunga Mawar kemu-
dian mengerling penuh arti. Suropati
merasakan ada sesuatu kekuatan tiba-
tiba menguasai pikirannya.
"Uh! Aku harus lebih waspada.
Jangan-jangan ini  salah satu  dari

jurus ilmu 'Asmara Penggoda'...,"
gumam Suropati dalam hati.
Ratnasari mengambil bunga mawar
yang terselip di antara sanggulan
rambutnya.
"Terimalah bunga persembahanku
ini, Suro...."
Seperti kerbau dicocok hidungnya,
Suropati  mengulurkan tangan kanan.
Ratnasari segera menangkap lalu
menarik ke arah dirinya. Suropati yang
belum menyadari apa yang terjadi jatuh
terjerembab ke dalam pelukan Bidadari
Bunga Mawar.
"Uh...! Uh...!"
Pengemis Binal gelagapan ketika
jalan napasnya tersedak oleh ciuman
ganas Bidadari Bunga Mawar. Suropati
mendorong tubuh wanita cantik yang
mendekapnya.
"Aku tak bisa melakukan itu.
Soalnya aku masih anak-anak. He he
he...," ujar Suropati kemudian.
"Eh, siapa yang masih anak-anak?
Kau? Ah, tidak! Kau sudah besar!"
bantah Ratnasari. "Kau belum pernah
merasakan ciuman, ya?"
"Uh! Salah!"
"Lalu kenapa?"
"Aku ingin yang lebih dari itu."
Ucapan konyol Suropati membuat
Ratnasari tertawa terbahak-bahak.
Tapi, sekejap kemudian dia meloncat ke
belakang. Matanya menatap wajah

Suropati dalam-dalam.
"Eh, kau kenapa? Baru tahu kalau
aku lebih tampan dari yang kau kira?"
tanya Suropati menggoda.
Bidadari Bunga Mawar tak memberi
jawaban. Matanya terus menatap wajah
Pengemis Binal. Bola mata Ratnasari
yang hitam bening memantulkan seberkas
cahaya  aneh. Mata Suropati menjadi
pedih. Tanpa sadar dia mengucak-
ucaknya.
Tawa kemenangan Bidadari Bunga
Mawar terdengar membahana.
"Kini kau tak lebih dari kunyuk
bodoh yang akan selalu menuruti
perintahku, Suro...."
Selesai mengucapkan kalimatnya,
tubuh Ratnasari berkelebat lenyap
meninggalkan Suropati yang berdiri
terhuyung-huyung sambil mendekap
wajah.
Rasa pedih yang menyerang mata
Suropati sedemikian hebatnya, hingga
pemuda itu merintih-rintih kesakitan.
Kemudian tubuh Suropati terjerembab ke
tanah. Mendadak saja rasa pedih yang
menyerang matanya lenyap, berganti
dengan kesejukan yang melenakan.
Dalam keadaan duduk terbayang di
pelupuk mata Suropati wajah wanita-
wanita cantik yang pernah dijumpainya.
Pertama-tama muncul wajah Anjarweni,
Ingkanputri, Dewi Ikata, dan bayangan
wajah Puspita serta Ayumi. Terakhir

wajah Sekar mayang. Tapi, wajah-wajah
cantik itu segera lenyap, tersapu oleh
cahaya kehitam-hitaman, Muncullah
seraut wajah yang sangat cantik
mempesona. Wajah Ratnasari atau
Bidadari Bunga Mawar.
Wanita cantik itu tampil di
hadapan Pengemis Binal dalam keadaan
tanpa selembar benang pun menempel di
tubuhnya. Untuk kedua kalinya jiwa
Suropati terserang hawa nafsu yang
menghentak. Meronta-ronta bagai hendak
menghilangkan akal sehat. Tapi, kalbu
Suropati yang baru saja tercuci dalam
tapa brata membuat perisai hitam yang
menutupi bayangan Ratnasari. Pemuda
itu terlempar kembali ke alam nyata.
"Uh...! Hampir saja aku termakan
ilmu "Asmara Penggoda' yang dilancar-
kan Ratnasari...," gumam Suropati
sambil menggaruk kepalanya. Kemudian,
dipungutnya bunga mawar yang
tergeletak di tanah tak jauh darinya,
Tapi... bunga mawar yang dipegang
Suropati berubah menjadi sehelai daun
lontar.
"Sihir...!" desis remaja konyol
itu. Mata Pengemis Binal menatap tajam
ke bans tulisan yang tertera di atas
daun lontar.
Bunuh Raka Maruta Atau Pendekar
Kipas Terbang.
Kau Akan Mendapatkan Cinta
Membara Dariku.

"Huh! Siapa yang butuh cinta
palsumu, Nenek Sihir!" umpat Suropati
seraya meremas daun lontar hingga
menjadi abu.
Remaja konyol  itu lalu masuk ke
dalam danau. Tak lama kemudian telah
mencapai tepian di seberang. Dengan
pakaian basah kuyup, Pengemis Binal
bersiul-siul melangkahkan kaki dengan
ringannya.

