Pengemis Binal 5 - Kitab Sukma Gelap(2)




Kapi Anggara bersama lima prajurit kerajaan mendapat
tugas dari Baginda Prabu untuk memeriksa setiap pelosok
kotapraja. Raja yang arif bijaksana itu mengkhawatirkan
adanya gerakan dari orang-orang yang simpati kepada

Perkumpulan Bidadari Lentera Merah dan Pengemis Baju
Hitam.
Pemuda tampan yang biasa disebut si Pendekar Asmara itu
berusaha melaksanakan tugas yang diembannya dengan
sebaik mungkin. Dengan menunggang kuda bersama para
prajurit, mereka mengelilingi kotapraja.
"Pesta syukuran akan diadakan besok malam. Sebenarnya
tugas kita sangat berat Kita tak mengetahui ciri-ciri orang
yang harus kita curigai," kata Kapi Anggara kepada seorang
prajurit yang berkuda di sebelahnya.
"Yah, semoga saja tak terjadi suatu apa," sahut prajurit itu.
"Malam ini langit tampak eerah. Aku harap besok demikian
pula," gumam Kapi Anggara seraya mendongakkan kepalanya
menatap kekelaman langit di atas sana.
Sambil berkata-kata, enam orang penunggang kuda itu
terus bergerak pelan. Ketika sampai diseberang jalan kecil
yang terdapat pohon trembesi tua, rombongan itu
menghentikan langkah kuda. Kapi Anggara melihat sebuah
rumah tua yang hampir roboh. Ada sorot cahaya perapian
keluar dari jendela yang sudah tak berdaun.
"Coba kalian periksa rumah itu!" perintah Kapi Anggara
kepada dua orang prajurit kerajaan.
Dengan sigap, dua pemuda bertubuh kekar itu menghentak
tali kendali kuda. Ketika mereka sampai di tempat yang dituju,
lewat pintu yang Juga sudah tiada berdaun, mereka terkejut
menyaksikan sebuah pemandangan yang menjijikan.
Di dalam rumah yang sudah tak berpenghuni itu terlihat
manusia berwajah seram sedang menciumi seorang gadis
yang tergeletak lemah di lantai.
"Hai, apa yang kau lakukan?!" teriak salah seorang prajurit
yang berada di depan.
Tentu saja lelaki yang sedang berusaha melampiaskan
nafsunya itu terkejut. Dia segera meloncat dan menggeram
berkepanjangan. Ketika melihat jelas wajah lelaki itu, dua
perajurit kerajaan bergidik ngeri.
"Kau... kau siapa?" tanya salah seorang prajurit.
Lelaki berwajah seram yang tak lain Genthalimang itu
menggeram semakin keras. "Pergi kau!" teriaknya sambil
menudingkan jari telunjuk.
Genthalimang menendang batu sebesar kepalan tangan
yang berada di depan kakinya! Prajurit yang berada di depan,
karena tak menduga akan datangnya serangan, tak sempat
menghindar lagi. Tapi, sebuah bayangan berkelebat dan
menyampok luncuran batu.
Kapi Anggara berdiri dengan gagah menatap tajam wajah
Genthalimang.
"Manusia Busuk! Rupanya kau hendak berbuat biadab!"
hardik pemuda tampan itu.
Genthalimang cuma mendengus. Tanpa berkata-kata
diterjangnya si pengacau yang telah menggagalkan niatnya
pada Dewi Ikata. Kapi Anggara menggerakkan tubuhnya ke
samping, menghindari pukulan. Lalu dilancarkan tendangan
berputar. Sayang, tendangan itu hanya mengenai angin
kosong.
"Katakan siapa dirimu, Manusia Busuk!" bentak si Pendekar
Asmara.
"Apa perlunya kau menanyakan itu?!" sahut Genthalimang
tak kalah sengit.
"Bangsat! Kau memang pantas disekap dalam ruang bawah
tanah sebagai santapan tikus!"
Usai mengucapkan kalimatnya, Kapi Anggara melancarkan
pukulan ke dada.
Zebs...!
Pemuda tampan itu terkejut bukan main. Ketika tangan
Genthalimang menangkis, pukulannya seperti membentur
gedebong pisang.
Tapi, pendekar yang sudah cukup matang pengalaman itu
tak terpaku dalam keterkejutannya. Dia segera melancarkan
serangan lanjutan. Lima orang prajurit kerajaan ikut
membantu.
"Huh! Apa perlunya kalian mengeroyokku?!" kata
Genthalimang sambil menghindari serangan.
"Tidakkah kau lihat bahwa kami prajurit kerajaan yang
bertugas menangkap orang-orang semacammu!" ucap salah
seorang prajurit dengan beraninya.
Genthalimang segera memutar tubuhnya. Dia berusaha
menyarangkan tendangan ke tubuh Kapi Anggara. Tapi, pada
saat itu Kapi Anggara telah mempersiapkan sebuah serangan
mendadak
Ketika kaki kanan Genthalimang meluncur ke dadanya,
pemuda tampan itu tak bergerak menghindar. Lalu, secara
tiba-tiba dia menjulurkan tangan kanannya!
Bunga kenanga yang merupakan senjata andalannya
menancap di pangkal paha Genthalimang. Lelaki berwajah
seram itu tentu saja menjerit kesakitan. Bola matanya
bergerak nanar. Ketika melihat tidak ada kemungkinan
untuknya memenangkan pertempuran, Genthalimang
menghem-poskan tubuhnya berusaha melarikan diri.
"Hei, mau lari ke mana kau?!" teriak Kapi Anggara seraya
melontarkan bunga-kenanga mautnya.
Zebs...!
"Argh...!"
Punggung Genthalimang yang menjadi sasaran. Tapi,
manusia buruk rupa itu tak mempedulikan luka yang
dideritanya. Dia lari terbirit-birit bagai orang dikejar setan.
Lima orang prajurit kerajaan berusaha untuk mengejar.
"Biarkan dia pergi...," cegah Kap Anggara. "Lebih baik kita
segera menolong gadis yang tak berdaya itu."
"Tapi, lelaki tadi jelas orang jahat," bantah salah seorang
prajurit.
"Tak perlu kau risaukan. Dia hanya penjahat biasa. Pesta
syukuran tak akan diganggu oleh orang semacam dia," sahut
si Pendekar Asmara meyakinkan.
Pemuda tampan itu lalu berjalan mendekat Dewi Ikata yang
sedang mengucurkan air mata sebagai pelampiasan rasa
syukur.
"Tak perlu takut, aku berniat menolongmu," kata Kapi
Anggara seraya melepas kain yang menyumpal mulut Dewi
Ikata.
Setelah tatokan di punggungnya dibebaskan, gadis cantik
yang hampir saja kehilangan kehormatannya itu menangis
tersedu-sedu sambil menutupi bagian rubuhnya yang terbuka.
Kapi Anggara melepas mantel yang dikenakannya. Lalu,
disodorkannya kepada Dewi Ikata.
"Pakailah...," kata pemuda tampan itu.
Mau tak mau Dewi Ikata menerima kebaikan Kapi Anggara.
"Te... terima kasih...," ucapnya di sela-sela tangisnya.
"Sudahlah," Si Pendekar Asmara menenangkan. "Bahaya
sudah lewat. Aku akan mengantarmu pulang."
"Terima kasih...."
"Di mana tempat tinggalmu? Aku akan mengantarmu
sekarang juga."
Dewi Ikata menggelengkan kepalanya.
"Kau tidak punya tempat tinggal?" tanya Kapi Anggara
seraya menatap wajah Dewi Ikata dalam-dalam.
"Tidak," jawab gadis berumur tujuh belas tahun itu. Dia sedang menuruti nasihat gurunya, agar tak membeberkan
siapa jati dirinya kepada sembarang orang.
Kening si Pendekar Asmara berkerut.
"Gadis secantik dan seanggun ini paling tidak pastilah putri
seorang demang atau adipati. Tapi, kenapa dia bilang tak
bertempat tinggal?" kata pemuda tampan itu dalam hati. "Ah,
hal ini malah kebetulan. Aku bisa mengajaknya ke istana..."
Kapi Anggara tersenyum-senyum sendiri.
"Namamu siapa?" tanya pemuda tampan itu kemudian.
"Dewi Ikata."
"Ehm... sebuah nama yang bagus. Kalau kau tidak punya
tempat tinggal, kau bisa ikut aku ke istana."
'Tidak!"
Mendengar jawaban Dewi Ikata yang tegas, Kapi Anggara
mengangkat kedua alisnya.
"Kenapa?" tanya pemuda tampan itu.
"Aku harus mencari guruku," jawab Dewi Ikata pelan.
"Siapa nama gurumu?"
"Arumsari."
"Dewi Tangan Api?"
"Ya."
Kapi Anggara menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia sama
sekali tak menyangka kalau gadis yang tampak lemah ini
ternyata murid seorang tokoh yang sudah cukup ternama di
rimba persilatan.
"Kalau kau memang benar mund Arumsari, kenapa bisa
orang buruk rupa tadi berbuat tak senonoh kepadamu?" tanya
si Pendekar Asmara heran. Bahkan, setengah tak percaya.
Karena merasa telah berhutang budi kepada pemuda
tampan itu, Dewi Ikata lalu menceritakan peristiwa yang baru
saja dialaminya.
"Jadi, saat ini gurumu kemungkinan besar sedang
mencarimu?" tanya Kapi Anggara. Dewi Ikata menganggukkan
kepalanya. "Aku akan membantumu untuk mencari gurumu itu
besok," Kapi Anggara menawarkan jasa baiknya.
"Tidak. Aku akan mencarinya sekarang." Dewi Ikata bangkit
dari duduknya. Tapi, tubuhnya terhuyung-huyung.
"Tubuhmu masih lemah. Kau lihat juga, hari masih malam."
Dewi Ikata tak mempedulikan ucapan si Pendekar Asmara.
Dia berjalan keluar dari rumah tak ber-penghuni itu. Lima
prajurit kerajaan menatapnya tak mengerti.
Tiba-tiba si Pendekar Asmara meloncat. Dihalanginya
langkah Dewi lkata. "Aku akan membantu mencari gurumu
sekarang," katanya sambil mengulum senyum.
"Tuan tidak perlu bersusah-susah- Terima kasih atas segala
kebaikan Tuan."
"Jangan memanggilku dengan sebutan 'tuan' Namaku Kapi
Anggara. Aku akan membantumu. Berbahaya seorang gadis
berjalan seorang diri di malam gelap seperti ini "
Pemuda tampan itu lalu meloncat ke punggung kuda,
setelah melepas tali kendali yang diikatkan ke balok kayu
bekas tiang pagar.
"Segeralah kau naik di belakangku," pinta Kapi Anggara
pada Dewi Ikata.
Dewi Ikata tampak ragu sejenak. Tapi kemudian karena
merasa dirinya tak mungkin mencari Arumsari seorang diri,
gadis itu pun menganggukkan kepala.
Tak lama kemudian, si Pendekar Asmara dan lima prajurit
kerajaan telah memacu kuda mereka dengan langkah
perlahan.
"Kenapa kau tidak berpegangan?" tanya Kapi Anggara
heran kepada Dewi Ikata yang duduk di punggung kuda
bersamanya. Dewi Ikata memang tidak memeluk punggung
pemuda itu atau sekadar mencengkeram baju belakangnya
untuk berpegangan.
Gadis itu tak menjawab. Wajahnya merona merah. Sekilas
tampak rasa jengah terlihat di matanya.
"Jalan di depan sangat gelap. Kaki kuda bisa terperosok ke
dalam kubangan. Kau bisa terjatuh bila tidak berpegangan,"
berirahu Kapi Anggara lagi,
Mendengar ucapan Kapi Anggara, perlahan-lahan Dewi
Ikata melingkarkan lengannya ke pinggang pemuda
penolongnya itu. Si Pendekar Asmara pun tersenyum senang.
"Baginda Prabu memberi tugas yang tepat kepadaku. Ada
merpati cantik yang begitu menarik. Sebentar lagi merpati itu
akan jatuh ke pelukan sang jantan," kata pemuda tampan itu
dalam hati.
"Kita hendak ke mana?" tanya Dewi Ikata tiba-tiba.
