Pengemis Binal 02 - Kemelut Kadipaten Bumiraksa(1)


 

KEMELUT KADIPATEN BUMIRAKSA


Serial Pengemis Binal
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cover oleh Henky
Penyunting: Puji S,
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
 Serial Pengemis Binal 
dalam episode: 
Kemelut Kadipaten Bumiraksa
128 hal.




1

Tubuh Suropati terbujur di samping jenazah
gurunya. Setelah menggeliat kecil, tubuh murid Pe-
riang Bertangan Lembut itu tak bergerak-gerak lagi.
Banjaranpati yang bergelar Bayangan Putih Da-
ri Selatan memandang penuh rasa iba. Pengalamannya
selama puluhan tahun berkecimpung di rimba persila-
tan, mengisyaratkan bahwa di dalam tubuh murid si
Periang Bertangan Lembut telah bersarang racun ga-
nas yang akan menjalar bila tersentuh.
Sambil menghembuskan napas panjang,
Bayangan Putih Dari Selatan mengeluarkan sebutir
obat pulung dari balik bajunya. Kemudian dilontar-
kannya obat itu ke mulut Suropati yang sedikit terbu-
ka.
Remaja berpakaian penuh tambalan itu meng-
geliat merasakan jalan napasnya tersedak.
"Uuuhhh.... Apa yang terjadi?" keluh Suropati
seraya membuka matanya. "Kenapa tubuhku terasa
sangat panas...?"
"Tenanglah, Suro...," ujar Bayangan Putih Dari
Selatan, lembut. "Obat pemunah racun yang kau telan
sedang bekerja."
Tiba-tiba Suropati yang oleh teman-temannya
dijuluki Pengemis Binal mengerang. Dia mencoba me-
rangkak bangkit.
"Di mana Kakek Periang Bertangan Lembut...?"
tanya Pengemis Binal
"Dia berada di sampingmu, Suro...," jawab
Bayangan Putih Dari Selatan.
Suropati langsung menajamkan penglihatan-
nya. Ketika tatapan matanya tertuju pada tubuh gu-

runya yang terbujur kaku, dia jatuh terjengkang.
Sementara Anjarweni dan Ingkanputri yang dari
tadi hanya diam, mencoba memberi pertolongan. Tapi
tindakan mereka cepat dicegah oleh Bayangan Putih
Dari Selatan
"Jangan sentuh tubuhnya...," ujar kakek ber-
pakaian serba putih itu. Lalu, tatapan matanya tertuju
pada Suropati. "Kau belum terbebas dari pengaruh ra-
cun, Suro. Cobalah duduk bersila. Dan, kumpulkan
seluruh hawa murnimu...."
Suropati segera menuruti nasihat Bayangan
Putih Dari Selatan. Dengan susah payah dia berusaha
bangkit, tapi gagal. Tubuhnya terjungkal dibarengi
erangan kesakitan.
Mendadak Ingkanputri meloncat, berusaha
membantu Suropati. Namun Bayangan Putih Dari Se-
latan cepat menggerakkan tangannya.
Wuuusss...!
Serangkaian angin pukulan mendorong tubuh
gadis belia itu, hingga mundur beberapa tindak. 
"Sudah kubilang, jangan sentuh tubuhnya! Ra-
cun itu sangat ganas dan mudah menjalar...," tegas
Bayangan Putih Dari Selatan, memberi peringatan.  
Ingkanputri pun terdiam. Kemudian tubuhnya
bergeser, mendekati kakak seperguruannya.
Pengemis Binal terus berusaha untuk dapat
duduk bersila. Karena kemauannya keras, akhirnya
dia pun dapat menuruti nasihat Bayangan Putih Dari
Selatan.
Mata murid si Periang Bertangan Lembut terpe-
jam rapat. Tubuhnya bergetar hebat. Perlahan-lahan
dari kepalanya mengepul asap tipis. Dan tak lama ke-
mudian....
"Uoookkk...!"

Darah berwarna kehitam-hitaman langsung
menyembur dari mulut Suropati, membasahi rumput.
Sungguh dahsyat! Tiba-tiba rumput itu layu dan men-
gering! Itulah keganasan racun timbul dari kekuatan
ilmu 'Batu Kumala Hitam' yang dimiliki Brajadenta
alias si Dewa Maut.
Ketika Suropati melancarkan ilmu totokan
'Delapan Belas Tapak Dewa' saat bertempur melawan
tokoh sesat sakti itu, mau tak mau ujung jarinya me-
nyentuh tubuh si Dewa Maut. Dan tanpa disadari, ra-
cun yang timbul dari kekuatan ilmu 'Batu Kumala Hi-
tam' mengalir ke dalam tubuhnya.
"Uuuhhh...!"
Sambil mengerang, Suropati membuka ma-
tanya. Kini jenazah si Periang Bertangan Lembut ter-
pampang dl hadapannya.
"Maafkan aku, Guru...," desah remaja berusia
tujuh belas tahun itu perlahan sambil mendekati jena-
zah gurunya.
Setelah mengumpulkan semangatnya, Penge-
mis Binal memanggul jenazah Periang Bertangan Lem-
but. Seketika tubuhnya berkelebat, menuruni lereng
Bukit Parahyangan. Sama sekali tak dihiraukannya ke-
tiga orang yang terus memperhatikan gerak-geriknya.
Ketika Anjarweni dan Ingkanputri berjalan
hendak mengikuti, langkah kaki mereka ditahan oleh
suara Bayangan Putih Dari Selatan.
"Biarkan Suropati dalam kesendiriannya. Wa-
laupun sikapnya tampak konyol, tapi sesungguhnya
dia sedang berduka. Kematian gurunya sangat memu-
kul jiwanya...," ujar Bayangan Putih Dari Selatan.
Setelah mengucapkan kalimat itu, Bayangan
Putih Dari Selatan berkelebat lenyap.
Anjarweni dan Ingkanputri saling berpandan-

gan. Kemudian mereka juga berkelebat menghilang da-
ri tempat ini.
Namun sesungguhnya, Ingkanputri berlari den-
gan perasaan tak karuan. Terus terang, dia sangat in-
gin berlama-lama dekat dengan remaja yang telah ber-
hasil membalaskan dendam kesumatnya, yakni mele-
nyapkan Brajadenta atau si Dewa Maut dari muka
bumi. Gadis belia ini merasakan ada suatu kekuatan
yang menguasai segenap perasaannya untuk terus
mengingat sosok yang berjuluk Pengemis Binal. Ada
debar-debar aneh yang berkecamuk dalam hatinya se-
tiap menatap wajah remaja yang berperilaku konyol
itu. Dan, kekonyolan Suropati sama sekali tak mem-
buatnya marah. Bahkan malah membuatnya senang.
Ingkanputri tak tahu, apa yang sedang terjadi
dalam dirinya. Dia hanya dapat menerka-nerka. Jatuh
cintakah dia? Ingkanputri tak sanggup menjawabnya.
Tapi kalau tak benar apa yang dirasakan memang cin-
ta, Ingkanputri pun akan memelihara perasaannya itu.
Sebab dia menganggap Pengemis Binal patut mendapat
perasaan cintanya. Selain tampan, remaja itu juga
berkepandaian tinggi. Dia merupakan sosok yang di-
dambakan gadis belia murid Dewi Tangan Api.

***

Sementara itu setelah mendapatkan tempat
yang cocok, yakni di sebuah tanah datar agak luas,
Suropati segera menurunkan jenazah gurunya.
Untuk sesaat remaja ini bingung, dengan apa
akan membuat lubang untuk makam gurunya. Tapi
ketika matanya menatap lempengan batu selebar tela-
pak tangan, bibirnya tersenyum tipis. Segera dipun-
gutnya batu itu. Dan mulailah remaja itu menggali.

Sengatan sinar matahari sore sama sekali tak
dihiraukan Suropati. Peluh terus bergulir dari kening-
nya. Sebentar saja tubuhnya segera basah bermandi-
kan keringat.
Ketika malam hampir rebah, selesailah tugas
Suropati menggali lubang untuk makam gurunya. Se-
jenak ditatapnya lubang yang telah dibuat, kemudian
perlahan-lahan diturunkannya jenazah si Periang Ber-
tangan Lembut ke dalam persemayaman nya.
Perlahan sekali Suropati mengucapkan kata
perpisahan kepada gurunya diiringi sejuta keharuan.
Setelah hening sejenak, dikeluarkannya Kitab Delapan
Belas Tapak Dewa dari balik bajunya. Kemudian kitab
itu diremasnya hingga menjadi abu yang menaburi je-
nazah si Periang Bertangan Lembut.
Lubang segera ditutup kembali. Dan Suropati
segera mendorongkan sebongkah batu sebesar kerbau
yang kemudian ditempatkan di atas makam gurunya.
Lalu, ujung jarinya yang dilambari tenaga dalam me-
noreh tulisan:
Di sini disemayamkan si Periang Bertangan
Lembut yang meninggal sebagai ksatria pengemban tu-
gas menegakkan keadilan.