* * *

Sementara itu di tempat lain
Anjarweni dan Wirogundi yang mencari
Ingkanputri terjebak ke dalam lorong
bawah tanah. Sudah sepekan mereka ber-
putar-putar di tempat itu tanpa bisa
keluar. Tubuh mereka lemas karena
selama itu tak makan suatu apa pun.
Hanya  minum tetes-tetes air yang
kebetulan merembes dari atas dinding.
"Kita telah memasuki tempat yang
lebih mengerikan dari lubang tikus,
Weni," kata Wirogundi sambil mengusap
dahinya. Jelaga yang menempel di
wajahnya semakin menyebar rata.
"Menyesal aku mengajamu, Wiro,"
ucap Anjarweni pelan.
"Kau jangan berkata seperti itu.
Aku  pernah mengatakan kepadamu kalau
penderitaanmu adalah penderitaanku.
Aku rela melakukan apa saja untukmu,
Weni."

Anjarweni terdiam mendengar per-
kataan Wirogundi. Dia merasakan suatu
kesejukan mengelus hatinya. Menim-
bulkan rasa bahagia yang tiada
terkira. Tanpa sadar murid Dewi Tangan
Api itu meraih tangan Wirogundi  dan
menggenggamnya erat-erat. 
"Terima kasih, Wiro...," gumam
Anjarweni.
Wirogundi membalas meremas.
Melalui cahaya obor gas alam yang
temaram, dia menatap wajah Anjarweni
dalam-dalam. Mendadak, pemuda anggota
Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti itu
tertawa.
"Ha ha ha...! Kau lucu, Weni!" 
"Eh, apanya yang lucu?" tanya
Anjarweni tak mengerti.
"Wajahmu itu...."
"Kenapa?"
"Hitam! Seperti monyet kecebur
lumpur. Ha ha ha...!"
"Ha ha ha...," Anjarweni ikut
tertawa. "Kau kira kau tidak lucu?
Wajahmu juga hitam seperti...." 
"Seperti apa?" 
"Nggak tahu!"
Tiba-tiba  Anjarweni memegang
perutnya. Gadis itu meringis
kesakitan.
"Eh, kau kenapa, Weni?" tanya
Wirogundi khawatir.
"Kau juga merasakannya, bukan?" 
"Lapar?"

Anjarweni menganggukkan kepala.
"Sayang, aku tidak bisa keluar
dari tempat terkutuk ini. Seandainya
bisa aku membawakanmu makanan yang
enak-enak."
"Bodoh! Kalau kau bisa keluar,
tentu saja aku ikut. Siapa sudi
tinggal di tempat seperti ini?"
"Kalau tinggal bersamaku, kau
tidak sudi?"
Anjarweni tak memberikan jawaban.
Matanya menerawang jauh. 
"Kasihan Ingkanputri...," katanya
lirih.
"Mungkinkah dia juga terjebak di
tempat ini, Weni?"
"Kemungkinan itu ada saja," sahut
Anjarweni.
Sebuah bayangan yang entah dari
mana datangnya berkelebat dan berhenti
tepat dua tombak di hadapan kedua
remaja itu. Wirogundi dan  Anjarweni
terkejut melihat kehadiran gadis
cantik berpakaian serba merah.
"Ingkanputri...!" ucap mereka
hampir bersamaan.
Yang disebut namanya hanya
membisu. Kedua matanya yang bersorot
aneh menatap Wirogundi dan Anjarweni
bergantian.
"Ingkanputri, ini aku... kakak-
mu...," Anjarweni menghambur ke arah
adik seperguruannya. Tapi....
Serangkum angin  pukulan menerpa.

Anjarweni terkesiap dan mencoba
menghindar.
Des...!
Terlambat! Anjarweni mendekap
bahu kanannya. Hawa panas terasa
menjalar. Baju yang dikenakannya pun
hangus.
"Kau... kau...," kata murid Dewi
Tangan Api itu gelagapan. 
"Kau lupa padaku, Putri?"
Ingkanputri tak memberikan
tanggapan apa-apa. Kedua matanya yang
bersorot aneh menatap nyalang.
"Putri, itu kakak seperguruanmu,
Anjarweni," Wirogundi ikut meyakinkan.
Tapi Ingkanputri hanya mendengus.
Kedua telapak tangannya berubah merah
membara. Hawa panas segera menyelimuti
tempat itu.
"Pukulan  Api Neraka!" desis
Anjarweni dalam keterkejutannya.
"Hati-hati, Weni...," pesan
Wirogundi seraya mendorong tubuh
Anjarweni ke samping. 
"Adik seperguruanmu itu  seperti-
nya sedang berada di bawah pengaruh
ilmu sihir."
"Tidak!" Anjarweni menepis perge-
langan  tangannya dari pegangan
Wirogundi. "Tidak ada orang yang mampu
menyihir Ingkanputri!"
"Tapi buktinya...."
"Tidak!" potong Anjarweni keras.
Ingkanputri tak mempedulikan

