Pengemis Binal 3 - Bidadari Lentera Merah(2)


 3


Siang itu panas mentari terasa
begitu menyengat. Permukaan tanah
mengeluarkan asap tipis dan menguapkan
air tanah. Rerumputan mengering layu.

Daun-daun kuning rontok berguguran

menutupi akar pohon yang bertonjolan.
Burung-burung enggan memamerkan
suaranya. Satwa lainnya pun berteduh
di tempat terlindung.
Seorang remaja tampan berpakaian
putih penuh tambalan tampak berjalan
bersungut-sungut seraya menyusuri
tepian sungai. Tongkat di tangan
kanannya berkali-kali menghantam batu
yang menghalangi langkah kakinya.
"Uh.... Kenapa bayangan Dewi
Ikata tak pernah lepas dari
ingatanku?" Terdengar gerutuan pemuda
itu. "Tentu saja karena dia sangat
cantik. Tatapan matanya tak dapat aku
lupakan. Ehm, seandainya..."
Remaja tampan  yang tak  lain
Suropati itu tersenyum-senyum seorang
diri. Sesekali dia memutar bola
matanya. Sambil mengerutkan kening,
tangannya tak pernah bosan menggaruk-
garuk kepala. Rambut panjangnya yang
tergerai ke punggung jadi awut-awutan.
"Huh...!" Suropati mendengus
seraya menyibak rambut yang  menutupi
wajahnya. "Rambut sialan! Sebaiknya
kugelung saja. Tapi... Ah, tak pantas.
Seperti banci. He he he...."
Pengemis Binal lalu tertawa
terkekeh. Bahunya sampai bergerak naik
turun. Tapi, sebentar kemudian dia
mengeluh kepanasan.
"Uh...! Kenapa udara panas
begini? Duh, betapa bodohnya aku.

Bukankah sedari tadi aku berjalan
menyusuri sungai?"
Suropati tak kuasa membendung
hasrat hatinya. Seluruh pakaiannya
segera ditanggalkan. Kemudian,
tubuhnya meluncur masuk ke dalam su-
ngai. Sekejap kepalanya sudah menyem-
bul muncul di permukaan air.
Didekapnya keningnya yang benjol
terbentur batu di dasar sungai.
Suropati mencak-mencak. Tinggi
air sungai ternyata hanya sebatas
paha. Namun, perhatiannya segera
tersita pada sepasang rusa yang tengah
berada di tepi sungai tidak jauh dari
tempatnya berada.
Sepasang rusa itu tampak asyik
masyuk. Mulut si jantan memagut leher
pasangannya. Si betina terlihat
menggeliat manja.
"Keparat!" umpat Suropati.
"Rupanya kau sedang mengejekku, Rusa
Jelek!"
Perlahan-lahan Suropati berjalan
mendekat. Suara kecipak air yang
ditimbulkan membuat sepasang rusa itu
menolehkan kepala. 
"Nguuukkk...!"
Mulut si betina mengeluarkan
suara.
"Heh, apa katamu, Rusa Jelek?!"
tanya Suropati, jengkel.
"Nguuukkk...!"
Ganti si jantan yang mengeluarkan

suara. "Goblok! Kenapa kau mengulang
kata itu? Aku tak mengerti, Rusa
Jelek!" 
"Nguuukkk...!"
Mulut sepasang rusa itu
mengeluarkan suara bersamaan.
Suropati  yang jengkel lalu
menggoyang-goyangkan pantatnya. 
"Nguuukkk...!"
Suara keras dikeluarkan si
betina. Lalu, kakinya dihentakkan ke
tanah dan lari cepat-cepat
meninggalkan tempat itu.  Si jantan
menatap Suropati sejenak. Mata rusa
itu menyempit. Ia segera membalikkan
badan dan mengejar pasangannya.
"He he he...!"
Suropati tertawa terkekeh. Senang
juga dia berhasil menakut-nakuti
sepasang rusa itu. Pemuda itu lalu
kembali menerjunkan dirinya ke dalam
sungai dan mandi sepuas-puasnya.
"Wuih! Segar...!"
Setelah puas dan merasa tubuhnya
telah segar, Suropati naik ke darat
dan memakai  celananya. Tapi, kepala
remaja konyol itu tampak celingukan.
Dia berjalan ke sana kemari mencari
bajunya.
"Mungkinkah digondol oleh rusa
jelek itu? Atau, terbawa tiupan angin?
Ah, rasanya tak mungkin...."
Suropati menggaruk-garuk
kepalanya.  Bola matanya bergerak ke

kiri dan ke kanan. 
"Koaaakkk...!"
Seekor burung gagak besar tiba-
tiba mengeluarkan jeritan. Burung itu
bertengger di dahan pohon dekat
Suropati. Cakar-cakarnya tampak
menjepit sehelai baju putih penuh
tambalan. Suropati menatapnya dengan
sinar mata nyalang.
"Hei! Kembalikan bajuku!"
"Koaaakkk...!"
Burung gagak besar itu melebarkan sayapnya. Lalu, yang sebelah kanan
bergerak-gerak seperti memanggil
Suropati supaya mendekat.
"Gagak Jelek! Kenapa mencuri
bajuku? Tak laku dijual, Goblok!"
teriak Suropati.
"Koaaakkk...!"
Tiba-tiba burung gagak itu
terbang sambil membawa baju Suropati.
"Hei Pencuri Goblok! Bajuku itu
tak berharga! Kenapa kau bawa lari?!"
"Koaaakkk...! Koaaakkk...!"
Burung gagak besar terus terbang
mengangkasa. Suropati pun menggeram
gusar. Tiba-tiba burung gagak itu
menjatuhkan baju yang dibawanya.
Tapi....
Weeesss...!
Suropati mendelik. Bajunya telah
disambar kembali oleh burung gagak itu
sebelum dia sempat menangkapnya.
"Burung keparat!" umpat Suropati.