***

Pagi hari, di Kuil Saloka di kota Kadipaten Bu-
miraksa, para pengemis yang masih terlena dalam im-
piannya dikejutkan suara derap langkah kaki prajurit.
Sebentar kemudian langkah-langkah itu berhenti.
Seorang berpangkat punggawa maju beberapa
tindak sambil berkacak pinggang.
"He, para pengemis hina! Segera bangun! Dan
keluar kalian dengan tangan di atas kepala...!" teriak

punggawa yang dikenal bernama Anggaraksa.
Seorang pengemis setengah baya berjalan ke-
luar dari kuil sambil mengucak-ucak matanya.
"Oaaahhh...!" pengemis itu menguap lebar. "Ada
apa, Tuan?"
"Segera bangunkan teman-temanmu semua!"
ujar Anggaraksa, keras.
"Ah! Aku saja cukup. Kasihan mereka. Sema-
lam mereka tidak tidur karena asyik memancing ikan
di sungai...."
"Pengemis Bandel! Apa kau sudah tuli?! Cepat
bangunkan teman-temanmu...!" bentak Anggaraksa,
menampakkan kemarahannya.
"Ah! Kenapa Tuan membentak-bentak seperti
itu...? Ada urusan apa, sih...?" tanya pengemis seten-
gah baya ini sambil mengulet, melemaskan otot-
ototnya.
Melihat sikap yang tak menghormat itu Angga-
raksa mengumpat sejadi-jadinya. Kemudian tangan
kanannya terayun, menampar wajah lelaki setengah
baya itu.
Pengemis itu segera menyadari keadaan itu. La-
lu badannya cepat merunduk. 
Wuuuttt...! 
"Heh?!"
Anggaraksa terkejut melihat tamparannya
hanya mengenai angin kosong.
"Bedebah! Punya kepandaian juga kau ru-
panya, Orang Tua busuk?!" bentak Anggaraksa lagi.
Kemudian kepala prajurit itu memberi isyarat
kepada empat orang bawahannya untuk segera menge-
rubut pengemis itu.
Perkelahian pun tak bisa dihindarkan lagi. Si
pengemis yang sudah mengerti dasar-dasar ilmu silat,

tentu saja tak mudah untuk dirobohkan. Jurus-jurus
yang diajarkan mendiang si Periang Bertangan Lembut
segera dikeluarkan. (Untuk jelasnya baca serial Pen-
gemis Binal dalam episode perdana : Pengkhianatan
Dewa Maut).
Buuukkk...!
"Augkh...!"
Salah seorang bawahan Anggaraksa mengerang
kesakitan terkena tendangan pengemis itu. Terdorong
luapan amarah, rasa sakitnya tak dipedulikan. Dan dia
segera kembali menerjang.
Dengan gerakan ringan, si pengemis coba
menghindar ke samping. Namun rupanya salah seo-
rang prajurit sudah menunggu dengan satu ayunan
kaki. Dan...
Buuukkk...!
Ganti si pengemis yang mendekap perutnya
akibat terkena tendangan seorang prajurit kadipaten
yang mengeroyoknya. Tubuhnya terjajar ke samping
pintu kuil.
Namun dia cepat mengambil sebuah tongkat
yang tersandar di samping pintu.
Wuuuttt...! Wuuuttt...!
Tongkat dari dahan jambu batu itu bergerak
cepat, menyerang keempat orang pengeroyoknya. Ge-
rakan tongkat meliuk, kemudian menghunjam ke dada
salah seorang prajurit kadipaten hingga jatuh mengge-
losor ke tanah. Namun dia segera bangkit, dan lang-
sung mencabut pedang.
Dukkk...!
"Matilah kau, Gembel Busuk!" umpat pengemis
ini seraya menerjang.
Tiba-tiba.... 
"Tahan...!"

Disertai seruan keras, seorang pengemis muda
keluar dari kuil. Dia tak lain Wirogundi yang dipercaya
Pengemis Binal untuk sementara memimpin teman-
temannya. (Baca episode perdana serial ini).
Pengemis setengah baya yang melihat kedatan-
gan Wirogundi segera melompat ke samping, langsung
di hampirinya pengemis muda itu.
"Apa yang sedang terjadi, Paman Bareksi?"
tanya Wirogundi kepada pengemis setengah baya ber-
nama Bareksi.
Sebelum pengemis setengah baya itu memberi-
kan jawaban, Anggaraksa berjalan mendekati.
"Siapa yang menjadi pemimpin para pengemis
di sini?" tanya kepala prajurit itu.
Wirogundi menatap wajah Anggaraksa. Dan, dia
pun ingat peristiwa di kedai nasi, ketika kepala prajurit
itu dipermainkan Suropati.
"Kau yang menjadi pemimpin...?" tunjuk Angga-
raksa, pada Wirogundi.
Wirogundi tersenyum.
"Sebenarnya ada urusan apa sehingga Tuan
sudi berkunjung ke tempat kotor ini?" tanya pengemis
muda ini.
"Aku diperintah Gusti Adipati untuk mengusir
kalian ke luar dari Kota Kadipaten Bumiraksa...," tegas
Anggaraksa dengan keras, agar didengar para penge-
mis yang masih belum mau keluar dari kuil.
"Kenapa kami harus diusir, Tuan?" tanya Wiro-
gundi heran.
"Gusti Adipati mencium gelagat yang tak baik
dari perkumpulan pengemis," jelas Anggaraksa.
"Gelagat tak baik bagaimana, Tuan?" susul Wi-
rogundi.
Anggaraksa menatap tajam wajah Wirogundi.

"Untuk apa kalian tiap hari berlatih ilmu silat?"
tanya kepala prajurit itu, curiga.
"Oh, rupanya hal itu yang menjadi persoalan,"
desah Wirogundi tenang. "Kami berlatih ilmu silat
hanya untuk melindungi diri, Tuan."
"Bohong!" bentak Anggaraksa.
"Kami tidak bohong, Tuan. Sudah lama kami
kaum pengemis selalu ditindas orang-orang yang me-
rasa dirinya berkuasa. Untuk dapat makan kenyang
saja, kami sudah merasa kesulitan. Apalagi bila dipak-
sa tiap hari harus membayar upeti...," jelas Wirogundi.
"Oleh sebab itulah, kami merasa perlu untuk sedikit
belajar ilmu bela diri, supaya tidak mudah diperas
orang...."
"Ah! Itu hanya dalihmu saja! Akui saja bila ka-
lian ingin memberontak...!" sentak Anggaraksa sambil
mengulapkan tangannya.
Wirogundi menggelengkan kepalanya.
"Tak sedikit pun kami mempunyai maksud se-
perti yang Tuan katakan...."
"Jadi, kalian tidak mau mengaku?" tanya Ang-
garaksa penuh tekanan.
Kembali Wirogundi menggeleng.
Melihat itu, Anggaraksa segera memberikan
aba-aba kepada dua puluh orang prajurit bawahannya.
"Seret mereka keluar dari Kadipaten Bumirak-
sa...!" teriak Anggaraksa, lantang.
Sebelum para prajurit dari kadipaten itu me-
laksanakan perintah atasannya, tiba-tiba dari dalam
kuil bermunculan puluhan orang pengemis bersenja-
takan tongkat
"O.... Rupanya kalian ingin melawan...?!" cibir
Anggaraksa dengan gusar.
Lalu dengan lantang kembali kepala prajurit itu

memberi perintah kepada seluruh prajurit bawahan-
nya untuk menyerang.
Srettt...!
Kedua puluh orang prajurit kadipaten itu melo-
loskan pedang dari warangka masing-masing. 
"Serbu...!"
Sambil berteriak, mereka menggempur para
pengemis yang tampak sudah siap menanti datangnya
serangan.
Maka, pertempuran sengit pun tak bisa dihin-
dari lagi. Para prajurit kadipaten yang bersenjatakan
pedang, walaupun kalah jumlah, tapi terus menggem-
pur dengan semangat berapi-api.
Sementara para pengemis pun tak mau menga-
lah. Mereka memutar tongkat laksana baling-baling.
Dari sebentar saja, terdengar suara teriakan kesakitan.
Anggaraksa ikut merangsek, membantu anak
buahnya. Tapi serangannya segera dihadang Wirogun-
di
"Pengemis hina! Kalian semua memang mencari
mampus!" dengus Anggaraksa, penuh luapan amarah.
"Kami hanya membela hak, Tuan," kilah Wiro-
gundi. "Kami tidak mau terus ditindas...."
"Baiklah, kalau memang itu maumu. Lihat se-
rangan...!" desis Anggaraksa, seraya melompat dengan
pedang dikebutkan.
Wirogundi pun segera memutar tongkatnya.
Trang...!
Anggaraksa terkejut melihat tongkat di tangan
pengemis itu tidak patah terbabat pedangnya. Lalu
dengan kemarahan semakin meluap, dia merangsek
dengan ganas.
Wuuuttt..! Wuuuttt..!
Wirogundi berusaha menghindar dari sambaran