perdebatan itu. Kedua tangannya
diangkat lalu mendorong ke depan.
Blaaarrr...!
Dinding lorong setebal satu depa
ambrol terkena hantaman pukulan. Hujan
bebatuan tak bisa dihindari lagi. Debu
mengepul tebal membuat keadaan tempat
itu semakin gelap pekat.
Wirogundi menggamit lengan Anjar-
weni. Diajaknya gadis itu pergi. Tapi,
Anjarweni berontak.
"Kau kenapa, Weni?" tanya
Wirogundi heran. "Ingkanputri sedang
kalap. Dia bisa membunuh kita!"
"Biar!" jerit Anjarweni seperti
orang kesurupan. "Ingkanputri masih
sadar. Dia tidak apa-apa." 
"Tadi dia bermaksud menyerangmu,
Weni." 
"Tidak."
Wirogundi  terperangah. Dia jadi
bingung. Melihat sikap Anjarweni yang
seperti orang kehilangan ingatan,
pemuda bertubuh kurus itu dihantui
perasaan galau. Pemuda anggota
Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti itu
segera menotok jalan darah di punggung
Anjarweni. Tubuh gadis itu pun melorot
jatuh bagai selembar karung basah.
Dengan susah payah Wirogundi yang
sangat menderita karena perutnya
kosong berusaha membopong tubuh
Anjarweni. Tapi pemuda itu hanya
berputar-putar di lorong yang tak

berujung pangkal. Wirogundi terkejut
dan menghentikan langkah ketika tiba-
tiba saja sosok Ingkanputri telah
berdiri di hadapannya.
Merasa tidak mampu menghadapi
murid Dewi Tangan Api itu, Wirogundi
segera mengambil langkah seribu.
Tapi.... Serangkum angin pukulan
berhawa panas menerpa! Wirogundi yang
sedang membawa beban tak mampu
berkelit. Dia hanya memutar tongkat di
tangan kanannya.
Tongkat itu tak mampu menahan
pukulan lawan. Tubuh Wirogundi
terhempas. Sernentara pemuda itu masih
tetap mendekap tubuh Anjarweni dengan
erat. Mereka berdua bergulingan di
lantai.
"Ha ha ha...!" Tawa Ingkanputri
membahana seperti tawa iblis yang haus
darah.
Dengan kedua belah tangan merah
membara, murid Dewi Tangan Api itu
melangkah mendekati Wirogundi dan
Anjarweni yang sudah tiada ber-daya.
Ingkanputri  menghentakkan telapak
tangannya ke depan. 
Blaaammm...!
Pukulan jarak jauh gadis
berpakaian merah itu membentur
kekuatan kasat mata.
Wirogundi  dan Anjarweni yang
sudah pasrah menghadapi Dewa Kematian
kelihatan terkejut. Ingkanputri men-

dengus marah. Matanya menatap tajam
sosok wanita cantik yang telah berdiri
di hadapannya. Wanita yang tak lain
Puspita itu mengerling ke arah
Wirogundi.
"Bebaskan totokan gadismu itu,"
bisik Puspita.
Wirogundi segera menuruti
perintah dewi penolongnya.
Puspita melangkah mundur dua
tindak. Lalu, secepat kilat dia
melancarkan pukulan jarak jauh ke atap
lorong. Bebatuan runtuh diiringi suara
menggelegar. Debu tebal  menyelimuti.
Bersamaan dengan itu Puspita menggamit
lengan Wirogundi dan Anjarweni.
Dibawanya kedua remaja itu berlari ke
sebuah lorong sempit. Setelah
berputar-putar, sampailah mereka ke
sebuah kolam kecil berair bening
dengan batu-batu cadas di
sekelilingnya.
"Kalian ikuti lorong yang berada
di bawah kolam itu," kata Puspita.
"Untuk apa?" tanya Wirogundi.
"Bodoh! Apakah kau tidak ingin
keluar dari tempat ini?!"
"Oh, ya...," Wirogundi seperti
baru saja disadarkan dari keterpa-
kuannya. "Apakah aku harus berenang?"
"Tentu saja."
"Uh! Aku sudah hampir kehabisan
tenaga. Bayangkan, selama sepekan aku
tak makan apa pun," keluh Wirogundi.

"Sudahlah, Wiro. Kita ikuti saja
petunjuk gadis penolong kita ini,"
Anjarweni segera melerai.
"Bagaimana dengan Ingkanputri?"
"Ah, kasihan dia. Tapi bagaimana
lagi? Kita tak bisa hidup di tempat
seperti ini. Tampaknya ucapanmu benar,
adik seperguruanku itu berada di bawah
pengaruh kekuatan sihir," desah
Anjarweni dengan wajah muram.
"Hei, kenapa kalian hanya
berkata-kata saja?!" sela Puspita.
Anjarweni menatap Puspita dalam-
dalam.
"Kenapa kau memandangku seperti
itu?" tanya Puspita.
"Melihat  warna pakaianmu yang
serba merah dan selendang yang
melingkar di pinggangmu, apakah kau
anggota Perkumpulan Bidadari Lentera
Merah?"
"Tak perlu kau ributkan itu. Yang
penting segera kau turuti petunjukku.
Aku tidak punya banyak waktu."
Puspita membalikkan badan hendak
mening-galkan tempat itu.
"Eh, tunggu dulu!" cegah
Anjarweni. "Siapa namamu?"
"Ah, itu juga tak perlu...,"
jawab Puspita. Kemudian, gadis itu
melesat pergi menghilang dari tempat
itu.
Anjarweni dan Wirogundi saling
berpandangan. "Eh, Wiro...," kata