"Lho, bukankah kita mencari gurumu?" "Maksudku, kita
mencarinya ke mana?" "Mengelilingi kotapraja."
"Jangan...," Dewi lkata memperlihatkan ketakutannya.
"Eh, kau kenapa?" tanya Kapi Anggara heran. Pegangan
tangan Dewi Ikata di pinggangnya tiba-tiba dilepas.
"Aku takut bertemu dengan seseorang yang bernama
Banaspati," sahut Dewi Ikata cemas. Laki-laki itu pasti akan
menangkap dirinya jika mereka berjumpa.”
"Pembesar kerajaan yang berjuluk si Kepalan Baja itu?"
"Ya."
"Kau punya urusan dengannya?"
Dewi Ikata lalu menceritakan peristiwa di depan kedai
makanan, yang berlanjut dengan penggeledahan di
penginapan untuk mencari ia dan gurunya.
"Kau jangan takut Dia tak akan berani menghadapku," kata
Kapi Anggara penuh keyakinan.
Melihat kesungguhan ucapan pemuda itu dan sepak
terjangnya tadi waktu melumpuhkan lelaki 68 berwajah
seram, Dewi Ikata jadi bisa bersikap tenang. Gadis itu mau
mengikuti ke mana Kapi Anggara mengajaknya.
***
5
Pesta syukuran yang diadakan Baginda Prabu berlangsung
meriah. Halaman istana benar-benar jadi lautan manusia.
Tidak hanya para pembesar dan pejabat tinggi kerajaan yang
hadir, rakyat jelata pun turut menyatakan rasa syukurnya.
Mereka menyaksikan acara pesta itu dengan riang gembira.
Tepat di samping kanan pintu gerhang istana, Baginda
Prabu Arya Dewantara duduk berdampingan dengan
permaisurinya yang cantik jelita, Ra-ra Nawangwulan. Di
sebelah kiri dan kanan mereka duduk mengapit Patih Rangga
Mahisa dan Senopati Risang Alit. Sedangkan di antara tamu
kehormatan yang berjajar di samping kiri Baginda Prabu,
menghadap ke panggung, tampak para tokoh rimba persilatan
yang mempunyai hubungan dekat dengan kerajaan.
Suropati duduk berjajar dengan Raka Maruta, Gede
Panjalu, Wirogundi, Anjarweni, dan beberapa tokoh
Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti lainnya.
Mereka tampak asyik bercakap-cakap. Sesekali menikmati
hidangan yang tersedia sambil menyaksikan pertunjukan yang
digelar di atas panggung.
Ketika acara pesta telah berjalan beberapa saat lamanya,
seorang pemuda tampan berambut pirang
dan mengenakan pakaian indah gemerlapan berjalan
mendekati Suropati.
"Aku mengajakmu bertaruh," kata pemuda tampan itu
seraya menepuk bahu Pengemis Binal.
"Eh kau, Pendekar Mata Maling...," Suropati sedikit terkejut.
Beberapa saat diperhatikannya penampilan pemuda tampan
yang berdiri di belakangnya. Pemuda itu tak lain Kapi Anggara.
"Rupanya kau telah menjadi seorang bangsawan. Bangsawan
kedodoran. He-he-he...," goda Suropati dengan lucunya.
"Hus! Jangan bercanda!" bisik Kapi Anggara. "Kau tidak
mendengar perkataanku?" "Apa?"
"Aku mengajakmu bertaruh."
"Uh! Itu saja yang kau mau. Apakah tidak ada pekerjaan
lain siilain mengajak bertaruh?" cibir Suropati, tak tertarik.
Si Pendekar Asmara tersenyum simpul. Pemuda Itu
meletakkan pantatnya di kursi kosong di belakang Suropati.
"Di sini banyak gadis cantik. Kita berlomba untuk
mendapatkan salah seorang dari mereka. Yang mendapat
lebih cepat berarti dia yang menang."
"Mana ada gadis cantik?" tanya Suropati sambil
menggerakkan kepalanya mencari-cari.
"Bodoh! Buka matamu lebar-lebar! Yang duduk berjajar di
belakangmu kau kira siapa?" sungut Kapi Anggara.
Suropati menyebarkan pandangan. Remaja konyol itu
segera tersenyum simpul ketika melihat jajaran gadis cantik
berpakaian indah tengah duduk di belakangnya, la benar-
benar tidak melihat mereka tadi.
"Mereka siapa?" tanya Suropati sambil menggaruk kepala.
"Putri pembesar-pembesar kerajaan," jawab Kapi Anggara.
"Bagaimana, kau sanggup?"
Pengemis Binal tampak berpikir. Sesaat kemudian,
diperhatikannya dirinya sendiri yang berpakaian penuh
tambalan.
"He-he-he...," si Pendekar Asmara tertawa mengejek
"Rupanya kau ragu akan kemampuanmu, Suro."
"Kau mau mengambil keuntungan dengan pa-kaianmu,
Anggara," sungut Suropati setengah mendongkol.
"Kenapa? Kau merasa kalah sebelum bertanding? Karena
pakaian yang kau kenakan penuh tambalan? Kalau kau mau,
aku bisa meminjamimu pakaian seperti yang sedang kupakai."
Belum sempat Suropati memberi jawaban, Raka Maruta
yang sedari tadi cuma diam menyenggol lengannya.
"Kalian mempertaruhkan apa?" tanya pemuda berwajah
lembut itu.
"He-he-he...," Suropati tertawa. "Kau mau ikut?"
"Apa?"
"Menggaet gadis cantik."
Raka Maruta tersenyum kecut. Pemuda itu mempunyai sifat
pemalu. Mana berani dia mendekati seorang gadis lalu
merayunya. Maka, dia langsung terdiam sambil menundukkan
kepala. Melihat itu, Suropati dan Kapi Anggara tertawa.
"Ternyata kita punya teman banci, Suro," sindir Kapi
Anggara.
"Siapa yang kau bilang 'banci'?" Raka Maruta tersinggung
mendengar ucapan pemuda tampan itu.
"Begitu saja marah. Kalau kau memang tidak banci, kau
harus ikut taruhan," tantang Kapi Anggara.
"Baik, apa taruhannya?" keberanian Raka Maruta langsung
bangkit.
Si Pendekar Asmara tampak berpikir sejenak. Sesaat
kemudian, wajahnya bersinar senang.
"Yang menang akan jadi pemimpin di antara kita," kata
pemuda tampan itu penuh keyakinan.
"Baik!"
Suropati dan Raka Maruta menjawab hampir bersamaan
Kapi Anggara tersenyum. "Kalian sekarang ikut aku,"
ajaknya.
"Ke mana?" tanya Raka Maruta.
Kapi Anggara membongkokkan rubuhnya, kemudian
berbisik di telinga pemuda berwajah lembut itu. Terlihat Raka
Maruta menganggukkan kepala. Suropati, Kapi Anggara, dan
Raka Maruta lalu berjalan ke belakang istana. Gede Panjalu
dan beberapa anggota Perkumpulan Pengemis Tongkat bakti
yang bertanya, cuma dijawab dengan senyuman.
Tak lama kemudian, ketiga pemuda tadi telah kembali ke
dalam arena pesta. Pakaian yang dikenakan Suropati dan Raka
Maruta telah berganti dengan layaknya pakaian seorang
pangeran. Dengan langkah digagah-gagahkan, mereka
berpencar mengelilingi arena pesta.
"Uh! Kenapa badanku tiba-tiba jadi meriang setelah
memakai baju ini?" kata Suropati sambil memandangi baju
yang dikenakannya.
Tapi, senyum remaja konyol itu segera mengembang ketika
melihat seorang gadis cantik. Rambutnya digelung dengan
hiasan sekuntum bunga mawar.
"Aku akan memenangkan taruhan ini...," desis Pengemis
Binal seraya berjalan mendekat gadis yang duduk bersama
para undangan.
"Aku mau bicara sebentar. Duduklah dibela-kang," ajak
Suropati sambil mengerjapkan matanya.
Aneh, si gadis mengikuti tangkah remaja konyol itu tanpa
bertanya-tanya lagi Mereka mengambil tempat duduk di deret
belakang yang kebetulan banyak terdapat kursi kosong.
"Siapa namamu?" tanya Suropati mulai melancarkan
rayuannya.
Yang ditanya cuma mengulum senyum. Matanya
mengerling penuh arti
"Eh, kau tidak mendengar pertanyaanku?" tanya Suropati
lagi.
Gadis itu tetap diam. Kepalanya ditundukkan dalam-dalam.
"Rupanya kau gadis pemalu. Tapi, tak apa. Aku malah
senang. Kau cantik sekali sih," goda Suropati dengan
tersenyum.
Mendengar ucapan Suropati, si gadis meremas jemari
tangannya sendiri. Pengemis Binal jadi gemas melihatnya.
Dicubitnya lengan gadis di sampingnya itu.
"Ih! Kau sangat menggemaskan," kata Suropati tanpa
sungkan-sungkan.
Si gadis tersenyum senang.
"Tempat tinggalmu di mana?" tanya remaja konyol itu.
Tapi, tak mendapat jawaban. "Kau anak siapa?" [tanyanya
lagi.
Karena tak satu pun pertanyaannya mendapat jawaban,
Suropati menggerutu kecil. Namun ketika teringat taruhannya
bersama Kapi Anggara dan Raka Maruta, remaja konyol itu
jadi bersemangat kembali.
"Aku kira kau memang gadis yang agak tertutup. Tapi, tak
jadi apa juga. Aku senang kok," Suropati terus mengeluarkan
rayuannya. "Kau sangat cantik. Sungguh sangat cantik.
Melebihi kecantikan bidadari yang pernah kulihat di lukisan-
lukisan. Kau juga anggun. Gerak-gerikmu lemah-gemulai,
sanggup membuat getar-getar aneh dalam hatiku...."
Si gadis tersenyum-senyum. Semakin nakal dia meremas
jemari tangannya sendiri. Kaki kanannya diayun-ayunkan
perlahan.
Suropati menatap tanpa berkedip. Kemudian, diraihnya
lengan gadis itu.
"Maukah kau jadi pacarku?" tanya remaja konyol itu tiba-
tiba.
Mendadak si gadis melonjak kegirangan. Tanpa malu-malu
diciumnya pipi Pengemis BinaL
"Eh, kalau ingin bermesraan bukan di sini tempatnya. Di
belakang istana saja," ajak Suropati.
"Uh... ah... auh... wa... uh... waaa...."
Mulut si gadis mengeluarkan kata-kata aneh. Kedua
tangannya digerak-gerakkan seperti orang memberi isyarat.
"Apa katamu?" tanya Suropati tak mengerti.
"Uh... ah... wau... waaa...."
Mendengar kata-kata aneh itu terulang lagi, Suropati
terperangah.
"Kau... kau bisu?"
"Uh... au...," si gadis menganggukkan kepalanya.
Melihat itu, Suropati langsung berlalu dari tempat itu
dengan mengambil langkah seribu. Si gadis hanya dapat
mencak-mencak sambil menu-ding-nudingkan jari tangannya.
Suropati berjalan seraya menggaruk-garuk kepala.
"Kalau aku tahu dia gadis bisu, tak bakalan aku
membuang-buang waktu. Mudah-mudahan aku belum kalah,"
gerutu pemuda itu.
"Hai...!"
Tiba-tiba, seorang gadis yang duduk terpisah dari para
undangan menyapa remaja konyol itu. Suropati menoleh.
Ketika melihat yang menyapanya, seorang gadis cantik
dengan dandanannya sangat aduhai, dia datang menghampiri.
"Kalau ini dijamin tidak bisu," kata Suropati dalam hati.
"Kau tidak punya teman?" tanya si gadis.
Suropati menggaruk kepalanya.
"Aduh, sayang Seorang pangeran tampan mempunyai kutu
di rambutnya...."
"Aku tidak punya kutu!" bantah Suropati cepat.
"Syukurlah. Tapi, mungkin ada kelainan di kepalamu. "
"Tidak. Ah, jangan ngomong soal itu! Kau ingin bersahabat
denganku, kan?" Suropati menunjukkan kesungguhan dalam
bias wajahnya.
"Tentu, asal...," si gadis tersenyum sambil menggeleng-
gelengkan kepala.
"Asal apa?"
"Bajumu bagus. Kau tentu banyak duit," sahut si gadis.