Dia segera mengerahkan ilmu
meringankan tubuhnya untuk mengejar.
Gerutuan panjang pendek berulang kali
dikeluarkannya. Namun, beberapa saat
kemudian Suropati kehilangan jejak.
"Lho, di mana gagak jelek itu?"
"Koaaakkk...!"
Di ujung dahan sebuah pohon yang
menjulang tinggi tampak burung gagak
besar mengkepak-kepakkan sayapnya.
Baju Suropati berkibar-kibar di
cengkeramannya.
"Gagak Jelek, rupanya kau pantas
untuk dipanggang!" kata Suropati
seraya memungut sebuah kerikil.
Wuuuttt...!
Kerikil itu dilontarkan kuat-kuat
dengan mengerahkan tenaga dalam.
Burung gagak menggerakkan
kepalanya. Baju Suropati yang berada
di cengkeraman diperguna-kan untuk
menyambut lontaran kerikil. Suropati
ter-perangah. Bajunya jadi bolong
tertembus oleh kerikil yang
dilontarkannya sendiri.
"Huh! Aku tak perlu memanggang
gagak! Tubuhnya akan kulumat menjadi
serpihan daging sate!" ancam Suropati
dengan marah.
Remaja konyol itu meraup segeng-
gam kerikil. Lalu, dilontarkannya
kembali ke arah gagak dengan keras!
Si burung usil melebarkan
sayapnya. Tubuhnya melayang di tempat.

Kakinya bergerak-gerak mengibaskan
baju Suropati yang terjepit di cakar.
Sraaattt...!
Hujan kerikil membuat baju
Suropati semakin bolong-bolong.
Melihat itu, si empunya baju mengumpat
tak karuan. Sementara si burung usil
telah melesat pergi.
"Hei, kembalikan bajuku!"
Suropati segera berlari mengejar.
Tubuh remaja telanjang dada itu
melesat cepat. Tapi, si burung usil
terbang tak kalah pesat. Terbangnya
rendah seperti sengaja mengajak
berlomba Suropati. Ketika sampai di
sebuah bukit kecil, burung gagak besar
itu mengeluarkan suara lantang.
Kemudian, melesat laksana batu meteor
dan kedua kakinya hinggap di bahu
seorang pemuda berpakaian biru yang
duduk tenang di atas sebatang pohon
besar yang telah roboh.
"He he he...!" Pemuda berbaju
biru itu tertawa. "Jangan heran, Suro.
Aku memang menyuruh Gagak Saktiku
untuk mencuri bajumu," katanya dengan
memperlihatkan jajaran giginya yang
putih rapi.
Wajah pemuda  itu sangat tampan.
Berkulit kuning halus seperti kulit
wanita. Rambutnya berwarna pirang dan
dijepit gelang emas. Alisnya tebal de-
ngan sinar mata menyorot tajam.
Hidungnya mancung. Dan, bibirnya yang

kemerah-merahan selalu menyunggingkan
senyum manis.
"Siapa kau?" tanya Suropati.
"Kapi Anggara. Tapi, orang-orang
biasa menyebutku si Pendekar Asmara.
He he he...."
"Uh! Dasar hidung belang!" gerutu
Suropati. "Namun kali ini kau salah
pilih, Pendekar Mata Maling! Aku laki-
laki. Tak perlu kau mencuri bajuku!"
Kapi Anggara kembali tertawa.
"Aku tidak salah pilih, Suro! Sengaja
aku mengundangmu kemari...."
"Kau tahu namaku dari siapa?!"
tanya Suropati heran.
"O, rupanya Pengemis Binal
berotak udang! Namamu sudah ramai
dibicarakan orang-orang. Masa' kau
tidak merasa?"
Suropati menggaruk-garuk kepala-
nya.
"Benarkah apa yang dikatakannya?"
gumam Suropati di dalam hati. "Kalau
memang benar, wuih..., alangkah
senangnya. Gadis-gadis tentu akan
memperebutkanku. He he he...."
Suropati tersenyum-senyum
sendiri.
"Eh, apa yang sedang kau
pikirkan?" tanya Kapi Anggara.
"Kau belum mengembalikan bajuku,"
ucap Suropati untuk menutupi
kegembiraan hatinya. 
"Oh ya, aku lupa...."

Kapi Anggara menggerakkan bahu
kirinya. Si Gagak Sakti melesat ke
arah Suropati. Remaja konyol itu
segera menyambut bajunya yang
dijatuhkan burung gagak hitam.
"Waduh...  waduh...!" Suropati
mencak-mencak melihat bajunya banyak
yang berlubang. "Berapa tambalan lagi
yang mesti aku buat? Bedebah! Burung
tak tahu diuntung! Kau harus
bertanggung jawab, Gagak Jelek...!"
"Tak perlu kau bertingkah macam
orang gila seperti itu, Suropati!"
kata Kapi Anggara. "Aku akan mengganti
bajumu."
"Heh, benarkah?" Kedua alis
Suropati terlihat naik. "Tapi.... Ah,
aku lebih senang baju yang penuh
tambalan. Semakin banyak tambalan,
semakin sip! He he he...."
Remaja konyol itu tersenyum
simpul sambil mengenakan bajunya.
Kemudian, kakinya melangkah dengan
menyeret tongkat pemberian Gede
Panjalu.
"Eh, tunggu dulu!" Kapi Anggara
buru-buru mencegah. Dia meloncat untuk
menghadang langkah Suropati.
"Aku tak punya urusan denganmu,
Pendekar Mata Maling."
"Tapi aku punya urusan  denganmu,
Pendekar Konyol!"
Suropati menghentikan langkahnya.
Ditatapnya Kapi Anggara tajam-tajam.