Anjarweni kemudian. "Kau bisa
berenang?"
"Kau?" balas Wirogundi.
"Bisa. Kau tidak bisa, ya?"
Wirogundi tersenyum simpul.
"Kau lupa kalau aku seorang
pengemis, Weni," kata Wirogundi.
"Sejak kecil aku sudah terbiasa hidup
di alam bebas. Jadi, soal berenang
bukan masalah bagiku."
"Tapi untuk menemukan lorong yang
dimaksud gadis aneh itu kita mesti
menyelam. Kau juga bisa?"
"Yang menanyakan hal itu
seharusnya aku," Wirogundi jadi kesal
juga karena kemampuannya diragukan.
Mendengar perkataan Wirogundi,
Anjarweni mengambil ancang-ancang.
Lalu.... 
Byuuurrr...!
Air kolam yang semula tenang
tiba-tiba bergelombang besar ketika
menerima beban tubuh Anjarweni.
Wirogundi segera menyusul.
Mereka menyelam mengitari dasar
kolam yang tak seberapa luas. Setelah
menemukan lorong yang dimaksud
Puspita, mereka segera menyusul. Tak
lama kemudian Wirogundi dan Anjarweni
menyembul di permukaan sebatang sungai
yang berarus tenang. Mereka pun
berenang ke tepian.

* * *

4

Di pinggir sebuah hutan jati
burung-burung terdengar mencicit
ngeri. Mereka terbang berserabutan
seperti menyimpan rasa takut yang sa-
ngat. Lalu, suara menggelegar laksana
guntur menusuk gendang telinga.
"Apa yang sedang terjadi di
sana?" tanya Suropati dalam hati.
"Mungkinkah ada raksasa sedang
mengamuk?"
Sambil menggaruk-garuk kepalanya,
remaja konyol itu terus melangkahkan
kaki. Tongkat yang dipegang di tangan
kanan terseret hingga membentuk
guratan di permukaan tanah.
Ketika terdengar suara mengge-
legar yang lebih keras, seekor anak
harimau tampak berlari melintas di
hadapan Pengemis Binal. Remaja konyol
itu bergegas menjejakkan kaki ke
tanah. Tubuhnya melayang lalu mendarat
tepat di hadapan anak harimau yang
sedang berlari.
"Jangan terkejut, Manis. Aku
hanya hendak bertanya kepadamu...,"
kata Suropati sambil membentangkan
kedua tangannya untuk menghalangi
jalan.
Anak harimau itu menggeram. Cepat
badannya dibalikkan seraya hendak
berlari.
"Eit! Tuhggu dulu! Kenapa takut?

Aku bukan setan, Goblok!"
Tubuh Suropati melenting dan
menghalangi langkah kaki harimau kecil
itu. Dengan tatapan mata nyalang, anak
harimau menggeram marah.
"Lho, kenapa kau cepat naik
darah. Aku hanya hendak bertanya. Di
pinggir hutan sebelah sana sedang
terjadi apa?"
Tentu saja anak harimau itu tak
bisa menjawab. Dia hanya mengeluarkan
geraman marah.
"Eh, rupanya kau sakit gigi, ya?
Mari kuperiksa...."
Suropati berjalan mendekati.
Tapi, anak raja rimba itu menggeram
lebih keras, lalu menerkam! Pengemis
Binal berkelit. Dan ketika harimau
kecil yang masih diliputi rasa takut
itu menjejakkan kakinya di tanah, dia
segera mengambil langkah seribu.
"Uts...! Kau terlalu jual mahal,
Kucing Besar!" Kembali Suropati
menghalangi jalan. "Di pinggir hutan
sebelah sana sedang terjadi apa?"
tanya remaja konyol itu lagi.
Karena tak mendapat jawaban,
Suropati menggaruk-garuk kepalanya.
Lalu, tubuh remaja konyol itu melayang
dan hinggap di punggung anak harimau.
"Kalau kau tidak mau memberi
jawaban, tidak apa-apa. Tapi bawa aku
ke sana...."
Harimau kecil itu bukannya menu-

ruti perintah Suropati, malah meng-
geram penuh kemarahan dan berusaha
melontarkan tubuh pemuda yang duduk di
atas punggungnya.
Dengan berpegangan di kedua
telinga anak harimau, Suropati tertawa
kesenangan.
"Ayo, terus... terus.... Nikmat!
He he he...."
Anak harimau menggeram keras.
Tubuhnya melesat, berlari kencang
seperti sedang dikejar setan. Mata
Suropati mendelik. Pemuda itu hendak
melompat turun tapi takut jatuh
terjerembab. Karena tak tahu apa yang
harus diperbuat, dia berteriak-teriak
seperti orang kehilangan ingatan.
"Hei! Sudah... sudah...!
Hentikan...!"
Teriakan Suropati membahana di
sekitar hutan. Keringat dingin
membasahi sekujur tubuh. Kedua matanya
segera dipejamkan sambil memanjatkan
doa.
Tiba-tiba anak harimau menghen-
tikan larinya. Suropati menarik napas
lega. Perlahan-lahan dia membuka
kelopak  matanya. Dan.... Suropati
langsung menjerit ngeri!
Di hadapan Pengemis Binal berdiri
seekor harimau besar yang sedang
mendelik marah. Remaja konyol itu
segera meloncat ke tanah sambil
menggaruk-garuk kepala dan cengar-