pedang dengan melompat ke samping. Dan secepat ki-
lat dibalasnya serangan itu. Tongkat di tangannya ber-
putar-putar membentuk perisai. Kemudian tubuhnya
meluncur deras ke arah Anggaraksa! 
Wuuuttt...!
Dengan sigap kepala prajurit itu menghindar
dengan mengegoskan tubuhnya ke kiri. Untuk semen-
tara dia pun luput dari serangan jurus 'Tongkat Me-
mukul Anjing'.
Tapi, tiba-tiba tubuh Wirogundi melenting ke
atas, setelah berputaran beberapa kali, tubuhnya
menghunjam ke arah Anggaraksa dengan tongkat
mengibas. Dan...
Dheeesss...! 
"Uhh...!"
Anggaraksa meringis merasakan sakit pada
pundak kanannya yang terkena sasaran tongkat Wiro-
gundi. Dan, pedangnya pun jatuh ke tanah.
Sementara itu, kedua puluh orang prajurit ka-
dipaten tampak keteter menghadapi para pengemis
yang bertempur bahu-membahu.
Tampak tiga orang prajurit kadipaten telah ke-
luar dari arena pertempuran dengan tulang lengan pa-
tah. Kemudian segera disusul dua orang lagi dengan
tulang kaki hampir remuk tergempur tongkat di tangan
para pengemis.
"Mundurrr...!"
Melihat pihaknya terdesak, Anggaraksa yang
sempat melirik ke arah prajuritnya segera memberi
aba-aba untuk mundur. Saat itu juga para prajurit ka-
dipaten berserabutan lari pontang-panting meninggal-
kan tempat ini.
Para pengemis Kota Kadipaten Bumiraksa yang
tinggal di Kuil Saloka yang bobrok itu bersorak-sorai

merayakan kemenangan. Tapi, wajah Wirogundi tam-
pak kusut. Dan berulang kali keluar desah dari mu-
lutnya. Entah apa yang dipikirkannya....

***

2

"Ampun, Gusti Adipati Danubraja..," ucap An-
gyaraksa memelas ketika telah menghadap Adipati
Bumiraksa untuk melaporkan kegagalannya dalam
menindak kaum  pengemis di Kuil Saloka. "Para pen-
gemis itu jumlahnya sangat banyak. Sehingga, kami
tak mampu menghadapinya.."
Adipati Bumiraksa yang bernama Danubraja
menggeram gusar.
"Kalian semua sudah sekian tahun belajar ilmu
kawiraan dan olah kanuragan, kenapa menghadapi pa-
ra pengemis saja kalian tidak mampu...?!" bentak lelaki
gagah berusia empat puluh tahun itu.
"Ampun, Gusti Adipati."
Anggaraksa berlutut di hadapan Adipati Danu-
braja. Sementara adipati itu memandang utusannya
tanpa berkedip, menyiratkan kegeraman.
"Kalian semua memang bodoh!" dengus Adipati
Danubraja menumpahkan kekesalannya, lalu melang-
kah pergi meninggalkan ruang balairung ini.
Adipati ini melangkah menuju tempat peristira-
hatannya. Begitu sampai di depan kamarnya, dia
membuka pintu dengan kasar. Sebentar saja terdengar
bantingan pintu yang cukup keras, hingga terdengar
sampai ke ruang balairung.
Adipati Danubraja berkali-kali mengepalkan

tinjunya sambil berjalan hilir-mudik tak menentu di
ruang kamar pribadinya. Seorang wanita berusia tiga
puluh delapan tahun yang sudah berada di kamar ini
segera mendekati.
"Ada apa, Kangmas?" tanya wanita cantik yang
tak lain istri Adipati Danubraja.
Karena tak mendapat jawaban, wanita ini me-
megang lengan suaminya.
Adipati Danubraja memandang sejenak wajah
istrinya. "Para pengemis di Kota Kadipaten Bumiraksa
ini, Rara Anggi. Mereka sudah gila...!" desis adipati itu
dengan gigi gemeretuk.
"Ada apa dengan para pengemis itu, Kangmas?"
tanya wanita cantik berpakaian indah yang dipanggil
Rara Anggi.
"Pengemis-pengemis itu mau memberontak!" 
"Ah! Masa' iya, Kangmas...?" tukas Rara Anggi,
tak mempercayai ucapan suaminya. "Apa buktinya?"
"Mereka berani melawan utusanku, Rara. Ang-
garaksa dan dua puluh orang prajuritnya dihajar ha-
bis-habisan...," jelas Adipati Danubraja. 
"Apa...?"
Rara Anggi terkejut.
"Tapi, Kangmas tak perlu tergesa-gesa men-
gambil kesimpulan. Belum tentu mereka bermaksud
memberontak. Mungkin hal itu disebabkan perlakuan
Anggaraksa dan prajuritnya yang terlalu kasar...," lan-
jut Rara Anggi, buru-buru menukasi ucapannya sendi-
ri.
"Ah! Kau tak perlu membela orang-orang kotor
itu, Rara.... Mereka sudah jelas akan memberontak!"
Rara Anggi pun tak bisa mencairkan amarah
suaminya. Ketika Adipati Danubraja berjalan ke arah
pintu, dia hanya memandang tanpa mampu berbuat

apa-apa.
"Patih Wiraksa...," teriak Adipati Danubraja
sambil melongokkan kepala ke luar.
Seorang lelaki setengah baya muncul dari arah
balairung menuju kamar Adipati Danubraja dengan
langkah tergopoh-gopoh. Lelaki bertubuh tegap yang
dipanggil Patih Wiraksa ini segera menyembah membe-
ri hormat dengan merapatkan telapak tangannya di
depan hidung. Lalu dia ikut masuk ke kamar itu, begi-
tu Adipati Danubraja mempersilakannya masuk.
"Ada apa, Gusti Adipati...?" tanya Patih Wirak-
sa.
"Ada tugas yang harus segera kau laksanakan.
Usir seluruh pengemis yang tinggal di kota kadipaten
ini. Bila mereka membangkang, hajar saja. Dan bila
perlu, kau dapat memenggal kepala mereka satu per-
satu," perintah adipati ini.
"Sendika, Gusti Adipati...."
"Bawa lima puluh orang prajurit, Patih Wirak-
sa!"
Setelah kembali memberi hormat, Patih Wirak-
sa segera mohon diri untuk melaksanakan tugasnya.

***

Seorang pengemis kecil dari kejauhan melihat
barisan prajurit bersenjata lengkap tengah menuju
Kuil Saloka. Segera dia berlari menuju tempat tinggal
para pengemis itu. Langsung ditemuinya sang pemim-
pin pengemis di Kuil Saloka.
Wirogundi yang menerima laporan dari penge-
mis kecil itu mendesah beberapa kali. Dia sudah men-
duga akan adanya buntut dari peristiwa yang baru sa-
ja terjadi. Dan karena tak mau melihat harkat dan

martabat para pengemis diinjak-injak, segera teman-
temannya disebar untuk mengumpulkan semua pen-
gemis di Kota Kadipaten Bumiraksa. Maka sebentar
kemudian, di depan kuil telah berjajar seratus orang
lebih para pengemis bersenjata tongkat.
Tepat ketika para prajurit yang dipimpin Patih
Wiraksa sampai di depan kuil, kontan terkejut me-
nyaksikan jumlah pengemis yang begitu banyak. Sege-
ra Patih Wiraksa berbisik kepada salah seorang praju-
ritnya. Dan prajurit itu segera berbalik dan pergi dari
tempat ini. Kemudian patih itu sendiri segera maju be-
berapa tindak.
"Siapa yang menjadi pemimpin kalian?" tanya
Patih Wiraksa kepada para pengemis yang agaknya
tampak sudah siap tempur.
Wirogundi maju mendekati patih kadipaten itu.
"Ada apa, Tuan?" tanya Wirogundi tanpa rasa
takut
"Kaukah yang menjadi pemimpin para penge-
mis itu?" tanya Patih Wiraksa, tanpa tekanan. Wiro-
gundi tak menjawab.
Patih Wiraksa menggeram gusar. "Gusti Adipati
memerintahkan agar para pengemis di kota kadipaten
segera enyah!"
"Tak semudah itu, Tuan...," sahut Wirogundi
tenang.
Mata Patih Wiraksa mendelik.
"Apa katamu, Gembel Busuk?!" sentak patih
itu. "Kau ingin menentang kehendak Gusti Adipati...?!"
"Kami merasa tidak pernah berbuat salah ter-
hadap Gusti Adipati. Lantas, kenapa harus diusir...?"
tukas Wirogundi.
"Persetan dengan itu semua! Kalau kalian tidak
mau pergi, terpaksa jalan kekerasan akan ditempuh."

