Pengemis Binal 02 - Kemelut Kadipaten Bumiraksa(2)


 
5

"Apa yang telah terjadi di Kadipaten Bumirak-
sa?" tanya Suropati kepada Wirogundi, setelah sampai
di hutan kecil di kaki Bukit Pangalasan.

"Panjang ceritanya, Suro," kata pengemis muda
bertubuh kurus itu kepada Suropati. "Oh, ya. Di mana
Eyang Guru? Kenapa kedatanganmu tidak bersa-
manya?"
Pengemis Binal menghentikan langkahnya. La-
lu, ditatapnya wajah Wirogundi.
"Eyang Guru sudah meninggal..," desah Suro-
pati sambil berusaha menyembunyikan gejolak ha-
tinya.
Wirogundi terkejut, seperti tidak mempercayai
ucapan Suropati.
Melihat tatapan mata Wirogundi yang dipenuhi
tanda tanya, Suropati lalu menceritakan perihal si Pe-
riang Bertangan Lembut yang gugur dalam mengem-
ban titah Baginda Prabu, untuk menghukum Braja-
denta atau si Dewa Maut.
"Jadi, Eyang Guru meninggal ketika bertempur
melawan si Dewa Maut di Bukit Parahyangan?" tanya
Wirogundi ingin menegaskan.
Suropati mengangguk.
Wirogundi tertunduk lesu. Kemudian bibirnya
komat-kamit, mengucapkan doa bagi kepergian si Pe-
riang Bertangan Lembut. Walaupun Wirogundi hanya
belajar beberapa jurus ilmu silat darinya, tapi sangat
mencintai dan menghormati sosok kakek yang bijak-
sana itu.
"Sudahlah, Wirogundi...," ujar Suropati lirih.
"Aku telah mengikhlaskan kepergian Eyang Guru. Ku-

harap kau pun demikian."
Mereka berdua kini tak berkata-kata lagi. Mas-
ing-masing larut dalam pikiran di benaknya sambil
berjalan perlahan menaiki Bukit Pangalasan.
"Kau  telah mendapat kemajuan pesat, Wiro-
gundi. Ilmu silatmu kelihatan telah meningkat...," ce-
tus si Pengemis Binal ketika ingat sepak terjang Wiro-
gundi menolongnya menghadapi tujuh tokoh hitam di
Kota Kadipaten Bumiraksa yang baru saja terjadi.
"Ah.... Kau terlalu memuji, Suro," sergah Wiro-
gundi merendah. "Aku belajar sedikit kepada Kakek
Gede Panjalu yang bergelar Pengemis Tongkat Sakti"
"Pengemis Tongkat Sakti? Siapa dia?" tanya
Pengemis Binal dengan kening berkerut.
Kini, ganti Wirogundi bercerita panjang lebar
tentang Gede Panjalu yang telah menolongnya saat
menghadapi Patih Wiraksa yang diutus Adipati Danu braja untuk mengusir seluruh pengemis dari Kota Ka-
dipaten Bumiraksa.
"Kalau prajurit kadipaten dapat dihadapi, ke-
napa semua pengemis harus pergi mengungsi?" tanya
Suropati kemudian.
"Kami hanya menuruti nasihat Kakek Gede
Panjalu. Kota Kadipaten Bumiraksa bukan lagi tempat
aman bagi para pengemis. Gusti Adipati telah menyewa
tokoh-tokoh sesat untuk menghadapi para pengemis
yang dianggap mau memberontak..."
"Tapi, benarkah para pengemis itu berkeinginan
untuk melakukan pemberontakan?" tanya Pengemis
Binal lagi.
Wirogundi menggeleng. "Tidak, Suro. Kami se-
mua sebenarnya tidak tahu-menahu soal itu. Permu-
suhan ini terjadi hanya karena prasangka buruk Gusti
Adipati yang sama sekali tak beralasan."

"Kenapa kau tak menjelaskannya, Wirogundi?"
"Tentu saja sudah, Suro. Tapi yang namanya
penguasa, kadang-kadang bisa berbuat sewenang-
wenang...."

***

Suropati hanya diam ketika matanya menatap
pemukiman sederhana milik para pengemis yang telah
mengungsi dari Kota Kadipaten Bumiraksa. 
"Kami semua telah pindah di Bukit Pangalasan
ini, Suro. Sebagian hidup dengan bercocok tanam, dan
sebagian lagi tetap melakukan pekerjaan mengemis di
Kota Kadipaten Tanah Loh yang tidak begitu jauh dari
bukit ini," jelas Wirogundi, ketika mereka lelah tiba di
daerah pengungsian para pengemis.
Tiba-tiba seorang pengemis yang sedang mene-
bang pohon menghentikan pekerjaannya. Kemudian
dia berlari ke arah Suropati.
"Hei?! Coba lihat, siapa yang datang...?!" teriak
pengemis itu kepada teman-temannya.
Puluhan pengemis segera berhamburan.
"Suropati datang...! Suropati datang,..!"
Suara teriakan kegembiraan berkumandang,
menyambut kedatangan Pengemis Binal yang dianggap
sebagai pemimpin mereka. Dan Suropati pun diarak
beramai-ramai. Mereka mengekor langkah remaja be-
lasan tahun ini.
Tapi, tiba-tiba....
"Jangan dekati dia...!"
Terdengar teriakan keras menggelegar, mem-
buat semua orang menoleh ke arah asal suara. Tam-
pak Gede Panjalu muncul seperti menyimpan hawa
amarah.

Melihat kehadiran kakek bongkok yang sakti
para pengemis yang sedang mengarak Suropati segera
pergi menjauh.
"Kaukah yang bernama Suropati?" tanya Gede
Panjalu menyelidik sambil melangkah maju ke hada-
pan Pengemis Binal.
Kening Suropati berkerut menatap kakek bong-
kok yang tampak tak bersahabat itu.
"Kaukah yang bernama Suropati?" ulang Gede
Panjalu.
"Ya," jawab Suropati singkat. 
"Kau tak pantas menjadi pemimpin para pen-
gemis, Suropati!" tandas Gede Panjalu, langsung. 
"Kenapa begitu, Kek?" 
"Ketika anak buahmu terancam bahaya, kau
sama sekali tak memberi perlindungan. Pemimpin ma-
cam apa kau ini?!"
"Aku tak mengerti maksudmu, Kek...," 
"Aku meragukan kemampuanmu...!"
Selesai mengucapkan kalimatnya, Gede Panjalu
memasang kuda-kuda.
"Maaf, Kek. Aku tak mau tarung tanpa alasan,"
cegah Suropati, tenang.
"Aku ingin melihat, sampai di mana tingkat ke-
pandaianmu," tantang Gede Panjalu langsung.
"Tahan sebentar, Kek...," timpal Wirogundi se-
raya mendekati Gede Panjalu yang sudah siap menye-
rang
"Kau tak perlu ikut campur, Wiro!" bentak Gede
Panjalu, seraya menyentakkan tangannya ke arah Wi-
rogundi 
Wuuusss...!
Serangkai angin pukulan menerpa tubuh Wiro-
gundi. Sehingga, tubuh pengemis muda bertubuh ku-

rus itu bergeser menyamping beberapa tindak. 
"Lihat serangan, Bocah Sok Pintar!" teriak Gede
Panjalu, keras.
Tubuh Pengemis Tongkat Sakti langsung me-
nerjang Pengemis Binal. Tongkatnya terayun cepat. 
Wuuuttt..!
Suropati berkelit dengan melompat ke bela-
kang. 
"Sudah kubilang, aku tak mau bertarung tanpa
alasan," kata Pengemis Binal. 
"Jangan sok!"
Pengemis Tongkat Sakti kembali menyerang
dengan gencar. Kakek bongkok itu melihat Suropati
seperti musuh yang harus dienyahkan. Tanpa ragu,
tongkatnya dihunjamkan ke bagian-bagian tubuh Su-
ropati yang paling berbahaya. 
Pengemis Binal yang tak mau membalas seran-
gan tentu saja menjadi kerepotan. Dia hanya mengan-
dalkan kecepatan gerak tubuhnya untuk menghindari
gempuran tongkat Gede Panjalu.
Namun ketika Gede Panjalu menambah kecepa-
tannya....
Breeet...!
Bahu Suropati terserempet ujung tongkat Pen-
gemis Tongkat Sakti. Begitu cepat gerakan kakek ini,
padahal Pengemis Binal sudah berusaha menjatuhkan
diri untuk menghindar.
Pengemis Tongkat Sakti segera menghentikan
serangannya. Matanya memandang penuh ejekan pada
Suropati yang tengah bergulingan di tanah.
"Hanya sebegitukah kepandaian murid si Pe-
riang Bertangan Lembut...?!" ejek Pengemis Tongkat
Sakti.
Suropati mendengus gusar mendengar nama

gurunya disebut. Namun, tiba-tiba bibirnya mengulum
senyum.
"Buang tongkat pengorek sampahmu itu,
Kek...!" ujar Pengemis Binal, langsung mengerahkan
daya sihirnya yang dimiliki sejak lahir.
Gede Panjalu terkejut ketika merasakan kekua-
tan  yang mendorongnya untuk melepas tongkat yang
sedang dipegangnya. Tangannya bergetar hebat. Dan
tongkatnya terasa sangat berat
Mendadak Pengemis Tongkat Sakti mendengus.
Kemudian segenap kekuatan batinnya dikumpulkan
untuk melawan kekuatan yang kasat mata itu.
"Bocah Gendheng! Jangan memamerkan ilmu
sihir di hadapanku!"
Sambil berkata demikian, tubuh Gede Panjalu
melayang ke arah Suropati. Ujung tongkatnya melun-
cur deras, mengarah tepat ke ulu hati!
Namun sambil membalikkan tubuhnya, Penge-
mis Binal menendang ujung tongkat Gede Panjalu.
Tak!
"Rupanya kau tidak main-main, Kek...," kata
Suropati seraya meraih sebatang tongkat yang tergele-
tak di depan seorang pengemis yang sedang menyaksi-
kan pertempuran.
Gede Panjalu menyeringai. "Ingin kulihat, sam-
pai di mana kelihaianmu memainkan tongkat. Lihat
serangan!"
Pengemis Tongkat Sakti segera memutar cepat
tongkatnya hingga seperti mengelilingi tubuhnya. Tiap
putarannya membentuk perisai yang tak terlihat
Wuuuttt..!
Tiba-tiba Gede Panjalu meluruk seraya meng-
geprak kepala Pengemis Binal.
Suropati menangkis. 