cengir.
"Maaf... maaf, Yang Mulia Raja
Peng... eh, Raja Rimba. Aku tadi cuma
main-main dengan anakmu. Habis, anakmu
itu lucu, sih."
Suropati kemudian berjalan
mundur, setindak dua tindak sambil
menggaruk-garuk kepala tiada henti.
Setelah dirasa cukup jauh, pemuda itu
bergegas lari terbirit-birit....
Sementara itu, di bagian lain di
hutan jati itu sebuah pertempuran
sedang berlangsung seru. Suara
menggelegar akibat pukulan jarak jauh
berkali-kali terdengar membahana.
"Aku akan segera mengirimmu ke
neraka, Maruta!" kata Prahasta atau
Tangan Halilintar.
"Sebenarnya  di antara kita tidak
ada permusuhan. Tapi, kenapa kau
begitu bernafsu untuk membunuhku?"
Mendengar perkataan Raka Maruta
atau Pendekar Kipas Terbang, Prahasta
tertawa mengejek.
"Alasan bagiku tak begitu
penting...," sahut pemuda brewokan
itu. "Demi dewi pujaan hatiku, aku
rela melakukan apa saja."
"Siapa dia?"
"Kau tak perlu tahu!"
"Ratnasarikah?"
Mata Prahasta mendelik, mendengar
tebakan Raka Maruta yang tepat.
"Sadarlah, Prahasta...," kata

Pendekar Kipas Terbang, kalem.  "Kau
sedang berada di bawah pengaruh ilmu
'Asmara Penggoda'."
"Ha ha ha...!" Tangan Halilintar
tertawa terbahak-bahak. "Aku memang
sedang tergoda asmara, Maruta. Dan
untuk mewujudkan segala impianku,
sebaiknya kau serahkan kepalamu!"
Raka  Maruta menatap wajah
Prahasta dengan tatapan penuh belas
kasihan. "Sadarlah, Prahasta," ucapnya
lembut.
Tangan Halilintar tak
mempedulikan  peringatan  itu. Dia
menggeram keras lalu menyorongkan te-
lapak tangannya ke depan. 
Wuuusss...!
Serangkum angin pukulan menerpa.
Pendekar Kipas Terbang meloncat ke
samping. Akibatnya, permukaan tanah
tempat pukulan itu mendarat berlubang
besar. Batu dan kerikil berhamburan.
Debu mengepul hitam. Lubang yang
menganga lebar pada sisi-sisinya
berwarna hitam seperti habis tersambar
lidah petir.
Prahasta terus mencecar Raka
Maruta dengan 'Pukulan Halilintar'-
nya. Melihat kehebatan lawan yang
begitu bernafsu untuk membunuhnya,
Pendekar Kipas Terbang tanpa sungkan-
sungkan lagi segera mengeluarkan jurus
andalannya. Jurus yang membuatnya
begitu terkenal, yakni jurus 'Kipas

Terbang Membelah Angin'.
Pertempuran berlangsung semakin
seru. Diiringi suara menggelegar yang
memekakkan telinga, kipas di tangan
Raka Maruta mendesing-desing tak kalah
hebatnya. Tak jauh dari arena
pertempuran sepasang mata tampak
mengawasi. Sosok itu berlindung di
balik  semak belukar yang tumbuh di
sela-sela pohon jati.
"Wuih, hebat...!" puji si
pengintip yang tak lain Suropati.
"Kipas pemuda berbaju kuning itu
seperti bernyawa saja. Walaupun lawan
mempunyai  ilmu pukulan yang  dahsyat,
dia dapat mengimbanginya."
Bersamaan dengan usainya kalimat
Suropati, kipas Raka Maruta berkelebat
cepat. 
Breeettt...!
Prahasta melompat jauh sambil
mendekap kulit dadanya yang robek
lebar. Darah segar merembes dari sela
jari pemuda brewokan itu.
"Keparat!" umpat Prahasta, geram.
"Bukan maksudku untuk melukaimu,
Prahasta. Tapi, aku mesti membela diri
dari gempuranmu yang membabi buta,"
kata Pendekar Kipas Terbang untuk
membela diri.
"Tak perlu banyak bacot! Aku akan
membalas hinaanmu!"
Dengan secepat kilat tubuh Tangan
Halilintar meluncur. Kedua tangannya

terulur lurus ke depan mengarah dada
Pendekar Kipas Terbang. Raka Maruta
bergegas meloncat ke samping seraya
melancarkan sebuah tendangan
melingkar.
Des...!
Tendangan itu tertangkis tangan
kanan Prahasta. Raka Maruta merasakan
kakinya kesemutan. Tubuh pendekar
berwajah lembut itu jadi limbung.
Kesempatan ini tak disia-siakan
Tangan Halilintar. Dengan mengerahkan
seluruh tenaga dalam-nya, dia
melontarkan pukulan jarak jauh. Raka
Maruta yang tak mempunyai kesempatan
untuk menghindar segera mengibaskan
kipas di tangannya.
Blaaarrr...!
Suara menggelegar membahana di
angkasa. Tubuh Prahasta terlempar dua
tombak. Karena kedudukannya yang tidak
menguntungkan, tubuh Raka Maruta
terhempas lebih jauh dan jatuh
bergulingan di tanah. 
"Ha ha ha...."
Diiringi suara tawa yang
mendirikan bulu roma, tubuh Tangan
Halilintar kembali meluncur ke arah
Raka Maruta yang tampak belum siap
untuk menerima serangan. Suropati yang
melihat adegan itu jadi  bergidik
ngeri.
Sraaartt...!
"Arghhh...!"