"Siapa yang kau sebut dengan
'Pendekar Konyol'?"
"Kau."
"Aku bukan Pendekar Konyol!"
"Aku juga bukan Pendekar Mata
Maling!"
"He he he...!" Suropati tertawa.
"Kau senang mencuri barang milik
orang. Kenapa tidak mau disebut
Pendekar Mata Maling?!"
"Siapa yang senang mencuri? Kalau
Gagak Saktiku menyambar bajumu, itu
karena aku bermaksud mengundangmu."
"Untuk apa?"
"Aku menantangmu!"
"Aku tidak mau berkelahi!"
"Siapa yang menantangmu ber-
kelahi?!"
Kening Suropati berkerut. Heran
dia mendengar ucapan lawan bicaranya.
"Kau bicara tak tentu arahnya,
Kapi Anggara!" omel Suropati.
"Kau hanya butuh sedikit
penjelasan, Suro."
Suropati mengayunkan tongkatnya.
Batu sebesar kepalan tangan segera
melayang jauh ketika terantam tongkat.
"Cepat katakan!" katanya setengah
membentak.
Kapi Anggara tersenyum simpul.
"Rupanya kau cepat naik darah, Suro,"
ujarnya pelan. "Kau tahu Perkumpulan
Bidadari Lentera Merah?"
"Kenapa?!"

"Waduh! Sulit bicara dengan
manusia konyol semacam kau!"
"Jelas! Karena kau senang
mencuri!"
Kapi Anggara menggeram. Kepalanya
menggeleng lemah. "Kau  tahu
Perkumpulan Bidadari Lentera Merah
atau  tidak?" katanya mengulangi
pertanyaannya.
"Kalau tahu, kenapa?"
"Ketua perkumpulan itu bernama
Sekar Mayang."
"Aku sudah tahu!" sergah Suropati
seraya melangkahkan kakinya kembali.
"Eit...! Tunggu dulu! Kau belum
mendengar penjelasanku!" cegah Kapi
Anggara.
Suropati menatap wajah si
Pendekar Asmara lekat-lekat.
"Wuih!  Dia sangat tampan," kata
Suropati dalam hati. Sayang, dia
berhidung belang. Aku jadi merasa
tersaingi. He he he...."
Senyum Pengemis Binal segera
mengembang.
"Sekar Mayang itu sangat cantik,
Suro," beri-tahu Kapi Anggara
kemudian.
"Lalu...?"
"Tidakkah kau ingin memilikinya?" 
"Kau sendiri?"
"Tentu saja aku ingin. Tapi, aku
sudah bosan menggaet gadis cantik
tanpa taruhan."

"Kalau begitu, kau menantangku
bertaruh?!"
"Ya. Kita berlomba untuk
mendapatkan Sekar Mayang."
Suropati menggaruk kepalanya.
"Sebuah tantangan yang menyenangkan,"
bisiknya dalam hati. "Tak pantas untuk
ditolak."
"Eh, rupanya kau butuh obat
pembasmi kutu, Suro," goda Kapi
Anggara yang melihat kebiasaan buruk
Suropati.
"Aku tidak punya kutu!"
"Lalu kenapa kau selalu
menggaruk-garuk kepalamu?"
Suropati membisu. Dia tak mampu
menjawab pertanyaan si Pendekar
Asmara. Itu memang kebiasaannya.
"Ah, sudahlah.  Tak perlu kau
ributkan kebiasaanku itu!" kata
Suropati dengan tegas. "Aku menerima
tantanganmu. Tapi, apa taruhannya?"
Kapi Anggara tersenyum lebar.
Tangan kanannya bergerak mengeluarkan
cepuk kecil dari saku bajunya.
"Aku punya Air Mata Duyung, Suro.
Kalau kau bisa mengalahkan aku, cairan
ajaib ini akan menjadi milikmu."
"Ah, hanya Air Mata Duyung, bukan
Air Mata Dewa!"
"Eit, jangan  memandang  rendah
dulu! Bagi laki-laki, Air Mata Duyung
ini sangatlah berguna. Selain sebagai
obat awet muda, juga sebagai penambah

keperkasaan...."
"Aku tidak tertarik!"
"Uh! Sombong! Kau sendiri, apa
taruhanmu?!"
Suropati kembali menggaruk
kepalanya.
"Aku tidak punya apa-apa...."
Kapi Anggara tertawa terbahak-
bahak.
"Kau gentong tak berisi, Suro.
Sombong hanya untuk menjaga gengsi!"
ujar pemuda itu menyindir. "Kita tak
usah bertaruh saja. Aku tahu, kau tak
mungkin mempertaruhkan kepalamu!"
"Tapi perlombaan tetap jalan
terus, bukan?"
"Tentu, Suro."
"Kapan dimulai?"
"Sekarang juga."
"Baik."
Mendengar perkataan Suropati,
Pendekar Asmara membalikkan badan dan
bergegas berlalu dari tempat itu.
"Eh, tunggu dulu!" Suropati
mencegah. "Di mana tempat tinggal
Sekar Mayang?"
"Ha ha ha...!" Kapi Anggara
tertawa keras. "Kalau kuberitahu,
namanya bukan perlombaan," katanya
seraya melanjutkan langkah kakinya.
"Uh! Selain senang mencuri
rupanya kau juga pelit, Kapi Anggara!"
gerutu Suropati.
Si Pendekar Asmara tak mempe-