Traaakkk...!
Pengemis Binal terkejut merasakan telapak
tangannya jadi kesemutan. Namun, belum sempat
mengambil napas, ujung tongkat Gede Panjalu telah
meluncur mengarah jantung! 
Wuuuttt...!
Cepat murid si Periang Bertangan Lembut ini
berkelit dengan mengegos ke samping. Dan, segera di-
mainkannya jurus yang diajarkan gurunya.
"Jurus 'Tongkat Memukul Anjing'...," kata Gede
panjalu. "Lihat jurus 'Tongkat Menghajar Mating' yang
kumainkan...!"
Pengemis Tongkat Sakti merubah gerakannya.
Tongkatnya dipegang pada bagian tengah. Dan dua
ujungnya segera menghunjam ke arah Suropati secara
bergantian.
Wuuuttt...! Wuuuttt...!
Pertempuran sengit segera terjadi. Pengemis
Binal berusaha mengimbangi gempuran tongkat Gede
Panjalu yang tampak aneh di matanya.
Dua ujung tongkat Pengemis Tongkat Sakti me-
liuk-liuk bagai kepala ular yang sedang menerkam
mangsa. Gerakannya sangat cepat, tak heran bila Pen-
gemis Binal seringkali dibuat bingung, karena seran-
gan tongkat Gede Panjalu kadang-kadang berubah
arah secara mendadak.
Sementara Gede Panjalu tampak mudah meng-
hindari serangan Suropati. Jurus 'Tongkat Memukul
Anjing' sama sekali tak berarti baginya. Setiap gerakan
remaja berusia tujuh belas tahun itu selalu dapat di-
baca oleh kakek bongkok yang bergelar Pengemis
Tongkat Sakti itu.
Sesungguhnya setiap gerakan dari jurus
'Tongkat Memukul Anjing' telah mendarah daging bagi

Gede Panjalu. Sebab, pencipta jurus itu tak lain adalah
ayah dari Gede Panjalu sendiri, semasa masih memim-
pin perkumpulan pengemis puluhan tahun silam. Se-
bagai putra tunggal, tentu saja Pengemis Tongkat Sakti
mewarisi kepandaian ayahnya. 
Traaakkk...!
Terdengar suara benturan dua tongkat dengan
keras. Pengemis Binal terkejut setengah mati, merasa-
kan tongkatnya telah lepas dari pegangan dan me-
layang jauh.
"Kiranya hanya sampai di situ kemampuanmu,
Bocah Sok Pintar...," cemooh Gede Panjalu.
Tiba-tiba kakek bongkok itu membuang tong-
katnya.
"Aku ingin lihat jurus tangan kosongmu. Lihat
jurus 'Pengemis Meminta Sedekah'...!"
Pengemis Tongkat Sakti segera mengembang-
kan tangannya lebar-lebar, lalu bergerak ke depan
dengan telapak terbuka. Mendadak telapak tangan itu
meluncur dengan kecepatan tinggi.
"Oaaahhh...."
Suropati menguap. Lalu dia menjatuhkan diri
ke tanah, membuat serangan Gede Panjalu luput
Kakek bongkok itu menatap tubuh Pengemis
Binal yang tergeletak di tanah dengan mata terpejam. 
"Ilmu  'Arhat Tidur'...," gumam Pengemis Tong-
kat Sakti. "Bocah Gendheng! Jangan kau kira ilmumu
itu akan dapat menghadapi jurus 'Pengemis Meminta
Sedekah'...."
Gede Panjalu menutup kelopak matanya. Tu-
buhnya berdiri tegak di atas tanah tanpa bergeming.
Pikirannya  dipusatkan. Sikapnya seperti pasrah pada
kekuasaan Tuhan.
Tak lama kemudian, Pengemis Tongkat Sakti

membuka matanya. Dan, kembali kedua tangannya
dibentangkan lebar-lebar. Seketika telapak tangannya
meluncur deras! Begitu derasnya, membuat Suropati
tak sempat menggeliatkan tubuhnya yang sedang tidu-
ran. Sehingga.... 
Buuukkk...!
Tubuh Suropati terpental sejauh dua tombak.
Jerit ngeri terdengar dari para pengemis yang menyak-
sikan pertempuran itu.
Perlahan-lahan Pengemis Binal membuka ma-
tanya. Kedua telapak tangannya mendekap dada kiri
yang nyaris amblong terkena pukulan Gede Panjalu.
Darah segar mengalir dari sudut bibirnya.
"Kenapa jurus 'Tongkat Memukul Anjing' dan
Ilmu 'Arhat Tidur' sama sekali tak berdaya menghadapi
kakek bongkok itu...?" tanya Suropati dalam hati.
Sambil berdiri terhuyung-huyung, remaja bela-
san tahun itu menatap Gede Panjalu yang masih me-
mandang dengan tatapan penuh hinaan.
"Adakah kau punya ilmu simpanan, Bocah Sok
Pintar...?!" leceh Gede Panjalu.
Suropati menyeringai gusar mendengar hinaan
Gede Panjalu. Sesaat hatinya diliputi keraguan. Ha-
ruskah ilmu totokan 'Delapan Belas Tapak Dewa' di-
pergunakan? Bila ilmu totokan itu dipergunakan,
hanya kematianlah akibatnya. Sedang dia tak tega
membunuh kakek bongkok yang selalu menatap sinis
itu. Suropati tahu, walaupun bibir Pengemis Tongkat
Sakti selalu mengeluarkan kata ejekan, tapi di balik
semua itu, raut wajahnya mencerminkan kelembutan
dan kehalusan budi.
"Aku tidak mau bertempur tanpa alasan,
Kek...," kilah Suropati yang masih diliputi keraguan.
Gede Panjalu menaikkan ujung bibirnya.

"Kau tak perlu ragu-ragu. Segera keluarkan il-
mu simpananmu. Ingin kulihat, apakah kau pantas
memimpin perkumpulan pengemis," tandas Pengemis
Tongkat Sakti.
Melihat kesungguhan kakek bongkok itu, Suro-
pati mengambil ancang-ancang.
"Jangan salahkan aku bila terjadi sesuatu yang
tak kau inginkan, Kek...," ujar Pengemis Binal.    
Kening Gede Panjalu berkerut melihat gerakan
tangan dan kaki Suropati.
"Ilmu totokan 'Delapan Belas Tapak Dewa'...,"
gumam kakek ini.
"Rupanya kau sudah mengenal ilmu simpanan-
ku...," kata Suropati pelan.
"Dari mana kau belajar ilmu totokan itu...?"
"Guruku mewariskannya"
"Jadi si Periang Bertangan Lembut telah memi-
liki jurus itu, dan memberikannya padamu?"
"Tepat," jawab Suropati pendek.
"Di mana dia sekarang?" cecar Pengemis Tong-
kat Sakti.
"Kenapa kau tanyakan itu...? Dia telah berada
tempat yang tenang di sisi Tuhan." 
"Oh..."
Gede Panjalu mendesah panjang. Tampak sinar
kedukaan terlintas di matanya.
"Kenapa kau meninggalkanku, Pragolawu-
lung...?" kata Pengemis Tongkat Sakti menyebut nama
kecil si Periang Bertangan Lembut. "Kenapa Tuhan tak
memanggilku terlebih dahulu...."
Sebutir mutiara bening bergulir dari mata Gede
Panjalu. Kakek bongkok itu berkali-kali menarik napas
panjang.
Mau tak mau, Suropati ikut terbawa keadaan.

Hatinya merasa terharu menyaksikan Gede Panjalu
yang tampak terpukul jiwanya itu. 
Perlahan-lahan Pengemis Tongkat Sakti me-
langkah memasuki sebuah rumah yang dibangun den-
gan darurat.


