Pengemis Binal 5 - Kitab Sukma Gelap(1)


 

Seri Pengemis Binal
Episode :
Kitab Sukma Gelap
KITAB SUKMA GELAP

Serial Pengemis Binal
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cover oleh Henky
Penyunting: Tuti S.
Hak cipta pada Penerbit
Serial Pengemis Binal dalam episode: Kitab Sukma Gelap
128 hal.
Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert & Editor : Dewi KZ
Ebook oleh : Dewi KZ


1
Bau anyir terasa menusuk hidung. Sejauh mata
memandang di tempat itu yang terlihat hanya tonjolan batu-
batu runcing. Dinding cadas retak-retak. Di sela-sela retakan
penuh ditumbuhi jamur beracun. Beberapa pohon yang ada
tinggal berupa batang dan ranting yang hampir tiada berdaun.
Di sana-sini tulang-belulang berserakan, baik tulang hewan
maupun manusia. Yang paling banyak adalah tempurung
kepala manusia. Oleh sebab itulah, lembah tandus ini
dinamakan Lembah Tengkorak.
Ketika terik mentari menyengat, jamur-jamur beracun
mengeluarkan asap tipis kehitaman. Siapa pun yang masuk ke
Lembah Tengkorak pada siang hari, jangan harap dapat keluar
dengan selamat. Udara beracun di sekitar situ sanggup
menghentikan detak jantung begitu terhirup masuk ke dalam
paru-paru.
Tapi anehnya, seorang wanita cantik tampak berjalan
dengan tenang menyibak siraman cahaya baskara yang panas.
Pakaian wanita itu serba hitam. Mengenakan kerudung yang
juga berwarna hitam, Lengan baju sebelah kanan melambai-
lambai tertiup angin" Agaknya, lengan wanita itu buntung.
Dia adalah Sekar Mayang. Wanita cantik itu mengalami
kekecewaan berat karena usahanya untuk menggulingkan
tahta kerajaan menemui kegagalan. Perkumpulan Bidadari
Lentera Merah yang dipimpinnya pun hancur. Karena rasa
kecewa dan dendam Sekar Mayang melepas pakaian
merahnya. Menurutnya, itu hanya akan mengingatkan pada
peristiwa pahit tersebut. Setelah menggantinya dengan
pakaian serba hitam Sekar Mayang berkeinginan untuk
menerapkan ilmu barunya. Ilmu hitam dalam Kitab Sukma
Gelap warisan Dewa Sesat.
Wanita buntung itu melangkah dengan pasti. Di sebuah
tebing yang bagian atasnya menjorok keluar, dia berhenti lalu
duduk bersila. Sekar Mayang memejamkan mata. Bibirnya
komat-kamit merapal mantera sesaat Kemudian, tubuhnya
tampak bergetar diiringi ucapan lirih dari mulutnya.
"Setan menguasai jagat geiap, jagat hitam yang dipenuhi
nafsu angkara, nafsu sesat yang menghimpun kekuatan
marah dan dendam. Roh-roh bangkit dan menyatu dalam
penghancuran. Mayapada porak-poranda. Manusia berhati
iblis, berjiwa pera-yangan, menghimpun kekuatan setan.
Dengan kuasa alam semesta yang berpendar bersama
kegelapan, setan tertawa dalam kemenangaa Hadirkan Iblis
Darah dan Setan Racun! Dengan kuasa jagad gelap, mereka
akan menyatu dalam kekuatan hitam yang maha dahsyat..."
Sekar Mayang membentangkan tangannya ke atas.
Kemudian, digerak-gerakkan di depan dada.
Slashhh...!
Dua kepulan asap muncul di hadapan wanita buntung itu.
Dia membuka matanya dan mempercepat gerakan tangan.
Dua kepulan asap pun bergulung semakin tebal. Sampai
akhirnya..., tiba-tiba asap itu lenyap. Digantikan dengan
hadirnya dua sosok manusia berwujud mengerikan.
Mereka sama-sama berkulit sangat hitam dan hanya
mengenakan cawat. Yang seorang memakai penutup dada,
pertanda dia adalah wanita. Wajah mereka sangat kasar,
ditumbuhi bisul yang menyebar rata. Mata memerah dan
terbeliak besar. Hidung terjuntai ke depan serta bengkok ke
bawah. Dari bibir yang tebal hitam menyembul dua taring
runcing. Taring si lelaki selalu meneteskan cairan kental
berwarna merah. Dia adalah Iblis Darah. Sedangkan yang
wanita kepalanya bertanduk, mencuat dari sela-sela
rambutnya yang gimbal. Dia adalah Setan Racun.
Ketika menatap Sekar Mayang yang sedang duduk
bersimpuh di hadapan mereka, Iblis Darah dan Setan Racun
mendengus.
"Kau siapa?!" tanya Iblis Darah. Suara yang keluar dari
mulutnya sekeras ledakan halilintar.
Sekar Mayang merasakan gendang telinganya bergetar
keras. Tubuhnya bergoyang seperti hendak terlontar. Namun,
dengan pengerahan tenaga dalam dia pun dapat
menyunggingkan senyum.
"Aku Sekar Mayang. Mulai saat ini, aku adalah tuanmu."
"Ha-ha-ha...!"
Tawa keras membahana. Lembah Tengkorak bergetar.
Tiba-tiba Iblis Darah melancarkan serangan. Tendangan
kakinya meluncur cepat Sekar Mayang memapaki dengan
telapak tangannya. Iblis Darah melenting ke udara dan
bersalto beberapa kali, sebelum mengirimkan tendangan
beruntun ke arah Sekar Mayang!
Wanita buntung itu mengangkat tangan tunggalnya. Suatu
kekuatan kasat mata menghentikan gerakan Iblis Darah.
Tubuh manusia yang baru dibangkitkan dari alam kubur itu
melayang di udara dalam keadaan telentang.
"Sudah kubilang, mulai saat ini kau harus ber-tekuk-lutut di
hadapanku. Kenapa berbuat yang macam-macam?!" sentak
Sekar Mayang keras telapak tangannya didorong ke depan
sambil mengeluarkan gertakan pendek.
Blaaarrr...!
Tubuh Iblis Darah terlontar dengan kecepatan kilat, lalu
membentur dinding cadas hingga menimbulkan ledakan
dahsyat!
Permukaan tanah guncang. Debu mengepul tebal Batu-
batu pun berhamburan. Bersamaan dengan itu, tubuh Iblis
Darah Lenyap meninggalkan asap bergulung-gulung.
Sekar Mayang menggerak-gerakkan telapak tangannya.
Dan.... Tubuh Iblis Darah muncul kembali dalam keadaan
berlutut
"Ha-ha-ha...!"
Sekar Mayang tertawa terbahak-bahak. Tapi, tawa itu
berhenti dengan mendadak lalu menatap Setan Racun.
"Kenapa kau tak segera berlutut di hadapanku?!"
Setan Racun menggeram. Mulutnya di buka lebar-lebar
memperlihatkan taringnya yang runcing bagal habis diasah.
"Swooosss...!
Mulut manusia yang juga baru dibangkitkan dari alam
kubur itu menyemburkan uap yang mengandung racun ganas!
Namun Sekar Mayang hanya mengeluarkan dengusan, uap
beracun itu pun buyar. Setan Racun memutar tubuhnya dan
amblas ke dalam tanah. Lalu, diiringi suara gemeretakan bumi
bergoncang hebat. Tubuh Sekar Mayang bergeser dari
kedudukannya.
Wanita buntung itu segera memukulkan lututnya ke tanah.
Guncangan itu pun berhenti. Tubuh Setan Racun menyembul
dan terlontar ke udara bagai lesatan anak panah lepas dari
busurnya.
Sekar Mayang menatap tajam. Lalu, dari kedua matanya
meluncur sinar kehitam-hitaman!
Blaaarrr...!
Tubuh Setan Racun lenyap meninggalkan asap bergulung-
gulung. Sekar Mayang menggerak-gerakkan telapak
tangannya. Sesaat kemudian, tubuh Setan Racun muncul
kembali dalam keadaan berlutut di samping Iblis Darah.
Tawa Sekar Mayang membahana berkepanjangan.
"Kalian berdua adalah simbol dari kekuatan hitam.
Kekuatan yang akan menjadi raja dari segala kekuatan. Dari
nafsu jahat dan keangkaramurkaan yang tertanam dalam
diriku, kekuatan hitam akan terhimpun. Dan, kalian berdua
adalah abdi yang akan selalu menuruti perintahku!"
Mata Sekar Mayang bersinar tajam. Kemudian, tangan
tunggalnya dihentakkan ke depan. Di sekitar tubuh Iblis Darah
dan Setan Racun mengepul asap hitam yang tersembur dari
dalam tanah.
"Dengan izin setan yang menguasai jagat gelap, kalian
berdua bisa memanggilku dengan sebutan 'Penghimpun
Angkara'!"
"Baik, Penghimpun Angkara...," kata Iblis Darah. "Karena
kau yang telah membangkitkan kami dari alam kubur, maka
sudah sepantasnya bila kami mengabdi kepadamu. Kami pun
akan memakai sebutan 'Sepasang Abdi Penghimpun
Angkara'...."
Setan Racun mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekar
Mayang tersenyum puas.
Tiba-tiba, terdengar suara tawa tergelak. Kening Sekar
Mayang langsung berkerut "Dewa Sesat..!" gumam wanita itu.
Sebuah bayangan berkelebat dan berdiri tepat di tengah-
tengah batu cadas yang menjulang tinggi. Tampaklah seorang
lelaki yang tubuhnya dipenuhi bulu lebat. Wajahnya hampir
tak bisa dikenali karena bulu-bulu yang tumbuh subur di
tempat itu.
Dia tidak mengenakan pakaian, hanya bercawat hitam.
Berdiri terbongkok-bongkok menatap Sekar Mayang.
"Rupanya kau telah membangkitkan Iblis Darah dan Setan
Racun, Mayang...," kata lelaki berbulu lebat yang berjuluk
Dewa Sesat itu.
Sekar Mayang hanya diam, tak memberikan tanggapan
apa-apa.