Tubuh Prahasta sesaat tertahan di
udara. Lalu, jatuh berdebam di tanah.
Bersamaan dengan itu kepalanya lepas
dari tubuh dan menggelinding jauh.
Rupanya, dalam keadaan terdesak
Raka Maruta masih sempat melontarkan
kipas terbangnya. Tangan Halilintar
yang tak menduga datangnya serangan
hanya dapat mendelik tanpa mampu untuk
menghindar. Akibatnya, leher pemuda
brewokan itu terbabat!
Ketika mendengar suara jeritan,
Suropati menyebut asma Tuhan.
Perlahan-lahan kemudian dia membuka
kelopak matanya yang tadi dipejamkan.
Remaja konyol itu terkejut bukan main
menyaksikan tubuh Tangan Halilintar
tergeletak tanpa kepala lagi.
Keterkejutan Suropati semakin menjadi
tatkala di hadapannya terpentang
sepasang kaki yang tampak begitu
kokoh.
"Kenapa kau mengintipku?" Terde-
ngar sebuah suara. Suropati menggaruk-
garuk kepala mendengar pertanyaan itu.
"Eh, bukankah kau Pengemis Binal?"
"Kau mengenalku? Aku memang sudah
terkenal. He he he...," ujar Suropati
seraya bangkit dari berjongkoknya.
"Aku pun mengenalmu. Bukankah kau Raka
Maruta atau Pendekar Kipas Terbang?"
Tiba-tiba Raka Maruta meloncat
mundur. "Apakah kau juga ingin mem-
bunuhku?" tanyanya dengan pandangan

nanar.
"Eh, kau kenapa? Siapa yang mau
membunuhmu?"
"Kau tidak terpengaruh oleh
kekuatan ilmu 'Asmara Penggoda'?"
Suropati menggelengkan kepalanya
kuat-kuat.
"Memangnya kenapa?"
"Semua tokoh muda yang kujumpai
selalu berusaha untuk membunuhku."
"Oh, begitu. Mereka semua berada
dalam pengaruh ilmu iblis yang
dilancarkan Ratnasari atau Bidadari
Bunga Mawar," jelas Suropati.
"Aku sudah tahu."
"Kenapa kau tidak ikut
terpengaruh?"
Raka Maruta menatap tajam wajah
Suropati.
"Apakah kau benar-benar bukan
utusan wanita cantik itu?" tanya
pendekar berwajah lembut ini dengan
ragu.
"Demi Tuhan, bukan!"
"Kau mempunyai ilmu penangkal?"
"Kau sendiri?"
"Aku mewarisi ilmu leluhurku yang
bernama  ilmu 'Hati Suci'. Ilmu itu
membuatku kebal dari segala pengaruh
kekuatan jahat."
"Hebat!" puji Suropati. "Tapi
ilmu penangkalku agak aneh. Namanya
ilmu 'Hati Ayam'! He he he...."
"Hus! Ini bukan saatnya untuk

bercanda!" bentak Raka Maruta dengan
mata melotot.
"Kenapa Ratnasari tidak
mempengaruhi tokoh-tokoh tua dengan
ilmu iblisnya itu?" Suropati
termenung. Dia baru menyadari keanehan
tindakan Ratnasari.
"Entahlah...."
"Bodoh! Karena mereka sudah loyo.
Tak mampu bergelut sampai tiga ronde.
He he he...!" ucap Suropati dengan
konyolnya.
"Kalau kau sudah tahu, kenapa
bertanya?"
Suropati hanya menggaruk-garuk
kepalanya.
"Mulai saat ini  sebaiknya kita
saling bahu-membahu untuk menghentikan
tindakan wanita itu," usul Pendekar
Kipas Terbang kemudian.
"Huh! Keenakan kau!" tolak
Suropati buru-buru.
"Kenapa?"
"Gadis-gadis cantik yang
menggemariku banyak. Kalau kau selalu
bersamaku, aku takut mereka akan
berpaling kepadamu."
Mendengar perkataan Suropati,
Pendekar Kipas Terbang tersenyum
simpul. "Aku bukan lelaki hidung
belang," katanya.
"Syukurlah kalau begitu. Tapi
kita tidak bisa  terus berdiam diri.
Tindakan Ratnasari harus segera

dihentikan."
"Benar. Kita serbu sarangnya!"
sambut Raka Maruta penuh semangat.
"Kau tahu tempatnya?" tanya
Suropati dengan tak kalah tertariknya.
"Tidak."
"Bodoh! Kalau kau tidak tahu
kenapa kau berkata mau menyerbu
sarangnya?" Suropati jadi kecewa
mendengar jawaban Raka Maruta.
"Kita bisa mencarinya."
"Ratnasari atau Bidadari Bunga
Mawar tentu ada hubungannya dengan
Perkumpulan Bidadari Lentera Merah.
Kalau sarang perkumpulan itu, atau
tahu..,."
"Kita masuk ke sana!"
Suropati menggelengkan kepalanya.
"Jangan! Itu sama saja dengan mencari
mati." 
"Kenapa?"
"Sarang perkumpulan itu di lorong
bawah tanah yang berliku-liku dan
penuh jebakan. Sebaiknya kita pancing
saja Bidadari Bunga Mawar itu untuk
keluar."
"Bagaimana caranya?"
Suropati menggaruk-garuk
kepalanya. Wajah pemuda itu kelihatan
tegang. Rupanya dia sedang mencari
cara untuk melaksanakan rencananya.