***

6

Gede Panjalu duduk bersimpuh di atas tikar
daun pandan. Sorot matanya bersinar kelabu. Sesuatu
yang tak pernah diinginkan telah datang menghunjam
membuat luka di hatinya. Luka itu tak akan pernah
dapat disembuhkan lagi, akibat kepergian seseorang
yang sangat dicintainya.
Sesungguhnya Pragolawulung atau si Periang
Bertangan Lembut telah menjadi bagian dari hidup
Gede Panjalu alias Pengemis Tongkat Sakti. Keper-
giannya menghadap Tuhan Yang Maha Kuasa, mem-
buat jiwanya kering kerontang. Rasa kehilangan yang
dalam menjadikan hidupnya seperti dalam mimpi. Dia
seakan-akan tak percaya kepada apa yang telah terja-
di.
Gede Panjalu dan Pragolawulung sejak masih
anak-anak selalu hidup bersama. Gede Panjalu adalah
putra tunggal Datuk Risanwari, seorang tokoh sakti
rimba persilatan yang mendirikan perkumpulan pen-
gemis puluhan tahun silam. Tubuh Gede Panjalu yang
cacat bongkok, membuat Datuk Risanwari berkeingi-
nan untuk mengambil putra angkat. Maka yang dipi-
lihnya adalah Pragolawulung, seorang pengemis kecil

yang berbudi halus, serta sangat berbakat untuk men-
dalami ilmu silat.
Kehadiran Pragolawulung yang telah mendapat
bagian cinta ayahnya, tak membuat Gede Panjalu me-
rasa iri dan sakit hati. Kehadiran Pragolawulung justru
membuat senang. Usia mereka yang sebaya, membuat
kedua anak manusia itu cepat akrab satu sama lain.
Pribadi Pragolawulung penuh rasa persahabatan dan
selalu menampilkan sinar kegembiraan. Hal itulah
yang membuat Gede Panjalu merasa sangat dekat. 
Di masa itu, di mana ada Gede Panjalu, di situ
pasti ada Pragolawulung. Demikian juga sebaliknya.
Datuk Risanwari pun merasa sangat gembira melihat
keakraban mereka. Kasih sayangnya tertumpah tanpa
pernah membeda-bedakan satu sama lain. Bahkan se-
luruh kepandaiannya diwariskan kepada dua putranya
dengan sepenuh hati.
Namun, Gede Panjalu dan Pragolawulung
mempunyai minat yang berlainan dalam menerima wa-
risan ilmu kepandaian dari ayah mereka. Gede Panjalu
yang cacat bongkok, amat senang mempelajari ilmu si-
lat yang menggunakan senjata tongkat, disertai jurus-
jurus tangan kosong. Maka tak heran kalau dia sangat
mahir memainkan senjata tongkat. Memang, tongkat-
nya tak dapat dipisahkan dari dirinya. Tubuhnya yang
bongkok membutuhkan sebuah alat penyangga untuk
dapat berdiri tegak. Dan alat itu adalah sebatang tong-
kat.
Sedangkan Pragolawulung yang berotak cerdas
lebih suka mempelajari kesusastraan dan filsafat. Tapi
karena dididik seorang tokoh sakti, tentu saja diha-
ruskan untuk mempelajari ilmu silat juga. Pragolawu-
lung pun menyadari akan hal itu. Dia juga mempelajari
ilmu silat. Tetapi yang lebih diutamakannya ilmu silat

yang mengandalkan kekuatan batin. Maka, tak heran
kalau dia pun mahir memainkan ilmu 'Arhat Tidur' wa-
risan ayah angkatnya.
Malah, Datuk Risanwari berkenan mewariskan
Kitab Delapan Belas Tapak Dewa kepada Pragolawu-
lung yang dianggap lebih cocok mempelajari ilmu yang
mengandalkan kekuatan batin. Untuk dapat mengua-
sai ilmu yang tercantum dalam Kitab Delapan Belas
Tapak Dewa, seseorang harus menguasai ilmu sihir
terlebih dahulu. Dan, Pragolawulung orang yang tepat.
Gede Panjalu pada dasarnya memang sangat
mencintai Pragolawulung. Sehingga keputusan ayah-
nya dapat diterima dengan ikhlas. Dia menyadari ke-
kurangannya. Walaupun Kitab Delapan Belas Tapak
Dewa tak diwariskan kepadanya, hal itu tak akan per-
nah berarti apa-apa. Karena Gede Panjalu sama sekali
tak berbakat dalam mempelajari ilmu sihir yang men-
jadi dasar dari kehebatan ilmu sakti itu.
Ketika perkumpulan pengemis yang didirikan
Datuk Risanwari dibubarkan pihak kerajaan, nasib
baik menyertai Pragolawulung yang telah menginjak
dewasa. Dia yang sangat paham akan filsafah kehidu-
pan tak pernah mendendam terhadap tindakan pihak
kerajaan. Saat tampuk kepemimpinan berganti, Prago-
lawulung mengabdikan diri untuk kepentingan kera-
jaan. Dan karena kehalusan budi serta kecerdasan
otaknya dia diangkat menjadi penasihat kerajaan
Sedangkan Gede Panjalu hidup terlunta-lunta
mencari ayahnya yang telah menghilang sejak per-
kumpulan pengemisnya dibubarkan. Namun hingga
usia menggerogoti, Gede Panjalu tak pernah menjum-
pai orang yang sangat dihormatinya.
Hidup Gede Panjalu dan Pragolawulung akhir-
nya terpisah. Mereka hidup dengan cara sendiri-sendiri

mengikuti panggilan jiwa masing-masing. Namun, cin-
ta di dalam hati mereka sama sekali tak pernah pa-
dam.
Jadi, wajar apabila Gede Panjalu sangat sedih
mendengar berita kematian Pragolawulung. Setelah
bertahun-tahun dia mencari jejak ayahnya yang tak
pernah ditemuinya, kini ditambah berita kepergian
Pragolawulung yang tak akan pernah kembali. Jelas,
hal ini menjadikan Gede Panjalu larut dalam kesedi-
han mendalam.

***

Beberapa hari  lamanya Gede Panjalu mengu-
rung diri. Tepat hari ketujuh, kakek bongkok itu me-
nyuruh salah seorang pengemis untuk memanggil Su-
ropati.
Kening Pengemis Binal berkerut.
"Kenapa kakek bongkok itu memanggilku?
Apakah aku hendak dijadikan barang mainan lagi?
Atau mungkin ada sesuatu yang penting, menyangkut
diriku? Ah, persetan...! Luka dalam di dada kiriku ma-
sih terasa sakit. Kenapa aku susah-susah memikir-
kannya...?" gumam Suropati.
Remaja belasan tahun ini menggeleng-geleng
seperti memberi penolakan atas panggilan Gede Panja-
lu.
"Mungkin Kakek Gede ingin mengatakan sesua-
tu yang sangat penting untuk dibicarakan denganmu,
Suro...," tambah seorang pengemis tua.
"Aku tak sudi! Katakan pada kakek itu bahwa
Suropati menolak panggilannya...," jawab Pengemis
Binal, ketus.
"Kau memang keras kepala, Suro...!"

Terdengar suara setengah membentak dari pin-
tu gubuk darurat. Begitu Suropati menoleh, ternyata
yang muncul Gede Panjalu.
Suropati tersenyum simpul.
"Aku keras kepala? Apa benar katamu itu,
Kek...?" tukas Suropati mulai kumat lagi kekonyolan-
nya.
Suropati memijat-mijat batok kepalanya sendi-
ri. "Oh, ya. Benar! Kepalaku memang keras...!" lanjut
remaja belasan tahun itu, sambil menggerak-gerakkan
bola matanya.
"Bocah Gendheng!" santap Gede Panjalu. Lalu
kakinya melangkah tegak mendekati Suropati. "Hari ini
aku hendak menjadikanmu sebagai tangan kanan un-
tuk memimpin perkumpulan pengemis di sini...."
Mata Suropati terbeliak.
"O.... Jadi, kau sudah mengakui kemampuanku
Kek?!" cetus Pengemis Binal kekonyol-konyolan. "Tapi,
aku tidak mau hanya sekadar menjadi tangan kanan!"
"Apa maksudmu?" tanya Gede Panjalu, berker-
nyit alisnya.
"Aku ingin kau mengakuiku sebagai pemimpin.
Pemimpin dari para pengemis...!" tandas Suropati, te-
rang-terangan.
Gede Panjalu membersitkan senyum.       
"Baiklah.... Aku mengakuimu sebagai pemimpin
para pengemis. Tapi, kau harus mendapat persetujuan
dari orang-orang yang hendak kau pimpin..."
Mendadak Gede Panjalu bertepuk tiga kali. Tak
lama puluhan orang pengemis telah berkumpul menge-
lilingi Pengemis Binal dan Pengemis Tongkat Sakti
"Kau tanya mereka, Suro...," ujar Gede Panjalu
Suropati tersenyum lebar. 
"Tanpa kutanya, mereka sudah mengakuiku