"Kau memang pintar, Mayang. Dua makhluk Itu pernah
berjaya pada masanya. Mendengar sepak-terjangnya saja,
orang-orang akan berlari ketakutan. Bila kini dua makhluk itu
telah mengabdi kepadamu, berarti kau telah sempurna
mewarisi ilmu 'Leluhur Sesat' Dengan begitu, kau bisa
dianggap sebagai keturunan kedelapan...."
"Yang ketujuh siapa?” tanya Sekar Mayang dengan suara
berat.
Dewa Sesat tertawa menanggapi pertanyaan itu. Mata
Sekar Mayang menyipit
"Kaukah keturunan ketujuh itu?"
"Ya!"
"Aku tidak ingin menjadi keturunan kedelapan. Angka
delapan bagiku tidak mengandung arti apa-apa. Aku inginkan
yang nomor tujuh!" sentak Sekar mayang tiba-tiba.
"Apa maksudmu?" tanya Dewa Sesat penuh selidik.
"Kau harus keluar dari garis keturunan Leluhur Sesat!"
"Bangsat!" umpat Dewa Sesat "Akulah yang mewariskan
Kitab Sukma Gelap kepadamu. Kenapa kau berani berucap
seperti itu kepadaku?!"
"Semakin berani orang berbuat jahat dan memuja nafsu
angkara, semakin kuatlah ilmu 'Leluhur Sesaf yang ada dalam
diri orang itu. Tentu kau sudah tahu hal itu, Dewa Sesat! Nah,
untuk itulah sekarang aku akan membunuhmu!"
Mendengar ucapan Sekar Mayang, Dewa Sesat terkejut
setengah mati. Tapi, dia segera menutupi keterkejutannya
dengan mengeluarkan tawa.
"Aku menyadarinya, Mayang...," ujar Dewa Sesat kemudian
dengan suara mirip rintihan orang sakit. "Kaum hitam
memang tidak mengenal ukuran yang memilah-milah harkat
dan martabat. Antara guru dan murid, orang tua dan anak,
hanya merupakan sebutan sementara. Untuk memuaskan
nafsu setan, guru harus diinjak, orang tua mesti ditendang.
Tapi itu bisa dilakukan apabila ia mempunyai kemampuan Bila
tidak, namanya bunuh diri...."
Sekar Mayang tertawa terbahak-bahak.
"Kau meremehkan kemampuanku, Dewa Sesat!" kata
wanita buntung itu. Sinar matanya tampak berapi-api. "Iblis
Darah dan kau Setan Racun, bunuh Monyet Busuk itu!"
Dengan serta-merta, Sepasang Abdi Penghimpun Angkara
menerjang Dewa Sesat Lelaki berbulu lebat itu
menghemposkan tubuhnya, mendahului menerjang Sekar
Mayang!
Splash...!
Penghimpun Angkara julukan baru Sekar Mayang,
mengibaskan telapak tangan tunggalnya. Tubuh Dewa Sesat
terdorong kesamping. Namun, secepat kilat dia melenting ke
udara dan meluncur dengan tendangan ke arah dada Sekar
Mayang.
Kibasan tangan tunggal Penghimpun Angkara kembali
sanggup menghempaskan tubuh Dewa Sesat. Sebelum
mendarat di tanah, lelaki berbulu lebat itu telah digempur oleh
Iblis Darah dan Setan Racun
Mereka benar-benar menunjukkan keganasannya. Iblis
Darah membuka mulutnya lebar-lebar bagai hendak
mencaplok tubuh Dewa Sesat. Sedangkan mulut Setan Racun
selalu menyemburkan uap beracun!
Tapi, Dewa Sesat bukanlah lawan yang enteng. Tokoh tua
itu telah puluhan tahun malang-melintang di rimba persilatan,
sebagai tokoh golongan hitam yang selalu ditakuti kawan
maupun lawan. Uap beracun yang menyembur dari mulut
Setan Racun sama sekali tak berarti baginya.
Bahkan, pada suatu ketika tubuh Dewa Sesat di selubungi
asap hitam. Lalu tubuh lelaki berbulu lebat itu lenyap, berganti
dengan asap hitam bergulung-gulung yang selalu mengejar
Iblis Darah dan Setan Racun.
Sepasang Abdi Penghimpun Angkara itu jadi kerepotan.
Mereka memukul dan menendang tak karuan. Namun
perlawanan mereka sia-sia. Iblis Darah dan Setan Racun
bahkan jatuh bergulingan di tanah, terkena gempuran asap
hitam yang tiba-tiba mengirimkan tendangan beruntun.
Sepasang Abdi Penghimpun Angkara kemudian melompat
jauh. Mereka sama-sama menggeram keras. Perlahan sekali
terjadi keanehan di hadapan Dewa Sesat. Tubuh Iblis Darah
lumer dan mencair, membentuk cairan kental berwarna merah
yang membasahi tanah. Tubuh Setan Racun sendiri menjadi
cairan kental berwarna hijau gelap.
Dua cairan berbeda warna itu kemudian melayang,
menyiram asap hitam yang masih bergulung-gulung di udara!
"Arghhh...!"
Jerit kesakitan membahana. Tubuh Dewa Sesat muncul
dalam keadaan yang mengerikan. Bulu Lebat di tubuh tokoh
golongan hitam itu musnah terbakar. Kulitnya pun
mengelupas, memperlihatkan daging berwarna putih
kemerahan. Wajah Dewa Sesat sudah tak karuan lagi
wujudnya. Mirip gumpalan daging busuk yang telah dimakan
ulat!
"Ke... parat..!" umpat Dewa Sesat, menyerupai rintihan
orang yang hampir dijemput ajal.
Tanpa mempedulikan keadaan dirinya yang terluka parah,
dia menerjang Iblis Darah dan Setan Racun dengan membabi-
buta. Tapi, Sepasang Abdi Penghimpun Angkara dengan
mudah dapat menghindari setiap serangannya. Bahkan,
menjadikan Dewa Sesat sebagai bulan-bulanan.
Sekar Mayang yang menyaksikan adegan itu mengeluarkan
tawa keras. Ketika dada Dewa Sesat berhasil digedor oleh Iblis
Darah, tawa Sekar Mayang semakin membahana ke Seantero
Lembah Tengkorak.
Blaaarrr...!
Dengan diiringi ledakan dahsyat, dada dan punggung Dewa
Sesat berhasil digedor Sepasang Abdi Penghimpun Angkara.
Akibatnya, tubuh Dewa Sesat terbanting ditanah tanpa nyawa.
Sekar Mayan tertawa tergelak-gelak.
"Kalian berdua benar-benar Sepasang Abdi Penghimpun
Angkara yang akan segera menggegerkan rimba persilatan!"
Usai mengucapkan kalimatnya, wanita buntung itu
menggerak-gerakkan tangan tunggalnya. Tubuh Iblis Darah
dan Setan Racun pun tertarik mendekati, lalu berlutut di
hadapan Sekar Mayang.
***
2
Malam begitu pekat. Suara burung hantu, kerik jengkerik,
dan hewan lainnya terdengar tak berirama. Hanya kodok
mengorek yang terdengar berirama.
Di dalam sebuah ruangan cukup luas yang diterangi cahaya
damar Gede Penjalu duduk berdampingan dengan Suropati.
Kemudian dalam kedudukan melingkar tampak Wirogundi,
Anjarweni, Carang Gati, dan Katabang.
"Tugas yang diembankan Baginda Prabu kepada kita
merupakan kebanggaan, tapi sekaligus juga beban...," kata
Gede Panjalu. "Dikatakan sebagai kebanggaan, karena dengan
pemberian tugas ini Baginda Prabu percaya kalau kita
mempunyai kemampuan. Sedangkan dikatakan sebagai beban
karena tugas yang harus kita emban tidaklah mudah."
"Benar, Kek...," sambut Wirogundi. "Rimba persilatan
sangat luas. Tidak dibatasi oleh gunung, jurang, atau pun
lautan. Untuk mencari seseorang akan banyak memakan
waktu. Apalagi orang yang kita cari sedang diliputi rasa
dendam. Dia tentu akan mengasingkan diri untuk
memperdalam ilmu guna membalaskan dendamnya itu."
Gede Panjalu menganggukkan kepala. Carang Gati segera
unjuk bicara.
"Kalau begjtu, kita tidak usah mencarinya. Suatu saat dia
pasti akan muncul kembal"
"Masalahnya bukan cuma itu," Anjarweni menyela. "Adik
seperguruanku, Ingkanputri, berada dalam pengaruh kekuatan
sihir pemberontak itu."
Carang Gari terdiam.
"Dia tidak tahu apa-apa, tapi harus menanggung
akibatnya," lanjut Anjarweni. "Kalau terjadi sesuatu yang
diinginkan, aku tidak bisa tinggal diam. Sampai ke kolong
langit pun wanita iblis itu akan kucari!"
"Tenanglah, Weni...," ujar Gede Panjalu yang sudah
mengetahui hubungan murid Dewi Tangan Api itu dengan
Wirogundi. "Kita tidak boleh keburu nafsu. Kita harus berpi...,"
Kakek bongkok itu tidak melanjutkan kalimatnya.
Mendadak saja muncul seekor ular sendok di hadapan
mereka yang tengah duduk melingkar. Terdengar jerit
keterkejutan. Anjarweni yang merasa jijik dan ngeri langsung
melompat jauh.
"Tenang, tidak usah panik...," kata Gede Panjalu seraya
menatap tajam ular berbisa yang sudah mengembangkan
lehernya Itu, siap untuk menyerang.
"Ular jadi-jadiankah itu, Kek?" tanya Suropati.
"Tidak. Ular ini sungguhan. Dia dikirim seseorang dari jarak
jauh."
Ular yang tampak ganas itu tiba-tiba mencelat menyerang
Suropati!
"Eit...!"
Pengemis Binal berkelit. Ketika ular yang menyerangnya
masih melayang di udara, tangan remaja konyol itu bergerak
untuk menyampok
"Jangan...!" teriak Gede Panjalu.
Suropati pun menguningkan niatnya. Tubuh ular jatuh di
lantai tanah. Dengan separo badan tegak ke atas, lidahnya
terjulur, matanya yang berkilat menatap tajam pada Suropati.