Suropati menggaruk kepalanya.
"Gadis ini tidak tahu kalau baju yang kupakai adalah baju
pinjaman. Kalau dia menyangka aku banyak duit, wah,
bagaimana?" katanya dalam hati.
"Eh, kau tidak tanya namaku?" si gadis mengedipkan
matanya.
"Siapa?" tanya Suropati seperti orang bodoh.
"Rara Ayu Dyah Puspitaningrum Lukitasari Prabaweni
Thoktrdl"
Suropati tertawa terbahak-bahak mendengar nama yang
sepanjang itu
"Eh, kenapa kau tertawa? Mengejek, ya?" kata si gadis
dengan bibir cemberut.
"Aku tidak mengejekmu. Kau membuatku bingung.
Bagaimana aku harus memanggilmu?"
"Kau bisa memanggilku 'Dhiajeng Thil.'"
Pengemis Binal tertawa kembali. Kali ini lebih keras. Dia
sampai memegangi perutnya yang terasa kejang.
"Kau rada gila, ya?" si gadis bertanya dengan agak marah.
"Uh... ah, tidak!"
"Lalu, kenapa kau tertawa?"
"Kau lucu. Hi-hi-hi...."
Si gadis mencubit dagu Suropati. "Kau tampan dan sangat
menggemaskan...," katanya. "Eh, kau belum menyebutkan
siapa namamu."
"Raden Mas Sosro Hadiningrat Mangkubumi Mangkulangit
Hayuweningtyas Panyuwun Sadekah alias Suroblonthang....
Eh, Suropati."
Ganti si gadis yang tertawa keras. "Kau lucu," katanya
kemudian.
"Kau juga."
"Di mana tempat tinggalmu?" "Banyak. Aku sering pindah-
pindah." "Wuih, kau sangat kaya rupanya," si gadis
merasa sangat senang.
Suropati tersenyum-senyum.
"Kau sendiri?" tanya remaja konyol itu sambil meremas
jemari tangan si gadis.
"Tergantung keadaan. Kalau sekarang aku tidak sendiri.
Kan ada kau, Raden Mas Suroblon-thang. Eh, Suropati...."
"Rumahmu?"
"Perlukah itu kujawab?"
"Tentu."
"Rumahku di pojok utara kotapraja." 'Yang mana?"
"Rumah besar yang agak menjorok ke dalam."
Mendengar itu, Pengemis Binal terkejut bukan main. "Itu
kan rumah para wanita panggilan...?" katanya setengah tak
percaya.
"Memangnya kenapa?"
"Kau tinggal di situ?"
'Ya."
"Jadi... jadi kau...."
'Ya. Aku putri asuhan Mak Werti"
"Kau peL...."
'Ya. Kenapa, kau heran? Apakah kau tidak jadi kencan
denganku?"
Suropati terdiam. Gerutuan panjang-pendek keluar dari
mulutnya.
"Tadi dapat gadis bisu. Sekarang wanita penghibur. Uh!
Sial!" umpat remaja konyol itu dalam hati. "Tapi kalau aku
ajak gadis itu, Kapi Anggara dan Raka Maruta tak kan tahu dia
bukan wanita baik-baik."
"Kok malah bengong? Jadi kencan, nggak?" kata si gadis
tak sabaran.
Suropati menggaruk kepalanya.
"Kalau jadi, bayar uang muka dulu."
Suropati segera merogoh-rogoh kantong bajunya. Tentu
saja dia tak menemukan apa-apa. Memang dia tak mempunyai
uang sepeser pun.
"Aku tak bawa uang," kata Suropati kemudian dengan
senyum kecut.
"Wah, tidak bisa kalau begitu. Mak WerB nanti marah."
"Bayar belakangan saja...."
Si gadis melengos Dia tak mempedulikan Suropati lagi.
"Waduh, kalau begini aku bisa kalah bertaruh...," kata
Pengemis Binal dalam hati. "Ah, aku harus melakukan
sesuatu."
Remaja konyol itu lalu mengerahkan kekuatan sihirnya
Akhirnya, si gadis mau saja ketika diajak menuju ke belakang
istana, tempat yang telah disepakati bersama Kapi Anggara
dan Raka Maruta.
Ketika sampai di samping istana, Suropati tertawa
terbahak-bahak melihat Raka Maruta dituding-tuding dan
diomeli seorang wanita tua yang berdandan menor.
"Hei, Maruta! Menyerahlah! Kau tidak berbakat menggaet
gadis! Menggaet nenek-nenek pun tak bisa. He-he-he....."
Raka Maruta mendatangi Suropati dengan muka kusut.
Pemuda berwajah lembut itu memandang iri gadis yang
berada di samping Suropati.
"Kau berhasil, Suro...," kata Raka Maruta.
"Tentu."
"Kini lawanmu tinggal Kapi Anggara. Aku menyerah saja."
Suropati mengedarkan pandangan.
"Di mana dia? Jangan-jangan dia telah berada di belakang
istana...."
Dengan terburu-buru, Suropati melangkah menuju
belakang istana. Si gadis diseretnya agar melangkah cepat.
Raka Maruta berjalan mengikuti. Suropati mengumpat-umpat
ketika dilihatnya Kapi Anggara sedang bercengkerama dengan
seorang gadis berpakaian putih-kuning. Melalui cahaya
rembulan, dapat dilihatnya jelas mereka saling berpegangan
tangan.
"Hei, kalian datanglah cepat! Aku akan segera jadi
pemimpin kalian!" teriak Kapi Anggara saat melihat kehadiran
Suropati dan Raka Maruta.
Pengemis Binal berjalan mendekat sambil menahan geram.
Gadis yang berada di sampingnya ditinggal begitu saja.
"Ayo kenalkan, Suro. Ini kekasihku. Namanya De...."
Kapi Anggara tak melanjutkan kalimatnya. Dia melihat
wajah Suropati tiba-tiba pucat-pasi waktu menatap gadis yang
berada di sampingnya.
"Kau... kau...," kata Pengemis Binal tergagap.
"Kau Dewi Ikata?"
Si gadis tak kalah terkejutnya saat menatap wajah
Suropati. Dia menjerit kecil. Lalu, menundukkan kepala dalam-
dalam.
Suropati mundur beberapa tindak. Sekejap kemudian,
tubuhnya melesat meninggalkan tempat itu. Kapi Anggara
terperangah melihatnya. Raka Maruta menatap kepergian
Suropati dengan pandangan tak mengerti, lalu berlari
mengejar.
Suropati berlari cepat keluar dari kotapraja. Bayangan Dewi
Ikata yang duduk berdampingan mesra bersama Kapi Anggara
tak pemah lepas dari benaknya. Bibir remaja konyol itu digigit
keras-keras. Sejenak ingatannya melayang ke taman kepu-
tren Kadipaten Bumiraksa, di mana dia pemah mengikat janji
bersama gadis pujaan hatinya.
Disaksikan rembulan dan bintang, Suropati menyatakan
perasaan harinya.
"Aku pun mencintaimu, Suro...," kata Dewi Ikata pada
waktu itu.
"Tapi, aku hanya orang miskin yang tak punya apa-apa."
"Di mataku kau sangat sempurna, Suro. Kau tampan dan
perkasa."
"Ah, kau hanya ingin membuatku merasa senang," Suropati
tersipu malu.
"Tidak. Itu kukatakan dari ketulusan hatiku,"
senyum Dewi Ikata. "Sungguh?"
"Demi Tuhan, aku mencintaimu, Suro...."
Mereka lalu berpelukan dan saling mengucap janji untuk
selalu hidup bersama. Tapi, kenyataan mengatakan lain. Dewi
Ikata harus mengikuti pengembaraan gurunya, Arumsari atau
Dewi Tangan Api.
Mereka pun berpisah. Namun, sebelumnya mereka telah
berjanji suatu saat akan mewujudkan segala harapan yang
telah tersusun. Maka, pertemuan mereka dibelakang Istana
Kerajaan Anggarapura benar-benar menyakitkan hati Suropati.
Remaja konyol itu menggigit bibirnya semakin kuat. Dia
menghentikan larinya, lalu melangkah pelan dengan tubuh
gontai. Seorang pemuda berwajah lembut menyusul dari
belakangnya.
"Kau kenapa, Suro?" tanya pemuda itu, yang tak lain Raka
Maruta atau Pendekar Kipas Terbang.
Suropati tak menjawab. Kepalanya ditundukkan. Melihat
itu, Raka Maruta tertawa terbahak-bahak.
"Hei, apa yang kau tertawakan?" tanya Suropati,
tersinggung.
"Ternyata kau tidak sekonyol yang kukira. Sebenarnya kau
kenapa, Suro? Menyesal karena kalah taruhan? Kapi Anggara
memang banyak akal. Kita bisa membalasnya di kemudian
hari."
"Bukan itu masalahnya. Gadis yang berada disampingnya
itu'adalah kekasihku!"
Mulut Raka Maruta ternganga lebar.
"Dia putri Adipati Danubraja, dan pernah mengikat janji
denganku," beritahu Suropati melihat temannya terheran-
heran.
"Ck... ck... ck... Hebat! Kau hebat sekali, Suro..."
"Apanya yang hebat? Sekarang gadis itu melanggar
janjinya." "Janji apa?"
"Untuk hidup bersama."
"Kau sendiri menepati janjimu? Tidak pernah mendekati
gadis lain?" ujar Raka Maruta.
Mendengar ucapan Raka Maruta, Suropati mendengus. Lalu
digaruk-garuknya kepalanya yang tl< l.i k gatal.
Pada saat itulah, terlihat sebuah bola api besar mi'i.ih
membara meluncur di angkasa menuju kotapraja.
"Kita harus segera kembali ke istana. Baginda Prabu dalam
keadaan bahaya!" teriak Raka Maruta.
"Tidak Kita harus mencari orang yang membuat bola api
itu," tolak Suropati
"Kenapa? Kau tidak mau berjumpa lagi dengan kekasihmu!"
"Bukan karena itu. Di istana sudah banyak tokoh-tokoh
sakti. Mereka bisa berbuat sesuatu untuk menyelamatkan
Baginda Prabu."
Usai kalimat Pengemis Binal diucapkan, terdengar ledakan
dahsyat di angkasa hingga menimbulkan lidah api tinggi ke
udara.
"Apa kataku? Bola api itu terbentur sebuah kekuataan
dahsyat. Kekuatan itu tentu berasal dari tenaga dalam tokoh-
tokoh sakti yang berada di istana," ujar Suropati.
Tiba-tiba sebuah bola api yang lebih besar meluncur
datang.
"Orang usil itu berada di seberang sana!" Suropati
menunjukkan telunjuknya ke satu arah. Tubuh pemuda itu lalu
melesat. Raka Maruta mengejar. Tapi, tak seberapa lama
mereka tampak kebingungan.
"Kita tak bisa menentukan dari mana bola api itu berasal,"
kata Raka Maruta sambil menghentikan langkahnya.
Suropati mendongakkan kepala. "Kita menunggu bola api
itu muncul kembali," ujar remaja konyol itu sambil terus
menatap langit.
"Hei! Itu, Suro...!" Raka Maruta menudingkan jari
telunjuknya. "Manusia licik itu berada di Lembah Tengkorak!"
Suropati dan Raka Maruta segera melesatkan rubuh mereka
kembali. Keduanya berlari cepat dengan mengerahkan seluruh
ilmu meringankan tubuhnya.
Jarak lari dua orang pendekar itu terus tak berubah. Ini
menandakan kalau ilmu meringankan tubuh mereka seimbang.
Karena kecepatan lari mereka sangat luar biasa, tubuh
Suropati dan Raka Maruta berubah jadi bayangan yang
berkelebat cepat sekali. Sepeminum teh kemudian, mereka
telah menginjakkan kaki di Lembah Tengkorak. Pa dahal jarak
antara kotapraja dengan Lembah Teng korak cukup jauh.
"Hei, Manusia Busuk! Keluar kau dari persembunyianmu!"
teriak Pengemis Binal dengan mengerahkan tenaga dalam.
Suaranya menggema di seluruh permukaan lembah.
Mendadak sebuah bayangan hitam berkelebat, dan
mendarat tepat lima tombak di hadapan Suropati dan Raka
Maruta. Dua pendekar muda itu menatap wajah wanita
buntung yang menyeringai dingin.