sebagai pemimpin!" sahut Pengemis Binal, enteng.
"Aku belum mendengar pernyataan mereka!"
sentak Pengemis Tongkat Sakti.
Suropati memandang wajah Gede Panjalu se-
saat. Lalu tatapan matanya beralih kepada para pen-
gemis yang telah berkumpul di hadapannya.
"Saudara-saudara! Untuk meyakinkan Kakek
Gede, coba tunjukkan persetujuan kalian untuk men-
gangkatku sebagai seorang pemimpin...," kata Suropati
lantang.
Para pengemis yang berada di tempat itu pun
jadi kasak-kusuk, karena tidak tahu bagaimana cara
menyatakan rasa persetujuannya.
"Setujukah kalian mengangkatku menjadi pe-
mimpin pengemis...?!" teriak Pengemis Binal, lantang. 
"Setujuuu...!"
Sorak-sorai para pengemis segera terdengar.
Suaranya membahana di angkasa untuk beberapa saat
"Kau telah mendengar sendiri pernyataan me-
reka, Kek...," kata Suropati kepada Gede Panjalu
Kakek bongkok itu tersenyum. 
"Baik! Aku akan menobatkanmu menjadi pe-
mimpin pengemis...," jawab Gede Panjalu sambil men-
geluarkan selembar kain dari kantong bajunya.
"Untuk apa kain kumal itu, Kek? Untuk me-
nyeka ingus? Ah! Aku bukan bocah ingusan lagi...," se-
loroh Suropati.
"Husss...! Ini kain wasiat, Goblok!" dengus Pen-
gemis Tongkat Sakti.
Mendengar ucapan Gede Panjalu, Suropati ter-
tawa terbahak-bahak.
"Ah! Kau sedang melucu rupanya, Kek. Masa'
kain kumal dan bau seperti itu disebut kain wasiat..."
Tiba-tiba Gede Panjalu mengebutkan kain yang

dipegangnya. 
Wuuuttt...!
Saat itu juga bau apek menebar menusuk hi-
dung. Mau tak mau Suropati dan para pengemis yang
sedang berkumpul di tempat itu segera menutup lu-
bang hidung.
"Ha ha ha...!" Gede Panjalu tertawa terpingkal-
pingkal, lupa akan kesedihannya. "Sudah kubilang,
kain ini adalah kain wasiat! Kalau kalian tidak sema-
put mencium baunya, masih untung. Kemarin, seekor
tergeletak mati waktu hendak menggerogoti kain ini...."
Semua yang mendengar perkataan Gede Panja-
lu tak dapat menahan tawa. Mereka terpingkal-pingkal
dengan perut bagai diaduk-aduk.
"Diaaammm...!" teriak Gede Panjalu nyaring.
Kemudian kakinya melangkah ke belakang Pengemis
Binal. "Kalian semua yang hadir di tempat ini menjadi
saksi. Aku Gede Panjalu yang bergelar Pengemis Tong-
kat Sakti, hendak menobatkan Suropati sebagai pe-
mimpin pengemis...." 
Sret...! Sret....!
Tangan Gede Panjalu bergerak cepat Pengemis
Binal cepat meraba kepalanya yang tiba-tiba telah teri-
kat kain kumal milik Pengemis Tongkat Sakti.
"Itu mahkota kebesaranmu, Suro. Karena kau
Pemimpin Pengemis, pemimpin dari orang-orang
miskin yang hidupnya sengsara, kau tidak membutuh-
kan mahkota yang terbuat dari emas berlian. Kain
kumal ini saja cukup...," jelas Gede Panjalu berwibawa,
setelah mengikatkan kain kumal di kepala Suropati. 
Mendadak hidung Suropati kembang-kempis.
"Ah! Aku mencium bau tak enak.... Seperti bau
terasi busuk," kata remaja belasan tahun itu, seraya
melepas mahkotanya. Langsung diciumnya kain itu

"Uhhh...! Bau busuk itu berasal dari kain kum-
al ini. Aku tidak mau memakainya lama-lama, Kek...." 
Gede Panjalu tertawa keras. 
"Ha ha ha.... Kain itu memang lap keringat di
ketiakku, Suro...," kata kakek bongkok itu sambil
mengulum senyum.
Seketika Suropati melemparkan kain kumal itu
ke arah para pengemis yang berkumpul di hadapan-
nya.
Tentu saja mereka berusaha mengelak. Tapi,
seorang pengemis kecil menjadi merah padam wajah-
nya, karena tersambar kain kumal milik Gede Panjalu.
Pengemis kecil itu kemudian melempar kain
kumal yang dipegangnya ke arah pengemis lainnya. 
Wuuusss...!
Kain kumal itu menimpa salah seorang penge-
mis setengah baya. Dan, kemudian dilemparkan kepa-
da pengemis lainnya. Begitu seterusnya, sehingga para
pengemis sibuk melempar-lemparkan kain kumal milik
Gede Panjalu. Bau apek pun segera menebar.
"Diaaammm...!" bentak Gede Panjalu, keras.
Pada saat itu, Wirogundilah orang terakhir yang
memegang kain kumal milik Pengemis Tongkat Sakti.
Karena sudah kepalang basah, dan tak tahu ke mana
kain kumal itu hendak dilemparkan, tiba-tiba tangan-
nya bergerak!
Weeerrr...!
Pluk!
Mata Gede Panjalu mendelik, setelah mengam-
bil kain kumalnya sendiri yang menimpa wajahnya.
Sementara, Wirogundi terkejut setengah mati menya-
dari kesalahannya.
Kreeesss...!
Gede Panjalu meremas kain kumalnya sendiri

hingga menjadi abu yang mengeluarkan bau menusuk
hidung.
"Ha ha ha...!" Pengemis Tongkat Sakti tertawa
keras. "Pemimpin Pengemis tidak perlu mahkota...."
Mendengar tawa Gede Panjalu, hati Wirogundi
jadi tenang kembali. Rasa takutnya hilang tanpa be-
kas.
"Tapi sebagai raja, tentu saja Suropati memer-
lukan sebuah lambang kekuasaan. Dan lambang ke-
kuasaan yang tepat bagi seorang pengemis adalah
tongkat...," lanjut Pengemis Tongkat Sakti.
Gede Panjalu menimang-nimang tongkatnya
sebentar, lalu mengangsurkannya kepada Suropati.
Pengemis Binal menggeleng-geleng, tak mene-
rima tongkat yang diserahkan padanya.
"Tadi kain kumal. Sekarang tongkat butut.
Apakah kau menghinaku, Kek...?" kata Suropati pelan. 
Mata Gede Panjalu kembali mendelik. "Kau ka-
takan tongkat butut? Coba, apakah kau mampu me-
matahkannya...?" sahut Gede  Panjalu seraya menye-
rahkan tongkat di tangannya.
Suropati pun menerima. Dan segera dibukti-
kannya ucapan Gede Panjalu. Seluruh tenaganya sege-
ra dikeluarkan untuk mematahkan tongkat Gede Pan-
jalu. Namun mulutnya jadi meringis kecut karena usa-
hanya tak membuahkan hasil.
Tiba-tiba telinga Pengemis Binal menangkap so-
rak-sorai para pengemis yang menyaksikan adegan itu.
Karena merasa malu, Suropati segera mengerahkan
tenaga dalamnya.
Kretek....! Kretek...!
Tongkat di tangan Pengemis Binal hanya men-
geluarkan suara gemeretakkan, tapi tak terpatahkan
juga. Dan keringat dingin pun mengucur dari seluruh

pori-pori di tubuhnya. Sorak-sorai dari para pengemis
yang berada di dekatnya, semakin keras terdengar.
Mendadak Suropati mendengus keras. Lalu ka-
kinya melangkah mendekati batu sebesar anak ker-
bau. Begitu mencapai jarak satu tombak, tongkat itu
langsung dikebutkan ke batu. 
Wussss...! 
Buuummm...! 
Batu yang tertimpa hantaman tongkat langsung
pecah berkeping-keping, menimbulkan asap tebal
mengaburkan pandangan. Sementara Pengemis Binal
jadi bergidik ngeri menyaksikan kekuatan tongkat
yang masih dipegangnya. Sedangkan tongkat itu masih
tetap utuh tanpa cacat.
"Uhhh...! Tongkat macam apa ini? Kenapa kuat
betul...?" bisik Suropati dalam hati.
"Tongkat itu kuberikan kepadamu, Suro...," ce-
tus Gede Panjalu kemudian.
"Ah! Aku tidak bisa menerimanya, Kek. Tongkat
ini terlalu berharga untuk diberikan kepadaku...," to-
lak Pengemis Binal, halus.
"Tidak. Kau pantas menerimanya, Suro. Aku
yang tua dan mulai pikun ini sudah tak begitu memer-
lukannya lagi...," sergah Pengemis Tongkat Sakti.
Suropati meraba-raba tongkat pemberian Gede
panjalu yang permukaannya licin itu. Pangkalnya be-
rukir kepala naga. Sedangkan pada bagian ujung tam-
pak seperti dipelintir sepanjang dua jengkal. Saat ter-
timpa sinar mentari, tongkat itu memendarkan cahaya
kehijau-hijauan.
"Kekuatan tongkat itu melebihi kekuatan seba-
tang baja, Suro. Tak sebilah pedang pun di dunia ini
yang sanggup mematahkannya. Aku membuat tongkat
itu dari sebatang kayu pilihan yang telah kurendam ke