Wooosss...!
Ular itu menyemburkan cairan bisanya. Pengemis Binal
mengibaskan telapak tangan untuk menepis bisa itu.
Gede Panjalu melangkah mundur beberapa tindak. Dalam
keadaan berdiri, kakek bongkok itu menyilangkan tangannya
di dada dan memejamkan mata.
Suatu keanehan terjadi. Ular sendok yang ganas mendadak
tubuhnya jadi kaku. Diam tak bergerak-gerak lagi. Semua
orang di ruangan itu menatap dengan kening berkerut.
Sementara rubuh Gede Panjalu bergetar. Dari kepalanya
mengepul asap tipis.
"Dia sedang berusaha mengusir ular itu...," gumam
Suropati dalam hati.
Mata remaja tampan itu bersinar nyalang menatap tubuh
Gede Panjalu yang bergetar semakin keras. Perlahan-lahan
dari sudut bibirnya mengalir darah segar. Bersamaan dengan
itu, tubuh ular yang telah kaku bergerak lemah.
"Oh, Kakek Gede dalam kesulitan. Aku harus
membantunya...," bisik Pengemis Binal.
Remaja tampan itu menyedekapkan tangannya. Dengan
mata terpejam dia berusaha menembus kekuatan kasat mata
di mana Gede Panjalu tengah bertarung. Tubuh Suropati
bergetar. Ketika asap tipis telah menyelubungi kepalanya, ular
sendok yang berada di pojok ruangan lenyap tanpa bekas
Pengemis Binal lalu membuka matanya segera ditariknya
napas leqa
Tapi, tubuh Gede Panjalu terhuyung-huyung. Wirogundi
berusaha menahan tubuh kakek bongkok itu agar tidak jatuh
terjengkang.
"Aku tidak apa-apa, Wiro...," kata Gede Panjalu sambil
ngibas-ngibaskan telapak tangannya di depan mata.
"Kau terluka dalam, Kek"
Suropati mendekati. Semua yang berada di tempat itu
merubung Gede Panjalu yang telah bersila dengan mata
terpejam.
"Kekuatan batin Kakek Gede membentur suatu kekuatan
dahsyat Entah kekuatan batin siapa. Yang pasti, orang itu
sangat tangguh...," beritahu Suropati pada kawan-kawannya.
"Pucat di wajahnya berangsur-angsur lenyap, berarti luka
dalam Kakek Gede tidak begitu parah," lanjutnya.
Kaki remaja tampan itu lalu melangkah ke luar ruangan.
Ditatapnya rembulan sabit yang bercahaya redup. Kemudian,
dia menuju ke suatu tanah lapang.
"Hawa di dalam sangat gerah, aku butuh udara segar...,"
gumam pemuda itu.
Beberapa anggota Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti
yang berpapasan dengannya berkata menyapa. Suropati
membalasnya dengan anggukan kepala.
Malam semakin larut Suara binatang malam terdengar
melemah. Tiba-tiba angin berhembus keras. Suropati terkejut
ketika menatap di kejauhan terlihat seberkas cahaya merah
meluncur cepat ke arahnya!
Remaja tampan itu meloncat Dan... tanah tempat bekasnya
berdiri tadi langsung berkubang dalam. Seberkas cahaya
merah kembali meluncur ke arahnya,
Suropati mendorongkan telapak tangannya ke depaa Sinar
merah itu pun berhenti di udara. Dengan mengerahkan
seluruh tenaga dalamnya, pemuda itu menahan luncuran sinar
merah.
Bunyi desisan terdengar ketika telapak kaki remaja tampan
itu bergeser ke belakang. Keringat membasahi sekujur tubuh.
Matanya melotot, merasakan jalan napasnya yang sesak.
Perlahan-lahan seberkas cahaya merah mendekati tubuh
Suropati. Malaikat Kematian agaknya tengah mengintai
nyawanya. Tubuh remaja tampan itu bergetar keras. Keringat
di tubuhnya semakin membanjir
Ketika cahaya merah tinggal beberapa jengkal mencapai
tubuhnya, Pengemis Binal membeliak lebar. Napasnya
memburu. Malaikat Kematian pun semakin dekat mengintai....
Pada saat yang genting itulah Suropati teringat pada ilmu
'Kalbu Suci Penghempas Sukma' yang didapatnya dari
Bayangan Putih Dari Selatan Suropati segera memejamkan
mata. Seluruh kekuatan batinnya dipusatkan.
Sebentar kemudian, dari sekujur tubuh remaja tampan itu
berpencar cahaya kebiruan.
Blammm !!
Sebuah ledakan dahsyat membahana. Tanah berguncang.
Angin kencang menyampok pepohonan, hingga ranting-
ranting bergoyang keras.
Pengemis Binal tetap berdiri tegak di tempatnya. Cahaya
merah yang hampir merenggut jiwanya pun lenyap.
"Uh! Hampir saja...," gerutu remaja tampan itu. "Aku sama
sekali tak menyangka cahaya merah itu dapat dikendalikan
sedemikian rupa."
Sementara itu nun jauh di sana, tepatnya di suatu gua di
Lembah Tengkorak, Sekar Mayang atau Penghimpun Angkara
menggeram gusar. Bergegas dia bangkit dari duduknya.
"Ada yang kurang dari ilmu 'Cahaya Sesatku. Ilmu itu
belum sempurna kukuasai...," gumam Sekar Mayang.
Wanita buntung itu berjalan ke sebuah ruangan sempit
yang berada di dalam gua. Diambilnya sebuah kitab bersampul
hitam dari sela-sela dinding tonjolan batu. Dibantu cahaya
obor, Sekar Mayang membuka halaman terakhir Kitab Sukma
Gelap yang ditaruh di atas pangkuannya.
"Halaman ini kosong. Apakah terhapus?" tanya wanita
buntung itu. "Ah, aku rasa tidak. Walaupun kitab ini sudah
hampir hancur, tapi halaman lainnya masih terbaca jelas.
Mungkin saja halaman terakhir ini mengandung rahasia,
sehingga si pembuatnya berusaha menyamarkan."
Lama Sekar Mayang duduk tercenung. Otaknya terus
diperas untuk memecahkan teka-teki ini. Kening Wanita
buntung itu berkerut-kerut menandakan kerja keras
pikirannya.
Ketika dia mengangkat halaman terakhir dari Kitab Sukma
Gelap yang terus dipeganginya, mata Penghimpun Angkara
bersinar aneh. Melalui cahaya obor yang menerpa kertas, dia
melihat bercak-bercak putih berderet membentuk tulisan.
Sekar Mayang bangkit berdiri lalu mendekat nyala obor
yang menempel di dinding gua. Halaman terkahir dari Kitab
Sukma Gelap diangkatnya sejajar dengan pandangan mata.
Terpampanglah tulisan:
Ilmu 'Cahaya Sesat' adalah ilmu yang berasal dari pancaran
nafsu angkara, yang bersumber dari marah dan dendam
membara. Kesempurnaan dapat diperoleh bila manusia yang
menerima ajaran telah lebur jiwa dan raganya dalam kekuatan
gelap. Mata lahir maupun batin hanya memandang satu
tujuan pasti, mengabdi kepada Sang Jahat yang menguasai
jagat kelam. Selama manusia yang menerima ajaran masih
dibayangi rasa kemanusiaan, Ilmu 'Cahaya Sesat' tak akan
dapat mencapai kesempurnaan.
Setelah membaca kalimat itu, kerut di kerung Sekar
Mayang semakin terlihat jelas.
"Apa maksudnya?" tanya wanita buntung itu.
Beberapa lama Penghimpun Angkara membara berulang-
ulang tulisan dalam halaman terakhir Kllab Sukma Gelap.
Hingga akhirnya, dia mengulum senyum di bibir.
"Aku tahu sekarang...," ucap Sekar Mayang. "Untuk
mencapai kesempurnaan ilmu 'Cahaya Sesat', aku harus
menghilangkan rasa kemanusiaan yang ada dalam diriku.
Tapi, rasa kemanusiaan yang bagaimana?"
Kening wanita buntung itu kembali berkerut, sambil
berjalan mondar mandir, dia menimang-nimang kitab dalam
genggamannya.
"Ilmu 'Cahaya Sesat'...," gumam Penghimpun Angkara.
"Jelas ilmu hitam. Ah, aku sudah menemukan jawabannya!"
Sekar Mayang melonjak girang. Dia tertawa tergelak-gelak
Tanpa sadar kakinya dihentakkan ke lantai gua.
Seluruh ruangan terguncang. Bebatuan yang menempel di
bagian atas rontok, hingga menimbulkan debu yang mengepul
tebal. Cahaya obor lenyap karena apinya padam di tiup angin
yang timbul dari guncangan. Dalam kegelapan, tawa
Penghimpun Angkara semakin terdengar membahana ke
seluruh bagian Lembah Tengkorak
"Sebentar lagi seluruh tokoh rimba persilatan akan berlutut
di hadapanku. Dengan kekuatan ilmu 'Cahaya Sesat,' semua
tokoh putih maupun hitam akan dapat kutaklukkan. Mereka
akan memandangku sebagai Raja Kegelapan. Karena, aku
sudah tak punya lagi rasa kemanusiaan yang tercermin dalam
tingkah-laku. Aku adalah tokoh jahat yang paling jahat, tokoh
hitam yang paling hitam!"
Sekar Mayang mengibaskan telapak tangan tunggalnya.
Dan....
Blaaammm...!
Dinding gua jebol, menganga lebar dengan meninggalkan
debu tebal dan bebatuan yang berpentalan.
"Aku tidak boleh mempunyai perasaan cinta, belas kasihan,
dan seluruh rasa kemanusiaan lainnya...," kata Penghimpun
Angkara dengan dengusan napas berat. "Dendam dalam
hatiku harus kupupuk dan kupertajam. Akan kumusnahkan
tiga manusia yang pernah membuatku sengsara!"
Dengan mengepal tinju, wanita buntung itu menggigit
bibirnya keras-keras.
"Pertama, akan kubunuh Raka Maruta yang telah
membuntungi tangan kananku. Lalu menyusui Kapi Anggara
yang telah memberikan cinta palsu kepadaku. Terakhir, giliran
Suropati yang menjadi biang keladi dari gagalnya cita-cita
yang telah kususun sejak lama...."