"Sekar Mayang!" desis keduanya, kaget "Ha-ha-ha,!" Sekar
Mayang atau Penghimpun Angkara tertawa berkepanjangan.
Suropati dan Raka Maruta terkesiap merasakan degup
jantung mereka tiba-tiba berubah cepat. Dua pendekar muda
ini buru-buru mengerahkan hawa mumi untuk menepis
serangan tak terlihat itu.
"Tanpa susah-susah mencari, rupanya kalian telah datang
untuk menyerahkan nyawa!" kata Sekar Mayang dengan suara
lantang.
"Wanita Iblis! Rupanya kau belum puas setelah aku
membuntungi tangan kananmu!" sambut Raka Maruta tak
kalah lantangnya.
Mendengar itu, Penghimpun Angkara tertawa tergelak.
Suropati dan Raka Maruta kembali merasakan jantungnya
berdegup lebih kencang.
"Ilmu wanita itu telah berkembang demikian cepat" desis
Raka Maruta.
Serta-merta pemuda berwajah lembut itu me-nepukkan
kedua telapak tangannya. Timbullah getaran kekuatan dahsyat
yang kasat mata. Tawa Sekar Mayang langsung terhenti. Mata
wanita buntung itu mendelik Terdengar dengusan gusarnya
ketika merasakan aliran darahnya tiba-tiba jadi kacau. Dia pun
segera mengerahkan hawa murni untuk melindungi diri. Kalau
saja wanita buntung itu tidak segera mengambil tindakan
tersebut, cairan darahnya akan muncrat keluar dari seluruh
pori-pori.
"Bangsat...! umpat Penghimpun Angkara. "Aku akan segera
membalaskan sakit hatiku kepadamu, Raka Maruta!"
"Kepada Raka Maruta saja? Aku tidak?" Suropati mengulum
senyum. "Terima kasih kalau begitu...."
Remaja konyol itu membalikkan badan seperti hendak
berlalu dari tempat itu. Penghimun Angkara menggeram.
Tangannya segera dihentakkan ke depan.
Wuuusss...!
Seberkas sinar merah meluncur ke arah Suropati!
Remaja konyol itu meloncat tanpa membalikkan tubuhnya.
Ledakan dahsyat langsung membahana. Permukaan tanah di
mana pukulan jarak jauh itu mendarat berkubang dalam.
Bebatuan beterbangan kesana-kemari.
"Uh! Hampir saja tubuhku hancur...," gumam Pengemis
Binal. Tubuhnya kembali dibalikkan
menghadap sosok Sekar Mayang yang mempunyai sorot
mata setajam pedang.
"Wanita ini telah berusaha membunuh Baginda Prabu,
Suro...," ujar Raka Maruta. "Kita harus melenyapkannya!"
Pemuda berwajah lembut itu langsung menerjang
Penghimpun Angkara dengan kibasan kipas bajanya. Tapi....
Ceeesss...!
Raka Maruta merasakan telapak tangannya panas saat
kipasnya hampir menyentuh tubuh Sekar Mayang. Dia pun
terkejut setengah mari melihat senjatanya terhenti di udara.
Penghimpun Angkara mengibaskan telapak tangan
tunggalnya. Pendekar Kipas Terbang yang masih dalam
keterkejutan tak sempat berbuat apa-apa, ketika senjata
andalannya tercampak lepas dari pegangan dan melayang
jauh.
Pemuda berwajah lembut itu terperangah. Pada saat itulah,
Sekar Mayang melancarkan sebuah tendangan maut!
Sraaattt...!
Raka Maruta masih sempat menjatuhkan diri ke tanah.
Tapi, tak urung bahunya terserempet. Bajunya robek lebar
dan mengepulkan asap. Untunglah pemuda berwajah lembut
itu mempunyai tenaga dalam yang sudah mendekati
kesempurnaan. Kulitnya jadi tidak hangus terbakar.
"Tunggu apa lagi, Suro?!" teriak Raka Maruta. "Segera kita
gempur wanita iblis ini!"
"Sayang, aku tidak membawa Tongkat Saktiku," gumam
Pengemis Binal.
Mata remaja konyol itu mendelik ketika melihat Pendekar
Kipas Terbang yang telah kehilangan senjata diserang oleh
Sekar Mayang. Pemuda berwajah lembut itu tampak
kewalahan.
Suropati langsung terjun ke arena pertempuran dengan
melancarkan pukulan dalam jurus 'Pengemis Menghiba
rembulan'!
Wuuusss...!
Kerudung hitam yang dikenakan Sekar Mayang lepas,
terkena sambaran angin pukulan Pengemis Binal. Wanita
buntung itu mendengus keras. Telapak tangan tunggalnya
dikibaskan.
Hawa panas terasa menerpa. Suropati meloncat tinggi-
tinggi kemudian meluncur cepat mengge-prak kepala
Penghimpun Angkara. Bersamaan dengan itu, Raka Maruta
melancarkan tendangan ke perut!
Sekar Mayang melentingkan tubuhnya ke belakang lalu
bersalto beberapa kali di udara. Kedua serangan lawannya
pun luput!
"Kalian benar-benar sudah merindukan Malaikat Kematian!"
kata Sekar Mayang setelah menjejak tanah.
Wanita itu bersuit nyaring. Dan sebuah bayangan merah
berkelebat cepat mendarat di sisi kiri Penghimpun Angkara.
"lngkanputri!" desis Pengemis Binal.
"Ha-ha-ha...,'" Sekar Mayang tertawa. "Kau kaget melihat
sahabatmu jadi budakku, Suro?" Pandanglah sepuasmu
sebelum dia membunuhmu!"
"Jahanam! Bebaskan gadis yang tak berdosa itu!" pekik
Suropati.
Penghimpun Angkara tertawa kembali. Kemudian, telunjuk
jari tangan tunggalnya menuding. "Cincang tubuhnya, Putri...!
Mendengar perintah itu, Ingkanputri langsung menerjang!
Tangan kanannya bergerak lurus ke depan dengan telapak
terbuka. Sedangkan tangan kiri menekuk di samping dada.
Dengan lontaran tubuh, gadis itu berusaha menyarangkan
pukulan ke kepala Pengemis Binal.
Suropati menggeser tubuhnya satu tindak. Luncuran
tangan kanan Ingkanputri pun luput. Tapi, remaja konyol itu
tak menyangka bila serangan hebat Ingkanputri berpusat pada
tangan kiri yang menekuk!
Wuuusss...!
Tangan kiri Ingkanputri menyorong ke depan sambil
memiringkan rubuhnya. Angin pukulan berhawa panas
menerjang dada Pengemis Binal. Remaja konyol itu meloncat
ke samping. Dan, Ingkanputri telah mempersiapkan sebuah
tendangan!
Tubuh Suropati terpelanting waktu tendangan Ingkanputri
bersarang di pinggang kiri,
"Ha-ha-ha...," Penghimpun Angkara tertawa tergelak-gelak.
"Lumat dia, Putri! Jangan, beri kesempatan untuk bernapas!"
"Wanita Iblis! Akulah yang akan melumat tubuhmu!"
sambut Raka Maruta seraya menerjang.
"Ucapanmu itu terbalik...!" Sekar Mayang segera
menyambut.
***
Malam di Lembah Tengkorak tak lagi sunyi. Teriakan
kemarahan dan dentuman pukulan membahana, memekakkan
gendang telinga. Pijaran cahaya lewat pukulan jarak jauh yang
berasal dari pemusatan tenaga dalam membuat gelap
tersibak.
"Haiiittt..!
Tubuh Suropati berkelebat cepat, berusaha menotok dada
kiri lngkanputri. Tapi, gadis itu mengibaskan telapak tangan
kirinya dengan ber-lambarkan ilmu 'Pukulan Api Neraka'!
"Ih...!"
Pengemis Binal menarik tangannya ketika hawa panas
menghadang. Dia pun jadi kerepotan, karena hanya mau
menyerang dengan mengandalkan jurus-jurus totokan yang
tak membahayakan jiwa. Sedangkan lngkanputri terus
mencecar remaja konyol itu dengan serangan-serangan
mematikan.
Kedua tangan gadis murid Dewi Tangan Api itu datang
menderu-deru membiaskan cahaya merak Pengemis Binal
dipaksa berloncatan ke sana-kemari untuk menghindari.
"Aku harus mencari akal untuk memusnahkan kekuatan
sihir yang mempengaruhi lngkanputri...," kata Suropati dalam
hati. 'Tapi, bagaimana aku dapat memusatkan kekuatan batin
bila gadis itu
begitu bernafsu untuk membunuhku?"
Melihat lawan berdiri dalam keterpanaan, Ingkanputri tak
menyia-nyiakan kesempatan itu. Kedua telapak tangannya
yang dilambati tenaga dalam penuh menghentak ke depan.
Kilatan cahaya api meluncur ke arah Pengemis Binal.
Remaja konyol itu sudah tak sempat lagi untuk
menghindar. Dia melindungi dadanya dengan kedua telapak
tangan. Kekuatan tenaga dalamnya hanya dua pertiga karena
takut akan mencelakakan Ingkanputri.
Blaaarrr...!
Ledakan dahsyat membahana, menimbulkan percikan
bunga api yang menyibak gelap.
Tubuh Ingkanputri terlontar dua tombak ke belakang.
Sedangkan tubuh Suropati terpental jauh. Tapi, dengan
bersalto beberapa kali di udara remaja konyol itu dapat
mendaratkan kakinya ke tanah.
Keluhan kecil keluar dari mulut Pengemis Binal. Dadanya
terasa sesak dan pandangannya sedikit mengabur. Dengan
tubuh terhuyung-huyung dia menggeleng-gelengkan kepala,
berusaha mengusir kerlip cahaya biru yang menebar di depan
matanya.
Pada saat itu Ingkanputri telah melancarkan pukulan jarak
jauhnya kembali!
Wuuusss...!
Kali ini, serangan gadis itu hanya dapat membuat kubangan
dalam di permukaan tanah. Suropati telah melompat tinggi-
tinggi.
Pada waktu tubuh remaja konyol itu masih melayang di
udara, kedua tangannya terpentang lalu menangkup dengan
telapak menghadap ke depan. Suropati memainkan
jurus'Pengemis Meminta Sedekah!
Deeesss...!
Tubuh lngkanputri berpusing di tempat lalu terlontar lima
tombak. Terkena sodokan telapak tangan Suropati yang
bersarang di bahu kanan. Setelah bisa menguasai keadaan,
gadis itu menyeringai dingin Ditatapnya Pengemis Binal
dengan penuh kemarahan.
Suropati menangkupkan kedua telapak tangannya di depan
dada. Dia berusaha memusatkan kekuatan batin untuk
menembus kekuatan sihir yang mempengaruhi lngkanputri.
Tubuh Suropati bergetar keras dengan keringat membanjir.
Ketika asap tipis mengepul dari kepalanya, mendadak sebuah
tenaga gaib menyerang remaja konyol itu. Tubuh Suropati
terhuyung-huyung mundur beberapa tindak.
"lngkanputri dibentengi oleh kekuatan sihir dahsyat yang
tak dapat ditembus...," gumam Suropati seraya melompat
tinggi ke udara.
lngkanputri telah melancarkan pukulan jarak jauhnya. Dan
untuk kesekian kalinya, permukaan tanah berkubang dalam
akibat lontaran tenaga dalam yang tak mengenai sasaran.
Pertempuran antara Raka Maruta dengan Sekar Mayang
berlangsung lebih hebat. Dua manusia itu sama-sama
bernafsu untuk segera menyudahi perlawanan lawan. Tapi,
semenjak Sekar Mayang mendalami Kitab Sukma Gelap
warisan dari Dewa Sesat, kepandaian wanita buntung itu telah
beriipat ganda. Hal itu membuatnya berada di atas angin.
Berkali-kali tubuh Raka Maruta terserempet pukulannya,
hingga pakaian yang dikenakan pemuda berwajah lembut itu
koyak-koyak seperti habis dibakar. Apalagi pendekar muda itu
telah kehilangan senjata andalannya. Raka Maruta semakin
kewalahan menghadapi lawan.
"Ha-ha-ha...!"