dalam ramuan khusus selama bertahun-tahun...," je-
las Gede Panjalu.
Pengemis Binal kemudian membongkokkan ba-
dannya seraya menjura beberapa kali di hadapan Gede
Panjalu.
"Terima kasih atas pemberianmu, Kek.... Mu-
dah-mudahan aku dapat merawat sebaik-baiknya,"
ucap Suropati, penuh harap.
Gede Panjalu tersenyum.
"O ya. Kau belum memberi nama perkumpulan
pengemismu ini, Suro...," tukas Pengemis Tongkat Sak-
ti. 
Dahi Suropati berkerut
"Nama...," gumam Pengemis Binal. "Nama apa
yang cocok...?"
"Terserah kau, Suro."
Mendadak Suropati meloncat girang seperti te-
lah menemukan sebuah gagasan cemerlang.
"Bagaimana kalau aku pinjam gelarmu, Kek."
usul Pengemis Binal dengan mata berbinar. "Aku beri
nama perkumpulan pengemis ini dengan nama Per-
kumpulan Pengemis Tongkat Sakti...."
Seketika sorak-sorai kembali terdengar, me-
nyambut ucapan Suropati itu
"Bagaimana? Apakah kalian semua menyetujui
nama yang kuberikan?" tanya Suropati kepada para
pengemis yang sedang diliputi kegembiraan. 
"Setuju....!"
Sebuah jawaban serempak terdengar keras. Ta-
pi Pengemis Binal tampak bersungut-sungut, kemu-
dian kakinya melangkah mendekati dua orang penge-
mis perempuan yang duduk berdampingan.
"Kenapa kalian hanya menunduk saja?" tegur
Suropati. "Apa kalian tidak setuju bila aku jadi pe-

mimpin...?!"
"Eh, tidak...," jawab salah seorang pengemis pe-
rempuan yang masih muda.
"Maksudmu, 'tidak setuju'?!" desak Suropati. 
"Tidak...."
"Apa? Tidak setuju?!"
"Ak..., aku setuju...," sahut si pengemis perem-
puan tergagap karena dibentak Suropati.
Mendadak remaja konyol itu memencet hidung
pengemis perempuan.
"Aduhhh...!"
Tentu saja perempuan itu menjerit seraya me-
lompat
"He he he...," Suropati tertawa terkekeh. "Kalau
berkata yang jelas!"
Pengemis Binal lalu menggelitik pinggang si
pengemis perempuan. Yang digelitik pun menjerit-jerit
seraya berlari pontang-panting. Sambil menatap ke-
pergiannya, remaja konyol ini tertawa terbahak-bahak.
"Dasar Pengemis Binal...!" kata seorang penge-
mis, sambil memperhatikan tingkah laku Suropati.
Saat itu juga pengemis-pengemis lain ikut ber-
gumam tak karuan, sehingga mirip sekawanan lebah.
"Senangnya menggoda perempuan...," timpal
yang lain.
"Yah.... Namanya saja Pengemis Binal...!"
Mendengar dirinya yang dibicarakan, Suropati
masih tertawa terbahak-bahak.
Pada saat itu, terdengar derap kaki kuda yang
berlari kencang. Seketika semua mata menatap tajam
ke arah asal suara. Tampak dua ekor kuda muncul, di-
tunggangi dua orang lelaki setengah baya berpakaian
pembesar kerajaan. Sekitar lima tombak di depan para
pengemis, dua lelaki setengah baya ini turun dari ku-

danya.
Para pengemis seketika diliputi ketegangan.
Mereka mengira, dua orang lelaki yang baru hadir itu
adalah utusan Adipati Danubraja yang memusuhi per-
kumpulan pengemis.
"Siapa di antara kalian yang bernama Suropa-
ti?" tanya salah seorang lelaki berpakaian pembesar
kerajaan.
Karena tidak melihat sinar permusuhan, Suro-
pati segera berjalan mendekat.
"Ada apakah Tuan mencariku?" tanya Pengemis
Binal sambil membungkukkan badan.
"Kau yang bernama Suropati?" pembesar kera-
jaan ini malah balik bertanya lagi.
Suropati membungkukkan badan lebih dalam.
Kemudian matanya menatap si penanya sambil nyen-
gir
"Aku Bramasta, utusan Baginda Prabu Arya
Diwantara," kata penunggang kuda itu, memperkenal-
kan diri. "Aku mengemban titah beliau untuk me-
nyampaikan sesuatu kepadamu, Suropati!"
Suropati hanya diam mendengarkan ucapan
utusan Baginda Prabu yang mengaku bernama Bra-
masta. Matanya menatap gerakan tangan pembesar
ini.
"Baginda Prabu berkenan memberikan lambing
kepercayaan kepadamu, Suropati. Karena, kau telah
berhasil menumpas pengkhianat kerajaan yang nama
Brajadenta atau si Dewa Maut."
Bramasta kemudian menyerahkan sebuah ben-
da yang terbuat dari emas murni sebesar telapak tan-
gan orang dewasa. Pengemis Binal pun menerimanya
dengan senang hati. Untuk beberapa lama ditimang-
timangnya benda dari emas murni yang berukir gam-

bar burung rajawali di dalam genggamannya.
"Terima kasih, Tuan...," ucap Suropati seraya
menjura beberapa kali.
Bramasta menganggukkan kepalanya lalu ber-
balik diikuti temannya. Begitu mereka  berada di atas
kuda masing-masing, segera mohon diri dan mengge-
bah kudanya. Sebentar kemudian, kedua penunggang
kuda itu telah lenyap dari pandangan.
Sorak-sorai kegembiraan kembali terdengar,
saat dua pembesar kerajaan itu telah lenyap sama se-
kali
"Suropati pahlawan kerajaan...! Suropati pah-
lawan kerajaan...!"
Kalimat itu berkali-kali terdengar. Sementara
Suropati tertawa terbahak-bahak, larut dalam kegem-
biraan. 
"Rasa gembira ada batasnya, Suro," kata Gede
Panjalu mengingatkan, sambil melangkah mendekat.
"Kau tidak boleh berlarut-larut mengikuti perasaan ha-
timu itu. Sebagai seorang pemimpin, kau harus dapat
mengendalikan diri...."
Suropati mengangguk, tanda menyadari kekeli-
ruannya.
"Ilmu kepandaianmu masih belum seberapa.
Kau harus lebih banyak belajar, Suro," lanjut Gede
Panjalu. "Bersediakah kau belajar sedikit dariku,..?"
Suropati menatap wajah Gede Panjalu, seakan
tak percaya mendengar tawaran ini.
"Terima kasih, Kek. Aku bersedia...," sahut Su-
ropati mantap, namun penuh penghormatan.

***

Sejak saat itu Pengemis Binal bersama-sama

pengemis lain menjadi murid Gede Panjalu atau Pen-
gemis Tongkat Sakti. Tetapi, ajaran yang diberikan
Gede Panjalu kepada Suropati hanya bersifat penyem-
purnaan saja. Yang lebih khusus, Suropati kini berla-
tih ilmu tongkat secara lebih mendalam.
Menurut Gede Panjalu, jurus 'Tongkat Memu-
kul Anjing' yang diajarkan si Periang Bertangan Lem-
but hanyalah sebagian dari jurus 'Tongkat Sakti' wari-
san Datuk Risanwari, ayah kandung kakek bongkok
itu.
Jurus 'Tongkat Sakti' terdiri dari tiga buah ju-
rus yang satu sama lainnya saling berkaitan. Hanya
karena kurang berminat, maka si Periang Bertangan
Lembut hanya menguasai salah satu dari rangkaian
jurus 'Tongkat Sakti' itu. Selain jurus 'Tongkat Memu-
kul Anjing', juga terdapat jurus 'Tongkat Menghajar
Maling', dan jurus 'Tongkat Mengejar Kucing'.
Untuk jurus tangan kosong, Suropati menerima
tiga jurus dari Gede Panjalu yang juga saling berkai-
tan. Yakni, jurus 'Pengemis Meminta Sedekah', jurus
'Pengemis Menebah Dada', dan jurus 'Pengemis Meng-
hiba Rembulan'.

***

Pagi ini kelihatan cerah. Matahari baru saja
bangun dari tidurnya. Gede Panjalu tampak duduk
berhadapan dengan Suropati.
"Apa yang sedang kau pelajari, hendaknya di-
pergunakan untuk membela kaum lemah, kaum ter-
tindas yang terbiasa hidup sengsara, Suro. Kau harus
berpegang teguh kepada kebenaran. Karena, kebena-
ran mengajarkan manusia untuk dapat melihat sesua-
tu dunia ini secara lebih jelas dan gamblang. Kebena-

ran pun berperan sebagai cahaya yang menerangi
mayapada, guna mengusir kegelapan yang menyelimu-
ti pikiran manusia. Kebenaran juga menampakkan si-
kap dan perilaku manusia, bagaimana harus berbuat
dan bertindak. Kebenaran adalah sebuah benteng yang
kokoh kuat, untuk menepis datangnya nafsu manusia
yang sering kali bersifat memperbudak...."
Suropati tetap diam membisu, mendengarkan
nasihat Gede Panjalu. Otaknya mencatat nasihat Pen-
gemis Tongkat Sakti yang berinti kepada tindakan ma-
nusia yang harus tetap berpegang teguh pada jalan
kebenaran.