***
3
Dua orang wanita tampak berjalan santai memasuki
Kotapraja Kerajaan Anggapura. Yang seorang berpakaian
hijau-hijau, bentuknya khas petualang rambutnya yang hitam
panjang dibiarkan tergerai di punggung. Tapi, walaupun
begitu tidak bisa menutupi usianya yang telah mencapai enam
puluh lebih. Dia adalah Arumsari atau Dewi Tangan Api Meski
sudah tua, wajah nenek itu masih menunjukkan garis-garis
kecantikan.
Yang berjalan di sisi kirinya adalah Dewi Ikata, putri
tunggal Adipati Danubraja yang beberapa waktu lalu telah
diangkat sebagai murid nenek itu. Pakaian yang dikenakan
Dewi Ikata terbuat dari bahan sederhana, warnanya putih-
kuning. Rambutnya diikat selembar kain merah. Tak satu pun
perhiasan menempel di tubuh gadis tujuh belas tahun itu.
Meski berpenampilan sederhana, tapi hal itu tak dapat
menyembunyikan kecantikannya.
Ketika dua wanita guru-murid itu sampai di depan pintu
gerbang kotapraja, dua orang penjaga yang memegang
perisai dan tombak berjalan mendekati.
"Tampaknya Nisanak berdua adalah orang asing...," kata
salah seorang penjaga yang berwajah penuh bulu. "Kalau
boleh saya tahu, ada perlu apakah Nisanak berdua hendak
memasuki kota-praja?"
Lelaki brewokan itu kemudian mengerling ke arah Dewi
lkata. Kerlingan itu ditangkap oleh mata ArumsarL Nenek itu
pun mengeluarkan dengusan pendek.
"Kau hendak bertanya atau mau berbuat usil?" kata
Arumsari dengan suara berat
"Kami penjaga di sini. Sudah selayaknya bila kami bertanya
kepada orang asing seperti kalian," jawab lelaki brewokan
dengan suara tak kalah berat, Sengaja untuk menunjukkan
kewibawaannya.
Bibir Dewi Tangan Api menyunggingkan senyum mengejek,
"Kau hendak bertanya apa?"
"He-he-he...," lelaki berewokan itu tertawa. "Rupanya
telingamu mengalami sedikit gangguan, Nenek Cantik."
Arumsari mendengus gusar. "Kau jangan mengajak
bercanda. Aku tak biasa melayani orang macam kalian!"
"Uh! Kenapa kau gampang marah, Nek. Bukankah aku
telah bertanya, apa tujuan kalian hendak memasuki kotapraja?
Kau saja yang tidak mendengar...," lelaki brewokan tersenyum
seraya melirik Dewi lkata. Kemudian, menatap kembali wajah
Dewi Tangan Api. "Eh, apa katamu tadi, Nek? Kau tidak biasa
melayani orang macam kami? Lalu, yang biasa kau layani
orang macam apa?"
Temannya yang berkulit gelap menyenggol lengan lelaki
brewokan. "Kau jangan cari gara-gara," bisiknya.
Lelaki brewokan cuma menatap sebentar, lalu kembali
menyungging senyum menggoda. "Kau belum menjawab
pertanyaanku, Nek," katanya pada Arumsari.
Mata Dewi Tangan Api bersinar tajam. "Mulutmu terlalu
ceriwis! Kau hanya mengundang nafsu amarahku saja!"
Usai mengucapkan kalimatnya, nenek itu menggandeng
lengan Dewi Ikata.
"Eh, kalian hendak ke mana?!"
Lelaki brewokan menghalangi langkah kaki mereka.
Arumsari pun mendengus marah.
"Aku datang ke kotapraja bukan dengan maksud buruk,
kenapa kau menghalangiku?!"ucap nenek Itu setengah
membentak.
"Kau belum mengatakan tujuanmu yang sebenarnya. "
"Aku seorang petualang. Aku hanya ingin melancong. "
"Bagus. Kalau begitu kau boleh lewat, Nenek Bawel. Tapi,
alangkah baiknya bila nona cantik ini" tinggal beberapa saat di
sini untuk menemaniku. He-he-he...."
Sambil tertawa, penjaga usil itu melirik ke arah Dewi Ikata.
Melihat hal demikian, sampailah Arumsari pada batas
kesabarannya.
"Siapa kepala regu kalian?!" tanya nenek itu.
"Apa perlumu menanyakan itu?"
"Eh, kenapa kau suka cari gara-gara, Kakang?" penjaga
yang berkulit gelap memperingatkan temannya.
"Kau jangan ikut campur, Dhi. Kalau ada enaknya pasti kau
akan kubagi. Jangan khawatir!"
Dewi Tangan Api mendengus keras mendengar ucapan
yang bernada kurang ajar itu.
"Monyet Busuk! Rupanya kalian minta diberi pelajaran!"
Tangan kanan nenek itu pun melayang. Plak...!
Penjaga usil mendekap pipinya yang terkena tamparan.
Kalau saja Dewi Tangan Api mengerahkan tenaga dalam,
kepala lelaki brewokan itu tentu sudah pecah. Tapi, manusia
tak tahu diri ini tak mau menyadari kesalahannya. Matanya
mendelik lebar menatap Arumsari.
"Keparat! Beraninya kau menamparku!" Lelaki brewokan
melayangkan tangan. Namun tamparannya hanya mengenai
angin kosong. Sekali lagi dia mencoba melancarkan tendangan
ke arah dada Dewi Tangan Api.
Nenek itu cuma menggerakkan sedikit tubuhnya,
tendangan itu pun luput dari sasaran. Lalu, dengan sentilan
pelan dia membuat roboh lelaki brewokan.
Sambil berkelojotan di tanah, manusia tak tahu diri itu
melolong-lolong kesakitan. Dewi Tangan Api hanya menatap
sebentar. Lalu digandengnya tangan muridnya. Mereka
melangkahkan kaki melewati pintu gerbang kotapraja.
Tanpa setahu mereka, dua orang lelaki tua berwajah seram
mengikuti agak jauh di belakang.
"Kau lapar, Ika?" tanya Arumsari ketika mereka sampai di
depan sebuah kedai nasi.
Dewi lkata tak memberikan jawaban.
"Aku tahu kau lapar, tapi tak berani mengatakannya. Atau,
barangkali kau tidak doyan makanan kedai? Kau harus belajar
hidup sederhana, lka...," lanjut Arumsari. Diliriknya sejenak
gadis cantik di sampingnya.
"Aku diam bukan karena itu, Eyang," sambut Dewi lkata
sambil menatap wajah gurunya.
"Lalu karena apa?"
"Sudah beberapa candra aku ikut berkelana bersama
eyang. Selama itu, banyak kujumpai orang orang jahat. Tidak
hanya orang-orang kasar yang kata Eyang beraliran hitam,
tapi juga orang terhormat pun seringkali berbuat jahat."
Dewi Tangan Api tersenyum mendengar perkataan
muridnya.
"Itulah manusia, Ika. Manusia jahat tidak selamanya
bertampang jahat. Seseorang yang kelihatannya baik dan
berbudi kadang-kadang bisa berbuat lebih kejam. Demikian
pula sebaliknya, orang yang tampak kasar dan berangasan
terkadang justru orang yang sangat berbudi. Dunia ini luas.
Orang-orang seperti itu tidak sedikit jumlahnya. Kau harus
hati-hati agar tidak salah menilai."
"Ya, Eyang. Aku mengerti. Tapi...."
"Tapi apa?"
"Apakah kita tidak jadi makan?"
Arumsari mengembangkan senyum lebar. Digandengnya
lengan Dewi Ikata untuk memasuki kedai makanan.
Kedai itu tampak ramal Suasana pagi membuat orang-
orang berkeinginan mencari sarapan. Tidak hanya para
petualang yang kebetulan singgah, para kepala rumah tangga
yang malas sarapan di rumah pun memadati ruangan kedai.
"Uh! Ramai benar...," gerutu Dewi Ikata ketika sampai di
ambang pintu.
Belum sempat Arumsari berkata, seorang pelayan yang
bertugas menyambut pengunjung datang mendekati.
"Kedai ini memang selalu ramai. Tapi, jangan khawatir. Di
dalam masih banyak kursi kosong," kata pelayan itu seraya
mempersilakan Arumsari dan Dewi Ikata.
Guru dan murid itu pun berjalan masuk. Ketika baru
melangkah beberapa tindak dari pintu kedai, mereka berdua
segera jadi bahan perhatian Terutama Dewi Ikata.
Kecantikannya benar-benar mem-pesonakan semua lelaki
yang berada di situ.
"Berlakulah biasa saja, Ika. Jangan tatap pandangan
mereka," bisik Arumsari kepada muridnya.
Mereka segera mengambil tempat duduk yang telah
ditunjukkan oleh pelayan. Dengan duduk berhadapan, mereka
menantikan hidangan. Tempat duduk guru dan murid itu
berada di tengah-tengah ruangan. Jadi, semua orang yang
berada disitu dapat dengan leluasa memandang mereka.
Arumsari menggerutu kecil. Dia merasa ditipu oleh pelayan
tadi Katanya masih banyak kursi kosong, ternyata tidak.
Karena rasa laparlah, nenek itu tak mempedulikan tatapan
mata orang-orang.
Berbeda dengan Dewi lkata, gadis cantik berumur tujuh
belas tahun itu tak berani mengangkat wajah. Dia hanya
menunduk sambil sesekali menatap wajah gurunya.
"Kenapa pesanannya tidak datang-datang? Aku hampir tak
tahan," kata gadis cantik itu pelan.
"Bersabarlah, Ika. Sebentar lagi pasti datang. Kau sudah
sangat lapar, ya?"
"Bukan begitu, Eyang. Aku tak tahan dengan lalapan orang-
orang yang ditujukan kepada diriku. Mereka menatapku
seperti seekor harimau kelaparan. "
"Tenanglah, Ika. Mereka tidak akan berani
mengganggumu."
Begitu kalimat Arumsari selesai, seorang pelayan datang
dan segera meletakkan pesanan di atas meja.