Tawa Penghimpun Angkara membahana. Mata wanita
buntung itu memancarkan sinar aneh. Ditatapnya tubuh
Pendekar Kipas Terbang yang berdiri gontai.
"Neraka jahanam telah menunggu kehadiranmu,' Raka
Maruta!" kata Sekar Mayang seraya menghentakkan tangan
tunggalnya.
Weeesss...!
Sebuah bola api merah membara meluncur ke arah
Pendekar Kipas Terbang!
Pemuda berwajah lembut itu melompat ke samping. Pada
saat itulah mulutnya menyemburkan darah segar
Mendadak bola api yang meluncur tak mengenai sasaran
berbalik arah, dan menghunjam ke tubuh Raka Maruta dari
arah belakang!
Raka Maruta sudah tak mempunyai daya untuk
menghindar. Tubuhnya melengkung ke depan hendak jatuh.
Bola api yang panas membara pun meluncur semakin dekat.
Malaikat Kematian telah mengintai!
Pada saat yang sangat genting itu, tiba-tiba seberkas sinar
kebiruan meluncur datang. Kemudian...
Blaaarrr...!
Ledakan dahsyat membahana, mengguncangkan Lembah
Tengkorak Percikan bunga api menebar bagai hujan deras.
Bola api ciptaan Sekar Mayang dari kehebatan ilmu 'Cahaya
Sesat' yang dimilikinya, lenyap akibat hadangan pukulan jarak
jauh Suropati. Tapi, remaja konyol itu mesti merelakan bahu
kirinya terhantam pukulan lngkanputri. Tubuh Pengemis Binal
terhempas dan bergulingan di atas tanah.
Belum sempat remaja konyol itu bangkit berdiri, lngkanputri
telah melancarkan pukulan jarak jauhnya dengan kekuatan
tenaga dalam penuh!
Dalam waktu yang bersamaan, Sekar Mayang pun
melontarkan kembali bola api ciptaannya ke tubuh Raka
Maruta yang tergeletak di tanah.
Jiwa dua pendekar muda itu terancam maut. Tapi,
kekuatan kasat mata tiba-tiba muncul membentengi tubuh
Suropati dan Raka Maruta. Serangan lngkanputri dan Sekar
Mayang berhasil dipunahkan.
Seorang kakek kurus kering yang berambut putih riap-
riapan telah hadir di tempat itu. Kakek itu duduk bersila
dengan kedua tangan bersedekap. Namun anehnya, tubuh
kakek itu tidak menyentuh tanah, melainkan melayang di
udara setinggi dua tombak.
"Datuk Risanwari...!" desis Sekar Mayang. Wanita buntung
itu sudah mengenal siapa kakek yang baru datang. Dia pemah
tinggal di lorong bawah tanah di Bukit Hantu bersama
Ratnasari, junjungan Sekar Mayang semasa Perkumpulan
Bidadari Lentera Merah masih berjaya.
"Sadarlah kau, Sekar Mayang...," kata Datuk Risanwari.
Suara yang keluar dari mulutnya terdengar begitu parau.
"Amarah dan dendam hanya akan menceburkan ke lembah
dosa. Perbuatan kita di dunia ibarat orang menanam pohon,
yang akan kita petik hasilnya nanti ketika ajal telah riba...."
"Huh...!" Penghimpun Angkara mendengus. "Kau tak perlu
mencampuri urusanku!"
"Kedatanganku hanya untuk menyelamatkan dua anak
manusia yang hendak kau jadikan korban...," kata Datuk
Risanwari seraya membentangkan kedua tangannya.
Suatu kekuatan kasat mata menyedot tubuh Suropati dan
Raka Maruta yang masih tergeletak di tanah. Kemudian, Datuk
Risanwari mendekapnya. Tubuh mereka pun melesat di udara
bagai Ie-satan batu meteor.
Melihat itu, Sekar Mayang menggeram marah. Bergegas dia
mengerahkan ilmu 'Cahaya Sesat'-nya sampai ke puncak.
Muncullah bola api sebesar
KITAB SUKMA GELAP 97
kerbau mengejar luncuran tubuh Datuk Risanwari.
Blaaarrr...!
Terlihat jelas punggung Datuk Risanwari terbentur bola api
ciptaan Sekar Mayang. Tapi, dia seperti tak mengalami suatu
apa! Tubuhnya terus melesat semakin cepat sambil mendekap
erat Suropati dan Raka Maruta.
***
Malam telah berlalu. Sang Baskara malu-malu
menampakkan wujudnya. Seiring kokok ayam alas yang
semakin menghilang, cahaya perak menyiram bumi. Satwa-
satwa pun menggeliat bangun dari tidurnya untuk meneruskan
jalan kehidupan.
Di dalam sebuah gua yang tak begitu jauh letaknya dari
Lembah Tengkorak, Suropati dan Raka Maruta duduk bersila
dengan mata terpejam. Di belakangnya Datuk Risanwari
menempelkan kedua telapak tangannya ke punggung dua
pendekar muda itu. Datuk Risanwari sedang menyalurkan
hawa muminya untuk membantu penyembuhan luka dalam
Suropati dan Raka Maruta.
Perlahan-lahan mata Suropati terbuka. Dia merasakan
tubuhnya jadi sangat ringan. Dia bergeser dari tempat
duduknya, karena merasa telah bebas dari terpaan sakit yang
berpusat di bahu kirinya.
"Bertalianlah di tempatmu, Suro...," Bisik Datuk Risanwari.
Mendengar itu. Pengemis Binal menghentikan gerak
tubuhnya. Lalu, memejamkan mata kembali.
Remaja konyol itu baru sadar kalau Datuk Risanwari tengah
membagi kekuatan tenaga dalamnya^. Kalau saja dia telanjur
melepas saluran hawa mumi kakek itu, maka hawa mumi yang
mengalir di tubuh Datuk Risanwari akan menjadi kacau. Dan,
hal itu sangat berbahaya bagi keselamatannya.
"Hoeeekkk...!"
Darah segar menyembur dari mulut Raka Maruta yang
menderita luka dalam lebih parah. Sesaat kemudian, mata
pemuda berwajah lembut itu perlahan-lahan terbuka. Dia
merasakan tubuhnya telah kembali ringan dan sakit di
dadanya berkurang.
Datuk Risanwari pun menarik kedua tangannya. Tapi,
mendadak kakek itu membungkukkan badan seraya
menempelkan kedua ujung jari telunjuknya ke kening.
"Kau tidak apa-apa, Kek?" tanya Suropati melihat tubuh
Datuk Risanwari bergetar semakin hebat.
Perlahan-lahan kakek itu meluruskan tubuhnya. Terlihat
mulut dan hidungnya belepotan darah.
"Kau tidak apa-apa, Kek?" tanya Suropati lagi.
"Ilmu wanita iblis itu sangat hebat. Aku bisa merasakan
akibatnya...," kata Datuk Risanwari dengan suara parau.
Kakek itu lalu menatap wajah Suropati dan Raka Maruta
bergantian.
"Semakin kuat amarah dan dendam dalam jiwa wanita iblis
itu, semakin hebatlah ilmunya. Untuk
memusnahkannya, rasa kemanusiaan wanita iblis itu harus
dibangkitkan..."
Usai mengucapkan kalimatnya, Datuk Risanwari
menggelengkan kepala. Rambutnya yang putih panjang
bergerak menutupi seluruh wajahnya. Tubuh kakek itu lalu
menggeliat kecil Bersamaan dengan itu, rambut putihnya telah
basah bersimbah darah!
"Kek...!" jerit Pengemis Binal. Raka Maruta yang lebih bisa
menguasai perasaan hanya menatap dengan pandangan haru
Tangan kanan datuk Risanwari bergerak pelan.
Dikeluarkannya gulungan kulit harimau dari balik baju. Tapi,
tangan kakek tua renta itu segera terkulai. Kulit harimau yang
terikat tali penjalin itu pun menggelinding ke hadapan
Suropati.
"Serahkan benda itu kepada Gede Panjalu, Suro...," kata
Datuk Risanwari dengan suara ngorok bagai ayam habis
disembelih.
Dengan susah-payah, kakek itu menyedekap-kan
tangannya kembali. Lalu, menghentakkan telapak kakinya ke
lantai gua. Weeesss...!
Tubuh Datuk Risanwari melesat ke luar gua. Suropati dan
Rawa Maruta hanya menatap keper-giannya.
"Semoga Tuhan memberi kekuatan kepadanya," gumam
Pengemis Binal. Lalu, remaja konyol itu memungut gulungan
kulit harimau yang tergeletak di hadapannya. "Aku harus
melaksanakan amanat Datuk Risanwari...."
"Siapa sebenarnya kakek itu, Suro?" tanya Raka Maruta
sambil beringsut ke dekat Pengemis Binal.
"Kau tentu sudah mengenal Gede Panjalu yang bergelar
Pengemis Tongkat Sakti, Maruta. Kakek tua renta yang baru
saja menolong kita itu adalah ayah kandungnya."
"Ayah kandung Kakek Gede Panjalu?"
"Kenapa? Kau heran?"
"Tidak. Seorang tokoh sakti jika dia berumur seratus tahun
lebih bukan sesuatu yang mengherankan. "
"Lalu, apa yang kau pikirkan?"
"Kalau saja Datuk Risanwari mau bergabung dalam
Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti yang kau pimpin, berarti
dua tokoh pilih tanding berdiri di belakangmu. Hal itu akan
membuat perkumpulan pengemismu akan semakin berjaya."
"Aku tidak membutuhkan kejayaan, Maruta. Perkumpulan
Pengemis Tongkat Sakti hanyalah sebuah wadah periindungan
bagi para pengemis yang biasa hidup terhina."
Pengemis Binal bangkit dari tempat duduknya.
"Aku dan seluruh tokoh penting Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti mendapat tugas dari Baginda Prabu untuk
melenyapkan Sekar Mayang. Karena itu, aku tidak bisa
berdiam lama di tempat ini...."
"Kau hendak ke mana?!" cegah Raka Maruta waktu melihat
Suropati melangkahkan kaki keluar gua.
Pengemis Binal menghentikan langkah. Ditatapnya wajah
Raka Maruta dalam-dalam.
"Kau tidak kasihan melihat seorang gadis yang tak berdosa
jadi budak wanita iblis itu?" tanya Suropati.
"Bukan begitu, Suro. Kita tidak boleh bertindak gegabah,"
kata Pendekar Kipas Terbang dengan suara kalem. "Datang ke
Lembah Tengkorak pada siang hari sama saja dengan bunuh
diri."
"Kenapa?"
"Jamur-jamur yang tumbuh di lembah itu bila tertimpa
sinar matahari akan mengeluarkan asap beracun."
"Aku sudah tahu."
"Lalu, kenapa kau hendak ke sana?"
"Sekar Mayang pun manusia. Dia tidak mungkin berdiam
diri di lembah itu."
"Jadi, kau mengira wanita iblis itu tinggal di sekitar Lembah
Tengkorak tanpa menginjakkan kakinya pada siang hari di
lembah itu?" kata Raka Maruta. "Kau keliru, Suro. Ilmu Sekar
Mayang telah berkembang sedemikian cepat. Tak mustahil
tubuhnya telah menjadi kebal terhadap segala jenis racun.
Dan lagi, sewaktu kita mencari asal luncuran bola api yang
melesat ke kotapraja, bukankah kita dapatkan kalau bola api
itu berasal dari Lembah Tengkorak? Kalau Sekar Mayang tidak
berdiam diri di situ, untuk apa dia bersusah-payah ke Lembah
"
Tengkorak dulu sebelum melancarkan serangannya ke
kotapraja?"
"Kata-katamu ada benarnya. Tapi, kenapa Ingkanputri juga
dapat bertahan dari serangan racun bila dia tinggal di Lembah
Tengkorak?" "Sekar Mayang telah membantunya." Suropati
mengangguk. Lalu, tangan kanannya bergerak ke atas.
Pemuda itu melakukan kebiasaannya, menggaruk-garuk
kepala.
"Kalau begitu, untuk menggempur Sekar Mayang kita harus
menunggu datangnya malam...," kata remaja konyol itu
sambil menyandarkan tubuhnya ke dinding gua.
"Bukan hanya menunggu. Kita harus berbuat sesuatu.