***

Waktu terus berlalu mengikuti garis yang telah
diciptakan Sang Penguasa Tunggal. Waktu terus berge-
rak seorang pun mampu mencegahnya
Tanpa terasa dua tahun telah berlalu. Perkum-
pulan Pengemis Tongkat Sakti yang dipimpin Suropati
telah berkembang pesat. Perkumpulan pengemis itu
memberi naungan bagi para pengemis yang membu-
tuhkan perlindungan dari tindakan orang-orang yang
merasa dirinya lebih kuat dan lebih berkuasa.
Seiring bergesernya waktu pula, Suropati telah
menjadi sosok manusia yang lebih dewasa. Dengan
mendapat bimbingan dari Gede Panjalu, langkah Su-
ropati dalam bersikap dan bertindak menjadi lebih ma-
tang. Jiwa kepemimpinannya semakin terlihat. Dia tak
pernah segan untuk lebur dalam penderitaan yang di-
rasakan anak buahnya. Dia tak pernah segan turun
tangan dalam mengatasi segala kesulitan. Karena jiwa
kepemimpinannya itulah, Suropati menjadi panutan.
Hal itu membuat anggota Perkumpulan Pengemis

Tongkat Sakti semakin hari semakin bertambah jum-
lahnya. Anggota perkumpulan pengemis itu hingga kini
telah mendekati jumlah seribu orang. Mereka tersebar
di beberapa kota kadipaten, yang masih termasuk wi-
layah Kerajaan Anggarapura.

***

7

Malam yang biasanya sepi, kini nampak seru.
Terutama di Pendapa Kadipaten Bumiraksa yang dili-
puti kegembiraan. Petinggi-petinggi kerajaan dengan
pakaian kebesarannya tampak duduk berderet di kursi
jati berukir. Di hadapan mereka terhidang aneka ma-
sakan lezat yang mengundang selera. Buah-buahan
matang ranum tergolek di meja seperti menggoda ha-
srat untuk segera menikmati. Poci-poci indah dari pe-
rak gemerlap berisi arak kelas satu. Suara tawa meng-
gema, mencerminkan rasa gembira meluap-luap.
Pada barisan kursi lain, tampak hadir para un-
dangan yang terdiri dari para punggawa tinggi dari Ka-
dipaten tetangga dan tokoh-tokoh sakti rimba persila-
tan, terutama dari golongan hitam.
Sepasang Iblis Penyebar Petaka tampak duduk
berdampingan dengan Rabanga, seorang tokoh aliran
hitam berjuluk Setan Pencabut Nyawa. Di sampingnya
terlihat Brajamusti lelaki berwajah dingin, mengena-
kan ikat kepala berwarna hitam. Nama aslinya Braja-
musti sedang julukannya Dewa Sesat. Di sampingnya
lagi, duduk Empu Barangas yang sudah berusia lan-
jut. Kakek itu duduk tenang. Matanya sedikit terpejam.
Empu Barangas adalah seorang ahli pembuat keris.

Tak heran kalau julukannya Empu Keris Hitam.
Kelima tokoh sakti itu duduk berhadapan den-
gan Kaligundi dan Pradesta. Kaligundi yang bertubuh
gemuk tampak menenggak arak yang disuguhkan
sambil mengeluarkan suara omelan tak berpangkal-
ujung. Umurnya sekitar lima puluh lima tahun. Dia
terkenal dengan julukan Pegulat Tangan Maut. Selain
ilmu silatnya telah mencapai tingkatan tinggi, dia juga
mahir bergulat. Ilmu itu hasil berguru kepada seorang
tokoh di daratan Mongolia.
Di sebelah Kaligundi, Pradesta duduk tenang
sambil menghitung biji tasbihnya tiada henti. Jubah-
nya berwarna kuning keemasan. Wajahnya halus, ber-
hias kumis dan janggut panjang yang telah memutih.
Sorot matanya sangat tajam, mencerminkan keberin-
gasan dan kekejaman. Walaupun Pradesta seorang
pendeta, tetapi jalan hidupnya telah melenceng dari
garis kebenaran. Julukannya Pendeta Murtad.
Di barisan kursi lain tak jauh dari tempat du-
duk tokoh-tokoh sakti beraliran hitam itu, tampak pa-
ra perwakilan dari kadipaten sahabat. Mereka duduk
tenang, menikmati pesta secara wajar.
Di sebelah utara para undangan, Adipati Danu-
braja duduk berdampingan dengan istrinya yang ber-
nama Rara Anggi. Wanita cantik berumur sekitar tiga
puluh lima tahun itu tampak bercakap-cakap dengan
seorang gadis belia yang berwajah cantik. Hidungnya
mancung. Bibirnya merah merekah laksana biji delima
yang telah  ranum. Matanya berkedip indah, dengan
bulu lentik, mengundang hasrat. Rambutnya yang hi-
tam panjang dijepit ke atas dengan sebuah penjepit
emas bermata berlian. Pakaiannya gemerlap, semakin
menambah sinar kecantikannya. Dia adalah Dewi Ika-
ta, putri tunggal Adipati Danubraja.

"Berbahagiakah kau hari ini, Ikata?" tanya Rara
Anggi kepada putrinya.
"Ah! Aku rasa biasa-biasa saja, Bu," jawab Dewi
Ikata.
"Kenapa kau katakan biasa-biasa saja? Bukan-
kah ini hari ulang tahunmu yang ketujuh belas? Mes-
tinya kau harus merasa bahagia, karena ayahandamu
berkenan mengadakan pesta meriah di hari ulang ta-
hunmu ini...," tukas Rara Anggi.
"Kukira  ayahanda  terlalu  berlebihan dengan
mengadakan pesta meriah seperti ini." sahut Ikata
lembut.
Rara Anggi tak melanjutkan pembicaraannya.
Pandangan matanya kini tertuju pada kehadiran seo-
rang penari cantik yang sedang menunjukkan kebole-
hannya.
Diiringi suara gamelan yang mengalun merdu,
lima penari itu bergerak lemah gemulai. Melenggak-
lenggok begitu elok. Pergelangan tangan mereka yang
halus indah terlihat laksana busur terpentang.
Semua mata memandang penuh takjub. Seper-
tinya, mereka tak bosan mengikuti setiap gerak kelima
penari cantik itu.
Pesta ini benar-benar meriah. Adipati Danubra-
ja tersenyum puas menyaksikan para undangan yang
tampak sangat menikmati suasana.
Di saat orang terlena dalam kemeriahan, seo-
rang pengawal Kadipaten Bumiraksa tampak mende-
kati Adipati Danubraja.
"Mohon ampun, Gusti Adipati. Hamba mengha-
dap untuk menyampaikan sesuatu hal...," ucap pen-
gawal kadipaten ini.
"Segera katakan, Pengawal!" ujar Adipati Danu-
braja menampakkan keterkejutannya.

"Di luar pendapa kadipaten berkumpul sepuluh
orang pengemis, Gusti Adipati...," lapor pengawal ini
"Segera usir mereka. Kadipaten Bumiraksa tak
boleh dijamah pengemis...!" perintah Adipati Danubra-
ja, keras.
"Ampun, Gusti Adipati. Kami sudah berusaha
mengusirnya. Tapi, para pengemis itu tetap ngotot tak
mau pergi...."
"Bangsat...!" umpat Adipati Danubraja. Pen-
gawal kadipaten yang berlutut di depan Adipati Danu-
braja menjadi pucat wajahnya.
"Kalau mereka keras kepala, seret! Bila perlu,
penggal leher mereka...! Kenapa kau menjadi goblok,
pengawal...?!"
Melihat kemarahan junjungannya, pengawal itu
segera menjura, lalu berbalik meninggalkan tempat ini.
Bersamaan dengan itu.... 
Braaakkk..!
Mendadak saja, melayang satu sosok tubuh
yang menabrak pintu, dan langsung jatuh menimpa
meja para undangan. Suara barang-barang pecah be-
lah yang hancur berantakan terdengar, diiringi jerit
ngeri para wanita yang hadir.
Adipati Danubraja bangkit dari tempat duduk-
nya. Matanya mendelik ke arah sosok tak bernyawa la-
gi, yang ternyata prajurit penjaga pintu. Sementara Ra-
ra Anggi dan Dewi Ikata segera masuk ke ruang dalam.
Seorang prajurit penjaga pintu pendapa kadipa-
ten lainnya segera berlari ke arah Adipati Danubraja.
"Pengemis-pengemis itu mengamuk, Gusti Adi-
pati...," lapor prajurit ini di sela-sela napasnya yang
ngos-ngosan.
Adipati Danubraja menggerendeng penuh ke-
marahan.

"Pengemis hina-dina! Beraninya membuat onar
di pestaku...!" gumam adipati itu.
Lelaki setengah baya yang bertubuh tegap ini
segera melompat ke luar pendapa, mendekati pusat ke-
ributan. Tampak sepuluh orang pengemis bersenjata
golok yang tengah mengamuk, membunuhi prajurit-
prajurit kadipaten.
Di bawah sinar lampu yang temaram, pertem-
puran sengit berlangsung seru.
Trang...! Trang...!
Suara benturan senjata tajam membahana di
angkasa. Suasana pesta menjadi semakin kacau. Para
penari dan pengrawit berserabutan mencari tempat
perlindungan. Sedangkan para undangan diam-diam
meninggalkan tempat,  karena tak mau mencampuri
urusan dalam Kadipaten Bumiraksa, 
"Akhhh....!"
Seorang pengawal kadipaten mulai terjungkal
dengan perut terkoyak. Tak lama kemudian, teman-
temannya segera menyusul ke akhirat.
Adipati Danubraja menggerendeng keras meli-
hat sepuluh orang pengemis bersenjatakan golok ten-
gah bertempur dengan membabi buta. Lalu, matanya
menatap tujuh orang tokoh sakti beraliran hitam yang
sedang duduk tenang, seperti tak pernah terjadi apa-
apa
"Kenapa Tuan-tuan diam saja...?" tanya Adipati
Danubraja, gusar.
"Kalau tidak diam, kami mau berbuat apa...?!"
Balagundi, salah seorang dari Sepasang Iblis Penyebar
Petaka malah balik bertanya. Menjengkelkan! 
Kening Adipati Danubraja berkerut.
"Pengemis-pengemis busuk itu harus diberi pe-
lajaran, Tuan," ujar Adipati Danubraja.