"Terserah apa kata Tuan..."
Mendengar ucapan Wirogundi, Patih Wiraksa
segera memberi aba-aba pada prajuritnya untuk me-
nyerang. Maka lima puluh orang prajurit langsung
menerjang.
Namun para pengemis yang berjumlah dua kali
lipat tampaknya sama sekali tak gentar. Terjangan pra-
jurit kadipaten dibalas dengan gempuran. Maka di
siang yang panas ini, makin bertambah panas oleh
pertempuran sengit.
Sambaran pedang dan tusukan tombak prajurit
kadipaten dibalas gebukan tongkat para pengemis. Je-
rit kesakitan segera membahana di angkasa.
Wirogundi kini bertemu lawan tangguh. Patih
Wiraksa. Dalam beberapa gebrakan saja, sudah terli-
hat kalau kedua orang itu bertempur bagai banteng
ketaton. Yang seorang bertempur dengan alasan mem-
bela diri. Sedang yang satunya bertempur karena men-
jalankan tugas.
Pada suatu kesempatan, Patih Wiraksa coba
membabatkan pedangnya ke perut. Namun dengan
tangkas Wirogundi menangkis. Tak terjadi apa-apa,
kecuali masing-masing terjajar beberapa langkah ke
belakang. Melihat tongkat pengemis muda ini tak pa-
tah, Patih Wiraksa segera menyalurkan tenaga dalam-
nya. Dan kembali pedangnya bergerak membabat.
Wirogundi pun tak tinggal diam. Cepat tong-
katnya mengebut, memapak serangan. 
Tasss...! 
Teeesss...!
Tongkat di tangan Wirogundi kontan patah jadi
dua. Pengemis muda yang masih buta pengalaman
bertempur itu menjadi terkejut bagai disambar petir.
Namun, belum sempat berpikir sesuatu, pedang Patih

Wiraksa sudah datang menghunjam!
Wuuuttt..!
Wirogundi berkelit ke samping, membuat se-
rangan patih ini gagal. Namun baru saja pengemis ini
menarik napas lega, pedang di tangan Patih Wiraksa
kembali bergulung-gulung cepat ke arah jantung!
Sejengkal lagi pedang itu menghunjam, menda-
dak berkelebat satu bayangan hitam yang langsung
membentur pedang Path Wiraksa.
Trang...!
Pedang di tangan Patih Wiraksa terlepas dari
pegangan. Patih kadipaten itu pun terperangah, tak
tahu apa sesungguhnya yang telah terjadi.
Melihat lawan yang dalam keadaan bengong,
Wirogundi tak mau menyia-nyiakan kesempatan itu.
Kakinya segera bergerak cepat! Dan....
Dheeesss...!
Patih Wiraksa terjajar beberapa langkah sambil
mendekap dadanya yang terasa sesak. Lalu, sambil
menggeram keras dia menerjang ganas dengan tangan
kosong.
Wirogundi yang sesungguhnya bukan lawan
seimbang bagi Patih Wiraksa langsung kewalahan.
Berkali-kali tubuhnya terserempet pukulan Patih Wi-
raksa. Tapi, ketika Wirogundi benar-benar dalam kea-
daan kepepet...
"Perhatikan gerakan kakinya! Terus bergerak ke
kanan!"
Sebentar Wirogundi terkejut ketika mendengar
suara halus di telinganya. Namun dia cepat menyadari
kalau suara itu ditujukan padanya. Buktinya, pada
wajah Patih Wiraksa tidak ada perubahan.
Tanpa pikir panjang lagi pengemis muda ini se-
gera menuruti suara yang didengarnya. Dan kini Wiro-

gundi pun bisa sedikit bernapas lega. Pukulan dan
tendangan Patih Wiraksa dapat dengan mudah dielak-
kan.
Patih Wiraksa mendengus keras. Dan segera ju-
rus serangannya diganti. Saat itu juga tangan dan ka-
kinya bergerak semakin cepat
Wirogundi kembali terdesak oleh serangan ce-
pat dan beruntun.
"Terus perhatikan gerak kakinya! Jatuhkan di-
ri. Dan, tendang sekuat tenaga!"
Kembali suara halus itu terdengar lagi. Tanpa
mau membuang waktu lagi, Wirogundi menuruti suara
yang didengarnya. Cepat dia menjatuhkan diri seraya
melepaskan tendangan keras. Dan.... 
Bruuukkk...!
Tubuh Patih Wiraksa langsung terguling di ta-
nah menerima tendangan Wirogundi. Namun dia sege-
ra bangkit dan menerjang!
Tapi setiap Patih Wiraksa menyerang, suara ha-
lus itu sampai di telinga Wirogundi. Dan dengan me-
nuruti semua petunjuk yang didengarnya, Wirogundi
jadi berada di atas angin. Berkali-kali dia dapat me-
nyarangkan pukulan di tubuh Patih Wiraksa yang kini
benar-benar kewalahan
Sementara itu di bagian lain, para pengemis ju-
ga berhasil mendesak prajurit kadipaten. Satu persatu
prajurit-prajurit itu terjungkal terkena gebukan tong-
kat. Keadaan mereka kini jadi kocar-kacir. Apalagi, en-
tah dari mana tahu-tahu sebuah bayangan berkelebat
cepat memberi bantuan pada para pengemis.
Jerit kesakitan segera membahana. Prajurit-
prajurit itu pun terjungkal tak bangun-bangun lagi.
Dalam keadaan demikian, mendadak saja da-
tang bala bantuan puluhan prajurit kadipaten. Para

prajurit yang baru datang ini segera terjun dalam kan-
cah pertarungan. Namun kedatangan mereka segera
disambut para pengemis dan bayangan yang terus
berkelebat dengan serangan gencar dan ganas.
Sebentar saja, puluhan prajurit yang baru da-
tang kembali kocar-kacir. Satu persatu prajurit berja-
tuhan, seperti daun kering yang rontok dari ranting.
Sebagian yang masih selamat, segera berlari tunggang
langgang 
"Mundur semua....!" teriak Patih Wiraksa, se-
raya melompat menjauh, meninggalkan Wirogundi
yang menjadi lawannya.

***

Ketika prajurit-prajurit kadipaten telah mening-
galkan kancah pertempuran, tampak seorang kakek
kurus berpakaian lusuh penuh tambalan berdiri ter-
bongkok dengan sebatang tongkat di tangan.
Melihat kedatangan kakek itu, Wirogundi sege-
ra menjura memberi hormat Pemuda pengemis ini ya-
kin bahwa yang membantunya mengalahkan Patih Wi-
raksa tentulah kakek bongkok itu.
"Terima kasih atas bantuannya, Kek..," ucap
Wirogundi menghormat
Kakek bongkok ini tersenyum tipis, sambil
mengangguk ramah.
"Sudilah kiranya Kakek mampir di tempat kami
yang kotor ini.... Yah... sekadar beramah-tamah den-
gan kami para pengemis yang tak punya apa-apa...,
kata Wirogundi, ramah.
Kakek bongkok ini menatap wajah Wirogundi
lekat-lekat. Kemudian kakinya melangkah menuju
badhuk di depan kuil. Sementara Wirogundi segera

mengikuti sambil bercakap-cakap.
"Siapakah Kakek sebenarnya?" tanya Wirogun-
di. "Aku Gede Panjalu, yang berjuluk Pengemis Tong-
kat Sakti.... Dan kau siapa?" sahut kakek bongkok
yang mengaku bernama Gede Panjalu alias Pengemis
Tongkat Sakti.
"Wirogundi, Kek," jawab pemuda pengemis ini.
"Umurmu?"
Kening Wirogundi berkerut. Dia tak bisa men-
jawab pertanyaan itu.
"Dua puluh tahun, Kek," kata Wirogundi kemu-
dian, untuk menyenangkan hati Gede Panjalu.
Kakek bongkok itu tersenyum, lalu duduk di
sebuah batu sebesar anak kambing. Sementara Wiro-
gundi duduk di depannya di atas sebuah batu pula.
"Kaukah pemimpin dari para pengemis di sini?"
tanya Gede Panjalu.
Wirogundi menggeleng.
"Pemimpin kami bernama Suropati. Tapi, kami
tak tahu di mana dia sekarang berada...."
Gede Panjalu mengangguk-anggukkan kepa-
lanya.
"Perkumpulan pengemis...," gumam kakek
bongkok ini.
Wirogundi memandang wajah Pengemis Tong-
kat Sakti yang keriputan itu.
"Dari dulu perkumpulan pengemis selalu men-
dapat tantangan dari para penguasa. Mereka selalu ta-
kut jika pada suatu saat nanti para pengemis yang
sengsara hidupnya akan melakukan pemberonta-
kan...," tutur Pengemis Tongkat Sakti, bergumam lagi.
Wirogundi diam mendengarkan cerita Gede
Panjalu.
"Puluhan tahun yang lalu, berdiri perkumpulan