Dalam keadaan sehat saja kita tak dapat menghadapinya,
apalagi sekarang kita baru saja sembuh dari luka dalam...."
"Lalu, apa yang harus kita perbuat?" tanya Suropati
kebingungan.
"Kau ingat pesan Datuk Risanwari?"
"Aku harus menyerahkan gulungan kulit harimau ini kepada
Kakek Gede Panjalu."
"Yang lainnya?"
Kening Suropati berkerut, berusaha mengingat-ingat pesan
terakhir Datuk Risanwari.
"Uh! Rupanya daya ingatmu sangat payah, Suro...," ejek
Raka Maruta,
"Tidak apa-apa. Asalkan masih banyak gadis yang
menyukaiku, aku akan berusaha mempertajam daya ingatku.
Biar aku tak lupa kesukaan me-
reka...," kata Suropati.
Tapi, mendadak wajah remaja konyol itu jadi kusut.
"Bangsat kau, Kapi Anggara!" umpatnya, la teringat Dewi
lkata yang tampak begitu lengket dengan si Pendekar Asmara.
"Hei, rupanya kau teringat kepada kekasihmu itu, Suro...,"
kata Raka Maruta seraya bangkit dari duduknya.
"Aku akan menyabung nyawa denganmu, Pendekar Mata
Maling!" umpat Suropati lagi.
"Sudahlah, Suro. Lupakan hal itu dulu. Perihal Sekar
Mayang lebih penting."
Suropati diam sambil menggaruk-garuk kepala.
"Datuk Risanwari telah berpesan agar kita dapat
memusnahkan ilmu wanita iblis itu, rasa kemanusiaan dalam
hatinya harus dibangkitkan."
"Rasa kemanusiaan yang bagaimana?"
Pendekar Kipas Terbang tampak berpikir.
"Yah, semacam pancaran hari nurani yang mengarah pada
kebaikan," kata pemuda berwajah lembut itu kemudian.
"Contohnya?"
"Ehm... seperti rasa belas kasihan, penghormatan, kasih
sayang, dan cinta..."
"Kalau begitu, kita butuh seseorang yang sanggup
membangkitkan rasa kemanusiaan itu. Tapi, siapa?"
"Mungkinkah Kapi Anggara dapat melakukannya?" tanya
Raka Maruta.
"Dapat!" sambut Pengemis Binal penuh kepastian.
"Apa alasannya?"
Suropati menggaruk-garuk kepalanya, lalu nyengir.
"Kalau gagal, biar dia mati. He-he-he...."
"Ah, kau terbawa sakit hatimu, Suro...," ucap Raka Maruta.
"Tidak. Aku hanya bercanda. Cobalah pikir, aku kira Kapi
Anggara memang sanggup melakukannya. Bukankah dia
pernah mempunyai hubungan dengan Sekar Mayang?"
"Tapi, Sekar Mayang yang merasa dikhianati tentu
mempunyai rasa benci kepadanya, bahkan bisa berwujud
dendam membara."
"Bagaimanapun juga, wanita tidak bisa lepas dari kodratnya
untuk memiliki hati lemah. Kalau Kapi Anggara tampak
menyesali perbuatannya dan bersedia menebus kesalahan,
aku kira Sekar Mayang akan takluk. Toh, Kapi Anggara yang
bergelar Pendekar Mata Maling, eh, Pendekar Asmara, tentu
bukan nama kosong...."
"Tapi, aku belum yakin sepenuhnya."
"Kita bisa mencoba."
"Ini urusannya dengan nyawa, Suro. Kita tidak bisa
mencoba-coba."
"Uh! Rupanya ada pendekar yang takut mati!"
"Bukan begitu. Sebaiknya kita...."
Ucapan Raka Maruta terpotong karena disela tawa
Suropati.
"Bangsat kau, Suro!" umpat Pendekar Kipas Terbang.
"Bagaimana? Kau bisa menerima usulku?" Suropati tak
menghiraukan makian Raka Maruta. "Baiklah. Kita segera
menemui Kapi Anggara." "Kau saja yang melakukannya."
"Kenapa?"
"Kalau aku ikut ke kotapraja, itu hanya akan membuang-
buang waktu dan tenaga. Untuk sampai ke Lembah Tengkorak
lagi pasti hari telah gelap."
"Lho, bukankah kita akan menggempur Sekar Mayang pada
waktu malam."
"Bodoh!" olok Suropati sambil nyengir. "Bila aku tinggal di
sini, akan banyak kesempatan untuk membebaskan
lngkanputri dari pengaruh sihir. Itu berarti mengurangi
kekuatan Sekar Mayang."
"Kalau begitu kita berbagi tugas. Kau membebaskan
lngkanputri, dan aku menemui Kapi Anggara."
"Satu pesanku, karena kau belum sembuh benar dari luka
dalammu, tempuhlah perjalanan dengan berkuda," kata
Suropati.
Raka Maruta mengangguk.
"Mudah-mudahan usaha kita tak menemui halangan...,"
ucap pemuda itu.
Kemudian, pemuda berwajah lembut itu melangkah keluar
dari gua, menembus cahaya mentari yang telah memayungi
kepala.
Suropati langsung duduk bersila untuk bersemadi Ia
hendak mengumpulkan kekuatan yang telah terkuras saat
bertempur melawan Ingkanputri Tanpa terasa malam telah
tiba. Gelap menerpa. Lembah Tengkorak tampak angker
ketika angin berhembus seperti nyanyian iblis yang
berkumandang di angkasa.
Sebenarnya untuk mencari seseorang rit lembah itu tidak
mudah. Selain luas juga banyak goa yang bisa digunakan
sebagai tempat persembunyian. Namun, bagi Suropati, hal itu
tidak terlalu menyulitkan, dia mempunyai ilmu penglihatan
yang sanggup menembus gelap dan tebalnya tebing.
"Ingkanputri tentu berada di dalam gua sebelah sana...,"
ujar Pengemis Binal dalam hati. "Tapi, di mana Sekar
Mayang?"
Untuk beberapa saat, remaja konyol itu diliputi keraguan.
Hanya karena tekad yang bulatlah akhirnya dia melanjfJtkan
langkah.
"Mudah-mudahan aku tidak kepergok wanita iblis itu
sebelum Raka Maruta dan Kapi Anggara datang...," harapnya
kepada diri sendiri.
Sebentar kemudian Suropati telah berada di ambang gua.
Dengan langkah halus yang mempergunakan ilmu
meringankan tubuh, remaja konyol itu berjalan memasuki gua.
Kegelapan yang hitam pekat langsung menyergapnya.
Walaupun mata lahir Suropati tak dapat melihat apa-apa, tapi
mata batinnya sedang bekerja.
Dia segera berjalan mengikuti petunjuk yang
didapatkannya. Tak lama kemudian, Suropati telah
mendapatkan tubuh Ingkanputri yang terbaring di atas batu
besar.
"Kalau mendengar desah napasnya, dia pasti sedang tidur.
Tapi, apakah dia hanya berpura-pura?" Suropati diliputi
keraguan. "Ah, persetan dengan semua itu. Mumpung ada
kesempatan Aku harus bertindak cepat!"
Dalam gelap, tubuh remaja konyol itu melayang. Hendak
dilancarkannya totokan ke dada kiri lngkanputri. Tak ada
reaksi apa-apa dari murid Dewi Tangan Api itu. Totokan
Suropati tepat mengenai sasaran. Kemudian, dengan bebas
dia melancarkan totokan ke bagian-bagian tubuh lainnya.
Dibopongnya tubuh lngkanputri keluar gua.
"Kenapa aku begitu mudah mendapatkan gadis ini?"
gumam remaja konyol itu. "Apakah ini bukan jebakan?"
Suropati tak sempat berpikir lebih panjang lagi ketika
terdengar suara tawa berkepanjangan. Bersamaan dengan itu,
bola api merah membara meluncur ke arahnya!
"Uts...!"
Suropati meloncat. Tapi bola api itu berbelok arah dan
menghantam punggung!
Tubuh Pengemis Binal melenting ke atas. Remaja konyol itu
jadi terkejut setengah mati waktu merasakan tubuhnya tidak
segera mendarat ke permukaan tanah, namun terus meluncur
ke bawah.
Sadarlah Suropati kalau dia telah terperosok ke dalam
lubang jebakan....
Sambil terus mendekap tubuh Ingkanputri, Suropati
berusaha mencapai dinding lorong. Tangan kanannya
dikepalkan lalu dilontarkan ke depan!
Bluuusss...!
Pergelangan tangan kanan Pengemis Binal menancap di
dinding lorong yang berupa tanah padas hingga sebatas siku.
Terdengar jerit tertahan ketika tangan remaja konyol itu
terhentak keras waktu menahan luncuran tubuhnya. Karena
kekuatan tenaga dalam yang sudah mendekati sempurna
Suropati tak mengalami cidera.
Blus...!
Blus...!
Suropati menancapkan ujung telapak kaki kanan dan
kirinya secara bergantian. Dengan cara Itu dia merayap naik.
Selagi remaja konyol itu beranjak tiga tombak dari
kedudukan semula, mendadak dinding lorong yang tertancapi
ujung telapak kaki kirinya ambrol!
Tubuh Pengemis Binal kembali meluncur ke bawah. Remaja
konyol itu segera menghentikan luncuran tubuhnya dengan
menancapkan pergelangan tangan kanan ke dinding lorong,
seperti yang pertama dia lakukan.
Pada saat tubuh Suropati masih menggantung, tiba-tiba
lngkanputri menggeliat. Tentu saja Pengemis Binal terkejut.
Totokan yang dilancarkan ke tubuh gadis itu tak akan lepas
sebegitu cepat.
Suropati tak pernah menyangka kalau lngkanputri
mempunyai ilmu 'Pemencar Jalan Darah' yang dapat
memindah-mindahkan pusat aliran darah, hingga membuat
gadis itu tak mempan di totok. Dan, apa yang sedang
dilakukan lngkanputri dengan berpura-pura tak berdaya
adalah sebagian dari tipu muslihat Sekar Mayang.
Kini murid Dewi Tangan Api itu melayangkan kepalan
tangan kanannya, menggedor dada Pengemis Binal!
Dheeesss...!
"Arghhh...!"
Suropati memuntahkan darah segar. Tubuhnya terayun-
ayun. Namun, dia berusaha sekuat tenaga untuk menahan
pergelangan tangan kanannya yang menancap rji dinding
lorong. Demikian pula dengan tangan kirinya yang mendekap
tubuh lngkanputri.
"Kenapa kau memukulku?" tanya remaja konyol itu sambil
menahan rasa sakit dalam dadanya.
Tak ada kata-kata yang keluar dari mulut lngkanputri.
Dalam kegelapan tiba-tiba mata gadis itu bersinar merah.
Bersamaan dengan itu, tangan kanannya telah membara dan
memancarkan hawa panas. Siap dihantamkan ke kepala
Suropati!
"Sadarlah, Putri! Aku Suropati!" teriak Suropati dengan
mata mendelik.
Ingkanputri mendengus. Mendadak gadis itu Jadi ragu.
Walaupun dia berada di bawah pengaruh sihir, tapi hati
Ingkanputri jadi terpuruk dalam kebimbangan saat mendengar
teriakan orang yang sangat dicintainya itu.
"Aku Suropati, Putri. Aku berusaha menolongmu...," kata
Suropati lagi mencoba menyadarkan Ingkanputri.
Mendengar itu, Ingkanputri menggeleng-gelengkan kepala.
Telinganya mendengar perintah untuk segera menjatuhkan
tangan maut ke tubuh Suropati. Kebimbangan dalam hati
gadis itu akhirnya lenyap. Dengan menggeram keras,
Ingkanputri mengayunkan kepalan tangannya ke kepala
Pengemis Binal.
Malaikat Kematian benar-benar telah mengintai nyawa
remaja konyol itu. Suropati pun panik, karena tak melihat
jalan lain untuk melepaskan diri dari maut, dia melepas tangan
kirinya yang mendekap tubuh Ingkanputri!
"Aaa...!"
"Putri!"
Jerit panjang Ingkanputri dibarengi teriakan Suropati.
Namun, hal itu tak menghalangi tubuh Ingkanputri yang
meluncur deras jatuh ke dasar lorong.