dulikan. Dengan langkah tegap, dia
berjalan di bawah ganasnya hawa siang
yang panas. Sesekali ujung lengan
bajunya dikebutkan untuk mengusir
gerah. Perlahan-lahan dari mulutnya
terdengar senandung lagu.
Wanita,  oh wanita.... Cantik,
elok nan rupawan Menggoda hati,
risaukan sukma Menyusup ke semak
kalbu, ciptakan rindu Pilu menggelut,
ingin bertemu Cinta, oh cinta....
Cinta wanita melebihi segalanya
Korban harta belum apa-apa Nyawa
melayang pun tak kan terasa Demi rindu
untuk menyatu Sendu luruh, hasrat
menggebu
Hampir  seharian penuh Anjarweni
dan Wirogundi berputar-putar menge-
lilingi Kota Kadipaten Tanah Loh.
Orang-orang yang ditanya sepanjang
perjalanan mereka tak satu pun yang
dapat memberikan keterangan. Mereka
jadi putus asa ketika tak menemukan
satu petunjuk pun.
"Kira-kira di manakah dia, Wiro?"
tanya Anjarweni.
"Entahlah," jawab Wirogundi.
"Mungkinkah dia menyendiri di
suatu tempat?"
"Kau yang lebih tahu sifat dan
tabiat adik seperguruanmu itu, Weni."
"Ah, firasatku mengatakan Ingkan-
putri sedang menghadapi masalah,"
suara Anjarweni terdengar begitu

cemas.
"Kenapa kau berkata begitu?"
"Tidakkah kau tahu kalau banyak
warga kota kadipaten ini yang juga
bingung mencari anak gadisnya. Jangan-
jangan...."
Anjarweni tak melanjutkan
bicaranya. Wajahnya tampak diliputi
rasa khawatir.
"Kau jangan berpikiran yang
bukan-bukan, Weni," hibur Wirogundi.
"Mungkinkah  Ingkanputri diculik
orang?" Akhirnya tercetus juga
kekhawatiran Anjarweni.
Wirogundi menggelengkan
kepalanya.
"Adik seperguruanmu itu bukan
anak kecil lagi. Kukira dia sanggup
menjaga diri."
"Tapi bila yang menculik orang-
orang dari Perkumpulan Bidadari
Lentera Merah, bukankah itu tidak
mustahil?"
Kedua alis Wirogundi terangkat.
Dia merasakan kebenaran dalam ucapan
Anjarweni.
"Untuk apa mereka menculik
Ingkanputri?" tanya Wirogundi.
Anjarweni terdiam. Dia sendiri
tak mampu menjawab.
Melihat itu, Wirogundi segera
memeluk tubuh gadis itu dari belakang.
"Kau tak perlu resah, Weni," bisiknya.
"Kesedihanmu adalah kesedihanku.”

Anjarweni melepas pelukan itu.
Ditatapnya wajah Wirogundi lekat-
lekat. Lalu, dia menghambur ke dalam
pelukan tubuh Wirogundi.

***

Malam melingkupi bumi. Cahaya
rembulan dan gemerlap bintang tertutup
oleh tirai awan. Angin berhembus cukup
keras. Desaunya sanggup mendirikan
bulu roma. Suara binatang malam pun
seperti disusupi iblis penunggu
neraka. Mengundang rasa ngeri di hati.
Di sebuah pekuburan sepi terasa
begitu memagut. Gelap lebih pekat.
Hitam kelam, membutakan mata. Ranting
pohon kamboja meliuk lemah bagai
targan-tangan setan.
Mendadak, sesosok  bayangan
berkelebat cepat di atas alang-alang.
Gerakannya ringan bagai menyatu dengan
tiupan angin.
"Berhenti!"
Sosok bayangan lain berusaha
menghadang. Tapi, sehelai benda pipih
panjang menyerangnya. 
"Eit...!"
Sosok kedua berusaha menghindar.
Dengan kecepatan laksana kilat tangan-
nya menangkap ujung benda itu. Sosok
bayangan pertama segera mengerahkan
seluruh tenaga untuk membetot.
"He he he...!" Sosok kedua yang

tak lain Suropati itu tertawa. "Ayo,
kerahkan seluruh kemampuanmu,
Penculik!"
Dua kekuatan saling tarik-
menarik. Benda pipih panjang yang
berupa selendang itu bergetar pelan.
Lalu, mengejang!
Bret!
Wanita cantik pemilik selendang
itu terperangah menyaksikan senjatanya
putus. Dengan sigap dia melontarkan
sesosok tubuh yang berada di bahunya.
Suropati bergegas menyambut. Kemud-an,
tubuhnya meluncur cepat!
Tuk!
Bruk!
Totokan Suropati tepat mengenai
sasaran. Tubuh wanita cantik
berselendang merah jatuh terkulai di
tanah. Suropati memandangnya sejenak.
Lalu, tangannya bergerak cepat
membebaskan totokan gadis yang berada
dalam pondongannya.
"Aku akan mengantarmu pulang,"
kata Suropati.
Sosok Pengemis Binal melesat
cepat meninggalkan tubuh wanita cantik
yang terkulai lemah di tanah. Sebentar
kemudian Suropati telah kembali ke
tempat itu.
"Kau rasakan sekarang, Penculik.
Ganti aku yang akan menculikmu!"
"Siapa kau?!" tanya wanita cantik
anggota Perkumpulan Bidadari Lentera