pengemis besar yang anggotanya ribuan orang. Per-
kumpulan pengemis itu dipimpin seorang datuk yang
sangat sakti, dan selalu melindungi anggota perkum-
pulannya. Sehingga pada waktu itu, tak seorang pun
yang berani memandang sebelah mata kepada para
pengemis. Tak terkecuali, tokoh-tokoh rimba persila-
tan. Mereka semua menaruh rasa hormat kepada para
pengemis."
Gede Panjalu menghentikan ceritanya untuk
mengambil napas. "Namun, pihak kerajaan meman-
dang curiga. Baginda Prabu Anggara Sanca, kakek dari
Baginda Prabu yang sekarang, merasa kedudukannya
terancam dengan adanya perkumpulan pengemis. Dan
melalui pertempuran dahsyat, perkumpulan pengemis
akhirnya dapat dibubarkan...."
"Lalu, datuk sakti pemimpin perkumpulan pen-
gemis itu bagaimana, Kek?" tanya Wirogundi.
"Tak seorang pun yang tahu, di mana dia bera-
da setelah perkumpulan pengemis dibubarkan."
"Kakek dapat menceritakan semua itu. Siapa-
kah Kakek sebenarnya?" tanya Wirogundi tiba-tiba.
"Aku adalah putra tunggal datuk sakti itu," ja-
wab Gede Panjalu.
Mendengar itu, Wirogundi segera bangkit dari
tempat duduknya, lalu bersujud beberapa kali.
"Tak perlu berlebihan, Wirogundi. Aku yang su-
dah tua renta dan bodoh ini hanya seorang pengemis
biasa," ujar Gede Panjalu merendah.
Dengan agak ragu-ragu, Wirogundi menegak-
kan tubuhnya, bersimpuh di depan Pengemis Tongkat
Sakti.
"Siapa yang mengajarkan jurus 'Tongkat Me-
mukul Anjing' kepada para pengemis di sini?" tanya
Gede Panjalu kemudian.

Wirogundi lalu menceritakan perihal si Periang
Bertangan Lembut.
"Si Periang Bertangan Lembut?" Gede Panjalu
terkejut "Di manakah dia sekarang?"
Wirogundi menggeleng.
"Dia adalah sahabatku yang paling baik. Kabar
terakhir, kudengar dia mengundurkan diri dari segala
urusan kerajaan. Sebelumnya, dia menjadi penasihat
kerajaan...."
Gede Panjalu kemudian tampak melamun, tapi
tiba-tiba dia berdiri.
"Aku akan menyempurnakan jurus 'Tongkat
Memukul Anjing' kalian...," cetus kakek bongkok itu
kepada seluruh pengemis yang sudah duduk berkelil-
ing mengitari Wirogundi dan Pengemis Tongkat Sakti.
Sorak-sorai segera terdengar, menyambut kein-
ginan Gede Panjalu atau Pengemis Tongkat Sakti yang
ingin menjadi guru bagi para pengemis Kota Kadipaten
Bumiraksa.

***

3

Pagi ini, Dusun Paldaplang tampak damai dan
tenang. Para gembala kecil duduk santai di bawah po-
hon rindang menunggui binatang ternaknya yang se-
dang merumput. Para petani sibuk mengerjakan sawab
ladangnya. Diiringi lenguh lembu, burung-burung ber-
kicau menampakkan suasana hati yang riang.
Seorang lelaki tua berusia sekitar satu abad
dengan pakaian compang-camping berjalan ke arah
sebuah kedai sambil mengeluarkan gerutu kecil tak

menentu. Sesekali tangannya menggaruk bagian-
bagian tubuh yang terasa gatal. Bunyi garukannya ter-
dengar keras, menimbulkan guratan berwarna putih
membekas di kulit.
Ketika kakek tua renta itu telah memasuki ke-
dai minuman, segera memesan arak yang paling baik.
Pemilik kedai yang berusia sekitar lima puluh
lima tahun tentu saja memandang heran. Dia tak ya-
kin akan kesanggupan kakek itu untuk dapat mem-
bayar pesanannya.
"Cepat suguhkan arak yang paling baik!" pinta
lelaki tua ini membentak.
Lelaki setengah baya hanya diam membisu
mendengar bentakan.
"Kenapa kau diam saja?! Tulikah telingamu?!"
bentak lelaki tua ini lagi.
"Maaf, persediaan arak yang paling baik di ke-
dai ini tinggal sedikit...," ucap pemilik kedai pelan.
Tiba-tiba lelaki tua ini menggebrak meja hingga
hancur berantakan.
"Bangsat! Beraninya kau menolak permintaan
si Mayat Hidup?!"
Melihat sinar mata dan mendengar nama si
Mayat Hidup, pemilik kedai dengan tergopoh-gopoh se-
gera meninggalkan tempat itu.
Sebentar kemudian, lelaki setengah baya pemi-
lik kedai sudah kembali membawa pesanan lelaki tua
berpakaian compang-camping yang mengaku berjuluk
Mayat Hidup.
Siapakah si Mayat Hidup? Puluhan tahu lalu,
tokoh ini memang malang melintang dalam rimba per-
silatan. Tidak jelas, berasal dari golongan mana dia be-
rada. Kadang, tindakannya sering bagai seorang pen-
dekar dengan memerangi golongan hitam. Namun tak

jarang dia juga bertarung dengan tokoh golongan pu-
tih.
Selama ini, tokoh yang bernama asli Aki Baron-
dang sudah tak terdengar lagi namanya. Kabarnya, dia
mengasingkan diri dari dunia persilatan yang penuh
dengan darah. Namun kali ini si Mayat Hidup muncul
lagi. Apa yang menyebabkan kemunculannya?
"Lagi!" pinta kakek tua renta itu, ketika telah
menandaskan arak dalam secangkir bambu.
Mata pemilik kedai mendelik. "Arak yang paling
baik sudah habis...."
"Dusta! Kau mau membohongiku, Ki...?!" Tiba-
tiba tangan Aki Barondeng bergerak cepat! Lalu...
Prak...!
Cangkir bambu yang dipegang si Mayat Hidup
hancur berantakan menjadi serpihan kecil, ketika di-
remas dengan pengerahan tenaga dalam tinggi. Begitu
tangan itu terbuka, serpihannya jatuh menancap di
lantai yang terbuat dari tanah keras.
"Segera turuti permintaanku, kalau kau tidak
ingin kepalamu pecah...!" ancam Aki Barondeng.
Pemilik kedai kembali tergopoh-gopoh mening-
galkan tempat untuk memenuhi pesanan si Mayat Hi-
dup.
Sikap Aki Barondeng yang tampak seenaknya
segera menjadi perhatian seluruh pengunjung kedai.
Tak terkecuali, dua orang laki-laki dewasa yang me-
nyelipkan pedang di punggung.
Aki Barondeng sama sekali tak mempedulikan
tatapan mata orang-orang yang tertuju ke arahnya.
Dengan rakus, dia menenggak arak pesanannya.
Setelah puas, si Mayat Hidup segera mengang-
kat pantatnya untuk berlalu dari tempat itu. Namun,
buru-buru si pemilik kedai menghampirinya.

"Maaf, Tuan. Araknya belum dibayar...," tegur si
pemilik kedai.
"Apa? Aku harus membayar?!" Aki Barondeng
mendengus. "Kurang ajar!"
Tiba-tiba saja, Aki Barondeng mengayunkan
tangannya, menghantam pilar penyangga atap kedai.
Kroookkk...!
Pilar itu patah. Dan kedai terancam roboh.
Orang-orang yang berada di dalamnya segera berlonca-
tan ke luar, menyelamatkan diri dari reruntuhan. Se-
mentara si pemilik kedai jadi mengkeret keberanian-
nya.
Braaakkk...!
Kedai itu benar-benar roboh, sedangkan tubuh
Aki Barondeng telah berkelebat cepat, menghilang dari
tempat itu.