"Silakan...," kata pelayan itu. "Bila perlu sesuatu, .panggilah
saya."
Arumsari hanya mengangguk kecil melihat keramahan si
pelayan. Dia memberi isyarat kepada muridnya untuk segera
menikmati hidangan.
Selagi mereka makan, seorang lelaki setengah baya yang
duduk di pojok ruangan memperhatikan dengan kening
berkerut. Rambut orang itu digelung ke atas, dan dijepit
dengan gelang emas. Pakaiannya terbuat dari bahan mahal,
tampak indah menempel di tubuhnya. Wajahnya halus. Pada
bagian atas bibir dan dagu terlihat bekas cukuran yang
membiru.
"Melihat cara makan gadis itu, dia tentu seorang putri
pejabat tinggi. Paling tidak dia pernah tinggal lama di istana.
Tapi melihat kecantikan dan gerak-geriknya, kemungkinan
pertamalah yang paling tepat..," gumam laki-laki itu dalam
hati.
Tatapannya kemudian dialihkan pada seorang pemuda
tinggi tegap yang duduk di depan meja lain tak jauh darinya.
"Branjang...," panggilnya dengan suara pelan.
Yang dipanggil menoleh, dan segera menghampiri.
"Ada apa, Tuan?"
"Kau tahu gadis yang berpakaian putih-kuning itu?"
"Yang duduk bersama nenek cantik itu?"
"Ya," angguk lelaki setengah baya. "Ajak dia kemari.
Katakan kalau seorang pembesar kerajaan mengundangnya."
Mendengar perintah tuannya, pemuda yang dipanggil
Branjang itu segera menghampiri Dewi Ikata. Disampaikannya
pesan tersebut. Dewi Ikata tak mengeluarkan kata-kata. Gadis
itu diam membisu. Sedangkan Arumsari yang turut mendengar
perkataan Branjang segera menyambutj.
"Untuk apa tuanmu mengundang muridku?" tanya nenek
itu.
"Entahlah," jawab Branjang. "Mungkin hanya ingin
bercakap-cakap."
"Katakan kepadanya, muridku tidak biasa melayani orang
usil macam tuanmu itu!" ujar Dewi Tangan Api ketus.
Mendengar perkataan itu, Branjang kembali menghadap
tuannya dengan muka kusut.
"Rupanya tempat ini tak baik untuk kita, Ika," kata
Arumsari kepada muridnya. "Sebaiknya kita segera pergi."
Setelah membayar makanan, mereka berdua hendak
berlalu dari kedai. Tapi baru melangkah beberapa tindak dari
ambang pintu, lelaki setengah baya yang undangannya ditolak
mentah-mentah datang menghalangi.
"Biarkan kami lewat...," kata Arumsari dengan suara berat.
"Kalian telah menghinaku. Sebagai seorang pembesar
kerajaan, aku mempunyai wewenang untuk menangkap
kalian."
"Huh! Melihat tampangmu, kau tentu pembesar yang biasa
bertindak sewenang-wenang. Tapi, jangan harap kau dapat
berbuat semaumu terhadap kami!"
"Rupanya kau belum kenal siapa aku. Semua orang di
kotapraja akan lari ketakutan bila melihatku sedang marah.
Namaku Banaspati. Aku bergelar si Kepalan Baja."
"Cih! Aku tak butuh tahu siapa dirimu!" sentak Arumsari
kasar sekali.
"Keparat!" umpat lelaki setengah baya yang mengenalkan
dirinya sebagai Kepalan Baja. "Kau harus diajari sedikit sopan-
santun, Nenek Bawel!"
Usai mengucapkan kalimatnya, Banaspati memberi isyarat
kepada Branjang yang telah berdiri di sampingnya.
Pemuda bertubuh tinggi tegap itu pun segera menerjang
Arumsari.
Wuuuttt...!
Bogem mentah Branjang hanya mengenai angin kosong.
Dewi Tangan Api menangkap perge-langan tangan pemuda
bertubuh tinggi tegap itu Lalu, memelunCmya ke belakang.
Branjang menjerit kesakitan. Kaki kanannya menyaruk-
nyaruk tanah, berusaha melepaskan diri. Tapi, pegangan
tangan Arumsari sekuat jepitan dua batang besi.
"Justru aku yang akan mengajari sopan-santun kepada
anak buahmu ini, Pembesar Edan!" sambut nenek itu dengan
suara lantang.
Buuukkk...!
Dewi Tangan Api menendang pantat Branjang, hingga
tubuh pemuda itu mencelat sejauh dua tombak.
"Apakah aku juga perlu mengajarimu sopan-santun?!"
tanya Arumsari kepada Banaspati.
Pembesar kerajaan yang merasa dilecehkan itu pun
menggeram gusar. Dengan sigap dia melayangkan kaki
kanannya!
Tangan kiri Arumsari bergerak menangkis. Banaspati
merasakan tubuhnya bergetar dan berdiri sempoyongan.
Kalau saja pembesar kerajaan itu mau tahu diri, pada
gebrakan pertama ini seharusnya dia dapat mengukur
kepandaian lawan yang berada jauh di atasnya. Tapi, manusia
yang sudah terbiasa mengumbar hawa nafsu itu malah
menggeram penuh kemarahan.
"Sebelum aku menimpakan kepalan bajaku di kepalamu,
katakan siapa namamu!" ancam Kepalan Baja.
Dewi Tangan Api tak memberikan jawaban. Dia
menggandeng tangan muridnya untuk diajak pergi.
"Bangsat!" umpat Banaspati. "Kau terlalu memandang
rendah kepadaku. Makan kesombonganmu!"
Tubuh Kepalan Baja melayang lalu melancarkan tendangan
ke punggung Dewi Tangan Api. Nenek itu hanya dengan
memiringkan tubuhnya, serangan itu pun gagal. Tangan
kanannya disentakkan untuk menggedor.
Dhes...!
Banaspati merasakan punggungnya bagai digedor palu
godam. Tubuh pembesar kerajaan itu terhempas ke tanah.
Umpatan kasar keluar dari mulutnya.
"Aku tak berurusan denganmu! Kenapa kau mencari gara-
gara?!" kata Arumsari dengan mata mendelik.
"Di antara kita memang tak ada urusan. Tapi, kau telah
menghinaku. Aku masih bisa mengampunimu dan
memperbolehkan kau pergi, asal gadismu itu kau tinggalkan!"
sahut Banaspati sambil mengibaskan bajunya yang kotor oleh
debu.
"Cih! Lelaki hidung belang sepertimu tak pantas menjadi
pembesar kerajaan!" maki Arumsari.
Kepalan Baja menggeram gusar. Dengan penuh luapan
kemarahan, diterjangnya Arumsari. Gerakannya cepat hingga
sambaran tangannya menimbulkan deru angin, pertanda
pukulan itu ber-lambarkan tenaga dalam. Jurus yang
dimainkannya pun sangat berbahaya. Mengincar bagian-
bagian tubuh yang mematikan.
Tapi, yang sedang dihadapinya bukanlah tokoh
sembarangan Arumsari telah kenyang makan asam-garam
rimba persilatan. Tanpa sedikit pun merasa kesulitan,
diladeninya serangan Banaspati. Bahkan, belum selesai satu
jurus nenek itu dapat mendaratkan pukulan telak di dada
lawan.
Dhes...!
Tubuh Kepalan Baja jatuh terjengkang. Dia mendekap
dadanya yang terasa sesak. Matanya mendelik karena jalan
napasnya hampir terhenti.
Dewi Tangan Api melambati pukulannya dengan
sepersepuluh dari tenaga dalamnya. Dia tak mau menjatuhkan
tangan maut yang hanya akan menyulitkan diri sendiri.
Membunuh seorang pembesar kerajaan sama saja dengan
menciptakan suatu masalah.
Arumsari dan Dewi lkata kemudian segera berlalu dari
tempat itu. Langkah mereka menuju ke sebuah penginapan.
"Kita belum puas berjalan-jalan, kenapa mesti pesan
kamar?" tanya Dewi lkata.
"Baginda Prabu akan mengadakan pesta syukuran. Tentu
banyak tamu yang diundang. Aku takut apabila tidak segera
memesan kamar, kita tak bisa bermalam di sini," jawab
Arumsari.
"Kata Eyang, Baginda Prabu akan mengadakan pesta
syukuran?"
"Ya. Kerajaan Anggarapura berhasil memadamkan api
pemberontakan. Untuk itu, Baginda Prabu merasa perlu
mengadakan pesta syukuran. Intinya adalah untuk
memanjatkan rasa terima kasih yang mendalam kepada Tuhan
Yang Maha Kuasa."
"Kapan itu, Eyang?"
"Yang kau tanyakan pemadaman pemberontakan atau
pesta syukurannya?"
"Pestanya."
"Besok malam. Biasanya di depan istana akan digelar tari-
tarian dan berbagai pertunjukan lainnya. Kau bisa menonton
sepuasmu, Ika...," ujar Arumsari lembut dan tampak
memanjakan muridnya.
"Aku tidak tertarik," gumam Dewi lkata perlahan.
"Lho, kenapa? Kau takut akan berjumpa dengan lelaki
kurang ajar?"
"Tidak Pertunjukan seperti itu aku sudah sering
menontonnya."
"Oh, ya...," Arumsari seperti baru sadar akan sesuatu.
"Aku lupa kalau kau adalah putri seorang adipati. "
"Itu dulu. Sekarang aku murid Eyang," Mendengar
perkataan muridnya, Dewi Tangan Api mengembangkan
senyum lebar. Mereka berhasil mendapatkan sebuah kamar
dengan tempat tidur yang empuk.
"Pakaian bisa kita tinggal di sini, Ika. Kita akan segera
jalan-jalan mengelilingi kota praja," ucap Arumsari.
Tak lama kemudian mereka melanjutkan pelancongan.
Ketika malam menjelang, guru dan murid itu telah kembali ke
penginapan untuk melepas lelah.
"Kau tidak tidur, Ika?" tanya Arumsari melihat muridnya
hanya duduk termenung di kursi.
Dewi Ikata mendongakkan kepalanya. Gadis itu mendesah
perlahan.