Merah itu.
"Kau tidak  berhak bertanya.
Sebutkan namamu sebelum aku
mengantarkan nyawamu ke neraka!" ancam
Suropati.
"Cih! Siapa takut mati?!" balas
wanita cantik berbaju merah dengan
beraninya.
"He he he...!" Suara tawa keluar
dari mulut Suropati. "Baik. Aku akan
menguji keberanianmu....
Suropati berjalan mendekat. Lalu,
dipeluknya tubuh wanita cantik anggota
Perkumpulan Bidadari Lentera  Merah
itu.
"Ehmmm...."
Wanita cantik itu menggelinjang
ketika merasakan bibirnya dipagut.
"Uh! Rupanya kau merasakan
keenakan," sungut Suropati.
"Kau sangat nakal, Bocah
Gendeng!" 
"Siapa yang kau sebut, 'Bocah
Gendeng'?" 
"Kau!"
"Aku bukan bocah lagi," sembur
Suropati. Tiba-tiba remaja konyol itu
membuat gerakan seperti hendak
mencopot celananya. 
"Eh, jangan!" 
"Jangan apa?"
"Jangan mencopot celanamu!"
"Siapa yang mau mencopot celana?!
Aku hanya menggaruk pahaku yang gatal,

Goblok!" bentak Suropati seperti ingin
menunjukkan kemarahan. 
"Namamu siapa?" tanyanya
kemudian.
"Puspita."
"He he he.... Nah, begitu baru
pintar. Kenapa mesti jual mahal pada
Pengemis Binal. Untuk apa kau menculik
gadis itu?"
Puspita tak menjawab. Matanya
membelalak lebar untuk melihat wajah
Suropati.
"Heh, kenapa diam saja?! Kau
tidak mendengar pertanyaanku?"
"Aku dengar."
"Kenapa diam?"
"Karena aku tak mau menjawab!" 
"Goblok! Apakah kau tak takut
kubunuh?!" 
"Tidak!"
"Baik. Aku akan menguji
keberanianmu...."
Suropati kembali memeluk tubuh
Puspita. Dilumatnya bibir wanita
cantik itu. 
"Ehmmm...." Napas Puspita
terengah. "Uts! Sudah... sudah...." 
"Kau sekarang mau mengatakannya?"
tanya Suropati seraya melepas pelukan.
Puspita mengatur jalan napasnya.
Matanya berkedip mesra. Lidahnya
terlihat dijulurkan keluar untuk
menjilat bibirnya yang basah.
"Oh, rupanya kau ketagihan!" kata

Suropati seraya menampakkan
kekonyolannya. Tapi, tiba-tiba
wajahnya menjadi tegang. "Cepat kau
katakan apa maksudmu menculik gadis
tadi?!" 
"Gadis itu untuk korban." 
"Korban?!" Suropati terkejut. 
"Untuk apa?" 
"Untuk upacara pemulihan Ketua
Pertama." 
"O, jadi ketuamu ada dua. Yang
pertama siapa namanya?" tanya Suropati
ingin tahu. 
"Ratnasari." 
"Umurnya?"
"Seratus lima puluh tahun lebih."
Suropati mengerutkan keningnya.
Tak dapat dibayangkannya rupa wanita
itu di usia setua tersebut. "Kira-kira
bagaimana wujud ketua pertamamu itu?"
tanyanya kemudian.
"Kau tahu Sekar Mayang?" wanita
berbaju merah balik bertanya.
"Ya. Kenapa?"
"Ratnasari lebih cantik dari
dia."
"Apa?!" Suropati terkejut. "Kau
tidak salah bicara? Umur seratus lima
puluh tahun mestinya lebih mirip wewe
gombel!"
"Dia sudah menjalani upacara
pemulihan."
"Dengan mengorbankan gadis-gadis
itu?"

"Ya. Uh...!" Puspita menggeliat
mencoba bangkit berdiri. 
"Bebaskan totokanmu," pintanya.
"Nanti kau lari."
"Tidak."
"Tapi ada syaratnya. Kau harus
membawaku untuk menemui Sekar Mayang." 
"Aku tidak mau!" 
"Kau akan kubunuh!" 
"Aku tidak takut!"
"Baik. Aku akan menguji
keberanianmu..."
Untuk ketiga katinya Suropati
memeluk tubuh Puspita. Bibirnya lincah
bergerak menelusuri wajah wanita
cantik itu.
"Katanya kau hendak menguji
keberanianku, tapi... Uh.... Kenapa
men... uh...," Puspita tak dapat
melanjutkan bicaranya.
"Beginilah caraku menguji
keberanian."
"Uh... Suro..., aku senang..."
Mendadak Suropati menghempaskan
tubuh Puspita. "Kau tahu namaku?"
tanyanya.
"Kau tadi mengatakan dirimu
adalah Pengemis Binal. Kenapa? Apakah
kau takut bila aku melaporkan
perbuatanmu ini kepada ibumu?"
"Tidak. Aku sudah tidak punya
ibu." 
"Syukurlah kalau begitu." 
"Heh, apa katamu? Kau senang bila