***

Aki Barondeng bersiul-siul kecil, melangkah
mengikuti jalan setapak di luar Dusun Paldaplang.
"Tunggu dulu, Orang Tua...!" Sebuah teguran terden-
gar, diikuti dua bayangan yang berkelebat mengha-
dang langkah Aki Barondeng.
Kakek tua renta itu segera menghentikan lang-
kahnya. Matanya menatap tajam dua orang yang telah
berdiri di hadapannya.
Usia dua orang yang menghadang tampak se-
baya. Sekitar tiga puluh tahun. Pakaian kuning seder-
hana, membungkus tubuh mereka yang kekar, padat
dan berisi. Dengan sebilah pedang di punggung, mere-
ka berdua tampak gagah berwibawa.
"Siapa kalian. Dan, mau apa menghadangku?"
tanya Aki Barondeng langsung dengan sorot mata ta-

jam.
"Kami dikenal sebagai Sepasang Pedang Kilat.
Dan aku sendiri bernama Pramudya. Sedangkan ka-
kakku Aditya," sahut pemuda yang berkumis tipis.
"Dan kau tentu tahu akibat dari perbuatan
yang baru saja kau lakukan. Pemilik kedai itu tentu
tak bisa lagi mencari nafkah selama kedainya belum
diperbaiki. Dia punya anak-istri yang harus diberi ma-
kan...," timpal pemuda yang bernama Aditya
"Lalu, kau mau apa?!" jawab Aki Barondeng,
bernada menantang.
Mendengar kalimat Aki Barondeng itu Aditya
mengangkat alisnya.
"Tidakkah kau merasa bersalah, Orang Tua...?" 
Aki Barondeng tertawa keras. Tubuhnya ber-
guncang-guncang membuat tulang-belulangnya seperti
hendak rontok. Menilik tubuhnya yang kurus laksana
tulang terbungkus kulit, kakek itu memang pantas di-
juluki si Mayat Hidup.
"Kalau aku sudah merasa bersalah, terus ka-
lian mau apa?" tantang Aki Barondeng kemudian.
"Kau harus bertanggung jawab, Orang Tua!" de-
sis Aditya.
"Tanggung jawab? Tanggung jawab yang bagai
mana?"
Mendengar ucapan Aki Barondeng, Pramudya
jadi naik pitam.
"Tak perlu banyak basa-basi. Segera kita beri
pelajaran kakek yang tak beradab ini," ujar Pramudya.
"Mulutmu terlalu lancang, Anak Muda...!" ben-
tak si Mayat Hidup.
Saat itu juga orang tua ini meluruk deras ke
arah Pramudya sambil menghantamkan tangan ka-
nannya.

Pemuda itu segera memiringkan tubuhnya se-
dikit membuat serangan Aki Barondeng tak menemui
sasaran. Tapi, tiba-tiba tangan si Mayat Hidup itu ber-
gerak menyamping
Dengan sebisa-bisanya, Pramudya meloncat ke
belakang. Namun, mendadak dia jadi terkejut setengah
mati. Ternyata tangan lelaki tua itu molor, dan terus
mengejarnya!
Siiing...! Wuuuttt...!
Pramudya mencabut pedangnya. Dan segera
dibabatnya tangan si Mayat Hidup.
Sayang, Aki Barondeng cepat menarik tangan-
nya, sehingga babatan pedang Pramudya luput. Lelaki
tua ini tersenyum sinis.
"Kalian hanya kroco....'" ejek si Mayat Hidup
sambil menjejakkan kaki, berusaha meninggalkan
tempat itu.
Namun, dengan gerakan cepat Aditya segera
melenting dan mendarat di depan si Mayat Hidup.
"Kau belum menyelesaikan urusanmu, Orang Tua!" de-
sis Aditya.
Aki Barondeng mendengus semakin gusar.
"Rupanya kalian mencari mampus...!"
Tiba-tiba tangan kiri lelaki tua ini bergerak
menghentak.
Wuuusss...!
Aditya cepat melompat tinggi menghindari pu-
kulan jarak jauh si Mayat Hidup. 
Blarrr...!
Dan pukulan yang luput itu menghunjam ke
tanah, membuat lubang sedalam setengah badan ma-
nusia dewasa.
Melihat kehebatan lawan, dua pemuda berjuluk
Sepasang Pedang Kilat segera menerjang bersama. 

"Heaaa...!"
Pedang di tangan Aditya dan Pramudya berke-
lebat cepat memperagakan jurus 'Pedang Menghantam
Gunung'.
Aki Barondeng hanya tersenyum mengejek me-
lihat gulungan sinar pedang yang menderu-deru. Na-
mun begitu serangan mendekat, kakek tua renta itu
segera menghindari dengan meliuk-liukkan tubuhnya.
"Hup...!"
Tiba-tiba tubuh si Mayat Hidup melayang ke
atas, menghindari sambaran pedang Aditya dan Pra-
mudya sekaligus melepas serangan dengan menghen-
takkan kedua tangannya. Maka dua berkas sinar kepe-
rakan segera meluncur deras ke arah Sepasang Pedang
Kilat!
Masih untung Aditya dan Pramudya melompat
ke kiri dan ke kanan, sehingga terhindar dari serangan
yang mematikan.
Blaaarrr...!
Pukulan jarak jauh Aki Barondeng yang tak
menemui sasaran menghantam tanah menciptakan
dua lubang menganga lebar. Debu pun mengepul tebal
mengaburkan pandangan.
Dan dalam keadaan demikian, si Mayat Hidup
berkelebat sambil menyambarkan tangannya ke mas-
ing-masing pedang Sepasang Pedang Kilat
Trak...! Trak...!
Sepasang Pedang Kilat terkejut bagai disambar
petir, begitu pedang mereka tiba-tiba lepas dari pegan-
gan.
"Masihkah kalian ingin melanjutkan permai-
nan, Kroco-kroco... ?" tanya si Mayat Hidup bernada
menghina.
Sepasang Pedang Kilat menggerendeng marah,

lalu menerjang dengan tangan kosong. Aditya melan-
carkan tendangan mengarah kepala, sedangkan Pra-
mudya menghantam dada!
Melihat serangan itu, Aki Barondeng sama se-
kali tak bergeming dari tempatnya berdiri. Tapi ketika
tangannya bergerak mengibas sambil bergerak ke ka-
nan, tiba-tiba....
Praaakkk....!
"Aughhh...!"
Aditya menjerit panjang sambil mendekap ke-
palanya yang pecah bersimbah darah, terkena tampa-
ran telapak tangan si Mayat Hidup. Sementara, tangan
Pramudya terus meluncur. Namun arahnya berubah
ke perut
Bluuusss...!
Pukulan Pramudya menghantam perut Aki Ba-
rondeng. Tapi, tiba-tiba tangan pemuda itu menancap
dan tak bisa ditarik lagi!
Pramudya terkejut. Segera sebelah tangannya
yang masih bebas diayunkan!
Bluuusss....!
Kembali tangan Pramudya yang satu lagi me-
nancap ke perut si Mayat Hidup! Dengan mengerahkan
seluruh tenaga, pemuda ini berusaha melepaskan ke-
dua tangannya. Tapi sampai tenaganya hampir habis,
kedua tangannya tak juga lepas.
Aki Barondeng tertawa keras, kemudian meng-
geram. Dan...
"Aaa...!"
Diiringi jeritan panjang, tubuh Pramudya men-
dadak bagaikan tersedot sari patinya. Perlahan-lahan,
tubuh itu berubah kering kerontang bagai selembar
daun yang habis terpanggang api.
Brukkk...!

Tubuh Pramudya menggelosor ke tanah tanpa
nyawa.
Si Mayat Hidup tertawa gelak, lalu berkelebat
meninggalkan tempat ini.

***

Puluhan Penduduk Paldaplang mengerumuni
mayat Sepasang Pedang Kilat yang tergeletak di tanah
dalam keadaan sangat mengerikan. Mereka tak habis
pikir, siapakah yang melakukan pembunuhan kejam
seperti ini?
Di antara kerumunan penduduk, tampak me-
nyeruak seorang remaja belasan tahun.
"Apa yang terjadi, Pak?" tanya remaja belasan
tahun itu yang tak lain Suropati alias Pengemis Binal.
Lelaki bercaping yang ditanya menatap wajah
Suropati sejenak, kemudian menceritakan apa yang di-
lihatnya.
Suropati mengangguk-anggukkan kepalanya.
Setelah mengucapkan terima kasih, pemuda yang diju-
luki Pengemis Binal ini segera berlalu.
"Orang yang melakukan pembunuhan itu pasti
sangat sakti. Siapakah dia? Menilik dari ilmu yang di-
gunakan, dia tentu berasal dari golongan hitam. Aku
jadi ingin tahu tampangnya...," gumam Suropati dalam
hati, sambil melangkah.
Remaja belasan tahun itu mengemposkan tu-
buhnya, menggunakan ilmu lari cepat ke arah Kadipa-
ten Bumiraksa.