* * *

Lewat bola kristal ajaibnya
Ratnasari tahu kalau Raka Maruta belum
mati. Semua tokoh muda tingkat atas
yang berada di bawah pengaruh ilmu
setannya gagal melaksanakan perin-
tahnya.
Kemarahan Ratnasari benar-benar
tak dapat dibendung lagi. Darahnya
mendidih bagai digodok di atas tungku
api neraka. Apalagi ketika dia tahu
Suropati pun kebal terhadap pengaruh
sihir ilmu 'Asmara Penggoda'. Bahkan,
dua tokoh muda berilmu tinggi itu
telah bersepakat untuk menghentikan
tindakannya.
Dengusan yang keluar dari hidung
Ratnasari begitu keras. Geraham
Bidadari Bunga Mawar itu
bergemeletukan. Sinar matanya menyala-
nyala, membuat kecantikan wajahnya
memudar.
Braaakkk...!
Ratnasari menendang meja di
hadapannya hingga hancur berkeping-
keping. Bola kristal yang berada di
atasnya terlempar deras. Tapi,
luncuran benda ajaib itu tiba-tiba
berhenti di udara, lalu melayang ke
arah Ratnasari. Bola kristal itu
hinggap di atas telapak tangannya yang
tengadah.
Bidadari Bunga Mawar memandang
bola kristal ajaibnya dengan tatapan
aneh. Tiba-tiba... dengan meninggalkan

bunyi letupan cukup keras dan asap
tipis kehitaman, benda bulat kuning
seperti kaca itu lenyap.
"Kalian jangan gembira dulu...,"
rungut Ratnasari. "Aku  akan merejam
tubuh kalian menjadi serpihan daging
cincang. Sukma kalian akan kuper-
sembahkan kepada setan untuk dijadikan
budak!"
Seorang pemuda berpakaian serba
hijau datang menghadap Ratnasari.
"Kenapa kau kemari, Jenar?" tanya
Ratnasari dengan tatapan mata penuh
selidik.
"Aku mendengar suaramu yang
merdu, Sari. Tiba-tiba timbul hasratku
untuk menemuimu," jawab Sawung Jenar
atau Iblis Selaksa Ular.
"Apa perlumu?"
"Aku merindukan kehangatan
cintamu...."
Mendengar ucapan Sawung Jenar,
Ratnasari tertawa terbahak-bahak.
"Walau wajahmu tidak tampan, tapi
kau sungguh hebat, Jenar. Hal itu yang
membuatku suka."
Sawung Jenar tersenyum. Matanya
mengerling penuh arti. Pemuda itu
segera menghambur ke arah Ratnasari.
"Eit! Tunggu dulu!"
Wanita cantik itu menghindar.
Sawung Jenar terdengar mendengus
gusar.
"Kau tahu Raka Maruta dan

Suropati, Jenar?" tanya Ratnasari.
"Kenapa?"
"Kau harus mampu mempersembahkan
darah mereka untukku."
Iblis Selaksa Ular tertawa.
"Apa susahnya membunuh mereka,
Sari," kata pemuda berkulit kasar
seperti sisik ular itu.
"Kau yakin bisa melakukannya?"
"Kenapa tidak?"
Ratnasari membentangkan kedua
tangannya. Kemudian, dengan kekuatan
penuh  dia mendorongnya ke depan.
Sawung Jenar yang tak menduga akan
datangnya serangan, tak bisa
menghindar. Dadanya terhantam dengan
telak.
Brooolll...!
Tubuh pemuda berkulit kasar itu
terhempas dan membentur dinding
setebal satu depa hingga jebol!
Bumi berguncang. Atap ruangan
seperti hendak runtuh. Ratnasari
menatap tubuh Iblis Selaksa Ular yang
terbujur kaku tertindih puing-puing
reruntuhan.
"Aku tak butuh orang bermulut
bes..., eh...?!"
Ucapan wanita cantik itu
terhenti. Tubuh Sawung Jenar tampak
bergerak-gerak, lalu bangkit berdiri.
"Kenapa kau memukulku, Sari?"
tanya Iblis Selaksa Ular sambil
rpemegang bajunya yang hangus terbakar

pada bagian dada.
"Kau... kau tidak mati?!"
Bidadari Bunga Mawar kelihatan
terkejut bukan main.
"Ha ha ha...!" Suara Sawung Jenar
menggema. "Kau belum menjawab
pertanyaanku. Sari. Kenapa kau
memukulku?"
"Aku hendak menguji sampai di
mana tingkat kepandaian yang kau
miliki," dusta Ratnasari.
"Untuk apa?"
"Raka Maruta dan Suropati bukan
tokoh sembarangan. Untuk menaklukkan
mereka dibutuhkan manusia yang benar-
benar pilih tanding."
"Jadi kau meragukan kemampuanku?"
"Ah, sudahlah. Kau tak perlu
mempersoalkan itu," Ratnasari berusaha
mengelakkan percakapan. Wanita itu
lalu memejamkan matanya. Wajahnya
ditengadahkan. "Peluk aku, Jenar...,"
bisik Ratnasari, manja.
Iblis Selaksa Ular yang berada
dalam pengaruh ilmu 'Asmara Penggoda'
melihat sosok Ratnasari bagai seorang
bidadari turun dari kahyangan. Dengan
penuh nafsu dia pun menerkam.
Digumulinya wanita cantik itu.
Ratnasari mengerang. Sawung Jenar
semakin ganas. Tubuh wanita cantik
yang berada dalam pelukannya itu
dihempas-hempaskan ke lantai.
Mendadak, Ratnasari melepaskan pelu-