aku sudah tidak punya ibu?"
"Ya. Karena, bila ibumu masih ada
dia akan menghajarmu habis-habisan.
Kau sangat nakal!"
"Tapi, walaupun begitu kau suka
padaku, kan?"
"Ehm...."
"He he he...,"  Suropati tertawa
terkekeh. "Kalau kau memang suka
padaku, kau harus membawaku untuk
menemui Sekar Mayang."
"Kau suka padanya?"
"Itu urusan pribadi!"
"Uh...!" Puspita merajuk.
Suropati tersenyum. Didaratkannya
sebuah ciuman di kening Puspita yang
tampak sewot.
"Kalau kau ingin menjadi
kekasihku, bawalah aku menemui Sekar
Mayang, Sayang...," kata Pengemis
Binal dengan suara lembut menggoda.
"Baiklah...," kata Puspita
kemudian. "Aku akan meluluskan
permintaanmu. Tapi, bebaskan dulu
totokanmu."
Tangan Suropati bergerak cepat.
Suasana malam yang kelam  sama sekali
tak menjadi penghalang. Puspita
menggeliat merasakan tubuhnya telah
tarbebas dari totokan.
"Sekarang juga bawa aku menemui
Sekar Mayang!"
Puspita hanya diam di tempatnya.
Mata wanita cantik itu mengerling

penuh arti. Kemudian, terpejam sambil
mengeluarkan desahan panjang. Ke-
palanya didongakkan ke atas. Tampaklah
leher Puspita yang halus mulus.
Pengemis Binal pun tersenyum
senang. "Kau sangat cantik, Pus-
pita...," katanya seraya mendekap
tubuh Puspita  yang terbaring di atas
tanah.
Remaja konyol itu lalu menyibak
anak rambut yang menutupi wajah
Puspita. Kemudian, bibirnya ditempel-
kan pada bibir gadis itu.
"Kau masih perawan?" tanya
Suropati dengan konyolnya.
"Buktikan sendiri," sahut
Puspita.
"Ehm.... Lain kali saja!"
Suropati lalu bangkit berdiri,
Puspita mengeluarkan desahan panjang.
Matanya membersitkan sinar kekecewaan.
Perlahan-lahan dia bangkit sambil
menggerutu.
"Uh! Dasar masih anak-anak...!"
Suropati segera menggandeng
lengan wanita cantik itu. Mereka
berlalu meninggalkan daerah pemakaman.
Saat itu malam hampir menjelang fajar.
Malam berlalu. Pagi pun datang
menghantarkan terang. Di mulut sebuah
gua yang hampir tertutup batu-batu
cadas, Suropati menyibak rumput
ilalang yang tumbuh subur setinggi
pinggangnya. Sambil menimang-nimang

tongkatnya, remaja konyol itu menatap
kedalaman gua yang gelap gulita.
"Bagaimana mungkin Sekar Mayang
tinggal di tempat seperti ini?" gumam
Suropati.
"Kenapa kau ragu, Suro?" tanya
Puspita.
"Ini bukan jebakan?"
"Apa untungnya menjebakmu?"
Dahi Pengemis Binal jadi ber-
kerut. Dia belum yakin akan perkataan
wanita cantik yang berdiri di
sampingnya itu.
"Aku tidak bisa  berlama-Iama di
tempat ini. Kalau di antara teman-
temanku  ada yang tahu, tamatlah
riwayatku," bisik Puspita di dekat
telinga Suropati.
"Kalau hal itu berbahaya, kenapa
kau bersedia menunjukkan tempat ini?"
"Pada saatnya nanti kau akan tahu
sendiri." 
"Bukan karena kau menyukaiku?" 
"Itu hanya sebagian dari alasan." 
"Alasan lain?"
"Ah, sudahlah. Cepat kau masuk!"
perintah wanita cantik berpakaian
serba merah itu.
"Aku bisa memegang kata-katamu?"
"Kenapa tidak?" kata Puspita
meyakinkan. "Ayolah, Suro. Aku sudah
tak punya waktu lagi...."
"Kau tidak ikut?"
"Itu sama saja dengan bunuh

diri."
"Baiklah, aku akan masuk. Tapi
kalau kau menipuku, awas, hidungmu
akan kupotong dan kubikin sate!"
Puspita hanya tersenyum kecil.
Suropati segera mencongkel sebongkah
batu cadas dengan tongkatnya. Batu
sebesar anak bayi itu ditendangnya ma-
suk ke dalam gua.
"Hati-hati, Suro...," kata
Puspita sebelum pergi menghilang dari
tempat itu.
Suropati hanya mengangguk. Per-
lahan-lahan kakinya melangkah memasuki
gua. Sinar mentari yang hanya satu
tombak dapat menerangi kedalaman gua.
"Kalau aku tidak menerima
tantangan Kapi Anggara, aku tidak akan
mendapat susah seperti ini," gerutu
remaja konyol itu.
Hanya dengan mengandalkan
perasaannya Suropati terus
melangkahkan kaki. Tapi belum sampai
sepuluh tindak dia melangkah, tiba-
tiba....
Wuuusss...!
Suropati meloncat ke samping
menghindari hunjaman tombak yang
meluncur deras ke arahnya.
Dengan tetap berdiri di tempat
ditajamkannya indera pendengarannya.
Tapi, tidak terdengar suatu gerakan
yang mencurigakan. Dia segera
melanjutkan langkahnya kembali.