***


4

Memasuki Kota Kadipaten Bumiraksa, berkali-
kali kening Suropati berkerut. Di tempat-tempat yang
biasa dibuat mangkal para pengemis, hari ini telah
menjadi sepi. Tak satu pengemis pun yang menam-
pakkan batang hidungnya. Seakan-akan mereka le-
nyap ditelan bumi.
"Apakah mereka masih berada di kuil? Tapi,
mengapa di hari sesiang ini mereka belum melakukan
sesuatu untuk menyambung hidup? Apakah mereka
telah begitu malas? Atau...?"
Mendadak bibir Suropati mengulum senyum
mengikuti suara hatinya yang bertanya-tanya.
"Apakah mereka sudah hidup layak, sehingga
tak perlu lagi mengemis? Tapi, mengapa perbuatan itu
begitu cepat terjadi? Atau mungkin mereka telah men-
gungsi untuk mencari tempat yang lebih bisa menja-
min kelangsungan hidup mereka?"
Hati Suropati terus diliputi tanda tanya. Dan,
kakinya segera melangkah menuju Kuil Saloka tempat
dulu dia pernah tinggal bersama para pengemis Kota
Kadipaten Bumiraksa.
Ketika sampai di halaman kuil bobrok itu, ke-
dua alis Suropati bertaut. Kerut di keningnya semakin
jelas terlihat Di tempat ini, tak terlihat seorang penge-
mis pun
"Di manakah mereka?" tanya hati Suropati
kembali "Apakah mereka benar-benar mengungsi?
Atau barangkali telah terjadi sesuatu di antara mere-
ka?"
Belum sempat Suropati memperoleh jawaban
atas pertanyaan-pertanyaan itu, mendadak telinganya

menangkap desir angin menuju ke arahnya. Dengan
cepat kepalanya menoleh.
Siiing...!
Murid si Periang Bertangan Lembut itu segera
berkelit ke samping, begitu melihat satu batang tom-
bak meluncur ke arahnya.
Dan baru saja Pengemis Binal ini tegak kembali
dua orang berpakaian serba hitam tiba-tiba mendarat
di hadapannya. Padahal, Suropati tampak masih ber-
diri terlongong-longong.
Tubuh dua orang yang baru menampakkan diri
itu tampak berbeda jauh satu sama lain. Yang seorang
bertubuh tinggi kurus. Tulang rahangnya menonjol.
Hidungnya panjang terjuntai ke bawah, mirip paruh
burung betet. Bajunya kedodoran, berkibar-kibar ter-
tiup angin. Bila ditaksir, umurnya sekitar lima puluh
tahun.
Yang seorang lagi juga berumur sekitar lima
puluh tahun. Tapi tubuhnya sangat pendek, hanya se-
batas pinggang sosok di sampingnya. Walaupun sudah
tua namun wajahnya tampak kekanak-kanakan.
"Siapa kalian? Dan, mengapa menyerangku?"
tanya Pengemis Binal, kalem.
"Aku Balagundi," sahut lelaki bertubuh tinggi
kurus. "Dan temanku Balangangsil! Kami yang dikenal
sebagai Sepasang Iblis Penyebar Petaka, datang ini
membunuhmu!"
Memang, Sepasang Iblis Penyebar Petaka be-
rasal dari golongan hitam. Dari julukan mereka yang
berkesan seram tersirat kebengisan mereka. Semua
orang persilatan tahu kalau sepak terjang mereka ber-
dua terkenal kejam dan menggiriskan.
Suropati mengernyitkan kening melihat pe-
nampilan dua orang yang berdiri di hadapannya.

"Apakah kalian berdua punya urusan denganku
sehingga ingin membunuhku?" tanya Suropati sambil
menggaruk-garuk kulit kepalanya.
"Gembel Busuk! Kau akan kami bunuh, karena
belum juga mengikuti teman-temanmu pergi dari kota
kadipaten ini?!" kata Balagundi keras.
Mendengar ucapan Balagundi itu, Suropati di-
am sejenak. Dia segera mendapat jawaban atas segala
pertanyaan yang sedang berkecamuk dalam benaknya
"Jadi, para pengemis di sini benar-benar telah
meninggalkan Kota Kadipaten Bumiraksa...?" bisik Su-
ropati kepada diri sendiri.
"Kenapa diam saja?! Segera enyah dari tempat
ini, Gembel Busuk!" bentak Balagundi. 
Suropati tersenyum-senyum "Lho? Kenapa jadi
sewot...?" tukas Pengemis Binal tanpa mempedulikan
tatapan beringas Balagundi. "Siapakah kau punya hak
untuk mengusir setiap pengemis yang tinggal di kota
kadipaten ini?"
"Punya nyali juga kau rupanya...," desis lelaki
pendek yang bernama Balangangsil.
Mendadak Suropati tertawa mendengar suara
Balangangsil yang mirip suara anak-anak.
"Kau ini lucu.... Wajahmu mirip anak-anak. Ta-
pi tingkah lakumu persis kakek-kakek? Tapi aku ya-
kin, usiamu sudah bau tanah...."
Mendengar ucapan Pengemis Binal yang ko-
nyol, Balangangsil menggeram marah. Seketika ka-
kinya melangkah mendekati murid si Periang Bertan-
gan Lembut sambil mengayunkan tangannya ke wajah
Suropati.
Wuuuttt...!
Tapi dengan menggeser tubuhnya sedikit, Pen-
gemis Binal mampu menghindarinya.

"Kenapa kau marah-marah?  Kalau mau main
petak umpet, aku bisa menemani...," ledek Suropati
menjadi-jadi.
Raut muka Balangangsil merah padam. Giginya
berkerut menahan geram. Rahangnya menggelembung.
Hawa amarahnya meluap karena merasa dipermain-
kan pemuda di depannya.
"Gembel Busuk!  Segera kau kukirim ke nera-
ka!" bentak Balangangsil seraya menendang dada Pen-
gemis Binal.
Dengan gerakan cepat Suropati menangkis. 
Plak!
Balangangsil terjajar beberapa langkah, ketika
tendangannya tertangkis. Sementara Pengemis Binal
tak bergeser barang sejengkal pun.
"Untuk mengawali permainan, bukan begitu ca-
ranya, Orang Tua? Kita undi dulu. Yang menang jadi
kucing, yang kalah jadi anjing. Tapi, tampaknya kau
pantas jadi anjing...," kata Suropati, semakin bertam-
bah kekonyolannya.
Mata Balangangsil pun memerah seperti darah.
Amarahnya sudah tak mampu dibendung lagi. Dan tu-
buhnya bergerak cepat, menerjang Pengemis Binal
"Oaaahhh...!" Suropati menguap. "Aku ingin ti-
dur, Orang Tua! Main-mainlah dulu dengan teman-
mu...."
Brukkk...!
Tubuh Suropati tiba-tiba menggelosor ke tanah.
Melihat kesempatan itu, Balangangsil segera
mengemposkan tubuhnya ke atas, lalu meluruk den-
gan kaki terarah ke dada Suropati.
"Oaaahhh...!"
Remaja berjuluk Pengemis Binal itu menguap
lebar. Dan tahu-tahu tubuhnya menggeliat ke samp-

ing. Sehingga.... 
Dhuuukkk...!
Ujung kaki Balangangsil tak menemui sasaran,
hanya mendarat di tanah datar. Kakek cebol itu terpe-
rangah. Matanya bersinar tajam, menatap Suropati
yang tampak asyik tertidur lelap. Segera kaki kanan-
nya didekatkan ke leher Suropati. Karena tak ada
tanggapan kaki kanannya segera diayunkan dengan
deras! 
Wuuuttt...!
Tendangan itu luput, ketika Pengemis Binal
kembali menggeliat sambil menguap. 
Balangangsil kembali terperangah.
"Dedemit Busuk! Ilmu apa yang sedang dipa-
merkannya?!" tanya Balangangsil dalam hati.
Melihat Balangangsil bengong, Balagundi berja-
lan mendekat
"Tebarkan jarum hitam, Goblok!" bentak Bala-
gundi, sengit.
Seperti habis bangun dari tidur, kakek cebol itu
menekuk pinggangnya ke belakang. Seketika berham-
buran jarum-jarum berwarna hitam dari perutnya yang
bagaikan hujan lebat ke tubuh Pengemis Binal. 
"Oaaahhh...!"
Suropati menggeliat. Dan tiba-tiba tubuhnya
berputar di tanah, laksana sebuah kitiran. 
Wuuussss...!
Putaran itu membuat suatu rangkaian angin
yang bertiup dahsyat. Sehingga jarum-jarum yang
menghunjam ke arah Pengemis Binal terpental.
Sepasang Iblis Penyebar Petaka terkejut. Mere-
ka tidak menduga bila remaja yang tampak konyol itu
mampu menepis serangan jarum hitam sedemikian
mudahnya.