"Kau rindu ayah-bundamu, Ika?"
"Tidak"
"Lalu kenapa?"
"Aku hanya memikirkan kejadian tadi pagi."
"Ah, hal seperti itu sudah biasa terjadi. Kau tak perlu
memikirkannya."
"Aku takut prajurit kerajaan akan mencari kita. Bukankah
lelaki yang bernama Banaspati itu seorang pembesar
kerajaan?"
Arumsari hanya diam mendengar perkataan muridnya.
***
Penginapan yang ditempati Arumsari dan Dewi lkata adalah
salah satu dari tiga penginapan terbesar di kotapraja.
Bangunannya bertingkat. Tersedia tidak kurang dari seratus
kamar. Tentu saja tarifnya mahal untuk mengimbangi
pelayanan yang memuaskan. Tapi, bagi guru dan murid itu
tidak menjadi soal. Adipati Danubraja, ayah Dewi lkata,
berkenan memberi bekal sekantong uang emas.
Malam itu suasana penginapan tampak ramai. Banyak
orang berlalu- alang di ruang depan yang luas. Seorang
penerima tamu duduk santai menyelonjorkan kaki. Tugasnya
menjadi ringan karena kamar telah habis. Berar dugaan
Arumsari, bila tak memesan kamar lebih awal tentu tak akan
dapat.
Penginapan-penginiapan lainnya di kotapraja pun sama
halnya. Rata-rata kamar telah habis terpesan. Rupanya, pesta
syukuran yang akan digelar Baginda Prabu benar-benar
menarik perhatian orang. Bukan hanya para undangan yang
membanjiri kotapraja, para pelancong pun banyak yang
datang.
Ketika petang baru saja lewat, seorang penerima tamu
yang berdiri di ambang pintu dikejutkan oleh kedatangan
sepuluh orang prajurit. Mereka dipimpin oleh Banaspati.
"Tuan Besar hendak melakukan pemeriksaan?" tanya si
penerima tamu setelah memberi hormat.
"Tidak. Aku sedang mencari dua orang wanita," jawab
Banaspati dengan suara angker. "Siapa nama mereka?" "Aku
tidak tahu."
Mendengar jawaban pembesar kerajaan itu, kening si
penerima tamu berkerut.
"Tamu yang menginap di sini banyak, Tuan Besar. Kalau
tidak tahu nama dua wanita yang Tuan Besar cari, bagaimana
mesti mencarinya?"
"Aku akan menggeledah setiap kamar!"
Banaspati langsung menerobos masuk Kening si penerima
tamu semakin berkerut. Dia segera berlari untuk menemui
tuannya.
Seorang lelaki gemuk yang bagian perutnya tampak
menggantung menyapa Kepalan Baja dengan ramah.
"Tuan Banaspati rupanya...," ujar laki-laki itu seraya
membungkukkan badan. "Ada yang bisa saya bantu?"
"Aku tidak butuh bantuanmu. Aku bisa mengerjakannya
sendiri!"
Alis lelaki gemuk yang adalah pemilik penginapan itu
terangkat Ditatapnya wajah Banaspati dengan pandangan tak
mengerti.
"Ah, Tuan Banaspati tak perlu report-repot turun tangan.
Pekerjaku banyak. Mereka bisa membantu," ujar laki-laki itu
lagi untuk mengambil hati Kepala Baja.
"Sudah kubilang, aku bisa mengerjakannya sendiri!" bentak
Banaspali. Matanya melotot lebar. Dia segera memberi isyarat
kepada kesepuluh prajuritnya agar menggeledah setiap kamar
di penginapan itu.
"Tunggu sebentar, Tuan...," cegah si pemilik penginapan.
"Tidakkah lebih baik yang melakukan itu para pekerjaku? Saya
takut para tamu terkejut dan merasa terganggu. Bila hal
demikian terjadi, akan mengurangi citra penginapan ini"
"Persetan dengan semua itu!"
"Tapi, Tuan...."
Banaspati mendengus. "Rupanya kau hendak
menentangku. Apakah kau ingin penginapan ini ditutup?!"
"Bukan begitu, Tuan. Tapi...."
Kepalan Baja tak mempedulikan ucapan lelaki gemuk
pemilik penginapan. Dia bersama para prajurit yang
menyertainya segera melakukan penggeledahan.
Tatap mata mereka yang bengis dan sikap yang kasar
benar-benar mengejutkan para tamu. Bahkan, ada yang
berlari ketakutan karena mengira sedang terjadi sesuatu yang
gawat.
Arumsari dan Dewi lkata yang kebetulan mendapat kamar
di tingkat atas terkejut juga mendengar suara-suara gaduh.
"Prajurit kerajaan sedang melakukan penggeledahan," beri
tahu Dewi lkata kepada gurunya setelah menengok dari atas
tangga.
"Kau lihat pembesar kerajaan yang kita temui tadi pagi?"
tanya Arumsari.
"Ya. Dia tampak marah-marah."
"Uh! Jelas mereka mencari kita. Sebaiknya kita segera
pergi. Berurusan dengan orang yang sering menyalahgunakan
kekuasaan hanya akan menimbulkan kesusahan."
Tanpa bertanya apa-apa, Dewi Ikata langsung mengemasi
barang-barangnya yang tak seberapa banyak. Hanya beberapa
helai pakaian dan perlengkapan perjalanan.
"Jika kita lewat depan apakah memungkinkan, Ika?" tanya
Arumsari usai mengemasi barangnya sendiri.
"Aku rasa tidak, Eyang. Seorang prajurit menjaga di bawah
tangga."
"Kalau begitu, kita keluar lewat jendela."
"Jendela?"
"Ya. Kenapa?"
"Eyang lupa bila kita berada di tingkat atas?"
"Tidak," jawab Dewi Tangan Api seraya membuka daun
jendela. Nenek itu menatap wajah muridnya sejenak. "Aku
akan melompat turun terlebih dahulu. Kau menyusul
kemudian."
Tanpa mengambil ancang-ancang, Arumsari meluncurkan
tubuhnya ke tanah dengan mengerahkan ilmu meringankan
tubuh.
Hup...!
Kaki nenek itu dengan sigap mendarat di tanah, tanpa
menimbulkan suara apa pun. Padahal ketinggian jendela
dengan permukaan tanah tidak kurang dari empat tombak
Dewi lkata berdiri ragu di ambang jendela. Matanya nanar
memandang ke bawah.
"Cepatlah, Ika...," Dewi Tangan Api mengerahkan ilmu
mengirim suara jarak jauh yang membuat ucapannya tak
dapat di dengar orang lain.
Dewi lkata walaupun baru beberapa candra berguru kepada
Arumsari, tapi sebagian ilmu kepandaian nenek Itu telah dia
warisi. Yang membuatnya ragu adalah karena belum terbiasa
melakukan sesuatu yang kadang-kadang dirasanya tidak
masuk akal.
"Cepatlah, Ika...," kata Dewi Tangan Api lagi. Mendengar
perkataan gurunya yang tampak yakin akan kemampuannya.
Dewi ikata langsung melompat. Gadis cantik itu mendarat
dengan mulus, walau masih terdengar suara ketika kakinya
mendarat di tanah.
Guru dan murid itu kemudian berlari melompati pagar yang
tak begitu tinggi. Langkah kaki mereka menuju ke utara.
Dua lelaki tua berwajah seram yang duduk termenung di
depan sebuah toko, tak jauh dari penginapan, tampak saling
berbisik Mereka yang sejak pagi menguntit Arumsari dan
muridnya bergegas berlari mengejar.
Ketika sampai di perbatasan kotapraja yang sepi, di mana
terdapat sebuah sungai kecil, Dewi
Tangan Api menghentikan larinya.
"Ada apa, Eyang?" tanya Dewi Ikata heran. Arumsari tidak
segera menjawab pertanyaan muridnya. Matanya bersinar
aneh ketika tertimpa cahaya rembulan. Kepala nenek itu
bergerak pelan untuk mempertajam pendengarannya.
"Dua orang yang mengikutiku segera keluar dari tempat
persembunyian kalian!" Tiba-tiba Dewi Tangan Api berteriak
keras.
Dua lelaki tua yang sedang bersembunyi di balik semak-
semak tentu saja terkejut. Bukan saja langkah kaki mereka
dapat didengar Arumsari. Tapi, nenek itu bahkan dapat
menebak jumlah orang yang sedang mengikutinya.
"Hei, kenapa kalian hanya bengong saja seperti maling
takut dikejar anjing?!" kata Arumsari lagi dengan suara
lantang.
Sekejap kemudian, dua sosok bayangan melayang di udara.
Setelah bersalto, kedua sosok bayangan itu mendarat ringan
di tanah.
"Rupanya kalian ingin memamerkan kepandaian di
hadapanku," ejek Dewi Tangan Api tak senang.
Nenek itu menatap wajah dua orang yang telah berdiri tiga
tombak dari hadapannya.
Dibantu cahaya rembulan yang temaram, Arumsari dapat
melihat wajah lelaki-lelaki tua yang penuh benjolan bisul-bisul.
Hidung mereka tersamar oleh bisul-bisul. Cekungan matanya
tertutup oleh daging yang menggelambir. Tubuh mereka pun
sama kurus. Tapi, sikap berdiri mereka tegap dan tampak kuat
mencengkeramkan kaki-kakinya di bumi
"Yang hadir rupanya si Kembar Budukan," Dewi tangan Api
mengulum senyum.
"Daya ingatmu ternyata masih tajam, Arumsari, " ujar salah
seorang dari dua lelaki tua berwajah seram.
"Apa perlumu menguntitku?" tanya Arumsari yang merasa
heran melihat perbuatan Kembar Budukan.
Tiba-tiba si Kembar Budukan tertawa terbahak-bahak.
"Jangan main-main di hadapanku!" bentak Arumsari.
Salah seorang dari lelaki tua berwajah seram, yang
mengenakan baju kuning, maju selangkah. "Tentunya kau
tidak lupa peristiwa sepuluh tahun yang lalu di tepi sungai
kecil di Lembah Tengkorak!"' katanya.
Dewi Tangan Api menyeringai dingin.
"Lalu, apa hubungannya kedatanganmu dengan peristiwa
itu. Balas dendam? Ha-ha-ha...!"