Wuuusss...!
Beberapa batang tombak kini
meluncur ke arahnya!
Traaakkk! Traaakkk!
Suropati menangkis dengan
tongkatnya.
"Wuih, tempat ini penuh jebakan!"
desis Suropati. "Apakah Puspita ingin
mencelakakanku? Tapi, aku bisa
merasakan kebenaran ucapannya. Sikap
wanita cantik itu sangat aneh. Kenapa
dengan begitu mudahnya dia bersedia
menunjukkan sarang Perkumpulan
Bidadari Lentera Merah?"
Ketika kemudian dia bergerak
setindak, telinganya segera menangkap
sambaran benda-benda halus di sekitar
tempatnya berdiri. Suropati memutar
tongkatnya laksana baling-baling untuk
melindungi tubuh.
Sraaattt...!
Puluhan batang jarum beracun
rontok ke tanah.
"Uh...! Hampir saja," keluh
Suropati. 
Brooolll...!
Tiba-tiba, permukaan tanah tempat
Suropati berdiri ambrol. Tanpa dapat
dihindari lagi tubuh remaja itu
meluncur masuk ke dalam sebuah lubang
besar! Buru-buru Suropati bersalto
beberapa kali hingga dia dapat
mendarat dengan kedua kaki.
Suropati memperhatikan gua yang

diterangi jajaran obor gas alam.
Berbeda dengan gua yang tadi
dilewatinya, dinding gua yang baru di-
masukinya ini berdinding halus.
Permukaan tanahnya pun datar tanpa
diseraki bebatuan.
Suropati segera berjalan
mengikuti lorong yang ada. Semakin
lama cahaya obor gas alam semakin
terang. Namun, langkahnya terhenti
ketika di hadapannya terpampang tiga
cabang  jalan dari lorong yang sedang
ditelusurinya.
"Hm... Aku harus lewat yang
sebelah mana?"
Setelah terdiam sejenak, Suropati
memutuskan untuk memasuki lorong
sebelah kanan. Tiba-tiba, sebongkah
batu sebesar gajah meluncur dari atas
dan hampir menimpa tubuh Pengemis
Binal.
"Uh...! Hampir saja tubuhku lumat
jadi rempeyek," sungut Suropati sambil
menggaruk-garuk kepala. "Lorong yang
sebelah kanan sudah tertutup, aku akan
memasuki yang tengah...."
Blaaarrr!
Untuk kedua kalinya sebongkah
batu sebesar gajah meluncur jatuh dari
atas dan menutup lorong tengah.
"Wuih...! Kau senang membuatku
terkejut, Batu Kasar!" umpat Suropati.
Tubuhnya miring-miring terbawa
oleh guncangan yang ditimbulkan oleh

luncuran batu. Ketika debu yang
mengepul sudah hampir hilang, Suropati
mengayunkan tongkatnya.
Blaaarrr!
Batu besar yang berada di
hadapannya hancur berkeping-keping.
Pecahannya menyebar ke berbagai
penjuru. Debu mengepul mengaburkan
pandangan.
"Kau rasakan itu, Batu Kasar!"
maki Pengemis Binal seperti orang tak
waras.
Tapi sebelum  dia melangkahkan
kakinya, sesosok tubuh yang hanya
berupa bayangan berkelebat keluar dari
lubang lorong sebelah kiri.
"Eit! Siapa kau?!" bentak
Suropati.
Bayangan yang baru muncul itu
langsung menyerang Suropati. Tendangan
dan pukulannya datang bertubi-tubi
mengancam bagian berbahaya di tubuh
Suropati. Tapi, dengan mudah pemuda
itu menghindarinya. Lalu, tongkatnya
diputar cepat dengan menggunakan jurus
'Tongkat Memukul Anjing'!
Zeb! 
Ceeesss...!
Bayangan merah itu tertembus
ujung tongkat Suropati. Tepat mengenai
dadanya. Tapi, Suropati menjadi
terkejut melihat dada bayangan merah
itu mengeluarkan asap tebal, sementara
sosoknya tetap berdiri tegak tanpa

sedikit pun menunjukkan rasa sakit.
Des!
Suropati yang lengah segera
mendapat buah dari kecerobohannya.
Tubuhnya terjengkang ke belakang dan
membentur dinding gua. Didekapnya
erat-erat dadanya yang terkena
tendangan. Jalan pernapasannya untuk
beberapa lama terganggu.
Lalu, dengan lengkingan tinggi
diayunkan tongkatnya tertuju ke
pingang bayangan merah!
Ceeesss...!
Bayangan merah itu tampak
terpotong dua. Dan, asap tebal
mengepul dari bekas sambaran tongkat
Suropati.
"Sihir!" desis Pengemis Binal.
Suropati segera memejamkan
matanya. Seluruh kekuatan batinnya
dipusatkan pada pikiran. Perlahan-
lahan asap  tipis mengepul dari
kepalanya.
"Hm.... Rupanya si empunya sihir
itu berada di belakang bayangan
merah," gumam Pengemis Binal dalam
hati.
Tongkatnya segera dijatuhkan ke
tanah. Kemudian, tanpa membuka mata
tubuhnya meluncur ke depan secepat
kilat! Tubuh Pengemis Binal menembus
bayangan merah. Telapak tangannya yang
terkepal. membentur gelombang tenaga
kasat mata.