Tiba-tiba Balagundi menghentakkan tangan-
nya. Maka, angin pukulan berwarna kehitam-hitaman
segera meluncur ke arah Suropati yang masih tampak
seperti tertidur lelap.
Bluuummm....!
Tanah tempat pukulan jarak jauh itu mendarat
langsung berlubang dalam. Debu bercampur bongka-
ran tanah terbang ke angkasa mengaburkan pandan-
gan. Namun ketika perlahan-lahan mulai jelas....
"Hei?!"
Sepasang Iblis Penyebar Petaka kontan terpe-
rangah. Mereka memutar tubuh, mencari sosok Suro-
pati. Tapi, remaja belasan tahun itu sama sekali terli-
hat.
"Ke mana dia?" tanya Balagundi.
"Aku tak tahu," jawab Balangangsil.
"Mungkinkah dia terkena pukulanku, sampai-
sampai tubuhnya hancur bercampur debu dan tanah
itu?" 
"Mungkin juga."
Dua orang kakek itu berbisik-bisik. Lalu, kepa-
la mereka celingukan ke kiri dan kanan. Dan untuk
kedua kali mereka terperangah ketika tiba-tiba terden-
gar dengkuran keras.
Sepasang Iblis Penyebar Petaka mendongak ke-
pala. Dan lagi-lagi mereka terperanjat!
Tubuh Suropati tampak menggelantung di da-
han pohon seperti seekor kelelawar. Bahu murid si Pe-
riang Bertangan Lembut itu bergerak perlahan seirama
bunyi dengkuran yang keluar dari mulutnya.
"Bocah Edan! Bedhes Jelek! Setan Alas!" umpat
Balagundi sejadi-jadinya.
"Ilmu apa yang sedang diperagakan, Kakang
Balangundi?" tanya Balangangsil disertai kegeraman

memuncak.
Balagundi menggelengkan kepalanya. "Entah-
lah. Tapi yang jelas, bukan ilmu setan. Kita gempur dia
dengan jurus 'Iblis Menerjang Arwah'...!"
Saat itu juga, tubuh Sepasang Iblis Penyebar
Petaka berkelebat cepat ke arah Suropati. Gerakan dua
orang kakek itu menimbulkan deru angin yang dah-
syat, membuat rontok daun-daun di pohon. Dan seke-
tika berbarengan mereka menghentakkan tangannya. 
Blaaarrr...!
Pukulan jarak jauh Sepasang Iblis Penyebar Pe-
taka yang dilancarkan sambil menerjang, meledak di
udara. Namun tanpa mereka sadari, Pengemis Binal te-
lah lebih dulu berkelebat.
Dua batang pohon ambruk bersamaan. Debu
tebal pun kembali mengepul untuk beberapa lama.
Sementara Sepasang Iblis Penyebar Petaka kembali ce-
lingukan.
"Di mana dia?" tanya Balagundi dan Balan-
gangsil bersamaan.
Dua tokoh hitam itu pun jadi saling berpan-
dangan.
"Matikah dia?" tanya Balagundi.
"Aku tak tahu," sahut Balangangsil.
Bola mata Sepasang Iblis Penyebar Petaka ber-
putar-putar mencari sosok Suropati. Dan mereka
menggerendeng penuh kemarahan ketika menyaksikan
tubuh Pengemis Binal yang tergeletak di depan pintu
kuil.
"Gembel busuk itu punya ilmu setan!" dengus
Balangangsil.
"Tidak!" sahut Balagundi.
Tiba-tiba Suropati yang tampak tidur terlelap
membuka matanya. Setelah menggeliat kecil, dia

bangkit
"Aku memang punya ilmu setan, Kek," kata
murid si Periang Bertangan Lembut ini. "Ilmu itu aku
beri nama ilmu 'Arhat Tidur'."
Sepasang Iblis Penyebar Petaka menatap wajah
Suropati yang tampak kebodoh-bodohan.
"He, kenapa kalian berdua tidak segera pergi?
kata Suropati lagi. "Bukankah sudah kukatakan, aku
punya ilmu setan. Kenapa kalian tidak takut...?!"
"Takut gundulmu itu, Gembel Busuk!" umpat
Balagundi, seraya menerjang.
Dengan asal-asalan tangan Suropati meraih se-
batang tongkat butut yang tersandar di samping pintu
kuil. Dan seketika tongkat itu berputar cepat, mema-
pak serangan.
Wuuuttt...! Wuuuttt...!
"Kurang ajar!" umpat Balagundi seraya meng-
hentikan gerakan tubuhnya. Dan seketika dia melent-
ing ke belakang, menghindari hajaran tongkat Suropa-
ti.
Sementara, Pengemis Binal tampak tersenyum
simpul.
"Akan kutunjukkan ilmu setanku yang lain, ju-
rus 'Tongkat Memukul Anjing'...!"
Pengemis Binal segera memutar tongkatnya
membentuk sebuah perisai lebar. Saat itu juga terden-
gar bunyi bersiutan yang memekakkan telinga. Seseka-
li, ujung tongkat itu menghunjam ke tubuh Balangun-
di dari berbagai penjuru.
Wuuuttt..!
Kakek kurus tinggi itu melenting ke atas. Tapi
ujung tongkat Suropati terus memburu. 
Breeet..!
Baju Balagundi robek lebar terserempet ujung

tongkat Pengemis Binal.
"He, Balangangsil! Kenapa kau hanya menonton
saja?!" bentak Balagundi, geram kepada saudara se-
perguruannya.
Seperti tersengat kala, Balangangsil menyadari
keadaan. Dia baru tahu bila Balagundi telah terdesak
hebat.
"Gembel Busuk! Kini, aku benar-benar akan
mencabut nyawamu!" umpat Balangangsil.
Tubuh Balangangsil seketika melayang ke arah
Suropati. Namun, dia jadi terkejut setengah mati kare-
na tiba-tiba tubuhnya telah terkurung sambaran tong-
kat Suropati.
"Bangsat!" umpat Balangangsil sambil meliuk-
liukkan tubuhnya menghindari serangan.
Kehadiran Balangangsil ternyata tak banyak
membantu. Kini Sepasang Iblis Penyebar Petaka terde-
sak hebat. Mereka terus bermain mundur menghindari
serangan tanpa mampu membalas. Untungnya sebe-
lum terjadi sesuatu, entah dari mana datangnya berke-
lebat lima sosok bayangan yang langsung menggempur
Suropati!
"Dua Iblis Bodoh! Kenapa menghadapi seorang
gembel saja kalian tak mampu...?!" leceh salah satu
dari lima sosok bayangan itu.
Balagundi dan Balangangsil tak sempat menja-
wab karena sibuk menghindari serangan Suropati.
Namun melihat kehadiran lima sosok itu, mereka ber-
dua jadi bisa bernapas lagi.
Kini, Suropati telah dikeroyok tujuh orang.
Tongkatnya segera diayun semakin cepat, memperta-
jam jurus 'Tongkat Memukul Anjing'nya.
Agaknya, lima orang yang baru datang bukan-
lah tokoh sembarangan. Buktinya, baru jurus pembu-

ka saja sudah terasa kalau kesaktian mereka rata-rata
setingkat dengan Sepasang Iblis Penyebar Petaka. Ma-
ka tak ayal lagi, Pengemis Binal menjadi kelelahan.
Serangan-serangan mereka sangat berbahaya,
penuh nafsu membunuh. Apalagi serangan seorang
kakek berjubah pendeta yang memegang tasbih dan
tongkat pendek.
Dua senjata di tangan kakek itu bergerak san-
gat cepat, sulit diikuti pandangan mata. Setiap dua
senjata itu menerjang, deru angin terdengar, sehingga
menyesakkan pernapasan Suropati.
Bruuukkk...!
Suropati menjatuhkan diri, menghindari seran-
gan yang datang secara beruntun. Keringat segera
membanjir di tubuh murid Periang Bertangan Lembut
itu. Sama sekali  tak diduga bila di Kota Kadipaten
Bumiraksa telah bercokol banyak tokoh beraliran hi-
tam. 
Dalam keadaan gawat, mendadak berkelebat
sebuah bayangan memapak serangan yang mengan-
cam Pengemis Binal.
"Wirogundi...!" pekik Suropati.
"Segera lari ke utara....!" ujar Wirogundi. Meli-
hat keadaan yang benar-benar tak menguntungkan,
Suropati segera melenting tinggi, lalu berkelebat ke
utara kemudian menyusul Wirogundi.
Sepasang Iblis Penyebar Petaka menggeram pe-
nuh kemarahan. Mereka berniat hendak mengejar. 
"Biarkan  mereka pergi...," cegah kakek yang
mengenakan jubah pendeta.
Balagundi dan Balangangsil hanya bisa me-
nyumpah-nyumpah dalam hati.

***