"He he he...," Balagundi malah tertawa. "Kalau
mau memberi pelajaran, kenapa tidak kau sendiri yang
turun tangan, Danubraja?!"
Mendengar ucapan Balagundi itu, Adipati Da-
nubraja terkejut
"Apa maksud, Tuan?" 
"Kami tidak lagi berpihak kepadamu, Danubra-
ja!"
Keterkejutan Adipati Danubraja semakin ber-
tambah. Mulutnya meringis gusar. Lalu matanya me-
natap tokoh sakti lainnya.
Ternyata teman-teman golongan Balagundi pun
menatap sinis kepada adipati itu.
"Ah! Kenapa Tuan-tuan jadi bersikap seperti
ini...?" tanya Adipati Danubraja.
"Sudah kubilang, kami tidak lagi berpihak ke-
padamu, Danubraja!" kata Balagundi setengah mem-
bentak, lalu bangkit dari tempat duduknya.
Melihat kesungguhan dari tokoh sakti itu, adi-
pati ini segera memanggil para prajuritnya. Seketika,
belasan orang prajurit kadipaten bermunculan dengan
senjata pedang terhunus.
"Katakan, apa maksud Tuan-tuan sebenar-
nya...?!" bentak Adipati Danubraja.
Tujuh orang tokoh sakti beraliran hitam itu ter-
tawa lebar.
"Kau sudah tak pantas untuk memegang tam-
puk pimpinan di Kadipaten Bumiraksa!" tegas Braja-
musti atau si Dewa Sesat, langsung.
"Jadi, kalian mau memberontak?!" tanya Adipa-
ti Danubraja, seperti ingin menegaskan pendengaran-
nya.
Tujuh orang tokoh sakti itu kembali tertawa le-
bar.

Adipati Danubraja segera menyadari keadaan.
Belasan orang prajurit kadipaten yang telah berdiri di
sampingnya seketika diperintah untuk menyerang.
Maka, belasan prajurit menerjang cepat. Tapi,
tujuh orang tokoh sakti itu melayaninya sambil terta-
wa-tawa.
Maka Adipati Danubraja terbeliak ketika tahu
dirinya telah terkepung sepuluh orang pengemis ber-
senjata golok.
"Pengemis-pengemis busuk! Mau apa kalian?!"
Pengemis-pengemis itu tidak menjawab. Mereka
mendengus, kemudian mengayunkan golok ke arah
Adipati Danubraja yang masih diliputi keterkejutan
Wuuuttt...! Wuuuttt..!
Adipati Danubraja berkelit, menghindari sam-
baran golok yang datang beruntun. Sementara kesepu-
luh orang pengemis itu tak mau memberi kesempatan
berpikir panjang kepada Adipati Danubraja. Mereka
kembali menerjang secara serempak!
Mata adipati bertubuh tegap itu makin melotot.
Dan segera dicabutnya sebilah pedang pendek dari ba-
lik bajunya. Lalu tangannya yang memegang pedang
segera bergerak menangkis. 
Trang...! Trang...!
Tangkisan pedang Adipati Danubraja membuat
tapak tangan para pengemis menjadi kesemutan.
Menyaksikan lawannya terperangah, adipati itu
segera berteriak, memanggil prajurit-prajurit kadipaten
Sebentar saja, puluhan prajurit bersenjata peda
segera menerjang para pengemis yang sudah siap
mengayunkan golok.
Kini pertempuran sengit segera berlangsung
semakin seru. Tiba-tiba Adipati Danubraja berkelebat
masuk ke ruang dalam. Tapi ketika langkah kakinya

baru sampai di ruang utama kadipaten, Patih Wiraksa
sudah datang menghadang.
"Kenapa kau berada di sini, Patih?! Tidakkah
kau melihat di luar sedang berlangsung pertempuran
hebat..?!" bentak Adipati Danubraja, setengah terkejut
"He he he...," Patih Wiraksa tertawa mengejek.
"Tentu saja aku tahu, Danubraja!"
Mendengar kata-kata Patih Wiraksa yang tidak
menunjukkan sikap hormat, Adipati Danubraja meng-
geram gusar.
"Rupanya kau biang dari peristiwa ini, Patih
Wiraksa...!" duga Adipati Danubraja, langsung menger-
ti. 
"Tepat!" sahut Patih Wiraksa pendek. 
"Bangsat! Segera kukirim kau ke neraka...!" 
 Adipati Danubraja segera menerjang dengan
pedang pendeknya. Namun Patih Wiraksa tak kalah si-
gap. Cepat dipapaknya serangan itu dengan pedangnya
yang telah tercabut 
Trang...!
Baru saja terjadi benturan senjata, ujung pe-
dang Patih Wiraksa kembali menghunjam ke dada Adi-
pati Danubraja!
"Pengkhianat Busuk!" geram adipati itu sambil
berkelit.
Patih Wiraksa terus merangsek. Pedangnya
berkelebat cepat, membentuk gulungan sinar yang
menyilaukan mata
Sedangkan Adipati Danubraja menghadapi se-
rangan sambil terus menggerendeng penuh kemara-
han.

***


Sementara itu, tujuh orang tokoh yang berali-
ran hitam yang dikeroyok belasan prajurit kadipaten
tampaknya berada di atas angin. Mereka mudah sekali
merobohkan lawan-lawannya. Sambil tertawa, mereka
menyebar kematian.
Prajurit-prajurit kadipaten jelas sekali tak ber-
daya. Mereka seperti sedang memasrahkan nyawa.
Mendadak lima puluh orang prajurit yang di-
pimpin Anggaraksa menerjang dengan pedang berkele-
batan.
Wuuuttt..! Wuuuttt...!
Namun tujuh orang tokoh sakti itu hanya me-
nyeringai dingin. Dan ketika tubuh mereka bergerak
cepat sambil melepaskan serangan....
Desss.... Desss....
"Akhhh...!"
Tujuh orang prajurit kadipaten menjerit bersa-
ma sambil mendekap dadanya yang telah amblong! 
"Jangan gentar....! Terjang terus....!" teriak Ang-
garaksa, memberi semangat kepada para bawahannya
"Kroco-kroco bodoh! Kalian hanya mengantar
nyawa!" desis Brajamusti sambil memutar tubuhnya.
Jerit, kematian kembali membahana. Suaranya me-
mantul ke dinding pendapa kadipaten. Tujuh orang
prajurit bawahan Anggaraksa mendekap  kepala mas-
ing-masing yang telah remuk, lalu jatuh berdebum di
lantai. Darah membanjir, menebarkan aroma amis
Anggaraksa menggeram laksana harimau terlu-
ka. Kemudian menerjang Brajamusti!
Namun, Anggaraksa bukanlah lawan yang
seimbang bagi tokoh aliran hitam yang berjuluk Dewa
Sesat itu. Sebentar saja, tubuhnya melayang jauh me-
nimpa meja pesta. Prajurit kadipaten yang setia itu
meregang tubuhnya, kemudian tewas....


***

Di ruang utama kadipaten, pedang di tangan
Patih Wiraksa berkelebatan, mencari jalan kematian di
tubuh Adipati Danubraja.
"Aaww...!"
Tiba-tiba terdengar jerit dua orang wanita. Adi-
pati Danubraja menoleh ke arah sumber suara. Tam-
pak Rara Anggi bersama Dewi Ikata sedang digiring
dua orang prajurit yang telah berkhianat, dengan sebi-
lah pedang tajam menempel di leher.
Adipati Danubraja tertegun. Dan, kesempatan
itu tak disia-siakan Patih Wiraksa. Saat itu juga, pe-
dangnya bergerak cepat! 
Breeet...! 
"Aughhh...!"
Diiringi pekik kesakitan, Adipati Danubraja
menekap dadanya yang robek sepanjang telapak tan-
gan ketika tersambar pedang Patih Wiraksa. Darah
mengalir dari lukanya, membasahi baju kebesarannya.
Untunglah dia masih sempat berkelit. Kalau tidak, pas-
tilah tubuhnya telah terpotong menjadi dua bagian.
"Bangsat kau Wiraksa!" rutuk Adipati Danubra-
ja dengan sinar mata nyalang. "Istri dan putriku itu
tak tahu apa-apa! Segera lepaskan mereka!"
Patih Wiraksa tertawa nyaring. Bibirnya me-
nyungging senyum penuh ejekan.
"Kalau kau mampu, kenapa tidak lakukan sen-
diri...?!" leceh patih itu.
"Bangsat! Tak kusangka kau tega melakukan
semua ini, Wiraksa. Selama aku memimpin Kadipaten
Bumiraksa, aku selalu berbuat baik kepadamu. Aku
mengangkatmu menjadi Patih Kadipaten, karena men-