"Putri...," gumam Pengemis Binal dengan keharuan yang
sangat. "Maafkan aku. Aku tidak bermaksud
mencelakakanmu."
Untuk beberapa lama, tubuh Suropati menggantung di
dinding lorong. Pikiran remaja konyol itu sedang kalut karena
rasa sesak dalam dadanya.
Huk...!
Tiba-tiba Suropati tersedak. Dari hidungnya mengalir darah
segar akibat pukulan lngkanputri yang bersarang tepat di dada
remaja konyol itu. Dan, karena Suropati teringat akan
kewajibannya untuk melenyapkan Sekar Mayang, dia pun
berusaha merayap naik.
Keringat membanjir di tubuh remaja konyol itu. Dengan
menggigit bibir kuat-kuat, dia berusaha menghalau rasa sakit
yang menghunjam dadanya. Sedikit demi sedikit Suropati
semakin mendekati mulut lorong.
***
Di luar, cahaya rembulan masih setia menemani malam
Dari kejauhan tampak dua ekor kuda dipacu dengan cepat
"Heaaa...!"
"Heaaa...!"
Raka Maruta dan Kapi Anggara berteriak tak sabaran.
"Kita harus secepatnya mencapai Lembah Tengkorak!"
teriak Raka Maruta. "Aku takut terjadi sesuatu terhadap
Suropati!"
"Aku juga sudah tak sabar untuk segera im-leiiyapkan
Sekar Mayang. Baginda Prabu menjanjikan jabatan tinggi bila
aku dapat mempersembahkan kepala wanita iblis itu."
Mereka pun memacu kudanya semakin cepat. Kuda yang
mereka tunggangi adalah kuda pilihan yang bertenaga besar.
Larinya bagai lontaran anak panah.
Sebentar kemudian Raka Maruta dan Kapi Anggara telah
sampai di tempat yang dituju. Setelah mengikat tali kuda pada
tongkat kayu, mereka segera mengitari lembah. Tapi, mereka
tak menemukan orang yang dicari.
"Di mana kira-kira wanita iblis itu berada?" tanya Kapi
Anggara.
"Entahlan. Suropati pun tak kita temukan," jawab Raka
Maruta.
"Mungkinkah mereka sedang bertempur di dalam gua?"
"Tidak mungkin. Kita tidak mendengar suara pertempuran.
Dan lagi, Suropati tentu menghindari bentrokan dengan Sekar
Mayang sebelum kehadiran kita."
"Sebaiknya kita periksa setiap gua." "Jangan! Hal itu sangat
berbahaya!" "Lalu, bagaimana?"
"Kita pancing Sekar Mayang untuk keluar dari tempat
persembunyiannya."
"Kalau begitu, kau segera menyingkirlah...."
Raka Maruta menuruti perintah Kapi Anggara. Pemuda itu
cepat berlalu dari tempat itu.
Kapi Anggara mencabut sehelai daun ilalang yang tumbuh
tak seberapa banyak. Kemudian, pemuda tampan itu duduk
bersila di tanah datar yang agak luas.
Daun ilalang yang telah dipotongnya menjadi sejengkal
segera didekatkan ke bibir. Dengan tiupan yang disertai
tenaga dalam, terdengarlah alunan irama merdu
mengangkasa di seluruh permukaan Lembah Tengkorak.
Untuk beberapa lama irama merdu itu terus mengalun. Dan
ketika berhenti, mulut Kapi Anggara mengalunkan tembang...
Sedih yang mendalam timbul dan' rasa sesal Sesal muncul
dan dorongan rasa salah Salah adalah pelencengan arah
Akibat perbuatan yang khilaf-lupa Oh, juuMa batiku....
Penyesalan begitu mencengkeram kalbu Pilu menggelut
keinginan untuk bertemu Apakah rindu ini akan terhempas
sendu? Sesaat setelah tembang itu usai dilantunkan, sesosok
bayangan hitam berkelebat dan berdiri tepat tiga tombak di
hadapan Kapi Anggara.
"Sekar Mayang...," kata pemuda tampan itu dengan suara
lirih seperti menyimpan rasa haru "Aku merindukanmu."
Penghimpun Angkara mendengus. "Jahanam! Tak perlu kau
mengiba di hadapanku!" kata wanita buntung itu dengan
suara lantang. "Kau mengkhianati cintaku. Kesalahanmu
hanya dapat ditebus dengan kematian!"
"Tidakkah kau memberi kesempatan padaku untuk
memperbaiki kesalahan?"
"Tidak! Aku sudah tak mengharapkan kehadiranmu. Cinta
di hatiku telah berubah jadi dendam membara yang tak akan
terpadamkan, kecuali oleh nyawamu!"
Mendengar perkataan Sekar Mayang yang menyerupai
ancaman iblis haus darah, Kapi Anggara terhenyak. Namun,
dia menggeser duduknya lebih dekat.
"Aku benar-benar menyesali perbuatanku, Mayang...," rayu
pemuda itu. "Aku manusia. Aku bisa khilaf. Dan,
kedatanganku ini adalah untuk menebus kekhilafanku itu."
"Ha-ha-ha...!" Penghimpun Angkara tertawa terbahak-
bahak. "Sudah kubilang, untuk menebus kesalahanmu
hanyalah dengan kematian!"
Usai mengucapkan kalimatnya, wanita buntung itu
menggerakkan tangan tunggalnya dengan pengerahan tenaga
dalam penuh.
"Tunggu, Mayang!" teriak Kapi Anggara.
"Apakah kau meminta waktu untuk memanjatkan doa
sebelum Malaikat Kematian menjemputmu?!" tanya Sekar
Mayang dengan mata mendelik.
"Bukankah kau pemah bercita-cita untuk menjadi tokoh
nomor satu di rimba persilatan, Mayang? Kau akan dapat
mewujudkannya bila aku membantumu...."
"Ha-ha-ha...!" Penghimpun Angkara kembali tertawa
terbahak-bahak. "Kau bisa apa, Kapi Anggara?! Kepandaianmu
hanya merayu wanita!"
"Tapi cintaku kepadamu tulus, Mayang. Aku rela melakukan
apa saja untukmu. Aku merindukanmu...."
Tiba-tiba pemuda tampan itu menunduk sambil mendekap
wajahnya.
"Aku mencintaimu, Mayang...," ujar Kapi Anggara dengan
kepala tengadah kembali. Ditatapnya Penghimpun Angkara
dengan penuh permohonan. Perlahan-lahan mata Kapi
Anggara meneteskan mutiara bening.
"Air mata buaya!" umpat Sekar Mayang seraya
menggerakkan tangan tunggalnya untuk segera menjatuhkan
tangan maut.
Melihat itu, Kapi Aanggara tertunduk lesu. Dia pun tampak
pasrah untuk menerima kematian
Sesaat Penghimpun Angkara menatap tubuh si Pendekar
Asmara. Lalu, tangan tunggalnya menghentak ke depan!
Wuuusss...!
Sekar Mayang benar-benar melancarkan pukulan jarak
jauhnya. Debu mengepul tebal. Bebatuan pun berpentalan.
Tubuh Kapi Anggara terlontar dan bergulingan sejauh lima
tombak. Tapi, dia tak mengalami cidera yang berarti. Pukulan
jarak jauh Penghimpun Angkara hanya menerpa permukaan
tanah di depannya.
"Kau tidak membunuhku, Mayang?" tanya pemuda tampan
itu seraya bangkit, Ulu berj.il.in mendekati Penghimpun
Angkara.
Sekar Mayang hanya menatap, tanpa berbuat apa-apa
ketika si Pendekar Asmara memeluk tu buhnya dengan erat
seraya mendaratkan ciuman ganas....
Penghimpun Angkara membalas ciuman Kapi Anggara. Bibir
mereka saling pagut. Tak lama kemudian, rubuh dua anak
manusia itu menggelo-sor ke tanah.
"Aku mencintaimu, Mayang...."
"Oh, Anggara.... Aku pun mencintaimu...."
Mendengar itu, si Pendekar Asmara semakin ganas
mendaratkan ciuman di bibir Sekar Mayang. Perlahan-lahan
tangan pemuda tampan itu menggerayang, dan berusaha
melepas baju Sekar Mayang.
"Aku mencintaimu, Anggara...," bisik Sekar Mayang. "Uh!
Jangan buka bajuku. Aku malu. Tanganku buntung...."
"Ah, cintaku kepadamu tulus, Mayang. Bagaimanapun
keadaanmu, aku bisa menerima," ujar Kapi Anggara.
Tangan Kapi Anggara bergerak cepat melepas seluruh
pakaian wanita yang berada dalam dekapannya itu. Akhirnya,
tubuh telanjang dua anak manusia itu menyatu seperti tak
dapat dipisahkan lagi.
Rembulan terus menyiramkan cahayanya. Bintang-bintang
berkedip, memamerkan sinar kebiruan. Angin berhembus
mengundang hawa dingin.
Dari balik batu besar Raka Maruta mengintip adegan yang
dilakukan Kapi Anggara dan Sekar Mayang
"Uh! Mereka membuatku jadi iri saja," kata hati pemuda
berwajah lembut itu.
Raka Maruta memandang tanpa berkedip. Tiba-tiba,
napasnya jadi memburu. Namun, mendadak dia melonjak
waktu kepalanya tertimba sebutir kerikil yang dilontarkan
dengan keras.
"Hei! Apa yang sedang kau lakukan?" Raka Maruta menoleh
ke belakang. Ketika dilihatnya Suropati telah hadir di tempat
itu, dia pun mengumpat-umpat tak karuan.
"Hus! Jangan keras-keras!" kata Pengemis Binal. "Aku
sedang mencari tempat yang leluasa untuk mengintip adegan
panas itu."
Remaja konyol itu lalu mendorong rubuh Raka Maruta.
Kemudian, melongokkan kepalanya di samping batu besar.
"Minggir, kau!" kata Raka Maruta seraya meraih tubuh
Suropati dan menghempaskannya.
Selagi mereka berkutat untuk memperebutkan tempat
mengintip, tiba-tiba terdengar jerit kesakitan yang sangat
menggiriskan. Suropati dan Raka Maruta terkejut. Keduanya
bergegas meloncat ke atas batu, berusaha melihat apa
sesungguhnya yang telah terjadi.
Mereka pun jadi bergidik ngeri. Tubuh telanjang Sekar
Mayang tampak menggelepar di atas tanah dengan bersimbah
darah. Tak jauh darinya. Kapi
Anggara berdiri tegak dengan tangan kanan memegang
potongan pergelangan tangan.
"Bangsat...!" umpat Penghimpun Angkara seraya
melentingkan tubuhnya. Terlihatlah tangan tunggal wanita itu
telah tanggal sampai ke pangkalnya.
"Iblis neraka akan segera mencabik-cabik tubuhmu,
Anggara!" kata Penghimpun Angkara dengan dengusan napas
bagai banteng marah.
Mendadak wanita iblis itu menghentakkan kakinya ke tanah
dua kali. Dan...
Slash...!
Muncul asap tipis di hadapannya. Seiring dengan dengus
kemarahan Sekar Mayang, asap itu membumbung semakin
tebal. Didahului suara letupan kecil
Blab...!
Asap itu lenyap dan menghadirkan dua sosok manusia
berwujud mengerikan. Mereka adalah Iblis Darah dan Setan
Racun.
"Lenyapkan Manusia Busuk itu!" perintah Penghimpun
Angkara dengan suara yang angker.
Sepasang Abdi Penghimpun Angkara pun langsung
menerjang Kapi Anggara!
"Aku akan membantumu, Anggara!" teriak Raka Maruta
seraya meloncat dari tempatnya berdiri.
Suropati yang menyaksikan peristiwa itu sesaat cuma
berdiri terpaku di tempatnya.
"Uh! Aku harus bertempur melawan siapa?" kata pemuda
itu sambil garuk-garuk kepala. "Apakah aku harus menyerang
Sekar Mayang yang berdiri telanjang? Ih! Malu, ah!"
Remaja konyol itu menggaruk-garuk kepalanya semakin
keras. Tapi, akhirnya dia pun melesatkan tubuhnya dan
menerjang Penghimpun Angkara!
***
Iblis Darah menyerang Kapi Anggara dengan hebatnya.