Nenek itu tertawa terpingkal-pingkal. Dewi lkata yang
berada di sampingnya buru-buru memegang lengan gurunya.
Gadis cantik itu merasa khawatir sekali melihat keadaan
Arumsari.
"Jangan takut, Ika...,"bisik Arumsari kepada muridnya.
"Wajah mereka memang seram, tapi kepandaian yang mereka
miliki tidak seberapa," tambahnya penuh keyakinan.
"Rupanya sifat sombongmu dari dulu tidak Juga hilang,
Arumsari!" sentak Kembar Budukan yang berbaju putih.
Dewi Tangan Api hanya mendengus. Tapi, dia jadi terkejut
ketika melihat lelaki budukan itu menggerak-gerakkan
tubuhnya seperti belut menggeliat.
"Kali ini jangan harap kau dapat lolos dari lubang
kematian!"
Lelaki berbaju putih kemudian menggeram keras dan
menerjang Dewi Tangan Api.
"Aku sudah bosan memberi ampunan kepada kalian. Kali ini
justru aku yang akan membunuhmu!" teriak Dewi Tangan Api
seraya berkelit ke samping.
Melihat serangan pertama gagal, si baju putih menggerak-
gerakkan tubuhnya semakin aneh. Meliuk-liuk seperti tak
punya tulang. Walaupun tampak ngawur, tapi Arumsari dapat
merasakan sebuah serangan dahsyat ditujukan kepada
dirinya.
Zebs...!
Dewi Tangan Api menangkis tendangan si baju putih. Tapi,
lengan nenek itu terasa seperti membentur gedebong pisang.
Yang lebih mengejutkan adalah ketika kaki lawannya menekuk
dan berusaha menjepit lengan.
Arumsari menarik lengannya. Gerakannya seperti orang
yang merasa sangat jijik.
"Ha-ha-ha...!" Si baju putih tertawa terbahak-bahak "Ilmu
baruku kini akan segera mengirim nyawamu ke neraka,
Arumsari!"
"Kau Jangan terlalu yakin!" bantah Dewi Tangan Api. Lalu,
dilancarkannya serangan balasan dengan tak kalah dahsyat.
Sementara itu, si baju kuning hanya berdiri terpaku di
tempatnya. Matanya menatap tak berkedip. Bukan
menyaksikan pertempuran seru yang sedang berlangsung,
melainkan melihat Dewi lkata yang berdiri sambil mendekap
mulutnya.
Gadis berumur tujuh belas tahun yang belum lama terjun
dalam rimba persilatan itu merasa ngeri melihat sepak terjang
si baju putih dan gurunya.
"Kenapa kau diam saja, Manis?" tanya si baju kuning sambil
berjalan mendekati.
Dewi Ikata hanya menatap dengan sinar mata ngeri.
"He-he-he...," si baju kuning terkekeh. "Kau cantik sekali,
apakah kau murid Arumsari? Kalau memang begitu, kita bisa
bermain-main sebentar."
Si baju kuning tersenyum-senyum. Matanya mengedip
penuh arti, membuat gelambir yang mencuat dari atas alisnya
bergerak-gerak Tersiram cahaya rembulan, wajah lelaki
budukan itu persis wajah iblis yang baru bangkit dari kubur.
Ketika langkah kaki manusia berwajah seram ini telah
dekat, Dewi Ikata bergerak mundur. Kengerian terbayang
Jelas di matanya.
Si baju kuning tertawa senang. Mendadak dia menerkam
murid Dewi Tangan Api. Dewi Ikata berkelit ke samping.
Kemudian, meloncat jauh.
"Hei, Manusia Busuk! Hadapi saja diriku!" teriak Arumsari di
sela-sela pertempuran.
"Uh! Nenek Cerewet! Aku saja sudah cukup. Biarkan
saudaraku bersenang-senang," sambut si baju putih sambil
melancarkan pukulan ke dada.
Tangkisan yang dilakukan Dewi Tangan Api seperti
membentur gedebong pisang. Mau tak mau nenek itu
terperangah untuk kesekian kalinya. Dan ketika dia melihat
Dewi Ikata sedang digempur telaki budukan berbaju kuning,
geram kemarahan segera terdengar dari mulutnya. Serta-
merta Arumsari mengerahkan ilmu 'Pukulan Api Neraka'-nya
Kedua tangan nenek itu merah membawa. Di-cecarnya
lawan dengan hebatnya. Dalam keremangan malam, gerakan
tangan Arumsari seperti dua batang tongkat mainan
bercahaya merah yang meliuk dengan Indahnya.
***
Siapakah sesungguhnya dua orang lelaki berwajah seram
yang dipanggil Arumsari dengan sebutan si Kembar Budukan?
Yang berbaju putih adalah Gisalimang. Sedang adiknya yang
mengenakan baju kuning bernama Genthalimang.
Ketika mereka masih muda wajah keduanya tidak seburuk
itu. Bahkan, dapat dikatakan tampan. Tubuh mereka pun
tinggi tegap. Mereka kemudian mengenal Arumsari muda yang
cantik jelita.
Ketiganya lalu bersahabat.
Setelah waktu berlalu, rupanya kecantikan Arumsari sangat
menarik simpati Gisalimang dan Genthalimang. Anehnya,
mereka tidak bersaing untuk mendapatkan cinta Arumsari.
Malah menyatakan perasaan mereka secara bersamaan.
Arumsari yang menganggap mereka berdua tak lebih dari
sekadar sahabat, menolak keinginan Gisalimang dan
Genthalimang untuk menyuntingnya. Dua pemuda kembar itu
jadi kecewa. Mereka tidak menganggap tolakan cinta Arumsari
sebagai hal yang wajar. Bahkan sebaliknya, timbul amarah
dan dendam karena dorongan rasa malu dan patah hari.
Akhirnya, Gisalimang dan Genthalimang berusaha
memaksakan kehendaknya.
Namun, kepandaian Arumsari melebihi mereka berdua.
Gisalimang dan Genthalimang -pun menelan pil pahit. Dalam
suatu pertempuran mereka kalah lalu melarikan diri.
Bertahun-tahun kemudian mereka bertemu kembali. Karena
sebuah tipu daya yang jitu, Arumsari terperangkap dalam
jebakan di Lembah Tengkorak. Tapi Gisalimang dan
Genthalimang tak menyangka kepandaian Arumsari telah
berkembang pesat. Arumsari dapat meloloskan diri.
Dalam keadaan tak berdaya, wajah Gisalimang dan
Genthalimang dilumuri cairan Jamur beracun yang banyak
tumbuh di Lembah Tengkorak. Hal itu sengaja dilakukan
Arumsari. Ia jengkel dan sakit hati karena merasa
dipermainkan.
Wajah saudara kembar ltupun rusak. Selama bertahun-
tahun mereka berusaha memperdalam ilmu untuk membalas
dendam. Dan, di kotapraja itulah akhirnya mereka bertemu
dengan Arumsari.
***
4
Pertempuran antara Dewi Ikata dengan Genthalimang
berjalan tak seimbang. Gadis cantik itu yang baru beberapa
candra mengenal ilmu silat tentu saja kurang pengalaman.
Kenyataan ini membuat Dewi Ikata terdesak hebat. Apalagi,
kepandaian Genthalimang jauh di atas kepandaiannya.
Genthalimang terus berusaha mempermainkan lawannya.
"Kau sangat cantik, Manis. Tak baik memukul-mukul begitu.
Menari saja di hadapanku. Aku akan senang. He-he-he...."
Dewi Ikata tak memperhatikan ucapan lelaki berwajah
seram itu. Dia berusaha keras dapat menyarangkan pukulan di
tubuh lawan.
Wuuuttt...!
Tendangan Dewi Ikata yang luput segera disambut dengan
tawa Genthalimang.
"Ayo, menarilah, Manis. Nah, begitu baru bagus. Sekarang
aku akan mengimbangi tarianmu...."
Lelaki berwajah seram itu menggerakkan tangannya
dengan cepat. Dewi Ikata pun tak mampu berkelit.
Akibatnya....
Bret...!
Sengaja Genthalimang tak melukai gadis cantik itu. Dia
hanya menjambret baju Dewi Ikata di bagian pundak hingga
robek dua jengkal.
Antara ngeri dan marah, gadis berumur tujuh belas tahun
itu menggeram. Serangannya diperhebat, tanpa
mempedulikan sebagian kulit putih mulusnya yang sudah
terpampang.
Tep...!
Ketika Dewi Ikata melancarkan pukulan ke dada,
Genthalimang menangkap pergelangan tangan gadis cantik
itu.
"He-he-he.... Kenapa meronta-ronta, Manis? Bukankah
lebih enak bila menari sambil berperlukan?" kata lelaki
berwajah seram Hu.
Arumsari yang melihat adegan tersebut segera
melentingkan tubuhnya ke arah Genthalimang. "Lepaskan dia,
Bangsat!" teriaknya.
Tapi, sebuah tendangan Gisalimang yang ber-lambarkan
tenaga dalam penuh memapak gerakan Arumsari. Nenek itu
menangkis dengan pukulan tangan kanan. Gisalimang terkejut
bukan main. Tubuhnya terasa dialiri hawa panas yang luar
biasa. Dia pun mundur beberapa tindak
Kesempatan itu tak disia-siakan oleh Arumsari.
Diterjangnya Genthalimang yang sedang berusaha berbuat
kurang ajar terhadap muridnya.
"Hentikan...!" teriak Genthalimang tiba-tiba.
Arumsari yang sedang melancarkan pukulan mautnya ke
kepala terpaksa menghentikan serangan. Jemari tangan
Genthalimang menempel erat di leher Dewi Ikata.
"Lepaskan dia!" ujar Dewi Tangan Api dengan kemarahan
meluap-luap.
"He-he-he...," Genthalimang tertawa terkekeh. "Rupanya
kau sangat sayang kepada muridmu ini, Arumsari. Tapi,
sebentar lagi dia tentu akan kubunuh!"
"Bangsat! Kalau kau melakukan itu, akan ku-cincang
tubuhmu menjadi serpihan daging untuk santapan cacing!"