kannya.
Tubuh dua anak manusia itu pun
bergulat, dan lebur dalam desakan
nafsu yang menggelora. Hingga sampai
beberapa lama.
"Eh, kau kenapa. Sari?" tanya
Iblis Selaksa Ular sambil berusaha
memeluk tubuh Ratnasari kembali.
"Cukup, Jenar. Aku harus
melakukan sesuatu."    
"Apa?"
"Kau tak perlu tahu."
Sawung Jenar melompat. Diraihnya
tubuh Bidadari Bunga Mawar. Tapi,
wanita cantik itu menghindar.
"Sari, mari kita lanjutkan
permainan tadi, Aku belum selesai...."
"Tidak! Besok masih ada waktu,"
kata Ratnasari seperti menyimpan
kekhawatiran.
Iblis Selaksa Ular tidak peduli.
Ditariknya tubuh wanita cantik itu ke
lantai. Lalu, diciuminya dengan ganas.
Bidadari  Bunga Mawar berusaha
melepas pelukan pemuda yang sudah
kerasukan setan itu. Tenaga Sawung
Jenar begitu kuat. Mau tak mau Rat-
nasari mesti mengerahkan tenaga dalam.
Akibatnya....
Blaaarrr...!
Tubuh Iblis Selaksa Ular
terlontar. Namun, dengan geraman
pendek dia bangkit dan kembali me-
nerkam.    

Plak...!
Pipi pemuda berkulit kasar itu
terkena tamparan Ratnasari. Kalau saja
bukan Sawung Jenar, kepalanya tentu
akan remuk terkena tamparan yang
berlambarkan kekuatan tenaga dalam
itu.
Iblis Selaksa Ular tetap nekat.
Dia kembali menerkam bagai seekor
harimau kelaparan. Dan, Ratnasari yang
tak sempat berkelit segera menerima
dekapan Sawung Jenar. Dengan napas
memburu, Iblis Selaksa Ular meng-
hempas-hempaskan tubuh wanita cantik
itu. Bidadari Bunga Mawar meronta-
ronta sekuat tenaga.
Sawung Jenar jadi terkejut
setengah mati ketika merasakan kulit
halus Ratnasari berubah kasar dan
keriput. Tanpa sadar dia meloncat ke
belakang. Matanya bersinar nyalang
menatap sosok Bidadari Bunga Mawar.
Ratnasari tiba-tiba berubah wujud men-
jadi nenek berwajah menyeramkan.
"Kau... kau...," Iblis Selaksa
Ular gelagapan.
"Bangsat kau, Jenar!" umpat
Ratnasari. Suara yang keluar dari
mulutnya bagai suara iblis penunggu
kuburan.
"Kau... kau Ratnasari?"
Pertanyaan Sawung Jenar tak
mendapat jawaban. Tubuh Bidadari Bunga
Mawar telah lenyap dari pandangannya.

Di depan sebuah kolam berair
jernih yang pada sisi-sisinya berhias
patung wanita cantik berwarna merah,
Sekar Mayang terkejut melihat
kedatangan Ratnasari yang telah
berubah wujud.
"Aku lupa bila malam ini adalah
malam bulan purnama," kata Bidadari
Bunga Mawar. "Cepat kau siapkan
upacara pemulihanku kembali, Mayang."
"Sejak tadi telah hamba
persiapkan, Ketua Pertama," beritahu
Sekar Mayang.
"Kalau begitu, cepat laksanakan
upacara pemulihanku itu!"
Sekar Mayang yang telah duduk
bersimpuh mengangkat kedua pergelangan
tangannya. Perlahan-lahan tujuh tubuh
gadis yang terbujur kaku di hadapannya
melayang ke atas kolom. Dilubanginya
dahi ketujuh  gadis korban itu. Dari
sana menguncur darah segar yang
memerahkan warna air kolam.
Wuuusss...! 
Bruuukkk...!
Tubuh gadis-gadis malang yang
telah terkuras darahnya itu kembali
melayang, dan membentur dinding dengan
derasnya. Tak terdengar suara jeritan.
Ratnasari segera meloncat masuk
ke dalam kolam. Cahaya rembulan yang
menyorot dari jendela batu
memperlihatkan permukaan air kolam
yang bergolak. Lalu, berputar-putar

dan membentuk pusaran. Tak lama
kemudian, tubuh Ratnasari menyembul
keluar dari kolam dengan wujud yang
telah kembali sempurna.
"Ha ha ha...!"
Tawa wanita cantik pemuja setan
itu menggema tiada henti.  Cerminan
rasa puas yang menghentak....

* * *