Sambil menggeram-geram dan meneteskan cairan darah dari
mulutnya, manusia setengah iblis itu berusaha menyarangkan
pukulan yang mematikan.
Wuuusss...!
Angin pukulan yang sanggup menerbangkan seekor gajah
menerpa tubuh Kapi Anggara. Tapi, pemuda tampan itu telah
menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Angin pukulan
Iblis Darah membentur cahaya kekuning-kuningan, hingga
menimbulkan ledakan dahsyat!
Belum sempat si Pendekar Asmara memperbaiki kedudukan
kakinya yang goyah. Iblis Darah telah mencecarnya dengan
serangan- serangan berbahaya.
"Keparat!" umpat pemuda tampan itu. "Beri aku
kesempatan untuk mengenakan bajuku, Bangsat!"
Tentu saja Iblis Darah tak mau mendengarkan kata-kata
itu. Dia bahkan menyerang lebih ganas.
Tapi, mendadak tubuh Kapi Anggara berputar cepat dalam
jurus 'Putaran Beliung'-nya. Lalu, meluncur deras ke arah Iblis
Darah!
Zebs...!
Dada manusia setengah iblis itu tertembus kepalan tangan
si Pendekar Asmara.
Kapi Anggara meloncat mundur sewaktu tangan kanan Iblis
Darah berusaha mengemplang kepalanya. Iblis Darah
menyeringai dingin melihat serangannya gagal. Tubuh
manusia setengah iblis itu berdiri tegak seperti tak pernah
mengalami suatu apa. Padahal, kepalan tangan si Pendekar
Asmara benar-benar menembus dadanya. Cairan darah yang
melumuri tangan pemuda tampan itu pun masih basah.
Sesaat Kapi Anggara diliputi keterkejutan. Tapi, dia segera
tersenyum senang waktu melihat celananya tergeletak di
tanah tak jauh darinya.
"Kau jangan serang aku dulu!" kata pemuda tampan itu ke
konyol-konyolan. Diraihnya celananya kemudian dikenakan.
Mendadak....
Wuuusss...!
Angin pukulan menghempas ke arah si Pendekar Asmara
yang belum memakai celananya dengan benar.
"Bangsat..!"umpat pemuda tampan itu seraya melesatkan
tubuhnya ke atas sambil membenarkan letak celananya.
Pertempuran antara Iblis Darah dengan Kapi Anggara pun
berlangsung semakin seru. Tapi, kali ini Iblis Darah
mengeluarkan jurus-jurus yang tampak aneh. Tubuhnya pun
mengepulkan asap kehitaman yang mengaburkan pandangan.
Si Pendekar Asmara dibuat kerepotan. Hinga akhirnya....
Dada Kapi Anggara berhasil digedor. Dan pemuda tampan itu
memuntahkan darah segar.
Melihat lawan telah terluka, Iblis Darah semakin ganas
melancarkan serangan. Si Pendekar Asmara sampai berkali-
kali terhempas ke tanah, terkena pukulan dan tendangan.
Sementara itu Raka Maruta yang tengah bertempur
melawan Setan Racun juga tampak keteter. Pemuda berwajah
lembut itu telah menghirup uap beracun yang menyembur dari
mulut lawannya. Dhuk..!
Raka Maruta yang sebenarnya masih belum sembuh benar
dari luka dalamnya, menggelosor ke tanah akibat sodokan siku
Setan Racun.
Pandangan Raka Maruta yang telah kabur menjadi semakin
kabur. Baju yang dikenakannya pun telah basah bersimbah
darah.
Dengan sisa-sisa kemampuannya, pemuda berwajah
lembut iba mencoba untuk bertahan.
Hanya pertempuran antara Suropati melawan Sekar
Mayang yang tampak seimbang. Pengemis Binal menyerang
wanita tanpa lengan itu dengan . jurus 'Pengemis Menebah
Dada.' Kedua telapak taT ngan Suropati mengibas-ngibas,
menimbulkan deru angin dahsyat. Lalu, sebuah gerak tipu
dilancarkan.
Tubuh Pengemis Binal meluncur cepat dengan telapak
tangan kanan diluruskan ke depan!
Sekar Mayang memiringkan tubuhnya. Mendadak tangan
kiri Suropati menyampok. Penghimpun Angkara pun meloncat
tinggi-tinggi. Tapi tubuh Suropati telah melenting, mendahului
lawan seraya melancarkan sebuah tendangan!
Des...!
Tubuh Sekar Mayang terhempas ke tanah karena
punggungnya kena hantaman dengan telak.
Tapi, suatu keanehan terjadi. Tubuh Pengemis Binal ikut
terhempas ke tanah sambil mendekap dadanya yang terasa
panas bagai terbakar.
Rupanya, remaja konyol itu tak menyangka ketika dia
melancarkan tendangan, mata Penghimpun Angkara
memancarkan cahaya rnerah yang dengan telak menerpa
dadanya.
Namun, karena tenaga dalam mereka sudah demikian
tinggi, keduanya segera dapat bangkit kembali.
"Segera kau pakai bajumu, Goblok! Aku malu melihat tubuh
telanjangmu! "kata Pengemis Binal. "Oh ya, aku lupa kalau
kau sudah tak mempunyai tangan. Bagaimana kalau aku
menolongmu untuk mengenakan bajumu kembali?" godanya
kemudian.
Sekar Mayang tak mempedulikan ucapan remaja konyol itu.
Wanita yang sudah dirasuki nafsu iblis tersebut kembali
menerjang!
Suropati pun balas menerjang dengan tak kalah hebatnya.
Pertempuran dahsyat segera berlangsung lebih menggiriskan.
Penghimpun Angkara meskipun tanpa lengan, tapi masih
dapat menunjukkan ketangguhannya. Dengan mengandalkan
kecepatan gerak kedua kaki, dia mencecar tubuh Suropati
dengan serangan-serangan mematikan!
Des...!
Tubuh Suropati terlontar karena pinggangnya telah menjadi
sasaran.
Penghimpun Angkara menatap tubuh Pengemis Binal
bergulingan di tanah. Tiba-tiba mata wanita tanpa lengan itu
bersinar aneh. Dia rupanya tengah berusaha menghimpun
kekuatan ilmu 'Cahaya Sesaf-nya. Tubuh Sekar Mayang
terlihat U'rqi't,ir keras.
Sumpal) yang sudah bisa menguasai keadaan dirinya
Acyfrm menyatukan dua telunjuk jarinya di depan dada. Ketika
tubuh remaja konyol itu bergetar, dari kepalanya mengepul
asap tipis.
Slash...!
Seberkas cahaya merah keluar dari mulut Penghimpun
Angkara, meluncur ke arah Pengemis Binal yang masih
berusaha mengerahkan ilmu andalannya. Tiba-tiba....
Wuuusss...!
Tubuh Suropati meluncur, dan menembus cahaya merah
yang menghunjam ke arahnya. Pengemis Binal melancarkan
ilmu totokan 'Delapan Belas Tapak Dewa'! Tapi mendadak
tubuh remaja konyol
Itu terhempas ke tanah, dan tak bergerak-gerak lagi. "Ha-
ha-ha...!"
Tawa Sekar Mayang langsung membahana di angkasa.
Suaranya menyebar ke seluruh permukaan Lembah
Tengkorak. Namun, secara tiba-tiba pun tawa wanita tanpa
lengan itu terhenti. Tubuhnya tampak berdiri limbung. Lalu....
Dari delapan belas pusat aliran darah di tubuh Penghimpun
Angkara memancar cairan kental berwarna merah.
Blaaarrr...!
Tubuh wanita tanpa lengan itu meledak, menimbulkan bau
amis yang menusuk lubang hidung.
Bersamaan dengan itu, Iblis Darah dan Setan Racun yang
sedang berusaha menjatuhkan tangan maut kepada Kapi
Anggara dan Raka Maruta, mendadak lenyap dengan
meninggalkan asap bergulung-gulung.
Tubuh Kapi Anggara dan Raka Maruta yang sama-sama
terluka parah menggelosor ke tanah. Untuk beberapa saat
mereka tak bergerak-gerak.
Kapi Anggara-lah yang terlebih dahulu bangkit. Dengan
susah-payah dia berjalan menghampiri Raka Maruta. •
"Kau... kau terluka, Maruta?" tanya si Pendekar Asmara
terbata-bata.
Yang ditanya tak segera memberikan jawaban. Dia hanya
mengaduh. Lalu, mencoba bangkit berdiri.
"Di mana Suropati?" kata Raka Maruta seraya berjalan
dengan tubuh terhuyung-huyung.
Dia berjalan sambil menjulurkan kedua tangan ke depan.
Matanya mendelik, tapi hanya bayang-bayang hitamlah yang
dia lihat. Uap racun yang menyembur dari Setan Racun telah
mempengaruhi Indera penglihatan pemuda berwajah lembut
itu.
Keadaan Raka Maruta memang tampak mengenaskan.
Pakaiannya yang semula berwarna kuning telah pudar,
berganti warna merah-hitam karena lumuran darah bercampur
debu. Wajah dan rambutnya pun demikian halnya.
"Di mana Suropati?" tanya pendekar muda itu lagi dengan
suara lirih.
"Dia di sini...," jawab Kapi Anggara yang juga dalam
keadaan tak kalah mengenaskan. Pemuda tampan itu duduk di
sisi rubuh Suropati yang tergeletak di tanah.
Dengan susah-payah, Raka Maruta menghampiri. Setelah
duduk di dekat Kapi Anggara, dia menempelkan telapak
tangan kanannya ke dada Pengemis Binal.
"Detak jantungnya telah berhenti!" desis Raka Maruta
penuh kejutan." "Hembusan napasnya pun telah tiada."
"Dia telah mati...," gumam Kapi Anggara dengan
menyimpan kedukaan.
"Tidak. Suhu badannya masih normal," bantah Raka
Maruta.
Mendengar itu, Kapi Anggara menempelkan punggung
telapak tangannya ke dahi Suropati. "Kita harus cepat-cepat
pergi dari lembah ini sebelum matahari terbit. Selain jamur-
jamur akan mengeluarkan asap beracun, kita pun harus
selekasnya menolong Suropati...."
Tak lama kemudian, Kapi Anggara dan Raka Maruta
berjalan sambil membopong tubuh Pengemis Binal. Langkah
mereka sangat lambat. Berkali-kali jatuh ke tanah, karena dua
pendekar muda itu pun sebenarnya telah terluka dalam sangat
parah.
"Kita ke mana? tanya Kapi Anggara.
"Mencari si Wajah Merah," jawab Raka Maruta.
"Dalam keadaan seperti ini sanggupkah kita melakukan
perjalanan jauh?"
"Tenanglah. Yang penting kita pergi dari Lembah
Tengkorak dulu. Setelah itu, aku akan meminta pertolongan
Wajah Merah dengan panggilan batin," sahut Raka Maruta
menenangkan .
Dua pendekar muda itu tak berkata-kata lagi. Mereka
berjalan semakin jauh sambil membopong tubuh Suropati.
Ketika matahari telah terbit di ufuk timur, mereka telah keluar
dari Lembah Tengkorak.
***
Sementara itu, seorang gadis cantik berpakaian putih-
kuning tampak sedang berlari-lari kecil keluar dari kotapraja.
Wajah gadis itu membiaskan kesedihan yang dalam. Tapi,
sesekali dia menyunggingkan senyum di bibir.
"Maafkan aku, Suro...," kata gadis itu, yang tak lain Dewi
Ikata. "Ih! Kau nakal, sih! Tapi, aku senang, kok. Ha-ha-ha...."
Mendadak gadis cantik itu tertawa terbahak-bahak. Lalu,
tersenyum-senyum seorang diri, dan berkata-kata tak habis-
habisnya.
Rupanya putri Adipati Danubraja itu mengalami guncangan
jiwa akibat rasa sesal yang dalam. Pertemuannya dengan
Suropati, kekasihnya, pada saat yang tak terduga di belakang
istana kerajaan benar-benar menghantui jalan pikirannya.
Sambil terus tersenyum-senyum dan berkata-kata seorang
diri, gadis itu berjalan tak tentu arah.
Bagaimanakah nasib gadis cantik itu?
Ikuti kelanjutan kisah ini dalam episode : MALAIKAT
BANGAU SAKTI
SELESAI