"Jangan banyak bacot kau, Nenek Cerewet! Kalau memang
tidak ingin terjadi sesuatu pada muridmu itu, kau
menyerahlah...," ujar Gisalimang yang sudah bisa menguasai
keadaan dirinya.
"Licik!" umpat Arumsari seraya mendengus bagai seekor
banteng terluka. "Baik, aku menyerah. Tapi, lepaskan muridku
terlebih dahulu!"
"Ha-ha-ha...!" si Kembar Budukan tertawa bersamaan.
Dewi Tangan Api bisa sedikit bernapas lega ketika melihat
cengkeraman tangan Genthalimang di leher muridnya
dilepaskan. Namun, secara tak diduga-duga Gisalimang
melayang cepat dan melancarkan totokan ke punggung
Arumsari! Nenek itu langsung lemas seketika dan jatuh
terduduk di tanak
"Ha-ha-ha...!" tawa si Kembar Budukan membahana
berkepanjangan.
Dewi Ikata yang sudah terlepas dari cengkeraman
Genthalimang menghambur ke arah gurunya. Mendadak
Genthalimang bergerak cepat. Ditotoknya jalan darah di
punggung gadis cantik itu. Dewi Ikata tak mampu berbuat
apa-apa lagi ketika tubuhnya terhuyung, dan jatuh ke dalam
pondong-an Genthalimang.
"Bangsat! Manusia Culas!" umpat Arumsari melihat
Genthalimang melarikan muridnya. Nenek itu menghentakkan
kakinya ke tanah. Tubuh yang tadi tertotok pun mencelat dan
berusaha mengejar Genthalimang.
Tentu saja Gisalimang terkejut setengah mati melihat
tindakan Dewi Tangan Api. Rasa heran timbul dalam hatinya.
Totokan di tubuh Arumsari tiba-tiba telah bebas. Tapi, tanpa
mau berpikir panjang lagi lelaki berwajah seram itu segera
melancarkan pukulan jarak jauh!
Terpaksa Arumsari menghentikan gerakannya ketika
melihat sinar kekuningan memapaknya. Pukulan jarak jauh
Gisalimang pun tak mengenai sasaran, dan menumbangkan
sebatang pohon besar.
Dewi Tangan Api menggeram. Tubuhnya kemudian di
hemposkan kembali untuk mengejar Genthalimang yang
menculik Dewi Ikata. Tapi, Gisalimang telah menghadang!
"Iblis Keparat!" umpat Arumsari seraya menerjang.
Wuuuttt...!
Ketika pukulan nenek itu tak mengenai sasaran, dia segera
menyusuli serangannya dengan tendangan ke arah lambung.
Tangkisan Gisalimang menimbulkan suara seperti gedebong
pisang tersiram air panas. Pertempuran seru segera
berlangsung kembali.
Bagaimanakah Dewi Tangan Api bisa terbebas dari totokan
Gisalimang? Hal itu sebenarnya tak pernah diduga oleh
Gisalimang sendiri. Nenek itu memiliki ilmu aneh yang
dinamakan ilmu 'Pemencar Jalan Darah.' Jadi, jalan darah di
mana pusat kekuatan di tubuh Arumsari berada dapat
dipindah-pindahkan.
Dengan Ilmu aneh itu, dia menjadi tak mempan ditotok.
Waktu nenek itu jatuh terduduk saat totokan Gisalimang
dilancarkan, dia hanya pura-pura untuk mengecoh lawan.
Tapi, Arumsari tak menyangka bila Genthalimang mau berbuat
culas dengan menculik muridnya.
Karena kemarahan yang meluap-luap, Dewi Tangan Api
mencecar tubuh Gisalimang dengan serangan-serangan
mematikan. Nenek itu memutar tubuhnya sambil melancarkan
tendangan beruntun.
Tendangan ketiga tak dapat ditangkis oteh Gisalimang.
Kepalanya tertendang dengan telak!
Tubuh lelaki berwajah seram itu berputar di tempatnya
kemudian terlontar jauh. Tapi, dia segera bangkit seperti tak
mengalami kejadian apa pun.
"Lihat Malaikat Kematian yang akan menjemputmu!" kata
Dewi Tangan Api seraya melancarkan 'Pukulan Tangan Api'-
nya.
Blaaarrr...!
Sinar kekuningan memapak serangan nenek itu. Ledakan
dahsyat yang menimbulkan bola api besar menerangi gelap
yang temaram.
Tubuh Arumsari terdorong dua tindak ke belakang.
Sedangkan Gisalimang terhempas dan jatuh bergulingan di
atas tanah. Rupanya, tenaga dalam Dewi Tangan Api lebih
unggul dua tingkat di atas lelaki berwajah seram itu.
"Kini Malaikat Kematian benar-benar akan menjemputmu!"
Usai mengucapkan kalimatnya, tubuh Arumsari melayang
ke arah Gisalimang yang masih tergeletak di tanah!
Telapak kaki kanan nenek itu mendarat tepat di dada
lawan. Mata Gisalimang mendelik, merasakan dadanya yang
blong. Kepalanya terangkat. Setelah itu, terkulai di tanah
tanpa sempat mengeluarkan suara jeritan.
Arumsari mengambil napas panjang. Tapi, bola matanya
bergerak nanar.
"Genthalimang Keparat! Kembalikan muridku!" teriak nenek
itu tiba-tiba. Tubuhnya dilesatkan ke arah larinya
Genthalimang.
Hanya dibantu cahaya rembulan yang temaram, Dewi
Tangan Api berlari tanpa mengenal lelah. Berkali-kali dari
mulutnya keluar teriakan kemarahan. Hingga sepeminum teh
kemudian Arumsari rianya berlari tanpa tahu ke mana harus
mencari. Tapi dia tak mau putus asa. Setelah kotapraja di-
kitarinya, nenek itu menyusuri tepian sungai.
Sementara itu, Genthalimang sebenarnya masih berada tak
begitu jauh dari arena pertempuran.
Dia hendak menunggu kedatangan saudara kembarnya,
yang dia kira akan segera dapat menghabisi riwayat Arumsari.
Namun ketika lelaki berwajah seram itu mendengar
teriakan Arumsari yang sedang mencarinya, sadarlah dia kalau
saudara kembarnya telah mati di tangan nenek itu. Maka,
Genthalimang segera menyelinap di semak-semak gelap. Dia
sadar sepenuhnya kalau kepandaiannya belum dapat
menandingi kepandaian Dewi Tangan Api.
Setelah menunggu beberapa lama dan melihat Arumsari
menyusuri tepian sungai, Genthalimang bergegas
menggendong tubuh Dewi Ikata kembali. Dibawanya menuju
ke sebuah rumah tak berpeng-huni di pinggir kotapraja.
Bruk...!
Genthalimang melemparkan tubuh Dewi Ikata ke lantai.
Gadis itu cuma dapat mendelik marah. Tubuhnya tiada
berdaya apa-apa akibat pengaruh totokan. Mulutnya pun
disumpal dengan kain.
"Kau berbaringlah di situ terlebih dahulu, Manis. Aku akan
membuat perapian," kata Genthalimang sambil tersenyum-
senyum.
Laki-laki itu mengambil batu api dari balik bajunya. Tak
lama kemudian, ruangan rumah tak berpenghuril itu pun tak
gelap lagi. Dengan tertawa terkekeh, Genthalimang menatap
tubuh Dewi Ikata yang tergeletak di lantai. Gadis cantik itu
bergidik ngeri melihat keseraman wajah Genthalimang.
"He-he-he.... Kau takut kepadaku, Manis?" kata
Genthalimang sambil berjalan mendekati. "Ketahuilah,
wajahku bisa berupa seperti ini akibat perbuatan gurumu, si
Arumsari keparat itu!"
Bola mata Dewi Ikata bergerak nanar ketika Genthalimang
membongkokkan badan di dekatnya. Lelaki berwajah seram
itu memegang dagu Dewi Ikata. Matanya yang sebagian
tertutup gelambir daging, menatap wajah gadis cantik itu.
"Aku tidak bisa membalaskan dendam kesumatku kepada
gurumu. Tapi, tak jadi apa. Kau akan menjadi gantinya, Manis.
He-he-he...."
Dewi Ikata berusaha menggerakkan tubuhnya karena
desakan rasa ngeri. Namun usahanya sia-sia belaka. Hanya
kepalanya yang menggeleng lemah.
"Aku bukan hanya akan mencabik-cabik wajahmu, tapi juga
sekujur tubuhmu!"
Genthalimang memperlihatkan kuku-kuku jari tangannya
yang panjang kehitam-hitaman. Mendadak, jari tangan itu
bergerak ke bawah. Dan...
Bret...!
Baju Dewi Ikata yang telah robek semakin robek lebar.
Genthalimang mendengus, melihat sebagian kulit dada Dewi
Ikata yang masih tertutup kain putih berenda. Lelaki berwajah
seram itu lalu tertawa senang.
"Rupanya kau sangat memperhatikan kerapian, Manis.
Tapi, boleh kan bila aku melihat keindahan kulitmu sebelum
aku menghancurkannya?"
Bret...!
Jemari tangan Genthalimang bergerak. Dan, terpampanglah
sebuah pemandangan menakjubkan yang sanggup
menaikturunkan jakun lelaki berwajah seram itu.
"Uh...! Uh...!"
Hanya suara keluhan yang keluar dari mulut Dewi Ikata.
Rasa ngeri semakin membayang di mata gadis cantik itu.
Napas Genthalimang terdengar memburu. Matanya
memandang tubuh bagian atas Dewi Ikata yang telah
telanjang dengan tanpa berkedip.
"Kau sangat menarik, Manis...."
Jemari tangan lelaki berwajah seram itu bergerak lincah,
menggerayang ke setiap lekuk liku keindahan tubuh Dewi
Ikata. Semakin lama gerakan Genthalimang semakin kasar.
Seiring dengus napasnya yang semakin memburu akibat nafsu
yang menggelora.
Dewi Ikata hanya dapat memejamkan mata. Perlahan-lahan
mutiara bening bergulir ke pipinya. Mendadak Genthalimang
mendekap tubuh gadis cantik itu. Diciumnya bibir Dewi
Ikata....
***