ganggapmu sebagai orang yang berbudi luhur dan da-
pat bertindak bijaksana. Tapi, ternyata kau tak lebih
baik dari seorang begundal busuk! Perbuatanmu se-
perti iblis yang haus kekuasaan...!" maki Adipati Da-
nubraja.
Patih Wiraksa kembali tertawa nyaring.
"Aku memang iblis yang haus kekuasaan, Da-
nubraja! Maka dari itu, segera serahkan tampuk ke-
pemimpinan kepadaku. Dan, berlututlah di hadapan-
ku. Mungkin aku bisa bermurah hati untuk mengam-
puni nyawamu...!" balas Patih Wiraksa, enteng.
"Bangsat!" Adipati Danubraja menggeram keras.
"Seujung rumput pun, aku tak akan berlutut di hada-
panmu...!"
Selesai mengucapkan kalimatnya, mata Adipati
Danubraja menatap kehadiran sepuluh orang penge-
mis yang telah berdiri mengepung.
"Pikir baik-baik tawaranku, Danubraja! Kau
berlutut di hadapanku atau mati di tangan orang-
orang itu...?!" ujar Patih Wiraksa.
"Kau memang keparat, Wiraksa...!" teriak Adi-
pati Danubraja, keras. Dan segera dia menerjang sepu-
luh orang pengemis yang sedang mengepung.
Wuuuttt..!
Pedang pendek di tangan adipati itu berkelebat
cepat! Namun para pengemis telah bergerak cepat me-
mapak.
Trang...!
Benturan senjata tajam terdengar memekakkan
telinga.
Tubuh Adipati Danubraja bergerak lincah,
mengeluarkan jurus-jurus andalan. Luka goresan pe-
dang di dadanya sama sekali tak dihiraukan. Penguasa
Kadipaten Bumiraksa ini bertempur sambil menyim-

pan hawa amarah tak terbendung lagi.
Namun, kesepuluh orang pengemis yang ber-
senjata golok bukanlah orang sembarangan. Mereka
mudah sekali dapat mengikuti kecepatan gerak Adipati
Danubraja. Golok di tangan mereka menyambar-
nyambar bagai air bah yang tak kunjung berhenti
Sebentar saja, Adipati Danubraja segera terde-
sak hebat. Sambil menggigit bibir, dia bertempur mati-
matian untuk membela kehormatannya.
Hingga pada suatu kesempatan....
Breeet...!
"Aughhh...!"
Tubuh Adipati Danubraja bergulingan di lantai.
Bahunya tersambar golok salah seorang pen-
gemis yang tajam bukan main. Darah kembali me-
nyembur. Baju kebesarannya semakin belepotan da-
rah.
Sementara itu, Patih Wiraksa hanya tertawa
terbahak-bahak menyaksikan peristiwa ini. Suara ta-
wanya menggema berkepanjangan, mengisyaratkan ke-
licikannya.
"Begundal-begundal busuk! Kaki tangan Patih
Wiraksa yang tak tahu balas budi! Lihat serangan-
ku...!" bentak Adipati Danubraja sambil menggeram
gusar.
Tubuh adipati yang telah terluka ini cepat me-
nerjang dengan brutal. Pedang pendek di tangannya
bergulung-gulung, mengeluarkan deru angin dahsyat.
Tiba-tiba Patih Wiraksa yang tak mau mem-
buang waktu segera ikut menggempur Adipati Danu-
braja yang tampak kalap.
"Hiaaattt...!"
Dengan teriakan panjang, Patih Wiraksa meng-
hunjamkan ujung pedangnya, mengarah tepat ke jan-

tung! Namun dengan sebisanya, Adipati Danubraja
menangkis.
Trang...!
"Wiraksa keparat! Kucincang tubuhmu menjadi
serpihan daging tak berguna...!" desis Adipati Danu-
braja penuh hawa marah.
"Jangan banyak bacot! Segera lakukan kalau
mampu...!" tantang Patih Wiraksa sambil memutar ce-
pat pedangnya.
Menghadapi sebelas orang yang tak berilmu
rendah, Adipati Danubraja semakin keteter. Maka tak
heran kalau dia hanya bisa bertahan, tanpa mampu
memberi serangan balasan.
Sementara itu, menyaksikan orang yang dicin-
tainya tengah berjuang melawan maut, Rara Anggi dan
Dewi Ikata segera memejamkan mata. Mereka tak
sanggup melihat lebih lama peristiwa yang sangat
menggiriskan hati itu. Leher yang diancam sebilah pe-
dang tajam dua orang prajurit, membuat Rara  Anggi
dan Dewi Ikata tak mampu berbuat apa-apa, kecuali
memanjatkan doa.
Dan, tak lama kemudian....
Breeet..!
"Arkh...!"
Pergelangan tangan kanan Adipati Danubraja
tersambar pedang Patih Wiraksa.
Mata Adipati Danubraja bersinar nyalang, me-
nahan rasa sakit. Dia menggigit bibirnya sendiri kuat-
kuat. Namun tiba-tiba tubuhnya yang telah terluka pa-
rah melayang ke atas. Dan....
Tes...! Pyaaarrr...!
Mendadak saja, lampu gantung yang menerangi
ruang utama kadipaten itu jatuh ke lantai, dan hancur
berkeping-keping  terkena sambaran pedang Adipati

Danubraja.
Gelap seketika menyelimuti. Pada saat itu, tu-
buh Adipati Danubraja melayang ke luar. Dia berlari
cepat meninggalkan pendapa kadipaten. Dan, segera
lenyap ditelan kegelapan malam.
Sementara, Patih Wiraksa mendengus  penuh
kemarahan. Dia yang tak bisa melihat apa-apa karena
gelap masih menyelimuti, segera memberi perintah un-
tuk mengejar.
Kesepuluh orang pengemis bersenjata golok
berlompatan ke luar pendapa kadipaten. Namun, lang-
kah kaki mereka hanya asal-asalan, karena tak tahu
ke mana harus mengejar....

***

8

Pagi ini cukup cerah di Bukit Pangalasan. Men-
tari tersenyum di ufuk timur. Sinarnya menerpa de-
daunan, membentuk bayang-bayang di atas tanah.
Ranting-ranting pohon meliuk-liuk bagai sedang mena-
ri tatkala angin berhembus. Kabut membubung, sema-
kin hilang dari pandangan. Hawa dingin perlahan-
lahan lenyap, berganti kehangatan yang mengelus
sukma.
Dua orang berpakaian penuh tambalan anggota
Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti, tampak berja-
lan menuruni bukit. Langkah kaki mereka terhenyak
ketika di hadapan mereka terpampang sesosok tubuh
tergeletak di tanah bermandikan darah.
"Siapa dia, Adi Katabang?" tanya pengemis yang
lebih tua umurnya.

"Entahlah, Kakang Carang Gati," jawab penge-
mis satunya, yang dipanggil Katabang sambil menatap
sesosok tubuh yang tergeletak di tanah.
"Ayo, kita dekati dia...," ajak pengemis bernama
Carang Gati.
"Oh! Dia masih hidup...," desah Katabang yang
telah meraba denyut nadi orang yang tergeletak ber-
mandikan darah.
"Banyak benar luka di tubuhnya. Dia seperti
habis bertempur mati-matian...."
Tiba-tiba Katabang meloncat, karena dihantam
keterkejutan.
"Dia..., dia Gusti Adipati Danubraja...," tunjuk
pengemis itu terbata-bata.
Carang Gati menaikkan kedua alisnya. Matanya
bersinar tajam.
"Benar katamu, Adi Katabang. Dia memang
Gusti Adipati Danubraja...."
"Sebaiknya kita segera berlalu dari tempat ini
Kakang...," ajak Katabang seperti menyimpan ketaku-
tan.
"Ah! Lebih baik kita menolongnya," tolak Ca-
rang Gati.
"Apakah kau sudah lupa tindakan adipati itu
yang telah mengusir kita dengan paksa dari Kota Kadi-
paten Bumiraksa...?"
"Tidak, Adi Katabang. Menurut nasihat Kakek
Gede, kita tidak boleh menyimpan dendam."
Katabang diam, mendengarkan kalimat Carang
Gati yang ada benarnya.
"Bagaimanapun juga, Gusti Adipati Danubraja
adalah bekas junjungan kita. Dan, kini dia sedang
membutuhkan pertolongan. Kita berdosa kalau tidak
menolongnya," tandas Carang Gati.

"Tapi, bagaimana kalau musuh Adipati Danu-
braja itu mengejar...?" tanya Katabang. 
"Kau takut...?"
Carang Gati menatap wajah Katabang. Yang di-
tatapnya menundukkan kepalanya.
"Terserah kau, Kakang...," kata Katabang ke-
mudian.
Tak lama kemudian, dua pengemis itu segera
membopong tubuh Adipati Danubraja menaiki Bukit
Pangalasan.
"Biar Kakek Gede yang mengurusnya. Kita tak
mengerti ilmu pengobatan...," kata Carang Gati.
Katabang mengangguk lemah.