Buuummm!
Tubuh Suropati terpental ke
belakang setelah membentur dinding gua
dengan kerasnya. Remaja konyol itu
mengusap bibirnya yang berdarah. Mata-
nya nanar mencari bayangan merah yang
tiba-tiba lenyap.
"Ha ha ha...!"
Tiba-tiba terdengar gema tawa
mirip suara iblis yang baru bangun
dari Hang lahat.
"Siapa kau?!" bentak Suropati.
Tapi, suara tawa itu tak kunjung
berhenH Suropati terkejut merasakan
jantungnya berdebar kencang. Mendadak
gendang telinganya jadi pekak!
"Kunyuk Busuk! Bisanya hanya
membokong orang!" umpat Suropati
seraya mengerahkan hawa murninya untuk
melindungi jantung dan gendang
telinga.
Tubuh Suropati yang telah duduk
bersila bergetar hebat. Sekejap
kemudian, dia merasakan suatu kekuatan
kasat  mata yang merejam tubuhnya.
Ribuan jarum bagai menusuk-nusuk
kulitnya. Titik-titik darah segera
meleleh keluar dari lubang pori-pori.
Tubuh Pengemis Binai semakin bergetar
hebat. Kedua kakinya yang terlipat
menggeser-geser tanah hingga
menimbulkan asap yang bercampur debu
tebal.
"Auuummm...!"

Suropati mengeluarkan jeritan
panjang laksana raungan harimau
terluka. Suara yang keluar dilambari
seluruh kekuatan tenaga dalamnya.
Dinding gua retak-retak. Permukaan
tanah pun terguncang bagai dilanda
gempa!
"Argh...!"
Terdengar jerit kesakitan di
antara kegaduhan itu. Suara tawa yang
menggerna pun lenyap.
"He he he...!" Suropati tertawa
terkekeh. "Kau rasakan itu, Dedemit
Culas!"
Kemudian, remaja konyol itu
bangkit dari duduknya. Kakinya
melangkah memasuki lorong sebelah
kiri. Mulut Suropati berdecak kagum
menyaksikan dinding  gua yang halus
mengkilat berlapiskan batu pualam.
Suropati hampir terpeleset karena
lantainya yang sangat licin.
Suropati segera  mengerahkan ilmu
meringankan tubuh. Dengan telapak kaki
dijinjitkan, dia berusaha menjaga
keseimbangan tubuhnya tidak terjatuh.
Tak terduga duga, entah dari mana
datangnya, sebuah benda bulat
bercahaya merah berputar
mengelilinginya. Benda bercahaya merah
yang sesungguhnya sebuah lentera itu
kemudian berkelebat hendak menggempur
dada Suropati!
Remaja konyol itu bergegas

mengebutkan tangannya. Serangkaian
angin pukulan yang timbul dari telapak
tangan Suropati membuat lentera
terpelanting. Tapi, sekejap kemudian
berbalik arah dan meluncur menuju
kepala!
Deeesss...!
Benda bercahaya itu tak hancur
terkena sam-baran tongkat Pengemis
Binal. Bahkan, melenting dan berputar
semakin cepat! Membuat pandangan
Suropati menjadi kabur.
Mendadak, sebuah lentera merah
lainnya meluncur dari belakang tubuh
Suropati. Dan, menghantam telak tubuh
pemuda itu. Remaja konyol itu pun
terlempar dan jatuh bergulingan di
lantai.
Sambil meraba punggungnya yang
terhantam, gerutuan tak berujung
pangkal keluar dari mulut Pengemis
Binal. Tapi, mulutnya mendadak
terkunci ketika menyaksikan belasan
lentera berputar cepat mengeli-
linginya.
Tanpa pikir panjang lagi Suropati
segera memutar tongkatnya. Dimain-
kannya jurus 'Tongkat Memukul Anjing'.
Namun, gerakannya tak begitu sempurna
karena berulang kali kakinya hampir
terpeleset.
Wuuuttt...! Wuuuttt...!
Deru putaran tongkat Suropati
berbaur dengan suara lesatan lentera-

lentera merah. Diawali teriakan
melengking nyaring, Pengemis Binal
meloncat tinggi seraya menggempur
benda-benda bercahaya itu. Namun,
sambaran tongkat hanya mengenai angin
kosong. Lentera-lentera itu bergerak
menghindar bagai mempunyai pikiran.
Bola mata Suropati berputar
mengikuti gerak belasan lentera merah.
Dan tanpa diduga-duga pemuda itu,
benda-benda bercahaya tersebut melu-
ruk ke arah Pengemis Binal secara
bersamaan! Bergegas remaja konyol itu
melentingkan tubuhnya ke udara. Tapi
ketika tubuhnya masih melayang, len-
tera-lentera merah terlihat saling
berbenturan satu sama lain. Dengan
diiringi suara menggelegar, asap
berwarna  kemerahan pun mengepul
memenuhi ruangan.
"Asap beracun!"
Pengemis Binal segera menahan
napas. Tapi hal itu membuat
kesigapannya berkurang. Ketika kakinya
mendarat  di lantai dia terpeleset.
Sementara belasan lentera merah telah
berserabutan menuju ke arahnya!
Blaaarrr...!
Suropati tak sempat menghindar.
Tubuhnya terlempar ke belakang
membentur dinding gua.
Dada remaja konyol itu terasa
hendak remuk. Kepalanya pening dan
pandangannya berkunang-kunang. Dia

telah menghirup asap beracun!
Dan ketika belasan lentera merah
kembali meluruk ke arahnya, Pengemis
Binal sudah tak dapat berbuat apa-apa
lagi. Matanya terpejam rapat.
Ditunggunya  kedatangan Malaikat
Pencabut Ny-wa!
Sraaattt...!
Tiba-tiba, sehelai selendang
berwarna merah meluncur cepat laksana
kilat yang langsung membelit tubuh
Suropati. Lalu, dengan gerakan
seringan napas tubuh remaja konyol itu
melayang.
Buuummm...!
Belasan lentera merah akhirnya
membentur dinding gua.

***